(https://www.selasar.com/politik/petaka-politik-pasca-sabda-raja https://www.selasar.com/politik/petaka-politik-pasca-sabda-raja)) ribut lupiyanto
Kondisi sosial politik Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ata u Jogja mulai menghangat. Hal ini merupakan implikasi keluarnya dua Sabda Raja. Sabda Raja I disampaikan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X selaku Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada Kamis (30/4/2015). Sedangkan Sabda Raja II disampaikan pada Selasa (5/5). Kedua Sabda Raja ini merupakan perdana sejak HB X naik tahta pada 1989. HB X menegaskan bahwa Sabda Raja dudu karepku dewe, karepe Ingkang Moho Kuwaos. Artinya, bukan keinginan Sultan sendiri, melainkan petunjuk dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan Leluhur. Hal ini ditegaskan ulang HB X dalam keterangan pers pada Jumat (8/5).
"Sabda Raja telah menimbulkan gejolak serius di internal kraton maupun masyarakat luas, khususnya di Jogja. Pro dan kontra bermunculan" Sabda Raja telah menimbulkan gejolak serius di internal kraton maupun masyarakat luas, khususnya di Jogja. Pro dan kontra bermunculan. Pihak pro mendasarkan pilihan karena Sabda Raja merupakan hak prerogatif HB X. Sedangkan pihak kontra menilai substansi Sabda Raja telah melenceng dari tatanan (paugeran) Kraton Yogyakarta. Kondisi ini jika semakin memanas rentan menimbulkan petaka konflik politik. Peta dan Petaka Peta politik kraton dan masyarakat terbelah antara pro dan kontra Sabda Raja. Pihak pro dari kalangan kraton antara lain dari keluarga inti HB X, Gusti Yudhahadiningrat, serta sebagian abdi dalem. Yudhahadiningrat (2015) mengatakan bahwa Sabda Raja bukanlah adat ba ru di Kraton Yogyakarta. Sabda Raja pernah dikeluarkan oleh Sultan-Sultan Kraton Yogyakarta sebelumnya. Sabdaraja merupakan sabda tertinggi yang dikeluarkan oleh seorang Sultan. Kedudukan Sabdaraja lebih tinggi dibandingkan Sabdatama. Sultan memiliki hak untuk menentukan kapan dan di mana dikeluarkannya sabdaraja.
Suara kontra pertama kali muncul dari kalangan internal kraton, terutama dari adik-adik HB X. Sejak Sabda Raja I Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Yudhaningrat dan GBPH Prabukusumo tidak hadir dan dalam berapa keterangan kete rangan menyatakan penentangan. GBPH Hadiwinoto yang hadir pada Sabda Raja I, kemudian tidak hadir pada Sabda Raja II dan berada pada kubu kontra. Mayoritas adik-adik HB X yang lain juga merapat ke kubu kontra. Sabda Raja I memiliki 5 poin inti, yaitu: 1. Penyebutan Buwono diganti menjadi Bawono. 2. Tidak menggunakan lagi sebutan Khalifatullah. 3. Penyebutan Kaping sedasa diganti Kaping sepuluh. 4. Mengubah perjanjian antara pendiri Mataram Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan. 5. Menyempurnakan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dan Kanjeng K yai Ageng Joko Piturun. GBPH Yudhaningrat langsung memberikan pernyataan bahwa sabdaraja ini berpotensi merusak tatanan (paugeran) Kraton Yogyakarta. Pergantian dalam sabdaraja tersebut akan merusak tatanan yang sudah baku dan turun temurun sejak berdiri Kraton Mataram Islam. Perubahan ini juga lebih jauh berpotensi mengubah perjanjian Kraton Yogyakarta dan KNRI. Selanjutnya, perubahan gelar sultan menyelisihi UU Keistimewaan DIY Pasal 1. Secar a eksplisit disebutkan bahwa gelar dan nama sultan mengikuti paugeran awal yaitu “Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayyidin Sayyidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedana Ing Ngayogyakarta Hadiningrat”. KGPH Hadiwinoto menegaskan bahwa Sabda Raja batal demi hukum. Alasannya antara lain pengucapan Sabda Raja bertentangan dengan paugeran (aturan keraton) dan protokolernya. Atribut dan pakaian yang dikenakan Sultan saat itu bukanlah pakaian kebesaran yang seharusnya dikenakan raja. Sultan mengenakan pakaian kebesaran yang berbordir dan mengenakan kuluk (penutup kepala) warna biru muda. Atribut itu biasa dikenakan oleh putra mahkota yang belum dinobatkan menjadi raja. Sedangkan pakaian kebesaran raja yang seharusnya dikenakan adalah kanigoro dan sikepan lugas serta kuluk warna hitam. Pengucapan juga dilakukan di
Sitihinggil yang merupakan tempat raja bertahta. Mestinya di Bangsal Manguntur Tangkil yang merupakan tempat tertinggi di Keraton Yogyakarta. Aspirasi penolakan Sabda Raja juga mulai bermunculan dari publik Jogja. Penolakan tersebut dapat terbaca dari beberapa spanduk yang mulai terpasang serta pernyataan alim ulama Jogja. Semua sama yaitu menyayangkan dan menghendaki Kraton Yogyakarta kembali ke paugeran.
"Dampak serius yang berpotensi terjadi adalah petaka konflik horizontal. Internal kraton dan publik mulai terbelah" HB X dalam siaran persnya menyampaikan bahwa Sabda Raja ini final dan tidak akan ditinjau lagi. Sabda Raja keluar sebagai pertanda telah lahirnya zaman baru. Artinya, dinasti Hamengku Buwono telah berakhir. Dampak serius yang berpotensi terjadi adalah petaka konflik horizontal. Internal kraton dan publik mulai terbelah. Pembelajaran sebenarnya sudah diberikan dari dinamika Kraton Surakarta. Saudara tua Kraton Yogyakarta tersebut hingga kini masih terjebak dalam pusaran konflik internal. Resolusi Konflik Kraton Yogyakarta sebagai episentrum budaya Yogyakarta, Jawa, bahkan nusantara sedang diuji keteladanan dan kemampuannya mengelola potensi konflik. Keistimewaan Jogja salah satunya dicirikan oleh kondisi sosiobudaya yang adem, ayem, dan nirkonflik. Beberapa hal penting diperhatian dalam upaya resolusi konflik ke depan: 1. Perlu mediasi antara HB X dengan adik-adiknya yang kontra. Mediator mesti dipili h dari pihak yang diterima kedua pihak, bisa berasal dari internal kraton, eksternal, maupun pemerintah. Semangat rekonsiliasi demi mempertahankan kondisivitas dan keistimewaan Jogja penting dikedepankan. 2. Pihak pro dan kontra penting untuk tidak melakukan provokasi dan manuver yang memperuncing konflik. Aspirasi mesti tetap konstitusional dan mengikuti paugeran. Alih-alih mengembalikan paugeran, jangan sampai melanggar paugeran itu sendiri.
3. Pemerintah meskipun tidak boleh ikut campur urusan kraton, namun penting melakukan telaah hukum. Sabda Raja berpengaruh terhadap eksistensi UU Keistimewaan DIY. Perubahan-perubahan yang ada telah menyelisihi UU tersebut. Telaah penting dialkukan secara filosofis, substansial, hingga teknis. Berakhirnya dinasti HB dan hadirnya zaman baru sebagaimana diungkapkan HB X sejauh mana memiliki implikasi terhadap status keistimewaan DIY. 4. Publik penting tetap menjaga kondusifitas suasa Jogja yang istimewa. Keterbelahan pendapat mesti tetap demokratis, tidak memecah belah, dan menghindari konflik. Diskusi-diskusi memahami dinamika yang ada adalah keniscayaan dan hak publik. Pencermatan publik penting mendapatkan asupan informasi, baik dalam hal sejarah, filosofi, budaya, sosial, politik, dan lainnya. Keistimewaan DIY adalah aset nasional. Status ini penting dipertanahkan di tengah gempuran arus globalisasi. Pihak kraton mesti menempatkan rakyat dan paugeran di ata s segalanya. Sejarah kelam dalam budaya kraton yang kerap menampilkan suksesi kepemimpinan secara berdarah-darah jangan sampai diulangi. Semoga Kraton yogyakarta tetap damai dan Jogja tetap istimewa.
Polemik Sabda Raja, Kasunanan Surakarta Angkat Bicara
Berita
06 May 2015, 15:50
IYAANEWS
Editor : Risnawati Avin
Foto: daruwaskita/iyaa.com
iyaa.com I Yogyakarta: Sabda raja yang dikeluarkan Sri Sultan HB X telah membuat polemik di lingkungan Keraton Yogyakarta. Para adik Sultan mengaku tak menerima sabda raja tersebut dan mendesak Sultan mencabut sabda raja yang melenceng jauh dari aturan keraton. Kondisi ini mendorong GKR Wandasari atau Gusti Mung dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadingrat angkat bicara agar keraton Yogyakarta tidak seperti Keraton Kasunan Surakarta yang terus berkonflik dan tak kunjung selesai. Atas sabda raja tersebut, Gusti Mung berharap bahwa keluarga besar Keraton Yogyakarta yang kini tinggal berbagai daerah di Indonesia untuk berembug atas dikeluarkannya sabda raja. "Ya kumpulkan saja keluarga besar untuk berembug dan menyikapi sabda raja tersebut," katanya kepada wartawan di makam raja-raja Mataram di Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu, 6 Mei 2015. Berkaca pada Keraton Kasunan Surakarta maka Sinuhun di Plt karena tidak bisa lagi menjalankan dan melindungi sentono dan abdi dalem menurut adat. "Jadi harus begitu kalau tidak maka akan rusak semua," ucapnya. Menurutnya jika tidak lagi bersedia menjalankan paugeran maka harus keluar dari lingkungan adat sendiri sehingga jangan membuat aturan baru. "Silahkan keluar dari adat dan membuat aturan sendiri, membuat keraton s endiri dan lainlainnya,"ucapnya. Keraton Kasunan Surakarta sendiri merasa saki hati dengan sabda raja terkait poin keempat
sabda raja yang dikeluarkan pada tanggal 30 April 2015 yaitu mengubah perjanjian pendiri Mataram, yakni Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan. "Jangan mengubah keputusan yang telah dilakukan pendahulunya. Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pemberian dari Mataram. Jika mengingkari itu maka ja ngan menyebut dirinya trah Mataram," tuturnya.(dar)
Kompas Online Kamis, 30 Januari 1997 ________________________________________________________________ _ Nepotisme Calon Legislatif Oleh Faisal Siagian DARI daftar calon sementara (DCLS) Lembaga Legislatif pada Pemilu 1997, banyak nama-nama yang diumumkan diidentikkan dengan adanya praktek nepotisme dalam penyusunan daftar caleg. Yang menjadi soal bagi para pengamat, banyak dari nama-nama caleg tersebut dikaitkan dengan jabatan orangtua mereka, atau dengan kepentingan politik mereka. Apakah proses pencalonan mereka karena mereka adalah anak pejabat atau karena adanya patron politik di belakang mereka yang turut "menjamin" safety untuk menjadi anggota legislatif? Saya ingin mulai dengan menyingkapkan beberapa anggapan yang dianut oleh banyak pengritik, mengenai fenomena "nepotisme dalam calon legislatif", yang ramai dibicarakan mulai dari talks show di radio-radio swasta, TV dan surat kabar. Apa pun pendapat atau keyakinan para pengritik yang terpola pada sikap pro dan kontra, nepostisme caleg -sistem bagi kursi di antara anggota keluarga di lembaga legislatif- bukanlah kejahatan mutlak sejenis korupsi. Namun fenomena nepotisme caleg dari Pemilu 1992 ke Pemilu 1997 bukannya menyempit melainkan meluas dan sukar untuk dikikis. Nepotisme caleg Di beberapa negara berkembang, rasa setia dan ikatan yang kuat adalah pada suku dan keluarga. Di beberapa tempat malah hanya pada suku dan keluarga. Peran dan kedudukan seseorang digariskan oleh keluarga, dan keluargalah yang melindungi dan memberi rasa aman pada
anggota-anggotanya. Hal ini terlihat jelas pada masyarakat yang terpencil dan hidup menyendiri, yang makin jarang ditemui dewasa ini. Di luar keluarga sebagai titik pusat ini, rasa ikatan rakyat kepada suku dan keluarga secara berangsur-angsur mulai menipis digantikan kepada ikatan kepada negara dan bangsa. Nepotisme -sistem bagi rezeki dan "kursi"- adalah fenomena yang paling menonjol di lingkungan pemerintahan di banyak negara-negara sedang berkembang. Para elite politik dengan cerdik, baik dengan nada tulus campur pura-pura maupun terus terang, menjadikannya bahan olok-olok dan gunjingan sesama mereka. Bagi yang merasa "jijik" dengan nepotisme, melihat hal ini sebagai suatu kecurangan. Yang jelas, nepotisme ataupun apa pun namanya, mempunyai pengaruh negatif pada pembangunan politik di negara-negara berkembang. Penilaian yang negatif atas nepotisme, mengundang cercaan orang yang tidak setuju dengan perluasan nepotisme. Seorang fungsionalis -Robert K Merton (1959)- mengutarakannya demikian: "dalam sistem sosial, nepotisme, sistem bagi jabatan dan rezeki punya fungsi yang berguna". Barangkali ini sebabnya mengapa pola tingkah laku ini juga ditemui dalam berbagai bentuk dan tingkat perkembangan di negara-negara yang telah maju. Kebiasaan-kebiasaan nepotisme tidak dapat dikurangi dan dilenyapkan sama sekali, kecuali bila tiba masanya golongan minoritas yang sepaham dengan para pengritik yang mengatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan ini merusak dan melanggar tata susila dan perlu dilenyapkan. Dalam uraian ini -dalam konteks Pemilu 1997- akan saya titik beratkan pada pertanyaan: mengapa timbul nepotisme dalam penyusunan calon legislatif? Pertama, terjadinya nepotisme dalam pembagian kursi di lembaga legislatif merupakan dampak pembangunan politik yang terlampau mengacu pada unsur stabilitas politik. Usaha untuk membina persatuan dan kesatuan, menuntut dinomorsatukan usaha untuk mencapai tingkat kemampuan politik dan birokratis yang lebih tinggi. Dengan alasan apa pun namanya, tujuan ini jelas terkait dengan stabilitas regim dan elite politik. Salah satu cara adalah dengan mengisi lembaga legislatif dengan sanak keluarga, teman-teman dekat dan politisi yang kental ewuh pekewuh-nya. Kedua, nepotisme dalam pembagian kursi di lembaga legislatif khususnya erat kaitannya dengan usaha untuk mempertahankan single majority dari OPP tertentu di DPR/MPR. Alasan logis di belakang argumen ini adalah
lebih baik memberikan kesempatan yang luas kepada orang-orang yang sangat dikenal untuk menjadi calon legislatif, ketimbang memberikan kans kepada "pendatang baru" yang tidak dapat memberikan jaminan akan seia sekata dengan patron si pemberi jatah. Kalaupun nepotisme pembagian kursi di legislatif bukan kepada "non keluarga", namun ukuran yang dipakai adalah pertimbangan "pribadi" atau kepartaian. Ketiga, menyangkut keberhasilan pembangunan ekonomi yang memberikan minoritas yang kaya kue yang besar dan mayoritas yang miskin kue yang kecil. Biasanya keberhasilan pembangunan ekonomi memperluas akses dan kesempatan untuk mengakumulasi kapital baik secara individual maupun secara kelembagaan. Dampak negatif Ternyata lembaga legislatif tidak dapat selalu mengelak dari tekanan keluarga. Sekarang dalam lingkungan demikian bagaimanakah nepotisme calon legislatif dapat menunjang pembangunan politik? Apakah dampak negatifnya? Pertama, dalam tingkat yang berbeda-beda, nepotisme di lembaga legislatif akan beradu kuat dengan demokrasi, dan nepotisme akan menang dan demokrasi akan kalah. Asas demokrasi seperti kedaulatan rakyat akan diganti dengan "kedaulatan keluarga", hakikat Pemilu yang "luber" akan mempertajam pertentangan ini. Sistem politik hanya dapat menjadi demokratis jika ia muncul dari rakyat, dari pilihan bebas wakil-wakil rakyat. Jadi demokrasi mensyaratkan perwakilan yang dibentuk lewat sarana daya saing pilihan. Kedua, nepotisme caleg akan memunculkan politisi yang tidak profesional. Mereka lebih banyak dibebani oleh semangat "mengabdi" kepada patron ketimbang mengabdi kepada rakyat. Akibatnya hidup politisi tergantung kepada patron dan diperparah lagi beban moril untuk melayani kepentingan golongan. Ketiga, proses pergantian yang digerakkan oleh perubahan menjadi langka. Meskipun para politisi ini terpilih melalui Pemilu, tetapi ukuran yang dipakai adalah merit system. Artinya format politik akan "membiakkan" politisi yang loyal kepada establishment dan status quo politik. Nepotisme dan sistem bagi kursi di Parlemen diperkuat pula oleh partai politik dan sekutu-sekutu mereka yang mewakili berbagai kepentingan. Landasan dari inti Parpol itu mungkin pula berupa gabungan atau
persekutuan pemimpin tingkat lokal dan nasional berdasarkan pertimbangan agama dan aliran. Apa pun corak susunan Parpol, nepotisme sistem pembagian jatah kursi di DPR, merupakan pendorong Parpol menjadi tidak mandiri untuk memilih calon-calonnya. Nepotisme dan sistem bagi kursi di DPR berdasarkan teman dekat dan keluarga yang tidak terkendalikan pada suatu saat akan kontra produktif, karena akan menimbulkan reaksi menentang dalam Pemilihan Umum. Oleh karena itu partai-partai yang berkuasa dalam sistem kepartaian kompetitif yang doyan memakai sistem nepotisme dalam penyusunan calon legislatif, harus mengekang nafsu nepotistiknya, jika tidak ingin terlempar dari arena persaingan. Barangkali alternatif lain adalah contoh yang diberikan oleh golongan militer, yang dapat mengekang sistem nepotisme karena garis dan semangat korpsnya yang jelas. Dengan banyaknya calon legislatif yang dipilih berdasarkan nepotisme, maka keyakinan mereka terhadap negara juga berubah. Negara tidak lagi merupakan sesuatu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka dan tak perlu dihiraukan. Berangsur-angsur negara menjadi sesuatu yang absurd dan tidak pantas untuk dipercayai dan diberi dukungan. Rasa tidak ikut memiliki negara, merupakan langkah pertama untuk tidak mengabdi kepada rakyat. Lembaga legislatif sekarang menjadi tangga yang penting untuk meraih kedudukan dan status sosial yang menjadi ciri penting untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dalam jangka panjang tumbuhnya nepotisme dalam penyusunan daftar calon legislatif memboroskan sumber-sumber pembangunan bidang politik, karena pangkal tolak pemikiran caleg bukan berdasarkan kecakapan dan norma-norma politik umum, melainkan bercampur dengan soal-soal pribadi. Apakah nepotisme yang sudah demikian luas merasuki lembaga legislatif dapat dihindari? Situasi politik yang kita hadapi sekarang kurang kondusif untuk mengikis praktek nepotisme. Kritik-kritik yang pedas dan tajam di atas akan memperjelas sosok demokrasi yang hendak kita capai. Oleh karena itu dibutuhkan kepedulian politik dan ikhtiar secara serentak untuk menghapuskan sistem nepotisme dalam hubungan dengan usaha mencapai sasaran utama dalam pengembangan demokrasi dan pembangunan bidang politik. ( * Faisal Siagian, pengamat sosial, politik dan ekonomi, tinggal di Jakarta.)
Raja Paku Buwono XIII Mangkir dari Keraton Sabtu, 04 April 2015, 23:50 WIB (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/04/04/nmak4a-raja-paku-buwonoxiii-mangkir-dari-keraton)
Komentar : 0
Antara
Keraton Surakarta
A+ | Reset | A-
REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Ini alasan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Poeger menjabat cartaker Raja Sinuhun Paku Buwono (PB) XIII Hangabehi. "Saya diminta oleh /sentana/ untuk mengambil-alih kewenangan Sinuhun. Jadi, bukan mengajukan diri," kata adik kandung raja Keraton Kasunanan Surakarta, Sabtu (4/4/2015). Polemik internal Keraton Kasunanan Surakarta mulai mengerucut. KGPH Puger, adik kandung SISKS Paku Buwana (PB) XIII Hangabehi, ditetapkan sebagai Wakil Raja PB XIII Keraton Kasunanan Surakarta, atau Kondhang. Dalam maklumat sentana yang diterima KGPH Puger, disebutkan, alasan penetapan sebagai cartaker, karena Sinuhun PB XIII m angkir dari tugas dan kewajiban sebagai raja tanpa ada alasan yang jelas. Baik yang bersifat harian, maupun rutinitas adat Keraton Surakarta. Yang kedua, PB XIII Hangabehi sendiri sudah tak bisa dihubungi dan dimintai petunjuk para pejabat Keraton untuk menjalankan roda pemerintahan di Kasunanan. Hal itulah yang membuat para sentana akhirnya sepakat untuk menunjuk KGPH Puger sebagai wakil raja. "Lah, kalau begini terus kondisinya, harkat, martabat, k ehormatan, dan kedaulatan adat Keraton Surakarta mau dibawa kemana? Untuk itu, kami sepakat menunjuk Gusti Puger sebagai Kondhana," kata KPH Bratadiningrat, wakil Pengageng Kasentanan Keraton Surakarta.
Berdasar aturan keraton dan kemampuan, Gusti Puger dianggap cakap dan punya kapasitas untuk menjalankan tugas dan kewenangan PB XIII. "Kami optimistis, beliau mampu membawa Keraton ke arah yang lebih baik," katanya.
Nepotisme Ancam Demokratisasi Senin, 20 Oktober 2008 | 00:37 WIB
(http://nasional.kompas.com/read/2008/10/20/00370921/nepotisme.ancam.demokratisasi)
Syamsuddin Haris Fenomena nepotisme politik kembali menguat dalam era demokratisasi saat ini. Para petinggi partai menempatkan anak, istri, keponakan, dan keluarganya pada posisi-posisi strategis daftar calon anggota legislatif Pemilu 2009. Apa dampaknya bagi reformasi yang masih berjalan di tempat? Mungkin ruang tulisan ini terlalu sempit untuk memuat kembali daftar nama caleg yang tak lain adalah keluarga dari pengurus kunci partai. Sekadar contoh, tiga orang di antaranya adalah Edy Baskoro, putra Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono; Puan Maharani, putri Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri; dan Dave Laksono, putra Wakil Ketua Umum Partai Golkar. Hampir semua partai menempatkan keluarga elite partai ini pada posisi nomor urut teratas, menyisihkan para kader dan aktivis partai yang ”berkeringat” serta berjuang dari bawah. Perlakuan istimewa petinggi partai atau pejabat terhadap keluarga sendiri ini hampir seragam di semua tingkat dan dapat dicek kembali pada daftar caleg DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang diumumkan KPU. Ini tentu ironi politik di tengah retorika membuncah para elite tentang urgensi pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam rangka mewujudkan Indonesia baru. Nepotisme dan dinasti politik Nepotisme politik secara sederhana dapat diartikan sebagai pemberian perlakuan istimewa kepada keluarga sendiri dalam posisi kekuasaan politik tertentu, baik di lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Nepotisme tak hanya menafikan penjenjangan karier politik atas dasar prestasi, kapabilitas, dan rekam jejak dalam proses rekrutmen politik, tetapi bersifat antidemokrasi. Karena itu, salah satu citacita reformasi pasca-Soeharto yang terpenting adalah pemberantasan KKN yang selama ini dianggap sebagai biang kebobrokan rezim Orde Baru. Para pelaku nepotisme biasanya membela diri dengan menunjukkan fakta bahwa fenomena serupa juga terjadi di negara lain. Di negeri kampiun demokrasi, seperti Amerika Serikat, sering disebut klan John F Kennedy, George Bush, dan Bill Clinton sebagai pelaku nepotisme. Di Asia acapkali dicontohkan keluarga Nehru yang melahirkan Indira Gandhi serta anak dan menantu Gandhi yang terjun ke politik, sementara di Pakistan ada keluarga Ali Bhutto yang melahirkan Benazir Bhutto dan
kini suami serta anaknya juga turut berkiprah dalam politik. Kecenderungan hampir sama terjadi di Filipina, Thailand, Banglades, dan beberapa negara lain. Namun, sebagian pembelaan itu jelas salah dan tidak tepat. Sekadar contoh, Ted dan Bob Kennedy, Hillary Clinton, Gandhi beserta anak menantunya, begitu pula Benazir yang tertembak, tidak berkiprah di politik semata-mata karena nepotisme. Mereka tak sekadar memiliki reputasi, rekam jejak, dan kapabilitas, tetapi juga sebagian memiliki latar belakang pendidikan bidang politik atau hukum yang memadai. Jadi, kalaupun terbentuk ”dinasti politik” atas dasar garis darah, citra publik mereka cenderung positif. Neopatrimonial Sementara itu, yang berlangsung di Indonesia acapkali adalah kecenderungan para elite politik berlaku aji mumpung. Artinya, mumpung sang bapak sedang berkuasa, diwariskanlah kekuasaan serupa untuk anak, istri, atau anggota keluarga yang lain. Akhirnya yang berkembang adalah format patrimonial dengan kutub ekstremnya: negara patrimonial. Sebagaimana berlaku pada monarki tradisional, di negara patrimonial kekuasaan, baik politik maupun ekonomi, diwariskan secara turuntemurun di antara para keluarga ataupun kerabat istana. Gejala menguatnya kembali nepotisme di balik proses pencalonan legislatif dewasa ini mungkin belum separah negara patrimonial karena para caleg yang ditawarkan itu akan dipilih melalui pemilu demokratis. Namun persoalannya, sistem pemilu atas dasar nomor urut dan struktur sebagian besar partai yang masih oligarkis relatif belum memberikan kesempatan bagi publik untuk memilih caleg atas dasar kapabilitas, rekam jejak, dan kompetensi mereka. Format kepartaian dan perwakilan politik yang berlaku pasca-Soeharto masih memberi ruang yang lebar berkibarnya nepotisme politik. Karena itu, jika budaya politik tradisional dan tidak sehat ini terus berlangsung dalam politik nasional, maka tidak mustahil patrimonialisme baru dalam skala partai tumbuh membesar dalam skala negara dan berujung pada ketidakpercayaan publik terhadap proses demokrasi. Fenomena golput yang relatif tinggi dalam berbagai pilkada provinsi dan kabupaten/kota bisa jadi merupakan pertanda mulai runtuhnya kepercayaan publik terhadap segenap proses demokrasi itu. Personalisasi kekuasaan Salah satu dampak dari nepotisme politik dalam proses rekrutmen politik adalah tidak kunjung melembaganya partai sebagai sebuah organisasi modern dan demokratis. Nepotisme tak hanya menutup peluang para kader atau aktivis partai yang benar-benar berjuang meniti karier politik dari bawah, tetapi juga menjadi perangkap berkembang biaknya personalisasi kekuasaan dan kepemimpinan oligarkis partai-partai. Implikasi lain dari menguatnya nepotisme dalam rekrutmen politik adalah semakin melembaganya praktik korupsi politik dalam arti luas. Apabila para elite terbiasa mengambil hak politik para kader dan aktivis partai, yang menjadi korban berikutnya adalah rakyat melalui korupsi berjemaah atas dana publik, seperti marak dalam sejumlah kasus mutakhir. Rezim Orde Baru sebenarnya memberi pelajaran amat berharga bagi bangsa ini betapa berbahayanya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun ironisnya para
elite politik kita tak kunjung sadar akan hal itu. Semoga masih ada elite politik yang tidak sekadar ”mengambil” untuk diri dan keluarga, tetapi juga memberi bagi Tanah Air tercinta.
S yams uddin Haris Profesor Riset Ilmu Politik LIPI
Nepotisme Caleg (https://id-id.facebook.com/notes/suara-rakyat/nepotismecaleg/10152767769295487) 3 Mei 2013 pukul 16:40
Suara Rakyat, 4 Mei 2013 Nepotisme Caleg
Ada sebuah pertanyaan yang penting kita simak, mengapa Pemerintah lebih senang memerangi "korupsi" dari pada "kolusi" atau "nepotisme" ? Padahal, ke tiga kata itu, betul-betul merupakan paduan yang sangat sulit untuk dipisahkan. Gambaran ini semakin diperjelas dengan lahir nya Komisi Pemberantasan Korupsi. Arti nya, apakah yang nama nya Komisi Pemberantasan Kolusi atau Komisi Pemberantasan Nepotisme tidak dibutuhkan ? Lantas, mengapa Komisi yang dibentuk tidak sekalian menjadi Komisi Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ? Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan diatas, rasa nya bukan hal yang gampang untuk dijawab. Hanya, kalau ada Undang Undang yang di dalam nya mengatur soal Nepotisme, boleh jadi kita tidak akan menyaksikan di Daftar Calon Sementara (DCS)Pemilihan Umum Legislatif, ada sekitar 15 orang "kerabat" Presiden Sby yang ikut tandang dalam Pemilu Legislatif 2014 mendatang, melalui kendaraan politik Partai Demokrat, yang Ketua Umum nya juga Presiden Sby. Dalam rumor politik yang selama ini mengedepan, Partai Demokrat tak ubah nya seperti mobil Panther. Para kerabat dapat masuk menjadi penumpang nya. Ketika Orde Reformasi mampu "menumbangkan" Orde Baru, salah satu yang dijadikan perjuangan nya adalah menghapuskan praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dalam satu panet. Ketetapan MPR saat itu, secara tersurat menegaskan tentang hal tersebut. Hal ini tentu dapat dipahami. Korupsi sulit terjadi, sekira nya tidak ada kolusi. Nepotisme adalah alat untuk memperlancar kolusi dan korupsi. Oleh karena itu, hampir di setiap kasus korupsi yang disidik oleh aparat penegak hukum, sangat sulit untuk melepaskan diri dari makna kongkalikong antara Penyelenggara Negara, Wakil Rakyat dan para Pengusaha.
Muncul nya 15 kerabat Presiden Sby dalam DCS Pemilu Legislatif 2014, memang tidak melabrak perundang-undangan. Sikap politik Partai Demokrat yang demikian, tidak diharamkan untuk digarap. Jangankan hanya 15 orang, mau 100 orang saja boleh-boleh saja "keluarga besar" pemilik Partai Demokrat ini mejeng dan mengisi DCS nya. Justru yang jadi pertanyaan orang-orang bagaimana dari sisi kepatutan nya ? Apakah dengan memasang para kerabat tidak akan melancarkan proses politik dinasti, yang kini sudah bukan hal yang ditabukan lagi ? Apakah hal tersebut telah dianggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja ? Bukan sesuatu yang luar biasa ? Fenomena yang dilakoni Partai Demokrat ini, juga tampak pula dari beberapa Partai Politik lain yang lolos untuk ikut berlaga dalam Pemilihan Umum Legislatif tahun depan. Cuma masalah nya apakah di Partai Politik lain terpantau lebih banyak dari 15 orang atau malah lebih sedikit ? Inilah sesungguh nya yang perlu diungkap lebih lanjut. Apakah di tubuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tidak ada yang seperti Ibas ? Ah, rasa nya kita semua tahu siapa itu Puan Maharani. Lalu, bagaimana dengan Partai Golongan Karya, Partai Gerindra, PKS, PAN, Hanura, PPP, PKB, Nasdem, PKPI dan PBB : apakah jumlah "kekerabatan" caleg nya lebih banyak dari Partai Demokrat atau tidak ? Nepotisme percalegan yang mengenaskan pernah terjadi pada Pemilihan Umum Legislatif 2009 lalu. Kejadian ini boleh di bilang langka. Melalui Partai Politik yang sama, sebuah keluarga mampu mengisi posisi Wakil Rakyat dalam tingkatan yang berbeda. Suami terpiliha menjadi anggota DPR RI. Istri nya dipercaya menjadi Anggota DPRD Provinsi dan anak nya terpilih menjadi Anggota DPRD Kabupaten. Arti nya, betapa semarak nya demokrasi yang kita anut, walau dalam berbagai sisi ada juga ketidak-patutan nya. Nepotisme, sepakat harus disikapi. Jangan biarkan nepotisme menjadi budaya politik yang melestari dalam kehidupan berbangsa, bermegara dan bermasyarakat. Sebab, bila kita mampu mengatur nya dengan baik, dijamin halal, bangsa ini tidak akan terus-terusan terjebak dalam "bobodoran politik". Salam,
Nepotisme Politik (http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/13/10/21/muzr71-nepotisme-politik) REPUBLIKA.CO.ID, Asep Sumaryana (Kepala LP3AN dan Staf Pengajar llmu Administrasi Negara FISIP Unpad) Popularitas Gubernur Banten mengalahkan artis dalam berita. Berangkat dari penangkapan adik kandung sang gubernur oleh KPK, dinasti politiknya mulai dikuak. Sejumlah sanak saudaranya, adik, anak, bahkan suaminya memiliki kedudukan penting dalam pemerintahan, baik di Banten ataupun di legislatif Jakarta. Publik pun menyorotinya sebagai bentuk nepotisme politik yang dilakukan untuk mengokohkan dinasti k eluarganya. Bisa jadi politik sudah menjadi perusahaan tersendiri yang mampu menyediakan lapangan kerja bagi orang dekatnya. Banyak parpol yang diisi oleh keluarga terdekat pendiri maupun elitenya. Bahkan, posisi pentingnya diisi oleh orang yang memiliki hubungan dekat dengan ketua parpol.
Bisa jadi awalnya dimaksudkan untuk melatih manajerial dan k epemimpinan sang kerabat dekatnya agar kelak dapat menerima estafet kepemimpinan di tubuh parpol tersebut. Dengan penggemblengan yang berlanjut, takhta pun tidak jatuh ke tangan orang lain. Kendati nepotisme di atas terjadi, namun sejumlah aturan yang ada tidak dilanggarnya karena permainan nepotismenya disesuaikan dengan aturan yang berlaku. Gubernur Banten ataupun nepotisme di sejumlah parpol pun bisa tidak melanggar aturan termasuk si istri meneruskan takhta suaminya di sejumlah kabupaten/kota. Bisa jadi, syarat yang ada membuka peluang terjadinya nepotisme tersebut. Dampaknya praktik seperti itu terlindungi aturan sehingga tidak dapat dipersalahkan. Bisa jadi, penjenjangan kebijakan seperti Gladden (1967) tuliskan tidak dijalankan oleh pemerintah sehingga kebijakan politik langsung dijalankan, bukan diterjemahkan dalam bentuk kebijakan eksekutif ataupun administratif. Dari sisi yang berbeda, kebijakan politik tidak mampu mengakomodasi pandangan publik ketika disusunnya. Dalam konteks tersebut, partisipasi seperti dimaksudkan UNDP tidak dapat berjalan dengan sehat. Sejumlah RUU yang dipublikasikan dalam media massa atau blusukan ke sejumlah institusi yang ada, tidak mendapat koreksi dari publik. Mungkin saja publik memiliki pengalaman jika hasilnya akan tetap sama kendati koreksi dari publik disampaikan keras dalam forum yang disediakan. Bila hal terakhir yang terjadi, maka dapat dipastikan bahwa oknum eksekutif dengan legislatif yang menyusun UU memiliki kepentingan yang ingin diperjuangkan dalam bentuk kebijakan tersebut. Bila kebijakan di atas diterjemahkan dalam kebijakan eksekutif, administratif ataupun operasional, maka keselamatan kepentingan pembuatnya bisa terus dipertahankan karena kebijakan di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan kebijakan di atasnya. Dengan demikian, ketika publik menyoroti nepotisme, maka perlu diperbaiki mulai dari jenjang kebijakan yang ada. Bisa jadi perlu ada tim independen yang menguji sebuah rancangan kebijakan agar ketika diimplementasikan sejalan dengan semangat reformasi, bukan mengokohkan kenepotismean. Memperbaiki konteks di atas tidaklah mudah. Diperlukan courage seperti Moelyono (2004) sebutkan. Bukan saja berani menegur bawahan yang sedang mengantuk atau ngobrol tatkala ceramah pimpinan berlangsung, namun juga keberanian menegakkan visi dan values agar nepotisme tidak melanda dirinya. Hanya, membuat kebijakan yang bebas nepotisme serta menegakkannya, bukanlah perbuatan mudah. Lingkungan terdekat bisa menjadi pengganggu yang paling kuat. Kast (1981) menganggap lingkungan sosial dan kerja merupakan lingkungan yang bisa mendominasi para pembuat keputusan sehingga melenceng dari tujuan mulianya. Tidak heran jika nepotisme pun terjadi dalam politik karena kedua lingkungan di atas. Jika ayah/ibunya ketua parpol atau petinggi pemerintahan, anak dan kerabatnya bisa terlibat di dalamnya. Mungkin saja penguasa tidak menghendaki, namun tekanan lingkungan tersebut dapat meluluhkan hatinya untuk berubah pikiran. Kondisi masyarakat yang tradisional dapat
dijadikan alasan untuk melibatkan keluarganya dalam politik. Tidak berlebihan dalam ketradisionalan, anak-istri bisa mendapat dukungan masyarakat untuk menjadi penerusnya. Memilih figur tertentu sering berdasarkan pertimbangan pemukanya, ketimbang pemikiran kritis dirinya. Demikian halnya tatkala melihat figur yang dianggap familiar dengan dirinya, otomatis dirinya akan merasa terwakili oleh figur tersebut tanpa mempertimbangkan kapasitas figur yang tampil. Dengan demikian, hubungan emosional pun tampak erat dalam masyarakat seperti itu. Tidak heran jika selain gelar akademik yang dipajangkan, hubungan kekerabatan dengan sejumlah elite terkenal pun dapat dijadikan media keberhasilan dalam karier politik seseorang. Tidak heran jika ketradisionalan di atas menyebabkan pengabaian pada konsepsi demokrasi. Jika konsepsi Ranny (1996) digunakan, maka popular sovereignity bisa menjadi bancakan karena masyarakat terima beres atas apa yang diperjuangkan anggota legislatif ataupun penguasa. Dengan kondisi ini abuse of power bisa berpotensi terjadi. Tidak heran jika popular consultation pun hampir jarang dijalankan karena kehadirannya di tengah masyarakat lebih mengedepankan succes story memperjuangkan kepentingan publik. Bila kondisi seperti itu bertahan, maka untuk menjadi elite publik ataupun wakil rakyat, tidaklah diperlukan kapasitas, kapabilitas, serta personality jempolan seperti ditulis Sulistyani (2008). Mengekang nepotisme tersebut menuntut pencerdasan kehidupan rakyat seperti pesan UUD 1945 sangatlah penting. Lembaga pendidikan sebagai pilar intelektual jangan terseret kepada praktik sesat seperti penyelewengan dana BOS atau DAK pendidikan. Bila hal ini terjadi, maka pencerdasan dan pembentukan moral yang baik bisa semakin jauh dari harapan. Demikian halnya dengan sejumlah oknum ustaz yang memihak kepada yang berani membayar, bisa jadi kesesatan sedang berkembang pula. Oleh sebab itu, membersihkan dunia pendidikan dari praktik sesat perlu lebih gencar dilakukan agar pendidikan anak bangsa lebih maju dan menghasilkan manusia Indonesia yang cerdas intelektual, emosional, serta spiritualnya. Bila hal seperti ini bisa diwujudkan, nepotisme politik pun dapat diakhiri. Semoga.
Sultan Tak Bisa Batalkan Sabda Raja, Ini Sebabnya SENIN, 11 MEI 2015 | 05:50 WIB
Sri Sultan HB X bersama dengan GKR Hemas duduk lesehan, memberikan audiensi dan penjelasan isi dari Sabda Raja di ndalem Wironegaran, Suryomentaraman, Panembahan, Yogyakarta, 8 Mei 2015. Sabda Raja dan Dawuh Raja bukanlah keinginan pribadi. Dirinya hanya melaksanakan dawuh Allah lewat leluhur Keraton. TEMPO/Pius Erlangga.
TEMPO.CO , Yogyakarta: Sejarahwan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, berpendapat Sultan Hamengku Bawono X tidak mungkin membatalkan isi Sabda Raja I dan Sabda Raja II. Menurut Margana, dasar Sultan mengeluarkan Sabda Raja memiliki legitimasi terkuat dalam tradisi politik Kraton Jawa, yakni wahyu Tuhan lewat bisikan leluhur. "Setiap keputusan besar raja berdasarkan pada wahyu, sulit dibantah karena logikanya berbeda dengan politik modern," kata Margana pada Minggu, 10 Mei 2015. Pernyataan Sultan di Sabda Raja I dan Sabda Raja II juga tidak bisa ditarik lagi. Sebab, menurut Margana, apabila ditarik kembali bisa mengingkari prinsip Sabda Pandita Ratu. "Kalau ditarik berarti Sultan melanggar perintah leluhurnya sendiri," kata dia. Karena itu, Margana melanjutkan, polemik mengenai isi Sabda Raja I dan Sabda Raja II di internal Kraton Yogyakarta bergantung pada penerimaan sebagian adik-adik Sultan terhadap penjelasan dari sabda itu. Polemik berlanjut ketika sebagian adik-adik Sultan tetap menolak Sabda Raja meskipun dasarnya merupakan sumber legitimasi terkuat di politik tradisional Jawa. "Semoga saja Kraton Yogyakarta kembali damai," kata dia.
Salah satu isi Sabda Raja I yang selama ini dipermasalahkan oleh sebagian adik-adik Sultan adalah soal penggantian gelar Raja Kraton Yogyakarta. Gelar itu ialah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senapati Ing Ngalaga Langgeng Ing Bawono Langgeng, Langgeng Ing Toto Panoto Gomo. Sabda Raja I menghapus gelar lama Sultan yang selama ini tercatat dalam UndangUndang Keistimewaan DIY. Nama gelar itu ialah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat. Adapun Sabda Raja II berisi tentang pemberian gelar baru kepada putri pertama Sultan Gusti Kanjeng Ratu Pembayun. Pembayun menerima gelar GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng Ing Mataram. Karena menerima gelar itu, Pembayun diperintahkan untuk duduk di atas Watu Gilang atau berarti dia dipilih sebagai calon pengganti Sultan. Tapi, menurut Margana, status Pembayun sebagai Putri Mahkota belum pasti menjadikannya Raja Kraton Yogyakarta. Alasannya, menurut Margana, t radisi suksesi Kraton Jawa, Raja harus mendapatkan wahyu keprabon atau perintah leluhur agar menjadi pemimpin kerajaan. "Dia juga harus menerima wahyu dulu untuk jadi ratu," ujar Margana. Margana mencatat di masa Sultan Hamengku Buwono VII pernah ada empat kali penunjukan putra mahkota. Sebabnya, tiga putra mahkota t erus meninggal mendadak. Satu orang sakit-sakitan dan dua lainnya diduga diracun. "Dulu zaman kolonial, polemik suksesi lebih sengit karena kekuatan politik eksternal ingin mengatur kraton," kata dia.
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/05/11/058665164/sultan-tak-bisa-batalkansabda-raja-ini-sebabnya ADDI MAWAHIBUN IDHOM
Keraton Surakarta Tak Ingin Campuri Polemik Keraton Ngayogyakarta Arief Setiadi
Rabu, 6 Mei 2015 − 20:52 WIB
Anak dan menantu Sri Sultan HB X saat ziarah ke Imogiri, Rabu (6/5/2015). (Novan Jemmy Andrea/KORAN SINDO) A+ ASOLO - Keraton Kasunanan Surakarta (Keraton Solo) tidak akan mencampuri permasalahan yang ada di Keraton Ngayogyakarta, meski antara Keraton Solo dan Ngayogyakarta masih ada kerabat dan sama-sama keturunan Mataram.
Raja Keraton Solo Pakubuwana XIII Hangabehi melalui pengacaranya Fery Firman Nurwahyu, menilai Sultan Hamengku Buwono X atau Sultan Hamengku Bawono X bisa menyelesaikan masalah yang mendera saat ini.
Menurutnya, setiap masalah bisa diselesaikan dengan baik, dengan cara musyawarah antarkeluarga dan kerabat keraton.
Sehingga, dalam kondisi ini pihak Keraton Surakarta tidak akan mencampuri masalah pengangkatan GKR Pembayun menjadi putri mahkota. Pihaknya hanya bisa mendoakan agar polemik yang terjadi tersebut bisa diselesaikan dalam waktu dekat ini. (Baca: GKR Pembayun Dinobatkan sebagai Putri Mahkota?).
"Urusan di Keraton Ngayogyakarta biar diselesaikan di sana, begitu pula urusan Keraton Solo akan diselesaikan dengan keluarga di Solo," ucapnya kepada KORAN SINDO, Rabu (6/5/2015) malam.
Pihaknya juga menyebutkan, jika ada kerabat atau abdi dalem Keraton Surakarta ikut campur dalam permasalahan itu, dipastikan hal itu di luar perintah sang raja. Sebab, raja tidak menyuruh abdi dalem untuk berkomentar terkait kisruh Keraton Ngayogyakarta.
"Tadi Gusti Moeng datang ke Jogja dan berkomentar macam-macam, itu kami nilai tidak pas, lha dirinya saja hanya abdi dalem kok ikut campur urusan orang lain dan mengatasnamakan Keraton Solo."
Diberitakan sebelumnya, pihak Keraton Surakarta melalui Putri Kesultanan Surakarta XII Gusti Kanjeng Ratu (GKR) W andansari, mengaku tersinggung dengan apa yang dilakukan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X. Langkah Sri Sultan HB X menghilangkan sebutan Hamengku Buwono dan Khalifatulloh dinilai merusak tatanan leluhur mereka, yaitu Kerajaan Mataram. (Baca: Putri Keraton Surakarta Tersinggung Ulah Sultan HB X).
source: http://daerah.sindonews.com/read/998196/22/keraton-surakarta-tak-ingincampuri-polemik-keraton-ngayogyakarta-1430920343