PROJECT Filsafat pendidikan Prof. Dr.Julaga Situmorang, M.Pd.
DISUSUN OLEH :
ASTONI SINAMBELA 5171121001
PENDIDIKAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIMED 2017
KATA PENGANTAR
Pertama tama saya mengucapkan puji syukur kehadirat tuhan yang maha esa , sebab telah memberikan
rahmat
dan
karunianya
serta
kesehatan
kepada
saya
sehingga
mampu
menyelesaikan tugas PROJECT tepat pada waktunya . “
”
PROJECT ini disusun dengan harapan dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita semua mengenai bagaimana mereka me miniriset sebuah filsafat pendidikan itu . Apabila dalam tugas ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan , saya mohon maaf karena sesungguhnya pengetahuan dan pemahaman saya masih terbatas. Karena itu saya menantikan saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun guna meyempurnakan tugas ini . Akhir kata saya berharap semoga mini riset ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan bagi saya khusunya . atas perhatiannya saya mengucapkan terima kasih.
Medan, 30 November 2017
Astoni Sinambela
Manusia dalam Filsafat
Manusia dalam Filsafat Valeria Kartikaningtyas 11313244007 International Mathematics Education 2011 Tulisan ini terinspirasi dari perkuliahan Filsafat Pendidikan Matematika oleh Prof. Dr. Marsigit, M. A. hari Rabu, 15 Oktober 2014 di kelas Pendidikan Matematika Internasional 2011. Sebuah pertanyaan tentang keyakinan dan filsafat mengawali tulisan ini. Apakah keyakinan mempengaruhi filsafat? Atau filsafat yang mempengaruhi keyakinan? Sebuah pertanyaan yang menarik. Menurut Prof. Dr. Marsigit, M. A., jangan sampai filsafat itu mempengaruhi atau mengurangi keyakinan diri sendiri. Hal itu sangat dihindari. Bagaimana bila terjadi degradasi keyakinan? Jawabannya adalah sejenak berhenti berpikir dan perkuatlah dengan doa. Bagi seseorang yang menganut suatu agama hendaknya ilmu filsafat yang dia miliki mencerminkan perilaku yang sesuai dengan agamanya tersebut. Pada dasarnya filsafat adalah olah pikir manusia. Jadi, manusia dapat berpikir seluas-luasnya, namun ada batasan yang perlu diperhatikan. Ilmu filsafat yang dimiliki itu tergantung orangnya. Oleh karena tergantung orangnya, maka tergantung pula pada spiritualnya. Sehingga perbedaan spiritual setiap orang menghasilkan filsafat yang berbeda-beda. Maka dari itu, seharusnya filsafat menyuburkan keyakinan. Berbicara tentang filsafat, tentunya tidak lepas dari objek filsafat, yaitu yang ada dan yang mungkin ada. Berdasarkan hal ini, timbul suatu pertanyaan lain, yaitu dimanakah letak yang tidak ada. Di dalam filsafat, tidak ada itu ada. Maksudnya adalah tidak ada itu menjadi penyebab keteradaan yang lain. Contoh sederhana yaitu seseorang yang hendak menghadiri acara di rumah saudara, namun dia tidak dapat hadir karena ada kesibukan di rumah. Bila dilihat dari kegiatan tersebut, maka orang tersebut tidak ada tetapi menyebabkan dia berada di rumah. Inilah yang dimaksud dengan ketidakadaan menyebabkan menjadi ada yang lain. Jadi tidak ada itu hanya berbeda ruang dan waktu. Bila di atas telah dibahas tentang objek filsafat, yang ada dan yang mungkin ada, lalu bagaimana pandangan filsafat tentang keikhlasan. Bagaimana ikhlas belajar, dalam pikiran, dalam hati, dan beramal. Ikhlas selama hal itu diucapkan, maka tidak ada yang benar karena ikhlas itu sudah mencapai ranah spiritual. Ikhlas tergantung pada janji seseorang dan dilihat dari tataran mana. Bila berkata ikhlas dari tataran dunia, maka ikhlas itu menjadi multi tafsir. Berbeda halnya bila dikaitkan dengan akhirat, maka tafsirannya cuma ada satu dan manusia tidak akan pernah mengerti tentang keikhlasan tersebut karena yang mengerti hanyalah Tuhan Sang Pencipta yang mengetahui keikhlasan masing-maasing orang. Keikhlasan itu adalah selagi kita tidak mengatakan “aku”. Seseorang yang berkata bahwa dia beribadat dengan khusyuk dan tekun, maka orang tersebut belumlah ikhlas. Manusia tidak dapat menilai kekhusyukan dalam
beribadah. Manusia hanya bisa meihat dan menilai secara fisik. Keikhlasan dalam belajar dan pikiran dipikirkan sesuai kodrat dan ikhtiar, sesuai hak dan kewajiban. Bekerja keras hanyalah merupakan fisiknya, karena yang menilai adalah Tuhan. Kembali pada pembahasan objek filsafat, yang ada dan yang mungkin ada. Yang mungkin ada menjadi ada melalui sebuah proses. Sebagai contoh yaitu nama seseorang yang belum diketahui masih menjadi yang mungkin ada bagi kamu. Bila dikatakan atau ditulis maka akan menjadi ada. Bila dikatakan maka nama tersebut sudah ada di pikiranmu. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang sempurna dalam ketidaksempurnaan karena manusia dilengkapi dengan fungsi input dan output yang luar biasa. Hanya dengan meraba, melihat, dan mendengar maka semua hal sudah ada di pikiran manusia. Bisa dikatakan bahwa belajar filsafat itu adalah mensyukuri. Proses dari yang mungkin ada menjadi ada seringkali tidak dirasakan oleh manusia. Sebenarnya manusia mengalami banyak proses tersebut. Sebenar-benarnya belajar adalah mengadakan dari yang mungkin ada. Ikhlas dalam belajar yaitu ikhlas mengadakan yang mungkin ada. Maka dari itu ikhlas dalam belajar adalah dengan mensyukuri segala proses setiap waktu. Objek filsafat, yang ada dan yang mungkin ada, tersebut bisa berada di luar pikiran dan di dalam pikiran manusia. Pulpen berwarna hitam yang telah diperlihatkan terlebih dahulu kemudian disembunyikan di dalam lipatan kertas. Berdasarkan kasus tersebut, bila kita ditanya dimanakah pulpen tersebut dan kita menjawab di antara lipatan kertas, maka secara filsafat kita sudah berperilaku ceroboh. Mengapa? Secara filsafat, itu hanyalah asumsi atau spekulasi walaupun kita melihat. Secara filsafat empiris dikatakan bahwa pulpen tersebut sudah tidak ada karena tidak kelihatan, yang biasa dinamakan empiris murni. Kemudian ditanyakan kembali apa warnanya. Maka kita bisa menjawab bahwa pupen tersebut berwarna hitam. Mengapa? Karena pulpen tersebut sudah ada di dalam pikiran. Bila tidak ada dalam pikiran, maka tidak mungkin bisa menyebutkan warna pulpen tersebut. Sesuatu yang ada di dalam pikiran tersebut adalah ideal. Sedangkan yang ada di luar pikiran adalah realis. Tokoh dari ideal adalah Plato, sedangkan realis adalah Aristoteles. Itu adalah hubungan di a ntara objek filsafat. Berfilsafat itu yang terlihat adalah yang kualitas 1. Manusia melihat benda-benda merupakan kualitas 1. Sifat manusia dalam filsafat adalah yang mungkin ada dan yang ada. Dunia mempunyai dua prinsip, yaitu prinsip identitas dan kontradiksi. Immanuel Kant mengungkapkan identitas itu adalah “aku = aku”, “
”, “4 = 4”. Namun, semuanya itu
hanyalah terjadi dalam pengandaian, hanya dalam pikiran. Segala sesuatu di bumi ini sensitive terhadap ruang dan waktu. Sehingga “aku tidak sama dengan aku”. Maksudnya adalah aku yang tadi tidak sama dengan aku yang sekarang, belum selesai aku menyebut diriku aku, aku sudah berubah. Jadi dalam hokum identitas “aku = aku” tidak pernah terjadi sehingga inilah yang disebut dengan kontradiksi. Di dunia ini tidak akan terjadi “subjek = subjek”, “predikat = predikat”, apalagi “subjek = predikat”. Bila “subjek = predikat”, maka akan menjadi identitas. Itu hanya terjadi dalam matematika yang dipikirkan. Di dunia ini yang dimaksud dengan subjek
adalah dirimu, sedangkan predikat adalah milikmu dan sifatmu. Manusia ada yang kurus, tinggi, dan lain-lain, maka kurus, tinggi adalah sifat manusia (subjek). Sehingga jelas bahwa subjek tidak sama dengan predikat karena predikat adalah sifak dari subjeknya. Sifat itu berjalan terus karena berfilsafat tidak hanya memandang satu sifat. Hakekat diri terikat ruang dan waktu, maka tidak ada sesuatu yang tetap, selalu berubah. Bila ketenangan merupakan suatu yang tetap, maka ketenangan itu berada dalam pikiran, pengandaian, atau akhirat. Bila memandang ketenangan sebagai sesuatu yang tidak tetap, maka hakekatnya hidup ini memang tidak tenang. Seseorang dikatakan hidup bila ia tidak tenang dalam pikiran, namun ia perlu menjaga hati untuk tetap tenang. Maka dari itu jangan biarkan pikiranmu tenang agar ilmumu terus bertambah dan berkembang. Sebab ketenangan pikiran tidak akan mendapatkan ilmu apapun. Berdasakan pembahasan ini, maka terjadilah kontradiksi. Sehingga tesis perlu dicari anti tesisnya, kemudian dicari sintesisnya. Anti tesis di sini adalah bertanya lagi tentang kebenarannya. Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah sintesisnya. Maka hakekatnya pekerjaan manusia adalah tesis, anti tesis, dan sintesis. Sebenar-benarnya hidup adalah tesis, anti tesis, dan sintesis. Bila hanya tesis, maka manusia tersebut terancam kematian dalam pikirannya. Maka sebenar-benarnya tenang mengandung ketidaktenangan. Maka jelas bahwa manusia hidup tenang dalam ketidaktenangan. Lalu apa hakekat hidup manusia? Manusia menemukan hakekat hidup dengan berbagai cara, missal dari segi pemikiran mengadakan menjadi ada, berpikir intuitif, dan dalil-dalil atau aksioma. Setiap agama memiliki kitab suci yang mana kemudian diturunkan menjadi pedoman hidup. Contohnya saja masyarakat India memiliki berbagai kitab, yang kemudian isi dari kitab tersebut tercermin dalam perilaku dewa-dewa. Kisah Mahadewa dan Dewi Paruwati menjadi contoh bagaimana manusia mencari ilmu. Sehebat-hebatnya senjata Mahadewa, maka setinggitingginya adalah filsafat, dalil, aksioma. Hal ini dapat dilihat pula dalam proses pembelajaran. Siswa adalah orang yang siap menerima ilmu dengan guru adalah Mahadewanya, orang yang akan memberi ilmu. Sehingga jika dikaitkan dengan kisah Mahadewa, maka bila siswa tertidur, akibatny dia tidak mendapat ilmu, mendapat nilai jelek, dan harus mengulang kelas lagi. Secara filsafat, dirimu yang sekarang adalah dewanya dirimu yang tadi. Yang dimaksud sebagai dewa adalah dimensi. Sehingga dimensi itu berbeda-beda, memiliki tingkatannya sendiri.