LAPORAN KASUS “STEMI INFERIOR KILLIP II”
Pembimbing : dr. Henry Panjaitan, Sp.JP Disusun oleh : Miduk Persada Panjaitan
17010032
DEPARTEMEN KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR MURNI TEGUH MEMORIAL HOSPITAL FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN 2018
1
BAB I PENDAHULUAN
Infark miokard adalah penyebab kematian tertinggi di dunia baik pada pria ataupun wanita di seluruh dunia. 1 Infark miokard akut merupakan
suatu
peristiwa
besar
kardiovaskuler
yang
dapat
mengakibatkan besarnya morbiditas dan angka kematian. 2 Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap paling sering di negara maju.1 World Health Organization (WHO) Organization (WHO) menyatakan bahwa pada tahun 2012 sekitar 16,7 juta penduduk seluruh dunia meninggal saat ini karena penyakit kardiovaskuler lebih banyak menyebabkan kematian dari pada penyakit lainnya.3 Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu penyakit kardiovaskuler terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit negara-negara industri. Infark miokard adalah kematian sel miokard akibat iskemia yang berkepanjangan. 4 Menurut WHO, infark miokard diklasifikasikan berdasarkan dari gejala, kelainan gambaran EKG, dan enzim jantung. Infark miokard dapat dibedakan menjadi infark miokard dengan elevasi gelombang ST (STEMI) dan infark miokard tanpa elevasi gelombang ST (NSTEMI). 5 ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu spektrum sindroma koroner akut (SKA) yang paling berat. Pada pasien STEMI, terjadi penurunan aliran darah koroner secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya.4 Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler. Injuri vaskuler dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.6 Karakteristik gejala iskemia miokard yang berhubungan dengan elevasi gelombang ST persisten yang dilihat berdasarkan EKG dapat menentukan terjadinya STEMI Laju mortalitas awal (30 hari) pada penderita infark miokard akut mencapai 30% dengan lebih dari separuh
2
kematian terjadi sebelum penderita infark miokard mencapai rumah sakit. Infark miokard akut dengan ST-elevasi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Namun, setelah adanya pelayanan CCU (Coronary Care Unit), angka kematian turun menjadi 20% dan setelah penggunaan terapi trombolitik dapat menurunkan angka kematian menjadi 10% .4 Penyakit kardiovaskuler di Amerika Serikat pada tahun 2005, mengakibatkan 864.500 kematian atau 35,3% dari seluruh kematian pada tahun itu, dan 151.000 kematian akibat infark miokard. Sebanyak 715.000 orang di Amerika Serikat diperkirakan menderita infark miokard pada tahun 2012. 7 Sebanyak 478.000 pasien di Indonesia terdiagnosis penyakit jantung koroner menurut Departemen Kesehatan pada tahun 2013. Prevalensi infark miokard akut dengan ST-elevasi saat ini meningkat dari 25% ke 40%. 8
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
DEFINISI
Miokard infrak adalah kejadian oklusi mendadak di arteri koroner epikardial dengan gambaran EKG elevasi segmen ST. Kerusakan miokard yang terjadi tergantung pada letak dan lamanya sumbatan alirandarah, ada atau
tidaknya
kolateral,
serta
luas
wilayah
miokard
yang
diperdarahi pembuluh darah yang tersumbat STEMI (ST Elevasi Myocard Infarction) merupakan bagian dari sindrom koroner akut yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST. STEMI terjadi karena oklusi total pembuluh darah koroner yang tiba-tiba. 3 Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. 9 Klinis sangat mencemaskan karena sering berupa serangan mendadak umumya pada pria 35-55 tahun, tanpa gejala pendahuluan.10 2.2
ETIOLOGI
Berdasarkan etiologi yang mendasarinya, infark miokard dibagi menjadi lima tipe menurut persatuan persat uan dari ESC/ACCF/AHA/WHF, yaitu 11
Tipe 1 (Infark miokard spontan) Hal ini berhubungan dengan rupturnya plak aterosklerotik, ulserasi, fisura, erosi, atau diseksi dengan trombus intraluminal pada satu atau lebih arteri koroner, yang menyebabkan penurunan aliran darah miokard atau emboli trombosit distal sehingga menyebabkan nekrosis miosit. Pasien dapat saja didasari dengan penyakit obstruksi arteri koroner.
Tipe 2 (Infark miokard sekunder akibat ketidakseimbangan iskemik) Infark miokard ini dapat disebabkan akibat peningkatan kebutuhan oksigen atau berkurangnya suplai oksigen. (misalnya disfungsi endotel
4
koroner, spasme arteri koroner, emboli pada arteri koroner, takiaritmia, bradiaritmia, anemia, gagal napas, hipertensi, atau hipotensi.
Tipe 3 (Infark miokard yang menyebabkan kematian dengan nilai biomarker jantung tidak tersedia) Kematian jantung terjadi mendadak dan tidak terduga sebelum sampel darah untuk biomarker dapat diambil atau sebelum kemunculannya dalam sirkulasi.
Tipe 4a (Infark Miokard terkait dengan Percutaneous Coronary Intervention (PCI)) (PCI)) Infark miokard yang terjadi dengan peningkatan nilai biomarker jantung lebih dari 5 kali dari nilai normal atau peningkatan lebih dari 20%. Selain itu juga diikuti dengan salah satu dari gejala berikut (1) gejala yang menunjukkan iskemia miokard, (2) perubahan EKG iskemik yang baru atau Bandle Branch Block (BBB) yang baru, (3) hilangnya patensi angiografi dari arteri koroner utama atau atau bagian dari percabangannya, atau aliran lambat yang persisten, atau tidak ada aliran, atau embolisasi, (4) hilangnya kemampuan miokardium yang baru atau kelainan dinding regional yang baru dengan pencitraan jantung.
Tipe 4b (Infark Miokard terkait dengan trombosis stent) Hal ini terdeteksi dengan angiografi koroner atau otopsi dalam pengaturan iskemia miokard dengan kombinasi peningkatan atau penurunan nilai biomarker jantung, yang sedikitnya lebih tinggi satu nilai dari persentil ke-99.
Tipe 5 (Infark Miokard terkait dengan Coronary Artery Bypass Grafting (CABG)) (CABG) ) Hal ini dilihat dari peningkatan nilai biomarker biomarker
jantung yang
meningkat (lebih dari 10 kali dari persentil ke-99) dengan nilai troponin dasar T yang normal. Selain itu, (1) gelombang Q patologis atau BBB yang baru, (2) Graft baru atau oklusi pada arteri koroner
5
yang asli, yang didokumentasikan secara angiografi, (3) bukti dari baru hilangnya kemampuan miokardium atau abnormalitas gerakan dinding regional yang harus terlihat dari pencitraan jantung. 11
2.3
FAKTOR RISIKO 12,13
Ada dua faktor risiko terjadinya infark miokard akut yaitu : 1. Faktor yang tidak dapat diubah atau tidak dapat dimodifikasi lagi. 1) Usia
Meningkatnya usia seseorang akan meningkatkan risiko terjadinya serangan infark miokard akut. Peningkatan umur berpengaruh pada peningkatan tekanan darah karena menurunnya fungsi organ tubuh, terutama jantung dan pembuluh darah sehingga memungkinkan terjadinya hipertensi. 2) Jenis Kelamin
Pada laki-laki tekanan darah tampaknya mulai naik antara usia 35 tahun dan wanita pada usia 50 tahun, biasanya pada wanita belum terjadi naik sampai setelah menopause. Namun setelah menopause risiko terjadinya serangan jantung pada wanita meningkat. Hal ini dikarenakan hormon seks testosteron,estrogen, dan progesteron dibuat dari kolesterol. Sehingga jika hormon seks berhenti dibuat maka akan terjadi penumpukan kolesterol. 3) Genetik
Peranan faktor genetik terhadap timbulnya serangan infark miokard akut adalah genetik tekanan darah tinggi atau diabetes. Selain itu kesamaan gaya hidup keluarga juga menentukan. Misalnya makan makanan yang sama dan jika orang tua merokok anak biasanya juga merokok. 2. Faktor yang dapat diubah atau dimodifikasi 1) Hipertensi
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, sehingga beban
6
kerja jantung bertambah. Sebagai akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan kontraksi, hipertrofi kompensasi menyebabkan terjadinya dilatasi dan payah jantung. Bila poses aterosklerosis terjadi, maka penyedia anoksigen untuk miokard berkurang. Tingginya kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen yang tersedia. Hal ini meningkatkan kemungkinan terjadinya angina atau infark miokard akut. 2) Kolesterol Tinggi
Tingkat kolesterol digolongkan dua macam unsur yaitu LDL(Lowdensity lipoprotein) dan HDL (High-density lipoprotein). LDL adalah kolesterol jahat yang menempel di dinding pembuluh darah yang akan membentuk fibrous cap. Ateroma adalah penyebab utama penyakit jantung khususnya karena terbentuknya aliran darah dalam pembuluh darah. 3) Obesitas
Obesitas meningkatkan risiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar 25-49% penyakit jantung koroner dinegara berkembang berhubungan dengan peningkatan indeks masa tubuh (IMT) Overweight dengan IMT >25-30 kg/m 2 Dan obesitas dengan IMT > 30 kg/m2. Obesitas sentral adalah obesitas dengan kelebihan lemak berada di abdomen. Biasanya keadaan ini juga berhubungan dengan kelainan metabolik seperti peninggian kadar trigliserida, penurunan HDL,
peningkatan
tekanan
darah,
inflamasi
sistemik, resistensi insulin dan diabetes mellitus tipe II. 4) Diabetes Mellitus
Penderita diabetes cenderung memiliki prevalensi, prematuritas, dan keparahan aterosklerosis koroner yang lebih tinggi. Diabetes melitus menginduksi hiperkolesterolemia dan secara bermakna meningkatkan kemungkinan timbulnya aterosklerosis. Diabetes melitus juga berkaitan dengan proliferasi sel otot polos dalam
7
pembuluh darah arteri koroner; sintesis kolesterol, trigliserida, dan fosfolipid; peningkatan kadar LDL-C; dan kadar HDL-C yang rendah. Aterosklerosis dapat menyebabkan emboli yang kemudian menyumbat dan terjadi iskemik pada jantung, sehingga perfusi ke otot jantung menurun. Pada penderita DM juga mengalami penurunan penggunaan insulin dan peningkatan glukogenesis, sehingga terjadi hiperosmolar sehingga aliran darah lambat, maka perfusi otot jantung menurun sehingga terjadi kegagalan jantung dalam kontraksi. 5) Merokok
Merokok meningkatkan risiko terkena penyakit jantung koroner sebesar 50%. Seorang perokok pasif mempunyai risiko terkena infark miokard. Kandungan nikotin dalam rokok dapat menggangu sistem saraf simpatis dengan akibat meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Nikotin juga merangsang pelepasan adrenalin, meningkatnya frekuensi denyut jantung, tekanan darah, serta menyebabkan
gangguan
irama
jantung.
menyebabkan
desaturasi
hemoglobin,
Karbon
monoksida
menurunkan
langsung
persediaan oksigen untuk jaringan diseluruh tubuh termasuk miokard. Hal ini juga menyebabkan mempercepat pembentukan aterosklerosis. Nikotin, CO dan bahan-bahan lain dalam rokok juga terbukti merusak endotel pembuluh darah dan mempermudah timbulnya penggumpalan darah. 6) Psikososial
Faktor
psikososial seperti peningkatan stress kerja, rendahnya
dukungan sosial, personalitas yang tidak simpatis, anxietas dan depresi
secara
konsisten
meningkatkan
risiko
terkena
aterosklerosis.
8
2.3
PATOFISIOLOGI13,14
Kejadian
infark
miokard
diawali
dengan
terbentuknya
aterosklerosis kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit aterosklerosis ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque di dalam dinding arteri. Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam lumen, sehingga diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu aliran darah kedistal dari tempat penyumbatan terjadi. Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus tipe II, hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan injury bagi sel endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti nitric oxide, yang berkerja sebagai vasodilator, anti-trombotik dan anti proliferasi. Sebaliknya,disfungsi endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1,dan angiotensin II
yang berperan dalam
migrasi dan pertumbuhan sel. Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi. Kemudian leukosit bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi makrofag. Di sini makrofag berperan sebagai pembersih dan bekerja mengeliminasi kolesterol LDL. Sel makrofag yang terpajan dengan kolesterol
LDL
teroksidasi
disebut
sel
busa
(foam
cell).
Faktor pertumbuhan dan trombosit menyebabkan migrasi otot polos dari tunika media kedalam tunika intima dan proliferasi matriks. Proses ini mengubah bercak lemak menjadi
ateroma
matur. Lapisan fibrosa
menutupi ateroma matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan trombosit ke tepian ateroma yang kasa rmenyebabkan terbentuknya trombosis. Ulserasi atau
ruptur mendadak lapisan fibrosa
atau perdarahan yang terjadi dalam ateroma menyebabkan oklusi arteri. Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh formasi plak. Kejadian tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan obstruksi, menurunkan aliran darah koroner, dan menyebabkan
9
manifestasiklinis infark miokard. Lokasi obstruksi berpengaruh terhadap kuantitas iskemia miokard dan keparahan manifestasi
klinis penyakit.
Oleh sebab itu, obstruksi kritis pada arteri koroner kiri atau arteri koroner desendens kiri berbahaya. Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan miokard menurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis, biokimia dan elektrikal miokard. Perfusi yang buruk ke subendokard jantung menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya. Perkembangan cepat iskemiayang disebabkan oklusi total atau subtotal arteri koroner berhubungan dengan kegagalan otot jantung berkontraksi dan berelaksasi. Selama
kejadian
iskemia,
terjadi
beragam
abnormalitas
metabolisme, fungsi dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan glukosa menjadikarbon dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel menurun.Keadaaan ini mengganggu stabilitas membran sel. Gangguan fungsi membran sel menyebabkan kebocoran kanal K+ dan ambilan Na+ oleh monosit. Keparahan dandurasi dari ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel (<20 menit) atau ireversibel (>20menit). Iskemia yangi reversibel berakhir pada infark miokard . Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI).
Perkembangan perlahan
menimbulkan STEMIkarena dalam
dari
stenosis
koroner
tidak
rentang waktu tersebut dapat
terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain
STEMI hanya
terjadi jika arteri koroner tersumbat cepat. Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak. Erosi dan ruptur plak ateroma menimbulkan ketidak seimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. Pada
10
Non STEMI, trombus yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri koroner. Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial (nontransmural). Infark miokard transmural disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang terjadi cepatyaitu dalam beberapa jam hingga minimal 6-8 jam. Semua otot jantung yang terlibat mengalami nekrosis dalam waktu yang bersamaan. Infark miokard subendokardial terjadi hanya di sebagian miokard dan terdiri dari bagian nekrosis yang telah terjadi pada waktu berbeda-beda. 2.4
TANDA DAN GEJALA5,15
Tanda dan gejala infark miokard ( TRIAS ) adalah :
1. Nyeri :
Nyeri dada yang terjadi secara mendadak dan terus-menerus tidak mereda, biasanya diatas region sternal bawah dan abdomen bagian atas, ini merupakangejala utama.
Keparahan nyeri dapat meningkat secaara menetap sampai nyeri tidak tertahankan lagi.
Nyeri tersebut sangat sakit, seperti tertusuk-tusuk yang dapat menjalar ke bahu dan terus ke bawah menuju lengan (biasanya lengan kiri).
Nyeri mulai secara spontan (tidak terjadi setelah kegiatan atau gangguan emosional), menetap selama beberapa jam atau hari, dan tidak hilang dengan bantuan istirahat atau nitrogliserin (NTG).
Nyeri dapat menjalar ke arah rahang dan leher.
Nyeri sering disertai dengan sesak nafas, pucat, dingin, diaforesis berat, pening atau kepala terasa melayang dan mual muntah.
Pasien dengan diabetes melitus tidak akan mengalami nyeri yang hebat karena neuropati yang menyertai diabetes dapat mengganggu neuroreseptor (mengumpulka pengalaman nyeri).
11
2. Laboratori um Pemeriksaan Enzim jantung :
CPK-MB/CPK Isoenzim yang ditemukan pada otot jantung meningkat antara 4-6 jam, memuncak dalam 12-24 jam, kembali normal dalam 36-48 jam.
LDH/HBDH Meningkat dalam 12-24 jam dan memakan waktu lama untuk kembali normal
AST/SGOT Meningkat ( kurang nyata/khusus ) terjadi dalam 6-12 jam, memuncak dalam24 jam, kembali normal dalam 3 atau 4 hari.
3. E KG ( Elektrokardiogram) Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal non diagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali. Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T. Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen
12
ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥ 0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia. Tabel 1. Lokasi Perubahan gambaran EKG Sadapan dengan Deviasi Segmen ST Lokasi Iskemia atau Infark
V1-V4
Anterior
V5-V6, I, aVL
Lateral
II, III, aVF
Inferior
V7-V9
Posterior
V3R, V4R
Ventrikel kanan
13
2.5.
DIAGNOSIS BANDING STEMI16 A. SERING
SKA (biasanya besar dan lebar, disertai nyeri dada dan gejala kardiovaskular lainnya.
Hipertrofi ventrikel kiri
Repolarisasi dini jinak
LBBB (left bundle branch block)
Perikarditis akut
Aneurisme ventrikel
Hiperkalemia
B. JARANG
2.6
Miokarditis akut
Angina Prinzmetal/spasme koroner
Sindroma Brugada
Perdarahan subarknoid
Hipotermia
PEMERIKSAAN PENUNJANG 5 EKG
Untuk mengetahui fungsi jantung : T. Inverted, ST depresi, Q. Patologis Enzim Jantung.
CPKMB, LDH, AST Elektrolit.
Ketidakseimbangan
dapat
mempengaruhi
konduksi
dan
kontraktilitas,missal hipokalemi, hiperkalemi Sel darah putih
Leukosit ( 10.000 – 20.000 ) biasanya tampak pada hari ke-2 setelah IMA berhubungan dengan proses inflamasi
14
GDA
Dapat menunjukkan hypoksia atau proses penyakit paru akut atau kronis. Kolesterol atau Trigliserida serum
Meningkat, menunjukkan arteriosclerosis sebagai penyebab AMI. Foto dada
Mungkin normal atau menunjukkan pembesaran jantung diduga GJK atau aneurisma ventrikuler. Ekokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau dinding ventrikuler dan konfigurasi atau fungsi kat up. Angiografi koroner
Menggambarkan penyempitan atau sumbatan arteri koroner. Biasanyadilakukan sehubungan dengan pengukuran tekanan serambi dan mengkaji fungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi). Prosedur tidak selalu dilakukan pada fase
AMI
kecuali
mendekati bedah jantung angioplasty atau emergensi. Digital subtraksion angiografi (PSA) Nuklear Magnetic Resonance (NMR)
Memungkinkan visualisasi aliran darah, serambi jantung atau katup ventrikel, lesi vaskuler, pembentukan plak, area nekrosis atau infark dan bekuan darah. Tes stress olah raga
Menentukan respon kardiovaskuler terhadap aktifitas atau sering dilakukan sehubungan dengan pencitraan talium pada fase penyembuhan.
15
2.6
DIAGNOSIS5
Diagnosis IMA ditegakkan bila didapatkan dua atau lebihdari 3 kriteria, yaitu a. Adanya nyeri dada
Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan pemberiannitrat biasa. b. Perubahan elektrokardiografi (EKG) 17 Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard infark akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner menunjukkan elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG berupa elevasi segmen ST akan berkembang menjadi gelombang Q. Sebagian kecil berkembang menjadi gelombang non-Q. Ketika trombus tidak menyebabkan oklusi total, maka tidak terjadi elevasi segmen ST. Pasien dengan gambaran EKG tanpa elevasisegmen ST digolongkan ke dalam unstable angina atau Non STEMI.
16
Gambar 1. Evolusi Perubahan Gambaran EKG STEMI ke Infark Miokard5, 15,16 Gambaran EKG pada angina tidak stabil dan NSTEMI
Pada gambaran EKG normal, gelombang T biasanya positif pada sadapan (lead) I, II, dan V3 sampai dengan V6; terbalik pada sadapan aVR; bervariasi pada sadapan III, aVF, aVL, dan V1; jarang didapatkan terbalik pada V2. Jika terjadi iskemia, gelombang T menjadi terbalik (inversi), simetris, dan biasanya bersifat sementara (saat pasien simptomatik). Bila pada kasus ini tidak didapatkan kerusakan miokardium, sesuai dengan peme-riksaan CK-MB (creatine kinase-myoglobin) maupun troponin yang tetap normal, diag-nosisnya adalah angina tidak stabil. Namun, jika inversi gelombang T menetap, biasanya didapatkan kenaikan kadar troponin, dan diagnosisnya menjadi NSTEMI. Angina tidak stabil dan NSTEMI disebabkan oleh trombus non-oklusif, oklusi ringan (dapat mengalami reperfusi spontan), atau oklusi yang dapat dikompensasi oleh sirkulasi kolateral yang baik.
Gambaran khas berupa depresi segmen ST lebih dari 0,5 mm (0,05 mV) pada dua atau lebih sadapan yang bersesuaian atau inversi gelombang T yang dalam dan simetris. Morfologi depresi segmen ST biasanya datar 17
atau downsloping. Gambaran depresi seg-men ST pada angina tidak stabil atau NSTEMI bersifat sesaat (transient) dan dinamis.
Gambar 2. Depresi Segmen ST Gambaran EKG pada STEMI
Selama terjadi STEMI, dapat diamati karak-teristik perubahan morfologi EKG yang berbeda-beda dalam jangka waktu tertentu, di antaranya adalah:
Gambar 3. Perubahan morfologi segmen ST dan gelombang pada SKA 1. Gelombang T hiperakut
Pada periode awal terjadinya STEMI, bisa didapatkan adanya gelombang T prominen. Gelombang T prominen itu disebut gelombang T hiper akut, yaitu gelombang T yang tingginya lebih dari 6 mm pada sadapan ekstremitas dan lebih dari 10 mm pada sadapan prekordial. Gelombang T hiperakut ini merupakan tanda sugestif untuk STEMI dan terjadi dalam 30 menit setelah onset gejala. Namun, gelombang T prominen ini tidak selalu spesifik untuk iskemia. 2. Gambaran awal elevasi segmen ST
Jika oklusi terjadi dalam waktu lama dan de-rajatnya signifikan (menyumbat 90% lumen arteri koroner), gelombang T prominen akan diikuti dengan deviasi segmen ST. Elevasi segmen ST menggambarkan
18
adanya daerah miokardium yang berisiko mengalami kerusakan ireversibel menuju kematian sel (dapat diukur berdasarkan peningkatan
kadar
troponin) dan lokasinya melibatkan lapisan epikardial. Diagnosis STEMI ditegakkan jika didapatkan elevasi segmen ST minimal 0,1 mV (1 mm) pada sadapan ekstremitas dan lebih dari 0,2 mV (2 mm) pada sadapan prekordial di dua atau lebih sadapan yang ber-sesuaian. Elevasi segmen ST merupakan gambaran khas infark miokardium akut transmural, tetapi bisa ditemukan pula pada kelainan lain. Pada kebanyakan kasus, untuk membedakan STEMI dari kelainan lain biasa-nya tidak sulit, cukup dengan memperhatikan gambaran klinisnya. 3. Elevasi Segmen ST yang khas (berbentuk konveks)
Gelombang R mulai menghilang. Pada saat bersamaan, mulai terbentuk gelombang Q patologis. Gelombang Q patologis berhubungan dengan infark transmural yang disertai dengan adanya fibrosis pada seluruh dinding. Pada 75% pasien, elevasi segmen ST yang khas ini terbentuk dalam beberapa jam sampai beberapa hari. 4. Inversi gelombang T
Bila berlangsung lama dan tidak dilakukan reperfusi arteri koroner, elevasi segmen ST mulai menghilang kembali ke garis isoelek-trik. Bersamaan dengan itu, mulai timbul gambaran inversi gelombang T. Gelombang T dapat kembali normal dalam beberapa hari, minggu, atau bulan 5. Morfologi segmen ST kembali normal
Segmen ST biasanya stabil dalam 12 jam, kemudian mengalami resolusi sempurna setelah 72 jam. Elevasi segmen ST biasanya menghilang sempurna dalam 2 minggu pada 95% kasus infark miokardium inferior dan 40% kasus infark miokardium anterior. Elevasi segmen ST yang menetap setelah 2 minggu berhubungan dengan morbiditas yang lebih tinggi. Jika elevasi segmen ST menetap selama beberapa bulan, perlu dipikirkan kemungkinan adanya aneurisma ventrikel. Untuk menentukan lokasi iskemia atau infark miokard serta memprediksi pembuluh koroner mana yang terlibat, diperlukan dua atau lebih sadapan.
19
Infark tidak hanya terbatas pada satu daerah jantung saja. Sebagai contoh, jika terdapat perubahan pada sadapan V dan V (anterior) serta pada sadapan I, aVL, V , dan V (lateral), diag-nosisnya menjadi infark miokard antero-lateral. Tabel 2. Evolusi Gambaran EKG Iskemia Miokardium Evolusi Gambaran EKG Iskemia Miokardium Gelombang T
Memuncak
dalam
30
menit,
dan
kadang
masih
didapatkan setelah beberapa jam. Gelombang T menjadi terbalik ( inversi dengan referfusi spontan maupun terapi. Sering menjadi normal kembali dalam beberapa hari, minggu atau bulan. Kadang-kadang, kelainan gelombang T menetap. Segmen ST
Elevasi dalam beberapa menit sampai jam. Jika tidak dilakukan reperfusi secepatnya,biasanya menetap setelah 12
jam,
kadang-kadang
sampai
beberapa
hari.
Biasanyamenghilang dalam 2-3 minggu. Jika menetap setelah 3-4 minggu, perlu dicurigaiadanya aneurisma ventrikel.
Q Patologis
Berkembang dalam beberapa jam. Jika dilakukan reperfusi secepatnya, dapatmenghilang sempurna. Tanpa reperfusi, didapatkan persisten pada 70% kasus. Q patologis menggambarkan adanya kematian jaringan.
c. Laboratorium. 11,15,16
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau
troponin I/T
merupakan marka nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya 20
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T. Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedura. Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral. Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung (point of care testing) pada umumnya berupa tes kualitatif atau semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapI kurang sensitif. Point of care testing sebagai alat diagnostik rutin SKA hanya dianjurkan jika waktu pemeriksaan di laboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam. Jika marka jantung secara
21
point of care testing menunjukkan hasil negatif maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral. .
Gambar 4. Nilai Enzim-enzim biomarker jantung pada STEMI
2.7
PENATALAKSANAAN5,18
Tujuan tata laksana IMA adalah diagnosis cepat, mrnghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Dibagi menjadi 2 jenis yaitu : 1. Tatalaksana Awal 2. Tatalaksana Umum : Medikamentosa Revaskularisasi
a. TATALAKSANA AWAL 19
Tatalaksana pra-rumah sakit. Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik ( pump failure). Sebagian besar kematian di luar RS pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dala 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari 22
separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra-RS pada pasien yang dicurigai STEMI.
Penegnalan
gejala
oeh
pasien
dan
segera
mencari
pertoongan medis
Segera memanggil tim medis emegensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi
Transportasi
pasien
ke
RS
yang
memiliki
fasilitas
ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih
Melakukan terapi reperfusi Tatalaksana di IGD. Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang
dicurigai
STEMI
mencakup
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yng tepat di RS dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI
b. TATALAKSANA UMUM5, 15,20
Oksigen. Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri < 90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama. Nitrogiserin
(NTG).
Nitrogliserin
sublingual
dapat
diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan
oksigen
dengan
menurunkan
preload
dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NTG intravena. NTG IV juga dapat diberikan untuk mengendalikan hipertensi dan edema paru. Terapi nitrat harus
23
dihindarkan pada pasien dengan tensi sitolik < 90mmHg atau pasien yang menggunakan fosfodiesterase-5 inhibitor slidenafil dalam
24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek
hipotensi nitrat. Mengurangi/menghilangkan nyeri dada nyeri dada sangat penting, karena nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.
Morfin. Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana
nyeri
dada
pada
STEMI.
Morfin
diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulangi dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.
Apirin. Aspirin merupakan tatalaksana dasar paien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum SKA. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi aspirin buccal dengan dosis 160325 mg di UGD. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
Terapi
reperfusi.
Reperfusi
dini
akan
memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat
disfungsi
mengurangi
dan
dilatasi
kemungkinan
ventrikel
pasien
dan
STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna. Sasaran terapi reperfusi adalah door-to-needle time untuk memulai terapi fibronilitik dapat dicapai dalam 30 menit atau doorto-balloon time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.
24
Seleksi strategi reperfusi 3,5
Beberapa hal harus dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi, antara lain: 1. Waktu onset gejala Waktu onset untuk terapi fibrinolitik merupakan pre diktor penting luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam menghancurkan trombus sangat tergantung waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis menurunkan angka kematian. Sebaliknya,
kemampuan
memperbaiki
arteri
yang
mengalami infark menjadi paten, kurang lebih tergantung pada lama gejala pasien yang menjalani PCI. Beberapa laporan menunjukan tidak ada pengaruh keterlambatan waktu terhadap laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2-3 jam setelah gejala. 2. Risiko STEMI Beberapa model telah dikemangkan yang membantu dokter dalam menilai risiko mortalitas pada pasien STEMI. Jika, estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi, seperti pada pasien dengan syok kardiogenik, bukti klinis menunjukan strategi PCI lebih baik. 3. Risiko Perdarahan Pemilihan
terapi
reperfusi
juga
melibatkan
risiko
perdarahan pada pasien. Jika tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika tidak tersedia,
manfaat
terapi
reperfusi
farmakologis
harus
mempertimbangkan manfaat dan risiko.
25
4. Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi ke laboratorium PCI Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian menunjukan PCI lebih superior dari reperfusi farmakologis.
Jika composite end point
kematian, infark miokard rekuren nonfatal atau stroke dianalisis, superioritas PCI terutama dalam hal penurunan laju infark miokard nonfatal berulang.
Percutaneous Coronary I ntervention (PCI)20 Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti dan/atau stenting tanpa didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer lebih efektif dari pada fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yng tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan panjang yang kebh baik. Dibandingkan fibrinolisis, PCI lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien <75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada minimal 2 atau 3 jam jika bekuan darah
lebih matur dan jurang mudah hancur dengan obat
fibrinolisis. Namun, demikian PCI lebih mahal dan aplikasinya tervatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya dibeberapa RS.
26
Gambar 5. Stenosis dan yang sudah dilakukan stent.
27
Gambar 6. Langkah-langkah reperfusi
F ibri nolisis Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain:
tissue
plasminogen
activator
(tPA),
streptokinase,
tenekteplase (TNK) dan reteplase (rpA). Semua obat ini bekerja dengan cara memicu koversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisikan trombus fibrin. Terdapat 2 kelompok, yaitu:
28
golongan spesifik fibrin seperti tPA dan nonspesifik fibrin seperti streptokinase. Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3 ( menunjukan perfusi pembuluh yang mengalami infark dengan aliran normal, karena perfusi penuh pada arteri koroner yang terkena infark menunjukan hasil yang lebih baik dalam membatasi luasnya
infark,
mempertahankan
fungsi
ventrikel
kiri
dan
menurunkan laju mortalitas jangka pendek dan panjang. tPA dan aktivator plasminogen spesifik fibrin lain seperti rPA dan TNK lebih efektif daripada streptokinase dalam mengembalikan perfusi penuh, aliran koroner TIMI grade 3 dan memperbaiki survival sedikit lebih baik. 5.
Obat fibrinolitik Streptokinase (SK). Merupakan fibrinolitik nonspesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi sering ditemukan. Manfaat mecakup harganya yang murah dan insiden perdarahan intrakranial yang rendah. Tissue plasminogen activator (tPA,alteplase). GUSTO-1 trial menunjukan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapat tPA disbanding SK. Namun, harganya lebih mahal dari SK dan risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi. Reteplase (retavase). INJECT trial menunjukan efikasi dan keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO trial III, dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang. Tenekteplase (TNKase). Keuntungan mencakup memperbaiki spesifitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap PAI-1. Laporan awal dari TIMI 10 B menunjukkan TNKase memiliki laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan dengan tPA.
29
Tabel 3. Indikasi Kontra terapi fibrinolitik
TERAPI F ARMAKOLOGI S5,15,18 1. Antitrombotik Tujuan primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi trombosis. Aspirin merupakan antipletelet standar pada STEMI. Obat anti trombin standar yang digunakan dalam praktik klinis adalah unfractionated heprin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trpmbolitik spesifik fibrin membantu trombolisis dan menetapkan dan mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/g (maksium 4000 U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam ( maksimum 1000 U/jam). APTT selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.
30
Antikoagulan alternatif pada pasien STEMI adalah low-molecularweight heparin (LMWH). 2. Beta-Blocker Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi: yang terjadi segera bila obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder
setelah
infark.
Pemberian
penyekat
beta
akut
IV
memperbaiki keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius. Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk yang mendapat terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik atau riwayat asma). 3. Inhibitor ACE Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap moratlitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukan manfaat inhibitor ACE yang jelas. Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark inferior, riwayat infark sebelumnya dan/atau fungsi ventrikel kiri menurun global), namun bukti menunjukkan manfaat jangka pendek terjadi jika inhibitor ACE dberikan pada semua pasien dengan hemodinamik stabil pada STEMI (pasien dengan tekanan darah sistolik>100 mmHg). Mekanismenya melibatkan penurunan remodeling ventrikel pasca infark dengan penurunan risiko gagal jantung. Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark. Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada
31
pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan pencitraan menunjukan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif. Penelitian klinis dalam tatalaksana pasien gagal jantung termasuk data dari penelitian pada pasien STEMI menujukan bahwa ARB mungkin bermanfaat pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri menurun. 2.8
KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS KOMPLIKASI STEMI5,21
2.8.1 Gangguan hemodinamik a. Gagal Jantung
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi disfungsi miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan IKP atau trombolisis, perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi, namun
apabila
mikrovaskular,
terjadi
jejas
terutama
pada
transmural dinding
dan/atau
anterior,
obstruksi
dapat
terjadi
komplikasi akut berupa kegagalan pompa dengan remodeling patologis disertai tanda dan gejala klinis kegagalan jantung, yang dapat berakhir dengan gagal jantung kronik. Gagal jantung juga dapat terjadi sebagai konsekuensi dari aritmia yang berkelanjutan atau sebagai komplikasi mekanis. Diagnosis gagal jantung secara klinis pada fase akut dan subakut STEMI didasari oleh gejala-gejala khas seperti dispnea, tanda seperti sinus takikardi, suara jantung ketiga atau ronkhi pulmonal, dan bukti-bukti objektif disfungsi kardiak seperti dilatasi ventrikel kiri dan berkurangnya fraksi ejeksi. Peningkatan marka jantung seperti BNP dan N-terminal pro-BNP menandakan peningkatan stress dinding miokardium dan telah terbukti berperan dalam menentukan diagnosis, staging, perlunya rawat jalan atau pemulangan pasien dan mengenali pasien yang berisiko mengalami kejadian klinis yang tidak diharapkan.
32
Selain itu, nilai marka jantung tersebut dipengaruhi beberapa keadaan seperti hipertrofi ventrikel kiri, takikardia, iskemia, disfungsi ginjal, usia lanjut, obesitas dan pengobatan yang sedang dijalani. Sejauh ini belum ada nilai rujukan definitif pada pasien-pasien dengan tanda dan gejala gagal jantung setelah infark akut, dan nilai yang didapatkan perlu diinterpretasikan berdasarkan keadaan klinis pasien. Disfungsi ventrikel kiri merupakan satu-satunya prediktor terkuat untuk mortalitas setelah terjadinya STEMI. Mekanisme terjadinya disfungsi ventrikel kiri dalam fase akut mencakup hilangnya dan
remodeling
miokardium
akibat
infark,
disfungsi
iskemik
(stunning), aritmia atrial dan ventrikular serta disfungsi katup (baik yang sudah ada atau baru). Komorbiditas seperti infeksi, penyakit paru, gangguan ginjal, diabetes atau anemia seringkali menambah gejala yang terlihat secara klinis. b. Hipotensi
Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di bawah 90 mmHg. Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun dapat juga disebabkan oleh hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi mekanis. Bila berlanjut, hipotensi dapat menyebabkan gangguan ginjal, acute tubular necrosis dan berkurangnya urine output. c. Kongesti paru
Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronki basah paru di segmen basal, berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada Roentgen dada dan perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi vasodilator. d. Keadaan output rendah
Keadaan output rendah menggabungkan tanda perfusi perifer yang buruk dengan hipotensi, gangguan ginjal dan berkurangnya produksi urin. Ekokardiografi dapat menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang buruk, komplikasi mekanis atau infark ventrikel kanan.
33
e. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi dalam 6-10% kasus STEMI dan merupakan penyebab kematian utama, dengan laju mortalitas di rumah sakit mendekati 50%. Meskipun syok seringkali terjadi di fase awal setelah awitan infark miokard akut, ia biasanya tidak didiagnosis saat pasien pertama tiba di rumah sakit. Penelitian registry SHOCK (SHould we emergently revascularize Occluded coronaries for Cardiogenic shoCK) menunjukkan bahwa 50% syok kardiogenik terjadi dalam 6 jam dan 75% syok terjadi dalam 24 jam. Tanda dan gejala klinis syok kardiogenik yang dapat ditemukan beragam dan menentukan berat tidaknya syok serta berkaitan dengan luaran jangka pendek. Pasien biasanya datang dengan hipotensi, bukti output kardiak yang rendah (takikardia saat istirahat, perubahan status mental, oliguria, ekstremitas dingin) dan kongesti paru. Kriteria hemodinamik syok
kardiogenik
adalah
indeks
jantung
<2,2,
L/menit/m 2dan
peningkatan wedge pressure>18 mmHg. Selain itu, diuresis biasanya <20 mL/jam. Pasien juga dianggap menderita syok apabila agen inotropik intravena dan/atau IABP dibutuhkan untuk mempertahankan tekanan darah
sistolik >90 mmHg. Syok kardiogenik biasanya
dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri luas, namun juga dapat terjadi pada infark ventrikel kanan. Baik mortalitas jangka pendek maupun jangka panjang tampaknya berkaitan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri awal dan beratnya regurgitasi mitral. Adanya disfungsi ventrikel kanan pada ekokardiografi awal juga merupakan prediktor penting prognosis yang buruk, terutama dalam kasus disfungsi gabungan ventrikel kiri dan kanan. Indeks volume sekuncup awal dan follow-upserta follow-up stroke work indexmerupakan prediktor hemodinamik paling kuat untuk mortalitas 30 hari pada pasien dengan syok kardiogenik dan lebih berguna daripada variabel hemodinamik lainnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penilaian dan tatalaksana syok kardiogenik tidak
34
mementingkan pengukuran invasif tekanan pengisian ventrikel kiri dan curah jantung melalui kateter pulmonar namun fraksi ejeksi ventrikel kiri dan komplikasi mekanis yang terkait perlu dinilai segera dengan ekokardiografi Doppler 2 dimensi. 2.8.2. Komplikasi kardiak
Usia lanjut, gejala Killip II-IV, penyakit 3 pembuluh, infark dinding anterior, iskemia berkepanjangan atau berkurangnya aliran TIMI merupakan faktor risiko terjadi komplikasi kardiak. Beberapa komplikasi mekanis dapat terjadi secara akut dalam beberapa hari setelah STEMI, meskipun insidensinya belakangan berkurang dengan meningkatnya pemberian terapi reperfusi yang segera dan efektif. Semua komplikasi ini mengancam nyawa dan memerlukan deteksi dan penanganan secepat mungkin. Pemeriksaan klinis berulang (minimal dua kali sehari) dapat menangkap murmur jantung baru, yang menunjukkan regurgitasi mitral atau defek septum ventrikel, yang kemudian perlu dikonfirmasi dengan ekokardiografi segera. CABG secara umum perlu dilakukan apabila pantas saat operasi pada pasien yang memerlukan operasi darurat untuk komplikasi mekanis yang berat. 1. Regurgitasi katup mitral
Regurgitasi katup mitral dapat terjadi selama fase subakut akibat dilatasi ventrikel kiri, gangguan m. Papilaris, atau pecahnya ujung m. Papilaris atau chordae tendinae. Keadaan ini biasanya ditandai dengan perburukan hemodinamis dengan dispnea akut, kongesti paru dan murmur sistolik baru, yang biasanya tidak terlalu diperhatikan dalam konteks ini. Diagnosis ini dicurigai dengan pemeriksaan
klinis
dan
perlu
segera
dikonfirmasi
dengan
ekokardiografi darurat. Edema paru dan syok kardiogenik dapat terjadi dengan cepat.
35
2. Ruptur jantung
Ruptur dinding bebas ventrikel kiri dapat terjadi pada fase subakut setelah infark transmural, dan muncul sebagai nyeri tiba-tiba dan
kolaps
kardiovaskular
dengan
disosiasi
elektromekanis.
Hemoperikardium dan tamponade jantung kemudian akan terjadi secara cepat dan bersifat fatal. Diagnosis dikonfirmasi dengan ekokardiografi. Apabila tersumbat oleh formasi trombus, ruptur dinding subakut yang terdeteksi dengan cepat dapat dilakukan perikardiosentesis dan operasi segera. 3. Infark ventrikel kanan
Infark ventrikel kanan dapat terjadi sendiri atau, lebih jarang lagi, terkait dengan STEMI dinding inferior. Biasanya gejalanya muncul sebagai triad hipotensi, lapangan paru yang bersih serta peningkatan tekanan vena jugularis. Elevasi segmen ST ≥1 mV di V 1 dan V4R merupakan ciri infark ventrikel kanan dan perlu secara rutin dicari pada pasien dengan STEMI inferior yang disertai dengan hipotensi. Ekokardiografi
Doppler biasanya menunjukkan dilatasi
ventrikel kanan, tekanan arteri pulmonal yang rendah, dilatasi vena hepatika dan jejas dinding inferior dalam berbagai derajat. Meskipun terjadi distensi vena jugularis, terapi tetap diberikan dengan tujuan mempertahankan tekanan pengisian ventrikel kanan dan mencegah atau mengobati hipotensi. Pemberian diuretik dan vasodilator perlu dihindari karena dapat memperburuk hipotensi. Irama sinus dan sinkronisitas atrioventrikular perlu dipertahankan dan AF atau blok AV yang terjadi perlu segera ditangani.
PROGNOSIS 3,5,15
Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca IMA. Prognosis IMA dengan melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara klinis dinilai menggunakan kalsifikasi killip:
36
Kelas I
Tabel 4. Prognosis infark miokard Definisi Proporsi Pasien Tidak ada tanda gagal 40-50%
Mortalitas 6
jantung kongestif + S3 dan/atau ronki
II
30-40%
17
basah di basal paru III
Edema paru akut
10-15%
30-40
IV
Syok Kardiogenik
5-10%
60-80
Tabel 5. Skor risiko TIMI merupakan slaah satu dari beberapa stratifikasi risiko pasien infark dengan ST elevasi Faktor Risiko (bobot) Skor risiko/mortalitas 30 hari (%) Usia 65-74 (2) 0 (0,8) Usia > 75
(3)
1(1,6)
DM/HT/angina (1)
2 (2,2)
SBP<100 (3)
3 (4,4)
HR >100 (2)
4 (7,3)
Klasifikasi Killip II-IV (2)
5 (12,4)
Berat <67 kg (1)
6 (16,1)
ST Elevasi anterior atau LBBB (1)
7 (23,4)
Waktu ke reperfusi > 4 jam (1)
8 (26,8)
Skor Maksimum 14 poin)
>8 (35,9)
37
BAB III STATUS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. KS
Umur
: 48 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Pekerjaan
: Petani
Suku
: Batak
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Protokol Suka Maju Pahae
Tanggal Masuk
: 08 – 01 – 2019 ( 00.10 WIB)
ANAMNESIS
Keluhan Utama
: Nyeri dada sebelah kiri
Telaah
: Os datang ke IGD Rumah Sakit Murni Teguh rujukan dari RSUD Tarutung dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri yang sudah dialami sejak 2 hari yang lalu dan memberat 1 hari ini. Nyeri dirasakan seperti tertimpa beban berat dan menjalar ke bahu dan lengan. Nyeri dada timbul tidak dipengaruhi dengan aktivitas dan menetap ± 30 menit, tidak berkurang meskipun beristirahat. Saat nyeri dada muncul os juga mengeluhkan keringat dingin tanpa mual dan muntah. Os juga mengeluhkan sesak napas yang tidak berkurang dengan istirahat. Os sudah dirawat di RSUD Tarutung selama 1 minggu dan tidak ada perbaikan. Os mengatakan menggunakan 2-3 bantal pada saat tidur untuk mengurangi sesaknya.. Keluhan jantung berdebar debar (-), tungkai bengkak (-), batuk (-), demam (-). Os mempunyai riwayat merokok selama >15 tahun 1-2 bungkus/hari. Riwayat Penyakit Terdahulu : - CHF - Hipertensi Riwayat Pemakaian Obat
: - Aspilet
38
Riwayat Penyakit Keluarga
ISDN
:-
PEMERIKSAAN FISIK STATUS PRESENT
Keadaan Umum Sensorium
: Compos Mentis
Tekanan Darah
: 150/110mmHg
Nadi
:107x/i, regular, t/v: kuat
Pernafasan
:28x/i
Temperatur
: 36,4ºC
Skala Nyeri
:7
Keadaan Gizi
:
TB: 170 cm BB: 85 Kg
IMT = BB/(TB)2 x 100% = 85/(1,70) 2 = 29,4% Overweight
STATUS LOKALISATA MATA
Anemia ( - ), Ikterus ( - ), RC +/+, Pupil Isokor, kiri=kanan THT : dalam batas normal LEHER
Strauma tidak membesar, TVJ :. 0 cmH 2O THORAX
Inspeksi
: simetris
Palpasi
: TDP
Perkusi
: TDP
Auskultasi
Paru : Suara Pernafasan
: Vesikuler
Suara Tambahan
: ronki basah basal (+/+), Wheezing (-/-)
Jantung : S1 (n),S2 (n), reguler, murmur ( - ), Gallop ( - ),
39
M1> M2, P2> P1, A2 > A1, A2>P2, T1>T2, desah sistolik ( - ), desah diastolik( - ) HR: 107x/menit, reguler
ABDOMEN
Inspeksi
Bentuk
: simetris
Vena Kolateral
: tidak dijumpai
Caput Medusae
: tidak dijumpai
Pembesaran
:
Permukaan
:
Pinggir
:
Nyeri Tekan
:
Asites
:
Hepatomegali
:
Palpasi HATI
TDP
LIMFA
Pembesaran
Auskultasi
: TDP
: Peristaltik (+), normal.
EKSTREMITAS
Pitting edema
: tidak dijumpai
40
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium 11/11/2018 Darah Rutin
Hb
: 14,5 g%
12,5 – 16
g%
Leukosit
: 9,90 x 106/m3
4 – 10,5
x 106/mm3
Trombosit
: 198 x 10 3/mm3
150 – 450
x 103/mm3
Eritrosit
: 4,82 %
4,70 – 6
%
Hematokrit
: 47,3
42-52
%
< 130
mg/dL
KGD
KGD ad random : 140 mg/dL Elektrolit
Natrium
: 151 mmol/L
135 – 147
mmol/L
Kalium
: 5,10 mmol/L
3,5 -5,5
mmol/L
Klorida
: 112 mmol/L
94 – 111
mmol/L
Kalsium
: 8,8 mg/dL
9 – 11
mg/dL
Urea
: 153 mg/dL
13 – 43
mg/dL
Kreatinin
: 3,10 mg/dL
0,9 – 1,3
mg/dL
Troponin T
: TDP
Fungsi Ginjal
41
EKG 04/01/2019
08/01/2019
Interpretasi :
Ritme
: Sinus Rhythm
Rate
: HR 85x/menit
Axis
: Normo Axis
42
Gelombang P
: 2 kotak kecil (0,08 s)
Interval PR
: 5 kotak kecil (0,2 s)
Kompleks QRS
: Normal (0,08-0,10 detik)
Interval ST
: ST- Elevasi : II. III, aVF
Kesan : akut STEMI inferior
Foto Thoraks
Cor membesar Sinus dan diafragma normal Pulmo : - Hilus normal - Corakan bronkovaskular meningkat - Tampak infiltrat dan fibrotik dilapang atas paru kanan - Tampak infiltrat dilapang tengah sampai bawah paru kiri dan lapang tengah paru kanan Kesan :
Kardiomegali Bronkopneumonia bilateral
Angiografi Coronary
Tidak dilakukan karena keadaan umum pasien tidak mendukung dan high risk of CIN 26% ( CKD G4)
Echocardiogram
Tidak dilakukan karena keadaan umum pasien tidak mendukung (sesak napas)
DIAGNOSA BANDING
:
STEMI Inferior Killip II
CHF
43
DIAGNOSA KERJA :
STEMI Inferior Killip II
PENATALAKSANAAN
:
Awal masuk rumah sakit MTMH : 1. Fase Akut di UGD a. Bed rest total b. Oksigen 2-4 liter/menit c. Pemasangan IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i d. Obat-obatan :
Inj. Furosemide 40 mg/12 jam
ISDN 3x5 mg
Ticagrelor 2x90 mg
Aspilet 1x80 mg
Bisoprolol 1x1,25 mg
Simvastatin 1x 40 mg
Spironolaktone 1x25 mg
e. Monitoring jantung f.
Pemeriksaan Laboratorium ( Darah lengkap, Faal Ginjal, Elektrolit dan Enzim Jantung)
2. Fase perawatan biasa (Ruangan rawat inap) a. Bed rest total b. Pemasangan IVFD NS 10 gtt/i c. Obat-obatan :
Inj. Furosemide 40 mg/12 jam
ISDN 3x5 mg
Ticagrelor 2x90 mg
Aspilet 1x80 mg
Bisoprolol 1x1,25 mg
Simvastatin 1x 40 mg
Spironolaktone 1x25 mg
44
Laxadin Syrup 2xC1
d. Pro PCI ke Cath Lab jika keadaan umum mendukung e. Konsultasi internis mengenai peningkatan fungsi ginjal (urea : 153 mg/dL dan kreatinin : 3,10 mg/dL) f. Echocardiography jika keadaan umum mendukung
45
BAB 1V PEMBAHASAN
Infark Miokard merupakan kematian jaringan miokard yang diakibatkan penurunan secara tiba-tiba aliran darah arteri koronaria ke jantung atau terjadinya peningkatan kebutuhan oksigen secara tiba-tiba tanpa perfusi arteri koronaria yang cukup. Sindroma koroner akut dengan elevasi segment ST atau disebut juga STEMI (ST Elevasi Myocard Infarction) adalah oklusi koroner akut dengan iskemia miokard berkepanjangan yang pada akhirnya akan menyebabkan kematian miosit kardiak. Kerusakan miokard yang terjadi tergantung pada letak dan lamanya sumbatan aliran darah, ada atau tidaknya kolateral, serta luas wilayah miokard yang diperdarahi pembuluh darah
yang
tersumbat
STEMI
(ST Elevasi
Myocard
Infarction)
merupakan bagian dari sindrom koroner akut yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST. STEMI terjadi karena oklusi total pembuluh darah koroner yang tiba-tiba. Gejala klinis Infark Myokard akut adalah: 1. Nyeri dada yang berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal , menjalar ke lengan kiri, leher rahang, bahu, atau epigastrium. 2. Keluhan persisten > 20 menit 3. Mual muntah, sesak nafas, sinkop, diaphoresis Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca IMA. Prognosis IMA dengan melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara klinis dinilai menggunakan kalsifikasi killip: Kelas I
Definisi Tidak ada tanda gagal
Proporsi Pasien 40-50%
Mortalitas 6
30-40%
17
10-15%
30-40
jantung kongestif II
+ S3 dan/atau ronki basah di basal paru
III
Edema paru akut
46
IV
Syok Kardiogenik
5-10%
60-80
Pasien ini di diagnosis STEMI Inferior Killip II karena dit emukan: 1. Dari hasil anamnesis berupa keluhan nyeri dada sebelah kiri yang sudah dialami sejak 2 hari yang lalu dan memberat 1 hari ini. Nyeri dirasakan seperti tertimpa beban berat dan menjalar ke bahu dan lengan. Nyeri dada timbul tidak dipengaruhi dengan aktivitas dan menetap ± 30 menit, tidak berkurang meskipun beristirahat. Saat nyeri dada muncul os juga mengeluhkan keringat dingin tanpa mual dan muntah. Os juga mengeluhkan sesak napas yang tidak berkurang dengan istirahat. 2. Dari hasil pemeriksaan fisik auskultasi thoraks ditemukan suara rhonki basah basal minimal di kedua paru 3. Dari hasil pemeriksaan Laboratorium pada pasien ini diperiksa darah rutin, gula darah sewaktu status elektrolit, tes fungsi ginjal. KGD ad random: 140 mg/dL (Meningkat, menunjukkan arterosclerosis sebagai penyebab AMI), urea : 153 mg/dL dan kreatinin : 3,10 mg/dL (meningkat, menunjukan tanda-tanda CKD) 4. Dari hasil pemeriksaan EKG didapati ST-Elevasi di Lead II, III, aVF (STEMI Akut Inferior)
Penalaksanaan yang diberikan pada pasien Akut Inferior MCI meliputi : 1. Primary PCI 2. Fibronilitik/ Trombolitik 3. Antokoagulant 4. Nitroglicerin 5. Anti statin 6. Morphin 7. Oksigen
47
Penatalaksanaan pada pasien ini : 3. Fase Akut di UGD g. Bed rest total h. Oksigen 2-4 liter/menit i.
Pemasangan IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i
j.
Obat-obatan :
Inj. Furosemide 40 mg/12 jam
ISDN 3x5 mg
Ticagrelor 2x90 mg
Aspilet 1x80 mg
Bisoprolol 1x1,25 mg
Simvastatin 1x 40 mg
Spironolaktone 1x25 mg
k. Monitoring jantung l.
Pemeriksaan Laboratorium ( Darah lengkap, Faal Ginjal, Elektrolit dan Enzim Jantung)
4. Fase perawatan biasa (Ruangan rawat inap) d. Bed rest total e. Pemasangan IVFD NS 10 gtt/i f.
Obat-obatan :
Inj. Furosemide 40 mg/12 jam
ISDN 3x5 mg
Ticagrelor 2x90 mg
Aspilet 1x80 mg
Bisoprolol 1x1,25 mg
Simvastatin 1x 40 mg
Spironolaktone 1x25 mg
Laxadin Syrup 2xC1
g. Pro PCI ke Cath Lab jika keadaan umum mendukung h. Konsultasi internis mengenai peningkatan fungsi ginjal (urea : 153 mg/dL dan kreatinin : 3,10 mg/dL)
48
i.
Echocardiography jika keadaan umum mendukung
EDUKASI:
1. Bed rest total 2. Tidak boleh terlalu banyak minum
49
BAB V KESIMPULAN
1. Infark
Miokard
merupakan
kematian
jaringan
miokard
yang
diakibatkan penurunan secara tiba-tiba aliran darah arteri koronaria ke jantung atau terjadinya peningkatan kebutuhan oksigen secara tiba-tiba tanpa perfusi arteri koronaria yang cukup. 2. Infark Miokard diklasifikasikan berdasarkan dari gejala, kelainan gambaran EKG seperti ST-Elevasi, dan peningkatan enzim jantung yaitu CKMB dan Troponin T. Infark miokard dapat dibedakan menjadi infark miokard dengan elevasi gelombang ST (STEMI) dan infark miokard tanpa elevasi gelombang ST (NSTEMI). 3. Gejala klinis Infark Myokard akut adalah: Nyeri dada yang berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher rahang, bahu, atau epigastrium.Keluhan persisten > 20 menit, Mual muntah, sesak nafas, sinkop, diaphoresis. 4. Untuk membantu penegakan diagnosa IMA dilakukan dengan anamnese dan
pemeriksaan
klinis,
pemeriksaan
penunjang
seperti
EKG,
Ekokardografi dan Laboratorium. 5. Penatalaksanaan pada STEMI IMA, dilakukan Primary PCI ( Pemasangan stent pada Vascular yang Stenosis) atau Fibrinolitik ( Penangan awal sebelum tindakan PCI). 6. Pasien yang sudah melakukan PCI harus makan obat seumur hidup (CPG atau Aspirin), Rutin kontrol ke dokter spesialis Jantung dan menjaga pola makan, olahraga minimal 4x dalam seminggu.
50
DAFTAR PUSTAKA
1. Kinnaird Tim, Medic Goran, et al., 2013. Relative Efficacy of Bivalirudin Versus Heparin Monotherapy In Patients with ST-Segment Elevation Myocardial Infarction Treated with Primary Percutaneous Coronary Intervention: A Network Meta-Analysis. Journal of Blood Medicine. 4 : 129-40 2. Tabriz A. A., Sohrabi M. Z., et al., 2012. Factors Associated with Delay in Thrombolytic Theraphy in Patients with ST-Elevation Myocardial Infarction.Journal of Tehran University Heart Center.2(7) : 65-71. 3. Sungkar A, Sindroma Koroner Akut dengan elevasi segmen ST (STEMI ACS). 4. Alwi I., 2009. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST, dalam: Buku Ajar Ilmu Pengetahuan Penyakit Dalam Jilid II. Sudoyo A. W, Setryohadi B, Alwi I,Simadibrata M, Setiati S. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing pp. 1741-54. 5. Perhimpunanan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman tatalaksana Sindrome Koroner Akut. 2015. Edisi Ketiga. 6. Antman EM, Braundwald E. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th ed. New South Wales : McGraw Hill; 2010. Chapter 239, STSegmentElevation Myocardial Infarction; p.1532-41. 7. Li Yulong, Rukshin Iris, et al., 2014. The Impact of the 2008-2009 Economic Recession on Acute Myocardial Infarction Occurrences in Various Socioeconomic Areas of Raritan Ba y Region, New Jersey. Journal of Medical Sciences. 6(5) : 215-18 8. Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Diakses tanggal 23 April 2014 http://www.rikesdas2013.pdf 9. Fenton, D.E., 2009. Myocardial Infarction. Available from: http: // emedicine.
medscape.com/article/759321-overview
(Diakses
25
November 2014)
51