PSIKOLOGI KELUARGA
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Kepribadian
Oleh: Wilda Faza 15010113120080
UNIVERSITAS DIPONEGORO FAKULTAS PSIKOLOGI SEMARANG 2013
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan rahmat-Nya penulis dapat menyusun dan menyelasaikan makalah ini dengan baik dan lancar. Penulis menyusun makalah ini berdasarkan tugas yang diberikan oleh dosen Psikologi Perkembangan penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen Psikologi Perkembangan atas tugas yang telah diberikan beserta arahan yang diberikan. Penulis menyadari masih banyak kekurangan di dalam makalah ini. Penulis memohon maaf atas kekurangan tersebut. Kritik dan saran dari Anda para pembaca sangat penulis harapkan dan butuhkan untuk perbaikan makalah ini. Semoga makalah yang telah penulis susun ini dapat memberikan wawasan kepada Anda para pembaca mengenai “Psikologi Keluarga”. Selamat Membaca!
Semarang, Juni 2014
Penulis
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Psikologi
berasal dari kata dalam bahasa Yunani
Psychology yang
merupakan gabungan dan kata psyche dan logos. Psyche berarti jiwa dan logos berarti ilmu. Secara harafiah psikologi diartikan sebagal ilmu jiwa. Sedangkan keluarga berasal dari bahasa Sansekerta yaitu kula dan warga yang kemudian digabungkan menjadi kulawarga.
Menurut Hill (Sri Lestari, 2012) keluarga adalah rumah tangga yang memiliki hubungan darah atau perkawinan atau menyediakan terselenggaranya fungsifungsi ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu jaringan.
Menurut Burgess & Locke (Duvall & Miller, 1985), Keluarga adalah sekelompok orang dengan ikatan perkawinan, darah, atau adopsi; terdiri dari satu orang kepala rumah tangga, interaksi dan komunikasi satu sama lainnya dalam peran suami istri yang saling menghormati, ibu dan ayah, anak laki-laki dan perempuan, saudara laki-laki dan perempuan, dan menciptakan serta mempertahankan kebudayaannya.
Keluarga merupakan suatu kelompok sosial yang bersifat langgeng berdasarkan hubungan pernikahan dan hubungan darah. Keluarga adalah tempat pertama bagi anak, lingkungan pertama yang memberi penampungan baginya, tempat anak akan memperoleh rasa aman (Gunarsa, 2002).
Dengan demikian dapat kita simpulkan dari beberapa tokoh diatas adalah bahwa psikologi keluarga adalah ilmu yang mempelajari tentang gejala jiwa dalam sebuah rumah tangga atau keluarga.
Keluarga merupakan suatu sistem sosial yang terbuka, karena itu sistem yang berada di luar keluarga sangat berpengaruh terhadap kehidupan keluarga, baik berpengaruh terhadap struktur keluarga maupun pola interaksi yang berada di dalamnya. Sebagai suatu sistem sosial, keluarga merupakan subsistem dari sitem-sistem yang lebih luas, yaitu lingkungan tetangga, komunitas, dan masyarakat yang lebih besar (Bronferenbrenner, 1979).
Keluarga sebagai kesatuan sosial terbentuk dari dua orang dewasa yang berlainan kelamin, yaitu pria dan wanita serta anak-anak yang dilahirkan maupun yang diadopsi. Keluarga adalah satu-satunya situasi yang pertama dikenal anak baik semasa prenatal maupun post-natal . Keluarga inti (nuclear family) terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak mereka.
B. Fungsi Keluarga
Menurut Soelaeman (1994), fungsi keluarga adalah sangat penting sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lainnya. Jenis-jenis fungsi keluarga adalah:
a. Fungsi edukatif Fungsi ini berkaitan dengan pendidkan anak serta pembinaan anggota keluarga. Keluarga merupakan sumber pembelajaran lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. Contoh orang tua bertugas untuk meberikan pembelajaran tentang bagaimana cara makan menggunakan sendok dengan baik . b. Fungsi sosialisasi Tugas keluarga dapat membantu menyiapkan diri anaknya agar dapat menempatkan dirinya sebagai pribadi yang berkontribusi dalam masyarakat
serta orang tua membantu menyiapkan anak agar menjadi pribadi yang mapan dan menjadi anggota masyarakat yang baik.
c. Fungsi lindungan Keluarga pada hakekatnya harus melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak baik dari hidup yang menyimpang dari norma-norma. Fungsi lindungan dapat dilakukan dengan cara melarang anak-anak untuk melakukan perbuatan yang tidak diharapkan dan orang tua selalu menjadi contoh teladan dalam berbagai hal yang diharapkan oleh anak.
d. Fungsi afeksi Pada saat anak masih kecil anak peka akan suasana emosi orang tuanya pada saat berkomunikasi dengan mereka. Kehangatan yang terpancar dari keseluruhan gerakan, ucapan, mimik serta perbuatan orangtua, juga rasa kehangatan dan keakraban itu menyangkut semua pihak yang tergolong anggota keluarga.
e. Fungsi religius Keluarga bertugas untuk memperkenalkan anggota keluarganya pada kehidupan beragama. Dengan harapan anggota keluarga mengetahui kaidah dan ajaran yang berada dalam agama dan menjadikannya insan yang beragama.
f.
Fungsi ekonomi Pelaksanaan fungsi ekonomi keluarga oleh dan untuk semua anggota keluarga mempunyai kemungkinan menambah saling mengerti, solidaritas, tanggung jawab bersama keluarga itu serta meningkatkan rasa kebersamaan dan keikatan antara sesama anggota keluarga.
g. Fungsi rekreasi
Fungsi ini dapat terlaksanakan apabila dalam sebuah kondisi keluarga dapat mewujudkan suasana yang tenang, damai, jauh dari ketegangan batin, dan menjadi tempat untuk melepaskan kepenatan dan ketegangan sehari-hari.
h. Fungsi biologis Fungsi itu berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologis anggota keluarga. Diantaranya kebutuhan akan keterlindungan fisik, kesehatan, rasa lapar, haus, kedinginan, kepanasan, kelelahan bahkan juga kenyamanan dan kekerasan fisik.
Tidak berbeda jauh dengan pendapat tokoh diatas, menurut Rog & Baber fungsi keluarga meliputi: a. Fungsi biologis b. Fungsi ekonomis c. Fungsi pendidkan d. Fungsi agama e. Fungsi sosial f.
Fungsi rekreasi
g. Memberi rasa aman; kasih sayang yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya berakibat memberikan rasa aman pada anak yang menimbulakn kesusksesan dari hidup dalam keluarga. Sebaliknya, karena kasih sayang yang didapat dari orang tuanya maka akan timbul rasa tanggung jawab dan perasaan berbakti kepada orang tua.
C.
Ciri dan Bentuk Keluarga Burgest dan Locke (1960) mengemukakan empat ciri keluarga yaitu: a. Keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan (pertalian antar suami dan istri), darah (hubungan antara orangtua dan anak) atau adopsi.
b. Anggota-anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama dibawah satu atap dan merupakan susunan satu rumah tangga. Tempat kost dan rumah penginapan bisa saja menjadi rumahtangga, tetapi tidak akan dapat menjadi keluarga,
karena
anggota-anggotanya
tidak
dihubungkan
oleh
darah,
perkawinan atau adopsi. c.
Keluarga
merupakan
kesatuan
dari
orang-orang
yang
berinteraksi
dan
berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan sosial bagi si suami dan istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan perempuan, saudara laki-laki dan saudara perempuan. Peranan-peranan tersebut diperkuat oleh kekuatan tradisi dan sebagian lagi emosional yang menghasilkan pengalaman. d. Keluarga adalah pemelihara suatu kebudayaan bersama yang diperoleh dari kebudayaan umum. Menurut Stephens (Eshelman, 1991) mendefiniskan keluarga sebagai suatu susunan sosial yang didasarkan pada kontrak perkawinan termasuk dengan pengenalan hak-hak dan tugas orangtua; tempat tinggal suami, istri dan anak-anak; dan kewajiban ekonomi yang bersifat reciprocal antara suami dan istri. Menurut Carter (1988), ciri-ciri struktur keluarga adalah: 1. Terorganisasi; saling berhubungan, saling ketergantungan antara anggota keluarga. 2. Ada keterbatasan; setiap anggota memiliki kebebasan tetapi mereka juga mempunyai keterbatasan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya masingmasing. 3. Ada perbedaan dan kekhususan; setiap anggota keluarga mempunyai peranan dan fungsinya masing-masing. Struktur keluarga terdiri atas bermacam-macam, diantaranya adalah: 1. Patrilinear adalah keluarga sedarah yang terdiri atas sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ayah. 2. Matrilinear adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ibu.
3. Matrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah istri. 4. Patrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah suami. 5. Keluarga kawinan adalah hubungan suami istri sebagai dasar bagi pembinaan keluarga, dan beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga karena adanya hubungan dengan suami atau istri. Tipe keluarga menurut Sudiharto (2007) terdiri dari: 1. Keluarga inti (nuclear family), keluarga yang terbentuk karena ikatan perkawinan yang direncanakan yang terdiri dari suami, istri, dan anakyang dilahirkan maupun anak adopsi. 2. Kleuarga asal (family of origin), suatu unit keluarga tempat asal seseorang dilahirkan. 3. Keluarga besar (extended family), keluarga inti ditambah keluarga yang lain (karena hubungan darah), misalnya kakek, nenek, keponakan, dan lainnya. 4. Keluarga berantai (social family), terdiri dari wanita dan pria yang menikah lebih dari satu kali dan merupakan suatu keluarga inti. 5. Keluarga duda atau janda, yaitu keluarga yang terbentuk karena perceraian atau kematian pasangan. 6. Keluarga komposit (composite family), merupakan keluarga dari pligami dan hidup bersama. 7. Keluarga kohabitasi (cohabitation family), merupakan dua orang menjadi satu keluarga tanpa pernikahan. Namun, bentuk keluarga ini kurang diterima di Indonsia. 8. Keluarga inses (incest family), merupakan bentuk keluarga yang tidak lazim, misalnya anak perempuan menikah dengan ayah kandungnya atau ayah menikah dengan anak perempuan tirinya. 9.
Keluarga
tradisional
dan
non-tradisional,
dibedakan
berdasarkan
ikatan
perkawinan. Keluarga tradisional diikat oleh pernikahan, sedangkan nontradisional tidak diikat dengan pernikahan.
Tipe keluarga terdiri dari dua generasi, menurut Antropologi (Friedman, 1998): 1. Dua generasi (two generation) b. Nuclear family terdiri dari ayah, ibu, dan anak kandung maupun anak adopsi. c. One parent family terdiri janda atau duda, ibu atau ayah yang tidak menikah, dan pasangan yang bercerai. 2. Tiga generasi (three generation) a. Extended family terdiri dari keluarga inti (ayah, ibu, dan anak), kakek atau nenek, keponakan atau keluarga poligami dan poliandri. Menurut Effendy (1997) Tipe dan bentuk keluarga terdiri atas: 1. Keluarga inti (Nuclear Family ) adalah keluarga yang terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak. 2. Keluarga besar (Exstended Family ) adalah keluarga inti ditambah dengan sanak saudara, misalnya nenek, kakek, keponakan, saudara sepupu, paman, bibi dan sebagainya. 3. Keluarga berantai (Serial Family ) adalah keluarga yang terdiri atas wanita dan pria yang menikah lebih dari satu kali dan merupakan satu keluarga inti. 4. Keluarga duda atau janda (Single Family ) adalah keluarga yang terjadi karena perceraian atau kematian. 5. Keluarga berkomposisi ( Composite) adalah keluarga yang perkawinannya berpoligami dan hidup secara bersama-sama. 6. Keluarga Kabitas ( Cahabitation) adalah dua orang menjadi satu tanpa pernikahan tetapi membentuk suatu keluarga. Keluarga di Indonesia umumnya menganut tipe keluarga besar, karena masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa hidup dalam suatu komuniti dengan adat istiadat yang sangat kuat (Effendy, 1997).
D. Teori Struktural Fungsional
Teori atau pendekatan Fungsional Struktural mulai dikembangkan oleh para Antropolog dan Sosiololog pada permulaan abad ke-20, dan sampai tahun-tahun 1960-an masih masih merupakan kerangka konseptual yang dominan digunakan dalam kajian tentang keluarga (Leslie dan Korman dalam Ihromi, 2004: 269). Teori Struktural Fungsional mengasumsikan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang dinamis, yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Menurut J. Macionis dalam bukunya Sociology (John, 2010: 466), mengatakan bahwa dalam pendekatan Struktural Fungsional keluarga disebut sebagai tulang punggung masyarakat yang mempunyai tugas penting. Penerapan teori Struktural Fungsional dalam konteks keluarga terlihat dari struktur dan aturan yang ditetapkan. Dinyatakan oleh Chapman (Herien, 2009: 20), bahwa keluarga adalah unit universal yang memiliki peraturan, seperti peraturan untuk anak-anak agar dapat belajar untuk mandiri. Tanpa aturan atau fungsi yang dijalankan oleh unit keluarga, maka unit keluarga tersebut tidak memliliki arti yang dapat menghasilkan suatu kebahagiaan. Bahkan dengan tidak adanya peraturan maka akan tumbuh atau terbentuk suatu generasi penerus yang tidak mempunyai kreasi yang lebih baik dan akan mempunyai masalah emosional serta hidup tanpa arah. Menurut Leslie dan Korman (Ihromi, 2004: 274), diantara Sosiolog Amerika pendekatan Fungsional Struktural paling sistematis diterapkan dalam kajian terhadap keluarga oleh Talcot Parsons. Penerapan teori ini pada keluarga oleh Parsons adalah sebagai reaksi dari pemikiran-pemikiran tentang melunturnya atau berkurangnya fungsi keluarga karena adanya modernisasi. Keluarga menurut Parsons (Herien, 2009: 16), keluarga diibaratkan sebuah hewan berdarah panas yang dapat memelihara temperatur tubuhnya agar tetap konstan walaupun kondisi lingkungan berubah, Parsonian tidak menganggap keluarga adalah statis atau tidak dapat berubah. Menurutnya, keluarga selalu
beradaptasi secara mulus menghadapi perubahan lingkungan. Kondisi ini disebut ”keseimbangan dinamis”. Dalam pandangan teori Struktural Fungsional, dapat dilihat dua aspek yang saling berkaitan satu sama lain yaitu aspek struktural dan aspek fungsional. b. Aspek structural Ada tiga elemen utama dalam struktur internal yaitu: status sosial, fungsi sosial dan norma sosial yang ketiganya saling kait-mengkait. Berdasarkan status sosial, keluarga inti biasanya distruktur oleh tiga struktur utama yaitu: suami, istri dan anak-anak. Struktur ini dapat pula berupa figur-figur seperti pencari nafkah, ibu rumah tangga, anak-anak balita, anak remaja dan lain-lain. Keberadaan status sosial ini penting karena dapat memberikan identitas kepada anggota keluarga seperti bapak, ibu dan anak-anak dalam sebuah keluarga, serta memberikan rasa memiliki karena ia merupakan bagian dari sistem keluarga. Keberadaan status sosial secara instrinsik menggambarkan adanya hubungan timbal balik antar anggota keluarga dengan status sosial yang berbeda. c. Aspek fungsional Aspek fungsional sulit dipisahkan dengan aspek struktural karena keduanya saling berkaitan. Arti fungsi di sini dikaitkan dengan bagaimana subsistem dapat berhubungan dan dapat menjadi sebuah kesatuan sosial. Keluarga sebagai sebuah sistem mempunyai fungsi yang sama seperti yang dihadapi oleh sistem sosial yang lain yaitu menjalankan tugas-tugas, ingin meraih tujuan yang dicita-citakan, integrasi dan solidaritas sesama anggota, memelihara kesinambungan keluarga. keluarga inti maupun sistem sosial lainnya, mempunyai karakteristik yang hampir sama yaitu ada diferensiasi peran, struktur yang jelas yaitu ayah, ibu dan anak-anak.
E. Dinamika Keluarga
Dinamika keluarga merupakan interaksi atau hubungan pasien dengan anggota keluarganya dan juga mengetahui bagaimana kondisi keluarga di lingkungan sekitarnya. Keluarga diharapan mampu memberikan dukungan dalam segala kondisi anggota keluarga. Ada empat aspek yang selalu muncul dalam dinamika keluarga, yaitu: 1. Pertama, tiap anggota keluarga memiliki perasaan dan idea tentang diri sendiriyang biasa dikenal dengan harga diri atau self-esteem. 2. Kedua, tiap keluarga memiliki cara tertentu untuk menyampaikan pendapat dan pikiran mereka yang dikenal dengan komunikasi. 3. Ketiga, tiap keluarga memiliki aturan permainan yang mengatur bagaimana mereka seharusnya merasa dan bertindak yang berkembang sebagai sistemnilai. 4. Keempat, tiap keluarga memiliki cara dalam berhubungan dengan orang luar dan institusi di luar keluarga yang dikenal sebagai jalur ke masyarakat.
F. Masalah dalam keluarga Kasus Sepasang suami istri menginjak usia tahun ke-10 dalam rumah tangga. Sang istri dan suami (sebut ibu B dan bapak G) sedang mengalami konflik dan sempat terucap kata cerai dari bapak G. Masalah yang terjadi dalam keluarga ini dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi. Pertengkaran ini bermula dari keinginan sang istri yang ditolak suami karena perbedaan pendapat. Masalah tersebut kian rumit karena adda campur tangan dari orang tua sang istri, dimana ibu mertua tidak menyukai menantunya karena anaknya menikah karena insiden
(married by
accident).
Akhirnya ada usaha bapak G untuk kembali rujuk dengan istrinya pun berhasil. Kasus ini kelihatannya selesai dengan damai, namun asalah yang sebenarnya adalah ketidakharmonisan antara menantu dan mertua yang hidup
dalam satu atap. Setelah ditelusuri, kasus ini tidak hanya anatar suami dan istri melainkan dengan mertuanya hal ini disebabkan karena mereka masih tinggal dalam satu atap. Ada keinginan suami untuk tinggal berpisah dengan mertuanya, namun karena sang istri adalah anak kesayangan ibu mertua, rencana itupun selalu gagal.
Pada kasus ini maslah yang timbul adalah permasalahan rumah tangga akibat keikutsertaan mertua Pak G sehingga menyebabkan ketidakharmonisan keluarga. Dari uraian kasus di atas diketahui bahwa usia pernikahan Pak G dan Nyonya B hampir melewati fase pertama yaitu fase membangun yang meliputi pembangunan fondasi keluarga. Pasangan nikah mulai membangun keluarga yaitu membangun keakraban, keharmonisan keluarga, saling mengenal lebih dalam antara pasangan dan menjaga anak-anak yang sedang bertumbuh.
Selain itu pada pasangan nikah harus meniti karir untuk memamtapkan posisi keuangan keluarga demi menjamin keberlangsungan anggaran keluarga yang sangat
berpengaruh
pada
kehidupan
di
masa
yang
akan
datang.
Tahapan ini juga meliputi pembangunan keakraban dengan sesama kerabat, meliputi keakraban dengan mertua, saudara sepupu, lingkungan kerja, maupun lingkungan tempat tinggal. Sayangnya dalam mengembangkan keakraban dan membina hubungan dengan anggota keluarga lain mengalami hambatan, dimana Pak G sudah terlebih dahulu mempunyai penilaian negatif dari mertuanya khususnya mertua perempuan.
Keakraban yang dibangun mengalami hambatan sehingga pernikahan ini rawan konflik dimana mertua yang seharusnya menjadi pembimbing dan membina keluarga baru malah menyebabkan hubungan yang terbangun antara pasangan nikah ini menjadi goyah. Hubungan suami-istri tidak imbang ini terlihat dari tidak adanya penyesuaian diri antara keluarga, dalam kasus hubungan penyesuaian diri ini hanya dilakukan oleh Pak G saja, sehingga menimbulkan ketimpangan dalam merespons suatu masalah. Tidak adanya saling pengertian antara suami-istri,
sebenarnya pasangan nikah dalam kasus bisa saling pengertian tetapi karena ada intervensi dari luar salah satu pihak jadi merasa dominan (Nyonya B).
Ada beberapa fakta dalam kasus yang membuat rumah tangga ini menjadi rawan perceraian, antra lain peran masing-masing anggota keluarga yang tidak berjalan
sesuai
dengan
peran
dari
masing-masing
status
sehingga
tidak
memperlancar laju bahtera rumah tangga. Peranan dari orangtua (mertua) tidak dijalankan sesuai konteksnya yaitu membimbing dan membina pasangan nikah tetapi malah merecoki dan menghasut dalam setiap silang pendapat pasangan nikah. Peranan yang salah ini berpengaruh pada pengalaman hidup yang sedang dibangun suami-istri yang nantinya akan mempengaruhi dalam menyikapi kehidupan keluarga.
Selain itu pada aspek adat istiadat yang dipengaruhi oleh kepribadian masing-masing tidak disikapi secara dewasa karena pada tahapan membangun ini mereka baru belajar menerima perbedaan masing-masing pasangan. Penerimaan ini terkait dengan usia nikah muda, mengingat Nyonya B saat menikah baru berusia 18 tahun (emosinya belum stabil) sedang suaminya baru menyelesaikan studinya. Keduanya masih belum dapat mandiri emosi maupun ekonomi.
Pada kasus diatas pemicu masalah adalah faktor ekonomi dimana anggaran pendapatan dan belanja keluarga dalam sebuah keluarga tidak transparan sehingga menyebabkan
adanya
saling
curiga
dan
menimbulkan
perpecahan.
Pada kasus di atas unsur terpentingnya adalah sebabnya timbul konflik yang berkepanjangan karena adanya campur tangan dari pihak mertua. Hubungan menantu dan mertua pada kasus di atas terlihat buruk antara mertua perempuan dan menantu laki-laki yang jarang terekspos di dalam kehidupan sehari-hari.
Pada kasus diatas Pak G berusaha menyelesaikan maslah dengan bersabar tanpa meminta bantuan dari orang lain karena adanya mindset bahwa meminta bantuan dapat diartikan sebagai lemah dan dianggap memalukan jika meminta
pertolongan dari orang lain. Pak G selalu fokus pada tujuan penyelesaian masalah hanya pada tingkatan istrinya karena adanya pola pikir linear dimana kefokusan hanya pada satu hal dalam satu waktu dan terkotak-kotak.
Selain itu saat stres Pak G cenderung menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan bahkan sampai menarik diri (pergi dari rumah). Kebutuhan utamanya untuk dihormati, dipercaya, diterima, dan didukung sulit didapatkannya dalam rumah sehingga Pak W memutuskan untuk menjauhi rumah dan memikirkan jalan keluar untuk mengontrak rumah memisah dari mertuanya agar bisa kembali dihormati istrinya. Sayangnya usaha ini tidak bisa berjalan lancar karena kata-kata yang digunakan mungkin hanya untuk menyampaikan fakta dan informasi tanpa mengungkap aspek kedepannya (kehidupan rumah tangga setelah berpisah dari mertua) kepada istrinya maupun mertuanya sehingga komunikasinya tidak berhasil.
Daftar Pustaka Gerungan.1996. Psikologi Sosial . Yogyakarta : PT Eresco. Gunarsa, Singgih D. 1995. Psikologi untuk Keluarga. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia Irfan, Sabani dkk. 2000. Bunga Rampai Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Klik Psikologi. (2013). On December 24, 2013. Ciri- ciri Keluarga. Klikpsikologi.com http://klikpsikologi.com/ciri-ciri-keluarga/ . Lestari, Sri. 2012. Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik . dalam Keluarga. Jakarta: Prenada Media Group May, Larry dkk. 2001. Sebuah Pendekatan Multikultural. Yogyakarta: PT Tiara Wacana