PROSIDING SEMINAR NASIONAL 2011
"INOVASI DAN APLIKASI TEKNOLOGI PERTAMBANGAN UNTUK NEGERI"
Banjarbaru Kalimantan Selatan, 30 Juli 2011
TIM REVIEWER: Prof. Dr. Ir. H. Rusdi HA. M.Sc Prof. Fathurrazie Shadiq, MSc Dr. Ir. Syahril Taufik, M.Sc. Eng
TIM EDITOR: Nurhakim, MT Riswan, MT
Penerbit : Universitas Lambung Mangkurat Press
SEMINAR NASIONAL 2011
--ll
"INOVASI & APLIKASI TEKNOLOGT PERTAMBANGAN UNTUK NEGERI"
PROSIDING
q-s
h
I
$
Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog dalam Terbitan (KDT) Fakultas Teknik UNLAM Inovasi dan Aplikasi Teknologi Petambangan untuk Negeri/Fakultas Teknik UNLAM Banjarbaru: Universitas Lambung Mangkurat Press, 2012 256
+ v hlm, 29 cm
ISBN : 978-602-992-44-8 1. Judul
Inovasi dan Aplikasi Teknologi Petambangan untuk Negeri
I.
Inovasi dan Aplikasi Teknologi Petambangan untuk Negeri
Hak Cipta ©2011 pada penulis Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Cetakan pertama, Juli 2012
Desain Cover : Rakhman Silvika Maksum
Penerbit : Universitas Lambung Mangkurat Press Jl. H. Hasan Basry, Kayutangi-Banjarmasin 70123 Telp./Fax. 0511-3304480 Bekerjasama dengan : Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat Jl. A. Yani Km 36, Kampus Fakultas Teknik UNLAM Banjarbaru 70714 Telp.0511-9259966 Dep. Energy & Mineral Resources, College of Engineering, Dong-A University, Korea 840, Hadan 2- Dong, Saha-gu Busan, 604-714, Korea PERHAPI Perwakilan KALSEL Jl. H. Hasan Basry, Kayutangi Kampus UNLAM Banjarmasin 70123
PROSIDING SEMINAR NASIONAL 2011
"INOVASI DAN APLIKASI TEKNOLOGI PERTAMBANGAN UNTUK NEGERI"
Banjarbaru Kalimantan Selatan, 30 Juli 2011
TIM REVIEWER: Prof. Dr. Ir. H. Rusdi HA. M.Sc Prof. Fathurrazie Shadiq, MSc Dr. Ir. Syahril Taufik, M.Sc. Eng
TIM EDITOR: Nurhakim, MT Riswan, MT
Penerbit : Universitas Lambung Mangkurat Press
PROSIDING SEMINAR NASIONAL 2011 "Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri" Banjarbaru Kalimantan Selatan, 30 Juli 2011 PANITIA Steering Committee: Pelindung
Pengarah
Penasehat Penanggung Jawab
: Prof. Dr. H. Moh. Ruslan, MS Prof. Dr. Sutarto Hadi, MSi, MSc Ir. Noman Ruslan, MT : Dr. Ir. Syahril Taufik, M.Sc. Eng Iphan Fitrian Radam, ST, MT Mastiadi Tamjidillah, ST, MT : Ir. Eddy DS, M.App.Sc Ir. Adip Mustopa : Nurhakim, ST, MT M. Hijrah Salam Yanuar Candra
(Rektor UNLAM) (PR-IV UNLAM) (Dekan FT UNLAM) (PD-I FT UNLAM) (PD-II FT UNLAM) (PD-III FT UNLAM) (Ketua PERHAPI Kalsel) (Mantan KaPSTP 2005-2009) (Ketua PSTP FT UNLAM) (Ketua BEM FT UNLAM) (Ketua HIMASAPTA)
Organizing Committee: Ketua Wakil Ketua Sekretaris Wakil Sekretaris Bendahara Wakil Bendahara Sie Makala/Prosidnig/ISBN
Sie Acara
Sie Dokumentasi Sie Perlengkapan/Dekorasi
Sie Umum/Perijinan/Keamanan
Sie Kesekretariatan/Pub/Humas
Sie Usaha/Dana
Sie Konsumsi
: Riswan, MT : Bahrurrusydi : Hafidz Noor Fikri, ST : Indira Matahari : Sari Melati, ST : Edwin Noviansyah : Uyu Saimana, MT Rizal Malik Rahmadany Maolana Dimas Apri Saputra : Untung D, ST M. Syapril Ashari Rizky Hidayat Kurnia Rahman Ilahi : BEM & UPK Fotografi : Jossi Arizon Purba Andi Pranata Anton Ferlian Simamora : BEM FT UNLAM M. Richy Ambadar Fantry Abdi Andreano Faisal Rijani : Duan Arpilanoor Lawrensa Jeriko Agus Arie Yudha Mitha Afryana : M. Syafa Marwah Kiki Indra Kurniawan Ariadi Prasetya : Sriwahyuni, A. Ma Mujaiyanah, A. Ma Haslinda M. Fakhry Nugraha Supriyadi Azwin Wirya Pratama
ALAMAT SEKRETARIAT:
Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT Jl. Jenderal Achmad Yani Km. 36 Banjarbaru-Kalimantan Selatan 70714 Telp. : 0511-4773858 Fax : 0511-4781730 E-mail :
[email protected], Website : www. mining-unlam.ac.id
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Daftar Nama Pemakalah No.
Nama Pemakalah
Judul Makalah
Asal Instansi
1
Changwoo Lee
Asbestos particle dispersion in the atmosphere from closed down mine sites
2
Eddy Ibrahim
Aplikasi Pemodelan Kedepan 3D Ground Penetrating Radar (GPR) Untuk Eksplorasi Batubara
3
H. Rusdi, H.A
Kajian Air Danau Pertambangan Untuk Air Baku
4
D.W. Kang
The Study On Blasting Effect With Pre-Assessment Borehole Status By Inserting Real Time Borehole Endoscope Verification
5
Nurul Taufiqu Rochman
Strategi Pengembangan Industri Besi/ Baja Hulu Nasional Berbasis Bahan Baku Lokal
Department of Energy and Mineral Resources Engineering Dong-A University Republic of Korea Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, Kota Inderalaya, Indonesia Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat Indonesia Department of Energy and Mineral Resources Engineering Dong-A University Republic of Korea Pusat Penelitian Metalurgi LIPI, Puspiptek Serpong Tangsel, Banten Indonesia
6
M. Elma
Review Of Gas Diffusivity In Coal: Part 1, Preliminary Characterisation And Novel High Pressure MultiComponent Diffusion Cell
School of Chemical Engineering, The University of Queensland, St. Lucia, Brisbane, QLD 4072 Australia
254
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
No.
Nama Pemakalah
Judul Makalah
Asal Instansi
7
Irzal Nur
Hydrothermal Alteration Associated with the Baturappe Epithermal Silver-Base Metal Deposit, South Sulawesi, Indonesia: Mineralogy, Zoning, and Exploration Implications
8
Masagus Ahmad Azizi
9
Nurkhamim
Aplikasi Probabilistik Untuk Analisis Kestabilan Lereng Tunggal Menggunakan Metode Bishop (Studi kasus di PT. Tambang Batubara Bukit Asam tbk. Tanjung Enim, Sumatera Selatan) Estimasi Distribusi Ukuran Fragmen Batuan Hasil Peledakan Menggunakan Perhitungan Split-Desktop
Department of Geological Engineering, Faculty of Engineering, Hasanuddin University, Makassar, Indonesia Jurusan Teknik Pertambangan FTKE Universitas Trisakti Jakarta
10
Nurhakim
Optimalisasi sumberdaya dan teknologi dalam peningkatan pembangunan Di kawasan Timur Indonesia
11
Adip Mustopa
Prespektif Teknik Dan Ekologi Pembangunan Mega Proyek Pabrik Baja Krakatau Steel Di Batulicin Tanah Bumbu Kalimantan Selatan
12
Riswan
Biaya Pertambangan Batubara Di Indonesia
13
Uyu Saismana
Perhitungan Sumberdaya Potensi Bahan Galian Bijih Besi di Bukit Batu Hitam, Kec. Menthobi Raya dan Kec.
Teknik Pertambangan Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat Staf Pengajar pada Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik UNLAM Staf Pengajar pada Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik UNLAM Staf Pengajar pada Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik UNLAM Staf Pengajar pada Program Studi Teknik Pertambangan 255
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
No.
Nama Pemakalah
Judul Makalah
Asal Instansi
Sematu Jaya, Kab. Lamandau, Kalimantan Tengah
Fakultas Teknik UNLAM
Analisa Batuan Bawah Permukaan Untuk Lokasi Tempat Pembuangan Sampah Di Desa Kopi, Bone Bolango Studi Awal Pemanfaatan Air Asam Tambang Batubara Sebagai Koagulan Air Sungai Martapura
Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
14
Ibrahim Sota
15
Agus Mirwan
16
Doni Rahmat Wicakso
Pemurnian Etanol Dengan Proses Adsorbsi Menggunakan Fly Ash Batubara Teraktivasi
17
Isna Syauqiah
Tinjauan Pengelolaan Lubang Bekas Galian Tambang Sebagai Reservoar Air
18
Rudi Siswanto
Pemanfaatan Rongsokan (Scrap) Paduan Al-Mg Sebagai Bahan Baku Produk Pengecoran Logam Menggunakan Metode Pengecoran Tuang
Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat, Kota Banjarbaru, Indonesia Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat, Kota Banjarbaru, Indonesia Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat, Kota Banjarbaru, Indonesia Program Studi Teknik Mesin Akademi Teknik Pembangunan Nasional (ATPN) Banjarbaru
256
Kata Pengantar
Assalamu‟alaikum Wr. Wb. Alhamdulillahi robbil „alamin. Segala puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah S.W.T., Tuhan yang Maha Esa, atas segala limpahan karunia-Nya kepada kita semua yang berupa kesehatan dan kesempatan untuk saling bertemu, bertukar ilmu, dan berdiskusi dalam kegiatan Seminar Nasional “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” yang dilaksanakan oleh Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat pada tanggal 30 Juli 2011 di Aula Kantor DPRD Kota Banjarbaru Propinsi Kalimantan Selatan. Seminar Nasional dengan tema “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” , bertujuan untuk menghimpun inovasi dan aplikasi teknologi dibidang pertambangan untuk mendukung pertambangan yang berkelanjutan dan bewawasan lingkungan serta menyampaikan informasi teknologi hasil penelitian dan pengkajian atau inovasi teknologi baru antara peneliti, praktisi, pengawas pertambangan dan penentu kebijakan. Prosiding ini disusun untuk mendokumentasikan dan mengkomunikasikan hasil seminar nasional tersebut yang terangkum dalam makalah-makalah yang disajikan dalam seminar. Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada para penyaji dan penulis makalah, Tim reviewer dan Tim editor serta seluruh panitia pelaksana yang telah bekerja keras sehingga prosiding ini dapat diterbitkan. Mudah-mudahan prosiding ini bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan, utamanya akademisi, praktisi dan pengambil kebijakan pada bidang Pertambangan serta dapat bermanfaat bagi pembangunan bangsa Indonesia. Wassalamu‟alaikum Wr. Wb
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Organizing Committee
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
DAFTAR ISI halaman Kata Pengantar .................................................................................................. iii Daftar isi ............................................................................................................. iv Daftar Lampiran ................................................................................................ vi Asbestos particle dispersion in the atmosphere from closed down mine sites (Changwoo Lee, Sewon Kil, Dooyoung Kim) ..................................................... 1 Aplikasi Pemodelan Kedepan 3D Ground Penetrating Radar (GPR) Untuk Eksplorasi Batubara (Eddy Ibrahim) ..................................................................................................... 20 Kajian Air Danau Pertambangan Untuk Air Baku (H. Rusdi, H.A, Nurhakim) ................................................................................... 30 The Study On Blasting Effect With Pre-Assessment Borehole Status By Inserting Real Time Borehole Endoscope Verification (D.W. Kang, W.H. Hur) ....................................................................................... 45 Strategi Pengembangan Industri Besi/ Baja Hulu Nasional Berbasis Bahan Baku Lokal (Nurul Taufiqu Rochman) .................................................................................... 57 Review Of Gas Diffusivity In Coal: Part 1, Preliminary Characterisation And Novel High Pressure Multi-Component Diffusion Cell (M. Elma, P. Massarotto, dan V. Rudolph) .......................................................... 75 Hydrothermal Alteration Associated with the Baturappe Epithermal Silver-Base Metal Deposit, South Sulawesi, Indonesia: Mineralogy, Zoning, and Exploration Implications (Irzal Nur, Arifudin Idrus, Subagyo Pramumijoyo, Agung Harijoko, Sufriadin) ................................................................................. 94 Aplikasi Probabilistik Untuk Analisis Kestabilan Lereng Tunggal Menggunakan Metode Bishop (Studi kasus di PT. Tambang Batubara Bukit Asam tbk. Tanjung Enim, Sumatera Selatan) (Masagus Ahmad Azizi, Suseno Kramadibrata, Ridho K.Wattimen, Indra Djati Sidi, Susanto Basuki) ......................................................................... 110
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Estimasi Distribusi Ukuran Fragmen Batuan Hasil Peledakan Menggunakan Perhitungan Split-Desktop (Nurkhamim, Hafiez Asnawi) .............................................................................. 123 Optimalisasi sumberdaya dan teknologi dalam peningkatan pembangunan Di kawasan Timur Indonesia (Nurhakim) ............................................................................................................ 134 Prespektif Teknik Dan Ekologi Pembangunan Mega Proyek Pabrik Baja Krakatau Steel Di Batulicin Tanah Bumbu Kalimantan Selatan (Adip Mustopa, Riswan) ...................................................................................... 144 Biaya Pertambangan Batubara Di Indonesia (Riswan, Adip Mustopa) ...................................................................................... 160 Perhitungan Sumberdaya Potensi Bahan Galian Bijih Besi di Bukit Batu Hitam, Kec. Menthobi Raya dan Kec. Sematu Jaya, Kab. Lamandau, Kalimantan Tengah (Uyu Saismana) .................................................................................................... 177 Analisa Batuan Bawah Permukaan Untuk Lokasi Tempat Pembuangan Sampah Di Desa Kopi, Bone Bolango (Ibrahim Sota, Ahmad Zainuri) ............................................................................ 197 Studi Awal Pemanfaatan Air Asam Tambang Batubara Sebagai Koagulan Air Sungai Martapura (Agus Mirwan, Reni Indrawati) ........................................................................... 211 Pemurnian Etanol Dengan Proses Adsorbsi Menggunakan Fly Ash Batubara Teraktivasi (Doni Rahmat Wicakso, Aliyah Ervina Astuti) ................................................... 219 Tinjauan Pengelolaan Lubang Bekas Galian Tambang Sebagai Reservoar Air (Isna Syauqiah) ..................................................................................................... 227 Pemanfaatan Rongsokan (Scrap) Paduan Al-Mg Sebagai Bahan Baku Produk Pengecoran Logam Menggunakan Metode Pengecoran Tuang (Rudi Siswanto) .................................................................................................... 241 Lampiran ............................................................................................................. 254
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
ASBESTOS PARTICLE DISPERSION IN THE ATMOSPHERE FROM CLOSED DOWN MINE SITES Changwoo Lee, Sewon Kil, Dooyoung Kim Department of Energy and Mineral Resources Engineering Dong-A University 840 Hadan-dong, Saha-gu Busan, 604-714, Korea Phone : 051-200-7769 Fax : 051-200-7771 E-mail :
[email protected]
ABSTRACT Although all asbestos mines in Korea were closed years ago, asbestoscontaining rocks such as Serpentine near mine portals and crushing sites have been exposed to weathering. In some cases those rocks were fragmented and used for improving the soil quality in the farms. Asbestos fibers liberated from the various sources now create concerns for environmental contamination, particularly soil contamination through atmospheric dispersion over an extended area. Application of the soil contamination remedy measures has been considered as the solution. This paper aims at predicting the distribution of asbestos soil pollution and defining the area requiring remediation. Two stages of the study were carried out; (1) particulate re-entrainment study in the wind tunnel and (2) atmospheric contaminant transport simulation. The planetary boundary layer was created to mimic the surface boundary layer in which the settled particulates are re-entrained into the air stream. Since turbulent intensity is known to be the most critical parameter to determine the reentrainment, it was controlled during the experiments. Also the effect of the moisture content in soil samples was studied. The maximum strength of the dispersion sources defined as grams across unit area per unit time was derived for the subsequent atmospheric transport simulation study. ISCST3, the US EPA’s regulatory model, was applied to predict the short-term as well as long-term transport and settling amount. Meteorological and topographic data at the study site were used for the analysis. The final outcome will be used for determining the specific areas for soil treatment. Keywords : Asbestos fiber; atmospheric dispersion; turbulence intensity; planetary boundary layer
1
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
1.
INTRODUCTION There were 36 asbestos mines in the southern part of Korea peninsula and in
2011 none of those mines is in operation.
Most of them had been deserted and
systematic restoration project hade been applied only to few mines.
At most of
the mines in the past, crushing and manufacturing facilities were built near the mine portals and asbestos fiber-rich dust is believed to be generated, dispersed and deposited on the nearby soil for quite some time.
Fortunately, there has been no
concrete data showing the risk of asbestos particles either in the soil or in the air. However, we have seen a rise in the awareness of environmental issues associated with the mined areas and among them asbestos dust topped the list.
Now, in
order to prevent the possible risk of human exposure, the government agencies are working together with the academic community to identify the problem status and plan the necessary restoration works. This paper aims at studying the possibility of asbestos dust contained in the soil near the closed down mine portals and ultimately specifying the region that requires extensive restoration work.
Wind tunnel was set up to simulate the
dynamics within the planetary boundary layer and a series of experiments have been carried out to analyze the possibility of re-entrainment of asbestos fibers. Asbestos dust re-entrained in the atmosphere will travel long distance and its dispersion was simulated using an US EPA atmospheric dispersion model.
The
simulated results based on the source strength gained from the wind tunnel experiments show the amount of dust settled on the soil and the concentration in the air.
2.
DEFINITION AND REGULATIONS OF THE ASBESTOS FIBERS Asbestos is defined as a commercial term applied to the asbestiform
varieties of six minerals; one Serpentine mineral Chrysotile, and five Amphibole minerals, Amosite, Crocidolite, Anthophyllite, Tremolite and Actinolite. Fibers have mean aspect ratios of 20:1 to 100:1; higher for fibers longer than 5μm.
2
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Fibers are very thin, usually less than 0.5μm in diameter.
In the meantime, fibers
of airborne asbestos is defined by US EPA as fibers with the length longer than 0.5μm and the aspect ratio minimum 5:1, while OSHA’s definition is a little bit different with the aspect ratio greater than 3:1. It is known that there are differences in human risk among these minerals; Crocidolite is the most risky and Chrysotile is the least.
Since Asbestos fibers
have relatively sharp shapes and are hardly soluble in the respiratory tract, asbestos particles can cause numerous diseases such as lung cancer, Mesothelioma, Asbestosis, Pleural diseases and so on. In Korea, the threshold limit of asbestos fibers in the indoor air quality regulated by the government agencies is 0.01fibers/ml.
It was not until there
were reports of danger of human risk among the people, particularly residents near the closed down mines portals that the asbestos fibers re-entrained in the atmosphere from the mine area has caught the attention of everybody.
Thus,
more strict atmospheric preservation standard for the airborne asbestos dust will be soon formulated or revised aiming at the industries emitting asbestos into the atmosphere.
3.
RE-ENTRAINMENT STUDY The study sites in this paper are three closed down asbestos mines located in
Seolakmyeon, Gapyong County, Gyeonggi-do, occupying a total area of 141km2. Asbestos-containing rock is Serpentine formed in the deposit by thermal processing. Since all three mines were closed down decades ago, nearby regions are developed either as residential area or farmland.
Asbestos-containing rock
abandoned near the portals has been weathered and has high potential to throw asbestos fibers into the air.
In addition, fine particulates generated by the
asbestos milling processes were often mixed with soil and used in farmland. Figure 1 shows a typical SEM image of Chrysotile fibers found at the site and a satellite picture of the 4km x 4km area and its topographic map are included
3
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
in Figure 2. Three mine portals located along a stream are approximately 0.8 ~1.4km.
Figure 1. SEM Image of Chrysotile Fibers Sampled at the Study Site
a. Satellite Picture
b. Topographic Map
Figure 2. Study Site Map and Topography
3.1
Soil Particle Size Distribution In May 2010, 30 soil samples were sampled near the portals and along a
stream.
Among them, one sample from the zone with higher contamination
potential and two from the less risky zone were selected for the wind tunnel
4
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
experiment.
Zones at the study site were divided by the results of a previous
preliminary study of soil contamination. Sieving test for particles coarser than 100μm and Andreasen Pipette employing Stoke’s law for finer particles were applied for the analysis of all sizes. Its purpose was to quantify the weight of particles by size dispersed during the wind tunnel experiment.
No. 20, 30, 40, 60, 100, 170 sieves were used on the
basis of KS2309 Korean Test Standard, and Figure 3 shows cumulative size distributions of a sample; two from the sieve test and Andreasen Pipette method, respectively and the final combined distribution.
The soil sample described in
Figure 3 was obtained from farmland and its size analysis shows particles less than 500μm accounts for approximately 50%; minus 100μm, 1% and minus 10μm, 0.3%, respectively. The other two samples also show similar size characteristics.
c. Complete Size Distribution Figure 3. Cumulative Size Distribution of a Soil Sample
a. by Sieving
3.2
b. by Andreasen Pipette
Wind Tunnel Dispersion Test A wind tunnel can be designed to simulate the particle dispersion
phenomenon inside the planetary boundary layer.
The planetary boundary layer
(PBL), also called as the atmospheric boundary layer (ABL), is the lowest layer of the troposphere where wind is influenced by friction.
The thickness of the PBL 5
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
is not constant.
One of the characteristic of PBL is that wind is turbulent and
gusty within the PBL.
Surface friction from vegetation and topography causes
turbulent eddies and chaotic wind patterns to develop, while above the PBL, the wind speed is much more uniform and stronger due to a marked decrease in friction. The parameters governing particle dispersion in the PBL are known to be wind speed and turbulent intensity, while separation of a particle from pile is driven by the force acting on the pile surface through pressure fluctuation. Pressure fluctuation increases with eddies and separation and is closely related to the turbulent intensity (Ogawa et al., 1991). 3.2.1 Description of Wind Tunnel The wind tunnel for dispersion test of the particles in soil samples is designed to generate wind speed less than 15m/s which was the maximum instant speed observed over the past 5-years, and simulate the dynamics of the PBL. Figure 4 shows the 15m long wind tunnel and its cross section. An invertercontrolled centrifugal fan and a water scrubber for eliminating the dispersed particles at the discharge point are attached.
Figure 4. Schematic of The Wind Tunnel Layout
Floor mat, fence and vortex generator are installed in the 4.43m long middle section of the tunnel to simulate the PBL as shown in Figure 5. These increase surface friction and develop a boundary layer which has profiles of the vertical velocity and the turbulent intensity similar those within the PBL.
Turbulence
Intensity is a scale characterizing turbulence expressed as a percent. An idealized
6
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
flow of air with absolutely no fluctuations in air speed or direction would have a Turbulence Intensity value of 0%. Turbulence Intensity (T.I.) is defined in the following equation(1): T.I. = u’/U u’ = the Root-Mean-Square (RMS), or Standard Deviation, of the turbulent velocity fluctuations at a particular location over a specified period of time U = the average of the velocity at the same location over same time period
Figure 5. Schematic of The PBL Simulator
3.2.2 Velocity and Turbulence Intensity Profiles in the Wind Tunnel Four different wind speeds were generated in the wind tunnel; 3, 7, 10 and 14.5m/s. Figure 6 shows cross-sectional velocity variation with height without and with the PBL simulator.
The thickness of the PBL seems to be 12~14cm and
the velocity in it varies from 1.5 to 4m/s, much less than the range of 3~13.5m/s measured above the PBL. wind velocity.
The PBL thickness clearly decreases with increasing
Velocities were measured by Pitot tubes and hot-wire
anemometers, as moving and fixed sensors.
7
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
a. Without the PBL Simulator b. With the PBL Simulator Figure 6. Velocity Profiles without and with the PBL Simulator Typical values of turbulence intensity measured within the PBL with the velocity range similar to that in this study is reported to be 8~10% by Barthelmie(1999).
This was very well simulated within the wind tunnel as
shown in Figure 7; the simulated values were in the range of 4 to 14 %. The lateral and vertical fluctuations of the wind speed at a single location were assumed to be ignorable and only the axial component was taken into account to calculate the turbulence intensity.
a. Measured by fixed hot-wire anemometer b. Measured with Pitot tube Figure 7. Variation of the Turbulence Intensity
8
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
3.2.3 Dust Dispersion Experiments Approximately 1500 grams of the soil samples collected from the study site were prepared in a sample container in the shape of a rectangular parallelopiped, 45cm long, 21cm wide and 2cm high.
The container was placed on the tunnel
floor within the PBL simulator section, and the top surface of container had been adjusted to the floor level during the dispersion experiment.
A load cell was
placed under the container and measured the weight change of the container. The subsequent weight changes in the container were interpreted as the amount of dust dispersed in to the wind tunnel. The wind speeds were 3.3, 6.6, 9.8 and 13.3m/s and the total dispersion times of individual dispersion experiments ranged from 10 to 30minutes depending on the wind speed. Dispersion rates of the three samples expressed in terms of g/m2 hr were in the range of 3.3 to 109.9. To derive the dispersion rate in each size interval, the size distributions after the dispersion experiments were carried out by the identical methods applied to the previous size analysis works. Figure 8 describes the two size distributions obtained before and after the dispersion experiments for the wind speed of 13.3m/s.
a. Sample A b. Sample B c. Sample C Figure 8. Size Distributions before and after The Dispersion Experiments with the wind Speed of 13.3m/s
Under the assumption that the maximum particle size found in the total 9
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
suspended particles in the atmosphere is 100μm, the amount of dust dispersed from the sample container was calculated with the weight differences in the size range under 100μm. Table 1 shows the results and Figure 9 shows its summary. Dispersion rates of the fine particles of the three samples ranges from 0.2 to 6.1g/m2 hr. Table 1. Dispersion Rates of Fine Particles under 100μm (Sample A) Wind Speed Total Dispersion Weight Rate of Dispersion (m/s) (g) (g/m2 hr) 3.3 7 0.2 6.6 41 1.0 9.8 66 3.8 13.3 104 6.1
Figure 9. Changes in the Size Distributions by Dispersion Experiments
The effects of moisture content in soil were also tested by adjusting the water contents to 0, 5 and 10%.
The tests were performed in outside
environment with constant temperature and humidity in order to avoid the influences of other variables. As shown in Figure 10, the results indicate soil particles with higher water content are hard to be dispersed and fine particles in the dry soil show a 4.5times higher dispersion rate compared with the case with moisture content of 10%.
10
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
a. TSP b. Fine particles less than 100μm Figure 10. Changes in the Dispersion Rate with the Moisture Content in Soil
3.3
The Results – Contamination Source Strength Since a series of qualitative preliminary study with polarization microscope
shows the Asbestos concentrations in terms of the number, individual asbestos fibers have to be characterized to convert them to the gravimetric concentration. Identification of the mass of individual fiber can allow us to calculate the dispersion weight of Asbestos fibers in the fine particle size range.
A series of
SEM analysis were done to obtain the aspect ratio of fiber, the ratio of length to diameter.
Figure 11 shows the SEM images of Asbestos fibers, while Figure 12
includes distribution of fiber diameter and length.
The average value of fiber
diameter was 0.5μm and most of the fibers were longer than 5μm. The average aspect ratio was 20:1.
11
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
a. (x 500) b. (x 5000) Figure 11. SEM Images of Asbestos Fibers
a. Length Distribution b. Diameter Distribution Figure 12. Histograms of the Length and Diameter of Asbestos Fibers Assuming the specific weight of Asbestos is 3, the average mass of Asbestos fiber with the length of 17.5μm and the diameter of 1.5μm can be calculated to be 5.45E-23g/m2 s.
Table 2 shows the dispersion rate of Asbestos fibers in the
samples containing 0.75% and 3% of Asbestos.
These concentrations in soil 12
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
samples were provided by the preliminary analysis with polarization microscope. Therefore, the Asbestos fiber dispersion rates which is subsequently used as the source strength in the following atmospheric dispersion simulation range from 1.46E-25 to 2.21E-23g/m2 s. Table 2. Dispersion Rate of Asbestos Particles at the Study Site
4.
Asbestos Concentration (% by number)
Contamination Source Strength (g/m2 s)
Sample containing 0.75% Asbestos
1.46E-25
Sample containing 3% Asbestos
2.21E-23
ATMOSPHERIC DISPERSION SIMULATION A series of 3D atmospheric dispersion simulation using US EPA model
ISCLT3 were performed to estimate the short-term as well as long-term dispersion of Asbestos particles.
The simulation study can provide the Asbestos
concentration in the air and soil.
All the topographical data such as Transverse
Mercator Coordinates and elevations were employed, while the past weather data were obtained from the nearby meteorological observation station.
Precipitation
data were used to estimate the moisture content in the soil and subsequently the contamination source strength which has the moisture-dependent characteristics shown in Figure 10.
The size of contamination source was assumed to 30x30m2
which approximates the exposed area near the mine portals. Figure 13 summarizes the distribution of wind direction and speed observed at the nearby monitoring station in 2008.
This was used for the simulation
analysis.
13
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
a. Wind Direction b. Wind Speed Figure 13. Annual Distribution of Wind Direction and Speed
4.1
Annual Deposition of Asbestos Particles The first simulation analysis aims at estimating the average concentration
in the air and the deposition amount of Asbestos particles per year from all three contamination sources.
Figure 14 summarizes the simulation results, while the
values in contour maps for the airborne dust concentration and soil deposition rate are in μg/m3 and g/m2, respectively and have to be multiplied by 10-18. The regions within 260m, 300m, 280m from Portal A, B and C show the deposition rate higher than 1 X 10-21g/m2 and these values are significantly less than 0.4g/m2 at the depth of 2.5cm, NEN 5707 (Netherlands Standard for Asbestos content).
In the meantime, the Asbestos concentration in the air was not serious
at all since the concentrations within the air, 210m, 280m and 200m from the portals are well below 5.45 x 10-14μg/m3 the converted TLV of NEN 5707. .
14
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
a. Concentration in the Air b. Deposition Rate on the Surface Figure 14. Annual Concentration in the Air and Deposition Rate of Asbestos Particles
4.2
Seasonal Deposition of Asbestos Particles from Three Closed Down Mine Portals The seasonal variation of simulation results was also analyzed.
Figure 15
describes the soil contamination rate by season. The results only for summer with stronger wind and spring with lower humidity are included in the figure. In summer, the regions within 300m, 290m and 240m from three mine portals show deposition rate higher than 2.5x10-21g/m2, while less amount of Asbestos particles is shown to be deposited in spring. Regardless of the seasonal variation, the soil in all the regions does not seem to be affected seriously by Asbestos particle dispersion.
15
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
a. In Summer b. In Spring Figure 15. Seasonal Variation of Deposition Rate of Asbestos Particles
4.3
Deposition of Asbestos Particles for the Five-year Period from Three Closed Down Mine Portals A longer-term simulation was done for 5-years.
All the scenario data were
identical to those in the previous simulations. Figure 16 illustrates the results; the estimated deposition rate within the distance of approximately 400m from three portals was 1.5x10-19g/m2, considerably less than NEN 5707, 0.4g/m2 at the depth of 2.5cm.
Figure 16. Deposition Rate of Asbestos Particles for 5-years Period
16
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
4.4
Deposition of Asbestos Particles under the Worst Scenario-All Three Mines in Operation Scenarios for the worst case would be the cases when three mines are
assumed to be in operation. These scenarios will provide information about the soil contamination from three mines in the past.
For the worst cases, all the fine
particles dispersed are assumed to be Asbestos fibers; the contamination strength of 1.69x 10-3g/m2 s. The simulation results for 5-years period from the worst scenario are summarized in Figure 17.
Within the distance, 300~320m from the
portals, the deposition rates are higher than NEN 5707 and indicate that soil in the vicinity of portals had been contaminated in the past for a quite long period through the atmospheric dispersion.
Figure 17. Deposition Rate of Asbestos Particles for 5-years Period
5.
CONCLUSIONS This paper aims at analyzing the possibility of human risk created by the
atmospheric dispersion of Asbestos particles from closed down mines.
A wind
tunnel was used to simulate the dynamics within the planetary boundary layer near the earth surface and the strength of Asbestos contamination source was quantified. Consequently, the atmospheric dispersion was simulated to identify
17
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
the regions near the mine portals contaminated by Asbestos particles carried by the air. The results can be summarized as follows: (1)
The PBL can be well created in the wind tunnel through characterizing the vertical profiles of wind speed and turbulence intensity.
(2)
The turbulence intensity, the governing variable for particle re-entrainment, ranged from 4 to 14% in the wind tunnel, compared to those of 8~10% in the PBL.
(3)
With the wind speed less than 15m/s, the dispersion rate of fine particles less than 100μm was in the range of 5.5x10-5 and 1.69x10-3 g/s m2.
(4)
Asbestos fibers in the study site have the mean length of 17.5μm and the mean diameter of 1.5μm. Based on this aspect ratio, the Asbestos fiber dispersion rates range from 1.46E-25 to 2.21E-23 g/m2 s.
(5)
The simulation results shows that after several decades since mines were closed down, none of the regions near the mine portals was found to be contaminated by Asbestos. However, another simulation with the scenario of three mines in operation clearly indicates that the area within approximately 300m from the portals would have been seriously contaminated by the dispersed Asbestos particles.
(6)
At present, in the vicinity of mine portals, there is no possibility of human risk created by Asbestos.
This is found to be true at least in the study site
of this paper.
6.
ACKNOWLEDGMENTS The authors gratefully acknowledge MIRECO (Mine Reclamation
Corporation) for providing financial support and necessary resources that have contributed to the research results reported within this paper.
18
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
7.
REFERENCES
S.Y. Yoo, W.S. Shim and S.C. Kim, 2005. A Study on the Pollutant Dispersion over a Mountain Valley Region (Ⅰ) : Wind Tunnel Experiments. Journal of Society of Air-Conditioning and Refrigerating Engineers of Korea, vol.17, no.11, pp. 1050~1059. J.G. Jhun, 1995. Characteristics of Turbulence Intensity in the Surface Layer for the Various Static Stabilities in South Korea. Journal of The Korean Meteorological Society, vol.31, no.2, pp. 169~185. Ogawa, T., Nakayama, M., Murayama, S. and Sasaki, Y., 1991. Characteristics of Wind Pressure on Basic Structures with Curved Surfaces and Their Responses in Turbulent Flow. Journal of Fluid Mechanics, vol. 38, pp. 427~438. J.G. Kim, K.H. Choi, S.J. Oh, Y.J. Chung, D.G. Kang and J.C. Lee, 1994. Classification of the Length of Ceramic Fibers by Settling Process. Journal of The Korean Ceramic Society, vol.3, no.2, pp. 161~170. R. J. Barthelmie , 1999, Monitoring Offshore Wind and Turbulence Caracteristics in Denmark, BWEA T. Allen, 1997. Particle Size Measurement, fifth ed. Chapman, London, pp. 33~36. C.K. Bong, S.D. Kim and H.K. Lee, 2000. The Effect of Similarity Condition for the Test Results in a Wind Tunnel Test. Journal of Korean Society for Atmospheric Environment, vol.16, no.4, pp. 351~361. C.W. Park, S.J. Lee, 2004. Wind Tunnel Experiment on Porous Wind Fence for Abating Wind Erosion of Coal Dusts in POSCO KwangYang. Journal of The Wind Engineering Institute of Korea, vol. 2, no.1, pp. 115~126.
19
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
APLIKASI PEMODELAN KEDEPAN 3D GROUND PENETRATING RADAR (GPR) UNTUK EKSPLORASI BATUBARA Eddy Ibrahim1 1
Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, Kota Inderalaya, Indonesia
[email protected]
ABSTRAK Pemodelan forward modeling 3D dengan melakukan variasi orientasi antena dengan arah dari bidang-bidang pecah dibuat kearah y dan arah polarisasi medan listrik dari antena sejajar dengan bidang-bidang pecah memperlihatkan batas batubara dengan lempung secara vertikal lebih tegas sedangkan jika arah dari bidang-bidang pecah dibuat kearah y dan arah polarisasi medan listrik dari antena tegak lurus dengan bidang-bidang pecah dapat memperlihatkan bidang-bidang pecah batubara secara lateral lebih tegas. Implementasi dilapangan antara hasil pengukuran lapangan telah sesuai dengan hasil pemodelan. Untuk kasus pemodelan batubara dan lempung fenomena ring down akan selalu ada dalam akuisisi data dikarenakan secara fisik batubara berlapis-lapis dan mempunyai bidang-bidang pecah secara tidak beraturan.
Kata kunci : Forward modeling 3D, orientasi antena, batubara dan lempung, bidang pecah, polarisasi medan listrik, sejajar dan tegak lurus.
20
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
1.
PENDAHULUAN Permasalahan dengan penggunaan variasi orientasi antena berkaitan dengan
munculnya fenomena ring down yang muncul di radargram terukur. Ring down merupakan suatu fenomena yang ditimbulkan akibat adanya impedansi yang tidak tepat antara antena (transmitter dan receiver) dan batubara. Polanya di radargram terukur sangat mengganggu pada saat interpretasi. Kenampakannya hampir mirip dengan lapisan-lapisan dengan intensitas medannya cukup kuat. Berkaitan dengan timbulnya pola tersebut maka pemodelan kedepan 3D perlu dilakukan. Model 3D dibuat untuk melihat pengaruh variasi arah antena (polarisasi) terhadap variasi arah bidang-bidang pecah di batubara. Arah dari bidang-bidang pecah ditentukan sejajar dan tegak lurus terhadap arah polarisasi dari antena dipole listrik. Untuk bidangbidang pecah yang dibuat dalam model 3D tersebut diisi dengan air. Pemodelan 3D juga untuk mengkaji signature batubara pada radargram yang tidak mudah dikenali dan untuk membuktikan apakah ada kesesuaian antara hasil pemodelan dengan hasil pengukuran lapangan berdasarkan penggunaan variasi orientasi antena. Pemodelan ini dapat digunakan untuk optimalisasi parameter pengukuran di lapangan (orientasi antena dan frekuensi antena). Sehingga untuk reduksi efek yang ditimbulkan dalam radargram hasil pengukuran dapat lebih mudah. Pemodelan kedepan 3D untuk batubara dan lingkungannya menggunakan program simulator Reflexwtm versi 3.05.
2.
METODE Tipe antena yang digunakan dalam pemodelan diasumsikan menghasilkan
orientasi polarisasi medan listrik linear tegak lurus terhadap arah perambatannya (k) (gambar 1).
21
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Gambar 1. Hubungan antara E , H , k Sesuai dengan teori, transversalitas hubungan antara E dan H diperoleh dari persamaan Maxwell, .E 0 maka diperoleh k.E 0 yang berarti k E . Dari persamaan Maxwell,
E
B H , dengan mengandaikan bentuk t t
solusinya dalam bentuk persamaan E x, t E 0 exp i t k.x . Maka untuk H diperoleh H
ˆ E . Maka E H E 2 k . Jadi E , H , kˆ saling tegak lurus
seperti diperlihatkan oleh gambar 1 (Jackson, 1975) : Berdasarkan gambar 1, untuk gelombang yang merambat kearah x positif, komponen medan listrik E dan komponen medan magnet H saling tegak lurus, tegak lurus terhadap arah perambatan kˆ , dan selalu sefase pada setiap titik dengan
E perbandingan magnitude :
B
v,
E H
; yang hanya bergantung pada sifat
medium. Karena v 0, maupun , maka gelombang elektromagnetik tidak mungkin hanya terdiri dari E atau H saja ( Jackson, 1975). Pemodelan ini dilakukan karena pada pengukuran GPR skala lapangan pada lapisan batubara terdapat banyak bidang-bidang pecah baik yang paralel maupun tegak lurus terhadap bidang-bidang perlapisan batubara. Untuk posisi dari geometri batubara dan lapisan lempung yang dimodelkan sesuai dengan lapangan. Dalam pemodelan ini ditentukan lapisan batubara terletak dipermukaan sedangkan lapisan
22
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
lempung terletak dibawahnya. Sedangkan arah dari bidang-bidang pecah dibuat kearah y dan arah polarisasi medan listrik dari antena sejajar dengan bidang-bidang pecah (gambar 2).
Gambar 2. Gambaran arah polarisasi (arah y) dan arah perambatan medan Listrik (arah x) pada batubara (dengan bidang-bidang pecah ke arah y) Dari kedudukan antena seperti gambar 2 dengan asumsi bidang-bidang pecah dari batubara kearah sumbu y maka medan listrik akan tereksitasi (amplitudo gelombang mengecil akibat teratenuasi oleh air yang mengisi bidang- bidang pecah). Untuk pemodelan lapisan batubara terletak dipermukaan sedangkan lapisan lempung terletak dibawahnya dan arah dari bidang-bidang pecah dibuat kearah y dan arah polarisasi medan listrik dari antena tegak lurus dengan bidang-bidang pecah dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Gambaran arah polarisasi (arah x) dan arah perambatan medan listrik(arah y) pada batubara (dengan bidang-bidang pecah ke arah y) dan lempung
23
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Untuk kedudukan antena seperti gambar 3 dengan asumsi bidang-bidang pecah dari batubara kearah sumbu y maka medan listrik tereksitasi (amplitudo gelombang mengecil akibat energinya habis terpantulkan oleh bidang-bidang pecah dan kandungan air yang mengisi bidang-bidang pecah).
3.
HASIL Untuk model 3D, panjang batubara kearah x = 3 m sedangkan lebarnya kearah
y = 4 m. Tebal batubara yaitu 0.6 m sedangkan tebal lempung yaitu 0.4 m. Pada batubara terdapat bidang-bidang pecah berisi air dengan dimensi 0.1 m. Permitivitas relatif batubara yaitu 5.86 sedangkan permitivitas relatif lempung yaitu 16. Permitivitas air digunakan 80.0. Gambaran model batubara beserta bidang-bidang pecah dan lapisan lempung dibawahnya dapat dilihat pada gambar 4.
G
Gambar 4. Model Batubara Beserta Bidang-bidang Pecah Dan lapisan Lempung dibawahnya Untuk arah polarisasi listrik kearah y (sejajar dengan bidang-bidang pecah) dengan dimensi dari model seperti gambar 4 maka hasil dari penggunaan program simulator Reflex 3.05 beserta spesifikasi-spesifikasinya dapat dilihat pada gambar 5.
24
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Gambar 5 : Hasil simulasi terhadap gambaran model batubara beserta bidang- bidang pecah dan lapisan lempung dibawahnya dari gambar 4 (arah polarisasi ke Y)
Posisi lapisan batubara pada jendela waktu antara 0.6 ns sampai dengan 14.0 ns. Nilai intensitas dari batubara warna ungu sedangkan bidang-bidang pecah berwarna biru tua. Medan listrik dalam pemodelan ini akan tereksitasi (amplitudo gelombang mengecil akibat teratenuasi oleh air yang mengisi bidang-bidang pecah) dan juga tidak terjadi kontras antara air yang mengisi bidang pecah dengan batubara. Pemodelan dengan cara ini akan memperlihatkan batas batubara dengan lempung secara vertikal lebih tegas. Untuk arah polarisasi listrik kearah x (tegak lurus bidang-bidang pecah) dengan dimensi dari model seperti gambar 4 maka hasil dari penggunaan program simulator Reflex 3.05 beserta spesifikasi-spesifikasinya dapat dilihat pada gambar 6.
25
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Gambar 6 : Hasil simulasi terhadap gambaran model batubara beserta bidang- bidang pecah dan lapisan lempung dibawahnya dari gambar 4 (arah polarisasi ke X)
Posisi lapisan batubara pada jendela waktu antara 0.6 ns sampai dengan 14.0 ns. Nilai intensitas dari batubara warna ungu sedangkan bidang-bidang pecah berwarna biru tua. Medan listrik dalam pemodelan ini kurang tereksitasi (amplitudo gelombang besar karena tidak teratenuasi oleh air yang mengisi bidang-bidang pecah) dan juga terjadi kontras antara air yang mengisi bidang pecah dengan batubara. Sehingga pemodelan dengan cara penempatan antena dengan model batubara dan lempung tersebut akan dapat memperlihatkan bidang-bidang pecah batubara secara lateral lebih tegas. Sebagai perbandingan hasil pengukuran lapangan diterapkan pada model fisik batubara seperti gambar 7 menunjukkan kesesuaiannya terhadap kedua hasil model diatas.
26
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Gambar 7. Foto fisik singkapan batubara yang diukur
Adapun kedua radargram hasil pengukuran untuk kedua cara diatas dapat dilihat pada gambar 8a dan 8b.
Gambar 8. hasil pengukuran radargram
27
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
4.
KESIMPULAN Pemodelan 3D dengan forward modeling dengan melakukan variasi orientasi
antena dengan objek target batubara dan lempung dimana batubara dibuat adanya bidang-bidang pecah telah menunjukkan hasil yang berbeda. Perolehan dari hasil pemodelan untuk kedua kasus 3 D secara umum dapat memberikan informasi posisi batas batubara dan lempung secara tegas berdasarkan signature nya (bentuk gelombang) untuk kasus dimana orientasi antena adalah sejajar bidang pecah batubara sedangkan untuk kasus dimana orientasi antena tegak lurus bidang pecah akan lebih mempejelas posisi dan orientasi bidang pecah. Secara lapangan hasil pengukuran lapangan telah sesuai dengan hasil pemodelan. Untuk kasus pemodelan batubara dan lempung fenomena ring down akan selalu ada dalam akuisisi data dikarenakan secara fisik batubara berlapis-lapis dan mempunyai bidang-bidang pecah secara tidak beraturan.
5.
UCAPAN TERIMA KASIH Kerja yang telah dilakukan ini dibantu oleh Laboratorium Fisika Bumi ITB dan
Laboratorium Eksplorasi dan Hidrologi Jurusan Teknik Pertambangan Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya. Saya mengucapkan terimakasih kepada Dekan Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Rektor Universitas Sriwijaya Atas bantuan keuangan untuk dapat menghadiri dan Mempresentasikan Tulisan ini dalam Seminar Nasional. Khusus kepada Ir. Syaiful Islam, Gunawan Handayani, MSCE, Ph.D, DR. Bagus Endar NH atas masukan- masukannya, DR. Surono, Muslim Nugraha, Ssi, Karlan Ssi, Yonathan Ssi, Erlan Dan seluruh yang membantu dalam penyelesaian tulisan ini.
28
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
6.
DAFTAR PUSTAKA
Annan A, P, (2001) Ground penetrating radar, workshop notes, sensors & software, Ontario, Canada. Engheta N. and Papas C.H, (1982) Radiation patterns of interfacial dipole antenna, Radio science 17, 1557-1566. Giannopoulos. A. , (2003) GPRMAX2D/3D user’s manual version 1.5, University of Edinburgh, School of engineering and electronics, institute for infrastructure and environment, Crew building, The King’s buildings, Edinburgh, EH9 3JN, Scotland. Ibrahim E, and Hendrajaya. L and Handayani. G and Fauzi. U and Islam.S. (2003a), Determination study of coal seams thickness by using GPR method and presented a oral presentation at Joint Convention Jakarta 2003, The 32nd IAGI and the 28th HAGI annual convention and exhibition, Proceedings, 2003 Ibrahim, E., and Hendrajaya. L and Fauzi. U and Handayani. G and Islam. S. (2004c), Determination of geometry and bedding plane orientation in coal seam use of GPR method and presented a poster presentation in session T08.04, “Magnetotellurics” at 32nd International Geological Congress, Florence, Italy, Expanded abstract, August, 27, 2004. Ibrahim, E., (2005) Studi penggunaan GPR multi konfigurasi pada tahap eksploitasi batubara (studi kasus pada tambang batubara Bukit Asam, Tanjung Enim, Sumatera Selatan), Disertasi Doktor (S 3), Program Studi Fisika, FMIPA, ITB (tidak dipublikasikan). Interpex, (1996), The definitive solution for Ground Penetrating Radar processing and interpretation. GRADIX software ver. 1, Colorado. K.J. Sandmeir,(2004), REFLEXW- The 2D processing and 2D/3D interpretation software for GPR, reflection seismics and refraction seismics for windows 9?/2000/NT/XP, Sandmeier scientific software, Zipser strabe 1 D-76227 Karlsruhe, Germany. Ramac/GPR, (1997), Software manual version 2.28. MALA, Geoscience. Yee, K.S, (1966), Numerical solution of initial boundary value problems involving Maxwell’s equation in isotropic media. IEEE transactions on antennas and propagation, Vol. 14 pp.302-307.
29
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
KAJIAN AIR DANAU PERTAMBANGAN UNTUK AIR BAKU H. Rusdi, H.A1, Nurhakim2 1 2
Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat Indonesia Dosen Program Studi Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat Email :
[email protected]
ABSTRAK Lubang-lubang itu berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang, terutama berkaitan dengan kualitas dan kuantitas air. Air asam tambang mengandung logam-logam berat berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dalam jangka panjang, sehinggga salah satu permasalahan adalah bagaimana memanfaatkan air danau tambang tersebut. Industri pertambangan menghasilkan dan membuang jutaan meter kubik air setiap harinya bersumber dari air permukan dan air tanah. Air ini akan menjadi permasalahan pencemaran air di dalam dan di sekitar daerah pertambangan apabilah tidak dikeloladenganbaik karena pH 2-6, tetapi air ini juga akan bermanfat apabilah mutunya memenuhi standar mutu air baku (pH 7-9). Untuk menaikkan pH air asam tambang dilakukan proses pengapuran, yaitu mencampurkan antara kapur tohor dengan air asam tambang, sehingga menyebabkan pH air tambang menjadi naik sampai pada batas baku mutu air yang dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan pengujian lapagan untuk menetralkan air sebanyak 1 m3 dari pH 2.78 menjadi pH 7 diperlukan kapur tohor sebanyak 0,7 kg. Dengan biaya pengolahan sebesar Rp. Rp. 444.4/m3maka sebenamya industri mampu untuk melakukannya, tinggal bagaimana kesadaran dari masyarakat industri terhadap lingkungan.
Kata kunci : Air asam tambang, danau Pertambangan, Air Baku
30
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
1.
LATAR BELAKANG Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan usaha jangka panjang yang
kompleks dan sangat rumit, sarat risiko, melibatkan teknologi tinggi, padat modal, dan aturan regulasi yang dikeluarkan dari beberapa sektor. Selain itu, kegiatan pertambangan mempunyai daya ubah lingkungan yang besar, sehingga memerlukan perencanaan total yang matang sejak tahap awal sampai pasca tambang. Industri pertambangan pada pasca operasi akan meninggalkan banyak warisan yang memiliki potensi bahaya dalam jangka panjang, antara lain; Lubang tambang (Pit), Air asam tambang (Acid Mine Drainage) dan lain-lain. Industri pertambangan di Indonesia Sebagian besar dilakukan dengan cara terbuka. Ketika selesai beroperasi, perusahaan meninggalkan lubang-lubang raksasa di bekas areal pertambangannya. Lubang-lubang itu berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang, terutama berkaitan dengan kualitas dan kuantitas air. Air asam tambang mengandung logam-logam berat berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dalam jangka panjang. Ketika air asam tambang sudah terbentuk maka akan sangat sulit untuk menghentikannya karena sifat alamiah dari reaksi yang terjadi pada batuan mutu air tersebut tidak memenuhi syarat untuk dikonsumsi secara langsung, sementara daerah tambang pada umumnya daerah yang berkekurangan, khususnya sumberair bersih sehingga perlu inovasi dan teknologi untuk memanfaatkan air danau pertambangan untuk air baku.
2.
PERMASALAHAN Apakah air danau dapat dimanfaatkan?
3.
TUJUAN PENELITIAN Tujuan utama adalah meneliti/mengkaji usaha-usaha yang dapat dilakukan
untuk pengolahan air lubang pasca tambang (danau) untuk mengurai kandungan bahan pencemar di dalam air terutama senyawa organik, padatan tersuspensi,
31
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
mikroba patogen, dan senyawa organik yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme yang terdapat di alam. Dengan usaha dan penanganan yang baik maka diharapkan dampak negatif yang dikhawatirkan dapat diminimalisasi atau bahkan dicegah sehingga kelestarian lingkungan tetap terjaga sehingga airdanau tambang dapat dimanfaatkan sebagai sumber air baku.
4.
KAJIAN PUSTAKA Industri pertambangan menghasilkan dan membuang jutaan meter kubik air
setiap harinya bersumber dari air permukan dan air tanah. Air ini akan menjadi permasalahan pencemaran air di dalam dan di sekitar daerah pertambangan apabilah tidak dikeloladenganbaik karena pH 2-6, tetapi air ini juga akan bermanfat apabilah mutunya memenuhi standar mutu air baku (pH 7-9). Debit air permukaan yang masuk kedalam lubang bukaan tambang/danau dalam kegiatan pertambangan dapat dihitung dengan persamaan rasional berikut: Q = 0,278 x C x I x A Dimana :
Q = Debit rencana,(m3/det) C = Koefisien material (Koeff. Limpasan) I = Intensitas hujan rencana, mm/jam A = Luas catchment area, ha
Perhitungan debit air tanah biasanya dilakukan pada kondisi pengontrolan air tanah yang sulit di atasi. Persamaan Thiem sering digunakan untuk menghitung debit air tanah yang dasar perhitungannya adalah pengurangan air dalam akuifer. Asumsiasumsi yang terlibat dalam persamaan ini adalah bahwa aliran air bersifat steady, merata baik kearah horizontal maupun radial
didalam akuifer, isotropis dan
walaupun terjadi penyebaran air kearah horizontal, tetapi tidak mengurangi penetrasi terhadap sumur. Persamaan dibawah ini adalah persamaan Thiem.
Q
K2 m (S1 - S2 ) C log 10 (R/r)
32
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Dimana : Variable Q K M
R R C S1 S2
a.
Keterangan Laju aliran Permeabilitas Ketebalan penjenuhan ratarata dari akuifer yang diukur melalui 2 titik pengamatan Jari-jari titik pengamatan yang jauh dari sumur Jari-jari sumur atau titik pengamatan terdekat Konstanta Viskositas Penurunan air tanah pada titik terdekat sumur pengamatan Penurunan air tanah pada titik terjauh sumur pengamatan
MEINZER gallon/menit Meinzer feet
DARCY ml/det Darcy cm
Dapat diukur dengan satuan sejenis karena hasilnya hanya merupakan perbandingan 528 centipoise feet
2,3 centipoise Atm
feet
Atm
Volume waduk Volume waduk bekas galian tambang sangat bervariasi tergantung dari volume
lapisan tanah penutup, batuan penutup serta batubara atau mineral lainnya yang dibuka atau ditambang hingga pada batas akhir penambangan dan menghasilkan lubang bukaan yang terisi oleh air hujan atau air rembesan/airtanah sehingga lubang bukaan tersebut akan menjadi waduk atau danau. Volume waduk ditentukan oleh luas waduk beserta kedalaman air pada waduk tersebut.
Gambar 1. Penampang Waduk Bentuk Trapesium
33
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Volume waduk = Luas waduk ((b’+ b)/2) x kedalaman air dalam waduk (h)
b.
Curah Hujan Curah hujan adalah jumlah air hujan yang jatuh pada satu satuan luas,
dinyatakan dalam milimeter.Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik tertentu. Daerah Kalimantan Selatan termasuk daerah yang beriklim tropis, salah satu wilayah perusahan pertambangan mempunyaicurah hujan bulanan maksimum 634,7 mm pada bulan Maret tahun 2008 dan curah hujan bulanan minimum mencapai 114 mm pada bulan Juni tahun 2008. Tabel 1 Curah Hujan Maksimal Daerah Tambang xyz Periode 2004 - 2008
BULAN Januari Februari Maret April May Juni Juli Agustus September Oktober November Desember c.
2004 (mm) 614 372,5 461,5 228 268 174 163 7 81 18 417 668,5
2005 (mm) 528 301 600,5 374 376,3 275 200,5 63 126,5 298 474,8 586,8
TAHUN 2006 2007 2008 (mm) (mm) (mm) 276,45 647,1 391,7 388,95 631,25 288,75 486 289,4 634,7 373,7 582,1 512 277,72 416,9 166,5 384,9 336,6 114 98,5 165,75 256 105 206,27 188,5 122,5 95,1 131,8 61,5 340,9 262,8 176,8 512,7 584,2 452,5 264,05 623,2
Evaporasi Peristiwa air atau es menjadi uap dan naik ke udara disebut penguapan dan
berlangsungtidak berbenti-henti dari permukaan air, permukaan tanah, padang rumput,persawahan, hutan dan lain-lain. Penguapan ini terjadi pada tiap keadaan suhu, sampaiudara di atas permukaan menjadi jenuh dengan uap. Tetapi kecepatan
34
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
dan jumlahpenguapan tergantung dari suhu, kelembaban, kecepatan angin dan tekanan atmosfir. Evaporasi dihitung dengan Rumus empiris Penman (Suyono S: 1999): E = 0,35(ea –ed)(1 + v/100) Keterangan: E = evaporasi (mm/hari). ea= tekanan uap jenub pada suhu rata-rata harian (mm/Hg). ed= tekanan uap sebenarnya (mm/Hg). V = kecepatan angin pada ketingginan 2m di atas permukaan tanah (mile/hari). d.
Transpirasi Air dalam tanah juga dapat naik ke udara melalui tumbuh-tumbuhan. Peristiwa
inidisebut
transpirasi.
Banyaknya
berbeda-beda,
tergantung
dari
kadar
kelembabantanah dan jenis tumbuh-tumbuhan. Umumnya banyaknya transpirasi yang diperlukanuntuk menghasilkan 1 gram bahan kering disebut laju transpirasi dan dinyatakan dalamgram. Di daerah yang lembab, banyaknya adalah kira-kira 200 sampai 600 gram danuntuk daerah kering kira-kira dua kali lipat dari itu. Salah satu persamaan yang digunakan untuk menghitung transpirasi adalah Blaney-Crinddle (Suyono S: 1999) sebagai berikut:
K .P.(45, 7 t 813) 100 K = Kt x Kc
U
Kt 0, 0311 t 0, 240 Dimana: U
= tarnspirasi bulanan (mm)
t
= suhu udara rata-rata bulanan (oC)
Kc
= Koefisien tanaman bulanan
P
= Persentase jam siang bulanan dalam setahun
35
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
e.
Infiltrasi Proses masuknya air hujan kedalam lapisan permukaan tanah dan turun ke
permukaan airtanah disebut infiltrasi. Air yang menginfiltrasi itu pertama-tama diabsorsi
untuk
meningkatkan
kelembaban
tanah,
selebihnya
akan
turun
kepermukaan airtanah dan mengalir kesamping (Suyono S: 1999). Untuk penentuan kapasitas infiltrasi dapat digunakan cara menggunakan alat ukur infiltrasi dan cara dengan menggunakan analisa hidrograf.
f.
Kualitas Air Tambang Fenomena air asam tambang akan timbul apabila senyawa sulfide terutama
pirit (FeS2) yang terdapat dalam batubara maupun pada lapisan tanah penutup, secara langsung terdedah/terbuka oleh oksigen yang terdapat dalam air maupun udara (Barton, 1978). 2FeS2 + 2H2O
→
FeSO4 + 2H2SO4
2FeSO4 + 2H2SO4 +H2O
→
2Fe2(SO4)3 + H2O
Fe2(SO4)3 +6H20
→
2Fe(OH)3 + 3H2SO4
FeS2 + 14Fe3+ + 8H2O
→
15Fe2+ + 2SO42- + 16H+
Disamping reaksi tersebut diatas, diketahui pula bakteri Thiobasillus juga memegang peranan penting dalam oksidasi pirit. Reaksi kimia tersebut menunjukkan oksida pirit akan menghasilkan sulfat, Fe2+, dan ion H+ bebas yang akan menyebabkan pH air menjadi rendah serta kandungan besi dan sulfat akan menjadi tinggi dalam air tirisan tambang. Semakin rendah pH air dapat menyebabkan berbagai senyawa dan logam dari batuan akan mudah terlarut. Terlarutnya senyawa dan unsur dari batuan selanjutnya akan menyebabkan kandungan padatan terlarut total (garam-garam terlarut) dalam air akan meningkat. Dengan demikian sifat kimia air akan meningkat. Karakteristik air asam tambang (Smith, 1974) umumnyamempunyai pH 2-6, sehingga tidak dapat dijadikan sebagi sumber air baku dan bahkan dapat mencemari lingkungan apabilah dialirkan ke sungai seperti tertera pada table 2.
36
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Tabel 2. Karakteristik Limbah Air Asam Tambang No. 1 2 3 4 5 6 7
Parameter
Angka Kisaran
pH Fe2+ (ppm) Fe3++ (ppm) SO42-(ppm) HCO3 (ppm) Ca2+ (ppm) Al3+ (ppm)
2,0-6.0 10-2000 0-100 100-2000 0-200 10-1000 0-150
Baku mutu limbah kegiatan penambangan batubara menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 113 Tahun 2003 seperti pada table 3 berikut: Tabel 3. Baku mutu limbah Kegiatan penambangan batubara* Parameter pH Residu tersuspensi Besi (Fe) total Mangan (Mn) total
Satuan mg/l mg/l mg/l
Kadar Maksimum 6-9 400 7 4
*Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 113 Tahun 2003
4.1. Water Demand Pada Daerah Sekitar Tambang Kebutuhan airbaku setiap harinya disekitar daerah pertambangan per orang (Birdie G.S: 1990) seperti pada table 4 dalamliters per capita daily (LPCD) Tabel 4. Kebutuhan Air (LPCD)* No. Purpose 1 Kebutuhan Rumah Tangga 2 Industri (tambang/sawit) 3 Fasilitas umum (tempat ibadah/sekolah) 4 Pemadam Kebakaran 5 Kebocoran (kehilangan) Total
Volume (LPCD) 135 40 2.5 15 55 270
*Sumber: Birdie G.S
tetapi menurut
WHO merekomendasikan kebutuhan air perharinyaserperti pada
table 5.
37
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Perhitung kebutuhan air, apabilah didasarkan atas pelayanan dengan menggunakan Hidran Umum (HU) dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : a.
Hitung Kebutuhan Air Dengan Formula : Q
=Pxq
Qmd = Q x fmd
Tabel 5. Kebutuhan air per hari rekomendasi WHO* No 1 2 3 4 5 6 7 8
Purpose WHO’s recommendation liter/person/day Drinking/Cooking 15 Bathing/Personal Washing 60 Utensiles Washing 15 Cloth Washing, Washing 20 House Washing 10 Flushing/Refuse disposal Washing 60 Garden 10 Wastage 20 Total (litres) 210
*Sumber: Birdie G.S
Dengan pengertian: Qmd
= kebutuhan air (liter/hari)
q
= kebutuhan air perorang perhari (Liter / orang /hari)
P
= jumlah jiwa yang akan dilayani sesuai dengan tahun perencanaan (jiwa)
fmd b.
= faktor maksimum (1,05 – 1,15)
Hitung Kebutuhan Total Air Dengan Formula : Qt
= Qmd x 100/80
Dengan pengertian: Qt
= Kebutuhan air total dengan faktor kehilangan air 20% (liter/hari)
38
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
4.2. Prinsip Pengolahan Air Asam Tambang Pengolahan air asam tambang bertujuan untuk menurunkan kadar polutan yang terdapat didalam air asam tambang, terutama parameter-parameter pH, BOD dan COD. Secara umum pengolahan air limbah dapat dilakukan dengan cara : a.
Pengolahan cara Fisika
b.
Pengolahan cara Kimia
c.
Pengolahan cara Biologi Sistim apa yang dipilih tergantung dari karakteristik air asam tambang maupun
lahan yang tersedia untuk pengolahan air asam tambang. a.
Pengolahan cara Fisika Adalah merupakan cara Pengolahan air limbah dengan cara seperti
pengendapan (tanpa penambahan bahan kimia ), penyaringan dan pengadukan, dll. b.
Pengolahan cara kimia Adalah merupakan cara pengolahan dengan cara menambahkan bahan-bahan
kimia kedalam air limbah, antara lain meliputi, netralisasi, koagulasi dan lain-lain. c.
Pengolahan cara biologi Adalah cara pengolahan dengan cara memecah bahan-bahan organik
biodegradable yang terdapat didalam air limbah untuk diubah menjadi senyawasenyawa lain yang stabil sehingga apabila dibuang ke lingkungan tidak menyebabkan pencemaran lingkungan. Cara yang umum dikenal dan banyak dipergunakan adalah dengan sistem lumpur aktif. 4.3. Analisis a.
Perhitungan Volume air netto Studi kasus pada PT XYZ mempunyai salah satu lubang bukaan pasca tambang
dengan dimensi lubang bukaan yang tidak dapat di timbun kembali, yaitu 309.5 m x 154,8 m x 20.1, dimana debit air yang masuk ke lubang bukaan tersebut dengan Intensitas curah hujan = 110,12 mm/jam, Luas daerah tangkapan hujan = 4,10 km2, Koefisien limpasan 0, 9, sehingga laju aliran air permukaan yang masuk (Qs) = 112,95 m3/det. Sedangkan air tanah (Qa) = 1 m3/det (berdasarkan luas penampang
39
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
yang terbuka dan permeabilitas batuannya), sehingga total air yang masuk Qtot = 113,95 m3/det. Air yang dapat tertampung pada kolam, jika tinggi muka air maksimum dalam kolam 17,5 m karena ada saluran pembuangan, maka V = 838 435,05m3 (Volume air netto) dan tinggi muka air minimum dalam kolam pada musim kemarau 15,3 m, maka V = 737032,18m3 a.
Kualitas Air Tambang Air asam tambang pada daerah PT xyz, sebelum dilakukan perlakuan khusus
(pengolahan) masih belum memenuhi baku mutu limbah batubara yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 113 Tahun 2003, berikut adalah kualitas air tambang pada PT XYZ Tabel 6 Kualitas Air Tambang PT XYZ No. 1 2 3 4 5 6 7
b.
Parameter pH Fe2+ (ppm) Fe3++ (ppm) SO42-(ppm) HCO3 (ppm) Ca2+ (ppm) Al3+ (ppm)
Angka rata-rata 2,78 900 80 140 10 500 75
Perhitungan Water Demand Kebutuhan air total dihitung berdasarkan jumlah pemakai air yang telah
diproyeksikan untuk 5 tahun – 10 tahun mendatang dan kebutuhan rata-rata setiap pemakai setelah ditambahkan 20% sebagai faktor kehilangan air (kebocoran). Disekitar daerah pertambangan PT xyz Jumlah penduduknya, Kecamatan A yaitu 91401 jiwa dengan luas wilayah 575 km2 . kebutuhan air per orang 210 liter/hari dengan factor maksimum 1,15, Sehingga kebutuhan air total perhari 22.073.341,5 liter/hari (22.073,34 m3/hari). Jika diasumsikan ada faktor kebocoran atau pemakaian tidak efektif 20% (kehilangan 20%), maka kebutuhan air total perhari 27.591.676,9 liter/hari (27.591,7 m3/hari)
40
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Berdasarkan table 7 bahwa daerah Kec. A disekitar tambang PT AKekurangan air bersih sebanyak 72,86% atau sekitar 20.103,3 m3/hari khususnya pada musim kemarau. Tabel 7 Persentase Kekurangan Air Disekitar Tambang PT xyz
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Purpose Drinking/Cooking Bathing/Personal Washing Utensiles Washing Cloth Washing, Washing House Washing Flushing/Refuse disposal Washing Garden Wastage Total
WHO’s recommendation liter/person/day (a) 15 60
Quantity available liter/person/day (b) 5.5 10.0
15 20
5.0 7.5
66.6 62.5
10 60
5.0 15.0
50.0 40.0
10 20 210
7.0 57
100 65 72,86
% shortage c= ((a-b)/a) x100% 63.3 83.3
c. Treatment Effort Yang Diperlukan Dan Biayanya Sistem Pengolahan yang digunakan, sistem pengolahan air asam tambang bermacarn - macam salah satu contohnya adalah dapat dilihat pada diagram alir berikut ini.
Gambar 2.Sistem Pengolahan 1)
Equalisasi Fungsi dari bak equalisasi adalah untuk menyeragamkan kualitas air limbah
yang sifatnya fluktuatif, baik kandungan pollutannya maupun jumlah air asam
41
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
tambang, tergantung dari jenis proses dan jumlah produksinya.Dengan adanya bak equalisasi maka kualitas air asam tambang menjadi seragam ( homogen ) sehingga tidak akan mengganggu proses selanjutnya, terutama proses biologis. 2)
Koagulasi Salah satu cara yang paling sederhana untuk memisahkan polutan terutama
partikel - partikel yang ukurannya besar, dan zat warna ciari air limbah adalah dengan koagulasi yaitu dengan menambahkan bahan -bahan kimia yang dikenal sebagai koagulant kedalamnya. Dengan ditambahkannya koagulantmaka partikel-partikel yang ukurannya kecil menjadi besar sehingga dapat dipisahkan. 3)
Lumpur Aktif Metode pengolahan air asam tambang dengan Lumpur aktif adalah salah
satu metode Biologis, yaitu merupakancara pernisahan polutan-polutan terutama yang berupa bahan organik biodegradable.Metode ini sangat banyak digunakan oleh industri, dikarenakan relatif lebih mudah dan efisien. Air limbah yang berasal dan proses koagulasi setelah dipisahkan lumpurnya dimasukkan ke bak lumpur aktif dan ditarnbahkan oksigen / udara dengan menggunakan blower atau aerator.Didalam proses lumpur aktif ini akan terjadi Lumpur yang merupakan massa dari microorganisme dan dapat dipisahkan dengan menggunakan bak pengendap atau clarifier. 4.4. Studi Kasus Proses Pengapuran Untuk menaikkan pH air asam tambang dilakukan proses pengapuran, yaitu mencampurkan antara kapur tohor dengan air asam tambang, sehingga menyebabkan pH air tambang menjadi naik sampai pada batas baku mutu air yang dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan pengujian laboratorium menggunakal alat jar test, didapakan hubungan antara kebutuhan kapur tohor dengan perubahan pH air asam tambang pada pengujian sample air asam tambang 500 ml dengan pH awal 2,78. Dapat dilihat pada gambar 1 berikut:
42
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Kapur Tohor (grm)
Banjarbaru, 30 Juli 2011
1.50 1.40 1.30 1.20 1.10 y = 0.0068x3 - 0.1315x2 + 0.8377x - 1.4429 1.00 R² = 0.9989 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 pH
Gambar 2 Perubahan pH Air Asam Tambang dengan penambahan Kapur Tohor pada sample 500 ml Untuk aplikasi dilapangan kapur tohor dicairkan didalam tangki dengan campuran air asam tambang, diaduk menggunakan baling-baling, sehingga dengan penambahan kapur dengan pengadukan tersebut pH air akan menjadi naik. Berdasarkan pengujian lapagan untuk menetralkan air sebanyak 1 m3 dari pH 2.78 menjadi pH 7 diperlukan kapur tohor sebanyak 0,7 kg. 4.5. Biaya Operasional Peralatan dirancang dengan sistem kontinyu dengan kapasitas 1.800 liter/jam. Peralatan dioperasikan selama 4 jam/hari sehingga dalam 7 (tujuh) hari mampu mengolah 50.400 liter. Dari hasil uji coba peralatan untuk mengolah air baku setempat diperoleh data, bahwa untuk setiap 1000 liter air baku diperlukan 0,7 kg kapur dan 15 gram tawas sehingga untuk mengolah 50400 liter (50,4 ton) air bersih, diperlukan 35,8 kg kapur dan 0,75 kg tawas. Jika harga kapur dipasaran saat ini Rp 500,00 per Kg dan tawas Rp 2.000,00 per Kg maka biaya pengolahan untuk mengolah 50.400 liter (50,4 ton) airbaku hanya Rp. 19.400 ditambah biaya listrik diperkirakan Rp. 3.000,00 .atau sekitar Rp. 444.4/m3
43
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
5.
KESIMPULAN Dari uraian tersebut diatas air danau pertambangan untuk sumber air baku
dapat digunakan setelah melalui proses pengolahan untuk menetralkan pH, Fe dan Mn. Biaya pengolahan air danau pertambangan ditentukan oleh besarnya debit, kualitas air limbah serta sistem yang dipergunakan didalam pengolahan, sehingga antara industri yang satu tidak sama besarnya dengan industri yang lainnya. Dengan biaya pengolahan sebesar Rp. Rp. 444.4/m3maka sebenamya industri mampu untuk melakukannya, tinggal bagaimana kesadaran dari masyarakat industri terhadap lingkungan.
6.
DAFTAR PUSTAKA
Birdie G.S and Birdie J.S. 1990. Water supply and Sanitary Engineering, Dhanpat Rai and Sons., New Delhi. Barton, B.A. 1997. Short term effect of higway construction on limnology of small streem in Southern Ontario. Elsavier Applied Science, London and New York. Suyono S dan Kensaku Takeda,1999. Hidrologi untuk Pengairan, PT Pradnya Paramita, Jakarta. Smith M.J. 1974. Acid production in mine drainage system in:Deju R.A. 1974. Extraction of mineral energy: Today Dilemmas. Ann Arbor Science Publisher Inc. Mich pg.99.
44
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
THE STUDY ON BLASTING EFFECT WITH PRE-ASSESSMENT BOREHOLE STATUS BY INSERTING REAL TIME BORE HOLE ENDOSCOPE VERIFICATION
Prof. D.W. Kang1, W.H.Hur1 Dep. Of Energy & Mineral Eng. Dong-A Univ., Busan, Korea ABSTRACT By inserting a Borehole Endoscope beforehand charging explosives, could be sought overall status of boreholes and found weak points such as fractures or directions of joints. So it is possible to reflect weak points in some blasting work. In this study, using borehole endoscope to find typical weak points on some blasting work. In this study, using borehole endoscope to find typical weak points of boreholes first and considered each borehole condition to reflect blasting design. Each faulty zone, located in the interval of charge where in a mine, was replaced air deck charge method by self supportAir-Tubes.Reduction of charge with overall improvement of blast effects and economic benefit occurred. Thus this study has shown new possibilities throughout small-scale blasting to largescale in limestone mine.
Keywords : Blasting, Pre-Assessment Borehole, Borehole Endoscope
45
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
1.
INTRODUCTION Physical properties of rocks referred to in general civil field are very
diverse. Even conditions already known is just sketchy information from surface investigation such as exposed joints, weathered areas. Thus, it is almost impossible to get information of internal state and just wish to warn against risk or notice abnormal things of worker while drilling of course faulty zone in blasthole distinguished as abnormal sound or mechanical overload. But there is no one can say it exactly. Such a faulty zone crushed, chamber by chemical solution, Geological isolation., est.-caused over charging specially in bulk type explosives even sometimes any kinds of explosives. This is chief element of fly rocks and also impacts negative affects to blasting work. So in this study use borehole endoscope, searching surface and inner side hole conditions-specially reamingbefore charging, obtained information of existing faulty zone and displaced by air deck method or lower specific charge.It is also problem to set a self-support air tube at accurate position.
2.
BACKGROUNDS
2.1.
Hole viewer system (Borehole Endoscope) Designed to survey 𝝓 45mm tunnel blastholes quickly with pin-hole type
camera.Using centralization cover also possible to use more 𝝓45mm holes. Equipments are composed camera head, supporter, signal cable, displayer and digital recording system. When it force into blasthole, it takes depth or position of faulty area by outside gradation. 2.2. Air Tube Blasting Method The air-tubes blasting method is an improved rock blasting method which comprises a series drilling work in an aligned boreholes of a rock body according to the designed drilling patterns; charging the boreholes with explosives and an air tube in a predetermined pattern so as to provide a quantitative air decking in every charged borehole; and detonating the charged boreholes with stemming on the top of the explosives or air tubes.
46
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Figure 1. Description of hole viewer system at contour hole in tunnel (hole Dia. 45 mm, damaged zone verification)
Figure 2.Hole viewer test in open mine (looking for faulty area in stony mine)
Figure 3. Normal shapes of blasthole
Figure 4. Endoscope find out faulty area (damaged by drilling impact. Stony mine. Kim-Hae. Korea)
47
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
The air tube is a cylindrical flexible tube having a predetermined width and length to be fit in the borehole. An air tube injection port is provided at one end portion of the air tube. The air tube is made of the sheets and its diameter upon inflated, becomes smaller than that of the boreholes. The air tube and air injection port are made from synthetic materials such as polyethylene, polypropylene, and polyamide. Preferably, the air tube is inflated by using an air injector of air compressors provided from work sites. For the optimal arrangement, the explosives and air tubes are alternately charged along the boreholes. Furthermore, the air tube is charged first at the bottom of the borehole and subsequently a detonator is charged above the top of the air tube charged in the borehole, and the explosives and air tubes are charged in an adjacent two boreholes so that they are located in cross relation each other, therefore, one air tube can face lateral explosives in an adjacent borehole.
Figure 5. Self-Support type Air-tube (1.5m 𝝓80mm)
Figure 6. The trial pattern of Air-Tube blasting (self support type, buried in explosives, reduce specific charge) 48
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
The air tube which is installed above the top of explosives can reduce the stemming length charged above the air tube as much as extent the air tube. The explosive charged above the air tube is detonated by sympathetic detonation. 2.3.
Theory Of Air Decking The technique of air decking involves the use of one or more air gaps in the
explosive column as a means of optimising fragmentation for a given charge length. The theory as proposed by Melnikov and Marchenko (1971) and Melnikov et al. (1979), postulates that shock waves, when reflected within the borehole, generate a secondary shock wave that extends the network of microfractures prior to gas pressurization. The final borehole pressure produced by an explosive is, however, reduced in this case but the degree of fracture is increased as a result of repeated loading of the rock by a series of aftershocks. The three main pressure fonts (shock front, pressure front due to formation of explosive products behind the detonation font and reflected waves from the bottom of the blasthole and/or from the base of the stemming) travel within the air deck for different distances and velocities thereby creating these aftershocks.
3.
GEOMINING DETAILS OF THE MINE
3.1.
Location The limestone mine is situated in central Korea southern of Dan-Yang in the
state of Chungchung-nam-do and belongs to Sung-Shin Cement Ltd. 3.2.
Topography Regionally, the area forms undulating terrain with two ridges trending ENE-
WSW. The centre of city crossed by Riv. Yeon-san and annual precipitation rate in this area is about 1180 mm.
49
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
3.3. Rock Succession
Figure. 7. Location map Sung-Shin cement open pit mine. Table 1. Margin settings for A4 size paper
50
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
4.
FIELD TEST
4.1.
Drilling And Preparing Air Deck Bench heights of 8-10 m and 15 m were used in the mine. Generally, 20-30
holes in two to three rows were fired using ordinary detonators. An air deck layer was placed in the middle of the explosive colum and between column charge and stemming for fragmentation. The deck specific was 80 mm for 15 m benches and 70 mm for 8-10 m benches. 4.2.
Hole Viewer System Each blast hole surveyed endoscope from bottom to surface. The
characteristic of limestone, slowly evolved reamings were found. This table is a part of accurate position of reaming. Table 2.Position of reamings and faulty zone (Ex.)
Figure. 8. Detail view of faulty zone (Shows character of limestone reaming)
4.3. Charging All the blasthole charges with HIMEX (bulk emulsion, Han-Hwa Co., specific gravity 1.25) basically, but some holes that found fault zone bottom of 51
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
hole, displaced ANFO as faulty zone starting point. And others installed Air-Tube between bulk explosives. So average of specific charges down comparing with conventional blasting method whole the test blasting range.
Figure. 9. Detail description of trial method (left) and air deck method (right) (bench height 15 m, saved explosives 9-15% in average) Table 3. Charging pattern (test blast)
52
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
5.
RESULT
5.1.
Fragmentation The optimum fragment size, considering a loading bucket capacity of 1.7 m3
works out to be 0.20 m ( Rzhevsky, 1985. Further, for a shovel of 1.7 m3 bucket capacity, the loading efficiency is reduced by 7.23 and 37% for mean fragment sizes of 20-34, 35-60 and. 60 cm, respectively. Fragmentation assessment was made on the basis of image processing size measurements by split desktop ver. 2.0. Each blast always side by side conventional and test, ignited same time. The result of apparent fragmentation is shown in Fig. 10.
Figure. 10. Apparent fragmentation
Figure. 11. Calculate of fragmentation (Split Desktop ver. 2.0) 53
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
It can be observed in fig. 11 that middle sizes of rocks are smaller than conventional blasting. The average of middle size was 234.46 mm at conventional and 164.89 mm at test. It means about 30 % fragmentation improved in air deck blasting. 5.2. Saving Explosives As displaced certain amount of charges to air deck, occurred saving explosives in air deck blasting method. Table 4. The rate of saving explosives
5.3.
Other Effects
Specific charge In conventional blasting with bulk explosive, a specific charge of 0.25 – 0.33 kg m3 was used, whereas the specific charge was slightly higher in conventional blasts with an air deck. In spite of this, the explosive cost is reduced significantly due to the use of low cost and low-density explosive (ANFO) and better utilization of available shock energy as explained previously. Throw Research conducted by the Swedish Detonic Research Founder (SVEDEFO) shows that the forward movement of muck pile in conventional charging should be 140c 228m, where c is the specific charge in kg m3 (Olofson, 1988). The observed throw in conventional blasts with air decks is compared with the throw 54
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
without air decks estimated after SVEDEFO. It is seen in Fig. 10 that the throw is drastically reduced in air deck blasting which indicates that significantly less explosive energy is spent for rock throw in air deck blasting compared to blasting without an air deck. Thus, air deck blasting makes more efficient use of the explosive energy. This is observed rock movement. As shown Fig. 12.two of four trial shot was excessively throws rock which was on bottom area in the bench.
Figure. 12. Rock movement (arrow means blasting direction) Table 5. Cost reduction by air deck
55
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
6.
CONCLUSION Depends on Air Tube blasting that each air deck layers are located at weak
point in the holes, the degree of fragmentation was improved. From observation, the improved fragmentation is caused by preventing overcharges through which installing air tubes in faulty zone, so density of charge was stabilized. By using Air Tube, reduce explosives 9 – 15 % for general method. It is expected to be a great financial opportunity for the mine.
7.
REFERENCE
Biewniawaski, Z.T. (1973) Eggineering classification of jointed rock masses.Transactions Of South African Institute Of Civil Engineers 15(12), 335-344. Fourney, W.L., Barker, D.B. and Holloway, D.C. (1981) Model studies of explosive well stimulation techniques. International Journal Of Rock Mechanics & Mining Sciences 18,113-127. Kinney, G.F. and Graham, K.J. (1985) Explosives Shocks In Air, Springer, New York. McCabe, W.L. and Smith, J. (1976) Unit Operations of Chemical Engineering, McGraw-Hill Book. Company, New York.Marchenko, L.N. (1982) Raising the Efficiency of a blast in rock crushing.Soviet Mining Science 18 (5), 46-51.
56
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI BESI/ BAJA HULU NASIONAL BERBASIS BAHAN BAKU LOKAL Nurul Taufiqu Rochman Pusat Penelitian Metalurgi LIPI, Puspiptek Serpong Tangsel, Banten
[email protected]
ABSTRAK Besi dan baja adalah bahan vital bagi kehidupan manusia karena mendominasi 95 % dari seluruh produk industri logam dan menjadi tulang punggung bagi pengembangan industri suatu bangsa. Kebutuhan besi/ baja nasional mencapai lebih dari 10 jt ton pertahun dan terus meningkat seiring dengan program percepatan pembangunan ekonomi dewasa ini. Namun demikian, hingga kini, hampir seluruh bahan baku industri besi/ baja tersebut diperoleh dari impor baik berupa pellet maupun skrap dengan harga yang relatif mahal dan tidak stabil. Sementara itu, sumber daya alam yang berupa bijih besi dan pasir besi lokal belum diolah untuk tujuan tersebut karena berbagai macam kendalan yang dihadapi. Oleh karena itu, paper ini bertujuan untuk mengkaji strategi pengembangan industri besi/ baja hulu nasional berbasis bahan baku lokal. Pertama, dibahas mengenai permasalahan-permasalahan yang dihadapi industri besi/ baja hulu nasional, seperti ketergantungan bahan baku impor, tata kelola organisasi pemerintahan dan kebijakan serta kendala teknologi dan R & D. Kemudian dilanjutkan dengan uraian teknologi terkini yang potensial dikembangkan di Indonesia. Pendekatan klaster industri besi/ baja hulu menjadi pilihan yang paling strategis sebagai upaya penguatan daya saing global industri besi/ baja nasional. Terakhir disampaikan kesimpulan dan rekomendasi pengembangan industri besi/ baja hulu nasional berbasis bahan baku lokal.
Kata kunci: Strategi, industri besi/ baja hulu, bahan baku lokal, tata kelola kebijakan, teknologi pengolahan.
57
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
1.
PENDAHULUAN Besi dan baja adalah bahan vital bagi kehidupan manusia karena
mendominasi 95 % dari seluruh produk industri logam dan menjadi tulang punggung bagi pengembangan industri suatu bangsa. Negara-negara maju berusaha melakukan penguasaan teknologi pengolahan dan produksi baja secara besar-besaran untuk berkompetisi menguasai seluruh segmen pasar industri baik di dalam dan di luar negaranya pada era global dewasa ini. Berdasarkan laporan dari International Iron and Steel Institute, 2010 produksi baja dunia meningkat dari di bawah 1 milyar ton pertahun pada 2003 mencapai di atas 1,4 milyar ton pertahun pada 2010. Peningkatan ini diproyeksi akan terjadi dari tahun ke tahun seiring dengan peningkatan konsumsi baja dunia. Peningkatan konsumsi baja di masing-masing negara mengindikasikan bahwa proses pembangunan dan pengembangan industri masih terus berlangsung khususnya di negara-negara dunia ketiga (seperti China, India, Korea, Brasil dan lain sebagainya). Kondisi ini mendorong terjadinya perubahan peta industri baja dunia. Industri - industri baja di dunia melakukan serangkaian strategi untuk 1) mempertahankan eksistensinya, 2) ekspansi, 3) mendapat jaminan pasokan bahan baku dengan menguasai sumber bahan bakunya, 4) merebut pasar dunia dan lain sebagainya. Peningkatan konsumsi baja China dan perubahan peta industri baja dunia berdampak serius bagi industri besi/ baja nasional, dimana hampir semua bahan baku diperoleh dari impor dengan harga yang mahal dan tidak stabil. Di sisi lain, Indonesia kaya akan bahan baku, dimana jumlah pasir besi mencapai lebih dari 1 milyar ton yang utamanya tersebar di pulau Jawa dan Flores serta bijih besi laterite dengan total lebih dari 2 milyar ton di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Sementara itu, jumlah deposit batubara dengan total melebihi 64 milyar ton dan batu kapur bermilyar - milyar ton tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Namun demikian kekayaan bahan baku lokal tersebut masih belum bisa dikelola secara mandiri untuk pemenuhan kebutuhan baja nasional karena berbagai macam kendala yang dihadapi dan belum adanya strategi yang terintegrasi. Oleh karena itu, paper ini bertujuan untuk mengkaji strategi
58
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
pengembangan industri besi/ baja hulu nasional dengan memanfaatkan sumber daya lokal berupa bijih besi/ pasir besi dan bahan baku lainnya.
Gambar 1. Produksi besi kasar dunia yang terus meningkat dari tahun ke tahun. (Sumber: http://www.worldsteel.org). 2.
PERMASALAHAN YANG DIHADAPI INDUSTRI BESI/ BAJA NASIONAL
2.1. Ketergantungan Bahan Baku Impor Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam yang berupa mineral bijih besi, pasir besi, batubara dan lain sebagainya. Namun pada kenyataannya industri besi/ baja nasional masih kekurangan pasokan bahan baku untuk memenuhi proses produksinya. Kondisi ini disebabkan masih terbatasnya industri besi/ baja hulu di Indonesia baik dalam jumlah maupun kapasitas produksinya (Kemenperin, 2009). Sumber bijih besi di Indonesia tersebar dan karakternya spesifik, tetapi belum ada industri lokal yang mengolah bahan baku bijih besi tersebut secara berkelanjutan, bahkan sebagian besar bijih besi, pasir besi dan batubara tersebut diekspor begitu saja tampa diberikan nilai tambah. Belum adanya industri lokal yang mengolah bahan baku bijih besi disebabkan oleh beberapa kendala, yaitu 1) investasi yang diperlukan untuk mendirikan industri pengolahan bahan baku bijih besi lokal masih relatif sangat besar, 2) belum dikuasainya teknologi pengolahan
59
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
bahan baku bijih besi, 3) infrastruktur yang diperlukan belum memadai, 4) informasi pertambangan yang diperlukan masih simpang siur serta 5) belum terintegrasinya dukungan kebijakan dari pemerintah. 2.2. Kendala Teknologi Dan Sumber Daya Manusia (SDM) Penguasaan teknologi sudah menjadi suatu kewajiban yang harus dikembangkan apabila Indonesia berkeinginan untuk mengembangkan industri besi/ baja nasional. Pada kenyataannya penguasaan teknologi untuk benefisasi bijih besi masih sangat lemah. Selain itu teknologi pengolahan bahan baku bijih besi/ pasir besi yang spesifik untuk membuat ingot masih belum teruji sehingga untuk melaksanakan proses produksi masih menggunakan lisensi alat dan ahli teknologi dari luar negeri. Indonesia belum mempunyai pusat riset nasional yang menangani secara khusus pengolahan bahan baku lokal sampai menjadi produk hilir yang diprioritaskan oleh pemerintah, yang akan melakukan riset khusus tentang industri logam, melakukan penelitian dan pengembangan teknologi secara terus-menerus mengikuti perkembangan industri logam internasional, membuat kebijakan nasional,
membuat
keputusan,
merealisasikan
dan
mengimplementasikan
kebijakan dan program-program pengembangan industri logam seperti yang dimiliki oleh China. Pengembangan industri logam juga terhambat oleh rendahnya produktivitas sumber daya manusia yang mampu memberikan teknologi tepat guna, khususnya ahli untuk menangani teknologi pada industri besi/ baja hulu bila dibandingkan dengan produktivitas SDM industri besi/ baja di negara lain. Kalaupun tersedia SDM yang mampu menerapkan teknologi tepat guna, jumlah ahli yang dimiliki masih sangat terbatas. Hal ini dikarenakan besarnya jumlah dan rendahnya tingkat edukasi tenaga kerja yang diserap. 2.3. Tata Kelola Kebijakan Industri Besi/ Baja Nasional Belum Terintegrasi Kondisi ini diindikasikan oleh kenyataan bahwa kebijakan industri besi/ baja belum menjadi isu nasional yang digunakan sebagai acuan bagi seluruh stakeholder/ kementrian dalam pengembangan industri nasional. Selain itu
60
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
industri logam masih menggunakan aturan-aturan industri yang bersifat umum, padahal industri besi/ baja merupakan supporting bagi industri lain, sehingga diperlukan kebijakan khusus yang berbeda dan mendukung pengembangan industri besi/ baja. Adanya kontradiksi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah serta belum adanya sinergisitas kebijakan antardepartemen menyebabkan pelaku industri besi/ baja mengalami kesulitan dalam melakukan pengembangan industrinya. Kebijakan yang ada selama ini umumnya bersifat reaktif bukan berbasis strategis. Kebijakan ekspor dan impor bahan baku logam juga menjadi permasalahan tersendiri yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja indusrti besi/ baja hulu dan tersedianya pasokan bahan baku bagi industri besi/ baja hilir. Insentif dan peran lembaga keuangan juga belum sepenuhnya mendukung pendanaan bagi investasi di industri besi/ baja. 2.4. Keterkaitan Antarstakeholder Pada Industri Besi/ Baja Nasional Belum Harmonis Hubungan yang harmonis antara stakeholder industri besi/ baja dengan sendirinya akan memepercepat proses pengembangan industri itu sendiri. Dengan adanya harmonisasi dan keterkaitan antara stakeholder, arus informasi dan pemenuhan bahan baku dan pemasaran akan lebih efektif dan lebih menguntungkan dalam jangka panjang. Pada kenyataanya masing-masing stakeholder industri logam nasional belum terhubungkan dengan baik, dimana masing-masing berjalan sendiri-sendiri sehingga tidak ada integritasi satu sama lain yang dapat mendorong pengembangan industri besi/ baja nasional. Selama ini belum ada sistem yang mengatur dan mengikat masing-masing stakeholder secara keseluruhan serta menjadi acuan semua pelaku industri. Beberapa klaster industri baja yang sudah terbentuk belum bisa berjalan secara optimal sehingga keberadaannya belum bisa memberikan kontribusi yang nyata bagi kemajuan dan pengembangan industri baja nasional.
61
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
3.
TEKNOLOGI PENGOLAHAN BIJIH BESI/ PASIR BESI Potensi sumber daya bijih besi/ pasir besi Indonesia sangat mendukung
untuk kemandirian industri besi/ baja nasional jika dilakukan pemilihan teknologi yang tepat sesuai dengan karakter bahan bakunya. Teknologi untuk mendapat besi/ baja dari bijih besi/ pasir besi yang digunakan di Indonesia adalah blast furnace (tanur tiup) dan Direct Reduction Iron berbasis gas alam. Blast furnace merupakan teknologi generasi pertama pembuatan besi. Bagian-bagian dari tanur tiup dapat dilihat pada Gambar 2. Sementara Gambar 3 menunjukkan mini blast furnace yang telah di-set-up di Balai Pengolahan Mineral Lampung, LIPI sejak tahun 1985. 1. Hembusan udara panas dari tungku 2. Daerah pencairan 3. Zona reduksi FeO (Ferrous Oxide) 4. Zona reduksi Fe2O3 (Ferric Oxide) 5. Daerah pemanasan awal 6. Tempat masuk Bijih besi, Kapur dan Kokas 7. Gas sisa pembakaran 8. Lajur Bijih besi, Kapur dan Kokas 9. Slag 10. pig iron 11. Saluran gas buang
Gambar 2. Ilustrasi skematik tanur tiup secara umum untuk generasi pertama teknologi iron making. Teknologi ini merupakan peleburan reduksi (reduction smelting) dan masuk kategori reduksi tidak langsung. Pembuatan besi dengan tanur tiup membutuhkan kokas yang relatif mahal dan temperatur tungku yang tinggi sekitar 1500-2000°C. Pemakaian batubara semi cooking dapat menjadi alternatif dengan proses lebih murah. Proses pembuatan besi dengan teknologi ini merupakan proses yang berkelanjutan sehingga membutuhkan jaminan ketersedian bahan baku. Bijih besi yang digunakan memerlukan kualitas yang baik yaitu kadar Fe yang tinggi dan tidak adanya kandungan pengotor. Besi ingot yang dihasilkan memiliki kandungan karbon 4-5% sehingga sangat getas dan harus diproses lebih lanjut untuk produksi baja. Teknologi generasi kedua adalah pembuatan besi dengan menggunakan gas alam untuk mereduksi bijih besi sehingga didapat besi reduksi langsung (Direct
62
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Reduction Iron). Teknologi ini tidak sebesar dapur tinggi, investasinya lebih rendah dan sudah banyak dibangun di negara-negara berkembang. Teknologi ini juga digunakan oleh PT. Krakatau Steel yang disebut Hyl dari Meksiko. Teknologi lain yang dikembangkan pada generasi kedua ini adalah MIDREX® Process dan Fastmet® Process. Teknologi lain yang dikembangkan adalah HOTLINK® Process yang merupakan pengembangan dari MIDREX® Process. Penggunaan teknologi generasi kedua ini jika dibandingkan dengan tanur tiup meningkat secara drastis dari 800.000 ton pada tahun 1970 menjadi 55.000.000 ton pada tahun 2005 (Otzuka & Kunii, 1967; Kashiwaya & Ishii, 2004). Bijih besi yang digunakan pada proses ini adalah hematit dan magnetit, sehingga tetap membutuhkan Fe dengan kadar yang tinggi dan tanpa banyak pengotor.
Gambar 3. Mini tanur tiup yang ada di Balai Pengolahan Mineral Lampung dengan kapasitas 10 ribu ton/ tahun.
Gambar 4. Plant Reduksi Langsung berbasis gas alam (a) MIDREX® Process, (b) HOTLINK® Process.
63
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Teknologi generasi ketiga yang dikembangkan oleh Kobe Steel adalah IT Mark Three (ITmk3®), seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Teknologi ini merupakan pengembangan dari Fastmet® process, yang merupakan reduksi langsung dengan menggunakan batu bara. ITmk3® adalah proses yang unik, karena pellet direduksi dan dilelehkan pada suhu yang relatif rendah yaitu 1350°C. Pada proses ini besi dengan mudah terpisah dari slag. Reaksi pada ITmk3® berada pada fasa padat/ cair yang berbeda dengan teknologi pembuatan besi konvensional. Keunggulan lain dari teknologi ini adalah FeO sisa kurang dari 2% dan tidak merusak bata api. Bijih besi halus dan bijih besi kadar rendah bisa digunakan pada teknologi ini. Kobe steel dalam penelitiannya dalam waktu yang singkat (3-9 menit) telah berhasil mereduksi langsung bijih besi dengan teknologi ITmk3® dengan variasi temperatur. Seiring dengan penambahan waktu pada pemanasan 1350°C, metalisasi berjalan lebih sempurna dan terjadi pengumpulan/ pemisahan slag dari metal yang terbentuk (Anameric et al., 2006; Nagata et al., 2001; kobayashi et al., 2007)
Gambar 5. ITmk3® Process menggunakan Rotary Hearth Furnace. Karakteristik pasir besi Indonesia yang tersebar dan kadar Fe yang tidak terlalu tinggi menjadikan pasir besi Indonesia tidak efisien untuk diolah dengan menggunakan teknologi yang telah ada di Indonesia (Generasi pertama dan 64
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
kedua). Pasir besi tersebut dapat digunakan tetapi membutuhkan proses yang panjang agar sesuai dengan karakteristik yang dipersyaratkan oleh teknologi tersebut. Selain itu harga kokas yang masih impor (generasi pertama) dan harga gas alam (generasi kedua) yang cenderung naik menjadi kendala lain dalam pengolahan pasir besi di Indonesia.
STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI BESI/ BAJA NASIONAL
4.
Untuk menyelesaikan dan sekaligus memberikan solusi pada masalah – masalah yang telah diuraikan di atas, maka perlu dibuat suatu strategi yang komprehensif dan terintegrasi untuk pengembangan industri baja hulu nasional yang mengacu pada kebutuhan besi/ baja nasional hingga 2020 (Kemenperin, 2007).
Konsumsi baja nasional (juta ton/ tahun)
25
Tahap III
20
- Peningkatan kapasitas masing-masing klaster dari 1 menjadi 3 juta ton/ tahun. - Pengaturan ekspor/impor baja dan bahan baku.
Tahap II
15
10
5
0 2005
Tahap I
- Pembentukan 6 buah klaster industri baja hulu. - Peningkatan kapasitas masing-masing klaster dari 500 rb sampai minimal 1 juta ton/ tahun. - Akselerasi penguasaan steel making dan turunannya. - Pengaturan ekspor/impor baja dan bahan baku.
- Optimalisasi kapasitas terpasang. - Penerapan & pembangunan mini blast furnace. - Pengaturan ekspor/impor baja dan bahan baku. - Kajian pembentukan klaster industri baja hulu. - Akselerasi R&D iron making dari low grade bijih besi.
2007
2009
2011
2013
2015
2017
2019
2021
2023
2025
Tahun
Gambar 6. Proyeksi konsumsi baja nasional dan beberapa agenda prioritas pada strategi pengembangan industri baja hulu berbasis sumber daya lokal yang mengacu pada visi dan arah yang telah dirumuskan sebelumnya.
65
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
2010-2013 2008-2010
2013-2015
Mass Market
•Penerapan teknologi iron making dari bijih besi low grade secara masif. •Penerapan teknologi steel making dan produk turunannya secara masif
Rapid advancement
•Prototipe teknologi iron making dari bijih besi low grade. •Peningkatan kapasitas teknologi blast furnace. •R&D teknologi steel making dan produk turunannya.
• Penerapan teknologi blast furnace secara masif. •R&D teknologi pengolahan bijih besi low grade secara masif.
• Penguasaan teknologi dan prototite mini blast furnace. •Penguasaan teknologi pembuatan pelet dgn rotary kiln untuk konsumsi industri baja nasional.
Peluang memasuki market dunia
2006-2008
•Penguasaan teknologi iron making dari bijih besi low grade. •Penerapan teknologi blast furnace secara masif.
Early Adapter Applied Research Basic Research
2015-2020
Roadmap arah pengembangan teknologi industri baja nasional berbasis bahan baku lokal
Gambar 7. Arah Pengembangan Teknologi Industri Baja Nasional Yang Berbasis Bahan Baku Lokal Serta Peluang Memasuki Market Global Gambar 6 menunjukkan proyeksi konsumsi baja nasional dan beberapa agenda prioritas yang harus dilaksanakan sebagai ilustrasi dari strategi pengembangan industri baja hulu berbasis sumber daya lokal yang mengacu pada kebutuhan baja nasional (Kemenperin, 2007). Diprediksi bahwa konsumsi baja nasional pada tahun 2010, 2015 dan 2020 berturut – turut adalah 10, 15 dan 20 jt ton / tahun yang harus dipenuhi pada akhir tahapan. Sementara itu, Gambar 7 menunjukkan roadmap arah pengembangan teknologi industri baja hulu mandiri dan terintegrasi yang berbasis sumber daya lokal. 4.1. Tahap I Pada 2008 konsumsi baja nasional diskenariokan akan bertambah sekitar 2,2 jt ton (dari 7,8 jt ton di tahun 2006) sehingga mencapai 10 jt ton / tahun. pada tahun 2010. Sementara itu, kapasitas produksi industri baja nasional sebesar 3,8 jt ton / tahun, hanya digunakan sekitar 2,5 jt ton untuk konsumsi dalam negeri. Di sisi lain, kapasitas terpasang industri baja nasional kita dapat mencapai 6,5 jt ton / tahun dengan hampir seluruh bahan baku (pellet dan skrap) yang didapat dengan cara impor. Untuk mencapai target produksi 10 jt ton / tahun, maksimalisasi utilisasi kapasitas terpasang saat ini perlu dilakukan untuk mendapatkan tambahan 66
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
produksi lebih dari 4 jt ton / tahun. Nilai ini masih terlalu besar untuk dapat dicapai dengan pembangunan industri hulu dan hilir baru, mengingat waktu Tahap I ini sudah selesai. Dengan memperhatikan banyaknya potensi sumber daya bijih besi primer yang tersebar diberbagai lokasi dengan jumlah yang tidak terlalu besar, serta penguasaan teknologi mini blast furnace oleh Balai Pengolahan Mineral Lampung – LIPI, terlihat bahwa strategi desentralisasi pengembangan industri baja hulu sangat sesuai untuk tahap awal ini. Untuk langkah awal, perlu didesain mini blast furnace dengan kapasitas 50 ~ 500 jt ton / tahun dalam jumlah yang relatif banyak (sekitar 25 ~ 50 buah). Dengan desain ini, cadangan bijih besi yang tersebar dengan jumlah yang relatif tidak besar (sekitar 1 juta ton) dapat dimanfaatkan selama kurang lebih 10 tahun secara ekonomis, dengan perkiraan BEP lebih kurang 3 – 5 tahun sejak mulai beroperasi. Pembangunan mini blast furnace dengan kapasitas ini dapat dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat (kurang dari satu tahun). Jika rata – rata kapasitas mini blast furnace yang dibangun selama 2 tahun ini adalah 200 rb ton / tahun dan jumlahnya 25 buah, maka sekitar 5 jt ton (200 rb ton x 25 = 5 jt ton) / tahun dapat diproduksi. Dengan demikian, total produksi pada tahun 2010 akan mencapai 10 jt ton / tahun (5 – 6 jt ton dari kapasitas terpasang + 5 jt ton dari total produksi mini blast furnace). Perhitungan ini lebih realistis dibanding dengan pembangunan industri baja hulu sentral yang besar berkapasitas 5 jt ton / tahun hanya dalam waktu 2 tahun. Untuk mengawal pengembangan industri baja hulu mandiri tersebut, maka pemerintah harus membuat berbagai kebijakan seperti yang berkaitan dengan peraturan ekspor-impor baja dan bahan bakunya, pertambangan dan lain sebagainya. Di samping itu, perlu dilakukan kajian pembentukan klaster industri baja hulu yang memiliki nilai strategis. Sekurang – kurangnya ada enam klaster industri baja hulu yang dapat direkomendasikan dengan pertimbangan potensi sumber daya bahan baku, infrastruktur, SDM dan teknoekonomi. Adapun wilayah klaster – klaster tersebut adalah sebagai berikut. 1)
Kalimantan Selatan – Kalimantan Barat (pusat di Kalimantan Selatan),
2)
Lampung – Sumatera Barat (pusat di Lampung),
3)
Nusa Tenggara Timur (Flores), 67
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
4)
Jawa Tengah,
5)
Sulawesi Selatan,
6)
Papua. Di samping kajian klaster industri baja hulu, pemerintah harus
memprioritaskan penelitian dan pengembangan (R&D) teknologi pembuatam besi (iron making) dari bijih besi kualitas rendah (low grade) dengan melibatkan berbagai peneliti dari lembaga penelitian dan industri terkait secara masif. Dalam dua tahun diharapkan ke depan akan ada terobosan baru yang dapat memanfaatkan bijih besi low grade menjadi pig iron. Untuk itu, perlu adanya forum – forum diskusi dan seminar – seminar ilmiah yang dapat mengakselerasi penguasaan teknologi iron making dari bijih besi kualitas rendah (low grade). 4.2. Tahap II Pada tahap dua ini, konsumsi baja nasional diperkirakan mencapai 15 jt ton / tahun. Oleh karena itu, maka kapasitas produksi harus ditingkatkan dari 10 jt ton menjadi 15 jt ton / tahun pada akhir tahun 2015. Untuk mencapai nilai tersebut, maka 6 klaster industri baja hulu yang telah dikaji pada tahap sebelumnya, harus sudah dibangun di akhir tahun 2013 dengan kapasitas awal masing – masing sekitar 0,5 jt ton / tahun. Kemudian kapasitas tersebut ditingkatkan menjadi 2 kali lipatnya, sehingga pada tahun 2015 masing – masing dapat memproduksi 1 jt ton / tahun. Total jumlah produksi 6 klaster diharapkan pada tahun 2015 adalah 6 jt ton / tahun. Dengan demikian, total produksi baja hulu nasional akan mencapai 16 jt ton / tahun, dengan 10 jt ton berasal dari kontinuitas produksi pada Tahap I. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka perlu diterapkan teknologi blast funace yang berkapasitas minimal 1 jt ton / tahun dengan memanfaatkan bijih besi primer (high grade) yang jumlah cadangannya melimpah. Penguasaan teknologi ini dilakukan secara bertahap dari 0,5 jt ton / tahun menjadi 1 jt ton / tahun dengan rentang waktu sekitar 5 tahun, dari 2010 s/d 2015. Di lain sisi, teknologi iron making dengan menggunakan bijih besi low grade sudah mulai dikuasai dan dapat dibuat prototipenya pada akhir tahun 2015. Pada tahap ini juga harus sudah dimulai riset dan pengembangan teknologi steel making skala nasional dan produk
68
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
turunannya. Gambar 8 menunjukkan dua pendekatan pengembangan industri besi/ baja hulu nasional dengan memprioritaskan steel making untuk skala besar diatas 1 juta ton/ tahun dan iron making dengan kapasitas 0,5 juta ton/ tahun. Sekali lagi, pilihan strategi di atas lebih realistis dibanding pembangunan sentral industri baja hulu dengan kapasitas 10 jt ton / tahun, yang pasti akan memerlukan banyak sumber daya dan investasi serta menimbulkan permasalahan teknologi yang sangat komplek baik di level pengolahan bahan baku, iron making dan lain sebagainya. Pasokan bahan baku untuk memenuhi jumlah yang sedemikian besar akan menimbulkan masalah tersendiri.
PENGEMBANGAN INDUSTRI BAJA HULU INDUSTRI BAJA HULU SKALA NASIONAL SPESIFIKASI: PASOKAN >> 1 JT TON/TAHUN DEPOSIT SUMBER DAYA 10 – 20 TAHUN INVESTASI BESAR KEBUTUHAN MESIN PRODUKSI YANG CANGGIH (STEEL MAKING) KEPEMILIKAN OLEH PEMERINTAH (BUMN)
KLASTER INDUSTRI BESI/BAJA HULU PRODUK SLAB BAJA BILLET HRC CRC DLL
BESI COR ENGINE BUNGA PAGAR ALAT PERTANIAN DLL
SPESIFIKASI: PASOKAN << 0,5 JT TON/TAHUN JUMLAH DEPOSIT FLEKSIBEL INVESTASI RELATIF TIDAK BESAR PERALATAN SEDERHANA KEPEMILIKAN OLEH SWASTA/ PEMDA
Small & Medium Iron Making Industries
Gambar 8. Strategi pendekatan pengembangan industri besi/ baja hulu nasional.
4.3. Tahap III Dalam jangka waktu 5 tahun, kapasitas masing – masing klaster diharapkan dapat ditingkatkan dari 1 jt ton / tahun menjadi 3 jt ton / tahun. Dengan demikian, total produksi baja dari 6 klaster industri baja nasional mencapai 18 jt ton (3 jt ton x 6 = 18 juta ton) / tahun dalam jangka waktu 5 tahun tersebut. Pada tahap ini, industri baja yang menggunakan mini blast furnace diasumsikan sudah mulai habis dan beralih menjadi pemain yang lebih besar. Sementara itu, produksi 69
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
industri baja nasional yang terpasang sekarang ini diharapkan sudah bisa berkembang mencapai 8 jt ton / tahun, sehingga secara matematis jumlah total produksi baja di tahun 2020 akan mencapai sekitar 26 jt (8 + 18 jt ton) / tahun. Dengan demikian pada akhir Tahap III, Indonesia akan mengalami over supply sekitar 6 jt ton / tahun dan dapat diekspor ke negara lain. Pada tahap ini, teknologi iron making dari bijih besi low grade sudah dapat diterapkan secara masif bersamaan dengan penerapan teknologi steel making dan produk turunannya pada industri baja nasional. Di sini diversifikasi produk baja turunan telah dapat dilakukan dan produk – produk baja nasional telah memasuki persaingan global dengan daya saing yang tinggi. Sealin itu, industri baja nasional yang mandiri dan berdaya saing telah eksis dan akan terus berkembang mengawal pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat.
5.
STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING GLOBAL INDUSTRI
BESI/ BAJA NASIONAL Gambar 9 menunjukkan skematik ilustrasi pengembangan daya saing industri baja nasional. Pembangunan industri, terutama industri baja, yang mandiri, komprehensif dan terpadu dalam sebuah sistem yang terintegrasi dengan baik mutlak dibutuhkan guna menuju struktur industri baja nasional yang tangguh dan berdaya saing global. Pengembangan ini membutuhkan keterlibatan banyak pihak sebagai pendukung suksesnya industri baja di masa mendatang, tidak hanya PT. Krakatau Steel yang dijadikan sebagai mitra pembangunan, tetapi perlu mengikutsertakan industri baja nasional lainnya. Dalam pengambilan kebijakan, juga perlu melibatkan pemerintah daerah, lembaga-lembaga penelitian, dan stake holder untuk mendapatkan gambaran yang jelas arah pengembangan industri baja ke depan mengacu pada peta kemampuan pasokan bahan baku dan potensi pasar pengguna baja. Di samping itu juga, kebijakan pemerintah terhadap perlindungan dan regulasi-regulasi yang menjamin keberlangsungan pengembangan industri baja nasional harus segera dibuat. Kelimpahan sumber daya alam Indonesia secara umum memiliki cadangan yang mencukupi untuk konsumsi nasional sampai beberapa dekade ke depan. 70
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Namun sangat disayangkan, potensi yang melimpah tersebut tidak teridentifikasi dan terpetakan dengan baik. Potensi yang tidak teridentifikasi dan tidak terpetakan tersebut pada kenyataannya telah mengakibatkan kerugian nasional berupa pencurian sumber daya alam baik disadari ataupun tidak disadari. Untuk itu diperlukan adanya pemetaan potensi sumber daya alam di Indonesia yang terfokus kepada pemetaan sebaran dan potensi bijih besi di Indonesia. Pemetaan juga akan mencakup mineral-mineral lain yang dibutuhkan dalam pengolahan bijih besi menjadi baja, seperti batubara dan batu gamping. Untuk ke depan, kebutuhan bijih besi tidak dapat digantungkan sepenuhnya pada industri pengolahan bijih besi yang sudah ada saat ini karena produksi yang dihasilkan hanya dapat memenuhi sepertiga dari kebutuhan industri di Indonesia. Untuk
menutupi
kekurangan
pasokan
bijih
besi
tersebut,
diperlukan
pengembangan industri pengolahan bahan baku yang lebih luas dengan memanfaatkan potensi SDA diseluruh pelosok indonesia dari Sabang sampai Merauke. Teknologi pengolahan yang dikembangkan tersebut harus mampu menjawab tuntutan peningkatan produksi sekaligus mempertimbangkan metode yang digunakan dengan karakteristik bijih besi yang dimiliki masing – masing daerah. Selain itu, perlu adanya pendekatan agar langkah-langkah serius dan nyata untuk memperbaiki dan mengoptimalkan kondisi infrastruktur pendukung, SDM dan potensi daerah yang bersangkutan dapat segera terealisasi.
Gambar 9. Strategi peningkatan daya saing industri besi/ baja nasional. 71
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Penggunaan teknologi eksplorasi dan teknologi produksi yang efektif dan efisien merupakan faktor yang menentukan keberlangsungan industri baja nasional secara ekonomis. Untuk itu perlu adanya kajian terhadap teknologi eksplorasi yang umum digunakan di Indonesia agar optimalisasi eksplorasi dapat dilakukan. Demikian pula dengan teknologi produksi yang digunakan. Seringkali didapatkan teknologi produksi yang dapat menghasilkan produk dengan kualitas bagus, namun dengan tingkat optimalisasi yang rendah. Sebaliknya, sering pula ditemui penggunaan suatu teknologi produksi yang dapat mengoptimalkan jumlah produksi baja, namun memiliki kualitas hasil produksi yang kurang baik. Dengan mengacu kondisi di atas, maka teknologi produksi baja pun merupakan suatu objek yang harus dikaji. Kajian terhadap teknologi eksplorasi dan produksi tersebut nantinya akan dan harus membahas aspek teknis, ekonomi dan lingkungan. Di samping kajian dari sisi teknis, kajian dari sudut pandang ekonomi juga sangat dibutuhkan, karena bagaimanapun juga industri eksplorasi dan produksi baja merupakan bidang usaha yang memerlukan investasi besar. Dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, diharapkan dunia usaha mendapatkan gambaran yang detil untuk mengambil langkah investasi mereka. Sebagaimana kajian dari aspek ekonomi, kajian dari aspek lingkungan juga sangat dibutuhkan untuk membuat industri baja yang berkualitas baik. Kajian ini harus melihat sejauh mana teknologi yang digunakan memberikan pengaruh terhadap lingkungan di sekitar lokasi eksplorasi atau di sekitar lokasi industri. Hasil kajian ini nantinya dapat digunakan oleh pihak industri dan investor untuk mengevaluasi sejauh mana penerapan faktor keselamatan lingkungan telah dilakukan. Kajian juga seharusnya membahas kemungkinan adanya substitusi teknologi bila teknologi yang digunakan saat ini kurang memenuhi standar teknis, ekonomis maupun standar keselamatan lingkungan. Di lain sisi, penyediaan sumber energi yang murah dan stabil adalah mutlah diperlukan. Bahan dasar gas alam komponen yang sangat rawan terhadap perubahan harga. Hal ini disebabkankarena semakin menipisnya cadangan di alam ini. Di samping harganya yang relatif mahal, energi listrik cenderung tidak stabil. Diperlukan sebuah terobosan baru dengan memanfaatkan pembangkit listri tenaga
72
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
batubara yang relatif murah dan pasokan bahan baku bisa dari lokal dan berjumlah melimpah. Perkembangan industri baja nasional dengan struktur yang kokoh dan mandiri tidak terlepas dari kemampuan sumber daya manusia sebagai pendukung operasional secara teknis atau manajerial. Aspek ini sangat perlu mendapat perhatian secara intens. Pengembangan yang paling penting dari aspek SDM adalah pengembangan dan pemberdayaan melalui transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Tentu saja, pengembangan SDM melibatkan banyak pihak, yaitu lembaga penelitian, lembaga pendidikan dan perguruan tinggi serta lembaga riset yang dikembangkan sendiri oleh industri baja. Kemajuan Indutri baja Nasional juga perlu mendapat dukungan dari struktur pasar yang menjanjikan dan iklim investasi yang kondusif. Pengambil kebijakan berperan penting dalam menciptkan keadaan yang mendukung ini. Langkah kongkret yang dapat dilakukan untuk menumbukan pasar baja nasional adalah dengan membuka kran peluang investasi yang luas untuk pembangunan industri berat nasional seperti industri galangan kapal, kereta api, otomotif, transportasi dan industri hilir lainnya. Selain itu juga perlu mempercepat laju pembangunan infrastruktur (gedung, indutri dan peralatannya) yang merupakan pasar bagi industri hulu perbajaan nasional. Di sini, pengembangan klaster daerah produksi baja nasional berbasis letak geografis, ketersediaan potensi bahan baku dan dukungan infrastruktur serta SDM perlu dilakukan. Dengan melakukan kajian dan pendekatan permasaahan yang komprehensif, diharapkan strategi pengembangan industri baja nasional berbasis klaster yang mandiri dan berdaya saing dapat dirumuskan.
6.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Industri besi/ baja nasional memiliki berbagai kendalan yang utamanya
adalah ketergantungan bahan baku impor dan tata kelola kebijakan dan organisasi pemerintahan. Potensi sumber daya alam berupa bijih besi dan batubara harus dapat dimanfaatkan dengan pemilihan strategi yang komprehensif dan terintegrasi. Proses pengembangan industri besi/ baja nasional harus melibatkan seluruh 73
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
komponen terkait (industri baja nasional, Pemda, lembaga penelitian, stake holder lainnya dengan sistem klaster yang berdasarkan letak geografis dan kesiapan infrastruktur serta SDMnya. Kebijakan pemerintah harus dapat menaungi semua pola interaksi sehingga aktifitas industri baja nasional dapat berjalan dengan efisien dan mendukung pembangunan di bidang lain menuju peningkatan daya saing global industri besi/ baja nasional .
7.
DAFTAR PUSTAKA
Anameric B. and Kawatra S.K. (2006), Mineral & Metallurgical Engineering 23, 52-56. Kashiwaya Y. and Ishii K. (2004), ISIJ International 44, 1981-1990. Kemenperin (2007), Studi Nasional Pemanfaatan Bijih Besi dan Batubara Lokal dalam Rangka Memenuhi Kebutuhan Bahan Baku Industri Baja. Direktorat Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka, Kementrian Perindustrian. Kemenperin (2009), Strategi dan Langkah Pengembangan Jangka Menegah Industri Logam 2010-2014. Direktorat Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka, Kementrian Perindustrian. Kobayashi I., Tanigaki Y. and Uragami A. (2007), A New Process to Produce Iron Directly from Fine Ore and Coal. Download Agustus 2007. www.midrex.com/uploads/documents/ ITmk3%20Paper%201.pdf Nagata K., Kojima R., Murakami T., Susa M. and Fukuyama H. (2001), ISIJ International 41, 1316-1323. Otsuka K. and Kunii D (1967), Jurnal of Chemichal Engineering of Japan, 46-50.
74
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
REVIEW OF GAS DIFFUSIVITY IN COAL: PART 1, PRELIMINARY CHARACTERISATION AND NOVEL HIGH PRESSURE MULTI-COMPONENT DIFFUSION CELL M. Elma1, P. Massarotto1, dan V. Rudolph1 1
School of Chemical Engineering, The University of Queensland, St. Lucia, Brisbane, QLD 4072 Australia
[email protected]
ABSTRACT A special high pressure multi-component diffusion cell (HPMCDC) apparatus has been designed and built to measure single and binary gas diffusion, including co-current and counter-diffusion, from low to high pressures. The apparatus incorporates capability to investigate scale effects in solid coal specimens, up to 25 mm in diameter and 25 mm in thickness. This paper presents preliminary results of coal sample characterization prior to the diffusivity measurements. Future experiments will be conducted to also assess the effect of the counter-diffusion of two different gases, namely CH4 and CO2, of various temperatures, pressures and for three distinct ranks of coal. In developing optimal sample preparation procedures and to minimise any measurement errors, several literature-sourced techniques have been reviewed and the best selected. The pore volume shrinkage, moisture content and porosity have been measured, as they are important properties affecting the ability of gases to diffuse in coal. It was found that a large portion of pore volume shrinkage occurs between 20oC and ~50oC, and falls asymptotically with temperature. Heat treatment reduces density by up to 5%. The diffusivity experiments will also address the frequent and controversial literature conclusions that the apparent-diffusion of CO2 in coal is larger by an order of magnitude than the apparent-diffusion of CH4. Key word: diffusion, measure, moisture content, porosity
75
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
1.
INTRODUCTION Greenhouse gas emissions are increasing significantly, leading to much debate
about what to do about climate change. There are many alternatives being researched to reduce the increasing of emissions, one being geosequestration of the CO2 in underground deep porous rocks, like sandstones, carbonates, and coal seams. Coal seams have been shown to be capable of holding large amounts of carbon dioxide in comparison to the amounts of naturally-occurring methane gas (Burruss, 2003, Siriwardane et al., 2007). In recent decades, coal seam gas or coal bed methane (CBM) has become an important source of energy in some countries in the world. Production of coal seam gas is complex and difficult to predict and analyse, especially at the early stages of recovery. Gas production from reservoirs of coal bed methane is governed by the complex interaction of single phase gas diffusion through the micropore system, called the matrix, and two phase gas and water flow through the macropore system, i.e. in the natural fractures called cleats. The gas is desorbed from the micropores (matrix) and then then diffuses through the micropores and mesopores, finally entering the macropore (cleat) system (Aminian, 2003). This paper is concerned with the coal’s mass and volume losses during the course of gas production as these affect the ability of the gasses to diffuse in different coals. These factors may be particularly strong in the case of rank variation of coals, since coals shrink and swell significantly in response to moisture loss and gain, respectively. Some literature states that coal has a colloidal gel-like structure that can shrink and swell in response to moisture variation, as water can be held by polar groups within the structure of coal (Suuberg et al., 1993b, Suuberg et al., 1991). Determination of the shrinkage factor, moisture content and the location of the moisture within the pore structure are essential to understanding the behaviour of gas diffusion in coal.
76
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
2.
LITERATURE REVIEW
2.1. Coal Diffusion There is an on-going need to improve the understanding of methane gas diffusion throughout the large variation in pore sizes present in coal bed methane reservoirs. Since 1950, CH4 diffusion in coal has been studied by doing desorption of CH4 during extraction of coal samples from the sub-surface (Nandi and Walker Jr, 1970, Nandi and Walker Jr, 1975), but it is still poorly understood. In order to produce gas from CBM reservoirs, there are four steps needed to be controlled, (1) the dewatering process, (2) the desorption of gas from coal surface, (3) diffusion of gas to the fracture systems, and (4) flow of the gas through the fractures to the wellbores (Ahmed and Mckinney, 2004, Gerami et al., 2007). The measured values of gas desorption rate are generally controlled by two processes: (1) the sorption process (sorption characteristic of the coal) and (2) the diffusion process (diffusion of gas through the coal matrix). These two processes are usually lumped together and described by the parameter of sorption time in numerical models (Wei, 2008) and this is the primary characteristic used by some practitioners for evaluation and predictive modelling of coal reservoirs (Saghafi et al., 2007, Pone et al., 2009). A sorption isotherm relates the gas storage capacity of a coal to pressure and depends on the rank, temperature, and the moisture content of the coal. A common assumption is that the relationship between gas storage capacity and pressure can be described by a Langmuir-type equation: (1) Where
:
Gs
: Gas storage capacity, SCF/ton
P
: Pressure, psia
VL
: Langmuir volume constant, SCF/ton
PL
: Langmuir pressure constant, psia
77
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
The above equation assumes pure coal, and for application in the field, the equation is modified to account for ash and moisture contents of the coal: (2) Where
:
fa
: Ash content, fraction
fm
: Moisture content, fraction
Fig. 1 shows the incremental amount of gas sorbed per unit increase in pressure decreases with increasing sorption pressure; the sorbed gas eventually reaches a maximum value which is represented by Langmuir volume constant (VL). Langmuir pressure constant (PL) represents the pressure at which gas storage capacity equals one half of the maximum storage capacity (VL).
Fig. 1: A typical Langmuir Isotherm (Aminian, 2003) Gas desorption from the matrix surface in turn leads to molecular diffusion occurring within the coal matrix. Diffusion through the coal matrix is controlled by the concentration gradient and can be described by Fick’s law: ̅̅̅ Where
(3)
: qgm
: gas production (diffusion) rate, MCF/day
78
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
σ
: matrix shape factor, dimensionless
D
: matrix diffusivity constant, s-1
Vc
: matrix volume, ft3
ρc
: matrix density, g/cm3
Gc
: average matrix gas content, SCF/ton
Diffusivity and shape factor are usually combined into one parameter, referred to as sorption time, as follows: (4) Sorption time (τ) is the time required to desorb 63.2 precent of the initial gas volume. The sorption time characterizes the diffusion effects and generally is determined from desorption test results (Aminian, 2003). 2.2. Coal Porosity In simplified models, coal seams are characterized by a dual porosity system, consisting of micropore and macropores. The micro-pores are contained in the coal matrix, which is highly heterogeneous. The majority of CBM is present in the sorbed state in these micropores, particularly at low reservoir pressures. The macropore system is established by the natural fracture network known as the cleat system (Karacan and Mitchell, 2003). There are two main transport mechanisms which control gas flow in coal: viscous laminar flow through the cleats, which follows Darcy’s law; and diffusion through the coal matrix bounded by the cleats, which follows Fick’s law (King et al., 1986). Cleats consist of the more continuous face cleats and less continuous butt cleats. Usually, the cleat system is the primary water and gas pathway during production. On the other hand, other fracture systems often occur at a micrometre scale to form micro cleats in the coal matrix, although its size, shape and continuity are also affected by coal lithotypes (Gamson et al., 1993, Clarkson and Bustin, 1997). Based on the literature, pore structure in coal matrix is highly heterogeneous. It is commonly divided into three size categories: micropores (<2 nm in diameter),
79
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
mesopores (>2 and <50 nm) and macropores (>50 nm), (Harpalani and Chen, 1997, Massarotto, 2002). More than 95% of the coal matrix pores across these pore sizes act as an adsorption surface in coal (Gray, 1987). The different coal porosities make a large contribution to the swelling and shrinkage of coal during adsorption and desorption processes (Harpalani and Chen, 1997, Rodrigues and Lemos de Sousa, 2002). II
Typical pore volume
I
CO2 isotherm at 273 K
III
N2 isotherm at 77 K
Mercury Porosimetry
Vmicro
Vmeso
2
Vmacro
50
Pore size (nm) Note I : CO2 at 273 K covers pores less than 0.9 nm at 1atm and requires measurement at higher pressure to cover entire the micropore range. II : As N2 at 77 K has a diffusional limitation into micropores, covering some mesopores and macropores, the pore volume obtained from N2 at 77 K is not representing the real pore structure. III : Macropore volume can be measured by mercury porosimetry.
Fig. 2: Typical pore volume vspore size measurements from adsorption isotherms (CO2 at 273 K and N2 at 77 K) on coals and mercury porosimetry results (Bae, J.S) In subbituminous coal samples, micropores could contribute 50 to 60% of the total matrix porosity of 13 to 25% (Mares et al., 2009, Bergen et al.). Significantly, Levine in 1993 mentioned that the dimensions of the micropores and fine mesopores found in the coal matrix material imply that the porosity is intermolecular, as opposed to interparticulate, and is determined by molecular interactions (Bergen et al.). These molecular interactions imply the accessibility of the pore system will depend on the fluid used for its determination (such as; He versus N2 versus CO2) and therefore that the porosity of coal is not a fixed value, but is a function of the fluid used to measure porosity. Fig. 2 shows the typical pore volume as a function of a pore size produced in experimental data, using different fluids (Bae et al 2010).
80
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
2.3. Coal Shrinkage & Swelling One of the potential problems during carbon dioxide sequestration is shrinkage and swelling that occurs in coal (Siriwardane et al., 2007, Reeves and Oudinot, 2005, Smith et al., 2005, Kelemen et al., 2006, Mazumder et al., 2006a, Mazumder et al., 2006b, Pan and Connell, 2005). Shrinkage and swelling of coal the matrix is a function of pressure, type of gas adsorbed and the coal rank (Balan and Gumrah, 2009). The components of dependency of swelling are shown in the experimental study done by Cui et al. (2007)(Cui et al., 2007). The swelling effect of CO2 is greater than those of CH4 and N2 at the same pressure. Then, when the pressure of each gas component increases, the swelling effect also increases. Therefore, injection of CO2 at high pressures is expected to lead to increased swelling and decreased injection capacity. Coal shrinkage can have a significant impact on increased cleat permeability in CBM production. Though there are now quite a number of laboratory studies confirming this behaviour, the literature reports only limited field examples of this (San Juan basin, USA, and Scotia field, Australia).
The molecular and micro-
structure lattice effects are still poorly understood. It is important for enhanced coalbed methane (ECBM) production that via geologic sequestration of carbon dioxide (CO2), that multi-component diffusion be lab-evaluated, prior to undertaking large scale sequestration projects. Anderson (1965) and Walker (1956) noted that the micropore system in coal is not readily accessible to the N2 molecule at 77 K because of an activated diffusion process and/or shrinkage of pores. Bybee (2007)( summarized that the influence of swelling and shrinkage in coal needs to be investigated and may cause significant changes in permeability that result in significant reservoir pressure effects. The swelling and shrinkage will depend on gas type as well as the state of adsorption and desorption.
2.4. Moisture Content In his paper Gauger (1932) (
concluded that the water content in coals
originates from the following sources: (1) decomposition of organic molecules
81
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
(called combined water), (2) surface-adsorbed water, (3) capillary-condensed water, (4) dissolved water, and (5) water of hydration of inorganic constituent of the coal. Brown (1953) ( also mentioned that the moisture content in coal is divided into constituent categories: (1) free or adherent moisture (essentially surface adsorbed) possessing the physical properties of ordinary water; (2) physically bound or inherent moisture with vapour pressure lowered by the small diameter of the pores of the coal structure in which it is absorbed; and (3) chemically bound water of hydration or combined water. Since the moisture content in the matrix occupies pore volume and part of the moisture adsorbs on the pore surface, it definitely has an impact on the mechanisms in gas diffusion behaviour (Pan et al., 2010).
3.
AIM AND METHODOLOGY The aim of this study was to get some preliminary results for moisture content,
porosity and mass and pore volume losses of reference coal samples before starting the diffusivity measurements. These parameters are important in their own right as part of coal characterisation and will also be needed for the interpretation of our diffusion work in further studies. A further motivation for this study was to investigate the various experimental methodologies used in the literature to measure coal diffusion. This study reviews and comments on their advantages and disadvantages, providing guidance for the design of improved measurement techniques. We note the surprising conclusion regarding the greater relative diffusivity of CO2 compared to CH4 in coal seams reported in the literature (Marecka, 2007, Saghafi et al., 2007, Han et al., 2010, Pan et al., 2010, Charrière et al., 2010). For these reasons, it is important to understand the nature of diffusion in microporous solids, to differentiate between diffusion and other transport phenomena and develop more accurate model.
82
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
4.
EXPERIMENTAL
4.1. New Design of Diffusivity Apparatus In order to address the above issues, we have developed an advanced design of a high pressure diffusion cell, capable of measuring diffusion in solid coal samples at varying temperatures and pressures and with a counter-diffusion capability. This High Pressure Multi-Component Diffusion Cell (HPMCDC) is shown in Fig. 3. The pressure can be set between 1 and 10 MPa. It is designed to be used in single gas diffusion or in counter or co-current diffusion of a binary gas mixture.
The
cylindrical coal samples can be up to 25 mm thick and are generally 25 mm in diameter. The CH4 and CO2 are introduced into the cell, and the temperature as well as pressure can be varied. A computerised data recording system will capture experimental data, including time. Each experiment is influenced by the variation of each parameter. The composition of gas (es) diffusing through the coal sample can be measured by collecting the gas and passing it into a Gas Chromatograph.
Fig. 3: Schematic of High Pressure Multi-Component Diffusivity Cell (HPMCDC)
83
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
4.2. Gaps in Knowledge In order to have practical limits on the many permutations of experiments that could be conducted using the HPMCDC, several gaps in knowledge have been identified as focus areas for investigation. They are: (1) Develop methods to examine diffusivity in coal in both counter and co-current configurations; (2) Review literature arguments and conclusions on the relative diffusivities between CH4 and CO2 in coal; (3) Examine the effect of the size of the coal matrix by using different thickness the
coal samples ; (4) Measure relative diffusivity based on varying
moisture contents in the coal matrix; (5) Examine the effect of swelling and shrinkage in coal on diffusivity; and (6) Perform other supportive measurements, such as: petrography of coal, proximate and ultimate analysis, coal rank, chemical and physical analysis; and pore size distribution studies with various test fluids and apparatus.
5.
RESULT AND DISCUSSION
5.1. Preliminary Characterisation of Coal The preliminary experiments were conducted on high volatile bituminous coals of similar rank but of different type/texture. Three kinds of Australian coal from the Bowen Basin have been analysed, with different petrography, proximate and ultimate analyses. Maceral and vitrinite reflectance analyses were undertaken using accredited petrographers, according to Australian Standards. These samples were prepared from off-cuts of large coal blocks sourced from the Northern Bowen Basin in Queensland from underground and surface coal mines. The coal samples were cut into small 10mm-to-a-side cubes for the total porosity, moisture content and volume/mass loss experiments. 5.2. Total Porosity To determine the porosity of coal, a Micromeritics AccuPyc 1330 Pycnometer and an Autopor Mercury Porosimeter have been used.
84
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
True density is the weight of a unit volume of the pore free solid coal (White et al., 2005). Helium is the smallest molecule available and has the greatest access to all the pore volume in a coal sample; thus He can measure the true density of coal (Kelemen et al., 2006). Mercury porosimetry gives the apparent and bulk density. Mercury does not access all the pores at a given pressure range. When done at very high pressure, then it is possible that there could be fractures in the pores and damaging the pores in the sample The literature (White et al., 2005, Iyer et al., 2008, Massarotto et al., 2010) has proposed that the total open pore volume (Vp) and total porosity () of a solid coal system can be based on density measurements by Helium pycnometry and Mercury porosimetry, utilising the results as shown in equations 5 and 6: (5)
(
)
(6)
5.3. Moisture Content Determination of coal moisture content was based on the ASTM D3302/D3302M-09. The major problem faced in determining moisture content is the multiplicity of conditions under which water exists in coals and the problem involved in obtaining sharp separation and distinction among these conditions. 5.4. Volume And Mass Loss To determine the pore volume and mass loss in coal, a drying oven has been used. The dimension change has been measured for coal samples by using a Microscope SZH10. After the original coal sample has been sized and weighed, it is dried in the oven at intermittent temperatures (20, 40, 60, 80, 100, 120, 150 & 2000C). Samples were re-measured and re-weighed after each 2 h interval between time steps. Petrographic, proximate and ultimate analyses of the three reference samples have been done by an accredited lab and are shown in Table 1, Table 2 and Table 3:
85
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Table 1: Petrographic Analysis Sample
A
B
C
Maceral
Vol %, mmf
Vitrinite Liptinite Inertinite Mean maximum reflectance Vitrinite Liptinite Inertinite Mean maximum reflectance Vitrinite Liptinite Inertinite Mean maximum reflectance
73.4 0.4 26.3 0.69 16.3 4.9 78.9 0.90 53.3 3.2 43.5 0.65
Table 2 Proximate Analysis Proximate Analysis Sample (a.d.)* (%) A B Moisture Content 3.00 9.50 Ash Content 8.70 2.90 Volatile Matter 33.30 27.10 Fixed Carbon 55.00 60.50
C 5.7 3.3 32.3 58.7
Table 3 Ultimate Analysis Ultimate Analysis Sample (d.a.f.)* (%) Carbon Hydrogen Nitrogen Sulphur Oxygen
A 82.50 5.36 1.89 0.70 9.50
B 73.90 4.43 1.53 0.20 19.94
C 81.50 5.19 2.04 0.30 11.00
*a.d : air dried *d.a.f : dry ash free
86
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
5.5. Coal Density After a coal sample is dried at each temperature, Helium pycnometry has been used for measuring the true density of each sample. Figure 4 shows coal density of samples as a function of temperature. In all three samples, the density decreases when the samples are dried, i.e. they are losing more mass than bulk volume.
Fig. 4: Coal Density of sample A, B and C
The measurement of total porosities of each sample also has been done by using He-pycnometry and Hg porosimetry. The total porosities of coal the samples varied between 12.40 – 12.14%. 5.6. Drying Coal The mass and pore volume of coal samples changed when the coal samples were dried. The mass will slowly decrease when the samples started to be dried from room temperature to higher temperatures. On the other hand, the pore volume of samples will decrease sharply when they are dried for the first time from room temperature to 400C, and then it continued to decrease slowly until heated up to 1000C; at temperatures above 1000C, the volume is almost constant but decreases
87
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
very slightly. The loss in pore volume and loss in mass is shown in Figure 6. These losses and their total effect on shrinkage will be subject to further study. According to some researchers, the highest increase in the shrinkage effect is found for undersaturated wet coals (Balan and Gumrah, 2009). There are some concerns about affecting the elemental ratios in the case of drying coal at higher temperatures, where it could destroy the chemical composition and micro-structure. Additionally, though water can act as a transport agent for gas. This effect seems to be unimportant at very high temperatures, in which the thermally induced relaxation of coal micro-structure is undoubtedly more important.
Temperature Vs Volume 2.20
Volume (cm3) A
2.10
Volume (cm3) B
2.00
Volume (cm3) C
Volume (cm3)
1.90 1.80 1.70 1.60 1.50 1.40 1.30 1.20
1.10 1.00 0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
220
Temp (0 C)
Fig. 6: Volume and mass change during drying coals
88
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Suuberg et al. (1993) concluded that shrinkage upon drying is correlated to volumetric shrinkage (%). Shrinkage of this magnitude suggests that measurements of the surface area of dried coals will provide an erroneous estimate of true accessibility of coal structure. Suuberg stated that the process of drying or heat treatment of coal at temperatures above 1000C can significantly affect both the cross-link density of coal and the rate of subsequent solvent uptake by coal. Suuberg found that the volumetric shrinkage of the samples was excellently correlated with their moisture loss.
6.
CONCLUSIONS The experimental results of this preliminary study may be summarized as
follows: 1.
The mass losses from the three high volatile bituminous rank coals appear to correlate linearly with treatment temperature, up to 200oC.
2.
The pore volume losses appear to correlate asymptotically with treatment temperatures, with the largest drop shown between 20oC and some 50oC.
3.
Drying coal in air gave major impacts on pore volume shrinkage.
4.
When the coal is heated, the porosity and thus accessible surface area will be changed.
5.
Further studies are much recommended to start the experiments of gas diffusivities in coal, to address the controversial conclusions from many historical experiments, whereby the apparent-diffusion of CO2 in coal is larger by an order of magnitude than the apparent diffusion of CH4.
6.
The new HPMCDC is adequately designed to investigate leading-edge effects of solid coal sample size, diffusion, binary co-diffusion and binary counterdiffusion, as well as temperature and pressure effects, in the range required by the CBM & ECBM industry.
89
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
7.
NOMENCLATURE Qgm
8.
:
gas production (diffusion) rate, MCF/day
:
matrix shape factor, dimensionless
D
:
matrix diffusivity constant, sec-1
Vc
:
matrix volume, ft3
c
:
matrix densirt, g/cm3
̅̅̅
:
average matrix gas content, SCF/ton
ACKNOWLEDGMENT We acknowledge the help of Dr D. Biddle in the design and fabrication of the
novel HPMCDC, Mr. D. Page for laboratory assistance, and Dr R.S. Iyer and Dr J. S. Bae for data support. For project funding, we would like to acknowledge the Australian Research Council Industry Linkage scheme and the supporting companies, Origin Energy Ltd, Stanwell Corporation, Santos Ltd and RWTH Aachen University.
9.
REFERENCES
AHMED, T. & MCKINNEY, P. 2004. Advanced Reservoir Engineering, Gulf Publishing Company. AMINIAN, K. 2003. Coalbed Methane-Fundamental Concepts. BALAN, H. O. & GUMRAH, F. 2009. Assessment of srhinkage-swelling influences in coal seams using rank-dependent physical coal properties. Coal Geology, 77, 203-213. BERGEN, F. V., WEHRENS, P. & SPIERS, C. Diffusive properties of coal matrix fragments determined from swelling kinetics. PhD. BROWN, G. M. 1953. The determination of moisture in coals. National gas buletin, Australia, 17, 14-21. BURRUSS, R. C. 2003. CO2 adsorption in coal seams as a function of rank and composition: a new task in USGS Research on gelologic sequestration of CO2. Coal-Seq II [Online].
90
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
BYBEE, K. 2007. Influence of coal shrinkage and swelling on coalbed methane production and CO2 sequestration. Society of petroleum Engineers San Antonio, Texas. CLARKSON, C. R. & BUSTIN, R. M. 1997. Variation in permeability with lithotype and maceral composition of Cretaceous coals of the Canadian Cordillera. International Journal of Coal Geology, 33, 135-151. CUI, X., BUSTIN, R. M. & CHIKATAMARLA, L. 2007. Adsorption-induced coal swelling and stress: Implications for methane production and acid gas sequestration into coal seams. Journal of Geophysical Research B: Solid Earth, 112. GAMSON, P. D., BEAMISH, B. B. & JOHNSON, D. P. 1993. Coal microstructure and micropermeability and their effects on natural gas recovery. Fuel, 72, 8799. GAUGER, A. W. 1932. Condition of water in coals of various ranks. Transactions of the TAIMA, 101, 148-164. GERAMI, S., DARVISH, M. P., MORAD, K. & MATTAR, L. 2007. Type curves for dry CBM reservoirs with equilibrium desorption. GRAY, I. 1987. Reservoir Engineering in Coal Seams: part 1-The Physical Process of the Gas Storage and Movement in Coal Seams. SPE Reservoir Engineering (Society of Petroleum Engineers), 2 Number 1, 28-34. HARPALANI, S. & CHEN, G. 1997. Influence of gas production induced volumetric strain on permeability of coal. Geotechnical and Geological Engineering, 15, 303-325. IYER, R. S., MASSAROTTO, P. & BAE, J. S. Year. Porosity and compressibility determination of core coal samples using Helium and Mercury Densities. In: Asia Pasific Coalbed Methane Symposium, 2008 Brisbane, Australia. KARACAN, C. Ö. & MITCHELL, G. D. 2003. Behavior and effect of different coal microlithotypes during gas transport for carbon dioxide sequestration into coal seams. International Journal of Coal Geology, 53, 201-217. KELEMEN, S. R., JKWIATEK, L. M. & LEE, A. G. K. Year. Swelling and sorption response of selected argonne premium bituminous coals to CO2, CH4 and N2. In: International Coalbed Methane Symposium, 2006 Tuscaloosa, AL. KING, R, G., ERTEKIN, TURGAY, SCHWERER & C, F. 1986. Numerical Simulation of the Transient Behavior of Coal-Seam Degasification Wells SPE Formation Evaluation, 1, 165-183.
91
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
MARES, T. E., RADLINSKI, A. P., MOORE, T. A., COOKSON, D., THIYAGARAJAN, P., ILAVSKY, J. & KLEPP, J. 2009. Assessing the potential for CO2 adsorption in a subbituminous coal, Huntly Coalfield, New Zealand, using small angle scattering techniques. International Journal of Coal Geology, 77, 54-68. MASSAROTTO, P. 2002. 4-D Coal Permeability Under True Triaxial Stress and Constant Volume Condition. PhD Thesis, Queensland. MASSAROTTO, P., GOLDING, S. D., BAE, J. S., IYER, R. & RUDOLPH, V. 2010. Changes in reservoir properties from injection of supercritical CO2 into coal seams -- A laboratory study. International Journal of Coal Geology, 82, 269-279. MAZUMDER, S., BRUINING, J. & WOLF, K. H. Year. Swelling and Anomalous Diffusion Mechanisms of CO2 in Coal. In: International Coalbed Methane Symposium, 2006a Tuscaloosa, AL. MAZUMDER, S., SIEMONS, N. & WOLF, K. H. Year. Differential Swelling and Permeability Changes of Coal in Response to CO2 Injection for Enhanced Coalbed Methane. In: International Coalbed Methane Symposium, 2006b Tuscaloosa, AL. NANDI, S. P. & WALKER JR, P. L. 1970. Activated diffusion of methane in coal. Fuel, 49, 309-323. NANDI, S. P. & WALKER JR, P. L. 1975. Activated diffusion of methane from coals at elevated pressures. Fuel, 54, 81-86. PAN, Z. & CONNELL, L. D. Year. Measurement and Modelling of Gas AdsorptionInduced Coal Swelling. In: International Coalbed Methane Symposium, 2005 Tuscaloosa, AL. PAN, Z., CONNELL, L. D., CAMILLERI, M. & CONNELLY, L. 2010. Effects of matrix moisture on gas diffusion and flow in coal. Fuel, 89, 3207-3217. PONE, J. D. N., HALLECK, P. M. & MATHEWS, J. P. 2009. Sorption Capacity and Sorption Kinetic Measurements of CO2 and CH4 in Confined and Unconfined Bituminous Coal. Energy & Fuels, 23, 4688-4695. REEVES, S. & OUDINOT, A. Year. The allison CO2-ECBM Pilot, a reservoir and economic analysis coal. In: Coalbed Methane Symposium, 2005 Tuscaloosa, AL. RODRIGUES, C. F. & LEMOS DE SOUSA, M. J. 2002. The measurement of coal porosity with different gases. International Journal of Coal Geology, 48, 245251.
92
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
SAGHAFI, A., FAIZ, M. & ROBERTS, D. 2007. CO2 storage and gas diffusivity properties of coals from Sydney Basin, Australia. International Journal of Coal Geology, 70, 240-254. SIRIWARDANE, H. J., GONDLE, R. & SMITH, D. H. Year. Influence of Shrinkage and Swelling Properties of Coal on Geologic Sequestration of Carbon Dioxide. In: International Coalbed Methane Symposium, May 21-25, 2007 2007 Tuscaloosa, AL. SMITH, D. H., SAMS, W. N., BROMHAL, G., JIKICH, S. A. & ERTEKIN, T. 2005. Simulating carbon dioxide sequestration/ECBM production in coal seams of permeability anisotropies and the diffusion-time constant. SPE Reservoir Evaluation Engineering, 8, 156-163. SUUBERG, E. M., OTAKE, Y., YUN, Y. & DEEVI, S. C. 1993. Role of moisture in coal structure and the effect of drying uopm the accessibility of coal structure. Energy & Fuels, 7, 384-392. WEI, X. 2008. Numerical Simulation of Gas Diffusion and Flow in Coalbeds for Enhanced Methane Recovery. Doctor of Philosophy, The University of Queensland. WHITE, C. M., SMITH, D. H., JONES, K. L., GOODMAN, A. L., JIKICH, S. A., LACOUNT, R. B., DUBOSE, S. B., OZDEMIR, E., MORSI, B. I. & SCHROEDER, K. T. 2005. Sequestration of carbon dioxide in coal with enhanced coalbed methane recovery - A review. Energy and Fuels, 19, 659724.
10.
BRIEF BIOGRAPHY OF PRESENTER Muthia Elma is a PhD student in the School of Chemical Engineering at the
University of Queensland, Brisbane, Australia. Previously she spent almost two years to receive her Masters Degree in Energy and Environment at Ecole des Mines de Nantes, France and then worked at the University of LambungMangkurat, Indonesia
93
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Hydrothermal Alteration Associated with the Baturappe Epithermal Silver-Base Metal Deposit, South Sulawesi, Indonesia: Mineralogy, Zoning, and Exploration Implications Irzal Nur1,*, Arifudin Idrus2, Subagyo Pramumijoyo2, Agung Harijoko2, Sufriadin1 1
Department of Geological Engineering, Faculty of Engineering, Hasanuddin University, Makassar, Indonesia 2 Department of Geological Engineering, Faculty of Engineering, GadjahMada University, Yogyakarta, Indonesia *
Corresponding author:
[email protected]
ABSTRAK The Baturappe prospect located at southern part of Sulawesi island, Indonesia, is a hydrothermal mineralization district which is characterized by occurrence of epithermal silver-base metal deposit. The mineralization is hosted in basalticandesitic volcanic rocks of the late Middle-Miocene BaturappeVolcanics. This study is aimed to characterize the hydrothermal alteration associated with the deposit on the basis of mineralogical data. Identification of hydrothermal minerals was conducted by microscopic observation and X-ray diffraction analysis. Hydrothermal alteration is zoned around the deposits from proximal silicic and argillic to veinrelated propylitic to distal district propylitic alteration. The district propylitic alteration which is distributed at the periphery of the hydrothermal system is characterized by an assemblage of dominantly chlorite and less calcite, epidote and quartz. Vein-related propylitic alteration is distributed within approximately 0.5 m to 10 m from the deposits and consists of epidote, chlorite, calcite, quartz and albite. Argillic (illite, smectite, quartz, chlorite, mixed layer- illite/smectite and chlorite/smectite, halloysite, kaolinite, and pyrite) and silisic (quartz, calcite, illite, muscovite, pyrite) alteration are distributed in narrow zones from margin of deposits to maximum 7 m outward. The argillic and silisic alteration is interpreted as the centre of hydrothermal activities responsible for the mineralization in the study area, where its distribution is highly controlled by structure. Keywords :BaturappeVolcanics, epithermal, hydrothermal alteration zoning, paragenesis.
94
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
1.
INTRODUCTION The study area is situated in Baturappe area, Gowa Regency, South Sulawesi
Province, Indonesia. It lies in the southwesternmost part of Sulawesi island, about 50 km southeast of Makassar (Ujung Pandang), the capital city of South Sulawesi Province. This area is characterized by occurence of epithermal silver-base metal deposits which are hosted in basaltic-andesitic volcanic rocks of the late MiddleMiocene BaturappeVolcanics (Nur et al., 2009a,b; 2010). Hydrothermal alteration mineral assemblages and its zonation is one of important aspects in the study of genesis and exploration of epithermal deposits. Hydrothermal activity which is indicated by hydrothermally altered rocks in an epithermal system, including its periphery, may reach a wide area. Investigation on zonation of the hydrothermal alteration through detailed hydrothermal alteration mapping may define the center and periphery of hydrothermal system. Many hydrothermal minerals are stable over limited temperature and/or pH ranges. Thus, for an epithermal environment, mapping the distribution of alteration minerals is crucial (e.g., Hedenquist et al., 2000; Harijoko, 2004). Accordingly, the objectives of this study are to define the hydrothermal alteration mineral assemblages and its zonation around the epithermal deposits in the study area. In addition, paragenesis of the hydrothermal alteration zones is also defined.
2.
SAMPLES AND METHODS Mapping of hydrothermal alteration in the study area was conducted coincided
with surface geological mapping which covered an area of 1000 ha. Samples were collected in two stages. At the first, as much as 181 rock samples were taken from outcrops representatively covered the whole area. The second stage samples were collected from trenches which made at all significant veins and disseminated deposit in the study area. These samples were sistematicly collected from margin of the veins or proximal to the deposit, to distal sites in the host rocks.
95
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Identification of hydrothermal minerals was conducted by thin section observation under a microscope and X-ray diffraction analysis. The XRD analysis was performed by applying X-ray diffractometer of Rigaku RINT2100 at the Laboratory of Economic Geology, Department of Earth Resources Engineering, Kyushu University, Japan. The identification included whole rock powdered and oriented clay samples. The technical specification of the analysis is as follows: X-ray target: CuKα, voltage: 40 kV, current: 20 mA, scan speed: 2o/minute, scan step: 0.02o, scan range: 2o - 65o, and scan mode: continuous. Phase identification and semi-quantitative proportion of minerals were carried out using MATCH! 1.10 software, with minimum figure of merit (FoM) set on 0.6.
3.
GEOLOGICAL BACKGROUND Regionally, the Baturappe area is located at the southwestern part of the
regional geologic map of the Ujung Pandang, Benteng and Sinjai quadrangles, Sulawesi (Sukamto and Supriatna, 1982). A detailed surface geological mapping has then conducted in an area of 1000 ha to study the geological background of the mineralization. The older rock unit broadly distributed in the study area is lava of dominantly basalt and less andesite, mostly porphyritic, with general orientations of N(7080)oE/(18-35)oSE. Locally, blocks of volcanic breccia are also cropped-out. Based on its lithological characteristics, this unit is a member of lava, Tpbl (Sukamto and Supriatna, 1982) which is according to K-Ar dating indicates age of 12.38 to 12.81 Ma or late Middle-Miocene (Yuwono et al., 1985; Priadi et al., 1994). The basalticandesitic lava which is distributed from Bincanai and Ritapayung area at the west, through Bangkowa to the east, and Taloto at the south portions of the study area, is identified as the host rock of the epithermal mineralization. At the north, the lava was intruded by a gabbroic-dioritic stock; and followed by a group of basaltic-andesitic dykes. At least 50 units of dykes with thickness range of 8 cm to 2.5 m are croppedout in the study area, distributed radially centered to the stock, forming a radial swarm of dyke. K-Ar dating on two samples of basalt indicate ages of 7.5 Ma and
96
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
6.99 Ma, and 7.36 Ma on gabbro (Sukamto and Supriatna, 1982). The basalticandesitic stock and dykes are interpreted as mineralization-bearing rocks in the study area; this is indicated by the occurence of disseminated ore (i.e., pyrite, chalcopyrite, sphalerite, galena, covellite, magnetite, hematite) recognized in the field and microscopic observations. Due to the orientation of the dykes that are consistent to the trends of the fractures, it is interpreted that the emplacement and distribution of the dykes brought mineralization is highly controlled by geological structures (Nur et al., 2009a; Fig.1).
4. MINERALIZATIONS More than 20 units of quartz veins along with disseminated sulphide and sulphide stringer are distributed around the periphery of the stock in the study area, hosted in the lava and dyke units. Among these, eight significant mineralizations are distributed in four zones: Bincanai-, Baturappe-, Bangkowa- and Ritapayung zone. The mineralizations include: Bincanai vein, Baturappe vein-1, Baturappe vein-2, Bungolo vein, Paranglambere vein (clustered in Baturappe zone); Bangkowa vein and Bangkowa stringer (in Bangkowa zone); and Ritapayung dissemination. The Bincanai vein and Baturappe veins are distributed and clustered along the main fault in the study area, the NW-SE trend Bincanai-Baturappe normal fault; while the Bangkowa- vein and stringer are hosted in NW-SE dykes. Distribution of the mineralizations and orientation of the veins are shown in Fig.1. The veins display the typical primary texture of epithermal veins: crustiform banding texture; from symmetric-, multiphase- to simple crustiform of quartz ± carbonate – sulphide (dominated by galena). In general, sulphide assemblages identified in the deposits indicate a range of intermediate- to high sulphidation epithermal deposits. The sulphides include: galena, sphalerite, chalcopyrite, pyrite, tennantite, tetrahedrite, bornite, enargite, freieslebenite and polybasite. Supergene minerals such as covellite, chalcocite, iodargyrite, anglesite, cerrusite, as well as manganese coronadite and chalcophanite were also identified. Bulk-ore chemical composition determined by XRF analysis indicates a highest grade of: Pb 17.51%,
97
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Zn 0.35%, Cu 0.66%, Ag 141 g/t, Bi 308 g/t, MnO 10.66% for the veins, and Pb 0.11%, Zn 0.15%, Cu 5.83%, Ag 140 g/t for the dissemination (Nur et al., 2009b; 2010).
Figure 1. Geological map and distribution of the significant mineralizations in the study area. (1) Bincanai vein. (2) Ritapayung dissemination. (3) Baturappe vein-1. (4) Baturappe vein-2. (5) Bungolo vein. (6) Paranglambere vein. (7) Bangkowa vein. (8) Bangkowa stringer.
98
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
5. MINERALIZATIONS Zonation of hydrothermal alteration in the study area is divided on the basis of mineral assemblages and its spacial distribution relative to the deposits (veins and dissemination), from distal to proximal are: district propylitic, vein-related propylitic, and argillic and silisic zones (Fig. 2).
Figure 2. Hydrothermal alteration map of the study area. 5.1. District Propylitic Zone The district propylitic zone is distributed from relatively near to the deposits and extended widely to the whole study area (Fig. 2). This zone is mainly characterized by dominant occurrence of chlorite, and less calcite, epidote, quartz, sericite, clay and opaque. In the field, this zone is characterized by light greenish grey, light green to green in color which is indicated the dominant occurence of chlorite (Fig. 3.A). Under microscope, this zone is characterized by selective alteration. Chlorite mainly altered primary pyroxene and plagioclase phenocrysts of the volcanic rocks. Beside almost totally replaced the phenocrysts, chlorite also
99
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
A
B
O p Ch l
Pl
P x
Qtz, Cl, Ser C
Ep 0.3 mm
Clay
D
Vein
Epidote Vugg y quar tz
Galen a
E
Qtz
F
Qtz Cal Cal Cal Siderite
Silisic wall rock
Quartz
0.1 mm
Figure 3. A. Outcrop of altered porphyritic basalt at Ritapayung area (district propylitic zone) which is characterized by green color as an indication of chlorite; B. Microphotograph of sample from the outcrop in Fig. A, showing the alteration mineral assemblage of chlorite and less epidote which altered the pyroxene and plagioclase phenocrysts; while quartz, clay, and sericite altered the groundmass; C. Indication of vein-related propylitic alteration at Bangkowa area; strongly altered porphyritic basalt with the coarse-grained pyroxene phenocrysts have been replaced by epidote; D. Argillic alteration (clay) margined the Baturappe vein-2; E. Indications of silisic alteration in the Bincanai vein sample; vuggy quartz and silisic wall rock on the margin of the vein; F. Microphotograph of a sample from the Bincanai-vein wall rock (silisic zone) showing pervasive alteration, dominated by quartz (Qtz) and calcite (Cal).
100
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
commonly occured around the fringe and surface of broken and corroded phenocrysts, particularly on pyroxene (Fig. 3.B). Veins contain chlorite and less epidotewere also commonly observed, cross-cutted primary minerals. Quartz, clay and sericite altered the groundmass (Fig. 3.B).The survived primary phenocrysts or the selective alteration character of this zone indicates that intensity of alteration is low. Studies of hydrothermal minerals stability in epithermal environment suggested that chlorite is formed at temperature range about 200-300oC, at deeper level, and in neutral pH condition (Hedenquist et al., 1996; 2000). These imply that this zone was affected by such temperature range, from a neutral-pH fluid, at deeper level and periphery of the hydrothermal system. 5.2. Vein-Related Propylitic Zone This alteration zone is distributed within about 0.5 m to 10 m from the veins, envelopes silisic zone at Bincanai and argillic zone at Baturappe and Bangkowa area (Fig. 2). Around the Bincanai vein, a 1 m spaced systematic sampling for hydrothermal alteration study has been conducted within 1-10 m from the vein. In the samples, altered volcanic rocks in this zone are generally characterized by greenish grey to dark green in color which indicates a dominant occurence of epidote and chlorite. Identification of alteration mineral assemblages were conducted both by microscopic observation and XRD analysis. The results indicate that epidote, chlorite and calcite are dominant minerals. Other alteration minerals identified in this zone include quartz and muscovite (sericite). At Baturappe zone, two altered rock samples at 9 m and 8 m from the Baturappe vein-1 have been collected to be analyzed. At the outcrops both lithologies showed light green in color. Under microscope, the samples were observed strongly altered. Dominant alteration minerals are epidote, chlorite and carbonate which altered primary pyroxene; while quartz, clay and opaque altered the fringe of plagioclase and the groundmass. Another sample which collected closer (7 m) from the vein contains minerals which indicate a mixing between propylitic and argillic assemblages; quartz, smectite, albite, mixed layer illite/smectite, halloysite and pyrite were identified from XRD analysis. Albite is one of the key minerals of propylitic alteration in epithermal environment, beside calcite, chlorite
101
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
and epidote (Thompson and Thompson, 1996). This implies that in this area there is an overprinting between outer (distal) vein-related propylitic zone and inner (proximal) argillic zone at about 7 m from the vein. At Bangkowa area, the vein-related propylitic zone is more proximal to the vein. A sample of altered porphyritic basalt dyke, which collected about 50 cm from the vein, under microscope contains (in abundance order) epidote, quartz, sericite, clay, chlorite, carbonate and opaque. While another sample from the same lithology which collected about 8 m from the vein contains an assemblage of epidote, chlorite and opaque. Intensity of propylitic alteration in this area is higher compares to the other two zones; the host rock of the Bangkowa vein, porphyritic basalt, is strongly altered where its coarse-grained pyroxene phenocrysts have been totally replaced by epidote (Fig. 3.C). In general, the vein-related propylitic zone is characterized by dominant occurrence of epidote. In epithermal environment, epidote is stable under temperature range of 200-320oC (Reyes, 1990; Hedenquist et al., 1996; 2000). Accordingly, it can be interpreted that the vein-related propylitic alteration in the study area was formed at such temperature range. The occurrence of epidote and chlorite also indicates that this zone was affected by a neutral-pH hydrothermal fluid. Compare to the district propylitic zone, the vein-related propylitic zone is generally more intensely altered and spacially more proximal to the deposit. This zone is distributed locally and limited, enveloping all the veins, at the outer area of argillicand silisic zone (Fig. 2), with distance range from 0.5 m to 10 m. This indicates that this alteration zone is geneticly related to the vein formation. Dilation or opening along the faults and fractures created structurally-controlled permeability for the hydrothermal fluid to affects the wall rocks and subsequently formed the alteration zone, overprinted the district propylitic alteration. 5.3.
Vein-Related Propylitic Zone Argillic zone is distributed proximal to the veins at Baturappe- and Bangkowa
area (Fig. 2), from the margin of the veins to maximum 7 m outward. In the field,
102
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
this alteration zone is characterized by clay with grey, greenish grey, light green, yellowish brown and reddish brown in color (Fig. 3.D). Identification of alteration minerals in this zone was conducted by XRD analysis. All clay samples for the analysis were collected from trenches. At Baturappe area, from the four vein zones, dominant minerals include quartz, smectite, illite, and halloysite. In addition kaolinite, chlorite, albite, mixed layerillite/smectite and chlorite/smectite, dolomite, and pyrite are also occurred in less quantity. Mineral formed by weathering such as hematite were also identified. At Bangkowa area, from the sulfide stringer zone, quartz, illite, kaolinite, smectite, albite and pyrite were identified; while at the Bangkowa vein, quartz, illite, chlorite, dolomite, albite, pyrite, smectite, halloysite and mixed layer illite/smectite were recognized. At Baturappe area, the dominant temperature-sensitive minerals are illite, smectite and halloysite. Halloysite occurs under acid pH and in temperature lower than 100oC, smectite under neutral pH in temperature range of 180-230oC, and illite under neutral pH in temperature range of 200-320oC (Reyes, 1990; Hedenquist et al., 1996; 2000). Halloysite occurs mainly as a supergene weathering product (Corbett and Leach, 1998), thus it is possible that halloysite in this area was formed by weathering. Therefore, interpretation of formation temperature of the argillic zone in Baturappe area is conducted on the basis of the temperature stabilities of smectite and illite; 230-320oC. Furthermore, the smectite and illite also indicate that this zone was affected by a neutral-pH hydrothermal fluid. At Bangkowa area, illite is the most dominant temperature-sensitive mineral occurred, thus the interpretation of formation temperature of the argillic zone in this area is based on the temperature stability of illite, that is 200-320oC. This implies that the argillic zone in this area was formed in higher temperature and deeper level, compares to the Baturappe area. The responsible hydrothermal fluid is also neutral in pH, judging from the dominant occurrence illite. Based on its distribution which is proximal to the related-veins, it is also interpreted that the argillic zone is the centre of hydrothermal activities responsible for the mineralization in Baturappe- and Bangkowa area. The narrow and elongate
103
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
distribution of the argillic zone indicates that the distribution is controlled by structure (Fig. 2).
5.4. Silisic Zone This zone is distributed proximal to the vein at Bincanai as well as to the disseminated sulphide at Ritapayung area (Fig. 2). At the 150 m Bincanai vein, silisic zone is distributed from the vein wall rock (close to the vein) to about 0.4 m outward, whereas at the southwestern part of the vein, the silisic zone is more widely distributed, up to 2 m from the vein. Around the Bincanai vein, the silisic zone is characterized by light greenish grey to white color of the high-altered andesite wall rock (Fig. 3.E). Comb structurefilled vuggy quartz is also occurred in this zone, mainly in the quartz band of the vein, around the border with the strong-altered silisic wall rock (Fig. 3.E). Other characteristic of this zone is the occurrence of barren quartz vein stockwork which developed in the wall rock, mainly at the foot wall side of the main vein. General orientation of the stockwork is N45oW/70oSW, cross-cutted the main vein which is N18oW/64oSW in orientation. The barren quartz vein stockwork is developed in narrow open space of the lower order of the Bincanai fault, while the mineralized main-vein is developed in the wider open space of the first order fault. Under microscope, thin section samples from the silisic zone at Bincanai area mostly showed pervasive alteration, where all primary minerals have been replaced by secondary alteration minerals of quartz and calcite (Fig. 3.F). Identification by microscopic observation and XRD analysis indicates that this zone is mainly characterized by dominant alteration minerals of quartz, carbonate (mainly calcite and less siderite), sericite (illite and muscovite), and pyrite. Other less abundance alteration minerals include chlorite, albite and biotite. At the Ritapayung dissemination, distribution of the silisic zone is locally enveloped the disseminated sulphide zone (Fig. 2). In the field, effect the silisic alteration is indicated by the light green to light grey color of the altered rocks. Under microscope, the altered volcanic rocks are also showed a pervasive alteration.
104
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Identification by microscopic observation and XRD analysis indicate an assemblage of quartz, illite, and pyrite. Propylitic key minerals such as chlorite and albite are also occurred in significant quantity in this zone, which may indicates an overprinting of the both alteration zones in this area. Other alteration minerals include carbonate and halloysite. At Bincanai area, the dominant temperature-sensitive minerals are illite and muscovite. As mentioned, in epithermal environment, illite is formed under neutral pH at temperature range about 200-320oC (Reyes, 1990;Hedenquist et al., 1996; 2000);while muscovite is stable at temperature more than 250oC (Corbett and Leach, 1998). Accordingly, by combining the temperature ranges, it can be interpreted that the silisic zone around the Bincanai vein was formed at temperature range of 250320oC. At Ritapayung area, illite is the only dominant temperature-sensitive mineral, thus it can be interpreted that the silisic zone around the Ritapayung dissemination was formed at temperature range of 200-320oC. These imply that the silisic zone at Bincanai area was formed at deeper level relative to Ritapayung area. The dominant occurrence of illite in the both areas indicates a neutral pH of the responsible hydrothermal fluid. Based on its distribution which proximal to the related-deposits, it is also interpreted that the silisic zone is the centre of hydrothermal activities responsible for the mineralization in Bincanai- and Ritapayung area. The narrow and elongate distribution of the silisic zone around the Bincanai vein indicates that the distribution is controlled by structure. On the other hand, at Ritapayungdissemination area, the lithological host of the alteration-mineralization indicates that the silisic zone in this area is controlled by the permeability of the host rock (volcanic breccia). 5.5.
Paragenesis Based on the description, paragenesis of the hydrothermal alteration around the
Baturappe epithermal deposits is arranged as follows (Table 1): •
Prior to initiation of the Baturappe hydrothermal system, the host rocks in the district were altered to an extensive propylitic assemblage of dominantly chlorite and less calcite, epidote, quartz. This selective alteration mainly affects
105
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
the pyroxene and plagioclase phenocrysts as well as crystalline groundmass of the volcanics. This alteration assemblage was formed at temperature range of 200-300oC and distributed at the periphery of the hydrothermal system. Table 1. Mineral assemblage in each zone and paragenetic stages of hydrothermal alteration of the Baturappe deposits Hydro-thermal mineral Chlorite Epidote Calcite Quartz Albite Biotite Smectite Illite i/s c/s Halloysite Kaolinite Muscovite Dolomite Siderite Pyrite Hematite Temperature range (oC) Distance to deposits
District propylitic zone
Vein-related propylitic zone
Argillic zone
Silisic zone
Bc
Br
Bk
Br
Bk
Bc
Rp
200-300
200-300
200-320
200-320
230-320
230-320
250-320
200-320
Disctrict scale
1-10 m
7m
0.5 m
≤7m
< 0.5 m
<1m
< 200 m
- Abbreviations: i/s: mixed layer illite/smectite, c/s: mixed layer chlorite/smectite,Bc: Bincanai area,Br: Baturappe area, Bk: Bangkowa area, Rp: Ritapayung area. - Line weight indicates relative abundance •
As hydrothermal fluids progressed up, dilation along the fault and fractures at Baturappe- and Bangkowa area created structurally controlled permeability leading to a narrow zone (approximately 0.5 m to 10 m) vein-related propylitic alteration (epidote, chlorite, calcite, quartz, albite) which overprints the district
106
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
propylitic alteration. This more intense selective alteration was formed under temperature range of 200-320oC, proximal to the veins. •
As the hydrothermal system intensified, argillic (illite, smectite, quartz, chlorite, mixed layer- illite/smectite and chlorite/smectite, and pyrite) alteration formed within maximum 7 m from the structural-controlled veins at Baturappeand Bangkowa area; silisic (vuggy quartz, barren quartz stockwork, calcite, siderite, illite, muscovite, pyrite) alteration formed within maximum 0.4 m of the fault-controlled vein at Bincanai; and silisic (quartz, illite, pyrite) alteration formed in host rock of disseminated-sulphide at Ritapayung area, as a lithological-controlled alteration. These argillic- and silisic alteration overprinted the vein-related- and district propylitic alteration. The argillic alteration formed under 230-320oC at Baturappe- and Bangkowa area, while the silisic zone formed under 250-320oC at Bincanai area, and 200-320oC at Ritapayung area.
6.
CONCLUSIONS AND EXPLORATION IMPLICATIONS
Hydrothermal alteration around the epithermal deposits in Baturappe prospect is zoned from proximal silisic and argillic to vein-related propylitic to distal district propylitic alteration.
The district propylitic alteration is interpreted as the periphery of the hydrothermal system, while the argillic and silisic alteration are interpreted as the centre of hydrothermal activities responsible for the mineralization in the study area, where its narrow distribution is highly controlled by structure. Therefore, for the development of the prospect, further detailed exploration is recommended to be focused on argillic and silisic alteration zones around the Bincanai vein, and on argillic alteration zone around the veins in Baturappe and Bangkowa area.
107
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
7.
ACKNOWLEDGEMENTS The authors wish to express a gratitude to the Directorate of Higher Education,
Department of National Education, Indonesia, for the financial support through “Doctorate Dissertation Research Grant” 2010 with contract number of 481/SP2H/PP/DP2M/X/2010 granted to the first author as a principal researcher.
8.
REFERENCES
Corbett, G.J., and T.M. Leach (1998), Southwest Pacific rim gold-copper systems: structure, alteration, and mineralization, Society of Economic Geologists (SEG) Special Publication, 6, 237 p. Harijoko, A. (2004), Ore genesis of the Cibaliung epithermal gold deposit in western Java, Indonesia, PhD. Thesis, Kyushu University, Japan, 136 p. Hedenquist, J.W., E. Izawa, A. Arribas, and N.C. White (1996), Epitermal gold deposits: styles, characteristics, and exploration, Resource Geology Special Publication, 1, Komiyama Printing Co. Ltd., Tokyo, Japan. Hedenquist, J.W., R.A. Arribas, and E. Gonzalez-Urien (2000), Exploration for epithermal gold deposits, Society of Economic Geologists (SEG) Reviews, 13, 245-277. Nur, I., A. Idrus, S. Pramumijoyo, A. Harijoko, Sufriadin, A.H.S. Jaya, and U.R. Irfan(2009a),Geologi endapan urat logam dasar Pbdaerah Baturappe Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Proceedings of the 38thIAGI Annual Convention and Exhibition, Semarang, Indonesia,Editors: Winarno, T., A.A. Nagel, R. Syawal, Aveliansyah, 629-637. Nur, I., A. Idrus, S. Pramumijoyo, A. Harijoko,Y. Juyanagi, and A. Imai (2009b), Characteristics of epithermal quartz veinsat Baturappe area, Gowa, South Sulawesi: an implication to base metal exploration, Proceedings of the International Conference on Earth Science and Technology, Yogyakarta, Indonesia, Editors: Setijadji, L.D., W. Wilopo, and A. Hendratno, 179-185. Nur, I., A. Idrus, S. Pramumijoyo, A. Harijoko, Y. Juyanagi, R. Takahashi, K. Watanabe, and A. Imai (2010),Geochemistry, mineralogy and fluid inclusion study of the Baturappe epithermal silver-base metal deposit, South Sulawesi, Indonesia, Proceedings of the CINEST International Symposium on Earth Science and Technology 2010, Kyushu University, Fukuoka, Japan, Editor: Itoi, R., 283-288.
108
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Priadi, B., H. Bellon, R.C. Maury, M. Polvé, R. Soeria-Atmadja, and J.C. Philippet (1994), Magmatic evolution in Sulawesi in the light of new 40K-40Ar age data, Proceedings of the 23rdIAGI Annual Convention, Indonesia, 355-370. Reyes, A.G. (1990), Petrology of Philippine geothermal systems and the application of alteration mineralogy to their assessment, J. Volcanology and Geothermal Research, 43, 279-309. Sukamto, R., and S. Supriatna (1982), Geologic map of the Ujung Pandang, Benteng and Sinjai quadrangles, Sulawesi, Geological Research and Development Centre, Bandung, Indonesia. Thompson, A.J.B., and J.F.H. Thompson (1996), Atlas of alteration, a field and petrographic guide to hydrothermal alteration minerals, Geological Association of Canada, Mineral Deposits Division, Canada, 118 p. Yuwono, Y.S., H. Bellon, R. Soeria-Atmadja, and R.C. Maury (1985), Neogene and Pleistocene volcanism in South Sulawesi,Editors: Koesoemadinata, R.P. and D. Noeradi, ITB, Bandung, Indonesia, 120-131.
109
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
APLIKASI PROBABILISTIK UNTUK ANALISIS KESTABILAN LERENG TUNGGAL MENGGUNAKAN METODE BISHOP (STUDI KASUS DI PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM TBK. TANJUNG ENIM, SUMATERA SELATAN) Masagus Ahmad Azizi1, Suseno Kramadibrata2, Ridho K.Wattimen2, Indra Djati Sidi3, Susanto Basuki4 1
Jurusan Teknik Pertambangan FTKE Universitas Trisakti & Mahasiswa Program Doktor Program Studi Rekayasa Pertambangan ITB 2 Program Studi Teknik Pertambangan ITB 3 Program Studi Teknik Sipil ITB 4 Program Studi Teknik Pertambangan Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK Probabilitas kelongsoran adalah pendekatan statistik yang digunakan dalam mengkarakterisasi nilai parameter masukan untuk analisis stabilitas lereng dan menentukan jenis distribusi dan range nilai faktor keamanan lereng. Pada proses ini nilai parameter masukan dan faktor keamanan akan dikarakterisasi distribusi nilai masing-masing. Di samping itu juga pendekatan ini dapat melihat faktor yang paling mempengaruhi kestabilan lereng melalui analisis sensitivitas perubahan nilai setiap parameter masukan terhadap nilai faktor keamanan. Analisis kestabilan lereng menggunakan pendekatan probabilistic dapat memberikan tingkat keyakinan yang lebih tinggi dari suatu disain lereng.Pendekatan ini sangat memungkinkan memasukkan seluruh factor-faktor yang mempengaruhi kestabilan lereng sehingga hasil analisis dapat diaplikasikan secara operasional. Hal menarik dari metode probabilistic adalah representasi yang eksplisit dari ketidakpastian dalam kajian stabilitas lereng. Nilai factor keamanan disain lereng dapat dioptimasi dengan nilai probabilitas kelongsoran sehingga dapat memberikan tingkat keyakinan terhadap disain tersebut. Tulisan ini akan menggambarkan suatu analisis kestabilan lereng tunggal menggunakan pendekatan probabilistic pada lokasi Curug Pangkul (TAL Selatan) PTBA Tanjung Enim. Hasil penelitian ini menunjukkan karakteristik distribusi nilai nilai faktor keamanan lereng tunggal lapisan OB-A1 (claystone) berupa fungsi beta. Bila memperhatikan nilai factor keamanan lereng dan probabilitas kelongsoran, maka hasil analisis kestabilan lereng untuk tinggi lereng 12 meter ke bawah masih memungkinkan menggunakan sudut kemiringan lereng 700 (Nilai PK < 25%). Namun bila menggunakan tinggi lereng 15 dan 20 meter masih mungkin menggunakan sudut kemiringan leren 600 dan 500. Mengingat metode analisis kestabilan lereng yang digunakan hanya metode Bishop, maka perlu dikoreksi juga dengan metode lainnya. Kata Kunci : statistic, analisis probabilitas, Lereng penambangan, geoteknik, batubara.
110
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
1.
PENDAHULUAN Probabilitas kelongsoran adalah pendekatan statistik yang digunakan dalam
mengkarakterisasi nilai parameter masukan untuk analisis stabilitas lereng dan menentukan jenis distribusi dan range nilai faktor keamanan lereng. Pada proses ini nilai parameter masukan dan faktor keamanan akan dikarakterisasi distribusi nilai masing-masing. Di samping itu juga pendekatan ini dapat melihat faktor yang paling mempengaruhi kestabilan lereng melalui analisis sensitivitas perubahan nilai setiap parameter masukan terhadap nilai faktor keamanan. Penentuan sudut kemiringan lereng acceptable adalah suatu parameter paling penting dalam perencanaan tambang terbuka. Namun ketidakpastian yang terkait dengan geometri lereng, karakteristik massa batuan, kondisi pembebanan dan reliabilitas model mengakibatkan proses pemilihan sudut kemiringan lereng yang sesuai menjadi lebih sulit. Biasanya kajian kestabilan lereng tambang terbuka dibuat berdasarkan nilai factor keamanan (FK) saja, yakni rasio gaya penahan nominal dan gaya penggerak nominal. Secara teoritis metode kesetimbangan batas menyatakan batas kritis lereng aman bila FK = 1, di mana lereng akan longsor bila FK<1 dan lereng akan aman bila FK>1. Namun kelemahan pendekatan FK tersebut untuk disain lereng adalah hanya bersifat kasuistis dan tidak dapat diberlakukan untuk kondisi lereng yang lain, Tapia et.al. (2007). Suatu alternative selain pendekatan FK untuk disain lereng adalah metode probabilistic yang didasarkan pada perhitungan probabilitas kelongsoran (PK) lereng. Pada metode ini, parameter masukan digambarkan sebagai suatu distribusi probabilitas bukan hanya terbatas pada estimasi
nilai rata-rata. Dengan
mengkombinasikan distribusi ini dalam model deterministic yang digunakan dalam menghitung nilai FK, maka PK lereng dapat diestimasi. Hal menarik dari metode probabilistic adalah representasi yang eksplisit dari ketidakpastian dalam kajian stabilitas lereng.Nilai factor keamanan disain lereng dapat dioptimasi dengan nilai probabilitas kelongsoran sehingga dapat memberikan tingkat keyakinan terhadap disain tersebut.
111
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Tulisan ini akan menggambarkan suatu analisis kestabilan lereng tunggal menggunakan pendekatan probabilistic pada lokasi Curug Pangkul (TAL Selatan) PTBA Tanjung Enim.
2.
DASAR TEORI
2.1. Metode Kesetimbangan Batas Kemantapan suatu lereng tergantung pada gaya-gaya penggerak dan gaya penahan yang ada pada lereng tersebut. Gaya-gaya penggerak berupa gaya berat, gaya tiris atau muatan, sedangkan gaya-gaya penahan berupa gaya gesekan atau geseran, kohesi dan kuat geser. Apabila gaya penggerak lebih besar dibandingkan dengan gaya penahan maka akan menyebabkan terjadinya kelongsoran. Tetapi bila gaya penahan ini lebih besar dari gaya penggerak, maka lereng tersebut tidak akan mengalami kelongsoran atau lereng dalam keadaan stabil. Kestabilan lereng biasa dinyatakan dalam bentuk faktor keamanan (FK) yang didefisikan sebagai berikut :
Di mana untuk keadaan-keadaan : FK> 1.0
: lereng dianggap stabil
FK = 1.0
: lereng dalam keadaan seimbang dan siap untuk bergerak apabila ada sedikit gangguan
FK< 1.0
: lereng dianggap tidak stabil
Metode kesetimbangan batas merupakan metode yang sangat popular, relatif sederhana, mudah digunakan serta telah terbukti kehandalannya dalam praktek rekayasa geoteknik selama bertahun-tahun. 2.2. Analisis Probabilitas 2.2.1. Fungsi Distribusi Probabilitas Fungsi distribusi probabilitas merupakan salah satu cara yang digunakan untuk memperkirakan nilai probabilitas kemunculan suatu parameter. Fungsi distribusi
112
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
probabilitas memiliki sifat-sifat penyebaran yang khas dan unik yang menjadikan fungsi yang satu akan berbeda dengan fungsi yang lainnya. Tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa suatu fungsi distribusi merupakan turunan dari fungsi yang lainnya.Sebagai contoh, fungsi distribusi eksponensial merupakan bentuk khusus dari fungsi distribusi gamma yang memiliki parameter bentuk (a) bernilai 1.
Fungsi Densitas Probabilitas
Fungsi Distribusi Kumulatif
Gambar 1. Fungsi Distribusi Probabilitas Secara grafik, fungsi distribusi probabilitas dideskripsikan menjadi fungsi densitas probabilitas (PDF Probability Density Function) dan fungsi distribusi kumulatif (CDF Cumulative Distribution Function).Fungsi densitas probabilitas mendeskripsikan daerah kemungkinan relatif dimana suatu bilangan acak dapat diasumsikan sebagai suatu nilai unik dibandingkan nilai lainnya.Untuk kurva distribusi factor keamanan, maka luas kurva yang diarsir merupakan probabilitas kelongsoran lereng.
2.2.2. Simulasi Monte Carlo Simulasi Monte Carlo adala sebuah nama kode untuk algoritma yang ditemukan oleh John von Newmann (1946) atas perintah Stanislaw Ulam. Nama Monte Carlo diambil dari nama kasino Monte Carlo di Monaco. Simulasi Monte Carlo pertama kali digunakan untuk pengembangan bom hidrogen. Tahapan yang dilakukan dalam metode ini sebagai berikut : 1.
Definisikan domain (daerah asal) dari masukan data yang memungkinkan
2.
Munculkan masukan secara acak daridomain yang sudah ditentukan menggunakandistribusi probabilitas tertentu
113
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
3.
Lakukan perhitungan secara deterministic menggunakan data masukan
4.
Gabungkan hasil dari setiap perhitungan individual kepada hasil akhir. Algoritma ini digunakan sebagai landasan simulasi bilangan acak untuk
menentukan fungsi distribusi probabilitas yang sesuai. Beberapa keuntungan metode Monte Carlo yakni sederhana, lebih fleksibilitas dalam menggabungkan suatu varietas distribusi probabilitas yang cukup besar tanpa banyak penarfsiran, dan kemampuan untuk memodelkan korelasi di antara variable dengan mudah (Hammah and Yacoub, 2009). Umumnya analisis stabilitas lereng dengan metode kesetimbangan batas menggunakan simulasi Monte Carlo untuk menghitung probabilitas kelongsoran. 2.2.3. Pencocokan (Fitting) Fungsi Probabilitas Ada beberapa metode dalam
melakukan proses fitting terhadap fungsi
distribusi, antara lain : Chi-Squared (C-S), Kolmogorov-Smirnov (K-S), dan Anderson-Darling (A-D). Masing-masing metode ini akan menghasilkan nilai parameter statistic. Nilai parameter yang paling kecil mencerminkan fungsi distribusi terbaik. Bila dalam proses fitting ini menggunakan lebih dari satu metode, maka tidak ada aturan baku yang menyatakan metode hasil uji yang memberikan fit terbaik. Masing-masing metode memiliki kekuatan dan kelemahan, dan harus diputuskan informasi yang paling penting untuk memutuskan fungsi
distribusi yang akan
digunakan. a)
Metode Chi-squared
Metode ini merupakan metode fitting fungsi distribusi terbaik, yang dapat digunakan baik untuk sampel data continyu maupun diskret.Untuk menghitung nilai parameter chi-squared, maka langkah pertama memecah nilai sumbu x menjadi beberapa bin. Formulasi untuk menghitung nilai parameter chi-squared yakni :
∑
(
)
114
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Di mana : K = Jumlah bin Ni = Jumlah sampel observasi dalam bin ke- i Ei = Jumlah sampel ekspektasi dalam bin ke-i b)
Kolmogorov-Smirnov
Metode ini digunakan untuk data sampel kontinyu. Metode ini tidak membutuhkan proses pemecahan sumbu x menjadi beberapa bin, sehingga membuat nilai parameter statistic ini tidak banyak berubah-ubah. Kelemahan metode ini adalah tidak dapat mendeteksi ketidaksesuaian tail dengan baik. Formulasi untuk menghitung nilai parameter K-S yakni : [| ( )
̂ ( )|]
Di mana : n
= Total jumlah titik-titik data
̂ ( ) = Fungsi distribusi kumulatif proses fitting ( ) = Jumlah Xi kurang dari x c)
Anderson-Darling
Metode ini juga digunakan untuk data sampel kontinyu, dan tidak membutuhkan bin.Tidak seperti metode K-S yang memfokuskan pada nilai tengah distribusi, maka metode ini lebih menyoroti pada perbedaan antara tail fungsi hasil fitting dan data masukan. Formulasi untuk menghitung nilai parameter A-S yakni : ∫[ ( )
̂ ( )]
( ) ̂( )
Di mana : n
= Total jumlah titik-titik data ̂ ( )[
̂ ( )]
̂( ) = Fungsi densitas hipotetik ̂ ( ) = Fungsi distribusi kumulatif hipotetik
115
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
( ) = Jumlah Xi kurang dari x
3.
TAHAP PENELITIAN Tahapan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut :
a.
Studi Awal (Desk Study) Kegiatan ini diawali dengan kegiatan pengumpulan pustaka baik jurnal
nasional maupun internasional. b.
Pengambilan dan Pengolahan Data Kegiatan ini diawali dengan observasi kondisi lereng tambang secara
keseluruhan, kemudian akan ditentukan lokasi penelitian yang sesuai. Data yang diambil dalam penelitian ini mencakup : sifat fisik dan mekanik batuan, seismic loading, dan geometri lereng. c.
Analisis Langkah awal analisis adalah melakukan karakterisasi terhadap parameter
masukan (densitas basah, kohesi dan sudut gesek dalam) yang akan menghasilkan jenis fungsi dan range nilai parameter masukan. Langkah kedua melakukan analisis kestabilan lereng menggunakan metode kesetimbangan batas (Metode Bishop) dengan dengan kuat geser Mohr-Coulomb. Data hasil karakterisasi terhadap densitas basah, kohesi dan sudut gesek dalam dimasukkan sebagai parameter masukan probabilistic. Nilai factor keamanan yang dihasilkan kemudian juga dilakukan proses karakterisasi (analisis probabilitas) dan analisis sensitivitas. Hasil karakterisasi terhadap distribusi nilai factor keamanan akan dapat menghasilkan nilai probabilitas kelongsoran lereng, di mana luas di bawah fungsi (FK <1) merupakan nilai probabilitas kelongsoran. Untuk menilai tingkat kemamputerimaan nilai FK dan probabilitas kelongsoran dari disain lereng tunggal dapat dilihat dari kriteria kemamputerimaan SRK (2010) untuk nilai FK dan Probabilitas Kelongsoran Lereng Tunggal, di mana probabilitas kelongsoran untuk lereng tunggal yang masih dapat diterima sebesar 25-50 % (maksimum).
116
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
d.
Kesimpulan Hasil penelitian ini akan dapat menilai suatu disain lereng tunggal yang mampu
diterima tidak hanya berdasarkan nilai factor keamanan, namun juga dilihat dari nilai probabilitas kelongsoran lerengnya.
4.
PENGOLAHAN DATA Proses ini merupakan pengolahan data terhadap parameter masukan yakni
densitas basah, kohesi dan sudut gesek dalam residual. Dalam proses ini dibantu dengan menggunakan perangkat lunak @RISK yang menggunakan variasi simulasi (1,2 dan 5) dan iterasi (100, 1000 dan 10.000). Metode fitting yang digunakan mencakup Chi-Squared, Anderson-Darling, Kolmogorov-Smirnov.
4.1. Parameter Batuan Lapis OB-A1 (Claystone) 4.1.1. Kohesi ―Residual‖ Hasil proses karakterisasi terhadap parameter kohesi ―residual‖ lapisan OBA1(Claystone) lokasi Curug Pangkul menunjukkan fungsi yang paling sesuai adalah beta. Hal ini dibuktikan dari hasil jenis simulasi, 3 jenis jumlah iterasi dan 3 metode fitting yang digunakan dalam proses karakterisasi yang menghasilkan semua fungsi distribusi beta (Tabel 1). Tabel 1.Hasil Karakterisasi Distribusi Kohesi ―Residual‖ Jumlah Jumlah Simulas Iterasi Chi-Sq i 1 100 1.42 1000 6.358 10000 82.574 2 100 0.54 1000 6.068 10000 82.115 5 100 0.76 1000 6.3 10000 81.804
Nilai Fungs i Beta Beta Beta Beta Beta Beta Beta Beta Beta
A-D 0.1505 0.584 5.7506 0.1199 0.5708 5.749 0.1337 0.5724 5.7493
Fungs i Beta Beta Beta Beta Beta Beta Beta Beta Beta
K-S
Fungsi
0.0308 0.0165 0.0155 0.0296 0.0163 0.0155 0.022 0.0167 0.0155
Beta Beta Beta Beta Beta Beta Beta Beta Beta
117
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
4.4.2. Sudut Gesek Dalam ―Residual‖ Hasil proses karakterisasi terhadap parameter sudut gesek dalam ―residual‖ lapisan OB-A1 lokasi Curug Pangkul
menunjukkan
fungsi yang paling sesuai
adalah beta. Hal ini dibuktikan dari hasil jenis simulasi, 3 jenis jumlah iterasi dan 3 metode fitting yang digunakan dalam proses karakterisasi yang menghasilkan 24 fungsi distribusi beta dan 4 fungsi weibull (Tabel 2). Tabel 2.Hasil Karakterisasi Distribusi Sudut Gesek Dalam ―Residual‖ Jumlah Jumlah Simulasi Iterasi Chi-Sq Fungsi 1 100 0.54 Beta 1000 6.184 Weibull 10000 78.06 Beta 2 100 0.76 Beta 1000 4.734 Beta 10000 78.519 Beta 5 100 0.76 Beta 1000 6.822 Weibull 10000 78.104 Beta
Nilai A-D Fungsi 0.074 Beta 0.580 Beta 5.768 Beta 0.087 Beta 0.423 Beta 5.767 Beta 0.084 Weibull 0.579 Beta 5.766 Beta
K-S Fungsi 0.0246 Beta 0.0173 Beta 0.0164 Beta 0.0256 Beta 0.0129 Beta 0.0164 Beta 0.0259 Weibull 0.0173 Beta 0.0164 Beta
4.4.3. Densitas Basah Tabel 3.Hasil Karakterisasi Distribusi Densitas Basah Jumlah Jumlah Simulasi Iterasi 1 100 1000 10000 2 100 1000 10000 5 100 1000 10000
Chi-Sq 0.98 7.112 103.22 1.42 10.128 100.378 0.76 9.722 100.674
Fungsi Weibull Beta Beta Beta Beta Beta Beta Beta Beta
Nilai A-D Fungsi 0.141 Weibull 0.585 Beta 8.982 Beta 0.084 Beta 0.881 Beta 8.539 Beta 0.077 Beta 0.826 Beta 8.610 Beta
K-S 0.0283 0.0164 0.0194 0.0266 0.0202 0.0194 0.0256 0.0201 0.0194
Fungsi Weibull Beta Weibull Beta Weibull Weibull Beta Weibull Weibull
Hasil proses karakterisasi terhadap parameter densitas basah lapisan OB-A1 lokasi Curug Pangkul menunjukkan fungsi yang paling sesuai adalah beta. Hal ini
118
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
dibuktikan dari hasil jenis simulasi, 3 jenis jumlah iterasi dan 3 metode fitting yang digunakan dalam proses karakterisasi yang menghasilkan 19 fungsi distribusi beta dan 8 fungsi weibull (Tabel 3).
4.2. Tinggi Muka Air Tanah Variasi tinggi muka air tanah diasumsikan mencapai maksimum. 4.3. Getaran Gempa Bumi Variasi seismic loading diasumsikan normal dengan nilai rata-rata 0.02. 4.4. Geometri Lereng Variasi geometri yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas : a.
Tinggi Lereng : 9, 12, 15, 20 meter
b.
Sudut kemiringan lereng : 40 – 70 Derajat.
5.
ANALISIS
5.1. Analisis Kestabilan Lereng Tunggal Lapisan OB-A1(Claystone) Hasil karakterisasi terhadap paramater batuan yang mencakup : nilai minimum, maksimum, standar deviasi dan jenis fungsi distribusi dimasukkan dalam analisis kestabilan lereng tunggal. Dalam penelitian ini menggunakan metode keseimbangan batas dengan bantuan software SLIDE. Untuk parameter masukan lain seperti geometri lereng, tinggi muka air tanah dan seismic loading digunakan nilai asumsi yang digunakan dalam disain lereng PTBA.
Gambar 2. Keluaran Analisis Kestabilan Lereng Tunggal dengan Pendekatan Probabilistik
119
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Hasil analisis kestabilan lereng menggunakan pendekatan probabilistic ini mengjhasilkan nilai factor keamanan deterministic dan rata-rata, probabilitas kelongsoran, dan indeks reliabilitas lereng (Gambar 2). 5.2. Fitting Jenis Fungsi Distribusi Faktor Keamanan Proses fitting jenis distribusi dilakukan dengan menganalisis nilai FK hasil pendekatan probabilistik. Ada beberapa tahap proses fitting ini meliputi : a.
Input nilai rata-rata, standar deviasi, minimum, dan maksimum dari nilai factor keamanan.
b.
Menggunakan
metode
Monte
Carlo
nilai-nilai
tersebut
degenerate
berdasarkan fungsi yang akan dianalisis, dalam hal ini ada 7 fungsi distribusi normal, lognormal, beta, seragam, triangular, eksponensial dan gamma. Proses ini dilakukan dengan 1000 iterasi dengan 5 simulasi. c.
Penentuan parameter statistic dari masing-masing fungsi menggunakan metode chi-squared, yang mana fungsi yang memiliki nilai parameter statistic paling kecil merupakan fungsi yang paling mendekati distribusi fungsi factor. Untuk mempermudah proses fitting ini dilakukan dengan menggunakan
software @RISK. Hasil proses fitting menunjukkan bahwa jenis fungsi distribusi factor keamanan adalah beta. Fungsi ini selanjutnya digunakan untuk menentukan probabilitas kelongsoran lereng tunggal dari masing-masing scenario. 5.3. Probabilitas Kelongsoran (PK) Probabilitas kelongsoran lereng ditentukan dengan cara menghitung luas (FK<1) di bawah fungsi yang sudah ditentukan sebelumnya dari hasil proses fitting. Hasil perhitungan probabilitas kelongsoran lereng tunggal material OB-A1 menunjukkan untuk tinggi lereng 12 meter, maka masih mungkin untuk mencuramkan lereng hingga 700. Hal ini bisa dilihat dari nilai FK 2.18 dan probabilitas kelongsoran sebesar 18.4 % yang masih di bawah kriteria ambang batas.Sementara untuk tinggi lereng 15 meter, maka sudut lereng maksimum hanya 600. Rekapitulasi hasil penentuan jenis fungsi distribusi dan probabilitas kelongsoran dapat dilihat pada table di bawah ini..
120
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Tabel 4. Probabilitas Kelongsoran Material OB-A1 (Metode Bishop) Geometri Lereng Jenis Material OB-A1
Probabilistik
Faktor Fitting
Jenis Fungsi FK
PK (%)
3.018
2.753
7.0540
Beta
2.876
70
2.687
2.453
7.2280
Beta
12.832
50 60 70 40 50 60 50 60 70
2.692 2.361 2.174 2.444 2.212 1.951 1.739 1.526 1.3000
2.708 2.377 2.182 2.452 2.225 1.963 1.749 1.541 1.318
6.7640 7.2860 6.8220 7.1120 6.9380 6.9960 6.8220 6.7640 6.9960
Beta Beta Beta Beta Beta Beta Beta Beta Beta
2.6 15.1 18.4 2.5 13.9 24.0 24.9 32.9 42.9
Tinggi (m)
Kemiringan (0)
Deterministik
9
60
12
15
20
6.
Faktor Keamanan
PENGOLAHAN DATA Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari hasil penelitian ini sebagai berikut :
a.
Karakterisasi terhadap parameter batuan lapisan OB-A1 (Claystone) dengan variasi 3 jenis simulasi, 3 jenis jumlah iterasi dan 3 metode fitting menunjukkan fungsi terbaik yang dihasilkan adalah beta.
b.
Karakterisasi terhadap nilai faktor keamanan hasil analisis kestabilan lereng menunjukkan fungsi terbaik adalah beta.
c.
Bila memperhatikan nilai
factor keamanan lereng dan probabilitas
kelongsoran, maka hasil analisis kestabilan lereng untuk tinggi lereng 12 meter ke bawah masih memungkinkan menggunakan sudut kemiringan lereng 700 (Nilai PK < 25%). Namun bila menggunakan tinggi lereng 15 dan 20 meter masih mungkin menggunakan sudut kemiringan leren 600 dan 500. d.
Hasil analisis ini perlu dikomparasi dengan metode lainnya sehingga dapat meningkatkan suatu hasil disain yang dapat diaplikasikan secara operasional.
7. DAFTAR PUSTAKA
@RISK software, Palisade Cisar P., Cisar S.M., 2010, Skewness and Kurtosis in Function of Selection of Network Traffic Distribution, Acta Polytechnica Hungarica, Vol.7 No.2.
121
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Duzgun H.S.B., Bhasin R.K., 2009, Probability Stability Evaluation of Oppstadhornet Rock Slope – Norway, Rock Mech Rock Eng, Springer. Hammah, R.E., Yacob, T.E., Curran J., 2003, The Influence of correlation and distribution truncation on slope stability analysis results. Hoek E., Factor of Safety and Probability of Failure, Chapter 8 - Rock Engineering. Mandzic E.H., 1992, Mine Water risk in open pit slope stability. Masagus A.A. et.al, 2010, Penerapan Pendekatan Probabilitas Pada Analisis Kemantapan Lereng, TPT XIX PERHAPI 2010, Balikpapan. Masagus A.Azizi, Suseno Kramadibrata, Ridho K.Wattimena, Irwandy Arif, ―Aplikasi Pendekatan Probabilistik Dalam Analisis Kestabilan Lereng Tunggal Menggunakan Metode Kesetimbangan Batas‖, dipresentasikan pada Seminar Nasional Statitstik 2011 yang diselenggarakan oleh Program STudi STatistika, Fakultas MIPA UNDIP, 21 Mei 2011. Park H.J., 2005, A New Approach for Persistence in Probabilitic Rock Slope Stability Analysis, Geoscience Journal, Vol.9, p287-293. Pathak S., Poudel R.K., Kansakar B.R., 2006, Application of Probabilistic Approach in Rock Slope Stability Analysis — An Experience from Nepal, pp. 797–802, Universal Academy Press, Inc. - Tokyo, Japan. Pine. R.J. 1992. Risk analysis design applications in mining geomechanics. Trans. Inst. Min.Metall. (Sect.A) 101, 149-158. Pine, R.J. and W.J. Roberds. 2005. A risk-based approach for the design of rock slopes subject to multiple failure modes – illustrated by a case study in Hong Kong. International Journal of Rock Mechanics and Mining Sciences 42 (2005), Elsevier Ltd., pp. 261 – 275. SLIDE Software, Rockscience Staveren V., 2007, Extending to Geotechnical Risk Managemen, International Symposium on Geotechnical Safety & Risk, pp.1-12. Steffen, O.K.H. et.al, 2008, A risk evaluation approach for pit slope design. Terbrugge P.J.et.al., 2006, A risk consequence approach to open pit slope design. Whitman R.V., 1981, Evaluating Calculated Risk in Geotechnical Engineering, The Seventeenth Terzaghi Lecture.
122
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Estimasi Distribusi Ukuran Fragmen Batuan Hasil Peledakan Menggunakan Perhitungan Split-Desktop
Nurkhamim1, Hafiez Asnawi2, Jurusan Teknik Pertambangan – Fakultas Teknologi Mineral, UPN “Veteran” Yogyakarta, Indonesia
[email protected]
ABSTRAK Pada kegiatan penambangan, peledakan merupakan salah satu tahapan kegiatan yang bertujuan untuk membongkar atau melepaskan batuan dari batuan induknya menjadi bentuk fragmen-fragmen batuan dengan ukuran tertentu, guna mempermudah proses selanjutnya. Ada beberapa parameter untuk mengetahui apakah suatu kegiatan peledakan berhasil baik atau gagal. Salah satu indikator untuk menentukan keberhasilan suatu kegiatan peledakan adalah ukuran fragmen hasil peledakan. Ukuran fragmentasi batuan yang dihasilkan dari kegiatan peledakan harus sesuai dengan kebutuhan, yaitu kemudahan saat pemuatan, pengangkutan dan pada proses pengolahan. Kesulitan yang biasa dijumpai pada saat perhitungan ukuran fragmen dan distribusinya bila menggunakan cara manual atau konvensional adalah prosesnya yang membutuhkan waktu lebih lama dan perlu peralatan bantu yang cukup merepotkan. Split-desktop merupakan alat bantu perhitungan yang merupakan suatu program komputer yang proses kerjanya didasarkan atas pembacaan hasil citra (image) gambar atau foto dari suatu obyek berupa partikel atau gragmen. Program perhitungan ini sangat mudah digunakan dan cukup akurat untuk mengestimasi dan menentukan distribusi ukuran fragmen batuan hasil peledakan. Kata kunci : peledakan, fragmentasi, citra foto, split-desktop
123
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
1.
PENDAHULUAN Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu pesat telah menjadi
kebutuhan pokok dalam era informasi. Hal ini dapat dilihat dari derasnya arus informasi dari segala penjuru dunia yang dapat diakses oleh siapapun tanpa batas ruang
dan
waktu.
Keberhasilan
pembangunan
teknologi
informasi
telah
mempengaruhi semua aspek kehidupan manusia, seperti aspek pertambangan khususnya yang terlihat dari berbagai macam perangkat lunak (software) komputasi pendukung telah banyak dikembangkan untuk memudahkan analisa dalam metode perhitungan. Tahap penambangan, yang meliputi kegiatan pembongkaran, pemuatan dan pengangkutan,
agar material dapat dengan mudah diangkut maka dilakukan
pembongkaran terlebih dahulu. Peledakan merupakan salah satu kegiatan yang bertujuan untuk membongkar batuan agar terlepas dari batuan induk yang bertujuan untuk memudahkan kegiatan penambangan selanjutnya yaitu pemuatan dan pengangkutan. Tuntutan program serta tersedianya berbagai macam bentuk informasi yang menuntut untuk melakukan perubahan yang dapat menunjang efektifitas serta produktifitas tambang, maka dirasa sangatlah perlu adanya program bantu komputasi guna mendapatkan hasil program perhitungan atau estimasi distribusi ukuran fragmen batuan hasil peledakan tambang secara mudah dan tepat. Dengan adanya program bantu komputasi untuk menghitung rancangan ini dapat menghemat waktu, tenaga dan tentu saja tingkat ketelitian hasil lebih akurat daripada perhitungan secara manual (analitik).
2.
TINJAUAN UMUM Peledakan batuan berdasarkan pengetahuan merupakan suatu teknik tentang
aksi bahan peledak, mekanisme terbongkarnya batuan, dan sifat-sifat mekanik dari masa batuan. Di dalam lingkungan industri pertambangan, teori peledakan merupakan area yang sangat menarik tetapi sekaligus juga kontroversial. Teori peledakan ini melibatkan bidang keilmuan seperti kimia fisika, termodinamika,
124
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
interaksi gelombang kejut, dan mekanika batuan. Teori yang ada hingga saat ini selalu membahas faktor – faktor yang mempengaruhi fragmentasi dan kriteria rancangan peledakan secara umum. Kegiatan peledakan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor rancangan yang tidak dapat dikendalikan dan faktor rancangan yang dapat dikendalikan (Gambar 1). 1. Faktor Rancangan yang tidak dapat dikendalikan Faktor ini di luar kemampuan manusia untuk men-setting atau mengendalikannya (uncontrolled factor). Hal ini disebabkan karena prosesnya terjadi secara alamiah, seperti faktor : karakteristik dan perilaku massa batuan, struktur geologi, pengaruh air, dan kondisi cuaca. 2. Faktor rancangan yang dapat dikendalikan Faktor-faktor yang dapat dikendalikan oleh kemampuan manusia dalam merancang suatu peledakan untuk memperoleh hasil peledakan yang diharapkan, antara lain seperti geometri pemboran, geometro peledakan, pola pemboran dan pola peledakan. Suatu kegiatan peledakan disebut berhasil bila dapat terpenuhi beberapa parameter sebagai berikut : - Target produksi yang ingin dicapai dapat terpenuhi. - Hasil peledakan tidak membentuk back break/over break. - Ukuran fragmen batuan hasil peledakan merata dan tidak terdapat banyak boulder. - Lantai jenjang yang terbantuk relatif datar. - Efek peledakan terkontrol seperti ground vibration, air blast, dan fumes. - Tidak terjadi gagal ledak ( miss fire ). Salah satu indikator untuk menentukan keberhasilan suatu kegiatan peledakan adalah ukuran fragmen hasil peledakan. Diharapkan ukuran fragmen batuan yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan pada kegiatan penambangan selanjutnya. Untuk mengetahui ukuran fragmen batuan dapat dilakukan perhitungan dengan melalui beberapa cara, yaitu : 1. Melakukan pengamatan pada material hasil peledakan, apakah dapat termuat atau tidak oleh mangkuk alat mekanis.
125
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
2. Mencurahkan sejumlah material pada suatu grizzly dengan beberapa tahap setting grizzly. 3. Pengambilan gambar atau foto dengan pengolah program Split-desktop. Pengukuran distribusi fragmen batuan hasil peledakan yang dilakukan secara manual (analitik) mempunyai kekurangan tingkat hasil ketelitian yang diperoleh kurang akurat serta kurang efisien. Cara pertama hanya dapat menentukan ukuran fragmen batuan saja, sedangkan estimasi distribusi ukurannya (persentasi) sangat kasar (berdasarkan perkiraan saja). Cara ke-dua membutuhkan sejumlah peralatan dan pengaturan yang cukup membutuhkan waktu dan biaya.
Kelemahan pada
perhitungan distribusi ukuran fragmen hasil peledakan secara teknis (cara pertama dank e-dua di atas) telah dapat diatasi dengan adanya program bantu komputasi Splitdesktop sehingga diharapkan dapat menghemat waktu, tenaga, biaya dan harapan pada tingkat ketelitian hasil yang lebih akurat.
3.
PENGOLAHAN DATA Untuk pengukuran fragmentasi hasil peledakan, mula-mula
dilakukan
pengambilan foto/ gambar dari suatu obyek yang berupa sekumpulan fragmen batuan atau partikel-partikel (dapat berupa hasil peledakan, penambangan dengan bucket, atau dari hasil peremukan oleh crusher), kemudian untuk estimasi atau penghitungan distribusi fragmentasinya dilakukan dengan program bantu komputer. Split-desktop adalah program komputer untuk suatu gambar atau citra yang didesain untuk menghitung distribusi ukuran fragmen batuan dengan menganalisa gambar yang dapat dibaca dalam bentuk grayscale. Gambar dapat dimasukkan langsung dari foto digital, gambar hasil scanning dan capture dari rekaman video. Sebelum menjalankan program Split-desktop, gambar yang akan dihitung dimasukkan kedalam komputer yang dapat dilakukan dengan download atau digitasi gambar. Analisa program Split-desktop, secara garis besar meliputi tahapan penentuan atau pemilihan gambar, pencarian partikel, memperbaiki hasil pencarian, melakukan perhitungan ukuran dan menampilkan grafik dan hasil.
126
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
(A) Peubah yang dapat dikendalikan
Diameter lubang ledak Kedalaman lubang ledak Kedalaman subdrilling Kemiringan lubang ledak Tinggi stemming Tinggi jenjang Pola peledakan Perbandingan burden dan spasi Dimensi dan konfigurasi Peledakan
Arah peledakan Sistim penyalaan Urutan penyalaan Bidang bebas Tipe bahan peledak Energi bahan peledak Metode pemuatan Air tanah (kadang-kadang tidak dapat dikontrol)
(B) Peubah yang tidak dapat dikendalikan Geologi Sifat dan kekuatan batuan Struktur diskontinuitas Kondisi cuaca Air tanah (kadang-kadang dapat dikontrol)
Proses Peledakan
Fragment asi Hasil Peledakan Perpindah an material hasil Fragmentasi Perpindahan material hasilpeledakan peledakan Profil Profil tumpukan hasil peledakan tumpukan Getaran tanah (ground vibration) hasil Ledakan udara (air blast) peledakan Getaran Batu terbang (fly rock) tanah Missfires Suara bising Batu terbang Misfires
Gambar 1. Peubah terkendali dan tidak terkendali dalam rancangan peledakan 2)
127
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
1.
Penentuan dan Pemilihan Obyek atau Gambar Tahap ini terdiri dari dua bagian, yaitu bagian pertama menentukan batas dari
gambar (resize/crop) yang akan dihitung dan menentukan skala yang digunakan oleh gambar. Untuk analisis maka gambar yang dibuka oleh program akan diubah dalam format “tiff” secara otomatis (Gambar 2.a). Menentukan gambar termasuk juga membatasi gambar yang akan dianalisa dengan toolbar “crop” untuk batas atas dan batas bawah. Untuk menentukan distribusi ukuran yang sebenarnya maka dibutuhkan skala sebagai pembanding. Skala perlu diatur sesuai dengan obyek bantu skala yang ada di dalam gambar atau foto. Obyek bantu ini adalah dua benda apa saja (asal bukan obyek yang akan dihitung fragmentasinya), dapat terlihat jelas saat diambil gambarnya dan mempunyai dimensi ideal dan mudah diukur. Obyek bantu skala harus diletakkan pada saat pengambilan gambar dilakukan. Obyek bantu skala yang sering digunakan berupa bola. Pengambilan gambar sebaiknya tegak lurus terhadap obyek yang akan diambil gambarnya, hal ini untuk menghindari efek perubahan ukuran akibat perspektif gambar. Namun apabila hal ini tidak bisa dihindari atau sangat sulit dilakukan, maka obyek bantu skala dipasang dua buat dan diletakkan depan-belakang, dengan jenis dan ukuran benda yang sama. 2.
Mencari Ukuran Partikel Merupakan tahapan dimana program akan mengenali partikel-partikel untuk
dihitung dengan format grayscale yang secara otomatis hasil konversi program. Hasil yang akan ditampilkan adalah kontur-kontur yang terbentuk sebagai batasan antar partikel. Kelemahan dari software Split-desktop adalah dalam proses pengenalan partikel yang sangat tergantung dari sudut pencahayaan gambar. Untuk mengatasi hal ini maka sebelum proses pencarian ukuran partikel, dilakukan digitasi secara manual untuk menentukan batas-batas antar partikel. Kemudian hasil digitasi tersebut diproses dan menghasilkan keluaran yang ditampilkan dalam bentuk binary image atau gambar dengan kontur-kontur yang terbentuk sebagai batasan antar partikel (Gambar 2.b)
128
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
3.
Memperbaiki Hasil Pencarian Langkah ini ditujukan untuk memperbaiki hasil ukuran yang diberikan oleh
pencarian ukuran partikel. Perbaikan ini meliputi penghapusan daerah yang tidak akan dihitung seperti alat pembanding (obyek bantu skala). Dapat juga dilakukan untuk memperbaiki kontur yang tidak sesuai dengan ukuran patikel. 4.
Melakukan Perhitungan Ukuran Langkah ini akan melakukan perhitungan ukuran dengan metode perimeter
dimana terlebih dahulu setiap kontur akan memiliki koordinat masing-masing. Untuk perhitungan ukuran partikel dilakukan dengan interpolasi dan ekstrapolasi dengan dua skala. 5.
Menampilkan Grafik dan Hasil Hasil perhitungan ukuran akan ditampilkan dalam bentuk grafik yang dapat
dipilih seperti: Schuman, Rosin-Ramler dan Best Fit. Grafik tersebut merupakan grafik distribusi kumulatif dari ukuran fragmen batuan (Gambar 2.c).
4.
PEMBAHASAN Pada dasarnya hasil yang ingin dicapai dari perangkat lunak ini adalah
bagaimana mengoptimalkan perhitungan distribusi ukuran fragmen hasil peledakan. Hasil pengkajian ini diharapkan berupa definisi-definisi yang akan digunakan sebagai dasar menyusun bukti formal dan rincian teori yang memungkinkan pada pemecahan masalah. Ukuran fragmen batuan hasil peledakan merupakan salah satu faktor penting dalam kegiatan penambangan khususnya peledakan. Salah satu kriteria agar kegiatan peledakan berhasil dengan baik yaitu ukuran fragmen batuan hasil peledakan sesuai dengan yang diharapkan sehingga kegiatan penambangan selanjutnya dapat berjalan dengan lancar. Perhitungan distribusi ukuran fragmen hasil peledakan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu dengan perhitungan analitik (cara manual), program komputer (software), atau gabungan dari keduanya. Sejak berkembangnya teknologi informatika terutama di bidang pertambangan, penghitungan secara manual sudah
129
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
mulai ditinggalkan. Program Split-desktop merupakan aplikasi perangkat lunak yang dapat digunakan sebagai program untuk perhitungan dan menganalisis distribusi ukuran material. Agar pekerjaan pengambilan data dan pengolahan data dapat berjalan baik, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1.
Pengambilan gambar - Kecerahan gambar berpengaruh pada pengolahan / deliniasi program / pemisahan partikel. karena gambar yang akan di input berbentuk grayscale maka apabila dalam pengambilan gambar terlalu terang garis pemisah yang terbentuk tidak tampak/ kurang jelas, demikian pula sebaliknya. - Sudut pengambilan gambar sebaiknya dilakukan vertikal agar hasil kenampakan gambar bagus / tidak ada perkecilan gambar, Namun kalau hal ini sulit dilakukan, maka dapat dibantu dengan dua obyek bantu berupa benda/barang yang dapat diukur dimensinya.
2.
Parameter bantu Parameter bertujuan untuk mengetahui distribsi ukuran material. - Jumlah parameter/alat pembanding/obyek bantu skala. Minimal 2 buah untuk mengetahui posisi pengambilan gambar, dengan cara satu buah diletakkan pada bagian depan (posisi dekat) dan satu pada bagian belakang (posisi jauh). - Letak parameter Sebaiknya ditempatkan pada posisi terbuka/terlihat penuh, tidak terhalang oleh material yang akan diukur. - Bentuk parameter Sebaiknya obyek yang berdiameter karena hasil analisis akan diasumsikan semua ukuran pertikel memiliki bentuk/berdiameter. Diutamakan obyek bantu ini berbentu bola.
3.
Pengolahan data dan analisis Dalam pengolahan data pada setiap pengerjaan memiliki ketelitian berbeda-
beda. Pengolahan tahap 3 (pemisahan ukuran partikel). Hasil analisis perhitunga ukuran dan distribusi fragmen batuan ditampilkan dalam bentuk grafik atau tabel seperti pada Gambar 4.
130
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
(a)
(b)
(A)
(B)
(c)
Gambar 2. Langkah Pengukuran Fragmentasi dengan Split Desktop, (a) Original image, (b) Binary image, (c) Grafik distribusi kumulatif keluaran
131
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Keterangan: P20 merupakan ukuran material terbesar pada saat distribusi kumulatifnya 20%, artinya terdapat 20% material yang lolos ayakan berukuran 47,17 mm. P50 merupakan ukuran material terbesar pada saat distribusi kumulatifnya 50%, artinya terdapat 50% material yang lolos ayakan berukuran 107,44 mm. P80 merupakan ukuran material terbesar pada saat distribusi kumulatifnya 80%, artinya terdapat 80% material yang lolos ayakan berukuran 192,89 mm. Top Size merupakan ukuran material terbesar yang ada dalam sampel tersebut, dalam grafik di atas adalah 307,74 mm.
Gambar 3. Pengambilan conto
Gambar 4. Hasil analisis pengambilan contoh
132
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
5. 1.
KESIMPULAN Data yang diperlukan untuk mengetahui distribusi ukuran fragmen hasil peledakan menggunakan perhitungan split-desktop adalah cukup dengan gambar/foto material hasil peledakan.
2.
Kelebihan perhitungan ukuran fragmen hasil peledak menggunakan
Split-
desktop adalah dapat dilakukan dengan mudah dan cepat dalam menganalisa data, Distribusi ukuran fragmentasi dapat diperinci sesuai kebutuhan .
6.
DAFTAR PUSTAKA
Hafiez A, (2011), Kajian Teknis Geometri Peledakan Untuk Menghasilkan Ukuran Fragmen Batuan Yang Sesuai di PT DNX Indonesia Site Adaro Kalimantan Selatan, Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknologi Mineral, UPN “Veteran” Yogyakarta. Hustrulid W., (1999), Blasting Principles For Open Pit Mining. Colorado School of Mines, Golden, Colorado, USA. S. Koesnaryo., (2001), Pemboran Untuk Penyediaan Lubang Ledak, Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknologi Mineral, UPN “Veteran” Yogyakarta. ____________, (2011), Split-Desktop tutorial, Split Engineering, Tucson, Arizona. www.spliteng.com
133
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
OPTIMALISASI SUMBERDAYA DAN TEKNOLOGI DALAM PENINGKATAN PEMBANGUNAN DI KAWASAN TIMUR INDONESIA Nurhakim Staf Pengajar Pada Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik - Universitas Lambung Mangkurat Email :
[email protected]
ABSTRAK Membangun kemandirian bangsa berarti memahami poses kemandirian sebagai suatu usaha membangun bangsa yang mampu menyelesaikan setiap masalah dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berkeadilan, sejahtera dan bermartabat. Kawasan Timur Indonesia terdiri dari beberapa pulau dan kepulauan dengan luas wilayah daratan 1.293.215 km2 atau sebesar 67,91% dari seluruh wilayah Indonesia, meliputi 16 propinsi di Pulau-pulau Kalimantan, Sulawesi, Papua serta Kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku. Kualitas sumberdaya manusia di KTI dapat dikategorikan masih di bawah rata-rata nasional. Menurut Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2005, hanya 4 propinsi di KTI yang berada di atas rata-rata nasional (tahun 2005 rata-rata IPM Indonesia sebesar 69,6), sementara 12 provinsi lainnya memiliki IPM di bawah rata-rata nasional. Teknologi adalah “cara atau metoda serta proses atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia. Setidaknya terdapat beberapa kelompok teknologi yang berperan dalam optimalisasi sumber daya alam di KTI, antara lain: Teknologi Inventarisasi dan Eksplorasi Sumberdaya Alam, Teknologi Sistem Informasi Sumber Daya Alam (SISDA), Teknologi eksploitasi dan ekstraksi dan pengolahan, Teknologi telekomunikasi dan transportasi. Akhirnya, kekayaan alam yang dikandung di bumi Indonesia benar-benar akan dinikmati dan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Kata kunci: Sumberdaya, optimalisasi, Teknologi, Inventarisasi, Pembangunan
134
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
1.
PENDAHULUAN Hubungan antara diklat-litbang dan usaha industri di berbagai Negara
berteknologi maju dan ekonomi kuat telah merupakan suatu fenomena yang berkembang terus dengan keterkaitan yang semakin erat. Fenomena itu telah menimbulkan hubungan yang berpengaruh timbal balik antara “terjadinya perubahan teknologi yang semakin cepat” dan “terjadinya persaingan usaha yang semakin ketat”. Bahkan dapat dikatakan bahwa kemampuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan IPTEK telah menjadi faktor penentu di dalam pertumbuhan usaha dan penambahan devisa suatu Negara. Pelaksanaan otonomi daerah, sebagaimana diatur dalam UU No. 22 tahun 1999, “memberikan” berbagai tantangan bagi Pemerintah Kota / Kabupaten. Tantangan tersebut diantaranya adalah bagaimana daerah dapat mengelola sumberdaya alam yang dimilikinya secara optimal dengan memanfaatkan sumberdaya manusia dan teknologi yang ada. Pemanfaatan sumberdaya alam secara baik, terarah dan akrab lingkungan – selanjutnya diharapkan dapat dikembalikan dalam bentuk “belanja modal’ untuk pembangunan dan pengembangan daerah tersebut. Pada hakekatnya, makhluk hidup di muka bumi ini tidak terlepas dari adanya ketergantungan dan keterkaitan antara satu dengan yang lain,sertaterhadap lingkungan dimana makhluk tersebut berada. Namun, diatas ketergantungan dan keterkaitan itu, Allah Yang Maha Kuasa juga menciptakan keteraturan, dimana pada posisi ini akan tercapai suatu keseimbangan; sehingga setiap unsur atau makhluk hidup akan berada dalam kondisi yang seimbang dengan lingkungan yang dihuninya. Proses keteraturan itu analog dengan proses terciptanya kemandirian bagi manusia, dan biasanya kemandirian ini diperoleh setelah dewasa. Pada usia dewasa inilah manusia bisa mandiri dalam banyak hal termasuk dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Sudah barang tentu proses menuju kemandirian cepat atau lambat, sangat ditentukan oleh cepat atau lambat berkurangnya tingkat ketergantungan dan keterkaitan.
135
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Membangun kemandirian bangsa berarti memahami poses kemandirian sebagai suatu usaha membangun bangsa yang mampu menyelesaikan setiap masalah dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berkeadilan, sejahtera dan bermartabat. Dari sisi usia sejak negeri ini merdeka, seharusnya sudah mampu menjadi negara yang tidak terlalu tergantung pada belas kasihan negara lain, tidak terlalu terpengaruh kondisi gejolak finansial di negara lain dalam roda perekonomian dan seharusnya juga memiliki kebanggaan atas produk yang dihasilkan sendiri sebagai pembuktian atas kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2.
GAMBARAN KONDISI KAWASAN TIMUR INDONESIA
2.1.
Sumberdaya Alam Kawasan Timur Indonesia terdiri dari beberapa pulau dan kepulauan dengan
luas wilayah daratan 1.293.215 km2 atau sebesar 67,91% dari seluruh wilayah Indonesia, meliputi 16 propinsi di Pulau-pulau Kalimantan, Sulawesi, Papua serta Kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku (Gambar 1). Provinsi Papua mempunyai luas wilayah daratan paling besar (421.981 km2) atau 32% dari luas KTI, sementara Provinsi Gorontalo memiliki luas daratan paling kecil (12.215 km2) atau 0.9% dari luas wilayah KTI.
KAWASAN TIMUR INDONESIA
KAWASAN BARAT INDONESIA Gambar 1. Pembagian KBI dan KTI dalam NKRI
136
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Sumberdaya alam KTI, baik di daratan maupun di lautan mempunyai potensi yang sangat besar, namun pengelolaannya belum optimal. Di kawasan ini, terkandung sekitar 70 % dari total potensi perikanan laut nasional. Sektor kehutanan dan keanekaragaman hayati pun memiliki potensi yang sangat luar biasa. Demikian halnya dengan sumberdaya mineral, dalam Koesnaryo (2002), diperkirakan 81,2% dari total cadangan bahan tambang Indonesia terdapat di KTI. Potensi sumberdaya mineral ini tersebar tidak merata di berbagai Propinsi yang terdapat di bagian Indonesia Timur (Tabel 1). Tabel 1 Potensi Bahan Galian di Kawasan Timur Indonesia Propinsi Potensi Bahan Galian Tambang Kalimantan Barat Batubara, Bauksit, Emas, Felspar, Kaolin, Granit, dll Kalimantan Tengah Batubara, Gambut, Emas, Intan, Batugamping, Kaolin, Pasirkuarsa, Lempung, Batubelah, dll Kalimantan Selatan Batubara, Nikel, Besi, Intan, Emas, Kromit, Batugamping, Lempung, Kaolin, Pasirkuarsa, Marmer, Posfat, Andesit, Peridotit, dll Kalimantan Timur Batubara, Gambut, Besi, Emas, Platina, Pasirkuarsa, Batugamping, Lempung, Kaolin, dll Sulawesi Selatan Batubara, Mangan, Kromit, Pasirbesi, Emas, Perak, (dan Sulawesi Barat) Tembaga, Timbal, Seng, Batugamping, Marmer, Batusabak, Dolomit, Lempung, Pasirkuarsa, dll Sulawesi Tenggara Nikel. Kromit, Magnesit, Marmer, Batugamping, Pasirkuarsa, dll Sulawesi Tengah Emas, Kromit, dll Sulawesi Utara Emas, Perak, Mangan, Besi, Andesit, Belerang, Sirtu, (dan Gorontalo) Andesit, Lempung, Kaolin, Kalsedon, dll Maluku Batubara, Emas, Ilmenit, Tembaga, Perak, Titan, dll (dan Maluku Utara) Papua Emas, Tembaga, Perak, Uranium, Nikel, Batubara, (dan Papua Barat) Pasirbesi, Pasirkuarsa, Mika, Marmer, dll Nusa Tengg. Timur Besi, Emas, Pasirbesi, Barit, Timbal, Belerang, Zeolit, Andesit, Basalt, Kaolin, Bentonit, Marmer, Batuapung, Sirtu, dll Nusa Tengg. Barat Tembaga, Emas, Perak, Batugamping, Lempung, Marmer, Andesit, Kalsedon, Sirtu, Pasirbesi, dll Sumber : Koesnaryo, 2002 (diolah)
137
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Dari keterangan yang disajikan di atas, terlihat bahwa Kawasan Timur Indonesia demikian kaya akan sumberdaya alam. Potensi sumber daya alam ini, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: Secara astronomis, Indonesia terletak di daerah tropik dengan curah hujan tinggi menyebabkan aneka ragam jenis tumbuhan dapat tumbuh subur. Oleh karena itu Indonesia kaya akan berbagai jenis tumbuhan. Selain itu, kondisi ini menyebabkan terjadinya pelapukan yang intens dan proses sedimentasi yang berkelanjutan. Secara geologis, Indonesia terletak pada pertemuan jalur pergerakan lempeng tektonik dan pegunungan muda menyebabkan terbentuknya berbagai macam sumber daya mineral dan geothermal yang potensial untuk dimanfaatkan. Wilayah lautan di Indonesia mengandung berbagai macam sumber daya nabati, hewani, dan mineral antara lain ikan laut, rumput laut, mutiara serta minyak dan gas bumi. 2.2. Sumberdaya Manusia Sumber daya manusia (SDM)merupakanpotensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif dan transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan. Dari pengertian ini, tersirat demikian strategisnya peranan SDM dalam pengelolaan sumberdaya alam. Jumlah penduduk KTI relatif sedikit dengan distribusi yang tidak merata. Berdasarkan data Supas 2005 BPS, penduduk KTI berjumlah 40.984.777 jiwa atau 18,73% dari total penduduk Indonesia dengan perkiraan penduduk rata-rata sebesar 27 jiwa/km2.Jumlah penduduk terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 7.509.704 jiwa, sementara Provinsi Papua Barat dengan jumlah penduduk 643.012 jiwa merupakan yang terkecil. Kepadatan terbesar berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan 208 jiwa/km2, sementara yang terjarang adalah Provinsi Papua dengan kurang dari 7 jiwa/km2.
138
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Kualitas sumberdaya manusia di KTI dapat dikategorikan masih di bawah ratarata nasional. Menurut Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2005, hanya 4 propinsi di KTI yang berada di atas rata-rata nasional (tahun 2005 rata-rata IPM Indonesia sebesar 69,6), sementara 12 provinsi lainnya memiliki IPM di bawah ratarata nasional. 2.3. Sarana dan Prasarana KTI yang luas ini seharusnya didukung oleh prasarana dan sarana fisik yang memadai (terutama listrik, perhubungan dan telekomunikasi), namun pada kenyataanya keberadaan prasarana dan sarana tersebut belum cukup tersedia. Rendahnya tingkat aksesibilitas antar kawasan di KTI mengakibatkan masih banyaknya dijumpai kawasan-kawasan yang terisolasi dari pusat-pusat kegiatan ekonomi seperti daerah perbatasan, pulau-pulau kecil, pesisir, dan daerah pedalaman. Hal ini diperparah dengan belum ada akses langsung ke pasar internasional. Padahal, sebelum dibangun infrastruktur yang memadai, maka sulit bagi pemerintah untuk menawarkan KTI kepada dunia usaha. Mengingat, kawasan tersebut belum cukup atraktif sebelum dibangun infrastrukturnya. Di lain pihak, sarana pendidikan dan kesehatan juga jauh dari dapat dikatakan memadai.
3.
PERAN TEKNOLOGI DALAM OPTIMALISASI SUMBERDAYA DALAM RANGKA PEMBANGUNAN DAERAH Teknologi dalam kamus Merriam-Webster didefinisikan sebagai "the practical
application of knowledge especially in a particular area" dan "a capability given by the practical application of knowledge”. Dalam UU 18 Tahun 2002, Teknologi adalah “cara atau metoda serta proses atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia”. Menurut hemat penulis, setidaknya terdapat beberapa kelompok teknologi yang berperan dalam optimalisasi sumber daya alam di KTI, antara lain :
139
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Teknologi Inventarisasi dan Eksplorasi Sumberdaya Alam ; Inventarisasi potensi sumber daya alam meliputi SDA hayati (perkebunan, kehutanan, pertanian, pesisir), SDA non hayati (mineral, air) dan Inventarisasi rawan bencana alam dan kerusakan lingkungan (banjir, longsor, gunungapi, kekeringan). Teknologi yang dapat dimanfaatkan antara lain penginderaan jauh (remote sensing), metode-metode geofisika dan geokimia serta aplikasi geostatistika dalam pendekatan keruangan (spatial). Teknologi Sistem Informasi Sumber Daya Alam (SISDA) ;
SISDA
merupakan suatu sistem informasi spasial yang berfungsi menyediakan informasi kepada pengguna sebagai bahan pengambilan kepusan dalam perencanaan dan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam. Dengan kata lain SISDA diharapkan dapat berfungsi sebagai Sistem Pendukung Keputusan (Decision Support System). Perbedaanya dengan Sistem Informasi Manajemen (SIM) seperti yang ada di bank atau perusahaanperusahaan terletak pada sumber data yang digunakan.
SISDA
mengandalkan data spasial (geografi), yang menyediakan informasi mengenai keadaan dan kejadian dalam ruang suatu wilayah geografis tertentu. Data untuk SISDA memerlukan ketelitian tinggi dalam dimensi spasial. Keadaan dan kejadian yang menjadi subyek sistem ini dikenal penyebaran dan lokasinya dalam sistem tata ruang muka bumi yang lebih dikenal dengan istilah sistem referensi geografi.
Selain itu, SISDA juga
memerlukan referensi waktu karena data sumberdaya alam seperti hutan, mineral, migas, dll bersifat dinamis. Data sumberdaya alam selalu berubah sesuai dengan perubahan waktu. Sebagai contoh, hutan atau bahan tambang mineral yang ada di suatu tempat sering berkurang penyebarannya pada periode tertentu karena penebangan atau eksploitasi. Dengan database yang baik, diharapkan dapat dilakukan penetapan kawasan prioritas dalam rangka percepatan pembangunan. Di lain sisi, SISDA diharapkan juga mampu “melindungi” asset-asset yang dimiliki republik tercinta ini terutama pada kawasan perbatasansebagai kawasan depan yang dilakukan dengan pendekatan prosperity dan security, khususnya untuk kawasan perbatasan
140
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Kaltim, Kalbar, Sulut, Papua, Papua Barat, NTT, serta Maluku Utara dan Maluku. Teknologi eksploitasi dan ekstraksi dan pengolahan ; maksud dari teknologi ini adalah bagaimana “mengambil” dan meningkatkan nilai tambah dari suatu komoditas. Pengembangan pola agroindustri terpadu dengan mengembangkan potensi pertanian skala besar (agriculture estate) yang dilengkapi
dengan
sistem
manajemen
modern
berbasis
teknologi
(technology-based farming system). Di samping itu dengan adanya pengembangan kelautan yang terpadu, dimana peningkatan teknologi kelautan dan perikanan dilakukan secara bertahap, serta pemanfaatan SDA yang belum tergali secara berkelanjutan. Pengembangan ini tidak terfokus pada wilayah pesisir saja tetapi juga dilakukan di kawasan pedalaman hingga kawasan terluar (ZEE). Dengan demikian, komoditas pertanian, kehutanan, perkebunan, budi daya laut, dan hasil tambang yang selama ini dijual dalam bentuk bahan mentah, dilakukan pendekatan teknologi agar diperdagangkan dalam bentuk bahan baku atau barang jadi. Teknologi telekomunikasi dan transportasi ; selain berbagai teknologi yang telah diuraikan diatas, infrastruktur telekomunikasi dan transportasi juga perlu dimanfaatkan dalam rangka optimalisasi sumberdaya. Adanya sarana jalan, bandara maupun pelabuhan terutama di beberapa provinsi yang berpotensi besar dalam kegiatan ekspor, akan sangat membantu percepatan pembangunan. Pertanyaan besar selanjutnya adalah “bagaimana berbagai teknologi di atas dapat diaplikasikan?” Sinergi… adalah satu kata yang mungkin dapat mewakili jawaban pertanyaan di atas. Selama ini, Pemerintah, Industri dan Institusi Pendidikan dan Litbang, seolah berjalan sendiri-sendiri. Riset-riset perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah jarang dipakai untuk industri dan hanya menumpuk di perpustakaan. Inovasi teknologi Industri pun sangat minim, akibatnya sulit bersaing dengan produk luar. Kebijakan dan anggaran pemerintah untuk riset dan pengembangan teknologi sangat dibutuhkan.
141
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Selama ini, anggaran pemerintah kita untuk riset teknologi sangat minim, bahkan lebih rendah daripada anggaran riset sebuah perusahaan asing. Jika investasi di bidang teknologi lebih mendapat perhatian, output dan outcome yang dihasilkannya akan sangat menjanjikan dalam jangka panjang. Dengan teknologi, pengelolaan sumber daya alam dapat dilakukan dengan lebih optimal. Akhirnya, kekayaan alam yang dikandung di bumi Indonesia benar-benar akan dinikmati dan digunakan untuk kemakmuran rakyat.
4.
PENUTUP Sumber daya alam adalah anugrah dan amanah Allah Yang Maha Kuasa, serta
titipan generasi penerus. Untuk itu, pengelolaan sumberdaya alam harus dilakukan secara serius dan berkesinambungan. Pengelolaan yang salah, serta kelalaian manusia telah menjadi penyebab utama penurunan kualitas sumber daya alam. Keberadaan data yang akurat serta pemanfaatan teknologi yang tepat akan menjadi kunci peningkatan pembangunan di Kawasan Timur Indonesia. Dengan demikian, masing-masing Pemerintah Daerah dapat membuat rencana industrialisasi sesuai dengan keunggulan komoditas yang dimilikinya. Namun dibalik itu semua, SDM terdidik dan terampil sangat berpengaruh terhadap kesuksesan pembangunan KTI
bahkan menjadi modal utama menuju
terciptanya Negara yang mandiri dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia..… The core of any army is its soldiers, no matter how sophisticated its equipment, its performance is solely dependent on its soldiers(Douglas MacArthur, General, US Army, 1945).
142
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
5.
DAFTAR PUSTAKA
----------, 2006,KTI’s Export Potential: Awakening the Sleeping Giant, BEI NEWS 32nd Edition Year V, July-August 2006 ----------, 2004, Jakstra Program dan Rencana Tindak Bidang Penataan Ruangdalam Mendorong Percepatan Pembangunan di KTI, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen PU RI Koesnaryo, S., 2002, Permasalahan dan Prospek Industri Pertambangan Kawasan Timur Indonesia, Prosiding TPT-XI PERHAPI, Yogyakarta Nurhakim, 2002, Peranan Teknologi Sistem Informasi Bagi Industri Pertambangan Di Era Otonomi Daerah, FT Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru Nurhakim, 2009, Optimalisasi Sumberdaya dan IPTEK dalam Pembangunan KTI, disampaikan pada Temu Wilayah dan Seminar IPTEK wilayah Kalimantan Sulawesi, Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia(MITI) Nurwadjedi dan Poniman, A., 2001, Pengembangan Sistem Informasi Sumberdaya Alam Kawasan Timur Indonesia, GEO-INFORMATIKA Vol. 8 No. 2/3 Rajasa,
M.H.,
2007,
Membangun
Karakter
dan
Kemandirian
Bangsa,
http://www.setneg.go.id/
Rajasa, M.H., 2009, Karakter Bangsa Sebagai Modal Sosial Untuk Menghadapi Tantangan Pembangunan Global, http://www.setneg.go.id/ Solihin, D., 2008, Strategi dan Kebijakan Pembangunan Wilayah Kawasan Timur Indonesia, Bappenas http://www.datastatistik-indonesia.com
143
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
PRESPEKTIF TEKNIK DAN EKOLOGI PEMBANGUNAN MEGA PROYEK PABRIK BAJA KRAKATAU STEEL DI BATULICIN TANAH BUMBU KALIMANTAN SELATAN Adip Mustofa1, Riswan1
1
Staf Pengajar pada Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik UNLAM Email:
[email protected]
ABSTRAK Bagaimana perpektif teknik dan ekologi dari pembangunan industri baja PT. Krakatau Steel di Batulicin sebagai suatu unit proses industri yang menghasilkan produk-produk sampingan dan limbah yang dibuang ke lingkungan. Strategi pencegahan pencemaran adalah memfokuskan pada perbaikan sistem proses industri yang memberikan kinerja lingkungan yang lebih baik dan ekonomis dengan metode ekologi industri. Ekologi industri menawarkan solusi untuk menciptakan pembangunan industri yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam konsep ekologi industri kawasan industri ditata sedemikian rupa sehingga industriindustri mempunyai hubungan simbiosis mutualisme. Industri-industri di dalam kawasan saling terhubung untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi proses produksinya. Pemilihan teknologi diawali dengan melakukan kajian teknis untuk membandingkan seluruh alternatif pengolahan bijih besi yang tersedia. Selanjutnya mempertimbangkan kesesuaian antara kebutuhan bahan baku dengan karakteristik bahan baku lokal, dipilihlah teknologi Direct Reduction-Rotary Kiln (DR-RK). Bahan baku utama proses Rotary Kiln terdiri dari bijih besi (iron ore), batubara (coal), dan batu kapur (limestone).
Kata kunci: Ekologi Pembangunan, Industri Baja, Rotary Kiln,
144
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
1.
PENDAHULUAN Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari bahan yang diperoleh melalui
proses penambangan, kehidupan manusia modern sudah sangat bergantung kepada sarana transportasi udara, laut dan darat yang kesemuanya mengandalkan bahan tambang dari besi untuk kerangkanya, tembaga untuk komponen-komponen listrik, nikel untuk bagian-bagian yang tidak boleh berkarat, aluminium untuk roda, dan berbagai campuran baja untuk berbagai komponen. Potensi mineral besi di lndonesia cukup besar terutama mineral besi lateritik yang tersebar di Kalimantan Selatan seperti Pulau Sebuku Kab. Kotabaru,, Pegunungan Kukusan Kab. Tanah Bumbu dan kabupaten, Kab. Tanah laut dan Kab. Balangan cadangannya mencapai ratusan juta ton. Potensi cadangan sumberdaya ini belum termanfaatkan sama sekali untuk menunjang kebutuhan bahan baku didalam negeri, seperti PT. Krakatau Steel seluruh bahan bakunya masih diimpor yang berupa pelet sekitar 2,2 juta tor pertahun (Yusuf dan Aryono, 2005) , sementara ekspor bijih besi dari Kalimantan Selatan ke China lebih dari 1 (satu) juta ton per tahun (Pramusanto, dkk, 2008) Peranan strategis industri baja nasional sebagai agent of development hanya dapat dicapai apabila industri baja nasional mampu menghasilkan produk dengan harga dan kualitas yang kompetitif sehingga memungkinkan bagi industri hilir untuk berkembang. Oleh karena itu untuk mengurangi ketergantungan terhadap terhadap bahan baku impor, kelangkaan gas alam, serta keterbatasan pasokan listrik, maka PT. Krakatau Steel (Persero) yang mengemban misi "Steel as National Power", telah memulai langkah strategis melalui pengembangan industri baja berbasis bahan baku lokal yang saat ini dalam tahap persiapan konstruksi. Pabrik yang akan dibangun di Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan tersebut dirancang untuk menggunakan 100% bijih besi lokal serta batubara non-coking coal yang banyak terdapat di Indonesia. Sedangkan kebutuhan energi listrik diperoleh melalui pemanfaatan gas buang (off-gas) yang dihasilkan dari proses reduksi (Irvan K dan Hartono, 2008).
145
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Pada saat ini yang menjadi bahan perdebatan adalah bagaimana perpektif teknik dan ekologi dari pembangunan industri baja PT. Krakatau Steel di Batulicin sebagai suatu unit proses industri yang menghasilkan produk-produk sampingan dan limbah yang dibuang ke lingkungan. Strategi pencegahan pencemaran adalah memfokuskan pada perbaikan sistem proses industri yang memberikan kinerja lingkungan yang lebih baik dan ekonomis dengan metode ekologi industri.
2.
GAMBARAN
UMUM
KONDISI
BIJIH
BESI
KALIMANTAN
SELATAN 2.1. Sebaran Bijih Besi Bijih Besi yang banyak digunakan untuk bahan baku dalam industri baja adalah bijih besi “Primer” yang merupakan senyawa besi-oksida dengan mineral utamanya adalah magnetit (Fe3O4) dan hematite (Fe2O3) di Indonesia banyak ditemukan namun sebarannya dalam satu lokasi jumlahnya tidak besar. Bijih besi yang ditemukan di Kalimantan Selatan dengan jumlah depositnya relatif besar (dalam satu lokasi) adalah bijih besi "Laterit". Genesa bijih ini berasal dari pelapukan batuan ultra basa yang menghasilkan mineral utama Goethite (HFeO 2 ) dan Lepidocrite FeO(OH) sehingga sering disebut sebagai hydros-ore (mengandung air kristal), berdasarkan data Dinas ESDM Propinsi Kalimantan Selatan sebaran bijih besi (Tabel 1). Umumnya daerah yang berpotensi mengandung bijih besi berada di lokasi yang sulit dicapai karena keterbatasan infrastruktur. Sebagian diantaranya berada di kawasan konservasi atau merupakan tanah milik adat. Selain itu hasil survey Tim PTKS di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa hampir seluruh wilayah yang berpotensi mengandung bijih besi telah mempunyai KP yang dikuasai oleh pihak lain namun belum ada kegiatan eksplorasi yang berarti (Tim PIBB, 2007)
146
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Tabel 1. Sebaran Bijih besi di Kalimantan Selatan NO. 1 1
2
3
4
5 6 7
LOKASI 2 Kab. Tanah Bumbu - Pengunungan. Kukusan
TERUKUR 3
SUMBERDAYA TERUNJUK TEREKA 4 5
HIPOTETIK 6
-
-
100.0000
-
Kab. Kotabaru - Pulau Sebuku
-
86.1207
-
-
Kab. Tanah Laut - G. Melati - Sumber Mulya - Riam Pinang - Tanjung - Pamalongan, Pontain - Jabukan, S. Bakar - Sarang Halang - Desa Panggung - G. Ulin - Karotain - G. Batukora - G. Tembaga
-
1.1370 0.0010 0.5193 0.3000 0.1550 0.8905
0.1087 0.4257 0.1287 0.1770 -
0.4420 -
Kab. Balangan - G. Tanalang - G. Batuberani - G. Batubesi
-
-
-
21.0594 4.5000 4.0000
Kab. Banjar Kab. Hulu S. selatan Kab. Tabalong Total
-
89.1235
100.8401
30.0014
KET.
Sumber Dinas ESDM Kalsel 2008
2.2. Karakteristik Bijih Besi Perbandingan karakteristik bijih besi dalam bentuk lump-ore yang umum dipakai dalam proses Direct Reduction maupun proses Blast Furnace yang diperdagangkan oleh pemasok utama bijih besi dunia (Tabel 2). Dapat terlihat bahwa bijih besi Kalimantan Selatan mempunyai karakteristik yang berbeda apabila dibandingkan dengan bijih besi yang umum dipakai dalam industri baja. Perbedaan tersebut antara lain terletak pada kandungan Fe yang relatif rendah, senyawa alumina relatif tinggi, serta kadar air terikat dan LOI yang relatif tinggi.
147
7
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Tabel 2. Perbandingan karakteristik Bijih besi Komposisi (%)
Direct Reduction
Blast Furnace
Biji Besi MBR Kalimantan
MBR
Ferteco
Hammersley
BHP
Fe
68.62
68.00
65.07
65.50
68.70
50.00
SiO2
0.78
0.99
2.80
3.50
0.50
3.00
Al2O3
0.47
0.72
1.53
1.30
0.73
6.00
P
0.035
0.046
0.055
0.047
0.038
0.06
S
0.003
0.005
0.010
0.005
0.007
0.08
-
3.47
1.80
2.20
1.30
8-15
LOI & Moisture
Komposisi kimia dalam bijih besi akan menentukan efisiensi biaya proses pengolahan bijih besi dan proses berikutnya di steelmaking. Dampak utama dari komposisi kimia tersebut antara lain adalah: 1.
Fe — Kandungan Fe yang tinggi akan meningkatkan yield produksi dan rnenurunkan biaya transportasi bahan baku. Untuk proses Direct Reduction maupun Blast Furnace, diinginkan kadar Fe setinggi mungkin, yaitu > 65%.
2.
Alumina — Kandungan alumina yang diinginkan dalam pengolahan bijih besi adalah serendah mungkin, lebih kecil dari 2%. Kandungan alumina dalam jumlan tinggi akan meningkatkan viscositas slag dalam baja cair.
3.
Kandungan air dan LOI — kandungan air dan loss on ignition (LOI) Tlidak diinginkan karena akan meningkatkan kebutuhan panas dan meningkatkan volume gas yang tersirkulasi didalam sistem.
3.
UPAYA PEMANFAATAN BIJI BESI LOKAL PT. Krakatau Steel (KS), yang merupakan badan usaha milik negara (BUMN)
sebagai ujung tombak industri baja telah memulai produksinya sejak tahun 1970 sampai sekarang masih mengimpor pelet (bahan baku bijih besi), scrap (potongan),
148
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
slab sebagai bahan baku pembuat baja. Impor bahan dasar (pellet, sponge Iron, Pig Iron & scrap) dan baja kasar (slab, bilet, ingot) dan nilai impor dapat dari tahun 2003-2007 ( Gambar1).
Gambar 1. Impor Bahan Dasar dan Baja Kasar dan Nilai Impor Kedepan produksi baja diperkiran meningkat sejalan dengan peningkatan permintaan, kebutuhan dam negeri maupun ekspor. Namun demikian hingga kini bahan baku ini untuk industri baja ini masih diimport dalam bentuk pellet, scrap (potongan) dan slab (lempengan) dari beberapa Negara seperti Brazil, Swedia dan China, sehingga ketergantungan industri baja nasional akan bijih besi dari luar negeri sangat tinggi. Berdasakan data Departemen Perindustrian (http://www.depperin.go.id), ekspor bijh besih dari Indonesia ke China pada tahun 2007 lebih 4,27 juta ton (Gambar 2), dimana lebih dari 1 (satu) juta ton berasal dari Kalimantan Selatan.
149
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Ekspor Bijih Besi 5000 4274
X 1000 MT
4000
3000 2161 2000
1000
835
639 114
0 2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Gambar 2. Ekspor Bijih Besi Indonesia ke China Tahun 2003-2008 Kendala teknis yang dihadapi PT. Krakatau adalah letak geografis cadangan bijih besi yang menyebar serta ketidaksesuaian karakteristik bijih besi lokal dengan fasilitas pengolahan yang telah dimiliki PT.Krakatau Steel dan tantangan lain adalah kondisi kepemilikan kuasa penambangan (KP) serta daya dukung infrastruktur yang kurang memadai. Menghadapi kendala diatas strategi yang ditempuh untuk mempercepat realisasi pemanfaatan bahan baku lokal adalah: 1.
Mengupayakan kontinuitas suplai bahan baku melalui kerjasama dengan pihak ketiga yang telah memiliki KP dan telah melakukan eksplorasi detail sesuai dengan kaidah good mining practices.
2.
Menyusun master plan pengembangan industri besi baja (ekologi industri), dengan fokus ke long-product, sesuai dengan kebutuhan daerah Kawasan Timur Indonesia.
3. 4.
Memilih teknologi proses yang sesuai dengan karakteristik bahan baku lokal. Membangun secara bertahap dimulai dari pabrik, pengolahan bijih besi. Ekspansi berikutnya adalah kearah hilir dengan membangun pabrik baja long product untuk menghasilkan billet dan batang kawat.
5.
Menyiapkan ekspansi ke hulu dengan mengupayakan perolehan KP bijih besi dan batubara.
150
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Gambar 3. Proses Pembuatan Baja
Gambar 4. Master Plan Pabrik Besi Baja PTKS di Kalimantan Selatan
151
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
4.
PENERAPAN EKOLOGI INDUSTRI BAJA PT. KRAKATAU STEEL Memasuki era industri, yang menjadi bahan perdebatan adalah bagaimana
menyusun suatu pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Semakin meningkatnya populasi manusia mengakibatkan tingkat konsumsi produk dan energi juga meningkat. Permasalahan ini ditambah dengan ketergantungan penggunaan energi dan bahan baku yang tidak dapat diperbarui. Pada awal pembangunan, industri besi baja yang akan dibangun PT. Krakatau Steel sebagai suatu unit proses yang tersendiri, terpisah dengan industri lain dan lingkungan. Proses industri ini menghasilkan produk, produk sampingan dan limbah yang dibuang ke lingkungan. Perencanaan pembangunan mega proyek ini perlu mengadopsi system ekologi industri yang sudah berhasil diterapkan di Negara-negara maju seperti industri di Kalundborg, Denmark. Ekologi industri tidak hanya membahas tentang masalah polusi dan lingkungan tetapi juga mempertimbangkan kesinambungan industri serta aspek ekonomi tetap diutamakan. Ekologi industri merupakan suatu sistem industri yang terpadu diantara industri-industri yang ada di dalamnya dan saling bersimbiosis secara mutualisme. Dalam sistem ini mengacu pada sistem ekologi di alam. Ekologi industri menawarkan solusi untuk menciptakan pembangunan industri yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam konsep ekologi industri kawasan industri ditata sedemikian rupa sehingga industri-industri mempunyai hubungan simbiosis mutualisme. Industri-industri di dalam kawasan saling terhubung untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi proses produksinya.
152
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Gambar 5. Tipe Kawasan Industri
4.1. Ekologi Industri dan Berbagai Sistem Pendukungnya Pengembangan ekologi industri merupakan suatu usaha untuk membuat konsep baru dalam mempelajari dampak sistem industri pada lingkungan. Ekologi industri adalah suatu sistem yang digunakan untuk mengelola aliran energi atau material sehingga diperoleh efisiensi yang tinggi dan menghasilkan sedikit polusi (Deni Swantomo,2007) Tujuan utamanya adalah untuk mengorganisasi sistem industri sehingga diperoleh suatu jenis operasi yang ramah lingkungan dan berkesinambungan. Strategi untuk mengimplementasikan konsep ekologi industri ada empat elemen utama yaitu : mengoptimasi penggunaan sumber daya yang ada, membuat suatu siklus material yang tertutup dan meminimalkan emisi, proses dematerialisasi dan pengurangan dan penghilangan ketergantungan pada sumber energi yang tidak terbarukan. A.
Simbiosis Industri Simbiosis industri merupakan suatu bentuk kerja sama diantara industri-
industri yang berbeda. Bentuk kerja sama ini dapat meningkatkan keuntungan masing-masing industri dan pada akhirnya berdampak positif pada lingkungan. Dalam proses simbiosis ini limbah suatu industri diolah menjadi bahan baku industri lain. Proses simbiosis ini akan sangat efektif jika komponen- omponen industri tersebut tertata dalam suatu kawasan industri terpadu (eco-industrial parks). Beberapa karakteristik simbiosis industri yang efektif adalah sebagai berikut :
153
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
1.
Industri anggota simbiosis ditempatkan dalam satu kawasan dan memiliki bidang produksi yang berbeda-beda.
2.
Jarak antar industri dibuat dekat sehingga meningkatkan efisiensi tranportasi bahan.
3.
Masing-masing industri membuat suatu kesepakatan bersama dengan berprinsip ekonomi yaitu saling menguntungkan.
4.
Masing-masing industri harus dapat berkomunikasi dengan baik.
5.
Tiap industri bertangung-jawab pada keselamatan lingkungan dalam kawasan tersebut.
Contoh simbiosis kawasan industri yang telah sukses dan terkenal adalah simbiosis industri di Kalundborg, Denmark (Deni Swantomo,2007). Simbiosis industri Kalundborg yang ditunjukan pada Gambar 6 terdiri dari enam industri yaitu Pusat Pembangkit Listrik Asnaer, Industri pemurnian minyak Statoil, Perusahaan bioteknologi Novo Nordisk, Industri kayu lapis Gyproc, Perusahaan remediasi tanah Bioteknisk Jordrens, dan pemukiman warga kota Kalundborg. Hasil yang telah diperoleh dari simbiosis industri Kalundborg yaitu : 1.
Pengurangan konsumsi energi dan sumber daya air.
2.
Peningkatan kualitas lingkungan karena emisi CO2 dan SO2 dapat dikurangi.
3.
Limbah produksi seperti abu layang, sulfur, lumpur, dan gipsum dapat diolah menjadi
4.
bahan baku produksi yang mempunyai nilai lebih.
5.
Kota Kalundborg sebagai kota industri yang paling bersih.
6.
Efisiensi penggunaan energi bahan bakar dapat mencapai 90 %.
154
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Gambar 6. Kawasan Ekologi Industri di Kalundborg, Denmark
5.
PEMILIHAN ALTERNATIF TEKNOLOGI Pemilihan teknologi diawali dengan melakukan kajian teknis untuk
membandingkan seluruh alternatif pengolahan bijih besi yang tersedia. Selanjutnya mempertimbangkan kesesuaian antara kebutuhan bahan baku dengan karakteristik bahan baku lokal, dipilihlah teknologi Direct Reduction-Rotary Kiln (DR-RK). Bahan baku utama proses Rotary Kiln terdiri dari bijih besi (iron ore), batubara (coal), dan batu kapur (limestone). Bijih besi dapat berupa iron ore pellet, lump ore, maupun pasir besi. Batubara yang dapat digunakan sebagai reduktor pada proses Rotary Kiln bervariasi mulai dari jenis antrasit sampai lignite. Tiap jenis batu bara memerlukan adaptasi operasi Rotary Kiln terutama dalam hal rasio antara bijih besi dan jumlah reduktor yang dibutuhkan. Sedangkan batu kapur digunakan sebagai bahan aditif pada proses reduksi bijih besi di Rotary Kiln yang berfungsi sebagai penyerap senyawa belerang. Teknologi ini dipilih karena relatif sederhana, fleksibel terhadap berbagai bentuk bijih besi, menggunakan batubara jenis non-coking coal, dan juga menghasilk.an off-gas yang dapat dimanfaatkan untuk membuat steam penggerak turbin listrik melalui waste
155
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
heat recovery boiler. Untuk setiap DR-RK berkapasitas 350 ton/hari atau setara dengan 100.000 ton/tahun dapat dibangkitkan listrik sebesar 7 MW, sedangkan pemakaian listrik untuk keperluan internal DR-RK hanya 1,5 MW (Prasad, 2008).
- Bijih Besi - BatuBara
Rotary Kiln
Stack
Combustion Chamber
Waste heat Recovery Boiler
Electorstatic Pricipator
Rotary Cooler Steam Generator Magnetic Separator LISTRIK BESI SPONS
Waste Recovery System
Gambar 7. Skema Pabrik Rotary Kiln dengan system pembangkit Listrik
Kemudian Tailing dari usaha Pertambangan bijih besi, batubara dan industri baja ini menjadi pusat perhatian ketika pembuangannya dilakukan tanpa memperhatikan dampak terhadap lingkungan. Lebih jauh lagi apabila tailing tersebut mengandung unsur-unsur berpotensi racun seperti arsen (As), merkuri (Hg), timbal (Pb), dan kadmium (Cd), sehingga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan dengan akibat yang merugikan bagi kesehatan manusia. Oleh karena itu diperlukan penerapan program perlindungan terhadap lingkungan melalui pengembangan: metode penambangan dan pengolahan; sistem penanganan dan daur ulang tailing; rancangan konstruksi penampung tailing dan pengawasan pembuangannya; serta pencegahan pencemaran oleh unsur-unsur berpotensi racun dimaksud.
156
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
6.
PROSPEK PENGEMBANGAN Pabrik yang akan dibangun pada tahap pertama rotary kiln diperlengkapi
dengan pembangkit listrik memanfaatkan gas buang (off-gas) proses reduksi. Kapasitas yang akan dibangun pada tahap awal adalah 2 x 500 ton/hari atau setara dengan 300.000 ton/tahun (Irvan dan Hartono, 2008). Lahan yang akan digunakan pada tahap pertama tahun 2009 seluas 30 Ha. (hectare), tahap II tahun 2010 dilanjutkan perluasan 5 (lima) Ha. untuk membangun pabrik pig iron(smelter) dengan produksi 250.000 ton per tahun, Pada tahun 2011 perluasan 55 Ha. untuk peningkatan kapasitas produksi seperti pada tahap I dan II. Peningkatan 10 Ha terus berlanjut sampai tahun 2017, kemudian tahun 2021 perluasan 80 Ha dan tahun 2025 seluas 10 Ha. Sampai terwujud Cilego mini di Kalimantan Selatan (Banjarmasin Post, 10 Januari 2009). Pada sebuah lokasi yang hanya mempunyai cadangan 3 juta ton sudah dapat dibangun pabrik Rotary Kiln dengan kapasitas 350 ton/hari atau setara dengan 100.000 ton/tahun dengan pasokan bahan baku yang terjamin selama 15 tahun. Keterbatasan pasokan listrik dapat diatasi dengan pemanfaatan gas buang. Sebagai gambaran, setiap Rotary Kiln berkapasitas 100.000 ton/tahun mempunyai kemampuan untuk menghasilkan listrik sebesar 7 MW. Dengan kebutuhan internal untuk mengoperasikan Rotary Kiln hanya sebesar 1,5 MW, maka terdapat akses listrik sebesar 5,5 MW dapat digunakan untuk kepentingan industri hilir dan masyarakat di sekitar lokasi pabrik (Irvan dan Hartono, 2008).
7.
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan Pembangunan industri baja PT. Krakatau Steel di Batulicin sebagai suatu unit proses industri yang menghasilkan produk-produk sampingan dan limbah yang dibuang ke lingkungan. Strategi pencegahan pencemaran adalah memfokuskan pada
157
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
perbaikan sistem proses industri yang memberikan kinerja lingkungan yang lebih baik dan ekonomis dengan metode ekologi industri Pada awal pembangunan, industri besi baja yang akan dibangun PT. Krakatau Steel sebagai suatu unit proses yang tersendiri, terpisah dengan industri lain dan lingkungan. Proses industri ini menghasilkan produk, produk sampingan dan limbah yang dibuang ke lingkungan. Perencanaan pembangunan mega proyek ini perlu mengadopsi system ekologi industri yang sudah berhasil diterapkan di Negara-negara maju seperti industri di Kalundborg, Denmark. Ekologi industri tidak hanya membahas tentang masalah polusi dan lingkungan tetapi juga mempertimbangkan kesinambungan industri serta aspek ekonomi tetap diutamakan. Ekologi industri merupakan suatu sistem industri yang terpadu diantara industri-industri yang ada di dalamnya dan saling bersimbiosis secara mutualisme. Dalam sistem ini mengacu pada sistem ekologi di alam. Tujuan utama dari sistem ekologi adalah untuk mengorganisasi sistem industri sehingga
diperoleh
suatu
jenis
operasi
yang
ramah
lingkungan
dan
berkesinambungan. Strategi untuk mengimplementasikan konsep ekologi industri ada empat elemen utama yaitu : mengoptimasi penggunaan sumber daya yang ada, membuat suatu siklus material yang tertutup dan meminimalkan emisi, proses dematerialisasi dan pengurangan dan penghilangan ketergantungan pada sumber energi yang tidak terbarukan. 7.2. Saran Diperlukan perencanaan yang matang agar sistem ekologi dan simbiosis industri dapat berjalan serta penerapan program perlindungan terhadap lingkungan melalui pengembangan: metode penambangan dan pengolahan; sistem penanganan dan daur ulang tailing; rancangan konstruksi penampung tailing dan pengawasan pembuangannya; serta pencegahan pencemaran oleh unsur-unsur berpotensi racun dimaksud.
158
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
8.
DAFTAR PUSTAKA
Banjarmasin Post, 10 Januari 2009, Halaman 2. Deni Swantomo, Maria Christina, P., Kartini Megasari, 2007. Kajian penerapan ekologi industri di Indonesia, Yokyakarta: Seminar Nasional III SDM Teknologi Nuklir. Irvan Kamal H., Hartono. 2008. Pengembangan Pabrik Besi Baja Berbahan Baku lokal Oleh PT. Krakatau Steel (Persero). Bandung: Indonesian Process Metalurgy. http://www.depperin.go.id Pramusant,dkk. 2008. Peningkatan Nilai Tambah Mineral besi di Indonesia. Bandung: Indonesian Process Metalurgy. Prasad, 2009, Carbon Trading Potential in Indian Sponge Iron, http://wwvv.spongeironindia.in/GodawarrY020Power.pdf (acessed 10-012009) Tim PIBB Kalimantan. 2007. Laporan Hasil Trial bahan baku Lokal. Yusuf, Haryono, A, 2005, Pemanfaatan Endapan Mineral (logam) Skala kecil, Serpong: Prosiding Seminar Material Metalurgi.
159
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
BIAYA PERTAMBANGAN BATUBARA DI INDONESIA
Riswan1, Adip Mustofa1 1 Staf Pengajar Teknik Pertambangan UNLAM Email:
[email protected]
ABSTRAK Batubara merupakan satu dari energi alternatif dari sektor pertambangan merupakan kegiataan usaha padat modal sehingga memerlukan penanaman modal, pertambangan batubara secara umum beberapa tahapan yang dilakukan seperti perijinan, penyelidikan umum (prospeksi), eksplorasi, studi kelayakan, eksploitasi, pengolahan, pemurnian serta pengangkutan/penjualan dan reklamasi. Pada studi Kasus PT X akan diketahui contoh-contoh biaya pertambangan batubara yang mempunyai IUP dengan luas area 91 ha, direncanakan akan ditambang dengan tambang terbuka (open pit mining). Berdasarkan studi kelayakan SR cadangan yang tertambang 8,5 : 1. Jumlah batubara yang akan ditambang 657.383 ton dengan nilai kalori rata-rata 6998 kcak/kg, belerang < 1% dan kadar abu 15%. Dari desain tambang yang telah dibuat dapat diketahui bahwa pit potensial terdiri dari 1 pit yaitu pit A dengan panjang tambang searah jurus adalah 1000 meter dan lebar bukaan sekitar 100 meter. Besarnya biaya penambangan bergantung Stripping Ratio. Jumlah penerimaan dipengaruhi oleh Kualitas dan harga batubara dipasaran Kata kunci: Batubara, Biaya Pertambangan, Harga Batubara
160
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
1.
PENDAHULUAN Batubara merupakan satu dari energi alternatif yang termasuk memiliki
pertumbuhan yang pesat, baik dari segi produksi maupun konsumsi. Hal ini yang membuat industri batubara kian populer, terutama setelah kenaikan harga bahan bakar utama, yaitu minyak bumi. Selain penggunaanya yang lebih efisien, batubara juga tersedia dalam jumlah yang melimpah di dunia sehingga memberikan kemungkinan untuk dikonsumsi dalam jangka waktu panjang. Selama kurun waktu tahun 1997-2008, produksi dan konsumsi batubara dunia telah naik lebih dari 35% (Asia Securities Industry Research - Sektor Batubara 2009 ), dengan kenaikan tertinggi terjadi di wilayah Asia Pasifik. Kegiatan usaha di Sektor Pertambangan merupakan kegiatan usaha padat modal dan padat teknologi yang sarat dengan berbagai resiko, mulai dari pencarian cadangan, eksplorasi, sampai pada kegiatan ekploitasi. Resiko yang dihadapi dalam dunia usaha pertambangan antara lain resiko geologi, resiko teknologi, resiko politik dan resiko kebijaksanaan serta memiliki dampak negatif yang dapat menurunkan kualitas lingkungan. Tujuan investasi bagi para penanam modal adalah untuk mendapatkan return on investment yang wajar, sehingga segala kebijaksanaan yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan baik langsung maupun tidak langsung akan sangat mempengaruhi perkembangan investasi pertambangan batubara di Indonesia. Di samping itu, pemerintah sebagai penyelenggara negara yang berhak atas kebijakan pertambangan seperti royalti dan pajak/iuran tambang harus mampu memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi baik nasional maupun daerah. Dalam usaha pertambangan batubara secara umum beberapa tahapan yang dilakukan seperti perijinan, penyelidikan umum (prospeksi), eksplorasi, studi kelayakan, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian serta pengangkutan/penjualan. Untuk melihat prospek cadangan batubara, dilakukan tinjauan teknis, kajian berdasarkan aspek keuangan dan keekonomian serta aspek lingkungan. Analisis ini dilakukan berdasarkan umur tambang dan rencana produksi.
161
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Analisis keuangan dan keekonomian dapat dilakukan berdasaran konsep aliran kas disconto (discounted cash flow analysis) sebagai dasar analisis,komponen-komponen biaya capital, biaya produksi, tingkat produksi batubara dan perkiraan harga jual batubara, dimana operasi penambangan dapat dilakukan sendiri dengan peralatan sewa atau operasi penambangan diserahkan kepada kontraktor.
2.
PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN Wewenang yang diberikan pemerintah kepada badan hukum maupun
perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan umum dikenal dengan istilah “Kuasa Pertambangan”. Adapun bentuk perizinan untuk melakukan investasi disektor pertambangan umum antara lain melalui Kontrak Karya (KK), yaitu perjanjian antara investor, berbadan hukum Indonesia dengan Pemerintah untuk mengusahakan pertambangan bahan galian mineral dalam rangka Penanaman Modal Asing. Sedangkan bentuk perizinan untuk pengusahaan batubara adalah melalui Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Bentuk perizinan lainnya yang diusahakan oleh investor swasta nasional kita kenal dengan sebutan Kuasa Pertambangan (KP) dan perizinan untuk mengusahakan bahan galian golongan C adalah Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara tentang Izin Usaha Pertambangan (IUP). Pasal 36 : (1)
IUP terdiri atas dua tahap: a.
IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan;
b.
IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
(2)
Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegang IUP Operasi Produksi dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
162
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Pasal 42 (4) IUP Eksplorasi untuk pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun. Pasal 47 IUP Operasi Produksi untuk Pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 10 (sepuluh) tahun. Pasal 60 WIUP batubara diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara lelang. Pasal 61 (1) Pemegang IUP Eksplorasi Batubara diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hectare. (2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batubara dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda. (3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama. Pasal 62 Pemegang IUP Operasi Produksi batubara diberi WIUP dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare. Tabel 1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2003 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral No. 1. a)
b)
c)
JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN SATUAN TARIF PAJAK Penerimaan dari Pelayanan Jasa Bidang Geologi dan Sumber Daya Mineral Jasa Pelayanan Penelusuran Informasi serta Perhitungan dan Penetapan Koordinat batas Wilayah Pertambangan 1) Penelusuran informasi wilayah Per 15 menit Rp. 100.000,00 1) Perhitungan dan penetapan koordinat batas Per blok Rp. 10.000.000,00 wilayah dan penerbitan peta Jasa Pelayanan Pemberian Peta Informasi Wilayah Pertambangan dan/atau Peta Dokumen Perijinan 1) Peta informasi ukuran A0 Per penerbitan Rp. 1.500.000,00 2) Peta informasi ukuran A1 Per penerbitan Rp. 1.000.000,00 3) Peta informasi ukuran A3 Per penerbitan Rp. 500.000,00 4) Peta untuk lampiran dokumen perijinan Per penerbitan Rp. 1.000.000,00 (3 eksemplar) 5) Peta digital wilayah pertambangan Per penerbitan Rp. 2.000.000,00 Jasa Kompilasi dan Evaluasi Data Wilayah Eks Kuasa Pertambangan (KP), Kontrak Karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Surat Ijin Penyelidikan Pendahuluan (SIPP) serta Jasa Kompensasi prioritasnya
163
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
No.
JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK Batubara (Kelas A) 1) luas wilayah ≤ 2.000 ha 2) luas wilayah > 2.000 - 10.000 ha 3) luas wilayah > 10.000 - 50.000 ha 4) luas wilayah > 50.000 - 100.000 ha 5) luas wilayah > 100.000 ha
SATUAN Per permohonan Per permohonan Per permohonan Per permohonan Per permohonan
TARIF Rp. 75.000.000 Rp. 50.000.000 Rp. 150.000.000 Rp. 200.000.000 Rp. 250.000.000
Batubara (Kelas B) 1) luas wilayah ≤ 2.000 ha Per permohonan Rp. 25.000.000 2) luas wilayah > 2.000 - 10.000 ha Per permohonan Rp. 50.000.000 3) luas wilayah > 10.000 - 50.000 ha Per permohonan Rp. 75.000.000 4) luas wilayah > 50.000 - 100.000 ha Per permohonan Rp. 100.000.000 5) luas wilayah > 100.000 ha Per permohonan Rp. 150.000.000 2. Penerimaan dari Iuran Tetap/Landrent untuk Usaha Pertambangan dalam rangka Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara a) Penyelidikan Umum 1. Tahun ke I Per ha/tahun US$ 0.05 2. Tahun ke II Per ha/tahun US$ 0.10 b) Eksplorasi 1) Tahun ke I Per ha/tahun US$ 0.20 2) Tahun ke II Per ha/tahun US$ 0.25 3) Tahun ke III Per ha/tahun US$ 0.30 4) Tahun ke IV Per ha/tahun US$ 0.50 5) Tahun ke V Per ha/tahun US$ 0.70 c) Studi Kelayakan (Feasibility Study) 1) Tahun ke I Per ha/tahun US$ 1.00 2) Tahun ke II Per ha/tahun US$ 1.00 d) Konstruksi 1) Tahun ke I Per ha/tahun US$ 1.00 2) Tahun ke II Per ha/tahun US$ 1.00 3) Tahun ke III Per ha/tahun US$ 1.00 e) Eksploitasi 1) 1) Tahap ke I untuk endapan laterit dan endapan permukaan (surface deporsits) yang meluas Per ha/tahun US$ 2.00 lainnya 2) 2) Tahap ke II untuk endapan primer dan endapan Per ha/tahun US$ 4.00 aluvial-aluvial 3. Penerimaan dari Iuran Eksplorasi/Iuran Eksploitasi/Royalty untuk Usaha Pertambangan dalam rangka Kuasa Pertambangan (KP), Kontrak Karya (KK), dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), dengan jenis mineral/bahan galian a) Batubara (Open Pit) dengan tingkat kalori (Kkal/kg, airdried basis) 1) ≤5100 Per ton 3,00% dari harga jual
164
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
No.
4)b)
c)
JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK 2) > 5100 - 6100 3) > 6100 Batubara (Underground) Tingkat Kalori (Kualitas): 5) ≤5100 6) > 5100 - 6100 7) > 6100 Gambut
SATUAN
TARIF
Per ton Per ton
5,00% dari harga jual 7,00% dari harga jual
Per ton Per ton Per ton Per ton
2,00% dari harga jual 4,00% dari harga jual 6,00% dari harga jual 3,00% dari harga jual
Dari table diatas dapat diperkiran jumlah biaya yang dikeluarkan pada tahap perizinan, namun karena rumitnya birokrasi dan lamanya pengurusan kadang-kadang ada biaya-biaya yang tak terduga seperti biaya pelicin (pungutan liar) yang dapat mencapai ± 20% dari biaya normal . Adapun besarnya bagi hasil penerimaan pertambangan umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 adalah sebagai berikut:
Iuran Tetap/Landrent : Pusat 20%, Provinsi 16% dan Kabupaten/Kota 64%.
Iuran Produksi/Royalty : Pusat 20%, Provinsi 16%, Kabupaten/Kota penghasil 32% dan Pemerataan Kabupaten/Kota 32%.
3.
PENYELIDIKAN UMUM Penyelidikan umum ini dilakukan untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan
galian (potensi mineral). Kegiatan yang dilakukan meliputi penyelidikan geologi, geofisika, dan geokimia di daratan, perairan dan dari udara.
4.
EKSPLORASI Penyelidikan melalui tahapan eksplorasi ini dimaksudkan untuk membuktikan
atau memastikan adanya endapan mineral dan sifat-sifatnya. Kegiatan yang dilakukan selama eksplorasi ini lebih rinci lagi yaitu lanjutan pengukuran/pemetaan, geo kimia, geofisika dan penggalian parit uji, pemboran serta analisis contoh/sample batuan.
165
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Tabel 2. Jasa Teknologi Penyelidikan Umum dan Eksplorasi 1. Jasa Teknologi Konsultasi Eksplorasi Mineral, Batubara, Panas Bumi dan Konservasi a. Penyelidikan / Eksplorasi 1) Penyelidikan umum skala 1 : 100.000 s/d 1 : 250.000 2) Eksplorasi Pendahuluan, skala 1 : 50.000 s/d 1: 100.000 3) Eksplorasi Rinci, skala < 1 : 50.000 b. Pemboran ( Biaya Pengintian) 1) Mineral Logam 2) Batubara Mineral Non Logam
Per km2 Per km2 Per km2
Rp 150.000,00 Rp 400.000,00 Rp1.000.000,00
Per meter Per meter
Rp 400.000,00 Rp1.000.000,00
2. Jasa Perbantuan Tenaga Ahli a.Senior Geologist/Geophysist b. JuniorGeologist/Geophysist c. Surveyor d. Operator Mekanik e. Senior Drilling
Per orang hari Per orang hari Per orang hari Per orang hari Per orang hari
Rp Rp Rp Rp Rp
f. Junior Drilling
Per orang hari
Rp 150.000,00
300.000,00 200.000,00 175.000,00 150.000,00 175.000,00
*Sumber PP No.45 Tahun 2003
5.
KAJI KELAYAKAN Pengkajian atau evaluasi ini untuk mengkaji secara teknis dan ekonomis atas
suatu endapan bahan galian, apakah layak/ tidak untuk ditambang. Kegiatan yang dilakukan antara lain perencanaan teknik penambangan, pengolahan/ pemurnian dan pengangkutan, perencanaan insfrastruktur, fasilitas sosial, studi pemasaran dan analisis keuangan. Biaya yang dipersiapkan untuk studi kelayakan ± 500 jt (relative)
No. 1 2 3 4 5 6
Tabel 3. Rencana Biaya Studi Kelayakan Alokasi Biaya Operasional Tenaga Ahli Operasional Survey, Laboratorium dan Analisa Data Operasional Penyusunan Laporan Operasional Pelaksanaan Sidang dan Rapat Operasional Perbaikan dan Penyelesaian Laporan Akhir Biaya Opersional Takterduga Jumlah
Nilai % 40 40 5 5 5 5 100
166
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Tabel 4. Analisa Sample Analisa Batubara a) Preparasi Sampel Preparation b) Proksimat/Proximate Analysis (1) Air Lembab/ Air Dried Moisture (ASTM D. 3173/BS (2) Abu/Ash (ASTM D. 3174/BS 1016 Part 3 73) (3)Zat Terbang/Volatile Matter (ASTM D.3175/BS 1016 Part3/73) (4)Carbon Padat / Fixed Carbon (Dengan Perhitungan/By Difference) c) Analisa Ultimat/Ultimate Analysis (1) Carbon Total/Total Carbon (ASTM D.3178) (2) Hydrogen Total/Total Hydrogen (ASTM D.3178) (3) Nitrogen/Nitrogen (BS 1016 Part 677) (4) Belerang Toatal/Sulfur Total (ASTM D.3177/BS 1015 Part 677) (5) Oksigen/Oxygen (Dengan Perhitungan/By Difference) d) Nilai Kalor / Calorivic Value (ASTM D.3286 atau D.2015) e) Bentuk Belerang/Form of Sulfur (1) Belerang Sulfat/Sulphate Sulphur (2) Belerang Pirit/Pyritic Sulphur (ASTM D 2492/BS 1016 Part 11 77) (3) Belerang Organik / Organic Sulphur (Dengan Perhitungan/By Difference) f) Khlor/Chiorine (BS 1016 Part 8 77) g) Carbon Dioksida/Carbon Dioxide (BS 1016 Part 6 77) h) Sifat Ketergerusan / Hardgrove Grindability Index (ASTM D.409) i)Nilai Muai Bebas / Free Sweelling Index (ASTM D.720) j)Berat Jenis sesungguhnya / true Specific Gravity) k)Relative Density l) Bulk Density m) pH c) Petrografi Batubara (1) Analisa Maseral (2) Pengukuran Reflektan (3)Analisa Titik Leleh Abu Batubara
Per sampel
Rp
27.500,00
Per sampel Per sampel
Rp Rp
50.000,00 10.000,00
Per sampel
Rp
15.000,00
Per sampel
Rp
25.000,00
Per sampel Per sampel Per sampel
Rp Rp Rp
280.000,00 70.000,00 70.000,00
Per sampel Per sampel Per sampel
Rp Rp Rp
70.000,00 70.000,00 50.000,00
Per sampel
Rp
120.000,00
Per sampel
Rp
50.000,00
Per sampel Per sampel Per sampel
Rp Rp Rp
70.000,00 75.000,00 70.000,00
Per sampel Per sampel Per sampel Per sampel Per sampel Per sampel
Rp Rp Rp Rp Rp Rp
70.000,00 20.000,00 15.000,00 15.000,00 20.000,00 10.000,00
Per sampel Per sampel Per sampel
Rp Rp Rp
200.000,00 100.000,00 200.000,00
*Sumber PP No.45 Tahun 2003
6.
KAJI AMDAL (ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN) Kajian lingkungan ini bahagian kaji kelayakan (feasibility study) khusus untuk
mengkaji dan mengamati keadaan fisik-kimia, biologi dan sosial dan ekonomi budaya suatu wilayah yang diperkirakan terkena dampak kegiatan usaha pertambangan yang direncanakan. Termasuk dalam kajian AMDAL ini adalah
167
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Biaya yang dipersiapkan ± 300 jt (relative)
Tabel 5. Rencana Biaya Mengenai Analisis Dampak Lingkungan No.
Alokasi Biaya
Nilai %
1
Operasional Tenaga Ahli
30
2
Operasional survey, Laboratorium dan Analisa Data
40
3
Operasional Penyusunan Laporan AMDAL
10
4
Operasional Pelaksanaan Sidang dan Rapat Komisi AMDAL
5
5
Operasional Perbaikan dan Penyelesaian Laporan Akhir
10
6
Biaya Opersional Takterduga
5 Jumlah
7.
100
KONSTRUKSI Tahapan usaha ini dimaksudkan untuk persiapan ekploitasi/ produksi meliputi
pekerjaan pembebasan lahan, penyiapan peralatan, pembangunan infrastruktur, pengupasan tanah penutup, pembangunan pabrik pengolahan/pemurnian dan tempat penimbunan.
8.
EKSPLOITASI Eksploitasi merupakan tahapan usaha pertambangan usaha yang dimaksudkan
untuk menghasilkan/ produksi batubara dan memanfaatkannya.
9.
PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN Tahapan pengolahan dan pemurnian ini dimaksudkan untuk mempertinggi
mutu batubara dan memanfaatkannya.
168
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
10.
PENGANGKUTAN DAN PENJUALAN Tahapan ini merupakan usaha pemindahan dan penjualan bahan galian ini dari
hasil tempat pengolahan/ pemurnian atau dari daerah eksplorasi untuk dijual kepasaran (konsumen).
Economic Review ● No. 214 ● Desember 2008
Gambar 1. Perkembangan dan Proyeksi Harga Batubara Dunia
11.
REKLAMASI Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan
lahan yang terganggu sebagai akibat usaha, agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukkannya. Secara
umum
yang
harus
diperhatikan
dandilakukan
dalam
merehabilitasi/reklamasi lahan bekas tambang yaitu dampak perubahan darikegiatan pertambangan,
rekonstruksi
tanah,
revegetasi,
pencegahan
air
asam
tambang,pengaturan drainase, dan tataguna lahan pascatambang.
169
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Tabel 6. Rencana Biaya Reklamsi No.
Alokasi Biaya
Nilai %
1
Rekontruksi Tanah
40
2
Revegetasi
40
3
Penanganan Potensi Air Asam Tambang
10
4
Pengaturan Drainase
10 Jumlah
12.
100
STUDI KASUS PADA PT. X PT. X mempunyai IUP dengan luas area 91 ha, direncanakan akan ditambang
dengan tambang terbuka (open pit mining). Berdasarkan studi kelayakan SR cadangan yang tertambang 8,5 : 1. Jumlah batubara yang akan ditambang 657.383 ton dengan nilai kalori rata-rata 6998kcak/kg, belerang < 1% dan kadar abu 15%. Dari desai tambang yang telah dibuat dapat diketahui bahwa pit potensial terdiri dari 1 pit yaitu pit A dengan panjang tambang searah jurus adalah 1000 meter dan lebar bukaan sekitar 100 meter. Dalam kegiatan penambangannya dibagi menjadi 2 blok dengan panjang masing-masing blok 500 meter.
Tabel. 7. Rencana Produksi Pertahun Produksi Tahun
Lokasi
Batubara (Ton)
Tanah Penutup (bcm)
SR (bcm/ton)
1
Blok 1
350.00
3.150.000
9
2
Blok 2
307.382
2.437.747
7,93
657.383
5.587.747
8,5
Total
Waktu kerja operasi penambangan yang mencakup kegiatan penggalian, pemuatan dan pengangkutan direncanakan 2 shift/hari, dan 8 jam/shift. Jam kerja effektif per tahun sebagai berikut:.
170
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Tabel. 8. Rencana Jam Kerja Pertahun JAM KERJA
SATUAN
Jumlah hari/tahun
SATUAN 365
-Hari Minggu
52
-Hari Libur Nasional
15
Jumlah kalender kerja/tahun
299
Shift/hari
2
Jam kerja/shift
8
Total jam kelender/tahun
hari
hari
4.784
Jam
Kehilangan jam kerja yang derencanakan -Istirahat makan
0,75
Jam/hari
224,25
Jam
-Pertukaran shift
0,25
Jam/hari
74,75
Jam
-Persiapan
0,25
Jam/hari
52
Jam
1
Jam/tahun
425,75
Jam
4358
Jam
-Shalat Jum'at Total Kehilangan Jam Kerja Direncanakan Jumlah jam kerja yang tidak
Jam
direncanakan Kehilangan jam kerja yang derencanakan
Jam
-Faktor hujan
15%
653,7
Jam
-Lain - lain
5%
217,9
Jam
3.486
Jam Kerja efektif Ketersediaan mekanis Jam kerja alat efektif/tahun
90% 3.138
Jam
Penambangan akan dilakukan sendiri dengan kondisi sebagai berikut: 1)
Pengadaan peralatan tambang utama, dengan sistem sewa 1 jam termasuk biaya bahan bakar
2)
Perawatan dan penggantian peralatan tambang utama dilakukan oleh pihak pemilik alat
171
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
3)
Investasi dilakukan pada beberapa peralatan dan fasilitas penunjang
4)
Peke jaan di crushing plant diserabkan pada pihak kontraktor.
5)
TransportasiIHauling baiubara tambang menuju crushing plan dan pelabuhan di kontrakan
6)
Penanganan batubara di pelabuhan sampai ke dalam tongkang di kontrakan Apabila akan dilakukan penambangan sendiri maka total investasi untuk
keseluruhan aktivitas penambangan selama 2 tahun adalah sebesar US$ 770.651. Perincian biaya proyek hingga tahun ke -2 dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Perkiraan Pembiayaan Proyek Tahun 0-1(US$) NO 1 2 3 4 5 6 7
Investasi
DESKRIPSI Pre-development Fasilitas camp peralatan utama Peralatan pendukung Peralatan stockpile Kendaraan Modal kerja Total
Bangunan
TAHUN-0 613.691 21.960
Fasilitas
TAHUN-1
TOTAL 613.691
135.000
770.651
Camp
802.325 802.325
dilakukan
1.572.976
pada
tahun
awal
penambangan adalah sebesar US$ 21.960 termasuk utility dan perlengkapan bangunan. Adapun perincian investasi bangunan dan infrastruktu pada awal
tahun ditampilkan pada table 10. Jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk mendukung operasi sesuai dengan rancangan tambang yang biasa, maka untuk staf administrasi jumlahnya relatif tetap selama umur penambangan, sedangkan untuk staf yang terlibat dalam operasi penambangan langsung jumlahnya disesuaikan dengan peningkatan kebutuhan sejalan dengan meningkatnya kapasitas penambangan. Jumlah tenaga kerja yang diperlukan besera kualifikasi selama umur penambangan.
172
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Tabel 10. Perkiraan Investasi Fasilitas Tambang (US$) NO 1 2 3 4 5 6 7 8
DESKRIPSI
Bengkel Gudang Instalasi Listrik Penyimpanan Solar Penyimpanan Bensin Instalasi Air Perlengkapan Kantor Kantor Satpam Total Fasilitas Tambang
SATUAN VOLUME unit unit unit unit unit unit unit unit
1 1 1 1 1 1 1 1
BIAYA (US$) 3.500 3.500 2.100 2.000 2.000 850 8.000 1.500
JUMLAH (US$) 3.500 3.500 2.100 2.000 2.000 850 8.000 1.500 23.450
Upah tenaga kerja dihitung berdasarkan upah tahunan rata-rata selama 12 bulan. Upah Tahunan belum temasuk cuti tahunan, bonus dan insentif lainya. Besarnya biaya cuti tahunan, bonus dan insentif lainya dihitung dalam biaya jaminan sosial. Besarnya upah tenaga kerja diberikan pada table 11.
Tabel 11. Perkiraan Upah Tenaga (US$) No DESKRIPSI JUMLAH ANNUAL RATE a. Management 1 General manager 1 20.000 2 Mine manager 1 15.000 3 Production superintendent 1 12.500 4 Maintenance & logistic support manager 1 10.000 5 Personel & safety manager 1 10.000
TAHUN 1 2 20.000 20.000 15.000 15.000 12.500 12.500 10.000 10.000 10.000 10.000
6 Financial & administration manager 7 Secretary sub total I b. Personel & safety 1 HRD personil 2 Safety officer 3 Secretary 4 Security guard sub total II
1 1 7
10.000 1.800 79.300
10.000 1.800 79.300
10.000 1.800 79.300
2 1 1 4 8
3.600 2.000 1.800 14.400 21.800
3.600 2.000 1.800 14.400 21.800
3.600 2.000 1.800 14.400 21.800
173
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
No DESKRIPSI c. Engineering 1 Mine engineer 2 Project engineer 3 Geologist 4 Computer analyst 5 Technician drafting 6 Surveyor 7 Secretary 8 Clerk
JUMLAH ANNUAL RATE
TAHUN
sub total III
1 1 1 1 1 3 1 1 10
10.000 6.000 6.000 4.000 2.000 10.800 1.800 1.000 41.600
10.000 6.000 6.000 4.000 2.000 10.800 1.800 1.000 41.600
10.000 6.000 6.000 4.000 2.000 10.800 1.800 1.000 41.600
sub total IV
1 1 1 3
4.000 1.800 1.000 6.800
4.000 1.800 1.000 6.800
4.000 1.800 1.000 6.800
sub total V
1 2 52 11 4 70
5.000 7.000 124.800 19.800 4.000 160.600
5.000 7.000 124.800 19.800 4.000 160.600
5.000 7.000 124.800 19.800 4.000 160.600
f. Maintenance & logistic 1 Warehouse & purchasing supervisor 2 Warehouse person 3 Mechanic 4 Electrician 5 Welder 6 Skilled wleder 7 Unskilled labour sub total VI Total
1 2 1 1 1 1 2 9 107
2.400 3.600 4.500 1.800 1.800 1.200 2.000 17.300 327.400
2.400 3.600 4.500 1.800 1.800 1.200 2.000 17.300 327.400
2.400 3.600 4.500 1.800 1.800 1.200 2.000 17.300 327.400
d. Financial & administration 1 Accountant 2 Secretary 3 Clerk e. Production 1 General foreman 2 Foreman 3 sr. Equipment operator 4 Light equipment operator 5 Unskilled labour
Biaya produksi dibedakan menjadi biaya produksi langsuug dan biaya produksi tidak langsung. Biaya produksi langsung dibedakan menjadi biaya penanganan tanah penutup, biaya penanganan batubara dan biaya land clearing. Biaya ini dihitung berdasarkan biaya operasi alat-alat tambang yang terlibat langsung pada ketiga kegiatan tersebut. Biaya produksi tidak langsung terdiri dari biaya-biaya operasi
174
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
peralatan pendukung stockpile, kendaraan, dan tenaga kerja pendukung yang terlibat didalam proyek.
Tabel 12. Komponen BiayaPenambangan (US$) AKTIVITAS Penambangan batubara Pengupasan tanah penutup* SR 8,5 (1,47 US$/Bcm) Pengangkutan batubara (include fee) Pengolahan (crushing plant) Penanganan batubara (pelabuhan) Lingkungan Pembebasan Lahan Royalti Total
BIAYA 0,33
SATUAN US$/Ton
12,47
US$/Ton
8,5 1,32 4,5 0,26 0,4 2,78 30,55
US$/Ton US$/Ton US$/Ton US$/Ton US$/Ton US$/Ton US$/Ton
Berdasarkan analisis kualitas batubara, batubara yang akan ditambang dapat dijual seharga US$ 37 US$/ton di Pelabuhan. Berdasarkan rencana produksi, maka dapat di proyeksikan besarnya penerimaan penjualan batubara dengan eskalasi 3% seperti berikut:
Tabel 13. Perkiraan Penerimaan (US$) TAHUN
PENJUALAN BB (TON)
PENDAPATAN (US$)
1
335.000
12.766.850
2
322.382
12.654.557
TOTAL
657.382
25.421.407
13.
KESIMPULAN
1.
Besarnya biaya penambangan bergantung Stripping Ratio
2.
Jumlah penerimaan dipengaruhi oleh Kualitas dan harga batubara dipasaran
175
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
14.
DAFTAR PUSTAKA
Asia Securities Industry Research - Sektor Batubara 2009 . PT. ASIA KAPITALINDO SECURITIES Tbk Economic Review ● No. 214 ● Desember 2008 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2003 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral Studi Kelayakan PT. X Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara
176
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
PERHITUNGAN SUMBERDAYA POTENSI BAHAN GALIAN BIJIH BESI DI BUKIT BATU HITAM, KEC. MENTHOBI RAYA DAN KEC. SEMATU JAYA,KAB. LAMANDAU, KALIMANTAN TENGAH Uyu Saismana Program Studi Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik, UNLAM, Banjarbaru, Indonesia
ABSTRAK Besi merupakan logam kedua yang paling banyak di bumi ini.Karakter dari endapan besi ini bisa berupa endapan logam yang berdiri sendiri namun seringkali ditemukan berasosiasi dengan mineral logam lainnya.Kadang besi terdapat sebagai kandungan logam tanah (residual), namun jarang yang memiliki nilai ekonomis tinggi.Endapan besi yang ekonomis umumnya berupa magnetite, hematite, limonite dan siderite. Inventarisasi bijih besi dimaksudkan untuk mendapatkan data cebakan besi primer agar dapat mengetahui secara pasti tata letak serta sebarannya secara lateral dan untuk mendapatkan data dari lokasi lain yang memungkinkan dapat dikembangkan lebih lanjut. Lokasi inventarisasi cebakan besi primer adalah wilayah Kec.Menthobi Raya dan Kec.Semanu Jaya yang merupakan pemekaran dari Kec. Bulik Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah.Metodologi penelitian yang dilakukan adalah pengumpulan data sekunder dan pengukuran langsung posisi cebakan besi yang sudah diketahui dari berbagai literatur yang ada untuk mengetahui kedudukannya secara tepat menggunakan Global Positioning System (GPS) dan melacak penyebarannya secara lateral serta pengambilan conto bijih besi untuk dilakukan analisis kimia.Formasi geologi terdapatnya bahan galian bijih adalah Formasi Kuayan (TRvk) yang teralterasi termasuk ke dalam Peta Geologi Lembar Pangkalanbuun, Kalimantan. Bahan Galian bijih besi yang difokuskan sebagai wilayah penelitian seluas 12,13 hektar pada Bukit Batu Hitam. Sumberdaya bijih besi pada lokasi penelitian sebesar 1,213,095.84 m3 dengan densitas bijih besi 2,4 ton/m3, maka tonase sumberdayanya 2,911,430.01 ton. Kualitas sample bahan galian bijih besi adalah: Fe2O3: 6,01 – 90,48%, Fe total: 4,20 – 63,27%, MnO: < 0,01 – 18,36%, TiO2: 0,15 – 1,35%, dan V2O3: < 0,01 – 0,05% Kata kunci: Bijih Besi, Hematite, Lamandau, Sumberdaya, Kualitas.
177
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
1.
LATAR BELAKANG Secara geologi Indonesia merupakan negara yang terletak di sepanjang
tumbukan Lempeng Pasifik dan Lempeng Indo-Australia, sehingga dapat dikatakan bahwa wilayah Indonesia sangatlah potensial sebagai wilayah pembentukan bahan galian tambang.Salah satu wilayah Indonesia yang banyak memiliki kekayaan alam berupa bahan galian tambang adalah Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah.Bahan galian yang dijumpai di daerah penelitian adalah bahan galian bijih besi. Besi merupakan logam kedua yang paling banyak di bumi ini.Karakter dari endapan besi ini bisa berupa endapan logam yang berdiri sendiri namun seringkali ditemukan berasosiasi dengan mineral logam lainnya.Kadang besi terdapat sebagai kandungan logam tanah (residual), namun jarang yang memiliki nilai ekonomis tinggi.Endapan besi yang ekonomis umumnya berupa magnetite, hematite, limonite dan siderite. Kadang kala dapat berupa mineral: pyrite, pyrhotite, marcasite, dan chamosite. Besi bersifat keras, rapuh, dan umumnya mudah dicampur, dan digunakan untuk menghasilkan alloy lainnya, termasuk baja seperti yang dikatakan sebelumnya. Besi tempa yang mengandung kurang dari 0,1% karbon, sangat kuat, dapat dibentuk, tidak mudah bercampur dan biasanya memiliki struktur berserat. Baja karbon adalah alloy besi dengan sedikit Mn, S, P, dan Si. Alloy baja adalah baja karbon dengan tambahan seperti nikel, krom, vanadium dan lain-lain. Besi relatif murah, mudah didapat, sangat berguna dan merupakan logam yang sangat penting sehingga sampai saat ini telah dilakukan banyak cara untuk mendapatkan besi dari alam. Inventarisasi bijih besi di daerah ini dimaksudkan untuk mendapatkan data cebakan besi primer agar dapat mengetahui secara pasti tata letak serta sebarannya secara lateral dan untuk mendapatkan data dari lokasi lain yang memungkinkan dapat dikembangkan lebih lanjut. Lokasi inventarisasi cebakan besi primer adalah wilayah Kec.Menthobi Raya dan Kec.Semanu Jaya yang merupakan pemekaran dari Kec. Bulik Kabupaten
178
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah. Secara umum lokasi penyelidikan dapat dicapai melalui beberapa route, diantaranya adalah: 1.
Banjarmasin – Pangkalan Bun, menggunakan pesawat terbang dengan waktu tempuh 2 jam.
2.
Pangkalan Bun – Nanga Bulik, dapat menggunakan transportasi darat dengan lama perjalanan 2,5 jam, transportasi sungai menyusuri Sungai Arut dan Sungai Lamandau ditempuh selama 2,5 - 3 jam.
3.
Nanga Bulik – Lokasi Penelitian, menggunakan jalan darat roda 4 selama 45 menit, dari Nanga Bulik – Simpang Ketek – Simpang Oyong – Bukit Batu Hitam. Lokasi penelitian seluas 12,13 Hektar dan terletak di Kecamatan Menthobi
Raya dan Sematu Jaya Kabupaten Lamandau, dengan koordinat sebagai berikut: Tabel1.Koordinat Batas Daerah Penelitian
No.
2.
Bujur Timur
Lintang Selatan
o
„
“
o
„
“
1
111
32
32
2
10
2
2
111
32
32
2
7
26
3
111
32
48
2
7
26
4
111
32
48
2
10
2
PERUMUSAN MASALAH Dengan dijumpainya bahan galian bijih besi maka perlu dilakukan kegiatan
eksplorasi untuk mengetahui bagaimana geologi regional dan lokal, penentuan daerah yang potensial, perhitungan sumberdaya dan kualitas bijih besi yang ada dijumpai di daerah penelitian.
179
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
3.
TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini untuk menentukan kondisi geologi regional dan lokal
daerah penelitian, melineasi daerah yang potensial bahan galian bijih besinya, menghitung sumberdaya bijih besi, dan mengetahui kualitas bahan galian bijih besi yang terdapat di daerah penelitian.
4.
METODE PENELITIAN Metodologi penelitian yang dilakukan adalah pengumpulan data sekunder dan
pengukuran langsung posisi cebakan besi yang sudah diketahui dari berbagai literatur yang ada untuk mengetahui kedudukannya secara tepat menggunakan Global Positioning System (GPS) dan melacak penyebarannya secara lateral serta pengambilan conto bijih besi untuk dilakukan analisis kimia. Penyelidikan secara khusus untuk bijih besi di kedua kabupaten tersebut jarang dilakukan tetapi penyelidikan di daerah sekitarnya telah dilakukan oleh beberapa peneliti yaitu: Weltevreden (1921) mempelajari bijih besi di Kalimantan, R.W. Van Bemelen (1949) mempelajari geologi dan mineralisasi di Indonesia, Direktorat Geologi bekerjasama dengan JICA-MMAJ (1979) melakukan Survey Geologi di Kalimantan Tengah, Steve Bugg, dkk., (1998) melakukan peninjauan di daerah Kuala Kurun, Kalimantan Tengah, PT. Tebolai Seng Pertiwi (1991) melakukan eksplorasi di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat dan Kabupaten Lamandau, Nila E.S, dkk., (1995) melakukan pemetaan geologi Lembar Palangkaraya sekala 1 : 250.000, Direktorat Sumberdaya Mineral bekerjasama dengan KOICA-KIGAM (1999) melakukan pemetaan geologi di Kuala Kurun, Kalimantan Tengah dan Rio Tinto Borneo Investment Pte. Ltd (2005) melaksanakan kegiatan eksplorasi mineral logam di daerah Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah.
180
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
5.
GEOLOGI
5.1. Geologi Regional Kepulauan Indonesia bagian Timur, umumnya sangat dipengaruhi oleh tumbukan Lempeng Pasifik, Lempeng India, Australia dan Lempeng Eurasia yang relatif lebih intensif (Gambar 1).Benturan intensif tersebut menyebabkan daerah ini menjadi salah satu daerah yang sangat dinamis dan memberikan berbagai ragam bahan tambang. Berdasarkan tatanan tektonik Kalimantan, wilayah penyelidikan termasuk di dalam Schwaner Mountain (Herman Darman & F. Hasan Sidi, 2000) yang didominasi oleh tubuh batolit tonalit – granodiorit dan sebagian kecil batuan basa
serta
intrusi
granit
yang
menyebabkan
regional
metamorphism.
Tektonostratigrafi Pulau Kalimantan dibentuk oleh paparan sedimen Paleozoikum – Mesozoikum, batuan gunung api yang diterobos oleh batuan granit kapur yang merupakan bagian dari lempeng benua/Paparan Sunda. Zona penunjaman telah terbentuk, unsur-unsurnya terdiri dari perlipatan dan pensesaran pada batuan sedimen turbidit, ofiolit dan melange berumur Kapur – Eosen. Pada Oligosen Akhir – Miosen Awal, terjadi kegiatan magmatik di bagian Barat, Tengah, dan Timurlaut Kalimantan, sedangkan di bagian Tengahnya terbentuk zona cebakan emas yang berasosiasi dengan batuan gunung api atau terobosan batuan subvulkanik bersusunan andesitik. Kegiatan magmatisme masih berlanjut hingga akhir Miosen, sedangkan yang lebih muda terjadi pada Plio–Pleistosen. Tiga kegiatan orogenesa yang mempengaruhi geologi Pulau Kalimantan adalah orogenesa Kalimantan bagian Tengah, orogenesa jalur Meratus, dan orogenesa Sabah. Dari interpretasi foto udara, struktur yang berkembang di bagian tepi Timurlaut Paparan Sunda dengan batuan dasar Pra–Tersier menunjukkan arah kelurusan strukturnya berpola Timurlaut – Baratdaya, hingga Utara – Selatan, sedangkan di bagian Timur Cekungan Melawi berkembang struktur sinklin dengan arah sumbu Timur – Barat dan kelurusan struktur berarah Baratlaut – Tenggara. Daerah penyelidikan, berdasarkan tatanan geologi tersebut di atas, terletak pada kratonik busur magmatik Tengah Kalimantan berumur Neogen, yang bertindak
181
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
sebagai sumber mineralisasi, secara umum dapat disebutkan bahwa mineralisasi logam terdapat pada batuan beku berkomposisi asam sampai sedang yang menerobos batuan sedimen Pra-Tersier.
Gambar1. Magnetisasi sebagai fungsi medan yang dikenakan.
5.2. Geomorfologi Regional Morfologi wilayah Kabupaten Lamandau didominasi oleh morfologi dataran (dataran pantai – rawa-rawa) dengan ketinggian antara 0 – 27 meter di atas permukaan air laut (dpl).Dengan kemiringan lereng 0 – 28%, sebagian daerah ini terutama ada di daerah bagian Utara yang merupakan morfologi perbukitan dengan ketinggian maksimum 336 meter dpl. Berdasarkan klasifikasi Satuan Morfologi Van Zuidamm, secara garis besar daerah penyelidikan dapat dikelompokkan menjadi 3 satuan morfologi, yaitu :
182
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
1.
Satuan Endapan Aluvial, Satuan morfologi terdapat di bagian Timur wilayah penyelidikan dan menempati area sebesar 15% dari seluruh luas wilayah penyelidikan, dengan arah penyebaran Utara – Selatan. Ketinggian berkisar antara 5 – 8 meter di atas permukaan laut.
2.
Satuan Perbukitan Bergelombang Lemah, terdapat di bagian Tengah - Timur area seluas 50% dari total wilayah penyelidikan dengan arah penyebaran Timurlaut – Baratdaya. Dengan ketinggian berkisar antara 10 – 57 meter di atas permukaan laut.
3.
Satuan Perbukitan Bergelombang Sedang, terdapat di bagian tengah wilayah penyelidikan dan menempati area sekitar 35% dari total luas wilayah penyelidikan dengan arah penyebaran Timurlaut – Baratdaya. Ketinggian sekitar 57 -336 meter di atas permukaan laut.
5.3. Stratigrafi Berdasarkan Peta Geologi Lembar Pangkalanbuun, skala 1 : 250.000 Tahun 1994, secara umum stratigrafi wilayah pengamatan disusun oleh kelompok batuan berumur Trias Akhir – Kapur Tengah dari satuan batuan malihan (metasediment) dan satuan batuan gunung api andesitik–riolitik. Kedua satuan batuan tersebut diterobos oleh granit, granodiorit, dan gabro berumur Kapur Akhir yang kemudian ditutup oleh kelompok batuan gunung api Tersier Awal (Gambar 2). Secara umum satuan batuan/ formasi yang dijumpai pada daerah penyelidikan dari yang termuda sampai yang tertua adalah : 1.
Formasi Kuayan, terdiri dari breksi tak terpisahkan, lava, dasit, riolit, andesit dan tufa. Formasi ini merupakan batuan tertua yang tersingkap di lembar Pangkalan Bun. Formasi batuan ini pada umumnya mengalami pelapukan lanjut dan diperkirakan berumur Trias. Di daerah peninjauan formasi batuan ini yang tersebar di lapangan.
2.
Formasi Kuayan, terdiri dari breksi tak terpisahkan, lava, dasit, riolit, andesit dan tufa. Formasi ini merupakan batuan tertua yang tersingkap di lembar Pangkalan Bun. Formasi batuan ini pada umumnya mengalami pelapukan
183
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
lanjut dan diperkirakan berumur Trias. Di daerah peninjauan formasi batuan ini yang tersebar di lapangan. 3.
Granit Mandahan,terdiri dari granit, graniot biotit dan diorit. Satuan batuan ini menerobos batuan gunung api yang lebih tua (Formasi Kuayan), dan diperkirakan terbentuk pada waktu terjadinya pengangkatan pada zaman Kapur Akhir.
4.
Batuan Gunung Api Kerabai, terdiri dari tuf, breksi tufan, lava, batupasir kuarsa tufan, dan batulempung tufan. Setempat dijumpai lapisan tipis karbon, dengan struktur perarian silangsiur. Satuan ini merupakan kelanjutan dari Batuan Gunung Api Kerabai pada Lembar Kendawangan yang diperkirakan berumur Kapur Akhir – Paleosen.
5.
Formasi Dahor, terdiri dari konglomerat, batupasir dan perselingan lempung yang mengandung sisipan lignit dengan lingkungan pengendapan peralihan, tebal formasi sekitar 500 meter, berumur Miosen Tengah – Plioplistosen.
6.
Endapan Rawa, terdiri dari gambut, lanau pasiran dan sisipan pasir, lempung kaolinitan dan sisa tumbuhan.
7.
Aluvium, terdiri dari lempung, pasir, kerikil, kerakal, bongkah, dijumpai sebagai endapan sungai dan pantai. Secara umum satuan batuan/formasi yang dijumpai pada daerah penyelidikan
dari yang termuda sampai yang tertua adalah : 1.
Endapan Aluvial (Qa) Tersusun atas material lepas lempung, lanau, pasir dan kerikil.Terbentuk pada kisaran umur Holosen.Pola penyebaran satuan batunan ini mengikuti pola aliran sungai di wilayah penyelidikan.
2.
Formasi Kuayan (TRvk) Tersusun atas breksi gunung api, lava, dasit, riolit, andesit, dan tuf. Terbentuk pada kisaran umur Jura Awal – Tengah, terdapat hampir di seluruh wilayah penyelidikan dengan luas sekitar 4.700 Hektar.
184
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
5.4. Struktur Geologi Struktur geologi secara regional menunjukkan bahwa batuan menunjukkan tanda-tanda fase deformasi, proses magma dan metamorfosa yaitu: 1.
Deformasi dan metamorfosa regional pada Perm-Trias Akhir.
2.
Intrusi granit pada Jura Akhir.
3.
Intrusi granit yang disertai metamorfosa termal (Kapur Awal).
4.
Intrusi granit yang disertai metamorfosa termal (Kapur Akhir), pengangkatan regional dan vulkanisme yang menerus sampai Paleosen.
5.
Sumbat gunung api pada Oligosen – Miosen. Tonalit Sepauk merupakan batuan yang secara genesa berhubungan dengan
dua proses magmatisme pada Jaman Kapur. Batuan ini juga diperkirakan berkorelasi dengan peristiwa magmatisme tepi benua melalui zona penunjaman yang miring ke selatan. Granit Sukadana merupakan retas dan sill mafik dan felsik yang setempat – setempat menerobos batuan beku yang berumur Kapur Atas dan/ atau yang lebih tua lagi.Retas dan sill ini kemungkinan merupakan pemasok bahan untuk batuan Gunungapi Kerabai dan Basal Bunga. Seluruh proses magmatis Kapur – Paleosen ini mencerminkan suatu transisi dari rezim tektonik kompresi yang terjadi selama intrusi granit yang berhubungan dengan penunjaman Kapur Bawah menuju rezim tektonik regangan yang berlangsung selama masa magmatis akhir, yaitu selama Oligo-Miosen. Struktur yang mengontrol di daerah ini nampak jelas pada kelurusan di foto udara. Struktur geologi hasil interpretasi dan pengamatan lapangan yang dilakukan umumnya berupa kelurusan yang diduga sebagai struktur patahan berarah Baratlaut – Tenggara dan Barat – Timur. Struktur patahan ini berkembang pada satuan batuan malihan (metasediment), satuan batuan gunung api andesitik–riolitik dan juga berkembang pada batuan terobosan, artinya patahan-patahan tersebut terbentuk baik sebelum maupun sesudah terjadinya proses terobosan.
185
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Secara umum struktur geologi yang berkembang di daerah penyelidikan adalah berupa kelurusan yang beberapa diantaranya dapat teramati pada pola aliran sungai di daerah penyelidikan.
Gambar 2 .Korelasi Formasi Batuan di Lokasi Penelitian (Hermanto dkk, 1994)
5.5. Geologi Lokal Wilayah penyelidikan merupakan daerah dengan singkapan batuan yang berumur tua.Secara umum kondisi batuan sudah mengalami pelapukan yang intensif, sehingga tubuh batuan menjadi lunak. Litologi yang ditemui antara lain: lava, tuff, dan riolit yang membentuk breccia structure. Batuan yang dijumpai dalam keadaan segar hanya lava, dengan warna abu-abu, fanerik halus, vesikuler yang dicirikan
186
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
bekas lubang gas. Dari segi indeks warna, lava yang ditemui masuk dalam batuan beku asam – intermediet. Secara megaskopis tuff dijumpai banyak mengandung butiran mineral kuarsa, berwarna putih.secara umum dijumpai pada kedalaman antara 200 – 300 cm di bawah permukaan, setempat dijumpai berwarna merah karena pengaruh oksidasi. Blok Bukit Hitam diasumsikan sebagai bukit yang dibentuk oleh litologi siliceous tuff, yaitu batuan vulkanik yang didominasi oleh tuff yang mengandung mineral kuarsa. Morfologi
Bukit
Batu
Hitam merupakan suatu bentukan morfologi
bergelombang sedang, memiliki elevasi antara 67 – 110 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan lereng antara 10% - 20%.
Gambar3.Struktur geologi regional pulau Kalimantan
187
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
6. HASIL PENELITIAN Indikasi cebakan bijih besi primer berdasarkan data yang ada di Kabupaten Lamandau, Propinsi Kalimantan Tengah, dicirikan oleh adanya bongkah bijih berbagai ukuran pada puncak bukit, salah satu diantaranya adalah Bukit Batu Hitam yang menjadi fokus wilayah penyelidikan. Secara geologi daerah ini memberikan kemungkinan adanya kandungan mineral bijih besi yang cukup potensial berdasarkan data-data batuan induk, proses magmatisme purba, serta proses mineralisasi dan alterasi. Berdasarkan data kegiatan eksplorasi survey lapangan, yang telah dilakukan terdapat 67 titik bor dengan kedalaman antara 50 – 60 meter dengan jarak antara 500 – 1000 meter. Telah dibuat 67 titik sumur uji dengan dimensi 1 x 4 x 3 meter.Telah dibuat parit uji sebanyak 8 titik dengan dimensi 20 x 1 x 3 meter. Ciri–ciri endapan yang terdapat di Bukit Hitam adalah berwarna hitam dan sebagian berwarna coklat kekuningan akibat adanya oksidasi.Terdapat tufa yang sebagian telah mengalami pelapukan. Jenis Bahan galian yang akan ditambang berupa bahan galian bijih besi yang sebagian masih bersifat masif dalam hal ini bijih besi high magnetism dan sebagian telah berubah menjadi hematite dan limonite. Bijih besi dapat digunakan sebagai pelapis logam maupun rangka logam pada industri elektroplatting.Sehingga perlu kualitas yang memadai.Keterdapatan
mineral Fe dalam sample yang dianalisa,
terdapat bijih besi dengan kualitas tinggi yang mencapai kadar 63,27%. Berdasarkan uji kualitas laboratorium, dapat ditunjukkan kandungan mineral seperti pada Tabel 2. Metode yang digunakan untuk menghitung sumberdaya adalah dengan menggunakan metode contour yaitu dengan asumsi ketebalan dan kadar bijih besi mengecil dari tengah ke tepi cebakan. Koordinat daerah prospeksi dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil perhitungan adalah hasil dari penemuan singkapan yang dikorelasikan dengan bentuk morfologi dari topografi serta hasil dari test pit, trenching pit maupun hasil dari pemboran yang dilakukan dengan radius 500 meter.
188
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Perhitungan sumberdaya dihitung dari kontur 105 m sampai dengan 50 m dimana volume yang diperoleh dari perhitungan sumberdaya adalah 1.213.095,8389 m3. Densitas bijih besi 2,4 ton/m3, jadi 2,911,430.01 ton. Tabel 2. Koordinat Batas Daerah Penelitian No.
Parameter
Unit
%
1
Al2O3
% wt
2,75-29,54
2
CaO
% wt
0,01-1,39
3
Cr2O3
% wt
<0,01-0,06
4
Fe2O3
% wt
6,01-90,48
5
Fe Total
% wt
4,20-63,27
6
K2O
% wt
0,02-452
7
MgO
% wt
<0,01-0,57
8
MnO
% wt
<0,01-18,36
9
Na2O
% wt
<0,01-0,96
10
P2O5
% wt
0,03-0,11
11
SiO2
% wt
3,15-57,42
12
TiO2
% wt
0,15-1,35
13
V2O5
% wt
<0,01-0,05
Tabel 3. Koordinat Daerah Prospeksi No.
mT
mU
1
566,767.32
9,763,946.96
2
566,898.88
9,763,946.96
3
566,900.01
9,763,853.96
4
566,767.32
9,763,851.69
189
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
7.
PENUTUP
1.
Lokasi Studi termasuk ke wilayah Kecamatan Menthobi Raya dan Sematu Jaya yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Bulik, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah.
2.
Formasi geologi terdapatnya bahan galian bijih adalah Formasi Kuayan (TRvk) yang teralterasi termasuk ke dalam Peta Geologi Lembar Pangkalanbuun, Kalimantan.
3.
Bahan Galian bijih besi yang difokuskan sebagai wilayah penelitian seluas 12,13 hektar pada Bukit Batu Hitam.
4.
Sumberdaya bijih besi pada lokasi penelitian sebesar 1,213,095.84 m3 dengan densitas bijih besi 2,4 ton/m3, maka tonase sumberdayanya 2,911,430.01 ton.
5.
Kualitas sample bahan galian bijih besi adalah: Fe2O3: 6,01 – 90,48%, Fe total: 4,20 – 63,27%, MnO: < 0,01 – 18,36%, TiO2: 0,15 – 1,35%, dan V2O3: < 0,01 – 0,05%.
8.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008, Selayang Pandang Kabupaten Lamandau,Pemerintah Kabupaten Lamandau, Nanga Bulik, Bemmelen van, R.W., 1949, The Geology of Indonesia, Volume II,Economic Geology, Special Edition of the Bureau of Mines, Indonesian Government Printing Office, The Hague, Indonesia, Hermanto, B., Bachri S., dan Atmawinata, S., 1994, Peta Geologi Lembar Pangkalanbuun, Kalimantan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung, Widodo W., 2006,Inventarisasi Endapan Endapan Besi Primer, Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah, Pusat Sumberdaya Geologi, Bandung.
190
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian
191
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Gambar 5. Peta Kontur Lokasi Daerah Penelitian
192
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Gambar 6.Zooming Peta Lokasi Wilayah Kajian
193
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Gambar 7. Bongkahan Bijih Besi
Gambar 8. Singkapan Bijih Besi yang dijumpai di Lokasi Penelitian
194
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Gambar 9. Lokasi Penelitian Bukit Batu Hitam
Gambar10. Keterdapatan Bijih Besi di Lokasi Penelitian
195
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Gambar 11. Perkebunan Sawit dan HTI di Lokasi Penelitian
Gambar 12. Morfologi Daerah Penelitian
196
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
ANALISA BATUAN BAWAH PERMUKAAN UNTUK RENCANA LOKASI TEMPAT PEMBUANGAN SAMPAH DI DESA KOPI, BONE BOLANGO
Ibrahim Sota1 dan Ahmad Zainuri 2 1.Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin 2. Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo
ABSTRAK Sampah menjadi masalah bagi kota-kota besar di Indonesia saat ini termasuk kota Kabila. Hal ini yang mendorong pemda Bone Bolango, Gorontalo untuk berbenah diri mencari lokasi tempat pembuangan akhir sampah. Salah satu lokasi yang dipilih sebagai tempat pembuangan ahkhir sampah adalah desa Kopi karena lokasi tersebut jauh dari kota Kabila, akses transportasinya mudah dijangkau dan jauh dari pemukiman warga. Untuk mengetahui apakah pemilihan lokasi desa Kopi layak atau tidak sebagai tempat pembuangan sampah, maka perlu dilakukan kajian secara geofisika dengan metode geolistrik resistivitas konfigurasi schlumberger untuk mengetahui daya dukung batuan bawah permukaan. Analisa hasil pengukuran geolistrik dari dua lokasi di desa Kopi adalah: lokasi I desa Kopi sangat baik karena terdapat lapisan kedap air tanah yaitu batuan beku diorit dengan ketebalan antara 1 meter hingga 4 meter yang berada diantara lapisan soil dan akifer, lokasi II desa Kopi kurang baik karena tidak adanya lapisan kedap air yang menutupi lapisan air tanah (akifer), sehingga sangat mungkin ketika ada limbah cair dari sampah, limbah tersebut akan terinfiltrasi ke dalam lapisan akuifer air tanah dan pada akhirnya akan mencemari air tanah. Kata Kunci: Sampah, Geolistrik, Bone Bolango
197
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
1.
PENDAHULUAN Sampah menjadi persoalan pemerintah daerah di seluruh Indonesia terutama
di daerah-daerah yang padat penduduk, karena belum ada sistem pengolahan sampah yang lebih baik. Masalah sampah adalah masalah klasik yang sudah lama melanda kota-kota besar di Indonesia, Masalah tersebut muncul karena terbatasnya lahan kosong yang dapat dijadikan sebagai tempat pembuangan akhir, sementara produksi sampah tiap hari terus berlangsung. Hal ini juga disebabkan
oleh kelakuan
masyarakat yang mengutamakan kenginginan pribadinya, tingkat pendidikan yang relatif rendah, perubahan pola hidup yang mengutamakan konsumsi menyebabkan makin meningkatnya jumlah dan keragaman sampah. Sampah baik yang bersifat organik ataupun anorganik, akan menjadi sarang penyakit yang sangat berbahaya bagi masyarakat dan lingkungan. Sampah yang dibuang pada lokasi tempat pembuangan akhir akan mengalami pembusukan terutama sampah basah yang umumnya terdiri dari sampah organik, apalagi di negara Indonesia merupakan negara tropis yang mempunyai iklim panas dan kelembaban tinggi. Hal ini merupakan faktor pemercepat terjadinya reaksi kimia, sehingga sampah lebih cepat membusuk. Air yang ada pada sampah hasil pembusukan umumnya mengandung bahan kimia, bakteri dan kotoran lainnya yang dapat merembes ke dalam tanah. Jika ada air hujan yang melewati sampah ini maka akan tercemar oleh polutan tersebut, sehingga hal ini dapat menimbulkan pencemaran air tanah baik yang berasal dari rembesan air sampah maupun oleh sampah itu sendiri. Air merupakan kebutuhan pokok bagi kelangsungan kehidupan manusia. Olehnya itu, ketersedian air baik dari segi kualitas maupun kuantitas bagi manusia harus menjadi perhatian serius
pemerintah (Danaryanto dkk., 2005). Dengan
bertambahnya populasi dan kemajuan industri menyebabkan kebutuhan air sangat meningkat, sehingga banyak penduduk yang memanfaatkan air tanah.
Dengan
demikian, masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air bersih mereka mengambil air tanah yang merupakan sumber air tawar yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian dan konsumsi (Heath, 1983). Peningkatan industri menyebabkan semakin menipisnya lahan pemukiman, sehingga menyebabkan semakin banyak penduduk di 198
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
kota-kota besar terpaksa tinggal di daerah sekitar tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Beberapa diantaranya memanfaatkan air sumur sebagai sumber air minum. Hal ini dikarenakan kebutuhan air bersih di daerah sekitar tempat pembuangan akhir (TPA) biasanya tidak terjangkau pelayanan yang disediakan oleh pemerintah melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).Jika terjadi pencemaran air tanah akibat meresapnya air lindi yang berasal dari pembusukan sampah, maka hal ini bisa menjadi penghambat bagi kelangsungan hidup penduduk disekitar tempat pembuangan akhir (TPA) tersebut. Oleh karena itu, rencana tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di desa Kopi kecamatan Bulango Utara kabupaten Bone Bulango harus memperhatikan aspek kesehatan, estetika dan lingkungan. Jauh dari pemukiman warga sehingga keberadaan tempat pembuangan akhir tersebut tidak mengganggu kenyamanan warga bila hendak melakukan aktifitas di luar rumah. Jauh dari fasilitas umum sehingga tidak mengganggu keindahan dan pemandangan kota. Secara kesehatan harus memperhatikan jenis batuan di lokasi yang akan dijadikan tempat pembuangan akhir sampah dan arah angin supaya bau yang ditimbulkan tidak berhembus kearah pemukiman warga. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka dalam perencanaannya harus melibatkan berbagai disiplin ilmu, salah satunya adalah geofisika. Metode geolistrik resistivitas konfigurasi schlumberger merupakan salah satu metode geofisika yang mudah, murah dan efisien serta tidak merusak lingkungan.
Metode ini
memanfaatkan variasi nilai resistivitas batuan bawah permukaan untuk mendeteksi struktur geologi atau formasi batuan bawah permukaan (Sehah dan Hartono, 2010). Berdasarkan parameter nilai resistivitas batuan (Laesanpura, 2005), maka dapat ditentukan apakah batuan di lokasi penelitian sangat kompak sehingga tidak bisa merembeskan air lindi atau batuannnya renggang sehingga gampang merembeskan air lindi. Dengan demikian metode geolistrik resistivitas tersebut sangat cocok untuk mengetahui apakah lokasi penelitian layak atau tidak dijadikan tempat pembuangan akhir sampah. Pengukuran geolistrik resistivitas konfigurasi Schlumberger menggunakan empat buah elektroda yang terdiri atas dua elektroda arus dan dua elektroda 199
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
potensial. Pengukuran tahanan jenis dilakukan dengan cara arus listrik diinjeksikan ke dalam bumi melalui dua elektroda arus, kemudian beda potensial diukur melalui dua elektroda potensial seperti pada Gambar 1. Nilai resistivitas yang diperoleh menggunakan persamaan sebagai berikut
a K
V I
……….………………………….(1)
dimana k menyatakan faktor geometri konfigurasi elektroda yang digunakan. Untuk konfigurasi Schlumberger
persamaan faktor geometri konfigurasi elektroda
sebagai berikut (Telford et.al., 1990):
K
L
2
b2 2b
…………………………………..(2)
Gambar 1. Konfigurasi elektroda Schumberger (Telford , 1990)
Gambar 2.
Lokasi Pengukuran di desa Kopi kecamatan Bulango Utara kabupaten Bone Bulango, Gorontalo 200
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
2.
METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Pengambilan Data Pendugaan geolistrik sounding dilakukan untuk mendapatkan data penelitian menggunakan konfigurasi elektroda schlumberger dengan variasi bentangan arus (AB/2) dari 1,5 m sampai 100 m dan bentangan elektroda potensial (MN/2) dengan variasi bentangan 0,5 sampai 20 m. Pengambilan data survei geolistrik tahanan jenis dilakukan dengan cara arus listrik diinjeksikan ke dalam bumi melalui dua elektroda arus, kemudian beda potensial diukur melalui dua elektroda potensial seperti pada Gambar 1 (Telford, 1990). Pengukuran dilakukan dengan mengubah-ubah jarak elektroda arus maupun potensial yang dilakukan dari jarak terkecil kemudian membesar secara gradual (Koefoed, 1979) . Jarak elektroda ini sebanding dengan kedalaman lapisan batuan yang terdeteksi. Semakin besar jarak elektroda, semakin dalam lapisan batuan yang diselidiki. Penelitian ini dilakukan di desa Kopi kecamatan Bulango Utara kabupaten Bone Bulango. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. 2.2. Pengolahan Data Data lapangan yang diperoleh diolah dengan menggunakan software IPI2WIN secara otomatis tanpa dilakukan secara manual. Dengan mengaktifkan tombol inversi maka secara otomatis program tersebut menghitung. Langkah ini dilakukan berulang-ulang hingga dicapai kecocokan (matching) > 90%, setelah itu baru dilakukan tahap interpretasi. 2.3. Interpretasi Data Interpretasi dilakukan dengan mempertimbangkan korelasi hasil pengolahan data software IPI2Win
yang berupa informasi (nilai resistivitas, kedalaman,
ketebalan) dengan pengetahuan dasar aspek-aspek tahanan jenis batuan, informasi geologi, informasi kondisi air sumur penduduk (kedalaman muka air tanah) sekitar sehingga diperoleh gambaran informasi struktur batuan yang sebenarnya. Profil yang diperoleh diinterpretasi untuk menafsirkan jenis litologi, sifat hidrogeologi batuan 201
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
bawah permukaan. Berdasarkan hasil interpretasi dapat diketahui kedalaman, ketebalan dan jenis batuan yang dapat berperilaku sebgai akuifer air tanah.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengukuran resistivity sounding dilakukan di dua lokasi rencana tempat
pembuangan akhir sampah Bone Bolango masing-masing di lokasi I dan lokasi II Desa Kopi (Gambar 2). Seluruh pengukuran dilakukan menggunakan konfigurasi Schlumberger dengan panjang bentangan berkisar 100 m. Pengukuran sounding di lokasi I Desa Kopi terdiri dari 2 titik sounding yakni I-1 dan I-2, di lokasi II Desa Kopi terdiri dari 2 titik sounding yakni II-1 dan II-2. Hasil inversi data resistivity sounding di dua titik di lokasi I Desa Kopi
Resistivitas (ohm.m)
ditunjukkan pada Gambar 3 dan gambar 4.
Panjang Bentangan (m)
Gambar 3. Kurva resistivitas batuan terhadap kedalaman di titik sounding I-1
202
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Tabel 1. Lapisan batuan di titik sounding I-1 Lapisan I II III IV
Resistivitas (ohm.m) 39,9 77,9 20,1 57,8
Kedalaman (m)
Ketebalan (m)
0,578 1,75 13,9 >13,9
0,578 1,17 12,1
Keterangan Top soil cap rock Batu Pasir Diorit
Hasil inversi titik sounding I-1 menunjukan ada empat lapisan batuan. Hasil pengolahan data titik sounding I-1 ditunjukan pada gambar 3
dan hasil
interpretasinya ditunjukan pada table 1. Resistivitas lapisan pertama sebesar 39,9 ohm.m dengan kedalaman 0,578m dan ketebalan 0,578m diinterpretasikan sebagai top soil atau lapisan lapuk yang bertekstur lempung pasiran. Resistivitas lapisan kedua sebesar 77,9 ohm.m dengan kedalaman 1,75 m dan ketebalan 1,17 m diinterpretasikan sebagai batuan diorite yang dapat berperan sebagai lapisan penutup (cap rock). Resistivitas lapisan ketiga sebesar 20,1 ohm.m dengan kedalaman 13,9 m diinterpretasikan batuan pasir. Resistivitas lapisan keempat sebesar 57,8 ohm.m
Resistivitas (ohm.m)
dengan kedalaman >13,9 m diinterpretasikan batuan diorit.
Panjang Bentangan (m)
Gambar 4. Kurva resistivitas batuan terhadap kedalaman di titik sounding I-2
203
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Tabel 2. Lapisan batuan di titik sounding I-2 Lapisan I II III IV
Resistivitas (ohm.m) 30,6 75,7 10,7 68,4
Kedalaman (m) 3,0 7,3 19,8 >13,9
Ketebalan (m) 3,0 4,3 12,5
Keterangan Top soil cap rock Batu Pasir Diorit
Hasil inversi titik sounding I-2 menunjukan ada empat lapisan batuan. Hasil pengolahan data titik sounding I-1 ditunjukan pada gambar 3
dan hasil
interpretasinya ditunjukan pada table 2. Resistivitas lapisan pertama sebesar 30,6 ohm.m dengan kedalaman 3,0m dan ketebalan 3,0m diinterpretasikan sebagai top soil atau lapisan lapuk yang bertekstur lempung pasiran.. Resistivitas lapisan kedua sebesar 75,7 ohm.m dengan kedalaman 7,3 m dan ketebalan 4,3 m diinterpretasikan sebagai batuan diorite yang dapat berperan sebagai lapisan penutup (cap rock). Resistivitas lapisan ketiga
sebesar
10,7 ohm.m dengan kedalaman 19,8 m dan
ketebalan 12,5m diinterpretasikan batuan pasir. Resistivitas lapisan keempat sebesar 68,4 ohm.m dengan kedalaman >19,8 m diinterpretasikan batuan diorit.
Air tanah
Gambar 5. Korelasi penampang stratigrafi bawah permukaan di lokasi I titik sounding I-1 dan I-2 204
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Korelasi penampang resistivitas (resistivity cross-section) bawah permukaan Gambar 3 dan gambar 4 serta berdasarkan hasil observasi lapangan terkait kondisi hidrogeologi dan data sekunder (peta geologi) di wilayah tersebut, dihasilkan penampang geologi bawah permukaan sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 5. Jarak antara titik sounding I-1 dan I-2 sekitar 280 m sedangkan posisi titik I-1 di bagian timur dan posisi titik I-2 di bagian barat . Beda tinggi (elevasi) antara dua titik sounding sekitar 12m yang menunjukan bahwa topografi daerah pengukuran relatif datar. Lapisan pertama berupa top soil atau lapisan lapuk yang bertekstur lempung pasiran dengan ketebalan di titik I -1 sekitar 1 meter dan makin menebal hingga sekitar 3 meter di titik I-2 yang topografinya lebih rendah. Lapisan kedua terdapat lapisan batuan keras (kedap air) yaitu batuan beku diorit yang ketebalannya sekitar 1 meter di titik I-1 dan sekitar 4 meter di titik I-2. Lapisan ini berperan sebagai penyangga (cap rock) karena batuan ini bersifat kedap air (akuiklud) sehingga memproteksi lapisan batu pasir di bawahnya dari ancaman pencemaran air tanah. Lapisan ketiga adalah batu pasir yang cukup tebal sekitar 12 meter diduga sebagai reservoir air tanah dan berperan sebagai lapisan akifer (Fetter, 1994). Lapisan keempat adalah batuan beku diorit yang diduga sebagai batuan dasar (bed rock) di lokasi pengukuran. Kemiringan lapisan batuan di lokasi ini cendrung kearah barat, yang mana kemiringan ini juga akan mempengaruhi arah aliran rembesan fluida. Berdasrkan analisa sifat kelistrikan (resistivitas), hidrogeologi (akuifer dan non akuifer) dan geologi (stratigrafi batuan) maka lokasi I desa Kopi layak dijadikan sebagai tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Hal ini disebabkan karena adanya lapisan batuan diorite yang kedap air diantara top soil dan lapisan batu pasir yang berfungsi sebagai penyangga untuk memproteksi air tanah dalam lapisan batu pasir. Dengan demikian bila ada fluida cair atau lindi dari hasil pembusukan sampah, maka cairan tersebut tidak akan terinfiltrasi hingga ke dalam lapisan batu pasir yang merupakan akuifer air tanah sehingga aman dari pencemaran. Hasil inversi data resistivity sounding di dua titik sounding di lokasi II Desa Kopi ditunjukkan pada Gambar 6 dan Gambar 7. 205
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Resistivitas (ohm.m)
Banjarbaru, 30 Juli 2011
Panjang Bentangan (m)
Gambar 6. Kurva resistivitas batuan terhadap kedalaman di titik sounding II-1
Tabel 3. Lapisan batuan di titik sounding II-1 Lapisan I II III
Resistivitas (ohm.m) 32,5 10,9 1052
Kedalaman (m) 1,0 5,24 >5,24
Ketebalan (m) 1,0 4,24
Keterangan Top soil Batu Pasir Diorit
Hasil inversi titik sounding II-1 menunjukan ada tiga lapisan batuan. Hasil pengolahan data titik sounding II-1 ditunjukan pada gambar 6
dan hasil
interpretasinya ditunjukan pada table 3. Resistivitas lapisan pertama sebesar 32,5 ohm.m dengan kedalaman 1,0m dan ketebalan 1,0m diinterpretasikan sebagai top soil atau lapisan lapuk yang bertekstur lempung pasiran.. Resistivitas lapisan kedua sebesar 10,9 ohm.m dengan kedalaman 5,24 m dan ketebalan 4,24 m diinterpretasikan sebagai batuan pasir yang berperan sebagai reservoir dan lapisan akuifer air tanah.
Resistivitas lapisan ketiga
sebesar 1052 ohm.m dengan
kedalaman >5,24 m diduga batuan diorit. 206
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Hasil inversi titik sounding II-2 menunjukan ada tiga lapisan batuan. Hasil pengolahan data titik sounding II-2 ditunjukan pada gambar 7
dan hasil
interpretasinya ditunjukan pada table 4. Resistivitas lapisan pertama sebesar 35,6 ohm.m dengan kedalaman 0,33m dan ketebalan 0,33m diinterpretasikan sebagai top soil atau lapisan lapuk yang bertekstur lempung pasiran. Resistivitas lapisan kedua sebesar 16,7 ohm.m dengan kedalaman 7,07 m dan ketebalan 6,74 m diinterpretasikan sebagai batuan pasir yang berperan sebagai reservoir dan lapisan akuifer air tanah.
Resistivitas lapisan ketiga
sebesar 945,2
ohm.m dengan
Resistivitas (ohm.m)
kedalaman >7,07 m diduga batuan diorit.
Panjang Bentangan (m)
Gambar 7. Kurva resistivitas batuan terhadap kedalaman di titik sounding II-2 Tabel 4. Lapisan batuan di titik sounding II-2 Lapisan
Resistivitas (ohm.m)
Kedalaman (m) Ketebalan (m)
Keterangan
I
35,6
0,33
0,33
Top soil
II
16,7
7,07
6,74
Batu Pasir
III
945,2
>7,07
Diorit
207
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Korelasi penampang resistivitas (resistivity cross-section) bawah permukaan Gambar 6 dan gambar 7 serta berdasarkan hasil observasi lapangan terkait kondisi hidrogeologi dan data sekunder (peta geologi) di wilayah tersebut, dihasilkan penampang geologi bawah permukaan sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 8. Jarak antara titik sounding II-1 dan II-2 sekitar 180 m sedangkan posisi titik II-1 di bagian timurlaut dan posisi titik II-2 di bagian baratdaya . Beda tinggi (elevasi) antara dua titik sounding sekitar 12m yang menunjukan bahwa topografi daerah pengukuran relatif datar. Lapisan pertama berupa top soil atau lapisan lapuk yang bertekstur lempung pasiran dengan ketebalan di titik II-1 sekitar 1 meter dan makin menipis hingga sekitar 0,3 meter di titik II-2 yang topografinya lebih rendah. Lapisan kedua adalah batu pasir yang tebal sekitar 4 meter di titik II-1 dan makin menebal hingga sekitar 7 meter di titik II-2 yang diduga sebagai reservoir air tanah dan berperan sebagai lapisan akifer. Lapisan ketiga adalah batuan beku diorit yang diduga sebagai batuan dasar (bed rock) di lokasi pengukuran yang bersifat nonakuifer . Kemiringan lapisan batuan di lokasi ini cendrung kearah baratdaya, yang mana kemiringan ini juga akan mempengaruhi arah aliran rembesan fluida.
Air tanah
sungai
Gambar 8. Korelasi penampang stratigrafi bawah permukaan di lokasi II titik sounding II-1 dan II-2. 208
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Berdasarkan analisa sifat kelistrikan (resistivitas), hidrogeologi (akuifer dan non akuifer) dan geologi (stratigrafi batuan) maka lokasi II desa Kopi tidak layak dijadikan sebagai tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Hal ini disebabkan karena tidak adanya lapisan batuan yang kedap air diantara top soil dan lapisan batu pasir yang berfungsi sebagai penyangga untuk memproteksi air tanah yang ada dalam lapisan batu pasir. Dengan demikian bila ada fluida cair atau lindi dari hasil pembusukan sampah, maka cairan tersebut akan terinfiltrasi hingga ke dalam lapisan batu pasir yang merupakan akuifer air tanah sehingga tidak aman dari pencemaran.
4.
KESIMPULAN
1.
Lokasi I desa Kopi layak dijadikan sebagai tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Hal ini karena adanya lapisan batuan diorite yang kedap air di antara top soil dan lapisan batu pasir yang berfungsi sebagai penyangga untuk memproteksi air tanah dalam lapisan batu pasir. Dengan demikian bila ada fluida cair atau lindi dari hasil pembusukan sampah, maka cairan tersebut tidak akan terinfiltrasi hingga ke dalam lapisan batu pasir yang merupakan akuifer air tanah sehingga aman dari pencemaran.
2.
Lokasi II desa Kopi tidak layak dijadikan sebagai tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Hal ini karena tidak adanya lapisan batuan yang kedap air di antara top soil dan lapisan batu pasir yang berfungsi sebagai penyangga untuk memproteksi air tanah dalam lapisan batu pasir. Dengan demikian bila ada fluida cair atau lindi dari hasil pembusukan sampah, maka cairan tersebut akan terinfiltrasi hingga ke dalam lapisan batu pasir yang merupakan akuifer air tanah sehingga tidak aman dari pencemaran.
209
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
5.
DAFTAR PUSTAKA
Laesanpura, A., 2005, Final Report on Field Research of Geophysics Study in the Kangean Islands, LPPM-ITB and MMM-Université de la Rochelle. Heath, R. C., 1983, Geological Survey water-supply paper, Basic ground-water hydrology, 2220. Fetter, C.W., 1994, Applied hydrogeology 3rd ed., Macmillan College Publishing Company, Inc. Danaryanto, Djaendi, S. Hadipurwo, H. Tirtomiharjo, H. Setiadi, A. D. Wirakusumah & Y. Siagian, 2005, Air Tanah di Indonesia dan Pengelolaannya, Departemen ESDM, Jakarta. Koefoed, O., 1979, Geosounding Principles : Resistivity Sounding Measurement, Elsevier. Telford, W.M., L.P. Geldart, and R. E. Sheriff, 1990, Applied Geophysics, Second Edition, Cambridge and Hall, New York.
210
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
STUDI AWAL PEMANFAATAN AIR ASAM TAMBANG BATUBARA SEBAGAI KOAGULAN AIR SUNGAI MARTAPURA Agus Mirwan, Reni Indrawati Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat, Kota Banjarbaru, Indonesia Jl. A. Yani Km. 36 Banjarbaru 70714 Kalimantan Selatan Telepon/Faks: (0511) 7404878/4773858
[email protected] ABSTRAK Kalimantan Selatan merupakan daerah yang dikelilingi banyak sungai namun kondisi airnya belum layak untuk dikonsumsi. Salah satu sungai yang ada adalah sungai Martapura yang mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan masyarakat sekitar bantaran untuk keperluan air minum, mandi, mencuci, dan sarana transportasi. Namun kualitiasnya mengandung zat-zat padat yang tersuspensi, berwarna kecoklatan, pH yang agak rendah dan tingkat kekeruhan (turbidity) yang sangat tinggi.Disis yang lain adanya kegiatan pertambangan batubara tentunya akan selalu menimbulkan dampak terhadap lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Salah satu dampaknya adalah munculnya air asam tambang (AAT) yang merupakan air lindian dari mineral sulfida dengan tingkat keasaman dan kandungan senyawa ion logam yang tinggi seperti Al3+, Fe3+, dan lainnya yang berpotensi besar dapat dijadikan sebagai koagulan .Penelitian ini bertujuan mengetahui dan mempelajari manfaat AAT sebagai koagulan untuk menurunkan tingkat kekeruhan dan pH air sungai Martapura. AAT yang digunakan berasal dari kota Binuang Kabupaten Tapin dan kota Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu kalimantan Selatan. Proses koagulasi dan flokulasi menggunakan beaker glass yang dilengkapi dengan pengaduk (jar-test). Proses koagulasi dilakukan dengan kecepatan pengadukan 200 rpm selama 1 menit. Proses flokulasi dengan kecepatan pengadukan 40 rpm selama 5 menit, danproses dekantasi yang dilakukan selama 15 menit.Hasil penelitian menunjukan bahwa AAT batubara dapat dimanfaatkan sebagai koagulan dalam menurunkan tingkat kekeruhan air sungai Martapura dengan tingkat kekeruhan & pH sebesar 3,75 NTU dan 6,25 dari kondisi 713 NTU dan 7,18 untuk AAT batubara daerah Binuang sebanyak 0,3 mg/L. Sedangkan AAT batubara daerah Batulicin menunjukan tingkat kekeruhan & pH sebesar 45,6 NTU dan 7,33 dengan jumlah konsentrasi juga sebesar 0.3 mg/L. Penurunan tingkat kekeruhan air sungai Martapura seiring dengan penambahan jumlah konsentrasi AAT batubara sehingga tidak menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap nilai pH. Kata kunci : asamtambang, sungai, koagulasi, flokulasi
211
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
1.
PENDAHULUAN Kalimantan Selatan merupakan daerah yang dikelilingi banyak sungai namun
kondisi airnya belum layak untuk dikonsumsi. Salah satu sungai yang ada adalah sungai Martapura yang mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan masyarakat sekitarnya untuk keperluan air minum, mandi, mencuci, sarana transportasi,dan lainya. Sebanyak 59,4% masyarakat di sepanjang sungai Martapura menggunakan air sungai sebagai sumber air untuk keperluan rumah tangga dan sekitar 80% dari masyarakat tersebut mengambil air sungai tanpa mengolahnya (Arifin 2008). Kualitas air Sungai Martapura selalu berubah-ubah, hal tersebut karena kultur masyarakat ada disekitar bantaran sungai yang masih suka membuang sampah ke badan sungai dan karena masih tingginya erosi yang terjadi di hulu sungai akibat terjadinya penebangan hutan sehinggakualitasnyamasih mengandung zat-zat padat yang tersuspensi, pH yang agak rendah, dan berwarna kecoklatan dengan tingkat kekeruhan (turbidity) yang sangat tinggi.Kualitas air sungai Martapura secara rata-ratamemiliki kandungan organik 24-78 mg/L.KMnO4, warna 60-124 PtCo, pH 5,9-7,2 dan tingkat kekeruhan berkisar 25-68 NTU (Majalah Air Minum 2005). Berdasarkan penelitian Musyaddah dan Yenie (2009) menunjukkankualitas air sungai Martapura memilikikandungan warna 11mg/LPtCo, tingkat kekeruhan 12,9 NTU, dan pH 7,5. Salah satu dampak dari kegiatan pertambangan adalah munculnya air asam tambang (AAT). AAT ini merupakan air asam yang terbentuk karena adanya kontak antara batuan yang bersifat asam (sulfida mineral) dengan udara atau air. Pembentukan AAT terjadi karena adanya proses oksidasi pada batuan yang mempunyai kandungan pyrite setelah mengalami kontak dengan oksigen baik yang terdapat di air maupun udara. Kemudian air tersebut akan mengalami perubahan pH menjadi 2-3(Hardani 2009). AAT juga memiliki kandungan senyawa ion logam yang cukup tinggi seperti Fe3+, Al3+, Zn2+, Ni2+, Mn2+, Mg2+, Ca2+ dan pyrite (FeS2) yang umum dijumpai di lokasi pertambangan (Roa, dkk 1992). Selain itu berbagai jenis sulfida logam yang mempunyai potensi membentuk AAT seperti marcasite, pyrrhotite, chalcocite, covellite. Berdasarkan penelitian Rao, dkk (1992) bahwa AAT
212
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
ternyata dapat di manfaatkan sebagai koagulan untuk menurunkan tingkat kekeruhan dan fosfor. Bahkan lebih lebih unggul dari koagulan FeCl3 yang tersedia di pasaran karena AAT tersebut mengandung Al3+ dan Fe3+ yang banyak.Namun adanya beberapa kandungan senyawa logam perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai koagulan. Untuk memperoleh air bersih sebagai kebutuhan masyarakat di sekitar bantaran sungai Martapura dan meminimasi kebutuhan koagulan yang digunakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) serta mengurangi dampak negatif munculnya AAT batubara, maka dibutuhkan studi awal yang mempelajari sistem pengolahan air bersih dengan memanfaatkan AATbatubara sebagai koagulan yang berpotensi besar dapat menghasilkan air bersih , mengurangi biaya operasional PDAMdan diketahuinya manfaat dari AAT batubara yang selama ini menjadi masalah di lokasi pertambangan. Penelitian ini bertujuan mengetahui dan mempelajari manfaat AAT batubara sebagai koagulan untuk menurunkan tingkat kekeruhan dan pH air sungai Martapura dengan proses koagulasi dan flokulasi.
2.
BAHAN DAN METODE Sampel air sungai yang digunakan berasal dari sungai Martapura tepatnya di
Desa
Tunggul
Inang
Kabupaten
Martapura
Kalimantan
Selatan
dimana
masyarakatnya masih sangat tergantung air sungai dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pengambilan sampel air dilakukan pada kondisi musim hujan sehingga mempunyai tingkat kekeruhan (turbidity) yang tinggi dan pH yang agak rendah. AAT batubara yang digunakan sebagai koagulan berasal dari sisa pertambangan batubara di daerah Binuang kabupaten Tapin dan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Kalimanatan Selatan. Alat yang digunakan dalam penelitian terdiri dari rangkaian alat proses koagulasi dan flokulasi yang dilengkapi dengan pengaduk (Gambar 1), beaker glass,gelas ukur, pipet volum, neraca analitik, stopwatch, pH meter, dan turbidimeter. Bahan yang digunakan terdiri dari air sungai Martapura, AAT batubara daerah Binuang, dan AAT batubara daerah Batulicin.
213
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Proses koagulasi dan flokulasi menggunakan beaker glass yang dilengkapi dengan pengaduk (Gambar 1). Proses koagulasi dilakukan dengan kecepatan pengadukan 200 rpm selama 1 menit. Proses flokulasi dengan kecepatan pengadukan 40 rpm selama 5 menit dan proses dekantasi atau pengendapan selama 15 menit (Mirwan 2011). Analisis turbiditydan pH dilakukan pada kondisi awal sampel air dan proses akhir dekantasi dengan variasi konsentrasi penambahan koagulan AAT batubara sebesar 10%, 20%, 30%, dan 40%. Prosedur analisis data menggunakan turbidimeter dengan satuan NTU (nephelometric turbidity units) yang mengacu pada SNI 06-6989.25-2005 tentang cara uji kekeruhan air dan air limbah dengan nefelometer dan dan pH meter yang mengacu pada SNI 06-6989.11-2004 tentang cara uji derajat keasaman (pH) air dan air limbah dengan menggunakan alat pH meter.
4 2
5 6
3
Keterangan: 1. Beaker glass 2. Tombol power 3. Pengaduk 4. Pengatur kecepatan pengadukan 5. Pengatur waktu 6. Lampu
1
Gambar 1. Rangkaian Alat Proses koagulasi dan flokulasi air dari sungai Martapura (sumber: Mirwan 2009)
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Proses penjernihan air dari sungai Martapura meliputi proses awal, koagulasi,
flokulasi, dan dekantasi yang pada akhirnya akan diperoleh 2 (dua) kurva hasil analisis tingkat kekeruhan dan pH terhadap jumlah konsentrasi koagulan yang digunakan (AAT batubara daerah Binuang dan AAT batubara daerah Batulicin). Hasil pengamatan awal analisis pH untuk AAT batubara daerah Binuang dan Batulicin adalah 3,41 dan 4,97. Sedangkan hasil analisis tingkat kekeruhan dan pH
214
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
awal air sungai Martapura dan kondisi akhir setelahpenambahan AAT batubara ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil analsis turbidity dan pH pada kondisi awal dan setelah penambahan koagulan AAT batubara Variasi penambahan Kondisi jumlah konsentrasi Jenis awal air koagulan AAT No Parameter Standar koagulan sungai batubara Martapura 10 20 30 40 % % % % 1. Turbidity(N <5 AAT 713 313 5,9 3, 3,00 TU) batubara 4 75 daerah 2. pH <6 7,18 6,62 6,2 6, 5,90 Binuang 5 12 1.
Turbidity (NTU)
<5
2.
pH
<6
AAT batubara daerah Batulicin
713
7,18
7 4, 2 7, 3 6
65,8
7,09
4 5, 6 7, 3 3
49,2
7,23
Gambar 2 secara keseluruhan menunjukkan terjadi penurunan tingkat kekeruhan airsungai Martapura disetiap variasi jumlah konsentrasi penambahan AAT batubara dari Binuang dan Batulicin dari kondisi awal sebesar 713 NTU.Hal ini dikarenakan makin banyak penambahan jumlah konsentrasi AAT batubara akan memudahkan partikel terlarut dapat berkaitan dengan koloid-koloid yang ada di dalam air sungai sehingga menyatu atau bergabung menjadi partikel yang lebih besar dan berat (flok). Proses penggabungan tersebut didukung dengan adanya gaya tarikmenarik dan gaya ikat antar partikel (gaya Van Der Waals) sehingga memudahkan terbentuknya flok-flok yang lama-kelamaan akan mengendap.Dan adanya kandungan Al3+ dan Fe3+dalam AAT batubara yang dapat mengikat partikel koloid pada air sungai Martapura (Roa, dkk1992 dan Hardani 2009). Pada proses koagulasi dan flokulasi dilakukan pengadukan sehingga ion Al3+ dalam AAT batubara akan terhidrolisis membentuk koloid Al(OH)3 yang bermuatan positif dan bersatu dengan ion-ion negatif yang ada pada partikel koloid dalam air
215
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
sungai Martapura sehingga membentuk flok yang besar, berat dan akhirnya mengendap. Hal tersebut menjadikan tingkat kekeruhan air sungai Martapura makin rendah seiring dengan bertambahnya jumlah konsentrasi AAT batubara baik dari
Tingkat Kekeruhan, NTU
daerah Binuang maupun Batulicin.
AAT batubara Binuang
75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
AAT batubara Batulicin
0%
10%
20%
30%
40%
Konsentrasi Penambahan AAT Batubara
Gambar 2. Hasil analisis tingkat kekeruhan (NTU) terhadap berbagai konsentrasi penambahan AAT batubara
AAT batubara Binuang
8
AAT batubara Batulicin
pH
7
6
5 0%
10%
20%
30%
40%
Konsentrasi Penambahan AAT Batubara
Gambar 3. Hasil analisis pHterhadap berbagai konsentrasi penambahan AAT batubara
216
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Gambar 3 menunjukan bahwa analisis pH air sungai Martapura setelah penambahan AAT batubara Binuang dan Batulicin secara keseluruhan tidak mengalami kenaikan dan penurunan yang signifikan dari nilai awal pH sebesar 7,17. Hal ini disebabkan terjadinya pembebasan ion H+dan adanya ion Al yang bersifat amfoter dalam AAT batubara sehingga dapat menyesuaikan dengan suasana lingkungan yang ditempatinya (Mirwan 2009).Proses koagulasi dan flokulasi dapat berlangsung optimal pada pH 6-7. Namun pada pH yang terlalu rendah (<4) dapat menghambat proses koagulasi dan flokulasi (Alaerts dan Santika 1987).
4.
KESIMPULAN Dari eksperimen yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan.Air
asam tambang (AAT)batubara dapat dimanfaatkan sebagai koagulan dalam menurunkan tingkat kekeruhan air sungai Martapura dengan tingkat kekeruhan & pH sebesar 3,75 NTU dan 6,25 dari kondisi 713 NTU dan 7,18 untuk AAT batubara daerah Binuang sebanyak 0,3 mg/L. Sedangkan AAT batubara daerah Batulicin menunjukan tingkat kekeruhan & pH sebesar 45,6 NTU dan 7,33 dengan jumlah konsentrasi juga sebesar 0.3 mg/L. Penurunan tingkat kekeruhan air sungai Martapura seiring dengan penambahan jumlah konsentrasi AAT batubara baik dari daerah Binuang maupun Batulicin sehingga tidak menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap nilai pH.
5.
DAFTAR PUSTAKA
Alaerts, G & Santika, S. S (1987), Metode penelitian air, Usaha Nasional. Surabaya. Arifin (2008), Pengendalian proses koagulasi pada suatu instalasi pengolahan air, Mediun. Asdak. C (2002), Hidrologi lingkungan, UGM Press, Jogjakarta. Davis, Mackenzie L & D.A (2006), Introduction to environmental engineering, Third Edition, McGraw Hill, Singapore. Fair, GM (1971),Elements of water supply and waste water disposal. 2nd Ed.Tokyo.
217
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Gautama, R. S (1999), Sistem penyaliran tambang, FTM ITB, Bandung . Hardani, PP (2009), Kajian catchment area approach dalam pengelolaan air asam tambang, Central Library Institute Technology Bandung. Karbito &Slamet A (2003), Optimasi dosis tawas, tanah gambut dan kapur tohor sebagai koagulan dalam pengolahan air gambut menjadi air bersih, Jurnal Purifikasi Jurusan Teknik Lingkungan-FTSP ITS Surabaya., 4-1, 1411-3465. Kusnaedi (2000), Mengolah air gambut dan air kotor untuk air minum. PT. Penebar Swadaya. Jakarta Mirwan, A., (2009), Pemanfaatan limbah padat lumpur PDAM sebagai tawas cair untuk penjernihan air dari sungai Barito Kalimantan Selatan. ProceedingSeminar Nasional Inovasi & Aplikasi Teknologi di Industri. ITN Malang. Mirwan, A., (2011), Pemanfaatan kembali limbah padat lumpur (LPL) PDAM Intan Banjar sebagai koagulan penjernih dari sungai Martapura Kalimantan Selatan. ProceedingSeminar Nasional &rapat Tahunan Bidang Ilmu MIPA (SEMIRATA BKS-PTN B). Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru. Qasim, S R., Edward M. Motley., & Zhu, G (2000), Water works engineering planning, desain and operation, Prentice Hall, USA. Rao S R., Gerh R., Riendeau M., Lu D., & Finch J. A. (1992), Acid mine drainage as a coagulant, Mineral Engineering Journal., 5-9, 1011-1020. SNI 06-6989.25-2005 tentang cara uji kekeruhan air dan air limbah. SNI 06-6989.11-2004 tentang cara uji derajat keasaman (pH) air dan air limbah. Surinsyah(2004), Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas air PDAM,tesis program pasca sarjana Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru.
218
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Pemurnian Etanol Dengan Proses Adsorbsi Menggunakan Fly Ash Batubara Teraktivasi Doni Rahmat Wicakso, Aliyah dan Ervina Astuti Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Indonesia
[email protected] ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh waktu, massa dan kecepatan stirrer dalam proses adsorpsi pada pemurnian etanol 96 % dengan menggunakan adsorben fly ash batubara.Penelitian ini dimulai dengan aktivasi secara kimia dan fisika, fly ash batubara yang telah teraktivasi kemudian di adsorpsi menggunakan etanol 96 %. Setelah keadaan tertentu di lakukan penyaringan, filtrat yang didapat dianalisis dengan metode berdasarkan berat jenis.Berdasarkan pengujian dengan variasi waktu 10, 20, 30 dan 40 menit didapatkan waktu optimum sebesar 20 menit. Jika waktu yang digunakan lebih dari 20 menit, maka kadar etanol yang dihasilkan akan semakin turun. Hal yang serupa juga terjadi untuk variasi massa fly ash 5, 10, 15 dan 20 gram, semakin banyak massa adsorben yang digunakan, semakin kecil tingkat penyerapannya. Sedangkan untuk variasi kecepatan stirrer sebesar 50, 60 dan 70 rpm dapat diketahui bahwa semakin tinggi kecepatan stirrer yang digunakan proses adsorpsi akan sulit dilakukan. Kadar optimum etanol sebesar 99,9864 % di dapat dari massa fly ash 10 gram dengan kecepatan stirrer 50 rpm.
Kata kunci: energi, alternatif, waktu, massa, aktivasi
219
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
1.
PENDAHULUAN Etanol merupakan salah satu senyawa yang keberadaannya banyak dibutuhkan
baik dalam laboratorium, dunia kedokteran, maupun dalam industri. Saat ini etanol juga dikenal sebagai salah satu energi alternatif yang ramah lingkungan (Greer, 2005; Riyanti, 2009).Minat dunia dalam menggunakan bioetanol sebagai energi alternatif telah mendorong penelitian yang berkaitan dengan efisiensi biaya dan proses produksi. Etanol dilaporkan dapat menghasilkan paling sedikit 20% energi lebih tinggi dibandingkan dengan energi yang digunakan dalam proses produksinya. Selain itu, proses produksi dan pembakaran etanol dapat menurunkan 12% gas rumah kaca dibandingkan dengan bahan bakar fosil (Hill et al. 2006).Dalam hal ini etanol mempunyai masalah dalam pemurniannya, dimana etanol yang mengandung air dengan cara penyulingan biasa hanya mampu menghasilkan etanol dengan kemurnian 96%. Hal ini dikarenakan campuran etanol-air memiliki titik azeotrop (Perry, 2008). Untuk memenuhi syarat sebagai bahan bakar, maka kadar etanol harus mencapai 99,5 % (Fuel Grade Ethanol). Untuk mencapai FGE maka perlu dilakukan pemurnian lebih lanjut. Salah satu cara yang dapat diaplikasikan adalah adsorbsi. Teknik ini mempunyai keunggulan yaitu biaya relatif murah, mudah dan tidak ada efek samping zat beracun. Adsorpsi menurut International Union Of Pureand Applied Chemistry (IUPAC) adalah proses akumulasi satu ataul ebih komponen pada lapisan
interface
(Rouquerol,
dkk,1999).
Sedangkan
menurut
Thomasdan
Crittenden(1998), adsorpsi didefinisikan sebagai proses akumulasi konsentrasi dari molekul solute
(gasataucair) kepermukaan padatan akibat adanya gaya tarik
(afinitas) antara solute dan adsoren. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan adsorben meliputi: luas permukaan efektif, struktur padatan dan struktur permukaan, ukuran dan distribusi pori atau pore network, serta proses aktivasi karbon pada proses persiapan. Proses adsorpsi larutan secara teoritis umumnya lebih rumit bila dibandingkan dengan proses adsorpsi pada gas, uap atau cairan murni. Hal tersebut disebabkan adsorpsi larutan melibatkan kompetisi antara zat terlarut dan pelarut atau antara komponen-komponen campuran cairan dengan situs adsorpsi
220
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
( Shaw, 1983). Jumlah zat yang teradsorpsi oleh tiap gram adsorben tergantung pada luas permukaan adsorben, konsentrasi adsorben, temperatur dan sifat-sifat molekul yang terlibat. Salah satu dari adsorben yang belum termanfaatkan dengan baik adalah abu layang batubara. Abu layang batubara umumnya dibuang di landfill atau ditumpuk begitu saja di dalam area industri. Penumpukkan abu terbang batubara ini menimbulkan masalah bagi lingkungan. Adapun komponen utama dari abu terbang batubara yang berasal dari pembangkit listrik adalah silika (SiO2), alumina, (Al2O3), dan besi oksida (Fe2O3), sisanya adalah karbon, kalsium, magnesium, dan belerang (Putri, 2008). Abu terbang batubara terdiri dari butiran halus yang umumnya berbentuk bola padat atau berongga. Ukuran partikel abu terbang hasil pembakaran batubara bituminous lebih kecil dari 0,075mm. Kerapatan abu terbang berkisar antara 2100 sampai 3000 kg/m3 dan luas area spesifiknya (diukur berdasarkan metode permeabilitas udara Blaine) antara 170 sampai 1000 m2/kg (Pratama dan Putranto, 2007 dalam Putri, 2008). Atas dasar tersebut maka abu layang batubara merupakan adsorben yang potensial untuk segera dimanfaatkan.
2.
PENELITIAN
2.1. Bahan Bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah etanol 96%, HCl 6 M, H2SO46 M, aquadest, es batu dan fly ash batubara (ukuran 200 mesh). 2.2. Alat Rangkaian alat yang dipakai dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. 2.3. Cara Penelitian 2.3.1. Aktivasi Fly Ash Batubara Fly ashbatubara yang sudah dikeringkan dimasukkan ke dalam 800 mL HCl 6 M dan merendamnya selama 24 jam pada suhu kamar, lalu menyaring dan mencuci sampel dengan aquadest. Setelah itu sampel dikeringkan pada suhu 100oC, kemudian memasukkannya ke dalam 500 mL H2SO4 6 M dan merendam sampel selama 5 jam
221
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
pada suhu kamar, lalu menyaring dan mencuci sampel dengan aquadest. Setelah itu sampel dikeringkan dalam oven selama 2,5 jam dan mengkalsinasinya pada suhu 600oC.
1 2 3 4 5 7
6
E-5
Keterangan: 1. Termometer 2. Gelas beker 3. Erlenmeyer 4. Magnetic stirrer 5. Hot plate 6. Tombol pengatur kecepatan stirrer 7. Tombolpengaturpanas
Gambar 1. Alat Utama Penelitian Adsorpsi
2.3.2. Proses Adsorpsi Fly ash batubara yang telah teraktivasi (berat divariasikan)dan 50 ml etanol dimasukkan dalam adsorber (Gambar 1). Kemudian melakukan proses adsorpsi dan menjaga suhu operasi pada suhu 22oC.Adsorbsi dilakukan dengan variasi kecepatan stirer, waktu adsorbsi dan perbandingan fly ash batubara dan etanol. Setelah proses adsorpsi selesai, pisahkan fly ash teraktivasi dengan etanol 96% dengan kertas saring whatman, kemudian melakukan analisis kandungan etanol, sehingga didapatkan kondisi optimum untuk proses adsorpsi ini. Analisis etanol dilakukan dengan mengukur densitas etanol hasil adsorbsi dan kemudian mencocokkan densitas etanol literatur (Perry’s, 2008).
3.
PEMBAHASAN
3.1. Pengaruh Waktu Adsorbsi Terhadap Kadar Etanol Pengaruh waktu adsorbsi terhadap kadar etanol dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3.
222
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri”
Kadar Etanol (%)
Banjarbaru, 30 Juli 2011
100.0 99.5 99.0 98.5 98.0 97.5 97.0 96.5 96.0 95.5
kecepatan 50 rpm kecepatan 60 rpm kecepatan 70 rpm
0
10
20
30
40
50
Waktu Pengadukan (menit)
Gambar 2. Hubungan antara waktu pengadukan (menit) dengan kadar etanol (%) untuk sampel 5 gram fly ash batubara teraktivasi dan 50 ml etanol 96 %.
Kadar Etanol (%)
100.0 99.5 kecepatan 50 rpm kecepatan 60 rpm kecepatan 70 rpm
99.0 98.5 98.0 97.5 97.0 96.5 0
10
20
30
40
50
Waktu Pengadukan (menit)
Gambar 3.Hubungan antara waktu pengadukan (menit) dengan kadar etanol (%) untuk sampel 10 gram fly ash batubara teraktivasi, 50 ml etanol 96 %. Dari Gambar 2dan3dapat dilihat bahwa jika waktu yang digunakan lebih dari 20 menit, maka kadar etanol yang dihasilkan akan semakin turun, sehingga proses pengadukan dengan waktu 20 menit lebih baik dibandingkan 10, 30 dan 40 menit baik untuk fly ash batubara 5 gram maupun 10 gram. Hal ini terjadi karena dengan waktu 20 menit proses adsorpsi dengan fly ash batubara pada penelitian ini mengalami kondisi jenuh, dimana kapasitas adsorpsinya sudah maksimal. Semakin lamanya waktu (lebih dari 20 menit), maka molekul-molekul air yang sudah terikat
223
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
dapat lepas kembali (mengalami desorpsion), sehingga kadar etanol akan semakin menurun. 3.2. Pengaruh Massa Fly Ash Batubara Teraktivasi Terhadap Kenaikan Kadar Etanol Untuk mengetahui pengaruh massa fly ash teraktivasi, maka dibuat grafik hubungan massa fly ash teraktivasi dengan kadar etanol (%) pada pengadukan 20 menit seperti Gambar 5.
100.0
Kadar Etanol (%)
99.8 99.6
kecepatan 50 rpm
99.4
kecepatan 60 rpm
99.2
kecepatan 70 rpm
99.0 98.8 98.6 98.4 0
5
10
15
20
25
Massa fly ash batubara teraktivasi (gr)
Gambar 5. Hubungan antara massa fly ash batubara yang teraktivasi (gram) dengan kadar etanol (%) dengan waktu pengadukan 20 menit pada kecepatan stirrer 50, 60 dan 70 rpm Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa seiring bertambahnya massa fly ash yang digunakan, maka kadar etanol yang dihasilkan semakin menurun untuk setiap kecepatan yang sama. Kecuali untuk kecepatan 50 rpm, dari hasil terlihat bahwa kadar etanol maksimum dapat tercapai pada massa fly ash sebesar 10 gram yaitu sebesar 99,9864 %. Sedangkan massa fly ash di atas 10 gram mengalami penurunan. Hal ini bisa terjadi karena pergerakan molekul pada berat fly ash di atas 10 gram terjadi secara lambat dan larutan semakin pekat, hampir membentuk slurry, sehingga kadar air dalam etanol susah untuk diserap.
224
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
3.3. Pengaruh Kecepatan Stirrer Terhadap Kenaikan Kadar Etanol Untuk mengetahui pengaruh kecepatan, maka dibuat grafik hubungan kecepatan stirrer dengan kadar etanol (%) pada pengadukan 20 menit seperti Gambar 6.
100.0
Kadar Etanol (%)
99.8 99.6 5 gram fly ash
99.4
10 gram fly ash
99.2
15 gram fly ash
99.0
20 gram fly ash
98.8 98.6 98.4 40
50
60
70
80
Kecepatan Stirer (rpm)
Gambar 6. Hubungan antara kecepatan stirrer (rpm) dengan kadar etanol (%) dengan waktu pengadukan 20 menit pada masing-masing massa fly ash batubara teraktivasi Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa semakin tinggi kecepatan stirrer yang digunakan, proses adsorpsi akan menjadi sulit untuk dilakukan. Terlihat dari hasil yang didapatkan bahwa kecepatan stirrer di atas 50 rpm, membuat kadar etanol yang dihasilkan jadi semakin menurun. Hal ini bisa terjadi karena kecepatannya terlalu cepat, membuat pergerakan larutan yang diaduk menjadi bergejolak dan menimbulkan fortek (putaran cepat). Dimana
molekul-molekul air yang semula
terserap pada permukaan fly ash menjadi semakin berkurang (mengalami desorpsi).
225
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
4. DAFTAR PUSTAKA Greer, D., 2005, “Creating Cellulosic Ethanol: Spinning Straw into Fuel”, cellulosic Ethanol.htm, eNews Bulletin, April 2005. Hill, J., E. Nelson, D. Tilman, S. Polasky and D. Tiffany. 2006. Environmental, economic, and energetic costs and benefits of biodiesel and ethanol biofuels. Proceeding of the National Academy of Science, USA 103: 11206 - 11210. Putri, M., 2008, “Abu Terbang Batubara SebagaiAdsorben”, http://www.magarimagazine.com/2008/06/abu-terbang-batubara-sebagaiadsorben/, diaksespadaJanuari 2009. Riyanti, E.I., 2009, “Biomassa Sebagai Bahan Baku Bioetanol”, Jurnal Litbang Pertanian 28(3), Kementerian Pertanian. Hal. 101 – 110 Rouquerol,F.,RouquerolJ.,Sing,K.,1999,“AdsorptionbyPowdersandPorousSolids.Pri nciples,MethodologyandApplications”,AcademicPress,pp.6-7. Shaw, D.J., 1983, ”Introduction to Colloid and Surface Chemistry”, 3 th Edition, Butterworth and Co. Ltd., New York. Thomas,W.J.danCrittenden,B.,1998,“AdsorptionTechnologyandDesign”, ElsevierScienceandTechnologyBooks,pp.1-7.
226
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Tinjauan Pengelolaan Lubang Bekas Galian Tambang Sebagai Reservoar Air Isna Syauqiah1 1
Tenaga Pengajar, Prodi Teknik Kimia, FT, Unlam
[email protected]
ABSTRAK
Banyak lokasi pertambangan baik legal maupun illegal yang ditinggalkan begitu saja oleh pelaku penambangan karena sumberdaya yang dinginkan sudah berkurang, mengakibatkan rusaknya lingkungan sekitar, berdasarkan kenyataan tersebut perlu dilakukan pengelolaan lubang bekas tambang yang ditinggalkan atau penambang harus memikirkan juga dampak yang dihasilkan sebelum melakukan proses penambangan yaitu harus direncanakan bagaimana penutupan dan penyelesaian tambang supaya tidak berdampak buruk pada lingkungan setelah ditinggalkan. Sehingga perlu dilakukan suatu tinjauan untuk pengelolaan lubang bekas tambang tersebut sebagai reservoir air diantaranya dengan melakukan (1) studi kelayakan pendahuluan; (2) studi kelayakan; (3) perencanaan teknis; (4) pelaksanaan pembangunan. Kata kunci: lubang bekas tambang, kerusakan lingkungan, studi kelayakan
227
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
1.
PENDAHULUAN Pesatnya kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, juga memberikan
pengaruh pada pola tingkah laku manusia. Bersamaan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, terjadi pula pergeseran nilai-nilai, terutama nilai interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya. Tingkah laku yang dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut memberikan tekanan yang semakin kuat kepada daya dukung lingkungan. Semula manusia hanya mengambil dari alam sesuai dengan kebutuhan hidupnya yang masih sederhana dari lingkungan yang ditempatinya. Namun, dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan, tetapi teknologi digunakan sebagai sarana yang efektif untuk memenuhi
bahkan memuaskan
keinginan-keinginan manusia. Prinsip pembangunan yang berwawasan lingkungan memang telah diterima sebagai
suatu
prinsip
pembangunan
nasional,
dengan
berbagai
peraturan
pelaksanaannya. Namun, dalam prakteknya mekanisme yang ditetapkan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Isu tentang ditinggalkannya suatu lahan setelah sumberdayanya habis dikuras yang mengakibatkan pencemaran sering kita jumpai di media massa akibat dan dampak dari suatu kegiatan. Penambangan merupakan kegiatan yang paling tua didunia dan merupakan kegiatan yang penting setelah pertanian. Menurut sejarah, kegiatan penambangan sangat kuat dalam memberi kontribusi yang signifikan pada peradaban dunia. Namun, semua manfaat tersebut harus dibayar dengan adanya dampak negative yang diterima lingkungan, terhadap kesehatan, keamanan pekerja tambang dan akibat yang diberikan oleh aktivitas pertambangan lainnya seperti penurunan permukaan tanah, terganggunya system pengairan, sedimentasi sungai, polusi air dan udara dan masalah lingkungan lainnya. Sebagai akibat dari meningkatnya kesadaran masyarakat atas biaya dan tantangan pembangunan berkelanjutan, masyarakat diseluruh dunia semakin mengharapkan industry pertambangan untuk menerapkan standar yang lebih tinggi dari lingkungan, keselamatan dan manajemen masyarakat untuk semua proyek melalui penerapan teknologi modern dan alat-alat manajemen (Blinker, 1999)
228
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Sistem penambangan yang dilakukan di Kalimantan Selatan adalah menggunakan system terbuka, yaitu dengan cara mengupas permukaan tanah, kemudian dilanjutkan dengan penggalian bahan-bahan. Ironisnya setelah selesai penambangan, lapisan atas tanah tidak dikembalikan lagi ketempat asalnya. Secara fisik keadaan lokasi bekas tambang sangat buruk, yaitu berupa lubang-lubang besar mirip danau dan dikelilingi tumpukan-tumpukan tanah bekas galian seperti bukitbukit kecil tak beraturan. Pada saat ini hampir seluruh fungsi sungai tidak sesuai lagi dengan peruntukkannya. Air sungai keruh berwarna kuning kecoklatan serta dimusim hujan dapat menyebabkan terjadinya banjir. Limbah yang keluar dari galian penambangan tersebut bahkan sangat meresahkan masyarakat yang mata pencahariannya sebagai petani dan pemilik keramba. Lubang bekas penambangan selanjutnya ditinggalkan begitu saja tanpa direklamasi. Tiap hari ratusan ton limbah pendulangan juga dibuang ke sungai yang mengakibatkan beberapa sungai menjadi hilang. Ratusan dan bahkan ribuan hektar persawahan di Kecamatan Cempaka kini telah hancur dan siap menjadi penyumbang bencana ekologi (Banjarmasin Post, 2004). Dinas Pertambangan dan Lingkungan Hidup Kota Banjarbaru menyebutkan bahwa kegiatan penambangan rakyat di wilayah administrasi Kota Banjarbaru telah berlangsung lama dan jumlahnya mencapai lebih dari 2000 buah alat tambang yang digunakan (Pemkot Banjarbaru, 2001). Sadar akan keadaan itu semua, upaya-upaya yang mengarah pada penyelamatan lingkungan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup mutlak dilakukan.
Penyelenggaraan
pengelolaan
lingkungan
hidup
dalam
rangka
pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan harus didasarkan pada norma hukum. Upaya ini harus didukung perangkat hukum yang memadai serta dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat serta aparat. Terdapat banyak lokasi pertambangan baik legal maupun illegal yang ditinggalkan begitu saja oleh pelaku penambangan karena sumberdaya yang diinginkan
sudah
berkurang,
mengakibatkan
rusaknya
lingkungan
sekitar,
berdasarkan kenyataan tersebut perlu dilakukan pengelolaan lubang bekas tambang
229
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
yang ditinggalkan atau penambang harus memikirkan juga dampak yang dihasilkan sebelum melakukan proses penambangan yaitu harus direncanakan bagaimana penutupan dan penyelesaian tambang supaya tidak berdampak buruk pada lingkungan setelah ditinggalkan. Karena lubang/sumur bekas galian tambang tidak mungkin lagi ditutup sehingga perlu dilakukan bagaimana pengelolaannya salah satunya
direncanakan
akan
dilakukan
pengelolaannya
dengan
menjadikan
lubang/sumur tersebut menjadi reservoir air yang nantinya air tersebut bisa digunakan untuk keperluan industry atau masyarakat yang ada disekitarnya. Oleh karena itu perlu dilakukan pengelolaan atas lubang-lubang galian bekas penambangan agar tidak terjadi bencana ekologi dimasa yang datang.
2.
TUJUAN Melakukan tinjauan terhadap lubang bekas galian tambang untuk digunakan
sebagai reservoir air.
3.
TINJAUAN TEORITIS
3.1. Dampak Pasca Tambang Kegiatan penambangan dapat mempengaruhi sifat fisika, kimia serta biologi tanah maupun air, melalui pengupasan tanah lapisan atas, penambangan, pencucian serta pembuangan tailing. Di lokasi tambang terbuka misalnya, kegiatan penambangan mengakibatkan hilangnya atau berpindahnya tanah, sedangkan di lokasi pembuangan tailing adalah tertimbunnya tanah asli dengan tailing, yang berakibat sifat tanah asli/semula berubah menjadi sifat tanah tailing (Rahmi, 1995). Sistem penambangan rakyat pada umumnya adalah menggunakan system “dumping”, yaitu suatu cara penambangan dengan mengupas tanah permukaan yang kemudian dilanjutkan dengan penggalian, namun setelah selesai penambangan, lapisan tanah atas (top soil) tidak dikembalikan ke tempat asalnya. Secara fisik, keadaan lokasi bekas tambang sangat buruk, berupa lubang-lubang besar mirip seperti danau dan dikelilingi tumpukan-tumpukan tanah bekas galian, seperti bukit-
230
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
bukit kecil yang tidak beraturan. Dengan kondisi demikian, apabila bekas areal tambang tersebut dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, maka sangat sulit dalam pengelolaannya. Untuk mengembalikan kualitas bekas areal sehingga dapat dijadikan lahan pertanian memerlukan inverstasi yang sangat besar, yang sebenarnya kewajiban penambang. Penambangan rakyat yang tidak memperhatikan aspek lingkungan akan menyebabkan terancamnya daerah sekitarnya dari bahaya erosi dan tanah longsor karena hilangnya vegetasi penutup tanah. Pembongkaran lahan secara besar-besaran juga menyebabkan terjadinya perubahan bentang alam (morfologi dan topografi), yaitu perubahan sudut panjang dan bentuk lereng. Pengupasan, penimbunan tanah penutup dari penggalian sumber daya alam menimbulkan perubahan pada drainase, debit air sungai dan kualitas permukaan pada saat hujan. Menurut Rahmi (1995), aspek tersebut adalah: a. Aspek Hidrologi Pada musim hujan mata air keluar dibanyak tempat pada lembah-lembah di kaki bukit, tetapi pada musim kemarau sebagian besar dari mata air tersebut kering karena disepanjang bukit sebagian besar sudah gundul. Pada beberapa lembah yang agak dalam dan datar sering ditemukan rawa atau genangan air yang cukup besar terutama di musim hujan. Genangan-genangan tersebut mempunyai kenampakan air yang bermacam-macam, dengan warna coklat karena keruh, warna hijau kebiruan sampai warna merah. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas air di dalam kolam-kolam tersebut juga beragam. b. Aspek Geologi Tumpukan batuan penutup (overburden) yang dibiarkan tertumpuk secara tidak teratur sekitar bukaan tambang menghasilkan bukit-bukit kecil dan lubang-lubang. Demikian juga bekas bukaan yang tidak ditutup kembali juga akan menghasilkan lubang yang akan terisi oleh air hujan. Kenyataan di lapangan yang banyak terdapat kolam berisi air hujan, mengindikasikan bahwa timbunan tanah bekas galian bersifat kedap air, resapan air hujan hujan untuk membentuk system air tanah sangat kecil.
231
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
c. Erosi Tanah Erosi tanah bersifat permanen dan merupakan salah satu dampak utama dari aktivitas penambangan. Erosi tanah menimbulkan dampak lanjutan yaitu menurunnya kesuburan tanah di lahan terbuka sekitar lubang tambang dan sedimentasi sungai. Sedimen hasil erosi tanah diangkut oleh aliran air larian (runoff) masuk ke dalam sungai di ujung tekuk lereng dalam daerah tangkapan (catchment area). d. Longsoran Tanah Longsoran overburden dan waste rock dapat menimbulkan dampak lanjutan berupa sedimentasi sungai. Karena jumlah overburden dan waste rock cukup banyak. Hal ini berdampak negative terhadap lingkungan yang bersifat permanen. e. Sedimentasi Sungai Sedimentasi dari longsoran dan erosi tanah dapat terbawa oleh air larian yang masuk ke dalam sungai. Meskipun longsoran dan erosi tanah merupakan dampak yang signifikan, tetapi sedimentasi belum tentu mempunyai dampak yang signifikan. Sedimentasi sungai selain ditentukan oleh jumlah sedimen yang masuk ke sungai, tetapi juga ditentukan oleh factor-faktor hidrologi sungai seperti kecepatan arus, pola arus sungai, kelandaian dasar sungai dan morfologi dasar sungai. f. Gangguan Estetika Lahan Kegiatan pertambangan pada umumnya dilakukan dengan penambangan terbuka. Lokasi kegiatannya berderet-deret di daerah perbukitan yang memberikan pemandangan deretan lahan terbuka berwarna coklat, kontras dengan daerah bervegetasi yang berwarna hijau. Perubahan bentuk lahan dan kerusakan lahannya nampak jelas dari kejauhan yang terlihat jelas karena letaknya yang cukup tinggi. Hal ini akan menimbulkan gangguan terhadap estetika lahan yang harmonis. g. Pencemaran Air Pencemaran air baik terhadap air permukaan maupun air tanah dapat terjadi karena adanya air lindian (leachate) dari timbunan limbah, serta dari air genangan di lubang tambang dan pencemaran pada badan sungai ini akan mempengaruhi kualitas air.
232
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
3.2. Kewajiban Rehabilitasi Lahan Kewajiban untuk memulihkan lingkungan yang tercemar akibat kegiatan pertambangan dan mengembalikan dalam konteks rehabiltasi adalah usaha yang hukumnya
wajib
pertambangan
bagi
tersebut
kegiatan/usaha berakhir.
pertambangan
Menurut
pada
saat
kegiatan
Setyo (2002) rehabilitasi
tidak
dimaksudkan mengembalikan deposit mineral yang ditambang, tetapi suatu kegiatan dalam usaha mengembalikan rona lingkungan fisik (terutama pada bentang lahan yang dirusak). Upaya ini dilakukan untuk mengembalikan secara ekologis ataupun difungsikan menurut rencana peruntukkan dengan melihat konsep ruang dan kewilayahan secara ekologis. Selain itu kewajiban lainnya adalah untuk melakukan pemantauan dari lahan pasca tambang termasuk pada system pengelolaan B3, yang potensi dampaknya akan muncul dan terukur dalam jangka waktu yang panjang. Dengan demikian pertanyaannya adalah, bagaimana hal ini diatur dan disepakati dalam rambu-rambu hukum yang pasti, dengan tanpa mengingkari prinsip-prinsip kelestarian lingkungan. Misalnya, berapa lamakah kewajiban untuk melakukan pengelolaan pasca tambang dan siapa yang harus membiayai dan melakukan pengawasannya. Setyo (2002) menjelaskan, mining closure siapa yang membuat dan apakah sudah diperbincangkan dan disosialisasikan pada “public”? Nampak hal inilah yang harus diformulasikan dengan sekaligus menjawab persoalan otonomi, transparansi pengelolaan dan tanggung jawab hokum pada public dan masyarakat terutama masyarakat tambang. Kewajiban pasca tambang yang bersifat fisik mempunyai dimensi ekonomi dan social yang sangat tinggi dan berpotensi menimbulkan konflik pada masyarakat dengan pemerintah dan juga dengan usaha pertambangan. Oleh karenanya, menurut Setyo (2002) pengelolaan pasca tambang bukan semata persoalan fisik, tetapi lebih dari itu, pada persoalan political will pemerintah untuk meregulasi secara benar dengan menganut kaidah lingkungan. Kemudian mengimplementasikannya dengan mengedepankan kepentingan masyarakat local dan mengacu pada falsafah ekonomi dan social serta akuntabilitas yang dapat dipercaya.
233
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
3.3. Reklamasi Lahan Bekas Tambang Secara umum yang harus diperhatikan dan dilakukan dalam merehabilitasi /reklamasi lahan bekas tambang
yaitu dampak perubahan dari kegiatan
pertambangan, rekonstruksi tanah, revegetasi, pencegahan air asam tambang, pengaturan drainase, dan tataguna lahan pasca tambang. Kegiatan pertambangan dapat mengakibatkan perubahan kondisi lingkungan. Hal ini dapat dilihat dengan hilangnya fungsi proteksi terhadap tanah, yang juga berakibat pada terganggunya fungsi-fungsi lainnya. Disamping itu, juga dapat mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati, terjadinya degradasi pada daerah aliran sungai, perubahan bentuk lahan, dan terlepasnya logam-logam berat yang dapat masuk ke lingkungan perairan. 3.4. Rekonstruksi Tanah Untuk mencapai tujuan restorasi perlu dilakukan upaya seperti rekonstruksi lahan dan pengelolaan tanah pucuk. Pada kegiatan ini, lahan yang masih belum rata harus terlebih dahulu ditata dengan penimbunan kembali (back filling) dengan memperhatikan jenis dan asal bahan urugan, ketebalan, dan ada tidaknya system aliran air (drainage) yang kemungkinan terganggu. Pengembalian bahan galian ke asalnya diupayakan mendekati keadaan aslinya. Ketebalan penutupan tanah (subsoil) berkisar 70-120 cm yang dilanjutkan dengan re-distribusi tanah pucuk. Lereng dari bekas tambang dibuat bentuk teras, selain untuk menjaga kestabilan lereng, diperuntukkan juga bagi penempatan tanaman revegetasi. 3.5. Revegetasi Perbaikan kondisi tanah meliputi perbaikan ruang tubuh, pemberian tanah pucuk dan bahan organic serta pemupukan dasar dan pemberian kapur. Secara ekologi, spesies tanaman local dapat beradaptasi dengan iklim setempat tetapi tidak untuk kondisi tanah. Untuk itu diperlukan pemilihan spesies yang cocok dengan kondisi setempat, terutama untuk jenis-jenis yang cepat tumbuh, misalnya sengon, yang telah terbukti adaftif untuk daerah tambang. Dengan dilakukannya penanaman sengon minimal dapat mengubah iklim mikro pada lahan bekas tambang tersebut.
234
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman pada lahan bekas tambang, dapat ditentukan dari persentasi daya tumbuhnya, persentasi penutupan tajuknya, pertumbuhannya, perkembangan akarnya, penambahan spesies pada lahan tersebut, peningkatan humus, pengurangan erosi, dan fungsi sebagai filter alam. Dengan cara tersebut, maka dapat diketahui sejauh mana tingkat keberhasilan yang dicapai dalam merestorasi lahan bekas tambang (Rahmawaty, 2002). 3.6. Penanganan Potensi Air Asam Tambang Pembentukan air asam tambang cenderung intensif terjadi pada daerah penambangan, hal ini dapat dicegah dengan menghindari terpaparnya bahan mengandung sulfida pada udara bebas. Pencegahan pembentukan air asam tambang dengan melokalisir sebaran mineral sulfida sebagai bahan potensial pembentuk air asam dan menghindarkan agar tidak terpapar pada udara bebas. Sebaran sulfide ditutup dengan bahan impermeable antara lain lempung, serta dihindari terjadinya proses pelarutan, baik oleh air permukaan maupun air tanah. Produksi air asam sulit untuk dihentikan sama sekali, akan tetapi dapat ditangani untuk mencegah dampak negative terhadap lingkungan. Air asam diolah pada instalasi pengolah untuk menghasilkan keluaran air yang aman untuk dibuang ke badan air. Penanganan dapat dilakukan juga dengan bahan penetral, biasanya menggunakan batugamping, dengan mengalirkan air asam ke bahan penetral untuk menurunkan tingkat keasaman (Suprapto, 2006). 3.7. Pengaturan Drainase Drainase pada lingkungan pasca tambang dikelola secara seksama untuk menghindari efek pelarutan sulfide logam dan bencana banjir yang sangat berbahaya, dapat menyebabkan rusak atau jebolnya bendungan penampung tailing serta infrastruktur lainnya. Kapasitas drainase harus memperhitungkan iklim dalam jangka panjang, curah hujan maksimum, serta banjir besar yang biasa terjadi dalam kurun waktu tertentu baik periode waktu jangka panjang maupun pendek.
235
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Arah aliran yang tidak terhindarkan harus melewati zona mengandung sulfida logam, perlu pelapisan pada badan alur drainase menggunakan bahan impermeable. Hal ini untuk menghindari pelarutan sulfide logam yang potensial menghasilkan air asam tambang. 3.8. Bendungan/Waduk sebagai Reservoar Air Sebagai upaya menjaga kelestarian air maka berbagai usaha telah dilakukan baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Upaya non fisik diantaranya pembuatan peta potensi catchmen area, mengatur penggunaan DAS, pembuatan master plan pengendalian banjir dan mekanisme perijinan alih fungsi lahan yang ketat. Upaya fisik diantaranya pembangunan reservoir air berupa bendungan dan waduk yang diharapkan dapat menampung laju air sungai sehingga dapat meresap ke dalam tanah serta berfungsi sebagai pengendali banjir di daerah hilir. Pada dasarnya bendungan adalah konstruksi bangunan yang digunakan untuk menampung air. Hasil tampungan air berupa genangan tersebut yang dinamakan waduk. Jadi bendungan dan waduk merupakan satu kesatuan system yang berhubungan. Di Indonesia, keberadaan waduk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia dalam bidang pertanian, energy, supply air baku, pariwisata dan pengendalian banjir. Di sisi lain keberadaan waduk dapat merugikan manusia terutama bagi mereka yang terkena dampak relokasi. Waduk atau danau buatan yang besar adalah bila tinggi bendungan lebih dari 15 m. Sedangkan embung merupakan waduk kecil dan tinggi bendungannya kurang dari 15 m. Sistem tata air waduk berbeda dengan danau alami. Pada waduk komponen tata airnya pada umumnya telah direncanakan sedemikian rupa sehingga volume, kedalaman, luas, presepitasi, debit inflow/outflow dan waktu tinggal air diketahui dengan pasti. Pengelolaan sumber daya air di dalam waduk/bendungan tertuang dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang terdiri dari 3 komponen yaitu konservasi, pemanfaatan dan pengendalian daya rusak air. Selain itu masih ada peraturan lain seperti PP No 51 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, PP No 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian pencemaran Air, PP
236
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
No 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung, serta Keppres No 123 Tahun 2001 tentang koordinasi Pengelolaan sumber Daya Air pada tingkat propinsi, wilayah sungai, kabupaten dan kota. Berbagai produk hukum tersebut dapat dijadikan dasar hukum dalam upaya konservasi air untuk kehidupan. Namun pada kenyataannya konservasi sumberdaya air masih jauh dari harapan malah semakin rusak baik kualitas maupun kuantitasnya. Berbagai kendala yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya air waduk/bendungan antara lain : Banyaknya instansi yang terkait dalam melakukan pengelolaan DAS waduk yaitu setiap
instansi
lebih
mementingkan
ego
sektoralnya
daripada
upaya
konservasinya. Banyaknya instansi yang terkait dalam pemanfaatan air waduk sehingga menimbulkan konflik kepentingan. Perbedaan batas ekologis dan administratif, sehingga ada keengganan pemerintah tempat berlokasinya waduk untuk melakukan konservasi. Masih lemahnya kapasitas kemampuan instansi pengelola dalam melakukan konservasi. Kurangnya pemahaman dan kesadaran, pengetahuan dan kemampuan, untuk melakukan konservasi bagi penduduk yang ada di sekitar DAS atau penduduk di sekitar waduk. Adapun manfaat dari keberadaan waduk/bendungan adalah sebagai berikut : a) Penyediaan air baku penduduk Keberadaan bendungan/waduk dapat dijadikan cadangan ketersediaan air bagi penduduk ketika musim kemarau telah tiba. b) Suplay air irigasi daerah persawahan. Lahan pertanian membutuhkan air secara terus menerus. Ketersediaan air yang melimpah menjadikan tanaman dapat supply air dan tidak hanya mengandalkan dari datangnya hujan. c) Pengendalian banjir. Melalui bendungan maka laju air dapat dikendalikan sebagai upaya pengendalian banjir di hilir bendungan.
237
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
d) Pengembangan pariwisata. Keberadaan bendungan/waduk sangat berpotensi dalam pengembangan pariwisata yang berujung pada peningkatan Pendapatan Asli daerah (PAD) dan kesejahteraan masyarakat sekitar. e) Suplay air untuk kegiatan industri. Kegiatan industri membutuhkan air baku yang relatif banyak. Oleh karena itu dapat merangsang investor untuk mendirikan industri. Adapun permasalahan-permasalahan yang dapat ditimbulkan oleh keberadaan bendungan/waduk adalah sebagai berikut : a) Keberadaan waduk/bendungan dapat menghilangkan komunitas setempat. Kondisi seperti ini berlaku pada area rencana waduk yang terdapat penduduk di dalamnya. Permasalahan yang sering terjadi adalah masyarakat setempat harus direlokasi dan terancam kehilangan tempat tinggal, tanah dan keberlangsungan hidup termasuk mata pencaharian. b) Keberadaan waduk/bendungan dapat menghilangkan habitat berbagai jenis hewan. Hutan, lahan basah, dan habitat lain dibanjiri air. Waduk juga dapat memisahkan habitat hewan dan menghalangi rute migrasi. c) Keberadaan waduk/bendungan dapat menciptakan permasalahan kesehatan. Berbagai penyakit seperti malaria akan meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah nyamuk. d) Bendungan/waduk dapat membunuh ikan. Hal ini tentunya akan merugikan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada ikan di sungai. e) Hasil panen berkurang Waduk akan membanjiri lahan pertanian di sekitar sungai atau pinggiran sungai. f) Waduk sebagai salah satu faktor penyebab cuaca buruk bagi daerah sekitarnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hossain (2009) terdapat korelasi antara keberadaan bendungan/waduk dengan tingkat curah hujan. Waduk dapat meningkatkan proses penguapan yang kemudian meningkatkan kadar kelembapan
238
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
pada atmosfer. Hal inilah yang menyebabkan curah hujan di sekitar waduk meningkat.
4.
PENUTUP Manusia tidak dapat hidup tanpa lingkungan, karena segala sesuatu kebutuhan
hidupnya tersedia dan diambil dari lingkungan. Dan untuk pemenuhan kebutuhannya manusia akan melakukan eksploitasi terhadap lingkungannya, yang mana eksploitasi ini dapat berdampak positif maupun negatif. Untuk pemerintah dampak positifnya berupa bertambahnya pemasukan berupa pendapatan daerah, sedangkan bagi masyarakat, penambangan dapat memberikan lapangan pekerjaan kemudian dampak negatifnya terhadap lingkungan yaitu tanah-tanah ataupun bukit-bukit yang mengandung sumber daya alam akan terkeruk, terkupas dan tersedot yang berakibat membentuk sumur. Untuk itu maka diperlukan suatu pengelolaan terhadap lubang/sumur belaks tambang tersebut diantaranya dengan memanfaatkannya sebagai reservoir air yang mana untuk hal tersebut perlu dilakukan (1) Studi kelayakan pendahuluan; (2) Studi kelayakan; (3) Perencanaan teknis; (4) Pelaksanaan pembangunan.
5.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous.1994. Proper Prokasih, the Indonesian River Care Programme. ESCAP Virtual Conference, Integrating Environmentl Consideration into Economic Policy Making Processess. http://www.escap.org. Diakses 9 Oktober 2009. As’ad. 2005. Tesis. Pengelolaan Lingkungan Pada Penambangan Rakyat. Program Magister Ilmu Lingkungan. Universitas Diponegoro. Blinker, L.R. (Ed.), 1999. Mining and the natural environment: an overview. UNCTAD 6, pp. 6–8 IJHD, 2000. Dams, water and Energy- A statistical profile. Khrisnamurthy, K.V.2004. Environmental of coal in India. Proceeding of International Seminar on environmental engeenering with special emphasis on mining environment.NSEEME-2004, 19-20 March 19-20, March 2004; Eds. Indra N. Sinha, Mrinal K. Ghose & Gurdeep Singh.
239
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Pond, G.J, M.E. Passmore, F.A. Borsuk, L, Reynolds and C.J. Roses. 2008. Downstream effects of mountaintop coal mining: comparing biological conditions using family- and genus-level macroinvertebrate bioassessment tools. J.N.A..Benthol. Soc.2008. 27(3)717-737 Rahmawaty, 2002. Restorasi Lahan Bekas Tambang berdasarkan Kaidah Ekologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan Chandrawidjaja, R. 2010. Pengembangan Sumberdaya Air. Universitas Lambung Mangkurat Press. Suprapto, S.J., 2006. Pemanfaatan dan Permasalahan Endapan Mineral Sulfida pada Kegiatan Pertambangan. Buletin Sumber Daya Geologi. Vol. 1 No.2 The World Commision on Dams, 2000. Dams and Development.
240
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
PEMANFAATAN RONGSOKAN (SCRAP) PADUAN AL-MG SEBAGAI BAHAN BAKU PRODUK PENGECORAN LOGAM MENGGUNAKAN METODE PENGECORAN TUANG
Rudi Siswanto Program Studi Teknik Mesin Akademi Teknik Pembangunan Nasional (ATPN) Banjarbaru email :
[email protected];
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan rongsokan paduan Al-Mg sebagai bahan baku produk pengecoran logam dengan mengetahui pengaruh temperatur dan waktu peleburan terhadap massa jenis dan kekerasan. Metode pengecoran yang digunakan adalah pengecoran tuang dimana suatu logam cair dituang ke dalam cetakan tanpa adanya tekanan, selanjutnya dibiarkan membeku dalam cetakan dengan pendinginan temperatur ruang. Tungku untuk peleburan menggunakan tungku jenis krusibel dan cetakan dari logam dengan bahan bakar briket batubara. Material untuk pengecoran digunakan paduan aluminium magnesium (Al-21%Mg) sekrap. Bahan fluks untuk melindungi logam cair agar tidak kontak dengan udara adalah campuran KCl, MgCl2 dan BaCl2. Paduan Al-Mg dilebur dalam tungku pada variasi temperatur 650 oC, 700 oC dan 750 oC dengan waktu peleburan 5, 10 dan 15 menit, kemudian dituang dalam cetakan logam (temperatur 200 oC), dan selanjutnya dibiarkan membeku dan dingin dalam cetakan. Kemudian coran dibuat spesimen untuk dilakukan pengujian massa jenis dan kekerasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, rongsokan paduan AL-21%Mg bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku produk pengecoran logam. Semakin tinggi temperatur peleburan akan meningkatkan massa jenis dan meningkatkan kekerasan, kekerasan tertinggi diperoleh pada temperatur peleburan 750 oC dengan waktu peleburan 15 menit. Semakin lama waktu peleburan akan meningkatkan kekerasan, tetapi massa jenis tidak menunjukkan adanya hal tersebut, massa jenis tertinggi diperoleh pada temperatur peleburan 750 oC dengan waktu peleburan 5 menit. Kata Kunci : pengecoran tuang, paduan Al-21%Mg, massa jenis, kekerasan
241
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
1. PENDAHULUAN Material untuk pengecoran logam terdiri dari logam ferro dan non ferro. Termasuk logam ferro yaitu besi tuang, baja karbon, baja paduan dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk logam non ferro yaitu aluminium, magnesium, nikel, tembaga, seng, mangan dan sebagainya. Penggunaan logam sebagai material pengecoran tidak hanya logam murni, tetapi dicampur dengan unsur logam lainnya disebut dengan logam paduan. Logam paduan ringan yang banyak digunakan adalah aluminium dan magnesium. Magnesium merupakan logam ringan yang mempunyai sifat mudah terbakar jika saat peleburan kontak dengan oksigen dan reaktif. Magnesium paduan banyak digunakan pada komponen struktur pesawat, otomotif dan elektronik. Pemanfaatan magnesium pada industri otomotif adalah untuk menghasilkan produk kendaraan ringan, sehingga pemakaian bahan bakar lebih hemat dan mengurangi emisi gas buang. Beberapa jenis kendaraan terbaru menggunakan gearbox housing dan engine block yang dibuat dari magnesium hingga bobotnya turun 25%, dibandingkan menggunakan aluminium. Pada industri kecil pengecoran biasanya paduan yang mengandung unsur magnesium dianggap material yang mengganggu, karena magnesium cair akan terbakar jika kontak dengan udara saat peleburan dan penuangan. Inilah salah satu kesulitan dalam pengecoran magnesium, mencegah teroksidasinya magnesium cair dengan udara. Penggunaan fluks sebagai pelindung logam cair unsur paduan magnesium agar tidak kontak dengan udara, menggunakan campuran dengan komposisi KCl 55%, MgCl2 34% dan BaCl2 9% (Arifin, 2008). Jumlah fluks 1,5 % dari persen berat sudah cukup untuk melindungi lapisan atas dari cairan paduan magnesium dari kontak dengan udara. Penggunaan fluks kering 1 % sampai 3 % dapat mengurangi gas dan mencegah gelembung udara serta lubang jarum, disamping itu juga memperbaiki sifat-sifat mekaniknya (Surdia dan Chijiwa, 1996).
242
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Peningkatan temperatur tuang berpengaruh terhadap struktur butir fasa α-Mg semakin halus, kekerasan dan kekuatan tarik, temperatur tuang optimum diperoleh pada 700 oC (Sudarsono, 2008). Peningkatan temperatur tuang secara statistik tidak meningkatkan kekerasan dan kekuatan tarik cenderung menurun (Arifin, 2008). Temperatur penuangan yang paling baik untuk pengecoran squeeze magnesium paduan adalah 685 oC (Kleiner, 2002) dan 750 oC (Young dan Clegg, 2004). Peningkatan temperatur cetakan menyebabkan struktur butir fasa α-Mg agak kasar, kekerasan dan kekuatan tarik menurun. Struktur butir α-Mg yang halus dengan kandungan fasa eutectic ßMg17Al12 yang dominan diperoleh pada temperatur cetakan 200 oC (Sudarsono, 2008). Semakin tinggi temperatur peleburan akan meningkatkan kehalusan struktur butir α-Al dan fasa eutectoid ß-Al3Mg2 dan semakin lama waktu peleburan akan menurunkan kehalusan struktur butir α-Al dan fasa eutectoid ßAl3Mg2 (Siswanto, 2011). Surdia dan Saito (1985) menyebutkan bahwa magnesium mempunyai susunan atom heksagonal dan mempunyai kekuatan tarik 19 kgf/mm2 setelah penganilan, kekuatan mulur 9,8 kgf/mm2 dan perpanjangannya 16 %. Sudarsono (2008) menyatakan bahwa magnesium mempunyai titik cair pada temperatur 650 oC, cairan magnesium harus terlindungi dari kontak dengan oksigen yang ada di udara, karena mudah bereaksi dan langsung terbakar jika terkena dengan oksigen, sedangkan massa jenis paduan magnesium 1,8 gram/cm3. Longworth (2001) menyatakan magnesium adalah logam yang paling ringan diantara logam yang biasa digunakan dalam suatu struktur. Magnesium mempunyai kekurangan seperti kekuatan dan keuletan rendah, tidak tahan korosi dan mudah menyala, sehingga memiliki keterbatasan dalam proses pembentukan (Perez, 2005). Menurut Departemen Mesin PEDC (1983) sifat-sifat magnesium adalah lunak, kekuatan tarik rendah, tahan korosi, rapat massa relative 1,74 gr/cm3 dan titik lebur 657 oC. Mordike (2001) menyatakan magnesium memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan magnesium yaitu ; masa jenis terendah dibanding material struktur lainnya, mampu cor dengan baik, dapat dimesin pada kecepatan tinggi.
243
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Pengujian massa jenis dilakukan dengan pengukuran berat spesimen di udara dan di dalam air murni. Massa jenis aktual spesimen ditentukan dengan menggunakan rumus Archimedes berdasarkan standar ASTM D3800 : Da
Wa.Dw Wa Ww
Dimana : Da = massa jenis actual Dw = massa jenis air Wa = berat specimen dalam udara Ww = berat specimen dalam air Uji kekerasan dilakukan dengan pengujian kekerasan Vickers (HVN). Nilai VHN dapat ditentukan dari persamaan : VHN = 1,8544.
P d2
Dimana : P
= beban yang bekerja pada penetrator intan (kg)
d
= panjang diagonal rata-rata bekas penekan (mm)
136o d
Gambar 1. Indentor Vickers (Callester, 2001)
244
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Gambar 2. Diagra fassa paduan Al-Mg (ASM Handbook 2004)
2. BAHAN DAN METODE 2.1. Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari bahan coran (paduan Al21%Mg dari mesin chainsaw scrap ), bahan cetakan (logam), bahan bakar (briket batubara) dan bahan pelindung (fluks : KCl 55 %, MgCl2 34 %, BaCl2 9 %). Peralatan yang digunakan dalam penelitian yaitu peralatan pengecoran (tungku krusibel dan cetakan), peralatan ukur (stop wacth, termo kopel), timbangan digital, timbangan vakum dan alat uji kekerasan (Vickers). 2.2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Paduan Al-Mg sekrap dilebur dalam tungku krusibel kemudian dituang dalam cetakan logam dan selanjutnya didinginkan di udara (temperatur ruang). Hasil pengecoran (coran) dibuat spesimen, kemudian diuji di laboraorium untuk mengetahui massa jenis dan kekerasan.
245
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Tungku krusibel dipanaskan terlebih dulu dengan bahan bakar yang sudah dinyalakan sampai temperatur tungku merata, untuk mengoptimalkan pembakaran udara dihembuskan dengan blower yang konsumsi udaranya bisa diatur melalui jendela udara. Setelah panas tungku sudah tercapai, hal ini bisa dilihat dari warna cawan peleburan (kowi) sudah menunjukkan warna merah membara, kemudian bahan baku yaitu berupa paduan AL-Mg sekrap yang telah dibersihkan dan dipotong kecil-kecil dimasukkan ke dalam kowi. Bersama dengan itu cetakan logam dipanaskan juga dalam tungku. Ketika paduan sekrap kelihatan mulai mencair fluks dimasukkan, agar terhindar kontak dengan udara. Temperatur tungku dipertahankan sesuai dengan temperatur yang dikehendaki. Setelah waktu yang ditentukan tercapai kemudian logam cair dituang ke dalam cetakan logam yang sudah dipanaskan (temperatur cetakan 200 oC), selanjutnya cetakan ditutup rapat agar terhindar kontak langsung dengan udara. Setelah logam cair dituang ke dalam cetakan, dibiarkan sampai membeku dan dingin didalam cetakan dengan pendinginan temperatur ruang. Setelah dingin mendekati temperatur ruang, coran dikeluarkan dari cetakan. 2.3. Variabel Penelitian Pengecoran dilakukan menggunakan metode pengecoran tuang (tanpa tekanan) dengan variasi temperatur peleburan dan waktu peleburan, secara jelas ditunjukkan pada tabel 1. Tabel 1. Variabel dan kode spesimen No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Temperatur Cetakan (oC) 200 200 200 200 200 200 200 200 200
Temperatur Peleburan (oC) 650 650 650 700 700 700 750 750 750
Waktu Peleburan (menit) 5 10 15 5 10 15 5 10 15
Kode Spesimen A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3
246
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas yaitu : temperatur peleburan (T1=650, T2=700, T3=750 (ºC)), waktu peleburan ( t1=5 , t2 =10 , t3=15 (menit)), temperatur cetakan 200 oC, massa bahan baku 250 gram/spesimen. Sedangkan variabel terikat adalah massa jenis dan kekerasan. Alur Penelitian Start
Bahan Cor (Al-Mg)
Pembersihan, pemotongan
Tungku
Peleburan
Penuangan
Fluks
Cetakan
Pendinginan, pembongkaran dan pembersihan
Pembuatan Spesimen
Pengujian : Massa jenis Kekerasan
Hasil pengujian
Analisis dan menyusun laporan
Stop
Gambar 3. Diagram alur penelitian
247
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
2
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.
Peleburan dan Penuangan Paduan AL-Mg Penggunaan bahan baku untuk produk pengecoran dari paduan Al yang
mengandung unsur Mg cukup tinggi, mengalami tingkat kesulitan yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan bahwa unsur Mg jika dalam keadaan mencair ketika bersentuhan dengan udara akan teroksidasi dan bersifat reaktif. Untuk mengatasi hal tersebut maka ketika logam paduan Al-Mg dilebur dalam tungku krusibel mulai mencair maka harus dilindungi dengan bahan pelindung (fluks), selanjutnya setelah dituang dalam cetakan dalam kondisi tertutup sehingga minim kontak langsung dengan oksigen. Penggunaan fluks sebagai pelindung logam cair unsur paduan magnesium agar tidak kontak dengan udara, menggunakan campuran dengan komposisi KCl 55%, MgCl2 34% dan BaCl2 9%. Berat fluks yang digunakan untuk melindungi lapisan atas cairan paduan magnesium dari kontak dengan udara adalah 1,5 % dari persen berat bahan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, bahwa rongsokan paduan AL-21%Mg dari mesin Chainsaw dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk produk pengecoran logam, menggunakan tungku krusibel dengan metode pengecoran tuang. 3.2. Hasil Pengujian Massa Jenis
Kode A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 X
Tabel 2. Hasil pengujian massa jenis Berat di udara Berat di air Massa jenis aktual Wa (gr) Ww (gr) Da (gr/cm3) 34,977 14,447 1,70 31,365 10,524 1,51 27,827 11,768 1,73 30,359 10,386 1,52 46,386 27,057 2,40 46,391 28,088 2,54 54,489 34,010 2,66 49,600 28,485 2,35 44,640 24,510 2,22 7,576 4,731 2,66
248
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Tabel 2 adalah data hasil pengujian massa jenis. Kode X merupakan hasil pengujian massa jenis bahan pengecoran sebelum dilakukan peleburan dan penuangan. Kode A, B dan C merupakan hasil pengujian massa jenis setelah dilakukan peleburan dan penuangan. 3.3. Pembahasan Pengujian Massa Jenis Gambar 4 (a) adalah grafik yang menunjukkan hubungan antara waktu peleburan 5, 10 dan 15 menit dan massa jenis pada variasi temperatur 650, 700 dan 750 oC. Sedangkan gambar 4 (b) adalah grafik yang menunjukkan hubungan antara temperatur peleburan 650, 700 dan 750 oC dan massa jenis pada variasi waktu peleburan 5, 10 dan 15 menit.
(a)
(b )
Gambar 4. Grafik hubungan ; (a) waktu peleburan dan massa jenis (b) temperatur peleburan dan massa jenis Dari tabel 2 dan gambar 4 (a,b) menunjukkan bahwa hasil pengujian massa jenis pada temperatur peleburan 650 oC tersebut menunjukkan bahwa pada waktu peleburan 10 menit mempunyai massa jenis paling rendah dibanding dengan waktu peleburan 5 dan 15 menit, akan tetapi tidak didapatkan ada kecenderungan kenaikan atau penurunan massa jenis. Pada temperatur peleburan 700 oC tersebut menunjukkan bahwa waktu peleburan semakin lama massa jenis cenderung makin meningkat. Jika dibandingkan dengan bahan baku paduan sekrap yang mempunyai massa jenis 2,66 gram/cm2. Hal ini bisa dilihat dari kenaikan massa jenis bahwa di atas waktu peleburan 5 menit, massa jenis paduan semakin mendekati bahan baku paduan sekrap.
249
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Pada temperatur peleburan 750 oC menunjukkan bahwa waktu peleburan semakin lama massa jenis cenderung makin menurun. Hal ini sangat berbeda dengan peleburan pada temperatur 700 oC, dimana menunjukkan semakin lama waktu peleburan massa jenis semakin meningkat. Jika dibandingkan dengan massa jenis bahan baku paduan sekrap mempunyai berat jenis 2,66 gram/cm2, maka dapat dikatakan bahwa pada temperatur 750 oC dan waktu 5 menit adalah temperatur dan waktu peleburan yang paling optimal karena menghasilkan massa jenis coran yang sama dengan massa jenis bahan baku paduan sekrap. Pada waktu peleburan 5 menit menunjukkan bahwa pada temperatur peleburan 750 oC
mempunyai massa jenis paling tinggi
dibanding dengan
temperatur peleburan 650 oC dan 700 oC. Waktu peleburan 5 menit menunjukkan adanya kecenderungan massa jenis meningkat signifikan seiring naiknya temperatur peleburan. Pada waktu peleburan 10 menit tersebut menunjukkan bahwa pada temperatur peleburan 700 oC
mempunyai massa jenis paling tinggi
dibanding
dengan temperatur peleburan 650 oC dan 750 oC. Waktu peleburan 10 menit belum menunjukkan adanya kecenderungan massa jenis meningkat seiring naiknya temperatur peleburan. Pada waktu peleburan 15 menit menunjukkan bahwa pada temperatur peleburan 700 oC
mempunyai massa jenis paling tinggi
temperatur peleburan 650 oC
dibanding dengan
dan 750 oC. Waktu peleburan 15 menit belum
menunjukkan adanya kecenderungan massa jenis meningkat seiring naiknya temperatur peleburan. 3.4. Hasil Pengujian Kekerasan Tabel 3 adalah data hasil pengujian Kekerasan Vickers. Kode X merupakan hasil pengujian kekerasan bahan pengecoran sebelum dilakukan peleburan dan penuangan. Kode A, B dan C merupakan hasil pengujian kekerasan setelah dilakukan peleburan dan penuangan.
250
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Tabel 3. Hasil pengujian Kekerasan Vickers (VHN) Kode Temperatur Waktu Peleburan VHN (MPa) o Spesimen Peleburan ( C) (menit) A1 650 5 59,10 A2 650 10 60,21 A3 650 15 57,66 B1 700 5 68,52 B2 700 10 82,60 B3 700 15 97,14 C1 750 5 84,49 C2 750 10 97,29 C3 750 15 106,67 X 116,28
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
3.5. Pembahasan Pengujian Kekerasan Gambar 5 (a) adalah grafik yang menunjukkan hubungan antara waktu peleburan 5, 10 dan 15 menit dan kekerasan pada variasi temperatur 650, 700 dan 750 oC. Sedangkan grafik 5 (b) adalah grafik yang menunjukkan hubungan antara temperatur peleburan 650, 700 dan 750 oC dan kekerasan pada variasi waktu peleburan 5, 10 dan 15 menit.
Hubungan Waktu Peleburan & Kekerasan (HVN)
HUbungan Temperatur Peleburan & Kekerasan (HVN)
120.0 80.0
650 oC
60.0
700 oC
40.0
750 oC
20.0 0.0 5
10 Waktu Peleburan (menit)
HVN (MPa)
HVN (MPa)
100.0
120.0 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0
5 10 15
650 oC
15
(a )
(b)
700 oC
750 oC
Temperatur Peleburan (oC)
Gambar 5. Grafik hubungan ; (a) waktu peleburan dan kekerasan, (b) temperatur peleburan dan kekerasan
251
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
Dari tabel 3 dan gambar 5 (a,b), menunjukkan bahwa pada temperatur peleburan 650 oC, waktu peleburan tidak begitu berpengaruh terhadap tingkat kekerasan coran, hal ini bisa dilihat dari prosentase kenaikan dan penurunan kekerasan yang kecil. Kekerasan maksimum terjadi pada waktu peleburan 10 menit, sedangkan kekerasan minimum terjadi pada waktu peleburan 15 menit. Pada temperatur 700 oC, semakin lama waktu peleburan kekerasan semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa waktu peleburan sangat berpengaruh terhadap tingkat kekerasan coran.Kekerasan maksimum terjadi pada waktu peleburan 15 menit, sedangkan kekerasan minimum terjadi pada waktu peleburan 5 menit. Pada temperatur 750 oC, semakin lama waktu peleburan kekerasan semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa waktu peleburan sangat berpengaruh terhadap tingkat kekerasan coran.Kekerasan maksimum terjadi pada waktu peleburan 15 menit, sedangkan kekerasan minimum terjadi pada waktu peleburan 5 menit. Pada waktu peleburan 5 menit, kekerasan meningkat seiring dengan kenaikan temperatur peleburan. Kekerasan maksimum terjadi pada temperatur peleburan 750 o
C, sedangkan kekerasan minimum terjadi pada temperatur peleburan 650 oC. Pada
waktu peleburan 10 menit, kekerasan meningkat seiring dengan kenaikan temperatur peleburan. Kekerasan maksimum terjadi pada temperatur
o
peleburan 750
C,
o
sedangkan kekerasan minimum terjadi pada temperatur peleburan 650 C. Pada waktu peleburan 15 menit, Kekerasan maksimum terjadi pada temperatur peleburan 750 oC, sedangkan kekerasan minimum terjadi pada temperatur peleburan 650 oC. 4.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut : (1)
Rongsokan paduan AL-21%Mg bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku produk pengecoran logam. (2) Semakin tinggi temperatur peleburan akan meningkatkan massa jenis dan meningkatkan kekerasan, kekerasan tertinggi diperoleh pada temperatur peleburan 750 oC dengan waktu peleburan 15 menit. (2) Semakin lama waktu peleburan akan meningkatkan kekerasan, tetapi massa jenis tidak menunjukkan adanya hal tersebut, massa jenis tertinggi diperoleh pada temperatur peleburan 750 oC dengan waktu peleburan 5 menit.
252
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Teknik UNLAM “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” Banjarbaru, 30 Juli 2011
5.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim (1983), Ilmu Bahan, Departemen Mesin PEDC, Bandung Arifin, A. (2008), Pengaruh Temperatur Penuangan, Temperatur Cetakan, Ketebalan Coran dan Flux Terhadap Fluiditas dan Sifat Mekanik dari Paduan Magnesium (Mg-44%Al), Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. ASM Handbook editor Baker, H. (2004), Alloy Phase Diagrams, Vol.3, ASM Handbook Committee. Callister, W.D., Jr. (2001), Fundamentals of Materials Science and Engineering Department of Metalurgical Engineering, The University of Utah, John Wiley & Sons, Inc, pp 111-138. Kleiner, S., Beffort, O., Wahle, A., and Uggowitzer, P.J. (2002), Microstructure and Mechanical Properties of Squeeze Cast and Semi-Solid Cast Mg-Al Alloys, Journal of Light Metals, vol. 2, pp. 277-280. Longworth, S.J.P. (2001), The Bolting of Magnesium Components in Car Engines, Dissertation Submitted for The Degree of Master of Philosophy The University of Cambridge, pp 6-10. Mordike, B.L., Ebert, T. (2001), Magnesium Properties-Applications-Potential, Journal of Material Science and Engineering, vol. A302, pp. 37-45. Perez-Prado, M.T., del Valle, J.A., and Ruano, O.A. (2005), Achieving High Strength in Comercial Mg Cast Alloys Through Large Strain Rolling, Journal of Material Latter, vol. 59, pp. 3299-3303. Siswanto, Rudi, (2011), Pengaruh Temperatur Dan Waktu Peleburan Pengecoran Tuang Terhadap Struktur Mikro Paduan Al-21%Mg, Jurnal Media Sains, Vol. 3 (1), pp. 87-96. Sudarsono, (2008), Pengaruh Temperatur Tuang, Temperatur Cetakan dan Tekanan Pada Pengecoran Squeeze Terhadap Sifat Mekanis dan Struktur Mikro Magnesium Paduan (Mg-44%Al), Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Surdia, T., dan Saito, S. (1985), Pengetahuan Bahan Teknik, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta. Young, M.S. and Clegg, A.J. (2004), Process Optimization for a Squeeze Cast Magnesium Alloy, Journal of Material Processing Technology, vol. 145 (1), pp. 134-141.
253
Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat dan College of Engineering DONG-A University Republic of Korea Bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Teknik Pertambangan dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
SERTIFIKAT Diberikan Kepada
NURHAKIM, MT Atas partisipasi aktif sebagai :
PEMBICARA Seminar Nasional
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” di Aula Gedung DPRD Banjarbaru Kalimantan Selatan Dengan Judul
“Optimalisasi Sumberdaya Dan Teknologi Dalam Peningkatan Pembangunan Di Kawasan Timur Indonesia” BANJARBARU, 30 JULI 2011 Pembantu Rektor IV
Dekan Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat
Universitas Lambung Mangkurat
Prof. DR. H. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc.
Ir. H. Norman Ruslan, MT
Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat dan College of Engineering DONG-A University Republic of Korea Bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Teknik Pertambangan dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
SERTIFIKAT Diberikan Kepada
ADIP MOSTOFA, ST Atas partisipasi aktif sebagai :
PEMBICARA Seminar Nasional
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” di Aula Gedung DPRD Banjarbaru Kalimantan Selatan Dengan Judul
“Prespektif Teknik dan Ekologi Pembangunan Mega Proyek Pabrik Baja Krakatau Steel di Batulicin Tanah Bumbu Kalimantan Selatan” BANJARBARU, 30 JULI 2011 Pembantu Rektor IV
Dekan Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat
Universitas Lambung Mangkurat
Prof. DR. H. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc.
Ir. H. Norman Ruslan, MT
Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat dan College of Engineering DONG-A University Republic of Korea Bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Teknik Pertambangan dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
SERTIFIKAT Diberikan Kepada
RISWAN, MT Atas partisipasi aktif sebagai :
PEMBICARA Seminar Nasional
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” di Aula Gedung DPRD Banjarbaru Kalimantan Selatan Dengan Judul
“Biaya
Pertambangan Batubara di Indonesia”
BANJARBARU, 30 JULI 2011 Pembantu Rektor IV Dekan Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
Universitas Lambung Mangkurat
Prof. DR. H. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc.
Ir. H. Norman Ruslan, MT
Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat dan College of Engineering DONG-A University Republic of Korea Bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Teknik Pertambangan dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
SERTIFIKAT Diberikan Kepada
IBRAHIM SOTA, MT Atas partisipasi aktif sebagai :
PEMBICARA Seminar Nasional
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” di Aula Gedung DPRD Banjarbaru Kalimantan Selatan Dengan Judul
“Analisa Batuan Bawah Permukaan Untuk Rencana Lokasi Tempat Pembuangan Sampah Di Desa Kopi, Bone Bolango ” BANJARBARU, 30 JULI 2011 Pembantu Rektor IV Dekan Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
Universitas Lambung Mangkurat
Prof. DR. H. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc.
Ir. H. Norman Ruslan, MT
Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat dan College of Engineering DONG-A University Republic of Korea Bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Teknik Pertambangan dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
SERTIFIKAT Diberikan Kepada
AGUS MIRWAN, MT Atas partisipasi aktif sebagai :
PEMBICARA Seminar Nasional
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” di Aula Gedung DPRD Banjarbaru Kalimantan Selatan Dengan Judul
“Studi Awal Pemanfaatan Air Asam Tambang Batubara Sebagai Koagulan Air Sungai Martapura” BANJARBARU, 30 JULI 2011 Pembantu Rektor IV Dekan Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
Universitas Lambung Mangkurat
Prof. DR. H. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc.
Ir. H. Norman Ruslan, MT
Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat dan College of Engineering DONG-A University Republic of Korea Bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Teknik Pertambangan dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
SERTIFIKAT Diberikan Kepada
DONI RAHMAT WICAKSO, M.Eng Atas partisipasi aktif sebagai :
PEMBICARA Seminar Nasional
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” di Aula Gedung DPRD Banjarbaru Kalimantan Selatan Dengan Judul
“Pemurnian Etanol Dengan Proses Adsorbsi Menggunakan Fly Ash Batubara Teraktivasi ” BANJARBARU, 30 JULI 2011 Pembantu Rektor IV Dekan Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
Universitas Lambung Mangkurat
Prof. DR. H. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc.
Ir. H. Norman Ruslan, MT
Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat dan College of Engineering DONG-A University Republic of Korea Bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Teknik Pertambangan dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
SERTIFIKAT Diberikan Kepada
UYU SAISMANA, MT Atas partisipasi aktif sebagai :
PEMBICARA Seminar Nasional
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” di Aula Gedung DPRD Banjarbaru Kalimantan Selatan Dengan Judul
“Perhitungan Sumberdaya Potensi Bahan Galian Bijih Besi Di Bukit Batu Hitam, Kec. Menthobi Raya Dan Kec. Sematu Jaya, Kab. Lamandau, Kalimantan Tengah” BANJARBARU, 30 JULI 2011 Pembantu Rektor IV Dekan Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
Universitas Lambung Mangkurat
Prof. DR. H. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc.
Ir. H. Norman Ruslan, MT
Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat dan College of Engineering DONG-A University Republic of Korea Bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Teknik Pertambangan dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
SERTIFIKAT Diberikan Kepada
RUDI SISWANTO, M.Eng Atas partisipasi aktif sebagai :
PEMBICARA Seminar Nasional
“Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” di Aula Gedung DPRD Banjarbaru Kalimantan Selatan Dengan Judul
“Pemanfaatan Rongsokan (Scrap) Paduan Al-Mg Sebagai Bahan Baku Produk Pengecoran Logam Menggunakan Metode Pengecoran Tuang” BANJARBARU, 30 JULI 2011 Pembantu Rektor IV Dekan Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
Universitas Lambung Mangkurat
Prof. DR. H. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc.
Ir. H. Norman Ruslan, MT
_n..'ikll
4*,4
{,t
'?, 1"". eall r.r
t'
r 'l
t.'..,qt' r rt?;r r
,.\* ';'
--
""
*Y
ISBN 9?B-b0e-109e-qq-6 ilil il
lllil ilillllilllilrll
9il7860291109244811
PS. TEKNIK PERTAMBANGAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT http : /www.mining-unlam.ac.id admin@mining unlam.ac.id Ph : +62 - 51 '9255996 fax: +62 - 51 - 4787595 Jl. JendralA. Yani Km. 36 Banjarbaru 70714,lndonesia