Refrat
FARMAKOLOGI FARMAKOLOGI OBAT – OBATAN OPIOID DAN HIPNOTIK SEDATIF
1
DAFTAR ISI
Halaman Judul Judul ......................... ................................................ .............................................. ...................................... .......................... ........... i Lembar Pengesahan ............................................. .................................................................... ......................................... ..................... ... ii Daftar Isi........................... Isi.................................................. .............................................. ........................................................ ................................. . iii
BAB I. PENDAHULUAN I. 1 . Latar Belakang ........................................... .................................................................. ........................................ ................. 1 I. 2 Tujuan .............................................. ..................................................................... .................................................. ........................... 1
BAB II. FARMAKOLOGI OBAT-OBATAN OPIOID II. 1 Struktur Opioid ..................................................................................3 II. 2 Mekanisme Kerja ...................................................... ...............................................................................3 .........................3 II. 3 Preparat Opioid .................................................... ..................................................................................5 ..............................5
BAB III. FARMAKOLOGI OBAT-OBATAN HIPNOTIK-SEDATIF III. 1 Benzodiazepin ............................................ .................................................................................19 .....................................19 III. 2 Barbiturat ......................... ................................................ .............................................. .........................................30 ..................30 III. 3 Nonbarbiturat-Nonbenzodiazepin........ Nonbarbiturat-Nonbenzodiazepin............................... ......................................... .....................36 ...36
BAB IV. KESIMPULAN .......................................... ................................................................................ ...................................... 53
Daftar Pustaka...................................... Pustaka............................................................. .............................................. ......................................55 ...............55
2
BAB I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Opioid menunjukkan semua substansi eksogen, alami atau buatan, yang mengikat secara spesifik reseptor opioid dan menimbulkan beberapa gejala agonis seperti seperti morfin. morfin. Opiate adalah istilah yang digunakan digunakan untuk untuk obat-obatan obat-obatan yang berasal berasal dari opium. opium.
Kata opium berasal dari bahasa Yunani untuk sari buah
opium.1 Sementara Sementara hipnotik hipnotik sedatif adalah istilah untuk obat-obatan yang mampu mendepresi sistem saraf pusat. Sedatif adalah substansi yang memiliki aktifitas yang member memberika ikan n efek efek menena menenangk ngkan, an, sement sementara ara hipnot hipnotik ik adalah adalah moderate yang substansi yang dapat memberikan efek mengantuk dan yang dapat memberikan onset serta mempertahankan tidur.2 Penggunaan klinis kedua golongan obat-obatan ini telah digunakan secara luas luas sepe sepert rtii untu untuk k tata tatala laks ksan anaa nyeri nyeri akut akut dan dan kron kronik ik,, tind tindak akan an anes aneste tesi sia, a, penatalaks penatalaksanaan anaan kejang, kejang, serta insomnia. insomnia. Pentingnya Pentingnya penggunaan penggunaan obat-obatan obat-obatan ini dalam tindakan anestesi anestesi memerlukan memerlukan pemahaman mengenai farmakolog farmakologii obatobatan kedua obat. Hal tersebut yang mendasari penulisan mengenai farmakologi obat-obatan opioid dan hipnotik sedatif. 2 I.2
Tujuan
Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini antara lain untuk memenuhi salah satu penilaian kognitif pada masa Kepaniteraan Klinik di bagian Anestesiologi dan Reanimasi di RSMH Palembang. Selain itu, tujuan penulisan tinjauan pustaka ini juga untuk menambah pengetahuan bagi penulis dan bagi orang lain yang membacanya membacanya terutama terutama mengenai mengenai farmakolog farmakologii obat-obatan obat-obatan opioid dan hipnotik hipnotik sedatif.
3
BAB II FARMAKOLOGI OBAT-OBATAN HIPNOTIK-SEDATIF
Obat-obatan hipnotik sedatif adalah istilah untuk obat-obatan yang mampu mendepresi sistem saraf pusat. Sedatif adalah substansi yang memiliki aktifitas yang member memberika ikan n efek efek menena menenangk ngkan, an, sement sementara ara hipnot hipnotik ik adalah adalah moderate yang substansi yang dapat memberikan efek mengantuk dan yang dapat memberikan onset serta mempertahankan tidur. 2 Secara klinis obat-obatan sedatif-hipnotik digunakan sebagai obat-obatan yang berhubungan dengan sistem saraf pusat seperti tatalaksana nyeri akut dan kronik, kronik, tindakan tindakan anestesia, anestesia, penatalaksan penatalaksanaan aan kejang, kejang, serta insomnia. insomnia. Obat-obatan Obat-obatan sedatif hipnotik diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yakni: 1.
Benzodiazepin
2.
Barbiturat
3.
Golongan obat nonbarbiturat – nonbenzodiazepin 2
II.1
Benzodiazepin3
Benz Benzod odia iazep zepin in adal adalah ah obat obat yang yang memi memili liki ki lima lima efek efek farm farmak akol olog ogii sekaligus, yaitu anxiolisis, sedasi, anti konvulsi, relaksasi otot melalui medula spinal spinalis, is, dan amnesi amnesiaa retrog retrograd rade. e. Benzod Benzodiaz iazepin epinee banyak banyak diguna digunakan kan dalam dalam prakt praktik ik klinik klinik.. Keungg Keunggula ulan n benzod benzodiaz iazepi epine ne dari dari barbit barbitura urate te yaitu yaitu rendah rendahnya nya tingkat toleransi obat, potensi penyalahgunaan yang rendah, margin dosis aman yang lebar, rendahnya toleransi obat dan tidak menginduksi enzim mikrosom di hati hati..
Benz Benzod odia iaze zepi pin n tela telah h bany banyak ak digu diguna naka kan n seba sebaga gaii peng pengga gant ntii barb barbit itur urat at
sebaga sebagaii premed premedika ikasi si dan menimb menimbulk ulkan an sedasi sedasi pada pada pasien pasien dalam dalam monito monitorng rng anestesi. Dalam masa perioperative, midazolam telah menggantikan penggunaan diazepam. Selain itu, benzodiazepine memiliki antagonis khusus yaitu flumazenil. 4
A.
Struktur Kimia Benzodiazepin3
Benzodiazepine disusun sebuah ring benzene bergabung menjadi sebuah diazepine ring yang berisi tujuh molekul.
Gambar 3. Struktur Kimia Benzodiazepin
1. Mekanisme Kerja3
Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi gammaaminobutyric acid (GABA) sebagai neurotransmitter penghambat di otak. Benzodiazepine tidak mengaktifkan reseptor GABA melainkan meningkatkan kepekaan reseptor GABA terhadap neurotransmitter penghambat sehingga kanal klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi post sinaptik membran sel dan mendorong post sinaptik membran sel tidak dapat dieksitasi. Hal ini menghasilkan efek anxiolisis, sedasi, amnesia retrograde, potensiasi alkohol, antikonvulsi dan relaksasi otot skeletal. Efek sedatif timbul dari aktivasi reseptor GABA A sub unit alpha-1 yang merupakan 60% dari resptor GABA di otak (korteks serebral, korteks serebelum, thalamus). Sementara efek ansiolotik timbul dari aktifasi GABA sub unit aplha-2 (Hipokampus dan amigdala).
5
Perbedaan onset dan durasi kerja diantara benzodiazepine menunjukkan perbedaan potensi (affinitas terhadap reseptor), kelarutan lemak (kemampuan menembus sawar darah otak dan redistribusi jaringan perifer) dan farmakokinetik (penyerapan,
distribusi,
metabolisme
dan
ekskresi).
Hampir
semua
benzodiazepine larut lemak dan terikat kuat dengan protein plasma. Sehingga keadaan hipoalbumin pada cirrhosis hepatis dan chronic renal disease akan meningkatkan efek obat ini. Benzodiazepin menurunkan degradasi adenosin dengan menghambat tranportasi nuklesida. Adonosin penting dalam regulasi fungsi jantung (penurunan kebutuhan oksigen jantung melalui penurunan detak jantung dan meningkatkan oksigenasi melalui vasodilatasi arteri korener) dan semua fungsi fisiologi proteksi jantung
2. Efek Samping3
Kelelahan dan mengantuk adalah efek samping yang biasa pada penggunaan lama benzodiazepine. Sedasi akan menggangu aktivitas setidaknuya selama 2 minggu. Penggunaan yang lama benzodiazepine tidak akan mengganggu tekanan
darah,
denyut
jantung,
ritme
jantung
dan
ventilasi.
Namun
penggunaannya sebaiknya hati-hati pada pasien dengan penyakit paru kronis. Penggunaan benzodiazepine akan mengurangi kebutuhan akan obat anestesi inhalasi ataupun injeksi. Walaupun penggunaan midazolam akan meningkatkan efek depresi napas opioid dan mengurangi efek analgesiknya. Selain itu, efek antagonis benzodiazepine, flumazenil, juga meningkatkan efek analgesik opioid.
6
3. Contoh Preparat Benzodiazepin a. Midazolam3
Midazolam merupakan benzodiazepine yang larut air dengan struktur cincin imidazole yang stabil dalam larutan dan metabolisme yang cepat. Obat ini telah menggantikan diazepam selama operasi dan memiliki potensi 2-3 kali lebih kuat. Selain itu affinitas terhadap reseptor GABA 2 kali lebih kuat dibanding diazepam. Efek amnesia pada obat ini lebih kuat diabanding efek sedasi sehingga pasien dapat terbangun namun tidak akan ingat kejadian dan pembicaraan yang terjadi selama beberapa jam. Larutan midazolam dibuat asam dengan pH < 4 agar cincin tidak terbuka dan tetap larut dalam air. Ketika masuk ke dalam tubuh, akan terjadi perubahan pH sehingga cincin akan menutup dan obat akan menjadi larut dalam lemak. Larutan midazolam dapat dicampur dengan ringer laktat atau garam asam dari obat lain. 1) Farmakokinetik
Midazolam diserap cepat dari saluran cerna dan dengan cepat melalui sawar darah otak. Namun waktu equilibriumnya lebih lambat dibanding propofol dan thiopental. Hanya 50% dari obat yang diserap yang akan masuk ke sirkulasi sistemik karena metabolisme porta hepatik yang tinggi. Sebagian besar 7
midazolam yang masuk plasma akan berikatan dengan protein. Waktu durasi yang pendek dikarenakan kelarutan lemak yang tinggi mempercepat distribusi dari otak ke jaringan yang tidak aktif begitu juga dengan klirens hepar yang cepat. Waktu paruh midazolam adalah antara 1-4 jam, lebih pendek daripada waktu paruh diazepam. Waktu paruh ini dapat meningkat pada pasien tua dan gangguan fungsi hati. Pada pasien dengan obesitas, klirens midazolam akan lebih lambat karena obat banyak berikatan dengan sel lemak. Akibat eliminasi yang cepat dari midazolam, maka efek pada CNS akan lebih pendek dibanding diazepam. 2) Metabolisme
Midazolam dimetabolisme dengan cepat oleh hepar dan enzim cytochrome P-450 usus halus menjadi metabolit yang aktif dan tidak aktif. Metabolit utama yaitu 1-hidroksimidazolam yang memiliki separuh efek obat induk. Metabolit ini dengan cepat dikonjugasi dengan asam glukoronat menjadi 1-hidroksimidazolam glukoronat yang dieskresikan melalui ginjal. Metabolit lainnya yaitu 4hidroksimidazolam tidak terdapat dalam plasma pada pemberian IV. Metabolisme midazolam akan diperlambat oleh obat-obatan penghambat enzim sitokrom P-450 seperti simetidin, eritromisin, calsium channel blocker, obat anti jamur.Kecepatan klirens hepatic midazolam lima kali lebih besar daripada lorazepam dan sepuluh kali lebih besar daripada diazepam.
3) Efek pada Sistem Organ
Midazolam menurunkan kebutuhan metabolik oksigen otak dan aliran darah ke otak seperti barbiturat dan propofol. Namun terdapat batasan besarnya penurunan kebutuhan metabolik oksigen otak dengan penambahan dosis midazolam. Midazolam juga memiliki efek yang kuat sebagai antikonvulsan untuk menangani status epilepticus.
8
a) Pernapasan Penurunan pernapasan dengan midazolam sebesar 0,15 mg/kg IV setara dengan diazepam 0,3 mg/kg IV. Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis memiliki resiko lebih besar terjadinya depresi pernapasan walaupun pada orang normal depresi pernapasan tidak terjadi sama sekali.
Pemberian dosis besar
(>0,15 mg/kg) dalam waktu cepat akan menyebabkan apneu sementara terutama bila diberikan bersamaan dengan opioid. Benzodiazepine juga menekan refleks menelan dan penuruna aktivitas saluran napas bagian atas. b) Sistem kardiovaskuler Midazolam 0,2 mg/kg IV sebagai induksi anestesi akan menurunkan tekanan darah dan meningkatkan denyut jantung lebih besar daripada diazepam 0,5 mg/kg IV dan setara dengan thiopental 3-4 mg/kg IV. Penurunan tekanan darah disebabkan oleh penurunan resistensi perifer dan bukan karena gangguan
cardiac output . Efek midazolam pada tekanan darah secara langsung berhubungan dengan konsentrasi plasma benzodiazepine.
4) Penggunaan Klinik
Midazolam sering digunakan sebagai premedikasi pada pasien pediatrik sebagai
sedasi
dan induksi
anestesia.
Midazolam
juga
memiliki
efek
antikonvulsan sehingga dapat digunakan untuk mengatasi kejang grand mal. a) Premedikasi Sebagai premedikasi midazolam 0,25 mg/kg diberikan secara oral berupa sirup (2 mg/ml) kepada anak-anak untuk memberiksan efek sedasi dan anxiolisis dengan efek pernapasan yang sangat minimal. Pemberian 0,5 mg/kg IV 10 menit sebelum operasi dipercaya akan memberikan keadaan amnesia retrograd yang cukup.
9
b) Sedasi intravena Midazolam dosis 1-2,5 mg IV (onset 30-60 detik, waktu puncak 3-5 menit, durasi 15-80 menit) efektif sebagai sedasi selama regional anestesi. Dibanding dengan diazepam, midazolam memiliki onset yang lebih cepat, amnesia yang lebih baik dan sedasi post operasi yang lebih rendah namun waktu pulih sempurna tetap sama. Efek samping yang ditakutkan dari midazolam adalah adanya depresi napas apalagi bila diberikan bersama obat penekan CNS lainnya. c) Induksi anestesi Induksi anestesi dapat diberikan midazolam 0,1-0,2 mg/kg IV selama 30-60 detik. Walaupun thiopental memberikan waktu induksi lebih cepat 50-100% dibanding midazolam. Dosis yang digunakan akan semakin kecil apabila sebelumnya diberikan obat penekan CNS lain seperti golongan opioid. Pasien tua juga membutuhkan lebih sedikit dosis dibanding pasien muda. d) Rumatan anestesi Midazolam dapat diberikan sebagai tambahan opioid, propofol dan anestesi inhalasi selama rumatan anestesi.
Pemberian
midazolam dapat
menurunkan dosis anestesi inhalasi yang dibutuhkan. Sadar dari post operasi dengan induksi midazolam akan lebih lama 1-2,5 kali dibanding penggunaan thiopental sebagai induksi. e) Sedasi post operasi Pemberian jangka panjang midazolam secara intravena (dosis awal 0,5-4 mg IV dan dosis rumatan 1-7 mg/jam IV) akan mengakibatkan klirens midazolam dari sirkulasi sistemik lebih bergantung pada metabolisme hepatik. Efek farmakologis dari metabolit akan terakumulasi dan berlangsung lebih lama setelah pemberian intravena dihentikan sehingga waktu bangun pasien menjadi lebih lama. Penggunaan opioid dapat mengurangi dosis midazolam yang dibutuhkan sehingga waktu pulih lebih cepat. Waktu pulih akan lebih lama pada pasien tua, obese dan gangguan fungsi hati berat. 10
f) Gerakan pita suara paradoks Gerakan pita suara paradoks adalah penyebab nonorganik obstruksi saluran napas atas dan stridor sebagai manifestasi post operasi. Midazolam 0,5-1 mg IV mungkin efektif untuk mengatasinya.
b. Diazepam1
Diazepam adalah benzodiazepine yang sangat larut lemak dan memiliki durasi kerja yang lebih panjang dibanding midazolam. Diazepam dilarutkan dengan pelarut organik (propilen glikol, sodium benzoate) karena tidak larut dalam air. Larutannya pekat dengan pH 6,6-6,9.Injeksi secara IV atau IM akan menyebabkan nyeri. 1) Farmakokinetik
Diazepam cepat diserap melalui saluran cerna dan mencapai puncaknya dalam 1 jam (15-30 menit pada anak-anak). Kelarutan lemaknya yang tinggi menyebabkan Vd diazepam besar dan cepat mencapai otak dan jaringan terutama lemak. Diazepam juga dapat melewati plasenta dan terdapat dalam sirkulasi fetus. Ikatan protein benzodiazepine berhubungan dengan tingginya kelarutan lemak. Diazepam dengan kelarutan lemak yang tinggi memiliki ikatan dengan protein plasma yang kuat. Sehingga pada pasien dengan konsentrasi protein 11
plasma yang rendah, seperti pada cirrhosis hepatis, akan meningkatkan efek samping dari diazepam.
2) Metabolisme
Diazepam mengalami oksidasi N-demethylation oleh enzim mikrosom hati menjadi desmethyldiazepam dan oxazepam serta sebagian kecil temazepam. Desmethyldiazepam memiliki potensi yang lebih rendah serta dimetabolisme lebih lambat dibanding oxazepam sehingga menimbulkan keadaan mengantuk pada pasien 6-8 jam setelah pemberian. Metabolit ini mengalami resirkulasi enterohepatik sehingga memperpanjang sedasi. Desmethyldiazepam diekskresikan melalui urin setelah dioksidasi dan dikonjugasikan dengan asam glukoronat. 3) Waktu Paruh
Waktu paruh diazepam orang sehat antara 21-37 jam dan akan semakin panjang pada pasien tua, obese dan gangguan fungsi hepar serta digunakan bersama obat penghambat enzim sitokrom P-450. Dibandingkan lorazepam, diazepam memiliki waktu paruh yang lebih panjang namun durasi kerjanya lebih pendek karena ikatan dengan reseptor GABA A lebih cepat terpisah. Waktu paruh desmethyldiazepam adalah 48-96 jam. Pada penggunaan lama diazepam dapat terjadi akumulasi metabolit di dalam jaringan dan dibutuhkan waktu lebih dari seminggu untuk mengeliminasi metabolit dari plasma.
4) Efek pada Sistem Organ
12
Diazepam hampir tidak menimbulkan efek depresi napas. Namun, pada penggunaan bersama dengan obat penekan CNS lain atau pada pasien dengan penyakit paru obstruktif akan meningkatkan resiko terjadinya depresi napas. Diazepam pada dosis 0,5-1 mg/kg IV yang diberikan sebagai induksi anestesi tidak menyebabkan masalah pada tekanan darah, cardiac output dan resistensi perifer. Begitu juga dengan pemberian anestesi volatile N 2O setelah induksi dengan diazepam tidak menyebabkan perubahan pada kerja jantung. Namun pemberian diazepam 0,125-0,5 mg/kg IV yang diikuti dengan injeksi fentanyl 50 µg/kg IV akan menyebabkan penurunan resistensi vaskuler dan penurunan tekanan darah sistemik. Pada otot skeletal, diazepam menurunkan tonus otot. Efek ini didapat dengan menurunkan impuls dari saraf gamma di spinal. Keracunan diazepam didapatkan bila konsentrasi plasmanya > 1000ng/ml. 5) Penggunaan Klinis
Penggunaan diazepam sebagai sedasi pada anestesi telah digantikan oleh midazolam. Sehingga diazepam lebih banyak digunakan untuk mengatasi kejang. Efek anti kejang didapatkan dengan menghambat neuritransmitter GABA. Dibanding barbiturat yang mencegah kejang dengan depresi non selektif CNS, diazepam secara selektif menghambat aktivitas di sistem limbik, terutama di hippokampus.
b.
Lorazepam 3 13
Lorazepam memiliki struktur yang sama dengan oxazepam, hanya berbeda pada adanya klorida ekstra pada posisi orto 5-phenyl moiety. Lorazepam lebih kuat dalam sedasi dan amnesia dibanding midazolam dan diazepam sedangkan efek sampingnya sama. 1) Farmakokinetik
Lorazepam dikonjugasikan dengan asam glukoronat di hati menjadi bentuk inaktif yang diekskresikan di ginjal. Waktu paruhnya lebih lama yaitu 10-20 jam dengan ekskresi urin > 80% dari dosis yang diberikan. Karena metabolismenya tidak dipengaruhi oleh enzim mikrosom di hati, maka metabolismenya tidak dipengaruhi oleh umur, fungsi hepar dan obat penghambat enzim P-450 seperti simetidin. Namun onset kerja lorazepam lebih lambat dibanding midazolam dan diazepam karena kelarutan lemaknya lebih rendah.
2)
Penggunaan Klinik
Lorazepam diserap baik bila diberikan secara oral dan IM dan mencapai konsentrasi puncak dalam 2-4 jam dan terus bertahan efeknya selama 24-48 jam. Sebagai premedikasi, digunakan dosis oral 50µg/kg (maks 4 mg) yang akan menimbulkan sedasi yang cukup dan amnesia selama ± 6 jam. Penambahan dosis akan meningkatkan sedasi tanpa penambahan efek amnesia. Lorazepam tidak bermanfaat pada operasi singkat karena durasi kerja yang lama. 14
Onset kerja lambat lorazepam merupakan kekurangan lorazepam bila digunakan sebagai induksi anestesi, sedasi selama regional anestesi dan sebagai anti kejang. Lorazepam akan bermanfaat bila digunakan sebagai sedasi pada pasien yang diintubasi.
c. Oxazepam 3
Oxazepam merupakan metabolit aktif dari diazepam. Durasi kerjanya lebih pendek dibanding diazepam karena di sirkulasi akan dikonjugasi dengan asam glukoronat menjadi metabolit inaktif. Waktu paruhnya 5-15 jam dan tidak dipengaruhi oleh fungsi hepar atau pemberian simetidin. Absorbsi oral oxazepam sangat lambat sehingga tidak bermanfaat pada pengobatan insomnia dengan kesulitan tidur. Namun bermanfaat pada insomnia memiliki periopde tidur yang pendek atau sering terbangun di malam hari.
d. Alprazolam3
Alprazolam memiliki efek mengurangi kecemasan pada pasien dengan kecemasan atau serangan panik. Alprazolam merupakan alternatif untuk premedikasi pengganti midazolam.
III.2
Barbiturat
15
Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik dan sedatif. Namun sekarang kecuali untuk beberapa penggunaan yang spesifik, barbiturat telah banyak digantikan dengan benzodiazepine yang lebih aman, pengecualian fenobarbital, yang memiliki anti konvulsi yang masih banyak digunakan.2 Secara kimia, barbiturat merupakan derivat asam barbiturat. Asam barbiturat (2,4,4-trioksoheksahidropirimidin) merupakan hasil reaksi kondensasi antara ureum dengan asam malonat.4 Susunan Saraf Pusat efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai, mulai dari sedasi, hipnosis, koma sampai dengan kematian. Efek antianseitas barbiturat berhubungan dengan tingkat sedasi yang dihasilkan. Efek hipnotik barbiturat dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya menyerupai tidur fisiologis, tidak disertai mimpi yang mengganggu. Efek anastesi umumnya diperlihatkan oleh golongan tiobarbital dan beberapa oksibarbital untuk anastesi umum. Untuk efek antikonvulsi umumnya diberikan oleh berbiturat yang mengandung substitusi 5fenil misalnya fenobarbital.4
A.
Pengaruh Barbiturat4
1. Pengaruh Pada Sistem Saraf Pusat Barbiturat berkerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya. Dosis nonanastesi terutama menekan respon pasca sinap. Penghambatan hanya terjadi pada sinaps GABA-nergik. Walaupun demikian efek yang terjadi mungkin tidak semuanya melalui GABA sebagai mediator. Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan inhibisi transmisi sinaptik. Kapasitas berbiturat membantu kerja GABA sebagian menyerupai kerja benzodiazepine, namun pada dosis yang lebih tinggi dapat
16
bersifat sebagai agonis GABA-nergik, sehingga pada dosis tinggi barbiturat dapat menimbulkan depresi SSP yang berat. 2. Pengaruh pada Susunan Saraf Perifer Barbiturat secara selektif menekan transmisi ganglion otonom dan mereduksi eksitasi nikotinik oleh esterkolin. Efek ini terlihat dengan turunya tekanan darah setelah pemberian oksibarbital IV dan pada intoksikasi berat. 3. Pengaruh pada Pernapasan Barbiturat menyebabkan depresi nafas yang sebanding dengan besarnya dosis. Pemberian barbiturat dosis sedatif hampir tidak berpengaruh terhadap pernafasan, sedangkan dosis hipnotik menyebabkan pengurangan frekuensi nafas. Pernafasan dapat terganggu karena : (1) pengaruh langsung barbiturat terhadap pusat nafas; (2) hiperefleksi N.vagus, yang bisa menyebabkan batuk, bersin, cegukan, dan laringospasme pada anastesi IV. Pada intoksikasi barbiturat, kepekaan sel pengatur nafas pada medulla oblongata terhadap CO 2 berkurang sehingga ventilasi paru berkurang. Keadaan ini menyebabkan pengeluaran CO 2 dan pemasukan O 2 berkurang, sehingga terjadilah hipoksia. 4. Pengaruh pada Sistem Kardiovaskular Barbiturat dosis hipnotik tidak memberikan efek yang nyata pada system kardiovaskular. Frekuensi nadi dan tensi sedikit menurun akibat sedasi yang ditimbulkan oleh berbiturat. Pemberian barbiturat dosis terapi secara IV dengan cepat dapat menyebabkan tekanan darah turun secara mendadak. Efek kardiovaskular pada intoksikasi barbiturat sebagian besar disebabkan oleh hipoksia sekunder akibat depresi nafas. Selain itu pada dosis tinggi dapat menyebabkan depresi pusat vasomotor diikuti vasodilatasi perifer sehingga terjadi hipotensi.
17
5. Pengaruh pada Saluran Cerna Oksibarbiturat cenderung menurunkan tonus otot usus dan kontraksinya. Pusat kerjanya sebagian diperifer dan sebagian dipusat bergantung pada dosis. Dosis hipnotik tidak memperpanjang waktu pengosongan lambung dan gejala muntah, diare dapat dihilangkan oleh dosis sedasi barbiturat. 6. Pengaruh pada Hati Barbiturat
menaikan
kadar
enzim,
protein
dan
lemak
pada
retikuloendoplasmik hati. Induksi enzim ini menaikan kecepatan metabolisme beberapa obat dan zat endogen termasuk hormone stroid, garam empedu, vitamin K dan D. 7. Pengaruh pada Ginjal Barbiturat tidak berefek buruk pada ginjal yang sehat. Oliguri dan anuria dapat terjadi pada keracunan akut barbiturat terutama akibat hipotensi yang nyata.
B.
Farmakokinetik 4
Barbiturat secara oral diabsorpsi cepat dan sempurna dari lambung dan usus halus kedalam darah. Secara IV barbiturat digunakan untuk mengatasi status epilepsi dan menginduksi serta mempertahankan anastesi umum. Barbiturat didistribusi secara luas dan dapat melewati plasenta, ikatan dengan protein plasma sesuai dengan kelarutan dalam lemak; tiopental yang terbesar. Barbiturat yang mudah larut dalam lemak, misalnya tiopental dan metoheksital, setelah pemberian secara IV, akan ditimbun di jaringan lemak dan otot. Hal ini akan menyebabkan kadarnya dalam plasma dan otak turun dengan cepat. Barbiturat yang kurang lipofilik, misalnya aprobarbital dan fenobarbital, dimetabolisme hampir sempurna didalam hati sebelum diekskresi di ginjal. Pada kebanyakan kasus, perubahan pada fungsi ginjal tidak mempengaruhi eliminasi
18
obat. Fenobarbital diekskresi ke dalam urine dalam bentuk tidak berubah sampai jumlah tertentu (20-30 %) pada manusia. Faktor yang mempengaruhi biodisposisi hipnotik dan sedatif dapat dipengaruhi oleh berbagai hal terutama perubahan pada fungsi hati sebagai akibat dari penyakit, usia tua yang mengakibatkan penurunan kecepatan pembersihan obat yang dimetabolisme yang terjadi hampir pada semua obat golongan barbiturat.
C.
Indikasi4
Penggunaan barbiturat sebagai hipnotik sedatif telah menurun secara nyata karena efek terhadap SSP kurang spesifik yang telah banyak digantikan oleh golongan benzodiazepine. Penggunaan pada anastesi masih banyak obat golongan barbiturat yang digunakan, umumnya tiopental dan fe nobarbital.
D.
Kontra Indikasi4
Barbiturat tidak boleh diberikan pada penderita alergi barbiturat, penyakit hati atau ginjal, hipoksia, penyakit Parkinson. Barbiturat juga tidak boleh diberikan pada penderita psikoneurotik tertentu, karena dapat menambah kebingungan di malam hari yang terjadi pada penderita usia lanjut. E.
Efek Samping4
1) Hangover, Gejala ini merupakan residu depresi SSP setelah efek hipnotik
berakhir. Dapat terjadi beberapa hari setelah pemberian obat dihentikan. Efek residu mungkin berupa vertigo, mual, atau diare. Kadang kadang timbul kelainan emosional dan fobia dapat bertambah berat. 2) Eksitasi paradoksal, Pada beberapa individu, pemakaian ulang barbiturat
(terutama fenoberbital dan N-desmetil barbiturat) lebih menimbulkan eksitasi 19
dari pada depresi. idiosinkrasi ini relative umum terjadi diantara penderita usia lanjut dan lemah. 3) Rasa nyeri, Barbiturat sesekali menimbulkan mialgia, neuralgia, artalgia,
terutama pada penderita psikoneurotik yang menderita insomnia. Bila diberikan dalam keadaan nyeri, dapat menyebabkan gelisah, eksitasi, dan bahkan delirium. 4) Alergi, Reaksi alergi terutama terjadi pada individu alergik. Segala bentuk
hipersensitivitas dapat timbul, terutama dermatosis. Jarang terjadi dermatosis eksfoliativa yang berakhir fatal pada penggunaan fenobarbital, kadangkadang disertai demam, delirium dan kerusakan degeneratif hati.
F.
Interaksi Obat4
Reaksi obat, Kombinasi barbiturat dengan depresan SSP lain misal etanol akan meningkatkan efek depresinya; Antihistamin, isoniasid, metilfenidat, dan penghambat MAO juga dapat menaikkan efek depresi barbiturat. Interaksi obat yang paling sering melibatkan hipnotik-sedatif adalah interaksi dengan obat depresan susunan saraf pusat lain, yang menyebabkan efek aditif. Efek aditif yang jelas dapat diramalkan dengan penggunaan minuman beralkohol, analgesik narkotik, antikonvulsi, fenotiazin dan obat-obat anti depresan golongan trisiklik.
G.
Sediaan Barbiturat4
Tabel 1. Nama obat, Bentuk sediaan dan Dosis Hipnotik Sedatif Nama obat
Bentuk sediaan
Dosis dewasa (mg) Sedatif Hipnotik
Amobarbital
K,T,I,P
30-50 2-3xd 65-200 20
Aprobarbital
E
40 3xd 40-160
Butabarbital
K,T,E
15-30 3-4xd 50-100
Pentobarbital
K,E,I,S
20 3-4xd 100
Sekobarbital
K,T,I
30-50 3-4xd 50-200
fenobarbital
K,T,E,I
15.40 -3xd 100-320
Dikutip dari : Goodman and Gilman, 1990 Keterangan : K : kapsul
E : eliksir
I : injeksi
L : larutan
P : bubuk
S : supositoria
T : tablet
H.
Intoksikasi4
Intoksikasi barbiturat dapat terjadi karena percobaan bunuh diri, kelalaian, kecelakaan pada anak-anak atau penyalahgunaan obat. Dosis letal barbiturat sangan bervariasi. Keracunan berat umumnya terjadi bila lebih dari 10 kali dosis hipnotik dimakan sekaligus. Dosis fatal fenobarbital adalah 6-10 g, sedangkan amobarbital, sekobarbital, dan pentobarbital adalah 2-3 g. kadar plasma letal terendah yang dikemukakan adalah 60 mcg/ml bagi fenobarbital, dan 10 mcg/ml bagi barbiturat dengan efek singkat, misal amobarbital dan pentobarbital. Gejala simtomatik keracunan barbiturat ditunjukan terutama terhadap SSP dan kardiovaskular. Pada keracunan berat, reflek dalam mungkin tetap ada selama beberapa waktu setelah penderita koma. Gejala babinzki sering kali positif. Pupil mata mungkin kontraksi dan bereaksi terhadap cahaya, tapi pada tahap akhir keracunan mungkin dapat terjadi dilatasi. Gejala intoksikasi akut yang bahaya ialah depresi pernafasan berat, tekanan darah turun rendah sekali, oligiuria dan anuria. Intoksikasi barbiturat akut dapat diatasi dengan maksimal dengan pengobatan simtomatik suportif yang umum. Dalamnya koma dan ventilasi yang memadai adalah yang pertama dinilai. Bila keracunan terjadi < 24 jam sejak 21
makan
obat,
tindakan
cuci
lambung
dan
memuntahkan
obat
perlu
dipertimbangkan, sebab barbiturat dapat mengurangi motilitas saluran cerna. Tindakan cuci lambung serta memuntahkan obat perlu dilakukan hanya setelah tindakan untuk menghindari aspirasi dilakukan. Setelah cuci lambung, karbon aktif dan suatu pencahar (sarbitol) harus diberikan. Pemberian dosis ulang karbon (setelah terdengar bising usus) dapat mempersingkat waktu paruh fenobarbital. Pengukuran fungsi nafas perlu dilakukan sedini mungkin. Pco 2 dan O2 perlu dimonitor, dan pernafasan buatan harus dimulai bila diindikasikan. Pada keracunan barbiturat akut yang berat, syok merupakan ancaman utama. Sering kali penderita dikirim ke rumah sakit dalam keadaan hipotensi berat atau syok, dan dehidrasi yang berat pula. Hal ini segara diatasi, bila perlu tekanan darah dapat ditunjang dengan dopamine.
I.
Contoh Preparat
Tiopental: Merupakan obat terlazim yang dipergunakan untuk induksi anestesi dan banyak dipergunakan dalam bentuk kombinasi dengan anestetik inhalasi lainnya.*
Gambar. Struktur Kimia Tiopental
22
1. Mekanisme kerja* Setelah pemberian secara intravena, thiopental akan melewati sawar darah otak secara cepat dan jika diberikan pada dosis yang mencukupi akan menyebabkan hypnosis dalam satu waktu sirkulasi. pada pemakaian thiopental, keseimbangan plasma otak cepat terjadi (kirakira 1 menit) karena kelarutan lemak yang tinggi. Thiopental cepat berdifusi keluar otak dan jaringan lain yang sangat vascular serta akan didistribusikan ke dalam otot, lemak dan seluruh jaringan tubuh. Karena cepat dikeluarkan dari jaringan otak sehingga pemberian dosis tunggal thiopental mempunyai masa kerja ultra singkat. Metabolisme thiopental sangat lambat dan akan didistribusikan ke hati. Kurang dari 1% dari thiopental yang diberikan akan diekskresikan melalui ginjal dalam bentuk utuh. Rata-rata metabolisme thiopental 12-16% per jam pada manusia setelah pemberian dosis tunggal. 2. Efek terhadap sistem organ Pada pemberian dosis tinggi, thiopental akan menyebabkan penurunan tekanan arteri, curah balik, dan curah jantung.* Hal ini dapat menyebabkan depresi miokard dan meningkatnya kapasitas vena serta sedikit perubahan pada tahanan arteri perifer. Thiopental mendepresi pusat pernafasan dan menurunkan sensitivitas pusat pernapasan terhadap karbon dioksida.* Metabolisme otak dan penggunaan oksigen akan menurun setelah pemberian thiopental dalam proporsi terhadap tingkat depresi otak.* Aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial juga akan menurun dan diduga dapat melindungi otak akibat kekurangan oksigen.1 Hal ini merupakan pertimbangan mengapa thiopental lebih banyak dipergunakan pada penderita dengan peradangan otak dibandingkan sebagai anestesi inhalasi selama tekanan intracranial dan volume darah tidak meningkat.*
23
3. Penggunaan thiopental: •
Di gunakan untuk induksi pada anestesi umum.
•
Operasi yang singkat (reposisi fraktur, insisi, jahit luka).
•
Sedasi pada analgesik regional
•
Mengatasi kejang-kejang pada eklamsia, epilepsi, dan tetanus
Thiopental dikemas dalam bentuk tepung atau bubuk berwarna kuning, biasanya dalam ampul 500 atau 1000 mg dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% (1ml=25mg). larutan sifatnya sangat alkalis dengan pH 10-11, sehingga suntikan keluar vena akan menimbulkan nyeri hebat, dan bila masuk ke arteri akan menyebabkan vasokonstriksi dan nekrosis jaringan sekitar. Thiopental hanya boleh digunakan intravena dengan dosis 3-7mg/kg disuntikkan perlahanlahan dalam 30-60 detik. Bergantung dosis dan kecepatan suntikan thiopental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis, anesthesia, atau depresi napas. Thiopental di dalam darah 70% diikat oleh albumin, sisanya 30% dalam bentuk bebas, sehingga pada pasien dengan albumin rendah dosis harus dikurangi.1
III.3
Nonbarbiturat – Nonbenzodiazepin 24
A.
Propofol 5
Propofol adalah zat subsitusi
isopropylphenol (2,6 diisopropylphenol)
yang digunakan secara intravena sebagai 1% larutan pada zat aktif yang terlarut, serta mengandung 10% minyak kedele, 2,25% gliserol, dan 1,2% purified egg
phosphatide . Obat ini secara struktur kimia berbeda dari obat sedative-hipnotik yang digunakan secara intravena lainnya. Penggunaan propofol 1,5 – 2,5 mg/kgBB (atau setara dengan thiopental 4-5 mg/kgBB atau methohexital 1,5 mg/kgBB) dengan penyuntikan cepat (< 15 detik) menimbulkan turunnya kesadaran dalam waktu 30 detik. Propofol lebih cepat dan sempurna mengembalikan kesadaran dibandingkan obat anestesia lain yang disuntikan secara cepat. Selain sepat mengembalikan kesadaran, propofol memberikan gejala sisa yang minimal pada SSP. Nyeri pada tempat suntikan lebih sering apabila obat disuntikan pada pembuluh darah vena yang kecil. Rasa nyeri ini dapat dikurangi dengan peimilihan tempat masuk obat di daerah vena yang lebih besar dan penggunaan lidokain 1%. Propofol adalah larutan yang tidak larut dalam air sehingga membutuhkan pelarut untuk larut dalam lemak sehingga terjadi emulsifikasi. Saat ini digunakan larut kacang kedele sebagai pelarut lemak dan egg lechitin sebagai zat pengemulsi yang dikomposisikan dengan rantai panjang trigliserida.
Komposisi seperti ini
mendukung perkembangan bakteri dan meningkatkan kandungan trigliserida plasma ketika diberikan melalui cairan infus yang lama. Diprivan® menggunakan disodium edenate (0,005%) dan sodium hydroxide dan meningkatkan pH 7-8,5. Kandungan generik propofol sodium metabisulfite (0,25mg/mnl) mengubah menjadi pH 4,5-6,4. Propofol tidak seperti thiopental, etomide, dan ketamin, tidak memiliki komponen chiral. 25
Campuran propofol dan obat lain tidak dianjurkan walau penggunaan lidokain sering ditambahkan untuk mengurangi nyeri pada tempat suntikan. Pencampuran lidokain dan propofol dapat menimbulkan gabungan pada droplet minyak dan bentuk yang lain sehingga meningkatkan risiko embolisasi pulmonal. Emulsi propofol yang rendah lemak (Ampofol®)
mengandung 5%
minyak kedelai dan 0,6% egg lechitin dan tidak memerlukan bahan pengawet atau zat yang meretardasi pertumbuhan mikroba. Suatu alternatif dalam memecahkan masalah formulasi emulsi propofol dan masalah efek samping obat (nyeri pada tempat suntikan, risiko infeksi, hipertrigliseridemia, emboli paru) adalah dengan menggunakan bentuk prodrug dengan melepaskan suatu gugus sehingga meningkatkan kelarutan pada air (phosphate monoester, hemisuccinates). Propofol dibebaskan setelah dihidrolisa oleh alkaline phosphatase di permukaan sel endotel. Dibandingkan dengan propofol, bentuk prodrug ini didistribusi lebih besar dan lebih poten. Bentuk propofol yang tidak larut lemak menggunakan cyclodextrins sebagai zat pelarut. Cyclodextrins adalah molekul cincin gula sehingga larut dalam air. Setelah disuntikan, cyclodextrins dipisahkan dengan propofol di dalam darah.
1.
Mekanisme Kerja
Propofol relatif bersifat selektif dalam mengatur reseptor gamma
aminobutyric acid ( GABA) dan tampaknya tidak mengatur ligand-gate ion channel lainnya. Propofol dianggap memiliki efek sedatif hipnotik melalui interaksinya dengan reseptor GABA. GABA adalah salah satu neurotransmiter penghambat di SSP. Ketika reseptor GABA diaktivasi, penghantar klorida transmembran meningkat dan menimbulkan hiperpolarisasi di membran sel post sinaps dan menghambat fungsi neuron post sinaps. Interaksi propofol (termasuk barbiturat dan etomidate) dengan reseptor komponen spesifik reseptor GABA menurunkan neurotansmitter penghambat. Ikatan GABA meningkatkan durasi pembukaan GABA yang teraktifasi melaui chloride channel sehingga terjadi hiperpolarisasi dari membran sel. 26
2.
Farmakokinetik
Propofol didegradasi di hati melalui metabolisme oksidatif hepatik oleh
cytochrome P-450. Namun, metabolisme tidak hanya dipengaruhi hepatik tetapi juga ekstrahepatik. Metabolisme hepatik lebih cepat dan lebih banyak menimbulkan inaktivasi obat dan terlarut air sementara metabolisme asam glukoronat diekskresikan melalui ginjal. Propofol membentuk 4-hydroxypropofol oleh sitokrom P450. Propofol yang berkonjugasi dengan sulfat dan glukoronide menjadi tidak aktif dan bentuk 4 hydroxypropofol yang memiliki 1/3 efek hipnotik. Kurang dari 0,3% dosis obat diekskresikan melalui urin. Waktu paruh propofol adalah 0,5 – 1,5 jam tapi yang lebih penting sensitive half time dari propofol yang digunakan melalui infus selama 8 jam adalah kurang dari 40 menit. Maksud dari sensitive half time adalah pengaruh minimal dari durasi infus karena metabolisme propofol yang cepat ketika infus dihentikan sehingga obat kembali dari tempat simpanan jaringan ke sirkulasi. Propofol mirip seperti aldentanil dan thiofentanil, yang memiliki efek singkat di otak setelah pemberian melalui intravena.
Total body clearance dari propofol sebanding dengan aliran darah ke hati dan bersihan ekstahepatik ( pulmonary uptake dan eliminasi awal. Pulmonary
uptake dari propofol dipengaruhi avaibilitas propofol. Di paru propofol diubah ke dalam bentuk 2,6-diisoprpyl- 1,4 quiniol dan kebanyakan kembali lagi ke dalam sirkulasi. Glukoronidasi adalah jalur metabolisme utama dari propofol dan UDPglukoronidase
sehingga
ginjal
juga
memegang
peranan
penting
dalam
mengekresikan propofol. Meskipun metabolisme propofol cepat tidak ada bukti yang menunjukan adanya gangguan eliminasi pada pasien sirosis hepatis.Konsentrasi propofol di plasma sama antara pasien yang meminum alkohol dan yang tidak. Eliminasi ekstrahepatik propofol terjadi secara ekstrahepatik selama fase anhepatik dari orhtopik transplantasi hati. Disfungsi ginjal tidak mempengaruhi clearance propofol dan selama pengamatan lebih dari 34 tahun metabolisme propofol dimetabolisme di urin hanya 24 jam pertama. Pasien yang berusia lebih dari 60 27
tahun menunjukan penurunan bersihan plasma propofol dibandingkan pasien dewasa. Kecepatan bersihaan propofol mengkonfirmasi bahwa obat ini dapat digunakan secara terus menerus intravena tanpa efek kumulatif. Propofol mampu melewati sirkulasi plasenta namun secara cepat dibersihkan dari sikulasi fetus.
3.
Penggunaan Klinis
Propofol menjadi pilihan obat induksi terutama karena cepat dan efek mengembalikan kesadaran yang komplit. Infus intravena propofol dengan atau tanpa obat anestesia lain menjadi metode yang sering digunakan sebagai sedasi atau sebagai bagian penyeimbang atau anestesi total iv. Penggunaan propofol melalui infus secara terus menerus sering digunakan di ruang ICU.
a.
Induksi Anestesia Dosis induksi propofol pada pasien dewasa adalah 1,5 – 2,5 mg/kgBB
intravena dengan kadar obat 2-6 μg/ml menimbulkan turunnya kesadaran yang bergantung pada usia pasien. Mirip seperti barbiturat, anak-anak membutuhkan dosis induksi yang lebih besar tiap kilogram berat badannya yang mungkin disebabkan volum distribusi yang besar dan kecepatan bersihan yang lebih. Pasien lansia membutuhkan dosis induksi yang lebih kecil (25% - 50%) sebagai akibat penurunan volume distribusi dan penurunan bersihan plasma. Kesadaran kembali saat kadar propofol di plasma sebesar 1,0 – 1,5 μg/ml. Kesadaran yang komplit tanpa gejala sisa SSP merupakan karakter dari propofol dan telah menjadi alasan menggantikan thiopental sebagai induksi anestesi pada banyak situasi klinis.
b. Sedasi Intravena
Sensitive half time dari propofol walau diberikan melalui infus yang terus menerus, kombinasi efek singkat setara memberikan efek sedasi. Pengembalian kesadaran yang cepat tanpa gejala sisa serta insidens rasa mual dan muntah yang rendah membuat propofol diterima sebagai metode sadasi. Dosis sedasinya adalah 25-100μg/kgBB/menit secara intravena dapat menimbulkan efek analgesik dan amnestik. Pada beberapa pasien, midazolam atau opioid dapat dikombinasikan 28
dengan propofol melalui infus. Sehingga intensitas nyeri dan rasa tidak nyaman menurun. Propofol yang digunakan sebagai sedasi selama ventilasi mekanik di ICU pada beberapa populasi termasuk pasien post operasi (bedah jantung dan bedah saraf) dan pasien yang mengalami cedera kepala. Propofol juga memiliki efek antikonvulsan, dan amnestik Setelah pembedahan jantung, sedasi propofol mengatur respon hemodinamik post operasi dengan menurunkan insiden dan derajat takikardia dan hipertensi. Asidosis metabolik, lipidemia, bradikardia, dan kegagalan myokardial yang progresif pada beberapa anak yang mendapat sedasi propofol selama penanganan gagal napas akut di ICU.
c. Maintenance Anestesia
Dosis tipikal anestesia 100-300 μg/kgBB/menit iv sering dikombinasikan dengan opioid kerja singkat. Walaupun propofol diterima sebagai anestesi prosedur bedah yang singkat, tetapi propofol lebih sering digunakan pada operasi yang lama ( < 2 jam) dipertanyakan mengingat harga dan efek yang sedikit berbeda pada waktu kembalinya kesadaran dibandingkan standar teknik anestesi inhalasi. Anestesi umum dengan propofol dihubungkan dengan efek yang minimal pada rasa mual dan muntah post operasi, pengembalian kesadaran.
d. Aplikasi Terapeutik Nonhipnotik 1)
Efek Antiemetik Insiden mual dan muntah post-operasi menurun pada pasien yang
diberikan propofol. Dosis subhipnotik propofol (10-15 mg iv) mungkin digunakan untuk mengobati mual dan muntah terutama jika bukan yang disebabkan rangsangan nervus vagus. Selama masa postoperasi, keuntungan propofol adalah onset kerja yang cepat dan tidak ada efek samping obat yang serius. Propofol memiliki efek umum dalam menatalaksana mual dan muntah pada konsentrasi yang tidak menimbulkan efek sedasi. Efek antiemetik timbul pada pemberian propofol 10 mg diikuti dengan 10 μg/kgBB/menit. Dosis subhipnotik propofol efektif menatalaksana rasa mual dan muntah akibat kemoterapi. Ketika induksi 29
dan mempertahankan anestesi, penggunaan propofol lebih efektif daripada pemberian ondansentron.
2)
Efek Anti Pruritus Propofol 10 mg intravena efektif untuk menatalaksana pruritus yang
dihubungkan dengan opioid neuraxis atau kolestasis. Kualitas analgesia tidak dipengaruhi propofol. Mekanisme efek antipruritus berhubungan kemampuan obat menekan aktifitas spinal. Terdapat suatu penelitian yang menunjukan bahwa intratekal opioid menimbulkan pruritus melalui eksitasi segmental dari sum-sum tulang.
Aktifitas Antikonvulsan Propofol merupakan antiepileptik dengan merefleksi GABA mediated presinaps dan postsinaps inhibition dari kanal ion klorida. Dosis propofol > 1 mg/kgBB intravena menurunkan durasi kejang 35%-45% pada pasien yang mengalami terapi elektrokonvulsif.
b)
Attenuation Bronkokonstriksi Dibandingkan thiopental, propofol menurunkan prevalensi wheezing
setelah induksi dengan anestesia dan intubasi trakea pada pasien tanpa riwayat asma dan pasien dengan riwayat asma. Formula baru propofol yang menggunakan metabisulfit sebagai pengawet. Metabisulfit menimbulkan bronkokontriksi pada pasien asma. Pada studi di hewan, propofol tanpa metabisulfit menimbulkan stimulus ke nervus vagus yang menginduksi bronkokonstriksi dan metabisulfit sendiri dapat meningkatkat kurang responnya saluran pernapasan. Setelah intubasi trakea, pasien dengan riwayat merokok, resistensi saluran pernapasan meningkat pada
pasioen
yang
mendapat
propofol
dan
metabisulfit
serta
ethyl
enediaminetetraacetic (EDTA). Sehingga penggunaan bahan pengawet propofol meningkatkan risiko terjadinya bronkokonstriksi. Propofol yang menginduksi bronkokonstriksi pernah dilaporkan pada psien dengan riwayat alergi dan
30
penggunaan Diprivan® yang mengandung susu kedele, gliserin, egg lechitin , sodium edetate.
c)
Efek Pada Organ -
Sistem Saraf Pusat Propofol menurunkan Cerebral Metabolism Rate terhadap oksigen
(CRMO2), aliran darah, serta tekanan intra kranial (TIK). Penggunaan propofol sebagai sedasi pada pasien dengan lesi yang mendesak ruang intra kranial tidak akan meningkatkan TIK. Dosis besaar propofol mungkin menyebabkan penurunan tekanan darah yang diikuti penurunan tekanan aliran darah ke otak. Autoregulasi cerebral sebagai respon gangguan tekanan darah dan aliran darah ke otak yang mengubah PaCO 2 tidak dipengaruhi oleh propofol. Akan tetapi, aliran darah ke otak dipengaruhi oleh PaCO 2 pada pasien yang mendapat propofol dan midazolam. Propofol menyebabkan perubahan gambaran electroencephalograpic (EEG) yang mirip pada pasien yang mendapat thiopental. Cortical somatosensory evoked potentials yang digunakan sebagai alat monitoring fungsi sum-sum tulang belakang menunjukan tidak terdapat perbedaan hasil (penurunan amplitudo) antara pasien yang mendapat propofol saja dan yang mendapat propofol, N 2O, atau zat volatil lainnya. Propofol tidak mengubah gambaran EEG pasien kraniotomi. Mirip seperti midazolam, propofol menyebabkan gangguan ingatan yang mana thipental memiliki efek yang lebih sedikit serta fentanyl yang tidak memiliki efek gangguan ingatan.
-
Sistem Kardiovaskular Propofol lebih menurunkan tekanan darah sistemik daripada thiopental.
Penurunan tekanan darah ini juga dipengaruhi perubahan volume kardiak dan resistensi pembuluh darah. Relaksasi otot polos pembuluh darah disebabkan hambatan aktivitaas simpatis vasokontriksi. Suatu efek negatif inotropik yang disebabkan penurunan avaibilitas kalsium intrasel akibat penghambatan influks trans sarcolemmal kalsium. Stimulasi langsung laringoskop dan intubasi trakea membalikan efek propofol terhadap tekanan darah. Propofol juga menghambat 31
respon hipertensi selama pemasangan laringeal mask airway. Pengaruh propofol terhadap desflurane mediated sympathetic nervous system activation masih belum jelas. Suatu laporan menunjukan propofol sebanyak 2 mg/kgBB intravena meningkatkan konsentrasi epinefrin diikuti peningkatan mendadak konsentrasi desfluran > 1 MAC tetapi tidak menyebabkan peningkatan respon jantung. Berbeda dengan laporan lainnya, bahwa propofol dan zat penginduksi lainnya (selain etomidate) menyebabkan peningkatan aktifitas saraf simpatis, hipertensi, dan peningkatan konsentrasi inhalasi desfluran. Efek ini mungkin berlebihan bagi pasien hipovolemia, lansia, dan pasin dengan gangguan ventrikel kiri yang terkompensasi yang disebabkan gangguan padar pembuluh darah arteri koroner (PJK). Hidrasi yang cukup disarankan untuk meminimalisir gangguan tekanan darah. Sebagai tambahan, N2O tidak mengubah respon tekanan darah pada pasien yang diberikan propofol. Suatu penekan respon misalnya ephedrin dapat dimanfaatkan pada pasien ini. Bradikardi dan asisitol pernah dilaporkan pada pasien yang mendapat propofol sehingga disarankan obat antikolinergik untuk mengatasi stimulasi ke nervus vagus. Propofol sebenarnya juga meningkatkan respon saraf simpatis dalam skala ringan dibandingkan saraf parasimpatis sehingga terjadi dominasi saraf parasimpatis. Terdapat bukti yang menyatakan propofol menyababkan perubahan fungsi sinoatrial dan ventrikular node pada pasien normal dan pasien dengan Wolff Parkinsonn White sehingga penggunaan propofol dapat diterima. Namun terdapat suatu laporan yang menyatakan bahwa timbulnya gelombang delta pada pasien dengan sindrom WPW pada EKG selama pemberian infus propofol. Tidak seperti sevofluran, propofol tidak menimbulkan gelombang QT yang memanjang. Kontrol barorefleks juga tertekan pada pasien yang mendapat propofol.
-
Bradycardia- Related Death 32
Ditemukan bradikardia dan asistol setelah pemberian propofol telah pada pasien dewasa sehat sebagai propilaksis antikolinergik. Risiko bradycardia-
related death selama anestesia propofol sebesar 1,4 / 100.000. Bentuk bradikardi yang parah dan fatal pada anak di ICU ditemukan pada pemberian sedasi propofol yang lama. Anestesi propofol dibandingkan anestesi lain meningkatkan refleks okulokardiak
pada
pembedahan
strabismus
anak
selama
pemberian
antikolonergik. Respon denyut jantung selama pemberian atrofin intravena berbeda tipis pasien yang mendapat propofol dan pasien yang sadar. Penurunan respon atropin terjadi karena propofol menekan aktifitas saraf simpatis. Pengobatan propofol yang menginduksi bradikardia adalah dengan pemberian beta agonis contohnya insoproterenol.
-
Paru Terdapat risiko
apnea sebesar 25-35% pada pasien yang mendapat
propofol. Pemberian agen opioid sebagai premedikasi meningkatkan risiko ini. Stimulasi nyeri pada saat pembedahan juga meningkatkan risiko apnea. Infus propofol menurunkan volume tidal dan frekuensi pernapasan. Respon pernapasan menurun terhadap keadaan peningkatan karbon diokasida dan hipoksemia. Propofol menyebabkan bronkokontriksi dan menurunkan risiko terjadinya wheezing pada pasien asma. Konsetrasi sedasi propofol menyebabkan penurunan respon hiperkapnia akibat efek terhadap kemoreseptor sentral.
-
Fungsi Hepar dan Ginjal Propofol tidak menggangu fungsi hepar dan ginjal yang dinilai dari enzim
transamin hati dan konsentrasi kreatinin. Infus propofol yang lama menimbulkan luka pada sel hepar akibat asidosis laktat, bradidisritmia, dan rhabdomyolisis. Infus propifol yang lama menyebabkan urin yang berwarna kehijauan akibat adanya rantai phenol. Namun perubahan warna urin ini tidak mengganggu fungsi ginjal. Namun ekskresi asam urat meningkat pada pasien yang mendapat propofol
33
yang ditandai dengan urin yang kerug, terdapat kristal asam urat, pH dan suhu urin yang rendah. Efek ini menendai gangguan ginjal akibat propofol.
-
Tekanan Intraokular Pembedahaan laparoskopi dinilai berhubungan dengan peningkatak TIO
dan posisi pasien saat laparoskopi meingkatkan risiko hipertensi okular. Pada kasus ini propofol menurunkan TIO segera setelah induksi dan selama tindakan intubasi trakea. Penurunan TIO ini meningkat pada pasien yang juga mendapat isofluran.
-
Koagulasi Propofol tidak mengganggu koagulasi dan fungsi trombosit. Namun ada
laporan yang menunjukan bahwa emulsi propofol yang bersifat hidrofobil mempengaruhi koagulasi darah dan menghambat agregasi trombosiy melalui pengaruh mediator inflamasi lipid termasuk tromboksan A 2 dan platelet-activating factor (PAF).
B.
Ketamin5
Ketamin adalah derivat phencyclidine yang menyebabkan “disosiative anesthesia” yang ditandai dengan disosiasi EEG pada talamokortikal dan sistem limbik. Disosiative anesthesia ini menyerupai kedaan kataleptik dimana mata pasien terbuka dan diikuti nistagmus yang lambat. Berbagai derajat hnipertonus dan perpindahan otot yang tanpa tujuan sering terjadi pada p[roses pembedahan. Namun pasin tetap dalam keadaan amnesia dan analgesia. Ketamin memiliki keuntungan dimana tidak seperti propofol dan etomidate, ketamine larut di dalam air dan dapat menyebabkan analgesik pada dosis subsnaestetik. Namun ketamin sering hanya menyebabkan delirium. Ketamin ser ing disalahgunakan.
34
1.
Struktur Kimia Ketamin
Ketamin larut di dalam air karena memiliki struktur phenecyclidine. Terdapat karbon asimetris menimbulkan dua isomer ketamine (S(+)-ketamine dan R(-)-ketamin). Kebanyakan ketamin yang beredar dalam bentuk S(+)-Ketamine. Ketamine S(+) memiliki efek analgesia yang lebih, lebih cepat dimetablisme, dan masa recovery lebih singkat, salivasi lebih sedikit, dan menimbulkan efek emergensi lebih sedikit. Isomer ketamin menimbulkan rasa lelah dan gangguan kognitif daripada ketamin. Baik isomer ketamin maupun ketamin menghambat ambilan katekolamin ke ujung saraf bebas ganglion post-sinaps. Zat pengawetnya adalah zethonium chloride.
2.
Mekanisme Kerja Ketamin
Ketamin bersifat non-kompetitif phenycyclidine di reseptor N-Methyl D Aspartat (NMDA). Ketamin juga memiliki efek pada resetor lain termasuk reseptor opioid, reseptor muskarinik, reseptor monoaminergik, kanal kalsium tipe L dan natrium sensitif voltase. Tidak seperti propofol dan etomidate, katamin memiliki efek lemah pada reseptor GABA. Mediasi inflamasi juga dihasilkan lokal melalui penekanan pada ujung saraf yang dapat mengaktifasi netrofil dan mempengaruhi aliran darah. Ketamin mensupresi produksi netrofil sebagai mediator radang dan peningkatan aliran darah. Hambatan langsung sekresi sitokin inilah yang menimbulkan efek analgesia. Reseptor NMDA (famili glutamate reseptor) adalah ligand gated ion
channel yang unik dimana pengaktifannya memerlukan neurotransmiter eksitatori, glutamat dengan glisin sebagai coagonis obligatnya. Ketamin menghambat 35
aktifasi reseptor NMDA oleh glutamat, menurunkan pelepasan glutamat dari post sinaps, efek potensiasi dari neurotransmiter penghambat, gama aminobutyric acid. Interaksi dengan phencyclidine menyebabkan efek stereoselektif dimana isomer S(+) memiliki afinitas terbesar. Ketamin dilaporkan memiliki interaksi dengan reseptor opioid mu, delta, dan kappa. Namun, studi lain menyatakan ketamin memiliki efek antagonis pada reseptor mu namun memiliki efek agonis pada reseptor kappa. Ketamin juga berinteraksi dengan reseptor sigma, walaupun reseptor ini masih belum jelas apakah merupakan reseptor opioid dan ikatannya masih lemah. Aksi antinosiseptif ketamindihubungkan efeknya terhadap penurunan jalur penghambat nyeri monoaminergik. Anestesia ketamin sebagian berantagonis dengan obat antikolinergik. Sebagai kenyataannya, ketamin memiliki efek dengan gejala antikolinergik (delirium emergensi, bronkodilatasi, aksi simpatomimetik) sehingga efek antagonis terhadap reseptor muskarinik lebih tampak nyata daripada efek agonisnya. Mirip seperti anestesia lokal, ketamin berinteraksi dengan kanal sodium.
3.
Pharmakokinetik
Farmakokinetik ketamin mirip seperti thiopental yang memiliki aksi kerja singkat, memiliki aksi kerja yang relatif singkat, kelarutan lemak yang tinggi. pK ketamin adalah 7,5 pada pH yang fisiologik. Konsentrasi puncak ketamin terjadi pada 1 menit post injeksi ketamin secara intravena dan 5 menit setelah injeksi intramuskular. Ketamin tidak terlalu berikatan kuat dengan protein plasma namun secara cepat dilepaskan ke jaringan misalnya ke otak dimana konsentrasinya 4-5 kali dari pada konsetrasi di plasma. Kelarutan yang tinggi di dalam lemak (5-10 kali lebih tinggi dari pada thiopental) memudahkan ketamin melewati sawar darah di otak. Ketamin menginduksi peningkatan aliran darah ke otak yang memfasilitasi distribusi obat ini ke otak ditambah sifatnya yang mempermudah melewati sawar darah otak. Ketamin diredistribusi dari otak dan jaringan lain yang memiliki konsentrasi tinggi ketamin ke jaringan lain yang memiliki konsetrasi ketamin yang lebih rendah. Ketamin memiliki hepatic clearance yang 36
tinggi (1 liter per menit), dan Vd yang besar (3 liter/kgBB) sehingga waktu paruhnya sekitar 2-3 jam. Rasio ekstraksi yang tinggi di hati disebabkan perubahan aliran darah ke hati.
4.
Metabolisme
Ketamin dimetabolisme secara ekstensif
oleh enzim microsomal hati.
Bagian terpenting dari metabolisme ini adalah demetilasi ketamin oleh sitokrom p-450 sehingga terbentuk norketamin. Pada hewan, norketamin lebih kuat 1/5 – 1/3 daripada ketamin. Metabolit aktif ini lah yang juga menambah efek panjang ketamin, terutama pada dosis yang diulang atau administrasi lewat infus. Norketamin sering terhidroxilasi kemudian berkonjugasi sehingga lebih larut dalam air dan metabolisme dengan glukoronidase diekskresikan di ginjal. Penggunaan infus ketamin <4% memungkinkan ketamin diekskresikan di urin sebagai bentuk yang tak diubah. Ekskresi lewat feses ditemukan <5%. Penggunaan yang sering menstimulasi enzim yang memetabolismenya sehingga sering terjadi toleransi terhadap efek analgesia ketamin. Selain terjadi peningkatan toleransi ketamin terjadi pula efek ketergantungan ketamin.
5.
Penggunaan Secara Klinis
Ketamin adalah obat yang memiliki efek analgesia pada pemberian dengan dosis subanestesia dan menimbulkan induksi pada pemberian intravena dan dosis yang lebih besar. Ketamin juga memiliki efek menurunkan refleks batuk, laringospasm
yang
disebabkan
ketamine
induced
salivary
secretions.
Glycopyrrolatr lebih disukai daripada atropin dan scopolamin karena dapat melewati sawar darah otak dan meningkatkan insiden delirium emergensi.
a.
Analgesia
Intensitas analgesia pada dosis subanestesia yakni 0,2 – 0,5 mg/kgBB secara intravena. Konsentrasi plasma ketamin memiliki efek analgesia lebih rendah dari pada pemakaian secara oral daripada intramuskular yang dinilai dari konsentrasi norketamin akibat metabolisme awal di hati yang terjadi pada 37
pemakaian secara oral. Efek analgesia ini lebih nyata pada nyeri somatik dibandingkan nyeri viseral. Efek ketamin ini disebabkan aktifitasnya pada talamus dan sistem limbik yang bertanggung jawab terhadap interpretasi nyeri. Dosis yang lebih rendah dapat juga digunakan sebagai tambahan analgesia opioid. Sum-sum tulang belakang bertanggung jawab terhadap nyeri yang disebabkan sentuhan dan perpindahan posisi saat proses operasi. Aktifasi reseptor NMDA di sum-sum tulang belakang terjadi pada kornu dorasal. Reseptor NMDA merupakan reseptor dari asam amino eksitatori yang penting terhadap proses nyeri dan modulasi nyeri. Penghambatan reeptor NMDA oleh obat seperti obat ketamin, dextromethorpan, magnesium
berguna
untuk
tatalaksana
nyeri
termasuk
penurunan konsumsi analgesia. S(+) memiliki afinitas 4 kali dari pada isomer R(-), efek anagesi 2 kali lebih tinggi daripada recemik ketamin. Pada proses persalinan, ketamin memiliki efek analgesi tanpa mendepresi janin. Perubahan neurobehavioral lebih rendah pada bayi yang dilahirkan secara per vaginam dibandingkan bayi yang lahir dengan anestesia epidural, namun lebih tinggi dari pada bayi yang dilahirkan dengan anestesia thiopental-N2O. Dosis sedasi post operasi pada pasien jantung lansia adalah 2-4 mg/kgBB/jam. Penggunaan nya sebagai tatalaksana nyeri kronik tergolong moderate-lemah sehingga tidak direkomendasikan.
b.
Analgesia Neuraxis
Efek ekstradural analgesia masih dipertanyakan. Walaupun ketamin pernah dilaporkan memiliki interaksi dengan reseptor opioid, namun afinitas terhadap reseptor nya 10.000 kali lebih rendah dari pada morfin. Sehingga efek ekstradural baik efek spinal maupun efek sistemik saling berinteraksi dengan anestesi lokal yang mempengaruhi kanal ion sodium. Sehingga efek epidural ketamin lebih rendah namun pada pemakaian yang dikombinasikan dengan obat opiod memiliki efek sinergis.
38
c.
Induksi Anestesia
Induksi ketamin didapatkan dari pemakaian ketamin 1-2 mg/kgBB secara intravena dan 4-8 mg/kgBB pada pemakaian secara intramuskular. Suntikan ketamin tidak menimbulkan nyeri dan iritasi pada vena. Dosis yang lebih besar meningkatkan metabolisme katamin. Kesadaran hilang 30-60 detik setelah pemakaian secara intravena dan 2-4 menit pemakaian secara intramuskular. Penurunan kesadaran sebading atau berbeda sedikit terhadap penurunan refleks faring dan laring. Pengembalian kesadaran terjadi 10-20 menit seletal dosis induksi ketamin, namun orientasi kembali sepenuh nya setelah 60-90 menit. Amnesia terjadi pada menit ke 60- 90 setelah pemulihan kesadaran namun ketamin tidak menimbulkan amnesia retrograde. Karena
aksi
kerjanya
cepat,
ketamin
pernah
digunakan
secara
intramuskular pada anak dan padaa pasien yang mengalami gangguan retardasi mental. Ketamin digunakan sebagai obat pada pasien luka bakar, debridemen,
skin-grafting. Keuntungan penggunaan ketamin adalah mampu memberikan efek analgesia yang baik serta mampu mempertahankan ventilasi spontan. Toleransi mungkin terjadi pada pasien luka bakar yang mendapat ulangan dosis ketamin, anestesia interval cepat. Induksi anestesia pada pasien hipovolemik memberikan efek positif terhadap stimulasi kardiovaskular. Namun, seperti semua obat anestesia, bisa saja menyebabkan depresi myokardiak, terutama jika penyimpanan katekolamin endogen berkurang dan respon saraf simpatis berubah. Penggunaan ketamin pada pasien PJK meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung yang berhubungan dengan efek simpatomimetik ketamin. Hilangnya refleks kardioprotektif yang hilang sering dihubungkan dengan racemik ketamin terutama pada pasien yang memiliki riwayat PJK. Penggunaan diazepam 0,5mg/kgBB intravena dan ketamin 0,5 mg/kgBB diikuti infus ketamin 15-30 μg/kgBB/menit sering digunakan pada pasien yang memiliki riwayat PJK. Kombinasi propofol dan ketamin menimbukan efek hemodinamik yaang lebih stabil daripada kombinasi propofol dan fentanil ketika menghindari efek emergensi yang disertai penggunaan ketamin dengan dosis yang lebih. 39
Keuntungan
ketamin
pada
resistensi
saluran
napas
disebabkan
bronkodilatasi yang disebabkan obat sangat berguna pada induksi cepat pasien asma. Ketamin harus diperhatikan penggunaannya atau dihindari pada pasien hipertensi pulmonal atau sistemik dan pada pasien dengan peningkatan TIK. Nistagmus sering terjadi pada pemakaian ketamin.
d.
Pengembali Toleransi Opioid
Dosis subanestesi menghambat dan mengembalikan toleransi morfin. Walau mekanismenya belum jelas, namun interaksi dengan reseptor NMDA, dan jalur N2O, dan reseptor μ opioid. Penggunaan ketamin pada dosis subanestesi(0,3 mg/kgBB/jam) menurunkan toleransi opioid dan meningkatkan efek analgesia.
e.
Meningkatkan Depresi Mental
Reseptor NMDA terhadap glutamat mengganggu fisiologi tubuh terhadap mekanisme antidepresan. Sebagai NMDA antagonis, ketamin pada dosis rendah meningkatkan depresi pasien pasca operasi pada pasien depresi mental.
f.
Restless Leg Syndrome
Suatu studi yang menggambarkan peningkatan kondisi pada pasien dengan restless leg
syndrome.
Hal
ini
mungkin
karena ketamin
menghambat
neuroinflamasi pada sum-sum tulang dan pada sistem saraf yang lebih tinggi.
C.
Dextromethorphan 5
Dextromethorphan (d-isomer dari levophanol) adalah NMDA antagonis dengan afinitas ringan yang sering digunakan sebagai penghambat respon batuk di sentral. Obat ini memiliki efek yang seimbang dengan kodein sebagai antitusif tetapi tidak memiliki efek analgesik Tidak seperti kodein, obat ini tidak menimbulkan efek sedasi atau gangguan sistem gastrointestinal. DMP memiliki efek euforia sehingga sering disalahgunakan. Tanda dan genjala penggunaan berlebihan DMP adalah hipertensi sistemik, takikardia, somnolen, agitasi, ataxia,
40
diaporesis, kaku otot, kejang, koma, penurunan suhu tubuh. Hepatotoksisitas meningkat pada pasien yang mendapat DMP dan asetamenofen.
41
BAB IV KESIMPULAN
Obat-obatan opioid adalah obat-obatan yang berasal dari opium yang menunjukkan semua substansi eksogen, alami atau buatan, yang mengikat secara spesifik reseptor opioid dan menimbulkan beberapa gejala agonis seperti morfin. 1 Opioid bekerja pada reseptor opioid di presinaps dan postsinaps di sistem saraf pusat, medula spinalis, dan pada jaringan perifer. Di presinaps, opioid menurunkan sekresi neurotransmiter penginhibisi sehingga mencegah aktivasi reseptor (asetilkolin, dopamin, norefinefrin, substansi P). Pada jaringan perifer opioid berikatan dengan reseptor opioid endogen (endorfin, enkefalin, dan dinorfin) kemudian mengaktifkan sistem antinosiseptif. Terdapat tiga jenis reseptor opioid, yakni reseptor mu, kappa, dan delta yang memiliki fungsi berbeda. Contoh preparat opioid adalah morfin, meperidin, fentanil, sulfenatanil, codein, dan tramadol. 1 Hipnotik sedatif adalah istilah untuk obat-obatan yang mampu mendepresi sistem saraf pusat. Sedatif adalah substansi yang memiliki aktifitas moderate yang memberikan efek menenangkan, sementara hipnotik adalah substansi yang dapat memberikan efek mengantuk
dan yang dapat
memberikan onset
serta
mempertahankan tidur.2 Obat-Obatan hipnotik sedatif terbagi menjadi tiga jenis yakni golongan benzodiazepin, barbiturat, dan bukan keduanya.2 Obat golongan benzodiazepin berkerja
pada
reseptor gamma-aminobutyric
acid. Efek
farmakologi
benzodiazepin merupakan akibat aksi gamma-aminobutyric acid sebagai neurotransmitter penghambat di otak. Benzodiazepine meningkatkan kepekaan reseptor gamma-aminobutyric acid
terhadap neurotransmitter
penghambat
sehingga kanal klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi post sinaptik membran
42
sel dan mendorong post sinaptik membran sel tidak dapat dieksitasi. Contoh preparat benzodiazepin antara lain midazolam, alprazolam, diazepam, clobazam.3 Obat-obatan barbiturat bekerja pada neurotansmiter penghambat ( gamma-
aminobutyric acid) pada sistem saraf pusat. Aktifasi reseptor ini meningkatkan konduktase klorida transmembran, sehingga terjadi hiperpolarisasi membran sel postsinaps. Contoh obat-obatan golongan barbiturat antara lain tiopental dan phenobarbital. 4 Beberapa obat lain yang bukan jenis barbiturat dan banzodiazepin yang sering digunakan sebagai obat sedasi dan hipnotik antara lain: propofol, ketamin, dextromethorphan.5
43