REFERAT Kelayakan Tiroidektomi Bilateral Total atau Hampir- total untuk Pengobatan Multinodular Goiter Bilateral ( The Feasibility of Total or Near-Total Bilateral Thyroidectomy for the Treatment of Bilateral Multinodular Goiter )
Diajukan Kepada : Dr. Andik Nurcahyono, Sp.B
Disusun Oleh : Nurul Masruroh 2008 031 0214
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA RSUD SALATIGA 2013
LEMBAR PENGESAHAN Referat Kelayakan Tiroidektomi Bilateral Total atau Hampir- total untuk Pengobatan Multinodular Goiter Bilateral ( The Feasibility of Total or Near-Total Bilateral Thyroidectomy for the Treatment of Bilateral Multinodular Goiter )
Telah disetujui dan dipresentasikan Pada tanggal
Juni 2013
Menyetujui :
Dokter Pembimbing
(Dr. Andik Nurcahyono, Sp.B)
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim. Segala puji bagi Allah atas rahmat dan ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Kelayakan Tiroidektomi Bilateral Total atau Hampir- total untuk Pengobatan Multinodular Goiter Bilateral ( The Feasibility of Total or Near-Total Bilateral Thyroidectomy
for the Treatment of Bilateral
Multinodular Goiter )”. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak rasanya mustahil dapat menyelesaikan referat ini. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Agus Sunaryo, Sp. PD selaku direktur RSUD salatiga. 2. Dr.H.Andik Nurcahyo Sp.B selaku dokter pembimbing di RSUD Salatiga yang telah banyak membantu, memberikan bimbingan, ilmu serta waktunya kepada penulis. 3. Segenap staf RSUD Salatiga 4. Teman-teman Co-assisten. Dalam penyusunan referat ini, penulis menyadari bahwa hasil penulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik yang bersifat membangun dan saran dari pembaca akan sangat membantu dalam perbaikan tulisan dalam masa-masa yang akan datang. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi pembaca.
Salatiga, Juni 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan ...................................................................................................... 2 Kata Pengantar .............................................................................................................. 3 Daftar Isi........................................................................................................................ 4 Bab I Pendahuluan .................................................................................................................. 5 Bab II Tinjauan Pustaka ........................................................................................................... 6 Bab III Pembahasan ................................................................................................................. 21 Kesimpulan ................................................................................................................. 27 Daftar Pustaka .............................................................................................................28
BAB I PENDAHULUAN I.
LATAR BELAKANG
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Apabila
dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini disebut
struma
nodosa.
Struma
nodosa
tanpa
disertai
tanda-tanda
hipertiroidisme disebut struma nodosa non-toksik1. Struma nodosa non toksik, dapat multinodosa atau soliter dan uninodosa. Disebabkan kekurangan masukan iodium dalam makanan (biasanya didaerah pegunungan) atau dishormogenesis (defek bawaan)2. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinoduler pada saat dewasa. Struma multinodosa biasanya terjadi pada wanita berusia lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa.hiperplasia sampai bentuk involusi. Kebanyakan struma multinodosa.dapat dihambat oleh tiroksin3. II.
BATASAN MASALAH Referat ini membahas tentang Kelayakan Tiroidektomi Bilateral Total atau Hampir- total untuk Pengobatan Multinodular Goiter Bilateral.
III.
TUJUAN PENULISAN Adapun tujuan penulisan referat ini adalah: 1. Memahami mengenai struma atau goiter. 2. Mengetahui kelayakan tiroidektomi bilateral total atau hampir- total untuk pengobatan multinodular goiter bilateral.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid noduler. Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma3. 2. Embriologi Pada masa embrional minggu ke-4, kelenjar tiroid mulai terbentuk dari penebalan entodermal (divertikulum tiroid) pada dasar primitive faring, dan terhubung dengan foramen sekum oleh duktus tiroglosus. Kemudian, pada masa embrional minggu ke-7, kelenjar tiroid sudah turun, dan posisi terakhirnya berada di ventral trakea, setingkat vertebra C5, C6, dan C7 serta vertebra T1, sedangkan duktus tiroglosus rudimenter kadang masih tersisa, yang kemudian bisa kita jumpai sebagai lobus piramidalis, yang terletak d isthmus menuju hyoid (50%). Kelenjat tiroid janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke- 12 masa kehidupan intrauterin3. 3. Anatomi Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan fascia prevertebralis. Didalamruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh darah besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil melingkarinya dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratyroid umumnya terletak pada permukaan belakang kelenjar tyroid3. Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk
menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tyroid atau tidak. Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari a. Tiroidea Superior (cabang dari a. Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Setiap folikel lymfoid diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus perifolikular. Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakhealis yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan ke nl. Pretrakhealis dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika dan ada yang langsung ke duktus thoraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga penyebaran keganasan4.
4. Histologi Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara mikroskopis terdiri atas banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara 50-500 µm. Dinding folikel terdiri dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak menghadap ke dalam lumen, sedangkan basisnya menghadap ke arah membran
basalis. Folikel ini berkelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk membentuk lobulus yang mendapat vaskularisasi dari end entry. Setiap folikel berisi cairan pekat, koloid sebagian besar terdiri atas protein, khususnya protein tyroglobulin (BM 650.000)4. 5. Fisiologi Hormon Tyroid Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4). Bentuk aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tyroid. Iodida inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tyroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tyrosin yang terdapat dalam tyroglobulin sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diiodotyrosin (DIT). Senyawa DIT yang terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau T4 yang disimpan di dalam koloid kelenjar tyroid. Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap didalam kelenjar yang kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi, hormon tyroid terikat pada globulin, globulin pengikat tyroid (thyroid-binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (Thyroxine-binding pre-albumine, TPBA)3.
Metabolisme T3 dan T4 Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian T4 endogen (5-17%) mengalami konversi lewat proses monodeiodonasi menjadi T3. Jaringan yang mempunyai kapasitas mengadakan perubahan ini ialah jaringan hati, ginjal, jantung dan hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3 (reversed T3, 3,3’,5’ triiodotironin) yang tidak aktif, yang digunakan mengatur metabolisme pada tingkat seluler4.
Pengaturan faal tiroid Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid 4: 1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone) Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis mensekresi TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid teransang menjadi hiperplasi dan hiperfungsi 2. TSH (thyroid stimulating hormone) Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptorTSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat 3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback). Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat hipofisis. Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipifisis terhadap rangsangan TSH. 4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri. Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid Efek metabolisme Hormon Tyroid 4: a. Kalorigenik b. Termoregulasi c. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi dalam dosis besar bersifat katabolik d. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat. e. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.
f. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia. g. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare, gangguan faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme. 6. Patofisiologi : Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan perubahan dalam struktur dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Rangsangan TSH reseptor tiroid oleh TSH, TSH-Resepor Antibodi atau TSH reseptor agonis, seperti chorionic gonadotropin, akan menyebabkan struma diffusa. Jika suatu kelompok kecil sel tiroid, sel inflamasi, atau sel maligna metastase ke kelenjar tiroid, akan menyebabkan struma nodusa. Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan peningkatan produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan jumlah dan hiperplasi sel kelenjar tyroid untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika proses ini terus menerus, akan terbentuk struma. Penyebab defisiensi hormon tiroid termasuk inborn error sintesis hormon tiroid, defisiensi iodida dan goitrogen. Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH. Yang termasuk stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar hipofise yang resisten terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di kelenjar hipofise, dan tumor yang memproduksi human chorionic gonadotropin6.
7. Klasifikasi Struma Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan) Menurut American society for Study of Goiter membagi : 1. Struma Non Toxic Diffusa 2. Struma Non Toxic Nodusa 3. Stuma Toxic Diffusa 4. Struma Toxic Nodusa Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan istilah nodusa dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi. 1. Struma non toxic nodusa5 Struma non toxic nodusa dalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala hipertiroid. Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal, yaitu : a. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism. b. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit tiroid autoimun c. Goitrogen : -
Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium
-
Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.
-
Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina, brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar.
d. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid e. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna.
2. Struma Non Toxic Diffusa Etiologi 6: a. Defisiensi Iodium b. Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis c. Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan penurunan pelepasan hormon tiroid. d. Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis terhadap
hormo
tiroid,
gonadotropin,
dan/atau
tiroid-stimulating
immunoglobulin e. Inborn
errors
metabolisme
yang
menyebabkan
kerusakan
biosynthesis hormon tiroid. f. Terpapar radiasi g. Penyakit deposisi h. Resistensi hormon tiroid i. Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis) j. Silent thyroiditis k. Agen-agen infeksi l. Suppuratif Akut : bacterial m. Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit n. Keganasan Tiroid
dalam
3. Struma Toxic Nodusa Etiologi 7: a. Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4 b. Aktivasi reseptor TSH c. Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein G d. Mediator-mediator pertumbuhan termasuk : Endothelin-1 (ET-1), insulin like growth factor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast growth factor. 4. Struma Toxic Diffusa. Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave desease, yang merupakan penyakit autoimun yang masih belum diketahui penyebab pastinya8. 8. DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN Dikenal
beberapa
morfologi
(konsistensi)
berdasarkan
gambaran
makroskopis yang diketahui dengan palpasi atau auskultasi : a. Bentuk kista : Struma kistik
Mengenai 1 lobus
Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan
Kadang Multilobaris
Fluktuasi (+)
b. Bentuk Noduler : Struma nodusa
Batas Jelas
Konsistensi kenyal sampai keras
Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma tiroidea
c. Bentuk diffusa : Struma diffusa
batas tidak jelas
Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek
d. Bentuk vaskuler : Struma vaskulosa
Tampak pembuluh darah
Berdenyut
Auskultasi : Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa
Kelejar getah bening : Para trakheal dan jugular vein
9. STRUMA NON TOKSIK Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid, tidak berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan simetri atau nodular. Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini disebut struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme disebut struma nodosa non-toksik. Kelainan ini sangat sering dijumpai bahkan dapat dikatakan bahwa dari semua kelainan tiroid, struma nodusa non- toksik merupakan kelainan yang paling sering ditemukan. Sebagai gambaran, di RS Hasan Sadikin, bandung, menemukan diantara 696 pasien struma, sebanyak 415 (60%) menderita struma nodusa dan hanya 31 yang bersifat toksik. Data rekam medis Divisi Ilmu Bedah RSU Dr. Soetomo tahun 20012005 struma nodusa toksik terjadi pada 495 orang diantaranya 60 orang laki-laki (12,12 %) dan 435 orang perempuan (87,8 %) dengan usia terbanyak yaitu 31-40 tahun 259 orang (52,3 2%), struma multinodusa toksik yang terjadi pada 1.912 orang diantaranya17 orang laki-laki (8,9 %) dan 174 perempuan (91,1%) dengan usia yang terbanyak pada usia 31-40 tahun berjumlah 65 orang (34,03 %).
Struma nodosa atau adenomatosa terutama ditemukan di daerah pegunungan karena defisiensi iodium. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Struma multinodosa terjadi pada wanita usia lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasi sampai bentuk involusi, dapat pula terjadi perubahan lain, yaitu terbentuknya nodul autonom yang pada sidikan tiroid menunjukkan gambaran suatu nodul panas. Bila hanya sedikit sel- sel yang berubah menjadai autonom maka hal ini tidak akan banyak artinya, tetapi bila nodul tersebut terdiri atas banyak sel, maka dapat menyebabkan hipertiroidisme.
Kebanyakan penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernapasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea jika pembesarannya bilateral. Pendorongan bilateral demikian dapat dicitrakan dengan foto Roentgen polos (trakea pedang). Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernapasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspirator. a. Klasifikasi dan Karakteristik Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal: -
Berdasarkan jumlah nodul : bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut multinodosa.
-
Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radioaktif : nodul dingin, nodul hangat, dan nodul panas.
-
Berdasarkan konsistensinya : nodul lunak, kistik, keras, atau sangat keras. Pada umumnya pasien struma nodosa datang berobat karena keluhan
kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Sebagian kecil pasien, khususnya yang dengan struma nodosa besar, mengeluh adanya gejala mekanis, yaitu penekanan pada esophagus (disfagia) atau trakea (sesak napas). Biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul. Keganasan tiroid yang infiltrasi nervus rekurens menyebabkan terjadinya suara parau. Kadang-kadang penderita datang dengan karena adanya benjolan pada leher sebelah lateral atas yang ternyata adalah metastase karsinoma tiroid pada kelenjar getah bening, sedangkan tumor primernya sendiri ukurannya masih kecil. Atau penderita datang karena benjolan di kepala yang ternyata suatu metastase karsinoma tiroid pada kranium. b. Diagnosis
Anamnesa sangatlah penting untuk mengetahui patogenesis atau macam kelainan dari struma nodosa non toksika tersebut. Perlu ditanyakan apakah penderita dari daerah endemis dan banyak tetangga yang sakit seperti penderita (struma endemik). Apakah sebelumnya penderita pernah mengalami sakit leher bagian depan bawah disertai peningkatan suhu tubuh (tiroiditis kronis). Apakah ada yang meninggal akibat penyakit yang sama dengan penderita (karsinoma tiroid tipe meduler) 9,10. Pada status lokalis pemeriksaan fisik perlu dinilai2: a. jumlah nodul b. konsistensi c. nyeri pada penekanan : ada atau tidak d. pembesaran gelenjar getah bening Inspeksi dari depan penderita, nampak suatu benjolan pada leher bagian depan bawah yang bergerak ke atas pada waktu penderita menelan ludah. Diperhatikan kulit di atasnya apakah hiperemi, seperti kulit jeruk, ulserasi. Palpasi dari belakang penderita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita dan jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita.Pada palpasi harus diperhatikan : -
lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau keduanya)
-
ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam sentimeter)
-
konsistensi
-
mobilitas
-
infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar
-
apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada bagian yang masuk ke retrosternal) Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple, namun
pada umumnya pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya
keras sampai sangat keras. Yang multiple biasanya tidak ganas kecuali bila salah satu nodul tersebut lebih menonjol dan lebih keras dari pada yang lainnya. Harus juga diraba kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher, umumnya metastase karsinoma tiroid pada rantai juguler10.
c. Pemeriksaan penunjang meliputi9: 1. Pemeriksaan sidik tiroid Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi, dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien diberi Nal peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan konsentrasi yodium radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil sidik tiroid dibedakan 3 bentuk : o
nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan sekitarnya. Hal ini menunjukkan sekitarnya.
o
Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
o
Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
2. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa bentuk kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau jinak. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG : o
kista
o
adenoma
o
kemungkinan karsinoma
o
tiroiditis
3. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)
Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga dihisap cairan secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul. Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi jarum halus tidak nyeri, hampir tidak menyababkan bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberika hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi kurang benar, pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah interpretasi oleh ahli sitologi. 4. Termografi Metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada suatu tempat dengan memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan ini dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Hasilnya disebut panas apabila perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9o C dan dingin apabila < 0,9
o
C. Pada penelitian Alves didapatkan bahwa pada
yang ganas semua hasilnya panas. Pemeriksaan ini paling sensitif dan spesifik bila dibanding dengan pemeriksaan lain. 5. Petanda Tumor Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg) serum. Kadar Tg serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan jinak rataa-rata 323 ng/ml, dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml.
10. Penatalaksanaan 1. Terapi konservatif (terapi supresi dengan levotiroksin) Terapi ini merupakam pilihan yang paling sering dan mudah dilakukan. Terapi supresi dapat menghambat pertumbuhan nodul serta mungkin bermanfaat pada nodul kecil. Bila kadar TSH sudah dalam keadaan tersupresi, terapi l-tiroksin tidak diberikan. Terapi supresi dilakukan dengan memberikan ltiroksin dalam dosis supresi dengan sasaran kadar TSH sekitar 0,1- 0,3 mIU/ml. Biasanya diberikan selama 6- 12 bulan, dan dalam waktu tersebut nodul tidak mengecil atau bertambah besar perlu dilakukan biopsi ulang atau disarankan
operasi. Bila setelah satu tahun nodul mengecil, terapi supresi dapat dilanjutkan. Efek samping dari pemakaian terapi supresi jangka panjang adalah hipertiroidisme subklinik dengan efek samping berupa osteopeni atau gangguan pada jantung11. Terapi iodium radioaktif (I-131) dilakukan pada nodul tiroid autonom atau nodul panas (fungsional) baik dalam keadaan eutiroid maupun hipertiroid. Terapi iodium radioaktif juga dapat diberikan pada struma multinodusa nontoksik terutama bagi pasien yang tidak bersedia dioperasi atau mempunyai resiko tinggi untuk operasi. Iodium radioaktif dapat mengurangi volume nodul tiroid dan memperbaiki keluhan dan gejala penekanan pada sebagian besar pasien11. 2. Radioterapi diberikan pada keganasan tiroid yang inoperable, kontraindikasi
operasi, ada residu tumor setelah operasi, metastase yang non resektabel. 3. Operasi/ pembedahan: 1. Tiroidektomi total/ near total 2. Tiroidektomi subtotal/ parsial 3. Isthmolobektomi 4. Isthmectomy Indikasi prosedur pembedahan tiroid: Isthmolobectomy Subtotal Thyroidectomy
Total Thyroidectomy
Isthmectomy
Indikasi operasi pada struma adalah:
Solitary Nodules Unilateral Multinoduler disease Grave’s Disease Multinoduler Bilateral Plummers Disease Hassimotios Disease Ca Thyroid Grave’s Disease Multinodular Bilateral Anaplastic Ca Limphoma Riedels Thyroiditis
-
struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
-
struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
-
struma dengan gangguan tekanan
-
kosmetik.
Kontraindikasi operasi pada struma: -
struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya
-
struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang lain yang belum terkontrol
-
struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian biasanya sering dari tipe anaplastik yang jelek prognosanya. Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat sekaligus dilakukan reseksi trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan lunak leher yang luas sulit dilakukan eksisi yang baik.
-
struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya karena metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah dilakukan sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan mortalitas yang tinggi dan sering hasilnya tidak radikal.
Tiroidektomi total Tiroidektomi total yaitu mengangkat seluruh kelenjar tiroid. Pasien yang menjalani tindakan ini harus mendapat terapi hormone pengganti yang besar dosisnya beragam pada setiap individu dan dapat dipengaruhi oleh usia, pekerjaan, dan aktifitas. Tiroidektomi near total adalah hanya meninggalkan jaringan kelenjar tiroid ± 1 gram di satu sisi, bisa disebut juga ismolobektomi dekstra dan lobektomi subtotal sinistra atau sebaliknya.
Tiroidektomi sub total/ parsial Tiroidektomi subtotal artinya mengangkat sebagian besar tiroid lobus kanan dan sebagian besar lobus kiri dari jaringan tiroid dengan sisa masingmasing 3 gram. Lobus kiri atau kanan yang mengalami pembesaran diangkat dan diharapkan kelenjar yang masih tersisa masih dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan hormon- hormon tiroid sehingga tidak diperlukan terapi penggantian hormon. Lobektomi artinya mengangkat satu lobus saja.
lobektomi totalis dekstra atau lobektomi totalis sinistra
lobektomi subtotal dekstra, artinya mengangkat sebagian besar lobus kanan, sisa 3 gram.
Ismolobektomi artinya mengangkat satu lobus dan ismus juga. Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum pembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan dirawat sekitar 3 hari. Kemudian diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid yang tersisa mungkin tidak cukup memproduksi hormon dalam jumlah yang adekuat dan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan struma dilakukan 34 minggu setelah tindakan pembedahan. Komplikasi tiroidektomi • Recurrent Larygeal Nerve Injury • External Superior Laryngeal Nerve Injury • Hypoparathyroidism • Laryngealoedema • Bleeding --- Haematoma • Hypothyroidism • Hyperthyroidism • Wound Infection • Keloid • Suture Granuloma
BAB III PEMBAHASAN
Struma multinodular adalah masalah klinis yang umum, yang biasanya berkembang tahap akhir struma. Meskipun biasanya jinak dan tanpa gejala, gondok multinodular dapat mempengaruhi pasien untuk gejala tekan, mengembangkan nodul fungsi otonom, atau membentuk nodul yang mencurigakan. Pengobatan klinis gondok tergantung pada sejauh mana pembesaran, tanda dan gejala, dan potensi penyebab yang mendasari. Meskipun tiroidektomi total untuk pengelolaan gondok multinodular jinak telah menimbulkan setidaknya 30 tahun sekarang, banyak ahli bedah belum mencapai konsensus tentang masalah ini. Beberapa ahli bedah masih lebih suka melakukan tiroidektomi parsial atau subtotal berharap untuk melestarikan fungsi tiroid endogeneous dan mengurangi risiko terkait hipoparatiroidisme pasca operasi dan kerusakan saraf laring berulang (RLN/ recurrent laryngeal nerve). Namun, sisa-sisa jaringan piramida mengakibatkan kekambuhan pasca operasi gondok, dengan tingkat kejadian yang tinggi 18-30%. Eksplorasi leher berulang dapat mempengaruhi pasien untuk komplikasi akibat adhesi berat dan anatomi terdistorsi. Di sisi lain, prosedur radikal seperti tiroidektomi total terlepas dari penyakit tiroid yang mendasarinya adalah ketergantungan seumur hidup pada subtitusi hormon tiroid oral. Dalam studi saat ini, total atau nyaris total tiroidektomi dilakukan pada 165 pasien dengan gondok multinodular selama 5 tahun terakhir. Sementara itu, 181 pasien lainnya mengalami tiroidektomi parsial atau subtotal tradisional. Kejadian komplikasi pasca operasi serta tingkat kekambuhan dibandingkan untuk mengevaluasi kelayakan dan keamanan dari kedua pengobatan untuk gondok multinodular bilateral. Metode dan Bahan (Kategori Indikasi untuk Tiroidektomi) Semua pasien dengan nodul tiroid menjalani pemeriksaan fisik, radioisotop, tes fungsi tiroid, dan evaluasi USG nodul, kelenjar tiroid, dan kelenjar getah bening
leher. Pasien dengan gondok multinodular yang dipertimbangkan untuk reseksi bedah sesuai dengan kategori indikasi berikut: (1) Pasien dengan deformitas kosmetik yang parah akibat pembesaran difus atau nodular asimetris; (2) kompresi esofagus atau trakea menyebabkan ketidaknyamanan seperti disfagia dan tersedak; (3) nodul dengan fitur yang mencurigakan di USG seperti mikrokalsifikasi dan kalsifikasi kasar; (4) nodul dengan sedikit serapan pada radioisotop; (6) setiap limfadenopati teraba dengan kecurigaan tertentu; (7) Hasil tak tentu pada biopsi aspirasi jarum halus ditunjukkan dengan panduan USG; dan (8) riwayat iradiasi leher.
Fitur demografi Antara Januari 2003 dan Desember 2006, 346 (78 laki-laki dan 268 perempuan) pasien, mulai 22-72 tahun, direkrut dalam penyelidikan saat ini berdasarkan indikasi dengan informed consent. Tak satu pun dari peserta memiliki riwayat tiroidektomi. Data pada pasien, seperti informasi pasien, prosedur operasi, patologi, dan komplikasi, dikumpulkan secara prospektif. Semua pasien dengan resiko tinggi dan komplikasi dari skema pengobatan yang diusulkan. Sebanyak 165 pasien (36 laki-laki dan 129 perempuan) bersedia menjalani tiroidektomi total atau hampir- total dan ditetapkan sebagai grup A. Sisa 181 pasien (42 laki-laki dan 139 perempuan) digolongkan ke dalam kelompok B dan mengalami tiroidektomi sebagian atau subtotal. Pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan bahwa semua pasien yang terdaftar dalam penelitian kami memiliki gondok multinodular bilateral. Pasien-pasien ini dapat dikelompokkan berdasarkan diameter nodul terbesar: 55 pasien dengan 1,0-2,0 cm, 147 dengan 2.0-3.0cm, 80 dengan 3,0-4,0 cm, 49 cm dengan 4,0-5,0, dan 15 dengan nodul> 5 cm. Di antara nodul tersebut, diameter terbesar adalah 6,0 cm dan diameter rata-rata adalah 2,66 ± 1,17 cm. Dengan pemeriksaan ultrasonografi, 65 pasien memiliki satu nodul bilateral, 76 pasien memiliki satu nodul pada satu lobus dan dua di lobus kontralateral, dan 42 pasien memiliki satu nodul di satu sisi dan lebih dari tiga di lobus kontralateral. Ada 128 pasien dengan lebih dari dua nodul
bilateral. Selain itu, nodul dari 63 pasien yang padat dan substansi kaya aliran darah di daerah yang berdekatan dengan pot refleksi homogen. Lima puluh satu pasien jenis padat, 113 pasien dengan echogenitas yang lemah, dan dari 104 pasien lain dengan echogenitas non homogen. Sebanyak 101 pasien mengalami pemeriksaan radioaktif, di antaranya 54 kasus dianggap nodul panas, 33 adalah nodul dingin, dan nodul yang tersisa adalah nodul hangat. Tindak lanjut kunjungan dimulai pada minggu keempat pasca operasi. Konsentrasi serum parameter hormon tiroid, seperti free triiodothyronine (FT3), free thyroxine (FT4), dan thyroid-stimulating hormone (TSH) yang supersensitif, diperkirakan selama kunjungan pertama pasca operasi. Kemudian substitusi tiroksin ditetapkan untuk orang-orang dengan fungsi tiroid yang tidak cukup. Investigasi biokimia diulang sampai fungsi tiroid pasien masih dalam kisaran normal. Semua pasien dengan tindak lanjut yang lengkap dengan pemeriksaan ultrasonografi setiap 3 bulan pasca operasi untuk estimasi kekambuhan.
Pengobatan bedah Sebuah reseksi ekstrakapsular diterapkan pada tiroidektomi total, yang dijelaskan secara rinci. Para pasien dibius dengan anestesi endotrakeal umum. Sebuah standar sayatan tiroid leher 8 sampai 10 cm dibuat 2 sampai 3 cm di atas takik sternum dan klavikula dan diperpanjang di otot sternokleidomastoid. Platysma itu dipisahkan untuk menghasilkan flap kulit subplatysmal atas dan bawah, dengan pemanjangan flap kulit atas di atas kartilago tiroid dan klavikula. Otot-otot kemudian dipisahkan di garis tengah menggunakan elektrokauter dan ditarik ke lateral. Ketika kelenjar tiroid diidentifikasi, sisi dengan patologi yang paling menonjol ditangani secara awal. Diseksi dimulai dengan transeksi isthmus kelenjar tiroid serta isolasi otot kelenjar tiroid, setelah otot superior dimobilisasi. Cabang-cabang pembuluh otot superior diisolasi, diikat, dan ditranseksi berturut-turut. Diseksi bagian yang tersisa dari lobus dilakukan sama dengan deskripsi yang disebutkan di atas. Potensi cedera atau trauma RLN diperkecil selama proses pembedahan. Keempat kelenjar paratiroid
dilindungi, di mana suplai darah yang adekuat. Untuk 33 pasien dalam kelompok A, sebagian kecil kelenjar tiroid (kurang dari 1 mg) yang tersisa di tempat pemasukan RLN ke laring. Untuk memastikan reseksi nodul lengkap, eksplorasi luas intraoperatif diterapkan di grup B berdasarkan lokasi pra operasi.
Penilaian komplikasi Mobilitas pita suara dinilai dengan laringoskopi tidak langsung sebelum prosedur operasional pada semua pasien. Ini diulang setelah operasi pada pasien dengan dyspnea, suara serak, atau penurunan kualitas suara. Mereka yang mobilitas lemah dalam waktu 2 bulan setelah operasi dianggap memiliki cedera RLN permanen. Sebaliknya, pasien dianggap menderita cedera sementara. Pemeriksaan kalsium serum dilakukan pada pasien yang acroanesthesia dan tetani setelah operasi, untuk mengidentifikasi status hipokalsemia. Hipoparatiroidisme biasanya bersifat sementara, jika pasien membutuhkan suplemen kalsium oral atau vena kurang dari 2 bulan. Itu permanen jika pasien yang diperlukan suplemen kalsium oral atau vena dan vitamin D untuk waktu yang relatif lama dengan tingkat hormon paratiroid plasma tidak terdeteksi.
Analisis Statistik Hasil disajikan sebagai rata-rata ± SD. Perbandingan antar kelompok dilakukan pada pasien yang menjalani tiroidektomi total atau nyaris total (kelompok A) dan mereka yang memiliki tiroidektomi parsial (kelompok B) menggunakan analisis Chisquared. Signifikansi didefinisikan sebagai p <0,05.
Hasil Saraf laring berulang dalam semua pasien kelompok A berhasil terbuka dan potensial cedera dapat dihindari. RLN Bilateral terkena pada 67 pasien kelompok B, 104 pasien terkena RLN unilateral, dan 10 pasien tidak terkena sama sekali. Kelenjar paratiroid yang tidak terdeteksi pada jaringan yang dipotong dari kedua kelompok. Analisis diagnostik
patologis bagian snap-beku menunjukkan bahwa semua pasien yang terdaftar dalam penelitian ini memiliki gondok nodular jinak. Namun, analisis selanjutnya bagian tertanam lilin ditentukan bahwa enam pasien dalam kelompok A dan dua pasien dalam kelompok B memiliki karsinoma papiler. Pasien menerima pengobatan yang tepat, meskipun mereka dikeluarkan dari analisis selanjutnya. Setelah operasi, kejadian komplikasi antara pasien dipantau (lihat Tabel 1). Tidak ada dyspnea yang diamati pada setiap pasien. Dua individu dalam kelompok B mengalami reoperations karena perdarahan. Suara serak Transient terjadi pada tiga pasien masing-masing dari kedua kelompok A (1,89%, 3/159) dan kelompok B (1,68%, 3/179) pasca operasi. Mobilitas lipatan vokal dinilai oleh laringoskopi fiberoptik dan cedera RLN itu dikonfirmasi dengan kelumpuhan lipatan vokal unilateral. Dua bulan setelah operasi, dua pasien pada kelompok A dan satu di kelompok B mengalami perubahan nada vokal, tetapi ditampilkan mobilitas pita suara normal. Mobilitas satu sisi pita suara dicatat dengan laringoskopi fiberoptik, yang mengungkapkan kelumpuhan saraf superior laring (SLN). Tidak ada perbedaan yang jelas pada cedera RLN dan SLN antara kedua kelompok (p> 0,05) dan semua pasien membaik dalam waktu 3 bulan. Sebelas (6.92%, 11/159) dan 9 (5,03%, 9/179) kasus dalam masing-masing kelompok A dan B, menderita gejala hypocalcemic sementara, walaupun perbedaan ini tidak signifikan (p> 0,05). Hipoparatiroidisme permanen dan thyropenia tidak diamati pada kedua kelompok.
Selain itu, kami menguji efek dari dua manuver operasi pada fungsi tiroid pasca operasi (lihat Tabel 2). Tingkat serum FT3, FT4, dan S-TSH ditentukan sebelum
atau
setelah
operasi.
Sebelum
operasi,
lima
pasien
tingkat
FT3(8.76±3.02pmol / L) dan FT4 (23.67 ± 6.88 pmol / L) relatif tinggi, meskipun tanpa adanya sindrom hipertiroidisme. Para pasien yang tersisa menunjukkan fungsi tiroid normal. Dua minggu setelah operasi, tingkat serum FT3 dan FT4 pada pasien dari kelompok A secara menurun drastis, sedangkan pada pasien kelompok B sedikit atau hampir tidak berkurang.
Secara konsisten, nilai S-TSH dalam kelompok A yang sangat ditingkatkan, namun, yang di grup B berubah sedikit. Sehubungan dengan pengobatan dengan levothyroxine (Euthyrox), tidak ada hipotiroidisme diidentifikasi selama pemeriksaan tindak lanjut pada kedua kelompok. Terapi levothyroxine berlanjut selama periode follow-up, dan yang akan diatur sesuai dengan fungsi tiroid untuk seumur hidup. Pasien dalam kelompok A menerima levothyroxine 50-75 mg / hari untuk euthyroidism, sedangkan di kelompok B diberi 75-125 mg / hari untuk mempertahankan tingkat TSH ke batas bawah dari kisaran normal.
Median masa tindak lanjut adalah 36 bulan (kisaran 1-62 bulan) untuk kelompok A dan 39 bulan (1-64 bulan) untuk kelompok B dan tidak ada perbedaan statistik. Semua pasien menerima pemeriksaan ultrasonografi setiap 3 bulan, dan kambuh didefinisikan sebagai de novo nodul lebih dari 3 mm sisa tiroid. Meskipun tidak ada nodul jelas yang tersisa di kedua kelompok pada operasi yang asli, dibandingkan dengan kelompok A, tingkat kekambuhan dalam kelompok B secara signifikan lebih tinggi dalam kunjungan pasca operasi. Secara khusus, 0 dan 12 kasus berulang dilaporkan dalam masing-masing kelompok A dan B. Di antara mereka 12 kasus kekambuhan di grup B, tujuh memiliki dua nodul pada lobus bilateral, satu memiliki tiga nodul pada lobus bilateral, dan empat pasien lain memiliki dua nodul di satu sisi dan tiga di lobus kontralateral. Nodul terbesar dari 12 kasus kekambuhan lebih besar dari 10 mm, yang dikonfirmasi sekitar 28 bulan setelah prosedur bedah awal. Diskusi Ada berbagai pilihan operasi termasuk subtotal, nyaris total, dan tiroidektomi total untuk gondok tiroid. Setiap pilihan tergantung pada ukuran, lokasi, bentuk, dan jumlah nodular. Karena nodular sisa jaringan abnormal merupakan sumber potensi kekambuhan dan keganasan, manfaat tiroidektomi total untuk kondisi tiroid jinak disarankan oleh Kocher lebih dari 100 tahun yang lalu. Namun, beberapa ahli bedah berpendapat bahwa tiroidektomi total menjadi pengobatan lampau untuk penyakit jinak sebagai standar prosedur didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut: (1) Kontroversi antara reseksi radikal dengan substitusi tiroksin seumur hidup dan reseksi penetapan fungsi dengan risiko kekambuhan, dan (2) komplikasi yang terkait dengan tiroidektomi total.
Meskipun sebagian besar nodul tiroid jinak, kanker tiroid terjadi pada sekitar 5% dari seluruh nodul tiroid independen dari ukuran mereka. Oleh karena itu, dalam pandangan kami, untuk pasien dengan gondok multinodular dalam satu lobus, tiroidektomi nyaris total dan total dari sisi yang sama dianggap sebagai pilihan terbaik, yang dapat memenuhi diagnosis dan pengobatan dalam satu prosedur.
Didukung oleh evaluasi patologi intraoperatif, tiroidektomi nyaris total dan total dapat menghindari potensi keganasan dengan prognosis yang baik. Di sisi lain, jumlah jaringan tiroid yang normal tersisa di gondok multinodular sangat sedikit dan sebagian besar fungsi tiroid telah hilang. Meninggalkan sisa jaringan abnormal menunjukkan
kekambuhan
dan
kebutuhan
selanjutnya
untuk
reoperation.
Tiroidektomi subtotal menyebabkan gondok berulang pada pasien sampai dengan 23%. Selain itu, pengobatan supresif dengan tiroksin sering tidak efektif, mungkin karena adanya faktor lain selain thyrotropin terlibat dalam stimulasi pertumbuhan sel tiroid. Oleh karena itu, risiko nodul berulang secara signifikan lebih tinggi dalam melestarikan fungsi dibandingkan pada pasien standar operasi radikal. Menurut hasil penelitian kami, tingkat kekambuhan pada kelompok B adalah sampai dengan 6,7%, terungkap hanya dalam kunjungan panjang 4 tahun. Randolph telah menunjukkan bahwa kejadian komplikasi, termasuk paratiroid dan cedera RLN, dapat ditingkatkan dengan 5 sampai 10 kali lipat dalam reoperation. Dalam seri kami yang lain, 52 kasus berulang mengambil operasi berulang (dua operasi dalam 41 kasus, tiga tujuh kasus, dan empat dalam dua kasus), di antaranya empat pasien menderita cedera RLN dan hipoparatiroidisme permanen mungkin karena jaringan parut di sekitar RLN dan tangkai vaskular untuk kelenjar paratiroid suplai darah. Oleh karena itu, tiroidektomi total dianggap menjadi pilihan yang berharga bagi gondok multinodular karena risiko kekambuhan tinggi, terutama yang memiliki nodul yang lebih besar dari 3,0 cm, lebih dari dua nodul di setiap lobus, nodul terletak posterior, dan nodul padat. Dalam beberapa dekade terakhir, telah ada pengumpulan data yang menunjukkan kejadian yang sama dari kedua kelumpuhan RLN permanen dan hipokalsemia sementara untuk tiroidektomi parsial dan total. Dalam penelitian kami, suara serak transien terjadi pada tiga pasien masing-masing dari kelompok A (1,89%, 3/159) dan kelompok B (1,68%, 3/179) pasca operasi. Sebelas (6.92%, 11/159) dan sembilan (5,03%, 9/179) kasus dalam masing-masing kelompok A dan B, menderita gejala hipokalsemia sementara, dan hipoparatiroidisme permanen tidak diamati pada kedua kelompok. Tidak ada perbedaan statistik yang signifikan antara kedua
kelompok (p> .05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa kejadian hipokalsemia berhubungan dengan teknik bedah dan pelatihan prosedur operasi. Dalam pandangan kami, pengalaman bedah dan pengetahuan yang baik tentang variasi dalam hubungan topografi antara kelenjar tiroid, RLN, dan kelenjar paratiroid adalah faktor yang paling penting dalam mengurangi morbiditas pascaoperasi. Identifikasi RLN bisa meminimalkan tingkat cedera kurang dari 2%, dibandingkan dengan 4-6,6% pada kasus tanpa pengetahuan saraf yang jelas. Beberapa pendekatan dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan melestarikan RLN. Dalam kelompok kami, pendekatan menemukan saraf pada titik masuk laring, yang kira-kira 0,5 cm di bawah kornu inferior kartilago tiroid. Setelah RLN diidentifikasi, otot dapat dibagi rendah di leher dan RLN yang diikuti sepanjang jalurnya. Teknik ini menunjukkan RLN itu masuk laring, meminimalkan kekurangan suplai darah ke kelenjar paratiroid superior, dan membatasi sejauh mana diseksi yang melibatkan saraf. Kelenjar paratiroid inferior biasanya dapat dihindari dengan diseksi ekstrakapsular, meninggalkan mereka in situ. Karena berbagai hubungan anatomi dengan arteri tiroid superior, cabang SLN eksternal mungkin adalah saraf yang paling sering terluka selama tiroidektomi. Dalam kelompok kami, teknik yang ligates cabang terminal dari arteri tiroid superior dekat dengan kapsul tiroid mungkin menurunkan tingkat cedera 0,9% (3/346). Sekaligus, hemostasis intraoperatif dan pemahaman anatomi sangat penting untuk mengidentifikasi dan menjaga saraf dan kelenjar paratiroid dari tipe prosedur yang dilakukan. Pada pemantauan fungsi tiroid, pasien dengan hypothyroidism menerima substitusi levothyroxine setelah operasi. Bagi mereka yang tiroidektomi total atau nyaris total, tujuan terapi adalah euthyroidism dan dosis pemeliharaan yang benar diperbolehkan TSH berada dalam batas normal. Meskipun praktek administrasi tiroksin untuk mencegah kekambuhan setelah tiroidektomi adalah kontroversial, stimulasi TSH dari hipotiroidisme tetap alasan utama untuk nodular gondok. Oleh karena itu, tingkat TSH pasien kelompok B berhasil di batas bawah dari kisaran normal. hormon tiroid bebas dan total dan tingkat TSH dari semua pasien dalam
penelitian kami diperkirakan setiap 6-12 bulan untuk memastikan dosis obat yang tepat. Singkatnya, hasil kami diverifikasi bahwa tiroidektomi total atau near total dapat dianggap sebagai pilihan yang berharga dalam pengobatan gondok multinodular bilateral dengan morbiditas yang rendah. Mereka dapat mengurangi kekambuhan pasca operasi, kebutuhan untuk reoperation, dan kebutuhan tiroksin untuk perawatan tindak lanjut. Sebuah strategi operasi hati-hati, melibatkan identifikasi rutin RLN dan pelestarian kelenjar paratiroid, yang dilakukan oleh seorang ahli bedah yang berpengalaman endokrinologis adalah sangat penting.
BAB IV KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Mulinda, james, R. 2005. Goiter, eMedicine. http://www.emedicine.com/med/topic916.htm 2. Mansjoer, Arif,dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi ketiga. Media Esculapius: FKUI. Jakarta 3. De jong,W, Sjamsuhidajat, R. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. EGC. Jakarta 4. Djokomoeljanto. 2001. Kelenjar Tiroid, Embriologi, Anatomi dan Faalnya. Dalam: Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. FKUI. Jakarta 5. Lee, Stephanie L. 2004. Goiter, Nontoxic, eMedicine. http://www.emedicine.com/med/topic919.htm 6. Mulinda, james, R. 2005. Goiter, eMedicine. http://www.emedicine.com/med/topic916.htm 7. Davis, Anu Bhalla. 2005. Goiter, Toxic Nodular. eMedicine. http://www.emedicine.com/med/topic920.htm 8. Adediji, Oluyinka S. 2004. Goiter, Diffuse Toxic. eMedicine. http://www.emedicine.com/med/topic917.htm 9. Hartini, Sri. 2000. Struma Nodosa non- toksik. Dalam: Noer, Sjaifoellah. 2000. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 10. Tim penyusun. 2000. Struma Nodusa non toksik, Pedoman Diagnosis dan Terapi. lab/UPF Ilmu Bedah RSUD dokter sutomo. Surabaya 11. Mansjhur, S. Johan. 2006. Nodul tiroid. Dalam: Sudoyo, Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III Edisi IV. FKUI. Jakarta 12. Yang, Weiping, Shao, Tanglei,et. al. 2009. The Feasibility of Total or Near-Total Bilateral Thyroidectomy for the Treatment of Bilateral Multinodular Goiter. Journal of Investigative Surgery, 22, 195-200. Informa Healthcare USA.