Suhariyadi, Analisis Semiotik Naskah
ANALISIS SEMIOTIK NASKAH DRAMA “KAPAI-KAPAI” KARYA ARIFIN C. NOER ) Suhariyadi Abstrak : Naskah drama Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer sarat dengan simbolsimbol simbol dan tanda tanda yang yang makna maknanya nya tidak tidak terbat terbatas as pada pada makna makna lingui linguisti stik. k. Makna Makna kont kontek ekst stua uall meru merupa paka kan n esen esensi si dari dari kary karyaa sast sastra ra ters terseb ebut ut.. Deng Dengan an demi demiki kian an,, pemahamannya harus mampu mengkonstruksi makna hingga ke tataran metabahasa. Teor Teorii Semi Semiot otik ik meru merupa paka kan n pili piliha han n yang yang rele releva van n seba sebaga gaii land landas asan an untu untuk k mengka mengkajin jinya. ya. Mitos Mitos sebaga sebagaii metaba metabahas hasaa dalam dalam teori teori Semiot Semiotik ik Roland Roland Barthe Barthess dipa dipaka kaii untu untuk k meng mengan anal alis isis is nask naskah ah drama drama Kapa Kapaii-Ka Kapai pai ini. ini. Mitos Mitos tent tentan ang g kemiskinan, hirarki sosial, mimpi, harapan, dan keterasingan hidup merupakan fakta imajinatif yang dihadirkan pengarang dalam karya sastra tersebut. Kata Kunci : Drama, Kapai-kapai, Arifin C. Noer, Semiotik, Mitos, Barthes
)
Suhariyadi adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unirow Tuban
147
Prospektus, Tahun VII Nomor 2, Oktober 2009
Latar Belakang Masalah
Membaca Kapai-Kapai tentunya tidak akan lepas dari konteks sejarah yang melatarbelakanginya. Arifin C. Noer sebagai penulisnya menyadari bahwa sebagai anggota masyarakat, ia harus manyuarakan kondisi zamannya. Sapardi Joko Damono mengemukakan, sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan menyangkut hubungan antarmasyarakat, masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. (1984:1). Bagi Arifin C. Noer, Kapai-kapai merupakan bentuk komunikasi dengan masyarakatnya melalui medium konvensi sastra (drama). Kapai-kapai menjadi suara Arifin C. Noer tentang betapa buruknya kondisi Abu, tokoh sentral Kapai-kapai, dalam memandang hidup dan kehidupannya. Secara tidak langsung menyuarakan gagasan, pikiran, dan ideologi Arifin C. Noer tentang bagaimana memandang kehidupan sosial masyarakat saat karyanya itu diciptakan. Hal itu mengkonotasikan (sebagai tanda) suatu makna yang melampaui batas-batas tekstual dalam sistem bahasa.
Naskah Kapai-kapai mengungkapkan kondisi buruk yang dialami Abu sebagai tokoh utama yang diceritakan. Kondisi kemiskinan dan penderitaan yang tidak saja dilatarbelakangi kebodohan Abu dalam menyikapi hidup dan kehidupannya, tetapi juga kondisi sosial masyarakat yang menghimpitnya. Keterlenaan Abu dalam mimpi-mimpinya, minimnya pemahaman religiusitas, kebodohan dalam berfikir dan bersikap, dan keadaan zamannya yang tidak menguntungkan bagi status sosial seperti Abu, menjadi latar belakang ketidakkuasanya tokoh utama ini mengatasi keadaanya itu. Jika kemudian Abu menemui ajalnya dalam keadaan seperti itu, nampaknya pembaca harus tergelitik untuk respek pada substansi pemikiran, gagasan, dan pandangan Arifin C. Noer sebagai pengarangnya. Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer ini merupakan naskah drama bergaya surealis yang sarat dengan simbol-simbol. Secara semiotik, simbol-simbol tersebut merupakan struktur hirarki sistem tanda yang dihadirkan pengarangnya untuk mengungkapkan pemikiran, gagasan, dan pandangan pengarang secara konotatif. Kalau kita cermati, simbol-simbol tersebut dipilih pengarang sebagai pilihan yang dekat dengan simbol yang ada di masyarakat. Simbol-simbol tersebut merupakan mitos yang ada dalam konteks sosial masyarakat Indonesia. Di sinilah peranan teori Semiotik Roland Barthes tentang mitos sebagai sistem tanda, sangat penting. Dengan demikian, kajian terhadap naskah Kapai-kapai ini harus membongkar dan memaknai simbol-simbol tersebut sebagai struktur sistem tanda terlebih dahulu agar dengan mudah dapat difahami pemikiran, gagasan, dan pandangan sosial (dunia) pengarangnya. Jika demikian, jalur pemahaman karya sastra tidak berhenti pada konsep yang memaknai dalam kerangka sistem linguistik, tetapi juga dalam sistem struktur tanda semiotik. Analisis linguistik terhadap wacana/teks perlu ditindaklanjuti untuk memahami tandatanda yang bermakna konotatif.
148
Suhariyadi, Analisis Semiotik Naskah
Dalam kerangka penelitian yang ada sebelumnya, penelitian terhadap naskah Kapai-Kapai tidak banyak dilakukan. Tetapi dalam konteks penggarapan pertunjukan teater, naskah ini telah banyak dilakukan oleh komunitas teater Indonesia (salah satunya adalah penulis sebagai sutradara, 2007). Penelitian terhadap naskah Kapai-Kapai ini dapat disebutkan salah satunya, tahun 1990, Semangat ‘Dérision’ dalam Drama Kontemporer: Telaah Bandingan Dua Lakon "Kapai-Kapai" Karya arifin C Noer dan "Badak-Badak" Karya Eugène Ionesco (Disertasi Talha Bachmid, Fakultas Pascasarjana UI Jakarta, 2007). Naskah drama ini memang memiliki daya tarik untuk difahami, baik dalam bentuk penelitian maupun proses pertunjukkan teater. Dalam konteks penelitian sebelumnya, penelitian ini memiliki perbedaan dalam pemilihan teori yang melandasinya. Penelitian ini berusaha untuk menyesuaikan dengan gaya dan karakteristik objek analisis. Dengan menyadari bahwa sebagai objek analisis, naskah drama KapaiKapai sarat dengan simbol, tanda, ungkapan, idiom, dan mitos dengan gaya ugkapan yang surealis. Oleh karena itu, kajian terhadap naskah ini harus mampu mengungkapkan makna dan konsep di balik permukaannya yang eksplisit. Teori semiotik Roland Barthes yang berfokus pada sistem struktur tanda semiotik, merupakan pilihan landasan teoritis yang relevan.
1.
Bagaimanakah sistem struktur tanda semiotik yang terkandung dalam naskah Kapai-Kapai karya Arifien C. Noer. a. Sistem Struktur Tanda Semiotik Tingkat Pertama (denotatif;sistem linguistik). b. Sistem Struktur Tanda Semiotik Tingkat Kedua (konotatif; sistem semiotik). Sebagaimana teori semiotik 2. Barthes, bagaimana tanda-tanda dalam naskah Kapai-Kapai tersebut bertindak sebagai mitos. Bagaimana dalam mitos tersebut menyediakan fungsinya untuk mengungkap dan membenarkan nilainilai dominan yang ada dalam masyarakat. Kerangka Teori 1. Teori Semiotika Roland Barthes Barthes merupakan tokoh intelektual dan filsuf Perancis yang gagasannya berada pada fase peralihan dari fase Strukturalis dan Pascastrukturalisme. Posisi pemikiran Barthes dalam sejarah intelektual Barat dan Eropa ini nampak pada usahanyanya untuk mengkonvergensi pemikiran Strukturalisme dalam linguistik, yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, dengan studi kebudayaan.
Rumusan Masalah
Sebagai struktur sistem tanda semiotik, bagaimanakah naskah Kapai-kapai ini menghadirkan struktur tanda-tanda untuk mengungkapkan makna cerita? Hal inilah yang menjadi fokus perhatian kajian semiotik; sekaligus menjadi fokus kajian ini. Spesifikasi permasalahan ini dapat dikemukakan sebagai berikut.
149
Prospektus, Tahun VII Nomor 2, Oktober 2009
Roland Barthes (1915-1980) menerapkan model De de Saussure dalam penelitiannya tentang karyakarya sastra dan gejala-gejala kebudayaan, seperti mode pakaian. Bagi Barthes komponen-komponen tanda penanda-petanda terdapat juga pada tanda-tanda bukan bahasa, antara lain terdapat pada bentuk mite yakni keseluruhan sistem citra dan kepercayaan yang dibentuk masyarakat untuk mempertahankan dan menonjolkan identitasnya. Selanjutnya Barthes menggunakan teori signifiant signifie yang dikembangkan menjadi teori tentang metabahasa dan konotasi (baca: Barthes, 2007 dan Sunardi,2002). Menurut Barthes, tanda-tanda dalam budaya bukanlah sesuatu yang polos dan murni (innocent), namun sebaliknya. Tanda-tanda justru memiliki kaitan yang kompleks dengan reproduksi ideologi (Sutrisno & Putranto, 2005:118). Dalam kaitannya dengan pemikikirannya tentang ideologi, Barthes mengemukakan teorinya tentang mitos. Mitos adalah salah satu jenis sistem semiotik tingkat dua (Sunardi,2002). Dengan demikian, kajian semiotik terhadap teks dikaitkan dengan konteks yang melatarbelakanginya. Sebagai sistem semiotik, mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur, yaitu: signifier, signified, dan sign. Ketiga unsur tersebut merupakan sistem semiotik tingkat kedua. Untuk menghasilkan sistem mitis, sistem semiotik tingkat dua mengambil sistem semiotik tingkat pertama (denotatif/ linguistik), yang oleh Barthes terdiri atas form, concept, dan signification.
Namun demikian, pemahaman terhadap mitos tersebut ditempatkan dalam konteks sejarahnya. Mitos dalam wacana dan media mengandaikan pengetahuan tentang sejarah. Sistem mitos dalam konteks sejarah inilah oleh Barthes ditempatkan dalam sistem semiotik tingkat kedua dan dihasilkan dari sistem semiotik tingkat pertama (sistem denotasi; linguistik). Wujud mitos dalam kajian semiotik dapat diketemukan dalam ungkapanungkapan singkat padat penuh makna atau maxim (contoh : ucapan seorang tokoh, atau aforisme dan metonimi). Ungkapan-ungkapan ini mempunyai kekuatan untuk menjadi mitos karena bentuk ungkapan ini memiliki makna atau konsep baru. Pada tingkat semiotik tingkat pertama, ungkapan-ungkapan tersebut (sebagai form) memiliki makna denotatif (linguistik) yang merujuk pada objek (concept). Pada sistem semiotik tingkat dua, objek (concept) pada sistem tingkat pertama diambil sebagai signifier (penanda) yang memiliki makna (signified; petanda) yang disebut oleh Barthes sebagai mitos. Dengan demikian, mitos adalah sejenis metabahasa (Sunardi, 2002:110). Dan sistem mitos inilah yang yang siap dipakai untuk aktualisasi ideologi.
150
Suhariyadi, Analisis Semiotik Naskah
Hubungan antara signifier dan signified melalui pengkombinasihan, yang oleh Barthes disebut dengan kode. Kode menurut Poedjosoedarmo, dalam terminologi sosiologuistik, ialah variasi tutur yang memiliki bentuk khas, serta makna yang khas pula (1986:27). Sedangkan menurut Jacobson, Fungsi teks-teks yang menunjukkan pada sesuatu (mengacu pada sesuatu) dilaksanakan berkat sejumlah kaidah, janji, dan kaidah-kaidah alami yang merupakan dasar dan alasan mengapa tanda-tanda itu menunjukkan pada isinya. Tanda-tanda ini merupakan sebuah sistem yang dinamakan kode (dalam Hartoko, 1992:92). Kode pertama yang berlaku pada teks-teks ialah kode bahasa yang digunakan untuk mengutarakan teks yang bersangkutan sebagai sistem lambang primer. Kode bahasa itu dicantumkan dalam kamus dan tata bahasa. Selain itu, teks-teks tersusun menurut kodekode lain yang disebut kode sekunder. Struktur cerita, prinsip-prinsip drama, bentuk-bentuk argumentasi, sistem metrik, itu semua merupakan kodekode sekunder yang digunakan dalam teks-teks untuk mengalihkan arti. 2. Metode Penelitian
Sebagaimana yang dikemukakan Hendraswara (2003) kajian semiotik menggunakan metode heuristik dan hermeneutik sesuai dengan tingkat struktur semiotik. Pada sistem struktur tanda semiotik tingkat pertama, kajian semiotik menggunakan metode heuristik. Metode ini dipakai dalam rangka pembacaan secara denotatif atau linguistik. Teks karya sastra dipahami dalam maknanya secara kebahasaan. Sedangkan metode hermeneutik dipakai untuk memahami teks karya sastra sebagai sistem struktur tanda semiotik tingkat kedua (konotatif). Hermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison-horison (cakrawala) yang melingkupi teks tersebut. Horison yang dimaksud adalah horison teks, pengarang, dan pembaca. Dengan memperhatikan ketiga horison tersebut diharapkan suatu upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks. Analisis Semiotik Naskah Kapai-Kapai Karya Arifen C. Noer
1. Sistem Struktur Tanda Semiotik Tingkat Pertama Pada sub-bab ini akan dianalisis secara heuristik terhadap naskah Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer. Secara semiotis, setiap tanda selalu memperoleh pemaknaan awal yang disebut dengan sistem primer. Sistem primer ini mengacu pada pemaknaan linguistikdenotatif sebagai sistem struktur tanda semiotik tingkat pertama.
a.
Unsur Penokohan sebagai Tanda Semiotik
151
Prospektus, Tahun VII Nomor 2, Oktober 2009
Apabila dikelompokkan berdasarkan kategori penokohan, sebagaimana yang dikemukakan dalam teori sastra (lihat Waluyo,1994; Nurgiyantoro,2000; dan Tarigan,1982), teks drama Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer ini memiliki tiga kategori. Pertama, tokoh sentral protagonis yang meliputi: Abu dan Iyem. Kedua, tokoh sentral-antagonis yang meliputi: Emak, Majikan, dan Kelam. Ketiga, tokoh tambahan yang meliputi : Bulan, Bel, Robot, gelandangan, Burung, Katak, Rumput, Embun, Air, Batu, Jangkerik, Kambing, Pohon, dan kakek. Berikut ini analisis ketiga jenis penokohan tersebut. 1) Tokoh Sentral-Protagonis Dari ketiga tokoh sentral-protagonis, tokoh Abu memegang perananan yang sangat penting dalam keseluruhan cerita. Tokoh ini merupakan tokoh utama di mana cerita dan adegan dalam naskah ini mengarah pada dirinya. Sedangkan Iyem dan gelandangan memiliki peranan yang penting dalam kaitannya dengan tokoh Abu. Abu adalah seorang pesuruh kantor pada sebuah pabrik. Sebagai seorang pesuruh, ia tempat umpatan, hinaan, lemparan kesalahan, dan perlakuan yang tidak adil dari majikannya (p.9-10 dan.45) Sebagai pesuruh, Abu juga harus tunduk pada semua perlakuan yang dibebankan padanya dari majikannya. Kutipan berikut menggambarkan bagaimana sosok Abu sebagai pesuruh yang harus taat dan tunduk pada perintah majikan. (p.4748). Dalam kedudukan sosial sebagai seorang pesuruh, Abu dan keluarganya tergolong berstatus ekonomi di bawah garis kemiskinan. Ia harus mengalami kehidupan bersama Iyem, istrinya, dalam penderitaan karena kemiskinannya itu. Iyem
:
Abu Iyem
: :
Abu
:
Ada apa? Kau betul-betul sandal dobol. Hujan begini deras. Air sudah sampai lutut. Rumah ini seperti tak beratap. Wahai, mana pula langit? Ini bukan lagi bocor. Ya Tuhan. Dengan apa mesti kita hentikan hujan jahanam ini? Terlalu banyak musuh kita. Di darat. Di udara. Tuhan. Tuhan …………… (p.34-35).
Karena kemiskinannya itu pula ia dan istrinya merasakan kelaparan yang luar biasa. Bahkan dalam kasih sayangnya sebagai seorang ayah dan ibu, mereka harus tega membunuh orok yang baru lahir (p.52-53). Sosok Abu, di samping sebagai orang berstatus sosial rendah dan ekonomi bawah, adalah tokoh yang bodoh. Dalam keadaan yang serba tertindas dan menderita, Abu terkungkung oleh mimpi-mimpi dan harapannya. Dalam naskah drama ini diceritakan bagaimana Abu terobsesi pada mimpinya menjadi seorang pangeran rupawan sebagaimana dongeng emak (halaman 7-14); menjadi seorang kesatria yang gagah berani melawan jin penculik putri cina (halaman 37-40); dan menjadi Ali Baba (pen. tokoh pahlawan dalam dongeng masyarakat Parsi) yang ingin menggapai ujung dunia (halaman 40-44). Mimpi-mimpi dan harapannya untuk memperoleh Cermin Tipu Daya. Dengan Cermin Tipu Daya itulah ia akan kaya raya, berkuasa, dan menjadi seorang kesatria (halaman 13-14, 30, 36, 42). Oleh karena itulah, Abu bersama Iyem sebagai seorang gelandangan yang mengembara dalam penderitaan untuk mencapai ujung dunia (halaman 62-63 dan 66-70)
Kau jangan diam saja kayak sandal dobol.
152
Suhariyadi, Analisis Semiotik Naskah
2)
Abu adalah juga seorang yang jauh dari nilai-nilai agama. Melalui tokoh Kakek, Abu mendapatkan nasehat tentang hakikat kehidupan sebagai manusia yang beragama. Konsep Tuhan, neraka, surga, kematian, dan ujung waktu dunia, disampaikan Kakek kepada Abu (halaman 28-31). Abu dan Iyem merupakan sosok manusia yang mengalami penderitaan sepanjang hidupnya. Melalui tokoh Yang Kelam dan pasukannya, kedua tokoh ini mengalami siksaan (halaman 59-61 dan 63). Tokoh Sentral-Antagonis
Tokoh sentral-antagonis dalam naskah Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer terdiri atas: Emak, Majikan, dan Yang Kelam. Ketiga tokoh ini adalah penentang terhadap tokoh Abu dan Iyem. Emak dan Yang Kelam merupakan tokoh surealis. Kehadirannya dalam cerita tidak dapat diidentivikasi secara konkrit. Sedangkan Majikan merupakan tokoh realis; seorang tokoh yang dapat diidentivikasi secara konkrit sebagai majikan tempat Abu bekerja. Emak adalah tokoh yang berperan sebagai seorang yang mengungkung Abu dalam mimpi-mimpi dan harapannya tentang Cermin Tipu Daya, Pangeran yang tampan dan kaya, Kesatria yang gagah berani, dan Ujung Dunia tempat Cermin Tipu Daya itu berada. Melalui dongeng, Emak membangkitkan semangat Abu tentang mimpi-mimpi dan harapan yang kosong itu (halaman 7-9, 11-14, dan 35-45). Abu : Aku sedikitpun tak goyah oleh pukulan-pukulan sang waktu. Emak : Kau tahu berkat apa? Abu : Berkat emak. Emak : Tidak begitu. Kau harus menyebutnya berkat harapan. Duet : Ya berkah harapan, sekali lagi berkah harapan. Hanya harapan, peganglah selalu harapan. Obat mujarab bagi seluruh anggata keluarga. Sekali lagi jangan lupa: harapan (p.40-41).
Emak merupakan tokoh yang terusmenerus membuai Abu dengan dongeng-dongengnya. Eksistensi tokoh ini begitu kuat tertanam pada diri tokoh Abu dengan mimpi-mimpi dan harapan. Dengan demikian, Emak merupakan sosok yang begitu dekat dengan mimpi dan harapan Abu. Tidak ada Emak tanpa mimpi dan harapan Abu, begitu sebaliknya, tak ada mimpi dan harapan Abu tanpa tokoh Emak ini. Dapat dikatakan, Emak merupakan mimpi dan harapan Abu. Oleh karena itulah, tokoh ini bersifat surealis dan abstrak. Berbeda dengan tokoh Emak, tokoh Majikan merupakan tokoh yang konkrit dan realis. Ia adalah majikan Abu. Secara denotatif, tokoh ini digambarkan sebagai tokoh yang kasar, suka memerintah, menghina, mengumpat, dan memperlakukan tokoh utama secara tidak adil (p.45). Tokoh Majikan ini merupakan sumber penderitaan bagi Abu, di samping karena kemiskinan dan kebodohannya. Karakter dan sikap majikan yang cenderung memerintah, menghina, mengumpat, dan memperlakukan Abu seenaknya, menjadikan tokoh ini merupakan tokoh antagonis. Sedangkan tokoh Yang Kelam dapat difahami sebagai waktu yang kelam. Peranan yang dimiliki tokoh ini, di samping sebagai penyiksa Abu dan Iyem, ia adalah narator yang mengungkapkan perjalanan waktu kehidupan tokoh Abu dan Iyem. (p.9 dan 25)
153
Prospektus, Tahun VII Nomor 2, Oktober 2009
Yang Kelam : Ini adalah tahun 1941. Ini bukan tahun 1919. Dia dilahirkan di Salam, 6 km, dari kota Solo. Dia dibesarkan di Semarang. Kemudian ia pindah ke Cirebon. Kemudian ia pindah ke Jakarta. Kemudian akan mati pada tahun 1980 (p.26). Nama Yang Kelam bila diterjemahkan secara harfiah berarti ‘hitam’ atau ‘gelap’. Dikaitkan dengan perannya sebagai narator waktu kehidupan Abu di atas, dapat dimaknai sebagai perjalan waktu yang gelap dan hitam. Dari sudut pandang karakter tokoh ini, bisa difahami bahwa Yang Kelam adalah sosok yang egois (halaman 1718), beringas (halaman 59-61 dan 63), kasar, dan penyiksa (halaman 59-61). Di samping itu, sebagaimana tokoh Emak, tokoh ini lebih bersifat surealis dan abstrak. Ia tidak dapat difahami sebagai manusia yang realis dan konkrit. Peranan yang dibawa lebih mengarah pada salah satu sumber penderitaan Abu dan Iyem dalam perjalanan hidupnya. 3)
Tokoh Tambahan
Tokoh tambahan dalam naskah drama ini meliputi: Bulan, Bel, Robot gelandangan, Burung, Katak, Rumput, Embun, Air, Batu, Jangkerik, Kambing, Pohon, dan Kakek. Keseluruhan tokoh tambahan ini keberadaannya dalam cerita sebagai pendukung tokoh utama (Abu dan Iyem). Tokoh-tokoh tambahan seperti: Burung, Katak, Rumput, Embun, Air, Batu, Jangkerik, Kambing, dan Pohon, mewakili alam yang berfungsi mendukung gambaran betapa tokoh utama mengalami ketersesatan di dalam perjalanannya mencari ujung dunia. Sedangkan Bel dan robot gelandangan mendukung gambaran rutinitas kerja Abu sehari-hari. Tokoh Bulan dan Kakek memiliki peranan yang relatif penting dibandingkan dengan tokoh tambahan lainnya. Bulan divisualkan sebagai seorang wanita yang lembut dan pengayom bagi Abu dan Iyem. Dalam penderitaan dan mimpi-harapan yang kosong, Bulan masih memberikan jalan bagi keduanya untuk menikmati sisasisa kehidupan mereka, yaitu sex. Sementara Kakek adalah tokoh pendukung Abu yang memberikan nasehat akan pentingnya agama dalam kehidupan tokoh utama ini. Hanyalah agama yang memberikan petunjuk dan pedoman bagi Abu dalam mencari kebahagiaan, baik di dunia maupun di akherat. Justru, selama ini Abu jauh dari nilai-nilai agama, Keseluruhan tokoh tambahan di atas, dalam keseluruhan cerita, mendukung dalam memberikan gambaran betapa Abu telah teralienasi dari kehidupannya sebagai manusia. Ketersesatan menempuh hidup, rutinitas kerja seperti mesin dan robot, keterasingan dari nilai-nilai agama, dan sifat-sifat kebinatangan (sex) sebagai satu-satunya yang masih tersisa dalam hidup Abu, merupakan fungsi peran yang dimiliki oleh tokoh tambahan ini.
154
Suhariyadi, Analisis Semiotik Naskah
b.
Unsur Semiotik
Tema
Sebagai
Alur cerita dalam naskah drama ini dijalin berdasarkan adegan-adegan dari awal sampai akhir. Sebagai bangunan struktur instrinsik, adegan-adegan dalam karya ini menunjukkan struktur alur yang tidak teratur. Satu alur dipotong dengan munculnya adegan lainnya, begitu terus, sehingga muncul kesan terjadinya ketidakteraturan alur. Alur tentang dongeng Emak, misalnya, dipotong oleh adegan kerja Abu sebagai pesuruh kantor dan adegan mimpi Abu sebagai pangeran, baru kemudian kembali kepada alur dongeng Emak (p 7-21). Demikian juga terjadi dalam gerakan alur selanjutnya yang terpenggal dengan masuknya adegan yang lain (p. 27-46). Ketidakteraturan alur bukan tidak sengaja dilakukan oleh pengarangnya. Ada dua hal yang menarik dan kuat secara dramatic dari ketidakteraturan bangunan alur karya ini. Pertama, ketidakteraturan bangunan struktur alur tersebut mendukung makna cerita (tema). Ketidakteraturan kehidupan tokoh utama dalam menjalani hidup dan keadaan dunia tempat tokoh utama hidup, diwadahi oleh struktur alur yang tidak teratur juga. Dalam pengertian yang lain, ketidakteraturan dalam isi cerita dikemas dalam ketidakteraturan bentuk. Kedua, adegan-adegan yang diselipkan dalam alur pokok cukup memimbulkan dan mendukung intensitas peristiwa atau cerita. Adegan dongeng Emak yang bersifat verbal, didukung oleh visualisasi adegan mimpi Abu menjadi pangeran. Adegan penderitaan Abu atas perlakuan Majikan yang kasar dan menghina, mendukung alur pokok tentang penderitaan hidup Abu yang miskin. Begitu pula dengan gerak alur selanjutnya.
Tanda
Tema utama dalam naskah KapaiKapai karya Arifin C. Noer ini adalah penderitaan hidup manusia karena mengejar mimpi-mimpi dan harapan semu. Kenyataan ini digambarkan oleh tokoh Abu yang merupakan representasi dari sosok manusia pada umumnya. Abu berusaha mencapai kebahagiaan dengan berbagai cara, bahkan dengan cara yang tak masuk akal, yakni mengejar mimpi-mimpi serta ilusi yang tak berujung. Meski setiap manusia memiliki mimpi, namun mimpi yang tak pasti bukanlah sesuatu yang harus dikejar sampai ke ujung dunia. Sebagai naskah drama yang panjang dan padat dengan peristiwa yang dialami tokoh utama, tema utama di atas dirajut oleh tema-tema minor. Beberapa tema minor yang dapat diambil dari naskah drama ini meliputi: kemiskinan, tradisi kerja yang menghimpit, kegelandangan, ketersesatan hidup, mimpi, harapan, dan ambisi hidup, kebodohan, alienasi, dan kematian yang sia-sia. Semua tema minor tersebut terjalin ke dalam cerita tentang penderitaan manusia mengejar mimpi-mimpi dan harapan yang semu. c. Unsur Adegan (Alur) Sebagai Tanda Semiotik
d.
Unsur Semiotik
Dialog
Sebagai
Tanda
155
Prospektus, Tahun VII Nomor 2, Oktober 2009
Ciri khusus naskah drama Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer adalah penggunaan bahasa, khususnya dalam dialog (pelisanan). Arifin C. Noer dalam karyanya ini telah mensubversi kebakuan bahasa Indonesia dengan menampilkan bentuk-bentuk kelisanan yang ada di masyarakat. Iyem
:
Abu Iyem
: :
Abu Iyem
: :
Abu
:
Monyong kau! Laki macam apa kau? Kerbau? Babi? Jam berapa yem? Jam berapa? Bedug sampai coblos dipalu orang juga kau masih enak-enak ngorok. Apa kau tidak mau kerja? Bukan begitu Baik, kalau kamu mau enak-enak ngorok, biar saya yang kerja. Apa dikira tidak bisa? Saya kira, saya masih cukup montok untuk melipat seribu kepala lelaki hidung belang di ketiak saya. Kau jangan bicara sekasar itu. (p.22)
Penggunaan bahasa di dalam kutipan di atas, juga dalam dialog-dialog yang lain yang diucapkan Abu dan Iyem, menunjukkan bentuk kelisanan yang mencerminkan masyarakat kelas bawah. Penggunaan bahasa seperti di atas tidak dijumpai dalam penggunaan bahasa Indonesia resmi. Pemanfaatan bentuk-bentuk kelisanan seperti ini untuk mendukung karakteristik tokoh yang berdialog. Berbeda dengan penggunaan bentuk kelisanan dalam dialog tokoh lain, seperti Emak, Kakek, atau yang lain, penggunaan bahasa baku diterapkan.
Emak :
Ketika prajurit-prajurit dengan tombak-tombaknya mengepung istana cahaya itu, sang pangeran rupawan menyelinap diantara pokok-pokok puspa, sementara air dalam kolam berkilau mengandung cahaya purnama. Adapun sang putri jelita, dengan debaran jantung dalam dadanya yang baru tumbuh, melambaikan setangan sutranya di balik tirai merjan, di jendela yang sedang mulai ditutup oleh dayangdayangnya. Melentik air dari matanya bagai butir-butir mutiara. Dan sang pangeran, nak? Duhai seratus ujung tombak yang tajam berkilat membidik pada satu arah, purnama diangkasa berkerut wajahnya lantaran cemas, air kolam pun seketika membeku, segala bunga pucat lesi mengatupkan kelopaknya, dan sang putri, nak? Malam itu marasa lega hatinya dari tindihan kecemasan. Ia pun mimpi yang sangat panjang, dimana seribu bulan menyelimuti kedua tubuh yang indah itu penuh cahaya (p.7).
Dialog Emak dalam kutipan di atas terlihat kebakuan dalam penggunaan bahasa Indonesia. Sangat berbeda bahasa dalam dialog Abu dan Iyem. Tidak ada satu pun usaha pengarang untuk menampilkan bentuk kelisanan masyarakat ataupun dialek sosial. Netralitas penggunaan bahasa dalam dialog Emak di atas sengaja dilakukan pengarang untuk mendukung karakterisasi tokoh ini sebagai tokoh surealis (non-realis).
156
Suhariyadi, Analisis Semiotik Naskah
Selain itu, Arifin C. Noer juga memasukan unsur pantun dan lenong Betawi sebagai bentuk kelisanan lokal. Dialog yang berisi pantun dan adegan lenong Betawi mencitrakan kehidupan masyarakat yang masih terlampau dekat dengan tradisi. Ciri khas masyarakat demikian cenderung dialami oleh masyarakat bawah yang belum terpengaruh budaya modern. Jika dicermati, terdapat dua ragam bahasa yang dipakai pengarang dalam karya ini, yaitu ragam tak-resmi, nampak pada dialog Abu dan Iyem, dan ragam resmi, nampak dalam dialog Emak, Kakek, Majikan, dan yang lainnya. Pembedaan ragam tersebut berdasarkan dukungan dan gambaran karakter tokoh yang diceritakan. 2. Sistem Struktur Tanda Semiotik Tingkat Kedua Sebagaimana dikemukakan dalam bab terdahulu, bahwa pada sistem semiotik tingkat dua, objek (concept) pada sistem tingkat pertama diambil sebagai signifier (penanda) yang memiliki makna (signified; petanda) yang disebut oleh Barthes sebagai mitos. Bagaimana sistem struktur tanda tingkat kedua dalam naskah KapaiKapai karya Arifine C. Noer membangun mitos? Mitos apakah yang ingin dikemukakan dalam karya sastra ini? Bagaimana ideologi yang tercermin dalam mitos tersebut? Serangkaian pertanyaan inilah yang ingin dirumuskan jawabannya dalam sub-bab ini.
Naskah Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer mengungkapkan persoalan manusia yang memilih dan dituntun oleh suatu mitos karena himpitan mitos-mitos yang lainnya. Seseorang dengan status sosial dan ekonomi rendah mencipatakan kondisi kemiskinan dalam kehidupannya. Ini merupakan sebuah mitos. Gambaran mitos tersebut dihadapi tokoh utama dalam menjalani hidup sehari-hari. Gambaran sebaliknya akan berbunyi, jika tokoh utama memiliki status sosial yang tinggi dengan begitu menciptakan status ekonomi yang tinggi juga, maka dia akan menjalani kehidupan yang kaya. Tapi tokoh utama bukan dalam mitos yang kedua. Dengan begitu, seseorang yang menjalani kehidupannya dalam situasi mitos pertama haruslah menyikapinya untuk membebaskan diri dari apa yang dinyatakan dalam mitos tersebut, yaitu kemiskinan. Tokoh utama dalam naskah drama Kapai-Kapai ini terhimpit oleh mitosmitos yang ada sebagai akibat mitos tentang status sosial dan ekonomi yang rendah. Kemiskinan merupakan keadaan di mana seseorang mengalami penderitaan hidup. Tempat tinggal yang tak layak, rasa lapar berkepanjangan, dan tidak ada jaminan hidup layak bagi generasi selanjutnya, merupakan mitos yang disebabkan mitos tentang kemiskinan. Status sosial yang rendah, sebagai pesuruh atau buruh sebagaimana tokoh utama dalam karya sastra ini, merupakan posisi kemartabatan manusia yang rendah pula, sehingga dapat diumpat, dihina, dan diperlakukan secara tidak adil oleh pemiliknya (majikan). Mitos-mitos inilah yang dihadapi tokoh utama dalam karya sastra ini.
157
Prospektus, Tahun VII Nomor 2, Oktober 2009
Dalam keadaan sebagaimana mitos mengungkapkan tentang hal itu, seseorang mesti menyikapi untuk melepaskan diri dari mitos tersebut. Banyak pilihan hidup yang bisa diambil seseorang, tergantung bagaimana kemampuan orang itu. Sebagaimana tokoh utama dalam, karya sastra ini, dia adalah seorang yang bodoh dan lugu. Karena kebodohan dan keringnya sandaran hidup sebagai pedoman (agama), dia memilih sikap untuk tergantung pada harapan dan mimpi. Dengan begitu, dia mengalami ketersesatan, pada gilirannya, akan menjalani kehidupan yang teralienasi dari realitas. Ini adalah sebuah mitos yang dipilih untuk menuntun seseorang menjalani kehidupan agar terlepas dari mitos kemiskinan. Mitos untuk melepas mitos yang lain: kebodohan dan jauh dari agama akan mengakibatkan ketersesatan. Manusia yang tersesat adalah manusia yang terasing dari dunia realitas. Ini adalah sikap hidup kegelandangan. Tidak punya arah dan pedoman yang benar. Ia terombang-ambingkan keadaan. Ia tak punya sikap dan kemandirian dalam menjalani hidup. Ia dilambangkan sebagai robot gelandangan. Ujung dari semua ini adalah kematian dan kesia-siaan hidup. Sebuah ’kapai-kapai’ dalam kehidupan manusia; bergerak (gerak kehidupan) seolah dapat menyentuhnya (meraih tujuan hidup). Dan semua itu adalah mitos yang lain.
Tiga mitos yang dapat ditangkap dalam naskah drama Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer melalui analisis sistem struktur tanda semiotik tingkat kedua. Pertama, status sosial dan ekonomi yang rendah membawa kemiskinan dan kemartabatan yang rendah pula. Kedua, kemiskinan akan membawa penderitaan hidup seseorang. Ketiga, kebodohan dan tidak punya pedoman hidup akan mengalami ketersesatan dan keterasingan hidup. Ketiga mitos inilah sebagai makna (konsep; gagasan; pemikiran) yang membangun sistem struktur tanda semiotik karya sastra ini. Apakah mitos-mitos di atas merupakan realitas struktur sosial masyarakat Indonesia di mana karya sastra ini lahir? Ketika karya sastra dipandang sebagai institusi sosial, dan hubungan karya sastra dan struktur sosial merupakan hubungan jaringan peran sosial (baca Ratna,2003), maka realitas mitos tersebut merupakan realitas sosial yang dipandang dari kaca mata kreativitas imajinasi. Boleh jadi pembiasan realitas sosial dalam karya sastra merupakan produk rasional dan pengamatan terhadap lingkungan masyarakatnya. Dengan demikian, mitos-mitos tersebut merupakan keadaan sosial masyarakat Indonesia yang dipandang dan diamati secara kreatif, imajinatif, dan ideologis pengarangnya.
158
Suhariyadi, Analisis Semiotik Naskah
Dalam konteks pemikiran Barthes, mitos-mitos dalam karya Arifin C. Noer itu mengindikasikan gambaran masyarakat Indonesia. Sebagai mitos, apa yang diungkapkan dalam naskah Kapai-Kapai memberikan pandangan hidup (ideologi) yang salah dalam menyikapi hidup. Pengarang dalam hal ini, mengambil posisi pada pandangan hidup yang berseberangan dengan tokoh utama. Posisi yang demikian jika ditempatkan dalam konteks sosial masyarakat Indonesia, ketika karya sastra ini diciptakan, sangat relevan jika karya sastra ini dipandang dalam fungsinya sebagai pembenaran mitos yang berlangsung di masyarakat. Umar Yunus (1981:84) menyebutnya sebagai suatu mitos pengukuhan (myth of concern). Sebagaimana yang dikemukakan pada bagian lain tulisan ini, karya sastra ini lahir dalam situasi konstelasi politik yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Konstelasi politik membawa kondisi kemiskinan, represi dan dominasi kekuasaan, dan rendahnya tingkat intelektual masyarakat Indonesia. Dalam konteks sosiokultural seperti ini, benang merah yang menghubungkan keduanya sangat jelas difahami dan dimaknai dari dalam teks. Ideologi yang menjadi landasan filosofis pengarangnya pun sangat relevan. Hal ini membuktikan betapa peka dan rasional pengarang mengambil peran dalam jaringan struktur sosial. Sekaligus memapankan proposisi yang tentang hubungan karya sastra dan struktur sosial. Simpulan Beberapa simpulan yang dapat ditarik dari analisis semiotik terhadap naskah Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer adalah sebagai berikut.
1.
Naskah drama KapaiKapai karya Arifin C. Noer sebagai sistem struktur tanda semiotik dibangun atas mitos-mitos: Status sosial dan ekonomi yang a. rendah membawa kemiskinan dan kemartabatan yang rendah pula; Kemiskinan akan membawa b. penderitaan hidup seseorang; Kebodohan dan tidak punya c. pedoman hidup akan mengalami ketersesatan dan keterasingan hidup. Mitos-mitos tersebut 2. mengungkapkan pandangan hidup (ideologi) yang dipegang pengarang dalam menyikapi dan memandang realitas kehidupan masyarakat Indonesia. Konteks sosial masyarakat Indonesia yang masih belum beranjak dari kemiskinan, represi dan dominasi kekuasaan kelas atas, dan rendahnya intelektual masyarakat, menjadi benang merah yang terhubung ke dalam karya sastra tersebut. Dalam situasi seperti ini, diperlukan mitos pembenaran atau pengukuhan terhadap mitos yang selama ini berlangsung di dalam masyarakat. Sekaligus, sebagai konsekuensi adanya fungsi sosial sastra terhadap masyarakatnya.
Daftar Pustaka
Barthes, Roland. 2004. Mitologi, (Terj. Nurhadi & Sihabul Millah), Yogyakarta: Kreasi Wacana. Damonoi, Sapardi Djoko. 1977. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
159
Prospektus, Tahun VII Nomor 2, Oktober 2009
Hudayat, Asep. 1999. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Unpad. Hermawan, Anang. 2007. Mitos Dan Bahasa Media Mengenal Semiotika Roland Barthes. http://abunavis.wordpress. com. Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Krtitik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelangi. Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Riezky Maulana.2008. Semiotika sebagai Ilmu, http://a2i3sc0ol.blogspot.com.
160