Indra penciuman dan pengecapan tergolong ke dalam system penginderaan kimia (chemosensation). Proses yang kompleks dari mencium dan mengecap di mulai ketika molekul – – molekul molekul dilepaskan oleh substansi di sekitar kita yang menstimulasi sel syaraf khusus dihidung, mulut atau tenggorokan. Sel – sel sel ini menyalurkan pesan ke otak, dimana bau dan rasa khusus di identifikasi. Sel – sel olfaktori (saraf penciuman) di stimulasi oleh bau busuk di sekitar kita. Contoh aroma dari da ri mawar adonan pada roti. ro ti. Sel – sel sel saraf ini ditemukan di sebuah tambahan kecil dari jaringan terletak diatas hidung bagian dalam, dan mereka terhubung secara langsung ke otak penciuman (olfaktori) terjadi karena adanya molekulmolekul yang menguap dan masuk kesaluran hidung dan men genal olfactory membrane. Manusia memiliki kira – kira kira 10.000 sel reseptor berbentuk rambut. Bila molekul udara masuk, maka sel – sel sel ini mengirimkan impuls saraf (Loncent, 1988). Pada mekanisme terdapat gangguan atau kerusakan dari sel – sel sel olfaktorus menyebabkan reseptor dapat mengirimkan impuls menuju susunan saraf pusat. Ataupun terdapat kerusakan dari sarafnya sehingga tidak dapat mendistribusikan impuls reseptor menuju efektor, ataupun terdapat kerusakan dari saraf pusat di otak sehingga tidak dapat menterjemahkan informasi impuls yang masuk. Influenza, rhinitis
Laringothomi / trakheotomi
Sekresi mucus yang berlebihan
Aliran udara ke hidung kuran
Obstruksi saluran
Berlangsung lama
Trauma pada hidung dan kelainan konginetal pada hidung
Rusak/hilang nya struktur saraf penghidu
Toksisitas dari obat atau bahan kimia
Dekongestan jangka panjang
Perubahan sensitivitas pada bau
vasodilatasi
Transudasi sekret Rinore
HIPOSMIA ( penurunan fun fun si enciu enciuma man n
Anosmia ( hilangnya sensasi penciuman )
Patofisiologi Epistaksis
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma. Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu (Rambe,2006): 1. Epistaksis anterior Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan. 2. Epistaksis posterior Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Thornton (2005) melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari dinding nasal lateral.
Rambe, Andrina Y.M., Delfitri Munir, Yuritna Haryono. 2006. Epistaksis. Diambil dari http://repository.usu.ac.pdf Pada tanggal 26 November 2014 pukul 3:07 pm