Suku korowai Suku ini berada di pedalaman papua, berpopulasi 3000 orang, bertempat tinggal di atas pohon yang biasa disebut dengan rumah tinggi, beberapa rumah bahkan mencapai ketinggian 50 m, dan uniknya suku ini adalah salah satu suku pedalaman papua yang tidak menggunakan koteka dalam kesehariannya, mereka memiliki keterampilan
hidup
tersendiri
seperti
memburu
dan
mengumpulkan makanan, dan sampai pada tahun 1975 bahkan suku ini masih tidak mengetahui adanya kehidupan luar, sehingga mereka masih menganggap di bumi hanya ada suku mereka saja, dan mereka tinggal terpisah antara laki laki dengan wanita. Kontak pertama masyarakat korowai yang di rekam/di catat adalah dengan seorang missionaris dari luar yang menyebarkan agama Kristen pada tahun 1978, dan setelah kontak itu pada tahun 1980 mulai di bangun gererja dan klinik dan sekolah dipedalaman tempat itu, namun tidak berjalan. Suku ini tinggal di bagian hilir sungai, dan tinggal di tempat berbukit, mereka masih hidup dalam kelompok kelompok, dan sangat mandiri dengan kelompoknya, dan tidak bergantung orang dari luar sukunya, bahkan mereka masih membuat kapak sendiri dari batu, saat ini mereka bertahan hidup dengan cara berburu dan berkebun, namun ada juga beberapa dari mereka yang sudah di pekerjakan untuk menjadi
pemandu wisata dan juga pengemudi perahu untuk masuk ke desa mereka, suku ini hidup terisolasi dari keramaian, dan rumah tinggi yang tadi dibangun, dipercaya mereka selain untuk menghindari bencana alam dan melindungi diri dari hewan buas, rumah tinggi ini dipercaya dapat menjauhkan mereka dari roh jahat. Dan untuk waktu yang sangat lama mereka sangat tahan terhadap konversi agama, hingga tahun 1990-an baru mereka di baptis. Bahkan sebelum menempati rumah mereka, mereka terlebih dahulu melakukan semacam ritual untuk mengusir roh jahat yang ada, setiap keluarga mereka memiliki kebun sagu, dan hanya anjing dan babi yang diperlihara oleh suku ini, hal ini dikarenakan babi memiliki nilai social yang tinggi dan hanya dibunuh saat ada ritual ritual tertentu, sedangkan anjing merupakan hewan peliharaan
yang
di
manfaatkan
untuk
membantu
mereka
berburu.Untuk memancing masyarakat masih menggunakan busur dan panah. Mereka masih mengenal ada pesta sagu, dimana ritual ini dilakukan untuk merayakan yang kelahiran, kematian, dan perkawinan. Setiap rumah tangga, terdiri dari seorang kepala keluarga, satu atau lebih istri dan anak-anak yang belum menikah. Jika ayahnya meninggal, ibu dan anak-anak yang belum menikah akan menjadi milik keluarga ayah. Didalam keluarga, orang tua mengajar anak-anak segala aturan dan hal tabu. Seorang gadis muda akan aktif terlibat dalam
semua peran ketika dinilai cukup umur. Setelah menikah, gadis dianggap sebagai wanita dewasa. Sementara, anak laki-laki belajar tentang cara berburu dan membuat rumah semenjak usia 15 tahun. Selama periode ini, para bocah diajarkan juga pengetahuan khusus, asal usul kehidupan dan cara bertahan hidup. Korowai percaya bahwa alam semesta dipenuhi dengan makhluk spiritual yang berbahaya. mereka juga meyakini, roh orang yang meninggal akan berkeliaran di sekitar rumah pohon untuk beberapa waktu. Di masa lalu pernah terjadi konflik yang dipicu oleh adanya ilmu sihir, penyihir dalam masyarakat korowai biasa disebut dengan Khakhua (penyihir), dan ada ritual khusus dalam menghukum orang orang seperti ini, yaitu mereka akan melakukan kanibalisme, mereka akan membunuh orang tersebut dan akan memakan orang tersebut, dan juga mereka akan membagikan makanan tersebut kepada masyarakat mereka, dan kanibalisme ini masih terjadi sampai saat ini, namun mereka tidak melakukannya setiap hari. Namun biasanya konflik antar golongan akan terjadi dalam waktu yang cukup lama setelah terjadinya ritual kanibalisme ini, dan selain itu ada juga pernikahan yang menjadi sumber konflik karena ketika wanita di aniaya, maka kelompok mereka akan cenderung menyimpan dendam. Dan kanibal ini di anggap tidak tabu oleh masyarakat, karna hampir semua mereka pernah memakan daging manusia.
Suku Bugis Berada di Sulawesi bagian selatan, suku ini pada umumnya memiliki mata pencaharian nelayan dan pedagang. Sehingga banyak dari orang bugil suka merantau dan bertahan dengan membuka usaha dan berdagang di luar Sulawesi. Masyarakat bugis masih menggunakan karya sastra mereka yaitu Sure Galigo sebagai pembentukan awal peradaban bugis pada umumnya, yang berisikan tentang silsilah keluarga bangsawan, serta nasihat nasihat yang ada di dalamnya sebagai penuntun dalam kehidupan ini, dimana isinya cenderung mengatur pada norma sosial, tentang bagaimana berhubungan dengan sesama, baik yang berlaku pada masyarakat setempat, maupun bila orang bugis pergi merantau di negeri orang. Pada dahulu kehidupan masyarakat bugis mengacu kepada kehidupan dewa dewa yang mereka yakini dahulu, sehingga dahulu masih ada upacara turun-upacara penyajian kepada leluhur, sesaji kepada penguasa laut, sesaji pada pohon yang di anggap keramat, dan kepada roh roh setempat menunjukan bahwa yang di anut pada masyarakat tradisional waktu itu adalah kepercayaan kepada pendahulu pendahulu mereka. Namun setelah islam masuk ke bugis, maka terjadi perubahan system kepercayaan, dimana smua upacara dan sesajian di tinggalkan semua, dan
pengaruh islam ini sangat kuat dalam budaya masyarakat bugis bahkan sampai sekarang, dan budaya bugis sudah berubah menjadi ke arah islamiah seperti aqiqah Budaya siri‘ yang seharusnya dipegang teguh dan ditegakkan dalam nilai –nilai positif, kini sudah pudar. Dalam kehidupan manusia Bugis –Makassar, siri‘ merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi selain siri‘. Bagi Manusia Bugis-Makassar, siri‘ adalah jiwa mereka, harga diri mereka, dan martabat mereka. Sebab itu, untuk menegakkan dan membela siri‘ yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis-Makassar bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri‘ dalam kehidupan mereka.(Hamid Abdullah, Manusia BugisMakassar .37). Di zaman ini, siri‘ tidak lagi diartikan sebagai sesuatu yang berharga dan harus dipertahankan. Pada prakteknya siri‘ dijadikan suatu legitimasi dalam melakukan tindakan–tindakan yang anarkis, kekerasan, dan tidak bertanggung jawab. Padahal nilai siri‘ adalah nilai sakral masyarakat bugis, budaya siri‘ h arus dipertahankan pada koridor ade‘ (adat) dan ajaran agama Islam dalam mengamalkannya.
SUMBER 1. http://artnculture.ilmci.com/935/adat-dan-kebudayaan-sukubugis.aspx 2. http://usdkexpats.org/theory/hofstedes-cultural-dimensions 3. http://www.jeratpapua.org/2015/03/29/mengenal-sukukorowai-di-selatan-papua/
Alvin gus A.W
(1406600634)
Giri Bayuaji
(1406558765)
Lius Lisanyoto
(1406577801)
M Sultan Nurriza (1406558771)