Post-Conflict Peacebuilding:
Governability Perspective
Oleh Cornelis Lay[1]
Membaca Data
Konflik internal, terutama konflik yang melibatkan penggunaan sarana-sarana
kekerasan merupakan salah satu dari persoalan politik utama yang dihadapi
kebanyakan negara bangsa dalam beberapa dekade terakhir ini. Sementara
kapasitas obyektif untuk menyelesaikan persoalan yang ada tidak cukup
memadai dimiliki negara-negara bangsa. Rangkaian data berikut ini
memberikan penggambaran mengenai hal ini.
Dari 183 perang yang terjadi di berbagai belahan dunia antara tahun 1945
dan 1995, 84,7% di antaranya adalah perang internal (Holsti:1996) dalam
negara bangsa. Data lebih kemudian mengungkapkan, dari 693 konflik yang
melanda 143 negara antara 1945 dan 1999 memiliki pola yang didominasi oleh
konflik dengan tingkat eskalasi yang terkonsentrasi pada pelibatan
kekerasan[2] yang mencapai 56,1 % atau setara dengan 389 kasus. 73,5% di
antaranya merupakan konflik internal, dengan 90,1% berlangsung di negara-
negara non-demokratik, 69,9% terjadi di negara-negara berkembang, dan 62,7%
terjadi di luar kawasan pertarungan AS-Uni Soviet. 60,2% di antaranya
melibatkan kekuatan asing.
Intensitas konflik kekerasan sebagaimana digambarkan di atas dalam
kenyataannya menjadi beban politik permanen bagi negara-negara yang dililit
konflik kekerasan. Hal ini digambarkan oleh tingginya tingkat kegagalan
dalam menyelesaikan konflik kekerasan yang ada yang mencapai angka 73,5%.
Lebih lagi, data mengungkapkan, 51,2% di antaranya berakhir dengan
keruntuhan regim politik yang berkuasa (data base KOSIMO Indicator for
International Conflict dalam Hadi, Widjajanto, dkk: 2007).
Untuk rentang waktu lebih pendek dan lebih kemudian, 1990-1999, Wallensteen
dan Solenberg (2000) mempertegas konsistensi data di atas: konflik
kekerasan memiliki corak domestic yang kuat. Dalam catatan keduanya, 103
dari 110 konflik yang melibatkan kekerasan di berbagai belahan dunia
merupakan konflik internal.
Dilihat dari sudut kerugian yang harus ditanggung, rangkaian konflik
internal dengan kekerasan yang terjadi di berbagai belahan dunia juga
menunjukan angka yang fantastic dari berbagai sudut pertimbangan. Kisah
panjang biaya-biaya kemanusiaan yang harus ditanggung sudah terakumulasi
dengan sangat banyak, demikian pula dengan biaya ekonomi dan sosial dan
politiknya.
Sebagai contoh, Law (2006) memberikan catatan atas konflik yang terjadi di
6 negara, masing-masing Haiti, Bosnia, Kosovo, Timor Leste, Sierra Leone,
dan Afganistan. Menurut catatannya, Haiti yang berpenduduk 8,1 juta jiwa
harus kehilangan (termasuk displacement) 3 sampai 5 ribu nyawa warganya
menyusul meletusnya konflik kekerasan di negara ini pada tahun 1991. Bosnia
dengan penduduk 4 juta, kehilangan 130 sampai dengan 150 ribu nyawa sejak
konflik kekerasan meletus tahun 1992. Kosovo dengan 2 juta penduduk,
kehilangan antara 5 sampai 12 ribu jiwa menyusul konflik dengan kekerasan
di tahun 1998. Timor Leste dengan penduduk sekitar 1 juta jiwa mengalami
nasib yang sama: kehilangan nyawa warganya antara 100 sampai dengan 200
ribu jiwa sejak konflik kekerasan 1991. Sementara Sierra Leone yang
memasuki konflik internal sejak 1999 kehilangan 75 ribu nyawa dari sekitar
6,2 juta warganya. Di ujungnya, Afganistan dengan penduduk 29,9 juta jiwa
telah mengorbankan nyawa warganya sendiri di altar konflik kekerasan
sekitar 1 juta sejak pecah perang tahun 1979.
Isaac (1975) mencatat, antara tahun 1945 dan 1967, terdapat setidaknya 34
kasus konflik yang disebutnya sebagai "blood-lettings" diikuti ratusan
konflik kumunal-internal dengan skala lebih kecil. Secara agregat,
rangkaian konflik tersebut diperkirakan telah memakan korban sekitar 7.
480.000 jiwa. Angka Isaac di atas didasarkan pada rincian data yang
dihimpun Crane (1968), antara lain: 2 juta jiwa melayang dalam konflik
Hindu-Islam selama periode singkat pemisahan Pakistan dan India; kematian
500 ribu warga hitam Sudan dalam konfliknya dengan para penguasa Sudan-
Arab; kematian sekitar 200 ribu warga Wutusi dan Buhutu sebagai akibat
pembantaian timbal balik selama periode pemisahan Burundi dan Rwanda;
kematian sekitar 150 ribu warga Kurdi dalam perlawanan pelawan penguasa
Irak; kematian sekitar 100 ribu warga Nagas, Mizos dan Aham di kawasan
Assam menyusul usaha pemisahan diri mereka dari India; kematian kurang
lebih 100 ribu warga Karen, Shans, Kachins dalam perlawanan mereka melawan
pengausa Burma (Myanmar); kematian sekitar 100 ribu warga keturunan Cina
dalam berbagai konflik di Indonesia; sekitar 35 ribu warga Khambas di Tibet
yang mati di tangan penguasa Cina; kematian sekitar 30 ribu warga Somalia
oleh dua kekuatan Kenya dan Ethiopia; 10 ribu warga Arab yang dieliminasi
oleh warga hitam Afrika di Zansibar; dan kematian setidaknya 5 ribu warga
India, kulit hitam, dan India Amerika dalam konflik komunal di Guyana.
Memasuki tahun 1970-an, Isaac memperkirakan total nyawa anak manusia yang
direngkut oleh konflik kekerasan internal telah melewat angka 10 juta jiwa.
Hal ini didasarkan pada peningkatan jumlah kematian ribuan orang Vietnam
yang dibunuh Kamboja pada tahun 1970, kematian hampir 2 juta orang dalam
konflik sipil di Biafra antara tahun 1967-70; pembantaian lebih dari
setengah juta warga Muslim Bengalis yang berkulit gelap oleh sejawatnya
yang berkulit lebih terang dari Punjab dan Patan dalam konflik kekerasan
di Bangladesh tahun 1971; dan kematian ratusan ribu warga Hutu dalam
pembantaian di Burundi antara tahun 1973-74.
Sementara dari sudut ekonomi, misalnya, sekalipun kajian menyeluruh belum
diperoleh, telaah yang dilakukan Collier dan Hoffler (1998) mengungkapkan
data menarik. Biaya yang dikeluarkan sebuah negara dengan penghasilan
rendah untuk membiayai konflik internal mencapai angka US $ 54 miliar,
dengan biaya yang tak bisa dikalkulasi yang harus ditanggunggung oleh
komunitas global. Angka di atas, hanya sedikit di atas total bantuan yang
diberikan negara maju bagi negara-negara berkembang untuk tahun 2004 yang
mencapai angka US$ 78.6 miliar. Assesment yang dilakukan pada tingkat
individual negara, Kosovo-Hersegovina, misalnya juga mengungkapkan besarnya
biaya sebuah konflik internal dengan kekerasan. Biaya rekontruksi di
kawasan ini untuk jangka 6 tahun pasca konflik mencapai angka US$ 5 miliar
(Enterprise Impact News: 2002). Sementara kehilangan sosial dan ekonomi
selama perang sangat besar: 40% rakyatnya menjadi penganggur, GDP hanya
mencapai 40% dari GDP tahun 1991 sebelum konflik terjadi, sementara 58%
warganya berada di bawah garis kemiskinan.
Kisah konflik kekerasan dan penghancuran kemanusiaan dari negeri sendiri-
pun tidak kurang mengenaskan. Korban-korban yang berserakan dalam konflik
kekerasan mulai dari konflik yang menghadap-hadapkan pusat dan daerah,
termasuk konflik dalam memperebutkan legitimasi atas negara yang melibatkan
kekuatan militer DII/TII berhadapan dengan kekuatan militer Indonesia sejak
akhir 1940-an hingga awal 1960-an, tragedi kemanusiaan pembantaian para
pengikut, simpatisan dan mereka yang diduga menjadi bagian dari Partai
Komunis Indonesia, hingga pada kekerasan di Aceh, Timor Timur, dan Papua
serta rangkaian konflik komununal yang menyeruak sesaat sebelum dan setelah
runtuhnya regim Orde Baru. Sejumlah kasus di penghujung tahun 1990-an dan
awal 2000-an (Lay, dkk, 2007; van Klinken, 2001, 2007; Tomagola, 2006;
Bartrand, 2002; Aditjondro, 2001) telah dengan gamblang mengungkapkannya.
Konflik Ambon misalnya, telah menempatkan kehidupan 209,303 warga kota
dalam situasi tidak menentu untuk waktu yang cukup panjang. 129. 068 di
antara terpaksa menjadi pengungsi. Jumlah masyarakat miskin meningkat
menjadi 106.732 jiwa (Pemkot Ambon, 2001). Korban jiwa dan kerusakan
infrastruktur fisik sangat luar biasa (Leirissa, dkk., 2004). Jalur
transportasi, khususnya jalan raya masih terputus-putus sesuai segregasi
wilayah pemukiman. Jalur-jalur alternatif melalui laut dan jalan setapak
pegunungan menjadi alternatif jalur mobilitas penduduk untuk berbagai
keperluan. Keadaan ini menghambat mobilitas penduduk, memperpanjang jarak
baik dalam satuan waktu, kilometer, maupun psikologis; dan secara kumulatif
berakibat pada pembiayaan yang semakin tinggi. Lebih lagi, segregasi
pemukiman yang membelah masyarakat berdasarkan agama yang diwariskan sejak
masa kolonial semakin memburuk. Di atas segreasi warisan kolonial, muncul
basis segregasi baru berdasarkan aktivitas pekerjaan, semisal perkantoran,
pendidikan, pelayanan umum dan pasar. Pola segresasi semacam ini, seperti
yang diargumentasikan Furnival (1939) menempatkan Ambon bukan saja rawan
terhadap konflik, tapi juga mengalami kesulitan untuk keluar dari belitan
konflik, apalagi untuk membangun demokrasi dan pemerintahan yang efektif
sebagaimana dibayangkan reformasi.
Mata rantai dampak sosial-politik juga terekam secara sangat baik di
internal pemerintahan kota. Pada level individual, banyak staf pegawai
negeri sipil (PNS) yang gagal menunaikan kewajibannya berkantor karena
alasan keselamatan. Posisi kantor Walikota yang berada pada titik tengah di
antara dua wilayah segregasi pemukiman yang berkonflik, menempatkannya
sangat rawan. Kawasan ini merupakan pusat pertempuran dan sasaran dari aksi-
aksi penembakan gelap (sniper). Hal ini dipersulit oleh ketiadaan jalan
alternatif untuk meloloskan diri dalam situasi konflik.[3]
Pada level kelompok di lingkungan pemerintah kota Ambon, konflik memiliki
dampak psikologis luar biasa. Kantor Walikota yang secara ideal merupakan
wilayah netral dimana interaksi kelompok bisa berlangsung dengan baik,
ternyata tidak sepenuhnya terwujud. Psikologi konflik yang mendalam telah
menggiring masing-masing PNS untuk mengelompokkan diri berdasarkan kesamaan
agama. Kantor Walikota, dengannya, menjadi arena baru terbentuknya
segregasi. Hal ini semakin diperburuk oleh kuatnya praduga sebagian
masyarakat bahwa birokrasi kota Ambon merupakan pusat ketidak-adilan antar
kelompok berbasis agama.
Post-Conflict Peacebuilding
Serangkaian fakta sebagaimana digambarkan secara cepat di atas, bisa
dipahami sebagai latar belakang untuk menjelaskan kahadiran post-conflict
peacebuilding sebagai agenda prioritas PBB sejak tahun 1992 (Sisk and
Risley: 2005; Santiso: 2002). Ide yang digagas mantan Sekretaris PBB
Boutros Boutros-Ghali (Schabel dan Ehrhart: 2005) ini memasuki wilayah
kepedulian kolektif global setelah angka-angka konflik kekerasan internal
membengkak secara dramatis, sementara kapasitas masing-masing negara yang
dililit konflik praktis tidak menunjukan tanda-tanda yang bisa
membangkitkan optimisme. Tidak mengherankan jika sejumlah ahli seumpama
Pouligny (2004) berkesimpulan, tanpa kehadiran atau intervensi kekuatan
ketiga yang berasal dari luar, bisa dipastikan konflik tak akan pernah
mereda.
Masuknya tema ini sebagai sentral kepedulian komunitas dan lembaga-lembaga
internasional sekaligus menandai perubahan dramatis di tingkat akademik.
Fakta-fakta meluasnya konflik kekerasan internal yang gagal menemukan jalan
keluar di atas telah memaksa adagium "si vis pacem, para bellum" yang
diusung kaum realist dalam studi hubungan internasional harus berkontestasi
dengan adagium baru "qua desiderat pacem, praeparet pacem" yang diusung
kaum strukturalist. Pusat perhatian kajian juga bergeser, tidak lagi
sepenuhnya diberikan pada konflik lintas negara, tapi pada konflik
domestik, dengan conflict resolution sebagai konsep induk. Tetapi
pergeseran di atas kembali menemukan momentum untuk surut ke adagium awal.
Peristiwa 11 September di AS, telah membalik secara dramatis perhatian
global yang kembali menggenggam adagium si vis pacem, para bellum.
Fakta bahwa adagium lama yang telah terbukti gagal ingin dihidupkan kembali
dihadapan tantang baru mengharuskan kita untuk kembali mengusung ide post-
conflict peacebuilding ini, terutama di tengah-tengah kembali menguatnya
gagasan yang menekankan pada "regime change", "stabilization" dan
"reconstruction" yang disponsori AS guna "menolong" negara-negara lemah
(weak state) untuk tidak ambruk ke fase sebagai negara gagal (failed state)
atau runtuh sama sekali (collapse state) (Tschirgi: 2004).
Sebagai sebuah konsep, aplikasi conflict resolution melewat empat (4)
tahapan penting: tahap dominasi strategi militer dalam rangka pengendalian
kekerasan; tahap pelibatan politik dengan integrasi elit politik dan
kelompok bertikai sebagai fokus aktivitas; tahap pelibatan sosial berupa
upaya pemecahan masalah; dan tahap kultural berupa perombakan struktur
sosial-budaya dalam rangka pembentukan komunitas perdamaian. Tahap ini
dapat disebut juga sebagai tahap peacebuilding. Pada masing-masing tahapan,
upaya-upaya yang sangat kompleks berlangsung, dengan tahapan-tahapan kecil-
kritis yang sama kompleksnya, yang mustahil diikhtiarkan secara cepat dalam
bab ini.
Tahap keempat, peace building, melewati paling tidak tiga tahapan "kecil"
lainnya, yakni transisi, rekonsiliasi, dan konsolidasi. Pada tahap
transisi, sejumlah literatur menekankan pada pembentukan institusi
demokrasi dan penegakkan hak-hak asasi manusia berada pada skala prioritas
utama. Tahap rekonsiliasi menekankan pada usaha-usaha menghilangkan
"penghalang" antar komunitas yang bertikai untuk menyepakati masa depan
bersama mereka. Dalam konteks ini, perwujudan "rasa keadilan" merupakan
kunci penting, di samping kekuatan "memberikan maaf" dari pihak korban.
Kombinasi tindakan dan kebijakan seumpama pemberian kompensasi bagi korban
dan jaminan penegakan hukum, muncul sebagai kombinasi racikan yang diyakini
sangat bertuah pada fase ini. Tahap ketiga peacebuilding, fase tersulit dan
terpanjang, adalah konsolidasi. Hal ini dilakukan melalui intervensi tak
kenal lelah atas struktur sosial dengan tujuan ganda: mencegah terulangnya
konflik kekerasan dan mengkontruksi proses perdamaian berbasis pada aktor-
aktor yang berkonflik sendiri. Dalam kerangka ini, pengembangan sistem
peringatan dini, konsistensi penerapan kebijakan dan tindakan-tindakan
preventive diplomacy adalah kebutuhan yang harus dipenuhi.
Serangkaian tahapan di atas, telah menjadi bagian dari aktivitas politik
global sejak tahun 1990-an awal. Hal ini terekam dari keterlibatan yang
mendalam komunitas internasional dalam mengkombinasikan tindakan dan
kebijakan yang berpusat pada conflict prevention, conflict management, dan
post conflict reconstruction (Tschirgi: 2004; House of Common International
Development Committee: 2006) untuk membantu negara-negara yang dilanda
konflik keluar dari lingkaran konflik dan membangun kembali keteraturan
sosial-politik dan ekonomi yang porak-poranda.
Perkembangan beberapa tahun selepas 1992 mengungkapkan kombinasi tindakan
dan kebijakan awal di atas mengalami perluasan makna dengan post-conflict
peacebuilding sebagai jargon baru pengikatnya. Secara sederhana makna awal
post-conflict peacebuilding dimaksudkan sebagai dimensi non-militer
(civilian) dari usaha-usaha internasional membantu negara-negara yang
berkonflik keluar dari penjara konflik mereka. Tetapi dalam waktu yang
sangat pendek, konsep ini mengalami perluasan secara dramatis yang ditandai
oleh terjadi sekuritisasi berbagai dimensi kehidupan seperti terungkap
lewat kemunculan gagasan "human security." Sebuah konsep yang secara ideal
membayangkan kehidupan warga global yang terbebas dari ancaman kronis
berupa kelaparan, penyakit dan repressi, dan terlindungi dari resiko yang
ditimbulkan oleh terjadinya gejolak keras dan mendadak dalam kehidupan
sehari-hari (UNDP: 1994). Dengan ini, tema-tema seperti keamanan pangan,
keamanan energi, dan masih banyak lainnya menjadi tema-tema penting yang
berkembang sejak penggalan tengah tahun 1990-an.
Dalam bab ini ini, penulis tidak akan memasuki rimba-raya perdebatan di
sekitar post-conflict peacebuilding yang telah mengalami perluasan makna
secara dramatis di atas. Sebagian dari perdebatan tersebar dalam berbagai
bab buku ini. Bab ini akan memusatkan perhatian pada dimensi politik.
Dengan menggunakan perspektif governability, penulis berharap dapat
memberikan penggambaran mengenai peran dari "politik", dari Negara, dari
kebijakan dalam mengelola konflik kekerasan yang terjadi.
Memahami Akar Konflik
Banyak penjelasan yang telah diberikan para ahli mengenai sebab-sebab di
balik meluasnya konflik kekerasan yang menjadi ancaman terbesar bagi
komunitas internasional ini, berikut kharakteristik yang menandainya (Hadi,
dkk: 2007; Law: 2006; Schwarz: 2004; van Klinken: 2007, Tomagola: 2006).
Data yang disajikan pada pembukaan bab ini juga dengan mudah memberikan
makna mengenai sebab dan corak dari aneka konflik domestik, mulai dari
kealpaan demokrasi dan good governance hingga pada persoalan kemiskinan,
politik identitas, politik etnisitas dan kesenjangan baik sosial maupun
spatial. Tema-tema tersebut di atas sudah sangat luas dipelajari para
ilmuwan social, terutama ilmuwan politik.
Dalam konteks Indonesia, menurut penulis, adalah menarik untuk mengikuti
telaah berbasis historis yang dilakukan Goldstone (1991). Ia mengungkapkan
sentralitas dari pergeseran demografi sebagai sebab penting di balik
kemunculan berbagai konflik besar dengan melibatkan kekerasan. Menghimpun
data dalam konteks Eropa, ia menemukan terjadi gelombang kekerasan di
kawasan ini seiring dengan terjadi percepatan pertumbuhan penduduk. 9
konflik besar dengan kekerasan yang berlangsung di Eropa antara tahun 1580-
1650[4] terjadi dalam situasi dimana jumlah penduduk Eropa melonjak secara
dramatis hingga mencapai angka 300 persen. Sementara masa damai antara
tahun 1650-1770 yang dikenal sebaga "a century of demestic peace"[5]
berlangsung dalam situasi demografi yang khas pula: stagnasi pertumbuhan
penduduk Eropa sebagai akibat dari, antara lain, wabah "black death" 1650.
Antara 1770 dan 1870 Eropa kembali digoncang kekerasan yang ditandai oleh
meletusnya Revolusi Perancis, Revolusi Eropa 1848 dengan berdirinya New
French Republic, Austria, perang Italia melawan Austria, Unifikasi Jerman,
revolusi Kossuth di Hungaria; dan pemberontakan Pugachev di Rusia. Dalam
periode konflik kekerasan ini, Goldstone mencatatnya sebagai periode kedua
percepatan pertumbuhan penduduk Eropa.
Fakta keras konjungtur sejarah Eropa di atas menjadi relevan bagi Indonesia
karena fakta dan kharakteristik yang menandai fakta-fakta di atas
dikonfirmasi lewat pengalaman mikro Indonesia. Studi yang dilakukan van
Klinken (2007) di lima kota kecil yang diberi judul "Perang Kota Kecil",
misalnya, mengungkapkan sentralitas dari perubahan demografi dalam daerah
konflik. Kota-kota terjadinya konflik dengan kekerasan, Poso, Ambon, Maluku
Utara, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, kesemuanya ditandai oleh
corak struktural yang sama, yakni derajat urbanisasi yang tinggi – atau
sebaliknya de-agraisasi secara cepat – diikuti oleh ketergantungan (secara
ekonomi) pada negara (state driven economy). Hal ini memiliki implikasi
kebijakan yang sangat serius: perlunya kebijakan re-agrarisasi,
pengendalian urbanisasi, pengendalian kelahiran, berikut pembukaan ruang
aktivitas ekonomi non-negara sebagai kebijakan-kebijakan prioritas.
Secara lebih spesifik temuan van Klinken menjadi peringatan dini bagi kota-
kota menengah-kecil -- yang menduduki porsi mayoritas dalam struktur kota-
kota di Indonesia -- yang memiliki corak struktural yang sama untuk
mengantisipasi konflik kekerasan masa depan yang mungkin saja diproduksi
dari rahim watak structural di atas. Kota seperti Kupang yang pernah
melewati pengalaman singkat konflik kekerasan pada tahun 1999, diikuti
terus bertahannya rumor tentang adanya usaha-usaha untuk membuat kekacauan
– terakhir kali beberapa hari sebelum Natal tahun 2007 lalu -- merupakan
penggambaran awal dari sebuah kemungkinan masa depan yang harus
diantisipasi sejak dini. Pola yang sama juga bisa ditemukan di berbagai
kota kecil-menengah lainnya di seantero negeri ini.
Di luar aneka penjelasan di atas, penulis juga ingin mengajak siding
pembaca untuk memperhatikan salah satu penjelasan paling mutakhir yang
dirumuskan Tilly bersama Tarrow melalui konsep contentious politics (2007)
yang juga digunakan van Klinken dalam analisisnya mengenai kasus konflik
kekerasan di sejumlah kota di Indonesia. Secara sederhana konsep ini
menghubungkan tiga konsep dasar untuk memahami aneka gejolak dengan
kekerasan yang muncul: contention, politics and collective action. Hal
terakhir ini awalnya banyak digunakan untuk memahami gerakan sosial
(politik). Interaksi di antara ketiga variabel di atas diyakini menjadi
salah satu faktor penjelas kemunculan aneka konflik kekerasan di berbagai
belahan dunia. Dan karenanya, pemahaman atas ketiganya berikut interaksi
yang terbentuk dari "dialog" antara ketiganya menjadi penting untuk
dipahami.
Secara tersamar, gagasan di atas dapat ditangkap dalam analisis Isaac
(1975), yang antara lain melihat adanya kebutuhan untuk memobilisasi
politik dalam perjuangan kelompok merebut kekuasaan, telah menempatkan
"identitas kelompok" sebagai kekuatan pokok karena derajad efektivitasnya
yang tinggi. Seperti disimpulkan Pye dalam mengantar buku Isaac, "in
politics there is a constatnt flux in power relationship, and in the
struggles of who is up and who is down the most effective basis for
mobilizing support remains the bacdrock of group identity" (ix). Isaac
bahkan memprediksi bahwa ke depan "politik identitas" – secara ironis,
menyakitkan dan paradoxal -- ini akan menjadi sumber dari pergolakan global
sama seperti yang terjadi di sepanjang sejarah peradaban manusia. Ia
menegaskan, "…the more global our science and technology; the more tribal
our politics, the more universal our system of communications, the less we
know what to communicate; the closer we get to other planets, the less able
we become to lead a tolerable existence on our own; the more its become
apparents that human being cannot decently survive with their separateness,
the more separate they become" (2)
Governability dan Problema Indonesia
Sebagaimana telah diindikasikan di atas, bab ini menggunakan perspektif
governability dalam memahami fenomena konflik internal dengan kekerasan.
Data yang tersedia dari berbagai belahan dunia mengijinkan penulis untuk
berspekulasi: fenomena meluasnya konflik internal yang melibatkan kekerasan
adalah fungsi dari kegagalan negara dalam memproduksi dan mendileliry
political goods bagi warganya. Paling tidak, studi mikro penulis, dkk
(2007) atas kota Ambon telah membawa kami pada kesimpulan bahwa konflik di
Ambon – dan daerah lainnya – secara umum adalah ekspresi dari lemahnya
struktur negara (weak state) yang menempatkan negeri ini dalam situasi
politik mati-hidup (the politics of survival) sebagaimana diargumentasikan
Migdal (1988).
Studi yang intensif yang dilakukan oleh Robert I. Rotberg (2002,; 2003;
2003a; 2004; 2004a) mengenai negara-negara yang dikategorikan lemah (weak
state), gagal (failed state), bahkan mengalami keruntuhan (collapse state)
semakin meyakinkan pentingnya pendekatan governability sebagai titik masuk
dalam peacebuilding. Studi yang ada, termasuk yang dilakukan oleh Zartman
(1997) untuk negara-negara di kawasan Afrika Barat menunjukan sentralitas
peranan kebijakan pemerintah hingga ke tingkat lokal dalam menghindarkan
sebuah negara tersungkur ke dalam salah satu dari tiga kemungkinan skenario
di atas. Studi-studi paling akhir mengenai governance dan good governance
memang menyimpulkan perlunya penarikan diri negara dari dominasinya
bertindak atas nama dan untuk kepentingan publik.[6] Tetapi studi-studi ini
tetap menempatkan pemerintah pada posisi sentral dalam merumuskan kebijakan
yang memungkinkan penarikan diri negara dan masuknya civil society dan
economic society sebagai bagian integral governance berlangsung secara
absah. Dengan kata lain, sekalipun konsepsi governance memberikan tekanan
yang besar bagi pelibatan dan penyetaraan aktor-aktor non-negara, konsepsi
ini tidak menafikan peran sentral negara dalam menetapkan kebijakan yang
memungkinkan proses pelibatan dan penyetaraan aktor-aktor non-negara ke
dalam urusan-urusan publik dapat berjalan dengan baik.
Berbagai studi yang ada dengan jelas menunjukan eratnya kaitan antara
konflik, reformasi negara, negara gagal (failed state), dan peace building.
Bahkan relasi antara variabel-variabel di atas terkadang berupa hubungan
yang bersifat simbiotik. Konflik dan perang muncul dan berkembang di atas
kegagalan negara dalam menjamin terpenuhinya political goods. Indonesia di
masa transisi politik pasca runtuhnya Suharto juga mengalami tahapan
melemahnya negara (Emmerson:2000; Dibb, and Prince: 2001; Wanandi: 2002;
Roberg: 2002) sebagai pemegang otoritas paksaan ala Weberian. Fungsi dasar
negara modern dalam makna Hobbesian dan Weberian sebagai (1) Penjamin
keamanan internal dan eksternal; (2) Penjamin kepastian representasi dan
legitimasi; (3) Penyedia kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya menjadi
runtuh di hadapan kemerosotan secara dramatis kapasitas negara.
Pengalaman Indonesia menunjukan, pasca 1998 terjadi pergeseran mendasar
dari central rule menjadi multi actors rule. Rezim yang semula berdiri
dengan tiga poros kekuatan utama yang tercermin dari ABG (ABRI; Birokrasi;
dan Golkar) kini bertransformasi menjadi banyak aktor. ABRI – kini TNI --
meninggalkan gelanggang politik secara formal dan belajar menjadi lebih
professional. Sementara birokrasi kehilangan watak monolitiknya semenjak
desentralisasi memunculkan lapis-lapis pemerintahan yang semakin tebal
(multi layer governance) yang juga berpengaruh terhadap semakin majemuknya
corak birokrasi. Dan terakhir, Golkar yang dipaksa bertransformasi secara
'akbar' dengan "the Golkar way"nya menyisakan ruang yang ditinggalkan untuk
dimasuki kekuatan-kekuatan baru yang dari waktu ke waktu semakin majemuk.
Proses transisi ini membawa kesulitan bagi negara dalam mengelola political
goods seperti keamanan, kepastian hukum, kepercayaan terhadap pemerintah,
penyedian barang public/public goods, dll. Reformasi TNI dan pemisahan
kepolisian dari institusi militer professional menjadikan kesulitan dalam
penyedian keamanan dalam negeri dihadapkan pada keluasan teritori dan
kompleksitas permasalahan keamanan dalam negeri yang dilimpahkan kepada
kepolisian. Desentralisasi yang berangkat dari ide dasar pluralisme dalam
mengakomodasi politik daerah memunculkan kesulitan berupa merosotnya
kepercayaan terhadap pemerintah. Hal ini memunculkan apa yang disebut
Migdal sebagai "state-in society" dimana mekanisme pengisisan jabatan
publik bertumpu pada dominasi kesukuan, kekerabatan, dan ikatan tradisional
lainnya. Demikian pula kesulitan dalam menyediakan kebutuhan barang
public/public goods semisal kesehatan dan pendidikan, ketersedian
infrastruktur dasar, kepastian hukum nasional dihadapan hukum adat,
kesempatan ekonomi yang kondusif di daerah dan masalah-masalah lingkungan.
Ujung dari permasalahan-permasalahan di atas memunculkan pertanyaan
mengenai governability negara: kapasitas negara untuk memproduksi dan
mendelivery barang-barang politik. Dari perspektif ini dapat dipetakan
kemampuan negara dalam pemenuhan fungsi dasarnya dan varian kekuatan antar
aktor di luar negara yang mengambil alih fungsi utama negara tersebut.
Dengan cara ini, kita dihadapkan pada konsepsi mengenai strong state, weak
state, failed state dan collapse state. Ketika tipologi di atas dihadapkan
pada aktor-aktor di luar negara akan memunculkan varian baru yaitu Quasi
State, Shadow State dan De facto State. Dari pemetaan ini akan dapat
dipastikan sejauhmana derajat intervensi yang bisa dilakukan dalam
manajemen krisis dari negara.
Derajat intervensi dalam manajemen krisis dari negara mencakup multi
dimensi dengan treatment yang beragam pula. Governability dapat memberikan
ruang yang memadahi dalam merumuskan treatment yang diperlukan dalam post-
conflict and peacebuilding (PCPB). Hasil kajian kami atas kota Ambon
memastikan perspektif ini telah mampu memberikan ruang baru bagi penataan
ulang birokrasi dalam menghadapi krisis legitimasi yang dimunculkan oleh
problema "state-in society" dalam struktur birokrasi Kota Ambon.
Seperti telah digambarkan secara cepat pada bagian awal, kota Ambon
dihadapkan pada dua realitas mendasar pada tahun-tahun konflik: segregasi
berbasis etnisitas hingga ke ranah pemerintahan dan kuatnya persepsi bahwa
birokrasi kota Ambon adalah refleksi dari ketidak-adilan lintas kelompok
yang kasat mata. Karenanya, ketika ide penataan birokrasi melalui kebijakan
Standar Kompetensi Jabatan (SKJ) yang secara substantive ingin menegakan
prinsip meritokrasi-plus bergulir, praduga antar kelompok mulai mereda dan
kenormalan sistejm mulai bisa dicapai. Secara umum hasil kajian kami di
atas menyimpulkan bahwa penataan kembali birokrasi Kota Ambon melalui SKJ,
telah menjadi investasi kebijakan penting bagi pencegahan konflik masa
depan yang terbangun di atas perasaan ketidak-adilan kelompok.
Pemanfaatan kebijakan sebagai instrumen pengelolaan konflik sangat
fundamental untuik dilakukan bagi Indonesia hari ini dan kedepan. Mengapa
karena berbagai kasus di Indonesia mengungkapkan governability masih tetap
sebagai persoalan pokok yang m dihadapi bangsa bahkan hingga akhir-akhir
ini. Sangat jelas Indonesia dihadapkan pada dua front secara simultan. Ke
dalam, negara dihadapkan pada persoalan struktur yang mengalami
disintegrasi, kealpaan sumber-daya material dan leadership. Sementara
keluar negara dihadapkan pada persoalan legitimasi dan kontestasi dari
kekuatan baik non-negara maupun "negara bayangan" yang bertindak "seolah-
olah negara". Karenanya, salah satu pilihan kebijakan penting yang dapat
dipertimbangkan adalah melalui apa yang dikenal sebagai nation building.
Sebuah pekerjaan politik yang tertunda untuk jangka waktu yang sangat lama.
Indonesia sebagai sebuah entitas nation-state masih dalam proses menjadi.
Sejarah mencatat perjalanan Indonesia sebagai sebuah ide barulah dimulai
sejak 1908, dengan gambaran rumusan cita-cita kebangsaan yang baru nampak
jelas 20 tahun berikutnya. Dan Indonesia sebagai sebuah negara, baru lahir
17 tahun berselang. Dalam perjalanan sebagai sebuah Negara, Indonesia
dihadapkan kepada entitas masyarakat etnisitas yang sudah jauh lebih tua.
Dalam perjalanan sejarah kontemporer Indonesia, proses di atas semakin
diperumit karena dihadapkan kepada dilema pengarus utamaan demokrasi
(democracy promotion) vs penciptaan pemerintahan yang efektif (governance
promotion).
Dengan catatan-catatan cepat di atas, mudah dimengerti jika persoalan
nation-building memang menjadi tantangan serius bagi Indonesia masa kini.
Kini saatnya tema ini – dengan menghindari kesalahan-kesalahan pengelolaan
masa lalu yang bercorak doktriner -- harus menempati kembali pusat
kebijakan politik nasional Indonesia sebagai instrumen governance untuk
pencegahan konflik masa depan. Tetapi ini tidak berarti penulis ingin
mengatakan bahwa pluralitas etnisitas adalah sumber konflik. Berbagai
studi, termasuk oleh van Klinken (2007) memastikan, kemajemukan etnisitas
tidak cukup kuat untuk melahirkan konflik kekerasan sebagaimana diungkapkan
melalui pengalaman kota-kota utama Indonesia yang super-majemuk yang
terbebas dari jeratan konflik kekerasan.
Untuk membangun bangsa, salah satu kebijakan yang bisa diambil adalah
dengan meminimalisasi apa yang penulis gambarkan sebagai fenomena
disintegrating Indonesia (2006) dimana negara mengalami proses fragmentasi
secara terus menerus di dalam dirinya sendiri. Memajemuknya lembaga-lembaga
negara, daerah-daerah lewat politik pemekaran wilayah, terus membelah
dirinya kekuatan politik serta civil society, diikuti oleh fenomena
fragmentasi pertanahan melalui sistem pewarisan, dan sebagainya adalah
ekspresi dari fenomena gunung es disintegrating Indonesia. Menurut hemat
penulis, perancangan kembali kelembagaan politik Indonesia guna
mereintegrasi struktur yang semakin memencar secara tidak beraturan, boleh
jadi merupakan kebijakan penghindaran konflik kekerasan masa depan yang
penting.
Kebijakan lain yang dapat dilakukan adalah pencegahan bergesernya
sekuritisasi sebagai sebuah konsep public good yang seharusnya dipenuhi
oleh Negara menjadi wilayah privat dengan adanya mekanisme privatisasi
sector-sektor keamanan. Dalam hal pemenuhan kebutuhan akan rasa aman,
sektor privat kini menjadi penyelenggara keamanan yang dahulu sebagai
domain dari negara. Fenomena "tentara bayaran" atau Private Military
Companies (PMC) – blackwater dalam kasus Irak, misalnya) yang muncul dalam
perang-perang kontemporer semakin meneguhkan pergeseran peran negara dalam
menjamin keamanan warganya. Bagi Indonesia, penegasan kembali fungsi
keamanan sebagai fungsi negara yang tak dapat diprivatkan menjadi sangat
penting, pertama-tama dan terutama karena kajian-kajian atas konflik di
berbagai daerah hampir sepenuhnya melibatkan kekuatan militer non-negara
ini.
Daftar Bacaan
Albrecht, Schabel and Hans-Georg Ehrhart, Eds., (2005), Security Sector
Reform and Post-Conflict Peacebuilding, Tokyo-NY-Paris: United Nations
University Press.
Collier, P and A. Hoffler, (1998) "On Economic Causes of Civil War", Oxford
Economic Papers.
Dibb, Paul and Peter Prince, (2001), "Indonesia's Grim Outlook", Orbis,
Fall.
Emmerson, Donald K., (2000), "Will Indonesia Survive?", Foreign Affairs,
Mei/Juni.
Enterprise Impact News: (2202), Issue 13 October.
George Junus Aditjondro, (2001), "Guns, Pamphlets and Handie-Talkies: How
the Military Exploited Local Ethno-Religious Tensions in Maluku to
Preserve Their Political and Economic Privileges" dalam Ingrid Wessel
and Gerogria Wimhofer (eds.), Violence in Indonesia, Hamburg: Abera.
Gerry van Klinken, (2007), Perang Kota Kecil. Kekerasan Komunal dan
Demokratisasi di Indonesia, Jakarta: Obor-KITLV.
Gerry van Klinken, (2001), "The Maluku Wars: Bringing Society Back in",
Indonesia, No. 71.
Goldstone, Jack, (1991), Revolution and Rebellion in the Early Modern
World, Berkeley: University of California Press.
Holsti, Kalevi J., (1996), State, War and the State of War, Cambridge: CUP.
House of Common International Development Committee, (2006), Conflict and
Development: Peacebuilding and Post Conflict Reconstruction, Six
Report of Session 2005-6, Vol. 1, 17 Oktober.
Isaac, Harold R., (1975), Idols of the Tribe. Group Identity and Political
Change, Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.
Jacques Bartrand, (2002), "Legacies of the Authoritarian Past: Religious
Violence in Indonesia's Mollucan Islands", Pacific Affairs, Vol. 71,
No. 1, Spring.
Law, David M., (2006), "The Post-Conflict Security", Policy Paper, No. 14,
DCAF, June.
Lay, Cornelis, (2006), "Disintegrating Indonesia", Makalah disampaikan
dalam Kongres Persatuan dan Kesatuan Alumni GMNI, Jakarta, 24-26
Maret.
Lay, Cornelis, dkk., (2007), Mendaur Ulang Birokrasi Kota Ambon, Makasar:
SofiE.
Migdal, J., (1988), Strong Societies and Weak States: State-Society
Relations and State Capability in the Third World, Princeton, NJ.:
Princeton University Press.
Pemkot Ambon, (2001), Renstra Kota Ambon tahun 2001.
Poligny, Bĕatrice, (2004), "Civil Society and Post-Conflict Peacebuilding:
Ambiguities of International Programs Aimed at Building 'New
Societies'", Paper, disampaikan dalam Konferensi "Post-Conflict
Peacebuilding: How to Gain Sustainable Peace?", diselenggarakan oleh
ASIS-FES, Geneva, 11 – 14 Oktober.
Pratikno, dkk., "Democratik Governance", (2005), Jurnal Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Volume 8, No. 3, Maret, UGM, Yogyakarta.
R. Z. Leirissa, dkk., Ambonku: Doeloe, Kini, Esok, (2004), Ambon,
Pemerintah Kota Ambon.
Roberg, Robert I, (2002), "The New Nature of Nation-State Failure", The
Washington Quaterly, Vol 25, No. 3, Summer.
----------, (2003), "Nation-state Failure: A Recurring Phenomenon?",
discussion paper, November.
-----------, (2003), "The Failure and Collapse of Nation-States: Breakdown,
Prevention, and Repair' dalam Robert I. Rotberg (ed.), When State
Fail, PUP.
-----------, (2004), "Failed State, Collapse States, Weak State: Causes and
Indicators" dalam Robert I. Rotberg (ed.), State Failure and State
Weakness in Time of Terror, PUP.
----------, (ed.), (2004), "The Failure and Collapse of Nation-States:
Breakdown, Prevention, and Repair," dalam Why States Fail: Causes and
Consequences, Princeton: Pinceton University Press.
Santico, Carlos (2002), "Promoting Democratic Governance and Preventing the
Recurrence of Conflict: The Role of the United Nations Development
Porgramme in Post Conflict Peace-building," the Journal of Latin
American Studies.
Schwarz, Rolf, (2004), "Post-Conflict Peace Building: How to Gain
Sustainable Peace? Leassons Learnt and Future Challenges", Geneva, FES
Coference Report, 11 – 14 Oktober.
Sisk, Timothy and Paul Risley, (2005), "Democracy and Peacebuilding at the
Local Level: Lesson Learned", A Report of the Program in Democracy and
Conflict Management, (Working Draft), Idea, 13 Juni.
Syamsul Hadi, Andi Widjajanto, dkk, (2007), Disintegrasi Pasca Orde Baru.
Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional, Jakarta: CIRwS-UI-
Obor.
Thamrin Tamagola, (2006), Republik Kapling, Yogyakarta: Resist Book.
Tilly, Charles and Sidney Tarrow, (2007), Contentious Politics, Boulder-
London: Paradigm Publishers.
Tschirgi, Neclă, (2004) "Post-Conflict Peacebuilding Revisited:
Achievements, Limitations, Challenges, Makalah dipersiapkan untuk The
WSP International/ IPA Peacebuilding Forum Conference, New York 7
Oktober.
UNDP, (1994), Human Development Report:
Wallensteen, Peter dan Margareta Sollenberg, (2000), "Armed Conflict, 1989-
1999," Journal of Peace Research, Vol. 37, No. 5, September.
Wanandi, Jusuf, (2002), "Indonesia: A Failed State?", The Washington
Queterly, Vol. 25, No. 3, Summer.
Zartman, William (ed), (1997), Governance as Conflict Management, Politics
and Violence in West Africa,, Washington DC: Brookings Institution
Press.
-----------------------
[1] Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, Deputi Kerjasama S2
Politik Lokal dan Otonomi Daerah, UGM, Asisten Senior Dekan Bidang Riset,
Kerjasama dan Pengabdian pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UGM.
[2] Dari sudut eskalasi menggunaan kekerasan, konflik dapat disusun ke
dalam empat hirarkhis, masing-masing latent conflict, non-violent crisis,
violent crisis dan war.
[3] Catatan yang dihimpun penulis dari lapangan mengungkapkan ada dua
alternatif jalur yang tersedia: Jalan Sultan Hairun yang berada di depan
kantor Pemkot Ambon dan sebuah gang di belakangnya. Hanya saja, kedua rute
ini tidak terlindungi sehingga para pelintasnya mudah menjadi sasaran aksi
penembakan gelap.
[4] Tercatat 9 revolusi dengan melibatkan kekerasan, masing-masing Revolusi
Inggris; religious civil war and Fronde di Perancis; pemeberontakan di
Catalonia, Spanyol; pemberontakan di Protugal; pemberontakan di Italia;
pemberontakan Sisilia; pemberontakan Bohemia; pemberontakan Ukraina; dan
pemberontakan di Ottaman Empire.
[5] Periode ini ditandai oleh dicapainya kesepakatan atas 3 treaty
terkenal, yakni Treaty of Uttrech (1713), Treaty of Passarowitz (1718),
dan Treaty of Paris (1763)
[6] Konsep governance mulai dipopulerkan Bank Dunia sejak 1989. Dalam
laporan Sub-Saharan Africa: from Crisis to Sustainable Growth, Bank Dunia
mendefinisikan governance sebagai "exercise of political power to manage
nation". Dalam laporan ini terungkap bahwa kegagalan pemerintah membangun
sinergi dengan economic society dan civil society merupakan penyebab utama
kegagalan pembangunan di kawasan ini. Akibatnya negara
tida678IJKLTYZÔìØÄØ°Ÿ'€i\J8J8+hôafhÖ9qOJ[7]QJ[8]^J[9]#hôafhÖ9q5?CJOJ[10]QJ[11]
^J[12]aJ#hôafh`
5?CJOJ[13]QJ[14]^J[15]aJhôafhu5HOJ[16]QJ[17]^J[18]-
jhôafhs5Ü0JOJ[19]QJ[20]U^J[21]mH
sH
#hôafhs5Ü5?CJOJ[22]QJ[23]^J[24]aJhôafhs5ÜOJ[25]QJ[26]^J[27]
hôafh~CJ(OJ[28]QJ[29]^J[30]aJ(&hôafh%U5?6?k mampu mempertahankan legitimasi
dan konsensus sebagai prasyarat pembangunan berkelanjutan dan prinsip dasar
bagi penerapan good governance. Konsep ini mengargumentasikan perlunya
negara mundur dari ranah publik dan memberikan ruang bagi civil society dan
economic society untuk memainkan peranan yang sepadan sebagai partner.
Lihat, Pratikno, dkk., "Democratic Governance", Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Volume 8, No. 3, Maret, 2005, UGM, Yogyakarta.