Nama
: Putri Fitrianti
Nim
: 131424021
Kelas
: 3A – TKPB
Mata Kuliah
: Produksi Bersih
Dosen
: Ir. Mukhtar Ghozali, MSc.
Sludge Treatment
Tujuan Pengelolaan Lumpur Lumpur yang dihasilkan dari sistem pengolahan air limbah dibedakan atas lumpur kimiafisika dan lumpur biologi. Lumpur kimia-fisika berasal dari pemisahan hasil perlakuaan proses fisika-kimia, sedangkan lumpur biologi berasal dari perlakuan biologi. Umumnya lumpur masih memiliki kadar air yang cukup tinggi, oleh karenanya perlu perlakuan lumpur yang merupakan bagian dari penanganan air limbah. Kedua jenis lumpur tersebut harus dikeluarkan dan dibuang ke luar instalasi pengolahan air limbah (IPAL), tetapi hal ini akan
menimbulkan masalah bila langsung dibuang begitu saja dalam jumlah besar ke tempat penimbunan limbah padat. Tujuan utama pengolahan lumpur adalah mengurangi volume lumpur
dengan cara memisahkan air dari dalam lumpur sebelum dibuang, agar
mempermudah masalah pengangkutan. Untuk itu pengurangan kandungan air dan volume lumpur merupakan hal yang penting. Lumpur dapat menimbulkan gangguan lingkungan yang lebih berbahaya dari air limbah mengingat bahwa:
lumpur mengandung pencemar yang lebih terkonsentrasi
lumpur tetap memiliki kandungan air yang tinggi
lumpur dapat mengandung jenis pencemar baru yang tidak terkandung sebelumnya di dalam air limbah akibat dari penambahan bahan kimia dan dari peruraian senyawa yang terkandung dalam lumpur.
Lumpur yang banyak mengandung padatan diperoleh dari hasil proses pemisahan padat-cair dari limbah yang sering disebut dengan sludge atau lumpur encer, di dalam sludge tersebut sebagian besar mengandung air dan hanya beberapa persen berupa zat padat. Umumnya persentase kandungan air tersebut dapat mencapai 95-99%. Lumpur yang dihasilkan unit pengolahan air limbah dapat dikelola hingga menjadi abu dengan kadar 0,3 % dengan melalui beberapa tahap pengolahan yang meliputi proses pemekatan dengan proses thickening, proses dewatering, proses pengering dan pembakaran. Filtrat yang dihasilkan dari proses pemekatan dan dewatering dikembalikan ke unit equalisasi (IPAL) untuk dilakukan pengolahan lebih lanjut. Untuk dapat mengelola lumpur secara efektif dan tepat, maka perlu mengetahui karakteristik lumpur tersebut. Karakteristik lumpur tergantung pada sumber lumpur dan jenis industri penghasil air limbah serta sistem pengolahan IPAL. Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 memuat daftar dari berbagai jenis industri yang menghasilkan lumpur IPAL yang dianggap sebagai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Karakteristik dan Jumlah Lumpur Karakteristik lumpur sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain sumber lumpur, jenis industri penghasil air limbah, proses di IPAL, sifat fisik, komposisi kimia serta tingkat
pengolahan yang telah ditentukan. Karakteristik lumpur sangat berbeda untuk setiap jenis lumpur, sehingga prinsip penanganannya berbeda pula. Walaupun demikian, kebanyakan industri melakukan penanganan lumpur yang keluar dari IPAL dalam unit pengolah yang sama. Sebagai contoh lumpur dari industri pulp dan kertas pada umumnya tersusun dari zat berserat, hidro-gel, fines yang non hydrous terutama yang berasal dari bahan pengisi (filler) dan tentunya juga air aliran, air kapiler, air adsorpsi dan air sel. Air aliran pada lumpur dapat dihilangkan dengan cara pengentalan, sedangkan air kapiler dihilangkan dengan cara mekanis. Untuk jenis air yang lainnya penghilangannya dilakukan dengan metode thermal. Lumpur yang dihasilkan oleh suatu IPAL dapat dikelompokan dalam 2 jenis, yaitu: 1. Lumpur Kimia-Fisika (Lumpur Mineral) Lumpur kimia-fisika merupakan lumpur yang dihasilkan dari proses pemisahan padatan di unit-unit pengolahan secara fisika-kimia Karakteristik lumpur adalah sebagai berikut: 1. Mempunyai warna sesuai dengan jenis senyawa kimia yang digunakan 2. Mempunyai kandungan padatan 2-8%, 3. Mempunyai berat jenis yang lebih besar dari lumpur biologi. Jumlah lumpur kimia – fisika yang dihasilkan tergantung dari:
Beban hidrolik dari unit pengolahan penghasil Lumpur
Efektifitas koagulan dan flokulan yang digunakan
Konsentrasi padatan tersuspensi total (TSS) yang dapat diendapkan
Efisiensi tanki pengendap
Pemisahan air pada lumpur kimia-fisika lebih mudah dilakukan dengan cara seperti pengentalan yang diikuti penyaringan. 2. Lumpur Biologi Lumpur biologi merupakan lumpur yang dihasilkan dari proses pemisahan gumpalan mikroba di unit pengolahan biologi. Lumpur biologi berasal dari dua bagian yaitu : 1. Mikroba yang mati
2. Organik yang tidak terdegradasi oleh mikroba Karakteristik lumpur biologi adalah sebagai berikut:
Mempunyai warna coklat
Mempunyai kandungan padatan 0,5-2,5% yang artinya dalam 1 liter lumpur mengandung air sebanyak 97,5-99,5%
Mempunyai berat jenis yang rendah, sebesar 1,005 g/mL
Mengandung banyak senyawa organik terurai yang mudah membusuk
Jumlah lumpur biologi yang dihasilkan tergantung dari:
Beban hidrolis dari unit pengolahan penghasil lumpur dan beban organik.
Kecepatan pertumbuhan mikroba yang sangat bergantung pada beberapa faktor, antara lain kondisi proses biologi dan kondisi lingkungan
Konsentrasi padatan tersuspensi total (TSS) yang dapat diendapkan
Efisiensi tanki pengendap
Perlakuan lumpur pada dasarnya berupa pengurangan volume dan meningkatkan kestabilan sifat lumpur menjadi lebih baik, agar penanganan selanjutnya tidak menimbulkan permasalahan lingkungan.
Proses Pengolahan Lumpur Sasaran upaya penanganan lumpur adalah menghasilkan lumpur dengan kandungan padatan setinggi-tingginya, atau volume yang sekecil-kecilnya dan stabil serta tidak memiliki dampak lingkungan yang lebih buruk. Peningkatan kandungan padatan (%SS) atau pengurangan kadar air dapat dilakukan melalui beberapa cara. Umumnya upaya pengelolaan terhadap lumpur meliputi tahap-tahap pengerjaan: 1. Pengentalan atau pemekatan lumpur (sludge thickening) 2. Stabilisasi lumpur (sludge stabilization) 3. Pengeluaran air (sludge dewatering) 4. Pengeringan lumpur (sludge drying)
Masing-masing cara memiliki kelebihan dan kelemahannya, sehingga tidak ada satu carapun yang dapat diterapkan untuk setiap jenis lumpur tertentu. Kecuali Tahap Stabilisasi, seluruh tahapan lainnya lebih bertujuan untuk meningkatkan kandungan padatan atau pengurangan kandungan air. Setelah melalui tahapan tersebut tahapan berikutnya adalah Tahap Pembuangan Akhir. Umumnya persentase kandungan air tersebut dapat mencapai 95-99%. Lumpur yang dihasilkan unit pengolahan air limbah dapat diubah menjadi abu dengan kadar 0,3 %. Hal ini dapat dilakukan melalui beberapa tahap pengolahan yang meliputi proses pemekatan dapat mengurangi volume dari 100 % dengan proses thickening menjadi 50 %, proses dewatering menjadi 5 %, proses pengering menjadi 1,44 %, kemudian dilakukan pembakaran sehingga dihasilkan abu dengan kadar 0,3 %. Filtrat yang dihasilkan dari proses pemekatan dan dewatering dikembalikan ke unit equalisasi (IPAL) untuk dilakukan pengolahan lebih lanjut. Pengentalan Lumpur (Sludge Thickening) Proses pengentalan lumpur bertujuan untuk meningkatkan kekentalan atau kandungan padatan dalam lumpur dengan cara pengeluaran air. Pada umumnya lumpur yang dihasilkan dari unit pengolahan air limbah masih encer dengan kandungan padatan antara 0,5-1,0% atau kandungan air 99,5-99%, sehingga perlu dipekatkan secara gravitasi hingga 2-3% atau kandungan air 97-98% dengan menggunakan thickener. Pada proses pengentalan tersebut lumpur sebelumnya perlu dikondisikan dengan cara fisika maupun fisika-kimia, agar dapat menggumpal sehingga air lebih mudah dipisahkan. Pemisahan air dari lumpur kimia-fisika lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan lumpur biologi. Hal ini disebabkan air yang terkandung dalam lumpur biologi adalah hasil perlakuan biologi yang 80% merupakan air sel bakteri. Konsentrasi lumpur sangat mempengaruhi kinerja alat pengeluaran air dan kandungan air dalam lumpur pekat (cake). Seperti yang ditunjukkan pada gambar 9.3. bahwa makin tinggi kandungan padatan dalam lumpur maka makin rendah kadar air dalam lumpur pekat (cake). A. Pengentalan Lumpur secara Gravitasi Pengentalan lumpur secara gravitasi adalah salah satu metode yang umum digunakan. Unit pengental gravitasi bekerja dengan gaya gravitasi seperti halnya dengan tangki pengendap
lainnya. Prinsip dasar dan bentuk unit ini juga menyerupai tangki pengendap yang biasa, perbedaannya hanya pada nilai beban permukaan yang lebih rendah. Alat ini berbentuk tangki bundar dilengkapi dengan penggaruk lumpur, seperti yang terlihat pada gambar 9.4. adalah salah satu contoh alat thickener. Pada umumnya diameter tanki tidak lebih dari 25 m dengan kedalaman sekitar 4 m, dengan maksimum hydraulic overflow rate antara 15,5-31 m3/m2, hari untuk lumpur kimia-fisika, sedangkan untuk lumpur biologi antara 4-8 m3/m2, hari, begitu pula untuk lumpur campuran kimia-fisika dengan biologi sekitar 6-12 m3/m2, hari. Dari data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa dengan alat ini kepekatan lumpur kimia-fisika dapat mencapai kadar padatan kering 5-10% atau kandungan air 90-95%, sedangkan untuk lumpur biologi hanya mencapai kadar padatan kering antara 2-3% kandungan air antara 97-98%. Hasil pengentalan yang diperoleh untuk lumpur campuran dari lumpur kimia – fisika dan lumpur biologi mencapai kepekatan dengan kadar padatan kering 2-8% atau kandungan air 92-98%,. Unit pengental gravitasi umumnya digunakan sebagai unit pertama di dalam bagian penanganan lumpur. Kelebihan dengan cara ini adalah mudah dalam pengoperasian dan perawatan (maintenance). Kelemahan dengan cara ini adalah seringkali timbul lumpur yang naik ke atas (sludge floating) akibat dari terlalu lama lumpur berada dalam bak lumpur karena tidak cepat dikeluarkan. Hal ini dapat menyebabkan kondisi anaerobik sehingga menghasilkan gas. Gas tersebut akan membawa sekelompok lumpur ke permukaan. Ciri-ciri lumpur tersebut adalah berbau dan berwarna hitam. B. Pemekatan Lumpur secara Flotasi (Floating Thickening) Prinsip kerja sama dengan proses flotasi untuk pengolahan air limbah. Alat penggaruk lumpur terdapat di sebelah atas maupun di bagian bawah. Dibandingkan dengan pemekatan lumpur secara gravitasi, alat ini lebih sukar pengoperasiannya dan diperlukan pula penambahan bahan kimia polimer untuk meningkatkan konsentarasi lumpur dari 85% menjadi 98%. Dengan terkonsentrasinya lumpur dapat meningkatkan efisiensi alat. Pemakaian bahan kimia polimer untuk memekatkan lumpur biologi sekitar 2-5 kg berat kering polimer/ mg zatpadat. Penggunaan rasio udara-padatan sangat mempengaruhi kinerja sistem ini, pada umumnya nilai rasio udara-padatan bervariasi, maksimum pada kisaran dari 2-4% untuk mengapungkan zat padat.
Hasil pemekatan dengan sistem ini mencapai kadar padatan kering antara 4-6% atau kandungan air 94-96% untuk lumpur biologi dengan penambahan bahan kimia polimer, sedangkan tanpa penambahan bahan kimia polimer kadar padatan kering hanya mencapai 35% atau kandungan air 95-97%. Kelebihan cara ini adalah waktu tinggal jauh lebih singkat yaitu sekitar 15 – 30 menit dan hasil lumpur lebih pekat, sehingga volume lumpur lebih sedikit. Kelemahan cara ini adalah cara pengoperasian lebih sulit, biaya operasional tinggi, karena ada penambahan bahan kimia, biaya perawatan relatif tinggi dan penggunaan listrik cukup besar. Sistem penyapuan lumpur (scrapper) menggunakan rantai sering bermasalah karena terdapat bagian yang bergesekan. Permasalahan scrapper dapat diatasi dengan mengganti rantai penggerak secara periodik. Stabilisasi Lumpur (sludge stabilization) Stabilisasi lumpur merupakan upaya mengurangi kandungan senyawa organik dalam lumpur atau mencegah aktivitas mikroorganisme. Tujuan stabilisasi lumpur adalah agar lumpur menjadi stabil dan tidak menimbulkan bau busuk dan gangguan kesehatan saat dilakukan proses maupun saat pembuangan ke lingkungan. Stabilisasi lumpur dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain adalah sebagai berikut: 1. Digestasi anaerobik Proses ini merupakan suatu proses degradasi senyawa organik dalam lumpur secara anaerobik. Stabilisasi ini biasanya hanya untuk lumpur biologi dan dilakukan sebelum proses pengeluaran air dari lumpur. Dengan proses digestasi ini, sekitar 50% senyawa organik dalam lumpur dapat diubah menjadi gas bio yang tersusun dari metan (CH4) dan CO2 apabila di dalam senyawa organik tersebut terdapat kandungan sulfur, maka dihasilkan H2S. Produk gas bio ini sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi, sedangkan lumpur sisa yang diperoleh bisa dimanfaatkan sebagai pupuk. Digestasi lumpur dilakukan dalam tangki tertutup dengan sistem pengeluaran gas dan dapat dilengkapi dengan sistem pengadukan. Waktu retensi yang diperlukan antara 10-20 hari dengan beban padatan antara 2-4 kg/m3. Hasil pemekatan dengan sistem ini mencapai kadar padatan kering antara 2-5% atau kandungan air 95-98% untuk lumpur kimia-fisika, sedangkan untuk lumpur campuran kimiafisika-biologi kadar padatan kering hanya mencapai 1,5-4% atau kandungan air 9698,5%. Kelebihan sistem ini adalah pengurangan volume lumpur dengan penguraian dalam
artian pengurangan lumpur diubah menjadi gas yang dapat dimanfaatkan sebagai energi panas. Kelemahan dari sistem ini adalah cara pengoperasiannya agak sulit. 2. Stabilisasi aerobik Pada prinsipnya proses ini sama seperti proses lumpur aktif pada pengolahan air limbah, yaitu degradasi senyawa organik dalam lumpur terjadi secara aerobik. Proses stabilisasi aerobik dapat dilakukan dalam suatu tanki terbuka, sebelum ataupun setelah dilakukan proses pengeluaran air dari dalam lumpur. Metode stabilisasi aerobik lumpur yang sudah mengalami proses pengeluaran air merupakan bentuk pengomposan yang banyak dilakukan di industri. Proses stabilisasi dilakukan dengan beban padatan berkisar antara 1,6-4,8 kg/m3,jam dengan waktu retensi 10-15 hari. Udara dimasukkan ke dalam tanki untuk mensuplai oksigen, sehingga kadar oksigen terlarut dapat diperhatikan minimal 1-2 mg/L. Dengan pengaturan pH, kelembaban suhu dan penambahan nutrisi yang sesuai, maka lumpur hasil proses stabilisasi dapat dimanfaatkan sebagai kompos. Hasil pemekatan dengan sistem ini mencapai kadar padatan kering antara 2,5-7% atau kandungan air 93-97,5% untuk lumpur kimia-fisika, sedangkan untuk lumpur campuran kimia-fisika-biologi kadar padatan kering hanya mencapai 1,5-4% atau kandungan air 96-98,5%. Kelebihan sistem ini adalah lebih mudah dalam pengoperasian dan mudah dalam pengontrolan. Kelemahan dari sistem ini adalah banyak membutuhkan energi, yaitu energi listrik untuk pembangkit oksigen. 3. Stabilisasi dengan kapur Penambahan kapur ke dalam lumpur mengakibatkan aktifitas mikroorganisme terhenti, tetapi tidak mempengaruhi kandungan senyawa organik dalam lumpur. Proses stabilisasi ini umumnya dilakukan untuk mengatasi masalah bau yang timbul. Untuk menjamin lumpur tetap stabil, maka pH lumpur harus dipertahankan di atas pH 11,8. Metoda stabilisasi ini perlu pengawasan pH dan juga perlakuan pencampuran bahan kimia kapur dengan lumpur secara baik agar pH lumpur homogen. Hasil pemekatan dengan sistem ini mencapai kadar padatan kering antara 3-6% atau kandungan air 94-97% untuk lumpur kimia-fisika, sedangkan untuk lumpur campuran kimia-fisika-biologi kadar padatan kering hanya mencapai 1-1,5% atau kandungan air 98,5-99%. Kelebihan sistem ini adalah pengoperasian mudah dan biaya operasional relatif rendah. Kelemahan sistem ini adalah tidak terjadi
pengurangan kandungan air atau volume lumpur. Pada pengoperasian sistem ini sering terjadi perubahan nilai pH sehingga perlu dipantau terus menerus.
Pengeluaran air dari lumpur (sludge dewatering) Tujuan proses pengeluaran air lumpur ialah menghilangkan sebanyak mungkin air yang terkandung dalam lumpur setelah proses pengentalan. Persyaratan kadar padatan kering lumpur yang diinginkan tergantung pada penanganan akhir yang akan dilakukan, umumnya berkisar 30%. Proses pengeluaran air lumpur dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain menggunakan alat: 1. Belt press 2. Filter press 3. Screw press 4. Drying bed 5. Centrifugal 6. Rotary drum vacuum filter Pembuangan Akhir (Sludge Landfilling) Pada tahap akhir, lumpur dibuang ke lingkungan dengan aman dan tidak menimbulkan dampak negatif lingkungan. Pembuangan langsung ke lingkungan dapat menimbulkan dampak lingkungan dan kesehatan manusia serta makhluk hidup lainnya. Sludge landfilling merupakan tahap akhir dari pengelolaan lumpur. Pemerintah Republik Indonesia memiliki peraturan tentang pembuangan lumpur B3 yang sangat ketat dengan sangsi yang berat. Pengelompokan Lumpur B3 antara lain dilakukan berdasarkan:
jenis senyawa kimia yang dikandungnya (sumber tidak spesifik)
jenis industri penghasil lumpur (sumber tidak spesifik)
Pembungan akhir limbah lumpur B3 harus dilakukan di lokasi yang ditunjuk oleh pemerintah. Pihak industri dapat membuat fasilitas khusus, walaupun persyaratan dan prosedur rumit. Lokasi pembuangan akhir limbah padat atau landfill merupakan lokasi khusus yang diperuntukkan sebagai tempat penimbunan lumpur dengan desain yang
dilengkapi sistem tempat pengumpulan dan pengolahan lindi. Syarat-syarat lokasi penimbunan cake menurut persyaratan landfill yang baik adalah: Lokasi Landfill (Kep-01/Bapedal/09/1999)
Daerah yang bebas dari banjir seratus tahunan
Bukan kawasan lindung
Sesuai Rencana Tata Ruang (RTR) ditetapkan sebagai lokasi baik untuk peruntukan industri
Nilai permeabilitas Max 10-7 cm/det dan secara geologi dinyatakan aman-stabil tidak rawan bencana
Bukan daerah resapan air tanah tidak tertekan dan bukan daerah genangan air, berjarak 500 m dari aliran sungai yang mengalir sepanjang tahun, danau, waduk untuk irigasi pertanian dan air bersih
Program pemantauan Landfill yang perlu diperhatikan: 1. Lindi (Leachate) yang dihasilkan dari limbah 2. Jumlah kebocoran lindi yang melewati lapisan landfill 3. Migrasi gas yang melewati lapisan landfill 4. Kualitas air tanah sekitar lokasi landfill 5. Karakteristik gas dalam limbah ( tekanan, suhu, kandungan gas metan) 6. Gas dalam tanah dan atmosfer disekitar lokasi landfill 7. Jumlah dan kualitas lindi dalam tanki pengumpul lindi
Pustaka https://muhammadyusuffirdaus.wordpress.com/2012/06/16/pengelolaan-lumpur/; diakses 26 Oktober 2015
http://www.airlimbah.com/category/pengolahan-air-limbah/sludge-treatment/ ; diakses 26 Oktober 2015