TUGAS MATA KULIAH TEORI EKONOMI MAKRO (EKO 503) DOSEN PENGAMPU : Prof. Dr. Ir. HERMANTO SIREGAR, MEc.
REVIEW ARTIKEL THE ACTUALITY OF MACROECONOMICS IMBALANCES
DISUSUN OLEH :
Mumuh Mulyana
H463140021
PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
Hal | 1
REVIEW ARTIKEL Judul Artikel: The Actuality of Macroeconomic Imbalances Penulis: Cristina Burghelea, Anda Gheorghiu, Cristina Tindeche, Anca Gheorghiu, Nicolae Mihailescu
Diterbitkan pada: Hyperion Economic Journal, Year I, No. 4 (1), December 2013 RINGKASAN ARTIKEL Dari semua bentuk ketidakseimbangan ekonomi makro, fenomena inflasi merupakan salah satu yang paling sulit diatasi. Pada beberapa negara, inflasi merupakan musuh utama dalam perkembangan ekonomi. Efek dari fenomena ini sangat bergantung pada ekspektasi dan bisatidaknya dikendalikan oleh otoritas moneter. Akhir-akhir ini, baik di negara maju maupun negara berkembang, telah terjadi penurunan inflasi secara signifikan seiring adanya peningkatan komitmen otoritas moneter dalam menciptakan inflasi yang rendah. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis pilar-pilar strategi penetapan target inflasi langsung, prasyarat dan mengembangkan arah baru moneter, mengulas kebijakan negara-negara yang telah mengadopsi strategi target inflasi dari tahun 1990 sampai sekarang. Penulis menyebutkan bahwa inflasi secara umum merupakan peningkatan harga barang dan jasa dalam waktu lama yang berefek negatif seperti menurunkan nilai uang, mengurangi daya beli, mengecilkan tabugan dan investasi. Inflasi diukur menggunakan indek harga konsumen. Dalam mencapai tujuan akhir dari kebijakan moneter, bank sentral menggunakan beberapa strategi berikut: menetapkan target atas nilai tukar (kurs), moneter dan inflasi. Setelah Perang Dunia ke-1, saat terjadinya krisis yang menyebabkan runtuhnya standar emas, kebijakan untuk mengatasi inflasi adalah dengan menargetkan tingkat harga atau tingkat inflasi. Negara pertama yang menerapkan strategi menetapkan inflasi adalah New Zealand pada tahun 1989. Armenia, republik Ceko, Polandia dan Hungaria pun telah menerapkan penargetan inflasi sebagai strategi kebijakan moneternya saat melakukan transisi dari ekonomi terencana menuju ekonomi pasar. Demikian pula saat krisis di tahun 1997 banyak negara yang menerapkan strategi target inflasi ini. Strategi tersebut terbukti menjadi alternatif yang paling efektif untuk mengatasi tekanan inflasi. Bank Sentral di negara-negara maju, seperti Bank Sentral Eropa (ECB), Bank Sentral AS (FED), Bank Jepang, Bank Nasional Swedia telah menerapkan elemen-elemen kunci dari penargetan inflasi. Pengalaman negara-negara yang telah berhasil menerapkan strategi target inflasi diikuti oleh Rumania dalam mengubah strategi kebijakan moneternya. Di tahun 2005, Romania mengadopsi strategi Kebijakan Target Inflasi tersebut. Motivasi Romania menerapkan strategi tersebut dikarenakan ada fakta ketidak-efektifan kebijakan moneter yang menargetkan kehilangan (lose), yang berujung pada sulitnya memprediksi agregat moneter. Setelah melalui perdebatan di Bank Nasional Romania sejak tahun 2000, Romania menyetujui untuk menetapkan strategi target inflasi yang akan sukses diimplementasikan jika diberlakukan pada kebijakan ekonomi yang jelas. Masalah utama bagi Rumania adalah mencapai keseimbangan saat kebijakan mengatur suku bunga sehingga target inflasi yang hendak dicapai tidak berakibat pada meningkatnya arus masuk modal yang dapat mempengaruhi daya saing ekonomi secara eksternal dan prospek pertumbuhan jangka panjang. Tantangan utama yang dihadapi adalah mendapatkan kredibilitas bank sentral dan membangun hubungan komunikasi yang kuat dengan masyarakat melalui laporan triwulanan bagi publik, yang dirancang untuk memastikan adanya transparansi dari Bank Sentral. Sebagai negara dalam masa transisi, Rumania disarankan untuk secepatnya menggunakan target inflasi yang ketat di awal periode setelah mengadopsi strategi kebijakan moneter baru. Hal ini ditujukan untuk menstabilkan harga. Untuk menerapkan strategi target inflasi perlu dipenuhi terlebih dahulu prasyarat berikut ini : mengamankan stabilitas harga harus ditetapkan sebagai tujuan utama kebijakan moneter, kurangnya dominasi fiskal, independensi bank sentral dan berfungsinya sistem keuangan dan pasar. Faktor utama yang berkontribusi terhadap kebijakan target inflasi yang Hal | 2
diterapkan Rumania adalah produksi pertanian di tengah tahun pertanian yang baik dan harga bahan bakar yang mengalami penurunan secara signifikan di tingkat internasional. Tabel 1. Realisasi Target Inflasi Rumania Year 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Target 7,50% 5,00% 4,00% 3,80% 3,50% 3,50% 3,00% 3,00% 2,50%
Result NOT REACHED REACHED NOT REACHED NOT REACHED NOT REACHED NOT REACHED REACHED NOT REACHED -
8,60% 4,78% 6.57% 6,30% 4,74% 7,96% 3,14% 4.95% 5,32%
September 2008, tingkat inflasi Rumania mencapai 7.3%. Tahun 2009, Rumania memiliki tingkat inflasi sebesar 4.94%. Di tahun 2011, tingkat inflasi mencapai angka 3.14%. Di akhir tahun 2012, tingkat inflasi tahunan mencapai 4,95%. Di Akhir triwulan pertama tahun 2013, tingkat inflasi tahunan sebesar 5,25%.Bertambahnya tingkat PPN mempengaruhi komponen inti inflasi secara bertahap dan diserap sangat cepat oleh ekonomi. Produk tembakau Rumania, turun menjadi 6,4% pada bulan September, dari 15,2% pada bulan Juni. Nilai tersebut mengalami perubahan akibat adanya peningkatan tingkat PPN. Di Desember 2011, tingkat inflasi mencapai 3,14%, yang mendekati target inflasi tahun 2013. Penurunan subtansial di babak kedua terjadi untuk meredakan ketegangan di pasar komoditas pangan dan energi. ULASAN ARTIKEL Ketidakseimbangan ekonomi sering memiliki dampak negatif terhadap pertumbuhan perekonomian suatu negara bahkan banyak negara. Terjadinya krisis moneter secara global di tahun 1998, merupakan salah satu efek dari munculnya ketidakseimbangan perekonomian tersebut dalam skala besar di dunia. Pengalaman di banyak negara berkembang menunjukkan, ketimpangan yang tinggi menghambat pertumbuhan ekonomi. Keseimbangan merupakan konsep dasar dalam teori ekonomi. Tanpa keseimbangan, konsep ekonomi menjadi berantakan. Dalam dinamikanya, perekonomian berkembang dari suatu keseimbangan yang rendah kepada keseimbangan yang lebih tinggi. Dalam praktiknya, keseimbangan menjadi penentu perkembangan kegiatan ekonomi. Tanpa keseimbangan, praktis tidak ada transaksi ekonomi karena keadaan menjadi tidak pasti, terutama berkaitan dengan harga sebagai penentu keseimbangan (Juoro, 2013) Inflasi sebagai salah satu penyebab ketidakseimbangan perekonomian, dinyatakan sebagai fenomena yang sangat sulit untuk diatasi. Berbagai ahli dikerahkan untuk mencurahkan pikiran dan ide untuk mengatasi permasalahan inflasi ini. Salah satu solusi mengatasi adalah dengan kebijakan inflation targeting (Target Inflasi). Kebijakan inilah yang digunakan oleh Rumania untuk mengatasi permasalahan inflasi yang melanda negerinya. Tahun 2005 adalah tahun awal, Rumania menerapkan kebijakan inflation targeting. Dengan kebijakan tersebut, Rumania berhasil mengarahkan tingkat inflasi pada kisaran 3% – 6%. Inflation Targeting : Strategi Dalam Kebijakan Moneter Dalam teori ekonomi moneter, inflasi dijelaskan sebagai fenomena moneter yang dapat diatasi dengan empat cara atau kebijakan, yaitu kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan output dan kebijakan harga dan indexing (Abdul Kadir et al, 2008). Berbagai jalur dapat digunakan untuk melakukan transmisi kebijakan moneter, yaitu jalur suku bunga, jalur kredit perbankan, jalur neraca perusahaan, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi. Terdapat beberapa pilihan strategi dala mencapai tujuan kebijakan moneter. Inflation Targeting merupakan salah satu strategi kebijakan moneter yang dapat digunakan untuk menciptakan kestabilan makroekonomi. Pada saat ini setelah sepuluh tahun penerapan inflation targeting di New Zealand, Chili, Australia, dan Kanada, inflation targeting menjadi kebijakan moneter yang lebih disukai di perekonomian sedang berkembang dan negara industri (Hebbel dan Tapia, 2002). Inflation Targeting berkembang sebagai reaksi atas melemahnya hubungan antara besaran moneter dan sasaran akhir kebijakan moneter. Inflation targeting dilakukan dengan cara mengumumkan kepada Hal | 3
publik mengenai target inflasi jangka menengah dan komitmen Bank Sentral agar tercapai stabilitas harga sebagai tujuan jangka panjang. Besaran inflasi yang ditargetkan membuat Bank Sentral lebih kredibel dan fokus dalam pencapaian kestabilan harga sebagai tujuan akhir. Inflation targeting mencakup beberapa unsur : (1) Pengumuman kepada publik mengenai target-target numerik jangka menengah untuk inflasi, (2) Komitmen institusi atas stabilitas harga sebagai tujuan utama dan jangka panjang kebijakan moneter dan komitmen untuk mencapai tujuantujuan inflasi, (3) pendekatan penyertaan informasi dimana banyak variabel (tidak hanya agregat moneter) digunakan dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan moneter, (4) Transparansi kebijakan moneter yang meningkat melalui komunikasi dengan publik dan pasar mengenai rencana dan tujuan pengambil keputusan moneter, dan (5) akuntabilisasi bank sentral yang meningkat untuk mencapi tujuan-tujuan inflasi. Kebijakan Inflation Targeting memiliki keunggulan dan keterbatasan. Beberapa keunggulannya adalah (1) memungkinkan otoritas moneter untuk menggunakan semua informasi yang tersedia, tidak hanya satu variabel, untuk menentukan penetapan terbaik bagi kebijakan moneter. (2) Sudah di pahami oleh publik sehingga sangat transparan. (3) Inflation targeting mempunyai potensi untuk mengurangi kemungkinan bank sentral akan masuk ke dalam perangkap ketidak-konsistenan waktu dalam rangka melakukan ekspansi output dan penyediaan lapangan kerja pada jangka pendek dengan melakukan kebijakan moneter ekspansif. (4) Dapat membantu menitikberatkan pada debat politik mengenai apa yang dapat dilakukan oleh bank sentral pada jangka panjang, yaitu pengendalian inflasi. Sedangkan keterbatasan dari inflation targeting adalah (1) Pemberian sinyal yang tertunda. Hasil inflasi ditunjukan hanya setelah selang waktu yang lama, sehingga target inflasi tidak dapat segera mengirimkan sinyal kepada publik maupun pasar mengenai arah kebijkan moneter. (2) Terlalu Banyak Kekakuan. Inflation Targeting mengenakan aturan yang ketat terhadap pembuat kebijakan moneter dan membatasi kemampuan mereka untuk merespon kondisi yang tidak terlihat. (3) Potensi untuk Kenaikan Fluktuasi Output. Fokus tunggal pada inflasi dapat menyebabkan kebijakan moneter yang terlalu ketat ketika inflasi di atas target, sehingga dapat menyebabkan fluktuasi output yang lebih besar. (4) Pertumbuhan Ekonomi yang Rendah. Inflation Targeting akan menyebabkan perekonomian pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah dalam hal output dan kesempatan kerja. Beberapa penelitian empiris menunjukkan hasil yang positif dari penerapan kebijakan inflation targeting ini. Yifan Hu (2003) dan Neuman & Von Hagen (2002) melakukan penelitian dengan menyimpulkan bahwa inflation targeting memperbaiki kinerja inflasi dan output, menurunkan tingkat dan variabilitas inflasi, serta mengurangi volatilitas inflasi, output dan suku bunga. Penelitian yang lain justru menunjukkan respon negatif terhadap penerapan inflation targeting ini. Ball dan Sheridan (2003) melakukan penelitian dengan menggunakan sampel 7 negara yang mengadopsi inflation targeting dan 13 yang tidak mengadopsinya. Hasilnya menunjukkan tidak adanya signifikansi perbedaan kinerja antar negara. Cecchetti dan Ehrmann (1999) melakukan penelitian terhadap 23 negara dimana 9 negara di antaranya adalah pengadopsi inflation targeting antara 1984-1997. Hasilnya menunjukkan perbedaan kinerja yang kecil antara keduanya. Festi (2003) melakukan penelitian dengan kesimpulan adanya ketidakcocokan inflation targeting untuk perekonomian yang menghadapi transisi ekonomi, karena tidak adanya infrastruktur untuk inflation targeting serta shocks yang mempengaruhi inflasi tidak dapat dihindari. Inflation targeting dapat dilakukan jika sektor riil bersifat stabil. Selain Rumania, strategi kebijakan inflation targeting pun telah diadopsi di Selandia Baru tahun 1990, Chile tahun 1990, Kanada tahun 1991, Inggris tahun 1992, Swedia dan Thailand (BI, 2005). Ammer and Freeman pada tahun 1995 serta Freeman dan Willis pada tahun yang sama menemukan bahwa di Kanada, New Zealand, dan Inggris berhasil menurunkan inflasi sehingga terjadi deflasi (Manfred and Hagen, 2001). Di sisi lain, pemerolehan ini juga diimbangi dengan munculnya biaya lain. Dari ketiga negara tersebut, selain mengalami deflasi juga mengakibatkan terjadinya penurunan GDP riil. Dua di antaranya, New Zealand dan Inggris, bisa memulihkan posisinya dengan meningkatnya GDP riil namun sayangnya Kanada masih tetap mengalami penurunan GDP riil. Hal | 4
Pada awal tahun 1990-an, suku bunga jangka panjang di ketiga negara tersebut bisa menurun dan ini diindikasikan sebagai semakin menguatnya kredibilitas otoritas moneter dengan diberlakukannya desain baru tersebut. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian suku bunga tersebut kembali menaik. Hal ini menunjukkan bahwa kredibiltas tersebut tidak mampu bertahan lama walaupun kondisi luar menyatakan bahwa pada masa-masa tersebut kondisi perekonomian negaranegara di dunia memang menunjukkan pola yang sama yaitu mengalami kenaikan tingkat suku bunga. Mishkin dan Posen pada tahun 1997 mengungkapkan bahwa dengan diterapkannya IT pada ketiga negara tersebut lebih berpengaruh pada pada terjaganya inflasi yang rendah bukan sebagai faktor yang menyebabkan penurunan inflasi itu sendiri. Hal ini dikemukakan dengan alasan bahwa kondisi ketiga negara tersebut memang dari semula sebelum diterapkannya IT menunjukkan perekonomian yang disinflasi. Dugaan ini juga diperkuat penelitian yang dilakukan oleh Kahn dan Parrish pada tahun 1998 yang menyimpulkan bahwa pada hakekatnya New Zealand dan Kanada tidak memperoleh hasil yang lebih baik dengan diterapkannya IT. Ditambahkan bahwa meskipun demikian, di sisi yang baik, penerapan IT menghasilkan kestabilan dari tingkat suku bunganya. Dengan diterapkan IT ini maka terlihat bahwa volatilitas suku bunga baik riil maupun nominal menjadi rendah. Manfred dan Hagen (2001) membandingkan antara 2 grup negara yang mengadopsi IT yaitu Australia, Canada, Chile, New Zealand, Swedia, dan Inggris dan grup negara yang tidak mengadopsi IT (dengan masih menerapkan pola pengelolaan agregat moneter) seperti Jerman, Swiss, dan Amerika Serikat. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa diterapkannya sistem baru ini lebih berdampak pada ekspektasi inflasi di negara yang menerapkannya. Selain itu, IT berdampak pada merendahnya volatilitas dari inflasi yang ada. Yang patut digarisbawahi, bahwa yang lebih berperan terhadap keberhasilan IT ini sebenarnya diperoleh karena lebih terfokusnya kebijakan untuk mencapai target inflasi yang diinginkan. Dengan demikian keberhasilan IT ataupun kebijakan agregat moneter diidentifikasi sebaga keberhasilan untuk mengubah tradisi dan kultur dari perekonomian itu sendiri bukan pada substansi mekanisme prinsip ekonomi semata. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Kebijakan Inflation Targeting dan Perekonomian Indonesia Indonesia, dalam hal ini Bank Indonesia, sampai dengan bulan Juli 2005 masih menerapkan base money targetting dengan menetapkan pertumbuhan jumlah uang beredar (M1 dan M2) sebagai sasaran antara yang dikenal sebagai inflation targeting lite. Kemudian mulai Juli 2005, Bank Indonesia mulai menerapkan inflation targeting secara eksplisit ‘full fledged’ sebagai strategi pelaksanaan kebijakan moneter dengan mulai mengumumkan BI rate (Abdul Kadir et al, 2008). Penerapan inflation targeting di Indonesia tidak semudah yang dibayangkan hanya dengan melakukan penggantian anchor kebijakan moneter. Banyak hal yang harus disiapkan untuk mengadopsi inflation targeting dan menjadikan strategi tersebut menghasilkan kinerja yang lebih optimal. Besarnya dominasi ketidakstabilan nilai tukar terhadap stabilitas ekonomi secara luas, merupakan hambatan dalam penerapan inflation targeting secara penuh. Dari sisi institusional, BI telah menunjukkan langkah-langkah yang cukup untuk mempersiapkan adopsi inflation targeting secara penuh, namun masih terdapat benturan kepentingan, terutama dalam masalah independensi penetapan target (Rahutami, 2004). Sebelum diterapkan kebijakan inflation targeting, Bank Indonesia akan menganalisis kondisi perekonomian yang telah terjadi dan kemudian memproyeksikan kondisi perekonomian di masa mendatang, lalu memutuskan berapa target inflasi yang akan dicapai pada periode untuk kemudian diumumkan kepada publik. Setelah target inflasi ditetapkan Bank Indonesia akan terus memantau jalannya perkembangan inflasi, mengamati variabel-variabel ekonomi yang turut berperan dalam perkembangan inflasi. Ketidaksesuaian capaian inflasi dengan yang diharapkan mengharuskan Bank Indonesia untuk mengambil tindakan operasi moneter agar pergerakan inflasi dapat terarah. Berikut ini adalah beberapa tindakan operasi pengendalian moneter yang dilakukan BI : a. Operasi Pasar Terbuka, yaitu BI instrumen moneter melalui lelang SBI, yang dilakukan dengan tujuan konstraksi (mengurangi jumlah uang beredar), dan pembelian SBI dengan tujuan ekspansi (menambah jumlah uang beredar) Hal | 5
b. c.
Penetapan Tingkat Diskonto. Tingkat diskonto ditetapkan BI melalui pengaturan suku bunga BI Penetapan Giro Wajib Minimum (GWM), yaitu kewajiban bank-bank untuk menyimpan cadangan pada BI, yang dihitung berdasarkan prosentasi tertentu dari total reseve suatu bank. Besarnya persentase ditentukan oleh BI. d. Pengaturan kredit atau pembiayaan dan moral suasion. BI mengeluarkan peraturan-peraturan seperti batas pemberian kredit maksimal, batasan Loan Deposit Ratio yang akan mempengaruhi penilaian tingkat kesehatan bank, dan moral suasion kepada bank umum untuk melakukan tugas intermediasinya dalam bentuk penyaluran kredit e. Intervensi di pasar valas, yang dilakukan untuk menjaga jumlah valas beredar. Intervensi ini dimaksudkan untuk menjaga nilai tukar rupiah dari sisi dalam negeri. Sebagaimana penelitian sebelumnya, Yati Nuryati dan Hermanto Siregar (2006) menyarankan agar BI selama proses pemulihan ekonomi lebih baik menggunakan base money sebagai instrumen kebijakannya. Hal ini didasarkan pada hasil analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) yang menunjukkan bahwa variabilitas nilai tukar rupiah lebih dipengaruhi oleh nilai tukar itu sendiri. Dalam jangka panjang, variabilitas nilai tukar rupiah dapat dijelaskan oleh guncangan tingkat harga sebesar 11,2%, base money sebesar 61,6% dam SBI sebesar 6,0%. Berdasarkan analisis Impulse Respon Function (IRF), shock kebijakan moneter terhadap pengendalian harga (inflasi) direspon oleh banyak variabel ekonomi, seperti PDB, ekspor, nilai tukar rupiah, suku bunga dan base money. KESIMPULAN Artikel berjudul The Actuality of Macroeconomics Imbalances yang ditulis Burghelea, et. al. membahas tentang salah satu fenomena inflasi yang mempengaruhi terbentuknya ketidakseimbangan ekonomi makro. Burghelea lebih memaknai aktualitas ketidakseimbangan ekonomi makro dimaksud ke arah penanganan inflasi dengan kebijakan inflation targeting yang dilakukan oleh Rumania. Kebijakan inflation targeting dipandang sebagai solusi terbaik mengatasi inflasi. Kebijakan tersebut, selain di Rumania, diadopsi pula oleh Selandia Baru, Kanada, Inggris, Swedia dan Thailand, termasuk Indonesia. Pemilihan inflation targeting sebagai kerangka kebijakan moneter, harus diperhatikan saat yang tepat untuk menerapkannya. Kesalahan dalam penentuan waktu akan berperan besar dalam kegagalan pencapaian target. DAFTAR RUJUKAN Ball, Laurence dan Niamh Sheridan, 2003. Does Inflation Targeting Matter?. NBER Working Paper Bank Indonesia, 2005. Langkah-langkah Penguatan Kebijakan Moneter untuk Kestabilan Harga (Inflation Targeting Framework), Materi Sosialisasi Inflation Targeting Framework, website: www.bi.go.id Burghelea, Cristina et all, 2013. The Actuality of Macroeconomics Imbalances. Hyperion Economic Journal, Year 1, No. 4 (1), Desember 2013. Cecchetti, S. G, and Michael Ehrmann, 1999. Does Inflation Targeting Increase Output Volitality?, NBER Working Paper, No. 7426. Festi, Mejra, 2003. Inflation Targeting for Slovenia?, Eastern European Economics, Vol 41,No.1 January–February Hebbel, Klaus Schmidt and Mat’Yas Tapia, 2002. Inflation Targeting In Chile, North American Journal of Economics and Finance, Vol. 13 : 125 – 146. Hu, Yifan, 2003. Empirical Investigations of Inflation Targeting, Working Paper 03-6 Juoro, Umar, 2013. Menjaga Keseimbangan Ekonomi. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/ 2013/02/19/ 02381577/Menjaga. Keseimbangan.Ekonomi Kadir, Abdul, Priyo R Widodo dan Guruh Suryani R., 2008. Penerapan Kebijakan Moneter dalam Kerangka Inflation Targeting di Indonesia. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia. Mishkin, Frederic S. (2000).”Inflation Targeting in Emerging Market Countries”, NBER Working Paper Series, Working Paper 7618, Massachusetts. Neuman, Manfred JM and Jurgen von Hagen, 2002. Does Inflation Matter? Federal Reserve Bank of St Louis Review, 84 (4) Nuryati, Yati, Hermanto Siregar dan Anny Ratnawati, 2006. Dampak Kebijakan Inflation Targeting Terhadap Beberapa Variabel Makroekonomi di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia Jakarta. Rahutami, A. Ika, 2004. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Indonesia dan Penerapan Inflation Targeting. Makalah dalam seminar Akademik Tahunan Ekonomi I UI-ISEI Jakarta. Weber, Axel A., (2007). “Monetary policy strategy and communication”. 6 June 2007, Dinner speech at the Deutsche Bundesbank/Federal Reserve Bank of Cleveland conference on “Monetary policy strategy: old issues and new challenges” in Frankfurt am Main. (www.bundesbank.de) Woodford, Michael (2005). “Central Bank Communication and Policy Effectiveness”. Federal Reserve of Kansas City Conference: ”Greenspan Era: Lesson for the Future”, Jackson Hole Wyoming, August 25 27, 2005.
Hal | 6