Pendekatan Psikoneuroimmunologi dalam Pelayanan Keperawatan Keluarga Ns. Sri Rahmawati, M.Kep.
Latar belakang Awal Abad ke-20, terjadi perkembangan yang signifikan dan perubahan terhadap konsep sehatsakit. Berbagai penelitian medis telah mengidentifikasi adanya infeksi bakteri, virus (mikroorganisme) sebagai faktor yang berperan dalam banyak penyakit yang diderita. Dengan demikian menggeser model-model kepercayaan penyebab sakit yaitu adanya racun atau kekuatan supernatural yang dianut oleh generasi sebelumnya. Perkembangan pesat bidang bidang mekanik pada era ini mempengaruhi mempengaruhi berbagai bidang termasuk termasuk kedokteran, ada banyak temuan methode dan tehnik serta alat-alat yang dikembangkan untuk pengobatan lebih modern. Terjadi pula perubahan pandangan dalam pengobatan pasien, seakan-akan tubuh manusia dianggap hanyalah sebuah miniatur mesin, penyakit adalah kerusakan dari mesin/bagiannya. Tugas seorang dokter hanya sekedar memperbaiki mesin yang rusak. Seiring berkembangnya berbagai disiplin ilmu dari cabang kedokteran selanjutnya, pandangan tersebut mengalami perubahan dengan diketahuinya hubungan antara fikiran, tubuh dan sistem immune. Berdasarkan konsep terdahulu diyakini pengaturan/regulasi system immune bersifat autonomy, tetapi Ader (2000 dalam Putra ST, 2005) membuktikan bahwa regulasi system immune dapat dipengaruhi oleh kinerja otak yaitu proses belajar dari individu. Hal ini menghantarkan perubahan mendasar pemahaman tentang konsep holistic terhadap etiologi, patofisiologi dan penatalaksanaan suatu penyakit. (Putra ST, 2005), Berdasarkan banyak riset yang dikembangkan semakin membuktikan adanya keterkaitan antara fikiran, tubuh dan sistem immune immune maka lahir istilah baru yang menjelaskan kondisi tersebut yaitu Psikoneuroimmunologi (PNI). Demikian pula di bidang keperawatan. Meskipun istilah Psikoneuroimmunologi (PNI) belum dikenal tetapi konsep tersebut sudah mulai diterapkan dalam menangani pasien. Hal ini dapat ditelusuri dari salah satu tulisan Florence Nightingale tentang keperawatan pada 1862, yaitu tentang konsep kekuatan penyembuhan dengan stimulasi sensori dan dukungan melalui hubungan personal. Sebuah evolusi pemahaman baru yang lahir dari pemikiran ini yang mengacu pada prinsip prinsip psikoneuroimmunologi (PNI). Pandangan baru tentang penyebab sakit dan penyakit bukan hanya dapat ditimbulkan dari gangguan (stress) fisik, tetapi dapat pula timbul akibat akibat gangguan pada aspek psikologis bahkan pada aspek psikososial individu. Dapat dilihat bahwa stress dan kondisi emosional pada individu akan memberikan dampak yang signifikan terhadap berkembangnya penyakit kearah kearah yang semakin berat. Hal ini juga menunjukkan bahwa dalam memberikan penanganan penanganan terhadap penyakit pasien, sangat penting untuk melihat sakitnya berdasarkan konteks perseorangan, dengan mempertimbangkan stress yang dihadapi serta kebiasaan hidup yang dijalani. Dalam penanganan pasien sebelumnya, sebelumnya, hal tersebut bukanlah bagian dari pengobatan pasien. Perkembangan bidang kedokteran komunitas, anggapan tersebut merupakan suatu kekurangan dalam memahami konteks gangguan kesehatan dan pengobatan individu. Penanganan masalah pasien dengan tidak melibatkan riwayat kondisi kondisi kehidupan pasien dan dipisahkannya dengan perawatan medis jelas jelas tidak dapat mengakomodasi kebutuhan kebutuhan penanganan kesehatan pasien
secara keseluruhan. Disini dapat dilihat bahwa perkembangan dari model pelayanan kesehatan keluarga mengadopsi satu dari prinsip dasar psikoneuroimmunologi yaitu Bio-psiko-sosial model. Alasan dari pendekatan tersebut adalah, banyak pengalaman di klinik dari praktisi kesehatan menemukan faktor external ataupun internal stress mempengaruhi bahkan menyebabkan berbagai gangguan kesehatan/sakit. Pada akhirnya hal penting yang harus digarisbawahi bahwa ada faktor-faktor yang dapat dikontrol sehingga membuat sistem immune tetap sehat, yang akhirnya akan membuat tubuh juga senantiasa sehat.
Gambaran Psikoneuroimmunologi (PNI) Psikoneuroimmunologi (PNI) merujuk pada sesuatu yang sederhana, yaitu studi tentang interaksi dari perilaku, sistem syaraf, sistem endokrin (neuroendokrin) dan sistem immune terhadap proses adaptasi. Hubungan fikiran-tubuh dan perilaku (The Mind-Body-Behavior Connection) merupakan inti dari pemikiran yang mengacu pada kondisi homeostasis (tercapainya keseimbangan tubuh sehingga dapat berfungsi optimal), dimana terjadi suatu proses yang terintegrasi yang melibatkan perilaku individu untuk beradaptasi melalui keterlibatan di sistem syaraf, endokrin dan sistem immune (Ader Robert, dalam Scott, Elizabeth, 2016; Nursalam dan Putra, S, 2005) Ilmu kedokteran telah menemukan adanya hubungan yang saling berkaitan antara fikiran, tubuh dan sistem immune, dengan pengaktifan jalur Hipothalamus-pituitary-adrenal/HPA aksis (yaitu sistem organ yang mengontrol reaksi berbagai organ tubuh lainnya terhadap stimulus stress yang dihadapi). Reaksi ini menyebabkan pelepasan catecholamine (yaitu epinephrine dan norepinephrine) serta cortisol (Jack H. Nassau, Karen Tien, dan Gregory K. Fritz, 2007). Suatu sinyal biokimia diproduksi berperan sebagai bahasa untuk komunikasi antar organ pengatur sistem endokrin, immune dan sistem syaraf, sebagai respon (tanggapan) terhadap stress. (Sifris, Dennis, dan Myhre, James,) Inilah dasar dari keterlibatan fisik terhadap perubahan psikolologis mengakibatkan berkembangnya suatu penyakit, adalah contoh primer keterkaitan antara fikiran dan tubuh inividu.
Jalur kedua yang dapat diaktifkan adalah ketika suatu stimulus stress diterima oleh sistem syaraf simpatik, diteruskan langsung menstimulasi kelenjar Adrenal meningkatkan produksi enzim (the Sympathetic– Adrenal–Medullary/SAM system) yang pada akhirnya menghasilkan pelepasan dari catecholamine (yaitu, epinephrine dan norepinephrine) serta cortisol. Hormon ini bertanggung jawab dalam mengaktifkan perubahan biokimia pada sistem syaraf, endokrin dan immune sistem yang memberikan berbagai effek pada berbagai sistem organ lainnya (Blauer-Wu, 2002), Efek dari catecholamine menekan fungsi proliferasi lymphocyte, sedangkan glucocorticoids (cortisol) menekan produksi antibody, cytokine, dan aktifitas NK cell. Agnvall, E. (2014), menyatakan bahwa ketika stress yang kronis mendera tubuh yang menyebabkan tingginya kadar kortisol, sel menjadi tidak sensitif terhadap hormon dan menyebabkan berkembangnya proses inflamasi. Inflamasi yang bersifat kronik merusak pembuluh darah, sel otak dan meningkatnya resistensi terhadap insulin (merupakan prekursor diabetes) serta menunjang berkembangnya penyakit nyeri sendi.
Mekanisme dan manifestasi Stress dalam menyebabkan gangguan kesehatan Sistem immune membantu memelihara keseimbangan (homeostasis) tubuh. Stress membangkitkan peningkatan reaksi sistem immun, terutama di Limpa, kelenjar limfe dan jaringan Limfoid. Dimana ada banyak komponen dari sistem immune yang berubah akibat hormone stress (Sifris, Dennis dan Myhre,James, 2016) Komunikasi antara fikiran dengan tubuh diperantarai oleh protein peptide yang disebut dengan istilah neurotransmitter. Ada tiga jenis neurotransmitter utama yaitu norepinephrine, serotonin, dan dopamine sebagai alat komunikasi syaraf (neurocommunication). Selain neurotransmitter yang telah disebutkan, kunci dari struktur sistem syaraf yang sangat penting adalah hypothalamus, yang sangat berperan dalam konsep psikoneuro immunologi (PNI). Hipothalamus sangat kuat dipengaruhi oleh kondisi emosional dan kognitif (fikiran dan pemahaman individu). Selain itu, Hipothalamus dikelilingi dan terhubung dengan sistem limbic, merupakan bagian dari otak yang mengatur kondisi emosional dari individu. (Bloom & Lazerson, 2000). Itu juga berdekatan dengan kortex serebral yang mengatur fungsi pemahaman dan proses interpretasi terhadap stimulus yang diterima individu baik dari luar maupun dari dalam tubuh. Masuknya stimulus, pertama kali dikenali oleh sistem syaraf pusat sebagai stressor. Otak menjadi tersensitisasi pada stressor dan waspada terhadap stimulus yang baru masuk. Otak dapat terangsang (stimulasi) oleh sinyal yang berasal dari dalam tubuh (organ) atau dari luar tubuh melalui rangsang syaraf perifer seperti sentuhan atau melalui indra penciuman, pendengaran, penglihatan, dan pengecap . Stimuli (rangsangan) berupa stress fikiran dan emosi juga diproses dalam otak, khususnya oleh hypothalamus. fikiran dan emosi ini, dari corteks serebral dan Limbik selanjutnya diteruskan untuk diproses ke berbagai sistem otak lainnya dan oleh tubuh. Seluruh tubuh sekarang waspada terhadap stressor saat ini dan yang akan dihadapi. Reaksi untuk stressor ini juga disimpan dalam memory. Saat sebuah stressor datang atau diaktifkan kembali, segera informasi tentang respon terhadap kondisi sebelumnya dicari dari memori, utamanya oleh hippocampus, organ yang bertanggung jawab terhadap penyimpanan memori jangka panjang. Hippocampus menyimpan memori-memori yang berkaitan dengan kondisi trauma dan stress yang lalu. Ketika sebuah ingatan tentang keadaan yang berat dimunculkan, maka sistem syaraf simpatis bereaksi dengan merangsang kelenjar adrenal mensekresi hormone norepinephrine. Neurotransmitter ini memperkuat ingatan terhadap situasi yang berat dan mengaktifkan respon stress. Intinya, setiap kali sebuah stressor yang sama seperti sebelumnya disimpan, stressor selanjutnya menguatkan respon traumatic dari stressor yang pertama (Bloom & Lazerson, 2000). Hal ini dapat menjelaskan tentang terapi modalitas mind-body seperti meditasi, atau imajinasi terpimpin dapat memberikan efek positif terhadap fikiran, emosi yang dapat memicu perubahan fungsi psikologis.
Stress sebagai pemicu gangguan Konsep stress sangat sesuai untuk menjelaskan penyebab terganggunya keseimbangan (homeostasis) individu yang memicu munculnya gangguan kesehatan hingga penyakit. Konsep ini selaras dengan prinsip psikoneuroimmunologi. Stress dapat terbentuk dari berbagai sumber yang dikenal dengan istilah stressor. Kondisi stress diciptakan oleh persepsi unik dari masing-masing individu terhadap apa yang dihadapi. Karena berbagai pengalaman individu dalam menghadapi kehidupan, ditambah dengan sifat individual yang bersumber dari pola fikir dan dipengaruhi banyak ragam model kepribadian serta sumber-sumber dukungan yang tersedia. Hal tersebut menyebabkan perbedaan persepsi terhadap situasi tertentu, berapa individu menganggap sebagai stress tetapi oleh individu lain menganggap sebagai tantangan (Elizabeth Scott, MS). Stress sebetulnya merupakan bagian mendasar dari kehidupan. Merupakan suatu respon yang tidak disadari dari suatu kebutuhan, saat kebutuhan tersebut dirasa sangat berlebihan/tidak mampu terpenuhi. Stress berkaitan dengan penyakit dan kondisi kesehatan. Stress adalah salah satu faktor yang signifikan dalam menyebabkan gangguan homeostasis. Ketika seseorang tidak dapat beradaptasi dengan stress jangka panjang, keseimbangan tubuh akhirnya tidak dapat dipertahankan dan tubuh tidak dapat terus berfungsi secara normal. Stress dapat menyebabkan penekanan secara kronis dari sistem immune yang meningkatkan resiko mengidap penyakit tertentu. Stress dapat bersifat pemicu (stressor) misalnya ketakutan, cemas, berduka dan kehilangan sesuatu yang dicintai ataupun trauma fisik dan infeksi. Stress sebagai pemicu pada awalnya akan memberikan pengaruh yang positif yang bertujuan untuk mengatasi atau menghilangkan pemicunya, tetapi apabila respon adaptasi gagal atau tidak bisa diatasi oleh tubuh maka stressor dapat memberikan dampak negative bagi individu. Stress dapat pula bersifat respon, merupakan hasil dari pengaruh berbagai kondisi ketidaknyamanan/tekanan yang dihadapi oleh individu misalnya kemiskinan, penyakit kronik, nyeri, beban kerja yang berlebihan, tekanan social dan kondisi lingkungan yang buruk. Stress yang bersifat respon kebanyakan memberikan dampak negative, karena respon stress adalah hasil dari kegagalan upaya individu mengatasi tekanan yang dihadapinya. Konsep stress terbagi menjadi stress psikologis dan stress biologis. 1. Emotional stres : Hal ini dapat terbentuk karena kecemasan, kelelahan dan depresi, dengan berbagai penyebabnya. 2. Social stress : Sumber stress ini antara lain kemiskinan, hubungan social yang buruk, lingkungan social yang buruk termasuk pola asuh dan keluarga yang tidak harmonis. 3. Psychical/ biologi stress : penyebabnya dapat berasal dari trauma, nyeri, infeksi, perubahan tubuh termasuk penyakit kronik lainnya. Lovas, Judy (2016), Tingkat stress seringkali bertambah dengan adanya nyeri, pembedahan, ketidakmampuan (kelemahan/kelumpuhan) fisik serta perawatan di Rumah sakit. Telah banyak dilihat pada individu dalam kondisi stress, terdapat peningkatan resiko mengembangkan penyakit autoimmune dan degenerative. Contoh penyakit auto immune yang
sering terjadi berkaitan dengan stress adalah psoriasis, rheumatoid arthritis, dan multiple sclerosis (Jacobs, 2001). Kondisi stress keluarga, menunjukkan hubungan yang kuat dan konsisten dengan kesehatan anggotanya. Banyak studi menunjukkan peningkatan angka kesakitan dan kematian setelah kematian/ditinggal oleh pasangan. Penelitian oleh Christopher Fagundes dan rekan, yang melakukan pengujian terhadap stress dimasa anak-anak dan riwayat sistem immunnya pada wanita yang mengalami perkembangan infeksi herpes virus yang berat dan diagnosis kanker payudara, ditemukan bahwa mereka memiliki riwayat mengalami kejadian stress yang sangat tinggi. Para peneliti mengidentifikasi, bahwa orang yang memiliki pengalaman tingkat stress yang besar pada masa anak-anak, dapat diketahui dari jumlah penanda antibody dalam tubuhnya. Mereka ternyata memiliki respon sistem immune yang kurang, dan ini dapat berlansung dalam jangka waktu yang panjang. Anak-anak yang berasal dari kelompok keluarga dengan tingkat social ekonomi yang rendah, memiliki berbagai macam masalah kesehatan yang berat. Resiko ini dimulai pada masa anak-anak dan bertahan lama melewati perubahan fase kehidupannya. Tingkat sosial ekonomi yang rendah pada usia muda diamati dapat meningkatkan resiko kejadian obesitas, insulin resisten dan penyakit astma. Kondisi ini tampaknya merupakan satu kelompok dengan penyakit kronis yang berkaitan dengan proses degenerative/penuaan. Ketika para peneliti menghubungkan dengan fase akhir kehidupan, didapat gambaran keluarga dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah memiliki tingkat kesakitan dan kematian yang lebih tinggi akibat stroke, penyakit jantung koroner, beberapa jenis kanker dan penyakit paru kronik. Gangguan tersebut juga berkaitan secara khas dengan tingkat ekonomi rendah yang terjadi hanya pada masa dewasa, ternyata memberikan dampak yang merugikan sama seperti yang dialami saat masa anak-anak, yaitu dapat meninggalkan suatu residu biologis (anti body) dengan konsekwensi resiko kesehatan jangka panjang (Gregory E. Milleraa, Gene H. Brodyb, Tianyi Yub, and Edith Chena, 2014) Jennifer Dowd telah mempelajari anak-anak dan respon antibodynya. Dia memeriksa penanda antibody dalam darah anak-anak yang hidup dalam kemiskinan dan menemukan bahwa anak yang hidup digaris kemiskinan dalam jangka waktu tertentu memiliki respon immune yang lebih lemah terhadap infeksi cytomegalovirus. Mereka juga menemukan efek ini pada anak yang lebih tua, kemungkinan merupakan konsekwensi jangka panjang yang terbentuk dari dampak masa sebelumnya. Studi ini memberikan bukti lagi bahwa ada keterkaitan antara stress akibat tingkat kemiskinan di usia anak awal dan penurunan fungsi sistem immun pada usia anak dan berlanjut ke usia dewasa (Scott, Elizabeth 2016) Studi yang mengkaji penanda antibody pada wanita yang sedang menjalani terapi anti kanker payudara dan juga melihat potensial pengaruh dari status sosial ekonomi dan dukungan sosialnya. Sesuai dugaaan, wanita yang memiliki tingkat dukungan teman yang tinggi memiliki titer antibody yang rendah, hal tersebut menunjukkan respon immune yang kuat. Mengejutkan juga bahwa pada wanita yang memiliki status sosial ekonomi rendah tidak ditemukan manfaat
perlindungan yang sama dalam hal dukungan teman terhadap sistem imunnya (respon immun tetap rendah walaupun memiliki dukungan dari teman). Informasi ini mendukung studi sebelumnya yang menjelaskan hubungan kemiskinan dengan immunitas, dan menunjukkan satu variable penting tentang efek hubungan sosial terhadap stress dan tingkat kekebalan tubuh. Studi seperti ini sangat berguna untuk membantu memahami lebih baik mengenai dampak stress dengan berbagai faktor gaya hidup terhadap sistem immun dan keseluruhan tingkat kesehatan kita. Karena stress dapat memberikan dampak terhadap kesehatan dalam berbagai cara, beberapa ada yang dapat diamati secara jelas, tetapi beberapa yang lain tidak jelas. Hal yang menjadi poin, bahwa stress secara tunggal tidak tidak dapat menjadi acuan baik atau jeleknya fungsi sistem immune. Faktor yang penting adalah kemampuan individu dalam menanggulangi stress (Blauer-Wu, 2002). Bagaimana seseorang mempersepsikan situasi yang dianggap membawa tekanan adalah sangat penting daripada keberadaan stress itu sendiri. Individu yang mengalami tingkat level stress yang tinggi tetapi mempunyai kemampuan koping yang sangat baik, mungkin akan mendapatkan dampak yang sedikit dari gangguan sistem immunnya. Seseorang yang mendapatkan stress tingkat rendah tetapi memiliki kemampuan koping yang jelek, mungkin akan mendapatkan perubahan fungsi sistem immune secara signifikan yang meningkatkan kerentanannya terhadap penyakit. Sesungguhnya banyaknya jumlah stress yang diterima tidak begitu penting terhadap kemampuannya mempengaruhi sistem immune. Kemampuan koping individu adalah faktor penting yang mempengaruhi respon sistem immune terhadap stress. Salah satu temuan penting lainnya adalah karakteristik kepribadian dan perilaku individu dapat mempengaruhi sistem immune dalam merespon stress. Pelayanan Keperawatan Keluarga dengan pendekatan Psikoneuroimmunologi (PNI) Sistem Keluarga adalah kumpulan individu yang membentuk pola hubungan saling keterkaitan antar anggotanya. Masing-masing orang dari anggota keluarga memiliki keterkaitan secara fisik dan psikologis. Jika ada salah satu anggota bermasalah maka akan mempengaruhi anggota yang lain baik secara fisik maupun psikologis pula (Patterson, M. Joan and Garwick, Ann, W., 1994 ). Berdasarkan beberapa hasil penelitian para ahli sebelumnya, dapat dilihat adanya pengaruh lingkungan sosial terutama dalam keluarga terhadap tingkat stress dan sistem immune individu dalam keluarga. Kebanyakan peneliti setuju bahwa stress psikososial telah menyebabkan efek yang buruk terhadap kesehatan (Thomas L,. Campbell,1991). Salah satu penyebab stress/krisis yang besar pada keluarga adalah penyakit, terutama penyakit kronis (Patterson, M. Joan and Garwick, Ann, W., 1994). Pasien yang didiagnosa dengan penyakit berat, telah ditemukan gambaran ekspresi gen yang menyebabkan peradangan (contohnya IL1B, IL6, IL8, TNF) dan menyebabkan penurunan gen alami respon anti virus (IFNB, IFIs, MX, OAS). (Nicole D. Powella, Erica K. Sloanb,c, Michael T. Baileya,2013)
Penyakit menyebabkan meningkatnya kebutuhan-kebutuhan baru bagi keluarga. Sementara kemampuan yang diperlukan untuk mengatasi kebutuhan tersebut tidak dimiliki atau tidak sebanding, sehingga adaptasi dan keseimbangan keluarga menjadi terganggu. Disinilah muncul krisis dalam keluarga, kadang krisis diperberat pula dengan tingkat status ekonomi yang rendah dan berbagai faktor lainnya (tingkat perkembangan keluarga, adanya masalah dengan anggota keluarga lain, dsb.) Bentuk pelayanan yang dapat diaplikasikan dalam keperawatan keluarga dengan penerapan prinsip psikoneuroimmunologi (PNI) adalah dengan Konsep asuhan keperawatan yang menekankan intervensi Bio-psiko-sosial dan spiritual. Selama ini kebanyakan intervensi keperawatan terfokus pada kebutuhan biologis saja, sedangkan kebutuhan lainnya kurang difasilitasi oleh perawat. Pemenuhan kebutuhan psiko-sosial-spiritual sangat penting, dan dengan dukungan keluarga diharapkan dapat memfasilitasi secara maksimal pemenuhan tersebut. Tujuan dari intervensi keperawatan dalam keluarga adalah memfasilitasi dan meningkatkan respon adaptasi dari individu yang sakit serta adaptasi keluarga. Ada empat model adaptasi yang diharapkan dapat dicapai oleh individu dan keluarga sehingga memberikan manfaat yang besar dalam memfasilitasi proses kesembuhan penyakit dan menurunkan ambang stresnya. Adapun ke-4 model adaptasi tersebut yaitu : 1. Adaptasi Fisik Adaptasi fisik yaitu pemenuhan kebutuhan fisik dalam upaya mempertahankan homeostasis (keseimbangan) yang dapat mempengaruhi kehidupan seseorang. Model intervensi yang sering digunakan adalah dengan memfasilitasi respon fisik dengan pemenuhan kebutuhan dasar yang terganggu. Apabila kebutuhan fisik terpenuhi, maka stress pasien akan berkurang dan energi pasien akan dihemat (model stress-adaptasi , Hudak-Gallo Morton, 1998). Cara agar dapat siap menghadapi tantangan/ tekanan : 1. Tidur yang cukup 2. Memelihara asupan nutrisi yangcukup 3. Aktifitas fisik secara teratur 4. Memanjakan diri 5. Selalu berfikir positif 6. Memelihara fungsi kognitif 7. Melakukan hobby dan kegiatan yang menyenangkan
2. Adaptasi Psikologis Pada saat mengalami gangguan kesehatan, individu akan mengalami stress psikologis, berbagai perasaan dan fikiran yang muncul, menyebabkan kecemasan sering berkaitan dengan :1). Merasa terancam kesehatannya; 2). Kehilangan kontrol; 3). Merasa kenilangan fungsi dan konsep diri; 4) Merasa terisolasi dan 5) Takut mati (Hudak,Gallo, Moton 1998 dalam Nursalam, 2005). Intervensi bertujuan untuk memfasilitasi koping agar pasien dan keluarga dapat mengontrol dan mengendalikan stimulus lingkungan. Intervensi yang dapat dilakukan adalah : a Memberikan kesempatan pasien/keluarga untuk mengontrol dirinya. Pasien dan keluarga diberikan kesempatan untuk memilih tindakan dan menentukan aktifitas
b c d
e
keperawatan yang akan dilakukan. Hal yang harus diperhatikan adalah ada tidaknya kontra indikasi tindakan terhadap penyakit/gangguan kesehatan. Memperhatikan budaya dan kebiasaan pasien/keluarga Pendampingan Edukasi pada pasien dan keluarga Memberikan penjelasan tentang kondisi dan perawatan yang diberikan serta tindakan yang harusnya dilakukan oleh keluarga dalam merawat anggotanya yang sakit. Memberikan penjelasan bermanfaat untuk menurunkan ketegangan serta meningkatkan kemampuan adaptasi pasien dan keluarga. Hal tersebut akan membangkitkan rasa percaya diri, mengontrol diri, kemampuan menyelesaikan masalah, optimis dan harapan. Mengajarkan relaksasi Relaksasi atau dikombinasikan dengan imajinasi terbimbing berpengaruh sangat signifikan dalam mengurangi kecemasan bahkan rasa nyeri pasien. Perubahan fisik dapat terjadi selama respon relaksasi tercapai. Terjadi penurunan denyut jantung dan penurunan cepat asam laktat darah yang berkaitan dengan rendahnya tingkat kecemasan. Tekanan darah juga mengalami penurunan pada orang yang hipertensi. Frekwensi dan intensitas gelombang alfa pada otak meningkat, yang berkaitan dengan adanya relaksasi dan perasaan bahagia Perubahan fisik ini merupakan tanda penurunan aktifitas sistem syaraf simpatik, yang mengindikasikan perasaan tenang dan penurunan tingkat kecemasan. Respons relaksasi membuat individu mampu mengontrol aksi psikologis, secara umum memberikan kemampuan mengontrol diri dan rasa kedamaian. Relaksasi dapat diberikan dengan berbagai cara, misalnya latihan nafas, yoga atau mendengarkan musik terutama musik klasik atau jenis lain yang memiliki frekwensi irama yang mirip (Gamelan Jawa, lantunan ayat suciAl-Quran dengan irama Murottal).
f
Imageri, adalah kemampuan membangun gambaran mental menggunakan berbagai indra Imageri dilakukan pada individu secara aktif dengan membangkitkan kenangan-kenangan atau ide-ide yang menyenangkan. Sebagai contoh, tujuan individu yang sangat menginginkan dapat sembuh dan kesehatan. Ini sangat membantu individu mengatasi dan mengelola stress sejak mereka dapat memfokuskan fikiran agar memperoleh tingkat kesehatan yang baik. Imagery dapat dibentuk melalui proses orientasi terhadap apa yang benar-benar diinginkan, seperti kemampuan sistem immune untuk menaklukkan infeksi virus. Imageri dapat menjadi sangat efektif untuk mengurangi kecemasan dan membantu proses kesembuhan dari penyakit yang berkaitan dengan stress.
g
Meditasi dapat memicu respon relaksasi dan membantu tubuh santai dan fikiran menjadi tenang. Ini merupakan intervensi spesifik yang sangat dianjurkan untuk mengurangi stress dan membangkitkan perasaan bahagia individu (Wisneski & Anderson, 2005).
h
Sentuhan terapeutik (Therapeutic touch) adalah suatu proses pengaturan energi yang dilakukan oleh tangan perawat yang dimaksudkan untuk membantu proses penyembuhan pasien (Krieger, 2002).
Faktor terpenting dari sentuhan terapeutik adalah niat baik untuk membantu pasien. Hal tersebut akan membantu dan menyembuhkan pasien karena dapat membangkitkan perasaan kasih/empati dan perhatian perawat kepada pasien secara khusus. i
Humor digambarkan sebagai suatu mekanisme pertahanan diri yaitu kemampuan berdamai dengan stress (Smith, 2002). Beberapa pasien mendapati humor sangat membantu untuk berdamai dengan problem yang sangat sulit dan penuh stress selama masa-masa sakitnya. Humor dapat digunakan perawat dengan sangat efektif untuk membantu pasien mengatasi perasaan takut dan khawatir serta kecemasannya. Humor juga dapat sangat bermanfaat untuk meningkatkan ambang nyeri serta rileks dan mengurangi stress pasien (Smith, 2002).
3. Adaptasi Sosial Dukungan social sangat diperlukan untuk mengurangi perasaan terisolasi. Penelitian tentang hubungan sosial menunjukkan pengaruh yang penting terhadap tingkat kesehatan, perasaan bahagia dan tingkat stress. Penelitian terhadap dukungan social dan penyedia layanan kesehatan membuktikan bahwa dukungan keluarga memiliki kekuatan yang terbesar dalam mempengaruhi kesehatan tubuh. (Jack H. Nassau, Karen Tien, and Gregory K. Fritz, ) Banyak studi prosfektif terkontrol yang sangat ketat telah menunjukkan bahwa support sosial yang rendah menghasilkan lebih tingginya tingkat kematian pada anggota keluarga, yang menunjukkan betapa pentingnya sumber dari sosial s upport. Hubungan antar individu dalam pernikahan, pertemanan, keluarga atau hubungan kasih sayang lainnya, serta mereka yang terlibat di dalamnya memiliki dampak yang besar melebihi berbagai faktor lainnya. Bahkan walaupun secara naluri ketika seseorang memiliki uang akan membawa kesenangan, tetapi itu hanya bersifat sementara, dibandingkan dengan ketika seseorang memiliki hubungan yang baik, ia akan merasa tercukupi dan berefek jangka panjang. Ketika individu berbicara kepada teman yang mendukungnya tentang masalah yang menyebabkan stress, maka seakan-akan masalah tersebut dapat dipecahkan dan berbagi perasaan sehingga menghilangkan rasa sendirian menghadapi masalah. Jika seorang teman akrab adalah pendengar yang baik dan akurat, mereka biasanya bahkan tidak menawarkan saran atau nasihat. Hanya mendengarkan dengan penuh perasaan dan memahami saja, seringkali membantu mendapatkan kedamaian yang besar. Ketika seseorang menemukan sendiri kearifannya, bantuan serta menemukan cara pemecahan terbaik, dengan berbagai alasan, teman yang baik dapat membuat segala sesuatunya menjadi berbeda (lebih baik pula). Kunci penting dari sosial support adalah memiliki kemampuan sebagai pendengar yang baik. Empat Model Social Support a Emotional Support: Model ini biasanya melibatkan kenyamanan fisik, seperti pelukan , tepukan atau belaian punggung, hal itu sama baiknya seperti pendengar dan empati. Emosional support dari teman atau pasangan, akan memberikan kekuatan melalui pelukan dan mendengarkan masalah individu, membiarkan individu mengetahui merasakan hal yang sama pula.
b
c
d
Esteem Support (Dukungan penghargaan): model sosial support ini melahirkan rasa percaya diri dan keyakinan diri. Seseorang yang biasa memberikan penghargaan, mampu mengeluarkan semacam kekuatan untuk dapat melupakan apa yang dipunyai atau hanya akan membiarkan indivitu mengetahui bahwa orang tersebut mempercayainya. Para pelatih atau terafist biasanya menggunakan model dukungan ini untuk klient mereka, mengetahuibahwa mempercayai merekan dan biasanya mampu meningkatkan kepercayaan diri. Informational Support (dukungan informasi): Dukungan informasi biasanya diberikan untuk memberikan saran/nasehat, atau saat pertemuan dan berbagi informasi. Tangible Support (Dukungan berdasar bukti): Dukungan berdasar bukti ini termasuk membawa orang lain yang dapat berbagi masalah atau dapat mengambil jalan keluar masalah secara aktif berdasarkan pengalaman dan kemampuannya. Seseorang yang memberikan dukungan ini, biasanya akan mampu membantu dengan baik saat mengalami kesulitan, membuka pemikiran dengan informasi yang cukup untuk mendapatkan solusi atau cara-cara lain yang dibutuhkan dengan berbagi transaksi secara aktif
4. Adaptasi Spiritual Orang-orang memiliki berbagai kepercayaan masing-masing dan caranya sendiri dalam menemukan Tuhan. Hasil penelitian menunjukkan apapun bentuk kepercayaan atau spiritual yang diyakini, selama spiritualitas mereka diyakini tetap memberikan manfaat kesehatan dan kebahagiaan (Scott,Elizabeth, 2016) Untuk banyak orang, hal ini mungkin bukan berita baru, spiritualitas dan kegiatan ibadah menjadi sumber untuk rasa nyaman dan menghilangkan stress bagi banyak orang. Berdasarkan fakta penelitian dari University of Florida in Gainesville and Wayne State University in Detroit, para Lansia menggunakan do’a/sembahyang lebih banyak dibandingkan terapi alternative lainnya untuk memperoleh kesehatan. Sebanyak 96% partisipan berdo’a secara spesifik untuk menghilangkan stress. Berdo’a merupakan penghilang stress yang utama dan cara untuk mendapatkan kesehatan emosional. Berdo’a dapat pula digunakan sebagai bentuk meditasi. Berdo’a dan meditasi keduanya memiliki kesamaan yaitu cara focus yang spesifik. Perbedaannya, meditasi menfokuskan diri terhadap pemikiran atau ide tertentu, sedangkan berdoa memfokuskan diri pada sesuatu yang ditinggikan atau kepada Yang memiliki Kekuatan tertinggi. Berdo’a sebagaimana meditasi juga memiliki dampak positif terhadap kesehatan, dimana akan didapat emosi positif, yang akan memberikan dampak positif terhadap sistem immune. Berdo’a juga dapat menunjukkan suatu strategi koping yang efektif, ini alan membantu menghilangkan stress dan itu akan memberikan salah satu dampak kesehatan (Maier-Lorentz, 2004). Manfaat berdo’a
Berdo’a dapat bermanfaat baik pada usia muda maupun tua, berdoa dan spiritual berkaitan dengan kondisi : a Tingkat kesehatan yang lebih baik.
b c d e f g
Penurunan tekanan darah tinggi Berkurangnya stress bahkan pada situasi yang sulit Memberikan lebih banyak perasaan yang positif Berkurangnya depresi Kondisi psikologis yang lebih baik Kemampuan yang lebih baik dalam menangani stress
Intervensi keperawatan untuk kebutuhan spiritual antara lain dengan berdoa, membacakan ayat suci, Tujuan adaptasi spiritual antara lain : a Mengontrol diri sendiri, akan meningkatkan koping pasien. Cara melakukannya, yaitu perawat membantu pasien melakukan :a). Membantu pasien mengidentifikasi masalah dan kemampuan mengontrol diri; b). Meningkatkan perilaku penyelesaian masalah; c). Meningkatkan rasa percaya diri, d) Mengidentifikasi sumber-sumber pribadi dan lingkungan yang dapat meningkatkan keyakinan agama. b Ketabahan hati, perawat dan keluarga dapat meningkatkan dukungan bahwa segala cobaan yang diberikan mengandung hikmah yang sangat penting dalam kehidupan. c Memberikan harapan yang realistis terhadap kesembuhan pasien d Mengambil hikmah, peran perawat dan keluarga untuk selalu mengingatkan dan berfikir positif terhadap cobaan yang dihadapi. Keterkaitan pelayanan dengan Akreditasi FKTP Akreditasi fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dilakukan, salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dengan memicu perbaikan sistem tata kelola (manajemen) institusi pelayanan, program kesehatan yang dilaksanakan dan resiko pelayanan. Dengan adanya perbaikan tata kelola akan meningkatkan kinerja dan akhirnya kualitas pelayanan secara FKTP secara keseluruhan. Pelayanan kesehatan keluarga yang dilaksanakan perawat dalam penilaian akreditasi termasuk ke dalam kelompok Upaya kesehatan masyarakat (UKM ). Peran perawat sebagai pemegang program pelayanan : 1. Mengembangkan Program Perkesmas 2. Merencanakan kegiatan 3. Membangun kerjasama/ kemitraan dengan fihak-fihak yang berkaitan (instansi lain dan bidang pemerintahan) 4. Menyelenggarakan kegiatan PHN/Asuhan Keperawatan keluarga a. Case manajemen b. Promosi kesehatan c. Pasien safety d. Terapi modalitas & komplementer dlm askep keluarga e. advokasi 5. Menerapkan teknologi dan methode asuhan keperawatan yang baru 6. Melakukan evaluasi kegiatan dan evaluasi program serta merencanakan umpan balik kegiatan (tertuang dalam laporan asuhan keperawatan) 7. Dokumentasi kegiatan. 8. Mengikuti Diklat, workshop dan kegiatan lainnya untuk meningkatkan dan menambah pengetahuan professional.