II-1
Sarah Az-Zahra (25-2010-023)
Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II
2013
BAB II
TEORI DASAR PERENCANAAN
MIXING (KOAGULASI – FLOKULASI)
Umum
Mixing merupakan dua proses yang terangkai menjadi kesatuan proses tak terpisahkan. Pada proses koagulasi terjadi destabilisasi koloid dan partikel dalam air sebagai akibat dari pengadukan cepat dan pembubuhan bahan kimia (disebut koagulan). Akibat pengadukan cepat, koloid dan partikel yang stabil berubah menjadi tidak stabil karena terurai menjadi partikel yang bermuatan positif dan negatif. Pembentukan ion positif dan negatif juga dihasilkan dari proses penguraian koagulan. Proses ini berlanjut dengan pembentukan ikatan antara ion positif dari koagulan (misal Al3+) dengan ion negatif dari partikel (misal OH-) dan antara ion positif dari partikel (misal Ca2+) dengan ion negatif dari koagulan (misal SO42-) yang menyebabkan pembentukan inti flok (presipitat).
Segera setelah terbentuk inti flok, diikuti oleh proses flokulasi, yaitu penggabungan inti flok menjadi flok berukuran lebih besar yang memungkinkan partikel dapat mengendap. Penggabungan flok kecil menjadi flok besar terjadi karena adanya tumbukan antar flok. Tumbukan ini terjadi akibat adanya pengadukan lambat. Proses koagulasi-flokulasi dapat digambarkan secara skematik pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Gambaran proses koagulasi-flokulasi
Proses koagulasi-flokulasi terjadi pada unit pengaduk cepat dan pengaduk lambat. Pada bak pengaduk cepat, dibubuhkan koagulan. Pada bak pengaduk lambat, terjadi pembentukan flok yang berukuran besar hingga mudah diendapkan pada bak sedimentasi.
Kestabilan Partikel Tersuspensi
Air baku dari air permukaan umumnya mengandung partikel tersuspensi. Partikel tersuspensi dalam air dapat berupa partikel bebas dan koloid dengan ukuran yang sangat kecil, antara 0,001 mikron (10-6 mm) sampai 1 mikron (10-3 mm). Partikel yang ditemukan dalam kisaran ini meliputi (1) partikel anorganik, seperti serat asbes, tanah liat, dan lanau/silt, (2) presipitat koagulan, dan (3) partikel organik, seperti zat humat, virus, bakteri, dan plankton. Dispersi koloid mempunyai sifat memendarkan cahaya. Sifat pemendaran cahaya ini terukur sebagai satuan kekeruhan.
Partikel tersuspensi sangat sulit mengendap langsung secara alami (lihat Tabel 2.1). Hal ini karena adanya stabilitas suspensi koloid. Stabilitas koloid terjadi karena:
Gaya van der Waals. Gaya ini merupakan gaya tarik-menarik antara dua massa, yang besarnya tergantung pada jarak antar keduanya. Gaya Van der Waals terjadi akibat interaksi antara molekul-molekul non-polar (Gaya London), antara molekul-molekul polar (Gaya dipol-dipol) atau antara molekul non-polar dengan molekul polar (Gaya dipol-dipol terinduksi). Berikut ini penjelasannya:
Gaya Dipol-dipol
Merupakan gaya yang bekerja antara molekul-molekul polar (senyawa kovalen polar), yaitu molekul-molekul yang memiliki momen dipol.
Setiap senyawa kovalen polar memiliki dipol, yaitu muatan yang terpolarisasi (terkutubkan) menjadi muatan positif dan negatif.
Dipol-dipol yang berbeda akan saling tarik-menarik, sedangkan yang berlawanan akan tolak-menolak. Makin besar momen dipolnya, semakin kuat gayanya.
Gambar 2.2. Gaya Dipol antar Molekul
Tanda "+" menunjukkan dipol positif, tanda "-" menunjukkan dipol negatif
Contoh dalam senyawa HCl
Gambar 2.3. Gaya Dipol pada Molekul HCl
Gaya Dipol Sesaat-Dipol Terinduksi (Gaya dispersi London)
Gaya antar molekul ini umumnya dimiliki senyawa kovalen nonpolar yang tidak memiliki dipol (memiliki muatan namun tidak terkutubkan).
Molekul-molekul pada senyawa kovalen nonpolar tersusun dari inti atom dan elektron-elektron yang selalu bergerak bebas. Karena elektron selalu bergerak, muatan pada molekul nonpolar akhirnya terkutubkan (dipol sesaat) yang kemudian dapat menginduksi molekul nonpolar lainnya (dipol terinduksi). Gaya antarmolekul ini dikenal dengan sebutan gaya dispersi London.
Kemudahan suatu molekul untuk membentuk dipol sesaat atau untuk menginduksi (mengimbas) suatu dipol disebut polarisabilitas (keterpolaran).
Polarisabilitas ini berkaitan dengan massa molekul relatif(Mr) dan bentuk molekul. Pada umumnya, makin banyak jumlah elektron, makin mudah mengalami polarisasi. Karena jumlah elektron berkaitan dengan Mr, maka semakin besar Mr, semakin kuat gaya London. Gaya dispersi London ini termasuk gaya yang relatif lemah, karena interaksi yang terjadi adalah antar molekul nonpolar. Contoh molekul yang mengalami gaya london diantaranya: gas hidrogen, gas nitrogen, metana dan gas-gas mulia.
Gambar 2.4. Gaya London pada Molekul H2, N2, CH4, dan Gas mulia
Dua buah molekul nonpolar berinteraksi, kemudian salah satu molekul mulai terkutubkan karena pergerakan elektron yang bebas membentuk dipol sesaat. Disebut dipol sesaat karena dipol molekul tersebut dapat berpindah milyaran ribu kali dalam satu detik. Pada saat berikutnya dipol itu hilang atau bahkan sudah berbalik arahnya. Molekul tersebut kemudian menginduksi molekul non polar yang lainnya. Sehingga terjadi gaya dipol terinduksi. Oleh karena itu, gaya antar molekul ini disebut gaya dipol sesaat-dipol terinduksi (gaya dispersi
London).
Gaya Dipol-dipol terinduksi
Suatu molekul polar yang berdekatan dengan molekul nonpolar, akan dapat menginduksi molekul nonpolar. Akibatnya. Molekul nonpolar memiliki dipol terinduksi. Dipol dari molekul polar akan saling tarik-menarik dengan dipol terinduksi dari molekul nonpolar. Contohnya terjadi pada interaksi antara HCl (molekul polar) dengan Cl2 (molekul nonpolar).
Gambar 2.5. Interaksi antara Molekul Polar dengan Molekul Nonpolar
Gaya Elektrostatik. Gaya elektrostatik adalah gaya utama yang menjaga suspensi koloid pada keadaan yang stabil. Sebagian besar koloid mempunyai muatan listrik. Oksida metalik umumnya bermuatan positif, sedangkan oksida nonmetalik dan sulfida metalik umumnya bermuatan negatif. Kestabilan koloid terjadi karena adanya gaya tolak antar koloid yang mempunyai muatan yang sama. Gaya ini dikenal sebagai zeta potensial.
Gerak Brown. Gerak ini adalah gerak acak dari suatu partikel koloid yang disebabkan oleh kecilnya massa partikel.
Gerak Brown adalah gerakan terus menerus dari suatu partikel zat cair ataupun gas, artinya partikel-partikel ini tidak pernah dalam keadaan stasioner atau sepenuhnya diam. Hal ini, pertama kali dibuktikan dan dicetuskan oleh Robert Brown seorang botanis Skotlandia pada tahun 1827. Prinsip gerak ini mudah sekali, Brown mengamati beberapa partikel dengan mikroskop dan dia menemukan bahwa pergerakan terus menerus dari partikel-partikel kecil tersebut makin lama makin cepat bila temperaturnya makin tinggi.
Gambar 2.6. Gerak Brown dalam Molekul
Gerak ini dapat diamati pada zat cair koloid atau gas. Di dalam suatu ruang pergerakan partikel gas tersebut (analogie terhadap zat cair juga) bergerak bebas dan tidak teratur, dengan kata lain partikel gas itu bergerak dengan kecepatan yang berbeda-beda. Bila partikel gas tersebut menabrak partikel gas lain atau menabrak tembok dinding ruang, maka kecepatan serta arah vektornya ikut berubah. Penyebaran kecepatan ini dapat dirumuskan dengan penyebaran kecepatan Maxwell yang memberikan gambaran bahwa kecepatan partikel tergantung dari temperatur ruang dan lingkungannya.
Kecepatan rata-rata pergerakan molekul di udara adalah 500m/s atau 1800 km/h. Kecepatan ini melebihi kecepatan gelombang suara yang besarnya 330 m/s. Energi dari partikel gas ideal juga tergantung dari suhu udara.
Teori gas kinetik memberikan hubungan proporsional antara energi rata2 kinetik dengan temperatur gas:
Gaya van der Waals dan gaya elektrostatik saling meniadakan. Kedua gaya tersebut nilainya makin mendekati nol dengan makin bertambahnya jarak antar koloid. Resultan kedua gaya tersebut umumnya menghasilkan gaya tolak yang lebih besar (Gambar 2.7). Hal ini menyebabkan partikel dan koloid dalam keadaan stabil.
Tabel 2.1 Pengendapan Partikel dalam Air
Ukuran Partikel
(mm)
Tipe Partikel
Waktu Pengendapan pada Kedalaman 1 Meter
10
1
10-1
10-2
10-3
10-4
10-5
10-6
Kerikil
Pasir
Pasir Halus
Lempung
Bakteri
Koloid
Koloid
Koloid
1 detik
10 detik
2 menit
2 jam
8 hari
2 tahun
20 tahun
200 tahun
Sumber: Water Treatment Handbook Vol. 1 (1991)
Gambar 2.7. Gaya-gaya pada koloid
Koagulasi
Koagulasi merupakan proses dimana bahan kimia (koagulan) ditambahkan ke sistem pengolahan air (minum atau limbah) untuk membentuk partikel/ materi halus menjadi partikel yang berukuran lebih besar sehingga dapat mengendap dengan cepat. Dalam suatu suspensi, koloid tidak mengendap (bersifat stabil) dan terpelihara dalam keadaan terdispersi, karena mempunyai gaya elektrostatis yang diperolehnya dari ionisasi bagian permukaan serta adsorpsi ion-ion dari larutan sekitar. Pada dasarnya koloid terbagi dua, yakni koloid hidrofilik yang bersifat mudah larut dalam air (soluble)dan koloid hidrofobik yang bersifat sukar larut dalam air (insoluble). Bila koagulan ditambahkan ke dalam air, reaksi yang terjadi antara lain:
Pengurangan zeta potensial (potensial elektrostatis) hingga suatu titik dimana gaya van der walls dan agitasi yang diberikan menyebabkan partikel yang tidak stabil bergabung serta membentuk flok;
Agregasi partikel melalui rangkaian inter partikulat antara grup-grup reaktif pada koloid;
Penangkapan partikel koloid negatif oleh flok-flok hidroksida yang mengendap
Untuk suspensi encer laju koagulasi rendah karena konsentrasi koloid yang rendah sehingga kontak antar partikel tidak memadai, bila digunakan dosis koagulan yang terlalu besar akan mengakibatkan restabilisasi koloid.
Untuk mengatasi hal ini, agar konsentrasi koloid berada pada titik dimana flok-flok dapat terbentuk dengan baik, maka dilakukan proses recycle sejumlah settled sludgesebelum atau sesudah rapid mixing dilakukan. Tindakan ini sudah umum dilakukan pada banyak instalasi untuk meningkatkan efektifitas pengolahan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses koagulasi antara lain:
1. Kualitas air meliputi gas-gas terlarut, warna, kekeruhan, rasa, bau, dan kesadahan;
2. Jumlah dan karakteristik koloid;
3. Derajat keasaman air (pH);
4. Pengadukan cepat, dan kecepatan paddle;
5. Temperatur air;
6. Alkalinitas air, bila terlalu rendah ditambah dengan pembubuhan kapur;
7. Karakteristik ion-ion dalam air.
Koagulan yang banyak digunakan dalam pengolahan air minum adalah aluminium sulfat atau garam-garam besi. Kadang-kadang koagulan-pembantu, seperti polielektrolit dibutuhkan untuk memproduksi flok yang lebih besar atau lebih cepat mengendap. Polielektrolit digunakan secara luas, baik untuk pengolahan air proses maupun untuk pengolahan air limbah industri. Polielektrolit dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu nonionik, kationik dan anionik; biasanya bersifat larut air. Sifat yang menguntungkan dari penggunaan polielektrolit adalah: volume lumpur yang terbentuk relatif lebih kecil, mempunyai kemampuan untuk menghilangkan warna, dan efisien untuk proses pemisahan air dari lumpur ( d e w a t e r i n g ) .
Jenis-jenis polielektrolit antara lain:
Poli Akrilamida : mencakup ko-polimer dari akrilamida atau asam akrilat (acryl acid), sejauh perbandingan akril amida lebih besar dari asam akrilat. Poliakril amida adalah koagulan/ flokulan pembantu sintetik
Zat Kimia Pendukung: Kapur : CaO, Ca(OH)2Untuk menaikan pH
- Soda abu (Sodium bikarbonat) : Na2CO3
- Soda api (Sodium hidroksida) : NaOH
- Asam sulfat : H2SO4 , CO2Untuk menurunkan pH
Faktor utama yang mempengaruhi proses koagulasi-flokulasi air adalah kekeruhan, padatan tersuspensi, temperatur, pH, komposisi dan konsentrasi kation dan anion, durasi dan tingkat agitasi selama koagulasi dan flokulasi, dosis koagulan, dan jika diperlukan, koagulan-pembantu. Beberapa jenis koagulan beserta sifatnya dapat dilihat pada Tabel 2.2. Pemilihan koagulan dan konsentrasinya dapat ditentukan berdasarkan studi laboratorium menggunakan jar test apparatus (Gambar 2.8) untuk mendapatkan kondisi optimum.
Gambar 2.8. Jar Test
Reaksi kimia untuk menghasilkan flok adalah:
Al2(SO4)3.14H2O + 3Ca(HCO3)2 2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14H2O + 6CO2
Pada air yang mempunyai alkalinitas tidak cukup untuk bereaksi dengan alum, maka perlu ditambahkan alkalinitas dengan menambah kalsium hidroksida.
Al2(SO4)3.14H2O + 3Ca(OH)2 2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14H2O
Derajat pH yang optimum untuk alum berkisar 4,5 hingga 8, karena aluminium hidroksida relatif tidak terlarut.
Ferro sulfat membutuhkan alkalinitas dalam bentuk ion hidroksida agar menghasilkan reaksi yang cepat. Untuk itu, Ca(OH)2 ditambahkan untuk mendapatkan pH pada level di mana ion besi diendapkan sebagi Fe(OH)3. Reaksi ini adalah reaksi oksidasi-reduksi yang membutuhkan oksigen terlarut dalam air. Dalam reaksi koagulasi, oksigen direduksi dan ion besi dioksidasi menjadi ferri, di mana akan mengendap sebagai Fe(OH)3.
2FeSO4.7H2O + 2Ca(OH)2 + 1/2 O2 2Fe(OH)3 + 2CaSO4 + 13H2O
Untuk berlangsungnya reaksi ini, pH harus sekitar 9,5 dan kadang-kadang stabilisasi membutuhkan kapur berlebih.
Penggunaan ferri sulfat sebagai koagulan berlangsung mengikuti reaksi:
Fe2(SO4)3 + 3Ca(HCO3)2 2Fe(OH)3 + 3CaSO4 + 6CO2
Reaksi ini biasanya menghasilkan flok yang padat dan cepat mengendap. Jika alkalinitas alami tidak cukup untuk reaksi, diperlukan penambahan kapur. Rentang pH optimum adalah sekitar 4 hingga 12, karena ferri hidroksida relatif tidak larut dalam rentang pH ini.
Reaksi ferri klorida sebagai koagulan berlangsung sebagai berikut:
2FeCl3 + 3Ca(HCO3)2 2Fe(OH)3 + 3CaCl2 + 6CO2
Penambahan kapur diperlukan bila alkalinitas alami tidak mencukupi.
2FeCl3 + 3Ca(OH)2 2Fe(OH)3 + 3CaCl2
Reaksi ferri klorida berlangsung pada pH optimum 4 sampai 12. Flok yang terbentuk umumnya padat dan cepat mengendap.
Tabel 2.2. Beberapa Jenis Koagulan dalam Praktek Pengolahan Air
Gambar 2.9. Pengaruh pH terhadap kelarutan Fe(III) pada temperatur 25oC
(diambil dari Fair dkk, 1981)
Operasional dan Pemeliharaan bak koagulasi seperti:
Pemeriksaan kualitas air baku di laboratorium instalasi sangat diperlukan untuk menentukan dosis koagulan yang tepat, pemeriksaan yang perlu dilakukan diantaranya mengukur kekeruhan air (turbidity) dan derajat keasaman (pH) air baku.
Dosis koagulan ditentukan berdasarkan percobaan jar-test, sedangkan pH air baku ditentukan dengan komparator pH;
Pengontrolan debit koagulan yang masuk ke splitter box dilakukan setiap jam oleh operator instalasi;
Pemeriksaan clogging pada saluran/pipa feeding dan pompa pembubuh larutan koagulan dilakukan setiap harinya oleh operator instalasi, dan pemeriksaan clogging pada orifice diffuser.
Tujuan pengadukan cepat (koagulasi) dalam pengolahan air adalah untuk menghasilkan turbulensi air sehingga dapat mendispersikan bahan kimia yang akan dilarutkan dalam air. Secara umum, pengadukan cepat adalah pengadukan yang dilakukan pada gradien kecepatan besar (300 sampai 1000 detik-1) selama 5 hingga 60 detik atau nilai GTd (bilangan Champ) berkisar 300 hingga 1700. Secara spesifik, nilai G dan td bergantung pada maksud atau sasaran pengadukan cepat.
Kecepatan pengadukan merupakan parameter penting dalam pengadukan yang dinyatakan dengan gradien kecepatan. Gradien kecepatan merupakan fungsi dari tenaga yang disuplai (P):
G = (Pµ .V)^0,5
dalam hal ini:
P = suplai tenaga ke air (N.m/detik)
V = volume air yang diaduk, m3
µ = viskositas absolut air, N.detik/m2
Persamaan diatas berlaku umum untuk semua jenis pengadukan.
Adapun jenis-jenis pengadukan dalam koagulasi adalah sebagai berikut:
2.1.3.1. Pengadukan Mekanis
Pengadukan mekanis adalah metoda pengadukan menggunakan peralatan mekanis yang terdiri atas motor, poros pengaduk (shaft), dan alat pengaduk (impeller). Peralatan tersebut digerakkan dengan motor bertenaga listrik. Berdasarkan bentuknya, ada tiga macam impeller, yaitu paddle (pedal), turbine, dan propeller (baling-baling). Bentuk ketiga impeller tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.10 dan Gambar 2.11. Kriteria impeller dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Gambar 2.10. Tipe paddle (a) tampak atas, (b) tampak samping
Tabel 2.3. Kriteria Impeller
Tipe Impeller
Kecepatan Putaran
Dimensi
Keterangan
Paddle
20 - 150 rpm
diameter: 50-80% lebar bak
lebar: 1/6-1/10 diameter paddle
Turbine
10-150 rpm
diameter:30-50% lebar bak
Propeller
400-1750 rpm
diameter: max. 45 cm
jumlah pitch 1-2 buah
Sumber: Reynold & Richards (1996)
Gambar 2.11. Tipe turbine dan propeller. (a) turbine blade lurus, (b) turbine blade dengan piringan, (c) turbin dengan blade menyerong, (d) propeller 2 blade, (e) propeller 3 blade (Qasim, dkk., 2000)
Pengadukan mekanis dengan tujuan pengadukan cepat umumnya dilakukan dalam waktu singkat dalam satu bak. Faktor penting dalam perancangan alat pengaduk mekanis adalah dua parameter pengadukan, yaitu G dan td. Sekadar patokan, Tabel 2.4 dapat digunakan dalam pemilihan nilai G dan td. Pengadukan mekanis dengan tujuan pengadukan lambat umumnya memerlukan tiga kompartemen dengan ketentuan G di kompartemen I lebih besar daripada G di kompartemen II dan G di kompartemen III adalah yang paling kecil (Gambar 2.12). Pengadukan mekanis yang umum digunakan untuk pengadukan lambat adalah tipe paddle yang dimodifikasi hingga membentuk roda (paddle wheel), baik dengan posisi horisontal maupun vertikal (Gambar 2.13).
Tabel 2.4. Nilai Gradien Kecepatan dan Waktu Pengadukan
Waktu Pengadukan, td (detik)
Gradien Kecepatan (1/detik)
20
1000
30
900
40
790
50
700
Sumber: Reynold & Richards (1996)
Gambar 2.12. Pengadukan dengan alat pengaduk
Gambar 2.13. Paddle wheel dengan blade tegak lurus aliran air (tipe horizontal shaft)
2.1.3.2. Pengadukan hidrolis
Pengadukan hidrolis adalah pengadukan yang memanfaatkan aliran air sebagai tenaga pengadukan. Tenaga pengadukan ini dihasilkan dari energi hidrolik yang dihasilkan dari suatu aliran hidrolik. Energi hidrolik dapat berupa energi gesek, energi potensial (jatuhan) atau adanya lompatan hidrolik dalam suatu aliran.
Jenis pengadukan hidrolis yang digunakan pada pengadukan cepat haruslah aliran air yang menghasilkan energi hidrolik yang besar. Dalam hal ini dapat dilihat dari besarnya kehilangan energi (headloss) atau perbedaan muka air. Dengan tujuan menghasilkan turbulensi yang besar tersebut, maka jenis aliran yang sering digunakan sebagai pengadukan cepat adalah terjunan (Gambar 2.14), loncatan hidrolik, dan parshall flume.
Jenis pengadukan hidrolis yang digunakan pada pengadukan lambat adalah aliran air yang menghasilkan energi hidrolik yang lebih kecil. Aliran air dibuat relatif lebih tenag dan dihindari terjadinya turbulensi agar flok yang terbentuk tidak pecah lagi. Beberapa contoh pengadukan hidrolis untuk pengadukan lambat adalah kanal bersekat (baffled channel, Gambar 2.15), perforated wall, gravel bed dan sebagainya.
Gambar 2.14. Pengadukan cepat dengan terjunan
Gambar 2.15. Denah pengadukan dengan baffled channel
2.1.3.3. Pengadukan pneumatis
Pengadukan pneumatis adalah pengadukan yang menggunakan udara (gas) berbentuk gelembung sebagai tenaga pengadukan. Gelembung tersebut dimasukkan ke dalam air dan akan menimbulkan gerakan pada air (Gambar 2.16). Injeksi udara bertekanan ke dalam air akan menimbulkan turbulensi, akibat lepasnya gelembung udara ke permukaan air. Aliran udara yang digunakan untuk pengadukan cepat harus mempunyai tekanan yang cukup besar sehingga mampu menekan dan menggerakkan air. Makin besar tekanan udara, kecepatan gelembung udara yang dihasilkan makin besar dan diperoleh turbulensi yang makin besar pula.
Gambar 2.16. Pengadukan Cepat Secara Pneumatis
Flokulasi
Proses flokulasi dalam pengolahan air bertujuan untuk mempercepat proses penggabungan flok-flok yang telah dibibitkan pada proses koagulasi.Partikel-partikel yang telah distabilkan selanjutnya saling bertumbukan serta melakukan proses tarik-menarik dan membentuk flok yang ukurannya makin lamamakin besar serta mudah mengendap. Gradien kecepatan merupakan faktor penting dalam desain bak flokulasi. Jika nilai gradien terlalu besar maka gaya geser yang timbul akan mencegah pembentukan flok, sebaliknya jika nilai gradient terlalu rendah/tidak memadai maka proses penggabungan antar partikulat tidak akan terjadi dan flok besar serta mudah mengendap akan sulit dihasilkan.
Untuk mendapatkan flok yang besar dan mudah mengendap maka bak flokulasi dibagi atas tiga kompartemen, dimana pada kompertemen pertama terjadi proses pendewasaan flok, pada kompartemen kedua terjadi proses penggabungan flok, dan pada kompartemen ketiga terjadi pemadatan flok.
Pengadukan lambat (agitasi) pada proses flokulasi dapat dilakukan dengan metoda yang sama dengan pengadukan cepat pada proses koagulasi, perbedaannya terletak pada nilai gradien kecepatan di mana pada proses flokulasi nilai gradien jauh lebih kecil dibanding gradien kecepatan koagulasi.
Pengadukan lambat adalah pengadukan yang dilakukan dengan gradien kecepatan kecil (20 sampai 100 detik-1) selama 10 hingga 60 menit atau nilai GTd (bilangan Champ) berkisar 48000 hingga 210000. Untuk menghasilkan flok yang baik, gradien kecepatan diturunkan secara bertahap agar flok yang telah terbentuk tidak pecah lagi dan berkesempatan bergabung dengan yang lain membentuk gumpalan yang lebih besar.
Tujuan dilakukan flokulasi pada air limbah selain lanjutan dari proses koagulasi yaitu:
Meningkatkan penyisihan Suspended Solid (SS) dan BOD dari pengolahan fisik
Memperlancar proses conditioning air limbah, khususnya limbah industri.
Meningkatkan kinerja secondary-clarifier dan proses lumpur aktif
Sebagai pretreatment untui proses pembentukan secondary effluent dalam filtrasi.
Gambar 2.17. Flokulasi (Slow Mixing)
Operasional dan Pemeliharaan bak flokulasi seperti:
Penyisihan schum yang mengapung pada bak flokulasi dilakukan setiap hari secara manual menggunakan alat sederhana (jala), biasanya dilakukan pada pagi hari;
Pengontrolan ukuran flok yang terbentuk melalui pengamatan visual;
Pemeriksaan kemungkinan tumbuhnya algae pada dinding tangki dan baffle;
Pengontrolan kecepatan mixer jika pengadukan dilakukan menggunakan mechanical mixer. Pengoperasian mixer membutuhkan perawatan yang lebih besar dari penggunaan flokulator baffle
SEDIMENTASI
2.2.1. Definisi Unit Sedimentasi
Unit sedimentasi merupakan peralatan yang berfungsi untuk memisahkan solid dan liquid dari suspensi untuk menghasilkan air yang lebih jernih dan konsentrasi lumpur yang lebih kental melalui pengendapan secara gravitasi.
2.2.2. Tujuan Sedimentasi
Secara keseluruhan, fungsi unit sedimentasi dalam instalasi pengolahan adalah:
a. Mengurangi beban kerja unit filtrasi dan memperpanjang umur pemakaian unit penyaring selanjutnya;
b. Mengurangi biaya operasi instalasi pengolahan.
Sedangkan sedimentasi pada pengolahan air minum ditujukan untuk:
Pengendapan air permukaan untuk penyisihan partikel diskret khususnya pada pengolahan dengan filter pasir cepat
Pengendapan flok hasil koagulasi-flokulasi, khususnya sebelum disaring dengan filter pasir cepat
Pengendapan lumpur hasil pembubuhan soda-kapur pada proses penurunan kesadahan
Pengendapan lumpur pada penyisihan besi dan mangan dengan oksidasi.
Gambar 2.18. Unit Sedimentasi
2.2.3. Bentuk Bak Sedimentasi
Segi empat (rectangular)
Gambar 2.19. Bak Sedimentasi Bentuk Segi Empat
Lingkaran (circular)
Gambar 2.20. Bak sedimentasi bentuk lingkaran aliran horizontal
Gambar 2.21. Bak sedimentasi bentuk lingkaran aliran vertikal
2.2.4. Bagian-Bagian dari Bak Sedimentasi
Gambar 2.22. Bagian-Bagian dari Bak Sedimentasi
Zona Inlet, zona ini mendistribusikan aliran air secara merata pada bak sedimentasi dan menyebarkan kecepatan aliran yang baru masuk. Jika dua fungsi ini dicapai, karakteristik aliran hidrolik dari bak akan lebih mendekati kondisi bak ideal dan menghasilkan efisiensi yang lebih baik. Zona inlet didesain secara berbeda untuk kolam rectangular dan circular. Khusus dalam pengolahan air, bak sedimentasi rectangular dibangun menjadi satu dengan bak flokulasi. Sebuah baffle atau dinding memisahkan dua kolam dan sekaligus sebagai inlet bak sedimentasi. Didesain dinding pemisah sangat penting, karena kemampuan bak sedimentasi tergantung pada kualitas flok.
Zona Pengendapan, dalam zona ini air mengalir pelan secara horizontal ke arah outlet, dalam zona ini terjadi proses pengendapan. Lintasan partikel tergantung pada besarnya kecepatan pengendapan.
Zona Lumpur:
-Lumpur terakumulasi
-Kadang dilengkapi dengan sludge collector/scapper
Zona Outlet, seperti zona inlet, zona outlet atau struktur effluent mempunyai pengaruh besar dalam mempengaruhi pola aliran dan karakteristik pengendapan flok pada bak sedimentasi. Biasanya weir (pelimpah) dan bak penampun limpahan digunakan untuk mengontrol outlet pada bak sedimentasi. Selain itu, pelimpah tipe V-notch atau orifice terendam biasanya juga dipakai. Diantara keduanya, orifice terendam yang lebih baik karena memiliki kecenderungan pecahnya sisa flok lebih kecil selama pengaliran dari bak sedimentasi menuju filtrasi.
Selain bagian-bagian utama diatas, sering bak sedimentasi dilengkapi dengan settler. Settler dipasang pada zona pengendapan (Gambar 2.23) dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi pengendapan.
Gambar 2.23. Settler pada bak sedimentasi
2.2.5. Tipe Sedimentasi
Berdasarkan konsentrasi dan kecenderungan partikel berinteraksi, proses sedimentasi terbagi atas empat macam:
1. Sedimentasi Tipe I/Plain Settling/Discrete particle
Merupakan pengendapan partikel diskrit, yaitu partikel yang dapat mengendap bebas secara individual tanpa membutuhkan adanya interaksi antar partikel dan tanpa menggunakan koagulan. Tujuan dari unit ini adalah menurunkan kekeruhan air baku dan digunakan pada grit chamber. Dalam perhitungan dimensi efektif bak, faktor-faktor yang mempengaruhi performance bak seperti turbulensi pada inlet dan outlet, pusaran arus lokal, pengumpulan lumpur, besar nilai G sehubungan dengan penggunaan perlengkapan penyisihan lumpur dan faktor lain diabaikan untuk menghitung performance bak yang lebih sering disebut dengan ideal settling basin.
Sesuai dengan pengertian sedimentasi tipe I, maka pengendapan terjadi karena adanya interaksi gaya-gaya di sekitar partikel, yaitu gaya drag dan gaya impelling. Massa partikel menyebabkan adanya gaya drag dan diimbangi oleh gaya impelling, sehingga kecepatan pengendapan partikel konstan.
Gaya impelling adalah resultan dari gaya yang disebabkan oleh gaya berat partikel atau gaya gravitasi (ke arah bawah) dan gaya apung (bouyant, ke arah atas), lihat Gambar 2.20. Arah gaya impelling adalah ke bawah dan dinyatakan dengan persamaan:
FI = Fg – Fb = (ρs – ρ) g V
Dimana:
FI = gaya impelling, N
ρs = densitas massa partikel, kg/m3
ρ = densitas massa air, kg/m3
V = volume partikel, m3
g = percepatan gravitasi, m/detik2
Gambar 2.24. Gaya-gaya yang bekerja pada partikel di air
Gaya drag adalah gaya yang melawan gaya impelling sehingga partikel dalam kondisi setimbang. Arah gaya ini adalah ke atas dan dinyatakan dengan persamaan:
FD = CD AC ρ (vs2/2)
Dimana:
FD = gaya drag, N
CD = koefisien drag
AC = luas potongan melintang partikel, m2
vs = kecepatan pengendapan, m/detik
dalam kondisi yang seimbang, maka FD = FI, maka diperoleh persamaan:
(ρs – ρ) g V = CD AC ρ (vs2/2)
atau
vs = 2g (ρs – ρ) VCD ρ AC
Bila V/AC = (2/3) d, maka diperoleh:
vs = 4g (ρs – ρ) 3CD ρ d
atau
vs = 4g3CDSg-1d
dimana Sg adalah spesific gravity (ρsρ). Besarnya nilai CD tergantung pada bilangan Reynold.
Bila NRe< 1 (laminar), CD = 24NRe
Bila NRe = 1 – 104 (transisi), CD = 24NRe + 3NRe0,5 + 0,34 atau CD = 18,5NRe0,6
Bila NRe > 104 (turbulen), CD = 0,34 sampai 0,4
Bilangan Reynold dapat dihitung menggunakan persamaan:
NRe = ρ.d.Vsµ
Pada kondisi aliran laminar, persamaan dapat disederhanakan menjadi:
Vs = g18 vSg-1d2
Atau
Vs = g18 v(ρs – ρ)d2
dimana: µ = viskositas absolut dinamis, N.detik/m2
v = viskositas kinematis, m2/detik
Persamaan pada kondisi laminar disebut persamaan Stoke's.
Pada kondisi aliran tubulen, persamaan
2. Sedimentasi Tipe II (Flocculant Settling)
Pengendapan material koloid dan solid tersuspensi terjadi melalui adanya penambahan koagulan, biasanya digunakan untuk mengendapkan flok-flok kimia setelah proses koagulasi dan flokulasi.
Pengendapan partikel flokulen akan lebih efisien pada ketinggian bak yang relatif kecil. Karena tidak memungkinkan untuk membuat bak yang luas dengan ketinggian minimum, atau membagi ketinggian bak menjadi beberapa kompartemen, maka alternatif terbaik untuk meningkatkan efisiensi pengendapan bak adalah dengan memasang tube settler pada bagian atas bak pengendapan untuk menahan flok–flok yang terbentuk.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan efisiensi bak pengendapan adalah:
Luas bidang pengendapan;
Penggunaan baffle pada bak sedimentasi;
Mendangkalkan bak;
Pemasangan plat miring.
3. Sedimentasi Tipe III / Hindered Settling (Zone Settling)
Merupakan pengendapan dengan konsentrasi koloid dan partikel tersuspensi adalah sedang, di mana partikel saling berdekatan sehingga gaya antar pertikel menghalangi pengendapan paertikel-paertikel di sebelahnya. Partikel berada pada posisi yang relatif tetap satu sama lain dan semuanya mengendap pada suatu kecepatan yang konstan. Hal ini mengakibatkan massa pertikel mengendap sebagai suatu zona, dan menimbulkan suatu permukaan kontak antara solid dan liquid.
Jenis sedimentasi yang umum digunakan pada pengolahan air bersih adalah sedimentasi tipe satu dan dua, sedangkan jenis ketiga lebih umum digunakan pada pengolahan air buangan.
4. Sedimentasi Tipe IV
Merupakan unit lanjutan dari sedimentasi tipe III, dimana terjadi pemampatan (kompresi) massa partikel hingga diperoleh konsentrasi lumpur yang tinggi.
Gambar 2.25. Empat tipe sedimentasi
Gambar 2.26. Contoh Pengendapan pada final clarifier untuk proses lumpur aktif
2.2.6. Parameter Operasi pada Unit Sedimentasi
Waktu tinggal (detention time)
Laju luapan permukaan (overflow rate).
Kecepatan aliran
Laju luapan (weir overflow rate).
2.2.7. Operasional dan Pemeliharaan
Pengontrolan kondisi pengendapan flok pada tangki dilakukan dengan frekuensi 4 kali sehari. Proses pembentukan flok yang tidak sempurna pada proses koagulasi dan flokulasi mengakibatkan banyaknya flok kecil yang terbawa ke bak penyaring sehingga meningkatkan beban penyaring;
Pengontrolan kualitas clarified water untuk memeriksa efisiensi bak pengendapan. Efisiensi pengendapan yang jelek mengakibatkan meningkatnya beban pengolahan pada unit filtrasi;
Penyisihan schum, sludge yang mengapung dan pertumbuhan algae pada dinding tangki, baffle, dan lounders terutama pada musim panas;
Pengontrolan beban permukaan dan flow rate melalui observasi visual dengan melihat ketinggian air pada weir pelimpah, bila debit air yang diolah terlalu besar maka muka air akan melebihi ketinggian weir loading;
Pengurasan lumpur yang dilakukan pada clarified water secara otomatis dan manual menurut ketebalan lumpur yang dilakukan dengan menggunakan pompa penguras.
FILTRASI
Umum
Filtrasi adalah suatu proses pemisahan zat padat dari fluida (cair maupun gas) yang membawanya menggunakan suatu medium berpori atau bahan berpori lain untuk menghilangkan sebanyak mungkin zat padat halus yang tersuspensi dan koloid. Pada pengolahan air minum, Filtrasi digunakan untuk menyaring air hasil dari proses koagulasi – flokulasi – sedimentasi sehingga dihasilkan air minum dengan kualitas tinggi. Di samping mereduksi kandungan zat padat filtrasi dapat pula mereduksi kandungan bakteri, menghilangkan warna, rasa bau, besi dan mangan.
Pada filtrasi dengan media berbutir, terdapat tiga phenomena proses, yaitu:
Transportasi : meliputi proses gerak brown, sedimentasi, dan gaya tarik antar partikel
Kemampuan menempel : meliputi proses mechanical straining, adsorpsi (fisik - kimia), biologis
Kemampuan menolak : meliputi tumbukan antar partikel dan gaya tolak menolak
Tipe Filter
Berdasarkan pada kapasitas produksi air yang terolah, saringan pasir dapat dibedakan menjadi dua yaitu Saringan pasir cepat dan Saringan pasir lambat.
Saringan pasir cepat dapat dibedakan dalam beberapa kategori :
1. Menurut jenis media yang dipakai
2. Menurut sistem kontrol kecepatan filtrasi
3. Menurut arah aliran
4. Menurut kaidah grafitasi / dengan tekanan
5. Menurut pretreatment yang diperlukan.
Jenis-jenis Filter Berdasar Sistem Operasi dan Media
Jenis media Filter :
Single media : Satu jenis media seperti pasir silika, atau dolomit saja
2. Dual media : misalnya digunakan pasir silica, dan anthrasit
3. Multi media : misalnya digunakan pasir silica, anthrasit dan garnet.
Filter single media, filter cepat tradisional biasanya menggunakan pasir kwarsa. Pada sistem ini penyaringan SS terjadi pada lapisan paling atas sehingga dianggap kurang efektif karena sering dilakukan pencucian. Gambar 2.26 menjelaskan kedalaman pasir, kerikil sebagai media penyangga dan sistem pematusan (under drain).
2. Filter dual media, sering digunakan filter dengan media pasir kwarsa di lapisan bawah dan antharasit pada lapisan atas.
Keuntungan dual media :
Kecepatan filtrasi lebih tinggi (10 – 15 m/jam)
Periode pencucian lebih lama
Merupakan peningkatan filter single media (murah).
3. Multi media filter : terdiri dari anthrasit , pasir dan garnet atau dolomit, fungsi multi media adalah untuk memfungsikan seluruh lapisan filter agar berperan sebagai penyaring.
Gambar 2.27. Filter aliran secara gravitasi dengan kelengkapannya (Tom D. Reynolds, 1992).
II. Sistem kontrol kecepatan :
Constant rate : debit hasil proses filtrasi konstan sampai pada level tertentu.
Hal ini dilakukan dengan memberikan kebebasan kenaikan level muka air di atas media filter.
Declining rate : debit hasil proses filtrasi menurun seiring dengan waktu filtrasi, atau level muka air di atas media filter dirancang pada nilai yang tetap.
III. Sistem aliran :
Aliran down flow (kebawah)
aliran upflow (keatas)
aliran horizontal.
IV. Kaidah pengaliran :
Aliran secara gravitasi
Aliran di bawah tekanan (pressure filter)
V. Pretreatment :
Kogulasi – flokulasi – sedimentasi
Direct filtration
Gambar 2.27. menjelaskan keadaan filter saat beroperasi dan pada saat pencucian (back washing).
Gambar 2.28. Potongan filter saat operasi dan pencucian balik (back wash)
Jenis-jenis Filtrasi Berdasarkan Kecepatan Penyaringan
Secara umum filtrasi berdasarkan kecepatan penyaringan, dibagi menjadi :
Saringan Pasir Lambat (SSF)
Saringan Pasir Cepat (RSF)
Tabel 2.5. Perbandingan SSF dan RSF
Deskripsi
Slow Sand Filter
Rapid Sand Filter
Kecepatan Penyaringan
Ukuran Bak
Kedalaman bak
Ukuran Pasir
Distribusi Pasir
Sist underdrain
Head loss
Lama operasi
Penetrsi susp.mat
Metode puncucian
Jml pemakaian air dlm pencucian
Treatment pendahuluan
Treatment lanjutan
Investasi
Biaya operasi
1-3 mgad (ml/ hr)
Besar (0.5 acre)
Gravel 12 in, pasir 42 in,
E=0.25-0.35; U=2-3
Unstratified
Split tile laterals
0.2 ft-4 ft
20-30-60 hr
Bag. Atas
Di keruk bag atas psr
0.2-0.6 %
Tidak ada
Klorinasi
Relatif besar
Relatif kecil
100-300 mgad (ml/ hr)
Kecil (0.01-0.1 acre)
Gravel 18 in, pasir 30 in
E=0.4-0.55; U=1.35-1.75
Stratified
1.Perforated pipe lateral 2.Porous plate 3.porous block
1 ft-8 at 8 ft
12-24-72 jm
Dalam
Back washing
1-4-6 %
Sedimentasi, Koagulasi, Flokulasi
Klorinasi
Relatif kecil
Relatif besar
2.3.2.2.1.Rapid Sand Filter (RSF)
RSF merupakan salah satu jenis unit filtrasi yang mampu menghasilkan debit air yang lebih banyak dibandingkan Slow Sand Filter, namun kurang efektif untuk mengatasi bau dan rasa yang ada pada air yang disaring. Selain itu, debit air yang cepat menyebabkan lapisan bakteri yang berguna untuk menghilangkan patogen tidak akan terbentuk sebaik apa yang terjadi Slow Sand Filter, sehingga membutuhkan proses desinfeksi yang lebih intensif. Perbedaan utama dari RSF dan SSF adalah bahwa pada SSF arah aliran airnya dari atas ke bawah, sedangkan pada RSF dari bawah ke atas (up flow). Selain itu pada RSF umumnya dapat melakukan backwash atau pencucian saringan tanpa membongkar keseluruhan saringan.
Gambar 2.29. Rapid Sand Filter (RSF)
Media
Media filter dapat tersusun dari pasir silika alami, anthrasit, atau pasir garnet. Media ini umumnya memiliki variasi dalam ukuran, bentuk, dan komposisi kimia.
RSF dapat menggunakan media tunggal, media ganda, atau multi media. Pada media tunggal digunakan pasir kwarsa saja, media ganfa digunakan pasir kwarsa dan antrasit, multi media digunakan pasir kwarsa, anthrasit, dan karbon aktif. RSF memiliki ukuran media pasir berkisar antara 0,5-2,0 mm, dengan laju aliran 5-15 m/jam dan waktu operasi berkisar antara 1-3 hari.
Dasar Filter dan Underdrain
Dasar filter dapat terdiri dari system perpipaan yang tersusun dari lateral dan manifold untuk mengalirkan air terolah, dimana air diterima melalui lubang orifice yang diletakkan pada pipa lateral. Manifold dan lateral ditujukan agar distribusi merata
Hidrolika Pencucian dengan Aliran ke Atas (Back Washing)
Selama proses filtrasi berlangsung akan terjadi penurunan debit air produksi akibat clogging atau pemampatan oleh kotoran yang tersaring dan tertahan pada media yang menyebabkan diameter pori mengecil. Hal ini ditandai oleh :
1. Penurunan kapasitas produksi
2. Peningkatan kehilangan energi (headloss) yang diikuti oleh kenaikan muka air di atas media filter.
3. Penurunan kualitas air terproduksi.
Teknik pencucian RSF dapat dilakukan dengan menggunakan back washing, dengan kecepatan tertentu agar media filter terfluidisasi dan terjadi tumbukan antar media sehingga kotoran yang menempel pada media akan lepas dan terbawa bersama aliran air.
Pokok-Pokok dalam Perencanaan RSF
1. Ukuran dan kedalaman media penyaring
2. Filter Gravel
Tujuan dari media filter gravel :
- Menghindari pasir terbawa aliran ke dalam under drain.
- Membantu distribusi aliran pada proses pencucian (back wash).
Ukuran gravel antara 1/8 s/d 1,5 inchi, dengan ketebalan gravel antara 9 s/d 18 inchi (20 s/d 40 cm)
3. Under Drain
Fungsi under drain :
- Untuk mengalirkan air hasil penyaringan (air bersih) dan dialirkan ke clear well.
- Untuk mendistribusikan air keperluan back wash merata keseluruh media pasir.
Jenis-jenis saluran under drain :
- Manifold dan pipa lateral/ pipe grid.
- Filter floor/ false bottom
4. Wash water gutter
Saluran ini berfungsi untuk mengalirkan air yang mengandung kotoran dari hasil pencucian pasir (back wash)
5. Hidrolika Filtrasi
- Kondisi penyaringan
- Fluidized bed
Ketika filter dibackwash, pada saat sebelum material terangkat keatas (kritis) terjadi kondisi dimana gaya angkat keatas dari air sama besar dengan berat material filter. Pada saat itu terjadi keseimbangan antara kehilangan tekanan pada expanded bed dengan frictional resistance dari partikel pasir.
2.3.2.2.2.Slow Sand Filter
Filter pasir lambat adalah filter yang mempunyai kecepatan filtrasi lambat. Dibandingkan filter cepat, kecepatan filtrasi pada filter lambat sekitar 20 – 50 kali lebih lambat, yaitu sekitar 0,1 hingga 0,4 m/jam. Kecepatan yang lebih lambat ini disebabkan ukuran media pasir juga lebih kecil (effective size = 0,15 – 0,35 mm).
Filter pasir lambat cukup efektif digunakan dalam menghilangkan kandungan bahan organik dan organisme pathogen dari air baku yang mempunyai kekeruhan relatif rendah. Filter pasir lambat banyak digunakan untuk pengolahan air dengan kekeruhan air baku di bawah 50 NTU. Efisiensi filter pasir lambat tergantung pada distribusi ukuran partikel pasir, ratio luas permukaan filter terhadap kedalaman dan kecepatan filtrasi.
Filter pasir lambat bekerja dengan cara pembentukan lapisan gelatin atau biofilm yang disebut lapisan hypogeal di beberapa milimeter bagian atas lapisan pasir halus. Lapisan ini mengandung bakteri, fungi, protozoa, rotifera, dan larvae serangga air. Lapisan hypogeal adalah lapisan yang melakukan pemurnian efektif dalam pengolahan air minum. Selama air melewati lapisan ini, partikel akan terperangkap dan organik terlarut akan teradsorpsi, diserap dan dicerna oleh bakteri, fungi dan protozoa.
Proses yang terjadi dalam lapisan hypogeal sangat kompleks dan bervariasi, tetapi yang utama adalah mechanical straining terhadap kebanyakan bahan tersuspensi dalam lapisan tipis yang berpori-pori sangat kecil kurang dari satu mikron. Ketebalan lapisan ini meningkat terhadap waktu hingga mencapai sekitar 25 mm, yang menyebabkan aliran mengecil.
Pengujian kualitas air dilakukan secara berkala sampai standar dilampaui. Ketika kecepatan filtrasi turun sampai tingkat tertentu, filter harus dicuci dengan mengambil lapisan pasir bagian atas setebal sekitar 25 mm.
Keuntungan filter lambat antara lain:
Biaya konstruksi rendah
Rancangan dan pengoperasian lebih sederhana
Tidak diperlukan tambahan bahan kimia
Variasi kualitas air baku tidak terlalu mengganggu
Tidak diperlukan banyak air untuk pencucian, pencucian hanya dilakukan di bagian atas media, tidak dilakukan backwash
Kerugian filter pasir lambat adalah besarnya kebutuhan lahan, yaitu sebagai akibat dari lambatnya kecepatan filtrasi.
Secara umum, filter pasir lambat hampir sama dengan filter pasir cepat. Filter lambat tersusun oleh bak filter, media pasir, dan sistem underdrain (Gambar 2.29). Kriteria filter cepat dan filter lambat dapat dilihat pada Tabel 2.6.
Gambar 2.30. Slow Sand Filter (SSF)
Tabel 2.6. Kriteria untuk Filter Pasir Cepat dan Filter Pasir Lambat
Kriteria
Filter Pasir Cepat
Filter Pasir Lambat
Kecepatan filtrasi
4 – 21 m/jam
0,1 – 0,4 m/jam
Ukuran bed Kecil
40 – 400 m2
Besar, 2000 m2
Kedalaman bed
30 – 45 cm kerikil, 60 – 70 cm pasir, tidak berkurang saat pencucian
30 cm kerikil, 90 – 110 cm pasir, berkurang 50 – 80 cm saat pencucian
Ukuran pasir
Effective size >0,55 mm, uniformity coefficient <1,5
Effective size
0,25-0,3 mm, uniformity coefficient 2-3
Distribusi ukuran media
Terstratifikasi
Tidak terstratifikasi
Sistem underdrain
Pipa lateral berlubang yang mengalirkan air ke pipa utama
Sama dengan filter cepat atau batu kasar dan beton berlubang sebagai saluran utama
Kehilangan energi
30 cm saat awal, hingga 275 cm saat akhir 6 cm
saat awal, hingga 120 cm saat akhir
Filter run (jarak waktu pencucian)
12 – 72 jam
20 – 60 hari
Metoda pembersihan
Mengangkat kotoran dan pasir ke atas dengan backwash
Mengambil lapisan pasir di permukaan dan mencucinya
Jumlah air untuk pembersihan
1 – 6% dari air tersaring
0,2 – 0,6% dari air
tersaring
Pengolahan pendahuluan
Koagulasi-flokulasi-sedimentasi
Biasanya tidak ada bila kekeruhan kurang dari 50 NTU
Biaya konstruksi
Relatif tinggi
Relatif rendah
Biaya operasi
Relatif tinggi
Relatif rendah
Biaya depresiasi
Relatif tinggi
Relatif rendah
Sumber: Schulz dan Okun (1984)
Media Filter dan Distribusi Pasir
Media Filter dapat tersusun dari pasir silika alami, anthrasit, atau pasir garnet. Media ini umumnya memiliki variasi dalam ukuran, bentuk dan komposisi kimia. Pemilihan media filter yang akan digunakan dilakukan dengan analisa ayakan (sieve analysis). Hasil ayakan suatu media filter digambarkan dalam kurva akumulasi distribusi untuk mencari ukuran efektif dan keseragaman media yang diinginkan.
Effective Size (ES) atau ukuran efektif media filter adalah ukuran media filter bagian atas yang dianggap paling efektif dalam memisahkan kotoran yang besarnya 10 % dari total kedalaman lapisan media filter atau 10 % dari fraksi berat, ini sering dinyatakan sebagai P10 (persentil 10). P10 yang dapat dihitung dari ratio ukuran rata- rata dan standar deviasinya.
Uniformity Coefficient (UC) atau koefisien keseragaman adalah angka keseragaman media filter yang dinyatakan dengan perbandingan antara ukuran diameter pada 60 % fraksi berat terhadap ukuran (size).
ES = P10 = μ gσg1.282
UC = P60 / P10 = σg1.535
Kriteria untuk keperluan filter pasir cepat atau rapid sand filter adalah :
Single media Pasir :
UC = 1,3 – 1,7.
ES = 0,45 – 0,7 mm
Untuk dual media :
Antrasit UC = 1,4 – 1,9
ES = 0,5 – 0,7.
Hidrolika Pencucian dengan Aliran ke Atas (Back Washing)
Pada saat filtrasi berlangsung, media filtrasi akan diliputi oleh flok-flok dari air yang diolah, yang akan menyumbat rongga di antara butiran-butiran media dan menyulitkan proses pencucian filter. Proses backwash dilakukan untuk mengekspansi media sehingga filter dapat dibersihkan. Ekspansi ini akan menyebabkan butiran filter bergesekan satu sama lain dengan kuat, sehingga flok-flok yang tertahan sepanjang kedalaman filter bed akan terlepas untuk selanjutnya dibuang keluar filter. Secara umum proses pencucian filter (backwashing) dilakukan dengan arah aliran balik ke atas (up flow water wash) dengan fluidisasi bed secara penuh. Air pencuci melewati media filter melalui sistem underdrain. Pada awal proses selama 30 detik air pencuci disemprotkan tidak dengan kecepatan penuh. Hal ini dilakukan untuk menghindari rusaknya media penyangga akibat tekanan kuat yang secara tiba-tiba disemprotkan dari bawah. Aliran backwash akan melepas partikel tersuspensi yang melekat pada media filter. Untuk kemudian diberikan kecepatan penuh sampai semua partikel tersuspensi terlepas dari media filter.
Fasilitas backwash harus dapat menghasilkan kecepatan backwash yang memadai dan distribusi aliran yang merata. Kecepatan backwash haruslah cukup tinggi untuk memfluidisasi media filter seluruhnya. Kecepatan aliran backwash ini tergantung pada metode yang digunakan untuk pencucian pada filter tersebut, apakah hanya menggunakan sistem backwash saja dalam proses pencucian ataukah ada sistem tambahan seperti air wash atau surface wash. Selain itu juga kecepatan backwash yang sesuai harus ditentukan berdasarkan specific grafity (Sg) media, ukuran butiran-butiran media, dan temperatur air. Namun kecepatan backwash yang terlalu tinggi harus dihindari karena merupakan suatu pemborosan air, disamping itu juga dapat merusak lapisan kerikil sebagai media penyangga. Disamping itu, kecepatan backwash yang berlebih tidak efektif untuk pencucian filter karena butiran-butiran pasir terpisah jauh melebihi ekspansi media yang dibutuhkan, dan ada kemungkinan media filter dapat terbawa keluar sampai ke dalam gutter-gutter air pencuci.
Pada umunya durasi pencucian menggunakan sistem backwash berlangsung antara 10 – 15 menit. Proses pencucian filter akan membersihkan media filter dari kotoran yang menempel akan tetapi proses pembersihan tersebut dapat meningkatkan terbentuknya "mud ball". Mud ball merupakan penggumpalan dari kekeruhan yang terkoagulasi, flok, pasir, dan bahan pengikat lainnya. Mud ball menyerupai agar-agar pada permukaan media filter akibat proses pencucian filter yang kurang sempurna.
Filter yang bersih merupakan awal yang baik untuk menyaring air dari sedimentasi. Tindakan lain yang digunakan agar media tidak cepat kotor sehingga harus melakukan backwash lebih sering adalah dengan penggunaan polimer sebagai langkah awal. Selain itu pencucian filter juga harus melihat dari segi ekonomisnya karena air yang digunakan untuk proses pencucian merupakan air bersih yang siap untuk didistribusikan pada masyarakat. Pada umumnya air yang digunakan untuk pencucian filter antara 10-15% dari air bersih yang dihasilkan
Dasar Filter dan Underdrain
Persyaratan :
-dapat mendukung media di atasnya
-distribusi merata pada saat pencucian
Untuk pencucian interfilter : headloss 20 – 30 cm (distribusi kurang merata pada saat pencucian).
Dasar filter dapat terdiri dari sistem perpipaan yang tersusun dari lateral dan manifold, dimana air diterima melalui lubang orifice yang diletakkan pada pipa lateral.
Kecepatan pencucian ± 36 m/jam (600 l/m.menit), dengan tinggi ekspansi sebesar 15 cm sehingga headloss = 25 cm.
Manifold dan lateral ditujukan agar distribusi merata, headloss 1 – 3 m dengan kriteria sistem manifold – lateral :
-Perbandingan luas orifice/filter = 0,0015 – 0,005
-Perbandingan luas lateral/ orifice = 2 – 4
-Perbandingan luas manifold/lateral = 1,5 – 3
-Diameter orifice = 0,6 – 2 cm
-Jarak antara orifice = 7,5 – 30 cm
-Jarak antara lateral = orifice
Filtrasi Pada Pengolahan Air dan Air Buangan
Perencanaan suatu sistem saringan pasir cepat untuk pengolahan air tergantung pada tujuan pengolahan dan pre-treatment yang telah dilakukan pada air baku sebagai influen filter.
Saringan pasir lambat adalah sistem filtrasi yang pertama kali digunakan untuk pengolahan air, dimana sistem ini dikembangkan sejak tahun 1800 SM. Prasedimentasi dilakukan pada air baku mendahului proses filtrasi.
Saringan pasir cepat selalu didahului dengan proses koagulasi – flokulasi dan pengendapan untuk memisahkan padatan tersuspen yang terkandung dalam air baku. Jika kekeruhan pada influen saringan pasir cepat berkisar 5 – 10 JTU maka efisiensi penurunan kekeruhannya dapat mencapai 90 – 98 %. Standar operasi saringan pasir cepat adalah 1,37 /det-m namun sering dioprasikan pada rentang beban hidrolik 2,04 – 3,4 /det-m
Pada pengolahan air limbah filtrasi dipergunakan untuk pengolahan lanjut (advance wastewater treatment), antara lain :
Penyaringan efluen dari secondary treatment secara biologis
Penyaringan efluen dari secondary treatment yang diolah secara kimiawi
Penyaringan air limbah segar yang telah diproses secara kimiawi
[Type the company name]