Membangun (Infrastruktur) Seni Patung Oleh: Totok Priyoleksono, M.Sn.
Seni merupakan ekspresi perasaan dan pikiran untuk menyalurkan gejolak perasaan ke dalam tindakan kreatif. Dalam situasi perasaan orang dapat mengekspresikan perasaannya dalam karya seni, karena seni baru lahir setelah adanya eksplorasi yang telah dilakukan dan membekas di perasaan atau fikirannya. Dalam seni, perasaan haruslah dikuasai lebih dahulu, dan dijadikan obyek yang harus diatur, dikelola, dan diwujudkan atau diekspresikan dalam karya seni. Demikian pula sebuah karya patung diciptakan dalam suasana tertentu, dikendalikan oleh perasaan dan fikiran. Jadi, ekspresi dalam seni adalah mencurahkan perasaan tertentu yang diwujutkan ke dalam karya seni. Keindahan sebagai unsur rasa dalam karya seni tidak hanya dilihat dari unsur visual/tampilan semata. Akan tetapi setiap karya seni punya susunan, yaitu struktur harmoni dan struktur ritme yang dibangun melalui elemen-elemen yang dapat mendukung bentuk (Form). Demikian juga dengan sebuah karya seni patung, juga memiliki struktur harmoni dan struktur ritme dalam susunan unsur-unsur rupanya. Seni Rupa dalam hal ini seni patung merupakan obyek visual yang sekaligus menjadi stimulan bagi aktifitas indera penglihatan manusia. Dengan demikian, tentu karya seni patung adalah suatu obyek visual, juga merupakan rangkaian tanda-tanda manusia yang menyimpan, mengolah, sekaligus memperoleh informasi maknawi, baik yang berupa gambaran mengenai keadaan obyektif, pandangan sikap dan perasaan manusia terhadap obyek. Ditinjau dari perkembangannya seni patung tidaklah seperti seni yang lain, saya merasakan ada semacam kesepian sekaligus kerinduan akan 1
perkembangan seni patung. Namun saya segera menangkap adanya rasa kerinduan dengan mendalam walaupun berat untuk saya diakui. Kesepian akan perkembangan bukan sekedar krisis identitas seni patung. Rasa kesepian semacam ini sebenarnya sudah saya tangkap sejak ± 8 tahun terakhir ini. Merasa tidak memiliki perangkap konseptual dan metode untuk mendekati lebih jauh dunia seni patung di Jawa Timur dan merasa kehilangan tanda-tanda sebagai pijakan untuk mempercayai seni patung, saya cenderung melihat dan sibuk sendiri menciptakan patung walau relatif lama dalam prosesnya. Karena tuntutan rasa, saya tetap aktif di dunia seni rupa, namun dengan dunia seni patung tidak putus sama sekali. Dalam situasi semacam inilah saya harus merekuntruksi bangunan infrastruktur seni patung. Untuk tidak menambah keruwetan keruwetan pada wacana seni patung, saya hanya akan bicara pada persoalan penciptaan seni patung yang saya anggap memang harus dibangun untuk kepentingan seni patung di Jawa Timur dan Indonesia secara meluas. Persoalan itu saya anggap memang muncul dari sepinya karya-karya seni patung di Jawa Timur. Untuk masa mendatang, sejak sekarang ini sudah saatnya kita mencari cara-cara strategis untuk membangun dan mengembangkan seni patung dan seni rupa pada umumnya. Wacana seni di Jawa Timur sudah menunjukkan gejala dominasi dengan adanya wacana seni dan kuratorial, walaupun wacana tersebut masih berkutat pada opini seni lukis. Lepas dari kwakitas kuratorial seni yang ada sekarang ini, paling tidak Jawa Timur sudah mulai dibangunnya wacana seni. Dalam seni patung di Jawa Timur saya belum pernah menemukan wacanawacana yang benar-benar ingin menimbang-nimbang kehidupan seni patung, sudah barang tentu kita tidak mempunyai
bangunan yang kokoh
(infrastruktur) yang memadai. Jawa Timur dan Indonesia-pun tidak pernah sebenar-benarnya menyiapkan pertumbuhan mekanisme infrastruktur seni patung yang sejati, khususnya masalah wacana, kritik seni patung, dan seni rupa
itu
sendiri.
Seperti
yang
dikatakan
Moelyono
(seniman
dari
Tulungagung), bahwa kita belum mampu berbicara masalah seni, karena di 2
Jawa Timur belum ada teori seni yang timbul dari senimannya sendiri, merka hanya mengadopsi seni yang sudah berkembang di “Barat”. Hal yang sama, saya memandang bahwa setiap pameran yang digelar belum berhasil memaknai sebuah pameran, karena belum mampu menggerakkan kehidupan kreatifitas
dalam
seni
rupa,
memberikan
inspirasi,
membukakan
kemungkinan-kemungkinan baru. Dengan kata lain, selama ini wacana pendamping pameran belum mengarah bangunan yang fondamental, artinya masih pada tataran kulitnya saja. Adi Wicaksono mengatakan bahwa, keluhan akan lemahnya infrastruktur agaknya dikaitkan dengan nasib karya yang belum terbaca. Lalu apa fungsi wacana yang berkembang selama ini? Allahu alam! Infrastruktur penghasil wacana seni barangkali lebih berfungsi untuk to sell dari pada to tell. Keluhan ini sangat masuk akal , karena dunia seni pertama-tama adalah dunia simbolik, nilai suatu seni menjadi dipertanyakan kalau dunia simboliknya tidak terartikulasikan dan akhirnya mencair di masyarakatnya. Kalau kita setuju dengan pendapat seorang kritikus seni bahwa mengetahui itu mendahului melihat, lemahnya wacana seni bisa membuat kita tidak bisa melihat apa-apa dalam seni rupa. Kemandekan akan pertumbuhan seni patung, benarkah semua ini bersumber pada lemahnya bangunan (infrastruktur)? Kalau mendengar istilah infrastruktur, saya langsung ingat apa kata-kata para pengamat ekonomi beberapa tahun lalu yang menyatakan bahwa calon investor asing enggan masuk Indonesia karena Infrastruktur mengenaskan. Jalan, jembatan, saluran air, keamanan, dan sebagainya dalam kondisi buruk. Memang, istilah ini mula-mula dipakai di Perancis pada abad ke-19 untuk menyebutkan jalanjalan dan ril kereta. Pada pertengahan abad ke-20, istilah ini sudah menjadi istilah mapan yang kurang lebih berarti ini: investasi modal suatu negara atau perusahaan untuk membangun suatu negara. Jadi infrastruktur terkait dengan prasarana untuk produksi tertentu. Kata inilah yang sejak beberapa tahun terakhir ini menjadi sering dijadikan sebagai biang keladi kehidupan seni kita.
3
Kembali pada persoalan seni patung, benarkah kita lemah pada infrastruktur seni patung? Kalau memang Ya!? Kita harus mencari tahu akan kelemahan tersebut. Hanya saja, menarik untuk diperhatikan bahwa keluhan akan lemahnya infrastruktur ini menguat justru pada saat produksi seni patung sedang mengalami kemandekan. Menurut saya, kemandekan seni patung tersebut ada empat permasalahan yang penting untuk dikritisi, persoalannya antara lain:
1. Sepinya pasar seni patung Menguatnya
keluhan
akan
lemahnya
infrastruktur
bisa
jadi
mencerminkan ketidak pastian seni di tengah pasar seni patung. Orang yang masih belajar dan sudah pernah laku, semacam mendapatkan titik terang bagi masa depannya. Di tengah kekosongan apresiasi seni patung, mempunyai cahaya sendiri untuk mengapresiasi, memberikan informasi, membuat rangking, dan bahkan menciptakan master (karena memang butuh). Pasar juga melakukan intervensi positif untuk menghidupkan para seniman muda. Tanpa pasar, sulit dibayangkan akan muncul majalah tentang seni. Jadi kita harus fair pada pasar, berkat pasar komponen-komponen mesin produksi dan distribusi seni patung serasa dilumasi dan bergerak lancar, sekalipun pada posisi ketidakpastian. Hal inilah yang membuat kita befikir ulang, karena seniman dan komunitas seni pada umumnya belum menciptakan pasar secara mandiri dan memimpi pasar, masih berada pada kekuatan pasar
yang berada berada di luar jangkauannya. jangkauannya. Pertanyaanya Pertanyaanya adalah:
mampukah seni patung keluar dari kesulitan tersebut?
2. Seni patung tataran ke dua setelah seni lukis Menguatnya wacana seni lukis sekarang ini membuat keluhan lemahnya seni patung yang mencerminkan adanya sesuatu yang hilang dalam dunia berkesenian.. Mengeliatnya pasar seni lukis pada dekade ini membuat kebanyakan seniman berbondong-bondong untuk bereksplorasi ke seni lukis. 4
Tetapi lemahnya seni patung apa dikarenakan pada resoalan pasar? Tentunya jawabnya “tidak”. Yang berkembang di masyarakat seni lukis masih dipandang lebih elegan, kerena seni lukis dapat berbicara secara imajiner, ditinjau dari nuansa, karakter, dan makna yang tersembunyi. Sama-sama mempunyai makna tersembunyi seni patung belum dapat dibaca secara imajiner, karena tampilan fisik yang membatasinya.
3. Lemahnya metode penciptaan seni patung Sepinya pewacanaan seni patung dikancah ke-senirupa-an kita dikarenakan seniman patung tidak menyadari hal yang terpenting dalam dirinya. Metode penciptaan seni patung sebaiknya di-rekontruksi ulang karena dengan metode yang salah akan membawa dampak yang kompleks terhadap kwalitas karya seni patung itu sendiri. Seniman patung belum ada keberanian untuk menentukan caranya sediri, boleh dikata “mengekor” pada seniman sebelumnya. Jika kita mampu menciptakan karya dengan cara sendiri, maka seniman patung tersebut dapat membawa dirinya ke luar dari kesulitannya. Dalam penciptaan seni patung diperlukan eksplorasi yang cukup, bahkan bisa bolak-balik mencari data yang dianggap penting untuk dijadikan ide
penciptaan.
Ide
penciptaan
dapat
dieksperimentasi
(coba-
coba/percobaan), baru tindakan yang mengarah pada eksekusi karya yaitu proses penciptaan secara fisik. Penciptaan yang dilakukan tersebut, tidaklah cukup di situ saja, melainkan memberikan pemaknaan kembali dan sebuah tindakan evaluasi.
4. Pemaknaan karya seni patung Satu hal lagi mengenai kelemahan dalam memberikan karya seni patung yang perlu untuk dibahas secara mendalam agar secara bersamasama kita dapat membangun (infrastrutur) seni patung. Maka di bawah ini saya akan mencoba memberikan alternatif pemecahan masalah yang terangkai pada persoalan di depan tadi. Memaknai sebuah karya seni 5
mempunyai beberapa tipikal yang dapat dibangun oleh obyek-obyek indrawi tertentu. Tipikal penandaan terasebut meliputi: (1). Karakteristik dari obyek yang menjadi tanda-tanda, (2). Karakteristik fisik dari daya inderawi yang memberikan respon terhadapnya dan (3). Faktor-faktor sosio-ideologishistoris-mitos yang dialami oleh masyarakat di mana ia hidup, menghidupi dan dihidupi. Seperti
yang
diungkapkan
oleh
Faruk
dalam
makalahnya
Metasemiotika Seni Rupa bahwa: indra penglihatan merupakan daya indrawi
yang mampu menangkap stimulan citra-citra visual dengan rentang yang relatif dan dengan energi yang bisa dikatakan kecil. Bahkan, dalam ketiadaan citra visual yang obyektif, yang dapat ditangkap, indra penglihatan juga dapat menciptakan citra visual yang obyektif yang dapat ditangkap, indra penglihatan dan dapat menciptakan citra visual sendiri meskipun dengan cara yang relatif statis. Tingkat intensitas dan tingkat ekstensitas penggunaan indra dalam pengamatan menangkap obyek visual, melainkan juga tergantung pada obyek yang mampu membangkitkan respon, terutama pada obyek visual untuk indra penglihatan dan obyek sentuhan bagi indra rabaan. Tujuan dari ulasan ini adalah untuk mengidentifikasi makna simbolik karya patung, sehingga akan diketahui dari bentuk obyeknya (tanda), makna yang dimunculkan dari obyek (ikon, simbol, indek) dan interpretasi makna denotasi dan konotasi. Dengan menganalisa makna secara menyeluruh dalam karya
tersebut
diharapkan
dapat
menghubungkan
antara
teks
dan
kontekstual. Untuk mengungkap tentang makna simbolik karya patung, dalam pembahasan ulasan ini akan diarahkan pada nilai estetis karya tersebut. Kemudian untuk lebih memahami keindahan karya itu, maka dibahas nilai estetis dalam karyanya. Keindahan Seni adalah sifat indah yang diungkapkan oleh budi manusia
secara
tekun
untuk
mengubah
benda-benda
alamiah
bagi
kepentingan rokhani manusia. Nilai keindahan ini diungkapkan dan 6
dilekatkan dalam dalam pengolahan pengolahan benda-benda benda-benda untuk memperoleh kesenangan, kegairahan, kepuasan, dan kelegaan dalam kehidupan emosional manusia tanpa adanya faktor-faktor pertimbangan yang dapat mengganggu perasaanperasaan itu. Nilai keindahan yang sempurna dalam karya seni menurut Erich Kahler adalah tergabungnya pengungkapan perasaan
yang kuat, yaitu
memadukan kecermatan yang sensitif (sensitive precision of expression ) dalam pengungkapan pengungkapan dengan dengan keserasian keserasian dari suatu keanekaragaman unsurunsur yang kaya (harmonization of a rich variety of elements ). Menurut Eric Newton, keindahan pada karya seni bersumber pada pemahaman budi manusia terhadap pola alam semesta. Seniman tidak menciptakan keindahan, tetapi ia menangkap hubungan-hubungan dalam alam
dengan
emosinya
dan
mengungkapkan
kembali
dalam
bentuk
perseptual (dalam Syafruddin, 2004) Seorang budayawan atau filsuf Ki Hajar Dewantara yang menganggap seni sebagai produk keindahan. Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa “Seni yaitu segala perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah, hingga dapat menggerakkan jiwa perasan manusia (lain yang melihat atau mendengarnya). Seni selalu ada sangkut pautnya dengan keindahan, apapun arti seni dan keindahan itu (Soedarso Sp., 1998: 4). Karya seni patung lahir karena adanya seniman yang menghadirkan karya tersebut. Kehadiran karya seni ini merupakan perwujudan dari ide/gagasan. Disebut demikian karena dalam prosesnya seniman bersinggungan dengan kenyataan lebih di luar dirinya atau kenyataan dalam dirinya. Seperti yang disampaikan Jakob Sumardjo dalam buku Filsafat Seni persinggungan menimbulkan respons atau tanggapan (meskipun tidak semua kenyataan menimbulkan respons pada seniman). Tanggapan ini dimiliki oleh seniman untuk diungkapkan dan direpresentasikan keluar dari dirinya (Jakob Sumardjo, 2000:76). Secara khusus yang ada pada karya seni patung diharapkan mampu memberikan karakteristik mengenai apa yang disebut “indah”, dimana keindahan karya patung tersebut terletak pada kesatuan yang utuh, mampu 7
menampilkan
unsur-unsur
visual
dengan
tepat,
juga
piawai
dalam
mengorganisasikan unsur-unsur visual tersebut. Prinsip-prinsip tersebut lebih merupakan
faktor-faktor
yang
harus
dipertimbangkan
dalam
rangka
mencapai sebuah komposisi yang memenuhi syarat secara estetis. Kesatuan dalam karya seni patung yang dapat menggambarkan keberhasilan dalam mencapai komposisi yang indah adalah terletak pada pembagian ruang-ruang dengan atau tanpa obyek khusus. Kesatuan bentuk yang ia komposisikan ini mampu memberikan gambaran yang imajinatif tentang sebuah ilusi atau mungkin sebuah irama juga dapat menciptakan ruang tertentu, dengan dimensi yang tertentu pula. Kesatuan atau unity adalah prinsip paling penting dalam seni patung (ataupun pada seni yang lain). Kesatuan aspek-aspek ruang yang hadir dalam karya patung merupakan keutuhan yang siap dihayati dan dimengerti. Hasil kesatuan yang utuh dari berbagai aspek, secara bersama mencapai titik vitalitas estetis yang tinggi, sehingga keutuhan menjadi lebih berarti dari pada jumlah bagian-bagiannya. Variasi dalam karya seni patung, dalam proses pembentukan yaitu mewujudkan suatu struktur patung dengan menata, menyusun, merangkai materi menampilkan bentuk maupun warna yang tidak seragam. Model dan bentuk serta ukuran yang ia munculkan dengan berbagai variasi dengan tidak meninggalkan unsur estetik. Pengulangan terasa sekali dari hasil yang ia capai pada bentukbentuknya juga akan terasa sekali pada sentuhan tangan langsung yang sering ia munculkan. Salah satu materi visual yang menjadi ciri khas dari seni patung tersebut adalah pengulangan tehnik langsng yang cenderung sering ia munculkan. Dalam Desain Elementer disebutkan bahwa “irama atau ritme” adalah suatu pengulangan yang secara terus menerus dan teratur dari suatu unsur atau unsur-unsur (Fajar Sidik dan Aming Prayitno, 1981: 30). Mempertimbangkan
pengulangan
seperti
itu,
maka
pengertian
pengembangan atau variasi sangat diperlukan, agar tidak membosankan dan selalu memperlihatkan “warna kebaruan”.
8
Harmoni
atau
keseimbangan
antar-unsur
yang
proporsional,
merupakan sebuah bentuk estetik, yang mempunyai kekuatan-kekuatan yang saling mempengaruhi di antara berbagai macam bagian dari sebuah komposisi. Dengan demikian sebuah pengamatan menunjukkan terjadi sebuah komposisi yang dilakukan atas dasar pertimbangan yang sama. Pemilihan bentuk, warna, tekstur dilakukan berdasarkan pertimbangan struktural, kedinamisan, dan yang bersesuaian satu sama lain. Manakala keselarasan antara bagian-bagian itu tercapai akan dirasakan hasil akhirnya. Bukan saja hasilnya merupakan kesatuan yang utuh melainkan juga setiap bagian yang menyusunnya terangkat disebabkan oleh kerjasama elemenelemen pendukung lainnya.
Simbol Seni Dalam Karya Seni patung Perlakuan seni sebagai bahasa murni atau simbolisme, atau kekacauan yang lain antara simbol seni dengan simbol di dalam seni lukis, sebagaimana yang dikenal oleh ekonolog (ahli arca) atau psikolog masa kini dan para kritikus yang mengamati akan penggunaan kata simbol yang berbeda dengan penggunaannya yang lumrah, dalam penulisan-penulisan semantika di masa kini. Simbol seni di sini adalah karya seni secara keseluruhan, dan sematamata apa adanya sebuah fungsi simbolik dari apapun lainnya. Dalam karya seni, perasaan diekspresikan dengan baik atau malah sebaliknya. Hal yang sama dalam karya seni, perasaan diekspresikan dengan baik atau jelek, dan demikian karyanya menjadi baik, lemah ataupun jelek dapat dicatat bahwa akhirnya seseorang seniman akan menyalahkannya pada sesuatu yang tidak benar (Langer, 1988: 130). Makna visual yang terkandung dalam karya seni patung, terdapat bentuk, warna, dan tekstur sebagai obyeknya (tanda), makna yang dimunculkan dari obyek (ikon, simbol, indeks) dan interpretasi makna denotasi dan konotasi. Dengan menganalisa makna secara menyeluruh dalam karya patung tersebut diharapkan dapat dilihat hubungannya antara teks dan
9
kontek. Di bawah ini kita akan bahas contoh karya Totok Priyoleksono untuk dibedah tentang simbol sekaligus sebagai wujut pemaknaannya.
Gambar 1. Patung The Game Judul : The Game Ukuran : 70 x 50 x 50 cm Bahan : Perunggu 1. Tahun Ikon : 2005 Karya : Totok Priyoleksono Ikon yang terdapat pada karya
“The Game” adalah sebuah kotak yang ada gambaran tentang Ular dan Tangga pada masing-masing bidang kotak tersebut. Di bawah kotak Ular Tangga terdapat bidang segi empat yang terdapat bulatan-bulatan dadu
1. Simbol Simbol merupakan sebuah bentuk perwujudan karya seni yang dapat ditangkap oleh orang lain. Simbol seni terdapat pada kaya seni itu sendiri yang didapatkan dari indra penglihatan kita, seperti halnya di dalam karya patung patung The Game ini, terdapat bentuk-bentuk bentuk-bentuk tertentu, tertentu, bidangbidangbidang dengan warna-warnanya, juga tekstur yang ada pada karya ini. Pembagian bidang yang seolah tepat menjadi dua bagian, bentuk obyek pada bagian bawah yang segi empat, di bagian atas terdapat kotak Ular Tangga. Komposisi yang harmoni, susunan bidang-bidang yang unik dan 10
khas, ini menyimbolkan pada sesuatu yang lebih mengarah pada esensi dari bentuk bidang yang berdiri tegak diatas segi empat. empat.
2. Makna Denotatif Obyek utama pada patung ini secara menyeluruh berwarna kecoklatan dengan bahan perunggu, berupa bentuk benda yang berdiri kokoh pada sebuah bidang segi empat. Benda kotak ini terdapat goresan Ular Tangga, yang ditandai adanya Ular dengan bentuk memanjang berkelok dan beberapa Tangga yang nempel bahkan ada tiga yang berdiri menancap pada bidang kotak/bagian atas. Suasana yang terasa ketika sebuah ‘permainan’, yang tepat berada di atas segi empat tersebut. Dari kedua benda ini menyatu pada sebuah bidang dan menyatu dalam bentuk yang utuh. Menandai adanya keterkaitan atau berdampingannya dua buah bidang yang berwarna kecoklatan, tetapi tampak harmoni dan nampak ekspresinya.
3. Makna Konotatif Tanda visual berupa ikon sebuah benda yang berdiri dan sebuah Tampilan visual patung ini secara menyeluruh menyiratkan akan adanya kode hermeneutik, kode simbolik, kode narasi, kode sosial, kode kultural dan kode mitos. Karya tersebut mengandung konotasi bahwa Ular Tangga sebuah emplementasi dari manusia hidup penuh dengan ‘permainan’ yang diciptakan oleh manusia itu sendiri, atau juga permainan yang melibatkan orang lain di dalamnya. Masuk pada permainan yang dibayangankan
hanyalah
kemenangan,
sehingga
kekalahan
selalu
dihindari atau belum siap menerima kekalahan. Kekalahan memang menyakitkan, justru dari sakit memaksa orang untuk mawas diri. Setiap orang menganggap dirinya paling benar, yang lain salah. Dan yang paling benar tak dapat disalahkan dan tak dapat dikalahkan, kalau yang salah bisa menang, maka tentu saja ada rekayasa tersembunyi.
11
Kode hermeneutik ini mengandung makna profokatif. Hal ini dapat dilihat pada sebuah kotak Ular Tangga nampak jelas sekali, terasa dinamis dengan suasana gairah. Seperti ketika sebuah letupan-letupan keinginan yang telah terbangun cukup lama, maka yang terjadi adalah seperti tumpahan lahar yang menghujam ke atas langit. Kehadiran Ular Tangga serasa hadirnya hasrat yang telah menemukan ruang dan waktunya. Dengan ini bisa dikatakan bertemunya semua perasaan yang telah diimpi-impikannya. Kode simbolik terlihat pada ikon dua bidang yang membagi sebuah bentuk. Ini menyimbolkan akan perjuangan untuk mempertahankan dan sebuah keinginan manusia yang sering kali datang dan tak terhindarkan. Realitas seperti ini sudah menjadi fitrah sebagai manusia yang diciptakan Tuhan lengkap dengan seribu satu nafsunya. Nafsu manusia yang selalu menuntut untuk dapat terpenuhi dan terselesaikan menuju satu titik kesuksesan. Kode narasi, kode cultural dan mitos adalah sebuah informasi masa lampau yang ada di masyarakat secara umum, juga termasuk Jawa: adanya “lingga dan yoni”. Dalam kepercayaan Kejawen disebutkan bahwa manusia ketika bermeditasi (manunggaling kawula Gusti ) akan pancering ndunya). Bersatunya antara menjadi pusat semesta alam ( pancering lingga dan yoni merupakan titik tolak pemahaman keberadaan akan titik
tujuan pada tataran menyatunya antara manusia dan alam, sehingga manusia akan merasakan keberadaanNya dalam diri. Yang artinya Tuhan barada di dalam diri manusia. Sedangkan kode mitos orang Jawa adalah manunggaling kawula lan Gusti, bersatunya manusia dengan Tuhan.
Merupakan sebuah proses kekhusukan yang harus dilakukan manusia untuk bisa mencapainya. Ini artinya manusia harus dapat menjalaninya bila ingin hidupnya tenteram, damai maka diperlukan proses perjuangan. Untuk mencapai kesempurnaan hidup (sampurnaning urip ) maka jalan yang mengarah pada sesuatu kebaikan harus yakin dapat dijalani menuju pada nilai-nilai ketuhanan. 12
Kesatuan yang utuh pada karya seni patung Totok Priyoleksono Priyoleksono ini karena memang telah melampaui nilai-nilai yang harus dipenuhi sebagai syarat dan kaidah-kaidah yang ada dielemen dan unsur seni rupa. Pada prinsipnya segala sesuatu yang nampak di karya patung ini memunculkan arti, yang dapat pula berfungsi sebagai tanda. Kesatuan atau keutuhan yang dapat menggambarkan kesempurnaan bentuk yang terdiri dari perpaduan antara elemen dan unsur seni. Juga menyatunya sebuah keinginan yang akan dan harus terpenuhi.
Penutup Dari wacana otokritik serta penafsiran saya di atas, saya menduga bahwa sebetulnya yang sedang dicari oleh dunia seni patung sekarang adalah apa yang di sebut otonomi relatif. Bahkan dorongan untuk meninjau kembali istilah seni rupa dan atau seni patung muncul dari krisis otonomi relatif. Sebelum
otonomi
relatif
menjadi
kebutuhan,
“penyempurnaan”
pembangunan (infrastruktur) yang ada sekarang akan berakhir ke titik yang mungkin tidak kita kehendaki. Bahkan pembacaan dan kritik seni bisa hanya menjadi amunisi baru untuk proses elitisasi seni atau lebih buruk lagi bisa menjerumuskan seni ke dalam konspirasi konspirasi seni. seni.
Kalau kita setuju bahwa bahwa
wacana tentang lemahnya pembangunan infrastruktur seni patung terkait erat dengan kebutuhan kita akan otonomi relatif, kita seharusnya tidak hanya membutuuhkan infrastruktur melainkan juga suprastruktur dalam artian suprastruktur berkaitan dengan kelangsungan hidup dunia seni patung dalam jangka panjang. Saya melihat bahwa saat ini kita mempunyai segala-galanya untuk memulihkan otonomi relatif seni patung, untuk menciptakan payung-payung suprastruktur seni patung, dan akhirnya menciptakan kekuatan infrastruktur seni patung itu sendiri, sesuai dengan kebutuhan komunitas-komunitas seni rupa, kehidupan seni dan masyarakat pada umumnya. Pemulihan otonomi relatif seni patung tidak sulit dicapai karena di sana-sini otonomi relatif ini sudah menjadi kebutuhan. 13
DAFTAR BACAAN
Budiman, Kris, (2004), Semiotika Visual, Yayasan Seni Cemeti, Yogyakarta. Budiono, Herusatoto, (2000), Simbolisme dalam Budaya Jawa, Hanindita Graha Widya, Yogyakarta. Charles S, Peirce, (1986), Logic as Semiotics: The Theory of Signs, dalam Robert E. Innis (ed), Semiotics: An Introductory Reader, London: Hutchinson. Faruk, (2004), Metasemiotika Seni Rupa , Lembaga Indonesia Perancis (LIP), Yogyakarta. H.B., Schwartzman, 1976, “The Antropological Study of Childen’s Play”, Annual, Reviev of Anthropology 5. K.M, Saini, (2004), Krisis Kebudayaan , Kelir, Bandung. Langer, Suzanne. K., (1988), Problematika Seni, Terjemahan Fx. Widaryanto, Akademi Seni Tari Indonesia. Bandung. Read, Herbert, (2000), Seni : Arti Dan Problematikanya, Terjemahan Soedarso SP., Duta Wacana University Press, Yogyakarta. S.J., N, Drijarkara, (1969), Filsafat Manusia , Kanisius Yogyakarta. Sachari, Agus, (2002), Estetika, Makna, Simbol, dan Daya , ITB, Bandung. Sain-Martin, Fernande, (1987), Semiotics of Visual Language, Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press. Sobur, Alex, (2003), Semiotika Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Soedarso Sp, (1998), “Seni Dan Keindahan”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Sumardjo, Jakob, Jakob, (2000), Filsafat Seni , ITB, Bandung. Sutrisno .S.J., Mudji, (1999) Kisi-Kisi Estetika, Kanisius, Yogyakarta. Syafruddin, (2004), “Estetika Satu”, Mata Kuliah Estetika I (Tidak Diterbitkan), Untuk Mahasiswa Jurusan Seni Murni. Jurusan Seni Murni, Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Triguna, Yudha, Ida Bagus Gede, 2000, Teori tentang Simbol, Widya Dharma, Denpasar.
14