MAKALAH SWAMEDIKASI
Artritis Reumatoid
“
”
Dosen Pengampu : Yul Mariyah, M.Si., Apt KELAS C KELOMPOK 2 Tri Shintya Dewi
(1720343831)
Vivin Marwiyati Rohmana
(1720343832)
Wildan Firdaus
(1720343833)
Wilujeng Sulistyorini
(1720343834)
Yanti Anggrenie
(1720343835)
Yasri Lukita Ningtyas
(1720343836)
Yoga Andoyo Aji
(1720343837)
Yos Abdon Kolimon
(1720343838)
Yuliana Devianti
(1720343839)
Yulinda Kussukmawaty
(1720343840)
Aikta Wulan
(1720343841)
Arintya Kumala Sagitafuri
(1720343842)
Ayunda Eka Zulistya
(1720343843)
APOTEKER XXXIV FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SETIA BUDI SURAKARTA 2017
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Artritis Reumatoid adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit artritis reumatoid dikenal ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasusnya bersifat kronik fluktuatif yang mengakibatkan kerusakan sendi yang progresif, kecacatan, dan bahkan kematian dini (ACRA 1996 ; ACRA 2002). Rheumatoid arthritis merupakan penyakit kronis yang menyebabkan nyeri, kekakuan, pembengkakan dan keterbatasan gerak serta fungsi dari banyak sendi. Rheumatoid arthritis dapat mempengaruhi sendi apapun, sendisendi kecil di tangan dan kaki cenderung paling sering terlibat. Pada rheumatoid arthritis kekakuan paling sering terburuk di pagi hari. Hal ini dapat berlangsung satu sampai dua jam atau bahkan sepanjang hari. Kekakuan untuk waktu yang lama di pagi hari tersebut merupakan petunjuk bahwa seseorang mungkin memiliki rheumatoid arthritis, karena sedikit penyakit arthritis lainnya berperilaku seperti ini. Misalnya, osteoarthritis paling sering tidak menyebabkan kekakuan pagi yang berkepanjangan (ACRA 2012). Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan lainya, di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi AR sekitar 1% pada kaukasia dewasa; Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia sekitar 0,8% dan Amerika Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan India 0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa Utara mencapai 20-50/100000 dan Eropa Selatan hanya 9-24/100000(Silman 2009; Tobon 2010). Di Indonesia dari hasil survey epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah didapatkan prevalensi AR 0,3 %5, sedang di
Malang pada penduduk berusia diatas 40 tahun didapatkan prevalensi AR 0,5 % di daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten(Kalim 1994) Angka kejadian rheumatoid arthritis di Indonesia pada penduduk dewasa (di atas 18 tahun) berkisar 0,1% hingga 0,3%. Pada anak dan remaja prevalensinya satu per 100.000 orang. Diperkirakan jumlah penderita rheumatoid arthritis di Indonesia 360.000 orang lebih (Tunggal 2012). Penderita penyakit kronik seperti rheumatoid arthritis mengalami berbagai macam gejala yang berdampak negatif terhadap kualitas hidup mereka. Banyak usaha yang dilakukan agar pasien dengan rheumatoid arthritis dapat merasa lebih baik dan dapat memperbaiki kualitas hidup mereka. Pengobatan saat ini tidak hanya bertujuan mencegah atau berusaha menyembuhkan rheumatoid arthritis, tujuan utama pengobatan juga untuk mengurangi akibat penyakit dalam hidup pasien dengan meningkatkan kualitas
hidup
dan
mengurangi
kecacatan
(Pollard
et
al
2005).
Penatalaksanaan AR telah mengalami banyak perubahan dalam 15 tahun terakhir(Yazici 2010). Pemahaman bahwa AR berkaitan dengan komorbiditas lain dan mortalitas dini(Sokka et al 2008), membuat penatalaksanaan AR harus agresif dan sedini mungkin
yang akan meningkatkan meningkatkan hasil jangka
pendek dan panjang yang yang lebih baik(Yazici et al 2005). Pemberian terapi rheumatoid arthritis dilakukan untuk mengurangi nyeri sendi dan bengkak, meringankan kekakuan serta mencegah kerusakan sendi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Pengobatan rheumatoid arthritis yang dilakukan hanya akan mengurangi dampak penyakit, tidak dapat memulihkan sepenuhnya. Rencana pengobatan sering mencakup kombinasi dari istirahat, aktivitas fisik, perlindungan sendi, penggunaan panas atau dingin untuk mengurangi rasa sakit dan terapi fisik atau pekerjaan. Obat-obatan memainkan peran yang sangat penting dalam pengobatan rheumatoid arthritis. Tidak ada pengobatan tunggal bekerja untuk semua pasien. Banyak orang dengan rheumatoid arthritis harus mengubah pengobatan setidaknya sekali dalam seumur hidup. Pasien dengan diagnosis rheumatoid arthritis memulai pengobatan dengan DMARD (Disease
Modifying Anti-Rheumatic Drugs) seperti metotreksat, sulfasalazin dan leflunomid.
Obat
ini
tidak
hanya
meringankan
gejala
tetapi
juga
memperlambat kemajuan penyakit. Seringkali dokter meresepkan DMARD bersama dengan obat anti-inflamasi atau NSAID dan/atau kortikosteroid dosis rendah, untuk mengurangi pembengkakan, nyeri dan demam (Arthritis Foundation 2008). Pengobatan rheumatoid arthritis merupakan pengobatan jangka panjang sehingga pola pengobatan yang tepat dan terkontrol sangat dibutuhkan. Dengan pengukuran kualitas hidup dapat diketahui pola pengobatan yang efektif dalam meningkatkan kualitas kuali tas hidup pasien (Chen et al 2005).
B. PERUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang yang telah dikemukakan, maka disusun perumusan masalah sebagai berikut: 1. Apa itu penyakit rematoid arthritis? 2. Apa saja penyebab(etiologi) penyakit rematoid arthritis? 3. Bagaimana terapi dan manajemen terapi penyakit rematoid arthritis? 4. Apa saja kasus-kasus yang terjadi dimasyarakat yang berhubungan dengan penyakit rematoid arthritis?
C. TUJUAN
Adapun tujuan dari pengembangan makalah ini adalah: 1. Mengetahui penyakit rematoid arthritis. 2. Mengetahui apa saja penyebab(etiologi) penyakit rematoid arthritis. 3. Mengetahui terapi dan manajemen terapi penyakit rematoid arthritis. 4. Mengetahui kasus-kasus yang terjadi di masyarakat berhubungan dengan penyakit rematoid arthritis.
BAB II PEMBAHASAN
1. DEFINISI
Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti sendi. Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang sendi. Sedangkan rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi (Gordon
et al 2002). Menurut American College of
Rheumatology (2012), rheumatoid arthritis adalah penyakit kronis (jangka panjang) yang menyebabkan nyeri, kekakuan, pembengkakan serta keterbatasan gerak dan fungsi banyak sendi. Rematoid arthritis merupakan penyakit autoimun dimana terjadi reaksi inflamasi arthritis yang paling sering terjadi pada orang dewasa(ACRA 2015). Reumatoid arthritis adalah suatu penyakit inflamasi kronis yang menyebabkan degenerasi jaringan penyambung. Jaringan penyambung yang biasanya mengalami kerusakan pertama kali adalah membran sinovial, yang melapisi sendi. Pada rematoid arthritis, inflamasi tidak berkurang dan menyebar ke struktur sendi disekitarnya, termasuk kartilago artikular dan kapsul sendi fibrosa. Akhirnya, ligamen dan tendon. Inflamasi ditandai oleh akumulasi sel darah putih, aktifitas komplemen, fagositosis ekstensif, dan pembentukan jaringan parut. Pada inflamasi kronis, membran sinovial mengalami hipertropi dan menebal sehingga menyumbat aliran darah dan selanjutnya menstimulasi nekrosis sel dan respon inflamasi. Sinovium yang menebal menjadi tertutup oleh jaringan granular inflamasi yang disebut panus. Panus dapat menyebar keseluruh sendi sehingga menyebabkan inflamasi dan pembentukan jaringan parut lebih lanjut. Proses ini secara lembat merusak tulang dan menimbulkan nyeri hebat serta deformitas(Corwin 2009).
Gambar 1. Rhematoid arthritis
2. KLASIFIKASI
Buffer (2010), mengklasifikasikan reumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu: 1. Reumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu. 2. Reumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu. 3. Probable Reumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu. 4. Possible Reumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan. bulan. Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu : 1. Stadium sinovitis Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun istirahat, bengkak dan kekakuan.
2. Stadium destruksi Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi kontraksi tendon. 3. Stadium deformitas Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan gangguan fungsi secara menetap. 3. ETIOLOGI
Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan (Suarjana, 2009) a.
Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini memiliki angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% (Suarjana, 2009).
b.
Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental Corticotraonin
Releasing
Hormone
yang
mensekresi
dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Dan stimulasi esterogen dan progesteron pada respon imun humoral (TH2) dan menghambat respon imun selular (TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini (Suarjana, 2009). c.
Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya penyakit RA (Suarjana, 2009).
d.
Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai respon terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog. Diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan terjadinya reaksi silang Limfosit dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis (Suarjana, 2009).
e.
Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok (Longo, 2012).
4.
KASUS.
SA seorang wanita berusia 60 tahun dibawa ke rumah sakit dengan keluhan rasa sakit dan nyeri di bagian punggung kebawah dan bagian lutut kirinya. Rasa sakit tersebut dirasakan sejak 2 hari yang lalu akibat terjatuh. Dia mempunyai riwayat penyakit osteoporosis sejak 2 tahun yang lalu, juga mempunyai riwayat PUD dan menopouse di usia 55 tahun. Riwayat keluarganya: ibunya menderita kanker payudara. Riwayat sosial : Sejak suami SA meninggal 6 bulan yang lalu membuat SA menjadi sangat stress dan dia menjadi mempunyai kebiasaan merokok serta minum kopi 2 gelas tiap pagi. Riwayat pengobatan : parasetamol 2x500 mg po QID jika perlu untuk nyeri sendinya. Simetidin 400 mg BID selama beberapa tahun, tablet Calsium carbonat chewable 500 mg BID, Prednison 10 mg BID sejak 9 bulan yang lalu. Hasil Pemeriksaan KU : muka pucat, terlihat capek HEENT : pucat pasi dan moon facies Tanda vital : BP 128/84 mmHg, HR 70, RR 20, T 37,3°C, BB 61 kg, TB 168 cm Rheumatoid factor titer = 1: 65
Pengembangan Kasus Selama 3 minggu terakhir ini pasien sering merasakan kaku dan nyeri pada persendian (kanan dan kirinya). jika terasa nyeri SA minum parasetamol 2x500mg. Pada suatu hari SA harus memeriksakan ke dokter karena rasa sakit dan nyeri yang tidak tertahankan di bagian ba gian punggung ke bawah dan bagian lutut kirinya akibat terjatuh 2 hari yang lalu. Hasil pemeriksaan laboratorium lain : CRP
= positif
(normal : negatif)
Hb
= 10 g/dl
(normal untuk wanita : 12-16 g/dl)
Hct
= 29%
(normal : 36-48%)
LED
= 30 mm/jam
(normal : 20 mm/jam)
MCV
= 65 U3
(normal : 80-90 U3)
ANA
= positf
(normal : negatif)
Anti CCP
= positif
(normal : negatif)
Pemeriksaan DXA
= T score -2,5 SD
Kultur bakteri
= negatif
Sinar X
= masih normal
A. Analisis Metode SOAP 1. Subjective
Keluhan utama pasien : rasa sakit dan nyeri di bagian punggung ke bawah dan bagian lutut kirinya.
Riwayat penyakit : osteoporosis, rheumatoid arthritis, dan PUD.
Riwayat sosial : mempunyai kebiasaan merokok serta minum kopi 2 gelas tiap pagi.
Riwayat keluarga : ibunya menderita kanker payudara.
Riwayat pengobatan : PUD dan osteoporosis.
Tidak ada riwayat alergi pada pasien.
Review of System : muka pucat, terlihat capek, HEENT pucat pasi dan moon facies.
Riwayat pengobatan : parasetamol 2x500 mg PO QID jika perlu untuk nyeri sendinya, simetidin 400 mg BID selama beberapa tahun, tablet Calcium carbonat chewable 500 mg BID, Prednison 10 mg BID sejak 9 bulan yang lalu.
2. Objective
BP
= 128/84 mmHg
(normal = 120/80 mmHg)
HR
= 70 x/menit
(normal =80-100x/ menit)
RR
= 16x/menit
(normal = 13-18x/menit)
T
= 37 ◦C
(normal =36,5-37,5◦C) =36,5-37,5◦C)
BB
= 65 kg
TB
= 168 cm
BMI
= 23, 03
Rheumatoid factor titer = = 1: 83 Pemeriksaan DXA
= T score -2,5 SD
(normal = 18,5- 24,9)
Kultur bakteri
= negatif
CRP
= positif
(normal : negatif)
Hb
= 10 g/dl
(normal : 12-16 g/dl)
Hct
= 29%
(normal : 36-48%)
LED
= 30 mm/jam
(normal : 20 mm/jam)
MCV
= 65 U3
(normal : 80-90 U3)
ANA
= positif
(normal : negatif)
Anti CCP
= positif
(normal : negatif)
Sinar X
= masih normal
3. Assessment
Pasien menderita rheumatoid arthritis yang masih ringan disertai osteoarthritis dan PUD. 4. Plan
Mengatasi gejala penyakit.
Mengurangi progresivitas penyakit.
Meningkatkan keadaan fisik dan psikis pasien.
Mengurangi resiko morbiditas dan mortalitas.
B. Penatalaksanaan Terapi 1.
Rheumatoid Arthritis a. Terapi Nonfarmakologis
Istirahat yang cukup dapat meringankan stress pada sendi yang mengalami inflamasi dan mencegah kerusakan sendi lebih lanjut. Istirahat juga membantu mengurangi rasa nyeri.
Terapi fisik dapat memberi pasien ketrampilan dan latihan yang diperlukan untuk meningkatkan atau memelihara mobilitas.
Aplikasi dingin/panas membantu menjaga dan mengembalikan rentang gerakan sendi dan mengurangi rasa sakit dan kejang otot. Handuk hangat, kantung panas (hot ( hot packs), atau mandi air hangat dapat mengurangi kekakuan dan rasa sakit. Kadang kantung es
(cold packs) dibungkus handuk dapat menghilangkan rasa sakit atau mengebalkan bagian yang ngilu.
Edukasi pasien tentang penyakit serta keuntungan dan kerugian dari terapinya.
b. Terapi Farmakologis 1. Sulfasalazine (Sulcolon®)
Mekanisme aksi : merupakan prodrug yang dipecah oleh
bakteri kolon menjadi sulfapyridine dan 5-aminosalicylic 5-aminosali cylic acid. Sulfapyridine dipercaya bertanggung jawab untuk agen antirematik, meskipun mekanisme aksinya belum diketahui. Dosis
: Loading dose :500 mg 1x sehari selama
1 minggu pertama
Dosis maintenance
:500 mg 2x sehari
Durasi
: 3 bulan
Kontraindikasi
: hipersensitif terhadap sulfonamida dan
salisilat, kerusakan saluran urinari atau intestinal.
Interaksi
Efek samping
:: efek GI (anoreksia, nausea, muntah, diare),
dermatologi (rash, urticaria).
Analisis biaya
Alasan pemilihan : -
: 500mg x 10 x 10 = Rp. 495.000
Sulfasalazin merupakan pilihan pertama pada RA yang progresif hebat, berhubung lebih l ebih jarang menimbulkan efek samping pada penggunaan jangka panjang.
-
Silfasalazin juga mempunyai indikasi untuk mengobati PUD.
2. Celecoxib (Celebrex®)
Mekanisme aksi : menghambat enzim siklooksigenase yang bertanggung jawab mengubah asam arakidonat menjadi prostagandin.
Dosis
: 200 mg
Frekuensi
: 1x jika terasa nyeri.
Durasi
: sampai rasa nyeri sudah teratasi.
Kontraindikasi
: reaksi alergi terhadap sulfonamid, aspirin,
dan NSAID lain; asma, urtikaria.
Interaksi
:-
Efek samping
:
nyeri
abdomen,
diare,
dispepsia,
kembung,mual.
Analisis biaya
: Rp. 2.519,-/kapsul
Alasan pemilihan : - Obat golongan NSAID tetap diberikan sebagai kombinasi dengan Sulfasalazin untuk pengobatan RA, karena Sulfasalazin tidak bekerja sebagai analgetis. - Celecoxib merupakan NSAID yang sifatnya selektif, sehingga relatif aman untuk pasien PUD. - Prednison dihentikan dengan cara tappering off secara perlahan-lahan. Hal ini disebabkan karena disamping pasien
sudah
penggunaan prednison
menunjukkan
prednison juga
( moon
adverse
effect
facies), facies),
merupakan faktor
resiko
akibat
penggunaan terjadinya
osteoporosis. 2. Osteoporosis a. Terapi Nonfarmakologis Nonfarmakologis
Menu yang seimbang dengan asupan kalsium dan vitamin D yang mencukupi.
Membatasi konsumsi kopi, alkohol, natrium, cola, dan minuman lain yang mengandung karbonat.
Konsumsi kopi dapat menyebabkan peningkatan ekskresi kalsium, peningkatan kecepatan bone loss, loss, dan meningkatkan resiko fraktur.
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat meningkatkan resiko karena nutrisi yang rendah, rendahnya kalsium dan metabolisme vitamin D, dan meningkatnya resiko jatuh.
Konsumsi
natrium
dapat
meningkatkan
ekskresi
kalsium.
Konsumsi kalsium yang rendah dan konsumsi natrium yang berlebihan
dapat
mengakibatkan
peningkatan
resorpsi
dan
penurunan BMD.
Konsumsi cola dapat menurunkan BMD dan meningkatkan resiko fraktur.
Berhenti merokok.
Aerobik latihan beban dan olahraga dapat mencegah hilangnya masa tulang dan mengurangi jatuh dan fraktur.
b. Terapi Farmakologis 1. Ca dan vitamin D (Licokalk Plus®)
Mekanisme aksi : o
Kalsium merupakan salah satu mineral yang penting untuk tulang. Kalsium digunakan untuk mengatasi defisiensi kalsium tulang dengan mengganti kalsium tulang yang hilang. Vitamin D merupakan vitamin yang larut lemak yang diperoleh dari sumber alami (minyak hati ikan) atau dari
konversi
provitamin
(7-dehidrokolesterol
dan
ergosterol). Pada manusia, 7-dehidrokolesterol dikonversi oleh sinar ultraviolet menjadi vitamin D 3, kemudian diubah menjadi bentuk aktif vitamin D (kalsitriol) oleh hati dan ginjal. o
Vitamin D dihidroksilasi oleh enzim mikrosomal hati menjadi
25-hidroksi-vitamin
D 3 (25-[OH]-D3 atau
kalsifediol). Kalsifediol dihidroksilasi terutama di ginjal menjadi 1,25-dihidroksi-vitamin D 3 (1,25-[OH]2-D3 atau
kalsitriol)
dan
24,25-dihidroksikolekalsiferol
(24,25-
[OH]2-D3). Kalsitriol dipercaya merupakan bentuk vitamin D3 yang paling aktif dalam menstimulasi transport kalsium usus dan fosfat.
Dosis
: dua kaplet (per kaplet mengandung
Ca lactate 300 mg vit D 160 iu).
Frekuensi
: 3x sehari
Durasi
: seumur hidup
Kontraindikasi
:
Kalsium
:
hiperkalsemia
dan
fibrilasi
:
hiperkalsemia,
bukti
adanya
ventrikuler
Vitamin D
toksisitas vitamin D, sindrom malabsorpsi, hipervitaminosis D, sensitivitas abnormal terhadap efek vitamin D, penurunan fungsi ginjal.
Interaksi
:-
Efek samping
:
Kalsium
:
gangguan
gastrointestinal
ringan,
bradikardia, aritmia.
Vitamin D mulut kering,
: rasa lelah, sakit kepala, mual, muntah, konstipasi, rasa logam.
Analisis biaya
: Rp. 150,04/kaplet
Alasan pemilihan : pemberian kalsium dan vitamin D secara se cara bersamaan diperlukan untuk mendapatkan respon klinis terhadap terapi. Denganadanya bentuk aktif vitamin D (kalsitriol), dapat menstimulasi transport kalsium.
3. PUD a. Terapi Nonfarmakologis
Mengurangi stress, merokok, dan penggunaan NSAID.
Menghindari makanan dan minuman yang dapat menyebabkan dispepsia atau yang dapat menyebabkan penyakit tukak (makanan pedas, kafein, dan alkohol).
b. Terapi Farmakologis
Pada kasus ini terapi farmakologis untuk PUD rasanya tidak perlu diberikan. PUD bisa disebabkan oleh 2 hal, yaitu karena bakteri ( H.pylori) H.pylori) dan akibat penggunaan obat NSAID. Dalam kasus ini hasil kultur bakteri menunjukkan hasil negatif, oleh karena itu PUD yang dialami pasien terjadi akibat pasien mengkonsumsi Parasetamol dan juga dipacu oleh kebiasaan minum 2 gelas kopi tiap pagi. Solusi untuk PUD akibat penggunaan NSAID adalah dengan menghentikan konsumsi NSAID tersebut. Namun apabila penggunaan NSAID masih diperlukan (dalam kasus ini NSAID masih diperlukan untuk kombinasi terapi RA) maka dipilihkan NSAID yang sifatnya selektif seperti Celecoxib. Maka diharapkan dengan penggantian NSAID yang sifatnya selektif serta dengan mengurangi konsumsi kopi, PUD yang dialami pasien bisa tertangani.
C. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi 1. Penggunaan obat :
Sulfasalazine
(Sulcolon®)
diminum
sesudah
makan
untuk
meminimalkan gejala GI yang mungkin timbul.
Celecoxib (Celebrex®) dapat diminum sebelum atau sesudah makan.
Ca dan vitamin D (Licokalk Plus ®) diminum setelah makan.
Parasetamol dihentikan karena sudah diganti dengan celecoxib (Celebrex®).
Calsium carbonat chewable dihentikan karena sudah diganti dengan Licokalk Plus ®.
Prednison dihentikan secara perlahan-lahan (tapering (tapering dose). dose).
2. Obat disimpan pada tempat yang kering, terhindar dari kontak sinar matahari langsung, dan pada suhu ruangan. 3. Diet :
Menu yang seimbang dengan asupan kalsium dan vitamin D yang mencukupi, seperti susu, kedelai, bayam, brokoli, tuna.
Membatasi konsumsi minuman yang dapat menurunkan densitas tulang, seperti kopi, alkohol, natrium, cola, dan minuman lain yang mengandung karbonat.
Menghindari makanan dan minuman yang dapat menyebabkan dispepsia atau yang dapat menyebabkan penyakit tukak (makanan pedas, kafein, dan alkohol).
Meningkatkan asupan cairan dengan memperbanyak minum air putih.
4. Istirahat yang cukup. 5. Aerobik latihan beban dan olahraga dapat mencegah hilangnya masa tulang dan mengurangi jatuh dan fraktur. 6. Mengurangi stress, merokok, dan penggunaan NSAID. 7. Dianjurkan kepada pasien dan keluarga pasien untuk selalu berhati-hati dan jangan sampai terjatuh. 8. Diminta untuk selalu menjaga berat badan. 9. Edukasi pasien tentang penyakit dan pengobatan untuk meningkatkan compliance pasien. compliance pasien.
BAB III PENUTUP KESIMPULAN
Pada kasus, pasien mengalami rheumatoid arthritis, arthritis, osteoporosis, dan PUD serta mempunyai riwayat keluarga bahwa ibunya menderita kanker payudara. Terapi yang direkomendasikan direkomendasikan pada pasien meliputi : 1. Rheumatoid arthritis a. Nonfarmakologis : istirahat, terapi fisik, aplikasi dingin/panas, edukasi pasien. b. Farmakologis : Sulcolon®, Celebrex® 2. Osteoporosis a. Nonfarmakologis : diet, berhenti merokok, merokok, olahraga. b. Farmakologis : Licokalk Plus ® 3. PUD Nonfarmakologis : mengurangi stress, merokok, dan penghentian NSAID, dan diet.
DAFTAR PUSTAKA
1. Silman AJ, Hochberg MC. Descriptive epidemiology of Rematoid arthritis. Dalam: Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH (eds). Rematoid Arthritis. Mosby: Philadelphia. 2009; 1522. 2. Tobon GJ, Youinou P, Saraux A. The environment, geo-epidemiology, and autoimmune disease: Rematoid arthritis. J Autoimmun 2010; 35(1): 10-4. 3. Kalim H. Pengembangan reumatologi dalam menjawab tantangan masalah kesehatan pada pembangunan jangka panjang tahap II. Pidato pengukuhan. 1994 : 4-6. 4. Tunggal, N. 2012, http://health.kompas.com/read/2012/05/02/04362740/Senjata. Biologi.Melawan.Artritis.. Biologi.Melawan.Artritis 5. American College of Rheumatology Ad Hoc Commitie on Clinical Guidelines. Guidelines for the management of Rematoid arthritis. Arthritis Rheum 1996; 39: 713 – 31. 31. 6. American College of Rheumatology Subcommittee on Rematoid Arthritis Guidelines. Guidelines for the Management of Rematoid Arthritis 2002 Update. Arthrits Rheum 2002; 46: 328-46. 7. Yazici Y, Simsek I. Treatmen opinion for rematoid arthritis beyoun TNFa-inhibitor. Expert Rev Clin Pharmacol. 2010; 3(5): 663-66. 8. Sokka T, Abelson B, Pincus T. Mortality in Rematoid arthritis; 2008 update. Clin Exp Rheumatol 2008; 26(5 Suppl 51): S35-S36. 9. Yazici Y, Sokka T, Kautiainen H, Swearingen C, Kulman I, Pincus T. Longterm safety of methotrexate in routine clinical care: discontinuation is unusual and rarely due to leboatory abnormalities. Ann Rheum Dis 2005; 64: 207-11. 10. American College of Rheumatology. 2012. Osteoarthritis. Lake Boulevard NE, Atlanta. 11. Pollard, L., Choy, E.H., Scott, D.L., 2005, The Consequences of Rheumatoid Arthritis: Quality of Life Measures in The Individual Patient, Clinical Experimental Rheumatology, 23:S42-S52. 12. Arthritis Foundation, 2008, News from Arthritis Foundation, http://www.arthritis.org/files/images/newsroom/mediakits/Rheumatoid_Ar thritis_Fact_Sheet.pdf . 13. Chen, T., Li, L., & Kochen, M.M., 2005, A Systematic Review: How to Choose Appropriate Health-Related Quality of Life (HRQOL) Measures in Routine General Practice, Journal of Zhejiang University - SCIENCE B, 6:936-940. 14. Gordon, N. F. 2002. Radang Sendi. Jakarta: PT Raja Grafindo. 15. Elizabeth J. Corwin. (2009). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media
16. Buffer
(2010).
Rheumatoid
Arthritis.
Tersedia
http://www.rheumatoid_arthritis.net/dowload.doc 17. Anonim, 2009 1, Recommendations For the Diagnosis and Management of Early Rheumatoid Arthritis, Arthritis , The Royal Australian College of General Practitioners. 18. Anonim, 2009 2, Rheumatoid Arthritis, Arthritis, http://www.mayoclinic.com/health/rheumatoidarthritis/DS00020/DSECTION=treatments-and-drugs,, 14 Oktober 2011. arthritis/DS00020/DSECTION=treatments-and-drugs 2008. Rheumatoid Arthritis. Arthritis.http://www.totalkesehatananda.com 19. Anonim. 2008. Rheumatoid 20. Darmawan J, Muirden KD, Valkenburg, Wigley RD. The epidemiology of rheumatoid arthritis in Indonesia. Rheumatology. 1993;32(7):537-40. 1993;32(7):537-40. 21. Rizasyah, D. 1997. Diagnosis 1997. Diagnosis dan Penatalaksanaan Arthritis Rheumatoid . Staf Sub Bagian Reumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 22. Schuna, A. A., in Rheumatoid Arthritis, Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C. Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, Pose y, L.M., (Eds), 2008, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Pathophysiologic Approach, Approach , seventh Edition, 15051515, McGraw Hill, Medical Publishing Division, New York. 23. Shiel Jr, W. C., 2011, Rheumatoid 2011, Rheumatoid Arthritis, Arthritis, http://www.emedicinehealth.com/rheumatoid_arthritis/article_em.htm,, 10 http://www.emedicinehealth.com/rheumatoid_arthritis/article_em.htm Oktober 2011. 24. Temprano, K, 2011, Rheumatoid 2011, Rheumatoid Arthritis, Arthritis , http://emedicine.medscape.com/article/331715-overview#aw2aab6b2b6aa,, http://emedicine.medscape.com/article/331715-overview#aw2aab6b2b6aa 10 Oktober 2011. 25. Widowati, U. 2010. Bukan 2010. Bukan Nyeri Biasa. Biasa. Koran Tempo 1 November 2010.