“KAJIAN PERANG SIBERNETIKA (CYBER-WARFARE) SEBAGAI KONFLIK BERSENJATA INTERNASIONAL BERDASARKAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL”
PENULISAN HUKUM Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan program Sarjana (S1) Ilmu Hukum
Oleh: Nama : TRISUHARTO CLINTON NIM : 11010111130403
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG TH. 2015
HALAMAN PENGESAHAN
KAJIAN PERANG SIBERNETIKA (CYBER-WARFARE) SEBAGAI KONFLIK BERSENJATA INTERNASIONAL BERDASARKAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
Penulisan Hukum (SKRIPSI)
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan Program Sarjana (S1) Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Disusun Oleh: Nama : TRISUHARTO CLINTON NIM
: 11010111130403
Penulisan Hukum dengan judul diatas telah disahkan dan disetujui untuk diperbanyak
Semarang, 10 Maret 2015 Mengetahui PEMBIMBING I
PEMBIMBING II
Soekotjo Hardiwinoto, S.H., LLM.
Dr. Joko Setiyono, S.H., M.Hum.
NIP. 195310291980121001
NIP. 196606071992031001
HALAMAN PENGUJIAN KAJIAN PERANG SIBERNETIKA (CYBER-WARFARE) SEBAGAI KONFLIK BERSENJATA INTERNASIONAL BERDASARKAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
Dipersiapkan dan disusun oleh: TRISUHARTO CLINTON NIM: 11010111130403
telah diujikan di depan Dewan Penguji pada tanggal 27 Maret 2014 Semarang. Dewan Penguji Ketua
Sekretaris
Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum. M.A NIP. 196211101987031004
Lapon Tukan Leonard, S.H., NIP. 195811301987031001
Penguji I
Penguji II
Soekotjo Hardiwinoto, S.H., LLM. M.Hum NIP. 195310291980121001
Dr.
Joko
Setiyono,
S.H.,
NIP. 196606071992031001
Penguji III
Nuswantoro Dwiwarno, S.H., M.Hum. NIP. 196812231993031004
HALAMAN PERSEMBAHAN
Motto: Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. (Matius 7:7)
If you fail to prepare, you’re preparing to fall.
Persembahan: Karya penulisan hukum ini, penulis persembahkan untuk: 1. Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan kasihNya; 2. Keluargaku Mama Darwati, Christopher Willianto, dan Dear Virgin Willona, dan seluruh keluarga besar saya, atas semua doa, kasih sayang, dan semua pengorbanan yang tidak terhingga kepada saya; 3. Sahabat-sahabat dan orang-orang yang saya kasihi, Antonius Samturnip, Andreas Adityo, Haryo Jati Kusumo, Tioplus Andar Bonar Hutagaol, Fadia Idzna, Silvana Mofaryani, Linggar Pradiptasari, Regina Wanda Anugrah Putri, Gracia Mungki Leona, Imam Bukhori, Dinindya Lintang Sekar Mayang, Anindya Vivi Restuviani, Maria Goreti Jutari Risma
Hanjayani atas kasih dan dukungan, bantuan, dan kebersamaan yang telah terjalin selama ini; 4. Kawan-kawan seperjuangan GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) terutama kawan-kawan GMNI komisariat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro; 5. Kawan-kawan ALSA (Asian Law Students’ Association) Local Chapter Universitas Diponegoro; 6. Kawan-kawan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, serta kawankawan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, atas segala dukungan, bantuan, dan kebersamaan yang telah terjalin selama ini; Tuhan Beserta kita semua.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan karuniaNya-lah saya dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul
“KAJIAN
PERANG
SIBERNETIKA
(CYBERWARFARE)
SEBAGAI KONFLIK BERSENJATA INTERNASIONAL BERDASARKAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL”. Adapun skripsi ini saya buat sebagai syarat pokok yang harus saya penuhi dalam rangka menyelesaikan studi S1 Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro guna memperoleh gelar Sarjana Hukum. Dengan selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materiil. Untuk itu, pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada: 1. Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan cinta kasihnya sehingga penulisan hukum ini dapat terselesaikan dengan baik; 2. Prof. Sudarto, MES, Ph.D., sebagai Rektor Universitas Diponegoro; 3. Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro sekaligus selaku Dosen Wali saya; 4. Bapak Lapon Tukan Leonard, S.H., M.A., sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Diponegoro; 5. Bapak Untung Dwi Hananto, S.H., M.H., sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Diponegoro;
6. (Alm) Bapak Dadang Siswanto, S.H., M.Hum., sebagai mantan Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Diponegoro; 7. Ibu Peni Susetyorini, S.H., M.H., sebagai Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Diponegoro; 8. Bapak Nuswantoro Dwi Warno, S.H., M.H. sebagai Sekretaris Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Diponegoro; 9. Bapak Soekotjo Hardiwinoto, S.H., LLM., dan Bapak Dr. Joko Setiyono, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing I dan II bagi skripsi saya, atas segala waktu, bimbingan, dan bantuan yang telah diberikan selama penyusunan skripsi ini; 10. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Diponegoro; Sebagai manusia biasa, saya menyadari akan ketidaksempurnaan dari skripsi ini dan oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan. Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi segenap civitas akademika demi kemajuan ilmu pengetahuan.
Semarang, 10 Maret 2015
Penulis
ABSTRAK
Kemajuan teknologi informasi komunikasi menjadikan berbagai infrastruktur bergantung pada adanya teknologi sibernetika. Oleh karena itu, muncul ancamanancaman terhadap sistem tersebut. Salah satu ancaman yang dibahas dalam kaitan studi hukum humaniter internasional adalah perang sibernetika, yang mana dilakukan oleh entitas-entitas tinggi seperti negara. Ancaman itu dikoordinasikan dengan angkatan bersenjata atau militer guna memperoleh keunggulan terhadap lawan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif yaitu penelitian dengan menggunakan data sekunder yang meliputi konvensi-konvensi, keputusan-keputusan, kebiasaan-kebiasaan hukum internasional, teori hukum, serta dokumen-dokumen yang berhubungan dengan permasalahan. Serangan sibernetika yang dikoordinasikan dengan kepentingan militer memungkinkan munculnya perang sibernetika. Sampai saat ini belum ada ketentuan hukum internasional yang mengatur perang sibernetika sebagai sebuah konflik bersenjata internasional, namun terdapat analogi korelasi prinsip atau asas dalam hukum humaniter internasional terhadap perang sibernetika.
Kata kunci: sibernetika, perang, konflik bersenjata internasional, hukum humaniter internasional
ABSTRACT
The advancement of information and communication technology have been make various infrastructure depend on cyber technology. Therefore, emerging threats to that system. One of the threats which discussed relating to study of international humanitarian law is cyber-warfare, which is done by high entities such as State. Threats coordinate with armed forces or military in order to gain an edge towards enemy. The research methods used in this study is juridicial normative methods, that is a research that using secondary data which covers conventions, decisions, customary international law, law theory, and documents which related to the problems. Cyber-attack that is coordinate with military objective allowing the emergence of cyber-warfare. Until this moment there are no international law regulation that regulate cyber-warfare as international armed conflict, however there is correlation of analogy with principal of international humanitarian law against cyber-warfare.
Keyword: cyber, warfare, humanitarian law.
international
armed
conflict,
international
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ ii HALAMAN PENGUJIAN ................................................................................ iii HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................ iv KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi ABSTRAK ......................................................................................................... viii ABSTRACT ....................................................................................................... ix DAFTAR ISI ....................................................................................................... x
BAB I
PENDAHULUAN ....................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6 D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 6 E. Sistematika Penelitian ............................................................................... 7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Hukum Humaniter Internasional .................................. 11 1. Pengertian Hukum Humaniter Internasional ............................... 12 2. Perkembangan Hukum Humaniter Internasional ........................ 17 3. Sumber, Asas, dan Prisip dalam Hukum Humaniter Internasional ...................................................................................................... 28 4. Ruang Lingkup Hukum Humaniter Internasional ....................... 39 5. Pengertian dan Jenis Konflik Bersenjata ..................................... 41 B. Tinjauan Umum Perang Sibernetika (Cyber-Warfare) ........................... 44 1. Pengertian Cyber-Warfare .......................................................... 45 2. Sejarah dan Perkembangan Munculnya Cyber-Warfare ............ 52 3. Karakteristik Cyber-Warfare ...................................................... 54 4. Perkembangan Pengaturan Cyber-Warfare ................................ 54
BAB III
METODE PENELITIAN ........................................................ 58
A. Metode Pendekatan Masalah .................................................................. 59 B. Spesifikasi Penelitian .............................................................................. 60 C. Metode Pengumpulan Data ..................................................................... 61 D. Metode Analisa Data ............................................................................... 62
BAB IV
PEMBAHASAN ........................................................................ 64
A. Cyber-Warfare sebagai Konflik Bersenjata Internasional ...................... 66 1. Cyber/Cyberspace sebagai Domain Perang Masa Depan ........... 69 2. Aktor Cyber-Warfare .................................................................. 77 3. Ancaman dan Dampak Cyber-Warfare Terhadap Keamanan dan Perdamaian Dunia ....................................................................... 80 B. Relevansi Hukum Humaniter Internasional Terhadap Cyber-Warfare ... 88 1. Pengaruh Kemajuan Teknologi dalam Bidang Persenjataan dalam Hubungannya dengan Hukum Humaniter ................................... 88 2. Aplikasi Pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap Cyber-Warfare ............................................................................. 92 3. Urgensi Pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap Cyber-Warfare ............................................................................ 116
BAB V
KESIMPULAN ........................................................................ 126
A. Kesimpulan ............................................................................................ 126 B. Saran ....................................................................................................... 127
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 128
LAMPIRAN 1. Protocol Additional To The Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating To The Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), of 8 June 1977 2. United Nations General Assembly Resolution: Development In The Field of Information and Telecommunications in The Context of International Security. a. A/RES/53/70, 4 Januari 1999 b. A/RES/55/28, 20 Desember 2000 c. A/RES/56/19, 7 Januari 2002 d. A/RES/57/53, 30 Desember 2002 e. A/RES/58/32, 18 Desember 2003 f. A/RES/59/61, 16 Desember 2004 g. A/RES/60/45, 6 Januari 2006 h. A/RES/61/54, 19 Desember 2006 i.
A/RES/62/17, 8 Januari 2008
j.
A/RES/63/67, 12 Januari 2009
k. A/RES/65/41, 11 Januari 2011 l.
A/RES/67/27, 11 Desember 2012
m. A/RES/68/243, 27 Desember 2013 3. The Cyber Threat Landscape 4. Cyber Attack Process
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perang merupakan sebuah kenyataan sejarah manusia. Dalam setiap periode waktu, manusia saling berperang satu sama lain demi kepentingan suku, bangsa, agama, dan rasnya masing-masing. Banyak faktor penyebab terjadinya perang, antara lain persaingan ekonomi, penyebaran ideologi, kehormatan, dan kejayaan. Perang secara umum dapat dipahami sebagai cara kekerasan yang ditempuh suatu bangsa atau negara untuk menyelesaikan masalah atau konflik dengan bangsa atau negara lainnya, baik dalam skala besar maupun dalam skala kecil. Thomas Rid dalam bukunya “Think Again Cyberwar” menyatakan bahwa Seorang Jendral Prusia era Perang Napoleon yaitu Carl von Clausewitz mendefinisikan perang sebagai an act of violence to compel our opponent to fulfil our will atau yang berarti sebuah tindakan kekerasan untuk menundukan lawan atau musuh untuk memenuhi keinginan kita.1 Aktor dalam perang pada umumnya adalah negara melalui pemerintah yang berkuasa di dalamnya. Ketika perang pecah, pemerintah
1
Thomas Rid, Think Again: Cyberwar, (Washington DC: United States of America Department of Defense, 2012), halaman 11.
tersebut akan memerintahkan militer atau kekuatan bersenjatanya atas nama perintah negara untuk bertempur dengan pihak lain yang menjadi musuhnya. Setiap pihak yang berperang, tentunya menginginkan kemenangan untuk melindungi kepentingannya masing-masing. Untuk memenangkan perang, diperlukan strategi perang yang tepat dan sesuai dengan perkembangan zaman, yang mana perkembangan zaman tersebut bersamaan dengan adanya perkembangan teknologi, terutama dalam kaitan perang adalah perkembangan teknologi persenjataan. Pada saat ini berkembang teknologi persenjataan sibernetika (cyber-weapon) yang memanfaatkan jaringan telekomunikasi internet dengan domain operasi yang dinamakan sibernetika (cyber-space). Berkat adanya teknologi cyber-space tersebut muncul suatu strategi perang baru yang mana perang tidak dilakukan secara konvensional yaitu dengan tembak menembak secara langsung, dan dapat dilakukan dari jarak jauh dengan akibat yang sifatnya merusak. Perang seperti itu kemudian dikenal dengan perang sibernetika (cyber-warfare). Cyber-warfare muncul karena banyaknya aktifitas manusia yang bergantung dengan teknologi cyber-space yang kemudian menjadikannya kepentingan yang sifatnya vital di setiap negara. Aktifitas manusia tersebut antara lain perbankan, perdagangan saham, media sosial, komunikasi, sampai pada kegiatan sehari-hari yang semuanya terhubung atau
tekomputerisasi dalam domain operasional internet yang disebut cyberspace.2 Hampir seluruh aktifitas manusia yang terkomputerisasi itu memunculkan suatu ancaman terhadap cyberspace yang disebut dengan cyber-threat. Cyber-threat tersebut kemudian muncul dalam sebuah serangan terhadap cyber-space yang kemudian dikenal dengan cyberattack.
Aktor
serangan
(attackers)
itu
organisasi/kelompok, dan orang perorangan.
dapat 3
berupa
negara,
Dan apabila serangan
tersebut meluas lingkupnya dapat menjadi sebuah perang yang terjadi dalam cyber-space dan kemudian disebut dengan cyber-warfare. Cyberwarfare memungkinkan perang dilakukan dari jarak jauh, tanpa serangan langsung atau tembak menembak, dan cukup memanfaatkan domain internet cyber-space. Akibat yang ditimbulkan dapat bersifat psikis dan fisik yang biasanya terjadi ketika ada konflik yang sudah ada sebelumnya di beberapa negara. Beberapa peristiwa yang pernah terjadi cyber-warfare di dunia diantaranya dalam perang Israel dengan kelompok Hezbollah pada tahun 2006, adapula pada konflik India dengan Pakistan (2010), kemudian konflik Iran dengan Amerika Serikat dan Israel (2010), serta pada konflik sengketa wilayah Crimea antara Rusia dengan Ukraina (2014). Cyber2
Ivan Hilmi Avianto, Tinjauan Cyber Warfare Berdasarkan Hukum Humaniter Internasional (Studi Kasus: Perang Antara Rusia dan Georgia pada 7 Agustus 2008), Artikel Ilmiah, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, (Malang: UNBRAW, 2013). 3 Steve Winterfeld dan Jason Andress, The Basics of Cyber Warfare: Understanding The Fundamentals of Cyber Warfare in Theory and Practice, (Amsterdam: Syngress, 2013), halaman 13.
warfare yang terjadi dalam konflik-konflik diatas dapat dilihat bahwa cyber-warfare disebabkan dari latar belakang politik para pihak yang berkonflik layaknya sebuah konflik bersenjata. Beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, China, Rusia sudah membekali militer atau angkatan bersenjatanya dengan unit khusus cyber-warfare. Hal ini menandai lahirnya kecenderungan cyberwarfare sebagai salah satu cara berperang di dunia saat ini. Dimungkinkan perang atau konflik-konflik yang terjadi di dunia pada masa mendatang akan mengurangi penggunaan tembak menembak secara langsung dan mulai menggunakan cyber-warfare sebagai cara melakukan serangan. Dalam kaitan hukum internasional, terdapat disiplin ilmu yang membahas tentang ketentuan-ketentuan hukum internasional dalam peperangan atau konflik bersenjata yang dinamakan dengan hukum humaniter internasional. Sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 894 pada tahun 1994 mengatakan bahwa:4 Hukum kemanusiaan internasional (hukum humaniter internasional) berlaku dari permulaan konflik bersenjata dan berlanjut hingga gencatan senjata sampai tercapai penyelesaian damai umum; atau dalam kasus konflik internal, tercapai penyelesaian damai. Sampai saat itu, hukum humaniter internasional terus berlaku di seluruh teritori negara-negara yang sedang berperang, atau dalam hal konflik internal, seluruh teritori yang dikuasai oleh salah satu pihak yang berkonflik, entah pertempuran itu sendiri sungguh-sungguh terjadi atau tidak terjadi.
4
Malcolm N. Shaw, International Law Handbook, (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), halaman 1198.
Namun sampai saat ini masih diperdebatkan oleh para ahli mengenai apakah cyber-warfare dapat dikategorikan sebagai tindakan perang (act of war) atau konflik bersenjata internasional (international armed conflict), oleh karena belum adanya definisi yang diakui secara universal tentang cyber-warfare. Ditambah lagi belum adanya semacam konvensi (convention), code of conduct, basic principles, mengenai cyberwarfare. Sejauh ini perkembangan hukum yang ada tentang hal ini hanyalah dalam bentuk kerjasama pertahanan (framework of defence) dari beberapa negara yang sudah memiliki kemampuan cyber-warfare. Kondisi dimana belum adanya ketentuan hukum internasional yang mengatur cyber-warfare layaknya perang dalam hukum humaniter internasional, dapat merugikan negara-negara yang belum memiliki kemampuan bertahan dalam lingkup cyber-warfare. Apabila demikian dimungkinkan munculnya rasa saling curiga antar negara yang sangat mengganggu stabilitas politik internasional bahkan perdamaian dunia. Berdasarkan paparan tersebut, perlu dilakukan suatu penelitian atau penulisan hukum yang berjudul KAJIAN PERANG SIBERNETIKA (CYBER-WARFARE) INTERNASIONAL INTERNASIONAL.
SEBAGAI
KONFLIK
BERDASARKAN
HUKUM
BERSENJATA HUMANITER
B. Rumusan Masalah Berdasarkan dari uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa masalah terkait penelitian hukum ini, yaitu sebagai berikut: 1. Apakah cyber-warfare dapat dikategorikan sebagai konflik bersenjata internasional? 2. Apakah hukum humaniter internasional dapat diterapkan terhadap cyber-warfare?
C. Tujuan Penelitian Dalam melaksanakan penelitian yang mendapatkan hasil maksimal serta tepat guna, maka penelitian harus memiliki tujuan yang hendak dicapai. Sedangkan tujuan penelitian ini antara lain: 1. Untuk mengetahui apakah cyber-warfare dapat dikategorikan sebagai konflik bersenjata internasional. 2. Untuk mengetahui apakah hukum humaniter internasional dapat diterapkan terhadap cyber-warfare.
D. Manfaat Penelitian Berkaitan dengan tujuan penelitian yang telah disebutkan sebelumnya, adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis a. Memberikan pemahaman tentang cyber-warfare sebagai suatu cara baru yang digunakan dalam suatu konflik bersenjata. b. Memberikan
sumbangan
pemikiran
bagi
keilmuan
hukum
humaniter internasional yang harus terus berkembang seriring kemajuan teknologi. c. Dapat memberikan bahan masukan serta referensi bagi penelitian yang dilakukan selanjutnya. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi mengenai kajian perang sibernetika (cyber-warfare) sebagai konflik bersenjata internasional berdasarkan hukum humaniter internasional. b. Memberikan pedoman bagi penelitian di masa mendatang mengenai pengaturan hukum humaniter internasional terhadap cyber-warfare. c. Hasil penelitian diharapkan memunculkan suatu implementasi hukum dalam bentuk deklarasi, konvensi, maupun code of conduct yang cukup memadai mengatur cyber-warfare dalam ranah hukum humaniter internasional.
E. Sistematika Penelitian Dalam menyusun penulisan hukum ini. Penulis membaginya ke dalam 5 (lima) bab dimana setiap babnya terdapat sub-sub bab yang akan menjelaskan secara rinci dan detail dari bab-bab tersebut. Sedangkan sistematika bab-bab tersebut adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Penulis menguraikan hal-hal apa yang mendasari ditulisnya skripsi ini. Untuk lebih jelasnya, penulis membagi bab pendahuluan ini ke dalam beberapa sub bab sebagai berikut: A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Sistematika Penelitian BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini terdiri dari sub bab sebagai berikut: A. Tinjauan Umum Hukum Humaniter Internasional 1. Pengertian Hukum Humaniter Internasional 2. Perkembangan Hukum Humaniter Internasional 3. Sumber, Asas, dan Prinsip dalam Hukum Humaniter Internasional 4. Ruang Lingkup Hukum Humaniter Internasional
5. Pengertian dan Jenis Konflik Bersenjata B. Tinjauan Umum Perang Sibernetika (Cyber-Warfare) 1. Pengertian Cyber-Warfare 2. Sejarah dan Perkembangan Munculnya Cyber-Warfare 3. Karakteristik Cyber-Warfare 4. Perkembangan Pengaturan Cyber-Warfare BAB III METODE PENELITIAN Bab ini membahas Metode Penelitian yang digunakan dalam menyusun penulisan hukum ini. Bab ini terdiri dari sub bab sebagai berikut: A. Metode Pendekatan Masalah B. Spesifikasi Penelitian C. Metode Pengumpulan Data D. Metode Analisa Data BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini membahas Hasil Penelitian dan Pembahasan yang menguraikan secara jelas dan lengkap tentang hasil penelitian. Dalam bab ini akan disajikan data-data yang diperoleh pada saat pelaksanaan penelitian yang dilakukan melalui penelitian studi pustaka (library research)
sesuai
dengan
pokok-pokok
permasalahan
ditentukan. Bab ini terdiri dari sub bab sebagai berikut:
yang
telah
A. Cyber-Warfare sebagai Konflik Bersenjata Internasional 1. Cyber/Cyberspace sebagai Domain Perang Masa Depan 2. Aktor Cyber-Warfare 3. Ancaman dan Dampak Cyber-Warfare terhadap Keamanan dan Perdamaian Dunia B. Relevansi Hukum Humaniter Internasional Terhadap Cyber-Warfare 4. Pengaruh Kemajuan Teknologi dalam Bidang Persenjataan dalam Hubungannya dengan Hukum Humaniter 5. Aplikasi Pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap Cyber-Warfare 6. Urgensi Pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap Cyber-Warfare BAB V PENUTUP Bab ini terdiri dari sub bab sebagai berikut: A. Kesimpulan B. Saran
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Hukum Humaniter Internasional Presiden Palang Merah Internasional (International Committee of Red Cross/ICRC) yang bernama Dr. Jakob Kellenberger menyatakan bahwa:5 The laws of war were born of confrontation between armed forces on the battle-field. Until the mid-nineteenth century, these rules remained customary in nature, recognised because existed since time immemorial and because they corresponded to the demands of civilisation. All civilisations have developed rules aimed at minimising violence – even this institutionalised form of violence that we call war – since limiting violence is the very essence of civilisation Kutipan pernyataan kata pengantar yang disampaikan Dr. Jakob Kellenberger itu mewakili sekian banyak cerita lahirnya hukum humaniter internasional. Peradaban (civilisation) manusia yang tak pernah lepas dari perang
yang
membuat
manusia selalu
berpikir
bagaimana cara
meminimalisasi kekerasan yang terjadi dalam perang dengan dasar manusia yang beradab. Paling tidak perang dilakukan secara fair atau ada semacam ‘aturan main’ untuk para pihak yang berperang, untuk menjaga konflik yang ada tidak sampai melebar dan berdampak ke pihak lainnya yang tidak ikut berperang. 5
Jean-Marie Henckaerts and Louise Doswald-Beck, Customary International Humanitarian Law: Volume I Rules, (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), halaman ix.
Pemikiran-pemikiran seperti itu mengilhami lahirnya hukum perang (the law of war) sampai dengan perkembangannya hingga periode modern saat ini. Perlu pula ditegaskan dalam studi ini, bahwa akhir-akhir ini timbul istilah baru dalam khasanah hukum internasional yaitu international humanitarian law yang diterjemahkan menjadi hukum humaniter internasional, atau hukum internasional humaniter. 6 Istilah ini merupakan suatu istilah yang masih relatif baru di Indonesia, sebab selama ini orang hanya mengenal dengan sebutan hukum perang (the law of war), dan oleh karena itu tidak mengherankan apabila khalayak ramai belum mengenalnya.7 Dalam sub bab ini penulis memaparkan tinjauan umum mengenai hukum humaniter internasional dengan melihat pada aspek pengertian, perkembangan, sumber hukum, asas hukum, prinsip hukum, dan ruang lingkupnya. Selain itu dikerucutkan lagi ke dalam pembahasan mengenai konflik bersenjata dengan melihat pada pengertian dan jenis konflik bersenjata.
1. Pengertian Hukum Humaniter Internasional Istilah hukum humaniter internasional atau lengkapnya disebut dengan International Humanitarian Law Applicable in 6
Syahmin AK, Hukum Internasional Humaniter Bagian Umum, (Bandung: Amrico, 1985), halaman 6. 7 Ibid.
Armed Conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini lazim dikenal dengan
hukum
humaniter
internasional
(international
humanitarian law). Selain istilah hukum humaniter internasional beberapa ahli menggunakan istilah lainnya seperti hukum sengketa bersenjata internasional, atau hukum kemanusiaan internasional. Istilah yang berbeda-beda tersebut bermacam-macam karena istilah tersebut berubah-ubah seiring dengan perkembangan hukum humaniter internasional melalui upaya-upaya internasional yang akan dibahas secara lebih rinci pada pembahasan perkembangan hukum humaniter internasional. Namun terlepas dari perbedaan penggunaan istilah-istilah tersebut, pengertiannya memiliki makna yang sama. Berikut ini beberapa sarjana atau ahli mencoba memberikan definisi atau pengertian mengenai hukum humaniter internasional atau hukum perang atau hukum sengketa bersenjata: a. Oppenheim-Lauterpacht mendefinisikan law of war are the rules of law of nations respecting warfare. 8 Pendapat beliau hanya terbatas pada hukum yang harus ditaati bangsa-bangsa yang berperang.
8
Ibid, halaman 7.
b. Sedangkan JG Starke memberikan batasan yang lebih luas daripada
pendapat
Oppenheim-Lauterpacht.
JG
Starke
mengatakan bahwa, “Hukum Perang terdiri dari sekumpulan pembatasan oleh hukum internasional dalam mana kekuatan yang diperlukan untuk mengalahkan musuh boleh digunakan dan prinsip-prinsip
yang
mengatur
perlakuan terhadap
individu-individu pada saat berlangsungnya perang dan konflik-konflik bersenjata.”9 c. Jean Pictet mendefinisikan “International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision, whether written and customary, ensuring respect for individual and his well being”. 10 Pendapatnya sama sekali tidak menyebutkan perang, pendapat beliau hanya mendefinisikan situasi formal bagaimana hukum itu ada serta menitik beratkan pada penghargaan Hak Asasi Manusia setiap individu manusia. Terlihat jelas bahwa Jean Pictet adalah seorang yang menganut paradigma hukum positivisme. d. Geza Herzeg berpendapat, “International humanitarian law is part of the rule of public international law which serve as the protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from these its purpose and spirit 9
JG Starke, Pengantar Hukum Internasional 2 Edisi Kesepuluh, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), halaman 727. 10 Arlina Permatasari dkk, Pengantar Hukum Humaniter, (Jakarta: ICRC, 1999), halaman 9.
being different.”11 Pendapat Geza Herzeg agak mirip dengan pendapat Jean Pictet, perbedaannya adalah pendapat Geza Herzeg ini sudah membahas tentang korelasi hukum humaniter internasional dengan konflik bersenjata internasional. e. Knut Dormann berpendapat “International Humanitarian Law is applicable only in times of armed conflict and composed of the two following types of rules; first is rules which limit the right of the parties to use means and methods of war; and second is rules which protect the persons and property in times of armed conflict.”
12
Pendapat Knut Dormann tidak
memberikan definisi hukum humaniter internasional, tetapi pendapatnya menjelaskan mengenai kapan hukum humaniter internasional tersebut diaplikasikan dan mengenai sifat dari hukum humaniter internasional itu sendiri. f. Prof. Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa “Hukum Humaniter Internasional adalah sebagian dari hukum perang yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur peperangan itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut
11
Ibid. Knut Dormann, Computer Network Attack and International Humanitarian Law, (Artikel Ilmiah, International Committee of Red Cross, diakses dari http://icrc.org/CNA_and_international_law , diakses pada 23 Februari 2015.
12
cara-cara melakukan perang itu sendiri.”13 Selanjutnya beliau memberikan terminologi dalam hukum perang, yaitu: 1) Hukum tentang perang (jus ad bellum), yang mengatur dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata. 2) Hukum yang berlaku dalam perang (jus in bello), yang kemudian terbagi dua lagi menjadi: a) Yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war) yang kemudian disebut hague laws. b) Yang mengatur perlindungan bagi orang-orang yang menjadi korban perang, yang kemudian disebut geneva laws. 14 Agaknya beberapa pendapat ahli/sarjana diatas, JG. Starke dan Prof. Mochtar Kusumaatmadja lebih memberikan pengertian yang lebih spesifik dan mendalam mengenai hukum humaniter internasional, karena kedua ahli ini menurut penulis sudah menyinggung mengenai sumber dan prinsip dalam hukum humaniter internasional yang mana fundamental dalam kajian hukum
humaniter
internasional.
Selain
itu,
di
Indonesia
pembahasan dalam lingkup hukum internasional khususnya hukum humaniter internasional lebih merujuk atau lebih dipengaruhi pada pendapat kedua ahli tersebut. Dengan mencermati pengertian dan/atau definisi hukum humaniter internasional, maka ruang lingkup hukum humaniter 13 14
Ibid. Syahmin AK, Hukum Internasional Humaniter 1 Bagian Umum, (Bandung: Amrico, 1985).
internasional dapat dikelompokan dalam tiga kelompok yaitu aliran luas, aliran tengah, dan aliran sempit. 15 Jean Pictet misalnya menganut pengertian hukum humaniter dalam arti pengertian yang luas yaitu bahwa hukum humaniter mencakup baik hukum Jenewa, hukum Den Haag, dan hukum terhadap Hak Asasi Manusia. 16 Sedangkan Geza Herzegh menganut aliran sempit, menurutnya hukum humaniter hanya menyangkut hukum Jenewa.17 Sedangkan Starke menganut aliran tengah yang menyatakan bahwa hukum humaniter terdiri atas hukum Jenewa dan hukum Den Haag. 18
2. Perkembangan Hukum Humaniter Internasional Hukum
humaniter
internasional
seperti
diketahui
sebelumnya bahwa perkembangannya dimulai sejak selama peradaban manusia di bumi ada. Sebelum istilah hukum humaniter internasional muncul, hukum yang mengatur para pihak yang berperang lebih dikenal dengan hukum perang. Hukum perang yang dikenal sejak lama itu mengatur etika-etika dan kebiasaan yang diterima universal mengenai perang. Sejak sebelum tahun masehi pada saat itu diketahui sejarah manusia sudah ada dan diketahui pula sejarah perang. Manusia 15
Haryomataram, Hukum Humaniter, (Jakarta: CV Radjawali, 1994), halaman 15-25. Ibid. 17 Ibid. 18 Ibid. 16
sudah berkelompok dalam satu bangsa dan saling menaklukan manusia di bangsa lainnya yang biasanya melalui cara-cara kekerasan seperti perang. Sejak zaman kuno, kerajaan-kerajan yang terlibat perang mempunyai kebiasaan untuk melakukan pernyataan perang (declaration of war) sebelum dilakukan serangan terhadap musuh. Hal ini dilakukan agar musuh dapat mempersiapkan diri sebelum terjadi perang, yang mana persiapan itu seperti mengungsikan warga sipil khususnya wanita dan anak-anak ke tempat yang aman dari zona perang dan melakukan wajib militer (conscription) terhadap warga sipil pria jika dibutuhkan. Dalam bukunya Development and Principles of International Humanitarian Law, Jean Pictet mengisahkan bahwa para panglima tentara Bangsa Mesir ketika pecah perang akan memerintahkan prajuritnya untuk menyediakan kebutuhan para musuh yang tertangkap, juga mengobati luka-luka mereka.19 Pada zaman pertengahan, agama dan kepercayaan sudah pesat berkembang dan diyakini oleh banyak masyarakat terutama di benua Eropa dan Asia. Maka dari itu, hukum yang ada dalam agama dan kepercayaan banyak mempengaruhi perkembangan
19
Jean Pictet, Development and Principles of International Humanitarian Law, (Geneva: Henry Dunant Institute, 1985), halaman 7.
hukum perang pada saat itu melalui kitab suci atau pemuka agama.20 Dalam kitab Al-Qur’an yang diyakini oleh para pemeluk agama Islam dituliskan dalam: Al-Baqarah ayat 190 “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” 21 Implementasi dari AlBaqarah ayat 190 tersebut terkandung dalam prinsip hukum perang modern (hukum humaniter internasional) seperti dalam prinsip pembatasan (limitation principle), dan prinsip proporsionalitas (proportionally principle). Adapula dalam Al-Qur’an diatur mengenai pengaturan tawanan perang yaitu pada Al-Taubah ayat 5 “Apabila telah habis bulan-bulan haram, maka perangilah orang-orang musyrik dimana saja kamu temui, tangkaplah dan kepunglah mereka, dan awasilah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan melaksanakan salat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka.
Sungguh
Allah
Maha
Pengampun,
Maha
Penyayang.”22Implementasi Al-Taubah ayat 5 tersebut terkandung dalam
20
asas
hukum
Arlina Permanasari, Op.Cit., halaman 13. Al-Qur’an, Al-Baqarah 190. 22 Al-Qqur’an, Al-Taubah 5. 21
perang
modern
(hukum
humaniter
internasional) seperti asas kemanusiaan (humanity principle) dan asas kesatrian (chivalry principle). Bagi warga Eropa khususnya Eropa barat yang mayoritas penduduknya beragama Kristiani, hukum perang tidak dikenal dalam kitab suci pengikut Kristiani. Akan tetapi institusi gereja (Katholik Roma saat itu sangat berpengaruh terhadap setiap pengambilan keputusan politik negara-negara di eropa khususnya eropa barat. Begitupula terhadap ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi prajurit ketika berperang. Meskipun demikian, belum ada kodifikasi peraturan hukum perang yang memadai dan berlaku universal, saat itu masih berlaku hukum kebiasaan dan berdasarkan doktrin militer dari masing-masing negara. Setelah masa abad pertengahan dimana agama dan/atau kepercayaan sangat berpengaruh, muncul suatu peradaban baru yaitu era pencerahan dimana gaya pemikiran logis/masuk akal (rasional) sudah mulai berkembang dan meninggalkan pemikiran yang sifatnya keilahian. Di era inilah hukum perang mulai berlaku universal di dunia dan mulai dikodifikasikan dan bersifat mengikat negara-negara yang meratifikasinya (legaly binding). Di benua Eropa terobosan perkembangan itu diawali dari pendirian organisasi internasional yang bernama International Committee of Red Cross (ICRC) pada tahun 1863 yang dipelopori
oleh seseorang berkebangsaan Swiss yang bernama Henry Dunant. Pertempuran
antara
pasukan
Perancis
dan
Austria
di
Solferino,Italia pada tahun 1859 mengilhami Henry Dunant membentuk ICRC. Konsep awal fungsi organisasi ini adalah untuk menangani prajurit yang terluka dan sakit di medan perang (darat). Pada tahun 1863, di Amerika Serikat muncul Instruction For The Government of Armies of The United States in The Field atau yang lebih dikenal dengan Lieber Code yang memuat aturanaturan perang bagi prajurit Amerika Serikat. Kodifikasi peraturan hukum perang yang memuat 157 article ini secara garis besar berisi ketentuan rinci pada keadaan perang di darat, tindakantindakan dalam perang yang dibenarkan serta perlakuan terhadap warga sipil. 23 Meskipun peraturan ini diciptakan hanya untuk pasukan Amerika Serikat pada perang saudara di Amerika Serikat, kodifikasi ini merupakan salah satu terobosan hukum dan kebiasaan perang yang ada pada saat itu. Liber Code sangat mempengaruhi kodifikasi hukum perang di dunia dimana banyak diadopsi oleh negara-negara lain saat itu. The Lieber Code formed the origin of the project of an international convention on the laws of war presented to the Brussels Conference in 1874 and
23
Dinindya Lintang Sekar Mayang, Penggunaan Senjata Cluster Pada Konflik Bersenjata NonInternasional Suriah dan Hubungannya dengan Pelanggaran Hukum Humaniter Internasional, (Skripsi Sarjana Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2014), halaman 9-10.
stimulated the adoption of the Hague Conventions on land warfare of 1899 and 1907.24 Setelah sukses dari Konferensi Jenewa 1863, Dewan Federal Swiss, atas prakarsa Komite Jenewa pada tahun 1864, mengundang pemerintah semua negara Amerika Eropa dan beberapa negara untuk mengadakan konferensi diplomatik yang bertujuan mengadopsi sebuah konvensi untuk perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata yang terluka dan sakit di medan perang di darat. Kemudian dikodifikasikanlah Geneva Convention For The Amelioration of The Condition of The Wounded and Sick In Armed Forces in The Field yang dikenal dengan Konvensi Jenewa I. Konvensi ini secara garis besar memiliki substansi hukum perang sebagai berikut: 1) Perlindungan dan perawatan terhadap prajurit yang terluka dan sakit tanpa membedakan pihak-pihak yang berperang; 2) Perlindungan terhadap sarana dan unit medis; 3) Emblem, lambang, dan tanda identifikasi khusus untuk sarana dan unit medis Pada tahun 1899 diadakan The Hague Convention II: Laws and Customs War on Land yang lalu dikenal dengan Konvensi Den Haag 1899. Tujuan diadakannya konvensi ini adalah untuk 24
D. Schindler dan J. Toman, The Laws of Armed Conflicts, (Leiden: Martinus Nihjoff Publisher, 1988), halaman 23.
merevisi deklarasi mengenai hukum dan kebiasaan perang yang diuraikan pada Konferensi Brussels 1874. Secara garis besar, substansi yang diatur terdiri atas 4 bagian utama dan 3 deklarasi tambahan sebagai berikut: 1) Penyelesaian damai atas sengketa internasional (pacific settlement of international disputes); 2) Hukum dan kebiasaan perang di darat (law and customs of war on land); 3) Penyesuaian prinsip-prinsip Konvensi Jenewa I mengenai perang di laut (adoption to maritime warfare of principles of Geneva Convention of 1864); 4) Deklarasi tambahan mengenai larangan peluncuran proyektil dan bahan peledak dari balon udara (on the launching of projectiles and explosives from ballons); 5) Deklarasi tambahan mengenai larangan penggunaan proyektil yang tujuannya menyebarkan gas pencekik atas gas perusak (on the use of projectiles the object of which is the diffusion of asphyxiating or deleterious gases); 6) Deklarasi tambahan mengenai larangan penggunaan peluru yang mengembang atau merata dengan mudah dalam tubuh manusia (on the use of bullets which expand or flatten easily in the human body).
Pada tahun 1906 diadakan Konvensi Jenewa II untuk merevisi/mengamandemen dan pengembangan Konvensi Jenewa I dengan nama Geneva Convention For The Amelioration of The Condition of Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea. Dengan 33 Article dibagi menjadi delapan bab, Konvensi Jenewa II 1906 lebih rinci dan lebih tepat dalam terminologi dibanding Konvensi Jenewa I 1864. Ketentuan baru yang dimasukkan antara lain:25 1) Mengenai penguburan orang mati dan transmisi informasi; 2) Bantuan sukarela warga sipil terhadap korban perang yang untuk pertama kalinya diakui secara tegas; 3) Hak istimewa penduduk membawa bantuan untuk korban luka dikurangi menjadi proporsi yang lebih masuk akal; 4) Kewajiban untuk memulangkan prajurit yang terluka yang tidak bisa melanjutkan tugas. Pada tahun 1907 diadakan The Hague Conventions IV: Law and Customs of War on Land yang lalu dikenal sebagai Konvensi Den Haag 1907. Konvensi Den Haag 1907 merupakan konvensi keempat yang diadakan untuk merevisi substansi pada konvensi Den Haag sebelumnya. Hanya terdapat perbedaan tipis dari konvensi Den Haag 1899, karena konvensi Den Haag 1907 ini
25
Ibid., halaman 301-310.
hanya melengkapi ketentuan yang sudah ada sebelumnya seperti membahas hukum dan kebiasaan perang di laut. Pada tahun 1919 Presiden Komite Palang Merah Amerika Serikat (American Red Cross Committee) Henry Davison menggagas sebuah organisasi yang mirip dengan ICRC yaitu Liga Masyarakat Palang Merah atau League of Red Cross Societes. Organisasi ini kemudian pada tahun 1983 berganti nama menjadi Liga Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (League of Red Cross and Red Crescent Societes), dan kemudian pada November 1991 berganti nama lagi menjadi Federasi Internasional Palang Merah dan Masyarakat Bulan Sabit Merah (International Federation of Red Cross and Red Crescent Societes/IFRC). Tujuan utama organisasi ini adalah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat di negara-negara yang telah mengalami perang dengan bersatu dan memperkuat kerjasama antar negara dalam bidang kesehatan seusai perang untuk membangun lagi tatanan kehidupan yang baru pasca kehancuran akibat perang.26 Pada tahun 1928 terbentuk Statues of International Red Cross. Ini merupakan sebuah konstitusi dari pendirian organisasi palang merah dunia yaitu Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Diadopsi dari Konferensi Internasional ke-25 Palang Merah di
26
The History of IFRC, diakses dari http://www.ifrc.org/en/who-we-are/history/ , pada 22 Februari 2015 pukul 13.17 WIB.
Jenewa pada bulan Oktober 1986 dan telah diubah dengan Konferensi Internasional ke-26 Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di Jenewa pada bulan Desember 1995 dan oleh Konferensi Internasional ke-29 Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di Jenewa pada Juni 2006. 27 Pada tahun 1929 diadakan Geneva Convention Relative to The Treatment of Prisoners of War yang kemudian dikenal dengan Konvensi Jenewa III. Adanya kekurangan ketentuan mengenai perlakuan tawanan perang sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Den Haag 1899 dan Konvensi Den Haag 1907 yang dirasakan selama perang dunia I, mengilhami dibentuknya suatu konvensi khusus mengenai perlakuan tawanan perang. Berdasarkan pemikiran tersebut disidangkanlah suatu konferensi diplomatik di Jenewa pada tahun 1929. Hasil dari konferensi diplomatik ini adalah suatu ketentuan yang melengkapi ketentuan dalam Konvensi Den Haag 1899 dan Konvensi Den Haag 1907 yang bernama Geneva Convention Relative to The Protection of Civilian Persons in Time of War. Menurut D.Schindler and J.Toman dalam bukunya The Laws of Armed Conflict inovasi yang dihasilkan adalah “consisted in the prohibition of reprisals and collective penalties, the organization of prisoners work, the designation, by
27
Statutes of the International Red Cross and Red Crescent Movement, diakses dari https://www.icrc.org/eng/resources/documents/misc/statutes-movement-220506.htm , pada 22 Februari 2015 pukul 13.42 WIB.
the prisoners, of representatives and the control exercised by protecting Powers.” 28 Pada tahun 1965 di Wina,Austria diadakan Proclamation of The Fundamental Principles of The Red Cross: Humanity, Impartiality, Neutrality, Independence, Voluntary Service, Unity, Universality. Proklamasi ini merupakan proklamasi bersama antara ICRC dan IFRC yang mana memiliki pokok untuk menjamin keberlangsungan gerakan dan misi kemanusiaan internasional. Hal ini tercermin dalam tujuh prinsip dasar yaitu: kemanusiaan (humanity), tidak memihak (impartiality), kenetralan (neutrality), kebebasan/kemerdekaan
(independence),
pelayanan
sukarela
(voluntary service), kesatuan (unity), keuniversalan (universality). Proklamasi ini menjadi dasar gerakan kemanusiaan yang dilakukan oleh ICRC dan IFRC. Pada tahun 1977 diadakan Protocol Additional to The 1949 Geneva Conventions yang pada pembahasannya berintikan ketentuan perlindungan terhadap korban konflik bersenjata. Protokol ini mengakomodasi dua situasi yaitu pada situasi konflik bersenjata internasional (international armed conflict) dan konflik bersenjata non-internasional (non-international armed conflict) yaitu sebagai berikut:
28
D.Schindler and J.Toman, Op.Cit., halaman 341-364.
1) Protocol Additional To The Geneva Conventions of 12 August 1949 and Relating to The Protection of Victims of International Armed Conflicts atau yang dikenal dengan Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949. 2) Protocol Additional to The Geneva Conventions of 12 August 1949 and Relating to The Protection of Non-International Armed Conflicts atau yang dikenal dengan Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa 1949. Pada tahun 1980 diadakan Convention on Prohibitions or Restrictions on The Use of Certain Conventional Weapons Which May be Deemed to be Excessively Injurious or to Have Indiscriminate Effects. Tujuan dari Konvensi ini adalah untuk untuk melindungi warga sipil dari cedera dari senjata yang digunakan dalam konflik bersenjata dan juga untuk melindungi kombatan dari penderitaan yang tidak perlu. Senjata-senjata yang dilarang diantaranya adalah seperti ranjau darat (land mine), jebakan
(booby
traps),
senjata
pembakar,
senjata
yang
mengeluarkan sinar yang membutakan mata, selain itu juga diatur mengenai pembersihan material bom atau proyektil seusai perang. Pada tahun 1998 dibentuk Mahkamah Internasional dengan dasar Rome Statute of The International Court of Justice atau yang dikenal dengan Statuta Roma. Statuta Roma dijadikan dasar pendirian Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal
Court) pada 17 Juli 1998
dimana negara-negara yang
berpartisipasi dalam United Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on The Establishment of an International Criminal Court membentuk sebuah peradilan yang mengadili kejahatan serius seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. 29 Pada tahun 2005 dikodifikasikan Protocol Additional to The Geneva Conventions Relation to The Adoption of An Additional Distinctive Emblem. Protokol ini mengatur mengenai tanda/lambang/simbol pembeda dari unit palang merah. Perkembangan hukum perang yang sekarang dikenal dengan hukum humaniter internasional dalam kajian hukum internasional, mengalami kemajuan pesat sejak tahun 1863. Sejak saat itu, organisasi internasional dan kodifikasi peraturan mengenai hukum humaniter internasional mulai efektif berlaku dan mengikat negara-negara. Setidak-tidaknya perkembangan ini memberikan batasan-batasan tertentu untuk setiap tindakan dalam perang demi penghormatan hak asasi manusia dan simbol manusia yang beradab.
29
William Driscoll et.al, The International Criminal Court: Global Politics and The Quest for Justice, (New York: The International Debate Education, 2004), halaman 30.
3. Sumber, Asas, dan Prinsip dalam Hukum Humaniter Internasional Sumber Hukum Humaniter Internasional Hukum humaniter internasional tidak dapat dilepaskan dari studi hukum internasional. Begitupun sumber hukum yang digunakan hukum humaniter internasional sama dengan sumber hukum yang ada pada hukum internasional. Berikut ini beberapa sumber hukum internasional: a. Perjanjian internasional; Perjanjian berdasarkan
internasional sudut
internasional
adalah
merupakan
pandang
sumber
kepositifannya.
persetujuan
hukum Perjanjian
internasional
yang
ditandatangani antara negara-negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dibuat dalam satu instrumen atau dua atau lebih instrumen yang saling berhubungan dan apapun namanya.30 b. Hukum kebiasaan internasional; Tidak mudah menemukan atau menilai bahwa suatu norma hukum humaniter internasional telah menjadi hukum kebiasaan internasional. Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Statuta Mahkamah Internasional, suatu aturan hanya dapat
30
Article 2 Ayat (1) a Konvensi Wina 1969.
dikategorikan hukum kebiasaan internasional apabila telah memenuhi beberapa syarat tertentu, yaitu telah dipraktikan secara umum oleh negara-negara dan telah memperoleh pendapat hukum yang mengakui ketentuan tersebut sebagai suatu keharusan.
31
Hukum kebiasaan internasional dapat
membantu apabila suatu aturan dalam perjanjian internasional masih belum memperoleh pengesahan dari negara-negara.32 c. Prinsip-prinsip hukum umum; Prinsip hukum umum merupakan sumber hukum berdasarkan sudut pandang fungsinya. Prinsip-prinsip hukum ini berguna untuk menemukan hukum bagi Hakim dalam hal belum adanya atau kurangnya kejelasan suatu peraturan mengenai suatu kasus. Prinsip hukum umum yang diterima oleh bangsa-bangsa yang beradab ini bersumber pada hukum Romawi yang melandasi sistem hukum modern yang dikembangkan dari Eropa Barat pada abad ke-19. Pada kenyataannya hanya sedikit prinsip-prinsip hukum umum yang dapat dijadikan sumber hukum humaniter internasional. Sebagai contoh prinsip itikad baik dan prinsip proporsional yang telah menjadi hukum kebiasaan internasional dan telah dikodifikasikan dalam perjanjian internasional. d. Yurisprudensi atau keputusan pengadilan; 31
Ambarwati, dkk, Hukum Humaniter Internasional: Dalam Studi Hubungan Internasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2012), halaman 38. 32 Ibid.
Keputusan pengadilan dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu persoalan yang
didasarkan atas sumber
primer
yaitu
Perjanjian
Internasional, Kebiasaan Internasional, dan prinsip hukum umum. Tidak mengikat artinya tidak dapat menimbulkan suatu kaidah hukum, misalnya dalam sistem peradilan menurut statuta ICJ tidak dikenal adanya asas keputusan pengadilan yang mengikat (keputusan mengikat hanya untukpihak yang bertikai). e. Pendapat atau doktrin para ahli/sarjana di bidang hukum internasional; Pendapat/doktrin
para
ahli/sarjana
di
bidang
hukum
internasional merupakan penelitian dan tulisan yang dilakukan oleh para sarjana hukum terkemuka sering dapat dipakai sebagai pedoman untuk menemukan hukum internasional, walaupun ajaran para sarjana ini tidak menimbulkan hukum. f. Keputusan organisasi internasional Keputusan organisasi internasional merupakan suatu hasil keputusan dari suatu masalah yang telah disetujui baik melalui konsensus maupun pemungutan suara menurut tata cara yang telah ditetapkan oleh organisasi internasional yang mengikat bagi anggotanya (subyek hukum internasional).
Dari sumber hukum internasional diatas, dalam faktanya tidak ada ketentuan yang mengatur hierarki sumber hukum mana yang lebih penting atau didahulukan (lex superiori derogat lex generali).
33
Oleh karena itu dalam suatu kajian hukum
internasional bergantung berdasarkan dari sudut pandang atau pangkal tolak sebuah konsep pemikiran. Mengenai sumber hukum humaniter internasional terdapat dua sumber pokok yaitu hukum Den Haag dan hukum Jenewa. Tetapi juga tidak melupakan sumber-sumber hukum lainnya sebagai pelengkap. Berikut ini beberapa sumber hukum humaniter internasional yang dikelompokan berdasarkan sumber hukum internasional: a. Perjanjian Internasional 1) Hukum Den Haag a) Konvensi Den Haag 1899 Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dilahirkan dari hasil Konferensi Perdamaian I yang dilaksanakan pada 18 Mei – 29 Juli 1899 34 . Dalam konferensi ini terdapat tiga konvensi dan tiga deklarasi yang dihasilkan yaitu:
33 34
Ibid. D. Schindler dan J. Toman, Op.Cit., halaman 49.
i. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Atas Sengketa Internasional (The Pacific Settlement of International Disputes); ii. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat (Laws and Customs of War on Land); iii. Konvensi III tentang Penyesuaian Asas-Asas Konvensi Jenewa 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut (Adoption To Maritime Warfare of Principles of Geneva Convention of 22 August 1864); iv. Deklarasi Tambahan I tentang Larangan Peluncuran Proyektil dan Bahan Peledak dari Balon (Prohibition on The Launching of Projectiles and Explosives From Ballons). v. Deklarasi Tambahan II tentang Larangan Penggunaan Proyektil yang Tujuannya Menyebarkan Gas Pencekik atau Gas Perusak (Prohibition on The Use of Projectiles The Object of Which Is The Diffusion of Asphyxiating of Deleterious Gases). vi. Deklarasi Tambahan III tentang Larangan Penggunaan Peluru yang Mengembang atau Merata dengan Mudah Dalam Tubuh Manusia (Prohibition on The Use of Bullets Which Expand or Flatten Easily In The Human Body).
b) Konvensi Den Haag 1907 Konvensi ini merupakan hasil dari Konferensi Perdamaian II menyusul suksesnya Konferensi Perdamaian I pada tahun 1899 di Den Haag. Konvensi-konvensi tersebut adalah: i. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional; ii. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut
Pembayaran
Hutang
yang
berasal
dari
Perjanjian Perdata; iii. Konvensi III tentang Cara Memulai Peperangan; iv. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat dilengkapi dengan peraturan Den Haag; v. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di Darat; vi. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan Perang; vii. Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang; viii. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut; ix. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di Waktu Perang;
x. Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut; xi. Konvensi XI tentang Pembatasan tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut; xii. Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan; xiii. Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam suatu Peperangan di Laut. 2) Hukum Jenewa a) Konvensi Jenewa I 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat (Geneva Convention For The Amelioration of The Condition of The Wounded and Sick in Armed Forces in The Field of 12 August 1949). b) Konvensi Jenewa II 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam
di
Medan
Pertempuran
Laut
(Geneva
Convention For The Amelioration of The Condition of Wounded, Sick, and Shipwrecked Members of Armed Forces At Sea of 12 August 1949).
c) Konvensi Jenewa III 1949 tentang Perlakuan Terhadap Tawanan Perang (Geneva Convention Relative To The Treatment of Prisoners of War of 12 August 1949). d) Konvensi Jenewa IV 1949 tentang Perlindungan Orang-Orang
Sipil
di
Waktu
Perang
(Geneva
Convention Relative To The Protection of Civilian Persons In Time of War of 12 August 1949). e) Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang Pada Konflik Bersenjata Internasional (Protocol Additional To The Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating To The Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), of 8 June 1977). f) Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang Pada Konflik Bersenjata Non-Internasional (Protocol Additional To The Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating To The Protection
Victims
of
Non-International
Armed
Conflicts (Protocol II), of 8 June 1977). g) Protokol Tambahan III Konvensi Jenewa 1949 tentang Pengadopsian Lambang Pembeda Tambahan (Protocol Additional To The Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating To The Adoption of An Additional
Distinctive Emblem (Protocol III), of 8 December 2005) 3) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Charter) 4) Statuta Roma 1998 (Statute of The International Court of Justice) b. Hukum Kebiasaan Internasional Setelah Konvensi Jenewa 1864 dilahirkan, terdapat kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh para anggota peserta agung seperti menandai rumah sakit ataupun fasilitas medis lainnya dengan bendera khusus yang melambangkan bendera para pihak dalam sengketa. Kebiasaan ini akhirnya didaptasi sebagai lahirnya lambang Palang Merah untuk menandai fasilitas-fasilitas
medis
di
kemudian
hari.
Kebiasaan
internasional ini dibuat untuk melindungi para pihak ataupun korban dalam sengketa bersenjata dari hal-hal yang tidak diatur dalam perjanjian-perjanjian internasional dan dari para pihak dalam sengketa bersenjata yang tidak ikut menandatangani atau membuat reservasi dalam perjanjian internasional. Bahkan dalam beberapa system hukum, aturan kebiasaan internasional dapat diterapkan secara langsung dalam hukum domestik35. Adapula beberapa hukum kebiasaan lainnya yaitu: 35
Sassoli, Marco & Antoine A. Bouvier, How Does Law Protect In War (Cases, Documents, and Teaching on Contemporary Practice in International Law), ICRC, 1999, hal. 109.
1) Customary International Humanitarian Law 2) Tallinn Manual on The International Law Applicable to Cyber Warfare.
Asas dan Prinsip dalam Hukum Humaniter Internasional Tak berbeda dengan hukum lainnya, hukum humaniter berpegang teguh pada beberapa prinsip. Prinsip tersebut terbagi menjadi beberapa asas, yaitu 36: a. Asas Kepentingan Militer (Military Necessity) Asas ini
membenarkan para pihak yang terlibat sengketa
untuk menggunakan cara-cara kekerasan dalam usahanya untuk menundukan lawan agar dapat mencapai suatu kemenangan. Singkatnya, dalam suatu perang semua daya upaya dan alat dapat digunakan, selama alat tersebut tidak dilarang oleh hukum perang. b. Asas Perikemanusiaan (Humanity) Walaupun hukum humaniter menerapkan asas kepentingan militer, para pihak yang bersengketa harus menunjukkan rasa perikemanusiaan dan dilarang untuk menggunakan kekerasan yang akan menimbulkan luka berlebih dan penderitaan yang
36
Haryomataram, KGBH, Bunga Rampai Hukum Humaniter, Jakarta, Bumi Nusantara Jaya, 1998, hal 59.
tidak perlu. Salah satu contoh asas perikemanusiaan adalah kewajiban untuk memperlakukan para korban perang (baik anggota militer atau bukan) dengan berperikemanusiaan dan mereka berhak untuk mendapatkan perawatan medis37. c. Asas Kesatriaan (Chivalry) Selain harus menjunjung tinggi rasa kemanusiaan, para pihak bersengketa diwajibkan untuk mempunyai sifat kesatria. Sifat tersebut diharapkan dapat mencegah para pihak sengketa untuk melakukan cara tidak terhormat untuk memenangkan perang seperti menggunakan senjata terlarang
dan
melakukan
pengkhianatan.
Selain asas-asas diatas, terdapat pula prinsip yang diakui dalam hukum humaniter yaitu38: a. Prinsip proporsionalitas (Proportionality Principle) Prinsip yang diterapkan untuk membatasi kerusakan yang disebabkan oleh operasi militer dengan mensyaratkan akibat dari sarana dan metoda berperang yang digunakan tidak boleh tidak proposional dengan keuntungan militer yang diharapkan. b. Prinsip Pembatasan (Limitation Principle)
37
Geneva Convention 1949, Article 12 Verri, Piero, Dictionary of International Law of Armed Conflict, International Committee of Red Cross, Geneva, 1992, hal 90.
38
Prinsip ini membatasi penggunaan alat-alat dan cara-cara berperang yang dapat menimbulkan akibat yang luar biasa terhadap pihak musuh. c. Prinsip Pembedaan (Distinction Principle) Prinsip ini membagi penduduk dalam dua golongan yaitu penduduk atau warga dari Negara yang sedang berperang dan yang sedang terlibat dalam pertikaian senjata dalam perang tersebut. Singkatnya prinsip ini membagi penduduk yaitu golongan penduduk sipil dan kombatan39 d. Prinsip tentang larangan menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya (Prohibition of Causing Unnecessary Suffering Principle) Prinsip ini merupakan aturan dasar yang berkaitan dengan metode dan alat perang.
40
Prinsip ini berkaitan dengan
ketentuan yang menetapkan bahwa metode perang yang benar adalah metode yang dilaksanakan hanya untuk melemahkan kekuatan militer lawan.41
4. Ruang Lingkup Hukum Humaniter Internasional Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, hukum humaniter internasional dapat dibahas dalam beberapa prespektif dari para
39
Haryomataram, KGPH. Pengantar Hukum Humaniter. Rajawali Press, Jakarta 2005. hal. 63 Ambarwati, Op.Cit., halaman 46. 41 Ibid. 40
ahli/sarjana di bidang hukum internasional. Dari berbagai macam definisi tersebut, maka berdasarkan pendapat para ahli ruang lingkup hukum humaniter dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:42 a. Ruang lingkup aliran luas b. Ruang lingkup aliran sempit c. Ruang lingkup aliran tengah (moderat) Mereka yang menganut aliran atau ruang lingkup yang luas, pada umumnya mengatakan bahwa hukum humaniter tidak saja terdiri dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa, melainkan juga mencakup Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, sebagaimana dikemukakan Jean Pictet. Walaupun demikian tidak semua ahli yang menganut aliran atau ruang lingkup luas berpendapat seperti itu. Ada juga yang memasukan ketentuan-ketentuan mengenai keabsahan suatu sengketa bersenjata atau lebih dikenal dengan konsep “jus ad bellum” sebagai hal yang dipelajari dalam kajian hukum humaniter internasional. Intinya, menurut golongan ini, ruang lingkup yang dicakup hukum humaniter internasional tidak selalu terpatok pada hukum Jenewa dan hukum Den Haag saja. Sedangkan mereka yang menganut ruang lingkup aliran sempit tentu saja berpendapat bahwa hukum humaniter internasional
42
Masyhur Effendi, Hukum Humaniter Internasional dan Pokok-Pokok Doktrin Hankamrata, (Surabaya: Usaha Nasional, 1994), halaman 49.
hanya terbatas pada dua sumber ini saja, sedangkan golongan menengah berpendapat bahwa kedua sumber hukum yang ada (Konvensi Den Haag dan Konvensi Jenewa) merupakan sumber utama dari hukum humaniter namun bukanlah satu-satunya, terdapat sumber-sumber hukum lain yang dapat dijadikan dasar dan pegangan meskipun golongan ini sepakat bahwa rujukan utama tetaplah mengacu pada kedua konvensi diatas.43 Keberadaan ruang lingkup ini hanyalah untuk keperluan akademis saja, setidak-tidaknya dapat membantu memahami pemikiran-pemikiran yang lebih mendalam mengapa banyak perbedaan pendapat dari para ahli/sarjana. Menurut penulis, urgensi
yang
diperlukan
adalah
bagaimana
aplikasi
atau
implementasi hukum humaniter internasional itu sendiri.
5. Pengertian dan Jenis Konflik Bersenjata Konsep konflik bersenjata tidak didefinisikan di dalam konvensi-konvensi Jenewa atau protokol-protokol, meskipun sudah disebutkan bahwa “segala perbedaan yang timbul diantara negaranegara dan menimbulkan intervensi dari anggota angkatan bersenjata adalah konflik bersenjata” dan “konflik bersenjata terjadi setiap kali ada penggunaan angkatan bersenjata di antara
43
Jean Pictet, The Principles of International Humanitarian Law, dalam Haryomataram, Op.Cit, halaman 15.
negara-negara atau kekerasan bersenjata yang berlarut-larut di antara otoritas pemerintah dan kelompok-kelompok bersenjata terorganisasi di dalam satu negara. 44 Dapatlah dikatakan ketika angkatan bersenjata atau militer di suatu negara terlibat dalam suatu sengketa dapat dikatakan sebagai konflik bersenjata. Mengenai konflik
bersenjata diatur
dalam
Protokol
Tambahan I dan II Konvensi Jenewa 1949. Protokol Tambahan I membahas perlindungan korban perang pada situasi konflik bersenjata internasional dan Protokol Tambahan II membahas perlindungan korban perang pada situasi konflik bersenjata noninternasional. Kedua protokol tersebut sama-sama membahas perlindungan korban pada konflik bersenjata, tapi perbedaannya adalah jenis konfliknya, jika Protokol Tambahan I diaplikasikan untuk
konflik
bersenjata
internasional sedangkan
Tambahan II diaplikasikan untuk konflik
Protokol
bersenjata non-
internasional. Maka dari itu dapatlah diketahui bahwa terdapat dua jenis konflik bersenjata yaitu konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non-internasional. Perbedaan
itu
didasarkan
pada
perbedaan
diantara
hubungan antar negara, yang menjadi fokus bagi hukum internasional, dan urusan intra negara yang secara tradisional termasuk yurisdiksi negara-negara
44
Malcolm N. Shaw, Op.Cit., halaman 1197.
sehingga secara teori tidak
terpengaruh hukum internasional. 45 Namun pada praktiknya di lapangan pembedaan antara konflik bersenjata internasional dan non-internasional tersebut mulai memudar. Hal ini karena konflik bersenjata yang terjadi di dunia saat ini menjadi semakin sulit dikategorikan apakah itu termasuk konflik bersenjata internasional atau konflik bersenjata non-internasional. Kasus yang pernah terjadi di Libya pada sekitar tahun 2012 sekiranya
menggambarkan
sulitnya
membedakan
konflik
bersenjata internasional atau non-internasional yang terjadi di sana. Konflik bersenjata awalnya terjadi antara pasukan loyalis Presiden Muammar Khadafi dan pasukan revolusi Libya, namun ditengah konflik itu NATO (North Atlantic Treaty Organization) yang notabene adalah organisasi pertahanan negara-negara Atlantik Utara turut campur tangan di Afrika yang bukan kewenangannya. Selain NATO adapula PBB yang juga memberlakukan larangan terbang di seluruh wilayah Libya serta memerintahkan melalui resolusi Dewan Keamanan agar jet-jet tempur negara NATO melakukan serangan udara (air raid) terhadap pasukan loyalis. Terlihat bahwa konflik bersenjata di Libya tersebut memiliki aspek internasional dan non-internasional karena sudah ada rezim hukum internasional yang masuk.
45
Ibid.
Perkembangan ini muncul sebagian dikarenakan tingginya frekuensi konflik internal (konflik bersenjata non-internasional) dan
sebagian
dikarenakan
tingginya
kebrutalan
dalam
pelaksanaannya.46 Semakin berkembangnya saling ketergantungan di antara negara-negara di dunia modern menjadikan semakin lama semakin sulit bagi negara pihak ketiga dan organisasi internasional untuk mengabaikan konflik sipil (konflik bersenjata noninternasional), terutama melihat lingkup dari desakan dari adanya komunikasi modern, sementara itu perkembangan hukum hak-hak asasi manusia internasional juga turut andil dalam menyudahi kepercayaan bahwa apapun yang terjadi di negara lain bukanlah urusan negara lain atau orang lain.
47
Maka kini masyarakat
internasional semakin siap sedia menuntut penerapan hukum humaniter internasional untuk konflik internal (konflik bersenjata non-internasional). 48
B. Tinjauan Umum Perang Sibernetika Within a quarter hour, 157 major metropolitan areas have been thrown into knots by a nationwide power blackout hitting during rush hour. Poison gas clouds are wafting toward Wilmington and Houston. Refineries are burning up oil supplies in several cities. Subways have crushed, freight trains have derailed, and aircraft are literally falling out 46
Ibid Ibid. 48 Ibid. 47
of the sky as a result of middair collisions across the country.... The financial system has also frozen solid.... Several thousand Americans have already died.” –Richard Clarke, Mantan Ketua Pengurus Perlindungan Infrastruktur Vital Gedung Putih Amerika Serikat (Former Chairman of The US White House Critical Infrastructure Protection Board).49 Kutipan itu adalah gambar kekacauan yang terjadi ketika sebuah sistem yang sudah terintegrasi, terkomputerisasi, dan saling terhubung diserang atau dirusak. Seluruh infrastruktur yang bergantung pada sistem tersebut akan terkena dampak sehingga menimbulkan efek kartu domino yaitu kekacauan masal. Perkembangan teknologi yang begitu pesatnya memunculkan suatu istilah yang dikenal dengan sibernetika atau dalam Bahasa Inggris yaitu cyber.
Dengan
domain
operasional
dunia
maya
(cyber-space),
memungkinkan segala infrastruktur yang ada di dunia ini saling terintegrasi, terkomputerisasi, dan saling terhubung satu sama lain lintas daerah, lintas negara, lintas benua dengan kecepatan penyebaran informasi dan komunikasi instan. Fungsi yang ada pada teknologi ini kemudian dapat dijadikan target oleh pihak-pihak musuh dalam kaitan konflik bersenjata. Konflik bersenjata yang mana memanfaatkan teknologi sibernetika/cyber sebagai sarana tempur atau domain tempur atau metode berperang dipahami sebagai perang sibernetika (cyber-warfare). 49
Richard A. Clarke dan Robert Knake, Cyber War: The Next Threat to National Security and What To Do About It, (New York: Ecco, 2012).
Dalam sub bab ini penulis memaparkan tinjauan umum mengenai perang sibernetika (cyber-warfare) yang melihatnya dari aspek pengertian, sejarah dan perkembangan, karakteristik, dan perkembangan pengaturan dari perang sibernetika atau cyber-warfare.
1. Pengertian Cyber-Warfare Cyber-Warfare dalam bahasa Indonesia berarti Perang Sibernetika. Secara etimologi istilah ini terbagi dua yaitu sibernetika/cyber dan perang/warfare. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sibernetika (siber-ne-ti-ka) adalah ilmu pengetahuan tentang komunikasi dan pengawasan yang khususnya berkenaan dengan studi bandingan atas sistem pengawasan otomatis (seperti sistem saraf dan otak).50 Sedangkan perang dari sumber yang sama adalah 1 permusuhan antara dua negara (bangsa, agama, suku, dsb); kedua negara itu dalam keadaan -- 2 pertempuran besar bersenjata antara dua pasukan atau lebih (tentara, laskar, pemberontak, dsb): tidak lama kemudian kedua pasukan itu sudah terlibat dalam – sengit 3 perkelahian; konflik 4 cara mengungkapkan permusuhan terkait persaingan ideologi. 51
50
“Sibernetika”, Kamus Besar Bahasa Indonesia Android 4.0.0 www.kejut.com/kbbimobile , Data Kamus Hak Cipta Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2008. 51 “Perang”, Loc.Cit.
Menurut Oxford Dictionaries, cyber (adjective) relating to or characteristic of the culture of computers, information technology, and virtual reality. 52 Masih dari sumber yang sama mengatakan bahwa cyber berasal dari kata cybernetics yaitu the science of communications and automatic control systems in both machines and living things.53 Kata cybernetics ini merupakan kata serapan Bahasa Yunani yaitu kubernetes.54 Sedangkan pemahaman warfare dari sumber yang sama adalah engagement in or the activities involved in war or conflict. 55 Kata warfare itu lebih berkenaan pada metode perang, sedangkan kata war memiliki definisi 1 a state of armed conflict between different countries or different groups within a country; 2 a state of competition or hostility between different people or groups; 3 a sustained campaign against an undesirable situation or activity.56 Secara pembahasan etimologi bahasa diatas penulis memahami bahwa perang sibernetika atau cyber-warfare adalah sebuah
52
konflik
bersenjata
yang
memanfaatkan
teknologi
“Cyber”, Oxford Dictionary English Android 4.3.127 www.mobisystems.com (Oxford: Oxford University Press, 2012). 53 “Cybernetics”, Oxford Dictionary English Android 4.3.127 www.mobisystems.com (Oxford: Oxford University Press, 2012). 54 Ibid. 55 “Warfare”, Oxford Dictionary English Android 4.3.127 www.mobisystems.com (Oxford: Oxford University Press, 2012). 56 “War”, Oxford Dictionary English Android 4.3.127 www.mobisystems.com (Oxford: Oxford University Press, 2012).
sibernetika/cyber. Untuk menghemat penulisan pada pembahasan selanjutnya, penulis akan menggunakan istilah cyber-warfare. Pada pembahasan diatas telah dijelaskan definisi dari cyber-warfare secara etimologi dari dua sumber bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (English), dan mengenai cyber-warfare dapat ditemukan pengertiannya masing-masing. Namun dalam kaitannya dengan hukum internasional khususnya hukum humaniter internasional, definisi atau pengertian dari cyberwarfare masih terdapat banyak perbedaan pendapat karena cyberwarfare sendiri merupakan suatu fenomena baru yang sedang berkembang pesat (emerging phenomenon). Hal ini ditambah belum adanya rezim pengaturan cyber-warfare dalam bahasan hukum internasional khususnya hukum humaniter internasional. Setidak-tidaknya
para
ahli
dan
kesimpulan
yang
dikemukakan oleh organisasi internasional mengenai pengertian atau definisi cyber-warfare atau setidaknya mendekati pengertian cyber-warfare sehingga dapat mengantarkan untuk memahaminya lebih dalam. Definisi langsung mengenai cyber-warfare agak sulit ditemui dalam literatur, karena pada faktanya definisi hukum mengenai cyber dan warfare masih dalam perdebatan.57 Maka dari
57
Steve Winterfeld, Op.Cit., halaman 16.
itu
penulis
akan
memulainya
dengan
pengertian
dari
cyber/cyberspace sebagai domain operasional dari cyber-warfare, antara lain: a. Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (United States Department of Defense) mendefinisikan: cyberspace as the notional enviroment in which digitized information is communicated over computer network which civilian, military, and terrorist entities operate in cyberspace to conduct their bussiness and operations. 58 Dari penjelasan itu dipahami domain operasional cyber/cyberspace yang merupakan bagian dari jaringan komputer dapat diakses oleh siapapun untuk menjalankan
berbagai
keperluan
masing-masing
orang.
Pemerintah Amerika Serikat menyadari bahwa sistem tersebut akan mengancam keamanan dalam negrinya (threat to US homeland security),
maka kementerian pertahanan AS
melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi ancaman itu. b. PBB
(Perserikatan
Bangsa-Bangsa
/United
Nations)
mendefinisikan “Cyber is the global systems of internetted computers, communications infrastructures, online confencing entities, databases, and information utilities generally known as the Net. This mostly means the Internet, but the term may also be used to reffer to the specific, bounded electronic 58
Ibid.
information enviroment of a corporation or of a military, government, or other organization.
59
Penjelasan yang
dikeluarkan PBB mengenai cyber menyatakan bahwa cyber adalah termasuk Internet sebagaimana yang dipahami hari ini, dimana semua orang dapat berkomunikasi dengan cepat di seluruh dunia melalui internet, tetapi lebih spesifik pengertian itu berlaku pada informasi elektronik milik perusahaan, militer, pemerintahan, atau organisasi. Setelah
pengertian
atau
definisi
mengenai
cyber/cyberspace, dilanjutkan pada pengertian warfare yaitu sebagai berikut: a. Carl von Clausewitz seorang Jendral Prusia pada era perang Napoleon mendefinisikan warfare sebagai an act of violence to compel our opponent to fulfil our will atau yang berarti sebuah tindakan kekerasan untuk menundukan lawan/musuh untuk memenuhi keinginan kita. 60 Beliau juga mengatakan bahwa perang terdiri dari tiga elemen penting yaitu kekerasan (violence), tujuan (purposefulness), bertujuan politik tertentu (political objective).
59 60
“Cyber” UN Term, diakses dari http://unterm.un.org/ pada 25 Februari 2015 pukul 13.10 WIB. Thomas Rid, Loc.Cit.
b. Piagam PBB tidak memberikan definisi mengenai warfare tapi ada istilah lain yang memberikan pengertian mendekati istilah warfare pada article 2 dan article 51. 1) Article 2 (4): All members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purposes of The United Nations.
61
Redaksional
menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik sesuatu negara lain dapat dipahami seperti tindakan-tindakan perang (warfare) yang mana piagam PBB mengatur untuk setiap anggota PBB menjauhkan diri dari tindakan-tindakan semacam itu. 2) Article 51: Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self defense if an armed attack occurs against a member of the United Nations, until the Security Council has taken the measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by members in the exercise of this right of self defense shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the Present
61
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Article 2 (4).
Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security. 62 Redaksional serangan bersenjata (armed attack) dipahami sebagai tindakan-tindakan yang termasuk dalam tindakan perang (war act). Terlepas dari terminologi pengertian cyber dan warfare, UNTERM (United Nations Multilingual Terminology Database) memiliki definisi pengertian cyber-warfare utuh sebagai “The offensive and defensive use of information and informations systems to deny, exploit, corrupt or destroy an adversary’s information, information-based processes, information systems and computer based networks while protecting one’s own. Such action are designed to achieve advantages over military or business adversaries.” 63 Berdasarkan pengertian yang dsampaikan oleh UNTERM tersebut Cyber-Warfare adalah tindakan militer yang dapat merusak/menghancurkan informasi tertentu sebagai targetnya dengan
memanfaatkan
teknologi
cyber
untuk
memperoleh
keuntungan militer dan bisnis. Organ PBB selain UNTERM yang juga memberikan pengertian cyber-warfare adalah UNICJRI (United Nations
62
Ibid, Article 51. “Cyberwarfare”, United Nations Multilingual Terminology Database (UNTERM), diakses dari http://unterm.un.org/DGAACS/unterm.nsf/WebView/BFDE24673F1B1F6E85256AFD006732A3?O penDocument , pada 25 Februari 2014 pukul 18.57 WIB.
63
Interregional Crime and Justice Research Institute). UNICJRI mendefinisikan cyber-warfare sebagai any action by a nation-state to penetrate another nation’s computer networks for the purpose of causing some sort of damage. 64 UNICJRI menjelaskan bahwa cyber-warfare
dilakukan
oleh
negara-negara
untuk
mengahancurkan/merusak sistem jaringan komputer satu sama lain. Sangat
penting
sebelumnya
untuk
diketahui
bahwa
pengertian cyber-warfare tidak dapat disamakan dengan cybercrime,
cyber-espionage,
dan
cyber-vandalism
meskipun
kesemuanya memiliki kesamaan memanfaatkan adanya teknologi cyber. Cyber-Crime adalah tindakan kejahatan (pidana) untuk memperoleh keuntungan dari adanya teknologi cyber dengan melawan hukum nasional suatu negara, dapat dikatakan cybercrime lebih masuk pada ranah hukum pidana atau hukum pidana internasional. Cyber-vandalism adalah tindakan untuk memasuki dan merusak sebuah website, jaringan, atau komputer dengan tidak adanya alasan politik tertentu melainkan hanya untuk kesenangan atau kepuasan dan merupakan perbuatan yang melawan hukum (masih dalam ranah hukum pidana). Dalam penelitian ini penulis mengarahkan bahwa cyber-warfare adalah tindakan konflik
64
“Cyberwarfare”, The United Nations Interregional Crime and Justice Research Institute website, diakses dari http://www.unicri.it/special_topics/cyber_threats/cyber_crime/explanations/cyberwarfare/ pada 25 Februari 2015 pukul 19.06 WIB.
bersenjata internasional (perang) dalam ranah hukum humaniter internasional.
2. Sejarah dan Perkembangan Munculnya Cyber-Warfare Sejarah
cyber-warfare
bermula
sejak
ditemukannya
teknologi jaringan internet dan komputer modern. Seperti diketahui bahwa komputer saat ini digunakan sebagai alat bantu untuk melakukan segala aktivitas manusia, kemudian komputer-komputer yang dimiliki seluruh masyarakat dunia dimungkinkan saling terhubung satu sama lain dengan memanfaatkan jaringan internet dan menjadi satu dalam sebuah dunia virtual yang bernama dunia maya atau cyber. Sejarah perkembangan munculnya cyber-warfare dimulai sejak era perang dingin antara blok barat yang dipimpin Amerika Serikat (AS) dan blok timur yang dipimpin Uni Sovyet. Pada tahun 1957, Uni Sovyet berhasil mengorbitkan satelit telekomunikasi global pertama di dunia bernama sputnik. Kemajuan teknologi ini juga diikuti kemampuan serang nuklir rudal balistik Uni Sovyet yang mempunyai jarak jangkau sampai pada ibukota AS bahkan seluruh wilayah AS dengan daya ledak dahsyat. Keberhasilan Uni Sovyet tersebut direspon AS sebagai pesaingnya dengan memulai proyek riset dengan mendirikan agensi bernama ARPA (Advanced Research Project Agency).
Tujuan awal proyek ini adalah untuk kepentingan militer AS. AS yang khawatir dengan kemampuan serang arsenal rudal balistik antar benua nuklir Uni Sovyet yang terus meningkat, membuat rencana cadangan apabila benar-benar terjadi perang nuklir dengan Uni Sovyet. Rencana militer strategis itu adalah membuat sebuah jaringan komunikasi yang tidak terpusat yang mana dapat dengan mudah dihancurkan ketika serangan rudal balistik nuklir. Beberapa tahun kemudian sampai saat ini ternyata agensi ARPA berhasil mengembangkan sistem komunikasi yang revolusioner yaitu dengan ditemukannya internet. Saat ini internet sebagai suatu sistem komunikasi tidak hanya digunakan oleh militer AS dan pemerintah AS, dengan perkembangan yang ada internet saat ini menjadi universal digunakan oleh
masyarakat
komputer
terus
yang
dunia.
meningkat,
Mengingat jaringan
penggunaan
internet
yang
menghubungkan setiap komputer di muka bumi ini memunculkan sebuah dunia virtual yang bernama cyber atau dalam bahasa Indonesia berarti sibernetika atau lazimnya disebut dengan dunia maya.
3. Karakteristik Cyber-Warfare Cyber-Warfare
sedikit
berbeda
dengan
perang
konvensional pada umumnya. Hal itu dikarenakan sebagai berikut:
a. Serangan (cyber-attack) dalam cyber-warfare dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak dikenal (extreme anonymity); b. Serangan (cyber-attack) dapat dilakukan oleh siapapun karena peralatan penunjangnya dapat dengan mudah didapatkan dan harganya murah (low cost and reachable); c. Cyber-warfare tidak membutuhkan tenaga fisik dalam jumlah besar; d. Cyber-warfare tidak terjadi pada dunia nyata tetapi terjadi di dunia yang virtual (cyber/cyberspace); Namun kemiripannya adalah adanya motivasi politik (political objective) seperti sebuah perang atau konflik bersenjata.
4. Perkembangan Pengaturan Cyber-Warfare Seperti dijelaskan sebelumnya rezim hukum internasional mengenai cyber-warfare belum nyata ada apalagi rezim pengaturan hukum humaniter internasional terhadap itu. Sejauh ini negaranegara sedang mengupayakan adanya suatu ketentuan hukum internasional mengenai cyber-warfare melalui kerjasama dan usaha-usaha para diplomat di PBB. PBB sebagai organisasi internasional terbesar dan paling berpengaruh di dunia mempunyai peranan untuk melakukan terobosan-terobosan dalam rangka visi PBB yaitu menjaga keamanan dan perdamaian dunia.
Sejak resolusi Majelis Umum PBB (MU-PBB/United Nations General Assembly) yang pertama yang diusulkan oleh Federasi Rusia pada komite pertama tahun 1998, diskusi mengenai cyberspace telah terbagi menjadi dua aliran perkembangan yaitu cyber-warfare (aspek politik dan militer) dan cyber-crime (aspek ekonomi). 65 Setiap aliran setidaknya dibahas pada satu badan keputusan PBB (UN Decission Body) dengan beberapa organisasi dibawah naungan PBB dan koferensi-konferensi yang disponsori (sponsored conference).66 Pembahasan cyber-warfare dipimpin oleh komite pertama MU-PBB yaitu DISEC (Disarmament and International Security Committee), bersama organisasi-organisasi terkait seperti ITU (International Telecommunication
Union),
UNIDIR (United
Nations Institute of Disarmament Research), dan CTITF (CounterTerrorism Implementation Task Force). 67 Fokus kerja mereka awalnya adalah penanggulangan penggunaan internet untuk terorisme.68 Resolusi pertama MU-PBB diusulkan oleh Federasi Rusia pada tahun 1998 dan disetujui tanpa pemungutan suara (vote) pada 65
Tim Maurer, Cyber Norm Emergence at The United Nations: An Analysis of The Activities at The UN Regarding Cyber Security, Belfer Center For Science and International Affairs, Harvard Kennedy School diakses dari http://belfercenter.ksg.harvard.edu/files/maurer-cyber-norm-dp2011-11-final.pdf pada 26 Februari 2015 pukul 18.17 WIB. 66 Taipei Model United Nations 2014, Study Guide, Op.Cit, halaman 23. 67 Ibid. 68 Ibid.
Desember 1998 dengan nomor resolusi A/RES/53/70 yang berjudul “Developments in The Field of Information and Telecommunications in The Context of International Security”. 69 Sejak saat itu MU-PBB meloloskan resolusi-resolusi dengan judul yang sama dan rekomendasi yang mirip setiap tahunnya: A/RES/54/49 (1999), A/RES/55/28 (2000), A/RES/56/19 (2001), A/RES/57/53 (2002), A/RES/58/32 (2003), A/RES/59/61 (2004), A/RES/60/45 (2005), A/RES/61/54 (2006), A/RES/62/17 (2007), A/RES/63/37 (2008), A/RES/64/25 (2009), A/RES/65/41 (2010), A/RES/67/27 (2012), A/RES/68/243 (2013). Dari resolusi yang dikeluarkan MU-PBB diatas yang menjadi pembahasan adalah: a. Keamanan informasi (information security); b. Definisi atau pengertian dasar dari gangguan yang tidak sah dengan
penyalahgunaan
telekomunikasi
(definition
informasi of
basic
dan
keamanan
notions
regarding
unauthorized interference with or misuse of information and telecommunications systems); c. Memperkuat keamanan informasi dan telekomunikasi dunia (strenghtening global information and telecommunications security); d. Usaha-usaha di tingkat negara (national level efforts); 69
United Nations General Assembly A/RES/53/70.
e. Kerjasama dalam komunitas internasional (cooperation in the international community) Terlihat bahwa perkembangan pengaturan yang baru ada sebatas menanggulangi ancaman yang ada (cyber-threat). Belum sampai pada perkembangan kodifikasi “aturan main” layaknya perang dalam hukum humaniter internasional.
BAB III METODE PENELITIAN
Penelitian adalah sarana yang pokok dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Penelitian bertujuan dasar untuk mengungkapkan kebenaran yang sistematis, metodologis dan konsisten. Penelitian harus menerapkan metodologi yang senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya70. Maka dari itu penelitian penulisan hukum harus disusun sesuai dengan metodologi yang jelas dan tepat. Metode pada dasarnya adalah cara kerja yg bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yg ditentukan 71 . Ketepatan pemilihan dan penggunaan metodologi penelitian dalam sebuah penulisan hukum dianggap sebagai suatu hal yang penting. Hal ini agar penelitian dapat berjalan lebih rinci, terarah, sistematis, serta tentunya sesuai dengan maksud dan tujuan dari penelitian, sehingga data yang diperoleh dan kemudian diolah dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan tidak menyimpang dari pokok-pokok permasalahan yang telah dirumuskan.
70
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), halaman 1 71 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), halaman 952
Adapun metode penelitian dalam penulisan hukum ini terdiri dari: Metode Pendekatan, Spesifikasi Penelitian, Metode Pengumpulan Data dan Metode Analisis Data.
A. Metode Pendekatan Masalah Penelitian hukum pada dasarnya dapat dibedakan menjadi penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empiris. Penelitian hukum normatif mendasarkan hukum sebagai norma dengan metodenya bersifat doktrinal. Sedangkan penelitian hukum empiris memiliki maksud untuk mempelajari saja dan bukan mengajarkan suatu doktrin, sehingga metodenya bersifat non-doktrinal. Dalam penelitian hukum normatif, penelitian dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder saja, sedangkan dalam penelitian hukum sosiologis penelitian dilakukan dengan meneliti data primer yang diperoleh langsung dari masyarakat (data dasar)72. Penelitian terhadap sistematik hukum dilakukan terhadap bahanbahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Kerangka acuan yang dipergunakan adalah pengertian dasar yang terdapat dalam sistem hukum
internasional.
Kerangka
acuan
tersebut
pada
penelitian
kepustakaan dapat dipergunakan sebagai kerangka konseptual apabila tiap-
72
Ibid, halaman 12-14.
tiap istilah tersebut dirumuskan ciri-cirinya sehingga menjadi pengertianpengertian.73 Adapun dalam penulisan hukum ini, metode pendekatan yang digunakan adalah metode yang bersifat doctrinal/normatif, yaitu dengan pendekatan yuridis normatif. Metode pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang menggunakan konsep legis positivis yang menyatakan bahwa hukum adalah identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga-lembaga atau pejabat yang berwenang.74 Selain itu konsep ini juga memandang hukum sebagai sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat.75
B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah telaah deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan ketentuan-ketentuan dalam peraturan (perjanjian internasional). Dengan penelitian yang bersifat deskriptif analitis maka penulisan hukum ini akan menggambarkan serta menentukan isi atau makna dari peraturan (perjanjian internasional) yang berlaku dikaitkan dengan teoriteori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan diatas.
73
Ronny Hanitio Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), halaman 23 74 Ibid., halaman 11. 75 Ibid.
Menurut Winarno Surachmad sendiri, dari penelitian yang bersifat deskriptif analitis dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut: 1. Memusatkan diri pada analisis masalah-masalah yang ada pada masa sekarang dan pada masalah yang aktual;dan 2. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan, dan kemudian dianalisa76.
C. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan hukum ini pada dasarnya berhubungan langsung dengan metode pendekatan yang dipilih. Dikarenakan menggunakan pendekatan yuridis normatif, maka metode pengumpulan data dilakukan dengan jalan studi (penelitian) kepustakaan. Dengan metode penelitian kepustakaan, data yang dikumpulkan serta digunakan sebagai bahan penelitian adalah datadata sekunder. Data sekunder yang digunakan dalam penulisan hukum ini mencakup: 1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai otoritas atau mempunyai kekuatan mengikat. 77 Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, putusan-putusan Hakim, traktat,
76
Winarno Surachmad, Dasar Dan Tehnik Research: Pengertian Metodologi Ilmiah, (Bandung: CV Tarsito, 1973), hal 39 77 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), halaman 52.
konvensi, dan sebagainya.78 Dalam penulisan hukum ini bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari Konvensi-konvensi Den Haag, Konvensi-konvensi Jenewa dan kedua protokol tambahan yaitu Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949 and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I) dan Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949 of Non International Armed Conflicts(Protocol II). 2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. 79 Dalam penulisan hukum ini bahan hukum sekunder yang dipakai meliputi buku-buku ilmiah tentang
Hukum
Internasional,
Internasional
laporan,
khususnya
seminar,
kliping,
Hukum internet
Humaniter search,
artikel,Undang-Undang dan bahan bacaan lainnya yang dapat menunjang penelitian dan berkaitan dengan penelitian hukum ini. 3. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.80 Dalam penulisan hukum ini bahan hukum sekunder yang dipakai meliputi berupa Kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesia, dan Kamus Bahasa Inggris.
78
Ibid. Ibid. 80 Ibid. 79
D. Metode Analisa Data Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian hukum ini pada dasarnya bersifat kualitatif. Data yang telah terkumpul dianalisis secara kualitatif untuk mendapatkan kejelasan terhadap masalah yang akan dibahas. Semua data yang telah terkumpul disunting, diolah, dan disusun secara sistematis untuk selanjutnya disajikan dalam bentuk deskriptif yang kemudian disimpulkan. Sedangkan menurut Bogdan dan Biglen, analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan-satuan yang dapat dikelola, menyintesis, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada pihak lain81.
81
Lexy J. Moleong, Op.cit, halaman 24.
BAB IV PEMBAHASAN
Pembahasan
mengenai
cyber-warfare
sebagai
konflik
bersenjata
internasional berdasarkan hukum humaniter internasional, perlu diawali dari terminologi/pembagian hukum perang (hukum humaniter internasional) seperti pendapat yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja. Beliau membagi hukum humaniter internasional menjadi dua yaitu hukum tentang perang (jus ad bellum) dan hukum yang berlaku dalam perang (jus in bello). Hukum tentang perang (jus ad bellum) adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hak negara untuk melakukan perang. 82 Sedangkan hukum yang berlaku dalam perang (jus in bello) adalah hukum yang berlaku dalam perang yang terbagi lagi menjadi dua yaitu hukum yang mengatur cara dilakukannya perang dan hukum mengenai perlindungan bagi orang-orang yang menjadi korban perang, baik sipil maupun militer.83
82
M.Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum: Dictionary of Law Complete Edition, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), halaman 316. 83 Ibid.
Hukum Humaniter Internasional
Hukum tentang perang (jus ad bellum)
Hukum yang berlaku dalam perang (jus in bello)
Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war)
Hukum Den Haag (Hague Laws)
Hukum yang mengatur perlindungan korban perang
Hukum Jenewa (Geneva Laws)
Bagan 1. Terminologi Hukum Humaniter Internasional
Mengingat pembahasan hukum humaniter dalam penulisan hukum ini dibatasi pada hukum humaniter internasional dalam situasi konflik bersenjata internasional, pembahasan akan lebih banyak bersumber pada hukum Jenewa (Geneva Laws) karena konflik bersenjata internasional secara spesifik diatur dalam Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 (Protocol Additional To The Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating To The Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I) of 8 June 1977. Ketentuan hukum yang diatur dalam Protokol Tambahan I tersebut didesain untuk melindungi korban-korban pada konflik bersenjata internasional. Untuk itu terkait cyber-warfare sebagai konflik bersenjata internasional akan
lebih banyak
menyinggung bagaimana perlindungan korban (warga sipil) dalam domain cyber/cyberspace dari situasi cyber-warfare yang merupakan konflik bersenjata
internasional di masa depan. Namun penulis juga tidak mengabaikan adanya sumber-sumber hukum humaniter lainnya yang dapat membantu menjelaskan sesuatu hal dalam penelitian ini.
A. Cyber-Warfare sebagai Konflik Bersenjata Internasional Berdasarkan Article 2 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 yaitu: In addition to the provisions which shall be implemented in peacetime, the present Convention shall apply to all cases of declared war or of any other armed conflict which may arise between two or more High Contracting Parties, even if the state of war is not recognized by one of them. The Convention shall also apply to all cases of partial or total occupation of the territory of a High Contracting Party, even if the said occupation meets with no armed resistance. Although one of the Powers in conflict may not be a party to the present Convention, the Powers who are parties thereto shall remain bound it by it in their mutual relations. They shall furthermore be bound by the Convention in relation to the said Power, if the latter accepts and applies the provisions thereof.84 Penggunaan istilah sengketa bersenjata (armed conflict) dalam ketentuan tersebut berguna untuk mengurangi kemungkinan argumentasi bagi negara-negara yang berkeinginan menolak pemberlakuan hukum humaniter internasional dengan alasan tindakan yang dilakukannya belum termasuk dalam tindakan perang. 85 Sebab, rumusan dalam Article 2 Konvensi tersebut menunjukan, setiap perbedaan yang muncul antara dua negara dan menyebabkan intervensi angkatan bersenjata adalah sengketa
84 85
Konvensi Jenewa 1949 (I-IV), Article 2. Ambarwati, Op.Cit., halaman 57.
bersenjata, sekalipun salah satu pihak tidak mengakui keberadaan keadaan perang. 86 Adapula situasi yang disamakan dengan konflik bersenjata internasional menurut Article 1 ayat 4 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949: The situations referred to in the preceding paragraph include armed conflicts in which people are fighting against colonial domination and alien occupation and against racist regimes in the exercise of their right of self-determination, as enshrined in the Charter of the United Nations and the Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-operation among States in accordance with the the Charter of the United Nations.87 Dalam hal ini, ditetapkan bahwa situasi yang menurut hukum humaniter internasional disamakan dengan konflik bersenjata internasional tersebut adalah sengketa-sengketa/konflik bersenjata, dimana suku bangsa tertentu sedang bertempur melawan dominasi kolonial dan pendudukan asing dan melawan sistem pemerintahan rasialis dalam rangka memenuhi haknya untuk menentukan nasibnya, sebagaimana disebut dalam Piagam PBB dan Deklarasi Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Hubungan Baik dan Kerja sama Antarnegara sesuai dengan Piagam PBB. Sengketa demikian sering disebut dengan perang pembebasan (war of national liberation).
86 87
Ibid. Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949, article 1 ayat 4.
Kelompok bersenjata bukan negara yang menjadi pihak dalam perang pembebasan nasional (war of national liberation) ternyata juga mempunyai kesempatan untuk menyediakan keterikatannya. Dalam hal ini, pihak penguasa yang mewakili kelompok tersebut dapat menyatakan kemampuannya menghormati dan melaksanakan hukum humaniter internasional. 88 Dapat dipahami bahwa kriteria konflik bersenjata internasional menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 terdiri dari: 1. Sengketa bersenjata / konflik bersenjata; 2. Melibatkan: dua negara atau lebih; 3. Ada pernyataan perang yang diumumkan maupun apabila pernyataan perang tersebut tidak diakui oleh salah satu dari pihak; 4. Situasi yang disamakan dengan konflik bersenjata internasional: a. Suku bangsa yang sedang bertempur melawan dominasi kolonial dan pendudukan asing dan melawan sistem pemerintahan rasialis dalam rangka memenuhi haknya menentukan nasibnya; b. Kelompok bersenjata bukan negara yang menjadi salah satu pihak dalam perang pembebasan nasional yang mempunyai kemampuan menghormati dan melaksanakan hukum humaniter internasional (belligerent).
88
Ibid, Article 96 ayat 3.
Kemudian
mengenai cyber-warfare
apakah
hal
ini dapat
dikategorikan sebagai konflik bersenjata terkhusus konflik bersenjata internasional?. Pertanyaan ini masih diperdebatkan oleh para ahli hukum internasional, karena cyber-warfare merupakan sebuah hal yang baru dan sedikit berbeda dengan konflik bersenjata pada umumnya (perang konvensional). Untuk menjelaskan hal tersebut perlu suatu kajian berdasarkan kriteria yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 seperti yang dijelaskan sebelumnya. Pada kriteria yang pertama yaitu adanya sengketa bersenjata atau konflik bersenjata, dipahami bahwa sengketa adalah sesuatu yang menyebabkan
perbedaan
pendapat;
pertengkaran;
perbantahan;
perselisihan. 89 Kemudian definisi bersenjata adalah memakai senjata tertentu yang mana pemahaman senjata adalah alat yang dipakai untuk berkelahi atau berperang.90 Secara etimologis definisi sengketa bersenjata berarti menjadi suatu perbedaan pendapat/pertengkaran/perselisihan yang mana memakai alat untuk menyelesaikan perbedaan tersebut. Saat ini suatu konflik bersenjata yang terjadi di dunia menggunakan alat-alat yang semakin canggih seperti senjata kimia, senjata biologi, rekayasa genetika, dll; dimana senjata-senjata tersebut tidak melepaskan kekuatan penghancur secara kinetis layaknya sebuah konflik
89 90
Kamus Besar Bahasa Indonesia Android 4.0.0, Op.Cit., “sengketa” Ibid, “senjata”
bersenjata seperti tembak menembak dengan peluru atau bom. Senjatasenjata ini memiliki kekuatan non kinetis yang sifatnya dapat menghancurkan sasaran yang spesifik. Hal ini serupa dengan munculnya cyber-warfare yang mana sasaran spesifik tersebut adalah sistem komunikasi informasi suatu sistem infrastruktur yang bergantung padanya. Dalam konteks cyber-warfare tentu saja sengketa bersenjata atau konflik bersenjata yang terjadi di dalamnya tidaklah nampak secara nyata atau riil karena terjadi pada dunia virtual yang awamnya disebut dunia maya. Sehingga dapat dikatakan bahwa konflik bersenjata yang terjadi di dalamnya berupa serangan atau kegiatan pertahanan yang berupa kekuatan non kinetis dan digunakan sebagai alat dalam suatu pertikaian yang disebut konflik bersenjata. Contoh kasus yang pernah terjadi di dunia mengenai serangan dengan kekuatan non kinetis yang bersifat menghancurkan ini pernah terjadi pada fasilitas pengayaan uranium milik Iran yang bernama “Natanz” dimana sebuah worm yang bernama stuxnet merusak sistem kerja dinamo sentrifugal untuk memisahkan zat uranium sehingga terjadi vibrasi dan merusak mesin tersebut. Terbukti serangan yang tidak terlihat nyata tersebut mengakibatkan dampak kerusakan fisik pada suatu infrastruktur yang terhubung dengan cyber/cyber-space. Kemudian pada kriteria yang kedua yaitu melibatkan dua negara atau lebih, dipahami adalah pihak-pihak dalam konflik bersenjata. Perlu
diingat lagi bahwa ancaman dalam ranah dunia virtual cyber-space tersebut ada beberapa macam seperti cyber-crime, cyber-vandalism, dan cyber-warfare. Hanya ancaman cyber-warfare yang memenuhi kriteria kedua ini, karena dalam suatu perang tentu saja terdapat rantai komando berdasarkan perintah dari suatu entitas tertinggi seperti negara. Sedangkan cyber-crime dan cyber-vandalism adalah motif pribadi yang tidak ada sangkut pautnya dengan negara. Perintah dari suatu negara untuk melakukan serangan terhadap sistem cyber negara lain ini dimungkinkan dikoordinasikan dengan angkatan bersenjata. Hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan unit-unit cyber-warfare di beberapa angkatan bersenjata negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, China, Rusia, dan negara maju lainnya. Kemudian kriteria yang ketiga yaitu adanya pernyataan perang yang diumumkan maupun apabila pernyataan perang tersebut tidak diakui oleh salah satu pihak. Dalam konteks cyber-warfare belum pernah ada pernyataan perang atau deklarasi terang-terangan seperti yang dimaksud dalam kriteria ketiga ini dalam hal terjadi serangan cyber (cyber-attack), namun ada hal yang mendekati adanya pernyataan perang tersebut yaitu adanya klaim atas serangan dari salah satu pihak. Contoh kasus mengenai kriteria ketiga ini adalah ketika militer Israel (Israeli Defence Force/IDF) mengaku bertanggung jawab atas serangan cyber (cyber-attack) terhadap website dan koneksi satelit televisi
milik militan Hezbollah pada 12 Juli 2006, yang mana merupakan serangan balasan atas serangan roket Hezbollah terhadap patroli militer Israel yang menewaskan tiga orang prajurit Israel. Kemudian kriteria yang keempat yaitu situasi yang disamakan dengan konflik bersenjata internasional, diketahui bahwa angkatan bersenjata pihak dalam sengketa (belligerent) atau pihak yang melawan dominasi kolonial mempunyai kapabilitas melakukan cyber-warfare. Misalnya seperti Hezbollah dapat melakukan serangan cyber balasan atas serangan cyber militer Israel dengan merusak website milik agensi-agensi Amerika Serikat yang mendukung aksi-aksi militer Israel di timur tengah. Dapat diketahui bahwa tidak hanya pihak berupa negara yang mempunyai kapabilitas melakukan serangan cyber atau melakukan cyber-warfare melainkan adapula pihak-pihak bukan negara yang dapat melakukannya. Untuk lebih memahami lebih komprehensif mengenai cyberwarfare sebagai konflik bersenjata internasional, penulis membagi beberapa sub bab lagi antara lain: cyber/cyberspace sebagai domain perang masa depan, aktor dalam cyber-warfare, dan yang terakhir mengenai ancaman dan dampak cyber-warfare terhadap keamanan dan perdamaian dunia.
1. Cyber/Cyber-space sebagai Domain Perang Masa Depan Menjamurnya penggunaan internet di dunia memunculkan sebuah dunia virtual yang bernama cyber. Di dalamnya semua aktivitas manusia terekam dan terhubung satu sama lain. Aktivitas itu tentunya beraneka ragam seperti media sosial yang dapat mengetahui informasi pribadi seseorang, perbankan (e-banking), perdagangan saham (eforex), penerbangan/pelayaran, pemerintahan, kesehatan, militer, industri, perkantoran, dll. Hal ini karena hampir segala macam hal dapat ditemukan di dunia virtual tersebut. Aktivitas itu terhubung dengan cyber/cyberspace ketika komputer yang digunakan untuk menyimpan data dan informasi mengenai aktivitas tersebut terhubung dengan koneksi internet. Ketika
aktivitas-aktivitas
koneksi/sambungan
internet
dan
manusia kemudian
terhubung tergabung
dengan dalam
cyber/cyberspace, memberikan keuntungan kecepatan dan kemudahan dalam memperoleh informasi dan koordinasi antar aktivitas. Misalnya: 1) Media sosial (facebook, twitter, path, instagram, dll) Media sosial menyimpan informasi pribadi setiap orang yang membuat akun dalam media sosial tertentu. Setiap orang dimungkinkan mengetahui dimana keberadaan seseorang dan apa saja yang ia bagikan dalam media sosial tersebut (tulisan,foto, video, musik, dll).
2) Perbankan a) Pengiriman uang / transfer uang antar rekening nasabah; b) Bank online (e-banking) 3) Perdagangan saham a) Informasi perdagangan saham dunia; b) Pembelian saham online. 4) Penerbangan/pelayaran a) Informasi navigasi (cuaca, rute, dll); b) Pencitraan satelit (Geographic Position Service) 5) Pemerintahan a) Informasi institusi pemerintah; b) Administrasi kependudukan. 6) Kesehatan a) Informasi rumah sakit; b) Catatan kesehatan pribadi / rekam medis; 7) Militer a) Publikasi umum; b) Pencitraan satelit (GPS); c) Komunikasi rantai komando. 8) Industri a) ICS (Industrial Control Systems); b) Pencitraan satelit untuk pemetaan sumber daya alam. 9) Obyek vital lainnya (pembangkit listrik, reaktor nuklir, dll)
Semua
aktivitas
itu
tergabung
menjadi
satu
dalam
cyber/cyberspace apabila komputer yang digunakan dalam aktivitas itu terhubung dengan jaringan komputer (offline) atau jaringan internet (online). Dimana semua pihak termasuk sipil dan militer mempunyai akses yang sama dalam cyber/cyberspace. Oleh karena itu cyber menjadi sebuah sistem yang rentan akan serangan-serangan
(cyber-attack)
yang
sifatnya
merusak
dan
menghancurkan karena dapat berdampak pada aktivitas yang bergantung padanya. Oleh karena itu dalam kaitan perang atau konflik bersenjata, komputer yang saling terhubung dalam cyber/cyberspace tersebut dimungkinkan menjadi target serangan oleh pihak-pihak berupa hacker dan cracker berdasarkan komando dari entitas seperti negara atau pihak dalam sengketa (belligerent) demi mendapatkan keunggulan dalam perang atau konflik bersenjata. Beberapa angkatan bersenjata/militer dan pemerintah di beberapa
negara
sudah
membekali
pertahanannya
dengan
organisasi/satuan/unit khusus cyber-warfare dan berikut doktrin perangnya. Berikut ini daftar negara-negara yang sudah mempunyai kemampuan cyber-warfare yang dikoordinasikan dengan militernya:
Tabel 1. Negara Dengan Organisasi Militer Cyber-Warfare91
No. Negara
Nama Organisasi/Satuan/Unit Cyber-Warfare
1.
Interinstitutional Maritime Operational Center
Albania
(IMOC) 2.
Argentina
Jefatura VI
3.
Austria
Abwehramt
4.
Australia
Cyber Security Policy and Coordination Branch of The Attorney-General’s Department
5.
Belarusia
Belarus Cyber Armed Forces
6.
Brazil
Cyber-Warfare Communication Centre, Center of Cyber Defense
7.
Canada
Canadian Forces Information Operations Group
8.
China
Tidak diketahui (di bawah komando militer China (People’s Liberation Army))
9.
Colombia
Colombia Computer Emergency Response Team (Colombia CERT)
10.
Korea Utara
Tidak diketahui (di bawah komando militer Korea Utara)
91
11.
Denmark
3rd Electronic Warfare Company
12.
Estonia
Defence League, Cyber Security Alliance
13.
Perancis
National
Agency
For
The
Security
James A. Lewis dan Katrina Timlin, Cybersecurity and Cyberwarfare: Preliminary Assessment of National Doctrine and Organization, (Washington DC: Centre for Strategic and International Studies UNIDIR, 2011), halaman 5-22.
of
Information Systems 14.
Jerman
National Cyberdefence Centre
15.
India
The Defence Information Warfare Agency, The Defence Intelligence Agency, dan National Technical Intelligence Communication
16.
Israel
C41
Corps,
Centre
For
Encryption
and
Information Security (Matzov) 17.
Iran
Iranian Cyber Army
18.
Italia
Telematics Section of Carabineri, Defence Innovation Centre, dan Division For Information Security
19.
Kazakhstan
Kazakh Computer Emergency Response Team
20.
Malaysia
Cyber Security Malaysia
21.
Myanmar
Defense Services Computer Directorate
22.
Belanda
National Cyber Security Centre
23.
Polandia
Independent Information Force
24.
Korea Selatan
Cyber War Centre dan Computer Emergency Response Teams
25.
Rusia
Federal
Agency
of
Governement
Communications and Information 26.
Swiss
Centre for Electronic Operations of The Armed Forces Command Support Organization, yang terdiri dari:
27
28.
-
Computer Emergency Response Team
-
Computer Network Operations
Britania
Cyber Security Operations Centre, The Office of
Raya/Inggris
Cyber Security and Information Assurance
Amerika Serikat
Department of Homeland Security -
National Cyber Security Division
US Strategic Command (STARTCOM) -
US Cyber Command (CYBERCOM)
29.
Ukraina
Ministry’s Donetsk Law Institute
30.
Finlandia
Security and Defence Committee
31.
Georgia
Tidak diketahui (di bawah komando kementerian pertahanan Georgia)
32.
Norwegia
Tidak diketahui (di bawah komando kementerian pertahanan Norwegia)
Sedangkan beberapa negara lainnya belum mempunyai doktrin atau organisasi militer terkait cyber-warfare. Negara-negara ini baru memfokuskan dari segi keamanan (cyber-security) terhadap ancaman kriminal dan vandalisme namun belum mengkoordinasikannya dengan militer atau belum bertujuan untuk mempunyai kemampuan cyberwarfare. Negara-negara tersebut antara lain: Antigua, Belgia, Brunei Darussalam, Bulgaria, Kroasia, Cuba, Siprus, Ceko, Ghana, Hungaria, Indonesia, Jepang, Yordania, Kenya, Latvia, Lithuania, Luxemburg,
Maladewa, Malta, Moroko, Selandia Baru, Nigeria, Oman, Pakistan, Portugal, Filipina, Serbia, Singapura, Slovakia, Slovenia, Afrika Selatan, Spanyol, Swedia, Uni Emirat Arab, Vietnam, Zimbabwe. 92 Sedangkan negara-negara yang belum disebutkan diatas kemungkinan besar pemerintahnya belum berinisiatif melakukan pengamanan aset cybernya
yang
mungkin
disebabkan
karena
belum
menjadi
kepentingan nasionalnya, kebutuhan penggunaan cyber dalam negerinya masih sedikit, dan kemampuan ekonominya masih jauh dari pembangunan infrastruktur berbasis cyber. Dalam article 2 ayat (4) piagam PBB: All members shall refrain in their international relations from threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other, manner inconsistent with the Purposes of the United Nations. Dalam ketentuan tersebut disebutkan mengenai territorial integrity, maka penggunaan angkatan bersenjata di laut, darat, dan udara di dasarkan pada adanya teritorial yang dimiliki suatu negara, dan
teritorial
sangat
erat
hubungannya
dengan
kedaulatan
(souvereignty). Demikian halnya dengan cyber/cyberspace, untuk dapat dikatakan sebagai domain di dalam peperangan atau konflik bersenjata, terlebih dahulu harus ditentukan kedaulatan (souvereignty) suatu Negara di dalam cyber/cyberspace.
92
James A. Lewis dan Katrina Timlin, Op.Cit., halaman 23-35.
Menurut Bodley, kedaulatan terdiri dari kedaulatan eksternal dan internal. Dimana kedaulatan eksternal adalah semua hal yang berkaitan dengan luar negeri serta kekuatan pertahanan untuk melindungi teritorial Negara dari serangan Negara lain. Sedangkan kedaulatan internal adalah kewenangan yang dimiliki oleh suatu Negara untuk menjalankan fungsinya dalam lingkup nasional. Dalam Tallinn Manual The International Applicable to Cyber Warfare pada Rule I. Souvereignty menyatakan bahwa A State may exercise control over cyber infrastructure and activities within its souvereign territory. 93 Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa suatu negara dapat menjalankan kontrol terhadap infrastruktur cyber/cyberspace dan aktivitas cyber/cyberspace yang ada di dalam wilayah kedaulatannya. Dari definisi yang diberikan oleh Bodley dan ketentuan dalam Tallinn Manual dapat dikatakan bahwa ketika suatu Negara memiliki kapabilitas dalam hal infrastruktur cyber/cyberspace, Negara tersebut telah memiliki kedaulatan di dalam cyber/cyberspace, dan syarat umum
yang
terdapat
dalam
hukum
internasional
mengenai
cyber/cyberspace untuk dapat dikatakan sebagai domain terpenuhi. Jika dilihat ada kepentingan yang dilindungi atau menjadi target yaitu infrastruktur berbasis cyber dan beberapa negara sudah atau akan mempunyai kemampuan pertahanan atau serang terhadap
93
Michael N. Schmitt, Tallinn Manual on The International Law Applicable to Cyber Warfare, (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), halaman 25.
cyber baik itu ada dalam struktur organisasi militer atau tidak. Menurut hemat penulis karena kedua hal tersebut dimungkinkan terjadinya serangan-serangan dalam dunia virtual (cyber/cyberspace) yang dikoordinasikan oleh negara demi memperoleh keunggulan politik dan militer terhadap musuhnya. Sehingga cyber/cyberspace menjadi domain/matra perang/konflik bersenjata baru setelah darat, laut, darat udara di masa depan.
2. Aktor Cyber-Warfare Aktor-aktor ini dapat memberikan jawaban apakah suatu serangan (cyber-attack) dapat dikategorikan dengan cyber-warfare atau tidak. Serta lebih luas lagi dapat mengidentifikasi cyber-warfare apakah termasuk konflik bersenjata internasional atau konflik bersenjata non-internasional. The International Group of Experts dalam Tallinn Manual menyepakati bahwa sebuah konflik termasuk konflik internasional jika dua atau lebih negara terlibat sebagai para pihak yang saling berlawanan atau ketika aktor bukan negara dibawah ‘kendali seluruhnya’ (overall control by State) dari satu negara yang terlibat dalam permusuhan satu sama lain. 94 Pada praktiknya, sangat sulit untuk memastikan apakah suatu negara mengendalikan aktivitas cyber
94
Michael N. Schmitt, Op. Cit, Rule 22 (2), halaman 72.
dari aktor bukan negara (hacker atau cracker) tersebut.95 Aktor bukan negara disini maksudnya adalah pihak-pihak yang dimungkinkan diberikan
perintah
oleh
negara
seperti
militer,
kelompok
hacker/cracker yang disponsori negara untuk menyerang (cyberattack) terhadap sistem komputer di negara lain. Muncul pertanyaan apakah tindakan cyber-attack dari aktor bukan negara (hacker/cracker) yang terorganisasi seperti kelompok bersenjata terhadap suatu negara lain dapat dikaitkan dengan perintah suatu negara lain sehingga konflik itu bersifat internasional?. Terkait dengan itu Majelis Hakim Pengadilan Banding ICTY (International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia’s Tadic Appeals Chamber
Judgement) menjelaskan apa yang dimaksud ‘kendali
seluruhnya’ pada kasus Bosnian Serb Unit yang mana unit ini diarahkan oleh Republik Yugoslavia. ...a control by a State over subordinate armed forces or militias or paramilitary units may be of an overall character (and must compromise more than the mere provision of financial assistance or military equipment or training). This requirement, however, does not go so far as to include the issuing of specific orders by the State, or its direction of each individual operation. Under International Law it is by no means necessary that the controling authorities should plan all the operations of the units dependent on them, choose their targets, or give specific instructions concerning the conduct of military operations and any alleged violations of international humanitarian law. The control required by international law may be deemed to exist when a State (or, in the context of an armed conflict, the Party to the conflict) has a role in organising, coordinating or planning the military actions of 95
Ibid.
the military group, in additiong to financing, training and equipping or providing operational support to that group. 96 Majelis Banding ICTY menjelaskan yang dimaksud ‘kendali seluruhnya’ menurut hukum internasional dapat dianggap ada apabila suatu Negara (atau, dalam konteks konflik bersenjata, pihak-pihak pada konflik) memiliki peran dalam mengatur, mengkoordinasikan atau perencanaan tindakan militer dari kelompok militer, mendanai, melatih dan melengkapi atau menyediakan dukungan operasional kepada kelompok itu. Jadi kelompok atau organisasi atau unit-unit dari hacker dan cracker dianggap merupakan ‘kaki tangan’ dari entitas (negara atau belligerent) apabila terbukti kelompok hacker/cracker tersebut memenuhi kriteria ‘kendali seluruhnya’ seperti yang dijelaskan Putusan Majelis Hakim pada Pengadilan Banding ICTY. Ketika ‘kendali seluruhnya’ terbukti ada dalam pertikaian antar negara, maka dapatlah dikatakan telah memenuhi kriteria konflik bersenjata internasional dan berarti juga ada cyber-warfare seperti yang dikemukakan The International Group of Experts tersebut.
96
Tadic, Appeals Chamber Judgement, paragraph 137.
3. Ancaman dan Dampak Cyber-Warfare terhadap Keamanan dan Perdamaian Dunia Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Martin C. Libicki ada beberapa tingkatan kekerasan untuk menyelesaikan suatu sengketa internasional, yaitu: Bagan 2. Tingkat Agresifitas Kekerasan dalam Sengketa Internasional97
Serangan Nuklir (Nuclear Attack) Kekuatan Fisik (Tentara) Melakukan Invasi (Physical Force) Cyber-Warfare Sanksi Ekonomi dan Diplomatik
More Belligerent
Less Belligerent
Cyber-Warfare menempati urutan kedua dari bawah setelah sanksi ekonomi dan politik. Menurut riset ini ancaman cyber-warfare terhadap perdamaian dunia masih dibawah dari ancaman kekerasan bersenjata yang nyata. Dalam situasi politik yang memanas cyberwarfare dapat digunakan apabila jalan sanksi ekonomi dan diplomatik tidak menemukan harapan. Menarik bahwa cyber-warfare dapat tergolong ancaman yang dapat diterapkan dalam situasi hubungan politik yang memanas antar kedua negara.
97
Martin C. Libicki, Cyber Detterance and Cyberwar, (Pittsburgh: RAND Corporation, 2009), halaman 29.
Dari segi biaya yang diperlukan untuk menghasilkan dampak serangan (kerusakan) yang efektif, cyber-warfare lebih unggul dibandingkan serangan fisik langsung.
Gambar 1. Grafik Perbandingan Biaya dan Dampak Serangan98
Hal tersebut karena hampir seluruh infrastruktur aktivitas manusia ada di dalam cyber. Misalnya seperti kegiatan perbankan (ebanking, e-payment), sistem perkotaan (smart city), navigasi udara dan laut (air/sea traffic control), pembangkit listrik (power plant), informasi personal dalam media sosial (facebook, twitter, instagram, path, askfm, tumblr, blog, dll), perdagangan saham, dan masih banyak lagi. Semuanya itu terhubung (online) dalam cyber karena memberikan keuntungan kecepatan informasi dan komunikasi.
98
Ibid, halaman 33.
Oleh karena itu menjadikan cyber sebagai suatu sistem komunikasi yang sangat vital karena siapapun dapat mengakses ke dalam sistem itu. Dan dimungkinkan adanya ancaman-ancaman terhadap sistem tersebut melalui virus dan worm untuk merusak datadata komputer yang terhubung (online) dengan internet. Ketika datadata
komputer
(user)
yang
terhubung
dalam
cyber
dirusak/dihapus/dimanipulasi dapat membawa dampak merugikan pada aktivitas yang ditunjangnya. Ancaman (threat) berupa serangan cyber (cyber-attack) biasanya dilatarbelakangi kepentingan politik antar negara atau entitas lainnya
selain
negara.
Beberapa
kasus
yang
pernah
terjadi
menggambarkan ancaman dan dampak dari cyber-warfare antara lain: a. Sina – American Hacker Case (2001) Pada bulan April 2001 terjadi insiden tabrakan pesawat tempur jet China dengan pesawat intai maritim AS. Isu ini menjadi headline media masa internasional saat itu yang memicu ketegangan hubungan diplomatik kedua negara. Ditengah ketegangan itu hacker AS melaporkan bahwa lebih dari 600 website China telah dirusak sebelum akhir April 2011 termasuk beberapa website pemerintah provinsi dan website universitas China. 99 Sina salah satu gateway website terbesar di China juga diserang oleh DDoS
99
Taipei Model United Nations 2014, Study Guide Topic A: Cyberwarfare, Disarmament and International Security Committee, halaman 11-12.
(Distributed Denial of Service) dan lebih dari 2500 website China pada Mei 2001 telah dirusak. 100 Tindakan hacker AS tersebut dibalas oleh hacker China yang dikenal dengan nama China Honkers Union dan Hackers Union of China. Hacker China pada tanggal 1 sampai dengan 7 Mei 2001 berhasil membobol 1400 website AS termasuk website milik Departemen Ketenagakerjaan AS (US Department of Labor), Departemen Kesehatan dan Pelayanan Publik (US Department of Health and Human Services), sampai pada website milik Gedung Putih AS (US White House).101 Pihak pemerintah dari kedua negara berusaha meredam isu yang ada dengan sama-sama tidak bertanggung jawab atas cyber-attack yang terjadi di kedua negara. b. Titan Rain Case (2003 – 2006) Sejak tahun 2003 grup-grup hackers yang tidak dikenal berusaha mencari informasi rahasia dan rentan milik pemerintah AS untuk dibocorkan pada publik. Kali ini yang menjadi sasaran adalah Departemen Dalam Negeri AS (US Department of State), Departemen Energi AS (US Department of Energy), Departemen Pertahanan AS (US Department of Homeland Security) serta Hacker ini juga berhasil mencuri data-data militer AS tanpa terdeteksi.102 Ini adalah serangan panjang dan berkelanjutan yang mana pemerintah AS memberi kode nama sebagai “Titan Rain”. 100
Ibid. Ibid. 102 Ibid. 101
Tidak diketahui dari pihak mana hacker ini berasal, namun tuduhan media internasional mengarah pada militer China (China’s People’s Liberation Army) atau hacker yang disponsori oleh pemerintah China. Cyber-attack ini ditengarai adalah buntut ketegangan sejak tahun 2001 antara China dan AS. c. Perang Israel – Hezbollah (2006) Perang yang terjadi antara militer Israel dan milisi Hezbollah di Lebanon pada pertengahan Juli 2014 juga terdapat cyber-attack. Pada 12 Juli 2006 pasukan Hezbollah menembakan roket pada dua kendaraan militer Israel yang sedang berpatroli di perbatasan Israel sebelah utara yang berbatasan langsung dengan wilayah Lebanon. Serangan roket itu menewaskan tiga tentara Israel dan dua lainnya luka-luka. Militer Israel kemudian membalas serangan itu dengan serangan udara dan tembakan artileri pada posisi pasukan Hezbollah serta juga melakukan serangan cyber pada website milik Hezbollah dengan menggunakan DDoS (Distributed Denial of Service) sehingga website tersebut tidak dapat diakses. Selain itu militer Israel juga berhasil meretas (hacked) koneksi satelit TV Hezbollah yang bernama Al Manar.
103
Hacker Hezbollah
membalasnya dengan merusak website milik pemerintah dan militer Israel. Pada waktu yang sama website milik agensi-agensi AS seperti NASA, University of California, University of Berkeley,
103
Ibid.
Microsoft juga rusak, dicurigai hal ini adalah perbuatan hacker Hezbollah karena secara politik AS mendukung aksi-aksi militer Israel di Timur Tengah. d. Estonia (2007) Estonia adalah salah satu negara yang menerapkan sistem administrasi tanpa menggunakan kertas (paperless system) dan karena itu sangat bergantung pada data-data komputer. Namun hal ini menjadi suatu kekacauan ketika terjadi gelombang serangan cyber terhadap seluruh website di Estonia pada tahun 2007. 104 Kegiatan-kegiatan administrasi yang menerapkan paperless system seperti perbankan, perdagangan saham, pelayanan publik otomatis berhenti beroperasi karena data-data komputernya hilang karena serangan DDoS.
105
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah
Estonia memutus seluruh sambungan internet untuk memperbaiki sistem jaringan yang dirusak. 106 Akibatnya memutus hubungan Estonia dari informasi dunia untuk waktu yang lumayan lama sampai menunggu perbaikan selesai.
Kejadian ini diduga
disebabkan karena peristiwa relokasi tugu peringatan kemerdekaan dari pendudukan Nazi Jerman yang dibangun Uni Sovyet oleh pemerintah Estonia yang menyinggung Rusia. Meskipun begitu, pemerintah Rusia menangkis tuduhan-tuduhan itu. 104
“Estonia Hit by Moscow Cyer War”, BBC News, diposting pada 17 Mei 2007, diakses dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/6665145.stm pada 26 April 2015 pukul 02.51 WIB. 105 Ibid. 106 Ibid.
e. The Stuxnet Worm (2010) Pada tahun 2007 - 2010 terjadi serangan cyber (cyber-attack) terhadap fasilitas pengayaan uranium Iran yang bernama “Natanz”. Sebuah worm yang dikenal dengan Stuxnet Worm berhasil memasuki sistem komputer untuk mengoperasikan reaktor tersebut tanpa terdeteksi dan memanipulasi data-data operasional mesin. Data yang dimanipulasi tersebut adalah data putaran mesin sentrifugal untuk memisahkan zat uranium, dimana rotasi per menit (rpm) putaran dinamo mesin tersebut menjadi tidak stabil (putaran awal 9000 rpm dalam 2 detik menjadi 1000 rpm kemudian naik lagi 2 detik menjadi 12000 rpm). Putaran mesin yang tidak stabil mengakibatkan getaran yang lama-kelamaan merusak mesin tersebut. Kejadian tersebut membuat fasilitas “Natanz” berhenti beroperasi selama beberapa bulan untuk memperbaiki kerusakan mesin itu. Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh pemerintah Iran, worm yang bernama stuxnet itu adalah hasil pengembangan oleh militer Amerika Serikat dan Israel. Seperti diketahui bahwa Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya sangat menentang program pengayaan uranium Iran, maka itu dugaan kuat bahwa kejadian ini merupakan serangan cyber (cyberattack) dari Amerika Serikat dan Israel. f. Konflik India – Pakistan (2010)
Pada 26 November 2010, ICA (Indian Cyber Army) mengklaim berhasil menyerang kurang lebih 870 website Pakistan termasuk website Angkatan Laut, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Ekonomi, dan 31 website lainnya milik pemerintah Pakistan. 107 Pada 3 Desember 2010 tepat pada peringatan perang IndiaPakistan, PCA (Pakistani Cyber Army) mengklaim berhasil menyerang 270 website India. 108 Hubungan diplomatik kedua negara sudah lama terjadi ketegangan sejak sengketa wilayah dataran tinggi Kashmir yang diperebutkan kedua negara. g. Konflik Rusia – Ukraina (2014) Saat referendum di wilayah semenanjung
Crimea sedang
berlangsung pada 16 Maret 2014, dilaporkan terjadi serangan terhadap website-wesbite milik Rusia dan Ukraina. Website milik pemerintah Ukraina mengalami 42 cyber-attack. Beberapa website publik milik NATO juga mengalami hal yang sama pada tanggal yang sama karena serangan DDoS.109 Pada tanggal 17 Maret 2014 sehari setelah referendum Crimea, 132 DDoS menyerang websitewebsite milik Rusia. Dapat diduga serangan tersebut merupakan bagian dari ketegangan politik antara Ukraina dan Rusia mengenai sengketa wilayah Crimea, karena serangan-serangan itu muncul 107
Sandeep Unnithan, Inside the India-Pakistan Cyber Wars, India Today, diposting pada 18 Maret 2011, diakses dari http://indiatoday.indiatoday.in/story/india-pakistan-cyber-war-run-byhired-hackers/ pada 26 Februari 2015. 108 Loc.Cit. 109 Adrian Croft, NATO Website Hit in Cyber Attack Linked to Crimea Tension, Reuters Daily, diposting pada 16 Maret 2014, diakses dari http://reuters.com/article/2014/03/16/us-ukrainenato-id pada 26 Februari 2015 pukul 17.37 WIB.
bersamaan adanya momentum politik di Crimea serta kedua pihak juga mengalami serangan (balas membalas). Jika melihat kasus-kasus diatas terlihat bahwa cyber-attack terjadi utamanya karena adanya sebab sengketa politik yang terjadi antara dua pihak (negara dengan negara / bukan negara dengan negara).
B. Relevansi Hukum Humaniter Internasional terhadap Cyber-Warfare Meskipun hukum humaniter internasional didesain untuk mengatur konflik bersenjata yang terjadi dalam dunia nyata (darat, laut, dan udara), beberapa prinsip atau asas dalam hukum humaniter internasional ternyata terdapat analogi korelasi dengan fenomena serangan bersenjata dalam dunia virtual (cyber/cyber-space) dalam konteks konflik bersenjata terkhusus yang dibahas dalam penelitian ini adalah cyber-warfare dalam konflik bersenjata internasional.
1. Pengaruh Kemajuan Teknologi dalam Bidang Persenjataan dalam Hubungannya dengan Hukum Humaniter Internasional Sejak pecahnya Perang Dunia I, banyak senjata baru diketemukan, beberapa diantaranya mempunyai daya penghancur yang
luar biasa. 110 Kemudian selama Perang Dunia II ditemukan lagi senjata-senjata yang lebih mutahir, antara lain: 1) Roket V2 dan V1 Senjata ini merupakan cikal bakal rudal balistik antar benua yang berkembang pesat pada era perang dingin. Ditemukan oleh ahli peroketan Nazi Jerman Wernher von Braun. Roket ini telah meluluhlantakan ibu kota Inggris London yang mana roket ini diluncurkan dari jarak jauh yaitu pantai barat Perancis. 2) Bom atom (fatman dan little boy) Senjata ini merupakan hasil pengembangan dari proyek Manhattan yang dilakukan sekutu untuk digunakan awalnya menyerang ibu kota Jerman Berlin, namun pada Mei 1945 Jerman Nazi dapat ditaklukan sebelum bom ini rampung dikerjakan. Target serangan dialihkan pada Jepang yang masih bertahan yaitu di kota Hiroshima dan Nagasaki. Akibat serangan ini, dua kota tersebut rata dengan tanah dan banyak korban warga sipil Jepang. Belum lagi efek radiasi nuklir di kota itu sampai puluhan tahun yang mengakibatkan kelainan genetika pada warga sipil Jepang di Hiroshima dan Nagasaki. Senjata mutahir yang digunakan selama Perang Dunia II itu menyebabkan ketakutan internasional akan dampak yang dihasilkan.
110
Morris Greenspan, The Modern Law of Land Warfare, dalam Syahmin AK, Hukum Humaniter Internasional 1 Bagian Umum, (Bandung, CV Armico, 1985), halaman 23.
Dikhawatirkan apabila senjata ini digunakan dalam perang selanjutnya akan menyebabkan kepunahan manusia dan rusaknya alam akibat efek radiasi nuklir. Ditambah lagi blok barat (Amerika Serikat dkk) dan blok timur (Uni Sovyet dkk) terus mengembangkan senjata rudal balistik antar benua berhulu ledak nuklir yang sangat meresahkan warga dunia. Selain senjata nuklir beberapa senjata lain juga tidak kalah menakutkannya seperti penyembur api (flamethrower), bom napalm, ranjau, senjata nubika (nuklir, kimia, biologi), dll. Ketakutan ini karena senjata-senjata ini tidak dapat membedakan sasaran militer dan objek sipil (non militer). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka berikut ini dikemukakan
beberapa perjanjian
internasional sebagai akibat
kemajuan teknologi dalam bidang persenjataan, yaitu:111 1) Protocol For The Prohibition of Use in War of Asphyxiating, Poisonous or Other Gases, and Bacteriological Methods of Warfare; 2) Convention on The Prohibition of The Development Production and Stockpilling of Bacteriological (Biological) and Toxin Weapons and On Their Destruction; 3) Treaty on The Prohibition of Emplacement of Nuclear Weapon and Other Weapon of Mass Destruction on The Sea Bed and Ocean Floor and in the subsoil there of; 111
Syahmin AK, Op, Cit, halaman 46-50.
4) Treaty of Non Proliferation of Nuclear Weapons; 5) Treaty For The Prohibition of Nuclear Weapon; 6) Antartic Treaty; 7) Treaty of Principles Governing The Activities of State In The Exploration and Use of Outer Space Including The Main and Other Celestial Bodies; 8) Treaty Banning Nuclear Weapon Test In The Atmosphere, in Outer Space, and Under Water; 9) Convention on The Prohibition of Military of Any Other Hostile of Enviromental Modification Techniques (ENMOD); 10) Convention on Prohibition or Restrictions on The Use of Specific Conventional Weapons. Dari uraian tersebut jelaslah bahwa penemuan dalam bidang teknologi
memberikan
internasional.
112
pengaruh
yang
nyata
dalam
hukum
Kemajuan teknologi di bidang persenjataan ini
haruslah dikontrol sehingga tidak ditujukan semata-mata untuk mendapatkan
senjata
guna
menghancurkan
manusia
dan
peradabannya.113 Mengenai kemajuan teknologi yang melahirkan suatu metode perang cyber-warfare hal ini belum diatur dalam bentuk konvensi internasional. Pengaturan cyber-warfare dalam hukum humaniter
112 113
Ibid, halaman 50. Ibid, halaman 51.
internasional sangatlah diperlukan agar konflik bersenjata yang terjadi di dalam cyber/cyberspace tidak sampai mengakibatkan kerugian yang tidak perlu (unneccessary suffering) pada penduduk sipil yang juga memanfaatkan cyber/cyberspace. Walaupun ketiadaan konvensi hukum humaniter internasional tentang cyber-warfare, tidak berarti cyber-warfare bukanlah objek dari ketentuan dalam hukum humaniter internasional. Secara khusus, Article
36
Protokol
Tambahan
I
Konvensi
Jenewa
1949
mengakomodirnya: 114 “Di dalam penyelidikan, mengembangkanmenghasilkan atau mendapatkan suatu senjata baru, alatalat baru atau cara peperangan, suatu pihak Peserta Agung berkewajiban menetapkan apakah di dalam keadaan tertentu atau segala keadaan penggunaannya tidak akan dilarang oleh Protokol ini atau sesuatu peraturan lain dari Hukum Internasional yang berlaku terhadap Pihak Peserta Agung tersebut”. (In the study, development, acquisition of a new weapon, means or method or warfare, a High Contracting Party is under an obligation to determine whether its employment would, in some or all circumstances, be prohibited by this Protocol or by any other rule of international law applicable to the High Contracting Party). Ketentuan Article 36 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 menunjukan bahwa aturan hukum humaniter internasional berlaku untuk setiap teknologi baru seperti cyber-warfare.
114
Article 36 (article 36) Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949.
2. Aplikasi Pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap Cyber-Warfare Hukum humaniter internasional hanya dapat diaplikasikan pada setiap operasi cyber dalam konteks dan terkait dengan sebuah konflik bersenjata. 115 Dalam pembahasan sub bab ini penulis akan berfokus pada perlindungan terhadap penduduk sipil dan objek sipil dalam suatu konflik bersenjata cyber-warfare dalam konteks analogi dunia nyata dan dunia virtual (cyber/cyberspace) dan bagaimana korelasinya berdasarkan hukum humaniter internasional.
Partisipasi dalam Konflik Bersenjata Hukum humaniter internasional tidak melarang setiap individu untuk berpartisipasi dalam sebuah konflik bersenjata, baik itu konflik bersenjata internasional atau non-internasional. Article 43 (2) Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949: 116 “Anggota-anggota dari angkatan perang dari suatu Pihak dalam pertikaian (kecuali tenaga kesehatan dan rohaniawan yang termaktub dalam pasal 33 dari Konvensi Jenewa III) adalah kombatan, yaitu mereka yang mempunyai hak untuk turut serta secara langsung dalam peperangan” (Members of the armed forces of a Party of a conflict (other than medical personel and chaplains covered by Article 33 of Geneva Convention III) are
115
Cordula Droege, Get Off My Cloud: Cyber Warfare, International Humanitarian Law, and Protection of Civilians, International Review of The Red Cross Volume 94 Number 886 Summer 2012, halaman 542. 116 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949, Article 43 (2).
combatants, that is to say they have the right to participate directly in hostilities). Ketentuan ini dapat diaplikasikan pada konflik bersenjata internasional yang mana setiap orang mempunyai hak untuk turut serta sebagai kombatan secara langsung dalam peperangan. Apabila seseorang yang pada awalnya berstatus sebagai warga sipil (civilians) lalu masuk sebagai kombatan dan berpartisipasi dalam konflik bersenjata, ia akan kehilangan imunitas perlindungan sipilnya dari serangan dalam konflik bersenjata. Hal ini dijelaskan dalam Article 51 (3) Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949: 117 “Orang-orang sipil harus menikmati perlindungan yang diberikan oleh seksi ini (perlindungan bagi penduduk sipil), kecuali dan selama mereka ikut serta langsung dalam peperangan” (Civilians shall enjoy the protection afforded by this Section (protecting of the civilian population), unless and for such time as they take a direct part in hostilities). Hal ini terjadi ketika setiap orang yang memenuhi kriteria sebagai kombatan seperti yang diatur dalam Article 4 A (2) Konvensi Jenewa III 1949, Article 13 (2) Konvensi Jenewa I & II 1949, yaitu:118 1) Dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya (being commanded by a person responsible for his subordinates); 2) Mempunyai tanda pengenal khusus yang tetap dapat dikenal dari jauh (wearing a distinctive emblem or attire that is recognizable at a distance); 3) Membawa senjata terang-terangan (carrying arms openly); 4) Melakukan operasi-operasi mereka sesuai dengan hukumhukum dan kebiasaan-kebiasaan perang (conducting operations in accordance with the law of armed conflict). 117 118
Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949, Article 51 (3). Konvensi Jenewa III 1949, Article 13 (2); Konvensi Jenewa I,II 1949, Article 13 (2).
Dalam cyber-warfare diketahui juga cyber/cyberspace yang dijadikan domain perang para pihak terdapat warga sipil yang tidak dikualifikasikan sebagai kombatan. Warga sipil ini wajib dilindungi dari cyber-attack dari para pihak cyber-warfare karena berdasarkan Article 51 (2) Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 serangan terhadap warga sipil adalah dilarang. Namun perlindungan ini tidak berlaku apabila warga sipil tersebut ikut serta sebagai pihak dalam konflik bersenjata dengan melakukan operasi-operasi cyber sehingga ia dapat dikualifikasikan sebagai kombatan seperti yang diatur dalam Article 4 A (2) Konvensi Jenewa III 1949 dan Article 13 (2) Konvensi Jenewa I, II 1949. Mengingat adanya kriteria kombatan dalam konflik bersenjata, perlu gambaran kriteria kombatan dalam cyber-warfare sebagai salah satu bentuk konflik bersenjata: 1) Dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya (being commanded by a person responsible for his subordinates); Misalnya: §
Seorang atau kelompok hacker/cracker diasimilisakan sebagai salah satu organ militer
yang
mempunyai
komandan; §
Seorang atau kelompok hacker/cracker yang mempunyai komandan yang mana seorang atau kelompok tersebut
memenuhi kriteria ‘kontrol sepenuhnya’ dari negara seperti yang dibahas pada sub bab aktor cyber-warfare. 2) Mempunyai tanda pengenal khusus yang tetap dapat dikenal dari jauh (wearing a distinctive emblem or attire that is recognizable at a distance); Misalnya: §
Dalam cyber/cyberspace dia dapat dikenali sebagai bagian dari militer/angkatan bersenjata dengan mencantumkan logo pada website, virus, worm yang digunakan untuk menyerang yang menandakan identifikasinya sebagai angkatan bersenjata.
3) Membawa senjata terang-terangan (carrying arms openly); Mengenai ini sulit untuk dibuktikan karena penyerang membawa senjata yang digunakan dalam cyber-warfare seperti virus dan worm sulit dideteksi. Namun apabila seorang atau kelompok itu ingin mendapatkan status sebagai kombatan ia harus memperlihatkan senjata virus dan worm yang digunakan untuk menyerang dalam cyber/cyberspace. 4) Melakukan operasi-operasi mereka sesuai dengan hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang
(conducting operations in
accordance with the law of armed conflict). §
Misalnya: Tidak menyerang website milik sipil yang tidak dikategorikan sebagai angkatan perang.
Serangan Menurut Article 49 (1) Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949:119 “Serangan berarti tindakan kekerasan terhadap pihak musuh, baik dalam menyerang atau bertahan dalam mempertahankan diri” (Attacks means act of violence against the adversary, whether in offence or in defence). Tindakan kekerasan (act of violence) tidak harus dipahami sebagai aktivitas terbatas yang hanya melepaskan kekuatan kinetis.120 Dalam hal ini, serangan senjata kimia, biologis, atau radiologis tidak selalu mengakibatkan efek kinetik pada sasarannya, tetapi secara umum disepakati bahwa itu termasuk sebagai sebuah serangan. 121 Untuk dapat dikategorikan sebagai tindakan kekerasan (act of violence), suatu tindakan harus menghasilkan konsekuensi dalam arti keras dan tidak terbatas pada tindakan keras. Misalnya serangan cyber (cyber-attack) pada sistem yang mengontrol fasilitas pembangkit listrik (SCADA/Supervisory Control and Data Acquisition) 122 yang menyebabkan kebakaran.
119
123
Apabila konsekuensi yang dihasilkan
Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949, Article 49 (1). Michael N. Schmitt, Op.Cit, halaman 92. 121 Ibid. 122 SCADA (Supervisory Control and Data Acquisition) adalah sistem kontrol industri nasional (ICS/Industrial Control System) yang didesain untuk memantau dan mengendalikan bermacammacam infrastruktur vital (facility based-processes) seperti pembangkit listrik, kilang minyak, pipa gas dan minyak, transportasi publik dan sistem komunikasi. 123 Michael N. Schmitt, Op.Cit., halaman 92. 120
bersifat menghancurkan
124
, operasi-operasi semacam itu telah
memenuhi maksud sebagian unsur dari serangan yaitu ‘tindakan kekerasan (act of violence)’.125 Redaksional ‘terhadap pihak musuh (against the adversary) pada Article 49 (1) diatas menunjukan bahwa operasi yang sifatnya menghancurkan
itu
harus
diarahkan
pada
musuh
untuk
dikualifikasikan sebagai serangan (attacks).126 Perlu diingat mengenai ketentuan Article 51 (1) Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949: 127
“Penduduk sipil dan orang-orang sipil perorangan harus menikmati perlindungan umum terhadap bahaya-bahaya yang timbul dari operasi militer” (Civilian population and individual civilians shall enjoy general protection against dangers arising from military operations).
Prinsip Pembedaan (Distinction Principle) pada Cyber-Warfare Para pihak dalam konflik bersenjata harus membedakan antara kombatan dan orang sipil. 128 Demikian ini dikenal sebagai prinsip
124
‘Menghancurkan’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti ‘menjadikan kacau’; menghancurkan=destroy, menurut Oxford Dictionaries ‘end of existence of (something) by damaging or attacking it’. 125 Michael, N. Schmitt, Op.Cit., halaman 92. 126 Ibid. 127 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949, Article 51 (1). 128 Ambarwati dkk, Op.Cit. halaman 45.
pembedaan (distinction principle) yang diatur dalam Article 48 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949:129 “Agar supaya menjamin dihormatinya dan dilindunginya penduduk sipil dan objek-objek sipil, Pihak-pihak dalam pertikaian setiap waktu harus membeda-bedakan antara penduduk sipil dan kombatan-kombatan dan antara objekobjek sipil dan sasaran-sasaran militer dan karenanya harus mengarahkan operasi-operasi mereka hanya terhadap sasaransasaran militer saja”. (In order to ensure respect for and protection of the civilian population and civilian objects, the Parties to the conflict shall at all times distinguish between the civilian population and combatants and between civilian objects and military objectives and accordingly shall direct their operations only against military objectives). Adapun garis pembeda antara kombatan dengan orang sipil, dalam
perkembangan
hukum
humaniter
internasional
masih
diperdebatkan. 130 Pihak yang kekuatannya hebat dan berperalatan lengkap selalu menginginkan definisi pembedaan yang tegas dan suatu identifikasi kombatan yang jelas, sedangkan pihak yang lebih lemah berharap adanya opsi untuk menggunakan sumber daya manusia tambahan secara fleksibel. 131 Jika dikaitkan dalam konteks cyberwarfare,
tentunya
akan
menjadi
masalah
bagaimana
mengidentifikasikan seseorang yang dianalogikan sebagai komputer (host) dalam cyber/cyberspace sebagai kombatan (sasaran militer) atau penduduk/objek sipil (bukan sasaran militer), karena karakteristik cyber-warfare yang serba tidak jelas (anonymity). Setidak-tidaknya dalam pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan bagaimana kriteria 129
Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949, Article 48. Ambarwati, dkk, Op.Cit., halaman 45. 131 Ibid. 130
kombatan pada Article 4 A (2) Konvensi Jenewa III 1949 dan Article 13 (2) Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 yang dikorelasikan dalam konteks cyber-warfare. Lebih spesifik ketentuan Article 48 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 ini dijabarkan dalam: 1) Perlindungan terhadap penduduk sipil (civilians) pada Article 51 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949; 2) Perlindungan terhadap objek sipil (civilian object) pada Article 52 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949.
Perlindungan terhadap Penduduk Sipil (Protecting to Civilians) pada Cyber-Warfare Perlindungan penduduk sipil diatur dalam Article 51 yang intinya dapat dipahami dari paragraph (1), (2):132 1) Penduduk sipil dan orang-orang sipil perorangan harus menikmati perlindungan umum terhadap bahaya-bahaya yang timbul dari operasi-operasi militer. Agar perlindungan ini dapat dirasakan hasilnya, ketentuan-ketentuan berikut ini yang merupakan tambahan pada ketentuan-ketentuan hukum internasional lainnya yang dapat diterapkan, harus dipatuhi dalam segala keadaan; (The civilian population and individual civilians shall enjoy general protection against dangers arising from military operations. To give effect to this protection, the following rules, which are additional to other applicable rules of international law, shall be observed in all circumstances); 132
Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949, Article 51 (1), (2).
2) Dengan demikian penduduk sipil maupun peroranganperorangan sipil tidak boleh menjadi sasaran serangan. Tindakan-tindakan atau ancaman-ancaman kekerasan yang tujuan utamanya adalah menyebarkan teror dikalangan penduduk sipil adalah dilarang; (The civilian population as such, as well as individual civilians, shall not be the object of attack. Act or threats of violence the primary purpose of which is to spread terror among the civilian population are prohibited). Dalam konteks cyber-warfare, operasi/serangan (cyber-attack) yang dilarang berdasarkan prinsip ini adalah serangan yang dikategorikan serangan seperti yang dimaksud pada Article 49 (1) yaitu serangan yang sifatnya menghancurkan. Perlu diingat lagi mengancurkan dipahami sebagai sesuatu yang menjadi kacau atau menjadikan hilangnya sesuatu (end of existence (of something) by damaging or attacking it).133 Gambaran perlindungan terhadap penduduk sipil misalnya cyber-attack berupa siaran propaganda pada komputer penduduk sipil, terlihat bahwa kualifikasi ‘menghancurkan’ terasa tidak tepat karena hal itu sifatnya psikologis yang tidak menyebabkan hilang atau menjadikan kacau akan sesuatu dan selain itu tindakan propaganda dalam konflik bersenjata internasional adalah suatu hal yang biasa terjadi dan bukan merupakan teror pada penduduk sipil atau objek sipil, yang berarti tindakan itu diperbolehkan/sah menurut hukum humaniter internasional. Beda halnya apabila cyber-attack berupa
133
Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘menghancurkan’. Oxford Dictionaries ‘destroy’.
serangan DDoS134 pada komputer penduduk sipil (website server milik penduduk sipil) yang menyebabkan kerusakan sistem dan hilangnya data-data dalam komputer tersebut sehingga mengacaukan aktivitas pada penduduk sipil atau objek sipil, hal ini dapat memenuhi kualifikasi ‘menghancurkan’ dan juga teror pada penduduk sipil atau objek sipil, yang berarti tindakan itu dilarang/tidak sah menurut hukum humaniter internasional. Perlindungan terhadap Objek Sipil (Protecting to Civilian Object) pada Cyber-Warfare Perlindungan terhadap objek sipil merupakan salah satu bentuk penerapan prinsip kepentingan militer (military necessity) yaitu ketentuan yang menetapkan bahwa suatu objek sipil hanya bisa dijadikan sasaran militer apabila telah memenuhi persyaratan tertentu yang diatur dalam Article 52 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949:135 1) Objek-objek sipil tidak boleh dijadikan sasaran atau tindakan pembalasan. Objek-objek sipil adalah semua objek yang bukan sasaran militer seperti dirumuskan dalam ayat 2; (Civilian objects shall not be the object of attack or of reprisals. Civilian objects are all objects which are not military objectives as defined in paragraph 2); 2) Serangan-serangan harus dengan tegas dibatasi hanya pada sasaran-sasaran militer. Sebegitu jauh mengenai objek-objek, 134
DDoS (Distributed Denial of Service) adalah suatu jumlah lalu lintas data yang berlebihan dan berulang-ulang dikirim pada alamat email atau server website dengan tujuan untuk melebihi kapasitas sistem untuk mematikan layanan (shutdown the service). Serangan (cyber-attack) semacam ini sering berasal dari jaringan internet yang dikompromikan pada komputer tertentu (botnets). Sumber: Taipei Model United Nations Study Guide, Op Cit., halaman 5. 135 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949, Article 52.
sasaran-sasaran militer dibatasi pada objek yang oleh sifatnya, letaknya, tujuannya atau kegunaannya memberikan sumbangan yang efektif bagi aksi militer yang jika dihancurkan secara menyeluruh atau sebagian, direbut atau dinetralisasi, di dalam keadaan yang ada pada waktu itu, memberikan suatu keuntungan militer yang pasti; (Attacks shall be limited strictly to military objectives. In so far as objects are concerned, military objectives are limited to those objects which by their nature, location, purpose or use make an effective contribution to military action and whose total or partial destruction, capture or neutralization, in the circumstances ruling at the time, offers a definite military advantage); Dalam konteks cyber-warfare berarti dipahami objek sipil dalam cyber/cyberspace tidak boleh dijadikan sasaran cyber-attack. Komputer, jaringan komputer, dan infrastruktur cyber dapat dijadikan sasaran cyber-attack apabila itu semua adalah termasuk kategori sasaran militer. Berdasarkan kriteria sasaran militer yaitu sifat (nature), letak tempatnya (location), tujuan (purpose) atau kegunaan (use); dapat diidentifikasi satu persatu: 1) Sifat (nature) meliputi karakter yang melekat dari sasaran itu sendiri, dan secara tipikal mengacu pada sasaran yang secara militer sangat mendasar dan didesain untuk berkontribusi pada tindakan militer.
136
Komputer militer dan infrastruktur cyber
militer adalah contoh paradigmatik dari sasaran yang memenuhi kriteria dari sifat (nature).137 Contoh itu misalnya sistem komputer militer
yang
Communications, 136 137
bernama Computer,
Michael N. Schmitt, Op.Cit., halaman 108 nomor 6. Ibid.
C4ISR
(Command,
Intelligence,
Control,
Surveillance,
and
Reconnaissance), dimanapun hardware sistem ini berada dapat dikualifikasikan sebagai sasaran militer.138 2) Lokasi (location) biasanya mengacu pada pemahaman secara geografis. Namun tidaklah demikian pada cyber/cyberspace, karena dalam cyber/cyberspace lokasi dianalogikan sebagai alamat IP (Internet Protocol) dalam TCP/IP (Transmission Control Protocol/Internet
Protocol).
139
Alamat
IP
ini
dapat
mengidentifikasi dimana komputer (host) atau jaringan komputer yang
terhubung
dengan
cyber/cyberspace
berasal.
Ketika
teridentifikasi suatu alamat IP melakukan cyber-attack atau aktivitas cyber-nya memberikan keuntungan pada militer maka dapat dikatakan komputer yang menggunakan alamat IP tersebut adalah sasaran militer. 3) Tujuan (purpose) atau kegunaan (use), ketika suatu objek diindikasikan (hasil data intelejen)
akan digunakan untuk tujuan
militer maka objek tersebut adalah sasaran militer.140 Objek yang dimaksud misalnya software dan hardware yang didesain khusus untuk melakukan cyber-attack atau dapat memberikan keuntungan pada militer.
138
Ibid. IP (Internet Protocol) adalah identifikasi komputer (host) pada TCP/IP, dan TCP/IP (Transmission Control Protocol/Internet Protocol) adalah sebuah protokol standar yang digunakan dalam suatu jaringan komputer (LAN/WAN) yang mengatur agar komputer (host) yang terhubung dalam suatu jaringan komputer bisa melakukan komunikasi. Diakses dari http://catatanteknisi.com/IPAddress pada 7 Maret 2015 pukul 11.04 WIB. 140 Michael N. Schmitt, Op.Cit., halaman 109 nomor 11. 139
Ketika objek cyber memenuhi ketiga keriteria ditambah memberikan keuntungan pada militer, maka objek cyber/cyberspace tersebut dapat dijadikan sasaran serangan. Serangan dimungkinkan menjadi dua jenis yaitu serangan fisik (misal: pemboman terhadap markas komando cyber) dan cyber-attack (misal: serangan DDoS pada sistem komputer markas komando cyber) pada objek tersebut. Namun perlu dicatat bahwa pengambilan keputusan untuk melakukan serangan tersebut haruslah berdasarkan informasi yang terpercaya dan tepat untuk memastikan benar-benar bahwa suatu objek adalah objek militer bukan objek sipil.
Serangan yang Membabi-buta (Indiscriminate Attacks) Berdasarkan Article 51 (4) Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949:141 “Serangan membabi buta adalah dilarang. Serangan-serangan membabi buta itu adalah: (Indiscriminate attacks are prohibited. Indiscriminate attacks are) a) Serangan-serangan yang tidak ditujukan terhadap sasaran khusus militer (those which are not directed at a specific military objective); b) Serangan-serangan yang mempergunakan suatu cara atau alat-alat tempur yang tidak dapat ditujukan terhadap sasaran khusus militer (those which employ a method or means of combat which cannot be directed at a specific military objective); c) Serangan-serangan yang mempergunakan suatu cara atau alat-alat tempur yang akibat-akibatnya tidak dibatasi 141
Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949, Article 51 (4).
sebagaimana dituntut oleh Protokol ini” (those which employ a method or means of combat the effects of which cannot be limited as required by this Protocol). Dalam cyber/cyberspace terdapat infrastruktur milik militer dan sipil dan karena itu sulit untuk memisahkan atau membedakan militer dan sipil di dalamnya. Timbul potensi besar bahwa cyber-attack akan mengakibatkan infrastruktur sipil tersebut terkena dampaknya, karena di dalam cyber/cyberspace semua aktivitas cyber saling terkoneksi. Contoh kasus yang pernah terjadi terkait hal ini pada konflik bersenjata antara pasukan Serbia dan pasukan NATO (konflik Kosovo). Pasukan NATO
merancang sebuah malware untuk
dikirimkan pada sistem jaringan komputer radar di pangkalan udara militer milik Serbia dengan tujuan untuk menyisipkan pesan atau perintah yang salah dan target yang salah.
142
Cyber-attack
mengakibatkan SAM (Surface to Air Missile) atau misil anti pesawat yang bekerja berdasar perintah radar pangkalan udara tersebut sulit menjejak/mengunci target pesawat tempur NATO yang melintas, malah pesawat sipil komersial milik Serbia diidentifikasikan radar sebagai pesawat tempur NATO.143 Cyber-attack pada kasus tersebut menyebabkan suatu sistem persenjataan yang terkoneksi dengan komputer menjadi membabi142
Erki Kodar, Applying The Law of Armed Conflict to Cyber Attack: From Martens Clause to Additional Protocol I, ENDC Proceedings Volume 15 halaman 107 -132. 143 Ibid.
buta. Jika dianalisa, pihak Serbia jelas akan menerima tuduhan telah melakukan serangan yang membabi-buta, yang sebenarnya bukan keinginan mereka melakukan itu melainkan kesalahan sistem komputer persenjataan akibat cyber-attack yang dilakukan NATO. Dalam Tallinn Manual Rule 43 yang konsepnya berdasarkan Article 51 (4) Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949, dikatakan bahwa:144 Dilarang menggunakan alat atau cara cyber-warfare yang sifatnya membabi-buta. Alat dan cara cyber-warfare adalah sifatnya membabi-buta ketika itu tidak dapat: (a) diarahkan langsung pada sasaran militer; (b) membatasi akibat seperti yang diatur dalam hukum konflik bersenjata. (It is prohibited to employ means or method of cyber warfare that are indiscriminate by nature. Means or methods of cyber warfare are indiscriminate by nature when they cannot be: (a) directed at a specific military objective; (b) limited in their effects as required by the law of armed conflict). Jika berdasarkan ketentuan Rule 43 Tallinn Manual, cyberattack yang dilakukan NATO adalah serangan yang membabi buta (indiscriminate attack) karena secara sengaja mengirimkan malware yang sebenarnya dapat diperkirakan bahwa akan membahayakan penduduk sipil dan objek sipil (Article 51 (5)(b)). Selain itu senjata berupa malware dalam cyber-attack tersebut tidak dapat membatasi serangannya (uncontrollable effects) pada sasaran militer saja.
144
Michael N. Schmitt, Op.Cit., Rule 43, halaman 121.
Prinsip Proporsionalitas (Proportionality Principle) pada CyberWarfare Prinsip proporsionalitas ini dijelaskan pada Article 51 (5)(b) dan Article 57 (2)(iii) Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949: Article 51 (5)(b) Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 “Suatu serangan yang dapat diduga akan menimbulkan kerugian yang tidak perlu berupa jiwa orang-orang sipil, lukaluka dikalangan orang-orang sipil, atau semuanya itu bergabung jadi satu, yang akan merupakan hal yang melampaui batas dibandingkan dengan keuntungan militer yang konkrit dan langsung yang diharapkan sebelumnya.(An attack which may be expected to cause incidental loss of civilian life, injury to civilians, damage to civilian objects, or a combination thereof, which would be excessive in relation to the concrete and direct military advantage anticipated). Kemudian dijelaskan lagi pada Article 57 (2)(iii) Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 “Berusaha untuk tidak mengambil keputusan untuk melancarkan suatu serangan yang dapat diduga akan mengakibatkan kerugian yang tidak perlu berupa tewasnya orang-orang sipil, terlukanya orang-orang sipil, rusaknya objek-objek sipil, atau gabungan dari semuanya itu, yang merupakan hal yang berlebih-lebihan dibandingkan dengan keuntungan militer yang nyata dan langsung yang semula diharapkan.”(Refrain from deciding to launch any attack which may be expected to cause incidental loss of civilian life, injury to civilians, damage to civilian object, or a combination thereof, which would be excessive in relation to the concrete and direct military advantage anticipated). Menurut prinsip proporsional, setiap serangan dalam suatu operasi militer harus didahului dengan tindakan yang memastikan bahwa serangan tersebut tidak akan menyebabkan korban ikutan di
pihak sipil yang berupa kehilangan nyawa, luka-luka, ataupun kerusakan harta benda yang berlebihan dibandingkan keuntungan militer yang berimbas langsung akibat serangan tersebut. 145 Contoh nyata dalam suatu konflik bersenjata mengenai prinsip ini misalkan suatu pemboman jet tempur terhadap sasaran militer yang berada dekat dengan
penduduk
dan
objek
sipil,
pemboman
itu
harus
dipertimbangkan secara matang-matang oleh komandan militer yang akan
melakukan
serangan,
jangan
sampai
pemboman
itu
mengakibatkan penduduk atau objek sipil yang dekat dengan sasaran militer terkena imbasnya. Para ahli dalam Tallinn Manual berpendapat bahwa tewasnya orang-orang sipil, terlukanya orang-orang sipil, rusaknya objek-objek sipil, atau gabungan dari semuanya itu adalah collateral damage146, 147. Selanjutnya para ahli tersebut membedakan menjadi dua collateral damage ini yaitu akibat langsung (direct effect) dan akibat tidak langsung (indirect effect).148 Direct effect are the immediate, first order consequences, unaltered by intervening events or mechanisms.149 By contrast, indirect effect are the delayed and/or displaced second, third,
145
Ambarwati dkk, Op.Cit., halaman 44. Collateral Damage = denoting inadvertent casualties and destruction in the course of military operations, dikutip dari Oxford Dictionaries. Diterjemahkan menjadi “menunjukan korban yang tidak sengaja dan kerusakan dalam rangkaian operasi militer”. 147 Michael N. Schmitt, Op.Cit., halaman 132 Nomor 2. 148 Ibid., halaman 133, Nomor 6. 149 Ibid. 146
and higher order consequences of action, created through intermediate events or mechanisms.150 Dipahami akibat langsung adalah akibat yang langsung dirasakan pada saat terjadi serangan, kemudian akibat yang tidak langsung adalah akibat yang tertunda dirasakannya atau merupakan implikasi dari serangan karena berada di dekat objek serangan. Collateral damage ini merupakan faktor dalam suatu kalkulasi proporsional termasuk dari akibat tidak langsung yang harus diperkirakan oleh para pihak sebelum melakukan serangan dengan melihat
perencanaan
(planning),
persetujuan
(approving),
dan
pelaksanaan (executing). 151 Dalam konteks cyber-warfare serangan yang mengakibatkan collateral damage misalnya serangan (cyberattack) pada satelit GPS (Global Positioning Satelite), pihak penyerang (attacker) dapat berasumsi satelit tersebut diserang karena merupakan objek/sasaran militer yang memberikan keuntungan efektif pada militer musuh, namun di lain sisi satelit GPS juga digunakan oleh sipil untuk layanan transportasi seperti navigasi pesawat komersial sipil. Maka penyerang sebelum melakukan cyber-attack pada satelit GPS tersebut perlu mempertimbangkan secara proporsional agar tidak menimbulkan collateral damage seperti yang dimaksud diatas.
150 151
Ibid. Ibid.
Selain planning, approving, dan executing ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan terkait prinsip proporsional dalam konteks cyber-warfare, yaitu: 1) Kerentanan (vulnerabilities), merupakan bagian dari sistem komputer yang dapat digunakan oleh penyerang untuk melakukan compromise terhadap satu atau lebih atribut, dengan kata lain hal tersebut merupakan titik lemah dalam suatu komputer atau jaringan komputer.
152
Kelemahan tersebut dapat secara tidak sengaja
muncul dari adanya pengenalan desain-desain sistem komputer atau adanya kesalahan yang terjadi dalam implementasinya, selain itu kelemahan juga dapat muncul karena adanya kesengajaan. 153 Pada umumnya kerentanan di publikasikan setelah adanya patch154 yang telah disebarluaskan dan diinstal. Selain itu penyerang juga dapat menggunakan cacatnya sebuah program atau sistem operasi sebagai sebuah rahasia yang berharga atau yang biasa disebut sebagai zero day exploit155. 2) Akses (access), untuk mengambil keuntungan dari kerentanan yang ada di dalam suatu komputer atau jaringan komputer diperlukan 152
William A. Owens, Kenneth W. Dam, Herbert S. Lin, Technology, Policy, Law, and Ethics Regarding US Acquisition and Use of Cyber Attack Capabilities, (Washington DC: National Research Council of The National Academy, 2009), halaman 83. 153 Ibid. 154 Patch adalah bagian kecil dari perangkat lunak komputer yang digunakan untuk memperbaiki kesalahan atau celah yang terdapat di dalam suatu program perangkat lunak ataupun sistem operasi komputer. 155 Zero Day Exploit adalah sejenis ancaman komputer (computer exploit) yang mengambil kesempatan ke atas satu-satu kerentanan (vulnerability) sebelum sistem komputer mengetahui adanya kerentanan tersebut.
akses, di dalam hal ini keuntungan terkait dengan cyber-attack. Suatu target yang memiliki persiapan sedikit, akses pada target itu relatif lebih mudah, sebaliknya target yang memiliki persiapan lebih lengkap akan lebih sulit untuk memperoleh aksesnya. Misalnya sistem avionik (on-board avionic) dari jet tempur militer yang tidak terhubung dengan jaringan internet, untuk melakukan cyber-attack pada sistem avionik tersebut dibutuhkan akses terdekat yang dapat memperkenalkan atau menunjukan suatu kerentanan yang dapat dimanfaatkan. Terdapat dua cara untuk memperoleh jalur akses khususnya yang berkaitan dengan cyberattack yaitu: a) Remote-access cyber-attack, yaitu metode cyber-attack yang dilancarkan dari jarak tertentu dan dilakukan melalui jaringan internet yang dimanfaatkan sebagai jalur akses. b) Close
access
cyber-attack,
yaitu
cyber-attack
dengan
memanfaatkan instalasi lokal seperti hardware dan software secara fungsional dengan berhubungan atau memanfaatkan pihak pembuat software dan hardware. 3) Payload adalah istilah yang digunakan terhadap tindakan-tindakan yang
dilakukan
setelah
kerentanan
(vulnerabilities)
dapat
dieksploitasi, seperti program virus yang telah dimasukan ke dalam komputer untuk melakukan berbagai hal seperti merubah atau merusak file dalam komputer tersebut.
Dengan tiga hal pokok tambahan (vulnerabilities, access, dan payload) dalam kalkulasi proporsional serangan dan ketika hal tersebut dapat dengan mudah diraih oleh salah satu pihak maka setidaknya tindakan yang dinilai atau diperkirakan akan memberikan dampak yang berlebihan haruslah dihindari.
3. Urgensi Pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap Cyber-Warfare Cyber-Warfare
seperti
dijelaskan
sebelumnya
dapat
dikategorikan sebagai salah satu bentuk konflik bersenjata. Sebagai suatu konflik bersenjata, tentunya alat atau metode berperang bernama cyber-warfare yang digunakan para pihak haruslah tunduk pada ketentuan hukum humaniter internasional. Hukum humaniter internasional hanya berlaku pada cyberattack dalam konteks konflik bersenjata. Ketika cyber-attack memenuhi kriteria konflik bersenjata internasional sebagaimana yang sudah dibahas sebelumnya
(Article 2 Konvensi-Konvensi Jenewa
1949 dan Article 1 (4) Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949), maka dapatlah dikatakan cyber-attack itu bagian dari cyber-warfare. Ketika cyber-warfare sebagai konflik bersenjata internasional itu termasuk hal yang tunduk pada ketentuan hukum humaniter internasional, muncul permasalahan yaitu belum adanya konvensi-
konvensi internasional yang bersifat spesifik mengatur cyber-warfare sebagai konflik bersenjata internasional. Meskipun demikian, setidaktidaknya beberapa ketentuan dalam hukum humaniter internasional (terutama dalam Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949) dapat dikorelasikan dengan cyber-warfare. Konvensi internasional mengenai cyber-warfare sangatlah dibutuhkan, mengingat secara teknis dunia virtual yang bernama cyber/cyberspace itu tidak semua orang dapat memahaminya apalagi jika dikaitkan dengan suatu konflik bersenjata internasional. Butuh suatu kerjasama antara ahli-ahli dalam bidang Informasi Teknologi dan dalam bidang hukum untuk membuat suatu ketentuan spesifik mengenai cyber-warfare. Gambaran urgensi penerapan hukum humaniter internasional terhadap cyber-warfare ini melalui usaha-usaha yang dilakukan oleh beberapa organisasi internasional untuk menghadapi segala bentuk ancaman cyber termasuk juga cyber-warfare dalam rangka menjawab tantangan cyber dimasa depan. Seperti dikatakan pada materi publikasi UNIDIR: While most of the concrete work on cyberdefence is organized by states, international organizations can discuss, coordinate, and develop proposals to enchance global strategies for the creation of appropriate regional and international structures, institutions, and policies.156 This spectrum of work ranges from 156
The Cyber Index: International Security Trends and Realities, (New York & Geneva: UNIDIR (United Nations Institute of Disarmament Research), 2013), halaman 93.
establishing or strengthtening norms and principles to prevent the malicious use of new cyber technologies, to brokering of agreements about the application of the law or armed conflict, to promoting national prevention of, preparation for, response to, and recovery from cyber incidents.157 For these purposes, international organizations have the power to bring together the most relevant actors in the cybersecurity domain – governments, the private sector, civil society, and individual citizens.158
Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) Majelis Umum PBB (MU-PBB) telah menyetujui sejumlah resolusi terkait dan relevan dengan ICT dan keamanan cyber (cybersecurity) yang telah disiapkan untuk menarik perhatian negara-negara anggota PBB dalam menghadapi tantangan cyber di masa depan. 159 Masalah
terkait
telekomunikasi
dan
keamanan
informasi
(telecommunication and information security) menjadi agenda pembahasan PBB sejak Federasi Rusia pada tahun 1998 mengajukan draft resolusi nomor A/35/576 kepada komite pertama MU-PBB yang kemudian disahkan menjadi resolusi nomor A/53/70 pada Januari 1998. 160 Resolusi nomor A/53/70 ini kemudian mengalami berbagai pembaharuan sampai dengan resolusi nomor A/68/243 pada 27 Desember 2013. Resolusi yang berjudul “Development in The Field of
157
Ibid. Ibid. 159 Ibid., halaman 94. 160 Ibid. 158
Information and Telecommunication in The Context of International Security” ini yang menjadi pembahasan adalah: 1) Keamanan informasi (information security); 2) Definisi atau pengertian dasar dari gangguan yang tidak sah dengan penyalahgunaan
informasi
dan
keamanan
telekomunikasi
(definition of basic notions regarding unauthorized interference with or misuse of information and telecommunications systems); 3) Memperkuat keamanan informasi dan telekomunikasi dunia (strenghtening
global
information
and
telecommunications
security); 4) Usaha-usaha di tingkat negara (national level efforts); 5) Kerjasama dalam komunitas internasional (cooperation in the international community) Pada tahun 2003 dan 2004 MU-PBB juga mengeluarkan dua resolusi terkait tema pembahasan “Global Culture of Cyber Security and The Protection of Critical Infrastructures” yaitu resolusi nomor A/57/239 dan A/58/1999. 161 Hal-hal yang dibahas dalam resolusi ini antara lain: 1) Resolusi nomor A/57/239 membahas tindakan tepat pada waktunya dan sikap kerjasama untuk mencegah, mendeteksi, dan menanggapi peristiwa keamanan cyber;
161
Ibid.
2) Resolusi nomor A/58/1999 membahas undangan untuk organisasi internasional yang relevan dengan masalah dan negara-negara anggota yang telah mengembangkan strategi keamanan cyber (cyber-security) dan perlindungan informasi infrastruktur vital, untuk membagi pengalaman praktek terbaik dan tindakan yang dapat membantu negara anggota lainnya dalam usaha-usaha terkait keamanan cyber (cyber-security). Pada 12 September 2011 wakil-wakil dari China, Federasi Rusia, Tajikistan, Uzbekistan mengajukan permohonan draft proposal untuk pembuatan kode etik keamanan informasi dalam kerangka kerjasama PBB (International Code of Conduct for Information Security in the Framework of the United Nations). 162 Dalam draft tersebut diatur prinsip-prinsip dasar untuk memelihara keamanan informasi dan jaringan, yang mana diatur bahwa setiap negara penandatangan berjanji untuk tidak menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi,
pertempuran
termasuk
jaringan,
atau tindakan-tindakan
untuk agresi,
digunakan dan
dalam
menimbulkan
ancaman terhadap perdamaian dan keamanan dunia atau untuk memperbanyak senjata informasi dan teknologi yang berkaitan dengannya.163
162 163
Ibid.., halaman 96. Ibid.
Dapat diringkas bahwa usaha-usaha PBB yang dilakukan diatas berintikan pada dua konsep yaitu: 1) Mengembangkan kerjasama internasional untuk menghadapi ancaman cyber (cyber-warfare, cyber-crime, cyber-vandalism, dll). 2) Melarang penggunaan cyber-warfare untuk digunakan dalam konflik bersenjata (dalam draft proposal International Code of Conduct for Information Security in the Framework of the United Nations).
ITU (International Telecommunication Union) ITU adalah sebuah badan di bawah naungan PBB yang mempunyai wewenang meregulasikan aturan telekomunikasi dan penggunaan spektrum radio internasional. 164 Sejak berdiri pada tahun 1985, ITU telah banyak berperan penting mengatur standar keamanan telekomunikasi internasional. 165 Pada saat ini ITU mempunyai tugas untuk mengatasi masalah keamanan cyber dalam lingkup yang berhubungan dengan standarisasi dan bantuan teknis dengan mengembangkan sebuah panduan teknis untuk perlindungan infrastruktur vital, mitigasi bot net, dan pelatihan
164 165
Ibid. Ibid.
bagi negara-negara berkembang.166 Kemudian pada 17 Mei 2007, ITU meluncurkan agenda keamanan global dengan misi: 1) Mengadakan kerangka kerjasama dengan para pemegang kebijakan untuk saling berkoordinasi sebagai tanggapan terhadap tantangan keamanan cyber; 2) Membangun keyakinan dan keamanan dalam ranah informasi. Terdapat lima pilar yang menjadi dasar dibangunnya agenda keamanan global ini yaitu: tindakan hukum (legal measures), prosedur teknis (technical procedures), struktur organisasi (organizational structure), pembangunan kapasitas (capacity building), kerjasama internasional (international cooperation).167 ITU juga terlibat dalam kerjasama dalam International Multilateral Partnership Against Cyber Threats yang mana melahirkan CIRTs (Computer Incidental Response Teams) dan CERTs (Computer Emergency Response Teams) untuk menanggapi ancaman-ancaman cyber.168 Terlihat bahwa PBB dan ITU belum mengarahkan perhatian khusus pada cyber-warfare, kedua organisasi internasional ini masih berfokus pada lingkup yang lebih luas daripada cyber-warfare yaitu menghadapi 166
Ibid., halaman 96-97. Ibid. halaman 97. 168 Ibid. 167
ancaman-ancaman
cyber
(cyber-threat).
Namun
setidaknya kedua organisasi ini melahirkan banyak pendekatanpendekatan baru dalam lingkup cyber dan segala macam ancamannya.
NATO (North Atlantic Treaty Organization) Berbeda dengan yang dilakukan ITU dan PBB, organisasi pertahanan negara-negara atlantik utara ini sudah melakukan usaha yang lebih mendekati pada pembentukan hukum tentang cyberwarfare yang berlandaskan pada hukum humaniter internasional. Sebuah badan kerjasama yang bernama CCDCOE (Cooperative Cyber Defence Centre of Excellence) didirikan di kota Tallinn,Estonia untuk mengadakan riset, pendidikan, dan pelatihan terkait masalah-masalah cyber-warfare. Salah satu perhatian khusus dari usaha yang dilakukan CCDCOE warfare.
169
ini adalah pengembangan kerangka hukum cyberPara ahli internasional independen diundang untuk
memeriksa bagaimana hukum internasional, norma, dan praktek dapat diaplikasikan pada cyber-warfare. 170 Setelah tiga tahun kerjasama terbentuklah sebuah draft kodifikasi hukum yang bernama Tallinn Manual on The International Law Applicable to Cyber Warfare.171 Di dalamnya berisi korelasi-korelasi hukum internasional termasuk 169
Ibid., halaman 103. Ibid. 171 Ibid. 170
hukum humaniter internasional yang diterapkan dalam konteks cyberwarfare yang dianalogikan sebagai konflik bersenjata. Jika melihat usaha-usaha yang dilakukan tiga organisasi diatas tampak NATO selangkah lebih maju untuk menerapkan hukum internasional khususnya hukum humaniter internasional pada cyberwarfare. Pendekatan hukum yang digunakan pada draft kodifikasi yang sering disebut dengan Tallinn Manual itu menggunakan pendekatan hukum normatif (instrument based approach) berdasarkan sumber-sumber hukum internasional yang pernah ada dan bagaimana korelasinya dengan cyber-warfare sebagai konflik bersenjata. Jelas
merupakan
sebuah
kebutuhan
penerapan
hukum
humaniter internasional terhadap cyber-warfare seperti yang diatur dalam Tallinn Manual tersebut, mengingat ancaman dan dampak pada cyber-warfare jika tidak diatur dalam suatu rezim hukum akan mengakibatkan kekacauan terutama membahayakan penduduk sipil dan objek sipil.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU: A. Clarke, Richard, Cyber War: The Next Threat to National Security and What To Do About It, (New York: ECCO, 2012). AK, Syahmin, Hukum Internasional Humaniter Internasional 1 Bagian Umum, (Bandung: Amrico, 1985). Ambarwati, dkk, Hukum Humaniter Internasional: Dalam Studi Hubungan Internasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2012). Ashofa Burhan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010). D. Schindler dan J. Toman, The Laws of Armed Conflict, (Leiden: Martinus: Nihjoff Publisher, 1988). Driscoll William, et.al, The International Criminal Court: Global Politics and The Quest for Justice, (New York: The International Debate Education, 2004). Effendi, Masyhur, Hukum Humaniter Internasional dan Pokok-Pokok Doktrin Hankamrata, (Surabaya: Usaha Nasional, 1994). Hanitio Soemitro, Ronny, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988). Haryomataram, Bunga Rampai Hukum Humaniter, (Jakarta: Bumi Nusantara Jaya, 1998). Haryomataram, Hukum Humaniter, (Jakarta: CV Radjawali, 1994). Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, (Jakarta: Rajawali Press, 2005). J. Moeloeng, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2005). Jean-Marie Henckraets dan Louise Doswald-Beck, Customary International Humanitarian Law: Volume I Rules, (Cambridge: Cambridge University Press, 2005). Michael N. Schmitt, Tallinn Manual on The International Law Applicable to Cyber Warfare, (Cambridge: Cambridge University Press, 2013).
N. Shaw, Malcolm, International Law Handbook, (Cambridge: Cambridge University Press, 2008). Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 2010). Starke, JG, Pengantar Hukum Internasional 2 Edisi Kesepuluh, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007). Steve Winterfeld dan Jason Andress, The Basics of Cyber Warfare: Understanding The Fundamentals of Cyber Warfare in Theory and Practice, (Amsterdam: Syngress, 2013). Surachmad, Winarno, Dasar dan Teknik Research: Pengertian dan Metodologi Ilmiah, (Bandung: CV Tarsito, 1973). Verri, Piero, Dictionary of International Law of Armed Conflict, (Geneva: International Committe of Red Cross, 1992).
KITAB SUCI : Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahannya, (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1998).
DATA SITUS INTERNET : BBC News, Estonia Hit by Moscow Cyber War, (17 Mei 2007), diakses dari http://news.bbc.co.uk/, pada 26 April 2015. Croft, Adrian, “NATO Website Hit in Cyber Attack Linked to Crimea Tension”, Reuters Daily, 16 Maret 2014, diakses dari http://reuters.com/article/2014/03/16/us-ukraine-nato-id/, pada 26 Februari 2015. Doorman, Knut, Computer Network Attack and International Humanitarian Law, diakses dari http://icrc.org/CNA_International_Law, pada 23 Februari 2015. Maurer, Tim, Cyber Norm Emergence at The United Nations: An Analysis of The Activities at The UN Regarding Cyber Security, diakses dari http://belfercenter.ksg.harvard.edu/files/maurer-cyber-norm-dp-2011-11final.pdf, pada 26 Februari 2015.
ICRC.org, Statutes of The International Red Cross and Red Crescent Movement, diakses dari https://www.icrc.org/eng/resources/, pada 22 Februari 2015. IFRC.org, The History of IFRC, diakses dari http://www.ifrc.org/en/who-weare/history/, pada 22 Februari 2015. United Nations Interregional Crime and Justice Research Institute, Cyberwarfare, diakses dari http://www.unicri.it/special_topics/cyber_threats/cyber_crime/explanation s/cyberwarfare/, pada 25 Februari 2015. United Nations Terminology Database, diakses dari http://unterm.org/, pada 25 Februari 2015. Unnithan, Sandeep, “Inside the India-Pakistan Cyber Wars”, India Today, 18 Maret 2011, diakses dari http://indiatoday.indiatoday.in/story/indiapakistan-cyber-war-run-by-hired-hackers/, pada 26 Februari 2015.
KARYA TULIS ILMIAH : C. Libicki, Martin, Cyber Detterance and Cyberwar, (Pittsburgh: RAND Corporation, 2009). Droege Cordula, “Get of My Cloud; Cyber Warfare, International Humanitarian Law, and Protection of Civilians”, International Review of The Red Cross, Volume 94 Number 886 Summer 2012, halaman 542. Hilmi Avianto, Ivan, Tinjauan Cyber Warfare Berdasarkan Hukum Humaniter Internasional (Studi Kasus: Perang Antara Rusia dan Georgia pada 7 Agustus 2008), Artikel Ilmiah, (Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2013). James A. Lewis dan Katrina Timlin, Cybersecurity and Cyberwarfare: Preliminary Assessment of National Doctrine and Organization, (Washington DC: Centre for Strategic and International Studies United Nations Institute of Disarmament Research, 2011). Kodar, Erki, “Applying The Law of Armed Conflict to Cyber Attack: From Martens Clause to Additional Protocol I”, ENDC Proceedings, Volume 15, halaman 107-132. Lintang Sekar Mayang, Dinindya, Penggunaan Senjata Cluster Pada Konflik Bersenjata Non-Internasional Suriah dan Hubungannya dengan
Pelanggaran Hukum Humaniter Internasional, Skripsi Sarjana Hukum, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2014). Marco Sassoli dan Antoine A. Bouvier, How Does Law Protect In War, Makalah Ilmiah, ICRC, (Geneva: 1999). Pictet, Jean, Development and Principles of International Humanitarian Law, (Geneva: Henry Dunant Institute, 1985). Pictet, Jean, The Principles of International Humanitarian Law, (Geneva: Henry Dunant Institute, 1990). Rid, Thomas, Think Again: Cyberwar, (Washington DC: United States of America Department of Defence , 2012). Taipei Model United Nations 2014, Study Guide Topic A: Cyberwarfare, (Taipei: Disarmament and International Security Committe, 2014). The Cyber Index: International Security Trends and Realities, (New York, Geneva: United Nations Institute Disarmament Research, 2013). William A. Owens, et.al, Technology, Policy, Law, and Ethics Regarding US Acquisition and Use of Cyber Attack Capabilities, (Washington DC: National Research Council of The National Academy, 2009).
KAMUS / ENSIKLOPEDI : Kamus Besar Bahasa Indonesia Android 4.0.0, www.kejut.com/kbbimobile, data kamus dan hak cipta milik Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008). Oxford Dictionary English Android 4.3.127, www.mobisystems.com, (Oxford: Oxford University Press, 2012). M. Marwan dan Jimmy P., Kamus Hukum: Dictionary of Law Complete Edition, (Surabaya: Reality Publisher, 2009).
PERJANJIAN INTERNASIONAL : Geneva Convention For The Amelioration of The Condition of The Wounded and Sick in Armed Forces in The Field of 12 August 1949.
Geneva Convention For The Amelioration of The Condition of Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea of 12 August 1949. Geneva Convention Relative To The Treatment of Prisoners of War of 12 August 1949. Geneva Convention Relative to The Protection of Civilian Persons in Time of War of 12 August 1949. Hague Convention Respecting the Laws and Customs of War on Land and Its Annex: Regulations Concerning the Laws and Customs of War on Land on 18 October 1907. Protocol Additional To The Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating To The Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), of 8 June 1977. United Nations Charter. United Nations General Assembly Resolution A/RES/68/243 (Recalling: A/RES/53/70, A/RES/54/49, A/RES/55/28, A/RES/56/19, A/RES/57/53, A/RES/58/32, A/RES/59/61, A/RES/60/45, A/RES/61/54, A/RES/62/17, A/RES/63/37, A/RES/64/25, A/RES/65/41, A/RES/66/24, A/RES/67/27) Developments in the Field of Information and Telecommunications in the Context of International Security. Tadic Appeals Chamber Judgement International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia. Vienna Convention on The Law of Treaties on 23 May 1969.