8
The Center for Constitutional Rights and Earth Rights International, "Shell's Environmental Devastation in Nigeria" (2009): hlm. 2
Bronwen Manby, "Shell in Nigeria: Corporate Social Responsibility and the Ogoni Crisis" diakses dari http://integritynigeria.org/wp-content/uploads/2012/07/Shell-in-Nigeria-Corporate-Social-Responsibility-and-the-Ogoni-Crisis-Bronwen-Manby.pdf, pada 8 Desember 2014 (Carnegie Council on Ethics and International Affairs, 2000): hlm. 3
The Center for Constitutional Rights and Earth Rights International, hlm. 2
Bronwen Manby, hlm. 3
Kenneth M. Amaeshi, Bongo C. Adi, Chris Ogbechie, dan Olufemi O. Amao, "Corporate Social Responsibility in Nigeria: Western Mimicry or Indigenous Influences?" (2006): hlm. 11
O. S. Aghalino, "Oil Firms and Corporate Social Responsibility in Nigeria: The Case of Shell Petroleum Development Company" dalam Ayebaye Babcock Journal of History and International Studies , Vol. 2(Babcock University, 2004): hlm. 2
Aghalino, hlm. 2
Aghalino, hlm. 3
EFQM dalam Asa Helg, "Corporate Social Responsibility from a Nigerian Perspective" diakses dari https://gupea.ub.gu.se/bitstream/2077/4713/1/07-23.pdf, pada 18 Desember 2014 (2007): hlm. 22
EFQM dalam Asa Helg, hlm. 23
Shell International dalam Sven Bokhari dan Fabrizio Del Duca, "Economic Development through Globalisation in Nigeria: an Analysis of Shell and the IMF Structural Adjustment Programs" (Malardalen Universiity, 3 Juni 2008): hlm. 16
Sven Bokhari dan Fabrizio Del Duca, hlm. 16
Sven Bokhari dan Fabrizio Del Duca, hlm. 16-17
Sven Bokhari dan Fabrizio Del Duca, hlm. 16
Sven Bokhari dan Fabrizio Del Duca, hlm. 16
Shell International dalam Sven Bokhari dan Fabrizio Del Duca, hlm. 16
Sven Bokhari dan Fabrizio Del Duca, hlm. 18
Moffat dan Linden dalam Sven Bokhari dan Fabrizio Del Duca, hlm. 18
Sven Bokhari dan Fabrizio Del Duca, hlm. 19
Sven Bokhari dan Fabrizio Del Duca, hlm. 19
Sven Bokhari dan Fabrizio Del Duca, hlm. 19
Uwem dalam Sven Bokhari dan Fabrizio Del Duca, hlm. 20-21
Uwem dalam Sven Bokhari dan Fabrizio Del Duca, hlm. 21
Uwem dalam Sven Bokhari dan Fabrizio Del Duca, hlm. 21
Sven Bokhari dan Fabrizio Del Duca, hlm. 20
Shell Nigeria dalam Sven Bokhari dan Fabrizio Del Duca, hlm. 21
Uwem dalam Sven Bokhari dan Fabrizio Del Duca, hlm. 21
Ashley Palomaki, "Flames Away: Why Corporate Social Responsibility is Necessary to Stop Excess Natural Gas Flaring in Nigeria" diakses dari http://www.colorado.edu/law/sites/default/files/Palomaki_6713.pdf, pada 18 Desember 2014, hlm. 521
Special Report: Corporate Social Responsibility: Just Good Business dalam Ashley Palomaki, hlm. 521
Michael E. Porter dan Mark K. Kramer dalam Ashley Palomaki , hlm. 522
Watts dalam Ashley Palomaki , hlm. 522
Watts dalam Ashley Palomaki , hlm. 523
Watts dalam Ashley Palomaki , hlm. 523
Nigeria World Factbook dalam Ashley Palomaki , hlm. 524
Watts dalam Ashley Palomaki , hlm. 524
Broere dalam Ashley Palomaki , hlm. 525
Shell dalam Ashley Palomaki , hlm. 525
Broere dalam Ashley Palomaki , hlm. 525
Ashley Palomaki , hlm. 526
Dictionary Reference dalam Diseye Tobi, "Double Standards in CSR: What are They? How Can They be Avoided? A Case Study of Shell in the Developed and Developing World (University of Dundee): hlm. 5
FOE Europe dalam Diseye Tobi, hlm. 8
Essential Action & Global Exchange dalam "The Life and Death of Ken Saro-Wiwa" Remember Saro-Wiwa Preject (diakses dari http://priceofoil.org/content/uploads/2006/05/ALL_FOR_SHELL_2005_.pdf, pada 18 Desember 2014 (London, 2005): hlm. 8
Human Right Watch dalam Remember Saro-Wiwa Preject, hlm. 8
Remember Saro-Wiwa Preject, hlm. 8-9
Africa Investor dalam The Ecumenical Council for Corporate Responsibility "Shell in the Niger Delta: A Framework for Change" (Februari, 2010): hlm. 59
The Ecumenical Council for Corporate Responsibility, hlm. 59-62
Permasalahan Penerapan Corporate Social Responsibility Perusahaan Minyak:
Studi Kasus Shell Di Nigeria
Disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Perusahaan Multinasional dalam Ekonomi Politik Internasional
Oleh:
Dian Fitriyani Agustin
(1206210830)
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
Depok, 2014
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Nigeria merupakan salah satu produsen minyak terbesar di Afrika dan merupakan produsen minyak terbesar ke-8 di dunia. Adanya kuantitas komersial minyak di Nigeria pertama kali ditemukan pada tahun 1956 dan produksinya terus meningkat hingga 2 juta barrels per hari. Penemuan minyak kemudian mengubah kondisi politik dan ekonomi Nigeria, terkait dengan minyak di Nigeria yang hampir berkontribusi 90% pendapatan dari foreign-exchange pada 1970-an, serta 80% pendapatan federal. Nigeria juga memiliki cadangan gas alam yang berlimpah, yang belum sepenuhnya dieksploitasi pada saat itu.
Melihat berlimpahnya sumber daya alam minyak di Nigeria, banyak perusahaan asing yang memutuskan untuk melakukan aktivitas pertambangan di sana. Salah satu perusahaan minyak yang masuk ke Nigeria adalah Shell Petroleum Development Company. Perusahaan tersebut yang menemukan potensi cadangan minyak di Nigeria dan mulai melakukan eksplorasi pada tahun 1958, dengan didukung oleh pemerintah Nigeria.
Perusahaan minyak memiliki tanggung jawab CSR yang lebih, terkait dengan begitu luasnya aktivitas pertambangan yang memberikan dampak yang besar pula. Terlebih, tidak jarang suatu perusahaan minyak lebih memberikan banyak dampak negatif dibandingkan dampak positif bagi suatu masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan situasi di Nigeria, di mana setelah banyak perusahaan minyak asing masuk ke Nigeria, aktivitas bisnis industri minyak justru memperkaya minoritas kecil, sementara mayoritas warga Nigeria justru dipermiskin. Dengan total GNP yang hanya 260 US $ per tahun, Nigeria menjadi salah satu negara termiskin di dunia.
Dampak negatif juga salah satunya disebabkan oleh kehadiran Shell, yang memunculkan banyak protes masyarakat dan CSO di sana pada tahun 1990-1995, terkait dengan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan minyak di Niger Delta. Kerusakan lingkungan yang terjadi di Nigeria meliputi gas flaring atau ledakan gas yang menyebabkan emisi gas rumah kaca, serta tumpahan minyak atau oil spill yang telah merusak ekosistem di Niger Delta. Hal tersebut telah menyababkan hilangnya mata pencaharian warga di sekitar Niger Delta. Protes tersebut kemudian memicu terjadinya bentrok, antara Shell, pemerintah Nigeria, dengan masyarakat.
Permasalahan eksplorasi minyak oleh Shell di Nigeria menunjukkan bahwa masyarakat dapat merespon negatif kegiatan bisnis suatu perusahaan, jika perusahaan tersebut memberikan dampak buruk bagi mereka. Dengan kasus ini, penulis kemudian akan meneliti pelaksanaan program-program CSR oleh Shell di Nigeria, untuk mengetahui bagaimana sebenarnya suatu perusahaan minyak bertanggung jawab kepada masyarakat lokal.
Pertanyaan Permasalahan
Bagaimana pelaksanaan CSR oleh Shell di Nigeria sebagai salah satu perusahaan minyak?
Kerangka Teori/Konsep
Corporate Social Responsibility dan Perusahaan Minyak
Corporate social responsibility (CSR) didefinisikan oleh sebagai tindakan balas jasa perusahaan terhadap masyarakat yang lebih luas, karena telah menjadi tempat bagi perusahaan untuk melakukan bisnis, yang dilakukan dalam bentuk tindakan yang berarti dan bernilai, serta relevan bagi masyarakat. CSR juga didefinisikan sebagai cara bagi perusahaan untuk merangkul host communities dengan secara positif mempengaruhi lingkungannya sendiri. Definisi lain dari CSR adalah cara lain untuk berterima kasih kepada masyarakat yang telah menjadi tempat beroperasinya perusahaan, serta cara untuk menunjukkan sense of belonging kepada masyarakat luas. CSR juga merujuk pada tindakan organisasi bisnis yang diambil untuk setidaknya dapat melampaui kepentingan langsung ekonomi dan teknis dari organisasi bisnis tersebut. Perhatian terhadap CSR meningkat atas adanya ekspektasi masyarakat atas tindakan perusahaan.
Namun demikian, beberapa scholars menilai CSR dengan hal yang berbeda. Levit menilai bahwa perusahaan tidak memiliki tanggung jawab kepada masyarakat atas keuntungan bisnis yang didapatkan. Perusahaan bahkan dinilai oleh Milton hanya memiliki satu tanggung jawab sosial, yaitu menggunakan sumber daya dan energinya untuk meningkatkan keuntungan dalam waktu yang lama, sesuai rule of game yang berlaku. Mill kemudian menambahkan bahwa perusahaan seharusnya tidak memikirkan bagaimana caranya untuk menjadi sangat baik terhadap masyarakat. Perusahaan tidak seharusnya melakukan kebaikan dan charity. Perusahaan tidak dibuat untuk dermawan kepada masyarakat. Perusahaan dibuat untuk melakukan bisnis dan melalui proses, mereka akan menciptakan keuntungan bagi karyawan, pemegang saham, dan petugas pajak, yang kemudian akan berdampak pada masyarakat luas. Namun demikian, perusahaan tidak akan memiliki pasar bagi produknya, tanpa ada peran masyarakat, baik lokal maupun global. Masyarakat harus dilihat sebagai dasar tenaga kerja, material, dan sumber daya yang mereka butuhkan.
Sementara itu, the European Foundation for Quality Management mendefinisikan CSR sebagai berikut:
"CSR refers to a whole range of fundamentals that organisations are expected to acknowledge and to reflect in their actions. It includes – among other things-respecting human rights, fair treatment of the workforce, customers and suppliers, being good corporate citizens of the communities in which they operate and conservation of the natural environment. These fundamentals are seen as not only morally and ethically desirable ends in themselves and as part of the organisation´s philosophy, but also as key drivers in ensuring that society will allow the organisation to survive in the long term, as society benefits from the organisation´s activities and behaviour"
Dari definisi tersebut, terdapat tiga dimensi CSR yang saling berhubungan satu sama lain. Pertama, pada dimensi tanggung jawab lingkungan, perusahaan seharusnya memiliki pendekatan yang mencegah atau meminimalisasi dampak negatif, mempromosikan tanggung jawab lingkungan yang lebih besar, mengembangkan dan menyebarkan teknologi ramah lingkungan dan sejenisnya. Kedua, pada dimensi tanggung jawab sosial, perusahaan perlu melindungi HAM, hak buruh, pelatihan dan pengembangan tenaga kerja lokal, memberikan kontribusi keahlian untuk masyarakat. Ketiga, pada dimensi tanggung jawab ekonomi, perusahaan perlu memiliki integritas, tata kelola perusahaan yang baik, melakukan pembangunan ekonomi, transparansi, mencegah suap dan korupsi, membayar pajak, penggunaan pemasok lokal, dan mempekerjakan tenaga kerja lokal.
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah Masuknya Shell di Nigeria: Strategi Bisnis dan di Konflik Niger Delta
Shell Petroleum Development Company (SPDC) atau yang biasa disebut Shell merupakan hasil merger antara Royal Dutch Petroleum Company dengan Shell Transport and Trading Company pada tahun 1907. Melalui merger tersebut, terbentuklah sebuah perusahaan minyak yang cukup besar untuk untuk mampu berkompetisi dan sukses dalam dunia bisnis. Benar saja, melalui beberapa strategi bisnisnya, pada akhir 1920-an, Shell kemudian menjadi perusahaan minyak dunia ternama.
Setelah regresi Perang Dunia II, Shell mulai melaksanakan program ekspansi ambisiusnya di Afrika dan Amerika Selatan. Shell mulai melakukan pencarian potensi kandungan minyak di Nigeria pada tahun 1937, ketika Nigeria masih berada di bawah jajahan Inggris. Pada 1958, Shell akhirnya menemukan kandungan minyak di Nigeria. Awalnya, Nigeria tidak memanfaatkan produksi minyak, namun hal tersebut berubah semenjak didirikannya Nigerian National Petroleum Corporation (NNPC) yang didirikan untuk mengontrol proses eksplorasi dan produksi tujuh perusahaan multinasional minyak di sana.
Shell merupakan perusahaan minyak terbesar dan tertua di Nigeria, yang meliputi perusahaan lainnya seperti Mobil Producing Nigeria Unlimited, Chevron Nigeria, Elf Petroleum Nigeria, Agip Oil Company, NAOC & Affiliate, Agip Energy and Natural Resources. Produksi minyak dilakukan oleh Shell di Niger Delta, yang memiliki luas 70.000 km2, di mana sekitar 20% warga Nigeria tinggal di sana. Adanya perusahaan minyak kemudian memberikan potensi keuntungan yang besar bagi pemerintah, yang mencapai 90% keuntungan dari satu barrel minyak.
Struktur dari Shell Group ini tergolong unik, karena adanya pembagian perusahaan ke beberapa perusahaan independen berbeda, untuk memberikan Shell kesempatan melakukan ekspansi lebih luas di berbagai belahan dunia. Shell Nigeria sendiri dibagi menjadi empat perusahaan berbeda yang beroperasi secara independen, namun memiliki prinsip bisnis yang sama. Prinsip yang menjadi core values dari Shell tersebut adalah kejujuran, integritas, dan menghargai masyarakat. Berikut adalah empat perusahaan tersebut:
Shell Petroleum Development Company (SPDC), yang didirikan pada 1970-an, pemerintah Nigeria mulai mengajak beberapa perusahaan minyak asing untuk terlibat dalam joint-venture. SPDC merupakan perusahaan Shell terbesar di Nigeria.
Shell Nigeria Exploration and Production Company (SNEPco, 1993) dengan operasi bisnis off-shore di Nigeria.
Ketiga, Shell Nigeria Oil Products Limited (SNOP, 2000), yang menjual dan memasarkan produk Shell di Afrika.
Keempat, Shell Nigeria Gas (SNG, 1998), yang sepenuhnya dimiliki oleh Shell dan dibentuk untuk mempromosikan produk gas.
Adanya keempat perusahaan ini membuat Shell menjadi satu-satunya perusahaan minyak terpenting di Nigeria, dan bertanggung jawab atas output ekonomi Nigeria sebesar 40%.
Konflik di Niger Delta
Meskipun Shell memberikan keuntungan ekonomi bagi Nigeria, tetapi di sisi lain, Shell juga memberikan dampak negatif bagi masyarakat. Masalah berawal dari adanya aktivitas Shell di Niger Delta, tempat beroperasinya Shell, yang juga merupakan dataran tempat warga Nigeria bercocok tanam dan mencari ikan untuk menyambung kehidupan. Peningkatan aktivitas ekploitasi minyak oleh Shell ternyata berdampak negatif dilihat dari sisi lingkungan dan sosio-ekonomi masyarakat lokal di sana. Berikut adalah petanya:
Gambar 1. Lokasi Operasi Shell di Niger Delta
Sumber: Milieu Defensie, hlm. 1
Dari sisi lingkungan, Shell telah mengakibatkan banyaknya oil spills atau tumpahan minyak dan gas flaring di lingkungan Niger Delta, yang sangat membahayakan ekosistem di sana. Sementara, dari sisi ekonomi, masyarakat di daerah tersebut terlibat dalam konflik dengan Shell sejak tahun 1950-an, terkait dengan adanya fakta bahwa Shell hanya menginvestasikan keuntungannya sebesar 0,000007% pada pembangunan daerah tersebut. Memang pada awalnya, proyek ekplorasi minyak ini memang berjalan lancar dan damai, namun sejak tahun 1990-an dan pendirian Movement for the Survival of the Ogoni People atau MOSOP, konflik terus berkembang menjadi konflik kekerasan, terkait adanya sabotase dan serangan kepada fasilitas dan karyawan Shell di Nigeria.
Nigeria menilai bahwa sabotase yang dilakukan kepada fasilitas operasi eksplorasi minyak, justru merupakan alasan utama terjadinya tumpahan minyak dan kerusakan lingkungan. Adanya pembelaan ini dilakukan oleh Shell untuk menghindari pembayaran kompensasi bagi kecelakaan lingkungan dan lain-lain. Namun demikian, pendapat lain muncul dari Walter dan Ugelow, yang menyebutkan bahwa kebijakan lingkungan di Nigeria sendiri sebenarnya sangat toleran terhadap Shell, yang kemudian memberikan peluang bagi Shell untuk merusak lingkungan dengan menggunakan teknologi peralatan yang lama dan lebih memilih untuk menyimpan uangnya.
Adanya mismanagement antara Shell dan pemerintah Nigeria kemudian dinilai sebagai alasan kekacauan yang terjadi di Niger Delta pada 1993. Pada saat itu, Ken Saro-Wiwa, pemimpin suku Ogoni, memaksa Shell untuk pergi dari wilayah itu dan menyerahkan seluruh peralatan serta fasilitas di perusahaannya. Setelah Shell pindah dari wilayah itu, Shell meminta pemerintah Nigeria untuk menjaga dan merawat fasilitas tersebut. Menurut Nonnenmacher, Hal ini menimbulkan rumor bahwa Shell adalah pihak yang meminta tentara militer Nigeria untuk melakukannya, dengan bayaran pemberian senjata. Shell juga disalahkan atas adanya dugaan usaha untuk mempengaruhi pemerintah untuk mengubah hukum dan peraturan bagi pelaksanaan bisnisnya, bukan untuk membantu masyarakat lokal. Shell membela diri, dengan menjelaskan bahwa terdapat kebijakan dalam perusahaannya untuk tidak ikut campur dalam pengadilan suatu negara dan menjelaskan bahwa program pembangunan di Nigeria justru telah dilaksanakan dari tahun ke tahun.
Penerapan CSR oleh Shell di Nigeria
Sebenarnya, Shell telah melaksanakan program CSR pada awal operasinya di tahun 1960-an. Pada saat itu, program CSR dikenal sebagai Community Assistance (CA) yang menjadi dasar dari program CSR sendiri. Shell melakukan berbagai usaha, seperti memberikan beasiswa untuk warga Nigeria, membiayai pendidikan, kebutuhan kesehatan, atau program yang membantu para petani di sana. CA bertujuan untuk menyediakan fasilitas bagi masyarakat lokal sekitar dengan hal-hal yang mendasari, seperti air dan makanan. CS tidak direncanakan untuk pembangunan jangka panjang, namun lebih dilihat sebagai implementasi dari tindakan sementara atau ad hoc. Hal ini yang membuat masyarakat lebih banyak menuntut, dibandingkan membantu dirinya sendiri dengan program Economic Development. CA dapat dilihat sebagai "pembayaran sewa" atas tanah yang ditempati oleh Shell.
Dengan adanya kerusuhan dan buruknya reputasi Shell sebelumnya, program CA kemudian diganti menjadi program Community Development pada tahun 1998. Program CD dinilai lebih berkelanjutan bagi masyarakat lokal. CD menekankan adanya pemberdayaan pembangunan masyarakat dan mengurangi ketergantungan masyarakat pada Shell. Shell tidak membayar tuntutan masyarakat lagi, namun mereka lebih bekerja bersama dengan komunitas untuk menyediakan barang dan pelayanan yang dibutuhkan bagi Economic Development.
Namun, meskipun ide CD dapat dilihat sebagai sebuah langkah yang tepat, kenyataannya Shell masih hanya menjadi wish granter bagi masyarakat di sana. Shell kemudian mengganti program CSR-nya pada tahun 2004, dengan membangun program Sustainable Community Development (SCD). Program ini meliputi aktivitas-aktivitas yang penting dalam menyediakan keperluan masyarakat, dengan mengontrol progress dari keadaan ekonomi dan kualitas hidup masyarakat Niger Delta. Hal ini dinilai akan memberikan tanggung jawab kepada warga Niger Delta atas kondisi hidup yang baik bagi kehidupan mereka sendiri. SDC tidak hanya berusaha untuk membuat masyarakat meningkatkan pertumbuhan perekonomiannya, tetapi juga membantu warga Niger Delta secara individual untuk memulai bisnis dengan pembayaran kredit mikro.
Bukan hanya itu, setelah adanya kerusuhan, Shell kembali ke Niger Delta dan mulai berasumsi bahwa mereka memang memiliki peran yang lebih bertanggung jawab kepada masyarakat dalam hal lingkungan dan level ekonomi. Shell kemudian mendukung adanya "Niger-Delta Environmental Survey" yang dilakukan oleh kelompok studi independen untuk menganalisis perubahan lingkungan dan ekonomi di sana. Shell juga memulai program lima tahun yang ditujukan untuk memperbarui fasilitas dan infrastrukturnya untuk mencegah adanya kebocoran atau tumpahnya minyak ke lingkungan luas. Shell juga melakukan pelatihan bagi pada staffnya untuk meningkatkan kesadaran lingkungan mereka dan meningkatkan manajemen limbah. Menurut Frynas, adanya usaha Shell ini dinilai telah menghabiskan biaya sebanyak 100 juta US $ per tahun. Program tersebut dinilai dapat diselesaikan sebelum akhir tahun kelima.
Pentingnya program Economic Development membuat Shell untuk selalu bertanggung jawab dalam berperan menawarkan adanya pembangunan, penyerapan tenaga kerja, dan kontrol yang lebih jauh atas keuntungan yang mereka dapatkan. Pada tahun 2002, keterlibatan Shell dalam program pembangunan terus meningkat, di mana terdapat 32 fasilitas kesehatan yang dijalankan yang membantu ribuan petani Niger Delta untuk membeli benih dan berinvestasi untuk membantu pembangunan jalan di wilayah tersebut.
Lebih jauh lagi, Shell lebih berperan sebagai bagian dari masyarakat Niger Delta, yang ditunjukkan dengan komitmen yang lebih tinggi pada program CSR. Shell juga menyadari tanggung jawabnya pada lingkungan dan telah bekerjasama dengan pemerintah Nigeria atau pemerintah lokal untuk meningkatkan kualitas lingkungan di sana.
Evaluasi terhadap Penerapan CSR Shell di Nigeria
Shell telah melakukan beberapa usaha CSR, baik dari sisi tanggung jawab lingkungan, sosial, maupun ekonomi, melalui beberapa program yang telah disebutkan dalam penjelasan sebelumnya. Bahkan, terus memperbarui program tersebut sesuai dengan pemenuhan prinsip CSR dan kebutuhan masyarakat Niger Delta sendiri. Hal tersebut terlihat dari adanya pergantian fokus CSR, yang awalnya merupakan program community assistance, diganti dengan community development, lalu diperbarui lagi dengan sustainable community development. Program CA memiliki nilai tanggung jawab sosial, di mana Shell memberikan beasiswa untuk warga Nigeria, membiayai pendidikan, kebutuhan kesehatan, atau program yang membantu para petani, serta menyediakan kebutuhan dasar seperti air dan makanan.
Sementara itu, program CD memiliki nilai tanggung jawab ekonomi, dengan menekankan pemberdayaan pembangunan masyarakat dan mengurangi ketergantungan masyarakat pada Shell. Melalui program ini, Shell lebih bekerja bersama dengan komunitas untuk menyediakan barang dan pelayanan yang dibutuhkan bagi pembangunan ekonomi masyarakat. Hal ini diperkuat oleh program SCD, yang mengontrol progress level ekonomi masyarakat agar bantuan dari Shell lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Sementara, dari segi tanggung jawab lingkunga, Shell juga melakukannya dengan mendukung "Niger-Delta Environmental Survey" untuk memantau perubahan lingkungan dan ekonomi. Shell juga emperbarui fasilitas dan infrastrukturnya untuk mencegah adanya kebocoran atau tumpahnya minyak ke lingkungan luas. Selain itu, Shell juga melakukan pelatihan bagi pada staffnya untuk meningkatkan kesadaran lingkungan mereka dan meningkatkan manajemen limbah. Bukan hanya itu, adany GMoU juga dapat dilihat sebagai usaha Shell untuk mengurangi potensi dampak negatif aktivitasnya bagi lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa Shell berusaha untuk memenuhi tanggung jawabnya dari dimensi lingkungan di Niger Delta.
Namun demikian, kritik atas pelaksanaan CSR di Nigeria tetap dilayangkan oleh beberapa pihak. Program CSR di Nigeria secara historis dinilai lebih difokuskan pada improving communities, misalnya dengan bantuan tunai, bukan dengan improving interactions antara perusahaan dengan masyarakat. Program CSR Shell awalnya hanya merupakan handouts bagi masyarakat Niger Delta, yang merupakan kepanjangan tangan dari prinsip filantropi. Filantropi tersebut tidak sukses, karena program ini berpandangan bahwa CSR yang dilakukan oleh perusahaan hanyalah cara-cara umum, bukan sebagai pendekatan khusus kepada masyarakat yang menjadi strategi perusahaan. Hasilnya, program tersebut gagal memahami kebutuhan masyarakat. Selain itu, CSR tersebut juga tidak cukup membantu dan justru menciptakan kekerasan di Nigeria.
Program CA Shell juga dianggap terbatas dan tidak efektif. Shell memiliki sedikit pemahaman mengenai politik masyarakat Nigeria dan hanya berinteraksi dengan para elite lokal atau keluarga kelompok elite di sana. Shell tidak banyak transparan dalam mengatasi tumpahan minyak dan kompensasinya. Shell juga dinilai gagal dalam bernegosiasi mengenai pengaturan kepemilikan tanah yang kemudian direbutkan dan dijadikan prasyarat pembayaran sewa. Pembayaran sewa digunakan oleh Shell untuk "membeli" persetujuan dari masyarakat. Dari sudut pandang masyarakat, hal ini dianggap sebagai program yang politis, korup, tidak jujur, dan tidak menyelesaikan permasalahan yang ada.
Program CA juga dinilai gagal, karena banyak kelompok yang berkepentingan di Niger Delta yang mendapatkan dana bantuan, sementara kelompok masyarakat yang lain tetap menderita. Bahkan, kebanyakan bantuan bukan ditujukan untuk mereka yang membutuhkan, tetapi untuk pemuka masyarakat dan politisi di sana, untuk mengamankan aliran minyak Shell. Hal ini yang menimbulkan endemik korupsi.
Sebenarnya, jika Shell mampu mengatasi persoalan lingkungan yang terjadi di masyarakat, operasi eksplorasi minyaknya juga akan terbantu. Hal ini terkait dengan adanya interdependensi antara Shell dengan masyarakat Niger Delta, di mana Shell bergantung pada masyarakat tempat mereka beroperasi, sementara masyarakat juga bergantung pada Shell dan perusahaan lain di sana, karena perusahaan yang menghasilkan minyak dan gas yang menjadi sumber ekspor utama bagi Nigeria. Meskipun demikian, pembangunan industri minyak juga menyebabkan polusi yang membahayakan warga Nigeria. Oleh karena itu, ada kebutuhan sosial bagi Shell untuk mengurangi polusi. Mengurangi polusi dapat berkontribusi pada terciptanya kondisi masyarakat yang stabil dan ketersediaan tenaga kerja. Namun, Shell dianggap belum memahami hal ini, di mana pada kenyataannya, diperkirakan pada tahun 1998-2003 telah terjadi 400 usaha perusakan fasilitas perusahaan yang menyebabkan kerugian sebesar 1 milyar US $ setiap tahunnya.
Perlu adanya win-win solution dalam kasus tersebut, di mana hal terbaik yang dapat dilakukan oleh Shell adalah dengan mengontrol potensi kerusakan lingkungan, misalnya dari gas flaring, untuk mendukung stabilitas dan mengembalikan kredibilitas Shell di Nigeria. Hal ini sebenarnya sudah diusahakan oleh Shell dengan melakukan gas-gathering project yang merupakan joint venture dengan pemerintah Nigeria. Proyek ini diharapkan mampu menampung lebih dari 90% gas yang diproduksi di Nigeria. Joint venture tersebut bahkan pernah menginvestasikan dana sebesar 3 milyar US $ untuk mengurangi gas flaring.
Namun, pendanaan tersebut menjadi tidak pasti, terkait dengan rendahnya komitmen dari pemerintah Nigeria. Usaha lain yang dilakukan oleh Shell adalah bekerjasama dengan World Bank untuk mengembangkan proyek skala kecil yang akan menyediakan listrik bagi masyarakat yang tinggal didekat flares gas Shell. Hal ini menunjukkan adanya usaha untuk mengurangi tingkat gas flaring, namun, di sisi lain, hal ini juga menunjukkan bahwa CSR ternyata mampu mendorong penghapusan gas flaring yang mana tidak diatur oleh pemerintah legislatif Nigeria maupun hukum.
Adanya penerapan CSR oleh Shell juga dinilai sebagai double standard CSR, yang berarti bahwa CSR yang dijalankan memiliki tujuan lain yang sangat menipu, hipokrit, dan tidak tulus. Sebab, Shell di satu sisi menegaskan bahwa mereka akan menggunakan standar lingkungan global terbaik, namun, kenyataannya Shell masih bermasalah dalam isu lingkungan, di mana salah satu kilang minyaknya di Afrika Selatan, South African Petroleum Refinery (SAPREF), membuang 19 ton sulfur dioksida ke udara. Jumlah tersebut enam kali lebih banyak dari jumlah sulfur dioksida yang dilepaskan oleh kilang Shell di Denmark. Padahal, sulfur dioksida dapat menyebabkan iritasi pernapasan yang parah dan asma. Bukan hanya itu, tidak seperti fasilitas Shell di Eropa, kilang SAPREF tidak menggunakan sistem deteksi karat yang efektif, yang kemudian mengakibatkan kebocoran 25 ton etil neurotoksin berbahaya. Kasus tersebut dapat menjadi gambaran bagi pelaksanaan CSR Shell di Nigeria, yang juga memiliki double standards.
Terlebih, laporan mengenai kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh Shell masih terus ada, bahkan setelah kerusuhan terjadi. Pada Januari tahun 2000, NGO Amerika Serikat melaporkan bahwa ekstraksi minyak dan operasi pertambangan minyak lainnya sudah sangat membahayakan kehidupan masyarakat di Niger Delta. Pada tahun 2001, Niger Delta Development Commission mulai beroperasi. Komisi ini dibentuk oleh Presiden Obasanjo, untuk memenuhi permintaan masyarakat atas kepemilikan sumber minyak yang lebih, namun ternyata hal tersebut tidak menghentikan adanya kekerasan-kekerasan di Nigeria. Hal tersebut juga tidak mengubah perilaku dari perusahaan minyak di sana. Pada 2002, dilaporkan bahwa perusahaan minyak justru memproteksi diri dengan pasukan bersenjata, mereka juga tidak mempekerjakan pemuda Nigeria dalam perusahaannya.
Untuk terus memperbaiki reputasinya, pada tahun 2003, Shell menerapkan Global Memorandum of Understanding (GMoU) di Niger Delta, yang merupakan perjanjian comprehensive antara perusahaan minyak dengan kelompok masyarakat di sana. MoU itu juga menyatakan adanya investasi Gbarain-Ubie Oil and Gas Project untuk mengurangi gas flaring rutin pada tahun 2008 melalui pembangunan fasilitas gas bersama. Gbarain-Ubie GMoU ini merupakan pengembangan dari SDC untuk mengatur interaksi Shell dengan masyarakat yang lebih aman, sehat, dan mandiri di Niger Delta. Kesepakatan ini seharusnya mengurangi dampak negatif dari aktifitas pengerukan, pengeboran sumur, pembangunan akses jalan, pengolahan jaringan pipa dan lain-lain. Namun, pada kenyataannya, masih terdapat beberapa permasalahan dalam pelaksanaanya. Misalnya, proses pengerukan yang telah selesai dilakukan, tidak memberikan alternatif pasokan air minum kepada masyarakat. Konstruksi pipa juga dilakukan tanpa melakukan sosialisasi langkah-langka mitigasi. Tabel berikut adalah bukti bahwa proyek ini pada tahun 2009 masih belum berhasil dalam memenuhi janji-janjinya kepada masyarakat:
Tabel 1. Komitmen Shell dan Status Pelaksanaan GMoU
Sumber: The Ecumenical Council for Corporate Responsibility, 2010, hlm. 59-62
Dari tabel tersebut, terlihat bahwa memang pelaksanaan CSR oleh Shell belum maksimal. Masih banyak program yang belum berhasil dilaksanakan. Padahal, Shell sudah menjanjikannya kepada masyarakat Niger Delta. Hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong masih terus adanya protes yang dilayangkan oleh masyarakat sampai saat ini.
Berdasarkan konsep CSR yang terdapat dalam kerangka konsep, penerapan CSR Shell di Nigeria memang mencerminkan pengertian dari CSR sendiri. Dalam kasus ini, terlihat bahwa Shell melakukan CSR sebagai usaha balas jasa terhadap masyarakat di Niger Delta, karena telah menjadi tempat bagi Shell untuk melakukan bisnis industri minyaknya. Dari penjelasan sebelumnya, memang terlihat beberapa usaha Shell dalam merangkul masyarakat melalui program CSR-nya. Namun, penulis menilai bahwa CSR dilakukan oleh Shell belum sepenuhnya bermanfaat dan relevan dengan kebutuhan masyarakat Niger Delta. Ditambah lagi dengan adanya anggapan bahwa CSR tersebut memiliki standar ganda, yang di satu sisi bernilai baik, namun di sisi lain merugikan masyarakat Niger Delta. Shell yang meskipun sudah berusaha menunjukkan tekadnya terhadap pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan melalui beberapa program, tetapi komitmen tersebut masih kurang. Hal tersebut terbukti dengan adanya status pelaksanaan GMoU oleh Shell, yang masih bermasalah.
Terlihat pula usaha Shell dalam meningkatkan perhatiannya terhadap pelaksanaan CSR, atas meningkatnya ekspektasi dan permintaan dari masyarakat Niger Delta. Shell menggunakan pembaharuan CSR sebagai bentuk responnya terhadap keluhan masyarakat. Hal ini juga dapat diperlihatkan melalui tabel berikut:
Tabel 2. Lima Faktor Pendorong Pentingnya CSR di Nigeria
Sumber: Kenneth M. Amaeshi, Bongo C. Adi, Chris Ogbechie, dan Olufemi O. Amao, 2006, hlm. 14
Bukan hanya itu, yang lebih penting adalah, bahwa pelaksanaan CSR Shell pasti terkait dengan kekhawatiran Shell akan keberlangsungan bisnisnya. Pasalnya, jika Shell tidak memberikan sesuatu kepada masyarakat, bisa jadi pengusiran kembali terulang dan Shell akan banyak merugi. Hal ini menunjukkan kesesuaian dengan konsep CSR itu sendiri, di mana memang CSR dilaksanakan atas dasar motif yang lebih jauh dari sekedar mencari keuntungan oleh perusahaan.
Shell tidak dapat sepenuhnya disalahkan dengan adanya inefektivitas CSR dan dampak negatif dari operasinya di Niger Delta. Pasalnya, terdapat peran pemerintah dan elite-elite lokal di Niger Delta yang korup, yang kemudian menghalangi aliran dana program CSR tersebut. Bukan hanya itu, penulis juga menilai bahwa lemahnya penegakan hukum di Nigeria, yang memang diciptakan untuk memberikan ruang bagi perusahaan asing untuk melakukan ekspolitasi SDA di sana. Kasus ini bukan merupakan dominasi suatu pihak, dalam hal ini perusahaan multinasional, melainkan lebih merupakan bentuk persekongkolan antara perusahaan multinasional dengan pemerintah Nigeria. Di satu sisi, perusahaan multinasional berkepentingan untuk mengeruk SDA minyak sebanyak-banyaknya. Agar hal tersebut berjalan sesuai dengan keinginan, mereka merasa perlu adanya "kerjasama" dengan pemerintah. Akibatnya, banyak terjadi korupsi, penyuapan, dan tindakan tidak pantas lainnya yang dilakukan oleh kedua pihak tersebut.
Atas dasar hal tersebut, penulis menilai bahwa kunci untuk mengatasi inefektivitas CSR Shell di Nigeria adalah adanya pemerintahan yang adil, jujur, dan pro rakyat. Bukan hanya itu, penulis juga menilai bahwa komisi pengawasan pelaksanaan CSR perlu terus melakukan monitoring terhadap pelaksaan CSR tersebut. Selain itu, peran NGO juga penting, baik NGO lingkungan, HAM, dan lain-lain. Hal ini terkait dengan begitu kompleksnya masalah yang ditimbulkan dari operasi Shell di Niger Delta, yang tidak hanya berdampak pada satu bidang kehidupan saja.
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Shell sebagai sebuah perusahaan minyak dunia, memiliki beberapa program CSR di Nigeria. Namun, penerapan CSR tersebut masih memiliki banyak masalah. Aktivitas ekplorasi dan ekploitasi minyak di Niger Delta banyak menimbulkan dampak negatif, baik dari dimensi lingkungan maupun sosial dan ekonomi. Hal ini diperparah dengan korupnya pemerintah Nigeria dan elite-elite di Niger Delta.
Setidaknya, terdapat beberapa poin yang dapat penulis peroleh dari adanya permasalahan CSR Shell di Nigeria ini. Pertama, CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan minyak memiliki ekspektasi yang tinggi, terkait dengan besarnya operasi yang mereka lakukan dan keuntungan yang mereka dapatkan. Kedua, motif pelaksanaan CSR bukan hanya terkait dengan moral dan kebaikan perusahaan, tetapi lebih kepada kekhawatiran perusahaan atas keberlangsungan aktivitas bisnisnya di host country. Ketiga, kesuksesan pelaksanaan CSR bukan hanya tergantung dari perusahaan minyak, tetapi juga pemerintah dan masyarakat global (NGO). Pemerintah host country merupakan pihak yang melakukan monitoring atas aktivitas perusahaan asing, agar tidak mencederai hak-hak masyarakat lokal di negaranya. Sementara NGO, juga dapat melakukan hal yang sama, terlebih ketiga fungsi negara tersebut mulai memudar.
DAFTAR PUSTAKA
Aghalino, O. S. "Oil Firms and Corporate Social Responsibility in Nigeria: The Case of Shell Petroleum Development Company" dalam Ayebaye Babcock Journal of History and International Studies, Vol. 2 (Babcock University, 2004)
Amaeshi, Kenneth M., et. al. "Corporate Social Responsibility in Nigeria: Western Mimicry or Indigenous Influences?" (2006)
Bokhari, Sven dan Fabrizio Del Duca. "Economic Development through Globalisation in Nigeria: an Analysis of Shell and the IMF Structural Adjustment Programs", diakses dari http://www.diva-portal.org/smash/get/diva2:121503/FULLTEXT01.pdf, pada 18 Desember 2014 (Malardalen University, 3 Juni 2008)
Essential Action & Global Exchange dalam "The Life and Death of Ken Saro-Wiwa" Remember Saro-Wiwa Preject, diakses dari http://priceofoil.org/content/uploads/2006/05/ALL_FOR_SHELL_2005_.pdf, pada 18 Desember 2014 (London, 2005)
Helg, Asa. "Corporate Social Responsibility from a Nigerian Perspective", diakses dari https://gupea.ub.gu.se/bitstream/2077/4713/1/07-23.pdf, pada 18 Desember 2014 (2007)
Manby, Bronwen. "Shell in Nigeria: Corporate Social Responsibility and the Ogoni Crisis", diakses dari http://integritynigeria.org/wp-content/uploads/2012/07/Shell-in-Nigeria-Corporate-Social-Responsibility-and-the-Ogoni-Crisis-Bronwen-Manby.pdf, pada 8 Desember 2014 (Carnegie Council on Ethics and International Affairs, 2000)
Milieu Defensie, "Oil Spills in the Niger Delta in Nigeria", diakses dari https://milieudefensie.nl/publicaties/factsheets/oilspills-in-the-niger-delta, pada 18 Desember 2014.
Palomaki, Ashley. "Flames Away: Why Corporate Social Responsibility is Necessary to Stop Excess Natural Gas Flaring in Nigeria" diakses dari http://www.colorado.edu/law/sites/default/files/Palomaki_6713.pdf, pada 18 Desember 2014
The Center for Constitutional Rights and Earth Rights International, "Shell's Environmental Devastation in Nigeria" (2009)
The Ecumenical Council for Corporate Responsibility "Shell in the Niger Delta: A Framework for Change" (Februari, 2010)