Nama
: Hendro Syahputra
NPM
: 0906561811
Fak/Jur
: FISIP/Adm. Negara
PRISMATIC SOCIETY (MASYARAKAT PRISMATIK/MASYARAKAT PRISMATIK/MASYARAKAT TRANSISI) Fred W. Riggs
Dewasa ini negara yang sedang mencoba mempercepat industrialisasinya industrialisasinya kian populer disebut se bagai “masyarakat transisi/prismatik”. Kata Kata “transisi” itu sendiri menunjuk pada suatu tahap temporer antara suatu masa lalu tertentu dan suatu keadaan di masa depan yang dapat diramalkan. diramalkan. Atau dengan kata kata lain masyarakat transisi adalah adalah masyarakat masyarakat yang berada atau yang sedang beranjak dari masyarakat agraris menuju masyaraktat industrial. Sifat masyarakat negara-negara sedang berkembang merupakan pangkal ketidaknetralan birokrasi. Pada umumnya masyarakat di negara-negara tersebut adalah masyarakat transisi, yakni antara masyarakat yang mempunyai karakteristik tradisional sekaligus modern. Riggs menempatkan fase transisi didalam perkembangan suatu masyarakat sebagai prismatic society yang apabila ditarik garis linear terletak antara apa yang dinamakan sebagai fused model society untuk masyarakat tradisional dan diffracted society untuk masyarakat yang lebih maju. Masyarakat tradisional (fused society), disebut Riggs dengan Chamber, sedangkan masyarakat maju atau modern disebut dengan istilah Office. Adapun suatu masyarakat yang terletak diantaranya, birokrasinya disebut Sala model atau Bureau. Inilah yang dikatakan sebagai masyarakat prismatik. Masyarakat demikian biasa dikenal dengan prismatic society (masyarakat prismatik). Menurut Fred W. Riggs, masyarakat prismatik mempunyai mempunyai tiga ciri utama : 1. Heteroginitas yakni perbedaan dan percampuran yang nyata antara sifat-sifat tradisional dan modern; 2. Formalisme menggambarkan adanya ketidaksesuaian dalam kadar yang cukup tinggi antara berbagai hal yang telah ditetapkan secara formal dengan praktek atau tindakan nyata di lapangan. Ketidaksesuaian antara norma-norma formal dengan realita; 3. Overlapping merupakan gambaran kelaziman adanya tindakan antara berbagai struktur formal yang dideferensiasikan dan dispesialisasikan dengan berbagai struktur informal yang belum dideferensiasikan dan dispesialisasikan. dispesialisasikan. Terdapat beberapa karakteristik pola-pola simbolisasi yang ada pada model prismatik. Ada tiga tahap utama yang dibedakan, yaitu mitos (myth), rumusan (formula), dan kode (code). Pada tahap “mitos” kita mengacu pada norma-norma norma-norma pokok, nilai-nilai dasar atau sasaran, tujuan-tujuan akhir, yang mempedomani setiap masyarakat manusia. Pada tahap “rumusan” kita berpikir tentang aturan-aturan aturan-aturan dasar, apakah bersifat ideologis atau utopia agar masyarakat membedakan antara pemilihan dengan penolakan, menguraikan hak dan kewajibanya, memisahkan antara satu kelompok dengan kelompok lain, menetapkan siapa
yang akan membuat dan menjaga peraturan-peraturan, apa sajakah yang bisa dipakai. Pada tahap “kode” kita akan menoleh pada kebijakan-kebijakan tertentu, program dan keputusankeputusan yang merupakan hasil dari tindakan politik dan administrasi dan format umum yang membentuk hal ini. Di dalam sistem tradisional atau yang memusat cenderung memandang dunia semata dari kacamata kekeramatan dan “super natural”, sedang dalam sistem industrial atau yang memencar cenderung memandang dunia dalam makna sekuler dan keduniawian. Kalau tradisional memandang masyarakat secara hirarkis dan menjinakan lingkunganya dengan upacara-upacara sedangkan sistem industrial atau memencar memandang masyarakat berdasarkan asumsi persamaan dan mencari cara-cara yang rasional untuk mencapai tujuanya.
Model administrasi negara di dalam masyarakat negara sedang berkembang yang berciri prismatik adalah model “ sala”. Karakteristik heterogenitas, formalisme dan overlapping mewujud dalam model “sala”. Dalam birokrasi sala demikian birokrasi modern rasional ala Weber berlangsung sama dengan “birokrasi tradisional”. Ada struktur formal, tetapi fungsi-fungsi administratif dilaksanakan berdasarkan hubungan-hubungan kekeluargaan ini menimbulkan berbagai kelompok yang disebut prulal community dan solidaritas diantara anggota kelompok. Norma-norma formal yang didesain sebagai hukum dan pedoman perilaku dapat dikalahkan oleh norma-norma yang mengikat hubungan kekeluargaan dalam kelompok-kelompok tersebut. Keadaan ini menggiring ke arah penyatuan antara kepentingan birokrasi (negara) dengan kepentingan pribadi. Akhirnya timbul berbagai ketidakadilan pelayanan dan penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu berbagai nilai modern dirumuskan seperti pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat; PNS adalah abdi masyarakat; pemerintah harus bertindak sesuai hukum; namun tidak pernah ditemui dalam praktek (dalam S. Pamudji, tt : 57-63). Birokrasi model “sala” ini mempunyai kemiripan dengan birokrasi patrimonial dari Weber.
Menurut Weber, birokrasi patrimonial ini memiliki karakteristik berikut : 1). Rekruitmen pejabat berdasar kriteria pribadi dan politik. 2). Jabatan merupakan sumber kekayaan dan keuntungan. 3). Pejabat mengontrol fungsi politik dan administrasi. 4). Setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik. Kondisi patrimonialistik itu memunculkan perilaku aparat birokrasi yang menghambat pada kekuasaan (dalam Denny B.C. Hariandja, 1999 : 56). Dengan demikian birokrasi tidak memerlukan pengawasan, karena hanya akan menganggu dan mendeskralisasi kekuasaan. Berdasar alasan demikian tidak aneh bila birokrasi lebih mementingkan pelayanan kepada penguasa daripada masyarakat. Karena penguasa dipandang dapat memberikan dan melanggengkan kekuasaan pejabat birokrasi, sementara hal itu tidak dapat diberikan oleh masyarakat. Dalam masyarakat prismatik, birokrasi model sala atau patrimonial , pola-pola hubungan yang ada cenderung menciptakan patronase. Birokrasi yang memiliki kekuasaan berperan sebagai patron dan kelompok-kelompok ekonomi yang menguasai sumber dana menjadi client . Adanya pertukaran kedua sumber daya itu, hubungan ini membawa keuntungan bagi kedua pihak. Implikasi pola hubungan ini adalah birokrasi cenderung menafikan pihak-pihak yang tidak menguasai sumber daya apapun. Sehingga tidak aneh bila birokrasi negara berkembang umumnya dan birokrasi Indonesia khususnya kurang memperhatikan keadilan dan pelayanan kepada masyarakat umum. Dalam suasana birokrasi patrimonial itu cenderung mempertahankan status quo atau menolak segala perubahan. Harmoni merupakan hal yang sangat diutamakan. Oleh sebab itu kritik dan pengawasan sejauh mungkin dihindarkan sebab dianggap merupakan hal yang dapat mengganggu keharmonisan tersebut. Kecuali itu penguasa identik dengan kebenaran sehingga masyarakat hanya harus menurut. Di pihak lain masyarakat secara budaya umumnya merasa tidak perlu mengawasi birokrasi. Fungsi birokrasi pada umumnya adalah mengimplementasikan kebijakan publik. Untuk itu birokrasi mempunyai kelengkapan legitimasi kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan Weber bahwa pejabat birokrasi mempersyaratkan kekuasaan legal-rasional yang legitimasinya bersumber pada peraturan perundang-undangan. Dengan kondisi tersebut sangat mungkin terjadi akumulasi kekuasaan di tangan birokrasi. Di satu sisi ia memiliki pengetahuan khusus yang esensial bagi administrasi dalam dunia modern yakni ekonomi dan hukum. Pada sisi lain, berkaitan dengan tugasnya, ia memperoleh banyak informasi kongkrit, yang sebagian besar secara artifisial dibatasi oleh gagasan-gagasan kerahasiaan dan kemampuan (dalam Albrow, 1996 : 35). Dalam masyarakat sedang berkembang yang sedang gencar melakukan pembangunan, administrasi pembangunan ada ditangan birokrasi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa peran birokrasi menjadi sangat besar dalam masyarakat yang sedang membangun. Besarnya kekuasaan birokrasi mendorong birokrasi terus-menerus meningkatkan kemampuan dan keahliannya. Dalam proses yang terus berlangsung dalam waktu yang lama kemampuan birokrasi terus meningkat, jauh melebihi lembaga-lembaga politik. Dengan posisi yang kuat ini birokrasi negara berkembang semakin mampu menciptakan berbagai mekanisme yang cenderung memperkuat posisi dan kekuasaan. Bersama dengan itu
melemahkan posisi lembaga politik yang ada. Keadaan tersebut didukung dengan kenyataan pengelolaan kebijakan publik di negara-negara berkembang. Di negara-negara sedang berkembang umumnya kebijakan bersifat merombak dan ambisius karena kebijakan itu dimaksudkan untuk perubahan sosial. Perumusan kebijakan itu tidak dilakukan oleh parlemen melainkan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan lemahnya kemampuan parlemen, atau partai politik tidak dapat berfungsi sebagai alat artikulasi kepentingan tetapi lebih sebagai alat bagi elit untuk menguasai massa. Selain itu kelompok kepentingan tidak efektif dalam penyaluran tuntutan massa. Di negara-negara berkembang itu kebijakan publik jarang merupakan hasil tuntutan massa atau hasil tekanan partai politik atau kelompok kepentingan. Kebijakan itu sering ditentukan sendiri oleh pemerintah tanpa konsultasi dengan parlemen atau masyarakat. Hal itu diperkuat dengan kenyataan bahwa rezim di negara-negara berkembang bersikap anti partai dan menganggap partisipasi dalam perumusan kebijakan sebagai tidak sah dan tidak efisien (dalam Alfian dan Nazaruddin Sjamsuddin, 1986 : 411). Dalam konteks demikian birokrasi bersifat sangat otonom dalam arti terbebas dari pengaruh kelas sosial. Untuk memahami birokrasi otonom dapat dipahami dengan konsep negara “ pasca-kolonial”.