BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Bisa dikatakan Qawaid Fiqhiyyah merupakan bukti kemajuan
keilmuan Fiqih Islam, dimana para ulama telah membuat suatu bentuk penyederhanaan dalam cabang-cabang ilmu fiqih ke dalam beberapa kaedah dengan bahasa yang simpel, mudah dihafal dan bisa diterapkan sepanjang masa. Perkembangan tersebut membuat majunya logika berpikir para ulama. Ilmu Qawaid Fiqhiyyah adalah salah satu cabang ilmu didalam ilmu fiqih. Cikal Bakal Qawaid Fiqhiyyah sebenarnya sudah tertulis dalam Al-Quran ataupun Sunnah. Namun, belum tersusun dengan rapih dan sistematis. Barulah ketika abad ke-4 hijriyyah Ilmu Qowaid Fiqiyah berkembang dengan pesat. Sehingga pada perjalanan waktu sekitar abad ke 7 Hijiriah sampai abad ke 10 Hijriah banyak ulama yang menuliskan ilmu ini ke dalam sebuah kitab. Oleh sebab itu, dengan mempelajari Qawaid Fiqiyah banyak manfaat yang bisa diambil. Salah satunya yakni dapat mempermudah dalam memahami ilmu fiqih dan melafalkannya. Seperti satu cara mempermudah
dalam
menghafal
pelajaran
adalah membuat
ringkasannya ketika akan menghadapi ujian. B.
Rumusan Masalah
1. Apa itu Qawaid Fiqiyah? 2. Bagaimana Kaidah-kaidah Pokok Qawaid Fiqiyah?
1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qawaid Fiqiyah Kata Qawaid “kaidah‟ secara kebahasaan berarti asal atau
asas ‘al-asl wa al-asas1. Adapun secara istilah, menurut Al Jurjani kaidah adalah “Kaidah adalah proposisi universal yang sesuai bagi partikular di bawahnya” 2. Nomenklatur Qawaid Fiqhiyah terbagi atas dua suku kata, yaitu qawaid dan fiqhiyah. Al-Nadwi mengutip dalam Dictionary of Modern Written Arabic, karya Milton Cowan (ed) Kata qawaid merupakan bentuk plural ‘jama’ dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah' yang secara literal berarti :asas, landasan, dasar, basis atau fondasi suatu bangunan atau ajaran agama dan sebagainya. Dalam pengertian yang lebih khas, qaidah dapat juga bermakna ajaran, garis panduan, formula, pola atau metode. Qaidah memiliki makna yang sama dengan asas atau prinsip yang mendasari suatu bangunan, agama atau yang semisalnya.3 Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan : ”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”. Sedangkan arti fikih secara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sedangkan menurut istilah, Fikih adalah 1 Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, (Kairo : Dar al-Hadith, 2003), jld. VII, hlm. 434. Fayruzabadi, Qamus al-Muhit, (Kairo : Hay‟at alMisriyyah, 1301 H), jld. I, hlm. 365. 2 Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (Singapura : al-Haramayn, t.th.), hlm. 171. 3 Ali Ahmad al-Nadwi, Al-qawa’id al-fiqhiyyah : Mafhumuha, Nash’atuha, Tatawwuruha, Dirasatu Mu-allafatiha, Adallatuha, Muhimmatuha, Tatbiqatuha, (Damaskus : Dar al-Qalam, 1412H/1991M), hlm. 23. 2
ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara yang bersifat amaliyah yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci). Kaidah berbeda-beda sesuai ilmu yang membentuknya, misalnya kaidah kebahasaan seperti nahw dan saraf. Dalam hal ini, Abd al-Karim Zaydan mengutip definisi Ibn Nujaym berikut untuk menjelaskan hakikat qaidah fiqhiyah :
“Dalam terminologi fuqaha, qaidah
fiqhiyah adalah ketentuan umum yang mencakup seluruh atau kebanyakan partikular di bawahnya sehingga hukum diketahui darinya”.4 Kaidah fikih adalah sebagai suatu jalan untuk mendapat kemashalatan dan menolak kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua hal tersebut.5 Menurut Bani Ahmad Salbani kaidah fikih adalah pedoman umum dan universal bagi pelaksanaan hukum Islam yang mencakup seluruh bagiannya. Qawaid Fiqhiyah adalah sebagaimana yang telah dikutip oleh Asymuni A. Rahman dari Tajjudin as-Subki, yaitu suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang banyak dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat.6 Menurut Musthafa alZarqa yang dikutip oleh Abd. Rahman Dahlan, Qowaid Fiqhyah ialah dasar-dasar fikih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang- undangyang berisi hukum-hukum syara yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.7 4 Abd al-Karim Zaydan. Al-Wajiz fi Syarh al-Qawa‘id alFiqhiyyah fi alSyari‘ah al-Islamiyyah. (Beirut : Mu‟assasah al-Risalah, 2001), hlm. 7. 5 Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibnu Abbas Salam, Qawaid al Ahkam fi Mashalih al Anam, (Beirut : Dar al-Kutub alIlmiyah, 1999), Cet. Ke-I, vol. I 6 Asymuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta : Bulan bintang. 1976), Hlm. 11. 7 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. (Jakarta : Amzah, t.th.), hlm. 13. 3
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaid fiqhiyah adalah ”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”. Ilmu Qawaid al-Fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu ilmu yang sangat dibutuhkan bagi setiap orang yang berkecimpung dalam dunia Islam terutama bagi penentu kebijakan-kebijakan hukum apalagi yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaid al-Fiqhiyah. Dengan menguasai kaidah-kaidah fikih akan mengetahui benang merah yang terdapat di berjuta masalah fiqh melalui istimbath hukum, karena kaidah fikih itu memang menjadi titik temu dari masalah-masalah fikih. Penguasaan terhadapnya juga menjadikan kita lebih arif di dalam menentukan dan menerapkan fikih dalam keadaan, waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan dan berbagai masalah yang muncul. Selain itu juga Qawaid al-Fiqhiyah akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat agar tercapai tujuan dibentuknya al-Syari‟ah yaitu kemaslahatan umat.8 Qawaid al-Fiqhiyah juga bisa dijadikan landasan aktifitas umat Islam sehari-hari dalam usaha memahami maksud-maksud ajaran Islam Maqashid al-Syari’ah secara lebih menyeluruh, keberadaan Qawa’id al-Fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat
8 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003), Cet 1, hlm 20
4
penting, termasuk dalam kehidupan berekonomi, bersosial, beragama dan berbudaya. Baik di mata para ahli usul maupun fuqaha, pemahaman
terhadap
Qawa’id
al-Fiqhiyyah
adalah
mutlak
diperlukan untuk melakukan suatu ijtihad atau pembaharuan pemikiran dalam berbagai masalah. Manfaat keberadaan Qawa’id al-Fiqhiyyah adalah untuk menyediakan panduan yang lebih praktis yang diturunkan dari nash asalnya yaitu Al-Qur’an dan al-Hadits. Kemunculan Qawaid alFiqhiyah sudah ada sejak kemunculan agama Islam hingga bermulanya zaman imam-imam mujtahid yaitu hingga akhir kurun abad ketiga dan inilah yang disebut dengan fase pembentukan. Walaupun pada masa ini mereka tidak menamakannya sebagai kaidah namun telah dapat dilihat berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ulama terhadap beberapa ayat Al-Qur’an. Dimana masa pertumbuhan dan pembentukan Qawaid alFiqhiyah berlangsung selama tiga abad lebih dimuali dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 Hijriah. Benih-benih kaidah fikih pada melalui nash-nash Al-Qur’an yang terkandung didalamnya asas dan dasar ilmu kaidah fikih. Banyak ayat Al-Qur’an yang menjadi petunjuk kepada ilmu ini, diantaranya ayat 29 Surah al-Nisa' dan ayat 38 Surah al-Syura. Dasar ilmu kaidah fikih juga dapat dipahami melalui ucapan Nabi Saw yang bersifat “Jawami‘ al-Kalim” yaitu ucapan beliau yang ringkas, padat dan mempunyai makna yang dalam. Di samping itu juga, ia menjadi dasar kepada kaidah pokok “Qawaid al-Kulliyah‟ yang terangkum di dalamnya hukum untuk berbagai perkara dan macam-macam masalah furu’.
5
Para sahabat juga berjasa dalam ilmu kaidah fikih, mereka turut serta dalam pembentukan kaidah fikih. Para sahabat dapat membentuk kaidah fikih karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah Saw dan mereka mengetahui situasi dan kondisi turunnya wahyu. Setelah fase sahabat munculah zaman Tabi’in dan Tabi tabi’in, diantara ulama yang mengembangkan kaidah fikih pada generasi tabi’in yakni Abu Yusuf Ya‟kub ibn Ibrahim Karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun salah satunya adalah : ”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al-Mal” Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Bait al-Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta peninggalan tirkah atau mauruts‟, apabila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris. Al-Nadwi menyatakan dalam bukunya al-Qawaid al Fiqhiyyah, ulama fikih pertama yang mencetuskan fenomena ini ialah Abu Yusuf serta beberapa ulama yang sezaman dengannya seperti Imam Malik, Imam al-Syafi’i dan lain-lain. Awal mula Qawaid alFiqhiyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada abad ke 4 H. Hal ini terjadi ketika kecenderungan taqlid mulai tampak dan semangat ijtihad telah melemah karena saat itu fikih mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal ini berimbas terhadap terkotakkotaknya fikih dalam madzhab.9 Ketika hukum furu’ dan fatwa para ulama semakin berkembang seiring dengan semakin banyaknya persoalan, para ulama mempunyai inisiatif untuk membuat kaidah dan
9 Mukhlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 4, hlm.79 6
dhabit yang dapat memelihara hukum furu’ dan fatwa para ulama tersebut dari kesemerawutan. Mustafa Syalaby menukilkan bahwa penyusunan kaidah fikih yang pertama telah dirintis oleh Abu Tahir al-Dabbas melalui risalahnya yang berjudul Ta’sis alNazar, Abu Hasan al-Karkhi dalam bukunya yang berjudul Ushul al-Karkhi, Imam al Khusyni dengan karyanya Ushul al-Fataya, Abi Laits alSamarqandi dengan karyanya Ta’sis al-Nadhri. 10 Pada abad ke-7 H Qawaid al-Fiqhiyah mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Di antara ulama yang menulis kitab Qawaid pada abad ini adalah Muhammad bin Ibrahim al-Jurjani al-Sahlaki dengan judul al-Qawaid fi Furu’i al- Syafi’iyah, al-Imam Izzudin Abd al-Salam menulis kitab Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Muhammad bin Abdullah bin Rasyid al-Bakri al-Qafshi menulis alMadzhab fi Qawaid al-Madzhab. Pada abad ke-8 H, Qawaid al-Fiqhiyah mengalami masa keemasan, ditandai dengan banyak bermunculannya kitab-kitab Qawaid fiqhiyah. Perkembangan ini terbatas hanya pada penyempurnaan hasil karya para ulama sebelumnya, khususnya di kalangan ulama Syafi‟iyah. Abad ke-10 H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fikih, yaitu pada zaman Imam al-Suyuti. Dalam kurun waktu ini, kaidah fikih telah berada dalam keadaan yang kukuh dan teguh.11 Meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fikih pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang
10 Mustafa Syalabi, Al-Madkhal fi Fiqh al-Islami, (Beirut : Dar alJami„ah, 1985), Cet. X, hlm. 326. 11 Jalal al-Din al-Suyuti, al-Asybah wa al-Nadza’ir, (Singapura : alHaramain, 1960), hlm. 5. 7
disempurnakan di abad ke-13 H adalah “Seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya” Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fikih tersebut adalah “Seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin‟. Faktor-faktor pendorong timbulnya Qawaid alFiqhiyyah, dapat diambil dari pernyataan Muhamma al-Zarqa’ dalam kitabnya Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah. Seandainya tidak ada Qawa’id al-Fiqhiyyah, tentu hukumhukum fikih akan menjadi hukum furu’ yang berserakan dan kadangkadang lahiriyahnya tampak saling bertentangan, tanpa ada ushul “Kaidah‟ yang dapat mengokohkannya dalam pikiran, menampakkan ‘illat-’illatnya,
menentukan
arah-arah
pembentukannya,
dan
membentangkan jalan pengqiyasan dan penjenisan padanya‟.12 Dapat ditarik juga dari pernyataan Imam al-Qarafi dalam kitabnya al-Furuq “Siapa yang berhujjah dengan hanya menghapal juz’iyyah saja, maka hujjahnya itu tidak akan ada batasnya, serta akan menghabiskan umurnya tanpa dapat mencapai cita-cita. Sebaliknya, siapa yang memperdalam fikih melalui kaidah-kaidah fikih tidak harus menghapalkan berbagai macam cabang fikih, karena telah tercakup oleh kulliyyah‟.13
12 Mukhtar Yahya, Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung : Al Ma‟arif, 1986), Cet. 1, hlm. 522
8
B.
Kaidah Pokok Qawaid Fiqiyah Berdasarkan buku-buku yang membahas tentang kaidah,
kaidah dibagi atas kaidah asasiah (pokok) dan kaidah ghairu asasiah (cabang). Kaidah asasiah oleh Imam Muhammad Izzudin bin Abdis Salam diringkas menjadi kaidah “Menolak kerusakan dan menarik kemashlahatan‟. Kaidah ini merupakan kaidah yang oleh para Imam Mazhab telah disepakati tanpa ada pihak yang memperselisihkan kekuatannya. Sedangkan kaidah-kaidah ghairu asasiah merupakan pelengkap dari kaidah asasiah , dan keabsahannya masih tetap diakui, yang oleh beberapa ulama dibagi atas beberapa macam, di antaranya terdapat 40 kaidah cabang yang disepakati dan 20 kaidah cabang yang diperselisihkan. Lima kaidah pokok itu digali dari sumber-sumber hukum, baik melalui Al-Quran dan Al-Sunnah maupun dalil-dalil istimbath. Karena itu, setiap kaidah didasarkan atas nash-nash pokok yang dapat dinilai sebagai standar hukum fikih, sehingga sampai dari nash itu dapat diwakili dari sekian populasi nash-nash ahkam. Adapun bentuk-bentuk lima kaidah pokok itu adalah : 1.
اص ِدهَا ِ َ( األُ ُموْ ُر بِ َمقSegala sesuatu bergantung pada tujuannya) Pengertian kaidah ini bahwa hukum yang berimplikasikan
terhadap suatu perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan subjek hukum (mukallaf) tergantung pada maksud dan tujuan dari perkara tersebut.14 Tujuan utama disyariatkan niat adalah untuk
14 Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam (penerjemah: Wahyu Setiawan), Qawa’id Fiqhiyyah, Amzah, 2009, hal. 6
9
membedakan antara perbuatan-perbuatan ibadah dengan perbuatan adat dan untuk menentukan tingkat ibadah satu sama lain. Contoh: Kalau kita sholat kita pasti bertemu dengan yang namanya niat, kalau kita tidak bertemu dengan yang namanya niat berarti kita tidak pernah sholat. Begitu juga dengan yang lainnya, seperti puasa, zakat, haji dll. Kita pasti bertemu dengan yang namnya niat. Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang berbunyi:
ۗ ٗ ٱَّللِ ِك َٰتَبٗ ا ُّمؤَ ج س أَن تَ ُموتَ إِ اَّل بِإ ِ ۡذ ِن ا اب ٱل ُّد ۡنيَا نُ ۡؤتِ ِهۦ َ اٗل َو َمن ي ُِر ۡد ثَ َو ٍ َو َما َكانَ لِن َۡف ٓ ۡ اب ٥٤١ َٱأل ِخ َر ِة نُ ۡؤتِِۦه ِم ۡنهَ ۚا َو َسن َۡج ِزي ٱل َٰ اش ِك ِرين َ ِم ۡنهَا َو َمن ي ُِر ۡد ثَ َو ”Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat.”(QS. AliImran: 145) Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut: 1. Kaidah ض ار ُ َص ْيٗلً اِ َذا َعيانَهُ َواَ ْخطَأ َ لَ ْم ي ِ َما َّلَ يُ ْشت ََرطُ التا َعرُّ ضُ لَهُ ُج ْملَةً َو تَ ْف “ suatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara global maupun secara terperinci, bila dipastikan dan ternyata salah, kesalahannya itu tidak membhayakan (membatalkan).” 2. Kaidah طل ِ “ َو َما يُ ْشت ََرطُ فِ ْي ِه التا َعرُّ ضُ فَ ْالخَ طَأ ُ فِ ْي ِه ُم ْبsuatu amal yang disyaratkan
penjelasannya
maka
kesalahannya
membatalkan
perbuatan tersebut.” 3. Kaidah ُعيانَه َ ص ْيٗلً اِ َذا ِ َو َما يَ ِجبُ التا َعرُّضُ لَهُ ُج ْملَةً َو َّلَ يُ ْشت ََرطُ تَ ْعيِ ْينُهُ تَ ْف
ضر َ َ “ فَا َ ْخطَأsuatu amal yang harus dijelaskan secara global dan tidak
10
disyaratkan secara terperinci, karena apabila disebut secara terprinci dan ternyata salah, kesalahannya itu dapat membahayakan.” 4. Kaidah ُّام َوَّلَ تَ ُع ُّم ْالخاص ِ فى ْاليَ ِمي ِْن تُخَ صِّصُ اللا ْفظَ ْال َع ِ ُ“ النِّبَةniat dalam sumpah mengkhususkan lafadz umum dan tidak pula menjadikan umum pada lafadz yang khusus.” 5. Kaidah اضى ِ َاح ٍد َوه َُو ْاليَ ِميْنُ ِع ْن َد ْالق ِ ض ٍع َو ِ َْمقَاصُ اللا ْف ِظ َعلَى نِيَ ِة ااَّلفِ ِظ اِ اَّل فِى َمو اضى ِ َفَاِناهَا َعلَى نِيَ ِة ْالق “maksud dari suatu lafadz adalah menerut niat orang yang mengucapkannya, kecuali dalam satu tempat, yang dalam sumpah dihadapan hakim. Dalam keadaan demikian, maksud lafadz menurut niat hakim.” 6. Kaidah اظ َو ْال َم َعانِى ِ َاص ُد َو ْال َم َعانِى ََّل لِ ْْلَ ْلف ِ َ“ ْال ِعبَ َرةُ فِى ْال ُعقُوْ ِد ْال َمقyang dimaksud dalam akad adalah maksud atau makna bukan lafadz atau bentuk perkataan.”15
2.
التيسير
تجلب
المشقة
(Kesukaran
mendatangkan
kemudahan) Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang dalam
penerapannya
bagi
mukallaf
menimbulkan ,
maka
kesulitan syari’ah
dan
kesukaran
meringankannya,
15 Mukhlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 4
11
sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.16 Contoh: Apabila kita melakukan perjalanan yang mana perjalanan tersebut sudah sampai pada batas diperbolehkannya mengqasar sholat, maka kita boleh mengqasar sholat tersebut, karena apa bila kita tidak mengqsar shoalat kemungkinan besar kita tidak akan punya waktu yang cukup untuk shalat pada waktunya. Karena seseorang yang melakukan perjalanan pastilah akan dikejar waktu untuk agar cepat sampai pada tujuan, dan itu termasuk pada pekerjaan yang sulit di lakukan apabila harus melakukan sholat pada waktu sholat tersebut. Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang berbunyi: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”(Q.S Al Baqarah : 185)
ي ُِري ُد ا ٨٢ ض ِع ٗيفا َ ِٱَّللُ أَن يُ َخفِّفَ عَن ُكمۡۚ َو ُخل َ ٱۡلن َٰ َس ُن ِۡ ق “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”(QS. An-Nisa: 28) Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut: 1. Kaidah ق َ ضا َ ضا َ ق األا ْم ُر إِتا َس َع َوإِ َذا اتا َس َع ْاألَ ْم ُر َ “ إِ َذاapabila suatu peerkara itu sempit, hkumnya menjadi luas, sebaliknya, jika suatu perkara itu luas, huumnya menjadi sempit.”
16 Asymuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta : Bulan bintang. 1976), hlm 34
12
2. Kaidah ض ِّد ِه َ اوزَ َح ُّدهُ إ ْن َع َك ِ س إِلَى َ “ ُكلُّ َما ت ََجsemua yang melampaui batas, hukumnya berbalik mejadi keblikannya,” 3. Kaidah اصى ِ “ الر ْاخصُ ََّل تُنَطُ بِال َم َعrukhsah-rukhsah itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan.”
“ الر ْاخصُ ََّل تُنَطُ بِال اrukhsah itu tidak dapat di sangkut 4. Kaidah ِّشك pautkan dengan keraguan.” 17
(الضرر يـزالKemudharatan harus dihilangkan)
3.
Arti dari kaidah itu adalah kemudharatan atau kesulitan harus dihilangkan, jadi konsepsinya kaidah ini memberikan pengertian bahwa harus dijauhkan dari idhar (tidak menyakiti) baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak semestinya menimbulkan bahaya bagi orang lain.18 Contoh: kalau misalkan ada pohon besar dengan buah yang banyak yang mana buah tersebut sering jatuh dan sering mengenai kepala orang yang lewat dibawahnya hingga ada yang harus dibawa ke rumah sakit, maka dengan beracuan pada kaidah ini pohon tersebut harus di tebang. Dasar kaidah ini beracuan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 56: Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).
17 Asymuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta : Bulan bintang. 1976), hlm 36 18 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. (Jakarta : Amzah, t.th.), hlm. 45
13
Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut: Kaidah ح ْال َمحْ ظُ َر ِة “ال اkemudaratan membolehkan ُ ضرُوْ َرةُ تُبِ ْي
1.
yang mudarat (dilarang).” Kaidah رهَا “ َما أُبِ ْي ُح لِل اapa-apa yang dibolehkan ِ ضرُوْ َر ِة يُقَ اد ُر بِقَ اد
2.
karena mudarat diperkirakan sewajarnya, atau menurut batasan ukuran kebutuhan minimal.” Kaidah ر ِ “الض َار ُر ََّل يُزَ ا ُل بِالض َارkemudaratan tidak dapat
3.
hilang kemudaratan lain.” Kaidah ب َ َان رُوْ ِع َي أَ ْعظَ ُمهُ َما َ ار َ إ ِِ َذا تَ َع ِ ص َررًا بِارْ تِ َكا ِ ض ْال ُم ْف ِس َدت
4.
“أَخَ فِّ ِه َماjika ada dua kemudaratan yang bertentangan, diambil kemudaratan yang paling besar.”[7] 5.
Kaidah
ح َ ب ْال َم ِ اس ِد ُمقَ ادم َعلَى َج ْل ِ َ “ َدرْ ُء ْال َمفmenolak ِ ِصال
kemafasadatan didahulukan daripada mengambil kemalahatan.” 6.
Kaidah
ً صة ْ اجةُ تَ ْن ِز ُل َم ْن ِزلَةَ الض َاروْ َر ِة عَا امةً َكان َت أَوْ خَ ا ا َ “ ْال َح
kebutuhan itu menempati kemudaratan, baik secara umum maupun khusus.’19
4.
(الـعـادة محكـمةKebiasaan dapat menjadi hukum) Kaidah fiqih ini berkenaan tentang adat atau kebiasaan, dalam
bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. Adat adalah suatu perbuatan atau perkataan
19 Asymuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta : Bulan bintang. 1976), hlm 43
14
yang terus menerus dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima akal dan secara terus menerus manusia mau mengulanginya. Sedangkan ‘Urf ialah sesuatu perbuatan atau perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya, karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiaannya. Kata Al-‘aadah atau al-u’rf, menurut Imam Abi al Faidh terkadang digunakan dalam satu makna akan tetapi sama dalam bidang ilmu lain. Bahwasannya ‘urf atau al ‘aadah adalah sesuatu yang dianggap baik oleh syara atau perkara yang dianggap baik.20 Djazuli mendefinisikan, bahwa al-‘adah atau al-‘urf adalah “Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al‘adah al-‘aammah) yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan”. ‘Urf ada dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan ‘urf yang fasid. ‘Urf yang shahih ialah apa-apa yang telah menjadi adat kebiasaan manusia dan tidak menyalahi dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dam tidak membatalkan yang wajib. Sedangkan ‘urf yang fasid ialah apa-apa yang telah menjadi adat kebiasaan manusia, tetapi menyalahi syara’, menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib. Suatu adat atau ‘urf dapat diterima jika memenuhi syaratsyarat berikut: 1. Tidak bertentangan dengan syari'at.
20 Ali Ahmad al-Nadwi, Al-qawa’id al-fiqhiyyah : Mafhumuha, Nash’atuha, Tatawwuruha, Dirasatu Mu-allafatiha, Adallatuha, Muhimmatuha, Tatbiqatuha, (Damaskus : Dar al-Qalam, 1412H/1991M),
15
2. Tidak menyebabkan kerusakan dan tidak menghilangkan kemashlahatan. 3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim. 4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdhah. 5. Sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya. 6. Tidak bertentangan dengan Qur’an dan sunnah.21 Contoh: ketika di suatu tempat ada suatu kebiasaan, yang mana kebiasaan tersebut telah mendarah daging, maka dengan sendirinya kebiasaan tersebut akan menjadi hukum, misalkan kebiasaan petik laut, kalau ada masyarakat pesisir yang tidak melakukan petik laut tersebut, maka dia akan dikucilkan oleh masyarakat setempat. Kaidah tersebut didasarkan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 199: Artinya: “jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” Cabang-cabangnya antara lain sebagai berikut: 1.
Kaidah ْر ْاألَ ْز ِمنَ ِة َو ْاألَ ْم ِكنَ ِة ِ “ ََّل يُ ْن َك ُر تَ ْغيِ ْي ُر ْاألحْ َك ِام بِتَ ْغيِيtidak
diingkari perubahan hukum disebaban perubahan zaman dan tempat.” 2.
ُ ْ“ ْال َم ْعرُوyang baik itu menjadi Kaidah ُط شَرْ طًا ِ ف عُرْ فًا َك ْال َم ْشر
‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.”
21 Abd al-Karim Zaydan. Al-Wajiz fi Syarh al-Qawa‘id alFiqhiyyah fi alSyari‘ah al-Islamiyyah. (Beirut : Mu‟assasah al-Risalah, 2001),
16
ُ ِ“الثاابyang ditetapkan melalui Kaidah ِّف َكالثاابِ ِة بِالناص ِ ْت بِ ْال َم ْعرُو
3.
‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash. 22
5.
(َّليزال بالشـك اليـقـينKeyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan) Kaidah fiqih ini menunjukan bahwa suatu perkara yang
diyakini telah terjadi tidak bisa dihilangkan kecuali dengan dalil yang pasti dan meyakinkan. Dengan kata lain, tidak bisa dihilangkan hanya dengan sebuah keraguan. Demikian pula sebaliknya, suatu perkara yang diyakini belum terjadi maka tidak bisa dihukumi telah terjadi kecuali dengan dalil yang meyakinkan pula.23 Contoh: kalau misalkan kita mau melakukan sholat, tapi kita masih ragu apakah kita masih punya wudhu’ atau tidak, maka kita harus berwudhu’ kembali, akan tetapi kalau kita yakin kita masih punya wudhu’, kita langsung sholat saja itu sah, meski pada kenyataannya wudhu’ kita telah batal. Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut: 1.
Kaidah َعلَى َما َكان َ َ“األَصْ ُل بَقَا ُء َما َكانasal itu tetap sebagaimana
semula bagaimanapun keberadaannya.” 2.
Kaidah “ ْاألَصْ ُل بَ َرا َءة ال ِّذ ام ِةasal itu bebas dari tangugan.”
3.
Kaidah “ ْاألَصْ ُل ْال َع َد ُمasal itu tidak ada”
22 Asymuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta : Bulan bintang. 1976), hlm 47 23 Mukhlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 4
17
Kaidah ان ٍ “ ْاألَصْ ُل فِى ُكلِّ َح ِد ْيasal dalam ِ ث تُقَ ِد ُرهُ بِأ َ ْق َر ِ ب ال از َم
4.
setiap keadaan dilihat dari waktunya yang terdekat.” 5.
Kaidah
احة َ َ“ ْاألَصْ ُل فِى ْاألَ ْشيَا ِء اَ ْ ِۡلبasal dari sesuatu adalah
kebolehan” Kaidah اح ِة التاحْ ر ْي ُم َ َ“ ْاألَصْ ُل فَى ْاۡلبasal dari kemubahan adalah
6.
keharaman.”
BAB III KESIMPULAN
Qawaid fiqhiyah adalah Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabangcabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu. Ilmu Qawaid al-Fiqhiyah adalah suatu ilmu yang sangat dibutuhkan bagi setiap orang yang berkecimpung dalam dunia Islam terutama bagi penentu kebijakan-kebijakan hukum apalagi yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaid al-Fiqhiyah. Dengan menguasai kaidah-kaidah fikih akan mengetahui benang merah yang terdapat di berjuta masalah fiqh melalui istimbath hukum, karena kaidah fikih itu memang menjadi titik temu dari masalah-masalah fikih. Ada lima kaidah pokok Qawaid al-Fiqhiyah: 1.
اص ِدهَا ِ َ( األُ ُموْ ُر بِ َمقSegala sesuatu bergantung pada tujuannya)
2.
( المشقة تجلب التيسيرKesukaran mendatangkan kemudahan)
3.
(الضرر يـزالKemudharatan harus dihilangkan) 18
4. 5.
(الـعـادة محكـمةKebiasaan dapat menjadi hukum) (َّليزال بالشـك اليـقـينKeyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan)
19
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Karim Zaydan. Al-Wajiz fi Syarh al-Qawa‘id alFiqhiyyah fi al-Syari‘ah al-Islamiyyah. (Beirut : Mu‟assasah alRisalah, 2001) Ali Ahmad al-Nadwi, Al-qawa’id al-fiqhiyyah : Mafhumuha, Nash’atuha, Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (Singapura : al-Haramayn, t.th.) Al-Suyuti,
Jalal
al-Din.
Al-Asybah
wa
al-Nadza’ir,
(Singapura : al-Haramain, 1960) Dahlan,Abd. Rahman. Ushul Fiqih. (Jakarta : Amzah, t.th.), Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, (Kairo : Dar al-Hadith, 2003), jld. VII Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibnu Abbas Salam, Qawaid al Ahkam fi Mashalih al Anam, (Beirut : Dar al-Kutub alIlmiyah, 1999), Cet. Ke-I, vol. I Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003), Cet 1 Mukhtar Yahya, Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung : Al Ma‟arif, 1986), Cet. 1 Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam (penerjemah: Wahyu Setiawan), Qawa’id Fiqhiyyah, Amzah, 2009 Rahman, Asymuni A. Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta : Bulan bintang. 1976) Syalabi, Mustafa. Al-Madkhal fi Fiqh al-Islami, (Beirut : Dar al-Jami„ah, 1985), Cet. X,
20
Tatawwuruha, Muhimmatuha,
Dirasatu
Tatbiqatuha,
Mu-allafatiha,
(Damaskus
:
Dar
Adallatuha, al-Qalam,
1412H/1991M) Usman, Mukhlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 4
21