Patofisiologi
ASMA PADA ANAK
Oleh:
Anugerah Afrianto
030.05.035
Pembimbing :
Dr. Mas WishnuWardhana Sp.A
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi
Periode 3 September 2012 – 10 November 2012
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Jakarta
2012
ASMA PADA ANAK
Definisi
Dari waktu ke waktu definisi asma mengalami beberapa kali perubahan
akibat berkembangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai patologi,
patofisiologi, dan genetik asma.(3)
Pada tahun 1950, dalam simposium CIBA, asma didefinisikan sebagai
penyakit yang ditandai oleh obstruksi saluran napas yang reversibel, yang
dapat teratasi secara spontan atau dengan pengobatan.(3)
Pada tahun 1975, WHO mengeluarkan suatu definisi asma, yaitu keadaan
kronik yang ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen
saluran napas sebagai respon terhadap stimulus yang tidak menyebabkan
penyempitan serupa pada banyak orang.(3)
Defenisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK)
Respirologi IDAI yang kemudian disempurnakan pada Pedoman Nasional Asma
Anak (PNAA) pada tahun 2004 menyebutkan bahwa asma adalah mengi berulang
dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut; timbul
secara episodik, cenderung pada malam / dini hari (nokturnal), musiman,
setelah aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada
pasien dan/atau keluarganya.(3)
Epidemiologi
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS
(2003), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per
1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000
(jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang mengalami serangan lebih
banyak daripada lelaki. WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian
akibat asma. Sedangkan berdasarkan laporan NCHS (2000) terdapat 4487
kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu populasi.(2)
Asma adalah penyakit kronik yang umum menyebabkan peningkatan angka
kesakitan. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari data statistik pusat
nasional Amerika Serikat pada tahun1998, terdapat 8,65 juta anak-anak
dilaporkan menderita asma dan 3,8 juta anak pernah mengalami episode
serangan asma dalam waktu 12 bulan. Asma pada anak-anak di Amerika Serikat
dianggap sebagai penyebab tersering adanya kunjungan ke Instalasi Gawat
Darurat (867,000 kasus), rawat inap (166,000 kasus) dan tidak masuk sekolah
(10.1 juta kasus) Walaupun asma tidak sering menyebabkan kematian, namun
dilaporkan 164 kematian anak akibat asma pada tahun 1998.(5)
Etiologi dan Faktor Resiko
Etiologi asma masih belum jelas. Diduga yang memegang peranan utama
ialah reaksi berlebihan dari trakea dan bronkus. Hiperreaktivitas bronkus
itu belum diketahui dengan jelas penyebabnya. Diduga karena adanya hambatan
sebagian sistem adrenergik, kurangnya enzim adeniskase dan meningginya
tonus sistem parasimpatik. Kedaan demikian menyebabkan mudah terjadinya
kelebihan tonus parasimpatik kalau ada rangsangan sehingga terjadi spasme
bronkus.(4)
Banyak faktor yang turut menentukan derajat reaktifitas atau
iritabilitas tersebut. Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu: .(1)
1. Faktor genetik (1,2)
a) Hiperreaktivitas
b) Atopi/Alergi bronkus
c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
d) Jenis Kelamin
e) Usia
f) Ras/Etnik
2. Faktor lingkungan (1,2)
a) Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,
alternaria/jamur)
b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan
laut, susu sapi, telur)
d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker
dll)
e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
f) Ekspresi emosi berlebih
g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
i) Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktivitas tertentu
j) Perubahan cuaca
k) Infeksi respiratorik
Patogenesis
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan
ditandai oleh serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan
nafas hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua
orang dengan penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua
usia tetapi paling sering muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama
kehidupan. Mereka yang asmanya muncul dalam 2 dekade pertama kehidupan
lebih besar kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh IgE dan
memiliki penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika dan
dermatitis atopik.(6)
Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T
oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses
yang melibatkan molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas
II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik
merupakan Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori.
Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu
membentuk jaringan yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam
epitel saluran respiratori. Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi menuju
kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang
terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag, dan sel
mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah menuju daerah yang
banyak mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan pengaruh sitokin-sitokin
lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif.(6)
Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang
sensitif terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag.
Pada pasien dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma,
basofil juga ikut berperan. Reaksi fase lambat pada asma timbul beberapa
jam lebih lambat dibanding fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari
sel-sel eosinofil, sel T, basofil, netrofil, dan makrofag. Juga terdapat
retensi selektif sel T pada saluran respiratori, ekspresi molekul adhesi,
dan pelepasan newly generated mediator. Sel T pada saluran respiratori yang
teraktivasi oleh antigen, akan mengalami polarisasi ke arah Th2,
selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama fase lambat terjadi transkripsi
dan transaksi gen, serta produksi mediator pro inflamasi, seperti IL2, IL5,
dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hal ini terus
menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat(6).
Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan
maturasi struktur sel. Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan
epitel yang berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP)
dan Tissue Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor
pertumbuhan profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-β), dan
proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini
merupakan proses yang penting dalam remodelling. Miofibroblas yang
teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan
sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran respiratori
dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi,
neovaskularisasi, dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul
termasuk kompleks proteoglikan pada dinding saluran respiratori dapat
diamati pada pasien yang meninggal akibat asma. Hal tersebut secara
langsung berhubungan dengan lamanya penyakit.(6)
Gambar 1. Patogenesis Asma
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel
goblet dan kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama
yang kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma,
memperlihatkan perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan
dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling juga
merupakan hal penting pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori
yang non spesifik, terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih
dari 1-2 tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi inhalasi
kortikosteroid(8).
Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari
obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas
bronkus(1).
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag
alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan
vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang
dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih
permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa sehingga
memperbesar reaksi yang terjadi(1).
Gambar 2. Proses imunologis spesifik dan non-spesifik
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan
serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eusinofil, netrofil,
trombosit dan limfosit. Sel-sel inflamasi ni juga mengeluarkan mediator
yang kuat seperti leukotrien, tromboksan, Platelet Activating Factors (PAF)
dan protein sititoksis memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan
inflamasi yang akhirnya menimbulkan hiperaktivitas bronkus(1).
Patofisiologi Asma
Obstruksi saluran respiratori
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot
polos bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel
inflamasi seperti histamin, triptase, prostaglandin D2, dan leukotrien C4
yang dikeluarkan oleh sel mast, neuropeptidase yang dikeluarkan oleh saraf
aferen lokal dan asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post
ganglionik. Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas
adalah hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta terjadi
deposisi matriks pada saluran nafas. Namun,dapat juga timbul pada keadaan
dimana saluran nafas dipenuhi sekret yang banyak, tebal dan lengket
pengendapan protein plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi bronkial dan
debris seluler.(7)
Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh
penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon
trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran
nafas adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk
mendapatkan volume yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan
hiperinflasi toraks. Perubahan ini meningkatkan kerja pernafasan agar tetap
dapat mengalirkan udara pernafasan melalui jalur yang sempit dengan
rendahnya compliance pada kedua paru. Inflasi toraks berlebihan
mengakibatkan otot diafragma dan interkostal, secara mekanik, mengalami
kesulitan bekerja sehingga kerjanya menjadi tidak optimal . Peningkatan
usaha bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan timbulnya kelelahan dan
gagal nafas.(7)
Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik
Hiperaktivitas saluran respiratori
Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang
menyebabkan penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui,
namun dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas yang
terjadi sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas ataupun
fenotipnya. Sebagai tambahan, inflamasi pada dinding saluran nafas yang
terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut.(7)
Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika
pada pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg%
didapatkan penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan
kharakteristik asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya
seperti Chronic Obstruction Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan
rhinitis alergi. Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosin,
tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak
seperti histamin dan metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel
mast, ujung serabut dan sel lain yang terdapat disaluran nafas untuk
mengeluarkan mediatornya. (7)
Otot polos saluran respiratori
Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus.
Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian
elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya.
Peningkatan kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan
peningkatan kecepatan pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti
bahwa perubahan pda struktur filamen kontraktilitas atau plastisitas dari
sel otot polos dapat menjadi etiologi hiperaktivitas saluran nafas yang
terjadi secara kronik.(7)
Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui melalui
hipotesis pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot polos saluran
nafas mengalami kekakuan bila dalam waktu yang lama tidak direnggangkan
sampai pada tahap akhir, yang merupakan fase terlambat, dan menyebabkan
penyempitan saluran nafas yang menetap atau persisten. Kekakuan dari daya
kontraksi, yang timbul sekunder terhadap inflamasi saluran nafas, kemudian
menyebabkan timbulnya edema adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan
rekoil elastis.(7)
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase
dan protein kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot
polos untuk berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi yang lainnya
seperti histamin. Keadaan inflamasi ini dapat memberikan efek ke otot polos
secara langsung ataupun sekunder terhadap geometri saluran nafas.(7)
Hipersekresi mukus
Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan
pada saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas
merupakan karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan
mukus saluran nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan
menjadi penyebab ostruksi saluran nafas yang persisiten pada serangan asma
berat yang tidak mengalami perbaikan dengan bronkodilator.(7)
Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa
peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas.
Penebalan dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan
produksi musin saja tetapi terdapat juga penumpukan sel epitel, pengendapan
albumin yang bersal datri mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA
yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis.(7)
Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu
mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia
dan mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi.
Degranulasi sel Goblet yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan,
diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau
aktivitas jalur refleks kolinergik. Kemungkinan besar yang lebih penting
adalah degranulasi yang diprovokasi oleh mediator inflamasi, dengan
aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase, kimase sel mast,
leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease.(7)
Diagnosis
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan
batruk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam
atau dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya
riwayat asma dan/atau atopi pada pasien atau keluarga.(3)
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan
bertambahnya umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma menjadi
lebih definitive. Untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan
faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak
flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi
bronkus dengan histamine, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering
dan dingin,atau dengan salin hipertonis sangat menunjang
diagnosis.pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma anak
melalui 3 cara yaitu didapatkannya.(3)
1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%
2. Kenaikan 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi
bronkodilator.
3. Penurunan 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
Diagnosis asma pada bayi dan anak kecil (di bawah usia 5 tahun) hanya
merupakan diagnosis klinis (penilaian hanya berdasarkan gejala dan
pemeriksaan fisik dan respon terhadap pengobatan). Pada kelompok usia ini
tes fungsi paru ataupemeriksaan untuk mengetahui adanya hiperresponsivitas
saluran napas tidak mungkin dilakukan dalam praktek sehari-hari. Tidak
jarang asma pada anak didiagnosis sebagai bentuk varian bronkitis sehingga
mendapatkan pengobatan yang tidak tepat dan tidak efektif, yaitu berupa
pemberian antibiotika dan obat batuk.(3)
Anamnesis
Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan
gejala batuk dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan
batuk dijumpai sesak nafas dari ringan sampai berat. Pada serangan asma
gejala yang timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada serangan
ringan, gejala yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar
berbicara dan aktifitasnya tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala
bertambah berat anak sulit mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat,
gejala sesak dan sianosis dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus
saat mengucapkan kata-kata.(8)
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik umumnya tidak ditemukan kelaianan saat pasien
tidak mengalami serangan. Pada sebagian kecil pasien yang derajat asmanya
lebih berat dapat dijumpai mengi di luar serangan. .(8)
Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada derajat
serangannya. Pada serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar,
tidak dijumpai adanya retraksi baik di sela iga maupun epigastrium.
Frekuensi nafas masih dalam batas normal. Pada serangan sedang dan berat
dapat dijumpai adanya wheezing terutama pada saat ekspirasi, retraksi, dan
peningkatan frekuensi nafas dan denyut nadi bahkan dapat dijumpai sianosis.
Berbagai tanda atau manifestasi alergi, seperti dermatitis atopi dapat
ditemukan.(8)
Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya
inflamasi kronik saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi
lender, udem dinding bronkus dan konstriksi otot polos bronkus. Ketiga
mekanisme patologi diatas mengakibatkan timbulnya gejala batuk, pada
auskultasi dapat terdengar ronkhi basah kasar dan mengi. Pada saat serangan
dapat dijumpai anak yang sesak dengan komponen ekspiratori yang lebih
menonjol.(8)
Pemeriksaan Penunjang
Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah
analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-
posterior. Pada AGD dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya
PO2 (hipoksemia). Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji
fungsi paru bila kondisi memungkinkan. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan
adanya penurunan FEV1 yang mencapai <70% nilai normal.(8)
Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eusinofil total dapat
membantu penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eusinofil
total umum dijumpai pada pasien asma. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan
pemeriksaan uji provokasi dengan histamin atau metakolin. Bila uji
provokasi positif, maka diagnosis asma secara definitive dapat
ditegakkan.(1,8)
Klasifikasi dan Penilaian Derajat Serangan Asma
Derajat penyakit asma ditentukan berdasarkan gabungan penilaian
gambaran klinis, jumlah penggunaan agonis β2 untuk mengatasi gejala, dan
pemeriksaan fungsi paru pada evaluasi awal pasien.
Pembagian derajat penyakit asma menurut Menurut Global
Initiative for Asthma (GINA) adalah sebagai berikut:(3)
1. Intermiten
Gejala kurang dari 1 kali/minggu, serangan singkat, gejala nokturnal
tidak lebih dari 2 kali/bulan (FEV1 80% predicted atau PEF 80% nilai
terbaik individu, variabilitas PEV atau FEV1<20%)
2. Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari, serangan
dapat mengganggu aktivitas dan tidur, gejala nokturnal >2 kali/bulan
(FEV1 80% predicted atau PEF 80% nilai terbaik individu,
variabilitas PEV atau FEV1 20-30%)
3. Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari, serangan dapat mengganggu aktivitas dan
tidur, gejala nokturnal >1 kali/ minggu, menggunakan agonis-β2 kerja
pendek setiap hari (FEV1 60-80% predicted atau PEF 60-80% nilai
terbaik individu, variabilitas PEV atau FEV1>30%)
4. Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari, serangan sering terjadi, gejala asma
nokturnal sering terjadi (FEV1 60% predicted atau PEF 60% nilai
terbaik individu, variabilitas PEV atau FEV1>30%)
Pembagian derajat asma menurut Pedoman Nasional Asma Anak
(PNAA) 2004 membagi asma menjadi 3 derajat penyakit yaitu sebagai
berikut:(3)
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma anak menurut PNAA (3)
"Parameter "Asma episodic "Asma episodic "Asma persisten "
"klinis "jarang "sering "(asma berat) "
"Kebutuhan obat,"(asma ringan) "(asma sedang) " "
" " " " "
"dan faal paru " " " "
"1.Frekuensi "3-4x /1tahun "1x/bulan " 1/bulan "
"serangan " " " "
"2.Lama serangan"<1 minggu " 1 minggu "Hampirsepanjang "
" " " "tahun, tidak ada "
" " " "remisi "
"3.Intensitas "Ringan "Sedang "Berat "
"serangan " " " "
"4.diantara "Tanpa gejala "Sering ada "Gejala siang dan "
"serangan " "gejala "malam "
"5.Tidur dan "Tidak terganggu "Sering terganggu"Sangat terganggu "
"aktivitas "<3x/minggu ">3x/minggu " "
"6.Pemeriksaan "Normal, tidak "Mungkin "Tidak pernah "
"fisis "ditemukan "terganggu "normal "
"diluar serangan"kelainan "(ditemukan " "
" " "kelainan) " "
"7.Obat "Tidak perlu "Perlu, non "Perlu, steroid "
"pengendali " "steroid/ "inhalasi "
" " "steroid inhalasi"Dosis 400 "
" " "dosis "ụg/hari "
" " "100-200 ụg " "
"8.Uji faal paru"PEF/FEV1 >80% "PEF/FEV1 60-80% "PEF/FEV1 < 60% "
"(di luar " " "Variabilitas "
"serangan0 " " "20-30% "
"9.Variabilitas " 20% " 30% " 50% "
"faal paru " " " "
"(bila ada " " " "
"serangan) " " " "
2.7.1 Eksaserbasi (serangan) Asma
Eksaserbasi (serangan) asma adalah episode perburukan gejala-
gejala asma secara progresif. Gejala yang dimaksud adalah sesak napas,
batuk, mengi, dada rasa tertekan, atau berbagai kombinasi gejala tersebut.
Pada umumnya eksaserbasi disertai distres pernapasan. Serangan asma
ditandai oleh penurunan PEF atau FEV. Pengukuran ini lebih dapat dipercaya
daripada penilaian berdasarkan gejala. Sebaliknya. Derajat gejala lebih
sensitif untuk menunjukkan awal terjadinya eksaserbasi karena memberatnya
gejala biasanya mendahului perburukan PEF. Derajat serangan asma bervariasi
mulai dari ringan sampai berat yang mengancam jiwa. Perburukan dapat
terjadi dalam beberapa menit, jam, atau hari. Serangan akut biasanya timbul
akibat pajanan terhadap faktor pencetus (paling sering infeksi virus atau
allergen), sedangkan serangan berupa perburukan yang bertahap mencerminkan
kegagalan pengelolaan jangka panjang penyakit. Penilai derajat serangan
asma dapat dilihat pada tabel berikut: (3)
Tabel 2. Penilaian Derajat Serangan Asma(3)
"Parameter klinis, "Ringan "Sedang "Berat "Ancaman "
"Fungsi paru, " " " "henti napas "
"Laboraturium " " " " "
"Sesak (breathless) "Berjalan "Berbicara "Istirahat " "
" "Bayi : "Bayi : "Bayi : " "
" "Menangis "Tangis pendek"Tidak mau " "
" "keras "& lemah "minum / " "
" " "Kesulitan "makan " "
" " "menetek dan " " "
" " "makan " " "
"Posisi "Bisa "Lebih suka "Duduk " "
" "berbaring "Duduk "bertopang " "
" " " "lengan " "
"Bicara "Kalimat "Penggal "Kata-kata " "
" " "kalimat " " "
"Kesadaran "Mungkin "Biasanya "Biasanya "kebingungan "
" "irritable "irritable "Irritable " "
"Sianosis "Tidak ada "Tidak ada "Ada "Nyata "
"Wheezing "Sedang, "Nyaring, "Sangat "Sulit / "
" "sering "Sepanjang "nyaring, "Tidak "
" "hanya pada "ekspirasi "Terdengar "terdengar "
" "akhir "± inspirasi "tanpa " "
" "ekspirasi " "stateskop " "
"Penggunaan otot "Biasanya "Biasanya ya "Ya "Gerakan "
"Bantu respiratorik "tidak " " "paradox "
" " " " "Torako- "
" " " " "Abdominal "
"Retraksi "Dangkal, "Sedang, "Dalam, "Dangkal/ "
" "Retraksi "ditambah "ditambah "Hilang "
" "Interkosta "Retraksi "Napas " "
" " "suprasternal "cuping " "
" " " "Hidung " "
"Frekuensi napas "Takipnu "Takipnu "Takipnu "Bradipnu "
" "Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar: "
" "Usia "
" "frekuensi napas normal "
" "<2 bulan "
" "< 60 / menit "
" "2-12 bulan "
" "< 50 /menit "
" "1-5 tahun "
" "< 40 / menit "
" "6-8 tahun "
" "< 30 / menit "
"Frekuensi nadi "Normal "Takikardi "Takikardi "Bradikardi "
" "Pedoman nilai baku frekuesi nadi pada anak : "
" "Usia "
" "Frekuensi nadi normal "
" "2-12 bulan "
" "< 160 / menit "
" "1-2 tahun "
" "< 120 / menit "
" "3-8 tahun "
" "< 110 / menit "
"Pulsus paradoksus "Tidak ada "Ada "Ada "Tidak ada, "
" "<10 mmHg "10-20 mmHg ">20 mmHg "Tanda "
" " " " "kelelahan "
" " " " "Otot "
" " " " "respiratorik "
"PEFR atau FEV1 "(% Nilai "Nilai " " "
"Prabronkodilator "dugaan/ "terbaik) "<40% " "
"Pascabronkodilator ">60% "40-60% "<60% " "
" ">80% "60-80% "Respon < 2 " "
" " " "jam " "
"SaO2 % ">95% "91-95% " 90% " "
"PaO2 "Normal ">60 mmHg "< 60 mmHg " "
"PaCO2 "<45 mmHg "<45 mmHg ">45 mmHg " "
sumber: GINA 2006
Tatalaksana Asma
Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan
dan jangka panjan. Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk
menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan
potensi genetiknya. Secara lebih khusus tujuan yang ingin dicapai
adalah:(10)
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak,
termasuk bermain dan berolah raga.
2. Sedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak
terganggu)
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang
mencolok pada PEF.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga
hari, dan tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin
timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Tujuan tatalaksana saat serangan: (12)
- Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
- Mengurangi hipoksemia
- Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
- Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah
kekambuhan.
Apabila tujuan ini tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya
apakah perlu tingkat pengobatan dinaikkan (step up) atau bahkan perubahan
pengobatan atau bila tujuan telah tercapai dan stabil 1 – 3 bulan apakah
sudah perlu dilakukan penurunan pelan – pelan (step down).(10)
Syarat step up : (10)
1. Pengendalian lingkungan dan hal-hal yang memberatkan asma sudah
dilakukan.
2. Pemberian obat sudah tepat susunan dan caranya.
3. Tindakan 1 dan 2 sudah dicoba selama 4 -6 minggu.
4. Efek samping ICS (inhaled cortikosteroid) tidak ada.
ICS baru boleh dinaikkan.
Syarat step down : (13)
1. Pengendalian lingkungan harus tetap baik.
2. Asma sudah terkendali selama 3 bulan berturut-turut.
3. ICS hanya boleh diturunkan 25% setiap 3 bulannya sampai dengan dosis
terkecil yang masih dapat mengendalikan asmanya.
4. Bila step down gagal, perlu dicari sebabnya dan kalau sudah dikoreksi,
ICS dapat diturunkan bersama dengan penambahan LABA dan atau LTRA
Tatalaksana Medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda
(reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk
meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah
teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan
atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang
disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk
mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan
demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak
ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan yaitu 25
% setip penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu.(10)
Obat – obat Pereda (Reliever) (9)
1. Bronkodilator
a. Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada
anak. Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan,
alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar,
dan pankreas(12).
Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP
menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang
menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan
klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya
pelepasan mediator sel mast(12).
Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2
agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2, dan
α sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah,
palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi(12).
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek
bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama
pada jantung dan CNS(12).
β2 agonis selektif(12)
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum
5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 –
0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek
puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek
puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada
keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan
napas. Efek samping takikardi lebih sering terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB
setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit,
dilanjutkan dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala,
agitasi, palpitasi, dan takikardi.
b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi,
tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat
ini diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan
anticholinergick.(9)
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap
reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian
teofilin IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama.
Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi
teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine
didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu
ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism hati, sebagian besar
dieksresi bersama urin. (11)
Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :
1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam
> 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada
konsentrasi yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan
aritmia.(9)
2. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan
nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik.
Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam.(9)
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis :
untuk usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes.
Efek sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut.
Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka
panjang pada anak.(9)
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan:(9)
Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai
perbaikan yang cukup lama.
Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan
kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.
Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan
berat sebelumnya.
Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk
mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam.
Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau
triamsinolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari
selama 3 – 5 kali sehari.(9)
Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator.
Obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin,
menghambat sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil
dan leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas
vascular.(11)
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi
kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek
mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah
1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 –
6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB dilanjtkan 1
mg/kgBB/hari setiap 6 – 8 jam.(9)
Obat – obat Pengontrol (3,10)
Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik
glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist,
theofilin, cromones, dan long acting oral β2-agonist.
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling
efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi
awal dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan
dalam pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan.
Terapi pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu
mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut
dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru
dan hiperresponsif bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang
diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis,
mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi
terjadinya down regulation receptor β2 agonist. Dosis yang dapat digunakan
sampai 400ug/hari (respire anak). Efek samping berupa gangguan pertumbuhan,
katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut.
2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)
Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan
mungkin hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang
yang membandingkannya dengan steroid hirupan + LABA. Keuntungan memakai
LTRA adalah sebagai berikut :
LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil
leukotriane;
Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap
bronkokonstriktor;
Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction
Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali
per hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati;
sayangnya preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;
Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan
meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan
transforming growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan
terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta
diharapkan mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-
inflamator.
Ada 2 preparat LTRA :
a. Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1
kali sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg
qhs. (gina)
b. Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun
dengan dosis 10 mg 2 kali sehari.
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat
keparahan asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping
obat dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan transaminase) sehingga
perlu pemantauan fungsi hati.
3. Long acting β2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol.
Pemberian ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi
serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral,, menurunnya
hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi ICS dan LABA sudah ada
dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol
(Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI
sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat
dan meningkatkan kepatuhan memakai obat.
4. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama
kortikosteroid yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis
pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah
daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala,
stimulasi ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare,
dan jarang, perdarahan lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari
10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis inisial
5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.
4. Terapi Suportif (9)
a. Terapi oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula
hidung, masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen,
sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).
b. Campuran Helium dan oksigen
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit
sebagai tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan
nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon IV, secara bermakna menurunkan
pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan mengurangi sesak. Campuran
helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi karena helium bersifat
ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen menjadi laminar dan
menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.
c. Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang
adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea
serta efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati kareana
pada asma berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH)
yan memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif
tinggi pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru.
Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.
5. Cara Pemberian Obat(10)
"UMUR "ALAT INHALASI "
"< 2 tahun "Nebuliser, Aerochamber, babyhaler "
"2-4 tahun "Nebuliser, Aerochamber, babyhaler "
" "Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler) dengan"
" "alat perenggang (spacer) "
"5-8 tahun "Nebuliser "
" "MDI dengan spacer "
" "Alat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler, "
" "Rotahaler, Turbuhaler) "
">8 tahun "Nebuliser "
" "MDI (metered dose inhaler) "
" "Alat Hirupan Bubuk "
" "Autohaler "
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangu deposisi obat dalam
mulut (orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga
mengurangi efek sistemik. Sebaliknya, deposisi dalamm paru lebih baik
sehingga didapat efek terapeutik yang lebih baik. Obat hirupan dalam bentuk
bubuk kering (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler) memerlukan
inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.
Sebagian alat bantu yaitu Spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber,
Babyhaler, Autohaler) dapat dimodifikasi dengan menggunakan bekas gelas
atau botol minuman atau menggunakan botol susu dengan dot susu yang telah
dipotong untuk anak kecil dan bayi.
Prevensi dan Intervensi Dini (10)
- Pengendalian lingkungan : menghindarkan anak dari asap rokok, tidak
memelihara hewan berbulu, memperbaiki ventilasi ruangan, mengurangi
kelembaban kamar untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan
tungau.
- Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan
- Menghindari makanan berpotensi alergen
DAFTAR PUSTAKA
1. Direktorat Jenderal PP & PL, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI ;2007; 1-
45.
2. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2010. h.71-83.
3. Nataprawira HMD. Diagnosis Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.105-18.
4. Hassan R, Husein Alatas, dkk. ASMA. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak
jilid 3. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia ; 1985. h.1203-28.
5. Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science
(USA);2003.
6. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak.
dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar
Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008.
h.85-96.
7. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.98-104.
8. Pusponegoro HD, Hadinegoto SRS, Firmanda D, Pujiadi AH,Kosem MS,
Rusmil K, dkk, penyunting. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2005.
9. Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.120-32.
10. Rahajoe N. Tatalaksana Jangka Panjang Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.134-46.
11. Suherman SK. Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid,
Analog Sintetik dan Antagonisnya. dalam: Gunawan SG, penyunting.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008.
h. 496-500.
12. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak.
Jakarta: UKK Pulmonologi PP IDAI; 2009.
-----------------------
Gejala
Faktor Risiko
Hiperaktivitas Bronkus
Obstruksi Bronkus
Faktor Risiko
Faktor Risiko
Inflamasi