BAB I
PENDAHULUAN
Beberapa istilah yang dipakai seringkali memusingkan karena mempunyai penafsiran banyak, akibat perbedaan latar belakang, dan mungkin berbeda dari penafsirannya secara umum.1
Anestesi adalah istilah yang di turunkan dari dua kata Yunani yaitu "an" dan "esthesia", dan bersama-sama berarti "hilangnya rasa atau hilangnya sensasi". Para ahli saraf memberikan makna pada istilah tersebut sebagai kehilangan rasa secara patologis bagian tubuh tertentu. Istilah anestesi dikemukakan pertama kali Oliver Wendell Holmes 1809-1894) untuk proses "eterisasi" Morton (1846), untuk menggambarkan keadaan pengurangan nyeri sewaktu pembedahan. Pada saat ini, bila digunakan kata tunggal anestesi berarti anestesi umum. Anestesi umum adalah keadaan tak sadar tanpa nyeri (dengan reflek otonomik minimal) yang reversible akibat pemberian obat-obatan. Anestesi inhalasi, anestesi intravena, anestesi intravaskular, anestesi perrektal adalah sub bagian dari anestesi umum, dan kata "menerangkan" menunjukkan jalur masuknya obat ke dalam tubuh untuk menghasilkan anestesi umum. Anestesi lokal (atau mungkin lebih tepat analgesi lokal) menunjukkan anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran kecuali digunakan teknik anestesi gabungan anestesi umum dan anestesi lokal atau digunakan sedasi. Anestesi regional (atau mungkin lebih tepat analgesi regional) seringkali digunakan sebagai sinonim anestesi lokal, lebih menunjukkan akibat blokade saraf pleksus, medulla spinalis yang jauh dari daerah yang di buat tidak peka.1
Analgesi adalah kata yang berarti hilangnya atau bebas dari nyeri. Istilah ini pada masa kini menunjukkan makna ganda. Pertama, untuk menunjukkan proses penderita bebas dari nyeri tanpa kehilangan kesadaran. Kedua, dipergunakan oleh beberapa pakar dalam kaitannya dengan istilah anestesi untuk menunjukkan anestesi lokal atau regional obat analgesi dibagi ke dalam dua kelompok yakni golongan NSAID dan golongan opioid, yang bekerja di perifer atau sentral, sedangkan obat untuk melakukan analgesi lokal adalah kelompok obat analgesi lokal, seperti prokain, lidokain dan bupivakain.1
Hipnosis mempunyai makna kata berupa keadaan menjadi tidur. Seringkali hipnosis diartikan sebagai komponen pertama trias anestesi. keadaan tak sadar, tidur secara farmakologik yang tetap bereaksi terhadap nyeri dengan reflek penarikan diri atau reflek otonomik, jika penderita tidak cukup di berikan analgetik. Hipnosis adalah istilah yang ditimbulkan oleh hipnotism, yakni penurunan sifat kritis seseorang akibat hipnotism.1
Narkosis, seringkali diartikan sebagai komponen pertama trias anestesi, keadaan tak sadar, tidur secara farmakologi oleh obat anestesi umum. Istilah ini mungkin lebih tepat dibandingkan hipnosis, tetapi narkosis seringkali diartikan sebagai akibat pemberian obat narkotik (opioid).1
Sectio Caesaria adalah suatu tindakan pembedahan dengan melakukan irisan pada dinding abdomen dan uterus yang bertujuan untuk melahirkan bayi. Proses persalinan dengan cara sectio caesarea dapat menggunakan anestesi umum dan regional. Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang aman, terutama pada operasi di daerah umbilikus ke bawah. Teknik anestesi ini memiliki kelebihan dari anestesi umum, yaitu kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, efek samping yang minimal pada biokimia darah, pasien tetap sadar dan jalan nafas terjaga, serta penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.2
Subarachnoid Spinal Block, sebuah prosedur anestesi yang efektif dan bisa digunakan sebagai alternatif dari anestesi umum. Umumnya digunakan pada operasi bagian bawah tubuh seperti ekstremitas bawah, perineum, atau abdomen bawah.3,4
Pada laporan ini akan membahas tentang pemberian anestesi pada pasien yang dilakukan tindakan sectio caesarea.
BAB II
LAPORAN KASUS
PREOPERATIF / PREANESTESI
2.1.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. J
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 29 tahun
Berat Badan : 50 kg
Agama : Islam
Alamat : Ds. Puejadi
Diagnosis : G2P1A0 gravid aterm + bekas SC 1x
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 3 April 2017, pukul 20.20 WITA di RSU Anutapura Palu.
Keluhan utama : Keluar darah dari jalan lahir
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien masuk IGD kebidanan dengan membawa pengantar dari dokter dengan G5P3A1 gravid 33-34 minggu + plasenta previa totalis mengeluh keluar darah dari jalan lahir. Awalnya keluar bercak darah dari jalan lahir sejak usia kehamilan 29 minggu dan semakin banyak 2 hari terakhir sebelum masuk rumah sakit berwarna merah segar dan tidak menggumpal, lendir dan air tidak ada. Pasien juga mengeluhkan sakit perut dan pusing. Tidak ada keluhan demam, mual, muntah, batuk dan sesak. Buang air besar terakhir 2 hari yang lalu dengan konsistensi padat dan buang air kecil spontan dengan frekuensi 4-5 kali sehari berwarna kekuningan.
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat asma (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat penyakit diabetes melitus (-)
Riwayat alergi makanan (-) dan obat (-)
Riwayat operasi (+) SC anak ketiga Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 6 April 2017, pukul 14.10 WITA di RSU Anutapura Palu.
Keluhan utama : Nyeri perut tembus belakang
Riwayat penyakit sekarang :
Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh nyeri perut tembus belakang, dirasakan pagi hari sebelum masuk RS. Keluhan tidak disertai pelepasan lendir, darah maupun air. Keluhan tidak disertai dengan mual, muntah, pusing, sakit kepala dan tidak ada demam. BAB dan BAK baik dan lancar.
Riwayat penyakit dahulu:
Riwayat asma disangkal
Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
Riwayat operasi SC pada anak pertama tahun 2015
Riwayat penyakit keluarga:
Riwayat asma, alergi dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien disangkal.
PEMERIKSAAN FISIK
GCS : E4V5M6 = 15
Vital Sign : Tekanan darah : 100/70 mmHg Nadi : 78 x/menit
Suhu : 36,6C
Pernafasan : 20 x/menit
B1 (Breath) :
Airway : bebas, gurgling/snoring/crowing : (-/-/-), potrusi mandibular (-), buka mulut 5 cm, jarak mentohyoid 6 cm, jarak hyothyoid 6,5 cm, leher pendek (-), gerak leher bebas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-), frekuensi pernapasan : 22 kali/menit, suara pernapasan : bronkovesikular (+/+), suara pernapasan tambahan ronchi (-/-), wheezing (-/-), skor Mallampati : 2, massa (-), gigi ompong (-), gigi palsu (-).
B2 (Blood) :
Akral hangat : ekstremitas atas (+/+) dan ekstremitas bawah (+/+), tekanan darah : 110/70 mmHg, denyut nadi : 76 kali/menit, reguler, kuat angkat, bunyi jantung S1/S2 murni regular.
B3 (Brain) :
Kesadaran : Composmentis, Pupil : isokor Ø 3 mm/3 mm, defisit neurologi (-).
B4 (Bladder) :
Buang air kecil spontan dengan frekuensi 4-5 kali sehari berwarna kekuningan.
B5 (Bowel) :
Abdomen : tampak cembung, stria gravidarum (+), peristaltik (+) kesan normal, massa (-), jejas (-), nyeri tekan (-).
B6 Back & Bone :
Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-), edema ekstremitas bawah (-/-).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan
Hasil Lab
Nilai Normal
Hematologi (07 April 2017)
Hemoglobin
10,3
11,5-16,0 g/dL
Leukosit
16
4000-10.000/L
Hematokrit
31,8
37-47%
Eritrosit
4,6x106
3,80-5,80x106/
Trombosit
190.000
150.000-500.000/L
MCV
68,8
80-100 µm3
MCH
22,3
27,0-32,0 pg
MCHC
32,4
32,0-36,0 g/dl
RDW
14
11,0-16,0 %
MPV
9
6,0-11,0 µm3
CT
8.00
4-12 menit
BT
3.00
1-4 menit
Gol. Darah
O
Kimia Klinik (14 Maret 2017)
GDS
128
70-140 mg/dL
Seroimmunologi (18 Maret 2017)
HbsAg
Negatif
Negatif
EKG :
Sinus rhtym : Reguler
Heart rate : 78 BPM
Gelombang P : Normal
PR interval : Normal
QRS kompleks : Normal
DIAGNOSIS
G2P1A0 gravid aterm + Bekas SC 1 x
PENATALAKSANAAN
Rencana operasi : Sectio Caesaria Transperitonial Profunda
Di Ruangan :
KIE (+), surat persetujuan tindakan operasi (+), surat persetujuan tindakan anestesi (+), site mark (+)
Puasa : 8 jam preoperasi
IVFD RL 500 cc
KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka :
Diagnosis Preoperatif : G2P1A0 gravid aterm + Bekas SC 1 x
Status Operatif : PS ASA I, skor Mallampati 1
Jenis Operasi : SCTP
Jenis Anastesi : Regional anestesi
PREINDUKSI
Pemeriksaan fisik preoperatif
B1 (Breath) :
Airway : bebas, gurgling/snoring/crowing : (-/-/-), potrusi mandibular (-), buka mulut 5 cm, jarak mentohyoid 6 cm, jarak hyothyoid 6,5 cm, leher pendek (-), gerak leher bebas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-), frekuensi pernapasan : 24 kali/menit, suara pernapasan : bronkovesikular (+/+), suara pernapasan tambahan ronchi (-/-), wheezing (-/-), skor Mallampati : 2, massa (-), gigi ompong (-), gigi palsu (-).
B2 (Blood) :
Akral hangat : ekstremitas atas (+/+) dan ekstremitas bawah (+/+), tekanan darah : 120/70 mmHg, denyut nadi : 92 kali/menit, reguler, kuat angkat, bunyi jantung S1/S2 murni regular.
B3 (Brain) :
Kesadaran : Composmentis, Pupil : isokor Ø 3 mm/3 mm, defisit neurologi (-).
B4 (Bladder) :
Buang air kecil spontan dengan frekuensi 2-3 kali sehari berwarna kekuningan.
B5 (Bowel) :
Abdomen : tampak cembung, stria gravidarum (+), peristaltik (+) kesan normal, massa (-), jejas (-), nyeri tekan (-).
B6 Back & Bone :
Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-), edema ekstremitas bawah (-/-).
Persiapan pasien preoperatif :
IVFD RL 500 ml
Persiapan di kamar operasi :
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah :
Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan.
Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya.
Alat-alat resusitasi (STATICS).
Obat-obat anastesia yang diperlukan.
Obat-obat resusitasi, misalnya ; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium bikarbonat dan lain-lainnya.
Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG.
Alat-alat pantau yang lain sesuai dengan indikasi, misalnya; "Pulse Oxymeter" dan "Capnograf".
Kartu catatan medik anestesia
Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.
Tabel komponen STATICS
S
Scope
Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T
Tubes
Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien, pada kasus ini digunakan laryngeal mask airway ukuran 2 ½.
A
Airways
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan napas.
T
Tapes
Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I
Introducer
Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan. Pada pasien ini tidak digunakan introducel atau stilet.
C
Connector
Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.
S
Suction
Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
INTRAOPERATIF
1. Diagnosis pra bedah
G2P1A0 gravid aterm + Bekas SC 1
2. Diagnosis pasca bedah
P2A0 post partum SC atas indikasi bekas SC 1x
3. Penatalaksanaan anestesi
Jenis anestesi : Regional Anestesi
Lama anestesi : 11.50 – 13.15 (85 menit)
Lama operasi : 12.05 – 13.05 (60 menit))
Anestesiologi : dr. Ajutor Donny Tandiarrang, Sp.An
Ahli Bedah : dr. Heryani Hasanuddin Parewasi, Sp.OG
Posisi : Supine
Infus : 2 line di tangan kiri dan kanan
Teknik anastesi : Sub Arachnoid Block (SAB)
Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk
Posisi pasien :
Posisi Lateral. Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10 cm, lutut dan paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada. (pada pasien)
Posisi duduk. Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna vertebralis, tetapi pada pasien-pasien yang telah mendapat premedikasi mungkin akan pusing dan diperlukan seorang asisten untuk memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan terutama bila diinginkan sadle block.
Posisi Prone. Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah menginginkan posisi Jack Knife atau prone.
Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol, kemudian kulit ditutupi dengan "doek" bolong steril.
Cara penusukan :
Memakai jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor jarum, semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi komplikasi sakit kepala (PDPH=post duran puncture headache), dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan stylet dari jarum spinal akan menyebabkan keluarnya likuor bila ujung jarum ada di ruangan subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan spinal analgesi dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili meter sampai yang keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih merah, masukkan lagi stylet-nya, lalu ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat anestesi lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan tempat tusukan. Darah yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat anestesi lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda asing (Meningismus).
j. Premedikasi : Ondansentron 4 mg
Ranitidin 50 mg
k. Induksi : Bupivacaine Hyperbaric 0,5% 10 mg
l. Medikasi tambahan : Ceftriaxone 1 gr
Ephedrin 30 mg
Methylergometrine 0,2 mg
Oxytocin drips 10 IU
Ketorolac 30 mg
Dexametasone 10 mg
Petidin 40 mg
i. Maintanance : O2 3 lpm
j. Respirasi : Pernapasan spontan
k. Posisi : Supinasi
l. Cairan durante operasi : RL 1.500 ml + Gelafusin 500 ml
Laporan Monitoring Operasi
Menit ke-
Sistole (mmHg)
Diastole (mmHg)
Pulse (x/m)
SpO2
Obat yang diberikan
0 (11.50)
100
60
60
100%
Bupivacine, ranitidine, ondancentrone
5 (11.55)
100
60
60
Ceftriaxone
10 (12.00)
90
60
60
Ephedrine
15 (12.05)
92
58
60
99%
20 (12.10)
110
78
80
Oxytocin + Methergin
25 (12.15)
120
70
110
Oxytocin + Methergin
30 (12.20)
110
60
60
100%
Oxytocin + Methergin
35 (12.25)
115
70
80
Dexamethasone
40 (12.30)
120
60
90
Oxytocin + Methergin
45 (12.35)
105
60
100
99%
Petidin
50 (12.40)
110
65
100
55 (12.45)
130
70
100
60 (12.50)
120
55
105
99%
Ephedrine
65 (12.55)
110
75
85
70 (13.00)
115
75
105
75 (13.05)
135
70
80
100%
80 (13.10)
130
70
85
85 (13.15)
120
70
80
Estimasi volume darah dan estimasi kehilangan darah
BB : 50 kg
EBV : 65 cc/kg BB x 50 kg = 3.250 ml
Jumlah perdarahan : ± 900 ml
% perdarahan : 900/3.250 x 100% = 27,69 %
MABL =EBV × Hct pasien-Hct standarHct pasien+Hct standar / 2
=3.250 × 31,8-2531,8+25/ 2=3.250 × 6,828,4 = 778 ml
Cairan yang masuk
Preoperatif : Kristaloid RL 500 ml
Durante operatif :
Kristaloid RL 1.500 ml
Koloid Gelafusin 500 ml
Cairan yang keluar
Urin ± 300 ml
Perdarahan ± 900 ml
Perhitungan cairan
Input yang diperlukan selama operasi :
Cairan Maintanance (M) : (4x10) + (2x10) + (1x30) = 90 ml/jam
Cairan defisit pengganti puasa (P) : lama puasa x maintenance = 8 x 90 = 720 ml – 500 ml (cairan yang masuk saat puasa) = 220 ml
Stress Operasi Besar : 8 cc x 50 kg = 400 cc
Cairan defisit urin = 300 ml
Cairan defisit darah = 900 ml
Perhitungan cairan pengganti darah :
Transfusi + 3x cairan kristaloid = volume perdarahan
350 cc + 3x = 900 cc
3x = 900 cc – 350 cc
x = 550 cc x 3
x = 1650 cc
Untuk mengganti kehilangan darah 900 cc diperlukan 1350 cc cairan kristaloid dan 350 cc transfusi darah.
Keseimbangan kebutuhan cairan
Cairan masuk – cairan dibutuhkan = 2000 ml – 4700 ml = - 2.700 ml.
Idealnya, untuk perdarahan 900 cc dengan EBL 27,69% termasuk kategori kelas II perdarahan dan membutuhkan terapi kristaloid (3:1).
2.4 POSTOPERATIF
Pemantauan di Post Anasthesia Care Unit (PACU) / Recovery Room (RR) :
Tekanan darah, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
Memasang O2 3 L/menit nasal kanul.
Memberikan antibiotik profilaksis, antiemetik, H2 reseptor bloker dan analgetik.
Mengevaluasi Bromage Score bilan 2 boleh pindah ruangan.
Bila mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), makan dan minum diperbolehkan sesuai instruksi sejawat obgyn.
IVFD RL 50 tetes/menit selama 2 jam.
Bila tekanan darah sistolik < 90 mmHg, memberikan injeksi ephedrin 10 mg/iv
Bila denyut jantung < 60 kali/menit, memberikan atropin sulfat 0,5 mg dan konsul anestesi.
Bila sakit kepala hebat berkepanjangan, konsul anestesi.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien Ny. J, 29 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi SCTP pada tanggal 07 April 2017 dengan diagnosis pre operatif G2P1A0 Gravid aterm + bekas SC 1x. Persiapan operasi dilakukan pada tanggal 06 April 2017. Dari anamnesis terdapat keluhan nyeri perut tembus belakang tanpa tanda pelepasan dirasakan sejak pagi SMRS. Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 100/70 mmHg; nadi 78x/menit; respirasi 20x/menit; suhu 36,6OC. Dari pemeriksaan laboratorium hematologi: Hb 10,3 g/dl; golongan darah O; GDS: 128 mg/dl dan HBsAg(-). Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa tidak didapatkan adanya penyulit berupa gangguan organik.
Sebelum diputuskannya anestesi, hendaknya sebelumnya dilakukan penentuan standar kesehatan pasien sesuai American Society of Anesthesia. Dengan keadaan tersebut di atas, pasien termasuk dalam kategori ASA I. Adapun pembagian kategori ASA adalah:
I : Pasien normal dan sehat fisis dan mental
II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan fungsional
III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang menyebabkan keterbatasan fungsi
IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup dan menyebabkan ketidakmampuan fungsi
V : Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam dengan atau tanpa operasi
VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat diambil
Bila operasi yang dilakukan darurat (emergency) maka penggolongan ASA diikuti huruf E (misalnya IE atau IIE)
Sectio Caesaria adalah suatu tindakan pembedahan dengan melakukan irisan pada dinding abdomen dan uterus yang bertujuan untuk melahirkan bayi. Proses persalinan dengan cara sectio caesarea dapat menggunakan anestesi umum dan regional. Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang aman, terutama pada operasi di daerah umbilikus ke bawah. Teknik anestesi ini memiliki kelebihan dari anestesi umum, yaitu kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, efek samping yang minimal pada biokimia darah, pasien tetap sadar dan jalan nafas terjaga, serta penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.
Pada pasien ini, sebelumnya telah dilakukan informed consent terkait tindakan yang akan diberikan beserta konsekuensinya. Kemudian pemeriksaan fisik. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan hematologi untuk mengetahui ada tidaknya gangguan perdarahan. Pada pasien ini, pemeriksaan fisik ataupun laboraturium tidak menunjukkan adanya gangguan yang dapat menjadi kontraindikasi dilakukannya tindakan.
Pasien pada kasus ini dilakukan tindakan anastesi spinal. Pada anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif. Kontraindikasi absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis yang tidak diketahui, koagulopati, dan peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-kasus pseudotumor cerebri. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan (misalnya, infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang tidak diketahui.Selain itu teknik ini dipilih karena selain lebih murah juga efek sistemiknya lebih rendah dibanding anestesi umum.
Anestesi spinal memblok akar serabut saraf (nervus) pada daerah subarakhnoid, dimana daerah medula spinalis dimulai dari foramen magnum sampai lumbal 1 (L1) pada dewasa, lumbal 2 (L2) pada anak-anak dan lumbal 3 pada bayi, sedangkan saccus duralis, ruang subarakhnoid dan ruang subdural berakhir di sakral 2 (S2) pada dewasa dan sakral 3 (S3) pada anak-anak. Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang sub arakhnoid dari luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan duramater. Arakhnoid terletak antara duramater dan piamater serta mengikuti otak sampai medula spinalis dan melekat pada duramater. Antara arakhnoid dan piamater terdapat ruang yang disebut ruang sub arakhnoid.
Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2, sehingga di bawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub arakhnoid merupakan sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang berisi cairan otak, jaringan lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal dari medula spinalis. Pada orang dewasa medula spinalis berakhir pada sisi vertebra lumbal 2. Dengan fleksi tulang belakang medula spinalis berakhir pada sisi bawah vertebra lumbal.
Gambar 1. Anestesi Spinal
Persiapan pasien sebelumnya harus dilakukan dengan memberi informasi tentang tindakan anestesi spinal (informed consent) meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga adanya scoliosis atau kifosis.
Perlengkapan tindakan anestesi spinal harus disiapkan lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi. Jarum spinal dan obat anestesi spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16G sampai dengan 30G, pada pasien ini digunakan ukuran 26 G. Obat anestesi lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestesi lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan.
Tabel 1. Beberapa jenis obat anestesi lokal yang dipakai pada anestesi spinal
Pada pasien ini obat anestesi yang digunakan adalah bupivakain hyperbaric 0,5% dengan dosis 15 mg. Bupivakain bekerja menstabilkan membran neuron dengan cara menginhibisi perubahan ionik secara terus menerus yang diperlukan dalam memulai dan menghantarkan impuls. Kemajuan anestesi yang berhubungan dengan diameter, mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf yang terkena menunjukkan urutan kehilangan fungsi sebagai berikut : otonomik, nyeri, suhu, raba, propriosepsi, tonus otot skelet. Eliminasi bupivakain terjadi di hati dan melalui pernafasan (paru-paru).
Obat bupivakain segera setelah penyuntikan subarakhnoid akan mengalami penurunan konsentrasi dengan secara bertahap karena terjadinya: dilusi dan pencampuran di liquor serebro spinalis, difusi dan distribusi oleh jaringan saraf, uptake dan fiksasi oleh jaringan saraf, absorbsi dan eliminasi oleh pembuluh darah. Didalam ruang subarakhnoid obat akan kontak dengan struktur jaringan saraf dan obat ini akan memblokade transmisi impuls serabut-serabut saraf. Aktivitas anestesi lokal dalam ruang subarakhnoid yang penting di akar-akar saraf di medula spinalis (primer), ganglia dorsalis dan sinap-sinap di kornu anterior dan posterior (sekunder) dan traktus asenden dan desenden parenkim di medula spinalis.
Pada menit ke-10 pemberian obat anestesi pasien ini mengalami penurunan tekanan dimana tekanan darah pasien 90/60 mmHg, kondisi tersebut merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pemberian anestesi spinal. Dimana penurunan tekanan darah biasanya terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu diukur setiap 2 menit selama periode ini. Jika tekanan darah sistolik turun dibawah 75 mmHg (10 kPa), maka kita harus bertindak cepat untuk menghindari cedera pada ginjal, jantung dan otak. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin berat hipotensi.
Pada pasien ini hipotensi ditangani dengan memberikan infuse cairan kristaloid secara cepat serta efedrin sebanyak 3 mg secara intravena. Namun dapat pula pemberian cairan kristaloid sebanyak 500 cc sebelum pemberian anestesi spinal untuk mencegah terjadinya hipotensi. Efedrin yang diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik dan mendesak NE keluar. Efek kardiovaskuler efedrin menyerupai efek Epinefrin tetapi berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat juga biasanya tekanan diastolic, sehingga tekanan nadi membesar. Peningkatan tekanan darah ini sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi terutama oleh stimulasi jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut jantung mungkin tidak berubah akibat refleks kompensasi vagal terhadap kenaikan tekanan darah.
Pada pasien ini terjadi hipotonia. Hipotonia/atonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus tidak dapat berkontraksi dengan baik, sehingga dapat menyebabkan perdarahan setelah post partum. Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan post partum dini (50%). Diagnosis atonia uteri dapat ditegakkan jika bayi dan plasenta lahir dan ternyata perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi uterus yang sangat lembek.
Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien bisa masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis atau sampai syok hipovolemik berat. Tindakan pertama yang harus dilakukan bergantung pada keadaan kliniknya. Pada umumnya dilakukan secara simultan (bila pasien syok) hal-hal sebagai berikut: sikap trendelenburg memasang venous line, dan memberikan oksigen. Sekaligus merangsang uteri dengan cara: massage fundus uteri dan merangsang puting susu, pemberian oksitoksin dan turunan ergot melalui suntikan i.m. i.v atau s.c., memberikan derivate prostaglandin F2α yang kadang memberikan efek samping berupa diare, hipertensi, mual, muntah, febris dan takikardi. Pemberian misoprostol 800 – 1000 µg per rektal, kompresi bimanual eksternal dan atau internal, kompresi aorta abdominalis, pemasangan "tampon kondom" dalam cavum uteri disambung dengan kateter, difiksasi dengan karet gelang dan diisi dengan infuse 500 ml – 2500 ml yang akan mengurangi perdarahan dan menghindari tindakan operatif. Bila semua tindakan itu gagal, maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan operatif laparotomy dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan uterus) atau melakukan histerektomi. Alternatifnya yaitu berupa: ligasi arteri uterine atau arteri ovarika, operasi ransel B-Lynch, histerektomi supravaginal, histerektomi total abdominal.
Pada kasus ini pasien mengalami hipotonia uteri saat dilakukan tindakan SCTP. Pasien dilakukan tatalaksana dengan penjahitan B-Lynch. Teknik B-Lynch dikenal juga dengan "brace suture", ditemukan oleh Christopher B-Lynch pada tahun 1997, sebagai tindakan operatif alternatif untuk mengatasi perdarahan post partum akibat atonia uteri.
Gambar 2. Jahitan B-Lynch
Selama operasi juga perlu dimonitoring kebutuhan cairan, dimana perkiraan berat badan pasien adalah 50 kg, maka estimated blood volume = 65 cc/kgBB x 50 kg = 3250 cc (estimated blood volume untuk orang dewasa perempuan 65 cc/KgBB). Jumlah perdarahan yang terjadi durante operasi adalah sekitar 900 cc (27,69%).
Kebutuhan cairan maintenance 90 cc/jam ditambah defisit puasa 220 cc, ditambah output urine 300 cc dan perdarahan 900 cc (1 cc darah diganti dengan 3 cc cairan kristaloid) sehingga total cairan pengganti yang dibutuhkan durante operasi adalah 1650 cc.
Idealnya, untuk perdarahan 900 cc dengan EBV 30,76% termasuk kategori kelas II perdarahan dan membutuhkan terapi kristaloid (3:1). Perdarahan yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kondisi syok hipovolemik. 'Syok' adalah keadaan berkurangnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Pada pasien dalam keadaan ini paling sering disebabkan oleh hipovolemia. Diagnosa syok didasarkan tanda-tanda klinis: hipotensi, takhikardia, takhipnea, hipothermi, pucat, ekstremitas dingin, melambatnya pengisian kapiler (capillary refill) dan penurunan produksi urine. Syok hemoragik (hipovolemik): disebabkan kehilangan akut dari darah atau cairan tubuh. Jumlah darah yang hilang akibat trauma sulit diukur dengan tepat bahkan pada trauma tumpul sering diperkirakan terlalu rendah. Tujuan dari resusitasi adalah menormalkan kembali oksigenasi jaringan. Karena penyebab gangguan ini adalah kehilangan darah maka resusitasi cairan merupakan prioritas. Syok hipovolemik kebanyakan akibat dari kehilangan darah akut sekitar 20% dari volume total. Tanpa darah yang cukup atau penggantian cairan, syok hipovolemik dapat menyebabkan kerusakan irreversible pada organ dan sistem. Resusitasi dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Jalur intravena yang baik dan lancar harus segera dipasang. Gunakan kanula besar (14 - 16 G). Dalam keadaan khusus mungkin perlu vena sectie.
Cairan infus (NaCL 0,9%) harus dihangatkan sampai suhu tubuh karena hipotermia dapat menyababkan gangguan pembekuan darah.
Hindari cairan yang mengandung glukose.
Ambil sampel darah secukupnya untuk pemeriksaan dan uji silang golongan darah.
Tabel 2. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah
Tujuan pemberian cairan pengganti adalah untuk mengganti kehilangan air tubuh yang disebebkan oleh sekuestrasi atau proses patologi yang lain misalnya perdarahan pada pembedahan pada kasus ini. Sebagai cairan pengganti digunakan cairan kristaloid (NaCl 0,9% dan RL) atau Koloid (Dextrans 40 dan 70, Expafusin, Hemasel, Albumin, dan Plasma).
Tabel 3. Perbandingan antara Kristaloid dan Koloid
SIFAT-SIFAT
KRISTALOID
KOLOID
Berat molekul
Lebih kecil
Lebih besar
Distribusi
Lebih cepat
Lebih lama dalam sirkulasi
Faal hemostasis
Tidak ada pengaruh
Mengganggu
Penggunaan
Untuk dehidrasi
Pada perdarahan massif
Untuk koreksi perdarahan
Diberikan 2-3x jumlah perdarahan
Sesuai dengan jumlah perdarahan
Gambar 3. Alur Resusitasi pada Perdarahan
Kemungkinan besar yang dapat mengancam nyawa pada syok hipovolemik berasal dari penurunan volume darah intravascular, yang menyebabkan penurunan cardiac output dan tidak adekuatnya perfusi jaringan. Kemudian jaringan yang anoxia mendorong perubahan metabolisme dalam sel berubah dari aerob menjadi anaerob. Hal ini menyebabkan akumulasi asam laktat yang menyebabkan asidosis metabolik.
Ketika mekanisme kompensasi gagal, syok hipovolemik terjadi pada rangkaian keadaan di bawah ini:
1. Penurunan volume cairan intravascular
2. Pengurangan venous return, yang menyebabkan penurunan preload dan stroke volume
3. Penurunan cardiac output
4. Penurunan Mean Arterial Pressure (MAP)
5. Kerusakan perfusi jaringan
6. Penurunan oksigen dan pengiriman nutrisi ke sel
7. Kegagalan multisistem organ
Pasien dengan hipotensi dan/atau kondisi tidak stabil harus pertama kali diresusitasi secara adekuat. Tujuan utama dalam mengatasi syok hipovolemik adalah: (1) memulihkan volume intravascular untuk membalik urutan peristiwa sehingga tidak mengarah pada perfusi jaringan yang tidak adekuat. (2) meredistribusi volume cairan, dan (3) memperbaiki penyebab yang mendasari kehilangan cairan secepat mungkin.
Jika pasien sedang mengalami hemoragi, upaya dilakukan untuk menghentikan perdarahan. Mencakup pemasangan tekanan pada tempat perdarahan atau mungkin diperlukan pembedahan untuk menghentikan perdarahan internal.
Pemasangan dua jalur intra vena dengan kjarum besar dipasang untuk membuat akses intra vena guna pemberian cairan. Maksudnya memungkinkan pemberian secara simultan terapi cairan dan komponen darah jika diperlukan. Contohnya: Ringer Laktat dan Natrium clorida 0,9 %, Koloid (albumin dan dekstran 6 %).
Pemberian posisi trendelenberg yang dimodifikasi dengan meninggikan tungkai pasien, sekitar 20 derajat, lutut diluruskan, trunchus horizontal dan kepala agak dinaikan. Tujuannya, untuk meningkatkan arus balik vena yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi.
Pada pemantauan post operatif, tanda vital pasien terus dipantau setiap 30 menit, dimana pada pasien ini tidak ditemukan gangguan hemodinamik post operasi. Jika Skor Bromage pasien 2 maka pasien boleh pindah ke ruangan perawatan.
Tabel 4. Penilaian Skor Bromage
Kriteria
Nilai
Skor
Gerakan penuh dari tungkai
0
Tidak mampu ekstensi tungkai
1
Tidak mampu fleksi lutut
2
Tidak mampu fleksi pergelangan kaki
3
TOTAL
Pasien masuk keruang OK pada pukul 11.45 dilakukan pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil TD 100/60 mmHg; Nadi 60x/menit, dan SpO2 100%. Dilakukan premedikasi dengan pemberian Ondansentron 4 mg dan Ranitidin 50 mg. Ondansentron 4 mg yang bertujuan untuk mencegah terjadinya mual dan muntah. Ondansentron bekerja sebagai antagonis selektif dan bersifat kompetitif pada reseptor 5HT3, dengan cara menghambat aktivasi aferen-aferen vagal sehingga menekan terjadinya refleks muntah. Ranitidin 50 mg merupakan salah satu obat yang digunakan untuk masalah gangguan pecernaan terutama yang terkait dengan asam lambung. Ranitidin termasuk dalam golongan antihistamin, lebih tepatnya disebut H2-antagonis. Ranitidin digunakan untuk mengurangi produksi asam lambung sehingga dapat mengurangi rasa nyeri uluhati akibat ulkus atau tukak lambung, dan masalah asam lambung tinggi lainnya.
Sebagai analgetik digunakan Ketorolac (berisi 30 mg/ml ketorolac tromethamine) sebanyak 1 ampul (1 ml) disuntikan iv. Ketorolac merupakan nonsteroid anti inflamasi (AINS) yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menghilangkan rasa nyeri/analgetik efek. Ketorolac 30 mg mempunyai efek analgetik yang setara dengan 50 mg pethidin atau 12 mg morphin, tetapi memiliki durasi kerja yang lebih lama serta lebih aman daripada analgetik opioid karena tidak ada evidence depresi nafas.
Pemberian petidin (golongan opioid) dapat digunakan untuk mengatasi keluhan menggigil pada pasien. Petidin merupakan agonis opioid sintetik yang bekerja pada reseptor opioid μ (mu) dan κ (kappa). Petidin mempunyai efek untuk mengatasi menggigil melalui reseptor κ. Petidin merupakan obat yang paling efektif dan sering digunakan untuk mengatasi menggigil. Akan tetapi petidin mempunyai beberapa efek samping yang tidak menguntungkan seperti mual, muntah, pruritus dan depresi nafas.
Oxytocin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekuensi. Tetapi pada dosis tinggi menyebabkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus ringer laktat 20 IU perifer, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan. Dosis maksimum per hari yaitu tidak lebih dari tiga liter larutan dengan oksitosin. Farmakokinetik: waktu paruh 1-9 menit.
Methilergometrine adalah obat golongan alkaloid ergot semi sintetis yang mengandung zat aktif methylergonovine maleate. Obat ini bekerja pada otot polos rahim secara langsung meningkatkan tonus, frekuensi, dan amplitudo dari ritme kontraksi rahim. Peningkatan kontraksi ini berguna untuk mencegah dan mengontrol perdarahan rahim setelah melahirkan (post partum). Methergin bekerja cepat, yaitu sekitar 5-10 menit setelah diminum. Dosis maksimum per hari yaitu 1 mg atau 5 dosis. Kontraindikasi pada pasien pre eklamsia, vitium cordis dan hipertensi. Efek samping yang sering terjadi dapat berupa nyeri kepala, hipertensi, ruam pada kulit, dan nyeri perut karena kontraksi rahim yang kuat. Efek samping lain yang jarang terjadi dapat berupa penurunan kesadaran, kejang, nyeri dada, hipotensi, dan mual muntah. Efek samping seperti syok anafilaktik sangat langka namun dapat terjadi pada pasien yang hipersensitif terhadap methergin. Onset kerja i.m 2-5 menit, iv segera. Durasi im 3 jam, durasi iv 45 menit. Absorpsi cepat, distribusi iv terutama diplasma dan cairan ekstrasel. Waktu paruh eliminasi bifasik, awal 1-5 menit, akhir 0,5-2 jam. T maks di serum, im 0,2 – 0,6 jam. Ekskresi lewat urine dan feses.
Dexametasone seperti kortikosteroid lainnya memiliki efek anti inflamasi dan anti alergi dengan pencegahan pelepasan histamine. Deksametason merupakan salah satu kortikosteroid sintetis terampuh. Kemampuannya dalam menaggulangi peradangan dan alergi kurang lebih sepuluh kali lebih hebat dari pada yang dimiliki prednisone. Efek samping pemberian deksametason antara lain terjadinya insomnia, osteoporosis, retensi cairan tubuh, glaukoma dan lain-lain. Kegunaan kortikosteroid pada gangguan fungsi adrenal merupakan suatu fungsi kemampuan mereka untuk menekan respons inflamasi dan imun. Pada kasus dengan respons inflamasi atau imun, penting dalam mengontrol proses patologis, terapi dengan kortikosteroid dapat berbahaya, tetapi dipertimbangkan untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat diperbaiki dari suatu respons inflamasi jika digunakan dalam hubungannya dengan terapi khusus untuk proses penyakit tersebut.
Ceftriaxone adalah golongan sefalosporin dengan spectrum luas, yang membunuh bakteri dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Ceftriaxone bekerja dengan menghambat sintesis mucopeptide di dinding sel bakteri. Beta-laktam bagian dari Ceftriaxone mengikat carboxypeptidases, endopeptidases, dan transpeptidases dalam membran sitoplasma bakteri. Enzim ini terlibat dalam sintesis sel-dinding dan pembelahan sel. Dengan mengikat enzim ini, Ceftriaxone menghasilkan pembentukan dinding sel yang rusak dan kematian sel. Ceftriaxone digunakan sebagai antibiotik profilaksis pada kasus ini karena secara cepat dapat terdifusi ke dalam cairan jaringan, rata-rata waktu paruh adalah 8 jam dalam plasma.
Pada pukul 13.05 WITA, pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan akhir TD 120/70mmHg; Nadi 80x/menit, dan SpO2 100%. Pembedahan dilakukan selama 85 menit dengan perdarahan ± 900 cc. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta kesadaran compos mentis. Tekanan darah selama 15 menit pertama pasca operasi stabil yaitu 120/70 mmHg.
BAB IV
KESIMPULAN
Pemeriksaan preanestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya.
Pada kasus ini dilakukan penatalaksanaan anestesi spinal pada operasi SCTP pada penderita perempuan, usia 29 tahun, status fisik ASA I, dengan diagnosis G2P1A0 gravid aterm + bekas SC 1x.
Anestesi spinal bertujuan utama memblok saraf sensoris untuk menghilangkan sensasi nyeri. Namun anestesi spinal juga memblok saraf motorik sehingga mengakibatkan paresis/paralisis di miotom yang selevel dengan dermatom yang diblok.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung, terjadi hipotonia uteri dan perdarahan yang dihasilkan 900 cc adapun resusitasi cairan yang diberikan belum mencukupi. Mengingat perdarahan merupakan salah satu kondisi yang dapat menyebabkan syok hipovolemik, pemantauan tanda-tanda syok dan resusitasi yang optimal sangat diperlukan. Selama di ruang pemulihan tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan cukup baik.
DAFTAR PUSTAKA
Soenarjo, Jatmiko, HD. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Undip / RSUP dr. Kariadi. Semarang.2010
Liou, S., Spinal and Epidural Anesthesia. Diakses pada 8 April 2017 dari: . 2013.
Purmono A. Buku Kuliah Anastesi. EGC : Jakarta. 2015.
Mansjoer, A., et all. Anestesi Spinal pada Seksio sesarea. Catatan Anastesi. Media Aesculapius. Makassar. 2010.
Mangku, Senapathi. Buku Ajar Ilmu Anastesia dan Reanimasi. Indeks: Jakarta. 2009.
Sarwono. Buku Ajar Ilmu Kebidanan. Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo: Jakarta. 2008.
Gunawan, S. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI: Jakarta. 2007.