Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi ke-5
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi ke-5
Editor:
Herry Garna Heda Melinda Nataprawira
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin 2014
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi ke-5 ISBN: 978-602-71594-0-2 Edisi pertama : 1993 Edisi kedua : 2000 Edisi ketiga : 2005 Edisi keempat : 2012 Edisi kelima : 2014 Cetakan pertama, November 2014 Editor: Herry Garna Heda Melinda Nataprawira Penerbit: Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin Redaksi: Jl. Pasteur No. 38 Bandung 40161 Telp. 022-2035957; Fax. 022-2035957 e-mail:
[email protected] Cerita sampul depan Milikilah keceriaan anak-anak Cerita sampul belakang Tahapan tumbuh kembang anak sejak lahir sampai usia remaja DILARANG KERAS MENGUTIP ISI BUKU INI SEBAGIAN ATAU KESELURUHAN DALAM BENTUK APAPUN TANPA SEIZIN PENERBIT HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG NO. 19 TAHUN 2002 PASAL 72
Pengetikan dan Tataletak: Agus Chalid Rancang Grafis: Tim Kreatif Mahestra Media Komunika Dedi Mulyadi, Firman Andriansyah
KONTRIBUTOR Abdurachman Sukadi Divisi Neonatologi
Djatnika Setiabudi Divisi Infeksi & Penyakit Tropis
Adi Utomo Suardi Divisi Respirologi
Dwi Prasetyo Divisi Gastrohepatologi
Ahmedz Widiasta Divisi Nefrologi
Dzulfikar DLH Divisi Emergensi & Rawat Intensif Anak
Alex Chairulfatah Divisi Infeksi & Penyakit Tropis
Eddy Fadlyana Divisi Tumbuh Kembang Pediatri Sosial
Anggraini Alam Divisi Infeksi & Penyakit Tropis Aris Primadi Divisi Neonatologi
Enny Harliani Alwy Divisi Emergensi & Rawat Intensif Anak
Armijn Firman Divisi Kardiologi
Faisal Divisi Endokrinologi
Azhali Manggus Sjahrodji Divisi Infeksi & Penyakit Tropis
Fiva Aprilia Kadi Divisi Neonatologi
Budi Setiabudiawan Divisi Alergi Imunologi
Gartika Sapartini Divisi Alergi Imunologi
Cissy B. Kartasasmita Divisi Respirologi
Harry Raspati Achmad Divisi Hematologi-Onkologi
Dadang Hudaya Somasetia Divisi Emergensi & Rawat Intensif Anak
Heda Melinda Nataprawira Divisi Respirologi Herry Garna Divisi Infeksi & Penyakit Tropis
Dany Hilmanto Divisi Nefrologi
Iesje Martiza Sabaroedin Divisi Gastrohepatologi
Dedi Rachmadi Sjambas Divisi Nefrologi
Julistio T.B. Djais Divisi Nutrisi & Penyakit Metabolik
Dewi Hawani Divisi Neurologi Diah Asri Wulandari Divisi Respirologi
Kusnandi Rusmil Divisi Tumbuh Kembang Pediatri Sosial
Dida Achmad Gurnida Divisi Nutrisi & Penyakit Metabolik v
Lelani Reniarti Divisi Hematologi-Onkologi
Riyadi Divisi Infeksi & Penyakit Tropis
Meita Dhamayanti Divisi Tumbuh Kembang Pediatri Sosial
Rodman Tarigan Divisi Tumbuh Kembang Pediatri Sosial
Mia Milanti Dewi Divisi Neurologi
Sjarief Hidayat Effendi Divisi Neonatologi
Nanan Sekarwana Divisi Nefrologi
Sri Endah Rahayuningsih Divisi Kardiologi
Nelly Amalia Risan Divisi Neurologi
Sri Sudarwati Divisi Respirologi
Novina Andriana Divisi Endokrinologi
Stanza Uga Peryoga Divisi Emergensi & Rawat Intensif Anak
Nur Suryawan Divisi Hematologi-Onkologi
Susi Susanah Divisi Hematologi-Onkologi
Ponpon Idjradinata Divisi Hematologi-Onkologi
Tetty Yuniati Divisi Neonatologi
Purboyo Solek Divisi Neurologi R.M. Ryadi Fadil Divisi Endokrinologi
Tisnasari Hafsah Divisi Nutrisi & Penyakit Metabolik
Rahmat Budi Divisi Kardiologi
Yudith Setiati Ermaya Divisi Gastrohepatologi
Reni Ghrahani Divisi Alergi Imunologi
vi
SAMBUTAN KEPALA DEPARTEMEN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN/ RSUP Dr. HASAN SADIKIN Mengingat peran dan fungsi RSUP Dr. Hasan Sadikin sebagai rumah sakit rujukan dan pendidikan, maka Buku Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi ke-5 ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pegangan atau tuntunan bagi tenaga medis dan peserta didik dalam pelayanannya di bidang kesehatan anak. Seiring dengan kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu kedokteran, sejak tahun 1993 sampai dengan sekarang Buku Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak ini sudah mengalami 5 kali revisi. Dengan diterbitkannya Buku Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi ke-5 diharapkan dapat digunakan sebagai panduan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak agar dapat memberikan pelayanan kesehatan yang lebih profesional dan efisien. Kepada seluruh Staf Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unpad/RSUP Dr. Hasan Sadikin dan Tim Editor, saya mengucapkan terima kasih atas jerih payahnya dalam menyusun dan menerbitkan buku ini. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan petunjuk-Nya kepada kita semua. Amin.
Bandung, November 2014 Dr. Djatnika Setiabudi, dr., Sp.A(K), MCTM
vii
SAMBUTAN DIREKTUR UTAMA RSUP Dr. HASAN SADIKIN Dengan diterbitkannya buku Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi ke-5 dari Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Unpad/RSUP Dr. Hasan Sadikin, merupakan langkah maju yang dicapai dalam upaya meningkatkan pelayanan medik khususnya di RSUP Dr. Hasan Sadikin. Buku Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak berisi standar terbaru yang dapat digunakan dalam penatalaksanaan penderita anak agar pelayanan yang diberikan memenuhi mutu yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini juga sebagai antisipasi Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan pada Pasal 32 Ayat 3 yang berbunyi bahwa “Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan”. Dengan terbitnya buku Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak ini diharapkan para penyelenggara pelayanan kesehatan dapat menjalankan tugasnya dengan lebih baik dan profesional. Kita menyadari bahwa buku ini masih belum sempurna, meskipun demikian setidaknya dapat digunakan sebagai acuan dan diharapkan di masa yang akan datang buku Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi ke-5 ini masih terus ditinjau dan diperbaiki secara berkala sesuai dengan teknologi dan perkembangan ilmu kedokteran, khususnya ilmu kesehatan anak.
Bandung, November 2014 dr. Ayi Djembarsari, MARS
viii
SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN Assalamu ‘alaikum wr. wb. Kami menyambut baik diterbitkannya Buku Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi ke-5. Penerbitan buku ini merupakan cermin komitmen yang terus-menerus untuk memberikan kontribusi nyata dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan anak yang berbasis bukti-bukti ilmiah di Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin. Keberadaan buku ini dapat memberi manfaat langsung bagi para dokter umum dan dokter spesialis anak dalam menjalankan tugas pengabdiannya. Buku ini juga diharapkan dapat menjembatani kasuskasus yang sering ditemukan dan bersifat kontroversial dalam praktik sehari-hari sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran. Kami sampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada para penyusun dan kontributor buku ini. Semoga buku ini bermanfaat serta memberikan kemaslahatan bagi kita semua. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. Bandung, November 2014 Prof. Dr.med. Tri Hanggono Ahmad, dr.
ix
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah swt. yang pada akhirnya setelah sekian lama kami berhasil menyusun Buku Pedoman Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi ke-5 yang merupakan revisi dan pengkinian dari edisi ke-4 tahun 2012. Buku Pedoman Diagnosis dan Terapi ini disusun berdasarkan filosofi medicine is never ending study. Pada edisi ini disusun lebih terperinci dalam menjelaskan suatu penyakit dan penatalaksanaannya supaya lebih mudah dipahami oleh mahasiswa kedokteran, dokter umum, peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis, atau dokter spesialis anak yang bekerja baik di senter pendidikan maupun daerah. Ilmu kedokteran semakin berkembang dengan pesat sehingga edisi ke-5 disusun berdasarkan kajian bukti penelitian terakhir, sehingga mengikuti kemajuan ilmu kedokteran khususnya ilmu kesehatan anak. Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh kontributor yang telah membantu terbitnya buku ini. Kami menyadari bahwa buku ini tidak luput dari berbagai kekurangan dan keterbatasan. Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan edisi berikutnya. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan ilmu kesehatan anak di Indonesia dalam upaya meningkatkan kualitas kesehatan anak Indonesia.
Bandung, November 2014 Tim Editor
x
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR KONTRIBUTOR ................................................................. v SAMBUTAN KEPALA DEPARTEMEN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN/ vii RSUP Dr. HASAN SADIKIN .............................................................. SAMBUTAN DIREKTUR UTAMA RSUP Dr. HASAN SADIKIN ........... viii SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN ......................................................... ix KATA PENGANTAR ........................................................................ x DAFTAR ISI ..................................................................................... xi DAFTAR TABEL .............................................................................. xviii DAFTAR GAMBAR .......................................................................... xxvii ALERGI IMUNOLOGI Anafilaksis ..................................................................................... Juvenile Idiophatic Arthritis ........................................................... Lupus Eritematosus Sistemik ........................................................ Purpura Henoch-Schönlein ........................................................... Sarkoidosis .................................................................................... Skleroderma .................................................................................. Juvenile Dermatomyositis ............................................................. Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik ......... Alergi Obat .................................................................................... Konjungtivitis Vernalis .................................................................. Konjungtivitis Alergi ...................................................................... Dermatitis Atopi ............................................................................ Rinitis Alergi .................................................................................. Urtikaria/Angioedema .................................................................. EMERGENSI & RAWAT INTENSIF ANAK Resusitasi Kardiopulmonal Otak ................................................... Gagal Napas pada Anak ................................................................ Terapi Oksigen .............................................................................. Ventilasi Mekanik .......................................................................... Sindrom Disfungsi Organ Multipel (SDOM) .................................. Terapi Cairan Parenteral ............................................................... Tatalaksana Gangguan Elektrolit Emergensi ................................. Gangguan Asam-Basa ................................................................... Renjatan ........................................................................................ Tatalaksana Sepsis Berat dan Renjatan Sepsis dengan Pedoman Early Goal-Directed Therapy ......................................... Keracunan ..................................................................................... Keracunan Alkohol .................................................................... Keracunan Jengkol .................................................................... Keracunan Singkong ................................................................. xi
3 10 26 41 50 53 58 61 66 73 75 77 80 90 97 112 118 123 130 136 141 145 155 163 172 176 177 179
Keracunan Tempe Bongkrek ..................................................... Keracunan Minyak Tanah ......................................................... Keracunan Insektisida ............................................................... Fosfat Organik ...................................................................... Chlorinated Hydrocarbon ..................................................... Keracunan Salisilat .................................................................... Sedasi dan Analgesia ..................................................................... Transpor Penderita Anak Sakit Kritis .............................................
180 181 183 183 184 185 187 205
ENDOKRINOLOGI Kriptorkismus (Cryptorchidism) .................................................... Mikropenis .................................................................................... Pubertas Prekoks .......................................................................... Pubertas Terlambat ...................................................................... Hipotiroid ...................................................................................... Hipertiroid ..................................................................................... Penyakit Grave Neonatus ............................................................. Perawakan Pendek Akibat Gangguan Endokrin ............................ Diabetes Melitus (DM) .................................................................. Diabetes Melitus Tipe 1 ............................................................ Hipoglikemia pada DM ............................................................. Ketoasidosis Diabetikum (KAD) ................................................ Osteogenesis Imperfecta .......................................................... Disorder of Sex Development (DSD) .......................................... Hiperplasia Adrenal Kongenital ................................................
215 218 222 224 226 232 234 236 247 247 251 254 262 266 273
GASTROHEPATOLOGI Abdomen Akut .............................................................................. Cholestatis Jaundice (Kolestatis) ................................................... Diare Akut ..................................................................................... Hepatitis Akut ............................................................................... Hepatitis Kronik ............................................................................. Hipokalemia .................................................................................. Hiperkalemia ................................................................................. Hipernatremia ............................................................................... Hiponatremia ................................................................................ Infeksi Helicobacter pylori ............................................................. Koma Hepatikum .......................................................................... Obstruksi Saluran Cerna ................................................................ Perdarahan Saluran Cerna ............................................................ Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas .................................... Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah ................................ Sindrom Reye ................................................................................
279 284 288 298 300 302 305 310 312 315 317 321 323 323 327 335
HEMATOLOGI ONKOLOGI Anemia Defisiensi Besi .................................................................. Anemia Megaloblastik .................................................................. Anemia Aplastik ............................................................................ Thalassemia .................................................................................. Idiophatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) ................................. Hemofilia .......................................................................................
339 343 346 350 355 358
xii
Koagulasi Intravaskular Difusa (KID) ............................................. Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) ................................................. Leukemia Nonlimfoblastik Akut (LNLA) ........................................ Leukemia Mieloid Kronik (LMK) .................................................... Limfoma Non-Hodgkin .................................................................. Penyakit Hodgkin (Limfoma Hodgkin) ........................................... Neuroblastoma ............................................................................. Tumor Wilm (Nefroblastoma) ....................................................... Rabdomiosarkoma ........................................................................ Sarkoma Ewing .............................................................................. Osteosarkoma ............................................................................... Hepatoma ..................................................................................... Retinoblastoma ............................................................................ INFEKSI & PENYAKIT TROPIS Infeksi Bakteri ............................................................................... Demam Enterik: Demam Tifoid dan Demam Paratifoid ........... Difteria ...................................................................................... Staphylococcal Toxic Shock Syndrome ...................................... Streptococcal Toxic Shock-Like Syndrome ................................. Tetanus ..................................................................................... Tetanus Neonatorum ............................................................... Pertusis ..................................................................................... Meningitis Bakterialis ............................................................... Demam Skarlet (Skarlatina) ...................................................... Antraks ..................................................................................... Lepra ......................................................................................... Artritis Septik ............................................................................ Osteomielitis ............................................................................. Febrile Neutropenia .................................................................. Ebola Virus Disease ....................................................................... Sepsis ............................................................................................ Sepsis Bakterial ............................................................................. Terapi Antimikrob ......................................................................... Infeksi Virus ................................................................................... Infeksi Virus Dengue ................................................................. Human Immunodeficiency Virus (HIV) ...................................... Chikungunya ............................................................................. Rubela ....................................................................................... Morbili ...................................................................................... Varisela dan Herpes Zoster ....................................................... Herpes Simpleks ....................................................................... Influenza A H5N1 (Avian Influenza) .......................................... Influenza ................................................................................... Influenza A H1N1 (Swine Influenza) .......................................... Mumps (Parotitis Epidemika) ................................................... Mononukleosis Infeksiosa ........................................................ Cytomegalovirus ....................................................................... Hand, Foot, and Mouth Diseases .............................................. Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV) ............................................................................... xiii
363 368 372 377 380 383 386 391 396 398 400 403 406 411 411 415 421 423 424 428 430 435 441 442 445 448 450 452 454 458 465 468 485 485 493 497 499 501 503 507 508 512 513 517 519 521 522 524
Fever of Unknown Origin (FUO) .................................................... Infeksi Parasit ................................................................................ Penyakit Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah ....................... Askariasis .............................................................................. Ankilostomiasis ..................................................................... Trikuriasis ............................................................................. Malaria ...................................................................................... Amebiasis .................................................................................. Toksoplasmosis ......................................................................... Filariasis .................................................................................... Leptospirosis ............................................................................. Infeksi Jamur ................................................................................. Infeksi Jamur Sistemik .............................................................. Histoplasmosis ...................................................................... Infeksi Rumah Sakit (Health Care-Associated Infection) ............... Infeksi pada Luka Bakar ................................................................ Infeksi Jaringan Lunak ................................................................... KARDIOLOGI Klasifikasi Penyakit Jantung pada Anak ......................................... Penyakit Jantung Bawaan ......................................................... Defek Septum Atrium (Atrial Septal Defect/ASD) ................. Defek Septum Ventrikel (Ventricular Septal Defect/VSD) .... Defek Septum Atrioventrikularis (Endocardial Cuchion Defect, AV Canal Defect) ......................................... Duktus Arteriosus Persisten (Patent Ductus Arteriosus/PDA) .................................................................... Stenosis Pulmonal (Pulmonary Stenosis/PS) ........................ Koarktasio Aorta ................................................................... Stenosis Aorta ....................................................................... Tetralogi Fallot (TF) ............................................................... Serangan Sianosis (Cyanotic Spell, Hupoxic Spell) ................ Atresia Pulmonal dengan Defek Septum Ventrikel .............. Atresia Pulmonal tanpa Defek Septum Ventrikel ................. Atresia Trikuspid ................................................................... Double Output Right Ventricle (DORV) ................................. Transposisi Arteri Besar ........................................................ Total Anomalous Pulmonary Venous Return dengan/Tanpa Obstruksi ...................................................... Trunkus Arteriosus Persisten ................................................ Anomali Ebstein .................................................................... Hypoplastic Left Heart Syndrome ......................................... Gagal Jantung ................................................................................ Renjatan Kardiogenik ................................................................ Henti Jantung ............................................................................ Kardiomiopati ............................................................................... Kardiomiopati Hipertrofi ........................................................... Kardiomiopati Hipertrofi Obstruksi (Hypertrophy Obstruction Cardiomyopathy/HOCM) ...................................... Kardiomiopati Dilatasi atau Kongesti ........................................ Kardiomiopati Restriktif ............................................................ xiv
528 531 531 531 531 532 533 536 540 542 545 548 548 548 551 552 554 557 558 558 562 566 566 570 570 571 573 575 578 578 579 579 580 582 583 584 584 586 592 595 598 598 599 600 602
Demam Reumatik Akut (DRA) ....................................................... Penyakit Jantung Reumatik (PJR) ............................................. Endokarditis Infektif ..................................................................... Miokarditis ................................................................................... Perikarditis ................................................................................... Penyakit Kawasaki ........................................................................ Hipertensi Pulmonal ..................................................................... Disritmia Jantung ..........................................................................
605 609 612 620 622 625 631 638
NEFROLOGI Dialisis Peritoneal ......................................................................... Gangguan Ginjal Akut ................................................................... Glomerulonefritis Akut Pascastreptokokus .................................. Hipertensi ..................................................................................... Infeksi Saluran Kemih (ISK) ........................................................... Keracunan Jengkol pada Anak ...................................................... Penyakit Ginjal Kronik (PGK) ........................................................ Sindrom Nefrotik ......................................................................... Uropati Obstruktif ........................................................................
647 650 656 662 667 676 679 686 692
NEONATOLOGI Terminologi Neonatologi .............................................................. Asfiksia pada Neonatus ................................................................ Hipotermia .................................................................................... Hipoglikemia ................................................................................. Hipokalsemia ................................................................................ Masalah Gangguan Pernapasan .................................................... Transient Tachypnea of the Newborn ....................................... Sindrom Aspirasi Mekonium ..................................................... Pneumonia pada Neonatus ...................................................... Sindrom Distres Pernapasan/Respiratory Distress Syndrome (RDS) ........................................................................ Apnea ........................................................................................ Syok pada Neonatus ..................................................................... Pemberian Nutrisi ......................................................................... Nutrisi Enteral pada Neonatus ................................................. Nutrisi Parenteral pada Neonatus ............................................ Enterokolitis Nekrotikans (EKN) ................................................... Sepsis pada Neonatus .................................................................. Kejang pada Neonatus .................................................................. Masalah Hematologi Neonatus .................................................... Anemia ..................................................................................... Polisitemia ................................................................................ Penyakit Perdarahan pada Neonatus (Hemorrhagic Disease of the Newborn/HDN) ................................................................... Ikterus Neonatorum ..................................................................... Kelainan Kongenital ...................................................................... Prinsip Umum Pengelolaan Gawat Darurat dan Rujukan Neonatus ....................................................................................... Stabilisasi Neonatus Pascaresusitasi ............................................. xv
699 700 706 710 715 719 719 721 724 727 729 733 736 736 738 744 748 752 754 754 759 762 764 772 776 784
NEUROPEDIATRI Kejang Demam (KD) ...................................................................... Epilepsi .......................................................................................... Status Epileptikus .......................................................................... Ensefalitis Herpes Simpleks .......................................................... Abses Otak .................................................................................... Tuberkulosis pada Susunan Saraf Pusat ........................................ Autism Spectrum Disorders (ASD) ................................................. Autism Disorder ........................................................................ Rett’s Disorder .......................................................................... Pervasive Developmental Disorder-not Otherwise Specified (PDD-NOS) ................................................................. Childhood Disintegrative Disorder (CDD) .................................. Retardasi Mental (RM, Intelectual Disabilities) ............................. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) .......................... Sindrom Guillain-Barre (Acute Inflammatory Polyradiculoneuropathy/Acute Ascending Paralysis) .................... Palsi Serebral (Cerebral Palsy/CP) ................................................. Rabies (Hidrofobia) ....................................................................... NUTRISI & PENYAKIT METABOLIK Kurang Energi Protein (KEP) .......................................................... Perhitungan Energi dan Protein untuk Kejar Tumbuh dan untuk Anak Sakit Berat .................................................................. Rawat Gabung ............................................................................... Defisiensi Vitamin A (Xeroftalmia) ................................................ Phenylketonuria (PKU) .................................................................. Hiperkolesterolemia Familial ........................................................ Nutrisi Enteral ............................................................................... Nutrisi Parenteral .......................................................................... Diet pada Penyakit Ginjal Kronik ................................................... RESPIROLOGI Rinitis (Common Cold) ................................................................... Rinosinusitis .................................................................................. Faringitis Akut ............................................................................... Otitis Media Akut .......................................................................... Sindrom Croup .............................................................................. Bronkiektasis ................................................................................. Bronkitis ........................................................................................ Bronkitis Akut ........................................................................... Bronkitis Kronik ......................................................................... Bronkiolitis .................................................................................... Pneumonia .................................................................................... Recurrent Pneumonia ................................................................... Hospital Acquired Pneumonia ....................................................... Empiema ....................................................................................... Pneumotoraks ............................................................................... Abses Paru .................................................................................... Emboli Paru ................................................................................... xvi
793 798 804 807 809 811 814 814 817 820 821 823 828 831 835 845 851 866 869 874 876 878 881 886 893 901 903 907 909 911 920 925 925 926 928 932 944 946 950 957 961 964
Tuberkulosis .................................................................................. 971 Asma ............................................................................................. 991 Asma di Bawah Usia 5 Tahun ........................................................ 1005 Malformasi Kongenital Paru (Congenital Pulmonary Malformations) ............................................................................. 1014 Laringomalasia .............................................................................. 1018 TUMBUH KEMBANG PEDIATRI SOSIAL Pemeriksaan Bayi/Anak Sehat ...................................................... Penilaian Pertumbuhan dan Perkembangan ................................ Pertumbuhan ............................................................................ Perkembangan .......................................................................... Penapisan Gangguan Pertumbuhan Linier .................................... Tim Tumbuh Kembang FK Unpad/RSHS Bandung ......................... Beberapa Gangguan Perkembangan yang Sering Terjadi ............. Enuresis ..................................................................................... Enkopresis ................................................................................. Pemberian Makanan Bayi ............................................................. Imunisasi ....................................................................................... Remaja ..........................................................................................
1023 1024 1024 1030 1087 1088 1089 1089 1090 1090 1091 1098
NILAI NORMAL PADA BAYI DAN ANAK ........................................ 1109
xvii
DAFTAR TABEL Tabel
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
29 30 31
Halaman
Pemeriksaan Fisis yang Dapat Ditemukan pada Reaksi Anafilaksis ......................................................... Kriteria Diagnostik Anafilaksis ............................................... Klasifikasi Anafilaksis ............................................................. Klasifikasi JIA Revisi Kedua Menurut Kriteria Edmonton 2001 ..................................................................... Gambaran JIA berdasarkan Subtipe ...................................... NSAIDs yang Telah Disetujui US FDA ..................................... Berbagai Disease-Modifying Antirheumatic Drugs (DMARDs) dalam Terapi JIA .................................................. Obat-obatan pada Penatalaksanaan JIA ............................... Pemantauan Penggunaan Obat-obatan JIA .......................... Kriteria Progresivitas JIA Menurut ACR (Steinbrocker) ......... Manifestasi Klinis LES ............................................................ Kriteria Diagnosis LES Menurut American College of Rheumatology (ACR) ............................................................. Penyesuaian Dosis Protokol Siklofosfamid (CYC) pada Beberapa Keadaan ................................................................ Klasifikasi Skleroderma ......................................................... Kriteria Diagnosis Bohan dan Peter ....................................... Terapi Juvenile Dermatomyositis .......................................... Klasifikasi Reaksi Eksfoliatif Kulit ........................................... Heterogenisitas Reaksi Alergi yang Diinduksi Obat ............... Desensitisasi Oral untuk Penisilin G ...................................... Desensitisasi Parenteral untuk Penisilin G ............................ Kriteria Diagnostik Dermatitis Atopik Menurut Hanifin dan Rajka .................................................................. Kriteria Diagnosis berdasarkan UK Working Party ................ Efek Pengobatan Gejala Rinitis .............................................. Jenis-jenis Kortikosteroid yang Dapat Digunakan pada Anak .............................................................................. Jenis-jenis Antihistamin yang Dapat Digunakan pada Anak .............................................................................. Indikasi SCIT dan SLIT ............................................................ Klasifikasi Urtikaria dan Angioedema berdasarkan Etiopatofisiologi .................................................................... Perbandingan Pedoman Resusitasi Jantung Paru dan Perawatan Kardiovaskular Emergensi pada Bantuan Hidup Dasar Menurut American Heart Association 2005 dan American Heart Association 2010 .................................. Etiologi Gagal Napas .............................................................. Tipe Gagal Napas ................................................................... Penilaian Klinis Gagal Napas Akut ......................................... xviii
4 5 6 11 12 16 17 18 19 20 27 28 46 53 58 59 61 67 69 70 78 78 82 84 84 86 90
107 112 113 115
32 Keuntungan dan Kerugian Kanula Nasal ............................... 33 Perkiraan FiO2 dengan Mempergunakan Alat Pemberian Oksigen Aliran Rendah .......................................................... 34 Penyesuaian Setting Ventilator berdasarkan Perubahan AGD ..................................................................... 35 Indikasi Penyapihan .............................................................. 36 Setting Awal Ventilator berdasarkan Kelainan Pulmonal ...... 37 Pediatric Logistic Organ Dysfunction (PELOD) Score ............. 38 Komposisi Cairan Tubuh ........................................................ 39 Rumus 4−2−1 untuk Kebutuhan per Jam .............................. 40 Rumus 100–50–20 untuk Kebutuhan per Hari ...................... 41 Kebutuhan Cairan berdasarkan Usia ..................................... 42 Contoh Terapi Cairan ............................................................ 43 Perbandingan Kadar Elektrolit Cairan NaCl 0,9%, Ringer Laktat, dan Ringer Asetat ........................................... 44 Kadar Natrium di Dalam Cairan Infus .................................... 45 Gejala dan Tanda Asidosis Respiratorik ................................ 46 Gejala dan Tanda Alkalosis Respiratorik ............................... 47 Gejala dan Tanda Asidosis Metabolik ................................... 48 Gejala dan Tanda Alkalosis Metabolik ................................... 49 Nilai Normal Gas Darah ......................................................... 50 Petunjuk dan Makna Kelainan dalam Interpretasi Analisis Gas Darah ................................................................. 51 Pemberian Antibiotik pada Renjatan Septik ......................... 52 Dosis Arang Aktif ................................................................... 53 Dosis Laktulosa ...................................................................... 54 Skala Ramsay ......................................................................... 55 Skala COMFORT ..................................................................... 56 Obat Analgesik dan Sedasi pada Penderita yang Membutuhkan Analgesia ...................................................... 57 Sistem Skor Aldrete Recovery Modifikasi (Pascaprosedur Sedasi Analgesia) ................................................................... 58 Teknik Sedasi pada Berbagai Prosedur Invasif dan Noninvasif pada Anak ............................................................ 59 Obat yang Biasa Digunakan untuk Sedasi di PICU ................. 60 Faktor Hormonal dan Mekanik ............................................. 61 Ukuran Penis berdasarkan Usia ............................................ 62 Skoring Hipotiroid Kongenital ............................................... 63 Dosis Penggantian Na L-tiroksin pada Bayi dan Anak ........... 64 Terapi Hipoglikemia .............................................................. 65 Cara Rehidrasi Cairan untuk Berat Badan 30 kg .................... 66 Algoritme Perubahan Dosis Insulin ....................................... 67 Klasifikasi Osteogenesis Imperfecta ...................................... 68 Nomenklatur DSD yang Direvisi ............................................ 69 Klasifikasi DSD ....................................................................... 70 Diagnosis Banding Nyeri Abdomen Akut Menurut Usia ........ xix
119 121 126 127 128 134 136 137 137 138 139 140 141 147 148 149 151 152 153 160 174 175 188 188 192 193 195 198 215 220 228 230 253 256 259 263 266 267 280
71 Empat Kriteria Klinis Terpenting untuk Membedakan Kolestasis Intrahepatik dengan Ekstrahepatik ...................... 72 Tes Fungsi Hati Cholestasis Jaundice ..................................... 73 Tanda dan Gejala Klinis Dehidrasi ......................................... 74 Pemberian Antibiotik ............................................................ 75 Penyebab Kehilangan Kalium ................................................ 76 Obat-obatan pada Manajemen Hiperkalemia Akut .............. 77 Pemeriksaan Lain yang Menunjang Diagnosis Helicobacter pylori ................................................................ 78 Pilihan Obat Terapi Tripel pada Infeksi Helicobacter pylori ..................................................................................... 79 Stadium Koma Hepatikum .................................................... 80 Penyebab Tersering Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas ............................................................................ 81 Klasifikasi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas berdasarkan Usia, Keadaan Umum Anak, dan Kecepatan Perdarahan .......................................................... 82 Penyebab Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah ............ 83 Diagnosis Banding berdasarkan Tipe Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah Secara Klinis ............................ 84 Klasifikasi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah berdasarkan Usia, Keadaan Umum Anak, dan Kecepatan Perdarahan .......................................................... 85 Dosis dan Lama Pemberian Suplementasi Besi ..................... 86 Rekomendasi Target Kadar Plasma Faktor VIII dan IX serta Lama Pemberian .......................................................... 87 Kondisi yang Dapat Menyebabkan KID ................................. 88 Sistem Skoring untuk Diagnosis KID Menurut the International Society on Thrombosis and Haemostasis (ISTH) ............................................................................................ 89 Sistem Skoring untuk Diagnosis KID Menurut Japanese Association for Acute Medicine ............................................. 90 Sistem Staging untuk Tumor Wilms ...................................... 91 Regimen Kemoterapi Tumor Wilms berdasarkan NWTSG dan SIOP ................................................................... 92 Klasifikasi Rabdomiosarkoma berdasarkan Sistem Kelompok Menurut the Intergroup Rhabdomyosarcoma Study (IRS) ..... 93 Klasifikasi Osteosarkoma berdasarkan Respons Histologik Sesudah Kemoterapi Preoperatif .......................................... 94 Stadium Retinoblastoma berdasarkan Sistem ReeseEllsworth ............................................................................... 95 Diagnosis Banding Retinoblastoma ....................................... 96 Manajemen Demam Enterik: Eradikasi Kuman ..................... 97 Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis Tetanus ................................................................................. 98 Manajemen Tetanus ............................................................. 99 Sistem Skoring Bleck ............................................................. xx
284 285 289 297 302 308 315 316 317 324 325 328 330 332 341 361 363 364 365 391 394 396 400 406 407 414 424 425 426
100 Dosis Metronidazol yang Digunakan untuk Bayi Baru Lahir dan BBLR ............................................................................... 101 Bentuk Tipikal Pertusis: Perubahan Gejala, Sensitivitas terhadap Metode Diagnostik, dan Pengaruh Terapi Antibiotik .............................................................................. 102 Rekomendasi Pemberian Antimikrob dan Profilaksis Pascapajanan Pertusis ........................................................... 103 Penyebab Tersering Meningitis Bakterialis ........................... 104 Dosis Terapi Lepra pada Anak ............................................... 105 Jenis Antibiotik Empiris untuk Pengobatan Artritis Septik .... 106 Dosis Antibiotik Inisial untuk Terapi Oral pada Osteomielitis ......................................................................... 107 Prosedur Uji Diagnostik Infeksi Virus Ebola ........................... 108 Definisi SIRS, Infeksi, Sepsis, Sepsis Berat, dan Syok Septik ............................................................................ 109 Kriteria Disfungsi Organ ........................................................ 110 Kriteria Diagnosis Sepsis ........................................................ 111 Rekomendasi: Resusitasi Awal dan Masalah Infeksi ............. 112 Surviving Sepsis Campaign Bundles ....................................... 113 Pilihan Antimikrob untuk Terapi Empirik pada Bayi dan Anak Tersangka Sepsis .......................................................... 114 Regimen Antibiotik Empiris untuk Syok Septik pada Anak .... 115 Langkah-langkah Pemberian Antibiotik ................................ 116 Suseptibilitas Mikroorganisme Umum terhadap Berbagai Antimikrob ............................................................................ 117 Kelompok Antimikrob Secara Umum .................................... 118 Rekomendasi Pemberian Antimikrob Parenteral Secara Umum untuk Usia ≥1 Bulan .................................................. 119 Rekomendasi Pemberian Antimikrob Oral Secara Umum untuk Usia ≥1 Bulan .............................................................. 120 Rekomendasi Pemberian Antimikrob untuk Kasus Nonbedah .............................................................................. 121 Pemberian ART pada Bayi dan Anak berdasarkan Stadium Klinis dan Marka Imunologi ................................................... 122 Inisiasi Pemberian ART pada Bayi dan Anak .......................... 123 Mulai Pemberian ART ............................................................ 124 Manifestasi Klinis dan Diagnosis Chikungunya ...................... 125 Manifestasi Rubela Kongenital .............................................. 126 Definisi dan Fitur Utama Empat Subtipe FUO ....................... 127 Pengobatan Malaria Falsiparum tanpa Penyulit ................... 128 Pengobatan Malaria Vivaks tanpa Penyulit ........................... 129 Obat Antiamebiasis ............................................................... 130 Rekomendasi Pengobatan Histoplasmosis pada Anak .......... 131 Tanda dan Gejala Progresivitas Penyakit dari Lokal Menuju Sistemik .................................................................... 132 Klasifikasi Ross untuk Gagal Jantung pada Bayi Sesuai NYHA .......................................................................... xxi
429 431 433 435 447 449 451 455 458 459 460 461 462 463 466 468 469 473 477 478 481 494 494 495 497 499 529 534 534 538 549 552 586
133 Penyebab Gagal Jantung karena Penyakit Jantung Bawaan ... 134 Penyebab Gagal Jantung pada Neonatus yang Bukan karena Penyakit Jantung Bawaan .......................................... 135 Sistem Skor Ross untuk Gagal Jantung pada Bayi ................. 136 Skor Klinis Gagal Jantung pada Anak .................................... 137 Rute Pemberian dan Dosis Diuretik ...................................... 138 Rute Pemberian dan Dosis Vasodilator ................................. 139 Dosis Digitalis pada Gagal Jantung ........................................ 140 Manifestasi Klinis DRA ........................................................... 141 Kriteria WHO Tahun 2002–2003 untuk Diagnosis Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik/PJR (berdasarkan Revisi Kriteria Jones) ....................................... 142 Terapi Antiinflamasi berdasarkan Manifestasi Klinis ............ 143 Panduan Obat Antiinflamasi ................................................. 144 Panduan Tirah Baring dan Aktivitas ...................................... 145 Antibiotik untuk Pencegahan ................................................ 146 Lama Pemberian Profilaksis Sekunder .................................. 147 Pemberian Antibiotik pada Endokarditis Infektif yang Disebabkan Streptokokus, S. bovis, atau Enterokokus .......... 148 Terapi Antibiotik pada Endokarditis Infektif yang Disebabkan Streptococcus viridans, S. bovis, atau Enterokokus pada Penderita yang Tidak Dapat Menerima β-laktam .............................................................. 149 Pemberian Antibiotik pada Endokarditis Infektif yang Disebabkan Stafilokokus ....................................................... 150 Pemberian Antibiotik Profilaksis pada Endokarditis Infektif pada Tindakan Gigi, Mulut, Saluran Respiratori Atas, dan Prosedur Esofagus ................................................. 151 Pemberian Antibiotik Profilaksis pada Endokarditis Infektif pada Prosedur Saluran Urogenital dan Cerna .......... 152 Klasifikasi Hipertensi Pulmonal WHO Revisi 2009 ................. 153 Perbedaan Indeks Darah dan Urin pada Anak dengan Neonatus berdasarkan Penyebab GgGA ............................... 154 Evaluasi yang Harus Dilakukan pada Anak yang Menderita Hipertensi .............................................................................. 155 Klasifikasi Hipertensi pada Anak Usia ≥1 Tahun dan Remaja .................................................................................. 156 Obat Antihipertensi yang Digunakan pada Anak dan Remaja .................................................................................. 157 Pilihan Antimikrob Oral pada Infeksi Saluran Kemih ............. 158 Pilihan Antimikrob Parenteral pada Infeksi Saluran Kemih ... 159 Antibiotik yang Digunakan untuk Profilaksis ......................... 160 Stadium Penyakit Ginjal Kronik ............................................. 161 Kebutuhan Kalori dan Protein yang Direkomendasikan untuk Anak PGK ..................................................................... 162 Pengaturan Awal Suhu Inkubator ......................................... 163 Penyebab Apnea dan Bradikardia Tersering Sesuai Usia Kehamilan ...................................................................... xxii
587 587 588 589 590 591 591 605 606 607 607 608 609 609 614
615 615 618 618 632 651 663 663 665 671 671 674 680 681 708 730
164 Pedoman Pemberian Tube Feeding ...................................... 165 Kebutuhan Cairan Minggu Pertama ...................................... 166 Kebutuhan Cairan dan Elektrolit pada Periode Pertengahan .......................................................................... 167 Rekomendasi Asupan Cairan dan Elektrolit pada Periode Pertumbuhan ........................................................... 168 Pemantauan Nutrisi Parenteral ............................................ 169 Indikasi Tranfusi Anemia pada Neonatus .............................. 170 Indikasi Transfusi PRC pada Bayi Pprematur ......................... 171 Faktor yang Berhubungan dengan Ikterus Fisiologis ............. 172 Pengelolaan Bayi Kuning pada Bayi Baru Lahir Cukup Bulan dan Sehat Menurut Usia (dalam Jam) dan Kadar Bilirubin ....................................................................... 173 Pedoman Fototerapi Bayi Kuning Cukup Bulan dengan dan atau tanpa Faktor Risiko berdasarkan Canadian Paediatrics Society ................................................................ 174 Indikasi Fototerapi dan Transfusi Ganti berdasarkan Berat Badan ........................................................................... 175 Penyulit Terapi Sinar ............................................................. 176 Transfusi Ganti ...................................................................... 177 Terapi Efektif pada Kelainan Gen Tunggal ............................ 178 Terapi Efektif Kelainan Multifaktorial ................................... 179 Skor Down ............................................................................. 180 Perbedaan Kejang Demam Kompleks dengan Sederhana .... 181 Gambaran Cairan Serebrospinal pada Infeksi Susunan Saraf Pusat ............................................................................ 182 Persentase Manifestasi Klinis Abses Serebri ......................... 183 Persentase Manifestasi Klinis Meningitis TB ......................... 184 Gambaran Cairan Serebrospinal pada Meningitis TB ............ 185 Klasifikasi Retardasi Mental berdasarkan Tingkat IQ ............ 186 Tingkat Retardasi Mental berdasarkan Karakteristik Perkembangan Anak ............................................................. 187 Obat Stimulan untuk Terapi Anak ADHD ............................... 188 Refleks Primitif ...................................................................... 189 Obat Pelemas Otot untuk Terapi Anak Palsi Serebral ........... 190 Klasifikasi Kurang Energi Protein ........................................... 191 Bagan dan Jadwal Pengobatan Kurang Energi Protein Berat ......................................................................... 192 Formula WHO dan Modifikasi ............................................... 193 Kebutuhan Energi dan Protein Anak Sehat & Gizi Baik EER (Estimated Energy Requirements) .................................. 194 EER untuk Anak Usia 3–18 Tahun .......................................... 195 Physical Activity Coefficient’s (PA) Anak Usia 3–18 Tahun .... 196 RDA Kebutuhan Protein ........................................................ 197 Rumus WHO untuk Memperkirakan REE .............................. 198 Faktor Stres untuk Setiap Tipe Stres ..................................... 199 Pemecahan Masalah yang Paling Sering Dijumpai ................ xxiii
737 739 739 740 741 757 757 764 769 769 770 770 770 774 775 786 793 807 809 811 812 824 825 830 836 838 851 853 863 866 866 866 866 867 868 872
200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233
Klasifikasi Hiperkolesterolemia Familial ................................ Indikasi Pemberian Nutrisi Enteral pada Anak ...................... Ukuran NGT dan OGT untuk Anak berdasarkan Usia ............ Pemantauan Nutrisi Enteral .................................................. Perbedaan Pemberian Nutrisi Parenteral Perifer dengan Sentral ...................................................................... Rumus Schofield untuk Menghitung REE .............................. Faktor Stres pada Perhitungan Energi ................................... Kebutuhan Protein pada Anak dan Remaja .......................... Dosis Pemberian Lemak Intravena ........................................ Kebutuhan Elektrolit pada Anak ............................................ Rekomendasi Vitamin Parenteral .......................................... Rekomendasi Kebutuhan Trace Element .............................. Pemantauan Nutrisi Parenteral ............................................. Kebutuhan Energi pada Anak dengan Penyakit Ginjal Kronik .......................................................................... Kebutuhan Protein pada Anak dengan Penyakit Ginjal Kronik .......................................................................... Rekomendasi Asupan Kalsium untuk Anak PGK Stadium 2–5 .......................................................................... Rekomendasi Suplementasi Vitamin D pada Anak PGK ........ Sistem Skoring (Modified Centor Score) untuk Memperkirakan Faringitis Group A β–hemolytic Streptococci ........................................................................... Pemberian Antibiotik ............................................................ Penilaian Derajat Croup (Westley Score) ............................... Algoritme Penatalaksanaan Croup ........................................ Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI) ............. Penyebab Utama Pneumonia yang Didapat di Masyarakat pada Anak berdasarkan Usia ................................................. Klasifikasi Derajat Berat Pneumonia pada Anak Usia 2 Bulan sampai 5 Tahun ................................................ Terapi Empiris Antibiotik pada HAP Onset Dini ..................... Terapi Empiris Antibiotik pada HAP Onset Lambat ............... Gambaran Laboratorium Cairan Pleura pada Tiap Fase Empiema ....................................................................... Kategori Risiko Prognosis Buruk pada Penderita Efusi Parapneumonik dan Empiema .............................................. Kriteria Wells dalam Prediksi Tromboemboli Secara Klinis ... Sistem Penilaian/Skoring Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB di Sarana Kesehatan Terbatas ........................ Regimen Pengobatan TB Anak yang Direkomendasikan WHO 2010 ............................................................................. Dosis Obat Antituberkulosis Lini Pertama dan Kedua yang Direkomendasikan untuk TB Anak ........................................ Manifestasi Klinis Derajat Eksaserbasi .................................. Klasifikasi Derajat Penyakit Asma Menurut GINA (2002–2010) .......................................................................... xxiv
878 881 882 884 886 887 887 888 889 889 889 890 891 894 894 895 896 907 909 914 917 930 933 935 948 948 951 954 965 975 977 978 994 997
234 Klasifikasi Derajat Penyakit Asma Menurut Pedoman Pengendalian Penyakit Asma ................................................ 235 Derajat Kontrol Asma ............................................................ 236 Kriteria mAPI dan API ............................................................ 237 Klasifikasi dan Derajat Berat Asma ........................................ 238 Rekomendasi Steroid Hirupan Dosis Rendah ........................ 239 Perbedaan Tipe Malformasi Paru Kongenital ........................ 240 Formula Praktis untuk Menentukan Tinggi Badan Normal pada Bayi dan Anak ............................................................... 241 Usia Rata-rata Erupsi Gigi Susu dan Gigi Tetap pada Anak ... 242 Kurva WCGS .......................................................................... 243 Indikator Pertumbuhan menurut Z-score ............................. 244 KPSP Anak Usia 3 Bulan ......................................................... 245 KPSP Anak Usia 6 Bulan ......................................................... 246 KPSP Anak Usia 9 Bulan ......................................................... 247 KPSP Anak Usia 12 Bulan ....................................................... 248 KPSP Anak Usia 15 Bulan (1 Tahun 3 Bulan) .......................... 249 KPSP Anak Usia 18 Bulan (1 Tahun 6 Bulan) .......................... 250 KPSP Anak Usia 21 Bulan (1 Tahun 9 Bulan) .......................... 251 KPSP Anak Usia 24 Bulan (2 Tahun) ....................................... 252 KPSP Anak Usia 30 Bulan (2 Tahun 6 Bulan) .......................... 253 KPSP Anak Usia 36 Bulan (3 Tahun) ....................................... 254 KPSP Anak Usia 42 Bulan (3 Tahun 6 Bulan) .......................... 255 KPSP Anak Usia 48 Bulan (4 Tahun) ....................................... 256 KPSP Anak Usia 54 Bulan (4 Tahun 6 Bulan) .......................... 257 KPSP Anak Usia 60 Bulan (5 Tahun) ....................................... 258 KPSP Anak Usia 66 Bulan (5 Tahun 6 Bulan) .......................... 259 KPSP Anak Usia 72 Bulan (6 Tahun) ....................................... 260 Parents’ Evaluation Developmental Status ........................... 261 Daftar Pertanyaan untuk Deteksi Dini Masalah Mental Emosional ................................................................. 262 Ceklis Deteksi Dini Autis (Checklist for Autism in Toddlers/CHAT) untuk Anak Usia 18–36 Bulan ..................... 263 Formulir Deteksi Dini Anak Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (Abbreviated Conners Ratting Scale) ........................................................................ 264 Jadwal Pemberian Makanan Bayi .......................................... 265 Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar ....................................... 266 Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Anak Bawah Tiga Tahun ..... 267 Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Anak Usia Sekolah Dasar .... 268 Imunisasi Lanjutan pada Wanita Usia Subur (WUS) .............. 269 Imunisasi Hepatitis B untuk Anak yang Sudah Terpapar Penderita Hepatitis B ............................................................ 270 Jadwal Imunisasi Bila Imunisasi Terlambat ........................... 271 Program Imunisasi di UKS ..................................................... 272 Checklist Wawancara HEEADSSS ........................................... 273 Kuesioner Kekuatan dan Kesulitan pada Anak (Usia 11–17 Tahun) ............................................................... xxv
997 998 1006 1008 1012 1016 1024 1025 1028 1029 1035 1038 1040 1043 1044 1045 1046 1048 1049 1050 1052 1054 1055 1058 1061 1063 1068 1073 1075 1077 1090 1091 1091 1091 1092 1095 1095 1096 1100 1101
274 Panduan Pemberian Skor Kuesioner Kekuatan dan Kesulitan pada Anak (Usia 11–17 Tahun) .............................. 275 Skor berdasarkan Aspek ........................................................ 276 Interpretasi Skor (Kuesioner yang Diisi oleh Orangtua) ........ 277 Interpretasi Skor (Kuesioner yang Diisi oleh Guru) ............... 278 Interpretasi Skor (Kuesioner yang Diisi oleh Remaja) ........... 279 Pediatric Symptom Checklist-17 ............................................ 280 Nilai Normal Keseimbangan Asam-Basa ............................... 281 Nilai Normal Darah Rutin ...................................................... 282 Nilai C-Reactive Protein (CRP) berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin ......................................................................... 283 Kriteria Napas Cepat WHO .................................................... 284 Nilai Normal Kecepatan Nadi berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin ......................................................................... 285 Tekanan Darah Anak Laki-laki berdasarkan Persentil Tinggi Badan .......................................................................... 286 Tekanan Darah Anak Perempuan berdasarkan Persentil Tinggi Badan .......................................................................... 287 Pertambahan BB dan TB ....................................................... 288 Interpretasi Indikator Pertumbuhan ..................................... 289 Pola Perkembangan Bayi-Anak Sampai Usia 5 Tahun ........... 290 Dosis Obat yang Sering Digunakan ....................................... 291 Nilai Normal Laboratorium yang Sering Digunakan .............. 292 Cairan Serebrospinal ............................................................. 293 Rentang Normal Denyut Jantung Saat Beristirahat ............... 294 Nilai Rata-rata dan Rentang Normal Axis QRS ...................... 295 Interval PR dengan Denyut Jantung dan Usia (Nilai Batas Atas Normal) ......................................................................... 296 Durasi QRS berdasarkan Usia: Nilai Rata-rata (Batas Atas Nilai Normal) ......................................................................... 297 Voltase R Menurut Lead dan Usia: Rata-rata (dan Batas Atas) ...................................................................................... 298 Voltase S Menurut Lead dan Usia: Rata-rata (dan Batas Atas) ...................................................................................... 299 Perbandingan R/S berdasarkan Usia: Rata-rata, Batas Bawah, dan Batas Atas Nilai Normal ..................................... 300 Voltase Q berdasarkan Usia: Rata-rata (dan Batas Atas) ...... 301 Konversi Analisis Gas Darah Vena ke Arteri .......................... 302 Intepretasi Analisis Gas Darah .............................................. 303 Mekanisme Kompensasi Keseimbangan Asam Basa ............. 304 Perhitungan Anion Gap ......................................................... 305 Rasio Delta ............................................................................
xxvi
1102 1104 1104 1104 1104 1106 1111 1111 1112 1112 1113 1114 1115 1116 1149 1151 1154 1157 1164 1165 1165 1166 1166 1167 1168 1169 1169 1171 1171 1171 1172 1173
DAFTAR GAMBAR Gambar
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Halaman
Algoritme Tatalaksana Reaksi Anafilaksis Akut ..................... Algoritme Riwayat Artritis dengan Jumlah 4 Sendi atau Kurang .............................................................. Algoritme Riwayat Artritis dengan Jumlah 5 Sendi atau Lebih ................................................................. Algoritme Riwayat Artritis dengan Tanda Sistemik Aktif ...... Algoritme Riwayat Artritis Sistemik dengan Artritis Aktif ..... Skema Tatalaksana LES ......................................................... Algoritme Tatalaksana Lupus Nefritis (Kelas III dan IV) atau Lupus Berat ................................................................... Jadwal Pemberian Siklofosfamid (i.v.) pada Penderita LES ... Jadwal Pemberian MMF pada Penderita LES ........................ Jadwal Pemberian Sklofosfamid i.v. dan Azatioprin (AZA) pada Penderita LES ................................................................ Ringkasan Tatalaksana Purpura Henoch-Schönlein berdasarkan Keterlibatan Organ ........................................... Tatalaksana HSP Nefritis ....................................................... Protokol Vaskulitis Birmingham ............................................ Protokol Terapi Skleroderma ................................................ Lund and Bowder Estimation Chart ....................................... Penatalaksanaan Alergi Obat ................................................ Klasifikasi Rinitis Alergi .......................................................... Teknik Pemakaian Obat Semprot Hidung yang Benar ........... (a) Teknik Pemakaian Obat Semprot Hidung yang Benar (b) Teknik Pemakaian Obat Tetes Hidung yang Benar .......... Algoritme Tatalaksana Rinitis Alergi dari WHO-ARIA 2008 ... Algoritme Bantuan Hidup Dasar Menurut AHA 2010 ........... Algoritme Bantuan Hidup Dasar Menurut AHA 2005 ........... Algoritme Tatalaksana Dukungan Hemodinamik untuk Mencapai Perfusi Normal dan Tekanan Perfusi (MAP-CVP) pada Bayi Cukup Bulan dan Anak dengan Renjatan Septik ........................................................ Algoritme Tatalaksana Renjatan Sepsis ................................. Wong-Baker FACES Pain Rating Scale ................................... Algoritme Transpor Penderita Intrahospital ......................... Algoritme Transportasi Antarfasilitas .................................... Cara Mengukur Streched Penile Length (SPL) ....................... Algoritme Hipotiroid ............................................................. Algoritme Diagnosis Perawakan Pendek ............................... Patofisiologi Gangguan Cairan dan Elektrolit KAD ................ Stadium Prader ...................................................................... Biosintesis Steroid di Korteks Adrenal ................................... xxvii
7 22 23 24 25 31 33 36 37 38 43 45 48 56 63 71 80 82 83 87 109 110
161 169 190 208 209 219 229 239 260 270 274
34 Etiologi Abdomen Akut berdasarkan Lokalisasi dan Sifat Nyeri ....................................................................... 35 Algoritme Manajemen Hiperkalemia .................................... 36 Algoritme Pendekatan Diagnosis Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas .................................................... 37 Algoritme Tatalaksana Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah ........................................................................ 38 Protokol Leukemia Limfoblastik Akut Indonesia ................... 39 Protokol Leukemia Mieloblastik Akut Indonesia ................... 40 Protokol Neuroblastoma Localized and Unresectable .......... 41 Protokol Neuroblastoma OPEC/OJEC .................................... 42 Alur Penatalaksanaan Penderita Difteria .............................. 43 Alur Manajemen Meningitis Bakterialis ................................ 44 Tatalaksana Awal Demam dan Neutropenia ......................... 45 Penilaian Ulang Sesudah 2–4 Hari Pemberian Antibiotik ...... 46 Spektrum Manifestasi Klinis Infeksi Virus Dengue ................ 47 Alur Pemberian Cairan pada DBD Derajat III dan IV .............. 48 Algoritme Tatalaksana Defek Septum Atrium ....................... 49 Algoritme Tatalaksana VSD ................................................... 50 Algoritme Tatalaksana Duktus Arteriosus Persisten ............. 51 Algoritme Tatalaksana Tetralogi Fallot .................................. 52 Algoritme Tatalaksana Transposisi Arteri Besar .................... 53 Bagan Algoritme Diagnostik Penyakit Kawasaki Atipik ......... 54 Kriteria Diagnosis pRIFLE untuk Klasifikasi Gangguan Ginjal Akut pada anak ........................................................... 55 Algoritme Penanganan Keracunan Jengkol pada Anak ......... 56 Pengobatan Inisial dengan Kortikosteroid ............................ 57 Pengobatan SN Kambuh ....................................................... 58 Pengobatan SN Kambuh Sering ............................................ 59 Pengobatan SN Ketergantungan Steroid .............................. 60 Kemungkinan Lokasi Obstruksi Saluran Kemih pada Uropati Obstruktif ........................................................ 61 Skema Peninggian Tekanan Intratubular dan Tekanan Intrakapsular ................................................... 62 Algoritme Resusitasi Neonatus ............................................. 63 Algoritme Tatalaksana Anemia pada Neonatus .................... 64 Patofisiologi Polisitemia ........................................................ 65 Nomogram Penentuan Risiko Hiperbilirubinemia pada Bayi Sehat Usia ≥36 Minggu dengan BB ≥2.000 Gram atau Usia Kehamilan ≥35 Minggu dengan BB ≥2.500 Gram berdasarkan Jam Observasi Kadar Bilirubin Serum ................................................................................... 66 Bagan Diagnosis Etiologi Neonatal Hiperbilirubinemia ......... 67 Diagram Alur Neonatus Sehat, Risiko, Sakit .......................... 68 Algoritme Evaluasi Neonatus dengan Gangguan Metabolisme ......................................................................... 69 Algoritme ACCEPT untuk Rujukan Neonatus ......................... xxv
281 307 325 331 371 376 389 390 420 439 452 453 485 491 560 564 569 576 582 627 650 678 687 687 688 689 694 695 704 756 760
766 768 777 778 782
70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88
Algoritme Penegakan Diagnosis Kejang ................................ Algoritme Tatalaksana Kejang dan Status Epileptikus ........... Patofisiologi Bronkiektasis .................................................... Algoritme Tatalaksana CAP Menurut Usia ............................ Algoritme Tatalaksana CAP Menurut Usia (Lanjutan) ........... Alur Tatalaksana Hospital Acquired Pneumonia ................... Algoritme Penatalaksanaan Empiema pada Anak ................. Algoritme Diagnosis Tromboemboli Paru ............................. Algoritme Tatalaksana Bayi Baru Lahir yang Terpapar TB ..... Algoritme Tatalaksana Antituberculosis Drug-Induced Hepatotoxicity (ADIH) ............................................................ Pendekatan Stepwise Asma Anak Usia 0–4 Tahun (berdasarkan Derajat Beratnya) ............................................ Manajemen Asma berdasarkan Kontrol pada Anak Berusia di Bawah 5 Tahun ............................................ Algoritme Diagnosis dan Tatalaksana Asma Prasekolah ....... Pusat Osifikasi Primer pada Embrio ...................................... Pusat Osifikasi Primer pada Janin .......................................... Dugaan Perawakan Pendek (T/U <−2 SD) ............................. Bagan Tim Tumbuh Kembang FK Unpad/RSHS Bandung ...... Jadwal Imunisasi Anak Usia 0–18 Tahun Rekomendasi IDAI Tahun 2014 .................................................................... The CRAFFT Screening Questions ..........................................
xxv
796 805 921 941 942 947 955 968 981 988 1010 1010 1011 1026 1027 1087 1088 1093 1107
Alergi Imunologi Budi Setiabudiawan Reni Ghrahani Gartika Sapartini
ANAFILAKSIS Batasan
Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas yang bersifat sistemik, berat, serta mengancam jiwa. Reaksi ini berlangsung dalam beberapa menit sesudah paparan, dapat bertahan hingga dua jam atau lebih
Manifestasi Klinis
Sebagian besar diawali dengan gejala pada kulit atau saluran pernapasan. Gejala bervariasi, bergantung pada organ yang terkena Karakteristik yang khas: onset terjadi segera sesudah paparan alergen, interval waktu antara beberapa detik hingga 1–2 jam, bergantung pada rute pemberian (i.v. biasanya lebih cepat) dan derajat sensitisasi Dapat terjadi manifestasi yang tidak biasa misalnya sinkop tanpa disertai gejala lain Gejala awal yang umum terjadi pada reaksi anafilaksis Vertigo, pingsan, hipotensi Urtikaria, angioedema Gatal pada kulit Kemerahan pada wajah Nyeri kepala Rinitis Sesak, mengi Nyeri substernal Edema saluran respiratori atas Mual, muntah, diare, nyeri abdomen
Diagnosis
Anamnesis Waktu terjadinya onset Terapi yang sudah diberikan Lama terjadinya serangan Obat-obatan dalam 6 jam terakhir Riwayat sengatan binatang Riwayat atopi penderita
3
Pemeriksaan Fisis Tabel 1 Pemeriksaan Fisis yang Dapat Ditemukan pada Reaksi Anafilaksis Organ
Tanda dan Gejala Klinis
Kulit dan mukosa
Pruritus, kemerahan, urtikaria, parestesia, dan angioedema Bagian atas (rinitis, bersin, stridor, suara serak) dan bagian bawah (batuk, wheezing, sesak) dapat terjadi juga sianosis, asfiksia, dan henti napas Vasodilatasi, palpitasi, takikardia, bradikardia (relatif atau absolut), aritmia, hipotensi, syok, infark miokardium, dan henti jantung Bengkak, gatal pada bibir dan lidah, mual, muntah, nyeri perut, diare Nyeri pelvis (seperti kontraksi uterus) Gelisah, nyeri kepala, pening, inkotinensia, kejang, dan tidak sadar
Sistem respirasi
Sistem kardiovaskular Gastrointestinal Reproduksi Neurologis
Sumber: Ring dkk. 2010, Walker dan Sheikh 2003
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada anafilaksis yaitu elektrokardiografi, foto Rontgen toraks, pemeriksaan urea dan elektrolit darah, analisis gas darah, atau pemeriksaan lainnya sesuai dengan gejala yang timbul Anafilaksis dapat ditegakkan dengan kriteria berikut:
4
Tabel 2 Kriteria Diagnostik Anafilaksis Onset penyakit yang bersifat akut (beberapa mnt hingga jam) dengan keterlibatan kulit, mukosa, atau keduanya (contoh urtikaria generalisata, pruritus atau kemerahan, pembengkakan pada bibirlidah-uvula) dan paling tidak ditemukan salah satu dari: Gangguan sistem respirasi (dispnea, wheezing, bronkospasme, stridor, hipoksemia, peak expiratory flow ↓) Tekanan darah ↓ atau ditemukan gejala gagal organ (hipotonia, sinkop, inkontinensia) Terdapat dua atau lebih gejala di bawah ini yang terjadi segera (beberapa mnt hingga jam) sesudah paparan alergen: Keterlibatan kulit dan mukosa (urtikaria generalisata, pruritus atau kemerahan, pembengkakan pada bibir-lidah-uvula) Gangguan sistem respirasi (dispnea, wheezing, bronkospasme, stridor, hipoksemia, peak expiratory flow ↓) Tekanan darah ↓ atau ditemukan gejala gagal organ (hipotonia, sinkop, inkontinensia) Gejala gastrointestinal yang bersifat persisten (nyeri abdomen, muntah) Terdapat tekanan darah ↓ sesudah terpapar dengan alergen tertentu (beberapa mnt hingga jam) dengan kriteria: Bayi dan anak, apabila ditemukan tekanan darah sistol yang rendah (sesuai dengan usia) atau terdapat tekanan darah sistol ↓ >30%*
* Keadaan hipotensi pada anak dibedakan berdasarkan usia, pada usia neonatus (0–28 hr) apabila tekanan darah sistol <60 mmHg, usia 1–12 bl <70 mmHg, usia 1–10 th <70 + (2× usia dalam th) mmHg, usia >10 th <90 mmHg
Sumber: Sampson dkk. 2006
5
Klasifikasi Tabel 3 Klasifikasi Anafilaksis Tahapan
Temuan Klinis Saluran Cerna
Saluran Respiratori
Kardiovaskular
I
Pruritus, kemerahan, urtikaria, angioedema
−
−
−
II
Pruritus kemerahan, urtikaria, angioedema*
Mual, kram
Rinorea, hoarseness, dispnea
Takikardia, perubahan tekanan darah, aritmia
III
Pruritus kemerahan, urtikaria, angioedema*
Muntah, defekasi, diare
Edema laring, bronkospasme, sianosis
Syok
IV
Pruritus kemerahan, urtikaria, angioedema*
Muntah, defekasi, diare
Henti napas
Henti jantung
6
Kulit
Keterangan: * tidak selalu harus didapatkan Sumber: Ring dkk. 2010
Terapi
Gambar 1 Algoritme Tatalaksana Reaksi Anafilaksis Akut
Sumber: Tse dan Rylance 2009, Liberman dan Teach 2008
Keterangan: * Kondisi yang mengancam jiwa: Airway: bengkak, suara serak, stridor Breathing: takipnea, wheezing, fatigue, sianosis, SpO2 <92%, confusion Circulation: pucat, telapak tangan lembap (clammy), tekanan darah rendah, pingsan, koma ** Adrenalin pengenceran 1:1.000 (dapat diulangi setiap 5–15 mnt jika tidak ada perbaikan), tempat penyuntikan terbaik 7
pada daerah anterolateral paha ⅓ tengah. Dosis diberikan berdasarkan BB: Dosis 0,01 mg/kgBB secara i.m. (1 mg/mL), maks. 0,3 mg. Pada umumnya penderita berespons pada 1 atau 2 dosis pemberian *** Cairan infus diberikan kristaloid 20 mL/kgBB. Koloid tidak boleh diberikan karena dapat menjadi penyebab reaksi anafilaksis **** Klorfeniramin i.m. atau i.v. lambat dengan dosis 1–2 mg/kgBB/kali maks. 50 mg i.v. atau p.o. ***** Hidrokortison i.m. atau i.v. lambat dengan dosis 4 mg/kgBB/kali maks. 100 mg i.v. atau prednison 1 mg/kgBB dosis maks. 60–80 mg p.o. atau metilprednisolon dengan dosis 1 mg/kgBB dengan dosis maks. 60–80 mg i.v.
Prognosis
Baik apabila penanganannya tepat Kematian dapat terjadi pada kasus berat
Bibliografi 1.
2. 3.
4.
5. 6.
7. 8.
Johansson SGO. New nomenclature and clinical aspects of allergic disease. Dalam: Pawankar R, Holgate ST, Rosenwasser, penyunting. Allergy frontiers: classification and pathomechanisms. Tokyo: Springer; 2009. hlm. 31–42. Liberman DB, Teach SJ. Management of anaphylaxis in children. Ped Emerg Care. 2008;24(12):861–9. Lieberman PL. Anaphylaxis. Dalam: Adkinson NF, Bochner BS, Busse WW, Holgate ST, Lemanske RF, Simons FER, penyunting. Middleton’s allergy: principles and practice. Edisi ke-7. Philadelphia: Mosby-Elsevier; 2009. hlm. 1027–49. NWS Department of Community Services. Guidelines for children’s services 2007—anaphylaxis [diunduh 21 Maret 2012]. Tersedia dari: http://www.community.nsw.gov.au/DOCSWR/ _assets/main/documents/ANAPHYLAXIS_GUIDELINES.PDF. Ring J, Behrendt H, Weck A. History and classification of anaphylaxis. Chem Immunol Allergy. 2010;95:1–11. Sampson HA, Muñoz-Furlong A, Campbell RL, Adkinson NF, Bock SA, Branum A, dkk. Second symposium on the definition and management of anaphylaxis: summary report—second national institute of allergy and infectious disease/food allergy and anaphylaxis network symposium. Ann Emerg Med. 2006;47(4): 373–80. Simons FER, ArdussoLRF, Bilò MB, El-Gamal YM, Ledford DK, Ring J, dkk. World Allergy Organization anaphylaxis guidelines: summary. J Allergy Clin Immunol. 2011;127(3):587–93.e22. Tse Y, Rylance G. Emergency management of anaphylaxis in children and young people: new guidance from the Resuscitation Council (UK). Arch Dis Child Educ Pract Ed. 2009;94(4):97–101.
8
9.
Walker S, Sheikh A. Managing anaphylaxis: effective emergency and long-term care are necessary. Clin Exp Allergy. 2003;33(8): 1015–8. 10. Working Group of the Resuscitation Council (UK). Emergency treatment of anaphylactic reactions—guidellines for healthcare providers. Januari 2008. [diunduh 21 Maret 2012]. Tersedia dari: http://www.resus.org.uk/pages/reaction.pdf.
9
JUVENILE IDIOPATHIC ARTHRITIS Batasan
Juvenile idiopathic arthritis (JIA) didefinisikan sebagai artritis persisten yang menetap >6 mgg dengan onset usia <16 th, sesudah penyebab artritis lain disingkirkan Definisi artritis harus memenuhi kriteria terdapat bengkak pada sendi atau terdapat ≥2 keadaan sebagai berikut, yaitu: gerakan yang terbatas, nyeri spontan, nyeri pada pergerakan atau hangat pada sendi
Etiologi
Pencetus penyakit tidak diketahui, meskipun diduga penyebabnya adalah infeksi
Diagnosis
Menurut kriteria International League Against Rheumatism (ILAR), gambaran klinis JIA dibagi menjadi 6 tipe, yaitu: tipe sistemik (sJIA), oligoartikular (oJIA), poliartritis (poJIA) FR(+) dan FR(−), enthesitisrelated arthritis (eJIA), psoriatic arthritis (pJIA)
10
Klasifikasi
Tabel 4 Klasifikasi JIA Revisi Kedua Menurut Kriteria Edmonton 2001 Klasifikasi
Deskripsi
Sistemik
Artritis dengan atau didahului demam quotidian min. 2 mgg, disertai min. 1 dari: Ruam reumatoid Limfadenopati generalisata Hepatomegali/splenomegali Serositis
Oligoartritis
Artritis ≤4 sendi dalam 6 bl pertama. Apabila se sudah 6 bl pertama berkembang menjadi ≥5 sendi disebut sebagai extended oligoarthritis, sedangkan apabila tetap jumlahnya disebut persistent oligoarthritis Artritis ≥5 sendi dalam 6 bl pertama, dibagi 2 yaitu faktor reumatoid/FR (−) dan (+). Dikatakan (+) apabila pemeriksaan FR (+) pada 2× pemeriksaan dengan jarak waktu 3 bl Artritis dengan enthesitis; atau artritis dengan min. 2 dari: Nyeri sendi sakroiliaka dan atau nyeri inflamasi lumbosakral HLA__B27 (+) HLA B27 (–) associated disease pada first or second degree relative Uveitis anterior simtomatik Artritis atau entesitis pada anak laki-laki sesudah usia 6 th Artritis dengan psoriasis; atau artritis dengan min. 2 dari: Riwayat psoriasis pada first-degreerelative Daktilitis Kuku abnormal (nail pitting atau onikolisis) Artritis yang tidak memenuhi kriteria salah satu kategori di atas, atau memenuhi >1 kategori
Poliartritis
11
Enthesitis-related arthritis
Psoriatic arthritis
Undifferentiated arthritis
Sumber: Lovell dkk. 2008
Persentase 2–17%
Extended persistent 12–29% FR(−) → 10–28% FR(+) → 2–10% 3–11%
2–11%
2–23%
Tabel 5 Gambaran JIA berdasarkan Subtipe Oligo-artikular % JIA Sex (L:P) Usia saat onset Pola sendi
12
50–60 4:1 2–12 (puncak 1–2) Asimetris Sendi besar (lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, siku) Keterlibatan Uveitis asimtomatik ekstra20% (terutama jika artikular ANA +)
FBC ESR/CRP ANA Faktor reumatoid HLA B27 Remisi (%)
Poliartikular RF (−) RF (+) 20–30 5–10 9:1 4:1 Dewasa 2–12 (puncak 1–3) Sering Simetris asimetris Multipel Multipel Sendi besar Sendi kecil dan kecil dan besar Uveitis Nodul asimtomatik reumatoid (terutama jika ANA +)
N N 80% (−)
N N/↑ 60–80% (−)
N N/↑ 50% (−)
Tidak ada 52
Tidak ada 24
Tidak ada 0
Sumber: McKay dan Singh-Grewal 2009
Enthesitis-related Arthritis 10–20 5–15 15 1:1 3:2 1:9 Semua usia Pertengahan masa Dewasa anak Sendi besar dan Sendi besar dan Asimetris kecil kecil, termasuk Sendi besar termasuk panggul dan panggul, kerangka terutama DIP aksial, termasuk sakroilitis Demam Psoriasis Entesitis Ruam Nail pitting Uveitis simtomatik Limfadenopati Daktilitia (20%) HepatosplenoUveitis simtomatik IBD aortitis megali serositis (10%) Entesitis WCC↑ N N ↑↑ N N/↑ <10% 50% (−) (−) (−) (−) Sistemik
Psoriatik
Tidak ada 35
30% Rendah
80% Rendah
Diagnosis Banding
Penyakit infeksi: artritis septik Penyakit noninfeksi: demam reumatik akut, penyakit hematologi dan keganasan, vaskulitis (purpura Henoch-Schönlein) dan penyakit autoimun lainnya (lupus eritematosus sistemik)
Pemeriksaan Penunjang
Antibodi antinuklear (antinuclear antibody/ANA) Hasil ANA (+) sering ditemukan pada penderita oJIA (terutama perempuan) dengan onset <7 th dan diduga dapat meningkatkan risiko uveitis Faktor reumatoid (FR) Penderita poJIA (terutama perempuan dan onset >10 th) dengan FR (+) menunjukkan perjalanan penyakit yang kronik dan progresif C-reactive protein (CRP) Menilai aktivitas penyakit pada sJIA dan salah satu indikator keberhasilan terapi Laju endap darah (LED) LED dapat normal tetapi dapat sangat ↑ (>60 mm/jam) pada sJIA Radiologis Pada keadaan kronik: beberapa perubahan yang dapat terlihat antara lain penyempitan ruang sendi (akibat kehilangan tulang rawan sendi), erosi, subkondral, periostitis, osteoporosis, pembengkakan jaringan lunak, dan berbagai derajat kerusakan sendi Pemeriksaan oftalmologis rutin berkala Deteksi dini iridosiklitis, terutama pada tipe oligoartritis dengan ANA (+)
Penyulit
Osteoporosis Deformitas sendi dan jaringan lunak di sekitarnya Atrofi otot Uveitis/iridosiklitis
Konsultasi
Mata Deteksi dini uveitis/iridosiklitis Ortopedi Pediatri Injeksi intraartikular, penggunaan splint bila diperlukan
Terapi
Penatalaksanaan yang terkoordinasi dari suatu tim yang terdiri atas dokter anak/dokter reumatologi anak, perawat, pekerja sosial, 13
terapis okupasi, dokter bedah tulang, ahli gizi, orangtua atau keluarga, dan sebagainya Lima kelompok perlakuan JIA meliputi: I. Gambaran prognosis buruk dan aktivitas penyakit riwayat artritis pada ≤4 sendi: Untuk gambaran prognosis buruk, setidaknya memenuhi satu dari: Artritis pada sendi panggul atau leher Artritis pada pergelangan kaki atau pergelangan tangan dan peninggian penanda inflamasi Gambaran radiologis menunjukkan erosi atau penyempitan ruang sendi Menilai aktivitas penyakit Aktivitas rendah, harus memenuhi semua dari: Mengenai ≤1 sendi yang aktif ESR atau CRP normal Penilaian global dokter terhadap aktivitas penyakit adalah <3 dari 10*) Penilaian global penderita/orangtua terhadap kebugaran penderita adalah <2 dari 10**) Aktivitas sedang, tidak memenuhi kriteria untuk aktivitas rendah atau tinggi Memiliki ≥1 gambaran aktivitas rendah dan memiliki <3 gambaran aktivitas tinggi Aktivitas tinggi, harus memenuhi setidaknya 3 dari: Mengenai ≥2 sendi yang aktif ESR atau CRP 2× lebih tinggi dari nilai normal Penilaian global dokter terhadap aktivitas penyakit adalah ≥7 dari 10 Penilaian global penderita/orangtua terhadap kebugaran penderita adalah ≥4 dari 10 *)
Dinilai berdasarkan 10-cm visual analog scale (VAS), yaitu 0 = tidak ada aktivitas, 10 = aktivitas maks. **) Dinilai berdasarkan VAS, yaitu 0=sangat bugar, 10=sangat buruk/tidak bugar
II. Gambaran prognosis buruk dan aktivitas penyakit untuk riwayat artritis pada ≥5 sendi: Untuk gambaran prognosis buruk, setidaknya memenuhi satu dari: Artritis pada sendi panggul atau leher Faktor reumatoid atau antibodi anticyclic citrullinated peptide (+) Gambaran radiologis menunjukkan erosi atau penyempitan ruang sendi Menilai aktivitas penyakit Aktivitas rendah, harus memenuhi semua dari: Mengenai ≤4 sendi yang aktif ESR atau CRP normal 14
Penilaian global dokter terhadap aktivitas penyakit adalah <4 dari 10 Penilaian global penderita/orangtua terhadap kebugaran penderita adalah <2 dari 10 Aktivitas sedang, tidak memenuhi kriteria untuk aktivitas rendah dan aktivitas tinggi Memiliki ≥1 gambaran aktivitas rendah dan memiliki <3 gambaran aktivitas tinggi Aktivitas tinggi, harus memenuhi setidaknya 3 dari: Mengenai ≥8 sendi yang aktif ESR atau CRP 2× lebih tinggi dari nilai normal Penilaian global dokter terhadap aktivitas penyakit adalah ≥7 dari 10 Penilaian global penderita/orangtua terhadap kebugaran penderita adalah ≥5 dari 10 III. Gambaran prognosis buruk dan aktivitas penyakit untuk artritis sakroiliaka aktif: Untuk gambaran prognosis buruk: Gambaran radiologis menunjukkan erosi atau penyempitan ruang sendi Menilai aktivitas penyakit Aktivitas rendah, harus memenuhi semua dari: Fleksi pada punggung normal ESR atau CRP normal Penilaian global dokter terhadap aktivitas penyakit adalah <4 dari 10 Penilaian global penderita/orangtua terhadap kebugaran penderita adalah <2 dari 10 Aktivitas sedang, tidak memenuhi kriteria untuk aktivitas rendah atau tinggi Memiliki ≥1 gambaran aktivitas rendah dan memiliki <2 gambaran aktivitas tinggi Aktivitas tinggi, harus memenuhi setidaknya 2 dari: ESR atau CRP 2× lebih tinggi dari nilai normal Penilaian global dokter terhadap aktivitas penyakit adalah ≥7 dari 10 Penilaian global penderita/orangtua terhadap kebugaran penderita adalah ≥4 dari 10 IV. Gambaran prognosis buruk dan aktivitas penyakit untuk artritis sistemik dengan artritis aktif (dan tanpa gambaran sistemik aktif): Untuk gambaran prognosis buruk, setidaknya memenuhi satu dari: Artritis pada sendi panggul Gambaran radiologis yang menunjukkan erosi atau penyempitan ruang sendi Menilai aktivitas penyakit Aktivitas rendah, harus memenuhi semua dari: 15
Mengenai ≤4 sendi yang aktif ESR atau CRP normal Penilaian global dokter terhadap aktivitas penyakit adalah <4 dari 10 Penilaian global penderita/orangtua terhadap kebugaran penderita adalah <2 dari 10 Aktivitas sedang, tidak memenuhi kriteria untuk aktivitas rendah atau tinggi Memiliki ≥1 gambaran aktivitas rendah dan memiliki <3 dari gambaran aktivitas tinggi Aktivitas tinggi, harus memenuhi setidaknya 3 dari: Mengenai ≥8 sendi yang aktif ESR atau CRP 2× lebih tinggi dari nilai normal Penilaian global dokter terhadap aktivitas penyakit adalah ≥7 dari 10 Penilaian global penderita/orangtua terhadap kebugaran penderita adalah ≥5 dari 10 V. Gambaran prognosis buruk dan aktivitas penyakit untuk artritis sistemik dengan gambaran sistemik aktif (dan tanpa artritis aktif): Untuk gambaran prognosis buruk: Memiliki durasi 6 bl untuk penyakit sistemik yang aktif, ditandai dengan demam, peningkatan penanda inflamasi, memerlukan terapi dengan glukokortikoid sistemik Aktivitas penyakit terdiri atas 2 level: Terdapat demam dan penilaian global dokter terhadap aktivitas penyakit adalah <7 dari 10 Terdapat demam dan gambaran sistemik dari aktivitas tinggi (misal serositis yang signifikan) yang didapatkan dari penilaian global dokter terhadap aktivitas penyakit adalah ≥7 dari 10 Tabel 6 NSAIDs yang Sudah Disetujui US FDA Nama Obat
Dosis (/kgBB/hr)
Frekuensi (×/hr)
Ibuprofen Tolmetin Naproksen Indometasin Sulindac Diklofenak Meloksikam Celecoxib
40 30 20 3 6 3 0,125–0,25 4
3 3 2 3 2 2 1 2
Sumber: Hashkes dan Laxer 2005
16
Tabel 7 Berbagai Disease-Modifying Antirheumatic Drugs (DMARDs) dalam Terapi JIA
17
Nama Obat
Dosis
Metotreksat
10–15 mg/m2/mgg
6 bl
Sulfasalazin
0,5–2 mg/hr secara bertahap
1–2 bl
Siklosporin A
3–4 mg/kgBB/hr
6 bl
Hidroksiklorokuin Azatioprin
6–6,5 mg/kgBB
2–4 bl
0,5–2,5 mg/kgBB selama ≥1 th
4 bl
Sumber: Hashkes dan Laxer 2005
Lama Terapi Efek Samping Gejala saluran cerna, abnormalitas fungsi hati, pneumonitis Abnormalitas fungsi hati, leukopenia
Keterangan Diberikan bersamaan dengan asam folat 1 mg/hr
Efektif untuk extended oligoarthritis dan enthesis-related arthritis Nefrotoksik, hipertensi Terapi untuk JIA resisten dan refrakter Ruam, diare, neuromiopati, Sering digunakan sebagai terapi makulopati kombinasi Supresi sumsum tulang, Diduga menyebabkan keganasan di hipersensitivitas kemudian hr
Tabel 8 Obat-obatan pada Penatalaksanaan JIA Target
Rute
Dosis
Etanercep Infliximab
TNF-α TNF-α
s.k. i.v.
Adalimumab Anakinra Rilonacept Abatacept
s.k. s.k. s.k. i.v.
Rituximab
TNF-α IL-1 IL-1 Limfosit T sitotoksik yang berhubungan dengan antigen 4 CD20
0,8 mg/kgBB/dosis 1×/mgg, maks. 50 mg/dosis 6–10 mg/kgBB/dosis mgg ke-0, 2, dan 6 kemudian tiap 4–8 mgg 24 mg/m2 tiap 2 mgg, maks. 40 mg/dosis 1–2 mg/kgBB/hr, maks. 100 mg/dosis 2,2–4,4 mg/kgBB 1×/mgg 10 mg/kgBB mgg ke-0, 2, 4, maks. 1.000 mg/dosis
Tocilizumab
IL-6
i.v.
18
Obat
Sumber: Wallace 2010
i.v.
750 mg/m2; 2 dosis terbagi dalam 2 mgg atau 375 mg/m2; 4 dosis, 4 mgg 1×/mgg, maks. 1.000 mg/dosis 8–12 mg/kgBB tiap 2 mgg
Tabel 9 Pemantauan Penggunaan Obat-obatan JIA Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) Tes darah lengkap, enzim hati, kreatinin serum Sebelum atau segera sesudah dimulainya penggunaan rutin Ulangi sekitar 2×/th untuk penggunaan sehari-hari yang kronik Ulangi kira-kira sekali setiap th untuk penggunaan rutin (3–4 hr/mgg) Metotreksat Tes darah lengkap, enzim hati, kreatinin serum Sebelum inisiasi Sekitar 1 bl sesudah inisiasi Sekitar 1–2 bl sesudah peningkatan dosis Ulangi kira-kira setiap 3–4 bl jika hasil sebelum dosis normal dan stabil Tumor necrosis factor α inhibitor Tes darah lengkap, enzim hati, kreatinin serum Sebelum inisiasi Ulangi kira-kira setiap 3–6 bl Skrining tuberkulosis Sebelum inisiasi Ulangi kira-kira 1×/th Sumber: Beukelman dkk. 2011
Pencegahan Tidak ada
Prognosis
Berdasarkan penelitian >30% penderita artritis idiopatik kronik pada masa anak-anak akan mengalami keterbatasan fungsional dalam 10 th kemudian. Sebanyak 12% penderita termasuk ke dalam Steinbrocker kelas III atau IV sesudah 3–7 th onset penyakit, sedangkan 48% penderita sesudah ≥16 th dari onset penyakit
19
Tabel 10 Kriteria Progresivitas JIA Menurut ACR (Steinbrocker) Stadium
Keterangan
I Awal II Sedang
Tidak ada perubahan obstruktif secara radiologis Mungkin terdapat osteoporosis secara radiologis Osteoporosis secara radiologis, dengan atau tanpa destruksi subkondral ringan atau kerusakan kartilago ringan Tidak ada deformitas sendi, meskipun mungkin terdapat keterbatasan gerak sendi Atrofi otot yang letaknya berdekatan Lesi jaringan ekstraartikular seperti nodul atau tenosinovitis Bukti radiologis menunjukkan destruksi tulang dan kartilago selain osteoporosis Deformitas sendi misalnya subluksasi, deviasi ulnar, atau hiperekstensi Atrofi otot yang ekstensif Lesi jaringan lunak ekstraartikular, misalnya nodul atau tenosinovitis Fibrosis atau ankilosis tulang Kriteria stadium III
III Berat
IV Akhir
Sumber: Viola dkk. 2005
Bibliografi 1.
2.
3. 4. 5.
6.
Beukelman T, Patkar NM, Saag KG, Tolleson-Rinehart S, Cron RQ, DeWitt EM, dkk. 2011 American College of Rheumatology recommendations for the treatment of juvenile idiopathic arthritis: initiation and safety monitoring of therapeutic agents for the treatment of arthritis and systemic features. Arthritis Care Res (Hoboken). 2011 Apr;63(4):465–82. Cassidy JT, Petty RE. Chronic arthritis in childhood. Dalam: Cassidy JT, Petty RE, Laxer RM, Lindley CB, penyunting. Textbook of pediatric rheumatology. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2005. hlm. 209–16. Hashkes PJ, Laxer RM. Medical treatment of juvenile idiopathic arthritis. JAMA. 2005 Oct;294(13):1671–84. Hayward K, Wallace CA. Recent developments in anti-rheumatic drugs in pediatrics: treatment of juvenile idiopathic arthritis. Arthritis Res Ther. 2009;11(1):216. Lovell DJ, Woo P, Hashkes PJ, Laxer RM, Lindsley CB. Juvenile idiopathic arthritis. Dalam: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH, penyunting. Primer on the rheumatic disease. Edisi ke-13. New York: Springer; 2008. hlm. 142–68. McKay D, Singh-Grewal D. Rheumatology. Dalam: Kilham H, Alexander S, Wood N, Isaacs D. Paediatrics manual. The Children’s Hospital at Westmead handbook. Edisi ke-2. North Ryde: McGraw-Hill Australia; 2009. hlm. 349–57. 20
7.
Petty RE, Southwood TR, Manners P, Baum J, Glass DN, Goldenberg J, dkk. International League of Associations for Rheumatology classification of juvenile idiopathic arthritis: second revision, Edmonton, 2001. J Rheumatol. 2004;31(2):390–2. 8. Ravelli A, Martini A. Juvenile idiopathic arthritis. Lancet. 2007;369(9563):767–79. 9. Viola S, Felici E, Magni-Manzoni S, Pistorio A, Buoncompagni A, Ruperto N, dkk. Development and validation of a clinical index for assessment of long-term damage in juvenile idiopathic arthritis. Arthritis Rheum. 2005;52(7):2092–102. 10. Wallace CA. Developing standards of care for patients with juvenile idiopathic arthritis. Rheumatology. 2010;49(7):1213–4. 11. Woo P, Laxer RM, Sherry DD. Pediatric rheumatology in clinical practice. Edisi ke-1. London: Springer-Verlag; 2007.
21
Lampiran
Tatalaksana JIA
Gambar 2 Algoritme Riwayat Artritis dengan Jumlah 4 Sendi atau Kurang
Keterangan: * = sulfasalazin dapat menjadi terapi yang tepat untuk enthesitis-related arthritis Sumber: Beukelman dkk. 2011
22
Gambar 3 Algoritme Riwayat Artritis dengan Jumlah 5 Sendi atau Lebih
Keterangan: * = leflunomid dapat digunakan sebagai terapi alternatif Sumber: Beukelman dkk. 2011
23
Gambar 4 Algoritme Riwayat Artritis dengan Tanda Sistemik Aktif Sumber: Beukelman dkk. 2011
24
Gambar 5 Algoritme Riwayat Artritis Sistemik dengan Artritis Aktif
Keterangan: * = inisiasi pemberian anakinra kurang tepat apabila dibandingkan dengan pemberian sekitar onset # = mengganti anakinra dengan inhibitor TNF-α tepat untuk beberapa kasus Sumber: Beukelman dkk. 2011
25
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK Batasan
Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun yang menyebabkan inflamasi sistemik pada berbagai sistem organ, bersifat kronik dan episodik, yang berarti dapat mengalami eksaserbasi dan remisi Tiga karakteristik diagnosis LES: Merupakan penyakit episodik Merupakan penyakit multisistem Ditandai antibodi antinuklear khususnya terhadap dsDNA dan autobodi lainnya
Etiologi
Belum diketahui, kecuali lupus yang disebabkan oleh obat. Faktor genetik, faktor yang didapat, dan faktor lingkungan dianggap berperan penting dalam gangguan sistem imun Interaksi antara jenis kelamin, faktor hormonal, dan aksis hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal memodifikasi tingkat kerentanan dan manifestasi klinis LES
Patogenesis
Ketidakmampuan regulasi imun seperti apoptosis dan eliminasi imun kompleks merupakan kontributor penting dalam berkembangnya LES. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan autoantigen membentuk kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam jaringan dan akan mengaktivasi komplemen, sehingga terjadi reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat deposit tersebut
26
Manifestasi Klinis Tabel 11 Manifestasi Klinis LES Sistem
Klinis
Konstitusional Kulit
Demam, malaise, BB ↓ Bercak malar (malar/butterfly rash), lupus diskoid, eritema periungual, foto sensitivitas, alopesia, ulserasi mukosa Mukoskeletal Poliatralgria dan artritis, tenosinovitis, miopati, nekrosis aseptik Vaskular Fenomena Raynaud, retikularis livedo, trombosis, eritromelalgia, lupus profundus Jantung Perikarditis dan efusi, miokarditis, endokarditis Libman-Sacks Paru-paru Pleuritis, pneumositis basiler, atelektasis, perdarahan Gastrointestinal Peritonitis, disfungsi esofagus, kolitis Hati, limpa, Hepatospenomegali, splenomegali, limfadenopati kelenjar Neurologi Organic brain syndrome, kejang psikosis, polineuritis, neuropati perifer Mata Eksudat, edema papil, retinopati Renal Glomerulonefritis, sindrom nefrotik, hipertensi Sumber: Petty dan Laxer 2005
Diagnosis
Penyakit LES ditegakkan apabila didapatkan 4 dari 11 kriteria berikut (Tabel 12)
27
Tabel 12 Kriteria Diagnosis LES Menurut American College of Rheumatology (ACR) Kriteria
Definisi
Bercak malar
Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi, tidak melewati lipatan nasolabial Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi Bercak di kulit timbul akibat paparan sinar matahari pada anamnesis atau pemeriksaan fisis Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri Artritis nonerosif pada 2 atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri tekan, bengkak, atau efusi
Bercak diskoid Foto sensitif Ulkus mulut Artritis Serositif Pleuritis Perikarditis
Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisis, atau Dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisis
Gangguan ginjal Proteinuria Proteinuria >0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika persisten pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukan Celular cast Eritrosit, Hb, granular, tubular, atau campuran Gangguan saraf Kejang Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit), atau Psikosis Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit) Gangguan Terdapat salah satu kelainan darah darah Anemia hemolitik → dengan retikulosit Leukopenia → <4.000/mm3 pada ≥1 pemeriksaan Limfopenia → <1.500/mm3 pada ≥2 pemeriksaan Trombositopenia → <100.000/mm3 tanpa terdapat intervensi obat
28
Gangguan imunologi
Antibodi antinuklear
Terdapat salah satu kelainan Anti-dsDNA di atas titer normal Anti-Sm(Smith) (+) Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan kadar IgG atau IgM antikardiolipin serum yang abnormal, antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standar Tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bl dan dikonfirmasi dengan ditemukan Treponema palidum atau antibodi treponema Tes ANA (+)
Sumber: Petty dan Laxer 2005, Tassiula dan Boumpa 2009
Diagnosis Banding
Sebagai penyakit reumatik sistemik, diagnosis LES merupakan integrasi gejala, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Gambaran umum penyakit reumatik sistemik harus dikenali, berbagai penyakit jaringan ikat lain dapat menyerupai LES tahap awal. Penyakit infeksi atau keganasan harus disingkirkan pada penderita demam atau splenomegali dan limfadenopati. LES yang tidak memenuhi kriteria diagnostik sebagai LES klasik sering disebut “lupus laten” atau “lupus inkomplet”
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang ditunjukkan untuk menilai petanda inflamasi, terdapatnya autoantibodi—khususnya antibodi terhadap antigen nuklear—serta untuk mengevaluasi keterlibatan organ, memonitor efek terapi, termasuk toksisitas obat Indikator Inflamasi Laju endap darah (LED), C-reactive protein (CRP) dapat ↑ Kelainan Hematologis Anemia Hemolisis autoimun dapat disebabkan oleh IgG complementfixing antibodies terhadap eritrosit yang ditandai dengan tes antiglobulin (misal tes Coomb) Leukosit dan trombosit Meskipun leukositosis dapat terjadi dengan limfositopenia (<1.500 sel/mm3) dan neutropenia, juga dapat ditemukan trombositopenia pada hampir setengah kasus LES anak Abnormalitas Koagulasi Antikoagulan lupus Pemanjangan aPTT dan waktu protrombin Antibodi antifosfolipid: antibodi terhadap kardiolipin akan bereaksi silang dengan sejumlah fosfolipid 29
Antibodi Antinuklear (Antinuclear Antibody/ANA) Titer ANA dengan mikroskop imunofloresens berada pada rentang kadar rendah 1:80 hingga kadar tinggi ekstrem 1:5.150 pada penyakit aktif. Pola imunofloresens biasanya periferal atau nuklear Antibodi terhadap DNA (anti-dsDNA) Anti-dsDNA sangat patognomonis untuk LES, dapat ditemukan pada semua anak LES yang aktif dan ditemukan berkadar tinggi pada nefritis aktif. Anti-dsDNA diukur dengan berbagai metode, antara lain radioimunoasai, mikroskop fluoresens atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) Antibodi terhadap extractable nuclear antigen Antibodi terhadap extractable nuclear antigen (anti-Sm, antiRo/SS-A, anti-La/SS-B) sangat berhubungan dengan LES, neonatal lupus, dan sindrom Sjogren. Kadar tinggi anti-RNP berhubungan dengan LES dan mixed connective tissue diseases Antibodi antihiston Tingginya kadar antibodi antihiston tanpa anti-dsDNA sangat menyokong lupus yang diinduksi obat Antiglobulin (Faktor Reumatoid) Faktor reumatoid ditemukan pada 10–30% anak LES Kompleks Imun Terdapatnya kompleks imun sangat mendasar pada patogenesis LES, tetapi pengukuran di dalam darah perifer hanya memberi sumbangan sedikit pada proses diagnostik atau tatalaksana LES Komplemen Pengukuran komplemen serum penting untuk menilai aktivitas LES. Komponen yang diukur antara lain C3, C4, atau CH50 Urinalisis dan Evaluasi Gangguan Ginjal Sebagian besar anak dengan nefritis lupus aktif didapatkan abnormalitas sedimen urin yang merupakan tanda gangguan ginjal. Proteinuria paling sering ditemukan, tetapi hematuria dan kast eritrosit merupakan tanda penting glomerulonefritis aktif. Proteinuria merupakan indikator abnormalitas glomerular dan tubular, tetapi bikan indikator respons terapi jangka pendek Analisis Cairan Inflamasi Analisis cairan sendi pada LES biasanya bersifat inflamasi dengan 3 leukosit yang rendah (<2.000 sel/mm ). Kandungan protein bervariasi mulai transudat hingga eksudat. Kadar komplemen cairan sendi biasanya rendah, menunjukkan rendahnya kadar komplemen dalam darah. Cairan pleura menunjukkan protein ↑ (>3 g/dL), leukosit ↑ (2.500–5.000/mm3), dengan sel mononuklear yang dominan, kadar glukosa mendekati kadar glukosa serum, serta C3 dan C4 ↓. Dapat ditemukan sel LE pada sediaan apus
30
Konsultasi
Penanganan multidisiplin untuk diagnosis dan terapi sesuai manifestasi klinis: Kulit Mata Fisioterapi
Tatalaksana
Penyakit LES merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan relaps. Terapi suportif dan edukasi bagi orangtua dan anak penting dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan. Edukasi dan konseling memerlukan tim dalam menangani penyakit multisistem pada anak dan remaja, serta harus meliputi ahli reumatologi anak, ginjal anak, kulit, nutrisionis, perawat, petugas sosial, dan psikolog. Perpindahan terapi ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja. Berikut ini alur tatalaksana LES (Gambar 6)
Gambar 6 Skema Tatalaksana LES
Sumber: Gottlieb dan Ilowite 2006
31
Terapi Farmakologis Terapi spesifik LES bersifat individual dan berdasarkan tingkat keparahan penyakit Obat antiinflamasi nonsteroid Ditujukan terutama untuk mengatasi keluhan muskuloskelet Ibuprofen: 30–40 mg/kgBB/hr dibagi 3–4 dosis, maks. 2.400 mg/hr Naproksen: 10–20 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis, maks. 1.000 mg/hr Hidroksiklorokuin Dosis yang direkomendasikan ≤6,5 mg/kgBB/hr, maks. 400 mg/hr. Merupakan zat penghemat steroid (steroid sparing agent). Pemberian hidroksiklorokuin memerlukan pemantauan toksisitas terhadap retina. Terdapat peningkatan potensi toksisitas retina bila terdapat gangguan fungsi ginjal. Pemantauan lapang pandang, tes penglihatan warna, pemeriksaan kornea, dan visual acuity testing dilakukan setiap 6 bl Glukokortikoid Prednison Diberikan p.o. bersama makanan Dosis rendah <0,5 mg/kgBB/hr, ⅔ dosis pagi hr, ⅓ dosis siang hr, interval 8 jam Dosis tinggi 1–2 mg/kgBB/hr (maks. 60–80 mg/hr), dibagi 3–4 dosis selama 3–6 mgg, dilanjutkan dengan tapering-off selama 1–2 mgg diberikan sesuai alur pada Gambar 6, juga diberikan pada: Anemia hemolitik akut, berat 3 Trombositopenia (<50.000/m ) tanpa perdarahan dan gangguan koagulasi Lupus eritematosus kutan berat sebagai bagian terapi inisial lupus diskoid dan vaskulitis Pantau anti-dsDNA, bila (−), lakukan tapering-off selama 1–2 mgg stop terapi selama remisi (anti-dsDNA (−)) Metilprednison Dosis 30 mg/kgBB/hr i.v. (maks. 1 g) selama 90 mnt, 3 hr berturut-turut, dilanjutkan secara i.m. (tiap mgg) disertai prednison dosis rendah setiap hr, diberikan sesuai alur pada Gambar 6, juga diberikan pada: Anemia hemolitik berat Trombositopenia berat (<50.000/m3) mengancam kehidupan, mungkin perlu disertai imunoglobulin intravena (IGIV) Bila berjangka panjang dapat disertai: danazol, vinkristin, imunosupresif lain, splenektomi (sangat jarang) Triamsinolon (intraartikular): untuk artritis pada sendi tertentu Agen imunosupresif Siklofosfamid, mikofenolat mofetil (MMF), dan azatioprin (Gambar 7) Digunakan pada lupus nefritis berat, neuropsikiatrik 32
Siklofosfamid dosis terendah digunakan pada keadaan leukopenia, trombositopenia, kreatinin >2 g/dL MMF dan azatioprin lebih aman dibandingkan dengan siklofosfamid
Gambar 7 Algoritme Tatalaksana Lupus Nefritis (Kelas III dan IV) atau Lupus Berat Sumber: Modifikasi Hajizadeh dkk. 2014
Metotreksat Sebagai zat penghemat steroid. Dosis 10–20 mg/m2 p.o. 1×/mgg diberikan bersama asam folat p.o. hindari alkohol (meningkatkan risiko sirosis hepatis). Obat diberikan pada: Trombositopenia (<50.000/mm3) jangka panjang sesudah terapi inisial metilprednisolon dosis tinggi Poliartritis berat, bila dosis rumatan kortikosteroid >10 mg/hr 33
Lupus eritematosus kutan berat Topikal Diberikan bila ada kelainan kulit. Obat yang biasa digunakan: Betametason 0,05% Flusinosid 0,05% untuk 2 mgg, selanjutnya diganti dengan hidrokortison Fisioterapi Segera bila ada artritis Terapi Suportif Diet: setiap pemberian kortikosteroid, apabila jangka panjang harus disertai dengan diet rendah garam, gula, restriksi cairan, disertai suplemen Ca dan vitamin D Dosis kalsium karbonat sebagai elemen kalsium: Usia <6 bl: 360 mg/hr 6–12 bl: 540 mg/hr 1–10 th: 800 mg/hr 11–18 th: 1.200 mg/hr Dosis vitamin D (hidroksikolekalsiferol) BB <30 kg: 20 mcg p.o. 3×/mgg BB >30 kg: 50 mcg p.o. 3×/mgg Edukasi Penting untuk penderita/keluarganya agar mengerti penyakit LES dan penyulitnya yang mungkin terjadi, serta pentingnya berobat secara teratur
Penyulit
Akibat LES Osteonekrosis Deteksi dini dengan magnetic resonance imaging (MRI) Ortopedik stadium dini: core decompression Stadium lanjut: total joint replacement Sindrom antibodi antifosfolipid bila disertai: Trombosis: terapi warfarin intensitas tinggi (bila international normalized ratio/INR: 3–4) Rekurensi kegagalan berlangsungnya kehamilan: heparin, aspirin dosis rendah Gagal ginjal: dialisis, transplantasi Antihipertensi, antikonvulsan, antipsikotik, antiemetik Akibat Terapi Osteoporosis Fracture-induced osteoporosis Muntah akibat siklofosfamid Sitopenia akibat siklofosfamid (anemia, leukopenia, trombositopenia) 34
Pencegahan
Pencegahan terhadap pemaparan sinar matahari Hindari paparan sinar matahari dengan tingkat UV tertinggi (jam 09.00/10.00–15.00/16.00) Pakaian lengan panjang, celana panjang, kerudung, topi, kacamata hitam Tabir surya (topikal) untuk blokade radiasi UVA dan UVB, sedikitnya dengan sun protector factor (SPF) 30 Pencegahan osteoporosis selama terapi steroid dosis tinggi Deteksi dini dengan MRI Diet tinggi kalsium Vitamin D adekuat Olahraga Pencegahan sistitis hemoragika akibat siklofosfamid: mesna i.v. Mesna akan mengikat akrolein, metabolit toksik siklofosfamid
Prognosis
LES merupakan penyakit jangka panjang, diselingi eksaserbasi dan remisi. Eksaserbasi (flare) setiap saat dapat dicetuskan oleh infeksi atau pencetus lain, ditandai demam dan gejala konstitusional lainnya. Remisi secara spontan dapat terjadi. Luaran dari penyakit ini akan membaik dengan diagnostik dan terapi multidisiplin, serta pemahaman tentang penyulit jangka pendek dan jangka panjang
35
36 Gambar 8 Jadwal Pemberian Siklofosfamid (i.v.) pada Penderita LES Sumber: Lehman dan Onel 2000
37 Gambar 9 Jadwal Pemberian MMF pada Penderita LES Sumber: Hahn dkk. 2012 dan Hajizadeh dkk. 2014
38 Gambar 10 Jadwal Pemberian Siklofosfamid i.v. dan Azatioprin (AZA) pada Penderita LES Sumber: Hahn dkk. 2012 dan Hajizadeh dkk. 2014
Bibliografi 1.
2. 3.
4.
5. 6.
7.
8. 9.
10.
11.
12.
13.
Cassidy JT. Systemic lupus erythematosus, dermatomyositis, scleroderma and vasculitis. Dalam: Firestein GS, Budd RC, Harris ED, McInnes IB, Ruddy S, Sergent JS, penyunting. Edisi ke-8. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. hlm. 1677–96. Gottlieb BS, Ilowite NT. Systemic lupus erythematosus in children and adolescent. Pediatr Rev. 2006;27(9):323–30. Hahn BH, McMahon MA, Wilkinson A, Wallace WD, Daikh DI, Fitzgerald JD, dkk. American College of Rheumatology guidelines for screening, treatment, and management of lupus nephritis. Arthritis Care Res. 2012;64(6):797–808. Hahn BH. Overview of pathogenesis of systemic lupus erythematosus. Dalam: Wallace DJ, Hahn BH, penyunting. Dubois’ lupus erythematosus. Edisi ke-7. Los Angeles: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. hlm. 47–53. Hajizadeh N, Laijani FJ, Moghtaderi M, Ataei N, Assadi F. A treatment algorithm for children with lupus nephritis to prevent developing renal failure. Inter J Prev Med. 2014;5(3):250–5. Ilowite NT, Laxer RM. Pharmacology and drug therapy. Dalam: Cassidy CT, Laxer RM, Pett RE, Linsdley CB, penyunting. Textbook of pediatric rheumatology. Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 71–126. Klein-Gittelman MS, Miller ML. Systemic lupus erythematosus. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. hlm. 1015–9. Lehman TJA, Onel K. Intermittent intravenous cyclophosphamide arrests progression of the renal chronicity index in childhood systemic lupus erythematosus. J Pediatr. 2000;136(2):243–7. Miller FW, Cooper GS. Environmental aspects of lupus. Dalam: Wallace DJ, Hahn BH, penyunting. Dubois’ lupus erythematosus. Edisi ke-7. Los Angeles: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. hlm. 22–33. Petty RE, Laxer RM. Systemic lupus erythematosus. Dalam: Cassidy JT, Petty RE, Lindsley C, Laxer RM, penyunting. Textbook of pediatric rheumatology. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2005. hlm. 543–56. Rus V, Maury EE, Hochberg MC. The epidemiology of systemic lupus erythematosus. Dalam: Wallace DJ, Hahn BH, penyunting. Dubois’ lupus erythematosus. Edisi ke-7. Los Angeles: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. hlm. 34–44. Soepriadi M, Setiabudiawan B. Lupus eritematosus sistemik. Dalam: Garna H, Nataprawira HMD, penyunting. Pedoman diagnosis dan terapi ilmu kesehatan anak FK Unpad/RSHS. Edisi ke-3. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unpad/RSHS; 2005. hlm. 133–42. Soepriadi M, Setiabudiawan B. Lupus eritematosus. Dalam: Kartasasmita CB, Supandiman I, Suwarman I, Djajakusumah TS, Dahlan Z, penyunting. Pedoman penatalaksanaan alergi dan imunologi. Bandung: Peralmuni Cabang Bandung; 2006. hlm. 28–50. 39
14. Tassiula IO, Boumpa DO. Clinical features and treatment of systemic lupus erythematosus. Dalam: Firestein GS, Budd RC, Harris ED, McInnes IB, Ruddy S, Sergent JS, penyunting. Edisi ke-8. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. hlm. 1263–94. 15. Tutuncu ZAN, Kalunian KC. The definition and classification of systemic lupus erythematosus. Dalam: Wallace DJ, Hahn BH, penyunting. Dubois’ lupus erythematosus. Edisi ke-7. Los Angeles: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. hlm. 16–20.
40
PURPURA HENOCH-SCHÖNLEIN Batasan
Purpura Henoch-Schönlein (Henoch-Schönlein purpura/HSP) merupakan vaskulitis leukositoklastik akut yang ditandai deposit IgA pada pembuluh darah kecil di kulit, persendian, saluran cerna, dan ginjal
Etiologi
Belum diketahui dengan pasti Infeksi Bakteri: terutama Streptokokus beta-hemolitikus, Haemophilus, Mycoplasma pneumoniae, Legionella, Yersinia, Salmonella, dan Shigella Virus: parainfluenza, Epstein-Barr virus, hepatitis B, adenovirus, varisela, cytomegalovirus, parvovirus B19, herpes simpleks Faktor genetik, human leucocyte antigen (HLA) class II genes, HLAB35 dan HLA-DRB1*01, polimorfisme gen interleukin (IL)-1 β, serta defisiensi komplemen C2 Imunisasi (tifoid, campak, varisela, rubela, hepatitis A dan B) Obat-obatan (penisilin, ampisilin, eritromisin, kina) Gigitan serangga Alergen makanan
Manifestasi Klinis
Kulit Palpable purpura, predominan di ekstremitas bawah, bokong, dan daerah yang terkena tekanan berat. Lesi dapat berupa petekia kecil, ekimosis, hingga bula hemoragis. Warna lesi merah, keunguan (purple), hingga kecoklatan. Ulserasi dapat terjadi pada ekimosis yang luas. Ruam didahului lesi makulopapular hingga urtikaria. Edema subkutan dapat terjadi pada bagian dorsal tangan, kaki, mata, kening, kulit kepala, dan skrotum, serta dapat terjadi torsio testis Gastrointestinal Nyeri abdomen biasanya bersifat intermiten, kolik di daerah periumbilikus dengan onset akut. Vaskulitis pada dinding usus menyebabkan edema serta perdarahan submukosa dan intramural, dapat menyebabkan intususepsi (biasanya pada usus kecil), gangren, dan perforasi Ginjal Glomerulonefritis terjadi dengan berbagai derajat, dapat berupa hematuria mikroskopik, proteinuria ringan, hingga sindrom nefrotik, sindrom nefritik akut, hipertensi hingga gagal ginjal. Manifestasi klinis ginjal yang berat dapat terjadi 1 bl sesudah terjadinya ruam, dengan masa kritis 3 bl pertama menentukan manifestasi klinis ginjal yang berat Henoch-Schönlein purpura nephritis digolongkan berat apabila terdapat proteinuria nefrotik (>40 mg/m2/hr), sindrom nefrotik, 41
sindrom nefritis akut, dan apabila terdapat HSPN tingkat IIIa (proliferasi fokal atau sklerosis dengan gambaran kresentik <50%) sesuai dengan klasifikasi International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) Artritis Dapat berupa artralgia atau artritis, biasanya mengenai sendi besar seperti lutut dan pergelangan kaki
Diagnosis
European League Against Rheumatism (EULAR), Paediatric Rheumatology International Trials Organisation (PRINTO), dan Paediatric Rheumatology European Society (PRES) 2008: Purpura atau petekia nontrombositopenia dengan lokasi predominan di ekstremitas bawah ditambah sekurang-kurangnya satu dari empat kriteria di bawah ini, yaitu: Nyeri abdomen Histopatologi Gambaran vaskulitis leukositoklastik pada kulit atau glomerulonefritis proliferatif dengan dominasi deposit IgA Artritis atau artralgia Keterlibatan ginjal
Diagnosis Banding
Vaskulitis pembuluh darah kecil lain yang diperantarai kompleks imun, vaskulitis hipersensitif, mixed cryoglobulinemia, vaskulitis urtikaria Pauci-immune vasculitides, granulomatosis Wegener, sindrom ChurgStrauss, poliangiitis mikroskopis Miscellaneous small vessel vasculitides: penyakit Behcet, inflammatory bowel disease Kelainan yang menyerupai vaskulitis: perdarahan, trombosis, emboli
Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap: leukositosis, trombositosis, anemia bila terdapat perdarahan saluran cerna atau hematuria berat, laju endap darah (LED) dapat ↑ Urin dipstik untuk mengetahui hematuria dan proteinuria Fungsi ginjal Albumin darah Titer antistreptolisin O (ASTO) untuk mengetahui infeksi Streptokokus sebelumnya Darah samar feses Radiologis pada HSP: Foto abdomen: perforasi saluran cerna (gambaran udara bebas) USG abdomen: terlihat penebalan dinding usus dan peristaltik usus ↓ serta berguna untuk mengetahui intususepsi (terbanyak ileoileal) USG ginjal: hidronefrosis
42
Tatalaksana
43 Gambar 11 Ringkasan Tatalaksana Purpura Henoch-Schönlein berdasarkan Keterlibatan Organ
Tatalaksana Kelainan Kulit Prednison dosis 1 mg/kgBB/hr dalam 2 dosis selama 14 hr, kemudian diturunkan bertahap 0,5 mg/kgBB/hr selama 1 mgg, kemudian 0,5 mg/kgBB sekali sehari secara alternat Kelainan kulit yang berat: kortikosteroid sistemik atau obat imunosupresif yang lebih poten (azatioprin, metotreksat atau siklofosfamid) Tatalaksana Penyulit Gastrointestinal Prednison 2 mg/kgBB/hr selama 2 mgg termasuk tapering-off Pada penyulit gastrointestinal yang berat dapat diberikan metilprednisolon dosis tinggi (30 mg/kgBB/hr, maks. 1 g) secara i.v. dalam 1 jam selama 3 hr berturut-turut, diikuti dengan prednisolon 1 mg/kgBB/hr, dilakukan tapering-off bila perbaikan klinis tercapai Gejala gastrointestinal menetap dengan pemberian kortikosteroid dapat diberikan mikofenolat mofetil (MMF) 30 mg/kgBB/hr Imunoglobulin i.v. 2 g/kgBB dosis tunggal dalam 10–12 jam setiap bl selama 3 bl berturut-turut
44
Tatalaksana HSP Nefritis (HSPN)
Gambar 12 Tatalaksana HSP Nefritis* *Keterangan Vitamin D 300 IU/hr dan kalsium untuk 6 bl Memantau parameter laboratorium setiap 3 bl (protein urin, kreatinin, protein total, albumin, SGOT, SGPT, dan GFR) selama terapi diberikan Sesudah selesai terapi, penderita kontrol 3 bl sekali dan dilakukan pemeriksaan laboratorium setiap 6 bl Protokol vaskulitis Birmingham terlampir pada Gambar 13
Efek samping siklofosfamid: dapat terjadi depresi sumsum tulang, infeksi, sistitis hemoragik, toksisitas gonad, dan risiko keganasan↑ Sebelum pemberian setiap protokol dilakukan pemeriksaan darah lengkap, urea, kreatinin, elektrolit, dan fungsi hati Protokol penundaan atau modifikasi dosis siklofosfamid (cyclophosphamide/CYC) pada keadaan sebagai berikut (Tabel 13)
45
Tabel 13 Penyesuaian Dosis Protokol Siklofosfamid (CYC) pada Beberapa Keadaan Neutropenia
Gangguan fungsi ginjal
Gangguan fungsi hati
Kreatinin
97–150 mol/L
>150 mol/L Laju filtrasi 50–80 mL/mnt/ ginjal 1,73 m2 15–49 mL/mnt/ 1,73 m2 <15 mL/mnt/ 1,73 m2 ALT/AST >200 IU/L
Tunda protokol hingga neutrofil >1,5×109/L, dosis CYC untuk selanjutnya direduksi 25% Reduksi CYC 25% Reduksi CYC 50–75% Reduksi CYC 25% Reduksi CYC 50% Reduksi CYC 75% Pertimbangkan reduksi CYC
Tatalaksana Artritis/Artralgia Asetaminofen 10–15 mg/kgBB/dosis setiap 6 jam, atau Obat-obatan AINS, antara lain: Naproksen 10–20 mg/kgBB/hr (maks. 1 g) dibagi 2 dosis, atau Ibuprofen 30–40 mg/kgBB/hr (maks. 2.400 mg) dibagi 3–4 dosis Penggunaan aspirin tidak dianjurkan
Prognosis
Penatalaksanaan yang segera akan mencegah penyulit
Bibliografi 1.
2.
3. 4.
Cassidy JT, Petty RE. Leucocytoclastic vasculitis. Dalam: Cassidy JT, Petty RE, Laxer RM, Lindley CB, penyunting. Textbook of pediatric rheumatology. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2005. hlm. 496–501. Cassidy JT. Systemic lupus erythematosus, juvenile dermatomyositis, scleroderma, and vasculitis. Dalam: Firestein GS, Budd RC, Harris ED, Mclnnes IB, Ruddy S, Sergent JS, penyunting. Kelley's textbook of rheumatology. Edisi ke-8. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. hlm. 1693–5. Hammidou MA. Pottier M, Dupas B. Intravenous immunoglobulin in Henoch-Schonlein purpura. Ann Int Med. 1996;125(12):1007– 22. Nikibakhsh AA, Mahmoodzadeh H, Karamyyar M, Hejazi S, Noroozi M, Macooie AA, dkk. Treatment of complicated HenochSchonlein purpura with mycophenolate mofetil: a retrospective case series report. Int J Rheum. 2010;10:1–5. 46
5.
Ozen S, Pistorio A, Lusan SM. EULAR/PRINTO/PRES criteria for Henoch-Schönlein purpura, childhood polyarteritis nodosa, childhood Wegener granulomatosis and childhood Takayasu arteritis: Ankara 2008. Part II: Final classification criteria. Ann Rheum Dis. 2010;69:798–806. 6. Schedule B. Birmingham vasculitis protocol. Newcastle Upon Tyne Hospital [diunduh 17 Agustus 2011]. Tersedia dari: http://www.newcastle-hospitals.org.uk/downloads/clinicalguidelines/Childrens%20Services/CyclophosphamideTherapy2009. pdf. 7. Sinclair P. Henoch-Schönlein purpura-a review. Curr Allergy Clin Immunol. 2010;23:116–20. 8. Stone JH. Immune complex-mediated small vessel vasculitis. Dalam: Firestein GS, Budd RC, Harris ED, Mclnnes IB, Ruddy S, Sergent JS, penyunting. Kelley's textbook of rheumatology. Edisi ke-8. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. hlm. 1465–73. 9. Wilkinson N, Welsh R. Paediatric reumatology cyclophosphamide protocol. Nuffield Orthopaedic Centre. 2008. [diunduh 20 Maret 2012]. Tersedia dari: http://www.noc.nhs.uk/oxparc/professio nals/documents/cyclophosphamide-protocol.pdf. 10. Yue D, Ling H, Chengguang Z, Mei H, Yubin W. Treatment of children with Henoch-Schonlein purpura nephritis with mycophenolate mofetil. Pediatr Nephrol, Online First™. 13 November 2011.
47
48 Gambar 13 Protokol Vaskulitis Birmingham
Keterangan: Hidrasi 80 mL/m2/jam dengan lar 1:4 selama 12 jam sebelum dan 12 jam sesudah masuk siklofosfamid (hidrasi 2 L/m2/hr) Ondansentron 5 mg/m2/dosis (maks. 8 mg) i.v. diberikan 1 jam sebelum masuk siklofosfamid 2-Mercaptoethane sulfonate Na (MESNA) 3 mg/kgBB i.v. bolus 15 mnt sebelum masuk siklofosfamid Siklofosfamid 15 mg/kgBB/dosis dalam 60 mnt Metilprednisolon 30 mg/kgBB/dosis dalam 1 jam (maks. 1 g) dalam NaCl 0,9% 100 mL sesudah siklofosfamid masuk MESNA 12 mg/kgBB diberikan dalam larutan hidrasi (larutan 1:4) selama 4 jam hidrasi kedua (total dosis MESNA = total dosis siklofosfamid) Semua penderita harus diperiksa darah sebelum masuk siklofosfamid (Hb, Ht, L,Tr, MDT, DC, LED, Na, K, Ca, ureum, kreatinin, SGOT, SGPT) Siklofosfamid tidak boleh diberikan tanpa diskusi dahulu dengan dokter reumatologi anak konsultan atau nefrologi anak konsultan Ondansentron dapat diberikan dengan dosis 5 mg/m2/dosis (maks. 8 mg) i.v., diberikan 1 jam sebelum pemberian siklofosfamid dan 3x/hr (tiap 8 jam) bila ada keluhan nausea yang menetap. Terapi dapat dilanjutkan dalam 2 hr berikutnya Setiap pemberian kortikosteroid jangka panjang, diberikan suplemen kalsium dan vitamin D Dosis kalsium karbonat: Vitamin D: usia <6 bl: 360 mg/hr BB <30 kg 20 mcg p.o. 3×/mgg 6–12 bl: 540 mg/hr BB >30 kg 50 mcg p.o. 3×/mgg 1–10 th: 800 mg/hr 11–18 th: 1.200 mg/hr Indikasi regimen pada HSP nefritis berat yaitu: Proteinuria nefrotik (>40 mg/m2/hr) Sindrom nefrotik Sindrom nefritik akut Terdapat HSPN derajat IIIa (focal mesangial proliferation dengan terdapatnya <50% cressent) sesuai klasifikasi ISKDC
49
SARKOIDOSIS Batasan
Gangguan multisistem berupa jaringan granulomatosa yang tidak diketahui penyebabnya, umumnya terjadi pada dewasa muda dengan gejala klinis yang paling sering terjadi berupa limfadenopati bilateral pada hilus, infiltrasi ke jaringan paru, lesi pada kulit atau mata
Etiologi
Belum diketahui pasti
Patogenesis
Faktor kombinasi antara lingkungan dan pejamu, antara lain: Infeksi virus dan mikobakterium Genetik Lingkungan
Diagnosis
Gambaran klinis Laboratorium (tidak mempunyai gambaran khas), biasanya: Hiperglobulinemia LED ↑ Eosinofilia Leukopenia Hiperkalsemia Hiperkalsiuria Tes fungsi hati ↑ Titer fiksasi komplemen Radiologis Gambaran radiologis toraks dibedakan menjadi 4 stadium: Stadium 0: gambaran paru normal 1: pembesaran kelenjar getah bening (KGB) hilus bilateral tanpa kelainan paru 2: pembesaran KGB hilus bilateral disertai infiltrasi ke paru, berupa nodul milier atau cotton-wool appearance 3: fibrosis parenkim paru dan bula dengan/tanpa disertai pembesaran KGB Histologis: granulomatous noncaseating, terdiri atas sel epiteloid yang membentuk tuberkel tanpa nekrosis Bahan: KGB perifer, KGB mediastinum, kulit, otot, tulang, paru, hati, konjungtiva, kelenjar ludah minor, dan mukosa hidung Tes kulit Kveim-Siltzbach (+) Tes tuberkulin (−) Imunoglobulin normal atau ↑ Bilasan bronkoalveolar Limfositosis, terutama limfosit T T-helper: T-supresor = 10:1 50
Diagnosis Banding
Tuberkulosis Penyakit yang disebabkan oleh mikrob dan jamur Keganasan Reaksi alergi Proses autoimun Idiopathic pulmonary fibrosis
Pemeriksaan Penunjang
Angiotensin-converting enzym serum ↑ Kontras galium (menilai aktivitas paru)
Terapi
Spesifik belum ada Banyak penderita yang sembuh sendiri Kortikosteroid Hanya simtomatik Menekan proses granuloma dan mencegah lesi yang menetap Prednison/prednisolon Dosis inisial: 40–60 mg/hr (1–2 mg/kgBB/hr) dibagi 3–4 dosis p.o. Dosis ↓ secara bertahap sesudah manifestasi klinis hilang Dosis rumatan: 10–20 mg/hr sampai paling sedikit 6 bl Triamsinolon Dosis 0,75 mg/kgBB/hr dibagi 3–4 dosis p.o. Kelainan mata Kortikosteroid topikal (salep atau tetes mata 0,5–1%) + preparat atropin 1%, disertai terapi sistemik Kelainan kulit Kortikosteroid topikal disertai terapi sistemik Obat pengganti Oksifenbutazon Klorokuin Potassium para-aminobenzoat Azatioprin Metotreksat Colchicine
Prognosis
Berhubungan dengan onset penyakit Akut disertai eritema nodosum yang akan sembuh spontan Perlahan-lahan akan timbul jaringan fibrosis yang progresif Pemberian kortikosteroid Meredakan gejala serta menekan proses inflamasi dan pembentukan granuloma Kebanyakan berjalan jinak, tetapi dapat menjadi ganas → kanker paru & limfoma
51
Gejala sisa Kebutaan Penyakit paru restriktif yang berat Kematian karena penyakit paru berat
Bibliografi 1. 2. 3.
4. 5.
6.
Arnold WJ. Sarcoidosis. Dalam: Kelley WN, Harris ED JR, Ruddy S, Sledge CB, penyunting. Textbook of rheumatology. Edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders Co; 1993. hlm. 1429–33. Bravermann IM. Skin and sign of systemic disease. Edisi ke-2. Philadelphia: WB Saunders Co; 1981. Fieselmann JF, Richerson HB. Respiratory diseases. Dalam: Stites DP, Terr AI, Parslow TG, penyunting. Basic and clinical immunology. Edisi ke-8. Norwalk: Appleton & Lange; 1994. hlm. 533–4. Hedfors E. Sarcoidosis. Dalam: Parker CW, penyunting. Clinical immunology. Edisi ke-1. Philadelphia: WB Saunders Co; 1980. hlm. 556–80. Pattishall EN, Kendig EL Jr. Sarcoidosis. Dalam: Chernik V, Kendig EL Jr, penyunting. Kendig's disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-5. Philadelphia: WB Saunders Co; 1990. hlm. 769–80. Stanberg ET, Klien MW, Shearer WT. The secondary immunodeficiencies. Dalam: Stehm ER, penyunting. Immunologic disorders in infant & children. Edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders Co; 1996. hlm. 575–7.
52
SKLERODERMA Batasan
Skleroderma merupakan satu kelompok heterogen kelainan autoimun yang ditandai dengan aktivasi sistem imun, vaskulopati, stimulasi fibroblas, dan fibrosis jaringan ikat
Klasifikasi Tabel 14 Klasifikasi Skleroderma Sklerosis sistemik Skleroderma kutaneus Difus Terbatas Sindrom yang tumpang tindih (overlap) Sklerodermatomiositis atau dengan penyakit jaringan ikat lainnya Penyakit jaringan ikat campuran Skleroderma lokalisata Morphea terbatas Morphea generalisata Morphea pansklerotik Morphea linier Subtipe campuran Penyakit graft versus host Penyakit seperti skleroderma yang diinduksi oleh zat kimia Klorida polivinil Bleomisin Pentazosin Sindrom minyak beracun Penyakit penyerta Pseudoskleroderma Fenilketonuria Sindrom penuaan dini Fibrosis idiopatik terlokalisata Sklerederma Keiroartropati diabetik Tarda porfiria kutanea Sumber: Zulian dan Cassidy 2011
Etiologi
Belum diketahui dengan pasti
Patogenesis
Cedera endotel vaskular yang diakibatkan: Faktor genetik, infeksi, trauma, autoimun maupun penyebab lingkungan 53
Manifestasi Klinis
Gejala konstitusional Demam, malaise, nafsu makan ↓, kehilangan berat badan, nyeri Gejala organ spesifik Edema non-pitting, kulit mengeras, sklerosis ekstremitas bawah dan wajah, atrofi kulit, fenomena Raynaud, kalsinosis subkutaneus, esofagitis, disfagia, telangiektasis
Diagnosis
Diagnosis skleroderma ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis seperti di bawah ini: Usia<16 tahun Skleroderma lokalisata Morfea lokal Plak sklerotik dengan pusat berwarna pucat Pada fase aktif tepinya berwarna keunguan Penurunan respons mengeluarkan keringat pada daerah lesi Gangguan pertumbuhan rambut Morfea generalisata Kelainan kulit mencakup ≥3 daerah anatomi (bahu, perut, bokong, dan kaki) Plak multipel, berindurasi dan hiperpigmentasi Morfea profunda (subkutaneus) Lesi di daerah dalam, plak sklerotik Skleroderma linier Lesi menyerupai gambaran pita memanjang, unilateral Skleroderma sistemik Diagnosis ditegakkan bila didapatkan 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor Kriteria mayor Sklerosis dan atau indurasi kulit yang spesifik Kriteria minor (keterlibatan organ) Kulit Kalsifikasi subkutaneus Pitting jari Telangiektasis Pigmentasi Arteri jari (fenomena Raynaud) Muskuloskeletal Artralgia Kontraktur Kelemahan otot Atrofi otot Sistem saraf Nyeri kepala Kebas pada ekstremitas Saluran pencernaan Motilitas abnormal esofagus 54
Paru-paru Difusi abnormal Jantung Kardiomegali EKG abnormal Ginjal Proteinuria Gangguan fungsi ginjal
Pemeriksaan Penunjang
Skleroderma sistemik: 90% tes ANA (+) Skleroderma lokalisata: faktor reumatoid ↑, eosinofilia (>400/µL) Pemeriksaan lain sesuai dengan organ yang terlibat: manometri esofagus, barium enema, elektrokardiografi
Tatalaksana
Penatalaksanaan skleroderma sulit, tidak ada terapi spesifik dan seragam Terapi ditujukan untuk meningkatkan sirkulasi darah perifer dan terapi paliatif terhadap manifestasi klinis dan luasnya organ yang terkena
55
Gambar 14 Protokol Terapi Skleroderma
Sumber: Sapadin dan Raul 2002, Frank dkk. 2004, Kao 2006, Zulian dkk. 2005
Prognosis
Secara umum skleroderma lokalisata tidak mengancam jiwa Resolusi spontan dapat terjadi dalam beberapa bl sampai beberapa th
Bibliografi 1.
Breuckmann F, Gambichler T, Altmeyer P, Kreuter A. UVA/UVA1 phototherapy and PUVA photochemotherapy in connective tissue diseases and related disorders: a research based review. BMC Dermatol. 2004;4(1):11. 56
2.
Fett N. Scleroderma: nomenclature, etiology, pathogenesis, prognosis, and treatments: fact and controversies. Clin Dermatol. 2013;31(4):432–7. 3. Gabrielli A, Avvedimento EV, Krieg T. Scleroderma. N Engl J Med. 2009;360(19):1989–2003. 4. Kao YH, Shyur SD, Chu SH, Huang LH, Wang TC. Juvenile scleroderma in Taiwanese children–experience of one institution in Taipei. J Rheumatol R.O.C. 2006;20(1):39–48. 5. Mehta V, Balachandran C, Hameed S. Generalized linear scleroderma in childhood. Dermatol Online J. 2007;13(3):24. 6. Nejad MHM. Scleroderma in pediatrics age group: report of 25 cases. Acta Medica Iranica. 1999;37(2):106–9. 7. Odom RB, James WD, Berger TG. Andrews’ diseases of the skin: clinical dermatology. Edisi ke-9. Philadelphia: WB Saunders; 2000. 8. Sapadin AN, Fleischmajer R. Treatment of scleroderma. Arch Dermatol. 2002;138(1):99–105. 9. Shanmugam VK, Steen VD. Renal manifestation in scleroderma: evidence for subclinical renal disease as a marker of vasculopathy. Int J Rheumatol. 2010;2010:1–8. 10. Yu BD, Eisen AZ. Scleroderma. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-6. New York: McGraw-Hill Professional; 2003. hlm. 1709–18. 11. Zulian F, Cassidy JT. The systemic sclerodermas and related disorders. Dalam: Cassidy JT, Laxer RM, Petty RE, Lindsley CB, penyunting. Textbook of pediatric rheumatology. Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 414–37. 12. Zulian F, Vallongo C, Woo P, Russo R, Ruperto N, Harper J, dkk. Localized scleroderma in childhood is not just a skin disease. Arthritis Rheum. 2005;52(9):2873–81.
57
JUVENILE DERMATOMYOSITIS Batasan
Juvenile dermatomyositis (JDM) adalah suatu penyakit multisistem berupa miopati yang disebabkan oleh inflamasi kronik dan idiopatik, ditandai berbagai derajat inflamasi perivaskular, yang kemudian dapat menimbulkan kalsinosis
Epidemiologi
Puncak usia 5−14 th. Perempuan:laki-laki adalah 2,7:1
Manifestasi Klinis
Ruam heliotrope (eritema periorbital dengan atau tanpa edema kelopak mata) Gottron papule pada buku-buku jari, tangan, dan siku Eritema periungual dapat terdeteksi pada kelopak mata atau gusi menggunakan nailfold capillaroscopy Gejala sistemik: Demam Anoreksia Malaise Berat badan ↓ Irritable atau nyeri perut Kalsinosis adalah tanda lain JDM yang identik dengan tingkat keparahan penyakit. Ketika kalsinosis terjadi, miokarditis atau perikarditis harus diwaspadai
Diagnosis
Saat ini kriteria yang paling banyak digunakan didefinisikan oleh Bohan dan Peter pada tahun 1975 Tabel 15 Kriteria Diagnosis Bohan dan Peter Kriteria Diagnosis Bohan dan Peter Kelemahan otot panggul proksimal dan simetris, anterior fleksor leher, dengan atau tanpa disfagia atau keterlibatan otot pernapasan Peningkatan kadar enzim otot rangka serum: creatine phosphokinase (CPK), aminotransferase aspartat, laktat dehidrogenase (LDH), dan aldolase Elektromiografi dengan karakteristik miopati (short and small motor units, fibrillations, positive pointy waves, insertional irritability and repetitive high-frequency firing) Biopsi otot yang menampilkan nekrosis fagositosis, regenerasi,atrofi perifasikular, inflamasi perivaskular eksudat Perubahan kulit khas: Heliotrope dengan periorbital edema dan eritema Gottron: vaskulitis di siku, metakarpofalangeal, dan sendi interfalangeal proksimal Kriteria untuk JDM Definitif: perubahan kulit khas disertai 3 kriteria diagnosis lainnya Probable: perubahan kulit khas disertai 2 kriteria diagnosis lainnya Possible: perubahan kulit khas disertai 1 kriteria diagnosis lainnya Sumber: Neto dan Goldenstein 2010
58
Pemeriksaan Penunjang
MRI untuk mendeteksi inflamasi pada otot bagian proksimal Biopsi otot: disfungsi endotel dan menipisnya kapiler Elektromiografi (EMG)
Tatalaksana
Steroid adalah lini pertama terapi untuk penderita, dengan JDM dan awal terapi yang agresif ini prognosis akan menjadi lebih baik Tabel 16 Terapi Juvenile Dermatomyositis Pilihan Terapi untuk Juvenile Dermatomyositis Terapi lini pertama Prednison 1−2 mg/kgBB/hr p.o. Metilprednisolon i.v. 10–30 mg/kgBB/puls Metotreksat 0,4–1 mg/kgBB/mgg atau 15 mg/m2 Terapi adjuvan: Hidroksiklorokuin 3–6 mg/kgBB/hr p.o. Terapi fisik Langkah-langkah fotoprotektif Topikal terapi untuk ruam kulit Kalsium dan vitamin D untuk perlindungan tulang Terapi lini kedua Gamaglobulin i.v. 1–2 g/kgBB/bl Siklosporin 2,5–7,5 mg/kgBB/hr p.o. dalam dosis terbagi Azatioprin mg/kgBB/hr Kombinasi di atas Terapi lini ketiga Siklofosfamid 500–1.250 mg/m2/bl i.v. puls Mycophenolate mofetil 30–40 mg/kgBB/hr p.o. dalam dosis terbagi Takrolimus 0,1–0,25 mg/kgBB/hr p.o. dalam dosis terbagi Rituximab Anti-tumor necrosis factor alpha agent Kombinasi di atas Sumber: Wedderburn dan Rider 2009
Prognosis
Dengan tatalaksana yang lebih baik pada tiga dekade ini, angka kematian pada JDM ↓ hingga 2 sepsis karena kelainan paru, vaskulopati viseral seperti perforasi gastrointestinal, gagal jantung, distres pernapasan, dan lemah otot yang diperberat dengan infeksi berulang. Pemberian terapi kortikosteroid yang terlambat atau dosis yang tidak adekuat menjadi prediktor penting terjadi perjalanan penyakit kronik dan prognosis yang buruk
Bibliografi 1. 2. 3.
Begum T, Rahman SA. Juvenile dermatomyositis: an update. Bangladesh J Child Health. 2009;33(2):59–65. Chari G, Laude TA. Juvenile dermatomyositis: a review. Internat Pediatr. 2000;15(1):21–5. Dalakas MC, Hohlfeld R. Polymyositis and dermatomyositis. Lancet. 2003;362(9388):971–82. 59
4. 5. 6.
7. 8.
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
16. 17. 18.
19. 20.
Faller G. Juvenile dermatomyositis. Curr Allergy Clin Immunol. 2010;23(3):111–4. Gold HL, Smith GP. Clinical significance of p155 antibody in dermatomyositis. OA Dermatol. 2013;1(1):1 Gowdie P. Review of disease-modifying anti rheumatic drugs in paediatric rheumatic disease. 18th Expert Committee on the Selection and Use of Essential Medicines (21 to 25 March 2011) [diunduh 30 September 2014]. Tersedia dari: http://www.who. int/selection_medicines/committees/expert/18/applications/Chil d_DMARD.pdf. Habibi S, Ramanan AV. Juvenile dermatomyositis: a review of clinical features and management. Indian J Rheumatol. 2012; 7(1):80–6. Huber AM, Robinson AB, Reed AM, Abramson L, Bout-Tabaku S, Carrasco R, dkk. Consensus treatments for moderate juvenile dermatomyositis: beyond the first two months. Results of the second Childhood Arthritis and Rheumatology Research Alliance consensus conference. Arthritis Care Res (Hoboken). 2012;64(4): 546–53. Huber AM. Juvenile dermatomyositis: advances in pathogenesis, evaluation, and treatment. Paediatr Drugs. 2009;11(6):361–74. Koler RA, Montemarano A. Dermatomyositis. Am Fam Physician. 2001;64(9):1565–72. Maan MA, Akhtar SJ, Haque H. Dermatomyositis. J Pak Assoc Derma. 2008;18(1):33–43. Martin N, Li CK, Wedderburn LR. Juvenile dermatomyositis: new insights and new treatment strategies. Ther Adv Musculoskelet Dis. 2012;4(1):41–50. Neto NSR, Goldenstein-Schainberg C. Juvenile dermatomyositis: review and update of the pathogenesis and treatment. Rev Bras Reumatol. 2010;50(3):299–312. Pachman LM. Juvenile dermatomyositis: a clinical overview. Pediatr Rev. 1990;12(4):117–25. Rider LG, Lindsley CB, Cassidy JT. Juvenile dermatomyositis. Dalam: Casidy JT, Laxer RM, Petty RE, Lindsley CB, penyunting. Textbook of pediatric rheumatology. Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 375–413. Robinson AB, Reed AM. Clinical features, pathogenesis and treatment of juvenile and adult dermatomyositis. Nat Rev Rheumatol. 2011;7(11):664–75. Sultan SM, Isenberg DA. Re-classifying myositis. Rheumatology. 2010;49(5):831–3. Tansley SL, McHugh NJ, Wedderburn LR. Adult and juvenile dermatomyositis: are the distinct clinical features explained by our current understanding of serological subgroups and pathogenic mechanisms? Arthritis Res Ther. 2013;15(2):211. Wedderburn LR, Rider LG. Juvenile dermatomyositis: new developments in pathogenesis, assessment and treatment. Best Prac Res Clin Rheumatol. 2009;23(5):665–78. Zouagui A, Abourazzak S, Idrissi ML, Souilmi FZ, Chaouki S, Atmani S, dkk. Actuality of juvenile dermatomyositis. Joint Bone Spine. 2011;78(3):235–40. 60
SINDROM STEVENS-JOHNSON DAN NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK Batasan
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan reaksi mukokutaneus akut, berat, episodik, yang paling sering disebabkan oleh obat dan dapat juga oleh infeksi. Gejala khas diawali dengan munculnya makula diikuti dengan keterlibatan lebih dari satu mukosa (oral, konjungtiva, dan anogenital) Eritema Multiforme Reaksi eksantematosa ringan dan berulang pada kulit—biasanya sembuh sendiri—yang paling sering disebabkan oleh infeksi virus Herpes simpleks
Klasifikasi
Dahulu masih sering disamakan dengan eritema multiforme (EM). Saat ini sudah cukup data untuk menyatakan bahwa EM dan SSJ-NET merupakan dua penyakit yang berbeda. Klasifikasi dan perbedaannya sebagai berikut Tabel 17 Klasifikasi Reaksi Eksfoliatif Kulit Reaksi Pelepasan dan pengelupasan Tipikal Atipikal target Spot
Eritema Sindrom Multi- Stevens- Overlap forme Johnson SSJ-NET Bulosa
NET dengan Spot
NET tanpa Spot
<10%
<10%
10–30%
>30%
>10%
Ya Timbul
Tidak Datar
Tidak Datar
Tidak Datar
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Ya
Tidak
Sumber: Bastuji-Garin dkk. 2000
Keterangan: Target tipikal Lesi tunggal, diameter 3 cm, terdiri atas 3 zona; zona paling luar: batas tegas, eritema; zona tengah: edema yang teraba, lebih pucat dari sentral, sentral: eritema atau purpura dengan atau tanpa bula Raised atypical target Terdiri atas 2 zona. Lesi bundar, teraba, batas tidak tegas, kemerahan Flat atypical target Terdiri atas 2 zona. Lesi bundar, tidak teraba, batas tidak tegas, daerah sentral cenderung membentuk vesikel atau bula 61
Spot Makula atau purpura eritema, tidak teraba, batas dan ukuran tidak teratur, sering kali saling menyatu
Patogenesis
Patogenesis NET yang pasti belum diketahui, namun diketahui peran beberapa reaksi hipersensitivitas pada patogenesis penyakit ini. Faktor genetik berperan sebagai faktor predisposisi, terbukti dengan ditemukannya HLA-B*1502 pada kebanyakan penderita NET Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi melalui 4 tipe yaitu reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III, IV. Mekanisme lain yaitu terjadinya apoptosis yang luas terhadap sel keratinosit mati yang dapat terjadi melalui 2 mekanisme, yaitu ikatan Fas-FasL dan peran sel T sitotoksik
Gejala Klinis
Fase Awal/Prodromal Demam, mata perih, sakit tenggorokan, nyeri otot, lemah, atau gejala flu like syndrome yang terjadi 1–3 mgg sesudah riwayat pemakaian obat yang dicurigai Beberapa hari kemudian muncul manifestasi pada kulit—biasanya dimulai pada daerah leher dan muka—kemudian telapak tangan dan kaki Keterlibatan mukosa: berupa eritema dan erosi terutama mengenai 3 mukosa (bukal, genital, dan mukosa mata) Pengelupasan epidermal yang luas. Bila tidak ditemukan tanda pengelupasan, maka pada tahap ini ditemukan tanda Nicholsky (+) Fase Lanjut Ditandai dengan timbulnya gejala sisa Hipo atau hiperpigmentasi kulit, hipertrofi dan jaringan parut pada kulit, distrofia kuku, penyulit mata, glomerulonefritis, tubulonekrosis, pankreatitis, nekrosis hepatoselular atau kolestasis Laboratorium Tidak ada pemeriksaan darah khusus, pada umumnya: Laju endap darah ↑ Leukositosis Ketidakseimbangan elektrolit Mikroalbuminuria Hipoproteinemia Hipernatremia Enzim hepar ↑ Anemia Eosinofilia dan neutropenia merupakan tanda awal dari prognosis yang buruk
Diagnosis Banding
Penyakit bulosa autoimun, termasuk linear IgA dermatosis, pemfigus paraneoplastik, pemfigus vulgaris, dan pemfigus bulosa Acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP) Disseminated fixed bullous drug eruption Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) 62
Diagnosis
Penegakan diagnosis SSJ-NET dapat dilakukan berdasar gejala klinis maupun gambaran histologi. Penghitungan menurut Lund-Bowder dapat dilihat pada Lund-Bowder estimation chart berikut:
Gambar 15 Lund and Bowder Estimation Chart Sumber: Miminas 2003
Tatalaksana
Penghentian Obat Penghentian segera obat-obatan dapat memperbaiki prognosis yang dicurigai—terutama yang dikonsumsi dalam 1–4 mgg terakhir 63
Terapi Suportif Penderita dirawat di unit luka bakar Pemberian cairan yang tepat, protein, dan elektrolit Pengaturan suhu yang tepat Kontrol infeksi dan observasi tanda sepsis. Antibiotik profilaksis yang dipakai adalah antibiotik spektrum luas, kemudian dapat diganti sesuai hasil kultur darah Konsul mata Obat-obatan Kortikosteroid Deksametason drip i.v. dengan dosis 1,5 mg/kgBB/30–60 mnt selama 3 hr berturut-turut dilanjutkan (hr ke-4) prednisolon p.o. dengan dosis 0,5–1,5 mg/kgBB/hr selama 5 hr–1 bl (termasuk tapering dose) atau hidrokortison i.v. dengan dosis 10–15 mg/kgBB/hr diikuti prednisolon p.o.
Prognosis
Bergantung pada luas kulit dan mukosa yang terlibat
Bibliografi 1. 2. 3.
4. 5. 6. 7.
8. 9.
Abood GJ, Nickoloff BJ, Gamelli R. Treatment strategies in toxic epidermal necrolysis syndrome: where we at? J Burn Care Res. 2008;29:269–76. Bastuji-Garin S, Fouchard N, Bertocchi M, Roujeau JC, Revuz J, Wolkenstein P. SCORTEN: a severity-of-illness score for toxic epidermal necrolysis. J Invest Dermatol. 2000;115:149–53. Fritsch OP, Maldano RR. Erythema multiforme, Stevens-Johnson syndrome, and toxic epidermal necrolysis. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-6. New York: McGraw-Hill Incorporate; 2003. hlm. 543–56. Gerull R, Nelle M, Schaible T. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome: a review. Crit Care Med. 2011;39(6): 1521–32. Harr T, French L. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome. Orphanet J Rare Dis. 2010;5:39. Ho HHF. Diagnosis and management of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. The Hong Kong Medical Diary. 2008;13(10):17–20. Jeung YJ, Lee JY, Oh MJ, Choi DC, Lee BJ. Comparison of the causes and clinical features of drug rash with eosinophilia and systemic symptom and Stevens-Johnson syndrome. Allergy Asthma Immunol Res. 2010;2(2):123–6. Kardaun S, Jonkman MF. Dexamethasone pulse therapy for Stevens-Johnson syndrome/toxic epidermal necrolysis. Acta Derm Venereol. 2007;87:144–8. Lehloenya R. Management of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. Curr Allergy Clin Immunol. 2007; 20(3):124–8. 64
10. Miminas DA. A critical evaluation of Lund and Bowder chart. Wounds UK. 2003;3(3):58–68. 11. Mukasa Y, Craven N. Management of toxic epidermal necrolysis and related syndromes. Postgrad Med J. 2008;84:60–5. 12. Roujeau JC, Garin SB. Systematic review of treatmens for Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis using the SCORTEN score as a tool for evaluating mortality. Ther Adv Drug Saf. 2011;2(3):87–94. 13. Yap FBB, Wahiduzzaman M, Pubalan M. Stevens-Johnson syndrome (SJS) and toxic epidermal necrolysis (TEN) in Sarawak: a four year’s review. Egyptian Dermatology Online J. 2008;4(1): 1–13.
65
ALERGI OBAT Batasan
Respons abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologik yang dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas yang terjadi selama atau sesudah pemakaian obat
Etiologi
Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu serta tempat dan jenis penelitian yang dilaporkan Obat-obatan yang sering terlibat dalam reaksi alergi yaitu: Aspirin Antibiotik golongan β-laktam Sulfonamid Antituberkulosis Nitrofurantoin Antimalaria Griseofulvin Antikonvulsan Anestesia umum Enzim (kimopapain, asparaginase, streptokinase) Neuroleptik Hidralazin Metildopa Kuinidin Prokalnamid Media radiokontras Antisera dan vaksin Alopurinol Penisilamin Antitiroid Fenoftalein Kelompok antibiotik yang mengandung β-laktam: Penisilin Sefalosporin Monobaktam Penisilin G Sefalotin Aztreonam Penisilin V Sefazolin Karbapenem Metisilin Sefaloridin Imipenem Oksasilin Sefaleksin Klavam Nafsilin Sefuroksim Asam klavulanat Ampisilin Seftriazon Amoksisilin Seftazidim Karbenisilin Tikarsilin Kloksasilin
Etiologi
Reaksi hipersensitivitas tipe I s.d. IV
66
Diagnosis
Apabila reaksi hanya terjadi pada sebagian kecil dari mereka yang mendapat obat Periode laten antara pemberian obat dan timbulnya gejala klinis (umumnya 7–10 hr) sesudah obat diberikan. Pada penderita yang sudah tersensitasi sebelumnya, reaksi akan timbul lebih cepat dan berat Manifestasi klinis dapat terjadi walaupun dengan pemberian obat dalam dosis rendah dan bila pernah terjadi, reaksi semacam akan terulang bila diberi obat yang sama atau obat yang mempunyai struktur kimia yang sama. Manifestasi yang terjadi tidak sama dengan efek farmakologik obat yang diberikan Gejala klinis biasanya berkurang dalam 3–5 hr sesudah obat dihentikan Tabel 18 Heterogenisitas Reaksi Alergi yang Diinduksi Obat Reaksi Spesifik Organ Kulit Eksantema
Urtikaria, angioedema Fixed drug eruption Pustula
Bula SJS
TEN
Lupus kulit Hematologi Hepar
Gambaran Klinis Makula dan papula difus halus berlangsung beberapa hr sesudah pemberian obat Hipersensitivitas tipe lambat Onset dalam beberapa mnt sesudah pemberian obat yang berpotensi anafilaksis Plak hiperpigmentasi pada kulit yang sama atau bagian mukosa Acneiform Acute generalized eczematous pustulosis (AGEP) Tense blister Flaccid blister Demam, stomatitis erosif, keterlibatan mata, makula purpura pada wajah dan kaki dengan kerusakan epidermis <10% Gambaran yang sama dengan SJS tetapi kerusakan epidermis >30% Mortalitas ↑ sampai 50% Plak eritema/bersisik pada distribusi foto Anemia hemolitik, trombositopenia, granulositopenia Hepatitis, cholestasis jaundice
67
Contoh Agen Penyebab Alopurinol, aminopenisilin, sefalosporin, antiepilepsi, antibiotik sulfonamid
IgE-mediated: antibiotik β laktam Bradykinin-mediated: ACE-I Tetrasiklin, AINS, dan karbamazepin Acneiform: kortikosteroid, sirolimus AGEP: antibiotik, calciumchannel blocker Furosemid, vankomisin Kaptopril, pensilamin Antibiotik sulfonamid, antikonvulsan, AINS oxicam, dan alopurinol Sama seperti SJS
HCT, calcium channel-blocker, ACE-I Penisilin, kuinin, sulfonamid Asam paraaminosalisilat, sulfonamid, fenotiazin
Pulmonal
Pneumonitis, fibrosis
Ginjal
Nefritis intersisial, glomerulonefritis membranosa Reaksi multiorgan/sistemik Anafilaksis Urtikaria/angioedema, bronkospasme, gejala saluran pencernaan, hipotensi DRESS Erupsi kulit, demam, eosinofilia, disfungsi hepar, limfadenopati Serum sickness Urtikaria, atralgia, demam Lupus Atralgia, mialgia, demam, eritematosus malaise sistemik Vaskulitis Vaskulitis kutan atau viseral
Nitrofurantoin, bleomisin, metotreksat Penisilin, sulfonamid, emas, penisilamin, alopurinol Antibiotik β laktam
Antikonvulsan, sulfonamid, minosiklin, alopurinol Antibodi heterolog, infliximab Hidralazin, prokainamid, isonoazid Hidralazin, penisilamin, propiltiourasil
ACE-I: angiotensin converting enzyme inhibitor; AINS: antiinflamasi nonsteroid; DRESS: drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms Sumber: Khan dan Solensky 2010
Diagnosis Banding
Infeksi virus (eksantema subitum/roseola infantum) Reaksi anafilaktoid Lupus eritematosus sistemik oleh sebab lain Dermatitis atopi
Pemeriksaan Penunjang
Darah Tes Coomb untuk penderita anemia hemolitik Antibodi IgE total serum Antibodi IgE spesifik dalam radioallergosorbent test (RAST) Antibodi IgM dan IgG spesifik Antibodi antinuklear (ANA) pada SLE yang diduga diinduksi oleh obat-obatan Tes kulit Tes tusuk (prick test) Tes tempel (patch test) Tes provokasi
Penyulit
Kolaps kardiovaskular: hipotensi, syok, dan koma Obstruksi saluran respiratori Kerusakan hepar ireversibel Kelainan ginjal Kelainan saraf pusat dan perifer Infeksi pada kelainan kulit yang luas dan berat 68
Konsultasi
Bagian Kulit dan Kelamin
Terapi
Penghentian obat Jika mungkin semua obat dihentikan kecuali obat yang memang perlu dan tidak dicurigai sebagai penyebab alergi. Jika obat harus tetap diberikan, sedangkan reaksi alerginyaberat, maka obat yang dicurigai diganti dengan obat alternatif lain yang berasal dari golongan yang berbeda. Bila obat tersebut sangat penting dan alternatif tidak ada, dapat diberikan obat dari golongan yang sama dengan struktur kimia yang berbeda Simtomatik Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus Untuk pruritus dan urtikaria amin Untuk dermatitis kontak → kortikosteroid topikal Jika kelainan cukup berat → adrenalin Kortikosteroid harus diberikan pada reaksi sistemik yang berat Suportif Pengobatan suportif diperlukan untuk menjaga kebutuhan nutrisi, cairan, dan elektrolit Desensitisasi Oral dan parenteral Tabel 19 Desensitisasi Oral untuk Penisilin G Langkah
Penisilin (mg/mL)
Rata-rata Aliran (mL/jam)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 5,0 5,0 5,0 50,0 50,0 50,0 50,0
0,1 0,2 0,4 0,8 1,6 3,2 6,4 1,2 2,4 5,0 1,0 2,0 4,0 8,0
Sumber: de Groot dkk. 2012
69
Tabel 20 Desensitisasi Parenteral untuk Penisilin G Rata-rata Dosis Penisilin Langkah Aliran (mg) (mg/mL) (mL/jam) i.v. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
0,01 0,01 0,01 0,01 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0
6 12 24 50 10 20 40 80 160 3 6 12 25 50 100 200
0,015 0,03 0,06 0,125 0,25 0,5 1,0 2,0 4,0 7,5 15,0 30,0 62,5 125,0 250,0 500,0
Dosis Kumulatif (mg) 0,015 0,045 0,105 0,23 0,48 1,0 2,0 4,0 8,0 15,0 30,0 60,0 123,0 250,0 500,0 1.000,0
Sumber: de Groot dkk. 2012
Interval beberapa dosis yaitu 15 mnt, sesudah semua langkah selesai lakukan observasi penderita selama 30 mnt, kemudian dapat diberikan dosis penuh yang diinginkan
70
Gambar 16 Penatalaksanaan Alergi Obat Sumber: Thien 2006
Pencegahan
Anamnesis riwayat kemungkinan alergi obat sebelumnya penting, terutama bila mempunyai riwayat atopi. Perlu dibuat surat keterangan tentang alergi obat tertentu Pemakaian obat hendaknya dengan indikasi yang kuat, hindarkan obat yang dikenal sering menimbulkan alergi Cara pembuatan obat harus diperbaiki dengan mengurangi dan menghilangkan bahan yang potensial dapat menjadi penyebab alergi Tes kulit Jika alergi terhadap obat tertentu, maka harus dipertimbangkan pemberian obat lain yang tidak memberikan reaksi silang dengan 71
obat yang dicurigai. Jika obat sangat diperlukan, sedangkan obat alternatif tidak ada, dapat dilakukan desensitisasi
Prognosis
Dengan penatalaksanaan adekuat → prognosisnya baik, bahkan pada kasus berat angka kematian dilaporkan 1:10.000 kejadian, tetapi pada sindrom Stevens-Johnson dan toxic epidermal necrolysis keterlibatan organ visera mempunyai prognosis yang buruk, dengan angka kematian masing-masing dapat ↑ sampai 5–15% dan 30–40%
Bibliografi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Arwin AP Akib ZM, Nia Kurniati, penyunting. Buku ajar alergi imunologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: IDAI; 2007. Bourgeois FT, Mandl KD, Valim C, Shannon MW. Pediatric adverse drug events in the outpatient setting: an 11-year national analysis. Pediatrics. 2009;124:744–50. Bousquet P, Demoly P, Romano A. Drug allergy and hypersensitivity: still a hot topic. Allergy. 2009;64:174–82. Brockow K, Romano A, Blanca M, Ring J, Pichler W, Demoly P. General consideration for skin test procedures in the diagnosis of drug hypersensitivity. Allergy. 2002;57:45–51. de Groot H, Mulder WMC, Terreehorst I. Utility of desensitisation for allergy to antibiotics. Netherland J Med. 2012;70(2):58–62. Demoly P, Viola M, Gomes ER, Romano A. Epidemiology and causes of drug hypersensitivity. Dalam: Pichler WJ, penyunting. Drug hypersensitivity. Basel: Karger; 2007. hlm. 2–17. Gruchalla RS, Pirmohamed M. Antibiotic allergy. NEJM. 2006; 354:601–9. Khan DA, Solensky R. Drug allergy. J Allergy Clin Immunol. 2010; 123:126–37. Kim SH, Ye YM, Palikhe NS, Kim JE, Park HS. Genetic and ethnic risk factors associated with drug hypersensitivity. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2010;10(4):280–90. Le J, Nguyen T, Law AV, Hodding J. Adverse drug reaction among children over a 10-year period. Pediatrics. 2006;118:555–62. Lee SH, Park HW, Kim SH, Chang YS, Kim SS, Cho SH, dkk. The current practice of skin testing for antibiotics in Korean Hospital. Korean J Intern Med. 2010;25:207–12. Male D, Brostoff J, Roth D, Roitt I, penyunting. Immunology. Edisi ke-7. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. Mayorga C, Sanz M, Gamboa P, Garcia B. In vitro diagnosis of immediate allergic reaction to drugs: an update. J Investig Allergol Clin Immunol. 2010;20(2):103–9. Segal AR, Doherty KM, Leggott J, Zlotoff B. Cutaneous reaction to drugs in children. Pediatrics. 2007;120:1082–96. Thien FC. Drug hypersensitivity. MJA. 2006;18(6):333–8.
72
KONJUNGTIVITIS VERNALIS Batasan
Peradangan jaringan interstisial konjungtiva yang terjadi bilateral, berulang, berhubungan dengan musim, terutama musim panas dan yang berperan adalah reaksi hipersensitivitas tipe I melalui IgE
Klasifikasi
Bentuk palpebral Bentuk limbal
Etiologi
Belum dapat dipastikan, diduga reaksi alergi (reaksi hipersensitivitas tipe I) terhadap beberapa alergen udara
Diagnosis
Anamnesis Penyakit terjadi pada musim panas Usia muda (<14 th) Riwayat atopi dalam keluarga/penderita Klinis Rasa gatal pada kedua mata Hiperemia konjungtiva Produksi airmata ↑ Fotofobia, pedih, rasa ada benda asing Cobblestones pada bentuk palpebral, Tranta’s dots pada limbal Laboratorium Kerokan konjungtiva → eosinofilia Kadar IgE airmata ↑ (RAST/ELISA) UTK: dapat (+) terhadap alergen yang dicurigai
Diagnosis Banding
Rinokonjungtivitis Keratokonjungtivitis atopi Giant papillary conjunctivitis
Konsultasi
Bagian Mata
Terapi
Hindari alergen Obat-obatan Simtomatik Naphazoline hydrochloride, 4×/hr 1 tetes Na kromolin tetes mata 1–4% Levokabastin tetes mata 73
Pencegahan
Loteprednol etabonat 0,5% tetes mata
Prognosis
Baik, dapat terjadi penyembuhan total, self limitted dengan perjalanan penyakit 5–10 th
Bibliografi 1. 2.
3.
Everitt HA, Little PS, Smith PWF. A randomized controlled trial of management strategies of acute infected conjungtivitis in general practice. BMJ. 2006;333:321–4. Olitsky SE, Hug D, Smith LP. Disorders of the conjunctiva. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. hlm. 2588–90. Rietveld RP, Riet G, Bindels PJE. Predicting bacterial cause in infectious conungtivitis: cohort study on informativeness of combinations of sign and symptoms. Br Med J. 2004;329:206–8.
74
KONJUNGTIVITIS ALERGI Batasan
Peradangan jaringan interstisial konjungtiva yang terjadi bilateral, berulang, dan yang berperan adalah reaksi hipersensitivitas tipe I melalui IgE
Klasifikasi
Seasonal allergic conjunctivitis (SAC) Perennial allergic conjunctivitis (PAC) Vernal keratoconjunctivitis (VKC)
Etiologi
Reaksi hipersensitivitas tipe I
Diagnosis
Anamnesis SAC dan PAC Gejala PAC sama dengan SAC, hanya lebih ringan dan cenderung menetap Mata terasa sangat gatal, air mata berlebihan dan merah Penglihatan buram Fotofobia terutama pagi hari sesudah bangun tidur VKC Gejalanya sama tetapi lebih berat dan lama dibandingkan dengan SAC dan PAC Pemeriksaan Fisis Mata SAC dan PAC Perubahan mata pada PAC lebih ringan dibandingkan dengan SAC Konjungtiva tarsalis hiperemis dan edema ringan sampai berat Konjungtiva bulbi edema, kemosis Tidak mengenai kornea VKC Sekret mata: mukus mukopurulen dan tebal di permukaan konjungtiva Blefarospasm Giant cobblestone papillae di konjungtiva tarsalis atas Trantas’ dots cobblestone di konjungtiva bulbi atas yang menyebar sampai melewati limbus kornea Erosi kornea sampai plak kornea
Pemeriksaan Penunjang Sesuai bagian mata
Penyulit
VKC limbal menjalar ke kornea bagian atas: Trantas’ dots → erosi → ulserasi yang dilapisi plaque 75
Infeksi virus Herpes simplex, akibat penekanan imunitas selular, karena terapi kortikosteroid topikal difus yang mengancam penglihatan
Konsultasi
Bagian Mata
Terapi
Hindari alergen penyebab Farmakologik: bersama bagian mata SAC dan PAC Antihistamin nonsedasi (lihat Tabel 25) Antihistamin topikal Tetes mata sodium cromoglycate, 4×/hr Pencucian mata dengan air steril Kortikosteroid topikal: harus dengan pengawasan dokter spesialis mata, karena berisiko timbul infeksi terutama virus Herpes simplex, glaukoma, katarak Asiklovir topikal dan oral: pada ulkus dendritik oleh virus Herpes simplex VKC Diobati sampai pubertas karena sesudah itu biasanya mengalami regresi Sodium cromoglycate topikal Kortikosteroid topikal intensif Pembedahan pada: plaque kornea → eksisi plaque keratitis difusa → transplantasi kornea
Prognosis
Baik, dapat terjadi penyembuhan total, self limitted dengan perjalanan penyakit 5–10 th
Bibliografi 1.
2. 3.
Boguniewicz M, Leung DYM. Occular allergies. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. hlm. 978–9. Ono SJ, Abelson MB. Allergic conjungtivitis: update on pathophysiology and prospect for future treatment.J Allergy Clin Immunol. 2005;115:118–22. Rothman JS, Raizman MB, Friedlaender MH. Seasonal and perennial allergic conjungtivitis. Dalam: Krachmer JH, Mannis MJ, Holland EJ, penyunting. Cornea fundamentals, diagnosis and management. Edisi ke-2. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2005. hlm. 663.
76
DERMATITIS ATOPI Batasan
Dermatitis atopi adalah penyakit kulit yang ditandai reaksi inflamasi pada kulit dan didasari faktor herediter serta lingkungan. Penyakit ini bersifat kronik residif dengan gejala eritema, papula, vesikel, krusta, skuama, dan pruritus yang hebat
Klasifikasi
Infantil Daerah muka, terutama pipi dan daerah ekstensor ekstremitas, kecuali sekitar mulut Anak Daerah fleksura antekubiti, poplitea, tangan, kaki dan periorbita Dewasa Daerah fleksura tangan dan leher
Etiologi
Genetik Lingkungan
Patogenesis
Reaksi hipersensitivitas tipe I
77
Diagnosis Tabel 21 Kriteria Diagnostik Dermatitis Atopik Menurut Hanifin dan Rajka Kriteria Mayor (≥3) Pruritus Morfologi dan distribusi khas Dermatitis di muka atau ekstensor bayi dan anak Dermatitis di fleksura pada dewasa Dermatitis kronik atau residif Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya (asma, rinitis alergika, dermatitis atopi) Kriteria Minor (≥3) Serosis Iktiosis/hiperlinearis palmaris/keratosis pilaris Reaktivitas pada tes kulit tipe cepat Kadar IgE serum ↑ Kecenderungan infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus H. simplex) Dermatitis di areola mammae Keilitis Konjungtivitis berulang Lipatan infraorbital Dennie-Morgan Keratokonus Katarak subkapsular anterior Hiperpigmentasi daerah orbita Kepucatan/eritema daerah muka Pitiriasis alba Lipatan leher anterior Gatal bila berkeringat Intoleransi terhadap bahan wol dan lipid solvent Gambaran perifolikular lebih nyata Hipersensitif terhadap makanan Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau emosi White dermatografism dan delayed blanched response Awitan pada usia dini Sumber: Conde-Taboada dkk. 2008
Tabel 22 Kriteria Diagnosis berdasarkan UK Working Party Necessary Pruritus yang sangat kuat/hebat dalam 12 bl terakhir Sedikitnya 3 keadaan berikut: Onset sebelum usia 2 th (tidak berlaku untuk anak <4 th) Riwayat dermatitis fleksura Riwayat kulit kering Dermatitis fleksura yang tampak pada pemeriksaan atau foto Riwayat atopi (riwayat atopi pada keluarga jika anak <4 th) Sumber: Conde-Taboada dkk. 2008
78
Pemeriksaan Penunjang Darah IgE total serum IgE spesifik (RAST) Tes Kulit Tes tusuk kulit Patch test
Terapi
Hindari alergen pencetus Topikal: sesuai bagian kulit Sistemik: antihistamin Steroid sistemik: digunakan pada dermatitis kronik berat, prednison 1–2 mg/kgBB/hr Antibiotik Biasanya digunakan antibiotik antistafilokokal (mupirosin, atau basitrosin topikal, sefalosporin generasi pertama, makrolid, oksasilin, amoksisilin klavulanat) Sitostatik Untuk penderita yang tidak mengalami perbaikan dengan terapi konvensional (azatioprin, siklosporin, metotreksat), dengan pertimbangan dokter spesialis anak alergi imunologi
Penyulit
Infeksi sekunder oleh bakteri, jamur, dan virus
Bibliografi
1. Chan SK, Burrows NP. Atopic dermatitis. Medicine. 2009;37(5): 242–5. 2. Conde-Taboada A, Barcala G, Toribioc J. Review and update of current understanding of chilhood atopic dermatitis. Actas Demosifiliogr. 2008;99(9):690–700. 3. Enomoto H, Noguchi E, Iijima S, Takahashi T, Hayakawa K, Ito M. Single nucleotide polymorphism-based genome-wide linkage analysis in Japanese atopic dermatitis families.BMC Dermatol. 2007;7:5. 4. Leung DYM. Atopic dermatitis (atopic eczema). Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. hlm. 970–5.
79
RINITIS ALERGI Batasan
Rinitis alergi (RA) adalah gangguan simtomatis pada hidung, dicetuskan oleh paparan alergen melalui reaksi hipersensitivitas yang diperantarai IgE (reaksi hipersensitivitas tipe I), ditandai dengan 4 gejala utama yaitu hidung berair, tersumbat, dan gatal, serta bersin
Klasifikasi
Berdasarkan konsensus WHO–ARIA 2008, RA diklasifikasikan berdasarkan frekuensinya menjadi intermiten dan persisten, serta berdasarkan berat gejala menjadi ringan dan sedang-berat
Gambar 17 Klasifikasi Rinitis Alergi
Sumber: Bosquet dkk. 2004
Faktor Risiko dan Pencetus
Faktor Risiko: Riwayat atopi pada keluarga Kadar IgE serum ↑ (>100 IU/mL sebelum usia 6 th) Kelompok sosioekonomi atas Tes tusuk kulit (+) Faktor Pencetus: Tungau: tungau debu rumah, alergen pada kotoran tungau Serbuk: pohon, rumput, semak-semak, ganggang Hewan: kucing, anjing, kuda, tikus Jamur: Alternaria, Cladosporium, Aspergillus Dicetuskan oleh pekerjaan: tepung, lateks, debu kayu Diperburuk oleh pekerjaan: asap, udara dingin, formalin, sulfur dioksida, amonia 80
Diagnosis
Anamnesis Konsensus WHO-ARIA 2008 menyatakan bahwa bila ditemukan ≥2 gejala yang terdiri atas hidung berair, tersumbat, dan gatal, serta bersin yang menetap selama >1 jam dapat dicurigai RA Pemeriksaan Fisis Allergic salute: anak sering menggosok hidung dengan telapak tangan Allergic crease: garis transversal pada sepertiga distal punggung hidung Dennies-lines: lipatan pada kelopak mata bagian bawah Allergic shiners: kelopak mata bagian bawah mengalami pembengkakan dan warna kulit menjadi gelap Hidung: pembesaran konka disertai sekret hidung Telinga: efusi kronik Kulit: tanda-tanda dermatitis atopi terutama di regio malar pada wajah dan regio fleksor pada lengan dan tungkai
Tes Diagnostik
Tes tusuk kulit (TTK)/skin prick test (SPT) Diagnosis alergi untuk reaksi hipersensitivitas tipe I, dilakukan pada penderita diduga alergen inhalan sebagai penyebab IgE spesifik serum (RAST) Tes ini dilakukan bila: (1) kondisi kulit tidak memungkinkan untuk dilakukan TTK, misalnya dermatografisme berat/dermatitis luas, (2) penderita tidak dapat menghentikan penggunaan antihistamin (3) terdapat risiko anafilaksis pada penderita, dan (4) tidak kooperatif untuk dilakukan UTK Pengukuran IgE spesifik tidak dipengaruhi oleh obat-obatan atau penyakit kulit. Sensitivitas dan spesifisitas uji ini >85%
Tatalaksana
Tatalaksana RA meliputi kombinasi terapi lingkungan, farmakoterapi, dan imunoterapi
Terapi Lingkungan
Menghindari alergen pencetus merupakan tatalaksana lini pertama
Farmakoterapi
Pilihan medikamentosa bersifat individual disesuaikan dengan kondisi anak dan respons terhadap pengobatan yang diberikan. Faktor kepatuhan terhadap pengobatan sangat penting karena pengobatan bersifat jangka panjang. Tabel berikut menunjukkan beberapa jenis medikamentosa yang digunakan dalam pengobatan RA serta efeknya terhadap gejala rinitis
81
Tabel 23 Efek Pengobatan Gejala Rinitis
Antihistamin H-1 Oral Intranasal Tetes mata Kortikosteroid Intranasal Kromolin Intranasal Tetes mata Dekongestan Intranasal Oral Antikolinergik Antileukotrien
Bersin
Hidung Berair
Hidung Gatal pada Gejala Tersumbat Hidung pada Mata
++ ++ 0
++ ++ 0
+ + 0
+++ ++ 0
++ 0 +++
+++
+++
+++
++
++
+ 0
+ 0
+ 0
+ 0
0 ++
0 0 0 0
0 0 ++ +
++++ + 0 ++
0 0 0 0
0 0 0 ++
Sumber: van Cauwenberge dan van Hoecke 2005
Kortikosteroid intranasal dan oral Steroid intranasal: flutikason propionat atau mometason furoat, pengobatan lini pertama pada anak dengan gejala sedang–berat. Efek terapeutik tercapai dalam waktu 6–8 jam sesudah pemberian, tetapi mencapai tingkat maks. sesudah pemakaian 2 mgg
Gambar 18 Teknik Pemakaian Obat Semprot Hidung yang Benar Sumber: Turner dan Kemp 2010
82
1. Botol dikocok dengan baik 2. Posisi kepala menunduk 3. Gunakan tangan kanan untuk lubang hidung kiri, tempatkan ujung botol di dalam lubang hidung mengarah ke dinding lateral hidung 4. Tekan botol 1 atau 2× (2 arah berbeda ) 5. Ganti dengan tangan kiri untuk lubang hidung kanan 6. Jangan menghirup dengan kuat
Posisi yang salah
Pilih salah satu posisi yang paling nyaman
Gambar 19 (a) Teknik Pemakaian Obat Semprot Hidung yang Benar (b) Teknik Pemakaian Obat Tetes Hidung yang Benar Sumber: Scadding dkk. 2008
83
Tabel 24 Jenis-jenis Kortikosteroid yang Dapat Digunakan pada Anak Nama Steroid Mometason furoat Flutikason propionat Flutikason furoat
Dosis/Usia 3–11 th 100 µg/hr >12 th 200 µg/hr >4–11 th 100–200 µg/hr, 2×/hr >12 th 200–300 µg/hr, 2×/hr 2–11 th 55 µg/hr >12 th 110 µg/hr
Dosis per Spray
Onset
Bioavailabilitas
50 µg
12–24 jam
<0,1%
50 µg
12–24 jam
<2%
27,5 µg
24 jam
<0,5%
Sumber: Sanford 2008
Kortikosteroid oral jangka pendek: misalnya prednisolon dosis 0,5 mg/kg/hr, diberikan pada gejala hidung tersumbat berat yang tidak dapat dikendalikan oleh farmakoterapi lain, bersamaan dengan makanan di pagi hari selama 5–10 hr. Penggunaan jangka panjang tidak direkomendasikan Antihistamin Antihistamin dapat diberikan p.o. maupun intranasal. Antihistamin intranasal (misalnya azelastin) memiliki efektivitas yang sama dengan antihistamin oral dengan onset kerja yang cepat Tabel 25 Jenis-jenis Antihistamin yang Dapat Digunakan pada Anak Nama/Generasi
Usia/Dosis
Rute/Sediaan Sirup
Sedasi
Feksofenadin/2
6–12 th 30 mg, 2×/hr >12 th dosis dewasa 2–5 th 5 mg, 1×/hr >5 th dosis dewasa 6–12 bl 2,5 mg, 11×/hr 12–24 bl 2,5 mg, 21×/hr 2–5 th 2,5–5 mg, 21×/hr >6 th 5–10 mg, 11×/hr >3 th 1 tetes tiap mata, 2×/hr >12 th dosis dewasa 5–11 th 1 puff/lubang hidung, 1×/hr >12 th dosis dewasa >12 th dosis dewasa 6–11 th 2,5 mg, 1×/hr >12 th 5 mg, 1×/hr
Oral/tidak ada
Tidak
Oral/ada
Tidak
Oral/ada
Sedikit
Tetes mata
Sedikit
Intranasal
Sedikit
Oral/ada Oral/tidak ada
Tidak Sedikit
Loratadin/2 Setirizin/2
Azelastin/2 Azelastin/2 Desloratadin/3 Levosetirizin/3
Sumber: Sanford 2008
84
Kombinasi antihistamin oral dan kortikosteroid intranasal Antihistamin dapat dikombinasi dengan kortikosteroid intranasal pada RA persisten sedang-berat yang tidak mengalami perbaikan sesudah 2–4 mgg mendapat kortikosteroid intranasal, masih terdapat gejala bersin dan gatal pada hidung yang menetap Mast cell stabilizers Diberikan 1–2 mgg sebelum paparan antigen. Sediaan topikal, yaitu natrium kromolin aman digunakan pada anak, karena durasi kerja yang singkat, harus diberikan 4–6×/hr. Bila dibandingkan dengan antihistamin dan steroid intranasal, kromolin memiliki efektivitas yang lebih rendah Dekongestan oral dan topikal Dekongestan oral pada anak dapat menyebabkan insomnia, iritabilitas, prestasi belajar anak ↓, dan dapat menginduksi gangguan jantung pada beberapa anak Dekongestan topikal (misalnya oxymetazoline hydrochloride) memiliki onset kerja yang cepat dan berguna untuk mengatasi kongesti akut, tetapi penggunaannya tidak boleh >10 hr karena penggunaan jangka panjang dapat mukosa hidung menjadi kering dan mengganggu imunitas alamiah (innate) dari saluran respiratori di hidung Antikolinergik Onset kerjanya 15–30 mnt dan efektif dalam mengendalikan gejala hidung berair tetapi tidak efektif untuk gejala rinitis lainnya. Kombinasi dengan steroid intranasal perlu dipertimbangkan pada penderita yang gejala dominannya hidung berair Antagonis reseptor leukotrien (antileukotrien) Montelukast adalah satu-satunya antagonis reseptor leukotrien yang terbukti aman dan efektif dalam pengobatan RA pada anak usia >2 th. Bila dibandingkan dengan antihistamin dan steroid intranasal, montelukast memiliki efektivitas yang lebih rendah
Imunoterapi alergen
Imunoterapi alergen adalah satu-satunya pilihan terapi yang memodifikasi mekanisme dasar alergi dengan cara menginduksi desensitisasi dan menghasilkan kondisi anergi terhadap suatu alergen penyebab. Terdapat 2 macam imunoterapi, yaitu imunoterapi s.k. (subcutaneous immunotherapy/SCIT) dan sublingual (sublingual immunotherapy/SLIT)
85
Tabel 26 Indikasi SCIT dan SLIT SCIT
SLIT
Penderita dengan gejala yang diinduksi secara dominan oleh paparan alergen Penderita dengan gejala yang diinduksi oleh musim penyerbukan yang memanjang atau berkelanjutan Penderita dengan rinitis dan gejala saluran respiratori bagian bawah selama puncak paparan alergen Penderita dengan antihistamin dan glukokortikoid topikal dosis sedang tidak dapat mengendalikan gejala Penderita yang tidak mau menggunakan farmakoterapi dalam jangka panjang Penderita dengan farmakoterapi menginduksi efek samping yang tidak diinginkan Sumber: Bousquet dkk. 2008
86
Penderita dengan rinitis, konjungtivitis dan atau asma yang disebabkan oleh alergi terhadap serbuk dan tungau Penderita dengan gejala tidak dapat dikendalikan oleh farmakoterapi konvensional Penderita yang mengalami reaksi sistemik selama imunoterapi subkutan Penderita dengan kepatuhan yang buruk dengan terapi injeksi atau menolak injeksi
Diagnosis rinitis alergi Gejala intermiten
Evaluasi ada asma terutama pada penderita dengan rinitis alergi berat dan atau persisten
Gejala persisten
Ringan
Sedang–berat Ringan
Antihistamin-H1 oral atau intranasal dan atau dekongestan atau antileukotrien (tidak harus berurutan)
Antihistamin-H1 oral atau intranasal dan atau dekongestan atau steroid intranasal atau antileukotrien (atau cromone) (tidak harus berurutan) Pada RA persisten, evaluasi sesudah 2–4 mgg Jika gagal: tingkatkan Jika perbaikan: lanjutkan sampai 1 bl
Sedang–berat Steroid intranasal Antihistamin-H1 atau antileukotrien (harus berurutan) Evaluasi sesudah 2–4 mgg
Gagal
Perbaikan Turunkan dan lanjutkan pengobatan selama >1 bl
Tingkatkan dosis steroid intranasal
Evaluasi diagnosis, kepatuhan terhadap pengobatan, pertimbangan infeksi atau penyebab lain
Hidung berair: tambahkan ipratropium
Hidung tersumbat: tambahkan dekongestan atau steroid oral (jangka pendek) Gagal Rujuk spesialis
Hindari alergen dan bahan iritan yang dapat mencetuskan rinitis alergi Jika disertai konjungtivitis, tambahkan: Antihistamin-H1 oral atau intraokular atau kromon intraokular (atau saline) Pertimbangkan imunoterapi spesifik
Gambar 20 Algoritme Tatalaksana Rinitis Alergi dari WHO-ARIA 2008 Sumber: Bousquet dkk. 2008
87
Penyulit Sinusitis
Pemeriksaan foto Rontgen: metode Caldwell dan Waters untuk melihat opasitas pada sinus paranasal Kultur dari sekret hidung atau faring bagian atas untuk mengidentifikasi bakteri penyebab Pada infeksi virus akan terjadi perbaikan gejala atau kesembuhan dalam waktu 10 hr sesudah onset penyakit Pada sinusitis bakterial akut, bila sesudah 10 hr dari onset penyakit tidak didapatkan perbaikan gejala (gejala menetap) atau bahkan terjadi perburukan (demam tinggi >38,5 °C selama 3–4 hr, sekret hidung purulen, kongesti hidung, dan nyeri fokal pada wajah di regio maksila atau frontal), merupakan suatu petanda perlunya pemberian antibiotik Antibiotik: Amoksisilin dosis 40–80 mg/kgBB/hr terbagi dalam 2 dosis, min. 10 hr dan dihentikan bila sudah tidak bergejala. Bagi anak usia <2 th atau sudah mendapat antibiotik sebelumnya, diberikan dosis amoksisilin yang lebih tinggi yaitu 90 mg/kgBB/hr Di daerah dengan tingkat resistensi penisilin yang tinggi dapat diberikan: Amoksisilin/klavulanat dosis 40–80 mg/kgBB/hr terbagi dalam 2 dosis Sefuroksim 30 mg/kgBB/hr terbagi dalam 2 dosis Sefdinir 14 mg/kgBB/hr terbagi dalam 1–2 dosis Sefpodoksim 10 mg/kgBB/hr terbagi dalam 2 dosis Azitromisin, bila alergi penisilin, dosis 10 mg/kgBB/hr selama 3 hr
Bibliografi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Berger WE. Allergic rhinitis in children: diagnosis and management strategies. Paediatr Drugs. 2004;6:233–50. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, dkk. Allergic rhinitis and its impact on asthma (ARIA) 2008. J Allergy Clin Immunol. 2008;63:1–153. Bousquet J, van Couwenberge P, Khaltaev N. ARIA in the pharmacy: management of allergic rhinitis symptoms in the pharmacy. J Allergy Clin Immunol. 2004;59:373–87. Manjra AI. Allergic rhinitis in children. CME. 2010;28(9):418–24. Okubo K, Kurono Y, Fujieda S, Ogimo S, Uchio E, Odajima H, dkk. Japanese guideline for allergic rhinitis. Allergol Int. 2011;60:171– 89. Sanford T. Allergic rhinitis in children. Missouri Med. 2008; 105(3):230–4. Scadding GK, Durham SR, Mirakian R, Jones NS, Leech SC, Farooque S, dkk. BSACI guidelines for the management of allergic and non-allergic rhinitis. Clin Exp Allergy. 2008;38(1):19–42. Siow JK, Alshaikh NA, Balakrishnan A, Chan KO, Chao SS, Goh LG, dkk. Ministry of Health clinical practice guidelines: management of rhinosinusitis and allergic rhinitis. Singapore Med J. 2010; 51(3):190–9. 88
9.
Skoner DP. Allergic rhinitis: definition, epidemiology, pathophysiology, detection and diagnosis. J Allergy Clin Immunol. 2001;108:S2–8. 10. Turner PJ, Kemp AS. Allergic rhinitis in children. J Pediatr Child Health. 2010;48(4):302–10. 11. van Couwenberge P, van Hoecke H. Management of allergic rhinitis. B-ENT. 2005;1(Suppl. 1):45–64. 12. Wallace DV, Dykewicz MS, Bernstein DI, Bernstein IL, BlessingMoore J, Cox L, dkk. The diagnosis and management of rhinitis: An updated practice parameter. J Allergy Clin Immunol. 2008; 122(suppl):S1–84.
89
URTIKARIA/ANGIOEDEMA Batasan
Urtikaria (biduran, gidu, nettle rash, hives) adalah kelainan kulit yang menimbul (wheal) berbatas tegas, berwarna merah, lebih pucat pada bagian tengah, dan memucat bila ditekan, disertai rasa gatal Angioedema (giant urtikaria, angioneurotic edema, quincke’s edema) adalah lesi yang sama, tetapi mengenai jaringan subkutan yang lebih dalam, biasanya tidak gatal, tetapi disertai rasa nyeri dan terbakar
Klasifikasi
Berdasarkan lamanya gejala Urtikaria akut: berlangsung <6 mgg Urtikaria kronik: berlangsung ≥6 mgg Tabel 27 Klasifikasi Urtikaria Etiopatofisiologi
dan
Angioedema
berdasarkan
Alergi
Obat-obatan, makanan, gigitan ular, kontak dengan alergen, serum thickness reaction Toksisitas Serangga, tumbuhan, hewan laut Pseudo-alergi NSAIDs (contoh asam asetilsalisilat), antibiotik, opiat, pengawet makanan Reaksi fokal Parasit, bakteri, fungi, virus, hormonal, neoplasma Stimulus fisik Mekanik (dermatografisme, tekanan, vibrasi), suhu (panas, dingin), kolinergik (keringat), akuagenik, solar, X-ray, dll. Defisiensi enzim Inaktivasi C1 (herediter, buatan), ACE-inhibitor Urtikaria vaskulitis, SLE, krioglobulinemia Gangguan autoimun Mastositosis Kutaneus, sistemik Autoimun Antibodi IgE, antibodi IgE reseptor Idiopatik Sumber: Sabroe dan Graves 2009
Patofisiologi
Reaksi hipersensitivitas tipe I Reaksi hipersensitivitas tipe II Reaksi hipersensitivitas tipe III Reaksi hipersensitivitas tipe IV
Diagnosis
Kontak atau penggunaan obat, makanan, gigitan binatang atau transfusi Kelainan kulit yang khas
Konsultasi
Bagian Kulit dan Kelamin 90
Pemeriksaan Penunjang
Urtikaria dan angioedema akut Pemeriksaan laboratorium pada urtikaria dan angioedema akut tidak diperlukan. Bila dari anamnesis didapatkan riwayat alergi dapat dilakukan tes kulit, pemeriksaan IgE spesifik dengan radio allergo sorbent test (RAST) atau enzym-linked immunosorbent assay (ELISA) Urtikaria dan angioedema kronik Pemeriksaaan laboratorium pada urtikaria dan angioedema kronik: IgE spesifik: tes kulit atau IgE serum spesifik (RAST) IgE serum total Darah lengkap dengan hitung jenis (penilaian eosinofilia) Laju endap darah, C-reactive protein, antinuclear antibody (ANA), kadar komplemen serum: C3, C4 Kadar C1esterase inhibitor (bila hanya terdapat angioedema) Titer virus: panel hepatitis B dan C, HIV, EBV, HSV Cryoglobulin Urin (leukosit, bakteri, protein) Anti-IgE atau antibodi reseptor IgE Protoporphyrin sel darah merah bebas dan protoporphyrin fecal (urtikaria solar) Prosedur Pengujian Urtikaria Fisik Dermatografisme (menulis pada kulit) Gores kulit normal pada daerah volar lengan bawah dengan alat tumpul (stik yang keras atau tounge blade/penekan lidah atau dengan kuku). Reaksi wheal dan kemerahan berbentuk garis akan timbul dalam 2–3 mnt sesudah digores. Puncak intensitas terjadi pada 6–7 mnt dan hilang spontan dalam 20 mnt. Tipe lambat terjadi dalam 6–9 jam pada sisi yang sama dan menetap selama 24–48 jam Urtikaria dingin Tempelkan benda dingin pada kulit atau pegang kubus es atau lebih baik benda dingin yang kering (cangkir tembaga yang diisi es, direndam dalam air dingin atau tabung kering berisi dry ice) Urtikaria panas Tempelkan tabung berisi air panas pada kulit. Wheal yang gatal akan timbul dalam beberapa mnt Urtikaria solar Banyak terjadi pada anak memiliki protoporfiria eritropoetik. Kulit diberi paparan pancaran sinar berbagai panjang gelombang di laboratorium. Wheal eritema yang gatal akan timbul pada kulit yang terpajan pancaran sinar, biasanya hilang dalam 2 jam Urtikaria tekanan Untuk menguji urtikaria tekanan, beri tekanan dengan beban 7–14 kg atau gantung suatu beban 7–14 kg di sekeliling lengan bawah selama 4 mnt Angioedema karena vibrasi Tempelkan vibrator atau gagang pegangan mixer yang bergetar pada lengan bawah selama 4 mnt 91
Urtikaria akuagenik Tempelkan kompres air atau lakukan tap water challenge dengan berbagai suhu pada kulit yang diuji. Papula multipel yang gatal seperti urtikaria kolinergik akan timbul dalam beberapa mnt hingga 30 mnt Urtikaria kolinergik Mandi dalam air hangat atau beraktivitas hingga berkeringat. Wheal/papula yang gatal dengan diameter 1–3 mm, dikelilingi eritema yang luas akan timbul dalam 2–20 mnt. Episode ini akan menetap dalam 15–30 mnt
Terapi
Urtikaria akut Idealnya identifikasi dan menghilangkan faktor penyebab, tetapi hal ini sering tidak mungkin dilakukan, sehingga perlu dihindari faktor yang memberatkan timbulnya gejala Pada kasus ringan atau sedang-berat pengobatan pertama diberikan antihistamin H1 Bila tidak ada perbaikan dapat ditambahkan kortikosteroid oral jangka pendek Pada kasus berat dengan gejala distres pernapasan, asma atau edema laring diberikan adrenalin s.k., kortikosteroid p.o. atau parenteral dan antihistamin H1 i.m. Urtikaria kronik Idealnya identifikasi dan menghilangkan faktor penyebab, tetapi hal ini sering tidak mungkin dilakukan, sehingga perlu dihindari faktor yang memberatkan gejala Harus dikelola oleh dokter spesialis Pada kasus ringan atau sedang-berat pengobatan pertama diberikan antihistamin H1 Bila tidak ada perbaikan dapat diberikan: Kombinasi antihistamin H1 nonsedasi dan sedasi (pada malam hari) Kombinasi antihistamin H1 dan antidepresan trisiklik (mis. doksepin) Kombinasi antihistamin H1 dan H2 Pada kasus berat diberikan antihistamin H1 ditambah kortikosteroid oral jangka pendek
Prognosis
Baik (self limitting disease)
Surat Persetujuan Diperlukan
Bibliografi 1.
Greaves MW. Diagnostic techniques for urticaria and angioedema. Dalam: Kaplan AP, Greaves MW, penyunting. Urticaria and angioedema. Edisi ke-2. New York: Informa; 2009. hlm. 141–52. 92
2.
3.
4. 5.
Leung DYM, Dreskin SC. Urticaria (hives) and angioedema. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. hlm. 979–82. Matondang CS, Soepriadi M, Setiabudiawan B. Urtikariaangioedema. Dalam: Akib AP, Munasir Z, Kurniati N, penyunting. Buku ajar alergi-imunologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2008. hlm. 224–33. Odom RB, James WD, Berger T. Andrew’s disease of the skin, clinical dermatology. Edisi ke-9. New York: WB Saunders Co; 2000. Sabroe RA, Greaves MW. What is urticaria? Anatomical, physiological, histological consideration and classification. Dalam: Kaplan AP, Greaves MW, penyunting. Urticaria and angioedema. Edisi ke-2. New York: Informa; 2009. hlm. 217–42.
93
Emergensi & Rawat Intensif Anak Dadang Hudaya Somasetia Dzulfikar DLH Stanza Uga Peryoga Enny Harliany Alwy
RESUSITASI KARDIOPULMONAL OTAK Batasan
Resusitasi adalah segala bentuk usaha yang dilakukan terhadap orang yang berada dalam keadaan gawat atau kritis untuk mencegah kematian Gawat adalah keadaan yang berkenaan dengan suatu penyakit atau kondisi sakit yang lain terdapat bahaya kematian Darurat adalah keadaan yang terjadi tiba-tiba dan tidak diperkirakan sebelumnya, suatu kecelakaan, kebutuhan yang segera atau mendesak
Etiologi Kasus Gawat Darurat Pediatri
Gawat darurat jantung, paru, dan otak Gagal jantung, fibrilasi ventrikel primer, henti jantung primer, dan kelainan irama jantung, gagal napas, anoksia alveolar, asfiksia, status asmatikus, henti napas primer, dan obstruksi saluran respiratori, hipoksia, iskemia dan edema otak, perdarahan intrakranial, dan tekanan tinggi intrakranial Gawat darurat homeostatis Gangguan keseimbangan air, elektrolit, asam-basa dan metabolik, renjatan, dan gagal ginjal Gawat darurat perdarahan Kelainan trombosit, pembuluh darah, dan faktor pembekuan Gawat darurat khusus Kejang, keracunan, penurunan kesadaran, abdomen akut, kecelakaan dan trauma kepala, tenggelam, tersedak benda asing, sengatan listrik, luka bakar, heat stroke, hipo/hipertermia Penyebab henti kardiorespirasi tersering pada anak yaitu trauma, infeksi, aspirasi benda asing, sindrom kematian bayi mendadak, kekurangan volume cairan intravaskular, sepsis, dan meningitis Henti jantung primer anak jarang terjadi dan dapat disebabkan oleh penyakit jantung bawaan, miokarditis, atau disritmia. Pada umumnya henti jantung pada anak terjadi sekunder sesudah henti napas primer Kebanyakan penderita <1 th, angka kematian >75% bila kejadian dimulai di luar rumah sakit Pencegahan, pengenalan, serta intervensi dini gagal napas dan henti sirkulasi harus selalu diperhatikan
Patofisiologi
Kolaps sirkulasi selama henti jantung menghambat perfusi ke jaringan otak dan organ lainnya kerusakan ireversibel pada organorgan vital. Tanpa ventilasi adekuat, O2 dalam darah sangat cepat dikonsumsi dan tidak dapat diperbaharui. Kesadaran ↓ timbul sesudah anoksia berlangsung 10–20 detik. Respons jantung pertama adalah takikardia dan hipertensi. Sesudah 60–90 detik, mekanisme kompensasi akan gagal, denyut jantung melambat → hipotensi. Asistol akan timbul sesudah anoksia 3–5 mnt. Oleh karena itu 97
resusitasi kardiopulmonal akan berhasil baik bila dilakukan dalam 4 mnt sejak terjadi henti jantung, kemudian diberikan bantuan hidup lanjut dalam waktu 8 mnt sesudah henti jantung
Diagnosis
Gejala umum dapat berupa kelelahan dan berkeringat banyak Disfungsi pernapasan Sianosis, pernapasan cuping hidung, retraksi dinding dada, merintih (grunting), suara pernapasan ↓/tidak terdengar, mengi, takipnea, dan apnea Disfungsi serebral Agitasi, gelisah, bingung, sakit kepala, tidak ada respons terhadap rangsang fisik, kejang, dan koma Disfungsi kardiosvaskular Takikardia, hipertensi, bradikardia, hipotensi, kolaps perifer, dan henti jantung Laboratorium: analisis gas darah (AGD) Hipoksemia PaO2 neonatus <40–50 mmHg, anak <50–60 mmHg Hiperkapnia PaCO2 neonatus >60–65 mmHg, anak >55–60 mmHg Asidosis metabolik/respiratorik (pH <7,35) Catatan: Penderita tersangka henti kardiopulmonal perlu pemeriksaan pernapasan dan nadi segera. Mula-mula yakinkan bahwa jalan napas terbuka, lihat gerakan napas pada dinding dada, dan dengarkan suara pernapasan untuk menentukan apakah ada ventilasi atau tidak Jika tidak ada aktivitas ventilasi, lakukan ventilasi awal 5x, rabalah nadi (arteri brakialis atau arteri femoralis pada bayi <1 th, arteri karotis pada anak >1 th). Bila nadi tidak teraba/sangat lambat pada penderita henti napas dan tidak sadar → segera lakukan resusitasi kardiopulmonal
Pemeriksaan Penunjang
AGD Penyulit Bergantung pada kelainan yang mendasarinya dan kecepatan serta ketepatan mendapat resusitasi Konsultasi Penderita yang mendapat resusitasi harus disiapkan ke ruang perawatan intensif
Penatalaksanaan Resusitasi
Resusitasi jantung paru (RJP) terdiri atas bantuan hidup dasar (BHD) dan bantuan hidup lanjutan (BHL). BHD adalah suatu tindakan resusitasi tanpa menggunakan alat atau dengan alat yang terbatas seperti bag-mask ventilation, sedangkan pada BHL menggunakan alat dan obat resusitasi sehingga penanganan lebih optimal 98
Dasar penatalaksanaan resusitasi pada bayi dan anak mengikuti format: A. Membebaskan jalan napas B. Bantuan pernapasan C. Bantuan sirkulasi D. Pemberian obat-obatan E. Kejutan listrik (defibrilasi) American Heart Association (AHA) dan Emergency Cardiovascular Care (ECC) tahun 2010 merekomendasikan perubahan tahapan bantuan hidup dasar pada anak, yang semula terdiri atas ABC (Airway, Breathing, Chest compressions) menjadi CAB (Chest compressions, Airway, Breathing), dengan alasan: Korban yang mendapatkan pertolongan RJP akibat fibrilasi ventrikel, bila kompresi dada dilakukan segera akan memberikan outcome lebih baik Semua penolong mampu melakukan kompresi dada segera, sedangkan pada pemberian ventilasi akan memerlukan waktu lebih lama karena harus memosisikan kepala penderita, menyiapkan bag-mask, sehingga akan memperlambat tindakan kompresi dada Walau demikian, karena penyebab henti kardiorespirasi pada bayi dan anak umumnya primer akibat gangguan ventilasi dan oksigenasi, maka format ABC masih dapat dilakukan dengan catatan tidak berlama-lama dalam melakukan penilaian airway dan breathing Pastikan adanya henti kardiorespirasi, letakkan penderita dalam posisi netral di atas permukaan yang keras dan rata, upayakan supaya leher stabil, bebaskan jalan napas, berikan ventilasi dengan O2 100% (bila mungkin), berikan kompresi jantung, masukan obat-obatan dan cairan yang sesuai, dan berikan energi dengan dosis yang benar untuk defibrilasi (bila ada indikasi) Pemberian O2, cairan, dan obat-obatan memerlukan pendekatan yang terorganisasi. Bila hanya ada seorang dokter, lakukan prosedur berurutan, delegasikan tindakan yang mungkin dikerjakan oleh paramedis yang terlatih. Bila terdapat lebih dari seorang dokter memungkinkan beberapa tindakan dikerjakan simultan dan harus ada yang bertindak sebagai pemimpin resusitasi. Pemimpin bertanggung jawab dalam hal penanganan jalan napas, memberi instruksi pemberian obat, dan mendelegasikan pekerjaan lain kepada anggota yang lain, meliputi akses vaskular, mengambil contoh darah, dan mencatat keterangan penderita Protokol Resusitasi Urutan tindakan resusitasi dimulai dengan menentukan apakah penderita tidak sadar, memanggil bantuan, meletakkan penderita di atas permukaan yang keras dan datar (papan resusitasi), bebaskan jalan napas, pastikan tidak bernapas atau napas megapmegap, memberikan 5× ventilasi awal, memastikan tidak ada denyut nadi atau <60×/mnt, dan kompresi jantung. Bila ada indikasi lakukan kejutan listrik dan atau pemberian obat-obatan resusitasi 99
A. Membebaskan jalan napas Membuka jalan napas dengan menengadahkan kepala dan menopang dagu (head tilt-chin lift) sehingga anak berada pada sniffing position. Bila dicurigai trauma leher, kepala dalam posisi netral dan lakukan gerakan mengedapkan/mencakilkan rahang (jaw thrust). Dengan cara demikian lidah akan menjauhi bagian belakang faring dan membuka jalan napas Mulut penderita dapat dibuka dengan menyilangkan ibu jari dan jari telunjuk di antara rahang atas dan bawah (cross finger). Lendir atau kotoran di dalam rongga mulut dibersihkan secara manual dengan jari (finger sweep) atau dilakukan penghisapan dengan alat penghisap Pipa orofaring dapat menahan lidah supaya tidak jatuh ke belakang menyumbat faring Intubasi endotrakea akan mempermudah bantuan ventilasi Krikotirotomi merupakan akses jalan napas terakhir bila intubasi endotrakea tidak dapat dikerjakan Trakeostomi dilakukan bila diperlukan terapi ventilator jangka lama Bila tersedak, benda asing di rongga faring dapat diambil dengan forseps Magill melalui penglihatan langsung, atau dengan melakukan tepukan punggung bayi (back blow), hentakan dada (chest thrust) pada bayi <1 th, manuver Heimlich atau hentakan subdiafragma-abdomen (abdominal thrust) pada anak yang lebih besar B. Bantuan pernapasan Lihat, dengar, dan rasakan ventilasi yang efektif dengan cepat (tidak lebih dari 10 detik) Untuk bantuan pernapasan, cara terbaik memakai balon dan pipa endotrakea (lebih disukai), atau balon dan masker. Mulailah dengan 5× ventilasi dengan kekuatan dan waktu yang cukup untuk mengembangkan dada (1,5–2 detik/napas) Bila kurang terlatih atau tidak ada balon, cara paling efektif yaitu dari mulut-ke-mulut atau dari mulut-ke-hidung dan mulut. Kadar O2 udara inspirasi dapat ditingkatkan dengan meletakkan pipa O2 ke sudut mulut sebanyak 6–8 L/mnt Bila tidak ada respons terhadap bantuan ventilasi, mungkin ada kesalahan posisi penderita atau saluran respiratori tersumbat benda asing Perlu diperhatikan pada tindakan di atas, dada mengembang secara simetris, perlahan, dan tidak diikuti perut yang mengembung C. Sirkulasi Bila mungkin, pasanglah alat monitor jantung. Nilai nadi karotis pada anak besar, nadi brakialis, atau femoralis pada bayi Bila nadi teraba → lakukan pemeriksaan tekanan darah, pengisian kapiler, dan suhu ekstremitas Bila nadi tidak teraba/tidak adekuat → lakukan kompresi jantung yang ritmik dan serial. Pada tiap akhir kompresi biarkan 100
sternum kembali ke posisi netral dan berikan periode waktu yang cukup untuk kompresi dan relaksasi Pada bayi <1 th, tangan operator melingkari dada dan kedua ibu jari diletakkan 1 jari di bawah garis antarputing menekan dada sedalam min. ½ diameter anteroposterior dinding dada (two thumb technique) atau letakkan punggung bayi di atas telapak tangan dan gunakan 2 ujung jari tangan lainnya untuk kompresi sternum 1 jari di bawah garis antarputing (two finger technique) Pada anak usia >1 th, lakukan kompresi dada di ½ bagian bawah tulang dada dengan satu telapak tangan penolong, atau telapak tangan yang satu diletakkan di atas punggung tangan lainnya Efektivitas kompresi jantung dinilai dengan meraba denyut nadi karotis, brakialis, femoralis, atau umbilikalis (pada neonatus). Rasio kompresi/ventilasi pada bayi dan anak yaitu 30:2 (satu penolong), 15:2 (dua penolong), kecuali neonatus rasionya 3:1 Akses intravena Pemasangan dimulai di vena perifer. Akses vena sentral berguna pada kasus renjatan, biasanya pada v. jugularis eksterna atau v. femoralis. Hindari pemasangan pada v. subklavia dan v. jugularis interna di ruang gawat darurat untuk menghindari penyulit. Bila akses perkutan gagal, lakukan seksio (venous cutdown) v. safena magna atau v. femoralis. Pada kasus yang mengancam jiwa, infus i.o. harus dicoba bila akses i.v. perifer belum terpasang dalam 90 detik (1½ mnt) atau 3× tusukan, lokasi terbaik yaitu pada tibia proksimal, walaupun dapat dilakukan pada tibia distal atau femur Atasi penyebab henti kardiorespirasi Tindakan ini penting terutama pada hipotermia, renjatan, disritmia, tekanan intrakranial ↑, atau kegagalan pompa jantung D. Obat-obatan Pilihan pertama Tujuan awal pengobatan pada penderita henti kardiorespirasi adalah mengatasi hipoksemia, asidosis, hipotensi, dan meningkatkan denyut jantung. Setiap kali selesai memberikan obat melalui vena perifer, saluran infus harus dibilas (bolus) dengan 5 mL NaCl fisiologis dan mengangkat ekstremitas beberapa saat untuk mendorong obat masuk ke dalam sirkulasi sentral. Kalsium dan bikarbonat akan mengendap bila dicampurkan, serta larutan alkali kuat akan menginaktifkan epinefrin, dopamin, serta isoproterenol Oksigen Berikan inspirasi O2 maks. pada semua henti kardiorespirasi 101
Epinefrin Diberikan pada keadaan henti jantung, bradikardia simtomatik yang tidak berespons terhadap bantuan ventilasi, pemberian O2, dan hipotensi yang tidak berhubungan dengan deplesi volume cairan. Efek adrenergik alfa (vasokonstriktor) akan meningkatkan resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah sistol/ diastol. Efek adrenergik beta meningkatkan kontraktilitas miokardia dan denyut jantung Dosis i.v. atau i.o. 0,01 mg/kgBB (0,1 mL/kgBB larutan standar 1:10.000), diulang tiap 3–5 mnt selama resusitasi. Dapat diberikan melalui pipa endotrakea 0,1 mg/kgBB (0,1 mL/kgBB larutan konsentrasi tinggi 1:1.000), dilarutkan sampai 3–5 mL dengan larutan NaCl fisiologis Bikarbonat Hanya diberikan bila terjadi henti jantung yang lama (10 mnt), krisis hipertensi pulmonal, hiperkalemia, atau asidosis metabolik yang berhubungan dengan disfungsi organ (disritmia, disfungsi miokardia, hipotensi). Bikarbonat diberikan bila sudah terdapat pernapasan yang adekuat (spontan atau bantuan) Dosis 0,5 mEq/kgBB pada bayi dan 1 mEq/kgBB pada anak diberikan sekali pada saat permulaan resusitasi. Bila hasil AGD tidak ada, dosis dapat diulang 0,5 mEq/kgBB tiap 10 mnt infus lambat (1–2 mnt). Bila ada AGD, HCO3 (mEq/L) dapat diberikan dengan perhitungan berikut ini Defisit bikarbonat = (HCO3 diharapkan − HCO3 sekarang) × 0,3 × BB (kg) Penggunaan berlebihan dapat menyebabkan alkalosis metabolik, hiperkapnia, hipokalemia, hipernatremia, hiperosmolalitas, asidosis paradoksal intraselular, kontraktilitas miokardia ↓, dan ↓ pelepasan O2 dari Hb → kematian tinggi Cairan intravena Bila anak tidak memberikan respons terhadap oksigenasi, ventilasi, kompresi jantung, dan epinefrin, berikan bolus larutan NaCl fisiologis. Pemberian bolus kristaloid secepat-cepatnya (20 mL/kgBB), NaCl fisiologis atau Ringer laktat dalam waktu 15 mnt pada anak yang mengalami henti jantung prarumah sakit dengan sebab yang tidak diketahui Glukosa Hipoglikemia sekunder karena stres sering terjadi pada anak henti kardiorespirasi, sedangkan pada bayi sebagai penyebab utama. Bila kadar gula darah <40 mg/dL pada anak, <30 mg/dL pada neonatus, atau <20 mg/dL pada bayi prematur, harus diberikan bolus dekstrosa 0,25 g/kgBB (2,5 mL/kgBB dekstrosa 10% atau 1 mL/kgBB 102
dekstrosa 25%), diikuti infus dekstrosa 10% sebanyak 1,5× kebutuhan rumatan Pilihan kedua Atropin Pencegahan/pengobatan bradikardia karena refleks vagus, blokade jantung derajat dua atau tiga, pulseless electrical activity Pengobatan bradikardia simtomatik (denyut jantung <60×/mnt yang berhubungan dengan perfusi yang buruk atau hipotensi) yang tidak memberi respons terhadap oksigenasi, ventilasi, dan epinefrin Dosis 0,02 mg/kgBB/kali i.v. atau endotrakeal min. 0,10 mg, maks. 0,5 mg (remaja 1 mg), diulang tiap 5 mnt (total maks. pada anak 1 mg dan remaja 2 mg) Lidokain 2% Pada fibrilasi/takikardia ventrikular simtomatik Dosis awal 1 mg/kgBB (bolus) i.v. atau endotrakeal. Bila belum teratasi → infus kontinu (120 mL lidokain dalam 100 mL dekstrosa 5%, kecepatan 1–2,5 mL/kgBB/jam = 20–50 mcg/kgBB/mnt) Kalsium Pada tersangka/terbukti hipokalsemia, hiperkalemia, hipermagnesemia, dan overdosis calcium channel blocker Jangan diberikan rutin selama resusitasi Pemberian i.v. cepat dapat menyebabkan bradikardia atau asistol Dosis Ca klorida 10%: 20–25 mg/kgBB (0,2–0,25 mL/kgBB) i.v. perlahan-lahan Dopamin Sebagai obat inotropik untuk mengatasi curah jantung rendah persisten yang refrakter terhadap terapi cairan Pengobatan hipotensi, perfusi perifer yang buruk, atau renjatan dengan volume intravaskular yang cukup, dan irama jantung yang stabil Dapat menyebabkan takiaritmia dan tidak boleh diberikan bersama dengan larutan Na bikarbonat Dosis 2–20 g/kgBB/mnt, dosis awal 5–10 g/kgBB/mnt dititrasi sampai tercapai efek yang diinginkan. Bila tidak berhasil, pikirkan pemakaian obat adrenergik lain, misalnya infus epinefrin (drip) Dosis rendah (2–5 g/kgBB/mnt) dapat meningkatkan aliran darah ke ginjal, splangnik, koroner, dan serebral melalui stimulasi reseptor dopaminergik Bila >10g/kgBB/mnt, akan meningkatkan vasokontriksi karena efek adrenergik alfa dan mungkin menurunkan pasokan O2 ke jaringan Dosis >20 g/kgBB/mnt → menyebabkan aritmia (aritmogenik) 103
Dobutamin Merupakan obat inotropik yang efektif dengan efek min. terhadap denyut jantung dan vasokontriksi perifer. Anak sering memerlukan dosis tinggi untuk mencapai perubahan nyata pada tekanan rata-rata arterial atau curah jantung Pengobatan renjatan, terutama bila terdapat resistensi vaskular sistemik yang tinggi (misalnya gagal jantung kongestif atau renjatan kardiogenik), volume intravaskular adekuat, dan normotensi Paling efektif untuk gagal jantung kongestif berat atau renjatan kardiogenik, terutama bila disebabkan oleh kardiomiopati Dapat menyebabkan/memperberat hipotensi → takiaritmia Dosis 5–20 g/kgBB/mnt, dosis awal 5–10 g/kgBB/mnt, ditingkatkan secara bertahap sebesar 2–5 g/kgBB/mnt sampai dosis maks. Isoproterenol Merupakan agonis adrenergik beta murni → tekanan darah diastol ↓ Pengobatan bradikardia yang disebabkan heart block yang tidak responsif terhadap atropin (atau segera timbul kembali sesudah pemberian atropin) Dapat dipikirkan untuk bradikardia simtomatik yang tidak responsif terhadap oksigenasi, ventilasi, dan epinefrin Dosis 0,1–1 g/kgBB/mnt, dititrasi, ditingkatkan bertahap 0,1 g/kgBB/mnt sampai efek yang diinginkan tercapai (hentikan pemberian bila timbul takikardia >200×/mnt atau disritmia). Jangan diberikan dalam larutan alkali atau sebelumnya sudah mendapat epinefrin Norepinefrin Merupakan agonis adrenoseptor dan (terutama -1) Meningkatkan tekanan darah pada hipotensi yang tidak berespons terhadap resusitasi cairan dan pemberian dopamin/dobutamin Pada renjatan septik akan meningkatkan tekanan darah dan resistensi vaskular sistemik tanpa banyak memengaruhi curah jantung, serta meningkatkan kontraksi miokardia Dosis 0,05 g/kgBB/mnt ditingkatkan bertahap tiap 15 mnt sampai 0,15 g/kgBB/mnt dikombinasikan dengan dobutamin 5 g/kgBB/mnt untuk meningkatkan tekanan darah, perfusi ginjal, dan splangnik E. Kejutan listrik (defibrilasi) Jarang digunakan pada anak, akan tetapi bila diperlukan dapat menyelamatkan jiwa pada penderita pascaoperasi jantung dan korban tenggelam dengan hipotermia berat (<30 °C). Defibrilasi tanpa pemantauan EKG tidak dianjurkan 104
Untuk fibrilasi ventrikel/takikardia ventrikel dengan nadi tidak teraba (pulseless) Diberikan 2 joule/kgBB dengan unsynchronize mode. Bila tidak berhasil → bolus lidokain 1 mg/kgBB i.v., ulang defibrilasi setiap 30–60 detik dengan dosis 2–4 joule/kgBB Dapat dicoba bretilium tosilat 5 mg/kgBB i.v. dosis pertama dan 10 mg/kgBB dosis ke-2 untuk kasus refrakter (bila lidokain tidak berhasil mengembalikan irama sinus) Untuk takikardia ventrikel dengan hemodinamik tidak stabil/ takiaritmia (takikardia supraventrikular, takikardia ventrikular, fibrilasi atrial, atau geletar atrial) diberikan kardioversi dengan dosis 0,5 joule/kgBB synchronize mode. Bila tidak berhasil, berikan bolus lidokain 1 mg/kgBB dan dosis kardioversi dapat dinaikkan bertahap sampai dosis maks. 1 joule/kgBB F. Evaluasi dan pemantauan Sesudah melakukan ventilasi dan kompresi selama 5 siklus (2 mnt), evaluasi lagi nadi (5–10 detik). Jika tidak ada nadi atau <60×/mnt disertai perfusi yang buruk, mulai lagi dengan ventilasi diikuti kompresi jantung. Jika denyut nadi adekuat, periksa pernapasan (3–5 detik); jika bernapas, awasi secara ketat. Jika tidak bernapas, berikan ventilasi 20×/mnt pada bayi/ anak kecil dan 12×/mnt pada anak >8 th atau dewasa serta awasi denyut nadi secara ketat. Jika resusitasi dilanjutkan, evaluasi ulang respirasi dan nadi tiap beberapa mnt. Jangan menghentikan resusitasi >7 detik kecuali dalam keadaan tertentu Pada saat evaluasi, pemimpin resusitasi memberikan instruksi untuk menyiapkan dan melakukan intubasi endotrakeal bila belum ada napas spontan, memasang akses vena, menyiapkan/ memberikan obat-obatan, memasang monitor EKG, dan menyiapkan defibrilator G. Stabilisasi Bila denyut jantung sudah teraba, sangat penting untuk mencegah kerusakan akibat asfiksia sekunder atau yang sedang berlangsung dengan mempertahankan ventilasi dan perfusi. Bila mungkin, berikan O2 dengan aliran tinggi, lakukan foto Rontgen toraks dan AGD. Pastikan semua pipa dan saluran infus terpasang dengan baik Perawatan intensif harus segera dilakukan untuk mengurangi kerusakan susunan saraf pusat (SSP) yang mungkin terjadi. Penyebab henti kardiorespirasi yang sudah diketahui harus segera diobati H. Menghentikan resusitasi Harus dipikirkan bila curah jantung tidak ditemukan kembali sesudah dilakukan pembebasan jalan napas, bantuan pernapasan, dan sirkulasi serta sudah diberikan obat-obatan resusitasi yang adekuat. Bila otot jantung tidak responsif 105
terhadap 3 dosis pertama epinefrin walaupun dengan dukungan oksigenasi dan ventilasi yang optimal (biasanya 25–30 mnt sesudah resusitasi dimulai), resusitasi biasanya tidak berhasil Resusitasi tidak dilakukan pada stadium terminal suatu penyakit atau penderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Bila ragu resusitasi kardiopulmonal harus segera dimulai, tidak ada waktu untuk berdiskusi atau berkonsultasi Penghentian resusitasi harus berdasarkan kematian jantung, bukan kematian otak Kematian jantung terjadi bila denyut jantung tidak dapat dikembalikan walaupun dengan usaha maks. selama 30 mnt Resusitasi darurat dapat dihentikan bila: Sirkulasi/ventilasi sudah kembali lagi (membaik) Resusitasi sudah diambil alih oleh dokter Terlalu lelah Stadium terminal suatu penyakit Denyut nadi tidak ada ½–1 jam sebelum resusitasi (diketahui kemudian, pada keadaan normotermia tanpa RJP) Pengakhiran resusitasi dapat dilakukan pada keadaan: Penderita dinyatakan meninggal bila: Tetap tidak sadar, tidak timbul pernapasan spontan, tidak ada refleks menelan (gag reflex), dan pupil dilatasi selama >15–30 mnt resusitasi (mati otak), atau Terdapat tanda-tanda mati jantung, yaitu asistol ventrikular yang menetap sesudah 30 mnt resusitasi dengan terapi adekuat (langkah ABC resusitasi)
Prognosis
Bergantung pada penyakit/kelainan yang mendasarinya dan kecepatan mendapat resusitasi
Surat Persetujuan
Dilakukan sedini-dininya sementara resusitasi terus dikerjakan
106
Tabel 28 Perbandingan Pedoman Resusitasi Jantung Paru dan Perawatan Kardiovaskular Emergensi pada Bantuan Hidup Dasar Menurut American Heart Association 2005 dan American Heart Association 2010 Rekomendasi AHA 2005
Rekomendasi AHA 2010
Keterangan
107
Menggunakan “A-B-C” dalam bantuan Perubahan dalam tahapan bantuan hidup Pada penderita henti jantung, bagian hidup dasar dasar dari “A-B-C” (airway, breathing, chest terpenting dari resusitasi jantung paru compressions) menjadi “C-A-B” (chest adalah kompresi dada dan defibrilasi compressions, airway, breathing) bagi segera dewasa dan anak (anak dan bayi, kecuali Pada rangkaian CAB, kompresi dada dimulai neonatus) lebih awal dan pemberian ventilasi hanya akan tertunda sebentar sampai siklus pertama kompresi dada Resusitasi jantung paru dengan rangkaian ABC dimulai dengan prosedur yang cukup sulit, yaitu membuka jalan napas dan pemberian bantuan napas “Look, listen and feel” ada dalam “Look, listen and feel” tidak ada dalam “Look, listen and feel,” tidak konsisten dan algoritme BHD algoritme BHD perlu waktu Kecepatan kompresi dada 100/mnt Kecepatan kompresi dada min. 100/mnt Jumlah kompresi dada tiap mnt selama RJP merupakan faktor penting dalam mengembalikan sirkulasi spontan dan harapan hidup dengan fungsi neurologis baik Kompresi dada ⅓–½ diameter Rekomendasi baru mengenai kedalaman Kompresi dada mengatur aliran darah, anteroposterior dinding dada kompresi: min. ⅓ diameter anteroposterior oksigen, dan energi ke jantung dan otak dinding dada Penolong sering kali kurang kuat dalam melakukan kompresi dada
Pedoman RJP AHA 2005 dan ECC Jika penolong belum terlatih RJP, maka ia Hands-only lebih mudah dilakukan oleh tidak menyatakan rekomendasi yang hanya boleh hands-only (kompresi dada penolong yang belum dilatih dan dapat berbeda antara penolong terlatih saja) pada penderita dewasa yang tiba-tiba dipandu dispatchers melalui telepon dan tidak terlatih, tetapi hanya kolaps, dengan “push hard and fast” pada Harapan hidup penderita henti jantung sama menyatakan bahwa dispatchers bagian tengah dada, atau mengikuti antara yang mendapat kompresi dada saja memberikan instruksi RJP untuk instruksi EMS dispatcher dan kompresi-ventilasi. Tetapi, bagi melakukan kompresi dada saja bagi Petugas terlatih min. harus dapat melakukan penolong yang sudah terlatih penolong yang tidak terlatih kompresi dada pada penderita henti direkomendasikan untuk melakukan Jika penolong tidak mampu jantung kombinasi kompresi-ventilasi melakukan ventilasi, maka lakukan Bila dapat melakukan bantuan napas, rasio kompresi dada saja kompresi ventilasi adalah 30:2
108
Sumber: Berg dkk. 2010
Gambar 21 Algoritme Bantuan Hidup Dasar Menurut AHA 2010 Sumber: Berg dkk. 2010
109
Gambar 22 Algoritme Bantuan Hidup Dasar Menurut AHA 2005 Sumber: American Heart Association 2006
110
Bibliografi 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
American Heart Association. 2005 American Heart Association (AHA) guidelinesfor cardiopulmonary resuscitation (CPR) and emergency cardiovascular care (ECC) of pediatric and neonatal patients: pediatric basic life support. Pediatrics. 2006;117(5): e989–1004. Berg MD, Schexnayder SM, Chameides L, Terry M, Donoghue A, Hickey RW, dkk. Pediatric basic life support: 2010 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation. 2010;122:862– 75. Biarent D, Bingham R, Richmond S, Maconochie I, Wyllie J, Simpson S, dkk. European Resuscitation Council guidelines for resuscitation 2005. Section 6. Paediatric life support. Resuscitation. 2005;67S1:S97–133. Kuluz JW, Shaffner DH. Cardiopulmonary resuscitation. Dalam: Nichols DG, Yaster M, Lappe DG, Haller JA, penyunting. Golden hour the handbook of advanced pediatric life support. Edisi ke-2. USA: Mosby-Year Book; 1999. hlm. 89–121. Mathers LW, Frankel LR. Pediatric emergencies and resuscitation. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders; 2007. hlm. 387–405. Primm PA, Reamy RR. Cardiopulmonary resuscitation. Dalam: Strange GR, Ahrens WR, Lelyveld S, Schafermeyer RW, penyunting. Pediatric emergency medicine. Edisi ke-2. New York: McGraw-Hill; 2002. hlm. 18–27. The International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR) consensus on science with treatment recommendations for pediatric and neonatal patients: pediatric basic and advanced life support. Pediatrics. 2006;117;955–77.
111
GAGAL NAPAS PADA ANAK Batasan
Gagal napas menggambarkan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan oksigenasi dan atau ventilasi dengan adekuat. Gagal napas akut adalah suatu keadaan klinis terjadi kegagalan pada proses pertukaran gas di paru-paru yang ditandai dengan gagalnya pengeluaran CO2 dan tidak adekuatnya oksigenasi dalam darah
Etiologi
Berbagai kondisi dapat → kegagalan pernapasan seperti yang tercantum dalam Tabel 29. Berdasarkan lokasi kelainan primer, kondisi tersebut dapat diklasifikasikan menjadi kelainan paru, gangguan mekanik ventilasi, penyempitan saluran respiratori, gangguan SSP untuk mengontrol respirasi, dan kegagalan untuk memenuhi kebutuhan oksigen yang ↑ dari jaringan Tabel 29 Etiologi Gagal Napas Kelainan paru primer Pneumonia Bronkiolitis Asma Fibrosis kistik Gangguan mekanik ventilasi Penyakit neuromuskular (myopathies, sindrom Guillain-Barre) Trauma dinding dada (flail chest) Efusi pleura luas Penyakit paru restriktif dengan keterlibatan otot-otot pernapasan Sumbatan saluran respiratori Benda asing Laringeal web Vascular ring Kegagalan SSP untuk mengatur pernapasan Trauma Infeksi Keracunan Genetik (congenital hypoventilation syndrome) Tumor Kegagalan untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan Renjatan septik Sumber: Nitu dan Elgen 2009
Tipe Gagal Napas Gagal napas dibagi menjadi dua tipe yang terjadi karena hipoksemia, hiperkapnia, atau kombinasi keduanya dan diklasifikasikan berdasarkan kadar PaCO2 112
Gagal napas tipe I (hipoksemia, gangguan oksigenasi) Ditandai PaO2 arteri rendah (hipoksemia) dan PaCO2 arteri yang normal atau rendah yang disebabkan ventilasi paru dan perfusi yang tidak sepadan Gagal napas tipe I adalah kegagalan oksigenasi dan terjadi pada tiga keadaan: 1. Ventilasi/perfusi yang tidak sepadan atau V/Q mismatch, terjadi bila darah mengalir ke bagian paru dengan ventilasi yang tidak adekuat atau bila ventilasi paru yang adekuat tidak mendapatkan perfusi adekuat 2. Gangguan difusi, disebabkan penebalan membran alveolar atau cairan interstisial pada pertemuan alveouskapilar ↑ 3. Pirau intrapulmonal yang terjadi bila kelainan struktur paru → aliran darah melewati paru tanpa berpartisipasi dalam pertukaran gas Gagal napas tipe II (hiperkapnia, gangguan ventilasi) Ditandai PaO2 rendah (hipoksemia) dan PaCO2 tinggi (hiperkapnia), pada umumnya karena hipoventilasi alveolar, ↑ ventilasi ruang mati (dead space), atau ↑ produksi CO2 Gagal napas tipe II pada umumnya terjadi karena hipoventilasi alveolar dan biasanya terjadi sekunder terhadap keadaan seperti disfungsi SSP, sedasi berlebihan, atau gangguan neuromuskular Tabel 30 Tipe Gagal Napas Temuan Klinis Penyebab
Contoh
Tipe I Hipoksia, PaCO2 ↓
Gangguan ventilasi/perfusi
Posisi (telentang di tempat tidur), sindrom distres pernapasan akut (SDPA), atelektasis, pneumonia, emboli paru, displasia bronkopulmonal
Gangguan difusi
Edema paru, SDPA, pneumonia interstitial Malformasi artrio-vena paru, malformasi adenomatoid kongenital
PaO2 normal
Pirau Tipe II Hipoksia Hiperkapnia PaO2 ↓ PaCO2 ↑
Hipoventilasi
Penyakit neuromuskular (polio, sindrom Guillan Barre), trauma kepala, sedasi, disfungsi dinding dada (luka bakar), kifosis, hiperreaktivitas saluran respiratori berat
Sumber: Carpenter dkk. 2001
113
Diagnosis
Gagal napas diawali oleh stadium kompensasi, pada keadaan ini ditemukan ↑ upaya napas (work of breathing) yang ditandai distres pernapasan (pemakaian otot pernapasan tambahan, retraksi, takipnea, dan takikardia). Peningkatan upaya napas terjadi dalam usaha mempertahankan aliran udara walaupun compliance paru ↓. Stadium dekompensasi muncul belakangan ditandai ↓ upaya napas Anamnesis Dapat ditemukan kesulitan bernapas atau sesak napas, ↓ aktivitas fisik, perubahan status mental, riwayat tertelan benda asing, dan riwayat infeksi saluran respiratori akut sebelumnya Pemeriksaan Fisis Mungkin ditemukan upaya napas ↑ dan perubahan pola serta frekuensi laju napas (Tabel 31)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium sangat penting untuk menilai oksigenasi jaringan yang adekuat. Pemeriksaan gas darah arteri merupakan penilaian utama untuk kedua tipe gagal napas, yaitu PaO2 dan PaCO2. Gagal napas ditandai dengan hipoksemia yaitu kadar PaO2 <60 mmHg dan hiperkapnia yaitu PaCO2 >50 mmHg. Referensi lain mengatakan hipoksemia apabila PaO2 <50 mmHg, SaO2 <90%, PaO2 <60 mmHg pada FiO2 40% atau PaO2/FiO2 <300. Hiperkapnia apabila pCO2 >50 mmHg dengan asidosis (pH <7,25), pCO2 >40 mmHG dengan distres berat atau pCO2 >55 mmHg. Pemeriksaan tambahan lain seperti elektrolit, hematokrit (Ht), dan kadar obat hanya untuk mencari penyebab dasar gagal napas
Penyulit
Henti kardiovaskular (65% pada anak)
Talaksana
Tatalaksana gagal napas akut di ruang gawat darurat terdiri atas: Survei primer: lakukan pemeriksaan observasional dengan segitiga penilaian anak Prioritas pengobatan:lakukan langkah resusitasi ABC dan penilaian derajat kesadaran Survei sekunder: anamnesis dan pemeriksaan fisis singkat dikerjakan simultan dan komprehensif bersamaan pada saat melakukan prioritas pengobatan sesuai diagnosis Prioritas pertama dalam tatalaksana gagal napas akut adalah menjamin kecukupan pertukaran gas dan sirkulasi darah (langkah ABC resusitasi kardiopulmonal). Oksigen harus diberikan untuk mempertahankan saturasi oksigen arteri >95%. Bila ventilasi tidak adekuat, maka harus segera diberikan bantuan ventilasi balon ke masker dan O2 114
Tabel 31 Penilaian Klinis Gagal Napas Akut
115
Penilaian
Distres Pernapasan
Gagal Napas
Henti Napas
Status mental
Sadar, gelisah, agitasi
Tonus otot Posisi tubuh
Dapat duduk (usia >4 bl) Posisi tripod
Laju napas
Lebih cepat dari normal
Tidak responsif terhadap suara dan rangsang nyeri Lemas Tidak dapat mempertahankan posisi tubuh (bayi >7–9 bl) Tidak ada napas
Upaya napas
Retraksi interkostal Napas cuping hidung Pemakaian otot leher Pernapasan paradoksik
Kurang responsif atau memberi respons terhadap rangsang sakit Normal atau hipotonía Posisi tripod, perlu bantuan mempertahankan posisi duduk Takipnea dengan periode bradipnea, melambat menjadi bradipnea/agonal Upaya napas tidak adekuat, dinding dada naik turun Stridor, mengi, berdeguk, megap-megap Sianosis sentral walaupun sudah diberikan O2, bebercak biru
Tidak terdengar suara napas
Suara napas Warna kulit
Stridor, mengi, kemerahan atau pucat, sianosis sentral yang membaik dengan pemberian O2
Sumber: Frankel 2007
Tidak ada upaya napas
Bebercak biru, sianosis perifer dan sentral
Fase Resusitasi Stabilisasi dan mencegah perburukan. Berikan oksigenasi, kontrol saluran respiratori, tatalaksana ventilasi, stabilisasi sirkulasi, dan terapi farmakologis Bila penderita sadar: penanganan minimal, bayi di pangkuan orangtua, dalam posisi yang nyaman, jangan memaksakan penderita dalam posisi tidur, berikan suplemen oksigen (aliran rendah atau tinggi), pasang pemantau kardiorespirasi dan pulse oxymeter, akses i.v. bila perlu, anamnesis,dan pemeriksaan klinis singkat Bila penderita tidak sadar: buka jalan napas (manuver tengadah kepala/head tilt, angkat dagu/chin lift, atau mengedapkan rahang/ jaw thrust) dan letakkan dalam posisi pemulihan. Isap lendir (10 detik), ventilasi tekanan (+) dengan O2 100%. Lakukan intubasi endotrakea dan pijat jantung luar bila diperlukan Fase Perawatan Lanjutan Melakukan diagnosis diferensial dan investigasi lanjut, rencana terapi yang disesuaikan dengan diagnosis (antibiotik, bronkodilator, nutrisi, fisioterapi, pemantauan, radiologis). Pemantauan penderita gagal napas akut harus dilakukan penilaian ulang dan pengawasan ketat. Pemantauan kerja jantung, tekanan darah, pulse oxymetri, saturasi oksigen, dan kapnometri. AGD dilakukan 15–20 mnt sesudah dilakukan ventilasi mekanik
Prognosis
Bergantung pada etiologi, diagnosis dini, dan kecepatan serta penanganan gagal napas
Surat Persetujuan Diperlukan
Bibliografi 1.
2.
3.
4.
Carpenter TC, Dobyn EL, Durmowicz AG, Ferguson MA, Stenmark KR. Critical care. Dalam: Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM, penyunting. Current pediatric diagnosis & treatment. Edisi ke-15. New York: McGraw-Hill; 2001. hlm. 319– 43. Carpenter TC, Dobyns EL, Lane J, Mourani P, Robinson A, Ferguson M, dkk. Acute respiratory failure. Dalam: Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM, penyunting. Current pediatric diagnosis & treatment. Edisi ke-16. Boston: McGrawHill; 2003. hlm. 362–7. Durmowicz AC, Stenmark KR. Acute respiratory failure. Dalam: Chernick V, Boat TF, Kendig EL, penyunting. Kendig’s disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-8. Philadelphia: WB Saunders Co; 2012. hlm. 265–83. Frankel LR. Respiratory distress and failure. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders; 2007. hlm. 421–31. 116
5. 6.
7.
Nitu ME, Elgen H. Respiratory failure. Pediatr Rev. 2009;30:470–8. Paldipsky PS, Gausche-Hill M. Respiratory distress and respiratory failure. Dalam: Baren JM, Brennan JA, Brown L, Rothrock SG, penyunting. Pediatric emergency medicine. Edisi ke-1. Philadelphia: Saunders; 2008. hlm. 13–27. Pope J, McBride J. Respiratory failure in children. Pediatr Rev. 2004;25(5):160–6.
117
TERAPI OKSIGEN Batasan
Terapi oksigen adalah pemberian oksigen dengan konsentrasi lebih besar dari konsentrasi oksigen di udara (21%) untuk mengatasi atau mencegah gejala dan manifestasi hipoksia Tujuan terapi oksigen adalah: Mengatasi hipoksemia Menurunkan kerja pernapasan Mengurangi kerja miokardia
Indikasi
Hipoksemia Bayi dan anak: PaO2 <60 mmHg atau SaO2 <90% (udara ruangan) Neonatus: PaO2 <50 mmHg atau SaO2 <88% Pada keadaan akut dicurigai hipoksemia Renjatan Trauma berat Terapi jangka pendek (selama prosedur medis tertentu)
Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi yang spesifik Kanul nasal: jika ada obstruksi nasal Kateter nasofaringeal: jika ada fraktur dasar tengkorak kepala, trauma maxilo-facial, dan obstruksi nasal
Penyulit
Fisiologis Bayi prematur: retinopathy of prematurity (ROP) Paraquat, bleomisin: fibrosis paru FiO2 tinggi: atelektasis absorpsi, bronchopulmonary displacia (BPD), radikal bebas Berhubungan dengan alat Hipoksemia Hiperoksemia
Fisiologi
O2 ditranspor dari paru ke dalam jaringan tubuh O2 bergerak menuju ke daerah yang memiliki perbedaan tekanan, seperti: Dari alveolar ke dalam darah Dari darah arteri ke dalam jaringan tubuh Ke dalam sel dan mitokondria Faktor-faktor yang berperan dalam oksigenasi yang adekuat: FiO2 Pertukaran udara pada alveoli Kandungan oksigen dalam vena Distribusi ventilasi-perfusi 118
Kandungan oksigen dalam darah terdiri atas: Oksigen terlarut dalam plasma: PaO2 (mmHg) × 0,003 mL Terikat dengan Hb: Hb × 1,34 × saturasi O2 Kandungan O2 = O2 terlarut + O2 terikat Hb
Sistem Pemberian Oksigen
Sistem aliran rendah (low flow - variable performance) Kanula nasal, sungkup muka sederhana, sungkup dengan reservoar (sungkup muka non-rebreather, sungkup muka partial rebreather) Sistem aliran tinggi (high flow - fixed performance) Alat venturi Dapat digunakan dengan sungkup, nebulizer, trakeostomi, tents dan hoods Peralatan Terapi Oksigen Kanula nasal/nasal prong FiO2 yang dihasilkan bervariasi 24–50%, bergantung pada aliran inspirasi penderita (frekuensi napas, volume tidal, dan waktu inspirasi) Tabel 32 Keuntungan dan Kerugian Kanula Nasal Keuntungan
Kerugian
Mudah digunakan Disposable Berguna untuk kebutuhan O2 moderate
Iritasi hidung dan tenggorokan (>6 L/mnt) FiO2 yang rendah FiO2 yang bermacam-macam
Sumber: Myers 2002
Penghitungan FiO2 yang Dibutuhkan Vol O2 inspirasi + Vol O2 reservoar + 0,21 [VT− {(Vol O2 inspirasi + Vol O2 reservoar)}] FiO2 = VT FiO2 =
(Ti × flow) + (¼ Te × flow) + 0,21 [VT− (Ti × flow) + (¼ Te × flow)] VT
Keterangan: Ti = time inspiration: ⅓ × waktu siklus (60/RR) Te = expiration time: ⅔ 60/RR Flow = aliran O2 yang diberikan (L/m) × 16,7 RR = kecepatan respirasi dalam 1 mnt BB = berat badan dalam kg VT = volume tidal 0,21 = konsentrasi O2 ruangan 21%
119
Catatan: Kapasitas reservoar anatomik = ⅔ BB Bila volume O2 reservoar >kapasitas reservoar anatomik, maka angka yang digunakan adalah kapasitas reservoar anatomik Bila volume O2 reservoar
1 th 120
Sungkup terbuka/face tent/O2 tent Keuntungan: Lebih nyaman untuk anak Konsentrasi 40% dengan aliran 10–15 L/mnt Kerugian: Kesukaran mempertahankan suhu tubuh FiO2 bervarias, tidak dapat melebihi 50% Akses ke penderita dan observasi sulit Tabel 33 Perkiraan FiO2 dengan Mempergunakan Alat Pemberian Oksigen Aliran Rendah Kecepatan Aliran Oksigen 100% (Liter)
FiO2 (%)
Kanula nasal atau kateter: 1 2 3 4 5 6 Sungkup oksigen: 5–6 6–7 7–8 Sungkup dengan kantung reservoar: 6 7 8 9 10
24 28 32 36 40 44 40 50 60 60 70 80 ≥80 ≥80
Sumber: Shapiro dan Peruzzi 1994 (FiO2 kanula nasal pada anak menggunakan perhitungan di atas)
Evaluasi Terapi Oksigen
Penilaian klinis: sistem kardiovaskular dan sistem respirasi Pulse oxymetri (SpO2) AGD (SaO2) P(A-a)O2 PaO2/FiO2
Bibliografi
1. Frey B, Shann F. Oxygen administration in infants. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2003;88(2):F84–8. 2. Heulitt MJ, Clement KC. Physiology of the respiratory system. Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ, penyunting. Pediatric critical care. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 499–508. 121
3. Ludwig S, Lavelle JM. Resuscitation-pediatric basic and advanced life support. Dalam: Fleisher GR, Ludwig S, penyunting. Textbook of pediatric emergency medicine. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2010. hlm. 1–31. 4. Myers TR. AARC clinical practice guideline: selection of an oxygen delivery device for neonatal and pediatric patients-2002 revision & update. Respir Care. 2002;47:707–16. 5. Scarfone RJ. Oxygen delivery, suctioning, and airway adjuncts. Dalam: King C, Henretig FM, penyunting. Textbook of pediatric emergency procedures. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm. 93–108. 6. Shapiro BA, Peruzzi WT. Clinical application of blood gases. Edisi ke-5. Chicago: Mosby; 1994.
122
VENTILASI MEKANIK Batasan
Ventilasi mekanik adalah usaha untuk meniru fungsi sistem pernapasan untuk melakukan pertukaran udara ketika terjadi kegagalan sistem napas. Ventilator merupakan mesin yang mengalirkan gas secara terkontrol ke jalan napas penderita. Tekanan oksigen dan udara berasal dari tabung atau outlet di dinding, diturunkan dan dicampur sesuai kebutuhan tekanan oksigen inspirasi (FiO2), diakumulasi di reservoar mesin, kemudian dialirkan ke penderita
Indikasi Pemasangan Ventilasi Mekanik Gangguan ventilasi Disfungsi otot pernapasan Kelelahan otot pernapasan Gangguan dinding dada Kelainan neuromuskular Rangsangan napas ↓ Resistensi jalan napas ↑ atau obstruksi
Gangguan oksigenasi Hipoksemia refrakter Membutuhkan tekanan (+) di akhir inspirasi Kerja pernapasan berlebihan Selain itu, pemasangan ventilasi mekanik juga memberikan keuntungan sebagai berikut: Memungkinkan sedasi dan blokade neuromuskular Menurunkan konsumsi oksigen miokardia dan sistemik Memungkinkan hiperventilasi sebagai terapi sementara untuk kasus tekanan tinggi intrakranial Mencegah atelektasis
Modus Ventilasi Mekanik
Faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih modus ventilasi mekanik antara lain: Ventilasi dan oksigenasi yang adekuat Mengurangi kerja pernapasan Memastikan kenyamanan dan sinkronisasi ventilator dengan penderita Assist-control ventilation (AC) atau volume control (VC) Pernapasan mekanik diberikan sesuai frekuensi atau volume tidal (kadang PIP) yang sudah diset, baik atas usaha penderita atau menurut interval yang sudah diset Modus ini digunakan pada penderita dengan usaha napas yang lemah. Bantuan napas maksimal disesuaikan dengan napas spontan penderita. Keuntungan modus ini memberikan kenyamanan dan banyak memberi bantuan. Kerugiannya yaitu dapat menyebabkan hiperventilasi bila tidak dimonitor dengan 123
ketat dan tidak dapat dipakai untuk penyapihan karena pada setiap napas akan mendapat bantuan mekanik secara penuh Pressure control (PC) Pernapasan dikontrol oleh Pmaks, bukan oleh volume tidal. Digunakan pada neonatus atau penderita dengan tekanan jalan napas yang tinggi (ARDS) untuk mencegah barotrauma. Modus ini tidak menyenangkan untuk penderita yang sadar. Keuntungannya yaitu karena tekanan dibatasi maka dapat mengurangi risiko barotrauma. Kerugiannya yaitu volume tidal yang diberikan tidak dapat dijamin Pressure regulated volume control (PRVC) Mengatur kecepatan aliran udara yang diberikan untuk dapat memberikan volume tidal yang sudah diset pada atau di bawah tekanan maksimal yang diset. Dipakai pada penderita dengan tekanan jalan napas yang tinggi, tetapi dapat juga dipakai pada penderita lain. Keuntungannya yaitu memberikan jaminan volume tidal yang diberikan tetapi meminimalkan barotrauma Synchronized intermittent mandatory ventilation (SIMV) Dengan modus ini, ventilasi mekanik diberikan dalam interval berdasarkan frekuensi pernapasan yang sudah diset. Ventilator menyediakan bagian interval untuk napas spontan penderita yang dipakai sebagai pemicu diberikannya bantuan napas, tetapi apabila tidak ada, maka secara otomatis ventilator akan memberikan bantuan napas pada akhir periode. Pernapasan lain selama siklus tidak akan mendapat bantuan. Modus ini sering digunakan pada berbagai keadaan dan dapat dipakai untuk modus penyapihan. Keuntungannya yaitu memungkinkan kerja sama dengan penderita, tetapi kerugiannya pernapasan lain selama siklus tidak mendapat bantuan. Modus SIMV sering digabungkan dengan pressure support (PS) untuk ↑ volume tidal napas spontan penderita Pressure support (PS) Modus membantu setiap napas spontan dengan aliran tambahan untuk mencapai tekanan yang sudah diset. Pada penderita dengan napas spontan, modus ini akan membantu mengatasi resistensi jalan napas karena pipa endotrakeal. Biasanya diberikan 5 untuk penderita yang lebih besar dan 10 untuk yang lebih kecil. Modus ini sangat membantu dalam penyapihan, tetapi tidak boleh digunakan pada penderita tanpa napas spontan. Keuntungannya yaitu membantu mengatasi resistensi jalan napas karena pipa dan membuat napas menjadi lebih mudah. Kerugiannya yaitu apabila kecepatan aliran terlalu tinggi (Servo 900C) menimbulkan ketidaknyamanan pada penderita kecil
Setting Awal Ventilator
Pilih modus ventilator yang paling familiar. Modus ventilasi yang paling sering digunakan yaitu time-cycled pressure-limited ventilation FiO2 awal 100%, kemudian diturunkan bertahap untuk memper124
tahankan SpO2 92–94%. Pada sindrom distres pernapasan akut berat, SpO2 dipertahankan ≥88% untuk meminimalkan penyulit ventilasi mekanik Volume tidal (VT) 8–10 mL/kgBB dengan waktu inspirasi 0,5–0,6 detik untuk bayi, 0,6–0,8 detik untuk balita, serta 0,8–1,0 detik untuk anak usia sekolah dan remaja Pilih frekuensi ventilasi dan ventilasi semenit yang sesuai dengan keadaan klinis. Parameter yang digunakan yaitu pH, bukan PaCO2. Frekuensi ventilasi pada anak lebih tinggi dibandingkan dengan orang dewasa untuk mempertahankan PaCO2 normal, tetapi biasanya tidak melebihi 18–20×/mnt PEEP (positive end expiratory pressure) berfungsi membantu oksigenasi dan menurunkan FiO2. PEEP fisiologis—2–4 cmH2O— biasanya digunakan untuk mencegah kolaps alveolus saat ekspirasi. PEEP ditingkatkan bila diperlukan alveolar recruitment pada acute lung injury Tentukan sensitivitas trigger untuk membantu usaha napas spontan penderita yang minimal sekalipun Bila oksigenasi buruk, ventilasi tidak adekuat atau tekanan inspirasi tinggi yang berhubungan dengan intoleransi ventilasi mekanik, pertimbangkan pemberian sedasi, analgesia, dan atau blok neuromuskular Minta bantuan konsultan bila perlu
Perawatan Selama Ventilasi Mekanik
Sesudah ventilasi mekanik dimulai, beberapa parameter harus dievaluasi kembali dan disesuaikan sehingga tercapai setting yang optimal Tekanan Inspirasi Terdiri atas 2 komponen yaitu tekanan yang diperlukan untuk mengatasi resistensi jalan napas, serta elastisitas jaringan paru dan dinding dada. Selama ventilasi tekanan (+), tekanan jalan napas ↑ secara progresif dan mencapai puncaknya di akhir inspirasi (peak inspiratory pressure/PIP). PIP yang terlalu tinggi dapat menyebabkan barotrauma (pneumotoraks, pneumomediastinum), volutrauma (kerusakan parenkim paru akibat inflasi berlebihan), dan ↓ curah jantung Rasio I:E dan PEEP Selama respirasi spontan, rasio I:E normal adalah 1:2. Pada beberapa keadaan—misalnya penyakit paru kronik—ekspirasi memanjang dan rasio I:E berubah. Waktu ekspirasi yang terlalu pendek akan meningkatkan PEEP di atas setting, dikenal sebagai auto-PEEP. Efek samping PEEP yang terlalu tinggi antara lain barotrauma, hipotensi, output kardiak ↓, PaO2 ↑ (ruang rugi ↑), dan oksigenasi buruk. Penurunan PEEP dicapai dengan memperpendek waktu inspirasi, misalnya dengan ↓ frekuensi ventilasi atau ↓ volume tidal
125
FiO2 Paparan oksigen konsentrasi tinggi dalam jangka lama dapat → kerusakan parenkim paru. Walau batas konsentrasi yang merugikan tidak diketahui, sebaiknya FiO2 diturunkan hingga ≤50% secepatnya (dalam 24 jam pertama), kecuali penderita dengan hipoksemia Tabel 34 Penyesuaian Setting Ventilator berdasarkan Perubahan AGD PaO2 rendah
PaCO2 tinggi
PaO2 rendah
PaCO2 normal
PaO2 rendah
PaCO2 rendah
PaO2 normal
PaCO2 tinggi
PaO2 normal
PaCO2 rendah
PaO2 tinggi
PaCO2 normal
PaO2 tinggi
PaCO2 rendah
PaO2 normal
PaCO2 normal
PIP ditingkatkan Bila ada napas spontan, frekuensi dinaikkan FiO2 dinaikkan Mean airway pressure ditingkatkan PEEP dinaikkan Waktu inspirasi diperpanjang Pertimbangkan diagnosis kelainan lain PEEP diturunkan Frekuensi ventilasi ditingkatkan Mean airway pressure dipertahankan Frekuensi ventilasi diturunkan Mean airway pressure dipertahankan Mean airway pressure diturunkan PIP diturunkan FiO2 diturunkan Tekanan diturunkan Frekuensi ventilasi diturunkan FiO2 diturunkan −
Sumber: Tripathi dan Misra 2001
Sedasi, Analgesia, dan Blok Neuromuskular Untuk meningkatkan kenyamanan dan mengurangi kerja pernanapasan penderita, obat sedatif, analgesik, dan agen blok neuromuskular sering digunakan
Pemantauan Selama Ventilasi Mekanik
Penderita yang mendapat bantuan napas dengan ventilasi mekanik harus dipantau terus-menerus untuk evaluasi efek menguntungkan dan merugikan terapi yang diberikan Rekomendasi pemeriksaan untuk pemantauan ventilasi mekanik: Foto Rontgen toraks sesudah intubasi dan bila keadaan memburuk Pemeriksaan AGD pada awal pemberian ventilasi mekanik, kemudian berkala sesuai keadaan klinis Pengukuran tanda vital berkala dan pemantauan penderita secara langsung, termasuk interaksi penderita dengan ventilator 126
Pengukuran inspiratory plateau pressure bila diperlukan Pulse oximetry Alarm ventilator
Penyapihan
Periode penyapihan dapat mencapai 40% waktu total pemakaian ventilasi mekanik Penyapihan terdiri atas 2 komponen: menghentikan ventilasi mekanik dan mencabut pipa endotrakeal Metode penyapihan yang dipilih bergantung pada indikasi pemasangan ventilasi mekanik, lama pemasangan, dan jumlah sedatif yang diberikan Indikasi penyapihan dan ekstubasi Ventilasi adekuat Oksigenasi adekuat Dapat mempertahankan patensi jalan napas Tabel 35 Indikasi Penyapihan Kriteria
Deskripsi
Objektif
1. Oksigenasi adekuat PO2 >60 mmHg dengan FiO2 >0,4 PEEP <5–10 cmH2O PO2/FiO2 >150–300 2. Hemodinamik stabil Tidak takikardia Tekanan darah stabil tanpa atau dengan vasopresor minimal 3. Afebris 4. Tidak ada asidosis respiratorik 5. Tidak anemia (Hb >8 g/dL) 6. Kesadaran cukup baik GCS >13 Sedatif minimal 7. Keadaan metabolik stabil (kadar elektrolit dalam batas normal) 1. Resolusi proses akut penyakit 2. Refleks batuk baik 3. Penilaian dokter
Subjektif
Sumber: Kamat 2010
127
Tabel 36 Setting Awal Ventilator berdasarkan Kelainan Pulmonal* Penyakit Paru Paru normal
Mode
VT Kecepatan (mL/kgBB) (×/mnt)
Flow (L/mnt)
VC atau PC-CMV VC atau PC-CMV
5–8
10–15
6–8
8–12
Gangguan VC-CMV neuromuskular Asma VC atau PC-CMV
7–10
8–12
≥60
4–8
<8
80–100
Trauma kepala tertutup ARDS
5–8
15–20
60
4–8
15–25
≥60
5–8
≥10
≥60
COPD∆
128
Gagal jantung kongestif
PC atau VC-CMV PC atau VC-CMV VC atau PC-CMV
Flow Waveform
60
Menurun atau konstan >60 (80–100) Menurun atau konstan Menurun atau konstan Menurun Menurun atau konstan Menurun atau konstan Menurun atau konstan
T1Sec 1
PEEP (cmH2O) ≤5
0,6–1,2 ≥5 atau 50% PEEP intrinsik 1 5 ≤1 1 1 1–1,5
FIO2 ≤0,5 <0,5 0,21
Hanya untuk menyeimbangkan PEEP dan memperbaiki trigger 0–5 hanya pada hipoksemia berat 5 hingga >15
≥0,5
5–10
1,0
1,0 1,0
*Untuk semua kelainan sangat penting untuk mempertahankan tekanan plateau <30 cmH2O ∆ Sebuah usaha awal pada bilevel PAP harus dicoba menggunakan NIV dengan IPAP = 10–12 cmH2O dan EPAP = 2–3 cmH2O sebelum dipertimbangkan intubasi. Pengecualian akan menjadi emergensi kritis pada penderita Sumber: Cairo 2012
Bibliografi 1.
2. 3.
4.
5. 6. 7. 8. 9.
Balk RA. Ventilator-induced lung injury: implications for clinical practice. Dalam: Balk RA, Brown DR, Chang CWJ, Cheifetz IM, Hamel D, Kleinpell RM, penyunting. Mechanical ventilation: trends in adult and pediatric practice. Illinois: Society of Critical Care Medicine; 2009. hlm. 141–56. Cairo JM. Pilbeam’s mechanical ventilation: physiological and clinical applications. Edisi ke-5. St. Louis: Elsevier Mosby; 2012. Frankel LR, Kache S. Mechanical ventilation. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders; 2007. hlm. 424–9. Heulitt MJ, Wolf GH, Arnold JH. Mechanical ventilation. Dalam: Rogers MC, Nichols DG, penyunting. Textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2008. hlm. 509–31. Kamat SS. Practical applications of mechanical ventilation. Edisi ke-1. New Delhi: Jaypee Brothers; 2010. Khilnani P. Pediatric and neonatal mechanical ventilation. Edisi ke-2. New Delhi: Jaypee Brothers; 2011. Mejia R, Fields A, Greenwald BM, Stein F, penyunting. Pediatric fundamental critical care support. Mount Prospect: Society of Critical Care Medicine; 2008. Schwarz AJ. Blueprints pocket pediatric ICU. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. Tripathi VN, Misra S. Mechanical ventilation in pediatric practice. Indian Pediatr. 2001;38(2):147–56.
129
SINDROM DISFUNGSI ORGAN MULTIPEL (SDOM) Batasan
Kumpulan gejala akibat disfungsi minimal dua sistem organ pada penderita sakit akut, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan lagi tanpa intervensi
Klasifikasi
Primer Muncul 2 disfungsi organ dalam 1 mgg pertama perawatan pediatric intensive care unit (PICU) yang disebabkan oleh penyakit yang mendasarinya tanpa bukti lebih lanjut akibat disfungsi organ lain Sekunder Disfungsi organ multipel yang muncul >7 hr sesudah perawatan di PICU, atau Disfungsi organ yang berlanjut hingga mencapai disfungsi organ yang maksimal dan muncul sesudah >72 jam diagnosis SDOM ditegakkan
Etiologi
Sepsis, asfiksia, inborn errors of metabolism, hypoxemic respiratory failure (acute lung injury/ALI atau acute respiratory distress syndrome/ARDS), gagal ginjal akut, pankreatitis, perdarahan intrakranial, dan penyakit neurodegeneratif, pascapembedahan jantung, trauma multipel, transplantasi hati atau sumsum tulang, dan obstruksi usus
Patogenesis
Sepsis dan systemic inflammation response syndrome (SIRS) → ↓ curah jantung, perfusi sistem organ → hipoperfusi atau iskemia sistem organ → perfusi jaringan menjadi inadekuat dan terjadi gangguan distribusi aliran darah yang membawa oksigen, nutrien, dan zat-zat penting lainnya Meskipun suplai oksigen ke sel memadai, tetapi oksigen tidak dapat digunakan oleh sel disebabkan abnormalitas jalur fosforilasi oksidatif di mitokondria. Kerusakan endotel vaskular → defek permeabilitas dan mengganggu integritas endotel → edema atau gangguan fungsi sistem organ
Diagnosis
Kardiovaskular Sesudah pemberian bolus cairan isotonik i.v. ≥40 mL/kgBB dalam 1 jam masih ditemukan tanda berikut ini: Hipotensi
Memerlukan obat vasoaktif untuk mempertahankan tekanan darah normal (dopamin atau dobutamin >5 μg/kgBB/mnt, epinefrin atau norepinefrin), atau Dua dari berikut ini: 1. Asidosis metabolik yang tidak dapat dijelaskan: base deficit >5 mEq/L 2. Laktat darah ↑ >2× dari batas normal atas 3. Oliguria: output urin <0,5 mL/kgBB/jam 4. Pemanjangan capillary refill >5 detik 5. Perbedaan suhu tubuh inti dan perifer >3 °C Pernapasan PaO2/FiO2 <300 tanpa penyakit jantung sianotik atau penyakit paru sebelumnya, atau PaCO2 >65 torr atau 20 mmHg melewati batas PaCO2, atau Terbukti memerlukan oksigen atau >50% FiO2 untuk mempertahankan saturasi ≥92%, atau Memerlukan ventilasi mekanik invasif atau noninvasif nonelektif Neurologi Glasgow coma scale (GCS) ≤11, atau Perubahan status mental secara akut dengan GCS ↓ ≥3 dari sebelumnya Hematologi Trombosit <80.000/mm3 atau penurunan 50% dari hitung trombosit dari nilai tertinggi yang pernah diketahui 3 hr sebelumnya (untuk penderita hematologi-onkologi), atau International normalized ratio (INR) >2 Ginjal Kreatinin serum >2× batas atas normal sesuai usianya atau ↑ 2× dari kadar kreatinin sebelumnya Hati Bilirubin total ≥4 mg/dL (tidak untuk bayi baru lahir), atau Kadar SGPT 2× batas atas normal sesuai usia
Tatalaksana
Umum Kontrol Sumber Infeksi Drainase, debridemen, pemindahan alat yang berpotensi menjadi sumber infeksi (contoh: amputasi, reseksi usus) Terapi Antibiotik Antibiotik parenteral harus segera dimulai pada penderita dengan sepsis berat. Regimen awal harus dinilai ulang sesudah 48–72 jam berdasarkan data klinis dan kultur Membatasi Transfusi Packed Red Cell (PRC) Transfusi darah pada keadaan sepsis yaitu Hb <7 g/dL, gagal hati <10 g/dL, dan gagal ginjal akut <6 g/dL Kontrol Glukosa Pada keadaan sepsis, kadar glukosa yang harus dipertahankan yaitu ≤150 mg/dL dan pada gagal hati >40 mg/dL 131
Pemberian Nutrisi Enteral Dini/Imunonutrisi Pedoman European Society of Parenteral and Enteral (ESPEN) mendukung penggunaan nutrisi enteral dini (<24 jam sesudah masuk) pada penderita sakit kritis dengan hemodinamik stabil dan saluran pencernaan dapat berfungsi Activated Protein C (APC) Menonaktifkan sistem koagulasi dan antiinflamasi Tidak dianjurkan pada anak karena meningkatkan risiko perdarahan dan kurangnya bukti efikasi Khusus Disfungsi Kardiovaskular Resusitasi awal Bolus kristaloid 20 mL/kgBB selama 5–10 mnt, dapat diberikan hingga 40–60 mL/kgBB sesuai kondisi penderita. Bila akses i.v. sulit didapat, segera lakukan akses i.o. Dopamin merupakan pilihan utama untuk penderita dengan renjatan refrakter cairan. Pada anak dengan renjatan refrakter dopamin, dapat diberikan epinefrin atau norepinefrin. Dobutamin dapat diberikan pada penderita dengan output kardiak rendah dan resistensi vaskular sistemik yang ↑ (akral dingin, capillary refilltime ↑, output urin ↓ tetapi dengan tekanan darah normal sesudah resusitasi cairan). Pada keadaan normotensi dengan output kardiak rendah dan resistensi vaskular sistemik ↑, dapat dipertimbangkan pemberian inhibitor fosfodiesterase 2 Hidrokortison 50 mg/m /hr → renjatan yang resisten katekolamin dan diduga atau terbukti menderita insufisiensi adrenal Disfungsi Pernapasan Ventilasi mekanik dengan menggunakan "lung protective strategy" (Vt <6 mL/kgBB dan tekanan plateu <30 cmH2O) pada penderita ALI dan ARDS Disfungsi Ginjal Tujuan utama untuk mempertahankan homeostasis cairan serta koreksi terhadap abnormalitas biokimiawi Hipovolemia Larutan ringer laktat i.v. 20 mL/kgBB selama 30 mnt Oliguria atau anuria Euvolumia: restriksi cairan hingga 400 mL/m2/24 jam (insensible water loss) ditambah jumlah cairan sebanyak output urin pada hari itu Hipervolemik: restriksi cairan hampir total dengan mengabaikan insensible water loss dan output urin Asidosis metabolik Disertai kelainan jantung Koreksi dengan Na bikarbonat 1 mEq/kgBB i.v. Tanpa kelainan jantung Na bikarbonat diberikan bila asidosis berat (pH <7,2) atau disertai gejala asidosis 132
Hiperkalemia Kalium 5,5–6,5 mEq/L → Na polistiren (kayeksalat) 1 g/kgBB oral atau rektal 4×/hr Kalium ≥7 mEq/L atau ada kelainan elektrokardiografi atau aritmia → kalsium glukonas 10% 0,5 mL/kgBB i.v. diberikan selama 10 mnt atau Na bikarbonat 7,5% 2,5 mEq/kgBB i.v. → jika tetap tidak tertangani diberikan glukosa 0,5 g/kgBB per infus selama 30 mnt dan diberikan dengan insulin regular 0,1 IU/kgBB i.v. sambil menyiapkan dialisis Hiponatremia Na <120 mEq/L → infus NaCl 3% dengan rumus: 0,6 × BB (kg) × (140 – Na(mEq/L)) dengan waktu koreksi menggunakan rumus: 2 × (140 – Na(mEq/L)) dalam jam Disfungsi Hepar Tatalaksana umum Bertujuan untuk meminimalisasi pengaruh penyulit gagal hati akut Tranfusi fresh frozen plasma (FFP) 10 mL/kgBB setiap 6 jam diberikan pada penderita dengan pemanjangan waktu protrombin >40 detik atau pada INR >2. Pada penderita dengan waktu protrombin <25 detik transfusi FFP ditunda kecuali bila ada prosedur tindakan Ensefalopati hepatik Laktulosa 1–2 mL/kgBB/hr setiap 4–6 jam Diet protein dibatasi sebanyak 0,5–1 g/kgBB/hr Asam amino yang diberikan → asam amino rantai cabang Edema serebri Manitol 0,25–1 g/kgBB Pencegahan perdarahan saluran cerna Antagonis H2 seperti ranitidin 1–3 mg/kgBB setiap 8 jam dan proton pump inhibitor seperti omeprazol 10–20 mg/kgBB/hr i.v. Transplantasi hati Hepatoprotektor Ursodeoxycholic acid (UDCA) dengan dosis 10–15 mg/kgBB/hr Tatalaksana khusus Bergantung pada etiologi gagal hati. Sebagai contoh bila penyebabnya asetaminofen, maka diberikan arang aktif 1 g/kgBB p.o., N-asetil-sistein 150 mg/kgBB i.v. dalam 15 mnt, selanjutnya rumatan 50 mg/kgBB selama 4 jam, diikuti 100 mg/kgBB diberikan selama 162 jam, dan hepatitis herpes dapat diberikan asiklovir 150 mg/m /hr i.v. Disfungsi Hematologi Transfusi trombosit diberikan pada keadaan trombosit <20.000/mm3, trombosit <50.000/mm3 disertai perdarahan atau sebelum pembedahan atau prosedur invasif lain, dan disfungsi trombosit (misalnya bila baru mengonsumsi aspirin) 133
Transfusi FFP diberikan bila INR >3 atau koagulopati ringan disertai tanda perdarahan atau sebelum pembedahan atau prosedur invasif lain
Prognosis
Mortalitas 1 disfungsi organ adalah sebesar 21,2%, 2 organ 44,3%, 3 organ 64,5%, dan >4 organ sebesar 76,2% Berdasarkan berbagai observasi klinis, definisi, dan penanda (marker) disfungsi organ yang diperoleh maka disusun sistem skoring SDOM dengan validasi yang bervariasi dan dapat diaplikasikan. Pada anak, sistem skoring yang sering digunakan yaitu pediatric logistic organ dysfunction (PELOD) score Tabel 37 Pediatric Logistic Organ Dysfunction (PELOD) Score Sistem Organ dan Variabel Sistem pernapasan PaO2/FIO2 PaCO2 Ventilasi mekanik Sistem kardiovaskular Denyut jantung (×/mnt) <12 th >12 th Tekanan darah sistol <1 bl 1 bl–1 th 1–12 th >12 th Sistem neurologi GCS Reaksi pupil Sistem hepatik ALT PT/INR Sistem renal: kreatinin <7 hr 7 hr–1 th 1–12 th >12 th Sistem hematologi Sel darah putih Trombosit
Nilai berdasarkan Keparahan Tiap Sistem Organ 1 10 20
0 70 dan 90 dan Tidak
Ya
70 atau 90
195 150 dan >65 >75 >85 >95
195 150 atau 35-65 35-75 45-85 55-95
12–15 dan 7–11 Keduanya reaktif
4–6 atau 3 Terfiksasi
<950 dan 60 atau 1,4 <1,59 <0,62 <1,13 <1,59 4,5 dan >35.000
<35 <35 <45 <55
>950 dan 60 atau 1,4 >1,59 >0,62 >1,13 >1,59 1,5–4,4 atau <1,5 <35.000
GCS, Glasgow coma score; ALT, alanine aminotransferase; PT, prothrombine time; INR, international normalized ratio Sumber: Han 2008
134
Bibliografi 1.
Bone RC, Balk RA, Cerra FB, Dellinger RP, Fein AM, Knaus WA, dkk. Definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. The ACCP/SCCM Consensus Conference Committee. Chest. 1992;101:1644–55. 2. Dare AJ, Phillips ARJ, Hickey AJR, Mittal A, Loveday B, Thompson N, dkk. A systematic review of experimental treatments for mitochondrial dysfunction in sepsis and multiple organ dysfunction syndrome. Free Radical Biol Med. 2009;10:285–90. 3. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, Bion J, Parker MM, Jaeschke R, dkk. Surviving sepsis campaign: international guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Crit Care Med. 2008;36(1):296–327. 4. Goldstein B, Giroir B, Randolph A. International pediatric sepsis consensus conference: definitions for sepsis and organ dysfunction in pediatrics. Pediatr Crit Care Med. 2005;6:2–8. 5. Han YY, Shanley T. Multiple organ dysfunction syndrome. Dalam: Nichols DG, penyunting. Roger’s textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm. 283–99. 6. Mizock B. The multiple organ dysfunction syndrome. Dis Mon. 2009;55:476–526. 7. Proulx F, Joyal JS, Mariscalco MM, Leteurtre S, Leclerc F, Lacroix J. The pediatric multiple organ dysfunction syndrome. Pediatr Crit Care Med. 2009;10:12–22. 8. Rivers E, NguyenB, HavstadS, ResslerJ, MuzzinA, KnoblichB, dkk. Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic shock. N Engl J Med. 2001;345:1368–77. 9. Tissieres P, Devictor DJ. Fulminant hepatic failure and transplantation. Dalam: Nichols DG, penyunting. Rogers’ textbook of pediatric intensive care.Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm. 1535–49. 10. Typpo KV, Peterson NJ, Hallman DM, Markovitz BP. Day 1 multiple organ dysfunction syndrome is associated with poor functional outcome and mortality in the pediatric intensive care unit. Pediatr Crit Care Med. 2009;10:562–70.
135
TERAPI CAIRAN PARENTERAL Batasan
Terapi cairan parenteral adalah pemberian berbagai jenis cairan intravena sesuai dengan kebutuhan penderita (kebutuhan cairan rumatan, defisit, kehilangan cairan yang sedang terjadi, dan memulihkan volume intravaskular pada penderita renjatan)
Fisiologi
Perbedaan komposisi cairan tubuh Fetus 90% BB Bayi prematur 80% BB Bayi aterm 70–75% BB Anak-anak 65–70% BB Remaja 60% BB Elektrolit dominan di dalam cairan ekstrasel: Na+ ± 140 mEq/L dan Cl− dalam jumlah ekuivalen Elektrolit dominan di dalam cairan intrasel: K+30 × cairan intrasel Distribusi dari kation natrium dan kalium diatur oleh pompa regulasi Na+, K+-ATP-ase Kalsium dan magnesium merupakan elektrolit penting lainnya Muatan listrik intrasel lebih bersifat (−) Tabel 38 Komposisi Cairan Tubuh Cairan tubuh total Cairan ekstrasel Cairan intrasel Lemak
Bayi
Anak
Dewasa
75% BB 40% BB 35% BB 16% BB
70% BB 30% BB 40% BB 23% BB
55–60% BB 20% BB 40% BB 30% BB
Indikasi
Memulihkan volume sirkulasi efektif → tujuan utamanya Prinsip tatalaksana terapi cairan terdiri atas: Terapi rumatan (maintenance) Penggantian defisit (defisit) Penggantian kehilangan cairan yang sedang berlangsung (ongoing losses) Tujuan Terapi Cairan Memberikan cairan rumatan, defisit, dan kehilangan cairan yang sedang terjadi Memberikan resusitasi cairan
Tatalaksana Terapi Cairan
Kebutuhan Cairan Rumatan per Hari Kebutuhan rumatan meliputi insensible water loss (IWL) serta kehilangan cairan melalui urin dan feses 136
Rumus Holiday Segar Tabel 39 Rumus 4−2−1 untuk Kebutuhan per Jam Berat Badan (kg) 0–10 kg 10–20 kg >20 kg
Jumlah Cairan (mL/kgBB/jam) 4 2 1
*Hanya berlaku sampai BB 80 kg
Tabel 40 Rumus 100−50−20 untuk Kebutuhan per Hari Berat Badan (kg) 0–10 10–20 >20
Cairan per Hari (mL/kgBB/hr) 100 1.000 + 50 1.500 + 20
*Berdasarkan kebutuhan kalori penderita yang dirawat
Kebutuhan cairan per hari juga dapat diperkirakan berdasarkan pemakaian energi (energy expenditure): 1 kkal = 1 mL H2O Kebutuhan cairan per hari berdasarkan energy expenditure: Neonatus usia 1 hr = 50 mL H2O/kgBB/hr Neonatus usia 2 hr = 75 mL H2O/kgBB/hr Bayi usia ≥3 hr = 100 mL H2O/kgBB/hr BB 10 kg pertama = 100 mL H2O/kgBB/hr BB 10 kg kedua = 1.000 mL + 50 mL H2O/kgBB/hr BB >20 kg = 1.500 mL + 20 mL H2O/kgBB/hr Faktor yang mengurangi kebutuhan cairan: Humidifikasi × 0,75 Dilumpuhkan (sedasi/paralisis) × 0,7 Sekresi ADH tinggi (pemakaian ventilator, koma) × 0,7 Hipotermia 12% per 1 °C suhu rektal <37 °C Kelembapan lingkungan tinggi × 0,7 Gagal ginjal × 0,3 (+ produksi urin) Faktor yang meningkatkan kebutuhan cairan: Aktivitas penuh dan diet oral × 1,5/minum bebas Demam + 12% per °C suhu rektal >37°C Suhu ruangan >31˚C + 30% per °C Hiperventilasi × 1,2 Neonatus preterm (<1,5 kg) × 1,2 Radiant heater × 1,5 Foto terapi × 1,5 Luka bakar hr ke-1 + 4% per 1% luas luka bakar Luka bakar ≥hr ke-2 + 2% per 1% luas luka bakar 137
Dalam menghitung kebutuhan cairan, harus mempertimbangkan pula kebutuhan elektrolit harian Kebutuhan elektrolit harian: Natrium 2–4 mEq/kgBB/hr Kalium 1–2 mEq/kgBB/hr Klorida 2–4 mEq/kgBB/hr Kalsium 20–100 mg/kgBB/hr
Hari ke-2–3 Hari ke-3–4
*1 mEq = 1 mmol
Mempertahankan kehilangan cairan Insensible water loss Hampir sepenuhnya terjadi dari kehilangan melalui penguapan kulit dan pernapasan, ekuivalen dengan 40 mL H2O/100 kkal dan dari luaran urin (sampai 75 mL H2O/100 kkal) Dengan pembentukan 15 mL H2O untuk setiap 100 kkal energi yang diproduksi, balans air neto dapat dipertahankan Tabel 41 Kebutuhan Cairan berdasarkan Usia Kebutuhan Cairan Usia (mL/kgBB/hr) Neonatus 1 hr 60 2 hr 90 3 hr 120 Anak 4 hr–1 th 150 1–5 th 100 5–10 th 75 >10 th 50 Defisit Evaluasi awal Tentukan derajat dan tipe dehidrasi secara klinis Persentase air total tubuh bayi lebih banyak daripada anak, sehingga defisitnya lebih sedikit Tipe dehidrasi Hiponatremia (Na <130 mEq) Isonatremia (Na 130–150 mEq) → 70% kasus dehidrasi Hipernatremia (Na >150 mEq) Pemeriksaan laboratorium Urine specific gravity ≥1.030 BUN ≥20 mg/dL Kreatinin ≥1 mg/dL Rasio BUN: kreatinin ≥20:1 Ongoing losses Penggantian dilakukan bila kehilangan signifikan misalnya muntah hebat, ileostomi, dan luka bakar luas 138
Contoh penghitungan kebutuhan cairan i.v. Anak BB 18 kg (sebelumnya 20kg) Dehidrasi 10%, Na serum 132 mEq, masih diare (40 mL/jam) Defisit: 20 kg × 10% (atau 100 mL/kg) = 2.000 mL Rumatan: (10 kg × 4 mL/kgBB/jam) + (10 kg × 2 mL/kgBB/jam) = 60 mL/jam Ongoing losses = 40 mL/jam Resusitasi cairan Resusitasi cairan diberikan mungkin 20 mL/kgBB pada umumnya diberikan dalam 15 mnt (lihat bab renjatan) Tabel 42 Contoh Terapi Cairan Waktu 0–30 mnt 30 mnt–8 jam
9–24 jam
Cairan yang Diberikan 20 mL/kgBB RL atau NS (bila renjatan) ½ defisit 1.000 mL/8 jam =125 mL/jam+ Cairan rumatan 60 mL/jam + ongoing loss diare 40 mL/jam atau (125 + 60 + 40 mL) = 225 mL/jam (D5 0,45NS + 20 mEq/L kalium) ½ defisit 1.000 mL/16 jam = 62,5 mL/jam + cairan rumatan 60 mL/jam+ ongoing loss diare (40 mL/jam) atau (62,5 + 60 + 40 mL) = 162,5 mL/jam (D5 0,45 NS + 20 mEq/L kalium)
RL = Ringer laktat, NS = normal saline/NaCl 0,9%
Pilihan Cairan Kristaloid Pilihan utama untuk cairan rumatan, rehidrasi, dan resusitasi Terdapat tiga jenis cairan kristaloid: Kristaloid hipotonik (D5%), isotonik (NaCI 0,9%, RL, RA), dan hipertonik (NaCl 7,5%) 1. Kristaloid hipotonik Jarang digunakan lagi Contoh: D5%, NaCl 0,225%, D5 ¼ NS 2. Kristaloid isotonik Contoh: NaCl 0,9% (waspadai asidosis hipernatremia dilusi bila diberikan dalam jumlah berlebih) Ringer laktat (RL) Ringer asetat (RA), hati-hati bila diberikan dalam jumlah banyak (merangsang produksi NO → vasodilatasi, gangguan kontraktilitas jantung)
139
Tabel 43 Perbandingan Kadar Elektrolit Cairan NaCl 0,9%, Ringer Laktat, dan Ringer Asetat Karakteristik
Plasma
NaCl 0,9%
Ringer Laktat
Ringer Asetat
Natrium (mEq/L) Kalium (mEq/L) Klorida (mEq/L) Kalsium (mEq/L) Laktat Asetat Osmolalitas (mOsm/kgH2O) Colloid oncotic pressure (COP) (mmHg) Volume ekspansi (%) Durasi volume ekspansi (jam)
142 4 107 2,5
290
154 − 154 − − − 285–308
130 4 108,7 2,7 28 − 250–273
130 4 108,7 2,7 − 28 250–273
20
0
0
0
20–25 1–4
20–25 1–4
20–25 1–4
0,5
0,5
0,5
Waktu paruh plasma (jam) Efek samping
Asidosis metabolis hiperkloremia
Hiperkalemia
3. Kristaloid Hipertonis Pilihan cairan untuk resusitasi volume kecil pada penderita renjatan distributif dan perdarahan (tidak untuk resusitasi hipovolemia karena muntah atau mencret) Contoh: NaCl 3–7,5% dan natrium laktat hipertonis (NLH), Totilac® Cairan berimbang (balance fluid) adalah cairan infus dengan komposisi mirip plasma merupakan tren terbaru pengganti kristaloid isotonis Contoh: Ringer fundin®, Plasmalyte® Koloid Pilihan cairan untuk resusitasi renjatan distributif → tidak untuk rehidrasi penderita muntah atau mencret Contoh koloid: Koloid alamiah: albumin (mahal) Koloid semisintetis: gelatin, dekstran, dan kanji hidroksietil/ hydroxyethyl starch (HES) HES terpilih adalah HES berat molekul medium rendah (130/0,4)
140
Evaluasi Terapi Cairan Klinis Edema, asites Sesak, ronki paru Irama jantung ↑ Hepatomegali Penghitungan persentase kelebihan cairan: cairan masuk−cairan keluar % kelebihan cairan = BB saat masuk
× 100%
Laboratorium Darah rutin: Hb, Ht, leukosit, trombosit Elektrolit: Na, K Pemantauan dengan Alat Canggih (Bila Tersedia) Ekokardiografi Kateterisasi arteri pulmonum (pulmonary artery atheterization/ PAC) Doppler esofagus Termodilusi transpulmonum Baku emas: pewarna radiokontras atau ventrikulografi nuklir
TATALAKSANA GANGGUAN ELEKTROLIT EMERGENSI Hipernatremia
Batasan: kadar natrium serum >145 mEq/L Menghitung free water deficit (FWD): kadar Na yang diinginkan FWD = [BB (kg) × 0,6] × 1 − × 1.000 mL Kadar Na sekarang FWD = 4 mL × kgBB × (kadar Na sekarang – kadar Na normal) Jumlah free water dari beberapa cairan infus adalah: 1 L NaCl 0,45% mengandung 500 mL free water 1 L NaCl 0,225% mengandung 750 mL free water 1 L D5% NaCl 0,45% mengandung 400 mL free water Tabel 44 Kadar Natrium di Dalam Cairan Infus Nama Cairan Infus Kadar Natrium (mEq/L) Dekstrosa 5% 0 NaCl 0,2% dalam D5% 34 NaCl 0,45% 77 Ringer laktat 130 NaCl 0,9% 154 NaCl 3% 513 141
Hiponatremia
Batasan: kadar natrium serum <135 mEq/L Tatalaksana Bila kadar natrium <120 mEq/L dan disertai gejala neurologis NaCl 3% 4–6 mL/kgBB i.v. selama 3–5 mnt atau NaCl 0,9% sebanyak 20 mEq/kgBB secara bolus Tujuan terapi untuk mencapai kadar natrium 120–125 mEq/L atau sampai kejang berhenti. Pemberian NaCl 3% sebanyak 1–2 mL/kgBB akan ↑ kadar natrium plasma sebanyak 1 mEq/L Terapi selanjutnya menghitung defisit natrium sebagai berikut: Defisit natrium = (TBWD × BB) × (140 mEq/L − PNamEq/L) atau Defisit natrium = [TBW(n) × 140 mEq/L] − [TBW(c) × kadar natrium sekarang] Keterangan: TBWD = total body water deficit; n = normal; c = current TBW(n)= BB × TBWD; TBW(c) = TBW(n) − defisit air
Lama waktu penggantian = 2 × (140 − Na plasma) dalam jam
Hiperkalemia
Batasan: kadar kalium >5,5 mEq/L Tatalaksana Pasang monitor kardiorespirasi dan lakukan pemeriksaan EKG Periksa kembali elektrolit untuk mengonfirmasi hiperkalemia Bila hasil EKG normal dan kadar kalium 6–7 mEq/L Hentikan asupan p.o. dan cairan i.v. yang mengandung kalium dan berikan Na polystyrene resin (kayeksalat) atau kalium resin (kalitake) p.o. setiap 6 jam, dosis 1–2 g/kgBB atau larutan sorbitol per rektum. Sediaan ini merupakan suatu resin pengikat kalium. Efeknya akan terlihat dalam 2–6 jam. Konsentrasi sorbitol ≤20% Jika hasil EKG menunjukkan abnormalitas, berikan ≥1 terapi berikut ini Kalsium glukonas 10% 100 mg/kgBB/dosis atau 1mL/kgBB/dosis i.v. atau Kalsium klorida 10% 10–50 mg/kgBB/dosis dalam 2–5 mnt (atau 20–30 mnt pada toksisitas digitalis) Pemberian dapat diulang dalam 5 mnt jika EKG masih abnormal Na bikarbonat 1–2 mEq/kgBB i.v. dalam 10–15 mnt Infus insulin + glukosa, dosis insulin 0,1 IU/kgBB/jam + D25% 0,5 g/kgBB/jam (2 mL/kgBB/jam) atau glukosa 10% dosis 0,25–0,5 g/kgBB (2–5 mL/kgBB) + insulin 0,3 IU/g glukosa diberikan selama 15–30 mnt dan infus kontinu dengan dosis yang sama/jam Nebulisasi albuterol (salbutamol) 0,3–0,5 mg/kgBB (3–5 μg/kgBB) selama 20 mnt dapat diulang sesudah 2 jam. Onset terjadi dalam 30 mnt, durasi aksi selama 2 jam Periksa ulang kadar kalium 1–2 jam sesudah terapi Hemodialisis akut dipertimbangkan jika langkah di atas gagal ↑ kadar kalium dan mengancam jiwa 142
Hipokalemia
Batasan: kadar kalium <3,5 mEq/L Tatalaksana hipokalemia bergantung pada gejala dan etiologinya Jika asimtomatik, tidak ada perubahan EKG dan anak dapat makan p.o. Berikan kalium tambahan dalam makanan dengan dosis 1–5 mEq/kgBB/hr dibagi dalam 3–4 dosis (maks. 20 mEq/kali). Sediaan berupa kalium klorida (3 g KCl = 40 mEq kalium) Pemberian i.v. Kadar kalium 3,0–3,5 mEq/L, berikan KCl 7,46% 0,25 mEq/kgBB selama 1 jam Kadar kalium 2,5–3,0 mEq/L, berikan KCl 7,46% 0,5 mEq/kgBB selama 2 jam Kadar kalium <2,5 mEq/L, berikan KCl 7,46% 0,75 mEq/kg selama 3 jam Periksa kadar kalium saat pertengahan terapi Bila terjadi disritmia, dapat diberikan MgSO4 25–50 mg/kgBB i.v. Infus KCl sebaiknya melalui vena sentral atau dengan diameter kateter vena diameter besar dan dilakukan pengenceran
Hiperkalsemia
Batasan: kadar kalsium total >11 mg/dL atau ion kalsium >5,2 mg/dL Tatalaksana Hipokalsemia ringan tanpa gejala (kadar kalsium total <12 mg/dL/ion kalsium <5,6 mg/dL) tidak perlu terapi Hidrasi NaCl 0,9% sebanyak 200–250 mL/kgBB/hr, ditambah furosemid 1 mg/kgBB tiap 6 jam akan meningkatkan ekskresi kalsium melalui urin Kalsitonin 10 IU/kgBB i.v. dapat diulang tiap 4–6 jam Kalsitonin mencegah resorpsi kalsium dan merangsang kalsiuria Hidrokortison 1 mg/kgBB i.v. tiap 6 jam, efektif mengurangi absorpsi kalsium dari GIT Periksa kadar kalsium total dan ion kalsium, fosfor, serta magnesium setiap 4–6 jam Pemberian kalsium sebaiknya melalui vena sentral karena risiko terjadi nekrosis jaringan
Hipokalsemia
Batasan: kadar kalsium total <8,5 mg/dL atau kadar ion kalsium <4,6 mg/dL Tatalaksana Kalsium klorida 10% 10–20 mg/kgBB i.v. selama 5–10 mnt melalui vena sentral. Kalsium klorida 10% sebanyak 1 mL mengandung 1,36 mEq kalsium ion. Pemberian cepat dapat mengakibatkan bradikardia dan hipotensi Kalsium glukonas 10% 50–125 mg/kgBB i.v. selama 5–10 mnt. Jika terdapat tetani, dosis menjadi 100–200 mg/kgBB. Kalsium glukonat 10% sebanyak 1 mL mengandung 0,45 mEq kalsium ion Sesudah gejala menghilang, diberikan kalsium p.o. dengan kalsium karbonas (400 mg kalsium elemental/g) dan kalsium glukonas 143
(90 mg kalsium elemental/g). Dosis awal 50 mg/kgBB/hr kalsium elemental dibagi 3–4 dosis. Dosis dititrasi berdasarkan kadar kalsium Pada hipokalsemia refrakter dipertimbangkan pemberian magnesium sulfat dosis 25–50 mg/kgBB/kali Infus kalsium sebaiknya melalui kateter vena sentral karena risiko nekrosis jaringan Perlu pemantauan ketat kadar kalsium total, kalsium ion, dan EKG
Hipomagnesemia
Batasan: kadar magnesium ≤1,7 mEq/L Tatalaksana Magnesium sulfat 25–50 mg/kgBB/dosis i.v. Dapat menyebabkan hipotensi, kemerahan dan rasa hangat pada kulit, serta depresi napas
Bibliografi 1.
Arikan AA, Zappitelli M, Goldstein SL, Naipaul A, Jefferson LS, Laura L. Fluid overload is associated with impaired oxygenation and morbidity in critically ill children. Pediatr Crit Care Med. 2012;13:253–8. 2. Bayer O, Reinhart K, Sakr Y, Kabisch B, Kohl M, Riedemann NC, dkk. Renal effects of synthetic colloids and crystalloids in patients with severe sepsis: a prospective sequential comparison. Crit Care Med. 2011;39(6):1335–42. 3. Finfer S, McEvoy S, Bellomo R, McArthur C, Myburgh J, Norton R. Impact of albumin compared to saline on organ function and mortality of patients with severe sepsis. Intensive Care Med. 2011;37:86–96. 4. Ford N, Hargreaves S, Shanks L. Mortality after fluid bolus in children with shock due to sepsis or severe infection: a systematic review and meta-analysis. PLoS ONE. 2012;7(8):e439– 53. 5. Maitland K, Kiguli S, Opoka RO, Engoru C, Olupot-Olupot P, Akech SO, dkk. Mortality after fluidbolus in African children with severe infection. N Engl J Med. 2011;364:2483–95. 6. Marik PE, Monnet X, Teboul JL. Hemodynamic parameters to guide fluid therapy. Annals Intensive Care. 2011;1:1–9. 7. Mejia R, Fields A, Greenwald BM, Stein F, penyunting. Pediatric fundamental critical care support. Mount Prospect: Society of Critical Care Medicine; 2008. 8. Myburgh JA. Fluid resuscitation in acute illness. Time to reappraise the basics. N Engl J Med. 2011;364:26. 9. Schwartz A. Blueprints pocket. Pediatric ICU. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. 10. Singh S, Lighthall G. Update on the evaluation of intravascular fluid status in critically ill patients. PCCSU Article. 2011;25:L7.
144
GANGGUAN ASAM-BASA Batasan
Asidosis—suatu proses atau keadaan abnormal yang akan menurunkan pH arterial apabila tidak terdapat perubahan sekunder sebagai respons terhadap faktor penyebab primer Alkalosis—suatu proses atau keadaan abnormal yang akan menaikkan pH arterial apabila tidak terdapat perubahan sekunder sebagai respons terhadap faktor penyebab primer Gangguan asam-basa sederhana—apabila terdapat satu penyebab primer gangguan asam-basa Gangguan asam-basa campuran—apabila dua atau lebih penyebab gangguan primer terdapat secara bersamaan Asidemia—pH arterial <7,36 Alkalemia—pH arterial >7,44 Anion gap (AG)—merupakan konsentrasi seluruh anion tak terukur di dalam plasma AG = [Na+] − [Cl−] − [HCO3−] Nilai normal: 8–16 mmol/L Apabila menggunakan [K+] di dalam perhitungan, maka nilai normalnya sedikit lebih tinggi. Tetapi karena nilai [K+] relatif kecil dibandingkan ketiga ion lainnya, maka dalam perhitungan dapat diabaikan Rasio delta = (peningkatan AG/penurunan bikarbonat) → rasio delta = (AG terukur − 12)/(24 − HCO3− terukur)
Patofisiologi
Proses metabolisme tubuh akan menghasilkan asam berupa asam respiratorik (volatile acids) dan asam metabolik (fixed acids). Asam respiratorik biasanya digunakan untuk menyebut CO2. Meskipun CO2 bukan merupakan asam tetapi dapat mewakili asam karbonat (H2CO3). Fixed acid diproduksi oleh metabolisme yang tidak lengkap dari karbohidrat (laktat), lemak (keton) dan protein (fosfat, sulfat). Untuk menjaga keseimbangan maka asam ini harus dimetabolisme atau diekskresi melalui paru (untuk CO2) atau ginjal (untuk fixed acids) Apabila terjadi gangguan keseimbangan asam-basa, maka tubuh akan melakukan respons melalui tiga mekanisme 1. Sistem penyangga (buffer): merupakan fenomena fisiko-kemikal yang berlangsung cepat (segera) 2. Respirasi: perubahan pCO2 arteri melalui perubahan ventilasi yang berlangsung relatif cepat (dalam menit–jam) 3. Ginjal: perubahan ekskresi HCO3− yang prosesnya berlangsung lebih lambat (beberapa hari)
145
Klasifikasi
Gangguan keseimbangan asam-basa sederhana yaitu: Asidosis respiratorik Alkalosis respiratorik Asidosis metabolik Alkalosis metabolik Gangguan respiratorik disebabkan oleh proses abnormal yang merubah pH akibat gangguan primer pada pCO2 Gangguan metabolik disebabkan oleh proses abnormal yang merubah pH akibat gangguan primer pada HCO3− Asidosis Respiratorik Merupakan gangguan asam-basa primer dengan peningkatan pCO2 arteri melebihi yang diharapkan Pada saat awal, asidosis respiratorik akut karena respons kompensasi inisial tubuh masih terbatas. Setelah beberapa hari, asidosis respiratorik kronik karena sudah terjadi respons kompensasi ginjal Penyebab Ventilasi alveolar yang tidak adekuat Depresi pusat pernapasan dan gangguan SSP lainnya Obat-obatan yang mendepresi pusat pernapasan (opiat, sedatif, anestetik) Trauma SSP, perdarahan, infark, tumor Hipoventilasi pada obesitas (sindrom Pickwickian) Poliomielitis Tetanus Henti jantung dengan hipoksia serebri Kelainan saraf dan otot Sindrom Guillain-Barre Myasthenia gravis Obat-obatan relaksasi otot Toksin (organofosfat, bisa ular) Macam-macam miopati Defek pada paru atau dinding dada Trauma dada—flail chest, kontusi, hemotorak Pneumotoraks Paralisis diafragma Edema paru ARDS Penyakit paru restriktif Aspirasi Gangguan jalan napas Obstruksi jalan napas bagian atas laringospasme Bronkospasme/asma Faktor eksternal Ventilasi mekanik yang tidak adekuat Produksi CO2 berlebihan Kelainan hiperkatabolik—hipertermia malignan 146
Peningkatan asupan CO2 Menghirup kembali udara ekspirasi yang mengandung CO2 Bertambahnya CO2 dalam udara inspirasi Insuflasi CO2 ke dalam rongga tubuh (misal operasi laparoskopi) Tabel 45 Gejala dan Tanda Asidosis Respiratorik Susunan Saraf Pusat
Sistem Respirasi
Hiperkapnia ringan– Gagal napas sedang Sianosis sentral dan Peningkatan tekanan perifer intrakranial Hipertensi pulmonal Nyeri kepala Bingung Psikosis transien Tremor Hiperkapnia berat Stupor Koma Konstriksi pupil Depresi refleks tendon Ekstensor plantar Kejang Papil edema
Sistem Kardiovaskular Hiperkapnia ringan– sedang Flashing kulit Nadi bounding Diaforesis Hiperkapnia berat Penurunan output kardiak Hipotensi sistemik Aritmia kardiak Edema periferal
Sumber: Androgué dan Madias 1999
Tatalaksana Mengembalikan ventilasi alveolar yang adekuat Atasi penyebab primer, bila memungkinkan Pada kasus berat, intubasi dan ventilasi mekanik Pemeriksaan penunjang AGD → yang terpenting adalah perbandingan antara pCO2 aktual dan pCO2 yang diharapkan Pencegahan Perhatikan adanya ventilasi alveolar yang tidak adekuat Beri oksigen untuk mencegah hipoksemia Alkalosis Respiratorik Merupakan gangguan asam-basa primer dengan penurunan pCO2 arteri lebih rendah dari yang diharapkan Selalu disebabkan oleh peningkatan ventilasi alveolar Penyebab Penyebab sentral (bekerja langsung melalui pusat pernapasan) Trauma kepala Strok Sindrom ansietas—hiperventilasi (psikogenik) Penyebab supra—tentorial lain (rasa nyeri, ketakutan, stres) Obat-obatan (analeptik, propanidid, intoksikasi salisilat) 147
Komponen endogen (progesteron pada kehamilan, sitokin pada sepsis, toksin pada penyakit hati kronis) Hipoksemia (bekerja melalui kemoreseptor perifer) Stimulasi pernapasan melalui kemoreseptor perifer Penyebab pulmonal (bekerja melalui reseptor intrapulmonal) Emboli paru Pneumonia Asma Edema paru (semua jenis) Iatrogenik (bekerja langsung pada ventilasi) Ventilasi terkontrol yang berlebihan Tabel 46 Gejala dan Tanda Alkalosis Respiratorik Susunan Saraf Pusat
Sistem Kardiovaskular
Sistem Neuromuskular
Vasokontriksi serebral Penurunan tekanan intrakranial Nyeri kepala ringan Peningkatan refleks tendon dalam Kejang umum
Nyeri dada Perubahan EKG ke arah iskemik Tekanan darah normal atau rendah Aritmia Vasikontriksi perifer
Parestesi ekstremitas Spasme laring Manifestasi tetani Kram otot Karpopedal Trousseaou sign Chvostek’s sign
Sumber: Androgué dan Madias 1999
Tatalaksana Atasi hipoksemia, merupakan prioritas utama Pada sebagian besar kasus, dapat diatasi dengan memperbaiki penyakit yang mendasari Pemeriksaan penunjang AGD → yang terpenting adalah perbandingan antara pCO2 aktual dan pCO2 yang diharapkan Asidosis Metabolik Merupakan proses atau kondisi primer abnormal yang menyebabkan peningkatan fixed acid di dalam darah. Keadaan ini menyebab− kan HCO 3 turun di bawah nilai yang diharapkan akibat titrasi HCO3− oleh H+ Klasifikasi Berdasarkan mekanisme patofisiologi Penambahan asam kuat Kehilangan basa Berdasarkan AG Asidosis metabolik AG tinggi Asidosis metabolik AG normal Penyebab (berdasarkan klasifikasi AG) Asidosis AG tinggi Ketoasidosis Ketoasidosis diabetik Ketoasidosis alkoholik 148
Ketoasidosis starvation Asidosis Laktat Asidosis laktat tipe A (gangguan perfusi) Asidosis laktat tipe B (gangguan metabolisme karbohidrat) Gagal ginjal Asidosis uremik Asidosis dengan gagal ginjal akut Toksin Etilen glikol Metanol Salisilat Asidosis AG normal (asidosis hiperkloremik) Penyebab renal Renal tubular acidosis Inhibitor karbonik anhidrase Penyebab traktus gastrointestinal Diare berat Uretero-enterostomi atau obstruksi saluran ileum Drainase sekresi pankreas atau bilier Fistula usus halus Penyebab lain Pemulihan dari ketoasidosis Penambahan HCl, NH4Cl Tabel 47 Gejala dan Tanda Asidosis Metabolik Sistem Respirasi
Sistem Sistem Kardiovaskular Metabolisme Syaraf Pusat Rangka
Hiperventilasi Kerusakan Respiratori kontraktilitas distres otot jantung Penurunan Penurunan kekuatan otot output kardiak respirasi yang Aritmia yang memicu dapat memicu kelelahan fibrilasi ventrikular Peningkatan simpatetik
Peningkatan Koma Osteometabolic Progresif malasia demand obtundan- Fraktur Resistensi tion insulin Inhibisi glikolisis anaerob Penurunan sintesis adenosis trifosfat Hiperkalemia Peningkatan degradasi protein
Sumber: Androgué dan Madias 1999
Tatalaksana Pendekatan terpenting dalam tatalaksana asidosis metabolik adalah menangani kelainan yang mendasarinya Pendekatan untuk tatalaksana asidosis metabolik: 149
Emergensi Tatalaksana emergensi pada kondisi yang mengancam jiwa selalu menjadi prioritas utama, misalaya: intubasi dan ventilasi untuk kontrol jalan napas atau ventilasi, RJP, hiperkalemia berat Penyebab Tujuan terapi primer adalah mengatasi kelainan yang mendasarinya, karena itu diagnosis penyebab asidosis metabolik yang akurat sangat penting Kehilangan Ganti kehilangan cairan atau elektrolit, berikan oksigen. Dalam sebagian besar kasus, pemberian natrium bikarbonat i.v. tidak diperlukan, tidak bermanfaat, dan mungkin akan membahayakan Spesifik Masalah spesifik atau penyulit sering berhubungan dengan penyebab spesifik atau kasus spesifik yang memer-lukan penanganan khusus Contoh tatalaksana spesifik untuk kelainan yang mendasarinya: Pada ketoasidosis diabetika diperlukan pemberian cairan, insulin dan elektrolit Pada asidosis dengan gagal ginjal mungkin diperlukan pemberian bikarbonat dan atau dialisis Pada asidosis laktat diperlukan perbaikan volume intravaskular dan perfusi perifer yang adekuat Pemberian natrium bikarbonat pada asidosis metabolik Pada asidosis laktat dengan AG normal pH <7,1 dan atau HCO3− plasma <10 meq/L Keadaan hemodinamik, hidrasi, dan ventilasi adekuat Diberikan i.v., sebaiknya melalui vena sentral, dengan pengenceran diusahakan mendekati isoosmolar Dosis natrium −bikarbonat: Defisit− HCO3 ={[HC03−] ideal − [HCO3− ] saat ini} × BB (kg) × 0,3 HCO3 ideal = 15 mEq atau − HCO3 = BE (meq/L) × 0,3 × BB (kg) Empat jam setelah pemberian, periksa ulang AGD untuk evaluasi Pemberian dihentikan apabila pH >7,2 Pemeriksaan penunjang AGD Urin rutin (glukosa, keton) Elektrolit (Cl−, AG, HCO3−) Gula darah Ureum, kreatinin Laktat Alkalosis Metabolik Merupakan gangguan asam-basa primer yang menyebabkan peningkatan bikarbonat plasma lebih tinggi dari yang diharapkan 150
Penyebab Penambahan basa dalam cairan ekstraselular Milk-alkali syndrome Asupan NaHCO3 yang berlebihan Fase pemulihan dari asidosis organik (pembentukan HCO3− berlebihan) Transfusi darah masih (karena metabolisme sitrat) Berkurangnya klorida Kehilangan asam lambung Diuretika Pascahiperkapnia Kehilangan feses yang berlebihan (adenoma Vili) Berkurangnya kalium Hiperaldosteronisme primer Sindrom Cushing Hiperaldosteronisme sekunder Obat-obatan (karbenoksolon) Diuretik kaliuretik Asupan licorice yang berlebihan (glycyrrhizic acid) Sindrom Barrter Kekurangan kalium yang berat Kelainan lain Laxative abuse Hipoalbuminemia berat Tabel 48 Gejala dan Tanda Alkalosis Metabolik Sistem Respirasi
Sistem Kardiovaskular
Metabolisme
Hipoventilasi Supraventrikular Peningkatan dengan dan ventrikular produksi asam hiperkapnia aritmia organik dan dan amonia Potensial toksik hipoksemia digitalis Hipokalemia Respons positif Hipokalsemia terhadap Hipomagnesemia inotropik Hipofosfatemia
Susunan Saraf Pusat
Sistem Ginjal
Nyeri kepala Poli uria Letargi Polidipsis Stupor Kista korteks Delirium dan Tetani medula ginjal Kejang Potensial hepatik ensefalopati
Sumber: Androgué dan Madias 1999
Tatalaksana Prinsip utama Perbaiki penyebab primer kelainan Perbaiki faktor-faktor yang mempertahankan kelainan (terutama pemberian klorida pada kasus defisiensi klorida yang sering) Perbaikan kalium, klorida dan cairan ekstraseluler akan merangsang ekskresi HCO3 oleh ginjal dan mengembalikan HCO3 plasma menjadi normal 151
Pemeriksaan penunjang AGD Elektrolit: Cl−, K+ Klorida urin Pencegahan Pencegahan proses primer atau yang menginisiasi dan atau pencegahan faktor-faktor yang mempertahankan terjadi alkalosis
Interpretasi Hasil AGD
Enam Langkah Utama Evaluasi Asam-Basa 1. Menilai pH Asidosis bila pH normal (alkalemia) pH normal mempunyai 2 kemungkinan: tidak ada gangguan keseimbangan asam-basa, atau ada kelainan campuran alkalosis yang mengompensasi asidosis Tabel 49 Nilai Normal Gas Darah Arteri
Campuran Vena
Vena
7,40 (7,35–7,45)
7,36 (7,31–7,41)
7,36 (7,31–7,41)
PO2 (mmHg)
80–100
35–40
30–50
pCO2 (mmHg)
35–45
41–51
40–52
Saturasi O2
>95%
60–80%
60–85%
HCO3−
22–26
22–26
22–28
−2–+2
−2–+2
−2–+2
pH (range)
(mEq/L)
Base difference (deficit /excess) Sumber: Brandis 2008
2. Perhatikan kadar HCO3 dan pCO2 Jika HCO3 dan pCO2 ↓ → terdapat asidosis metabolik atau alkalosis respiratorik (tetapi kelainan campuran belum dapat disingkirkan) Jika HCO3 dan pCO2 ↑ → terdapat alkalosis metabolik atau asidosis respiratorik (tetapi kelainan campuran belum dapat disingkirkan) 3. Menilai kelainan lain ada/tidak Beberapa “petunjuk” dapat dilihat dari Tabel 50 di bawah ini
152
Tabel 50 Petunjuk dan Makna Kelainan dalam Interpretasi Analisis Gas Darah “Petunjuk” Anion gap tinggi Hiperglikemia Hipokalemia dan atau hipokloremia Hiperkloremia Peningkatan urea kreatinin Peningkatan kreatinin Peningkatan glukosa Glukosuria dan ketosuria
“Makna” Asidosis metabolik Jika disertai ketosuria → ketoasidosis diabetikum Alkalosis metabolik Sering dijumpai bersamaan dengan asidosis anion gap normal Asidosis uremia atau hipovolemia (gagal ginjal prerenal) Ketoasidosis Ketoasidosis atau sindrom hiperosmolar nonketotik Glukosuria pada hiperglikemia, ketosuria pada ketoasidosis
Sumber: Brandis 2008
4. Menilai respons kompensasi Asidosis respiratorik akut [HCO3] yang diharapkan = 24 + {(pCO2 aktual – 40)/10} Asidosis respiratorik kronik [HCO3] yang diharapkan = 24 + 4{(pCO2 aktual) – 40/10} Alkalosis respiratorik akut [HCO3] yang diharapkan = 24 − 2{(40 − pCO2 aktual)/10} Alkalosis respiratorik kronik [HCO3] yang diharapkan = 24 − 5{(40 − pCO2 aktual)/10} ± 2 Asidosis metabolik pCO2 yang diharapkan = 1,5 [HCO3] + 8 ± 2 Alkalosis metabolik pCO2 yang diharapkan = 0,7 [HCO3] + 20 ± 5 Jika nilai yang diharapkan dan aktual sesuai → tidak terdapat gangguan asam-basa campuran Jika nilai yang diharapkan dan aktual berbeda → terdapat gangguan asam-basa campuran Tentukan AG Jika AG 20–30 → kemungkinan besar asidosis metabolik Jika AG >30 → pasti terdapat asidosis metabolik Hipoalbuminemia akan menurunkan nilai AG. Setiap 1 g penurunan albumin akan menurunkan AG 2,5–3 mmol. Oleh karena itu apabila terdapat hipoalbuminemia, maka nilai AG harus dikoreksi Jika terdapat asidosis metabolik, tentukan rasio delta <0,4 : asidosis hiperkloremik dengan AG normal 0,4–0,8 : gabungan asidosis dengan AG tinggi dan AG normal 153
1 1–2 >2
: sering dijumpai pada ketoasidosis diabetikum, akibat kehilangan keton melalui urin : gambaran khas asidosis metabolik dengan AG tinggi : kemungkinan disertai alkalosis metabolik (meningkatkan HCO3) atau asidosis respiratorik kronik (hasil kompensasi peningkat HCO3)
5. Membuat diagnosis status asam-basa Gabungkan semua hasil yang diperoleh dengan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis, dan hasil pemeriksaan lain 6. Pertimbangkan pemeriksaan lain untuk mendukung diagnosis. Misalnya: laktat, keton urin, kadar salisilat darah, kadar aldosteron, berbagai pemeriksaan untuk asidosis tubular ginjal
Bibliografi 1. 2.
3. 4.
5. 6. 7.
8.
Andrade OV, Ihara FO, Troster EJ. Metabolic acidosis in chilhood: why, when and how to treat. J Pediatr (Rio J). 2007;83(2 Suppl): S11–21. Androgué HJ, Madias NE. Disorder of acid-base balance. Dalam: Schrier RW, Berl T, Bonventre JV, penyunting. Atlas of diseases of kidney. Volume 1. Philadelphia: Current Medicine Inc.; 1999. hlm. 6.1–28. Brandis K. Acid base physiology. November 2008 [diunduh 25 September 2014]. Tersedia dari: http://www.anaesthesiamcq. com/AcidBaseBook/ABindex.php. Greenbaum LA. Pathophysiology of body fluids and fluid therapy. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. hlm. 291–415. Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology. Edisi ke-11. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2006. Nitu M, Montgomery G, Eigen H. Acid-base disorders. Pediatr Rev. 2011;32(6):240–50. Wojciechowski B. Acid-base concepts and the HendersonHasselbalch equation. Focus Publications Inc. 2008 [diunduh 25 September 2014]. Tersedia dari: http://www.thefreelibrary.com/ Acid-base+concepts+and+the+Henderson-Hasselbalch+equationa0221907342. Yap C, Choon T. Arterial blood gases. Prog Singapore Healthc. 2011;20(3):227–35.
154
RENJATAN Batasan
Renjatan merupakan suatu sindrom klinis akut yang disebabkan kegagalan sistem sirkulasi, baik makrosirkulasi maupun mikrosirkulasi dalam memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrien untuk metabolisme selular jaringan tubuh dan membuang hasil metabolisme yang akan → gangguan mekanisme homeostasis dan kerusakan selular yang ireversibel
Derajat Berat Renjatan
Renjatan secara klinis mulai muncul bila terjadi kehilangan volume intravaskular sebanyak 15–30%. Tanpa melihat etiologinya, secara umum derajat berat renjatan dibagi menjadi tiga tingkatan: Renjatan awal (renjatan kompensata) Penurunan kesadaran awal (gelisah, agitasi), takikardia, takipnea, akral dingin dan lembap, pemanjangan waktu pengisian kapiler >2 detik, belum hipotensi (terkompensasi), kehilangan volume intravaskular sebanyak 15–30% Renjatan lanjut (renjatan dekompensata) Penurunan kesadaran lanjut (mengantuk diselingi agitasi), takikardia, takipnea, akral dingin bebercak (mottled) dan lembap, pemanjangan waktu pengisian kapiler >5 detik, nadi lemah dan cepat, hipotensi, oliguria (urin <1 mL/kgBB/jam), kehilangan volume intravaskular sebanyak 40–60% Renjatan ireversibel Derajat paling berat, penurunan kesadaran dalam, nadi tidak teraba, tekanan darah tidak terukur, sulit pulih walaupun dengan tatalaksana maksimal
Klasifikasi dan Etiologi Renjatan
Renjatan Hipovolemik Merupakan tipe renjatan yang paling sering dijumpai pada anak, disebabkan oleh ↓ volume darah akibat perdarahan, nonperdarahan, dan dehidrasi Etiologi Diare, muntah, perdarahan (internal dan eksternal), diuresis osmotik (misalnya ketoasidosis diabetikum), asupan cairan ↓, kehilangan cairan ke rongga ketiga, dan luka bakar Renjatan Distributif Terjadi akibat ketidaknormalan distribusi aliran darah sekunder karena gangguan tonus vasomotor meskipun curah jantung normal atau ↑. Renjatan spesifik dapat timbul pada setiap proses infeksi karena dilepaskan lipopolisakarida atau molekul toksik lainnya ke dalam sirkulasi. Keadaan ini ditandai dengan aliran kapiler/ permeabilitas ↓, oksigenasi jaringan ↓, dan koagulasi intravaskular diseminata (KID) → dapat terjadi paralisis vasomotor, kapasitas vena (pengumpulan darah) ↑, dan pirau fisiologis pascakapiler 155
Etiologi Sepsis, merupakan penyebab tersering Anafilaktik, akibat reaksi alergi sistemik Neurogenik, akibat trauma pada medula spinalis Renjatan Kardiogenik Disebabkan oleh curah jantung sekunder ↓ akibat kerusakan dan atau disfungsi miokardia Etiologi Penyakit jantung bawaan, miokarditis, kardiomiopati, aritmia, sepsis, keracunan atau intoksikasi obat, jejas miokardia (trauma) Renjatan Obstruktif Pada anak jarang terjadi, disebabkan oleh obstruksi mekanik yang mengganggu curah jantung yang adekuat Etiologi Tamponade jantung, tension pneumothorax, ductal-dependent congenital heart lesions, emboli paru masif Renjatan Disosiatif Tipe renjatan ini juga jarang dijumpai pada anak, terjadi pada keadaan oksigenasi jaringan tidak adekuat, sekunder akibat afinitas Hb terhadap oksigen yang abnormal Etiologi Metemoglobinemia, keracunan karbon monoksida
Diagnosis
Anamnesis Terdapat faktor risiko renjatan Demam, terdapat sumber infeksi, mengalami hipovolemia, trauma dengan perdarahan masif, riwayat defisiensi imun, pemakaian obat-obatan imunosupresif, muntah, diare, ↓ asupan makanan p.o., dan derajat kesadaran ↓. Hal lain yang juga penting untuk diketahui adalah riwayat kontak dengan lingkungan, menelan obat-obatan, penyakit kronik seperti penyakit jantung bawaan dan alergi Pemeriksaan Fisis Umum Tanda gangguan otak, ginjal, dan kardiovaskular Takikardia dan takipnea berlanjut Takipnea menjadi lebih berat dengan asidosis ↑ Kulit mungkin bebercak (mottled) atau pucat Ekstremitas dingin karena vasokonstriksi dan aliran darah ke kulit ↓ Pengisian kembali kapiler makin lambat (>4 detik) Hipotensi, curah jantung ↓, vasokonstriksi memengaruhi perfusi ginjal → oliguria Saluran cerna mengalami hipoperfusi distensi, pengeluaran mediator vasoaktif, dan akumulasi cairan di rongga ketiga (third space) 156
Pada penderita renjatan septik dapat timbul hipertermia (≥38,3 °C rektal) atau hipotermia (≤35,6 °C rektal), karena gangguan perfusi otak iritabel melanjut menjadi agitasi, konfusi, halusinasi, agitasi, dan stupor yang bergantian, serta akhirnya koma Penilaian kecukupan curah jantung berdasarkan gejala klinis saja sering sulit dan salah. Anak yang mengalami renjatan sering menunjukkan gejala tidak jelas. Tidak ditemukan hipotensi belum dapat menyingkirkan renjatan pada anak; bila timbul hipotensi, renjatan yang terjadi biasanya berat. Hipotensi merupakan manifestasi renjatan yang sangat kasip. Bila renjatan tidak segera ditangani akan terjadi disfungsi organ multipel, meliputi gagal ginjal (nekrosis tubular akut), gagal jantung, perdarahan saluran cerna, dan sindrom distres pernapasan akut (SDPA) Khusus Renjatan hipovolemik Waktu pengisian kapiler yang buruk (>2 detik), takikardia, hipotensi, turgor jaringan ↓, mungkin terdapat sianosis dan pernapasan Kussmaul Renjatan distributif Manifestasi awal berupa renjatan hangat (warm shock) vasodilatasi hebat/kemerahan dan perfusi tampak baik Didapatkan nadi baik, tekanan nadi lebar, dan pengisian kapiler melambat. Perubahan awal status mental sangat karakteristik meliputi gelisah, iritabel, dan kesadaran ↓ Bila terjadi renjatan dingin (cold shock) didapatkan denyut jantung cepat, hipotensi, dan tekanan nadi sempit. Pada stadium ini prognosisnya buruk Renjatan septik sering terjadi pada anak yang mempunyai predisposisi infeksi, seperti kekebalan ↓, kelainan kongenital saluran kemih (pielonefritis), atau saluran cerna (kolitis, Hirschprung). Mungkin ada riwayat panas badan, ISPA, kemerahan kulit, atau gejala penyakit infeksi lainnya. KID sering ditemukan pada penderita renjatan septik dan mengalami perdarahan serta purpura Penyebab lain renjatan distributif meliputi jejas spinal, anafilaksis, dan renjatan toksik Renjatan kardiogenik Biasanya pada bayi dengan tanda/gejala gagal pompa jantung. Hepar sering sangat membesar dan foto Rontgen toraks menunjukkan lapangan paru pletorik dan kardiomegali. Pada auskultasi terdengar irama gallop, mungkin tidak terdengar murmur. Secara umum yang menyebabkan renjatan yaitu kelainan jantung kongenital nonsianotik. Sebaliknya, anak tampak abu-abu dengan nadi lemah/tidak ada sama sekali. Pada koarktasio aorta, terdapat nadi yang berbeda antara kaki dan lengan 157
Pemeriksaan Penunjang
AGD Penilaian hemodinamik Tekanan baji kapiler pulmonal (pulmonal capillary wedge pressure/ PCWP) yang dipertahankan 10–18 mmHg (bila ada) Tekanan vena sentral (central venous pressure/CVP) kurang akurat pada anak disfungsi miokardia. CVP normal 5–12 mmHg Lain-lain Darah: rutin, elektrolit, glukosa, urea-N, kreatinin, kultur, trombosit, PT, PTT, fibrinogen, dan FDPs
Penyulit
Sindrom disfungsi organ multipel (SDOM)
Terapi
Diagnosis dini renjatan merupakan kunci keberhasilan resusitasi Resusitasi cairan memakai kristaloid isotonik (dan atau koloid pada renjatan distributif dan hemoragik) sebanyak 10–20 mL/kgBB (dengan asumsi kehilangan volume intravaskular sebanyak 25%), dilakukan secepat-cepatnya pada umumnya dalam waktu 15–30 mnt (pada renjatan septik dalam waktu 5–10 mnt), dapat diulang sebanyak 2–3× (maks. 60–80 mL/kgBB dalam satu jam) lihat Gambar 23. Untuk resusitasi volume kecil pada renjatan distributif dan renjatan hemoragik dapat diberikan cairan natrium laktat hipertonik (Totilac®) dosis 5 mL/kgBB dalam 15 mnt (dapat diulang 1×) Hipoksemia (PaO2 <60 mmHg) sering disebabkan gangguan ventilasiperfusi karena edema atau infeksi paru, SDPA, faktor selular, atau perfusi buruk dan toksin yang beredar Anak dalam keadaan renjatan mengalami asidosis metabolik, diatasi dengan memperbaiki perfusi bukan dengan pemberian bikarbonat. Pemberian bikarbonat yang tidak tepat dapat → alkalosis metabolik. Bikarbonat diberikan bila terdapat asidosis berat (pH <7,10) → disfungsi organ (hipotensi, disritmia, atau gagal jantung) Resusitasi Berikan O2 dengan masker Intubasi endotrakeal segera dan ventilasi O2 100%. Perhatikan bila sebelumnya ada riwayat mendapat obat anestesia. Hindari high peak inspiratory dan end-inspiratory pressures, serta gunakan ventilasi yang cepat untuk mengubah gangguan pengisian jantung Cairan Letakkan anak dalam posisi Trendelenburg. Pada korban kecelakaan, perdarahan harus diatasi dengan menekan titik perdarahan dan mengikat pembuluhnya sementara mencari akses vaskular. Pasanglah 2 jalur i.v. dengan jarum besar. Mulailah dengan pemberian bolus cairan NaCl fisiologis atau Ringer laktat 10–20
158
mL/kgBB diberikan dalam beberapa mnt dan diulang bila perlu. Nilai perfusi anak (tanda dan gejala renjatan) sering untuk melihat perbaikan Pemberian cairan berikutnya harus berdasarkan pola kehilangan cairan: kristaloid seperti Ringer laktat atau NaCl fisiologis untuk dehidrasi; albumin 5% untuk luka/kehilangan cairan rongga ketiga (third space losses); dan darah pada kecelakaan (trauma). Sediaan sel darah merah segar (packed red cells) diberikan 10 mL/kgBB dalam 1–2 jam. Albumin 5% dikombinasikan dengan cairan kristaloid diberikan dengan dosis 10 mL/kgBB. Pemberian cairan pertama—apakah cairan koloid atau kristaloid masih kontroversi, tetapi ada kecenderungan cairan koloid lebih dulu—untuk mengganti volume plasma tanpa menambah cairan interstitial Stabilitas dan Pemantauan Monitor tanda vital, pengisian kapiler, dan produksi urin untuk menilai respons pengobatan. Usahakan untuk mencapai produksi urin min. 1 mL/kgBB/jam (normal 2–4 mL/kgBB/jam) Mulailah pemasangan jalur arteri dan vena sentral. Infus cairan yang cepat harus dilanjutkan sampai tekanan vena sentral mencapai rentang 5–12 mmHg. Selanjutnya beri terapi rumatan dengan cairan dekstrosa 5% atau 10% ditambah 20–40 mEq NaCl/L. Pertahankan Ht 30–35% dengan pemberian packed red cell untuk mencapai kapasitas pengangkutan O2 optimal dan viskositas darah normal. Bila ada tanda KID, atasi sesuai terapi KID Pasang pipa nasogastrik (pipa orogatrik bila dicurigai terdapat fraktur basis kranii) dan kateter folley (hati-hati pada trauma uretra). Teruskan pemantauan hasil pemeriksaan darah. Bila anak sudah stabil, periksa foto Rontgen toraks, EKG, dan ekokardiogram bila ada indikasi Obat-obatan Diberikan bila tidak ada respons terhadap penggantian volume cairan, terutama pada kasus renjatan septik Epinefrin Dopamin Dobutamin Lihat bab resusitasi Isoproterenol Norepinefrin Antibiotik Bila dicurigai sepsis/penyebab tidak diketahui akses i.v. terpasang. Bila mungkin, antisipasi mikroorganisme yang mungkin menjadi penyebabnya
159
Tabel 51 Pemberian Antibiotik pada Renjatan Septik Usia
Antibiotik
<4 mgg
Ampisilin 200 mg/kgBB/hr i.v. tiap 6 jam + gentamisin 7,5 mg/kgBB/hr tiap 8 jam Ampisilin 200–400 mg/kgBB/hr i.v. tiap 6 jam + sefotaksim 150 mg/kgBB/hr tiap 8 jam Ampisilin 200–400 mg/kgBB/hr i.v. tiap 6 jam + kloramfenikol 100 mg/kgBB/hr i.v. tiap 6 jam atau sefotaksim seperti di atas Sefotaksim 150 mg/kgBB/hr i.v. tiap 8 jam
4 mgg–3 bl 3 bl–6 th >6 th
Sumber: Marco dan MacArthur 2006
Prostaglandin E1 (bila ada) Pada neonatus dengan penyakit jantung struktural yang mengalami renjatan kardiogenik (mungkin mempunyai lesi obstruktif jantung sebelah kiri yang berat, seperti koarktasio aorta atau stenosis aorta kritis) Bekerja untuk mempertahankan keutuhan duktus arteriosus Diberikan dengan kecepatan 0,05–0,10 g/kgBB/mnt Efek samping penting yaitu apnea sementara Efek samping lainnya: demam, jitteriness, dan kemerahan pada kulit sepanjang vena tempat pemberian obat Steroid Selain pada kasus insufisiensi adrenal, tidak ada bukti nyata bahwa steroid menguntungkan dalam pengobatan renjatan
Prognosis
Bergantung pada etiologi, diagnosis dini, dan kecepatan serta penanganan renjatan
Surat Persetujuan Diperlukan
160
Gambar 23 Algoritme Tatalaksana Dukungan Hemodinamik untuk Mencapai Perfusi Normal dan Tekanan Perfusi (MAP-CVP) pada Bayi Cukup Bulan dan Anak dengan Renjatan Septik Keterangan: ECMO=extracorporeal membrane oxygenation ScvO2 = central venous oxygen saturation Sumber: Brierly dkk. 2009
161
Bibliografi 1. 2.
Arikan AA, Citak A. Pediatric shock. Signa Vitae. 2008;3(1):13–23. Bell LM. Shock. Dalam: Fleisher GR, Ludwig S,penyunting. Textbook of pediatric emergency medicine. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010. hlm. 46–57. 3. Brierley J, Carcillo JA, Choong K, Cornell T, DeCaen A, Deymann A, dkk. Clinical practice parameters for hemodynamic support of pediatric and neonatal septic shock: 2007 update from the American College of Critical Care Medicine. Crit Care Med. 2009;37(2):666–88. 4. Carcillo JA, Han K, Lin J, Orr R. Goal-directed management of pediatric shock in the emergency department. Clin Ped Emerg Med. 2007;8(3):165–75. 5. Carcillo JA, Piva JP, Thomas NJ, Han YY, Lin JC, Orr RA. Shock and shock syndromes. Dalam: Slonim AD, Pollack MM, penyunting. Pediatric critical care medicine. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. hlm. 438–71. 6. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, Bion J, Parker MM, Jaeschke R, dkk. Surviving sepsis campaign: international guidelines for management of severe sepsis and septic shock:2008. Crit Care Med. 2008;36(1):296–327. 7. Marco CD, MacArthur RD. The importance of early and appropriate initial antimicrobial therapy. Advin Sepsis. 2006;5(2): 60–1. 8. Mejia R, Fields A, Greenwald BM, Stein F, penyunting. Pediatric fundamental critical care support. Mount Prospect: Society of Critical Care Medicine; 2008. 9. Nadel S, Kissoon N, Ranjit S. Recognition and initial management of shock. Dalam: Nichols DG, penyunting. Rogers textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm. 372–83. 10. Ralston M, Hazinski MF, Zaritsky AL, Schexnayder SM, Kleinman ME. PALS provider manual. USA: American Heart Association; 2011. 11. Schwartz A. Blueprints pocket. Pediatric ICU. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. 12. Zingarelli B. Shock and reperfusion. Dalam: Nichols DG, penyunting. Rogers textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm. 252–65.
162
TATALAKSANA SEPSIS BERAT DAN RENJATAN SEPSIS DENGAN PEDOMAN EARLY GOAL-DIRECTED THERAPY Batasan
Sepsis adalah respons sistemis pejamu terhadap infeksi yang bersifat merusak Sepsis berat adalah keadaan sepsis yang disertai dengan disfungsi organ akut akibat sepsis atau terdapat hipoperfusi jaringan Renjatan sepsis merupakan kondisi sepsis berat dengan hipotensi persisten walaupun telah mendapat resusitasi cairan adekuat Early goal-directed therapy (EGDT) merupakan landasan dan kunci dari the Surviving Sepsis Campaign (SSC)
Patofisiologi
Renjatan merupakan refleksi kegagalan organ menyeluruh untuk mendapat energi akut karena kurang produksi adenosine triphosphate (ATP) pendukung fungsi metabolisme sel. Renjatan disebabkan oleh pasokan oksigen yang rendah (anemia, hipoksia, iskemia), kurang substrat glukosa (glikopenia), atau disfungsi mitokondria (disoksia sel) Hipoksia karena perfusi jaringan yang buruk merupakan kerusakan fisiologi dasar yang menopang semua sindrom renjatan. Hipoksia jaringan dapat dimulai oleh aliran darah yang lambat atau distribusi mikrosirkulasi darah tidak merata karena vasokonstriksi yang menyebabkan perfusi jaringan tidak memadai, hipoksia jaringan lokal, disfungsi organ, dan akhirnya gagal organ Hantaran oksigen (oxygen delivery=DO2) merupakan fungsi kandungan oksigen arteri (CaO2=arterial oxygen content) dan aliran darah/curah jantung (CO=cardiac output) sehingga setiap penurunan faktor yang memengaruhi kedua parameter tersebut dapat mengurangi oksigenasi jaringan. Hantaran oksigen yang memadai bergantung pada darah yang mengandung cukup oksigen, aliran darah yang cukup (CO), dan aliran darah yang mencukupi kebutuhan metabolisme sel Pada keadaan sepsis, kebutuhan oksigen jaringan sangat meningkat. Fungsi organ sangat bergantung pada pasokan oksigen, kekurangan oksigen akan menyebabkan hipoksia jaringan yang merupakan faktor prediktif untuk terjadi kegagalan multiorgan dan kematian pada populasi dewasa maupun anak
Implementasi EGDT Pra-rumah Sakit dan Emergensi
Sepuluh langkah implementasi EGDT tatalaksana sepsis berat dan renjatan sepsis di emergensi: 1. Pengenalan renjatan di ruang triase Hipotensi dengan nadi kuat pada renjatan hangat Perfusi perifer berkurang (tekanan perifer berkurang dibandingkan dengan tekanan sentral dan pengisian kapiler >2 detik pada renjatan dingin terkompensasi 163
Kombinasi hipotensi dan perfusi perifer berkurang pada renjatan dingin dekompensasi 2. Transpor penderita segera ke ruangan renjatan/trauma dan aktifkan tim resusitasi 3. Mulai pemberian oksigen kanul nasal dan pasang jalur i.v. perifer dalam 90 detik 4. Bila tidak berhasil setelah 2× tusukan vena perifer, pertimbangkan akses i.o. 5. Palpasi terdapat hepatomegali dan auskultasi paru (ronki) 6. a. Jika hepar tidak membesar dan tidak terdapat ronki, berikan bolus 20 mL/kgBB dalam 15 mnt dengan salin isotonis atau albumin 5% sampai 60 mL/kgBB hingga terjadi perbaikan perfusi atau pembesaran hati atau timbul ronki. Berikan 20 mL/kgBB PRC jika renjatan hemoragis yang tidak berespons dengan terapi cairan b. Jika hepar membesar, waspadai renjatan kardiogenik, bolus kristaloid isotonis hanya diberikan 10 mL/kgBB. Mulai berikan PGE1 pada semua neonatus untuk mempertahankan duktus arteriosus 7. Jika pengisian kapiler >2 detik dan atau hipotensi menetap selama resusitasi cairan, mulai berikan epinefrin i.v. perifer/i.o., dosis 0,05 ug/kgBB/mnt 8. Jika terdapat risiko insufisiensi adrenal (riwayat terapi steroid sebelumnya, sindrom waterhouse Friederichsen, atau anomali hipofise), berikan hidrokortison bolus (50 mg/kgBB) dilanjutkan dengan titrasi 2–50 mg/kgBB/hr 9. Jika renjatan berlanjut, berikan atropin (0,2 mg/kgBB) dan ketamin (2 mg/kgBB) sebagai sedasi untuk pemasangan akses vena sentral. Jika diperlukan ventilasi mekanis, gunakan atropin dan ketamin serta penghambat neuromuskular (oleh tenaga terampil) untuk induksi intubasi 10. Tujuan direct therapy adalah waktu pengisian kapiler <3 detik (≤2 detik), tekanan darah normal sesuai usia, dan indeks renjatan (denyut jantung/tekanan nadi) membaik
Tujuan EGDT
Tujuan Klinis Status mental yang baik, kualitas nadi proksimal dan distal menjadi normal, temperatur sentral dan perifer yang sesuai, pengisian kapiler <2 detik, dan luaran urin ≥1 mL/kgBB/jam Tujuan Hemodinamik dan Penggunaan Oksigen Denyut jantung dan perfusi normal sesuai usia adalah tujuan hemodinamik awal sebelum akses sentral diperoleh (bila sarana tersedia). Resusitasi cairan dapat dipantau dengan mengamati denyut jantung dan peningkatan tekanan perfusi (mean arterial pressure [MAP]-central venous pressure [CVP]) bila resusitasi cairan telah efektif. Bila cairan yang diberikan terlalu banyak, maka frekuensi jantung akan ↑ dan tekanan perfusi (MAP-CVP) ↓. Indeks renjatan (frekuensi jantung/tekanan darah sistol) dapat 164
dipakai untuk menilai efektivitas terapi cairan dan inotrop. Bila volume sekuncup ↑, denyut jantung akan ↓ dan tekanan darah sistol ↑ sehingga indeks renjatan ↓. Pada penderita yang terpasang kateter vena sentral, sebaiknya digunakan saturasi oksigen >70% sebagai patokan terapi. Bila saturasi oksigen <70% dan anemia, penderita harus diberi transfusi sel darah merah sampai kadar Hb >10 g/dL. Bila saturasi oksigen vena sentral <70% tanpa disertai anemia, inotrop dan vasodilator dapat digunakan untuk meningkatkan curah jantung hingga saturasi >70% Tujuan Biokimiawi Pemeriksaan kadar laktat sebagai penanda metabolisme anaerob Laktat dapat meningkat pada keadaan di luar renjatan (sepsis) seperti gangguan metabolisme, gangguan limfoploriferatif, dan gagal hati. Kadar laktat pada renjatan sepsis biasanya ↑. Target penurunan kadar laktat <2 mmol/L
Bundel Resusitasi
Tatalaksana sepsis dikerjakan melalui penapisan sepsis berjenjang. Temuan ≥2 tanda atau gejala infeksi/sepsis merupakan indikasi dilakukan pemeriksaan laboratorium lebih lanjut untuk menilai ada disfungsi organ. International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock 2012 telah merevisi bundle sepsis berat dengan hasil sebagai berikut: Versi Sepsis Resuscitation Bundle sebelumnya telah dimodifikasi menjadi dua bundel: bundel resusitasi sepsis berat 3 jam dan bundel resusitasi renjatan sepsis 6 jam Bundel Manajemen Sepsis—bagian dari versi sebelumnya bundel sepsis berat—telah dieliminasi dan terapi pendukung lainnya telah ditambahkan Bundel resusitasi 3 jam sepsis berat (akan selesai dalam waktu 3 jam dari waktu awal): Pengukuran kadar laktat Pemeriksaan kultur darah sebelum pemberian antibiotik Pemberian antibiotik spektrum luas Pemberikan kristaloid 20 mL/kgBB bila terdapat hipotensi atau laktat ≥4 mmol/L Bundel resusitasi 6 jam pada renjatan sepsis (akan selesai dalam waktu 6 jam dari waktu awal): Pemberian vasopresor (untuk hipotensi yang tidak berespons terhadap terapi cairan awal resusitasi untuk menjaga MAP Dalam keadaan hipotensi arteri persisten meskipun sudah mendapat volume resusitasi (renjatan sepsis) atau kadar awal laktat ≥4 mmol/L (36 mg/dL), maka dilakukan hal berikut: a. Mengukur CVP b. Mengukur ScvO2 Pemeriksa kembali laktat bila kadar laktat awal ↑ 165
Bundel Resusitasi 3 Jam pada Sepsis Berat Pemeriksaan kadar laktat Laktat diproduksi oleh sel darah merah dan beberapa jaringan yang memiliki tingkat glikolisis tinggi. Nilai yang biasa dipakai sebagai penapis sepsis adalah 4 mmol/L. Nilai prognostik kadar laktat darah telah terbukti pada penderita renjatan sepsis, terutama bila kadarnya tinggi persisten, dan terbukti memiliki nilai prognostik yang lebih besar daripada variabel oksigen. Mortalitas tinggi pada penderita sepsis dengan hipotensi dan laktat ≥4 mmol/L (46,1%), serta penderita sepsis berat dengan hipotensi saja (36,7%) dan laktat ≥4 mmol/L saja (30%) Pemeriksaan kultur darah sebelum pemberian antibiotik Sebanyak 30–50% memiliki kultur darah positif Pengambilan kultur darah sebelum pemberian antibiotik direkomendasikan ≥2 kultur darah dengan setidaknya satu diambil perkutan dan satu diambil melalui akses vaskular, kecuali jalur infus kurang dari 48 jam Pada penderita dengan dugaan catheter related infection, kultur darah yang diperoleh melalui kateter dan sisi perifer harus diperoleh secara bersamaan Kultur darah dari tempat lain seperti urin, cairan serebrospinalis, luka, sekret pernapasan, atau cairan tubuh lain yang mungkin menjadi sumber infeksi juga harus diperoleh sebelum terapi antimikrob Indikasi pemeriksaan kultur darah meliputi demam, menggigil, hipotermia, leukositosis, shift to the left, neutropenia, dan disfungsi organ yang tidak jelas penyebabnya (misalnya, gagal ginjal atau tanda-tanda gagal hemodinamik) Pemberian antibiotik spektrum luas Penggunaan antibiotik spektrum luas bertujuan untuk pembatasan superinfeksi dan menurunkan resistensi patogen terhadap antibiotik, sampai organisme penyebab spesifik dan sensitivitas antibiotik diketahui Evaluasi antimikrob dilakukan dalam 48–72 jam setelah pemberian antibiotik berdasarkan data klinis, dengan tujuan penggunaan antibiotik spektrum sempit untuk mencegah resistensi, mengurangi toksisitas, dan meminimalkan biaya. Terapi kombinasi empiris hendaknya tidak diberikan lebih dari 3–5 hr Kombinasi antibiotik tidak terbukti lebih efektif dibandingkan dengan monoterapi Lama pemberian antibiotik spesifik selama 7–10 hr sambil mempertimbangkan respons klinis penderita Pemberian kristaloid 20 mL/kgBB bila terdapat hipotensi atau kadar laktat ≥4 mmol/L Pada penderita sepsis berat dan renjatan sepsis terdapat sirkulasi yang tidak efektif, sebagai akibat vasodilatasi karena infeksi atau kegagalan curah jantung. Perfusi jaringan yang buruk menyebabkan hipoksia jaringan luas, dan berhubungan 166
dengan peningkatan kadar laktat serum. Resusitasi cairan awal kristaloid 20 mL/kgBB diberikan sebagai fluid challenge pada kasus hipovolemia atau kadar laktat ≥4 mmol/L (36 mg/dL) Fluid challenge terdiri atas 4 komponen yaitu: Jenis cairan yang diberikan Kristaloid dan koloid memberikan luaran yang tidak berbeda secara bermakna pada resusitasi cairan penderita sakit kritis Kecepatan infus cairan Tujuan akhir pemberian cairan (MAP dan denyut jantung, dan pemantauan klinis lain meliputi diuresis, capillary refill time, dan derajat kesadaran) Batas aman jumlah cairan Observasi ketat perlu dilakukan untuk mencegah overload cairan (edema paru, hepatomegali) Bundel Resusitasi 6 Jam pada Renjatan Sepsis Pemberian vasopresor Norepinefrin merupakan pilihan pertama agen vasopresor untuk memperbaiki hipotensi pada renjatan sepsis Epinefrin dapat digunakan ketika obat tambahan diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah yang memadai Dopamin dapat digunakan sebagai obat alternatif untuk vasopresor norepinefrin, misalnya penderita dengan risiko rendah takiaritmia dan bradikardia absolut atau relatif. Dopamin meningkatkan MAP terutama dengan meningkatkan indeks jantung dengan efek minimal pada resistensi pembuluh darah sistemis. Kenaikan indeks jantung disebabkan peningkatan volume sekuncup dan pada tingkat lebih rendah akan meningkatkan denyut jantung Hipotensi arteri persisten walaupun sudah mendapat volume resusitasi (renjatan sepsis) atau kadar awal laktat ≥4 mmol/L (36 mg/dL), maka dilakukan hal berikut ini: a. Mengukur CVP b. Mengukur ScvO2 Tujuan utama adalah mengukur tekanan vena sentral, tetapi juga penting untuk menjaga target saturasi oksigen vena sentral. Jika mengalami hipovolemia dan anemia dengan Ht <30%, maka transfusi packed red blood cells. Hal ini meningkatkan pengiriman oksigen ke jaringan iskemia dan menjaga tekanan vena sentral ≥8 mmHg untuk waktu yang lebih lama daripada pemberian cairan saja. Target CVP lebih tinggi pada penderita yang mendapat ventilasi mekanis, yaitu 12–15 mmHg untuk mendukung positive end expiratory pressure dan meningkatkan tekanan intratoraks. Saturasi oksigen vena sentral dipertahankan ≥70%. Pada keadaan resusitasi penderita sepsis berat yang tidak teratasi dengan pemberian cairan saja harus segera diberikan obat inotrop untuk mempertahankan CVP ≥8 mmHg dan SvcO 2 ≥70% 167
Pemeriksaan kembali kadar laktat bila kadar awal laktat tinggi Kadar laktat darah mempunyai nilai prognostik pada penderita renjatan sepsis, terutama bila kadarnya tinggi menetap. Selain itu, kadar laktat darah telah terbukti memiliki nilai prognostik yang lebih besar daripada variabel oksigen. Pemeriksaan kadar laktat penting untuk mengidentifikasi hipoperfusi jaringan pada penderita yang belum hipotensi tetapi berisiko untuk menjadi renjatan sepsis Target akhir resusitasi adalah perbaikan perfusi jaringan dan homeostasis sel, penanda perbaikan klinis renjatan sepsis terdiri atas: Frekuensi denyut jantung normal Tidak ada perbedaan antara denyut nadi sentral dan perifer Waktu pengisian kapiler <2 detik Ekstremitas hangat, status mental normal, tekanan darah normal Produksi urin >1 mL/kgBB/jam Penurunan kadar laktat serum (idealnya memantau bersihan laktat setiap jam) Tekanan darah bukan target akhir resusitasi yang baik, tetapi perbaikan rasio antara frekuensi denyut jantung dengan tekanan darah sistol (indeks renjatan) dapat dipakai sebagai indikator ada perbaikan perfusi. Ultrasonografi noninvasif dapat memberikan informasi status hemodinamis lebih akurat dan mulai populer dipergunakan di seluruh dunia. Waktu pengisian kapiler (capillary refill time) merupakan tanda klinis sangat penting untuk deteksi awal dan pemantau tatalaksana renjatan sepsis anak
168
Gambar 24 Algoritme Tatalaksana Renjatan Sepsis Sumber: Dellinger dkk. 2013
Bibliografi 1. 2.
Angus DC, van der Poll T. Severe sepsis and septic shock. N Engl J Med. 2013 Aug;369(9):840–51. Brierley J, Peters MJ. Distinct hemodynamic patterns of septic shock at presentation to pediatric intensive care. Pediatrics 2008 Oct;122(4);752–9. 169
3.
4. 5. 6. 7.
8. 9.
10. 11.
12.
13. 14. 15. 16.
17.
18.
Brierley J, Carcillo JA, Choong K, Cornell T, DeCaen A, Deymann A, et al. Clinical practice parameters for hemodynamic support of pediatric and neonatal septic shock: 2007 update from the American College of Critical Care Medicine. Crit Care Med. 2009;37(2):666–88. Carcillo JA, Han K, Lin J, Orr R. Goal-directed management of pediatric shock in the emergency department. Clin Ped Emerg Med. 2007 Sep;8(3):165–75. Carcillo JA. Pediatric septic shock and multiple organ failure. Crit Care Clin. 2003 Jul;19(3):413–40. Carlbom DJ, Rubenfeld GD. Barriers to implementing protocolbased sepsis resuscitation in the emergency department–results of a national survey. Crit Care Med. 2007 Nov;35(11):2525–32. Cruz AT, Perry AM, Williams EA, Graf JM, Wuestner ER, Patel B. Implementation of goal-directed therapy for children with suspected sepsis in the emergency department. Pediatrics. 2011 Mar;127(3):e758–66. de Oliveira CF. Early goal-directed therapy in treatment of pediatric septic shock. Shock. 2010 Sep;34(Suppl 1):44–7. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, dkk. Surviving sepsis campaign: international guidelines for management of severe sepsis and septic shock: 2012. Crit Care Med. 2013 Feb;41(2):580–637. Faix JD. Biomarkers of sepsis. Crit Rev Clin Lab. 2013;50(1):23–36. Goldstein B, Giroir B, Randolph A. International pediatric sepsis consensus conference: definitions for sepsis and organ dysfunction in pediatrics. Pediatr Crit Care Med. 2005 Jan;6(1):2– 8. Han YY, Carcillo JA, Dragotta MA, Bills DM, Watson RS, Westerman ME, dkk. Early reversal of pediatric-neonatal septic shock by community physicians is associated with improved outcome. Pediatrics. 2003 Oct;112(4):793–9. Hauser GJ. Early goal-directed therapy of pediatric septic shock in the emergency department. Israeli J Emerg Med. 2007 Jun; 7(2):5–17. Hoffmann SP, Crouser ED. Mitochondrial mechanisms of organ dysfunction during sepsis. Adv Sepsis. 2007;6(1):2–9. Hotchkiss RS, Karl IE. The pathophysiology and treatment of sepsis. N Engl J Med. 2003 Jan;348(2):138–50. Ibrahim EH, Sherman G, Ward S, Fraser VJ, Kollef MH. The influence of inadequate antimicrobial treatment of bloodstream infections on patient outcomes in the ICU setting. Chest. 2000 Jul;118(1):146–55. Institute for Healthcare Improvement. Severe sepsis bundles (April 2013) [diunduh 12 September 2014]. Tersedia dari: https://www.betahg.com/services/ed/ed/Option_9_-_Severe _Sepsis_Bundle/ihi_severe_sepsis_bundles.pdf. Jones AE, Shapiro NI, Roshon M. Implementing early goaldirected therapy in the emergency setting: the challenges and experiences of translating research innovations into clinical 170
19.
20. 21.
22. 23.
24. 25. 26. 27. 28.
29. 30.
reality in academic and community settings. Acad Emerg Med. 2007 Nov;14(11):1072–8. Jones AE, Shapiro NI, Trzeciak S, Arnold RC, Claremont HA, Kline JA. Lactate clearance vs central venous oxygen saturation as goals of early sepsis therapy: a randomized clinical trial. JAMA. 2010 Feb;303(8):739–46. Khilnani P, Singhi S, Lodha R, Santhanam I, Sachdev A, Chugh K, dkk. Pediatric sepsis guidelines: summary for resource-limited countries. Indian J Crit Care Med. 2010 Jan;14(1):41–52. Micek ST, Welch EC, Khan J, Pervez M, Doherty JA, Reichley RM, dkk. Empiric combination antibiotic therapy is associated with improved outcome against sepsis due to gram-negative bacteria: a retrospective analysis. Antimicrob Agents Chemother. 2010 May;54(5):1742–8. Nguyen HB, Rivers EP. The clinical practice of early goal-directed therapy in severe sepsis and septic shock. Adv Sepsis. 2005;4(4): 126–33. Otero RM, Nguyen HB, Huang DT, Gaieski DF, Goyal M, Gunnerson KJ, dkk. Early goal-directed therapy in severe sepsis and septic shock revisited: concepts, controversies, and contemporary findings. Chest. 2006 Nov;130(5):1579–95. ProCESS Investigators, Yealy DM, Kellum JA, Huang DT, Barnato AE, Weissfeld LA. A randomized trial of protocol-based care for early septic shock. N Engl J Med. 2014 May;370(18):1683–93. Reuben AD, Appelboam AV, Higginson l, Lloyd JG, Shapiro NI. Early goal-directed therapy: a UK perspective. Emerg Med J. 2006 Nov;23(11):828–32. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B, dkk. Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic shock. N Engl J Med. 2001 Nov;345(19):1368–77. Sepanski RJ, Godambe SA, Mangum CD, Bovat CS, Zaritsky AL, Shah SH. Designing a pediatric severe sepsis screening tool. Front Pediatr. 2014 Jun;2:56. Singhal S, Allen MW, McAnnally JR, Smith KS, Donnelly JP, Wang HE. National estimates of emergency department visits for pediatric severe sepsis in the United States. PeerJ. 2013 May; 1:e79. Tannehill D. Treating severe sepsis & septic shock in 2012. J Blood Disord Transfus. 2012;S4:002. Wiens MO, Kumbakumba E, Kissoon N, Ansermino JM, Ndamira A, Larson CP. Pediatric sepsis in the developing world: challenges in defining sepsis and issues in post-discharge mortality. Clin Epidemiol. 2012;4:319–25.
171
KERACUNAN Batasan
Terpaparnya seseorang dengan suatu zat yang menimbulkan gejala dan tanda disfungsi organ serta dapat menimbulkan kerusakan atau kematian
Etiologi
Obat-obatan: salisilat, asetaminofen, digitalis, aminofilin Gas toksik: karbon monoksida, gas toksik iritan Zat kimia industri: tetil alkohol, asam sianida, kaustik, hidrokarbon Zat kimia pertanian: insektisida Makanan: singkong, jengkol, bongkrek Bisa ular atau serangga
Diagnosis
Onset yang mendadak Usia biasanya 1–5 th Riwayat pica atau keracunan sebelumnya Stres lingkungan yang kuat Melibatkan sistem organ Perubahan tingkat kesadaran Gejala klinis tidak khas untuk penyakit tertentu
Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan kasus perkasus Laboratorium: darah lengkap, AGD, osmolalitas serum, elektrolit, urea N, kreatinin, glukosa, transaminase hati, urin Radiologis: foto Rontgen toraks/abdomen EKG Skrining toksiokologi untuk kelebihan dosis obat Tes toksikologi kuantitatif
Terapi
Prinsip terdiri atas 4 tahap Suportif Penilaian cepat kondisi penderita dengan PAT (pediatric assessment triangle), kemudian langkah ABC resusitasi harus segera dilaksanakan untuk mempertahankan pernapasan dan sirkulasi yang adekuat, sebelum dilakukan penanganan lain Dekontaminasi (Mencegah Absorbsi Racun Lebih Lanjut) Mata/kulit Lepaskan pakaian Basuh dengan air mengalir Cuci bagian tubuh yang terpapar dengan air dan sabun selama 10–15 mnt Jangan menggunakan antidot kimia 172
Terinhalasi Jauhkan segera dari sumber racun menuju area terbuka yang mengandung banyak O2 bebas dan bila perlu pernapasan buatan Suntikan/gigitan ular Pasang tourniquet di bagian proksimal, kompres dingin, dan penderita diimobilisasi Tertelan Pengosongan lambung Perangsangan muntah Indikasi Racun sangat toksik dalam jumlah membahayakan Menelan racun <4 jam Anak sadar dan kooperatif Kontraindikasi Menelan zat racun dengan kadar toksis minimal Sudah memuntahkan racun Usia <6 bl Keracunan zat korosif, hidrokarbon Penderita tidak sadar, kejang Tidak ada refleks muntah Cara Stimulasi faring Sirup ipekak: dosis 10 mL untuk bayi 6–12 bl, 15 mL untuk 1–12 th, dan 30 mL untuk anak yang lebih besar). Tidak boleh diberikan pada anak <6 bl. Pemberian dapat diulang sekali dalam 20 mnt Bilas lambung Indikasi Penderita yang tertelan racun dalam jumlah yang potensial mengancam jiwa Kontraindikasi Tidak ada proteksi saluran respiratori Risiko perdarahan atau perforasi saluran cerna Tertelan zat korosif/hidrokarbon Aritmia jantung Cara Posisi left lateral head down (20° dari permukaan meja) Pipa nasogastrik ukuran terbesar yang dapat masuk Aspirasi isi lambung sebelum cairan pembilas dimasukkan Gunakan larutan garam fisiologis hangat 10–20 mL/kgBB (50–100 mL pada anak kecil dan 150–200 mL pada remaja), dapat diulang sampai cairan bersih Penyulit Desaturasi oksigen, aspirasi pneumonia, trauma mekanik, gangguan keseimbangan elektrolit Arang aktif Meminimalkan absorbsi obat dengan penyerapan Efektif dalam jam pertama sesudah racun tertelan 173
Tabel 52 Dosis Arang Aktif Usia (th)
Dosis (g)
Pelarut Air (mL)
Dewasa 12 10 7 3 1
50–100 35–75 30–65 25–50 15–30 12,5–25
200 150 120 100 65 50
Sumber: Cantwell dan Weisman 2008
Bubuk arang aktif dikocok dengan air sampai larut Dosis: 1–2 g/kgBB/dosis (maks. 100 g) p.o./pipa nasogastrik diberikan sesudah pengosongan lambung, paling baik dalam jam pertama keracunan Irigasi usus (whole bowel irigation/WBI) Penggunaannya masih kontroversi Indikasi Keracunan logam berat, zat besi, tablet lepas lambat atau enteric-coated, dan kokain Kontraindikasi Kelainan usus dan obstruksi usus Cara Menggunakan cairan nonabsorbable hypertonic solution (polyethylen glycol-balanced electrolyte solution/PEG-ES) dalam jumlah besar dan aliran cepat Dosis: 500 mL/jam (usia 9 bl–6 th), 1.000 mL/jam (usia 6–12 th), dan 1.500–2.000 mL/jam (remaja dan dewasa) Katartik Indikasi Bila perangsangan muntah/bilas lambung merupakan kontraindikasi Menelan preparat lepas lambat atau tablet salut selaput Kontraindikasi Menelan zat korosif Bising usus (−) Disfungsi ginjal atau gangguan elektrolit Anak kecil/neonatus Dosis Mg/Na sulfat: 250 mg/kgBB/dosis p.o.; atau Mg sitrat: 4 mL/kgBB/dosis p.o.; atau laktulosa diikuti dengan arang aktif
174
Tabel 53 Dosis Laktulosa Usia (th)
Dosis (mL)
Dewasa 7–14 1–6 <1
15–45 15 5–10 5
Sumber: Cantwell dan Weisman 2008
Meningkatkan Ekskresi Racun Perangsangan diuresis Dialisis peritoneal/hemodialisis Hemoperfusi Arang aktif dosis multipel (multiple-dose activated charcoal/ gastrointestinal dialysis) Dosis: 0,5–1 g/kgBB, diulang setiap 4–6 jam Syarat: peristaltik aktif, terdapat refleks muntah, jalan napas terlindungi Dipertimbangkan pada keracunan fenobarbital, karbamazepin, fenitoin, digoksin, salisilat, dan teofilin Untuk mencegah obstipasi, tiap 3 siklus diberi katartik (misalnya sorbitol) Antidot Spesifik Hanya tersedia untuk beberapa jenis racun (10%) Dapat → efek toksik serius, karena itu penggunaannya dibatasi pada keracunan berat/jenis racun yang diketahui pasti, misalnya: Organofosfat: atropin Jengkol: Na bikarbonat Singkong/sianida: Na nitrat 3% + Na tiosulfat 25%
Bibliografi 1. 2.
3.
4.
Akhtar S, Rani GR, Al-Anezi F. Risk factors in acute poisoning in children-a retrospective study. Kuwait Med J. 2006;38:33–6. Cantwell GP, Weisman RS. Poisoning. Dalam: Nicholas DG, penyunting. Rogers’ textbookof pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm. 441–65. Cieslak TJ, Henretig FM. Biologic and chemical terrorism. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 2581–9. Hegenbard MA, Wasserman GS. Gastric lavage. Dalam: King C, Henretig FM, penyunting. Textbook of pediatric emergency procedures. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm. 1166–71. 175
5. 6.
Riordan M, Rylance G, Berry K. Poisoning in children 1: general management. Arch DisChild. 2002;87:392–6. Rumack BH, Dart RC. Posioning. Dalam: Hay WW, Levin MJ, Soundheimer JM, Deterding RR, penyunting. Current pediatric diagnosis & treatment. Edisi ke-19. New York: McGraw-Hill; 2009. hlm. 313–38.
KERACUNAN ALKOHOL Batasan
Keadaan timbulnya penurunan kesadaran sesudah menelan alkohol, yang akan menekan kemampuan hepar memproduksi glukosa. Keracunan alkohol akan meningkatkan kerentanan terhadap hipoglikemia
Etiologi
Produk yang mengandung alkohol: kadar etanol pada obat pencuci mulut (mouthwash), cologne, dan aftershave; obat batuk, perasa kimia
Diagnosis
Riwayat meminum cairan mengandung alkohol Jenis alkohol dan berapa banyak alkohol yang diminum Dugaan obat-obatan lain yang dikonsumsi (mariyuana, kokaina, amfetamin, benzodiazepin) Bau napas yang khas Iritasi gaster, muntah Hipotermia, hipoglikemia pada anak yang lebih kecil Depresi miokardia; hipotensi akibat vasodilatasi Gejala klinis yang timbul berdasarkan konsentrasi alkohol dalam darah adalah gangguan koordinasi motorik kasar (20–50 mg/dL), penurunan konsentrasi dan reaktivitas (50–100 mg/dL), gangguan keseimbangan (100–150 mg/dL), stupor (150–250 mg/dL), penurunan kesadaran (300 mg/dL), dan gagal napas (400 mg/dL) Cathenol = A × p × 0,01 × 0, 8 → A = Cathecol × V × Lg V x Lg p × 0,01 × 0,8 Cathecol: konsentrasi etanol (mg/L atau %) A : jumlah alkohol dalam produk yang dikonsumsi (mL) P : konsentrasi alkohol dalam produk (%) 0,08 : relative density ethanol V : volume distribusi (L/kgBB) untuk anak 0,7 L/kgBB Lg : berat badan
Pemeriksaan Penunjang Gula darah sewaktu SGOT/SGPT
176
AGD (asidosis metabolik ditemukan pada 28,8% penderita) Kadar elektrolit Kadar etanol dalam darah Osmolitas serum Pemeriksaan urin EKG
Terapi
ABCs, oksigen Terapi suportif Berikan glukosa jika tetap hipoglikemia Pantau kadar etanol, glukosa, profil metabolik dasar, osmolalitas serum Bilas lambung. Penggunaan arang aktif tidak dianjurkan, karena etanol diresorpsi cepat, sehingga dapat meningkatkan aspirasi Tujuan tatalaksana jangka panjang Mencegah intoksikasi berulang Perubahan perilaku terutama remaja mengenai penggunaan alkohol Mendeteksi komorbiditas psikologi
Bibliografi 1. 2.
3. 4.
Aehlert B. Mosby’s comprehensive pediatric emergency care. Edisi revisi. St. Louis: Mosby; 2007. Bouthoorn SH, van Hoof JJ, van der Lely N. Adolescent alcohol intoxication in Dutch hospital centers of pediatrics: characteristics and gender differences. Eur J Pediatr. 2011 Aug; 170(8):1023–30. Tõnisson M, Tillmann V, Kuudeberg A, Lepik D, Väli M. Acute alcohol intoxication characteristics in children. Alcohol Alcohol. 2013;48(4);390–5. van Zanten E, van Hoff JJ, van der Lely N. A New Approach in Adolescent Alcohol Intoxication – Clinical Pediatric Experience and Research Combined, Complementary Pediatrics. March 16, 2012 [diunduh 25 September 2014]. Tersedia dari: http://www.intechopen.com/books/complementary-pediatrics/a -new-approach-in-adolescent-alcohol-intoxication-clinical-pediat ric-experience-and-research-combine.
KERACUNAN JENGKOL Batasan
Keadaan gejala disuria, hematuria, dan kadang oliguria atau anuria yang timbul sesudah makan jengkol
Etiologi
Asam jengkol 177
Diagnosis
Riwayat makan jengkol Sakit perut, muntah, nyeri suprapubis, dan disuria Serangan kolik saat berkemih Napas/urin berbau jengkol Oliguria atau anuria Hematuria (mikroskopik atau makroskopik) Ditemukannya kristal asam jengkol dalam urin
Pemeriksaan Penunjang
Urin lengkap Tes fungsi ginjal (ureum, kreatinin) AGD Pencitraan ginjal dan saluran kemih, bila diduga ada tanda obstruksi akut (foto polos abdomen, USG, IVP)
Penyulit
Gangguan ginjal akut (GgGA) Hidronefrosis akibat obstruksi akut Asidosis metabolik
Terapi
Kasus ringan Minum banyak Tablet Na bikarbonat 1 mg/kgBB/hr atau 1–2 g/hr Kasus berat Dirawat/ditangani sebagai kasus GGA Bila terjadi retensi urin → segera kateterisasi dan buli-buli dibilas dengan bikarbonat 1,5% Pada oliguria → infus cairan dekstrosa 5% + NaCl 0,9% (3:1) Pada anuria → dekstrosa 5–10% (kebutuhan cairan seperti GGA) Na bikarbonat 2–5 mEq/kgBB dalam dekstrosa 5% per infus selama 4–8 jam Diuretik dapat diberikan (misal: furosemid 1–2 mg/kgBB/hr) Bila dengan cara di atas tidak berhasil atau terjadi gagal ginjal → dialisis peritoneal/hemodialisis
Prognosis
Umumnya baik, mortalitas 6%
Bibliografi 1.
2.
Cieslak TJ, Henretig FM. Biologic and chemical terrorism. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 2581–9. Sjamsudin U, Darmansjah I, Handoko T. Beberapa masalah keracunan jengkol pada anak. Dalam: Hasan R, Tjokoronegoro A, penyunting. Pengobatan intensif pada anak. Jakarta: FKUI; 1985. hlm. 21–39. 178
3.
Worthley L. Clinical toxicology: part II. Diagnosis and management of uncommon poisonings. Crit Care Res. 2002;4: 216–30.
KERACUNAN SINGKONG Batasan
Keadaan timbulnya gejala toksik beberapa jam sesudah makan singkong
Etiologi
Asam sianida (HCN)
Diagnosis
Gejala awal: kelemahan, malaise, kebingungan, nyeri kepala, pusing, dan napas pendek Keadaan lanjut: mual, muntah, hipotensi, kejang, koma, apnea, aritmia, dan kematian akibat henti jantung paru (dapat terjadi dalam 1–15 mnt) Warna merah cherry pada kulit dan merah pada arteri serta vena retina Terkadang bau napas seperti almond
Pemeriksaan Penunjang
Darah: analisis gas, saturasi O2 vena, laktat serum Pemeriksaan kadar sianida jarang dilakukan karena memerlukan waktu
Penyulit
Asidosis metabolik Sekuele neurologik
Terapi
Gawat darurat Pertahankan jalan napas, O2 dan bila perlu lakukan bantuan napas, atasi koma, hipotensi atau kejang bila ada Pasang infus, monitor tanda vital dan EKG dengan ketat Spesifik Sambil menunggu akses vena, dapat diberikan amil nitrit per hirupan. Segera berikan Na nitrit 3% 0,3 mL/kgBB atau 10 mg/kgBB (maks. 10 mL) i.v. perlahan-lahan → Na tiosulfat 25% 1,6 mL/kgBB (400 mg/kgBB) sampai 50 mL (12,5 g) i.v. dalam 10 mnt. Pemberian harus hati-hati karena dapat menyebabkan hipotensi Dekontaminasi Di luar rumah sakit: arang aktif Di rumah sakit: segera pasang pipa nasogastrik, bilas lambung dan berikan arang aktif 179
Bibliografi 1.
2.
Cieslak TJ, Henretig FM. Biologic and chemical terrorism. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 2581–9. Geller RJ, Barthold J, Saiers JA, Hall AH. Pediatric cyanide poisoning: causes, manifestations, management, and, unmet. Pediatrics. 2006;118:2146–58.
KERACUNAN TEMPE BONGKREK Batasan
Keadaan terdapat gejala kelumpuhan saraf kranialis yang bersifat progresif dan desendens sesudah memakan tempe bongkrek
Etiologi
Terkontaminasinya bahan tempe bongkrek oleh Clostridium botulinum atau Bacterium cocovenas akan mengubah gliserin menjadi racun toksoflavin
Diagnosis
Gejala timbul 12–48 jam sesudah makan tempe bongkrek terkontaminasi Gejala awal: sakit tenggorokan, sakit kencing, dan keluhan saluran cerna Gejala lanjut: diplopia, ptosis, disartria, dan kelemahan saraf kranialis lainnya, diikuti dengan paralisis desendens progresif dan akhirnya henti napas Mental tetap baik, sensorik baik Pupil dilatasi dan refleks cahaya (−)/normal EMG: konduksi normal, potensi aksi motor ↓
Diagnosis Banding
Miastenia gravis Sindrom Guilland Barre
Pemeriksaan Penunjang
EMG Pungsi lumbal (bila diduga infeksi intrakranial) Toksin dalam serum/feses jarang dilakukan karena memerlukan waktu
Penyulit
Kelemahan otot pernapasan → henti napas mendadak 180
Terapi
Gawat darurat Pertahankan jalan napas (bila perlu bantuan napas) Observasi ketat gagal napas karena dapat terjadi henti napas tibatiba Spesifik Antitoksin botulisme Guanidin hidroklorid 15–35 mg/kgBB/hr dalam 3 dosis (berguna untuk menghilangkan blokade neuromuskular) Dapat diberikan atropin sulfat beserta larutan glukosa i.v. Pemberian glukosa i.v. sebaiknya disertai dengan pemberian larutan garam fisiologis dan plasma, serta diberikan secepatnya Dekontaminasi Dekontaminasi lambung dengan bilas lambung, pemberian katartik
Prognosis
Buruk bila paralisis otot pernapasan (karena tidak dapat diatasi dengan guanidin hidroklorid)
Bibliografi 1.
2.
Cieslak TJ, Henretig FM. Biologic and chemical terrorism. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 2581–9. Worthley L. Clinical toxicology: part II. Diagnosis and management of uncommon poisonings. Crit Care Res. 2002;4: 216–30.
KERACUNAN MINYAK TANAH Batasan
Keadaan timbulnya gejala gangguan napas sesudah tertelan atau teraspirasi minyak tanah
Etiologi
Senyawa hidrokarbon golongan alifatik
Diagnosis
Riwayat menelan minyak tanah Gejala awal aspirasi ke paru: batuk, rasa tercekik dikuti takikardia dan takipnea. Dalam waktu 6 jam timbul merintih, pernapasan cuping hidung, retraksi, dan mengi Gejala akibat tertelan: mual, muntah, diare, dan nyeri perut Gejala SSP: somnolen, sakit kepala, kebingungan Foto Rontgen toraks: gambaran pneumonitis Hemolisis, hemoglobinuria, demam, dan leukositosis 181
Pemeriksaan Penunjang Foto Rontgen toraks
Penyulit
Pneumonia aspirasi Edema paru akut Sindrom distres pernapasan akut Gangguan keseimbangan asam-basa
Terapi
Gawat darurat O2 lembap bila ada tanda kelainan paru (bila perlu bantuan napas). Bila kelainan paru cukup berat, sebaiknya rawat di PICU Atasi bronkospasme dengan bronkodilator (nebulizer) Suportif Tanpa kelainan klinis/radiologik → observasi min. 4 jam Bila foto Rontgen toraks ulangan sesudah 4 jam normal → boleh pulang Antibiotik: pneumonia berat dengan febris atau leukositosis, gangguan gizi, dan penyakit paru sebelumnya atau defisiensi imun Kortikosteroid tidak bermanfaat untuk ↓ kerusakan paru Dekontaminasi Tidak perlu, karena pengosongan lambung → risiko aspirasi ↑ Pengosongan lambung hanya dilakukan pada zat yang mempunyai potensi untuk menimbulkan efek toksis sistemik (contoh: halogenated hydrocarbon (trichloroethane, carbon), hidrokarbon aromatik (toluene, xylene, benzene), dan bila mengandung zat aditif (logam berat dan insektisida)
Bibliografi 1.
2.
3. 4.
Cantwell GP, Weisman RS. Poisoning. Dalam: Nicholas DG, penyunting. Rogers’ textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm. 441–65. Cieslak TJ, Henretig FM. Biologic and chemical terrorism. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 2581–9. Riordan M, Rylance G, Berry K. Poisoning in children 1: general management. Arch Dis Child. 2002;87:392–6. Rumack BH, Dart RC. Posioning. Dalam: Hay WW, Levin MJ, Soundheimer JM, Deterding RR, penyunting. Current pediatric diagnosis & treatment. Edisi ke-19. New York: McGraw-Hill; 2009. hlm. 313–38.
182
KERACUNAN INSEKTISIDA Batasan
Keadaan terdapat gejala gangguan cerna, susunan saraf pusat/ simpatis sesudah menelan, terinhalasi atau kontak kulit lama dengan insektisida
Etiologi
Fosfat organik: malation, paration Chlorinated hydrocarbon: aldrin, endrin, DDT
FOSFAT ORGANIK Diagnosis
Riwayat terpajan insektisida Toksisitas terjadi dalam 12 jam sesudah terpapar
Manifestasi Klinis
Gejala SSP: sakit kepala, ataksia, kejang, koma Tanda nikotinik: muscle twitching, kelemahan otot, paralisis dan tremor, berkeringat Tanda muskarinik: salivation, lacrimation, urination, defecation, gastrointestinal cramp, emesis (SLUDGE), berkeringat Miosis, bradikardia, bronkorea, bronkospasme Aktivitas pseudokolinesterase plasma dan asetilkolin eritrosit ↓ Edema paru pada kasus berat
Pemeriksaan Penunjang
Pengukuran aktivitas pseudokolinesterase plasma dan asetilkolin esterase eritrosit (bila memungkinkan)
Terapi
Gawat darurat Pertahankan jalan napas, O2 (bila perlu bantuan napas) Awasi terjadinya henti napas akibat kelumpuhan otot pernapasan Atasi pneumonitis hidrokarbon, kejang, atau koma (bila ada) Observasi min. 6–8 jam untuk menyingkirkan gejala lambat akibat absorpsi toksin lewat kulit Spesifik Atropin sulfat 0,05–0,1 mg/kgBB i.v. (maks. 2 mg), diulang tiap 10–30 mnt sampai terjadi atropinisasi, pertahankan 24–48 jam atau sampai tidak timbul gejala keracunan lagi Pada keracunan berat (bila terdapat kelemahan otot dan twitching) → + pralidoksim 25–50 mg/kgBB dalam 100 mL NaCl 0,9%, selama 30 mnt (dalam keadaan mengancam jiwa, 50% dosis inisial pralidoksim diberikan dalam 2 mnt dan sisanya dalam 30 mnt) → infus kontinu larutan 1% 10 mg/kgBB/jam pada anak atau 500 mg/jam pada remaja 183
Dekontaminasi Kulit dan mata Buka pakaian dan cuci daerah yang terkontaminasi dengan air Bila mengenai mata, irigasi dengan air atau NaCl fisiologis Tertelan Di luar rumah sakit: arang aktif Di rumah sakit: arang aktif dan katartik
CHLORINATED HYDROCARBON Diagnosis
Riwayat terpajan hydrocarbon
dengan
insektisida
golongan
chlorinated
Manifestasi Klinis Mual dan muntah, salivasi, iritabilitas saluran cerna, nyeri perut, diare Kebingungan, trauma, koma, kejang, dan depresi pernapasan Gejala lambat: kejang berulang, aritmia jantung, dan tanda kerusakan ginjal/hati Bila terjadi kerusakan ginjal : urea N dan kreatinin ↑ Bila terjadi kerusakan hati : SGOT/SGPT ↑, hipoglikemia, dan waktu protrombin ↑
Pemeriksaan Penunjang
Cholorinated hyrocarbon serum (bila memungkinkan) Ureum, kreatinin, SGOT/SGPT, waktu protombin, dan gula darah EKG
Terapi
Gawat darurat Pertahankan jalan napas, O2 (bila perlu bantuan napas) Atasi kejang, koma, dan depresi pernapasan (bila ada) Aritmia ventrikular → berikan penghambat (jangan gunakan epinefrin karena dapat → aritmia) Monitor EKG, observasi penderita min. 6–8 jam Kejang → diazepam 0,1–0,3 mg/kgBB i.v. Dekontaminasi Kulit dan mata Lepaskan pakaian dan cuci kulit yang terkontaminasi dengan sabun dan air. Bila mengenai mata, irigasi dengan air atau NaCl 0,9% Tertelan Pengosongan isi lambung Susu atau produk yang mengandung lemak harus dihindarkan
184
Bibliografi 1. 2.
3. 4.
Aardema HMJ, Ligtenberg JJM, Peters-Polman OM, Tulleken JE, Zijlstra JG. Organophosphorus pesticide poisoning: cases and developments. Nether J Med. 2008;66:149–53. Cieslak TJ, Henretig FM. Biologic and chemical terrorism. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 2581–9. Riordan M, Rylance G, Berry K. Poisoning in children 1: general management. Arch Dis Child. 2002;87:392–6. Rumack BH, Dart RC. Posioning. Dalam: Hay WW, Levin MJ, Soundheimer JM, Deterding RR, penyunting. Current pediatric diagnosis & treatment. Edisi ke-19. New York: McGraw-Hill; 2009. hlm. 313–38.
KERACUNAN SALISILAT Diagnosis
Kombinasi alkalosis respiratorik dan asidosis metabolik merupakan gejala patognomonik Hipoglikemia atau hiperglikemia Keracunan ringan (150–300 mg/kgBB): gangguan saluran cerna, tinitus, dan takipnea Keracunan sedang (300–500 mg/kgBB): demam, diaforesis, dan agitasi Keracunan berat (>500 mg/kgBB): disartria, koma, kejang, edema paru, kematian
Pemeriksaan Penunjang Kadar salisilat serum Elektrolit, AGD Tes fungsi hati Darah rutin, aPTT, PT Urinalisis EKG
Terapi
Suportif Ventilasi, pemantauan jantung dan akses vaskular, koreksi gangguan cairan dan elektrolit pH darah dipertahankan 7,45–7,5 dengan pemberian Na bikarbonat Penambahan kalium pada cairan i.v. Dekontaminasi Dekontaminasi saluran cerna pada penderita yang datang 4–6 jam sesudah tertelan salisilat → bila datang sesudah 6 jam, beri arang aktif 185
Meningkatkan ekskresi racun Alkalinisasi urin Hemodialisis pada kasus berat
Bibliografi 1.
2.
3.
4.
Cantwell GP, Weisman RS. Poisoning. Dalam: Nicholas DG, penyunting. Rogers’ textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm.441– 65. Chyka PA EA, Christianson G, Wax PM, Booze LL, Manoguerra AS, Caravati EM, dkk. Salicylate poisoning: an evidence-based consensus guideline for out-of-hospital management. Clin Toxicol. 2007;45:95–131. Cieslak TJ, Henretig FM. Biologic and chemical terrorism. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 2581–9. O’Malley GF. Emergency department management of the salicylate-poisoned patient. Emerg Med Clin N Am. 2007;25:333– 46.
186
SEDASI DAN ANALGESIA Batasan
Sedasi adalah tidak dirasakannya sensasi nyeri atau rangsang hebat. Sedasi bertujuan menghilangkan rasa takut dan kecemasan, efek potensiasi terhadap analgesia, dan mengurangi ingatan traumatis. Keuntungan sedasi antara lain memperkuat efek analgesia, mengurangi laju metabolisme dan kebutuhan oksigen, gangguan pola tidur, serta daya ingat penderita terhadap intervensi medis tidak menyenangkan Analgesia yaitu suatu tindakan menghilangkan nyeri tanpa melakukan intervensi pada tingkat kesadaran. Perubahan tingkat kesadaran mungkin terjadi akibat efek samping obat analgesia
Tingkatan Sedasi
Sedasi minimal (ansiolisis) Suatu kondisi yang dipengaruhi obat, penderita masih berespons normal terhadap perintah verbal. Fungsi kognitif dan koordinasi terpengaruh, tetapi obat tidak memengaruhi refleks saluran respiratori, fungsi ventilasi, dan kardiovaskular Sedasi menengah (dahulu disebut sedasi sadar/conscious sedation) Penurunan kesadaran diinduksi obat, masih dapat merespons perintah verbal atau rangsang taktil minimal. Tidak perlu intervensi untuk mempertahankan saluran respiratori. Fungsi kardiovaskular perlu dipertahankan Sedasi disosiatif Status kataleptis menyerupai kondisi ‘trans’ yang diinduksi obat disosiatif ketamin, ditandai analgesia dalam dan amnesia, retensi refleks protektif saluran respiratori, napas spontan, serta fungsi kardiopulmonal Sedasi dalam Depresi napas yang diinduksi obat, penderita sulit dibangunkan, namun berespons terhadap rangsang nyeri. Fungsi ventilasi dapat terganggu. Penderita perlu bantuan alat untuk mempertahankan saluran respiratori karena ventilasi tidak adekuat. Fungsi kardiovaskular perlu dipertahankan Anestesia umum Kehilangan kesadaran yang diinduksi obat, penderita tidak dapat dibangunkan meskipun diberi rangsang nyeri. Fungsi ventilasi spontan biasanya terganggu. Penderita membutuhkan bantuan alat untuk mempertahankan patensi saluran respiratori, serta bantuan ventilasi tekanan positif akibat depresi ventilasi dan fungsi neuro-muskular. Fungsi kardiovaskular biasanya terganggu Prosedur sedasi dan analgesia merupakan suatu teknik pemberian zat sedatif, analgesia, dan obat disosiatif untuk menginduksi suatu kondisi agar penderita menjadi toleransi terhadap berbagai prosedur yang tidak menyenangkan dengan mempertahankan fungsi kardiopulmonal 187
Penilaian Sedasi
Skala Ramsay Tingkat kesadaran dibagi menjadi 6 tingkatan (Tabel 54) Tabel 54 Skala Ramsay Tingkatan
Deskripsi
1
Penderita sadar, cemas, dan gelisah atau tidur gelisah atau keduanya Penderita sadar, kooperatif, terorientasi, dan tenang Penderita sadar, berespons hanya terhadap perintah verbal Penderita mengantuk, respons cepat terhadap ketukan ringan di glabela atau rangsang suara keras Penderita mengantuk, respons lambat terhadap ketukan ringan di glabela atau rangsang suara keras Penderita mengantuk, tidak berespons terhadap ketukan ringan di glabela atau rangsang suara keras
2 3 4 5 6
Sumber: Heard dan Fletcher 2011
Sebagian besar intensivis memilih tingkatan sedasi pada kondisi penderita tetap mengantuk namun mudah untuk dibangunkan. Skor Ramsay 2–3 merupakan pilihan ideal sebagai titik akhir sedasi Skala COMFORT Terdiri atas 8 variabel (masing-masing berisi 5 kategori), yang telah divalidasi untuk penilaian tingkatan sedasi di PICU. Interpretasi skala COMFORT yaitu apabila didapatkan nilai 8–16: sedasi dalam, 17–26: sedasi optimal, 27–40: sedasi inadekuat (Tabel 55) Tabel 55 Skala COMFORT Alertness Deeply asleep Lightly asleep Mengantuk Fully awake and alert Hyperalert Calmness/agitation Calm Slightly anxious Anxious Very anxious Panicky Heart rate Denyut jantung di bawah baseline Denyut jantung konsisten pada baseline
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2
Mean arterial blood pressure Tekanan darah di bawah baseline Tekanan darah konsisten pada baseline Peningkatan jarang sekitar ≥15% di atas baseline Peningkatan sering sekitar ≥15% di atas baseline (>3 selama periode observasi) Peningkatan terus-menerus sekitar ≥15% Respons respiratori Tidak ada batuk dan tidak ada pernapasan spontan Pernapasan spontan dengan sedikit atau tidak ada respons ventilasi
188
1 2 3 4 5 1 2
Peningkatan jarang ≥15% di atas baseline (1–3 selama periode observasi) Peningkatan sering sekitar ≥15% di atas baseline (>3 selama periode observasi) Peningkatan terus-menerus sekitar ≥15%) Facial tension Otot fasial relaksasi total Tonus otot fasial normal, tidak ada tegangan otot fasial yang jelas Tegangan jelas pada beberapa otot fasial Tegangan jelas pada seluruh otot fasial Otot fasial mengerut dan meringis
3 4 5 1 2 3 4 5
Sesekali batuk atau resistensi terhadap ventilator Bernapas aktif terhadap ventilator Batuk atau regularly fights ventilator, batuk atau tersedak Tonus otot Relaksasi otot total, tidak ada tonus otot Penurunan tonus otot Tonus otot normal Peningkatan tonus otot, fleksi jari tangan dan kaki Rigiditas otot ekstrim Physical movement Tidak ada pergerakan Sesekali dan sedikit pergerakan Sering, sedikit pergerakan Pergerakan kuat dibatasi ekstremitas Pergerakan kuat termasuk torso dan kepala
3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Sumber: Johnson dan Finkel 2006
Penilaian Rasa Nyeri
Penilaian rasa nyeri pada penderita sakit kritis sulit dilakukan karena tidak dapat mengungkapkan atau berkomunikasi tentang asal nyeri yang dirasakan. Penderita sakit kritis kurang akurat dalam mengungkapkan nyeri akibat terpasang intubasi endotrakea, pengaruh sedasi, dan penurunan kesadaran. Rangsang nyeri dapat disebabkan berbagai kondisi seperti insisi, drainase, iskemia, inflamasi, edema, dan prosedur invasif. Klinisi harus dapat mengenali parameter sensoris, fisiologis, dan perubahan perilaku akibat nyeri, antara lain peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, serta timbul kecemasan dan penyulit pada penggunaan ventilasi mekanis Skala nyeri dapat dipakai untuk menentukan tingkatan nyeri. Dua skala nyeri yang sering dipakai yaitu skala numerik dan Wong-Baker FACES pain rating scale. Pada skala numerik, digunakan skor 1–10, 10 menggambarkan tingkat nyeri terburuk, dan 0 menggambarkan tidak ada sensasi nyeri. Skala FACES lebih sesuai diterapkan pada penderita sakit kritis. Skala ini terdiri atas 5 gambar wajah yang mengindikasikan tingkatan nyeri, dan penderita tinggal menunjuk untuk menyatakan wajah mana yang menggambarkan tingkatan nyeri yang sedang dirasakan. Skala numerik dan FACES dapat dilihat pada Gambar 25
189
Gambar 25 Wong-Baker FACES Pain Rating Scale Sumber: Atkinson dkk 2009
Indikasi
Indikasi utama: penggunaan ventilasi mekanis dan berbagai prosedur baik invasif maupun noninvasif Beberapa prosedur yang memerlukan sedasi yaitu: Prosedur noninvasif Magnetic resonance imaging (MRI) Computerized tomographic scan (CT-scan) Berbagai prosedur pencitraan Terapi radiasi Elektroensefalografi (EEG) Prosedur invasif Aspirasi sumsum tulang dan biopsi Pungsi lumbal atau pengobatan intratekal Biopsi hati, ginjal atau tulang Ganti balutan, perawatan luka, atau debridement luka bakar Endoskopi, bronkoskopi Ekokardiografi transesofageal Torakosentesis atau pemasangan selang dada (chest tube) Parasentesis, perikardiosentesis Pemasangan kateter vena sentral Reduksi fraktur atau pemasangan balutan gips Aspirasi cairan tubuh dengan panduan USG
Kontraindikasi
Absolut Hemodinamis tidak stabil yang membutuhkan penanganan segera (renjatan) Penolakan penderita atau orangtua atau keluarga yang memiliki kewenangan memberikan persetujuan Relatif Gangguan hemodinamis dan respirasi, jalan napas abnormal, perubahan sensoris, dan tidak tersedia peralatan untuk pemantauan efek simpang
Strategi
Sebelum memulai sedasi harus dilakukan penilaian: 190
Keadaan umum Menilai tipe dan gradasi penyulit yang dapat memengaruhi kondisi medis penderita menggunakan klasifikasi status fisik berdasarkan American Society of Anesthesiologist (ASA). Sebagian besar prosedur sedasi dan analgesia dipakai pada orang sehat (ASA kelas I dan II), namun masih dimungkinkan bila disertai penyulit (ASA kelas III). Obat yang sedang dikonsumsi dan alergi obat/makanan perlu ditanyakan Jalan napas Menilai kelainan jalan napas, seperti obesitas berat, leher pendek, mandibula kecil, obstruksi tonsil, lidah besar, dan trismus Kardiovaskular Riwayat penyakit kardiovaskular, karena obat sedasi dan analgesia sebagian besar memiliki efek vasodilatasi dan hipotensi Pernapasan Penyakit paru aktif, terutama tipe obstruktif dan infeksi saluran respiratori akut perlu diwaspadai karena risiko mengalami spasme laring Gastrointestinal Waktu makan terakhir diperhitungkan untuk mencegah aspirasi. Untuk prosedur elektif, pengosongan lambung dari cairan 2–3 jam sebelum tindakan dan 4–8 jam untuk makanan padat Rekomendasi tidak memberikan makan (non per os/NPO) pada bayi dan anak yaitu: Bayi prematur atau neonatus: NPO-susu 2 jam sebelum sedasi Usia 1–5 bl : NPO-susu/makanan padat 4 jam sebelum sedasi Usia 6–36 bl : NPO-susu/makanan padat 6 jam sebelum sedasi Usia >36 bl : NPO-susu/makanan padat 8 jam sebelum sedasi Hepar/ginjal Implikasi terjadinya keterlambatan metabolisme atau ekskresi obat sedasi dan analgesia pada bayi berusia <6 bl akibat gangguan fungsi hati dan ginjal perlu diwaspadai
Tatacara Pemberian Obat Sedasi
Jalur oral/rektum Paling baik digunakan untuk pramedikasi sebelum dilakukan sedasi i.v. atau prosedur medis singkat seperti CT-scan. Untuk prosedur lebih lama, pemberian sedasi sebaiknya menggunakan jalur i.v. Jalur i.v./i.m. Sedasi i.v. diberikan dengan dua cara yaitu infus kontinu dan bolus i.v. Infus kontinu lebih baik dalam mempertahankan stabilitas sedasinya
Obat Analgesik dan Sedasi
Sampai saat ini tidak ada obat tunggal yang efektif untuk semua penderita atau memenuhi kriteria ideal obat sedasi. Obat analgesia dan sedasi harus diberikan secara hati-hati dengan dosis per kilogram berat badan
191
Tabel 56 Obat Analgesik dan Sedasi pada Penderita yang Membutuhkan Analgesia Obat
Dosis
Catatan
Morfin
Bolus i.v.; <60 kg: 100–200 µg/kgBB >60 kg: 5–10 mg Infus i.v.; <60 kg: 10–60 µg/kgBB/jam >60 kg: 0,8–3 mg/jam
Midazolam
Bolus i.v.; <60 kg: 0,1–0,2 mg/kgBB >60 kg: 5 mg Infus i.v.; <60 kg: 2–10 µg/kgBB/mnt >60 kg: 5–15 mg/jam Infus i.v.; 0,1–2 µg/kgBB/jam NG: 1–5 µg/kgBB/8 jam
Potensial pelepasan histamin, pertimbangkan penurunan dosis pada gangguan ginjal dan hati Fentanil Bolus i.v.; <60 kg: 1–2 µg/kgBB Onset cepat, >60 kg: 50–200 µg/jam waktu paruh Infus i.v.; <60 kg: 4–10 µg/kgBB/jam eliminasi panjang, >60 kg: 25–100 µg/jam terutama setelah penggunaan lama Parasetamol <60 kg:10–15 mg/kgBB/4 jam Dapat per rektum >60 kg: 650–1.000 mg/4 jam Dosis harian maks. <3 bl: 60 mg/kgBB/hr 3 bl–12 th: 90 mg/kgBB/hr >12 th: 4 g/hr Ibuprofen <60 kg: 6–10 mg/kgBB/6 jam Hati-hati pada >60 kg: 200–600 mg/6 jam penyakit ginjal, Dosis harian maks. retensi air, <60 kg: 30 mg/kgBB/hr perdarahan >60 kg: 2,4 g/hr gastrointestinal
Klonidin
Kloral hidrat NG: 20–50 mg/kgBB/4–6 jam, maks. 2 g/dosis Dosis harian maks. 200 mg/kgBB/hr
Masalah dengan toleransi dan withdrawal syndrome Withdrawal syndrome; hindari henti tiba-tiba Sedikit iritasi lambung
Prometazin
NG; 1–2 mg/kgBB/6 jam, maks. 50 mg/dosis
Hati-hati pada neonatus
Alimemazin
NG: 2–4 mg/kgBB/6 jam, maks. 90 mg/dosis
Hindari pada gagal ginjal dan hati
Sumber: Playfor 2008
Opioid dan benzodiazepin tetap menjadi pilihan utama untuk sedasi. Beberapa alternatif obat sudah tersedia termasuk anestesi inhalasi, nitrous oxide, ketamin, propofol, dan barbiturat 192
Strategi tatalaksana nyeri menurut WHO atau yang dikenal dengan The Analgesic Ladder merupakan tiga langkah kerangka pemikiran untuk mengatasi rasa nyeri secara rasional. Langkah pertama secara spesifik menggunakan analgesia nonopioid (obat antiinflamasi nonsteroid) untuk nyeri ringan. Langkah kedua merekomendasikan opioid lemah, dengan atau tanpa nonopioid untuk nyeri menengah atau sedang. Langkah ketiga merekomendasikan opioid kuat, dengan atau tanpa nonopioid untuk nyeri yang sangat kuat. Obat yang biasa digunakan untuk sedasi penderita di PICU dapat dilihat pada Tabel 59
Pemantauan Pemakaian Sedasi dan Analgesia
Sebelum dilakukan sedasi, diperiksa tanda vital awal. Pemantauan dasar pada penderita dalam pengaruh sedasi meliputi tingkat kesadaran, pernapasan dan patensi jalan napas, irama nadi dan denyut jantung, oksigenasi dan perfusi, serta nyeri dan kecemasan/ gelisah. Faktor lainnya seperti efek samping obat sedasi dan analgesia serta faktor lingkungan seperti suhu kamar juga perlu dipantau Pemantauan sedasi ringan (ansiolisis) Fungsi respirasi, dan kardiovaskular, serta refleks tidak terganggu, pemantauan hanya dilakukan pada tanda vital Pemantauan pada tingkat sedasi lebih dalam. Pemantauan tanda vital, tekanan darah, dan saturasi perifer dengan pulse oxymetri. Kapnografi merupakan baku emas untuk pemantauan ventilasi, lebih sensitif dibandingkan dengan pulse oxymetry Semua anak yang telah mendapat prosedur sedasi dan analgesia perlu dipantau hingga tidak terdapat risiko depresi kardiopulmonal. Sebelum dipulangkan dari fasilitas kesehatan, kesadaran harus pulih dan orientasi terhadap lingkungan sekitar baik, serta tanda vital harus stabil. Untuk menilai secara objektif, dapat digunakan Sistem Skor Aldrete Recovery yang telah dimodifikasi (Tabel 57) Tabel 57 Sistem Skor Aldrete Recovery Modifikasi (Pascaprosedur Sedasi Analgesia) Kriteria Tanda vital Stabil Tidak stabil Pernapasan Normal Dangkal/takipnea Apnea Tingkat kesadaran Sadar, terorientasi/pulih ke asal Kesadaran berkabut, agitasi Tidak responsif
Nilai 1 0 2 1 0 2 1 0
193
Kriteria
Nilai
Saturasi Oksigen 90–100% 90–94% <90% Warna Kulit Pink/kembali ke asal Pucat Sianosis Aktivitas Bergerak menurut perintah/kembali ke asal Bergerak hanya ekstremitas, berjalan tidak terkoordinasi Tidak ada gerak spontan
2 1 0 2 1 0 2 1 0
Skor Sedasi >8 7–8 4–6 0–3 Sumber: Green dan Krauss 2008
Tindakan Pulang bila semua skor >0, skor total 8 Monitor tanda vital tiap 20 mnt Monitor tanda vital tiap10 mnt Monitor tanda vital tiap 5 mnt, dan evaluasi lebih lanjut sesuai kebutuhan
194
Tabel 58 Teknik Sedasi pada Berbagai Prosedur Invasif dan Noninvasif pada Anak Prosedur Diagnostik
Teknik Sedasi dan Analgesia
Noninvasif Magnetic resonance imaging <4 bl: sebaiknya tanpa sedasi, pemeriksaan dilakukan (MRI), computerized saat mengantuk setelah kenyang tomographic scan (CT-scan), Bila dibutuhkan sedasi: kloral hidrat dan USG 4 bl–5 th: agen sedatif oral potensi ringan: kloral Berbagai prosedur pencitraan hidrat, trimeprazin, midazolam, droperidol, Terapi radiasi klonidin, pentobarbital Elektroensefalografi (EEG)
195 Invasif Aspirasi sumsum tulang dan biopsi Pungsi lumbal atau pengobatan intratekal
Anestesi umum (tidak menimbulkan nyeri) Sedasi pilihan lain: midazolam, ketamin, anestesi lokal (topikal, infiltrasi) Neonatus (cegah hiperfleksi leher saat dilakukan prosedur) Menghisap sukrosa atau dekstrosa 25% melalui empeng Anestesi lokal topikal Anak lebih besar Persiapan mental: anak diterangkan tujuan dan cara prosedur yang akan dialami
Keterangan Kloral hidrat: Dosis awal: 3–6 bl : 25 mg/kgBB 6–12 bl: 50 mg/kgBB >12 bl : 75 mg/kgBB Dapat dinaikkan dengan dosis separuh dosis awal. Jika masih tidak adekuat, dianggap gagal, perlu anestesi umum Midazolam: lihat Tabel 59 Trimeprazin: 2 mg/kgBB/dosis Droperidol: 0,1 mg/kgBB/dosis Pentobarbital: lihat Tabel 59 Klonidin: lihat Tabel 59 Dosis obat lihat Tabel 59 EMLA patch ditempelkan pada area pungsi lumbal 1 jam sebelum tindakan Anestesi infltrasi: disuntikkan ke dalam medula spinalis dengan jarum 26G
196
Anestesi lokal topikal Midazolam, klonidin, parasetamol (Inhalasi entonoks) Anestesi infiltrasi: lignokain 1–2% Biopsi hati, ginjal atau tulang Anestesi umum—pilihan utama (menghindari trauma psikis) Sedasi pilihan lain: midazolam, ketamin, anestesi lokal (topikal, infiltrasi) Penggantian balutan, peraNonfarmakologis watan luka atau debridement Pengalihan perhatian: sentuhan, belaian, agar anak pada luka bakar rileks Analgesia opioid kuat melalui oral, transmukosa, intranasal Ketamin: oral, i.v., tunggal atau kombinasi Beberapa rekomendasi ahli: Parasetamol + ibuprofen + klonidin (oral) ± tilidin sublingua Parasetamol + ibuprofen + kodein (oral) ± tilidin sublingua Parasetamol + ketamin ± midazolam (oral) Parasetamol + ibuprofen + midazolam(oral) + tilidin sublingua Midazolam + parasetamol + kodein (oral) Midazolam + parasetamol + morfin (oral) Midazolam + ketamin + atropin i.v. Morfin + parasetamol ± midazolam i.v. Anestesi umum Kloral hidrat Klonidin Fentanil, alfentanil, atau
Dosis obat lihat Tabel 56 dan 59
Endoskopi, bronkoskopi
197
Torakosentesis atau pemasangan chest tube
Pemasangan kateter vena sentral Reduksi fraktur atau pemasangan cast
Remifentanil (kerja singkat) Prosedur lama: anestetis propofol (oleh anestesiologis) Dosis benzodiazepin dan opiat yang Sedasi dalam: sedatif: midazolam, lorazepam, bila perlu paling minimal untuk sedasi ditambah penguat sedatif: prometazin, difenhidramin Opioid diberikan sebelum enzodiazepin, diobservasi efeknya sebelum prosedur dimulai Dosis lihat Tabel 59 Fungsi kardiopulmonal dijaga: oksigenasi, kateter i.v., cairan resusitasi, siap peralatan intubasi dan ventilasi tekanan positif Monitor EKG, tekanan darah dan pulse oxymetri Pertimbangkan anestesi umum atau sedasi yang Pencabutan chest tube: dikombinasi dengan anestesi infiltrasi (lignokain) Neonatus: mengisap sukrosa atau empeng Anak besar: opioid, N2O (di OK), obat antiinflamasi nonsteroid, anestesi infiltrasi yang memblok saraf interkosta Sebaiknya anestesi umum Sedasi dalam dengan 2–3 jenis obat berisiko memengaruhi variabel hemodinamis: oksigenasi dan end tidal CO2 Bila belum terpasang kateter i.v. dapat diberikan tilidin Dosis obat lihat Tabel 56 atau 59 sublingual Sebaiknya anestesi umum Beberapa alternatif sedasi yang dapat diberikan: Anestesi umum + parasetamol i.v. Ketofol + parasetamol i.v.
Aspirasi cairan tubuh dengan panduan USG
Ketamin + parasetamol i.v. Morfin + parasetamol i.v. Tilidin + parasetamol i.v. ± ketamin Anestesi infiltrasi dengan blokade saraf perifer Anestesi lokal infiltrasi dengan lidokain
Dosis obat lihat Tabel 56 atau 59
Sumber: South African Society of Anaesthesiologists 2010, Murthy 2009
Tabel 59 Obat yang Biasa Digunakan untuk Sedasi di PICU Obat Benzodiazepin:
198 Midazolam
Diazepam
Keterangan Menurunkan central sympathetic output, resistensi vaskular sistemik. Pemberian secara cepat dapat menurunkan curah jantung secara tiba-tiba, sehingga pada pemberian bolus harus perlahan, dengan pengawasan ketat fungsi kardiovaskular Onset cepat (2–3 mnt) durasi singkat (1–4 jam). Bila kombinasi dengan opioid dosis harus dikurangi. Waktu paruh paling singkat, pemberian infus i.v. kontinu memperpanjang durasi kerja, pengaruh sedasi menetap sampai 48 jam setelah penghentian obat. Efek samping utama: toleransi, ketergantungan, dan withdrawal setelah penghentian. Bila diberikan dalam kondisi hipovolemia dapat terjadi hipotensi Onset 1–2 mnt. Durasi 6–12 jam, waktu paruh 37 jam Metabolit aktif diazepam, desmethyl diazepam dieliminasi sangat lambat, dapat menimbulkan oversedasi dengan dosis berulang
Dosis
Infus: 0,05–0,1 mg/kgBB/jam ditingkatkan hingga maks. 0,6 mg/kgBB/jam Dosis tunggal: i.v. 0,03–0,05 mg/kgBB Nasal: 0,2–0,4 mg/kgBB Oral: 0,5–0,7 mg/kgBB Rektal: 1 mg/kgBB Sublingual: 0,2 mg/kgBB Dosis bolus mulai 0,03–0,1 mg/kgBB i.v.
Lorazepam Barbiturat:
Short acting: Thiopental sodium
199
Long acting: Pentobarbital Fenobarbital
Opioid:
Onset kerja lambat (5–15 mnt), durasi kerja 2–6 jam. Kadar toksik menimbulkan disfungsi renal, aritmia jantung, kejang, hemolisis intravaskular, depresi SSP Memengaruhi fungsi kardiopulmonal. Pada orang sehat, dosis sedatif memiliki efek min. pada pernapasan dan refleks protektif saluran respiratori, dosis berlebih dapat menimbulkan apnea dan hipotensi. Depresi kardiovaskular berhubungan dengan vasodilatasi perifer dan pengaruh langsung inotrop negatif Durasi kerja 5–10 mnt dan biasanya digunakan bolus i.v. untuk prosedur singkat seperti intubasi endotrakeal. Infus kontinu untuk stabilisasi konsentrasi plasma konstan Kerja lebih lama, waktu paruh 6–12 jam. Pengaruh fisiologi menguntungkan termasuk penurunan cerebral metabolic rate oksigen melalui penurunan cerebral blood flow dan tekanan intrakranial Sebagai antikonvulsan, berguna untuk mengatasi status epileptikus yang tidak responsif terhadap obat lain Pentobarbital sebagai obat konvensional alternatif untuk sedasi selama extracorporeal membrane oxygenation (ECMO). Memiliki efek inotropik negatif, hati-hati pada gangguan kardiovaskular. Larutan dalam bentuk alkali (pH 9–11), sehingga tidak kompatibel pada penggunaan dengan obat lain. Risiko efek samping kardiovaskular dapat dibatasi dengan cara pemberian lambat (sekitar 5 mnt) bila dibolus Digunakan sebagai analgesia, juga memiliki efek sedasi, sering dipilih sebagai lini pertama untuk sedasi di PICU. Lebih tinggi efikasinya dibandingkan dengan benzodiazepin pada neonatus dan anak
Dosis bolus 0,02–0,06 mg/kgBB i.v. Dosis infus 0,01–0,1 mg/kgBB/jam
Loading: 3–5 mg/kgBB i.v. Infus: 1–5 mg/kgBB/jam Loading: 1–2 mg/kgBB i.v. diikuti oleh infus kontinu 1–2 mg/kgBB/jam Loading: 20–30 mg/kgBB i.v., rumatan 3–5 mg/kgBB/hr dibagi 2 kali pemberian, i.v. bolus
Morfin
Fentanil
200
Meperidin
Metadon Nalokson
Metabolit aktif dieliminasiginjal, hati-hati pada penderita insufisiensi ginjal Menginduksi pelepasan histamin, ditandai bronkospasme, hipotensi dan rasa gatal, namun tidak kontraindikasi. Hindari morfin pada penderita renjatan dan bronkospasme berat Opioid semisintetis, onset cepat, jika diberikan dengan dosis besar, tidak menimbulkan cardiovascular instability. Fentanil memiliki kekuatan 100 kali lipat dibandingkan dengan morfin Pada kondisi yang membutuhkan analgesia jangka panjang dan sedasi (misal trauma multipel, luka bakar) disarankan meningkatkan infus sampai 10 µg/kgBB/jam untuk memenuhi efek toleransi. Efek samping yang paling ditakuti: kekakuan dinding dada (bila dosis >5 µg/kgBB). Pengaruh tersebut bersifat antagonis dengan infus muscle relaxant dan nalokson Sepuluh kali lebih kuat, onset kerja lebih lambat dibandingkan dengan morfin. Waktu paruh 3–6 jam. Kadang-kadang menyebabkan penurunan curah jantung, pelepasan histamin, dan takikardia. Penggunaan meperidin di emergensi dan PICU sangat terbatas Penggunaan metadon meningkat pada terapi dan pencegahan ketergantungan obat. Hati-hati karena efek kumulatif dapat terjadi sedasi jangka lama Merupakan antagonis opioid, digunakan untuk intoksikasi opioid. Menyebabkan depresi pernapasan, sedasi, dan hipotensi melalui kompetensi langsung dengan reseptor miu, kappa, dan sigma. Onset kerja 20–60 mnt. Dalam penggunaannya penderita harus diawasi dalam 2 jam. Obat dieliminasi dalam hepar
Bolus 0,1–0,2 mg/kgBB, lalu infus 20–60 µg/kgBB/jam
Bolus: 1 µg/kgBB i.v. Infus: 1 µg/kgBB/jam i.v. Terapi nyeri: 1–5 µg/kgBB, infus 1–10 µg/kgBB/jam (efek analgesia kontinu) Infus 1–5 µg/kgBB/jam efektif pada neonatus yang menggunakan ventilasi mekanis Dosis 1–2 mg/kgBB i.v.
0,1–0,2 mg/kgBB setiap 4–6 jam, dengan dosis maks. 10 mg/kgBB <5 th, BB <20 kg: 0,1 mg/kgBB >5 th: 2 mg/kgBB
Ketamin
Propofol
201
Kloral hidrat
Obat sedasi baru: Klonidin
Dexmedetomidine
Anestesi disosiatif dengan efek analgesia yang kuat serta menimbulkan amnesia. Walaupun memiliki efek inotropik negatif dan vasodilator, ketamin mempertahankan stabilitas hemodinamik melalui efek simpatis sekunder (pelepasan epinefrin dan norepinefrin). Halusinasi, dapat diminimalisir dengan pemberian simultan benzodiazepin (midazolam 0,1–0,2 mg/kgBB). Kontraindikasi pada penderita tekanan tinggi intrakranial, (meningkatkan aliran darah ke otak) Onset kerja sangat cepat untuk sedasi singkat. Aman pada sedasi jangka pendek sebelum dilakukan prosedur nyeri seperti pungsi lumbal dan kardioversi pada penderita dengan napas spontan. Penggunan ditunda bila terdapat asidosis metabolik, lipemia, gagal jantung, aritmia, dan henti jantung (propofol infusion syndrome). Hanya direkomendasikan pada anak sakit kritis di PICU, jangka pendek dosis rendah Durasi kerja 6−8 jam. Onset lambat, dan terbatas penggunaannya pada emergensi dan ICU. Efek samping: iritasi lambung. Kontraindikasi pada anak risiko perdarahan lambung. Dosis toksik menyebabkan depresi napas dan gangguan kontraktilitas jantung
1–2 mg/kgBB i.v. untuk sedasi ringan 2–4 mg/kgBB i.v. untuk sedasi dalam Sedasi pada ventilasi mekanis, bolus inisial 10–15 µg/kgBB/mnt, ekskalasi 40–60 µg/kgBB/mnt Analgesia: infus sampai 5 µg/kgBB/mnt
Klonidin diabsorbsi cepat jika diberikan oral dengan waktu paruh 9–12 jam. Dimetabolisme di ginjal dan hati, 50% melewati urin dalam bentuk asal
Sedasi praoperatif dan analgesia pascaoperatif: dosis tunggal oral 4 mg/kgBB Infus 0,1–0,2 µg/kgBB/jam + midazolam dosis rendah (50 µg/kgBB/jam) → sedasi pada ventilasi mekanik Loading dose: 1 μg/kgBB i.v. Infus: 0,2–0,75 μg/kgBB/jam
Sedatif dengan kemampuan analgesia kuat, tidak mendepresi pernapasan. Dapat menimbulkan bradikardia, hipotensi, dan vasodilatasi
Loading: 2–3 mg/kgBB i.v. Infus: 1–4 mg/kgBB/jam
Dosis hipnotif 40–75 mg/kgBB p.o. atau rektal
Eutectic mixture of local anesthetics (EMLA)
Krim berisi lidokain dan prilokain, untuk mengurangi nyeri prosedur perkutaneus
Dioleskan 60 mnt sebelum dilakukan tindakan
202
Bibliografi 1. American Academy of Pediatrics. Committee on Psychosocial Aspects of Child and Family Health; Task Force on Pain in Infants, Children, and Adolescents. The assessment and management of acute pain in infants, children, and adolescents. Pediatrics. 2001 Sep;108(3):793–7. 2. American Medical Association. Module 1 pain management: pathophysiology of pain and pain assessment. Revised 2010 [diunduh 27 April 2012]. Tersedia dari: http://www.amacmeonline.com/pain_mgmt/printversion/ama_painmgmt_m1.pdf. 3. American Society of Anesthesiologists Task Force on Sedation and Analgesia by Non-Anesthesiologists. Practice guidelines for sedation and analgesia by non-anesthesiologists. Anesthesiology. 2002 Apr; 96(4):1004–17. 4. American Society of Anesthesiologists. Continuum of depth of sedation: definition of general anesthesia and levels of sedation/ analgesia [diunduh 28 April 2012]. Tersedia dari: http://www. asahq.org/~/media/For%20Members/documents/Standards%20 Guidelines%20Stmts/Continuum%20of%20Depth%20of%20Seda tion.ashx. 5. Atkinson P, Chesters A, Heinz P. Pain management and sedation for children in the emergency department. BMJ. 2009 Oct;339: b4234. 6. Doyle L, Colletti JE. Pediatric procedural sedation and analgesia. Pediatr Clin North Am. 2006 Apr;53(2):279–92. 7. Eisenberg E, Marinangeli F, Birkhahn J, Paladini A, Varrassi G. Time to modify the WHO analgesic ladder? IASP Pain: Clinical Updates. 2005 Des;XVIII(5):1–4. 8. Green SM, Krauss B. Procedural sedation and analgesia. Dalam: Baren JM, Rothrock SG, Brennan JA, Brown L, penyunting. Pediatric emergency medicine. Edisi pertama. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008. hlm. 1119–24. 9. Guidelines for the safe use of procedural sedation and analgesia for diagnostic and theurapeutic procedures in adults: 2010. S Afr J Anesthesiol Analg. 2010;16:S1–24. 10. Heard CMB, Fletcher JE. Sedation and analgesia. Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ, Carcillo JA, Clark RSB, Relvas M, Rotta AT, dkk., penyunting. Pediatric critical care. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. hlm. 1654–81. 11. Helms JE, Barone CP. Physiology and treatment of pain. Crit Care Nurse. 2008 Dec;28(6):39–49. 12. Johnson YJ, Finkel JC. Sedation for procedures and mechanical ventilation in children with critical illness. Dalam: Slonim AD, Pollack MM, penyunting. Pediatric critical care medicine. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. hlm. 804–9. 13. Krauss B, Green SM. Procedural sedation and analgesia in children. Lancet. 2006 Mar;367(9512):766–80. 14. Lago PM, Piva JP, Garcia PC, Sfoggia A, Knight G, Ramelet AS, dkk. Analgesia and sedation in emergency situations and in the pediatric intensive care unit. J Pediatr (Rio J). 2003 Nov;79(Suppl 2):S223–30. 203
15. Mejia R, Fields A, Greenwald BM, Stein F, penyunting. Pediatric fundamental critical care support. Mount Prospect: Society of Critical Care Medicine; 2008. 16. Mencia SB, López-Herce JC, Freddi N. Analgesia and sedation in children: practical approach for the most frequent situations. J Pediatr (Rio J). 2007 May;83(2 Suppl):S71–82. 17. Murthy TVSP. Sedation guidelines for gastrointestinal endoscopy. MJAFI. 2009;65:161–5. 18. Playfor SD. Analgesia and sedation in critically ill children. Arch Dis Child Educ Pract Ed. 2008 Jun;93(3):87–92. 19. Richman PS, Baram D, Varela M, Glass PS. Sedation during mechanichal ventilation: a trial of benzodiazepine and opiate in combination. Crit Care Med. 2006 May;34(5):1395–401. 20. South African Society of Anaesthesiologists. Guidelines for the safe use of procedural sedation and analgesia for diagnostic and therapeutic procedures in children: 2010. S Afr J Anaesthesiol Analg. 2010:16(5)(Suppl 1):S1–37.
204
TRANSPOR PENDERITA ANAK SAKIT KRITIS Tujuan
Memberikan perawatan yang lebih baik dibandingkan dengan perawatan di tempat sebelumnya baik secara teknis, kognitif maupun prosedural yang tidak dimiliki di lokasi sebelumnya Mencegah penderita sakit kritis dari kegawatdaruratan lebih lanjut
Prioritas Penderita
Berdasarkan tingkat kegawatannya, proses transpor penderita digolongkan menjadi beberapa kategori sebagai berikut Kode Prioritas 1: Penderita Kritis Penderita dalam kondisi tidak stabil dan memerlukan pertolongan segera Kode Prioritas 2: Emergensi Kondisi penderita dalam keadaan stabil tetapi terdapat potensi terjadi gangguan fungsi tubuh Kode Prioritas 3: Urgent Penderita dalam kondisi stabil dan tidak ada terapi yang harus diberikan segera yang akan memengaruhi kualitas hidup penderita Kode prioritas 4: Tidak Urgent Penderita dalam keadaan stabil dan tidak ada kegawatan yang harus ditangani dengan segera
Jenis Transpor
Transpor Intrahospital Hal-hal yang harus dipertimbangkan sebelum melakukan transpor intrahospital yaitu: Apakah transpor ini benar-benar diperlukan untuk menentukan keputusan terapi? Apa saja persiapan khusus yang diperlukan? Siapa yang harus mendampingi? Apa saja peralatan yang dibutuhkan? Apakah diperlukan obat resusitasi? Apakah bagian yang akan menerima penderita sudah siap? Kapan waktu yang disetujui untuk transpor penderita? Rute mana yang terbaik untuk ditempuh? Apakah segala peralatan sudah dicek? Apakah bateraisudah di-charged? Apakah persediaan suplai oksigen cukup? Transpor Interhospital Beberapa alasan medis dilakukannya transpor interhospital, adalah: Penderita tidak stabil yang harus distabilkan di rumah sakit sebelum dikirim ke rumah sakit yang lebih tepat (misalnya perdarahan akut, resusitasi jantung) 205
Penderita sudah ditriase tetapi tidak optimal dan transpor penderita masih harus ditunda (misalnya perdarahan intrakranial yang tidak terdeteksi) Penderitasudah ditriase secara optimal tetapi rumah sakit yang dituju tidak dapat menerima (misalnya karena tidak ada ruang operasi atau ruang intensif) Penderita yang memerlukan perawatan khusus (misalnya luka bakar pada anak) Kondisi klinis penderita menjadi tidak stabil dan memerlukan tatalaksana yang lebih spesifik pada tingkat rumah sakit yang lebih tinggi (misalnya renjatan septik sesudah dilakukan operasi intraabdominal elektif, ARDS sesudah trauma tumpul dada)
Prinsip Transpor Penderita
Stabilisasi Semua penderita sakit kritis memerlukan akses vena yang baik sebelum transpor Bila diperlukan resusitasi cairan dan obat-obatan inotropik Semua penderita tidak boleh ditranspor sebelum jalan napas distabilkan dan pada penderita trauma imobilisasi spinal harus dilakukan sebelumnya Selang nasogastrik harus terpasang pada penderita dengan obstruksi saluran cerna dan kateter Foley harus terpasang untuk memonitor cairan Rekam medis penderita dan hasil pemeriksaan laboratorium dan foto Rontgen harus disertakan bersama penderita Komunikasi Komponen komunikasi yang penting dalam melakukan transpor penderita yaitu: Pencatatan permintaan bantuan transpor: setiap permintaan tranpor penderita harus disampaikan dengan baik pada koordinator transpor Komunikasi internal: komunikasi di antara tim transpor Komunikasi eksternal: komunikasi antara tim transpor dengan sumber daya pendukung seperti polisi dan petugas pemadam kebakaran Pemantauan perkembangan diagnosis penderita, terapi, dan kondisi klinis terbaru harus diinformasikan secara berkala dengan dokter yang merujuk Pada transpor intrahospital diperlukan koordinasi dan komunikasi yang baik antara petugas di ruangan pemeriksaan dengan perawatan serta antara dokter maupun perawat yang mengirim dan menerima penderita. Pada transpor interhospital, dokter yang akan merujuk harus menghubungi dokter di rumah sakit rujukan dan menerangkan kondisi klinis penderita saat itu, serta meminta saran stabilisasi selama transportasi
206
Persiapan Personel dan Alat
Personel Medis Jumlah personel yang dianjurkan dalam mendampingi penderita sakit kritis yaitu min. 2 orang: Perawat yang sudah menjalani kompetensi dasar dan sudah memenuhi standar sebagai perawat sakit kritis Terapis pernapasan (respiratory therapist), perawat teregistrasi, atau perawat unit perawatan intensif Dokter yang bertugas mendampingi dianjurkan sudah mengikuti pelatihan tatalaksana jalan napas, advance cardiac life support (ACLS), dan pelatihan perawatan sakit kritis Peralatan Medis Peralatan yang digunakan dalam transpor penderita pediatri kritis pada umumnya bergantung pada kondisi penderita, tetapi minimal harus terdapat tensimeter, oksimeter nadi, monitor/defibrilator jantung, peralatan untuk menjaga patensi jalan napas, oksigen, obat resusitasi, satu set peralatan resusitasi pediatri, dan ventilasi bag-valve. Peralatan tambahan lainnya yaitu: Stretcher (tandu) Ventilasi mekanik portable Sistem/alat yang memuat jalur infus dan koneksi alat-alat yang digunakan selama transpor penderita Monitor tekanan darah, oksimetri, dan monitor irama jantung yang dilengkapi defibrilator harus tersedia tanpa pengecualian Obat i.v. kontinu (drip) terjamin selama transpor dengan menggunakan infusion pump atau syringe pump dengan daya baterai Alat untuk tatalaksana jalan napas sesuai ukuran penderita dan sumber oksigen Obat-obatan resusitasi dasar: epinefrin, obat pacu jantung Obat tambahan seperti sedatif dan analgesik narkotik dapat disertakan pada kondisi khusus yang diperkirakan akan digunakan Protokol medikasi dan cairan infus harus disertakan bersama penderita bila selama transpor penderita tidak didampingi oleh dokter
Pemantauan
Pemantauan Selama Transpor Intrahospital Semua penderita sakit kritis yang membutuhkan transpor harus dipertahankan kondisi fisiologi dasarnya sebagaimana perawatan di ICU. Pemantauan setidaknya meliputi pemantauan EKG dan saturasi kontinu, pengukuran tekanan darah, respirasi, serta nadi secara periodik
207
Gambar 26 Algoritme Transpor Penderita Intrahospital
Keterangan: garis putus-putus menunjukkan waktu untuk melakukan pengecekan ulang kondisi penderita dan alat-alat Sumber: Fanara dkk. 2010
Penderita yang sudah terintubasi harus mempunyai monitor bantuan napas. Pada penderita yang menggunakan ventilator harus disertai dengan alat monitor dan harus terpasang alarm untuk tanda peringatan bila aliran listrik terganggu atau tekanan udara yang berlebih Pemantauan Selama Transpor Interhospital Selama transportasi harus dilakukan pemantauan terhadap penderita dan alat-alat Pemantauan penderita: keadaan umum penderita, stabilitas hemodinamik, patensi jalan napas, ventilasi adekuat, oksigenasi yang sesuai Pemantauan alat-alat: fungsi alarm pada alat-alat pemantau dalam keadaan aktif, tampilan tanda vital penderita pada layar monitor terlihat jelas, apabila penderita terpasang alat-alat drainage (kateter urin, CTT, dll.) berfungsi dengan baik, dan akses i.v./i.o. adekuat Pemantauan hemodinamik berupa pengukuran intermiten tekanan darah, denyut jantung, respirasi, dan saturasi oksigen
208
Gambar 27 Algoritme Transportasi Antarfasilitas Sumber: Warren 2004
209
Evaluasi
Pencatatan transpor secara tertulis penting untuk pemantauan sistem dan perencanaan metode yang lebih baik di kemudian hari. Data yang dicatat antara lain: Data demografik Data klinis Data operasional untuk menilai penggunaan berbagai tipe peralatan dan personel dan mengevaluasi berbagai hal seperti lama perjalanan transfer (apakah penderita sampai di tempat rujukan sesuai jadwal yang direncanakan), personel yang perlu diikutkan dalam tim (seberapa sering dibutuhkan terapis pernapasan) Diagnosis awal, perjalanan klinis, dan diagnosis akhir
Langkah Transpor Penderita Sakit Kritis
Menilai kondisi klinis penderita, apakah penderita dalam keadaan stabil Pertimbangkan keuntungan dan kerugian serta risiko transpor bagi penderita Perhitungkan berapa lama waktu untuk mencapai tempat rujukan, sarana, dan fasilitas yang tersedia di tempat rujukan, serta kemampuan tenaga medis yang akan menangani penderita selanjutnya Menghubungi dan berkomunikasi dengan tempat tujuan transpor, khususnya dokter dan perawat yang akan menangani selanjutnya Informed consent keluarga penderita yang akan ditranspor Tentukan metode transpor yang akan dipilih, pertimbangkan kondisi klinis penderita, lama perjalanan, kondisi yang memengaruhi proses transpor, dan biaya transpor Mobilisasi tim medis yang akan terllibat dalam proses transpor, alat dan perlengkapan serta obat-obatan yang diperlukan Persiapan transpor terhadap penderita: pemberian sedasi dan restraints bila diperlukan Selama proses transpor harus mengikuti protokol yang sudah ditentukan, memantau keadaan penderita dan mencatatnya dalam status medis penderita serta berkomunikasi dengan tempat rujukan transpor Evaluasi dan nilai kembali kekurangan dan keberhasilan proses transpor yang sudah dilakukan
Kendaraan Transpor Penderita
Transpor penderita kritis memerlukan sistem transpor yang terkoordinasi dan setidaknya ada 1 tim yang selalu siap 24 jam/hr Target mobilisasi yaitu 15 mnt dari permintaan untuk mentranspor sampai keberangkatan dari rumah sakit Hal lain yang tetap harus diperhatikan: koordinasi dan komunikasi pretranspor, personil tenaga medis, peralatan medis, dan monitor
210
Bibliografi 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Australian College for Emergency medicine Policy Document. Minimum standards for intrahospital transport of critically ill patients. Emergency Medical. 2003;5:202–4. Bureau of Local Health Support and Emergency Medical Services. Interfacility transport guidelines. Wisconsin: Department of Health and Family Services; 2006. Fanara B, Manzon C, Barbot O, Desmettre T, Capellier G. Recommendations for the intra-hospital transport of critically ill patients. Crit Care Med. 2010;14:R87. Koppenberg J. Interhospital transport: transport of critically ill patients. Curr Opin Anesthesiol. 2002;15:211–5. Manitoba Health. Priority for patient transport. Emergency treatment guidelines. Manitoba: Manitoba Health; 2003. Warren J. Guidelines for the inter- and intrahospital transport of critically ill patients. Crit Care Med. 2004;32:256–62.
211
Endokrinologi R.M. Ryadi Fadil Novina Faisal
KRIPTORKISMUS (CRYPTORCHIDISM) Batasan
Gangguan penurunan satu atau kedua testis ke dalam skrotum secara lengkap
Klasifikasi
True undescended testis: testis mengalami penurunan parsial melalui jalur normal, tetapi terhenti sebelum masuk ke skrotum. Dibedakan menjadi teraba (palpable) dan tidak teraba (impalpable) Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur normal Testis inguinal: testis teraba pada lipat paha (retensi testis inguinalis) Gliding testis: testis berada di jalan masuk skrotum atau di atas skrotum dan dapat ditarik ke dalam skrotum tetapi segera kembali begitu tarikan dilepas Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke dasar skrotum tetapi akibat refleks kremaster yang berlebihan segera kembali ke kanalis inguinalis
Etiologi
Belum diketahui pasti Ditemukan pada kelainan yang melibatkan aksis hipotalamushipofisis-testis
Patofisiologi
Penurunan testis bergantung pada interaksi antara faktor hormonal dan mekanik (Tabel 60) Tabel 60 Faktor Hormonal dan Mekanik Faktor Hormonal
Faktor Mekanik
Gonadotropin, LH-FSH Testosteron Dihidrotestosteron Substansi yang menginhibisi saluran Muller
Gubernakulum Epididimis Tekanan abdominal
Pada bl ke-3 kehamilan testis berada di dalam fosa iliaka Pada bl ke-7 kehamilan testis berada di dalam kanalis inguinalis Pada bl ke-8 kehamilan testis menuju skrotum → pada saat lahir berada di dalam skrotum Keberadaan testis di dalam skrotum sangat penting untuk mempertahankan fungsi epididimis dan spermatogenesis, karena suhu skrotum 1,5–2 °C lebih rendah daripada suhu tubuh
215
Diagnosis
Anamnesis Testis tidak teraba atau pernah tampak/teraba di dalam skrotum (retraktil) Riwayat prematuritas, penggunaan obat-obatan saat ibu hamil, riwayat operasi inguinal Riwayat keluarga menderita kriptokismus, infertilitas, kelainan bawaan genetik, kematian neonatal, dan gangguan perkembangan mental Pemeriksaan Fisis Ada/tidaknya wajah dismorfik atau tanda-tanda sindrom (Kallman, Klinefelter, Prader Willi) Pemeriksaan testis: penderita telentang dengan posisi frog leg atau jongkok Testis tidak teraba di dalam skrotum uni/bilateral → mungkin teraba di intrakanalis inguinalis (72%), supraskrotal (20%), atau intraabdominal (8%) Agenesis Testis teraba → di jalur atau di luar penurunan normal Bila UDT bilateral disertai hipospadia dan undervirilisasi → pikirkan kemungkinan XX disorder of sex development Pemeriksaan Penunjang Apabila testis tidak teraba, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang untuk menentukan lokasi testis USG eksplorasi testis Laparoskopi eksplorasi testis CT-scanning Tes human chorionic gonadotropin (HCG)
Terapi
Hormonal (usia 6–12 bl) Human chorionic gonadotropin (HCG) i.m. selama 5 mgg Dosis (menurut International Health Foundation dan WHO) Usia <12 bl : 2 × 250 IU/mgg 1–6 th: 2 × 500 IU/mgg >6 th : 2 × 1.000 IU/mgg GnRH intranasal 3x 400 g (1,2 mg/hr) selama 4 mgg Operasi (orchiopexy) → di atas usia 1 th biasanya sebelum 2 th Tanpa terapi (testis retraktil) Bila ditemukan pada bayi baru lahir, tidak langsung diterapi, tetapi dievaluasi setiap 3 bl. Bila pada usia 6 bl belum ↓ → hormonal
Penyulit
Kesuburan ↓ Keganasan Torsi testis Hernia inguinalis Psikologik 216
Prognosis
Keberhasilan terapi bergantung pada Posisi testis sebelum terapi Usia pada saat mulai terapi
Bibliografi 1.
Carrillo AA, Damian M, Berkovitz G. Disorders of sexual differentiation. Dalam: Lifshitz F, penyunting. Pediatric endocrinology. Volume 2. Edisi ke-5. New York: Informa Healthcare; 2007. hlm. 385–6. 2. Docimo SG, Silver RI, Cromie W. The undescended testicle: diagnosis and management. Am Fam Physician. 2000;62(9): 2037–44. 3. Foresta C, Zuccarello B, Garolla A, Ferlin A. Role of hormones, genes, and environment in human cryptorchidism. Endoc Rev. 2008;29(5):560–80. 4. Gill B, Kogan S. Cryptorchidism: current concepts. Ped Clin Nor Am. 1997;44(5):1211–27. 5. Kolon TF, Patel RP, Huff DS. Cryptorchidism: diagnosis, treatment, and long-term prognosis. Urol Clin North Am. 2004;31(3):469–80. 6. La Vignera S, Calogera AE, Condorelli R, Marziani A, Cannizaro MA, Lanzafame F. Crytorchidism and its long-term complications. Eur Rev Med Phar. 2009;13:351–6. 7. La Vignera S, Calogero AE, Condorelli R, Marziani A, Cannizzaro MA, Lanzafame F, Vicari E. Cryptorchidism and its long term complications. Eur Rev Med Pharmacol Sci. 2009;13:351–6. 8. Mathers MJ, Sperling H, Rubben H, Roth S. The undescended testis: diagnosis, treatment and long-term consequences. Dtsch Arztebl Int. 2009;106(33):527–32. 9. Paduch DA, Schlegel PN. Male hypogonadism. Dalam: Sarafoglou K, Hoffmann GF, Roth KS, penyunting. Pediatric endocrinology and inborn errors of metabolism. Edisi ke-1. New York: McGraw Hill; 2009. hlm. 593–4. 10. Virtanen HE, Toppari J. Epidemiology and pathogenesis of cryptorchidism. Hum Reprod Update. 2008;14(1):49–58.
217
MIKROPENIS Batasan
Bentuk penis yang normal dengan ukuran sangat kecil (<−2,5 simpang baku ukuran normal berdasarkan usia) tanpa disertai kelainan diferensiasi seksual. Kelainan ini dapat merupakan kelainan tunggal (isolated) atau merupakan bagian dari penyakit lain atau sindrom tertentu
Etiologi
Defisiensi sekresi testosteron Hipogonadotropik hipogonadisme Isolated, termasuk sindrom Kallman Berhubungan dengan defisiensi hormon hipofisis lain Sindrom Prader Willi Sindrom Laurence-Moon Sindrom Bardet-Biedl Sindrom Rud Hipogonadisme primer Anorkia Sindrom Klinefelter dan poly-X Disgenesis gonad Defek reseptor LH (bentuk incomplete) Defek genetik steroidogenesis testosteron (bentuk incomplete) Sindrom Noonan Trisomi 21 Sindrom Robinow Sindrom Bardet-Biedl Sindrom Laurence-Moon Defek pada aksi testosteron Defisiensi growth hormone/insulin-like growth factor Defek reseptor androgen (bentuk incomplete) Defisiensi 5- reduktase (bentuk incomplete) Sindrom fetal hidantoin Anomali perkembangan Alphalia Cloacal exstrophy Idiopatik Berhubungan dengan malformasi kongenital
Patofisiologi
Pertumbuhan dan perkembangan penis terdiri atas 2 tahap: Tahap pertama (intrauterin) terdiri atas 2 fase Formative phase Linear growth phase → berlanjut ke kehidupan ekstrauterin Tahap kedua (ekstrauterin) Kedua tahap tersebut dipengaruhi testoteron. Pada usia gestasi 8 mgg, gonadotropin korionik dari plasenta ibu merangsang sel Leydig janin untuk memproduksi testosteron. Selanjutnya testosteron dikonversi menjadi dihidrotestosteron → penis berdiferensiasi dan skrotum mulai terbentuk. Proses ini selesai pada usia gestasi 12 mgg 218
Selama trimester kedua dan ketiga, produksi androgen janin dipengaruhi gonadotropin korionik hipofisis janin. Selama linear growth phase (gestasi 16–38 mgg) terjadi pemanjangan penis ±20 mm, sehingga mikropenis terjadi akibat abnormalitas aktivitas androgen sesudah usia gestasi 12 mgg. bila diberikan gonadotropin → produksi aksi dan aktivitas reseptor androgen → normal. Hal ini menunjukkan peran sentral (aksis hipotalamus-hipofisis) dalam kejadian mikropenis. Gangguan produksi, sekresi, dan kerja testosteron memengaruhi morfogenesis dan atau ukuran penis. Pada akhir formative phase panjang penis hanya ±3,5 mm, dengan pengaruh testosteron pada linear growth phase penis bertambah panjang 10× lipat sehingga pada bayi cukup bulan saat lahir panjangnya ±3,5 cm
Diagnosis
Anamnesis Riwayat keluarga: ada riwayat lahir mati atau hipospadia, kriptorkidismus, infertilitas, atau kelainan kongenital akibat kelainan genetik yang diturunkan Riwayat obstetri: berupa penurunan gerakan janin atau otot bayi yang lemas waktu dilahirkan (sindrom Prader Willi) Pemeriksaan Fisis Mencari dismorfik yang merupakan tanda sindrom malformasi Ukuran penis <2,5 SD ukuran normal menurut usia tanpa ditemukan kelainan diferensiasi seksual Ukuran penis yang dimaksud adalah stretched penile length (SPL), diukur dari titik basis pada tulang simfisis pubis sampai ke ujung glans penis dengan peregangan maksimal. Untuk menghindari misdiagnosis pada bayi dan anak, maka saat mencari titik basis penis harus dilakukan tekanan pada bantalan lemak suprapubis
Symphisis pubis
Gambar 28 Cara Mengukur Streched Penile Length (SPL) 219
Tabel 61 Ukuran Penis berdasarkan Usia Usia Gestasi 30 mgg Gestasi 34 mgg Cukup bl 0–5 bl 6–12 bl 1–2 th 2–3 th 3–4 th 4–5 th 5–6 th 6–7 th 7–8 th 8–9 th 9–10 th 10–11 th Dewasa
Rerata ± SB 2,5 ± 0,4 3,0 ± 0,4 3,5 ± 0,4 3,9 ± 0,8 4,3 ± 0,8 4,7 ± 0,8 5,1 ± 0,9 5,5 ± 0,9 5,7 ± 0,9 6,0 ± 1,0 6,1 ± 1,0 6,2 ± 1,0 6,3 ± 1,0 6,3 ± 1,0 6,4 ± 1,0 13,3 ± 1,6
Rerata − 2,5 SD 1,5 2,0 2,5 1,9 2,3 2,6 2,9 3,3 3,5 3,8 3,9 3,7 3,8 3,8 3,7 9,3
Pemeriksaan Penunjang
Hormonal: LH, FSH, testosteron, apabila dicurigai panhipopituitarisme Analisis kromosom: bila disertai kriptorkismus bilateral atau DSD Bone age: untuk menentukan waktu yang tepat memulai terapi dan menilai respons maturitas skeletal terhadap terapi
Terapi
Hormonal: Testosteron enanthate 25–50 mg i.m. setiap 3 mgg sebanyak 4× Harus dipantau respons yang terjadi sampai tercapai target ukuran penis normal, bila dosis berlebih terjadi pubertas prekoks Waktu terapi yang tepat → masa bayi dan prepubertas Bedah: Rekonstruktif dapat menjadi pilihan bila terapi hormonal tidak memuaskan. Pembedahan dapat dilakukan dengan beberapa teknik berdasarkan prinsip vascular pedicle free flap
Bibliografi 1.
2.
3.
Bin-Abbas B, Conte FA, Grumbach MM, Kaplan SL. Congenital hypogonadotropic hypogonadism and micropenis: effect of testosterone treatment on adult penile size. Why sex reversal is not indicated. J Pediatr. 1999;134:579–83. Carrillo AA, Damian M, Berkovitz G. Disorders of sexual differentiation. Dalam: Lifshitz F, penyunting. Pediatric endocrinology. Volume 2. Edisi ke-5. New York: Informa Healthcare; 2007. hlm. 383–4. Conte FA, Grumbach MM. Disorders of sexual determination and differentiation. Dalam: Gardner DG, Shoback D, penyunting. Greenspan’s Basic and clinical endocrinology. Edisi ke-8. USA: McGraw-Hill; 2007. hlm. 602–4. 220
4.
5. 6.
Elder JS. Anomalies of the penis and urethra. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders; 2007. hlm. 2253–9. Ogilvy-Stuart A, Midgley P. Practical neonatal endocrinology. New York: Cambridge University Press; 2006. Wiygul J, Palmer LS. Micropenis. Sci World J. 2011;11:1462–9.
221
PUBERTAS PREKOKS Batasan
Pubertas prekoks adalah tanda seks sekunder yang terjadi sebelum usia 8 th pada anak perempuan atau sebelum usia 9 th pada anak laki-laki
Klasifikasi
Pubertas prekoks sentral (gonadotropin-dependent precocious puberty) Terjadi aktivasi dini aksis hipotalamus-hipofisis-gonad akibat abnormalitas SSP yang mengganggu keseimbangan antara faktor inhibisi dan stimulasi mengendalikan awitan pubertas, serta perkembangan pubertas Pubertas prekoks perifer (gonadotropin-independent precocious puberty) Stimulasi hormon steroid seks dan tidak dipengaruhi gonadotropin hipofisis. Hormon seks steroid endogen berasal dari gonad atau ekstragonad atau eksogen (obat-obatan)
Etiologi
Pubertas prekoks sentral (GnRH-dependent precocious puberty) Idiopatik (sporadik atau familial) Abnormalitas SSP Didapat (abses, kemoterapi, granuloma, inflamasi, radiasi, bedah, trauma) Kelainan kongenital (kista araknoid, hidrosefalus, hamartoma hipofisis, mielomeningokel, displasia septooptik, kista supraselar Tumor Adenoma yang menyekresi LH, astrositoma, kraniofaringioma, ependimoma, glioma, glioma optik yang berkaitan dengan neurofibromatosis atau sklerosis tuberosa Sekunder akibat paparan kronik steroid seks (penyebab perifer: tumor) Bentuk yang reversibel: lesi desak ruang (abses, hidrosefalus) Pubertas prekoks perifer (GnRH-independent precocious puberty) Kelainan genetik (mutasi) Hiperplasia adrenal kongenital pada laki-laki Gondadotropin-independent puberty LH receptor-activating mutations Mutasi gen DAX1 Sindrom McCune-Albright Tumor Tumor adrenal yang menyekresi steroid seks (adenoma, karsinoma, resisten glukokortikoid secara umum) Tumor yang memproduksi gonadotropin (koriokarsinoma, korioepiteloma, disgerminoma hepatoblastoma, hepatoma, teratoma)
222
Tumor ovarium (karsinoma, kistadenoma, gonadoblastoma, sel granulosa, berhubungan dengan Peutz jeghers, lipoid, sel teka) Testikuler (sel Leydig) Bentuk yang jarang atau yang reversibel Hipotiroid primer kronik Sumber steroid seks eksogen (iatrogenik) Kista ovarium
Diagnosis
Anamnesis Pola pertumbuhan sejak lahir Usia awitan tanda seks sekunder muncul dan progresivitasnya Riwayat penyakit dahulu, kelainan SSP, dan riwayat penyakit keluarga Riwayat pubertas anggota keluarga yang lain Riwayat paparan terhadap hormon eksogen Pemeriksaan Fisis Antropometri: tinggi badan (TB), berat badan (BB), rasio segmen atas/bawah tubuh Status pubertas menurut skala Tanner Pemeriksaan fisis lengkap Genitalia: Pada anak perempuan → sekresi mukosa bening dan visualisasi mukosa vagina untuk menilai efek estrogen. Mukosa yang tampak merah mengilap sesuai dengan mukosa yang tidak distimulasi oleh estrogen, sedangkan mukosa yang berwarna merah muda dilapisi oleh lendir menunjukkan pengaruh estrogen Pada anak laki-laki menunjukkan pubertas prekoks perifer. Testis ukuran pubertal menunjukkan stimulasi gonadotropin sesuai dengan pubertas prekoks sentral Pemeriksaan Penunjang FSH, LH, estradiol atau testosteron Bone age USG genitalia interna MRI kepala
Terapi
Terapi pubertas prekoks sentral (gonadotropin-dependent precocious puberty) Pemberian GnRH/depot leuprorelin asetat, dosis inisial 100 μg/kgBB/bl i.m./s.k. dilanjutkan rumatan 80–100 μg/kgBB/bl Terapi pubertas prekoks perifer (gonadotropin-independent precocious puberty) Medroksi progesteron asetat (MPA) dosis 100 mg/m2/hr p.o. atau 200–300 mg i.m. setiap 15 hr atau 100–200 mg i.m. setiap mgg 223
Siproteron asetat 70–150 mg/m2/hr atau 100–200 mg/m2 i.m. setiap 14 dan 28 hr Ketokonazol 30 μg/kg/hr p.o. Testolakton 20–40 mL/kg/hr
PUBERTAS TERLAMBAT Batasan
Pubertas terlambat adalah keadaan tanda seks sekunder belum muncul pada anak perempuan usia 13 th dan pada laki-laki usia 14 th
Klasifikasi
Constitutional delay of growth and puberty Hipogonad hipogonadotropik Penyakit SSP Tumor Penyakit didapat lainnya Penyakit kongenital Defisiensi gonadotropin tersendiri Defisiensi hormon hipofisis multipel (panhipopituitarisme) Penyakit lain-lain Sindrom Prader-Willi Sindrom Laurence-Moon-Biedl Penyakit kronik Anoreksia nervosa Aktivitas fisik yang meningkat pada atlet perempuan Hipotiroid Hipogonad hipergonadotropik Sindrom Klinefelter Bentuk lain kegagalan testis primer Anorkia atau kriptorkidisme Sindrom Turner Bentuk lain kegagalan ovarium primer Sindrom pseudo-Turner Disgenesis gonad XX-XY
Diagnosis
Anamnesis Riwayat pertumbuhan dan perkembangan sejak lahir Riwayat penyakit dahulu, kelainan SSP, dan riwayat penyakit keluarga Riwayat pubertas anggota keluarga yang lain Riwayat yang sesuai dengan sindrom tertentu misalnya kemampuan indera penciuman, dll. Pemeriksaan Fisis Antropometri (TB, BB, rasio segmen atas/bawah tubuh) Tingkat maturasi kelamin menurut Tanner 224
Pemeriksaan fisis lengkap termasuk kemungkinan sindrom tertentu Pemeriksaan Penunjang FSH, LH, estradiol, atau testosteron Umur tulang USG genitalia interna MRI kepala Analisis kromosom
Terapi
CDGP tidak memerlukan terapi Laki-laki testosteron enanthate 50–100 mg i.m. tiap 3–4 mgg selama 3–12 bl Perempuan etinil estradiol 0,5 mg i.m. atau 5 μg/hr p.o.
Bibliografi 1.
Dattani MT, Tziaferi V, Hindmarsh PC. Evaluation of disordered puberty. Dalam: Brook C, Clayton P, Rosalind B, penyunting. Brook’s clinical pediatric endocrinology. Edisi ke-6. Singapore: Wiley Blackwell; 2009. hlm. 213–38. 2. Hughes IA. The testes: disorders of sexual differentiation and puberty in the male. Dalam: Sperling M, penyunting. Pediatric endocrinology. Edisi ke-3. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008. hlm. 662–85. 3. Lee PA, Houk CP. Puberty and its disorders. Dalam: Lifshitz F, penyunting. Pediatric endocrinology. Volume 2. Edisi ke-5. New York: Informa Healthcare; 2007. hlm. 273–303. 4. Marcell VA. Adolescence. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke18. Philadelphia: WB Saunders; 2007. hlm. 60–5. 5. Nakamoto JM, Franklin SL, Geffner ME. Puberty. Dalam: Kappy MS, Allen DB, Geffner ME, penyunting. Pediatric practice endocrinology. McGraw Hill. 2010. hlm. 257–98. 6. Parent AS, Teilman G, Juul A, Skakkebaek NE, Toppari J, Bourguignon JP. The timing of normal puberty and the age. End Rev. 2003;24:668–93. 7. Pescovitz OHLM. Valvoord EC. When puberty is precocious, scientific and clinical aspects. New Jersey: Humana Press; 2007. 8. Rosenfield RL, Cooke DW, Radovick S. Puberty and its disorders in the female. Dalam: Sperling M, penyunting. Pediatric endocrinology. Edisi ke-3. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008. hlm. 530–609. 9. Styne D. Puberty. Dalam: Gardner DG, Shoback D, penyunting. Greenspan’s basic and clinical endocrinology. Edisi ke-8. USA: McGraw-Hill; 2007. hlm. 611–40. 10. Styne DM, Grumbach MM. Puberty: ontogeny, neuroendocrinology, physiology, and disorders. Dalam: Melmed S, Polonsky KS, Larsen PR, Kronenberg HM, penyunting. Williams textbook of endocrinology. Edisi ke-12. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 1054–201. 225
HIPOTIROID Batasan
Keadaan akibat jumlah hormon tiroid yang tidak adekuat dalam memenuhi kebutuhan seluruh jaringan tubuh. Keadaan ini dapat terjadi sejak dalam kandungan, masa bayi, anak, remaja, dewasa, sampai usia lanjut
Klasifikasi
Menurut lokasi abnormalitas Primer: kelainan di kelenjar tiroid Sekunder: kelainan di hipofisis Tersier: kelainan di hipotalamus Menurut waktu kejadian Kongenital Didapat Menurut lama kejadian Transien/sementara Menetap/seumur hidup Menurut geografis Endemis Sporadis
Etiologi
Hipotiroid kongenital menetap Primer Disgenesis kelenjar tiroid: aplasia, hipoplasia Ektopik Kelainan biosintesis hormon tiroid (dishormonogenesis) Iatrogenik: bayi lahir dari ibu yang mendapat pengobatan iodium radioaktif Sekunder Kelainan bawaan perkembangan otak tengah Displasia sefalooptik Aplasia hipofisis Defisiensi thyroid stimulating hormon (TSH) yang dapat disertai defisiensi growth hormon (GH) atau adenocorticotropic hormone (ACTH) Resistensi jaringan terhadap hormon tiroid Tersier Aplasia hipotalamus, defisiensi TRH Hipotiroid kongenital transien/sementara Ibu yang mengonsumsi makanan/obat goitrogenik (komponen tersebut akan melalui plasenta dan memengaruhi sintesis hormon tiroid bayi Ibu yang mempunyai antibodi antitiroid sehingga melalui barier plasenta
226
Ibu defisiensi iodium endemis Paparan iodium/antiseptik berlebih pada tali pusat bayi baru lahir Idiopatik Hipotiroid didapat Defisiensi iodium endemis Penyakit tiroid autoimun Sensitivitas jaringan terhadap hormon tiroid ↓ Obat goitrogen (misal: propiltiourasil, metimazol, minosiklin, dll.) Sesudah tiroidektomi atau radiasi Penyakit sistemik: gangguan ginjal, sistinosis Defisiensi TSH
Patofisiologi
Hipotiroid kongenital Kekurangan hormon tiroid terjadi pada masa perkembangan otak → hambatan proses tumbuh kembang → retardasi mental Hipotiroid didapat Biasanya terjadi kekurangan hormon tiroid sesudah masa kritis perkembangan otak → gangguan fungsi mental ringan atau normal dan yang menonjol gangguan pertumbuhan fisik (perawakan pendek patologis)
Gejala Klinis
Gejala dan tanda klinis hipotiroid kongenital pada bayi baru lahir bergantung pada etiologi, usia kehamilan, derajat penyakit, dan lama kondisi hipotiroid. Hanya <5% bayi yang gejala klinis hipotiroid Gejala klinis: Ikterus lama Letargi Konstipasi Feeding problem Tubuh teraba dingin
Tanda klinis: Skin mottling Hernia umbilikalis Wajah khas (pseudohipertelorism) Ikterus Makroglosia Fontanel dan sutura melebar Abdomen membuncit Hipotonia, kulit kering/cutis marmorata Refleks lambat Goiter
Gejala dan tanda klinis hipotiroid didapat Selain gejala klasik terdapat gejala lain yang menonjol: Hambatan pertumbuhan Umur tulang terlambat Pseudodistrofi otot Gangguan maturasi kelamin: Pubertas terlambat atau Pubertas prekoks
227
Diagnosis
Gejala dan tanda klinis hipotiroid Pemeriksaan pertumbuhan dan perkembangan Radiologi: pemeriksaan umur tulang. Pada hipotiroid kongenital → femur bagian distal dan tibia bagian proksimal USG kelenjar tiroid Sidik tiroid Laboratorium penunjang Hipotiroid primer: T3 dan T4 bebas ↓ dan TSH ↑ Hipotiroid karena kelainan di hipofisis/hipotalamus: T3, T4 bebas, dan TSH ↓ Hipotiroid karena resistensi jaringan terhadap hormon tiroid: T3, T4, dan TSH normal Thyroid binding globulin (TBG) ↓ Antibodi antitiroid (bila ada riwayat tiroiditis pada ibu) → hasil (+) Skrining Hipotiroid Kongenital: Mengingat gejala klinis hipotiroid kongenital tidak jelas pada awal kelahiran, maka seluruh bayi yang lahir harus dilakukan skrining hipotiroid dengan memeriksa TSH menggunakan kertas saring dengan sediaan darah dari tumit pada hr ke-3–5 kelahiran Bila pemeriksaan tersebut tidak memungkinkan seperti di daerah dengan fasilitas terbatas, maka skrining hipotiroid kongenital dilakukan secara klinis dengan menggunakan skoring Quebec (Tabel 62) Tabel 62 Skoring Hipotiroid Kongenital Tanda/Gejala
Nilai
Feeding problem Konstipasi Hipoaktif Hipotonia Hernia umbilikalis Lidah membesar Skin mottling Kulit kering Ubun-ubun besar masih terbuka Muka khas
1 1 1 1 1 1 1 1,5 1,5 3
Jumlah
13
Bayi baru lahir normal mempunyai nilai <3, sedangkan bila nilai >4 harus dilanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium. Algoritme untuk interpretasi pada bayi yang didapatkan hasil (+) pada skrining hipotiroid adalah sebagai berikut:
228
229 Gambar 29 Algoritme Hipotiroid
Dimodifikasi dari Ogilvy-Stuart dan Midgley 2006
Penyulit
Hipotiroid kongenital harus diobati sedini-dininya, bila tidak segera diobati atau dosis obat tidak adekuat → retardasi mental, gangguan kognitif dan motorik, kadang disertai gangguan koordinasi, diplegia spastik, strabismus, dan ataksia Hipotiroid didapat → hambatan pertumbuhan dan perkembangan fisik termasuk maturitas seksual
Konsultasi
Psikologi (tes perkembangan/IQ terutama sebelum usia sekolah)
Terapi
Hormon tiroid diberikan untuk replacement hormon dengan Na L-tiroksin sedini-dininya, dengan target normalisasi T4 dalam 2 mgg dan TSH dalam 1 bl. Kadar fT4 diusahakan pada nilai pertengahan atas rentang normal dan TSH dipertahankan <10 µg/mL Pada kasus hipotiroid kongenital terapi harus dimulai segera sesudah diagnosis ditegakkan (usia 3 mgg) untuk mencegah retardasi mental Tabel 63 Dosis Penggantian Na L-tiroksin pada Bayi dan Anak Usia
Dosis/Hari (g)
Dosis/kgBB/Hari (g)
0–3 bl 3–6 bl 6–12 bl 1–3 th 3–10 th 10–15 th
25–50 50–75 50–75 75–100 100–150 100–200
10–15 8–10 6–8 4-6 3–4 2–3
Sumber: Huang 2010
Pemantauan
Dosis terapi hipotiroid berbeda untuk setiap individu Penyesuaian dosis tiroksin berdasarkan respons klinis serta hasil pemeriksaan fT4 dan TSH Jadwal pemantauan: Pada 2 dan 4 mgg sesudah mulai terapi Na-L-T4 Setiap 1–2 bl sekali pada usia 6 bl pertama Setiap 3 bl sekali pada usia 6 bl–3 th Setiap 6–12 bl sekali pada usia 3 th sampai dengan selesai masa pertumbuhan Pemantauan harus lebih sering (1 bl/kali) untuk penderita kurang kepatuhan atau hasil fT4/TSH abnormal atau perubahan dosis obat Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan, umur tulang tiap th, serta pemantauan pubertas Pada usia prasekolah dilakukan tes IQ 230
Prognosis
Bila terapi dilakukan pada usia <1 bl → IQ >90 pada usia 3 atau 4 th Bila pada usia <3 bl → IQ ≥85 Bila tidak diterapi/1 bl keterlambatan → akan kehilangan 1 point IQ
Bibliografi 1.
2. 3.
4. 5. 6. 7. 8. 9.
American Academy of Pediatrics, American Thyroid Association, Lawson Wilkins Pediatric Endocrine Society. Update of newborn screening and therapy for congenital hypothyroidism. Pediatrics. 2006;117:2290–303. Brown RS. The thyroid. Dalam Brook CGD, Clayton PE, Brown RS, penyunting. Brook’s clinical pediatric endocrinology. Edisi ke-6. UK: Wiley-Blackwell; 2009. hlm. 250–82. Fisher DA, Greuters A.. Disorders of the thyroid in the newborn and infant. Dalam: Sperling MA, penyunting. Pediatric endocrinology. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders; 2008. hlm. 198–226. Fisher DA. Disorders of the thyroid in childhood and adolecents. Dalam: Sperling MA, penyunting. Pediatric endocrinology. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders; 2008. hlm. 227–53. Huang SA. Hypothyroidism. Dalam: Lifshitz F. Pediatric endocrinology. Volume 2. Edisi ke-5. New York: Informa Health Care; 2007. hlm. 405–11. Huang SA. Thyroid. Dalam: Kappy MS, Allen DB, Geffner ME, penyunting. Pediatric practice endocrinology. New York: McGraw-Hill; 2010. hlm. 107–30. Ogilvy-Stuart A, Midgley P. Practical neonatal endocrinology. Cambridge: Cambridge University Press; 2006. Peter F, Muzsnai A. Congenital disorder of the thyroid: hypo/hyper. Pediatr Clin N Am. 2011;58:1099–115. Raine JE. Thyroid disorder. Dalam: Raine JE, Donaldson MDC, Gregory JW, Savage MO, Hintz RL, penyunting. Practical endocrinology and diabetes in children. Edisi ke-2. Massachusetts: Blackwell Publishing; 2006. hlm. 91–107.
231
HIPERTIROID Batasan
Keadaan klinis akibat peningkatan produksi hormon tiroid
Klasifikasi Penyakit Grave Penyakit Grave anak Penyakit Grave neonatus
Etiologi
Penyakit Grave Penyakit Grave neonatus Tiroiditis Iodine induce hyperthyroid Sindrom McCune Albright Neoplasma tiroid Hipersekresi TSH Hipertiroid pada anak dan remaja terutama disebabkan oleh penyakit Grave, penyakit ini lebih sering diderita anak perempuan. Kejadiannya ↑ dengan bertambah usia dan ditandai dengan hipertiroid, goiter, optalmopati, dan dermatopati
Patofisiologi
Antibodi antitiroid termasuk antibodi terhadap reseptor TSH pada sel folikel tiromegali)
Kriteria Diagnosis
Anamnesis Emosi labil, mudah lelah, cemas, intoleransi terhadap panas, penurunan performa di sekolah, otot lemah, tremor, mudah berkeringat, nafsu makan ↑ tetapi BB ↓, buang air besar sering, menstruasi tidak teratur atau amenore, dan ada riwayat keluarga Pemeriksaan Fisis Gelisah, emosi labil, banyak keringat, wajah kemerahan (flushing), tremor Gangguan kardiovaskular: takikardia, palpitasi, tekanan darah tinggi, bising sistol di apeks Optalmopati: proptosis, mata merah, lid-lag, dan lid retraction Pembesaran kelenjar tiroid: goiter difus, simetris tidak nyeri, ada thyroid bruit Refleks tendon ↑ Anak tampak tinggi, sering mengalami keterlambatan pubertas Laboratorium T3 dan T4 ↑ (peningkatan T3 lebih bermakna dibandingkan dengan T4) 232
TSH ↓, TSH receptor autoantibodies (TRAb) ↑ EKG: right axis deviations, takikardia Radiologi: umur tulang lebih dari usia kronologis Pemeriksaan Penunjang Kadar T3 dan T4 total/bebas, TSH Antibodi antitiroid (atas indikasi) EKG Foto Rontgen toraks, foto umur tulang Sidik tiroid USG tiroid MRI tiroid Biopsi
Penyulit
Krisis tiroid
Terapi
Mengembalikan kadar hormon tiroid menjadi normal Obat antitiroid Radioaktif (iodium 131) Operasi mengangkat kelenjar tiroid (tiroidektomi subtotal) Umum Sebaiknya dirawat untuk menegakkan diagnosis, pemeriksaan penunjang, menentukan derajat penyakit, dan memberikan pengertian kepada penderita/orangtuanya mengenai penyakitnya yang bersifat kronik Khusus Obat antitiroid Propiltisourasil (PTU): 5–10 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis (maks. 300 mg/hr) Metimazol (MMI) atau karbimazol (CBI), 0,25–1 mg/kgBB/hr dibagi 2–3 dosis (maks. 40 mg/hr) Dosis rumatan ½ dosis terapeutik → bila kadar T3, T4, dan TSH normal stabil Terapi dilanjutkan sampai 1–2 th sesudah remisi (biasanya 2–3 th) Jika terjadi toksik atau takikardia hebat → propanolol 0,5–2 mg/kgBB/hr, maks. 80 mg/hr dibagi dalam 3–4 dosis (kontraindikasi: asma bronkial dan blokade jantung) Digitalis apabila terjadi gagal jantung Indikator remisi Kelenjar tiroid mengecil T3, T4, dan TSH normal Iodium 131 (sebaiknya dihindarkan pada anak) Tiroidektomi dilakukan apabila Gagal dengan terapi antitiroid Terjadi toksisitas dari obat antitiroid Ketidakpatuhan pengobatan Kebutuhan nutrisi ditingkatkan 233
Pemantauan T3,T4, dan TSH Refleksogram setiap 1, 3, dan 6 bl Umur tulang Efek samping obat terutama agranulositosis, neutropenia, hepatotoksik terutama pemakaian PTU
PENYAKIT GRAVE NEONATUS Batasan
Penyakit Grave pada neonatus
Etiologi
Transfer transplasenta antibodi dari ibu yang menderita penyakit Grave
Patofisiologi
Antibodi dari ibu melalui plasenta → gangguan pada tiroid fetus → hipersekresi hormon tiroid bayi
Diagnosis
Anamnesis Bayi kurang bulan atau IUGR Gejala timbul beberapa jam/hr sesudah lahir (2–10 hr) Klinis Intrauterin Takikardia (>160×/mnt) Irritable, tremor, hiperaktif Flushing Banyak minum Gangguan saluran cerna (muntah, diare) Gangguan kardiovaskular (takikardia, aritmia, gagal jantung) Tiromegali → sufokasi (hambatan untuk bernapas) Hepatosplenomegali (dapat disertai ikterus) Kraniosinostosis Optalmopati Laboratorium T3 dan T4 ↑ TSH ↓ Hipoprotrombinemia Antibodi antitiroid ibu (+) (intrauterin) Pemeriksaan Penunjang T3, T4, dan TSH Antibodi antitiroid ibu 234
Penyulit
Krisis tiroid
Terapi
Intrauterin PTU pada ibu sehingga bunyi jantung anak <160×/mnt Bayi Lugol, 3×1 tetes Antitiroid PTU: 5–10 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis Metimazol: 0,5–1 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis Propanolol: 1–2 mg/kgBB/hr dibagi 4 dosis (bila takikardia) Bila terjadi gagal jantung → digitalis dan diuretik Terapi dihentikan sesudah 3–6 bl
Bibliografi 1. 2. 3. 4.
5. 6.
Brown RS. The thyroid. Dalam: Brook CGD, Clayton PE, Brown RS, penyunting. Brook’s clinical pediatric endocrinology. Edisi ke-6. UK: Wiley-Blackwell; 2009. hlm. 250–82. Cooper DS. Antithyroid drugs. N Engl J Med. 2005;352:905–17. Dallas JS, Folley TP. Hyperhyroidism. Dalam: Lifshitz F, penyunting. Pediatric endocrinology. Volume 2. Edisi ke-5. New York: Informa Health Care; 2007. hlm. 415–42. Fisher DA, Greuters A. Disorders of the thyroid in the newborn and infant. Dalam: Sperling MA, penyunting. Pediatric endocrinology. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders; 2008. hlm. 198–226. Fisher DA. Disorders of the thyroid in childhood and adolecents. Dalam: Sperling MA, penyunting. Pediatric endocrinology. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders; 2008. hlm. 227–53. Raine JE. Thyroid disorder. Dalam: Raine JE, Donaldson MDC, Gregory JW, Savage MO, Hintz RL, penyunting. Practical endocrinology and diabetes in children. Edisi ke-2. Massachusetts: Blackwell Publishing; 2006. hlm. 91–107.
235
PERAWAKAN PENDEK AKIBAT GANGGUAN ENDOKRIN Batasan
Terdapat beberapa batasan perawakan pendek, antara lain: TB<2 simpang baku (−2 SD) atau di bawah persentil ke-3 pada kurva TB anak yang berlaku di masyarakatnya TB secara bermakna kurang (<−2 SD) dari potensi tinggi genetik Laju pertumbuhan <5 cm/th, mulai usia 3 th s.d. pubertas Garis pertumbuhan turun memotong kanal persentil pertumbuhan sesudah usia 18 bl
Klasifikasi
Variasi normal Familial short stature Constitutional growth delay Patologis Disproporsional Proporsional
Etiologi
Klasifikasi perawakan pendek berdasarkan etiologi: Genetic familial short stature Constitutional growth delay Gangguan endokrin Defisiensi hormon pertumbuhan Hipotiroidisme Penyakit Cushing dan sindrom Cushing Pubertas prekoks Diabetes melitus Pseudohipoparatiroidisme Rickets Hiperplasia adrenal kongenital Intrauterine growth retardation (bayi KMK) Inborn error of metabolism Penyakit tulang intrinsik Perawakan pendek yang berhubungan dengan kelainan kromosom (sindrom Turner, Down) Penyakit sistemik kronik Kelainan kongenital Psychosocial short stature (deprivation dwarfism)
Patofisiologi
Pertumbuhan merupakan hasil interaksi kompleks antara faktor genetik, faktor lingkungan; pengaruh nutrisi, ras, cuaca dan iklim, penyakit, stres psikososial, sosioekonomi, dan tren sekular
236
Diagnosis
Anamnesis Riwayat keluarga: TB ayah dan ibu Pubertas orangtua Riwayat keluarga dengan perawakan pendek Status sosioekonomi Status psikososial Riwayat kehamilan dan persalinan: Penyakit ibu Malnutrisi Pajanan toksin Berat lahir dan panjang lahir Usia gestasi Trauma lahir Petunjuk ke arah etiologi: hipoglikemia, ikterus lama, mikropenis, hipotonia Riwayat penderita: Riwayat perkembangan fisik dan mental termasuk pubertas Riwayat penyakit kronik Masukan gizi/nutrisi Pemeriksaan Fisis Pengukuran TB dan BB dipetakan dalam kurva pertumbuhan untuk menentukan status gizi TB anak sesuai potensi tinggi genetik Rumus Potensi Tinggi Genetik (TB ibu + 13) + TB ayah ±K 2 (TB ayah − 13) + TB ibu Anak perempuan = ±K 2 Anak laki- laki =
K = 8,5
Pengukuran arm span, lingkar kepala, rasio segmen atas dan bawah tubuh, tinggi duduk Neurologis untuk lesi kranial (untuk kemungkinan tumor otak) Keadaan dismorfik dan gambaran klinis penyakit kronik tertentu Genitalia dan penilaian maturasi seksual Pemeriksaan Penunjang Darah Rutin Kimia (atas indikasi) Elektrolit (atas indikasi) Fungsi ginjal dan hepar TSH, fT4 237
GH, IGF-1, dan IGF BP-3 FSH dan LH (bila menduga sindrom Turner) Urin Rutin Elektrolit (atas indikasi) Feses Rutin Parasit Sisa pencernaan, bila menduga malabsorpsi Umur tulang MRI kepala Tes intelegensia Kariotipe kromosom (bila menduga bagian dari suatu sindrom)
238
239 Gambar 30 Algoritme Diagnosis Perawakan Pendek Dimodifikasi dari Nicol dkk. 2010
Terapi
Diberikan sesuai dengan etiologi perawakan pendek, misalnya: Masukan gizi buruk → perbaikan masukan gizi Kelainan psikososial → konsul psikolog Penyakit kronik → pengobatan penyakit utamanya Kelainan endokrin seperti DM, hipotiroid, hiperplasia adrenal kongenital (HAK) Terapi hormon pertumbuhan (growth hormone) diindikasikan pada: Defisiensi hormon pertumbuhan Retardasi pertumbuhan yang disebabkan gagal ginjal kronik Sindrom Turner Sindrom Prader-Willi Sindrom Noonan Anak yang dilahirkan kecil masa kehamilan (KMK) yang tidak mengalami pacu tumbuh sehingga tidak mencapai tinggi normal pada usia 4 th SHOX gene haploinsufficiency Perawakan pendek idiopatik Dosis 0,2–0,3 mg/kgBB/mgg dibagi menjadi 6× pemberian, 1×/hr s.k.
Bibliografi 1.
2.
3. 4.
5. 6.
Kappy MS, Steelman JW, Travers SH, Zeitler PS. Endocrine disorders. Dalam: Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM, penyunting. Edisi ke-15. Current pediatric diagnosis & treatment. London: McGraw-Hill; 2003. hlm. 937–77. Nicol LE, Allen DB, Czernichow P, Zeitler P. Normal growth and growth disorder. Dalam: Kappy MS, Allen DB, Geffner ME, penyunting. Pediatric practice endocrinology. New York: McGraw-Hill; 2010. hlm. 23–76. Pik-Shun C. Management of childhood short stature. HKMD. 2006;73:67–71. Richmond E, Rogol AD. Current indications for growth hormone therapy. Dalam: Hindmarsh PC, penyunting. Current indications for growth hormone therapy. Edisi ke-2. London: Karger; 2010. hlm. 92–105. Spolberg PFC. Update in growth hormone therapy of children. J Clin Endocrinol Metab. 2011;96(3):573–9. Wales JK. Evaluation of growth disorder. Dalam: Brook CGD, Clayton PE, Brown RS, penyunting. Brook’s clinical pediatric endocrinology. Edisi ke-6. UK: Wiley-Blackwell; 2009. hlm. 124–48.
240
Tinggi Badan/Usia, Persentil: Laki-laki, 2–20 Tahun
Usia (Tahun)
241
Tinggi Badan/Usia, Persentil: Perempuan, 2–20 Tahun
Usia (Tahun)
242
Berat Badan/Tinggi Badan: Laki-Laki
Tinggi Badan
243
Berat Badan/Tinggi Badan: Perempuan
Tinggi Badan
244
Body Mass Index (BMI)/Usia Laki-laki, 2–20 Tahun
Usia (Tahun)
245
Body Mass Index (BMI)/Usia Perempuan, 2–20 Tahun
Usia (Tahun)
246
DIABETES MELITUS (DM) Batasan
Kumpulan gejala klinis akibat gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang ditandai hiperglikemia kronik sebagai akibat berkurangnya sekresi insulin dan atau penurunan daya kerja insulin, atau kedua-duanya
Klasifikasi
Berdasarkan modifikasi American Diabetes Assosiation dan WHO Berdasarkan etiologi DM tipe I (DM tergantung insulin = DMTI) Destruksi sel Autoimun Idiopatik DM tipe II (DM tidak bergantung pada insulin) Antara resisten insulin predominan dengan defisiensi relatif insulin sampai defek sekresi predominan dengan atau tanpa resisten insulin DM tipe lain Monogenik defek genetik fungsi sel Mitochondrial diabetes Defek genetik kerja insulin Penyakit kelenjar eksokrin pankreas Endokrinopati Keracunan obat dan kimia Infeksi Immune mediated diabetes Sindrom genetik lain Gestational DM
DIABETES MELITUS TIPE 1 Batasan
Sebagian besar DM pada anak termasuk DMT1. DMT1 merupakan penyakit autoimun kronik yang terutama menyerang anak dan remaja. T-cells mediated berperan pada kerusakan sel pankreas → produksi insulin
Etiologi
Faktor genetik: kerentanan terhadap DM tipe I ditentukan oleh interaksi banyak gen terutama gen HLA Faktor lingkungan: virus/bahan kimia/racun lingkungan
Patofisologi
DMT1 umumnya akibat proses autoimun yang menyebabkan destruksi sel pankreas. Proses ini dipresipitasi oleh faktor 247
lingkungan (bahan kimia atau infeksi virus), dan terjadi pada individu yang rentan terhadap DMT1 (mempunyai kelemahan genetik). Gejala klinis akibat defisiensi insulin mulai tampak jika kerusakan sel pankreas mencapai >80%. Jangka waktu dari mulai terjadinya destruksi sel sampai timbul manifestasi klinis bervariasi dari beberapa bl sampai th
Diagnosis
Diagnosis DMT1 dapat ditegakkan apabila memenuhi kriteria sbb.: Anamnesis Badan lemas dan lesu, keluhan sering kencing (ngompol), makan banyak tetapi badan makin kurus, air kencing dikerubungi semut Pemeriksaan Fisis Hambatan pertumbuhan TB dan BB diplot pada kurva pertumbuhan Gangguan maturitas kelamin pada anak yang menginjak remaja Tanda dehidrasi dan asidosis metabolik (pada ketoasidosis diabetik/KAD) Tanda infeksi, penyakit autoimun lainnya, atau sindrom genetik dapat ditemukan Laboratorium Darah Gula darah (GD) GD puasa (GDP) >126 mg/dL (7,0 mmol/L) dan atau GD sewaktu (GDS) >200 mg/dL (11,1 mmol/L). Pada penderita yang asimtomatik biasanya selain GDS >200 mg/dL didapatkan GDP >normal dengan uji toleransi glukosa yang terganggu pada >1× pemeriksaan HBA1C ↑ C-peptida ↓ Autoantibodi Islet cell antibodies (ICA) Insulin autoantibodies (IAA) Glutamic acid decarboxylase (GAD) Urin Reduksi (+) Ketonuria (pada KAD) Mikroalbuminuria (pada penyulit ginjal) Pemeriksaan Penunjang USG pankreas (klasifikasi)
Penyulit
Akut Hipoglikemia, KAD Subakut Lipoatrofi dan lipohipertrofi (efek samping suntikan s.k.) Kelainan tulang dan sendi Manifestasi pertama limitted joint mobility (sendi interfalang 248
kaku terutama jari ke-5 sebagai akibat penebalan kulit) yang mempunyai korelasi dengan risiko terjadinya gangguan mikrovaskular Pertumbuhan terhambat Maturasi seksual terlambat Kemampuan intelektual ↓ Katarak Resistensi terhadap insulin Kronik Neuropati, nefropati, retinopati, dan kardiomiopati
Konsultasi
Bagian Gizi Bagian Mata Psikologi Bagian Ortopedi
Terapi
Umum Melakukan kontrol diabetik yang baik agar penderita dapat mencapai tumbuh kembang optimal, baik secara fisik maupun mental, dan menghambat penyulit jangka pendek/panjang. Dilakukan oleh satu tim (dokter spesialis anak, edukator diabetes, ahli gizi, psikolog, dan perawat) Khusus Insulin Penderita baru sebaiknya dirawat 7–10 hr untuk penyesuaian dosis insulin terhadap GD dan masukan nutrisi. Umumnya untuk tahap awal memakai preparat insulin kerja pendek (seperti regular insulin/RI) atau insulin kerja cepat dengan dosis berkisar 0,5–1 IU/kgBB/hr, dimulai dengan dosis terendah dan diberikan 3–4×/hr Bila menggunakan: Insulin kerja pendek, disuntikkan 30 mnt sebelum makan Insulin kerja cepat dapat langsung makan GD diperiksa setiap 30 mnt sebelum makan dan tengah malam setiap hari atau min. 3×/hr. Pemeriksaan urin dilakukan pada saat diperiksa GD atau setiap diuresis. Sesudah didapatkan profil GD harian yang stabil (puasa <140 mg/dL, sesudah makan <180 mg/dL), suntikan insulin kerja pendek atau cepat diganti dengan preparat insulin campuran short acting/rapid insulin dan intermediate acting insulin dengan perbandingan 1:2. Dua pertiga dosis diberikan pagi hari dan sisanya sebelum makan malam. Sesudah kadar GD stabil penderita dapat dipulangkan Kebutuhan insulin ↑ bila penderita menderita infeksi, operasi atau trauma (fisik/psikis), dan pada masa remaja (kebutuhan insulin mencapai 1,5–2 IU/kgBB/hr), sedangkan pada fase honeymoon dosis 0,2–0,5 IU/kgBB/hr 249
Pengaturan makan Penderita yang mendapat insulin harus menaati pengaturan makan yang konsisten (jumlah kalori/komposisi/waktu makan) Anak usia <12 th Jumlah kalori = [1.000 + (usia dalam th × 100)] Kkal Anak usia >12 th Jumlah kalori = 2.000 Kkal/M2 Komposisi makanan yang dianjurkan: 55–60% karbohidrat (karbohidrat kompleks dan tinggi serat), 15% protein, dan 25% lemak (rendah kolesterol dan LDL). Porsi makan diatur 3×/hr, yaitu 20% makan pagi, 20% makan siang, 30% makan malam. Di antara makan dan sebelum tidur diberikan makanan ringan/ snack masing-masing 10%) Edukasi diabetes Edukasi diabetes harus dilakukan terus-menerus, yaitu mengenai masalah penyakit DM secara umum, pemberian insulin, pengaturan/pemilihan makanan, pentingnya olahraga, pemantauan GD/urin di rumah, pengenalan gejala hiperglikemia/ hipoglikemia, serta tindakan darurat untuk mengatasinya Olahraga Dapat menurunkan kadar GD yang berlangsung sampai beberapa waktu pascaolahraga Sensitivitas insulin terhadap jaringan ↑
Pemantauan
Parameter yang sering digunakan: Kesehatan secara umum Pemantauan tumbuh kembang dengan mengukur TB dan BB secara rutin dan dan direkam pada kurva TB/BB Pemantauan tingkat maturasi kelamin (TMK) terutama anak yang menjelang remaja Pemantauan laboratorium Darah GD Target kadar GD yang diinginkan Kadar GD sebelum makan 80–140 mg/dL dan sesudah makan <180 mg/dL Pemeriksaan GD sebaiknya dilakukan setiap hr dan diukur sebelum makan, bila tidak mungkin dapat 2–3 hr/mgg dan pada hr lainnya dilakukan pemeriksaan glukosa urin HBA1C Mencerminkan kontrol GD 2–3 bl sebelumnya, pemeriksaan dilakukan setiap 3 bl Kombinasi pemeriksaan GD di rumah dengan HBA1C merupakan cara pemantauan kadar GD yang baik pada DM tipe 1 anak dan remaja Urin Tidak memberikan informasi tentang hipoglikemia, tetapi sangat berarti untuk mengetahui ada tidaknya ketonuria. Dilakukan di rumah dengan menggunakan kertas lakmus 250
Kriteria kontrol yang baik Glukosuria min. atau tidak ditemukan Tidak terdapat ketonuria Tidak ada ketoasidosis Jarang terjadi hipoglikemia Glukosa postprandial normal HBA1C normal Sosialisasi baik Tingkat maturasi kelamin sesuai dengan usianya Pertumbuhan dan perkembangan anak normal Tidak terdapat penyulit
Prognosis
Merupakan penyakit seumur hidup Dengan kontrol GD yang baik, anak dapat tumbuh dan berkembang seperti anak normal Penyulit jangka panjang akan timbul sesudah 10–15 th
HIPOGLIKEMIA PADA DM Batasan
Sulit untuk menentukan pada kadar berapa penetapan hipoglikemia pada DM. Pada umumnya GD ≤70 mg/dL atau 3,9 mmol/L (glukometer) diambil sebagai batasan. Yang lebih penting terdapat gejala klinis hipoglikemia
Klasifikasi
Derajat 1 (ringan) Bila dapat mengetahui dan mengobati hipoglikemianya sendiri tanpa bantuan orang lain (anak kecil tidak dapat menolong dirinya sendiri, sehingga hipoglikemia anak <5 th tidak termasuk dalam derajat 1) Derajat 2 (sedang) Hipoglikemia harus diobati dengan bantuan orang lain, bila mungkin dengan pemberian glukosa p.o. Derajat 3 (berat) Penderita tidak sadar disertai kejang atau tidak dapat minum glukosa p.o., karena sudah mengalami disorientasi berat. Terapi dengan glukagon secara i.m./i.v.
Etiologi
Masukan makanan yang kurang atau tidak makan Latihan jasmani tanpa masukan makanan yang cukup Kelebihan dosis insulin 251
Patofisiologi
Masukan makanan kurang atau latihan jasmani berat → GD ↓ keadaan ini dapat diperberat dengan pemberian insulin. Demikian juga kelebihan dosis insulin → GD ↓
Diagnosis
Gejala klinis dan atau GD <60 mg/dL Pemeriksaan Penunjang GD serial setiap 15–30 mnt
Terapi
Terapi hipoglikemia pada DM dapat dilihat pada Tabel 64
Penyulit
Otak merupakan organ yang paling sensitif, oleh karena itu kalau tidak diobati → kesadaran ↓, kejang, dan kerusakan otak
252
Terapi Tabel 64 Terapi Hipoglikemia Derajat
Gambaran Klinis
Ringan
Gambaran neurologik ringan (adrenergik/kolinergik) lapar, tremor, gugup, cemas, berkeringat, pucat, berdebar-debar, dan takikardia Neuroglikopenia ringan: penurunan perhatian dan kognitif Neuroglikopenia/neurogenik sedang: sakit kepala, sakit perut, perubahan perilaku/agresif, gangguan penglihatan atau penglihatan ganda, lemah, bingung, kesulitan bicara, takikardia, dilatasi pupil, pucat, berkeringat Neuroglikopenia berat: disorientasi berat, tidak sadar, kejang fokal atau umum sehingga tidak mampu menelan makanan
Sedang 253 Berat
Catatan: monitor GD selama/sesudah terapi
Terapi Sari buah, cairan manis, atau susu Makanan ringan/snack Sampai kadar GD 100 mg/L Glukosa instant (glukotab) 10–20 g diikuti pemberian makanan ringan. Kira-kira 0,3 g/kgBB → 9 g glukosa untuk anak 30 kg atau 15 g glukosa untuk anak 50 kg Di luar RS: Glukagon i.m./s.k.: usia <5 th: 0,5 mg ≥5 th: 1 mg atau 10–30 mcg/kgBB Bila dalam 10 mnt tak ada respons, ulang sekali lagi Di RS: bolus glukosa 10–30% i.v. atau 200–500 mg/kgBB atau infus dekstrosa 10% dengan kecepatan 2–5 mg/kgBB/mnt → 1,2–3 mL/kgBB/jam
KETOASIDOSIS DIABETIKUM (KAD) Batasan
Gangguan metabolik yang disebabkan oleh defisiensi insulin dan sekresi berlebih hormon-hormon stres (hormon kontrainsulin) Sindrom ini ditandai dengan trias Hiperglikemia: GD ≥300 mg/dL Ketonemia Asidosis metabolik: pH <7,3 dan bikarbonat darah <15mEq/L
Klasifikasi
Ketoasidosis diabetes dapat diklasifikasikan berdasarkan beratnya asidosis: KAD ringan : pH 7,25–7,30 dan bikarbonat 10–15 mEq/L KAD sedang : pH 7,10–7,24 dan bikarbonat 5–10 mEq/L KAD berat : pH <7,10 dan bikarbonat <5 mEq/L KAD berulang (rekurens): bila terjadi 3–4 episode KAD dalam 4 th berturut-turut
Etiologi
Defisiensi dan atau ↓ daya kerja insulin. Pada penderita lama karena menghentikan suntikan insulin dan pada penderita baru karena tidak diketahui menderita DM Faktor pencetus: stres (trauma, infeksi), muntah, atau gangguan psikis
Patofisiologi
Insulin adalah hormon anabolik utama dalam tubuh. Kekurangan insulin menyebabkan mobilisasi cadangan energi (glikogenolisis, proteolisis, dan lipolisis) dan pemakaian glukosa oleh jaringan terhambat. Karena insulin merupakan hormon antilipolitik kuat, maka defisiensi insulin berat → ketonuria, ketonemia, dan asidosis. Di samping defisiensi insulin harus ada sekresi berlebih hormon kontrainsulin (hormon pertumbuhan, glukagon, kortisol, dan katekolamin) untuk dapat menyebabkan KAD. Hormon stres merangsang glukoneogenesis, glikogenolisis, lipolisis, dan ketogenesis ↑. Hormon ini juga menyebabkan resistensi jaringan terhadap insulin (daya kerja insulin ↓). Hiperglikemia → diuresis osmotik yang bila tidak dikompensasi akan → dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Keadaan katabolik antara lain lipolisis → ketonemia/asidosis metabolik Perkiraan kehilangan cairan dan elektrolit (/kgBB) Air : 100 mL (60–100 mL) Na : 6 mEq (5–13 mEq) K : 5 mEq (4–6 mEq) Klorida : 4 mEq (3–9 mEq) Fosfat : 3 mEq (2–5 mEq)
254
Diagnosis
Anamnesis Gejala klasik DM (polifagia, polidipsia, dan poliuria), BB ↓ Faktor pencetus: infeksi, tidak disuntik insulin, stres psikologis Pemeriksaan Fisis Dehidrasi sering disertai syok → dehidrasi sukar dinilai karena merupakan dehidrasi intraselular. Akibat ketonemia → muntah, asidosis metabolik, napas bau aseton, pernapasan Kussmaul, kesadaran ↓ Laboratorium GD ≥300 mg/dL Ketonemia (reaksi positif dengan reaksi nitroprusid pada pengenceran 1:2 serum/urin) Asidosis metabolik (pH <7,30; bikarbonat darah <15 mEq/L) Osmolaritas darah ↑
Diagnosis Banding
Asidosis dan atau gangguan kesadaran karena sebab lain Hipoglikemia, uremia, diare dengan asidosis, intoksikasi salisilat, ensefalitis, dan lesi intrakranial lain
Pemeriksaan Penunjang
Glukosa, elektrolit, dan osmolaritas darah pH dan status asam basa Keton urin Pemeriksaan lain atas indikasi (biakan darah, EKG, foto Rontgen toraks, CT-scan kepala, urea N, dan kreatinin)
Penyulit
Merupakan penyulit akibat terapi Edema serebral Hipoglikemia
Terapi
Perawatan sebaiknya di ruang intensif → balita yang mengalami KAD berat sering disertai gangguan konduksi jantung Resusitasi cairan Bila penderita dehidrasi berat tanpa syok → berikan larutan NaCl 0,9% sejumlah 10–20 mL/kgBB dalam 1–2 jam Bila penderita syok → berikan bolus larutan NaCl 0,9% 10–20 mL/kgBB secepatnya Selanjutnya pemberian cairan harus tepat dalam hal osmolaritas dan jumlah cairan, serta kecepatan pemberiannya. Sebaiknya diberikan cairan isotonis secara hati-hati dengan tujuan dapat mengoreksi defisit cairan/elektrolit dalam waktu 36–48 jam. Makin berat kekacauan metabolik dan makin tinggi osmolaritas darah (>320 mOsm/kgBB) → makin lambat rehidrasinya 255
Tentukan kebutuhan cairan, yaitu besarnya defisit, cairan rumatan, concomitant loss, maupun keseimbangan elektrolit Kebutuhan cairan rumatan 2–6 th : 100 mL/kgBB/hr 7–10 th: 80 mL/kgBB/hr >10 th : 60 mL/kgBB/hr Cara rehidrasi cairan 12 jam pertama: 50% defisit + 50% rumatan + 50% concomitant loss 24–36 jam berikutnya: 50% defisit + cairan rumatan + concomitant loss Bila penderita menderita syok, rehidrasi cairan dilakukan sesudah syok teratasi, misalnya kalau dehidrasi diperkirakan 5% Tabel 65 Cara Rehidrasi Cairan untuk Berat Badan 30 kg Waktu Jam ke-1 Jam ke-2 Jam ke-3–12 (100 mL/jam utk 10 jam Jumlah 12 jam pertama 24 jam berikutnya Jumlah dalam 36 jam
Jenis Cairan 500 mL larutan NaCl 0,9% 500 mL larutan NaCl 0,45% + 20 mEq/L KCl 2.000 mL larutan NaCl 0,45% 30 mEq/L K2PO4
Na
K
Cl
Fosfat
75
−
75
−
35
20
55
−
150
60
150
40
3.000 mL
260
80
280
40
2.400 mL larutan glukosa 5% dalam 0,2% NaCl + 40 mEq/L K2PO4 5.400 mL
75 335
100 180
75 355
60 100
Insulin Untuk menghentikan katabolisme abnormal dan mengembalikan metabolisme normal dilakukan secara bertahap dan terpantau dengan mempergunakan RI Persiapan infus insulin 50 IU + 500 mL NaCl 0,9% → 10 mL larutan mengandung 1 IU insulin; atau 20 IU + 100 mL NaCl 0,9% → 5 mL larutan mengandung 1 IU insulin Tujuan infus insulin untuk menurunkan kadar GD ± 100 mg/dL/jam biasanya diberikan mulai 0,05–0,1 IU/kgBB/jam. Bila penurunan kadar GD<50 mg/dL/jam, kecepatan infus insulin ditingkatkan. Sebaliknya bila penurunan >100 mg/dL/jam, kecepatan infus dikurangi Bila kadar GD sudah mencapai ±250 mg/dL tetapi asidosis belum teratasi → kecepatan infus dikurangi setengahnya, selanjutnya 256
tambahkan larutan dekstrosa 5% ke dalam NaCl 0,9%. Kemudian kecepatan infus insulin diatur agar mampu mempertahankan kadar GD 90–180 mg/dL. Bila GD ↓ sampai yang diharapkan, tetapi asidosis belum juga teratasi → infus insulin jangan dikurangi, tetapi tambahkan dekstrosa 5% (kalau perlu dekstrosa 10%). Bila anak sudah dapat makan, kadar GD <250 mg/dL, pH darah ≥7,30 dan kadar bikarbonat plasma >15 mEq/L Regular insulin Untuk penderita baru biasanya dimulai dengan dosis 0,25 IU/kgBB setiap 6 jam. Peralihan dari infus insulin ke s.k. dilakukan dengan cara: berikan suntikan insulin kerja pendek s.k. ½ jam sebelum makan atau insulin kerja cepat segera sebelum makan →satu jam kemudian insulin drip dihentikan. Selanjutnya bila kadar GD sudah stabil, insulin diganti dengan preparat campuran insulin kerja pendek atau kerja cepat dengan NPH=1:2. Umumnya ⅔ dosis diberikan sebelum makan pagi dan ⅓-nya diberikan sebelum makan malam Koreksi elektrolit Natrium Defisiensi insulin → reabsorpsi Na di tubulus ginjal ↓ hiperglikemia → osmolaritas intravaskular ↑ → cairan intrasel mengalir ke ekstrasel. Kadar Na yang sebenarnya pada saat diagnosis KAD bergantung pada KD dan lipid darah. Hiperglikemia dan hiperlipidemia yang terjadi pada KAD, akan menekan kadar Na darah sehingga secara laboratorium akan terlihat hiponatremia. Oleh sebab itu harus dilakukan koreksi kadar Na yang sesungguhnya pada situasi tersebut, yaitu dengan menggunakan rumus (Na darah dalam mEq/L): [Na+] sesungguhnya = [Na+] didapat +
,
(
)
Bila Na <140 mEq/L → berikan cairan yang mengandung Na 150 mEq/L (NaCl 0,9%). Bila Na >160 mEq/L → berikan cairan yang mengandung Na 75–110 mEq/L (larutan NaCl 0,45%). Hal ini perlu diperhatikan karena memberikan cairan isotonis pada KAD dengan Na darah normal (bukan berdasarkan hasil koreksi rumus di atas, padahal kadar Na yang sesungguhnya >normal) akan memudahkan terjadi edema serebral Kalium Meskipun K plasma normal/sedikit ↑, sesungguhnya total K tubuh ↓ karena diuresis osmotik, asidosis metabolik, glikogenolisis ↑, dan muntah. K mulai diberikan sesudah pemberian insulin dimulai (sesudah 1 jam rehidrasi). Sebaiknya K diberikan pada jam ke-2 rehidrasi (bila sudah ada diuresis serta pH >7,0). Pada dehidrasi pemberian KCl 20–40 mEq/L dan dapat dinaikkan bila K <3,5 mEq/L. Dalam 24 jam pertama, K total belum dapat dikembalikan sampai normal. Bila sesudah 257
24 jam masih diperlukan infus → ditambahkan larutan KCl 20 mEq/L ke dalam larutan dekstrosa 5% + NaCl 0,45% atau NaCl 0,225%. Selanjutnya KCl p.o. perlu diberikan untuk beberapa hari dan pemeriksaan EKG sangat berguna dalam menilai hipokalemia/hiperkalemia Ketonemia dan asidosis Defisiensi insulin dan ↑ hormon kontrainsulin merangsang lipolisis dan menghambat sintesis lipid → konsentrasi lipid total ↑ (kolesterol, trigliserida, dan asam lemak bebas) → benda keton ↑ yang melampaui kapasitas sekresinya di ginjal → asidosis metabolik Bikarbonat Untuk mengatasi asidosis (hanya pada asidosis berat), bila pH <7,1 dan atau bikarbonat <10 mEq/L, dengan tujuan untuk mencapai bikarbonat 15 mEq/L, sehingga jumlah diberikan sama dengan ½ dosis yang dibutuhkan Penghitungan pemberian bikarbonat = 0,3 × (15 − bikarbonat yang didapat) × BB Kebutuhan ini setara dengan 2 mEq/kgBB, diberikan i.v. perlahan-lahan selama 60 mnt, atau per drip tanpa pemberian dosis bolus
Penyulit
Edema serebri Penyulit yang sering dan fatal (kematian 90%) dan tidak dapat diramalkan. Faktor penunjang: pemberian cairan terlalu cepat (>4 L/m2/hr) dan dosis insulin terlalu besar Untuk deteksi dini penting pengenalan gangguan serebral seperti: sakit kepala, kesadaran ↓, dan dilatasi pupil Bila ditemukan gejala edema serebri dilakukan tindakan Membatasi pemberian cairan <2 L/m2/hr Manitol 1 g/kgBB Hiperventilasi sampai PO2 25–27 mmHg Hipoglikemia (lihat bab hipoglikemia pada DM)
Pemantauan
Klinis Fungsi vital: nadi, tekanan darah, respirasi, status neurologik tiap jam Derajat dehidrasi: masukan dan keluaran cairan Laboratorium GD tiap jam selama mendapat infus insulin Elektrolit dan osmolaritas darah per 2–4 jam pH dan status asam basa per 2–4 jam Keton urin tiap diuresis sampai keton (−)
Prognosis
Angka kematian di Amerika Serikat 5–17% 258
Pencegahan
Pencegahan dan pengobatan dini ketonuria → cara paling efektif agar morbiditas dan mortalitas ↓ Sangat erat hubungannya dengan edukasi dan kepatuhan penderita Dianjurkan untuk memeriksakan keton urin bila Anak merasa sakit atau muntah GD >240 mg/dL Jika ketonuria sedang: tambahkan RI 5–10% dosis total/hr Jika ketonuria berat: tambahkan RI 10–20% dosis total/hr Tabel 66 Algoritme Perubahan Dosis Insulin GD sebelum makan siang Jika >150 mg/dL → naikkan dosis RI pagi 1–2 unit Jika <80 mg/dL → turunkan dosis RI pagi 1–2 unit GD sebelum makan malam Jika >150 mg/dL → naikkan dosis NPH pagi 1–3 unit Jika <80 mg/dL → turunkan dosis RI sore 1–2 unit GD sebelum waktu tidur Jika >150 mg/dL → naikkan dosis RI sore 1–2 unit Jika <80 mg/dL → turunkan dosis NPH sore 1–3 unit GD sebelum makan pagi Jika >150 mg/dL → naikkan dosis NPH sore 1–3 unit Jika <80 mg/dL → turunkan dosis NPH sore 1–3 unit
259
Hiperglikemia
Ketoasidosis
Glikosuria
Ekskresi asam keton
Diuresis osmotik
260
↓ Reabsorbsi Na
↓ Reabsorpsi H2O
↓ Konsentrasi Na dalam lumen
Dehidrasi
↑ Sekresi K+
↓ Reabsorpsi PO4 Defisiensi Na
Defisiensi PO4
Defisiensi K+
Gambar 31 Patofisiologi Gangguan Cairan dan Elektrolit KAD Sumber: Ellis 1990
Bibliografi 1.
Alemzadeh R, Ali O. Diabetes mellitus. Dalam: Kliegman RM, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 1968–93. 2. Bangstad H-J, Danne T, Deeb LC, Jarosc-Chobots P, Urakami T, Hanas R. Insulin treatment in children and adolescents with diabetes. Pediatr Diabetes. 2009:10 (Suppl.12):82–99. 3. Craig ME, Hattersley A, Donaghue KC. Definition, epidemiology, and classification of diabetes in children and adolescents. Pediatr Diabetes. 2009:10(Suppl. 12):3–12. 4. Ellis EN. Concepts of fluid therapy in diabetic ketoacidosis and hyperosmolar hyperglycemic nonketotic coma. Pediatr Clin North Am. 1990;37(2):313–21. 5. Federman DD. The endocrine patient. Dalam: Larsen PR, Kronenberg HM, Melmed S, Polonsky KS, penyunting. Williams textbook of endocrinology. Edisi ke-10. Philadelphia: WB Saunders; 2003. hlm. 1427–509. 6. Greenspan FS. Pancreatic hormone and diabetes mellitus. Dalam: Greenspan FS, Gadner DG, penyunting. Basic and clinical endokrinology. Edisi ke-6. San Francisco: McGraw-Hill; 1997. hlm. 623–42. 7. Hattersley A, Bruining J, Shield J, Njolstadd P, Donaghue KC. The diagnosis and management of monogenic diabetes in children and adolescents. Pediatr Diabetes. 2009;10(Suppl. 12):33–42. 8. Joslin EP. Pathogenesis of insulin dependent (type I) diabetes mellitus. Dalam: Kahn CR, Weir GC, penyunting. Joslin’s diabetes mellitus. Edisi ke-13. Philadelphia: Lea and Febiger; 1994. hlm. 216–37. 9. Rewers M, Pihoker C, Donaghue K. Hanas R, Swift PGF, Klingersmith GJ. Assessment and monitoring of glycemic control in children and adolescents with diabetes. Pediatr Diabetes. 2009:10 (Suppl.12):71–81. 10. Sperling MA, Weinzimer SA, Tamborlane WV. Diabetes mellitus. Dalam: Sperling MA, penyunting. Pediatric endocrinology. Edisi ke-3. Saunders Elsevier: Philadelphia; 2008. hlm. 374–421. 11. Styne DM. Penyunting. Pediatric endocrinology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004. 12. Swift PGF. Diabetic education in children and adolescent. Pediatr Diabetes. 2009;10(Suppl. 12):51–7.
261
OSTEOGENESIS IMPERFECTA Batasan
Kelainan genetik yang mengakibatkan tulang lebih rapuh dengan penurunan densitas massa tulang akibat kelainan kuantitatif kolagen tipe 1
Klasifikasi
Klasifikasi osteogenesis imperfecta dapat dilihat pada Tabel 67
Etiologi
Osteogenesis imperfecta (OI)I sebagian besar disebabkan karena mutasi dominan pada gen COL1 A1 atau COL 1A2 yang mengode kolagen tipe 1, sehingga pasien dengan OI memiliki kolagen yang lebih sedikit atau kualitas yang tidak sesuai dengan orang normal. Kurang dari 10% kasus OI disebabkan oleh mutasi resesif pada gen yang lain dari jalur kolagen yaitu gen prolyl 3-hydroxylase (LEPRE 1)
Diagnosis
Anamnesis Riwayat hamil ibu dan kelahiran bayi Riwayat fraktur Iritabilitas, gelisah, dan menangis yang tidak berhenti yang mungkin berhubungan dengan fraktur Riwayat keluarga dengan OI Riwayat tumbuh kembang Pemeriksaan Fisis Deformitas atau disproporsi dalam bentuk fraktur atau bowing Ukuran lengan, kaki atau tubuh yang pendek dengan derajat ringan sampai berat Keterlambatan motorik kasar akibat fraktur atau hipotrofi dan hipomobilitas Dapat ditemukan wajah yang abnormal dengan bentuk klasik segitiga Dapat ditemukan hipoplasia mandibula, mata cekung, hidung kecil Pada beberapa tipe ditemukan sklera biru dan dentinogenesis imperfecta di rongga mulut Pada tipe yang berat ditemukan distres pernapasan akibat dada menyempit, sela iga pendek dan menyempit, pectus excavatum/ carinatum Pemeriksaan Penunjang Radiologi: pemeriksaan bone survey → gambaran fraktur baru, fraktur lama, bowing, kompresi vertebra, gambaran wormian bone pada foto kepala Laboratorium penunjang Darah rutin Status tulang: Na, Ca, K, Mg, alkali fosfatase Ureum, kreatinin, SGOT, SGPT 262
Tabel 67 Klasifikasi Osteogenesis Imperfecta
263
Tipe
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
Diturunkan
AD
AD
AD/AR
AD/AR
AD
AR
AR
AR
Derajat berat Fraktur kongenital Deformitas tulang Sklera Perawakan
Ringan Tidak
Letal Ya
Sedang–berat Sering kali
Ringan–berat Jarang
Ringan–berat Sedang Tidak Tidak
Sedang Tidak
Berat Tidak
Sangat berat Dominan biru Biru gelap Normal Pendek– berat Ya Ya
Sedang–berat
Ringan–sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Biru/abu/putih Sangat pendek
Normal–abu Pendek bervariasi Bervariasi
Normal Bervariasi
Normal Pendek ringan N/A
Normal Sangat pendek
Bervariasi
Normal Pendek ringan Bervariasi
Ada pada 60% kasus Bervariasi
N/A
Sering
Tidak
Tidak
Tidak
N/A
N/A
Ya
Ada pada 42% kasus Bervariasi
Tidak
Tidak
Tidak
N/A
Tidak
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
N/A
N/A
Tidak
N/A
Ya
Tidak
Tidak
tidak
N/A
N/A
Hipermobilitas sendi Hilang pendengaran Dentinogenesis Imperfecta Penyulit respiratorik Penyulit neurologik
Jarang
Sumber : Starr dkk. 2010
Ya
Terapi
Pengobatan farmakologi Zolendronat 0,025–0,05 mg/kgBB/hr 1× pemberian setiap 4–6 bl Pamidronat 30 mg/m2 2 hr pemberian setiap 3 bl Pengobatan ortopedi Rehabilitasi Penanganan gigi Penanganan gangguan pendengaran
Penyulit
Fraktur Skoliosis Distres pernapasan Gangguan pendengaran Perawakan pendek
Konsultasi
Bedah Ortopedi THT Gigi Mulut Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
Prognosis
Bergantung pada tipe, derajat OI, dan onset terapi
Bibliografi 1.
2. 3.
4. 5. 6.
7.
Barros ER, Saraiva GL, Oliveira TP, Lazaretti-Castro M. Safety and efficacy of a 1-year treatment with zoledronic acid compared with pamidronate in children with osteogenesis imperfecta. J Pediatr Endocrinol Metab. 2012;25(5–6):485–91. Basel D, Steiner RD. Osteogenesis imperfecta: recent findings shed new light on this once well-understood condition. Genet Med. 2009;11(6):375–85. Glorieux F, penyunting. Guide to osteogenesis imperfecta for pediatricians and family practice physicians. Bethesda: National Institutes of Health Osteoporosis and Related Bone Diseases National Resource Center; 2007. Glorieux FH. Osteogenesis imperfecta. Best Pract Res Clin Rheumatol. 2008;22(1):85–100. Karamifar H, Ilkhanipoor H, Ajami G, Karamizadeh Z, Amirhakimi G, Shakiba AM. Cardiovascular involvement in children with osteogenesis imperfecta. Iran J Pediatr. 2013;23(4):513–8. Palomo T, Glorieux F, Rauch F. Effect of long-term intravenous bisphosphonate treatment in children with osteogenesis imperfecta. Chicago: 14th OI Foundation Scientific Meeting. New Treatments in Osteogenesis Imperfecta; 2014. Phillipi CA, Remmington T, Steiner RD. Bisphosphonate therapy for osteogenesis imperfecta. Cochrane Database Syst Rev. 2008;4:CD005088. 264
8.
Renaud A, Aucourt J, Weill J, Bigot J, Dieux A, Devisme L, dkk. Radiographic features of osteogenesis imperfecta. Insight Imaging. 2013;4(4):417–29. 9. Starr SR, Roberts TT, Fischer PR. Osteogenesis imperfecta: primary care. Pediatr Rev. 2010;31(8):e54–64. 10. van Dijk FS, Cobben JM, Kariminejad A, Maugeri A, Nikkels PG, Rijn RR, dkk. Osteogenesis imperfecta: a review with clinical examples. Mol Syndromol. 2011;2(1):1–20.
265
DISORDER OF SEX DEVELOPMENT (DSD) Batasan
Kelainan kongenital akibat gangguan perkembangan kromosom, gonad maupun anatomi organ seksual yang atipikal DSD bervariasi dari sekedar mikropenis, hipospadia, undesensus testis, penampilan atau fenotip genitalia eksterna yang tidak khas (ambigus) sampai gambaran genital eksterna laki-laki atau perempuan, namun berbeda genitalia internanya
Klasifikasi dan Etiologi
Disorder of sex development diklasifikasikan sesuai dengan kromosomnya, histologi gonad, dan fenotipnya. DSD diperkenalkan pada tahun 2006 untuk menggantikan terminologi sebelumnya seperti interseks atau hermafrodit. Etiologi DSD sangat luas. Nomenklatur DSD yang mulai digunakan sejak tahun 2006 membagi etiologi ini dalam 46,XX DSD, 46,XY DSD, DSD kromosom seks, DSD ovotestikular, dan 46,XX DSD testikular. Pada dasarnya DSD dapat dibagi menjadi kelompok disgenesis gonad, kelompok individu 46,XY yang mengalami undervirilisation (virilisasi tidak sempurna), dan kelompok individu 46,XX yang mengalami virilisasi prenatal dan pascanatal Tabel 68 Nomenklatur DSD yang Direvisi Terminologi Lama
Terminologi Baru
Interseks
Disorder of sex development 46,XY DSD
Pseudohermafrodit laki-laki, virilisasi laki-laki yang tidak sempurna atau maskulinisasi XY lakilaki yang tidak sempurna Pseudohermafrodit perempuan, virilisasi berlebihan dari XX perempuan, atau maskulinisasi dari XX perempuan
46,XX DSD
Hermafrodit sejati
DSD ovotestikular
Pertukaran seks XX atau laki-laki XX
46,XX DSD testikular
Pertukaran seks XY atau wanita XY
46,XY disgenesis gonad komplet
Sumber: Hughes dkk. 2006
266
Tabel 69 Klasifikasi DSD DSD Kromosom Seks A. 45,X (sindrom Turner dan berbagai variasinya) B. 47,XXY (sindrom Klinefelter dan berbagai variasinya) C. 45,X/46,XY (MGD, DSD ovotestikular) D. 46,XX/46,XY dan variasinya
46,XY DSD
46,XX DSD
267
A. Kelainan perkembangan gonad (testis) A. Kelainan perkembangan gonad (ovum) - Disgenesis gonad komplet (sindrom Swyer) - DSD ovotestikular - Disgenesis gonad parsial (SRY, SOX9, SF1, WT1, - DSD testikular (mis: SRY, SOX9 dupl, Dax 1 dupl, Wnt4 dupl) RSPO1) - Regresi gonad; DSD ovotestikular - Disgenesis gonad B. Kelainan sintesis/kerja androgen B. Kelebihan androgen 1. Defek sintesis androgen 1. Level janin - Hipoplasia/aplasia sel Leydig (LHCGR) - Hiperplasia adrenal kongenital (def. - Hiperplasia adrenal kongenital (defisiensi CYP21A2, CYP11B1, 3β-HSD) StAR, CYP1 1A1, CYP1 7A1, 3β-HSD) - POR - Defisiensi 17β-HSD 2. Level feto-plasental - Defisiensi 5 ARD2 - Defisiensi aromatase CYP19 - Defisiensi P-450 oksoreduktase (POR) - Defisiensi POR - Sindrom Smith-Lemi-Opitz (DHCR7) 3. Level maternal 2. Defek pada kerja androgen - Tumor virilisasi (luteoma) - Sindrom insensitivitas androgen (SIAK,SIAP) - Eksogen androgen (progestagen) - Endokrin disrupter obat dan dari lingkungan C. Dan lain-lain C. Dan lain-lain - Anomali kongenital-ekstrofi kloaka - Isolated hipospadia (CXorf6) - Vaginal atresia (McKusick-Kauman) - Mikropenis - Agenesis/hipoplasia Mulleri-MURCS - Undesensus testis (GREAT,INSL3) (Wnt4) - Sindrom anomali kongenital ekstrofi kloaka, - Kelainan uterus (MODY5) Robinow, Aarskog, hand foot genital, popliteal - Adhesi labial pterygium - Persistent Mullerian duct syndrome (AMH, AMHR) - Hipogonad hipogonadotropik (DAX1)
Patofisiologi
Sel manusia normal terdiri atas 23 pasang kromosom, 22 pasang kromosom autosomal dan sepasang kromosom seks yang merupakan penentu perbedaan jenis kelamin. Perempuan kromosom seksnya XX, dan laki-laki XY. Sampai pada mgg ke-6 masa kehamilan, gonad embrio masih belum dapat dibedakan laki-laki atau perempuan. Pada masa ini janin sudah mempunyai premordial saluran genital yaitu saluran Muller dan saluran Wolf, serta mempunyai premordial genitalia eksterna Perkembangan genitalia laki-laki merupakan suatu proses aktif. Pada mgg ke-7 kehamilan, atas prakarsa testes determining factor yang diproduksi oleh kode gen untuk seks laki-laki, yaitu gen SRY (sex determining region of the y chromosome), gonad berdiferensiasi menjadi testis. Proses diferensiasi ini melibatkan 3 kelompok sel utama yaitu sel Sertoli dan sel-sel lainnya yang terbentuk dari tubulus seminiferus, sel Leydig dan komponen lain intersisium, serta spermatogonia. Pada mgg ke-8–12 masa kehamilan, kadar gonadotropin korion plasenta ↑, dan merangsang sel Leydig janin untuk mengeluarkan testosteron serta merangsang sel sertoli untuk mengeluarkan Mullerian inhibiting factor (MIF). Testosteron akan merangsang diferensiasi saluran Wolf menjadi epididimis, vasa deferens, vesikula seminalis, dan saluran ejakulator laki-laki. Mullerian inhibiting factor akan menyebabkan involusi pada prekusor embriogenik dari tuba falopi, uterus, serviks, dan ⅓ bagian atas vagina Pada mgg ke-9 kehamilan, enzim 5-α-reductase dari sel target akan mengubah sebagian testosteron menjadi dihidrotestosteron (DHT), dan DHT inilah yang merangsang diferensiasi alat kelamin luar lakilaki, merangsang pertumbuhan tuberkel genital, fusi lekuk uretra, dan pembengkakan labioskrotal untuk membentuk glans penis, penis, dan skrotum Perkembangan genitalia perempuan lebih sederhana bila dibandingkan dengan perkembangan genitalia laki-laki. Pada mgg ke-7–12 masa kehamilan, sejumlah sel germinal mengalami transisi dari oogonia menjadi oosit, sehingga terjadi diferensiasi dari gonad menjadi ovarium. Saluran Muller berkembang menjadi tuba falopi, uterus, serviks, dan ⅓ bagian atas vagina, sedangkan saluran Wolf menjalani proses regresi. Pada diferensiasi genitalia eksterna perempuan, tuberkel genital tetap kecil dan membentuk klitoris. Lekuk uretra membentuk labia minora, dan lekuk labioskrotal membentuk labia mayora Bila terjadi gangguan pada proses perkembangan genitalia yang demikian kompleks, maka akan terjadi kelainan pada genitalia sesuai dengan pada tahapan ketika gangguan terjadi
Diagnosis
Penentuan jenis kelamin pada bayi baru lahir dengan ambigus sebaiknya tidak segera dilakukan sampai pemeriksaan lengkap dan dievaluasi oleh ahlinya. Evaluasi dan manajemen jangka panjang oleh tim yang terdiri atas ahli multidisiplin ilmu: spesialis endokrinologi 268
anak, bedah anak dan atau urologi, psikolog, psikiater, ginekolog, neonatologis, ahli genetika, pekerja sosial, perawat, ahli agama, dan ahli etik medis. Komunikasi yang terbuka antara penderita dan keluarga serta dukungan keluarga dalam pengambilan keputusan pada penderita akan sangat membantu
Anamnesis
Riwayat serupa dalam keluarga dapat membantu karena beberapa kelainan DSD diturunkan seperti sindrom insensitivitas androgen (xlinked), defisiensi enzim 5-α-reductase (autosomal resesif), hiperplasia adrenal kongenital (autosomal resesif) dan gangguan biosintesis testosteron (autosomal resesif) Riwayat kematian neonatal dini yang tidak jelas penyebabnya, muntah-muntah baik dengan atau tanpa genital ambigus merupakan petunjuk yang mengarah pada hiperplasia adrenal kongenital (HAK). Virilisasi pada usia pubertas mengarah kepada defisiensi 5-αreductase atau defisiensi 17-β dehidrogenase Riwayat infertilitas dalam keluarga juga dapat menjadi petunjuk ada kemungkinan DSD Riwayat kehamilan dapat memberikan petunjuk penting seperti paparan terhadap androgen, obat-obatan tertentu, dan virilisasi ibu selama kehamilan
Pemeriksaan Fisis
Keadaan Umum Penampilan dismorfik, kelainan pertumbuhan dan perkembangan, retardasi mental, serta mikrosefal sering ditemukan pada sindrom tertentu Gagal tumbuh, hiperpigmentasi, hipertensi merupakan gejala HAK Genitalia Eksterna Terdapat virilisasi Perabaan gonad, terdapat massa di region inguinal, simetris atau tidak Pengukuran panjang klitoris (normal 4–7 mm) dan stretched penile length (SPL) Letak orifisium uretra dan introitus vagina Rasio anogenital Definisi: jarak antara anus dan fourchette vagina posterior dibagi jarak antara anus dan basis klitoris. Bila rasio >0,5 menandakan terdapat virilisasi dan fusi labioskrotal Stadium Prader Prader sudah memberikan gambaran klinis genital yang ambigus sesuai dengan berat ringan ambiguitas. Kondisi ambigus genitalia dapat diklasifikasikan berdasar Prader Stadium 1: hanya klitoromegali, tanpa fusi labial Stadium 2: klitoromegali dan fusi labial posterior Stadium 3: klitoromegali, terdapat orifisiumperineal urogenitalis tunggal, fusi labia hampir sempurna 269
Stadium 4: klitoris menyerupai penis, terdapat sinus urogenital yang menyerupai uretra pada dasar klitoris atau hipospadia perineoskrotal dan fusi labia sempurna Stadium 5: klitoris menyerupai penis, meatus uretra berada pada ujung phallus dan labia menyerupai skrotum (fenotipe genitalia laki-laki, namun tidak teraba gonad)
Pere mpu an
Lakilaki
Gambar 32 Stadium Prader
Sumber: White dan Speiser 2000
Pemeriksaan Penunjang
Analisis kromosom seks, pemeriksaan dengan metode FISH untuk mengetahui SRY Pencitraan untuk melihat ada tidaknya struktur duktus Mulleri, lokasi gonad, traktur atau sinus urogenital. USG dapat menjadi modalitas pertama dalam investigasi kelenjar adrenal, ginjal, rongga pelvis, regioinguinal dan skrotum. Bila USG tidak dapat mengidentifikasi maka dapat dilakukan MRI Genitogram Genitoskopi yang diaugmentasi dengan laparaskopi Pemeriksaan laboratorium: elektrolit, kadar hormon steroid darah, profil steroid urin Tes stimulasi hormon: tes stimulasi HCG, tes stimulasi adrenokortikotropin Histopatologi dan imunokimiawi
Terapi
Anak yang lahir dengan DSD memerlukan pendekatan spesialistik untuk mendapatkan pengambilan keputusan terbaik bagi anak. Penatalaksanaan anak DSD membutuhkan tim ahli multidisiplin yang terdiri atas spesialis endokrinologi anak, tumbuh kembang pediatrik sosial, bedah urologi, bedah plastik, kandungan dan kebidanan, psikologi, psikiatri, genetika klinik, rehabilitasi medik, patologi klinik, patologi anatomi, dan Bagian Hukum Rumah Sakit/Kedokteran Forensik Penentuan gender kasus DSD sebaiknya dilakukan sesegerasegeranya sesudah evaluasi diagnostik secara menyeluruh Pola asuh seksual (sex rearing) Pengobatan hormonal bervariasi sesuai indikasi dan etiologi kasus DSD 270
Koreksi bedah Tujuan pembedahan rekonstruksi pada genitalia perempuan adalah agar mempunyai genitalia eksterna feminin, sedapatnya seperti normal dan mengoreksi agar fungsi seksualnya normal. Tujuan pembedahan rekonstruksi pada genitalia laki-laki adalah meluruskan penis dan mengubah letak uretra yang tidak berada di tempat normal ke ujung penis. Hal ini dapat dilakukan dalam satu sampai beberapa tahapan Dukungan psikologis Edukasi dan konseling medis Membentuk support groups
Penyulit
Penyulit yang timbul bergantung pada etiologi dan manajemen terapi yang dipilih. Secara umum penyulit yang timbul: Keganasan Osteoporosis Krisis adrenal Obstruksi saluran kemih Risiko psikososial terhadap anak Infertilitas Kapasitas untuk mendapatkan hubungan seksual yang memuaskan di masa dewasa hilang atau ↓
Prognosis
Mortalitas bergantung pada etiologi yang mendasari Kualitas hidup akan ↑ bila diagnosis dan tatalaksana dilakukan secepatnya sesudah bayi lahir
Bibliografi 1. 2.
3.
4.
5.
Al Jurayyan NAM. Disorders of sex development: diagnostic approaches and management options—an Islamic perspective. Malays J Med Sci. 2011;18(3):4–12. Cools M, Looijenga LHJ, Wolffenbuttel KP, Drop SL. Disorders of sex development: update on the genetic background, terminology and risk for the development of germ cell tumors. World J Pediatr. 2009;5(2):93–102. Crissman HP, Warner L, Gardner M, Carr M, Schast A, Quittner AL, dkk. Children with disorders of sex development: a qualitative study of early parental experience. Int J Pediatr Endocrinol. 2011;2011(1):10. Holterhus PM, Bebermeier JH, Werner R, Demeter J, RichterUnruh A, Cario G, dkk. Disorders of sex development expose transcriptional autonomy of genetic sex and androgenprogrammed hormonal sex in human blood leukocytes. BMC Genomic. 2009;10:292. Hughes IA, Houk C, Ahmed SF, Lee PA. Consensus statement on management of intersex disorder. Arch Dis Child. 2006;91(7): 554–63. 271
6.
7. 8. 9. 10.
11. 12. 13.
Intersex Society of North America. Clinical guidelines for the management of disorders of sex development in childhood. Consortium on the Management of Disorders of Sex Development. Rohnert Park: Intersex Society of North America; 2006. Karkazis K, Tamar-Mattis A, Kon AA. Genital surgery for disorders of sex development: implementing a shared decision-making approach. J Pediatr Endocrinol Metab. 2010;23(8):789–806. Lee PA, Houk CP, Ahmed SF, Hughes IA. Consensus statement on management of intersex disorder. Pediatrics. 2006;118(2):e488– 500. Maharaj D. Disorders of sex development: a review. Curr Women’s Health Rev. 2008;4:223–39. Rapaport R. Disorders of gonad. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. hlm. 2374–403. Styne DM. Pediatric endocrinology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004. Warne GL, Raza J. Disorder of sex development (DSDs), their presentation and management in different culture. Rev Endocr Metab Disord. 2008;9(3):227–36. White PC, Speiser PW. Congenital adrenal hyperplasia due to 21hydroxylase deficiency. Endocr Rev. 2000;21(3):245–91.
272
HIPERPLASIA ADRENAL KONGENITAL Batasan
Hiperplasia adrenal kongenital (HAK) merupakan suatu kelainan yang diturunkan secara autosomal resesif akibat defisiensi salah satu enzim yang diperlukan dalam sintesis kortisol di korteks adrenal. Gangguan sintesis kortisol ini menyebabkan penurunan umpan balik negatif dari kortisol meningkatkan sintesis hormon adrenocorticotropic (ACTH) dan akhirnya terjadi hiperplasia adrenal Hiperplasia adrenal kongenital merupakan penyebab dari sekitar 50% DSD, baik laki-laki maupun perempuan dapat terkena. Insidensi HAK berkisar 1:10.000 hingga 1:20.000 kelahiran hidup
Klasifikasi dan Etiologi
1. HAK akibat defisiensi 21-hidroksilase (CYP21) Simple virilizing form Salt-losing form (bentuk paling berat) Attenuated form/late onset/non-classical 2. HAK akibat defisiensi 11β-hidroksilase (CY11B1) 3. HAK akibat defisiensi 17α-hidroksilase (CYP17) 4. HAK akibat defisiensi 3β-hidroksisteroid (3β-HSB) 5. HAK akibat defisiensi lipoid hiperplasia 6. HAK akibat defisiensi aldosterone synthase
Patofisiologi
Gangguan biosintesis steroid adrenokortikal merupakan penyebab utama kelainanan ini. Adrenal korteks menyekresikan 3 hormon utama yaitu glukokortikoid (kortisol, kortikosteron), mineralokortikoid (aldosteron, deoksikortikosteron) dan androgen (dehidroepiadrosteron/DHEA dan androstenedion). Hormon glukokortikoid ini diatur oleh jalur hipotalamus-hipofisis-adrenal. Sekresi hormon mineralokortikoid akan diatur oleh sistem renin-angiotensin, sedangkan hormon androgen diatur oleh hormon trofik yang belum terkarakterisasi. Umpan balik endokrin yang klasik juga terjadi di sini. Kortisol akan menginhibisi baik corticotropin-releasing factor yang dikeluarkan hipotalamus dan ACTH dari hipofisis. Retensi natrium yang diinduksi oleh aldosteron akan menginhibisi sekresi renin oleh ginjal
273
Gambar 33 Biosintesis Steroid di Korteks Adrenal Sumber: Speiser dan White 2003
Diagnosis
Anamnesis Kelamin ganda bila disertai krisis adrenal akut timbul keluhan malas menetek, muntah, diare, dan BB ↓ Riwayat serupa di keluarga Riwayat ibu melahirkan bayi meninggal tanpa sebab jelas Keluhan munculnya rambut pubis, rambut aksila, dan rambut pada wajah di usia dini Keluhan timbul jerawat dan bau badan Pemeriksaan Fisis Gangguan pertumbuhan Hipertensi timbul biasanya pada HAK akibat defisiensi 11βhidroksilase (CY11B1) Hiperpigmentasi genitalia eksterna Pada anak perempuan menyebabkan hipertrofi klitoris dan fusi labial. Derajat maskulinisasi genitalia eksterna dinilai dengan stadium Prader Pada anak laki-laki menyebabkan perubahan suara dan maskulinisasi genitalia eksterna lebih dini disertai ukuran penis ↑ tanpa perkembangan ukuran testis Pada krisis adrenal berakibat dehidrasi berat sampai syok dengan gangguan elektrolit 274
Maturasi skeletal yang cepat Majunya usia tulang dan penutupan prematur dari epifise, sehingga anak berperawakan pendek Laboratorium dan Pemeriksaan Penunjang Analisis kromosom seks Pencitraan: ultrasonografi/MRI sistem reproduksi interna Genitogram Pemeriksaan laboratorium: kadar hormon steroid darah (kortisol, 17 OH progesteron, progesteron, 17-hidroksi pregnenolon, androstenedion, DHEA, dan testosteron), elektrolit (hiponatremia), profil steroid urin Bone age
Terapi
Glukokortikoid: hidrokortison 15–20 mg/m2/hr dibagi dalam 2 atau 3× sehari Mineralokortikoid (fludrokortison 0,1–0,2 mg, dapat sampai 0,4 mg/hr) Suplemen NaCl (1–2 g/hr, tiap 1 g NaCl mengandung 17 mEq Na) Adrenalektomi sesuai indikasi Koreksi bedah: klitoroplasti, rekonstruksi vagina Konseling Kondisi Krisis Adrenal Atasi syok dengan tatalaksana syok hipovolemik pada umumnya Rehidrasi bila terdapat dehidrasi Koreksi hipoglikemia Hidrokortison suksinat dosis stres 50–100 mg/m2 bolus i.v. dilan2 jutkan 50–100 mg/m /hr i.v. dibagi menjadi 4 dosis
Penyulit
Sindrom Cushing iatrogenik Osteopenia, osteoporosis Trauma psikologis
Prognosis
Krisis adrenal dapat berakibat kematian Pengobatan harus dilakukan seumur hidup Diagnosis dan tatalaksana secara dini akan mencegah virilisasi yang berkelanjutan
Pencegahan
Konseling genetik prenatal Terapi deksametason prenatal bagi ibu hamil dengan bayi yang berisiko Skrining neonatal
275
Bibliografi 1.
Speiser PW, Azziz R, Baskin LS, Ghizzoni L, Hensle TW, Merke DP, dkk. Congenital adrenal hyperplasia due to steroid 21hydroxylase deficiency: an Endocrine Society clinical practice guideline. J Clin Endocrinol Metab. 2010;95(9):4133–60. 2. Speiser PW, White PC. Congenital adrenal hyperplasia. N Engl J Med. 2003;349(8):776–88. 3. Levine LS. Congenital adrenal hyperplasia. Pediatr Rev. 2000; 21(5):159–71. 4. Lee PA, Fuqua JS, Nebesio TB. Treatment and outcome of congenital adrenal hyperplasia: 21-hydroxylase deficiency. Int J Pediat Endocrinol. 2010;2010:276843. 5. Charmandari E, Brook CG, Hindmarsh PC. Classic congenital adrenal hyperplasia and puberty. Eur J Endocrinol. 2004;151:77– 82. 6. Loechner KJ, McLaughlin JT, Calikoglu AS. Alternative strategies for the treatment of classical congenital adrenal hyperplasia: pitfalls and promises. Int J Pediatr Endocrinol. 2010;2010: 670960. 7. Rivkees SA. Dexamethasone therapy of congenital adrenal hyperplasia and the myth of the "growth toxic" glucocorticoid. Int J Pediatr Endocrinol. 2010;2010:569680. 8. Donohoue PA. Adrenal disorder. Dalam: Kappy MS, Allen DB, Geffner ME, penyunting. Pediatric practice endocrinology. New York: McGraw Hill; 2010. hlm. 131–63. 9. Antal Z, Zhou P. Congenital adrenal hyperplasia: diagnosis, evaluation and management. Pediatr Rev. 2009;30(7):e49–57. 10. Australian Pediatric Endocrine Group. Hormones and me. Congenital adrenal hyperplasia (CAH). 2011 [diunduh 2 Oktober 2014]. Tersedia dari: http://www.apeg.org.au/Portals/0/ resources/Hormones_and_Me_8_CAH.pdf. 11. American Academy of Pediatrics. Technical report: congenital adrenal hyperplasia. Section on Endocrinology and Committee on Genetics. Pediatrics. 2000;106(6):1511–8. 12. Nimkarn S, Lin-Su K, New MI. Steroid 21 hydroxylase deficiency congenital adrenal hyperplasia. Endocrinol Metab Clin N Am. 2009;38(4):699–718.
276
Gastrohepalogi Iesje Martiza Sabaroedin Dwi Prasetyo Yudith Setiati Ermaya
ABDOMEN AKUT Batasan
Merupakan keadaan yang menunjukkan kegawatan pada abdomen yang ditandai dengan sakit perut mendadak
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis bergantung pada usia penderita, umumnya: nyeri perut mendadak, muntah, tiba-tiba menangis, menangis tanpa sebab yang jelas
Diagnosis
Anamnesis Nyeri perut mendadak Panas badan Muntah Diare Konstipasi Disuria Batuk, napas pendek, nyeri dada Nyeri sendi, ruam, urin kemerahan Amenorrhea Penggunaan obat-obatan Trauma Keracunan Pemeriksaan Fisis Lokalisasi nyeri Ketegangan dinding perut Peristaltik ↑ atau ↓ Colok dubur: menilai ampula rekti, tonus sphinter, terdapat massa, lokalisasi rasa nyeri, darah Pemeriksaan Penunjang Laboratorium (urin, feses, dan darah) Radiologi (foto polos dan USG abdomen)
279
Klasifikasi Tabel 70 Diagnosis Banding Nyeri Abdomen Akut Menurut Usia Lahir s.d. 1 Tahun 2–5 Tahun
6–11 Tahun
12–18 Tahun
Kolik infantil Gastroenteritis Konstipasi Infeksi saluran kemih Intususepsi
Gastroenteritis Apendisitis Konstipasi Infeksi saluran kemih Intususepsi
Gastroenteritis Apendisitis Konstipasi Nyeri fungsional
Apendisitis Gastroenteritis Konstipasi Dysmenorrhea
Volvulus Hernia inkarserata Hirschprung
Volvulus Trauma
Infeksi saluran kemih Trauma Faringitis
Faringitis
Pneumonia
Penyakit inflamasipelvis Abortus imminens Kehamilan ektopik Torsio ovarium/testis
Sickle cell crisis Sickle cell crisis Henoch-Schonlein Henoch-Schonlein purpura purpura Limfadenitis Limfadenitis mesenterika mesenterica Sumber: Balanchandran dkk. 2013
Terapi
Nonbedah Puasa dan pemberian cairan rumat i.v. Resusitasi cairan bila ada tanda syok atau dehidrasi Pemberian O2 bila ada tanda gangguan pernapasan Dekompresi dengan pemasangan pipa lambung dan pipa dubur bila ada tanda ↑ tekanan dalam usus dan muntah Pemberian antibiotik atas indikasi Bedah Kolonostomi: pada atresia ani letak tinggi Anoplasti: pada atresia ani letak rendah Laparotomi eksplorasi: pada peritonitis
Prognosis
Bergantung pada penyebab yang mendasari
280
NYERI ABDOMEN YANG MENYEBAR Pankreatitis akut Iskemik mesenterik Kertoasidosis diabetikum Peritonitis (akibat apapun) Gejala awal apendisitis Krisis sickle cell Gastroenteritis Peritonitis spontan Obstruksi intestinal Demam tifoid NYERI KUADRAN KANAN ATAU KIRI ATAS
NYERI KUADRAN KANAN ATAS Kolesistitis dan kolik bilier Hepatomegali kongestif Hepatitis atau abses hepatik Ulkus duodenum perforasi Apendisitis retrosekal (jarang)
Pankreatitis akut Herpes zoster Pneumonia lobus bawah Iskemik miokardial Radikulitis
NYERI KUADRAN KIRI ATAS Gastritis Gangguan limpa (abses, ruptur
NYERI KUADRAN KANAN BAWAH Apendisitis Divertikulitis sekum Divertikulitis Meckel Adenitis mesenterik
NYERI KUADRAN KIRI BAWAH Diverkulitis sigmoid NYERI KUADRAN BAWAH KANAN ATAU KIRI Abses abdomen/psoas Hematoma dinding abdomen Sistitis Endometriosis Hernia inkarserata/strangulata Inflammatory bowel disease Mittelschmerz Peradangan panggul Batu ginjal Ruptur aneurisme aorta abdominal Ruptur kehamilan ektopik Kista ovarium/testis terpuntir
Gambar 34 Etiologi Abdomen Akut berdasarkan Lokalisasi dan Sifat Nyeri
281
Apendisitis Nafsu makan ↓, gangguan pencernaan, atau perubahan kebiasaan BAB Nyeri perut yang awalnya tidak dapat dilokalisasi berlanjut menjadi nyeri sebelah kanan bawah (McBurney) Demam, takikardia Leukosit dan CRP ↑ USG: bayangan tubular buntu dengan diameter min. 6 mm, nonkompresibel Divertikel Meckel Presentasi klinis klasik divertikel Meckel: penderita usia prasekolah dengan perdarahan rektum yang tidak nyeri, perdarahan biasanya episodik, dan membaik tanpa terapi Nyeri periumbilikal biasanya merupakan gejala awal, biasanya tidak disertai mual dan muntah seperti apendisitis klasik, pungtum maks. nyeri dapat berpindah ke sisi lainnya bila anak bergerak Bila didapatkan perdarahan rektal, perlu disingkirkan polip dan fisura ani Bila obstruksi dilakukan pencitraan foto polos dan USG abdomen Skintigrafi perlu untuk menegakkan diagnosis (bila memungkinkan) Intususepsi Nyeri perut: nyeri mendadak, intermiten, kolik, diselingi periode tenang Muntah Massa abdomen Perdarahan per rektal Foto polos abdomen USG: doughnut sign Hernia inkarserata Riwayat benjolan keluar masuk di lipat paha, keluar saat beraktivitas dan masuk/hilang bila penderita tidur/beristirahat Bila keadaan inkarserata/strangulata benjolan tidak dapat masuk kembali, disertai dengan tanda-tanda obstruksi intestinal: mual, muntah, nyeri, tidak ada buang angin maupun BAB, distensi abdomen, BAB berdarah merupakan tanda strangulata Bila didapatkan tanda-tanda peritonitis dipastikan hernia sudah mengalami strangulata Bila pada benjolan didapatkan gambaran kemerahan dan tandatanda radang, harus dicurigai strangulata dengan kemungkinan perforasi usus Malrotasi Gambaran klinis adalah obstruksi letak tinggi seperti gambaran atresia duodenum Gambaran radiologis: double bubble
282
Bila pada gambaran double bubble disertai dengan penebalan dinding maka dilakukan skrining lanjutan: sonografi dengan gambaran whirlpool sign → patognomonis pada malrotasi Baku emas: pemeriksaan upper GI dengan kontras: gambaran cork screw ataupun posisi caecum yang terletak di kiri atau kanan atas
Bibliografi 1. 2. 3. 4. 5.
Balanchandran B, Singhi S, Lal S. Emergency management of acute abdomen in children. Indian J Pediatr. 2013;80(3):226–34. George WH, Patrick M. Ashcraft’s pediatric surgery. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. Leung AKC, Sigalet DL. Acute abdominal pain in children. Am Fam Physician. 2003;67(11):2321–6. Shelton T, MCkinlay R, Schwartz RW. Acute appendicitis: current diagnosis and treatment. Curr Surg. 2003;60:502–50. Zhou H, Chen Y, Zhang J. Abdominal pain among children reevaluation of a diagnostic algorithm. World J Gastroenterol. 2002;8(5):947–51.
283
CHOLESTATIS JAUNDICE (KOLESTASIS) Batasan
Hambatan aliran empedu yang menyebabkan retensi berbagai substansi yang seharusnya diekskresikan ke kandung empedu dengan bilirubin direk >2 mg/dL bila bilirubin total <5 mg/dL atau bilirubin direk >20% dari bilirubin total bila kadar bilirubin total >5 mg/dL
Klasifikasi
Kolestasis intrahepatik → terdapat kelainan pada hepatosit atau elemen duktus biliaris intrahepatik Kolestasis ekstrahepatik → terdapat penyumbatan atau obstruksi saluran empedu ekstrahepatik
Epidemiologi
Secara keseluruhan kolestasis pada bayi terjadi cukup tinggi yaitu 1/2.500 kelahiran hidup. Kolestasis intrahepatik merupakan 68% dari kasus kolestasis, sedangkan ekstrahepatik 32% dan sebagian besar adalah atresia biliaris. Angka kejadian atresia biliaris sebesar 1 dari 8.000–25.000 kelahiran hidup
Manifestasi Klinis
Obstruksi intrahepatik yang terjadi biasanya jarang seberat obstruksi ekstrahepatik, sehingga kolestasis intrahepatik umumnya hanya meningkatkan alkali fosfatase yang tidak begitu tinggi, dan hanya terdapat sedikit pigmen dalam feses atau bilirubin urin bila dibandingkan dengan kolestasis ekstrahepatik
Diagnosis
Anamnesis Riwayat prenatal, neonatal, riwayat morbiditas ibu selama kehamilan misalnya infeksi toksoplasma, others, rubela, cytomegalovirus, dan herpes (TORCH), hepatitis B, riwayat pemberian nutrisi parenteral, transfusi darah, serta penggunaan obat hepatotoksik Pemeriksaan Fisis Didapatkan ikterus, hepatomegali, dapat ditemukan splenomegali dan venektasi Tabel 71 Empat Kriteria Klinis Terpenting untuk Membedakan Kolestasis Intrahepatik dengan Ekstrahepatik Gambaran BB lahir (g) Warna feses (% akolik) Usia saat feses akolik (hr) Ukuran abnormal atau konsistensi hepar (%)
Kolestasis Ekstrahepatik 3.200 79 16 87
Sumber: Moyer dan Balisteri 1991
284
Kolestasis Intrahepatik 2.700 26 30 53
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium Feses: Warna feses berwarna dempul (biasanya pada kolestasis ekstrahepatik) Darah: Kadar bilirubin total ↑ dan bilirubin direk ↑ SGOT ↑, SGPT ↑ Alkali fosfatase ↑, gama glutamil transferase ↑ Albumin ↓, waktu protombin ↑ Tabel 72 Tes Fungsi Hati Cholestasis Jaundice Tes Fungsi Hati
Kolestasis Intrahepatik
Kolestasis Ekstrahepatik
Bilirubin total (mg/dL) Bilirubin direk (mg/dL) SGOT SGPT Gama-GT
10,2 ± 4,5
12,1 ± 9,6
6,2 ± 2,6
8,0 ± 6,8
>10× normal <5× normal >10× normal <5× normal <5× normal atau normal >5× normal/>600 IU/L
Sumber: Tirziu 2011
Pencitraan Ultrasonografi (USG) USG gambaran triangular cord sign sangat membantu diagnosis atresia biliaris dengan sensitivitas dan spesifisitas 100% Gambaran berupa massa fibrotik berbentuk kerucut atau tubular pada bagian kranial dan bifurkatio vena porta pada penderita atresia biliaris Skintigrafi Pada kolestasis intrahepatik uptake kontras oleh hati biasanya terlambat tetapi ada ekskresi ke dalam usus Pada atresia biliaris uptake kontras oleh hati biasanya cepat tetapi tidak ada ekskresi ke dalam usus Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) (MRCP) merupakan prosedur diagnostik teraman untuk mengeksplorasi saluran kandung empedu, sehingga dapat diketahui apakah terdapat sumbatan pada saluran kandung empedu Biopsi hati Merupakan pemeriksaan yang paling dapat dipercaya untuk mendiagnosis kolestasis, akurasi mencapai 90–95%
285
Terapi
Umum Memperbaiki aliran bahan yang dihasilkan hati ke dalam usus dan melindungi hati dari zat toksik dengan asam ursodeoksikolat (UDCA) 10–16 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis. Kolesteramin sebagai terapi pruritus dan mengikat asam empedu di usus halus, dosis 0,25–0,5 g/kgBB/hr Nutrisi dan Vitamin Formula medium chain triglyceride (MCT) karena relatif larut dalam air sehingga tidak memerlukan garam empedu untuk absorbsi Kebutuhan kalori 125% dari normal dan protein 2–3 g/kgBB/hr Vitamin yang larut dalam lemak: A : 5.000–25.000 IU/hr D3 : kalsitriol 0,05–0,2 μg/kgBB/hr E : 25–50 IU/kgBB/hr K1 : 2,5–5mg/2–7×/mgg Mineral dan trace element: Ca, P, Mn, selenium, dan Fe Khusus Untuk toksoplasma diberikan Pirimetamin Dosis yang diberikan 2 mg/kgBB/hr (maks. 50 mg/hr) selama 2 hr pertama selanjutnya dosis pemeliharaan 1 mg/kgBB/hr selama 6 bl, kemudian 1 mg/kgBB/hr selang sehari sampai 1 th. Efek samping yang sering terjadi adalah anemia defisiensi asam folat Sulfadiazin Dosis yang diberikan 100 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis selama 1 th Asam folat Dosis 5–10 mg/kgBB/hr, 3×/mgg untuk mencegah toksisitas pirimetamin Pengobatan Bedah Bedah portoenterostomi kasai pada atresia biliaris (merupakan tindakan sementara sebelum dilakukan tindakan definitif yaitu transplantasi hati)
Prognosis
Pada atresia biliaris bila operasi dilakukan pada usia <8 mgg maka angka keberhasilan 80%, sedangkan bila operasi dilakukan pada usia >12 mgg maka angka keberhasilan 20%
Bibliografi 1.
European Association for the Study of the Liver. EASL clinical practice guidelines: management of cholestatic liver diseases. J Hepatol. 2009 Aug;51(2):237–67. 286
2.
3. 4.
5.
6.
Feranchak AP, Ramirez RO, Sokol RJ. Medical and nutritional management of cholestasis. Dalam: Suchy F, Sokol R, Balisteri WF, penyunting. Liver disease in children. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. hlm. 195–225. Kotb MA, Kotb A, Sheba MF, El Koofy NM, El-Karaksky HM, Abdel-Kahlik MK, dkk. Evaluation of the triangular cord sign in the diagnosis of biliary atresi. Pediatrics. 2001;108(2):416–20. Moyer MS, Balisteri WF. Prolonged neonatal obstructive jaundice. Dalam: Walker W, Durie P, Hamilton J, Walker-Smith J, Watkins J, penyunting. Pediatric gastrointestinal disease. Philadelphia: BC Dekker Inc; 1991. hlm. 835–48. Suchy FJ. Approach to the infant with cholestasis. Dalam: Suchy F, Sokoi R, Balisteri WF, penyunting. Liver disease in children. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. hlm. 187–94. Tirziu C. Jaundice obstructive syndrome. Curr Health Sci J. 2011; 37(2):96–100.
287
DIARE AKUT Batasan
Diare akut adalah buang air besar (BAB) dengan konsistensi yang lebih lunak atau cair yang terjadi dengan frekuensi ≥3× dalam 24 jam dan berlangsung dalam waktu <14 hr
Etiologi
Infeksi Bakteri: E. coli, Shigella, Salmonella, Vibrio, Yersinia, Campylobacter Virus: rotavirus, Norwalk virus, Adenovirus Parasit: Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Cryptosporidium parvum Alergi: protein air susu sapi Intoleransi: karbohidrat Malabsorpsi: karbohidrat, lemak, protein Keracunan makanan Zat kimia beracun Toksin mikroorganisme: Clostridium perfringens, Staphylococcus aureus Imunodefisiensi
Manifestasi Klinis
Penderita dengan diare cair mengeluarkan feses yang mengandung sejumlah elektrolit seperti Na, klorida, dan bikarbonat. Keadaan ini dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik, dan gangguan elektrolit
Diagnosis
Anamnesis Hal-hal yang perlu ditanyakan pada anamnesis: Lama diare, frekuensi, volume, konsistensi feses, warna, bau, ada atau tidak ada lendir maupun darah Bila disertai dengan muntah: volume dan frekuensi Jumlah atau frekuensi buang air kecil Makanan dan minuman yang diberikan selama diare Gejala lain seperti panas badan, kejang atau penyakit lain yang menyertai seperti batuk, pilek, dan campak Tindakan yang sudah dilakukan: pemberian oralit, riwayat pengobatan sebelumnya, dan riwayat imunisasi Pemeriksaan Fisis Pada pemeriksaan fisis meliputi BB dan tanda vital. Pemeriksaan ditujukan pada tanda-tanda utama dehidrasi. Pernapasan cepat dan dalam menunjukkan keadaan asidosis metabolik. Bising usus . Daerah perianal dapat ditemukan ruam perianal
288
Tabel 73 Tanda dan Gejala Klinis Dehidrasi Gejala & Tanda Keadaan umum
A Baik, sadar
B *Gelisah, rewel
C *Letargik, kesadaran ↓ Mata Normal Cekung Sangat cekung Air mata Basah Kering Sangat kering Mulut/lidah Basah Kering Sangat kering Rasa haus Minum normal, *Tampak *Sulit, tidak tidak haus kehausan dapat minum Kulit Turgor kembali *Turgor kembali *Turgor kembali cepat lambat sangat lambat Derajat dehidrasi Tanpa dehidrasi Dehidrasi Dehidrasi berat ringan/sedang Bila ada 1 tanda * Bila ada 1 tanda * ditambah ditambah 1 atau lebih 1 atau lebih tanda lain tanda lain Terapi Rencana terapi A Rencana terapi B Rencana terapi C Defisit cairan <5% atau 5–10% atau >10% atau <50 mL/kgBB 50–100 >100 mL/kgBB mL/kgBB Sumber: WHO 2005
Pemeriksaan Penunjang Feses rutin, makroskopik (warna, konsistensi, darah, lendir, nanah), dan mikroskopik (eritrosit, leukosit, telur cacing, ameba, lemak). Pada dehidrasi berat, perlu pemeriksaan laboratorium lebih lengkap seperti darah rutin, elektrolit, dan analisis gas darah Berdasarkan patomekanismenya, diare akut dibedakan menjadi 3 macam yaitu: 1. Diare sekretorik Diare sekretorik adalah diare yang terjadi akibat aktifnya enzim adenil siklase yang akan mengubah adenosine triphosphate (ATP) menjadi cyclic adenosine monophosphate (cAMP). Akumulasi cAMP intraselular menyebabkan sekresi aktif air, ion klorida, natrium, kalium, dan bikarbonat ke dalam lumen usus. Adenil siklase ini diaktifkan oleh toksin yang dihasilkan dari mikroorganisme, antara lain Vibrio cholera, Enterotoxigenic Eschericia coli (ETEC), Shigella, Clostridium, Salmonella, dan Campylobacter 2. Diare invasif Diare invasif adalah diare yang terjadi akibat invasi mikroorganisme ke dalam mukosa usus sehingga terjadi kerusakan mukosa usus. Diare invasif disebabkan oleh virus (rotavirus), bakteri (Shigella, Salmonella, Campylobacter, Entero invasive Eschericia coli/EIEC, dan Yersinia), atau parasit (Amoeba). Diare invasif terdapat dalam 2 bentuk, yaitu: 289
Diare non-dysentriform berupa diare yang tidak berdarah, biasanya disebabkan oleh rotavirus Pada diare yang disebabkan oleh rotavirus, sesudah masuk ke dalam saluran cerna, virus akan berkembang biak dan masuk ke dalam apikal usus halus menyebabkan kerusakan pada bagian apikal dari vili yang selanjutnya diganti oleh bagian kripta yang belum matang (imatur, berbentuk kuboid atau gepeng). Sel yang masih imatur ini tidak dapat berfungsi normal karena tidak dapat menghasilkan enzim laktase. Diare yang disebabkan rotavirus paling sering terjadi pada anak usia <2 th berupa diare cair, muntah, disertai batuk pilek Diare dysentriform berupa diare berdarah yang biasanya disebabkan oleh bakteri Shigella, Salmonella, dan EIEC. Pada diare karena Shigella sesudah bakteri melewati barier asam lambung, selanjutnya masuk ke dalam usus halus dan berkembang biakserta mengeluarkan enterotoksin. Enterotoksin ini merangsang enzim adenil siklase mengubah ATP menjadi cAMP sehingga terjadi diare sekretorik. Bakteri ini akan sampai di kolon karena peristaltik usus dan melakukan invasi membentuk mikroulkus yang disertai dengan serbuan sel-sel radang PMN dan menimbulkan BAB yang berlendir dan berdarah 3. Diare osmotik Diare osmotik adalah diare yang disebabkan oleh tekanan osmotik yang tinggi di dalam lumen usus sehingga menarik cairan dari intraselular ke dalam lumen usus yang menimbulkan watery diarrhea. Diare osmotik paling sering disebabkan oleh malabsorpsi karbohidrat. Laktosa akan diubah menjadi glukosa dan galaktosa oleh enzim laktase, kemudian diabsorbsi di dalam usus halus. Apabila terjadi defisiensi enzim laktase maka akumulasi laktosa pada lumen usus akan menimbulkan osmotic pressure yang tinggi sehingga terjadi diare
Terapi
Tatalaksana diare dilakukan secara komprehensif terdiri atas: Rehidrasi dengan menggunakan oralit atau i.v. Zinc diberikan selama 10–14 hr berturut-turut meskipun anak sudah sembuh dari diare Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF sudah menganjurkan pemberian zinc pada anak diare dengan dosis sebagai berikut: untuk bayi usia <6 bl diberikan dosis 10 mg/hr, dan usia ≥6 bl diberikan 20 mg/hr selama 10–14 hr ASI dan makanan lain tetap diteruskan Antibiotik selektif Nasihat atau penyuluhan kepada orangtua Diare tanpa dehidrasi (rencana terapi A) Penderita diare tanpa dehidrasi harus segera diberikan cairan untuk mencegah dehidrasi. Pengobatan dilakukan di rumah oleh 290
keluarga penderita. Jumlah cairan yang diberikan setiap habis BAB yaitu: Anak usia <2 th : 50–100 mL Anak usia 2–10 th: 100–200 mL Anak >10 th atau dewasa: sebanyak yang diinginkan Pemberian cairan ini dilanjutkan sampai diare berhenti. ASI dan makanan yang biasa dimakan harus tetap diberikan. Penderita perlu dibawa kembali ke fasilitas kesehatan bila ditemukan: Diare bertambah cair Muntah-muntah Panas badan Anak tampak kehausan Anak tidak mau makan atau minum Diare berdarah Rencana terapi A RENCANA TERAPI A UNTUK MENGOBATI DIARE DI RUMAH
Berikan nasihat kepada orangtua mengenai 4 aturan terapi di rumah: berikan cairan tambahan, berikan suplemen zinc, teruskan pemberian makan, ketika terjadi diare kembali, berikan cairan tambahan (sebanyak yang anak inginkan) Katakan kepada ibu penderita: Berikan ASI sesering-seringnya dan selama pemberian makan. Apabila anak mendapatkan ASI ekslusif, berikan oral rehydration solution (ORS) atau air putih sebagai tambahan ASI. Apabila anak tidak mendapatkan ASI ekslusif berikan salah satu atau lebih dari terapi berikut ini: cairan ORS, kuah sup, kuah sayuran, air cucian beras, atau air putih. Pemberian ORS sangat penting, terutama dalam pemberian di rumah sesudah sebelumnya anak mendapatkan terapi B atau terapi C Orangtua segera membawa anaknya ke pelayanan kesehatan apabila diare makin bertambah, selain itu orangtua harus diberi pengarahan mengenai cara mencampur dan memberikan ORS. Berikanlah orangtua 2 bungkus ORS yang digunakan di rumah, tunjukkan kepada orangtua berapa banyak cairan yang diberikan sebagai tambahan Cairan yang diberikan: 0–2 th: 50–100 mL setiap diare dan di antaranya >2 th : 100–200 mL setiap diare dan di antaranya Berikan cairan tersebut sedikit demi sedikit. Apabila anak tersebut muntah, tunggu hingga 10 mnt. Kemudian lanjutkan pemberian, akan tetapi perlahan-lahan. Berikan cairan tambahan sampai diare berhenti. Berikan suplemen zinc Suplemen zinc yang diberikan: 0–6 bl: 10 mg/hr selama 14 hr >6 bl : 20 mg/hr selama 14 hr
291
GUNAKAN CARA INI UNTUK MENGAJAR IBU Teruskan mengobati anak di rumah MENERANGKAN TIGA CARA TERAPI DIARE DI RUMAH 1. BERIKAN ANAK LEBIH BANYAK CAIRAN DARIPADA BIASANYA UNTUK MENCEGAH DEHIDRASI Gunakan cairan rumah tangga yang dianjurkan seperti makanan cair (sup, air tajin), dan—kalau tidak ada air matang—gunakan larutan oralit untuk anak seperti dijelaskan dalam kotak di bawah (catatan: jika anak usia <6 bl dan belum makan makanan padat lebih baik diberi oralit dan air matang daripada makanan cair) Berikan larutan ini sebanyak anak mau. Berikan jumlah larutan oralit seperti di bawah sebagai penuntun Teruskan pemberian larutan ini hingga diare berhenti 2. BERIKAN ANAK MAKANAN UNTUK MENCEGAH KURANG GIZI Teruskan ASI Bila anak tidak mendapat ASI berikan susu yang biasa diberikan. Untuk anak usia <6 bl dan belum mendapat makanan padat dapat diberikan susu yang diencerkan dengan air yang sebanding selama 2 hr Bila anak usia ≥6 bl atau sudah mendapat makanan padat − Berikan bubur atau campuran tepung lainnya. Bila mungkin dicampur dengan kacang-kacangan, sayur, daging, atau ikan − Berikan sari buah segar atau pisang halus untuk menambahkan kalium − Berikan makanan yang segar. Masak dan haluskan atau tumbuk makanan dengan baik ANAK HARUS DIBERI ORALIT DI RUMAH BILA Sesudah mendapat rencana terapi B atau C Tidak dapat kembali kepada petugas kesehatan bila diare memburuk
292
JIKA ANAK AKAN DIBERI LARUTAN ORALIT DI RUMAH, TUNJUKKAN KEPADA IBU JUMLAH ORALIT YANG DIBERIKAN SETIAP HABIS BUANG AIR BESAR DAN BERIKAN ORALIT YANG CUKUP UNTUK 2 HARI Jumlah Oralit yang Jumlah Oralit yang Usia (th) Diberikan Disediakan Tiap BAB (mL) di Rumah (mL/hr) <1 1–4 >5 Dewasa
50–100 100–200 200–300 300–400
400 (2 bungkus) 600–800 (3–4 bungkus) 800–1.000 (4–5 bungkus) 1.200–2.800
TUNJUKKAN KEPADA IBU CARA MENCAMPUR ORALIT Berikan sesendok teh tiap 1–2 mnt untuk anak usia <2 th Berikan beberapa teguk dari gelas untuk anak lebih tua Bila anak muntah, tunggulah 10 mnt, kemudian berikan cairan lebih sedikit (misalnya sesendok setiap 1–2 mnt) Bila diare berlanjut sesudah bungkus oralit habis, beritahu ibu untuk memberikan cairan lain seperti dijelaskan dalam cara pertama atau kembali kepada petugas kesehatan untuk mendapatkan tambahan oralit
Diare dehidrasi ringan–sedang (rencana terapi B) Rencana terapi B RENCANA TERAPI B UNTUK TERAPI DEHIDRASI RINGAN–SEDANG JUMLAH ORALIT YANG DIBERIKAN DALAM 3 JAM PERTAMA ORALIT yang diberikan dihitung dengan mengalikan BERAT BADAN penderita (kg) dengan 75 mL Bila berat badan anak tidak diketahui dan atau untuk memudahkan di lapangan, berikan oralit “paling sesuai” tabel di bawah ini Usia (Th) <1 1–5 >5 Dewasa Jumlah oralit (mL)
300
600
1.200
2.400
Bila anak menginginkan lebih banyak oralit, berikanlah AMATI ANAK DENGAN SEKSAMA DAN BANTU IBU MEMBERIKAN ORALIT Tunjukkan jumlah cairan yang harus diberikan Tunjukkan cara pemberian cairan sesendok teh tiap 1–2 mnt untuk anak usia <2 th, beberapa teguk dari cangkir untuk anak yang lebih tua Periksa dari waktu ke waktu bila ada masalah Bila anak muntah tunggu 10 mnt. Teruskan pemberian oralit tetapi lebih lambat, misalnya sesendok tiap 2–3 mnt
293
SESUDAH 3–4 JAM, NILAI KEMBALI ANAK MENGGUNAKAN BAGAN PENILAIAN, KEMUDIAN PILIH RENCANA TERAPI A, B, ATAU C UNTUK MELANJUTKAN TERAPI Bila tidak ada dehidrasi, ganti ke rencana terapi A. Bila dehidrasi sudah hilang, anak biasanya kencing, dan lelah kemudian mengantuk serta tidur Bila tanda menunjukkan dehidrasi ringan/sedang, ulangi rencana terapi B tetapi tawarkan makanan, susu, dan sari buah seperti rencana terapi A Bila tanda menunjukkan dehidrasi berat, ganti dengan rencana terapi C BILA IBU HARUS PULANG SEBELUM SELESAI RENCANA TERAPI B Tunjukkan jumlah oralit yang harus dihabiskan dalam terapi 3 jam di rumah Berikan bungkus oralit untuk rehidrasi dan untuk 2 hr lagi seperti dijelaskan dalam rencana terapi A Tunjukkan cara menyiapkan oralit Jelaskan 3 cara dalam rencana terapi A untuk mengobati anak di rumah Memberikan oralit atau cairan lain hingga diare berhenti
294
295
Zinc Mikronutrien zinc mempunyai fungsi fisiologis yang beragam antara lain dalam sistem imunologis dan integritas mukosa usus. Anak dengan defisiensi zinc mudah terkena diare karena infeksi. Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF sudah menganjurkan pemberian zinc pada anak diare dengan dosis sebagai berikut: untuk bayi usia <6 bl diberikan dosis 10 mg/hr dan usia ≥6 bl diberikan 20 mg/hr selama 10–14 hr Probiotik Probiotik sudah dibuktikan melalui penelitian efektif untuk pencegahan dan pengobatan terhadap bermacam kelainan gastrointestinal. Bakteri probiotik yang sering digunakan untuk memperpendek diare adalah Lactobacillus GG, Lactobacillus acidophillus, Bifidobacterium bifidum, dan Enterococcus faecium. Sediaan probiotik berbentuk bubuk kering (free-dried powder). 10–11 Setiap dosis mengandung bakteri sebanyak 10 colony forming unit (CFU). Lactobacillus GG diberikan 2×/hr selama 5 hr untuk tambahan pengobatan diare pada anak Diet Meneruskan pemberian makanan akan mempercepat kembalinya fungsi usus yang normal termasuk kemampuan menerima dan mengabsorpsi berbagai nutrien Jenis makanan yang diberikan pada bayi dan anak diare akut mengikuti pola pemberian makanan anak sehat: Anak yang masih disusui secara eksklusif, ASI tetap diberikan. ASI berfungsi sebagai makanan tunggal Pada anak diare yang mendapat susu formula dan didapatkan tanda-tanda intoleransi laktosa (kembung dan diaper rash), dapat diberikan susu yang bebas laktosa. Bila intoleransi laktosa sudah membaik, secara bertahap kembali ke susu semula Anak yang sudah mendapatkan makanan, diet makanan lunak, rendah serat dengan porsi kecil tapi sering Antibiotik Pemberian antibiotik yang tidak rasional akan memperpanjang lama diare karena terganggunya keseimbangan flora usus. Selain itu, pemberian antibiotik yang tidak rasional akan mempercepat resistensi kuman terhadap antibiotik dan menambah biaya pengobatan yang tidak perlu. WHO menganjurkan pemberian antibiotik seperti Tabel 74, tetapi boleh dipilih antibiotik tertentu yang masih sensitif di daerah tersebut misalnya kotrimoksazol
296
Tabel 74 Pemberian Antibiotik Penyebab
Antibiotik Pilihan
Antibiotik Alternatif
Kolera
Tetrasiklin 50 mg/kgBB/hr dibagi 4 dosis selama 2–3 hr
Eritromisin 50 mg/kgBB/hr dibagi 4 dosis selama 3 hr
Shigella dysentriae
Siprofloksasin 30mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis selama 3 hr Kotrimoksazol 50 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis selama 5 hr Tiamfenikol 50 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis
Pivmecillinam 20 mg/kgBB/hr dibagi 4 dosis selama 5 hr Sefiksim 10 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis selama 5 hr
Amebiasis
Metronidazol 30–50 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis selama 5–10 hr
Prognosis
Pada diare akut umumnya baik
Bibliografi 1.
2. 3.
4.
Agustina R, Lukito W, Firmansyah A, Suhardjo HN, Murniati D, Bindels J. The effect of early nutritrional suplementation with a mixture of probiotic, prebiotic, fiber, and micronutrient in infants with acute diarrhea in Indonesia. Asia Pac J Clin Nutr. 2007;16(3): 435–42. Guidelines for the management of acute diarrhea. Atlanta: Department of Health and Human Services, Center for Disease Control and Prevention; 2008. King CK, Glass R, Bresee JS, Duggan C; Centers for Disease Control and Prevention. Managing acute gastroenteritis among child: oral rehidration, maintenance, and nutritional therapy. MMWR Recomm Rep. 2003 Nov;52(RR-16):1–16. World Health Organization. The treatment of diarrhea: a manual for physicians and other senior health workers. Revisi ke-4. Geneva: WHO; 2005.
297
HEPATITIS AKUT Epidemiologi
Diperkirakan 1,5 kasus hepatitis akut A setiap tahunnya di seluruh dunia bergantung pada endemisistas daerah sekitar 150/100.000 orang. Kebanyakan terjadi di daerah dengan infrastruktur sanitasi yang buruk. Diperkirakan 90% anak di negara berkembang sudah mengalami hepatitis akut A, sedangkan prevalensi hepatitis akut E sangat rendah (<2%) ditemukan di antara populasi orang sehat
Manifestasi Klinis
Terdiri atas 3 stadium: Masa prodormal atau praikterik (4 hr–1 mgg) Malaise, gejala flu, anoreksia, mual, muntah, rasa tidak nyaman di perut kanan atas, demam, hepatomegali, nyeri kepala, dan kadang-kadang diare Fase ikterik Urin berwarna gelap (seperti teh pekat), feses seperti dempul (tidak selalu ada), sklera dan kulit ikterik, anoreksia, lesu, mual, muntah bertambah berat, depresi mental, bradikardia, pruritus Gejala prodromal ↓ atau menghilang Fase penyembuhan Ikterik menghilang dalam 4 mgg
Diagnosis
Anamnesis Keluhan seperti pada manifestasi klinis, terdapat kontak erat dengan keluhan serupa. Higiene dan sanitasi yang buruk Pemeriksaan Fisis Sklera ikterik, hepatomegali, splenomegali, gangguan kesadaran, perdarahan (bila fulminan) Pemeriksaan Penunjang Bilirubin direk ↑ dan transferase ↑ Penanda Hepatitis IgM anti-HAV → hepatitis A HbsAg IgM anti-HEV → hepatitis E
Klasifikasi
Hepatitis virus akut disebabkan oleh virus hepatitis A, B, E
Terapi
Tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis akut Penderita hepatitis akut dirawat bila muntah hebat, kesadaran ↓, kejang, atau dehidrasi Istirahat di tempat tidur (mengurangi aktivitas) sampai gejala akut hilang 298
Diet Gizi seimbang Bila muntah hebat, infus sesuai kebutuhan Obat-obatan Asam ursodeoksikolat (UDCA) 10–16 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis Kolesteramin 1 mg/kgBB/hr bersama-sama dengan makan → bila ada kolestasis berat (ikterus ++, gatal)
Pencegahan Higiene Vaksinasi
Prognosis
Kebanyakan dapat sembuh sempurna
Bibliografi 1. 2. 3.
Clemente MG, Schwarz K. Hepatitis: general principles. Pediatr Rev. 2011;32:333–41. Kojaoglanian T. Hepatitis A-in brief. Pediatr Rev. 2010;31:348–50. World Gastroenterology Organization. Management of acute viral hepatitis. Practice guidelines. Milwaukee: WGO; 2007.
299
HEPATITIS KRONIK Epidemiologi
Hepatitis kronik, meski lebih jarang dibandingkan dengan kejadian hepatitis akut merupakan salah satu penyakit dengan angka kesakitan dan kematian cukup tinggi. Penyebab paling sering adalah infeksi virus hepatitis B, C, dan obat-obatan. Hepatitis C umumnya bersifat asimtomatik. Insidensi simtomatik baru diperkirakan 1–3 kasus/100.000 orang/th. Hepatitis D ditemukan bersama dengan infeksi hepatitis B biasanya berupa koinfeksi atau dapat juga berupa superinfeksi
Manifestasi Klinis
Hepatitis kronik B atau C umumnya tidak menimbulkan gejala
Diagnosis
Anamnesis Ditemukan riwayat infeksi virus hepatitis B, transfusi darah, dan lahir dari ibu penderita hepatitis B/C. Hepatitis yang berlangsung lebih dari 6 bl Pemeriksaan Penunjang Dapat ditemukan enzim SGOT dan SGPT ↑ Penanda Hepatitis HbsAg (yang menetap >6 bl) → hepatitis B IgM anti-HCV → hepatitis C IgM anti-HDV → hepatitis D
Klasifikasi
Hepatitis virus kronik disebabkan oleh virus hepatitis B, C, D
Terapi
Dirujuk ke spesialis gastrohepatologi anak
Pencegahan
Pemberian vaksin hepatitis B dosis pertama pada semua bayi sebelum usia 12 jam, kedua pada usia 1 bl, dan ketiga pada usia 6 bl Khusus untuk bayi yang lahir prematur atau bayi lahir dengan BB <2.000 g, dosis pertama dapat ditunda sampai BB 2.000 g. Dosis kedua 1 bl kemudian, dan ketiga 6 bl sejak pemberian pertama Ibu dengan HbsAg(+) Bayi yang lahir diberikan vaksin HepB-1 dan HBIg 0,5 mL secara bersamaan segera sesudah lahir (<12 jam), disuntikkan pada paha yang berbeda Bayi lahir dengan BB <2.000 g langsung diberikan imunoglobulin hepatitis B. Bayi juga diberikan vaksin pertama pada usia <12 jam (dianggap dosis 0) selanjutnya diberikan saat BB mencapai 2.000 g (dianggap dosis pertama) dilanjutkan 1 bl kemudian, dan 6 bl sesudah dosis pertama 300
Prognosis
Buruk bila sampai sirosis
Bibliografi 1. 2. 3.
4. 5.
Clemente MG, Schwarz K. Hepatitis: general principles. Pediatr Rev. 2011;32:333–41. Hsu EK, Murray KF. Hepatitis B and C in children. Nat Rev Gastroenterol Hepatol. 2008;6(5):311–20. Kliegman RM, Marcdante KJ. Viral hepatitis. Dalam: Kliegman RM, Marcdante KJ, Jenson HB, Behrman RE. Nelson’s essential of pediatric. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. hlm. 518–22. Kwon H, Lok AS. Hepatitis B therapy. Nat Rev Gastroenterol Hepatol. 2011;8:275–84. Manns MP, Clesek S. The dawn of a new era in HCV therapy. Nat Rev Gastroenterol Hepatol. 2011;8:69–71.
301
HIPOKALEMIA Batasan
Hipokalemia adalah keadaan apabila kadar kalium (K) dalam darah <3,5 mEq/L Tabel 75 Penyebab Kehilangan Kalium Diare Obat-obatan Diuretik Tiazid Loop diuretik Osmotik diuretik Antibiotik Penisilin dan analognya Amfoterisin B Aminoglikosid Hormon Aldosteron Glukokortikoid Bikarbonaturia Asidosis tubulus renalis distal Pengobatan asidosis tubulus renalis proksimal Fase koreksi pada asidosis metabolik Defisiensi magnesium Penyebab lain yang jarang Sisplatin Inhibitor karbonik anhidrase Toluen Leukemia Fase diuretik pada nekrosis tubular akut Defek intrinsik pada transpor di ginjal Sindrom Bartter Sindrom Gitelman Sindrom Liddle
Manifestasi Klinis
Bervariasi bergantung pada kadar kalium dalam darah. Pada kadar K 3–3,5 mEq/L gejalanya asimtomatik, kadar 2,5–3 mEq/L didapatkan gejala nonspesifik (lemah, lesu, konstipasi), kadar 2–2,5 mEq/L dapat terjadi nekrosis pada otot, dan kadar K<2 mEq/L dapat terjadi ascending paralysis yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi respirasi Pada penderita yang tidak mempunyai kelainan jantung yang mendasari, biasanya kelainan konduksi jantung akibat hipokalemia jarang terjadi, walaupun kadar K dalam darah <3 mEq/L. Sebaliknya, pada penderita dengan kelainan jantung (iskemia, hipertrofi), keadaan hipokalemia yang ringan sampai sedang sudah dapat menyebabkan aritmia 302
Diagnosis
Anamnesis Terdapat riwayat muntah, diare, dan kehilangan keringat yang berlebihan Riwayat pengggunaan obat-obatan Pemeriksaan Fisis Kelemahan sistem otot skelet, serabut otot halus, dan otot jantung. Kelemahan otot ini dimulai pada otot ekstremitas bawah sebelum berlanjut pada otot leher dan otot pernapasan. Ileus paralitik dan refleks dilatasi gaster terjadi karena kelemahan serabut otot halus Bila hipokalemia berlangsung lama, dapat terjadi gangguan ginjal yang hampir sama dengan gejala pielonefritis kronik Pemeriksaan Penunjang Kadar K darah <3,5 mEq/L EKG: depresi gelombang T atau T wave flattening, depresi segmen ST, gelombang U, pemanjangan PR atau QT interval
Klasifikasi
Ringan : kadar K 3–3,5 mEq/L Sedang: kadar K 2,5–3 mEq/L Berat : kadar K <2,5 mEq/L
Terapi
Pemberian kalium (dengan memonitor kadar kalium darah) Bila kadar K darah <2,5 mEq/L dengan gejala, diberikan larutan KCl 7,46% i.v. dosis 0,5–1 mEq/kgBB dalam 1–2 jam (maks. 40 mEq) dengan memonitor ritme jantung di ruang intensif Bila kadar K darah <2,5 mEq/L tanpa gejala, diberikan larutan KCl 7,46% i.v. dosis 0,5–1,2 mEq/kgBB/hr selama 1–3 hr (bergantung pada jumlah defisit) dengan dosis tidak boleh >40 mEq KCl/L Bila kadar K 2,5–3,5 mEq/L (dengan atau tanpa gejala) diberikan KCl p.o. dosis 1–4 mEq/kgBB/hr dibagi 2–4 dosis (40 mEq K = 3 g KCl)
Prognosis
Baik apabila dilakukan kontrol yang adekuat terhadap kadar K darah serta mengobati penyakit yang mendasarinya
Bibliografi 1. 2. 3. 4.
Custer JW, Rau RE. The Harriet Lane handbook. Edisi ke-18. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2009. Emergency treatment of the hypokalemic paralytic attack [diunduh 29 November 2011]. Tersedia dari: www.hkpp.org/ERhypokpp. Hypokalemia [diunduh 29 November 2011]. Tersedia dari: www.razianesth.freeservers.com/Hypokalemia.htm. Ingram TC, Olsson JM. In brief: hypokalemia. Pediatr Rev. 2008; 29(9):e50–1. 303
5. 6.
Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. Mejia R, Field A, Greenwald BM, Stein F. Pediatric fundamental critical care support. Edisi ke-1. Mount Prospect: Society of Critical Care Medicine; 2008.
304
HIPERKALEMIA Epidemiologi
Insidensi hiperkalemia pada populasi anak tidak diketahui walaupun prevalensi hiperkalemia pada bayi prematur dengan BB lahir sangat rendah mencapai >50%. Hiperkalemia pada anak berkaitan erat dengan kondisi insufisiensi renal, asidosis, defek fungsi mineralokortikoid, aldosteron, dan insulin
Batasan
Hiperkalemia merupakan keadaan apabila kadar kalium/K darah >5,5 mEq/L
Etiologi
Gangguan sekresi renal: Gagal ginjal kronik Insufisiensi adrenal Keluarnya kalium ke ruang ekstraselular Penggunaan diuretik hemat K Kerusakan jaringan (akibat trauma, operasi, luka bakar) Metabolik asidosis Penggunaan obat suksinilkolin dan digitalis
Manifestasi Klinis
Gangguan neuromuskular Gejala parestesia → kelemahan otot dan paralisis
Diagnosis
Anamnesis Output urin (terakhir berkemih/jumlah diaper basah) dan asupan cairan Urin berwarna kola (indikasi glomerulonefritis akut) Feses berdarah (indikasi sindrom uremik hemolitik) Obat-obatan, misalnya digoksin, diuretik Riwayat trauma mekanik atau termal (misalnya luka bakar) Riwayat medis dan riwayat keluarga yang mesti digali: Gagal ginjal akut/kronik Hipertensi Diabetes melitus Sindrom adrenogenital Malignansi (sindrom tumor lisis) Gangguan neuromuskular Pemeriksaan Fisis Temuan bergantung pada derajat tingginya hiperkalemia dan efek level kalium plasma memengaruhi konduksi jantung Anak dengan hiperkalemia dapat mengalami henti jantung akibat takikardia wide complex dan fibrilasi ventrikular
305
Pemeriksaan Penunjang Kadar K darah >5,5 mEq/L EKG: gelombang T tinggi, interval PR memanjang, depresi segmen ST, kompleks QRS melebar
Klasifikasi dan Terapi
Ringan (K: 5,5–6 mEq/L) Sedang (K: 6,0–6,9 mEq/L) Berat (K: >7,0 mEq/L) Penyebab nilai kalium lebih rendah daripada hasil laboratorium: Pengambilan darah dari vena atau jalur infus kalium Kesalahan laboratorium Hemolisis Leukositosis Trombositosis Pengambilan darah traumatik Sindrom genetik Pseudohiperkalemia familial Sferositosis herediter
306
K >5,5 mEq/L
Tidak
Hiperkalemia nyata (lihat penyebab nilai K lebih rendah daripada hasil laboratorium)
Stop
Level K >6,0 mEq/L atau terdapat perubahan EKG? Tidak
Penderita membutuhkan reduksi kalium EKG abnormal?
Evaluasi
Insulin dengan glukosa dan atau albuterol (ventolin) dengan nebulisasi
Berikan Ca glukonas i.v.
Pemeriksaan penunjang: kalium urin, osmolalitas, kreatinin Apakah kadar K <6,0 mEq/L?
Ulang pemberian insulin dan glukosa Pertimbangkan hemodialisis
Berikan sodiumpolystyrene sulfonate (kayexalate atau kalitake)/ lasix (furosemid) Evaluasi dan terapi jangka panjang
Gambar 35 Algoritme Manajemen Hiperkalemia
307
Tabel 76 Obat-obatan pada Manajemen Hiperkalemia Akut
308
Nama Obat
Dosis
Kalsium glukonas Insulin
Ca glukonas 10% 100 mg/kgBB selama 3 mnt (1 mL/kgBB) i.v. 0,1 IU/kgBB/jam dalam D5% setara 0,5 g/kgBB/jam (2 mL/kgBB/jam) Jika tidak tersedia dapat dicampurkan dengan D5% 10 mL/kgBB/jam 10–20 mg dengan nebulisasi selama 10 mnt
Albuterol (ventolin) Sodium polystyrene sulfonate (Kayexalate/ Kalitake)
Furosemid
Onset of Action Segera 15–30 mnt
15–30 mnt
Duration Cara Kerja of Action 30 mnt Melindungi miokardium dari efek toksik kalsium 2–6 jam Mengeluarkan kalium dari ruang vaskular ke dalam sel
2–3 jam
Kayexalate 1 g/kgBB enema (per 1–2 jam (rute 4–6 jam rektal) dilarutkan dalam rektal lebih 10 mL/kgBB larutan sorbitol 70% cepat) diberikan melalui kateter Folley, diklem selama 30–60 mnt Kayexalate 1 g/kgBB p.o. dilarutkan dalam 2 mL/kgBB larutan sorbitol 70% Furosemid 0,5–1 mg/kgBB/kali, 15 mnt–1 jam 4 jam 2–3 dosis
Perhatian Memperburuk toksisitas digoksin Kadar glukosa harus dipantau setiap jam
Mengeluarkan kalium ke dalam sel, menambah kerja insulin Memindahkan kalium dari saluran cerna
Dapat menyebabkan kenaikan kadar kalium pada keadaan awal Sorbitol berhubungan dengan nekrosis usus, dapat berhubungan dengan retensi natrium
Meningkatkan ekskresi kalium lewat renal
Efektif bila fungsi ginjal baik
Prognosis
Buruk bila kadar K darah >9 mEq/L karena sudah terjadi fibrilasi atau asistol
Bibliografi 1. 2. 3.
Mejia R, Field A, Greenwald BM, Stein F. Pediatric fundamental critical care support. Edisi ke-1. Mount Prospect: Society of Critical Care Medicine; 2008. Rodriguez JC, Calvert JF. Hyperkalemia. Am Fam Physician. 2006; 73(2):283–90. Verive JM. Hyperkalemia. Health matters. eMedicine (serial online) 4 Januari 2010. [diunduh 1 April 2011]. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com.
309
HIPERNATREMIA Batasan
Hipernatremia adalah keadaan konsentrasi natrium (Na) serum >145 mEq/L dan merupakan hasil dari kelebihan Na tubuh, kekurangan asupan cairan, atau kehilangan cairan
Epidemiologi
Hipernatremia terjadi pada 60% penderita rawat inap dan 20% disebabkan penyakit diare
Manifestasi Klinis
Tanda-tanda nonspesifik antara lain BB ↓, dehidrasi, kelesuan, dan kelemahan. Manifestasi gangguan neurologis seperti iritabel, depresi sensorium, letargis, kejang (Na >165 mEq/L), disorientasi, koma (Na >180 mEq/L)
Diagnosis
Anamnesis Dapat disertai diare Mendapat cairan rehidrasi oral yang mengandung Na tinggi atau tidak mendapat cukup cairan Mendapat obat tertentu yang menyebabkan kehilangan cairan hipotonis (laktulosa) Menderita penyakit ginjal kongenital (disfungsi tubular, displasia renal) Rewel, iritabel, high piched cry, gejala neurologis nonspesifik termasuk kelesuan, koma, lekas marah, neuromuskular, dan kejang Bila dehidrasi berat tonus otot ↑ Pemeriksaan Fisis Turgor kulit merupakan temuan fisik pada penderita hipernatremia Pada dehidrasi ringan sulit dibedakan dengan hiponatremia, apabila dehidrasi berat (kehilangan cairan >10% dari BB) turgor kulit seperti karet Pemeriksaan Penunjang Na, osmolalitas, BUN, dan kreatinin Tes urin untuk konsentrasi Na dan osmolalitas urin
Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya hipernatremia dibagi menjadi: Kekurangan cairan Asupan yang tidak adekuat (debil, adipsic hypernatremia) Insensible losses (demam, ventilasi mekanik, bayi prematur) Renal loss (diabetes insipidus primer, sekunder misal trauma kepala, kelainan ginjal, hipokalemia, hiperkalsemia) Kekurangan cairan dan Na Ektrarenal (luka bakar, gastroenteritis, diare osmotik, muntah) 310
Intrarenal (pemberian antidiuretik, manitol, pemberian protein tinggi), kelainan ginjal, acute tubular necrosis Kelebihan Na (hiperaldosteronemia, cushing syndrom, susu formula konsentrasi tinggi, konsumsi garam berlebihan, pemberian larutan hipertonis Hiponatremia transien (sesudah kejang, aktivitas berlebih)
Terapi
Bila dehidrasi berat disertai syok/presyok (hipovolemia) → 10–20 mL/kgBB NaCl 0,9% diberikan dalam 1 jam Sesudah syok teratasi → kekurangan cairan dikoreksi dengan NaCl dekstrose (2A), larutan D5%, atau larutan ¼ normal salin dextrose (Lar 1:4) diberikan dalam 48–72 jam untuk mencegah edema otak Kadar Na serum dikurangi tidak melebihi 0,5 mEq/L/jam Pemantauan Na serum dilakukan tiap 24 jam Koreksi hipernatremia: Free Water Defisit (FWD) = (BB (kg) x 0,6) × (1 – Na yang diinginkan) × 1.000 mL/L Na saat ini atau 4 mL x BB × Na saat ini – (Na yang diharapkan) Jumlah cairan koreksi: (FWD + kebutuhan cairan) diberikan dalam 24 jam
Kebutuhan cairan: BB 0–10 kg : 100 mL/kgBB BB 10–20 kg: 1.000 mL + 50 mL/kgBB setiap kg >10 kg BB >20 kg : 1.500 mL + 20 mL/kgBB setiap kg >20 kg Free water dalam 1 L larutan ¼ normal salin (larutan 1:4) : 750 mL
Prognosis
Bila kadar Na >165 mEq/L dapat kelainan sistem saraf pusat (SSP) permanen
Bibliografi 1. 2. 3.
Agrawal V, Agarwal M, Joshi SR, Ghosh AK. Hyponatremia and hypernatremia: disorders of water balance. J Assoc Physicians India. 2008 Des;56:956–64. Chung CH, Zimmerman D. Hypernatremia and hyponatremia: current understanding and management. Clin Pediatr Emerg Med. 2009;10(4):272–8. Mejia R, Field A, Greenwald BM, Stein F. Pediatric fundamental critical care support. Edisi ke-1. Mount Prospect: Society of Critical Care Medicine; 2008.
311
HIPONATREMIA Definisi
Hiponatremia didefinisikan sebagai Na darah <130 mEq/L. Keadaan ini dapat disebabkan oleh kelebihan asupan air dan atau ketidakmampuan ginjal mengekskresikan air, atau karena kekurangan asupan Na (asupan tidak mencukupi atau kehilangan Na berlebihan)
Epidemiologi
Hiponatremia merupakan gangguan elektrolit yang sering ditemukan. Sekitar 1% penderita anak yang dirawat di rumah sakit mengalami hiponatremia. Diyakini bahwa kelebihan pemasukan cairan dan gastroenteritis merupakan penyebab hiponatremia tersering
Etiologi
Akibat kelebihan asupan cairan Akibat ketidakmampuan ginjal dalam mengekskresikan cairan Akibat kekurangan Na (asupan Na yang kurang atau pengeluaran Na berlebihan)
Manifestasi Klinis
Sangat bervariasi, dapat muncul gejala neurologi akibat perpindahan cairan dari ekstraselular ke dalam SSP. Pembengkakan serabut saraf bermanifestasi sebagai nyeri kepala, letargis, bingung, mual, muntah. Pada hiponatremia berat (Na <120 mEq/L) dapat terjadi kejang, koma, dan kematian permanen sel otak
Diagnosis
Anamnesis Penggunaan cairan hipotonik pada penderita rawat inap Pemberian susu formula yang hipotonis pada masa balita Kondisi yang menyebabkan saluran cerna kehilangan cairan yang kaya akan Na: Diare Muntah Fistula Kelainan ginjal: Salt wasting nephrophaty Gagal ginjal akut Gagal ginjal kronik Pascaoperasi Kondisi psikiatri Koma Penggunaan obat-obatan terlarang Penyakit SSP dan paru-paru Hipotiroid Insufisiensi adrenal Sirosis Gagal jantung 312
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) Fibrosis sistik Pemeriksaan Fisis Dehidrasi: tekanan darah rendah, takikardia, capillary refill time (CRT) ↑, selaput lendir kering, dan turgor kulit ↓ Gagal jantung kongestif, sindrom nefrotik, atau manifes disfungsi hati khas kondisi tersebut, termasuk tanda-tanda edema Hipotiroidisme: lemah, sembelit, intoleransi cuaca dingin, kulit kering dan pucat, bradikardia dengan tekanan nadi sempit, dan relaksasi menunda fase tendon dalam refleks Syndrome inappropriate antydiuretic hormone (SIADH): edema Hipoglikemik: lemas Insufisiensi adrenal primer: hiperpigmentasi kulit, lebih kurus di lipatan kulit dan bekas luka Laboratorium Na darah <130 mEq/kgGDS Profil lipid protein total, albumin Urin rutin
Klasifikasi
Hiponatremia normovolemia Hiponatremia hipervolemia Hiponatremia hipovolemia
Terapi
Bergantung pada lama/beratnya hiponatremia serta penyakit yang mendasarinya (underlying disease). Pada umumnya bila terdapat gejala pada SSP atau kadar Na <120 mEq/L diberikan larutan NaCl hipertonis, misal NaCL 3% (513 mEq/L), NaCL 5% (855 mEq/L). Untuk mencapai kadar Na yang diharapkan (130 mEq/L), maka Na yang dibutuhkan menurut rumus sbb.: mEq Na = 130 – Na darah ×0,6 × BB (kg) Untuk mencapai Na yang diharapkan dilakukan dengan 2 tahap: 1. Koreksi cepat: bila kadar Na <120 mEq/L, lakukan koreksi cepat sampai tercapai Na 120 mEq/L dengan 1,2 mL/kgBB NaCl 3% diberikan dalam waktu >15–20 mnt: NaCl 3% yang diberikan (mL) = 1,2 mL x BB (kg) x (120 – Na aktual)
2. Koreksi lambat: bila kadar Na <130 mEq/L tetapi ≥120 mEq/L lakukan koreksi lambat dalam waktu 24 jam dengan NaCl 3% yang ditambahkan dalam cairan kebutuhan (misal NaCl 0,9% atau larutan 1:4, kadar Na dalam cairan kebutuhan diperhitungkan): 313
mEq Na = 130 – Na darah x 0,6 x BB (kg) Bila keadaan hiponatremia sudah berlangsung kronik maka koreksi tidak dilakukan secara cepat karena dapat menyebabkan gangguan SSP
Prognosis
Bila disertai gejala pada SSP angka kematian ±50%
Bibliografi 1. 2.
Agrawal V, Agarwal M, Joshi SR, Ghosh AK. Hyponatremia and hypernatremia: disorders of water balance. J Assoc Physicians India. 2008 Des;56:956–64. Chung CH, Zimmerman D. Hypernatremia and hyponatremia: current understanding and management. Clin Pediatr Emerg Med. 2009;10(4):272–8.
314
INFEKSI HELICOBACTER PYLORI Batasan
Penyakit yang disebabkan oleh infeksi Helycobacter pylori (HP), ditandai dengan biakan (+) biopsi gaster
Epidemiologi
Helicobacter pylori dilaporkan menyebabkan infeksi 50% penduduk dunia, infeksi ini didapat sejak anak berusia muda terutama di negara berkembang. Prevalensi infeksi pada anak usia 0–4 th mencapai 4,5–42,11%
Etiologi
Helicobacter pylori mempunyai gambaran yang unik, berbentuk spiral dengan flagel, terdapat 4–6 flagel pada satu sisinya, flagel berbentuk seperti pentolan
Manifestasi Klinis
Sangat bervariasi, sebagian besar tidak bergejala, jarang menimbulkan gejala khusus Kelainan yang mungkin timbul yaitu ulkus peptikum atau ulkus duodenum yang menimbulkan gejala dispepsia atau nyeri perut berulang, serta juga dilaporkan muntah dan hematemesis
Diagnosis
Anamnesis Dispepsia Nyeri perut berulang Muntah dan hematemesis Pemeriksaan Fisis Nyeri tekan epigastrum Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan endoskopi untuk mengetahui diagnosis anatomis dan histologis serta mengetahui infeksi HP Tabel 77 Pemeriksaan Lain yang Menunjang Diagnosis Helicobacter pylori Pemeriksaan Invasif
Pemeriksaan Noninvasif
Histologi
Uji serologis: darah, urin, saliva, feses Uji napas dengan urea Pemeriksaan DNA HP Antigen HP dalam feses
Uji urease Kultur endoskopi Polymerase chain reaction (PCR)
315
Tatalaksana
Tujuan eradikasi untuk penyembuhan ulkus dan menghilangkan gejala Target hasil eradikasi >80% Prinsip Pengobatan Infeksi HP pada Anak Tidak dianjurkan pemberian antibiotik tunggal Dianjurkan penggunaan 2 macam antibiotik Pilihan selanjutnya: 3 macam antibiotik + penghambat pompa proton (proton pump inhibitor/PPI) Terapi tripel PPI + amoksisilin + klaritromisin/metronidazol Pemberian eradikasi tripel, PPI dan 2 antibiotik 7–14 hr merupakan obat pilihan utama Tabel 78 Pilihan Obat Terapi Tripel pada Infeksi Helicobacter pylori Obat
Dosis
Durasi
Amoksisilin + klaritromisin + PPI/ H2 antagonis
50 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 15 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 1 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 2–4 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis Atau 50 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 20 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 1 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 2–4 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis Atau 15 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 20 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 1 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 2–4 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis
14 hr 14 hr 1 bl
Amoksisilin + metronidazol + PPI/ H2 antagonis Klaritromisin + metronidazol + PPI/ H2 antagonis
Bibliografi 1.
2. 3.
14 hr 14 hr 1 bl
14 hr 14 hr 1 bl
Malfertheiner P, Megraud F, O’Morain C, Bazzoli F, El-Omar E, Graham D, dkk. Current concepts in management of Helicobacter pylori infection: the Maastricht III consensus report. Gut. 2007;56:772–81. Subagyo B. Penelitian pendahuluan seroprevalensi infeksi Helicobacter pylori di daerah suburban Surakarta. 2002. Vandeplas Y. Helicobacter pylori infection; mengenal lebih dekat Helicobacter pylori dan penyakit gastroduodenal. Edisi ke-3. Jakarta: PT Tempo Scan Pasific; 2002.
316
KOMA HEPATIKUM Batasan
Koma hepatikum didefinisikan sebagai gangguan fungsional pada otak yang disebabkan gangguan metabolik dan bersifat reversible atau irreversible dapat terjadi pada kelainan hati akut atau kronik
Epidemiologi
Risiko untuk terjadi koma hepatikum pada penderita sirosis berkisar 20–40% dan sekitar 60–80% penderita sirosis mengalami gejala minimal gangguan neurologis
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis koma hepatikum bergantung pada penyebab dan stadium koma hepatikum
Klasifikasi Tabel 79 Stadium Koma Hepatikum Stadium
Kesadaran
Gangguan Intelektual
Gejala Neurologi
Elektro Ensefalografi
0
Normal
Normal
Normal
Tidak ada
0
Normal
Tampak bingung, agitasi, iritabel
Abnormal dalam tes psikometrik
Tidak ada
1
Perubahan mood, intelektual, dan bicara
Disorientasi, Tremor, perubahan disartria personalitas, confusious ringan, gangguan tidur
Gelombang tripasik 5 siklus
2
Letargi
Disorientasi, gangguan perilaku
Disartia, ataksia, hiporefleks
Gelombang tripasik 5 siklus
3
Somnolen, Inkoheren dan prekoma. confusion Stupor tetapi masih berespons terhadap rangsangan
Hiporefleks
Gelombang tripasik 5 siklus, aktivitas gelombang alfa hilang
4
Koma, respons terhadap rangsangan sangat minimal
Deserebrasi
Gelombang delta, aktivitas teta lambat, dan difus
Subklinis
317
Etiologi
Hepatitis virus fulminan Sirosis hepatis Chronic portal systemic encephalopathy
Patofisiologi
Patogenesis koma hepatikum sering disebabkan oleh 4 keadaan berikut: Fungsi hati ↓ dan gangguan sirkulasi darah pada sistem portal Amonia darah ↑ Metabolit abnormal yang berasal dari saluran cerna Faktor presipitasi misalnya peningkatan nitrogen, penggunaan obat-obatan (diuretik, narkotik, sedatif), sepsis, atau tindakan medis (parasentesis, portosistemic shunt, transfusi)
Diagnosis
Anamnesis Riwayat penyakit kuning Asupan protein yang tinggi Riwayat perdarahan saluran cerna, gangguan fungsi ginjal, dan konstipasi Gangguan keseimbangan elektrolit (hiponatremia, hipokalemia) akibat pemberian diuretik Gangguan metabolik (alkalosis, hipoksia, dehidrasi) Obat-obatan (sedatif, narkotik, antipsikosis, dan alkohol) Infeksi (riwayat pneumonia, ISK, peritonitis) Pemeriksaan Fisis Fetor hepatikum Kuning Abdomen asites Edema pretibia Gangguan neuropsikiatri: gangguan emosi, gangguan tingkah laku, gangguan perhatian Defisit neurologis: refleks fisiologis ↑, refleks patologis Babinski dan Chadock (+) Pemeriksaan Penunjang Kadar amonia dan urea darah Fungsi hati EEG CT-scan MRI
Penyulit
Edema serebral Gagal ginjal Gangguan keseimbangan asam basa Diatesis hemoragik Infeksi 318
Gangguan keseimbangan elektrolit Gangguan respirasi Kelainan jantung Pankreatitis Depresi sumsum tulang Asites
Terapi
Umum Perawatan suportif yang intensif Pada koma hepatikum stadium 3–4 air way harus terjaga; pemasangan tube nasogastrik dan tindakan intubasi dapat dilakukan pada penderita dengan gagal napas Khusus Menekan kadar amonia darah Masukan protein dihentikan Eliminasi kuman usus: Enema 1–2×/hr (Mg sulfat atau larutan laktulosa 20%) Oral melalui NGT (neomisin 50–100 mg/kgBB/hr dibagi 3–4×) selama 5–7 hr atau laktulosa sirup tiap 4–6 jam Terhadap faktor presipitasi Penanggulangan perdarahan saluran cerna dan membersihkan usus dari sisa perdarahan Antibiotik terhadap infeksi, bila perlu diberikan transfusi darah dan vitamin K Koreksi gangguan keseimbangan asam basa, cairan, dan elektrolit Hentikan pemberian obat hepatotoksik yang mengandung nitrogen atau yang menimbulkan konstipasi Cairan parenteral Glukosa 5–10% 1,5 L/m2/hr Tutofuchsin CH: 1–2 kolf/hr diperhitungkan dengan kebutuhan jumlah cairan sehari Lamanya pemberian cairan parenteral sampai penderita sadar dan dapat minum Dietetik Makan p.o. menurut kemampuan sesudah koma dapat diatasi, dimulai makanan cair berangsur-angsur ke makanan padat Protein dapat diberikan bila kadar amonia darah sudah ↓, mulai 0,5 g/kgBB/hr sampai mencapai 1,5 g/kgBB/hr
Pemantauan
Kesadaran Fungsi kardiovaskular Pernapasan Pemasukan/pengeluaran cairan dan elektrolit Kadar urea dan amonia darah
319
Prognosis
Buruk pada koma yang dalam Koma hepatikum stadium 4 → 60–70% meninggal Koma hepatikum berulang stadium 3 (60%), stadium 4 (80%)
Bibliografi 1.
2 (30%),
Cash WJ, McConville P, McDermott E, McCormick PA, Callender ME, McDougall NI. Current concepts in the assessment and treatment of hepatic encephalopathy. QJM. 2010 Jan;103(1):9– 16.
320
OBSTRUKSI SALURAN CERNA Batasan
Obstruksi saluran cerna didefinisikan sebagai gangguan gerakan isi usus ke arah distal disebabkan oleh gangguan mekanik maupun nonmekanik
Epidemiologi
Obstruksi saluran cerna terjadi pada sekitar 1/1.500 anak. Obstruksi yang terjadi dapat parsial atau komplet
Etiologi
Obstruksi Mekanik Bawaan: sumbatan mekonium, atresia/stenosis, malrotasi, volvulus, pankreas anuler Didapat: perlekatan di rongga peritoneum, hernia inguinalis, inkarserata, askariasis Obstruksi Nonmekanik Bawaan: megakolon kongenitum (penyakit Hirschsprung) Didapat: peritonitis, hipokalemia, obat-obatan
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang muncul dapat bervariasi bergantung pada obstruksi yang terjadi, berupa muntah, perut kembung, rasa sakit perut ringan sampai berat, tidak ada BAB
Diagnosis
Anamnesis Muntah Tidak ada BAB Perut kembung Rasa sakit perut Hidramnion dalam riwayat kelahiran (pada neonatus) Pemeriksaan Fisis Tanda dehidrasi Tanda infeksi berat Kelainan bawaan lain Abdomen: Distensi Ketegangan dinding perut Nyeri tekan Bising usus ↑/↓ Colok dubur: Kelainan anorektal Kolaps/distensi ampula rekti
321
Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Feses Darah rutin, elektrolit, urea N, kreatinin, bilirubin, glukosa Pasang NGT untuk pemeriksaan aspirat lambung: Aspirasi lambung dan pemeriksaan isi lambung Kegagalan pemasangan NGTterdapat pada atresia atau stenosis berat dari esofagus Jumlah aspirasi 25–30 mL mungkin terjadi obstruksi usus Warna hijau aspirasi mungkin karena obstruksi postpilorik Warna aspirasi tidak hijau mungkin terjadi obstruksi preduodenal Radiologi Foto polos abdomen Foto kontras per enema
Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya obstruksi saluran cerna dibagi menjadi 2: Obstruksi mekanik (ileus obstruktif) Obstruksi nonmekanik (ileus paralitik)
Terapi
Konservatif Obstruksi mekanik (intususepsi baru dan mekonimum ileus tanpa penyulit) dilakukan enema/irigasi. Bila tidak berhasil baru dilakukan pembedahan secepat-cepatnya Obstruksi nonmekanik didapat (ileus paralitik karena hipokalemia, infeksi berat, obat-obatan, dll.) Terapi kausal terhadap penyakit/gangguan primer Terapi paliatif: dekompresi saluran cerna atas/bawah Terapi cairan i.v. bila muntah atau terdapat dehidrasi Pembedahan Obstruksi mekanik pada umumnya Obstruksi nonmekanik bawaan (penyakit Hirschsprung) Perforasi/peritonitis
Prognosis
Bergantung pada etiologi dan kecepatan penanganannya
Bibliografi 1. 2.
De Betue CT, Boersma D, Oomen MW, Benninga MA, de Jong JR. Volvulus as a complication of chronic intestinal pseudo obstruction syndrome. Eur J Pediatr. 2011 Des;170(12):1591–5. Indap S, Patil PV, Verma R, Patki A. Intestinal obstruction due to mesenteric bands. Bombay Hosp J. 2010;52(4):545–7.
322
PERDARAHAN SALURAN CERNA PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS Batasan
Perdarahan saluran cerna bagian atas (PSCA) merupakan muntah darah yang berasal dari perdarahan saluran cerna di atas ligamentum Treitz. Bila muntah darah segar → terjadi perdarahan yang cepat. Bila warna darah seperti kopi (akibat efek koagulasi asam lambung) → perdarahannya berlangsung lambat
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis klasik berupa hematemesis (muntah darah berwarna merah segar atau berwarna coklat tua seperti kopi) akibat refleksi perdarahan akut lambung atau duodenum proksimal Manifestasi lain yang dapat merupakan manifestasi perdarahan saluran cerna baik atas maupun bawah yaitu: Melena (feses berwarna hitam, tebal, seperti ter, dan berbau busuk) menunjukkan jumlah minimal kehilangan 50–100 mL/2% volume darah Perdarahan tersembunyi (kehilangan sejumlah kecil dalam darah yang terjadi secara kronik) Hematochezia (darah segar yang berasal dari rektum, dapat berupa darah, diare berdarah atau darah yang bercampur dengan feses) merupakan tanda perdarahan dari kolon atau ileum distal, tetapi dapat juga terjadi pada perdarahan saluran cerna atas yang masif
Diagnosis
Anamnesis Sumber perdarahan Beratnya perdarahan Lama perdarahan Gejala gastrointestinal lainnya seperti diare, sakit perut, konstipasi, muntah Gejala sistemik seperti panas, ruam, dizziness, sesak, pucat, takikardia, akral dingin Riwayat keluarga seperti kelainan GI, penyakit hati, dan darah Riwayat penggunaan obat-obatan Pada neonatus perlu ditanyakan riwayat penggunaan obat (indometasin, steroid), stress gaster (sepsis, asfiksia, operasi), menelan darah ibu Pada anak lebih besar perlu dicari kemungkinan lain seperti perdarahan nonsaluran cerna (trauma muka, ekstraksi gigi, epistaksis, muntah hebat, disfagia, batuk malam hari, menelan zat kaustik, nyeri epigastrik malam hari, trauma hepar), dan kemungkinan makan makanan yang berwarna mirip darah
323
Tabel 80 Penyebab Tersering Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Asal Perdarahan
Penyebab Perdarahan
Esofagus
Varises Esofagitis Mallory Weiss tear Kista/duplikasi Ulkus Erosi Hematoma Tumor Kista/duplikasi Erosi Ulkus Duodenitis Hemobilia Hematoma Menelan darah Kelainan perdarahan
Gaster
Duodenum
Nonspesifik
Pemeriksaan Fisis Keadaan umum: anemia, tanda syok Tanda penyakit berat lain (stress ulcer, diatesis hemoragik) Kulit: pucat, ikterus, ekimosis, pembuluh darah abnormal, hidrasi Kepala, mata, THT: infeksi nasofaring, tonsil besar, perdarahan Kardiovaskular: frekuensi nadi (duduk, tidur), tekanan nadi, irama gallop, capillary refill Abdomen: organomegali, nyeri, kaput medusa, massa Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: Bila tidak ada kelainan hepar: Hb, Ht, L, Tr, DC, MDT, LED, BUN, PT/APTT, darah samar Bila ada kelainan hepar: Hb, Ht, L, Tr, DC, MDT, LED, PT/APTT, darah samar, golongan darah, SGOT/SGPT, gama GT, BUN, albumin, kreatinin, amonia Apt Downey test (pada neonatus yang mungkin menelan darah ibu) didapatkan darah ibu warna kuning coklat, sedangkan Hb fetal warna merah muda Aspirat lambung apabila darah (+) perdarahan saluran cerna atas, darah (−) perdarahan saluran cerna atas atau bawah Radiologi: radionuklir (99mTc) bila perdarahan 0,1 mL/mnt Endoskopi (esofagogastroendoskopi)
324
Hematemesis Stabilisasi sistem hemodinamik Pendekatan diagnostik dini Pipa nasogastrik
Perdarahan aktif
Perdarahan banyak tidak aktif
Endoskopi segera
Kelainan (+): tatalaksana sesuai kelainan
Perdarahan sedikit tidak aktif
Curiga varises
Evaluasi berencana
Kelainan ( bleeding scanning, angiografi
Gambar 36 Algoritme Pendekatan Diagnosis Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
Klasifikasi Tabel 81 Klasifikasi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas berdasarkan Usia, Keadaan Umum Anak, dan Kecepatan Perdarahan Usia Bayi
Ill-appearing Child
Well-appearing Child High Rate of Bleeding Low Rate of Bleeding
Gastritis hemoragika − Stress ulcer
2–5 th Varises esofagus (penyakit hati) Gastritis hemoragika Stress ulcer >5 th Varises esofagus Gastritis hemoragika
Varises esofagus Ulkus gaster/duodenum Varises esofagus Perdarahan ulkus Dieulafoy lesion Hemobilia
325
Reflux esophagitis Gastritis reaktif Defisiensi vitamin K Mallory Weiss tear Gastritis Reflux esophagitis Mallory Weiss tear Reflux esophagitis Gastritis reaktif
Terapi
Stabilisasi keadaan umum Bila terdapat syok atau anemia berat infus RL 10–20 mL/kgBB/jam, syok teratasi → tetesan diperlambat Fresh whole blood (FWB) 10–15 mL/kgBB diberikan pada perdarahan masif untuk mempertahankan volume intravaskular, selanjutnya packed red cell (PRC) dapat diberikan bila diperlukan Vitamin K 1 mg/th i.m. (maks. 10 mg) bila ada koagulopati Suspensi trombosit dapat diberikan bila diperlukan Tindakan menghentikan perdarahan Pembilasan lambung dilakukan melalui NGT dengan 50–100 mL NaCl 0,9% berulang kali setiap 1–3 jam bergantung pada perdarahannya sampai cairan lambung sebersih-bersihnya Oktreotid (agen vasoaktif, analog somatostatin) dosis 1 mcg/kgBB i.v. bolus (maks. 50 mcg) diikuti 1 mcg/kgBB/jam. Dapat ditingkatkan setiap 8 jam hingga 4 mcg/kgBB/jam (maks. 250 mcg/8 jam). Saat perdarahan terkontrol dosis diturunkan 50% setiap 12 jam. Dapat dihentikan bila sudah mencapai 25% dosis awal Skleroterapi secara endoskopi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tidak berhenti Bila ada kelainan peptik dan erosif pada mukosa H2 reseptor antagonis: ranitidin (inhibitor sekresi asam lambung). Pada perdarahan aktif diberikan secara i.v. dengan cara continuous infusion 1 mg/kgBB diikuti 2–4 mg/kgBB/hr atau bolus 3–5 mg/kgBB/hr setiap 8 jam. Pada pencegahan perdarahan (perdarahan sudah tidak aktif lagi) diberikan secara p.o. 2–3 mg/kgBB/kali 2–3×/hr (maks. 300 mg/hr) Proton pump inhibitor (PPI): omeprazol PPI i.v. diberikan 2–3×/hr pada perdarahan aktif sampai perdarahan berhenti, lalu diganti PPI oral untuk mempertahankan pH lambung >6. Dosis omeprazol 1–1,5 mg/kgBB/kali 1–2×/hr (maks. 20 mg 2×/hr) Mucoprotector: sukralfat 40–80 mg/kgBB/hr dibagi 4 dosis (maks. 1.000 mg/dosis) Pembedahan dilakukan bila tindakan konservatif tidak dapat mengatasi perdarahan
Prognosis
Pada umumnya baik Hanya 3% kasus yang memerlukan tindakan bedah Kematian biasanya bergantung pada penyakit yang mendasarinya
326
PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN BAWAH Batasan
Perdarahan saluran cerna bagian bawah (PSCB) adalah darah yang berasal dari perdarahan saluran cerna di bawah ligamentum Treitz, dapat berupa melena atau hematochezia—bergantung pada lokasi perdarahan dan volume darah
Epidemiologi
Perdarahan saluran cerna bagian bawah lebih jarang terjadi yaitu sekitar 20/100.000 pada penderita semua usia dan pada anak diperkirakan lebih jarang dibandingkan dengan dewasa serta merupakan keluhan utama pada 0,3% penderita anak yang dibawa ke unit gawat darurat
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang klasik yaitu diare berdarah atau terdapat darah segar yang bercampur dengan feses Manifestasi lain yang dapat merupakan manifestasi perdarahan saluran cerna baik atas maupun bawah adalah: Hematochezia, biasanya merupakan tanda perdarahan dari kolon atau ileum distal, tetapi dapat juga terjadi pada perdarahan saluran cerna atas yang masif Melena menunjukkan jumlah minimal kehilangan 50–100 mL/2% volume darah Perdarahan tersembunyi
Diagnosis
Anamnesis Sumber perdarahan Beratnya perdarahan Lama perdarahan Gejala gastrointestinal lainnya seperti diare, sakit perut, konstipasi, muntah Gejala sistemik seperti panas, rash, dizziness, sesak, pucat, takikardia, akral dingin Riwayat keluarga seperti kelainan GI, penyakit hati, dan darah Riwayat penggunaan obat-obatan
327
Tabel 82 Penyebab Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah Neonatus Tertelan darah ibu Fisura ani Infeksi Alergi susu Divertikulum Meckel Kista duplikasi Penyakit perdarahan Malformasi arterivena
6 Minggu–1 Tahun Fisura ani Infeksi Alergi susu Intususepsi Divertikulum Meckel Polip Hiperplasia limfoid Hematoma Kista duplikasi Malformasi arteri-vena Ulkus peptikum Benda asing Kolitis (karena imunodefisiensi) Tumor Gastric heteropia
1–12 Tahun Fisura ani Infeksi Intususepsi Polip Kolitis Divertikulum Meckel Hiperplasia limfoid Alergi susu Hematoma Tumor Gastric heteropia
Pemeriksaan Fisis Keadaan umum: anemia, tanda syok Tanda penyakit berat lain (stress ulcer, diatesis hemoragik) Kulit: pucat, ikterus, ekimosis, pembuluh darah abnormal, hidrasi Kardiovaskular: frekuensi nadi (duduk, tidur), tekanan nadi, irama gallop, capillary refill Abdomen: organomegali, nyeri, kaput medusa, massa Perineum: fisura, fistula, indurasi, hemoroid, lesi vaskular Rektum: darah, melena, nyeri Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: Tes Guaiac pada sampel feses untuk mengetahui perdarahan tersembunyi atau sebagai konfirmasi apakah terdapat darah dalam feses Pemeriksaan Hb atau Ht untuk mengetahui kehilangan darah Jumlah dan fungsi trombosit serta PT dan aPTT Golongan darah apabila diperlukan transfusi Tes fungsi sintesis hati Ureum dan kreatinin ↑ apabila fungsi ginjal ↓ akibat syok hipovolemik Radiologi: Foto polos abdomen (dapat menunjukkan tanda-tanda NEC) Barium enema (dapat menunjukkan polip, malrotasi, intususepsi) USG abdomen merupakan indikasi bagi penderita dengan hepatosplenomegali (untuk mengetahui hipertensi portal dan penyakit hati kronik) CT-scan dan MRI abdomen (untuk mengetahui kondisi vaskularisasi intraabdominal) 328
Technetium99m pertechnetate scan (Meckel’s scan) untuk deteksi divertikulum Meckel Technetium99m-labeled red cells (bleeding scan) dapat melokalisasi perdarahan kecil intermiten dengan kecepatan perdarahan 0,1–0,3 mL/mnt (500 mL/hr) Angiografi diindikasikan pada lesi perdarahan aktif atau perdarahan kronik rekuren yang tidak tampak pada pemeriksaan lain dengan kecepatan perdarahan >0,5 mL/mnt (dapat digunakan juga untuk terapi dengan teknik embolisasi atau vasopresin) Endoskopi (sigmoidoskopi fleksibel, kolonoskopi, enteroskopi usus halus)
329
Tabel 83 Diagnosis Banding berdasarkan Tipe Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah Secara Klinis
330
Hematochezia, Melena
Perdarahan dari Rektum dengan Tanda-tanda Kolitis (Diare Bercampur Darah, Tenesmus, BAB Terutama Malam Hari)
Perdarahan dari Rektum dengan Pola BAB Normal
Darah Merah Segar yang Melapisi Permukaan Feses yang Normal tanpa Disertai Konstipasi
Perdarahan Tersamar dari Saluran Cerna
Iskemia intestinal
Kolitis infeksiosa
Juvenile polyp
Fisura ani
Divertikulum Meckel
Enterokolitis nekrotikan
Colitis eosinophilic
Cryptitis karena Streptococcus beta hemolitik
Gastroenteritis atau colitis eosinophilic
Vaskulitis Sloughed polyp Ulserasi pada usus dan kolon (NSAID gastropaty, Crohn’s disease) Kolitis ulserativa Malformasi vaskular
Inflamatory bowel disease (colitis ulcerative, Crohn’s disease)
Inflamatory bowel disease Malformasi vaskular
Celiac disease
Prolaps rektum
Inflamatory bowel disease
Ulkus pada rektum soliter
Poliposis
Hemoroid interna dan eksterna
Divertikulum Meckel Malformasi vaskular
Apakah benar-benar darah? Melena atau Hematochezia
Tes darah feses
( penyebab lain
(+)
Tatalaksana PSCB
Ringan sampai sedang Hemodinamik normal
331
Tanpa gejala lain Episode pertama
Kultur feses USG Proktosigmoidoskopi
Anamnesis Pemeriksaan fisis
Teridentifikasi: hentikan investigasi jika tidak ada rekurensi
Tes darah lambung: Tube nasogastrik
(−)
Berat Hemodinamik tidak normal
(+): tatalaksana PSCA Stabilisasi
Dengan gejala lain (gagal tumbuh, nyeri perut, purpura)
Investigasi diagnostik yang tepat
Tidak teridentifikasi: tatalaksana jika PSCB berulang dan atau perdarahan hebat (kolonoskopi, scan Meckel, scan sumber perdarahan, endoskopi kapsul, angiografi)
Gambar 37 Algoritme untuk Tatalaksana Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah
Klasifikasi Tabel 84 Klasifikasi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah berdasarkan Usia, Keadaan Umum Anak, dan Kecepatan Perdarahan Well-appearing Child High Rate of Bleeding Low Rate of Bleeding
332
Usia
Ill-appearing Child
Infant
Kolitis infeksiosa Necrotizing enterocolitis Hirschsprung enterocolitis Volvulus Intususepsi Volvulus Henoch-Schonlein purpura Hemolytic-uremic symdrome
−
Kolitis infeksiosa Kolitis ulserativa Henoch-Schonlein purpura Iskemia intestinal
Kolitis ulserativa Divertikulum Meckel
2–5 th
>5 th
Divertikulum Meckel Sloughed juvenile polyp Kolitis ulserativa
Fisura ani Eosinophilic proctocolitis Kolitis infeksiosa Nodular lymphoid hyperplasia Kolitis infeksiosa Juvenile polyp Nodular lymphoid hyperplasia Kolitis ulserativa/Crohn disease Perianal streptococcal cellulitis Prolaps rektal/ulkus rektal Kolitis infeksiosa Kolitis ulserativa/Crohn disease Juvenile polyp Hemoroid
Terapi
Stabilisasi keadaan umum: Bila terdapat syok atau anemia berat infus RL 10–20 mL/kgBB/jam, bila syok teratasi tetesan diperlambat Fresh whole blood (FWB) 10–15 mL/kgBB diberikan pada perdarahan masif untuk mempertahankan volume intravaskular Dapat dilanjutkan dengan packed red cell (PRC) seperlunya Vitamin K 1 mg/kgBB i.m. (maks. 10 mg) bila ada koagulopati Suspensi trombosit dapat diberikan bila diperlukan Tindakan menghentikan perdarahan: Oktreotid (agen vasoaktif, analog somatostatin) dosis 1 mcg/kgBB i.v. bolus (maks. 50 mcg) diikuti 1 mcg/kgBB/jam. Dosis dapat ↑ tiap 8 jam hingga 4 mcg/kgBB/jam (maks. 250 mcg/8 jam). Saat perdarahan terkontrol, dosis ↓ 50% setiap 12 jam. Dapat dihentikan bila sudah mencapai 25% dosis awal Endoskopi terapeutik Pembedahan dilakukan bila tindakan konservatif tidak dapat mengatasi perdarahan
Prognosis
Pada umumnya baik Kematian biasanya bergantung pada penyakit yang mendasarinya
Bibliografi 1. 2.
3. 4. 5. 6.
7. 8.
Boyle JT. Gastrointestinal bleeding in infants and children. Pediatr Rev. 2008;29(2):39–52. Elta GH. Approach to the patient with gross gastrointestinal bleeding. Dalam: Yamada T, Alpers DH, Kaplowitz N, Laine L, Owyang C, Powell DW, penyunting. Textbook of gastroenterology. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2003. hlm. 698–723. Howarth DM. The role of nuclear medicine in the detection of acute gastrointestinal bleeding. Semin Nucl Med. 2006;36(2): 133–46. Kalyoncu D, Urganci N, Cetinkaya F. Etiology of upper gastrointestinal bleeding in young children. Indian J Pediatr. 2009;76(9):899–901. Kay M, Wyllie R. Gastrointestinal hemorrhage. Dalam: Wyllie R, Hyams JS, penyunting. Pediatric gastrointestinal and liver disease. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 203–15. ASGE Standards of Practice Committee, Lee KK, Anderson MA, Baron TH, Banerjee S, Cash BD, dkk. Modifications in endoscopic practice for pediatric patients. Gastrointest Endosc. 2008 Jan; 67(1):1–9. Makmun D. Penatalaksanaan perdarahan saluran cerna bagian bawah dari konsensus ke aplikasi klinis. Jakarta: Symposium Emergency in Gastroenterology; 2006. Mulyani NS, Juffrie M, Oswari H. Modul pelatihan perdarahan saluran cerna pada anak. Edisi ke-1. Jakarta: UKK Gastrohepatologi IDAI; 2010. 333
9.
Padia SA, Bybel B, Newman JS. Radiologic diagnosis and management of acute lower gastrointestinal bleeding. Cleve Clin J Med. 2007;74(6):417–20. 10. Peters JM. Management of gastrointestinal bleeding in children. Curr Treat Options Gastroenterol. 2002;5(5):399–413. 11. Turck D, Michaud L. Lower gastrointestinal bleeding. Dalam: Walker WA, Goulet O, Kleinman RE, Sherman PM, Shneider BL, Sanderson IL, penyunting. Pediatric gastrointestinal disease: pathophysiology, diagnosis, management. Edisi ke-4. Hamilton, Ontario: BC Decker Inc.; 2004. hlm. 266–80.
334
SINDROM REYE Epidemiologi
Kejadiannya sangat jarang (insidensi 0,79/1 juta anak di Perancis). Etiologi belum diketahui pasti tetapi berhubungan dengan infeksi virus (influenza, varisela-zoster, diare), obat-obatan (salisilat), dan toksin (aflatoksin)
Manifestasi Klinis
Umumnya didahului dengan infeksi virus khususnya infeksi saluran respiratori akut yang mendapatkan terapi salisilat, disertai dengan muntah yang sulit terkontrol, dan akhirnya ensefalopati akut (letargis, kejang, dan atau penurunan kesadaran)
Diagnosis
Didahului gejala prodromal infeksi saluran respiratori akut/influenza, varisela atau diare Riwayat pemakaian salisilat atau makanan yang mengandung aflatoksin Emesis persisten Ensefalopati akut Laboratorium Cairan serebrospinal (CSS) normal Darah: aminotransferase >3×, hiperamonia, bilirubin <3,5 mg/dL, hipoglikemia, pemanjangan waktu protrombin Tidak terdapat penyakit hati dan gangguan fungsi otak lainnya yang menyebabkan gangguan kesadaran Bila memungkinkan, biopsi hati untuk diagnosis pasti (terdapat lemak intravesikular dan infiltrasi panlobular yang berhubungan dengan gangguan mitokondria)
Klasifikasi
Sesuai derajat koma pada gagal hati
Terapi
Tidak ada pengobatan spesifik Pada Gejala Muntah Persisten Infus glukosa 10–15% kebutuhan 1,2 L/m2/hr (pertahankan kadar glukosa darah 200–400 mg/dL) Pada Gejala Ensefalopati Akut Manitol 1–2 g/kgBB dalam 30 mnt, dapat diulang setiap 6 jam selama 72 jam (monitor kadar elektrolit serum) Atasi kejang Enema 1–2×/hr Neomisin 50 mg/kgBB/hr selama 3 hr Vitamin K 5 mg i.m. atau 1 mg i.v.
335
Prognosis
Angka kematian mencapai 21%. Sekuele neurologis akan dialami oleh 30% penderita yang selamat
Bibliografi 1. 2.
Pugliese A, Beltramo T, Torre D. Reye’s and Reye’s like syndrome. Cell Biochem Funct. 2008 Oct;26(7):741–6. Schrör K. Aspirin and Reye syndrome: a review of the evidence. Pediatr Drugs. 2007;9(3):195–204.
336
Hematologi-Onkologi Lelani Reniarti Susi Susanah Nur Suryawan Harry Raspati Achmad Ponpon Idjradinata
ANEMIA DEFISIENSI BESI Batasan
Anemia yang disebabkan kekurangan besi untuk sintesis hemoglobin (Hb)
Etiologi
Kebutuhan ↑ Pertumbuhan (bayi, preadolesens) Menstruasi Infeksi kronik Infeksi akut berulang Masukan besi ↓ Jenis makanan miskin besi Terapi antasida Malabsorpsi (PEM, enteritis, sprue, reseksi lambung, celiac disease, diare kronik) Kehilangan darah Perdarahan saluran cerna (infeksi cacing, ulkus peptikum, divertikulum Meckel, pemberian salisilat, dan lain-lain)
Diagnosis
Anamnesis Riwayat faktor predisposisi dan etiologi Pucat, lemah, lesu, gejala lain seperti pica Rewel Pemeriksaan Fisis Pucat Spoon nail Tidak didapatkan hepatosplenomegali Laboratorium Anemia hipokrom mikrositer MCV ↓, MCH ↓, MCHC ↓ Jumlah retikulosit normal atau sedikit ↑ Fe serum ↓, total iron binding capacity (TIBC) ↑, saturasi transferin ↓ (<16%), kadar feritin serum ↓ (<10–12%), nilai free erythrocyte protoporphyrin (FEP) ↑ (>100 g/dL) Pemberian Preparat Besi → Hb ↑
Pemeriksaan Penunjang
Hb Indeks eritrosit: MCV, MCH, MCHC Apus darah tepi Retikulosit FEP Feritin serum Fe serum dan TIBC 339
Diagnosis Banding
Thalassemia minor Hemoglobinopati (Hb E) Anemia yang disebabkan penyakit kronik Lead poisoning/keracunan timbal
Penyulit
Kardiomegali Gagal jantung kongestif Gangguan pertumbuhan dan perkembangan
Konsultasi
Bagian terkait (bergantung pada kasus)
Terapi
Umum Makanan gizi seimbang Mengatasi faktor penyebab (infeksi dan perdarahan) Khusus Preparat besi Dipakai senyawa fero-sulfat, fero-fumarat atau fero-glukonat dengan dosis 6 mg Fe elemental/kgBB/hr p.o. dibagi dalam 3 dosis, diberikan di antara waktu makan. Pemberian dilanjutkan min. 8 mgg sesudah Hb normal Bila tidak memungkinkan p.o., diberikan iron-dextran complex i.m. (imferon) dosis: Dosis besi (mg) = BB (kg) × kadar Hb yang diinginkan (g/dL) × 2,5 Asam askorbat 100 mg tiap 15 mg Fe elemental (untuk ↑ absorpsi besi) Transfusi darah diberikan bila terdapat kemungkinan gangguan kardiovaskular/anemia berat dengan kadar Hb <4 g/dL, diberi PRC dengan dosis 2–3 mL/kgBB/kali pemberian disertai pemberian diuretik seperti furosemid. Diberikan untuk ↑ Hb sampai ≥7 g/dL
Pencegahan
Pemberian ASI eksklusif Bila menggunakan susu formula, diberi susu formula yang diperkaya besi (iron-fortified infant formula, mengandung besi 8–12 mg/L) Pemberian iron-fortified infant cereals Pemberian makanan kaya akan vitamin C Tidak boleh diberi susu sapi penuh (cow’s milk) sampai usia 1 th Suplementasi besi seperti pada Tabel 85
340
Tabel 85 Dosis dan Lama Pemberian Suplementasi Besi Usia (Tahun)
Dosis Besi Elemental
Bayi*: BBLR (<2.500 g) Cukup bl 2–5 (balita)
3 mg/kgBB/hr 2 mg/kgBB/hr 1 mg/kgBB/hr
>5–12 (usia sekolah)
1 mg/kgBB/hr
12–18 (remaja)
60 mg/hr#
Lama Pemberian Usia 1 bl sampai 2 th Usia 4 bl sampai 2 th 2×/mgg selama 3 bl berturut-turut setiap th 2×/mgg selama 3 bl berturut-turut setiap th 2×/mgg selama 3 bl berturut-turut setiap th
Keterangan: * Dosis maks. untuk bayi: 15 mg/hr, dosis tunggal # Khusus remaja perempuan ditambah 400 μg asam folat
Prognosis
Baik dengan pemberian preparat besi
Surat Persetujuan Diperlukan
Bibliografi 1. 2.
3.
4. 5. 6.
7.
American Academy of Pediatrics Committee on Nutrition. The use of whole cow’s milk in infancy. Pediatrics. 1992;89(6 Pt 1): 1105–9. Andrews NC. Iron deficiency and related disorders. Dalam: Greer JP, Foerster J, Lukens J, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, penyunting. Wintrobe’s clinical hematology. Edisi ke-11. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004. hlm. 979–1004. Glader B. Anemias of inadequate production. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders; 2007. hlm. 2006–18. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011. Lukens JN. Iron metabolism and iron deficiency. Dalam: Miller DR, Baehner RL, Miller LP, penyunting. Blood diseases of infancy and childhood. Edisi ke-7. St. Louis: Mosby Co; 1995. hlm. 193–219. Recht M, Pearson HA. Iron deficiency anemia. Dalam: McMillan JA, De Angelis CD, Feigin RD, Warshaw JB, penyunting. Oski’s pediatrics principles and practice. Edisi ke-3. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 1999. hlm. 1447–8. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Suplementasi besi pada bayi dan anak. Edisi ke-1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. 341
8. 9.
Schwart E. Iron deficiency anemia. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders; 2004. hlm. 1614–7. World Health Organization. Iron deficiency anemia assessment, prevention, and control: a guide for programme managers. Geneva: WHO; 2001.
342
ANEMIA MEGALOBLASTIK Batasan
Anemia yang disebabkan kurangnya vitamin B12 dan atau asam folat yang diperlukan untuk pematangan sel darah merah
Etiologi
Defisiensi vitamin B12: asupan vitamin B12 tidak adekuat (vegetarian), kurangnya faktor intrinsik, gangguan absorpsi, gangguan transpor vitamin B12, gangguan metabolisme vitamin B12 (kongenital, penyakit hati, malnutrisi protein) Defisiensi asam folat: asupan asam folat tidak adekuat, gangguan absorpsi, kelainan metabolisme asam folat kongenital (congenital dihydro-folate reductase deficiency) Lain-lain Kelainan kongenital sintesis DNA Defek sintesis DNA didapat Obat-obatan (sitostatik): metotreksat
Diagnosis
Anamnesis Riwayat faktor predisposisi (ada kerabat atau keluarga ataupun keluarga yang menderita anemia megaloblastik, ibu menderita defisiensi vitamin B12, pola diet yang salah) Pemeriksaan Fisis Pucat, lemah, lesu, anoreksia, lidah terasa sakit dan kemerahan, glositis, serta dapat disertai diare yang bersifat episodik atau berkelanjutan Gejala neurologis: parestesia, defisit sensoris, hipotoni, kejang, keterlambatan perkembangan Efek buruk defisiensi vitamin ini, ↑ risiko trombosis karena hiper homosisteinemia Defisiensi vitamin ini pada ibu hamil akan memengaruhi pertumbuhan saraf janin, ↑ risiko prematuritas, gagal tumbuh pada janin, dan keguguran Laboratorium Darah Sel darah merah Hb biasanya ↓ Indeks sel darah merah: MCV ↑ (110–140 fL), MCHC normal Morfologi darah tepi: banyak gambaran makrositer dan makroovalosit, anisositosis dan poikilositosis, cabot rings, Howel Jolly-Bodies serta puntat basofil Sel darah putih Jumlahnya ↓ (1.500–4.000/mm3), neutrofil hipersegmentasi 3 Trombosit dapat ↓ (50.000–180.000/mm ) Sumsum tulang: terlihat megaloblastik 343
Laktat dehidrogenase, bilirubin, besi serum, dan saturasi transferin ↑ Kadar vitamin B12 ↓ (<80 pg/mL), normal: 200–800 pg/mL Kadar asam folat eritrosit ↓ (<3 ng/mL) (normal: 74–640 ng/mL) Pemeriksaan Penunjang Darah rutin Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis, morfologi darah tepi Indeks eritrosit: MCV, MCHC Kadar vitamin B12 atau asam folat serum (bila memungkinkan) Laktat dehidrogenase, bilirubin, besi serum, dan saturasi transferin Pungsi sumsum tulang
Diagnosis Banding
Gangguan sintesis DNA kongenital Gangguan sintesis DNA didapat
Penyulit
Kelainan neurologik Infeksi
Terapi
Umum Makanan gizi seimbang Hindari makanan yang mengandung gluten Atasi faktor predisposisi Khusus Defisiensi asam folat Dosis asam folat 5 mg (100 μg/kgBB/hr) selama 4 bl. Terapi dilanjutkan apabila defisiensi asam folat tidak dapat diperbaiki Terapi profilaksis asam folat diberikan pada anak dengan anemia hemolitik berat (thalassemia, anemia hemolitik autoimun) Keberhasilan pengobatan penderita dengan defisiensi asam folat bergantung pada: Koreksi defisiensi asam folat Mengobati penyakit yang mendasarinya Peningkatan diet makanan yang banyak mengandung asam folat Monitor kondisi klinis penderita Respons optimal terjadi pada kebanyakan penderita dengan 100–200 µg asam folat/hr. Karena sediaan yang tersedia secara komersial biasanya tablet (0,3–1,0 mg) dan elixir (1,0 mg/mL), sebelum asam folat diberikan perlu untuk menyingkirkan kemungkinan kekurangan vitamin B12 Respons klinis dan hematologi untuk asam folat cepat terjadi. Dalam 1–2 hr, nafsu makan akan kembali ↑ dan penderita terlihat membaik. Retikulosit ↑ dalam 2–4 hr, mencapai puncak pada 4–7 hr, dan diikuti kadar Hb normal dalam 2–6 mgg 344
Defisiensi vitamin B12 Dosis awal optimal 25–100 g/hr selama 2–3 mgg diikuti dengan suplemen kalium ↑ Dosis pemeliharaan 200–1.000 g i.m. setiap bl Dapat diberikan pada gangguan absorpsi vitamin B12 dengan dosis 1.000 g i.m. 2 atau 3×/mgg Respons berupa retikulositosis dapat diharapkan pada hari ke3–4 pengobatan, puncaknya terjadi pada hr ke-6–8 dan mulai ↓ pada hr ke-12 Transfusi PRC 10–15 mL/kgBB bila ada infeksi atau tanda gagal jantung yang mengancam Bila ada infeksi harus segera diatasi, karena selama infeksi sumsum tulang sering tidak memberikan respons dengan pemberian hematinik
Prognosis
Pada umumnya baik, biasanya dalam 6–8 mgg pengobatan Hb kembali normal
Surat Persetujuan Diperlukan
Bibliografi 1.
2.
3.
4. 5.
6.
Babior BM. Folate, cobalamin, and megaloblastic anemia. Dalam: Lichtman MA, Kipps TJ, Kaushansky K, Beutler E, Seligshon U, Prchal JT, penyunting. Williams hematology. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill; 2006. hlm. 477–509. Banka S, Roberts R, Plews D, Newman WG. Early diagnosis and treatment of cobalamin deficiency of infancy owing to occult maternal pernicious anemia. J Pediatr Hematol Oncol. 2010; 32(4):319–22. Glader B. Anemias of inadequate production. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders; 2007. hlm. 1606–17. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011. Lerner NB. Megaloblastic anemia. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 1655–7. Werner EJ. Megaloblastic anemia and disorders of cobalamin and folate metabolism. Dalam: Arceci RJ, Hann AM, Smith OP, penyunting. Pediatric hematology. Edisi ke-3. Massachusetts: Blackwell Publishing; 2006. hlm. 105–29.
345
ANEMIA APLASTIK Batasan
Anemia refrakter yang ditandai dengan anemia berat, leukopenia, trombositopenia, dan disertai dengan sumsum tulang aplastik atau hipoplastik Anemia aplastik berat jika terdapat selularitas sumsum tulang <25% dan memenuhi dua dari kriteria: jumlah granulosit <500/mm3, 3 3 trombosit <20.000/mm , retikulosit <20.000/mm Anemia aplastik sangat berat jika memenuhi kriteria anemia aplastik berat dengan jumlah granulosit <200/mm3
Klasifikasi Kongenital Didapat
Etiologi
Terdapat idiopatik Obat: kloramfenikol, antikanker, sulfa, fenilbutazon, dan lainnya Infeksi: hepatitis, mononukleosus infeksiosa Radiasi
Diagnosis
Anamnesis Riwayat pucat, lemah, lesu, dan perdarahan Panas badan (infeksi) Pemeriksaan Fisis Purpura, petekia, ekimosis, epistaksis, perdarahan saluran cerna Tanpa limfadenopati dan hepatosplenomegali Laboratorium Darah tepi ditemukan trias anemia, leukopenia, dan trombositopenia (pansitopenia) Retikulosit ↓ Morfologi eritrosit: normokrom normositer Sumsum tulang → hiposelular (aplasia/hipoplasia sumsum tulang) Pemeriksaan Penunjang Darah tepi: Hb, leukosit, trombosit, eritrosit, retikulosit, morfologi darah Pungsi sumsum tulang
Diagnosis Banding Preleukemia
Penyulit
Infeksi Perdarahan hebat 346
Terapi
Umum Mencari dan menghindarkan bahan yang mungkin menjadi penyebab Mencegah perdarahan dengan cara menghindari trauma → istirahat dan pembatasan aktivitas Mencegah infeksi dengan menghindari kontak Makanan gizi seimbang (mulai makanan lunak) Khusus Terapi imunosupresor Antithymocyte globulin (ATG) Dosis 20 mg/kgBB/hr (1×/hr) dengan continuous infusion dalam 12 jam selama 10 hr Kortikosteroid Metilprednisolon 2 mg/kgBB/hr i.v. tiap 6 jam diberikan dari hr 1–8 Prednisolon 1,5 mg/kgBB/hr (2×/hr) pada hr ke-9 dan 10, 1 mg/kgBB/hr (2×/hr) pada hr ke-11–12, 0,5 mg/kgBB/hr (2×/hr) pada hr ke-13–14 (2×/hr), 0,25 mg/kgBB/hr pada hr ke-15 (1×/hr) Siklosporin A Dosis 10–12 mg/kgBB/hr p.o. dibagi 2 dosis, dengan memantau kadar siklosporin dalam 2 mgg pertama. Terapi dilanjutkan sampai 1 th untuk mengurangi kemungkinan kambuh, kemudian dosis ↓ 2,0 mg/kgBB setiap 2 mgg. Apabila didapatkan kadar kreatinin ↑ >30% di atas normal, dosis ↓ 2 mg/kgBB/hr setiap mgg sampai kadar kreatinin kembali normal G-CSF, 5 μg/kgBB s.k. sekali sehari, dimulai pada hr ke-5, dilanjutkan sampai penderita tidak bergantung 3pada transfusi selama 2 bl, hitung neutrofil absolut >1.000/mm , Ht ≥25% dan hitung trombosit ≥40.000/mm3. Kemudian ↓ bertahap G -CSF bergantung pada hitung neutrofil Transplantasi sumsum tulang/stem cell dari saudara sekandung dengan human leukocyte antigen (HLA) identik Terapi suportif Transfusi darah Packed red cell (PRC) 10–15 mL/kgBB untuk mengatasi anemia, indikasi Hb <7 g/dL Fresh whole blood (FWB) 10–15 mL/kgBB bila anemia disebabkan oleh perdarahan hebat Suspensi trombosit 1 IU/5 kgBB pada perdarahan akibat trombositopenia (tiap IU diharapkan dapat ↑ jumlah trombosit 50.000–100.000/mm3) Suspensi trombosit profilaksis diberikan bila jumlah trombosit <10×109/L (atau <20×109/L) Transfusi granulosit pada penderita dengan sepsis dan granulositopenia 347
Pada keadaan kelebihan besi akibat transfusi berulang: terapi kelasi besi Antibiotik spektrum luas yang tidak mendepresi sumsum tulang (misalnya ampisilin 100 mg/kgBB/hr dan gentamisin 5 mg/kgBB/hr) sampai 3 hr bebas panas untuk mengatasi infeksi Granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF atau G-CSF) pada neutropenia berat Terapi profilaksis Antibiotik profilaksis diberikan bila hitung neutrofil <0,2×109/L Amfoterisin i.v. diberikan bila demam menetap saat antibiotik spektrum luas sudah diberikan Kelasi besi bila serum feritin >1.000 μg/L
Prognosis
Bila tidak diobati angka kematian 50% dalam 6 bl sesudah diagnosis Infeksi dan perdarahan sering → kematian 6–12 bl sesudah diagnosis ditegakkan Bila transplantasi sumsum tulang berhasil → survival rate = 90%
Surat Persetujuan Diperlukan
Bibliografi 1.
2. 3.
4. 5. 6.
7. 8. 9.
Bacigalupo A, Passweg J. Diagnosis and treatment of acquired aplastic anemia. Hematol Oncol Clin North Am. 2009;23(2):159–70. Bacigalupo A. Aplastic anemia: pathogenesis and treatment. Hematology Am Soc Hematol Educ Program. 2007;2007(1):23–8. Führer M, Rampf U, Baumann I, Faldum A, Niemeyer C, JankaSchaub G, dkk. Immunosuppressive therapy for aplastic anemia in children: a more severe disease predicts better survival. Blood. 2005;106(6):2102–4. Guinan EC. Aplastic anemia: management of pediatric patients. Hematology Am Soc Hematol Educ Program. 2005;2005(1):104–9. Guinan EC. Diagnosis and management of aplastic anemia. Hematology Am Soc Hematol Educ Program. 2011;2011(1):76–81. Hord JD. The acquired pancytopenias. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders; 2007. hlm. 2053–5. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011. Marsh JCW, Ball SE, Cavenagh J, Darbyshire P, Dokal I, GordonSmith EC, dkk. Guidelines for the diagnosis and management of aplastic anaemia. Br J Haematol. 2009;147:43–70. Niemeyer C, Baumann I. Classification of childhood aplastic anemia and myelodysplastic syndrome. Hematology Am Soc Hematol Educ Program. 2011;2011(1):84–9. 348
10. Scheinberg P, Wu CO, Nunez O, and Young NS. Long-term outcome of pediatric patients with severe aplastic anemia treated with antithymocyte globulin and cyclosporine. J Pediatr. 2008;153(6):814–9. 11. Scheinberg P, Young NS. How I treat acquired aplastic anemia. Blood. 2012;120:1185–96. 12. Scheinberg Ph, Wu CO, Nunez O, Scheinberg Pr, Boss C, Sloand EM, dkk. Treatment of severe aplastic anemia with a combination of horse antithymocyte globulin and cyclosporine, with or without sirolimus: a prospective randomized study. Haematologica. 2009;94:348–54. 13. Yoshida N, Yagasaki H, Hama A, Takahashi Y, Kosaka Y, Kobayashi R, dkk. Predicting response to immunosuppressive therapy in childhood aplastic anemia. Haematologica. 2011;96(5):771–4. 14. Young NS, Calado RT, Scheinberg P. Current concepts in the pathophysiology and treatment of aplastic anemia. Blood. 2006;108(8):2509–19.
349
THALASSEMIA Batasan
Golongan penyakit bersifat keturunan (herediter) yang ditandai dengan defisiensi pembentukan rantai globin spesifik dari Hb
Klasifikasi
Klinis Thalassemia mayor Thalassemia intermedia Thalassemia minor Genetik Thalassemia α, β, δβ, dan γδβ
Etiologi
Defisiensi rantai globin yang bersifat herediter
Diagnosis
Anamnesis Pucat, gangguan pertumbuhan Riwayat keluarga Pemeriksaan Fisis Anemia/pucat Ikterik ringan Facies cooley pada anak lebih besar Hepatosplenomegali tanpa limfadenopati Facies cooley Gizi kurang/buruk Perawakan pendek Hiperpigmentasi kulit Pubertas terlambat Laboratorium Anemia berat (Hb <3 g/dL atau 4 g/dL) Sediaan apus darah tepi (mikrositer, hipokrom, anisositosis, poikilositosis, sel eritrosit muda/normoblas, fragmentosit, sel target) Indeks eritrosit: MCV,MCH, MCHC ↓, RDW ↑ Bila tidak cell counter, dilakukan uji resistensi osmotik 1 tabung (fragilitas) Morfologi eritrosit: gambaran hemolitik (anisositosis, poikilositosis, polikromasi, sel target, normoblas) Dapat terjadi leukopenia dan trombositopenia Retikulosit ↑ Hb F atau Hb A2 ↑ Sumsum tulang → aktivitas eritropoesis ↑
350
Pemeriksaan Penunjang Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis, morfologi darah tepi, retikulosit Indeks eritrosit: MCV, MCHC Hb-elektroforesis Pungsi sumsum tulang
Diagnosis Banding
Hemoglobinopati Anemia defisiensi besi Anemia diseritropoetik kongenital
Penyulit
Hemosiderosis
Penyulit
Penyulit dapat disebabkan oleh thalassemia-nya sendiri atau akibat transfusi rutin yang dapat → penumpukan besi di berbagai organ (hemosiderosis), seperti: Gangguan jantung, meliputi perikarditis, aritmia, kardiomiopati, dan gagal jantung Diabetes melitus Hipotiroid/hipoparatiroid Gangguan pematangan seksual Gangguan pembekuan darah Sirosis hepatis
Terapi
Umum Makanan gizi seimbang Dietetik Makanan dan obat yang banyak mengandung zat besi sebaiknya dihindari Pemantauan tumbuh kembang Khusus Dapat dicoba transplantasi sumsum tulang PRC 10–15 mL/kgBB setiap 4 mgg → mengatasi anemia, sehingga kadar Hb >10 g/dL Transfusi darah pertama kali diberikan bila Hb <7 g/dL yang diperiksa 2× berturutan dengan jarak 2 mgg atau Hb ≥7 g/dL disertai gejala klinis (perubahan muka/facies Cooley, gangguan tumbuh kembang, fraktur tulang, curiga hematopoetik ekstramedular) Pada penanganan selanjutnya, transfusi darah diberikan Hb ≤8 g/dL sampai kadar Hb 10–11 g/dL. Bila terdapat tanda gagal jantung, pernah ada kelainan jantung, atau Hb <5 g/dL maka dosis untuk satu kali pemberian tidak boleh >5 mL/kgBB dengan kecepatan tidak >2 mL/kgBB/jam. Sambil menunggu transfusi darah, diberikan O2 dengan kecepatan 2–4 L/mnt 351
Kelasi besi diberikan bila kadar feritin serum >1.000 ng/mL dan saturasi transferin >55% atau sudah 10–20× transfusi, untuk mengatasi kelebihan Fe dalam jaringan tubuh Desferioksamin Dewasa dan anak 3 th: 30–50 mg/kgBB/hr, 5–7×/mgg s.k. selama 8–12 jam dengan syringe pump. Anak usia <3 th: 15– 25 mg/kgBB/hr Pemakaian desferioksamin dihentikan pada penderita yang sedang hamil, kecuali penderita gangguan jantung yang berat dan diberikan kembali pada trimester akhir desferioksamin 20–30 mg/kgBB/hr Ibu menyusui tetap dapat menggunakan kelasi besi ini Pada penderita tidak patuh/menolak pemberian desferioksamin dapat diberikan: Deferipron/L1: 75–100 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis sesudah makan atau Deferasiroks/ICL 670: 20–30 mg/kgBB/hr dosis tunggal, 1×/hr Terapi kombinasi (desferioksamin dan deferipron) diberikan pada keadaan: Feritin >3.000 ng/mL yang bertahan min. 3 bl Kardiomiopati akibat kelebihan besi Atau Bila T2* MRI sesuai dengan hemosiderosis jantung (<20 milisekon) Untuk jangka waktu tertentu (6–12 bl) bergantung pada kadar feritin dan fungsi jantung saat evaluasi Splenektomi Dilakukan bila terdapat hipersplenisme atau jarak pemberian transfusi yang makin pendek Asam folat: 2 × 1 mg/hr Vitamin E: 2 × 200 IU/hr Vitamin C: 2–3 mg/kgBB/hr (maks. 50 mg pada anak <10 th dan 100 mg pada anak 10 th, tidak melebihi 200 mg/hr) dan hanya diberikan saat pemakaian desferioksamin (DFO), tidak dipakai untuk penderita dengan gangguan fungsi jantung Pemantauan Efek Samping Kelasi Besi Desferioksamin (DFO): THT: audiometri (1×/th): gangguan pendengaran, tinitus (reversibel) Mata (1×/th): gangguan lapang pandang (reversibel) Feritin → setiap 3 bl Foto tulang panjang + vertebra + bone age (1×/th): gangguan pertumbuhan pada anak usia <3 th Deferipron (L1) Darah tepi dan hitung jenis (absolute neutrophil count) → 5–10 hr sekali SGOT, SGPT, ureum, kreatinin setiap 3 bl 352
Feritin → setiap 3 bl Tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan menyusui Desferasiroks (ICL 670) Kreatinin → setiap bl SGOT & SGPT → setiap bl Feritin → setiap bl Ibu hamil dan menyusui masih belum dilakukan penelitian
Prognosis Buruk
Surat Persetujuan Diperlukan
Bibliografi 1.
2. 3.
4. 5. 6.
7.
8. 9.
Angelucci E, Barosi G, Camaschella C, Cappellini MD, Cazzola M, Galanello R, dkk. Italian Society of Hematology practice guidelines for the management of iron overload in thalassemia major and related disorders. Haematologica. 2008;93(5):741–52. Cappellini MD, Cohen A, Eleftheriou A, Piga A, Porter J. Guidelines for the clinical management of thalassaemia. Edisi ke2 revisi. Nicosia: Thalassaemia International Federation; 2008. Cappellini MD, Cohen A, Porter J, Taher A, Viprakasit V. Guidelines for the clinical management of transfusion dependent thalassaemia (TDT). Edisi ke-3. Nicosia: Thalassaemia International Federation; 2014. Cohen AR, Galanello R, Pennell DJ, Cunningham MJ, Vichinsky E. Thalassemia. Hematology Am Soc Hematol Educ Program. 2004;2004(1):14–34. Cohen AR. New advances in iron chelation therapy. Hematology Am Soc Hematol Educ Program. 2006;2006(1):42–7. Debaun MR, Frei-Jones M, Vichinsky E. Haemoglobinopathies. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 1674–7. Debaun MR, Vichinsky E. Haemoglobinopathies. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders; 2007. hlm. 2025–38. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011. Perhimpunan Hematologi dan Transfusi darah Indonesi (PHTDI). Konsensus PHTDI. Panduan penatalaksanaan thalassemia mayor. Jakarta: PHTDI; 2011.
353
10. Tanner MA, Galanello R, Dessi C, Smith GC, Westwood MA, Agus A, dkk. A randomized, placebo-controlled, double-blind trial of the effect of (combined therapy with deferoxamine and deferiprone on myocardial. Circulation. 2007;115:1876–84. 11. Vichinsky E. Oral iron chelators and the treatment of iron overload in pediatric patients with chronic anemia. Pediatrics. 2008;121:153–6. 12. Walter PB, Macklin EA, Porter J, Evans P, Kwiatkowski JL, Neufeld EJ, dkk. Inflammation and oxidant-stress in β-thalassemia patients treated with iron chelators deferasirox (ICL670) or deferoxamine: an ancillary study of the Novartis CICL670A0107 trial. Haematologica. 2008;93(6):817–25.
354
IDIOPATHIC THROMBOCYTOPENIC PURPURA (ITP) Batasan
Purpura terjadi akibat berkurangnya jumlah trombosit di dalam darah yang penyebabnya tidak diketahui dengan sumsum tulang yang normal
Klasifikasi Akut Kronik
Etiologi
Penyebab pasti tidak diketahui, diduga merupakan reaksi imunologis Pada 50–65% kasus didahului infeksi virus (1–4 mgg sebelumnya)
Diagnosis
Anamnesis Onset akut Kadang disertai perdarahan nyata Pemeriksaan Fisis Purpura, petekia, ekimosis, epistaksis Limpa teraba (<10% kasus) Laboratorium Trombositopenia tanpa kelainan eritrosit dan leukosit Waktu perdarahan ↑, waktu pembekuan normal PT dan aPTT normal Retraksi bekuan buruk, tourniquet (+) Gambaran sumsum tulang normal, megakariosit ↑ atau normal Pemeriksaan Penunjang Skrining perdarahan: waktu perdarahan, waktu pembekuan, tourniquet, hitung trombosit, retraksi bekuan, PT dan aPTT Pungsi sumsum tulang
Diagnosis Banding
Amegakaryocyte thrombocytopenic purpura (ATP) Evans syndrome Purpura trombositopenia sekunder Autoimmune thrombocytopenia Anemia aplastik Leukemia
Penyulit
Perdarahan 3 intrakranial <20.000/mm
(0,5–1%),
355
terutama
bila
trombosit
Terapi
Umum Mencegah dan mengatasi perdarahan. Trauma dihindarkan dengan istirahat dan pembatasan aktivitas Menghindari penggunaan preparat yang dapat mengganggu fungsi trombosit (aspirin dan sejenisnya) Makanan gizi seimbang (dimulai makanan lunak) Khusus Kortikosteroid Dosis 1–4 mg/kgBB/hr selama 2–3 mgg atau terdapat ↑ trombosit sampai >20.000/mm3, kemudian tapering-off selama 7 hr Jika perdarahan hebat/kemungkinan perdarahan intrakranial → prednison dapat ↑ menjadi 5 mg/kgBB/hr Prednisolon 4 mg/kgBB/hr (grade A recommendation, level Ib evidence) Metil prednisolon dosis tinggi sebagai alternatif terhadap IVIG (30 mg/kgBB/hr selama 3 hr dilanjutkan 20 mg/kgBB/hr selama 4 hr dapat ↑ jumlah trombosit >50×109⁄L pada hari ke-7 Bila dalam 3 mgg tidak sembuh → monitor tanpa steroid (hanya diberikan terapi suportif) Bila sesudah 6 bl tetap trombositopenia → diagnosisnya ITP kronik Gamaglobulin (IgG) Dosis 0,8–1 g/kgBB/hr diberikan per infus 4–6 jam, selama 1–2 hr. Diberikan pada penderita yang tidak memberikan respons dengan kortikosteroid yang disertai perdarahan berat/risiko tinggi perdarahan intrakranial. Peningkatan trombosit dapat diharapkan dalam 48 jam Imunosupresif (siklofosfamid) Diberikan bila tetap tidak sembuh (ITP kronik). Siklofosfamid dengan dosis awal 1–2 mg/kgBB/hr. Bila terjadi remisi, dosis ↓ 50 mg setiap mgg dan pengobatan dihentikan Suspensi trombosit Dosis 1 IU/5 kgBB bila terjadi perdarahan hebat/risiko perdarahan intrakranial
Prognosis
Pada umumnya baik Perbaikan dalam 1 bl (50%) dan dalam 6 bl (70–80%)
Surat Persetujuan Diperlukan
Bibliografi 1.
Allen GA, Glader B. Approach to the bleeding child. Pediatr Clin N Am. 2002;49:1239–56. 356
2.
3. 4. 5. 6.
7. 8.
9.
10.
11. 12.
13.
British Committee for Standards in Haematology General Haematology Task Force. Guidelines for the investigation and management of idiopathic thrombocytopenic purpura in adults, children and in pregnancy. Br J Haematol. 2003;120(4):574–96. Buchanan GR. Thrombocytopenia during childhood: what a pediatrician needs to know. Pediatr Rev. 2005;26(11):401–9. Cines DB, Bussel JB. How I treat idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP). Blood. 2005;106(7):2244–51. Cuker A, Cines DB. Immune thrombocytopenia. Hematology Am Soc Hematol Educ Program. 2010;2010(1):377–84. Ghanima W, Godeau B, Cines DB, Bussel JB. How I treat immune thrombocytopenia: the choice between splenectomy or a medical therapy as a second-line treatment. Blood. 2012;120(5): 960–9. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011. Lusher JM. Clinical and laboratory approach to the patient with bleeding. Dalam: Nathan DG, Orkin SH, Ginsburg D, Look AT, penyunting. Hematology of infancy and childhood. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2003. hlm. 1515–26. Montgomery RR, Scott JP. Hemorrhagic and thrombotic diseases. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders; 2004. hlm. 1651–74. Neunert C, Lim W, Crowther M, Cohen A, Solberg L, Crowther M. Clinical guideline update on immune thrombocytopenia: an evidence based practice guideline developed by the American Society of Hematology. Blood. 2011;117(16):4190–207. Nugent DJ. Immune thrombocytopenic purpura of childhood. Hematology Am Soc Hematol Educ Program. 2006;2006(1):97– 103. Provan D, Stasi R, Newland AC, Blanchette VS, Bolton-Maggs P, Bussel JB, dkk. International consensus report on the investigation and management of primary immune thrombocytopenia. Blood. 2010;115(2):168–86. Rodeghiero F, Stasi R, Gernsheimer T, Michel M, Provan D, Arnold DM, dkk. Standardization of terminology, definitions and outcome criteria in immune thrombocytopenic purpura of adults and children: report from an international working group. Blood. 2009;113(11):2386–93.
357
HEMOFILIA Batasan
Penyakit perdarahan yang disebabkan oleh kelainan pembekuan darah yang herediter akibat defisiensi faktor VIII, IX, dan XI
Klasifikasi
Klinis Hemofilia A (defisiensi faktor VIII) Hemofilia B (defisiensi faktor IX) Derajat hemofilia Berat, FVIII/FIX: <1% (<1 IU/dL) Sedang, FVIII/FIX: 1–5% (1–5 IU/dL) Ringan, FVIII/FIX: 5–25% (5–25 IU/dL)
Etiologi
Herediter (hemofilia A dan B bersifat sex linked resesif, hemofilia C autosomal resesif) Didapat
Diagnosis
Tendensi perdarahan yang sulit berhenti/kebiru-biruan baik spontan maupun sesudah trauma ringan/tindakan seperti hematoma, perdarahan atau hemartrosis Riwayat keluarga Waktu pembekuan ↑ PT normal, PTT ↑ Thrombin generation test (TGT)/PTT substitution test abnormal Faktor VIII ↓
Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin: Hb, leukosit, trombosit, morfologi darah tepi Waktu perdarahan, waktu pembekuan PT, PTT TGT/PTT substitution test Assay factor VIII, IX, XI
Diagnosis Banding
Defisiensi faktor XII Penyakit von Willebrand
Penyulit
Perdarahan hebat. Penyulit akibat perdarahan yaitu anemia, ambulasis atau deformitas sendi, atrofi otot atau neuritis Artritis kronik karena hemartrosis berulang Penyulit sesudah terapi: infeksi, hepatitis B atau C pascatransfusi, ↑ kadar SGOT, SGPT, infeksi HIV, timbulnya inhibitor sesudah transfusi berulang
358
Konsultasi
Bagian terkait: ortopedi, bedah anak, gigi mulut, THT, rehabilitasi medis Tim pelayanan terpadu hemofilia RS (tenaga medis dan paramedis dari berbagai bidang terkait dan pekerja sosial)
Terapi
Umum Mencegah perdarahan dengan cara menghindari trauma Tidak melakukan tindakan yang dapat menimbulkan perdarahan seperti mencabut gigi atau sirkumsisi tanpa persiapan Hindari obat-obatan yang mengganggu fungsi trombosit (asam asetil salisilat/asetosal dan antiinflamasi nonsteroid) → untuk nyeri: parasetamol/asetaminofen Hindari suntikan i.m. dan pengambilan darah vena/arteri yang sulit Sebelum menjalani prosedur invasif penderita harus mendapat replacement therapy (konsentrat faktor pembekuan atau DDAVP untuk hemofilia ringan–sedang) Perdarahan akut → sedini-dininya (<2 jam) Perdarahan berat → RS fasilitas/pelayanan hemofilia Anjuran latihan teratur (meningkatkan kekuatan otot dan sendi, menghindari olahraga yang bersifat kontak badan) Khusus Terapi pengganti (replacement therapy) Hal-hal yang harus diperhatikan dalam replacement therapy: Dosis replacement therapy sesuai dengan organ yang mengalami perdarahan dan derajat hemofilia yang diderita penderita (lihat klasifikasi derajat hemofilia) Untuk perdarahan yang mengancam jiwa (intrakranial, intraabdomen atau saluran respiratori), replacement therapy harus diberikan sebelum pemeriksaan lebih lanjut Bila respons klinis tidak membaik sesudah pemberian terapi dengan dosis adekuat, perlu pemeriksaan kadar inhibitor Replacement therapy diutamakan menggunakan konsentrat faktor VIII/IX diberikan i.v. dalam 1–2 mnt Apabila konsentrat tidak tersedia, dapat diberikan kriopresipitat atau FFP Sumber faktor VIII: konsentrat faktor VIII Kriopresipitat (satu kantong kriopresipitat mengandung 100– 150 unit faktor VIII) Sumber faktor IX: konsentrat faktor IX Fresh frozen plasma (FFP) Prinsip pengobatan pada penderita hemofilia yaitu: Pemberian terapi pengganti untuk mencapai fungsi hemostasis yang memadai
359
Dosis Unit faktor VIII = BB (kg) × % faktor VIII yang diharapkan × 0,5 Unit faktor VIII = BB (kg) × (target kadar plasma − kadar F VIII penderita) × 0,5 Contoh: BB 50 kg × 40 (% F VIII yang diharapkan) × 0,5 = 1.000 unit Unit Fc. IX = BB (kg) × % Fc VIII yang diharapkan Lama terapi Terapi harus dilanjutkan sampai terjadi penyembuhan yang adekuat Perdarahan akibat ekstraksi gigi/epistaksis: 2–5 hr Luka operasi: 7–14 hr Konsentrasi faktor VIII yang diharapkan Hemartrosis ringan: 15–20% Hemartrosis berat: 20–40% Prosedur operasi: 60–80 % Operasi besar dan perdarahan SSP: 80–100% Perdarahan mukosa atau luka dapat dipersingkat menjadi 1–2 hr dengan pemberian antifibrinolitik (aminocaproic acid atau tranexamic acid) p.o. sampai penyembuhan terjadi Terapi penyerta (terapi ajuvan) Desmopressin acetate (DDAVP) Pada hemofilia ringan, dosis 0,3 g/kgBB dalam larutan 50– 100 mL NaCL 0,9% per infus/i.v. dalam waktu 20–30 mnt akan ↑ kadar faktor VIII plasma (2–8× kadar plasma awal) Tranexamic acid dosis 25 mg/kgBB diberikan 3×/hr bermanfaat untuk mengatasi perdarahan mukosa (perdarahan oral, epistaksis, menorhagia), dan pada tindakan perawatan gigi, tetapi tidak dapat diberikan pada kasus hematuria
360
Tabel 86 Rekomendasi Target Kadar Plasma Faktor VIII dan IX serta Lama Pemberian Tipe Perdarahan Sendi Otot (kecuali iliopsias) Iliopsias Inisial Pemeliharaan SSP/Kepala Inisial Pemeliharaan
Hemofilia A Target Kadar Durasi (hr) Plasma (%)
Hemofilia B Target Kadar Durasi (hr) Plasma (%)
10–20 10–20
1–2* 2–3*
10–20 10–20
1–2* 2–3*
20–40 10–20
1–2 3–5**
15–30 10–20
1–2 3–5**
50–80 30–50 20–40
1–3 4–7 8–14 (atau 21 jika ada indikasi)
50–80 30–50 20–40
1–3 4–7 8–14 (atau 21 jika ada indikasi)
1–3 4–7
30–50 10–20
1–3 4–7
1–3 4–7 3–5 5–7 1–3 4–6 7–14
30–50 10–20 15–30 15–30 50–70 30–40 20–30 10–20
1–3 4–7 3–5 5–7 1–3 4–6 7–14
1–3*
40
1–3*
Tenggorok dan leher Inisial 30–50 Pemeliharaan 10–20 Gastrointestinal Inisial 30–50 Pemeliharaan 10–20 Ginjal 20–40 Laserasi dalam 20–40 Operasi (mayor) 60–80 Preoperasi 30–40 Pascaoperasi 20–30 10–20 Ekstraksi gigi Sebelum tindakan 50 Sesudah tindakan 20–40
20–30
* Mungkin lebih bila respons tidak adekuat **Kadang perlu durasi lebih lama atau sekunder sebagai terapi profilaksis selama fisioterapi Sumber: Srivastava dkk. 2012
Prognosis
Bergantung pada penyulit
Surat Persetujuan Diperlukan
361
Bibliografi 1. 2.
3.
4. 5.
Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011. Montgomery RR, Scott JP. Hemorrhagic and thrombotic diseases. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders; 2007. hlm. 2068–89. National Hemophilia Foundation. Medical and Scientific Advisory Council (MASAC) Recommendation #175. Guidelines for emergency department management of individuals with hemophilia. Oktober 2006. [diunduh 15 Agustus 2012]. Tersedia dari: http://www.hemophilia.org/NHFWeb/MainPgs/MainNHF.as px?menuid=57&contentid=691. Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia. Konsensus Hemofilia. Jakarta: PHTDI; 2012. World Federation of Hemophilia. Guidelines for the management of hemophilia. Edisi ke-2. Massachusetts: Blackwell Publishing; 2012.
362
KOAGULASI INTRAVASKULAR DIFUSA (KID) Batasan
Keadaan terjadinya koagulasi intravaskular difus yang dicetuskan oleh penyakit utama sehingga timbul deposit fibrin dengan akibat timbul iskemia, nekrosis jaringan, perdarahan luas, dan anemia hemolitik
Etiologi
Infeksi: bakteri, virus, parasit, jamur, riketsia Keganasan: leukemia promielositik akut Metabolik: anoksia, asidosis, kerusakan jaringan yang luas Lain-lain: purpura fulminans, gigitan ular, heat stroke, ketidakcocokan transfusi, gagal hati Tabel 87 Kondisi yang Dapat Menyebabkan KID Causative Factors
Clinical Situation
Tissue injury
Trauma/crush injuries Head injury Mahor surgery Heat stroke Burns Venoms Malignancy Obstetrical accidents Amniotic fluid embolism Placental abruption Stillborn fetus Abortion Fat embolism Infection (bacterial, viral, protozoal) Immune complexes Eclampsia Postpartum renal failure Oral contraceptives Cardiopulmonary bypass Giant hemangioma Vascular aneurysm Cirrhosis Malignancy Respiratory distress syndrome Incompatible blood transfusion Infection Allograft rejection Hemolytic syndromes Drug hypersensitivity Malignancy
Endothelial cell injury dan atau Abnormal vascular surfaces
Platelet, leukocyte, or red cell injury
Diagnosis
Anamnesis Sedang menderita penyakit tertentu yang berat 363
Pemeriksaan Fisis Perdarahan pada bekas suntikan, petekia, purpura, ekimosis Laboratorium Prothrombine time (PT), partial thromboplastin time (PTT), dan thrombine time ↑ Fibrinogen ↓ Trombositopenia D-dimer ↑ Terdapat fragmented eritrosit (schitosis, triangle cell, helmet cell, dan burr cell) PF4 (trombosit faktor 4) ↑ FPA (fibrinopeptida A) ↑ Faktor V, F VIII, dan F XIII ↑ Sistem skoring Skor KID Tabel 88 Sistem Skoring untuk Diagnosis KID Menurut the International Society on Thrombosis and Haemostasis (ISTH) Apakah ada penyakit dasar yang berhubungan dengan KID? Bila ada → lanjutkan Bila tidak ada → jangan menggunakan algoritme ini Tes Laboratorium 3
Jumlah trombosit (/mm )
Hasil
Skor
>100.000 50.000–100.000 <50.000
0 1 2
Tidak ↑ ↑ Sangat ↑
0 2 3
<3 3–5,9 ≥6
0 1 2
>1 g/dL ≤1 g/dL
0 1
Peningkatan fibrinogen dan penanda fibrin lain (produk degradasi fibrin) Pemanjangan PT
Fibrinogen
Jumlah skor: <5: KID nyata (overt DIC) → penilaian ulang setiap hr ≥5: suggestive DIC/non-overt DIC → penilaian ulang 1–2 hr berikutnya Sumber: Taylor dkk. 2001
364
Tabel 89 Sistem Skoring untuk Diagnosis KID Menurut Japanese Association for Acute Medicine Kriteria SIRS >3 0–2
Skor 1 0 9
Jumlah trombosit (10 /L) <80 atau ↓ >50% dalam 24 jam 80–120 atau ↓ 30–50% dalam 24 jam >120
3 1 0
PT >1,2 <1,2
1 0
Fibrin/produk degradasi fibrin (mg/mL) >25 10-25 <10
3 1 0
Diagnosis KID bila skor >4 SIRS, systemic inflammatory response syndrome (suhu <36 °C atau >38 °C, 9 9 heart rate >90, respirasi >20, leukosit <4×10 sel/L atau >12×10 sel/L atau batang 10% band) Sumber: Hook dan Abrams 2012
Diagnosis Banding
Defisiensi vitamin K Penyakit hati Efek heparin Fibrinogenolisis primer Cardiopulmonary bypass Penyakit mikroangiopati
Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin: Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis sel, morfologi sel, PT, PTT, thrombine time, D-dimer Kultur darah AGD
Penyulit
Gagal organ
Konsultasi
Dengan bagian terkait (bergantung pada kasus)
Terapi
Pengobatan intensif terhadap penyakit yang mendasari Terapi infeksi dengan antiinfeksi adekuat (antibiotik, antiviral, antifungi) Memperbaiki homeostasis normal dengan koreksi syok, asidosis, hipoksia Terapi antineoplasma adekuat 365
Umum Bila penderita tidak sadar → posisi tidur diubah -ubah untuk mencegah dekubitus Makanan disesuaikan dengan keadaan umum (bila perlu dipuasakan) Khusus Fresh frozen plasma (FFP) 10–15 mL/kgBB + suspensi trombosit 1 IU/5 kgBB (grade C, level IV) Fresh whole blood (FWB) 10–15 mL/kgBB bila terdapat anemia atau perdarahan hebat sehingga terjadi gangguan perfusi jaringan atau kardiovaskular (grade C, level IV) Transfusi packed red cells/washed red cells bila Hb <8 g/dL Prothrombin complex concentrate bila FFP tidak memungkinkan (grade C, level IV) Kriopresipitat (50–100 mg/kgBB fibrinogen) pada hipofibrinogenemia berat (fibrinogen <1g/L) (grade C, level IV). Kriopresipitat (satu kantong kriopresipitat mengandung 200 mg fibrinogen) Heparin, pada KID dengan trombosis predominan (grade C, level IV) Dibatasi pada perdarahan yang mengancam jiwa yang gagal dengan pemberian di atas Dosis awal 50 IU/kgBB (bolus) dilanjutkan dengan infus kontinu 10–20 IU/kgBB/jam atau 50–100 mL/kgBB/4 jam KID pada penderita kritis, tanpa perdarahan, untuk mencegah tromboemboli dapat diberikan profilaksis heparin (grade A, level IB) Recombinant human activated protein C (APC), 24 μg/kgBB/jam selama 4 hr (grade A, level Ib) Tidak digunakan/harus dihentikan bila hitung platelet <30×109/L atau bila akan dilakukan prosedur invasif (grade C, level IV) Lain-lain Antifibrinolitik (aminocaproic acid), antiplatelet, dekstran, penghambat adrenergik alfa, dan antithrombin III concentrate dosis 250 IU i.v. tiap 8 jam Terapi antiplatelet yang sering digunakan: Aspirin: 5–10 mg/kgBB/hr Dipiridamol: 3–5 mg/kgBB/hr
Prognosis
Bergantung pada penyakit yang mendasari dan berat KID
Surat Persetujuan Diperlukan
Bibliografi 1. 2.
Franchini M, Lippi G, Manzato F. Recent acquisitions in the pathophysiology, diagnosis and treatment of disseminated intravascular coagulation. Thromb J. 2006;4:4. Hook KM, Abrams CS. The loss of homeostasis in hemostasis: new approaches in treating and understanding acute disseminated intravascular coagulation in critically Ill patients. Clin Transl Sci. 2012;5:85–92. 366
3.
Labelle CA, Kitchens CS. Disseminated intravascular coagulation: treat the cause, not the lab values. Cleveland Clinic J Med. 2005;75(5):377–97. 4. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011. 5. Levi M, Toh CH, Thachil J, Watson HG. Guidelines for the diagnosis and management of disseminated intravascular coagulation. Br J Haematol. 2009;145(1):24–33. 6. Levi M. Diagnosis and treatment of disseminated intravascular coagulation. Int J Lab Hematol. 2014 Jun;36(3):228–36. 7. Montgomery RR, Scott JP. Hemorrhagic and thrombotic diseases. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders; 2007. hlm. 2068–89. 8. Nathan DG., Orkin SH. Nathan and Oski’s hematology of infancy and childhood. Edisi ke-6. Tokyo: WB Saunders Co; 2003. 9. Permono HB, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam, penyunting. Buku ajar hematologi-onkologi. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2005. 10. Soundar EP, Jariwala P, Nguyen TC, Eldin KW, Teruya J. Evaluation of the International Society on Thrombosis and Haemostasis and institutional diagnostic criteria of disseminated intravascular coagulation in pediatric patients. Am J Clin Pathol. 2013 Jun;139(6):812–6. 11. Taylor FB Jr, Toh CH, Hoots WK, Wada H, Levi M; Scientific Subcommittee on Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) of the International Society on Thrombosis and Haemostasis (ISTH). Towards definition, clinical and laboratory criteria, and a scoring system for disseminated intravascular coagulation. Thromb Haemost. 2001 Nov;86(5):1327–30. 12. Toh CH, Hoots WK; SSC on Disseminated Intravascular Coagulation of the ISTH. Committee on Disseminated Intravascular Coagulation of the International Society on Thrombosis and Haemostasis: a 5-year overview. J Thromb Haemost. 2007 Mar;5(3):604–6.
367
LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT (LLA) Batasan
Keganasan alat pembuat sel darah berupa proliferasi patologik sel hematopoetik muda seri limfoblas yang ditandai kegagalan sumsum tulang pembentuk sel darah normal dan infiltrasi ke jaringan tubuh lain
Klasifikasi
Menurut French-American-British (FAB) L1 (84%) L2 (15%) L3 (1%)
Etiologi
Tidak diketahui dengan pasti, diduga berhubungan dengan faktor genetik, lingkungan (radiasi ionisasi, bahan kimia, obat-obatan kemoterapi), infeksi virus, dan defisiensi imunologik
Diagnosis
Anamnesis Pucat (40%), lemah, lesu Panas badan (60%) atau infeksi berulang/menetap Perdarahan (48%) Nyeri tulang (23%) Pemeriksaan Fisis Limfadenopati (50%), limfadenopati mediastinal → sindrom vena kava superior Splenomegali (63%) Hepatosplenomegali (68%) Laboratorium Darah tepi: anemia, granulositopenia, trombositopenia, limfoblas >3% Sumsum tulang: selularitas ↑ didominasi oleh limfoblas Pungsi lumbal: pemeriksaan sitologi (limfoblas) Imunofenotipe Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Darah Rutin Tes fungsi hati (SGOT/SGPT), fungsi ginjal (ureum, kreatinin) Asam urat dan elektrolit Biopsi sumsum tulang Pungsi lumbal Foto Rontgen toraks
368
dan
Diagnosis Banding
Leukemia nonlimfoblastik akut (LNLA)
Penyulit
Perdarahan Infeksi Metastasis → SSP, saluran genitourinarius, saluran cerna, tulang/ sendi, dan kulit
Terapi
Umum Menjaga kebersihan kulit, mulut, dan gigi Makanan gizi seimbang dimulai dengan makanan lunak Khusus Kemoterapi Harus dirawat di rumah sakit dengan pemantauan Disesuaikan dengan kondisi penderita Regimen kemoterapi bergantung pada tipe LLA (LLA risiko tinggi atau risiko standar) Regimen UKK Hemato-Onkologi (Protokol Indonesia LLA-2006) atau lainnya Induksi remisi 2 Deksametason 6 mg/m /hr p.o. selama 28 hr, dengan tapering-off 2 Vinkristin 1,5 mg/m i.v.2 1×/mgg selama 3 mgg Daunorubisin 30 mg/m i.v. 1×/mgg selama 4 mgg L-asparginase 2.500 IU/m2 i.v. pada hr ke-4 Metotreksat, sitosin arabinose (Ara-C), deksametason, intratekal, bersamaan dengan pungsi lumbal saat awal SSP profilaksis Radiasi kranial 1.800 rad sebanyak210× 6-merkaptopurin (6-MP) 75 mg/m /hr p.o. selama 4 mgg Vinkristin 1,5 mg/m2, i.v. pada hr ke-1 dan metotreksat intratekal pada hr ke-1, 8, dan 15 Pemeliharaan Deksametason 62 mg/m2/hr p.o. pada hr ke-0–4, 28–32, dan 56–602 6-MP 75 mg/m /hr p.o. pada hr ke-0–83, vinkristin 1,5 mg/m i.v. pada hr ke-0, 28, 562 Metotreksat 20 mg/m p.o. setiap mgg pada hr ke-7 setiap siklus dan metotreksat intratekal pada hr ke-0 setiap siklus Transplantasi sumsum tulang Terapi Suportif Transfusi darah Untuk mempertahankan Hb >10 g/dL diberikan PRC 10–15 mL/kgBB Bila terjadi perdarahan akibat trombositopenia diberikan suspensi trombosit 1 IU/5 kgBB
369
Mencegah/mengatasi infeksi Fokus infeksi, misalnya abses gigi harus dihilangkan dan hindari kontak dengan penderita varisela atau morbili Antibiotik berspektrum luas i.v. harus diberikan bila febris dengan granulositopenia (granulosit <500/mm3) Demam neutropenia berat: seftazidim dan gentamisin Kotrimoksazol 25 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis untuk mencegah pneumonia oleh Pneumocystis carinii Mencegah hiperurikemia Alopurinol 10 mg/kgBB/hr dalam dosis terbagi Dianjurkan banyak minum (2–3 L/m2/hr) Dukungan psikososial untuk penderita maupun keluarga
Prognosis
Kemungkinan hidup bebas leukemia 5 th: 65–70% Bila dihubungkan dengan klasifikasi FAB, maka L1 mempunyai prognosis paling baik dan L2 & L3 buruk
Surat Persetujuan Diperlukan
Bibliografi 1.
2. 3.
4.
Judith F, Margolin JF, Sreuber CP, Poplack DG. Acute lymphoblastic leukemia. Dalam: Pizzo PA, Poplack DG, penyunting. Principles & practice of pediatric oncology. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. hlm. 539–91. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011. Tubergen DG, Bleyer A, Ritchey AK. Acute lymphoblastic leukemia. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 1732–7. UKK Hematologi-Onkologi Anak. Protokol ALL-2006 Indonesia. Jakarta: IDAI; 2006.
370
INDONESIAN PROTOCOL A.L.L.-HR-2006 Name : ………………………….. MEDICINES (WEEKS)
Birth date: ……………… Dosage
MTX i.t.
0
1
↓
M/ F
MR : ……………
INDUCTION 2 3 4 ↓
VCR: 1.5 mg/m2 i.v.
↓
DEXA: 6 mg/m2 p.o.
dexametason
5
6
7
↓
↓ ↓ ↓
↓
DNR*: 30
mg/m2
L-Asp.: 6.000 Ara-C 75
i.v.
↓
IU/m2 i.v.
mg/m2
↓ ↓ ↓ ↓↓↓ ↓↓↓
↓
13
REINDUCTION 14 15 16 17
↓
↓
↓
Wait recovery 1 week (it aplastic occur)
371
Leucovorin rescue 15 mg/m2/dose mg/m2
CONSOLIDATION 9 10 11 12
↓
HD-MTX: 1.000 mg/m2 i.v.
CPA 1.000
8
Date of Diagnosis : . . . . . . . . . . . . .
↓
↓
↓
↓↓↓
↓↓↓
↓↓↓
↓
i.v.
↓
↓
↓
↓ ↓
↓ ↓
↓ ↓↓↓
6-MP: 50 mg/m2 p.o. BMP
Gambar 38 Protokol Leukemia Limfoblastik Akut Indonesia
↓↓↓
LEUKEMIA NONLIMFOBLASTIK AKUT (LNLA) Batasan
Keganasan alat pembuat sel darah yang mengenai seri sel darah selain limfosit, berupa proliferasi patologik sel hematopoetik muda yang ditandai dengan kegagalan sumsum tulang membentuk sel darah normal dan infiltrasi ke jaringan tubuh lainnya
Klasifikasi
Klasifikasi acute myelogenous leukemia (AML)/leukemia mieloblastik akut menurut French-American-British (FAB): Tipe M0: leukemia akut yang tidak terdiferensiasi M1: leukemia mieloblastik tanpa maturasi M2: leukemia mieloblastik dengan diferensiasi M3: sel promielosit abnormal, pada sitoplasma terdapat Auer rod M4: diferensiasi mielositik dan monositik dengan proporsi yang bervariasi M5: leukemia monositik dengan sel monositoid yang kurang berdiferensiasi dan atau berdiferensiasi baik M6: eritroleukemia M7: leukemia megakarioblastik
Etiologi
Tidak diketahui dengan pasti Diduga berhubungan dengan pemakaian alkylating agent pada pengobatan kanker, kelainan kromosom, penyakit herediter, dan sindrom konstitusional
Diagnosis
Anamnesis Riwayat pucat, lemah, lesu, panas badan atau infeksi berulang Perdarahan (petekia, ekimosis, perdarahan gusi) Pemeriksaan Fisis Hipertrofi gusi, infiltrasi ke kulit Limfadenopati Hepatosplenomegali Laboratorium Darah tepi: anemia, trombositopenia, leukositosis, ditemukan sel blas selain limfoblas Sumsum tulang: selularitas ↑, didominasi oleh sel leukemia selain limfoblas (bergantung pada tipenya) Pungsi lumbal (pemeriksaan sitologi)
Diagnosis Banding LLA
372
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: Hb, leukosit, gambaran darah tepi, tes fungsi hati/ginjal Biopsi sumsum tulang Pungsi lumbal Radiologi: foto Rontgen toraks
Penyulit
Perdarahan KID Tanda-tanda infeksi Penyebaran ke SSP, saluran genitourinarius, ginjal, saluran cerna, tulang/sendi, kulit, jantung, serta paru
Terapi
Umum Menjaga kebersihan kulit, gigi, dan mulut Makanan gizi seimbang, dimulai dengan makanan lunak Khusus Kemoterapi Protokol AML Indonesia 2013 (Gambar 39) Minggu ke-1: Doksorubisin 40 mg/m2/hr diberikan secara i.v. selama 1 jam, diberikan hr ke-1, 3, dan 5 Metoteksat, hidrokortison, dan arabinofuranosyl cytidine (ara-C) diberikan secara intratekal Sitarabin diberikan dengan dosis 100 mg/m2 secara i.v. selama 24 jam. Pemberian/pengenceran dengan NaCl, disesuaikan dengan kebutuhan cairan harian penderita. Pemberian sitarabin dilakukan pada hr ke-1, 2, dan 3 Minggu ke-2–4: Tidak ada kemoterapi Penting dalam fase ini diperhatikan supportive care-nya: Perawatan semisteril (bila memungkinkan), budaya cuci tangan Monitor darah tepi (idealnya 2×/mgg, perhatikan ANC) Pemberian antibiotik/antijamur profilaksis Support untuk nutrisi Pada fase ini diberikan profilaksis berupa: Amoxicillin-clavulanic acid 10 mg/kgBB/kali p.o. (2×/hr), dan Ketokonazol 5 mg/kgBB/hr p.o. Mengingat pada fase ini rentan terhadap infeksi sebagai akibat dari kemoterapi minggu sebelumnya (mgg 1). Periksa darah rutin 2×/mgg Doksorubisin dan sitarabin adalah kemoterapi yang bersifat mielosupresif dan mencapai nadirnya pada hr ke-12–28, sehingga penting untuk memonitor dan menghindari infeksi pada fase ini
373
BMP pada akhir mgg ke-4 (sebelum mulai fase ke-2 kemoterapi/mgg ke-5) wajib dilakukan, untuk mengevaluasi kondisi sumsum tulang Bila remisi (blas sumsum tulang <5%), maka lanjutkan dengan kemoterapi sesuai protokol (catatan: doksorubisin dosis 30 mg/m2. Bila tidak remisi, ulangi protokol dari awal. Bila sesudah induksi ke-2 tetap tidak tercapai remisi, disarankan terapi paliatif atau menggunakan protokol lain (diserahkan masing-masing senter) Minggu ke-5: Doksorubisin 30 mg/m2/hr diberikan secara i.v. selama 1 jam, diberikan pada hr ke-1, 3, dan 5 Metoteksat, hidrokortison, dan ara-C diberikan secara intratekal Sitarabin diberikan dengan dosis 100 mg/m2 secara i.v. selama 24 jam. Pemberian/pengenceran dengan NaCl, disesuaikan dengan kebutuhan cairan harian penderita. Pemberian sitarabin ini dilakukan pada hari ke-1, 2, dan 3 Minggu ke-6–8: Tidak ada kemoterapi (idem mgg ke-2–4) Minggu ke-9: Sitarabin 500 mg/m2/hr i.v. selama 3 jam, selama 3 hr. Pemberian/pengenceran 2dengan NaCl Etoposid 125 mg/m /hr diberikan secara i.v. selama 1 jam, selama 3 hr Minggu ke-10–12: Tidak ada kemoterapi (idem mgg ke-2–4) Minggu ke-13: Sitarabin 500 mg/m2/hr i.v. selama 3 jam, selama 3 hr. Pemberian/pengenceran 2dengan NaCl Etoposid 125 mg/m /hr diberikan secara i.v. selama 1 jam, selama 3 hr Minggu ke-14 akhir: Dilakukan BMP evaluasi Transplantasi sumsum tulang Transfusi darah PRC 10–15 mL/kgBB bila terjadi anemia Suspensi trombosit 1 IU/5 kgBB bila perdarahan karena trombositopenia Mencegah dan mengatasi infeksi Fokus infeksi harus dihilangkan Antibiotik spektrum luas i.v. harus diberikan 3bila terjadi febris dengan granulositopenia (granulosit <700/mm ) Kotrimoksazol (25 mg/kgBB/hr) dibagi 2 dosis, untuk mencegah pneumonia oleh P. carinii Menghindari kontak dengan penderita varisela atau morbili 374
Mencegah hiperurikemia Alopurinol 10 mg/kgBB/hr (dalam dosis terbagi) 2 Dianjurkan banyak minum (2–3 L/m /hr) Dukungan psikososial, baik untuk penderita maupun keluarga
Prognosis
Remisi (80% kasus) Faktor risiko yang memengaruhi kejadian remisi Jumlah leukosit >100.000/mm3 Hepar ≥5 cm Relaps Faktor risiko yang memengaruhinya belum diketahui Disease-free survival (40%)
Surat Persetujuan Diperlukan
Bibliografi 1.
2. 3. 4.
Golub TR, Arceci RJ. Acute myelogenous leukemia. Dalam: Pizzo PA, Poplack DG, penyunting. Principles & practice of pediatric oncology. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. hlm. 592–646. Konsensus UKK Hematologi-Onkologi. Tata Laksana AML 2013. Jakarta: BP IDAI; 2013. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011. Tubergen DG, Bleyer A, Ritchey AK. The leukemias. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. hlm. 2116–26.
375
376 Gambar 39 Protokol Leukemia Mieloblastik Akut Indonesia
LEUKEMIA MIELOID KRONIK (LMK) Batasan
Penyakit keganasan sel darah, ditandai dengan proliferasi abnormal dan akumulasi sel hematopoetik (sel leukemia) yang dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang. Proliferasi sel leukemia tersebut dapat masuk ke dalam sirkulasi darah dan menginfiltrasi organ tubuh lainnya sehingga menganggu metabolisme sel dan fungsi organ
Klasifikasi
Tipe dewasa = tipe anak Fase kronik Fase akselerasi Fase blastik atau fase akut Tipe juvenil
Etiologi
Belum diketahui secara pasti Berkaitan dengan abnormalitas kromosom, yaitu kromosom Philadelphia (hasil translokasi antara kromosom 9 dan 22)
Diagnosis
Lelah, lemah, pucat, BB ↓, demam, ruam kulit, dan nyeri tula ng terutama daerah sternum Hepatosplenomegali Limfadenopati Laboratorium Alkali fosfatase ↓ Hitung granulosit: 50.000 sampai >500.000/mm 3 Hitung trombosit: 500.000 sampai >1 juta/mm3 Gambaran darah tepi: anemia, penuh dengan prekursor granulosit, mulai dari mieloblas sampai neutrofil matang 20–50% Jumlah basofil dan eosinofil ↑, Auer rods (+) Gambaran sumsum tulang: hiperplasia granulosit, lebih banyak sel muda dan sejumlah besar megakariosit Sitogenetik sumsum tulang dan darah tepi ditemukan kromosom Philadelphia
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium Hb, leukosit, trombosit, gambaran darah tepi, dan profil koagulasi Kimia darah: urea N, kreatinin, alkali fosfatase, tes fungsi hati Aspirasi/biopsi sumsum tulang Pungsi lumbal: sitologi Sitogenetik: kromosom Philadelphia (bila memungkinkan) Radiologi: foto Rontgen toraks, survei tulang 377
Penyulit
Perdarahan Infeksi Metastasis ke SSP, saluran respiratori, mata, kulit, dan tulang
Konsultasi
Bagian terkait
Terapi
Umum Menjaga kebersihan kulit, mulut, dan gigi Makanan gizi seimbang dimulai dengan makanan lunak Khusus Kemoterapi Hidroksiurea Pada penderita resisten busulfan, dosis 20–30 mg/kgBB/hr p.o. Busulfan (1,4-dimethanesulfonyloxybutane; myleran) Dosis 0,06–0,1 mg/kgBB/hr p.o. (maks. 2 mg/hr) 3 Bila jumlah leukosit menjadi 15.000–20.000/mm → turunkan dosis menjadi setengahnya Interferon alfa (IFN-α; inferon) Sebagai antiproliferatif/memengaruhi diferensiasi sel Interferon leukosit manusia efektif dalam mengontrol granulositosis dan trombositosis 6 Dosis 5×10 IU/m2/hr i.m. atau s.k. selama 9–15 bl, dihentikan bila jumlah 3leukosit neutrofil <750/mm3 atau trombosit <40.000/mm Splenektomi Pada hipersplenisme, nyeri limpa, trombositopenia berat atau anemia berat yang sudah terlalu sering dilakukan transfusi Transplantasi sumsum tulang Tyrosine kinase inhibitors (TKI): imanitib, dosis 260–340/mg/m2/hr
Prognosis
Rata-rata dapat bertahan hidup 3–4 th dari saat diagnosis ditegakkan
Surat Persetujuan Diperlukan
Bibliografi 1. 2.
Andolina JR, Neudorf SM, Corey SJ. How I treat childhood CML. Blood. 2012 Feb;119(8):1821–30. Champagne MA, Capdeville R, Krailo M, Qu W, Peng B, Rosamilia M, dkk. Imatinib mesylate (STI571) for treatment of children with Philadelphia chromosome-positive leukemia: results from a Children's Oncology Group phase 1 study. Blood. 2004;104(9): 2655–60. 378
3. 4. 5. 6.
7. 8. 9.
Jabbour E, Cortes JE, Giles FJ, O'Brien S, Kantarjian HM. Current and emerging treatment options in chronic myeloid leukemia. Cancer. 2007;109:2171–81. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011. Lee JW, Chung NG. The treatment of pediatric chronic myelogenous leukemia in the imatinib era. Korean J Pediatr. 2011;54(3):111–6. Millot F, Baruchel A, Guilhot J, Petit A, Leblanc T, Bertrand Y, dkk. Imatinib is effective in children with previously untreated chronic myelogenous leukemia in early chronic phase: results of the French national phase IV trial. J Clin Oncol. 2011;29(20):2827–32. Millot F, Traore P, Guilhot J, Nelken B, Leblanc T, Leverger G, dkk. Clinical and biological features at diagnosis in 40 children with chronic myeloid leukemia. Pediatrics. 2005;116:140–3. O'Brien S, Abboud CN, Akhtari M, Altman J, Berman E, DeAngelo DJ, dkk. Chronic myelogenous leukemia. Clinical practice guidelines in oncology. J Natl Compr Canc Netw. 2012;10:64–110. Tubergen DG, Bleyer A, Ritchey AK. Chronic myeloblastic leukemia. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 1738–9.
379
LIMFOMA NON-HODGKIN Batasan
Proses proliferatif ganas pada jaringan limfoid yang menyerang sel limfosit
Klasifikasi
Menurut Murphy Stadium I: tumor tunggal (ekstranodus) atau daerah anatomik tunggal (nodus) dengan pengecualian daerah mediastinum atau abdomen Stadium II: tumor tunggal (ekstranodus) disertai nodus limfe regional Mengenai ≥2 nodus pada sisi diafragma yang sama Dua tumor (ekstranodus) yang terpisah dengan atau tanpa mengenai nodus limfe regional pada sisi diafragma yang sama Tumor saluran cerna primer yang dapat direseksi, biasanya di daerah ileosekal dengan atau tanpa mengenai nodus mesenterikus yang berhubungan Stadium III: dua tumor (ekstranodus) yang terpisah di atas atau di bawah diafragma Dua atau lebih daerah nodus di atas atau di bawah diafragma Semua tumor primer daerah intratoraks (mediastinum, pleura, timus) Semua tumor primer intraabdomen Semua tumor paraspinal atau epidural Stadium IV: mengenai SSP atau sumsum tulang atau keduanya
Etiologi
Penyebab pasti tidak diketahui, diduga Kelainan imunologik Infeksi virus (Epstein-Bar virus, HIV) Genetik Obat-obatan Lingkungan (radiasi)
Diagnosis
Limfadenopati progresif dan tidak nyeri Histopatologik: ditemukan limfosit atau sel stem yang difus, tanpa diferensiasi/berdiferensiasi buruk
Diagnosis Banding Limfoma Hodgkin Neuroblastoma
Pemeriksaan Penunjang
Darah: rutin, SGOT/SGPT, LDH, urea N, kreatinin, asam urat Biopsi jaringan yang adekuat dan atau 380
Aspirasi sumsum tulang Sitologi cairan likuor Sitologi cairan pleura, peritoneum atau perikardium Radiologik Foto Rontgen toraks, tomografi mediastinum Survei tulang USG atau CT-scan daerah leher dan abdomen
Penyulit
Penyebaran ke sumsum tulang, mediastinum, kelenjar getah bening di luar mediatinum dan abdomen
Konsultasi
Bagian terkait
Terapi
Umum Mencegah infeksi dengan menghindari kontak Makanan gizi seimbang Khusus Kemoterapi Induksi remisi Vinkristin 1,5 mg/m2 i.v. 1×/mgg selama 6 mgg Adriamisin 45 mg/m2 i.v. 1×/mgg selama 2 mgg Siklofosfamid 1.200 2mg/m2 i.v. 1×/mgg selama 2 mgg Prednison 40 mg/m /hr p.o. 5 mgg → tapering-off Metotreksat 12 mg/m2 intratekal 1×/mgg selama 6 mgg Pemeliharaan Metotreksat 30 mg/m2/mgg p.o. (18 bl) 6-MP 75 mg/m2/hr p.o. selama 18 bl Radioterapi Hanya dilakukan untuk mencegah terjadi relaps pada penderita dengan tumor kelenjar mesenterial atau terdapat sisa tumor yang >5 cm Operasi Selain untuk mengangkat lesi intraabdominal yang terlokalisasi, operasi dibatasi hanya untuk biopsi PRC 10–15 mL/kgBB, untuk mengatasi anemia Suspensi trombosit 1 IU/5 kgBB diberikan bila terjadi trombositopenia Na bikarbonas dan alopurinol 10 mg/kgBB/hr pada tumor yang besar untuk menghindari terjadi nefropati asam urat akibat lisis tumor akut
Prognosis
Baik Pada lokasi primer dan stadium I, II Kepala dan leher (tanpa parameningeal), nodus limfe perifer, abdominal ≥80% (rekurens jarang terjadi sesudah 2 th) 381
Buruk Stadium III atau IV Stadium IV dengan penyebaran ke SSP (prognosis sangat buruk) Stadium II parameningeal Remisi inisial inkomplet dalam waktu 2 bl Kadar LDH >1.000 IU/L Kadar asam urat >7,1 g/dL
Surat Persetujuan Diperlukan
Bibliografi 1. 2. 3.
Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011. Miller LP. Hodgkin and non-Hodgkin lymphoma. Dalam: Miller DR, Baehner RL, Miller LP, penyunting. Blood disease in infancy and childhood. Edisi ke-7. St Louis: Mosby Co; 1995. hlm. 749. Waxman IM, Hochberg J, Cairo MS. Non-Hodgkin’s malignant lymphoma. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 1743–6.
382
PENYAKIT HODGKIN (LIMFOMA HODGKIN) Batasan
Proses neoplastik ganas dari sistem limforetikular dengan penyebab yang tidak diketahui dan ditandai dengan sel Reed-Sternberg ke organ yang terkena, dikarakteristik dengan pembesaran progresif kelenjar limfe
Klasifikasi
Menurut Modified Ann Arbor Classification Stadium I: mengenai salah satu nodus limfe (I) atau organ ekstralimfatik (IE) Stadium II: mengenai ≥2 regio nodus limfe pada sisi yang sama dari diafragma (II) atau pada organ atau satu tempat ekstralimfatik serta ≥1 regio nodus limfe pada sisi diafragma yang sama (IIE) Stadium III: mengenai regio nodus limfe pada kedua sisi diafragma (III), dapat juga mengenai organ atau tempat ekstralimfatik (IIIE) atau mengenai lien (IIIS) atau keduanya Stadium IV: mengenai secara difus satu organ atau jaringan ekstralimfatik dengan atau tanpa mengenai nodus limfe
Etiologi
Tidak diketahui Diduga berhubungan dengan infeksi virus (EBV), radiasi, faktor genetik, dan sosioekonomi Familial Hodgkin limfoma terjadi 4,5% dari semua kasus limfoma Hodgkin. Risiko ↑ 7× dengan riwayat serupa pada saudara sekandung (limfoma Hodgkin atau non-Hodgkin) dan ↑ 99× pada kembar monozigot
Diagnosis
BB ↓ >10% dalam waktu 6 bl tanpa sebab Panas badan >38 °C hilang timbul tanpa sebab Berkeringat malam Limfadenopati dengan predileksi daerah servikal yang tidak terasa nyeri Histopatologi: ditemukan sel Reed-Sternberg
Diagnosis Banding
Limfoma non-Hodgkin
Pemeriksaan Penunjang
Darah: rutin, SGOT/SGPT, LDH, urea N, kreatinin, asam urat Biopsi jaringan yang adekuat dan atau Aspirasi sumsum tulang Sitologi cairan likuor Sitologi cairan pleura, peritoneum, atau perikardium 383
Radiologi Foto Rontgen toraks, tomografi mediastinum Survei tulang USG atau CT-scan daerah leher dan abdomen
Penyulit
Infeksi Perdarahan Penyebaran ke sumsum tulang, mediastinum, KGB di luar mediastinum dan organ intraabdomen Karena terapi Kerusakan paru, jantung, ginjal, hormonal, jaringan lunak, dan pertumbuhan tulang akibat dari radiasi dan atau kemoterapi Infeksi sesudah splenektomi Tumor ganas sekunder
Terapi
Umum Mencegah infeksi dengan menghindari kontak Makanan gizi seimbang Khusus Radioterapi Pilihan untuk stadium I dan II Bila keadaan klinis memerlukan, pada stadium II dapat ditambahkan kemoterapi Kemoterapi Adriamisin atau doksorubisin 25 mg/m2 i.v. hr ke-1, 14 Bleomisin 10 IU/m2 i.v. hr ke-1, 14 Vinblastin 6 mg/m2 i.v. hr ke-1, 14 Dekarbazin 150 mg/m2 i.v. hr ke-1–5 Siklus diulang tiap 28 hr PRC 10–15 mL/kgBB → pada anemia Suspensi trombosit 1 IU/5 kgBB → pada trombositopenia FWB 10–15 mL/kgBB → pada perdarahan hebat Kotrimoksazol 25 mg/kgBB/hr dalam 2 dosis → mencegah pneumonia P. carinii
Prognosis
Usia lebih muda → lebih baik Jenis kelamin perempuan → lebih baik Stadium ↑ → kurang baik Gejala sistemik (demam, BB ↓, dan keringat malam) dan LED ↑ → kurang baik Remisi komplet → lebih baik dibandingkan dengan penderita yang mengalami remisi parsial atau tanpa remisi
Surat Persetujuan Diperlukan
384
Bibliografi 1. 2.
Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011. Waxman IM, Hochberg J, Cairo MS. Hodgkin’s malignant lymphoma. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 1739–43.
385
NEUROBLASTOMA Batasan
Tumor yang berasal dari jaringan neural crest dan dapat mengenai susunan saraf simpatis sepanjang aksis kraniospinal
Klasifikasi
Menurut Evan (staging system): Stadium 0 : tumor setempat/terlokalisasi Stadium I : tumor mengenai organ atau struktur organ Stadium II : tumor menyebar keluar organ atau struktur organ Stadium III: tumor menyebar keluar organ berseberangan Stadium IV: terdapat metastasis ke tulang, sumsum tulang, otak, kulit, hati, paru, jaringan lunak Stadium IV-S: usia <1 th, tumor stadium I–II tetapi penyebaran ke hati, kulit, atau sumsum tulang
Etiologi
Tidak diketahui, diduga berhubungan dengan faktor lingkungan, ras, dan genetik
Diagnosis
Anamnesis Banyak keringat Muka merah Nyeri kepala Palpitasi Diare berkepanjangan → gagal tumbuh Pemeriksaan Fisis Distensi abdomen Tumor di daerah abdomen, pelvis atau mediastinum, dan biasanya melewati garis tengah Hipertensi Laboratorium Darah: hipokalemia, feritin serum ↑ Urin: katekolamin (VMA, HVA) ↑ Histopatologik: neuroblas yang tidak berdiferensiasi dengan pseudorosette Sumsum tulang: sel ganas pseudorosette
Diagnosis Banding Rabdomiosarkoma Limfoma Tumor Wilm Hepatoma
386
Pemeriksaan Penunjang
Darah: rutin, urea N, kreatinin, SGOT, SGPT, alkali fosfatase, dan feritin serum Urin: urinalisis, katekolamin (VMA, HVA) Radiologi: foto Rontgen toraks/abdomen Survei tulang USG, CT-scan Biopsi
Penyulit
Metastasis ke tulang, sumsum tulang, otak, hepar, paru, kelenjar getah bening, kulit, dan jaringan lunak Residif
Konsultasi
Bagian terkait Bedah Anak untuk tindakan operasi
Terapi
Umum Makanan dengan gizi seimbang Khusus Operasi Hasil baik untuk tumor yang terlokalisasi (stadium I dan II) Radioterapi Tidak bermanfaat untuk stadium I dan II Pada stadium II: preoperatif untuk mengecilkan tumor dan pascaoperatif untuk menghilangkan sisa tumor yang tertinggal Pada stadium IV: paliatif Kemoterapi (pilihan pertama untuk tumor luas) Vinkristin 1,5 mg/m2 i.v. 2hr ke-1, 21, dan 29 Siklofosfamid 250 mg/m2 p.o. hr ke-21–28 Adriamisin 40–60 mg/m i.v. hr ke-2 (maks. 500 mg/m2) PRC 10–15 mL/kgBB → pada anemia Mencegah dan mengatasi infeksi Untuk pneumonia P. carinii diberikan kotrimoksazol 25 mg/kgBB/hr Bila terdapat panas dengan granulositopenia (granulosit <500/mm3) → antibiotik spektrum luas i.v.
Prognosis
Histologis favorable lebih baik daripada unfavorable Usia saat diagnosis: <2 th lebih baik Kadar feritin normal (0–150 mg%) lebih baik Rasio VMA/HVA tinggi (>1) lebih baik Stadium I atau II atau IV-S lebih baik daripada III atau IV Lokalisasi: tumor primer di leher, mediastinum posterior lebih baik daripada abdominal
387
Surat Persetujuan Diperlukan
Bibliografi 1. 2.
3. 4.
Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011. Rubie H, Plantaz D, Coze C, Michon J, Frappaz D, Baranzelli MC, dkk. Localised and unresectable neuroblastoma in infants: excellent outcome with primary chemotherapy. Neuroblastoma Study Group, Société Française d'Oncologie Pédiatrique. Med Pediatr Oncol. 2001 Jan;36(1):247–50. Tweddle DA, Pinkerton CR, Lewis IJ, Ellershaw C, Cole M, Pearson AD. OPEC/OJEC for stage 4 neuroblastoma in children over 1 year of age. Med Pediatr Oncol. 2001 Jan;36(1):239–42. Zage PE, Alter JL. Neuroblastoma. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 1753–7.
388
389 Gambar 40 Protokol Neuroblastoma Localized and Unresectable Sumber: Rubie dkk. 2001
390 Gambar 41 Protokol Neuroblastoma OPEC/OJEC Sumber: Tweddle dkk. 2001
TUMOR WILM (NEFROBLASTOMA) Batasan
Tumor ginjal yang mengenai jaringan epitel maupun jaringan parenkim
Klasifikasi Tabel 90 Sistem Staging untuk Tumor Wilm NWTS (Sebelum Kemoterapi)
SIOP (Sesudah Kemoterapi)
Stage I Tumor terbatas pada ginjal dan Tumor terbatas pada ginjal atau dapat dieksisi komplet dikelilingi oleh pseudokapsul Tumor tidak ruptur sebelum atau fibrosa. Bila di luar kontur normal selama pengangkatan ginjal, kapsul ginjal atau Pembuluh darah sinus ginjal tidak pseudokapsul dapat terinfiltrasi terlibat >2 mm oleh tumor, tetapi tidak Tidak terdapat residu tumor di mencapai permukaan luar dan luar batas eksisi dapat direseksi komplet (batas reseksi bersih) Tumor dapat menonjol ke sistem pelvis dan ke dalam ureter (tetapi tidak menginfiltrasi dinding) Pembuluh darah sinus ginjal tidak terlibat Pembuluh darah intrarenal dapat terlibat Stage II Tumor ekstensi ke luar ginjal Tumor ekstensi ke luar ginjal atau tetapi dapat dieksisi secara berpenetrasi menembus kapsul komplet ginjal dan atau pseudokapsul Tidak terdapat tumor residu pada fibrosa ke dalam lemak perirenal atau di luar batas eksisi tetapi dapat direseksi secara Trombus tumor di pembuluh komplet (margin reseksi bersih) darah di luar ginjal merupakan Infiltrasi tumor ke sinus ginjal dan stage II bila trombus dapat atau menginvasi darah dan diangkat en bloc dengan tumor pembuluh limfatik ke luar parenkim ginjal tetapi dapat direseksi komplet Tumor menginfiltrasi organ dekat atau vena kava namun dapat direkseksi komplet Stage III KGB di hilus ginjal, rantai Eksisi tumor inkomplet, yang periaorta, atau di luarnya ekstensi ke luar batas reseksi mengandung tumor (tumor tersisa pascaoperatif Kontaminasi peritoneum difus secara mikroskopis maupun oleh tumor makroskopis)
391
Implan ditemukan di permukaan peritoneum Tumor ekstensi di luar batas bedah secara mikroskopis maupun makroskopis Tumor tidak dapat direseksi secara komplet karena infiltrasi lokal ke struktur vital Biopsi tumor atau spillage lokal pada flank termasuk stage II
a. b.
Stage IV Terdapat metastasis hematogen a. atau metastasis KGB jauh Stage V Tumor bilateral pada saat terdiagnosis
KGB abdomen terlibat Ruptur tumor sebelum atau intraoperatif Tumor penetrasi menembus permukaan peritoneum Trombus tumor terdapat pada batas reseksi pembuluh darah atau ureter mengalami transeksi Tumor dibiopsi secara bedah (biopsi baji) sebelum kemoterapi preoperatif atau operasi Metastasis hematogen (paru, hepar, tulang, otak, dll.) atau metastasi KGB di luar region abdominopelvis Tumor bilateral saat diagnosis
Sumber: Bhatnagar 2009
Etiologi
Tidak diketahui pasti Diduga mempunyai hubungan dengan kelainan kongenital, terutama kelainan urogenital, hemihipertrofi, dan aniridia
Diagnosis
Massa intraabdominal, berbatas tegas, dan biasanya tidak melewati garis tengah Disertai gejala hipertensi dan hematuria USG: massa tumor di daerah ginjal Histopatologi: gambaran bifasik dari unsur epitel dan mesenkim ginjal
Diagnosis Banding
Hepatoblastoma Tumor adrenokortikal Neuroblastoma Hidronefrosis Kista renal Mesoblastik nefroma Renal cell carcinoma
Pemeriksaan Penunjang
Darah: rutin, urea N, kreatinin, SGOT, SGPT, LDH, alkali fosfatase Urin Radiologi: BNO, IVP, foto Rontgen toraks USG, CT-scan abdomen/toraks/kepala
392
Penyulit
Penyebaran regional (penetrasi melalui kapsula renal ke jaringan lunak perirenal) Perdarahan di luar ginjal Penyebaran ke peritoneal Penyebaran hematogen ke paru, hati, tulang, dan otak
Konsultasi
Bagian terkait, antara lain Bedah Anak
Terapi
Umum Makanan gizi seimbang Khusus Operasi Nefrektomi merupakan tindakan utama Preoperatif Bila tumor terlalu besar (inoperable): Kemoterapi preoperatif: untuk mengecilkan dan mengurangi risiko ruptur → diberikan Aktinomisin-D 15 g/kgBB/hr i.v. selama 5 hr Vinkristin 1,5 mg/m2 i.v. 1×/mgg selama 3–4 mgg Pascaoperatif Radioterapi Segera pascaoperasi, 2.000 rad diberikan pada semua stadium kecuali stadium I Kemoterapi Vinkristin 1,5 mg/m2 i.v. 1×/mgg dimulai 1 mgg pascaoperasi selama 4–6 mgg Aktinomisin-D 15 g/kgBB/hr i.v. selama 5 hr Dosis pemeliharaan (6 2mgg kemudian) Vinkristin 1,5 mg/m /hr i.v. pada hr ke-1 dan 5 Aktinomisin-D 15 g/kgBB/hr i.v. selama 5 hr Adriamisin (ADR) 20 mg/m2/hr i.v. 3 ×/mgg pada mgg ke-6 Siklus pemeliharaan diulang tiap 6–8 mgg sampai 5–6 siklus
Prognosis
Persentase disease-free survival bergantung pada stadium penyakit dan histologinya
Surat Persetujuan Diperlukan
393
Tabel 91 Regimen Kemoterapi Tumor Wilm berdasarkan NWTSG dan SIOP NWTS-5
SIOP 93-01
394
Stage
Kemoterapi
Terapi Radiasi
Kemoterapi Preoperatif
Kemoterapi Pascaoperatif
Terapi Radiasi
I
VA × 18 mgg
−
VA × 4 mgg
VA × 4 mgg
−
II
VA × 18 mgg
−
VA × 4 mgg
VDA × 27 mgg
Node (−): tidak
Node (+): 15 Gy
III
VDA × 24 mgg
10,8 Gy
VA × 4 mgg
VDA × 27 mgg
15 Gy
IV
VDA × 24 mgg
Metastasis paru: 12 Gy
VDA × 6 mgg
CR sesudah 9 mgg: VDA × 27 mgg
Lesi paru (−) pada mgg ke-9: tidak Bila (+): 12 Gy
Lokal stage III 10,8 Gy
Pada mgg ke-9 remisi (−): ICED × 34 mgg
NWTS, National Wilms’ Tumor Study; SIOP, International Society of Pediatric Oncology; V, vinkristin; A, daktinomisin; C, carboplatin; CR, complete remission; D, doksorubisin; E, etoposid; I, ifosfamid
Bibliografi 1.
Bhatnagar S. Management of Wilms’ tumor: NWTS vs SIOP. J Indian Assoc Pediatr Surg. 2009;14(1):6–14. 2. D'Angio GJ. Pre- or postoperative therapy for Wilms' tumor? JCO. 2008;26(25):4055–7. 3. Davidoff AM. Wilms’ tumor. Curr Opin Pediatr. 2009;21(3):357– 64. 4. de Kraker J, Jones KP. Treatment of Wilms tumor: an international perspective. JCO. 2005;23(13):3156–7. 5. G Tournade MF, Com-Hougué C, de Kraker J, Ludwig R, Rey A, Burgers JM, dkk. Optimal duration of preoperative therapy in unilateral and nonmetastatic Wilms' tumor in children older than 6 months: results of the Ninth International Society of Pediatric Oncology Wilms tumor trial and study. J Clin Oncol. 2001;19(2): 488–500. 6. Green D. The treatment of stage I-IV favorable histology Wilms tumor. J Clin Oncol. 2004;l22:1366–72. 7. Jaffer N, Huff V. Neoplasms of the kidney. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders; 2007. hlm. 1711–4. 8. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011. 9. Metzgar ML, Dome JS. Current therapy for Wilms’ tumor. Oncologist. 2005;10:815–26. 10. Pizzo PA, Poplack DG. Principles and practice of pediatric oncology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. 11. Varan A. Wilms’ tumor in children: an overview. Nephron Clin Pract. 2008;108:c83–90.
395
RABDOMIOSARKOMA Batasan
Tumor ganas yang berasal dari jaringan mesodermal dan mengenai setiap jaringan tubuh yang mengandung serabut jaringan otot serat lintang, seperti muka, leher, ekstremitas, traktus urogenitalia, batang tubuh, dan retroperitoneal
Klasifikasi Tabel 92 Klasifikasi Rabdomiosarkoma berdasarkan Sistem Kelompok Menurut the Intergroup Rhabdomyosarcoma Study (IRS) Kelompok I A Terlokalisasi, reseksi komplet, terbatas pada lokasi primer B Terlokalisasi, reseksi komplet, infiltrasi sekitar lokasi primer II A Terlokalisasi, grossly resected, mikroskopik masih ada sisa tumor B Tumor regional, mengenai kelenjar getah bening, reseksi komplet C Tumor regional, mengenai kelenjar getah bening, reseksi komplet, mikroskopik terdapat sisa tumor III A Tumor besar, lokal atau regional sesudah biopsi B Massa tumor >50% sesudah operasi IV Metastasis jauh
Etiologi
Tidak diketahui pasti Diduga berhubungan dengan kelainan kongenital
Diagnosis
Massa yang dapat disertai rasa nyeri bergantung pada lokalisasi tumor primer maupun metastasisnya Histopatologik dibedakan 4 subtipe (embrional, alveolar, pleimorfik, dan undifferentiated)
Diagnosis Banding Neuroblastoma Limfoma
Pemeriksaan Penunjang
Darah: rutin, elektrolit, SGOT,SGPT, LDH, alkali fosfatase Urin Foto Rontgen toraks dan kepala Aspirasi sumsum tulang Pungsi lumbal untuk pemeriksaan sitologi (bila perlu) Biopsi kelenjar getah bening (bila perlu) Lain-lain: sesuai dengan lokalisasi tumor (CT-scan, USG, IVP, limfangiografi, foto tulang) 396
Penyulit
Metastasis Paru, SSP, kelenjar getah bening, tulang, sumsum tulang, hati, dan jaringan lunak
Konsultasi
Departemen Bedah, Klinik Kanker
Terapi
Umum Makanan gizi seimbang Khusus Operasi → pengangkatan tumor secara utuh Bila tidak memungkinkan → hanya biopsi, diikuti kemoterapi dan radioterapi untuk mengecilkan tumor → reseksi tumor Radioterapi Bergantung pada usia dan ukuran tumor Kemoterapi Kombinasi vinkristin (VCR), aktinomisin D (AMD), dan siklofosfamid (VAC-pulse 2regimen) Vinkristin 2 mg/m i.v. hr ke-1 dan 5 Aktinomisin D 15 g/kgBB/hr i.v. 5 hr 2 Siklofosfamid 300 mg/m /hr i.v. 5 hr Pengobatan diberikan setiap 4–6 mgg selama 12–18 bl Regimen lain yaitu dengan dengan kombinasi VAI (vinkristin, aktinomisin D, ifosfamid) atau VIE (vinkristin, ifosfamid, etoposid)
Prognosis
Bergantung pada: Stadium tumor Tipe histologis dan sitologis Lokasi tumor primer Lokasi metastasis Usia
Surat Persetujuan Diperlukan
Bibliografi 1.
2.
Arndt CAS. Soft tissue tumors. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 6316–22. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011.
397
SARKOMA EWING Batasan
Tumor tulang terutama mengenai anak dan dewasa
Klasifikasi
Stadium I : terlokalisasi Stadium II: metastasis
Etiologi
Tidak diketahui
Diagnosis
Pembengkakan dan nyeri di daerah tumor Panas badan hilang timbul, lemah, dan BB ↓ Radiologi: gambaran destruksi dan sklerosis yang dikelilingi oleh lapisan periosteal tulang baru (onion skin). Bila tumor menembus periosteum akan terlihat gambaran sinar matahari (sunray appearance) Histopatologik: ditemukan sel tumor berwarna gelap tanpa struktur lapisan
Diagnosis Banding Rabdomiosarkoma Limfoma Neuroblastoma
Pemeriksaan Penunjang
Darah: rutin, urea N, kreatinin, enzim hati, alkali fosfatase, LDH Urin Aspirasi/biopsi sumsum tulang Radiologi: bone scan CT-scan dada
Penyulit
Perdarahan Fraktur patologis
Konsultasi
Bagian terkait
Terapi
Umum Mencegah fraktur patologis dengan cara Membatasi aktivitas Pemasangan verband elastik Mengurangi beban BB pada tulang yang terkena Perawatan luka dan perdarahan yang terjadi pada tumor Makanan gizi seimbang, dimulai dengan makanan lunak 398
Khusus Kemoterapi Disesuaikan dengan kondisi penderita Dipergunakan kombinasi sitostatika sesuai protokol T2: Hari ke-1–5: aktinomisin-D 450 g/m2/hr Hari ke-19, 20, 21: adriamisin 20 mg/m22/hr Hari ke-39, 40, 41: adriamisin 20 mg/m /hr 2 Hari ke-58: vinkristin 1,5 mg/m /hr + siklofosfamid 1.200 mg/m2/hr Hari ke-65: vinkristin Hari ke-72: vinkristin + siklofosfamid Hari ke-79: vinkristin Istirahat selama 15 hr dan pengobatan diulangi selama 18 bl Radioterapi Merupakan tumor yang responsif terhadap radioterapi Dosis tinggi diberikan pada lokasi tumor primer bersamaan dengan kemoterapi Operasi Bila lesi terdapat di fibula, skapula, tulang iga, tulang lengan dan kaki serta lesi yang kecil pada ileum dan pelvis. Amputasi dilakukan bila lesi terdapat di femur, tibia, dan fibula bagian distal serta tidak menyebabkan gangguan fungsi organ tersebut Transfusi PRC 10–15 mL/kgBB: mempertahankan Hb >10 g/dL Suspensi trombosit 1 IU/5 kgBB: bila terjadi perdarahan dan atau trombositopenia
Prognosis
5-year disease freesurvival tumor terlokalisasi yang mendapat terapi operasi, radiasi dan kemoterapi: 55–60% 5-year survival penderita tumor yang terlokalisasi: 75% 5-year survival tumor yang metastasis: 20–30%
Surat Persetujuan Diperlukan
Bibliografi 1.
2.
Arndt CAS. Neoplasms of bone. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 6323–9. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011.
399
OSTEOSARKOMA Batasan
Keganasan primer tulang, sel neoplasma menghasilkan osteoid
Klasifikasi Tabel 93 Klasifikasi Osteosarkoma berdasarkan Respons Histologik Sesudah Kemoterapi Preoperatif Derajat I II III IV
Kelainan Tidak ada atau hanya sedikit efek terhadap kemoterapi Respons parsial terhadap kemoterapi dan 50% tumor mengalami nekrosis Respons hampir lengkap terhadap kemoterapi dan 90% tumor mengalami nekrosis Respons lengkap terhadap kemoterapi dan tidak tampak lagi sel tumor
Etiologi
Belum diketahui, tetapi diduga berhubungan dengan Pertumbuhan tulang Faktor genetik Faktor lingkungan
Diagnosis
Nyeri, bengkak, dan berkurangnya pergerakan, biasanya mengenai tulang panjang Fraktur patologis Enzim alkali fosfatase ↑ Radiologi: sklerosis daerah metafisis diikuti dengan kelainan jaringan lunak, klasifikasi atau gambaran sunburst, gambaran lesi campuran, blastik atau lisis Biopsi
Diagnosis Banding Sarkoma Ewing Giant cell tumor Fibrosarkoma
Pemeriksaan Penunjang
Darah: rutin, urea N, kreatinin, enzim hati, alkali fosfatase, dan bilirubin Urin Radiologi tulang yang terkena CT-scan tulang/dada atau MRI tulang yang terkena Scanning tulang
400
Penyulit
Penyebaran ke paru
Konsultasi
Bagian terkait
Terapi
Umum: makanan gizi seimbang Khusus Kemoterapi Preoperatif (4 mgg sebelum operasi) 2 Metotreksat dosis tinggi: 8–12 g/m per infus, 1×/mgg selama 4 mgg (mgg ke-1–4) 2 Vinkristin 1,5 mg/m /hr i.v. 1×/mgg (maks. 2 mg/×) selama 4 mgg (mgg ke-1–4) Sebelum pemasangan protesis Bleomisin (B) 15 mg/m2/hr i.v. 2 hr berturut-turut pada mgg ke-6 Siklofosfamid (S) 600 mg/m2/hr i.v. 2 hr berturut-turut pada mgg ke-6 Daktinomisin (D) 600 g/m2/hr i.v. 2 hr berturut-turut pada mgg ke-6 Metotreksat dosis tinggi 8–12 g/m2 per infus 1×/mgg selama 4 mgg dengan selang waktu 4 mgg sesudah pemberian ke-2 (mgg ke-9, 10, 14, dan 15) 2 Vinkristin 1,5 mg/m /hr i.v. 1×/mgg selama 4 mgg dengan selang waktu 4 mgg sesudah pemberian ke-2 (mgg ke-9, 10, 14, dan 15) Adriamisin 30 mg/m2/hr i.v. 3 hr berturut-turut dalam seminggu (mgg ke-11) Operasi Meliputi biopsi → dilanjutkan dengan amputasi Pascaoperasi Stadium I–II Adriamisin 30 mg/m2/hr i.v. 2 hr berturut-turut dalam seminggu selama 22 mgg (mgg ke-1 dan 3) CDDP 120 mg/m atau 3 mg/kgBB i.v. 1×/mgg selama 2 mgg (mgg ke-1 dan 3) BSD 2 hr berturut-turut dalam seminggu, mgg ke-6 Siklus di atas diulangi lagi 2× Stadium III–IV BSD 2 hr berturut-turut dalam seminggu selama 2 mgg Metotreksat dosis tinggi 8–12 g/m2/hr i.v. 1×/mgg selama 4 mgg (mgg ke-3, 4, 8, dan 9, metotreksat tidak diberikan lagi sesudah 12 atau 216 dosis) Vinkristin 1,5 mg/m /hr i.v. 1×/mgg selama 4 mgg (mgg ke-3, 4, 8, dan 9) Adriamisin 30 mg/m2/hr i.v. 3× berturut-turut dalam seminggu (mgg ke-5) Siklus di atas diulangi 2× 401
Prognosis
Tanpa metastasis, mendapat kemoterapi adjuvan → kesembuhannya 55–85% dan ↑ 15–20% bila dioperasi Dengan metastasis → buruk, tetapi dengan kemoterapi dan reseksi jaringan paru yang terkena → kesembuhannya 20 –40%
Surat Persetujuan Diperlukan
Bibliografi 1.
2.
Arndt CAS. Neoplasms of bone. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 6323–9. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011.
402
HEPATOMA Batasan
Tumor ganas primer pada hepar
Klasifikasi
Hepatoblastoma Karsinoma hepatoselular Stadium I. Tumor dapat diangkat secara keseluruhan II. Tumor dapat diangkat secara keseluruhan, tetapi mikroskopik terdapat sisa sel tumor III. Terdapat metastasis ke kelenjar getah bening IV. Terdapat metastasis jauh ke sumsum tulang, otak, dan paru
Etiologi
Infeksi virus hepatitis B Sirosis hepar Kelainan metabolik: defisiensi α-1 tripsin, tipe-1 glikogen Drug induced Kelainan kromosom Terapi androgen
Diagnosis
Anamnesis Nyeri di abdomen, BB ↓ , muntah, demam Pemeriksaan Fisis Pembesaran abdomen kanan atas Hepatomegali Anemia, ikterik (jarang) Laboratorium Alfa feto-protein serum ↑ (>500 ng/mL) Biopsi: hepatoblastoma atau karsinoma hepatoselular
Pemeriksaan Penunjang
α-fetoprotein serum Foto polos abdomen, USG/CT-scan hati Fungsi hati Biopsi hati
Penyulit
Umumnya terjadi pascaoperasi Perdarahan Hipoglikemia Hipoalbuminemia Hipofibrinogenemia 403
Konsultasi
Departemen Patologi Anatomi, Radiologi, Bedah
Terapi
Umum Makanan gizi seimbang Khusus Operasi Terapi terbaik untuk tumor yang terlokalisasi (stadium I dan II) Operasi dan kemoterapi Sesudah dilakukan operasi → lanjutkan kemoterap i Tumor stadium I (reseksi komplet), kemoterapi harus diberikan selama 1 th Bila tumor sulit diangkat karena mempunyai ukuran yang cukup besar, maka preoperasi diberikan kemoterapi untuk mengecilkan ukuran tumor Kombinasi kemoterapi dapat diberikan dengan pedoman sbb.: Siklus A: vinkristin 1,5 mg/m2 i.v. hr ke-1 Siklofosfamid 600 mg/m2 i.v. hr ke-2 Adriamisin 25 mg/m2 i.v. hr ke-1–3 Siklus A dan B bergantian setiap 3 mgg Siklus B: vinkristin 1,5 mg/m2 i.v. hr ke-1 Siklofosfamid 600 mg/m2 i.v. hr ke-2 5-fluorourasil 500 mg/m2 p.o. hr ke-3–9 Atau Adriamisin 30 mg/m2 i.v. hr ke-1–2 Diulang setiap 3 mgg Sisplatin 90 mg/m2 i.v. hr ke-1 Atau Vinkristin 1,5 mg/m2 i.v. hr ke-1 dan 5 Diulang setiap 4 mgg DTIC 200 mg/m2 i.v. hr ke-1–5 2 Siklofosfamid 300 mg/m i.v. hr ke-1 Adriamisin 30 mg/m2 i.v. hr ke-1 Kemoterapi dan radioterapi Pada tumor stadium lanjut (III dan IV), sekalipun tumor bersifat radioresisten Untuk mengecilkan ukuran tumor yang cukup besar Transplantasi hepar Bila belum terdapat mestatasis tumor ke kelenjar limfe atau organ lain (stadium II) Transfusi: PRC 10–15 mL/kgBB, bila terdapat anemia Penyulit Vitamin K 5 mg/hr dan fresh frozen plasma 10–15 mL/kgBB untuk mencegah perdarahan Dekstrosa 10% dalam 0,25% NaCl infus untuk mencegah hipoglikemia Human albumin 25% 1 g/kgBB/24 jam untuk hipoalbuminemia 404
Prognosis
Bergantung pada stadium Hepatoblastoma bila dapat diangkat komplet → survival rate 60% Karsinoma hepatoselular → survival rate 33%
Surat Persetujuan Diperlukan
Bibliografi 1.
2.
Hergoz CE. Neoplasms of the liver. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 6348–51. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-5. London: Elsevier; 2011.
405
RETINOBLASTOMA Batasan
Tumor ganas yang berasal dari jaringan saraf embrional retina
Klasifikasi
Tumor dapat unilateral atau bilateral Fokal atau multifokal Herediter atau nonherediter Tabel 94 Stadium Retinoblastoma berdasarkan Sistem ReeseEllsworth Grup
Deskripsi
I
(a) Tumor solid <4 dd pada atau di belakang ekuator (b) Tumor multipel tidak >4 dd, semua berada/di belakang ekuator (a) Tumor solid dengan diameter 4–10 dd, pada atau di belakang ekuator (b) Tumor multipel dengan diameter 4–10 dd pada atau di belakang ekuator (a) Beberapa lesi di depan ekuator (b) Tumor solid >10 dd di belakang ekuator (a) Tumor multipel, sebagian besar >10 dd (b) Beberapa lesi menyebar ke anterior ke ora serata (a) Tumor masif mengenai lebih dari setengah retina (b) Penyebaran ke vitreous
II
III IV V
Etiologi
Tidak diketahui, diduga berhubungan dengan faktor lingkungan, ras, dan genetik
Diagnosis
Anamnesis Mata kucing, mata merah, nyeri mata, gangguan penglihatan Leukokoria (cat eye reflex), strabismus, mata merah, nyeri mata (sering disertai glaukoma), gangguan penglihatan Riwayat keluarga Pemeriksaan Fisis Gangguan penglihatan Leukokoria (cat eye reflex), strabismus Proptosis bulbi Heterokromia, rubeosis iridis, hifema Perdarahan vitreous
406
Diagnosis Banding Tabel 95 Diagnosis Banding Retinoblastoma Retinoblastoma Intraokular
Retinoblastoma Ekstraokular
Coat disease Persistent hyperplastic primary vitreus Retrolental fibroplasia Hamartoma retina Endoftalmitis Infeksi toksokara Hamartoma astrositik Meduloepitelioma Katarak Uveitis
Selulitis orbital Neuroblastoma metastatik Rabdomiosarkoma orbital Leukemia Limfoma
Pemeriksaan Penunjang
USG okular CT-scan dan MRI kepala Darah rutin lengkap, elektrolit, urinalisis (bila akan dilakukan kemoterapi sistemik) Pungsi lumbal: jika dari pemeriksaan radiologis atau klinis, curiga metastasis ke SSP Bone scan: jika disertai nyeri tulang atau penyakit ekstraokular lain Biopsi sumsum tulang: jika pemeriksaan darah abnormal atau disertai penyakit ekstraokular lain Histopatologis (dari jaringan yang didapat dari enukliasi) Aspirasi biopsi jarum halus hanya direkomendasikan pada kasus yang diagnosisnya masih meragukan dan merupakan langkah yang dilakukan untuk mencegah penyebaran ekstraokular
Penyulit
Metastasis ke tulang, sumsum tulang, otak, hepar, paru, kelenjar getah bening, kulit, dan jaringan lunak Residif
Konsultasi
Bagian terkait Mata untuk tindakan operasi
Terapi
Medikamentosa Kemoterapi neoadjuvan diberikan dengan interval 21 hr Vinkristin: 1,5 mg/m2 untuk anak dengan BB >10 kg; 0,05 mg/kgBB untuk anak dengan BB 5–10 kg; 0,025 mg/kgBB untuk anak dengan BB <5 kg 2 Etoposide: 300 mg/m untuk anak dengan BB >10 kg; 12 mg/kgBB untuk anak dengan BB 5–10 kg; 9 mg/kgBB untuk anak dengan BB <5 kg 407
Carboplatin: 600 mg/m2 untuk anak dengan BB >10 kg; 24 mg/kgBB untuk anak dengan BB 5–10 kg; 18 mg/kgBB untuk anak dengan BB <5 kg Terapi oftalmik lokal Cryotherapy (cryoablation), green laser (photoablation), infrared laser (photoablation) dan atau radioactive plaque (episcleral plaque radiotherapy), thermotherapy, dan chemothermotherapy Radiasi External beam radioteraphy (EBRT) Operatif Enukleasi Suportif Nutrisi, dukungan psikososial; antibiotik, transfusi darah (bila perlu)
Prognosis
Rekurensi sering terjadi dalam waktu 3 th sesudah diagnosis
Surat Persetujuan Diperlukan
Bibliografi 1.
2. 3. 4.
5. 6. 7.
Hurwitz RL, Shield CL, Shield JA, Barrios PC, Hurwitz MY, Chintagumpala MM. Retinoblastoma. Dalam: Pizzo PA, Poplack DG, penyunting. Principles and practice of pediatric oncology. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins; 2002. hlm. 825–41. Imbach P. Retinoblastoma. Dalam: Imbach P, Kühne TH, Arceci R, penyunting. Pediatric oncology a comprehensive guide. Berlin: Springer; 2006. hlm. 172–6. Issacs Jr. H. Tumors of the fetus and infant an atlas. New York: Springer-Verlag; 2002. Kim H, Lee JW, Kang HJ, Park HJ, Kim YY, Shin HY, dkk. Clinical results of chemotherapy based treatment in retinoblastoma patients: a single center experience. Cancer Res Treat. 2008;40: 164–71. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-5. London; Saunders Elsevier: 2011. Schwartzman,E, Chantada. Retinoblastoma. Dalam: Voute PA, Kalifa C, Barret A, penyunting. Cancer in children: clinical management. New York: Oxford; 1999. hlm. 324–7. Zage PE, Herzog CE. Retinoblastoma. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 6334–40.
408
Infeksi & Penyakit Tropis Herry Garna Azhali Manggus Sjahrodji Alex Chairulfatah Djatnika Setiabudi Anggraini Alam Riyadi
INFEKSI BAKTERI DEMAM ENTERIK: DEMAM TIFOID DAN PARATIFOID Demam enterik adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri genus Salmonella
Etiologi
Demam tifoid: Salmonella typhi Demam paratifoid: S. paratyphi A, S. schottmuelleri, S. hirschfeldii, dan serotipe lain
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi: 7–14 hr (3–30 hr) Usia Sekolah dan Masa Remaja Gejala klinis menyerupai penderita dewasa Onset insidious Malaise, anoreksia, mialgia, sakit kepala, sakit daerah abdomen (anak biasanya tidak dapat menunjukkan daerah yang paling sakit/rasa tidak nyaman difus), keluhan ↑ pada mgg kedua Demam sampai hr ke-4 bersifat remiten, dengan pola seperti anak tangga (stepwise fashion), sesudah hr ke-5 atau paling lambat akhir mgg pertama pola demam berbentuk kontinua Diare dapat ditemukan pada hari-hari pertama sakit, selanjutnya terjadi konstipasi. Bila diare terjadi sesudah mgg kedua harus dicurigai infeksi tambahan oleh jasad renik lain Mual dan muntah dapat ditemukan pada awal sakit, bila ditemukan pada mgg kedua atau ketiga harus diwaspadai awal suatu penyulit Pada mgg kedua keluhan malaise, anoreksia, mialgia, sakit kepala, sakit daerah abdomen pada mgg kedua bertambah berat, dapat ditemukan disorientasi, letargi, delirium bahkan stupor Pemeriksaan jasmani penting: Bradikardia relatif (jarang pada anak usia yang lebih muda, dapat ditemukan pada remaja) Dapat ditemukan hepatomegali, splenomegali, distensi abdomen yang disertai rasa sakit. Biasanya anak tidak dapat melokalisasi rasa sakit, memberi kesan rasa tidak enak/sakit yang difus Rose spot ditemukan pada 50% kasus, dicari di daerah dada bawah dan abdomen bagian atas Bila ditemukan tanda pneumonia seperti sesak napas dan crackles, biasanya terjadi sesudah minggu kedua dan merupakan superinfeksi Bila tanpa penyulit akan sembuh dalam 2–4 mgg
411
Usia Balita Relatif jarang, biasanya bersifat ringan berupa demam ringan, malaise, dan diare. Sering misdiagnosis sebagai diare akut Neonatus Gejala timbul biasanya sesudah 3 hr pascadilahirkan berupa muntah-muntah, diare, distensi abdomen. Suhu tubuh tidak stabil, ikterus, BB ↓, undoing well, kadang disertai kejang Pemeriksaan Penunjang Darah rutin Sering ditemukan anemia normokrom-normositer akibat supresi 3 sumsum tulang, leukopenia tetapi jarang <2.500/mm disertai limfositosis relatif. Dapat ditemukan trombositopenia yang cukup berat terutama pada akhir mgg pertama Kimia darah Pada penderita dengan penyulit hepatitis tifosa dapat ditemukan peningkatan transaminase hepar dan bilirubin serum (harus dibuktikan bukan oleh sebab lain seperti virus hepatitis). Pada penderita gizi kurang/buruk dapat ditemukan hiponatremia dan hipokalemia Biakan Salmonela Darah: umumnya (+) pada mgg pertama dan awal mgg ke-2 (60–80%) dari rose spot (60%), sumsum tulang (80–90%). Pemeriksaan kultur sumsum tulang merupakan tindakan invasif, biasanya hanya dilakukan untuk keperluan penelitian Urin/feses: sesudah bakteremia sekunder (mgg ke-2–3) Serologi Tes Widal: diambil 2× (dengan serum berpasangan), didapat ↑ titer O >4×, pemeriksaan ini sebaiknya tidak dilakukan karena banyak ditemukan nilai (+) palsu IgM anti-S. typhi hr ke-6–8, pemeriksaan ini hanya berlaku untuk demam tifoid, bila (−) tidak menyingkirkan kemungkinan demam paratifoid Pemeriksaan antigen bakteri: polymerase chain reaction (PCR) Pemeriksaan lain seperti pencitraan (Rontgen toraks, Rontgen polos perut (BNO), USG abdomen), D-dimer, dan lain-lain dilaksanakan apabila terjadi penyulit
Diagnosis
Manifestasi demam enterik sangat luas dan tidak khas, sehingga diagnosis pasti ditegakkan atas ditemukannya bakteri pada kultur. Dengan demikian, pada pengelolaan kecurigaan demam enterik harus dilakukan pemeriksaan biakan sebelum pemberian antibiotik
Penyulit
Pada umumnya terjadi pada akhir mgg kedua atau awal mgg ketiga berupa: Perforasi intestinal (0,5–3%), perdarahan intestinal (1–10%), hepatitis tifosa, kolesistitis, pankreatitis, sepsis, pielonefritis, ensefalopati, pneumonia, dan lain-lain 412
Manajemen
Umum Isolasi Tirah rebah selama panas Diet makanan lunak yang mudah dicerna Khusus Eradikasi kuman (jenis-jenis antibiotik lihat Tabel 96) Terapi penyulit Kortikosteroid Pada kasus berat dengan gangguan kesadaran (stupor, koma), gangguan sirkulasi, dan gejala berkepanjangan Deksametason 3 mg/kgBB inisial, diikuti 1 mg/kgBB tiap 6 jam selama 48 jam. Bila dikhawatirkan terjadi hipotermia akibat pemberian deksametason, pengalaman kami menunjukkan pemberian dengan dosis 0,15 mg/kgBB cukup aman dan efektif
Bibliografi 1.
2.
3. 4. 5.
Bhutta ZA. Enteric fever (typhoid fever). Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. hlm. 954–8. Bhutta ZA. Salmonella. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. hlm. 948. Cleary TG. Salmonella. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004. hlm. 916–9. Ochoa TJ, Cleary TG. Salmonella. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 1567–81. Reller MR. Salmonella species. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Pediatric infectious disease. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders Co; 2008. hlm. 812–6.
413
Tabel 96 Manajemen Demam Enterik: Eradikasi Kuman
Tanpa penyulit
414
Terapi alternatif tanpa penyulit Dengan penyulit
Oral
Parenteral
Kloramfenikol 50–75 mg/kgBB/hr selama 14–21 hr Amoksisilin 75–100 mg/kgBB/hr selama 14 hr TNP-SMX 8/40 mg/kgBB/hr selama 14 hr Sefiksim (multi-drug resistance) 1 5–20 mg/kgBB/hr selama 7–14 hr Azitromisin (quinolone resistance) 8–10 mg/kgBB/hr selama 7 hr
Kloramfenikol 75 mg/kgBB/hr selama 14–21 hr Ampisilin 75–100 mg/kgBB/hr selama 14 hr
Kloramfenikol 100 mg/kgBB/hr selama 14–21 hr Ampisilin 100 mg/kgBB/hr selama 14 hr Seftriakson 75 mg/kgBB/hr atau sefotaksim 80 mg/kgBB/hr selama 10–14 hr
DIFTERIA Etiologi
Difteria merupakan penyakit menular saluran respiratori akut yang disebabkan oleh bakteri gram-positif batang Corynebacterium diphtheriae yang bersifat toksigenik Dikenal beberapa serotipe yaitu gravis, intermedius, mitis, dan belfanti; serotipe gravis merupakan serotipe yang paling sering ditemukan pada saat wabah. Bakteri ini dapat mengolonisasi daerah hidung, faring terutama daerah tonsil, uvula, laring, kadang daerah genital, mata, dan di daerah tropis atau orang dengan higiene yang buruk bakteri dapat ditemukan di kulit Spesies Corynebacterium lain seperti Corynebacterium ulserans dan Corynebacterium pseudotuberculosis walaupun jarang dapat juga menghasilkan toksin difteria dan dapat menimbulkan gejala klasik difteria Penyakit difteria dapat disebabkan oleh keempat serotipe di atas tetapi yang bersifat toksigenik (menghasilkan toksin). Gen penghasil toksin dibawa oleh virus yang menginfeksi bakteri (bakteriofag), yang pada saat fase lisogenik gen tersebut terintegrasi ke dalam kromosom bakteri, proses ini disebut sebagai lysogenic conversion. Bakteri yang nontoksigenik tidak menimbulkan penyakit difteria, walaupun kadang dihubungkan dengan kondisi lain seperti septikemia atau endokarditis
Epidemiologi
Pada masa prevaksinasi, penyakit difteria merupakan penyakit yang paling ditakuti, penyakit ini menimbulkan angka kematian yang sangat tinggi, dan merupakan penyakit endemis tinggi di beberapa negara subtropis. Pada tahun 1937–1938, di Inggris dan Wales, difteria merupakan penyebab kematian kedua tersering sesudah pneumonia Pada dekade 1940–1950 dengan pemberian imunisasi toksoid difteria kasus penyakit difteria hampir tidak ditemukan lagi di negara industri. Demikian pula di negara berkembang kasus difteria sudah jarang ditemukan sesudah dilaksanakan program imunisasi DTP melalui EPI (Expanded Program on Immunization) WHO pada tahun 1970-an Pada tahun 1990 terjadi epidemi difteria di negara-negara bekas Uni Soviet, sampai tahun 1998 ditemukan lebih dari 157.000 kasus dengan jumlah kematian di atas 5.000 orang Di Indonesia, wabah difteria muncul kembali sejak tahun 2001 di Kabupaten Cianjur, Kota Semarang (2002), Tasikmalaya (2005, CFR 31,91%), Garut (2007, CFR 11,7%), dan Jawa Timur. Di Jawa Timur sejak tahun 2000–2011 tercatat 335 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 11 orang. Demikian juga Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur sudah melaporkan kasus difteria Penyebab timbulnya kembali penyakit ini antara lain karena cakupan imunisasi yang rendah (terutama karena tidak ada imunisasi DTP 415
ulang), terdapat bakteri toksigenik yang bersirkulasi di masyarakat, sosioekonomi yang rendah, pergerakan manusia yang ↑, dan terdapat gerakan antivaksinasi
Manifestasi Klinis
Penyakit difteria terutama menyerang daerah faring, difteria laring ditemukan pada 25% kasus dengan ¾ dari kasus tersebut melibatkan daerah faring (difteria faringolaringitis) dan difteria hidung ditemukan pada 2% kasus. Insidensi keseluruhan difteria kulit, telinga, mata, dan vagina <2%, sebagian besar merupakan infeksi sekunder dari difteria nasofaringeal Masa inkubasi biasanya 1–5 hr, perjalanan penyakit biasanya insidious, hal ini berbeda dengan faringitis akibat kuman streptokokus yang biasanya perjalanan penyakitnya bersifat mendadak Gejala difteria mulanya bersifat ringan dan nonspesifik seperti demam ringan (jarang >38,5 °C), rewel, sakit menelan, dan lesu. Walaupun demam tidak tinggi tetapi anak terlihat pucat dan lemah kadang disertai dengan nadi yang cepat. Hal ini karena toksin difteria mempunyai efek konstitusional berupa anak tampak pucat dan tampak lelah Pada demam hari pertama biasanya faring hanya terlihat kemerahan, sesudah 2 atau 3 hr dari onset penyakit baru terlihat pseudomembran, bergantung pada berat penyakit, pseudomembran dapat meluas ke tonsil, uvula, dan palatum. Toksin dapat masuk kelenjar limfe servikalis anterior menyebabkan limfadenitis servikalis, sering disertai dengan edema jaringan lunak yang luas, sehingga timbul apa yang disebut sebagai bullneck. Produksi toksin yang ↑ berhubungan dengan kejadian ditemukan bullneck, sehingga berhubungan dengan ↑ angka kematian. Bila pembengkakan jaringan lunak meluas, sudut leher antara mandibula-otot sternokleidomastoideus dan klavikula menghilang, keadaan ini disebut sebagai erasur Pada difteria laring, secara gradual suara anak menjadi lebih serak dan timbul stridor inspiratoar. Bila lebih berat lagi anak akan tampak sianosis, gelisah, koma bahkan meninggal. Pada laringitis oleh sebab lain pada umumnya gejala berlangsung secara mendadak, untuk membedakannya harus dilakukan pemeriksaan laringoskopi untuk melihat pseudomembran. Pseudomembran pada difteria laring di kalangan dokter THT-KL tertentu dikenal sebagai cigarette membrane. Pada difteria laring primer (bukan penyebaran dari difteria faring/tonsil) gejala sistemik pada awalnya tidak jelas, hal ini karena produksi toksin pada difteria laring lebih sedikit dibandingkan dengan difteria faring, selain itu absorbsi toksin oleh mukosa laring lebih sedikit Difteria hidung saja biasanya jarang disertai gejala sistemik, kelainan biasanya berupa sekret serosanguinus yang kemudian dapat berbentuk mukopurulen, bila diperhatikan lebih teliti pada mukosa septum nasi akan tampak membran tipis putih keabuan Difteria kulit jarang menimbulkan keluhan dan biasanya tidak diikuti gejala sistemik
416
Diagnosis
Anamnesis Kontak dengan penderita difteria Definisi kontak: orang serumah dan teman bermain; kontak dengan sekret nasofaring (a.l.: resusitasi mulut ke mulut); individu seruangan dengan penderita dalam waktu ≥4 jam selama 5 hr berturut-turut atau >24 jam dalam seminggu (a.l.: teman sekelas) Suara serak dan disfagia Difteria nasal umumnya terjadi pada bayi Pemeriksaan Fisis Anak terlihat lemah dan pucat, demam tidak tinggi Umumnya menunjukkan tanda tonsilitis dan faringitis disertai pseudomembran Bullneck/erasur Stridor dan tanda lain obstruksi jalan napas Pada difteria nasal: tercium bau busuk, sekret serosanguinus/ purulen, ulkus dangkal pada hidung dan bibir atas Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Sediaan apus langsung dan kultur lesi hidung, tenggorok, dll. menggunakan pewarnaan Neisser, Albert, dst., sebaiknya sebelum pemberian antibiotik Hitung leukosit darah tepi: biasanya normal; sering terjadi anemia hemolitik dan trombositopenia EKG: tanda miokarditis Kultur dari apus tenggorok/hidung/kulit Uji toksigenik dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA)
Penyulit
1. Obstruksi jalan napas pada penderita difteria laring 2. Miokarditis dini: biasanya timbul hr ke-3–7, biasanya bersifat fatal. Miokarditis lambat: biasanya terjadi pada mgg kedua dan ketiga pada saat terjadi perbaikan klinis. Anak yang mulanya terlihat membaik, tiba-tiba menunjukkan tanda miokarditis seperti takikardia, bunyi jantung redup, gangguan irama jantung bahkan sampai terjadi complete heartblock yang fatal. Adakalanya miokarditis dapat timbul pada mgg ke-6, biasanya terjadi sesudah penderita dipulangkan Walaupun miokarditis dapat terjadi pada difteria ringan, tetapi pada umumnya berhubungan dengan difteria berat 3. Neuritis Neuritis pada umumnya menyertai penyakit difteria berat, biasanya terjadi sesudah melewati masa laten tertentu Paralisis palatum mole merupakan penyulit neuritis tersering, dapat timbul pada mgg pertama sakit yang ditandai dengan suara anak menjadi sengau dan regurgitasi nasal. Biasanya sembuh sempurna dalam 1–2 mgg pengobatan 417
Ocular palsy biasanya terjadi mgg ke-3–5 berupa paralisis otototot akomodasi sehingga pandangan menjadi kabur. Lebih jarang lagi terjadi paralisis otot ekstraokuler mengakibatkan strabismus Paralisis diafragma dapat pada mgg ke-5–7 akibat neuritis n. phrenicus, bila tidak tersedia alat bantu napas mekanik akan terjadi kematian Paralisis tungkai dapat terjadi pada mgg ke-5–10, saraf sensoris dan motoris terkena. Dimulai dengan parestesi disusul dengan hilangnya refleks tendon yang kemudian → paralisis tungkai bilateral. Sulit dibedakan dengan sindrom Gullain-Barre 4. Penyulit lain Pada kasus berat dapat terjadi gagal ginjal, trombositopenia, dan DIC
Manajemen
Lakukan penilaian apakah ditemukan keadaan gawat napas akibat obstruksi saluran respiratori karena membran dan edema perifaringeal Lakukan klasifikasi kasus Pemberian antidifteria serum (ADS) untuk menetralisasi toksin bebas, dosis tunggal berdasarkan diagnosis klinis sebagai berikut: Nasal/faring ringan: 40.000 IU Faring: 60.00080.000 IU Faring berat, laring, bullneck, delayed diagnosis: 100.000120.000 IU Cara pemberian sebagai berikut: ADS dilarutkan dalam 100–200 mL dekstrosa i.v. selama 30–60 mnt Sebelumnya dilakukan tes kepekaan dengan pemberian 1 tetes antitoksin pengenceran 1:10 pada konjungtiva atau 0,02 mL penyuntikan intradermal pengenceran 1:100 Bila tes kepekaan (+) berikan ADS secara desensitisasi, masingmasing dengan interval 20 mnt 0,05 mL larutan 1:20 s.k. 0,10 mL larutan 1:20 s.k. 0,10 mL larutan 1:10 s.k. 0,10 mL tanpa pengenceran s.k. 0,30 mL tanpa pengenceran i.m. 0,50 mL tanpa pengenceran i.m. 0,10 mL tanpa pengenceran i.v. Bila tidak ada reaksi alergi, sisa diberikan i.v. lambat Suportif Tirah rebah 2–3 mgg (lebih lama bila terjadi miokarditis) Diet makanan lunak kalori tinggi yang mudah dicerna Roboransia Prednison 1,0–1,5 mg/kgBB/hr, p.o. tiap 6–8 jam pada kasus berat selama 14 hr Waktu dipulangkan: Vaksin DPT 0,5 mL i.m. untuk anak <7 th Vaksin DT 0,5 mL i.m. untuk anak ≥7 th (tanpa melihat status imunisasi sebelumnya) 418
Diinformasikan kepada orangtua agar anak tidak melakukan aktivitas yang berlebihan dalam 6 mgg sesudah sakit, karena miokarditis fatal dapat timbul sampai mgg ke-6
Bibliografi 1.
2.
3.
4.
Buescher ES. Diphtheria (Corynebacterium diphtheriae). Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. hlm. 929. Centers for Disease Control and Prevention. Epidemiology and prevention of vaccine-preventable diseases. Edisi ke-12 [diunduh 21 Januari 2012]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/nip/ publications/pink/dip.pdf. Feigin RD, Stechenberg BW, Nag PK. Diphtheria. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious diseases. Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. hlm. 1393–402. Overturf GD. Corynebacterium diphtheriae. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Pediatric infectious diseases. Edisi ke-3. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2008. hlm. 754–9.
419
KLASIFIKASI KASUS
KARIER
TERSANGKA
KEMUNGKINAN
PASTI
Not applicable
Manifestasi klinis (+): Laringitis, faringitis, atau tonsilitis Ditambah Membran aderen di tonsil, faring, dan atau hidung
Kasus probable Ditambah Konfirmasi laboratorium (isolasi C. diphtheriae, atau kenaikan titer Ab serum >4x) Secara epidemiologis kontak dengan kasus confirmed
Kultur C. diphtheriae (+) Tanpa manifestasi klinis
ISOLASI PEMERIKSAAN PENUNJANG APT2, APH3, atau lesi kulit Ambil membran & dasarnya Pewarnaan Neisser, Albert (di lab cito/patklin) Kultur di Biofarma
Ab serum untuk difteria Apus Gram Leukosit, hitung jenis Urin rutin 1 Bullneck → foto STL Miokarditis → EKG, CPK, CK-MB Foto Rontgen toraks
ANTIDIFTERIA SERUM (ADS) + ANTIBIOTIK ADS Nasal/faring ringan: 40.000 IU Faring: 60.00080.000 IU Faring berat, laring, bullneck, delayed diag.: 100.000120.000 IU ANTIBIOTIK PP 25.000–50.000 IU/kgBB/hr i.m., dibagi 2 dosis selama 14 hr → difteria kulit selama 710 hr Eritromisin 4050 mg/kgBB/hr i.v./p.o. (maks. 2 g/hr), dibagi 4 dosis selama 14 hr Amoksisilin Rifampisin Klindamisin
1 STL: soft tissue leher 2 APT: apus tenggorok 3
APH: apus hidung
ANTIBIOTIK PP 25.00050.000 IU/kgBB/hr i.m. dosis tunggal Eritromisin 40 mg/kgBB/hr (maks. 2 g/hr) dibagi 4 dosis selama 7 hr Imunisasi
Gambar 42 Alur Penatalaksanaan Penderita Difteria
WHO: Recommended Surveillance Standard of Diphtheria
420
STAPHYLOCOCCAL TOXIC SHOCK SYNDROME Etiologi
Toxic shock syndrome toxin 1 (TSST-1) dan enterotoksin yang dihasilkan Staphylococcus aureus Faktor Risiko Usia muda, varisela, DM, HIV, penyakut paru dan jantung kronik, intravenous drug user (IDU), dulu dihubungkan dengan pemakaian tampon yang lama
Manifestasi Klinis
Karakteristik: Demam Hipotensi Ruam eritema dengan deskuamasi pada tangan dan kaki Keterlibatan multisistem: muntah, diare, mialgia, abnormalitas neurologikal nonfokal, konjungtiva hiperemia, dan stawberry tongue
Diagnosis
Kriteria Diagnostik Mayor (Semuanya Harus Ada) Demam akut (suhu >38,8 °C) Hipotensi (ortostatik, syok di bawah nilai normal berdasarkan usia) Ruam (eritroderma dengan deskuamasi konvalesens) Kriteria Diagnostik Minor (≥3) Inflamasi membran mukosa (hiperemia vagina, orofaring, konjungtiva, stawberry tongue) Muntah, diare Gangguan hepar (bilirubin/transaminase >2× batas atas nilai normal) Gangguan renal (nitrogen urea/kreatinin >2× batas atas nilai normal atau >5 leukosit/LPB) Gangguan otot (mialgia/kreatinin fosfokinase >2× batas atas nilai normal) Gangguan SSP (gangguan kesadaran tanpa tanda neurologis fokal) Trombositopenia (≤100.000/mm 3) Kriteria Eksklusi Tidak terdapat kriteria yang sudah dijelaskan Kultur darah (−), kecuali untuk S. aureus
Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan spesifik Kultur bakteri dari fokus infeksi (vagina, abses) sebelum pemberian antibiotik semestinya menunjukkan S. aureus
421
Manajemen
Terapi parenteral → β-laktamase-resisten antistafilokokal: nafsilin, oksasilin, sefalosporin generasi 1, atau vankomisin bila curiga MRSA Klindamisin: untuk mengurangi produksi toksin Drainase vagina Terapi cairan untuk hipotensi, gagal ginjal, dan kardiovaskular Agen inotropik bila terjadi syok Kortikosteroid dan IVIG mungkin bermanfaat pada kasus berat
Bibliografi 1.
2.
American Academy of Pediatrics. Staphylococcal infections. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Kimberlin DW, Long SS, penyunting. Red Book 2009. Report of the Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-28. Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics; 2009. hlm. 601–15. Todd JK. Toxic shock syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. hlm. 908–9.
422
STREPTOCOCCAL TOXIC SHOCK-LIKE SYNDROME Etiologi
Streptococcus pyogenes
Definisi
Hipotensi atau syok, ditambah ≥2 hal di bawah ini: Gangguan renal Disseminated intravaskular coagulation Kelainan hati Scarlet fever rash Nekrosis jaringan lunak Kasus pasti memenuhi kriteria di atas ditambah: Isolasi streptokokus grup A dari tempat bagian tubuh yang steril Kasus mungkin (probable) memenuhi kriteria di atas ditambah: Isolasi streptokokus grup A dari tempat bagian tubuh tidak steril Tatalaksana Terapi cairan Terapi antbiotik Manajemen infeksi fokal (eksplorasi dini dan debridemen jaringan lunak yang terinfeksi)
Bibliografi 1.
Tood JK. Toxic shock syndrome. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles and practice of pediatric infectious disease. Edisi ke-2. New York: Chuchill Livingstone. 2003. hlm. 99–102.
423
TETANUS Etiologi
Clostridium tetani (gram-positif)
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi: 2–14 hr (sampai beberapa bl sesudah mengalami luka) Tabel 97 Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis Tetanus Derajat
Manifestasi Klinis
I
Ringan
II
Sedang
III
Berat
IV
Sangat berat
Trismus ringan sampai sedang; spastisitas umum tanpa spasme atau gangguan pernapasan; tanpa disfagia atau disfagia ringan Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai sedang dalam waktu singkat; laju napas >30x/mnt; disfagia ringan Trismus berat; spastisitas umum; kejangnya lama; laju napas >40×/mnt; laju nadi >120×/mnt, apneic spell, disfagia berat Derajat III + gangguan sistem autonom termasuk kardiovaskular Hipertensi berat dan takikardia yang dapat diselang-seling dengan hipotensi relatif dan bradikardia, serta salah satu keadaan tersebut dapat menetap
Diagnosis
Anamnesis Riwayat luka yang terkontaminasi (luka septik): trauma, luka bakar, injeksi i.m., pembedahan, pemotongan, dan perawatan tali pusat, serta ditemukan ulser, gangren, gigitan ular yang nekrotik, dan infeksi telinga tengah Riwayat tidak diimunisasi tetanus atau imunisasi tetanus tidak lengkap Pemeriksaan Fisis Gejala awal tetanus diakibatkan tonus otot ↑, ditandai dengan nyeri punggung, trismus, kekakuan otot, mengeluh disfagia (80%) Bila trismus dan disfagia, lakukan tes spatula (sensitivitas 94% dan spesifisitas 100%): dengan stimulasi spatula pada faring akan memprovokasi spasme otot maseter sehingga penderita akan menggigit spatula Manifestasi klinis lain dapat dilihat pada Tabel 97
424
Tabel 98 Manajemen Tetanus Eradikasi Bakteri Penyebab
Pembersihan Luka Antibiotik
Antitoksin netralisasi terhadap luka Terapi suportif selama fase akut
Antitoksin kuda atau manusia Kontrol spasme otot
425 Pemeliharaan jalan napas Pemeliharaan hemodinamik Rehabilitasi Imunisasi
Nutrisi Fisioterapi Terapi primer penuh dari tetanus toksoid
Metronidazol 15–30 mg/kgBB/hr terbagi 3 dosis, (maks. 2 g/hr) selama 7–10 hr Alternatif: Penisilin G 100.000–250.000 IU/kgBB/hr i.v. atau i.m. terbagi 4, eritromisin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan klindamisin Human tetanus immune globulin (100–300 IU/kgBB i.m.) Antitetanus serum (ATS) 50.000–100.000 IU, ½ i.m. dan ½ i.v. (terlebih dahulu dilakukan tes kulit) Diazepam (i.v. bolus) 0,1–0,3 mg/kgBB/kali i.v. tiap 2–4 jam Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari Dalam keadaan berat diazepam drip 20 mg/kgBB/hr dirawat di PICU Dosis pemeliharaan 8 mg/kgBB/hr p.o. dibagi dalam 6–8 dosis Midazolam (i.v. infus/bolus) Trakeostomi Penggantian volume yang cukup Bila terjadi aktivitas simpatis berlebihan diberikan beta bloker seperti propanolol atau α dan β bloker labetolol
Laboratorium Pemeriksaan laboratorium spesifik untuk mendiagnosis tetanus tidak ada, oleh karena itu diagnosis ditegakkan berdasarkan klinis: trismus, disfagia, rigiditas muskular, dan atau spasme Mungkin leukositosis sedang dan LCS dalam batas normal
Manajemen
Pengelolaan tetanus mencakup: 1) penanganan kejang, 2) prevensi penyulit gangguan napas dan metabolik, 3) netralisasi toksin untuk mencegah penyebaran, dan 4) eliminasi mikroorganisme
Prognosis
Menentukan prognosis tetanus menurut sistem skoring Bleck Tabel 99 Sistem Skoring Bleck Sistem Skoring
1
0
Masa inkubasi Awitan penyakit Tempat masuk
<7 hr <48 jam Luka bakar, luka operasi, bagian dari fraktur, aborsi septik, tali pusat, atau penyuntikan i.m. (+)
≥7 hr ≥48 jam Selain tempat tersebut
>38,4 °C >40 °C (+)
≤38,4 °C ≤40 °C (−)
(+) (+)
(−) (−)
Spasme Suhu Aksilar Rektal Takikardia dengan frekuensi >120×/mnt (pada neonatus >150×/mnt) Tetanus umum Adiksi narkotik
(−)
Skor total menunjukkan derajat keparahan dan prognosis, seperti diuraikan berikut ini: Skor 0–1: derajat ringan dengan tingkat mortalitas <10% Skor 2–3: derajat sedang dengan tingkat mortalitas 10–20% Skor 4 : derajat berat dengan tingkat mortalitas 20–40% Skor 5–6: derajat sangat berat dengan tingkat mortalitas >50% Tetanus sefalik selalu merupakan derajat berat atau sangat berat Tetanus neonatorum selalu merupakan derajat sangat berat
Bibliografi 1.
Arnon SS. Tetanus (Clostridium tetani). Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. hlm. 991–4. 426
2. 3.
Brook I. Clostridium tetani (tetanus). Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Pediatric infectious diseases. Edisi ke-3. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2008. hlm. 956–9. Centers for Disease Control and Prevention. Epidemiology and prevention of vaccine preventable diseases. Edisi ke-12 [diunduh 21 Januari 2012]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/nip/ publications/pink/dip.pdf.
427
TETANUS NEONATORUM Manifestasi Klinis
Terjadi pada usia 3–14 hr Bayi rewel Kesulitan menyusu Mulut mencucut/trismus Otot-otot mengalami kekakuan Kejang
Tatalaksana
Perawatan oleh Divisi Neonatologi Pasang jalur i.v. dan beri cairan dengan rumatan Berikan diazepam 10 mg/kgBB/hr i.v. dalam 24 jam atau bolus i.v. setiap 3 jam (0,5 mL/kali pemberian), maks. 40 mg/kgBB/hr Jika jalur i.v. tidak terpasang, berikan diazepam melalui rektum Jika frekuensi napas <20×/mnt, obat dihentikan, meskipun bayi masih mengalami spasme Jika bayi mengalami henti napas selama spasme atau sianosis sentral sesudah spasme, berikan oksigen dengan kecepatan aliran sedang Jika belum bernapas spontan lakukan resusitasi dan jika belum berhasil dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas NICU Jika ada, beri human tetanus immunoglobulin 500 IU i.v. atau tetanus antitoksin 5.000 IU i.m. Tetanus toksoid 0,5 mL i.m. diberikan pada tempat yang berbeda dengan tempat pemberian antitoksin Penisilin prokain 50.000 IU/kgBB/hr i.m. dosis tunggal atau metronidazol i.v. selama 10 hr (lihat Tabel 100) Jika terjadi kemerahan dan atau pembengkakan pada kulit sekitar pangkal tali pusat, atau keluar nanah dari permukaan tali pusat, atau bau busuk dari area tali pusat, berikan pengobatan untuk infeksi lokal tali pusat
Bibliografi 1.
World Health Organization. Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. Pedoman bagi rumah sakit rujukan pertama di kabupaten/ kota. Jakarta: WHO Indonesia; 2009.
428
Tabel 100 Dosis Metronidazol yang Digunakan untuk Bayi Baru Lahir dan BBLR Dosis (mg/kgBB)
Bentuk
Dosis awal: Infus i.v. 15 500 mg/100 mL Dosis rumatan: i.v. 7,5
429
Dosis rumatan: oral 7,5
Sirup 125 mg/5 mL
Berat Badan Bayi (kg) 1–<1,5
1,5–<2
2–<2,5
2,5–<3
3–<3,5
3,5–<4
4–4,5
3–4,5 mL
4,5–6 mL
6–7,5 mL
7,5–9 mL
9–10,5 mL
1,5–2,25 mL
2,5–3 mL
3–3,7 mL
3,7–4,5 mL
4,5–5 mL
5–6 mL
6–7 mL
0,3–0,4 mL
0,4–0,6 mL
0,6–0,75 mL 0,75–0,9 mL
0,9–1 mL
1–1,2 mL
1,2–1,35 mL
10,5–12 mL 12–13,5 mL
PERTUSIS Etiologi
Bordetella pertussis, B. bronchiseptica, B. parapertussis, dan B. holmesii
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi: 3–12 hr Terbagi atas 3 stadium: 1. Stadium kataral (1–2 mgg) Gejala klinisnya minimal dengan/tanpa demam, rinorea, anoreksia, frekuensi batuk ↑ 2. Stadium paroksismal (26 mgg) Karakteristik (paling nyata pada usia 6 bl–5 th): batuk paroksismal dicetuskan oleh pemberian makan (bayi) dan aktivitas; fase inspiratori batuk atau batuk rejan (inspiratory whooping); posttussive vomiting Dapat pula dijumpai: muka merah atau sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, hipersalivasi, distensi vena leher selama serangan, apatis, BB ↓, perdarahan subkonjungtiva 3. Stadium konvalesens (≥2 mgg) Gejala akan berkurang dalam beberapa mgg s.d. beberapa bl, dapat terjadi petekia pada kepala/leher, perdarahan konjungtiva, dan terdengar crackles difus Bayi <6 bl sering dihubungkan dengan timbulnya muntah sampai timbul dehidrasi Hipoksia terlihat lebih berbahaya dibandingkan dengan dugaan gambaran klinis Penderita dengan gambaran sianosis dan apneic spell, tanpa whoop
Diagnosis
Penderita sering terlambat didiagnosis, mungkin datang dengan keluhan sesak, bukan batuk whooping, dan didiagnosis awal sebagai pneumonia Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis Kontak dengan penderita pertusis dan belum diimunisasi/imunisasi tidak adekuat Laboratorium Leukositosis (15.000–100.000/mm3) dengan limfositosis absolut Didapatkan antibodinya (IgG terhadap toksin pertusis) Foto Rontgen toraks: infiltrat perihiler atau edema, atelektasis, atau empiema Diagnosis pasti dengan ditemukannya organisme pada apus nasofaring (bahan media Bordet-Gengou)
430
Klasifikasi (CDC) Probable: sesuai batasan kasus klinis dan tidak terkait dengan konfirmasi laboratorium Confirmed: batuk (+) dan kultur (+); atau sesuai batasan kasus klinis dan PCR (+); atau sesuai batasan kasus klinis dan terkait dengan index case yang sudah confirmed
Diagnosis Banding Pertusis-like syndrome yang disebabkan oleh: M. pneumoniae, C. pneumoniae, Parainfluenzae virus, Influenzae virus, Enterovirus, RSV, Adenovirus Tabel 101 Bentuk Tipikal Pertusis: Perubahan Gejala, Sensitivitas terhadap Metode Diagnostik, dan Pengaruh Terapi Antibiotik Variasi
Fase Paroksismal (2–6 mgg)
Fase Konvalesens (≥2 mgg)
++ −/+ − − − −
+++ +++ +++ +++ +++ +++
++ −/+ −/+ −/+ − −
++ ++ −/+
−/+ ++ ++
− − ++
++
−/+
−
Fase Kataral (1–2 mgg)
Gejala Batuk Batuk paroksismal Batuk rejan Muntah Sianosis Apnea Tes sensitivitas Kultur PCR Serologi Pengaruh terapi antibiotik Gejala berkurang
Penyulit
Infeksi sekunder: pneumonia (demam, takipnea, distres napas, neutrofilia), dan otitis media Apnea Perdarahan: Atelektasis Epistaksis, melena, subkonjungtiva, Ruptur alveoli hematoma, epidural, intrakranial Emfisema Meningoensefalitis, ensefalopati, Bronkiektasi koma Pneumotoraks Dehidrasi dan gangguan nutrisi Ruptur diafragma Hernia umbilikalis/inguinalis, prolaps Kejang rekti
431
Manajemen
Indikasi Rawat Inap Usia <3 bl; usia 3–6 bl dengan gejala paroksismal berat; bayi prematur, dengan kelainan jantung, paru, otot, atau neurologis; usia berapa pun dengan penyulit Suportif umum (oksigenasi, terapi napas, ventilasi mekanik) jika dibutuhkan Bayi harus hati-hati diobservasi untuk apnea, sianosis, atau hipoksia Penderita harus diisolasi dari individu tersangka (terutama bayi) selama 4 mgg, terutama sampai 5–7 hr pemberian antibiotik selesai Ketika penderita batuk paroksismal, gambaran klinis tidak berkurang, tetapi transmisi berkurang sesudah terapi 5 hr Studi pemberian kortikosteroid, albuterol, dan β-2-adrenergik lainnya terhadap pertusis belum mencukupi Penilaian mengenai kondisi penderita: apnea atau sianotik spel atau hipoksia dan dehidrasi sedang-berat Terapi antibiotik Tujuan farmakoterapi untuk menghilangkan infeksi, mengurangi morbiditas, dan mencegah penyulit (lihat Tabel 102)
432
Tabel 102 Rekomendasi Pemberian Antimikrob dan Profilaksis Pascapajanan Pertusis Antimikrob/Profilaksis yang Direkomendasikan Eritromisin Azitromisin Klaritromisin
Usia <1 bl
−
1–5 bl
4050 mg/kgBB/hr terbagi 4 dosis selama 14 hr s.d.a. (maks. 2 g/hr)
≥6 bl
433 Remaja
2 g/hr terbagi 4 dosis selama 14 hr
10 mg/kgBB/hr dosis tunggal selama 5 hr1 s.d.a. 10 mg/kgBB dosis tunggal pada hr ke-1 (maks. 500 mg); kemudian 5 mg/kgBB/hr dosis tunggal pada hr ke-2–5 (maks. 250 mg/hr) 500 mg dosis tunggal pada hr ke-1, kemudian 250 mg dosis tunggal pada hr ke-2–5
Alternatif TMP-SMX
Tidak direkomendasikan 15 mg/kgBB/hr terbagi 2 dosis selama 7 hr s.d.a.
Kontraindikasi untuk usia <2 bl
1 g/hr terbagi 2 dosis selama 7 hr
TMP 300 mg/kgBB/hr; SMX 1.600 mg/kgBB/hr terbagi 2 dosis selama 14 hr
Usia >2 bl: TMP 8 mg/kgBB/hr; SMX 40 mg/kgBB/hr terbagi 2 dosis selama 14 hr s.d.a.
TMP: trimetoprim; SMX: sulfametoksazol 1 Eritromisin tidak direkomendasikan untuk usia <1 bl karena berisiko terjadi stenosis pilorus hipertrofi idiopatik
Pencegahan
Penularan melalui droplet Pemberian dosis dan jenis antibiotik profilaksis tercantum pada Tabel 102, apabila individu terpapar dalam 21 hr onset penderita pertusis yang belum diberi terapi antibiotik Isolasi penderita sampai 5 hr sesudah pemberian terapi antibiotik Pemberian vaksinasi pada individu yang terpapar
Prognosis
Mortalitas terutama karena kerusakan otak (ensefalopati), pneumonia, dan penyulit paru lain Pada anak besar → prognosisnya baik Dapat timbul sekuele berupa wheezing selama kehidupan dewasa
Bibliografi 1. 2.
3.
4.
5.
Center for Disease Control and Prevention. Pertussis (whooping cough): surveillance & reporting. 2010. [diunduh 11 Mei 2012]. Tersedia dari: www.cdc.gov/pertussis/surv-reporting.html. Center for Disease Control and Prevention. Recommended antimicrobial agents for treatment and postexposure prophylaxis of pertussis. 2005. [diunduh 11 Mei 2012]. Tersedia dari: www.cdc.gov/mmwr/html. Centers for Disease Control and Prevention. Epidemiology and prevention of vaccine preventabel diseases. Edisi ke-12 [diunduh 21 Januari 2012]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/nip/ publications/pink/dip.pdf. Cherry JD, Heininger U. Pertussis and other bordetella infections. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 1683–98. Long SS. Pertussis (Bordetella pertussis and Bordetella parapertussis). Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. hlm. 944–8.
434
MENINGITIS BAKTERIALIS Batasan Peradangan meningen yang disertai bukti terdapat bakteri dalam likuor serebrospinal (LSS) Meningitis bakterialis bentuk atipik adalah meningitis bakterialis dengan kelainan LSS yang min. sehingga sulit dibedakan dengan meningitis aseptik, dapat ditemukan pada anak yang mendapat terapi antibiotik (meningitis during antibiotic therapy/meningitis bacterialis partial treatment), stadium awal meningitis bakterialis, atau karena terdapat proteksi parsial dari imunisasi Haemophilus influenzae type B Meningitis bakterialis rekrudesens adalah munculnya kembali tanda atau gejala klinis meningitis bakterialis dalam masa pengobatan yang sebelumnya memberikan respons yang baik. Meningitis bakterialis relaps adalah munculnya kembali tanda dan gejala meningitis bakterialis dalam 3 mgg sesudah penghentian pengobatan. Meningitis bakterialis rekurens/berulang adalah episode baru dari meningitis bakterialis yang terjadi sesudah melewati masa penyembuhan meningitis bakterialis sebelumnya, penyebab dapat bakteri yang sama atau berbeda dari bakteri penyebab meningitis bakterialis sebelumnya
Etiologi Tabel 103 Penyebab Tersering Meningitis Bakterialis Usia <1 bl
Penyebab Tersering E. coli, Streptokokus grup B, L. monocytogenes
1–3 bl
E. coli, Streptokokus grup B, L. monocytogenes, H. influenzae type b, S. pneumoniae
3 bl–18 th
H. influenzae, N. meningitidis, S. pneumoniae
Manifestasi Klinis
Bervariasi bergantung pada usia, lama sakit sebelum berobat, dan daya tahan penderita Neonatus: gejala mungkin minimal dan menyerupai sepsis, seperti malas minum, letargi, distres pernapasan, ikterus, muntah, diare, hipotermia, kejang (40% kasus), ubun-ubun besar menonjol (33,3% kasus). Tanda rangsang meningen seperti kaku kuduk biasanya tidak ditemukan pada anak <2 th Anak lebih besar: dapat timbul akut atau insidious, berupa demam, kejang, mual-muntah, anoreksia, sakit kepala, nyeri punggung, fotofobi, kaku kuduk, serta tanda gangguan status mental seperti gelisah, letargi, dan kesadaran ↓ Manifestasi klinis lain: defisit neurologik fokal, edema otak, paralisis saraf kranial, syok septik, artritis septik, dll.
435
Diagnosis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis Bergantung pada gejala yang timbul sesuai usia. Diagnosis definitif dengan pemeriksaan pungsi lumbal Pemeriksaan Penunjang Analisis LSS Warna keruh. Protein ↑ Jumlah sel leukosit dan hitung jenis Jumlah sel leukosit pada usia >3 bl adalah 6/mm3 dan tidak mengandung PMN. Pada meningitis bakterialis terjadi 3 pleiositosis, biasanya >1.000/mm dengan predominasi PMN. Pada bentuk atipik, pleiositosis biasanya <1.000/mm3 Absolut neutrophyl count (ANC): bila jumlah leukosit LCS x % −2 3 PMN LCS x 10 /mm hasilnya >1 berarti sangat mendukung kemungkinan meningitis bakterialis Kadar glukosa LSS: terjadi hipoglikorazia (kadar gula LSS rendah); pada kebanyakan kasus rasio kadar gula LSS: gula darah <0,40 (normal ± 66% kadar gula darah)3 Kadar protein: kadar protein ↑ >200 mg/mm (100–500 mg/mm3) Preparat langsung (pewarnaan gram) Bila dilakukan dengan baik, hasil pemeriksaan konsisten dengan hasil biakan Pewarnaan dengan tinta india dipertimbangkan bila kriptokokus diduga sebagai penyebab meningitis bakterialis pada anak defisiensi sistem imun Biakan LSS harus dibiakkan dalam media agar, agar darah, agar coklat, media Fildes, atau media Leventhal. Karena pemeriksaan biakan memerlukan waktu maka diagnosis sangat bergantung pada analisis hasil pemeriksaan sebelumnya di atas PCR Rapid diagnostic test: untuk menilai infeksi bakteri secara cepat, misalnya counter current immunoelectrophoresis (CIE), tes aglutinasi lateks (B-III), ELISA, dsb. CRP: untuk membedakan apakah penyebab meningitis adalah bakteri atau virus Pencitraan Foto Rontgen toraks, tulang tengkorak, sinus, tulang belakang CT-scan dilakukan atas indikasi
Manajemen
Analisis yang tepat dan segera dari pemeriksaan klinis dan temuan dari pemeriksaan LSS merupakan hal yang krusial dalam pengelolaan penderita Antibiotik segera diberikan sesudah diagnosis meningitis bakterialis ditegakkan
436
437
438
Gambar 43 Alur Manajemen Meningitis Bakterialis Sumber: NICE Clinical Guidelines 2010
Suportif Memantau tanda vital setiap 15 mnt sampai keadaan umum stabil, sesudah itu setiap jam untuk 1–2 hr. Suhu tubuh diukur setiap 4 jam Evaluasi pemeriksaan neurologik harus dilakukan setiap hr BB ditimbang setiap hr Lingkar kepala diukur setiap hr untuk usia <18 bl Pada saat masuk penderita dipuasakan agar tidak muntah dan aspirasi Pemberian cairan mengandung Na dan Cl 40 mEq/L, K 35 mEq/L, dan 20 mEq/L laktat atau asetat; dibatasi 1.000–1.200 mL/m2/24 jam apabila penderita tidak syok atau dehidrasi untuk hari pertama. Apabila BB stabil dan konsentrasi Na normal (140 mEq/L) 2 diberikan cairan rumatan 1.500–1.700 mL/m /24 jam. Catat masukan dan keluaran cairan Bila terjadi tekanan tinggi intrakranial: peninggian kepala 30°, manitol (0,5 g) selama 30 mnt, deksametason 10–12 mg/m2/hr terbagi dalam 4 dosis tidak lebih dari 4 atau 5 hr Antikonvulsan bila kejang Dukungan gizi melalui nasogastrik
Bibliografi 1.
2.
Feigin RD, Cutrer WB. Bacterial meningitis beyond the neonatal period. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 439–72. McCracken GH, Lloreus XS. Acute bacterial meningitis beyond the neonatal period. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Pediatric infectious disease. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders Co; 2008. hlm. 284–90. 439
3.
NICE clinical guidelines. Bacterial meningitis and meningococcal septicaemia: management of bacterial meningitis and meningococcal septicaemia in children and young people younger than 16 years in primary and secondary care. London: National Institute for Health and Clinical Excellence; 2010.
440
DEMAM SKARLET (SKARLATINA) Etiologi
Streptococcus beta haemolyticus group A
Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Anamnesis Bersifat akut disertai demam, muntah, nyeri kepala, sakit menelan, menggigil Pemeriksaan Fisis Faring dengan/tanpa pembesaran tonsil, hiperemis, sering ditandai dengan detritus dan eksudat. Ditemukan petekie di daerah palatum mole (Forchheimer spot) Tonsilofaringitis berat, terdapat eksudat White strawberry tongue pada permulaan penyakit yang berubah menjadi red strawberry tongue beberapa hari kemudian Ruam ↑ 24–48 jam sesudah onset gejala, berwarna merah, berupa pungtata atau papula (fine sandpaper rash), memucat pada penekanan, mula-mula pada ketiak sekitar leher dalam menyebar ke dada dan ekstremitas Pada penyakit berat, ruam berupa vesikula kecil (miliaria sudamina) Ruam diakhiri dengan deskuamasi Dapat terjadi sesudah infeksi luka, luka bakar, atau infeksi kulit karena streptokokus Laboratorium Leukositosis Titer ASLO (ASTO) ↑ LED ↑ CRP dapat (+) Biakan apus tenggorok: Streptococcus beta haemolyticus group A
Manajemen
Mengurangi gejala dan mencegah penyulit Antibiotik Pilihan pertama: Penisilin V, 125–250 mg/kali, 3 ×/hr p.o. selama 10 hr Long-acting benzathine penicillin G 600.000 i.m. dosis tunggal Keadaan berat → pemberian i.v. dosis dapat sampai 400.000 IU/kgBB/hr Pilihan kedua: Eritromisin: 20–40 mg/kgBB/hr p.o. selama 10 hr Linkomisin: 40 mg/kgBB/hr p.o. Klindamisin: 30 mg/kgBB/hr p.o. Sefadroksil monohidrat: 15 mg/kgBB/hr p.o.
Bibliografi 1.
Cherry JD. Cutaneous manifestations of systemic infections. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm.755–80. 441
ANTRAKS Etiologi
Bacillus antracis
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi: 2 mgg s.d. beberapa mgg Antraks Kutan Lesi kulit tersebar di kepala dan leher (52%), batang tubuh (28%), dan ekstremitas (20%). Pada anak dengan usia lebih tua, lesi tersebar di kepala dan leher (70%), batang tubuh (16%), serta ekstremitas (14%) Lesi berupa papula pruritik yang tidak nyeri → vesikel serosa atau seroanguinus yang dikelilingi oleh jaringan edema (vesikel berbentuk satelit pearly wreath dapat terlihat). Lesi mengalami nekrosis sentral dengan meninggalkan jaringan parut berwarna hitam Ø 1–3 cm, berbatas tegas Malignant edema menggambarkan lesi berat pada kepala dan leher. Dapat meyebabkan toksisitas sistemik dan obstruksi saluran respiratori Demam (39–40 °C) Antraks Inhalasi Bersifat bifasik Stadium awal: malaise, demam ringan, mialgia, dan batuk kering Stadium kedua: dispnea, stridor Antraks Gastrointestinal Ulkus mulut, orofaring bagian posterior, tonsil, dan esofagus yang ditutupi oleh pseudomembran Demam, nyeri tenggorok, dan pembengkakan leher Pembesaran getah bening leher, disfagia, dan kesulitan bernapas Stadium awal: demam, nausea, anoreksia, muntah, dan nyeri perut disertai nyeri lepas Melena Laparotomi eksplorasi → kelenjar mesenterik berwarna kemerahan dan cairan asites kecoklatan Meningitis Berkaitan dengan kelainan kulit Onset tiba-tiba dengan gejala berat Nyeri kepala, mual, muntah, mialgia, menggigil, pusing, dan ruam petekia Kesadaran ↓, kejang, dan koma
Diagnosis
Anamnesis Sesuai dengan kategori manifestasi klinis 442
Pemeriksaan Fisis Sesuai manifestasi klinis Pemeriksaan Penunjang Darah rutin: leukositosis pada antraks kutaneus 20.000– 30.000/mm33 dan pada antraks meningitis dapat hingga 60.00080.000/mm Serologi: direct fluorescent antibody, PCR, dan IgG anti-B. anthracis (ELISA) Pungsi lumbal: gross haemorrhage, leukositosis dengan dominasi PMN, protein ↑, kadar glukosa ↓, dan ditemukan batang grampositif Kultur: ditemukan pada 5% antraks kutan. Ditemukan kuman pada cairan vesikel dan eksudat pada lesi kulit atau cairan pleura darah dan CSS. Leukositosis (60.000–80.000 sel/mm3) Nilai hematokrit ↑ Albumin dan natrium serum ↓ Kultur darah Foto polos abdomen Dinding usus edema, distribusi udara ↓ Pungsi lumbal Perdarahan mikroskopis Leukositosis (dominasi PMN) Protein ↑ Glukosa ↓ Batang gram-positif Rontgen toraks/CT-scan toraks Ruang mediastinum melebar dengan batas kabur Mediastinitis hemoragika Efusi pleura (kadang mengandung darah) Infiltrat paru CT-scan kepala Perdarahan multipel di ventrikel, ruang subaraknoid, dan substansia kelabu PCR ELISA
Manajamen
Jika organisme terbukti sensitif terhadap penisilin → penisilin 300.000–400.000 IU/kgBB/hr i.v. atau 50.000 IU/kgBB/hr p.o. diberikan selama 60 hr Antraks inhalasi dan antraks kutan dengan gejala: 1) toksisitas sistemik, 2) lesi pada kepala dan leher, 3) edema yang luas: Siprofloksasin 10–15 mg/kgBB tiap 12 jam i.v. (maks. 1 g/hr) Antraks kutan ringan → siprofloksasin dosis sama p.o. atau doksisiklin 100 mg tiap 12 jam (untuk anak >8 th dan BB >45 kg) atau 2,2 mg/kgBB tiap 12 jam (anak ≤8 th dan BB ≤45 kg) Steroid sistemik
443
Terapi suportif: Keseimbangan cairan dan elektrolit Intubasi endotrakeal Perawatan luka lokal
Bibliografi 1.
Edwards MS. Anthrax. Dalam: Feigin RD, Cherry J, DemmlerHarrison GJ, Kaplan SL, penyunting. Textbook of pediatric infectious diseases. Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. hlm. 1403–6.
444
LEPRA Etiologi
Mycobacterium leprae
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi: 3–5 th (3 bl–20 th) Lepra Indeterminat Makula tunggal atau multipel, batas tidak tegas, hipopigmentasi, dan eritematosus Lepra Tuberkuloid Lesi hipopigmentasi ukuran bervariasi yang terdistribusi asimetris berbentuk makula atau papula atau infiltrat, batasnya tegas dari kulit normal di sekitarnya Lesi tuberkuloid dapat sembuh spontan, bagian tengahnya mengalami repigmentasi atau atrofi Gangguan sensorik berupa gangguan dalam mekanisme berkeringat, rambut rontok, dan hipoestesia Saraf kutan dapat teraba yaitu di bagian ulnar (dari olekranon sampai pertengahan lengan, poplitea bagian lateral (distal dari bagian atas fibula), tibia bagian posterior (medial dari lutut) Lepra Borderline Sering disebut dimorphous atau intermediate leprosy, memiliki bentuk seperti tipe tuberkuloid dan tipe lepra Terdapat beberapa tipe yaitu tuberkuloid borderline, borderline, dan lepromatous borderline Pada tuberkuloid borderline jumlah lesi lebih banyak dibandingkan dengan lepra tipe tuberkuloid dengan batas kurang tegas Lesi berbentuk satelit ukuran kecil dapat terbentuk di sekitar makula dan plak berukuran besar Lesi dapat berupa infiltrat nodular atau plak dengan ukuran bervariasi Lepra Lepromatous Bentuk awal bermanifestasi sebagai juvenile leprosy atau disebut juga pre-lepromatous leprosy, sulit dideteksi karena tekstur kulit hanya sedikit mengalami perubahan Lesi berupa makula ukuran kecil hipopigmentasi dengan sedikit kemerahan yang lama-kelamaan akan bersatu membentuk makula menutupi area tubuh yang cukup luas, saraf kutan mengalami pembesaran, serta hilangnya sensorik di tangan dan kaki Lesi biasanya di bagian tubuh dengan suhu lebih dingin seperti di daun telinga dan wajah. Alis menipis dan rontok mulai dari sisi lateral
445
Bentuk anergi yang difus disebut Lucio leprosy yang tidak dapat diketahui sampai terjadi kerusakan sensorik pada tangan dan kaki, serta alis mata dan rambut di bagian tubuh lain mulai menghilang. Bentuk ini disertai dengan fenomena Lusio, ditandai dengan vaskulitis obstruktif di kulit dengan infark kulit dan ulkus ireguler Lepra Neuritik Anestesi, paresis hilangnya massa otot di daerah yang terkena Saraf kutan mengalami pembesaran disertai nyeri dengan konsistensi keras
Diagnosis
Anamnesis Riwayat kontak dengan penderita lepra Kehilangan sensorik, kerusakan pada tangan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya Pemeriksaan Fisis Lesi kulit hipoestetik, pembesaran saraf perifer Pemeriksaan Penunjang Tes fungsi sensorik (sentuhan ringan, rasa panas dan dingin) Ditemukan batang tahan asam pada apusan kulit. Apusan kulit diambil dari tepi makula, plak atau nodul, daun telinga, dan mukosa hidung ELISA Gelatin particle agglutination test untuk antibodi terhadap PGL-1 dari M. leprae
Manajemen
Terdapat tiga agen kemoterapi untuk lepra yaitu dapson, klofazimin, dan rifampin Rejimen untuk penderita tipe pausibasiler (intermediet, tuberkuloid, dan tuberkuloid borderline) Untuk dewasa, rifampin 600 mg/bl + dapson 100 mg/hr selama 6 bl, kemudian terapi dihentikan Rejimen untuk penderita tipe multibasiler (lepromatous, lepromatous borderline, dan borderline) Untuk dewasa, rifampin 600 mg/bl + dapson 100 mg/hr + klofazimin 50 mg/hr Jika penderita memiliki kepatuhan berobat yang kurang baik, rifampin dan klofazimin 300 mg/bl harus diberikan di bawah pengawasan di samping klofazimin 50 mg/hr Jika efek samping hiperpigmentasi muncul akibat pemberian klofazimin, protionamid atau etionamid 250–375 mg dapat diberikan atau rifampin 600 mg + ofloksasin 400 mg + minosiklin 100 mg (ROM) 1 bl 1 kali Obat ini diberikan selama 2 th
446
Tabel 104 Dosis Terapi Lepra pada Anak Berat Badan (kg)
Persentase dari Dosis Dewasa
<15 15–30 30–45 >45
25 50 75 100
Konsultasi
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Bibliografi 1.
Meyers WM, Walsh DS. Leprosy and buruli ulcer: the major cutaneous mycobacterioses. Dalam: Feigin RD, Cherry J, Demmler-Harrison GJ, Kaplan SL, penyunting. Textbook of pediatric infectious diseases. Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. hlm. 1479–92.
447
ARTRITIS SEPTIK Etiologi
Berdasarkan usia: Neonatus–2 bl: Staphylococcus aureus, Enterobakteria, Streptokokus grup B 2 bl–5 th: Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae tipe B, Streptokokus grup A, Streptococcus pneumoniae >5 th: Staphylococcus aureus dan Streptokokus grup A
Manifestasi Klinis
Artritis bersifat akut menyerang satu sendi dengan eritema, hangat pada perabaan, bengkak dan rasa nyeri pada pergerakan pasif. Pseudoparalisis → rasa nyeri hebat hingga anggota tubuh yang terkena tidak dapat digerakkan Demam, anoreksia, irritable
Diagnosis
Anamnesis Sesuai manifestasi klinis Pemeriksaan Fisis Artritis pada satu sendi Pemeriksaan Penunjang Darah rutin: leukositosis dengan predominan neutrofil, laju endap darah dan C-reactive protein ↑ Biakan: cairan sendi → 70% (+) darah → 40–50% Pencitraan: USG sendi → cairan dalam rongga sendi bone scan, CT-scan, MRI → efusi, pembengkakan jaringan lunak, abses Analisis cairan sendi: warna keruh atau berawan, jumlah leukosit 3 sangat tinggi >50.000/mm predominansi PMN >75% serta ditemukan kuman pada apus gram
Manajemen Antibiotik
448
Tabel 105 Jenis Antibiotik Empiris untuk Pengobatan Artritis Septik Usia/Keadaan
Dugaan Kuman Penyebab
Pilihan Jenis Antibiotik
Neonatus
Grup B Streptokokus, Staphylococcus aureus, enterobakteria gram-negatif Streptokokus spp., Staphylococcus spp., Hib, sama dengan neonatus S. aureus, S. pneumoniae, Streptokokus grup A Sama dengan anak, Neisseria gonorrhoeae
Kloksasilin + gentamisin*
Bayi (1–3 bl) Anak Remaja
Sickle cell disease Sama dengan anak, juga Salmonella spp. Luka tusuk Sama dengan anak, juga Pseudomonas spp.
Sefuroksim atau sefotaksim* Sefazolin* Seftriakson atau Sefiksim + azitromisin* Sefotaksim* Piperasilin + gentamisin*
* Di daerah dengan prevalensi CA-MRSA tinggi harus dipertimbangkan vankomisin sebagai antibiotik empiris
Deksametason dosis rendah selama 4 hr → mengurangi sekuele dan memperpendek gejala pada artritis septik yang bersifat hematogen Bedah → drainase
Bibliografi 1.
Krogstad P. Septic arthritis. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, Demmler-Harrison GL, Kaplan SL, penyunting. Textbook of pediatric infectious diseases. Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. hlm. 742–7.
449
OSTEOMIELITIS Etiologi
Terutama disebabkan oleh Staphylococcus aureus
Manifestasi Klinis
Fase bakteremia: malaise, demam ringan sampai dengan demam tinggi (40 °C). Berat ringan gejala pada stadium ini bergantung pada usia anak dan bakteri penyebab Nyeri tekan dan nyeri terlokalisasi pada ekstremitas yang terkena (biasanya ekstremitas bawah), kelemahan ringan
Diagnosis
Anamnesis Demam Keterbatasan gerak pada tulang yang terkena Pemeriksaan Fisis Ekstremitas yang terkena edema dan teraba hangat Perkusi pada tulang panjang yang terkena jauh dari lesi akan → nyeri pada daerah lesi Pemeriksaan Penunjang Leukositosis C-reactive protein (CRP) ↑ atau laju endap darah ↑ Pewarnaan gram dari aspirasi tulang Kultur dari eksudat subperiosteal atau cairan sendi (merupakan diagnosis bakteriologis pada 66–76% kasus) dan kultur darah (positif pada 36–74% penderita dengan pemeriksaan serial sebanyak 3×) Analisis histopatologis spesimen yang diambil dengan pembedahan Foto polos ekstremitas Stadium I: terjadi 3 hr sesudah onset gejala pembengkakan jaringan lunak yang terlokalisasi di daerah metafisis Stadium II: terjadi 3–7 hr sesudah onset gejala pembengkakan otot Sesudah 10–21 hr tampak destruksi tulang berupa resorbsi subperiosteal dan pembentukan tulang baru di daerah periosteum MRI CT-scan
Manajemen
Suportif: imobilisasi Medikamentosa Terapi empiris: Nafsilin atau oksasilin 150–200 mg/kgBB/hr dibagi 4 dosis Sefuroksim 450
Vankomisin atau klindamisin (MRSA) Bila terdapat kecurigaan infeksi H. influenzae, tambahkan seftriakson atau sefotaksim pada terapi empiris (vankomisin, klindamisin, oksasilin atau nafsilin) Salmonela: kloramfenikol atau sefalosporin generasi ke-3 P. aeruginosa: seftazidim atau aminoglikosida Infeksi anaerob: klindamisin Tabel 106 Dosis Antibiotik Inisial untuk Terapi Oral pada Osteomielitis Antibiotik
Dosis (mg/kgBB/hr)
Interval di Antara Dosis (jam)
100 150 75 40 125 100 125
6 6 8 8 6 6 4
Amoksisilin Sefaleksin Kloramfenikol Klindamisin Kloksasilin Dikloksasilin Penisilin V Bedah Drainase dan debridemen
Bibliografi 1.
Krogstad P. Osteomyelitis. Dalam: Feigin RD, Cherry J, DemmlerHarrison GJ, Kaplan SL, penyunting. Textbook of pediatric infectious diseases. Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. hlm. 725–31.
451
FEBRILE NEUTROPENIA Demam
Dalam konteks neutropenia, demam didefinisikan sebagai suhu oral ≥38,3 °C dalam satu kali pengukuran atau suhu selalu ≥38 °C dalam 1 jam atau pada 2× pengukuran dengan interval min. 12 jam
Neutropenia
Jumlah neutrofil <500 sel/mm3 atau <1.000 sel/mm3 dengan kecende3 rungan turun menuju 500 sel/mm dalam 2 hr berikutnya
Derajat Faktor Risiko
1. Kelompok risiko tinggi → penderita dengan kriteria mengalami neutropenia yang memanjang (>7 hr) serta neutropenia berat (absolute neutrophil count/ANC ≤100 sel/mm 3) sesudah pemberian kemoterapi dan atau disertai penyakit penyerta seperti hipotensi, pneumonia, nyeri abdomen akut, atau gangguan neurologis 2. Kelompok risiko rendah → penderita dengan kriteria mengalami neutropenia (≤7 hr) tanpa atau disertai penyakit penyerta
Tatalaksana
Gambar 44 Tatalaksana Awal Demam dan Neutropenia 452
Gambar 45 Penilaian Ulang Sesudah 2–4 Hari Pemberian Antibiotik
Menghentikan Pemberian Terapi Antibiotik Empiris
Penghentian pengobatan perlu dipertimbangkan bila ada perbaikan secara klinis, biakan darah (−), tidak demam selama min. 24 jam serta terdapat bukti perbaikan sumsum tulang, kadar ANC ≥100/uL dapat menjadi patokan untuk penghentian terapi
Bibliografi 1.
Freifeld AG, Bow EJ, Sepkowitz KA, Boeckh MJ, Ito JI, Mullen CA, dkk. Clinical practice guideline for the use of antimicrobial agents in neutropenic patients with cancer: 2010 update by the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 2011; 52(4):e56–93.
453
EBOLA VIRUS DISEASE Etiologi
Ebola virus disease (EVD) terdiri atas 5 spesies yaitu Bundibugyo ebolavirus, Coite d’Ivoire ebolavirus (CIEBOV), Sudan ebolavirus (SEBOV), Reston ebolavirus (REBOV), dan Zaire ebolavirus (ZEBOV). Virus Ebola (EBOV) merupakan virus negative-sense single stranded RNA berbentuk heliks yang beramplop lipid, bagian dari kelompok famili Filoviridae
Transmisi
Ebola virus disease merupakan penyakit zoonotik yang ditransmisikan ke manusia melalui kontak langsung dengan binatang yang sakit, yang mungkin terinfeksi dari binatang lain. Virus dapat menyebar melalui daging yang terinfeksi, buah terinfeksi, kontak langsung dengan binatang atau manusia yang terinfeksi, hubungan seksual, kotoran atau urin terinfeksi, darah dan alat kesehatan, serta kontak dengan jenazah penderita Ebola
Gejala Klinis
Muncul 8–10 hr sesudah paparan (rata-rata 4–10 hr dan bervariasi 2–21 hr). Tanda awal biasanya tidak spesifik, seperti demam, menggigil, nyeri otot, dan lemah. Demam, anoreksia, dan kelemahan merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan. Penderita dapat mengalami ruam makulopapular kemerahan pada hari ke-5–7 (biasanya tampak di wajah, leher, dan batang tubuh) yang dapat mengalami deskuamasi. Perdarahan tidak selalu terjadi, namun dapat bermanifestasi lebih lanjut berupa petekia, ekimosis/memar, atau oozing dari tempat penusukan vena, serta perdarahan mukosa. Perdarahan yang jelas jarang ditemukan. Wanita hamil dapat mengalami abortus spontan Penderita dengan penyakit berat dapat mengalami tanda penyulit berat hari ke-6–16, antara lain gagal multiorgan dan syok septik
Pemeriksaan Penunjang
Leukopenia sering disertai limfopenia dan 3neutrofil ↑ (shift to the left). Trombositopenia 50.000–100.000/mm Amilase dapat ↑ Transaminase ↑ dengan kadar aspartate aminotransferase (AST) lebih tinggi daripada alanine aminotranferase (ALT) Proteinuria dapat ditemui Terjadi pemanjangan prothrombin (PT) dan partial thromboplastin times (PTT) Produk degradasi fibrin ↑, konsisten dengan KID Konfirmasi infeksi virus Ebola: 1. Mengukur respons imun spesifik pejamu: ELISA IgM dan IgG direk, serta ELISA IgM capture 2. Deteksi partikel atau komponen virus dari individu yang terinfeksi 454
Tabel 107 Prosedur Uji Diagnostik Infeksi Virus Ebola Uji Polymerase chain reaction (PCR) Antigen ELISA Imunohistokimia
Target Asam nukleat virus Antigen virus Antigen virus
Fluorescence assay (FA)
Antigen virus
Mikroskop elektron Indirect immunoflorescence assay (IFA) Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) Immuno blot (Westernblot)
Partikel virus Antibodi spesifik virus Antibodi spesifik virus Antibodi spesifik virus Partikel virus
Isolasi virus
Bahan Pemeriksaan Darah, serum, jaringan Darah, serum, jaringan Jaringan (misalnya kulit, hati) Jaringan (misalnya hati) Darah, jaringan Serum Serum Serum Darah, jaringan
Definisi Kasus EVD
Kasus EVD 1. Orang dalam investigasi (person under investigation/PUI) Orang yang memiliki gejala dan faktor risiko sebagai berikut: Kriteria klnis: demam >38,6 °C atau 101,5 °F dan tambahan gejala seperti nyeri kepala hebat, nyeri otot, muntah, diare, nyeri abdomen, atau perdarahan tanpa sebab yang jelas, disertai Faktor risiko epidemiologi dalam 21 hr sebelum onset gejala, pernah kontak dengan darah atau cairan tubuh lain dari penderita atau yang dicurigai menderita EVD; tinggal di dalam atau berkunjung ke daerah transmisi EVD aktif; atau kontak langsung dengan kelelawar atau primata selain manusia dari daerah endemik 2. Kasus probable Orang dalam investigasi yang memiliki faktor risiko epidemiologi termasuk paparan risiko tinggi atau rendah (keterangan di bawah) 3. Kasus confirmed Kasus dengan bukti laboratorium yang confirmed untuk infeksi virus Ebola Tingkat Risiko Paparan 1. Paparan risiko tinggi Paparan perkutaneus (misalnya jarum suntik) atau membran mukosa terhadap darah atau cairan tubuh penderita EVD Kontak kulit langsung dengan atau paparan pada darah atau cairan tubuh penderita EVD tanpa menggunakan alat perlindungan diri (APD) Memproses darah atau cairan darah penderita yang confirmed EVD tanpa APD atau persiapan standar keamanan 455
Kontak langsung dengan jenazah tanpa APD yang sesuai di negara yang mengalami outbreak EVD 2. Paparan risiko rendah Serumah dengan penderita EVD Kontak erat lain di fasilitas kesehatan atau masyarakat Kontak erat didefinisikan sebagai berada dalam jarak 1 m dari penderita EVD atau dalam satu kamar atau daerah perawatan pada waktu yang lama (misalnya tenaga kesehatan, anggota keluarga yang tinggal serumah) tanpa memakai APD yang dianjurkan (misalnya pencegahan kontak dan droplet standar) Kontak langsung yang singkat dengan penderita EVD tanpa memakai APD yang dianjurkan Interaksi singkat, misalnya orang yang berjalan atau berpapasan di rumah sakit, tidak termasuk kontak erat 3. Tidak terpapar Berada di negara yang mengalami outbreak EVD dalam 21 hr terakhir dan tidak mengalami paparan risiko rendah maupun tinggi
Diagnosis Banding
Hemorragic fever akibat Arenaviridae (Lassa, Junin, dan Machupo fever), Bunyaviridae (Crimean-Congo haemorrhagic fever, Rift Valley fever, Hantaan haemorrhagic fever), Filoviridae (Marburg), Flaviviridae (yellow fever, infeksi virus dengue, Kyasanur forest disease), dan hemorrhagic shock and encephalopathy syndrome (HSES)
Tatalaksana
Simtomatik: pemberian cairan i.v. dan menjaga keseimbangan elektrolit, menjaga status oksigenasi dan tekanan darah penderita, serta mengobati infeksi sekunder jika terjadi
Pencegahan
Menggunakan pakaian protektif (seperti masker, sarung tangan, gown, dan kacamata goggles), melakukan kontrol infeksi (seperti alat sterilisasi komplet dan penggunaan disinfektan secara rutin), mengisolasi penderita Ebola dari kontak dengan orang yang tidak terlindungi. Jika penderita Ebola meninggal, kontak langsung dengan jenazah harus dihindari
Prognosis
Survival rate yang dilaporkan adalah 52%.2Centers for Disease Control and Prevention melaporkan bahwa angka kematian behubungan dengan spesies Ebola. Angka kematian tertinggi terjadi pada EVD akibat Zaire ebolavirus, diikuti oleh Sudan ebolavirus dan Bundibugyo ebolavirus. Reston ebolavirus dan Taï Forest ebolavirus belum pernah dilaporkan menyebabkan kematian
456
Bibliografi 1.
2. 3. 4. 5.
6. 7.
Centers for Disease Control and Prevention. Ebola virus disease information for clinicians in U.S. healthcare settings [diunduh 20 September 2014]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/vhf/ebola/ hcp/clinician-information-us-healthcare-settings.html. Dixon MG, Schaver IJ. Ebola viral disease outbreak — West Africa, 2014. MMWR. 2014;63(25):548–51. Geisbert TW, Hensley LE. Ebola virus: new insights into disease aetiopathology and possible therapeutic interventions. Expert Rev Mol Med. 2004;6(20):1–24. Grolla A, Lucht A, Dick D, Strong JE, Feldmann H. Laboratory diagnosis of Ebola and Marburg hemorrhagic fever. Bull Soc Pathol Exot. 2005;98(3):205–9. Leroy E, Harrison GJ. Filoviral hemorrhagic fever: Marburg and Ebola virus fevers. Dalam: Cherry JD, Harrison GJ, Kaplan SL, Steinbach WJ, Hotez PJ, penyunting. Fiegin & Cherry’s textbook of pediatric infectious diseases. Edisi ke-7. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012. hlm. 2478–86. World Health Organization. Ebola virus disease [diunduh 20 September 2014]. Tersedia dari: http://www.who.int/ mediacentre/factsheets/fs103/en/. World Heath Organization. Interim infection prevention and control guidance for care of patients with suspected or confirmed filovirus haemorrhagic fever in health-care settings, with focus on Ebola. September 2014 [diunduh 20 September 2014]. Tersedia dari: http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/ 130596/1/WHO_HIS_SDS_2014.4_eng.pdf?ua=1.
457
SEPSIS Definisi
Tahun 2001 the International Sepsis Definitions Conference mengeluarkan definisi sepsis yang digunakan sampai saat ini seperti tercantum pada Tabel 108 Tabel 108 Definisi SIRS, Infeksi, Sepsis, Sepsis Berat, dan Syok Septik SIRS Terdapat paling sedikit 2 dari 4 kriteria, antara lain 1 harus berupa abnormalitas suhu atau hitung leukosit Suhu perifer >38,5 °C atau <36 °C Takikardia, didefinisikan sebagai denyut jantung rata-rata >2 SD di atas nilai normal sesuai usia tanpa pengaruh luar, pengobatan lama, rangsang nyeri; atau kenaikan menetap yang tidak dapat dijelaskan selama 0,5–4 jam atau pada anak <1 th: bradikardia adalah nilai denyut jantung ratarata < persentil 10 sesuai usia tanpa rangsang vagal, obat β-blocker, atau penyakit jantung kongenital; atau penurunan menetap yang tidak dapat dijelaskan selama 0,5 jam Frekuensi napas rata-rata >2 SD di atas nilai normal sesuai usia atau menggunakan ventilasi mekanik untuk suatu proses akut yang tidak berhubungan dengan penyakit neuromuskular akut atau mendapat anestesi umum Hitung leukosit ↑ atau ↓ sesuai usia (tidak karena pengaruh kemoterapi) atau >10% neutrofil imatur Infeksi Kecurigaan atau terdapat bukti infeksi (dengan kultur (+), pewarnaan jaringan, atau tes polymerase chain reaction (PCR) disebabkan suatu patogen ATAU Sindrom klinis yang berhubungan dengan risiko tinggi infeksi. Bukti infeksi termasuk pemeriksaan klinis, pencitraan, atau tes laboratorium, misalnya sel darah putih atau cairan tubuh steril, perforated viscus, Rontgen dada konsisten pneumonia, ruam petekia atau purpura, atau purpura fulminans Sepsis SIRS ditambah dengan persangkaan atau bukti suatu infeksi Sepsis berat Sepsis ditambah dengan 1 dari berikut: Disfungsi kardiovaskular ATAU Acute respiratory distress syndrome (ARDS) ATAU ≥2 disfungsi organ lainnya seperti yang tercantum pada Tabel 109 Syok septik Sepsis dan disfungsi organ kardiovaskular seperti didefinisikan pada Tabel 109 Sumber: Goldstein dkk. 2005
Kriteria disfungsi dari masing-masing organ dapat dilihat pada Tabel 109 di bawah ini 458
Tabel 109 Kriteria Disfungsi Organ Kkardiovaskular Meskipun pemberian bolus cairan i.v. ≥40 mL/kgBB dalam 1 jam Tekanan darah ↓ (hipotensi) <5 persentil untuk usia atau tekanan sistol <2 SD di bawah normal untuk usia ATAU Perlu obat vasoaktif untuk memelihara tekanan darah dalam range normal (dopamin >5 µg/kgBB/menit atau dobitamin, epinefrin, atau norepinefrin pada setiap dosis) Dua dari berikut: Asidosis metabolik yang tidak dapat dijelaskan: base deficit >5,0 mEq/L Laktat arteri ↑ >2× limit atas normal Oliguria: output urin <0,5 mL/kg/jam Capillary refill memanjang >5 detik Perbedaan suhu core dan perifer >3 °C Respiratori PaO2/FiO2<300 pada penderita yang tidak ada penyakit jantung sianotik atau penyakit paru sebelumnya ATAU PaCO2>65 torr atau 20 mm Hg di atas baseline PaCO2 ATAU Terbukti memerlukan oksigen atau >50% FiO2 untuk memelihara saturasi >92% ATAU Perlu ventilasi invasif nonelektif atau ventilasi mekanik noninvasif Neurologis Glasgow coma score <11 ATAU Perubahan akut status mental dan GCS>3 poin ↓ dari baseline normal Hematologis 3 Jumlah trombosit <80.000/mm atau 50% jumlah trombosit ↓ dari nilai paling tinggi sesudah 3 hr (untuk penderita hematologi kronik/onkologi) ATAU International normalized ratio >2 Renal Kreatinin serum ≥2× limit atas normal menurut usia atau 2× ↑ dari baseline kreatinin Hepar Bilirubin total ≥4 mg/dL (tidak dapat dipakai pada bayi baru lahir/ newborn) Alanine transminase 2× limit atas normal untuk usia Sumber: Goldstein dkk. 2005
Tahun 2012 Surviving Sepsis Campaign mengeluarkan panduan international manajemen sepsis berat dan syok septik yang di dalamnya terdapat kriteria diagnosis sepsis seperti tercantum dalam Tabel 110
459
Tabel 110 Kriteria Diagnosis Sepsis Infeksi, terbukti atau diduga, dengan terdapat gejala sebagai berikut: Variabel umum Demam (>38,3 °C) Hipotermia (suhu inti <36 °C) Denyut jantung >90×/mnt atau >2 SD di atas nilai normal sesuai usia Takipnea Status mental yang terganggu Edema yang signifikan atau positive fluid balance (>20 mL/kgBB dalam 24 jam) Hiperglikemia (glukosa plasma >140 mg/dL atau 7,7 mmol/L) tanpa terdapat gejala diabetes Variabel inflamasi Leukositosis (WBC count >12.000 µL-1) Leukopenia (WBC count <4.000 µL-1) Nilai WBC normal dengan jumlah sel imatur >10% C-reactive protein >2 SD nilai normal Procalcitonin plasma >2 SD nilai normal Variabel hemodinamik Hipotensi arterial (SBP <90 mm Hg, MAP <70 mm Hg, atau SBP ↓ >40 mm Hg pada dewasa atau <2 SD di bawah normal sesuai usia) Variabel disfungsi organ Hipoksemia arterial (Pao2/Fio2<300) Oliguria akut (output urin <0,5 mL/kgBB/jam selama min. 2 jam walaupun sudah diberikan resusitasi cairan yang adekuat) Kreatinin ↑ >0,5 mg/dL atau 44,2 µmol/L Abnormalitas koagulasi (INR>1,5 atau aPTT>60 detik) Ileus (bising usus (−)) Trombositopenia (trombosit <100.000 µL-1) Hiperbilirubinemia (bilirubin total plasma >4 mg/dL atau 70 µmol/L) Varibel perfusi jaringan Hiperlaktatemia (>1 mmol/L) Capillary refill atau mottling ↓ WBC=white blood cell; SBP=systolic blood pressure; MAP=mean arterial pressure; INR=international normalized ratio; aPTT=activated partial tromboplastin time Sumber: Dellinger dkk. 2013
Kriteria diagnosis sepsis pada penderita pediatri yaitu terdapat tanda dan gejala klinis inflamasi dengan infeksi disertai hiper atau hipotermia (temperatur rektal >38,5 °C atau <35 °C), takikardia (pada penderita hipotermia dapat tidak ditemukan), dan terdapat min. satu dari tanda gangguan fungsi organ: perubahan status mental, hipoksemia, laktat serum ↑, bounding pulse
Tatalaksana
Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock sudah menyediakan revisi terbaru tahun 2012 untuk membantu klinisi dalam menangani penderita sepsis berat dan syok septik, di dalamnya terdapat beberapa rekomendasi pemberian resusitasi awal dan penanganan masalah infeksi yang dapat dilihat pada Tabel 111 di bawah ini 460
Tabel 111 Rekomendasi: Resusitasi Awal dan Masalah Infeksi Resusitasi awal Tujuan yang diharapkan dalam 6 jam awal resusitasi: Tekanan vena sentral 8−12 mmHg Mean arterial pressure (MAP) ≥65 mmHg Output urin ≥0,5 mL/kgBB/jam Vena sentral (vena kava superior) atau mixed venous oxygen saturation 70% atau 65% (Grade 1C) Penderita dengan laktat ↑ target resusitasi adalah nilai laktat yang normal (Grade 2C) Skrining untuk sepsis dan peningkatan performa Skrining rutin pada penderita sakit berat yang berpotensi menjadi sepsis berat sehingga dapat dilakukan terapi sedini-dininya (Grade 1C) Meningkatkan usaha rumah sakit untuk menangani penderita sepsis berat Diagnosis Kultur dilakukan sebelum terapi antibiotik. Paling sedikit pengambilan 2 set kultur (aerob dan anaerob) dengan satu diambil perkutan dan 1 diambil dari masing-masing alat akses vaskular (kecuali bila <48 jam) (Grade 1C) Penggunaan 1,3 beta D-glucan assay, mannan dan anti-mannan antibody assay, jika tersedia dan candidiasis invasif adalah diferensial diagnosis penyebab infeksi Pemeriksaan radiologis cepat dilakukan untuk menentukan sumber infeksi potensial. Terapi antibiotik Tujuan terapi yaitu pemberian antibiotik i.v. yang efektif dalam 1 jam sesudah syok sepsis dan sepsis berat tanpa syok septik terdiagnosis (Grade 1C) Pemberian antibiotik awal secara empiris dengan obat-obatan yang memiliki aktivitas terhadap patogen yang mungkin menyebabkan sepsis dan dapat berpenetrasi pada konsentrasi yang cukup ke dalam jaringan yang menjadi sumber infeksi) (Grade 1B) Regimen antibiotik harus dinilai setiap hr untuk melihat kemungkinan deskalasi (Grade 1B) Penggunaan nilai procalcitonin atau biomarker lainnya untuk membantu klinisi menghentikan antibiotik empiris pada penderita yang awalnya tampak sepsis, akan tetapi tidak didapatkan bukti infeksi (Grade 2C) Pemberian kombinasi terapi antibiotik empiris pada penderita sepsis berat (Grade 2B) dengan neutropenia dan multidrug resisten seperti Acinetobacter dan Pseudomonas spp. pada penderita dengan infeksi berat yang mengalami gagal napas dan syok septik, terapi kombinasi extended spectrum beta-lactam dengan aminoglikosida atau fluorokuinolon untuk P. aeruginosa bakteremia. kombinasi beta-laktam dan makrolid untuk penderita dengan syok septik akibat infeksi Streptococcus pneumoniae (Grade 2B) Terapi empiris kombinasi jangan diberikan >3−5 hr. Deskalasi menjadi terapi tunggal harus dilakukan segera sesudah kuman penyebab diketahui (Grade 2B) Durasi terapi 7−10 hr; pemberian lebih lama dapat dilakukan pada penderita yang respons klinis lambat, fokus infeksi yang sulit, bakteremia oleh S. aureus; infeksi fungal dan virus, atau defisiensi imun termasuk neutropenia (Grade 2C) Terapi antiviral diberikan seawal-awalnya pada penderita sepsis berat atau syok septik karena virus (Grade 2C) Antibiotik tidak digunakan pada penderita dengan keadaan inflamasi berat yang terbukti tidak disebabkan oleh infeksi
461
Kontrol sumber infeksi Diagnosis anatomi spesifik dari infeksi memerlukan penanganan segera dalam 12 jam sesudah ditentukan diagnosis (Grade 1C) Sumber infeksi potensial yang diindentifikasi berasal dari nekrosis peripankreatik, intervensi ditunda sampai pemisahan antara jaringan yang viable dan nonviable terjadi (Grade 2B) Penderita sepsis berat yang memerlukan intervensi pembedahan, dipilih tindakan yang lebih noninvasif (contoh drainage percutaneous dibandingkan dengan drainage surgical pada abses) Sumber infeksi yang berasal dari akses intravaskular, dilakukan penghentian segera sesudah didapatkan akses vaskular baru Pencegahan infeksi Dekontaminasi oral dan saluran cerna harus dilakukan sebagai cara menurunkan insidensi ventilator-associated pneumonia (Grade 2B) Chlorhexidine gluconate oral dapat digunakan sebagai dekontaminasi orofaring untuk menurunkan risiko ventilator-assocated pneumonia pada penderita ICU dengan sepsis berat (Grade 2B). Sumber: Dellinger dkk. 2013
Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septik Shock juga merekomendasikan target tatalaksana yang sudah harus dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu yang dapat dilihat pada Tabel 112 di bawah ini Tabel 112 Surviving Sepsis Campaign Bundles Tercapai dalam 3 jam Pengukuran kadar laktat serum Pengambilan kultur darah sebelum pemberian antibiotik Pemberian antibiotik broad spectrum Pemberian cairan kristaloid 30 mL/kgBB untuk hipotensi atau kadar laktat ≥4 mmol/L Tercapai dalam 6 jam Pemberian vasopressors (untuk hipotensi yang tidak berespons terhadap resusitasi cairan) untuk mempertahankan mean arterial pressure (MAP) ≥65 mmHg Pada keadaan hipotensi arterial persisten walaupun sudah dilakukan resusitasi volume (syok septik) atau laktat initial ≥4 mmol/L (36 mg/dL): Ukur central venous pressure (CVP)* Ukur central venous oxygen saturation (Scvo2)* Nilai ulang kadar laktat apabila kadar laktat initial ↑* * Target resusitasi meliputi CVP ≥8 mmHg, Scvo 2 of ≥70%, dan nilai laktat yang normal Sumber: Dellinger dkk. 2013
462
Antibiotik pada Sepsis Tabel 113 Pilihan Antimikrob untuk Terapi Empirik pada Bayi dan Anak Tersangka Sepsis Kelompok Usia atau Keadaan Klinis Neonatus dengan infeksi vertikal Neonatus dengan infeksi nosokomial Anak Anak dengan infeksi nosokomial
Grup A Streptokokus invasif Herpes simpleks atau varicellazoster virus di daerah endemis
Terapi Empiris Ampisilin + aminoglikosida atau sefotaksim Vankomisin + aminoglikosida atau seftazidim Sefotaksim atau seftriakson ± vankomisin Vankomisin + antibiotik yang aktif terhadap bakteri gram-negatif resisten dalam suatu institusi, seperti aminoglikosida, antipseudomonas penicillin atau karbapenem: pertimbangkan untuk menambah amfoterisin B Penisilin (atau penisilin semisintetik) + klindamisin Asiklovir Pertimbangkan untuk menambahkan doksisiklin dalam regimen sebelumnya
Sumber: Guzman-Cottrill dkk. 2008
Prognosis
Perjalanan sepsis bergantung pada faktor dalam tubuh dan infeksi yang mendasari. Sejak tahun 2001 dibuat penggolongan sepsis berdasarkan faktor-faktor tersebut dan disusun berupa skor yang disebut predisposition, insult, response, organ dysfuntion (PIRO). Walaupun dibuat berdasarkan kondisi penderita dewasa, tetapi secara umum dapat memberikan gambaran hasil akhir sepsis berdasarkan faktor-faktor dalam tubuh yang mendasari. Skor PIRO dapat digunakan untuk memperkirakan derajat berat suatu sepsis sampai risiko kematian, sementara pada anak terdapat pediatric risk of mortality (PRISM) scoring system. Faktor predisposisi sepsis terdiri atas usia, penyakit paru kronik, penyakit hati, perawatan di rumah, dan keganasan dengan atau tanpa metastasis. Monitoring respons imunologik yang tepat pada penderita sepsis dapat menjadi petunjuk terhadap pendekatan yang lebih ditargetkan pada imunomodulasi
Bibliografi 1.
Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, dkk. Surviving sepsis campaign: international guidelines for management of severe sepsis and septik shock: 2012. Crit Care Med. 2013;41(2):580–637.
463
2.
3.
4.
5.
Goldstein GB, Giroir B, Randolph A. International consensus on pediatric sepsis. Internasional Pediatric Sepsis Consensus Conference: Definition for Sepsis and Organ Dysfunction. Pediatr Crit Care Med. 2005;6(1):2–8. Guzman-Cottrill J, Nadel S, Goldstein B. The systemic inflammatory response syndrome (SIRS), sepsis, and septic shock. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles and practice of pediatric infectious diseases. Edisi ke-3. New York: Churchill Livingstone; 2008. hlm. 99–109. Howell MD, Talmor D, Schuetz P, Hunziker S, Jones AE, Shapiro NI. Proof of principle: the predisposition, infection, response, organ failure sepsis staging system. Crit Care Med. 2011;39(2): 322–7. Vincent J-L, Martinez EO, Silva E. Evolving concepts in sepsis definitions. Crit Care Clin. 2009;25:665–75.
464
SEPSIS BAKTERIAL Etiologi
Bergantung pada usia, status imunitas anak, jenis prosedur/ instrumentasi medik, dan tempat kejadian infeksi (nosokomial atau bukan) Neonatus Escherichia coli Staphylococcus aureus Streptococcus group B Listeria monocitogenes Anak lebih besar Streptococcus pneumoniae Haemophilus influenzae B Neisseria meningitidis Salmonella spp. Staphylococcus aureus
Manifestasi Klinis
Bergantung pada usia, penyakit yang mendasari, lamanya sakit, serta organisme penyebab Anak usia 3 bl–3 th: demam, infeksi saluran respiratori akut bagian atas atau bawah, atau tidak ditemukan fokus infeksi Dapat diawali dengan demam, menggigil, mual, muntah, diare, dan petekia
Diagnosis
Anamnesis Riwayat diare (Salmonella spp.) atau infeksi kulit (S. aureus atau grup A streptokokus) sebelumnya Riwayat pemasangan kateter (kokus gram-negatif dan batang gram-negatif) Riwayat pemakaian tampon pada perempuan yang baru saja melewati periode menstruasi (toxic shock syndrome) Riwayat osteomielitis dengan atau tanpa trombosis vena (sepsis yang disebabkan oleh stafilokokus) Infeksi intraabdomen (sepsis yang disebabkan oleh bakteri anaerob) Pemeriksaan Fisis (Bergantung pada Derajat Sepsis dan Penyakit yang Mendasari) Suhu >39–40 °C Perubahan status mental Hiperventilasi Ektremitas lembap, sianosis (ujung-ujung ektremitas, hidung, dan daun telinga), nadi lemah, takikardia, takipnea, hipotensi, dan oligouria Kulit teraba hangat dan nampak kemerahan Tanda iritasi meningeal atau tekanan intrakranial ↑ Ronki 465
Distensi dan nyeri lepas abdomen Nyeri lepas sudut kostovertebral Petekia (N. meningitidis) Purpura (N. meningitidis, S. pneumoniae, dan Hib) Eritema gangrenosum (P. aeruginosa) Lesi berbentuk bula, selulitis, fasitis, tromboflebitis, dan gangren perifer yang simetris dengan koagulasi intravaskular diseminata (sepsis yang disebabkan oleh bakteri gram-negatif) Pemeriksaan Penunjang Leukositosis ( >15.000 sel/mm3) Trombositopenia Pemanjangan PT dan aPTT Peningkatan LED >30 mm/jam, CRP, dan prokalsitonin Hiponatremia, hipokalsemia BUN dan kreatinin serum ↑ Analisis gas darah: asidosis metabolik Asam laktat ↑ Hipoglikemia/hiperglikemia Transaminase ↑ Urin rutin: osmolaritas, sel darah merah atau sel darah putih dalam urin ↑ Kultur darah
Manajemen Tabel 114 Regimen Antibiotik Empiris untuk Syok Septik pada Anak Penyebab Anak normal Terdapat kelainan kulit (kemungkinan suatu meningokoksemia atau trauma kulit sebelumnya atau varisela) Traktus genitourinarius Intraabdominal Anak imunokompromais Keganasan atau imunodefisiensi atau neutropenia atau pemakaian kateter vena sentral Asplenia atau disfungsi splenik
Antibiotik Sefotaksim atau seftriakson + vankomisin ± nafsilin Sefotaksim atau seftriakson + aminoglikosid Klindamisin + gentamisin + ampisilin atau piperasilin/piperasilin tazobaktam Vankomisin + aminoglikosida + tikarsilin-klavulanat piperasilintazobaktam atau seftazidim Vankomisin + sefotaksim atau seftriakson
466
Bibliografi 1. 2.
Goldstein B, Giroir B, Randolph A. International pediatric sepsis consensus conference: definitions for sepsis and organ dysfunction in pediatrics. Pediatr Crit Care Med. 2005;6(1):2–8. Kaplan SL, Vellejo JG. Bacteriemia and septic shock. Dalam: Feigin RD, Cherry J, Demmler-Harrison G, Kaplan S, penyunting. Textbook of pediatric infectious diseases. Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. hlm. 837–47.
467
TERAPI ANTIMIKROB Pemberian antimikrob memerlukan pengetahuan mengenai: 1) mekanisme kerja, 2) farmakokinetik dan farmakodinamik, 3) dosis, serta 4) efek samping obat. Langkah-langkah yang dilalui untuk menetapkan pemberian antimikrob—sebagai contoh sebagaimana tertera pada Tabel 115— yaitu: 1. Tegakkan diagnosis 2. Perhatikan usia dan kondisi saat ini 3. Pertimbangkan organisme yang umum ditemukan 4. Ketahui suseptibilitas organisme terhadap antibiotik 5. Lakukan kultur 6. Berikan terapi empiris berdasarkan pertimbangan di atas dan pengalaman sebelumnya (contoh: pendapat ahli, literatur) 7. Modifikasi terapi berdasarkan hasil kultur dan respons penderita 8. Pantau respons klinisnya 9. Terapi dihentikan Tabel 115 Langkah-langkah Pemberian Antibiotik Langkah
Tindakan
Contoh
1
Tegakkan diagnosis
Artritis septik
2
Usia 2 th, sebelumnya sehat
8
Perhatikan usia dan kondisi saat ini Pertimbangkan organisme yang umum ditemukan Ketahui suseptibilitas organisme terhadap antibiotik Lakukan kultur Berikan terapi empirik berdasarkan pertimbangan di atas dan pengalaman sebelumnya (contoh: pendapat ahli, literatur) Modifikasi terapi berdasarkan hasil kultur dan respons penderita Pantau respons klinisnya
9
Terapi dihentikan
3 4 5 6
7
468
Staphylococcus aureus, Kingella kingae Resisten terhadap penisilin atau ampisilin, frekuensi MRSA di komunitas Darah, cairan sendi Nafsilin dan sefotaksim; ganti nafsilin dengan vankomisin bila penyakit memberat atau MRSA
Hasil isolasi: S. aureus. Hentikan sefotaksim. Ganti nafsilin dengan vankomisin Lakukan pemeriksaan fisis berkala Perbaikan klinis atau sembuh, min. 3–4 mgg
Langkah ke-1: diagnosis klinis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang awal Langkah ke-2–4: mikroorganisme patogen diperkirakan melalui tempat/organ tubuh yang terkena, usia penderita, status kekebalannya, faktor risiko/kondisi yang mendasari, serta sumber terjadinya penyakit (komunitas, rumah sakit, atau health-care associated) Langkah ke-5: kultur dilakukan terutama bila terjadi infeksi berat, infeksi tidak umum terjadi, dan bila respons klinis tidak seperti yang diharapkan Tabel 116 Suseptibilitas Mikroorganisme Umum terhadap Berbagai Antimikrob Organisme
Penggunaan Antibiotik Potensiala
Bakteri Bakteri anaerobb
Sefoksitinc, sefotetanc, klindamisin, ertapenem, imipenem, meropenem, metronidazol, penisilin dengan atau tanpa β-laktamase inhibitor, tigesiklin B. anthracis Amoksisilin, siprofloksasin, klindamisin, doksisiklin, rifampin Bartonella henselae Azitromisin, siprofloksasin, klaritromisin, doksisiklin, eritromisin B. pertussis Amoksisilin, azitromisin, klaritromisin, eritromisin, trimetoprim sulfametoksazol Borrelia burgdorferi Amoksisilin, sefuroksim, sefalosporin (III)h, klaritromisin, doksisiklin Campylobakter spp. Azitromisin, karbapenems, eritromisin, fluorokuinolonc,f, tetrasiklin Clostridium spp. Klindamisin, metronidazol, penisilin, tetrasiklin C. difficile Basitrasin (PO), metronidazol, vankomisin (PO) C. diphtheriae Klindamisin, eritromisin, penisilin d Enterobacteriaceae Aminiglikosid,e ampisilin, aztreonam, sefepim, sefalosporin, ertopenem, imipenem, meropenem, fluorokuinolonc,f, trimetoprim sulfametoksazol, tigesiklin Enterokokus Ampisilin (dengan aminoglikosid), karbapenem (tidak E. faecium), vankomisin, linezolid, quinupristin/dalfopristinc (hanya E. faecium), tigesiklin H. influenzae Amoksisilin/klavulanat, ampisilin (jika β laktamase negatif), sefalosporin (II dan III)h, kloramfenikol, fluorokuinolonc,f, rifampin, trimetoprim sulfametoksazol
469
L. monocytogenes
Ampisilin dengan aminoglikosid, trimetoprim sulfametoksazol, vankomisin Moraxella Amoksisilin/klavulanat,ampisilin (jika β catarrhalis laktamase negatif), sefalosporin (II dan III), eritromisin, fluorokuinolon, trimetoprim sulfametoksazol Neisseria Ampisilin (jika β laktamase negatif), sefalosporin gonorrhoeae (II dan III), penisilin, flurokuinolon terpilih, spektinomisin Neisseria Ampisilin, sefalosporin (II dan III), meningitidis fluorokuinolonc,f, penisilin, rifampin Nocardia asteroides Tetrasiklin, trimetoprim sulfametoksazol (+amikasin untuk infeksi berat); meropenem atau sefalosporin (II)h untuk abses otak Pasteurella Amoksisilin/klavulanat, ampisilin, penisilin, multocida tetrasiklin Pseudomonas Aminoglikoside, antipseudomonas penisilin, aeruginosa aztreonam, sefepim, seftazidim, imipenem, meropenem, siprofloksasin Salmonella spp. Ampisilin, azitromisin, sefalosporin (III)h, fluorokuinolon, trimetoprim sulfametoksazol Shigella spp. Ampisilin, azitromisin, sefalosporin (III)h, fluorokuinolon, tetrasiklin, trimetoprim sulfametoksazol Staphylococcus Antistafilokokus penisilin, sefepim, sefalosporin aureus (I dan II) siprofloksasin, klindamisin, eritromisin, rifampin, trimetoprim sulfametoksazol, vankomisin S. aureus (resisten Trimetoprim sulfametoksazol, vankomisin, metisilin) linezolid, quinupristin/dalfopristin, klindamisin, daptomisin, tigesiklin CONS Sefalosporin (I dan II), klindamisin, rifampin, vankomisin Streptococci (pada Ampisilin, sefalosporin, klindamisin, diperkuat umumnya) fluorokuinolon, eritromisin, meropenem, penisilin, vankomisin Streptococcus Ampisilin, sefalosporin, diperkuat pneumoniae fluorokuinolon, eritromisin, meropenem, penisilin, vankomisin Organisme intermediat Chlamydia spp. Klaritromisin, eritromisin, levofloksasin, ofloksasin, tetrasiklin Mycoplasma spp. Azitromisin, klaritromisin, eritromisin, flurokuinolon, tetrasiklin Rickettsia spp. Flurokuinolon, tetrasiklin
470
Jamur Candida spp. Fungi, sistemikb Dermatofita
Pneumocystis jiroveci Virus Herpes simpleks Human immunodeficiency virus
Influenza RSV Varicella-zoster virus Cytomegalovirus
Amfoterisin B, kaspofungin, flukonazol, flusitosin, itrakonazol, ketokonazol, vorikonazol Amfoterisin B, kaspofungin, flukonazol, itrakonazol, ketokonazol, vorikonazol Butenafin, siklopiroksolamin, klotrimazol, ekonozol, flukonazol, griseofulvin, itrakonazol, ketokonazol, mikonazol, naftifin, oksikonazol, terbinafin Atovakuon, klindamisin + primakuin, dapson, pentamidin, trimetoprim sulfametoksazol Asiklovir, pensiklovir, famsiklovir, foskarnetc, trifluridini, valasiklovirc 4 kelas: (1) nucleoside reverse transcriptaseinhibitor (9 obat); (2) nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor (3 obat); (3) protease inhibitors (9 obat); (4) fusion inhibitors (1 obat) secara umum digunakan >3 obat Amantadino, oseltamivir, rimantidin, zanamivir ribavirinm Asiklovir, famsiklovir, valasiklovirc Sidofovir, fomivireson, foskarnet, gansiklovir, valgansiklovir
a
Sesuai urutan alfabet. Terapi diberikan sesuai: usia penderita, diagnosis, tempat infeksi, derajat beratnya penyakit, suseptibilitas organisme penyebab, dan risiko obat b Bergantung pada spesies c Belum direkomendasikan untuk anak (FDA) d Termasuk: E. coli, Klebsiella spp., Enterobacter spp., dll.; suseptibilitas terhadap antimikrob selalu diperhitungkan e Amikasin, gentamisin, kanamisin, tobramisin f Termasuk siprofloksasin, levofloksasin, lomefloksasin, norfloksasin, ofloksasin, moksifloksasin, gatifloksasin, gemifloksasin g Juga terdapat pada amoksisilin h Termasuk sefalosporin generasi ke-2 dan ke-3 i Karbenisilin, mezlosilin, piperasilin, tikarsilin j Kloksasilin, dikloksasilin, metisilin, nafsilin, oksasilin k Apabila CONS juga masih sensitif terhadap metisilin atau oksasilin l Karena peningkatan strain resisten S. pneumoniae terhadap penisilin dan sefalosporin, terapi untuk infeksi berat (seperti meningitis) harus menggunakan vankomisin sampai keluar hasil kultur m Sudah direkomendasikan terapi aerosol untuk RSV (respiratory syncytial virus) n Termasuk levofloksasin, lomefloksasin, moksifloksasin, gatifloksasin, gemifloksasin o Hanya untuk influenza A
471
Langkah ke-6: pemberian terapi empiris ditujukan langsung terhadap etiologi penyakit dengan mempertimbangkan suseptibilitas mikroorganisme terhadap antimikrob dan beratnya penyakit. Berikan dahulu antimikrob yang memiliki spektrum luas. Gunakan prinsip “4-J“: 1) jalan/rute pemberian (oral, parenteral); 2) jenisnya; 3) jumlah/dosis; 4) jadwalnya
472
Tabel 117 Kelompok Antimikrob Secara Umum Kelompok
Contoh
Kelompok Penisilin Penisilin Penisilin G, V
473
Organisme yang Suseptibel
Organisme Umumnya Resisten
Efek Samping
Streptokokus, neisseria
Stafilokokus, hemofilus, enterobacteriaceae
Sama seperti penisilin + hemofilus (β-laktamase negatif), Eschericia coli, enterokokus Streptokokus, Staphylococcus aureus
Stafilokokus, enterobacteriaceae
Kemerahan (rash), anafilaksis, demam karena obat, supresi sumsum tulang Diare
Gram-negatif, stafilokokus (koagulasi negatif), enterobacteriaceae
Ginjal (nefritis intersisial) Mengurangi adesif platelet, hipokalemia, hipernatremia Diare
Ampisilin
Ampisilin, amoksisilin
Penisilin antistafilokokus
Kloksasilin, dikloksasilin, metisilin, nafsilin, oksasilin
Penisilin antipseudomonas
Azlosilin, piperasilin, tikarsilin
Sama seperti ampisilin + pseudomonas
Seperti ampisilin
Penisilin dan β-laktamase kombinasi inhibitor Karbapenem
Amoksisilin-klavulanat, ampisilin-sulbaktam, tikarsilin-klavulanat
Spektrum luas
Beberapa enterobacteriaceae, pseudomonas
Imipenem-silastatin meropenem, ertapenem
Spektrum luas, batang gram- MRSAb, beberapa negatif, anaerob, enterokoki pseudomonas
Susunan saraf pusat, kejang
Kelompok sefalosporin Generasi I Sefazolin, sepfaleksin, sefalotin, sefapirin, sefradin Generasi II Sefaklor, sefamandol, sefprozil, sefonisid, sefuroksim, lorakarbef
Gram-positif Gram-positif, beberapa hemofilus, beberapa enterobacteriaceae
Sefoksitin, sefotetan Generasi III
474
Beberapa sebagai generasi kedua + anaerob Sefotaksim, seftizoksim, Streptokokus, hemofilus, seftriakson, enterobacteriaceae, sefpodoksim, neisseria seftibuten, sefdinir Seftazidim, sefepim = generasi ke-3 + (ada yang pseudomonas mengelompokkan dalam generasi IV)
Gram-negatif, enterokokus, Ruam, anafilaksis, beberapa stafilokokus demam obat (koagulase negatif) Enterokokus, pseudomonas, Serum sicknes (sefaklor) beberapa stafilokokus (koagulase negatif)
Obat lainnya Klindamisin
Klindamisin
Gram-positif, anaerob
Vankomisin
Vankomisin
Gram-positif
Pseudomonas, stafilokokus
Biliary sludging (seftriakson) ruam
Stafilokokus
Gram-negatif, enterokokus, MRSA Gram-negatif
Mual, muntah, hepatotoksisitas Sindrom red man, syok, ototoksisitas, nefrotoksik
Makrolid dan azilid
Eritromisin, klaritromisin, azitromisin
Gram-positif bordetela, hemofilus, mikoplasma, klamidia, legionela
Gram-negatif
Mual dan muntah
Monobaktam
Aztreonam
Gram-negatif aerob, pseudomonas
Gram-positif kokus
Ruam, diare
Oksazolidinon
Linezolid
Gram-positif aerob
Gram-negatif-aerob
Diare, trombositopenia
Streptogamin
Quinupristin/ Dalfopristin Siprofloksasin, ofloksasin
Gram-positif-aerob
Gram-negatif aerob
Artralgia, mialgia
Gram-negatif, klamidia, pseudomonas (siprofloksasin) Gram-negatif, streptokokus, S. pneumoniae, stafilokokus, anaerob Anaerob, mikoplasma, klamidia, riketsia, ehrlisia
Enterokokus, streptokokus, S.pneumoniae, anaerob, stafilokokus Beberapa enterobacteriaceae
Gastrointestinal (GI), rash, SSP
Beberapa enterobacteriaceae, stafilokokus
Gram-negatif (urin)
Gram-positif
Pewarnaan gigie, ruam, pertumbuhan berlebih flora, hepatotoksisitas, psedotumor serebri Ruam, ginjal, supresi sumsum tulang, sindrom StevenJohnson
Fluorokuinolonc
475 Tetrasiklin
Sulfonamid
Gatifloksasin, levofloksasin, moksifloksasin Klortetrasiklin, tetrasiklin, doksisiklin, minosiklin Banyak
GI, ruam, SSP, hepatitis berat
Trimetoprim sulfametoksazol
S. aureus, gram-negatif, S. pneumoniae, H. influenzae
Rifampin
Rifampin
Neisseria, hemofilus, stafilokokus, streptokokus
Aminoglikosid
Amikasin, gentamisin, kanamisin, streptomisin, tobramisin
Gram-negatif, termasuk P. aeruginosa
476
Trimetoprim sulfametoksazol
a
Streptokokus, pseudomonas, anaerob
Ruam, ginjal, supresi sumsum tulang, sindrom StevensJohnson Resisten berkembang Ruam, GI, dengan cepat jika digunakan hepatotoksisitas, SSP, sebagai agen tunggal supresi sumsum tulang, memengaruhi metabolisme obat lain Gram-positif, anaerob, Nefrotoksisitas, beberapa pseudomas ototoksisitas, potensial menghambat agen neuromuskular
Tidak semua strain rentan, selalu menjalankan tes kerentanan antimikrob pada isolasi signifikan = methicillin-resistant S. aureus Tidak dianjurkan untuk anak d Hanya trovofloksasin e Dosis bergantung pada anak usia <9 th b MRSA c
Tabel 118 Rekomendasi Pemberian Antimikrob Parenteral Secara Umum untuk Usia ≥1 Bulana Rute Amikasin Ampisilin Aztreonam Sefazolin Sefepim Sefotaksim Sefoksitin Seftazidim Seftizoksim Seftriakson Sefuroksim sefalotin Sefradin Klindamisin Gentamisin Linezolid Meropenem Metronidazol Nafsilin Penisilin G
i.m., i.v. i.m., i.v. i.m., i.v. i.m., i.v. i.m., i.v. i.m., i.v. i.m., i.v. i.m., i.v. i.m., i.v. i.m., i.v. i.m., i.v. i.m., i.v. i.m., i.v. i.m., i.v. i.m., i.v. i.v., p.o. i.v. i.v. i.m., i.v. i.m., i.v.
Penisilin G (benzatin) Penisilin G (prokain)
i.m.
Tetrasiklinf Tikarsilin Tobramisin Vankomisin
i.v. i.v. i.m., i.v. i.v.
i.m.
Dosisb (mg/kgBB/hr)
Dosis Harian Maksimum
Interval Eks(Jam) kresi
15–22,5 100–400 90–120 50–100 100–150 100–200 80–160 100–150 150–200 50–100 100–150 75–125 50–100 25–40 3–7,5 20 60–120 30 150 100.000– 250.000 IU/kgBB 50.000 IU/kgBB 25.000– 50.000 IU/kgBB 20–30 200–300 3–6 40–60
1,5 g 12 g 6g 6g 4–6 g 12 g 12 g 6g 12 g 4g 6g 12 g 8g 4g 300 mg 1,2 g 2g 4g 12 g 20.000.000IU
8 4–6 6–8 8 8–12 6–8 4–6 8 6–8 12–24 6–8 4–6 6 6–8 8 12 8 6 6 4–6
2.400.000 IU
Dosis Tidak tunggal ada 12–24 R
a Belum b
4.800.000 IU 2g 24 g 300 mg 2g
12 4–6 8 6
R R R R R R R R R R R R R R, H R R R H H H, R
R R R R
termasuk antibiotik yang baru dikeluarkan Dosis mungkin berbeda untuk rute alternatif, penderita dengan gagal ginjal dan hati, serta tidak direkomendasikan untuk neonatus. Dosis maks. hanya untuk infeksi berat atau pemberian parenteral c R: renal; H: hati e Keamanan dan efikasi belum diketahui untuk usia <2 bl f Hati-hati untuk usia <9 th karena mewarnai gigi bila dipakai berulang
477
Tabel 119 Rekomendasi Pemberian Antimikrob Oral Secara Umum untuk Usia ≥1 Bulan Agena
Dosisb (mg/kgBB/hr)
Amoksisilin
40
Interval (Jam) 8–12
Amoksisilinc 80–90 (dosis tinggi) Amoksisilin 45 klavulanat Ampisilin 50
12
Azitromisin
24
Sefaklor
10 (dosis pertama) kemudian 5; 12 untuk faringitis 40
Sefadroksil Sefpodoksim Sefprozil
30 10 30
12 12 12
Seftibuten
9
24
Sefuroksim
30–40
12
Sefaleksin Sefradin Klaritromisin
25–50 25–50 15
6 6 12
Klindamisin
20-30
6
Kloksasilin
50-100
6
Dikloksasilin
12–25
6
Doksisiklind Eritromisin
2–4 20–50
12–24 6–12
12 6
8
Eritromisin40 (eritromisin) sulfisoksazol Furazolidon 5–8 Linezolid 20
6–8
Lorakarbef
12
6 12
15; 30 untuk otitis
478
Pertimbangan Lain Efek samping gastrointestinal Efek samping gastrointestinal Efek samping gastrointestinal Efek samping gastrointestinal Efek samping gastrointestinal Serum sickness-like illness Rasa (suspensi) Efek samping gastrointestinal Efek samping gastrointestinal Efek samping gastrointestinal
Efek samping gastrointestinal Efek samping gastrointestinal Efek samping gastrointestinal Efek samping gastrointestinal Pewarnaan gigi <9 th Efek samping gastrointestinal
Efek samping gastrointestinal
Metronidazol Nitrofurantoin Oksasilin Penisilin V
15–35 5–7 50–100 25–50
Rifampin Sulfisoksazol Tetrasiklind Trimetoprimsulfametoksazol
10–20 120–150 25–50c 8–12 (TMP)
8 6 6 6 12–24 6 6 12
Gangguan rasa (suspensi)
Pewarnaan gigi <9 th Sindrom StevensJohnson
a
Belum termasuk antibiotik yang baru dikeluarkan Dosis mungkin berbeda untuk rute alternatif, penderita dengan gagal ginjal dan hati, serta tidak direkomendasikan untuk neonatus. Dosis maks. hanya untuk infeksi berat atau pemberian parenteral c Amoksisilin dosis tinggi diberikan untuk otitis media karena S. pneumoniae yang resisten terhadap penisilin d Hati-hati untuk usia <9 th karena mewarnai gigi bila dipakai berulang e Bergantung pada persiapan b
Langkah ke-7: modifikasi terapi sesuai respons klinis, pertimbangan hasil kultur dan tes resistensi, dan lebih baik pemberian antimikrob dengan spektrum aktivitas yang sempit Langkah ke-8: pemantauan respons klinis, apakah keadaan penderita membaik, status quo, atau deteorisasi. Pertimbangkan terjadi efek samping dan modifikasi/penggantian terapi Langkah ke-9: hentikan terapi bila klinis membaik dan sudah memenuhi durasi pemberian antimikrob (berdasarkan tempat infeksi, etiologi, derajat beratnya penyakit, dan tipe antimikrob
Kombinasi Antimikrob
Diberikan apabila terdapat satu atau lebih alasan di bawah ini: 1) Memperluas spektrum terapi untuk penderita dalam keadaan kritis 2) Terapi untuk infeksi polimikrobial, seperti abses intraabdomen. Kebutuhan akan terapi kombinasi dapat ditekan dengan penggunaan kombinasi inhibitor β-laktamase atau imipenem) 3) Untuk menekan timbulnya strain yang resisten 4) Untuk mengurangi toksisitas sehubungan dosis dengan merendahkan satu atau lebih komponen dari regimen obat. Contoh pemberian kombinasi flusitosin-amfoterisin B untuk meningitis kriptokokus pada penderita non-HIV akan mengurangi dosis amfoterisin B yang berpotensi nefrotoksis 5) Untuk meningkatkan inhibisi atau kemampuan untuk mematikan organisme
479
Antimikrob Profilaksis
Pemberiannya terbagi atas: 1) Profilaksis bedah: pada operasi yang contaminated dan cleancontaminated, beberapa operasi yang berisiko infeksi pascaoperasi (seperti bedah jantung), dan clean operative pada pemasangan prostetik, serta operasi terhadap individu yang imunokompromais) 2) Profilaksis nonbedah: pemberian antimikrob untuk mencegah kolonisasi atau infeksi asimtomatik. Diindikasikan untuk individu yang memiliki risiko tinggi terpajan patogen virulen dan cenderung terkena infeksi akibat penyakit dasarnya (seperti pada individu yang imunokompromais). Tabel 120 memperlihatkan pemberian profilaksis nonbedah
480
Tabel 120 Rekomendasi Pemberian Antimikrob untuk Kasus Nonbedah
481
Pencegahan Infeksi
Indikasi
Obat Pilihan
Efikasi
Antraks Kolera Difteria Endokarditis
Tersangka terpajan Kontak erat Kontak erat Prosedur gigi, oral, atau saluran respiratori atas1 pada individu berisiko2 Prosedur genitourinari3 atau GIT pada individu berisiko2
Siprofloksasin, doksisiklin Tetrasiklin Eritromisin, penisilin Amoksisilin, klindamisin
Cukup efektif Cukup efektif Cukup efektif Cukup efektif Cukup efektif
Infeksi rekurens (≥4 episode/th)
Ampisilin, vankomisin dan gentamisin Asiklovir
Imunokompromais, petugas kesehatan saat KLB Ibu dengan HSV primer
Oseltamivir Asiklovir
Baik Cukup efektif
Untuk neonatus dengan riwayat satu atau lebih: 1) KPD, 2) prematur, 3) saat hamil ibu bakteriuria, 4) ibu demam intrapartum, 5) ibu hamil menderita GBS Kontak erat pada individu yang imunisasinya belum lengkap (usia <48 bl) Kecelakaan kerja pada petugas kesehatan Bayi lahir dari ibu HIV Imunokompromais, petugas kesehatan saat KLB Bepergian ke daerah endemik yang suseptibel terhadap klorokuin
Ampisilin, penisilin
Sangat baik
Rifampin
Sangat baik
Zidovudin dan lamivudin Zidovudin dan lamivudin Amantadin Klorokuin
Baik Sangat baik Baik Sangat baik
Herpes simpleks genital Influenza B Herpes simpleks tipe 2 (neonatal) Infeksi GBS H. influenzae b HIV Influenza A Malaria
Sangat baik
482
Bepergian ke daerah endemik yang resisten terhadap klorokuin Infeksi meningokokus Kontak erat Mycobacterium Penderita HIV dengan CD4 <75/μL avium complex Otitis media Infeksi berulang Pertusis Kontak erat Plag Kontak erat Pneumokoksemia Penderita penyakit sickle cell, asplenia Pneumocystis jiroveci Penderita AIDS, leukemia, transplantasi pneumonia Demam reumatik Riwayat demam reumatik, penyakit jantung reumatik Toksoplasmosis HIV dengan IgG toksoplasmosis, dan CD4 <100/μL Tuberkulosis Tes tuberkulin (+) dan satu atau lebih dari: 1) HIV, 2) kontak erat dengan TB baru, 3) kondisi medis yang meningkatkan risiko TB, 5) usia tertentu Infeksi saluran kemih Infeksi berulang 1
Meflokuin
Sangat baik
Rifampin Azitromisin, klaritromisin
Sangat baik Sangat baik
Amoksisilin Eritromisin Tetrasiklin Penisilin TMP-SMX
Baik Sangat baik Cukup efektif Sangat baik Sangat baik
Benzatin penisilin TMP-SMX Isoniazid, rifampin, atau pirazinamid
Sangat baik baik Sangat baik
TMP-SMX
Sangat baik
Profilaksis direkomendasikan untuk prosedur gigi dengan perdarahan gusi atau mukosa, tonsilektomi atau adenoidektomi, prosedur bedah yang melibatkan mukosa saluran respiratori, bronkoskopi rigid 2 Faktor risiko, meliputi katup jantung prostetik, riwayat endokarditis, malformasi kongenital, reumatik dan penyakit disfungsi katup lainnya, dan prolaps katup mitral dengan regurgitasi 3 Profilaksis direkomendasikan untuk prosedur bedah yang melibatkan mukosa usus, skleroterapi varises esofagus, dilatasi esofagus atau uretra, bedah saluran empedu, sistoskopi, katerisasi uretra atau bedah saluran kemih yang mengalami infeksi, bedah prostat, insisi dan drainase jaringan terinfeksi, histerektomi, dan partus per vaginam yang infeksi
Prinsip Penggunaan Vankomisin
Vancomycin intermediate S. aureus (VISA), vancomycin resistant S. aureus (VRSA), dan vancomycin resistant enterococci (VRE) perlu dipikirkan pada saat ini karena vankomisin mulai digunakan secara luas Kapan Vankomisin Digunakan? Sebagai terapi infeksi berat akibat organisme gram-positif yang resisten terhadap β-laktam Infeksi oleh organisme gram-positif pada penderita yang sangat alergi terhadap agen β-laktam Kolitis yang berhubungan dengan pemberian antimikrob, yang tidak berespons terhadap metronidazol; atau kolitis yang sangat berat dan berpotensi menyebabkan kematian Profilaksis untuk endokarditis sesudah berbagai prosedur, pada penderita yang berisiko tinggi mengalami endokarditis Profilaksis pada prosedur bedah mayor, seperti: pemasangan prostetik atau alat dengan kemungkinan besar terinfeksi oleh methicillin-resistant S. aureus atau methicillin-resistant coagulasenegative staphylococci Kapan Vankomisin Jangan Digunakan? Profilaksis rutin pada: Tindakan bedah (selain penderita yang sangat alergi terhadap Antimikrob β-laktam) Bayi berat lahir sangat rendah Penderita continuous ambulatory peritoneal dialysis atau Hemodialisis Pencegahan infeksi atau kolonisasi pada pemasangan kateter sentral atau perifer Pemberian antimikrob pada penderita febrile neutropenic, jika tidak terbukti secara kuat infeksi yang terjadi adalah akibat mikroorganisme gram-positif dan secara substansial kejadian infeksi MRSA ditemukan pada RS yang bersangkutan Sebagai terapi CONS yang didapat dari hasil kultur darah yang dilakukan 1 kali (tunggal), sedangkan hasil kultur darah yang diambil pada waktu yang bersamaan hasilnya negatif Melanjutkan terapi empirik terhadap penderita yang hasil kulturnya mikroorganisme gram-positif tetapi tidak resisten terhadap β-laktam Dekontaminasi selektif dari saluran pencernaan Eradikasi koloni MRSA Terapi utama antimicrobial-associated colitis
Bibliografi 1.
Lampiris HW, Maddix DS. Clinical use of antimicrobial agents. Dalam: Katzung BG, penyunting. Basic & clinical pharmacology. Edisi ke-9. Philadelphia: McGraw-Hill Co; 2004. hlm. 836–51.
483
2. 3.
Mangram AJ. Guideline for prevention of surgical site infection. Hospital infection control practices advisory committee. Infect Control Hosp Epidemiol. 1999;20:250. Ogle JW. Antimicrobial therapy. Dalam: Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterdubg RR, penyunting. Current pediatric diagnosis & treatment. Edisi ke-18. Philadelphia: McGraw-Hill Co; 2007. hlm. 1078–97.
484
INFEKSI VIRUS INFEKSI VIRUS DENGUE Etiologi
Virus dengue tipe 1, 2, 3, dan 4 (gol. Arthropod borne virus group B) yang ditularkan melalui gigitan banyak spesies nyamuk Aedes (antara lain Aedes aegypti dan Aedes albopictus)
Spektrum Klinis
Gambar 46 Spektrum Manifestasi Klinis Infeksi Virus Dengue
Manifestasi Klinis dan Laboratorium
Secara umum penderita dengue ditandai oleh demam yang mendadak tinggi dan terus-menerus. Secara klinis dibagi menjadi tiga fase: 1. Fase febrile ditandai dengan demam yang mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot seluruh badan, nyeri sendi, kemerahan pada wajah (flushing), dan eritema kulit. Gejala nonspesifik seperti anoreksia, nausea, dan muntah sering ditemukan. Pada fase ini secara klinis sulit untuk membedakan kasus dengue berat dengan yang tidak berat. Pada pemeriksaan laboratorium darah, penurunan jumlah leukosit (leukopenia) merupakan kelainan yang ditemukan paling awal. Jumlah trombosit dan nilai hematokrit sering kali masih dalam batas normal. Fase ini biasanya berlangsung selama 2–7 hr
485
2. Fase kritis yang terjadi pada saat suhu tubuh mulai mengalami penurunan sampai mendekati batas normal (defervescence). Biasanya fase ini terjadi pada hari ke-3–7 (paling sering hari ke4–6) sejak dari mulai sakit. Pada saat ini biasanya mulai terjadi permeabilitas kapiler ↑ yang ditandai nilai hematokrit ↑ disertai jumlah trombosit ↓ secara nyata. Fase ini biasanya berlangsung singkat selama 24–48 jam. Pada penderita yang tidak mengalami ↑ permeabilitas kapiler akan menunjukkan perbaikan klinis menuju kesembuhan, sebaliknya bila terjadi ↑ permeabilitas kapiler yang hebat, akan terjadi perembesan plasma (plasma leakage), dan apabila tidak mendapat terapi cairan yang memadai, dapat → syok sampai kematian 3. Fase pemulihan ditandai dengan perbaikan keadaan umum, nafsu makan pulih, hemodinamik stabil, dan diuresis cukup. Keadaan ini akan berlangsung secara berangsur dalam waktu 48–72 jam. Nilai hematokrit akan mengalami ↓ sampai stabil dalam rentang normal disertai ↑ jumlah trombosit secara cepat menuju nilai normal Penderita Risiko Tinggi Faktor pada pejamu yang merupakan risiko untuk terjadi penyakit dengue yang lebih berat atau terjadi penyulit: Bayi (<1 th) Obesitas Penderita ulkus peptikum Wanita sedang menstruasi atau perdarahan vagina yang abnormal Penyakit hemolitik seperti defisiensi glucose-6-phosphatase dehydrogenase (G-6-PD), thalassemia, dan hemoglobinopati lain Penyakit jantung bawaan Penyakit kronik seperti diabetes melitus, hipertensi, asma, gagal ginjal kronik, dan sirosis hati Penderita yang sedang dalam pengobatan steroid atau nonsteroidal anti-inflammatory drug (NSAID)
Diagnosis
Diagnosis Probable Demam akut dengan dua atau lebih dari: Nyeri kepala Nyeri retroorbital Mialgia Artralgia Ruam Manifestasi perdarahan Leukopenia (leukosit ≤5.000/mm 3) Trombositopenia (trombosit <150.000/mm3) Hematokrit ↑ (5 –10%)
486
Dan setidaknya satu dari: Serologi (+) pada sampel darah: titer ≥1.280 dengan tes inhibisi hemaglutinasi, titer IgG sebanding dengan enzyme-linked immunosorbent assay, atau tes IgM antidengue (+) Kejadian pada lokasi dan waktu yang sama untuk demam dengue Diagnosis Confirmed Kasus probable ditambah setidaknya satu dari: Isolasi virus dengue dari darah, LCS, atau sampel autopsi Titer IgG serum ↑ ≥4× lipat (dengan tes inhibisi hemaglutinasi) atau IgM antidengue spesifik ↑ Deteksi virus atau antigen di jaringan, serum, atau LCS melalui imunohistokimia, imunofluoresens, atau enzyme-linked immunosorbent assay Terdeteksinya virus bagian genomik melalui RT-PCR Diagnosis Dengue Haemorrhagic Fever (Demam Berdarah Dengue/DBD) Semua dari berikut ini: Demam akut dengan durasi 2–7 hr Manifestasi perdarahan dengan tanda: tes tourniquet (+), petekia, ekimosis, atau purpura, atau perdarahan mukosa, saluran cerna, tempat penyuntikan, atau tempat lain Trombosit ≤100.000/mm 3 Terdapat tanda kebocoran plasma akibat permeabilitas vaskular ↑ yang ditandai dengan: Peningkatan hematokrit/hemokonsentrasi ≥20% dari baseline atau penurunan pada konvalesens, atau terdapat kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites, hipoproteinemia/hipoalbuminemia Dengue Shock Syndrome (Sindrom Syok Dengue/SSD) Kriteria untuk DBD seperti di atas dengan tanda syok: Takikardia, ekstremitas dingin, CRT memanjang, nadi lemah, letargis, gelisah yang mungkin merupakan ↓ perfusi otak Tekanan nadi ≤20 mmHg, dengan tekanan diastol ↑, misal 100/80 mmHg Hipotensi menurut usia, didefinisikan dengan tekanan sistol <80 mmHg untuk usia <5 th atau 80–90 mmHg untuk anak yang lebih besar dan dewasa
Tatalaksana Kasus berdasarkan UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI Penderita Tersangka Dengue atau Demam Dengue Penderita tersangka dengue atau demam dengue dengan keadaan umum masih baik, tidak ada faktor risiko dan atau tanda-tanda bahaya (warning sign) masih dapat dirawat di rumah (rawat jalan) Disarankan menjalani istirahat yang cukup 487
Cukup asupan cairan (sebaiknya hindari air putih biasa atau plain water), seperti susu, jus buah, cairan elektrolit isotonik, cairan rehidrasi oral (oralit), dan air tajin. Hindari kelebihan cairan, khususnya pada usia bayi dan anak (balita) Pemberian antipiretik golongan parasetamol. Dosis 10 mg/kgBB tiap dosis dengan interval pemberian tidak lebih sering dari tiap 6 jam (dalam 1 hr ≤5× pemberian). Golongan salisilat (aspirin) dan NSAID lain tidak dianjurkan Apabila diperlukan kompres, gunakan air hangat kuku (tepid water), pada daerah dahi, ketiak, dan anggota tubuh Selama penderita masih demam dilakukan pemeriksaan laboratorium berkala setiap hari (jumlah leukosit, trombosit, dan hematokrit) Dianjurkan segera ke rumah sakit apabila ada tanda-tanda bahaya, yaitu: Tidak ada perbaikan atau terjadi perburukan secara klinis (khususnya pada saat perubahan dari demam menuju penurunan suhu tubuh atau masa defervescence) Muntah persisten → asupan cairan tidak adekuat (↓) Nyeri perut hebat Letargis atau gelisah, atau derajat kesadaran ↓ mendadak Terdapat perdarahan berupa epistaksis, feses/kotoran berwarna kehitaman (melena), muntah darah (hematemesis), perdarahan menstruasi yang berlebihan, urin berwarna kehitaman (hemoglobinuria), dan urin berwarna kemerahan (hematuria) Tampak pucat, tangan dan kaki teraba dingin serta lembap Produksi urin ↓ atau tidak ada dalam 4–6 jam terakhir Hasil pemeriksaan laboratorium darah → nilai hematokrit ↑ signifikan (dengan atau tanpa disertai jumlah trombosit ↓) Penderita DBD dan Demam Dengue yang Dirawat (Rawat Inap) Pemberian cairan melalui infus harus segera dimulai pada penderita dengan asupan cairan oral yang kurang (muntah atau malas minum), nilai hematokrit ↑ dan terdapat tanda-tanda bahaya, khususnya tanda syok Jumlah cairan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan rumatan dan kehilangan cairan, tidak boleh kurang maupun kelebihan Penting untuk melakukan pemantauan parameter berikut secara berkala: Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, serta tanda dan gejala lain yang merupakan tanda bahaya Perfusi jaringan perifer (CRT) perlu dipantau secara cermat, karena merupakan indikator awal gangguan sirkulasi yang mudah diamati Tanda-tanda vital seperti suhu tubuh, frekuensi nadi, pernapasan, dan tekanan darah harus diperiksa sekurang-kurangnya setiap 2–4 jam pada penderita yang tidak syok, serta setiap 1–2 jam pada penderita syok
488
Pemeriksaan berkala nilai hematokrit bergantung pada keadaan penderita dan ↑ nilai hematokrit. Pada demam dengue setiap 12–24 jam, DBD setiap 6–12 jam, dan pada SSD atau terdapat perdarahan berat lebih sering lagi (tiap 2–4 jam) Keluaran urin (urine output) harus dicatat min. setiap 8–12 jam pada kasus nonsyok, sedangkan pada keadaan syok atau pada keadaan kelebihan cairan setiap 1 jam Pemberian Cairan pada DBD Derajat I dan II Jenis cairan yang dianjurkan yaitu cairan kristaloid isotonik, hindari cairan hipotonik Cairan koloid (hiperonkotik) seperti dekstran 40 dan hydroxyl-ethyl starch (HES) dapat digunakan pada keadaan terjadi perembesan plasma yang masif, atau bila tidak terdapat respons terhadap pemberian cairan kristaloid dalam jumlah yang cukup Jumlah cairan yang diberikan adalah jumlah kebutuhan rumatan ditambah kekurangan (defisit) sebesar 5% (setara dengan dehidrasi sedang) Lama pemberian cairan infus biasanya tidak boleh lebih dari 60–72 jam Pada penderita dengan obesitas, untuk penghitungan jumlah cairan yang dibutuhkan harus menggunakan BB ideal Jumlah cairan yang dibutuhkan untuk 1 hr harus diberikan dengan penghitungan atau kecepatan dalam tiap 1 jam dan disesuaikan dengan kondisi klinis serta hasil pemeriksaan nilai hematokrit Transfusi suspensi trombosit tidak boleh diberikan atas indikasi trombositopenia semata tanpa ada perdarahan yang berat (tidak dianjurkan memberikan transfusi trombosit profilaksis). Bila tidak ada perdarahan yang nyata, transfusi trombosit dapat dipertim3 bangkan bila jumlah trombosit <10.000/mm Pemberian Cairan pada DBD Derajat III dan IV (SSD) SSD merupakan syok hipovolemik yang disebabkan perembesan plasma akibat ↑ permeabilitas vaskular yang ditandai dengan ↑ resistensi vaskular secara sistemik (ditandai dengan penyempitan tekanan nadi, tekanan darah sistol relatif tetap, sedangkan tekanan darah diastol ↑) Apabila terjadi hipotensi harus dipertimbangkan sudah terjadi perdarahan berat—biasanya berupa perdarahan saluran cerna yang tersembunyi—sebagai penyebab syok selain akibat perembesan plasma Pada DBD derajat III, biasanya masih memberikan respons dengan kristaloid dengan jumlah 10 mL/kgBB/jam atau bolus dalam 30 mnt. Selanjutnya jumlah dikurangi secara bertahap sesuai keadaan klinis dan nilai hematokrit (lihat Gambar 47) Pada DBD derajat IV, jumlah cairan 10 mL/kgBB diberikan dalam 10–15 mnt atau 20 mL/kgBB dalam 30 mnt. Selanjutnya jumlah cairan disesuaikan sama seperti pada DBD derajat III
489
Penatalaksanaan Ensefalopati Dengue Pada umumnya ensefalopati dengue disebabkan atau ditandai oleh ensefalopati hepatik, karena itu penatalaksanaannya sama dengan tatalaksana ensefalopati hepatik, yaitu: Pertahankan jalan napas dan oksigenasi yang adekuat (terapi oksigen) Hindari atau cegah tekanan tinggi intrakranial (TTIK) atau atasi bila sudah terjadi: Posisikan penderita dengan kepala ditinggikan sekitar 30° Retriksi cairan tidak boleh >80% kebutuhan cairan rumatan Ganti ke cairan koloid bila terus terjadi ↑ nilai hematokrit Beri diuretika bila terdapat tanda-tanda kelebihan cairan Segera dilakukan pemasangan pipa endotrakeal untuk menghindari hiperkarbia Pemberian kortikosteroid dapat dipertimbangkan untuk menurunkan TTIK, diberikan deksametason dengan dosis 0,15 mg/kgBB/dosis setiap 6–8 jam secara i.v. Menurunkan produksi amonia Pertahankan kadar gula darah pada 80–100 mg/dL Koreksi gangguan elektrolit dan keseimbangan asam basa Berikan vitamin K1 secara i.v. dengan dosis 3 mg untuk anak usia <1 th; 5 mg usia 1–5 th; dan 10 mg pada usia >5 th Bila terdapat kejang dapat diberikan antikonvulsi Pemberian transfusi darah dianjurkan PRC segar bila terdapat indikasi. Hindari pemberian transfusi komponen darah karena kelebihan cairan dapat → TTIK Indikasi pemberian antibiotik empiris bila ada dugaan superinfeksi oleh bakteri Obat H2-blocker atau proton pump inhibitor dapat diberikan untuk mengatasi perdarahan gastrointestinal Hindari pemberian obat-obatan lain tanpa indikasi karena akan memperberat kerja hati Pertimbangkan tindakan plasmaferesis atau hemodialisis bila diperlukan
490
Gambar 47 Alur Pemberian Cairan pada DBD Derajat III dan IV Sumber: WHO 2011 (dengan modifikasi)
Kriteria untuk Pulang dari Perawatan Bebas demam sekurangnya 24 jam tanpa pemberian antipiretik Pada SSD min. 2–3 hr sesudah syok teratasi Nafsu makan sudah pulih kembali Secara klinis tampak perbaikan Tidak terdapat tanda distres pernapasan akibat efusi pleura atau kelebihan cairan dan tidak terdapat asites Jumlah trombosit naik min. mencapai 50.000/mm3
491
Bila terpaksa pulang dengan jumlah trombosit <50.000/mm 3, maka dianjurkan untuk membatasi kegiatan fisik yang cenderung menimbulkan trauma selama 1–2 mgg. Pada umumnya jumlah trombosit akan kembali normal pada penderita tanpa penyulit dalam waktu 3–5 hr
Bibliografi 1.
2. 3. 4. 5.
6. 7.
Bandyopadhyay S, Lum LCS, Kroeger A. Classifying dengue: a review of the difficulties in using the WHO case classification for dengue haemorrhagic fever. Trop Med and Internat Health. 2006;11(8):1238–55. Deen JL, Harris E, Wills B, l Balmaseda A, Hammond SN, Rocha C, dkk. The WHO dengue classification and case definitions: time fora reassessment. Lancet. 2006;368:170–3. Kalayanarooj S. Dengue classification: current WHO vs. the newly suggested classification for better clinical application? J Med Assoc Thai. 2011;94(S3):S74–84. Sri Rezeki Hadinegoro, Ismoedijanto, Alex Chairulfatah, penyunting. Pedoman diagnosis dan tata laksana infeksi virus dengue pada anak. Jakarta: Sagung Seto; 2014. World Health Organization. Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. New Delhi: WHO Regional Office for South-East Asia; 2011. World Health Organization. Dengue hemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention and control. Edisi ke-2. Geneva: WHO; 1997. World Health Organization. Dengue: guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control. New edition. Geneva: WHO; 2009.
492
HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) Etiologi
Human immunodeficiency virus-1 (yang dibahas dalam tatalaksana) Human immunodeficiency virus-2
Manifestasi Klinis
Transmisi terjadi secara vertikal (dari ibu HIV) maupun secara horizontal melalui transfusi produk darah atau penularan lain yang jarang Gejala khas pada penderita infeksi HIV: Diare kronik, gagal tumbuh, pneumonia berat, pneumonia P. carinii, demam berkepanjangan, TB paru, dan kandidiasis orofaring Gejala yang mungkin ditemukan pada penderita HIV tetapi juga ditemukan pada anak yang tidak terinfeksi HIV: Infeksi berulang, otitis media berulang, kandidosis oral berulang, parotitis kronik, limfadenopati generalisata, hepatomegali tanpa diketahui penyebabnya, demam persisten atau berulang, dermatitis HIV, kelainan neurologis, herpes zoster, dan gizi buruk Diagnosis dimulai dengan mencari data riwayat orangtua, apakah ibu atau ayah memiliki risiko terinfeksi HIV (riwayat narkoba suntik, promiskuitas, pasangan dari penderita HIV, pernah mengalami operasi atau prosedur transfusi produk darah). Selain itu, ditelusuri riwayat morbiditas yang khas maupun yang sering ditemukan pada penderita HIV, selain riwayat kelahiran, ASI, pengobatan ibu, dan kondisi neonatal
Diagnosis
Bayi usia <18 bl: bila memiliki tanda dan gejala HIV dengan ibu terinfeksi HIV/status HIV belum diketahui, maka dilakukan pemeriksaan serologi anti-HIV, bila hasil (+) dilakukan pemeriksaan PCR HIV. Bila bayi tampak sehat tetapi ibu terinfeksi HIV, dilakukan pemeriksaan virologi pada usia 4–6 mgg (PCR-RNA HIV) Bayi usia ≥18 bl dengan ibu terinfeksi HIV: dilakukan pemeriksaan anti-HIV. Pemeriksaan tercepat dapat dilakukan pada usia ≥9 bl. Bila bayi sehat dan hasil anti-HIV (−) maka infeksi HIV dapat disingkirkan Bayi dengan ibu terinfeksi HIV dan diberikan ASI: dilakukan pemeriksaan HIV (serologi/virologi) min. 6 mgg sesudah penyapihan Diagnosis presumtif HIV pada bayi apabila bayi memiliki ≥2: oral thrush, pneumonia berat, sepsis berat, kondisi ibu dengan HIV berat atau ibu meninggal karena HIV, dan hasil serologi anti-HIV pada bayi (+)
493
Tatalaksana Tabel 121 Pemberian ART pada Bayi dan Anak berdasarkan Stadium Klinis dan Marka Imunologi Stadium Klinis
Usia <24 bl >24 bl
a b
Imunologi
Berikan terapi pada seluruh penderita Stadium 4a Berikan terapi pada seluruh penderitab Stadium 3a Berikan terapi pada seluruh penderita Stadium 2 Berikan terapi apabila CD4 di bawah jumlah berdasarkan usia Stadium 1 Jangan diterapi bila hasil CD4 tidak ada
Stabilisasi infeksi oportunistik sebelum memulai pemberian ART CD4 awal diperlukan untuk memantau hasil penggunaan ART; juga dibutuhkan walaupun belum dilakukan inisiasi ART
Tabel 122 Inisiasi Pemberian ART pada Bayi dan Anak Usia %CD4 Nilai CD4 absolut
<24 Bulana,b Seluruhnyac Seluruhnyac
≥24–59 Bulan ≤25 ≤750 sel/mm3
≥5 Tahun NA ≤500 sel/mm3
a
Seluruh bayi yang terinfeksi harus mendapat ART untuk mencegah progresivitas penyakit b Bila CD4 tersedia, gunakan kriteria klinis dan imunologis untuk memulai ART pada usia 12–23 bl c Anak dengan limfopenia absolut, persentase CD4 (CD4+) akan falsely elevated
Keputusan pemberian ART juga harus mempertimbangkan kondisi sosial penderita, termasuk memberikan keterangan secara jelas mengenai prognosis HIV bayi dan anak serta implikasi pemberian terapi (antara lain: terapi dilakukan seumur hidup, konsekuensi apabila terjadi ketidakpatuhan minum obat, cara pemberian obat, serta toksisitas dan penyimpanan obat). Pastikan ada/tidaknya bantuan pihak lain bila orangtua tidak sanggup memberikan obat Lini pertama ART sbb.: 2 NRTI (zidovudin, stavudin, lamivudin) + NNRTI (nevirapin, efavirenz) Dosis ART sbb.: Zidovudin 180–240 mg/m2/dosis diberikan 2×/hr Stavudin 1 mg/kgBB/dosis diberikan 2×/hr Lamivudin 2 mg/kgBB/dosis diberikan 2×/hr Nevirapin 160–200 mg/m2 diberikan 2×/hr Efavirenz 15 mg/kgBB/hr diberikan 1×/hr
494
Tabel 123 Mulai Pemberian ART Bayi Bayi yang belum terpajan ARV memulai ART dengan nevirapin (NVP) + 2 nucloside reverse transcriptase inhibitor (NRTI) Bayi dengan status ARV tidak diketahui memulai ART dengan NVP + 2 NRTI Anak Anak berusia 12–24 bl yang belum pernah terpajan NNRTI, memulai terapi dengan NVP + 2 NRTI Anak berusia >24 bl–<3 th memulai terapi ARV dengan NVP + 2 NRTI Anak usia ≥3 th memulai terapi dengan NVP + 2 NRTI Untuk bayi dan anak, sebagai tulang punggung regimen nukleosida diberikan salah satu dari: Lamivudin (3TC) + zidovudin (AZT) 3TC + stavudin (d4T) Bayi dan Anak dalam Kondisi Khusus Anak usia >3 th dengan TB diberikan regimen EFV + 2 NRTI Bayi dan anak usia <3 th dengan TB diberikan regimen NVP + 2 NRTI Anak dan remaja dengan anemia berat (<7,5 g/dL) atau neutropenia berat (500 sel/mm3) diberikan regimen NVP + 2 NRTI (hindari AZT) Remaja usia >12 th dengan hepatitis B diberikan regimen tenofovir disoproksil fumarat (TDF) + emtrisibin (FTC) atau 3TC + NNRTI Pemberian Profilaksis Kotrimoksazol Kotrimoksazol sebagai profilaksis diberikan sesuai pedoman WHO sebagai berikut: Bayi dan anak yang terpajan HIV Profilaksis kotrimoksazol diberikan pada seluruh bayi dan anak yang terpajan HIV, dimulai 6 mgg sesudah kelahiran sampai terbukti tidak terinfeksi Bayi dan anak yang terinfeksi HIV Bayi dengan HIV usia <1–5 th Profilaksis kotrimoksazol diberikan tanpa melihat persentase CD4 atau status klinis. Pemberiannya dimulai saat terdiagnosis usia 5 th Anak usia ≥5 th Digunakan pedoman WHO dewasa
Pemantauan
Pada penderita yang mendapat ARV, setiap 1–2 mgg untuk pemantauan gejala klinis, penyesuaian dosis, pemantauan efek samping, kepatuhan minum obat, dan kondisi lain. Sesudah 8 mgg dilakukan pemantauan yang sama, tetapi dilakukan 1 bl sekali. Pemeriksaan laboratorium yang diulang yaitu darah tepi, SGOT/SGPT, 495
CD4 setiap 3 bl, dapat lebih cepat bergantung pada indikasi. Bila sesudah 6 bl mendapat terapi ARV dan klinis baik, tingkat imunosupresi membaik, program imunisasi dilanjutkan (catch-up immunization)
Pencegahan
Mencegah transmisi HIV pada bayi dan anak (prevention of mother to child transmission (PMTCT) dengan cara: Memberikan zidovudin sedini-dininya (6–12 jam) dosis 4 mg/kgBB/× diberikan tiap 12 jam selama 6 mgg. Dosis akan berbeda bila bayi lahir dari ibu dengan usia kehamilan <35 mgg Memberikan PASI apabila syarat acceptable, feasible, affordable, sustainable, safe (AFASS) terpenuhi
Bibliografi 1.
2.
3.
4.
5.
Department of Health and Human Services (HHS) Panel on antiretroviral therapy and medical management of HIV-infected children. Guidelines for the use of antiretroviral agents in pediatric HIV infection. 2011. [diunduh 12 Juli 2012]. Tersedia dari: http://www.aidsinfo.nih.gov/contentfiles/lvguidelines/ pediatricguidelines.pdf. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman tatalaksana infeksi HIV dan terapi antiretroviral pada anak di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2008. World Health Organization. Antiretroviral therapy of HIV infection in infants and children: towards universal access: recommendations for a public health approach-2010 revision. Geneva: WHO; 2010. World Health Organization. Cotrimoxazole prophylaxis for HIVexposed and HIV-infected infants and children: practical approaches to implementation and scale up. Geneva: WHO; 2009. World Health Organization. WHO recommendations on the diagnosis of HIV infection in infants and children. Geneva: WHO; 2013.
496
CHIKUNGUNYA Etiologi
Chikungunya virus
Manifestasi Klinis
Definisi Kasus Kasus suspek: kasus dengan onset panas mendadak dengan gejala nyeri sendi yang berat dan kadang menetap dengan mialgia, sakit kepala, dengan atau tanpa ruam Kemungkinan suatu kasus: kasus klinis dengan gejala di atas dan mempunyai hubungan epidemiologi dengan kejadian luar biasa chikungunya virus yang confirmed di tempat dan waktu yang sama Kasus yang terkonfirmasi: gejala klinis di atas dengan satu dari hasil laboratorium di bawah ini: Deteksi titer antibodi anti-chikungunya IgM ELISA ≥40 IU pada sampel serum tunggal atau Peningkatan 4 kali titer antibodi IgG chikungunya antara serum akut dan konvalesens MAC-ELISA atau Deteksi asam nukleat chikungunya dalam serum dengan RT-PCR atau Isolasi chikungunya virus Tabel 124 Manifestasi Klinis dan Diagnosis Chikungunya Gambaran yang Membedakan
Demam Chikungunya
Demam Dengue
Gejala klinis Onset demam 40 °C Lama demam Ruam makulopapular Terdapat syok dan perdarahan berat Artralgia
Akut 1–2 hr Sering Jarang
Bertahap 5–7 hr Jarang Sering
Sering dan menetap selama berbulanbulan
Jarang dan durasinya pendek
Sering Jarang
Jarang Sering
Parameter laboratorium Leukopenia Trombositopenia
Diagnosis
Isolasi virus RT-PCR Diagnosis serologis Pengumpulan sampel untuk serologi Sampel: 10–15 mL darah vial/serum 497
Waktu pengumpulan Sampel pertama: 5 hr sesudah onset penyakit untuk deteksi IgM, antibodi ini muncul pada saat ini Sampel kedua: paling sedikit hari ke-7–14 sesudah sampel pertama atau pada saat meninggal Spesimen darah ini disimpan pada suhu 4 °C dan tidak dalam keadaan beku, kemudian diantar ke laboratorium secepatnya. Diagnosis serologis dapat ditegakkan dengan terdapatnya peningkatan antibodi 4× pada serum akut dan konvalesens atau terdapat antibodi IgM spesifik untuk chikungunya virus. Tes yang sering digunakan yaitu antibodi IgM dengan Mac-ELISA
Manajemen
Penyakit ini sembuh sendiri. Tidak ada terapi spesifik atau vaksin untuk chikungunya. Penderita hanya diberikan terapi simtomatik atau suportif Tirah baring Banyak minum Mengurangi nyeri dan demam dengan obat antiinflamasi. Aspirin tidak boleh diberikan pada anak usia <12 th untuk mencegah kemungkinan sindrom Reye Bila terjadi nyeri sendi persisten maka: Terapi analgesik dan antiinflamasi jangka panjang Latihan ringan dan gerakan untuk kekakuan dan atralgia, tetapi latihan yang berat dapat menimbulkan gejala eksaserbasi Fisioterapi reguler
Bibliografi 1.
Halstead SB. Chikungunya. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2314–20.
498
RUBELA Etiologi
Virus rubela masuk famili Togaviridae, genus Rubivirus
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi: 14–21 hr Demam Konjungtivitis Ruam makulopapula Limfadenopati servikal Tabel 125 Manifestasi Rubela Kongenital Manifestasi Awal (Saat Lahir)
Manifestasi Lanjut
Kelainan pendengaran (60–70%) Tuli sensorineural Kelainan jantung (10–20%) Stenosis pulmonal, patent ductus arteriosus, defek septum ventrikel Kelainan mata (10–25%) Retinopati, katarak, mikroftalmia, glaukoma kongenital Kelainan susunan saraf pusat (10–25%) Retardasi mental, mikrosefal, meningoensefalitis Lain-lain Trombositopenia, hepatosplenomegali, radioluscent bone disease, purpura karakteristik (blueberry muffin appearance)
Diabetes melitus Tiroiditis Defisit hormon pertumbuhan Kelainan perilaku
Diagnosis
Anamnesis Terdapat keluhan demam, ruam, dan pembesaran kelenjar Pemeriksaan Fisis Rubela didapat Masa inkubasi sejak terpapar sampai terjadi eksantema 14–21 hr (rata-rata 18 hr). Gejala prodormal nonspesifik dapat terjadi 1–5 hr sebelum onset eksantema, dapat berupa demam, nyeri pada mata, nyeri tenggorokan, artralgia, dan gangguan saluran cerna Manifestasi klinis yang khas yaitu terdapat ruam dan adenopati suboksipital. Ruam biasanya dimulai pada muka, meluas dengan pola sefalokaudal, dalam 24 jam sudah menyebar ke seluruh tubuh. Bentuk ruam biasanya eritematosus dan makulopapular, tetapi dapat pula scarlatiniform, morbilliform atau makula. Gejala lain saat periode eksantema yaitu demam yang tidak begitu tinggi dan limfadenopati 499
Rubela kongenital Manifestasi klinis berupa infeksi kronik dan progresif. Infeksi pada fetus dapat menyebabkan abortus spontan atau stillbirth. Saat lahir dapat ditemukan gejala transien berupa BB rendah, purpura trombositopenia, hepatosplenomegali, dan lesi pada tulang, sedangkan untuk gejala permanen dapat ditemukan tuli sensorineural, stenosis pulmonal, PDA, VSD, retinopati, katarak, mikroptalmia, retardasi psikomotor, hernia inguinal, dan DM Pemeriksaan Penunjang Titer antibodi IgG ↑ sebanyak 4× antara spesimen serum fase akut dan konvalesens Tes serologik IgM rubela (+) Kultur virus rubela (+) (kultur diambil dari spesimen hidung, tenggorok, darah, urin, dan cairan serebrospinal 1–2 mgg sesudah timbul ruam)
Manajemen
Self-limited, terapi suportif Istirahat, analgetik
Bibliografi 1.
2. 3. 4.
Centers for Disease Control and Prevention. Epidemiology and prevention of vaccine-preventable diseases. Edisi ke-8 [diunduh 12 Maret 2004]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/nip/ publications/pink/dip.pdf. Cherry JD. Rubella virus. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2271–300. Maldonaldo YA. Rubella. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Pediatric infectious disease. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders Co; 2008. hlm. 1096–100. Mason WH. Rubella. Dalam: Kleigman RM, Stanton BF, St. Geme III RW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. hlm. 1075–96.
500
MORBILI Etiologi
Morbilivirus merupakan paramyxoviridae
salah
satu
virus
RNA
dari
famili
Epidemiologi
Terdapat di seluruh dunia merupakan masalah kesehatan di negara berkembang, tetapi pada saat ini terjadi peningkatan kasus di Amerika Serikat dan Eropa. Diduga berhubungan dengan cakupan imunisasi yang menurun Manusia merupakan satu-satunya tuan rumah dan vaksin sudah tersedia, seyogianya penularan penyakit ini dapat dicegah
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi: 10–12 hr Tiga stadium: prodromal–erupsi–konvalesens Stadium Prodromal 3–5 hr biasanya ringan tetapi pada akhir stadium erupsi dapat ↑ mencapai 40 °C. Ditemukan tanda 3 C (coryza, cough, conjunctivitis) Koplik’s spot: patognomonis, ditemukan 1–2 hr sebelum sampai 1–2 hr sesudah timbul ruam (stadium erupsi), berupa lesi punctuta putih di daerah mukosa bukal, tersering di daerah molar 2 bawah) Stadium Erupsi Pada akhir stadium prodromal terjadi ↑ suhu tubuh, pada saat panas mencapai puncaknya timbul ruam berupa ruam makuloeritrematosus, bersifat konfluens, dimulai dari belakang telinga → menyebar ke badan, lengan, dan tungkai. Dalam 3 hr ruam sudah tersebar ke seluruh tubuh Panas badan masih tetap tinggi selama 2–3 hr sesudah ruam timbul, bila tidak mengalami penyulit penderita memasuki masa konvalesens Stadium Konvalesens Panas badan mulai ↓ turun, ruam meninggalkan bekas hiperpigmentasi yang dapat bertahan sampai 7–14 hr
Pemeriksaan Penunjang
Leukopenia dengan limfopenia Di negara maju diagnosis serologis dilakukan pemeriksaan IgM antibodi, terdeteksi sesudah 3 hr timbul ruam. Deteksi antigen dapat dilakukan dengan teknik: PCR: dapat mendeteksi 5 hr sebelum gejala muncul Fluorescent antibody staining (rapid method) dari apus nasofaring
Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisis sesuai dengan stadium penyakit 501
Tanda utama: 3 C, Koplik’s spot, ruam makula eritrematosus dengan penyebaran khas yang timbul pada saat panas sedang mencapai puncaknya (panas tinggi) dan panas tetap ada selama 2–3 hr sesudah timbul ruam
Penyulit
Infeksi bakteri berupa superinfeksi, harus diwaspadai bila panas tinggi menetap sesudah 4 hr dari timbul ruam dan pada pemeriksaan darah rutin ditemukan leukositosis. Penyulit dapat pula sebagai akibat virulensi virusnya sendiri atau karena daya tahan tubuh penderita yang rendah seperti malnutrisi Beberapa penyulit morbili: Otitis media akut (10–15%) Pneumonia interstitialis (50–75% disertai dengan kelainan radiologis) Mokarditis dan perikarditis Ensefalitis: (1/1.000 kasus) biasanya timbul 7–10 hr sesudah timbul ruam, prognosis ⅓ meninggal–⅓ cacat–⅓ sembuh sempurna Subacute sclerosis panencephalitis (SSPE): 0,2–2/100.000 infeksi virus morbili, masa inkubasi rata-rata 7 th (CFR hampir 100% sesudah 6–9 bl) Imunosupresi sementara: aktivitasTB paru Ulkus kornea: terutama pada defisiensi vit. A
Manajemen
Suportif terdiri atas: Pemberian cukup cairan Kalori dan jenis makanan disesuaikan dengan tingkat kesadaran serta penyulit Suplemen nutrisi Antibiotik diberikan bila terdapat infeksi sekunder Antikonvulsan diberikan bila terjadi kejang Pemberian vitamin A 100.000 IU bila disertai malnutrisi, dilanjutkan 1.500 IU/hr Indikasi rawat inap bila hiperpireksia (suhu >39 °C), dehidrasi, kejang, asupan oral sulit, atau terdapat penyulit lain seperti pneumonia
Bibliografi 1.
2. 3.
Centers for Disease Control and Prevention. Epidemiology and prevention of vaccine-preventable diseases. Edisi ke-8 [diunduh 12 Maret 2004]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/nip/ publications/pink/dip.pdf. Cherry JD. Measles virus. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2427–51. Mason WH. Measles. Dalam: Kleigman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. hlm. 1069–74. 502
VARISELA DAN HERPES ZOSTER Etiologi
Varicella-zoster virus (VZN)
Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Masa inkubasi: 14–16 hr (10–21 hr) Anamnesis Riwayat terpajan dari lingkungan rumah, sekolah, atau tempat penitipan anak Diawali oleh demam tidak begitu tinggi selama 1–2 hr sebelum timbul ruam, disertai malaise, nyeri kepala, anoreksia, nyeri tenggorok, dan batuk Ruam muncul mulai dari kulit kepala, wajah, leher, kemudian menyebar ke seluruh tubuh, serta terasa gatal Faktor risiko: neonatus, penderita keganasan, dan status imunokompromais Pada herpes zoster → nyeri terlokalisasi, hiperestesia, pruritus, demam tidak begitu tinggi. Ruam dapat ringan, dengan lesi baru muncul hingga beberapa hari, gejala neuritis akut minimal dan resolusi komplet terjadi dalam 1–2 mgg. Pascaherpetik neuralgia jarang pada anak Pemeriksaan Fisis Ruam Karakteristik: berupa vesikel Pada anak sehat, lesi sekitar 250–500 (10–1.500) Mula-mula berupa makula eritematosa kemudian bergradasi mulai papula-pustula-krusta Beberapa lesi dapat muncul di orofaring dan mata Gambaran vesikel khas, superfisial, dinding tipis, dan terlihat seperti tetesan air Terdapat semua tingkatan lesi kulit dalam waktu bersamaan pada satu area Lesi baru terus muncul sampai 3–5 hr Lesi biasanya menjadi krusta pada hari ke-6 (2–12 hr) dan sembuh sempurna pada hari ke-16 (7–34 hr) Erupsi lesi baru yang berkepanjangan atau keterlambatan pembentukan krusta dan penyembuhan terjadi bila terdapat gangguan imunitas selular Herpes zoster bermanifestasi sebagai lesi vesikular berkelompok dalam satu atau—jarang—dua dermatom yang berdekatan Demam Umumnya tidak begitu tinggi Pada anak sehat, demam sembuh dalam 4 hr Bila demam berkepanjangan, kemungkinan terjadi penyulit atau imunodefisiensi Bila infeksi varisela terjadi saat kehamilan Sindrom varisela kongenital 503
Terjadi pada sekitar 2% bayi yang ibunya terinfeksi varisela saat trimester kedua kehamilan Sindrom klinis: IUGR, mikrosefal, atrofi korteks, hipoplasia tungkai, mikroftalmia, katarak, korioretinitis, skar pada kulit Risiko sindrom ini tidak berkorelasi dengan berat penyakit varisela ibu Herpes zoster pada ibu hamil tidak berhubungan dengan kelainan pada bayi Infantil zoster Bermanifestasi dalam usia 1 th pertama Disebabkan infeksi varisela pada ibu saat usia kehamilan >20 mgg Biasanya mengenai dermatom toraks Varisela neonatal Berat penyakit bergantung pada apakah hanya virus atau beserta antibodi yang melewati plasenta Bila varisela maternal terjadi 5 hr sebelum s.d. 2 hr sesudah kelahiran. Melalui plasenta, bayi akan terpajan viremia sekunder ibu tanpa antibodi protektif. Tanpa profilaksis/ terapi dengan imunoglobulin dan asiklovir, angka kematian dapat mencapai 30%, terutama akibat pneumonia dan hepatitis fulminan Bila varisela maternal terjadi 5 hr antepartum, bayi cukup bulan bila terinfeksi sering kali ringan dan pemberian asiklovir sesuai dengan klinis Laboratorium Pemeriksaan laboratorium tidak begitu penting, karena diagnosis dapat dilakukan secara klinis
Pemeriksaan Penunjang
Leukopenia pada umumnya terjadi pada 3 hr pertama, diikuti dengan leukositosis Leukositosis mungkin akibat infeksi sekunder, tetapi anak yang mengalami infeksi sekunder jarang mengalami leukositosis Staining imunohistokemikal melalui kerokan lesi kulit dapat membuktikan varisela Apus Tzank dari dasar lesi menunjukkan sel raksasa multinuklear, tetapi hasilnya tidak cukup sensitif maupun spesifik untuk varisela Pemeriksaan serologis merupakan pemeriksaan yang paling sensitif, terdiri atas: indirect fluorescent antibody (IFA), fluorescent antibody to membrane antigen (FAMA), dan radioimmunoassay (RIA). Cara pemeriksaan cepat dan sensitif yaitu latex agglutination (LA) dan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Tes complement fixation memiliki sensitivitas yang rendah Pencitraan Bila penderita demam tinggi dengan gejala gangguan pernapasan, pemeriksaan foto Rontgen toraks dilakukan untuk mengetahui pneumonia 504
Gambaran foto Rontgen toraks primary varicella pneumonia dapat normal atau menunjukkan infiltrat nodular difus bilateral. Infiltrat fokal mungkin disebabkan oleh pneumonia bakteri akibat infeksi sekunder Pemeriksaan Lain Pungsi lumbal (lumbar puncture/LP) dilakukan pada anak dengan gejala neurologis Penderita dengan varicella encephalitis mungkin melalui beberapa atau paling banyak 100 sel, dengan dominan PMN atau MN bergantung pada saat dilakukan LP Kadar gula dalam batas normal, sedangkan kadar protein dalam batas normal atau sedikit ↑
Manajemen
Umum Mandikan penderita untuk mengurangi gatal dan mencegah infeksi sekunder Hindari menggaruk dengan memotong kuku dan memakai sarung tangan saat tidur Banyak minum terutama bila menerima asiklovir dan diet tanpa restriksi Orangtua mengetahui tanda bahaya yaitu ruam yang hebat dan nyeri, tidak mau minum, terdapat tanda dehidrasi, kelemahan tungkai, kesadaran ↓, nyeri kepala hebat, kuduk kaku, muntah muntah, sesak napas, demam >4 hr, atau demam ↑ kembali Khusus Bila demam: asetaminofen 10–15 mg/kgBB p.o. tiap 4–6 jam (maks. 60 mg/kgBB/hr). Jangan diberikan aspirin Asiklovir 80 mg/kgBB/hr terbagi atas 4–5 dosis selama 5 hr (maks. 3.200 mg/hr) Pada kasus berat (ensefalitis, pneumonia, penderita imuno2 kompromais): asiklovir 1.500 mg/m /hr i.v. terbagi tiap 8 jam selama 7–10 hr Mengurangi rasa gatal dengan pemberian difenhidramin 5 mg/kgBB/hr p.o. terbagi 3 atau 4 (maks. 300 mg/hr) Rawat neonatus dengan ibu mengalami varisela 5 hr sebelum sampai 2 hr sesudah partus
Bibliografi 1. 2. 3.
Arvin AM. Varisella. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Pediatric infectious disease. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders Co; 2008. hlm. 1021–8. Centers for Disease Control and Prevention. Epidemiology and prevention of vaccine-preventable diseases. Edisi ke-8 [diunduh 12 Maret 2004]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/nip/ publications/pink/dip.pdf. Gershon AA. Varicella-zoster virus. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2077–88. 505
4.
Marin M, Larussa PS. Varisella. Dalam: Kleigman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. hlm. 1104–20.
506
HERPES SIMPLEKS Etiologi
Herpes simplex virus (HSV) tipe 1 dan 2
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi: 2–20 hr Vesikel kulit dan ulkus yang dangkal Vesikel kecil 2–4 mm dengan dasar kemerahan di sekelilingnya selama beberapa hari, kemudian menjadi ulkus yang dangkal sedikit kemerahan Gingivostomatitis → onset tiba-tiba, nyeri di mulut, drooling, sulit makan minum, demam, gusi membengkak, dapat timbul vesikel pada gusi, bibir, langit-langit, lidah, tonsil dan faring, serta bau mulut. Kemudian vesikel berkembang menjadi ulkus berindurasi yang tertutupi membran kuning keabuan Vulvovaginitis Infeksi kulit lainnya Infeksi pada mata Infeksi pada SSP
Diagnosis
Pemeriksaan Penunjang Kultur virus PCR Serologis
Manajemen
Asiklovir Asiklovir i.v. merupakan obat pilihan pada HSV ensefalitis dan HSV imunokompromais. Dosis asiklovir untuk anak 3 bl–12 th, 20 mg/kgBB/kali tiap 8 jam dan untuk anak >12 th, 10 mg/kgBB/kali tiap 8 jam Asiklovir p.o. untuk gingivostomatitis: 15 mg/kgBB/dosis 5×/hr selama 7 hr
Bibliografi 1.
2. 3.
Gutierrez KM, Arvin AM. Herpes simplex viruses 1 and 2. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 1993–2022. Rober CG. Herpes simplex. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Pediatric infectious disease. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders Co; 2008. hlm. 1012–20. Stanberry LR. Herpes simplex. Dalam: Kleigman RM, Stanton BF, St. Gemme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. hlm. 1097–103.
507
INFLUENZA A H5N1 (AVIAN INFLUENZA) Epidemiologi
Sejak tahun 2005–2009, ada 162 kasus terkonfirmasi dan 134 orang meninggal di Indonesia serta 40 kasus dan 34 orang meninggal di Jawa Barat
Etiologi
Virus influenza tipe A
Manifestasi Klinis
Cara penularan: melalui percikan, kontak, dan udara Masa inkubasi: rata-rata 3 hr (1–7 hr) Masa infeksius pada manusia yaitu 1 hr sebelum gejala timbul dan sampai 7 hr bebas demam pada usia >12 th atau dapat sampai 21 hr pada anak usia <12 th Gejala klinis: mirip flu biasa, demam ≥38 °C, batuk, dan nyeri tenggorok. Gejala lain: pilek, sakit kepala, nyeri otot, infeksi selaput mata, diare atau gangguan saluran cerna. Gejala sesak napas dapat memburuk dengan cepat
Diagnosis
Seseorang dalam Investigasi Bila terdapat kontak erat dalam waktu <7 hr dengan penderita suspek/probabel/terkonfirmasi flu burung atau di sekitar wilayahnya terdapat banyak unggas yang mati diduga atau terbukti flu burung Kasus Suspek Seseorang yang menderita demam dengan suhu ≥38 °C dan influenza-like illness (ILI) disertai satu atau lebih pajanan di bawah ini dalam 7 hr sebelum timbul gejala: Kontak erat (dalam jarak ±1 m) seperti merawat, berbicara, atau bersentuhan dengan penderita suspek, probabel, atau kasus H5N1 yang sudah terkonfirmasi Terpajan (misalnya memegang, menyembelih, mencabuti bulu, memotong, mempersiapkan untuk konsumsi) dengan ternak ayam, unggas liar, unggas air, bangkai unggas atau terhadap lingkungan yang tercemar oleh kotoran unggas itu dalam wilayah terjangkit dalam 1 bl terakhir Mengonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak dengan sempurna dari wilayah yang dicurigai atau dipastikan terdapat hewan atau manusia yang terkonfirmasi H5N1 dalam 1 bl terakhir Kontak erat dengan binatang lain misalnya kucing atau babi yang terkonfirmasi terinfeksi H5N1. Memegang atau menangani sampel (hewan atau manusia) yang dicurigai mengandung virus H5N1 dalam suatu laboratorium atau tempat lain
508
Seseorang yang menderita demam dengan suhu ≥38 °C, ILI, leukopenia, dan tampak gambaran pneumonia pada foto Rontgen toraks, disertai ≥1 pajanan di bawah ini dalam 7 hr sebelum mulainya gejala foto Rontgen toraks menggambarkan pneumonia yang cepat memburuk pada serial foto: Kontak erat (dalam jarak ±1 m) seperti merawat, berbicara, atau bersentuhan dengan penderita suspek, probabel, atau kasus H5N1 yang sudah terkonfirmasi Terpajan (misalnya memegang, menyembelih, mencabuti bulu, memotong, mempersiapkan, untuk konsumsi) dengan ternak ayam, unggas liar, bangkai unggas atau berada di lingkungan yang tercemar oleh kotoran unggas itu dalam wilayah infeksi H5N1 pada hewan atau manusia sudah dicurigai atau dikonfirmasi dalam bulan terakhir Mengonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak dengan sempurna di wilayah yang dicurigai atau dipastikan terdapat hewan atau manusia yang terinfeksi H5N1 dalam 1 bl terakhir Kontak erat dengan binatang lain (selain ternak unggas atau unggas liar) misalnya kucing atau babi yang sudah dikonfirmasi terinfeksi H5N1 Memegang/menangani sampel (hewan atau manusia) yang dicurigai mengandung virus H5N1 dalam suatu laboratorium atau tempat lainnya Ditemukan leukopenia (nilai hitung leukosit
509
Kasus Terkonfirmasi Seseorang yang memenuhi kriteria kasus suspek atau probabel dan disertai satu dari hasil (+) berikut ini yang dilaksanakan dalam suatu laboratorium influenza, yang hasil pemeriksaan H5N1-nya: Hasil PCR H5 (+) Peningkatan ≥4× lipat titer antibodi netralisasi untuk H5N1 dari spesimen konvalesens dibandingkan dengan spesimen akut (diambil ≤7 hr sesudah awitan penyakit) dan titer antibodi netralisasi konvalesens harus pula ≥1/80 Isolasi virus H5N1 Titer antibodi mikronetralisasi H5N1 ≥1/80 pada spesimen serum yang diambil pada hari ≥14 sesudah awitan penyakit disertai hasil (+) uji serologi lain, misal titer HI sel darah merah kuda ≥1/160 atau western blot spesifik H5 (+)
Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin Umumnya leukopenia, limfositopenia, dan trombositopenia Kimia darah Umumnya albumin ↓, SGOT dan SGPT ↑, ureum dan kreatinin ↑, kreatin kinase ↑, pemeriksaan laktat. Analisis gas darah dapat normal atau abnormal Serologi Tes RT-PCR dan deteksi antigen pada mgg pertama sesudah inkubasi dan titer antibodi pada umumnya mulai ↑ sesudah mgg pertama, peningkatan ≥4× lipat titer antibodi netralisasi untuk H5N1 dari spesimen konvalesens dibandingkan dengan spesimen akut, dan titernya harus pula ≥1/80 Foto Rontgen toraks Pada fase awal dapat normal, pada fase lanjut ditemukan ground glass opacity, konsolidasi homogen atau heterogen pada paru, dapat unilateral atau bilateral, dapat mengenai semua lapang paru, tersering di lapangan bawah, serial foto dilakukan karena perjalanan penyakitnya progresif CT-scan toraks Dipertimbangkan pada penderita dengan gejala klinis flu burung tetapi foto Rontgen toraks normal
Manajemen
Terapi suportif dan simtomatis: terapi oksigen, cairan, nutrisi adekuat Antibiotik Selama pneumonia belum dapat disingkirkan, dapat diberikan antibiotik empirik berdasarkan dugaan kuman penyebab tersering sesuai dengan pola kuman dan kepekaan setempat Steroid: tidak dianjurkan secara rutin. Dapat dipertimbangkan pada syok yang tidak responsif dengan terapi cairan dan obat golongan vasopresor
510
Antiviral (penghambat neuramidase) Oseltamivir: anak usia ≥1 th: 2 mg/kgBB, 2×/hr selama 5 hr >40 kg: 75 mg, 2x/hr >23–40 kg: 60 mg, 2x/hr >15–23 kg: 45 mg, 2x/hr ≤15 kg: 30 mg, 2x/hr Zanamivir: dapat diberikan pada bayi <1 th Profilaksis 1x75 mg diberikan pada kelompok berisiko tinggi terpajan sampai 7–10 hr, diberikan maks. 6–8 mgg: Petugas yang terpajan penderita yang terkonfirmasi dengan jarak <1 m tanpa menggunakan alat pelindung diri (APD) Petugas yang kontak erat dengan penderita suspek atau konfirmasi H5N1 tanpa APD yang memadai Anggota keluarga yang kontak erat dengan penderita konfirmasi terinfeksi H5N1
Bibliografi 1.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman tatalaksana klinis flu burung (H5N1) di rumah sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2010.
511
INFLUENZA Etiologi
Virus influenza, virus RNA
Manifestasi Klinis
Gejala sistemik: demam, sakit kepala, nafsu makan ↓, malaise, nyeri otot Gejala saluran respiratori: batuk, nyeri menelan, sekret hidung, bersin Gejala lainnya: nyeri perut, muntah, mual, diare
Diagnosis
Anamnesis Terdapat keluhan batuk, sakit kepala, demam, nyeri menelan, pusing, muntah, dan nyeri otot Pemeriksaan Fisis Suhu tubuh ↑ Konjungtivitis Rinitis Dapat ditemukan ronki atau wheezing Pemeriksaan Penunjang Limfopenia relatif Leukositosis Foto Rontgen toraks Isolasi virus
Manajemen
Terapi suportif Antiviral amantadin dan rimantadin Untuk H5N1: resisten terhadap amantadin dan rimantadin Pencegahan dengan vaksin influenza
Bibliografi 1.
2. 3. 4.
Centers for Disease Control and Prevention. Epidemiology and prevention of vaccine-preventable diseases. Edisi ke-8 [diunduh 12 Maret 2004]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/nip/ publications/pink/dip.pdf. Glezen WP. Influenza viruses. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2395–413. Subbarao K. Influenza viruses. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Pediatric infectious disease. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders Co; 2008. hlm. 1130–7. Wright PF. Influenza. Dalam: Kleigman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. hlm. 1121–3. 512
INFLUENZA A H1N1 (SWINE INFLUENZA) Etiologi
Swine influenza A virus (H1N1)
Diagnosis
Masa inkubasi berkisar 1–7 hr, sedangkan masa penularan berkisar 1 hr sebelum mulai sakit (onset) sampai 7 hr sesudah onset. Puncak dari virus hedding (pengeluaran virus) terjadi pada beberapa hari pertama sakit Penularan penyakit melalui kontak langsung dengan penderita influenza H1N1 baik karena berbicara, terkena percikan batuk, atau bersin (droplet infection)
Manifestasi Klinis
Gejala influenza-like ilness (ILI) yaitu demam dengan suhu >38 °C, batuk, pilek, nyeri otot dan tenggorok. Gejala lain yang mungkin menyertai yaitu sakit kepala, sesak napas, nyeri sendi, mual, muntah, dan diare. Pada anak gejala klinis dapat terjadi fatique
Definisi Kasus
Secara operasional definisi kasus flu Meksiko dibagi menjadi 3 yaitu: 1. Suspek Seseorang dengan gejala infeksi pernapasan akut (demam ≥38 °C) mulai dari yang ringan (influenza-like illnes) sampai dengan pneumonia, ditambah salah satu keadaan di bawah ini: Dalam 7 hr sebelum sakit, pernah kontak dengan kasus konfirmasi swine influenza A virus (H1N1)/flu Meksiko Dalam 7 hr sebelum sakit pernah berkunjung ke area yang terdapat ≥1 kasus konfirmasi swine influenza A virus (H1N1)/flu Meksiko 2. Probabel Seseorang dengan gejala di atas disertai dengan hasil pemeriksaan laboratorium (+) terhadap influenza A tetapi tidak dapat diketahui subtipenya dengan menggunakan reagen influenza musiman atau Seseorang yang meninggal karena penyakit infeksi saluran pernapasan akut yang tidak diketahui penyebabnya dan berhubungan secara epidemiologi (kontak dalam 7 hr sebelum onset) dengan kasus probabel atau konfirmasi 3. Konfirmasi Seseorang dengan gejala di atas sudah dikonfirmasi laboratorium swine influenza A virus (H1N1)/flu Meksiko dengan pemeriksaan ≥1 tes di bawah ini: RT-PCR Kultur virus 513
Peningkatan 4× antibodi spesifik swine influenza A virus (H1N1)/ flu Meksiko dengan tes netralisasi Keterangan: Yang dimaksud ‘kontak’ yaitu merawat, tinggal serumah, atau berhubungan langsung dengan sekret pernapasan atau cairan tubuh dari kasus probabel atau konfirmasi swine influenza A virus (H1N1)/flu Meksiko Yang dimaksud ‘area terinfeksi’ yaitu area/negara yang mempunyai ≥1 kasus konfirmasi swine influenza A virus (H1N1)/flu Meksiko yang ditetapkan oleh WHO. Area/negara ini setiap hari dapat bertambah, sehingga harus selalu diikuti perkembangannya melalui website: http://www.who.int Diagnosis virus influenza A baru H1N1 secara klinis dibagi atas kriteria ringan, sedang, dan berat Kriteria ringan yaitu gejala ILI, tanpa sesak napas, tidak disertai pneumonia, dan tidak ada faktor risiko Kriteria sedang yaitu gejala ILI dengan salah satu dari kriteria: faktor risiko, penumonia ringan (bila terdapat fasilitas foto Rontgen toraks) atau disertai keluhan gastrointestinal yang mengganggu seperti mual, muntah, diare, atau berdasarkan penilaian klinis dokter yang merawat Kriteria berat bila dijumpai pneumonia luas (bilateral, multilobar), gagal napas, sepsis, syok, kesadaran ↓, sindrom sesak napas akut (ARDS), atau gagal multiorgan Kriteria pneumonia pada anak yaitu gejala ILI dan frekuensi napas yang cepat (frekuensi napas sesuai usia) dan atau terdapat kesukaran bernapas yang ditandai dengan retraksi sela iga, epigastrium, suprasternal, subkostal (chest indrawing), atau napas cuping hidung Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: darah perifer lengkap, tes fungsi hati, fungsi ginjal, gula darah sewaktu Radiologi: foto Rontgen toraks Pemeriksaan lainnya bergantung pada indikasi Pada darah perifer lengkap bila ditemukan leukopenia dan trombositopenia dapat memperkuat diagnosis, tetapi bila tidak ditemukan leukopenia dan trombositopenia tidak menyingkirkan diagnosis Diagnosis pasti ditegakkan menggunakan RT-PCR, kultur virus, atau tes netralisasi (terjadi peningkatan titer antibodi 4× dalam spare serum)
Tatalaksana
Kasus Ringan Sebagian besar kasus akan sembuh dalam waktu 1 mgg. Penanganan pada kasus ringan tidak pemerlukan perawatan RS, tidak memerlukan pemberian antivirus kecuali kasus dengan klaster 514
serta diberikan pengobatan simtomatik dan komunikasi informasi edukasi (KIE) pada penderita dan keluarga. Penderita diamati selama 7 hr. Pengobatan simtomatik diberikan sesuai gejala. Salisilat tidak boleh diberikan pada anak usia <18 th karena dapat → sindrom Reye Kasus Sedang Perawatan di ruang isolasi dan diberikan antivirus. Dilakukan pemeriksaan RT-PCR hanya satu kali pada awal. Jika keadaan umum dan klinis baik dapat dipulangkan dengan KIE. Jika terjadi perburukan → rawat ICU. Penatalaksanaan sesuai kasus berat (pengawasan ketat tanda kegawatdaruratan, misal pemeriksaan laktat dehidrogenase >4, analisis gas darah menunjukkan PaCO2 <30 mmHg, C-reactive protein, atau prokalsitonin) Kasus Berat Perawatan di ruang isolasi ICU/PICU/NICU dan diberikan antivirus, serta diperiksa RT-PCR satu kali pada awal. Pada influenza A baru H1N1 yang berat dengan pneumonia, gambarannya sama dengan pneumonia pada flu burung Kasus Berat pada Anak Apabila terdapat pneumonia dan atau ditemukan gejala berbahaya/berat seperti tidak dapat minum, muntah terusmenerus, kebiruan di sekeliling bibir, kejang, tidak sadar, anak usia <2 th dengan demam atau hipotermia, pneumonia luas (bilateral, multilobar), gagal napas, sepsis, syok, kesadaran ↓, ARDS (sindrom sesak napas akut), gagal multiorgan Kriteria Rawat ICU Yaitu gagal napas (kriteria gagal napas: analisis gas darah PaCO2 <30 mmHg, frekuensi pernapasan >30x/mnt, pada anak sesuai usia, rasio PaO2/FiO2<200 ARDS, <300 ALI), syok (kriteria syok: tekanan darah diastol <80 mmHg, pada anak takikardia, laktat dehirogenase >4, bila tersedia fasilitas) Antiviral Direkomendasikan pemberian oseltamivir atau zanamivir. Zanamivir dapat diberikan pada kasus yang diduga resisten oseltamivir atau tidak dapat menggunakan oseltamivir Pemberian antiviral tersebut diutamakan pada penderita rawat inap dan kelompok risiko tinggi penyulit Pengobatan dengan zanamivir atau oseltamivir harus dimulai sedini-dininya dalam waktu 48 jam sesudah awitan penyakit Dosis pemberian zanamivir untuk usia ≥7 th dan dewasa adalah 2×10 mg inhalasi Dosis oseltamivir pada anak: 2 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis Antiviral tidak direkomendasikan untuk profilaksis pada influenza A (H1N1)
515
Antibiotik Bila terjadi pneumonia maka antibiotik direkomendasikan untuk diberikan berdasarkan evidence based dan pedoman pneumonia didapat masyarakat. Antibiotik diberikan sesuai pedoman lokal Tidak direkomendasikan pemberian antibiotik profilaksis Kortikosteroid Penggunaaan kortikosteroid secara rutin harus dihindarkan pada penderita influenza A baru H1N1 Dapat diberikan pada syok septik yang memerlukan vasopresor dan diduga mengalami insufisiensi adrenal. Dapat diberikan dosis rendah hidrokortison 300 mg/hr dosis terbagi
Bibliografi 1.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan influenza A baru (H1N1). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; September 2009.
516
MUMPS (PAROTITIS EPIDEMIKA) Batasan
Parotitis atau mumps merupakan infeksi akut yang bersifat selflimited ditandai dengan demam, bengkak, dan nyeri tekan pada kelenjar liur terutama kelenjar parotis baik unilateral maupun bilateral
Etiologi
Virus mumps, salah satu famili Paramyxoviridae dan genus Rubulavirus
Patofisiologi
Infeksi menyebar melalui saluran respiratori (kontak langsung atau droplet yang masuk melalui hidung atau mulut) → replikasi virus di epitel saluran respiratori atas → menyebar ke KGB (limfatik) → viremia → virus menyebar ke berbagai target organ
Diagnosis
Masa inkubasi: 17–18 (14–24) hr Anamnesis Kontak dengan penderita Belum pernah mendapat imunisasi mumps Panas, nyeri otot (terutama otot leher), nyeri kepala, malaise, dan anoreksia Pemeriksaan Fisis Pembesaran pada satu atau kedua kelenjar parotis atau kelenjar liur lain yang disertai rasa sakit Laboratorium Leukopenia dengan limfositosis relatif, amilase serum ↑
Diagnosis Banding
Parotitis akibat infeksi virus lain: virus parainfluenza 1 dan 3, virus influenza A, CMV, EBV, enterovirus, HIV Parotitis supuratif akibat infeksi bakteri: S. aureus Parotitis rekurens: idiopatik akibat alergi Obstruksi duktus Stensen Limfadenitis servikal anterior atau preaurikuler Sindrom Sjorgen Lupus eritromatosus sitemik Limfosarkoma atau tumor parotis lain
Pemeriksaan Penunjang
Jumlah leukosit dan hitung jenis sel darah Kadar amilase serum Serologik: tes fiksasi komplemen, inhibisi hemaglutinasi Isolasi virus dari saliva, urin, cairan otak, dan darah 517
Terapi
Simtomatik: analgetik-antipiretik Suportif: Tirah rebah Diet disesuaikan dengan kesanggupan mengunyah Penatalaksanaan penyulit yang terjadi
Penyulit
Meningoensefalomielitis Orkitis dan epididimitis Ooforitis Pankreatitis Nefritis Miokarditis
Tiroiditis Artritis Mastitis Tuli Purpura trombositopenia Mata: dakrioadenitis, papilitis
Pencegahan
Imunisasi aktif; biasanya disatukan dengan vaksin measles dan rubela (MMR® atau Trimovax®)
Prognosis
Umumnya baik Meningoensefalitis biasanya ringan dan jarang diikuti sekuele Orkitis sangat jarang didapatkan gangguan kesuburan
Bibliografi 1.
2.
American Academy of Pediatrics. Mumps. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Kimberlin DW, Long SS, penyunting. Red Book 2009. Report of the Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-28. Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics; 2009. hlm. 468– 72. Mason W. Mumps. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. hlm. 1341–4.
518
MONONUKLEOSIS INFEKSIOSA Batasan
Suatu sindrom klinis yang disebabkan oleh virus Epstein-Barr (Ebstein-Barr virus/EBV). Ditandai dengan keluhan somatis seperti lemah badan, demam, tenggorok kering, dan limfadenopati generalisata
Etiologi
Virus Epstein-Barr, salah satu anggota virus γ-herpesviruses dari genus Lymphocryptovirus
Patofisiologi
Transmisi virus terjadi melalui kontak langsung melalui saliva, transfusi darah ataupun transplantasi hepar/lien EBV menginfeksi epitel rongga mulut → faringitis → menyebar organ yang berdekatan seperti kelenjar liur, lalu → viremia dan menginfeksi limfosit B dan seluruh sistem limforetikuler, termasuk hepar dan lien
Diagnosis
Masa inkubasi: adolesens 30–50 hr, pada anak lebih pendek Anamnesis Lemah badan, demam (>1 mgg), sakit kepala, sakit tenggorok, mual, nyeri perut, nyeri otot Rasa tidak nyaman pada perut bagian atas (akibat splenomegali) Pemeriksaan Fisis Pembesaran tonsil disertai eksudat Limfadenopati generalisata (90% kasus) Splenomegali (50% kasus) Hepatomegali (10% kasus) Ruam makulopapular (3–15% kasus) “Ruam ampisilin” pada penderita yang diberikan ampisilin atau amoksisilin Laboratorium Leukositosis 10.000–20.000 sel/mm3, ⅔-nya limfosit Limfosit atipikal: 20–40% Trombositopenia ringan: 50.000–200.000 Kadar transaminase hati sedikit ↑ pada 50% kasus
Diagnosis Banding
Penyakit menyerupai mononukleosis infeksiosa: biasanya akibat cytomegalovirus, T. gondii, adenovirus, virus hepatitis, HIV, atau rubela Faringitis akibat streptokokus Leukemia
519
Pemeriksaan Penunjang
Kultur EBV dari sekret orofaringeal, genital, atau darah perifer Tes antibodi heterofil Antibodi spesifik EBV
Terapi
Simtomatik: analgetik-antipiretik Prednison 1 mg/kgBB/hr (maks. 60 mg/hr) atau dosis ekuivalen selama 7 hr diikuti dengan penurunan dosis untuk 7 hr berikutnya Asiklovir dosis tinggi: ↓ replikasi virus, tetapi tidak ↓ durasi atau pun beratnya penyakit Suportif: tirah rebah 1–2 mgg Hindari olahraga kontak pada periode splenomegali (2–3 mgg pertama)
Penyulit
Perdarahan lien subkapsular Obstruksi jalan napas Ataksia Meningitis Mielitis transversalis Sindrom Gullian-Barre Anemia aplastik Miokarditis Pankreatitis Orkitis
Ruptur lien Kejang Sindrom Alice in Wonderland (metamorfosia) Kelumpuhan saraf wajah Ensefalitis Anemia hemolitik Trombositopenia Pneumonia interstitialis Parotitis
Pencegahan
Kandidat vaksin rekombinan EBV glikoprotein subunit 350 (gp350) diberikan dalam 3 regimen dosis tampak menjanjikan untuk pencegahan mononukleosis infeksiosa
Prognosis
Umumnya baik Gejala umumnya berlangsung 2–4 mgg diikuti pemulihan secara bertahap
Bibliografi 1.
2.
American Academy of Pediatrics. Epstein-Barr virus infections (infectious mononucleosis). Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Kimberlin DW, Long SS, penyunting. Red Book 2009. Report of the Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-28. Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics; 2009. hlm. 289–92. Jenson HB. Epstein-Barr virus. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. hlm. 1110–4.
520
CYTOMEGALOVIRUS Etiologi
Cytomegalovirus (CMV), virus DNA golongan herpesvirus
Manifestasi Klinis
Sebagian besar subklinis Pada bayi dan anak, infeksi CMV primer biasanya menyebabkan pneumonitis, hepatomegali, ensefalitis, dan ruam petekia. Pada anak yang lebih besar dan remaja: mononucleosis-like syndrome ditandai dengan fatigue, malaise, mialgia, sakit kepala, hepatosplenomegali, dan limfositosis atipikal Demam persisten, hepatitis, ruam morbiliform Infeksi kongenital: intrauterine growth restriction (IUGR), prematuritas, hepatosplenomegali, jaundice, blueberry muffin-like rash, trombositopenia, purpura, mikrosefal dan kalsifikasi intrakranial, korioretinitis, sensorineural hearing loss, ↑ sedikit protein CSS Infeksi neonatal: pneumonitis, sepsis-like syndrome
Diagnosis
PCR → isolasi virus dari urin, saliva, cairan bronkoalveolus, ASI, sekret serviks, buffy coat, dan jaringan IgG dan IgM anti-CMV
Manajemen
Gansiklovir 7,5 mg/kgBB i.v. tiap 8 jam selama 14 hr dan CMV IVIG 400 mg/kgBB pada hari 1, 2, dan 7, serta 200 mg/kgBB pada hari 14, atau Gansiklovir 7,5 mg/kgBB i.v. tiap 8 jam selama 20 hr dan CMV IVIG 500 mg/kgBB/hr selanjutnya sebanyak 10 dosis
Bibliografi 1.
2.
McAuley JB, Boyer KM, Remington JS, Mcleod RL. Toxoplasmosis. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2954–70. McLeod R. Toxoplasma. Dalam: Kleigman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. hlm. 1208–16.
521
HAND, FOOT, AND MOUTH DISEASE Etiologi
Kumpulan virus yang disebut enterovirus. Kelompok virus ini adalah poliovirus, coxsackievirus, echovirus, dan enterovirus, tetapi paling sering disebabkan coxsackievirus A16 (CA16) dan enterovirus 71 (EV71)
Diagnosis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis Masa inkubasi 3–6 hr Gejala sama dengan penyakit flu yaitu demam, batuk, malaise, dan nyeri tenggorokan Diikuti dengan munculnya vesikel dan ruam di tangan, kaki, dan mulut (lidah, gusi, dan pipi bagian dalam) yang kemudian melepuh. Vesikel mudah pecah dan menjadi luka di mulut seperti sariawan Lesi biasanya ditemukan pada mukosa mulut, palatum, dan lidah dalam bentuk makulopapula dengan diameter 2–10 mm dan berubah menjadi vesikel. Ulkus berbentuk oval, berwarna keabuan, dan dikelilingi oleh batas tegas hiperemis. Lesi dapat ditemukan di seluruh tubuh termasuk pada ujung lidah dan gusi, dapat menghilang dalam 5–10 hr. Infeksi bakteri sekunder dapat terjadi. Dengan terdapat lesi pada mulut dapat → anak sulit makan dan minum, sehingga dapat → dehidrasi dan asupan makanan yang kurang Eksantema diawali dengan makula dan secara cepat berubah menjadi papula dan vesikel. Lesi ini biasanya menghilang dalam 10–14 hr. Lesi pada tangan muncul 1–2 hr sesudah lesi di mulut. Pada awalnya berbentuk makula, diameter 3–10 mm dan secara cepat berubah menjadi bentuk vesikel. Lesi dapat ditemukan pada falang distal jari dan ulna, biasanya disertai nyeri. Lesi pada kaki dapat muncul bersamaan dengan lesi pada tangan, awalnya berbentuk papula yang berubah menjadi vesikel. Lesi dapat ditemukan pada batas pinggir kaki, bagian distal jari, dan rongga interfalang. Penderita dapat mengeluh nyeri ketika berjalan dan melangkah Pada sebagian anak dapat terjadi demam tinggi, meningitis, ensefalitis, dan paralisis atau kelumpuhan Pemeriksaan Penunjang Pada kasus ringan tidak diperlukan Pada kasus berat → jumlah leukosit ↑ dengan neutrofilia relatif, hiperglikemia, dan laktat dalam cairan serebrospinal ↑. Kadar kreatinin kinase dan troponin ↑ ditemukan pada penderita dengan penyulit kardiopulmonal. Pemeriksaan Rontgen toraks diperlukan apabila ditemukan gejala edema paru. Pemeriksaan pungsi lumbal penting dilakukan pada penderita dengan gejala keterlibatan SSP seperti kejang mioklonik atau meningitis
522
Isolasi EV71 → apus tenggorokan, feses, apus rektum, apus vesikel, dan cairan serebrospinal. Isolasi EV71 merupakan baku emas dalam diagnosis enterovirus Tes serologis → RT-PCR, IFA, dan PCR
Terapi
Self limiting, sembuh spontan dengan terapi simtomatik Gejala dapat diobati untuk mengurangi rasa sakit akibat ulkus di mulut dan demam serta nyeri: Demam dapat diterapi dengan antipiretik Nyeri dapat diobati dengan asetaminofen, ibuprofen, atau obat penghilang nyeri lainnya Penyegar mulut atau spray/semprotan yang dapat mematirasakan nyeri dapat digunakan untuk mengurangi nyeri mulut Asupan cairan sebaiknya cukup untuk mencegah dehidrasi (kurangnya cairan tubuh). Jika terjadi dehidrasi sedang-berat, dapat diterapi medis dengan pemberian cairan melalui vena Tidak ada terapi spesifik untuk infeksi. Terapi simtomatik diberikan untuk mengurangi gejala demam, sakit, dan nyeri Terapi dengan antibiotik tidak efektif dan tidak diindikasikan Kumur air garam (½ sendok teh garam dalam 1 gelas air hangat) dapat mengurangi rasa nyeri jika anak dapat berkumur tanpa ditelan
Bibliografi 1.
2.
3. 4. 5.
Cherry JD. Enteroviruses: polioviruses, coxsackieviruses, echoviruses, and enteroviruses. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Pediatric infectious diseases. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders; 2000. hlm. 1705–43. Modlin JF. Enteroviruses: coxsackieviruses, echoviruses, and newer enteroviruses. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles and practice of pediatric infectious diseases. Edisi ke-2. New York: Churchill Livingstone; 2003. hlm. 1179–85. Osterback R, Vourinen T, Linna M, Susi P, Hyypia T, Waris M. Coxsackievirus A6 and hand, foot, and mouth disease, Finland. J Infect Dis. 2009;15:1485–7. Wang JF, Guo YS, Christakos G, Yang ZW, Liao YL, Li ZJ. Hand, foot, and mouth disease: spatiotemporal transmission and climate. Inter J Hlth Geographics. 2011;15:1−9. World Health Organization. A guide to clinical management and public health response for hand, foot, and mouth disease (HFMD). Manila: WHO; 2011.
523
MIDDLE EAST RESPIRATORY SYNDROME CORONAVIRUS (MERS-CoV) Etiologi
Coronavirus merupakan suatu enveloped, single-stranded RNA virus yang mampu menyerang beberapa spesies termasuk manusia. Terdapat 5 jenis coronavirus yang mampu menyebabkan penyakit pada manusia (human coronavirus/HCoV) yaitu HCoV 229E, OC43, NL63, HKU1, dan SARS-CoV
Transmisi
Sumber infeksi dan cara penularan pada manusia hingga kini masih belum jelas. Timbulnya kasus infeksi MERS-CoV tanpa didahului kontak dengan hewan sebelumnya dan ditemukan kontak dengan penderita MERS-CoV membuat kemungkinan bahwa virus dapat menyebar antarmanusia melalui saluran respiratori
Manifestasi Klinis
Gejala yang pertama kali timbul yaitu demam tinggi, batuk, dan sesak napas. Penderita kemudian secara cepat akan mengalami perburukan menjadi pneumonia berat dan gagal ginjal. Gangguan ginjal tidak terjadi pada semua kasus. Pada beberapa kasus gejala awal dapat berupa demam dan diare. Penyulit selama perjalanan penyakit dapat berupa gagal multiorgan, gagal ginjal hingga memerlukan dialisis, koagulopati konsumtif, dan perikarditis. Sebagian besar kasus dengan penyulit hingga akhirnya menyebabkan kematian terjadi pada penderita imunokompromais atau memiliki penyakit dasar lainnya (penyakit jantung koroner, diabetes melitus, gangguan ginjal). Masa inkubasi <1 mgg
Diagnosis
World Health Organization (WHO) menetapkan beberapa kriteria untuk menentukan penderita yang memiliki risiko tinggi terkena infeksi MERS-CoV yaitu: 1. Penderita infeksi saluran respiratori akut dengan riwayat demam, batuk, serta ditemukan gambaran pneumonia pada pemeriksaan radiologi dan memerlukan perawatan rumah sakit SERTA salah satu di bawah ini: Penyakit tersebut berlangsung di dalam sekelompok orang (≥2 orang dengan kurun waktu yang sama yaitu <14 hr dan berhubungan dengan setting tertentu seperti ruang kelas, tempat kerja, rumah tangga, rumah sakit, barak militer, atau lainnya) Terjadi pada petugas kesehatan yang bekerja di lingkungan perawatan penderita infeksi saluran respiratori berat Penderita memiliki riwayat bepergian ke daerah Timur Tengah dalam kurun waktu 14 hr sebelum onset penyakit 2. Penderita dengan infeksi saluran respiratori akut stadium berapapun yang dalam kurun waktu 14 hr sebelumnya mengalami 524
kontak fisik erat dengan kasus probable atau confirmed infeksi MERS-CoV 3. Penderita dengan infeksi saluran respiratori akut di negara-negara Timur Tengah Sampel pemeriksaan apusan spesimen dari saluran respiratori bawah (dahak penderita, aspirasi endotrakeal atau bronchoalveolar lavage) lebih banyak mengandung virus dibandingkan dengan spesimen dari saluran respiratori atas (apusan nasofaring atau orofaring). Sampel harus diambil dari banyak lokasi dan diambil dalam beberapa waktu yaitu pada mgg pertama sakit kemudian 14–21 hr sesudahnya. Apabila hanya satu sampel yang dapat diambil maka waktu pengambilan yang disarankan adalah min. 14 hr sesudah onset gejala Bila pada penderita dengan dugaan kuat infeksi MERS-CoV tetapi pada pemeriksaan apusan spesimen nasofaring atau orofaring tidak ditemukan virus maka pemeriksaan ulangan apusan spesimen dari nasofaring dan orofaring perlu dilakukan
Definisi Kasus
World Health Organization (WHO) pada bl Juli 2013 menetapkan definisi kasus infeksi MERS-Cov sebagai berikut: Probable Case Terdiri atas kombinasi manifestasi klinis, epidemiologi, dan kriteria laboratorium 1. Penderita infeksi saluran respiratori akut dengan gambaran klinis atau radiologi yang sesuai dengan penyakit parenkim paru (pneumonia atau acute respiratory distress syndrome) DAN Pemeriksaan laboratorium untuk MERS-CoV tidak tersedia atau penilaian sampel tidak adekuata DAN Penderita memiliki kontak langsung dengan kasus confirmed b infeksi MERS-CoV 2. Penderita infeksi saluran respiratori akut dengan gambaran klinis atau radiologi yang sesuai dengan penyakit parenkim paru (penumonia atau acute respiratory distress syndrome) DAN Pemeriksaan laboratorium MERS-CoV tidak dapat disimpulkan c (inconclusive) DAN Merupakan penduduk atau turis di Timur Tengah karena infeksi virus MERS-CoV sedang menjadi endemis pada kurun waktu 14 hr sebelum timbul gejala 3. Penderita infeksi saluran respiratori akut derajat berapapun DAN Pemeriksaan claboratorium MERS-CoV tidak dapat disimpulkan (inconclusive) DAN Penderita memiliki kontak langsung dengan kasus confirmed b infeksi MERS-CoV 525
Confirmed Case Penderita dengan pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan hasil (+) terinfeksi MERS-CoV Keterangan: a Penilaian sampel tidak adekuat: sampel hanya dari apus nasofaring tanpa sampel dari saluran respiratori bawah, spesimen yang tidak ditranspor atau ditangani dengan baik, atau sampel yang diambil dalam kurun waktu terlalu lama dari onset sakit b Kontak langsung: termasuk kontak fisik erat, bekerja dalam lingkungan yang sama atau berada dalam kelas yang sama, bepergian bersama, tinggal di dalam rumah yang sama dan kontak terjadi dalam kurun waktu 14 hr sebelum atau sesudah onset c Tes inconclusive: hanya pemeriksaan skrining yang menunjukkan hasil (+) tanpa dikonfirmasi dengan pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan PCR
Tatalaksana
Setiap penderita infeksi saluran respiratori berat yang ditandai dengan distres napas berat, hipoksemia (saturasi oksigen <90%), atau dalam keadaan syok perlu mendapat oksigen. Mulai pemberian oksigen dari 5 L/mnt dan pertahankan saturasi oksigen ≥90%. Pemberian antibotik empiris untuk tatalaksana community acquired pneumonia dapat diberikan sedini-dininya sesuai dengan pola resistensi kuman setempat. Pada kasus berat memerlukan tindakan ventilasi mekanik serta perawatan di ruang intensif
Pencegahan
Prinsip dasar pencegahan infeksi MERS-CoV di tempat fasilitas kesehatan meliputi: Kontrol administrasi Meliputi deteksi dini ISPA dengan kecurigaan infeksi MERS-CoV, menempatkan penderita di ruang isolasi dan mencegah kepadatan di tempat menunggu Kontrol lingkungan Menempatkan penderita di ruangan isolasi dengan ventilasi yang baik dan dengan jarak min. 1 m dengan penderita ISPA lainnya atau dengan petugas kesehatan Penggunaan protective personal equipment (PPE) Penggunaan PPE dan cuci tangan membantu mengurangi risiko transmisi
526
Bibliografi 1.
2.
3.
4.
5.
6.
European Centre for Disease Prevention and Control. Severe respiratory disease associated with Middle East respiratory syndrome coronavirus (MERS-CoV). Update ke-11. Stockholm: ECDC; 2014. Guery B, Poissy J, el Mansouf L, Sejorney C, Ettahar N, Lemaire X, dkk. Clinical feature and viral diagnosis of two cases of infection with Middle East respiratory syndrome coronavirus: a report of nosocomial transmission. Lancet. 2013;381(9885):2265–72. World Health Organization. Infection prevention and control during health care for probable and confirmed cases of novel coronavirus (nCoV) infection. Interim guidance. 6 May 2013 [diunduh 8 Agustus 2014]. Tersedia dari: http://www.who.int/ csr/disease/coronavirus_infections/IPCnCoVguidance_06May13. pdf. World Health Organization. Interim surveillance recommendations for human infection with Middle East respiratory syndrome coronavirus. As of 27 June 2013 [diunduh 8 Agustus 2014]. Tersedia dari: http://www.who.int/csr/disease/coronavirus_infections/ InterimRevisedSurveillanceRecommendations_nCoVinfection_27Ju n13.pdf. World Health Organization. Laboratory testing for Middle East respiratory syndrome coronavirus. Interim recommendation. September 2013 [diunduh 8 Agustus 2014]. Tersedia dari: http://www.who.int/csr/disease/coronavirus_infections/MERS_L ab_recos_16_Sept_2013.pdf. World Health Organization. Revised interim case definition for reporting to WHO-Middle East respiratory syndrome coronavirus (MERS-CoV). Interim case definition as of 3 July 2013 [diunduh 8 Agustus 2014]. Tersedia dari: http://www.who.int/csr/disease/ coronavirus_infections/case_definition/en/.
527
FEVER OF UNKNOWN ORIGIN (FUO) Batasan
Fever of unknown origin (FUO) didefinisikan sebagai demam dengan suhu lebih dari 38 °C yang berlangsung lebih dari 14 hari tanpa ditemukannya penyebab yang jelas walaupun sudah dilakukan anamnesis yang lengkap, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penapisan laboratorium rutin Untuk memperjelas etiologi dan tatalaksana FUO saat ini dapat dibagi menjadi empat subtipe (lihat Tabel 126) Bibliografi 1. Nield LS, Kamat D. Fever without a focus. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. hlm. 898–9. 2. Smith S, Chairulfatah A, Leman MM. Demam tanpa fokus. Dalam: Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE, Ikatan Dokter Anak Indonesia, penyunting. Nelson ilmu kesehatan anak esensial. Edisi ke-6. Singapore: Elsevier (Singapore) Pte. Ltd.; 2014. hlm. 397–401.
528
Tabel 126 Definisi dan Fitur Utama Empat Subtipe FUO
529
FUO Klasik
Health Care-associated FUO
Definisi
≥38 °C, >3 mgg, >2× kunjungan atau 1 mgg dirawat di RS
≥38 °C, >1 mgg, tidak ≥38 °C, >1 mgg, dalam masa inkubasi saat PMN <1.000, kultur (−) masuk RS sesudah 48 jam
Lokasi penderita Etiologi utama
Komunitas, klinik, RS
Acute care hospital
Klinik atau RS
Infeksi (25–50%, a.l.: abses, endokarditis, TBC, ISK komplikata) keganasan, peradangan yang tidak terdiagnosis (a.l.: SLE, penyakit reumatoid) Traveling, kontak binatang, imunisasi, riwayat keluarga, gangguan katup jantung Fundus, orofaring, arteri temporal, abdomen, kelenjar limfe, lien, sendi, genital, rektum atau prostat
HAIs, penyulit pascaoperasi, drug fever
Infeksi (tetapi etiologi ditemukan hanya pada 40–60% kasus)
HIV, mikobakteria tipikal (TBC), dan atipikal, CMV, limfoma, toksoplasmosis, P. carinii, immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS)
Operasi dan tindakan, instrumentasi, kelainan anatomi, pengobatan Luka, drain, instrumentasi, sinus, urin
Stadium kemoterapi, pemberian obat
Obat, paparan/kontak, faktor risiko, traveling, stadium HIV
Lipatan kulit, akses vena, paru-paru, area perianal
Mulut, kulit, kelenjar limfe, mata, paru-paru, hati, area perianal
Anamnesis Pemeriksaan fisis
FUO Imunodefesiensi
HIV-related FUO ≥38 °C, >3 mgg (penderita rawat jalan), >1 mgg (penderita rawat inap), terkonfirmasi HIV (+) Komunitas, klinik, RS
Pemeriksaan penunjang
Pencitraan, biopsi, LED, PPD
Pencitraan, kultur bakteri Foto Rontgen toraks, kultur bakteri
Penatalaksanaan
Observasi, kurva suhu rawat jalan, investigasi, hindari terapi empirik Beberapa bl Beberapa mgg
Bergantung pada situasi
Terapi antimikrob sesuai protokol
Beberapa mgg Beberapa hr
Beberapa hr Beberapa jam
530
Lama sakit Lama investigasi
Darah dan hitung limfosit, serologi, foto Rontgen toraks, feses, pungsi sumsum tulang, kultur dan sitologi, pencitraan otak Terapi antiviral-antimikrob, vaksin, revisi, regimen terapi, nutrisi Beberapa mgg sampai bl Beberapa hr sampai bl
INFEKSI PARASIT PENYAKIT CACING YANG DITULARKAN MELALUI TANAH Klasifikasi
Askariasis Ankilostomiasis Trikuriasis
ASKARIASIS Etiologi
Ascaris lumbricoides
Diagnosis
Loeffler like syndrome Keluarnya cacing dewasa melalui anus atau mulut Feses: mikroskopik ditemukan telur Ascaris lumbricoides
Manajemen
Antihelmintik Mebendazol 2 x 100 mg p.o. selama 3 hr berturut-turut Pirantel pamoat 10 mg/kgBB p.o. dosis tunggal Albendazol 200 mg/kgBB p.o., untuk anak >2 th dosis tunggal Garam piperazin 50–75 mg/kgBB (obat terpilih untuk obstruksi intestinal karena Ascaris lumbricoides) 2 hr berturut-turut
ANKILOSTOMIASIS Diagnosis
Ground itch Feses: ditemukan telur cacing Ancylostoma duodenale, Necator americanus, atau Ancylostoma ceylonicum
Pemeriksaan Penunjang Feses
Manajemen
Hb <5 g/dL elemen zat besi 2–3 mg/kgBB/hr dalam 3 dosis Anemia berat dan gagal jantung: transfusi PRC dan diuretik Antihelmintik: mebendazol 2 x 100 mg p.o. 2 hr berturut-turut Pirantel pamoat 10 mg/kgBB p.o. dosis tunggal
531
TRIKURIASIS Etiologi
Trichuris trichiura
Diagnosis
Kebanyakan kasus tanpa gejala, kadang kolik abdomen dan perut kembung Pada penderita infeksi berat pernah dilaporkan diare berdarah, anemia, dan prolapsus rekti Feses: mikroskopik ditemukan telur Trichuris trichiura
Pemeriksaan penunjang Feses
Manajemen
Antihelmintik: mebendazol 2 x 100 mg p.o. 3 hr berturut-turut
Bibliografi 1.
Hotes PJ. Parasitic nematode infection. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2981–96.
532
MALARIA Etiologi
Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium malariae
Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Anamnesis Keluhan utama: demam (intermiten), menggigil, berkeringat, dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare, dan nyeri otot Penderita berasal/berkunjung 1–4 mgg yang lalu ke daerah endemis malaria, riwayat sakit malaria, minum obat/riwayat minum obat malaria, dan riwayat mendapat transfusi darah Pada malaria berat, anamnesis di atas ditambah gangguan kesadaran, kejang, kuning, perdarahan, sesak napas, muntah hebat, feses seperti teh sampai kehitaman, oliguria, sampai anuria, dan sangat pucat Pemeriksaan Fisis Demam tinggi, menggigil, berkeringat, pucat, dan hepatosplenomegali Pada malaria berat ditemukan nadi cepat dan lemah, TD sistol turun 20 mmHg dari sebelumnya, takipnea s.d. dispnea, nilai GCS ↓, manifestasi perdarahan, tanda dehidrasi berat, tanda anemia berat, ikterik, crackles, oliguria s.d. anuria, gejala lesi UMN, dan rangsang meningen Pemeriksaan Mikroskop Apus darah tepi Tebal → terdapat Plasmodium (+)/(−) Tipis → identifikasi spesies dan stadium Plasmodium, serta kepadatan parasitemia Untuk tersangka malaria, perhatikan: Bila pemeriksaan pertama (−), perlu diperiksa ulang tiap 6 jam–3 hr berturut-turut Bila hasil pemeriksaan apus darah tebal selama 3 hr berturutturut tidak ditemukan parasit, maka diagnosis malaria disingkirkan Tes diagnostik cepat berdasarkan deteksi antigen parasit, digunakan apabila tidak tersedia fasilitas lab mikroskopis Pemeriksaan penunjang tambahan untuk malaria berat: darah rutin (Hb, PCV, L, T, DC), MDT, kimia darah (GDS, bilirubin, tes fungsi hati, ureum dan kreatinin, natrium dan kalium, AGD), biakan darah, urinalisis, EKG, dan foto Rontgen toraks
Manajemen
Saat ini terdapat berbagai pilihan artemisinin-based combination therapy (ACT), WHO merekomendasikan ACT lini pertama, sbb. 533
Pengobatan Malaria Falsiparum tanpa Penyulit Dihydroartemisinin-piperaquine dan primakuin Tersedia dalam bentuk tablet kombinasi yang mengandung dihydroartemisinin 40 mg dan piperaquine 320 mg Tabel 127 Pengobatan Malaria Falsiparum tanpa Penyulit Hari
Obat
1–3 DHP 1 Primakuin
Jumlah Tablet/Hari Menurut BB (kg) ≤5 6–10 11–17 18–30 31–40 41–59 ≥60 0–1 bl 2–11 bl 1–4 th 5–9 th 10–14 th ¼ −
½ −
1 ¾
1½ 1½
2 2
3 2
4 3
Pengobatan Malaria Vivaks tanpa Penyulit Dihydroartemisinin-piperaquine dan primakuin Tabel 128 Pengobatan Malaria Vivaks tanpa Penyulit Hari
Obat
1–3 DHP 1–14 Primakuin
Jumlah Tablet/Hari Menurut BB (kg) ≤5 6–10 11–17 18–30 31–40 41–59 ≥60 0–1 bl 2–11 bl 1–4 th 5–9 th 10–14 th ¼ −
½ −
1 ¾
1½ ½
2 ¾
3 1
4 1
Dugaan relaps pada malaria vivaks apabila primakuin sudah diminum 14 hr dan penderita sakit dengan parasit (+), dalam waktu 3 mgg–3 bl sesudah terapi. Terapi: regimen ACT sama tetapi dosis primakuin ditingkatkan 2× lipat Pengobatan Malaria Ovale Dihydroartemisinin-piperaquine, dosis sama dengan malaria vivaks
Pencegahan
Ditujukan bagi individu yang berkunjung ke daerah endemis dalam waktu tidak lama, dengan cara: Menjaga kebersihan lingkungan dengan mengurangi tempat perindukan nyamuk penular malaria Pencegahan gigitan nyamuk menggunakan personal protection: kelambu berinsektisida, repellent, kawat kasa, dll. Kemoprofilaksis Bertujuan mengurangi risiko terinfeksi malaria atau bila terinfeksi maka gejala klinis tidak berat. Digunakan doksisiklin 100 mg/hr (perhatikan usia anak) sejak 1–2 hr sebelum bepergian, selama di daerah tersebut sampai 4 mgg sesudah kembali
534
Malaria Berat Artesunate injeksi (1 flacon = 60 mg) Dosis i.v. 2,4 mg/kgBB/kali pemberian Pemberian i.v. dilarutkan pada pelarutnya 1 mL 5% bikarbonat dan diencerkan dengan 5–10 mL 5% dekstrosa disuntikkan bolus i.v. Pemberian pada 0, 12, 24 jam, dan seterusnya tiap 24 jam sampai penderita sadar. Dosis tiap kali pemberian 2,4 mg/kgBB. Bila penderita sudah sadar, diganti dengan tablet artesunate oral 2 mg/kgBB sampai hari ke-7 mulai pemberian parenteral. Untuk mencegah rekrudensi dikombinasikan dengan doksisiklin 2×100 mg/hr selama 7 hr atau pada wanita hamil/anak diberikan klindamisin 2×10 mg/kgBB. Pada pemakaian artesunate tidak memerlukan penyesuaian dosis bila gagal organ berlanjut. Obat lanjutan sesudah parenteral dapat menggunakan obat ACT Pemberian Obat Antimalaria (OAM) secara Parenteral Artesunate injeksi (1 flacon = 60 mg) Dosis i.v. 2,4 mg/kgBB/kali pemberian Pemberian i.v.: dilarutkan pada pelarutnya 1 mL 5% bikarbonat dan diencerkan dengan 5–10 mL 5% dekstrosa disuntikkan bolus i.v. Pemberian pada 0, 12, 24 jam, dan seterusnya tiap 24 jam sampai penderita sadar. Dosis tiap kali pemberian 2,4 mg/kgBB. Bila penderita sudah sadar, diganti via oral dengan cara pemberian seperti pada tabel (min. sudah diberikan 3× terapi i.v.)
Bibliografi 1. 2. 3.
4. 5.
Barnett ED. Malaria. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2899–919. Harijanto P. Eradikasi malaria pada daerah desentralisasi. Buletin data dan informasi kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2011. John CC, Krause PJ. Malaria. Dalam: Kleigman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 1198–206. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman penatalaksanaan kasus malaria di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2011. Parise M, Wilson CM, Skarbinski J. Malaria. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Pediatric infectious disease. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders Co; 2008. hlm. 1259–65.
535
AMEBIASIS Etiologi
Entamoeba histolytica (bentuk kista dan trofozoit)
Manifestasi Klinis
Penyakit Usus Infeksi asimtomatik Infeksi noninvasif simtomatik Proktokolitis akut (disentri) Kolitis fulminan dengan perforasi Megakolon toksik Kolitis nondisentri kronik Ameboma Ulserasi perianal Penyakit di Luar Usus Abses hati Penyakit pleurapulmonal Peritonitis Perikarditis Abses otak Amebiasis kulit Penyakit genitourinari
Diagnosis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis Bergantung pada klasifikasi berdasarkan manifestasi klinis Bila menyerang intestinal Diare dengan tenesmus s.d. diare berat yang menyebabkan gangguan elektrolit, feses berlendir/darah, kolik abdomen, demam mendadak tinggi, dan menggigil Amebiasis hati Nyeri kuadran kanan atas/epigastrium, teraba hepar (membesar dan sakit), serta peninggian hemidiafragma kanan, atelektasis pada lobus kanan bawah, efusi pleura, tes fungsi hati: alkali fosfatase dan SGOT ↑ Amebiasis paru (pleuropulmonal): batuk, nyeri dada, pleuritis, panas, dan sesak; terjadi abses paru, efusi pleura, dan empiema, sekunder dari abses hati Peritonitis ameba Perforasi multipel akibat ruptur abses amebiasis hati Perikarditis ameba Timbul gejala tamponade jantung; akibat ruptur abses amebiasis hati Abses hati ruptur ke kantung perikardium Amebiasis otak Peradangan berasal akibat penyebaran dari usus, hati, dan paru 536
Amebiasis kulit Radang granulomatosa pada kulit dan jaringan s.k. Pemeriksaan Laboratorium Feses Mikroskop cahaya: tidak dapat membedakan antara E. histolytica dan E. dispar Enzyme immunoassay (EIA): pemeriksaan terbaik untuk diagnosis spesifik E. histolytica di klinik Pemeriksaan feses lainnya: Darah samar hampir selalu ada pada penyakit yang invasif Leukosit feses mungkin tidak ada Antibodi serum Pemeriksaan antibodi sangat bermanfaat pada penderita penyakit ekstraintestinal Tes indirect hemagglutination antibody (IHA) EIA Immunodiffusion (ID) Antibodi imunoglobulin M (IgM) spesifik untuk E. histolytica Pencitraan Foto Rontgen toraks dapat menunjukkan hemidiafragma kanan yang terangkat dan efusi pleura sebelah kanan pada penderita abses hati karena ameba Ultrasonografi: lesi tunggal di posterosuperior dari lobus kanan hati. Abses multipel dapat terjadi pada beberapa penderita CT-scan menunjukkan lesi iregular tanpa kapsul atau enhancement di sekelilingnya MRI; edema perilesi dan enhancement of rim Resolusi lengkap asbes hati dapat berlangsung sampai 2 th Pencitraan ulang bukan merupakan indikasi bila penderita merasa sehat Pemeriksaan Lain Leukositosis mungkin ditemukan, tetapi eosinofilia bukan gambaran amebiasis Anemia ringan mungkin ditemukan Rasio sedimentasi eritrosit biasanya ↑ Kolesterol mungkin ↑ Tes fungsi hati alkali fosfatase ↑ (80% penderita), transaminase ↑, dan kadar albumin ↓ Urinalisis mungkin memperlihatkan gambaran proteinuria Prosedur Rektosigmoidoskopi dan kolonoskopi dapat memberikan informasi diagnosis yang berguna pada amebiasis intestinal Aspirasi hati merupakan indikasi untuk abses yang luas (>12 cm), ruptur abses imminent, kegagalan terapi medis, atau abses pada lobus kiri 537
Manajemen Tabel 129 Obat Antiamebiasis Nama Obat
Dosis Anak
Efek Samping
Abses hati ameba Berikan Metronidazol 35–50 mg/kgBB/hr dibagi dalam 3 dosis untuk 7–10 hr
Paromomisin
25–35 mg/kgBB/hr dibagi dalam 3 dosis untuk 7 hr Atau agen lini kedua
Gastrointestinal (terutama): anoreksia, mual, muntah, diare, nyeri abdomen atau rasa metalik yang tidak menyenangkan; disulfuram-like reaksi intoleran terhadap alkohol; jarang terjadi: neurotoksisitas, termasuk kejang, neuropati perifer, pusing, perasaan kalut, iritabilitas Gastrointestinal (terutama): diare, gangguan gastrointestinal
Amebiasis intestinal simtomatik Berikan Metronidazol 35–50 mg/kgBB/hr Sama dengan abses hati ameba dibagi dalam 3 dosis untuk 7–10 hr dilanjutkan dengan luminal (sama seperti pada abses hati ameba) Amebiasis intestinal asimtomatik Berikan Paramomisin 25–35 mg/kgBB/hr Gastrointestinal (terutama): dibagi dalam 3 diare, gangguan gastrointestinal dosis untuk 7 hr Atau agen lini kedua
Terapi Bedah Megakolon toksik dapat terjadi dan memerlukan kolektomi total Bedah dekompresi diperlukan untuk abses otak ameba Ruptur abses hati ameba ke dalam perikardium memerlukan pembedahan saluran Secara konservatif mengontrol perforasi intestinal karena amebiasis
538
Bibliografi 1. 2.
Hamano S, Petri WA. Amebiasis. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2841–8. Salvana EMT, Salata RA. Amebiasis. Dalam: Kleigman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 1178–9.
539
TOKSOPLASMOSIS Etiologi
Toxoplasma gondii
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi 10–23 hr sesudah ingesti makanan yang terkontaminasi dan 5–20 hr sesudah terpapar dengan kucing yang terinfeksi Gejala dapat asimtomatik, simtomatik, atau berupa penyakit berat Kasus toksoplasmosis sebanyak 10–20% bermanifestasi berupa limfadenitis atau sindrom flu ringan seperti malaise, mialgia, nyeri kepala, nyeri menelan, limfadenopati, dan ruam Berupa miositis, miokarditis, pneumonitis, dan kelainan neurologis seperti paralisis fasial, gangguan refleks, hemiplegia, atau koma Pada penderita imunokompromais, toksoplasmosis dapat mengancam kehidupan. Pada penderita AIDS sebanyak 25% terjadi toksoplasmosis ensefalitis dan 84%-nya fatal
Diagnosis
Toxoplasma gondii atau DNA-nya dalam darah atau cairan tubuh, melalui visualisasi takizoit secara histologis atau sitologi, kista dalam plasenta atau jaringan fetus, terdapat nodus limfatikus yang khas secara histologis, atau yang terutama melalui pemeriksaan serologis Antibodi IgG yang diukur dengan Sabin-Fieldman dye test, imunofluoresens, ELISA, atau aglutinasi partikel dapat dideteksi dalam 1–2 mgg sesudah terinfeksi, puncaknya 1–2 bl dan sesudah mengalami ↓ maka akan bertahan seumur hidup Antibodi IgM yang diukur secara ELISA atau aglutinasi partikel timbul lebih awal dan ↓ lebih cepat dibandingkan dengan IgG Serokonversi atau kenaikan titer 4× kali lipat memberikan konfirmasi diagnosis toksoplasmosis Toksoplasmosis kongenital didiagnosis bila ditemukan antibodi IgM atau IgA antitoksoplasma dalam darah neonatus Diagnosis prenatal memerlukan kombinasi sarana diagnostik berupa USG (untuk mendeteksi pembesaran ventrikel) dan PCR cairan amnion atau serologi darah. PCR cairan amnion sangat sensitif dan lebih tidak berisiko dibandingkan dengan pungsi tali pusat
Manajemen
Bayi yang menderita toksoplasmosis kongenital memerlukan terapi 1 th, penderita simtomatik diberikan pirimetamin dan sulfadiazin selama 6 bl, dilanjutkan dengan spiramisin dan pirimetaminsulfadiazin per bl selama 6 bl Infeksi subklinis diterapi dengan pirimetamin dan sulfadiazin selama 6 bl, dilanjutkan dengan pemberian spiramisin secara bergantian selama 6 bl dan pirimetamin-sulfadiazin selama 4 bl Dosis pirimetamin 1 mg/kgBB/hr (maks. 25 mg). Dosis sulfadiazin 40– 45 mg/kgBB (maks. 8 g/hr) p.o. 2×/hr 540
Klindamisin menjadi pilihan pengganti bila penderita tidak dapat mentoleransi golongan sulfonamid Pada korioretinitis, terapi antimikrob (pirimetamin dan sulfadiazin) diberikan selama 4 mgg. Kortikosteroid (prednison 1,5 mg/kgBB sampai 75 mg) direkomendasikan pada lesi yang mengenai makula atau nervus optikus. Lesi cenderung membaik sesudah 10 hr terapi Pada infeksi primer selama kehamilan, pemberian spiramisin dimulai segera. Bila infeksi fetus sudah diketahui, maka diberikan pirimetamin dan sulfadiazin bergantian tiap 3 mgg dengan spiramisin sulfadoksin
Bibliografi 1.
2.
3.
McAuley JB, Boyer KM, Remington JS, Mcleod RL. Toxoplasmosis. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2954–70. McLeod R. Toxoplasma. Dalam: Kleigman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 1208–16. McLeod RL, Marcinah JE, Bayer KM. Toxoplasma gondii (toxoplasmosis). Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Pediatric infectious disease. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders Co; 2008. hlm. 1267–87.
541
FILARIASIS Etiologi
Wuchereria brancofti, Brugia malayi, Brugia timori
Manifestasi Klinis
Filariasis akut dan kronik muncul sesudah bertahun-tahun mengalami pajanan berulang kali dan intensif terhadap vektor yang terinfeksi di daerah endemis Terdiri atas 3 derajat penyakit: Asimtomatik Kerusakan sudah mulai terdapat pada sistem limfatik (dilatasi dan disfungsi) serta ginjal Akut Muncul filarial fever, yaitu peradangan dan nyeri pada kelenjar dan saluran limfe, sering disertai demam, mual, dan muntah Gejala akan menghebat seiring dengan beratnya penyakit kronik Kronik Menyebabkan elefantiasis serta hidrokel (pembengkakan skrotum) pada laki-laki dan pembesaran payudara pada perempuan
Diagnosis
Anamnesis Tinggal di daerah endemik, terutama daerah rural Asimtomatik pada anak; tetapi sebenarnya sudah terjadi kelainan limfatik dan ginjal Muncul gejala pada masa pascapubertas atau dewasa. Tanda yang timbul bergantung pada spesies, bagian tubuh yang terkena, dan apakah kejadiannya akut atau kronik: Filariasis limfatik (gejala akibat cacing dewasa pada sistem limfatik), dapat berupa demam, limfadenopati inguinal atau aksila, nyeri testis dan atau inguinal, eksfoliasi kulit, pembengkakan tungkai atau genital, maupun siluria Tropical pulmonary eosinophilia (TPE): merupakan bentuk tersembunyi dari Bancroftian filariasis. Gejalanya: batuk kering paroksismal, wheezing, sesak, anoreksia, malaise, dan BB ↓ Pemeriksaan Fisis Manifestasi klinis kronik dan akut sering dan lebih cepat terjadi pada pendatang daripada penduduk lokal, dengan munculnya limfedema dalam 6 bl dan elefantiasis sekitar 1 th sesudah bermukim Filariasis limfatik pada anak: limfadenopati inguinal, kruris, epitroklear. Bila cacing dewasa dalam tubuh mati akan mencetuskan respons inflamasi akut ke arah distal pembuluh limfe yang terkena (pada umumnya di daerah tungkai). Disertai demam tidak tinggi
542
Pada anak laki-laki pascapubertas: funikulitis, epididimitis, atau orkitis. Teraba nodul granulomatosa pada area yang terdapat cacing mati Dapat ditemukan BB ↓, dispnea, dan wheezing Laboratorium Filariasis limfatik lebih sering didiagnosis secara klinis: Menemukan mikrofilaria melalui apus darah (secara mikroskopis) sekitar pukul 22.00–04.00, karena memiliki nocturnal periodicity Menemukan cacing dewasa atau mikrofilaria dari biopsi jaringan Tes Mazotti dengan cara patch DEC (50–100 mg) pada kulit, hasil (+) bila timbul pruritus Card test merupakan cara terbaru yang mudah serta sangat sensitif dan spesifik untuk mendeteksi antigen parasit, melalui finger-prick blood droplets. Merupakan cara penting untuk terapi dan program pengendalian penyakit Pada keadaan asimtomatik, sekitar 40% penderita: proteinuria dan hematuria, bila terjadi siluria, dapat dicari mikrofilaria Eosinofilia IgE dan IgG4 ↑ Pencitraan Infiltrat paru difus pada penderita TPE USG: obstruksi saluran limfe inguinal dan skrotal, serta onchocercoma
Manajemen
Di Daerah Endemik Dilakukan Pengobatan Massal Tujuan: mengeliminasi mikrofilaria dalam darah individu yang terinfeksi, sehingga nyamuk tidak dapat mentransmisi penyakit Dosis tunggal dietilkarbamazepin (DEC) 3–6 mg/kgBB diberikan mulai usia 2 th + albendazol 1 tablet. Parasetamol 10–15 mg/kgBB/× 3–4×/hr ditambahkan sampai hari ke-3 untuk mengurangi efek samping DEC Bila di daerah tersebut juga merupakan endemik onchocerciasis atau loaiasis, maka pemberian terapi dilakukan selama 4–6 th Alternatif lain yaitu penggunaan garam dapur yang difortifikasi dengan DEC selama 1 th Individu Albendazol dan DEC efektif membunuh filaria stadium dewasa— yang penting untuk pengobatan lengkap—pada penderita dengan elefantiasis dan hidrokel Regimen: Albendazol 400 mg bid × 10 hr atau mebendazol 100 mg bid × 30 hr DEC 6 mg/kgBB dibagi 3 dosis × 14 hr (TPE s.d. 21 hr) Ivermektin 150 mcg/kgBB dosis tunggal
543
Terapi tambahan: Menekan keluhan inflamasi akut (filarial fever) dan keadaan kronik dengan menjaga higiene lesi, analgesik, antihistamin, kortikosteroid, serta antibiotik i.v. bila terjadi infeksi sekunder Tirah baring, posisi tungkai lebih tinggi, dan membebat tungkai dapat mengurangi pembengkakan tungkai Tindakan bedah dilakukan bila terjadi hidrokel dan elefantiasis skrotal Diet rendah lemak pada filariasis limfatik
Bibliografi 1. 2.
Capello M, Hotes PJ. Nematodes. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Pediatric infectious disease. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders Co; 2008. hlm. 1296–303. Hotes PJ. Parasitic nematode infections. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2991–6.
544
LEPTOSPIROSIS Etiologi
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonotic yang disebabkan oleh patogen spirochaeta, genus Leptospira. Leptospira merupakan organisme berbentuk tipis, seperti benang, filamen spirocaheta berukuran panjang 6–20 μm dan lebar 0,1 μm, melingkar rapat pada sumbu panjangnya
Epidemiologi
Transmisi leptopsira kepada manusia dapat terjadi melalui kontak dengan urin binatang yang terinfeksi, selain itu kontak dengan lingkungan, yaitu tanah atau air yang terkontaminasi Leptospira
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi leptospirosis terjadi 10 hr (rata-rata 7–14 hr), meskipun dapat bervariasi, yaitu dalam 2–20 hr Manifestasi klinis dibagi dalam dua fase, yaitu septikemia dan imun 1. Fase Septikemia Demam yang timbul dengan onset tiba-tiba, menggigil, sakit kepala, mialgia, ruam kulit, mual, muntah, conjunctival suffusion, dan tampak lemah. Demam tinggi dan bersifat remiten mencapai 40 °C sebelum suhu tubuh ↓. Conjunctival suffusion merupakan tanda khas yang biasanya timbul pada hr ke-3 atau 4 sakit. Fase septikemia ini berlangsung 3–9 hr, diikuti dengan suhu tubuh ↓ selama 2 atau 3 hr, sesudah itu masuk ke dalam fase imun 2. Fase Imun Leptospiuria dan berhubungan dengan timbulnya antibodi IgM dalam serum penderita. Timbul gejala meningitis yang ditandai dengan sakit kepala, fotofobia, dan kaku kuduk. Keterlibatan SSP pada leptospirosis sebagian besar timbul sebagai meningitis aseptik. Pada fase ini dapat terjadi berbagai penyulit, antara lain neuritis optikus, uveitis, iridosiklitis, korioretinitis, dan neuropati perifer Leptospirosis Anikterik Gejala leptospirosis timbul mendadak ditandai dengan viral-like illness, yaitu demam, sakit kepala, dan mialgia. Dapat juga ditemukan nyeri perut, diare, anoreksia, dan conjunctival suffusion. Selama fase ini, organisme dapat ditemukan di dalam sirkulasi darah dan cairan serebrospinal. Gejala berlangsung selama 4–7 hr, kemudian dapat membaik secara spontan. Beberapa penderita dapat mengalami fase kedua, yaitu fase imun yang dimulai 1–3 hr kemudian dengan demam yang tidak tinggi atau tidak mengalami demam. Selama fase ini, penderita biasanya mengalami gejala sakit kepala, mialgia, ruam, conjunctival suffusion, dan hepatomegali. Selain itu, dapat disertai juga dengan mual, muntah, dan nyeri perut. Gambaran khasnya gejala sakit kepala sangat berat dan berhubungan dengan timbulnya kaku kuduk. Manifestasi meningitis aseptik ini dapat berlangsung beberapa hr saja, walaupun dapat menetap sampai 3 mgg. Ruam 545
kulit pada leptospirosis dapat bermanifestasi sebagai makula, makulopapula, urtikaria, petekia, atau purpura Leptospirosis Ikterik (Sindrom Weil) Manifestasi Leptospirosis yang berat ini mempunyai angka mortalitas sebesar 5–10%. Tanda khas sindrom Weil ini yaitu jaundice, azotemia, serta perdarahan yang timbul dalam waktu 4–6 hr sesudah onset gejala dan dapat mengalami perburukan dalam mgg ke-2 dari penyakitnya Manifestasi klinis sindrom Weil yang menonjol ini yaitu ditemukan hepatomegali, jejas hepatoselular, dan jaundice, tetapi tidak sampai menimbulkan gagal hati, dapat terjadi dalam berbagai derajat gangguan ginjal
Diagnosis
Leptospirosis dipertimbangkan pada semua kasus dengan riwayat kontak terhadap binatang atau lingkungan seperti tanah atau air yang terkontaminasi oleh urin binatang, disertai dengan gejala akut demam, menggigil, mialgia, conjunctival suffusion, sakit kepala, mual, atau muntah Diagnosis definitif leptospirosis bergantung pada penemuan laboratorium. Pada sindrom Weil dapat ditemukan leukositosis dan neutropenia, terutama selama fase awal penyakit Pemeriksaan Kultur Leptospira interrogans dapat diisolasi dari darah atau cairan serebrospinal selama fase septikemia dan dari urin selama fase imun, yaitu sesudah 7–10 hr Pemeriksaan Serologi Macroscopic slide agglutination test merupakan pemeriksaan yang paling berguna untuk rapid screening. Pada umumnya tes aglutinasi tersebut tidak positif sampai mgg pertama sejak terjadi infeksi, kadar puncak antibodi 3–4 mgg sesudah onset gejala dan dapat menetap selama beberapa th
Pengobatan
Leptospirosis terjadi sporadik, pada umumnya bersifat self-limited disease, sulit dikonfirmasi pada awal infeksi Gejala berat → penisilin G (200.000–250.000 IU/kgBB/hr dalam dosis terbagi diberikan setiap 4–6 jam, dosis maks. 12 juta IU/hr) Gejala ringan atau sedang → doksisiklin per oral dengan dosis 2 mg/kgBB/hr dibagi dalam 2 dosis (dosis maks. 100 mg 2×/hr hanya diberikan pada anak usia >8 th), atau amoksisilin 50 mg/kgBB/hr dalam dosis terbagi 3×/hr, dosis maks. 500 mg/dosis. Pengobatan dilanjutkan selama 7–14 hr
Prognosis
Bersifat self-limiting disease. Kematian jarang terjadi pada leptospirosis anikterik 546
Diperkirakan terdapat sekitar 10% penderita leptospirosis berat, termasuk jaundice dan disfungsi ginjal (sindrom Weil), hemorrhagic pneumonitis, cardiac arrhytmia, atau kolapsnya sistem sirkulasi yang mempunyai case fatality rate sekitar 5–15%
Pencegahan
Strategi utama untuk mencegah dan mengontrol leptospirosis diutamakan menghindari atau mengurangi kontak langsung dengan hewan terinfeksi dan tanah atau air yang sudah terkontaminasi. Pencegahan terhadap paparan tidak langsung atau paparan terhadap tanah dan air yang terkontaminasi jauh lebih sulit, sehingga dianjurkan penggunaan sepatu boot dari bahan karet dan pakaian pelindung
Bibliografi 1.
2. 3.
4.
5.
American Academy of Pediatrics. Leptospirosis. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Kimberlin DW, Long SS, penyunting. Red Book 2009. Report of the Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-28. Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics; 2009. hlm. 427– 8. Bharti AR, Nally JE, Ricaldi JN, Matthias MA, Diaz MM, Lovett MA, dkk. Leptospirosis: a zoonotic disease of global importance. Lancet Infect Dis. 2003;3(12):757–71. Guerreiro H, Croda J, Flannery B, Mazel M, Matsunaga J, Galvao Reis M, dkk. Leptospiral proteins recognized during the humoral immune response to leptospirosis in humans. Infect Immunol. 2001;69(8):4958–68. Shapiro ED. Leptospira species (leptospirosis). Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles and practice of pediatric infectious diseases. Edisi ke-3. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2008. hlm. 938–40. Shieh WJ, Edwards C, Levett PN, Zaki SR. Leptospirosis. Dalam: Guerrant RL, Walker DH, Weller PF, penyunting. Tropical infectious diseases principles, pathogens, & practice. Edisi ke-2. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2006. hlm. 511–8.
547
INFEKSI JAMUR INFEKSI JAMUR SISTEMIK HISTOPLASMOSIS Etiologi
Histoplasma capsulatum Candida albicans Aspergillus fumigates, A. Flavus, dan A. niger Blastomyces dermatitidis
Manifestasi Klinis Pada Saluran Respiratori Lainnya Infark paru Meningitis/serebritis fokal Pneumonitis yang berkavitas Artritis Asma Parotitis Efusi pleura Nefritis interstisial Adenopati mediastinum anterior Nefrokalsinosis Obstruksi bronkus akut/kronik Ulkus/perdarahan saluran Adenitis yang terbatas di servikal pencernaan atau supraklavikula Pseudomalignansi saluran Sindrom vena kava superior pencernaan Granuloma/fibrosis mediastinal Obstruksi saluran empedu Hemoptisis Adenitis lokal dan kulit atau Bronkolitiasis dengan litoptisis konjungtiva Chylothorax Koroiditis Endokarditis Divertikulum/fistula esofagus Kelemahan/paralisis diafragma
Pemeriksaan Penunjang
Kultur: sumsum tulang, darah, sputum, dan jaringan tubuh DNA Apus Gomorimethenamine silver Deteksi antigen: radioimmunoassay Tes kulit untuk histoplasmin: tidak dianjurkan untuk diagnosis (hanya untuk epidemiologis)
Manajemen
Pemberian antijamur bergantung pada manifestasi klinis, beratnya gejala, dan kondisi sistem kekebalan tubuh Histoplasmosis simtomatik pada anak imunokompeten: sembuh sendiri Indikasi pemberian antijamur: Infeksi paru dengan gejala klinis >4 mgg Sakit berat dengan riwayat banyak terpapar 548
Adenitis granulomatosa Penderita imunokompromais (kecuali hasil biopsi menunjukkan granuloma lama) Tabel 130 Rekomendasi Pengobatan Histoplasmosis pada Anak Manifestasi
Sakit Berat
Sakit Sedang atau Ringan
Pulmonari akut
AmBa, kemudian Itr selama 12 mgg
Diseminata (tanpa HIV)
AmBb atau AmB diikuti Itr selama 6 blc
Diseminata (dengan HIV)
AmBb atau AmB diikuti Itr selamanya
Meningitis
AmB selama 3 bl, kemudian Flu selama 12 bl AmB kemudian Itr selama 6 bl Itr selama 3 bld
Gejala <4 mgg: tidak ada terapi; gejala menetap >4 mgg: Itr selama 6–12 mgg Itr selama 6–18 bl atau sama seperti untuk sakit berat Pengobatan dengan Itr, kemudian Itr suppression selamanya Sama seperti sakit berat
Granuloma mediastinum Fibrosing mediastinitis Perikarditis Reumatologi Kompresi struktur sekitar oleh adenitis granulomatosa
Pericardial drainase untuk tamponad berat + satu NSAID selama 2–12 mgg NSAID selama 2–12 mgg
Itr selama 6 bl Sama seperti sakit berat NSAID 2–12 mgg Sama seperti sakit berat Kortikosteroid, bersama Itr
a
Efektivitas bersama kortikosteroid masih kontroversi 30 mg/kgBB diberikan selama 4 mgg c Terapi harus diteruskan sampai konsentrasi antigen histoplasma dalam urin <4 IU d Kemungkinan tidak efektif untuk fibrotik, dapat dipertimbangkan bila tampak granulomatosa mediastinum Keterangan: AmB, ampoterisin B; Flu, flukonazol; Itr, itrakonazol; NSAID, non-steroidal anti-inflammatory agent b
Sumber: Modifikasi dari Wheat dkk. 1997
Bibliografi 1.
Kleiman MB. Histoplasmosis. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2783–808.
549
2. 3.
4. 5.
Knapp KM, Flynn PM. Candidiasis. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2741–50. Steinbach WJ, Burgos A. Aspergillus and aspergillosis. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2717–31. Stovall SH, Schutze GE. Blastomycosis. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 2732–40. Wheat J, Marichal P, Vanden Bossche H, Le Monte A, Connolly P. Hypothesis on the mechanism of resistance to fluconazole in histoplasma capsulatum. Antimicrob Agents Chemother. 1997;41:410–4.
550
INFEKSI RUMAH SAKIT (HEALTH CARE-ASSOCIATED INFECTION) Etiologi
Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli, Staphylococcus aureus
Manifestasi Klinis
Berdasarkan organ tempat terjadinya infeksi, dapat dibagi atas infeksi nosokomial: Traktus urinarius Traktus respiratorius Traktus digestivus Luka postoperasi Bakteremia dan infeksi karena pemakaian i.v. Kulit, dll.
Diagnosis
Infeksi postoperasi: memenuhi kriteria luka yang merah dan atau purulen walaupun tidak ditemukan kuman pada pemeriksaan mikrobiologis Infeksi kulit/jaringan lunak (di luar postoperasi): memenuhi kriteria → kulit/jaringan yang merah, bengkak, atau sakit disertai pembentukan pus, walaupun tidak ditemukan kuman pada pemeriksaan mikrobiologis Bakteremia: memenuhi kriteria → demam atau hipotermia dan ditemukan kuman dalam kultur darahnya Infeksi traktus respiratori (pneumonia): memenuhi kriteria → klinis dan radiologik Infeksi traktus urinari: memenuhi kriteria → jumlah3 leukosit ≥5/LPB urin midstream dengan jumlah kuman ≥10.000 /mm urin Infeksi traktus digestivus: memenuhi kriteria → definisi WHO tentang diare Lain-lain: memenuhi kriteria → klinis, pemeriksaan mikrobiologis, mikroskopis, atau serologis
Pemeriksaan Penunjang Manajemen
Bergantung pada jenis infeksi nosokomial
Bibliografi 1.
2.
Coffin SE, Zaoutis TE. Healthcare-associated infections. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles and practice of pediatric infectious disease. Edisi ke-3. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2008. hlm. 812–6. Huskins WC, Goldmann DA. Health care-associated infections. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2009. hlm. 3076–120. 551
INFEKSI PADA LUKA BAKAR Etiologi
Streptokokus grup A Staphylococcus aureus Pseudomonas aeruginosa
Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Gejala Lokal Diskolorasi berupa area fokal berwarna hitam atau coklat gelap, nekrosis jaringan, diskolorasi hemoragik dari jaringan s.k., jaringan parut, dan edema kulit di tepi luka Infeksi Pseudomonas: gangren dan pigmentasi berwarna hijau dari jaringan lemak s.k. Infeksi jamur: edema s.k. dengan nekrosis iskemik sentral dan saponifikasi hemoragik dari jaringan lemak s.k. Infeksi virus: lesi vesikular di area penyembuhan Gejala Sistemik Pemeriksaan fisis: demam, takikardia, dan syok Pemeriksaan penunjang: CRP ↑ Tabel 131 Tanda dan Gejala Progresivitas Penyakit dari Lokal Menuju Sistemik Sepsis Gram-Negatif
Sepsis Gram-Positif 5
Biopsi pada luka bakar ditemukan >10 organisme/g jaringan atau invasi jaringan secara histologis Onset cepat (8–12 jam) Suhu 37–39 °C, dapat normal, diikuti dengan hipotermia (34–35 °C) dengan jumlah leukosit ↓ Jumlah leukosit dapat ↑ Ileus Tekanan darah dan output urin ↓ Luka menjadi gangren fokal, lesi satelit jauh dari luka bakar Perubahan status mental
Manajemen
Idem Gradual Suhu >40 °C Jumlah leukosit 20–50.000/mm3 Hematokrit ↓ Idem Idem Luka menjadi maserasi, rapuh dengan eksudat Anoreksia
Perawatan Luka Burn gauze, Kerlex wraps, Ace wraps, antimikrob topikal Debridement 552
Antimikrob topikal P. aeruginosa, bakteri gram-negatif, C. albicans, S. aureus: sulfadiazin perak Cerium nitrate-sulfadiazin perak S. aureus, E. coli, P. aeruginosa: nitrat perak Mafenide acetate Antibiotik topikal: gentamisin sulfat, basitrasin/polimiksin, nitrofurantoin, mupirosin (baktroban), nistatin, natrium hipoklorit, povidon-iodin, klorheksidin Subeschar antibiotic: tobramisin, gentamisin, dan kanamisin Agen infeksi sistemik Antibiotik profilaksis (sebelum tindakan pembedahan) Eksisi luka dan grafting Terapi suportif gastrointestinal dan dekontaminasi (pemberian makan secara enteral) Imunomodulator
Bibliografi 1.
Patel JA, Williams-Bouyer N. Infections in burn patients. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, Demmler-Harrison GJ, Kaplan SL, penyunting. Textbook of pediatric infectious diseases. Edisi ke-6. Philadelphia: Sauders Elsevier; 2009. hlm. 1139–49.
553
INFEKSI JARINGAN LUNAK Etiologi Selulitis
Manifestasi Klinis
Bengkak, hangat saat dipegang, kemerahan, nyeri, pitting saat ditekan Adenopati regional Demam, menggigil, lemas jarang terjadi
Diagnosis
Anamnesis Berdasarkan manifestasi klinis di atas Pemeriksaan Fisis Status lokalis: rubor, tumor, kalor, dolor, functio laesa Laboratorium Aspirat dari lokasi inflamasi Biopsi kulit Kultur darah (25% mengidentifikasi kausa) Apus ulkus/abrasio
Penyulit
Abses s.k. Bakteremia Osteomielitis Artritis septik Tromboflebitis Endokarditis Necrotizing fasciitis Limfangitis Glomerulonefritis
Manajemen
Terapi empiris berdasarkan riwayat penyakit, lokasi, karakteristik, usia, dan status imun penderita Bayi dan anak <5 th: S. pyogenes, S. aureus, H. influenzae type B, S. pneumoniae perlu dipertimbangkan Bila demam, 3limfadenopati, dan gejala konstitusional (−), leukosit <15.000/mm → terapi inisial p.o. dengan kloksasilin atau sefalosporin generasi pertama (sefaleksin) Bila suspek MRSA: terapi parenteral Bila tanda eritema, edema, demam ↓ → terapi tuntas s.d. 10 hr Imobilisasi dan elevasi ekstremitas yang terkena
Bibliografi 1.
Morelli JG. Subcutaneous tissue infections. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 2741–5. 554
Kardiolgoi Armijn Firman Sri Endah Rahayuningsih Rahmat Budi Kuswiyanto
KLASIFIKASI PENYAKIT JANTUNG PADA ANAK Secara umum klasifikasi sebagai berikut:
Penyakit Jantung Bawaan (PJB)
Left to right shunt Defek septum atrium (atrial septal defect/ASD) Defek septum ventrikel (ventricular septal defect/VSD) Duktus arteriosus persisten (persistent ductus arteriosus/PDA) Atrioventricular defect/AVSD (AV canal defect) Partial anomalous pulmonary venous return Lesi obstruktif Stenosis aorta Stenosis pulmonal Stenosis mitral Interrupted aortic arch Koartasio aorta Sianotik Tetralogi Fallot dan varian Transposisi arteri besar Atresia pulmonal dengan septum intak (pulmonary atresia intact ventricular septum/PAIVS) Atresia trikuspid Double outlet right ventricle (DORV) Anomali Ebstein Total anomalous pulmonary venous return (TAPVR) Persisten trunkus arteriosus Single ventricle Atrial isomerism Hypoplastic left heart syndrome Lain-lain Vascular ring Anomalous origin of left coronary artery from the pulmonary artery (ALCAPA syndrome) Aortopulmonary septal defect Arteriovenous malformation/fistula Cor triatriatum Double chambered right ventricle Parachute mitral valve Scimitar syndrome Anomali vena sistemik Ectopia cordis
Penyakit Jantung Didapat
Demam reumatik akut Penyakit jantung reumatik Endokarditis infektif Miokarditis Perikarditis Kardiomiopati 557
Penyakit Kawasaki Takayasu arteritis Tumor jantung Kelainan jantung pada kelainan sistemik
PENYAKIT JANTUNG BAWAAN Batasan
Kelainan struktur atau fungsi jantung akibat gangguan pembentukan jantung dan pembuluh darah pada saat janin, yang menetap sesudah lahir. Insidensi 5–12/1.000 kelahiran hidup, meliputi hampir 30% dari seluruh kelainan bawaan
Etiologi
Pada sebagian besar kasus tidak diketahui, tetapi diduga karena multifaktorial, yaitu gabungan antara faktor endogen dan eksogen Penyakit ibu (misal rubela), obat yang diminum, paparan sinar X pada trimester pertama kehamilan diduga sebagai faktor eksogen. Faktor endogen berhubungan dengan penyakit genetik dan sindrom tertentu
Diagnosis
Lihat masing-masing kelainan
Pemeriksaan Penunjang
Foto Rontgen toraks EKG Ekokardiografi: pemeriksaan penunjang yang utama untuk PJB Penyadapan jantung (kateterisasi)
DEFEK SEPTUM ATRIUM (ATRIAL SEPTAL DEFECT/ASD) Batasan
Defek pada septum yang memisahkan atrium kiri dan kanan Sebagian besar merupakan ASD sekundum
Klasifikasi
ASD sekundum (paling banyak) ASD primum ASD defek sinus venosus ASD sinus koronarius
558
Diagnosis
Anamnesis Pada masa bayi dan anak kecil dapat asimtomatis, tumbuh kembang biasanya normal (pirau kecil) Gangguan pertumbuhan, sesak, sering mengalami infeksi paru (pirau besar) Jarang terjadi gagal jantung pada masa bayi Pemeriksaan Fisis Komponen aorta dan pulmonal bunyi jantung kedua terpisah lebar yang tidak berubah pada saat inspirasi atau ekspirasi (wide fixed splitting) Bising ejeksi sistol terdengar di daerah pulmonal akibat aliran darah berlebih melalui katup pulmonal (stenosis pulmonal relatif atau stenosis pulmonal fungsional) Aliran darah yang memintas dari atrium kiri ke kanan tidak menimbulkan bising karena perbedaan tekanan atrium kanan dengan kiri kecil Dapat terdengar bising diastol di daerah trikuspid (tricuspid diastolic flow murmur) yang terjadi akibat aliran darah berlebihan melalui katup trikuspid pada fase pengisian cepat ventrikel kanan Foto Rontgen Toraks Atrium kanan menonjol, konus pulmonalis menonjol, pembesaran jantung ringan, dan vaskularisasi paru ↑ sesuai besarnya pirau Elektrokardiografi Right bundle branch block (RBBB): menunjukkan beban volume ventrikel kanan Deviasi sumbu QRS ke kanan (right axis deviation): ASD sekundum Blok AV derajat I (pemanjangan interval PR) terdapat pada 10% ASD sekundum Deviasi sumbu ke kiri (left axis deviation): ASD primum
Terapi
Medis Tidak diperlukan pembatasan aktivitas Tidak diperlukan profilaksis terhadap endokarditis infektif, kecuali bila terdapat kelainan lain seperti prolaps katup mitral Terapi gagal jantung bila terdapat gagal jantung Definitif Penutupan defek umumnya dilakukan sesudah 2–4 th berupa penutupan transkateter (ASD sekundum) atau bedah jantung, kecuali bila terdapat Pirau kiri ke kanan yang signifikan (flow rasio ≥1,5) RV overload Gagal jantung yang tidak berespons dengan pengobatan
559
Perjalanan Alamiah dan Penyulit Defek menutup spontan terjadi pada 40% kasus ASD sekundum pada 4 th pertama Defek mengecil Asimtomatik, jarang timbul gagal jantung pada masa bayi Bila tidak diobati, gagal jantung dan hipertensi pulmonal dapat terjadi pada dewasa sekitar usia 20–30 th Aritmia atrium (flutter dan fibrilasi) dapat terjadi saat dewasa dengan atau tanpa operasi Endokarditis jarang terjadi, kecuali terdapat defek lain Cerebrovaskular accident akibat embolisasi jarang terjadi
Gambar 48 Algoritme Tatalaksana Defek Septum Atrium Keterangan: FR: flow ratio PH: pulmonal hipertensi
Bibliogafi 1. Keane JF, Geva T, Fyler DC. Atrial septal defect. Dalam: Keane JF, Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas’ pediatric cardiology. Edisi ke-2. Pennsylvania: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 603–15. 2. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5. Missouri: Mosby Elsevier; 2008. 560
3.
4.
Porter CJ, Edwards WD. Atrial septal defect. Dalam: Allen HD, Shaddy RE, Driscoll DJ, Feltes TF, penyunting. Moss and Adams’ heart disease in infants, children, and adolescent. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm. 632–45. Vick III GW. Defects of the atrial septum including atrioventricular septal defects. Dalam: Garson A, Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR, penyunting. The science and practice of pediatric cardiology. Edisi ke-2. Baltimore: Williams & Wilkins; 1998. hlm. 1141–80.
561
DEFEK SEPTUM VENTRIKEL (VENTRICULAR SEPTAL DEFECT/VSD) Batasan
Defek pada septum yang memisahkan ventrikel kiri dan kanan
Klasifikasi
Berdasarkan fisiologinya VSD diklasifikasikan menjadi: VSD kecil dengan resistensi vaskular paru normal VSD sedang dengan resistensi vaskular paru bervariasi VSD besar dengan peningkatan resistensi vaskular paru dari ringan sampai sedang VSD besar dengan resistensi vaskular paru yang tinggi UKK Kardiologi Anak membagi VSD (modifikasi Soto dkk.): VSD perimembran outlet, inlet, trabekular, konfluens VSD muskular posterior, trabekular, dan infundibular VSD subarterial (doubly commited subarterial) yang disebut juga tipe Oriental Gambaran klinis sangat bervariasi, dari yang ringan sampai gagal jantung berat disertai dengan gagal tumbuh VSD Kecil Patofisiologi Sebagian kecil darah dari ventrikel kiri ke arteri pulmonalis Pembesaran ruang jantung minimal Bendungan paru minimal Diagnosis Pertumbuhan dan perkembangan normal Bila defek sangat kecil, terutama defek muskular, ditemukan bising sistol dini pendek yang mungkin didahului early systolic click Biasanya bunyi jantung normal, tetapi dapat terdengar bising pansistol yang keras, disertai thrill, dengan pungtum maks. di sela iga III–IV garis parasternal kiri dan menjalar ke sepanjang garis sternum kiri, bahkan ke seluruh prekordium EKG dan foto Rontgen toraks umumnya masih normal VSD Sedang–Besar Patofisiologi Pirau dari ventrikel kiri-kanan lebih banyak dibandingkan dengan VSD kecil Ventrikel kanan tidak membesar karena darah dari ventrikel kiri langsung dipompakan ke arteri pulmonalis pada saat sistol (perbedaan dengan ASD)
562
Diagnosis Anamnesis Gangguan pertumbuhan dan perkembangan Penurunan intolerasi latihan Infeksi paru berulang Gagal jantung Pemeriksaan fisis Auskultasi Murmur holosistol di tepi kiri bawah sternum Mid diastolic rumble di apeks Bunyi jantung kedua terbelah menyempit Intensitas P2 sedikit mengeras Kadang-kadang terdengar klik ejeksi Elektrokardiografi Hipertrofi ventrikel kiri Hipertrofi atrium kiri Foto Rontgen toraks Pembesaran jantung Atrium kiri Ventrikel kiri Penonjolan arteri pulmonalis Corakan vaskular paru ↑ VSD Besar dengan Pengaruh Vaskular Paru Diagnosis Anamnesis Sianosis Intoleransi latihan Pemeriksaan fisis Auskultasi Bunyi jantung kedua tunggal, P2 mengeras Elektrokardiografi Hanya pembesaran ventrikel kanan Foto Rontgen toraks Pembesaran ventrikel kanan Penonjolan a. pulmonalis
Penyulit VSD
Gagal jantung Endokarditis Gangguan fungsi katup
Terapi
Jika terdapat gagal jantung → obat gagal jantung Jika obat gagal jantung tak berhasil, diperlukan terapi definitif berupa operasi bedah jantung atau penutupan transkateter Bila asimtomatis atau tidak terdapat tanda gagal jantung, intervensi dapat ditunda, kecuali mengganggu struktur jantung lain (mis. regurgitasi katup aorta) 563
Indikasi penutupan: Bila aliran pirau kiri ke kanan signifikan (FR ≥1,5) Gangguan pertumbuhan Riwayat endokarditis Prolaps katup aorta Mencegah penyakit vaskular paru dan endokarditis Apabila terdapat penyakit vaskular paru → penyadapan terlebih dahulu, dan bila pulmonary artery 2resistance index (PARI) sesudah pemberian oksigen 100% >8 HRU/m , penutupan tidak dianjurkan
Perjalanan Alamiah VSD
Menutup spontan Prolaps katup aorta Aneurisma septum membranasea Stenosis infundibulum Hipertensi pulmonal Penyakit vaskular paru
Gambar 49 Algoritme Tatalaksana VSD 564
Bibliografi 1.
2. 3.
4. 5.
Gumbiner CH, Takao A. Ventricular septal defect. Dalam: Garson A, Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR, penyunting. The science and practice of pediatric cardiology. Edisi ke-2. Baltimore: Williams & Wilkins; 1998. hlm. 1119–40. Keane JF, Fyler DC. Ventricular septal defect. Dalam: Keane JF, Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas’ pediatric cardiology. Edisi ke-2. Pennsylvania: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 527–47. McDaniel NL, Gutgesell HP. Ventricular septal defects. Dalam: Allen HD, Shaddy RE, Driscoll DJ, Feltes TF, penyunting. Moss and Adams’ heart disease in infants, children, and adolescent. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm. 667–80. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008. Rahayu AU. Indikasi & pemilihan waktu untuk intervensi penyakit jantung bawaan. Dalam: Putra ST, Advani N, Rahayoe AU, penyunting. Dasar-dasar diagnosis dan tatalaksana penyakit jantung pada anak. Simposium Nasional Kardiologi Anak I; 1996. hlm. 163–81.
565
DEFEK SEPTUM ATRIOVENTRIKULARIS (ENDOCARDIAL CUSHION DEFECT, AV CANAL DEFECT) Batasan
Timbul akibat defek penggabungan bantalan endokardium, septum interatrial, maupun septum interventrikel Endocardial cushion berperan dalam pembentukan septum membran, septum ventrikel, daun anterior katup mitral serta daun katup trikuspid, dan bagian bawah septum primum
Klasifikasi
Menurut beratnya abnormalitas Tidak komplet: defek septum primum Komplet/transisi: common atrioventricular Terdapat lesi penyerta
Diagnosis
Sering didapatkan pada anak dengan sindrom down Umumnya simtomatik Pada pirau kiri ke kanan yang besar dengan inkompetensi mitral yang berat didapatkan keluhan cepat lelah, gagal jantung, dan ISPA berulang Dapat ditemukan prekordium yang hiperaktif, thrill sistol, S2 yang mengeras. Murmur holosistol grade 3–4/6 dapat terdengar sepanjang sisi sternum kiri. Bila ada inkompetensi mitral karena cleft dapat terdengar murmur regurgitan di apeks EKG dapat berupa aksis superior, RBBB, RVH, LVH, dan AV blok derajat I Foto memperlihatkan pembesaran jantung dengan corakan vaskular paru ↑
Terapi
Bila terdapat gagal jantung → penanganan gagal jantung Operasi pada usia 2–4 bl
DUKTUS ARTERIOSUS PERSISTEN (PATENT DUCTUS ARTERIOSUS/PDA) Batasan
Terdapat pembuluh darah fetal yang menghubungkan percabangan arteri pulmonalis kiri (left pulmonary arteri) ke aorta desendens tepat di sebelah distal arteri subklavia kiri
Prevalensi
Kurang lebih 5–10% PJB, sering ditemukan pada bayi kurang bulan dengan berat badan lahir rendah (BBLR) 566
Diagnosis
PDA kecil Anamnesis Biasanya asimtomatik Pemeriksaan fisis Auskultasi Komponen pulmonal (P2) normal Bising kontinu (machinery murmur) derajat 1–4/6, jelas terdengar di daerah infraklavikularis kiri atau LSB atas PDA besar Anamnesis Gagal jantung kongestif Gagal tumbuh Takipnea Pemeriksaan fisis Takikardia dan dispnea terutama saat aktivitas atau minum Aktivitas prekordium ↑ Trill dapat teraba pada LSB atas Pulsasi pembuluh darah perifer yang teraba keras (bounding pulsation) dengan tekanan nadi yang lebar akibat tekanan sistol ↑ dan tekanan diastol ↓ Auskultasi Bising sistol kresendo pada LSB atas Diastolic rumble di daerah apeks mungkin dapat terdengar P2 mengeras bila terdapat hipertensi pulmonal PDA besar menyebabkan PVP Pirau duktus dari kanan ke kiri Anamnesis dan pemeriksaan fisis Diferensial sianosis (sianosis pada setengah bagian bawah tubuh) Foto Rontgen toraks Ukuran jantung normal dengan penonjolan konus pulmonalis dan corakan vaskular paru di daerah hilus yang ↓ tetapi tidak mencapai perifer
Terapi
Tidak diperlukan pembatasan aktivitas jika tidak terdapat gagal jantung atau hipertensi pulmonal Profilaksis untuk endokarditis infektif Medis Pada bayi kurang bl dapat diberikan ibuprofen sebelum usia 10 hr Indikasi pemberian ibuprofen Bayi kurang bulan <1.500 g (sesuai usia kehamilan) Bukan merupakan PJB yang bergantung pada aliran darah duktus (non-ductus dependent) Fungsi ginjal dan perdarahan normal 567
Jumlah trombosit normal Tidak didapatkan NEC Tidak didapatkan sepsis Pemeriksaan penunjang sebelum pemberian ibuprofen Laboratorium rutin (Hb, hitung leukosit, Ht, hitung trombosit, morfologi darah tepi, hitung jenis, waktu perdarahan, dan waktu pembekuan) Pemeriksaan fungsi ginjal (urea N, kreatinin) Pemeriksaan radiologis (foto Rontgen toraks dan abdomen) USG kepala Ekokardiografi Kontraindikasi Urea N >25 mg/dL atau kreatinin >1,8 mg/dL Jumlah trombosit <80.000/mm3 Kecenderungan perdarahan, termasuk perdarahan intrakranial NEC Hiperbilirubinemia Bila terdapat tanda gagal jantung, sebelum terapi ibuprofen dilakukan terapi untuk gagal jantung: Pemberian ibuprofen yang dianjurkan adalah melalui i.v. atau pipa nasogastrik dengan dosis 10 mg/kgBB, dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB sesudah 24 dan 48 jam dari pemberian pertama Observasi sesudah pemberian ibuprofen Tanda perdarahan dan gangguan fungsi ginjal Pemeriksaan laboratorium rutin Pemeriksaan fungsi ginjal sesudah pemberian pertama, bila fungsi ginjal ↓, dosis obat diturunkan atau terapi dihentikan Ekokardiografi untuk menilai apakah PDA sudah menutup Bila usaha penutupan dengan medikamentosa ini gagal dan gagal jantung kongestif menetap, bedah ligasi/intervensi perlu segera dilakukan Bila tidak ada tanda gagal jantung, penutupan PDA dapat ditunda, akan tetapi sebaiknya tidak melampaui usia 1 th Prinsipnya semua PDA pada usia >12 mgg harus dilakukan intervensi tanpa menghiraukan besarnya aliran pirau, dengan tujuan menghilangkan gagal jantung, mencegah penyakit vaskular paru, mencegah endokarditis Penutupan PDA dapat dilakukan dengan: Transcatheter PDA occlusion (terapi pilihan utama) Operasi ligasi/divisi: terutama untuk neonatus dan bayi kecil dengan gagal jantung, tubular PDA, dan PDA besar dengan ampula yang kecil Beberapa anak datang terlambat dengan hipertensi pulmonal akibat penyakit vaskular paru, bahkan sudah mengalami Eisenmengerisasi. Dalam kondisi demikian sadap jantung diperlukan untuk menilai reaktivitas vaskular paru 568
Gambar 50 Algoritme Tatalaksana Duktus Arteriosus Persisten Keterangan: PDA: patent ductus arteriosus GJK: gagal jantung kongestif PH: hipertensi pulmonal
Bibliografi 1. 2.
3.
4. 5.
Keane JF, Fyler DC. Patent ductus arteriosus. Dalam: Keane JF, Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas’ pediatric cardiology. Edisi ke-2. Pennsylvania: Saunders Elsevier; 2006; hlm. 617–26. Moore P, Brook MM, Heymann MA. Patent ductus arteriosus and aorto pulmonary window. Dalam: Allen HD, Shaddy RE, Driscoll DJ, Feltes TF, penyunting. Moss and Adams’ heart disease in infants, children, and adolescent. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm. 683–700. Mullins CE, Pagotto L. Dalam: Garson A, Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR, penyunting. The science and practice of pediatric cardiology. Edisi ke-2. Baltimore: Williams & Wilkins; 1998. hlm. 1181–98. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008. Rahayu AU. Indikasi & pemilihan waktu untuk intervensi penyakit jantung bawaan. Dalam: Putra ST, Advani N, Rahayoe AU, penyunting. Dasar-dasar diagnosis dan tatalaksana penyakit jantung pada anak. Simposium Nasional Kardiologi Anak I; 1996. hlm. 163–81. 569
STENOSIS PULMONAL (PULMONARY STENOSIS/PS) Batasan
Kelainan paling sering berupa obstruksi anatomik jalan keluar ventrikal kanan Tipe: valvular (90%), infundibular, supravalvular
Diagnosis
Pemeriksaan fisis bergantung pada berat ringannya stenosis Dapat terjadi gagal jantung kanan Dapat terdengar murmur ejeksi sistol di ICS II tepi kiri sternum Pada stenosis ringan komponen pulmonal bunyi jantung 2 normal Pada stenosis berat terdengar wide splitting S 2 Murmur dapat tidak terdengar pada neonatus dengan Critical PS Foto Rontgen toraks: ukuran jantung normal, tetapi dapat berupa pembesaran jantung (RVH), dengan segmen pulmonal yang menonjol dan corakan vaskular paru yang ↓ atau normal EKG dapat normal pada PS ringan. Pada PS sedang–berat berupa RAD, RVH
Terapi
Percutaneus transluminal balloon valvuloplasty (PTBV) Koreksi bedah terutama untuk tipe supravalvular dan infundibular
KOARKTASIO AORTA Batasan
Penyempitan yang bervariasi panjangnya pada setiap tempat dari arkus aorta ke bifurkasio aorta
Diagnosis
Simtomatis Sering terjadi pada neonatus dengan CoA atau critical aortic stenosis Biasanya disertai defek lain Gejala klinis berat berupa gagal jantung, gagal ginjal, syok yang terjadi pada usia 2–6 mgg Gallop tanpa disertai murmur, dengan pulsasi yang lemah EKG lebih memperlihatkan RVH atau RBBB daripada LVH Foto dada: kardiomegali dengan edema pulmonal atau kongesti vena pulmonal Asimtomatis CoA pada anak yang lebih besar Jarang disertai defek yang lain Ditemukan pada 30% sindrom Turner 570
Sering kali tanpa gejala Tekanan darah ekstremitas atas lebih tinggi dibandingkan dengan ekstremitas bawah Pulsasi ekstremitas bawah lemah sampai tidak teraba Murmur ejeksi sistol dapat terdengar di tepi kanan atas sternum dan interskapula Foto dada: ukuran jantung normal ↑, dapat terlihat rib notching pada anak yang besar
Terapi
Bila terdapat gagal jantung → penanganan gagal jantung Balloon angioplasty/stenting Bedah (CoA repair)
STENOSIS AORTA Batasan
Kumpulan lesi yang menyebabkan obstruksi jalan keluar ventrikel kiri dengan terdapatnya perbedaan tekanan sistol antara ventrikel kiri dan aorta Berdasarkan lokasi anatomisnya dibagi atas: Supravalvular Valvular (tersering berupa bicuspid aortic valve) Subvalvular Hemodinamika Tanpa melihat lokasi obstruksi, beban tekanan ventrikel kiri ↑, beban tekanan makin besar dengan makin beratnya obstruksi
Diagnosis
Bayi : gejala seperti pada critical coarctasio Anak: sering asimtomatik, biasanya pertumbuhan dan perkembangan tidak terganggu Tekanan darah biasanya normal, tetapi didapatkan tekanan nadi yang menyempit Thrill sistol dapat terdengar di tepi kanan atas sternum, lekuk suprasternal, sepanjang arteri karotis Murmur ejeksi sistol terdengar dengan punctum maks. di ICS II-tepi kanan sternum atau ICS III kiri dengan penjalaran ke leher Dapat terdengar murmur diastol bila disertai regurgitasi aorta EKG dapat normal pada kasus ringan, tetapi dapat terlihat LVH pada kasus berat Foto Rontgen toraks umumnya normal, kecuali bila disertai regurgitasi aorta 571
Terapi
PTBV untuk tipe valvular Operasi → bila disertai regurgitasi, subaortic ridge/membran, atau supravalvular Pencegahan terhadap endokarditis infeksi
Bibliografi 1. 2. 3. 4.
Allen HD, Shaddy RE, Driscoll DJ, Feltes TF, penyunting. Moss and Adams’ heart disease in infants, children, and adolescent. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2008. Garson A, Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR, penyunting. The science and practice of pediatric cardiology. Edisi ke-2. Baltimore: Williams & Wilkins; 1998. Keane JF, Fyler DC. Coarctation of the aorta. Dalam: Keane JF, Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas’ pediatric cardiology. Edisi ke-2. Pennsylvania: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 627–43. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008.
572
TETRALOGI FALLOT (TF) Batasan
Penyakit jantung bawaan sianotik berupa kelainan: Obstrusi saluran keluar ventrikel kanan (PS) yang dapat berupa: Stenosis infundibular (50%) Stenosis valvular (10%) atau Kombinasi keduanya (30%) VSD besar Overriding aorta Hipertrofi ventrikel kanan
Hemodinamika
Bergantung pada derajat obstruksi jalan keluar ventrikel kanan Besar VSD yang menentukan perbedaan tekanan ventrikel kiri dengan kanan Bila obstruksi ringan maka pirau lebih banyak dari kiri ke kanan, sehingga sianosis tidak terlihat. Bila obstruksi bertambah berat maka pirau menjadi lebih banyak dari kanan ke kiri sehingga sianosis menjadi nyata Pada bentuk yang ekstrem Atresia katup pulmonal Pirau kanan-kiri yang berasal dari seluruh aliran darah balik sistemik melalui VSD Aliran darah ke paru terjadi melalui PDA VSD yang kecil dengan PS bukan merupakan TF TF tipe asianotik Terdapat pirau kiri-kanan yang ringan sampai sedang Tekanan sistol ventrikel kanan lebih rendah atau sama dengan ventrikel kiri Terdapat perbedaan tekanan arteri pulmonalis dengan ventrikel kanan akibat PS ringan Akibat terdapatnya PS maka pirau dari ventrikel kiri ke kanan akan ↓, sehingga ukuran jantung dan corakan vaskular paru dapat normal TF tipe sianotik Stenosis/obstruksi jalan keluar ventrikel kanan berat Pirau dari kanan-kiri Penurunan aliran darah ke paru Tekanan sistol ventrikel kanan sama dengan ventrikel kiri
Diagnosis
Anamnesis Sianosis dapat terlihat pada saat atau beberapa saat sesudah lahir Dispnea pada saat melakukan aktivitas Squatting pada anak yang sudah dapat berjalan Serangan sianosis (hypoxic spell) 573
Pemeriksaan Fisis TF tipe asianotik Dapat terdengar murmur karena PS dan VSD sepanjang tepi sternum kiri TF tipe sianotik Sianosis Bervariasi derajatnya bergantung pada derajat obstruksi jalan keluar ventrikel kanan Murmur ejeksi sistol di tepi atas-tengah kiri sternum akibat PS, S2 tunggal, dan keras. Pada tipe yang atretik dapat terdengar murmur kontinu karena PDA. Thrill sistol yang teraba pada bagian atas dan tengah tepi kiri sternum kiri Jari tabuh Pemeriksaan Penunjang Foto dada pada TF tipe sianotik Ukuran jantung normal, dengan bentuk boot-shaped (Coeur en sabot), segmen MPA yang cekung, serta corakan vaskular paru ↓ Pada TF dengan atresia pulmonal lapangan paru tampak ‘hitam’ Pembesaran atrium kanan (25%) Lengkung aorta ke kanan (25%) EKG: RAD dan RVH Pada TF asianotik Sulit dibedakan dengan VSD kecil-sedang, tetapi pada pemeriksaan EKG menunjukkan LVH
Perjalanan Alamiah
Bayi TF asianotik secara bertahap akan menjadi sianosis dan yang sudah menunjukkan sianotik menjadi lebih sianotik akibat bertambahnya obstruksi jalan keluar ventrikel kanan Polisitemia terjadi sekunder akibat sianosis Anemia defisiensi besi relatif (hipokromik) Serangan sianosis Gangguan pertumbuhan dan perkembangan dapat terjadi jika sianosis berat Abses otak dan trauma serebrovaskular Endokarditis infektif Koagulopati
Penyulit
Serangan sianosis (hypoxic spell, cyanotic spell) Cerebrovascular accident, terjadi sesudah serangan sianotik Abses otak Endokarditis infektif Anemia relatif Trombosis paru Perdarahan
574
Terapi
Total koreksi umumnya dilakukan sesudah usia satu th, berupa pelebaran jalan keluar ventrikel kanan dan penutupan VSD Bila spell tidak teratasi dengan obat-obatan atau sering terjadi diperlukan operasi BT-shunt sebelum operasi total koreksi
SERANGAN SIANOSIS (CYANOTIC SPELL, HUPOXIC SPELL) Merupakan penyulit tetralogi Fallot serius yang memerlukan diagnosis dan tatalaksana yang tepat dan cepat. Sering terjadi pada bayi dengan TF dengan puncak insidensi antara 2 dan 4 bl. Biasanya terjadi pada pagi hari sesudah menangis, makan, atau defekasi
Manifestasi Klinis
Bernapas cepat dan dalam (hiperpnea paroksismal) Iritabel, rewel, dan menangis terus-menerus Sianosis ↑ Bising jantung menghilang Bila berlanjut penderita terlihat lemas, dapat terjadi kejang atau kesadaran ↓, kelumpuhan, strok bahkan kematian
Patogenesis
Setiap keadaan yang menyebabkan: Penurunan mendadak resistensi vaskular sistemik dan menyebabkan pirau kanan ke kiri yang besar (misal menangis, defekasi, aktivitas berlebihan pada anak kecil) Dapat dipicu oleh penyakit lain seperti infeksi respiratori akut (IRA), diare, dan dehidrasi Resistensi vaskular sistemik ↓ dan obstruksi jalan keluar ventrikel kanan ↑ → pirau kanan ke kiri ↑ → PO2 ↓, PCO2 ↑ dan asidosis. Terjadi stimulasi pusat napas → timbul hiperpnea yang akan meningkatkan venous return, yang selanjutnya menambah pirau kanan ke kiri dan memperberat hipoksia
Terapi
Bayi/anak digendong/diletakkan pada posisi knee-chest Morfin sulfat 0,2 mg/kgBB diberikan s.k. atau i.m. akan menekan pusat pernapasan dan menghilangkan hiperpnea Natrium bikarbonat (NaHCO3), 1 mEq/kgBB i.v. untuk mengatasi asidosis. Dosis yang sama dapat diulang dalam 10–15 mnt. NaHCO3 mengurangi efek stimulasi asidosis pada pusat pernapasan Oksigen dapat diberikan Jika serangan sianosis tidak dapat diatasi dengan terapi di atas Ketamin, 1–3 mg/kgBB (rata-rata 2 mg/kgBB) diberikan i.v. dalam 60 detik, dapat meningkatkan resistensi vaskular sistemik dan juga mempunyai efek sedasi 575
Propanolol, 0,01–0,25 mg/kgBB (rata-rata 0,05 mg/kgBB diberikan dalam bolus i.v. lambat) Sesudah serangan sianosis dapat teratasi maka dilakukan: Penyuluhan terhadap keluarga dalam pengenalan serangan sianosis dan mengetahui apa yang harus dilakukan Propanolol 0,5–1,5 mg/kgBB p.o. setiap 6 jam untuk mencegah serangan sianosis sementara menunggu saat yang tepat untuk dilakukan operasi paliatif maupun korektif Penting melakukan penjagaan terhadap higiene gigi dan pemberian antibiotik profilaksis terhadap endokarditis infektif Koreksi anemia defesiensi besi karena dapat meningkatkan risiko penyulit serebrovaskular
Gambar 51 Algoritme Tatalaksana Tetralogi Fallot Keterangan Tetralogi Fallot merupakan gabungan defek septum ventrikel jenis subaortik atau subarterial, aorta mengangkang septum, stenosis katup/ infundibulum pulmonal, dan hipertropi ventrikel kanan. Bila serangan spell terjadi, selain pemberian morfin untuk sedatif dan bikarbonat natrikus untuk mengatasi asidosis metabolik, juga diperlukan propranolol. Kalau dengan obat-obatan tersebut masih sering timbul serangan sianotik, intervensi bedah perlu segera dilakukan berupa terapi paliatif Blalock taussig shunt (BTS) untuk anak usia di bawah 1 th. Bila spell dapat terkontrol dengan obat-obatan koreksi dilakukan seperti pada anak yang tidak mengalami spell. Pilihan intervensi bergantung pada kesiapan
576
anatomis, terutama ukuran dan bentuk arteri pulmonalis (AP) maupun kesiapan senter yang bersangkutan. Bila tidak terjadi serangan sianotik, bedah korektif dapat dilakukan sesudah usia 1 th dan sebaiknya sebelum anak mulai sekolah. Beberapa institusi maju melakukannya pada masa bayi dengan tujuan melindungi miokardium, otak, dan organ tubuh lainnya dari hipoksia berkepanjangan
Bibliografi
1. Breitbart RE, Fyler DC. Tetralogy of fallot. Dalam: Keane JF, Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas’ pediatric cardiology. Edisi ke-2. Pennsylvania: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 559–79. 2. Neches WH, ParkSC, Ettedgui JA. Tetralogy of fallot and tetralogy of fallot with pulmonary atresia. Dalam: Garson A, Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR, penyunting. The science and practice of pediatric cardiology. Edisi ke-2. Baltimore: Williams & Wilkins; 1998. hlm. 1383–412. 3. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008. 4. Rahayu AU. Indikasi & pemilihan waktu untuk intervensi penyakit jantung bawaan. Dalam: Putra ST, Advani N, Rahayoe AU, penyunting. Dasar-dasar diagnosis dan tatalaksana penyakit jantung pada anak. Simposium Nasional Kardiologi Anak I; 1996. hlm. 163–81. 5. Siwik ES, Errenberg FG, Zahka KG. Tetralogy of fallot. Dalam: Allen HD, Shaddy RE, Driscoll DJ, Feltes TF, penyunting. Moss and Adams’ heart disease in infants, children, and adolescent. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm. 888– 909.
577
ATRESIA PULMONAL DENGAN DEFEK SEPTUM VENTRIKEL Batasan
Bentuk kelainan tetralogi Fallot berat (10%), bayi tampak sangat sianosis segera sesudah lahir, aliran darah ke paru umumnya melalui PDA (70%) atau kolateral (30%). Arteri pulmonalis dan cabangnya hipoplastik, sampai tidak terbentuk
Diagnosis
Sianosis terlihat lebih dini (hari pertama lahir) Tidak terdengar bising pada daerah jalan keluar ventrikel kanan, tetapi mungkin terdengar bising karena duktus atau kolateral. Bila kolateral banyak, tidak terlihat sianosis dan bising dapat didengar hingga di punggung di antara skapula Jantung dapat membesar dan terjadi gagal jantung (pada usia bayi)
Terapi
Mempertahankan PDA dengan prostaglandin E sebelum tindakan operasi PDA stenting/BT shunt Operasi Rasteli sesudah usia 1 th atau lebih
ATRESIA PULMONAL TANPA DEFEK SEPTUM VENTRIKEL Batasan
Kelainan jantung bawaan yang sangat jarang, dikelompokkan menjadi 3 jenis berdasarkan anatomi ventrikel kanan: Tripartit Bipartit Monopartit Hemodinamika Darah masuk ke ventrikel kanan dalam jumlah kecil melalui sinusoid miokardium ke pembuluh koroner dan aorta, tapi sebagian besar regurgitasi ke atrium kanan melalui katup trikuspid yang inkompeten. Pirau kiri ke kanan melalui duktus sangat esensial untuk kelangsungan hidup bayi tersebut. Aliran darah ke paru bergantung pada persistensi duktus arteriosus
Diagnosis
Sianosis jelas pada bayi segera sesudah lahir dan tampak makin jelas selama masa neonatus
Terapi
Mempertahankan duktus arteriosus tetap terbuka dengan infus prostaglandin E sebelum tindakan operasi/intervensi 578
Tipe tripartit: pulmonary valvotomi dengan radio frequency ablation + percutaneus transluminal baloon valvuloplasty Bipartit: pulmonary valvotomi dengan radio frequency ablation + percutaneus transluminal baloon valvuloplasty (± PDA stenting + ballon atrial septectomy) Monopartit: Fontan pathway
ATRESIA TRIKUSPID Batasan
Kelainan ketika atrium kanan tidak berhubungan langsung dengan ventrikel kanan sebagai akibat kegagalan perkembangan/ pembentukan katup trikuspid. Umumnya ventrikel kanan hipoplastik. Aliran darah vena sistemik harus melewati septum atrium ke bagian kiri jantung Hemodinamika Secara umum aliran darah balik mengalir ke atrium kiri melalui septum atrium. Atrium kiri dan ventrikel kiri membesar karena harus memompa darah ke paru dan sistemik serta pencampuran darah dari paru dan darah balik. Sirkulasi paru bergantung pada kelainan yang menyertainya, sehingga akan memengaruhi hemodinamik yang terjadi
Diagnosis
Bergantung pada kelainan anatomi dasar, sebagian besar menunjukkan sianosis sedang–berat, biasanya terjadi dalam mgg ke-1–2 kehidupan secara progresif, napas cepat, dan gangguan minum Serangan hipoksia terjadi pada masa bayi. S2 tunggal dapat terdengar murmur karena VSD atau PDA. EKG memperlihatkan aksis superior dan pada foto dada ukuran jantung dapat normal atau membesar dengan corakan paru ↓, bergantung pada kelainan yang menyertai (ada tidaknya stenosis pulmonal)
Terapi
Bila aliran darah ke a. pulmonalis besar → penanganan gagal jantung Bila aliran darah ke a. pulmonalis kurang → infus prostaglandin E PDA stenting/BT shunt Operasi single ventricle/Fontan pathway
DOUBLE OUTLET RIGHT VENTRICLE (DORV) Batasan
Penyakit jantung bawaan sianosis, kedua pembuluh darah utama (aorta dan arteri pulmonalis) keluar seluruhnya atau sebagian besar dari ventrikel kanan 579
Klasifikasi
DORV sering disertai PS Berdasarkan lokasi VSD terhadap pembuluh darah utama dibagi atas: VSD subaortik VSD subarterial doubly commited VSD subpulmonik (tausig bing anomaly) VSD non-committed
Diagnosis
Bila ada PS sianosis terlihat lebih jelas, kadang dengan spell, dengan murmur ejeksi sistol. Bila tanpa PS gagal jantung lebih jelas. Dapat terdengar murmur pansistol karena VSD EKG memperlihatkan RAD, RAH, RVH kadang dengan aksis superior dan pada foto Rontgen toraks ukuran jantung dapat normal atau membesar dengan corakan paru ↓ atau ↑ bergantung pada PS ada/tidak
Terapi
Bila ada gagal jantung → penanganan gagal jantung Bila spell → tatalaksana spell Operasi koreksi: diupayakan untuk koreksi biventrikular, bila tidak mungkin (VSD remote) maka operasi single ventricle/Fontan pathway
Bibliografi 1. 2. 3. 4.
Allen HD, Shaddy RE, Driscoll DJ, Feltes TF, penyunting. Moss and Adams’ heart disease in infants, children, and adolescent. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. Garson A, Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR, penyunting. The science and practice of pediatric cardiology. Edisi ke-2. Baltimore: Williams & Wilkins; 1998. Keane JF, Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas’ pediatric cardiology. Edisi ke-2. Pennsylvania: Saunders Elsevier; 2006. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008.
TRANSPOSISI ARTERI BESAR Batasan
Anomali yang kompleks berupa posisi abnormal arteri besar: aorta keluar dari ventrikel kanan dan terletak anterior dari a. pulmonalis yang keluar dari ventrikel kiri (D-TGA). Akibatnya darah vena sistemik masuk ke aorta, sedangkan darah v. pulmonalis yang kaya O2 kembali lagi ke paru. Pada masa fetal, dengan terdapat foramen ovale dan duktus arteriosus memberikan efek yang minimal. Pada masa neonatus kelangsungan hidup bergantung pada terdapatnya pencampuran darah kedua sirkuit melalui defek septum atrium, defek septum ventrikel, persistensi duktus arteriosus, atau kolateral bronkopulmonal 580
Diagnosis
Klinis bergantung pada pencampuran adekuat antara sirkulasi sistemik dan paru, serta terdapatnya lesi tambahan seperti PS Apabila pencampuran hanya melalui foramen ovale atau PDA kecil maka keadaan tidak adekuat dan bayi akan tampak sianosis Sianosis akan tampak pada mgg pertama dan menjadi progresif apabila duktus arteriosus menutup, sehingga terjadi hipoksia dan asidosis Bayi menjadi sesak napas dan sering mengalami pneumonia Pertumbuhan lambat Bunyi jantung 1 terdengar normal, sedangkan bunyi jantung ke-2 dapat terdengar tunggal dan keras Tidak terdengar bising jantung kecuali jika terdapat PS atau VSD EKG memperlihatkan RAD dan RVH, foto Rontgen toraks terlihat peningkatan corakan paru dan gambaran egg-on sting
Terapi
Tindakan paliatif yang dapat dilakukan berupa infus PGE1 untuk mempertahankan duktus tetap terbuka atau ballon atrial septectomy untuk mempertahankan mixing sebelum dilakukan operasi korektif Pada transposisi arteri besar tanpa ASD, sebaiknya bedah switch arteri (menukar posisi aorta dan pulmonal, serta memindahkan arteri koroner ke aorta yang baru dilakukan pada usia <1 bl. Sesudah usia 1 bl dikhawatirkan tahanan vaskular pulmonal menurun sejalan dengan maturasi paru, sehingga beban tekanan ventrikel kiri ↓, dindingnya menipis, dan tidak mampu lagi berfungsi sebagai pompa sistemik. Untuk menilai kemampuan ventrikel kiri dapat dilakukan kateterisasi jantung. Kalau tekanan sistol di atas ⅔ tekanan sistol sistemik, diramalkan ventrikel kiri akan mampu berfungsi sebagai pemompa sistemik dan bedah switch arteri dapat dilakukan. Kurang dari itu perlu dilakukan latihan dulu dengan memasang banding pada arteri pulmonal. Akhir-akhir ini prosedur bedah switch arteri cenderung dilakukan pada usia 2–3 mgg Pada transposisi arteri besar dengan VSD kekhawatiran ini tidak ada, karena ventrikel kiri dan kanan merupakan bejana berhubungan, akan tetapi masalah lain yang harus diwaspadai yaitu penyakit vaskular paru. Karenanya bedah switch arteri sebaiknya dilakukan pada usia 2–3 bl. Bila menemukan kasus semacam ini dengan usia >3 bl, sebaiknya dilakukan kateterisasi jantung untuk memastikan besar tahanan vaskular pulmonal. Bila ada obstruksi jalan keluar ventrikel kiri yang tidak dapat direseksi, maka dilakukan BT shunt dahulu, disusul bedah Rastelli sebagai bedah definitif
581
Gambar 52 Algoritme Tatalaksana Transposisi Arteri Besar
Keterangan: TAB: transposisi arteri besar; PAB: pulmonary artery banding; BTS: blalock taussig stunt; LVOTO: left ventricular outflow tract obstruction; PARI: pulmonary artery resistance index; PGE 1: prostaglandin E1; BAS: balloon atrial septectomy
TOTAL ANOMALOUS PULMONARY VENOUS RETURN DENGAN/TANPA OBSTRUKSI Batasan
Pada kelainan ini drainase ke-4 vena pulmonalis bermuara ke atrium kanan atau vena-vena yang bermuara ke atrium kanan
Klasifikasi
Defek dibagi menjadi: Suprakardiak (50%): vena pulmonalis bermuara ke v. inominata kiri melalui vertical vein 582
Kardiak (20%): vena pulmonalis bermuara ke atrium kanan langsung atau melalui sinus koronarius Tipe infracardiac (20%): vena pulmonalis bermuara ke vena kava inferior, vena porta, duktus venosus atau vena hepatika Tipe campuran (10%): campuran di antara tipe yang di atas
Diagnosis
Pada hari ke-1 kehidupan menunjukkan sianosis dan distres napas, berupa dispnea, takipnea, dan retraksi akibat kongesti paru Pada auskultasi terdengar bunyi jantung 2 yang keras dan gallop, tetapi tidak ada bising, dan pada ke-2 lapang paru terdengar crackles. EKG memperlihatkan RAD dan RVH, serta foto Rontgen toraks ukuran jantung umumnya tidak membesar disertai edema dan kongesti paru
Terapi
Operasi segera Untuk stabilisasi dapat diberikan diuretik dan digitalis, atau ballon atrial septectomy
TRUNKUS ARTERIOSUS PERSISTEN Batasan
Keluarnya pembuluh darah tunggal dari jantung yang menampung aliran darah dari ke-2 ventrikel yang memasok sirkulasi darah sistemik, paru, dan koroner
Diagnosis
Sianosis terlihat sesudah lahir dan gagal jantung timbul dalam beberapa mgg. Pada masa bayi, sewaktu tahanan vaskular paru masih rendah, gejala klinis pada trunkus arteriosus dapat mirip dengan VSD yang besar Dispnea Sering mengalami infeksi saluran respiratori Pertumbuhan terganggu Bila terdapat aliran darah paru yang meningkat → pulsus seler Bunyi jantung 1 normal, bunyi jantung ke-2 tunggal, bising sistol regurgitan sepanjang tepi kiri sternum disertai murmur diastol. Tekanan nadi lebar disertai nadi yang bounding EKG memperlihatkan BVH. Foto Rontgen toraks tampak kardiomegali dan corakan vaskular paru ↑
Terapi
Bila ada gagal jantung → penanganan gagal jantung Koreksi total sebelum usia 6 bl
583
ANOMALI EBSTEIN Batasan
Penyakit jantung bawaan berupa malinsersi septal dan posterior leaflet dari katup trikuspid ke ventrikel kanan, sehingga terjadi atrialized RV yang mengakibatkan hipoplasia fungsional ventrikel kanan dan katup trikuspid
Diagnosis
Pada kasus berat sianosis terlihat sejak lahir, tetapi pada kasus yang ringan sianosis baru muncul saat anak besar. S1 dapat terdengar split, S2 terdengar wide splitting, S3 dan S4 dapat terdengar. Murmur regurgitant dapat terdengar karena insufisiensi katup trikuspid EKG memperlihatkan RBBB dan RAH, aritmia berupa preeksitasi WPW, SVT dan AV blok derajat 1. Foto Rontgen toraks memperlihatkan ukuran jantung yang sangat besar
Terapi
Bila terdapat gagal jantung → penanganan gagal jantung Bila aliran darah ke a. pulmonalis kurang → infus prostaglandin E PDA stenting/BT shunt Bila terdapat aritmia → terapi aritmia Operasi koreksi. Bila tidak memungkinkan single ventricle/Fontan pathway
HYPOPLASTIC LEFT HEART SYNDROME Batasan
Merupakan malformasi obstruksi bagian kiri jantung dengan hipoplasia hebat, sampai atretik pada ventrikel kiri (1% dari PJB). Sering disertai hipoplasia dan atresia katup mitral atau stenosis aorta dan hipoplasia arkus aorta. Sebagian besar meninggal pada masa neonatus Hemodinamika Aliran darah ke jantung kiri tidak mungkin terjadi, baik pada masa fetal maupun sesudah lahir. Selama masa fetal perfusi ke aorta terjadi melalui duktus karena resistensi paru yang tinggi. Sesudah lahir, resistensi paru ↓ dan duktus menutup → curah jantung ↓ → syok dan asidosis metabolik. Peningkatan aliran darah ke paru → tekanan di atrium kiri ↑, dengan hipoplasia ventrikel kiri terjadi edema paru
Diagnosis
Sering kali bayi hanya takipnea, takikardia, dan sianosis segera sesudah lahir yang kemudian cepat memburuk dalam 48–72 jam dan tampak kritis Crackles pada kedua paru 584
Pulsasi lemah dan pengisisan kapiler yang lambat Tampak gejala gagal jantung, bahkan syok Hepatomegali S2 keras dan single Sering disertai dengan malformasi SSP Foto Rontgen toraks: edema paru dan ukuran jantung dapat membesar EKG: RVH Asidosis metabolik
Terapi
Infus PGE1 Atasi syok dan asidosis Operasi Norwood Single ventricle pathway
Bibliografi 1. 2. 3. 4.
Allen HD, Shaddy RE, Driscoll DJ, Feltes TF, penyunting. Moss and Adams’ heart disease in infants, children, and adolescent. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. Garson A, Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR, penyunting. The science and practice of pediatric cardiology. Edisi ke-2. Baltimore: Williams & Wilkins; 1998. hlm. 1383–412. Keane JF, Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas’ pediatric cardiology. Edisi ke-2. Pennsylvania: Saunders Elsevier; 2006. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008.
585
GAGAL JANTUNG Batasan
Sindrom klinis akibat jantung tidak mampu memompakan darah dalam jumlah yang cukup ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan dan menerima aliran darah balik dari vena sistemik dan pulmonal, atau kombinasi kedua hal tersebut
Klasifikasi
Kelas fungsional berdasarkan New York Heart Association (NYHA): Kelas I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas biasa tidak menimbulkan kelelahan, dispnea, atau palpitasi Kelas II Ada pembatasan ringan aktivitas fisik. Aktivitas biasa menimbulkan kelelahan, dispnea, palpitasi, atau angina Kelas III Pembatasan aktivitas fisik. Walaupun penderita nyaman saat istirahat, sedikit melakukan aktivitas biasa saja dapat menimbulkan gejala Kelas IV Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas tanpa ketidaknyamanan. Gejala gagal jantung timbul saat istirahat Tabel 132 Klasifikasi Ross untuk Gagal Jantung pada Bayi Sesuai NYHA Kelas I Kelas II
Kelas III
Kelas IV
Tidak ada gejala atau pembatasan fisik Takipnea ringan atau bayi saat minum tampak berkeringat Pada anak yang lebih besar tampak sesak bila beraktivitas Tidak ada gagal tumbuh Takipnea tampak jelas atau tampak berkeringat saat minum maupun aktivitas Waktu minum menjadi lebih lama Gagal tumbuh sebagai akibat gagal jantung Saat istirahat tampak takipnea, retraksi, grunting, atau berkeringat
Etiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh kelainan jantung bawaan atau didapat
586
Tabel 133 Penyebab Gagal Jantung karena Penyakit Jantung Bawaan Usia
Diagnosis
Saat lahir
Hypoplastic left heart syndrome Reguritasi trikuspid berat Regurgitasi pulmonal berat Arteriovenosus (AV) fistula sistemik yang besar Transposisi arteri besar PDA besar pada bayi kurang bulan Total anomalous pulmonary venous drainage Stenosis aorta berat Stenosis pulmonal berat Koartasio aorta Beberapa shunt dari kiri ke kanan seperti AVSD VSD besar PDA besar Anomali arteri koronaria kiri dari arteri pulmonal
Mgg pertama Mgg 1–4 Mgg 4–6 Mgg 6–4 bl
Penyebab gagal jantung akibat penyakit jantung didapat Gangguan metabolik (hipoksia berat dan asidosis, hipoglikemia, hipokalsemia) Fibroelastosis endokardial Miokarditis Karditis pada demam reumatik akut Penyakit katup pada penyakit jantung reumatik Kardiomiopati dilatasi idiopati Kardiomiopati yang berhubungan dengan distrofi muskular dan ataksia Kardiomiopati doksorubisin Supraventricular tachycardia (SVT) Complete heart block Anemia berat Hipertensi akut Displasia bronkopulmonal Kor pulmonale akut karena obstruksi jalan napas Tabel 134 Penyebab Gagal Jantung pada Neonatus yang Bukan karena Penyakit Jantung Bawaan Penyebab Nonkardiak
Primary myocardial disease Penyakit miokardial primer
Diagnosis Iskemia miokardium sementara akibat asfiksia Hipoglikemia, hipokalsemia Anemia berat Overtransfusi atau overhidrasi Sepsis neonatal Miokarditis Gangguan irama jantung 587
Patofisiologi
Faktor-faktor yang dapat menerangkan terjadinya gagal jantung: Beban volume (preload) Beban tekanan (afterload) Gangguan kontraksi dan fungsi jantung Denyut jantung
Diagnosis
Anamnesis Bayi Tidak kuat minum Takipnea Gagal tumbuh Sering berkeringat di dahi Anak besar Sesak napas terutama saat aktivitas Mudah lelah Edema palpebra atau tungkai Pemeriksaan Fisis Akibat respons kompensasi karena fungsi jantung ↓: Takikardia Irama galop Kardiomegali Rangsang simpatis ↑ Gagal tumbuh Keringat dan kulit dingin/lembap Akibat bendungan pada vena pulmonalis Takipnea Ortopnea Wheezing dan ronki Akibat bendungan vena sistemik Tekanan vena jugularis ↑ Palpebra edema pada bayi Hepatomegali Edema tungkai pada anak yang sudah besar, jarang pada bayi Tabel 135 Sistem Skor Ross untuk Gagal Jantung pada Bayi Volume sekali minum (mL) Waktu per sekali minum (mnt) Laju napas (/mnt) Pola napas Perfusi perifer S3 atau diastol rumble Jarak tepi hepar dari batas kosta (cm)
0 poin
1 poin
2 poin
>115 <40
75–115 <40
<25
<50 Normal Normal Tidak ada <2
50–60 Abnormal Menurun Ada 2–3
>60
588
>3
TOTAL: Tanpa gagal jantung : 0–2 poin Gagal jantung ringan : 3–6 poin Gagal jantung sedang: 7–9 poin Gagal jantung berat : 10–12 poin Tabel 136 Skor Klinis Gagal Jantung pada Anak Kriteria Riwayat Diaporesis (berkeringat) Takipnea
Skor 1
0 Hanya di kepala Jarang
Pemeriksaan fisis Pernapasan Normal Laju napas/mnt 1–6 th <35 7–10 th <25 11–14 th <18 Laju jantung/mnt 1–6 th <105 7–10 th <90 11–14 th <80 Hepatomegali (tepi <2 hepar dari tepi kostae kanan) (cm) Skor >6 menunjukkan gagal jantung
2
Kepala dan badan saat beraktivitas Kadangkadang
Kepala dan badan saat istirahat Sering
Retraksi
Dispnea
35–45 25–35 18–28
>45 >35 >28
105–115 90–100 80–90 2–3
>115 >100 >90 >3
Pemeriksaan Penunjang
Foto Rontgen Toraks Kardiomegali Tidak terdapat kardiomegali hampir menyingkirkan diagnosis gagal jantung Kardiomegali bukan berarti terdapat gagal jantung karena beberapa anak yang mempunyai pirau kiri ke kanan yang besar dapat menunjukkan kardiomegali tanpa gagal jantung Elektrokardiografi Membantu menentukan tipe defek Tidak untuk menentukan apakah terdapat gagal jantung atau tidak Ekokardiografi Untuk mengetahui pembesaran ruang jantung Etiologi 589
Terapi
Atasi etiologi yang menjadi penyebab dasar Tindakan intervensi nonbedah dan koreksi bedah Terapi suportif: Istirahat dengan posisi setengah tegak Pemberian oksigen Pemberian nutrisi yang adekuat (sampai 150–160 kcal/kgBB/hr) Pembatasan cairan dan garam (<0,5 g/hr) untuk anak besar Obati/hindari faktor pencetus (infeksi, demam, anemia) Ventilasi mekanik bila diperlukan Obat gagal jantung Obat Antigagal Jantung Diuretik Untuk mengurangi preload Perlu diperhatikan kadar kalium darah Tabel 137 Rute Pemberian dan Dosis Diuretik Nama Obat Diuretik tiazid: Klortiazid Hidroklortiazid
Rute Pemberian
Dosis
p.o. p.o.
20–40 mg/kgBB/hr dibagi dalam 2–3 dosis
i.v. p.o.
1 mg/kgBB/dosis 2–3 mg/kgBB/hr dibagi dalam 2–3 dosis
Asam etakrinik
i.v. p.o.
1 mg/kgBB/dosis 2–3 mg/kgBB/hr dibagi dalam 2–3 dosis
Aldosteron antagonis: Spironolakton
p.o.
1–3 mg/kgBB/hr dalam 2–3 dosis terbagi
Diuretik loop: Furosemid
Efek samping diuretik Hipokalemia, kecuali spironolakton Alkalosis hipokloremik Afterload-reducing agent Mengurangi afterload, menambah stroke volume tanpa menambah konsumsi oksigen miokardium Terdiri atas: Arteriolar vasodilator (misal hidralazin) Venodilator (misal nitrogliserin) Mixed vasodilator (misal ACE inhibitor, nitroprusside)
590
Tabel 138 Rute Pemberian dan Dosis Vasodilator Nama Obat Dosis dan Rute Pemberian Hidralazin 0,1–0,2 mg/kgBB/dosis i.v. setiap 4–6 jam (maks. 2 mg/kgBB setiap 6 jam)
Keterangan Dapat menyebabkan takikardia, sebaiknya digunakan dengan propranolol 0,75–3 mg/kgBB/hr p.o. Gangguan saluran cerna, dibagi 2–4 dosis (maks. 200 neutropenia, dan lupus like mg/hr) syndrome Nitrogliserin 0,5–2 g/kgBB/mnt i.v. Mulai dengan dosis kecil dan dinaikkan perlahan sesuai (maks. 6 g/kgBB/mnt) efek Kaptopril Neonatus: 0,1–0,4 Hipotensi, pusing, mg/kgBB/dosis p.o. neutropenia, dan 1–4×/hr proteinuria Bayi: 0,5–6 mg/kgBB/hr p.o. Dosis dikurangi pada 1–4×/hr penderita gangguan fungsi Anak: 12,5 mg/dosis p.o. 1– ginjal 2×/hr Enalapril 0,1 mg/kgBB p.o. 1–2×/hr Hipotensi, pusing, sinkop Nitroprusid 0,5–8 g/kgBB/mnt i.v. Dapat menimbulkan toksisitas tiosianat atau sianida, disfungsi hepar, atau hipersensitif terhadap cahaya Prazosin Efek samping lebih sedikit Dosis pertama 5 g/kgBB p.o.; dinaikkan sampai 25– dibandingkan dengan hidralazin; hipotensi 150 g/kgBB/hr dibagi ortostatik atau takifilaksis 4 dosis
Digitalis Obat antigagal jantung yang paling banyak dipakai pada bayi dan anak Bersifat inotropik positif dan kronotropik negatif → curah jantung ↑ Tabel 139 Dosis Digitalis pada Gagal Jantung Usia
Dosis Pemeliharaan (µg/kgBB/hr )
Prematur Bayi baru lahir <2 th ≥2 th
5 8 10–12 8–10
591
Efek digitalis terhadap perubahan EKG QTc memendek Pemendekan segmen ST dan amplitudo gelombang T ↓ (vektor T tidak berubah) Frekuensi jantung ↓ Gambaran EKG pada intoksikasi digitalis Interval PR yang memanjang (Interval PR yang memanjang sering dijumpai pada anak normal, sehingga dianjurkan untuk membuat nilai dasar untuk interval PR pada EKG) Bradikardia sinus atau blok SA Aritmia supraventrikular Aritmia ventrikular (ventrikular bigemini dan ventrikular trigemini) Pemberian digitalisasi sudah tidak dianjurkan. Bila diperlukan pemberian digitalis dimulai dengan dosis pemeliharaan. Perhatikan EKG sebelum pemberian dosis pemeliharaan Cara pemberian digitalis Tentukan EKG (perhatikan irama dan interval PR) Periksa elektrolit serum Perubahan irama EKG dan interval PR adalah tanda penting keracunan digitalis Hipokalemia dan hiperkalemia merupakan predisposisi keracunan digitalis Hitung dosis digitalis Dianjurkan untuk dilakukan oleh dua orang untuk mengurangi kesalahan dalam penghitungan Kontraindikasi pemberian digitalis Kardiomiopati hipertropik Blok jantung komplet Tamponade jantung
RENJATAN KARDIOGENIK Batasan
Kegagalan sirkulasi akibat ketidakmampuan jantung untuk memompa darah karena disfungsi miokardium sehingga curah jantung ↓ disertai resistensi vaskular sistemik ↑
Etiologi
Kelainan jantung bawaan Pascaoperasi jantung Aritmia Sepsis tahap lanjut Intoksikasi obat 592
Hipoksia/iskemia otot jantung Miokarditis Kardiomiopati Cedera miokardium Kelainan metabolik (asidosis, hipotermia) Penyakit infiltratif: mukopolisakaridosis, glycogen storage disease Tamponade Tirotoksikosis Feokromositoma
Diagnosis
Hipotensi Takikardia Tanda perfusi jaringan yang kurang Kulit dingin Kesadaran ↓ Oliguria Asidosis metabolik Dispnea Perlambatan pengisian kapiler Ditemukan kelainan jantung/lain yang mendasari EKG dan foto Rontgen toraks bergantung pada kelainan jantung yang menyebabkan renjatan kardiogenik
Diagnosis Banding
Renjatan oleh sebab lain
Pemeriksaan Penunjang EKG Foto Rontgen toraks Ekokardiografi AGD dan MVO2
Terapi
Tujuannya untuk meningkatkan curah jantung dan perfusi jaringan di perifer sehingga dapat mencegah iskemia organ vital dan mengobati/koreksi penyakit yang mendasarinya Prinsip penanganan renjatan kardiogenik terdiri atas 2 kelompok yaitu: 1. Primer: koreksi ditujukan pada faktor penyebab (etiologi) 2. Sekunder: koreksi ditujukan pada gangguan hemodinamika dengan meningkatkan stroke volume Preload Parameter: tekanan vena sentral (CVP), pulmonary capillary wedge pressure (PCWP), tekanan atrium kiri (LAP) rendah, dilatasi ruang jantung Manifestasi fisiologis abnormal: curah jantung dan tekanan darah ↓ Terapi: volume expansion; kristaloid, koloid, plasma, whole blood 593
Kontraktilitas jantung Parameter: curah jantung, tekanan darah, fraksi pemendekan, saturasi oksigen di mixed vein (MVO2) Manifestasi fisiologis abnormal: CVP, PCWP ↑, MVO2 yang rendah, curah jantung dan tekanan darah ↓ Terapi: β-adrenergik agonis Dopamin: 5–15 g/kgBB/mnt Dobutamin: 2,5–20 g/kgBB/mnt Isoproterenol: 0,05–2 g/kgBB/mnt Adrenalin: 0,1–1 mcg/kgBB/mnt Milrinon: 0,375–0,75 mcg/kgBB/mnt Cara pemberian: Berikan melalui vena sentral dengan dosis kecil, titrasi untuk mencapai efek yang diharapkan berupa tekanan darah yang cukup untuk mempertahankan perfusi. Kalau tekanan darah belum meningkat dosis dinaikkan secara bertahap (1–2 g/kgBB/mnt) Afterload Parameter: tekanan darah, perfusi perifer, resistensi vaskular sistemik Manifestasi fisiologis abnormal: CVP, PCWP, LAP, dan SVR ↑ dengan curah jantung rendah, tekanan darah normal atau ↑ Terapi: afterload reducing agent Nitroprusid: 0,3–10 g/kgBB/mnt, dosis dinaikkan tiap 10– 15 mnt sampai tekanan pengisian ventrikel yang diinginkan tercapai Hidralazin: 0,15–0,2 mg/kgBB/dosis setiap 4–6 jam (maks. 20 mg/dosis) Nitrogliserin: 0,5–1 mcg/kgBB/mnt
Pemantauan
Keadaan umum dan tanda vital Tekanan darah melalui arterial line atau NIBP CVP PCWP dan LAP bila memungkinkan Ekokardiografi untuk menilai curah jantung dan pembesaran ruang jantung AGD dan MVO2 Perfusi perifer, diuresis, waktu pengisian kapiler, suhu, warna kulit, kesadaran
Prognosis
Bergantung pada luas dan beratnya pengaruh renjatan, penanganan, dan etiologinya
594
HENTI JANTUNG Batasan
Berhentinya denyut jantung dan aktivitas listrik jantung
Etiologi
Sudden infant death syndrome (SIDS) Tenggelam Gangguan sistem pernapasan Kelainan jantung kongenital dan kelainan jantung lainnya Keganasan Overdosis obat Anafilaksis Endokrinopati
Diagnosis
Tidak ada denyut jantung EKG menunjukkan tidak terdapat aktivitas listrik jantung Pada penderita yang sesaat sebelumnya terdapat kedua hal di atas
Terapi
Henti jantung dapat terjadi setiap saat. Cepat dan tepatnya tindakan akan memengaruhi prognosis, 30–45 detik sudah mulai terlihat dilatasi pupil. Pada saat ini harus diambil tindakan Resusitasi Bebaskan jalan napas Lakukan pernapasan buatan (mulut-ke-mulut atau dengan intubasi/ ventilasi mekanik)—efektif bila tampak pengembangan dinding dada yang adekuat dan warna kulit berangsur normal Masase jantung (efektif bila nadi teraba dan pupil menjadi normal) Memperbaiki Irama Jantung Bila dasar henti jantung adalah fibrilasi atau takikardia ventrikel → lakukan defibrilasi Obat-obatan O2 Na bikarbonat 1–2 mEq/kgBB untuk mengatasi asidosis bila ventilasi sudah baik. Dapat diulangi 5–10 mnt kemudian bila belum tampak sirkulasi spontan Epinefrin 0,01 mg/kgBB s.k. pada bayi dan 0,05 mg pada anak lebih besar, dapat merangsang kontraksi spontan pada asistol, menaikkan tonus miokardium, dan membuat tindakan defibrilasi lebih efektif Atropin 0,01–0,02 mg/kgBB i.v. pada bradikardia berat Lidokain: pada fibrilasi atau takikardia ventrikel Dosis pada bayi: 0,5 mg/kgBB, anak: 1 mg/kgBB i.v., dilanjutkan dengan infus 20 g/kgBB/mnt
595
CaCl yang bersifat inotropik positif, 20 mg/kgBB i.v. (hati-hati pada penderita yang mendapat digitalis) Obat yang bermanfaat Obat vasoaktif (untuk mengatasi hipotensi) Levarterenol 0,1–1 g/mnt Metaraminol 2–20 g/kgBB/mnt Isoproterenol 0,4–1 g/kgBB/mnt, bersifat inotropik dan kronotropik (+) Propanolol 0,1 mg/kgBB i.v. Dopamin 6–10 g/kgBB/mnt, bersifat inotropik positif, untuk life saving, dosis dapat langsung 15 g/kgBB/mnt, jika berhasil dosis diturunkan secara bertahap. Bila tidak menolong ditambahkan dobutamin 2,5–20 g/kgBB/mnt (total dosis dopamin + dobutamin = 15 g/kgBB/mnt) Diuretik juga dapat digunakan Perawatan dan Pengobatan Penyulit Monitor intensif terhadap tanda vital, jalan napas, memasang pipa nasogastik untuk mencegah aspirasi, monitor tanda anuria Monitor EKG terus dipasang sampai keadaan stabil Pengobatan penyulit: gagal ginjal akut, edema otak, dan gagal napas
Prognosis
Dengan resusitasi yang baik keberhasilan <50%, bahkan kebanyakan <15%
Bibliografi 1. 2.
3. 4. 5.
6.
Allen HD, Shaddy RE, Driscoll DJ, Feltes TF, penyunting. Moss and Adams’ heart disease in infants, children, and adolescent. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. Altman C, Kung G. Clinical recognition of congenital heart disease in children. Dalam: Chang AC, Towbin JA, penyunting. Heart failure in children and young adults from molecular mechanisms to medical and surgical strategies. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 201–10. Auslender M. Pathofisiolgy of pediatric heart failure. Prog Pediatr Cardiol J. 2000;2(3):175–84. Corwin E. Congestif heart failure. Dalam: Lazenby LB, penyunting. Handbook of pathophysiology. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2010. hlm. 316–90. Dreyer WJ, Fisher DJ. Clinical recognition and management of chronic congestive heart failure. Dalam: Garson A, Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR, penyunting. The science and practice of pediatric cardiology. Edisi ke-2. Baltimore: Williams & Wilkins; 1998. hlm. 2309–28. Gessner IH. Congestive heart failure. Dalam: Gessner IH, Victorica BE, penyunting. Pediatric cardiology. Philadelphia: WB Saunders Co; 1993. hlm. 117–30. 596
7. 8. 9.
Keane JF, Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas’ pediatric cardiology. Edisi ke-2. Pennsylvania: Saunders Elsevier; 2006. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008. Schweigmann U, Meierhofer C. Strategies for treatment of acute heart failure in children. Minerva Cardioangiol. 2008;56:321–3.
597
KARDIOMIOPATI Batasan
Kelainan primer yang terjadi pada otot jantung atau miokardium dan tidak berhubungan dengan penyakit jantung bawaan, kelainan katup, penyakit jantung koroner, atau kelainan sistemik
Klasifikasi
Berdasarkan anatomi dan gambaran fungsional Kardiomiopati hipertrofi Kardiomiopati dilatasi atau kongesti Kardiomiopati konstriksi
KARDIOMIOPATI HIPERTROFI Batasan
Hipertrofi ventrikel masif dengan ruang ventrikel yang normal atau lebih kecil. Walaupun kontraktilitas ventrikel ↑ tetapi terjadi kegagalan pengisian ventrikel karena relaksasi abnormal merupakan tipe yang paling sering ditemukan
Patologi dan Patofisiologi
Derajat obstruksi akan makin ↑ dari waktu ke waktu Hipertrofi dapat terjadi lokal atau sentral Ruang ventrikel mengecil atau normal Hipertrofi septum yang asimetris biasanya disebabkan hipertrofi idiopatik akibat stenosis subaorta Obstruksi akan meningkat pada Pemakaian obat yang bersifat inotropik positif Volume darah ↓ Tahanan vaskular sistemik ↓ Obstruksi akan berkurang pada Keadaan yang dapat ↑ volume sistol ventrikel kiri Obat-obatan yang bersifat inotropik (−) Transfusi darah Tahanan vaskular ↑
Diagnosis
Anamnesis Terdapat riwayat keluarga Gejala klinis terjadi pada remaja dan dewasa muda Mudah lelah Dispnea Palpitasi Nyeri dada Light headness 598
Pemeriksaan Fisis Nadi teraba kuat Aritmia (takikardia ventrikel atau fibrilasi) Thrill sistol pada apeks atau sepanjang tepi kiri sternum Auskultasi Bunyi jantung 2 normal Murmur akhir sistol yang bervariasi intensitasnya bergantung pada derajat obstruksi Terdengar pada tepi kiri sternum bagian tengah dan bawah atau pada apeks Elektrokardiografi Normal Dapat terjadi: LVH Perubahan ST-T Gelombang Q dalam (hipertropi septum) dengan gelombang R rendah atau hilang di lead precordial Aritmia
KARDIOMIOPATI HIPERTROPI OBSTRUKSI (HYPERTROPHY OBSTRUCTION CARDIOMYOPATHY/HOCM) Batasan
Kontraktilitas miokardium ↑, tetapi terdapat kegagalan pengisian selama fase diastol
Diagnosis
Anamnesis Gejala bendungan paru seperti: Dispneu d’effort Ortopnea Dispnea Nokturnal paroksismal Pemeriksaan Fisis Sesuai dengan gejala bendungan paru Foto Rontgen Toraks Pembesaran ventrikel kiri yang ringan Gambaran jantung seperti bola Vaskularisasi paru normal
Perjalanan Alamiah Obstruksi dapat: Menghilang Stabil
599
Progresif Kematian tiba-tiba Fibrilasi atrium Gagal jantung Endokarditis infektif pada katup mitral
Terapi
Membatasi aktivitas fisik Kardiomiopati tanpa obstruksi ventrikel kiri dapat diberikan terapi pencegahan dengan: -bloker adrenergik Calcium channel blocker verapamil (masih kontroversi) Kardiomiopati dengan Obstruksi -bloker adrenergik Propanolol Atenolol Metoprolol Aritmia Propanolol Amiodaron Terapi sesuai dengan aritmia yang terjadi Digitalis merupakan kontraindikasi karena dapat ↑ derajat obstruksi Pemberian obat kardiotonik dan vasodilator harus dihindari karena dapat ↑ perbedaan tekanan Pemberian diuretik biasanya tidak efektif Profilaksis terhadap endokarditis infektif
KARDIOMIOPATI DILATASI ATAU KONGESTI Batasan
Fungsi kontraktilitas ventrikel ↓ karena dilatasi ventrikel Terjadi pada: Fibroelastosus endokardial (pada bayi) Kardiomiopati akibat pemberian doksorubisin
Etiologi
Idiopatik (>60%) Kongenital Miokarditis Kelainan endokrin Hiper-/hipotiroid Katekolamin yang berlebihan Diabetes melitus Hipokalsemia Hipofosfatemia 600
Kelainan metabolisme glikogen Mukopolisakaridosis Gangguan nutrisi Obat-obat kardiotoksik Doksorubisin Kelainan sistemik Penyakit kolagen Fibroelastosus endokardial (pada bayi)
Patofisiologi
Kontraksi pada saat sistol ↓ Menyebabkan dilatasi keempat ruang bilik jantung Dinding ventrikel tidak menebal Trombus intrakavitas di bagian apikal ventrikel dan appendage atrium Dapat menimbulkan emboli pada paru dan jaringan sistemik lain
Patologi
Hipertrofi miosit Fibrosis Tidak ditemukan sel radang
Diagnosis
Anamnesis Mudah lelah Gagal jantung kiri Kadang ditemukan riwayat infeksi virus Pemeriksaan Fisis Sesuai dengan gagal jantung kongestif Jika terdapat hipertensi pulmonal Splitting bunyi jantung 2 menyempit Komponen P2 mengeras Irama galop Murmur sistol regurgitasi lunak karena regurgitasi katup mitral atau trikuspid Elektrokardiografi Sinus takikardia LVH Perubahan segmen ST-T Mungkin terdapat juga LAH atau RAH Jarang ditemukan pola infark miokardium anterior Dapat terjadi Aritmia atrial Aritmia ventrikular Gangguan hantaran atrioventrikular 601
Foto Rontgen Toraks Kardiomegali dengan atau tanpa: Hipertensi vena pulmonal Edema paru
Perjalanan Alamiah
Progresif Aritmia atrial dan ventrikular Emboli paru dan sistemik Penyebab kematian Gagal jantung Aritmia Emboli yang masif
Terapi
Terhadap gagal jantung Terhadap aritmia Imunosupresif (masih kontroversi) -bloker adrenergik (masih kontroversi) Menurunkan kontraktilitas Tetapi efek kronotropik negatif Menurunkan kebutuhan oksigen Menurunkan efek merugikan katekolamin Menghambat vasokonstriktor yang disebabkan simpatis Menurunkan kejadian aritmia ventrikel Transplantasi jantung
KARDIOMIOPATI RESTRIKTIF Batasan
Terdapat retriksi pengisian ventrikel pada fase diastol Terjadi pada: Gangguan endokardium Gangguan miokardium Kontraktilitas ventrikel normal, tetapi terdapat dilatasi kedua atrium
Etiologi
Idiopatik Berhubungan dengan penyakit sistemik Skleroderma Amiloidosis Sarkoidosis Kelainan metabolisme saat lahir (mukopolisakaridosis) Akibat terapi keganasan atau radiasi
602
Kardiomiopati restriktif infiltratif disebabkan Amiloidosis Sarkoidosis Hemokromatosis Deposit glikogen Penyakit Fabri Neoplasma
Patofisiologi
Dilatasi atrium Tanpa dilatasi ventrikel Gangguan terhadap pengisian ventrikel pada saat diastol disebabkan dinding ventrikel yang sangat kaku Fungsi kontraksi ventrikel normal Mirip dengan perikarditis restriktif
Patologi
Terdapat: Area fibrosis miokardium Hipertrofi miosit Infiltrasi miokardium oleh berbagai macam material
Diagnosis
Anamnesis Lekas lelah Dispnea Nyeri dada Pemeriksaan Fisis Tekanan vena jugularis ↑ Irama galop Murmur sistol akibat regurgitasi katup AV
Terapi
Suportif Diuretik (bermanfaat mengurangi gejala bendungan) Digoksin merupakan kontraindikasi karena fungsi sistol tidak terganggu Calcium channel blocker digunakan untuk meningkatkan diastol Antikoagulan (warfarin) dan antiplatelet (aspirin dan dipiridamol) dapat mencegah trombosis Kortikosteroid dan imunosupresif Pacu jantung permanen diindikasikan untuk penderita blok jantung total Transplantasi jantung dapat dipertimbangkan
603
Bibliografi 1. 2.
3.
4. 5.
Allen HD, Shaddy RE, Driscoll DJ, Feltes TF, penyunting. Moss and Adams’ heart disease in infants, children, and adolescent. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. Bernstein D. Diseases of the myocardium and pericardium. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders Co; 2007. hlm. 1970–5. Bowles NE, Towbin JA. Childhood myocarditis and dilated cardiomyopathy. Dalam: Cooper LE, penyunting. Myocarditis: from bench to bedside. New Jersey: Humana Press; 2003. hlm. 559–87. Colan SD. Cardiomyopathies. Dalam: Keane JF, Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas’ pediatric cardiology. Edisi ke-2. Pennsylvania: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 415–58. Park MK, Troxler RG. Cardiomyopathy. Dalam: Park MK, penyunting. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5. Missouri: Mosby Elsevier; 2008. hlm. 351–66.
604
DEMAM REUMATIK AKUT (DRA) Batasan
Penyulit nonsupuratif infeksi Streptokokus β-hemolitikus grup A di faring yang diperantarai oleh respons imunologis tipe lambat Biasanya timbul 1–5 mgg (rata-rata 3 mgg) sesudah infeksi tersebut Faktor predisposisi Riwayat keluarga dengan demam reumatik Sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk Usia 6–15 th (terbanyak usia 8 th) Sistem pelayanan kesehatan tidak memadai
Diagnosis Tabel 140 Manifestasi Klinis DRA Manifestasi Mayor Poliartritis Karditis Korea Sydenham Eritema marginatum Nodul subkutan
Manifestasi Minor Demam Poliartralgia Acute phase reactan ↑ (LED, leukositosis)
Poliartritis Ditemukan sampai 75% Serangan pertama terjadi pada fase awal penyakit Melibatkan lebih dari 1 sendi besar: lutut, mata kaki, sendi siku, pergelangan; bersamaan atau bergantian, berpindah (poliartritis migran) Terdapat tanda radang pada sendi yang terkena (bengkak, panas, merah, nyeri, functio laesa) Sangat responsif terhadap salisilat Karditis Terdapat pada 50% kasus Biasanya terjadi pada 3 mgg pertama Diagnosis karditis memerlukan 1 dari 4 kriteria di bawah ini: 1. Bising jantung organik, sering berupa apical holosystolic murmur dan basal early diastolic murmur. Pemeriksaan ekokardiografi yang menunjukkan insufisiasi aorta atau mitral saja tanpa terdapat bising jantung organik tidak dapat disebut sebagai karditis 2. Perikarditis (friction rub, efusi perikardium, nyeri dada, perubahan EKG) 3. Kardiomegali pada foto Rontgen toraks 4. Gagal jantung kongestif Eritema Marginatum Ditemukan sampai 15% Terjadi pada awal serangan dan dapat hilang timbul 605
Merupakan makula/papula kemerahan yang berbatas tegas, menyebar secara melingkar atau serpiginosa, tidak sakit atau gatal, hilang pada penekanan Terutama pada badan dan proksimal ekstremitas bagian dalam, tidak pernah ada di wajah Nodul Subkutan Terdapat sampai 20% kasus, terutama terjadi pada DRA dengan kekambuhan dan menetap dalam 1–2 mgg Tidak spesifik untuk demam reumatik Merupakan nodul yang bulat, keras, tidak nyeri, tidak gatal, dan mudah digerakkan dengan diameter 0,2–2 cm Biasanya simetris pada daerah ekstensor sendi siku, pergelangan tangan dan kaki, tendon Achilles, lutut, kepala, dan sepanjang tulang belakang Berlangsung beberapa mgg Korea Sydenham Terdapat pada 5–36% kasus Dapat terjadi sampai 7 bl sesudah infeksi streptokokus Terutama terdapat pada anak perempuan sebelum pubertas Dimulai dengan emosi yang labil dan perubahan kepribadian Gerakan spontan tidak terkoordinasi, tanpa tujuan, disertai kelemahan otot, bicara cadel Disfungsi basal ganglia dan komponen neuron korteks
Dasar Diagnosis Tabel 141 Kriteria WHO Tahun 2002–2003 untuk Diagnosis Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik/PJR (berdasarkan Revisi Kriteria Jones) Kategori Diagnostik Demam reumatik serangan pertama Demam reumatik serangan ulangan tanpa PJR Demam reumatik serangan ulangan dengan PJR Korea reumatik PJR (stenosis mitral murni atau kombinasi dengan insufisiensi mitral dan atau gangguan katup aorta)
Kriteria Dua mayor atau satu mayor dan dua minor ditambah dengan bukti infeksi Streptococcus β-hemolyticus group A sebelumnya Dua mayor atau satu mayor dan dua minor ditambah dengan bukti infeksi Streptococcus β-hemolyticus group A sebelumnya Dua minor ditambah dengan bukti infeksi Streptococcus β-hemolyticus group A sebelumnya Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya atau bukti infeksi Streptococcus βhemolyticus group A Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk mendiagnosis sebagai PJR
Sumber: WHO 2004
606
Bukti infeksi Streptococcus β-hemolyticus group A Peningkatan ASTO >120–400 IU dan antideoksiribonuklease >60– 600 atau Riwayat demam scarlet baru-baru ini Kultur apus tenggorok (+) Pemanjangan PR interval pada EKG
Terapi
Eradikasi Kuman Benzantin penisilin G BB <30 kg: 600.000 IU i.m., BB >30 kg: 1.200.000 IU i.m. Juga berfungsi sebagai profilaksis dosis pertama Jika alergi terhadap benzantin penisilin G Eritromisin 40–50 mg/kgBB/hr dibagi 2–4 dosis selama 10 hr Alternatif lain: Penisilin V 4 × 250 mg p.o. selama 10 hr Antiinflamasi Tabel 142 Terapi Antiinflamasi berdasarkan Manifestasi Klinis Manifestasi Klinis
Terapi
Atralgia
Analgesik (parasetamol)
Artritis
Salisilat 90–100 mg/kgBB/hr 2 mgg → 25 mg/kgBB/hr 4–6 mgg
Karditis
Prednison 2 mg/kgBB/hr dibagi 4–6 dosis p.o. selama 2 mgg → tapering off 2 mgg → salisilat 75 mg/kgBB/hr 2–6 mgg Dosis prednison di-tapering-off pada minggu terakhir pemberian dan mulai diberikan salisilat Sesudah mgg ke-2 salisilat diturunkan, 60 mg/kgBB/hr
Tabel 143 Panduan Obat Antiinflamasi
Prednison Aspirin
Artritis
Karditis Ringan
Karditis Sedang
Karditis Berat
0
0
2–4 mgg
2–6 mgg
1–2 mgg
2–4 mgg
6–8 mgg
2–4 bl
Terapi Gagal Jantung Lihat bab terapi gagal jantung 607
Terapi Korea Sydenham Pengurangan aktivitas dan gangguan emosi Benzantin penisilin G (dosis = yang di atas) Antiinflamasi tidak diberikan pada kasus dengan manifestasi klinis korea saja Pada kasus berat dapat digunakan salah satu dari haloperidol, asam valproat, klorpromazin, diazepam, atau steroid Bila tidak berhasil dapat diberikan terapi kombinasi Tirah Baring Tabel 144 Panduan Tirah Baring dan Aktivitas Artritis
Karditis Minimal
Karditis Sedang
Karditis Berat
Tirah baring
1–2 mgg
2–3 mgg
4–6 mgg
2–4 bl
Aktivitas dalam rumah Aktivitas di luar rumah Aktivitas penuh
1–2 mgg
2–3 mgg
4–6 mgg
2–3 bl
2 mgg
2–4 mgg
1–3 bl
2–3 bl
Sesudah 6–10 mgg
Sesudah 6–10 mgg
Sesudah 3–6 bl
Bervariasi
Aktivitas
Pencegahan
Primer Terapi antibiotik secara adekuat terhadap infeksi saluran respiratori atas oleh streptokokus grup A untuk mencegah demam reumatik akut yang pertama Sekunder Pemberian antibiotik spesifik secara kontinu pada penderita dengan DRA sebelumnya dan penyakit jantung reumatik untuk mencegah kolonisasi atau infeksi Streptokokus group A serta mencegah timbulnya demam reumatik rekurens
608
Tabel 145 Antibiotik untuk Pencegahan Primer
Sekunder
Benzatin penisilin G 600.000 IU i.m. BB <30 kg 1.200.000 IU i.m. BB >30 kg
Benzatin penisilin G Tiap 3–4 mgg 600.000 IU i.m. BB <30 kg 1.200.000 IU i.m. BB ≥30 kg Penisilin V 2 × 125−250 mg Eritromisin 2 × 250 mg
Fenoksimetilpenisilin (penisilin V) 3–4 × 250 mg selama 10 hr Eritromisin 40–50 mg/kgBB/hr dibagi 2–4 dosis selama 10 hr Sefalosforin generasi pertama
Sulfonamid p.o. BB <30 kg: 0,5 g 1×/hr BB ≥30 kg: 1,0 g 1×/hr
Amoksisilin 25–50 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis selama 10 hr
Tabel 146 Lama Pemberian Profilaksis Sekunder Kategori Penderita
Durasi Profilaksis
Tanpa karditis
Selama 5 th sesudah serangan terakhir atau sampai usia 18 th
Dengan karditis (MI atau karditis perbaikan) Penyakit jantung reumatik Pascabedah katup
Selama 10 th sesudah serangan terakhir atau sampai usia 25 th Seumur hidup Seumur hidup
PENYAKIT JANTUNG REUMATIK (PJR) Batasan
Kelainan jantung yang menetap akibat demam reumatik sebelumnya
Etiologi
Demam reumatik akut
Patofisiologi
Meskipun karditis pada demam reumatik dapat mengenai perikardium, miokardium, dan endokardium tetapi kelainan yang menetap hanya ditemukan pada endokardium terutama katup. Katup yang sering terkena yaitu katup mitral dan aorta. Kelainan dapat 609
berupa insufisiensi, tetapi bila penyakit berjalan sudah lama berupa stenosis
Diagnosis
Terdapat riwayat demam reumatik pada waktu yang lampau Ditemukan kelainan katup berupa insufisiensi atau stenosis pada pemeriksaan fisis Bergantung pada beratnya kelainan, dapat ditemukan hipertrofi atrium kiri dan ventrikel kiri, dapat juga ditemukan hipertrofi atrium kiri kanan EKG, ekokardiografi, foto Rontgen toraks bergantung pada kelainan katup
Diagnosis Banding
Kelainan katup oleh sebab lain
Pemeriksaan Penunjang EKG Foto Rontgen toraks Ekokardiografi
Penyulit
Gagal jantung Endokarditis bakterial subakut Tromboemboli
Terapi
Apabila terjadi episode akut, pengobatan seperti demam reumatik akut Terapi gagal jantung dan aritmia Operasi
Pencegahan
Profilaksis sekunder (lihat Tabel 145 dan 146)
Prognosis
Bergantung pada berat ringannya kelainan katup
Bibliografi 1.
2. 3.
El-Said GM, El-Refaee MM, Sorour KA, El-Said HG. Rheumatic fever and rheumatic heart disease. Dalam: Garson A, Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR, penyunting. The science and practice of pediatric cardiology. Edisi ke-2. Baltimore: Williams & Wilkins; 1998. hlm. 1691–724. Fyler DC. Rheumatic fever. Dalam: Keane JF, Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas’ pediatric cardiology. Edisi ke-2. Pennsylvania: Saunders Elseviers; 2006. hlm. 387–99. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008. 610
4.
5.
Tani LY. Rheumatic fever and rheumatic heart disease. Dalam: Allen HD, Shaddy RE, Driscoll DJ, Feltes TF, penyunting. Moss and Adams’ heart disease in infants, children, and adolescent. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm. 1256–79. World Health Organization. Rheumatic fever and rheumatic heart disease. Report of a WHO Expert Consultation. Geneva: WHO; 2004.
611
ENDOKARDITIS INFEKTIF Batasan
Infeksi mikrob pada lapisan endotel jantung yang menyebabkan vegetasi pada katup/struktur jantung
Diagnosis
Anamnesis Riwayat Terdapat penyakit jantung bawaan atau penyakit jantung reumatik Sesudah tindakan gigi dan mulut, saluran urogenital, atau gastrointestinal Pemakaian obat-obatan i.v. Pemasangan kateter vena sentral Katup jantung buatan Demam, nyeri dada dan perut, artralgia atau mialgia, sesak napas, malaise, keringat malam, berat badan ↓, dan gejala neurologis Pemeriksaan Fisis Demam, takikardia, petekia, nodus Osler, splinter hemorrhage, Roth’s spot, lesi Janeway, murmur baru/perubahan murmur, splenomegali, jari tabuh Pemeriksaan fisis yang sesuai dengan: Artritis Glomerulonefritis Abses miokardium Gagal jantung Kriteria Duke untuk Diagnosis Endokarditis Infektif 1. Definitif Kriteria patologi Mikroorganisme: dapat diisolasi dari kultur darah atau vegetasi atau dari abses intrakardiak Ditemukan lesi patologik seperti vegetasi atau abses intrakardiak yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan histologis menunjukkan endokarditis Kriteria klinis 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dan 3 minor, atau 5 kriteria minor 2. Kemungkinan endokarditis infektif (possible) Temuan mengarah pada endokarditis Tidak cukup untuk memenuhi kriteria definitif Tidak termasuk kelompok yang ditolak 3. Ditolak (rejected) Tegaknya diagnosis alternatif untuk manifestasi endokarditis, atau 612
Manifestasi endokarditis menghilang dengan terapi antibiotik selama ≤4 hr, atau Tidak terdapat kelainan patologi saat operasi atau autopsi sesudah pemberian terapi antibiotik selama ≤4 hr Kriteria Mayor 1. Kultur biakan darah positif Mikrorganisme khas yang menyebabkan endokarditis dari 2 bahan kultur darah yang diambil secara terpisah Streptococcus viridans, Streptococcus bovis, atau kelompok HACEK atau Organisme yang didapat dari komunitas yaitu: Staphylococcus aureus atau Enterokokus tanpa fokus primer atau Mikroorganisme penyebab endokarditis dari kultur darah (+) persisten >2 bahan kultur darah (+) yang diambil dengan jarak 12 jam atau 3 atau ≥4 kultur darah (+) dengan jarak waktu antara pengambilan pertama dan berikutnya ≥1 jam 2. Bukti keterlibatan endokardium Ekokardiografi positif: Massa intrakardiak yang bergerak pada katup atau struktur pendukung, pada jalan aliran regurgitasi, atau pada benda yang ditanam tanpa penjelasan anatomik lain atau abses atau defek baru pada katup buatan atau regurgitasi katup yang baru pada ekokardiografi Kriteria Minor 1. Faktor predisposisi berupa kelainan jantung atau pemakaian obat i.v. 2. Panas badan: suhu tubuh ≥38 °C 3. Fenomena vaskular berupa emboli arteri, infark paru, aneurisma mikotik, perdarahan intrakranial, perdarahan konjungtiva, dan lesi Janeway 4. Fenomena imunologi: nodus Osler, Roth’s spot, glomerulonefritis, faktor reumatoid 5. Bukti mikrobiologis, misalnya kultur darah (+) tetapi tidak memenuhi kriteria mayor atau bukti serologi infeksi organisme penyebab endokarditis 6. Ekokardiografi: berhubungan dangan endokarditis tetapi tidak memenuhi kriteria mayor
Penyulit
Gagal jantung Embolisasi Manifestasi neurologis Aneurisma mikotik
613
Terapi
Antibiotik Operasi Penyulit Pemberian Antibiotik Terapi empiris inisial: Penisilin G/ampisilin/seftriakson + gentamisin atau Nafsilin, oksasilin, metisilin + gentamisin Bila metisilin resisten atau alergi penisilin → vankomisin (Dosis lihat Tabel 147) Tabel 147 Pemberian Antibiotik pada Endokarditis Infektif yang Disebabkan Streptokokus, S. bovis, atau Enterokokus Organisme
Antibiotik
Streptokokus yang Penisilin G* peka terhadap atau penisilin (MIC 0,1 μg/mL)# Seftriakson+ Penisilin G* atau Seftriakson+ Gentamisin Streptokokus Penisilin G* relatif resisten atau terhadap penisilin (MIC >0,1–0,5 μg/mL) Seftriakson+ Gentamisin Enterokokus , Penisilin G* + nutritionally variant streptococci atau streptokokus dengan timgkat resisten tinggi terhadap penisilin (MIC >0,5 μg/mL) Gentamisin
Dosis Frekuensi (/kgBB/hr) (jam) 200.000 IU i.v. 4–6
Lama (mgg) 4
100 mg i.v. 200.000 IU i.v.
24 4–6
4 2
100 mg i.v. 3 mg i.m./i.v. 300.000 IU i.v.
24 8 4–6
2 2 4
100 mg i.v. 3 mg i.m./i.v. 300.000 IU i.v.
24 8 4–6
4 2 4–6
3 mg i.m./i.v.
8
4–6
#
Minimum inhibitory concentration of penicilin (MIC) * Dapat diberikan ampisilin 300 mg/kgBB/hr dibagi 4–6 jam sebagai alternatif penisilin Untuk enterokokus yang resisten terhadap penisilin diberikan vankomisin atau aminoglikosid
614
Tabel 148 Terapi Antibiotik pada Endokarditis Infektif yang Disebabkan Streptococcus viridans, S. bovis, atau Enterokokus pada Penderita yang Tidak Dapat Menerima β-laktam Organisme Katup natif Streptokokus Enterokokus Katup buatan Streptokokus Enterokokus
Dosis (/kgBB/hr)
Frekuensi (jam)
Lama (mgg)
Vankomisin Vankomisin + Gentamisin
40 mg i.v. 40 mg i.v. 3 mg i.m./i.v.
6–12 6–12 8
4–6 6 6
Vankomisin + Gentamisin Vankomisin Gentamisin
40 mg i.v. 3 mg i.m./i.v. 40 mg i.v. 3 mg i.m./i.v
6–12 8 6–12 8
6 2 6 6
Antibiotik
Tabel 149 Pemberian Antibiotik pada Endokarditis Infektif yang Disebabkan Stafilokokus Organisme
Dosis (/kgBB/hr)
Katup natif Peka metisilin
Nafsilin atau Oksasilin dengan/tanpa Gentamisin Alergi β-laktam Sefazolin dengan/tanpa Gentamisin atau Vankomisin Resisten metisilin Vankomisin
Katup buatan Peka metisilin
Frekuensi (jam)
Lama (mgg)
200 mg i.v.
4–6
6
3 mg i.m./i.v. 100 mg i.v.
8 6–8
1 6
3 mg i.m./i.v.
8
6
40 mg i.v. 40 mg i.v.
6–12 6–12
3–5 6
200 mg i.v.
4–6
≥6
100 mg i.v. 20 mg p.o. 3 mg i.m./i.v. 40 mg i.v. 20 mg p.o. 3 mg i.m./i.v.
6-8 8 8 6–12 8 8
≥6 ≥6 2 ≥6 ≥6 2
Antibiotik
Nafsilin atau Oksasilin Sefazolin + Rifampisin + Gentamisin Resisten metisilin Vankomisin + Rifampisin + Gentamisin
615
Operasi Indikasi operasi berdasarkan gambaran ekokardiografi Vegetasi Vegetasi persisten sesudah emboli sistemik Vegetasi daun mitral anterior, terutama dengan ukuran >10 mm Kejadian emboli selama 2 mgg pertama sesudah pemberian antibiotik Kejadian emboli selama dan sesudah terapi antibiotik Peningkatan ukuran vegetasi sesudah antibiotik 4 mgg terapi antibiotik Disfungsi katup Insufisiensi mitral atau aorta akut disertai gejala gagal jantung Gagal jantung yang tidak berespons terhadap terapi obat Perforasi atau ruptur katup Perluasan perivalvular Ruptur atau fistula katup Blok jantung baru Abses luas atau abses yang bertambah besar walaupun mendapat terapi antibiotik
Pencegahan
Kelainan Jantung yang Direkomendasikan Mendapat Antibiotik Pencegahan Risiko tinggi Katup jantung buatan Menderita endokarditis sebelumnya PJB sianotik yang belum dikoreksi PJB yang sudah dikoreksi dengan materi prostetik/device, terutama 6 bl pertama sesudah koreksi PJB yang sudah dikoreksi dengan defek residual Pascatransplantasi jantung Risiko sedang Hampir semua PJB (selain yang di atas dan yang di bawah ini): Disfungsi katup didapat (misal penyakit jantung reumatik) Kardiomiopati hipertropik Prolaps katup mitral dengan regurgitasi katup dan atau penipisan daun katup Kelainan Jantung yang Tidak Direkomendasikan Mendapat Pemberian Antibiotik Pencegahan Defek septum atrium sekundum Operasi untuk memperbaiki defek septum atrium, defek septum ventrikel, atau duktus arteriosus persisten Operasi bypass arteri koronaria sebelumnya Prolaps katup mitral tanpa regurgitasi Murmur fisiologik, fungsional, atau inosen Menderita panyakit Kawasaki sebelumnya tanpa disfungsi katup Menderita penyakit demam reumatik sebelumnya tanpa disfungsi katup Pemasangan pacemaker dan defibrillator jantung 616
Rekomendasi Pencegahan pada Prosedur Gigi Prosedur gigi yang direkomendasikan mendapat antibiotik pencegahan Semua prosedur berupa manipulasi jaringan gusi atau regio periapikal gigi atau perforasi mukosa oral Ekstraksi gigi Prosedur periodontal meliputi pembedahan, skeling, root planing, probing, dan pemeliharaan Penempatan dental implant dan reimplantasi gigi yang avulsi Instrumentasi endodontik (root canal) atau pembedahan di atas apeks Pemasangan fiber antibiotik subginggival Pemasangan awal orthodontic bands, tetapi bukan bracket Injeksi anestesi lokal intraligamen Pembersihan pencegahan pada gigi atau implan apabila terdapat perdarahan Prosedur gigi yang tidak direkomendasikan mendapat antibiotik pencegahan Restorasi gigi (operasi atau prostodontik) dengan atau tanpa retraction cord Injeksi anestesi lokal (non-intraligamen) Perawatan endodontik intrakanal; sesudah pemasangan Pemasangan rubber dams Pengangkatan jahitan postoperasi Pemasangan prostodontik yang dilepas (removable) atau piranti ortodontik Pencetakan gigi Terapi fluorid Radiografi oral Pemasangan piranti kawat gigi ortodontik Pencabutan gigi primer
617
Tabel 150 Pemberian Antibiotik Profilaksis pada Endokarditis Infektif pada Tindakan Gigi, Mulut, Saluran Respiratori Atas, dan Prosedur Esofagus Keadaan Profilaksis standar
Obat Amoksisilin
Dosis 50 mg/kgBB p.o. 1 jam sebelum tindakan 50 mg/kgBB i.v/i.m. 30 mnt sebelum tindakan 20 mg/kgBB i.v. selama 1–2 jam
Tidak dapat minum Ampisilin obat Alergi penisilin Klindamisin
atau Sefaleksin/sefadroksil 50 mg/kgBB p.o. 1 jam sebelum tindakan atau Azitromisin/klaritrom 15 mg/kgBB p.o. 1 jam isin sebelum tindakan Klindamisin Alergi penisilin dan 20 mg/kgBB i.v. 30 mnt sebelum tindakan tidak dapat minum obat atau Sefazolin 25 mg/kgBB i.v./i.m. 30 mnt sebelum tindakan
Tabel 151 Pemberian Antibiotik Profilaksis pada Endokarditis Infektif pada Prosedur Saluran Urogenital dan Cerna Keadaan Risiko tinggi
Risiko tinggi yang alergi amoksisilin/ ampisilin Risiko sedang
Obat Ampisilin + Gentamisin
Dosis 50 mg/kgBB i.v./i.m. (maks. 2 g) 1,5 mg/kgBB i.v./i.m. (maks. 120 mg) 30 mnt sebelum prosedur, 6 jam kemudian ampisilin 25 mg/kgBB i.v./i.m. atau amoksisilin 25 mg/kgBB p.o. Vankomisin + 20 mg/kgBB i.v. selama 1–2 jam Gentamisin Amoksisilin/ ampisilin
Risiko sedang yang Vankomisin alergi amoksisilin/ ampisilin
1,5 mg/kgBB i.v./i.m. diberikan 30 mnt sebelum prosedur 50 mg/kgBB p.o. 1 jam sebelum prosedur 50 mg/kgBB i.v./i.m. diberikan 30 mnt sebelum prosedur 20 mg/kgBB i.v. selama 1–2 jam diberikan 30 mnt sebelum prosedur
618
Penyuluhan terhadap Orangtua Sesudah diagnosis kelainan jantung ditegakkan Daftar rujukan ke dokter gigi pada saat: Periode erupsi gigi pertama (usia 6–12 bl) Pemeriksaan rutin gigi setiap 6–12 bl Jika akan Dilakukan Operasi terhadap Kelainan Jantung Dilakukan evaluasi prabedah jantung 1–2 bl sebelum dilakukan bedah jantung Waktu yang cukup untuk penyuluhan dan pengobatan Untuk mengurangi risiko terjadi endokarditis infektif
Bibliografi 1.
2. 3.
4.
5. 6. 7.
Bayer AS, Bolger AF, Taubert KA, Wilson W, Steckelberg J, Karchmer AW, dkk. Diagnosis and management on infective endocarditis and its complications. Circulation. 1998;98(25): 2936–48. Ferrieri P, Gewitz MH, Gerber MA, Newburger JW, Dajani AS, Shulman ST, dkk. Unique features of infective endocarditis in childhood. Pediatrics. 2002;109(5):931–43. Friedman RA, Strake JR. Infective endocarditis. Dalam: Garson A, Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR, penyunting. The science and practice of pediatric cardiology. Edisi ke-2. Baltimore: Williams & Wilkins; 1998. hlm. 1759–76. Habib G, Hoen B, Tornos P, Thuny F, Prendergast B, Vilacosta I, dkk. Guidelines on the prevention, diagnosis, and treatment of infective endocarditis (new version 2009): The Task Force on the Prevention, Diagnosis, and Treatment of Infective Endocarditis of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2009; 30(19):2369–413. Marx GR. Infective endocarditis. Dalam: Keane JF, Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas’ pediatric cardiology. Edisi ke-2. Pennsylvania: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 467–75. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008. Taubert KA, Gewitz MH. Dalam: Allen HD, Shaddy RE, Driscoll DJ, Feltes TF, penyunting. Moss and Adams’ heart disease in infants, children, and adolescent. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins; 2008.
619
MIOKARDITIS Batasan
Respons inflamasi pada miokardium yang disebabkan oleh berbagai etiologi, dengan spektrum klinis yang luas mulai dari asimtomatis (subklinis) sampai gagal jantung dan syok kardiogenik
Etiologi
Bakteri Riketsia Jamur Protozoa Parasit Virus: Adenovirus Coxsackievirus B Echovirus Poliomielitis Mumps Campak Rubela Sitomegalovirus HIV Arbovirus influenza Penyakit imunologi: demam reumatik akut, penyakit Kawasaki Penyakit kolagen Miokarditis toksis: obat-obatan seperti sitostatika dan eksotoksin difteria
Diagnosis
Anamnesis Neonatus atau bayi kecil Anoreksia Muntah, letargis, sampai syok Anak yang lebih besar Sering kali didahului riwayat infeksi Pemeriksaan Fisis Bergantung pada usia dan perjalanan penyakit akut atau kronik Neonatus dan bayi Gagal jantung Bunyi jantung yang redup Takikardia Galop Takipnea Kadang-kadang sianosis Anak yang lebih besar Tanda-tanda gagal jantung Murmur sistol yang lemah Aritmia 620
Irama ireguler Disebabkan oleh denyut supraventrikular atau ventrikel ektopik Pembesaran hepar (hepatomegali) Elektrokardiografi Terdapat salah satu atau kombinasi dari Gelombang QRS yang bervoltase rendah Perubahan ST-T Interval PR memanjang Aritmia Kontraksi prematur Foto Rontgen Toraks Pembesaran jantung (kardiomegali) dengan derajat yang bervariasi merupakan tanda penting Laboratorium Kadar troponin jantung ↑ (troponin I dan T) Harga normal troponin I pada anak <2 ng/mL Pemeriksaan kadar troponin dikatakan lebih sensitif dibandingkan dengan enzim jantung Enzim miokardium Creatine kinase (CK) Isoenzim MB pada CK (CK-MB) Scanning radionuklir (sesudah pemberian gallium-67 atau pirofosfat technetium-99m) dapat menunjukkan inflamasi dan nekrosis yang khas untuk miokarditis Biopsi miokardium
Perjalanan Penyakit
Angka mortalitas tinggi 75% neonatus dengan miokarditis virus akut simtomatik Sebagian besar dapat sembuh sempurna Miokarditis subakut atau kronik dapat mengalami kardiomegali persisten dengan atau tanpa tanda-tanda gagal jantung Pemeriksaan EKG: Hipertrofi ventrikel kiri, atau Hipertrofi ventrikel kiri dan kanan Sulit dibedakan dengan kardiomiopati dilatasi Dapat merupakan prekursor terjadinya kardiomiopati dilatasi idiopatik
Terapi
Terapi suportif Tirah baring dan pembatasan aktivitas selama fase akut Jika terdapat gagal jantung → terapi gagal jantung Digoksin Dilakukan dengan hati-hati Dosis: ½ dosis digitalisasi; karena beberapa penderita miokarditis sangat sensitif terhadap obat-obatan 621
Terapi aritmia Kortikosteroid (dipertimbangkan) dosis 1–2 mg/kgBB selama 2 mgg, selanjutnya tapering-off Gamaglobulin dosis tinggi (2 g/kgBB, selama 12–24 jam) Terapi spesifik terhadap penyebab miokarditis
PERIKARDITIS Batasan
Peradangan pada permukaan parietal dan viseral perikardium Efusi perikardium dapat berupa: Serofibrin Hemoragis Purulen Efusi dapat: Diabsorbsi sempurna atau Menghasilkan penebalan dan konstriktif kronik (perikarditis konstriktiva)
Etiologi
Infeksi virus Infeksi bakteri S. aureus Streptococcus pneumoniae Haemophilus influenzae N. meningitidis Streptokokus Tuberkulosis Demam reumatik akut Pascaintervensi atau bedah jantung Penyakit kolagen, seperti artitis reumatoid, SLE Penyulit penyakit keganasan atau karena terapi penyakit keganasan termasuk iradiasi Uremia (perikarditis uremik)
Patofisiologi
Patogenesis dan gejala yang timbul ditentukan oleh 2 faktor: Kecepatan akumulasi cairan Keadaan miokardium Akumulasi yang cepat cairan perikardium mengakibatkan gangguan sirkulasi (tamponade jantung) Akumulasi yang lambat dengan jumlah yang sedikit dapat menyebabkan gangguan sirkulasi jika terdapat gangguan pada miokardium (miokarditis luas) Akumulasi cairan yang lambat dapat diatasi oleh perikardium jika miokardium tidak terganggu Tamponade jantung akan menimbulkan mekanisme kompensasi Konstriksi vena sistemik dan pulmonal untuk ↑ pengisian diastol 622
Peningkatan resistensi vaskular sistemik untuk ↑ tekanan darah Takikardia untuk ↑ curah jantung
Diagnosis
Anamnesis Riwayat infeksi saluran respiratori atas Nyeri prekordial (tumpul, menyengat, menyentak) dengan penyebaran ke bahu dan leher, nyeri akan menghilang dengan badan condong ke depan atau bertambah dengan posisi berbaring atau inspirasi dalam Febris Pemeriksaan Fisis Pericardial friction rub yang sesuai dengan detak jantung Jika terdapat efusi perikardium yang banyak, auskultasi jantung hipodinamik dan redup Pulsus paradoksus Biasanya tidak terdapat murmur; murmur dapat terdengar pada demam reumatik akut Tamponade jantung Bunyi jantung redup Takikardia Pulsus paradoksus Hepatomegali Distensi vena Hipotensi dengan vasokontriksi perifer Tamponade jantung terjadi lebih sering pada perikarditis purulen dibandingkan dengan perikarditis bentuk lain Elektrokardiografi Low voltage pada gelombang QRS (karakteristik tetapi tidak selalu ada) Dapat terjadi elevasi segmen ST Jika tidak terdapat elevasi segmen ST tetapi terjadi inversi gelombang T (2–4 mgg sesudah onset) Foto Rontgen Toraks Kardiomegali Jantung berbentuk buah pir atau bentuk botol air (water bottle shaped) Corakan vaskular paru dapat bertambah pada tamponade jantung Ekokardiografi Merupakan pemeriksaan yang paling penting Efusi perikardium dapat terlihat baik anterior maupun posterior Dapat mendeteksi tamponade jantung
Terapi
Perikardiosintesis dilakukan sebagai terapi utama, terutama bila ada tamponade dan untuk identifikasi etiologi 623
Analisis cairan perikardium Hitung jenis dan morfologi Glukosa, LDH, dan protein Pewarnaan gram dan tahan asam, kultur bakteri, virus, dan jamur Sitologi/PA Tamponade Jantung Dilakukan pemberian cairan plasma secara bolus sebelum perikardiosintesis ditujukan untuk: Meningkatkan tekanan vena sentral Meningkatkan pengisian jantung Menstabilisasi keadaan emergensi
Bibliografi 1. 2. 3. 4.
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Allan CK, Fulton DR. Clinical manifestations and diagnosis of myocarditis in children [diunduh 13 Mei 2011]. Tersedia dari: http://www.uptodate.com/contents/clinical-manifestations-anddiagnosis-of-myocarditis-in-children. Bernstein D. Diseases of the myocardium and pericardium. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Voughan III VC, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders Co; 2007. hlm. 1970–5. Blauwet LA, Cooper LT. Myocarditis. Prog Cardiovasc Dis. 2010;52(4):274–88. Bowles NE, Towbin JA. Childhood myocarditis and dilated cardiomyopathy. Dalam: Cooper LE, penyunting. Myocarditis: from bench to bedside. New Jersey: Humana Press; 2003. hlm. 559–87. Cooper LT. Myocarditis. N Engl J Med. 2009;360:1526–38. Dennert R, Crijns HJ, Heymans S. Acute viral myocarditis. Eur Heart J. 2008;29:2073–82. Feldman AM, McNamara D. Myocarditis. N Engl J Med. 2000; 343(19):1388–98. Kawai C. From myocarditis to cardiomyopathy: mechanisms of inflammation and cell death: learning from the past for the future. Circulation. 1999;99(8):1091–100. Liu PP, Mason JW. Advances in the understanding of myocarditis. Circulation. 2001;104:1076–82. Magnani JW, Dec GW Jr. Myocarditis: current trends in diagnosis and treatment. Circulation. 2006;113:876–90. Marx GR. Myocarditis. Dalam: Keane JF, Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas’ pediatric cardiology. Edisi ke-2. Pennsylvania: Saunders Elsevier. 2006. hlm. 467–75. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008. Wheeler DS, Kooy NW. A formidable challenge. The diagnosis and treatment of viral myocarditis in children. Crit Care Clin. 2003;19(3):365–91.
624
PENYAKIT KAWASAKI Batasan
Penyakit Kawasaki (mucocutaneous lymph node syndrome; kawasaki syndrome; infantile periarteritis nodosa) merupakan vaskulitis akut generalisata yang tidak diketahui penyebabnya dan bersifat selflimiting disease
Epidemiologi
Penyakit Kawasaki terutama menyerang anak usia <5 th (puncak usia 18–24 bl (USA), 6–11 bl (Jepang). Anak laki-laki terkena 1½–2 kali lebih sering dibandingkan dengan anak perempuan, dengan insidensi per tahun 10–112/100.000 anak. Miokarditis, gagal jantung kongestif, perikarditis dengan efusi perikardial, insufisiensi katup mitral atau katup aorta dan aritmia dapat terjadi pada fase akut penyakit. Kematian biasanya terjadi akibat infark jantung yang disebabkan trombosis, aneurisma arteri koroner, atau akibat ruptura aneurisma pembuluh darah koroner yang besar
Diagnosis
Terdapat demam tinggi selama ≥5 hr Terdapat 4 dari 5 tanda di bawah ini: 1. Kelainan pada ekstremitas: eritema telapak tangan dan kaki; edema tangan dan kaki Perubahan ekstremitas berupa kemerahan pada telapak tangan dan kaki, edema pada bagian dorsal tangan dan kaki, diikuti oleh deskuamasi yang dimulai dari daerah periungual jari yang meluas ke telapak tangan dan kaki, yang terjadi 2–3 mgg sesudah onset demam. Sekitar 1–2 bl sesudah demam timbul lekukan tranversal pada kuku, yang disebut Beau’s lines 2. Ruam polimorfik Biasanya muncul dalam 5 hr sesudah onset demam dan menghilang mulai 1–2 hr sampai >1 mgg. Bentuk paling sering berupa erupsi makulopapular difus, yang menyebar ke seluruh tubuh dan mengenai area perianal disertai pengelupasan dini. Tidak pernah ditemukan vesikel 3. Injeksi konjungtiva bulbar bilateral tanpa eksudat 4. Perubahan mulut dan mukosa orofaring 1) Bibir kemerahan dan bengkak yang mengering disertai pengelupasan, pecah secara vertikal dan berdarah; 2) Lidah stroberi dengan penonjolan dan kemerahan papila lidah yang sulit dibedakan dengan demam skarlet; 3) Eritema difus dari mukosa orofaring, tanpa disertai ulserasi dan eksudat 5. Limfadenopati servikal Limfadenopati servikal biasanya bersifat unilateral dan terdapat pada daerah servikal anterior, mengenai >1 kelenjar dengan ukuran >1,5 cm, tidak disertai kemerahan pada kulit di atasnya, biasanya tidak nyeri, dan nonsupuratif
625
Tanda dan gejala lain Dapat berupa atralgia dan artritis di berbagai sendi (tangan, lutut, pergelangan kaki, panggul), letargi, nyeri kepala dan kaku kuduk akibat meningitis aseptik, meatitis, vulvitis, uretritis, gagal jantung kongestif, otitis media, ikterik, diare, hidrops kandung empedu, nyeri dada, nyeri abdomen, syok dan atau emesis pada anak yang lebih besar akibat infark miokardium, bising jantung akibat insufisiensi akut katup mitral dan kemerahan dan indurasi pada tempat BCG Bukan disebabkan oleh penyakit dengan gejala serupa (eksklusi) seperti: Infeksi virus (campak, adenovirus, enterovirus, Epstein-Barr virus) Demam skarlatina Staphylococcal scalded skin syndrome Limfadenitis bakterial servikal Reaksi hipersensitivitas obat Steven-Johnson syndrome Juvenile rheumatoid arthritis Rocky mountain spotted fever Demam reumatik akut Toxic shock syndrome Leptospirosis Reaksi hipersensitivitas Merkuri (akrodinia) Pemeriksaan Penunjang Tidak spesifik Leukositosis pada fase akut LED dan CRP ↑, yang akan kembali normal dalam 6–10 mgg sesudah onset Fase subakut: trombositosis >500.000/mm3 (rata-rata 700.000/mm3), paling tinggi pada mgg ke-8 Dapat ditemukan ↑ transaminase, gamma glutamyl transpeptidase, bilirubin serum, dan hipoalbuminemia. Selain itu dapat didapatkan piuria yang steril, pleositosis dengan predominan sel mononuklear dengan cairan serebrospinalis Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan untuk mengidentifikasi abnormalitas arteri koronaria. Menurut Kementerian Kesehatan Jepang, arteri koroner disebut abnormal bila ukuran diameter internal >3 mm untuk anak usia <5 th atau >4 mm untuk anak usia ≥5 th atau jika diameter internal cabang ≥1 ½ kali arteri yang mempercabangkannya atau bila arteri koroner terlihat jelas ireguler; sedangkan American Heart Association membagi aneurisma ke dalam aneurisma kecil (<5 mm), sedang (5–8 mm), dan besar (>8 mm). Selain itu, perlu untuk menilai fungsi ventrikel, regurgitasi katup, dan efusi perikardium Bila tidak memenuhi secara penuh kriteria diagnosis, maka kondisi ini disebut penyakit Kawasaki inkomplet/atipik (lihat Gambar 53)
626
Gambar 53 Bagan Algoritme Diagnostik Penyakit Kawasaki Atipik Keterangan: Jika CRP ≥3 mg/dL dan LED ≥40 mm/jam, pemeriksaan laboratorium tambahan harus dilakukan, termasuk albumin, alanin aminotransferase (ALT), trombosit, hitung jenis leukosit, dan urin. Batas abnormal sebagai berikut: Albumin ≤3 g/dL Anemia untuk usianya Kadar ALT ↑ Trombosit ≥450.000 (se sudah 7 hr) Leukosit ≥15.000/mm 3
Jika ≥3 kriteria laboratorium tambahan (+), diagnosis penyakit Kawasaki dapat dibuat dan pengobatan dimulai sambil dilakukan ekokardiogram
627
Tatalaksana
Tatalaksana Fase Akut Imunoglobulin intravena (IVIG) IVIG dosis tunggal 2 g/kgBB diberikan selama 12 jam, yang dimulai dalam 10 hr sesudah onset atau jika penderita datang sesudah lebih dari hari sakit ke-10 tetapi masih demam persisten, aneurisma, atau menunjukkan tanda inflamasi (LED atau CRP ↑) Bila penderita tetap mengalami demam persisten atau timbul lagi demam (rekrudensi) selama ≥36 jam sesudah pemberian IVIG pertama, pemberian IVIG dapat diulang dengan dosis yang sama. Bila masih demam atau terdapat tanda inflamasi akut sesudah 2 kali pemberian IVIG, dapat diberikan metilprednisolon 30 mg/kgBB i.v. selama 2−3 jam dosis tunggal selama 1−3 hr Asetil salisilat Aspirin 80–100 mg/kgBB/hr, dibagi dalam 4 dosis diberikan bersamaan dengan IVIG dan dosisnya diturunkan dalam 48–72 jam sesudah demam hilang, atau sampai hari ke-14 sakit dan >48–72 jam sesudah penurunan panas. Selanjutnya diberikan aspirin dosis rendah (3–5 mg/kgBB/hr) selama 6–8 mgg sesudah onset penyakit dan jika tidak ditemukan kelainan pada arteri koronaria Tatalaksana Jangka Panjang Berdasarkan tingkat risiko untuk mengalami iskemia miokardium dibagi: a. Risiko derajat I Penderita tanpa kelainan arteri koroner pada pemeriksaan ekokardiografi Tidak memerlukan terapi antiplatelet sesudah 6–8 mgg onset Tidak ada pembatasan aktivitas fisik sesudah 6–8 mgg onset Penilaian kardiovaskular setiap 5 th b. Risiko derajat II Penderita dengan transient coronary artery ectasia atau dilatasi koroner yang menghilang dalam 6–8 mgg sesudah onset sakit Tidak memerlukan terapi antiplatelet Tidak ada pembatasan aktivitas fisik sesudah 6–8 mgg onset Penilaian risiko kardiovaskular setiap 3–5 th c. Risiko derajat III Aneurisma koroner kecil–sedang (>3 mm tetapi <6 mm atau ≥1 aneurisma koroner) pada ekokardiografi atau angiografi Pemberian aspirin dosis rendah jangka panjang atau sampai aneurisma mengalami regresi Tidak diperlukan pembatasan aktivitas fisik untuk bayi dan anak dalam dekade pertama, kecuali untuk olahraga yang berat 628
Perlu dilakukan ekokardiografi dan EKG berkala setiap th Stress test direkomendasikan untuk anak >10 th; bila hasilnya memperlihatkan iskemia dilakukan angiografi koroner d. Risiko derajat IV Penderita dengan ≥1 aneurisma besar (≥6 mm), multipel aneurisma dan aneurisma-kompleks tanpa obstruksi Aspirin dosis rendah jangka panjang, dapat ditambahkan warfarin dengan target INR 2–2,5. Alternatif lain yaitu heparin atau klopidogrel Pembatasan aktivitas fisik disesuaikan dengan cardiac stress test yang dilakukan setahun sekali dan risiko perdarahan Penilaian ekokardiografi dan EKG harus dilakukan setiap 6 bl serta skrining risiko aterosklerosis Kateterisasi jantung dengan angiografi koroner harus dilakukan dalam 6–12 bl sesudah sembuh atau segera bila ada indikasi klinis. Angiografi ulang dilakukan bila pemeriksaan noninvasif menunjukkan iskemia e. Risiko derajat V Obstruksi arteri koronaria yang terlihat dengan angiografi Aspirin dosis rendah jangka panjang dengan atau tanpa terapi warfarin Aktivitas disesuaikan dengan respons stress testing Evaluasi ekokardiografi dan EKG harus dilakukan setiap 6 bl serta skrining risiko aterosklerosis Kateterisasi untuk mengevaluasi pemberian terapi trombolitik, untuk menilai perlunya intervensi atau operasi coronary bypass
Bibliografi 1. 2. 3. 4. 5.
6.
Burns JC. Kawasaki disease update. Indian J Pediatr. 2009;76(1): 71–6. Chang RR. Hospitalizations for Kawasaki disease among children in the United States, 1988–1997. Pediatrics. 2002;109(6):e87. Holman RC, Curns AT, Belay ED, Steiner CA, Schonberger LB. Kawasaki syndrome hospitalizations in the United States, 1997 and 2000. Pediatrics. 2003;112:495–501. Ishii M, Ueno T, Akagi T, Baba K, Harada K, Hamaoka K, dkk. Guidelines for catheter intervention in coronary artery lesion in Kawasaki disease. Pediatr Intern. 2001;43:558–62. Nakamura Y, Yashiro M, Uehara R, Oki I, Watanabe M, Yanagawa H. Monthly observation of the number of patients with Kawasaki disease and its incidence rates in Japan: chronological and geographical observation from nationwide surveys. J Epidemiol. 2008;18(6):273–9. Newburger JW, Sleeper LA, McCrindle BW, Minich LL, Gersony W, Vetter VL, dkk. Randomized trial of pulsed corticosteroid therapy for primary treatment of Kawasaki Disease. N Engl J Med. 2007;356:663–75.
629
7.
8.
Newburger JW, Takahashi M, Gerber MA, Gewitz MH, Tani LY, Burns CJ, dkk. Diagnosis, treatment, and long term management of Kawasaki disease: a statement for health professionals from the committee on rheumatic fever, endocarditis, and Kawasaki disease, council on cardiovascular disease in the young, American Heart Association. Circulation. 2004;110(17):2747–71. Oates-Whitehead RM, Baumer JH, Haines L, Love S, Maconochie IK, Gupta A, dkk. Intravenous immunoglobulin for the treatment of Kawasaki disease in children. Coch Database Sys Rev. 2003;4: CD004000.
630
HIPERTENSI PULMONAL Batasan
Hipertensi pulmonal (pulmonary hypertension/PH) merupakan penyakit vaskular paru yang mengakibatkan peningkatan resistensi dan tekanan vaskular paru Secara hemodinamik dan kondisi patofisiologi terjadi peningkatan rerata tekanan di arteri pulmonalis utama >25 mm Tanda khas PH yaitu proliferasi dinding vaskular paru yang mengakibatkan peningkatan progresif resistensi vaskular paru, diikuti disfungsi atau kegagalan ventrikel kanan dan kematian dini Kor pulmonale Hipertensi pulmonal yang terjadi akibat penyakit paru dan menimbulkan hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan atau Hipertrofi ventrikel kanan akibat penyakit yang memengaruhi fungsi dan struktur paru Insidensi Diperkirakan 1–2 kasus/1.000.000 populasi umum Pada anak lebih banyak usia belasan tahun Pada anak remaja (sesudah pubertas) lebih banyak perempuan dibandingkan dengan laki-laki (rasio 1,7:1) Hipertensi pulmonal sekunder lebih sering terjadi, tetapi prevalensinya sulit ditentukan karena penyebab penyakit ini sangat beragam
Klasifikasi
631
Tabel 152 Klasifikasi Hipertensi Pulmonal WHO Revisi 2009 1. Pulmonary arterial hypertension (PAH) Idiopathic (IPAH) Familial (FPAH) Associated with (APAH): Collagen vascular disease Congenital systemic-to-pulmonary shunt Portal hypertension HIV infection Drugs and toxins Other (thyroid disorders, glycogen storage disease, Gaucher disease, hereditary, hemorrhagic, telangiectasia, hemoglobinopathies, myeloprolifera tive disorders, splenectomy) Associated with significant venous or capillary involvement Pulmonary veno-occlusive disease (PVOD) Pulmonary capillary hemangiomatosis (PCH) Persistent pulmonary hypertension of the newborn 2. Pulmonary hypertension with left heart disease Left-sided atrial or ventricular heart disease Left-sided valvular heart disease 3. Pulmonary hypertension associated with lung diseases and/or hypoxemia Chronic obstructive pulmonary disease Interstitial lung disease Sleep-disordered breathing Alveolar hypoventilation disorders Chronic exposure to high altitudes Developmental abnormalities 4. Pulmonary hypertension due to chronic thrombotic and/or embolic disease Thromboembolic obstruction of proximal pulmonary arteries Thromboembolic obstruction of distal pulmonary arteries Non-thrombotic pulmonary embolism (thrombus, parasites, foreign material) 5. Miscellaneous Sarcoidosis, histiocytosis X, lymphangiomatosis, compression of pulmonary vessels (adenopathy, tumor, fibrosing mediastinitis)
Patogenesis
Berdasarkan patogenesisnya: Hipertensi pulmonal hiperkinetik Aliran darah pulmonal ↑ seperti tampak pada penyakit jantung bawaan dengan pirau kiri ke kanan yang besar Hipoksia alveolar Tekanan vena pulmonalis ↑ Terdapat penyakit vaskular pulmonal primer (primary pulmonal vascular disease) 632
Hipertensi Pulmonal Hiperkinetik Berhubungan dengan pirau kiri ke kanan yang besar seperti pada DSV dan DAP Terjadi akibat peningkatan aliran dan pengaruh langsung tekanan sistemik terhadap arteri pulmonalis Bersifat reversibel jika penyebabnya dihilangkan sebelum terjadi perubahan yang menetap pada arteriol paru Jika tidak mendapat terapi akan terjadi: Sindrom Eisenmenger atau Penyakit obstruksi vaskular paru atau Pulmonary vascular obstructive disease (PVOD) Hipoksia Alveolar Tekanan O2 ↓ di daerah kapiler alveolar (hipoksia alveolar) yang bersifat akut atau kronik → vasokontriksi pulmonal Mekanismenya masih belum diketahui dengan pasti Diduga vasokontriksi disebabkan oleh: Efek langsung ↓ PO2 pada arteriol pulmonal Dengan akibat ↑ permeabilitas membran terhadap kalsium atau Dapat juga disebabkan oleh efek tidak langsung agen humoral yang dilepaskan atau diaktifkan di dalam paru-paru Vasoaktif agen yang menimbulkan vasokontriksi pulmonal yang diinduksi hipoksia meliputi: Histamin Prostaglandin F Tromboksan A2 Endoperoksidase Angiotensin Slow reacting substance of anaphylaxis Hipertensi Vena Pulmonal Tekanan vena pulmonalis ↑ → refleks vasokontriksi arteriol pulmonal Menyebabkan hipertensi arteri pulmonalis Terjadi pada: Total anomaly pulmonary vein drainage dengan obstruksi aliran balik pulmonal Stenosis mitral Gagal jantung kiri Primary Pulmonary Vascular Disease/Penyakit Vaskular Paru Primer Hipertensi pulmonal primer bersifat progresif Terdapat perubahan pada a. pulmonalis yang bersifat ireversibel Mekanisme pasti tidak diketahui Diduga: Terjadi kerusakan sel endotel Sehingga tidak terjadi pelepasan PGI2 yang merupakan vasodilator Tetapi dilepaskan tromboksan A2 sehingga terjadi vasokontriksi Tromboksan A2 akan memicu agregrasi trombosit dan akhirnya terbentuk trombus → kerusakan lebih lanjut 633
Berdasarkan patologi (Heath dan Edwards 1958): Derajat 1: ditandai dengan hipertrofi medial dan perluasan otot polos ke arteri yang secara normal nonmuskular Derajat 2: tampak hipertrofi medial dan proliferasi intimal selular Derajat 3: tampak fibrosis intima Derajat 4: dilatasi arteriol Derajat 5: tampak lesi angiomatoid atau pleksiform Derajat 6: tampak necrotizing arteritis
Diagnosis
Anamnesis Dispnea yang berhubungan dengan aktivitas Mudah lelah (fatigue) Sinkop yang berhubungan dengan aktivitas Hemoptoe Sianosis perifer Pada keadaan lanjut: Gagal jantung kanan dengan gejala Edema Hepatomegali Tekanan vena jugularis ↑ Pemeriksaan Fisis Sianosis dengan/tanpa clubbing Teraba denyut ventrikel kanan di linea sternalis kiri Auskultasi: Bunyi jantung kedua normal atau split menyempit Komponen P2 mengeras Klik ejeksi di sepanjang linea mid sternalis kiri Bising awal diastol di daerah katup pulmonal akibat regurgitasi pulmonal Bising sistol pada daerah linea sternalis kiri bawah Bila terdapat gagal jantung kanan: Vena jugularis ↑ Refluks hepatojugular Hepatomegali Edema tungkai Auskultasi: irama suara galop Pada stadium lanjut ditemukan aritmia Klasifikasi Status Fungsional Penderita dengan PH Menurut WHO Kelas I Penderita PH tanpa limitasi aktivitas fisik sehari-hari. Aktivitas fisik rutin tidak menyebabkan keluhan sesak napas, rasa lelah, angina ataupun presinkop Kelas II Penderita PH yang mengalami limitasi pada aktivitas fisik ringan. Saat istirahat tidak ada masalah, tetapi pada aktivitas rutin timbul keluhan sesak, rasa lelah, nyeri dada atau presinkop 634
Kelas III Penderita PH yang mengalami limitasi aktivitas fisik berat. Pada saat istirahat tidak ada masalah, tetapi pada aktivitas yang lebih ringan daripada aktivitas rutin sudah timbul keluhan sesak, rasa lelah, nyeri dada atau presinkop Kelas IV Penderita PH yang tidak mampu melakukan semua aktivitas fisik dan memperlihatkan tanda-tanda gagal jantung kanan. Sesak napas dan atau rasa lelah timbul saat istirahat dan keluhan ↑ pada setiap aktivitas fisik yang ringan sekalipun Foto Rontgen Toraks Ukuran jantung normal atau membesar Segmen arteri pulmonalis menonjol Pelebaran pembuluh darah hilus dengan lapangan paru yang bersih Elektrokardiografi Deviasi aksis ke kanan (RAD) Hipertrofi ventrikel kanan Pada stadium akhir Hipertrofi atrium kanan (amplitudo gelombang P >2,5 mm) Ekokardiografi Gerakan abnormal katup pulmonal Hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan Septum interventrikularis tampak bergeser ke arah ventrikel kiri pada saat sistol dan tampak rata pada akhir sistol Ekokardiografi doppler dapat ditentukan tekanan sistol arteri pulmonalis dengan menentukan kecepatan regurgitasi trikuspid maks. (peak tricuspid regurgitation)
Terapi
Menurunkan resistensi pembuluh darah paru Meningkatkan curah jantung Mengurangi beban volume Transplantasi jantung-paru atau septostomi atrium Memperbaiki Penyebab yang Mendasari Meningkatkan curah jantung Obat inotropik Digoksin Masih digunakan walaupun efektivitas obat ini pada hipertensi pulmonal masih diperdebatkan -adrenergik Dobutamin Isoproterenol Norepinefrin Fenilefrin 635
Obat inotropik yang digunakan sebaiknya tidak meningkatkan resistensi vaskular paru dan tidak menurunkan tekanan darah sistol, tetapi dapat memperbaiki perfusi koroner ventrikel kanan Mengurangi kelebihan volume Diet rendah garam Diuretik Mengurangi volume intravaskular yang ↑ Mengurangi bendungan pada gagal jantung kanan Sebaiknya dihindari pada hipertensi pulmonal berat karena dapat ↓ curah jantung Nitrit oksida inhalasi Untuk merelaksasi otot polos vaskular pulmonal yang mengalami konstriksi Belum diketahui dosis optimal Septostomi atrial Indikasi Sinkop berulang Gagal jantung kanan walaupun sudah diberikan pengobatan medis yang maksimal Tindakan sementara sebelum transplantasi walaupun sudah diberikan terapi medis yang maksimal Jika tidak terdapat pilihan pengobatan lain
Bibliografi 1.
2. 3. 4. 5. 6.
7.
Barst RJ, McGoon M, Torbicki A, Sitbon O, Krowka MJ, Olschewski H, dkk. Diagnosis and differential assessment of pulmonary arterial hypertension. J Am Coll Cardiol. 2004;43:40S– 70. British Cardiac Society Guidelines and Medical Practice Committee. Recommendations on the management of pulmonary hypertension in clinical practice. Heart. 2001;86:i1–13. Budev MM, Arroliga AC, Jennings CA. Diagnosis and evaluation of pulmonary hypertension. Cleveland Clinic J Med. 2003;70:S9– S17. Gaine SP, Rubin LJ. Primary pulmonary hypertension. Lancet. 1998;352(9129):719–25. Galiè N, Torbicki A, Barst R, Dartevelle P, Hawirth S, Higenbottam T, dkk. Guidelines on diagnosis and treatment of pulmonary arterial hypertension. Euro Heart J. 2004;25(24):2243–78. Heath D, Edwards JE. The pathology of hypertensive pulmonary vascular disease; a description of six grades of structural changes in the pulmonary arteries with special reference to congenital cardiac septal defects. Circulation. 1958;18:533–47. Humbert M. Improving survival in pulmonary hypertension. Eur Respir J. 2005;25:216–20. 636
8.
McGoon M, Gutterman D, Steen V, Barst R, McCrory DC, Fortin TA, dkk. Screening, early detection, and diagnosis of pulmonary arterial hypertension. Chest. 2004;126:14S–34S. 9. Rubin LJ, Badesch DB. Evaluation and management of the patient with pulmonary arterial hypertension. Ann Intern Med. 2005;143:282–92. 10. Simonneau G, Galiè N, Rubin LJ, Langleben D, Seeger W, Domenighetti, dkk. Clinical classification of pulmonary hypertension. J Am Coll Cardiol. 2004;43:5S–12S.
637
DISRITMIA JANTUNG Batasan
Gangguan irama jantung yang dapat disebabkan oleh gangguan pada pembentukan impuls dan atau konduksi
Klasifikasi
Disritmia dengan sinus pace maker Disritmia sinus Sinus takikardia Sinus bradikardia Disritmia dengan pace maker ektopik Ectopic beat Kontraksi prematur supraventrikular Kontraksi prematur ventrikel Takikardia ektopik Takikardia supraventrikular paroksismal Takikardia ventrikular paroksimal Geletar atrium (atrial flutter) Fibrilasi atrium Disritmia akibat gangguan konduksi Blok sinoatrial Blok A-V Blok A-V derajat I Blok A-V derajat II Mobitz tipe I Mobitz tipe II Blok A-V derajat III (blok A-V total)
Patofisiologi
Terjadi sebagai akibat gangguan pada pembentukan impuls atau pada konduksi
Diagnosis
Disritmia dengan Sinus Pace Maker Disritmia sinus Klinis: irama jantung ireguler, dipengaruhi oleh pernapasan (nadi cepat pada saat inspirasi) Pada EKG didapatkan: Gelombang P (konfigurasi normal) Tidak ada perubahan interval PR Gelombang QRS selalu didahului oleh gelombang P Sinus takikardia Klinis: frekuensi denyut jantung cepat reguler Pada EKG: gelombang P diikuti kompleks QRS Sinus bradikardia Klinis: denyut jantung reguler dengan frekuensi Bayi: <100×/mnt Anak: <80×/mnt Dewasa: <60×/mnt 638
EKG: kompleks QRS didahului gelombang P PR interval normal Disritmia dengan Pace Maker Ektopik Ectopic beat Kontraksi prematur supraventrikular Impuls berasal dari atrium atau atrioventriculer node Bila sinus node secara permanen atau temporer mengalami gangguan/tekanan, maka fungsi pace maker diambil alih oleh AV node → nodal rhythm sehingga ditemukan gelombang P dan kompleks QRS yang lebih awal dengan pause kompensatoar yang inkomplet Kontraksi prematur ventrikel Tidak ada korelasi antara kontraksi atrium dan ventrikel Bentuk gelombang P normal, kompleks konfigurasi QRS aneh dengan durasi >0,10 detik, QRS dan gelombang T pada arah yang berlawanan. Pause kompensatoar yang komplet Takikardia ektopik Bila fokus ektopik mengeluarkan impuls lebih cepat daripada sinus discharge Takikardia supraventrikular paroksismal Frekuensi 160–300×/mnt, yang onset-nya cepat dan berakhir dengan tiba-tiba. Frekuensi jantung tersebut tetap dan tidak berubah dari waktu ke waktu. Stimulasi refleks vagal dapat mengembalikan ke irama sinus. Jarang didapat gelombang P Takikardia ventrikular paroksismal Ventricular premature beat dengan frekuensi 120–128×/mnt. Jarang terjadi pada anak Harus segera dapat dibedakan dengan takikardia supraventrikular paroksismal, karena perbedaan dalam penanganannya, walaupun kadang-kadang sulit dibedakan Geletar atrium (atrial flutter) Bentuk disritmia supraventrikular dengan frekuensi kontraksi atrium 200–350×/mnt Respons ventrikel bervariasi 140–300×/mnt Pada EKG: didapatkan saw toothed flutter wave Fibrilasi atrium Bentuk disritmia supraventrikular yang paling hebat dengan frekuensi 400–700×/mnt Baik atrium maupun ventrikel berkontraksi tidak beraturan Disritmia Akibat Gangguan Konduksi Blok sinoatrial Kegagalan impuls nodus SA untuk mencapai atrium Pada EKG: gelombang P tidak ada Blok A -V Blok A-V derajat I Klinis irama reguler EKG: PR interval memanjang Gelombang P dan kompleks QRS normal 639
Blok A-V derajat II Mobitz tipe I EKG: fenomena Wenckebach PR interval secara bertahap memanjang sampai suatu saat gelombang P tidak dikonduksikan, terdapat pause, kemudian PR interval mulai memendek lagi Mobitz tipe II Gelombang atrium kadang-kadang tidak dikonduksikan ke ventrikel Blok A-V derajat III (Blok A-V total) Tidak ada impuls yang sampai ke ventrikel
Penyulit
Gagal jantung
Terapi
Disritmia dengan Sinus Pace Maker Disritmia sinus → tidak perlu pengobatan Takikardia sinus → tidak perlu pengobatan khusus Untuk menurunkan HR dapat diberikan: Fenobarbital Propranolol 0,2–0,5 mg/kgBB/hr p.o. dibagi 3–4 dosis Guanetidin 0,2 mg/kgBB/hari p.o. dibagi 3–4 dosis Bradikardia sinus → tidak perlu pengobatan khusus Perlu dicari penyakit yang mendasari
Disritmia dengan Pace Maker Ektopik Ectopic beat: perlu dirawat Kontraksi prematur supraventikuler → digitalis Kontraksi prematur ventrikel Pronestil atau dilantin: mulai dengan i.v., bila memberi respons yang baik selanjutnya p.o. Bila tidak efektif, berikan kuinidin atau propranolol p.o. Berikan KCI p.o. Pronestil/prokainamid: p.o.: awal 14 mg/kgBB, selanjutnya 0,05–0,3 g setiap 6 jam i.m.: awal 0,1 mg/kgBB, selanjutnya tiap 6 jam i.v.: awal 0,1 g dilarutkan dalam dekstrosa 5% perlahanlahan (cara ini hanya untuk keadaan emergensi) Dilantin: i.v.: 2–4 mg/kgBB dalam 5 mnt, dapat diulang sesudah 10– 20 mnt p.o.: 2–5 mg/kgBB/hr, dibagi 3 dosis Kuinidin sulfat: p.o.: 0,1–0,4 g tiap 3–6 jam, biasanya hari pertama 8 × 0,1 g → selanjutnya 4–8 × 0,2 g Kuinidin glukonas: p.o.: 0,15–0,6 g tiap 8–12 jam
640
Takikardia ektopik Takikardia supraventikular paroksismal Tindakan merangsang refleks vagal: Mulai dengan penekanan sinus karotis, yaitu palpasi dan tekanan selama 20 detik, bagian kanan kemudian bagian kiri bergantian, sambil memonitor bunyi jantung dengan auskultasi, segera tindakan dihentikan bila ritme berubah Bila tindakan pertama tidak berhasil, dilakukan tekanan pada bola mata, kelopak mata tertutup, penekanan dilakukan tepat di bawah tepi supraorbital satu sisi selama 20 detik Pada anak besar, bila kedua manuver tersebut di atas tidak berhasil, maka dilanjutkan dengan manuver valsalva atau membuat refleks muntah dengan pemberian 1–2 sendok teh sirup ipekak Pemberian digitalis: Dalam keadaan emergensi pemberian i.v. Bila tidak emergensi p.o. Dosis: mulai dengan dosis total digitalis, diberikan selama periode 18 jam, dibagi dengan interval 6 jam Bila belum ada perbaikan → digitalis diberikan lagi dengan dosis ⅙ total tiap 4 jam sampai efek yang diinginkan tercapai atau sampai ada tanda intoksikasi digitalis. Bila ada takikardia supraventrikular pada sindrom WPW, selain digitalisasi juga kadang-kadang diberikan kuinidin 400–800 mg → 5×/hr Takikardia atrium kronik Diberikan kombinasi digitalis dengan serpasil (serpasil 3–4 × 0,1–0,25 mg/hr p.o.), memberikan efek dalam ± 1 mgg. Bila diberikan i.m., dosis 1–2,5 mg, memberikan efek dalam beberapa jam Tidak efektif dengan kuinidin, pronestil, KCI, atau prostigmin Bila ada gagal jantung → penanganan gagal jantung Tidak efektif dengan countershock Takikardia atrium paroksismal dengan blok Sering terjadi pada intoksikasi digitalis, bila akibat intoksikasi digitalis, hentikan digitalis dan diuretik, beri KCI mulai dengan dosis setengahnya. Dapat diulang 2 kali lagi dengan interval 4 jam Bila berat dan penderita muntah, KCI i.v./drip. KCI dihentikan bila ada tanda intoksikasi KCI (larutan KCI i.v. mengandung 1 g KCI dalam 250 mL dekstrosa 5% → diberikan pada anak dengan BB 50 kg → dalam 1 jam Bila tidak berhasil dengan KCI, beri prokainamid, dilantin dan propranolol → mulai dengan i.v., bila efektif dilanjutkan dengan p.o. Sesudah digitalis dihentikan, dilakukan countershock Takikardia ventrikular paroksismal Rangsangan untuk refleks vagal tidak memberikan respons Obat yang dapat diberikan yaitu kuinidin, dilantin, propanolol, prokainamid, atau mekolil 641
Akhir-akhir ini silokain dan pronestil dianggap pilihan pertama Dosis silokain (lidokain): Larutan 2% (100 mg/4 mL) 0,5–1,0 mg/kgBB/kali, dapat diulang tiap 20–60 mnt (dosis maks. 200 mg/jam) → selanjutnya diberikan per infus larutan 0,1% dalam dekstrosa, dengan dosis 0,5–1,0 g/kgBB/mnt Bila dengan pemberian obat tidak berhasil → countershock Bila akibat intoksikasi digitalis, hentikan obat, beri KCI dan pronestil atau dilantin, bila memungkinkan tanpa counter shock Profilaksis: bertujuan agar tidak timbul aritmia/rekurens Sesudah irama normal obat dilanjutkan selama 1 bl Bila dalam periode tersebut tampak lagi disritmia, diberikan kuinidin 200–400 mg → 4×/hr (dilanjutkan selama 6 bl) Geletar atrium Digitalis Bila tetap ada respons, diberi kuinidin Terakhir digunakan countershock, dilanjutkan dengan kuinidin sebagai profilaksis Fibrilasi atrium Digitalis: kadang-kadang dapat memberikan respons baik Langsung countershock lebih efektif Penanganan gagal jantung (jika perlu) Dosis pemeliharaan kuinidin 1–2 g/hr Koreksi penyakit dasar Disritmia Akibat Gangguan Konduksi Blok sinoartrial Jarang memerlukan pengobatan Atropin, isuprel mungkin efektif Blok atrioventrikular 1. Blok A-V derajat I: Bila hanya ada kelainan ini tidak memerlukan pengobatan Bila dalam pengobatan digitalis, pengobatan tidak perlu dihentikan 2. Blok A-V derajat II: Tidak perlu pengobatan, kecuali bila ada indikasi terhadap penyakit jantung yang mendasarinya. Pada penyakit Adam Stoke, perlu pemasangan alat pacu jantung 3. Blok A-V derajat III: Pemberian efedrin dilanjutkan alupent Bila ada gagal jantung → penanganan gagal jantung Digitalisasi diberikan bila sangat perlu Klorotiazid dapat menurunkan denyut jantung Perlu alat pacu jantung Pemberian isoprel i.v. (isoproterenol 1 g dalam 250 mL dekstrosa 5%) 642
Prognosis
Bergantung pada jenis disritmianya, yang paling ringan tidak perlu pengobatan dan sembuh sendiri. sedangkan yang berat bermanifestasi sebagai gagal jantung dan renjatan kardiogenik yang berakibat kematian
Bibliografi 1.
2. 3.
Kannankeril PJ, Fish FA. Disorders of cardiac rhythm and conduction. Dalam: Allen HD, Shaddy RE, Driscoll DJ, Feltes TF, penyunting. Moss and Adams’ heart disease in infants, children, and adolescent. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm. 293–340. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5. Missouri: Mosby; 2008. Walsh EP, Berul CI, Triedman JK. Cardiac arrhytmias. Dalam: Keane JF, Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas’ pediatric cardiology. Edisi ke-2. Pennsylvania: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 415–58.
643
Nefrologi Nanan Sekarwana Dedi Rachmadi Sambas Dany Hilmanto Ahmedz Widiasta
DIALISIS PERITONEAL Batasan
Dialisis peritoneal adalah suatu teknik pemisahan molekul besar (koloid) dari molekul kecil dalam suatu larutan karena perbedaan kemampuan difusi melalui selaput semipermeabel yaitu peritoneum
Indikasi
Gangguan ginjal akut (GgGA) Indikasi klinis: Sindrom uremia yang mencolok: muntah, kejang, kesadaran ↓ Kelebihan cairan yang menimbulkan gagal jantung, edema paru, dan hipertensi Asidosis yang tidak dapat dikoreksi Indikasi biokimia: Ureum darah >200 mg/dL atau kreatinin >15 mg/dL Hiperkalemia ≥7 mEq/L Bikarbonas plasma ≤12 mEq/L Penyakit ginjal kronik yang belum didialisis dan menunjukkan gejala akut (acute on chronic renal failure) Intoksikasi obat dan keracunan yang berat
Kontraindikasi absolut tidak ada. Kontraindikasi relatif adalah superobesitas, perlekatan dalam abdomen, peritonitis, pascaoperasi atau trauma abdomen, kelainan intraabdominal yang tidak diketahui diagnosisnya
Langkah Persiapan
Evaluasi pradialisis Keseimbangan cairan, bila terdapat dehidrasi dilakukan rehidrasi lebih dahulu Pemantauan balans cairan dan elektrolit Persetujuan orangtua (informed consent) Persiapan alat: Kateter stilet Cairan dialisat isotonis dan hipertonis Larutan NaCl 0,9% untuk asites buatan Lidokain 2% untuk anestesi lokal (sesuai kebutuhan) Heparin Larutan KCl 1 mEq/L Antibiotik garamisin atau amoksisilin i.v./intraperitoneum Peritoneal infusion set Trokar untuk memasukkan kateter Set bedah minor
Langkah Pelaksanaan
Anak ditidurkan dalam posisi terlentang, sebelumnya dapat diberi premedikasi dengan diazepam. Bila kandung kemih masih terisi → kateterisasi. Daerah abdomen antara umbilikus dan pubis disterilkan dengan menggunakan povidon iodin dan alkohol 647
Pada kulit garis tengah (linea alba) ditentukan lokasi tempat keteter peritoneum dimasukkan yaitu 2–3 cm di bawah umbilikus. Pada lokasi tersebut dilakukan anestesi lokal dengan lidokain 2% Dibuat asites buatan melalui lokasi tersebut bila penderita tidak menderita asites yang cukup dengan memasukkan cairan NaCl sejumlah 20 mL/kgBB melalui jarum besar Kateter dimasukkan ke dalam rongga peritoneum melalui bantuan trokar, kemudian didorong ke bawah masuk ke rongga pelvis sampai semua lubang pada kateter berada dalam rongga peritoneum, kemudian kateter difiksasi Cairan dihangatkan terlebih dahulu. Cairan dialisat dimasukkan 30–40 mL/kgBB. Satu siklus dibutuhkan 60 mnt dengan waktu pemasukkan dan pengeluaran cairan 15 mnt, dan cairan dibiarkan dalam rongga peritoneum selama 30 mnt Pada 1–2 siklus pertama diberikan heparin 500–1.000 IU/L ke dalam cairan dialisat, atau terus diberikan selama cairan outflow dialisat menunjukkan warna merah (berdarah) Antibiotik profilaksis (gentamisin 5 mg/L atau ampisilin 250 mg/L) dapat ditambahkan ke cairan dialisat. Penambahan KCl ke dalam cairan dialisat disesuaikan dengan kadar kalium darah. Bila kadar kalium darah normal atau rendah ditambahkan cairan KCl 4 mEq/L
Langkah Pemantauan
Jangka pendek Pemantauan terhadap penyulit: Penyulit mekanik: perforasi alat visera (usus dan kandung kemih), perdarahan pada tempat masuknya kateter dan perdarahan dalam rongga peritoneum, gangguan aliran dialisat yang tidak lancar, penyulit mekanik lain seperti ekstravasasi cairan dialisis ke jaringan subkutan, hernia, omentum Pemantauan meliputi BB, balans cairan, warna, dan kekekeruhan cairan dialisat; laboratorium Hb, asam basa dan elektrolit kalsium, fosfor, natrium, kalium, glukosa darah, ureum, dan kreatinin Jangka panjang Penyulit metabolik berupa gangguan keseimbangan cairan, gangguan keseimbangan elektrolit, gangguan keseimbangan asambasa, hilangnya protein selama dialisis Penyulit radang. Pengobatan peritonitis akibat dialisis peritoneal dapat dilihat pada lampiran
Penghentian Dialisis
Bila keadaan klinis dan laboratorium sudah membaik Bila lebih dari 3×24 jam tidak terjadi perbaikan, dirujuk ke dokter spesialis nefrologi anak
Bibliografi 1.
Fitzpatrick M, Kerr SJ, Bradburry MG. The child with acute renal failure. Dalam: Webb N, Postlethwaite, penyunting. Clinical paediatric nephrology. Edisi ke-3. Oxford: Oxford University Press; 2003. hlm. 405–26. 648
2. 3. 4.
Sallay P, Perfumo F. Peritoneal dialysis. Dalam: Cochat P, penyunting. European Society for Paediatric Nephrology (ESPN) handbook. Jenewa: Novartis Farma; 2002. hlm. 408–12. Strazdins V, Watson AR, Harvey B. Renal replacement therapy for acute kidney injury in children: european guidelines. Pediatr Nephrol. 2004;19(2):199–207. Verrina E. Peritoneal dialysa. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, penyunting. Pediatric nephrology. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2009. hlm. 1785–816.
649
GANGGUAN GINJAL AKUT Batasan
Gangguan ginjal akut (GgGA) pada anak menggunakan kriteria diagnosis Pediatric RIFLE (pRIFLE) yang didasarkan pada estimated creatinine clearance (sesuai dengan laju filtrasi glomerulus pada anak menggunakan rumus Schwartz) dan produksi urin
Gambar 54 Kriteria Diagnosis pRIFLE untuk Klasifikasi Gangguan Ginjal Akut pada Anak
Manifestasi Klinis
Kondisi yang berhubungan dengan hipovolemia berat, seperti muntah, diare, poliuria, asidosis tubular renalis, dan tubulopati kronik Gejala yang mengarah pada penyakit ginjal dapat ditandai dengan glomerulonefritis akut pascainfeksi streptokokus, sindrom hemo-litik uremik, rapidly progressive glomerulonephritis yang terkait dengan vaskulitis sistemik (lupus eritematosus sistemik, Henoch-Schonlein purpura), hepatitis B, dan malaria, penyebab lain seperti obatobatan, bisa ular, dan gigitan serangga Manifestasi klinis penyakit berat dengan faktor predisposisi kegagalan multiorgan Bayi baru lahir dengan oliguria atau anuria Bayi dengan malformasi kongenital mayor seperti katup uretra posterior, atau penyakit genetik seperti penyakit ginjal yang diturunkan secara autosomal resesif, trombosis vena renalis bilateral 650
Diagnosis
Menentukan GgGA dengan menggunakan kriteria pRIFLE Membedakan beberapa penyebab yang berbeda dengan menggunakan metode noninvasif (urinalisis, pemeriksaan darah, dan ultrasonografi ginjal) Penentuan diagnosis awal suatu penyebab obstruktif dan penyebab prerenal sangat penting sebagai penentu tatalaksana yang cepat untuk mencegah timbulnya cedera ginjal Urinalisis Indeks Darah dan Urin (untuk membedakan GgGA renal dengan prerenal) a. Ekskresi natrium fraksional (bila memungkinkan): FeNa = (natrium urin/plasma) × (kreatinin plasma/urin) × 100% b. Ekskresi urea fraksional (bila memungkinkan): FeUN = (urea urin/urea plasma) × (kreatinin plasma/urin) × 100% Tabel 153 Perbedaan Indeks Darah dan Urin pada Anak dengan Neonatus berdasarkan Penyebab GgGA Indeks Darah Urin Natrium urin (mmol/L) Osmolalitas urin (mOsm/kg) Urea urin/plasma Osmolalitas urin/plasma Kreatinin urin/plasma Ekskresi natrium fraksional (FeNa) Ekskresi urea fraksional (FeUN)
Penyebab Prerenal Anak Neonatus
Penyebab Intrinsik Renal Anak Neonatus
<20 >500 >8 >1,15 >40 <1
>40 <350 <3 <1,1 <20 >1
<35%
<20 >400 >1,2 <2,5
>50 <400 <1,2 >2,5
>50%
Tes Laboratorium Lain Darah lengkap Apus darah tepi Pemeriksaan kadar komplemen serum (C3 dan C4) Anti-nuclear antibodies, antibodi sitoplasmik antineutrofil, dan anti-glomerular basement membrane antibodies Titer antistreptolisin O (ASTO) Pencitraan Ultrasonografi Pemeriksaan radiologi lanjutan bila terindikasi dan memungkinkan: Pencitraan radionukleosida 99m Technetium 99m-diethylene triamine pentaacetic acid (99m TcDTPA) dan Technetium 99m mercaptoacetyltriglycine( TcMAG3) 651
99m
Tc-MAG3 CT-scan abdomen Pemindaian yang kontras sebaiknya dihindari karena berisiko terjadi nefropati kontras Magnetic resonance urogram (MRU) Biopsi Ginjal Penanda Biologis (Biomarker) Neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL) Cystatin C Interleukin-18 (IL-18) Kidney injury molecule-1 (KIM-1)
Terapi
Penatalaksanaan GgGA dibagi dalam 2 jenis: Terapi konservatif Terapi dialisis Terapi Konservatif Tujuan terapi konservatif untuk mencegah progresivitas kelebihan cairan, kelainan elektrolit dan asam basa, serta penanggulangan gejala uremia Tahap Antisipatif Mengantisipasi keadaan penyakit yang mempunyai risiko menimbulkan penyulit GgGA, sehingga dapat melakukan penanggulangan sedini-dininya. Keadaan tersebut antara lain: Tidak ada diuresis 48 jam sesudah lahir pada neonatus Terdapat gambaran obstruksi saluran kemih pada USG pranatal Dehidrasi Pemakaian obat nefrotoksik jangka panjang atau kemoterapi Pascabedah kardiovaskular Tahap GgGA Prarenal Terapi cairan diberikan sesuai etiologi. Pada gastroentritis dehidrasi diberi cairan Ringer laktat (RL) atau Darrow glukosa sesuai protokol. Pada syok hemoragik diberi transfusi darah, sedangkan bila penyebab hipovolemia karena hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik diberi infus albumin atau plasma. Bila penyebabnya tidak jelas, diberi cairan RL 20 mL/kgBB dalam waktu 1 jam yang dapat diulang sampai keadaan sirkulasi baik atau terjadi diuresis (biasanya diuresis terjadi sesudah 2–4 jam pemberian cairan rehidrasi). Pada keadaan tertentu perlu dipasang central venous pressure (CVP) untuk menentukan derajat hipovolemia dan memantau hasil pengobatan cairan. CVP <5 berarti hipovolemia (CVP normal = 6–10 H2O) Tahap GgGA Renal Awal (Insipien) Pada tahap ini tidak responsif terhadap pemberian cairan pengganti akan tetapi responsif pada pemberian diuretika. Ciri 652
tahap ini sudah terjadi rehidrasi tetapi masih tetap oliguria. Pada tahap ini dapat dicoba pemberian terapi diuresis paksa (force diuretic) dengan syarat tidak ada obstruksi saluran kemih (GgGA pascarenal) Obat yang dipakai: 1. Manitol 20% 0,5 g (= 2½ mL)/kgBB diinfus dalam 10–20 mnt, hanya boleh 1 kali pemberian 2. Furosemid 1 mg/kgBB/kali; dinaikkan berganda tiap 6–8 jam sampai 10 mg/kgBB/kali. Cara ini lebih disukai karena mengurangi risiko overload cairan, tetapi perlu diingat bahwa dosis tinggi furosemid dapat → efek samping tuli. Tujuan terapi ini untuk mengubah keadaan GgGA oligurik menjadi nonoligurik untuk memudahkan pemberian cairan dan kalori. Selain furosemid dapat diberikan juga dopamin dosis rendah yaitu 5 µg/kgBB/mnt untuk ↑ peredaran darah ginjal Tahap Pemeliharaan Pada fase ini sudah terjadi GgGA renal. Tujuan penanggulangan untuk menjaga homeostasis tubuh sambil menunggu fungsi ginjal membaik bila penyebabnya sudah diobati atau terjadi perbaikan spontan. Bila tidak berhasil atau timbul salah satu indikasi dialisis maka terapi konservatif harus dilanjutkan dengan terapi dialisis. Terapi pada tahap ini dilakukan dengan penghitungan balans cairan sbb.: jumlah cairan yang diberikan = insensible water loss (IWL) + jumlah urin 1 hr sebelumnya + cairan lain yang keluar dengan muntah, feses, selang nasogastrik, dll. Pada setiap kenaikan suhu 1 °C ditambah 12%. Balans cairan yang baik yaitu bila BB/hr turun 0,1–0,2%. Penghitungan pemberian kalori dan IWL dapat dilakukan berdasarkan caloric expenditure: BB 1–10 kg : 100 kal/kgBB/hr 10–20 kg: 1.000 kal + 50 kal/kgBB/hr untuk BB >10 kg >20 kg : 1.500 kal + 20 kal/kgBB/hr untuk BB >20 kg IWL = 25 mL/100 kal Secara praktis untuk IWL dapat dipakai perkiraan penghitungan sbb.: Neonatus = 50 mL/kgBB/hr Bayi <1 th = 40 mL/kgBB/hr Anak <5 th = 30 mL/kgBB/hr Anak >5 th = 20 mL/kgBB/hr Cairan dapat diberikan p.o. atau per infus atau setengah-setengah. Pada penderita dengan overload cairan, pemberian jumlah cairan perlu dikurangi sesuai dengan berat overhidrasi Jenis cairan yang dipakai: Bila anuria total hanya glukosa 10–20% Pada oliguria diberi cairan glukosa-NaCl 3:1 Jumlah protein yang diberikan: 0,5–1 g/kgBB/hr Terapi Suportif dan Simtomatik Sirkulasi kurang baik: dopamin 5 µg/kgBB/mnt infus 653
Hiperkalemia: kayeksalat (cation exchange resin) 1 g/kgBB/rektal atau oral 4 × sehari atau kalitake 3 × 2,5 g/hr Ca glukonas 10% 0,5 mL/kgBB i.v. pelan-pelan 10–15 mnt Natrium bikarbonat (7,5%) 2,5 mEq/kgBB i.v. dalam 10–15 mnt Glukosa 0,5 g/kgBB + insulin 0,1 IU/kgBB per infus selama 30 mnt Salbutamol 5 mg/kgBB i.v. atau nebulizer 2,5–5 mg Hipokalsemia (tetani): Ca glukonas 10% 0,5 mL/kgBB i.v. pelanpelan, sambil dipantau kemungkinan bradikardia Hiperfosfatemia diberi kalsium karbonat oral (pengikat fosfat) 50 mg/kgBB/hr Asidosis: Na bikarbonat sesuai hasil AGD: ekses basa × BB × 0,3 mEq atau koreksi 2–3 mEq/kgBB tiap 12 jam atau 0,6 × BB × (12biknat serum) Kejang: diazepam 0,3–0,5 mg/kgBB rektal/i.v. dengan dosis rumatan luminal 4–8 mg/kgBB/hr atau fenilhidantoin 8 mg/kgBB Hipertensi/kelebihan cairan: furosemid 1–2 mg/kgBB i.v. Bila perlu dikombinasi dengan kaptopril 0,3 mg/kgBB/kali diberi 2–3 kali/hr Hiponatremia: kadar Na darah <120 mEg/L atau timbul gejala serebral, dikoreksi dengan NaCl hipertonik 3% (0,5 mg/mL) dalam 1–4 jam. Na darah dinaikkan sampai 25 mEq/L: → 0,6 × BB × (25 − Na darah) Sepsis: antibiotik spektrum luas, sebaiknya yang tidak nefrotoksis dengan modifikasi dosis Edema paru: diberi furosemid 1 mg/kgBB disertai torniket dan flebotomi, serta morfin 0,1 mg/kgBB Hiperurikemia diberi alupurinol dengan dosis Usia <8 th 100–200 mg/kgBB Usia >8 th 200–300 mg/kgBB Anemia: transfusi bila kadar Hb <6 g/dL atau Ht <20%, diberikan packed red cell 10 mL/kgBB dengan tetesan lambat 10 tetes/mnt selama 4–6 jam untuk mencegah kelebihan cairan Tahap Penyembuhan/Poliuria Berlangsung beberapa hr atau mgg Pada penyakit yang ireversibel a.l. glomerulonefritis kresentik tahap ini tidak pernah terjadi Perlu pemantauan jumlah diuresis dan gangguan elektrolit. Bila penanggulangan tidak adekuat dapat terjadi dehidrasi, hiponatremia, dan hipokalemia
Prognosis
Bergantung pada penyebab GgGA. Sekitar 75% kematian pada penderita GgGA terjadi dalam 28 hr pertama perawatan di rumah sakit. Pemantauan jangka panjang diperlukan pada semua anak dengan GgGA karena terdapat risiko terjadinya penyakit ginjal kronik yang disebabkan oleh gangguan fisiologi dan morfologi ginjal pada GgGA. Sekitar 40–50% anak dengan GgGA akan berlanjut menjadi penyakit ginjal kronik dalam 3–5 th
654
Bibliografi 1. 2. 3. 4.
5. 6. 7.
Alatas H. Gagal ginjal akut. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002. hlm. 490–508. Andreoli SP. Acute kidney injury in children. Pediatr Nephrol. 2009;24:253–63. Chertow GW, Burdock E, Honour M, Bonventre JV, Bates DW. Acute kidney injury, mortality, length of stay, and costs in hospitalized patients. J Am Soc Nephrol. 2005;16:3365–70. Flynn JT. Acute renal failure. Dalam: Kaplan BS, Meyers KEC, penyunting. Pediatric nephrology and urology: the requisites in pediatrics. Edisi ke-1. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2004. hlm. 241–9. Goldstein SL. Pediatric acute kidney injury: it’s time for real progress. Pediatri Nephrol. 2006;21:891–5. Mak RH. Acute kidney injury in children: the dawn of a new era. Pediatr Nephrol. 2008;23:2147–9. Noer MS, Asmaningsih N, Prasetyo RV. Rekomendasi gangguan ginjal akut. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2014.
655
GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCASTREPTOKOKUS Manifestasi Klinis
Glomerulonefritis akut pascastreptokokus (GNAPS) lebih sering terjadi pada anak usia 6–15 th dan jarang pada umur di bawah 2 th. GNAPS didahului oleh infeksi streptokokus ß hemolitikus grup A melalui infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) atau infeksi kulit melalui periode laten 1–2 mgg atau 3 mgg
GNAPS Simtomatik Periode laten Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi streptokokus dan timbulnya gejala klinis. Periode ini berkisar 1–3 mgg; periode 1–2 mgg umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA, sedangkan periode 3 mgg didahului oleh infeksi kulit/piodermi Edema Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan menghilang pada akhir mgg pertama. Edema paling sering terjadi di daerah periorbital (edema palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan hebat, maka edema timbul di daerah perut (asites) dan genitalia eksterna (edema skrotum/vulva) menyerupai sindrom nefrotik Hematuria Hematuria makroskopis terdapat pada 30–70% kasus GNAPS, sedangkan hematuria mikroskopis dijumpai hampir pada semua kasus. Suatu penelitian multisenter di Indonesia mendapatkan hematuria makroskopis 46–100%, sedangkan hematuria mikroskopis 84–100% Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air cucian daging atau kola. Hematuria makroskopis biasanya timbul dalam mgg pertama dan berlangsung beberapa hr, tetapi dapat pula berlangsung sampai beberapa mgg. Hematuria mikroskopis dapat berlangsung lebih lama, umumnya menghilang dalam waktu 6 bl Hipertensi Umumnya terjadi dalam mgg pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinis yang lain. Pada kebanyakan kasus dijumpai hipertensi ringan (tekanan diastol 80– 90 mmHg). Hipertensi ringan tidak perlu diobati sebab dengan istirahat yang cukup dan diet yang teratur, tekanan darah akan normal kembali. Adakalanya hipertensi berat menyebabkan ensefalopati hipertensi yaitu hipertensi yang disertai gejala serebral, seperti sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran ↓, dan kejang-kejang. Penelitian multisenter di Indonesia menemukan ensefalopati hipertensi 4–50%
656
Oliguria Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5–10% kasus GNAPS 2 dengan produksi urin <350 mL/m LPB/hr. Oliguria terjadi bila fungsi ginjal ↓ atau timbul GgGA (acute kidney injury/AKI). Seperti ketiga gejala sebelumnya, oliguria umumnya timbul dalam mgg pertama dan menghilang bersamaan dengan timbul diuresis pada akhir mgg pertama. Oliguria dapat pula menjadi anuria yang menunjukkan kerusakan glomerulus yang berat dengan prognosis yang jelek Gejala Kardiovaskular Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan sirkulasi yang terjadi pada 20–70% kasus GNAPS Gejala-gejala Lain Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi, dan anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan akibat edema atau akibat hematuria makroskopis yang berlangsung lama
Diagnosis
Berbagai macam kriteria dikemukakan untuk diagnosis GNAPS, tetapi pada umumnya kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut: Gejala Klinis Secara klinis diagnosis GNAPS dapat ditegakkan bila dijumpai full blown case dengan gejala hematuria, hipertensi, edema, oliguria yang merupakan gejala-gejala khas GNAPS Untuk menunjang diagnosis klinis, dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa ASTO (↑) & C3 (↓) dan pemeriksaan lain yang menunjukkan terdapat eritrosit cast, hematuria & proteinuria Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan (+) untuk streptokokus ß hemolitikus grup A Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan kelainan sedimen urin (hematuria mikroskopis), proteinuria dan terdapat epidemi/ kontak dengan penderita GNAPS
Diagnosis Banding
Banyak penyakit ginjal atau di luar ginjal yang memberikan gejala seperti GNAPS Penyakit Ginjal Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut Kelainan ini penting dibedakan dari GNAPS karena prognosisnya sangat berbeda. Perlu dipikirkan penyakit ini bila pada anamnesis terdapat penyakit ginjal sebelumnya dan periode laten yang terlalu singkat, biasanya 1–3 hr. Selain itu, gangguan pertumbuhan, anemia, dan ureum yang jelas ↑ waktu timbulnya gejala-gejala nefritis dapat membantu diagnosis penyakit tersebut 657
Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria Penyakit ini dapat berupa glomerulonefritis fokal, nefritis herediter (sindrom Alport), IgA-IgG nefropati (Maladie de Berger) dan hematuria rekuren benigna. Umumnya penyakit ini tidak disertai edema atau hipertensi. Hematuria mikroskopis yang terjadi biasanya berulang dan timbul bersamaan dengan infeksi saluran respiratori tanpa periode laten atau pun kalau ada berlangsung sangat singkat Rapidly progressive glomerulonefritis (RPGN) RPGN lebih sering terdapat pada orang dewasa dibandingkan dengan anak. Kelainan ini sering sulit dibedakan dengan GNAPS terutama pada fase akut dengan terdapat oliguria atau anuria. Titer ASO, AHase, AD Nase B ↑ pada GNAPS, sedangkan pada RPGN biasanya normal. Komplemen C3 yang ↓ pada GNAPS, jarang terjadi pada RPGN. Prognosis GNAPS umumnya baik, sedangkan prognosis RPGN jelek dan penderita biasanya meninggal karena gagal ginjal Penyakit-penyakit Sistemik Beberapa penyakit yang perlu didiagnosis banding adalah sindrom Henoch-Schöenlein (SHS), lupus eritematosus sistemik (LES), dan endokarditis bakterialis subakut (EBS). Ketiga penyakit ini dapat menunjukkan gejala-gejala sindrom nefritik akut, seperti hematuria, proteinuria dan kelainan sediman urin yang lain, tetapi pada apusan tenggorok (−) dan titer ASO normal. Pada SHS dapat dijumpai purpura, nyeri abdomen, dan artralgia, sedangkan pada GNAPS tidak ada gejala demikian. Pada LES terdapat kelainan kulit dan sel LE (+) pada pemeriksaan darah, yang tidak ada pada GNAPS, sedangkan pada EBS tidak terdapat edema, hipertensi, atau oliguria. Biopsi ginjal dapat mempertegas perbedaan dengan GNAPS yang kelainan histologiknya bersifat difus, sedangkan ketiga penyakit tersebut umumnya bersifat fokal Penyakit-penyakit Infeksi GNA dapat pula terjadi sesudah infeksi bakteri atau virus tertentu selain oleh Group A β-hemolytic streptococci. Beberapa kepustakaan melaporkan gejala GNA yang timbul sesudah infeksi virus morbili, parotitis, varisela, dan enteric cytopathic human orphan (ECHO). Diagnosis banding dengan GNAPS adalah dengan melihat penyakit dasarnya
Terapi
Istirahat Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai penyulit yang biasanya timbul dalam mgg pertama perjalanan penyakit GNAPS Diet Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat, diberikan makanan tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam dibatasi sebanyak 0,5–1 g/hr. Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5–1 g/kgBB/hr. 658
Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik, terutama pada penderita oliguria atau anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk harus seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan cairan = jumlah urin + insensible water loss (20–25 mL/kgBB/hr) + jumlah keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal (10 mL/kgBB/hr). Setiap kenaikan suhu tubuh 1 °C ditambah 12% Antibiotik Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih sering dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi antibiotik bila biakan hapusan tenggorok atau kulit (+) untuk streptokokus, sedangkan pihak lain memberikannya secara rutin dengan alasan biakan (−) belum dapat menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan (−) dapat terjadi oleh karena telah mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit atau akibat periode laten yang terlalu lama (>3 mgg). Terapi medikamentosa golongan penisilin diberikan untuk eradikasi kuman, yaitu amoksisilin 50 mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis selama 10 hr. Jika terdapat alergi terhadap golongan penisilin, dapat diberi eritromisin dosis 30 mg/kgBB/hr Simtomatik Bendungan sirkulasi Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah pembatasan cairan, dengan kata lain asupan harus sesuai dengan keluaran Hipertensi Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada hipertensi ringan dengan istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan darah dapat kembali normal dalam waktu 1 mgg. Pada hipertensi sedang atau berat tanpa tanda-tanda serebral dapat diberi kaptopril (0,3–2 mg/kgBB/hr) atau furosemid atau kombinasi keduanya. Selain obat-obat tersebut di atas, pada keadaan asupan oral cukup baik dapat juga diberi nifedipin secara sublingual dengan dosis 0,25–0,5 mg/kgBB/hr yang dapat diulangi setiap 30–60 mnt bila diperlukan. Pada hipertensi berat atau hipertensi dengan gejala serebral (ensefalopati hipertensi) dapat diberi klonidin (0,002–0,006 mg/kgBB) yang dapat diulangi hingga 3× atau diazoksid 5 mg/kgBB/hr secara i.v. Kedua obat tersebut dapat digabung dengan furosemid (1–3 mg/kgBB) Gangguan ginjal akut (GgGA) Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan dan pemberian kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi asidosis harus diberi natrium bikarbonat dan bila terdapat hiperkalemia diberi Ca glukonas atau kayeksalat untuk mengikat kalium
Prognosis
Penyakit ini dapat sembuh sempurna dalam 1–2 mgg bila tidak ada penyulit, sehingga sering digolongkan ke dalam self limiting disease. Walaupun sangat jarang, GNAPS dapat kambuh kembali 659
Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang berlangsung 1–2 mgg, kemudian disusul dengan menghilangnya gejala laboratorik terutama hematuria mikroskopis dan proteinuria dalam waktu 1–12 bl. Pada anak 85–95% kasus GNAPS sembuh sempurna, sedangkan pada orang dewasa 50–75% GNAPS dapat berlangsung kronis, baik secara klinis maupun secara histologik atau laboratorik. Pada orang dewasa kira-kira 15–30% kasus masuk ke dalam proses kronis, sedangkan pada anak 5–10% kasus menjadi glomerulonefritis kronis. Walaupun prognosis GNAPS baik, kematian dapat terjadi terutama dalam fase akut akibat GgGA (AKI), edema paru akut, atau ensefalopati hipertensi
Bibliografi
1. Ahn SY, Ingulli E. Acute poststreptococcal glomerulonephritis: an update. Curr Opin Pediatr. 2008;20(2):157–62. 2. Albar H, Rauf S. The profile of acute glomerulonephritis among Indonesian children. Paediatr Indones. 2005;45(11–12):264–9. 3. Batsford SR, Mezzano S, Mihatsch M, Schiltz E, Rodriguez-Iturbe B. Is the nephritogenic antigen in post-streptococcal glomerulonephritis pyrogenic exotoxin in ß (SPEB) or GAPDH? Kidney International. 2005;68:1120–9. 4. Bhimma R, Langman CB. Acute poststreptococcal glomerulonephritis [diunduh 20 Januari 2011]. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/article/980685-overview. 5. Carapetis JR, Steer AC, Mulholland EK, Weber M. The global burden of group A streptococcal diseases. Lancet Infect Dis. 2005;5(11):685–94. 6. Iturbe BR, Mezzano S. Acute post infectious glomerulonephritis. Dalam: Avner ED, Hormon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, penyunting. Pediatric nephrology. Edisi ke-6. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag; 2008. hlm. 743–55. 7. Manhan RS, Patwari A, Raina C, Singh A. Acute nephritis in Kashmiri children—a clinical and epidemiological profile. Indian Pediatr. 1979;16(11):1015–21. 8. Papanagnou D, Kwon NS. Acute Glomerulonephritis [diunduh 13 Desember 2010]. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/ article/777272-overview. 9. Parra G, Platt JL, Falk RJ, Rodriguez-Iturbe B, Michael AF. Cell populations and membrane attack complex in poststreptococcal glomerulonephritis: identification using monoclonal antibodies by indirect fluorescence. Clin Immunol Immunopathol. 1984;33(3): 324–32. 10. Parra G. Romero M, Henriquez-La Roche C, Pineda L, RodriguezIturbe B. Expression of adhesion molecules in poststreptococcal glomerulonephritis. Nephrol Dial Transplant. 1994;9(10):1412–7. 11. Rivera F, Anaya S, Perez–Alvarez J, de la Nieta MD, Vozmediano MC, Blanco J. Henoch–Schonlein nephritis associated with streptococcal infection and persistent hypocomplementemia: a case report. J Med Case Rep. 2010;4(1):50.
660
12. Yoshizawa N, Yamakami K, Fujino M, Oda T, Tamura K, Matsumoto K, dkk. Nephritis-associated plasmin receptor and acute poststreptococcal glomerulonephritis characterization of the antigen and associated immune response. J A Soc Nephrol. 2004;15(7):1785–93.
661
HIPERTENSI Manifestasi Klinis
Pada anak umumnya tanpa gejala. Pada keadaan tertentu dapat berupa nyeri kepala yang tidak diketahui sebabnya, pusing, penglihatan yang tiba-tiba kabur, nyeri perut, mual, muntah, kurang nafsu makan, gelisah, BB ↓, sesak napas, nyeri dada, keringat berlebihan, serta gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Pada neonatus gambaran klinis hipertensi sangat bervariasi dan tidak spesifik yaitu kesulitan/gangguan minum, napas cepat, henti napas, letargis, iritabel, gagal tumbuh, atau pun kejang. Pada neonatus dengan hipertensi berat gambaran klinis dapat berupa gagal jantung kongestif, gangguan ginjal, atau retinopati hipertensi
Diagnosis
Anamnesis Anamnesis yang teliti perlu dilakukan untuk mendeteksi penyebab dasar serta kerusakan organ target. Hal ini dapat menghindarkan pemeriksaan laboratorium dan radiologis yang tidak perlu dan mahal Pemeriksaan Fisis Tekanan darah sebaiknya diukur menggunakan sfigmomanometer air raksa, sedangkan sfigmomanometer aneroid memiliki kelemahan yaitu memerlukan kalibrasi secara berkala. Osilometrik automatis merupakan alat pengukur tekanan darah yang sangat baik untuk bayi dan anak kecil, karena saat istirahat teknik auskultasi sulit dilakukan pada kelompok usia ini. Sayangnya alat ini harganya mahal dan memerlukan pemeliharaan serta kalibrasi berkala Panjang cuff manset harus melingkupi min. 80% lingkar lengan atas, sedangkan lebar cuff harus >40% lingkar lengan atas (jarak antara akromion dan olekranon). Ukuran cuff yang terlalu besar akan menghasilkan nilai tekanan darah yang lebih rendah, sedangkan ukuran cuff yang terlalu kecil akan menghasilkan nilai tekanan darah yang lebih tinggi Tekanan darah sebaiknya diukur sesudah istirahat selama 3–5 mnt, suasana sekitarnya dalam keadaan tenang. Anak diukur dalam posisi duduk dengan lengan kanan diletakkan sejajar jantung, sedangkan bayi diukur dalam keadaan telentang. Jika tekanan darah menunjukkan angka di atas persentil ke-90, tekanan harus diulang 2× pada kunjungan yang sama untuk menguji kesahihan hasil pengukuran Teknik pengukuran tekanan darah dengan ambulatory blood pressure monitoring (ABPM) menggunakan alat monitor portable dapat mencatat nilai tekanan darah selama selang waktu tertentu. ABPM biasanya digunakan pada keadaan hipertensi episodik, gagal ginjal kronik, anak remaja dengan hipertensi yang meragukan, dan menentukan dugaan kerusakan organ target karena hipertensi. 662
Tekanan darah sistol ditentukan saat mulai terdengarnya bunyi Korotkoff ke-1. Tekanan darah diastol sesungguhnya terletak antara mulai mengecil sampai menghilangnya bunyi Korotkoff. Teknik palpasi berguna untuk mengukur tekanan darah sistol secara cepat, meskipun nilai tekanan darah palpasi biasanya sekitar 10 mmHg lebih rendah dibandingkan dengan auskultasi. Pemeriksaan Penunjang Untuk menegakkan diagnosis dan mendeteksi penyebab hipertensi pada anak, perlu dilakukan pemeriksan penunjang seperti terlihat pada Tabel 154 Tabel 154 Evaluasi yang Harus Dilakukan pada Anak yang Menderita Hipertensi Tingkat
Evaluasi yang Dinilai
I (evaluasi awal)
Darah lengkap, elektrolit serum, asam urat, uji fungsi ginjal, lemak darah, urinalisis, kultur, USG Ekokardiografi, sidik nuklir (DMSA, DTPA), USG dopler pada arteri ginjal, T3, T4, TSH serum, katekolamin urin, aldosteron plasma, aktivitas renin plasma, arteriografi ginjal
II (tambahan bila perlu)
Klasifikasi
Untuk memudahkan pengobatan dan memperkirakan prognosis, maka hipertensi pada anak diklasifikasikan seperti pada Tabel 155 Tabel 155 Klasifikasi Hipertensi pada Anak Usia ≥1 Tahun dan Remaja Klasifikasi
Batasan
Tekanan darah normal Prehipertensi
Sistol dan diastol
Hipertensi Hipertensi tingkat 1 Hipertensi tingkat 2
Terapi
Sebagian besar bayi yang menderita hipertensi tidak memerlukan pengobatan sampai usia 6 bl. Di bawah ini dicantumkan beberapa keadaan hipertensi pada anak yang merupakan indikasi dimulainya pemberian obat antihipertensi: 663
1. Hipertensi simtomatik 2. Kerusakan organ target, seperti retinopati, hipertrofi ventrikel kiri, dan proteinuria 3. Hipertensi sekunder 4. Diabetes melitus 5. Hipertensi tingkat 1 yang tidak menunjukkan respons dengan perubahan gaya hidup 6. Hipertensi tingkat 2 Obat-obat antihipertensi yang digunakan pada anak dan remaja dapat dilihat pada Tabel 156
664
Tabel 156 Obat Antihipertensi yang Digunakan pada Anak dan Remaja Golongan Obat
Jenis Obat
Dosis dan Interval
Efek Samping
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi)
Kaptopril
0,3–0,5 mg/kgBB/kali (maks. 6 mg/kgBB/hr) 0,08 mg/kgBB/hr sampai 5 mg/hr 0,2 mg/kgBB/hr sampai 10 mg/hr (maks. 0,6 mg/kgBB/hr sampai 40 mg/hr) 0,07 mg/kgBB/hr sampai 40 mg/hr Anak >50 kg dosis 5–10 mg/hr (maks. 40 mg/hr) 5–10 mg/hr (maks. 80 mg/hr)
Kontraindikasi pada ibu hamil Perlu pemeriksaan kreatinin dan kalium serum Dapat dibuat suspensi Hati-hati pemakaian pada penyakit ginjal dengan proteinuria dan diabetes melitus
Enalapril Benazepril
665
Lisinopril Fosinopril Quinapril
Prognosis
Beberapa keadaan hipertensi dapat membaik dalam waktu singkat, sedangkan yang lain memerlukan pengobatan jangka panjang. Bila tekanan darah terkontrol dan tidak terdapat kerusakan organ, maka obat dapat diturunkan secara bertahap, kemudian dihentikan dengan pengawasan yang ketat sesudah penyebabnya diperbaiki. Tekanan darah harus dipantau secara ketat dan berkala karena banyak penderita akan kembali mengalami hipertensi di masa yang akan datang
Bibliografi 1.
Bartosh SM, Aronson AJ. Childhood hypertension. An update on etiology, diagnosis and treatment. Pediatr Clin Nort Am. 1999; 46:235–53. 2. Flyinn JT. Neonatal hypertension. J Med Liban. 2010;58(3):149–55. 3. Flynn JT. Differentiation between primary and secondary hipertension in children using ambulatory blood pressure monitoring. Pediatrics. 2002;110:89–93. 4. Flynn JT. Evaluation and management of hypertension in childhood. Prog Pediatr Cardiol. 2001;12:177–88. 5. Kiessling SG. An Unusual case of severe therapy-resistant hypertension in a newborn. Pediatrics. 2007;119:e301. 6. Moura A. Prevalence of high blood pressure in children and adolescents from the city of Maceió, Brazil. J Pediatr (Rio J). 2004;80(1):35–40. 7. Norwood VF. Hypertension. Pediatr Rev. 2002;23;197–208. 8. Seliem WA. Antenatal and postnatal risk factors for neonatal hypertension and infant follow-up. Pediatr Nephrol. 2007;22(12): 2081–7. 9. Sorof JM, Lai D, Turner J, Poffenberg T, Portman PJ. Overweight, ethnicity and the prevalence of hypertension in school-aged children. Pediatrics. 2004;113:475–82. 10. The sixth report of joint national committee on prevention detection, evaluation and treatment of high blood pressure. Arch Intern Med. 1997;157:2413–46. 11. Turi S, Friedman AL. Neonatal hypertension [diunduh Juli 2011]. Tersedia dari: http://content.karger.com/ProdukteDB/Katalogteile/ isbn3_8055/_85/_39/papn_03.pdf. 12. Watkinson M. Hypertension in the newborn baby. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2002;86(2):F78–81.
666
INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK) Epidemiologi
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering pada anak selain infeksi saluran respiratori atas dan diare. ISK perlu mendapat perhatian para dokter maupun orangtua karena berbagai alasan, antara lain ISK sering sebagai tanda kelainan pada ginjal dan saluran kemih yang serius seperti refluks vesikoureter (RVU) atau uropati obstruktif. ISK merupakan salah satu penyebab utama gagal ginjal terminal
Batasan
ISK bagian bawah: infeksi vesika urinaria (sistitis) dan uretra. Batas atas dan bawah: vesicoureteric valve ISK simpleks : ada infeksi tetapi tanpa penyulit anatomik maupun fungsional saluran kemih ISK kompleks : jika disertai dengan kelainan anatomik maupun fungsional
Manifestasi klinis
Gejala klinis ISK pada anak sangat bervariasi ditentukan oleh intensitas reaksi peradangan, letak infeksi (ISK atas dan ISK bawah), dan usia penderita. Sebagian ISK pada anak merupakan ISK asimtomatik umumnya ditemukan pada anak usia sekolah, terutama anak perempuan dan biasanya ditemukan pada uji tapis (screening program). ISK asimtomatik umumnya tidak berlanjut menjadi pielonefritis dan memiliki prognosis jangka panjang baik Pada masa neonatus, gejala klinis tidak spesifik dapat berupa apati, anoreksia, ikterus atau kolestatis, muntah, diare, demam, hipotermia, tidak mau minum, oliguria, iritabel, atau distensi abdomen. Suhu ↑ tidak begitu tinggi dan sering tidak terdeteksi. Kadang-kadang gejala klinis hanya berupa apati dan warna kulit keabu-abuan (grayish colour) Pada bayi gejala klinis dapat berupa demam, BB ↓, gagal tumbuh, nafsu makan ↓, cengeng, kolik, muntah, diare, ikterus, dan distensi abdomen. Pada palpasi ginjal anak merasa kesakitan Pada usia lebih besar yaitu sampai 4 th, dapat terjadi demam yang tinggi hingga → kejang, muntah, dan diare bahkan dapat timbul dehidrasi. Pada anak besar gejala klinis umum biasanya lebih ringan, mulai tampak gejala klinis lokal saluran kemih berupa polakisuria, disuria, urgency, frequency, dan mengompol Pada pielonefritis dapat dijumpai demam tinggi disertai menggigil, gejala saluran cerna seperti mual, muntah, diare. Tekanan darah pada umumnya masih normal, dapat ditemukan nyeri pinggang. Gejala neurologis dapat berupa iritabel dan kejang. Nefritis bakterial fokal akut adalah salah satu bentuk pielonefritis yang merupakan nefritis bakterial interstitial yang dulu dikenal sebagai nefropenia lobar Pada sistitis, demam jarang melebihi 38 °C, biasanya ditandai dengan nyeri pada perut bagian bawah, serta gangguan berkemih berupa 667
frekuensi, nyeri waktu berkemih, rasa tidak nyaman di daerah suprapubik, urgensi, kesulitan berkemih, retensi urin, dan enuresis
Diagnosis
Anamnesis ISK serangan pertama umumnya menunjukkan gejala klinis yang lebih jelas dibandingkan dengan infeksi berikutnya. Gangguan kemampuan mengontrol kandung kemih, pola berkemih, dan aliran urin dapat sebagai petunjuk untuk menentukan diagnosis. Demam merupakan gejala dan tanda klinis yang sering serta kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala ISK pada anak Pemeriksaan Fisis Tanda vital Pengukuran antropometrik Abdomen: massa +/− Tulang belakang: spina bifida +/− Genitalia eksterna: fimosis +/−, hipospadia +/−, epispadia +/−, sinekie +/− Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Urinalisis Urinalisis meliputi leukosit, nitrit, leukosit esterase, protein, dan darah. Leukosituria tidak dipakai sebagai patokan ada tidaknya ISK. Leukosituria biasanya ditemukan pada anak ISK (80–90%) pada setiap episode ISK simtomatik, tetapi tidak terdapat leukosituria tidak menyingkirkan ISK. Leukosituria dengan biakan urin steril perlu dipertimbangkan pada infeksi kuman Proteus spp., Klamidia spp., dan Ureaplasma urealitikum Pemeriksaan dengan stik urin dapat mendeteksi leukosit esterase, enzim yang terdapat di dalam lekosit neutrofil, yang menggambarkan banyaknya leukosit dalam urin Uji nitrit merupakan pemeriksaan tidak langsung terhadap bakteri dalam urin. Dalam keadaan normal, nitrit tidak terdapat dalam urin tetapi dapat ditemukan jika nitrat diubah menjadi nitrit oleh bakteri. Urin dengan berat jenis yang tinggi ↓ sensitivitas uji nitrit Neutrophil gelatinase associated lipocalin urin (uNGAL) dan rasio uNGAL dengan kreatinin urin (uNGAL/Cr) merupakan petanda ISK. uNGAL ↑ dan rasio uNGAL/Cr >30 ng/mg merupakan tanda ISK Pada urin segar tanpa dipusing (uncentrifuged urine), terdapatnya kuman pada setiap lapangan pandangan besar (LPB) kira-kira setara dengan hasil biakan 10 cfu/mL urin, sedangkan pada urin yang dipusing, terdapatnya kuman pada setiap LPB pemeriksaan mikroskopis menandakan jumlah 5 kuman lebih dari 10 cfu/mL urin. Jika dengan mikroskop fase kontras tidak terlihat kuman, umumnya urin steril 668
Anti-coated bacteri (ACB) dalam urin yang diperiksa dengan menggunakan fluorescein-labeled anti-immunoglobulin merupakan tanda pielonefritis pada remaja dan dewasa muda, namun tidak mampu pada anak Darah Sebagian besar pemeriksaan darah tidak spesifik. Leukositosis, nilai absolut neutrofil ↑, laju endap darah (LED) ↑, Creactive protein (CRP) yang (+) merupakan indikator nonspesifk ISK atas. Kadar prokalsitonin yang tinggi dapat digunakan sebagai prediktor yang valid untuk pielonefritis akut pada anak dengan ISK febris (febrile urinary tract infection) dan skar ginjal Biakan urin Cara pengambilan spesimen urin Pengambilan sampel urin untuk biakan urin dapat dilakukan dengan cara aspirasi suprapubik, kateter urin, pancar tengah (midstream), dan menggunakan urine collector. Cara terbaik untuk menghindari kemungkinan kontaminasi dengan aspirasi suprapubik Pengiriman bahan biakan ke laboratorium perlu mendapat perhatian karena bila sampel biakan urin dibiarkan pada suhu kamar lebih dari ½ jam, maka kuman dapat membiak dengan cepat sehingga memberikan hasil biakan (+) palsu. Jika urin tidak langsung dikultur dan memerlukan waktu lama, sampel urin harus dikirim dalam termos es atau disimpan di dalam lemari es. Urin dapat disimpan dalam lemari es pada suhu 4 °C selama 48–72 jam sebelum dibiakkan Interpretasi biakan urin Bakteriuria bermakna jika ditemukan kuman dengan jumlah berapa pun. Pada pengumpulan sampel urin dengan kateter urin dan urin pancar tengah, jumlah kuman ≥105 cfu/mL urin dikatakan bakteriuria bermakna
Terapi
Tatalaksana ISK didasarkan pada usia penderita, lokasi infeksi, gejala klinis, dan ada tidaknya kelainan yang menyertai ISK. Sistitis dan pielonefritis memerlukan pengobatan yang berbeda. Sebelum pemberian antibiotik, terlebih dahulu diambil sampel urin untuk pemeriksaan biakan urin dan resistensi antimikrob. Penanganan ISK pada anak yang dilakukan lebih awal dan tepat dapat mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut Secara garis besar tatalaksana ISK terdiri atas: 1. Eradikasi infeksi akut, 2. Deteksi dan tatalaksana kelainan anatomi dan fungsional pada ginjal dan saluran kemih, dan 3. Deteksi dan mencegah infeksi berulang 669
Eradikasi Infeksi Akut Tujuan untuk mengatasi keadaan akut, mencegah urosepsis, dan kerusakan parenkim ginjal. Jika seorang anak dicurigai ISK, diberikan antibiotik dengan kemungkinan yang paling sesuai sambil menunggu hasil biakan urin. Terapi selanjutnya disesuaikan dengan hasil biakan urin. Pemilihan antibiotik harus didasarkan pada pola resistensi kuman setempat atau lokal, bila tidak ada dapat digunakan profil kepekaan kuman yang terdapat dalam literatur. Umumnya hasil pengobatan sudah tampak dalam 48–72 jam pengobatan. Bila dalam waktu tersebut respons klinis belum terlihat mungkin antibiotik yang diberikan tidak sesuai atau mungkin yang dihadapi adalah ISK kompleks, sehingga antibiotik dapat diganti. Selain pemberian antibiotik, dianjurkan untuk ↑ asupan cairan Biasanya untuk pengobatan ISK simpleks diberikan antibiotik p.o. selama 7 hr NICE merekomendasikan penanganan ISK fase akut sbb.: Bayi <3 bl dengan kemungkinan ISK harus segera dirujuk ke dokter spesialis anak, pengobatan harus dengan antibiotik parenteral Bayi ≥3 bl dengan pielonefritis akut/ISK atas: Pertimbangkan untuk dirujuk ke spesialis anak Terapi dengan antibiotik oral 7–10 hr, dengan antibiotik yang resistensinya masih rendah berdasarkan pola resistensi kuman seperti sefalosporin atau koamoksiklav Jika antibiotik oral tidak dapat digunakan, terapi antibiotik parenteral seperti sefotaksim atau seftriakson selama 2–4 hr dilanjutkan antibiotik oral hingga total lama pemberian 10 hr Bayi ≥3 bl dengan sistitis/ISK bawah: Berikan antibiotik oral selama 3 hr berdasarkan pola resistensi kuman setempat. Bila tidak ada hasil pola resistensi kuman, dapat diberikan trimetroprim, sefalosporin, atau amoksisilin Bila dalam 24–48 jam belum ada perbaikan klinis harus dinilai kembali, dilakukan pemeriksaan kultur urin untuk melihat pertumbuhan bakteri dan kepekaan terhadap obat Berbagai antibiotik dapat digunakan untuk pengobatan ISK, baik antibiotik yang diberikan secara oral maupun parenteral seperti terlihat pada Tabel 157 dan 158
670
Tabel 157 Pilihan Antimikrob Oral pada Infeksi Saluran Kemih Jenis Antibiotik
Dosis per Hari
Amoksisilin Sulfonamid Trimetroprim (TMP)– sulfametoksazol (SMX) Sulfisoksazol Sefalosporin: Sefiksim Sefpodiksim Sefprozil Sefaleksin Lorakarbef
20–40 mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis 6–12 mg TMP dan 30–60 mg SMX/kgBB dibagi dalam 2 dosis 120–150 mg/kgBB dibagi dalam 4 dosis 8 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis 10 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis 30 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis 50–100 mg/kgBB dibagi dalam 4 dosis 15–30 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis
Tabel 158 Pilihan Antimikrob Parenteral pada Infeksi Saluran Kemih Jenis Antibiotik
Dosis per Hari (mg/kgBB)
Seftriakson Sefotaksim Seftazidim Sefazolin Gentamisin Amikasin Tobramisin Tikarsilin Ampisilin
75 150 dibagi setiap 6 jam 150 dibagi setiap 6 jam 50 dibagi setiap 8 jam 7,5 dibagi setiap 6 jam 15 dibagi setiap 12 jam 5 dibagi setiap 8 jam 300 dibagi setiap 6 jam 100 dibagi setiap 6 jam
Pengobatan sistitis akut Anak sistitis diobati antibiotik p.o. dan umumnya tidak memerlukan perawatan di rumah sakit, tetapi bila gejala klinis cukup berat misalnya rasa sakit yang hebat, toksik, muntah, dan dehidrasi anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi pengobatan parenteral hingga gejala klinis membaik. Lama pengobatan umumnya 5–7 hr Untuk sistitis akut, direkomendasikan pemberian antibiotik oral seperti trimetoprim-sulfametoksazol, nitrofurantoin, amoksisilin, amoksisilin-klavulanat, sefaleksin, dan sefiksim. Golongan sefalosporin sebaiknya tidak diberikan untuk menghindari resistensi kuman dan dicadangkan untuk terapi pielonefritis. Menurut Garin dkk. (2007), pemberian sefiksim pada sistitis akut terlalu berlebihan. ISK simpleks umumnya memberikan respons yang baik dengan amoksisilin, sulfonamid, trimetoprimsulfametoksazol, atau sefalosporin. Pengobatan pielonefritis Para ahli sepakat bahwa antibiotik untuk pielonefritis akut harus mempunyai penetrasi yang baik ke dalam jaringan karena 671
pielonefritis akut merupakan nefritis interstitialis. Belum ada penelitian tentang lamanya pemberian antibiotik pada pielonefritis akut, tetapi umumnya antibiotik diberikan selama 7–10 hr, meskipun ada yang menuliskan 7–14 hr atau 10–14 hr. Antibiotik parenteral selama 7–14 hr sangat efektif dalam mengatasi infeksi pada pielonefritis akut, tetapi lamanya pemberian parenteral menimbulkan berbagai permasalahan seperti masalah kesulitan teknik pemberian obat, penderita memerlukan perawatan, biaya pengobatan yang relatif mahal, dan ketidaknyamanan bagi penderita dan orangtua, sehingga dipikirkan untuk mempersingkat pemberian parenteral dan diganti dengan pemberian oral. Biasanya perbaikan klinis sudah terlihat dalam 24–48 jam pemberian antibiotik parenteral. sehingga sesudah perbaikan klinis, antibiotik dilanjutkan dengan pemberian antibiotik p.o. sampai 7–14 hr pengobatan Secara teoretis pemberian antibiotik yang lebih singkat pada anak mempunyai keuntungan antara lain efek samping obat lebih sedikit dan kemungkinan terjadinya resistensi kuman terhadap obat lebih sedikit. Pada kebanyakan kasus, antibiotik parenteral dapat dilanjutkan dengan oral sesudah 5 hr pengobatan bila respons klinis terlihat dengan nyata atau setidak-tidaknya demam sudah turun dalam 48 jam pertama. Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa pengobatan 14 hr lebih efektif atau dapat mengurangi risiko kekambuhan. Dianjurkan pemberian profilaksis antibiotik sesudah pengobatan fase akut sambil menunggu hasil pemeriksaan pencitraan. Bila ternyata kasus yang dihadapi termasuk ke dalam ISK kompleks (terdapat refluks atau obstruksi) maka pengobatan profilaksis dapat dilanjutkan lebih lama. Berbagai penelitian untuk membandingkan pemberian antibiotik parenteral dengan antibiotik p.o. sudah dilakukan. Hoberman dkk. melakukan penelitian multisenter, uji klinis tersamar (randomized clinical trial) pada 306 anak dengan ISK dan demam, yang diterapi dengan sefiksim oral dan dibandingkan dengan sefotaksim selama 3 hr yang dilanjutkan dengan sefiksim p.o. sampai 14 hr, dan hasil pengobatan tidak berbeda bermakna. Disimpulkan bahwa sefiksim p.o. dapat direkomendasikan sebagai terapi yang aman dan efektif pada anak yang menderita ISK dengan demam. Montini dkk. melaporkan penelitian pada 502 anak dengan diagnosis pielonefritis akut, yang diterapi dengan antibiotik koamoksiklav p.o. (50 mg/kgBB/hr dalam 3 dosis) selama 10 hr dibandingkan dengan seftriakson parenteral (50 mg/kgBB/hr dosis tunggal) selama 3 hr, dilanjutkan dengan pemberian koamoksiklav p.o. (50 mg/kgBB/hr dalam 3 dosis) selama 7 hr. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pielonefritis akut, efektivitas antibiotik parenteral selama 10 hr sama dengan antibiotik parenteral yang dilanjutkan dengan pemberian p.o. 672
Pemberian profilaksis Antimikrob profilaksis dosis rendah yang diberikan dalam jangka lama sudah digunakan secara tradisional terhadap penderita yang rentan terhadap berulangnya pielonefritis akut atau ISK bawah. Terapi profilaksis tersebut sering diberikan pada anak risiko tinggi seperti refluks vesiko-ureter, uropati obstruktif, dan berbagai kondisi risiko tinggi lainnya. Antibiotik profilaksis bertujuan untuk mencegah infeksi berulang dan mencegah terjadinya parut ginjal. Berbagai penelitian sudah membuktikan efektivitas antibiotik profilaksis menurunkan risiko terjadinya ISK berulang pada anak, dan kurang dari 50% yang mengalami infeksi berulang selama pengamatan 5 th. Antibiotik profilaksis dimaksudkan untuk mencapai konsentrasi antibiotik yang tinggi dalam urin tetapi dengan efek yang minimal terhadap flora normal dalam tubuh. Beberapa antibiotik dapat digunakan sebagai profilaksis Pemberian profilaksis menjadi masalah karena beberapa hal antara lain kepatuhan yang kurang, resistensi kuman yang meningkat, timbulnya reaksi simpang (gangguan saluran cerna, skin rashes, hepatotoksik, kelainan hematologi, sindrom Stevens-Johnson), dan tidak nyaman untuk penderita Beberapa penelitian akhir-akhir ini menyatakan bahwa pada RVU derajat rendah, tidak terdapat perbedaan bermakna risiko terjadi ISK pada kelompok yang mendapat antibiotik profilaksis dengan yang tidak diobati. Dengan demikian, antibiotik profilaksis tidak perlu diberikan pada RVU derajat rendah The International VUR Study of Children melakukan penelitian untuk membandingkan efektivitas pemberian antibiotik profilaksis jangka lama dengan tindakan operasi pada anak dengan RVU derajat tinggi untuk mencegah penurunan fungsi ginjal. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pada kedua kelompok tersebut dalam hal terjadinya parut ginjal dan penyulitnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis pada RVU derajat tinggi ternyata efektif Montini dan Hewitt (2009) melakukan review terhadap berbagai penelitan tentang pemberian antibiotik profilaksis dan membuat beberapa simpulan, meskipun masih banyak hal-hal yang belum dapat disimpulkan Antibiotik profilaksis tidak terindikasi pada ISK demam yang pertama kali (first febrile UTI) yang tidak disertai RVU atau hanya RVU derajat I dan II. Ada 3 alasan terhadap simpulan ini yaitu: 1. Penelitian metaanalisis menunjukkan tidak ada keuntungan pemberian antibiotik profilaksis 2. Terdapat risiko meningkatnya resistensi bakteri 3. Frekuensi terjadinya reinfeksi rendah Untuk refluks derajat tinggi tidak dapat diambil kesimpulan yang jelas dengan alasan: Persentase reinfeksi lebih tinggi pada RVU derajat III dibandingkan dengan derajat 0, I, dan II 673
Penelitian metaanalisis membuktikan bahwa dengan antibiotik profilaksis tidak terdapat keuntungan yang bermakna pada kelompok ini, tetapi jumlah penderita yang diikutkan dalam penelitian tersebut tidak mencukupi NICE (2007) merekomendasikan bahwa antibotik profilaksis tidak rutin diberikan kepada bayi dan anak yang mengalami ISK untuk pertama kali. Antibiotik profilaksis dipertimbangkan pada bayi dan anak dengan ISK rekurens. Selain itu direkomendasikan juga bahwa jika bayi dan anak yang mendapat antiboitik profilaksis mengalami reinfeksi, maka infeksi diterapi dengan antibiotik yang berbeda dan tidak dengan menaikkan dosis antibiotik profilaksis tersebut Belum diketahui berapa lama jangka waktu optimum pemberian antibiotik profilaksis. Ada yang mengusulkan antibiotik profilaksis diberikan selama RVU masih ada dan yang lain mengusulkan pemberian yang lebih singkat. Pada ISK kompleks pemberian profilaksis dapat berlangsung 3–4 bl. Bila ternyata kasus yang dihadapi termasuk ke dalam ISK kompleks (terdapat refluks atau obstruksi), maka pemberian profilaksis dapat dilanjutkan lebih lama Tabel 159 Antibiotik yang Digunakan untuk Profilaksis Jenis Antibiotik
Dosis per Hari (mg/kgBB)
Trimetoprim Kotrimoksazol Sulfametoksazol Sulfisoksazol Sefaleksin Nitrofurantoin Asam nalidiksat Sefaklor Sefiksim Sefadroksil Siprofloksasin
1–2 1–2 5–10 5–10 10–15 1 15–20 15–17 1–2 3–5 1
Selain antibiotik dilaporkan penggunaan probiotik sebagai profilaksis yaitu Lactobacillus rhamnosus dan Lactobacillus reuteri (L. fermentum); serta cranberry juice Indikasi rawat ISK yang memerlukan tindakan rawat inap antara lain ISK pada neonatus hingga usia 4 bl, pielonefritis akut, ISK dengan penyulit seperti gagal ginjal, hipertensi, ISK disertai sepsis atau syok, ISK dengan gejala klinis yang berat (rasa sakit yang hebat, toksik, kesulitan asupan oral, muntah dan dehidrasi), ISK dengan kelainan urologi yang kompleks, ISK dengan organisme penyebab 674
yang resisten terhadap antibiotik oral, ISK yang disertai masalah psikologis seperti orangtua yang tidak mampu merawat anak
Prognosis
ISK dapat menyebabkan GgGA, bakteremia, sepsis, dan meningitis. Penyulit ISK jangka yaitu parut ginjal, hipertensi, gagal ginjal, penyulit pada masa kehamilan seperti preeklamsi. Parut ginjal terjadi pada 8–40% penderita sesudah mengalami episode pielonefritis akut. Faktor risiko terjadinya parut ginjal antara lain usia muda, keterlambatan pemberian antibiotik dalam tatalaksana ISK, infeksi berulang, RVU, dan obstruksi saluran kemih
Bibliografi 1.
Farmaki E, Papachristou F, Winn RM, Karatzas N, Sotiriou J, Roilides E. Transforming growth factor-1 in the uribe of young children with urinary tract infection. Pediatr Nephrol. 2005;29: 180–3. 2. Garin EH, Olavarria F, Araya C, Broussain M, Barrera C, Young L. Diagnostic significance of clinical and laboratory findings to localize site of urinary infection. Pediatr Nephrol. 2007;22:1002– 6. 3. Kanellopoulos TA, Salakos C, Spiliopoulou I, Ellina A, Nikolakopoulou NM, Papanastasiou DM. First urinary tract infection in neonate, infants, and young children: a comparative study. Pediatr Nephrol. 2006;21;1131–7. 4. Keren R, Chan E. A meta-analysis of randomized, controlled trials comparing short- and long-course antibiotic therapy for urinary tract infections in children. Pediatrics. 2002;109:25–8. 5. Lambert H, Coultard M. The child with urinary tract infection. Dalam: Webb NJA, Postlethwaite RJ, penyunting. Clinical paediatric nephrology. Edisi ke-3. Oxford: Oxford University Press; 2003. hlm. 197–225. 6. Montini G, Hewitt I. Urinary tract infections: to prophylaxis or not to prophylaxis. Pediatr Nephrol. 2009;:24:1605–9. 7. National Institute for Health and Clinical Excellence. Urinary tract infection (UTI) in children. Agustus 2007. [diunduh 15 Februari 2012]. Tersedia dari: http://guidance.nice.org.uk/CG54. 8. Simerville JA, Maxted WC, Pahira JJ. Urinalysis: a comprehensive review. Am Fam Physician. 2005;71:1153–62. 9. Smolkin V, Koren A, Raz R, Colodner R, Sakran W, Halevy R. Procalcitonin as a marker of acute pyelonephritis in infants and children. Pediatr Nephrol. 2002;17:409–12. 10. Yilmaz A, Sevketoglu E, Gedikbasi A, Karyagar S, Kiyak A, Mulazimoglu M, dkk. Early prediction of urinary tract infection with urinary neutrophil gelatinase associated lipocalin. Pediatr Nephrol. 2009;24:2387–92.
675
KERACUNAN JENGKOL PADA ANAK Epidemiologi
Keracunan jengkol adalah suatu keadaan klinis akibat keracunan asam jengkol. Angka kejadian keracunan jengkol pada anak di Indonesia sulit disimpulkan karena laporan penelitian yang ada hanya terbatas pada beberapa rumah sakit yang berada di daerah tertentu Patogenesis keracunan jengkol masih belum dipahami, tetapi diduga akibat pengendapan kristal asam jengkol dalam saluran kemih. Secara klinis, gejala keracunan jengkol dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan yaitu ringan apabila hanya terdapat keluhan sakit pinggang atau buang air kecil (BAK) kemerahan, berat apabila disertai oliguria, dan sangat berat jika sudah terdapat anuria atau tanda-tanda GgGA yang nyata Pada umumnya prognosis keracunan jengkol cukup baik, tetapi kadang-kadang dapat berlanjut menjadi gagal ginjal akut bahkan dapat berakhir dengan kematian. Oleh sebab itu, diagnosis dini dan penanganan yang tepat perlu segera diberikan sehingga penyulit tersebut dapat dihindarkan
Manifestasi Klinis
Nyeri suprapubis, disuria, dan muntah, riwayat BAK kemerahan atau seperti kristal putih, serta BAK menjadi lebih sedikit
Diagnosis
Anamnesis Riwayat makan buah jengkol Nyeri suprapubis, disuria, dan muntah Selain itu dapat disertai riwayat BAK kemerahan atau seperti kristal putih, serta BAK menjadi lebih sedikit Pemeriksaan Fisis Bau yang khas dari asam jengkol dapat tercium dari mulut maupun urin penderita. Terkadang kita dapat meraba buli-buli yang penuh, serta dapat ditemukan infiltrat urin pada batang penis, skrotum, dan jaringan perineum sekitarnya. Apabila sudah terjadi penyulit, maka terlihat gejala GgGA misalnya edema, hipertensi, kesadaran ↓, pernapasan Kussmaul, dan sebagainya Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan urin rutin tidak selalu dapat menemukan kristal asam jengkol karena kristal tersebut hanya terjadi pada pH 5,5. Apabila ditemukan, kristal ini berupa jarum runcing yang dapat bergumpal menjadi ikatan atau rosette Anemia dapat terjadi, mungkin berhubungan dengan beratnya hematuria. Uremia yang ringan (40–60 mg/dL) sering kali ditemukan dan pada kasus berat dengan manifestasi gagal ginjal akut kadar ureum darah dapat mencapai 300 mg/dL
676
AGD dapat menunjukkan asidosis metabolik sesuai dengan beratnya gagal ginjal yang terjadi Pada pemeriksaan USG atau pielografi intravena (PIV) dapat ditemukan pelebaran ureter atau tanda-tanda hidronefrosis akibat obstruksi akut oleh kristal asam jengkol di saluran kemih
Terapi
Medikamentosa Terapi ditujukan untuk melarutkan kristal asam jengkol yang menyumbat saluran kemih. Cara mudah dan sederhana yang dapat dilakukan yaitu memperbanyak volume urin dengan banyak minum dan membuat suasana urin lebih alkalis dengan memberikan natrium bikarbonat 1 mEq/kgBB/hr atau 1–2 g/hr Pada kasus berat dengan penyulit, penderita harus dirawat dan ditangani sebagai kasus GgGA Bila terjadi retensi urin segera lakukan kateterisasi, kemudian bulibuli dibilas dengan natrium bikarbonat 1,5% Penderita dengan oligouria diberikan campuran larutan glukosa 5% dan NaCl 0,9% dengan perbandingan 3:1 Pada kasus anuria sebaiknya diberikan larutan glukosa 5–10% dengan restriksi cairan seperti pada penatalaksanaan GgGA Natrium bikarbonat diberikan 2–5 mEq/kgBB tetapi sebaiknya disesuaikan dengan hasil analisis gas darah Diuretik golongan furosemid dosis 1–2 mg/kgBB/hr dapat diberikan untuk mengurangi overload cairan. Apabila dengan penanganan di atas belum memberikan respons yang baik atau bahkan terjadi perburukan klinis, maka dilakukan dialisis peritoneal Bedah Bila terdapat obstruksi berat di uretra atau kesulitan pemasangan kateter pada retensi urin, maka dilakukan tindakan pungsi buli-buli dengan wing needle ukuran besar atau dengan jarum sistofik no. 15 F. Caranya dengan meletakkan satu jari di atas simfisis pubis di garis tengah dengan sudut 45°. Selanjutnya dilakukan pembilasan kandung kemih dan sebaiknya dipasang drainase secara tertutup Apabila kita temukan edema atau infiltrat urin di batang penis atau skrotum dapat dilakukan insisi pada bagian skrotum yang paling bawah. Tindakan diawali dengan aseptik, antiseptik, serta anestesi lokal. Kemudian daerah yang diinsisi dikompres dengan cairan yang tidak merangsang seperti larutan povidon iodin dan pemberian antibiotik Pemantauan (Monitoring) Pada kasus berat atau sangat berat sesudah dengan penanganan konservatif seperti di atas selama 8 jam tidak berhasil, dilakukan dialisis peritoneal
677
Prognosis
Dengan tatalaksana yang tepat prognosisnya baik
Gambar 55 Algoritme Penanganan Keracunan Jengkol pada Anak
Bibliografi 1. 2.
3.
Alatas H. Acute renal failure due to jengkol intoxication in children. Pediatr Indones. 1967;90–4. Sjamsudin U, Darmansjah I, Handoko T. Beberapa masalah keracunan jengkol pada anak. Dalam: Hasan R, Tjokronegoro A, penyunting. Pengobatan intensif pada anak. Jakarta: FKUI; 1985. hlm. 21–39. Tambunan T. Keracunan jengkol pada anak. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, penyunting. Nefrologi anak. Jilid ke-1. Jakarta: IDAI; 1993. hlm. 199–208. 678
PENYAKIT GINJAL KRONIK (PGK) Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang timbul pada PGK dapat berupa berbagai gambaran klinis yang diakibatkan oleh keadaan-keadaan berikut ini: Kegagalan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit Penumpukan metabolit toksik yang disebut toksin uremik Kurangnya hormon ginjal seperti eritropoetin dan bentuk aktif vitamin D Respons end organ yang tidak normal terhadap hormon endogen (hormon pertumbuhan)
Diagnosis
Diagnosis PGK dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan penunjang Anamnesis Penderita PGK menunjukkan keluhan tidak spesifik seperti sakit kepala, lelah, letargi, kurang nafsu makan, muntah, polidipsi, poliuria, dan gangguan pertumbuhan. Keadaan ini dapat berlangsung bertahun-tahun Pemeriksaan Fisis Gangguan pertumbuhan, anemia, hipertensi, osteodistrofi ginjal, tanda pembesaran jantung, dan tanda keterlambatan seksual Pemeriksaan Penunjang Darah: hemoglobin, elektrolit, analisis gas darah, gula, profil lipid, kadar vitamin D, faktor pembekuan Radiologi: USG ginjal dan saluran kemih, foto Rontgen toraks untuk melihat pembesaran jantung Foto Rontgen tulang jika terdapat osteodistrofi ginjal
Klasifikasi
Klasifikasi PGK terdiri atas beberapa stadium untuk tujuan pencegahan, identifikasi awal kerusakan ginjal, penatalaksanaan, serta pencegahan penyulit PGK
679
Tabel 160 Stadium Penyakit Ginjal Kronik Stadium
Laju Filtrasi Ginjal, LFG (mL/mnt/1,73m2)
1
>90
2
60–89
3
30–59
4
15–29
5
<15 (atau dialisis)
Deskripsi Kerusakan ginjal dengan glomerular filtration rate (GFR) normal/↑ Kerusakan ginjal dengan ↓ GFR ringan Kerusakan ginjal dengan ↓ GFR sedang Gagal ginjal
Terapi
1. Pengobatan konservatif Pada umumnya pengobatan konservatif masih mungkin dilakukan 2 bila klirens protein >10 mL/mnt/1,73 m . Tujuan untuk memanfaatkan faal ginjal yang masih ada, menghilangkan berbagai faktor pemberat, dan bila mungkin memperlambat progresivitas gagal ginjal Diet Pada prinsipnya diet yang diberikan pada penderita CKD adalah: Mencukupi semua nutrien esensial yang adekuat termasuk vitamin Mencukupi kalori yang adekuat dalam bentuk karbohidrat dan lemak Mencukupi protein berkualitas tinggi untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen (+) dan mendorong kecepatan pertumbuhan Mengurangi terjadinya akumulasi nitrogen sampai seminimalminimalnya untuk menghindari akibat uremia, misalnya kelainan hematologis dan neurologis serta mencegah osteodistrofi Mengurangi beban asam yang harus diekskresikan oleh ginjal Menghindari masukan elektrolit yang berlebihan Pembatasan masukan protein harus dimulai bila LFG 15–20 mL/mnt/1,73m2. Jumlah kalori yang diberikan harus cukup untuk anabolisme dan pertumbuhan, jadi harus disesuaikan dengan kebutuhan menurut usia. Untuk bayi diberikan 100 kkal/kgBB/hr sedangkan jumlah protein diberikan sesuai dengan dengan usia dan tingkat ↓ LFG. Restriksi protein dilakukan bila kadar ureum darah >30 mmol/L atau terdapat gejala uremia. Umumnya diberikan 1,4 g/kgBB/hr untuk bayi dan 0,8–1,1 g/kgBB/hr untuk anak yang terdiri atas protein yang nilai biologis tinggi (paling 680
sedikit mengandung 70% asam amino esensial). Bila restriksi protein terlalu ketat akan mengakibatkan malnutrisi, sehingga jumlah protein yang harus diberikan paling sedikit 4% dari jumlah total kalori atau 1 g/kgBB/hr. Maksud pembatasan protein adalah mencegah katabolisme protein endogen, mengurangi akumulasi sisa nitrogen, serta membatasi toksisitas sistemik Tabel 161 Kebutuhan Kalori dan Protein yang Direkomendasikan untuk Anak PGK Usia 0–2 bl 2–6 bl 6–12 bl 1–2 th 2–4 th 4–6 th 6–8 th 8–10 th 10–12 th 12–14 th L P 14–18 th L P 18–20 th L P
Tinggi (cm)
Energi (kkal)
55 63 72 81 96 110 121 131 141 151 154 170 159 175 163
120/kgBB 110/kgBB 100/kgBB 1.000 1.300 1.600 2.000 2.200 2.450 2.700 2.300 3.000 2.350 2.800 2.300
Minimal Kalsium Fosfor Protein (g) (g) (g) 2,2/kgBB 2,0/kgBB 1,8/kgBB 18 22 29 29 31 36 40 34 45 35 4,2 33
0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 0,9 1,0 1,2 1,4 1,3 1,4 1,3 0,8 0,8
0,2 0,4 0,5 0,7 0,8 0,9 0,9 1,0 1,2 1,4 1,3 1,4 1,3 0,8 0,8
L: laki-laki; P: perempuan
Natrium Pada PGK akibat kelainan anatomi ginjal biasanya terjadi pengeluaran natrium yang banyak sehingga terjadi hiponatremia dan dehidrasi berat. Pada keadaan ini dibutuhkan suplai natrium dalam makanan. Sebaliknya, pada penderita yang disertai hipertensi, edema, atau gagal jantung bendungan, harus dilakukan restriksi natrium dan pemberian diuretika seperti furosemid (1–4 mg/kgBB/hr). Umumnya diet rendah garam pada PGK tanpa hipertensi dan atau sembab adalah 2 g/kgBB/hr (80 mEq/kgBB/hr). Bila disertai sembab dikurangi menjadi 1 mEq/kgBB/hr dan bila ditemukan oliguria atau anuria harus diperketat menjadi 0,2 mEq/kgBB/hr. Catatan: 1 g garam dapur sebanding dengan 400 mg natrium atau 17 mEq natrium Asidosis Penderita PGK sering mengalami asidosis kronik yang menyebabkan kerusakan tulang dan gagal tumbuh. NaHCO3 aman digunakan 681
dengan dosis 1–5 mEq/kgBB/hr disesuaikan dengan berat asidosis. Untuk mempertahankan pertumbuhan anak secara adekuat maka kadar bikarbonat plasma harus dipertahankan 23–25 mEq/L. Bila asidosis berat (HCO3 <8 mEq/L) koreksi dengan dosis 0,3 × kgBB × (12 − HCO3 serum) mEq/L i.v. Tablet NaHCO3 325 mg = 4 mEq HCO3 Hipertensi Langkah pertama untuk mengendalikan hipertensi adalah tindakan nonfarmakologis yaitu diet rendah garam, ↓ berat badan, dan berolah raga. Bila dengan cara ini tidak berhasil diberikan obat farmakologis. Pengobatan farmakologis dapat langsung diberikan bila hipertensi disertai gejala kerusakan organ atau ↑ tekanan darah sangat cepat. Yang sering dipakai adalah: Diuretika Beta-bloker adrenergik (propanolol atau etanolol) Agonis adrenergik alfa Vasodilator perifer (hidrolazid) Calsium channel blocker dan angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor Tindakan farmakologi dimulai dengan pemberian diuretika, bila tidak berhasil atau hipertensi makin berat dapat diberikan betabloker adrenergik (propanolol atau etanolol) dan atau vasodilator perifer (hidralazid). Bila gabungan obat-obat tersebut masih tidak memberikan hasil dapat diberikan calcium channel blocker (nifedipin) atau ACE inhibitor (kaptopril/enalapril). Pada hipertensi krisis akut dapat diberikan nifedipin sublingual dengan dosis 0,25–0,5 mg/kgBB (kemasan 5 dan 10 mg). Furosemid diberikan dengan dosis 1–5 mg/kgBB i.v. diulang tiap 6–12 jam kecepatan maks. 4 mg/mg/mnt atau dapat diberikan klonidin drip dengan dosis 0,002 mg/kgBB/8 jam + 100 mL dekstrose 5%, tetesan awal 12 tetes mikrodrip/mnt, bila tekanan darah belum turun tetesan dinaikkan 6 tetes mikrodrip/mnt tiap 30 mnt (maks. 36 tetes mikrodrip/mnt). Bila 30 mnt sesudah tetesan maksimal tekanan darah belum turun, ditambah kaptopril dengan dosis 0,3 mg/kgBB/kali, diberikan 2–3 kali sehari (maks. 2 mg/kgBB/kali). Pemberian kaptopril harus hati-hati pada penderita kelainan ginjal bilateral atau stenosis arteri renalis bilateral karena dapat mempercepat kerusakan ginjal Anemia Pengobatan anemia dilakukan sesuai penyebab. Defisiensi zat besi diberikan zat besi oral dengan dosis 2–3 mg besi elemental/kgBB/kali diberikan 3 kali sehari selama 3 bl. Bila terjadi defisiensi asam folat diberikan asam folat dengan dosis 1– 5 mg/hr selama 3–4 mgg. Penderita yang menjalani dialisis secara teratur diberi asam folat oral 1 mg/hr. Anemia pada PGK dapat diobati dengan androgen karena dapat meningkatkan produksi eritropoetin oleh hepatosit. Bila memungkinkan recombinant human erytropoietin (rhuEPO) dengan dosis 50–150 IU/kgBB/kali 682
s.k. (pada yang sedang menjalani dialisi dapat diberikan i.v.) diberikan 3 kali seminggu. Pemberian rhuEPo dapat mengurangi atau menghindarkan kebutuhan transfusi darah. Pada anemia yang disertai gejala mengancam jiwa perlu diberikan transfusi darah PRC 10–20 mL/kgBB. Biasanya transfusi PRC diberikan bila kadar Hb <6 mg/dL. Bila ditemukan hipersplenisme dan usaha untuk menaikkan Hb tidak berhasil, harus dilakukan splenektomi Gangguan Jantung Gagal jantung bendungan terjadi akibat kelebihan cairan dan atau hipertensi berat. Pengobatan langsung ditujukan untuk menurunkan tekanan darah dengan nifedipin sublingual dan mengeluarkan cairan dengan diuretik seperti furosemid baik p.o. maupun i.v. Perikarditis pada uremia berat merupakan indikasi untuk dialisis dan dalam keadaan akut mungkin perlu perikardiosentesis. Terdapat cairan perikardium yang persisten atau terjadi rekurensi mungkin membutuhkan steroid nonadsorber (triamsinolon) sesudah perikardiosentesis Gangguan Pertumbuhan Dapat dihambat dengan mencegah terjadinya asidosis, osteodistrofi ginjal dan konsultasi gizi. Pemberian human recombinant growth hormone dosis 0,35 mg/kgBB atau 30 IU/m2/mgg dapat memberikan hasil yang efektif untuk mempercepat pertumbuhan anak 2. Pengobatan Pengganti Prinsip pengobatan pengganti adalah melakukan dialisis (dialisis peritoneal maupun hemodialisis) dan cangkok ginjal Tindakan Dialisis Indikasi dialisis pada bayi, anak, dan remaja sangat bervariasi serta bergantung pada status klinis penderita. Tindakan dialisis baik peritoneal maupun hemodialisis harus dilakukan sebelum LFG <10 mL/mnt/1,73 Indikasi absolut untuk tindakan awal dialisis kronik pada anak dengan gagal ginjal: Hipertensi tidak terkendali, hipertensi ensefalopati Gagal jantung bendungan: kardiomiopati Perikarditis tamponade Neuropati perifer: parestesis, disfungsi motorik Osteodistrofi ginjal: kalsifikasi tersebar, deformitas tulang Depresi sumsum tulang: anemia berat, leukopenia Transplantasi Ginjal Transplantasi ginjal merupakan pilihan ideal untuk pengobatan gagal ginjal tahap akhir. Indikasi transplantasi ginjal adalah penderita gagal ginjal tahap akhir dengan gagal tumbuh berat atau mengalami kemunduran klinis sesudah mendapat pengobatan 683
optimal. Pemeriksaan imunologi yang penting untuk keberhasilan transplantasi yaitu golongan darah ABO dan antigen HLA. Transplantasi dapat berasal dari kadaver (jenazah) atau donor hidup keluarga. Transplantasi merupakan pengobatan yang paling optimal untuk bayi, anak, dan remaja karena merupakan usaha paling baik yang dapat dilakukan untuk mengembalikan anak ke kehidupan normal. Dialisis hanya merupakan usaha untuk memelihara dan mempertahankan keadaan penderita sampai saat akan dilakukan transplantasi 3. Mengatasi Faktor yang Reversibel Meskipun kerusakan akibat penyakit glomerulus berlangsung terus, tetapi hal ini dapat diperlambat atau dihentikan sebelum mencapai gagal ginjal terminal, sehingga perlu dilakukan usaha pengobatan terhadap faktor yang reversibel seperti kehilangan garam, air, hipertensi, infeksi saluran kemih, obstruksi, hiperkalemia, dan gagal jantung. Hindari pemberian obat nefrotoksik dan pemeriksaan radiologik yang menggunakan zat kontras 4. Mencari dan Mengatasi Faktor yang Memperberat Bila ditemukan kemunduran klinis atau pun biokimiawi, harus dicari faktor reversibel dan segera diobati. Pada masa ini dilakukan tindakan konservatif seperti retriksi makanan, obat, antihipertensi, pengikat fosfat, dan vitamin D 5. Penggunaan Obat pada PGK Gangguan fungsi ginjal menyebabkan akumulasi obat atau metabolitnya yang eliminasinya terutama melalui ginjal dan pada gilirannya dapat menimbulkan efek toksik atau memperburuk fungsi ginjal. Prinsip penyesuaian dosis dapat dilakukan dengan: Dosis tiap kali pemberian diperkecil, sedangkan interval pemberian tetap Dosis tetap, interval pemberian diperpanjang Gabungan 1 dan 2
Prognosis
Sesudah transplantasi 5 year survival rate adalah 96%. Kematian terjadi akibat penyulit penyakit primer, dialisis, dan transplantasi
Bibliografi 1. 2.
Catherine S, Snively M. Chronic kidney disease: prevention and treatment of common complications. American Academy of Family Physicians; 2005:1–5. Fogo AB, Kon V. Chronic renal failure. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, penyunting. Pediatric nephrology. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott, Williams and Wilkins; 2004. hlm. 1645– 70. 684
3.
Hogg RJ, Furth S, Lemley KV, Portman R, Schwartz GJ, Coresh J, dkk. National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Quality Initiative Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease in Children and Adolescents: evaluation, classification, and stratification. Pediatrics. 2003;111:1416–21. 4. Levey AS, Coresh J, Balk E, Kautz T, Levin A, Steves M, dkk. National Kidney Foundation Guidelines for Chronic Kidney Disease: evaluation, classification, and stratification. Ann Intern Med. 2003;139:137–47. 5. Menon S, Valentini RP, Kapur G, Layfield S, Mattoo TK. Effectiveness of a multidisciplinary clinic in managing children with chronic kidney disease. Clin J Am Soc Nephrol. 2009;4: 1170–5. 6. Rigden, SP. The management of chronic and end stage renal failure in children. Dalam: Webb N, Postlethwaite R, penyunting. Clinical pediatric nephrology. Edisi ke-3. Oxford University Press; 2003. hlm. 427–45. 7. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Gagal ginjal kronik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono P, Pardede SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Gaya Baru; 2002. hlm. 509–30. 8. Vijayakumar M, Namalwar R, Prahlad N. Prevention of chronic kidney disease in children. Ind J Nephrol. 2007;17:47–52. 9. Vogt BA, Avner ED. Renal failure. Dalam: Behrman RM, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders; 2004. hlm. 1770–5.
685
SINDROM NEFROTIK Epidemiologi
Insidensi sindrom nefrotik (SN) diperkirakan 2–5 kasus/th tiap 100.000 anak usia <16 th. Insidensi di Indonesia diperkirakan 6 kasus/th tiap 100.000 anak usia <14 th. Sebagian besar SN pada anak (85%) memberikan respons terhadap pengobatan steroid (SN sensitif steroid). SN sensitif steroid lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan (2:1). Pada umumnya SN sensitif steroid terjadi sebelum usia 8 th—terutama sebelum 6 th— dengan puncak kejadian pada usia 4–5 th
Manifestasi Klinis
Proteinuria masif Protein urin >40 mg/m²LPB/jam atau >50 mg/kgBB/24 jam. Rasio protein/kreatinin urin >2,5. Dengan pemeriksaan Esbach, kadar protein dalam urin 24 jam >2 g. Secara semikuantitatif dengan pemeriksaan Bang atau Dipstick menunjukkan protein urin ≥+2 Hipoalbuminemia Kadar albumin dalam serum ↓ hingga mencapai <2,5 g/dL Edema Hiperlipidemia Kolesterol total darah ↑ (>200 mg/dL). Meskipun demikian, hiperlipidemia tidak lagi dijadikan sebagai kriteria diagnostik SN, karena penderita SN—terutama kelainan nonminimal—dapat menunjukkan kadar lemak darah normal Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan antara lain: Urin lengkap Protein kuantitatif urin Darah: Darah rutin Kadar albumin dan kolesterol plasma Kadar ureum, kreatinin Titer ASTO Kadar komplemen C3, C4, ANA
Klasifikasi
Berdasarkan histologi SN dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) Sindrom nefrotik kelainan nonminimal (SNKNM), seperti: Glumerulosklerosis fokal segmental (GSFS) Glumerulonefritis proliferatif mesangial (GNPM) Glumerulonefritis membrano proliferatif (GNMP) Glomerulopati membranosa (GM) Sebagian besar SNKM (90%) memberikan respons baik terhadap pengobatan steroid 686
Terapi
Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid Sebagian besar ahli menganjurkan induksi remisi sesuai protokol ISKDC, yaitu pengobatan dilakukan dengan pemberian prednison 60 mg/m²LPB/hr (setara dengan 2 mg/kgBB/hr), dalam dosis terbagi (maks. 80 mg/hr). Pemberian ini dilakukan sampai remisi terjadi—yangditandai dengan proteinuria (−) 3 hr berturut-turut. Selanjutnya prednison 40 mg/m²LPB selang sehari (alternate) dalam dosis tunggal untuk 4 mgg berikutnya 4 minggu
4 minggu
Remisi (+) Proteinuria (−) Edema (−)
Dosis alternating (AD)
Prednison FD: 60 mg/m²LPB/hr Prednison AD: 40 mg/m²LPB/hr
Remisi (−): resisten steroid ↓ Imunosupresan lain
Gambar 56 Pengobatan Inisial dengan Kortikosteroid
Keterangan: Prednison dosis penuh (full dose/FD) 60 mg/m²LPB/hr (2 mg/kgBB/hr) dibagi 3 dosis diberikan setiap hr selama 4 mgg, dilanjutkan dengan prednison 40 mg/m²LPB/hr (⅔ dosis penuh), dapat diberikan secara alternating 40 mg/m²LPB/hr selama 4 mgg. Bila remisi tidak terjadi pada 4 mgg pertama, maka penderita tersebut didiagnosis sebagai sindrom nefrotik resisten steroid
Pengobatan kambuh Remisi FD
Prednison FD: 60 mg/m²LPB/hr
AD
Gambar 57 Pengobatan SN Kambuh
Prednison AD: 40 mg/m²LPB/hr
Keterangan: Prednison dosis penuh setiap hr sampai remisi (maks. 4 mgg), 2 dilanjutkan dengan prednison alternating 40 mg/m LPB/hr selama 4 mgg. Bila pengobatan dosis penuh selama 4 mgg tidak juga terjadi remisi, maka penderita didiagnosis sebagai SN resisten steroid dan harus diberikan terapi imunosupresif lain
687
Sindrom Nefrotik Resisten Steroid 1. Siklofosfamid Sebagai alkylating agent, siklofosfamid bersifat sitotoksik dan imunosupresif. Siklofosfamid menunjukkan kemampuan memperpanjang masa remisi dan mencegah kambuh sering. Indikasi penggunaan siklofosfamid yaitu bila terjadi kegagalan mempertahankan remisi dengan menggunakan terapi prednison tanpa menyebabkan keracunan steroid. Siklofosfamid diberikan 3 mg/kgBB/hr sebagai dosis tunggal selama 12 mgg. Terapi prednison selang sehari tetap diberikan selama penggunaan siklofosfamid ini Selama pemberian siklofosfamid perlu diperhatikan efek samping yang mungkin terjadi antara lain: leukopenia, gangguan gastrointestinal, infeksi varicella disseminata, sistitis hemoragik, alopesia, keganasan, azoospermia, dan infertilitas. Selama terapi dengan siklofosfamid, kadar leukosit perlu diperiksa setiap mgg, dan pengobatan perlu dihentikan dahulu bila kadar leukosit menjadi ≤5.000/mm³ Pengobatan kambuh sering Remisi FD
AD 8 minggu
Prednison FD: 60 mg/m²LPB/hr Prednison AD: 40 mg/m²LPB/hr Prednison AD: 40 mg/m²LPB/hr Pemantauan: Hemoglobin, leukosit, trombosit setiap mgg Leukosit <3.000/μL → CPA dihentikan dulu Leukosit >5.000/μL → CPA diberikan lagi
Gambar 58 Pengobatan SN Kambuh Sering
Keterangan: Prednison dosis penuh setiap hr sampai remisi (maks. 4 mgg), dilanjutkan dengan prednison alternating 40 mg/m²LPB/hr dan imunosupresan/sitostatik oral (siklofosfamid 2–3 mg/kgBB/ hr) dosis tunggal selama 8 mgg
688
Pengobatan ketergantungan steroid Remisi FD
AD 12 minggu Tapering-off 1
FD
2
3
4
5
6
7
AD 12 minggu Tapering-off
689
12 minggu Prednison FD: 60 mg/m²LPB/hr Prednison AD: 40 mg/m²LPB/hr (1x pagi hr) CPA puls: 500–750 mg/m²LPB/bl CPA oral: 2–3 mg/kgBB/hr Tapering off 1 mg/kgBB/hr (1 bl) → 0,5 mg/kgBB/hr (1 bl)
Pemantauan: Hemoglobin, leukosit, trombosit setiap mgg Leukosit <3.000/mL → CPA dihentikan dulu Leukosit >5.000/mL → CPA diberikan lagi
Gambar 59 Pengobatan SN Ketergantungan Steroid
Keterangan: Prednison dosis penuh setiap hr sampai remisi (maks. 4 mgg), dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500–750 mg/m²LPB diberikan melalui infus 1x sebulan selama 6 bl berturut-turut dan prednison alternating 40 mg/m²LPB/hr selama 12 mgg. Kemudian prednison di-tapering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hr selama 1 bl, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hr selama 1 bl (lama tapering-off 2 bl) Atau Prednison dosis penuh setiap hr sampai remisi (maks. 4 mgg), dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2–3 mg/kgBB/hr dosis tunggal 2 selama 12 mgg dan prednison alternating 40 mg/m LPB/hr selama 12 mgg. Kemudian prednison di-tapering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hr selama 1 bl dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hr selama 1 bl (lama tapering-off 2 bl)
2. Klorambusil Klorambusil efektif bila dikombinasikan dengan terapi steroid dalam menginduksi remisi pada penderita ketergantungan steroid dan kambuh sering. Dosis yang umumnya digunakan 0,2 mg/kgBB/hr selama 8–12 mgg 3. Levamisol Levamisol sebenarnya merupakan obat antihelmintik. Obat ini juga memengaruhi fungsi sel T seperti imunosupresan lainnya, tetapi sifatnya memberikan stimulasi terhadap sel T. Dosis levamisol 2,5 mg/kgBB diberikan selang sehari selama 4–12 bl 4. Siklosporin Pemberian siklosporin (CyA) dilakukan sesudah remisi dicapai dengan steroid. Umumnya terapi ini digunakan bila siklofosfamid kurang efektif. Dosis awal yang digunakan yaitu 5 mg/kgBB/hr Dalam penggunaannya, kadarnya dalam darah perlu dikontrol karena memberikan efek nefrotoksik. Siklosporin dapat menyebabkan kelainan histologis bahkan pada penderita yang ginjalnya normal sekalipun. Efek samping lain yang sering ditemukan yaitu hipertrikosis, hiperplasia gusi, gejala gastrointestinal, dan hipertensi
Prognosis
Bergantung pada etiologi SN sensitif steroid memiliki prognosis baik, meskipun sekitar 60–70% akan mengalami kambuh yang setengah di antaranya berbentuk kambuh sering atau ketergantungan steroid. Pada umumnya kambuh pada SN dicetuskan oleh infeksi virus saluran respiratori bagian atas SN resisten steroid biasanya memiliki prognosis tidak baik dan akan berlanjut menjadi penyakit ginjal kronik
Bibliografi 1.
Bergstein JM. Nephrotic syndrome. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, Nelson WE, penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi ke-15. Philadelphia: WB Saunders Company; 1996. CD-ROM version. 690
2.
Bernard DB, Salant DJ. Clinical approach to the patient with proteinuria and the nephrotic syndrome. Dalam: Jacobson, Striker, Klahr, penyunting. The principle and practice of nephrology. Philadelphia: BC Decker Inc.; 1991. hlm. 250–61. 3. Kher KK. Nephrotic syndrome. Dalam: Kher KK, Makker SP, penyunting. Clinical pediatric nephrology. Edisi internasional. New York: McGraw-Hill Inc.; 1992. hlm. 137–67. 4. Orth SR, Ritz E. The nephrotic syndrome. N Eng Med J. 1998; 338(17):1202–11. 5. Robinson RF, Nahata MC, Mahan JD. Management of nephrotic syndrome in children. Pharmacotherapy. 2003;23(8):1021–106. 6. Roth KS, Amaker BH, Chan JCM. Nephrotic syndrome: pathogenesis and management. Peds Rev. 2002;23(7):237–48. 7. Schnaper HW, Robson AM. Nephrotic syndrome: minimal change disease, focal glomerulosclerosi, and related disorders. Dalam: Schrier RW, Gottschalk CW, penyunting. Diseases of the kidney. Edisi ke-6. Boston: Little, Brown and Company; 1997. hlm. 1725– 80. 8. Travis L, Nephrotic syndrome. eMedicine [diunduh 11 Juni 2002]. Tersedia dari: http://www.emedicine.com/ped/topic1564.htm. 9. Webb NJA, Lewis MA, Iqbal J. Childhood steroid-sensitive nephrotic syndrome: does the histology matter? Am J Kidney Dis. 1996;27:484–8. 10. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede S, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2002. hlm. 381–426.
691
UROPATI OBSTRUKTIF Epidemiologi
Uropati obstruktif sering timbul pada masa anak, sebagian besar disebabkan oleh kelainan perkembangan dan pertumbuhan bawaan lahir atau dapat juga karena lesi yang didapat
Batasan
Uropati obstruktif secara umum adalah kelainan ginjal yang disebabkan obstruksi pada salah satu tempat di saluran kemih
Diagnosis
Anamnesis Anamnesis yang teliti sangat diperlukan, lamanya sakit, mulai timbul gejala, ada keluarga yang sakit ginjal, hipertensi atau keluarga yang cuci darah. Riwayat persalinan dengan oligohidramnion (air ketuban yang sedikit), lahir prematur, dan postnatal GFR <20 mL/mnt merupakan prediksi terdapat prenatal hidronefrosis Pemeriksaan Fisis Perlu pemeriksaan yang teliti mulai dari orifisium uretra eksterna, penis, daerah prostat (pria), daerah kandung kemih, dan daerah abdomen, mungkin ditemukan benjolan. Kalau perlu dapat dilakukan pemeriksaan bimanual rectal toucher (satu jari masuk ke rektum dan jari-jari tangan yang lainnya meraba di daerah kandung kemih) dapat dirasakan terdapat batu yang relatif besar dalam kandung kemih atau ada massa di dalamnya Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah rutin, ureum, kreatinin, dan elektrolit serta pemeriksaan urin rutin dan kultur urin Untuk obstruksi bagian bawah saluran kemih karena kelainan uretra (posterior urethral valve/PUV), vesika urinaria, dan vesicoureteral junction, perlu pemeriksaan radiologis (USG, MCU). Gejala klinis PUV bervariasi, mulai dari tanpa gejala sampai kerusakan parenkim ginjal dan gagal ginjal. Diagnosis PUV pada masa janin dapat diketahui dengan ultrasonografi, terlihat buli-buli besar, dindingnya tebal, dan hidronefrosis bilateral. Pada waktu lahir, dapat diraba buli-buli yang besar dengan atau tanpa distensi abdomen Obstruksi bagian atas (upper obstruction) mencakup dilatasi ureter dan pielocalyceal system (hidronefrosis). Hidronefrosis bilateral disebabkan oleh kelainan buli dan uretra. Hidronefrosis unilateral disebabkan kelainan ipsi-lateral collecting system. Diagnosis untuk upper obstruction dilakukan dengan ultrasonografi dan kalau perlu dengan pielografi intravena. Sonografi hanya melihat dilatasi ureter, pyelocalyceal system, dan pembesaran ginjal sedangkan tebalnya korteks ginjal yang sangat ↓ pada hidronefrosis kronik, menyatakan cadangan fungsi ginjal ↓ 692
Terapi
Tujuan terapi menghilangkan penyebab obstruksi secepat-cepatnya dan mempertahankan fungsi ginjal yang masih tersisa. Kerja sama dengan pediatric urologist perlu dilaksanakan
Pemantauan
Bila fungsi ginjal sudah mulai ↓ dapat diberikan pengobatan konservatif. Bila fungsi ginjal sudah sangat ↓ dilakukan dialisis. Pada pelviureteric junction (PUJ) obstruction dapat dilakukan pyeloplasty dan mempunyai prognosis lebih baik
Langkah Promotif/Preventif
Mengetahui sedini-dininya tanda-tanda klinis obstruksi saluran kemih dan mengetahui cara penanganannya merupakan hal yang paling baik untuk dapat mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut Secara garis besar penyebab obstruksi saluran kemih tersebut dapat dilihat pada Gambar 60. Lokasi obstruksi yang mungkin terjadi sebagai berikut: Fimosis Polip pada prostat Posterior urethral valve Vesico-uretheric-valve Uretero-pelvic junction Kaliks mayor Kaliks minor, dll.
693
Kaliks minor Kaliks mayor Uretero-pelvic junction
Vesico-uretheric-valve Posterior urethral valve Polip prostat Fimosis Gambar 60 Kemungkinan Lokasi Obstruksi Saluran Kemih pada Uropati Obstruktif Obstruksi pada ureter dapat: Komplet atau parsial Unilateral atau bilateral Akut atau kronik Responsnya pada ginjal yang sedang tumbuh (anak) atau pada orang dewasa Bila unilateral uretheral obstruction (UUO), maka tekanan intratubular dan tekanan intrakapsular akan ↑, akibatnya net filtration pressure dari kapiler glomerulus tertahan dan GFR terhenti
694
Gambar 61 Skema Peninggian Tekanan Intratubular dan Tekanan Intrakapsular Bila bilateral uretheral obstruction (BUO) juga akan terjadi penghentian GFR. Pada kedua hal tersebut, lamanya tekanan ↑ hanya pada 24 jam pertama. Sesudah itu tekanan akan ↓ karena terdapat: Respons imun pejamu Sistem RAA Prostaglandin Pada UUO kronik, juga akan terjadi ↓ tekanan intraureteral dan tekanan intratubular oleh karena: GFR Absorpsi cairan di tubulus ↑ Kebiasaan dilatasi dari renal pelvis ↑
Bibliografi 1. 2.
Chevalier RL, Roth JA. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, penyunting. Pediatric nephrology. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincot, Williams & Wilkins; 2004. hlm. 1049–79. Kher KK. Obstructive uropathy. Dalam: Kher KK, Makker SP, penyunting. Clinical pediatric nephrology. Edisi internasional. New York: McGraw-Hill Inc.; 1992. hlm. 447–65.
695
Neonatologi Abdurahman Sukadi Sjarif Hidayat Effendi Aris Primadi Tetty Yuniati Fiva Aprilia Kadi
TERMINOLOGI NEONATOLOGI Masa Gestasi Masa sejak terjadinya konsepsi sampai saat kelahiran, dihitung dari hari pertama haid terakhir Bayi Kurang Bulan (BKB) Bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi <37 mgg (<259 hr) Bayi Cukup Bulan (BCB) Bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi 37–42 mgg (259–293 hr) Bayi Lebih Bulan (BLB) Bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi >42 mgg (>294 hr) Bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK/Small for Gestasional Age= SGA) Bayi yang dilahirkan dengan berat lahir (persentil 90) menurut grafik Lubchenco Berat Lahir Berat bayi yang ditimbang dalam waktu 1 jam pertama sesudah lahir. Pengukuran ini dilakukan di tempat fasilitas (rumah sakit, puskesmas, polindes), sedangkan bayi yang lahir di rumah waktu pengukuran berat badan dapat dilakukan dalam waktu 24 jam Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Bayi yang dilahirkan dengan berat lahir <2.500 g tanpa memandang masa gestasi Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR) Bayi yang dilahirkan dengan berat lahir <1.500 g Bayi Berat Lahir Amat Sangat Rendah (BBLASR) Bayi dengan berat lahir <1.000 g Bayi Berat Lahir Cukup/Normal Bayi yang dilahirkan dengan berat lahir >2.500–4.000 g Bayi Berat Lahir Lebih Bayi yang dilahirkan dengan berat lahir >4.000 g 699
ASFIKSIA PADA NEONATUS Batasan
Asfiksia neonatal merupakan kondisi terganggunya pertukaran gas intrapartum, yang apabila menetap dapat menyebabkan hipoksemia dan hiperkarbia progresif serta asidosis metabolik Kriteria asfiksia neonatus (AAP dan ACOG) Nilai APGAR menit kelima 0–3 Terdapat asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH <7,0 dan base deficit ≥12 mmol/L) Gangguan neurologis (misalnya kejang, hipotonia, atau koma) Terdapat gangguan sistem multiorgan (misalnya gangguan kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem renal) Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multiorgan, kejang dan ensefalopati hipoksia-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang mengalami episode hipoksia-iskemik yang signifikan saat lahir memiliki risiko disfungsi berbagai organ dengan disfungsi otak sebagai pertimbangan utama
Etiologi
Pada BCB, 90% kejadian asfiksia yang terjadi pada masa antepartum atau intrapartum disebabkan oleh terganggunya pertukaran gas melalui plasenta sehingga transpor oksigen, CO2, dan pH bayi menjadi tidak adekuat. Sekitar 10% kejadian asfiksia terjadi pada masa postpartum yang disebabkan oleh abnormalitas paru, kardiovaskular, atau neurologis Faktor ibu: terganggunya oksigenasi maternal (hipoksia ibu) misalnya pada hipoventilasi karena obat analgetik dan anestesi, atau aliran darah uterus ↓ Faktor plasenta: terganggunya fungsi plasenta seperti pada solutio atau perdarahan plasenta Faktor janin: kompresi tali pusat seperti pada lilitan atau tali pusat membumbung Faktor neonatus: pemakaian anestesi dan analgetika, kelainan kongenital misalnya pada hernia diafragmatika, atresia saluran respiratori, atau hipoplasia paru
Patofisiologi
Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam paru-parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan insterstitial paru sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteriol pulmonal dan menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan ini terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap kontriksi, alveoli tetap terisi cairan, dan pembuluh darah arteri sistemik tidak mendapat oksigen
700
Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol pada organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke jantung dan otak tetap stabil atau ↑ untuk mempertahankan pasokan oksigen. Penyesuaian distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan fungsi organ-organ vital. Walaupun demikian jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka terjadi kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan ↑ curah jantung, ↓ tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh organ akan berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang ireversibel, kerusakan organ tubuh lain, atau kematian. Keadaan bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih tandatanda klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot dan organ lain; depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen; bradikardia karena kekurangan oksigen pada otot jantung atau sel otak; tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan, takipnea karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru dan sianosis karena kekurangan oksigen di dalam darah
Diagnosis
Anamnesis Anamnesis diarahkan untuk mencari etiologi terhadap asfiksia neonatal Gejala klinis Bayi tidak bernapas atau menangis Denyut jantung <100×/mnt Tonus otot ↓ Cairan ketuban ibu bercampur mekonium atau sisa mekonium pada tubuh bayi Laboratorium Hasil AGD tali pusat menunjukkan hasil asidosis pada darah tali pusat, pH <7,0 Sesudah bayi tidak memerlukan lagi resusitasi aktif, maka pemeriksaan penunjang bertujuan untuk mendeteksi penyulit, yaitu: Darah perifer lengkap Gas darah Gula darah, elektrolit darah (Na, K, Ca) Ureum, kreatinin Laktat Radiologi (foto Rontgen toraks dan abdomen 3 posisi) USG kepala EEG CT-scan kepala Ekokardiografi
701
Penyulit
Jangka panjang (sekuele) Susunan saraf pusat Salah satu gangguan akibat hipoksia otak yang paling sering ditemukan pada masa neonatal yaitu ensefalopati hipoksik iskemik (EHI). Sekuele jangka panjang berupa gangguan perkembangan neurologis yang terjadi pada 1–6 bayi/1.000 kelahiran. Pada 15−20% terjadi palsi serebral Sistem respirasi Gangguan pernapasan pada bayi asfiksia neonatal masih belum dapat diketahui pasti. Beberapa teori mengemukakan bahwa hal ini merupakan akibat langsung hipoksia dan iskemia atau dapat pula terjadi karena disfungsi ventrikel kiri, gangguan koagulasi, radikal bebas oksigen ataupun penggunaan ventilasi mekanik dan aspirasi mekonium. Gangguan sistem respirasi terjadi pada 26% kasus dan gagal napas terjadi pada 19% kasus Sistem kardiovaskular Bayi yang mengalami hipoksia berat dapat menderita disfungsi miokardium yang berakhir dengan payah jantung. Gangguan kardiovaskular terjadi pada 29% kasus Sistem urogenital Pada sistem urogenital, hipoksia bayi dapat menimbulkan gangguan perfusi dan dilusi ginjal serta kelainan filtrasi glomerulus. Gangguan ginjal terjadi pada 42% kasus, gagal ginjal akut 15% kasus Sistem gastrointestinal Gangguan fungsi yang terjadi dapat berupa kelainan ringan yang bersifat sementara seperti muntah berulang, gangguan toleransi minum atau darah dalam residu lambung sampai kelainan perforasi saluran cerna, enterokolitis nekrotikans, kolestasis, dan nekrosis hepar. Gangguan sistem gastrointestinal terjadi pada 29% kasus Jangka pendek (kematian) Angka mortalitas asfiksia sekitar 15−20%
Penatalaksanaan
Sebagian besar bayi baru lahir tidak membutuhkan intervensi dalam mengatasi transisi dari intrauterin ke ekstrauterin, namun sejumlah kecil membutuhkan berbagai derajat resusitasi. Secara garis besar pelaksanaan resusitasi mengikuti algoritme resusitasi neonatal Langkah Awal Resusitasi Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 3 pertanyaan: Apakah bayi cukup bulan? Apakah bayi bernapas atau menangis? Apakah tonus otot bayi baik atau kuat? JIka semua jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam prosedur perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibu. Jika 702
terdapat jawaban ”tidak” dari salah satu pertanyaan di atas maka bayi memerlukan satu atau beberapa tindakan resusitasi berikut ini secara berurutan Langkah awal Memberikan kehangatan Memosisikan kepala bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya (semiekstensi/menghidu) Membersihkan jalan napas seperlunya: Jika tidak terdapat mekonium atau terdapat mekonium tetapi bayi bugar, bersihkan mulut lalu hidung Jika terdapat mekonium dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi mengalami depresi pernapasan, tonus otot ↓ dan frekuensi jantung (heart rate/HR) <100×/ mnt), segera dilakukan penghisapan cairan mekoneum melalui trakea dengan menggunakan aspirator mekonium dan selang endotrakea (endotrachea tube/ETT) sebelum timbul pernapasan untuk mencegah sindrom aspirasi mekonium Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan, dan meletakkan pada posisi yang benar Ventilasi tekanan positif (VTP) Jika semua tindakan di atas tidak menyebabkan bayi bernapas atau frekuensi jantung tetap <100×/mnt, dilakukan VTP selama 30 detik sebanyak 20–30×, sesudah itu dinilai ulang HR, napas dan saturasi oksigen. Jika VTP sudah dilakukan tetapi HR masih <100×/mnt atau napas bayi masih megapmegap, dilakukan koreksi ventilasi dengan cara SRIBTA (sungkup dilekatkan, reposisi kepala, isap lendir, buka mulut, tekanan dinaikkan, dan alternatif tindakan dengan melakukan intubasi) sampai VTP efektif. Jika VTP sudah efektif dan HR <100×/mnt, dilakukan kombinasi kompresi dada dan VTP Kompresi dada Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung <60×/mnt sesudah dilakukan VTP yang efektif selama 30 detik Satu siklus yang berlangsung selama 2 detik, terdiri atas satu ventilasi dan tiga kompresi. Kombinasi kompresi dada dan VTP dilakukan selama 45–60 detik Pemberian epinefrin Efinefrin diberikan jika sudah dilakukan kombinasi kompresi dada dan VTP efektis selama 45–60 detik, tetapi HR <60×/ mnt. Dosis yang diberikan 0,1–0,3 mL/kgBB larutan 1:10.000 (setara dengan 0,01–0,03 mg/kgBB) i.v. atau melalui selang endotrakeal dengan dosis 0,5–1 mL/kgBB Dosis dapat diulang 3–5 mnt jika frekuensi jantung tidak ↑ Keputusan untuk melanjutkan dari satu kategori ke kategori berikutnya ditentukan dengan penilaian 3 tanda vital secara simultan (pernapasan, frekuensi jantung, dan oksigenasi perifer/ saturasi oksigen)
703
Gambar 62 Algoritme Resusitasi Neonatus
Prognosis
Quo ad vitam dubia ad bonam Quo ad functionam dubia ad bonam
Bibliografi 1. 2. 3.
American Academy of Pediatrics. Textbook of neonatal resuscitation. Edisi ke-6. New York: American Academy of Pediatrics; 2011. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology: management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013. Hansen AR, Soul JS. Perinatal asphyxia and hipoxic-ischemic encephalophaty. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins; 2012. hlm. 711–28.
704
4. 5.
Perna R, Cooper D. Perinatal asphyxia: long-term cognitive sequelae and behavioral consequences, applied neuropsychology. Child. 2012;1(1):48–52. Üzel H, Kelekçi S, Devecioğlu C, Güneş A, Yolbaş I, Şen V. Neonatal asphyxia: a study of 210 cases. J Clin Exp Invest. 2012;3:32–6.
705
HIPOTERMIA Batasan
Suhu tubuh <36,5 °C
Klasifikasi
Klasifikasi hipotermia berdasarkan suhu inti (core suhue): Ringan : 36,4–36 °C (97,6–96,8 °F) Sedang: 35,9–32 °C (96,6–89,6 °F) Berat : <32 °C (89,6 °F)
Etiologi
Paling rentan pada: Bayi prematur atau berat badan lahir rendah (BBLR) Kecil untuk masa kehamilan Bayi yang menjalani resusitasi lama Bayi yang mendadak sakit → hipotermia, sering menyertai sepsis dan penyakit lainnya Lain-lain → abdomen yang terbuka atau defek spinal Kondisi yang berkaitan dengan hipotermia: Lingkungan dingin Asuhan neonatus yang tidak benar segera sesudah kelahiran Pengeringan tidak memadai Baju yang tidak memadai Pemisahan dari ibu Prosedur pemanasan yang tidak memadai (sebelum dan selama transpor/pemindahan) Bayi sakit dan stres
Patofisiologi
Mekanisme kehilangan panas Konduksi Konveksi Evaporasi Radiasi
Diagnosis
Pengukuran suhu neonatus mungkin tidak dapat mendeteksi perubahan dini dari stres dingin, karena neonatus pada awalnya menggunakan simpanan energi untuk mempertahankan suhu tubuhnya (suhu sentral). Tanda awal yang mungkin ditemukan yaitu: Kaki teraba dingin Kemampuan mengisap yang lemah atau tidak dapat menyusui Letargi dan menangis lemah Perubahan warna kulit dari pucat dan sianosis menjadi kutis marmorata atau pletora Takipnea dan takikardia
706
Tanda lanjut yang mungkin ditemukan ketika hipotermia berlanjut: Letargi Apnea dan bradikardia Terdapat risiko tinggi untuk hipoglikemia, asidosis metabolik, sesak napas, faktor pembekuan abnormal (KID, perdarahan intraventrikel, perdarahan paru)
Diagnosis Banding
Pemeriksaan Suhu aksila Keuntungannya mencakup penurunan risiko neonatus, kebersihan terjaga, dan pengukuran relatif cepat serta akurat Letakkan termometer di tengah aksila dengan lengan ditempelkan secara lembut tetapi kuat pada sisi tubuh bayi selama 5 mnt Kulit pada lokasi ini tidak bereaksi terhadap suhu rendah dengan vasokonstriksi Meskipun suhu sedikit lebih rendah daripada suhu sentral tubuh sesungguhnya, perubahannya akan sama dengan suhu tubuh Suhu rektum Pengukuran suhu tubuh dari rektum merupakan prosedur invasif dan tidak selalu dapat diandalkan Darah yang mengalir dari ekstremitas bawah memengaruhi suhu rektal Jika terdapat vasokonstriksi perifer dan neonatus memusatkan sirkulasinya, darah yang dingin dari ke dua tungkai akan secara bermakna menurunkan suhu rektum yang diukur Suhu lingkungan Setiap kamar harus memiliki termometer dinding Jaga suhu lingkungan kamar 24–26 °C
Terapi
Pengendalian Suhu Di ruang bersalin Memberikan lingkungan hangat yang bebas dari aliran udara Keringkan neonatus segera. Sebaiknya pengaturan suhu pendingin (AC) disesuaikan dengan suhu lingkungan yang dibutuhkan bayi, 24–26 °C Kontak kulit ibu-bayi sedini-dininya (inisiasi menyusu dini/IMD) akan berperan sebagai sumber panas. Lekatkan kulit bayi pada kulit ibu, lalu selimuti ibu dan bayinya sekaligus atau tutupi dengan kain/baju Gunakan radiant warmer pada saat lahir untuk semua neonatus dengan nilai APGAR rendah dari ibu yang memperlihatkan tanda stres intrapartum dan atau memiliki faktor risiko neonatal dan intrapartum Tutup kepala neonatus dengan topi Pemakaian radiant warmer Neonatus tidak berpakaian kecuali popok dan diletakkan tepat di bawah penghangat/radiant warmer Probe suhu tubuh harus diletakkan mendatar pada kulit, biasanya pada abdomen (daerah hipokondrium kanan) 707
Suhu servo harus diset pada 36,5 °C Suhu harus diukur setiap 30 mnt atau atas instruksi dokter untuk menilai bahwa suhu tubuh neonatus dipertahankan dalam kisaran yang seharusnya Pemakaian inkubator Selama perawatan dalam inkubator, penting untuk mengikuti prosedur ini: Memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam asuhan neonatus dapat menggunakan inkubator dengan benar, memantau suhu tubuh neonatus, dan menyesuaikan suhu inkubator untuk mempertahankan lingkungan bersuhu netral Inkubator memerlukan: Pasokan listrik yang tidak terputus Staf terlatih untuk pemeliharaan/perbaikan Ketersediaan suku cadang untuk perbaikan Jauhkan inkubator dari jendela tanpa penutup. Suhu ruang bayi harus memadai dan pembukaan/penutupan inkubator harus diminimalkan Ketika neonatus memerlukan perawatan dalam inkubator, penting untuk mendukung ibu dan ayah bayi untuk mengunjungi dan menggendong bayinya sesering-seringnya dengan memanfaatkan kontak kulit dengan kulit agar suhu stabil Tabel 162 Pengaturan Awal Suhu Inkubator Usia 0–24 jam 24–48 jam 48–72 jam 72–96 jam 2–3 hari 3–4 hari 4–5 hari 5–6 hari
1.200 34–35 °C 33–35 °C 34–35 °C 34–35 °C 34–35 °C 32–33 °C 31–33 °C 30,8–32,6 °C
Berat Badan (g) 1.200–1.500 1.501–2.500 33,3–34,4 °C 33–34 °C 33–34 °C 33–34 °C 32–34 °C 32–33 °C 30–32 °C 30,6–32,3 °C
31,8–33,8 °C 31,1–33,6 °C 31–33,2 °C 31–33 °C 33–33,5 °C 30–32 °C 29–32 °C 29–31 °C
>2.500 31–33,8 °C 30,5–33,5 °C 30,1–33,2 °C 29,8–32,8 °C 29–32 °C 29–30 °C 28,8–29,8 °C 28–29 °C
Suhu bayi harus dipantau setiap 4 jam atau sesuai instruksi dokter untuk mempertahankan suhu tubuh 36,5–37,5 °C. Suhu inkubator dapat dinaikkan atau diturunkan 0,5–1 °C setiap 30 mnt, sampai suhu tubuh bayi sesuai yang diharapkan Lubang jendela inkubator sedapatnya harus digunakan selama asuhan neonatus dan tidak sering membuka pintu inkubator yang lebih besar
Penyulit
Apnea (28%) Sepsis neonatorum (26%) Respiratory distress (20%) 708
Hipoglikemia (15,2%) Metabolic jaundice (9,3%) Edema dan perdarahan paru (0,9%) KID (0,4%) Skleroderma (0,2%)
Prognosis
Hipotermia berat biasanya buruk Hipotermia sedang bila tidak tertangani → hipotermia berat
Bibliografi 1.
2. 3. 4. 5.
Chatson K. Temperature control. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins; 2012. hlm. 178–84. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology: management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013. Lynam L, Koerrsch F, Schindler M. A research program to examine evidence-based practised in newborn thermoregulation. Z Geburtschshilfe Neonatal. 2006:210. Mizzi J, Sultana P. Hypothermia in the early neonatal period. Malta Med J. 2003;15:22–4. Mullany LC, Katz J, Khatry SK. Neonatal hypothermia and associated risk factors among newborn in southern Nepal. BMC Med. 2010;8:43.
709
HIPOGLIKEMIA Batasan
Kadar glukosa darah <40 mg/dL (pada 24 jam pertama kehidupan) Kadar glukosa darah <50 mg/dL (pada hari selanjutnya)
Klasifikasi
Hipoglikemia sementara Hipoglikemia persisten
Etiologi
Hipoglikemia sementara Stres neonatal, sepsis, asfiksia, hipotermia, polisitemia, syok, riwayat ibu diabetes melitus (DM), pemberian glukosa yang tidak adekuat, obat-obatan yang dimakan ibu (terbutalin/labetolol/ propanolol), transfusi ganti, bayi besar untuk masa kehamilan (BMK) Cadangan glikogen yang menurun Bayi kecil untuk masa kehamilan (KMK), bayi prematur/postmatur, asupan kalori yang kurang Hipoglikemia persisten Hormone excess hyperinsulinism Sindrom Beckwith-Wiedeman, adenoma sel pulau Langerhans, adenomatosis, hiperplasia/displasia sel beta, nesidioblastosis Defisiensi hormon Defisiensi hormon pertumbuhan, tidak responsif terhadap kortikotropin (corticotropin unresponsiveness), defisiensi tiroid, defisiensi epinefrin, defisiensi glukagon, defisiensi kortisol, hipoplasia/aplasia hipofisis anterior, hipoplasia saraf optikus kongenital, defisiensi hormon hipotalamus, malformasi SSP midline Defek herediter metabolisme karbohidrat Glycogen storage disease type I, intoleransi fruktosa, galaktosemia, defisiensi glycogen synthetase, defisiensi fructose-1,6diphosphatase Defek herediter metabolisme asam amino Maple syrup urine disease, propionic acidemia, tirosinosis, defisiensi 3-hydroxy-3-methylglutaryl-coalyase Defek herediter metabolisme lemak
Faktor Risiko
BB lahir <2.000 g Bayi dengan usia kehamilan ≤35 mg Bayi kecil masa kehamilan (KMK): BB lahir <10 persentil Bayi dengan pertumbuhan janin terhambat (PJT) morfologikal, yang meliputi neonatus dengan BBL antara 10–25 persentil (mungkin sampai 50 persentil) dengan gambaran klinis undernutrition seperti ≥3 lipatan kulit yang longgar di daerah gluteal, ↓ lemak subkutan dan perbedaan lingkar kepala ke lingkar dada >3 cm Bayi dengan ibu DM 710
Bayi besar masa kehamilan (BMK): BB lahir >90 persentil Bayi dengan inkompatibilitas Rh Bayi dengan ibu mendapatkan terapi terbutalin/propanolol/lebatolol /antihipoglikemik Neonatus yang sakit asfiksia, polisitemia, sepsis, syok, dll. ketika dalam kondisi fase akut Bayi dengan total parenteral nutrition
Patofisiologi
Hipoglikemia terjadi karena kecepatan produksi glukosa lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan glukosa. Penyebabnya: Pasokan/suplai glikogen rendah Cadangan glikogen rendah Gangguan produksi glikogen (glikogenolisis atau glukoneogenesis) Pemakaian glukosa ↑ (terutama karena hiperinsulinisme) Pada BKB → cadangan glikogen lebih sedikit, karena glikogen dideposit pada usia kehamilan trimester ketiga Bayi dengan PJT atau bayi kecil masa kehamilan → perkembangan aktivitas fungsi enzim phosphoenolpyruvate carboxynase (PEPCK) tertunda → glukoneogenesis terganggu → cadangan glikogen ↓ Pada bayi dengan ibu DM ↓ kondisi hiperglikemia pada ibu → hiperglikemia pada janin → menstimulasi pankreas janin → hiperplasia sel pankreas → hiperinsulinisme → hipoglikemia Inkompatibilitas Rh → eritroblastosis fetalis → hiperplasia sel islet pankreas → hiperinsulinemia → hipoglikemia Terapi terbutalin pada ibu → interupsi terhadap stimulasi glikogenolisis oleh epinefrin → hipoglikemia pada bayi Terapi β-bloker (labetolol/propanolol) pada ibu → hipolikemia disebabkan kemungkinan mekanisme sebagai berikut: Pencegahan terhadap stimulasi simpatis terhadap proses glikogenolisis Pencegahan terhadap pemulihan ↓ asam lemak bebas dan gliserol yang diinduksi insulin Inhibisi terhadap ↑ asam lemak bebas dan laktat yang diinduksi epinefrin Neonatal sepsis → penggunaan glukosa ↑ dan produksi glukosa ↓ melalui mekanisme: Menurunkan kecepatan proses gluoneogenesis Meningkatkan kecepatan metabolisme Meningkatkan sensitivitas insulin perifer Sindrom Beckwith-Wiedemann (triad: makrosomia, defek dinding abdomen, makroglosia) → hiperplasia berbagai sel tubuh termasuk hiperplasia sel islet pankreas → hiperinsulinemia → hipoglikemia
Diagnosis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis Apnea Hipotonia Kejang 711
Refleks isap ↓ Rewel Pernapasan iregular Refleks moro berlebihan, Jarang: bradikardia, high pitched cry, takipnea Dapat tanpa gejala (asimtomatik) Pemeriksaan Laboratorium Kadar glukosa darah sesuai dengan batasan Complete blood count dengan hitung jenis leukosit (untuk menyingkirkan sepsis dan polisitemia) Jika diperlukan untuk evaluasi lebih lanjut, pemeriksaan laboratorium lain dapat dilakukan untuk mendiagnosis defek metabolisme, hipopituitarisme, dan hiperinsulinisme
Diagnosis Banding
Sepsis Penyakit SSP Paparan zat toksik Abnormalitas metabolik: hipokalsemia, hiponatremia/hipernatremia, hipomagnesia, defisiensi piridoksin Insufisiensi adrenal Gagal jantung Gagal ginjal Gagal hati
Terapi
Asimtomatik Kadar glukosa dekstrostiks <25 mg/dL atau Chemstrip-bG <20 mg/dL (konfirmasi dengan kadar glukosa serum) Berikan infus glukosa dengan kecepatan 6 mg/kgBB/mnt (kontroversial) Bila bayi cukup bl, hipoglikemia dapat terjadi dalam 6−12 jam pertama dan jika tidak mempunyai faktor risiko tinggi dapat dilakukan early feeding (EF) dan periksa ulang kadar glukosa darah (GD) dalam 30–60 mnt sesudah EF. Bila GD tetap rendah, mulai pemberian dekstrosa i.v, dan kadar glukosa diperiksa tiap 30–60 mnt sampai GD stabil Kecepatan infus i.v. dapat dinaikkan sampai dicapai kadar normoglikemia (GD 50–110 mg/dL) Pemberian bolus glukosa pada bayi yang asimtomatik merupakan kontraindikasi karena dianggap dapat menyebabkan rebound hypoglycemia (kontroversial) Kadar glukosa dekstrostiks 25–45 mg/dL atau Chemstrip-bG 20−40 mg/dL (konfirmasi dengan kadar glukosa serum) Jika keadaan bayi stabil dan tidak mempunyai risiko untuk hipoglikemia, dapat dilakukan early feeding dengan dekstrosa 5% atau susu formula Pemeriksaan glukosa ulang setiap 30–60 mnt sampai kadarnya stabil, kemudian diperiksa setiap 4 jam. Jika kadar glukosa tetap rendah → infus glukosa, kecepatan mulai 6 mg/kgBB/mnt 712
Simtomatik Konfirmasi dengan kadar glukosa serum Infus minibolus glukosa 10% 2 mL/kgBB i.v. dengan kecepatan 1 mL/mnt, dilanjutkan infus glukosa 10% dengan kecepatan 6–8 mL/kgBB/mnt, kecepatan dapat dinaikkan lagi untuk mempertahankan kadar glukosa darah (>40–50 mg/dL). Pemeriksaan kadar glukosa ulang dilakukan setiap 30–60 mnt sampai stabil Konsentrasi glukosa tertinggi yang dapat diberikan melalui akses vena perifer 12,5%. Jika diperlukan konsentrasi glukosa yang lebih tinggi, diperlukan akses vena sentral Hipoglikemia persisten Kondisi ini terjadi bila hipoglikemia terjadi atau berulang dalam periode >7 hr
Konsultasi
Divisi Endokrinologi
Prognosis
Hipoglikemia pada BKB meningkatkan risiko gangguan perkembangan atau cerebral palsy (3,5×) Hipoglikemia simtomatik dapat menyebabkan jejas otak (dapat dideteksi dengan MRI), gangguan perkembangan saraf (neurodevelopment), gangguan kognitif, dan bangkitan kejang berulang
Bibliografi 1. 2. 3. 4. 5.
6. 7. 8.
9.
Achoki R, Opiyo N, English M. Mini-review: management of hypoglycemia in children aged 0–59 months. J Trop Pediatr. 2010;56:227–34. Burns CM, Rutherford MA, Boardman JP, Cowan FM. Patterns of cerebral injury and neurodevelopmental outcomes after symptomatic neonatal hypoglycemia. Pediatrics. 2008;122:65–74. Chan SW. Neonatal hypoglycemia [diunduh 18 Juni 2012]. Tersedia dari: www.uptodate.com. Cranmer H. Neonatal hypoglycemia [diunduh 18 Juni 2012]. Tersedia dari: www.emedicine.com. Feller JM, Simpson AM, Nelson M, Swan MA, O'connel PJ, Hawthorne WJ, dkk. Growth-promoting effect of Rh(D) antibody on human pancreatic islet cells. J Clin Endocrinol Metab. 2008;93(9):3560–7. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology: management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013. Jain A, Agarwal R, Sankar MJ, Deorari A, Paul VK. Hypocalcemia in the newborn. Indian J Pediatr. 2010;77:1123–8. Simmons RA. Glucose metabolism in newborn infant. Dalam: Polin RA, Yoder MC, penyunting. Workbook in practical neonatology. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. hlm. 45–51. Straussman S, Levitsky LL. Neonatal hypoglycemia. Curr Op Endocrinol Diab Obes. 2010;17:20–44. 713
10. Wilker RE. Hypoglycemia and hyperglycemia. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins; 2008. hlm. 540–6 11. Wilker RE. Hypoglycemia and hyperglycemia. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins; 2012. hlm. 569–79.
714
HIPOKALSEMIA Batasan
Pada BCB atau BKB dengan BBL >1.500 g Kadar kalsium total serum <8 mg/dL atau kadar ion kalsium <4,4 mg/dL Pada BKB dengan BBL <1.500 g Kadar kalsium total serum <7 mg/dL atau kadar ion kalsium <4 mg/dL
Klasifikasi
Hipokalsemia awitan dini (2–3 hr pertama) Hipokalsemia awitan lanjut (4–7 hr sesudah lahir)
Etiologi
Hipokalsemia Dini Prematuritas Asfiksia Ibu dengan DM Pertumbuhan janin terhambat (PJT) Defisiensi vitamin D pada ibu Hipokalsemia Lanjut Hipoparatiroidisme Sindrom DiGeorge Ibu dengan hiperparatiroid Hipomagnesemia Asupan fosfat yang tinggi Lain-lain Terapi bikarbonat Transfusi darah sitrat Penggunaan furosemid Fototerapi dengan white light Penyakit ginjal Gangguan metabolisme vitamin D
Patofisiologi
Hipokalsemia Dini Prematuritas → asupan susu kurang, gangguan respons terhadap hormon paratiroid, kadar kalsitonin yang tinggi, peningkatan pengeluaran melalui ginjal Bayi dengan ibu DM → konsentrasi hormon paratiroid rendah yang mungkin disebabkan kadar kalsium ion tinggi pada ibu saat dalam kandungan menyupresi kelenjar paratiroid bayi asfiksia → asupan fosfat tinggi karena katabolisme jaringan, asupan ↓ karena penundaan feeding, insufiensi ginjal, asidosis, dan konsentrasi kalsitonin serum ↑ PJT → transfer kalsium melalui plasenta ↓ Defisiensi vitamin D pada ibu → kurang suplementasi vitamin D prenatal 715
Hipokalsemia Lanjut Hipoparatiroidisme Sindrom DiGeorge → tidak ada kelenjar paratiroid, anomali kraniofasial dan jantung ibu dengan hiperparatiroidisme → supresi terhadap sekresi hormon paratiroid/parathormone (PTH) janin Hipomagnesemia → resistensi terhadap PTH dan gangguan sekresi PTH Asupan fosfat tinggi → pada bayi yang diberikan susu formula dengan kadar fosfat yang tinggi → mungkin menyebabkan antagonis sekresi/aksi PTH atau meningkatkan penyimpanan atau deposit kalsium dan fosfor di tulang → hipokalsemia Penyebab lain Bayi yang diberikan infus bikarbonat → bikarbonat akan membentuk senyawa dengan kalsium (Ca-complexes) → ↓ kadar kalsium ion plasma Bayi yang diberikan infus lipid → asam lemak bebas akan membentuk senyawa dengan kalsium ion → kadar kalsium ion plasma ↓ Bayi yang difototerapi → sekresi melatonin ↓ → uptake kalsium oleh tulang ↑ Transfusi ganti → infus cepat darah (yang di-buffer dengan sitrat) akan mengkelasi kalsium ion dalam darah bayi → hipokalsemia
Diagnosis
Gejala Klinis Sebagian besar asimtomatik Simtomatik Apnea, tremor atau hiperefleksia, jittery, muscle jerking (diinduksi oleh suara atau rangsang yang lain), kejang klonik fokal atau umum, stridor inspiratoir (karena laringospasme), wheezhing (karena bronkospasme), muntah (karena pilorospasme), aritmia (sekunder terhadap pemanjangan interval QT) Laboratorium Kadar kalsium darah (terutama kadar kalsium ion) sesuai batasan Elektrokardiografi Interval QT memanjang atau aritmia
Diagnosis Banding
Berdasarkan etiologi
Penyulit
Fraktur tulang iga
716
Terapi
Simtomatik Pemberian kalsium glukonas 10% (100 mg/BB atau 1 mL/kgBB) selama 5–10 mnt dengan monitor denyut jantung. Dosis dapat diulang dalam 10 mnt bila belum ada respons Alternatif: kalsium klorida (20 mg/kgBB atau 2 mL/kgBB) Dosis rumatan Sesudah terapi akut, pemberian kalsium glukonas rumatan i.v. harus diberikan Bila dapat menoleransi enteral feeding: kalsium glukonas 10% (500 mg/kgBB/hr dalam 4–6× pemberian susu) Hipokalsemia dengan hipomagnesemia Koreksi hipomagnesemia → larutan magnesium sulfat 50% (25– 50 mg/kgBB atau 0,2–0,4 mEq/kgBB) sebanyak 2×, interval 12 jam diberikan drip i.v. min. 2 jam atau i.m. Hindari pemberian infus i.v. secara cepat karena dapat menyebabkan aritmia Hipokalsemia pada hipoparatiroidisme Diet rendah fosfat Pemberian suplemen kalsium (50 mg/kgBB/hr dalam 3 dosis) dan 1,25 (OH)2 vitamin D3 (0,5–1 μg/hr) Hipokalsemia dengan hiperfosfatemia Pemberian diet tinggi kalsium dan rendah fosfat Pemberian ASI lebih diutamakan Jika ASI tidak tersedia, berikan susu formula dengan kadar fosfor yang rendah seperti Similac 60/40 Pemberian suplementasi kalsium seperti kalsium glukonas 10% (500 mg/BB/hr dalam 4–6× pemberian susu)
Prognosis
Sebagian besar kasus hipokalsemia neonatal dini akan membaik dalam 48–72 jam tanpa gejala sisa bermakna Hipokalsemia neonatal lanjut sekunder terhadap asupan fosfat tinggi dan defisiensi magnesium berespons baik terhadap restriksi fosfat dan penambahan magnesium Bila penyebabnya hipoparatiroidisme, hipokalsemia memerlukan terapi kontinu dengan metabolit vitamin D dan kalsium. Lama pemberian terapi berkaitan dengan etiologi hipoparatiroidisme, dapat transien beberapa mgg–bl atau permanen
Bibliografi 1.
2. 3.
Abrams SA. Abnormalities of serum calcium and magnesium. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins; 2012. hlm. 297–303. Abrams SA. Neonatal hypocalcemia [diunduh 18 Juni 2012]. Tersedia dari: www.uptodate.com. Ferry RJ. Pediatric hypocalcemia [diunduh 19 Juni 2012]. Tersedia dari: www.emedicine.medscape.com. 717
4.
5. 6. 7.
Greer FR. Disorders of calcium, phosphorus and magnesium in newborn period. Dalam: Polin RA, Yoder MC, penyunting. Workbook in practical neonatology. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders-Elsevier; 2007. hlm 29–35. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology: management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013. Jain A, Agarwal R, Sankar MJ, Deorari A, Paul VK. Hypocalcemia in the newborn. Indian J Pediatr. 2010;77:1123–8. Thomas TC, Smith J, White P, Adhikari S. Transient neonatal hypocalcemia: presentation and outcomes. Pediatrics. 2010;129: 1461–7.
718
MASALAH GANGGUAN PERNAPASAN TRANSIENT TACHYPNEA OF THE NEWBORN Batasan
Transient tachypnea of the newborn (TTN) adalah distres pernapasan yang biasanya ringan dan dapat sembuh sendiri. Terjadi pada bayi lahir matur (term) atau mendekati matur (near-term) yang berhubungan dengan keterlambatan clearance cairan paru yang tertunda. Distres pernapasan akan membaik dalam waktu 3–5 hr
Insidensi
Insidensi TTN berkisar 1–2% dari seluruh bayi baru lahir
Patofisiologi
Resorbsi cairan paru-paru yang tertunda oleh sistem limfatik → ↑ cairan dalam paru-paru → ↓ kompliansi paru → ↑ resistensi jalan napas → takipnea dan retraksi Bayi yang lahir dengan seksio sesaria → vaginal thoracic squeeze ↓ Imaturitas paru yang ditandai dengan tidak ditemukan fosfatidilgliserol sebagai penanda maturitas paru-paru Defisiensi surfaktan ringan
Diagnosis
Anamnesis Sesak napas, sianosis Didapatkan faktor risiko seperti: Lahir dengan seksio sesaria (khususnya bayi dengan usia kehamilan <38 mgg) Jenis kelamin laki-laki Makrosomia Riwayat penggunaan sedasi pada ibu saat persalinan Persalinan dengan kala II memanjang Asfiksia neonatorum Asma pada ibu Pemotongan tali pusat yang tertunda (waktu optimal 45 detik) Letak sungsang Bayi yang lahir dari ibu diabetes melitus Bayi berat lahir rendah dan sangat rendah Kehamilan multipel Pemeriksaan Fisis Takipnea (>60×/mnt dapat mencapai 100–120×/mnt) Takikardia dengan tekanan darah normal Grunting, pernapasan cuping hidung, retraksi interkostal, sianosis Barrel chest Pemeriksaan Penunjang Prenatal: L-S rasio yang matur, ditemukan fosfatidilgliserol dalam cairan amnion dapat membantu menyingkirkan penyakit membran hialin 719
Postnatal: AGD: hipoksia ringan, hipokarbia, hiperkarbia (PCO2 >55mmHg). Jarang terjadi hiperkarbia berat Darah lengkap dengan hitung jenis leukosit: normal pada TTN. Hematokrit dapat ↑ pada polisitemia Antigen tes dengan bahan pemeriksaan urin dan serum membantu menyingkirkan infeksi bakteri tertentu Kadar endotelin-I plasma: pemeriksaan ini membantu membedakan penyakit membran hialin dengan TTN. Pada penyakit membran hialin kadarnya ↑ Interleukin 6: membedakan TTN dengan sepsis. Kadarnya normal pada TTN Pemeriksaan radiologis Hiperekspansi dari paru-paru, perihilar streaking, pembesaran jantung ringan sampai sedang, pendataran diafragma, cairan pada fisura minor atau cairan pada kavum pleura, gambaran pembuluh darah paru yang ↑ USG paru: double lung point, comet-tail artifact pada lapang paru bagian bawah
Tatalaksana
Oksigenasi: mulai dengan pemberian oksigen dengan kadar oksigen ruangan untuk mempertahankan saturasi arteri tetap normal. Jika tidak efektif, dapat diberikan continous possitive airway pressure atau intubasi yang dilanjutkan dengan ventilasi mekanik Antibiotik: spektrum luas sampai diagnosis sepsis atau pneumonia dapat disingkirkan Pemberian minum: puasakan bayi dengan respirasi >60×/mnt, bayi dengan frekuensi pernapasan <60×/mnt bayi dapat diberi minum, frekuensi pernapasan 60–80×/mnt dapat dilakukan pemberian minum melalui pipa nasogastrik Cairan dan elektrolit: pemberiannya harus dimonitor
Prognosis
Self-limited dan biasanya berlangsung 2–5 hr. Tidak terdapat gejala sisa jangka panjang. Beberapa penelitian terkini menyatakan bahwa TTN berhubungan dengan sindrom mengi pada masa anak-anak
Bibliografi 1. 2.
3.
Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology: management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013. Kienstra KA. Transient tachypnea of the newborn Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins; 2012. hlm. 403–6. Louis NA. Transient tachypnea of the newborn. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2008. hlm. 364–6. 720
SINDROM ASPIRASI MEKONIUM Batasan
Sindrom aspirasi mekonium adalah distres pernapasan yang terjadi pada bayi baru lahir dengan cairan ketuban yang terwarnai dengan mekonium Mekonium adalah sekret intestinal pertama kali dari bayi baru lahir yang terdiri atas sel-sel epitel, rambut, mucus, dan asam empedu
Insidensi
Biasanya terjadi pada bayi matur dan postmatur. Bervariasi 8–20% dari seluruh persalinan. Dari seluruh bayi yang lahir dengan cairan ketuban yang terwarnai dengan mekonium, 5% akan berkembang menjadi sindrom aspirasi mekonium
Patofisiologi
Pasase mekonium intrauterin Bergantung pada maturitas hormonal dan saraf parasimpatik neonatus Insidensi cairan ketuban yang terwarnai dengan mekonium meningkat dari 1,6% pada bayi yang lahir dengan usia kehamilan 34–37 mgg menjadi 30% pada bayi yang lahir dengan usia kehamilan ≥42 mgg Faktor yang memengaruhi → gawat janin dan stimulasi vagal Aspirasi mekonium Pasase mekonium intrauterin → respirasi ireguler atau gasping selama persalinan → aspirasi cairan ketuban yang mengandung mekonium → obstruksi jalan napas, ↓ kompliansi paru dan ↑ resistensi jalan napas saat ekspirasi Obstruksi jalan napas total → atelektasis (parsial → ball-valve phenomenon) → air trapping → hiperakspansi alveolus Pneumonitis → edema bronkiolus → penyempitan saluran respiratori Aspirasi mekonium → stimulasi pelepasan sitokin-sitokin proinflamasi dan agen vasoaktif → resistensi pembuluh darah paru ↑ → pirau dari kanan ke kiri → hipoksemia
Diagnosis
Anamnesis Ditemukan faktor risiko seperti: Kehamilan lebih bulan Preeklamsi dan eklamsi Ibu dengan hipertensi Ibu dengan diabetes melitus Gangguan pertumbuhan intrauterin Profil biofisik yang abnormal Oligohidramnion Ibu perokok berat, penyakit saluran respiratori, dan jantung kronik pada ibu Skor APGAR 5 mnt yang rendah Gawat janin Persalinan yang berlangsung di rumah
721
Pemeriksaan Fisis Tanda-tanda lebih bulan: KMK, kuku yang panjang, kulit terwarnai mekonium (kuning kehijauan) disertai pengelupasan Tali pusar terwarnai dengan mekonium Tanda obstruksi jalan napas: apnea, gasping, sianosis Tanda distres pernapasan: takipnea, pernapasan cuping hidung, retraksi interkostal, diameter anteroposterior dada ↑ Auskultasi paru: ronki atau mengi Pemeriksaan Penunjang AGD: hipoksemia, alkalosis respiratorik atau asidosis respiratorik, asiodosis metabolik dan respiratorik Foto Rontgen toraks: hiperinflasi lapang paru, diafragma mendatar, infiltrat berupa bercak ireguler, pneumotoraks, pneumomediastinum Ekokardiografi jantung: hipertensi pulmonal
Tatalaksana
Prenatal Identifikasi kehamilan yang berisiko untuk terjadinya insufisiensi uteroplasenta dan hipoksia janin selama persalinan Pemantauan selama persalinan: tanda-tanda gawat janin, tidak ditemukan beat-to-beat variability, takikardia, deselerasi Tatalaksana di ruang persalinan Bayi bugar → perawatan rutin Bayi dengan distres pernapasan → intubasi secepatnya → meko nium aspirator Tatalaksana bayi yang lahir dengan aspirasi mekonium Sistem pernapasan: pulmonary toilet AGD Pemantauan oksigen: pantau saturasi oksigen Antibiotik: dimulai dengan antibiotik spektrum luas, misalnya ampisilin dengan dosis 50 mg/kgBB/dosis Pemberian oksigen Ventilasi mekanik: diindikasikan pada penderita dengan impending respiratory failure (hiperkapnia dan hipoksemia persisten Seting ventilator dengan tekanan inspirasi yang tinggi dan frekuensi napas yang lebih cepat daripada bayi dengan penyakit membran hialin High frequency jet ventilation (HFV) Surfaktan Nitrit oksida inhalasi Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO)
Prognosis
Terapi berupa pemberian surfaktan, HFV, nitrit oksida inhalasi dan ECMO mengurangi angka kematian sampai <5%. Pada penderita dengan aspirasi mekonium berat, displasia bronkopulmonal atau penyakit paru kronik dapat terjadi akibat penggunaan ventilasi mekanik yang berkepanjangan. Bayi dengan asfiksia dapat mengalami sekuele neurologis 722
Bibliografi 1.
2. 3.
Burris HH. Meconium aspiration. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins; 2012. hlm. 429–32. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology: management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013. Harris LL, Stark AR. Meconium aspiration. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2008. hlm. 383–7.
723
PNEUMONIA PADA NEONATUS Batasan
Proses inflamasi dan infeksi yang terjadi pada jaringan parenkim paru-paru yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa, dan jamur
Etiologi
Minggu pertama kehidupan: >gram (−); sesudah mgg pertama: gram (+) Bakteri: Streptococcus hemolyticus group B, Streptococcus pneumonie (25%), E. coli, dll. Virus: Rubella, Herpes, RSV, Sitomegalovirus, HIV, Parainfluenza, Influenza Parasit: Toxoplasma gondii Bakteri atipikal: Klamidia, Listeria monocytogenes Jamur: Candida albicans
Klasifikasi
Awitan dini (48 jam pertama kehidupan s.d. 1 mgg pertama); awitan lanjut (3 mgg) Pneumonia kongenital Pneumonia intrauterin Pneumonia didapat intrapartum Pneumonia didapat postpartum Faktor Predisposisi Prematuritas Ibu demam >38 °C Ketuban pecah dini >24 jam Riwayat ketuban berbau Pemeriksaan vaginal toucher yang sering Persalinan lama Korioamnionitis Skor APGAR rendah Infeksi sistemik ibu oleh karena etiologi: Rubella, Cytomegalovirus, Treponema pallidum, Listeria monocytogenes, Tuberculosis, HIV, TORCH
Diagnosis
Anamnesis Riwayat ibu (infeksi peripartum) Gejala Klinis Letargi, perfusi perifer ↓, takikardia, hipotermia atau hipertermia, malas menetek, distensi abdomen Tanda gawat napas, suhu tubuh tidak stabil, distensi abdomen, refleks memburuk Ronki, takipnea (60–89%), retraksi terutama subkostal dan interkostal (>80%) 724
Bila terdapat infeksi sistemik ibu (biasanya ibu asimtomatik): hepatosplenomegali, trombositopenia, ikterik Gejala lokal antara lain: konjungtivitis, vesikel atau lesi kulit fokal, sekresi nasal yang tidak lazim, eritema, edema atau keadaan lain yang menunjukkan reaksi inflamasi Laboratorium Darah: jumLah batang >20% leukosit, leukositosis, kultur dapat (+), LED ↑, CRP ↑ Gram dan kultur aspirat cairan trakea/lambung/faring → dapat ditemukan bakteri Foto Rontgen Toraks Kasus berat: tampak densitas homogen dan difus Kasus lain: seperti gambaran penyakit membran hialin (retikulogranular dan difus), kadang seperti pneumonia pada bayi Gambaran nodular/infiltrat, granular, air bronchogram, konsolidasi lobar/segmental yang gambarannya tidak membaik dalam 48 jam
Diagnosis Banding
Penyakit membran hialin (PMH) Transient tachypnea of the newborn (TTN) Aspirasi mekonium Edema paru
Penyulit
Meningitis Efusi pleura Sepsis
Terapi
Mempertahankan suhu optimal bayi 36,5–37,5°C Mempertahankan oksigenasi adekuat, jika memungkinkan PaO2 50– 80 mmHg Mempertahankan sirkulasi darah Jika Ht <40% → transfusi darah Antibiotik (jika diduga ada infeksi bakteri): sebaiknya diberikan ≥4 hr (atau ≥7 hr) Ampisilin (cloxacillin atau flucloxacillin) 0–7 hr: 50 mg/kgBB/12 jam >7 hr: 50 mg/kgBB/8 jam Ditambah Gentamisin (kanamisin atau streptomisin): dosis loading 8 mg/kgBB Dilanjutkan, bila usia 0–7: hr 2 mg/kgBB/24 jam (BB <2 kg) atau 4 mg/kgBB (BB >2 kg), usia >7 hr: 4 mg/kgBB/24 jam (BB <2 kg) atau 6 mg/kgBB ( BB >2 kg) Jika infeksi nosokomial → sefalosporin generasi III 0–7 hr: 100 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis i.m./i.v. >7 hr: 150 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis i.m./i.v. 725
Jika gagal dengan terapi lini pertama → sefalosporin generasi III/kloramfenikol (bila bayi tidak prematur dan kadar obat dapat dimonitor) Selanjutnya bergantung pada hasil kultur dan resistensi mikroorganisme Terapi antibiotik diberikan selama 10–14 hr Fisioterapi dada bila diperlukan
Pencegahan
Imunisasi maternal dengan vaksinasi polisakarida pneumokokus untuk mencegah S. pneumoniae Pencegahan transmisi penyakit seksual maternal Menjaga kebersihan jalan lahir dengan cairan antiseptik (clorhexidine 0,25%) setiap melakukan pemeriksaan vaginal toucher Suplementasi vitamin A saat lahir Tatalaksana apnea dan gagal napas pada bayi baru lahir, contoh: penggunaan CPAP
Prognosis
Bergantung pada etiologi
Bibliografi 1. 2. 3.
4. 5. 6. 7.
Caserta MT. Neonatal pneumonia. 2009. [diunduh 01 Juli 2012]. Tersedia dari: www.merck.com/mmpe/print/sec19/ch279/ch279. html. Duke T. Neonatal pneumonia in developing countries. Arch Dis Child Fetal Neonatal. 2005;4:F211–9. Engle WD, Jackson GL, Sendelbach D, Ford D, Olesen B, Burton KM. Neonatal pneumonia: comparison of 4 vs 7 days of antibiotic therapy in term and near-term infants. J Perinatol. 2000;20: 421– 6. Engle WD, Jackson GL, Sendelbach DM, Stehel EK, Ford DM, McHugh KM. Pneumonia in term neonates: laboratory studies and duration of antibiotic therapy. J Perinatol. 2003;23:372–7. Klein JO, Barnett ED. Neonatal pneumonia. Philadelphia: WB Saunders; 2003. Mathur NB, Garg K, Kumar S. Respiratory distress in neonates with special reference to pneumonia. Indian Ped. 2002;39:529– 37. Nissen MD. Congenital and neonatal pneumonia. Paed Respiratory Rev. 2007;8:195–203.
726
SINDROM DISTRES PERNAPASAN/ RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (RDS) Batasan
Sindrom distres pernapasan (RDS)—pada waktu lalu dikenal sebagai penyakit membran hialin (hyaline membrane disease/HMD)—adalah suatu diagnosis klinis pada bayi prematur dengan kesulitan bernapas yang disebabkan oleh defisiensi surfaktan yang ditandai dengan takipnea (>60×/mnt), retraksi dinding dada dan sianosis yang menetap atau menjadi progresif dalam 48–96 jam kehidupan, dengan karakteristik gambaran foto Rontgen berupa gambaran retikulogranular dan peripheral air bronchogram
Insidensi
RDS terjadi pada 44% bayi dengan berat lahir 501–1.500 g. Insidensinya berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan berat lahir
Patofisiologi
Defisiensi surfaktan → atelektasis yang progresif → functional residual capacity (FRC) tidak efektif → ekspansi alveolus ↓ → tegangan permukaan paru-paru ↑ Eksudat yang kaya akan protein dan debris yang berasal dari kerusakan epitel paru terkumpul dalam jalan napas → kapasitas paruparu ↓ Kompliansi paru ↓ → diperlukan tekanan (−) yang lebih besar untuk membuka jalan napas yang kolaps → retraksi dinding dada Tekanan intratorakal ↓
Diagnosis
Anamnesis Didapatkan faktor risiko seperti: Prematuritas Jenis kelamin laki-laki Predisposisi familial Persalinan dengan seksio sesaria Asfiksia neonatal Korioamnionitis Kehamilan multipel Ibu dengan DM Pemeriksaan Fisis Takipnea, grunting, pernapasan cuping hidung, retraksi dinding dada, sianosis
Pemeriksaan Penunjang
Foto Rontgen toraks Gambaran retikulogranular → ground glass appearance disertai peripheral air bronchogram AGD 727
Darah lengkap, termasuk hitung jenis dan kultur darah Gula darah Elektrolit serum Ekokardiografi: dilakukan untuk mendiagnosis duktus arteriosus persisten
Tatalaksana
Pencegahan Kortikosteroid antenatal Pemberian surfaktan Dosis survanta 4 mL/kgBB/dosis terutama pada 6 jam pertama kehidupan Dukungan pernapasan Intubasi endotrakea dan ventilasi mekanik Continous possitive airway pressure (CPAP) Pemberian cairan dan nutrisi Antibiotik sampai terbukti tidak ada infeksi bakteri
Prognosis
Sepuluh sampai 20% menyebabkan kematian pada tahun pertama akibat RDS
Bibliografi 1.
2.
3.
Bhakta KY. Respiratory distress syndrome. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2008. hlm. 323–30. Bhakta KY. Respiratory distress syndrome. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins; 2012. hlm. 406–16. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology: management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013.
728
APNEA Batasan
Tidak terdapat aliran udara pernapasan selama lebih dari 20 detik atau henti napas sejenak (>10 detik) yang disertai dengan penurunan saturasi oksigen atau bradikardia (<100×/mnt)
Klasifikasi
Apnea sentral Apnea obstruktif Apnea campuran
Etiologi
Penyakit/kelainan organ Kepala dan SSP Asfiksia neonatal Perdarahan intraventrikular Meningitis Hidrosefalus dengan tekanan intrakranial ↑ Kejang Sistem respirasi Hipoksia Obstruksi jalan napas Penyakit paru Ventilasi tidak adekuat atau ekstubasi terlalu dini Sistem kardiovaskular Gagal jantung kongestif PDA Penyakit jantung kongenital Saluran cerna EKN Refluks gastroesofageal Sistem hematologi Anemia Polisitemia Penyakit dan kelainan lainnya Suhu tidak stabil (hipotermia, hipertermia) Infeksi (sepsis) Kelainan metabolik/elektrolit (hipoglikemia/hiponatremia) Refleks vagal (efek sekunder tube nasogastrik) Obat (dosis tinggi fenobarbital, diazepam, dan pengaruh obat ibu misalnya MgSO4 dan anestesia umum) Usia kehamilan (seperti tampak pada Tabel 163)
729
Tabel 163 Penyebab Apnea dan Bradikardia Tersering Sesuai Usia Kehamilan Kurang Bulan Apnea pada prematur PDA PMH Hidrosefalus postperdarahan Perdarahan peri atau intraventrikular
Cukup Bulan
Semua Usia
Infark serebri Polisitemia
Sepsis EKN Meningitis Aspirasi Refluks gastroesofagus Kejang Asfiksia
Usia pascanatal Terjadi beberapa jam sesudah lahir: pengaruh obat ibu, asfiksia, kejang, PMH Terjadi ≤1 mgg: PDA, perdarahan intra/periventrikular Terjadi >1 mgg: hidrosefalus postperdarahan, kejang Terjadi 6–10 mgg: anemia karena prematuritas Terjadi dalam waktu yang bervariasi: sepsis, EKN, meningitis
Patofisiologi
Ketidakmatangan pusat pernapasan Keutuhan/obstruksi jalan napas Pompa pernapasan
Faktor Predisposisi
BKB Saudara dengan riwayat sudden infant death syndrome (SIDS) Kelainan neurologik
Diagnosis
Anamnesis Bayi dengan faktor risiko (kurang bulan, kelainan neurologik, infeksi) Gejala Klinis Letargi Hipotermia Tanda tekanan tinggi intrakranial Distensi abdomen Laboratorium Gambaran darah tepi/hitung jenis/trombosit (DD/sepsis) AGD: mengetahui hipoksia Glukosa, elektrolit darah: mengetahui gangguan metabolik Radiologi Foto Rontgen toraks: atelektasis, pneumonia, air leak Foto abdomen: tanda EKN USG kepala: perdarahan intrakranial/kelainan SSP 730
CT-scan:untuk bayi yang menunjukkan kelainan neurologis, infark serebri Pemeriksaan Penunjang Elektroensefalografi (EEG): untuk mengetahui apakah apnea bentuk dari bangkitan kejang Pneumografi: dapat membedakan suatu apnea sentral atau apnea obstruktif
Diagnosis Banding
Berdasarkan etiologi
Terapi
Pencegahan Manipulasi yang minimal Pengaturan suhu lingkungan Jika memungkinkan, letakkan bayi dalam posisi tengkurap Pemantauan pernapasan dan denyut jantung Umum Oksigen per nasal Stimulasi taktil Perhatikan posisi leher (tidak boleh terlalu fleksi/ekstensi) Nasal CPAP: dengan tekanan 4–6 cm H2O, dapat ditingkatkan s.d. 10 cm H2O dan kecepatan aliran O2 5–10 L/mnt Medikamentosa (jika usaha di atas gagal), indikasi pemberian adalah apnea yang disebabkan oleh prematuritas Teofilin i.v./p.o. 1,5–2 mg/kgBB/6 jam Jika serangan apnea ↑ dan berat → aminofilin, dosis awal 5–6 mg/kgBB i.v. perlahan dalam 15–30 mnt, 12 jam kemudian dilanjutkan dosis rumatan 1,5–2 mg/kgBB setiap 6–8 jam Kafein sitrat i.v./p.o. dosis awal 20 mg/kgBB, selama 30 mnt, 24 jam kemudian dilanjutkan dosis rumatan 5–12 mg/kgBB i.v./p.o, dosis ditingkatkan 1 mg/kgBB sampai dosis total 12 mg/kgBB Doksapram Jika pemberian teofilin/kafein apnea tidak berkurang → infus/drip kecepatan 0,5–1,5 mg/kgBB/jam. Sesudah apnea teratasi → kecepatan dapat ↓, sedangkan pada penderita yang tetap apnea, dosis ↑ sampai maks. 2,5 mg/kgBB/jam Ventilasi mekanik Jika semua usaha di atas gagal Khusus Bergantung pada etiologi 731
Penyulit
Apnea pada neonatus biasanya mengalami resolusi pada usia koreksi 40–42 mgg Apnea pada prematuritas yang persisten serta hipoksemia yang menyertainya kemungkinan dapat menyebabkan konsekuensi jangka panjang berupa gangguan perkembangan neurologis. Gangguan pada kontrol pernapasan dan hipoksia kronik intermiten dapat menyebabkan gangguan pernapasan tidur (sleep-disordered breathing)
Prognosis
Pada umumnya baik, tanpa disertai gejala sisa
Bibliografi 1. 2.
3. 4. 5.
Abu-Shaweesh JM, Martin RJ. Neonatal apnea: what’s new? Pediatr Pulmonol. 2008 Oct;43(10):937–44. Dudell GG, Stoll BJ. Apnea. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan VC III, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders Co; 2007. hlm. 729–30. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology: management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013. Stark AR. Apnea. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins; 2012. hlm. 395–405. Stark AR. Apnea. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2008. hlm. 369–82.
732
SYOK PADA NEONATUS Batasan
Syok adalah gangguan fungsi sirkulasi yang berkurang mendadak dan kompleks yang mengakibatkan penyampaian oksigen dan nutrien untuk memenuhi kebutuhan jaringan dan untuk mengeluarkan sisa metabolisme Hipotensi adalah tekanan darah >2 standar deviasi di bawah harga normal menurut usia
Patofisiologi
Syok terjadi karena kegagalan perfusi dengan patofisiologi yang dapat diterangkan sebagai berikut: Pada banyak kasus curah jantung menjadi rendah, pada awal syok terjadi kompensasi berupa vasokonstriksi pembuluh darah regional (kulit, muskuloskeletal, sirkulasi splangnikus) mungkin sementara dapat memelihara tekanan darah tetap normal dan aliran darah adekuat ke organ vital. Tetapi apabila syok berlanjut, mekanisme kompensasi ini gagal dan kerusakan sel akan terjadi Terpeliharanya perfusi jaringan yang adekuat bergantung pada 3 faktor utama, yaitu: Curah jantung (cardiac output = CO) Integritas dan terpeliharanya tonus vasomotor pembuluh darah setempat, termasuk arteri, vena, dan pembuluh darah kapiler Kemampuan darah untuk membawa bahan metabolik dan membuang sisa metabolisme Syok merupakan kelainan yang progresif, tetapi syok secara umum dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu kompensasi, dekompensasi, dan ireversibel. Tiap fase mempunyai karakteristik manifestasi klinikopatologi dan hasil (outcome), tetapi pada BBL tidak mungkin dibedakan
Faktor Risiko
Infeksi tali pusat Abnormalitas plasenta Hemolisis fetal/neonatal Perdarahan fetal/neonatal Infeksi maternal Anestesi/hipotensi maternal Asfiksia intrauterin dan atau intrapartum Sepsis neonatorum Pulmonary air leak syndrome Overdistensi paru saat ventilasi tekanan (+) Aritmia jantung
Etiologi
Syok hipovolemik disebabkan oleh kehilangan darah akut atau kehilangan cairan Syok distributif disebabkan oleh sepsis, vasodilator, depresi miokardium, atau jejas endotel 733
Syok kardiogenik disebabkan oleh kardiomiopati, gagal jantung, aritmia, atau iskemia miokardium Syok obstruktif disebabkan oleh tension pneumothorax atau tamponade jantung. Dapat juga disebabkan oleh obstruksi pembuluh balik vena akibat pressure ventilation Syok disosiatif disebabkan oleh anemia yang sudah terjadi sebelumnya atau methemoglobin
Diagnosis
Pengukuran tekanan darah → hipotensi Sindrom klinis syok terdiri atas: Takikardia Perfusi yang buruk Kutis marmorata Akral dingin Denyut nadi lemah, dalam Gangguan napas: apnea, takipnea Asidosis metabolik Oliguria atau anuria
Pemeriksaan Laboratorium
AGD Kadar glukosa Elektrolit (hipo atau hipernatremia, hipo atau hiperkalemia, kalsium) Tes fungsi hati dan ginjal Profil pembekuan darah (prothrombin time, partial thromboplastin time, fibrinogen, D-dimer) Kadar asam laktat Ekokardiografi untuk evaluasi fungsi miokardium dan menyingkirkan kelainan jantung bawaan Evaluasi sepsis (pemeriksaan darah rutin dan kultur darah)
Terapi
Tujuan terapi syok untuk meningkatkan cardiac output dengan pemberian volume expander dan atau inotropik, memperbaiki perfusi dan oksigenasi, mengurangi metabolism anaerob dan produksi asam laktat, dan akhirnya memperbaiki pH darah Syok Hipovolemik Volume expander (NaCl 0,9%) 10–20 mL/kgBB diberikan dalam 15–30 mnt, bila tidak ditemukan perdarahan akut Transfusi PRC atau whole blood bila ditemukan perdarahan akut Syok Kardiogenik Koreksi faktor yang mengganggu kontraktilitas miokardium, seperti hipoksia, hipoglikemia, hipotermia, hipotensi, asidosis, aritmia, infeksi, dan gangguan keseimbangan elektrolit Koreksi asidosis metabolik Inotropik: dobutamin dan dopamin 734
Syok Septik Mulai dengan pemberian volume expander 10–60 mL/kgBB sampai terjadi perbaikan perfusi perifer Syok yang tidak teratasi dengan pemberian cairan, merupakan indikasi penggunaan dopamin (5–20 µg/kgBB/mnt), dobutamin ( 5–20 µg/kgBB/mnt), titrasi epinefrin (0,05–1 µg/kgBB/mnt) Kortikosteroid: Hidrokortison 2–10 mg/kgBB/hr dibagi dalam 2–4 dosis selama 3–5 hr atau deksametason 0,25 mg/kgBB dosis tunggal
Penyulit
Syok refrakter terjadi dengan keterlibatan kardiovaskular Multiple organ dysfunction syndrome
Prognosis
Dengan menggunakan 2002 American College of Critical Care Medicine Clinical Guidelines for Hemodynamic Support of Neonates and Children with Septic Shock, mortalitas syok septik ↓ dari 39% menjadi 12%, sedangkan mortalitas syok hipovolemik ↓ dari 38% menjadi 8%, namun angka mortalitas dan sekuele jangka panjang yang berat pada syok septik neonatus di populasi umum 52% Syok refrakter memiliki angka mortalitas yang besar (48%)
Bibliografi 1.
2. 3.
4. 5. 6.
Brierley J, Carcillo JA, Choong K, Cornell T, DeCaen A, Deymann A, dkk. Clinical practice parameters for hemodynamic support of pediatric and neonatal septic shock: 2007 update from the American College of Critical Care Medicine. Crit Care Med. 2009;37(2):666–88. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology: management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013. Karlsen KA. STABLE: blood pressure pre-transport/postresuscitation stabilization care of sick infants guidelines for neonatal healthcare providers. Edisi ke-5. Utah: March of Dimes; 2006. Kluckow M. Hypotension in the newborn infant. Dalam: Polin RA, Yoder MC, penyunting. Workbook in practical neonatology Edisi ke-4. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. hlm. 261–87. Kourembanas S. Shock. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Willkins; 2008. hlm. 176–80. Meyer S, Gortner L, McGuire W, Baghai A, Gottschling S. Vassopressin in catecholamine-refractory shock in children. Anaesthesia. 2008;63:228–34.
735
PEMBERIAN NUTRISI NUTRISI ENTERAL PADA NEONATUS Batasan
Nutrisi enteral (NE) merupakan cara memenuhi kebutuhan nutrisi sebagian atau seluruhnya untuk pertumbuhan bayi dan mempertahankan integritas struktur traktus gastrointestinal Trophic feeding atau disebut juga gut priming, sebagai pemberian makanan dalam jumLah yang sangat kecil (10–20 mL/kgBB/hr) ditujukan untuk menginduksi maturasi usus Manfaat pemberian NE sejak dini: Meningkatkan jumlah hormon usus Mengurangi intoleransi makanan Nutrisi enteral penuh dapat segera dilakukan Meningkatkan BB Meningkatkan retensi kalsium dan fosfor Pemberian parenteral lebih singkat
Pedoman Pemberian Trophic Feeding
Dimulai segera sesudah lahir, idealnya hr ke-2 atau ke-3 Menggunakan kolostrum atau formula pada volume 10–20 mL/kg/hr, selang 3, 4, 6, atau 8 jam Pada bayi stabil hemodinamik, tidak ada NEC/ileus Kebutuhan Nutrisi Neonatus Kalori Untuk mempertahankan BB, 50–60 kkal/kgBB/hr Untuk meningkatkan BB, 100–120 kkal/kgBB/hr bagi BCB (meningkatkan 15–30 g/hr) dan 110–140 kkal/kg/hr untuk BKB Karbohidrat Kebutuhan sekitar 40–50% total kalori Protein Kebutuhan sekitar 2,25–4,0 g/kgBB/hr untuk memenuhi 7–16% kebutuhan kalori Lemak Kebutuhan 3 g/kgBB/hr (40–50% total kalori) Vitamin dan mineral Cairan Kriteria Memulai Pemberian Nutrisi Enteral Tidak ada sekresi oral yang berlebihan Perut lembut dan tidak cembung Pernapasan <60×/mnt Nutrisi Enteral Bayi Kurang Bulan ASI 736
ASI yang difortifikasi, untuk ↑ energi, protein, vitamin, dan mineral agar lebih cocok untuk BKB, diberikan sesudah bayi toleran terhadap 100 mL/kg ASI Formula kurang bulan Nutrisi Enteral Bayi Cukup Bulan ASI Formula cukup bulan Metode Pemberian Selang nasogastrik/orogastrik Bayi <34 mgg, bayi yang refleks hisapnya lemah atau ↓ Transpilorik Bayi dengan intoleransi terhadap NGT/OGT, risiko aspirasi, masalah residu dan regurgitasi lambung yang berat, gangguan anatomis saluran cerna Gastrostomi Bayi dengan gangguan neurologis, bayi yang tidak dapat menetek untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan hidrasi Tabel 164 Pedoman Pemberian Tube Feeding Berat Badan Lahir (g)
Dosis Awal (mL/kgBB)
<800 800–1.000 1.001–1.250 1.251–1.500 1.501–1.800 1.801–2.500 >2.500
10 10–20 20 30 30–40 40 50
Target volume yang diinginkan 140–160 mL/kgBB/hr
Bibliografi 1. 2.
3.
4.
Chaudhari S, Kadam S. Total parenteral nutrition in neonates. Indian Pediatr. 2006;43:953–64. Ellard D, Anderson DM. Nutrition. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Willkins; 2008. hlm. 114–36. Ellard DM, Anderson DM. Nutrition. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins; 2012. hlm. 230–62. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology: management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013.
737
NUTRISI PARENTERAL PADA NEONATUS Batasan
Nutrisi parenteral (NP) merupakan cara untuk memenuhi persyaratan nutrisi, sebagian atau seluruhnya untuk bayi yang tidak dapat menoleransi pemberian asupan enteral. Dapat diberikan secara sentral melalui kateter yang ditempatkan pada vena kava superior atau vena kava inferior atau secara perifer melalui vena perifer. Nutrisi parenteral total (NPT) adalah pemberian berbagai zat gizi atau nutrisi (lemak, karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral) melalui intravena yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik dan pertumbuhan
Indikasi
Indikasi pemberian NP sebagai berikut: BKB yang diperkirakan tidak dapat menoleransi pemberian asupan enteral secara penuh dalam waktu 3‒7 hr Bayi yang dicurigai atau pasti mengalami enterokolitis nekrotikans dan diperkirakan mendapat nutrisi parenteral eksklusif selama >3 hr Bayi sesudah operasi dan tidak dapat asupan untuk jangka waktu yang panjang Bayi dengan anomali gastrointestinal seperti gastroschizis, meconium ileus, short bowel syndrome, EKN, ileus paralitik Bayi yang tidak naik BB-nya sesudah mendapatkan pemberian asupan secara enteral
Manajemen
Kebutuhan Cairan Cairan dimulai dari 60–80 mL/kgBB/hr pada BCK dan 80–100 mL/kgBB/hr pada bayi prematur, kemudian dinaikkan 10–20 mL/hr hingga maks. bergantung pada maturitas dan kondisi lingkungan yang memengaruhi kehilangan cairan dari kulit. Kenaikan cairan pada akhir minggu berturut-turut 120–150 mL/kgBB/hr pada BCK dan 130–180 mL/kgBB/hr pada bayi prematur. European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition (ESPGHAN) tahun 2005 merekomendasikan kebutuhan cairan berdasarkan proses adaptasi cairan neonatus sebagai berikut
738
Tabel 165 Kebutuhan Cairan Minggu Pertama Usia (hr)
1
2
3
4
5
6
Bayi cukup bulan Bayi kurang bulan, BBL ≥1.500 g Bayi kurang bulan, BBL <1.500 g
60–120 60–80 80–90
80–120 80–100 100–110
100–130 100–120 120–130
120–150 120–150 130–150
140–160 140–160 140–160
140–180 140–180 160–180
Rekomendasi Na+, K+, Cl− (meq/kgBB/hr)
739
Na+: 0–3, K+: 0–2, Cl−: 0–5 Kehilangan berat badan yang diharapkan bergantung pada kondisi pengobatan (asupan cairan) dan kelembapan Penyesuaian yang hati-hati diperlukan pada BBLSR pada awitan diuresis dan pada penderita poliuria Suplementasi K hanya pada saat sesudah diuresis
Tabel 166 Kebutuhan Cairan dan Elektrolit pada Periode Pertengahan Usia Kehamilan Berat Badan BCB BKB ≥1.500 g <1.500 g
Asupan (mL/kgBB/hr)
Asupan Na+ (meq/kgBB/hr)
Asupan K+ (meq/kgBB/hr)
Asupan Cl− (meq/kgBB/hr)
140–170
2–5
1–3
2–3
140–160 140–160
3–5 2–3
1–3 1–2
3–5 2–3
Tabel 167 Rekomendasi Asupan Cairan dan Elektrolit pada Periode Pertumbuhan Usia Kehamilan
Asupan (mL/kgBB/hr)
Asupan Na+ (meq/kgBB/hr)
Asupan K+ (meq/kgBB/hr)
Cukup bulan Kurang Bulan
140–160 140–160
2–3 3–5
1,5–3 2–5
Kebutuhan Kalori Pembagian sumber kalori yang ideal: karbohidrat 50–55%, protein 10–15%, lemak 30–35%. Larutan glukosa 10% mengandung energi sebesar 0,34 kkal/mL atau mengandung 3,4 kkal/g, larutan lemak 10% mengandung 1 kkal/mL dan larutan lemak 20% mengandung 2 kkal/mL Jumlah asupan kalori harian 90–100 kkal/kgBB/hr Untuk BBLSR, kalori harus ditingkatkan perlahan-lahan Hari 1–3 50–55 kkal/kgBB/hr Hari 3–5 65–75 kkal/kgBB/hr Hari 5–7 85–90 kkal/kgBB/hr Kalori yang berasal dari protein tidak boleh >15% dan kalori dari lipid tidak boleh >50% dari total asupan kalori Kebutuhan Glukosa Karbohidrat utama yang digunakan pada nutrisi parenteral yaitu glukosa. Kecepatan pemberian glukosa pada bayi prematur 4–6 mg/kgBB/mnt, 8–12 mg/kgBB/mnt pada BBLSR dan 8 mg/kgBB/mnt pada BCB, kemudian kecepatan ditingkatkan per harinya hingga 12–15 mg/kgBB/mnt untuk 2–3 mgg sesudah lahir hingga tercapai euglikemia Jangan memberikan infus dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari D12,5% dari alur infus perifer. Gunakan akses vena sentral untuk konsentrasi yang lebih tinggi Jika terjadi hiperglikemia, turunkan laju infus glukosa. Kemudian, jika perlu, turunkan jumLah infus glukosa Kebutuhan Protein Protein merupakan komponen fungsional dan struktural sel tubuh. Bayi prematur tang tidak mendapatkan kebutuhan nutrisi terutama protein sesuai kecepatan pertumbuhan janin intrauterin. Bayi prematur yang tidak mendapat kecukupan protein akan menimbulkan dampak jangka pendek berupa kerentanan terhadap infeksi, peningkatan keperluan bantuan ventilasi, serta gangguan akibat radikal bebas. Dampak jangka panjang meliputi retriksi pertumbuhan, defisit neurokognitif, serta rentan terhadap penyakit kardiovaskular Diperlukan larutan asam amino yang mengandung taurin. Setiap gramnya mengandung 4,0 kkal Kebutuhan protein sesuai berat badan adalah yang diberikan setelah hari pertama; 1–2 g/kgBB/hr pada bayi VLBW (very low 740
birth weight), berat lahir <1.250 g membutuhkan 2–2,4 g/kgBB/hr, berat lahir 1.250–1.500 g membutuhkan 2 g/kgBB/hr dan berat lahir >1.500 g membutuhkan 2 g/kgBB/hr, dengan target pencapaian 3,5–4 g/kgBB/hr Rasio kalori protein dengan nonprotein tidak boleh melebihi 1:25. Turunkan kandungan protein dalam nutrisi parenteral jika BUN serum ↑ (prerenal azotemia) atau dengan asidosis metabolik Kebutuhan Lipid Intralipid 20% (minyak kedelai, fosfolipid telur dan 2,25% gliserol) merupakan pilihan dan setiap gramnya mengandung 10 kkal Menurut usia kehamilan, mulai 0,5–1,0 g/kgBB/ hr dan tingkatkan 0,5 g/kgBB/ hr hingga maks. 3 g/kgBB/hr Kalori dari lemak tidak boleh >50% total kalori Berikan perlahan-lahan selama 20–24 jam Gunakan secara hati-hati (atau dengan lajur min. 0,5–1,0 g/kgBB/hr) pada bayi yang mengalami sepsis, penyakit paru yang parah, penyakit hepatik, ikterus, dan trombositopenia Jika kadar trigliserida serum >200 mg hentikan intralipid dan jika >150 mg turunkan laju infus intralipid Pemantauan Nutrisi Parenteral Bayi Anjuran jadwal pemantauan selama pemberian nutrisi parenteral termasuk parameter yang dinilai dalam tabel berikut Tabel 168 Pemantauan Nutrisi Parenteral Parameter Pengukuran Laboratorium Elektrolit serum Urea darah Kalsium, magnesium, phosphorus Glukosa Glukosa urin Protein Tes fungsi hati Hematokrit Trigliserida serum Pemeriksaan Fisis Berat badan Intake/output Inspeksi tempat insersi (bengkat, ekstravasasi) Pengukuran antropometris Kurva pertumbuhan
Frekuensi 3–4×/mgg awal, kemudian mingguan 3×/mgg awal, kemudian mingguan 3×/mgg awal, kemudian mingguan 2×/hr Tiap hr Tiap mgg Tiap mgg Tiap mgg 4 jam sesudah peningkatan dosis kemudian mingguan Harian Harian Harian Tiap mgg Tiap mgg 741
Melanjutkan ke Pemberian Asupan Oral Pengeluaran ASI secara rutin hingga pemberian asupan secara oral sudah tercapai merupakan hal penting untuk membantu ibu mempertahankan kecukupan produksi ASI. Perubahan pemberian asupan parenteral menjadi enteral yang bersumber dari payudara dan atau puting dapat dimulai dan ditingkatkan secara bertahap, segera sesudah bayi menunjukkan refleks mengisap dan menelan yang cukup untuk memperoleh asupan secara oral tanpa mengalami kelelahan atau apnea
Penyulit
Penyulit yang dapat terjadi berkaitan dengan pemberian nutrisi parenteral: Penyulit yang berkaitan dengan kateter, antara lain sepsis, infeksi kulit lokal dan slough, trombosis, dan chylothorax Penyulit metabolik: hiperglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, asidosis, osteopenia, kerusakan hati, dan kolestasis
Bibliografi 1.
Aerde JEV. In preterm infant, does supplementation of carnitine to parenteral nutrition improve the following clinical outcomes: growth, lipid metabolism and apneic spells? Paediatr Child Health. 2004;9:573. 2. Chaudhari S, Kadam S. Total parenteral nutrition in neonates. Indian Pediatr. 2006;43:953–64. 3. Chawla D, Thukral A, Agarwal R, Deorari AK, Paul VK. Parenteral nutrition. Indian J Pediatr. 2008;75(4):377–83. 4. Deshnande G, Simmer K. Lipid for parenteral nutrition in neonates. Curr Clin Nutr Metab Care. 2011;14:145–50. 5. El-Hassan NO, Kaiser JR. Parenteral nutrition in the neonatal intensive care unit. Neo Rev. 2011;12:180–8. 6. Ellard D, Anderson DM. Nutrition. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Willkins; 2008. hlm. 114–36. 7. Ellard DM, Anderson DM. Nutrition. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins; 2012. hlm. 230–62 8. Fusch C, Bauer K, Bohles HJ, Jochum F, Koletzo B, Krawinkel M, dkk. Guidelines on parenteral nutrition. GMS. 2009;7:1–23. 9. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology: management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013. 10. Kerner JA, Poole RL. The use of IV fat in neonates. Nutr Clin Pract. 2006;21:374–80.
742
11. Koletzo B, Goulet O, Hunt J, Krohn K, Shamir R. Guideline on paediatric parenteral nutrition of the European Society of Paediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition and Metabolisme (ESPEN), supported by the European Society of Paediatric Research (ESPR). J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2005; 28:113–20. 12. Ziegler EE. Meeting the nutritional needs of the low birth weight infant. Ann Nutr Metab. 2011;58:8–18.
743
ENTEROKOLITIS NEKROTIKANS (EKN) Batasan
Kelainan saluran cerna yang didapat pada BKB berupa kerusakan mukosa, iskemia dan toksik yang diduga karena imaturitas usus serta sistem imunologik yang belum matang
Epidemiologi
±1–3/1.000 kelahiran hidup >90% terjadi pada bayi BKB 4–11% pada bayi dengan BB lahir <1.500 g
Klasifikasi
Berdasarkan Modifikasi Bell (1986) Stadium IA: Tersangka Gejala sistemik : tidak spesifik, suhu tidak stabil, apnea, bradikardia Gejala intestinal : tetensi lambung, distensi abdomen ringan, feses: darah samar (tes Benzidin (+)) Gambaran radiologis: normal atau ileus ringan Stadium IB: Tersangka Gejala sistemik : tidak spesifik, suhu tidak stabil, apnea, bradikardia Gejala intestinal : darah merah terang dari rectum Gambaran radiologis: normal atau ileus ringan Stadium II A: EKN Ringan Gejala sistemik : sama dengan Stadium I Gejala intestinal : distensi abdomen lebih jelas, bising usus tidak ada, darah segar di feses Gambaran radiologis: ileus, dilatasi usus dengan pneumatosis fokal Stadium II B: EKN Sedang Gejala sistemik : asidosis ringan, trombositopenia Gejala intestinal : edema dinding abdomen, lembut, dengan atau tanpa teraba massa Gambaran radiologis: pneumatosis yang luas, asistes ringan, udara pada vena porta Stadium III A: EKN Lanjut Gejala sistemik : asidosis metabolis atau respiratoris, ventilasi mekanik, hipotensi, oliguri, KID Gejala intestinal : edema pada dinding perut, eritema dengan indurasi Gambaran radiologis: asites lebih jelas, persisten bowel loop, tidak ada gambaran udara bebas Stadium III B: EKN Berat Gejala sistemik : keadaan umum, tanda vital dan laboratorium memburuk, syok Gejala intestinal : perforasi Gambaran radiologis: pneumoperitoneum 744
Etiologi
Belum diketahui secara pasti Faktor risiko yang diduga berperan: Prematuritas Asfiksia Sindrom distres pernapasan Polisitemia Pemberian susu formula yang terlalu cepat dan banyak
Patofisiologi
Sampai saat ini belum ada teori yang memuaskan. Umumnya teori yang disetujui yaitu kehilangan integritas mukosa usus yang merupakan mekanisme terpenting untuk terjadinya EKN, termasuk di antaranya imaturitas saluran cerna/imunologi, iskemia, kolonisasi, invasi bakteri usus, pertumbuhan bakteri usus yang berlebih, dan toksin bakteri
Diagnosis
Gejala Klinis Intoleransi makanan Muntah Distensi abdomen Darah segar pada feses/perubahan bentuk feses Tidak spesifik: apnea, bradikardia, ketidakstabilan suhu, dan letargi Bising usus ↓ Laboratorium Darah: neutropenia, trombositopenia, kultur + (bergantung pada etiologi), dapat terjadi gangguan keseimbangan elektrolit dan asam-basa Feses: perubahan konsistensi, disertai darah, kultur + (bergantung pada etiologi) Radiologi Sesuai dengan klasifikasi Bell (lihat di atas)
Diagnosis Banding
Volvulus Kolitis pseudomembran Kolitis Hirschsprung Perforasi usus spontan Mekonium ileus Sepsis dengan ileus
Penyulit
Jangka pendek: angka kematian bervariasi (0–55%) Jangka panjang Short bowel syndrome (10–20%) Striktur intestinal (35–30%) 745
Defisit neurologis:gangguan pendengaran (12%) gangguan penglihatan (10%) Keterlambatan tumbuh kembang (49%)
Pencegahan
Pemberian ASI saja Pemberian antibiotik enteral Pemberian antibiotik
Konsultasi
Departemen Bedah Anak
Terapi
Pengelolaan Dasar Menghentikan nutrisi p.o. Dekompresi saluran cerna dengan pipa nasogastrik Pemantauan tanda vital, perdarahan saluran cerna, masukan/ keluaran cairan, elektrolit, dan tanda sepsis Antibiotik kombinasi Ampisilin diberikan p.o., i.m, atau i.v. Usia ≤7 hr, 50 mg/kgBB/hr dalam 2 dosis Usia >7 hr, 75 mg/kgBB/hr dalam 2 dosis Gentamisin diberikan i.m. atau i.v. Usia ≤7 hr BB <1.000 g dan usia kehamilan <28 mgg, 2,5 mg/kgBB/hr, dosis tunggal BB <1.500 g dan usia kehamilan <34 mgg, 2,5 mg/kgBB/dosis diberikan setiap 18 jam BB >1.500 g dan usia kehamilan ≥34 mgg, 2,5 mg/kgBB/dosis setiap 12 jam Usia >7 hr BB <1.200 g, 2,5 mg/kgBB/dosis, setiap 18–24 jam BB ≥1.200 g, 2,5 mg/kgBB/dosis, setiap 8 jam Foto abdomen serial (setiap 6–8 jam) Stadium I Nutrisi p.o. dihentikan dan pemberian minum dapat diberikan sesudah 3 hr perbaikan Antibiotik diberikan selama 3 hr Stadium II Nutrisi p.o. dihentikan selama 2 mgg. Pemberian minum dapat mulai diberikan 7–10 hr sesudah pemeriksaan radiologis tidak tampak pneumatosis Nutrisi parenteral 90–110 kal/kgBB/hr Oksigen Antibiotik selama 7–10 hr Na bikarbonat 2 mEq/kgBB, jika terjadi asidosis metabolik Dopamin 2–4 g/kgBB/mnt memperbaiki sirkulasi darah usus Stadium III Sesuai stadium II, disertai ventilator mekanik jika dibutuhkan Jika terdapat syok, atasi sesuai penyebab 746
Pembedahan dilakukan bila Keadaan klinis memburuk Tidak memberikan respons terhadap pengobatan di atas Sentinel loop menetap selam 24 jam Massa di abdomen kuadran bawah kanan Eritema dinding abdomen (tanda peritonitis) Perforasi usus spontan
Prognosis
Quo ad vitam : ad malam Quo ad functionam: ad malam
Bibliografi 1. 2.
3. 4.
Arnold M, Moore S.W, Sidler D, Kirsten GF. Long-term outcome of surgically managed necrotizing enterocolitis in a developing country. Pediatr Surg Intern. 2010; 26:355–60. Eichenwald EC. Necrotizing enterocolitis. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Willkins; 2008. hlm. 608–15. Hunter CJ, Podd B, Ford HR, Camerini V. Evidence vs experience in neonatal practices in necrotizing enterocolitis. J Perinatol. 2008;28(Suppl 1):S9–13. Maheshwari A, Corbin LL, Schelonka RL. Neonatal necrotizing enterocolitis. Res Rep Neonatol. 2011:139–53.
747
SEPSIS PADA NEONATUS Batasan
Sindrom klinis yang ditandai gejala sistemik dan disertai bakteremia pada bulan pertama kehidupan
Klasifikasi
Sepsis awitan awal: segera sesudah lahir–7 hr Sepsis awitan lanjut: infeksi nosokomial dan terjadi >7 hr
Etiologi
Bakteri gram-positif Streptokokus grup B: penyebab paling sering Stafilokokus koagulase (−): penyebab utama bakteremia nosokomial Streptokokus bukan grup B Bakteri gram-negatif Escherichia coli K1: penyebab nomor dua terbanyak Listeria monocytogenes H. influenzae Pseudomonas Klebsiela Enterobakter Salmonela Bakteri anaerob Gardenella vaginalis
Patofisiologi
Sepsis awitan awal Transplasental (antepartum) Asenderens kuman vagina (partus lama, KPSW) Waktu melewati jalan lahir (mikroorganisme dari vagina dan rektum) Sepsis awitan lanjut Tindakan manipulasi (intubasi, kateterisasi, pemasangan infus, dll.) Defek kongenital (omfalokel, meningokel, labioskizis, labiopalatoskizis, dll). Koloni kuman berasal dari saluran respiratori atas, konjungtiva, membran mukosa, umbilikus dan kulit yang menye-babkan invasi/menyebar secara sistemik
Faktor Predisposisi
Faktor ibu Perdarahan Infeksi pada uterus atau plasenta Ketuban pecah dini (sebelum 37 mgg kehamilan) Ketuban pecah terlalu cepat saat melahirkan (≥18 jam sebelum melahirkan) Proses kelahiran yang lama dan sulit
748
Faktor bayi BBLR Prematuritas KMK Defek kongenital Bayi laki-laki lebih banyak daripada perempuan Tindakan resusitasi saat melakukan intubasi Kehamilan kembar
Diagnosis
Gejala Klinis Umum Bayi tidak tampak sehat (not doing well) Bayi tidak mau minum (poor feeding), retensi cairan lambung banyak Suhu badan labil (hipo/hipertermia) Saluran cerna Muntah, diare, distensi abdomen, hepatomegali Gangguan pernapasan Merintih Pernapasan cuping hidung (dispneu, takipnea), retraksi Apnea Gangguan kardiovaskular Takikardia, bradikardia, hipotensi Gangguan SSP Kesadaran ↓ (letargis → koma) Tremor, jittery, kejang, iritabel, hipotonia, apnea Gangguan hematologik Pucat, ikterus, perdarahan, pembesaran limpa Kulit Petekia, purpura, sklerema, mottling Laboratorium Anemia Leukopenia <4.000/mm3, leukositosis >25.000–30.000/mm3 pergeseran ke kiri Neutropenia absolut <1.000/mm3, rasio neutrofil imatur: total >0,2 granular toksik Trombositopenia LED, C-reactive protein (CRP) ↑, procalcitonin ↑ Kultur darah, cairan serebrospinal, dll. (+) Cairan serebrospinal: jika meningitis → keruh disertai leukosit ↑
Penyulit
Meningitis bakterialis EKN KID Syok septik
749
Terapi
Umum Rawat dalam ruang isolasi/inkubator Cuci tangan sebelum dan sesudah memeriksa bayi Pemeriksa harus memakai pakaian ruangan yang sudah disediakan Pengaturan suhu dan posisi bayi Khusus Suportif: menjaga stabilitas hemodinamik dan oksigenasi jaringan vital O2: bila sianosis, distres pernapasan, apnea, dan serangan kejang Pemberian cairan dan elektrolit Pada keadaan umum jelek → nutrisi parenteral sesuai dengan usia dan BB bayi Bila keadaan umum baik → nutrisi enteral secara bertahap dan parenteral dikurangi sampai kebutuhan rumatan terpenuhi Atasi kejang (lihat terapi kejang pada neonatus) Atasi hiperbilirubin (lihat terapi hiperbilirubinemia pada neonatus) Atasi anemia, syok, hipo/hiperglikemia (mempertahankan glukosa darah 120–160 mg/dL Manajemen stress ulcer Recombinant human activated protein C (mencegah pembentukan trombin dan antiinflamasi) dosis 24 µg/kgBB/jam selama 96 jam pada penderita dengan trombosit >30.000/mm3 Antibiotik Sebelum pemberian antibiotik, periksa kultur dan tes resistensi Antibiotik spektrum luas untuk gram (+) dan (−) selama belum ada hasil kultur Terapi awal (sebelum ada hasil kultur dan resistensi): Kombinasi ampisilin + aminoglikosid Ampisilin 50 mg/kgBB/dosis i.v. Bayi <7 hr diberikan 2 dosis Bayi ≥7 hr diberikan 3 –4 dosis Aminoglikosid <2.500 g: 1,5 mg/kgBB/dosis i.v. 2×/hr ≥2.500 g: 2,5 mg/kgBB/dosis i.v. 2×/hr Kombinasi sefotaksim + aminoglikosida [sepsis diduga karena gram (−)] Sefotaksim ≤7 hr: 100 mg/kgBB/hr i.v. dibagi 2 dosis >7 hr: 150 mg/kgBB/hr i.v. dibagi 3 dosis Untuk meningitis: 200 mg/kgBB/hr dibagi 4 dosis Bila klinis dan laboratorium tidak ada perbaikan sesudah 48 jam → antibiotik diganti dengan antibiotik alternatif sesuai dengan gambaran klinis penderita Bila disebabkan infeksi nosokomial: meropenem 20 mg/kgBB/i.v./12 jam infus dalam 30 mnt
750
Imunoterapi Imunoglobulin: 500–750 mg/kgBB/dosis selama 3–7 hr Transfusi ganti: 2 × 80 mL × kgBB Vaksinasi untuk pencegahan (tetanus toksoid dan influenza)
Prognosis
Kematian akibat sepsis pada BKB ≥dibandingkan dengan BCB
Bibliografi 1. 2.
3. 4.
Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology: management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013. Gotoff SP. Neonatal sepsis. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan VC, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders Co; 2011. hlm. 623–47. Kementerian Kesehatan RI. Protokol asuhan neonatal esensial. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; Januari 2012. Polin RA. Management of neonates with suspected or proven early-onset bacterial sepsis. Pediatrics. 2012;129:1006–15.
751
KEJANG PADA NEONATUS Batasan
Kejang secara klinis didefinisikan sebagai perubahan paroksismal fungsi neurologis, termasuk perilaku, gerakan, dan atau fungsi autonom
Etiologi
Asfiksia neonatal Perdarahan intrakranial Perdarahan subaraknoid Perdarahan periventrikular atau intraventrikular Perdarahan subdural Gangguan metabolik Hipoglikemia Hipokalsemia Gangguan elektrolit: hiponatremia dan hipernatremia Gangguan pembuatan asam amino Infeksi Drug withdrawal Toksin Kejang yang diturunkan Defisiensi piridoksin
Patofisiologi
Secara selular perkembangan sistem eksitasi pada otak bayi baru lahir lebih pesat daripada sistem inhibisinya, ketidakseimbangan antara sistem eksitasi dan inhibisi ini akan memicu kejang
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, evaluasi neurologi dan mengamati pola kejang, pemeriksaan laboratorium sesuai etiologi, pemeriksaan radiologi (USG kepala, CT-scan, MRI), serta pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)
Terapi Manajemen Akut Kejang pada Neonatus Setiap menyelesaikan satu langkah, evaluasi terjadinya kejang. Jika kejang menetap, lanjutkan ke langkah berikutnya Langkah 1. Stabilisasi fungsi vital Langkah 2. Koreksi gangguan metabolik a. Hipoglikemia (target gula darah 50–110 mg/dL) Bolus dekstrosa 10% 2 mL/kgBB diikuti dengan infus kontinu dekstrosa b. Hipokalsemia Ca-glukonas i.v. 4 mL/KgBB (monitor jantung) c. Hipomagnesemia, magnesium sulfat 50% i.m., 0,2 mL/kgBB 752
Langkah 3. Fenobarbital 20 mg/kgBB i.v., jika kejang berlanjut tambahkan 5 mg/kgBB dan dapat diulang dengan dosis maks. 40 mg/kgBB Langkah 4. Fenitoin 20 mg/kgBB i.v. load, perlahan Langkah 5. Antikejang yang lain
Penyulit
Kegagalan kardiorespirasi Kejang refrakter Kerusakan otak
Prognosis
Prognosis bergantung pada etiologi, tipe kejang, serta usia gestasi, 27% penderita menjadi epilepsi, 25% menjadi palsi serebral, 20% mengalami retardasi mental, 27% memiliki kesulitan belajar. Prognosis jelek pada ensefalopati, penyulit IVH, infeksi pada preterm infants, gambaran EEG interiktal abnormal, pada disgenesis serebral, dan penggunaan antikejang multipel
Bibliografi 1. 2.
Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology: management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013. Du Plessis. Neonatal seizure. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Willkins; 2008. hlm. 483–98.
753
MASALAH HEMATOLOGI NEONATUS ANEMIA Batasan
Anemia pada neonatus dengan masa kehamilan >34 mgg, dengan kadar Hb darah vena <13 g/dL atau kadar Hb darah kapiler <14,5 g/dL, atau pada BCB disebut anemia apabila Ht <45%
Patofisiologi
Pembentukan eritrosit normal dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama eritopoietin (EPO) yang berfungsi menstimulasi maturitas prekursor eritrosit Penyebab utama anemia pada neonatus adalah: Perdarahan Produksi eritrosit ↓ Dekstruksi eritrosit ↑
Etiologi Anemia Neonatorum
1. Perdarahan merupakan penyebab terbanyak, dapat disebabkan oleh: Penyebab obstetrik: ruptur plasenta, plasenta previa, trauma plasenta atau umbilical cord selama delivery dan ruptur atau anomali pembuluh darah plasenta Feto-maternal transfusion: 8% dari persalinan normal mempunyai kelainan percampuran darah dari fetus ke maternal Feto-placental transfusion: disebabkan posisi fetus di atas plasenta, sehingga darah mengalir ke plasenta Twin-twin transfusion: Terjadi bila kembar monokorion dan terjadi shunting pada pembuluh darah umbilikal Donor akan mengalami anemia dengan berbagai tingkatan Recipient akan mengalami polisitemia dengan berbagai tingkatan Internal hemorrhage: dapat terjadi pada perdarahan intrakranial, subgaleal hemorrhage, cephalohematoma, dan lainnya Iatrogenik: dapat terjadi sekunder dari pemeriksaan laboratorium, merupakan penyebab terbanyak pada BKB 2. Peningkatan dekstruksi eritrosit Penyebab intrinsik: gangguan eritrosit herediter (jarang), termasuk: Defek pada enzim eritrosit (contoh: defisiensi G6PD) Defek membran eritrosit (contoh: hereditary spherocytosis) Hemoglobinopati (contoh: α-thalassemia) 754
Penyebab ekstrinsik: Immune hemolysis Rh incompatibility ABO incompitability Minor blood group incompatibility (misal Kell, Duffy) Sindrom hemangioma (Kasabach Merritt) Acquired hemolysis: Infeksi Defisiensi vitamin E Obat-obatan 3. Penurunan produksi eritrosit Anemia pada neonatal prematur yang disebabkan oleh defisiensi eritropoetin Anemia aplastik atau hipoplastik (contoh Diamond-Blackfan) Supresi sumsum tulang (contoh, infeksi Rubella atau Parvovirus B19)
Diagnosis
Anamnesis (Riwayat Keluarga) Keluarga: anemia, ikterik, ras Maternal dan neonatal: penyulit persalinan Neonatus: usia kehamilan, pemeriksaan fisis Laboratorium Darah rutin disertai hitung jenis dan retikulosit Golongan darah, tes Coomb Bilirubin total dan direk Gejala Klinis Pucat Takikardia Takipnea Apnea Letargi
Kebutuhan O2 ↑ Poor feeding Hepatosplenomegali Ikterus Hipotensi Metabolik asidosis (anemia berat)
Diagnosis Banding Diagnosis banding etiologi
755
Hb ↓ Hitung retikulosit Normal atau tinggi
Rendah Anemia plastik/hipoplastik kongenital Anemia plastik bawaan Kelainan endokrin Toksin Infeksi kronis Defisiensi besi Gangguan sumsum tulang (leukemia, neuroblastoma)
Tes Coomb Negatif
Positif Anemia hipolitik
MCV Rendah Thalassemia
Normal atau tinggi
Morfologi darah tepi Normal Defisiensi enzim darah merah kongenital Pendarahan Infeksi Gangguan lien
Abnormal Hemoglobinopati Anemia hemolitik mikroangiopati Kelainan struktur sel darah merah Defisiensi G6PD Hemolisis mekanik
Gambar 63 Algoritme Tatalaksana Anemia pada Neonatus Sumber: Widness 2000
Penyulit
Syok Gagal jantung
Konsultasi
Jika penyebabnya kasus bedah/bedah saraf → konsul ke Departemen Bedah/Bedah Saraf
Terapi
Transfusi (berdasarkan pertimbangan klinis) (lihat Tabel 169) 756
Tabel 169 Indikasi Transfusi Anemia pada Neonatus Ht ≤20% atau Hb ≤7g/dL Ht ≤25% atau Hb ≤8g/dL, yang disertai dengan: Apnea/bradikardia yang terjadi 10 episode dalam 24 jam atau ≥2× mendapatkan ventilasi buatan Takikardia menetap >180×/mnt atau takipneu menetap >80×/mnt selama ≥24 jam dengan pengukuran 4×/hr selang 3 jam Berat tidak bertambah secara adekuat selama 4 hr (<10g/hr) dengan asupan penuh Ht ≤30% atau Hb ≤10 g/dL, dengan moderat RDS + pemberian FiO2 ≥35%, atau pemakaian nasal kanul O2, atau pemakaian ventilator dengan MAP 6–8 cm H2O Ht ≤35% atau Hb ≤12 g/dL, dengan RDS berat, dan pemakaian ventilator mekanik dengan MAP ≥8 cm H2O dan FiO2 ≥50%, atau disertai dengan kelainan jantung bawaan yang disertai sianosis atau gagal jantung Kehilangan darah akut disertai syok, bertujuan untuk mempertahankan Ht ≥40% Tabel 170 Indikasi Transfusi PRC pada Bayi Prematur 1. Ht <35%, jika: Mendapatkan O2 dengan FiO2 >35% Menggunakan CPAP atau ventilator mekanik dengan MAP 6–8 cmH2O 2. Ht <30%, jika: Mendapat suplementasi O2 Menggunakan CPAP atau ventilator mekanik dengan Pw <6 cmH2O Didapatkan apnea atau bradikardia signifikan (>9 episode dalam 12 jam atau >2 episode dalam 24 jam) HR >180×/mnt atau RR >80×/mnt dalam 24 jam Kenaikan berat <10 g/kgBB/hr dalam 4 hr, sesudah mendapatkan asupan 100 kkal/kgBB/hr Kasus bedah 3. Ht <20%, jika: Asimtomatik, dengan hitung retikulosit <100×103/mL
Prognosis
Bergantung pada etiologi serta kecepatan dan ketepatan penatalaksanaan
Bibliografi 1.
Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, penyunting. Neonatology: management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Education; 2013. 757
2. 3. 4.
Luban LNC. Management of anemia in the newborn. Early Human Development. 2008;84:493–8. Ohl RK. Tranfusion in preterm infant. Neo Rev. 2007;8:e377–86. Widness JA. Pathophysiology, diagnosis, and prevention of neonatal anemia. Neo Rev. 2000;1;e61.
758
POLISITEMIA Epidemiologi
Insidensi polisitemia neonatus sekitar 0,4–4% dari total neonatus. Hal ini dapat terjadi karena peningkatan viskositas darah dan penurunan aliran darah, menyebabkan hipoksia jaringan dan pembentukan mikrotrombus karena hipoksia, asidosis, dan penurunan perfusi jaringan
Batasan
Polisitemia adalah apabila Ht vena ≥65% atau konsentrasi Hb >22,0 mg/dL
Etiologi Aktif (peningkatan eritropoesis intrauterin) Hipoksia intrauterin Insufisiensi plasenta SGA Infeksi intrauterin Obat-obatan (propanolol) Ibu dengan payah jantung Ibu perokok Maternal diabetes Neonatal hiper/hipotiroid Adrenal hiperplasi kongenital Abnomali kromosom Trisomi 13 Trisomi 18 Trisomi 21 Sindrom Beckwith
Pasif (sekunder dari transfusi eritrosit) Keterlambatan pemotongan tali pusat Sengaja Menolong sendiri Transfusi maternofetal Twin to twin tranfusion
Diagnosis
Anamnesis Ibu dengan faktor risiko (lihat di atas) Bayi (kehilangan cairan, BLB) Gejala Klinis Tanpa gejala Dengan gejala Feeding problems Pletora Letargi Sianosis Takipnea Hipotonia Iritabilitas Laboratorium: Ht vena ≥65% EKG dapat ditemukan hipertrofi jantung kanan, depresi segmen ST 759
Patofisiologi
Gambar 64 Patofisiologi Polisitemia
Klasifikasi
Simtomatik Asimtomatik
Terapi
Polisitemia Simtomatik Terapi satu-satunya yaitu partial exchange transfusion (PET) PET adalah mengganti volume darah dengan cairan untuk menurunkan nilai hematokrit. Gejala klinis seperti jittery akan menetap 1–2 hr walaupun hematokrit sudah turun Volume cairan untuk PET, diberikan dengan perhitungan sebagai berikut: Volume cairan PET = (Ht sekarang − Ht yang diharapkan) × volume darah Ht sekarang
Volume darah diperkirakan; 80–90 mL/kgBB untuk BCB 90–100 mL/kgBB untuk BKB Sebagai panduan kasar, volume darah yang akan dipertukarkan dengan cairan biasanya 20 mL/kgBB Cairan yang dipakai: cairan kristaloid seperti NaCL 0,9% atau Ringer laktat (RL) 760
Polisitemia Asimtomatik Terapi berdasarkan nilai hematokrit Nilai Hematokrit Ht >75% Ht 70–75%
Ht 65–70%
Terapi Dilakukan PET Dilakukan hidrasi sampai Ht mencapai <70%, dengan ditambahkan 20 mL/kgBB dari cairan rumatan Tambahan cairan dapat melalui enteral/ parenteral Hati-hati pada BKB Pemantauan tanda vital Pengulangan pemeriksaan Ht
Penyulit
Hiperbilirubinemia Iskemia serebral Kejang Gawat kardiopulmonal EKN Gagal ginjal Gangren perifer Priapisme
Prognosis
Jika tidak diberikan terapi akan menimbulkan gejala sisa berupa gejala neurologi
Bibliografi 1. 2. 3.
Ozek E, Soll R, Schimmel MS. Partial exchange transfusion to prevent neurodevelopmental disability in infants with polycythemia. Cochrane Database Syst Rev. 2010;(1):CD005089. Sankar MJ, Agarwa Rl, Deorari A, Paul V. Management of polycythemia in neonates. AIIMS-NICU protocols. New Delhi: All India Institute of Medical Sciences Ansari Nagar; 2010. Young G. Hemostatic disorder of the newborn. Avery’s diseases of the newborn. Edisi ke-9. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2012.
761
PENYAKIT PERDARAHAN PADA NEONATUS (HEMORRHAGIC DISEASE OF THE NEWBORN/HDN) Batasan
Penyakit pada neonatus yang disebabkan defisiensi vitamin K sementara, menyebabkan manifestasi perdarahan
Patogenesis
Vitamin K memfasilitasi proses karboksilasi pascatranskripsi residu asam glutamat pada faktor-faktor II, VII, IX, dan X. Proses karboksilasi membantu ikatan antara faktor pembekuan dan reseptor fosfolipid permukaan trombosit yang membantu aktivasi jalur koagulasi. Tanpa proses karboksilasi, faktor-faktor yang bergantung pada vit. K tidak akan terikat trombosit, sehingga proses pembekuan terganggu
Etiologi dan Faktor Risiko
Janin Penyimpanan vit. K ↓ Tidak ada bakteri komensal yang menyintesis vit. K (contoh: prematuritas, NEC) Fungsi hati yang belum matang (tempat metabolisme vit. K) Tidak diberikan vit. K saat lahir Maternal Kekurangan vit. K dalam serum Pemakaian obat yang mengganggu metabolisme vit. K selama kehamilan, contoh: Antikejang (fenobarbital, fenitoin) Antikoagulan (aspirin) Gejala klinis Tempat manifestasi perdarahan, seperti: Perdarahan gastrointestinal Ekimosis Perdarahan intrakranial Gejala lain sesuai tipe/klasifikasi HDN
Klasifikasi
Early HDN Perdarahan terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan Faktor risiko: Pemakaian obat antikoagulan atau antikejang pada ibu hamil Classical HDN Perdarahan terjadi pada minggu pertama kehidupan Faktor risiko: Tidak dilakukan pemberian vit. K pada saat lahir Prematuritas 762
Late HDN Perdarahan terjadi pada usia 3–8 mgg kelahiran Faktor risiko: pemberian ASI, gangguan fungsi hati
Dasar Diagnosis Anamnesis Riwayat ibu Riwayat bayi
Laboratorium INR, PT, PTT ↑ Faktor II, VII, IX, dan X ↓ Darah rutin dan waktu perdarahan (BT) normal
Terapi
Pemberian vit. K 1 Tranfusi fresh frozen plasma 10 mL/kgBB Profilaksis Pemberian vit. K1 pada semua bayi baru lahir dalam 6 jam pertama kehidupan: Vitamin K1 1,0 mg i.m. (berat lahir ≥1.500 g) Vitamin K1 0,5 mg i.m. (berat lahir <1.500 g) Jika orangtua menolak pemberian i.m., dapat diberikan 2,0 mg vit. K1 p.o. pada pemberian pertama, kemudian diberikan kembali pada usia 2–4 mgg, dan diulang sekali lagi pada usia 6–8 mgg. Penelitian terakhir menyatakan bahwa efektifitas pemberian i.m. dan p.o. sama
Prognosis
Baik jika ditangani segera
Bibliografi 1. 2.
3.
4.
Committee on Fetus and Newborn, Policy statement. Controversies concerning vitamin K and the newborn. Pediatrics. 2003;112: 191–2. Danielsson N, Hoa DP, Thang NV, Vos T, Loughnan PM. Intracranial haemorrhage due to late onset vitamin K deficiency bleeding in Hanoi province, Vietnam. Arc Dis Childhood. 2004;89: F546–50. Knippenberg R, Lawn JE, Darmstadt GL, Begkoyian G, Fogstad H, Walelign N, dkk. Lancet Neonatal Survival Steering Team. Systematic scaling up of neonatal care in countries. Lancet. 2005;365:1087–98. World Health Organization. Integrated management of regnancy and childbirth: pregnancy, childbirth, post partum and newborn care: a practical guide for essential practice. Geneva: WHO; 2006.
763
IKTERUS NEONATORUM Batasan
Keadaan klinis bayi yang ditandai oleh pewarnaan kuning pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Secara klinis akan tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin serum 5–7 mg/dL
Klasifikasi
Ikterus Fisiologis Umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar bilirubin tidak terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL pada bayi cukup dan akan mencapai puncaknya sekitar 6–8 mg/dl pada hr ke-3 kehidupan dan kemudian akan ↓ cepat selama 2–3 hr diikuti dengan penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1–2 mgg, sedangkan pada BKB yang mendapat susu formula juga akan mengalami peningkatan dengan puncak yang lebih tinggi dan lebih lama. Peningkatan sampai 10–12 mg/dL masih dalam kisaran fisiologis, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan metabolisme bilirubin. Kadar normal bilirubin tali pusat <2 mg/dL dan berkisar dari 1,4–1,9 mg/dL Ikterus Patologis (Nonfisiologis) Terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan Peningkatan/akumulasi bilirubin serum >5 mg/dL/hr Bilirubin total serum >17 mg/dL pada bayi yang mendapat ASI Ikterus menetap sesudah 8 hr pada BCB atau sesudah 14 hr pada BKB Bilirubin direk >2 mg/dL
Etiologi Ikterus Fisiologis Tabel 171 Faktor yang Berhubungan dengan Ikterus Fisiologis Dasar
Penyebab
Peningkatan bilirubin yang tersedia Produksi bilirubin ↑ Resirkulasi melalui enterohepatic shunt ↑ Bilirubin clearance ↓ Clearance dari plasma bilirubin ↓ Metabolisme hepatik ↓ Sumber: Blackburn 2007
764
Sel darah merah ↑ Umur sel darah merah ↓ Early bilirubin ↑ Aktivitas β-glukoronidase ↑ Tidak ada flora bakteri Pengeluaran mekonium yang terlambat Defisiensi protein karier Aktivitas UDPGT ↓
Ikterus Patologis Anemia hemolitik Ekstravasasi darah (misalnya hematoma) Polisitemia Sirkulasi enterohepatik berlebihan Uptake bilirubin oleh hepar ↓ Defek konjugasi Gangguan transportasi bilirubin direk yang keluar dari hepatosit Obstruksi aliran empedu
Patofisiologi
Produksi berlebihan (prehepatik) Sekresi ↓ Campuran (posthepatik)
Faktor Predisposisi
Keadaan yang mengurangi kapasitas ikat bilirubin Asidosis Asfiksia Hipoalbuminemia Infeksi Prematuritas Hipoglikemia Obat yang menghambat daya kerja glukoronil transferase (misalnya novobiosin)
Diagnosis
Berbagai faktor risiko dapat meningkatkan kejadian hiperbilirubinemia yang berat. Perlu penilaian pada bayi baru lahir terhadap berbagai risiko, terutama untuk bayi yang pulang lebih awal. Tampilan ikterus dapat ditentukan dengan memeriksa bayi dalam ruangan dengan pencahayaan yang baik, serta menekan kulit dengan tekanan ringan untuk melihat warna kulit dan jaringan subkutan Pemeriksaan fisis harus difokuskan pada identifikasi salah satu penyebab ikterus patologis. Kondisi bayi harus diperiksa pucat, petekia, ekstravasasi darah, memar kulit.yang terlebihan, hepatosplenomegali, kehilangan BB, dan bukti dehidrasi Guna mengantisipasi penyulit yang mungkin timbul, maka perlu diketahui daerah letak kadar bilirubin serum total (Gambar 65) beserta faktor risiko hiperbilirubinemia yang berat
765
Gambar 65 Nomogram Penentuan Risiko Hiperbilirubinemia pada Bayi Sehat Usia ≥36 Minggu dengan BB ≥2.000 Gram atau Usia Kehamilan ≥35 Minggu dan BB ≥2.500 Gram berdasarkan Jam Observasi Kadar Bilirubin Serum Faktor Risiko Hiperbilirubinemia Berat Bayi Usia Kehamilan >35 mgg Faktor risiko major Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada daerah risiko tinggi (Gambar 65) Ikterus yang muncul dalam 24 jam pertama kehidupan Inkompatibilitas golongan darah dengan tes antiglobulin direk yang (+) atau penyakit hemolitik lainnya Usia kehamilan 35–36 mgg Riwayat anak sebelumnya yang mendapat fototerapi Sefal hematom atau memar yang bermakna ASI eksklusif dengan cara perawatan tidak baik dan kehilangan BB yang berlebihan Ras Asia Timur Faktor risiko minor Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada daerah risiko sedang (Gambar 65) Usia kehamilan 37–38 mgg Sebelum pulang, bayi tampak kuning Riwayat anak sebelumnya kuning Bayi makrosomia dari ibu DM Usia ibu >25 th Laki-laki
766
Faktor risiko kurang Kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada daerah risiko rendah Usia kehamilan >41 mgg Bayi mendapat susu formula penuh Kulit hitam Bayi dipulangkan sesudah 72 jam Pemeriksaan Penunjang Klinis Ikterometer Kramer atau dengan bilirubinometer Laboratorium Jenis pemeriksaan lihat Gambar 66
Diagnosis Banding
Ikterus fisiologis Ikterus patologis Prehepatik Posthepatik Pada prolonged jaundice dianjurkan pemeriksaan fungsi hepar (SGOT/SGPT, alkali fosfatase), fungsi tiroid (tiroksin/T4), pemeriksaan terhadap infeksi virus/bakteri, dan pemeriksaan urin untuk galaktosemia
Penyulit
Bilirubin ensefalopati Manifestasi klinis akut; fase awal bayi dengan ikterus berat akan tampak letargis, hipotonik, dan refleks isap buruk. Fase intermediat ditandai dengan moderat stupor, iritabilitas, dan hipertoni. Fase selanjutnya bayi mengalami demam high pitched cry, drowsiness, dan hipotoni
Terapi
Prinsipnya segera menurunkan bilirubin indirek untuk mencegah bilirubin ensefalopati dengan fototerapi Bayi sehat dan cukup bulan Kadar bilirubin tidak diperiksa secara rutin, kecuali jika ikterus timbul dalam 2 hr pertama kehidupan. Umumnya bayi sehat dipulangkan dari rumah sakit pada usia 24–48 jam, oleh karena itu orangtua harus diberitahukan mengetahui ikterus sebelum dipulangkan Follow-up rutin dan hanya pemberian makan, jika: Keadaan klinis baik Masa gestasi >37 mgg Bayi tidak mempunyai kecenderungan terjadi inkompatibilitas ABO Pada riwayat keluarga: tidak ada yang mengalami anemia hemolitik dan ikterus yang berat Ikterus menghilang pada usia >2 mgg 767
Jika secara klinis tampak ikterus yang signifikan pada bayi sehat dan cukup bulan, periksa kadar bilirubin
Gambar 66 Bagan Diagnosis Etiologi Neonatal Hiperbilirubinemia
768
Tabel 172 Pengelolaan Bayi Kuning pada Bayi Baru Lahir Cukup Bulan dan Sehat Menurut Usia (dalam Jam) dan Kadar Bilirubin Kadar Bilirubin Total Darah (mg/dL) Fototerapi
Transfusi Ganti Jika Fototerapi Gagal**
Transfusi Ganti Jika Fototerapi Intensif**
*** ≥12 ≥15
*** ≥15 ≥18
*** ≥20 ≥25
*** ≥25 ≥30
≥17
≥20
≥25
≥30
Usia (Jam)
Dipertimbangkan Fototerapi*
≤24 25–48 49–72 >72
Keterangan: *Terapi sinar pada kadar bilirubin darah ini bergantung pada keadaan klinis bayi kuning tsb **Terapi sinar seharusnya dapat ↓ kadar bilirubin sehingga berada pada kadar di bawah untuk melakukan tranfusi ganti, tetapi jika tidak terjadi maka fototerapi dianggap gagal, sehingga dipertimbangkan untuk transfusi ganti ***Bayi baru lahir cukup bulan menunjukkan keadaan kuning kurang dari 24 jam tidak dianggap sehat dan memerlukan pemantauan lebih lanjut
Tabel 173 Pedoman Fototerapi Bayi Kuning Cukup Bulan dengan dan atau tanpa Faktor Risiko berdasarkan Canadian Paediatrics Society Usia (Jam)
Kadar Bilirubin Total Darah (mg/dL) Tanpa Faktor Dengan Faktor Risiko Risiko
28
10
8
48
15
13
≥72
>18
>16
Yang termasuk faktor risiko: Usia kehamilan <37 mgg dan BB lahir <2.500 g Penyakit hemolitik Bayi tampak kuning sebelum usia 24 jam Infeksi berat (sepsis) Saat lahir tidak bernapas spontan (memerlukan tindakan resusitasi)
769
Tabel 174 Indikasi Fototerapi dan Transfusi Ganti berdasarkan Berat Badan Berat Badan (g) <1.000 1.000–1.500 1.500–2.000 2.000–2500 >2.500 dan bayi dalam keadaan sakit
Terapi Fototerapi Transfusi ganti pada kadar bilirubin 10–12 mg/dL Fototerapi pada kadar 7–9 mg/dL Transfusi ganti pada kadar 12–15 mg/dL Fototerapi pada kadar 10–12 mg/dL Transfusi ganti pada kadar 15–18 mg/dL Fototerapi pada kadar 13–15 mg/dL Transfusi ganti pada kadar 18–20 mg/dL Fototerapi pada kadar 12–15mg/dL Transfusi ganti pada kadar 18–20mg/dL
Bayi dengan penyakit hemolitik Ketidasesuaian Rhesus Fototerapi dilakukan segera. Transfusi ganti, jika kadar bilirubin diperkirakan akan mencapai 20 mg/dL Inkompatibilitas ABO Fototerapi: jika kadar bilirubin 10 mg/dL pada usia 12 jam, 12 mg/dL pada usia 18 jam, 14 mg/dL pada usia 24 jam, dan 15 mg/dL pada setiap waktu. Transfusi ganti jika kadar bilirubin 20 mg/dL Indikasi fototerapi profilaksis Bayi kecil (BB <1.500 g) yang cenderung berlanjut pada bilirubin yang patologis Bayi prematur dengan memar yang hebat Bayi dengan proses hemolisis sementara menunggu transfusi ganti
Tabel 175 Penyulit Terapi Sinar Kelainan Bronze baby syndrome Diare Hemolisis Dehidrasi Ruam kulit
Mekanisme yang Mungkin Terjadi Berkurangnya ekskresi hepatik dari photoproduct bilirubin Bilirubin indirek menghambat laktase Fotosensitivitas mengganggu sirkulasi eritrosit Bertambahnya insensible water loss karena menyerap energi foton Gangguan fotosensitisasi terhadap sel mast kulit dengan pelepasan histamin
Tabel 176 Transfusi Ganti Bayi Sehat Risiko
<1.250 13 10
Berat Lahir (g) 1.250–1.499 1.500–1.999 2.000–2.499 15 17 18 13 15 17
770
≥2.500 20 18
Penghentian transfusi ganti Emboli (udara, bekuan darah), trombosis Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin Perforasi pembuluh darah Penyulit transfusi ganti Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih Infeksi: bakteremia, hepatitis (cytomegalovirus/CMV), EKN Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia, trauma mekanik terhadap sel donor Perawatan pascatransfusi ganti Lanjutkan dengan terapi sinar Awasi ketat kemungkinan terjadinya penyulit
Prognosis
Buruk bila terdapat bilirubin ensefalopati
Bibliografi 1. 2.
3. 4. 5. 6. 7.
Martin CR, Cloerti JP. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-5. Boston: Little Brown & Co; 2007. hlm. 185–221. Glasgow LA. Jaundice and hyperbilirubinemia. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan VC III, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders Co; 2004. hlm. 501–4. Gomella TL. Neonatology, management, procedures, on-call problems, diseases and drug. Edisi ke-5. Connecticut: Appleton & Lange; 2004. Oski FA. Disorders of bilirubin metabolism. Dalam: Tausch HW, Ballard RA, Avery ME, penyunting. Disease of the newborn. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 2003. hlm. 749–75. Poland RL, Ostrea EM. Care of the high risk neonate. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders Co; 2006. Wong RJ, Stevenson DK, Ahlfors CE, Vreman HJ. Neonatal jaundice: bilirubin physiology and clinical chemistry. Neo Rev. 2007;8:58–67. Blackburn ST. Bilirubin metabolism, maternal, fetal, & neonatal physiology, a clinical perspective. Edisi ke-3. Missouri: WB Saunders Co.; 2007.
771
KELAINAN KONGENITAL Batasan
Kelainan kongenital atau bawaan yaitu kelainan yang sudah ada sejak lahir yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun nongenetik. Ilmu yang mempelajari kelainan bawaan disebut dismorfologi
Patofisiologi
Berdasarkan patogenesis, kelainan kongenital dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Malformasi Malformasi menyatakan kelainan yang disebabkan oleh kegagalan atau ketidaksempurnaan satu atau lebih proses embrIogenesis. Perkembangan awal suatu jaringan/organ berhenti, melambat atau menyimpang menyebabkan kelainan struktur yang menetap. Kelainan dapat terbatas pada satu daerah anatomi, mengenai seluruh organ, ataupun mengenai berbagai sistem tubuh yang berbeda Malformasi mayor apabila tidak dikoreksi akan menyebabkan gangguan fungsi tubuh serta mengurangi angka harapan hidup Malformasi minor tidak akan menyebabkan problem kesehatan yang serius dan mungkin hanya berpengaruh pada segi kosmetik Deformasi Deformasi terbentuk akibat tekanan mekanik yang abnormal sehingga mengubah bentuk, ukuran atau posisi sebagian dari tubuh yang semula berkembang normal Contoh deformasi kongenital: Talipes Dislokasi sendi panggul kongenital Skoliosis kongenital Plagiosefali Tortikolis Mandibula tidak simetris Disrupsi Disrupsi dapat disebabkan oleh iskemia, perdarahan atau perlekatan. Kelainan akibat disrupsi biasanya mengenai beberapa jaringan yang berbeda. Deformasi maupun disrupsi biasanya mengenai struktur yang semula berkembang normal dan tidak menyebabkan kelainan intrinsik pada jaringan yang terkena Displasia Kerusakan (kelainan struktur) akibat fungsi atau organisasi sel abnormal, mengenai satu macam jaringan di seluruh tubuh. Sebagian besar disebabkan oleh mutasi gen. Karena jaringan itu sendiri abnormal secara intrinsik, efek klinisnya akan menetap atau semakin memburuk. Displasia dapat terus-menerus menimbulkan perubahan kelainan seumur hidup 772
Etiologi Malformasi kongenital Idiopatik Multifaktorial Kelainan gen tunggal Kelainan kromosom Penyakit ibu Infeksi kongenital Obat, sinar X, alkohol
60% 20% 7,5% 6% 3% 2% 1,5%
Dasar Diagnosis
Pendekatan diagnosis kelainan bawaan saat lahir Penelaahan prenatal Riwayat ibu Penerapan sitos genetik dalam bidang prenatal Riwayat persalinan Riwayat keluarga Penerimaan fisis: analisis dismorbik/dismorfologi/sindromologi Analisis kromosom Analisis DNA Analisis enzim, biokimia Pemeriksaan penunjang Kelainan kromosom yang penting Trisomi 21 (sindrom Down) Angka kejadian 1/700 kelahiran hidup Fisura palbebra miring ke atas (upslanting palpebral fissure), hidung pesek, hipotonia, kulit leher longgar, oksiput datar (brakisefali), garis Simian, kelingking bengkok (klinodaktili) serta jarak yang lebar antara jari kaki 1 dan ke-2 IQ biasanya <50 Akibat non-disjunction Trisomi 18 (sindrom Edward) Angka kejadian 1/3.000 kelahiran hidup Lebih banyak bayi perempuan Berat lahir biasanya rendah, oksiput prominen, dagu kecil, telinga abnormal dan letak rendah (low set malformed ears), tangan mengepal dengan ibu jari menumpang pada jari ke-3 dan kelingking menumpang pada jari ke-4 (clenched hands), rockerbottom feet, sternum pendek Sering pula terdapat kelainan pada jantung, ginjal, dan berbagai organ Trisomi 13 (sindrom Patau) Angka kejadian 1/5.000 kelahiran hidup Hipotelorisme, mikroftalmia, celah bibir dan langit-langit, telinga abnormal, defek pada kulit kepala, kulit longgar pada tengkuk, clenched hand, garis Simian (60%), polidaktili, tumit prominen 773
Sering terdapat penyakit jantung bawaan Usia rata-rata 7 hr Sindrom Turner (45,x) Angka kejadian 1/5.000 kelahiran hidup bayi perempuan; 99% mengalami abortus spontan Pada saat lahir dapat dikenal dengan kulit yang berlebih pada leher, limfedema perifer, tubuh pendek, amenore primer, webbed neck, kuku hipoplastik, dan nevus pigmentosus multipel Pada 20% kasus terdapat penyakit jantung bawaan (koartasio aorta, ASD)
Manajemen
Pencegahan Konseling prakonsepsi Konseling genetik Pengobatan Kelainan kromosom Kelainan kromosom seks, terapi sulih hormon seks Kelainan autosom biasanya hanya tersedia pengobatan simtomatik Kelainan gen tunggal Tabel 177 Terapi Efektif pada Kelainan Gen Tunggal Kelainan Hiperplasia adrenal kongenital Fenilketonuria Galaktesomia Hemofilia SCID Sistinuria Poliposkoli Agamaglobulinemia Β-thalassemia Metilmalonikasiduria Penyakit polikistik ginjal Penyakit Wilson Hiperkolesterolemia familial Sferositosis herediter Hemokromatosis
Terapi Terapi sulih hormon Diet rendah fenilalanin Diet rendah galaktosa Terapi sulih faktor pembekuan Cangkok sumsum tulang Asupan cairan tinggi, penisilamin Kolektomi Imunoglobulin Cangkok sumsum tulang Vitamin B12-kofaktorenzim Cangkok ginjal D-penisilamin Diet, obat-obatan Splenektomi Venaseksi
774
Tabel 178 Terapi Efektif Kelainan Multifaktorial Kelainan Celah bibir dan langit-langit Stenosis pylorus Penyakit jantung bawaan Hidrosefalus Diabetes mellitus Hipertensi Epilepsi
Terapi Tindakan bedah Tindakan bedah Tindakan bedah, obat-obatan Tindakan bedah, obat-obatan Obat-obatan Obat-obatan Obat-obatan
Konseling Genetik
Meliputi aspek rehabilitasi psikologis keluarga dan aspek rehabilitasi penderita secara keseluruhan
Bibliografi 1.
Bianchi DW. Genetic issues presenting in the nursery. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2008. hlm. 94–9.
775
PRINSIP UMUM PENGELOLAAN GAWAT DARURAT DAN RUJUKAN NEONATUS Batasan
Neonatus dengan kondisi gawat darurat memerlukan evaluasi dan tatalaksana yang memadai berdasar pengetahuan mendalam mengenai perubahan fisiologi dan kondisi patologi yang mengancam hidup yang timbul saat kondisi tersebut terjadi
Diagnosis
Secara umum, untuk menentukan neonatus sakit dilakukan hal-hal berikut (lihat Gambar 67 dan 68): Anamnesis Neonatus sakit kemungkinannya adalah: Neonatus sehat, tanpa faktor risiko, tiba-tiba mengalami perubahan tanda vital, warna kulit, aktivitas, atau pola minum Neonatus risiko dengan perburukan kondisi Neonatus sakit sejak lahir Pemeriksaan Fisis Tanda awal yang diperiksa: frekuensi jantung, pernapasan, suhu, tekanan darah, warna kulit, aktivitas, pola minum Pemeriksaan Penunjang AGD Saturasi oksigen Gula darah, elektrolit, Ht, trombosit, cairan serebrospinal, urin Sinar X
Manajemen
Apabila neonatus mengalami abnormalitas tanda vital, warna kulit, aktivitas, atau pola minum, sehingga dikatakan sakit, hal-hal berikut harus segera dilakukan untuk memperbaiki abnormalitas: Tangani masalah gawat darurat Tentukan penyebab dan obati jika ditemukan Pantau faktor risiko sehingga potensi masalah dapat dicegah atau segera diobati Pengelolaan neonatus sakit mungkin sangat kompleks dan tidak mudah menentukan apa yang harus pertama kali dilakukan ketika neonatus dengan berbagai faktor risiko tiba-tiba mengalami apnea, atau sianosis, atau kejang. Perlu diingat bahwa apapun penyebab masalah, pastikan Airway, Breathing, dan Circulation, kemudian Stabilize neonatus. Ingat ABCS: Airway: pastikan tidak ada sumbatan aliran udara ke paru Breathing: jika perlu beri oksigen, bantu napas dengan balon sungkup atau pipa Circulation: periksa denyut jantung dan tekanan darah, koreksi jika perlu Kemudian Stabilize: lihat Stable Program 776
Gambar 67 Diagram Alur Neonatus Sehat, Risiko, Sakit
777
778 Gambar 68 Algoritme Evaluasi Neonatus dengan Gangguan Metabolisme
Diagnosis Banding
Gejala gangguan neurologik pada neonatus tidak spesifik, sehingga tidak mudah untuk memahaminya. Pada anamnesis mungkin hanya ada gangguan minum/menetek atau perubahan tingkah laku yang tidak terlalu jelas Singkatan “THE MISFITS” berikut dapat membantu menentukan diagnosis banding pada neonatus dengan perubahan status mental: T–Trauma H–Heart disease dan hypovolemia E–Endocrine (misal: hiperplasia adrenal kongenital dan tirotoksikosis) M–Metabolic (ketidakseimbangan elektrolit) I–Inborn errors of metabolism S–Sepsis F–Formula mishaps (misal: kesalahan pengenceran susu formula) I–Intestinal catastrophes (misal: volvulus, intususepsi, enterokolitis nekrotikan) T–Toxins dan poisons S–Seizures Pemeriksaan yang diperlukan untuk mengetahui kemungkinan gangguan neurologikal dan kognitif adalah: amplitude-integrated EEG (aEEG) dan pemantauan fisiologi lain (EKG, frekuensi jantung, frekuensi napas, tekanan darah, saturasi oksigen dan suhu) Apparent life-threatening event (ALTE) adalah sebuah episode yang menakutkan pemeriksa dengan karakteristik beberapa apnea, perubahan warna kulit, lemas, seperti tercekik/jalan napas tersumbat. Berikut diperlihatkan penyebab umum ALTE: Ketidakseimbangan asam basa; anemia Child abuse Disritmia Gangguan elektrolit Gastroesophageal reflux Hipoglikemia Hipotermia Inborn errors of metabolism Perdarahan intrakranial Meningitis dan ensefalitis Pneumonia Sepsis Pelayanan neonatal dibagi dalam 3 tingkat: Tingkat I menyediakan pelayanan rutin bayi sehat serta stabilisasi neonatus risiko tinggi sebelum rujukan Tingkat II menyediakan pelayanan seperti tingkat I, ditambah beberapa dukungan untuk bayi kecil dan bayi sakit, misalnya akses intravena, tambahan oksigen tetapi tidak sampai ventilasi mekanik berkepanjangan Tingkat III menyediakan pelayanan intensif lengkap 779
Rujukan
Rujukan dilakukan apabila neonatus dengan risiko atau sakit dikirim ke unit pelayanan dengan tingkat lebih tinggi, tingkat sama, atau lebih rendah (rujukan balik). Target utama dalam mempersiapkan rujukan adalah stabilisasi kondisi neonatus. Upaya stabilisasi neonatus prarujukan dan menunggu tim rujukan yang memadai lebih penting daripada tergesa-gesa merujuk neonatus yang tidak stabil Secara umum, neonatus dengan kondisi berikut sebaiknya dirujuk ke pelayanan tingkat III: Prematur <32 mgg dan atau berat lahir <1.500 g Distres napas yang memerlukan dukungan CPAP atau ventilasi mekanik Hipertensi pulmonal persisten Penyakit jantung kongenital atau aritmia jantung yang memerlukan pengelolaan khusus Kelainan kongenital dan atau inborn errors of metabolism Hipoksik iskemik berat Kejang Kondisi-kondisi lain yang memerlukan konsultasi neonatologi Hiperbilirubinemia berat yang memerlukan transfusi tukar Neonatus dari ibu diabetik Pertumbuhan janin terhambat berat Perlu tindakan bedah Persiapan merujuk: Evaluasi tanda-tanda vital Pemeriksaan laboratorium Stabilisasi ventilasi dan oksigenasi Pasang jalur infus Tentukan usia kehamilan dan timbang berat neonatus setelah neonatus stabil Hubungi tempat rujukan dan diskusikan kondisi neonatus Mencatat riwayat prenatal dan antenatal Menginformasikan kondisi terakhir Pemeriksaan penunjang: kebutuhan pengelolaan khusus Prinsip-prinsip rujukan yang aman sbb. (Luxton): Identifikasi masalah segera Optimalkan komunikasi tim pengirim rujukan – tim perujuk – tim penerima rujukan Siapkan tim perujuk yang handal Stabilisasi neonatus adekuat Perjalanan lancar dan terkontrol Tim perujuk harus mempunyai beberapa keterampilan yang mungkin diperlukan selama rujukan yaitu: Anatomi dan fisiologi Pemeriksaan fisis Resusitasi termasuk intubasi dan dukungan kehidupan lanjutan Insersi pipa torak Pengelolaan jalan napas Pemasangan jalur intravaskular Pemahaman alat termasuk memperbaiki jika timbul masalah minor 780
Salah satu pendekatan dikenal dengan metode ACCEPT: A–Assessment C–Control C–Communication E–Evaluation P–Preparation and packaging T–Transportation Rincian pendekatan metode ACCEPT diperlihatkan pada Gambar 69
781
Gambar 69 Algoritme ACCEPT untuk Rujukan Neonatus
Bibliografi
1. Brousseau T, Sharieff GQ. Newborn emergencies: the first 30 days of life. Pediatr Clin N Am. 2006 Feb;53(1):69–84. 2. Byrne S, Fisher S, Fortune P, Lawn C, Wieteska S, penyunting. Paediatric and neonatal safe transfer and retrieval: the practical approach. Edisi ke-1. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.; 2008. 3. Cornette L. Transporting the sick neonate. Curr Paediatr. 2004 Feb;14(1):20–5. 782
4.
Fenton AC, Leslie A. Who should staff neonatal transport teams?. Early Hum Dev. 2009 Aug;85(8):487–90. 5. Fernandes CJ. Neonatal transport. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins; 2012. hlm. 92–202. 6. Kattwinkel J, Boyle RJ, Chisholm CA, Clarke SB, penyunting. PCEP neonatal care. Edisi ke-2 (Buku III). Charlottesville: University of Virginia; 2012. 7. Khan JY. Neonatal neurological emergencies. Clin Pediatr Emerg Med. 2008 Sep;9(3):176–83. 8. Levy J, D’Harlingue AE. Recognition, stabilization, and transport of the high-risk newborn. Dalam: Fanaroff AA, Fanaroff JM, penyunting. Klaus and Fanaroff’s care of the high-risk neonate. Edisi ke-6. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2013. hlm. 71–104. 9. Lupton BA, Pendray MR. Regionalized neonatal emergency transport. Semin Neonatol. 2004 Apr;9(2):125–33. 10. Ratnavel N. Safety and governance issues for neonatal transport services. Early Hum Dev. 2009 Aug;85(8):483–6. 11. Woodward GA, Kirsch R, Trautman MS, Kleinman ME, Wernovsky G, Marino BS. Stabilization and transport of the high-risk infant. Dalam: Gleason CA, Devaskar SU, penyunting. Avery’s diseases of the newborn. Edisi ke-9. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012. hlm. 341–56.
783
STABILISASI NEONATUS PASCARESUSITASI Batasan
Penanganan pascaresusitasi pada neonatus yang mengalami asfiksia neonatal, sangat kompleks, membutuhkan monitoring ketat dan tindakan antisipasi yang cepat, karena bayi berisiko mengalami disfungsi multiorgan dan perubahan dalam kemampuan mempertahankan homeostasis fisiologis
Manajemen
Prinsip umum penanganan pascaresusitasi neonatus di antaranya melanjutkan dukungan kardiorespiratorik, stabilitas suhu, koreksi hipoglikemia, asidosis metabolik, abnormalitas elektrolit, serta penanganan hipotensi Salah satu acuan yang telah mempunyai bukti ilmiah yang kuat dalam melaksanakan stabilisasi pascaresusitasi neonatus dikenal sebagai S.T.A.B.L.E., yaitu tindakan stabilisasi yang terfokus pada 6 dasar penanganan yang direkomendasikan oleh American Academy of Pediatrics (AAP), bertujuan untuk meningkatkan keamanan penderita, baik dalam manajemen, mencegah kemungkinan ada kesalahan, serta mengurangi efek samping. Stabilisasi neonatus yang tepat terbukti menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas Prinsip stabilisasi neonatus dalam STABLE terdiri atas: S–Sugar and safe care (stabilisasi gula darah) T–Temperature (stabilisasi suhu) A–Airway (stabilisasi jalan napas) B–Blood pressure (stabilisasi tekanan darah) L–Laboratory (stabilisasi laboratorium) E–Emotional support (dukungan emosi) Kata STABLE tersebut dibuat agar petugas penolong bayi tidak melupakan aspek-aspek penting dalam stabilisasi dalam tindakannya sendiri tidak mewajibkan harus sesuai dengan urutan kata tersebut S (Sugar and Safe Care) Merupakan langkah untuk menstabilkan kadar gula darah neonatus. Pada awal kehidupan, kelangsungan pasokan nutrisi terhenti setelah pemotongan tali pusat. Bayi baru lahir memerlukan kelangsungan nutrisi untuk mempertahankan asupan glukosa. Kecukupan glukosa diperlukan agar metabolisme sel tetap berlangsung terutama sel otak Ada 3 faktor risiko yang memengaruhi kadar gula darah: Cadangan glikogen terbatas Hiperinsulinemia Peningkatan penggunaan glukosa Dengan demikian pada bayi prematur, BBLR, bayi yang ibunya menderita diabetes melitus, dan bayi yang sakit berat memiliki risiko tinggi hipoglikemia 784
Skrining hipoglikemia Menggunakan darah kapiler/dekstrostix Simple, cukup akurat Target gula darah: 50–110 mg/dL (15% lebih rendah dari gula serum) Frekuensi pemeriksaan: Sebelum transpor dan diulang lagi saat akan ditranspor Proses transpor Bila hasil pemeriksaan pertama normal: tidak perlu diulang Stabilisasi bayi: Bila terjadi hipoglikemia, mulai terapi Infus mengandung dekstrosa (Dex 10%), 60–80 mL/kgBB/hr Target setidaknya: GIR = 4–6 mg/kgBB/mnt Sebelum bayi dirujuk: Pasang akses i.v. Lokasi pilihan: v. umbilikal (pilihan 1), v. perifer Perhatikan keamanan saat melakukan pemasangan: infus + heparin, sterilitas, fiksasi, amati kemungkinan emboli/klot T (Temperature) Merupakan usaha untuk mempertahankan suhu normal bayi dan mencegah hipotermia. Pada bayi dengan hipotermiz akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah sehingga mengakibatkan ketidakcukupan sirkulasi di jaringan tubuh. Selain itu, kondisi hipotermia dapat meningkatkan metabolisme dalam rangka untuk meningkatkan kalori tubuh, kondisi ini akan meningkatkan kebutuhan tubuh terhadap oksigen. Dengan demikian suhu-gula darah-oksigen mempunyai keterkaitan erat Neonatus lebih mudah mengalami hipotermia daripada hipertermia. Lingkungan ekstrauterin berbeda dengan lingkungan intrauterin. Lingkungan ekstrauterin meningkatkan risiko hipotermia karena lingkungan udara bukan cairan hangat, selain itu juga pengaruh konduksi, konveksi, evaporasi, dan radiasi. Suhu normal adalah 36,5–37,2/37,5 °C Pada hipotermia yang berat (<32 °C), bayi dalam batas yang uncompensated. Pada kondisi tersebut sel otak berisiko tinggi mengalami kematian sel dan ireversibel Bayi berisiko hipotermia: Bayi prematur, BBLR Bayi sakit berat Bayi dengan resusitasi lama Bayi dengan kelainan (bagian mukosa terbuka: gastroschisis, spina bifida, omfalokel, dll.) Suhu-gula-oksigen sangat berkaitan erat Mencegah hipotermia sangat penting. Lebih mudah mencegah daripada mengatasi hipotermia dengan penyulit Bayi kecil <1.500 g, bungkus badan dengan plastik dan tutup kepala Saat resusitasi bayi: meja dan kain hangat 785
Mengeringkan bayi Bila sudah hipotermia segera hangatkan kembali Tersedia inkubator atau alat penghangat Alternatif: lampu sorot, perawatan metode kanguru Saat menghangatkan kembali: jangan lupa pemberian oksigen, kenaikan suhu bertahap (amati takikardia atau hipotensi), dan monitor suhu rektal Pada bayi dengan HIE, hindari hipertermia A (Airway) Masalah pernapasan menjadi morbiditas yang sering dialami bayi yang mendapat perawatan di NICU. Saat resusitasi, dilakukan upaya membuka alveoli paru, pascaresusitasi alveoli paru belum sepenuhnya terbuka Beberapa faktor predisposisi: Prematuritas Persalinan seksio sesaria Sindrom aspirasi mekoneum (MAS) Proses inflamasi Pneumotoraks: penyulit, spontan Kelainan bawaan: CDH, kista paru Masalah lain di luar paru (hipotermia, hipoglikemia, kelainan jantung, dll.) Problem sumbatan jalan napas Deteksi dini kegawatan napas dan evaluasi terapi, termasuk menilai progresivitas gangguan pernapasan sangat penting. Salah satu penilaian dini gangguan pernapasan yang mudah adalah menggunakan skor Down Tabel 179 Skor Down Skor Down 0 Kecepatan napas Retraksi Sianosis Udara masuk
2
<60×/mnt
60-80×/mnt
> 80×/mnt
Tidak ada retraksi Tidak ada sianosis
Retraksi ringan
Retraksi berat
Tidak tampak sianosis dengan O2 Udara masuk berkurang Terdengar melalui stetoskop
Sianosis (+) dengan O2
(+)
Megap-megap Tidak megapmegap Skor <4 Skor 4–5 Skor ≥6
1
Tidak ada udara masuk Terdengar tanpa menggunakan peralatan
Gangguan pernapasan ringan Gangguan pernapasan sedang Gangguan pernapasan berat (diperlukan AGD)
786
Selain mengamati tanda kegawatan pernapasan, penting untuk menilai: Kebutuhan oksigen dan peningkatan kebutuhan Penyulit akibat hipoksia dan hiperkarbia: PPHN (perbedaan saturasi O2 pre dan pascaduktal) Perfusi perifer, tekanan darah Neurologis: kesadaran, aktivitas, ada kejang atau tidak Produksi urin Tanda akan terjadi kegagalan pernapasan: Pernapasan megap-megap Tidak berespons dengan pemberian O2 Bila memungkinkan: AGD (data penting: pCO2 dan BE) Stabilisasi pernapasan: Segera berikan bantuan ventilasi. Pilih bantuan ventilasi yang dapat memberikan PEEP (untuk membuka alveoli paru). Misal: CPAP, high flow nasal canula Bila ada tanda akan terjadi kegagalan pernapasan: segera intubasi dan beri napas buatan (penggunaan sungkup laring dapat merupakan alternatif, bila tidak memungkinkan intubasi) Pasang saturasi O2, target saturasi (pascaduktal; awal lahir 90– 94%, setelah usia 3 hr 88–90/92%) Pasang pipa orogastrik untuk dekompresi lambung Pada bayi dengan ventilasi mekanik adekuat, namun tidak menunjukkan perbaikan bermakna, pertimbangkan kemungkinan: Hernia diafragmatika Pneumotoraks PPHN Sumbatan jalan napas atas Anemia B (Blood Pressure) Syok terjadi akibat gangguan perfusi dan oksigenasi organ. Ada 3 jenis syok yaitu: Hipovolemia (tersering pada neonatus) Kardiogenik Septik Penyebab tersering pada neonatus adalah: Kehilangan darah saat intrauterin/persalinan Kehilangan darah setelah lahir Dehidrasi Neonatus seyogianya dicegah agar jangan sampai jatuh pada kondisi syok. Gejala dini gangguan sirkulasi pada neonatus lebih sering berupa gangguan pernapasan Takipnea Kerja napas meningkat Takikardia Pada fase lanjut akan terjadi: Megap-megap/apnea Bradikardia Nadi perifer lemah 787
Hipotensi Mottle sign (perfisi perifer buruk) Hal penting dalam menentukan bayi mulai mengalami hipotensi adalah menilai tekanan darah. Tekanan darah normal bayi berbeda, bergantung pada usia gestasi. Penghitungan cara mudah adalah: Melihat grafik tabel tekanan darah berdasarkan BB Cara cepat, berdasarkan usia gestasi bayi (= diastol) Menggunakan ukuran manset sesuai untuk neonatus
Prinsip penanganan: Identifikasi syok Beri bantuan ventilasi Beri cairan fisiologis 10 mL/kg BB Sambil cari penyebab Hindari terapi biknat secara agresif Bila perlu berikan dopamin 5–10 mcg/kgBB/mnt Gejala dini syok merupakan gangguan pernapasan Pada bayi dengan gangguan pernapasan, selalu pikirkan kemungkinan terjadi insufisiensi sirkulasi Merujuk bayi dengan gangguan napas, selain bantuan ventilasi, jangan lupa memasang akses vaskular + bolus NaCl 0,9% 10 mL/kgBB (30–60 mnt) Hindari pemberian biknat (tidak rutin), intravaskular harus diisi lebih dahulu. (Pemberian biknat yang agresif, selain berbahaya terhadap jaringan tubuh, juga memicu iskemia sel otak) L (Laboratory) Pada bayi yang akan dirujuk, wajib dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk kemungkinan infeksi (bila fasilitas memadai). Perlu dilakukan juga pada bayi berisiko infeksi. Faktor risiko tersering: KPD >18 jam Ibu dengan riwayat korioamnionitis Ibu sakit (infeksi) menjelang persalinan, misalnya keputihan, diare, suhu ibu >38 °C, persalinan prematur, bayi dengan riwayat gawat janin Pemeriksaan laboratorium pada neonatus: Hitung jenis, jumlah leukosit, rasio IT, trombosit Kultur darah Gula darah 788
AGD (bila mungkin) Berdasarkan hasil pemeriksaan dan atau bila dicurigai infeksi, berikan antibiotik sesaat sebelum bayi dirujuk. Menanggulangi infeksi dengan gejala yang lebih jelas atau dengan penyulit akan lebih sulit E (Emotional Support) Kelahiran anak merupakan saat yang dinantikan dan membahagiakan. Bila kondisi tidak seperti yang diharapkan akan mengganggu emosi. Orangtua biasanya akan memiliki perasaan bersalah, menyangkal, marah, tidak percaya, merasa gagal, takut, saling menyalahkan, dan depresi. Dukungan emosi terhadap orangtua atau keluarga bayi sangat penting Petugas kesehatan perlu juga mendapat dukungan emosi, perawat adalah ujung tombak dalam perawatan bayi. Sebaiknya sebelum bayi dirujuk, bila kondisi ibu memungkinkan, beri ibu kesempatan untuk melihat bayinya, beri dorongan ibu untuk kontak dengan bayinya. Beri kesempatan bagi ayah untuk sesering-seringnya kontak dengan bayinya, biarkan ayah mengambil gambar atau video. Beri dorongan dan keyakinan pada ibu untuk tetap memberikan ASI kepada bayinya, dengan melakukan pompa dan mengirim ASI ke rumah sakit di mana bayi dirujuk Hal lain yang perlu dipersiapkan untuk disampaikan kepada tim transpor adalah: Informed consent Catatan medis ibu Catatan medis bayi Hasil laboratorium atau radiologi Pemberian terapi yang sudah diberikan dan yang akan diberikan
Bibliografi 1.
2.
Verónica RM, Gallo LL, Medina DR, Gutiérrez MT, Mancilla SJL, Amezcua MM, dkk. Safe neonatal transport in Jalisco state: impact of S.T.A.B.L.E. program on morbidity and mortality. Bol Med Hosp Infant Mex. 2011;68(1):31–5. Spector JM, Villanueva HS, Brito ME, Sosa PG. Improving outcomes of transported newborns in Panama: impact of a nationwide neonatal provider education program. J Perinatol. 2009 Jul;29(7);512–6.
789
Neurologi Nelly Amalia Risan Purboyo Solek Dewi Hawani Mia Milanti Dewi
KEJANG DEMAM (KD) Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2–5% populasi anak. Tidak ada batasan usia yang spesifik, sering terjadi pada usia 6 bl–3 th dengan puncak usia 18 bl Kejang demam jarang terjadi pada usia <1 bl dan >7 th Sebagian besar kejang demam merupakan kejang demam sederhana Kejang demam kompleks hanya berkisar 35% Lama kejang yang berlangsung >15 mnt hanya ditemukan 9%, terjadi status epileptikus hanya 5% Berulang dalam 24 jam: 16% kasus Definisi Berdasarkan ILAE 1983, kejang demam merupakan kejang pada anak >1 bl, berhubungan dengan demam yang tidak disebabkan oleh infeksi SSP, tanpa ada kejang neonatus sebelumnya, atau kejang yang diprovokasi dan tidak memenuhi kriteria untuk kejang simtomatik akut lainnya
Manifestasi Klinis
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal >38 °C) yang disebabkan proses ekstrakranium
Klasifikasi
Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
Tabel 180 Perbedaan Kejang Demam Kompleks dengan Sederhana Karakteristik
Kejang Demam Kompleks
Kejang Demam Sederhana
Durasi
≥15 mnt
<15 mnt
Bentuk bangkitan
Fokal/kejang umum didahului fokal
Umum
Rekurensi dalam 24 jam
Ada
Tidak ada
Gejala fokal pascaiktal
Ada
Tidak ada
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium Hb, leukosit, hitung jenis, trombosit, morfologi sel, Na, K, Chlorida, glukosa darah sesuai indikasi (Evidence level B)
793
Pungsi Lumbal Pungsi lumbal harus dilakukan pada semua anak kejang disertai demam dan memiliki gejala rangsang meningeal, atau ditemukan tanda-tanda meningitis (Evidence level A) Pada bayi kecil, sulit untuk menentukan meningitis atau bukan hanya dari pemeriksaan neurologis. Gejala rangsang meningen seperti kaku kuduk dapat tidak ditemukan. Anjuran melakukan pungsi lumbal pada anak usia <2 th yang mengalami kejang demam adalah sebagai berikut: Harus dilakukan pada bayi usia <12 bl yang mengalami kejang demam pertama Dianjurkan bayi usia 12–18 bl Tidak dilakukan secara rutin pada bayi berusia >18 bl Pungsi lumbal dilakukan bila secara klinis dicurigai mengalami meningitis Apabila bayi usia 6–12 bl belum diimunisasi Hib atau Streptococcus pneumoniae, mengalami kejang disertai panas, pungsi lumbal merupakan suatu pilihan (Evidence level B) Elektroensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG tidak dapat memprediksi berulangnya kejang demam, ataupun memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi di kemudian hari pada penderita kejang demam. Oleh karenanya, pemeriksaan EEG tidak diperlukan pada anak kejang demam (Evidence level B)
Manajemen
Pengobatan Kejang Pemberian diazepam rektal pada saat kejang sangat efektif untuk menghentikan kejang dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah Apabila kejang masih berlangsung, pemberian diazepam rektal dapat diulang satu kali sebelum dibawa ke rumah sakit Pemberian Obat pada Saat Demam Antipiretik Pemberian antipiretik (parasetamol 10–15 mg/kgBB/kali atau ibuprofen 10 mg/kgBB/kali) pada saat demam Antikonvulsan (pengobatan intermiten) Pemberian diazepam dosis 0,3–0,5 mg/kgBB tiap 8 jam pada saat demam dapat ↓ risiko berulangnya kejang demam Diazepam dapat diberikan selama demam (biasanya 2–3 hr) Diazepam per rektal juga dapat digunakan, dosis 5 mg untuk BB <10 kg, 10 mg untuk BB ≥10 kg Pemberian fenobarbital, karbamazepin, fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam Pemberian Antikonvulsan Terus-menerus (Rumat) Asam valproat 20–40 mg/kgBB/hr dibagi 2–3 dosis terus-menerus dapat digunakan untuk ↓ risiko berulangnya kejang demam. Antikonvulsan rumat diberikan selama 1 th. Perlu dipertimbangkan keuntungan dan kerugian pemberian obat antikonvulsan rumat. 794
Efek samping yang harus diperhatikan pada pemakaian asam valproat dapat → gangguan fungsi hati yang berat terutama bila diberikan pada anak usia <2 th di samping harga yang cukup mahal Indikasi pemberian antikonvulsan rumat Antikonvulsan rumat diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut: Kejang lama >15 mnt Ditemukan kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang Kejang fokal/parsial Konseling Jelaskan pada orangtua bahwa kejang demam sebagian besar tidak berbahaya Jelaskan pada orangtua cara menangani kejang demam di rumah
Prognosis
Risiko berulangnya kejang demam Sekitar ⅓ anak dapat mengalami kejang demam berulang, 10% dapat terjadi >3× Faktor risiko yang tetap: Riwayat kejang demam di keluarga Usia saat kejang demam pertama <18 bl Tingginya suhu tubuh saat kejang Lamanya demam hingga terjadi kejang Faktor risiko yang possible: Riwayat keluarga yang mengalami epilepsi Bukan faktor risiko: Abnormalitas neurodevelopmental Kejang demam kompleks Lebih dari satu jenis bangkitan kejang Jenis kelamin Etnik Rekurensi kejang demam: 50% dalam 6 bl pertama 75% dalam tahun pertama 90% dalam tahun kedua KD pertama <1 th: 50% KD pertama >1 th: 28% Lebih banyak faktor risiko yang didapatkan, lebih besar juga kemungkinan terjadi rekurensi
Risiko terjadi epilepsi di kemudian hari. Sebesar 2–10% penderita kejang demam mengalami epilepsi di kemudian hari Gangguan perkembangan saraf Kejang demam kompleks Riwayat epilepsi dalam keluarga Lamanya demam hingga terjadi kejang 1 faktor (+): risiko 3–5% 2–3 faktor (+): risiko 13–15% 795
Jenis epilepsi → beragam (absens, tonik, klonik, tonik-klonik, parsial kompleks) Pada epilepsi mesial temporal, 40% pernah mengalami kejang demam kompleks Risiko mengalami kecacatan atau kematian Kejadian kecacatan dan kematian sebagai penyulit kejang demam tidak pernah dilaporkan Kejang Demam (−)
(+)
Epilepsi Kelainan metabolik
Kelainan neurologi
(+) Meningitis Ensefalitis Abses otak
(−) Kejang demam
Gambar 70 Algoritme Penegakan Diagnosis Kejang
Bibliografi 1.
2.
3.
4.
American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Febrile Seizures. Febrile sizures: guideline for neurodiagnostic evaluation of child with a simple febrile seizure. Pediatrics. 2011;127(2): 389–94. Camfield P, Camfield C, Kurleman G. Febrile seizures. Dalam: Roger J, Bureau M, Dravet CH, penyunting. Epileptic syndromes in infancy, childhood, and adolescence. Edisi ke-3. Tokyo: John Libbey & Co.Ltd; 2002. hlm. 145–52. Johnston MV. Seizures in childhood. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders Co; 2004. hlm. 1993–2009. Menkes JH, Sankar R. Paroxysmal disorders. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, penyunting. Child neurology. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins; 2000. hlm. 919–1026. 796
5. 6.
Shinnar S. Febrile seizure. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. hlm. 1079–9. Warden DR, Zibulewsky J, Mace S, Gold C, Gausche-Hill M. Evaluation and management of febrile seizures in the out-ofhospital dan emergency. Ann Emerg Med. 2003;41(2):215–22.
797
EPILEPSI Batasan
Epilepsi merupakan kondisi gangguan kronik yang ditandai oleh berulangnya bangkitan epilepsi. Bangkitan epilepsi merupakan manifestasi klinis lepas muatan listrik yang berlebihan dan hipersinkron dari sel neuron di otak Sindrom epilepsi adalah epilepsi yang ditandai oleh sekumpulan gejala dan tanda klinis yang terjadi bersama-sama, meliputi jenis serangan, etiologi, anatomi, faktor pencetus, usia onset, berat penyakit, kronisitas, dan kadang-kadang prognosis
Epidemiologi
Insidensi epilepsi 70/100.000 penduduk per tahun dan prevalensinya 4–10/1.000 pada populasi umum. Insidensi tertinggi terjadi pada anak (0,3–0,4%). Laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan
Etiologi
Epilepsi dapat disebabkan oleh faktor genetik (idiopatik) dan kelainan yang didapat (simtomatik) Penyebab simptomatik antara lain: Infeksi SSP Trauma kepala Tumor Asfiksia, dan lain-lain Berdasarkan Komisi Klasifikasi dan Terminologi ILAE (International League Against Epilepsy) pada tahun 1989, epilepsi dibagi menjadi: Hubungan lokalisasi dan sindrom (fokal, lokal, parsial) Idiopatik dengan onset berhubungan dengan usia: Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal Epilepsi anak dengan paroksismalitas di oksipital Epilepsi reading primer Simtomatik Epilepsi parsial kontinua progresif kronik pada anak (sindrom Kojewnikows) Sindrom yang ditandai oleh bangkitan dengan cara presipitasi yang khas Sindrom yang berdasarkan tipe bangkitan, lokalisasi anatomik dan etiologi: Epilepsi lobus temporalis Epilepsi lobus frontalis Epilepsi lobus parietalis Epilepsi lobus oksipitalis Kriptogenik Digolongkan menjadi simtomatik dan etiologinya tidak diketahui 798
Epilepsi umum dan sindrom Idiopatik dengan onset berhubungan dengan usia Kejang neonatal familial benigna Kejang neonatal benigna Epilepsi mioklonik benigna pada bayi Epilepsi absens pada anak Epilepsi absens juvenil Epilepsi mioklonik juvenil (petit mal impulsif) Epilepsi dengan bangkitan grand mal pada waktu bangun Epilepsi idiopatik umum lain yang tidak tersebut di atas Epilepsi dengan bangkitan yang didahului oleh bentuk aktivitas yang khas Kriptogenik atau simtomatik, menurut penampilan usia Sindrom West (spasme infantil, Blitz-Nick-Salam krampfe) Sindrom Lennox Gastaut Epilepsi dengan bangkitan mioklonik-astatik Epilepsi dengan absens mioklonik Simtomatik Etiologi tidak khas Ensefalopati mioklonik dini Ensefalopati epileptik infantil dini dengan suppression burst Epilepsi umum simtomatik lain yang tidak tersebut di atas Sindrom spesifik bangkitan epileptik yang mungkin menyebabkan penyulit banyak penyakit, yang termasuk ini yaitu penyakit dengan bangkitan/serangan yang merupakan manifestasi utama Epilepsi umum dan sindrom yang tidak dapat ditentukan sifatnya fokal atau umum Dengan bangkitan umum atau fokal Kejang neonatal Epilepsi mioklonik berat pada bayi Epilepsi dengan gelombang paku-ombak terus-menerus selama tidur dengan gelombang lambat Afasia epileptik didapat (sindrom Landau-Kleffner) Epilepsi lain yang tidak dapat ditentukan dan bukan tersebut di atas Tanpa sifat yang jelas bangkitan umum atau fokal Termasuk semua kasus grand mal tonik-klonik yang secara klinis dan EEG tidak dapat diklasifikasikan secara jelas serangan umum dan hubungannya dengan lokalisasinya, seperti pada banyak kasus serangan grand mal waktu tidur Sindrom spesial Bangkitan yang berhubungan dengan situasi Kejang demam Bangkitan tersendiri atau status epileptikus tersendiri Bangkitan yang terjadi hanya apabila ada kelainan metabolik akut atau kejadian toksik akut, misalnya karena alkohol, obat-obatan, eklamsi, dan hiperglikemia nonketotik 799
Diagnosis Kerja
Pada dasarnya epilepsi merupakan diagnosis klinis, berdasarkan anamnesis ditunjang dengan gambaran EEG (elektroensefalografi) Skema diagnostik epilepsi dibagi menjadi 5 aksis yang dibuat untuk pendekatan klinis dalam menentukan diagnosis dan tatalaksana epilepsi Aksis 1: Iktal fenomenologi—bangkitan berdasarkan iktal terminologi Aksis 2: Tipe bangkitan—berdasarkan tipe bangkitan epilepsi, lokalisasi, dan rangsang presipitasi bangkitan Aksis 3: Sindrom—dari daftar sindrom epilepsi Aksis 4: Etiologi Aksis 5: Gangguan fungsi
Pemeriksaan Penunjang
EEG Merupakan pemeriksaan penunjang yang penting, untuk menentukan klasifikasi sindrom epilepsi di luar bangkitan Gambaran EEG yang khas untuk suatu sindrom epilepsi: Burst-suppression → sindrom Ohtahara Hypsarrhythmia → sindrom West Spike slow wave <2,5 Hz → sindrom Lennox-Gastaut Spike wave di sentrotemporal → Rolandic MRI Kepala Merupakan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui kelainan struktur di otak
Tatalaksana
Pemberian OAE (obat antiepilepsi) bergantung pada berapa besar faktor risiko Harus dipertimbangkan keuntungan dan kerugian di tiap kasus Prinsip pengobatan epilepsi: Monoterapi Pemilihan obat disesuaikan dengan sindrom epilepsi OAE dimulai 1 macam OAE, mulai dengan dosis kecil dinaikkan bertahap sampai bangkitan hilang atau muncul efek samping. Bila obat pertama gagal, obat kedua dapat ditambahkan sampai bangkitan teratasi, kemudian OAE pertama diturunkan dan distop, dengan tujuan monoterapi Bila bangkitan tidak responsif terhadap 2 macam OAE yang benar, ada kemungkinan suatu epilepsi refrakter Dalam pemilihan politerapi perhatikan reaksi antar-OAE OAE untuk bangkitan dengan onset fokal: karbamazepin, asam valproat, topiramat, fenobarbital OAE untuk bangkitan umum: asam valproat, topiramat, etosuksimid, lamotrigin, fenobarbital Penghentian Obat Pada umumnya OAE dapat dihentikan dalam 2–4 th bebas bangkitan. Penghentian obat dilakukan secara bertahap (taperingoff), perlu waktu 6 bl untuk menghentikannya. Sebelum obat 800
dihentikan, dilakukan EEG untuk melihat perbaikan EEG. Beberapa OAE memerlukan pemantauan kadar obat dalam darah dengan indikasi: Untuk mengetahui kepatuhan penderita minum obat Mendapat beberapa macam obat (politerapi/obat lain yang dapat memengaruhi kadar obat) Muncul bangkitan kembali pada bangkitan yang sudah terkontrol Obat-obat Antiepilepsi Karbamazepin Sediaan Tablet 100 mg, 200 mg, dan 400 mg Sirup 100 mg/5 mL Dosis 10–25 mg/kgBB/hr (biasanya dimulai dengan 5 mg/kgBB/hr) dibagi 3 dosis Pengobatan Obat pilihan pertama untuk epilepsi parsial dan umum tonik-klonik. Dapat memperburuk bangkitan mioklonik dan absens Efek samping Ruam kulit, sindrom Stevens Johnson, diskrasia darah, penglihatan ganda, nausea, sakit kepala Asam valproat Sediaan
Tablet 100 mg, 200 mg Sirup 250 mg/5 mL Dosis 20–60 mg/kgBB/hr (biasanya dimulai 20 mg/kgBB/hr) dibagi 2–3 dosis Pengobatan Obat pilihan pertama untuk epilepsi umum tonik-klonik, parsial, dan absens Efek samping Ruam kulit, gangguan fungsi hati akut, pankreatitis akut, diskrasia darah, BB dan nafsu makan ↑ Sebaiknya tidak digunakan untuk anak <2 th
Etosuksimid Sediaan Dosis Pengobatan Efek samping
Kapsul 250 mg 15–35 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis Efektif untuk epilepsi absens Nausea, sakit kepala, dan mengantuk
Klobazam Sediaan Dosis
Tablet 10 mg 0,25 mg/kgBB/hr (mulai dengan 0,125 mg/kgBB/hr) dibagi 2 dosis Pengobatan Obat pilihan kedua epilepsi umum tonik-klonik dan parsial dapat muncul toleransi pada ⅓ anak Efek samping Sedasi, iritabel, dan depresi
Klonazepam Sediaan Dosis
Tablet 0,5 mg dan 2 mg 0,1–0,3 mg/kgBB/hr (mulai dengan 0,05 mg/kg/hr) untuk usia <1 th, 0,3–1 mg/kgBB/hr untuk usia >1 th dibagi 2–3 dosis 801
Pengobatan
Pengobatan obat pilihan kedua epilepsi umum tonik-klonik, parsial, mioklonik, sindrom LennoxGastaut, sindrom West. Dapat muncul toleransi (efektivitas obat ↓) Efek samping Sedasi, hipersekresi saluran respiratori, lesu Topiramat Sediaan
Tablet 25 mg, 50 mg, dan 100 mg Sprinkle capsule 15 mg, 25 mg, dan 50 mg Dosis 6–9 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis (mulai 1 mg/kgBB/hr, dinaikkan 0,5 mg/kgBB setiap mgg) Pengobatan Direkomendasi untuk epilepsi parsial, umum, dan epilepsi mioklonik berat Efek samping BB ↓, sakit kepala, mengantuk, risiko batu ginjal ↑ dan flushing
Fenobarbital Sediaan Dosis Pengobatan
Tablet 15 mg, 30 mg, dan 60 mg 4–8 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis Efektif untuk epilepsi umum tonik klonik, parsial, kejang pada neonatus, dan status epileptikus Efek samping Ruam kulit, mengantuk, sedasi, hiperaktif, gangguan fungsi kognitif yang menetap (IQ ↓)
Prognosis
Pada umumnya prognosis epilepsi baik, ±70% penderita epilepsi mengalami remisi (bebas bangkitan selama ≥5 th sesudah penghentian obat) Beberapa faktor prediktor prognosis: Kelainan neurologi berat (retardasi mental, palsi serebral) Terdapat beberapa jenis bangkitan Respons terhadap OAE (bila bangkitan tidak terkontrol dalam 1 th sesudah terapi) EEG abnormal pada awal terapi atau EEG memburuk Memerlukan politerapi untuk kontrol bangkitan
Bibliografi 1.
2.
3.
Camfield PR, Camfield CS. Pediatric epilepsy: an overview. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2012. hlm. 703–10. Conway JM, Leppik IE, Birnbaum AK. Antiepileptic drug therapy in children. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2012. hlm. 811–36. Holmes GL. Generalized seizures. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2012. hlm. 736–50. 802
4. 5.
6.
7.
8.
Menkes JH, Sankar R. Paroxysmal disorders. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, penyunting. Child neurology. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2000. hlm. 919–1026. Mikati MA. Seizures in childhood. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 7258–303. Mitchell WG, Hirtum-Das MV, Desai J, Luc NN. Behavioral, cognitive and sosial aspects of childhood epilepsy. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2012. hlm. 871–9. Nash K, Sullivan J. Myoclonic seizures and infantile spasms. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2012. hlm. 668–75. Nordli DR. Focal and multifocal seizures. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2012. hlm. 751–66.
803
STATUS EPILEPTIKUS Batasan
Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang terjadi terus-menerus ≥30 mnt berupa bangkitan fokal/umum, konvulsi/nonkonvulsi atau dalam 30 mnt terjadi beberapa kali bangkitan tanpa ada pemulihan kesadaran di antara bangkitan Impending SE adalah keadaan bangkitan akut ditandai kejang umum terus-menerus selama 5 mnt atau kejang nonkonvulsi (klinis/EEG) atau kejang fokal >15 mnt atau tidak ada pemulihan kesadaran di antara 2 bangkitan Tindakan harus segera dilakukan pada impending SE agar tidak menjadi SE
Epidemiologi
Pada anak SE sering ditemukan pada usia ≤3 th Keadaan yang mendasari status epileptikus pada anak antara lain: Keadaan akut: ensefalopati (gangguan elektrolit), ensefalitis, meningitis, perdarahan intrakranial Keadaan kronik: malformasi otak, sindrom neurokutan, pascatrauma kepala, dan epilepsi (obat antiepilepsi di bawah kadar obat darah/subterapi)
Tatalaksana
Tujuan tatalaksana SE untuk menghentikan aktivitas bangkitan dengan segera dan menentukan penyebab bangkitan. Tatalaksana awal secara simultan adalah stabilisasi penderita (resusitasi kardiopulmonal) dan work-up diagnostik untuk menentukan penyebab SE. Terapi obat antikonvulsan segera diberikan sesudah keadaan penderita stabil Obat-obatan yang sering digunakan untuk tatalaksana awal yaitu diazepam, lorazepam, fenitoin, fenobarbital Pada kasus bangkitan terus berlangsung (SE refrakter) dapat digunakan obat antikonvulsan seperti midazolam, fenobarbiton, tiopental yang dilakukan di ruang PICU Sebelum ke RS (Prehospital) Diazepam rektal (0,5 mg/kgBB) <5 kg : 2,5 mg 5–10 kg : 5 mg >10 kg : 10 mg Pemberian diazepam rektal dapat diulang 2× dengan interval 5 mnt. Diazepam maks. 30 mg
804
Rumah Sakit (Hospital)
Keterangan: *Apabila saat datang sudah didiagnosis status epileptikus, maka pemberian diazepam i.v. hanya 1 kali, dilanjutkan dengan obat antikejang lini kedua. Bila jalur i.v. belum tersedia, diazepam boleh diberikan per rektal **Pemilihan obat lini ke-2 (fenitoin/fenobarbital) ditentukan oleh ketersediaan obat, akses vena besar, dan alat monitor EKG ***Pemberian midazolam dilakukan di ruang intensif, namun bila tidak tersedia dapat diberikan di ruang rawat inap dengan pemantauan tanda vital. Midazolam dapat dihentikan setelah 24 jam bebas kejang.
Gambar 71 Algoritme Tatalaksana Kejang dan Status Epileptikus
Contoh Soal
Pemberian Fenitoin BB 10 kg Dosis fenitoin loading dose 20 mg/kgBB i.v. Sediaan fenitoin 1 mL : 100 mg Dosis yang dibutuhkan pasien → 200 mg → 2 mL Pengenceran: 2 mL fenition + 2 mL NaCl 0,9% Kecepatan pemberian 1 mg/kgBB/mnt → 10 mg/mnt Kecepatan pemberian pada pasien → 20 mnt, diberikan dengan syringe pump 805
Pelarut yang digunakan harus larutan fisiologis seperti NaCl 0,9% atau aquabides, tidak boleh larutan dektrosa
Bibliografi 1.
2.
3.
Menkes JH, Sankar R. Paroxysmal disorders. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL, penyunting. Child neurology. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2000. hlm. 919– 1026. Mikati MA. Seizures in childhood. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 7258–303. Pellock JM, Morton LD. Status epileptikus. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. hlm. 798–810.
806
ENSEFALITIS HERPES SIMPLEKS Batasan
Ensefalitis merupakan manifestasi kelainan neurologi yang disebabkan oleh infeksi virus herpes simpleks (VHS)
Epidemiologi
Ensefalitis herpes simpleks (EHS) merupakan penyebab 10% kasus ensefalitis dan merupakan penyebab tersering kasus ensefalitis fatal yang muncul secara sporadik dan diperkirakan mencapai 1 dari 250.000–500.000 penderita per tahun. VHS tipe 1 dapat → ensefalitis pada semua usia, tetapi terbanyak pada penderita berusia >20 th. EHS pada neonatus biasanya karena infeksi VHS tipe 2 selama melalui jalan lahir dari ibu yang menderita herpes genital aktif; biasanya terbanyak → meningitis
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis tidak spesifik, dapat akut dan subakut Fase prodromal terjadi malaise dan demam selama 1–7 hr. Manifestasi ensefalitis dimulai dengan sakit kepala, muntah, perubahan kepribadian dan gangguan daya ingat, kemudian penderita akan terjadi kejang (fokal/umum) dan kesadaran ↓ Neurologis menunjukkan hemiparesis, afasia, ataksia, gangguan sistem autonom, paresis saraf kranialis, kaku kuduk, dan papiledema
Diagnosis
Kemungkinan EHS bila demam, kejang fokal, dan gejala neurologis fokal Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan laboratorium, EEG, pencitraan, biopsi otak dan polymerase chain reaction (PCR) Pemeriksaan laboratorium darah tepi tidak spesifik Cairan serebrospinal dapat normal atau abnormal Tabel 181 Gambaran Cairan Serebrospinal pada Infeksi Susunan Saraf Pusat Parameter
Virus
Bakteri
Mikobakterium Jamur
Jumlah sel Tipe sel Protein Glukosa
N-↑ Limfosit N-↑ N-↓
↑-↑↑↑ PMN ↑-↑↑↑ ↓-↓↓↓
↑-↑↑ Limfosit N -↑↑ N-↓
N -↑↑ Campuran N -↑↑ N-↓
EEG ditemukan gambaran periodic lateralizing epileptiform discharge atau perlambatan fokal di daerah temporal atau frontotemporal Pemeriksaan pencitraan CT-scan (hipodens di lobus temporal atau frontal, kadang-kadang meluas sampai lobus oksipitalis) dan MRI kepala 807
Tatalaksana
Pengobatan simtomatik dan suportif Asiklovir dengan dosis 30 mg/kgBB/hr dibagi dalam 3 dosis diberikan selama 10 hr
Prognosis
Prognosis buruk
Bibliografi 1.
2. 3.
4.
Bale JF. Viral infections of the nervous system. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Pediatric neurology. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2012. hlm. 1262–96. Feigin RD, Cherry JD, Demmler GJ, Kaplan SL. Texbook of pediatric infectious diseases. Edisi ke-5. Philadelphia: WB Saunders Co; 2004. Maria BL, Bale JF. Infections of the nervous system. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL, penyunting. Child neurology. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2000. hlm. 433–556. Soetomenggolo SS, Ismael S. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2000.
808
ABSES OTAK Epidemiologi
Insidensi tertinggi terjadi pada dekade 2 dan 3 kehidupan; insidensi lebih tinggi terjadi pada pria (3:1)
Manifestasi Klinis
Gejala pada stadium awal tidak spesifik, dapat berupa nyeri kepala, demam, letargi dan kejang (fokal/umum). Pada anak progresivitas penyakit ditandai dengan gangguan neurologis bersamaan dengan gejala tekanan intrakranial ↑ Manifestasi abses otak didasarkan: Manifestasi ↑ tekanan intrakranial berupa sakit kepala, muntah, dan edema papil Manifestasi supurasi intrakranial berupa iritabel, mengantuk atau stupor, dan tanda rangsang meningeal Tanda infeksi: demam, menggigil, dan leukositosis Tanda fokal jaringan otak yang terkena: kejang; gangguan saraf yang terkena (kejang, gangguan saraf kranial, afasia, ataksia, dan paresis) Tabel 182 Persentase Manifestasi Klinis Abses Serebri Manifestasi Klinis Sakit kepala Muntah Kejang Kesadaran ↓ Edema papil Manifestasi neurologis Paresis N VI Hemiparesis Tetraparesis Atrofipapil Nistagmus Manifestasi infeksi Demam
Persentase (%) 55 50 50 35 40 30 30 30 25 10 80
Diagnosis
Pemeriksaan penunjang Darah tepi tidak spesifik. Leukosit >11.000/mm3 EEG : perlambatan fokal, gelombang paku CT-scan kepala/MRI: lesi berupa masa dengan batas yang disertai dengan penyengatan capsular ring Secara histopatologi, abses otak dibagi menjadi: Fase serebritis dini (hr ke-1–3) Fase serebritis lambat (hr ke-4–9) Fase pembentukan kapsul dini (hr ke-10–13) Fase pembentukan kapsul lambat (hr ke-14 dan seterusnya) 809
Tatalaksana
Pemberian antibiotik (lihat bab infeksi) Terapi bedah, indikasi: Tidak terdapat perbaikan sesudah 24 jam terapi antibiotik Perburukan klinis Penekanan struktur yang penting di otak
Bibliografi 1.
2.
Maria BL, Bale JF. Infections of the nervous system. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL, penyunting. Child neurology. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2000. hlm. 448–53. Täuber MG, Schaad UB. Bacterial infections of the nervous system. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Pediatric neurology. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2012. hlm. 1241–65.
810
TUBERKULOSIS PADA SUSUNAN SARAF PUSAT Meningitis tuberkulosis (TB) merupakan suatu kegawatan. Keterlambatan pengobatan dapat mengakibatkan kematian Manifestasi TB pada SSP dapat berupa: Meningitis Tuberkuloma tanpa meningitis
Manifestasi Klinis Meningitis
Stadium Awal (Stadium I) Didominasi oleh gejala gastrointestinal, tidak terlihat manifestasi neurologis, berlangsung ±2 mgg. Anak dapat apatis atau iritabel dengan sakit kepala yang hilang muncul, kenaikan suhu yang ringan, anoreksia, mual, muntah. Khususnya pada bayi, kejang demam merupakan gejala yang paling menonjol pada stadium ini Stadium II Anak terlihat mengantuk dan mengalami disorientasi dengan tanda iritasi meningen. Refleks fisiologis ↑, refleks abdominal menghilang dan klonus. Dijumpai keterlibatan saraf kranial III, VI, dan VII Stadium III Anak dapat dalam keadaan koma atau terdapat periode yang hilang muncul dari penurunan kesadaran. Refleks cahaya pupil ↓. Dapat ditemukan spasme klonik rekuren dari ekstremitas, pernapasan ireguler, dan demam tinggi. Hidrosefalus terjadi pada ⅔ penderita yang infeksinya sudah berjalan >3 bl dan tidak diterapi adekuat Tabel 183 Persentasi Manifestasi Klinis Meningitis TB Manifestasi Klinis
Persentase (%)
Gejala Sakit kepala Demam Muntah Fotofobia Anoreksia/BB ↓ Pemeriksaan neurologis Kaku kuduk Kesadaran ↓ (confusion) Koma Paresis saraf kranial III VI VII Hemiparesis Paraparesis Kejang
50–80 60–95 30–60 5–10 60–80 40–80 10–30 30–60 30–50 5–15 30–40 10–20 10–20 5–10 50 811
Manifestasi tuberkuloma menyerupai gejala space occupying lesion (SOL) seperti kejang fokal, hemiparesis, paresis saraf otak, dan lainlain
Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, gejala TB, pemeriksaan neurologis, ditunjang dengan pemeriksaan cairan serebrospinal dan CT-scan kepala dengan kontras Pemeriksaan Cairan Serebrospinal Tabel 184 Gambaran Cairan Serebrospinal pada Meningitis TB Cairan Serebrospinal Kejernihan (%) Jumlah sel (sel/mm3) Jumlah leukosit Neutrofil (%) Limfosit (%) Protein (g/L) Rasio glukosa cairan serebrospinal:darah
80–90 10–500 10–70 30–90 0,45–3 <0,5
CT-scan dengan kontras didapatkan infark, tuberkuloma, hidrosefalus
Tatalaksana
Pemberian obat antituberkulosis selama 12 bl (lihat bab respirologi) Tatalaksana tekanan tinggi intrakranial (TTIK): Mengurangi edema serebri Manitol 20% 0,5–1 g/kgBB i.v. selama 10–30 mnt tiap 4–6 jam Mempertahankan fungsi metabolik otak Mempertahankan kadar elektrolit pada keadaan normal Menghindari ↑ tekanan intrakranial Posisi penderita dipertahankan setengah duduk dengan mengangkat kepala setinggi 20–30° dan dalam posisi netral Indikasi operasi Hidrosefalus (untuk mengatasi hidrosefalus dilakukan ventriculoperitoneal shunt/VP-shunt) TB vertebra yang menyebabkan paraparesis
Penyulit
Hidrosefalus Infark pembuluh darah Hiponatremia (akibat syndrome inappropriate antidiuretic hormone/ SIADH)
Prognosis
Stadium II: 25% mengalami gejala sisa Ditentukan dari stadium meningitis saat masuk RS dan penyulit yang terjadi Akan ditemukan kalsifikasi intrakranial pada ⅓ penderita yang sembuh 812
Bibliografi 1.
2.
Maria BL, Bale JF. Infections of the nervous system. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL, penyunting. Child neurology. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2000. hlm. 445–8. Täuber MG, Schaad UB. Bacterial infections of the nervous system. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Pediatric neurology. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2012. hlm. 1241–65.
813
AUTISM SPECTRUM DISORDERS (ASD) Kelainan perkembangan yang sifatnya sangat kompleks dan berat meliputi gangguan pada lebih dari satu area perkembangan (bahasa, interaksi sosial, dan kognisi) yang dalam kriteria Diagnostic and statistical manual of mental disorders, edisi ke-4 text revision (DSMIV-TR) dikenal sebagai kelompok pervasive developmental disorder (PDD), sejak tahun 2013 berdasarkan kriteria DSM-5 disebut sebagai autism spectrum disorder (ASD). Di dalam kriteria DSM-5 terjadi penggabungan gejala menjadi satu yaitu gangguan berbahasa dan gangguan interaksi menjadi gangguan berbahasa dan interaksi. Dengan demikian, kriteria diagnostik untuk ASD berdasarkan DSM-5 adalah sebagai berikut: 1. Gangguan berbahasa dan gangguan interaksi 2. Perilaku maladaptif ASD terdiri atas: 1. Autism disorder 2. Pervasive developmental disorder-not otherwise specified (PDD-NOS) 3. Asperger disorder (AD)
AUTISM DISORDER Batasan
Autisme merupakan bentuk gangguan perkembangan yang ditandai dengan gejala: 1. Gangguan berbahasa (komunikasi verbal, nonverbal, dan gangguan interaksi) 2. Perilaku maladaptif, aktivitas yang aneh seperti: perilaku stereotipik, flapping, tapping, tantrum, ritual-ritual yang aneh, serta minat yang terbatas Autistic disorder menurut DSM-5 Bentuk paling berat di antara kelompok ASD dengan kemampuan kognitif sebagian besar di bawah normal, bahkan untuk bentuk yang high functioning sekalipun Gejala muncul setelah usia 3 th Diagnosis harus memenuhi kriteria DSM-5
Epidemiologi
Prevalensi autisme pada anak 10/10.000 kelahiran hidup. Insidensi pada laki-laki lebih banyak daripada perempuan, 4:1
Etiologi
Penelitian paling akhir dari penyebab autisme menunjukkan hubungan autisme dengan genetik yang bersifat multigen Diduga ada kaitan dengan gangguan neurotransmiter serotonin Terdapat kelainan anatomi pada daerah limbik dan perkembangan serebelum serta batang otak yang tidak terbentuk sempurna. Dengan pemeriksaan positron emission tomography (PET) daerah tersebut memperlihatkan aktivitas listrik yang rendah 814
Manifestasi Klinis
Gangguan perkembangan dengan gejala khas (core symptoms) Gejala gangguan komunikasi Terlambat bicara, tidak bicara sama sekali Terganggu bahasa ekspresif dan reseptif Dapat bicara tetapi aneh (intonasi suara atau kecepatannya aneh, perbendaharaan kata tidak banyak) Ekolali (segera, lambat, parroting) Bahasa planet Belajar dari mencontoh (visual), bukan dari mendengar (auditory) atau mimik muka Tidak ada kontak mata Tidak mengerti bahasa tubuh (gestures) Tidak mengerti komunikasi nonverbal/isyarat Gejala gangguan interaksi sosial Tidak ada Social recognition (tidak sadar ada orang lain) Sosial communication (tidak berusaha untuk memulai komunikasi) Social imagination (tidak mengerti apa yang dipikirkan orang lain) Perilaku yang abnormal/aneh Keterpakuan pada hal yang sama, sulit diubah (makan dengan piring yang sama, taruh mainan di tempat sama, sentuh benda dengan urutan sama) Aktivitas/interest terbatas, kaku, stereotipik, senang logo, jadwal pesawat Keterikatan pada objek yang tidak biasa (plester, karet gelang, tali rafia) Mainan tidak dimainkan semestinya (putar roda mobil-mobilan, jejer mainan) Self stimulation (rocking, waving, flapping, spinning, head banging, gigit tangan) Gangguan sensoris (reaksi berlebihan terhadap suara, sentuhan, bau, tidak merasa sakit, tekstur makanan tertentu) Hiperaktif, tidak konsentrasi, agresif, fobia, sulit tidur Kelainan lain yang dapat menyertai Sebagian pada penderita autisme didapatkan gangguan profil sensoris pada penderita
Terapi
Perlu kerja sama beberapa disiplin ilmu (multidisiplin) Terapi terpilih berdasarkan evidence based adalah terapi perilaku. Terapi perilaku diberikan bersama-sama dengan terapi farmakologi pada penderita yang usianya sudah lebih besar dari 2 th Terapi lain yang diberikan: Terapi bicara Terapi okupasi Edukasi pada orangtua Family support
815
Diagnosis Banding
Asperger’s disorder Gejala mirip autistic disorder Kemampuan komunikasi dan kognitif tidak terganggu Kognitif lebih maju: usia 3 th kenal huruf, usia 5 th lancar baca, hafal jadwal kereta PDD-NOS Gejala autistic disorder tidak lengkap Stereotipik ada lalu hilang
Prognosis
Bergantung pada kemampuan bicara verbal dan inteligensia Secara umum tetap memerlukan bantuan untuk beradaptasi terhadap lingkungan sepanjang hidup. Penderita autisme yang high functioning—jumlahnya tidak banyak—mungkin tidak bergantung pada orang lain
Bibliografi 1. 2. 3.
4.
American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. Edisi ke-4 TR. Washington: American Psychiatric Association; 2000. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. Edisi ke-5. Washington: American Psychiatric Association; 2013. Hirtz DG, Wagner A, Filipek PA. Autistic spectrum disorders. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-4. USA: Mosby Elsevier; 2006. hlm. 905–35. Mauk JE, Reber M, Batshaw ML. Autism and other pervasive developmental disorders. Dalam: Batshaw ML, penyunting. Children with disabilities. Edisi ke-4. Baltimore, London: Paul H. Brookes Pub. Co; 2000. hlm. 425–47.
816
RETT’S DISORDER Rett’s disorder merupakan gangguan neurodevelopmental yang disebabkan kelainan genetik pada gen MECP2 Rett’s disorder dibagi beberapa tipe: Atipikal (terjadi sesudah lahir atau pada usia 18 bl), terdapat gangguan bicara dan kemampuan penggunaan tangan, biasanya terjadi pada anak laki-laki tetapi biasanya sangat jarang) Klasik (yang memenuhi kriteria diagnosis) Provisional (beberapa gejala muncul pada usia 1–3 th)
Epidemiologi
Rett’s disorder lebih jarang terjadi dibandingkan dengan gangguan autistik. Insidensi gangguan 1:10.000 pada bayi perempuan yang baru lahir. Kejadian sindrom ini juga dapat terlihat pada anggota keluarga yang memiliki keluhan serupa dan juga biasanya pada daerah geografis tertentu termasuk Norwegia, Swedia, dan Italia
Manifestasi Klinis
Gambaran Rett’s disorder yang paling utama yaitu ditemukan defisit spesifik multipel pada perkembangan yang muncul sesudah periode fungsi yang normal sesudah lahir. Penderita biasanya memiliki periode prenatal dan neonatal yang normal dengan per-kembangan psikomotor yang normal pada 5 bl pertama kehidupan. Beberapa literatur menyatakan bahwa perkembangan normal biasanya dapat terjadi pada 6–18 bl pertama kehidupan, yang kemudian diikuti dengan kehilangan kemampuan motorik kasar serta kemampuan interaksi sosial dan juga muncul gerakan stereotipik tangan. Lingkar kepala pada saat lahir biasanya normal, pada usia 5–48 bl pertumbuhan kepala mengalami kemunduran. Kemudian muncul gerakan gait dan gangguan berat pada perkembangan bahasa ekspresif dan reseptif dengan retardasi psikomotor yang berat Gejala yang biasanya muncul: Apraksia Gangguan pernapasan (masalah biasanya muncul jika terdapat stres, pernapasan biasanya normal selama tidur dan tidak normal sesudah bangun tidur) Regresi Pengeluaran saliva yang berlebihan dan drooling Gerakan menepuk tangan dan kaki (biasanya merupakan tanda awal) Gangguan intelektual dan kesulitan belajar Skoliosis Gemetar tidak dapat berdiri stabil, terdapat gait atau berjalan dengan ujung-ujung jari kaki Kejang Kehilangan pola tidur normal Memperlihatkan gangguan pertumbuhan kepala tahap awal pada usia 5–6 bl 817
Hilangnya gerakan tangan bertujuan, sebagai contoh mengambil objek kecil dengan jari yang digantikan dengan gerakan tangan repetitif seperti menulis tangan atau gerakan konstan memasukkan tangan ke dalam mulut Hilangnya kemampuan interaksi sosial Terdapat konstipasi berat dan gastroesofageal refluks (gastroesophageal reflux disease/GERD) Sirkulasi yang buruk dapat menimbulkan gejala akral dingin Beberapa gangguan perkembangan bahasa berat
Diagnosis
Pada Rett’s disorder tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik. Kemungkinan gambaran EEG abnormal, tidak ada laporan mengenai kelainan pada pencitraan otak. Data sebelumnya menyatakan bahwa kemungkinan pada beberapa kasus Rett’s disorder disebabkan kelainan mutasi genetik Semua gejala di bawah ini: Perkembangan prenatal dan neonatal normal Perkembangan psikomotor sampai usia 5 bl sesudah lahir normal Lingkar kepala saat lahir normal Terdapat keadaan di bawah ini sesudah periode normal perkembangan: Deselerasi pada pertumbuhan kepala usia 5–48 bl Hilangnya kemampuan keterampilan tangan yang bertujuan usia 5–30 bl dengan munculnya gerakan tangan stereotipik (contoh: seperti gerakan meremas tangan atau mencuci tangan) Hilangnya kemampuan interaksi sosial Gerakan gait yang cukup berat Gangguan perkembangan bahasa reseptif dan ekspresif yang cukup berat dengan retardasi psikomotor berat Salah satu pemeriksaan yang direkomendasikan yaitu pemeriksaan genetik menggunakan PCR
Terapi
Tidak ada terapi spesifik yang dapat mencegah atau mengembalikan progresivitas penyakit, terapi biasanya bersifat simtomatis dan individual, memfokuskan pada pencapaian kemampuan penderita secara optimal. Sebuah pendekatan multidisiplin dinamis yang lebih efektif yaitu terdiri atas ahli gizi, fisioterapi, terapi okupasional dan terapi bicara. Perhatian khusus diperlukan jika terjadi skoliosis (terlihat pada 87% penderita usia 25 th) dan terdapat spastisitas, kedua keadaan ini merupakan 2 faktor yang memengaruhi mobilitas. Perhatian diperlukan juga terhadap gangguan komunikasi yang berat. Dukungan psikososial untuk keluarga juga merupakan bagian yang holistik dalam penatalaksanaan, dan juga kelompok yang mendukung orangtua Pendekatan farmakologi untuk menangani masalah Rett’s disorder yaitu: Melatonin untuk gangguan tidur 818
Beberapa obat untuk mengontrol gangguan pernapasan, kejang, dan gerakan stereotipik L-carnitine untuk memperbaiki kemampuan bahasa, massa otot, dan kualitas hidup Bantuan untuk mengatasi masalah makan Terapi untuk mengatasi konstipasi dan GERD Pemberian supplemen dapat membantu penderita yang memiliki pertumbuhan yang lambat. Pipa nasogastrik mungkin diperlukan untuk mencegah aspirasi makanan Pada penderita Rett’s disorder, risiko aritmia yang berhubungan dengan Q-T interval memanjang yang dapat mengancam jiwa ↑ sehingga beberapa jenis obat harus dihindari penggunaannya termasuk obat prokinetik (contoh: kisaprid), antipsikotik (contoh: tioridazin), antidepresan trisiklik (contoh: imipramin), antiaritmia (contoh: kuinidin, sotolol, dan amiodaron), obat anestetik (contoh: tiopental dan suksinilkolin), dan antibiotik (contoh: ketokonazol dan eritromisin) Konseling genetik merupakan salah satu tatalaksana pada Rett’s disorder
Bibliografi 1. 2.
3.
4.
American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. Edisi ke-5. Washington: American Psychiatric Association; 2013. Hirtz DG, Wagner A, Filipek PA. Autistic spectrum disorders. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. hlm. 905–35. Shah PE, Dalton R, Boris NW. Pervasive developmental disorders and childhood psychosis. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 29. Williamson SL, Christodoulou J. Rett’s syndrome: new clinical and molecular insights. Eur J Hum Gen. 2006;14:896–903.
819
PERVASIVE DEVELOPMENTAL DISORDERNOT OTHERWISE SPECIFIED (PDD-NOS) Batasan
Diagnosis PDD-NOS berdasarkan kriteria DSM-5 yaitu terdapat gangguan perkembangan interaksi sosial yang berhubungan dengan gangguan pada kemampuan komunikasi verbal atau nonverbal atau dengan munculnya kebiasaan stereotipik, aktivitas, dan minat yang terbatas. PDD-NOS disebut juga sebagai autisme atipikal yang keadaannya tidak sesuai untuk kriteria gangguan autistik, gejala klinis yang atipikal atau gejala klinis subthreshold atau semuanya
Epidemiologi
Terdapat hubungan usia ibu saat melahirkan dengan kejadian PDDNOS. Angka kejadian PDD-NOS menempati presentasi tertinggi pada ibu usia >30 th pada saat melahirkan
Manifestasi Klinis
Perilaku anak dengan diagnosis PDD-NOS hampir sama dengan perilaku anak autisme klasik dalam berbagai hal. Saat berinteraksi dengan orang lain, mereka tampak tidak emosional atau tidak berbicara. Mereka juga memiliki kesulitan dalam mempertahankan kontak mata, memiliki kesulitan untuk berpindah dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya
Diagnosis
Diagnosis berdasarkan kriteria DSM-5
Terapi
Terapi perilaku Terapi sensori disintegrasi
Bibliografi 1. 2. 3.
4.
American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. Edisi ke-4 TR. Washington: American Psychiatric Association; 2000. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. Edisi ke-5. Washington: American Psychiatric Association; 2013. Dum NJ, Towsend JK, Courchesne E. Prenatal, perinatal, and neonatal factors in autism, pervasive developmental disordernot otherwise spesified, and the general population. Pediatrics. 2001;107:e63. Hirtz DG, Wagner A, Filipek PA. Autistic spectrum disorders. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-4. USA: Mosby Elsevier; 2006. hlm. 905–35.
820
CHILDHOOD DISINTEGRATIVE DISORDER (CDD) Batasan
Gangguan dikenal sebagai: sindrom Heller, infantil demensia dan infantil disintegratif. Kelainan ini ditandai perkembangan yang normal pada dua tahun pertama kehidupan dan kemudian diikuti kehilangan kemampuan berbahasa secara bertahap, sosial, dan kemampuan motorik sebelum usia 10 th
Epidemiologi
CDD merupakan kelainan yang jarang. Prevalensi 2:100.000, lebih banyak pada anak laki-laki
Manifestasi Klinis
Gejala CDD tidak timbul dalam 2 th pertama kehidupan anak Gejalanya: Keterlambatan atau hilangnya bahasa ekspresif Terdapat gangguan kebiasaan nonverbal seperti bahasa tubuh atau ekspresi wajah, tidak dapat memulai berbicara secara normal Tidak dapat membina hubungan dengan sesama teman atau keluarga Kehilangan kemampuan gerak motorik Kehilangan kemampuan berbahasa Gangguan kandung kemih dan gangguan BAB
Diagnosis
Diagnosis CDD sering tertukar dengan gangguan perkembangan lain, oleh karena itu kemungkinan diagnosis yang memiliki gejala hampir sama harus disingkirkan. Penyebab CDD belum diketahui secara pasti. Penelitian yang sudah ada menunjukkan 50% anak yang didiagnosis dengan CDD memperlihatkan hasil EEG yang abnormal Gangguan pada CDD harus dibedakan dengan kelainan lain terutama pada sindrom Rett, pada 2 th pertama kehidupan anak, dan semua aspek perkembangan dalam batas normal Kriteria diagnostik pada CDD: Perkembangan normal untuk min. 2 th pertama kehidupan yang bermanifestasi sebagai ketidaksesuaian antara kemampuan verbal dan usia, komunikasi nonverbal, hubungan sosial, bermain, dan kebiasaan adaptif Kehilangan kemampuan yang didapat secara signifikan (sebelum usia 10 th) pada min. 2 dari gangguan di bawah ini: Bahasa, ekspresif atau reseptif Kebiasaan adaptif atau kemampuan sosial Kontrol kandung kemih dan kebiasaan buang air besar Bermain Kemampuan motorik Terdapat abnormalitas fungsi min. 2 dari gangguan di bawah ini: Gangguan kualitatif dalam hal interaksi sosial 821
Gangguan kualitatif dalam hal komunikasi Pola tingkah laku yang stereotipik, repetitif, dan terbatas dalam hal keingintahuan aktivitas termasuk gerakan stereotipik motorik
Terapi
Seperti pada gangguan autis lainnya bahwa tidak ada satu jenis obat apapun yang terbukti dapat mengobati CDD. Tingkat kompleksitas dan sedikitnya kelainan ini menyebabkan tidak ada penelitian untuk pengobatan farmakologi. Pengobatan steroid biasanya digunakan untuk memperlambat progresivitas kelainan ini
Bibliografi 1. 2. 3. 4.
American Psychiatric Association. Childhood disintegrative disorder-proposed revision. DSM-5 development task force. Washington: America Psychiatric Association; 2010. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. Edisi ke-4 TR. Washington: American Psychiatric Association; 2000. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. Edisi ke-5. Washington: American Psychiatric Association; 2013. Hirtz DG, Wagner A, Filipek PA. Autistic spectrum disorders. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-4. USA: Mosby Elsevier; 2006. hlm. 905–35.
822
RETARDASI MENTAL (RM, INTELECTUAL DISABILITIES) Batasan
Keadaan inteligensi umum berfungsi di bawah rata-rata, bermula dari masa perkembangan, disertai gangguan tingkah laku penyesuaian. Menurut International Code of Disease (ICD) 10, RM merupakan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, terutama ditandai dengan terdapatnya hendaya (impairment) keterampilan (skills) selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua aspek inteligensi, yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial DSM-5 mendefinisikan RM sebagai: Fungsi intelektual yang berada di bawah rata-rata, dengan IQ ratarata ≤70 Terdapat defisit atau gangguan fungsi adaptif pada min. 2 area: komunikasi, perawatan diri sendiri, hidup berkeluarga, kemampuan sosial/interpersonal, kemampuan bermasyarakat, kemampuan akademik fungsional, dan pekerjaan Timbul sebelum usia 18 th
Epidemiologi
Retardasi mental merupakan masalah dunia dengan implikasi yang besar terutama bagi negara berkembang. Diperkirakan angka kejadian retardasi mental berat sekitar 0,3% dari seluruh populasi, dan hampir 3% mempunyai IQ <70. Sebagai sumber daya manusia tentunya mereka tidak dapat dimanfaatkan, karena 0,1% dari anakanak ini memerlukan perawatan, bimbingan, serta pengawasan sepanjang hidupnya
Manifestasi Klinis
Gejala yang ditemukan pada RM mencakup: Keterlambatan berbahasa Gangguan gerakan motorik halus dan gangguan adaptasi (toileting, kemampuan bermain) Keterlambatan perkembangan motorik kasar → jarang ditemukan kecuali apabila RM disertai dengan kondisi lain, seperti palsi serebral Gangguan perilaku, antara lain agresi, menyakiti diri sendiri, deviasi perilaku, inatensi, hiperaktivitas, kecemasan, depresi, gangguan tidur, dan gerakan stereotipik
Diagnosis
Terdapat kendala perilaku adaptif sosial (kemampuan untuk mandiri) Gejala timbul pada usia <18 th Fungsi intelektual kurang dari normal (IQ <70) Berdasarkan tingkat IQ, retardasi mental diklasifikasikan sebagai berikut
823
Tabel 185 Klasifikasi Retardasi Mental berdasarkan Tingkat IQ Klasifikasi
Tingkat Kecerdasan (IQ)
Retardasi mental ringan Sekitar 85% dari penyandang retardasi mental berada dalam kelompok ini Retardasi mental sedang Sekitar 10% dari penyandang retardasi mental berada dalam kelompok ini
50–55 hingga sekitar 70
Retardasi mental berat Sekitar 3–4% dari penyandang retardasi mental berada dalam kelompok ini Retardasi Mental Sangat Berat Sekitar 1–2% dari penyandang retardasi mental berada dalam kelompok ini
20–25 hingga 35–40
35–40 hingga 50–55
<20 atau <25
Berdasarkan karakteristik perkembangan anak dengan RM, digolongkan sebagai berikut
824
Tabel 186 Tingkat Retardasi Mental berdasarkan Karakteristik Perkembangan Anak Tingkat
Kisaran IQ
Kemampuan Usia Prasekolah (Lahir–5 th)
52–68
Dapat membangun kemampuan sosial dan komunikasi Koordinasi otot sedikit terganggu Sering kali tidak terdiagnosis
Moderat
36–51
Dapat bicara dan belajar berkomunikasi Kesadaran sosial kurang Koordinasi otot cukup
Berat
20–35
Sangat berat
≤19
Dapat mengucapkan beberapa kata Mampu mempelajari kemampuan untuk menolong diri sendiri Tidak memiliki kemampuan ekspresif atau hanya sedikit Koordinasi otot jelek Sangat terbelakang Koordinasi otot sedikit sekali Mungkin memerlukan perawatan khusus
825
Ringan
Kemampuan Usia Sekolah (6–20 th)
Kemampuan Masa Dewasa (≥21 th)
Dapat mempelajari pelajaran kelas 6 pada akhir usia belasan tahun Dapat dibimbing ke arah pergaulan sosial Dapat dididik Dapat mempelajari beberapa kemampuan sosial dan pekerjaan Dapat belajar bepergian sendiri ke tempat yang dikenal
Biasanya dapat mencapai kemampuan kerja dan dapat bersosialisasi cukup, tetapi bila mengalami stres sosial atau ekonomi perlu bantuan Dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dengan melakukan pekerjaan yang tidak terlatih atau semiterlatih di bawah pengawasan Memerlukan pengawasan dan bimbingan ketika mengalami stres sosial maupun ekonomi yang ringan Dapat memelihara diri sendiri di bawah pengawasan Dapat melakukan beberapa kemampuan perlindungan diri dari lingkungan yang terkendali
Dapat berbicara atau belajar berkomunikasi Dapat mempelajari kebiasaan hidup sehat yang sederhana Memiliki beberapa koordinasi otot Kemungkinan tidak dapat berjalan atau berbicara
Memiliki beberapa koordinasi otot dan berbicara Dapat merawat diri tapi sangat terbatas Memerlukan perawatan khusus
Diagnosis
Dilakukan semua parameter pertumbuhan. Untuk diagnosis keterlambatan perkembangan, perlu dilakukan pemeriksaan lengkap— termasuk penilaian kognitif dan tes psikologis. Dapat dilakukan berbagai tes perkembangan seperti tes Denver II, Caput scales, Slosson intelligence test, Bayley scales for infant development, Stanfort-binet intelligence scale, Wechsler preschool and primary scale of intelligence-revised (WPPSIR), Wechsler intelligence scale for children-III dan Vineland adaptive behaviour scales Evaluasi neuropsikologis mencakup kemampuan anak memecahkan problem verbal dan nonverbal, adaptasi sosial. RM sering disertai dengan kerusakan otak fokal atau luas, dan kelainan susunan saraf pusat lainnya. Palsi serebral, epilepsi, gangguan visus, dan pendengaran lebih sering dijumpai pada penyandang RM dibandingkan dengan populasi umum Pemeriksaan neurologik, mencakup lingkar kepala, tonus, kekuatan dan koordinasi otot, refleks tendon dalam, refleks primitif, ataksia, serta terdapat gerakan-gerakan abnormal seperti distonia atau atetosis. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan bergantung pada penyebab, seperti pemeriksaan kromosom (karyotype), EEG, CT-scan atau MRI, titer virus untuk infeksi kongenital, dan lain-lain
Terapi
Penatalaksaan anak dengan RM bersifat multidimensi dan sangat individual Perawatan umum Kesehatan ↑ dengan memberikan gizi yang baik, mengajarkan cara hidup sehat Memberikan perlindungan terhadap penyakit (imunisasi) Mendeteksi penyakit sedini-dininya Diagnosis dini PKU dan hipotiroid (kalau ada) untuk mencegah kerusakan lebih lanjut Koreksi defek sensoris, kemudian dilakukan stimulasi dini (stimulasi sensoris, terapi wicara) Terapi medikamentosa Pemberian neurotropik—vitamin masih kontroversial Psikotropika diberikan jika ditemukan komorbiditas spesifik, autisme, attention deficit hyperactivity disorder, kelainan tic, gerakan stereotipik, skizofrenia atau kelainan psikotik lain, kelainan mood, gangguan cemas, post-traumatic stress disorder (PTSD), kelainan obsesif-kompulsif, kelainan makan (eating disorder), serta kondisi medis umum lainnya Dengan fungsi intelektual di bawah rata-rata menyebabkan anak tidak dapat mengikuti pendidikan di sekolah biasa. Bila dididik dengan tempo lambat, penderita RM yang edukabel mampu berdikari untuk bekerja sebagai pekerja kasar, pekerja tangan, pembantu rumah tangga, serta melaksanakan pekerjaan rutin dan sederhana di 826
kantor atau pabrik. Bagi penderita RM berat dibutuhkan latihan dalam higiene dasar, mengurus diri sendiri, dan mengontrol tingkah laku mencederai diri sendiri
Bibliografi 1. 2. 3.
4.
American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. Edisi ke-4 TR. Washington: American Psychiatric Association; 2000. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. Edisi ke-5. Washington: American Psychiatric Association; 2013. Sherr EH, Shevell MI. Mental retardation and global development. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. hlm. 799−820. Shonkoff JP. Mental retardation. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 94−8.
827
ATTENTION DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDER (ADHD) Gangguan yang bersifat persisten yang ditandai oleh: Rentang pemusatan perhatian (atensi) buruk Hiperaktif Impulsif Gejala ini biasanya muncul pada masa usia prasekolah dan sekolah dini Etiologi belum diketahui dengan pasti, diduga multifaktor di antaranya faktor genetik (gen D2, D4, D5 reseptor dopamin, gen DAT-1), faktor neurobiologi (ketidakseimbangan beberapa neurotransmiter dopamin, serotonin, sirkuit frontostriatal), dan faktor lingkungan (penyulit kehamilan dan persalinan, keracunan timbal)
Epidemiologi
Prevalensi bervariasi karena perbedaan kriteria diagnostik, peneliti, setting, dan geografis. American Academy of Pediatrics Committee on Quality Improvement and Subcommittee on ADHD 2000 bekerja sama dengan Technical Resources Internasional, Washington DC (the Agency for Health Care Research and Quality) melaporkan prevalensi laki-laki 9,2% dan perempuan 2,9%, prevalensi ADHD pada anak usia sekolah 4–12%, prevalensi ADHD pada komunitas 10,3%
Manifestasi Klinis
Terbagi atas 3 tipe: Tipe inatensi Tipe hiperaktif-impulsif Tipe kombinasi
Diagnosis
Berdasarkan DSM-5: Salah satu A atau B Enam atau lebih gejala ganggguan pemusatan perhatian yang menetap sedikitnya 6 bl, sehingga mengganggu dan tidak sesuai tingkat perkembangan Gangguan pemusatan perhatian Sering tidak dapat memusatkan perhatian atau membuat kecerobohan saat melakukan tugas di sekolah atau aktivitas lain Sulit memusatkan perhatian saat diberi tugas atau permainan Pada percakapan langsung seperti tidak mendengarkan pembicaraan Sering tidak dapat mengikuti apa yang diperintahkan dan tidak mampu menyelesaikan tugas sekolah (bukan karena perilaku oposional atau tidak mengerti perintah) Kesulitan pada aktivitas terstruktur Menolak atau tidak suka melakukan aktivitas yang memerlukan usaha mental dalam waktu lama seperti tugas sekolah, pekerjaan rumah 828
Sering menghilangkan barang-barang (pensil, mainan, buku) Perhatian mudah teralihkan Sering lupa pada aktivitas sehari-hari Enam atau lebih gejala hiperaktivitas impulsif menetap min. 6 bl, sehingga mengganggu dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan Hiperaktif Tidak dapat duduk diam, tangan dan kaki bergerak-gerak Sering berdiri saat seharusnya ia duduk di kursi Sering lari-lari, memanjat, tidak ada tujuan, dan tidak sesuai dengan situasi Sering membuat onar saat bermain atau aktivitas lain Tidak dapat diam, ”tampak seperti tidak mengenal lelah” Bicara berlebihan Impulsif Sering menjawab tidak terkendali sebelum pertanyaan selesai Sulit menunggu giliran atau mengantri Sering interupsi (pada percakapan atau permainan) Gejala ini menyebabkan gangguan dan sudah muncul sebelum usia 7 th Gejala tampak pada ≥2 situasi (sekolah dan rumah) harus didapatkan bukti bahwa gejala ini → gangguan yang nyata di sekolah dan lingkungan sosial Gejala ini tidak disebabkan gangguan mental lain (mood disorder, gangguan ansietas, gangguan disosiatif, atau gangguan kepribadian) Berdasarkan kriteria ini, ada 3 tipe ADHD: ADHD tipe predominan inatensi, bila IA terpenuhi, IB tidak terpenuhi ADHD tipe hiperaktif-impulsif, bila IB terpenuhi, IA tidak terpenuhi
Terapi
Terapi dilakukan secara koordinasi antara orangtua, dokter, dan guru Tujuan terapi yaitu: Perlu diberikan obat stimulan, selain intervensi perilaku (terapi perilaku) Memaksimalkan fungsi di sekolah, rumah, dan lingkungan sosial Memperbaiki hubungan dengan orangtua/keluarga, guru, dan teman Memperbaiki prestasi sekolah Memperbaiki kemandirian dalam aktivitas sehari-hari dan di sekolah Memperbaiki rasa percaya diri Stimulan dapat memperbaiki kemampuan mengikuti perintah/ aturan, menurunkan reaksi emosi berlebihan 829
Tabel 187 Obat Stimulan untuk Terapi Anak ADHD Nama Generik (Nama Dagang) Stimulan (terapi lini pertama) Metilfenidat Short acting (Ritalin®) Intermediate acting (Ritalin SR®)
Jadwal Pemberian
2–3×/hr 1–2×/hr 1×/hr 2×/hr
Long acting (Concerta®) Atomoxetine (Xenocy®)
Dosis Harian
5–20 mg, 2–3×/hr 2–40 mg, 1×/hr atau 40 mg pagi hr dan 20 mg sore hr 18–72 mg, 1×/hr 2,5–10 mg/hr
Prognosis
Dengan intervensi dini, dukungan orangtua, guru, dan lingkungan, anak ADHD dapat berkembang dan beradaptasi dalam bidang akademik dan sosial dengan baik. Sebesar 70–80% anak ADHD yang mendapat terapi stimulan akan menunjukkan perbaikan gejala terutama gejala hiperaktivitas, sedangkan gejala inatensi dan impulsif sering berlanjut sampai usia dewasa.
Bibliografi 1.
2. 3. 4.
5.
American Academy of Pediatrics, Committee and Quality Improvement and Subcommittee on Attention Deficit/ Hyperactivity Disorder. Diagnosis and evaluation of the child with attention deficit hyperactivity disorder. Pediatrics. 2000;105(5): 1158–70. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. Edisi ke-4 (text revision). Washington: American Psychiatric Association; 2000. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. Edisi ke-5. Washington: American Psychiatric Association; 2013. Greenhill LL, Pliszka S, Dulcan MK, Bernet W, Arnold V, Beitchman J, dkk. Summary of the practice parameter for the use of stimulant medications in the treatment of children, adolescents, and adults. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry. 2001;40(11):1352–5. Mandelbaum DE. Attention deficit hyperactivity disorder. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. hlm. 871–86.
830
SINDROM GUILLAIN-BARRE (ACUTE INFLAMMATORY POLYRADICULONEUROPATHY/ ACUTE ASCENDING PARALYSIS) Epidemiologi
Insidensi sindrom Guillain-Barre (SGB) bervariasi 0,25–1,5 kasus per 100.000 anak usia <16 th. Kejadian pada laki-laki 1,5 lebih banyak. Usia termuda pernah dilaporkan 4 bl. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak
Manifestasi Klinis
Beberapa infeksi yang berhubungan dengan SGB: Barrelia burgdorferi, Brucellosis, Campylobacter spesies, CMV, Epstein-Barr virus, infeksi enterovirus, hantavirus, virus hepatitis, virus herpes, measles, mumps, mikoplasma, rocky mountain spotted fever, dan demam tifoid Gejala klinis SGB terdiri atas 3 fase: 1. Fase inisial (10–12 hr). Pada fase ini muncul gejala yang mendadak dan progresif. Kurang lebih 50–75% penderita mengalami kelumpuhan hingga 2 mgg, 90–98% hingga 4 mgg 2. Fase plateu (10–12 hr). Pada fase ini dapat berlangsung hingga 4 mgg 3. Fase penyembuhan. Mulai dari beberapa mgg hingga bl. Sebagian mengalami perbaikan dalam 6 bl, 80% hingga 24 bl Beberapa varian SGB dapat diklasifikasikan yaitu: 1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) 2. Acute motor and sensory axonal neuropathy (AMSAN). Terdapat onset kelumpuhan yang akut, hiporefleksia, protein LCS ↑, dan pada EMG menunjukkan keterlibatan azonal dengan CMAP ↓ 3. Acute motor axonal neuropathy (AMAN). Pada elektrofisiologi dan histopatologi ditemukan bukti degenerasi minimal terhadap akson sensoris 4. Sindrom Miller Fisher. Onset akut oftalmoplegia, hiporefleksia, dan ataksia dengan protein LCS ↑ 5. Polineuritis kranialis. Terdapat onset akut kelumpuhan saraf kranialis yang multipel (N.VII bilateral dan N.II), protein LCS ↑, kecepatan konduksi motorik ↓, dan penyembuhan yang lama 6. SGB dengan gambaran ensefalopati. Kelemahan progresif dan hiporefleksia, protein LCS ↑, dan pada EMG menunjukkan neuropati demielinasi disertai ensefalopati dan gejala gangguan batang otak
831
Diagnosis
Gambaran Klinis Diagnosis Kelemahan motorik yang progresif >1 ekstremitas Arefleksia Hal yang mendukung kuat diagnosis Kelemahan progresif hingga 4 mgg, 50% mengalami plateu selama 2 mgg, 80% 3 mgg, dan 90% 4 mgg Simetris Gejala sensoris yang ringan Keterlibatan saraf kranial, ½ penderita mengalami kelemahan saraf fasialis Disfungsi autonom Tidak disertai demam saat terjadi kelumpuhan Mengalami perbaikan sesudah 2–4 mgg fase progresif Terdapat beberapa variasi: Panas badan saat kelumpuhan Gangguan sensoris yang berat disertai nyeri Fase progresif berlangsung hingga >4 mgg Penyembuhan yang tidak baik atau gejala permanen Disfungsi springter Gangguan SSP Gejala yang meragukan diagnosis Gangguan motorik asimetris dan persisten Disfungsi pencernaan atau saluran kemih persisten Disfungsi pencernaan atau saluran kemih saat onset Gangguan sensoris yang berbeda Gejala yang dapat menyingkirkan diagnosis Keracunan hexa carbon Porphyria Menderita difteria sebelumnya Intoksikasi timbal Sindrom gangguan sensorik yang murni Gangguan paralitik yang berlainan Pemeriksaan Laboratorium Cairan serebrospinal (CSS): kadar protein CSS ↑ pada mgg ke-2 tanpa atau disertai sedikit kenaikan leukosit (albuminocytologic dissociation) Pemeriksaan Elektrofisiologi EMG dan nerve conduction velocity (NCV): Minggu I: terjadi pemanjangan atau hilangnya F-response (88%), prolong distal latencies (75%), blok pada konduksi (58%), dan kecepatan konduksi ↓ (50%) Minggu II: potensial aksi otot ↓ (100%), prolong distal latencies (92%), dan kecepatan konduksi ↓ (84%) Pemeriksaan Radiologi MRI: MRI spinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan mielites transversal. Terdapat enhancement serabut saraf sensitif sebesar 83% dalam menentukan SGB 832
Diagnosis Banding Serebral Stroke bilateral Histeria
Serebelar Acute cerebellar ataxia syndrome Lesi struktural di fasa posterior Spinal Mielopati kompresi Mielitis transversal Sindrom arteri spinal anterior Saraf perifer Neuropati toksik Obat: amintriptilin, dapson, glutimid, hidralazin, INH, nitrofurantin, NO Racun: acrylamide, lem, racun ikan, racun logam berat, insektisida, organofosfat Difteria Neuropati berat Paralisis tics Porphyria Neuromuscular junction Botulism Miastenia gravis Neuromuscular blocking agents Penyakit otot Miosistis virus akut Miopati inflamatori akut Miopati metabolik Paralisis periodik
Tatalaksana
Sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat simtomatik. Meskipun penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Pengobatan plasmafaresis atau imunoglobulin efektif bila dilakukan dalam 7 hr sesudah onset 1. Plasmaparesis Plasmaparesis atau plasma exchange (PE) bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu napas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dengan mengganti 200–250 mL plasma/kgBB dalam 833
7–14 hr. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama). Hati-hati dapat terjadi hiperkalsemia, perdarahan karena kelainan pembekuan darah dan gangguan autonom. Pada SGB yang ringan dapat dilakukan 2 siklus plasmafaresis tetapi pada keadaan yang berat dapat dilakukan hingga 4 siklus 2. Imunoglobulin i.v. Pengobatan dengan gama globulin intervena (IVIG) lebih menguntungkan dibandingkan dengan plasmaparesis karena efek samping/penyulit lebih ringan. Dosis 2 g/kgBB diberikan dalam 2 atau 5 hr
Prognosis
Pada umumnya penderita mempunyai prognosis baik tetapi pada sebagian kecil dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. Sebanyak 80% mengalami penyembuhan yang baik dalam 6 bl dan 20% mengalami defisit neurologi ringan. Prognosis buruk bila anak mengalami gagal napas dan tidak mengalami perbaikan sesudah 3 mgg
Bibliografi 1. 2.
3.
Doorn PA, Ruts L, Jacobs BC. Clinical features, pathogenesis, and treatment of Guillain-Barre syndrome. Lancet Neurol. 2008;7: 939–50. Sladky JT, Ashwal S. Inflammatory neuropathies. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. hlm. 1919–39. Smith SA, Ouvrier R. Peripheral neuropathies. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. hlm. 1887–917.
834
PALSI SEREBRAL (CEREBRAL PALSY/CP) Epidemiologi
Palsi serebral merupakan kelainan dalam otak yang kekal dan nonprogresif, mengakibatkan gangguan motorik pada masa bayi dengan gejala khas berupa perubahan tonus otot. Kelainan otak tersebut terjadi sebelum SSP mencapai kematangan Palsi serebral terjadi pada 1,2–2,5 anak/1.000 kelahiran hidup. Faktor risiko yang terbesar prematuritas (50–60%), diikuti BBLR (8–10%), dan kehamilan ganda (10%). Risiko terjadi kematian lebih tinggi pada 5 th pertama kehidupan
Etiologi dan Faktor Risiko CP Kerusakan otak saat neonatal Hipoksia-iskemia (6–28%) Stroke neonatal (13–37%) Trauma Perdarahan intrakranial
Kerusakan otak yang berhubungan dengan prematuritas Leukomalasia periventikular Perdarahan intraventikular Abnormalitas perkembangan Malformasi otak (9–14%) Genetik Gangguan metabolik Kerusakan otak postnatal Kern ikterus Infeksi SSP Faktor risiko prenatal Korloamnionitis pada ibu IUGR Terpapar racun (alkohol, metil merkuri) Infeksi TORCH
Manifestasi Klinis
Palsi serebral dapat diikuti kelainan penyerta, seperti retardasi mental (5%), epilepsi (45%), gangguan penglihatan (28%), gangguan bicara dan bahasa (38%), serta gangguan pendengaran (12%) Klasifikasi palsi serebral yang umum digunakan berdasarkan pengamatan defisit motorik Palsi serebral tipe spastik (kuadriplegia, diplegia, hemiplegia) Palsi serebral tipe ekstrapiramidal (choreoathetotic, distonia) Palsi serebral ataksik Palsi serebral tipe hipotrofi (atoni) Palsi serebral tipe campuran 835
Diagnosis
Anamnesis Riwayat prenatal, neonatal, dan postnatal Keterlambatan perkembangan → sering Pemeriksaan status neurologis Mencari tanda-tanda upper motor neuron (klonus (+) >2 bl, refleks fisiologis ↑, refleks patologis (+), refleks primitif yang menetap atau belum hilang) Tabel 188 Refleks Primitif No.
Refleks
Usia Muncul
1 2 3 4 5
Palmar Plantar Galant ATNR Moro
Sejak lahir Sejak lahir Sejak lahir Sejak lahir Sejak lahir
Usia Menghilang (Bulan) 6 bl 15 bl 4 bl 3 bl 6 bl
Pemeriksaan Penunjang: MRI (89%) dan CT-scan kepala (77%) dapat mengetahui kelainan struktur otak
Penatalaksanaan
1. Fisioterapi Fisioterapi merupakan salah satu aspek terpenting dalam terapi palsi serebral. Tujuan fisioterapi untuk mencegah kelemahan atau deteriorasi otot yang dapat menyebabkan atrofi dan mencegah kontraktur yang dapat menyebabkan deformitas sendi. Hal-hal yang dilakukan pada fisioterapi: Menganalisis bentuk pergerakan sebagai akibat efek postur dan asimetri tubuh, kontrol dan distribusi tonus otot, respons postural serta refleks primitif Maintenance range of motion Pemeliharaan otot dan sendi, mencegah dislokasi dan deformitas Membiasakan penderita dalam keadaan dan postur yang normal Dalam posisi kontrol postural/posisi tegak (anti-gravity) Terapis mempunyai kemampuan untuk memotivasi anak Meningkatkan metode terapis untuk bekerja sama dengan guru dan psikolog Postur dan gerak halus terintegrasi dengan kognitif, komunikasi, dan perkembangan sosial Memberikan alat bantu yang diperlukan Promotion of fitness Terapi Okupasi Terapi okupasi berperan dalam mengembangkan kemampuan motorik halus, yaitu keterampilan jari, tangan, dan otot mulut 836
Terapi Wicara Tujuan terapi wicara agar anak dapat memahami bahasa, instruksi verbal, dan anak dapat berkomunikasi. Hal ini dapat memerlukan bahasa isyarat, tanda, bantuan elektronik atau papan gambar, dan lain-lain Pola makan yang baik berhubungan dengan perkembangan bicara yang normal karena otot yang dipakai dalam proses makan merupakan otot yang sama dengan berbicara. Dengan demikian, pengembangan pola makan yang baik perlu dikembangkan dahulu sebelum anak terapi bicara. Pada terapi wicara ini juga diperlukan pernapasan yang baik 2. Obat Pelemas Otot (Muscle Relaxant) Obat digunakan untuk mengurangi ketegangan dan spasme otot. Penggunaan obat-obatan dilakukan dengan pertimbangan riskbenefit dan dengan memantau efek obat serta memastikan ketepatan dosis serta penyulit yang ada Obat-obatan yang biasa digunakan seperti dalam Tabel 189
837
Tabel 189 Obat Pelemas Otot untuk Terapi Anak Palsi Serebral Obat
Lokasi Kerja
Baclofen
Reseptor GABA di medula spinalis
Mekanisme Kerja
838
Menurunkan pelepasan neurotransmiter eksitatoris dari terminal aferen Dantrolen Serat otot Menurunkan pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasma Diazepam Reseptor di batang Meningkatkan ikatan otak, formasio GABA, potensiasi inhibisi retikular medula presinaps spinalis Fenol Motor end plate Denaturasi protein dan saraf perifer mengganggu myoneural junctions Botulinum Motor end plate Mencegah pelepasan toksin A saraf perifer asetilkolin
Dosis
Efek Samping
Mulai dengan 2,5–5 mg, maks. 20 mg qd
Kelemahan, kebingungan, depresi sistem respirasi
Mulai 0,5 mg/kgBB, dinaikkan 0,5 Kelemahan, rasa lelah, mg/kgBB, maks. 12 mg/kgBB/hr–400 mg mengantuk, diare Mulai 1–2 mg, maks. 20 mg/hr
Rasa kantuk, kelelahan
Solution 4–6%, maks. 220 mL
Nyeri, iritasi kulit, neuropati perifer
1–12 IU/kgBB bergantung pada ukuran otot (50 IU tiap lokasi)
Kelemahan, nyeri kram
3. Operasi Operasi direkomendasikan pada keadaan ekstrem yang tidak berespons terhadap terapi palsi serebral yang lainnya, dilakukan pada anggota gerak bawah, dengan tujuan untuk memperbaiki mobilitas penderita palsi serebral. Operasi dilakukan berupa pemanjangan, pemendekan, atau pemotongan tendon, atau pemasangan alat dekat tulang yang deformitas untuk meluruskan tulang tersebut Beberapa jenis operasi yang sudah dilakukan pada penderita palsi serebral: Selective dorsal root rhizotomy Operasi ini dilakukan dengan melokalisasi dan menyeleksi saraf yang aktif berlebihan dan mengontrol otot kaki Chronic cerebellar stimulation Operasi ini dilakukan dengan menanamkan implan elektroda di permukaan serebelum, elektroda tersebut menstimulasi saraf di serebelum Stereotaxic thalamotomy Operasi ini dilakukan dengan memotong bagian talamus yang me-relay pesan dari otot dan sensoris untuk ↓ tremor hemiparesis 4. Edukasi Karena palsi serebral merupakan kelainan yang bersifat permanen, edukasi pada orangtua penderita mengenai penyakit anaknya sangat penting baik bagi anak maupun orangtua. Orangtua juga perlu mengetahui dan bekerja sama dalam program fisioterapi yang akan dijalankan demi keberhasilan terapi. Orangtua harus mengetahui hal-hal apa yang dapat memperberat keadaan penderita seperti posisi yang salah, atau memakaikan sepatu yang terlalu ketat, dan lain-lain Orangtua dan dokter harus bekerja sama terutama bila ada halhal yang dapat memperberat keadaan penderita, seperti infeksi saluran kemih atau konstipasi 5. Terapi di Rumah (Home Care Management) Prinsip dasar perawatan anak palsi serebral yaitu kontrol kepala. Hal ini merupakan dasar bagi seluruh gerakan dan aktivitas. Anak normal akan memosisikan kepala berada di garis tengah tubuh pada saat ia bergerak. Pada penderita palsi serebral, tidak hanya kontrol kepala yang terlambat dan tidak adekuat, tetapi juga terdapat reaksi abnormal batang tubuh mulai dari kepala, leher, dan tulang belakang Program terapi di rumah merupakan bagian yang penting dalam perencanaan terapi penderita palsi serebral. Home care management harus dirancang agar dapat dilakukan dalam menunjang program fisioterapi (position dan pergerakan). Saat merencanakan terapi, seorang terapis harus melibatkan orangtua dan keluarganya serta memberi pelatihan terhadap orangtua agar dapat melakukan latihan di rumah. Selanjutnya orangtua diminta melakukan evaluasi kemajuan perkembangan anak dan melapor839
kan setiap kebiasaan yang baru, sehingga pada terapi berikutnya anak tersebut dapat ditingkatkan dalam terapinya. Perkembangan kebiasaan anak dapat direkam melalui video, gambar, atau tulisan untuk evaluasi kemajuan anak palsi serebral
Prognosis
Faktor-faktor yang memengaruhi prognosis palsi serebral: Tipe klinis palsi serebral Beratnya keterlambatan perkembangan Refleks patologis Derajat kecerdasan Pada palsi serebral tipe spastik diplegia 50% dapat berjalan di usia 3 th tetapi sering tidak normal. Anak dengan spastik kuadriplegia 25% memerlukan perawatan total, 33% dapat berjalan Untuk menilai fungsi motorik kasar dan halus pada anak palsi serebral diperlukan alat ukur yang tidak hanya mampu menilai ketidakmampuan fisik, tetapi juga untuk mengevaluasi keberhasilan intervensi yang sudah dilakukan. Gross motor function classification system (GMFCS) dan gross motor function measures (GMFM) merupakan alat yang sering digunakan untuk menilai fungsi motorik kasar pada anak dan menilai derajat berat ringannya palsi serebral. Kedua alat ini juga digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan terapi atau intervensi yang sudah dilakukan pada anak palsi serebral Pembagian GMFCS berdasarkan usia dikelompokkan menjadi: Usia <2 th Usia 2–4 th Usia 4–6 th Usia 6–12 th Usia <2 tahun Tingkat 1: Bayi dapat duduk dengan kedua tangan bebas untuk memanipulasi benda Bayi merangkak dengan kedua tangan dan lututnya serta dapat berdiri dan melangkah dengan memegang perabot. Bayi berjalan pada usia 18 bl–2 th tanpa alat bantu Tingkat 2: Bayi duduk dengan kedua tangan menopang lantai untuk menjaga keseimbangan Bayi merangkak dengan perutnya atau kedua tangan dan lututnya. Bayi dapat berdiri dan melangkah dengan memegang perabot Tingkat 3: Bayi mempertahankan posisi duduk dengan punggung ditopang orang lain Bayi berguling dan merangkak dengan perutnya Tingkat 4: Bayi dapat mempertahankan kepalanya tetapi untuk duduk harus dibantu sepenuhnya Bayi dapat berguling untuk terlentang atau telungkup 840
Tingkat 5: Keterbatasan gerak, bayi tidak dapat mempertahankan antigravitasi kepala dan badannya Bayi membutuhkan bantuan orang dewasa untuk berguling Usia 2–4 tahun Tingkat 1: Anak duduk di lantai dengan kedua tangan bebas memanipulasi benda. Berdiri dari posisi duduk tanpa bantuan orang dewasa Berjalan tanpa bantuan alat bantu gerak Tingkat 2: Anak dapat duduk dan mungkin mengalami gangguan keseimbangan ketika kedua tangannya memanipulasi objek. Berdiri dari posisi duduk tanpa bantuan orang dewasa Dapat berdiri dengan posisi stabil. Dapat merangkak dengan kedua tangan dan lututnya. Berjalan dengan bantuan alat bantu gerak Tingkat 3: Anak duduk dengan posisi W, mungkin memerlukan bantuan orang dewasa untuk mempertahankan posisinya Dapat berdiri pada posisi stabil dan bergerak sedikit. Merangkak dengan perutnya atau kedua lengan dan lutut. Dapat berjalan dalam ruangan dengan alat bantu dan memerlukan bantuan orang dewasa untuk berputar Tingkat 4: Anak dapat duduk ketika diposisikan di lantai dan tidak dapat mempertahankan keseimbangannya tanpa ditopang oleh kedua tangan. Sering kali membutuhkan alat untuk duduk dan berdiri Dapat bergerak pendek dalam ruangan dengan berguling, merangkak dengan perut atau kedua lengan dan lutut tanpa gerak kaki yang bergantian Tingkat 5: Keterbatasan gerak, tidak dapat mempertahankan antigravitasi kepala dan badannya. Semua area fungsi motorik terbatas. Keterbatasan fungsi duduk dan berdiri tidak sepenuhnya terbantu dengan teknologi Anak tidak dapat melakukan gerak sendiri yang berarti dan harus diangkat. Beberapa anak dapat bergerak sendiri dengan bantuan kursi roda dengan adaptasi yang sulit Usia 4–6 tahun Tingkat 1: Anak duduk dan berdiri dari kursi tanpa bantuan tangan. Anak dapat berdiri dari posisi duduk di lantai atau kursi tanpa bantuan objek untuk menopang Berjalan di dalam dan luar rumah, memanjat tangga. Kecenderungan untuk berlari dan melompat Tingkat 2: Anak dapat duduk di kursi dengan kedua tangan bebas. Berdiri dari posisi duduk dengan memegang suatu permukaan yang stabil untuk mengangkat badannya 841
Berjalan dalam ruangan tanpa alat bantu dan berjalan sedikit di luar ruangan. Menaiki tangga dengan memegang pinggir tangga. Tidak dapat berlari dan melompat Tingkat 3: Anak dapat duduk di kursi biasa tetapi dengan badan dan punggung ditopang. Berdiri dari posisi duduk dengan memegang suatu permukaan yang stabil untuk mengangkat badannya Berjalan dalam ruangan dengan alat bantu dan memanjat tangga dengan bantuan orang dewasa. Anak sering kali diangkut jika dibawa jauh di luar ruangan atau tanah yang tidak rata Tingkat 4: Anak dapat duduk di kursi tetapi perlu kontrol adaftif untuk kontrol badan dan memaksimalkan fungsi tangan. Berdiri dari posisi duduk dengan bantuan orang dewasa atau permukaan yang stabil untuk mengangkat badannya Berjalan dalam ruangan dengan alat bantu dan supervisi orang dewasa tetapi sulit untuk berputar dan mempertahankan keseimbangan pada tanah yang tidak rata. Anak sering kali diangkut dalam komunitas. Anak dapat begerak sendiri menggunakan kursi roda automatis Tingkat 5: Sama dengan usia 2–4 th Usia 6–12 tahun Tingkat 1: Anak dapat berjalan di dalam dan luar ruangan serta dapat memanjat tangga tanpa keterbatasan Anak dapat berlari dan melompat tetapi kecepatan, keseimbangan, dan koordinasinya menurun Tingkat 2: Anak dapat berjalan di dalam dan luar ruangan serta dapat memanjat tangga dengan memegang pinggiran tangga tetapi terbatas berjalan pada permukaan yang tidak rata dan mendaki serta daerah yang padat dan sempit Kemampuan minimal berlari dan melompat Tingkat 3: Anak dapat berjalan di dalam dan luar ruangan dengan alat bantu gerak. Anak mungkin dapat memanjat tangga dengan memegang pinggiran tangga. Bergantung pada fungsi alat gerak atas, anak dapat mendorong kursi roda secara manual atau digendong saat berada di luar tanah lapang yang tidak rata Tingkat 4: Anak mungkin mempertahankan fungsi sebelum usia 6 th atau mengandalkan kursi roda saat di rumah, sekolah, atau komunitas. Anak mungkin dapat bergerak sendiri menggunakan kursi roda automatis Tingkat 5: Gangguan kontrol gerak volunter dan tidak dapat mempertahankan posisi tubuh dan kepala. Semua area fungsi motorik terbatas. Anak tidak dapat melakukan gerak sendiri yang berarti 842
dan harus diangkut. Beberapa anak dapat bergerak sendiri dengan bantuan kursi roda dengan adaptasi yang sulit
Bibliografi 1. 2. 3. 4. 5.
6. 7. 8. 9. 10. 11.
12. 13. 14. 15. 16.
17.
Accardo PJ, Hoon AH. The challenge of cerebral palsy classification: the ELGAN study. J Pediatr. 2008;153(4):451–2. Beckung E, Hagberg G, Uldall P, Cans C. Probability of walking in children with cerebral palsy in Europe. Pediatrics. 2008;121:e187–2. Berker N, Yalcin S. The help guide to cerebral palsy. Istanbul: Rotamat Press Co; 2005. Drikova L, Hashim MK, Fadhlia K. Children with cerebral palsy after 6-month physiotherapy. Scripta Medica. 2007;49:219–24. Johnston MV. Enchephalopathies. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-8. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. hlm. 2494–6. Krigger KW. Cerebral palsy: an overview. AAFP. 2006;73:91–100. Kuban KCK, Alfred EN, O’Shea M, Paneth N, Pagano M. An algorithm for identifying and classifying cerebral palsy in young children. J Pediatr. 2008;153:466–72. Lim MSY, Wong CP. Impact of cerebral palsy on the quality of life in patients and their families. Neurology Asia. 2009;14:27–33. livingston MH< Rosenbaum PL, Russel DJ. Quality of life among adolescents with cerebral palsy: what does the literature tell us? Dev Med Child Neurol. 2007;49:225–31. Novak I, Cusick A, Lannin N. Occupational therapy home programs for cerebral palsy: double-blind, randomized, controlled trial. Pediatrics. 2009;124:606–14. Oeffinger D, Gorton G, Bagley A, Nicholson D, Barnes D, Damiano D. Outcome assessments in children with cerebral palsy, part I; descriptive characteristics of GMFCS levels I to III. Dev Med Child Neurol. 2007;49:172–80. Patel DR. Therapeutic interventions in cerebral palsy. Indian J Pediatr. 2005;72:979–83. Pountney T. Physiotherapy for children. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. Rosenbaum PL, Walter SD, Hanna SE. Prognosis for gross motor function in cerebral palsy: creation of motor development curves. JAMA. 2002;288:1357–63. Russel DJ, Rosenbaum PL, Avery LM, Lane M. Gross motor function measure (GMFM-66 & GMFM-88) user’s manual. Canada: Mac Keith Press; 2002. Scholtes VABm Becher JG, Beelen A, Lankhorst GJ. Clinical assessment of spasticity in children with cerebral palsy: a critical review of available instruments. Dev Med Child Neurol. 2006;48:64–73. Swaiman KF, Wu Y. Cerebral palsy. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. hlm. 492–500. 843
18. Westborn L, Josenby AL, Wagner P, Nordmark E. Growth in children with cerebral palsy during five years after selective dorsal rhizotomy: a practice-based study. BMC Neurol. 2010;10:1–10. 19. Yeargin-Allsopp M, Braun KVN, Doernberg NS, Benedict RE, Kirby RS, Durkin MS. Prevalence of cerebral palsy in 8-year-old children in three areas of the United States in 2002: A Multisite Collaboration. Pediatrics. 2008;121:547–54.
844
RABIES (HIDROFOBIA) Batasan
Infeksi virus mengenai SSP, biasanya ditularkan melalui kontaminasi luka dengan air liur binatang yang menderita rabies
Etiologi
Rabies virus
Diagnosis
Riwayat gigitan atau jilatan pada luka goresan, luka berat, luka beset, luka terbuka, ulkus oleh binatang: anjing, kucing, kera, tupai, kelelawar, serigala yang menderita rabies atau dicurigai menderita rabies Lama terjadinya rabies sejak digigit berkisar 3–8 mgg (dapat sampai 1 th) Dua bentuk gejala klinis: tipe furious (80%) atau tipe paralitik (20%) Tipe furious Stadium prodromal (2–4 hr) Nyeri kepala Panas Serak Rasa baal/kesemutan/rasa dibakar/gatal/sakit berdenyut/sakit seperti tusukan di daerah gigitan dan gatal di tenggorokan Kadang-kadang ditemukan hiperakusis, fotofobia, dilatasi pupil, lakrimasi, hipersaliva, hiperhidrasi Stadium eksitasi Panas Hipersaliva, lakrimasi, hiperhidrasi, dilatasi pupil Hidrofobia Sulit menelan karena spasme otot laring dan faring saat makan dan minum. Hanya mendengar suara air sudah dapat membuat spasme otot tersebut keadaan ini disebut hidrofobia Kejang Tonus otot ↑, refleks tendo ↑ Bingung, halusinasi, ingin menyerang, menggigit pakaian, merobek sprei, sarung bantal, muka tampak beringas Stadium paralisis Gejala paralisis dapat terjadi sejak permulaan penyakit atau kapan saja Kelumpuhan otot sekitar gigitan Muka tampak depresi Spasme otot menghilang Apati → stupor → koma → meninggal Tipe paralitik Sesudah gejala prodromal, akan muncul gejala paralisis flasid pada tungkai yang digigit, kemudian terjadi ascending paralysis yang 845
bersifat asimetris atau simetris dengan rasa sakit dan fasikulasi, diikuti dengan kelumpuhan otot yang bertambah berat yang melibatkan juga otot pernapasan
Pemeriksaan Penunjang
Fluorescent antibody stain dari hapus (smear) sel epitel korneo atau irisan kulit leher sebatas garis rambut Serologik pada periode akut dengan pemeriksaan terhadap neutralizing antibody baik serum maupun cairan serebrosplinal >100 IU
Terapi
Terapi dasar untuk virusnya sendiri tidak ada Penanggulangan untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala klinis hanya simtomatik dan suportif, sedangkan untuk orang yang baru digigit binatang yang dicurigai sakit rabies adalah profilaksis dengan vaksinasi
Prognosis
Bila penanganan lebih dini dan tepat → risiko terjadinya rabies ↓ dari 35–70% menjadi hampir tidak ada. Penanganan yang terlambat → prognosis buruk
Pencegahan
Sebelum terjadi gigitan: bergantung pada jenis vaksin yang digunakan Suckling mouse brain vaccine (SMBV) Imunisasi dasar: 3 kali @ 0,25 mL selang 3 mgg Imunisasi ulangan: tiap 1 th @ 0,25 mL i.k. Purified vero-cell rabies vaccine (PVRV) Imunisasi dasar: 2 suntikan 0,5 mL s.k. atau i.m. dengan waktu selang 1 bl. Booster satu dosis 1 th kemudian Imunisasi ulangan: tiap 3 th satu dosis Sesudah terjadi gigitan Terapi luka gigitan Pertolongan pertama Luka gigitan harus segera dicuci dengan air sabun atau detergen, kemudian dibilas dengan air bersih Selanjutnya luka gigitan diberi alkohol 40–70%, tinktura yodii atau zefiran 0,1% Terapi luka secara khusus (dengan pengawasan dokter) Lakukan seperti di atas, kemudian Semprotkan serum antirabies ke dalam luka dan infiltrasikan serum tersebut di sekitar luka Jangan menjahit luka karena akan memperbesar kemungkinan rabies Berikan pencegahan terhadap tetanus bila ada indikasi dan antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder kuman lain Terapi spesifik Belum pernah mendapat vaksinasi
846
Rabies immunoglobulin (RIG) diberikan secara i.m. dengan dosis 20 IU/kgBB, jika perlu berikan ½ dosis suntikan sekitar luka dan ulangi sesudah 7 hr pemberian vaksin pertama PVRV: diberikan sebanyak 5 kali pada hari ke-0, 3, 7, 14, dan 30, dosis 0,5 mL Anti-rabies serum (ARS) dosis 0,5 mL/kgBB SMBV Imunisasi dasar: 7 kali suntikan s.k. sekitar luka @ 2 mL (<3 th: 1 mL), tiap hari 1 dosis selama 7 hr berturut-turut, diikuti 2 suntikan i.k. di bagian fleksor lengan bawah, dosis @ 0,25 mL (<3 th: 0,1 mL) pada hari ke-11 dan ke-15 sesudah suntikan s.k. pertama Ulangan: Diberikan pada hr ke-25, 35, dan 90 sesudah suntikan s.k. pertama, bila diberikan juga antirabies serum Pada hari ke-30 dan 90 setelah suntikan s.k. pertama, bila tidak diberikan antirabies serum Pernah mendapat vaksinasi PVRV: Masa vaksinasi lengkap <1 th diberikan 1 kali 0,5 mL s.k. atau i.m. Masa vaksinasi lengkap >1 th diberikan 3 kali 0,5 mL s.k. atau i.m. SMBV: Jarak 3 bl dari suntikan vaksinasi lengkap terakhir, tidak perlu divaksinasi Bila >3–6 bl setelah suntikan terakhir, perlu diberikan 2 kali s.k. dengan masa antara 2 mg Bila >6 bl setelah suntikan terakhir, dianggap penderita baru dan harus diberikan pengobatan lengkap
Surat Rujukan Diperlukan
Bibliografi 1. 2. 3. 4. 5.
Dyken PR. Viral disease of the nervous system. Dalam: Swaiman KF, penyunting. Pediatric neurology: principles and practice. Philadelphia: Mosby Co; 1989. hlm. 475–515. Madiadipura ILD. Rabies. Hal ihwal imunisasi dan aplikasinya. Bandung: Perum Biofarma; 1987. Semoes EAF. Immunization. Dalam Hay WM, Hayward AR, Levin MJ, penyunting. Current pediatric diagnostic & treatment. Edisi ke 14. London: Prentice-Hall Inc; 1999. hlm. 219–20. Vademekum. Bandung: PT Bio Farma; 1990. Warrel DA, Warrel MJ. Rabies. Dalam: Shakir RA, Newman PK, Poser CM, penyunting. Tropical neurology. Philadelphia: WB Saunders Co; 1996. hlm. 51–76.
847
Nutrisi & Penyakit Metabolik Julistio T.B. Djais Dida Akhmad Gurnida Tisnasari Hafsah
KURANG ENERGI PROTEIN (KEP) Batasan Suatu kondisi patologis yang diakibatkan kegagalan kronik dan kumulatif terpenuhinya kebutuhan fisiologis energi dan protein. Manifestasi klinis dipengaruhi berbagai faktor: usia, infeksi, kondisi status gizi sebelumnya, serta jenis dan jumlah keterbatasan makanan yang diterima
Klasifikasi Penilaian status gizi anak balita menggunakan indeks antropometri BB untuk TB atau BB untuk PB (BB/TB atau BB/PB) yang merefleksikan proporsi tubuh dan sensitif menggambarkan gangguan pertumbuhan akut. Selain itu, digunakan indeks antropometri tinggi atau PB untuk usia (TB/U atau PB/U) yang merefleksikan kondisi pertumbuhan linier dan menggambarkan gangguan tumbuh jangka panjang. Standar yang digunakan untuk pembanding pada anak balita adalah kurva WHO Child Growth Standard (WCGS) 2006. Untuk menghindari tidak terdeteksinya KEP berat jenis kwashiorkor, digunakan juga aspek klinis Tabel 190 Klasifikasi Kurang Energi Protein Edema simetris
KEP Sedang Tidak
BB/TB (Z-skor)
−2 s.d. −3 SD (kurus)
TB/U (Z-skor)
−2 s/d −3 SD (pendek)
KEP Berat Ya kwashiorkor <−3 SD marasmus (sangat kurus) <−3 SD (sangat pendek)
Untuk anak >5 th, sebagai pembanding digunakan referensi kurva pertumbuhan WHO 2007 dan menggunakan indeks antropometri BMI untuk usia (BMI/U) sebagai pengganti BB/TB
Etiologi Primer: kekurangan konsumsi karena tidak tersedia bahan makanan Sekunder: kekurangan kalori-protein akibat penyakit (misal penyakit infeksi, ginjal, hati, jantung, paru, dll.)
Kriteria Diagnosis
Anamnesis Asupan makanan, aktivitas, penyakit yang mendasari Pemeriksaan Fisis Klinis penyakit yang mendasari, tanda-tanda klinis defisiensi makro dan mikronutrien, antropometri
851
Pemeriksaan Penunjang Darah: Hb, leukosit, eritrosit, nilai absolut eritrosit, Ht, apus darah tepi, albumin, protein total, ureum, kreatinin, kolesterol total, HDL, trigliserida, Fe, TIBC, elektrolit, glukosa, dan biakan Urin: rutin, kultur Apus rektal untuk pemeriksaan parasit Foto Rontgen toraks
Penyulit Mudah terserang infeksi, sepsis Diare Hipotermia Hipoglikemia Anemia Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Terapi KEP III (KEP Berat) Pada tatalaksana rawat inap KEP berat di rumah sakit terdapat 5 aspek penting yang perlu diperhatikan yaitu: 1. Prinsip dasar pengobatan rutin KEP berat (10 langkah utama) 2. Pengobatan penyakit penyerta 3. Kegagalan pengobatan 4. Penderita pulang sebelum rehabilitasi tuntas 5. Tindakan pada kegawatan Pengobatan rutin yang dilakukan di rumah sakit berupa 10 langkah utama sebagai berikut: 1. Atasi/cegah hipoglikemia 2. Atasi/cegah hipotermia 3. Atasi/cegah dehidrasi 4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit 5. Obati/cegah infeksi 6. Koreksi defisiensi mikronutrien 7. Mulai pemberian makanan 8. Fasilitas tumbuh-kejar (catch up growth) 9. Lakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental 10. Siapkan dan rencanakan tindak lanjut sesudah sembuh Pengobatan terdiri atas 3 fase: stabilisasi, transisi, dan rehabilitasi. Petugas kesehatan harus terampil memilih langkah mana yang cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini digunakan baik pada penderita kwashiorkor, marasmus, maupun marasmik-kwashiorkor. Bagan dan jadwal pengobatan sebagai berikut (Tabel 191)
852
Tabel 191 Bagan dan Jadwal Pengobatan Kurang Energi Protein Berat Fase
Stabilisasi Transisi Rehabilitasi Hr ke-1–2 Hr ke-2–7 Mgg ke-2 Mgg ke-3–7
Hipoglikemia Hipotermia Dehidrasi Elektrolit Infeksi Pemberikan makanan Tumbuh kejar/peningkatan pemberian makanan Tanpa Fe
Mikronutrien
Dengan Fe
Stimulasi Tindak lanjut
Pengobatan Penyakit Penyerta Pengobatan ditujukan pada penyakit yang sering menyertai KEP berat yaitu: Defisiensi vitamin A Bila terdapat tanda defisiensi vit. A pada mata → vit. A pada hr ke-1, 2, dan 14 p.o. dengan dosis: Usia >1 th : 200.000 SI/kali 6–12 bl: 100.000 SI/kali 0−5 bl : 50.000 SI/kali Bila terdapat ulserasi pada mata → tambahkan perawatan lokal untuk mencegah prolaps lensa berupa: Tetes mata kloramfenikol atau salep mata tetrasiklin setiap 2–3 jam selama 7–10 hr Tetes mata atropin 1 tetes 3×/hr selama 3–5 hr Tutup mata dengan kasa yang dibasahi larutan garam faali Dermatosis Ditandai hipo/hiperpigmentasi, deskuamasi/kulit mengelupas, lesi ulserasi eksudatif yang menyerupai luka bakar dan sering disertai infeksi sekunder a.l. oleh kandida; umumnya terdapat defisiensi Zn Sesudah suplementasi Zn dan dermatosis membaik → penyembuhan akan lebih cepat bila diberikan: Kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KMnO4 (K-permanganat) 1% selama 10 mnt Salep/krim (Zn dengan minyak kastor) Usahakan daerah perineum tetap kering Parasit/cacing Mebendazol 100 mg p.o. 2x/hr selama 3 hr 853
Diare berlanjut Diare biasa menyertai KEP berat, tetapi akan berkurang dengan sendirinya pada pemberian makanan secara hati-hati. Intoleransi laktosa tidak jarang sebagai penyebab diare. Diobati hanya bila diare berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan umum Berikan formula bebas/rendah laktosa Metronidazol 7,5 mg/kgBB p.o. setiap 8 jam selama 7 hr Sering kerusakan mukosa usus dan giardiasis merupakan penyebab lain berlanjutnya diare. Bila mungkin, lakukan pemeriksaan feses mikroskopik Tuberkulosis (TB) Bila ada dugaan kuat menderita TB, lakukan tes tuberkulin/ Mantoux (sering kali anergi) dan foto Rontgen toraks Bila (+) atau sangat mungkin TB → obati sesuai pedoman pengobatan TB Kegagalan Pengobatan Tercermin pada angka kematian dan kenaikan BB Perhatikan saat terjadi kematian Dalam 24 jam pertama: kemungkinan hipoglikemia, hipotermia, sepsis yang terlambat atau tidak diatasi, atau proses rehidrasi kurang tepat Dalam 72 jam: periksa apakah volume formula terlalu banyak atau pemilihan formula tidak tepat Malam hr: kemungkinan hipotermia karena selimut kurang memadai, tidak diberi makan, atau perubahan konsentrasi formula terlalu cepat Kenaikan BB tidak adekuat pada fase rehabilitasi Penilaian kenaikan BB Baik : >10 g/kgBB/hr Sedang: 5–10 g/kgBB/hr Kurang : <5 g/kgBB/hr Penyebab kenaikan BB <5 g/kgBB/hr Pemberian makanan tidak adekuat Defisiensi nutrien tertentu Infeksi yang tidak terdeteksi sehingga tidak diobati (HIV/AIDS) Masalah psikologis Penanganan Penderita Pulang Sebelum Rehabilitasi Tuntas Rehabilitasi dianggap lengkap dan anak siap dipulangkan bila BB/U >80% atau BB/TB >90%. Anak KEP berat yang pulang sebelum rehabilitasi tuntas, di rumah harus terus diberi makanan tinggi energi (150 kkal/kgBB/hr) dan tinggi protein (4–6 g/kgBB/hr) Beri anak makanan yang sesuai (energi dan protein), min. 5 kali sehari Beri makanan selingan di antara makanan utama Upayakan makanan selalu dihabiskan Beri suplementasi vitamin dan mineral/elektrolit ASI teruskan 854
Tindakan pada Kegawatan Syok (renjatan) Syok karena dehidrasi atau sepsis sering menyertai KEP berat dan sulit dibedakan secara klinis. Syok karena dehidrasi akan membaik dengan cepat pada pemberian cairan i.v., sedangkan syok sepsis tanpa dehidrasi tidak akan membaik. Hati-hati terhadap overhidrasi Pedoman pemberian cairan Berikan cairan dekstrosa 5%: NaCl 0,9% (1:1) atau Ringerdekstrosa 5% (1:1) → 15 mL/kgBB dalam 1 jam pertama Evaluasi sesudah 1 jam: Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi, dan pernapasan) dan status hidrasi → syok disebabkan dehidrasi. Ulangi pemberian cairan seperti di atas untuk 1 jam berikutnya dengan cairan p.o. atau nasogastrik → cairan rehydration solution for malnutrition (resomal) 10 mL/kgBB/jam sampai 10 jam, selanjutnya beri formula khusus (F-75/ pengganti) Bila tidak ada perbaikan klinis → anak menderita syok septik → berikan cairan rumatan 4 mL/kgBB/jam dan transfusi darah 10 mL/kgBB perlahan-lahan (dalam 3 jam). Kemudian mulai berikan formula (F-75/pengganti) Anemia berat Transfusi darah segar 10 mL/kgBB dalam 3 jam, bila Hb <4 g/dL atau Hb 4–6 g/dL disertai distres pernapasan Bila terdapat tanda gagal jantung → packed red cells dengan jumlah yang sama Furosemid 1 mg/kgBB i.v. pada saat transfusi dimulai Amati reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria, syok) Anak dengan distres pernapasan sesudah transfusi, Hb tetap <4 g/dL atau 4–6 g/dL → jangan diulangi Sepuluh Langkah Utama pada Tatalaksana KEP Berat Langkah ke-1: Pengobatan/Pencegahan Hipoglikemia Hipoglikemia dan hipotermia biasanya terjadi bersamaan sebagai tanda terdapat infeksi. Periksa kadar gula darah bila hipotermia (suhu ketiak <36 °C/suhu dubur <36 °C). Pemberian makanan yang sering penting untuk mencegah kedua kondisi tersebut Bila hipoglikemia (kadar gula darah <54 mg/dL atau 3 mmol/dL), berikan: Bila anak sadar Glukosa 10% atau larutan sukrosa 10% 50 mL bolus (pemberian sekaligus) (1 sdt gula dalam 5 sdm air) p.o. atau pipa nasogastrik (nasogastric tube/NGT) Selanjutnya berikan larutan tersebut setiap 30 mnt selama 2 jam (setiap kali berikan ¼ bagian dari jatah untuk 2 jam) Berikan antibiotik (lihat langkah 5) Secepatnya berikan makan setiap 2 jam, siang dan malam (lihat langkah 6) 855
Bila anak tidak sadar Glukosa 10% i.v. 5 mg/kgBB diikuti dengan glukosa atau sukrosa 10% sebanyak 50 mL melalui NGT. Bila anak mulai sadar segera berikan F75 (lihat langkah 6) Pemantauan Bila kadar glukosa darah rendah, ulangi pemeriksaan gula darah dengan darah dari ujung jari atau tumit sesudah 2 jam Sekali diobati kebanyakan anak akan stabil dalam 30 mnt Bila gula darah ↓ lagi sampai <50 mg/dL, ulangi pemberian 50 mL (bolus) larutan glukosa 10% atau sukrosa dan teruskan pemberian setiap 30 mnt sampai stabil Ulangi pemeriksaan gula darah bila suhu aksila <36 °C dan atau kesadaran ↓ Pencegahan Mulai segera pemberian makanan setiap 2 jam (langkah 6) sesudah dehidrasi dikoreksi Selalu memberikan makanan sepanjang malam Catatan Bila tidak dapat memeriksa kadar glukosa darah, anggaplah setiap anak KEP berat menderita hipoglikemia dan atasi segera Langkah ke-2: Pengobatan/Pencegahan Hipotermia Bila suhu ketiak <36 °C Periksa suhu rektal dengan menggunakan termometer suhu rendah. Bila tidak tersedia termometer suhu rendah dan suhu anak sangat rendah pada pemeriksaan dengan termometer biasa, anggap anak menderita hipotermia Bila suhu dubur <36 °C Segera beri makanan cair/formula khusus (mulai dengan rehidrasi bila perlu) Hangatkan anak dengan pakaian atau selimut sampai menutup kepala, letakkan dekat lampu atau pemanas (jangan gunakan botol air panas) atau peluk anak di dada ibu, dan selimuti Berikan antibiotik (lihat langkah 5) Pemantauan Periksa suhu dubur setiap 2 jam sampai suhu mencapai >36,5 °C, bila memakai pemanas ukur setiap 30 mnt Pastikan anak selalu terbungkus selimut sepanjang waktu, terutama malam hr Raba suhu anak Bila ada hipotermia, periksa kemungkinan hipoglikemia Pencegahan Segera beri makan/formula khusus setiap 2 jam (lihat langkah 6) Sepanjang malam selalu beri makan Selalu selimuti dan hindari basah Hindari paparan langsung dengan udara (mandi atau pemeriksaan medis terlalu lama)
856
Langkah ke-3: Pengobatan/Pencegahan Dehidrasi Jangan menggunakan jalur i.v. untuk rehidrasi kecuali pada keadaan syok/renjatan. Lakukan pemberian cairan infus dengan hati-hati, tetesan perlahan-lahan untuk menghindari beban sirkulasi dan jantung (lihat penanganan kegawatan) Cairan rehidrasi oral standar WHO mengandung terlalu banyak Na dan kurang K untuk penderita KEP berat. Sebagai pengganti, berikan larutan garam khusus yaitu resomal atau penggantinya (lihat lampiran tentang cairan resomal) Tidak mudah untuk memperkirakan status dehidrasi pada KEP berat dengan menggunakan tanda-tanda klinis saja. Jadi, anggap semua anak KEP berat dengan diare encer mengalami dehidrasi sehingga harus diberi: Cairan resomal/pengganti sebanyak 5 mL/kgBB/30 mnt selama 2 jam p.o. atau lewat NGT Selanjutnya beri 5–10 mL/kgBB/jam untuk 4–10 jam berikutnya; jumlah tepat yang harus diberikan bergantung pada berapa banyak anak menginginkannya dan jumlah kehilangan cairan melalui feses dan muntah Ganti resomal/cairan pengganti pada jam ke-6 dan ke-10 dengan formula khusus berjumlah sama, bila keadaan rehidrasi menetap/stabil Selanjutnya mulai beri formula khusus (langkah 6) Selama pengobatan, pernapasan cepat dan nadi lemah akan membaik, serta anak mulai BAK Pemantauan Penilaian atas kemajuan proses rehidrasi setiap ½–1 jam selama 2 jam pertama → setiap jam untuk 6–12 jam, dengan memantau: Denyut nadi Pernapasan Frekuensi BAK Frekuensi diare/muntah Air mata, mulut basah, kecekungan mata dan ubun-ubun besar yang berkurang, serta perbaikan turgor kulit merupakan tanda rehidrasi sudah berlangsung, tetapi pada KEP berat perubahan ini sering kali tidak terlihat walaupun rehidrasi sudah tercapai. Pernapasan dan denyut nadi yang cepat dan menetap selama rehidrasi menunjukkan infeksi atau kelebihan cairan Tanda kelebihan cairan: frekuensi pernapasan dan nadi ↑, edema dan pembengkakan kelopak mata ↑. Bila terdapat tanda-tanda tersebut, segera hentikan pemberian cairan dan nilai kembali sesudah 1 jam Pencegahan Bila diare encer berlanjut → teruskan pemberian formula khusus (langkah 6) Ganti cairan yang hilang dengan resomal/pengganti (jumlah lebih kurang sama). Sebagai pedoman, berikan resomal/ pengganti sebanyak 50–100 mL setiap kali BAB cair Bila masih mendapat ASI teruskan 857
Langkah ke-4: Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit Pada semua KEP berat terjadi kelebihan Na tubuh, walaupun kadar Na plasma rendah Defisiensi K dan Mg sering terjadi dan paling sedikit perlu 2 mgg untuk pemulihan Ketidakseimbangan elektrolit ini ikut berperan dalam edema. Jangan obati edema dengan pemberian diuretikum, berikan: K 2–4 mEq/kgBB/hr (150–300 mg KCl/kgBB/hr) Mg 0,3–0,6 mEq/kgBB/hr (7,5–15 mg MgCl2/kgBB/hr) Untuk rehidrasi, beri cairan rendah Na (resomal/pengganti) Siapkan makanan tanpa diberi garam Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk larutan yang ditambahkan langsung dalam makanan. Penambahan 20 mL larutan pada 1 L formula dapat memenuhi kebutuhan K dan Mg (lihat cara pembuatan larutan) Langkah ke-5: Pengobatan dan Pencegahan Infeksi Pada KEP berat, tanda yang biasanya menunjukkan infeksi seperti demam sering kali tidak tampak, sehingga pada semua KEP berat diberikan secara rutin: Antibiotik spektrum luas Vaksinasi campak bila usia anak >6 bl dan belum pernah diimunisasi, bila keadaan anak sudah memungkinkan (paling lambat sebelum anak dipulangkan) Ulangi pemberian vaksin sesudah keadaan gizi anak membaik Beberapa ahli memberikan metronidazol (7,5 mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hr) sebagai tambahan pada antibiotik spektrum luas untuk mempercepat perbaikan mukosa usus dan mengurangi risiko kerusakan oksidatif dan infeksi sistemik akibat pertumbuhan bakteri anaerob dalam usus halus Pilihan antibiotik spektrum luas Bila tanpa penyulit Kotrimoksazol 5 mL suspensi pediatri p.o. 2×/hr selama 5 hr (2,5 mL bila BB <4 kg) Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada penyulit (hipoglikemia, hipotermia, infeksi kulit, saluran respiratori atau kemih), berikan: Ampisilin 50 mg/kgBB i.m./i.v. setiap 6 jam selama 2 hr, kemudian p.o. amoksisilin 15 mg/kgBB setiap 8 jam selama 5 hr Bila amoksisilin tidak ada, teruskan ampisilin 50 mg/kgBB setiap 6 jam p.o. dan Gentamisin 7,5 mg/kgBB/hr i.m./i.v. selama 7 hr Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis, tambahkan kloramfenikol 25 mg/kg/BB i.m./i.v. setiap 6 jam selama 5 hr Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan antibiotik spesifik yang sesuai. Tambahkan obat antimalaria bila pemeriksaan darah untuk malaria (+) 858
Bila anoreksia menetap sesudah 5 hr pengobatan antibiotik, lengkapi pemberian hingga 10 hr. Bila masih tetap ada, nilai kembali keadaan anak secara lengkap, termasuk lokasi infeksi, kemungkinan terdapat organisme yang resisten, serta apakah vitamin dan mineral sudah diberikan dengan benar Langkah ke-6: Koreksi Defisiensi Mikronutrien Semua KEP berat menderita kekurangan vitamin dan mineral Walaupun anemia biasa dijumpai, jangan terburu-buru memberikan preparat besi (Fe), tetapi tunggu sampai anak mau makan dan BB-nya mulai ↑ (biasanya sesudah mgg ke-2). Pemberian besi pada masa awal dapat memperburuk keadaan infeksinya Berikan setiap hr: Multivitamin Asam folat 1 mg/hr (5 mg pada hr pertama) Seng (Zn) 2 mg/kgBB/hr Tembaga (Cu) 0,2 mg/kgBB/hr Bila BB mulai ↑: Fe 3 mg/kgBB/hr atau sulfas ferosus 10 mg/kgBB/hr Vitamin A oral pada hr ke-1 Anak >1 th : 200.000 SI 6–12 bl: 100.000 SI 0–5 bl : 50.000 SI (jangan berikan bila sebelumnya anak sudah pasti mendapat vit. A) Langkah ke-7: Mulai Pemberian Makanan Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat hatihati karena keadaan faali anak sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang. Pemberian makanan harus dimulai segera sesudah anak dirawat dan dirancang sedemikian rupa sehingga energi dan protein cukup untuk memenuhi metabolisme basal Formula khusus seperti F WHO 75 yang dianjurkan dan jadwal pemberian makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai prinsip tersebut di atas Berikan formula dengan cangkir/gelas. Bila anak terlalu lemah, berikan dengan sendok/pipet Pada anak dengan selera makan baik tanpa edema, jadwal pemberian makanan pada fase stabilisasi dapat diselesaikan dalam 2–3 hr (1 hr/tahap). Bila masukan makanan <80 kkal/kgBB/hr, berikan sisa formula nasogastrik. Jangan memberikan makanan >100 kkal/kgBB/hr pada fase stabilisasi ini Pantau dan catat: Jumlah yang diberikan dan sisanya Muntah Frekuensi BAB dan konsistensi feses BB harian Selama fase stabilisasi, diare secara perlahan ↓ dan BB mulai ↑. Tetapi pada penderita dengan edema, BB akan ↓ dulu 859
bersamaan dengan menghilangnya edema, baru kemudian BB mulai ↑. Bila diare berlanjut atau memburuk (walaupun pemberian nutrisi sudah berhati-hati) → lihat bab diare persisten Langkah ke-8: Perhatikan Tumbuh Kejar Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan secara gencar agar tercapai masukan makanan yang tinggi dan pertambahan BB >10 g/kgBB/hr. Awal fase rehabilitasi ditandai dengan kemunculan selera makan, biasanya 1–2 mgg sesudah dirawat Transisi secara perlahan dianjurkan untuk menghindari risiko gagal jantung yang dapat terjadi bila anak mengonsumsi makanan dalam jumlah banyak secara mendadak Pada periode transisi dianjurkan untuk merubah secara perlahan-lahan dari formula khusus awal ke formula khusus lanjutan Ganti formula khusus awal (energi 75 kkal dan protein 0,9–1,0 g/100 mL) dengan formula khusus lanjutan (energi 100 kkal dan protein 2,9 g/100 mL) dalam jangka waktu 48 jam Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan dengan kandungan energi dan protein yang sama Kemudian naikkan dengan 10 mL/kali sampai hanya sedikit formula tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30 mL/kgBB/kali (= 200 mL/kgBB/hr) Pemantauan pada masa transisi Frekuensi napas Frekuensi denyut nadi Bila terjadi peningkatan detak napas >5×/mnt dan denyut nadi >25×/mnt dalam pemantauan setiap 4 jam berturut-turut, kurangi volume pemberian formula Sesudah normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti di atas Sesudah periode transisi dilampaui, anak diberi: Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering Energi: 150–220 kkal/kgBB/hr Protein 4–6 g/kgBB/hr Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi berikan juga formula, karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh kejar Pemantauan sesudah periode transisi Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan BB Timbang anak setiap pagi sebelum anak diberi makan Setiap mgg, kenaikan BB dihitung (g/kgBB/hr) Bila kenaikan BB: Kurang (<5 g/kgBB/hr) → reevaluasi menyeluruh Sedang (5–10 g/kgBB/hr) → evaluasi apakah masukan makanan mencapai target atau apakah infeksi sudah dapat diatasi
860
Langkah ke-9: Berikan Stimulasi Sensorik dan Dukungan Emosional Pada KEP berat, terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku, berikan: Kasih sayang Lingkungan yang ceria Terapi bermain terstruktur selama 15–30 mnt/hr Aktivitas fisik segera sesudah sembuh Keterlibatan ibu (memberikan makan, memandikan, bermain, dsb.) Langkah ke-10: Tindak Lanjut di Rumah Bila BB anak sudah mencapai 80% BB/U, dapat dikatakan anak sembuh Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan di rumah sesudah penderita dipulangkan Peragakan kepada orangtua: Pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang padat Terapi bermain terstruktur Sarankan Membawa anaknya kembali untuk kontrol secara teratur Pemberian suntikan/imunisasi dasar dan ulangan (booster) Pemberian vit. A setiap 6 bl Tatalaksana Diet pada Balita KEP Berat Tatalaksana diet pada balita KEP berat ditujukan untuk memberikan makanan tinggi energi, protein, dan cukup vitamin mineral secara bertahap, guna mencapai status gizi optimal Ada 4 kegiatan penting dalam tatalaksana diet, yaitu pemberian diet, pemantauan dan evaluasi, penyuluhan gizi, serta tindak lanjut Pemberian Diet Pemberian diet pada KEP berat harus memenuhi syarat sbb.: Melalui 3 fase yaitu fase stabilisasi, transisi, dan rehabilitasi Kebutuhan energi 100–200 kal/kgBB/hr Kebutuhan protein 1–6 g/kgBB/hr Pemberian suplementasi vitamin dan mineral bila ada defisiensi atau pemberian bahan makanan sumber mineral tertentu sbb.: Sumber Zn : daging sapi, hati, makanan laut, kacang tanah, telur ayam Sumber Cu : tiram, daging, hati Sumber Mn: beras, kacang tanah, kedelai Sumber Mg : daun seledri, bubuk coklat, kacang-kacangan, bayam Sumber K : jus tomat, pisang, kacang-kacangan, kentang, apel, alpukat, bayam, daging tanpa lemak Jumlah cairan: 150–200 mL/kgBB/hr, bila edema dikurangi Cara pemberian: p.o. atau lewat NGT Porsi makanan kecil dan frekuensi sering 861
Makanan fase stabilisasi harus hipoosmolar, rendah laktosa, dan rendah serat (lihat Tabel 192) Terus memberikan ASI Jenis makanan → berdasarkan BB BB <7 kg diberikan kembali makanan bayi BB >7 kg dapat langsung diberikan makanan anak secara bertahap (lihat tabel tentang fase pemberian diet dan cairan) Mempertimbangkan hasil anamnesis riwayat gizi (lihat lampiran tentang catatan pola makan) Evaluasi dan Pemantauan Pemberian Diet BB sekali seminggu Bila tidak ↑, kaji penyebab a.l.: masukan zat gizi tidak adekuat, defisiensi zat gizi tertentu, misalnya iodium, ada infeksi, dan ada masalah psikologis Pemeriksaan laboratorium: Hb, gula darah, feses (ada cacing), dan urin Masukan zat gizi: bila kurang → modifikasi diet sesuai selera Kejadian diare: gunakan formula rendah atau bebas laktosa dan hipoosmolar, misal susu rendah laktosa, tempe, dan tepung-tepungan Kejadian hipoglikemia: beri minum air gula atau makan per 2 jam Penyuluhan Gizi di Rumah Sakit Menggunakan leaflet khusus yang berisi: jumlah, jenis, dan frekuensi pemberian bahan makanan Selalu memberikan contoh menu Mempromosikan ASI Memerhatikan riwayat gizi Mempertimbangkan sosioekonomi keluarga Memberikan demonstrasi/praktik memasak makanan balita untuk ibu Tindak Lanjut Merujuk ke Puskesmas Merencanakan dan mengikuti kunjungan rumah Merencanakan pemberdayaan keluarga
862
Tabel 192 Formula WHO dan Modifikasi Bahan Formula WHO Susu skim bubuk Gula pasir Minyak kelapa/kacang Larutan elektrolit Tambahan air sampai dengan Nilai gizi per 100 mL Energi Protein Laktosa K Na Mg Zn Cu % energi protein % energi lemak Osmolalitas Modifikasi Formula WHO Susu full cream Gula pasir Tepung beras/tapioka Tepung tempe Minyak kelapa/kacang Larutan elektrolit Nilai gizi per 100 mL Energi Protein Laktosa % energi protein % energi lemak Osmolalitas
Per 1.000 mL
F75
F100
F135
g g g mL mL
25 100 30 20 1000
85 50 60 20 1000
90 65 75 27 1000
Kalori g g mmol mmol mmol mg mg mosm/L
g g g g g mL kal g g mosm/L
75 100 135 0,9 2,9 3,3 1,3 4,2 4,8 3,6 5,9 6,3 0,6 1,9 2,2 0,43 0,73 0,8 2,0 2,3 3,0 0,25 0,25 0,34 5 12 10 36 53 57 413 419 508 Modifikasi Modifikasi Modifikasi F75 F100 F135 35 110 25 100 50 75 50 150 20 30 60 20 20 27 75 0,9 1,3 5 36 413
109,8 3,0 5,2 12 53 419
132,8 3,8 1,3 11 48 508
Keterangan: Fase stabilisasi diberikan formula WHO F75 atau modifikasi Fase transisi diberikan formula WHO F75 sampai F100 atau modifikasi Fase rehabilitasi diberikan secara bertahap dimulai dari pemberian formula WHO F135 sampai makanan biasa
863
Cairan Resomal Terdiri atas: Air Bubuk WHO-ORH untuk 1 L (*) Gula pasir Larutan elektrolit/mineral (**)
2L 1 pak 50 g 40 g
Setiap 1 L cairan resomal mengandung Na 45 mEq, K 40 mEq, dan Mg 1,5 mEq (*) Bubur WHO-ORS untuk 1 L mengandung NaCl 3,5 g, trisodium citrat dihidrat 2,9 g, KCl 1,5 g, dan glukosa 20 g (**) Larutan elektrolit mineral terdiri atas: KCl 224 g Tripottassium citrat 81 g MgCl2 6H20 76 g Zn asetat 2H20 8,2 g 1,4 g CuSO4 5H20 Air sampai larutan menjadi 2.500 mL Bila tidak memungkinkan untuk membuat larutan elektrolit/mineral seperti di atas, sebagai alternatif atau pengganti resomal dapat dibuat larutan sbb.: Air 2L Bubuk WHO-ORS untuk 1 L (*) 1 pak Gula pasir 50 g Bubuk KCl 4g Atau bila sudah ada WHO-ORS yang siap pakai (sudah dilarutkan), dapat dibuat larutan pengganti sbb.: Larutan WHO-ORS 1L Air 1L Gula pasir 50 g Bubuk HCl 4g Oleh karena larutan pengganti tidak mengandung Mg, Zn, dan Cu, maka berikan makanan yang merupakan sumber mineral tersebut. Dapat pula diberikan MgSO4 50% i.m. 1× dengan dosis 0,3 mL/kgBB (maks. 2 mL)
Bibliografi 1. Bahwere P. Community-based theurapeutic care. A field manual. Oxford: Valid International; 2006. 2. Black RE, Allen LH, Bhutta ZA, Caulfield LE, de Onis M, Ezzati M, dkk. Maternal child undernutrition: global and regional exposures and health consequences. Lancet. 2008;371(9608): 243–60. 3. Briend A, Prudhon C, Prinzo ZW, Daelmans BM, Mason JB. Putting the management of severe malnutrition back on the international health agenda. Food Nutr Bull. 2006;27(3 suppl):3– 6. 864
4. Collins S. Treating severe acute malnutrition seriously. Arch Dis Child. 2007;92:453–61. 5. Golden MH. Proposed recommended nutrient densities for moderately malnourished children. Food Nutr Bull. 2009;30(3 Suppl):267–342. 6. World Health Organization. WHO child growth standards and the identification of severe acute malnutrition in infants and children. Geneva: WHO and the Unicef; 2009. 7. World Health Organization. Working together for health. Geneva: WHO; 2006.
865
PERHITUNGAN ENERGI DAN PROTEIN UNTUK KEJAR TUMBUH DAN UNTUK ANAK SAKIT BERAT Tabel 193 Kebutuhan Energi dan Protein Anak Sehat & Gizi Baik EER (Estimated Energy Requirements) Usia (Bulan)
EER (kkal/hr)
0–3 4–6 7–12 13–36
(89 × BB (kg)) + 75 (89 × BB (kg)) − 44 (89 × BB (kg)) − 78 (89 × BB (kg)) − 80
Tabel 194 EER untuk Anak Usia 3–18 Tahun Usia (Tahun) EER (kkal/hr) 3–8
L P
108,5 − 61,9 × usia (th) + PA × {26,7 × BB (kg) + 903 × tinggi (m)} 155,3 − 30,8 × usia (th) + PA × {10,0 × BB (kg) + 934 × tinggi (m)}
9–18 L P
113,5 − 61,9 × usia (th) + PA × {26,7 × BB (kg) + 903 × tinggi (m)} 160,3 − 30,8 × usia (th) + PA × {10,0 × BB (kg) + 934 × tinggi (m)}
Tabel 195 Physical Activity Coefficient’s (PA) Anak Usia 3–18 Tahun Physical Activity Level (PAL) Ringan (sedentary) Aktivitas rendah Aktif Sangat aktif
PA Laki-laki 1,00 1,13 1,26 1,42
Perempuan 1,00 1,16 1,31 1,56
Tabel 196 RDA Kebutuhan Protein Kelompok Usia
Kebutuhan
Bayi 1–3 th 4–13 th 14–18 th Dewasa
1,5 g/kgBB/hr 1,1 g/kgBB/hr 0,95 g/kgBB/hr 0,85 g/kgBB/hr 0,8 g/kgBB/hr 866
Estimasi Kebutuhan Energi untuk Kejar Tumbuh EER dihitung menggunakan EER untuk height-age dan disesuaikan dengan BB ideal untuk berat terhadap tinggi. Height-age adalah usia yang disesuaikan dengan usia, sedangkan tinggi berada pada median dari kurva tinggi untuk usia dari referensi Energi (kkal/hr) =
EER untuk height-age × berat ideal untuk tinggi (kg) Berat aktual (kg)
Protein (g/hr) =
Protein sesuai RDA untuk height-age × berat ideal untuk tinggi (kg) Berat aktual (kg)
Kebutuhan Kalori pada Anak dengan Penyakit Akut Untuk 2–3 hr pertama tidak perlu dikhawatirkan kekurangan masukan kalori Kebutuhan kalori ↑ 10% untuk setiap kenaikan 1 °C Anak sakit berat atau pascaoperasi perlu penambahan kalori sebanyak 20–30% Kebutuhan protein dinaikkan sampai 3× kebutuhan baku pada keadaan metabolisme jaringan berlebihan Vitamin dan mineral diberikan setiap hr sesuai kebutuhan Untuk anak sakit akut, rumus prediksi pengeluaran energi saat istirahat/resting energy expenditure (REE) dapat digunakan. WHO dan Schofield sudah mengembangkan rumus prediksi REE untuk penderita anak yang dirawat di rumah sakit. Nilai REE tersebut kemudian dikalikan dengan faktor stres untuk menghitung perubahan kebutuhan energi akibat kondisi klinis overfeeding. Pada anak sakit kritis harus dihindarkan karena kemungkinan terdapat penyulit pulmonal dan hepatik Tabel 197 Rumus WHO untuk Memperkirakan REE Usia (Tahun) 0–3 3–10 10−8
L P L P L P
REE (kkal/hr) {60,9 × BB (kg)} − 54 {61,0 × BB (kg)} − 51 {22,7 × BB (kg)} + 495 {222,5 × BB (kg)} + 499 {17,5 × BB (kg)} + 651 {12,2 × BB (kg)} + 746
867
Tabel 198 Faktor Stres untuk Setiap Tipe Stres Tipe Stres
Faktor Stres
Starvasi Operasi Sepsis Trauma kepala Trauma Gagal tumbuh Luka bakar
0,7–0,8 1,05–1,5 1,2–1,6 1,3 1,1–1,8 1,5–2,0 1,5–2,5
868
RAWAT GABUNG Syarat utama rawat gabung penuh: bayi yang kuat menghisap dan ibu yang tidak sakit berat sedangkan pelaksanaannya bergantung pada kondisi dan situasi rumah sakit setempat Rawat gabung parsial dapat dilakukan pada bayi yang memerlukan observasi atau pengawasan seperti BBLR, bayi lahir dengan tindakan, dll. Kebutuhan minimum untuk sarana pelaksanaan rawat gabung yang ideal tercantum pada pelaksanaan rawat gabung di rumah sakit Rawat gabung dapat dilakukan sesuai dengan tujuannya, hal-hal yang dilakukan berkenaan dengan pelaksanaan rawat gabung sbb. Di Unit Rawat Jalan Kebidanan Melaksanakan komunikasi informasi edukasi (KIE) dengan pesan antara lain tentang manfaat ASI dan rawat gabung Melaksanakan KIE dengan pesan antara lain tentang perawatan payudara dan makanan ibu hamil Melaksanakan KIE tentang KB, imunisasi, dan kebersihan Mengatasi masalah pada payudara ibu, kalau perlu dirujuk ke klinik laktasi Menyelenggarakan senam hamil Di Ruang Bersalin Segera sesudah bayi dilahirkan, bayi dibawa kepada ibunya diletakkan di atas dada ibu skin to skin contact dan dibiarkan selama 1–1 ½ jam (inisiasi menyusu dini (IMD). Bayi dibiarkan bergerak mencari dan menghisap payudara ibu Bila ibu melahirkan dengan cara operasi, IMD tetap dapat dilakukan pada operasi dengan pembiusan spinal. Untuk ibu yang mendapat narkose umum, bayi disusukan sesudah ibu sadar Di Ruang Rawat Gabung Bayi diletakkan dekat ibu Paramedis di ruang rawat gabung, harus mengawasi agar bayi disusukan minimal 8 kali dalam 24 jam tanpa dilakukan penjadwalan (sesuai keinginan dan kebutuhan bayi on demand feeding). Setiap kali menyusukan, bayi harus mendapatkan susu dari kedua payudara secara bergantian Pada hari ke-1 bayi tidak boleh diberi prelacteal feeding (larutan gula, madu, air putih). Bayi harus segera mendapatkan ASI dari ibu, bila pada hari berikutnya ASI belum keluar dan bayi rewel, boleh diberi minum namun harus diberikan dengan sendok. Bila bayi tidak rewel tetap diberikan ASI saja Memberi KIE tentang perawatan payudara/tali pusat, cara mempertahankan/memperbanyak produksi ASI, cara memberi ASI pada ibu bekerja, makanan ibu menyusui, KB, cara memandikan bayi, imunisasi, dan penanggulangan diare Memotivasi ibu pada saat pulang dari rumah sakit tentang manfaat klinik laktasi 869
Di Klinik Laktasi Tempat konsultasi, dilakukan kegiatan: Memantau kesehatan ibu nifas dan bayi Memberi KIE dengan pesan gizi ibu, mengatasi kesulitan proses laktasi, dan menjaga kelangsungan proses menyusui Melakukan demonstrasi perawatan bayi Peran Dokter dalam Rawat Gabung Menggariskan kebijaksanaan dan tata tertib rawat gabung Melaksanakan perawatan ibu dan anak Merencanakan, melaksanakan, dan menilai kegiatan KIE kepada ibu dan keluarganya tentang laktasi dan gizi ibu Peran Paramedis dalam Rawat Gabung Pada rawat gabung ibu dapat berperan sbb: Mempraktikkan hal yang diajarkan petugas kesehatan, misalnya tentang merawat payudara, menyusui bayi, merawat tali pusat, dll. Mengamati hal yang tidak dapat (kelainan) yang terjadi pada bayi atau pada dirinya dan melaporkan pada petugas Persyaratan Rawat Gabung yang Ideal Bayi Ditempatkan dalam boks tersendiri dekat tempat tidur ibu sehingga mudah dijangkau dan dilihat oleh ibu Bila tidak terdapat tempat tidur bayi, bayi boleh diletakkan di tempat tidur ibu Agar mengurangi bahaya bayi jatuh dari tempat tidur, sebaiknya dua tempat tidur ibu didekatkan Tesedianya pakaian bayi Ibu Tempat tidur ibu diusahakan rendah untuk memudahkan naik/turun Tersedia perlengkapan nifas Ruangan Ukuran ruang untuk satu tempat tidur 1,5 x 3 m2 Ruang unit ibu/bayi yang masih memerlukan perawatan harus dekat dengan ruang petugas Sarana Lemari pakaian (ibu dan anak) Tempat mandi bayi dan perlengkapannya Tempat cuci tangan ibu (air mengalir) Setiap ruangan mempunyai kamar mandi tersendiri bagi ibu Sarana penghubung (bel/intercom) Petunjuk/sarana perawatan payudara, perawatan bayi, makanan ibu menyusui, dan nifas dengan bahasa yang sederhana (buku pintar) Perlengkapan perawatan bayi Petugas Satu orang petugas untuk 6 pasang ibu dan bayi Mempunyai kemampuan dan keterampilan pelaksanaan rawat gabung 870
Lain-lain Perlengkapan lain sesuai dengan kelas perawatan rumah sakit pendidikan Tersedianya sarana audiovisual mengenai hal yang berkaitan dengan rawat gabung Tersedianya buku yang berkaitan dengan perawatan ibu hamil, melahirkan, nifas, menyusui dan perawatan bayi, gizi ibu dan bayi, imunisasi Sistem pencatatan dan pelaporan Catatan medis diperlukan untuk mencatat keadaan bayi dan ibu setiap hari Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui Setiap fasilitas yang menyediakan pelayanan persalinan dan perawatan BBL seyogyanya 1. Mempunyai kebijakan tertulis tentang menyusui yang secara rutin 2. Melatih semua staf pelayanan kesehatan dengan keterampilan yang diperlukan untuk menerapkan dan melaksanakan kebijaksanaan tersebut 3. Menjelaskan kepada seluruh ibu hamil tentang manfaat dan penatalaksanaan menyusui 4. Membantu ibu untuk mulai menyusui bayinya dalam waktu ½ jam sesudah melahirkan 5. Memperlihatkan kepada ibu bagaimana cara menyusui dan cara mempertahankan pelaksanaannya sekalipun pada saat ibu harus berpisah dengan bayinya 6. Tidak memberikan makanan atau minuman apapun selain ASI kepada bayi baru lahir, kecuali bila ada indikasi medis 7. Melaksanakan/memungkinkan/mengizinkan rawat gabung ibu dan anak untuk selalu bersama selama 24 jam 8. Mendukung ibu agar memberi ASI sesuai dengan keinginan dan kebutuhan bayi on demand 9. Tidak memberikan dot atau kempeng kepada bayi yang sedang menyusu 10. Membentuk kelompok pendukung menyusui dan menganjurkan ibu yang pulang dari rumah sakit atau klinik untuk selalu berhubungan kelompok tersebut
871
Nasihat untuk Ibu Tabel 199 Pemecahan Masalah yang Paling Sering Dijumpai Masalah : Puting susu yang tertarik ke dalam, mengerut, dan datar Penyebab : Invaginasi lekukan payudara yang persisten/menetap sekunder terhadap proses patologis intra mammae (jarang, misalnya duktus ektasi, papiloma intraduktal) Perawatan : Hoffman’s exercises, yaitu kedua ibu jari mengurut puting susu secara sentrifugal Memompa payudara Memakai penarik puting susu dari plastik (alat khusus) Perawatan payudara Masalah : Puting susu yang sakit, pecah-pecah ataupun lecet Penyebab : Teknik dan posisi menyusui yang salah Bendungan Iritasi oleh bahan seperti sabun, lotion, dll. Monilia/jamur Bayi dengan frenulum pendek (jarang) Perawatan : Posisi menyusui yang tepat Cegahlah bendungan dengan lebih sering menyusui Jangan ditutup dan biarkan kering di udara Salep lanolin atau minyak vitamin E Pemberian nistatin bila ada indikasi Rangsanglah bayi sebelum menyusui agar refleks letdown sempurna Mulailah setiap kali menyusui pada payudara yang paling sedikit terkena Pemakaian analgetik ringan Memakai penutup puting susu dari plastik Terakhir (bila sakit sekali) berhenti menyusui untuk 24–36 jam, tapi ASI harus diperas keluar untuk tidak mengganggu produksi Masalah : Bendungan Penyebab : Pengeluaran ASI yang kurang (tidak adekuat) atau kurang sering menyusui Perawatan : Kompres dengan air hangat atau disiram air hangat Diurut dan diperas atau dipompa untuk mengurangi bendungan alveolar Lebih sering menyusui Memakai analgetik yang ringan Bibliografi 1. Butte NF, Lopez-Alarcon MG, Garza C. Nutrient adequacy of exclusive breastfeeding for term infant during the first six months of life. Geneva: WHO; 2002. 2. Cattaneo A. Promoting breastfeeding in the community. BMJ; 2009 Jan:338:a2625. 872
3. Edmond KM, Zandoh C, Quigley MA, Amenga-Etego S, OwusuAgyei S, Kirkwood BR. Delayed breastfeeding initiation increases risk of neonatal mortality. Pediatrics. 2006;117:380–6. 4. Victoria CG. Nutrition in ealy life: a global priority. Lancet. 2009; 374:1123−5. 5. Weight NE. Management of common breastfeeding issues. Pediatr Clin North Am. 2001;48:273–98. 6. World Health Organization. Breast crawl: initiation of breastfeeding by breast crawl. Geneva: WHO; 2007.
873
DEFISIENSI VITAMIN A (XEROFTALMIA) Batasan Berbagai macam manifestasi akibat defisiensi vitamin A, khususnya kelainan pada mata (xeroftalmia)
Klasifikasi Klasifikasi xeroftalmia menurut WHO XN : rabun senja XIA : xerosis konjungtiva XIB : bercak bitot X2 : xerosis kornea X3A: ulkus kornea/keratomalasia <⅓ permukaan kornea X3B : ulkus kornea/keratomalasia >⅓ permukaan kornea XS : jaringan parut pada kornea-XF: xeroftalmia fundus
Kriteria Diagnosis Anamnesis Berkurangnya penglihatan di waktu senja (rabun senja) Mata bersisik, silau, keluar cairan, dan sakit mata Pemeriksaan Fisis Kelainan kulit berupa hiperkeratosis folikuralis (biasanya pada bagian lateral lengan, tungkai bawah, dan bokong) Gejala Lain Malabsorpsi lemak, diare menahun, dan penyakit hati menahun Pemeriksaan Penunjang Kadar normal vit. A 20–60 μg/dL, bila kadarnya <20 μg/dL maka disebut defisiensi vit. A
Terapi Usia >1 th Hari ke-1: vit. A 200.000 SI p.o. Hari ke-2: vit. A 200.000 SI p.o. Saat dipulangkan: vit. A 200.000 SI p.o. Usia <1 th → ½ dosis di atas
Konsultasi Bagian Mata, untuk kasus X2 dan seterusnya Bagian Kulit (bila perlu)
Bibliografi 1. Benn CS, Martins C, Rodrigues A. Randomized study of effect of different doses of vitamin A on childhood morbidity and mortality. BMJ. 2005;331:1428–30. 2. Erhardt J. Biochemical methods for the measurement of vitamin A deficiency disorders (VADD). Sight Life. 2003;2:5–7. 874
3. Gropper SS, Smith JL, Groff JL. Advanced nutrition and human metabolism. Edisi ke-4. Belmont: Thomson Wadsworth; 2005. 4. Labadarios D, Randal P. Presentation highlights: vitamin A and the common agenda for micronutrients. XXII IVACG meeting, 15– 17 November 2004. Lima, Peru. Sight Life. 2005;1:9–17. 5. Sommer A, West Jr KP. Treatment of vitamin A deficiency and xerophthalmia. Vitamin A deficiency: health survival and vision. New York: Oxford University Press; 1996. 6. Zile M. Vitamin A deficiencies and excess. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsievier; 2011. hlm. 728–37.
875
PHENYLKETONURIA (PKU) Batasan Peningkatan kadar fenilalanin plasma >20 mg/dL akibat defisiensi enzim phenilalanine hydroxylase (PAH)
Etiologi Mutasi pada gen PAH yang menyebabkan defisiensi enzim PAH
Kriteria Diagnosis Anamnesis Muntah, gangguan kognitif, gangguan perkembangan dan perilaku, gangguan pertumbuhan, kejang, serta kaku Pemeriksaan Fisis Normal saat lahir Gangguan kognitif dan perilaku autistik Gerakan tangan tak bertujuan Atetosis Bau khas asam fenilasetil seperti bau tikus Gejala neurologis: kejang, spastis, hiperrefleks, tremor Mikrosefal Maksila menonjol Celah antargigi melebar Hipoplasia enamel Gangguan pertumbuhan Pemeriksaan Penunjang Skrining pada bayi baru lahir: kartu kertas filter Plasma: fenilalanin ↑, Ɵrosin normal sampai ↓ Phenyilketon pada urin
Diagnosis Banding Defisiensi kofaktor BH4
Terapi Diet restriksi fenilalanin (kadar fenilalanin plasma dipertahankan 2–6 mg/dL) Suplementasi asam amino esensial + trace element (rekomendasi berbeda tiap negara) Suplementasi BH4 sudah diteliti sebagai terapi potensial pada PKU ringan
Penyulit Gangguan kognitif, neurologis, pertumbuhan, dan perkembangan
Prognosis Terapi segera dan efisien: perkembangan dan intelegensi normal Tanpa terapi: kerusakan otak berat dengan mental retardasi, kejang dan spatisitas 876
Bibliografi 1. Blau N, Blanger-Quintana A, Demirkol M. Management of phenylketonuria in Europe: survey results from 19 countries. Mol Genet Metab. 2010;99:109–15. 2. Blau N. Defining tetrahydrobiopterin (BH4)-responsiveness in PKU. J Inherit Metab Dis. 2008;31:2–3. 3. Blau Van, Spronsen FJ, Levy HL. Phenylketonuria. Lancet. 2010; 376:1417–27. 4. Blau N, Blanger-Quintana A, Demirkol M. Optimizing the use of sapropterin (BH4) in the management of phenylketonuria. Mol Genet Metab. 2009;96:158–63. 5. Clarke JTR. A clinical guide to inherited metabolic diseases. Edisi ke-2. New York: University of Cambridge; 2004. 6. Feillet F, Van Spronsen FJ, MacDonald A. Challenges and pitfalls in the management of phenylketonuria. Pediatrics. 2010;126: 333–41. 7. Rezvani I, Melvin JJ. Defects in metabolism of amino acids. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 1448–53. 8. Zschocke J, Hoffman GF. Vedemecum metabolicum: manual of metabolic paediatrics. Edisi ke-2. Leck: Clausen and Bosse GmbH; 2004.
877
HIPERKOLESTEROLEMIA FAMILIAL Batasan Kelainan autosomal monogenik kodominan, disebabkan oleh mutasi yang memengaruhi reseptor LDL. Terjadi peningkatan kadar LDL kolesterol, penyakit kardiovaskular prematur, xantelasma, xantoma arkus kornea, dan xantoma tendon
Etiologi Mutasi pada gen autosomal monogenik kodominan yang mengakibatkan perubahan pada reseptor LDL
Klasifikasi Tabel 200 Klasifikasi Hiperkolesterolemia Familial Lipoprotein yang Temuan Meningkat Hiperkolesterolemia LDL Xantoma tendon, familial penyakit jantung koroner Defek familial LDL Xantoma tendon, ApoB-100 penyakit jantung koroner Hiperkolesterolemia LDL Xantoma tendon, autosomal resesif penyakit jantung koroner Sitosterolemia LDL Xantoma tendon, penyakit jantung koroner Hiperkolesterolemia LDL Penyakit jantung poligenik koroner Hiperlipidemia familial LDL, TG Penyakit jantung kombinasi (FCHL) koroner Disbetalipoproteinemia LDL, TG Xantoma, penyakit familial vaskuler perifer Familial TG Xantoma eruptif, chylomicronemia hepatosplenomegali, (Frederickson type I) pankreatitis Hipertrigliseridemia TG ± penyakit jantung familial (Frederickson koroner type IV) Familial TG Xantoma ± penyakit hipertrigliseridemia jantung koroner (Frederickson type V) Familial hepatic lipase VLDL Penyakit jantung deficiency koroner Kelainan
Genetik Autosomal dominan Autosomal dominan Autosomal resesif Autosomal resesif
Autosomal dominan Autosomal dominan Autosomal resesif Autosomal dominan Autosomal dominan autosomal resesif
Keterangan: LDL, low-density lipoprotein; TG, triglyceride; VLDL, very low density lipoprotein
878
Diagnosis Aterosklerosis prematur, penyakit vaskular famillial (infark), xantoma, xantelasma, penebalan tendon (misalnya tendon Achilles), arkus kornea Homozygous: aterosklerosis berat sejak usia anak-anak
Etiologi Protein : reseptor LDL (RLDL) Genetik : inheritan, autosomal ko-dominan; insidensi heterozygous sekitar 1:500 ↑ kolesterol (heterozygous hingga 300 mg/dL, homozygous >600 mg/dL, trigliserida normal, ↓ HDL; analisis mutasi; riwayat keluarga (kolesterol >260 mg/dL + penyakit kardiovaskular pada orangtua)
Terapi Kolesterol total >220 mg/dL (5,7 mmol/L), HDL normal (>35 mg/dL): Kolesterol LDL 130–150 mg/dL → ulangi pemeriksaan dalam 2 th Kolesterol LDL >150 mg/dL (3,9 mmol/L) → diet restriksi kolesterol Kolesterol LDL >190 mg/dL (4,9 mmol/L) dengan diet 6–12 bl atau >160 mg/dL (4,2 mmol/L) + riwayat keluarga (+) → pertimbangkan terapi obat Kolesterol >250 mg/dL (6,5 mmol/L) → kirim ke pusat pelayanan kesehatan Diet Kolesterol <300 mg/hr → modifikasi komposisi lemak, lemak total <1/3 energi) Obat Anion exchanger (kolestiramin → ditingkatkan bertahap, dosis 0,2–0,4 g/kgBB dalam 2–3 dosis) Pertimbangkan sitoserin (1–6 g/hr), fibrat, inhibitor HMG-CoA reduktase (statin) Penderita homozygous Apheresis LDL (1–2 mgg sekali) untuk membuang kolesterol Pertimbangkan transplantasi hati Terapi gen belum memberikan hasil yang memuaskan Follow up tiap 3–6 bl selama terapi diet
Bibliografi 1. Austin MA, Hutter CH, Zimmern RL. Familial hypercholesterolemia and coronary heart disease: a huge association review. Am J Epidemiol. 2004;160:421–9. 2. De Jongh S, Ose L, Szamosi T. Efficacy and safety of statin therapy in children with familial hypercholesterolemia. Circulation. 2002; 106:2231–7. 3. Durrington P. Dyslipidaemia. Lancet. 2003;362:717–31. 4. Goldberg AC, Aditi S, Ji L. Efficacy and safety of ezetimibe coadministered with simvastatin in patients with primary hypercholesterolemia: a randomized, double-blind, placebo-controlled trial. Mayo Clin Proc. 2004;79:620–62. 879
5. Grundy SM, Hansen B, Smith SC. Clinical management of metabolic syndrome: report of the American Heart Association/ National Heart, Lung, Blood Institute/American Diabetes Association Conference on scientific issues related to management. Circulation. 2004;109:551–6. 6. Leren T. Cascade genetic screening for familial hypercholesterolemia. Clin Genet. 2004;66:483–7. 7. Merkens LS, Connor WE, Linck LM. Effects of dietary cholesterol on plasma lipoproteins in Smith-Lemli-Opitz syndrome. Pediatr Res. 2004;56:726–2. 8. Neal WA. Disorders of lipoprotein metabolism and transport. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 1554–77. 9. Raitakari OT. Arterial abnormalities in children with familial hypercholesteremia. Lancet. 2004;363:342–3. 10. Wiegman A, Hutten BA, de Groot E. Efficacy and safety of statin therapy in children with familial hypercholesterolemia. JAMA. 2004;292:331–7. 11. Zschocke J, Hoffman GF. Vedemecum metabolicum: manual of metabolic paediatrics. Edisi ke-2. Leck: Clausen and Bosse GmbH. 2004. hlm.
880
NUTRISI ENTERAL Definisi Nutrisi enteral adalah pemberian asupan nutrisi melalui saluran cerna dengan menggunakan feeding tube, kateter, atau stoma langsung melintas sampai ke bagian tertentu saluran cerna Pemberian nutrisi dengan cara ini mengabaikan peran mulut dan esofagus sebagai tempat pertama masuknya makanan. Target yang dituju adalah bagian usus paling proksimal yang masih dapat menjalankan fungsinya, dimulai dari lambung hingga usus halus
Manfaat Manfaat nutrisi enteral tidak jauh berbeda dengan cara pemberian p.o. yaitu: Proses pencernaan dan absorbsi nutrisi dapat berlangsung secara aman mendekati fungsi fisiologis Mampu menjaga imunitas saluran cerna Mengurangi pertumbuhan bakteri yang berlebihan Menjaga keseimbangan mikrorganisme saluran cerna Mudah dan lebih murah dari segi finansial
Indikasi Dukungan nutrisi enteral dapat dipertimbangkan untuk diberikan pada anak sakit berdasarkan indikasi tertentu Tabel 201 Indikasi Pemberian Nutrisi Enteral pada Anak Gangguan mencerna makanan p.o. secara adekuat Prematuritas Gangguan neurologi dan neuromuskular, palsi serebral, disfagia Penurunan kesadaran Tracheoesophageal fistula Ca pada kavum oral Ca pada kepala dan leher Ventilasi mekanik Refluks gastroesofageal berat Pemberian kemoterapi Depresi Gangguan mencerna atau mengabsorpsi asupan nutrisi Cystic fibrosis Short bowel syndrome Inflammatory bowel disease Enteritis Intractable diarrhea of infancy Pascaoperasi saluran gastrointestinal Fistula intestinal Gangguan motilitas saluran pencernaan Chronic pseudo-obstruction Ileocolonic Hirschprung’s disease
881
Kelainan psikiatri dan tingkah laku yang memengaruhi asupan nutrisi p.o. Anorexia nervosa Gangguan tingkah laku berat, autism Pankreatitis akut/kronik Sumber: Forchielli dan Bines 2008
Rute Nutrisi Enteral Pemberian nutrisi enteral dapat dilakukan dengan feeding tube Berdasarkan lokasi insersi feeding tube dibedakan menjadi: Transnasal Enterostomi Nutrisi Enteral Transnasal Transnasal dikenal sebagai cara yang noninvasif, dapat diberikan melalui orogastrik, nasogastrik, nasoduodenal, dan nasojejunal. Nutrisi enteral dengan menggunakan cara transnasal dilakukan dengan menginsersikan feeding tube melalui mulut atau hidung sampai ke lokasi saluran cerna tertentu. Penggunaan feeding tube secara transnasal pada umumnya digunakan sebagai pilihan terapi nutrisi secara intermiten dan jangka pendek (<3 bl). Ukuran NGT atau pipa orogastrik (orogastric tube/OGT) yang digunakan disesuaikan dengan usia anak Tabel 202 Ukuran NGT dan OGT untuk Anak berdasarkan Usia Usia
Ukuran Tube (Fr)
Panjang Tube (cm)
4–5 5–8 8–14
33–41 41–91 91–114
Prematur s.d. neonatus Bayi s.d. anak Anak s.d. remaja Sumber : Forchielli dan Bines 2008
Nutrisi Enteral Enterostomi Enterostomi adalah cara pemberian nutrisi enteral yang invasif. Pemberian nutrisi secara enterostomi dapat dilakukan dengan cara gastrostomi dan jejunostomi. Formula nutrisi diberikan melalui feeding tube yang terpasang pada area gastrostomi dan jejunostomi. Pemberian nutrisi enteral secara gastrotomi atau jejunostomi dianggap mampu mempertahankan posisi feeding tube dalam jangka waktu lama (>3 bl), karena terfiksasi pada dinding abdomen anterior, tidak terpengaruh gerakan pernapasan, dapat menghindari penyulit chronic nasal discharge, sinusitis, perkembangan yang abnormal dari hidung, trauma psikologi, serta problem feeding di kemudian hari Akses gastrotomi menggunakan feeding tube yang berukuran besar (14–24 Fr). Makanan melalui gastrostomi dapat diberikan dalam volume yang besar, dengan resiko oklusi minimal. Pada 882
jejunostomi, feeding tube yang digunakan berukuran lebih kecil yaitu 9–12 Fr Gastrostomi dan jejunostomi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik pemasangan secara radiologi, endoskopi, serta bedah. Kebersihan daerah stoma harus selalu dijaga, untuk menghindari iritasi yang berasal dari sekresi gaster dan kemungkinan potensi infeksi
Formula Dukungan Nutrisi Enteral Dukungan nutrisi pada anak sakit secara ideal pada prinsipnya harus memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh, yang meliputi asupan makronutrien, mikronutrien, dan trace elements secara adekuat. Pemberian nutrisi enteral dapat dilakukan dengan menentukan formula yang akan diberikan berdasarkan usia penderita, penyakit yang diderita, kebutuhan kalori, cairan kondisi saluran cerna, serta status gizi penderita Osmolaritas Pada pemberian dukungan nutrisi enteral, osmolaritas formula enteral harus diperhatikan. Pemberian nutrisi enteral untuk anak, diberikan dengan kalori 1 kkal/mL. Osmolaritas formula enteral pada anak yang dianjurkan ± 200–750 mosm/L Jenis nutrisi yang digunakan dapat disiapkan secara manual maupun menggunakan produk kemasan yang siap pakai. Bentuk formula nutrisi enteral dapat berupa bahan makanan yang diblender, formula polimerik, dan formula elemental
Cara Pemberian Nutrisi Enteral Pemberian dukungan nutrisi enteral dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: Bolus feeding Continuous drip feeding Pemberian bolus feeding dapat dilakukan di rumah sakit maupun di rumah, sementara pemberian nutrisi enteral dengan cara continuous drip feeding diberikan pada penderita yang dirawat di rumah sakit Bolus Feeding Dapat dilakukan dengan menggunakan NGT/OGT dan diberikan secara terbagi setiap 3–4 jam sebanyak 250–350 mL. Bolus feeding dengan formula isotonik dapat dimulai dengan jumlah keseluruhan sesuai yang dibutuhkan sejak hari pertama, sedangkan formula hipertonik dimulai setengah dari jumlah yang dibutuhkan pada hari pertama Sebaiknya diberikan dengan tenang ± selama 15 mnt dan diikuti dengan pemberian air 25–60 mL untuk mencegah dehidrasi hipertonik dan membilas sisa formula yang masih berada di feeding tube. Formula yang tersisa pada sepanjang feeding tube dapat menyumbat feeding tube, sedangkan yang tersisa pada ujung feeding tube dapat tersumbat akibat penggumpalan yang disebabkan oleh asam lambung dan protein formula 883
Continuous Drip Feeding Dilakukan dengan menggunakan infuse pump. Formula enteral diberikan dengan kecepatan 20–40 mL/jam dalam 8–12 jam pertama, ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan kemampuan toleransi anak. Volume formula ditingkatkan 25 mL setiap 8–12 jam, dengan pemberian maks. 50–100 mL/jam selama 18–24 jam. Pemberian formula enteral dengan osmolaritas isotonik (300 mosm/kg air) dapat diberikan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan, sedangkan pemberian formula hipertonis (500 mosm/kg air) harus dimulai dengan memberikan setengah dari jumlah yang dibutuhkan. Pada kasus pemberian formula yang tidak ditoleransi dengan baik, konsentrasi formula yang diberikan dapat diturunkan terlebih dahulu dan selanjutnya kembali ditingkatkan secara bertahap Pemberian formula enteral yang telah disiapkan tidak boleh diberikan >4–8 jam dan harus digantikan dengan formula enteral yang baru. Bahan sediaan yang telah dibuka sebaiknya disimpan di dalam refrigator dan tidak digunakan kembali setelah 24 jam
Penyulit dan Pemantauan Nutrisi Enteral Penyulit nutrisi enteral meliputi penyulit mekanik, gastrointestinal, dan metabolik Penyulit mekanik meliputi lesi dekubitus, obstruksi kateter, kateter displacement Penyulit gastrointestinal meliputi regurgitasi, aspirasi, muntah, diare, konstipasi, pneumatosis intestinal, dan nekrosis jejunal Penyulit metabolik meliputi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, hiperglikemia, serta refeeding syndrome Selama pemberian nutrisi enteral harus dimonitoring secara ketat untuk mewaspadai timbulnya penyulit yang mungkin terjadi Tabel 203 Pemantauan Nutrisi Enteral Parameter
Pemantauan
Berat badan Tanda-tanda edema Tanda-tanda dehidrasi Intake dan output cairan Asupan kalori, protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral Keseimbangan nitrogen (nitrogen urea urin 24 jam) Sisa cairan gastrik Konsistensi BAB Elektrolit serum, blood urea nitrogen (BUN), kreatinin, dan hitung sel darah Profil kimia darah, yaitu protein serum total, albumin, prealbumin, kalsium, magnesium, fosfor, dan tes fungsi hepar
Min. 3×/mgg Setiap hr Setiap hr Setiap hr Min. 2×/mgg
Sumber: Courtney dkk. 2005
884
Setiap mgg Setiap 4 jam Setiap hr 2–3×/mgg Setiap mgg
Bibliografi 1. Alvarez Hernández J, Peláez Torres N, Muñoz Jiménez A. Clinical use of enteral nutrition. Nutr Hosp. 2006 May;21(Suppl 2):85–97. 2. Bankhead R, Boullata J, Brantley S, Corkins M, Guenter P, Krenitsky J, dkk. Enteral nutrition practice recommendations. JPEN J Parenter Enteral Nutr. 2009 Mar–Apr;33(2):122–67. 3. Courtney E, Grunko A, McCarthy T. Enteral nutrition. Dalam: Hendicks KM, Duggan C, penyunting. Manual of pediatric nutrition. Edisi ke-4. Hamilton: BC Decker; 2005. hlm. 252–316. 4. Duggan C. Nutritional assessment in sick or hospitalized children. Dalam: Hendicks KM, Duggan C, penyunting. Manual of pediatric nutrition. Edisi ke-4. Hamilton: BC Decker; 2005. hlm. 239–51. 5. Forchielli ML, Bines J. Enteral nutrition. Dalam: Duggan C, Watkins JB, Walker WA, penyunting. Nutrition in pediatrics: basic science, clinical applications. Edisi ke-4. Hamilton: BC Decker; 2008. hlm. 766–75. 6. Johnson T, Sexton E. Managing children and adolescents on parenteral nutrition: challenges for the nutritional support team. Proc Nutr Soc. 2006 Aug;65(3):217–21. 7. Kerner JA, Hurwitz M. Parenteral nutrition. Dalam: Duggan C, Watkins JB, Walker WA, penyunting. Nutrition in pediatrics: basic science, clinical applications. Edisi ke-4. Hamilton: BC Decker; 2008. hlm. 777–93. 8. Lochs H, Dejong C, Hammarqvist F, Hebuterne X, Leon-Sanz M, Schütz T, dkk. ESPEN guidelines on enteral nutrition: gastroenterology. Clin Nutr. 2006 Apr;25(2):260–74. 9. Mascarenhas MR, Enriquez L. What is pediatric nutrition support. Dalam: Baker SS, Baker RD, Davis AM, penyunting. Pediatric nutrition support. Sudbury: Jones and Bartlett Publishers; 2007. hlm. 123–33. 10. Skipper A, Nelms MN. Methods of nutrition support. Dalam: Nelms MN, Sucher K, Long S, penyunting. Nutrition therapy and pathophysiology. Belmont: Thomson Brooks/Cole; 2007. hlm. 154–76. 11. Weissman TE, Wershil BK. Enteral feeding. Pediatr Rev. 2008 Mar;29(3):105−6.
885
NUTRISI PARENTERAL Definisi Dukungan nutrisi parenteral adalah pemberian asupan nutrisi yang diberikan melalui pembuluh darah dan masuk ke dalam sirkulasi darah
Indikasi Diberikan apabila keadaan penderita tidak memungkinkan untuk mendapatkan dukungan nutrisi enteral dan atas pertimbangan indikasi tertentu. Pemberian nutrisi secara parenteral harus dilakukan secara hati-hati, sesuai dengan penyakit yang mendasari
Kontraindikasi Tidak boleh diberikan pada anak sakit dengan fungsi saluran gastrointestinal normal, yang dapat menerima dukungan nutrisi p.o. maupun enteral
Cara Pemberian Nutrisi Parenteral Dapat dibedakan berdasarkan konsentrasi formula nutrisi parenteral yang ingin diberikan kepada penderita yaitu larutan isotonis dan hipertonis. Larutan isotonis diberikan melalui akses vena perifer, sedangkan nutrisi dengan larutan hipertonis diberikan melalui vena sentral Tabel 204 Perbedaan Pemberian Nutrisi Parenteral Perifer dengan Sentral Nutrisi parenteral perifer Diberikan kepada penderita yang tidak mampu menoleransi nutrisi enteral. Dapat diberikan selama <2 mgg, selanjutnya diharapkan penderita telah mampu mendapat dukungan nutrisi enteral Dapat digantikan dengan nutrisi enteral atau selama fase transisi sampai penderita memungkinkan untuk mendapat nutrisi enteral Pada keadaan malnutrisi ringan atau sedang, untuk mencegah malnutrisi lebih lanjut Dapat diberikan dalam keadaan metabolisme tubuh yang normal atau meningkat Tidak terdapat kegagalan organ yang memerlukan restriksi Terdapat keterbatasan osmolaritas formula nutrisi, tidak boleh ≤900 mosm/L Nutrisi parenteral sentral Dapat diberikan selama lebih dari 2 mgg Diberikan pada keadaan peningkatan metabolisme yang sedang atau berat Diberikan pada penderita yang disertai keadaan malnutrisi sedang hingga berat, yang tidak mampu dikoreksi dengan pemberian nutrisi enteral Dapat diberikan pada keadaan gagal organ seperti gagal jantung, ginjal, hati maupun keadaan lain yang memerlukan restriksi cairan Keterbatasan akses vena perifer Dapat diberikan konsentrasi formula yang lebih tinggi dibandingkan dengan akses perifer
886
Komposisi Formula Nutrisi Parenteral Komposisi nutrisi parenteral harus memenuhi kebutuhan makronutrien (karbohidrat, lemak, dan protein), mikronutrien (vitamin dan trace elements), serta keseimbangan cairan Energi Perhitungan kalori dan energi yang dibutuhkan untuk pemberian nutrisi secara parenteral dapat mempergunakan berbagai metode, salah satu metode yang sering digunakan adalah metode Schofield Perhitungan rumus Schofield menggunakan resting energy expenditure (REE) Tabel 205 Rumus Schofield untuk Menghitung REE Usia (Tahun)
Jenis Kelamin
REE (kkal/hr)
0–3
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
0,167 BB + 15,17 TB − 617,6 16,252 BB + 10,232 TB − 413,5 19,59 BB + 1,303 TB + 414,9 16,969 BB + 1,618 TB + 371,2 16,25 BB + 1,372 TB + 515,5 8,365 BB + 4,65 TB + 200
3–10 10–18
Keterangan sampel: BB=berat badan (kg); TB=tinggi badan (cm) Sumber: Duggan 2005
REE yang diperoleh dikalikan dengan faktor stres metabolik sesuai dengan aktivitas fisik, status kesehatan, dan atau kebutuhan kejar tumbuh untuk mendapatkan kebutuhan harian total (TEE) Tabel 206 Faktor Stres pada Perhitungan Energi Tipe Stres
Kalikan REE dengan
Demam Starvasi Operasi Sepsis Trauma kepala Trauma Gagal tumbuh Luka bakar Gagal jantung
12% per derajat >37 °C 0,7–0,85 1,05–1,5 1,2–1,6 1,3 1,1–1,8 1,5–2 1,5–2,5 1,15–1,25
Sumber: Duggan 2005
Cairan Cairan yang diberikan pada pemberian nutrisi parenteral ditentukan oleh status hidrasi, usia, faktor lingkungan, dan penyakit yang mendasari. Pemberian cairan tidak boleh diberikan secara berlebihan, untuk mencegah overload cairan Rekomendasi jumlah cairan pada pemberian nutrisi parenteral sebagai berikut (Kerner dan Hurwitz 2008): 887
<10 kg : 100 mL/kgBB/hr 10–30 kg : 2.000 mL/m2/hr 30–50 kg : 100 mL/jam (2,4 L/hr) >50 kg : 124 mL/jam (3 L/hr) Volume cairan dapat ditingkatkan: 10 mL/kgBB/hr pada anak sampai jumlah kalori yang diinginkan tercapai, dengan jumlah cairan maks. dapat diberikan 200 mL/kgBB/hr >10 kg: ditingkatkan 10% dari volume inisial setiap hr sampai dicapai jumlah kalori yang diinginkan (maks. diberikan 4.000 mL/m2/hr) Karbohidrat Sumber kalori utama nonprotein pada pemberian nutrisi parenteral adalah D-glukosa yang tersedia dalam bentuk sediaan monohidrat untuk peemberian secara i.v. Osmolaritas cairan nutrisi parenteral ditentukan oleh konsentrasi glukosa yang diberikan. Penggunaan glukosa dengan konsentrasi >10% pada pemberian nutrisi parenteral dapat meningkatkan risiko flebitis. Glukosa dapat diberikan pada neonatus dengan kecepatan pemberian 5–12 mg/kgBB/mnt, sedangkan pada anak dan remaja kecepatan pemberian 2–5 mg/kgBB/mnt. Kadar glukosa serum harus selalu dipantau pada pemberian nutrisi parenteral Protein Kebutuhan protein pada nutrisi parenteral diperoleh dari sediaan asam amino. Jenis asam amino yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan anak dan penyakit yang mendasari Tabel 207 Kebutuhan Protein pada Anak dan Remaja Usia (Tahun)
Protein (g/kgBB/hr)
1–6 7–10 11–14 15–18 (laki-laki) 15–18 (perempuan)
1–2 1–2 1–2 0,9–2 0,8–2
Sumber: Kerner dan Hurwitz 2008
Pada penderita yang disertai hipoalbuminuria, albumin dapat diberikan dengan dosis 0,5–1 g/kgBB/hr. Albumin secara parenteral harus diberikan secara terpisah menggunakan konektor Y. Karena albumin merupakan produk darah tidak boleh diberikan >8 jam, memiliki risiko untuk terjadi flokulasi bila diberikan bersama larutan nutrisi parenteral yang lain dan meningkatkan potensi terjadi sepsis Lemak Lemak dapat diberikan pada pemberian nutrisi parenteral dalam bentuk larutan isotonis 20%. Pada pemberian nutrisi secara parenteral, lemak digunakan sebagai sumber kalori yang penting 888
Tabel 208 Dosis Pemberian Lemak Intravena* Usia
Dosis Awal
0–6 bl 6–12 bl 1–10 th 11–18 th
1–1,5 1–1,5 1 1
Peningkatan Dosis Harian 1–1,5 1–1,5 1–1,5 1
Dosis Maksimum 3,5 3 3 2–3
*Dalam g/kgBB/hr Sumber: Kerner dan Hurwitz 2008
Elektrolit Keseimbangan elektrolit harus tetap diperhatikan untuk mencegah penyulit yang dapat timbul akibat gangguan keseimbangan elektrolit Tabel 209 Kebutuhan Elektrolit pada Anak Elektrolit dan Mineral Fosfat Natrium Kalium Klorida Asetat Magnesium Kalsium glukonas
Kebutuhan Harian 0,5–2 mM/kgBB 2–4 mEq/kgBB 2–3 mEq/kgBB 2–3 mEq/kgBB 1–4 mEq/kgBB 0,25–0,5 mEq/kgBB 50–500 mg/kgBB
Sumber: Kerner dan Hurwitz 2008
Vitamin Pemberian vitamin pada dukungan nutrisi parenteral secara ideal harus tetap diberikan. Vitamin yang diberikan meliputi kelompok vitamin yang larut dalam lemak dan air Tabel 210 Rekomendasi Vitamin Parenteral Vitamin Larut lemak A (μg) E (mg) K (μg) D (μg) (IU) Larut air Asam askorbat (mg) Tiamin (mg) Riboflavin (mg) Piridoksin Niasin (mg) Pantotenat (mg) Biotin (μg) Folat (μg) Vitamin B12 (μg)
Dosis Anak (/hr) 700 7 200 10 400 80 1,2 1,4 1 17 5 20 140 1
Sumber: Kerner dan Hurwitz 2008
889
Trace Elements Trace elements merupakan unsur penting yang harus diberikan dalam dukungan nutrisi secara parenteral, meskipun dalam jumlah yang kecil. Defisiensi trace elements dapat memperberat penyakit penderita yang tentunya akan menghambat proses penyembuhan Tabel 211 Rekomendasi Kebutuhan Trace Elements Elemen
Dosis Anak µg/kgBB/hr
Zinc Copper Selenium Chromium Mangan Iodida
50,0 20,0 2,0 0,2 1,0 1,0
Dosis Maksimum µg/hr 300 30 5 50 1
Sumber: Kerner dan Hurwitz 2008
Penyulit Nutrisi Parenteral Penyulit yang terjadi pada pemberian nutrisi parenteral dapat berupa penyulit teknis, metabolik, maupun infeksi Penyulit teknis dari penggunaan nutrisi parenteral meliputi pneumotoraks, hemotoraks, hidromediastinum, trauma arteri, laserasi arteri, hematoma, dan emboli kateter. Penggunaan kateter dalam pemberian nutrisi parenteral berkaitan erat dengan infeksi, biasanya berhubungan dengan perawatan kateter yang tidak baik Penyulit metabolik berhubungan dengan penggunaan infus cairan intravena, penggunaan karbohidrat dan protein, osteopenia prematuritas, serta disfungsi hepatobilier. Disfungsi hepar merupakan penyulit nutrisi parenteral yang paling sering dan berbahaya
Pemantauan Nutrisi Parenteral Pemberian nutrisi parenteral membutuhkan pemantauan terutama untuk menghindari penyulit metabolik karena pemberian makanan melalui cara ini tidak melalui proses seleksi absorpsi, detoksifikasi dan metabolisme nutrien, sehingga kemungkinan dapat terjadi kelebihan atau toksisitas
890
Tabel 212 Pemantauan Nutrisi Parenteral Pemeriksaan
Nilai Awal
Pertumbuhan Berat badan Harian Panjang/tinggi badan Mingguan–bulanan Lingkar kepala Mingguan Komposisi tubuh Bulanan Metabolisme (serum) Elektrolit Harian–bulanan BUN/kreatinin Mingguan Ca, PO4, Mg 2× seminggu Asam/basa Atas indikasi Albumin/prealbumin Mingguan/2 mingguan Glukosa Harian–mingguan Trigliserida Harian bila ada perubahan Tes hati Pada waktu 2 mgg Darah lengkap Mingguan Trombosit, PT/PTT Mingguan Indikator besi Atas indikasi Trace elements Bulanan Vitamin larut lemak Atas indikasi Karnitin Atas indikasi Folat/B12 Atas indikasi Amonia Atas indikasi Metabolisme (air kemih) Glukosa/keton 2–6× sehari Berat jenis/urea Atas indikasi nitrogen Lain-lain Bone density Atas indikasi Cek line placement Awal, atas indikasi pertumbuhan Perkembangan Bulanan Occupational therapy Pada 1 bl, atas indikasi
Follow-up Harian–bulanan Bulanan Mingguan−bulanan Bulanan−tahunan Mingguan–bulanan Mingguan–bulanan Mingguan–bulanan Mingguan–bulanan 2 mingguan/bulanan Mingguan–bulanan Mingguan–bulanan Mingguan–bulanan Mingguan–bulanan Mingguan–bulanan 3–4 bl 2× setahun–tahunan 2× setahun–tahunan 2× setahun–tahunan 2× setahun–tahunan 2× setahun–tahunan Harian–mingguan Atas indikasi
Atas indikasi Setiap 6–12 bl Setiap 6–12 bl Tahunan
Sumber: Prawirohartono 2011
Bibliografi 1. Alvarez Hernández J, Peláez Torres N, Muñoz Jiménez A. Clinical use of enteral nutrition. Nutr Hosp. 2006 May;21(Suppl 2):85–97. 2. Bankhead R, Boullata J, Brantley S, Corkins M, Guenter P, Krenitsky J, dkk. Enteral nutrition practice recommendations. JPEN J Parenter Enteral Nutr. 2009 Mar–Apr;33(2):122–67. 3. Courtney E, Grunko A, McCarthy T. Enteral nutrition. Dalam: Hendicks KM, Duggan C, penyunting. Manual of pediatric nutrition. Edisi ke-4. Hamilton: BC Decker; 2005. hlm. 252–316. 4. Duggan C. Nutritional assessment in sick or hospitalized children. Dalam: Hendicks KM, Duggan C, penyunting. Manual of pediatric nutrition. Edisi ke-4. Hamilton: BC Decker; 2005. hlm. 239–51. 891
5. Forchielli ML, Bines J. Enteral nutrition. Dalam: Duggan C, Watkins JB, Walker WA, penyunting. Nutrition in pediatrics: basic science, clinical applications. Edisi ke-4. Hamilton: BC Decker; 2008. hlm. 766–75. 6. Johnson T, Sexton E. Managing children and adolescents on parenteral nutrition: challenges for the nutritional support team. Proc Nutr Soc. 2006 Aug;65(3):217–21. 7. Kerner JA, Hurwitz M. Parenteral nutrition. Dalam: Duggan C, Watkins JB, Walker WA, penyunting. Nutrition in pediatrics: basic science, clinical applications. Edisi ke-4. Hamilton: BC Decker; 2008. hlm. 777–93. 8. Lochs H, Dejong C, Hammarqvist F, Hebuterne X, Leon-Sanz M, Schütz T, dkk. ESPEN guidelines on enteral nutrition: gastroenterology. Clin Nutr. 2006 Apr;25(2):260–74. 9. Mascarenhas MR, Enriquez L. What is pediatric nutrition support. Dalam: Baker SS, Baker RD, Davis AM, penyunting. Pediatric nutrition support. Sudbury: Jones and Bartlett Publishers; 2007. hlm. 123–33. 10. Prawirohartono, EP. Nutrisi parenteral. Dalam: Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia M, Nasar SS, penyunting. Buku ajar nutrisi pediatrik dan penyakit metabolik. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. hlm. 63–76. 11. Skipper A, Nelms MN. Methods of nutrition support. Dalam: Nelms MN, Sucher K, Long S, penyunting. Nutrition therapy and pathophysiology. Belmont: Thomson Brooks/Cole; 2007. hlm. 154–76. 12. Weissman TE, Wershil BK. Enteral feeding. Pediatr Rev. 2008 Mar;29(3):105−6.
892
DIET PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK Definisi Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan suatu kondisi kerusakan ginjal atau penurunan fungsi ginjal yang bersifat ireversibel dan dapat bersifat progresif. Penyulit yang dapat terjadi pada penderita PGK adalah malnutrisi, asidosis metabolik karena pengeluaran ion hidrogen berkurang, gangguan pada tulang, ketidakseimbangan mineral (kalsium, fosfor, dan vitamin D), anemia yang disebabkan oleh gangguan eritropoesis, dan rendahnya cadangan zat besi rendah, dan penyakit kardiovaskular
Tujuan Anak PGK membutuhkan suatu rancangan dukungan nutrisi yang optimal baik makronutrien maupun mikronutrien untuk mencegah malnutrisi, penyulit PGK, dan penurunan rata-rata pertumbuhan Tatalaksana diet pada anak PGK secara umum difokuskan pada pembatasan asupan zat yang dapat berakumulasi menjadi kadar yang toksik seperti kalium dan fosfor, pembatasan asupan natrium untuk mengontrol volume dan tekanan darah, serta asupan protein dalam jumlah yang cukup untuk mencegah malnutrisi. Diet anak PGK juga harus memerhatikan risiko kesakitan dan kematian pada saat dewasa nantinya
Pemberian Nutrisi pada Penderita PGK Mencakup 5 komponen utama yaitu energi, makronutrien, cairan, elektrolit, serta mikronutrien (kalsium, fosfor, dan vitamin D) Pemberian dapat p.o. ataupun melalui selang bantu makan baik secara NGT maupun pipa gastrostomi Kebutuhan Energi Kebutuhan energi pada anak PGK sama dengan anak sehat. Target asupan energinya 100% dari estimated energy requirement (EER) berdasarkan usia dan jenis kelamin. Hal ini berlaku pada semua stadium PGK (lihat Tabel 213) Kebutuhan Makronutrien Asupan makronutrien pada anak dengan PGK harus seimbang Usia <1 th sesuai dengan yang terdapat pada susu formula (karbohidrat 36–56%, lemak 40–54%, dan protein 7–12%) Usia 1–3 th kebutuhan karbohidrat 45–65% dari total kalori, lemak 30–40%, dan protein 5–20% Usia 4–18 th kebutuhan karbohidrat 45–65%, lemak 25–35%, dan protein 10–30% Pemberian protein pada anak PGK harus diperhatikan. Hal ini berkaitan dengan metabolisme protein pada ginjal sehingga kebutuhan protein pada anak PGK harus diatur sedemikian rupa untuk mencegah malnutrisi dan toksisitas dari hasil metabolisme protein. Kebutuhan protein pada anak PGK disesuaikan dengan usia dan stadium PGK (lihat Tabel 214) 893
Tabel 213 Kebutuhan Energi pada Anak dengan Penyakit Ginjal Kronik Usia
Asupan Energi yang Direkomendasikan (kkal/hr)
0–3 bl 4–6 bl 7–12 bl 1–3 th 3–8 th
867
(89 × BB (kg) − 100) + 175 (89 × BB (kg) − 100) + 56 (89 × BB (kg) − 100) + 22 (89 × BB (kg) − 100) + 20 Laki-laki: 88,5 − 61,9 × usia (th) + PA × [26,7 × BB (kg) + 903 × TB (m)] + 20 Perempuan: 135,3 − 30,8 × usia (th) + PA × [10 × BB (kg) + 934 × TB (m)] + 20 9–18 th Laki-laki: 88,5 − 61,9 × usia (th) + PA × [26,7 × BB (kg) + 903 × TB (m)] + 25 Perempuan: 135,3 − 30,8 × usia (th) + PA × [10 × BB (kg) + 934 × TB (m)] + 25
PGK PGK HemoPeritoneal Stadium 3 Stadium 4–5 dialisis Dialisis Estimated Energy Requirement (EER) 100% EER 100% EER 100% EER 100% EER
Sumber: KDOQI Work Group 2009
Tabel 214 Kebutuhan Protein pada Anak dengan Penyakit Ginjal Kronik Usia
Asupan Protein yang Direkomendasikan (g/kgBB/hr)
PGK Stadium 3
0–6 bl 7–12 bl 1–3 th 4–13 th 14–18 th
1,50 1,20 1,05 0,95 0,85
1,50–2,10 1,20–1,70 1,05–1,50 0,95–1,35 0,85–1,20
PGK Stadium 4–5 Hemodialisis Peritoneal Dialisis Dietary Reference Intake (DRI) 1,50–1,80 1,60 1,8 1,20–1,50 1,30 1,5 1,05–1,25 1,15 1,3 0,95–1,15 1,05 1,1 0,85–1,05 0,95 1,0
Catatan: Pada keadaan hemodialisis DRI ditambahkan 0,1 g/kgBB/hr, sedangkan pada keadaan peritoneal dialisis DRI ditambahkan 0,15–0,3 g/kgBB/hr Sumber: KDOQI Work Group 2009
Kebutuhan Cairan dan Elektrolit Kebutuhan cairan dan elektrolit pada anak PGK harus dibatasi apabila telah terjadi oligouria atau anuria untuk mencegah penyulit. Kebutuhan cairan harian yang direstriksi dapat dirumuskan sebagai berikut: Daily fluid restriction = Insensible fluid losses + Urine output + Amount to replace additional losses Sumber: KDOQI Work Group 2009
Insensible fluid losses pada anak dibedakan berdasarkan kelompok usia, untuk bayi prematur 40 mL/kgBB/hr, neonatus 20–30 mL/kgBB/ hr, dan anak serta dewasa 20 mL/kgBB/hr atau 400 mL/m2 Kebutuhan elektrolit pada anak PGK disesuaikan dengan kondisi klinis yang terjadi. Apabila didapatkan hipertensi atau kelebihan cairan maka kebutuhan natrium harus dibatasi 1,5–2,4 g/hr atau setara dengan 1–2 mmol/kgBB/hr. Apabila dilakukan hemodialisis atau peritoneal dialisis maka kemungkinan dapat terjadi kehilangan natrium sehingga perlu suplementasi natrium 2–4 mmol/kgBB/hr. Kebutuhan kalium juga harus dibatasi untuk mencegah hiperkalemia. Pada bayi dan anak dapat diberikan kalium 40–120 mg/hr atau 1–3 mg/kgBB/hr Kebutuhan Mikronutrien Mikronutrien seperti vitamin A, B1, B2, B3, B5, B6, B8, B12, C, K, zinc, dan asam folat digunakan untuk membantu proses metabolisme. Apabila kebutuhan mikronutrien tersebut tidak dapat terpenuhi dalam kebutuhan harian dalam makanan, maka suplementasi mikronutrien seperti vitamin dan mineral dapat diberikan pada anak PGK Pada anak PGK, keseimbangan kalsium di dalam tubuh mengalami gangguan. Hal ini disebabkan karena peningkatan absorbsi kalsium dalam usus dan berkurangnya kadar vitamin D dalam darah Tabel 215 Rekomendasi Asupan Kalsium untuk Anak PGK Stadium 2–5 Usia
DRI
Batas Maksimal (Untuk Anak Sehat)
Batas Maksimal Untuk PGK Stadium 2–5
0–6 bl 7–12 bl 1–3 th 4–8 th 9–18 th
210 270 500 800 1.300
ND ND 2.500 2.500 2.500
≤420 ≤540 ≤1.000 ≤1.600 ≤2.500
Sumber: KDOQI Work Group 2009
Pada keadaan kekurangan vitamin D dapat diberikan suplementasi vitamin D sebagai berikut:
895
Tabel 216 Rekomendasi Suplementasi Vitamin D pada Anak PGK Kadar 25(OH)D (ng/mL) serum
Definisi
<5
Defisiensi vitamin D berat Defisiensi vitamin D sedang Insufisiensi vitamin D
5–15 16−30
Dosis Ergocalciferol (Vitamin D2), Cholacalciferol (Vitamin D3)
Durasi (Bulan)
8.000 IU/hr
3
4.000 IU/hr
3
2.000 IU/ hr
3
Sumber: KDOQI Work Group 2009
Pada anak PGK stadium 3–5 disarankan pengurangan asupan fosfor apabila nilai paratiroid hormon serum di atas nilai kadar kisaran pada PGK dan kadar fosfor serum dalam batas normal sesuai usia. Makanan yang mengandung fosfor adalah buncis, kacang, sereal, dan kacang polong. Apabila asupan fosfor telah direstriksi maka harus dilakukan pemantauan konsentrasi fosfor dalam darah atau pemeriksaan min. setiap 3 bl pada anak PGK stadium 3–4 dan setiap bl pada anak PGK stadium 5 Bibliografi 1. Apostolou A, Karagiozoglou-Lampoudi T. Dietary adherence in children with chronic kidney disease: a review of the evidence. J Ren Care. 2014 Jun;40(2):125–30. 2. Armstrong JE, Laing DG, Wilkes FJ, Kainer G. Smell and taste function in children with chronic kidney disease. Pediatr Nephrol. 2010 Aug;25(8):1497–1504. 3. Foster JB, McCauley L, Mak RH. Nutrition in infants and very young children with chronic kidney disease. Pediatr Nephrol. 2012 Sep;27(9):1427 Nutrition in infants and very young children with chronic kidney disease 39. 4. Garibotto G, Sofia A, Saffioti S, Bonanni A, Mannucci I, Parodi EL, dkk. Effects of peritoneal dialysis on protein metabolism. Nutr Metab Cardiovasc Dis. 2013 Dec;23(Suppl 1):S25–30. 5. Griffin LM, Denburg MR, Shults J, Furth SL, Salusky IB, Hwang W, dkk. Nutritional vitamin D use in chronic kidney disease: a survey of pediatric nephrologists. Pediatr Nephrol. 2013 Feb;28(2):265– 75. 6. Guyton AC, Hall JE, penyunting. Textbook of medical physiology. Edisi ke-11. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2006. 7. Harambat J, van Stralen KJ, Kim JJ, Tizard EJ. Epidemiology of chronic kidney disease in children. Pediatr Nephrol. 2012 Mar; 27(3):363–73. 8. Insel P, Ross D, McMahon K, Bernstein M, penyunting. Dalam: Nutrition. Edisi ke-4. Sudbury: John and Bartlett Publishers; 2010. 9. Kydney Disease Improving Global Outcomes. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the evaluation and management of chronic kidney disease. Kidney Int Suppl. 2013 Jan;3(1):1–150. 896
10. KDOQI Work Group. KDOQI clinical practice guideline for nutrition in children with CKD: 2008 update. Executive summary. Am J Kidney Dis. 2009 Mar;53(3 Suppl 2):S11–104. 11. Kovesdy CP. Significance of hypo- and hypernatremia in chronic kidney disease. Editorial Review. Nephrol Dial Transplant. 2012 Mar;27(3):891–8. 12. Massengill SF, Ferris M. Chronic kidney disease in children and adolescents. Pediatr Rev. 2014 Jan;35(1):16–29. 13. National Kydney Disease Education Program. Chronic kidney disease (CKD) and diet: assessment, management, and treatment. Treating CKD patients who are not on dialysis. An overview guide for dietitians. Revised June 2014 [diunduh 12 September 2014]. Tersedia dari: http://nkdep.nih.gov/resources/ ckd-diet-assess-manage-treat-508.pdf. 14. Oliveira CM, Kubrusly M, Mota RS, Silva CA, Oliveira VN. Malnutrition in chronic kidney failure: what is the best diagnostic method to assess? J Bras Nefrol. 2010 Mar;32(1):55–68. 15. Rees L, Jones H. Nutritional management and growth in children with chronic kidney disease. Pediatr Nephrol. 2013 Apr;28(4): 527–36. 16. Sienna JL, Saqan R, Teh JC, Frieling ML, Secker D, Cornelius V, dkk. Body size in children with chronic kidney disease after gastrostomy tube feeding. Pediatr Nephrol. 2010 Oct;25(10): 2115–21. 17. Sozeri B, Mir S, Kara OD, Dincel N. Growth impairment and nutritional status in children with chronic kidney disease. Iran J Pediatr. 2011 Sep;21(3):271−7. 18. Tortora GJ, Derrickson BH. Principles of anatomy and physiology, atlas and registration card. Edisi ke-11. Danvers: Biological Sciences Textbooks Inc. and Bryan Derrickson; 2006. 19. Walker K. Guidelines for the nutritional management of children with renal disease. Dietetics Department Royal Hospital for Sick Children, Women and Children’s Directorate. March 2013 [diunduh 12 September 2014]. Tersedia dari: http://www.clinical guidelines.scot.nhs.uk/Dietetics/YOR-DIET-001%20Nutritional%2 0Management%20of%20Children%20With%20Renal%20Disease %20March%202012.pdf. 20. Wright M, Jones C. Clinical practice guidelines. Nutrition in CKD. th 5 Edition, 2009–2010 [diunduh 12 September 2014]. Tersedia dari: http://www.renal.org/docs/default-source/guidelines-reso urces/Nutrition_in_CKD_-_Final_Version_-_17_March_2010.pdf? sfvrsn=0.
897
Respirologi Cissy B. Kartasasmita Adi Utomo Suardi Heda Melinda Nataprawira Sri Sudarwati Diah Asri Wulandari
RINITIS (COMMON COLD) Batasan Penyakit infeksi saluran respiratori atas yang bersifat akut, dapat sembuh sendiri (self-limiting) dan disebabkan oleh infeksi virus
Etiologi Virus: Rhinovirus (30–50%) Coronavirus (10–15%) Virus influenza (5–15%) Respiratory syncytial virus/RSV (5%) Virus parainfluenza (5%) Adenovirus (5%) Gejala klinis yang terjadi biasanya karena respons imunitas innate, bukan karena kerusakan akibat virus
Patogenesis Infeksi virus pada mukosa nasofaring tidak menyebabkan langsung manifestasi klinis, tetapi melalui respons inflamasi. Virus yang masuk terdeposit pada mukosa hidung dan konjungtiva → melekat pada reseptor di nasofaring → masuk dan menginfeksi → sel terinfeksi melepas sitokin (IL-8) yang merupakan kemoatraktan bagi sel polymorphonuclear (PMN) → permeabilitas vaskular ↑ dan cairan plasma (bradikinin, albumin) keluar → sekresi nasal ↑
Kriteria Diagnosis Anamnesis Gejala berupa bersin, hidung tersumbat, pilek, nyeri tenggorokan, batuk, demam tidak begitu tinggi, sakit kepala ringan, mata berair, dan malaise Masa inkubasi 24–72 jam Gejala juga dapat bergantung pada usia: Bayi: demam, pilek, tidak mau makan, rewel Usia sekolah: hidung tersumbat, batuk berdahak, bersin-bersin Pemeriksaan Fisis Hidung: sekret hidung (+) jernih dan encer tetapi dapat menjadi lebih kental dan berwarna kekuningan sesudah beberapa hari, edema dan hiperemis mukosa (+) Demam tidak begitu tinggi, limfadenopati servikal anterior → jarang
Diagnosis Banding Rinitis alergi Benda asing Rinitis vasomotor Rinitis medikamentosa Rinosinusitis 901
Penyulit Sinusitis bakterial akut Infeksi saluran respiratori akut bawah (bronkiolitis karena infeksi RSV) Otitis media akut (risiko meningkat pada anak usia 6–11 bl) Konjungtivitis Faringitis
Tatalaksana Terapi suportif, cairan dan makanan diberikan secukupnya Demam → obat penurun panas (pemberian aspirin tidak disarankan karena efek samping Reye’s syndrome) Antibiotik tidak dibenarkan kecuali ada komplikasi infeksi bakteri Zinc dapat dipertimbangkan, karena dapat mengurangi hari sakit, walaupun sampai saat ini masih menjadi perdebatan Edukasi kepada orangtua penting untuk menjelaskan perjalanan penyakit dan terapi yang diberikan
Pencegahan Mencuci tangan secara teratur dan tidak menyentuh mulut, hidung, dan mata secara sembarangan Disinfeksi Imunisasi Probiotik (beberapa penelitian menunjukkan ↓ angka kejadian sakit)
Bibliografi 1. Centers for Disease Control. Rhinitis versus sinusitis in children. 2012. [diunduh 28 Agustus 2012]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/ getsmart/campaign–materials/info–sheets/child–rhin–vs–sinus. 2. Goldman RD, Canadian Paediatric Society, Drug Therapy and Hazardous Substances Committee. Treating cough and cold: guidance for caregivers of children and youth. Pediatr Child Health. 2011 Nov;16(9):564–6. 3. Pappas DE, Hendley JO. The common cold and decongestant therapy. Pediatr Rev. 2011 Feb;32(2):47–54. 4. Roxas M, Jurenka J. Colds and influenza: a review of diagnosis and conventional, botanical, and nutritional consider. Altern Med Rev. 2007 Mar;12(1):25–48. 5. Science M, Johnstone J, Roth DE, Guyatt G, Loeb M. Zinc for the treatment of the common cold: a systematic review and metaanalysis of randomized controlled trials. CMAJ. 2012 Jul;184(10): E551–61. 6. Turner RB. Hayden GF. The common cold. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelpia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 5144–54.
902
RINOSINUSITIS Sinus paranasal merupakan lokasi yang sering terinfeksi pada anak dan remaja. Infeksi sinus paranasal sering menyebabkan morbiditas dan dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa. Infeksi saluran respiratori atas yang disebabkan oleh virus kebanyakan terdapat pada hidung dan sinus paranasal (viral rinosinusitis). Penyebab bakteri biasanya hanya melibatkan sinus paranasal sedangkan hidung hanya terlibat sebagai saluran yang dilalui oleh sekret yang diproduksi sinus. Faktor predisposisi sinusitis yang disebabkan bakteri yaitu infeksi respiratori atas (IRA) yang disebabkan oleh virus (80%) serta reaksi inflamasi yang disebabkan alergi (20%)
Batasan Sinusitis sering kali disebut juga sebagai rinosinusitis karena umumnya muncul bersamaan dan terdapat bukti keterlibatan mukosa nasal selama berlangsungnya sinusitis Rinosinusitis: peradangan pada mukosa hidung dan sinus paranasalis Rinosinusitis terbagi atas: Rinosinusitis akut: berlangsung selama ≤4 mgg Rinosinusitis subakut: 4–12 mgg Rinosinusistis kronik: gejala berlangsung >12 mgg Rinosinusitis rekurens: 3 episode atau lebih selama 1 th tanpa gejala yang menetap antarepisode
Etiologi Virus, bakteri (S. pneumoniae, H. influenzae, M. catarrhalis), defisiensi imun, fibrosis kistik, disfungsi silier, refluks gastrointestinal, defek anatomis seperti cleft palate, polip hidung, benda asing di hidung (termasuk pipa nasogastrik)
Klasifikasi Berdasarkan etiologi mikroorganisme penyebab sinusitis akut: Sinusitis viral Sinusitis yang disebabkan virus biasanya dimulai dengan nyeri tenggorokan yang diikuti suara serak dan batuk. Demam biasanya terjadi pada awal penyakit dan menghilang dalam 1–2 hr. Hidung tersumbat dan hidung meler merupakan gejala yang dominan dengan karakter sekret yang pada awal bersifat jernih dan encer lama-kelamaan menjadi mukoid dan keruh. Saat akan membaik sekret akan mengering atau kembali menjadi encer dan jernih. Gejala ini berlangsung selama 10 hr Sinusitis bakterialis akut Gejala IRA atas menetap yaitu >10 hr (0,5–2%) merupakan komplikasi IRA atas Demam tinggi >38,5 °C (3–4 hr) disertai dengan sekret nasal yang purulen Pada anak besar dapat mengeluh nyeri fokal pada wajah 903
Pola gejala bifasik yaitu sesudah gejala IRA membaik, 1 mgg kemudian mengalami perburukan berupa demam tinggi, hidung tersumbat dan sekret hidung purulen
Diagnosis Diagnosis klinis sinusitis bakterial akut pada anak ≤6 th harus didasarkan dari riwayat penyakit/kriteria klinis Anamnesis Gejala utama Hidung tersumbat Sekret hidung jernih sampai purulen Anterior/postnasal drip Nyeri wajah Gejala lain Demam (>39 °C) Batuk Malaise Sakit kepala Napas berbau (halitosis) Edema periorbital Pemeriksaan Fisis Hidung: mukosa eritema dan bengkak; sekret (+) Sinus: sinus tenderness Transiluminasi rongga sinus → cairan dalam sinus (sulit dilakukan pada anak dan kurang dapat dipercaya) Pemeriksaan Penunjang Foto sinus (foto Water): penebalan mukosa dan opasifikasi sinus atau air-fluid level (menunjukkan inflamasi sinus, tetapi tidak dapat membedakan virus atau bakteri atau alergi sebagai penyebab inflamasi) Catatan: Batuk pilek (common cold) sering kali memberikan gambaran keterlibatan sinus, oleh karena itu melakukan pemeriksaan foto sinus harus dipertimbangkan secara hati-hati. Pemeriksaan radiologis tidak rutin dilakukan pada pengelolaan awal untuk kecurigaan sinusitis bakterial akut tanpa komplikasi. Pemeriksaan radiologis tidak diperlukan untuk memastikan diagnosis CT-scan sinus paranasalis dilakukan apabila operasi merupakan penatalaksanaan yang dipertimbangkan dilakukan pada gejala yang berat, rekurens atau sebelum operasi, penderita imunokompromais, dan kecurigaan komplikasi
Diagnosis Banding Infeksi saluran respiratori atas akibat virus: demam, batuk, pilek <10–14 hr, didahului demam Rinitis alergika: biasanya musiman dan ditemukan eosinofilia pada pemeriksaan sekret hidung 904
Rinitis nonalergika Benda asing dalam hidung
Penyulit Orbital Selulitis periorbital: eritema dan pembengkakan jaringan sekitar bola mata Selulitis orbital: proptosis, kemosis, ketajaman penglihatan ↓, penglihatan ganda, gangguan pergerakan mata, nyeri mata Intrakranial Meningitis, trombosis sinus kavernosus, empiema subdural, abses epidural, abses otak, osteomielitis tulang frontal Apabila diidentifikasi kecurigaan penyulit → terapi antibiotik agresif dan rujuk THT atau mata atau bedah saraf
Tatalaksana Antibiotik Amoksisilin 50 mg/kgBB/hr atau amoksisilin dan asam klavulanat (amoksisilin dosis standar) p.o dibagi 2 dosis → faktor risiko (−) untuk S. pneumoniae resisten-penisilin yaitu: Tinggal di penitipan anak Baru mendapat antibiotik (<30 hr) Usia <2 th Terpajan lingkungan asap rokok Apabila tidak berespons dalam 72 jam → amoksisilin dan asam klavulanat dosis tinggi Amoksisilin dosis tinggi (80–90 mg/kgBB/hr) atau amoksisilin dan asam klavulanat (amoksisilin dosis tinggi) p.o dibagi 2 dosis → faktor risiko (+), diberikan selama 10–14 hr Tidak berespons dalam 72 jam → sefuroksim 30 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis atau sefpodoksim 10 mg/kgBB → 1×/hr (antibiotik lini ke-2) Klindamisin dan sefiksim (antibiotik lini ke-3) → gagal dengan lini ke-2 Klaritromisin/azitromisin/trimetoprim-sulfametoksazol → bila alergi penisilin Sinusitis frontalis → seRriakson parenteral Lama terapi: bersifat individual dan berlangsung sampai 7 hr bebas gejala (min. 10–14 hr) Obat batuk dan obat utuk mengatasi kongesti → tidak rutin
Konsultasi Bila tidak menunjukkan respons dengan terapi awal (min. sesudah 6 mgg pemberian antibiotik) → konsul THT Bila diperlukan → konsul mata
Bibliografi 1. American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Management of Sinusitis and Committee on Quality Improvement. Clinical practice guideline: management of sinusitis. Pediatrics. 2001 Sep;108(3):798–808. 905
2. CDC. Rhinitis versus sinusitis in children [diunduh 28 Agustus 2012]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/getsmart/campaignmaterials/info-sheets/child-rhin-vs-sinus. 3. Centers for Disease Control. Careful antibiotic use [diunduh 28 Agustus 2012]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/getsmart/ campaign-materials/info-sheets/child-approp-treatmt. 4. Chow AW, Benninger MS, Brook I, Brozek JL, Goldstein EJ, Hicks LA, dkk. IDSA clinical practice guideline for acute bacterial rhinosinusitis in children and adults. Clin Infect Dis. 2012 Apr; 54(8):e72–112. 5. DeMuri GP, Wald ER. Complications of acute bacterial sinusitis in children. Pediatr Infect Dis J. 2011 Aug;30(8):701–2. 6. Desrosiers M, Gerald AE, Keith PK, Wright ED, Kaplan A, Bouchard J, dkk. Canadian clinical practice guidelines for acute and chronic rhinosinusitis. Allergy Asthma Clin Immunol. 2011 Feb;7(2):1–2. 7. Dowell SF, Schwartz B, Phillips WR. Evidence-based cure guideline for medical management of acute bacterial sinusitis in children 1 through 17 years of age [diunduh 26 Juli 2012]. Tersedia dari: http://www.cincinnatichildrens.org/svc/alpha/h/hea th-policy/ev-based/sinus.htm. 8. Leung RS, Katial R. The diagnosis and management of acute and chronic sinusitis. Prim Care. 2008 Mar;35(1):11–24. 9. McQuillan L, Crane LA, Kempe A. Diagnosis and management of acute sinusitis by pediatrician. Pediatrics. 2009 Feb;123(2):e193–8. 10. Meltzer EO, Hamilos DL. Rhinosinusitis diagnosis management for clinician: a synopsis of recent consensus guideline. Mayo Clinic Proc. 2011 May;86(5):427–43. 11. Pappas DE, Hendley JO. Sinusitis. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi Ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 1436–9. 12. Ramadan HH. Chronic rhinosinusitis in children. Int J Pediatr. 2012;2012:573942. 13. Shapiro DJ, Gonzales R, Cabana MD, Hersh AL. National trends in visit rates and antibiotic prescribing for children with acute sinusitis. Pediatrics. 2011 Jan;127(1):28–34.
906
FARINGITIS AKUT Batasan Peradangan akut pada saluran respiratori atas yang meliputi faring dan tonsil sehingga sering disebut tonsilofaringitis
Etiologi Faringitis akut dapat disebabkan oleh virus (adenovirus, influenza virus tipe A dan B, parainfluenza virus tipe 1−4, enterovirus) atau bakteri yang tersering adalah group A β-hemolytic streptococci= GABHS). Faringitis streptokokus terjadi pada semua usia, tersering pada anak sekolah dan remaja dan jarang pada anak <3 th
Diagnosis Anamnesis Dapat ditemukan keluhan demam, lesu, nafsu makan ↓, suara serak, batuk, dan pilek Gejala dan tanda faringitis GABHS sering tumpang tindih dengan faringitis yang bukan disebabkan GABHS, sehingga tidak mungkin menegakkan diagnosis hanya berdasarkan temuan klinis. Tidak satupun dari riwayat penyakit dan pemeriksaan fisis yang dapat memastikan atau menyingkirkan faringitis GABHS Pemeriksaan Fisis Faring hiperemis dan tonsil membesar, kadang-kadang disertai eksudat/lakuna, petekia pada palatum mole, pembesaran kelenjar getah bening leher anterior yang nyeri pada penekanan Tabel 217 Sistem Skoring (Modified Centor Score) untuk Memperkirakan Faringitis Group A β–hemolytic Streptococci Kriteria
Skor
Demam (suhu >38 °C) Batuk (−) Nodus kenyal, nyeri pada servikal anterior Pembesaran tonsil Usia (th) 3–<15 15–<45 ≥45 *Skor 0/(−): 1–2,5%; skor 1: 5–10%; skor 2: 11–17%; skor 3: 28–35%; skor 4: 51–53% Sumber: Wessel 2011
Pemeriksaan Penunjang Rapid antigen detection Kultur apus tenggorok 907
1 1 1 1 1 0 −1
Tatalaksana Umum: istirahat, analgetik Khusus: antibiotik (pada infeksi GAHBS) Penisilin V merupakan antibiotik pilihan, dosis 40 mg/kgBB/hr p.o. selama 10 hr. Apabila tidak tersedia berikan amoksisilin oral (mempunyai efektivitas yang sama dengan penisilin V) 20 mg/kgBB/hr 2×/hr diberikan selama 10 hr atau 50 mg/kgBB/hr 1×/hr (maks. 1 g) selama 10 hr. Pada keadaan ringan direkomendasikan 12,5 mg/kgBB/dosis, 2×/hr atau 10 mg/kgBB/dosis 3×/hr. Pada keadaan berat 22,5 mg/kgBB/dosis, 2×/hr atau 13,3 mg/kgBB/dosis 3×/hr Sefadroksil 30 mg/kgBB/hr 1×/hr selama 10 hr Antibiotik untuk anak yang alergi penisilin: Eritromisin estolate 20–40 mg/kgBB/hr selama 10 hr Klindamisin 30 mg/kgBB/hr 2×/hr (maks. 1,8 g/hr) selama 10 hr Azitromisin 12 mg/kgBB/hr 1×/hr (maks. 500 mg) selama 5 hr Klaritromisin 15 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis (maks. 250 mg) selama 10 hr Amoksisilin klavulanat 40 mg/kgBB/hr, 3×/hr selama 10 hr
Penyulit Komplikasi Supuratif Limfadenitis servikal, abses peritonsiler, abses retrofaringeal, otitis media, mastoiditis, sinusitis Komplikasi ini terjadi apabila tanda dan gejala tidak mendapat pengobatan seharusnya Sekuele Nonsupuratif Demam reumatik akut, glomerulonefritis akut poststreptokokal, Sydenham chorea, artritis reaktif
Bibliografi 1. Asher MI, Grant CC. Infection of the upper respiratory tract. Dalam: Taussig LM, Landau LI, Souef PN, Morgan WJ, Martinez FD, Sly PD, penyunting. Pediatric respiratory medicine. Edisi ke-2. Phyladelphia: Elsevier; 2008. hlm. 453–80. 2. Chiappini E, Regoli M, Bonsignori F, Sollai S, Parretti A, Galli L, dkk. Analysis of different recommendations from international guidelines for the management of acute pharyngitis in adults and children. Clin Ther. 2011 Jan;33(1):48–58. 3. Wessel MR. Clinical practice. Streptococcal pharyngitis. N Engl J Med. 2011 Feb;364(7):648–55.
908
OTITIS MEDIA AKUT Batasan Peradangan akut pada saluran telinga bagian tengah
Etiologi Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Branhamella catarrhalis, Streptococcus β hemolyticus group A, Staphylococcus aureus
Diagnosis Anamnesis Pada anamnesis dapat ditemukan keluhan demam tinggi yang sering kali dirasakan terus-menerus disertai dengan nyeri telinga dan pendengaran berkurang Pemeriksaan Fisis Pemeriksaan otoskop: membran timpani hiperemis dan menonjol Pemeriksaan Penunjang Diagnosis pasti bila memenuhi 3 kriteria, yaitu onset cepat, tanda efusi telinga tengah, gejala inflamasi telinga tengah Kondisi ringan: otalgia ringan dan demam <39 °C Kultur sekret telinga
Tatalaksana Umum Istirahat dan pemberian analgesik Khusus Tabel 218 Pemberian Antibiotik Usia
Diagnosis Pasti
Diagnosis Tidak Pasti
<6 bl Terapi antibiotik 6 bl–2 th Terapi antibiotik
Terapi antibiotik Terapi antibiotik bila kondisi berat, observasi 48–72 jam bila kondisi ringan Observasi
≥2 th
Terapi antibiotik bila kondisi berat, observasi 48–72 jam bila kondisi ringan Pemberian agen topikal* Siprofloksasin/hidrokortison 3 tetes, 2× sehari Hidrokortison/neomisin/polimiksin B 4 tetes, 3–4× sehari Ofloksasin 5 tetes, 2× sehari *Obat ini digunakan 7–10 hr kronik supuratif otitis media Sumber: Ramakrishnan dkk. 2007
909
Antibiotik Amoksisilin (pilihan utama) pada otitis media tanpa komplikasi. Pilihan antibiotik lain: amoksisilin + asam klavulonat, eritromisin + sulfonamid, azitromisin, klaritromisin, serta sefalosporin generasi ke-2 dan 3 (seperti: sefiksim, seprozil, sefuroksim) Dosis: Amoksisilin 80−90 mg/kgBB/hr selama 10 hr Bila alergi terhadap penisilin: Azitromisin 10 mg/kgBB pada hr pertama selanjutnya 5 mg/kgBB selama 4 hr dosis tunggal Klaritromisin 15 mg/kgBB selama 10 hr atau 5−7 hr bila berusia ≥6 th Sefuroksim 30 mg/kgBB terbagi dalam 2 dosis Seftriakson 50 mg/kgBB selama 1–3 hr Miringektomi Indikasi: Anak dengan kondisi berat Imunokompromais Neonatus usia <2 mgg OMA berulang
Bibliografi 1. Choby BA. Diagnosis and treatment of strephtococcal pharyngitis. Am Fam Physician. 2009 Mar;79(5):383–90. 2. Gould JM, Matz PS. Otitis media. Pediatr Rev. 2010 Mar;31(3): 102–16. 3. Guasekera H, Morris PS, McIntyre P, Craig JC. Management of children with otitis media: a summary of evidence from recent systematic reviews. J Pediatr Child Health. 2009 Oct;45(10):554– 62. 4. Ramakrishnan K, Sparks RA, Berryhill WE. Diagnosis and treatment of otitis media. Am Fam Physician. 2007 Dec;76(11): 1650–8.
910
SINDROM CROUP Batasan Kelompok penyakit yang bervariasi dalam hal anatomik yang terlibat dan mikroorganisme penyebab. Sering kali mengenai anak dan bermanifestasi suara serak, batuk menggonggong, stridor inspirasi, dan berbagai derajat distres pernapasan
Epidemiologi Sindrom croup meliputi 15% penyakit yang sering dijumpai. Insidensi 1,5–6% terutama pada usia 13–24 bl. Umumnya menyerang anak usia 6 bl–4 th
Klasifikasi Sindrom croup meliputi: Laringotrakeobronkitis viral Spasmodic croup Epiglotitis Trakeitis bakteri Abses peritonsilar 1. Laringotrakeobronkitis atau Disebut juga Viral Croup Batasan Penyakit infeksi saluran respiratori yang menyebabkan pada daerah laring dan faring obstruksi saluran respiratori atas Etiologi Parainfluenzae virus tipe 1, 2, 3, influenzae virus A dan B, RSV, adenovirus, herpes virus, human metapneumovirus. Infeksi bakteri jarang terjadi Manifestasi Klinis Sering terjadi pada usia 3 bl–3 th. Gejala didahului dengan rhinorrhea, faringitis, dan panas badan tidak begitu tinggi selama beberapa hr, dapat juga disertai dengan batuk ringan. Dalam waktu 12–48 jam mulai tampak gejala obstruksi saluran respiratori atas. Anak mulai mengalami batuk menggonggong, suara serak, dan stridor inspirasi dengan atau tanpa demam. Gejala umumnya mulai membaik dalam 3–7 hr. Pada kasus berat, manifestasi klinis dapat berlangsung 7–14 hr Pemeriksaan Fisis Takipnea, faring hiperemis/normal, coryza, demam Pemeriksaan Penunjang Leukosit >10.000/mm3 (predominasi PMN), foto Rontgen soft tissue leher menunjukkan penyempitan di daerah subglotis (steeple sign)
911
2. Spasmodic Croup Batasan Penyakit yang ditandai dengan terbangunnya anak tiba-tiba pada malam hari menunjukkan stridor, batuk menggonggong, dan suara parau Etiologi Belum jelas, mungkin berhubungan dengan reaksi alergi terhadap antigen virus, sering muncul pada anak dengan faktor atopi Manifestasi Klinis Anamnesis Sering terjadi pada usia 3 bl–3 th Gejala muncul tiba-tiba, biasanya anak terbangun dari tidurnya pada malam hari dengan gejala sesak napas dan stridor, umumnya tanpa panas badan Gejala obstruksi berupa stridor, batuk menggonggong, dan suara parau dapat bersifat ringan atau sedang, jarang terjadi berat atau progresif Keadaan ini dapat sembuh spontan atau muncul berulang Pemeriksaan Fisis Mukosa laring tampak pucat Pemeriksaan Penunjang Foto Rontgen toraks: dapat ditemukan gambaran thumb sign akibat pembengkakan epiglotis 3. Epiglotitis Batasan Keadaan yang mengancam jiwa anak akibat obstruksi saluran respiratori yang disebabkan peradangan akut disertai edema pada daerah supraglotis laring yang meliputi epiglotis beserta plika ariepiglotika dan hipofaring dan disebut juga supraglotitis Etiologi Haemophilus influenzae tipe B (99%), Streptococcus β hemolyticus group A, Staphylococcus aureus (jarang) Manifestasi Klinis Anamnesis Paling sering pada anak 2–7 th Gejala klinis muncul tiba-tiba dengan panas badan tinggi, sakit tenggorokan, nyeri menelan, batuk, dan dalam beberapa jam cepat menjadi progresif, sehingga muncul stridor inspirasi, disfagia, megap-megap, pucat, gelisah, sianosis, dan tampak toksik Pada anak yang besar biasanya berada dalam posisi duduk membungkuk ke depan, mulut terbuka, lidah menjulur, dan air liur menetes (tripod sign) Biasanya tidak didahului infeksi saluran respiratori atas 912
Pemeriksaan Fisis Menunjukkan tanda/gejala distres pernapasan Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang hanya boleh dilakukan dalam ruang perawatan intensif Leukositosis dengan pergeresan ke kiri Foto Rontgen soft tissue leher AP menunjukkan pembesaran dan pembengkakan epiglotis serta pelebaran hipofaring Gambaran radiologi khas yaitu thumb print like pada epiglotis yang membengkak Laringoskopi: epiglotis tampak pucat 4. Trakeitis Bakteri Batasan Keadaan yang mengancam jiwa akibat infeksi bakteri akut pada saluran respiratori atas yang tidak melibatkan epiglotis, sehingga menimbulkan obstruksi saluran respiratori yang berat dan dapat berakhir dengan kematian Biasanya epiglotitis dapat juga ditemukan pada trakeitis bakteri Sering juga disebut sebagai pseudomembranous croup Etiologi Staphylococcus aureus (terbanyak), Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza tipe B, M. catarrhalis Manifestasi Klinis Biasanya menyerang anak <3 th Batuk menggonggong, stridor inspirasi, dan panas tinggi diawali dengan infeksi saluran respiratori atas ringan beberapa hari sebelumnya Penderita tampak toksik dengan distres napas dan obstruksi saluran respiratori Gejala lainnya seperti tercekik, ortopnea, nyeri menelan, sering disertai infeksi penyerta terutama pneumonia Pemeriksaan Penunjang Leukositosis dengan pergeseran ke kiri Radiologi: foto Rontgen soft tissue leher AP menunjukkan penyempitan di daerah subglotis. Foto Rontgen soft tissue leher lateral menunjukkan kolom trakea tampak buram dengan iregularitas pada jaringan lunak luminal. Laringoskopi: tampak banyak sekret kental di trakea 5. Abses Retrofaringeal Etiologi Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae B
beberapa
Manifestasi Klinis Biasanya menyerang anak <6 th Gejala biasanya tidak spesifik 913
spesies
Streptococcus,
Anak dapat mengalami panas badan tinggi, disfagia, serta nyeri dan kekakuan pada leher, stridor, drooling Pemeriksaan Fisis Terkadang dapat ditemukan massa retrofaringeal atau massa pada leher yang dapat terlihat dari luar dan teraba, serta panas badan Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: leukositosis dengan pergeseran ke kiri (shift to the left) Radiologi: foto Rontgen soft tissue leher lateral menunjukkan pelebaran jaringan lunak di daerah prevertebral Tabel 219 Penilaian Derajat Croup (Westley Score) Indikator
Skoring
Stridor inspiratori Tidak ada Hanya dengan aktivitas Saat istirahat Retraksi interkostal Tidak ada Ringan Sedang Berat Udara masuk Normal Berkurang sedikit Berkurang banyak Sianosis Tidak ada Saat aktivitas Saat istirahat Tingkat kesadaran Normal Terganggu
0 1 2 0 1 2 3 0 1 2 0 4 5 0 5
Sumber: Malhotra dan Krilov 2011 Keterangan: <4: derajat ringan; 4–6: derajat sedang; >6: derajat berat
Tatalaksana Penguapan Tidak terbukti efikasi terapi penguapan pada croup Oksigen Oksigen diberikan pada anak dengan hipoksia (saturasi oksigen pada udara ruangan <92%) dan distres pernapasan yang signifikan Analgesik dan Antipiretik Tidak ada penelitian tentang penggunaan analgesik atau antipiretik pada anak dengan croup. Penggunaan analgesik atau antipiretik 914
membuat anak lebih nyaman karena dapat ↓ gejala demam dan nyeri Antitusif dan Dekongestan Tidak ada penelitian tentang penggunaan antitusif dan dekongestan pada anak dengan croup, serta tidak ada dasar rasional dalam penggunaannya sehingga tidak boleh diberikan pada anak dengan croup Antibiotik Epiglotitis: antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga (seftriakson atau sefotaksim) selama 7–10 hr. Kloramfenikol selama 5 hr sama efektifnya dengan pemberian seftriakson. Trakeitis bakteri dan abses retrofaring: antibiotik spektrum luas selama 10–14 hr i.v. Epinefrin Nebulisasi epinefrin sering kali digunakan untuk meredakan gejala viral croup. Tetapi hal ini dapat menimbulkan beberapa efek samping seperti takikardia dan hipertensi. Selain itu, efeknya hanya sebentar (<2 jam) dan segera sesudah efek tersebut hilang, maka gejala akan muncul kembali (rebound phenomenon). Epinefrin dibatasi pada serangan viral croup. Nebulisasi epinefrin 1/1.000 0,4–0,5 mL/kgBB (maks. 5 mL) tanpa diencerkan mempunyai efektivitas dengan rasemic epinefrin: epinefrin 2,25%, 0,5 mL dilarutkan dengan 4,5 mL NaCl fisiologis Penderita harus diobservasi selama 6 jam sesudah nebulisasi. Pemberian epinefrin dapat diulang Continuous epinefrin digunakan pada anak yang mendapat perawatan di ICU Kortikosteroid Kortikosteroid terbukti dapat mengurangi edema pada mukosa laring Dosis deksametason 0,15–0,6 mg/kgBB (maks. 10 mg/hr) p.o. atau nebulisasi steroid → budesonid, flutikason) Efektivitas steroid oral sama dengan nebulisasi Pemberian oral lebih disukai karena tidak menimbulkan traumatis Hasil penelitian penggunaan kortikosteroid: Kortikosteroid mengurangi jumlah dan lama intubasi, kebutuhan untuk reintubasi, frekuensi serta durasi rawat inap, dan frekuensi kembali ke dokter atau pusat pelayanan kesehatan untuk gejala croup yang persisten Gejala croup lebih ringan dan gangguan tidur lebih ringan dalam 24 jam sesudah terapi Orangtua penderita mengalami stres yang lebih ringan dalam 24 jam sesudah terapi Biaya pengobatan ↓ 915
Tidak ditemukan efek samping, kecuali anak yang mengalami defisiensi imun atau baru terinfeksi varisela Tidak ada penelitian kontrol yang sudah dipublikasikan yang membuktikan bahwa pemberian kortikosteroid dengan dosis multipel memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan dosis tunggal Pada anak dengan muntah → gunakan steroid hirupan Penderita dengan ancaman gagal napas → budesonid diberikan bersamaan dengan epinefrin Intubasi Endotrakea Perlu dilakukan pada penderita yang tidak memberikan respons atau mengalami tanda hiperkarbia dan gagal napas seperti stridor yang bertambah berat, takikardia, takipnea, retraksi, sianosis, atau gangguan kesadaran Drainase Perlu dilakukan pada kasus abses retrofaringeal
916
Tabel 220 Algoritme Penatalaksanaan Croup Penilaian Derajat Obstruksi Jalan Napas Ringan Status mental normal Tidak ada stridor atau hanya ketika terjadi distres Tidak ada atau sedikit penggunaan otot tambahan, tarikan trakea, atau retraksi dinding dada Denyut jantung normal
917
Dapat berbicara dan atau makan
Sedang Cemas, letih Stridor ketika istirahat
Berat Gelisah, sangat lelah
Penggunaan sedikit otot tambahan, tarikan trakea, ataupun retraksi
Penggunaan otot pernapasan tambahan jelas terlihat, tarikan trakea, atau retraksi dinding dada Peningkatan denyut jantung Peningkatan jelas denyut jantung Keterbatasan dalam berbicara Peningkatan kecepatan napas, dan atau makan sangat sulit untuk berbicara dan atau makan Sangat pucat Tonus otot lemah
Mengancam Jiwa Kebingungan, mengantuk
Penggunaan maks. otot tambahan, tarikan trakea, atau retraksi dinding dada
Usaha napas yang jelek Silent chest Sianosis*
*Catatan: jika penderita memiliki tanda dan gejala lintas kategori, selalu tangani berdasarkan gambaran yang paling parah Penanganan Awal Rujuk ke rumah sakit segera Sediakan oksigen Nebulisasi adrenalin empat 1 mL vial (total 4 mL) dari larutan 1:1.000 Jangan dilarutkan
Rujuk ke rumah sakit segera Sediakan oksigen Nebulisasi adrenalin empat 1 mL vial (total 4 mL) dari larutan 1:1.000 Jangan dilarutkan
Pertimbangkan prednisolon Prednisolon oral oral 1,0 mg/kgBB 1,0 mg/kgBB
918
Biarkan anak mengambil posisi yang menurut mereka paling nyaman Berikan informasi kepada orangtua Kirim pulang jika stabil atau diperiksa ulang sesudah 1 jam jika ada perhatian khusus
Biarkan anak mengambil posisi yang menurut mereka paling nyaman Berikan informasi kepada orangtua Dipantau jika fasilitas tersedia atau kirim ke rumah sakit Diperiksa ulang dalam 1 jam
Berikan nebulisasi dengan oksigen jika memungkinkan Prednisolon oral 1,0 mg/kgBB atau deksametason 0,6 mg/kgBB i.m. Biarkan anak mengambil posisi yang menurut mereka paling nyaman
Berikan nebulisasi dengan oksigen jika memungkinkan Prednisolon oral 1,0 mg/kgBB atau deksametason 0,6 mg/kgBB i.m. Biarkan anak mengambil posisi yag menurut mereka paling nyaman
Respons terhadap Pengobatan Respons Baik Kirim pulang ke rumah ketika tidak terdapat tanda dari obstruksi jalan napas sedang hingga berat dan secara klinis baik Sediakan informasi kepada penderita, termasuk alasan untuk kembali Respons Jelek Rujuk ke rumah sakit Penurunan saturasi oksigen merupakan tanda keparahan. Oksigenasi mungkin dipertahankan bahkan pada croup parah SpO2 <92% merupakan indikator peningkatan keparahan. Bagaimanapun, hal ini dikenali bahwa bentuk pemeriksaan ini tidak akan tersedia pada sebagian besar dokter umum Sumber: Rajapaksa dan Starr 2010
Bibliografi 1. Asher MI, Grant CC. Infection of the upper respiratory tract. Dalam: Taussig LM, Landau LI, Souef PN, Morgan WJ, Martinez FD, Sly PD, penyunting. Pediatric respiratory medicine. Edisi ke-2. Philadelphia: Elsevier; 2008. hlm. 453–80. 2. Balfour Lynn IM, Davies JC. Acute infection producing upper airway obstruction. Dalam: Chernick V, Kendig EL, penyunting. Kendig’s disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-7. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 404–15. 3. Bjornson C, Russel KF, Vandermeer B, Durec T, Klassen TP, Johnson DW. Nebulized epinephrine for croup in children. Cochrane Database Syst Rev. 2011 Feb;(2):CD006619. 4. Health for Kids in the South East Croup Guideline Development Group. Evidence based practice guideline for the management of croup in children. 2007 [diunduh 6 Januari 2009]. Tersedia dari: http://www.mihsr.monash.org/pdf. 5. Malhotra A, Krilov LR. Viral croup. Pediatr Rev. 2001 Jan;22(1):5– 12. 6. Mazza D, Wilkinson F, Turner T, Harris C; Health for Kids Guideline Development Group. Evidence based guideline for the management of croup. AFP. 2008;37(6):14–9. 7. Rajapaksa S, Starr M. Croup - assesment and management. Austr Fam Physician. 2010 May;38(5):280–2. 8. World Health Organization. WHO model prescribing information drug used in bacterial infection. 2001 [diunduh 6 Januari 2009]. Tersedia dari: http://apps.who.int/medicinedocs/pdf/s5406e/s5 406e.pdf. 9. Zoorob R, Sidani M, Murray J. Croup: an overview. Am Fam Physician. 2011 May;83(9):1067–73.
919
BRONKIEKTASIS Batasan Kondisi patologi saluran respiratori ireversibel ditandai dengan gambaran radiografi berupa dilatasi bronkus dan secara klinis didapatkan batuk kronik produktif. Terdapat istilah established bronchiectasis bila dilatasi bronkus tidak membaik dalam 2 th. Terminologi bronkiektasis yang diterangkan pada bagian ini merupakan non-cystic bronkiektasis
Epidemiologi Insidensi bronkiektasis yang dirawat di rumah sakit pada anak 5–14 th adalah 1,3/100.000 anak. Insidensi pada beberapa tahun terakhir menurun karena program imunisisasi yang meningkat, higiene dan nutrisi yang baik, serta mudahnya akses ke pelayanan kesehatan. Perbandingan pria:wanita adalah 1:1,4
Klasifikasi Berdasarkan gambaran patologi 1. Bronkiektasis silindrikal: garis bronkial regular, dilatasi difus bronchial tree, lumen terputus karena sumbatan mukus 2. Bronkiektasis varikosa: bronkus lebih dilatasi, dengan konstriksi lokal menyebabkan gambaran bronkial ireguler menyerupai vena varikosa, mungkin terdapat sakulasi kecil 3. Bronkiektasis sakular/kistik: merupakan bentuk paling berat, dilatasi bronkus hebat menyebabkan bentuk balon berisi cairan atau mukus
Etiologi dan Faktor Risiko Etiologi bronkiektasis pada anak: Pascainfeksi (pneumonia berat) penyebab tersering (29,7%) Inherited immune deficiency Primary ciliary dyskinesis (PCD) Asma Malformasi kongenital Defek imun sekunder Aspirasi benda asing GERD Tuberkulosis Kistik fibrosis Tidak diketahui Faktor risiko antara lain hirupan iritan, higiene oral yang buruk, malnutrisi, overcrowding
Patofisiologi Mekanisme perkembangan bronkiektasis dari berbagai macam etilogi saling berkaitan. Lingkaran ini dimulai dengan obstruksi cabang bronkus yang disebabkan oleh infeksi dan inflamasi. Respons inang yang berkali-kali mengalami jejas berulang menyebabkan obstruksi destruksi epitel bronkus. Gangguan ini menyebabkan gangguan 920
klirens mukosilia dan retensi sekresi. Mekanisme ini saling berkaitan dalam suatu siklus berulang antara infeksi bakteri kronik dan respons inflamasi persisten. Secara histologis, gangguan epitel silia dapat berubah menjadi bentuk skuamousa, bahkan pada tahap awal parenkim sel dikelilingi oleh sel inflamasi. Gangguan lebih lanjut jaringan sekitar terjadi pada bronkiektasis silindrikal dan sakular yang juga merusak lapisan otot, struktur kartilago dan vaskular yang menyebabkan endarteritis obstruktif dan akhirnya menyebabkan hipertensi pulmonal
Gambar 72 Patofisiologi Bronkiektasis Sumber: Chang dan Redding 2006
Diagnosis Anamnesis Bronkiektasis ditandai dengan batuk kronik atau berulang dengan dahak purulen atau mukopurulen, sesak bila beraktivitas, wheezing berulang, infeksi paru berulang, batuk darah, dan gagal tumbuh Pemeriksaan Fisis Hipoksemia, dengan/tanpa deformitas dada (hiperinflasi) Auskultasi paru → cracles kasar inspiratori ataupun wheezing, pada ekstremitas dapat ditemukan jari tabuh sekitar 3–51% kejadian
921
Pemeriksaan Penunjang High-resolution computerized tomography (HRCT): Merupakan baku emas Gambaran karakterisitik signet ring yang memperlihatkan diameter internal dilatasi bronkus lebih besar daripada diameter pembuluh darah Gambaran lain: air fluid level pada bronkus yang mengalami dilatasi, tram line, varikosa, rongga kistik, penyumbatan oleh mukus, dilatasi bronkus perifer, dan penebalan dinding bronkus karena fibrosis peribronkial Gambaran abnormalitas pada jaringan paru di sekitarnya dapat berupa hilangnya parenkim paru, emfisema, parut, dan fokus nodular Foto Rontgen toraks tidak sensitif untuk mendiagnosis bronkiektasis, gambarannya dapat berupa peningkatan tram lines, rongga kistik, air fluid level, dan gambaran honey comb Bronkoskopi dilakukan pada bronkiektasis obstruktif Lima tipe temuan bronkoskopi yang berhubungan dengan bronkiektasis: tipe 1 → hanya abnormalitas/inflamasi mukosa; Xpe 2 → bronkomalasia; Xpe3 → obliterative-like; tipe 4 → kombinasi malasia dengan obliterative-like; tipe 5 → Xdak ada kelainan Spirometri dilakukan untuk menilai beratnya bronkiektasis, pada awal penyakit didapatkan gambaran obstruksi, dan pada fase lanjut menjadi gabungan obstruksi dan restriksi Ventilation-perfusion scintigraphy dapat dilakukan untuk menilai perfusi vaskular dan pertukaran udara Kultur sputum, pada anak sering ditemukan kuman Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae non-type B, Moraxella catarrhalis, Haemophilus parainfluenzae, Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas spp.
Tatalaksana Bergantung pada penyakit yang mendasari Terapi inisial → mengurangi obstruksi dan mengendalikan infeksi Pemilihan antibiotik parenteral berdasarkan identifikasi kuman: Amoksisilin/asam klavulanat 22,5 mg/kgBB/kali, 2×/hr Roksitromisin dengan dosis 4 mg/kgBB/kali, 2×/hr diberikan 6–12 mgg Makrolid digunakan karena mempunyai efek antisektretori dan antiinflamasi, makrolid lain seperti klaritromisin maupun azitromisin dapat digunakan selama 3–6 bl Penggunaan antibiotik jangka panjang sebaiknya diberikan hanya bila sering terjadi eksaserbasi Penelitian intervensi jangka panjang pada anak bronkiektasis belum dilakukan Fisioterapi dada dapat meningkatkan mucociliary clearance, terutama pada penderita kistik fibrosis Suplementasi nutrisi yang adekuat Terapi asma, antiinflamasi, zat mukoaktif dan antisekretori, serta hirupan NaCl hipertonik, indometasin, maupun hirupan manitol belum terbukti manfaatnya pada anak dengan bronkiektasis 922
Pembedahan: lobektomi/pneumonektomi Indikasi: gejala tidak membaik dengan terapi medikal yang optimal sesudah 2 th, gangguan pertumbuhan dengan terapi medikal yang optimal, hemoptisis berat dan berulang karena embolisasi arteri bronkial Kontraindikasi: bronkiektasis menyeluruh, usia muda (<6 th), dan gejala asimtomatik Pemberian terapi imunoglobulin pada anak dengan dasar etiologi imunodefisiensi dan gangguan respons antibodi
Pencegahan Perbaikan keadaan lingkungan, meliputi pencegahan paparan iritan seperti asap rokok, pengurangan kepadatan, peningkatan kebersihan tangan, peningkatan higiene gigi, olahraga, dan pengobatan malnutrisi dapat mencegah bronkiektasis Vaksinasi pertusis, campak, pneumokokus, dan influenza dapat mencegah pneumonia
Prognosis Penderita bronkiektasis sering menderita penyakit paru berulang sehingga sering tidak masuk sekolah, bertubuh pendek, dan mengalami osteoporosis Prognosis yang baik terjadi pada anak dengan penyakit yang masih terlokalisasi Penelitian pada 79 anak penderita bronkiektasis yang dilakukan bronkogram berulang selama 6–8 bl, didapatkan 58% tidak ada perbaikan, 34% perburukan, dan 9% mengalami perbaikan. Penelitian lain pada 80 anak yang mendapat terapi pembedahan 55% perbaikan, sedangkan 16% masih ada gejala minimal Kematian pascaoperasi sangat rendah
Bibliografi 1. Chang AB, Redding GJ. Bronchiectasis. Dalam: Chernick V, Kendig EL, penyunting. Kendig’s disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke–7. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 463–77. 2. Redding GJ. Update on treatment of childhood bronchiectasis unrelated to cystic-fibrosis. Pediatr Respir Rev. 2011 Jun;12(2): 119–23. 3. Banjar H. Childhood bronchiectasis: a review. Bahrain Med Bull. 2006 Jun;28(2):1–10. 4. Jones MH, Marostica PC. Bronkiektasis. Dalam: Taussig LM, Landau LI, Le Souĕf PN, Martinez FD, Morgan WJ, Sly PD, penyunting. Pediatric respiratory medicine. Edisi ke–2. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008. hlm. 999–1003. 5. Lakser O. Bronkiektasis. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi ke–19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 525–6. 6. O'Donnell AE. Bronchiectasis. Chest. 2008 Oct;134(4):815–23. 923
7. Karadag B, Karakoc F, Ersu R, Kut A, Bakac S, Dagli E. Non-cysticfibrosis bronchiectasis in children: a persisting problem in developing countries. Respiration. 2005 May–Jun;72(3):233–8.
924
BRONKITIS BRONKITIS AKUT Batasan Peradangan sementara pada trakea dan bronkus yang menimbulkan batuk-batuk dan biasanya tanpa pengobatan akan sembuh dalam waktu 28 hari
Epidemiologi 1:10.000.000 penduduk dunia Bronkitis akut ditemukan dalam semua kelompok usia, terjadi sama antara pria dan wanita Salah satu infeksi saluran respiratori yang paling umum terdiagnosis oleh dokter keluarga Sering terjadi pada musim hujan
Etiologi Virus influenza, parainfluenza, rhinovirus, RSV, metapneumovirus, dan adenovirus
Diagnosis Anamnesis Batuk mula-mula kering, nonproduktif, beberapa hari kemudian batuk produktif mengeluarkan mukus/dahak purulen, disertai muntah berisi mukus; gejala batuk ini hilang sesudah 10–14 hr Gejala lain yang merupakan gejala penyakit sistemik seperti demam dan rasa tidak nyaman di dada biasanya ≤3 hr Pemeriksaan Fisis Biasanya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisis, kadangkadang ditemukan suara mengi/wheezing
Terapi Penatalaksanaan ditujukan terhadap gejala utamanya seperti: Hindarkan asap rokok, asap lainnya, serta sumber polusi udara lainnya Meningkatkan kelembapan dan pemberian cairan yang baik Analgetik dan antipiretik Istirahat cukup Posisi bayi diubah-ubah Bronkodilator bila didapatkan bronkospasme Hindarkan penggunaan obat batuk yang menekan pusat/refleks batuk Antibiotik diberikan hanya pada kasus yang dicurigai secara klinis atau terbukti terdapat infeksi bakteri dari preparat gram atau kultur sputum Kortikosteroid tidak direkomendasikan Pada kasus bronkitis akut tanpa komplikasi dengan sputum purulen, disarankan pemberian antiinflamasi seperti ibuprofen 800 mg/8 jam selama 10 hr sebelum makan 925
BRONKITIS KRONIK Batasan Batuk kronik yang produktif yang terjadi selama ≥3 bl dalam 1 th atau apabila gejala bronkitis akut menetap dan berlangsung lebih dari 2–3 mgg, walaupun pada suatu penelitian klinis dinyatakan bahwa batuk produktif yang lama pada kenyataannya jarang pada anak
Epidemiologi Di Amerika Serikat >2,5 juta anak menderita bronkitis kronik Faktor penyebab sama dengan bronkitis akut Pajanan saluran respiratori yang berlangsung terus-menerus sesudah terjadi kerusakan saluran respiratori sebelumnya akibat infeksi akut menyebabkan peradangan kronik
Diagnosis Anamnesis Riwayat penyakit, yaitu batuk yang menetap >2–3 mgg, hubungan dengan makan/minum, episode sebelumnya, sumber kontak, sumber pencetus dari lingkungan dan riwayat keluarga Gejala utama bronkitis → batuk produktif (berdahak) yang mengeluarkan dahak berwarna putih kekuningan atau hijau Dikatakan bronkitis kronik bila keadaan ini berlangsung >3 bl Mukus yang berwarna selain putih atau bening, menandakan infeksi sekunder Pemeriksaan Fisis Gangguan pertumbuhan dan perkembangan, ronki kering, wheezing, clubbing jari, serta pembengkakan sinus maksilaris dan fontalis
Terapi Pada prinsipnya sama dengan penatalaksanaan bronkitis akut, yaitu: Hindarkan asap rokok, asap lainnya, serta sumber polusi udara lainnya Istirahat cukup Posisi bayi diubah-ubah Bronkodilator
Bibliografi 1. Goodman DM. Bronchitis. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 528–30. 2. Llor C, Moragas A, Bayona C, Morros R, Pera H, Cots JM, dkk. Effectiveness of anti-inflammatory treatment versus antibiotic therapy and placebo for patient with no-complicated acute bronchitis with purulent sputum. BMC Pulm Med. 2011 Jun;2:11–38. 926
3. Loughlin GM. Bronchitis. Dalam: Chernick V, Kendig EL, penyunting. Kendig’s disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-7. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 416–22.
927
BRONKIOLITIS Batasan Peradangan di bronkiolus Dikenal berbagai definisi antara lain: 1. Penyakit viral yang mempunyai karakteristik demam, pilek, dan wheezy cough yang bersifat kering 2. Gejala klinis yang diawali dengan prodromal infeksi virus saluran respiratori atas diikuti dengan peningkatan usaha napas dan wheezing pada anak <2 th Karakteristik bronkiolitis: inflamasi akut, nekrosis sel epitel saluran respiratori kecil, produksi mukus ↑, edema mukosa, bronkospasme
Etiologi Bronkiolitis merupakan penyebab terbanyak infeksi respiratori bawah pada bayi dan anak yang berusia ≤2 th RSV (50–80%) Adenovirus Human metapneumovirus (3–19%) Virus influenza Parainfluenza virus tipe 3 Koinfeksi beberapa virus lain (10–30% bayi dirawat)
Diagnosis Bronkiolitis harus didiagnosis dan ditentukan derajat penyakit berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis Klinisi tidak dianjurkan secara rutin melakukan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis untuk diagnosis (Evidence B) Anamnesis Bayi mengalami gejala batuk, pilek, dapat disertai demam yang kemudian diikuti gejala akibat keterlibatan saluran respiratori bawah seperti wheezing, takipnea, dan retraksi. Takipnea dapat ringan sampai terjadi gagal napas. Karakteristik gejala klinis adalah puncak penyakit terjadi pada hr ke-3–4 Pemeriksaan Fisis Bayi dapat ditemukan merintih (grunting), sianosis, suhu tubuh normal, subfebris atau tinggi, takipnea, pernapasan cuping hidung, sekret hidung, retraksi subkostal, interkostal dan suprasternal. Pada perkusi dapat ditemukan hiperresonansi, suara pernapasan mungkin normal atau ekspirasi memanjang, wheezing, dan crackles Hepar dan lien dapat teraba akibat hiperinflasi toraks Apnea merupakan komplikasi yang sering ditemukan pada bayi prematur dengan bronkiolitis yang disebabkan oleh RSV
928
Pemeriksaan Penunjang Foto Rontgen toraks dapat menunjukkan gambaran foto normal atau hiperinflasi dengan depresi/pendataran diafragma, atelektasis atau konsolidasi Pulse oximetry memperlihatkan saturasi O2 ↓ Laboratorium AGD didapatkan hipoksemia. Pada bronkiolitis berat dapat disertai hiperkapnia dan asidosis Enzyme linked immunosorbent assay (EIA) atau immunofluorescence dari sekret hidung: antigen RSV (+) → bila memungkinkan dilakukan
Diagnosis Banding Asma bronkial Bronkopneumonia Aspirasi benda asing Gagal jantung Fibrosis kistik
Tatalaksana Tatalaksana di berbagai negara dan tempat serta rumah sakit masih beragam Pada dasarnya suportif (hidrasi, O2). Jauhkan dan hindarkan bayi dari asap rokok (Evidence B), berikan ASI/menetek Bronkiolitis ringan → rawat jalan Nasihat untuk orangtua: teruskan pemberian makanan, tingkatkan pemberian cairan. Bila memberat → rawat Bronkiolitis berat → rawat O2 lembap selama sesak dengan pemantauan saturasi O2 menggunakan pulse oxymetri (O2 diberikan dengan nasal kanul) Bila p.o. tidak memungkinkan atau ada risiko aspirasi → i.v. Cairan infus: terutama bila hitung napas >60–70×/mnt, tidak mau minum, sesak napas Antibiotik bila dicurigai infeksi bakteri: Ampisilin 100–200 mg/kgBB/hr i.v. dibagi 4 dosis Bila ada konjungtivitis pada bayi berusia 1–4 bl, kemungkinan infeksi sekunder oleh Chlamydia trachomatis → eritromisin 40 mg/kgBB/hr p.o. dibagi 4 dosis Chest physiotherapy tidak dianjurkan karena tidak efektif untuk memperbaiki keadaan ventilation-perfusion mismatch baik cara vibrasi maupun perkusi (Evidence B) Nasal suction hanya bermanfaat mengurangi sementara kongesti hidung, tetapi jika berlebihan → edema nasal Nebulisasi epinefrin (adrenalin): Hasil lebih baik bila digunakan bersama deksametason karena mempunyai efek sinergis. Adrenalin lebih aman dan relatif murah, tetapi nebulisasi epinefrin dan glukokortikoid tidak direkomendasikan sebagai terapi rutin untuk bronkiolitis (Evidence A)
929
Dosis epinefrin rasemik 2,25% 0,25–0,75 mL dalam NaCL fisiologis 3 mL/20 mnt. Bila tidak tersedia, dapat diganti dengan epinefrin-levo 5 mL larutan 1:1.000 Nebulisasi NaCl 3% Dosis 4 mL larutan NaCl 3% Dapat diberikan pada penderita rawat jalan maupun rawat inap Nebulisasi dengan NaCl 3% diberikan karena dapat meningkatkan clearance mucous serta memperpendek masa rawat inap Pemberian nebulisasi NaCl 3% pada rawat inap dapat diberikan 3–6×/hr (Evidence A) Dalam menilai kegawatan penderita dapat digunakan respiratory distress assessment instrument (RDAI) yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi Nilai >15 : kategori berat Nilai <3 : kategori ringan Tabel 221 Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI) Nilai Maks.
Nilai
Wheezing: Ekspirasi Inspirasi Lokasi Retraksi: Supraklavikular Interkostal Subkostal
0
1
2
3
4
− − −
Akhir Sebagian ≤2 dari 4 lapang paru
½ Semua ≥3 dari 4 lapang paru
¾
Sepanjang
−
Ringan
Sedang
Jelas
3
− −
Ringan Ringan
Sedang Sedang
Jelas Jelas
3 3
Total
4 2 2
17
Bibliografi 1. American Academy of Pediatrics Subcommittee on Diagnosis and Management of Bronchiolitis. Diagnosis and management of bronchiolitis. Pediatrics. 2006 Oct;118(4):1774–93. 2. Bialy L, Foisy M, Smith M, Fernandes RM. The cochrane library and the treatment of bronchiolitis in children: an overview of reviews. Evid Based Child Health. 2011 Jan;6(1):258–75. 3. Zorc JJ, Hall CB. Bronchiolitis: recent evidence on diagnosis and management. Pediatrics. 2010 Feb;125(2):342–9. 4. Wright M, Piedimonte G. Respiratory syncytial virus prevention and therapy: past, present, and future. Pediatr Pulmonol. 2011 Apr;46(4):324–47. 5. Hartling L, Fernandes RM, Bialy L, Milne A, Johnson D, Plint A, dkk. Steroids and bronchodilators for acute in the first two years of life: systematic review and meta-analysis. BMJ. 2011 Apr;342: d1714. 930
6. Ralston S, Hill V, Martinez M. Nebulized hypertonic saline without adjunctive bronchodilators for children with bronchiolitis. Pediatrics. 2010 Sep;126(3):e520–5. 7. Laham FR, Trott AA, Bennett BL, Kozinetz CA, Jewell AM, Garofalo RP, dkk. LDH concentration in nasal-wash fluid as a biochemical predictor of bronchiolitis severity. Pediatrics. 2010 Feb;125(2):e225–33.
931
PNEUMONIA Epidemiologi Penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak usia <5 th di seluruh dunia, terutama di negara berkembang
Etiologi Bakteri, virus, mikobakterium, dan jamur Bakteri adalah penyebab utama di negara berkembang, yaitu: Streptococcus pneumoniae (30−50%) Haemophilus influenzae type b (Hib) Staphylococcus aureus Klebsiella pneumoniae Virus merupakan penyebab utama di negara maju, yaitu: RSV → 15–40% Virus Influenza A dan B Parainfluenza Human metapneumovirus Adenovirus Di negara industri, epidemi RSV dan atau influenza koinsidensi dengan epidemi S. pneumoniae. Di negara berkembang, infeksi virus sering disertai infeksi sekunder Usia merupakan prediktor yang baik untuk memperkirakan patogen penyebab pneumonia Virus → penyebab utama pneumonia pada anak usia lebih muda (<2 th) Bakteri → penyebab sebagian besar pneumonia pada anak besar Tabel 222 menunjukkan bakteri dan virus yang umum menyebabkan pneumonia pada anak berdasarkan usia Faktor risiko pneumonia pada anak meliputi malnutrisi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat ASI eksklusif, tidak mendapat imunisasi campak, polusi udara dalam rumah, dan kepadatan hunian
932
Tabel 222 Penyebab Utama Pneumonia yang Masyarakat pada Anak berdasarkan Usia Usia
Penyebab Tersering
0–20 hr
Bakteri Escherichia coli Group B streptococci Listeria monocytogenes
3 mgg–3 bl Bakteri Chlamydia trachomatis S. pneumoniae Virus Adenovirus Influenza virus Parainfluenza virus 1, 2, and 3 Respiratory syncytial virus 4 bl–5 th Bakteri Chlamydia trachomatis Mycoplasma pneumoniae S. pneumoniae Virus Adenovirus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus 6–18 th Bakteri C. pneumoniae M. pneumoniae S. pneumoniae
Sumber : Ostapchuk dkk. 2004
933
Didapat
di
Penyebab Jarang Bakteri Organisme Group B streptococci Haemophilus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus Bakteri Bordetella pertussis H. influenzae tipe B dan non-typeable Moraxella catarrhalis Staphylococcus aureus U. urealyticum Virus Cytomegalovirus Bakteri H. influenzae tipe B M. catarrhalis Mycobacterium tuberculosis Neisseria meningitis S. aureus Virus Varicella-zoster virus Bakteri H. influenza Legionella species M. tuberculosis S. aureus Virus Adenovirus Epstein-Barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella-zoster virus
Manifestasi Klinis Sebagian besar pneumonia pada anak menunjukkan gambaran klinis yang ringan sampai sedang sehingga dapat berobat jalan saja Hanya sebagian kecil anak mengalami pneumonia berat yang mengancam kehidupan dan mungkin terdapat komplikasi, sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringan infeksi Gejala infeksi umum: demam, sakit kepala, gelisah, malaise, nafsu makan ↓, keluhan gastrointesXnal seperX mual, muntah atau diare; kadang-kadang ditemukan gejala ekstraparu. Pada anak dengan malnutrisi berat, demam jarang terjadi Gejala gangguan respiratori: batuk, sesak napas, retraksi dinding dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis Gambaran klinis pneumonia pada anak malnutrisi berat kurang spesifik dan dapat tumpang tindih dengan sepsis Penelitian mengenai validasi tanda klinis WHO menunjukkan bahwa tanda klinis yang direkomendasikan oleh WHO kurang sensitif sebagai prediktor pneumonia dibandingkan dengan gambaran radiologis pada anak malnutrisi berat Pneumonia bakterial harus dipertimbangkan pada anak usia <3 th yang mengalami panas badan >38,5 °C disertai retraksi dinding dada dan frekuensi napas ≥50×/mnt. Pneumonia yang disebabkan Pneumoccocus spp. biasanya diawali dengan demam dan napas cepat. Gejala lain yang umum ditemukan adalah kesukaran bernapas, retraksi dinding dada, dan anak tampak tidak sehat (unwell appearance) Pneumonia yang disebabkan Staphylococcus spp. mempunyai gejala yang sama dengan pneumonia yang disebabkan pneumoccocus, sering ditemukan pada bayi, tetapi dapat ditemukan pada anak yang lebih besar sebagai komplikasi dari influenza Pneumonia yang disebabkan Mycoplasma spp. harus dicurigai pada anak usia sekolah yang menunjukkan gejala demam, nyeri sendi, sakit kepala, batuk
Diagnosis Anamnesis Demam tinggi, batuk, gelisah, rewel, dan sesak napas Pada bayi, gejala tidak khas, sering kali tanpa demam dan batuk Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen, sertai muntah Pemeriksaan Fisis Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok usia tertentu Neonatus: sering dijumpai takipnea, grunting, pernapasan cuping hidung, retraksi dinding dada, sianosis, dan malas menetek Bayi yang lebih besar: jarang ditemukan grunting. Gejala lain yang sering terlihat adalah batuk, panas, dan iritabel 934
Anak prasekolah, selain gejala di atas, dapat ditemukan batuk produktif/nonproduktif, dan dispnea Anak sekolah dan remaja, gejala lainnya yang dapat dijumpai yaitu nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi, dan letargi Takipnea berdasarkan WHO: Usia <2 bl → ≥60×/mnt Usia 2–<12 bl → ≥50×/mnt Usia 1–5 th → ≥40×/mnt Takipnea terbukti memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam mendiagnosis pneumonia Menurut WHO derajat berat pneumonia pada anak usia 2 bl–5 th seperti Tabel 223 di bawah ini Tabel 223 Klasifikasi Derajat Berat Pneumonia pada Anak Usia 2 Bulan sampai 5 Tahun Gambaran Klinis
Berat Penyakit
Batuk atau kesulitan bernapas dengan: Saturasi oksigen <90% atau sianosis sentral Distres saluran respiratori berat (tarikan dinding dada bagian bawah berat, grunting) Tanda pneumonia disertai tanda bahaya (tidak dapat minum, penurunan kesadaran, kejang) Tarikan dinding dada bagian bawah Napas cepat: ≥50×/mnt pada anak usia 2–11 bl ≥40×/mnt pada anak usia 1–5 th Tidak ada tanda pneumonia atau pneumonia sangat berat
Pneumonia sangat berat
Pneumonia berat Pneumonia Bukan pneumonia; batuk atau “flu”
Sumber: WHO 2013
Auskultasi → fine crackles (ronki basah halus) yang khas pada anak besar, mungkin tidak ditemukan pada bayi Iritasi pleura akan menyebabkan nyeri dada; bila berat gerakan dada tertinggal waktu inspirasi, anak berbaring ke arah yang sakit dengan kaki fleksi Rasa nyeri dapat menjalar ke leher, bahu, dan perut Pemeriksaan Penunjang Radiologis Foto Rontgen toraks proyeksi posterior-anterior (PA) merupakan dasar diagnosis utama pneumonia Foto lateral dibuat bila diperlukan informasi tambahan (tidak rutin dilakukan). Untuk negara berkembang foto Rontgen toraks secara rutin tidak direkomendasikan terutama pneumonia yang tidak memerlukan perawatan di rumah sakit 935
Indikasi spesifik foto Rontgen toraks adalah pneumonia sangat berat, dugaan komplikasi pneumonia (misal efusi pleura), atau tidak berespons terhadap terapi yang diberikan, dan kecurigaan LTBI Indikasi tambahan lainnya adalah gejala atipikal dan pemantauan pada anak dengan kolaps lobar atau gejala yang berlanjut Pemeriksaan foto Rontgen toraks ulang hanya dilakukan bila pada foto sebelumnya didapatkan lobar collapse, gambaran round pneumonia, atau bila gejala menetap atau memburuk Pada bayi dan anak yang kecil, gambaran radiologis sering tidak sesuai dengan gambaran klinis Foto Rontgen toraks tidak dapat membedakan antara pneumonia bakteri dan pneumonia virus Gambaran radiologis yang klasik dapat berupa: Konsolidasi lobar atau segmental disertai air bronchogram, biasanya disebabkan infeksi Pneumoccocus spp. atau bakteri lain Pneumonia interstisial, biasanya karena virus atau mikoplasma; gambaran berupa corakan bronkovaskular bertambah, peribronchial cuffing, dan overaeration; bila berat terjadi patchy consolidation karena atelektasis Gambaran difus bilateral, corakan peribronkial bertambah, dan infiltrat halus sampai ke perifer. Gambaran pneumonia karena S. aureus biasanya menunjukkan pneumatokel Laboratorium Jumlah leukosit >15.000/µL dengan dominasi neutrofil sering didapatkan pada pneumonia bakteri, tetapi dapat pula karena pneumonia nonbakteri Diagnosis pasti pneumonia bakterial yaitu dengan isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura, atau darah. Pengambilan spesimen dari paru sangat invasif dan tidak rutin diindikasikan dan dilakukan Kultur darah hanya (+) pada 10−30% kasus Pemeriksaan C-reactive protein perlu dipertimbangkan pada pneumonia dengan komplikasi dan dapat bermanfaat untuk melihat respons antibiotik Tidak dapat membedakan pneumonia akibat virus atau bakteri Meskipun penyebab pneumonia sulit ditentukan, tetapi ada beberapa gejala dan tanda yang dapat dikenali secara klinis, yaitu: Staphylococcus aureus: Progresivitas penyakit sangat cepat dengan gejala respiratori sangat berat: grunting, sianosis, takipnea, dan gambaran radiologis necrotizing pneumonia, pneumonia dengan komplikasi (efusi pleura, empiema, piopneumotoraks), perburukan klinis dan radiologis yang sangat cepat, atau pada keadaan pascainfeksi campak (saat ini atau 4 mgg sebelumnya) Pada kulit penderita dapat dijumpai bisul atau abses 936
Streptococcus grup A: Penyebab tersering faringitis, tonsilitis dengan limfadenitis koli, demam, malaise, sakit kepala, dan gejala pada abdomen Sering merupakan komplikasi infeksi kulit pada anak dengan varisela Penyakit memburuk dalam 24 jam Sering diikuti dengan syok septik, empiema, dan pneumatokel yang terjadi dalam beberapa hr sampai 1 mgg sesudah pengobatan Pulse oxymetri Pengukuran saturasi O2 merupakan pemeriksaan noninvasif yang dapat memperkirakan oksigenasi arteri Semua anak yang dirawat inap karena pneumonia seharusnya diperiksa pulse oxymetri. Pemeriksaan ini sangat dianjurkan untuk negara berkembang dengan keterbatasan sarana untuk mendeteksi hipoksemia Pemeriksaan mikrobiologis Pemeriksaan biakan darah harus dilakukan pada semua anak yang dicurigai menderita pneumonia bakteri, pneumonia berat, pneumonia dengan komplikasi Hasil (+) hanya didapatkan pada 10–30% kasus Pemeriksaan sputum Walaupun kurang berguna, tetapi jika anak memungkinkan untuk mengeluarkan sputum, periksa preparat gram Rapid test untuk deteksi antigen bakteri mempunyai spesifisitas dan sensitivitas rendah. Saat ini di RSHS tidak tersedia dan tidak dilakukan
Tatalaksana Pneumonia Berat Rawat di rumah sakit Pemberian oksigen bila saturasi O2 <90% Tatalaksana patensi jalan napas Pemberian antibiotik Terapi demam Perawatan Umum di Rumah Sakit Terapi oksigen Bayi dan anak yang mengalami hipoksia mungkin tidak tampak sianosis Agitasi mungkin menjadi indikasi hipoksia Oksigen diberikan pada penderita dengan saturasi oksigen <90% pada udara kamar untuk mempertahankan saturasi oksigen ≥90%, dan pada penderita dengan distres napas Analgetik antipiretik Anak yang terkena infeksi saluran respiratori bagian bawah akut umumnya mengalami pireksia dan dapat merasakan nyeri 937
seperti nyeri kepala, nyeri dada, nyeri sendi, nyeri perut, dan nyeri telinga Terapi Cairan Anak yang tidak mampu mempertahankan asupan cairan akibat sesak atau kelelahan memerlukan terapi cairan Pipa nasogastrik dapat memengaruhi pernapasan dan karena itu harus dihindari pada anak yang sakit berat, terutama bayi dengan lubang hidung yang kecil Penderita yang muntah-muntah atau sakit berat memerlukan cairan i.v. Bila diperlukan, cairan i.v. diberikan 80% dari kebutuhan basal dan perlu dipantau elektrolit serum Pemberian antibiotik Antibiotik empiris diberikan berdasarkan usia penderita dan derajat penyakit Antibiotik yang sesuai harus diberikan segera sesudah penderita masuk rumah sakit Untuk pneumonia atau bukan pneumonia berat dapat diberikan kotrimoksazol (8 mg/kgBB/dosis trimetoprim dalam 2 dosis p.o.) atau amoksisilin 25 mg/kgBB/dosis diberikan tiap 12 jam p.o. (penelitian menunjukkan amoksisilin dua dosis sehari memiliki konsentrasi dalam darah yang sama dengan amoksisilin 3 dosis/hr) selama 3–5 hr Efikasi kedua obat sama, kecuali di daerah yang mengalami resistensi pada salah satu obat Antibiotik parenteral harus diberikan pada anak dengan pneumonia berat Pilihan pemberian antibiotik inisial pada pneumonia anak Ampisilin 50 mg/kgBB/dosis i.v. atau i.m. setiap 6 jam yang harus dipantau dalam 24 jam selama 48–72 jam pertama Bila keadaan klinis berat, pengobatan inisial berupa kombinasi ampisilin-gentamisin Bayi usia <2 bl atau pneumonia sangat berat, ampisilin dosis di atas ditambah gentamisin 7,5 mg/kgBB i.v. atau i.m. sekali sehari Pada keadaan dicurigai meningitis (malas menetek, letargis, kejang, menangis lemah, fontanel menojol) dan septikemia, maka obat pilihan pertama adalah sefotaksim atau seftriakson i.v. Sesudah 48 jam pengobatan pneumonia sangat berat tidak tampak perbaikan, antibiotik diubah menjadi sefalosporin generasi ketiga, seperti seftriakson dan sefotaksim Pneumonia pada anak HIV Pada anak bukan pneumonia berat, terapi inisial dengan amoksisilin oral (25–30 mg/kgBB/dosis, 2×/hr selama 5 hr). Penderita memerlukan pemantauan kondisi klinis. Pneumonia berat harus dirawat di rumah sakit karena risiko tinggi cepat 938
perburukan dan kegagalan terapi. Pemberian antibiotik inisial harus memerhatikan pemberian antibiotik sebelumnya dan prevalensi resistensi antibiotik di daerah tersebut Ampisilin dan gentamisin dapat diberikan selama 10 hr. Bila tidak ada respons, antibiotik dapat diganti dengan seftriakson atau sefotaksim Jika diduga infeksi S. aureus dapat diberikan kloksasilin dan gentamisin Pada anak usia <1 th dengan pneumonia berat dapat diterapi secara empiris dengan kotrimoksazol i.v. (15–20 mg/kgBB/hr komponen trimetoprim) dalam tiga atau empat dosis terbagi diinfus dalam 1 jam selama 21 hr Terapi kotrimoksazol oral diberikan pada penyakit yang ringan atau sedang atau bila sudah terjadi perbaikan Perbaikan klinis biasanya lambat, membutuhkan 5–7 hr Kortikosteroid sudah terbukti menurunkan ketergantungan O2 dan mortalitas penderita HIV dewasa bila diberikan dalam 72 jam pemberian terapi kotrimoksazol Hal ini belum dapat dibuktikan pada anak, tetapi mungkin efektif pada dosis 1 mg/kgBB/hr selama 7 hr dan kemudian ditappering selama 7 hr berikutnya Pneumonia pada anak malnutrisi berat Ampisilin dan gentamisin merupakan antibiotik inisial Terapi suportif seperti mempertahankan suhu, pencegahan hipoglikemia, dan pemberian nutrisi yang tepat sangat penting untuk memperoleh hasil terapi yang baik Pemantauan Sesudah pemberian antibiotik inisial, pantau dalam 24 jam selama 48–72 jam pertama. Apabila kondisi klinis membaik; tidak didapatkan tanda sepsis, empiema, necrotizing pneumonia, dan abses paru; tanda vital stabil selama min. 48 jam; biakan darah tidak menunjukkan pertumbuhan kuman; dan dapat makan/minum p.o. maka: Antibiotik i.v dapat diganti dengan antibiotik oral. Umumnya peralihan ke antibiotik oral dilakukan sesudah 2–4 hr pemberian antibiotik i.v. Selanjutnya, terapi dilanjutkan di rumah dengan amoksisilin p.o. (15 mg/kgBB/kali 3×/hr). Pemberian antibiotik pada pneumonia berat dilanjutkan sampai 5–7 hr atau kepustakaan lain menyatakan 7−10 hr, dan pada pneumonia sangat berat diberikan selama 7–10 hr atau kepustakaan lain menyatakan 10–14 hr Apabila: Demam atau manifestasi klinis lainnya menetap sesudah 48 jam pemberian antibiotik, atau keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka terapi harus dievaluasi kembali dan dipertimbangkan foto Rontgen toraks ulang. Tambahkan 939
kloramfenikol 25 mg/kgBB/kali i.m. atau i.v. setiap 8 jam atau gentamisin 7,5 mg/kgBB i.v. atau i.m. 1×/hr Apabila terjadi kegagalan terapi pada penderita yang diberi kotrimoksazol, diganti dengan amoksisilin Jika obat pertama yang diberikan adalah amoksisilin, maka bila terjadi kegagalan terapi dapat ditambahkan gentamisin atau diganti dengan amoksisilin-asam klavulanat (80−90 mg/kgBB/hr amoksisilin dalam dosis terbagi dengan maks. 6,4 mg/kgBB/hr asam klavulanat) untuk meningkatkan aktivitas terhadap Haemophilus influenzae penghasil β-laktamase dan S. pneumoniae yang resisten Bila terjadi kegagalan terapi berikutnya, sefalosporin generasi ke-2 (sefuroksim) atau generasi ke-3 (seftriakson, sefopodoksim) dapat digunakan untuk memperluas cakupan terhadap organisme penghasil β-laktamase Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin (7,5 mg/kgBB i.m. 1×/hr) dan kloksasilin (50 mg/kgBB i.m. atau i.v. setiap 6 jam). Bila keadaan anak membaik, lanjutkan kloksasilin (atau dikloksasilin) secara oral 4×/hr sampai mencapai 3 mgg, atau klindamisin secara oral selama 2 mgg Pilihan antibiotik selanjutnya berdasarkan hasil pemeriksaan pola kepekaan antibiotik Indikasi Penderita Dipulangkan Perbaikan secara klinis, nafsu makan membaik, bebas demam 12–24 jam, stabil, saturasi O2 >92% dalam udara ruangan selama 12–24 jam (tanpa O2), orangtua sudah mengerti untuk melanjutkan pemberian antibiotik oral
Pencegahan Vaksinasi dengan vaksin pertusis (DTP), campak, pneumokokus, dan H. influenzae Vaksin influenza untuk bayi >6 bl dan usia remaja Untuk orangtua atau pengasuh bayi <6 bl disarankan untuk diberikan vaksin influenza dan pertusis
940
941 Gambar 73 Algoritme Tatalaksana CAP Menurut Usia Sumber: Stuckey-Schrock dkk. 2012
942 Gambar 74 Algoritme Tatalaksana CAP Menurut Usia (Lanjutan) Sumber: Stuckey-Schrock dkk. 2012
Bibliografi 1. Singh V, Aneja S. Pneumonia-management in the developing world. Paediatr Respir Rev. 2011 Mar;12(1):52−9. 2. Wardlaw T, Salama P, Johansson EW, Mason E. Pneumonia: the leading killer of children. Lancet. 2006 Sep;368(9541):1048–50. 3. Gray D, Zar HJ. Childhood pneumonia in low and middle income countries: burden, prevention and management. Open Infect Dis J. 2010;4:74–84. 4. India Clinical Epidemiology Network (IndiaCLEN) Task Force on Pneumonia. Rational use of antibiotics for pneumonia. Indian Pediatr. 2010 Jan;47(1):11–8. 5. Don M, Canciani M, Korppi M. Community-acquired pneumonia in children: what’s old? what’s new? Acta Paediatr. 2010 Nov; 99(11):1602–8. 6. Rudan I, Boschi-Pinto C, Biloglav Z, Mulholland K, Campbell H. Epidemiology and etiology of childhood pneumonia. Bull World Health Organ. 2008 May;86(5):408–16. 7. Harris M, Clark J, Coote N, Fletcher P, Harnden A, McKean M, dkk. British Thoracic Society guidelines for the management of community acquired pneumonia in children: update 2011. Thorax. 2011 Oct;66(Suppl 2):ii1–23. 8. Sandora TJ, Sectish TC. Community acquired pneumonia. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 524–8. 9. World Health Organization. Pocket book of hospital care for children. Guidelines for the Management of Common Childhood Illnesses. Edisi ke-2. Geneva: WHO; 2013. 10. Williams DJ, Hall M, Shah SS, Parikh K, Tyler A, Neuman MI, dkk. Narrow vs broad-spectrum antimicrobial therapy for children hospitalized pneumonia. Pediatrics. 2013 Nov;132(5):e1141–8. 11. Stuckey-Schrock K, Hayes BL, George CM. Community-acquired pneumonia in children. Am Fam Physician. 2012 Oct;86(7):661–7.
943
RECURRENT PNEUMONIA Batasan Dua atau lebih episode pneumonia dalam satu tahun, atau lebih dari 3 episode kapanpun pada seorang anak, dengan gambaran foto Rontgen toraks menunjukkan paru-paru yang bersih di antara episode tersebut. Seorang anak dengan recurrent pneumonia harus dipantau ketat untuk mencegah komplikasi. Penyakit yang mendasarinya harus diidentifikasi untuk menentukan terapi yang tepat
Etiologi Infeksi oleh organisme yang virulen, resisten atau organisme atipikal Pemberian antibiotik yang tidak adekuat Malformasi kongenital pada saluran respiratori atas dan bawah, pembuluh darah paru, maupun sistem kardiovaskular (pirau kiri ke kanan, vascular ring) Aspirasi berulang Defek pada sekresi saluran respiratori seperti fibrosis kistik dan diskinesia silia Gangguan sistem imun seperti HIV dan penggunaan obat imunosupresan
Diagnosis Anamnesis Usia onset Kelainan kongenital, misal pada tracheoesophageal fistula, cystic adenomatoid malformation and congenital lobar emphysema. Kelainan imunologi humoral Gambaran rinci episode pneumonia Pada setiap serangan perlu dijabarkan: onset, durasi dan gambaran batuk, demam ada/tidak, infeksi saluran respiratori bawah ada/ tidak, foto Rontgen toraks, antibiotik yang diberikan, respons terapi, dan perawatan Perlu ditanyakan kepada orangtua saat gejala timbul, hubungannya dengan makan dan perubahan pada posisi, muntah, iritabilitas, batuk malam hari, dan wheezing Riwayat sakit sebelumnya Infeksi yang berulang mungkin disebabkan oleh gangguan imun. Riwayat tersedak benda asing. Malabsorpsi mungkin tampak pada cystic fibrosis Riwayat persalinan Prematur, riwayat bronchopulmonary dysplasia, paparan pada oksigen, infeksi ibu, mekonium pada saat persalinan Riwayat keluarga Riwayat alergi pada keluarga, asma, kelainan kongenital Faktor lingkungan seperti paparan pada infeksi, polutan, iritan, dan asap rokok Gejala Anak dengan reccurent pneumonia pada lobus yang bervariasi, mungkin terdapat gangguan dalam batuk atau mekanisme 944
pembersihan oleh mukosiliar, penyempitan aliran udara yang menghambat pembersihan jalan napas, fungsi imun lokal atau sistemik. Aspirasi pada kasus ini berhubungan dengan gangguan dalam batuk dan penyempitan aliran udara. Hal ini merupakan hasil gangguan menelan, berhubungan dengan abnormalitas SSP, penyakit neuromuskular, atau lesi anatomis orofaring Pemeriksaan Penunjang Foto Rontgen toraks menunjukkan infiltrat, yang penting dalam menentukan episode pneumonia pada kasus suspek pneumonia atau reccurent pneumonia Perbandingan dua foto Rontgen toraks diperlukan untuk konfirmasi diagnostik pneumonia, dan penilaian konsolidasi pada satu lobus atau bila terdapat kelainan multifokal yang dapat menjadi pertimbangan dalam diagnosis banding CT-scan Indsikasi pada infeksi saluran respiratori bawah: Dugaan komplikasi pneumonia bakteri Menyingkirkan kelainan yang mendasari reccurent pneumonia Investigasi pada anak dengan gangguan imun yang foto Rontgen toraksnya normal atau ekuivokal
Terapi Mayoritas anak dengan reccurent pneumonia memiliki penyebab yang mendasarinya. Terapi ditujukan pula pada kelainan yang menjadi etiologinya Anak dengan riwayat batuk malam hari, batuk atau wheezing, perlu dipikirkan pemberian steroid dan bronkodilator Anak dengan reccurent pneumonia yang disebabkan oleh aspirasi mungkin mengalami gastroesophageal reflux Recurrent pneumonia pada anak dengan gangguan imunitas sering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae (37%) dan Haemophilus influenzae (26%). Terapi antibiotik dan intravenous gammaglobulin (IVIG) menurunkan mortalitas dan morbiditas
Bibliografi 1. Patria F, Longhi B, Tagliabue C, Tenconi R, Ballista P, Ricciardi G, dkk. Clinical profile of recurrent community-acquired pneumonia in children. BMC Pulm Med. 2013 Oct;13:60. 2. Panitch HB. Evaluation of recurrent pneumonia. Pediatr Infect Dis J. 2005 Mar;24(3):265–6. 3. Brand PL, Hoving MF, de Groot EP. Evaluating the child with recurrent lower respiratory tract infections. Paediatr Respir Rev. 2012 Sep;13(3):135–8. 4. Hoving MF, Brand PL. Causes of recurrent pneumonia in children in a general hospital. J Paediatr Child Health. 2013 Mar;49(3): E208–12. 5. Lodha R, Kabra SK. Recurrent/persistent pneumonia. Indian Pediatr. 2000 Oct;37(10):1085–92.
945
HOSPITAL ACQUIRED PNEUMONIA Batasan Penyakit infeksi saluran respiratori akut dengan gejala utama akibat radang pada parenkim paru yang terjadi pada ≥48 jam sesudah perawatan di rumah sakit, dibagi menjadi dini bila penyakit terjadi <5 hr, sedangkan lanjut bila penyakit terjadi sesudah ≥5 hr perawatan
Etiologi Patogen Gram Negatif Pseudomonas aeruginosa, A. baumanii, mikroorganisme yang tergolong ke dalam Enterobacteriaceae (Klebsiella spp., Enterobacter spp., Serratia spp., dll.) dan dalam beberapa kondisi, mikroorganisme seperti Haemophilus influenza Patogen Gram Positif Patogen gram positif yang menyebabkan hospital acquired pneumonia (HAP) antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus spp. dan Streptococcus pneumonia Bakteri lain: Prevotella spp., Fusobacterium spp., dan Veillonella spp. Patogen nonbakteri: Candida spp., Aspergillus spp.
Diagnosis Klinis Menegakkan diagnosis HAP sulit dilakukan karena belum ada kriteria klinis yang disetujui secara menyeluruh, penderita disebut suspek HAP jika terbukti terjadi infiltrat baru pada gambaran radiologis dalam ≥48 jam sesudah dirawat di rumah sakit disertai demam >38,3 °C, leukositosis atau leukopenia, dan sputum yang purulen (leukosit >25/lapang pandang besar pada pewarnaan gram aspirasi trakea). Konsensus di Eropa menyetujui penderita positif HAP jika setidaknya didapatkan infiltrat paru pada gambaran radiologi disertai 2 dari 3 kriteria klinis di atas Clinical pulmonary infection score (CPIS) merupakan suatu sistem skoring untuk mendiagnosis HAP yang terdiri atas 6 kriteria yaitu timbul demam >38,3 °C, leukositosis atau leukopenia, kultur sputum positif, timbul perburukan atau infiltrat baru pada gambaran radiologi, gangguan oksigenasi, dan kultur semikuantitatif dari aspirasi trakea dengan atau tanpa apus gram. Clinical pulmonary infection score ini diakui memiliki sensitivitas yang lebih baik dalam mendiagnosis HAP (sensitivitas 78%, spesifisitas 56%) Radiologi Diagnosis radiologi terbatas pada timbul infiltrat baru pada gambaran foto Rontgen toraks, sedangkan CT-scan dapat dilakukan sebagai alat diagnostik tambahan untuk menyingkirkan kelainan lain jika gambaran dari foto Rontgen toraks meragukan. Pada penderita HAP karena S. aureus sering didapatkan gambaran radiologis berupa pneumatokel yang muncul rata-rata 2–8% pada penderita HAP yang disebabkan oleh S. aureus 946
Mikrobiologi Kultur darah memiliki nilai prognostik dan diagnostik namun dilaporkan sensitivitasnya hanya 8–20%, dengan demikian perannya terbatas. Bakteri yang paling sering ditemukan pada kultur adalah P. aeruginosa, S. aureus, Enterobacteriaceae (terutama Klebsiella, E. coli, dan Enterobacter spp.). Semakin lama penderita dirawat di rumah sakit, spektrum bakteri yang ditemukan biasanya semakin luas, multipel, dan resisten terhadap obat. Hospital acquired pneumonia dini lebih sering disebabkan oleh bakteri yang timbul pada CAP seperti S. pneumoniae atau H. infuenzae, sedangkan HAP lanjut biasanya disebabkan oleh bakteri yang resisten terhadap berbagai obat seperti P. aeruginosa dan K. pneumonia, ataupun oleh bakteri MRSA Media kultur yang dapat digunakan untuk S. aureus adalah MacConkeys pada suhu 37 °C selama 18 jam, apabila positif akan ditemukan gambaran koloni berwarna kuning keemasan, bulat dengan koloni pigmen berwarna putih Pemeriksaan sputum juga belum diketahui sensitivitas dan spesifisitasnya sehingga tidak rutin diperiksa, selain itu spesimen sputum dapat berasal dari area yang tidak terinfeksi dan dapat terkontaminasi oleh flora saluran respiratori bagian atas. Pemeriksaan noninvasif yang cukup berguna adalah pemeriksaan aspirasi trakeobronkial. Pemeriksaan ini sensitivitasnya tinggi namun kelemahannya tidak dapat membedakan organisme penyebab pneumonia. Pemeriksaan lain seperti bronkoskopi langsung atau bronchoalveolar lavage (BAL) memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik tetapi bersifat invasif dan jarang dilakukan
Tatalaksana Hospital acquired pneumonia
Early onset: tidak didapatkan risiko multidrug-resistant
Late onset: risiko multidrug-resistant
Organisme penyebab early onset
Organisme lain yang juga menyebabkan early onset dan termasuk late onset
Gambar 75 Alur Tatalaksana Hospital Acqured Pneumonia Sumber: American Thoracic Society 2005
947
Tabel 224 Terapi Empiris Antibiotik pada HAP Onset Dini Patogen Potensial
Regimen yang Direkomendasikan
Streptococcus pneumoniae Haemophilus influenzae MSSA Antibiotic-sensitive enteric Basil gram negatif Escherichia coli Klebsiella pneumoniae
Sefalosporin generasi ketiga (seftriakson, sefotaksim) atau Fluorokuinolon (moksifloksasin, levofloksasin) atau β-laktam/β-laktamase inhibitor (amoksisilin/asam klavulanat; ampisilin/sulbaktam) atau Karbapenem (ertapenem) atau Sefalosporin generasi ketiga ditambah makrolid atau Monobaktam ditambah klindamisin (untuk penderita yang alergi β-laktam)
Enterobacter species Proteus species Serratia marcescens Sumber: Song 2008
Tabel 225 Terapi Empiris Antibiotik pada HAP Onset Lambat Patogen Potensial
Regimen yang Direkomendasikan
Patogen yang termasuk penyebab onset dini dan patogen MDR Pseudomonas aeruginosa Klebsiella pneumoniae (ESBL) Acinetobacter spp. MRSA
Sefalosporin antipseudomonas (sefepim, seftazidim) atau Karbapenem antipseudomonal (imipenem/meropenem) atau β-laktam/β-laktamase inhibitor (piperasilin tazobaktam)
Legionella pneuophila
Fluorokuinolon (siprofloksasin atau levofloksasin) atau Aminoglikosida (amikasin, gentamisin, atau tobramisin) Sefoperazon/sulbaktam ditambah fluorokuinolon atau aminoglikosid ditambah ampisilin/sulbaktam atau Fluorokuinolon (siprofloksasin) ditambah aminoglikosida ditambah linezolid/vankomisin, ditambah azitromisin atau fluorokuinolon
Sumber: Song 2008
Risiko terjadi multidrug-resistant (MDR) Terapi antibiotik sudah dimulai dalam 90 hr Onset pneumonia terjadi selama 5 hr saaat dirawat Frekuensi tinggi resisten antibiotik 948
Lama dirawat di ICU atau terpasang ventilator mekanik Status imunokompromais (penggunaan medikasi imunosupresan, HIV, transplantasi sumsum tulang atau organ)
Bibliografi 1. American Thoracic Society; Infectious Disease Society of America. Guidelines for the management of adult with hospitalacquired pneumonia, ventilator-associated and healthcareassociated pneumonia. Am J Respir Crit Care Med. 2005 Feb; 171(4):388–416. 2. Jones RN. Microbial etiologies of hospital-acquired bacterial pneumonia and ventilator-associated bacterial pneumonia. Clin Infect Dis. 2010 Aug;51(Suppl 1):S81–7. 3. Kieninger AN, Lipsett PA. Hospital acquired pneumonia: pathophysiology, diagnosis, and treatment. Surg Clin North Am. 2009 Apr;89(2):439–61. 4. Song JH; Asian HAP Working Group. Treatment recommendations of hospital-acquired pneumonia in Asian countries: first consensus report by the Asian HAP Working Group. Am J Infect Control 2008 May;36(4 Suppl):S83–92.
949
EMPIEMA Batasan Empiema merupakan infeksi supuratif yang terjadi di dalam rongga pleura Empiema didefinisikan sebagai kondisi terdapat pus di dalam rongga pleura Istilah empiema berkaitan dengan efusi parapneumonia yaitu terdapat akumulasi cairan pleura eksudatif yang menyertai infeksi paru Suatu efusi dikatakan empiema bila kadar leukosit secara makroskopis terlihat sangat jelas, cairan menjadi kental dan keruh
Epidemiologi Efusi parapneumonia terjadi pada 20–40% penderita yang dirawat dengan pneumonia Diperkirakan bahwa 1 dari 150 anak yang dirawat dengan pneumonia akan menjadi empiema. Sebanyak 40–60% empiema berhubungan dengan pneumonia, seperti parapneumonik
Etiologi Staphylococcus aureus (terbanyak), Streptococcus pneumoniae, dan Streptococcus pyogenes. Belakangan ini dikenal Streptococcus anginosus (atau dikenal dengan Streptococcus milleri) sebagai penyebab utama empiema Bakteri anaerob juga pernah ditemukan 25–76% sebagai penyebab tunggal maupun bersamaan dengan infeksi bakteri lain Empiema dapat terjadi akibat infeksi sekunder dari hemotoraks atau kontusi paru Biasanya empiema sekunder menyertai luka tembus dada atau infeksi pada rongga pleura sesudah tindakan torakotomi Empiema juga pernah dilaporkan menyertai apendisitis akut, abses hepar, dan abses paru. Diperkirakan 10% efusi pleura pada tuberkulosis disertai dengan infeksi sekunder Faktor predisposisi empiema yaitu penyakit paru kronik, DM, terapi steroid lama, aspirasi berulang
Patofisiologi Empiema terdiri atas 3 fase, yaitu fase akut, bersifat eksudatif, diikuti fase fibrinopurulen, dan fase kronik atau organizing phase. Saat leukosit PMN ↑ dan terjadi deposit fibrin → merupakan saat peralihan fase eksudatif menjadi fase fibrinopurulen Stadium 1: Stadium Eksudativa/Fase Akut (Minggu ke-1) Terjadi inflamasi pleura yang meningkatkan permeabilitas dan pengumpulan cairan dalam jumlah sedikit. Analisis cairan pleura → sel neutrofil dengan pH dan kadar glukosa normal Biasanya pada kultur tidak didapatkan pertumbuhan bakteri/steril
950
Pada stadium ini terdapat produksi sitokin proinflamasi → mengaktifkan sel mesotel pleura → memudahkan cairan masuk ke dalam rongga pleura Karakteristik cairan pleura: pH >7,29, glukosa >60 mg/dL, LDH <500 IU/dL, protein >2,5 g/dL, albumin >500/µL, BJ >1,018, cairan serosa atau keruh Stadium 2: Stadium Fibrinopurulen/Fase Transisional (Minggu ke-2) Stadium ini memiliki karakteristik invasi organisme ke dalam rongga pleura, inflamasi semakin progresif, dan invasi leukosit PMN yang signifikan. Invasi bakteri dapat mempercepat reaksi imun, migrasi neutrofil ↑ dan mengaktivasi kaskade koagulasi yang kemudian → peningkatan procoagulant dan menekan aktivitas fibrinolitik. Hal tersebut → deposisi fibrin dan lokulasi cairan. Peningkatan deposit fibrin → pemisahan atau lokulasi rongga pleura. Inflamasi memiliki karakteristik kadar glukosa cairan pleura dan pH ↓ serta protein dan kadar lactate dehydrogenase (LDH) ↑ Karakteristik cairan pleura: pH 7,00–7,29, glukosa 40–60 mg/dL, dan LDH 500–1.000 IU/dL Stadium 3: Stadium Organisasi/Fase Kronik (Minggu ke-3–4) Terjadi resorpsi cairan pleura dan berhubungan dengan proliferasi fibroblas yang dapat mengakibatkan perlengketan (entrapment) parenkim Terbentuk membran tidak elastis (pleural peel) berupa jaringan fibrosa keras pada membran pleura yang menggantikan jaringan fibrin yang lunak → terhambatnya proses pengembangan paru dan dapat mengganggu fungsi paru Karakteristik cairan pleura: pH <7,00, glukosa <40 mg/dL dan LDH >1.000 IU/dL Tabel 226 Gambaran Laboratorium Cairan Pleura pada Tiap Fase Empiema Karakteristik Cairan Pleura
Fase Eksudativa
Fase Fibrinopurulen
Fase Organisasi
pH Glukosa LDH
>7,29 >60 mg/dL <500 IU/dL
7,00–7,29 40–60 mg/dL 500–1.000 IU/dL
<7,00 <40 mg/L >1.000 IU/dL
Diagnosis Anamnesis Gejala klinis empiema sama dengan pneumonia Demam menetap 48 jam dengan pemberian antibiotik yang tepat mengindikasikan kemungkinan empiema Pemeriksaan Fisis Gejala akibat peradangan pleura berupa nyeri dada, dada terasa penuh, dan sesak napas Anak yang besar dapat mengeluh nyeri 951
dada saat inspirasi atau batuk dan nyeri dapat menjalar ke bahu atau perut Nyeri dada yang hebat akan mengganggu gerak pernapasan dan menimbulkan sesak napas Bila cairan bertambah banyak nyeri dada akan berkurang, tetapi anak makin bertambah sesak Panas badan, lemas, muntah, anoreksia, letargi, dan tampak sakit berat Dapat ditemukan distensi abdomen akibat ileus paralitik Pemeriksaan Penunjang Foto Rontgen toraks diperlukan untuk kecurigaan suatu empiema, foto lateral tidak rutin dilakukan Lateral dekubitus dibutuhkan untuk membedakan efusi parapneumonia sederhana dengan empiema jika ultrasound tidak ada Rontgen serial tiap hari tidak dibutuhkan untuk memantau perkembangan karena perubahan gambaran Rontgen terjadi sesudah perubahan klinis Ultrasound merupakan pemeriksaaan penunjang utama yang digunakan untuk membedakan cairan dengan suatu konsolidasi, memperkirakan besar efusi, dan urutan kompleksitas, menunjukkan rongga-rongga fibrin, dan penempatan chest drain. Pemeriksaan CT-scan dibutuhkan untuk kasus dengan komplikasi yang tidak mempunyai respons terhadap terapi atau terdapat keadaan patologis lain misalnya tumor Pemeriksaan darah seperti kultur, pemeriksaan darah lengkap, C-reactive protein dapat membantu menegakkan diagnosis dan memantau perkembangan penyakit, tetapi bukan menjadi pemeriksaan rutin Pemeriksaan cairan pleura pada empiema menunjukkan cairan yang purulen, jumlah leukosit >10.000/μL, dan cairan bersifat eksudat Kriteria Light menunjukkan cairan efusi bersifat eksudat bila ditemukan 1 dari 4 hal, yaitu: 1. Rasio protein pleura/serum >0,5 2. Rasio LDH pleura/serum >0,6 3. Konsentrasi protein pleura ≥3 g/dL 4. Konsentrasi LDH pleura >⅔ normal LDH serum
Terapi Suportif Anak dengan saturasi <93% harus diberikan oksigen Pemberian cairan, antipiretik, dan analgesia Chest physiotherapy tidak direkomendasikan, hal ini berbeda dengan mobilisasi awal dan latihan bernapas yang dalam sesudah dilakukan intervensi Antibiotik Antibiotik diberikan dengan dosis tinggi untuk memastikan dapat mencapai daerah pleura. Jika tidak ada hasil kultur, pilihan antibiotik bergantung pada kebijakan rumah sakit setempat dalam hal pengendalian community-acquired pneumonia 952
Antibiotik harus mencakup S. pneumoniae dan S. aureus Jika terdapat risiko aspirasi, perlu dipertimbangkan antibiotik untuk infeksi anaerob. Golongan makrolid perlu diberikan jika diketahui penyebabnya Mycoplasma pneumoniae. Empiema sedang sampai besar membutuhkan drainase Respons terhadap antibiotik bergantung pada patogen yang terlibat, stadium empiema, serta status imunitas anak. Pada stadium awal eksudat, antibiotik sendiri dengan konsentrasi yang tinggi sangat efektif, sedangkan pada stadium lanjut antibiotik kurang efektif dalam pengobatan penyakit tanpa intervensi bedah. Lini pertama antibiotik sefalosporin dosis tinggi kecuali sudah dilakukan tes sensitivitas atas patogen yang terkait. Dosis sefalosporin 50 mg/kgBB/dosis 3×/hr. Apabila ditemukan gangguan fungsi ginjal → dosis ini ↓. Antibiotik lain yang dapat diberikan: flukosaksilin, amoksisilin, gentamisin, dan meropenem bergantung pada hasil tes sensitivitas yang didapatkan pada pemeriksaan organism yang diisolasi dari darah atau aspirasi cairan pleura. Pada beberapa kasus, walaupun sudah dilakukan drainase yang adekuat, sepsis tetap berlanjut. Hal ini biasanya berhubungan dengan pneumonia nekrosis (necrotizing pneumonia) atau penyebaran dari fokus septik di tempat yang lain. Pada keadaan seperti ini, klindamisin mungkin berguna untuk menangani infeksi bakteri gram-positif. Pada kasus empiema kompleks seperti ini biasanya diperlukan pemberian antibiotik kombinasi. Antibiotik i.v. dilanjutkan sekurang-kurangnya 5–7 hr sesudah demam hilang sehingga lama pemberian antibiotik 10–14 hr selama perawatan Menurut WHO, lini pertama antibiotik → kloramfenikol saja, antibiotik spektrum luas yang masih efektif terhadap S. aureus, pneumococcus, dan Haemophilus influenzae Kloksasilin menunjukkan aktivitas antistafilokokal yang baik terhadap S. aureus. Penambahan gentamisin sebagai obat antistafilokokal dianjurkan oleh WHO dan sudah digunakan dalam beberapa penelitian karena efek sinergistik Antibiotik oral diberikan selama 1–4 mgg sesudah penderita pulang Tatalaksana Bedah Tujuan intervensi bedah untuk mencapai volume penuh ekpansi paru serta resolusi empiema. Intervensi yang dilaksanakan lebih awal pada empiema anak dapat mengurangi morbiditas. Kegagalan terapi harus dikenal pasti lebih awal untuk mengelakkan progresivitas penyakit Tindakan torakosentesis tidak digunakan untuk diagnosis Pemeriksaan sitologi cairan pleura dilakukan termasuk kultur terhadap Mycobacterium tuberculosis. Idealnya dilakukan dengan metode polymerase chain reaction (PCR) Chest drainage yang dianjurkan yaitu metode percutaneous small bore drainage dengan agen fibrinolitik atau video assisted thorascopic surgery (VATS), sehingga tidak dianjurkan lagi dilakukan open thoracotomy 953
Tabel 227 Kategori Risiko Prognosis Buruk pada Penderita Efusi Parapneumonik dan Empiema Anatomi Rongga Pleura
954
A0: efusi bebas minimal (<10 mm pada lateral dekubitus) A1: efusi bebas kecil hingga sedang (>10 mm dan <½ hemitoraks) A2: efusi bebas yang besar (≥½ hemitoraks), Efusi terlokalisasi, atau efusi dengan penebalan dinding parietal pleura
Bakteriologi Cairan Pleura
dan Bx: hasil kultur dan dan Cx: pH tidak diketahui pewarnaan gram tidak diketahui dan B0: hasil kultur dan dan C0: pH ≥7,20 pewarnaan gramnegatif atau B1: hasil kultur dan atau C1: pH <7,20 pewarnaan grampositif B2: pus
Sumber: Colice dkk. 2000
Biokimia Cairan Pleura
Kategori
Risiko Prognosis Buruk
Drainase
1
Sangat rendah
Tidak
2
Rendah
Tidak
3
Sedang
Ya
4
Tinggi
Ya
Gambar 76 Algoritme Penatalaksanaan Empiema pada Anak Sumber: Strachan dan Jaffe 2011
Bibliografi 1. Colice Gl, Curtis A, Deslauriers J, Heffner J, Light R, Littenberg B, dkk. Medical and surgical treatment of parapneumonic effusions: an evidence-based guideline. Chest. 2000 Oct;118(4):1158–71. 2. Grijalva CG, Zhu Y, Nuorti JP, Griffin MR. Emergence of parapneumonic empyema in the USA. Thorax. 2011 Aug;66(8): 663–8. 955
3. Light RW. Parapneumonic effusion and empyema. Proc Am Thorac Soc. 2006;3(1):75–80. 4. Parikh DH. Empyema thoracis. Dalam: Parikh DH, Crabbe DCG, Auldist AW, Rothenberg SS, penyunting. Pediatric Thoracic Surgery. London: Springer-Verlag; 2009. hlm. 109–27. 5. Strachan RE, Jaffe A; Thoracic Society of Australia and New Zealand. Recommendation for managing paediatric empyema thoracis. Med J Aust. 2011 Jul;195(2):20–9.
956
PNEUMOTORAKS Batasan Akumulasi udara di dalam rongga pleura karena terdapat hubungan langsung rongga pleura dengan atmosfir akibat defek pada dinding dada melalui pleura parietalis akibat tindakan operasi atau pecahnya alveoli. Selain itu, walaupun jarang dapat terjadi sebagai akibat infeksi mikroorganisme penghasil gas
Etiologi Spontan Idiopatik primer karena ruptur bleb subpleura Terdapat penyakit paru yang mendasari Kelainan kongenital paru: Ruptur kista paru kongenital (malformasi adenomatoid paru kongenital, kista bronkogenik) Hipoplasia paru: pneumotoraks yang berkaitan dengan hipoplasia paru yang terjadi dalam 1 jam pertama kelahiran. Disertai dengan berkurangnya volume cairan amnion (sindrom Potter, agenesis ginjal) Peningkatan tekanan intratorakal: asma, bronkiolitis, emfisema lobaris, air-block syndrome pada neonatus, fibrosis kistik, benda asing dalam saluran respiratori Infeksi: pneumatokel (ruptur pneumatokel), abses paru, fistula bronkopleural Penyakit paru difus: histisiosis sel langerhans, sklerosis tuberous, sindrom Marfan, sindrom Ehlers-Danlos Keganasan metastatik biasanya osteosarkoma Aspirasi → obstruksi bronkial atau bronkiolar tipe ball-valve Traumatik Iatrogenik Torakotomi Torakoskopi Torakosentesis Trakeostomi Pungsi pleura Ventilasi mekanik Noniatrogenik Trauma penetrasi Trauma tumpul Tekanan udara tinggi (musik keras)
Klasifikasi Simtomatik Nonsimtomatik Tension pneumothorax Non-tension pneumothorax 957
Ringan–sedang (bagian paru yang kolaps <30%) Berat (bagian paru yang kolaps 30–70%) Total (curigai tension pneumothorax)
Patofisiologi Trauma pada dinding dada dapat merobek jaringan paru yang mengakibatkan udara dari dalam alveoli masuk ke dalam rongga pleura Pada penyakit saluran respiratori bagian bawah sering didapatkan penyumbatan saluran inkomplit atau konsolidasi parenkim paru. Tekanan intraalveolar meningkat akan menyebabkan jaringan ikat peri-vaskular di daerah tersebut akan teregang dan menipis sehingga apabila tekanan tersebut melewati batas kemampuan peregangan jaringan maka akan terjadi robekan pada dasar alveoli sehingga udara akan memasuki ruangan perivaskular dan menjalar ke arah hilus dan masuk ke dalam mediastinum (pneumomediastinum) atau merobek pleura viseralis dan memasuki rongga pleura Pada penderita tuberkulosis tipe kavernosa atau yang progresif maka infiltrat yang terletak subpleural akan hancur dan menyebabkan nekrosis serta robekan pada pleura Penyebaran/metastasis sarkoma ke jaringan paru akan menyebabkan nekrosis bronkus, sedangkan emboli oleh tumor akan menyebabkan infark paru yang berakibat terjadinya air leak
Diagnosis Anamnesis Bergantung pada luas bagian paru yang kolaps, derajat tekanan intrapleura, kecepatan awitan, dan usia Penderita dapat mengalami kolaps kardiorespirasi tanpa menunjukkan tanda bahaya klinis atau asimtomatik (diagnosis berdasarkan foto Rontgen toraks) Pada neonatus dapat terjadi spontan tanpa berhubungan dengan penyebab yang diketahui. Pada neonatus normal, gejala pneumotoraks spontan sering kali bersifat subtle Gejala-gejala antara lain: Sesak napas, terjadi secara mendadak, akibat riwayat trauma toraks Penggunaan ventilator mekanik (cepat memburuk, diperlukan peningkatan tekanan inspirasi (sugestif tension pneumothorax) Akibat resusitasi Penyakit paru yang mendasari Nyeri yang menyebar ke bahu Pemeriksaan Fisis Takipnea, sesak napas, sianosis, pergeseran letak trakea, retraksi, bagian dada yang terkena lebih cembung (bulging), pergeseran letak pulsasi jantung Pergerakan dada asimetris Timpani atau hiperresonans pada perkusi di bagian dada yang terkena 958
Suara pernapasan melemah, rongga interkostal melebar Perburukan tiba-tiba dengan perubahan tanda vital: laju nadi menurun, tekanan darah menurun, frekuensi napas menurun, tekanan nadi sempit sampai dengan terjadi henti Kardiorespirasi Radiologis Bayangan lucent yang dikelilingi oleh jaringan paru opaque yang luas, lokal, multipel Rongga interkostal melebar Penekanan mediastinum dan jantung ke sisi yang sehat Laboratorium Darah: AGD (bila diperlukan dan memungkinkan)
Diagnosis Banding Kista paru yang sangat besar Obstruksi paru parsial yang disertai hiperinflasi sekunder Hernia diafragmatika (USG, pemeriksaan barium)
Pemeriksaan Penunjang Foto Rontgen toraks CT-scan toraks pada pneumotoraks persisten atau rekurens
Tatalaksana Terapi bervariasi bergantung pada luas kolaps paru dan berat penyakit yang mendasari Terapi ekpektatif/konservatif untuk pneumotoraks kecil (<5%), tidak progresif, asimtomatik atau bergejala ringan dan tidak berhubungan dengan penyakit yang mendasari karena diharapkan gas akan diabsorpsi Resolusi spontan biasanya diharapkan tercapai dalam 1 mgg Analgetik untuk mengatasi nyeri pleura Oksigen 100% untuk loculated pneumothorax Aspirasi jarum untuk tension pneumothorax yang sama efektivitasnya dengan torakostomi untuk penatalaksanaan pneumotoraks primer Chest tube drainage dilakukan pada: Pneumotoraks dengan kolaps paru luas (>5%) atau berulang Pengangkatan chest tube biasanya sudah dapat dilakukan sesudah 24–48 jam Pengobatan terhadap penyakit primer Aspirasi menggunakan kateter Closed thoracotomy atau water sealed drainage (WSD) yang memungkinkan dapat diangkat sesudah 72 jam Chemical pleurodesis menggunakan doksisiklin atau iodopovidon untuk pneumotoraks berulang
Konsultasi Bedah toraks 959
Prognosis Bergantung pada kecepatan diagnosis dan pengobatan Pneumotoraks rekurens dapat terjadi apabila resolusi lambat terjadi (>7 hr) Sesudah mengalami pneumotoraks penderita dianjurkan tidak mengikuti olahraga menyelam, olahraga dengan kontak fisik, naik pesawat, main musik tiup 4 mgg sesudah resolusi
Bibliografi 1. Montgomery M, Sigalet D. Air and liquid in the pleural space. Dalam: Chernick V, Kendig EL, penyunting. Kendig’s disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-7. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 381–7. 2. Winnie GB, Lossef SV. Pneumothorax. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier: 2011. hlm. 538–9.
960
ABSES PARU Batasan Terdapat rongga yang berbatas tegas berdinding tebal pada jaringan paru, berisi cairan purulen yang berasal dari supurasi dan nekrosis parenkim paru
Klasifikasi Abses primer: tidak ada penyakit yang mendasari Abses sekunder: terdapat penyakit atau faktor predisposisi yang mendasari
Etiologi Penyebab tersering adalah kuman anaerob Kuman anaerob: Kokus: Peptostreptococcus spp., Veillonella spp., Microaerophilic streptococci Batang gram-positif: Bifidobacterium spp., Clostridium spp. Batang gram-negatif: Fusobaacterium spp., Bacteroides spp. Kuman aerob dan fakultatif: Kokus gram-positif: Streptococcus pneumoniae, Streptococcus ß hemolyticus grup A, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis Batang gram-negatif: Proteus spp., Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli, Serratia marcescens, Enterobacter spp., Haemophilus influenzae Hampir semua jenis mikroorganisme yaitu bakteri, virus, protozoa, dan fungi dapat menyebabkan abses
Diagnosis Anamnesis Gejala utama pada abses primer maupun sekunder yaitu panas tinggi mencapai 40 °C disertai lemah, muntah, dan BB turun Beberapa hr atau mgg sebelumnya anak sudah sakit Gejala yang berhubungan dengan saluran respiratori berupa batuk berdahak, nyeri dada, dispnea, napas berbau, dan hemoptisis Identifikasi faktor predisposisi: Aspirasi, pneumonia, kistik fibrosis, GERD, fistula trakeoesofageal, imunodefisiensi, komplikasi postoperasi tonsilektomi dan adenoidektomi, kejang dan kelainan neurologis. Pada anak sumber utama infeksi yaitu aspirasi benda asing Pemeriksaan Fisis Pemeriksaan fisis daerah toraks bervariasi: tidak ditemukan kelainan sampai menunjukkan tanda takipnea, tarikan dinding dada, pergerakan toraks tertinggal, pekak pada perkusi, serta suara pernapasan ↓, crackles, pernapasan bronkial pada auskultasi Dapat ditemukan clubbing jari-jari, terdapat sumber infeksi 961
Pemeriksaan Penunjang Radiologi Foto Rontgen toraks posisi PA, lateral, oblik dan dekubitus Tampak rongga berdinding tebal di paru, dapat soliter atau multipel Abses primer hampir selalu soliter, sering pada lobus atas dan bawah paru kanan, sedangkan abses sekunder dapat soliter atau multipel dapat unilokuler atau multilokuler Tampak gambaran radioopak bila tidak ada hubungan antara rongga abses dan cabang bronkus. Bila terdapat hubungan dengan bronkus tampak gambaran rongga abses dengan air fluid level Bila abses besar akan tampak atelektasis alveoli sekitarnya USG dan CT-toraks bila diperlukan Laboratorium Leukosit meningkat dengan PMN yang dominan Pewarnaan gram sputum Kultur dari pungsi paru, aspirasi perkutaneus (dengan CTguiding) atau trantrakeal Kultur darah jarang ditemukan organisme penyebab terutama pada abses primer
Diagnosis Banding Empiema dengan fistula bronkopleural kista paru kongenital Pseudokista traumatik Pneumatokel Emfisema kongenital pada bayi baru lahir Neoplasma
Penyulit Pneumotoraks Ekspansi abses dengan pergeseran mediastinum Empiema Fistula bronkopleura Septikemia Abses otak
Konsultasi Bedah toraks
Tatalaksana Umum Makanan dan cairan yang cukup O2 bila sesak napas Khusus Antibiotik Antibiotik harus segera diberikan sambil menunggu hasil kultur Antibiotik harus mencakup untuk bakteri anaerob dan aerob 962
Antibiotik I diberikan selama 2–3 mgg, dilanjutkan antibiotik p.o. sampai total 4–6 mgg atau sampai gambaran pada foto menunjukkan resolusi total atau terdapat luka parut yang kecil dan tidak meningkat Apabila penyebab bakteri anaerob, dibutuhkan terapi yang lebih panjang (6–12 mgg) untuk mencegah kambuh Antibiotik yang diberikan harus mencakup penicilinase-resistant agent yang aktif terhadap S. aureus dan klindamisin untuk bakteri anaerob Bila terdapat kemungkinan gram-negatif ditambahkan aminoglikosida Operasi Dilakukan bila antibiotik yang optimal tidak berhasil dalam 7–10 hr dilakukan aspirasi per kutan dengan CT-guiding Lobektomi jarang diperlukan kecuali bila terjadi ekspansi masif abses yang mengakibatkan kompresi jaringan sekitarnya Postural drainage
Prognosis Abses primer umumnya baik, rongga biasanya menghilang bila pus sudah keluar karena dibatukkan (melalui bronkus) Abses sekunder bervariasi bergantung pada penyakit yang mendasarinya Mortalitas pada abses paru berkisar 30–40%
Bibliografi 1. Brook I. Lung abscess and pulmonary infections due to anaerobic bacteria. Dalam: Chernick V, Kendig EL, penyunting. Kendig’s disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-7. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 478–84. 2. Lakser O. Pulmonary abscess. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 527.
963
EMBOLI PARU Batasan Emboli paru (EP) adalah udara, lemak, cairan amnion, tumor, atau benda asing, maupun trombus (disebut juga tromboemboli) yang menyebar ke pembuluh darah paru dan menyebabkan obstruksi pembuluh darah paru
Epidemiologi Hasil autopsi dari suatu penelitian mengemukakan kejadian EP pada anak sebesar 0,05–3% Penelitian lain menyatakan insidensi EP pada anak dan remaja yang dirawat di rumah sakit sebanyak 1/1.000, tetapi hanya 25% yang menampilkan gejala klinis Walaupun insidensi lebih besar pada orang tua dan jarang dilaporkan pada anak <15 th, tetapi insidensi tertinggi terjadi pada anak usia <1 th dan usia 11–18 th
Etiologi dan Faktor Risiko Lebih dari 90% EP disebabkan trombi yang berasal dari vena dalam besar tungkai, terutama vena poplitea dan vena dalam di atasnya, tetapi dapat juga berasal dari vena kecil dalam betis, yang kemudian dilepaskan ke dalam sirkulasi vena dan menyebar di kedua paru (65%), paru kanan (25%), dan paru kiri (10%). Lobus paru bawah empat kali lebih sering terkena daripada lobus atas Faktor risiko terjadi EP meliputi: Primer (genetik): mutasi faktor V, defisiensi antitrombin III, defisiensi protein C atau protein S, defek fibrinolisis, golongan darah A Sekunder (didapat): tirah baring lama atau perjalanan yang lama, infark miokardium, kerusakan jaringan (operasi, patah tulang, luka bakar), keganasan, katup jantung buatan, KID, lupus antikoagulan, atrial fibrilasi, kardiomiopati dilatasi, tromboflebitis, sindrom nefrotik, kateterisasi jantung, sickle-cell anemia, pemasangan kateter vena sentral, kemoterapi, ventriculoatrial shunt pada hidrosefalus, sindrom Gullain-Barre, duchenne muscular dystrophy, kegemukan, gagal jantung kongestif, penyalahgunaan obat (i.v.), kolitis ulseratif, dan trombositosis Faktor risiko pada bayi baru lahir meliputi: trauma lahir, dehidrasi, sepsis, kelainan jantung bawaan seperti patent ductus arteriosus (PDA), operasi jantung Faktor risiko pada ibu, seperti DM, hidramnion, dan toksemia Kejadian pada anak terutama terjadi pada: Abnormalitas koagulasi (sampai 70%, terutama defisiensi protein C dan S) Penderita leukemia yang mendapat kemoterapi (2,9%) 964
Diagnosis EP harus dipertimbangkan pada anak dengan hipertensi pulmonal yang tidak dapat dijelaskan, terdapat gangguan respirasi, KID, serta riwayat keluarga dengan defek koagulasi atau meninggal karena kejadian trombosis pada usia <50 th Anamnesis Gejala klinis bervariasi, meliputi nyeri dada, sesak, nyeri punggung¸ pundak, perut bagian atas, batuk darah, pingsan, wheezing, berdebar, atau gejala toraks lain yang tidak dapat dijelaskan. Berdasarkan the prospective investigation of pulmonary embolism diagnosis (PIOPED), gejala yang paling sering ditemukan sesak (73%), nyeri dada pleuritik (66%), batuk (37%), dan batuk darah (13%). Tiga gejala dan tanda klasik EP berupa batuk darah, sesak, dan nyeri dada, tetapi penderita yang meninggal karena EP masif hanya 60% mempunyai gejala sesak, 17% dengan gejala nyeri dada, dan 3% dengan batuk darah. Gejala nyeri dada pleuritik pada anak dilaporkan sampai 84%, batuk sebesar 50%, dan hanya sejumlah kecil remaja dan dewasa muda dengan gejala batuk darah. Sebanyak 21% penderita muda terbukti menderita EP datang hanya dengan keluhan nyeri dada pleuritik Pemeriksaan Fisis Pada fase awal didapatkan pemeriksaan fisis yang normal. Takipnea merupakan gejala yang paling sering ditemukan. Pemeriksaan fisis lain meliputi takikardia, dispnea, demam, flebitis, rales, wheezing, hemaptoe, komponen pulmonal pada suara jantung kedua yang mengeras, murmur, peningkatan vena jugularis, gallop, edema tungkai, hipotensi, diaporesis, sianosis, dan pleuritic rub Tabel 228 Kriteria Wells dalam Prediksi Tromboemboli Secara Klinis Tampilan Klinis
Nilai
Gejala klinis DVT Diagnosis lain lebih tidak mungkin daripada EP Denyut nadi >100×/mnt Imobilisasi atau operasi dalam 4 mgg yang lalu DVT/EP sebelumnya Batuk darah Keganasan Nilai: >6 : risiko tinggi (78,4%) 2–6 : risiko sedang (27,8%) <2 : risiko rendah (3,4%)
3 3 1,5 1,5 1,5 1 1
Sumber: Kearon 2003
Pemeriksaan Penunjang D-dimer: digunakan untuk tromboemboli vena. Pemeriksaan D-dimer dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) mempunyai sensitivitas yang tinggi (85–98%), tetapi mempunyai 965
spesifisitas yang rendah (40–70%), serta mempunyai nilai (+) palsu yang tinggi (53%). Pemeriksaan D-dimer harus dipertimbangkan bila dilakukan bersama ventilation/perfusion (V/Q)-scan untuk diagnosis EP Foto Rontgen toraks: atelektasis, efusi pleura, infiltrat pulmonal, dan elevasi hemidiafragma. Tanda klasik seperti Hamptom’s hump (densitas pleural berbentuk baji di area infark paru), tanda Westermark (vaskularitas menurun ditunjukkan dengan densitas lusen di daerah perifer meningkat), dan tanda Fleischner (arteri pulmonalis berbentuk sosis) jarang ditemukan dan bukan prediktor yang baik untuk EP Ultrasonography (USG): mendeteksi DVT secara noninvasif, dengan sensitivitas 30–50% dan spesifisitas 97%. Pada DVT, vena tidak dapat kolaps secara sempurna ketika tekanan diberikan melalui probe USG Elektokardiografi dilakukan bila dicurigai gangguan jantung. Perubahan yang terjadi pada EP tidak spesifik seperti takikardia, perubahan gelombang ST-T (50%), right bundle branch block (RBBB), right axis deviation (RAD), gelombang T inversi, dan P pulmonal, tetapi gambaran EKG dapat normal pada 20–30% penderita EP Transthoracic atau transesophageal echocardiography dapat memperlihatkan tromboemboli pada ruang jantung kanan (terutama atrium kanan) dan arteri pulmonalis sentral, serta memperlihatkan perubahan hemodinamik jantung kanan Diagnosis EP ditentukan bila terdapat daerah dengan ventilasi normal, tetapi terjadi perfusi menurun. Hasil pemeriksaan dibagi dalam lima kategori, yaitu normal, very low probability, low probability, intermediate probability, high probability. High probability ditentukan bila ditemukan ≥2 defek perfusi dengan normal ventilasi, tetapi low probability tidak menyingkirkan diagnosis EP Angiografi merupakan pemeriksaan gold standard untuk mendiagnosis EP. Hasil (+) didefinisikan sebagai defek pengisian intraluminal yang tampak lebih dari satu gambaran radiografi. Hasil (+) memberi gambaran 100% bila memang terdapat obstruksi aliran darah arteri pulmonalis, sedangkan hasil (−) dapat memastikan sebesar >90% untuk menyingkirkan diagnosis EP Gambaran kronik pada pulmonary computed tomografi angiography (PCTA) atau multidetector helical (spiral) CT memperlihatkan: 1) trombus terletak eksentrik atau berdekatan dengan dinding pembuluh darah, 2) diameter arteri berkurang >50%, 3) rekanalisasi di dalam trombus, dan 4) terdapat arterial web. Gambaran akut jika terdapat trombus di tengah lumen atau terjadi oklusi pembuluh darah (vessel cut-off sign) Pada MRI, trombi tampak sebagai defek pengisian pada arteri pulmonalis Pemeriksaan Penunjang Lain Pulmonary angiography (PA): defek pengisian intraluminal Spiral CT: defek pengisian intraluminal pada arteri pulmonalis utama dan lobar 966
V/Q-scan: high probability scan dan moderate/high clinical probability Tes diagnostik untuk DVT: DVT akut dengan V/Q-scan atau spiral CT Diagnosis EP dapat disingkirkan bila: 1) PA: normal, 2) perfusion scan: normal, 3) D–dimer: normal, 4) kecurigaan klinis yang rendah untuk EP, 5) fraksi alveolar dead space normal, nondiagnostik (lowintermediate) V/Q-scan/spiral CT normal, dan 7) USG normal
Diagnosis Banding Acute coronary syndrome Acute respiratory distress syndrome Anemia Stenosis aorta Asma Fibrilasi atrial Kardiomiopati dilatasi Kardiomiopati restriktif Gagal jantung kongestif dengan edema paru Hantavirus cadiopulmonary syndrome Mitral stenosis Miokarditis Perikarditis Tamponade jantung Pneumonia Pneumotoraks Stenosis pulmonal Syok kardiogenik Syok septik Superior vena cava syndrome Toxic shock syndrome
967
CT-angiografi
-scan
(−)
-scan diagnosis lain Clinical Menengah
(−)
Tes D-dimer
Follow up untuk
(−)
Follow up untuk diagnosis lain
Gambar 77 Algoritme Diagnosis Tromboemboli Paru Sumber: Ramzi dan Leeper 2004
Tatalaksana Penatalaksanaan dasar EP yaitu resusitasi dan stabilisasi penderita Penderita EP yang sudah stabil diberikan: Antikoagulan (untuk mencegah meluasnya trombus dan komplikasi lanjut berupa rekurens): Unfractioned heparin: Dosis loading 75 IU/kgBB dalam 10 mnt i.v. dilanjutkan dosis rumatan 28 IU/kgBB/jam i.v. (usia <1 th) atau 20 IU/kgBB/jam i.v. (usia >1 th) Pemantauan: APTT, trombosit Low molecular weight heparins (LMWHS): Enoxaparin: <2 bl: 1,5 mg/kgBB/dosis tiap 12 jam s.k. >2 bl: 1,0 mg/kgBB/dosis tiap 12 jam s.k. Reviparin: <5 kg: 150 IU/kgBB/dosis tiap 12 jam s.k. >5 kg: 100 IU/kgBB/dosis tiap 12 jam s.k. Pemantauan: trombosit, kadar anti-factor Xa 968
Antagonis vitamin K: Warfarin: Dosis loading: 0,2 mg/kgBB dilanjutkan dosis rumatan bergantung pada target INR (2,0–3,0). Pemberian min. 5 hr (7–10 hr) Pemantauan: INR Untuk penderita dengan hemodinamik tidak stabil: Trombolitik Tissue plasminogen activator (rt-PA): 0,1–0,6 mg/kgBB/jam i.v. selama 6 jam Pemantauan: fibrinogen, plasminogen, D-dimer, trombosit, APTT, PT Embolektomi dilakukan pada penderita dengan hemodinamik yang tidak stabil dan pemberian trombolisis tidak efektif atau merupakan kontraindikasi
Prognosis Prognosis TP bergantung pada penyakit yang mendasarinya, diagnosis, dan terapi EP yang tepat. Dalam 5 hr terapi antikoagulan 36% defek pada sidik/scan paru menghilang, dalam 2 mgg terapi 52% defek menghilang, dan sesudah 3 bl terapi 73% defek menghilang. Pada umumnya penderita yang mendapat terapi antikoagulan tidak memunculkan gejala sisa jangka panjang. Angka kematian penderita EP yang tidak terdiagnosis 30%. Berdasarkan PIOPED, angka kematian 1 th sebanyak 24% dan kematian disebabkan penyakit jantung, EP rekurens, infeksi, serta kanker. Sekitar 17% penderita EP rekurens menderita DVT proksimal
Bibliografi 1. Carman TL, Deitcher SR. Advances in diagnosing and excluding pulmonary embolism: spiral CT and D-dimer measurement. Cleve Clin J Med. 2002 Sep:69(9):721–9. 2. Charles HW. Pulmonary angiography [diunduh 8 Mei 2012]. Tersedia dari: http://emedicine.pulmonaryangiography.html. 3. Coluciello SA. Pulmonary embolism: etiology and clinical features [diunduh 8 Mei 2012]. Tersedia dari: http://www.emrtextbook.com. 4. Feled G, Handler JA. Pulmonary embolism. eMedicine 2006. [diunduh 8 Mei 2012]. Tersedia dari: http://www. emedicine.com/ emerg/topic490.html. 5. Jones MR, Reid JH. Emergency chest radiology: thoracic aortic disease and pulmonary embolism. Imaging. 2006 Sep;18(3):122– 38. 6. Kearon C. Diagnosis of pulmonary embolism. CMAJ. 2003 Jan; 168(2):183–94. 7. Kohli A, Rajput D, Gomes M, Desai S. Review article: imaging of pulmonary thromboembolism. Indian J Radiol Imaging. 2002: 12(2):207–12. 969
8. Nevin MA. Pulmonary embolism, infarction, and hemorrhage. Dalam: Kliegman RM, Staton SF, St. Geme III JW, Schor NF. penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 534–5. 9. Ramzi DW, Leeper KV. DVT and pulmonary embolism: Part I. Diagnosis. Am Fam Physician. 2004 Jun;69(12):2829–36. 10. Van Ommen CH, Peters M. Acute pulmonary embolism in childhood. Thromb Res. 2006;118(1):13–25. 11. Wittman B, Donnerstein R. Pulmonary embolism. Dalam: Taussig LM, Landau LI, Le Souĕf PN, Martinez FD, Morgan WJ, Sly PD, penyunting. Pediatric respiratory medicine. Edisi ke-2. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008. hlm. 773–7.
970
TUBERKULOSIS Batasan Tuberkolusis (TB) anak adalah penyakit infeksi yang disebabkan M. tuberculosis pada anak berusia <15 th
Etiologi Mycobacterium tuberculosis complex dan yang menjadi penyebab utama penyakit tuberkulosis pada manusia adalah M. tuberculosis
Epidemiologi WHO memperkirakan 30% penduduk dunia terinfeksi oleh M. tuberculosis, terutama di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Tuberkulosis merupakan penyebab kesakitan dan kematian anak di beberapa negara endemis TB. Kesulitan dalam mendiagnosis TB dan banyak kejadian TB pada anak yang tidak dilaporkan menyebabkan beban kejadian TB pada anak tidak diketahui secara pasti. Dari 4.452.860 kasus baru yang dilaporkan pada tahun 2010 dari 22 negara endemis TB, hanya 157.135 atau 3,5% (rentang 0,1–15%) terjadi pada anak. Estimasi kejadian TB baru pada anak <15 th adalah 11%, sehingga lebih dari 332.000 kasus TB anak tidak terlaporkan atau tidak terdiagnosis. Kejadian TB paru anak dengan batang tahan asam (BTA) positif pada 22 negara tersebut <10%. Indonesia melaporkan terdapat 1.086 penderita TB anak terutama pada usia 12–60 bl (42,9%) di tujuh RS pusat pendidikan selama 5 th dengan angka kematian bervariasi 0–14,1%. Sebanyak 70–80% TB anak terjadi di paru, sisanya di ekstraparu. Tuberkulosis anak sering diabaikan dalam program nasional karena kesulitan dalam mendiagnosis, TB anak tidak infeksius, sarana terbatas, dan pelaporan masih kurang
Penularan Tuberkulosis merupakan penyakit yang ditularkan melalui udara (airborne), 95% penularan melalui hirupan droplet nuclei penderita TB paru atau TB laring saat batuk, bersin, berbicara, maupun menyanyi. Oleh karenanya bila seorang anak didiagnosis menderita TB, maka harus dicari penderita TB dewasa yang menjadi sumber penularan pada anak tersebut, begitu juga sebaliknya
Klasifikasi Terpapar Individu yang terpapar dengan penderita TB, asimtomatik, pemeriksaan fisis dan radiologis normal, serta tes kulit tuberkulin (−) Latent Tuberculosis Infection (LTBI) Individu yang terpapar dengan penderita TB, dengan hasil tes kulit tuberkulin (+), tetapi tidak gejala, pemeriksaan fisis dan radiologis dalam batas normal
971
Penyakit TB Individu yang mempunyai gejala dan radiologi menunjukkan TB TB intraparu: TB paru (pada anak: TB paru primer) Kronik TB paru/adult tipe TB/TB reaktivasi Endobronkial TB TB ekstraparu: TB kelenjar TB saluran respiratori atas dan telinga TB mata TB pleura TB jantung TB abdomen TB retikuloendotelial TB genitourinaria TB susunan saraf pusat TB tulang dan sendi TB diseminata/milier
Pendekatan Diagnosis Anak umumnya dievaluasi untuk kemungkinan menderita TB karena muncul gejala dan tanda penyakit TB atau sebagai temuan dari penelusuran terdapat kontak TB. Diagnosis TB anak sulit ditegakkan karena baku emas untuk diagnosis TB yaitu konfirmasi bakteriologi sering memberikan hasil yang (−). Hal ini berkaitan dengan sifatnya yang paucibaciler dan sulit mendapatkan sediaan untuk pemeriksaan bakteriologi. Bentuk TB yang sering terjadi pada anak adalah TB paru (TB paru primer), sedangkan TB reaktifasi/adult type umumnya terjadi pada anak yang lebih besar/remaja Pendekatan diagnosis TB pada anak yang direkomendasikan WHO meliputi: Anamnesis yang teliti termasuk kontak TB dan gejalanya Pemeriksaan fisis termasuk penilaian pertumbuhan Tes kulit tuberkulin Konfirmasi bakteriologi bila memungkinkan Pemeriksaan yang relevan untuk kemungkinan TB paru dan TB ekstraparu Pemeriksaan HIV pada daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi Anamnesis Riwayat kontak erat dengan penderita TB. Kontak erat adalah penderita TB yang tinggal serumah atau sering kontak dengan sputum BTA (+). Penderita TB sputum (−) tetapi kultur (+) juga dapat menularkan ke anak Gejala yang sering ditemukan pada penderita TB anak adalah Batuk persisten Batuk terus-menerus tanpa episode sembuh >21 hr dan tidak sembuh dengan pengobatan lini pertama. Hemoptisis jarang ditemukan kecuali pada adult type TB 972
Panas lama Panas badan >38 °C selama 14 hr, tetapi bukan karena infeksi saluran respiratori, malaria, bakteremia, dan sepsis BB ↓ atau gagal tumbuh Penting untuk melihat data pada kurva pertumbuhan, kecurigaan terhadap TB bila didapatkan kurva BB tetap/↓ melewati garis persentil selama 3–6 bl ke belakang Keringat malam Keringat malam hari yang berlebihan sehingga harus mengganti baju Gejala lain Anoreksia, lesu, batuk darah (jarang). Mengorok, batuk menggonggong, suara serak yang menetap ditemukan pada TB laring. Nyeri dada unilateral dengan atau tanpa sesak merupakan gejala pleuritis TB, sedangkan gangguan kesadaran merupakan gejala meningitis TB Pemeriksaan Fisis Tidak ada temuan khusus pada pemeriksaan fisis yang dapat mengonfirmasikan TB paru. Pemeriksaan status nutrisi harus selalu dilakukan pada setiap anak yang dicurigai menderita TB. Pemeriksaan fisis yang menunjang TB ekstraparu antara lain: Conjuctivitis flictenularis pada TB mata Limfadenopati servikal: unilateral, tidak sakit, diameter >2 cm dan sering membentuk formasi fistula Skrofuloderma pada TB kulit Penurunan suara pernapasan, dullness, crackles ditemukan pada pleuritis TB Nyeri dada dan bunyi jantung redup ditemukan pada perikarditis TB Wheezing dapat ditemukan pada pembesaran kelenjar limfe peribronkial Perut membesar dan asites ditemukan pada TB abdomen Pembengkakan sendi yang tidak nyeri menunjukkan artritis TB Gibbus pada spinal yang tidak sakit menunjukkan spondilitis TB Pemeriksaan Penunjang Tes kulit tuberkulin Tes tuberkulin dilakukan dengan menyuntikkan purified protein derivative (PPD) RT23 2TU kekuatannya setara dengan PPDS 5 TU secara intradermal sebanyak 0,1 mL pada permukaan volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48–72 jam sesudah injeksi. Pada anak imunokompeten, tanpa melihat status imunisasi BCG maka cut-off point diameter transversal indurasi ≥10 mm dikatakan (+), sedangkan pada anak imunodefisiensi seperti penderita HIV dan KEP berat maka cut-off point diameter transversal indurasi ≥5 mm 973
Konfirmasi bakteriologi WHO merekomendasikan pemeriksaan batang tahan asam (BTA) dan kultur baik dari sediaan sputum (disarankan pada anak usia ≥10 th), aspirat cairan lambung, cairan tubuh lain (pleura, perikardial, dll.), biopsi kelenjar limfe ataupun organ lain bila fasilitas laboratorium tersedia Pemeriksaan radiologi Gambaran foto Rontgen toraks pada TB paru tidak khas, dan gambaran normal tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB jika klinis dan pemeriksaan penunjang lain mendukung. Gambaran radiologis yang sering ditemukan adalah pembesaran kelenjar limfe hilus. Pada adult type TB ditemukan gambaran infiltrat yang luas atau kavitas. Gambaran radiologis lain yang dapat ditemukan adalah milier, konsolidasi segmental/lobar, efusi pleura, atelektasis, kalsifikasi disertai infiltrat, dan tuberkuloma Pemeriksaan lain Serologis dan polymerase chain reaction (PCR) tidak direkomendasikan dilakukan secara rutin untuk diagnosis TB. Interferongamma release assays (IGRAs) digunakan untuk mendiagnosis infeksi laten TB dan hasil pemeriksaan ini tidak dipengaruhi oleh imunisasi BCG. Pemeriksaan HIV dianjurkan dilakukan pada semua penderita TB Mengingat sulit mendiagnosis TB pada anak, maka Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi PP IDAI bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia membuat sistem skoring yang sudah dites dalam suatu penelitian dan sudah direvisi untuk mempermudah diagnosis TB anak terutama di daerah dengan fasilitas kesehatan yang kurang memadai (Tabel 229)
974
Tabel 229 Sistem Penilaian/Skoring Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB di Sarana Kesehatan Terbatas Parameter
0
1
Kontak TB
Tidak jelas
−
2 Laporan keluarga, BTA (−) atau tidak tahu, BTA tidak jelas −
3 BTA (+)
975
Tes kulit tuberkulin
(−)
−
BB/keadaan gizi
−
BB/TB <90% atau BB/U <80%
Demam yang tidak diketahui sebabnya
−
>2 mgg
−
−
Batuk kronik
−
≥3 mgg
−
−
Pembesaran kelenjar limfe kolli, aksila, inguinal
−
>1 cm, jumlah >1, tidak nyeri
−
−
Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang
−
Ada pembengkakan
−
−
Foto Rontgen toraks Sumber: UKK Respirologi 2008
Normal/ kelainan Gambaran sugestif tidak jelas TB*
Klinis gizi buruk BB/TB <70% atau BB/IU <60%
−
Positif (≥10 mm atau ≥5 mm pada keadaan imunosupresif) −
−
Keterangan: Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, rujuk ke RS: 1. Foto Rontgen toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura 2. Gibbus, koksitis 3. Tanda bahaya: kejang, kaku kuduk, kesadaran ↓, kegawatan lain misalnya sesak napas Bila ditemukan skrofuloderma penderita dapat langsung didiagnosis TB BB dinilai saat penderita datang Foto Rontgen toraks bukan merupakan alat diagnosis utama TB anak Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥6 Penderita balita yang mendapat skor 5 dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut * Gambaran foto Rontgen toraks sugestif TB berupa: pembesaran kelenjar hilus atau partrakheal dengan/tanpa infiltrat, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat, atelektasis, tuberkuloma
Tatalaksana Obat antituberkulosis (OAT) diberikan dalam 2 fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan yang diberikan selama 6–12 bl. Pada fase intensif diberikan min. 3 macam obat selama 2 bl pertama dan pada fase lanjutan diberikan min. 2 macam obat selama 4–10 bl selanjutnya. Pemberian OAT dapat menggunakan fixed dose combinations (FDC) maupun regimen obat terpisah. Tablet FDC yang tersedia untuk fase intensif terdiri atas INH 50 mg, rifampisin 75 mg, dan PZA 150 mg, sedangkan fase lanjutan terdiri atas INH 50 mg dan rifampisin 75 mg. Pemberian INH bila dikombinasikan dengan rifampisin, maka dosis INH tidak boleh >10 mg/kgBB/hr. Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Stategi directly observed short-course therapy (DOTs) digunakan untuk memastikan kepatuhan pengobatan dan ketersediaan OAT
976
Tabel 230 Regimen Pengobatan TB Anak yang Direkomendasikan WHO 2010 Kasus TB dan Kategori Diagnostik
977
Regimen penderita baru BTA (+) BTA (−) dengan keterlibatan paru yang luas TB ekstraparu berat selain meningitis TB Regimen penderita baru BTA (−) tanpa keterlibatan paru yang luas TB ekstraparu ringan (misalnya TB servikal adenitis) Regimen penderita baru Meningitis TB Regimen retreatment Sebelumnya pernah diobati dengan BTA (+) (relaps, pengobatan sesudah terputus, atau gagal terapi) Jika risiko rendah untuk MDR-TB atau risiko tidak diketahui: lanjutkan dengan regimen retreatment Jika risiko tinggi untuk MDR: gunakan regimen MDR-TB Regimen MDR-TB MDR-TB
Regimen OAT Fase Intensif Fase Lanjutan 2 HRZE 4HR
2HRZ
4HR
2HRZS*
4HR
2HRZES/1HRZE
5HRE
Regimen individual
Sumber: Graham 2011 Keterangan: Tabel di atas merupakan rekomendasi WHO 2010 H: INH; R: rifampisin; Z: pirazinamid; E: etambutol; S: streptomisin Perubahan utama adalah semua tipe TB (kecuali TB meningitis dan TB osteoartikular) di daerah endemik HIV harus disertai obat ke-4 pada fase intensif 2HRZE/4RH Pada TB meningitis streptomisin tidak lagi direkomendasikan sebagai terapi lini pertama pada anak, pengantian streptomisin dengan etionamid dan diberikan 9–12 bl
Tabel 231 Dosis Obat Antituberkulosis Lini Pertama dan Kedua yang Direkomendasikan untuk TB Anak Obat Lini pertama Isoniazid Rifampisin
Cara Kerja
978
Pirazinamid Etambutol
Sterilisasi Bakteriostatik
Streptomisin
bakteriostatik
Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna oranye kemerahan Toksisitas hepar, artralgia, gastrointestinal Neuritis optik, ketajaman mata berkurang, buta warna merah hijau, hipersensitivitas, gastrointestinal Ototoksik, nefrotoksik
Bakterisidal Bakterisidal
Muntah, hepatitis, hipotiroid Insomnia, atralgia
Lini kedua Etionamid Fluorokinolon Ofloksasin Levofloksasin Moksifloksasin
Bakterisidal Bakterisidal dan sterilisasi
Efek Samping
Dosis Tunggal Harian mg/kgBB/hr (Rentang) [Dosis Maksimal] 10 (5–15) [300] 15 (10–20) [600]
35 (30–40) [2.000] 20 (15–25) [1.200] 15 (12–18) [1.000] 15–20 [1.000] 15–20 [800] 7,5–10 [750] 7,5–10 [400]
979
Aminoglikosida Kanamisin Amikasin Polipeptida Kapreomisin Sikloserin
Bakterisidal
Ototoksik, nefrotoksik
15–30 [1.000]
Bakteriostatik
Ototoksik, nefrotoksik
15–30 [1.000]
Bakteriostatik
Psikosis, depresi, kejang
10–20 [1.000] Dibagi 2–3 dosis/hr
Asam para amino salisilat (PAS)
Bakteriostatik
Diare, muntah, hipotiroid
150–200 [12.000] Dibagi 2–3 dosis/hr
Sumber: Marais dkk. 2011 Keterangan: Pada anak berusia <5 th yang terpapar penderita TB, tetapi terbukti terdapat infeksi maupun penyakit TB direkomendasikan untuk mendapat kemoprofilaksis INH 10 mg/kgBB/hr selama 6–9 bl
Tuberkulosis pada Keadaan Khusus Beberapa keadaan khusus pada TB anak meliputi: infeksi TB laten, TBHIV, MDR-TB, TB perinatal, dan TB ekstraparu Infeksi TB Laten Infeksi TB laten pada anak menyumbangkan terjadi TB pada saat remaja/dewasa. Infeksi TB laten dipastikan dengan hasil tes kulit tuberkulin (+), sedangkan anak tidak bergejala, dan hasil pemeriksaan fisis dan radiologis dalam batas normal. WHO merekomendasikan profilaksis pada anak <5 th yang terpapar/terinfeksi TB dan penderita HIV dengan INH 10 mg/kgBB selama 6–9 bl. Pengobatan kemoprofilaksis dengan INH akan ↓ kemungkinan TB sebesar ⅔ kasus. Jika diketahui sumber penularan resisten terhadap INH atau penderita tidak dapat menoleransi INH diberikan rifampisin dengan dosis 10 mg/kgBB/hr selama 6 bl. Bila sumber penularan adalah penderita multidrug-resistant (MDR) TB maka diberikan kemoprofilaksis sesuai dengan hasil tes kepekaan obat TB HIV Diagnosis TB pada penderita HIV sangat sulit ditegakkan karena pada penderita HIV gejala TB sering tumpang tindih dengan gejala HIV, sensitivitas uji tuberkulin rendah (cut-off point PPD (+): indurasi ≥5 mm), sering mengalami penyakit paru akut dan kronik yang disebabkan patogen selain M. tuberculosis, pemeriksaan foto Rontgen toraks overlaping dengan penyakit paru yang berhubungan dengan HIV. Tes HIV sebaiknya dilakukan pada setiap anak yang didiagnosis TB. Skrining TB melalui gejala klinis harus dilakukan pada setiap anak HIV. Penderita TB HIV sering menderita TB ekstraparu. Pemeriksaan kultur dan BTA sebaiknya dilakukan untuk mengonfirmasikan TB pada penderita HIV. Tatalaksana TB paru dan ekstraparu (selain meningitis dan osteoartritis TB) pada penderita HIV adalah 2RHZE/4RH, bila respons klinis lambat fase lanjutan dapat dilanjutkan sampai 9 bl. Tatalaksana penderita meningitis TB dan TB tulang pada penderita HIV adalah 2RHZE/10RH. Pemberian OAT sebaiknya dilakukan 2–8 mgg sebelum pemberian ART. Imunisasi BCG tidak diberikan pada bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV Multidrug-Resistant TB Terdapat beberapa istilah pada drug resistance TB, yaitu: 1) Monoresistance: terbukti secara in vitro dengan hasil kultur didapatkan resisten terhadap 1 OAT lini pertama; 2) Poly-resistance: terbukti secara in vitro dengan hasil kultur didapatkan resisten terhadap ≥2 OAT lini pertama, selain resisten terhadap INH dan Rifampisin; 3) MDR-TB: bila pada hasil kultur didapatkan resisten terhadap minimal INH dan rifampisin, 4) Extensive drug resistance (XDR): MDR ditambah dengan resisten terhadap fluoroquinolon dan OAT injeksi lini kedua. Penderita yang dicurigai menderita MDR-TB dan direkomendasikan untuk dilakukan drug susceptibility testing, antara lain: gagal terapi TB/gagal pada terapi ulangan TB, terpapar penderita yang diketahui menderita MDR-TB, kambuh, BTA tetap
980
(+) min. sesudah 2 atau 3 bl, tinggal di daerah endemik MDR-TB, MDR pengobatan TB tidak adekuat, dan penderita HIV. Apabila MDR-TB sudah diidentifikasi maka diberikan OAT min. 18–24 18 bl dengan mengunakan 3–4 4 jenis OAT selain INH dan rifampisin ditambah 1 obat TB suntik dengan fase intensif berlangsung selama 6 bl (4 bl sesudah kultur (−)) dan fase lanjutan 12–18 bl sesud sudah kultur (−) TB Perinatal TB paru dan ekstraparu pada ibu dapat menularkan TB pada anak saat antenatal, intrapartum, maupun postpartum. Gejala TB kongenital/perinatal dapat muncul sesudah lahir, tetapi dapat terjadi mulai mgg ke-2–3 kehidupan. Aspek utama deteksi TB pada bayi baru lahir adalah anamnesis pada ibu antara lain pneumonia yangg tidak membaik, kontak erat TB serumah, TB pada ibu, ibu dan riwayat pengobatannya. Gejala pada bayi biasanya tidak spesifik, meliputi sesak napas, panas badan, hepatosplenomegali, enomegali, malas menetek, gangguan kesadaran, limfadenopati, perut membesar, gagal tumbuh, kejang, kuning, keluar sekret telinga, lesi kulit, dan gangguan hematologis. Gambaran milier sering ditemukan pada foto Rontgen toraks. Pemeriksaan lain meliputi pemeriksaan pem BTA dan kultur M. tuberculosis dari sediaan aspirat lambung/trakea, cairan tubuh lain, lesi kulit, dan biopsi iopsi kelenjar limfe/organ lain
foto toraks TB
foto toraks TB
Gambar 78 Algoritme Tatalaksana Bayi Baru Lahir yang Terpapar TB Sumber: Adhikari dkk. 2009
981
Profilaksis diberikan INH dengan dosis 10 mg/kgBB selama 3 bl atau kombinasi INH dan rifampisin 10 mg/kgBB/hr dan bila hasil PPD tes (–) sesudah 3 bl profilaksis dihentikan dan bayi dilakukan imunisasi BCG 2 mgg kemudian. Terapi TB pada bayi baru lahir 2RHZ/4RH, dengan dosis INH 10 mg/kgBB/hr, rifampisin 10 mg/kgBB/hr, dan PZA 25 mg/kgBB/hr TB Milier Gejala TB milier yang sering dijumpai adalah anoreksia, BB ↓ atau gagal tumbuh, demam lama, batuk, dan sesak napas. Pada 50% penderita terdapat limfadenopati superfisial, hepatosplenomegali. Tuberkel koroid didapatkan 13–87%. Pada pemeriksaan foto Rontgen toraks terdapat gambaran khas berupa tuberkel halus (millet seed) yang tersebar merata di seluruh lapang paru dengan ukuran yang hampir seragam (1–3 mm). Pemeriksaan pungsi lumbal sebaiknya dilakukan untuk menyingkirkan meningitis TB. Tatalaksana TB milier adalah pemberian 4–5 OAT selama 2 bl pertama, dilanjutkan dengan INH dan rifampisin selama 6–9 bl (Tabel 230) TB Ekstraparu TB kelenjar Umumnya terjadi 6–12 bl sesudah infeksi. Manifestasi klinis tersering terjadi di kelenjar leher, terutama leher anterior, unilateral, tidak sakit, diameter >2×2 cm dan sering membentuk formasi fistula. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, tes tuberkulin, pemeriksaan foto Rontgen toraks, dan diagnosis defenitif memerlukan pemeriksaan BTA, histopatologi serta konfirmasi bakteriologis yang didapat dari biopsi/fine needle aspiration (FNA) kelenjar limfe. Pengobatan TB kelenjar adalah 2RHZ 4RH TB saluran respiratori atas dan telinga TB saluran respiratori atas dan telinga jarang dijumpai. TB laring mempunyai gejala batuk seperti croup, sakit tenggorokan, serak, dan disfagia. Gejala otitis media TB adalah otore yang tidak sakit, tinitus, pendengaran ↓, paralisis wajah, dan perforasi membran timpanik. Diagnosisnya sulit karena BTA dan kultur cairan telinga biasanya (−), dan histologi memberikan hasil nonspesifik berupa inflamasi kronik tanpa granuloma. Terapi dengan OAT 2RHZ/4RH TB mata Bentuk TB mata yang sering ditemukan adalah TB koroid. Papulonekrotik TB dan conjunctivitis flictenularis merupakan reaksi hipersensitif yang berkaitan dengan TB primer, berupa nodul putih/merah muda pada konjungtiva disertai hiperemis di sekitarnya. Uveitis TB bermanifestasi sebagai panuveitis atau iridosiklitis granuloma kronis. Pada TB milier sering ditemukan tuberkel koroid tunggal ataupun multipel. Tatalaksana yang diberikan sama dengan terapi TB paru yaitu 2RHZ/4RH 982
TB pleura Pleuritis TB sering terjadi pada anak, biasanya terjadi dalam 3–9 bl pertama sesudah terjadi TB primer. Manifestasi klinis yang sering ditemukan adalah batuk, nyeri dada saat inspirasi, sesak napas, dan BB ↓. Efusi pleura umumnya bersifat unilateral terjadi pada sisi yang sama dengan kelainan pada parenkim. Karakteristik cairan pleura pada pleuritis TB yaitu cairan berwarna kuning, protein ↑, PH cairan biasanya 1,012–1,025 (<7,3), kadar glukosa ↓ (20–40 mg/dL), protein >30 g/L, lactate dehydrogenase (LDH) >200 IU/L, dan adenosin deaminase (ADA) ↑ >47 IU/L. Jumlah sel ratusan sampai ribuan dengan limfositosis, tetapi pada awal penyakit dapat ditemukan predominan sel polymorphonuclear (PMN). Kultur M. tuberculosis cairan pleura (+) pada 25–30% kasus, kultur biopsi/FNA (+) sampai 12% dari pemeriksaan biopsi/FNA. Terapi 2RHZ/4RH disertai pemberian kortikosteroid TB jantung Perikarditis TB paling sering ditemukan, terutama pada penderita HIV. Manifestasi klinis yang dapat ditemukan adalah sesak napas, nyeri dada, batuk, keringat malam, ortopne, BB ↓, edema tungkai, kariomegali, hepatomegali, panas, takikardia, pericardial rub, pulsus paradoksus, tekanan vena jugularis ↑, efusi pleura, dan bunyi jantung yang lemah. Pemeriksaan foto Rontgen toraks didapatkan kardiomegali dan konfirmasi efusi perikardial dengan pemeriksaan CT-toaks. Pemeriksaan cairan perikardial sama dengan temuan pada pleuritis TB. Kultur dari biopsi perikardial memberikan hasil lebih baik daripada cairan perikardial, tetapi bersifat lebih invasif. Tatalaksana perikarditis TB meliputi kardiosentesis, OAT 2RHZE/4RH, dan pemberian kortikosteroid TB abdomen Tuberkulosis abdomen merupakan TB yang mengenai organ dalam abdomen, antara lain orofaring TB (ulserasi kronik, jarang), esofageal TB (fistula trakeoesofageal, jarang), peritonitis TB (nyeri perut, asites, anoreksia, panas badan, dan teraba massa abdomen lunak ireguler), enteritis TB terutama jejunum, ileum, dan apendiks (nyeri perut, panas badan, BB ↓, diare/konstipasi kronik). TB abdomen lebih sering terjadi pada penderita HIV. Tes kulit tuberkulin biasanya (+). Konfirmasi diagnosis meliputi endoskopi, BTA dan kultur dari cairan asites, maupun biopsi material peritoneal. Biokimia cairan asites sama dengan temuan pada pleuritis dan perikarditis TB. Terapi TB abdomen adalah 2RHZE/4RH, pemberian kortikosteroid, dan pembedahan bila terdapat komplikasi TB sistem retikuloendotelial Sistem retikuloendotelial (RES) TB pada anak jarang dilapor-kan. Pada anak dapat mengenai hati, sumsum tulang, atau lien yang umumnya merupakan bagian dari TB diseminata. Manifestasi klinis dapat berupa panas badan, hepatomegali dan spleno983
megali, serta anemia. Gejala lain meliputi ikterik, anoreksia, dan nyeri perut. Abses tunggal maupun multipel. Pemeriksaan USG dan CT-scan dapat membantu diagnosis untuk melihat lesi intrahepatik. Pemeriksaan BTA, kultur, dan histopatologi dari bahan pemeriksaan yang didapat dari FNA/biopsi hati dilakukan pada abses atau granuloma yang besar. Pengobatan dengan OAT untuk TB ekstraparu yaitu 2RHZE/4RH, tetapi bila merupakan bagian dari TB diseminata, pengobatan sesuai dengan TB diseminata yaitu 2RHZE/10RH TB tulang dan sendi Bentuk yang sering dijumpai adalah spinal/spondilitis TB diikuti oleh artritis TB. Pada spondilitis TB sering terjadi pada vertebra toraks bawah dan vertebra lumbal atas, serta umumnya mengenai 2 vertebra yang berdekatan. Gejala klinis meliputi nyeri pada tulang belakang, deformitas tulang belakang karena destruksi vertebra menyebabkan gibbus dan kiposis, serta gangguan neurologis seperti paraplegi Artritis TB sering terjadi pada tulang panggul dan lutut dan umumnya hanya mengenai 1 sendi/tulang. TB tulang muncul lambat (1–3 th sesudah infeksi) dan umumnya terjadi pada anak yang lebih besar Terapi OAT yang diberikan adalah 2RHZE/10RH dan operasi dilakukan bila terdapat ketidakstabilan tulang belakang yang menyebabkan deformitas yang berat TB SSP Meningitis TB merupakan bentuk TB SSP yang sering dijumpai selain tuberkuloma intrakranial dan spinal arahnoiditis, merupakan bentuk yang berat pada TB anak, serta sering menyebabkan kematian. Saraf otak yang sering terkena adalah sarafotak III, VI, dan VII, serta sering menyebabkan hidrosefalus komunikans. Gejalanya muncul lambat selama beberapa mgg dan dapat dibagi menjadi 3 stadium: Stadium 1 berlangsung 1–2 mgg dengan gejala tidak spesifik seperti panas badan, sakit kepala, mengantuk, dan malaise, tidak terdapat gangguan neurologis (Glasgow coma scale/GCS: 15) Stadium 2 dengan gejala muncul tiba-tiba, seperti kesadaran ↓, kejang, kaku kuduk, muntah, hipertoni, gangguan saraf otak, Brudzinski dan Kernig (+), serta gejala neurologi lainnya (GCS 11–14) Stadium 3 terdapat gangguan kesadaran yang lebih dalam (GCS ≤10), hemiplegi atau paraplegi, hipertensi, deserebrasi, dan sering menimbulkan kematian Tes kulit tuberkulin (−) pada 50% kasus dan foto Rontgen toraks normal ditemukan pada 20–50% kasus Pemeriksaan cairan serebrospinal sangat penting untuk diagnosis meningitis TB dengan rentang jumlah lekosit 10–500 sel/mm3, pada awal penyakit dominasi oleh PMN, tetapi umumnya limfosit. Glukosa <40 mg/dL tetapi jarang <20 mg/dL. 984
Protein cairan ↑ (400–5.000 mg/dL). Pemeriksaan BTA dari cairan likuor (+) pada 30% kasus dan kultur (+) pada 50–70% kasus. Dibutuhkan bahan pemeriksaan 5–10 mL cairan serebrospinal untuk pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan BTA dan kultur dapat diperiksa dari aspirasi cairan lambung Pada anak tuberkuloma sering terjadi infratentorial, dengan lokasi pada dasar otak dekat serebelum. Lesi dapat tunggal maupun multipel. Gejala yang sering muncul berupa sakit kepala, panas badan, dan kejang. Pada pemeriksaan CTscan/MRI kepala didapatkan gambaran lesi diskret dikelilingi daerah edema berbentuk seperti cincin (ring-like) Tatalaksana TB SSP adalah OAT 2RHZE/10RH dan kortikosteroid. Tatalaksana hidrosefalus komunikans diberikan asezolamid 50 mg/kgBB/hr dan furosemid 1 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis selama 1 bl, sedangkan tatalaksana pembedahan dilakukan untuk mengatasi hidrosefalus nonkomunikans dengan pemasangan shunt TB genitourinaria TB ginjal jarang terjadi pada anak karena membutuhkan waktu yang lama (5–25 th) dan biasanya terjadi unilateral. Pada stadium awal sering tidak bergejala, hanya terdapat piuria steril, mikroskopis hematuria, kemudian berkembang menjadi disuria, nyeri abdomen/pinggang, dan gross hematuria. Komplikasi yang dapat terjadi adalah hidronefrosis dan striktur ureter. Pemeriksaan BTA urin (+) pada 50–70 kasus, dan kultur (+) didapatkan pada 80–90% kasus. Pielogram dan CT-scan mendeteksi komplikasi TB genital jarang didapatkan sebelum usia pubertas. Pada anak remaja putri dapat terjadi TB pada tubulus falopi, endometrion, ovarium, dan servik. Gejala yang dapat muncul berupa dismenore atau amenore, gejala sistemik biasanya tidak ada, foto Rontgen toraks umumnya normal dan tes tuberkulin sering (+). Pada remaja putra dapat mengenai prostat, vesika seminalis, epididimis, dan testis. Gejalanya asimtomatik tetapi dapat muncul piuria dengan/tanpa hematuria steril dan nodul unilateral tidak sakit pada skrotum Terapi pada TB genitourinaria adalah dengan menggunakan OAT 2RHZE/4RH TB kulit Bentuk TB kulit yang sering ditemukan adalah skrofuloderma, lupus vulgaris, dan verukosa kutis. Skrofuloderma biasanya ditemukan di leher, yaitu anterior servikal, submandibula, supraklavikula, dan ketiak. Lupus vulgaris terjadi di ekstremitas, sedangkan kutis verukosa terjadi di kaki dan telapak kaki. Diagnosis ditegakkan dengan granuloma sel epiteloid dan nekrosis kaseosa pada sitologi/biopsi. Aspirasi lesi kutaneus skrofuloderma BTA (+) pada 70% kasus sedangkan lupus vulgaris hanya 22% kasus. Terapi OAT yang diberikan adalah 2RHZ/4RH 985
Terapi Tambahan pada TB Kortikosteroid diberikan pada penderita meningitis TB dengan gangguan kesadaran dan neurologi, efusi pleura dan perikardial, laringitis dengan obstrusi saluran respiratori atas, hipertropi kelenjar limfe yang sering berhubungan dengan TB milier yang menyebabkan kompresi bronkial atau arteri, serta TB saluran kemih untuk mencegah stenosis ureter. Prednison diberikan dengan dosis 1–2 mg/kgBB/hr selama 4–8 mgg Vitamin B6 (5–10 mg/hr) diberikan pada bayi yang mendapat ASI, penderita malnutrisi, HIV (+), remaja yang sedang hamil, dan diet rendah susu atau daging Pemantauan Terapi Selama terapi dilakukan pemantauan tiap bl untuk mengetahui kepatuhan terhadap pengobatan, melihat respons klinis terapi, toksisitas dan efek samping OAT. Pemeriksaan berkala foto Rontgen toraks tidak direkomendasikan untuk evaluasi pengobatan TB Hepatotoksisitas merupakan efek samping berat dan paling sering terjadi. Keadaan ini dapat disebabkan oleh INH, RIF, dan PZA. Efek samping muncul pada 2–4 mgg pertama sesudah pemberian OAT. Tatalaksana pada penderita yang mengalami hepatotoksisitas adalah bila sesudah mendapat OAT penderita menjadi kuning (bilirubin total >1,5 mg/dL) atau muncul gejala drug-induced hepatotoxicity dengan alanin aminotransferase (ALT)= SGPT ↑ >3× normal, atau SGPT >5× normal walaupun tanpa gejala maka pemberian OAT harus dihentikan (lihat Gambar 79). Pada penderita TB berat dapat diberikan 2 atau 3 obat yang mempunyai efek hepatotoksik rendah seperti streptomisin, etambutol, dan ofloksasin. OAT dapat segera diberikan secara bertahap bila fungsi hati sudah normal kembali dimulai dengan INH atau rifampisin Antituberculosis Drug-Induced Hepatotoxicity (ADIH) Bila pada anak yang mendapat OAT terjadi ADIH, maka pemberian semua OAT dihentikan. Kriteria ADIH yaitu bila didapatkan: SGPT ↑ ≥5× nilai batas atas normal tanpa gejala klinis SGPT ↑ ≥3× nilai batas atas normal disertai dengan gejala klinis SGPT ↑ dengan nilai berapapun di atas batas normal sebelum diberikan terapi yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea, muntah Bilirubin total (BT) serum ↑ >1,5 mg/dL
Panduan tatalaksana ADIH: Bila didapatkan gejala klinis seperti ikterik, mual, muntah, dan nilai SGPT ≥3× nilai batas atas normal → OAT diberhentikan Bila tidak didapatkan gejala klinis tetapi nilai SGPT ≥5× nilai batas atas normal → OAT diberhentikan Bila tidak didapatkan gejala klinis tetapi nilai bilirubin >1,5 mg/dL → OAT diberhentikan Dilakukan skrining untuk mencari kemungkinan etiologi yang lain seperti hepatitis A, B, dan C 986
Dilakukan pemantauan gejala klinis dan SGPT selama 2–4 mgg Bila gejala klinis perbaikan dan laboratorium normal kembali mulai diberikan kembali OAT secara bertahap yang disebut reintroduction therapy Reintroduction therapy 1. Sesudah nilai SGPT <2× nilai normal, dapat dimulai pemberian rifampisin dengan atau tanpa etambutol. Pada penderita dengan regimen OAT yang terdiri atas 3 macam obat → reintroduction therapy dimulai dengan rifampisin saja, tetapi bila regimen OAT yang terdiri atas 4 macam obat → reintroduction therapy dimulai dengan rifampisin (bertahap) dan etambutol (dosis penuh) Dosis rifampisin dimulai: Hr 1 & 2: ⅓ dosis Pantau klinis Hr 3 & 4: ⅔ dosis Hr 5 & 6: dosis penuh 2. Pada hr ke-7, periksa SGPT, bila baik mulai diberikan INH: Hr 1 & 2: ⅓ dosis Pantau klinis Hr 3 & 4: ⅔ dosis Hr 5 & 6: dosis penuh 3. Jika gejala klinis muncul atau SGPT ↑ → INH dihentikan 4. PZA tidak perlu diberikan kembali dan terapi diberikan hingga 9 bl
987
Gambar 79 Algoritme Tatalaksana Antituberculosis Drug-Induced Hepatotoxicity (ADIH) Keterangan: INH, isoniazid; RIF, rifampisin; EMB, etambutol Sumber: modifikasi dari American Thoracic Society 2007
988
Pencegahan Prioritas utama pada program TB adalah penemuan dan terapi indeks kasus. Imunisasi Bacille Calmette Guerin (BCG) mempunyai efek proteksi 0–80%, efek proteksi untuk menurunkan angka kejadian TB baru dalam populasi, bukan individual
Bibliografi 1. Mandalakas AM, Starke JR. Tuberculosis and nontuberculous mycobacterial disease. Dalam: Wilmott RW, Boat TF, Bush A, Chernick V, Deterding RR, Ratjen F, penyunting. Kendig and Chernick’s disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-8. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2012. hlm. 506–30. 2. Caminero JA, Sotgiu G, Zumla A, Migliori GB. Best drug treatment for multidrug-resistant and extensively drug-resistant tuberculosis. Lancet Infect Dis. 2010 Sep;10(9):621–9. 3. Cruz AT, Starke JR. Pediatric tuberculosis. Pediatr Rev. 2010 Jan; 31(1):13–26. 4. Donald PR, Schoeman JF. Central nervous system tuberculosis in children. Dalam: Schaaf HS, Zumla A, penyunting. Tuberculosis: a comprehensive clinical reference. Missouri: Elsevier; 2009. hlm. 513–43. 5. Hassan G, Qureshi W, Kadri SM. Congenital tuberculosis. JK Sci. 2006;8(4):193–4. 6. Graham SM. Treatment of paediatric TB: revised WHO guidelines. Paediatr Respir Rev. 2011 Mar;12(1):22–6. 7. Graham SM, Marais BJ, Gie RP. Clinical features and index of suspician of tuberculosis in children. Dalam: Schaaf HS, Zumla A, penyunting. Tuberculosis: a comprehensive clinical reference. Missouri: Elsevier; 2009. hlm. 154–63. 8. Marais BJ, Gie RP, Schaaf HS, Beyers N, Donald PR, Strarke JR. Childhood pulmonary tuberculosis: old wisdom and new challenges. Am J Respir Crit Care Med. 2006 May;173(10):1078–90. 9. Marais BJ, Schaaf H.S, Donald PR. Management of tuberculosis in children and new treatment options. Infect Disord Drug Targets. 2011 Apr;11(2):144–56. 10. Marais BJ, Graham AM. Tuberculosis lymphadenitis and involvement of the reticuloendotelial system in children. Dalam: Schaaf HS, Zumla A, penyunting. Tuberculosis: a comprehensive clinical reference. Missouri: Elsevier; 2009. hlm. 391–400. 11. Mukherjee J, Schaaf HS. Multidrug-resistant tuberculosis in children. Dalam: Schaaf HS, Zumla A, penyunting. Tuberculosis: a comprehensive clinical reference. Missouri: Elsevier; 2009. hlm. 532–8. 12. Starke JR. Tuberculosis (Mycobacterium tuberculosis). Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: WB Saunders; 2011. hlm. 998–1011. 13. Reuter H, Wood R, Schaaf HS, Donald PR. Overview of extrapulmonary tuberculosis in adult and children. Dalam: Schaaf HS, Zumla A, penyunting. Tuberculosis: a comprehensive clinical reference. Missouri: Elsevier; 2009. hlm. 377–90. 989
14. Swaminathan S, Rekha B. Pediatric tuberculosis: global overview and challenges. Clin Infect Dis. 2010 May;50(Suppl 3):184–94. 15. World Health Organization. Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis. Geneva: WHO; 2006. 16. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis programmes on the management of tuberculosis in children. Geneva: WHO; 2006. 17. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis and HIV programmes on the management of tuberculosis in HIVinfected children: Recommendations for a public health approach. Geneva: WHO; 2010.
990
ASMA Batasan Asma merupakan inflamasi kronik saluran respiratori yang mengakibatkan obstruksi aliran udara secara episodik. Inflamasi kronik ini berhubungan dengan sifat hiperresponsif saluran respiratori yang menyebabkan wheezing, sesak napas, dada terasa berat (rasa dada tertekan), dan batuk berulang terutama pada malam atau pagi hari. Keadaan ini dapat menghilang baik spontan maupun dengan pengobatan
Epidemiologi Kejadian asma di seluruh dunia meningkat meskipun penatalaksanaan asma mengalami kemajuan yang cukup signifikan. International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) mendapatkan hasil penelitian angka kejadian current wheeze (wheezing dalam satu tahun terakhir) pada anak di 97 negara bervariasi sebesar 0,8–37,6%, diagnosis asma didapatkan pada 13,1% anak. Kejadian asma ini berhubungan erat dengan kejadian dermatitis atopik dan rinokonjungtivitis alergika, dan penyakit alergi lain. Anak laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan anak perempuan (14:10%)
Manifestasi Klinis Gejala klinis yang paling sering ditemukan pada asma anak adalah batuk dan wheezing (mengi) berulang. Pada anak lebih besar sering ditemukan gejala berupa rasa dada tertekan (dada terasa berat) dan napas pendek. Semua gejala klinis ini umumnya memburuk pada malam hari terutama pada saat eksaserbasi yang dipicu oleh infeksi saluran pernapasan akut bagian atas atau alergen inhalan. Gejala klinis asma yang muncul pada siang hari umumnya berhubungan dengan peningkatan aktivitas fisik anak. Gejala klinis lain yang tidak spesifik dan sering tidak terdeteksi adalah aktivitas fisik terbatas, kelelahan umum (disebabkan oleh gangguan tidur). Mengi sering dikeluhkan oleh orangtua penderita sebagai bunyi napas berisik (noisy breathing) pada 59% penderita asma anak, tetapi hanya 36% yang betul-betul sebagai mengi dalam arti wheezing sesudah diperlihatkan video. Anak yang mengalami batuk kronik, dalam pengamatan selama 3 tahun ternyata 75% di antaranya didiagnosis asma. Sesak berulang dan napas pendek jarang merupakan gejala yang berdiri sendiri, umumnya disertai mengi Eksaserbasi asma dapat dipicu oleh sejumlah kondisi atau pajanan antara lain aktivitas fisik berlebihan, hiperventilasi (misalnya tertawa, menangis), udara kering atau dingin, zat iritatif (asap rokok, ozon, sulfur dioksida, asap kayu bakar, debu, parfum, hairsprays),infeksi virus pada saluran respiratori, rhinitis, sinusitis, gastrooesophageal reflux (GER). Selama terjadi eksaserbasi asma, pada auskultasi umumnya ditemukan wheezing ekspiratoir dan ekspirasi memanjang. Kadang didapatkan penurunan suara napas terutama pada daerah paru kanan bawah akibat obstruksi percabangan bronkus. Crackles dan ronki dapat terdengar akibat produksi lendir yang berlebihan 991
karena proses inflamasi pada saluran respiratori. Pada eksaserbasi berat ditemukan distress pernapasan yang ditandai oleh wheezing pada fase ekspirasi dan inspirasi, pemanjangan ekspirasi, retraksi suprasternal dan interkostal, pernapasan cuping hidung, pemakaian otot pernapasan tambahan lainnya, dan pada kondisi sangat berat udara yang masuk paru hanya sedikit maka wheezing tidak terdengar
Diagnosis Anamnesis Riwayat sesak napas, mengi, batuk, dan dada terasa tertekan yang bersifat episodik sesudah terpapar alergen dan berkaitan dengan musim, serta adanya riwayat asma atau atopi pada anggota keluarga Gejala tersebut dapa dipicu oleh: asap, uap, bau yang menyengat, serbuk bunga, maupun aktivitas fisik, yang memburuk pada saat malam hari dan berespons terhadap terapi asma Beberapa pertanyaan yang dapat membantu diagnosis asma adalah apakah anak mengalami mengiatau mengi berulang, batuk malam hari, batuk atau mengi sesudah beraktivitas, mengi/batuk/ rasa dada tertekan/sesak sesudah terpapar alergen udara/polutan, menderita pilek perlu waktu >10 hr untuk sembuh, dan apakah gejala membaik sesudah pemberian obat antiasma? Pemeriksaan Fisis Pada anak asma, pemeriksaan fisis harus meliputi penilaian status nutrisi dan tumbuh kembangnya. Pada keadaan tidak eksaserbasi, maka mungkin tidak ditemukan kelainan, kadang-kadang ditemukan suara lendir ataupun crackles yang berubah seiring perubahan posisi atau batuk. Dapat pula ditemukan wheezing atau pemanjangan ekspirasi ketika penderita diminta melakukan ekspirasi yang kuat Mengi, hiperinflasi dada, sianosis, takikardia, kesulitan untuk berbicara, retraksi dinding dada umumnya ditemukan pada periode serangan akut dan bergantung pada derajat serangan/ eksaserbasi. Beberapa parameter penting untuk menentukan derajat eksaserbasi adalah posisi badan (nyaman pada posisi terlentang, lebih nyaman posisi duduk, duduk sambil membungkuk), cara bicara (kalimat, kalimat terpotong, kata), kesadaran (mungkin gelisah, gelisah, kesadaran ↓), penggunaan otot pernapasan (ringan tidak ada, sedang dan berat ada, paradoksik pada ancaman henti napas), nadi (<100, 100–120, >120, bradikardia), dan wheezing (ringan pada akhir ekspirasi, jelas, tidak terdengar). Dalam keadaan eksaserbasi dapat digunakan penilaian singkat derajat eksaserbasinya: 1. Eksaserbasi ringan Penderita dapat berbicara dengan kalimat yang utuh, intensitas wheezing ringan sampai sedang (hanya terdengar pada akhir ekspirasi), tidak ada pemakaian otot pernapasan tambahan, saturasi O2 >95% 992
2. Eksaserbasi sedang Bicara dengan kalimat terpotong, wheezing terdengar keras (pada seluruh fase ekspirasi), ada penggunaan otot pernapasan tambahan, saturasi O2 90–95% 3. Eksaserbasi berat Bicara sepatah demi sepatah kata, intensitas wheezing keras (pada seluruh fase ekspirasi dan inspirasi), penggunaan otot bantu napas jelas, saturasi O2 <90% 4. Ancaman henti napas Tidak dapat bicara, kesadaran ↓, wheezing tidak ada, gerakan napas paradoksikal, saturasi O2 <90%, bradikardia
993
Tabel 232 Manifestasi Klinis Derajat Eksaserbasi
994
Manifestasi Klinis
Ringan
Sedang
Berat
Ancaman Henti Napas
Bicara
Kalimat utuh
Kalimat terpotong
Sepatah kata
Tidak dapat bicara
Wheezing
Ringan sampai sedang
Terdengar keras pada seluruh fase ekspirasi
Terdengar keras pada seluruh fase ekspirasi dan inspirasi
Tidak ada
Otot pernapasan tambahan
Tidak ada
Ada
Jelas ada
Gerakan napas paradoksal
Saturasi
≥95%
90–95%
<90%
<90%, bradikardia
Pemeriksaan Penunjang Tes fungsi paru Tes fungsi paru sebaiknya dilakukan pada anak usia >6 th. Dilakukan oleh seorang pemeriksa yang knowledgeable, penderita melakukan manuver FVC (tiupan sekuat mungkin dan ekspirasi sepanjang mungkin). Terdapat dua metode tes fungsi paru, yaitu pengukuran forced expiratory volume in one second (FEV1) dan forced vital capacity (FVC) menggunakan spirometer dan peak expiratory flowrate (PEFR) menggunakan peak flowmeter. Diagnosis asma menggunakan penilaian reversibilitas obstruksi saluran respiratori sesudah pemberian bronkodilator (reversibility test). Prosedur dimulai dengan pengukuran FEV1 atau PEFR min. 3× manuver yang benar diambil nilai yang tertinggi, kemudian diberikan bronkodilator hirupan. Sesudah istirahat 15 mnt, penderita melakukan manuver kembali seperti sebelumnya, hasil FEV1 atau PEFR dicatat lagi kemudian dihitung peningkatannya (dalam %) dibandingkan dengan nilai FEV1 atau PEFR sebelum bronkodilator. Hasil dapat menunjang diagnosis asma apabila terjadi peningkatan ≥12% atau ≥200 mL. Tes reversibilitas ini lebih memungkinkan untuk dilakukan di klinik dibandingkan dengan tes provokasi bronkus yang lebih berisiko atau exercise challenge test yang kurang praktis Pemeriksaan status alergi Pemeriksaan tes alergi (tes kulit atau IgE spesifik serum) diperlukan untuk kasus asma berat yang kemungkinan besar berhubungan dengan alergi terhadap suatu alergen spesifik. Kedua pemeriksaan ini tidak terlalu bermanfaat dalam menunjang diagnosis asma, tetapi dapat membantu mengidentifikasi faktor risiko maupun faktor pencetus
Klasifikasi Klasifikasi asma sangat diperlukan karena berhubungan dengan tatalaksana lanjutan (jangka panjang). Global Initiative for Asthma (GINA) membagi asma menjadi 4 klasifikasi, yaitu asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat (Tabel 233), sedangkan menurut pedoman nasional asma anak (PNAA) membagi klasifikasi derajat penyakit asma menjadi asma episodik jarang, sering, dan persisten (Tabel 234). Dasar pembagian atau klasifikasi asma pada anak adalah frekuensi serangan, lama serangan, aktivitas di luar serangan, dan beberapa pemeriksaan penunjang. Saat ini untuk menilai strata asma, lebih ditujukan pada hasil pengobatan dan keadaan anak pada saat pengendalian. Untuk memulai terapi dan tindak lanjut dilakukan penilaian derajat klinis asma (Tabel 235) Menurut WHO pada WHO Consultation on Severe Asthma di Jenewa, 6–7 April 2009 sudah mengusulkan istilah untuk menyeragamkan istilah asma berat. Asma berat termasuk dalam 3 kelompok yang tiap namanya membawa pesan kesehatan masyarakat dan tantangannya sendiri yaitu: 995
1. Asma berat yang tidak diterapi/untreated severe asthma Adalah asma yang dapat dikendalikan dengan mudah dengan pengobatan yang tepat serta ketaatan pengobatan dan teknik yang baik. Cara ini menyebabkan mereka mencapai bentuk asma yang kurang berat 2. Asma berat yang sulit diterapi/difficult to treat asthma Adalah asma dengan respons yang buruk atau parsial terhadap terapi. Hal ini mengindikasikan terdapat faktor selain asma sendiri, seperti akses yang buruk terhadap terapi, ketaatan dan teknik hirupan, paparan lingkungan, serta masalah psikososial 3. Asma berat yang resisten terhadap terapi/treatment-resistant severe asthma, kelompok ini terdiri atas: a. Asma yang terkendali secara parsial atau tidak terkendali, walaupun terapi kortikosteroid dosis tinggi atau kombinasi kortikoteroid hirupan dosis tinggi dan β-agonis jangka panjang atau penggunaan kronik kortikosteroid sistemik sudah diberikan. Sebelumnya bentuk asma seperti ini disebut asma refrakter atau asma berat b. Asma yang terkontrol dengan baik hanya dengan terapi rekomendasi paling tinggi. Penderita ini masih mungkin berisiko eksaserbasi berat
996
Tabel 233 Klasifikasi Derajat Penyakit Asma Menurut GINA (2002–2010) Parameter Klinis
Intermiten
Mild Persistent
Moderate Persistent
Severe Persistent
Gejala klinis Serangan Gejala asma malam hari Tes faal paru (FEV2/PEF) Variabilitas
<1×/mgg Singkat ≤2×/bl ≥80% <20%
<1×/mgg Mengganggu tidur/aktivitas >2×/bl ≥80% 20–30%
Setiap hr Mengganggu tidur/aktivitas <1×/mgg 60–80% >30%
Setiap hr Sering Sering ≤60%
Sumber: Pedersen dkk. 2011
Tabel 234 Klasifikasi Derajat Penyakit Asma Menurut Pedoman Pengendalian Penyakit Asma 997
Parameter Klinis, Kebutuhan Obat, dan Faal Paru
Asma Episodik Jarang
Asma Episodik Sering
Asma Persisten
Frekuensi serangan Intensitas serangan Di antara serangan Tidur dan aktivitas Pemeriksaan fisis di luar serangan Obat pengendali Uji faal paru Variabilitas
<1×/bl Biasanya ringan Tanpa gejala Tidak terganggu Normal Tidak perlu >80% >15%
>1×/bl Biasanya sedang Sering ada gejala Sering terganggu Mungkin terganggu Perlu 60−80% >30%
Sering Biasanya berat Gejala siang dan malam Sangat terganggu Tidak pernah normal Perlu <60% >50%
Sumber: Rahajoe 2004
Tabel 235 Derajat Kontrol Asma
Gangguan 998
Terkontrol
Terkontrol Sebagian
Tidak Terkontrol
Gejala
≤2 hr/mgg, ≤1x/hr
>2hr/mgg, >1x/hr
Sepanjang hr
Bangun malam
≤1x/bl
≥2 x/bl
≥2x/mgg
Gangguan aktivitas
Tidak ada
Beberapa keterbatasan
Sangat terbatas
Pemakaian bronkodilator
≤2 hr/mgg
>2 hr/mgg
Beberapa kali/hr
FEV1/PEFR
>80%
60–80%
<60%
FEV1/FVC
>80%
75–80%
<75%
Eksaserbasi yang membutuhkan kortikosteroid sistemik oral
0–1x/th
≥2x/th
≥2x/th
Sumber: Kendig 2012
Tatalaksana Tatalaksana asma anak dibagi menjadi: tatalaksana komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) pada penderita dan keluarganya, penghindaran terhadap faktor pencetus, dan medikamentosa Tatalaksana medikamentosa dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu tatalaksana saat serangan dan tatalaksana jangka panjang
Tahapan Tatalaksana Serangan Asma 1. Tatalaksana di Klinik atau Unit Gawat Darurat Semua anak yang mengalami serangan asma harus dinilai derajat serangan, apakah serangan ringan, sedang, berat, atau ancaman henti napas. Cara nebulisasi dan jenis obat yang digunakan bergantung pada derajat serangan asma yang terjadi dan kemudian dinilai hasil nebulisasi yang diberikan. Pertimbangan obat untuk nebulisasi adalah sebagai berikut: a. Serangan asma derajat ringan dan sedang Untuk serangan asma derajat ringan dan sedang, nebulisasi dilakukan dengan obat tunggal, yaitu β-agonis. Nebulisasi dapat dilakukan 2× berturut-turut, bergantung pada respons terapi. Jarak antara nebulisasi I dan II adalah 20 mnt; sesudah nebulisasi ke-2 juga dinilai selama 20 mnt. Dilakukan penilaian perbaikan klinis setiap selesai nebulisasi. Tindakan berikutnya adalah sebagai berikut: Jika dengan nebulisasi I dan atau II serangan mereda, penderita diobservasi selama 1 jam di UGD. Jika selama observasi tersebut tetap membaik, sesudah melihat hasil penunjang, penderita dipulangkan Jika selama observasi 1 jam di UGD serangan kambuh ulang, maka penderita dipindahkan ke ruang rawat sehari (RRS) untuk tatalaksana berikutnya (lihat tatalaksana di RRS) Jika sesudah 2× nebulisasi hanya terjadi perbaikan parsial, maka penderita dialih rawat ke RRS untuk tatalaksana lebih lanjut (lihat tatalaksana di RRS) b. Serangan asma berat Bila sejak awal dinilai sebagai serangan berat, maka nebulisasi awal langsung dengan menggunakan kombinasi β-agonis dan antikolinergik disertai pemberian oksigen 2−4 L/mnt yang diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan dilakukan foto Rontgen toraks. Penderita langsung dialih rawat ke ruang rawat inap (lihat tatalaksana di ruang rawat inap) c. Serangan asma dengan ancaman henti napas Bila penderita menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas harus langsung dirawat di ruang rawat intensif (lihat tatalaksana di Ruang Rawat Intensif Anak/Pediatric Intensive Care Unit = PICU) 999
2. Tatalaksana di Ruang Rawat Sehari (RRS) Pemberian oksigen sejak dari UGD diteruskan. Sesudah 2× nebulisasi di UGD dengan respons parsial, di RRS diteruskan. Pemberian nebulisasi kombinasi β-agonis dengan antikolinergik dan dilakukan tiap 2 jam. Diberikan steroid sistemik oral berupa metil prednisolon atau prednison dilanjutkan 3−5 hr. Jika dalam 8–12 jam klinis tetap baik, penderita dipulangkan dan dibekali obat β-agonis dan steroid untuk rawat jalan. Bila dalam 12 jam responsnya tetap tidak baik, maka penderita alih rawat ke RRI dengan tatalaksana asma berat (lihat tatalaksana di RRI) 3. Tatalaksana di Ruang Rawat Inap (RRI) Penderita yang tidak mengalami perbaikan selama observasi dan tindakan di RRS dengan pemantauan dialih rawat ke RRI. Tindakan yang dilakukan di RRI: Pemberian oksigen diteruskan Jika terdapat dehidrasi dilakukan rehidrasi dan koreksi asidosis bila ada Steroid diberikan i.v. dengan cara bolus tiap 6–8 jam Dosis steroid i.v. 0,5–1 mg/kgBB/hr Di RRI, nebulisasi dilakukan dengan menggunakan kombinasi β-agonis dan antikolinergik. Jarak nebulisasi tiap 1–2 jam. Jika dalam 4–6× pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak dapat diperlebar menjadi setiap 4–6 jam Pemberian aminofilin sesuai dengan dosis inisial dan dosis rumatan Dosis inisial: Belum mendapat aminofilin sebelumnya, dosis aminofilin yang diberikan 6–8 mg/kgBB yang dilarutkan dalam dekstrosa atau NaCl fisiologis sebanyak 20 mL, diberikan dalam 20–30 mnt. Bila sudah mendapat aminofilin (<8 jam), dosis aminofilin diberikan separuhnya Dosis rumatan: Untuk rumatan aminofilin diberikan dengan dosis 0,5–1 mg/kgBB/jam Selama perawatan di RRI, penderita diobservasi apakah terjadi perbaikan atau tidak. Bila terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6–24 jam. Pemberian steroid dan aminofilin diganti dari pemberian i.v. menjadi p.o. Jika dalam 24 jam penderita tetap stabil dapat dipulangkan. Jika tidak ada perbaikan selama tatalaksana di RRI, penderita dialih rawat ke PICU 4. Tatalaksana di PICU Penderita yang sejak awal masuk ke UGD sudah memperlihatkan tanda ancaman henti napas langsung dirawat di PICU. Kriteria penderita yang memerlukan PICU adalah: Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di UGD dan atau perburukan asma yang cepat 1000
Kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti napas atau hilang kesadaran Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana di RRI. Ancaman henti napas: hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi oksigen (kadar PaO2 <60 mmHg dan atau PaO2 >45 mmHg, walaupun tentu saja gagal napas dapat terjadi dalam kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau lebih rendah). Pemberian Obat Saat Dipulangkan Penderita dapat dipulangkan dengan pertimbangan sebagai berikut: Untuk serangan ringan atau sedang yang dengan satu atau 2× nebulisasi terjadi respons baik/perbaikan yang sempurna dan sesudah observasi 1 jam di UGD tidak muncul serangan ulang Penderita yang dirawat di RRS karena tidak mengalami respons dengan 2× nebulisasi di UGD, tetapi mengalami perbaikan sempurna sesudah perawatan selama 12 jam di RRS Penderita dengan derajat serangan berat yang mengalami perbaikan yang sempurna sesudah observasi pengobatan selama 24 jam di RRI Obat yang digunakan pada waktu dipulangkan sama untuk semua penderita, baik yang tidak mengalami perawatan maupun yang sempat dirawat di RRS atau RRI. Obat tersebut adalah: Obat β-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4–6 jam Steroid oral diberikan jika pencetus serangan infeksi virus, hanya diberikan untuk jangka pendek (3–5 hr) Penderita dianjurkan untuk kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam waktu 24–48 jam untuk evaluasi tatalaksananya Tatalaksana Jangka Panjang Asma Episodik Jarang Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda berupa bronkodilator β-agonis hirupan kerja pendek (short acting β2agonist, SABA) atau golongan santin kerja cepat bila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan (Evidence A). Bila obat hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan, maka β-agonis diberikan p.o. (Evidence D). Penggunaan teofilin sebagai bronkodilator makin kurang perannya dalam tatalaksana asma karena batas keamanannya sempit.Pemberian antiinflamasi tidak dianjurkan sebagai obat pengendali untuk asma ringan Asma Episodik Sering Jika penggunaan β-agonis hirupan sudah lebih dari 3×/mgg, atau serangan sedang/berat terjadi >1/bl, maka diberikan obat antiinflamasi sebagai pengendali (Evidence A). Tahap pertama obat pengendali adalah pemberian steroid hirupan dosis rendah yang biasanya cukup efektif. Obat steroid hirupan yang sudah sering digunakan pada anak adalah budesonid. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan 100–200 μg/hr budesonid (50–100 μg/hr flutikason) untuk anak berusia <12 th, dan 200– 400 μg/hr budesonid (100–200 μg/hr flutikason) untuk anak 1001
berusia >12 th. Sesuai dengan mekanisme dasar asma, yaitu inflamasi kronik, obat pengendali berupa antiinflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi. Sesudah pengobatan selama 6–8 mgg dengan steroid hirupan dosis rendah tidak berespons (masih terdapat gejala asma atau gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua, yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai dengan 400 μg/hr yang termasuk dalam tatalaksana asma persisten. Jika tatalaksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah adekuat, tetapi responsnya tetap tidak baik dalam 6–8 mgg, maka derajat tatalaksananya berpindah ke yang lebih berat (step-up). Sebaliknya, jika asmanya terkendali dalam 6–8 mgg, maka derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step-down). Bila memungkinkan steroid hirupan dihentikan penggunaannya Sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan penghindaran pencetus, cara penggunaan obat, faktor komorbid yang mempersulit pengendalian asma seperti rintis dan sinusitis Asma Persisten Cara pemberian steroid hirupan apakah dimulai dari dosis tinggi ke rendah selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya dimulai dari dosis rendah ke tinggi hingga gejala dapat dikendalikan, bergantung pada kasusnya. Dalam keadaaan tertentu, khususnya pada anak dengan penyakit berat, dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka pendek (3−5 hr). Selanjutnya dosis steroid hirupan diturunkan sampai dosis terkecil yang masih optimal. Dosis steroid hirupan yang masih dianggap aman adalah setara budesonid 400 μg/hr. Sesudah pemberian steroid hirupan dosis rendah tidak mempunyai respons yang baik, diperlukan terapi alternatif pengganti, yaitu meningkatkan steroid menjadi dosis medium atau terapi steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan long acting β-2 agonist (LABA) atau ditambahkan theophylline slow release (TSR) atau ditambahkan antileucotriene receptor (ALTR) (Evidence A). Dosis medium adalah setara dengan 200–400 μg/hr budesonid (100–200 μg/hr flutikason) untuk anak berusia <12 th, 400–600 μg/hr budesonid (200–300 μg/hr flutikason) untuk anak berusia >12 th Apabila dengan pengobatan lapis kedua selama 6–8 mgg tetap terdapat gejala asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga, yaitu dapat meningkatkan dosis kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi, atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR, atau ALTR (Evidence A). Dosis tinggi setara dengan >400 μg/hr budesonid (>200 μg/hr flutikason) untuk anak berusia <12 th, dan >600 μg/hr budesonid (>300 μg/hr flutikason) untuk anak berusia >12 th Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800 μg/hr, tetapi tetap tidak mempunyai respons, maka baru digunakan steroid oral (sistemik). Untuk steroid oral sebagai dosis awal 1002
dapat diberikan 1–2 mg/kgBB/hr. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari Obat lain: Antileukotrien seperti montelukas dan zafirlukas. Penggunaan obat antileukotrien jenis zafirlukas masih terbatas pada anak usia >6 th, sedangkan jenis montelukas sudah digunakan pada anak >2 th Antihistamin dapat diberikan pada tatalaksana asma jangka panjang apabila penderita menderita asma disertai rinitis alergika kronik. Pemberian obat ini masih kontroversial
Bibliografi 1. Basquet J, Mantzouranis E, Cruz AA, Aït-Khaled N, Baena-Cagnani CE, Bleecker ER, dkk. Uniform definition of asthma severity, control, and exacerbations: document presented for the World Health Organization Consultation on Severe Asthma. J Allergy Clin Immunol. 2010 Nov;126(5):926–38. 2. Bush A, Saglani S. Management of severe asthma in children. Lancet. 2010 Sep;376(9743):814–25. 3. Federico MJ. Asthma. Dalam: Bajaj L, Kerby G, Hambidge SJ, Nyquist AC, penyunting. Berman’s pediatric decision making. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 738–61. 4. Kartasasmita CB. Epidemiologi asma anak. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi ke-1. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2008. hlm. 71–84. 5. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman pengendalian penyakit asma. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2009. 6. Kercsmar CM. Wheezing in older children: asthma. Dalam: Wilmott RW, Chernick V, Boat TF, Deterding RR, Bush A, Ratjen F, penyunting. Disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-8. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2012. hlm. 699–735. 7. Liu AH, Covar RA, Spahn JD, Leung DYM. Childhood asthma. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St. Geme III GW, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 780–801. 8. Nataprawira HM. Diagnosis asma pada Anak. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi ke-1. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2008. hlm. 105–19. 9. NIH. National asthma education and prevention program. Expert panel report III: guidelines for the diagnosis and management of asthma. USA: National Heart, Lung, and Blood Institute; 2007. 10. Pedersen SE, Hurd SS, Lemanske RF Jr, Becker A, Zar HJ, Sly PD, dkk. Global strategy for the diagnosis and management of asthma in children 5 years and younger. Pediatr Pulmonol. 2011 Jan;46(1):1–17. 11. Potter PC. Current guideline for the management of asthma in young children. Allergy Asthma Immunol Res. 2010 Jan;2(1):1– 13. 1003
12. Rahajoe NN. Tatalaksana jangka panjang asma pada anak. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi ke-1. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2008. hlm. 134–47. 13. Supriyatno B, Makmuri HS. Serangan asma akut. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi ke-1. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2008. hlm. 120–33. 14. Wood PR, Hill VL. Practical management of asthma. Pediatr Rev. 2009 Oct;30(10):375–85.
1004
ASMA DI BAWAH USIA 5 TAHUN Walaupun secara definisi asma merupakan inflamasi kronik saluran respiratori yang mengakibatkan obstruksi aliran udara secara episodik, namun tantangan penegakan diagnosis asma tidaklah sesederhana itu. Tantangan penegakan diagnosis asma di bawah 5 th (preschool/prasekolah) diakibatkan pola penyakit yang bersifat singkat sering kali berupa eksaserbasi batuk dan wheezing rekurens yang dipicu oleh infeksi virus Berdasarkan natural history yang dikemukakan Tucson asma bersifat heterogen dengan berbagai fenotipe. Variasi heterogen tersebut antara lain early transient wheezer (usia <3 th dan membaik pada usia 6 th), persistent wheezer (usia <3 th dan masih bergejala pada usia 6 th), late-onset wheezer (usia 3–6 th). Kejadian asma terbagi menjadi 2 fenotipe mayor yaitu: Virus-induced wheezing/episodic/severe intermittent wheezing yang merupakan bentuk intermiten dari obstruksi rekurens saluran respiratori dengan premorbid paru normal dan ditemukan asimtomatik. Prognosis pada kasus ini baik dan hanya memerlukan terapi suportif. Serangan berat biasanya dicetuskan oleh infeksi respiratory syncytial virus (RSV) Multitrigger wheezing terkait dengan kejadian alergi dan biasa terjadi pada awal kehidupan yang kemudian bermanifestasi sampai usia sekolah, sering kali dihubungkan dengan riwayat keluarga asma dan alergi
Diagnosis Penegakan diagnosis asma prasekolah sulit karena tidak ada standar baku yang pasti, kekurangan pengukuran fungsi paru yang tersedia pada anak balita, perbedaan anatomi saluran respiratori yang kompleks yaitu ukuran yang lebih kecil dan inspiratory flow rate yang rendah. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan seorang dokter sebelum mendiagnosis asma pada anak <5 th antara lain: Dalam penilaian asma, seorang dokter harus mengarah pada diagnosis bukan asma, possible asma, dan pasti asma Diagnosis tidak dapat ditegakkan hanya dalam 1 kali pertemuan Tanyakan tentang gejala dan terapi preventif pada setiap kali kunjungan Anak dengan infeksi virus pencetus asma berespons baik pada terapi antagonis leukotrien Evaluasi pengaruh tatalaksana asma yang diberikan Rekomendasi The European Respiratory Society (ERS) Task Force dalam pendekatan wheezing prasekolah antara lain: 1. Menilai pola kejadian dan faktor pemicu wheezing, riwayat keluarga dengan alergi, anggota keluarga yang merokok 2. Semua episode wheezing yang dikeluhkan oleh orangtua harus ditelaah oleh tenaga kesehatan yang profesional 3. Melakukan tes alergi pada anak yang memerlukan terapi jangka panjang 1005
4. Pemeriksaan lanjutan sebaiknya dihindarkan pada usia awal, kecuali pada kasus berat, terapi resisten atau didapatkan manifestasi klinis yang tidak biasa Beberapa indikator dikembangkan untuk memprediksi kejadian risiko asma antara lain Asthma Predictive Index (API) dan modifikasinya yaitu Modified Asthma Predictive Index (mAPI) seperti tampak pada tabel berikut: Tabel 236 Kriteria mAPI dan API Riwayat ≥4 episode wheezing dengan ≥1 diagnosis dokter Anak harus memenuhi ≥1 kriteria mayor atau ≥2 kriteria minor Kriteria mayor mAPI Riwayat orangtua asma Diagnosis dokter atopik dermatitis Sensitisasi alergi karena ≥aeroalergen Kriteria minor mAPI Sensitisasi alergi terhadap susu, telur atau kacang Wheezing tidak berhubungan dengan dingin Eosinofil darah ≥4%
Kriteria mayor API Riwayat keluarga asma Diagnosis dokter atopik dermatitis Kriteria minor API Terdiagnosis rinitis alergi Wheezing tidak berhubungan dengan dingin Eosinofil darah >4%
Sumber: Bacharier dan Gilbert 2012
Anamnesis Pertanyaan yang dapat mendukung diagnosis antara lain: Waktu dan pola wheezing (akut atau kronik) Faktor yang berhubungan antara lain infeksi virus, sensitisasi terhadap aeroalergen seperti tungau kecoa, bulu binatang, konsumsi diet ibu pada saat hamil dan menyusui, polutan terutama asap rokok, faktor komorbid Riwayat keluarga dengan penyakit atopi Riwayat anak dengan gejala atopi sebelumnya Faktor sosial dan lingkungan yang berkontribusi terhadap angka kesakitan Faktor psikososial Pemeriksaan Fisis Pemeriksaan fisis didapatkan hiperekspansi toraks, wheezing, dan ekspirasi memanjang, bukti ada rinitis kronis (tanda infraorbital “shiners”, transverse nasal crease). Terdapat gangguan pertumbuhan harus dipikirkan sebagai keterkaitan dengan penyakit lain seperti penyakit jantung bawaan, fibrosis kistik, dan imunodefisiensi. Pemeriksaan ekstremitas penting dilakukan untuk melihat gangguan kronis dan akut, apakah terdapat clubbing finger atau akrosianosis. Pemeriksaan neurologis seperti mikrosefal dan kelemahan otot yang berpengaruh pada kemungkinan aspirasi sebagai penyebab wheezing 1006
Diagnosis Banding Para klinisi harus memikirkan beberapa mendiagnosis asma <5 th, antara lain: Trakeomalasia Fibrosis kistik Aspirasi benda asing Infeksi saluran respiratori Bronkopulmonal displasia Bronkiektasis Kongenital anomali seperti vascular ring Tumor Refluks gastroesofageal Edema paru
diagnosis
banding
Kapan Harus Dirujuk? Anak usia <1 th dengan rekuren wheezing, kapan harus dibedakan antara kongenital dan asma Diagnosis meragukan terutama pada periode awal Asma sulit terkendali atau dipikirkan diagnosis lain yang memerlukan rujukan Anak dengan dugaan asma, namun tidak berespons dengan penggunaan kortikosteroid selama 8 mgg dengan kepatuhan yang baik Anak usia ≥5 th dengan tipe asma persisten untuk dilakukan spirometri. Pemeriksaan spirometri pada anak >3 th dapat dimodifikasi dan dapat membantu diagnosis Rujuk ke spesialis alergi untuk dilakukan skin prick test Rujuk ke edukator asma untuk membantu pengendalian asma
1007
Tabel 237 Klasifikasi dan Derajat Berat Asma Derajat Keparahan
Klasifikasi Berat Ringan Gejala Asma Usia 0–4 Tahun
Intermiten Kelainan
Faktor risiko
Gejala Gejala terbangun di malam hari Penggunaan β2 agonis sebagai kendali gejala Pengaruh terhadap aktivitas Eksaserbasi yang membutuhkan kortikosteroid oral
Langkah rekomendasi untuk memulai terapi
Komponen Kendali Asma
≤2 mgg 0 ≤2 hr/mgg Tidak ada
Gejala Terbangun di malam hari
>2 hr/mgg tapi tidak setiap hari Keterbatasan minimal
Setiap hari Beberapa keterbatasan
0–1/th
≥2 eksaserbasi dalam 6 bl membutuhkan kortikosteroid oral sistemik atau ≥4 episode wheezing/1 th yang berlangsung >1 hr dan ada faktor risiko untuk asma persisten Pertimbangkan bertanya gejala dan interval sejak terakhir terjadi eksaserbasi Frekuensi dan beratnya dapat berubah setiap saat Eksaserbasi dari segala tingkat keparahan dapat terjadi pada penderita di segala kategori Langkah 1 Langkah 2 Langkah 3 dan pertimbangan penggunaan kortikosteroid sistemik oral jangka pendek Dalam 2–6 mgg, bergantung pada berat gejala, evaluasi dari level kendali asma yang sudah dilakukan Jika tidak terdapat keuntungan yang nyata selama 4–6 mgg masa observasi, pertimbangkan untuk mengganti terapi Klasifikasi Berat Ringan Gejala Asma Usia 0–4 Tahun
Terkendali Kelainan
Persisten Ringan Sedang ≥2 hr/mgg Setiap hari tapi tidak setiap hari 1–2×/bl 3–4×/bl
≤2 hr/mgg tapi tidak setiap hari ≤1×/bl
1008
Tidak Terkendali >2 hr/mgg
Sangat Tidak Terkendali Sepanjang hari
>1×/bl
>1×/mgg
Penggunaan β2 ≤2 hr/mgg >2 hr/mgg Beberapa kali agonis sebagai dalam sehari kendali gejala Pengaruh Tidak ada Beberapa Sangat terbatas terhadap keterbatasan aktivitas Faktor Eksaserbasi 0–1/th 2–3/th >3/th risiko yang memerlukan kortikosteroid oral Pengobatan Efek samping pengobatan dapat bervariasi yang terkait intensitasnya dari tidak ada sampai beragam efek efek samping samping. Derajat keparahan tidak berhubungan dengan kontrol spesifik, namun harus dipertimbangkan pada seluruh penilaian risiko Langkah rekomendasi untuk Pertahankan Naikkan 1 Pertimbangkan memulai terapi terapi yang level dan kortikosteroid sedang reevaluasi sistemik oral berlangsung dalam 2–6 jangka pendek Pemantauan mgg Jika tidak ada teratur setiap Jika tidak ada perbaikan 4–6 bl perbaikan dalam 4–6 bl, Jika terkendali dalam 4–6 bl, pertimbangselama paling pertimbang- kan penggantitidak 3 bl, kan pengan terapi atau dapat turun gantian penyakit ke langkah terapi atau lainnya bawah penyakit Jika ada efek lainnya samping perJika ada efek timbangkan samping per- terapi lain timbangkan terapi lain Sumber: GINA 2009
Tatalaksana Tatalaksana yang dikembangkan belum memiliki panduan yang pasti, beberapa rekomendasi masih terus dikembangkan antara lain oleh The National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP)/ EPR3. The ERS Task Force juga mengembangkan panduan tersendiri mengenai pedoman tatalaksana wheezing untuk anak usia <6 th, The Global Initiative for Asthma mengembangkan pendekatan tatalaksana pada anak usia <5 th. The NAEPP/EPR3 dan The Global Initiative for Asthma lebih memfokuskan pengendalian asma (Gambar 80), sedangkan ERS menatalaksana melalui pendekatan perbedaan wheezing baik viral maupun multitrigger
1009
Gambar 80 Pendekatan Stepwise Asma Anak Usia 0–4 Tahun (berdasarkan Derajat Beratnya) Sumber: GINA 2009
Edukasi, kontrol lingkungan, kebutuhan terhadap β2 agonis kerja cepat Terkendali dengan Terkendali sebagian kebutuhan β2 agonis dengan kebutuhan β2 agonis
Tidak terkendali, atau terkendali sebagian, butuh glukokortikosteroid dosis rendah
Pilihan obat pengendali β2 agonis dilanjutkan
Steroid hirupan dosis rendah Leukotrien modifier
Steroid hirupan dosis ganda Steroid hirupan dosis rendah + leukotrien modifier
Gambar 81 Manajemen Asma berdasarkan Kontrol pada Anak Berusia di Bawah 5 Tahun Sumber: GINA 2009
1010
Tatalaksana Intermiten Terapi harian Terapi intermiten dibuat berdasarkan frekuensi dan keparahan episode wheezing. Penggunaan kortikosteroid hirupan telah terbukti menurunkan eksaserbasi gejala asma pada usia 2–3 th dengan risiko asma (hasil mAPI positif seperti pada Tabel 236). Respons kortikosteroid hirupan ini dipengaruhi oleh beberapa karakteristik antara lain jenis kelamin laki-laki, ras kulit putih, riwayat perawatan sebelumnya). Berdasarkan penelitian metaanalisis terhadap pemakaian kortikosteroid hirupan asma di bawah 5 th dapat mengurangi 40% kejadian eksaserbasi. Penggunaan harian leukotriene receptor antagonist (LRTA) montelukast telah terbukti mengurangi eksaserbasi asma sebanyak 31,9% dibandingkan dengan plasebo pada anak usia 2–5 th dengan asma intermiten Terapi intermiten Penggunaan terapi intermiten sangat bervariasi berdasarkan beberapa penelitian. Sebagaii terapi awal direkomendasikan pemberian dosis tinggi steroid hirupan, apabila tidak berespons dapat diberikan steroid hirupan harian dengan dosis rendah atau penggunaan LRTA, yang dinaikkan menjadi dosis sedang atau terapi kombinasi. Penggunaan LRTA secara episodik mengurangi gejala sebesar 28,5% dibandingkan dengan penggunaan plasebo (Gambar 82)
Gambar 82 Algoritme Diagnosis dan Tatalaksana Asma Prasekolah Sumber: Bacharier dan Guilbert 2012
1011
Tatalaksana Persisten Kortikosteroid hirupan harian Pendekatan tatalaksana jangka panjang menurut NAEPP/EPR3 ditujukan pada anak yang mengalami ≥4 episode wheezing dalam 1 th terakhir, berlangsung >1 hr dan mengganggu tidur. NAEPP/EPR3 merekomendasikan dosis sedang steroid hirupan pada penderita yang tidak berespons terhadap dosis rendah sebelum mempertimbangkan terapi tambahan. Pemberian kortikosteroid dosis rendah ini juga direkomendasikan pada pedoman asma anak usia di bawah 5 th yang dikeluarkan GINA (Tabel 238) Tabel 238 Rekomedasi Steroid Hirupan Dosis Rendah Obat
Dosis Rendah Harian (µg)
Beclomethasone dipropionate Budesonid MDI+spacer Budesonid nebulized Ciclesonide Fluticasone propionate Mometasone furoate Triamcinolone acetonide Beclomethasone dipropionate
100 200 500 NS* 100 NS NS 100
*NS: not studied in this age group Sumber: GINA 2009
LRTA harian Penggunaan montelukast selama 12 mgg secara bermakna menurunkan frekuensi asma, mengurangi penggunaan kortikosteroid oral dan jumlah eosinofil darah perifer. Penggunaan montelukast diindikasikan untuk mengurangi inflamasi akibat asma, resistensi, dan mencegah bronkokonstriksi. Pada anak usia 2–5 th pemberian dosis montelukast adalah 4 mg/hr sebelum tidur, namun saat ini obat ini belum tersedia di Indonesia Kombinasi steroid hirupan/long acting β agonist Pada kasus persisten yang tidak respons terhadap steroid hirupan dosis medium maka perlu penambahan β2 agonis kerja panjang (LABA) yang secara statistik bermakna mengurangi frekuensi wheezing dan angka kejadian perawatan di rumah sakit
Bibliografi 1. Bacharier LB, Guilbert TW. Diagnosis and management of early asthma in preschool-aged children. J Allergy Clin Immunol 2012 Aug;130(2):287–96. 2. Cave AJ, Atkinsons LL. Asthma in preschool children: a review of the diagnostic challenges. J Am Board Fam Med. 2014 Jul– Aug;27(4):538–48. 1012
3.
4. 5.
6. 7. 8.
Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma diagnosis and prevention in children 5 years and younger. Updated 2009 [diunduh 12 November 2014]. Tersedia dari: http://www.ginasth ma.org/local/uploads/files/GINA_Under5_2009_CorxAug11.pdf. Lambert L. Montelukast in the treatment of asthma. S Afr Pharm J. 2014;81(1):22–24. National Asthma Education and Prevention Program, Third Expert Panel on the Diagnosis and Management of Asthma. Expert Panel Report 3: guidelines for the diagnosis and management of asthma. Bethesda: National Heart, Lung, and Blood Institute (US); 2007. Potter PC. Current guidelines for the management of asthma in young children. Allergy Asthma Immunol Res. 2010 Jan;2(1):1– 13. Savenije OE, Kerkhof M, Koppelman GH, Postma DS. Predicting who will have asthma at school age among preschool children. J Allergy Clin Immunol. 2012 Aug;130(2):325–31. Van Bever HP, Han E, Shek L, Yi Chng S, Goh D. An approach to preschool wheezing: to label as asthma? World Allergy Organ J. 2010 Nov;3(11):253–57.
1013
MALFORMASI KONGENITAL PARU (CONGENITAL PULMONARY MALFORMATIONS) Malformasi kongenital paru (congenital pulmonary malformations= CPM) adalah sekelompok abnormalitas paru yang jarang, melibatkan saluran respiratori, parenkim, dan pembuluh darahnya yang bermanifestasi sebagai spektrum perkembangan yang abnormal. Kelainan ini disebabkan perkembangan embriologi paru tidak lazim yang terjadi pada berbagai tahapan kehidupan intrauterin. Dengan perkembangan sonografi fetal dan Doppler, banyak kelainan ini yang dapat dideteksi in utero. Kelainan ini mencakup berbagai macam jenis, antara lain: Congenital pulmonary airway malformation (CPAM) Congenital lobar emphysema (CLE) Bronchopulmonary sequestration (BPS) Bronchogenic cyst (BC) Pleuropulmonary blastoma
Manifestasi Klinis Riwayat perjalanan alamiah CPM cukup bervariasi, dapat ditemukan sebagai berikut: Lesi menghilang sebelum lahir Malformasi diidentifikasi pada masa neonatus dini dengan distres pernapasan akibat terdapat massa Asimtomatik: hanya terdeteksi pada masa usia dewasa yang tampak pada foto Rontgen toraks yang dilakukan karena alasan lain Beberapa bentuk CPM mempunyai kecenderungan mengalami perubahan ke arah keganasan Congenital Pulmonary Airway Malformation (CPAM) Dulu dikenal sebagai congenital cystic adenomatoid malformation (CCAM) Gambaran histologis ditandai daerah adenomatosa solid yang terdiri atas struktur tubuler padat menyerupai bronkiolus terminal tanpa alveoli matur Terdapat 5 subtipe CPAM, bergantung pada proporsi besar kista, jaringan adenomatosa, dan tipe sel yang dominan Lesi tipe 1: Biasanya kista tunggal, soliter Kista dapat berisi cairan Sedikit/tidak terdapat jaringan adenomatosa Kista berukuran besar, diameter >2 cm, dibatasi epitel pseudostratified columnar Ditemukan serabut otot polos Lesi tipe 2: Kista berukuran kecil, diameter <1 cm Tidak ditemukan sel mukosa dan kartilago Serabut otot lurik CPAM tipe 2 ditemukan bersamaan degnan sekuestrasi ekstralobar 1014
Lesi tipe 1 dan 2 merupakan lesi yang paling sering ditemukan Lesi tipe 4: Kista berukuran besar dan dibatasi sel epitel alveolar, beberapa di antaranya mengandung surfaktan Terdapat pada bagian perifer paru Dapat bermanifestasi sebagai tension pneumothorax
Diagnosis Anamnesis Distres pernapasan pada periode neonatus akibat efek massa Asimtomatis dan baru diketahui saat dilakukan skrining Rontgen toraks Pneumonia dengan atau CPAM terinfeksi (43%), distres pernapasan (14%), pneumotoraks spontan (14%) Pemeriksaan Fisis Wheezing Takipnea Pemeriksaan Penunjang USG rutin prenatal (paling sering) Foto Rontgen toraks CT-scan toraks untuk konfirmasi diagnostik Diagnosis Banding Hernia diafragma kongenital
Tatalaksana Perjalanan naik pesawat menjadi kontroversi karena meningkatkan risiko pneumotoraks Diagnosis CPAM antenatal harus dievaluasi Penderita dengan gejala harus menjalani reseksi (operasi) Asimtomatik cukup observasi, tetapi perkembangan risiko kompresi paru, infeksi, keganasan, oleh karena itu banyak klinisi lebih memilih tindakan operasi
1015
Tabel 239 Perbedaan Tipe Malformasi Paru Kongenital Gambaran Klinis
Tatalaksana
Keterangan
CPAM
1:8.300
Terapi definif → reseksi operasi Asimtomatis → serial pencitraan
Regresi lesi antenatal pada 59% kasus Tipe 1 dan 4 berisiko menjadi ganas
CLE
1:20.000 ♂>♀ 1:68.000
Reseksi lobus yang terkena lesi pada neonatus simtomatis Asimtomatis → observasi Operasi direkomendasikan pada semua kasus
Anomali jantung kongenital sering menyertai CLE
BC
BPS
0,29% ♂>♀
1 lobus Banyak kasus terdeteksi dengan USG prenatal Gejala pada periode neonatal → distres napas 86% asimtomatik → simtomatik hingga saat usia 13 th (rata-rata usia 2 th) Gejala: pneumonia ± CPAM terinfeksi, distres napas, pneumotoraks spontan Lobus kiri atas Asimtomatik/distres napas pada neonatus, dispnea, infeksi napas berulang 15% → kelainan jantung bawaan Cabang trakeobronkial Kista besar → distres napas, sianosis, gangguan makan pada neonatus Mengi, stridor, atelektasis paru distal, disfagia, dan pneumonia rekuren Lobus bawah Distres napas pada neonatus, pneumonia rekuren, nyeri dada, hemoptisis, sesak napas Penderita dengan ELS sering kali asimtomatis
Simtomatis → intervensi bedah ILS asimtomatis → reseksi elektif
Infeksi, gagal jantung, karsinoma, dan perdarahan dapat terjadi
1016
Insidensi/ Prevalensi
Sering dijumpai pada dekade kedua kehidupan
CPAM: congenital pulmonary airway malformation; CLE: congenital lobar emphysema; BC: bronchogenic cysts; BPS: bronchopulmonary sequestration; ILS: intralobar sequestration; ELS: extralobar sequestration
Bibliografi 1. Laberge JM, Puligandla P, Flageole H. Asymptomatic congenital lung malformations. Semin Pediatr Surg. 2005 Feb;14(1):16–33. 2. Nadeem M, Elnazir B, Greally P. Congenital pulmonary malformation in children. Scientifica (Cairo). 2012;2012:209896. 3. Pham TT, Benirschke K, Masliah E, Stocker TJ, Yi ES. Congenital pulmonary airway malformation (congenital cystic adenomatoid malformation) with multiple extrapulmonary anomalies: autopsy report of a fetus at 19 weeks of gestation. Pediatr Dev Pathol. 2004 Nov–Dec;7(6):661–6. 4. Wilson RD, Hedrick HL, Liechty KW, Flake AW, Johnson MP, Bebbington M, dkk. Cystic adenomatoid malformation of the lung: review of genetics, prenatal diagnosis, and in utero treatment. Am J Med Genet A. 2006 Jan;140(2):151–5. 5. Wong A, Vieten D, Singh S, Harvey JG, Holland AJ. Long-term outcome of asymptomatic patients with congenital cystic adenomatoid malformation. Pediatr Surg Int. 2009 Jun:25(6): 479–85.
1017
LARINGOMALASIA Batasan Laringomalasia atau laring flaksid kongenital merupakan penyebab tersering kelainan laring kongenital dengan gejala stridor inspiratori kronik pada bayi. Kondisi ini terjadi akibat struktur supraglotis kolaps ke jalan napas selama fase inspirasi. Bayi dengan laringomalasia memiliki kelainan yang bervariasi disebabkan oleh kelainan dinamik pada supraglotis. Abnormalitas kelainan ini adalah: Aryepiglottic folds yang pendek dan sangat vertikal, epiglotis melengkung menyerupai bentuk omega Kartilago cuneiforme dan corniculate berada di atas kartilago aritenoid dan prolaps ke arah jalan napas Mukosa menjadi longgar menutupi prolaps aryepiglottic fold terhadap jalan napas
Epidemiologi Terjadi pada 45–75% bayi dengan stridor kongenital
Etiologi Etiologi pasti tidak diketahui Teori etiologi yang sudah ada: Anatomik akibat jaringan flaccid yang posisinya abnormal Kartilago laring yang imatur dan Neurologis terdapat teori inervasi saraf imatur yang menyebabkan hipotoni Sindrom ini banyak terjadi pada golongan sosioekonomi rendah sehingga kekurangan gizi mungkin merupakan salah satu faktor etiologi
Patofisiologi Laringomalasia dapat terjadi di epiglotis, kartilago aritenoid, maupun pada keduanya. Bila mengenai epiglotis terjadi elongasi dan bagian dindingnya terlipat. Epiglotis yang bersilangan membentuk omega dan lesi ini dikenal sebagai epiglotis omega (omega-shaped epiglottis). Jika mengenai kartilago aritenoid akan tampak pembesaran
Diagnosis Anamnesis Bunyi stridor (mengorok) yang tercetus dan memburuk oleh aktivitas apapun (menangis, agitasi, minum, posisi terlentang) Gejala utama berhubungan dengan minum (sulit dalam melakukan koordinasi hisap-telan-bernapas): regurgitasi, emesis, batuk, tersedak, dan minum pelan-pelan Muncul pada 2 mgg pertama kehidupan dan semakin memberat hingga usia 6–8 bl Disfagia 1018
Pemeriksaan Fisis Ditemukan high-pitched stridor: terdengar pada fase inspirasi, ekspirasi, atau keduanya (bifasik) Takipnea Retraksi suprasternal dan substernal bahkan epigastrik dan interkostal Dapat ditemukan sianosis Pectus excavatum Obstructive sleep apnea BB menurun bahkan failure to thrive Pemeriksaan Penunjang Laringoskopi fleksibel Foto Rontgen toraks Contrast swallow study dan esophagogram, bila ada disfagia Bronkoskopi dilakukan bila ada obstruksi moderat hingga berat
Klasifikasi Spektrum Penyakit Ringan (40%) : tidak ada feeding-related symptoms Sedang (40%) : stridor dengan feeding-related symptoms, saturasi ≤96% Berat (20%) : stridor, feeding-related symptom, sianosis, aspirasi, failure to thrive, saturasi ≤86% Spektrum penyakit berdasarkan gejala yang berhubungan dengan minum dan obstruksi, tidak hanya berdasarkan stridor
Diagnosis Banding Trakeomalasia Croup Asma Bronkiolitis Reactive airway disease
Tatalaksana Pada sebagian besar kasus dapat sembuh spontan. Resolusi terjadi pada usia 12–24 bl Jika bayi tidak mengalami significant feeding-related symptoms. Tidak memerlukan intervensi Spektrum penyakit yang berhubungan dengan significant feedingrelated symptoms. Posisi setengah duduk saat minum, memperbaiki tekstur susu formula/ASI dengan dikentalkan Jika bayi mengeluarkan stridor yang lebih keras dan mengganggu tidur, dapat diatasi dengan menghindari tempat tidur, bantal, atau selimut yang terlalu lembut untuk memperbaiki posisi bayi Jika terjadi hipoksemia berat (saturasi oksigen <90%), diberikan tambahan oksigen Spektrum penyakit sedang dengan saturasi oksigen ≤91%, dilakukan supraglottoplasty Bila prosedur supraglottoplasty gagal, ditemukan kondisi komorbid medis yang multipel, di antaranya gastroesophageal reflux, 1019
laryngopharingeal reflux, cerebral palsy, retardasi mental, penyakit jantung kongenital, ditemukan spektrum penyakit berat di antaranya kondisi distres pernapasan hingga terjadi apnea dan failure to thrive dilakukan trakeostomi
Penyulit Hipoksia kronik yang mengarah pada kondisi hipertensi pulmonal dan korpulmonal Sudden death
Konsultasi THT
Bibliografi 1. Abel RM, Bush AB. Respiratory disorders in newborn. Dalam: Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A, penyunting. Kendig’s disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-7. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. hlm. 291–2. 2. Fauroux B, Pigeot J, Polkey MI, Roger G, Boulé M, Clément A, dkk. Chronic stridor caused by laryngomalacia in children: work of breathing and effects of noninvasive ventilatory assistance. Am J Respir Crit Care Med. 2001 Nov;164(10 Pt 1):1874–8. 3. Holinger LD. Laryngomalacia. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadephia: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 507–8. 4. Kay DJ, Goldsmith AJ. Laryngomalacia: a classification system and surgical treatment strategy. Ear Nose Throat J. 2006 May;85(5): 328–31, 336. 5. Landry AM, Thompson DM. Laryngomalacia: disease presentation, spectrum and management. Int J Pediatr. 2012; 2012:753526. 6. Lovinsky-Desir S, Bye MR. Laringomalacia. 2012 [diunduh 4 September 2012]. Tersedia dari: http://www.emedicine.com/ ped/topic1280.htm. 7. Vicencio AG, Parikh S. Laryngomalacia and tracheomalacia: common dynamic airway lesions. Pediatr Rev. 2006 Apr;27(4): e33–5.
1020
Tumbuh Kembang Pediatri Sosial Kusnandi Roesmil Eddy Fadlyana Meita Damayanti Rodman Tarigan
PEMERIKSAAN BAYI/ANAK SEHAT Anamnesis Keluhan utama Riwayat Kehamilan dan persalinan Makanan Pertumbuhan, perkembangan, dan perilaku Imunisasi yang sudah didapat sebelumnya Kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) sebelumnya Riwayat penyakit dan operasi Riwayat keluarga: paritas, spacing Pemeriksaan Pengukuran antropometri Ubun-ubun, sutura Mata: katarak kongenital Telinga Kelainan jantung bawaan Tumor intra abdomen Genitalia Testis belum turun Hidrokel Fimosis Hernia Sinekia vulva Tulang belakang Kelainan kongenital lain Perkembangan Kesimpulan Bayi sehat tanpa masalah Bayi sehat dengan masalah (misalnya: perkembangan, pola makan, pola asuh, dll.) Bayi tidak sehat Tindakan Konseling/penyuluhan Imunisasi/melengkapi imunisasi Stimulasi Rujuk/konsul
1023
PENILAIAN PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PERTUMBUHAN Batasan Setiap perubahan tubuh yang berhubungan dengan bertambahnya ukuran tubuh, baik fisik (anatomis) maupun struktural dalam arti sebagian atau keseluruhan
Indikator Berat Badan (BB) Berat badan lahir (BBL) rata-rata 3,4 kg (2,7–4,1 kg) Bayi yang dilahirkan cukup bulan akan kehilangan BB selama 3–4 hr pertama dan akan kembali sama dengan BBL pada hari ke-8–9 BB usia 5 bl → 2× BBL BB usia 1 th → 3× BBL BB usia 2 ½ th → 4× BBL Tinggi Badan (TB) Tinggi badan (panjang badan/PB) lahir rata-rata ± 50 cm PB usia 1 th → 1 ½ PB lahir Penambahan PB Usia 6 bl ke-1: 2,5 cm/bl 6 bl ke-2: 1,25 cm/bl 1–7 th: 7,5 cm/th Tabel 240 Formula Praktis untuk Menentukan Tinggi Badan Normal pada Bayi dan Anak Panjang/Tinggi Badan
Sentimeter (cm)
Lahir 1 th 2–12 th
50 75 [Usia (th) x 6] + 77
Sumber: Needlman 1996
Lingkar Kepala (LK) Rata-rata lingkar kepala lahir 33,0–35,6 cm Pada th ke-1 lingkar kepala menjadi 44,4–46,9 cm (↑ ± 10 cm) Pada th ke-2 menjadi 46,9–49,5 cm (↑ ± 2,5 cm) Pada th ke-3 menjadi 47,7–50,8 cm (↑ ± 1,25 cm) Erupsi Gigi Gigi susu berjumlah 20 bh dan biasanya sudah tumbuh seluruhnya pada usia 2,5 th
1024
Tabel 241 Usia Rata-rata Erupsi Gigi Susu dan Gigi Tetap pada Anak Gigi Susu 2 insisor sentral bawah 4 insisor atas 2 insisor lateral bawah 4 molar ke-1 4 kuspid 4 molar ke-2 Gigi Tetap 4 molar ke-1 8 insisor 8 premolar 4 kaninus 4 molar ke-2 4 molar ke-3
Usia (bl) 5–10 8–12 12–15 12–16 16–20 20–30 Usia (th) 5–7 7–9 10–12 11–12 13 16–21
Sumber: Wasserman 1981
Pusat Osifikasi Pada akhir bl ke-2 kehidupan janin, kerangka tulang rawan embrio sudah terdiferensiasi menjadi sejumlah segmen yang merupakan cikal bakal tulang kerangka
1025
Postoksipital Parietal Frontal
Temporal Basioksipital
Maksila Mandibula Klavikula Skapula
Metakarpal Radius Ulna Humerus
Tibia Fibula Metatarsal Ilium
Femur
Gambar 83 Pusat Osifikasi Primer pada Embrio Sumber: Markum dkk. 1991
Osifikasi pertama tampak pada klavikula dan bagian membranosa tulang tengkorak, kemudian dengan cepat diikuti pada tulang panjang dan vertebra Dikenal 2 pusat osifikasi, yaitu pusat osifikasi primer umumnya dibentuk pada masa janin, sedangkan pusat osifikasi sekunder dibentuk sesudah lahir, kecuali pada epifisis distal femur dan proksimal tibia Pada waktu lahir biasanya ditemukan pusat osifikasi di kalkaneus, kuboideus, tibia proksimal, talus dan femur distal. Sesudah usia 6 bl pergelangan tangan dan tangan baru bisa memberikan informasi untuk menentukan usia tulang
1026
Femur 6–12 mgg Humerus 6–8 mgg Pusat osifikasi sekunder janin 6–10 bl Pusat osifikasi sekunder 8 bl janin–1 bl postnatal
Radius 6–12 mgg
Tibia 6–12 mgg Fibula 6–10 mgg
Ulna 6–8 mgg Metakarpal 2–4 bl Falangs 2–6 bl
Astragalus 4–8 bl Kalkaneus 4–7 bl Metatarsal 2–4 bl Falangs 2–4 bl
Gambar 84 Pusat Osifikasi Primer pada Janin Sumber: Markum dkk. 1991
Penilaian Untuk mengetahui ukuran pertumbuhan seorang anak apakah normal atau tidak, maka ukuran anak tersebut harus dibandingkan dengan ukuran normal populasi yang sebaya. Berbagai nilai baku antropometri dapat dipergunakan untuk menilai pertumbuhan fisik seorang anak, namun yang paling sering dipakai adalah ukuran BB, PB, dan LK. Baku standar yang digunakan saat ini adalah WHO Child Growth Standards (WCGS) Langkah pemantauan pertumbuhan menggunakan WCGS 1. Hitung usia anak Cara menghitung usia anak adalah dengan cara mengurangi tanggal pemeriksaan terhadap tanggal lahir Menghitung usia anak yang lahir prematur Untuk bayi prematur, dalam mengukur BB, PB, dan LK harus digunakan usia koreksi sampai anak berusia 2 th. Cara menghitung usia koreksi adalah dengan cara mengurangi usia kronologis terhadap jumlah minggu prematur 1027
Contoh: Bayi Ani lahir pada tanggal 20 Desember 2002, lahir dengan usia gestasi 33 mgg, dengan berat lahir 2.000 g Tanggal pemeriksaan 5 Juli 2004: 2004 07 05 Tanggal lahir 20 Desember 2002: 2002 12 20 Usia kronologis: 1 06 15 Prematur 7 mgg: 01 21 Usia koreksi: 1 04 24 Usia anak adalah 1 th 4 bl 24 hr, dan diplot pada 16 ½ bl 2. Plot hasil pengukuran ke dalam Kurva Pertumbuhan WHO menyediakan 2 macam kurva pertumbuhan yaitu WCGS untuk anak usia 0–5 th dan WHO reference untuk anak usia 5–19 th. Indeks antropometri dinyatakan dalam z-score, persentil, dan persen median Dalam penggunaan sehari-hari, secara klinis di Unit Tumbuh Kembang Anak RSUP Dr. Hasan Sadikin digunakan kurva pertumbuhan yang disajikan dalam z-score Tabel 242 Kurva WCGS Jenis Kelamin Laki-laki
Usia 0–2 th 2–5 th 0–5 th 5–10 th 5–19 th
Kurva PB/U, BB/U, BB/PB TB/U, BB/U, BB/TB BB/U, LK/U BB/U IMT/U
Perempuan
0–2 th 2–5 th 0–5 th 5–10 th 5–19 th
PB/U, BB/U, BB/PB TB/U, BB/U, BB/TB BB/U, LK/U BB/U IMT/U
3. Menilai hasil pertumbuhan Dalam menilai pertumbuhan diperlukan beberapa kali pengukuran untuk melihat arah pertumbuhan. Pada neonatus sebaiknya pada mgg ke-1, ke-2, ke-4, selanjutnya dianjurkan melakukan pengukuran antropometri 1×/bl Berikut di bawah ini beberapa kriteria yang digunakan untuk menilai bahwa terdapat masalah dalam pertumbuhan Hasil pengukuran PB/U; TB/U; BB/TB; IMT/U di bawah −3 SD atau di bawah persentil 5 Arah pertumbuhan ↓ melewaM dua batas persenMl, misalnya dari persentil 75 turun menjadi persentil 25 dalam beberapa bulan pengamatan
1028
Tabel 243 Indikator Pertumbuhan Menurut Z-score Z-score Di atas 3 Di atas 2 Di atas 1
Indikator Pertumbuhan PB/U atau TB/U
BB/U
BB/PB atau BB/TB
BMI/U
Lihat catatan 2
Sangat gemuk (obese) Gemuk (overweight) Risiko gemuk (lihat catatan 3)
Sangat gemuk (obese) Gemuk (overweight) Risiko gemuk (lihat catatan 3)
BB kurang (underweight)
Kurus (wasted)
Kurus (wasted)
BB sangat kurang (severely underweight)
Sangat kurus (severely wasted)
Sangat kurus (severely wasted)
Lihat catatan 1
0 (median)
1029
Di bawah −1 Di bawah −2 Di bawah −3
Pendek (stunted) (lihat catatan 4) Sangat pendek (severely stunted) (lihat catatan 4)
Keterangan: 1. Seorang anak dalam kategori ini termasuk sangat tinggi dan biasanya tidak menjadi masalah, kecuali anak yang sangat tinggi mungkin mengalami gangguan endokrin seperti adanya tumor yang memproduksi hormon pertumbuhan. Rujuklah anak tersebut jika diduga mengalami gangguan endokrin (misalnya anak tersebut tinggi sekali menurut usianya, sedangkan tinggi orangtua normal) 2. Seorang anak berdasarkan BB/U pada kategori ini kemungkinan mempunyai masalah pertumbuhan, tetapi akan lebih baik bila anak ini dinilai berdasarkan indikator BB/PB atau BB/TB atau IMT/U 3. Hasil plotting di atas 1 menunjukkan kemungkinan risiko. Bila kecenderungannya menuju garis z-score 2 berarti risiko lebih pasti 4. Anak yang pendek atau sangat pendek, kemungkinan akan menjadi gemuk bila mendapatkan intervensi gizi yang salah
Tindak Lanjut Sesuai dengan batasan, deteksi pertumbuhan merupakan suatu upaya dalam skrining untuk menentukan suatu penyimpangan pertumbuhan. Bila hasil skrining tersebut menunjukkan terdapat masalah pertumbuhan, maka harus dilakukan tindak lanjut untuk menentukan diagnosis dan terapi. Kegiatan ini memerlukan pengamatan lebih teliti, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Di negara berkembang, gangguan pertumbuhan sebagian besar disebabkan faktor gizi
PERKEMBANGAN Batasan Bertambahnya kemampuan (skill), struktur, dan fungsi tubuh yang lebih kompleks
Penilaian Deteksi dini perkembangan anak dilakukan dengan cara pemeriksaan perkembangan secara berkala, apakah sesuai dengan usia atau sudah terjadi penyimpangan perkembangan normal. Pemantauan perkembangan anak dapat dilakukan dengan melihat pola perkembangan (milestone) atau dengan beberapa tahap yaitu: Tahap awal dengan melakukan skrining bila ditemukan kecurigaan gangguan perkembangan, kemudian dilakukan penilaian selanjutnya untuk menegakkan diagnosis. Tahapan Perkembangan Anak menurut Usia Usia 0–3 bulan Mengangkat kepala setinggi 45° Menggerakkan kepala dari kiri/kanan ke tengah Melihat dan menatap wajah anda Mengoceh spontan atau bereaksi dengan mengoceh Suka tertawa keras Bereaksi terkejut terhadap suara keras Membalas tersenyum ketika diajak bicara/tersenyum Mengenal ibu dengan penglihatan, penciuman, pendengaran, dan kontak Usia 3–6 bulan Berbalik dari telungkup ke telentang Mengangkat kepala setinggi 90° Mempertahankan posisi kepala tetap tegak dan stabil Menggenggam pensil Meraih benda yang ada dalam jangkauannya Memegang tangannya sendiri Berusaha memperluas pandangan Mengarahkan matanya pada benda-benda kecil Mengeluarkan suara gembira bernada tinggi atau memekik 1030
Tersenyum ketika melihat mainan/gambar yang menarik saat bermain sendiri Usia 6–9 bulan Duduk (sikap tripoid-—sendiri) Belajar berdiri, kedua kakinya menyangga sebagian berat badan Merangkak meraih mainan atau mendekati seseorang Memindahkan benda dari satu tangan ke tangan lainnya Memungut 2 benda, masing-masing tangan memegang 1 benda pada saat bersamaan Memungut benda sebesar kacang dengan cara meraup Bersuara tanpa arti: mamama, bababa, dadada, tatatata Mencari mainan/benda yang dijatuhkan Bermain tepuk tangan/cilukba Bergembira dengan melempar benda Makan kue sendiri Usia 9–12 bulan Mengangkat badannya ke posisi berdiri Belajar berdiri selama 30 detik atau berpegangan di kursi Dapat berjalan dengan dituntun. Mengulurkan lengan/badan untuk meraih mainan yang diinginkan Menggenggam erat pensil Memasukkan benda ke mulut Mengulang menirukan bunyi yang didengar Menyebut 2–3 suku kata sama tanpa arti Mengeksplorasi sekitar, ingin tahu, ingin menyentuh apa saja Bereaksi terhadap suara yang perlahan atau bisikan Senang diajak bermain cilukba Mengenal anggota keluarga, takut pada orang yang belum dikenal Usia 12–18 bulan Berdiri sendiri tanpa berpegangan Membungkuk memungut mainan, kemudian berdiri kembali Berjalan mundur 5 langkah Memanggil ayah dengan kata “papa”; memanggil ibu dengan kata “mama” Menumpuk 2 kubus Memasukkan kubus di kotak Menunjuk apa yang diinginkan tanpa menangis/merengek, anak bisa mengeluarkan suara yang menyenangkan atau menarik tangan ibu Memperlihatkan rasa cemburu/bersaing Usia 18–24 bulan Berdiri sendiri tanpa berpegangan selama 30 detik Berjalan tanpa terhuyung-huyung Bertepuk tangan, melambai-lambai Menumpuk 4 buah kubus gambar Memungut benda kecil dengan ibu jari dan jari telunjuk Menggelindingkan bola ke arah sasaran Menyebut 6 kata yang mempunyai arti 1031
Membantu/menirukan pekerjaan rumah tangga Memegang cangkir sendiri, belajar makan-minum sendiri Usia 24–36 bulan Jalan naik tangga sendiri Dapat bermain dan menendang bola kecil Mencoret-coret pensil pada kertas Bicara dengan menggunakan 2 kata Dapat menunjuk 1 atau lebih bagian tubuhnya ketika diminta Melihat gambar dan dapat menyebut dengan benar nama 2 benda atau lebih Membantu memungut mainannya sendiri atau membantu mengangkat piring jika diminta Makan nasi sendiri tanpa banyak tumpah Melepas pakaiannya sendiri Usia 36–48 bulan Berdiri 1 kaki selama 2 detik Melompat, kedua kaki diangkat Mengayuh sepeda roda tiga Menggambar garis lurus Menumpuk 8 buah kubus Mengenal 2–4 warna Menyebut nama, usia, dan tempat Mengerti arti kata di atas, di bawah, dan di depan Mendengarkan cerita Mencuci dan mengeringkan tangan sendiri Bermain bersama teman dan mengikuti aturan permainan Mengenakan sepatu sendiri Mengenakan celana panjang, kemeja, dan baju Usia 60 bulan Berdiri 1 kaki selama 6 detik Melompat-lompat 1 kakiMenari Menggambar silang Menggambar lingkaran Menggambar orang dengan 3 bagian tubuh Mengancing baju atau pakaian boneka Menyebut nama lengkap tanpa dibantu Senang menyebut baru Senang bertanya tentang sesuatu Menjawab pertanyaan dengan kata-kata yang benar Bicaranya mudah dimengerti Bisa membandingkan/membedakan sesuatu dari ukuran dan bentuknya Menyebut angka, menghitung jari Menyebut nama-nama hari Berpakaian sendiri tanpa dibantu Menggosok gigi tanpa dibantu Bereaksi tenang dan tidak rewel ketika ditinggal ibu Usia 60–72 bulan Berjalan lurus Berdiri dengan 1 kaki selama 11 detik 1032
Menggambar dengan 6 bagian, menggambar orang lengkap Menangkap bola kecil dengan kedua tangan gambar Menggambar segi empat Mengerti arti lawan kata Mengerti pembicaraan yang menggunakan 7 kata atau lebih Menjawab pertanyaan tentang benda terbuat dari apa dan kegunaannya Mengenal angka, bisa menghitung angka 5–10 Mengenal warna-warni Mengungkapkan simpati Mengikuti aturan permainan Berpakaian sendiri tanpa dibantu 1. Penjaringan Perkembangan (Skrining) Tujuan untuk menjaring/memisahkan anak yang diduga mempunyai kelainan perkembangan. Dapat dilakukan 1 atau 2 tahap. Skrining 2 tahap terdiri atas: Tahap praskrining Tahap ini dilakukan dengan menggunakan instrumen: - Kuesioner praskrining perkembangan (KPSP) - Parents evaluation developmental status (PEDS) - Kuesioner masalah mental emosional (KMME) - Checklist for autism in toddlers (CHAT) - Formulir deteksi dini gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (abbreviated conners ratting scale) - Tes daya dengar (TDD) - Tes daya lihat (TDL) Tahap skrining (dilakukan bila hasil praskrining meragukan/ abnormal) Alat skrining yang dipakai antara lain: Denver II Bayley infant neurodevelopmental screener (BINS) 1.1 Kuesioner praskrining perkembangan (KPSP) KPSP anak merupakan daftar 9–10 pertanyaan singkat kepada orangtua mengenai kemampuan yang sudah dicapai oleh anaknya yang berusia 0–6 tahun, untuk mengetahui apakah perkembangan anaknya sesuai atau menyimpang. Tujuan Mengetahui secara dini penyimpangan perkembangan anak di tingkat petugas Cara menggunakan KPSP: - Anak harus dibawa, tentukan usia anak Tanyakan tanggal lahir (tanggal, bulan, tahun). Kelebihan 16 hr dibulatkan menjadi 1 bulan. Contoh: anak usia 3 bl 16 hr, dibulatkan menjadi 4 bl. 1033
- Pilih daftar pertanyaan yang sesuai usia anak - Pertanyaan pada KPSP ada 2 macam, yaitu: 1. Pertanyaan yang cukup dijawab oleh ibu/pengasuh anak, contoh: dapatkah bayi Anda makan kue sendiri? 2. Perintah kepada ibu/pengasuh anak untuk melaksanakan tugas seperti yang tertulis pada KPSP. Contoh: pada posisi bayi Anda telentang, tariklah bayi pada pergelangan tangannya secara perlahan ke posisi duduk. - Jelaskan kepada orangtua untuk tidak ragu-ragu atau takut menjawab - Tanyakan kepada ibu/pengasuh anak daftar pertanyaan tersebut secara berurutan, satu per satu - Catat jawaban orangtua dan hasil pengamatan kemampuan anak ketika melaksanakan tugas KPSP, dengan jawaban ‘Ya’/’Tidak’. - Sesudah orangtua menjawab, tanyakan pertanyaan berikutnya - Teliti kembali apakah semua pertanyaan sudah dijawab Interpretasi hasil KPSP: a. Interpretasi jawaban ‘Ya’ atau ‘Tidak’: • Jawaban ‘Ya’ apabila orangtua menjawab: anak bisa atau pernah atau sering atau kadang melakukannya • Jawaban ‘Tidak’ apabila ibu/pengasuh anak menjawab: anak belum pernah melakukan atau tidak pernah atau ibu/pengasuh anak tidak tahu b. Hitunglah jumlah jawaban ‘Ya’ c. Apabila jumlah jawaban ‘Ya’ = 9 atau 10, berarti perkembangan anak sesuai tahap perkembangannya (S) d. Apabila jumlah jawaban ‘Ya’ = 7 atau 8, berarti meragukan (M) e. Apabila jumlah jawaban ‘Ya’ = 6 atau kurang, kemungkinan ada penyimpangan (P). Dirinci jenis dan jumlah aspek yang jawabannya ‘Tidak’ (gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa, sosialisasi dan kemandirian)
1034
Tabel 244 KPSP Anak Usia 3 Bulan 1. Pada waktu bayi Anda telentang, apakah masing-masing lengan dan tungkai bergerak dengan mudah? Apabila salah satu atau kedua tungkai atau lengan bayi bergerak tak terarah/tak terkendali, maka lingkarilah kata “Tidak”.
Gerak kasar
Ya
Tidak
2. Pada waktu bayi Anda telentang apakah ia melihat dan menatap wajah Anda?
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
3. Apakah bayi Anda dapat mengeluarkan suara-suara lain (mengoceh) di samping menangis?
Bicara & bahasa
Ya
Tidak
4. Pada waktu bayi Anda telentang, apakah ia dapat mengikuti gerakan Anda dengan menggerakkan kepalanya dari kanan/kiri ke tengah?
Gerak halus
Ya
Tidak
1035
1036
5. Pada waktu bayi Anda telentang, apakah ia dapat mengikuti gerakan Anda dengan menggerakkan kepalanya dari satu sisi hampir sampai pada sisi yang lain?
Gerak halus
Ya
Tidak
6. Pada waktu Anda mengajak bayi Anda berbicara dan tersenyum, apakah ia tersenyum kembali kepada Anda?
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
7. Pada waktu bayi Anda telungkup pada alas yang datar, apakah ia dapat mengangkat kepalanya seperti pada gambar di bawah ini?
Gerak Kasar
Ya
Tidak
1037
8. Pada waktu bayi Anda telungkup pada alas yang datar, apakah ia dapat mengangkat kepalanya sehingga membentuk sudut 45° seperti pada gambar di bawah ini?
Gerak kasar
Ya
Tidak
9. Pada waktu bayi Anda telungkup pada alas yang datar, apakah ia dapat mengangkat kepalanya dengan tegak seperti pada gambar di bawah ini?
Gerak kasar
Ya
Tidak
10. Apakah bayi Anda suka tertawa keras walaupun tidak digelitik atau pun diraba-raba?
Bicara & bahasa
Ya
Tidak
Tabel 245 KPSP Anak Usia 6 Bulan
1038
1. Pada waktu bayi Anda telentang, apakah ia dapat mengikuti gerakan Anda dengan menggerakkan kepalanya sepenuhnya dari satu sisi ke sisi yang lain?
Gerak halus
Ya
Tidak
2. Dapatkah bayi Anda mempertahankan posisi kepalanya dalam keadaan tegak dan stabil? Jawablah. Jika kepalanya cenderung untuk jatuh ke kanan/kiri atau ke dadanya.
Gerak kasar
Ya
Tidak
3. Ikutilah perintah-perintah ini dengan saksama dan jawablah pertanyaan di bawah ini berdasarkan hasil pengamatan Anda. Sentuhkan pena atau pensil di punggung tangan atau ujung jari bayi (jangan meletakkan di atas telapak tangan bayi). Apakah bayi Anda dapat menggenggam pensil itu selama beberapa detik?
Gerak halus
Ya
Tidak
1039
4. Pada waktu bayi Anda telungkup pada alas yang datar, apakah ia dapat mengangkat dadanya dengan menggunakan kedua lengannya sebagai penyangga seperti pada gambar di bawah ini?
Gerak kasar
Ya
Tidak
5. Pernahkah bayi Anda mengeluarkan suara gembira bernada tinggi atau memekik tetapi bukan menangis?
Bicara & bahasa
Ya
Tidak
6. Pernahkah bayi Anda berbalik paling sedikit 2 kali, dari telentang ke telungkup atau dari telungkup ke telentang?
Gerak Kasar
Ya
Tidak
7. Pernahkah Anda melihat bayi Anda tersenyum melihat mainan yang lucu, gambar-gambar atau binatang peliharaan pada saat ia bermain sendiri?
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
8. Dapatkah bayi Anda mengarahkan mata pada benda kecil sebesar kacang, kismis atau uang logam? Jawablah TIDAK jika ia dapat mengarahkan matanya.
Gerak halus
Ya
Tidak
9. Dapatkah bayi Anda meraih mainan yang berada dalam jangkauan tangannya?
Gerak halus
Ya
Tidak
10. Pada posisi bayi Anda telentang, tariklah bayi pada pergelangan tangannya secara perlahan ke posisi duduk. Dapatkah bayi Anda mempertahankan lehernya secara kaku seperti gambar sebelah kiri? Jawablah TIDAK jika kepala jatuh kembali seperti gambar sebelah kanan.
Jawablah: YA
1040
Gerak kasar
Ya
Tidak
Gerak kasar
Ya
Tidak
Gerak halus
Ya
Tidak
Jawablah: TIDAK
Tabel 246 KPSP Anak Usia 9 Bulan 1. Pada posisi bayi Anda dalam telentang, tariklah bayi pada pergelangan tangannya secara perlahan ke posisi duduk. Dapatkah bayi Anda mempertahankan lehernya secara kaku seperti gambar sebelah kiri? Jawablah TIDAK jika kepalanya jatuh kembali seperti gambar sebelah kanan.
Jawablah: YA Jawablah: TIDAK 2. Pernahkah Anda melihat bayi Anda nda dapat memindahkan sesuatu seperti balok kecil atau kue kering dari satu tangan ke tangan yang lain? Benda-benda panjang seperti sendok atau kerincingan bertangkai tidak ikut dinilai.
1041
3. Ikutilah petunjuk-petunjuk ini dengan saksama. Tariklah perhatian bayi Anda dengan memperlihatkan selendang, sapu tangan atau serbet, kemudian jatuhkan sampah di luar pandangannya. Apakah bayi Anda mencoba untuk mencarinya? Misalnya, apakah ia mencarinya tidak di bawah meja atau di belakang kursi?
Gerak halus
Ya
Tidak
4. Apakah bayi Anda memungut dua benda (misalnya mainan atau kue kering) dan masing-masing tangan memegang satu benda pada saat yang sama? Jawablah TIDAK jika Anda tidak pernah melihat bayi Anda melakukan perbuatan ini.
Gerak halus
Ya
Tidak
5. Jika Anda mengangkat bayi Anda melalui ketiaknya, dapatkah ia menahan sebagian berat badannya dengan kakinya? Jawablah YA jika ia mencoba berdiri dengan kaki dan menyangga sebagian berat badannya.
Gerak kasar
Ya
Tidak
6. Dapatkah bayi Anda memungut benda-benda kecil seperti kismis atau potongan-potongan makanan dengan tangannya, dengan gerakan miring atau Ya tidak menggerap seperti gambar di bawah ini?
Gerak halus
Ya
Tidak
Gerak kasar
Ya
Tidak
8. Dapatkah bayi Anda makan kue kering sendiri?
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
9. Pada saat bayi Anda bermain, Anda diam-diam datang dan berdiri di belakangnya, apakah ia kadang-kadang menengok ke belakang seolah-olah olah ia mendengar Anda? Suara keras tidak ikut dihitung. Jawablah YA hanya jika Anda melihat reaksinya terhadap suara yang perlahan atau bisikan. 10. Jika suatu mainan yang dinginkannya berada di luar jangkauan sehingga tidak dapat dicapai, apakah bayi Anda mencoba mendapatkannya dengan meng-ulurkan lengan atau badannya?
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
1042
7. Tanpa disangga oleh bantal, kursi atau dinding, dapatkah bayi Anda duduk sendiri selama 60 detik?
Tabel 247 KPSP Anak Usia 12 Bulan
1043
1. Jika anak Anda bersembunyi di belakang sesuatu (atau di pojok) dan kemudian muncul dan menghilang secara berulang, apakah bayi Anda mencari Anda atau mengharapkan Anda muncul kembali? 2. Berikan anak Anda pena/pensil dan letakkan di telapak tangannya. Cobalah untuk mengambil pena/pensil tersebut secara perlahan. Sulitkah Anda mendapatkan pena/pensil itu kembali? 3. Apakah bayi Anda dapat berdiri selama 30 detik atau lebih dengan berpegangan pada kursi atau meja? 4. Dapatkah bayi Anda mengatakan 2 suku kata yang sama, misalnya: “ma-ma” atau “pa-pa”? Jawablah YA jika bayi anda mengeluarkan salah satu suara tadi. 5. Dapatkah bayi Anda mengangkat dirinya sendiri sampai berdiri tanpa bantuan Anda? 6. Dapatkah bayi Anda membedakan Anda dengan orang yang belum ia kenal? Ia dapat menunjukkan sikap malu-malu atau ragu-ragu pada saat permulaan bertemu dengan orang yang belum dikenalnya. 7. Jika bayi Anda memungut benda kecil seperti kacang, apakah ia mengambilnya dengan meremas di antara ibu jari dan jarinya seperti yang terlihat pada gambar?
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
Gerak halus
Ya
Tidak
Gerak halus
Ya
Tidak
Bicara & bahasa
Ya
Tidak
Gerak kasar
Ya
Tidak
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
Gerak halus
Ya
Tidak
8. Dapatkah bayi Anda duduk sendiri tanpa bantuan?
Gerak halus
Ya
Tidak
9. Sebutkan 2 atau 3 kata yang dapat ditiru oleh bayi Anda (perlu kata-kata yang Bicara & bahasa lengkap). Menurut pendapat Anda, apakah ia mencoba meniru kata-kata tadi? 10. Tanpa Anda menggerakkan tangan bayi Anda, dapatkah ia mempertemukan Gerak halus dua balok kecil? Kerincing bertangkai dan tutup panci ikut dinilai.
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Gerak halus
Ya
Tidak
Gerak kasar Sosialisasi & kemandirian
Ya Ya
Tidak Tidak
Bicara & bahasa
Ya
Tidak
Gerak kasar Gerak kasar
Ya Ya
Tidak Tidak
Gerak kasar
Ya
Tidak
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
Tabel 248 KPSP Anak Usia 15 Bulan (1 Tahun 3 Bulan)
1044
1. Tanpa Anda menggerakkan tangan anak Anda, dapatkah ia mempertemukan dua balok kecil-kecil? Kerincing bertangkai dan tutup panci tidak ikut dinilai. 2. Dapatkah anak Anda jalan sendiri atau jalan dengan berpegangan? 3. Tanpa bantuan, dapatkah anak Anda bertepuk tangan atau melambai-lambai? Jawablah TIDAK jika ia membutuhkan bantuan. 4. Dapatkah anak Anda mengatakan “pa-pa” jika ia memanggil atau melihat ayahnya? Dapatkah anak Anda mengatakan “ma-ma” jika ia memanggil atau melihat ibunya? Jawablah YA jika anak Anda mengatakan salah satu di antaranya. 5. Dapatkah anak Anda berdiri sendiri tanpa berpegangan selama kira-kira 5 detik? 6. Dapatkah anak Anda berdiri sendiri tanpa berpegangan selama 30 detik atau lebih? 7. Tanpa berpegangan atau menyentuh lantal, dapatkah anak Anda membungkuk untuk memungut mainan atau benda lain di lantai dan kemudian berdiri kembali? 8. Dapatkah anak Anda menunjukkan apa yang diinginkannya tanpa menangis atau merengek? Ia dapat melakukannya dengan menunjuk, menarik atau mengeluarkan suara yang menyenangkan.
9. Dapatkah anak Anda berjalan sepanjang ruangan tanpa jatuh atau terhuyung- Gerak kasar huyung? 10. Jika anak Anda memungut benda kecil seperti kacang, apakah ia Gerak halus mengambilnya dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk seperti gambar di bawah ini?
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
Bicara & bahasa
Ya
Tidak
Gerak kasar Gerak kasar
Ya Ya
Tidak Tidak
Gerak kasar
Ya
Tidak
Tabel 249 KPSP Anak Usia 18 Bulan (1 Tahun 6 Bulan) 1045
1. Tanpa bantuan, dapatkah anak Anda bertepuk tangan atau melambai-lambai? Jawablah TIDAK jika ia membutuhkan bantuan. 2. Dapatkah anak Anda mengatakan “pa-pa” jika ia memanggil atau melihat ayahnya? Dapatkah anak Anda mengatakan “ma-ma” jika ia memanggil atau melihat ibunya? Jawablah YA jika anak Anda mengatakan salah satu diantaranya. 3. Dapatkah anak Anda berdiri sendiri tanpa berpegangan selama kira-kira 5 detik? 4. Dapatkah anak Anda berdiri sendiri tanpa berpegangan selama 30 detik atau lebih? 5. Tanpa berpegangan atau menyentuh lantai, dapatkah anak Anda membungkuk untuk memungut mainan atau benda lain di lantai dan kemudian berdiri kembali?
1046
6. Dapatkah anak Anda menunjukkan apa yang diinginkannya tanpa menangis atau merengek? Ia dapat melakukannya dengan menunjuk, menarik atau mengeluarkan suara yang menyenangkan. 7. Dapatkah anak Anda berjalan sepanjang ruangan tanpa jatuh atau terhuyunghuyung? 8. Jika anak Anda memungut benda kecil seperti kacang, apakah ia mengambilnya dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk seperti gambar di bawah ini?
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
Gerak kasar
Ya
Tidak
Gerak halus
Ya
Tidak
9. Jika Anda menggelindingkan bola ke anak Anda, apakah ia menggelindingkan atau melemparkan kembali kepada Anda? 10. Dapatkah anak Anda memegang sendiri cangkir atau gelas dan meminum dan tempat tersebut tanpa tumpah?
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
1. Tanpa berpegangan atau menyentuh lantai, dapatkah anak Anda membungkuk Gerak kasar untuk memungut mainan atau benda lain di lantai dan kemudian berdiri kembali? 2. Dapatkah anak Anda menunjukkan apa yang diinginkannya tanpa menangis Sosialisasi & kemandirian atau merengek? Ia dapat melakukannya dengan menunjuk, menarik atau mengeluarkan suara yang menyenangkan.
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Tabel 250 KPSP Anak Usia 21 Bulan (1 Tahun 9 Bulan)
1047
3. Dapatkah anak Anda berjalan sepanjang ruangan tanpa jatuh atau terhuyunghuyung? 4. Jika anak Anda memungut benda kecil seperti kacang, apakah ia mengambilnya dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk seperti gambar di bawah ini?
Gerak kasar
Ya
Tidak
Gerak halus
Ya
Tidak
5. Jika Anda menggelindingkan bola ke anak Anda, apakah ia menggelindingkan atau melemparkan kembali kepada Anda? 6. Dapatkah anak Anda memegang sendiri cangkir atau gelas dan meminum dari tempat tersebut tanpa tumpah? 7. Jika Anda sedang melakukan pekerjaan rumah tangga, apakah anak Anda meniru apa yang anda lakukan? 8. Dapatkah anak Anda meletakkan satu kubus di atas kubus yang lain tanpa menjatuhkan kubus itu? Kubus yang digunakan berukuran 2,5 cm, bukan kubus yang berukuran lebih dari 5 cm. 9. Dapatkah anak Anda mengucapkan paling sedikit 3 kata yang mempunyai arti selain “pa-pa” dan “ma-ma”? 10. Dapatkah anak Anda berjalan mundur 5 langkah atau lebih tanpa kehilangan keseimbangan? Anda mungkin dapat melihat anak melakukan hal ini pada saat menarik mainannya?
Gerak halus
Ya
Tidak
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
Gerak halus
Ya
Tidak
Bicara & bahasa
Ya
Tidak
Gerak kasar
Ya
Tidak
Tabel 251 KPSP Anak Usia 24 Bulan (2 Tahun)
1048
1. Jika Anda sedang melakukan pekerjaan rumah tangga, apakah anak Anda meniru apa yang Anda lakukan? 2. Dapatkah anak Anda meletakkan satu kubus di atas kubus yang lain tanpa menjatuhkan kubus itu? Kubus yang digunakan berukuran 2,5 cm, bukan kubus yang berukuran lebih dari 5 cm. 3. Dapatkah anak Anda mengucapkan paling sedikit 3 kata yang mempunyai arti selain “pa-pa” dan “mama”? 4. Dapatkah anak Anda berjalan mundur 5 langkah atau lebih tanpa kehilangan keseimbangan? Anda mungkin dapat melihat anak melakukan hal ini pada saat menarik mainannya? 5. Dapatkah anak Anda melepas pakaiannya misal: baju, rok, atau celananya? (Topi dan kaos kaki tidak ikut dinilai). 6 Dapatkah anak Anda berjalan naik tangga sendiri? Jawablah YA jika ia dapat naik dengan posisi tegak, dengan berpegangan pada dinding atau pegangan tangga. Jawablah TIDAK jika: 1) ia merangkak pada saat menaiki tangga, 2) Anda membolehkannya naik tangga, 3) ia harus berpegangan pada seseorang. 7. Tanpa bimbingan, petunjuk atau bantuan Anda, dapatkah anak Anda menunjukkan paling sedikit satu bagian dari badannya (rambut, mata, hidung, mulut, atau bagian badan yang lain)? Jawablah YA jika ia dapat menunjuk dengan benar. 8. Dapatkah anak Anda makan nasi sendiri tanpa banyak tumpah? 9. Dapatkah anak Anda membantu memungut mainannya sendiri atau membantu mengangkat piring jika diminta?
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
Gerak halus
Ya
Tidak
Bicara & bahasa
Ya
Tidak
Gerak kasar
Ya
Tidak
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
Gerak kasar
Ya
Tidak
Bicara & bahasa
Ya
Tidak
Sosialisasi & kemandirian Bicara & bahasa
Ya Ya
Tidak Tidak
10. Tanpa berpegangan pada apa pun, dapatkah anak Anda menendang bola kecil Gerak kasar (seperti bola tenis) ke depan? Mendorong tidak ikut dinilai.
Ya
Tidak
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
Gerak kasar
Ya
Tidak
Bicara & bahasa
Ya
Tidak
Sosialisasi & kemandirian Bicara & bahasa
Ya Ya
Tidak Tidak
Gerak kasar
Ya
Tidak
Gerak halus
Ya
Tidak
Tabel 252 KPSP Anak Usia 30 Bulan (2 Tahun 6 Bulan)
1049
1. Dapatkah anak Anda melepaskan pakaiannya misal: baju, rok, atau celananya? (Topi dan kaos kaki ikut dinilai). 2. Dapatkah anak Anda berjalan naik tangga sendiri? Jawablah YA jika ia dapat naik dengan posisi tegak, dengan berpegangan pada dinding atau pegangan tangga. Jawablah TIDAK jika: Ia merangkak pada saat menaiki tangga Anda tidak memperbolehkannya naik tangga Ia harus berpegangan pada seseorang 3. Tanpa bimbingan, petunjuk atau bantuan Anda, dapatkah anak Anda menunjukkan paling sedikit satu bagian dari badannya (rambut, mata, hidung, mulut, atau bagian badan yang lain)? Jawablah YA jika ia dapat menunjuk dengan benar. 4. Dapatkah anak Anda makan nasi sendiri tanpa banyak tumpah? 5. Dapatkah anak Anda memungut mainannya sendiri atau membantu mengangkat piring jika diminta? 6. Tanpa berpegangan pada apa pun, dapatkah anak Anda menendang bola kecil (seperti bola tenis) ke depan? Mendorong tidak ikut dinilai. 7. Bila diberikan sebuah pinsil, dapatkah anak Anda mencoret-coret kertas tanpa bantuan dan petunjuk?
8. Dapatkah anak Anda meletakkan satu kubus di atas kubus yang lain tanpa menjatuhkan kubus itu? Kubus yang digunakan berukuran 2,5 cm, bukan kubus yang berukuran lebih dari 5 cm. 9. Dapatkah anak Anda menggunakan 2 kata pada saat bebicara seperti “minta minum”, “mau tidur”? (“Terima kasih” dan “da-da” tidak ikut dinilai). 10. Apakah anak Anda dapat menyebutkan 2 di antara gambar-gambar ini tanpa bantuan? Penyebutan dengan menggunakan suara binatang tidak dinilai.
Ya
Tidak
Bicara & bahasa
Ya
Tidak
Bicara & bahasa
Ya
Tidak
Gerak halus
Ya
Tidak
Gerak halus
Ya
Tidak
Bicara & bahasa
Ya
Tidak
1050
Gerak halus
Tabel 253 KPSP Anak Usia 36 Bulan (3 Tahun) 1. Bila diberikan sebuah pensil, dapatkah anak Anda mencoret-coret kertas tanpa bantuan dan petunjuk? 2. Dapatkah anak Anda meletakkan satu kubus di atas kubus yang lain tanpa menjatuhkan kubus itu? Kubus yang digunakan berukuran 2,5 cm, bukan kubus yang berukuran lebih dari 5 cm. 3. Dapatkah anak Anda menggunakan 2 kata pada saat berbicara seperti “minta minum”, “mau tidur”? (“Terima kasih” dan “da-da” tidak ikut dinilai).
4. Dapatkah anak Anda dapat menyebutkan 2 di antara gambar-gambar gambar ini tanpa bantuan? Penyebutan dengan menggunakan suara binatang tidak dinilai.
1051
Bicara & bahasa
Ya
Tidak
5. Dapatkah anak Anda melempar bola lurus ke arah perut atau dada Anda nda dari Gerak kasar jarak 1,5 meter? 6. Ikutilah perintah ini dengan saksama. ksama. Jangan memberi isyarat (menunjuk atau Bicara & bahasa melirik) pada saat memberikan petunjuk-petunjuk berikut ini: “Letakkan kertas ini di lantai”. “Letakkan kertas ini di kursi”. “Berikan kertas ini kepada ibu”. Dapatkah ia melaksanakan ketiga perintah tadi? 7. Buatlah garis lurus ke bawah sepanjang sekurang-kurangnya 2,5 cm. Suruhlah Gerak halus anak Anda menggambar garis lain di samping garis tersebut. Dapatkah anak Anda menggambar garis lurus di samping garis yang Anda buat? Jawablah YA bila ia menggambar garis seperti ini:
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Jawablah TIDAK bila ia menggambar garis seperti ini:
Gerak halus
8. Letakkan selembar kertas (kira-kira selebar buku ini) di lantai. Dapatkah anak Anda mengangkat kedua kakinya secara bersamaan, melompati kertas tersebut tanpa didahului dengan lari?
Gerak kasar
Ya
Tidak
9. Dapatkah anak Anda mengenakan sepatunya sendiri?
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
10. Dapatkah anak Anda mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter?
Gerak kasar
Ya
Tidak
1. Dapatkah anak Anda mengenakan sepatunya sendiri?
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
2. Dapatkah anak Anda mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter?
Gerak kasar
Ya
Tidak
3. Sesudah makan, apakah anak Anda mencuci dan mengeringkan tangannya dengan baik sehingga Anda tidak perlu mengulanginya?
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
4. Suruhlah anak Anda berdiri dengan satu kaki tanpa berpegangan. Jika perlu tunjukan caranya dan beri anak Anda kesempatan melakukannya 3 kali. Dapatkah ia mempertahankan keseimbangan dalam waktu 2 detik atau lebih?
Gerak kasar
Ya
Tidak
5. Letakkan selembar kertas (kira-kira sepanjang buku) di lantai. Suruhlah anak Anda melompati bagian panjang kertas dengan kedua kakinya tanpa berlari. Dapatkah ia melakukannya tanpa menginjak kertas?
Gerak kasar
Ya
Tidak
Tabel 254 KPSP Anak Usia 42 Bulan (3 Tahun 6 Bulan)
1052
6. Suruhlah anak Anda menggambar seperti contoh di kertas kosong yang tersedia. Jangan sebutkan bahwa itu lingkaran. Dalam memberi nilai lihatlah contoh-contoh di bawah ini.
Gerak halus
Ya
Tidak
7. Dapatkah anak Anda meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas yang lain tanpa menjatuhkan kubus tersebut? Kubus yang digunakan berukuran 2,5 cm, bukan kubus yang berukuran lebih dari 5 cm.
Gerak halus
Ya
Tidak
8. Apakah anak Anda bermain petak umpet, ular naga atau permainan lain di mana ia ikut bermain dan mengikuti peraturan bermain?
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
9. Dapatkah anak Anda mengenakan celana panjang, kemeja, baju atau kaos kaki tanpa dibantu? (Termasuk memasang kancing, gesper dan ikat pinggang)
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
Jawablah: YA
Jawablah: TIDAK Dapatkah anak Anda menggambar lingkaran?
1053
Tabel 255 KPSP Anak Usia 48 Bulan (4 Tahun)
1054
1. Dapatkah anak Anda mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter? 2. Sesudah makan, apakah anak Anda mencuci dan mengeringkan tangannya dengan baik sehingga anda tidak perlu mengulanginya? 3. Suruhlah anak Anda berdiri dengan satu kaki tanpa berpegangan. Jika perlu tunjukan caranya dan beri anak Anda kesempatan melakukannya 3 kali. Dapatkah ia mempertahankan keseimbangan dalam waktu 2 detik atau lebih? 4. Letakkan selembar kertas (kira-kira sepanjang buku ini) di lantai. Suruhlah anak Anda melompati bagian panjang kertas dengan kedua kakinya tanpa berlari. Dapatkah ia melakukannya tanpa menginjak kertas? 5. Suruhlah anak Anda menggambar seperti contoh di kertas kosong yang tersedia. Jangan sebutkan bahwa itu lingkaran. Dalam memberi nilai lihatlah contoh-contoh di bawah ini.
Gerak kasar Sosialisasi & kemandirian
Ya Ya
Tidak Tidak
Gerak kasar
Ya
Tidak
Gerak kasar
Ya
Tidak
Gerak halus
Ya
Tidak
Jawablah: TIDAK Dapatkah anak Anda menggambar lingkaran? 6. Dapatkah anak Anda meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas yang lain Gerak halus tanpa menjatuhkan kubus tersebut? Kubus yang digunakan berukuran 2,5 cm, bukan kubus yang berukuran lebih dari 5 cm.
Ya
Tidak
Jawablah: YA
7. Apakah anak Anda bermain petak umpet, ular naga atau permainan lain di mana ia ikut bermain dan mengikuti peraturan bermain?
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
8. Dapatkah anak Anda mengenakan celana panjang, kemeja, baju, atau kaos kaki tanpa dibantu? (Tidak termasuk memasang kancing, gesper dan ikat pinggang)
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
9. Dapatkah anak Anda menyebutkan nama lengkapnya tanpa dibantu? Jawablah TIDAK jika ia hanya menyebutkan sebagian namanya atau ucapannya tidak dapat dimengerti dengan mudah.
Bicara & bahasa
Ya
Tidak
1. Dapatkah anak Anda meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas yang lain tanpa menjatuhkan kubus tersebut? Kubus yang digunakan berukuran 2,5 cm, bukan kubus yang berukuran lebih dari 5 cm.
Gerak halus
Ya
Tidak
2. Apakah anak Anda bermain petak umpet, ular naga atau permainan lain di mana ia ikut bermain dan mengikuti peraturan bermain?
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
3. Dapatkah anak Anda mengenakan celana panjang, kemeja, baju atau kaos kaki tanpa dibantu? (Tidak termasuk memasang kancing, gesper dan ikat pinggang)
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
4. Dapatkah anak Anda menyebutkan nama lengkapnya tanpa dibantu? Jawablah TIDAK jika ia hanya menyebutkan sebagian namanya atau ucapannya tidak dapat dimengerti dengan mudah.
Bicara & bahasa
Ya
Tidak
Tabel 256 KPSP Anak Usia 54 Bulan (4 Tahun 6 Bulan) 1055
1056
5. Isilah titik-titik di bawah ini dengan jawaban anak Anda. Jangan membantu kecuali mengulangi pertanyaan. “Apa yang kamu lakukan jika kamu kedinginan?”…… “Apa yang kamu lakukan jika kamu lapar?”……. “Apa yang kamu lakukan jika kamu lelah?”…….. Dapatkah ia menjawab ketiga pertanyaan tadi dengan kata-kata yang benar, bukan dengan gerakan atau isyarat? Untuk kedinginan jawaban yang benar adalah “menggigil”, “kenakan mantel” atau “masuk ke dalam rumah” Untuk lapar, jawaban yang benar adalah “makan” Untuk lelah, jawaban yang benar adalah “mengantuk” atau “minta tidur”’, “berbaring (tidur-tiduran)”, ”istirahat” atau “diam sejenak” 6. Dapatkah anak Anda mengancingkan bajunya atau pakaian bonekanya? 7. Suruhlah anak Anda berdiri dengan satu kaki tanpa berpegangan. Jika perlu tunjukan caranya dan beri anak Anda kesempatan melakukannya 3 kali. Dapatkah ia mempertahankan keseimbangannya dalam waktu 6 detik atau lebih? 8. Jangan mengoreksi atau membantu anak Anda. Jangan menggunakan kata “lebih besar”. Perlihatkan kedua garis di bawah ini kepada anak Anda. Jangan membantu atau membetulkan apabila salah. Tanyakan mana yang lebih panjang.
Sesudah anak menunjuk, putarlah lembar ini lagi dan tanyakan untuk ketiga kalinya: “Mana garis yang lebih panjang?” Dapatkah anak Anda menunjuk garis yang lebih panjang sebanyak 3 kali dengan benar?
Bicara & bahasa
Ya
Tidak
Sosialisasi & kemandirian Gerak kasar
Ya Ya
Tidak Tidak
Gerak halus
Ya
Tidak
9. Jangan memberitahukan nama gambar ini dan jangan membantu anak Anda. Katakan padanya: “Buatlah gambar seperti ini (sambil menunjuk gambar di bawah ini)”
Gerak halus
Ya
Tidak
Bicara & bahasa
Ya
Tidak
Suruh ia menggambar di kertas kosong yang tersedia. Berikan 3 kali kesempatan. Untuk penilaian lihat gambar di bawah ini.
1057
Jawablah: YA Jawablah: TIDAK Dapatkah anak Anda menggambar tanda palang? 10. Ikutilah perintah ini dengan saksama. Jangan memberi isyarat (menunjuk atau melirik) pada saat memberikan petunjuk-petunjuk berikut ini: “Letakkan kertas ini di atas lantai” “Letakkan kertas ini di bawah kursi” “Letakkan kertas ini di depan kamu” “Letakkan kertas ini di belakang kamu” Jawablah YA hanya jika anak Anda mengerti arti “di atas”, “di bawah”, “di depan”, dan “di belakang”.
Tabel 257 KPSP Anak Usia 60 Bulan (5 Tahun)
1058
1. Isilah titik-titik di bawah ini dengan jawaban anak Anda. Jangan membantu kecuali mengulangi pertanyaan. “Apa yang kamu lakukan jika kamu kedinginan?”…… “Apa yang kamu lakukan jika kamu lapar?”……. “Apa yang kamu lakukan jika kamu lelah?”…….. Dapatkah ia menjawab ketiga pertanyaan tadi dengan kata-kata yang benar, bukan dengan gerakan atau isyarat? Untuk kedinginan jawaban yang benar adalah “menggigil”, “kenakan mantel” atau “masuk ke dalam rumah” Untuk lapar, jawaban yang benar adalah “makan” Untuk lelah, jawaban yang benar adalah “mengantuk” atau “minta tidur”’, “berbaring (tidur-tiduran)”, ”istirahat” atau “diam sejenak” 2. Dapatkah anak Anda mengancingkan bajunya atau pakaian bonekanya? 3. Suruhlah anak Anda berdiri dengan satu kaki tanpa berpegangan. Jika perlu tunjukan caranya dan beri anak Anda kesempatan melakukannya 3 kali. Dapatkah ia mempertahankan keseimbangannya dalam waktu 6 detik atau lebih? 4. Jangan mengoreksi atau membantu anak Anda. Jangan menggunakan kata “lebih besar”. Perlihatkan kedua garis di bawah ini kepada anak Anda. Jangan membantu atau membetulkan apabila salah. Tanyakan mana yang lebih panjang.
Sesudah anak menunjuk, putarlah lembar ini lagi dan tanyakan untuk ketiga kalinya: “Mana garis yang lebih panjang?” Dapatkah anak Anda menunjuk garis yang lebih panjang sebanyak 3 kali dengan benar?
Bicara & bahasa
Ya
Tidak
Sosialisasi & kemandirian Gerak kasar
Ya Ya
Tidak Tidak
Gerak halus
Ya
Tidak
5. Jangan memberitahukan nama gambar ini dan jangan membantu anak Anda. Katakan padanya: “Buatlah gambar seperti ini (sambil menunjuk gambar di bawah ini)”
Gerak halus
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Suruh ia menggambar di kertas kosong yang tersedia. Berikan 3 kali kesempatan. Untuk penilaian lihat gambar di bawah ini.
1059
Jawablah: YA Jawablah: TIDAK Dapatkah anak Anda menggambar tanda palang? 6. Ikutilah perintah ini dengan saksama. Jangan memberi isyarat (menunjuk atau Bicara & bahasa melirik) pada saat memberikan petunjuk-petunjuk berikut ini: “Letakkan kertas ini di atas lantai” “Letakkan kertas ini di bawah kursi” “Letakkan kertas ini di depan kamu” “Letakkan kertas ini di belakang kamu” Jawablah YA hanya jika anak Anda mengerti arti “di atas”, “di bawah”, “di depan”, dan “di belakang”. 7. Apakah anak Anda bereaksi dengan tenang dan rewel (tanpa menangis atau Sosialisasi & kemandirian menggelayut pada Anda) pada saat Anda meninggalkannya?
8. Jangan menunjuk, membantu atau membetulkan, katakan pada anak Anda: “Tunjukkan segi empat merah” “Tunjukkan segi empat kuning” “Tunjukkan segi empat biru” “Tunjukkan segi empat hijau”
Bicara & bahasa
Ya
Tidak
9. Suruhlah anak Anda melompat dengan satu kaki beberapa kali tanpa Gerak kasar berpegangan (lompatan dengan dua kaki tidak ikut dinilai). Dapatkah ia melompat dua atau tiga kali dengan satu kaki?
Ya
Tidak
10. Dapatkah anak Anda sepenuhnya berpakaian sendiri tanpa bantuan?
Ya
Tidak
Dapatkah anak Anda menunjuk keempat warna itu dengan benar?
1060
Sosialisasi & kemandirian
Tabel 258 KPSP Anak Usia 66 Bulan (5 Tahun 6 Bulan) 1. Jangan memberitahukan nama gambar ini dan jangan membantu anak Anda. Katakan padanya: “Buatlah gambar seperti ini (sambil menunjuk gambar di bawah ini)”
Gerak halus
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Suruh ia menggambar di kertas kosong yang tersedia. Berikan 3 kali kesempatan. Untuk penilaian lihat gambar di bawah ini.
1061
Jawablah: YA Jawablah: TIDAK Dapatkah anak Anda menggambar tanda palang? 2. Ikutilah perintah ini dengan saksama. Jangan memberi isyarat (menunjuk atau Bicara & bahasa melirik) pada saat memberikan petunjuk-petunjuk berikut ini: “Letakkan kertas ini di atas lantai” “Letakkan kertas ini di bawah kursi” “Letakkan kertas ini di depan kamu” “Letakkan kertas ini di belakang kamu” Jawablah YA hanya jika anak Anda mengerti arti “di atas”, “di bawah”, “di depan”, dan “di belakang”. 3. Apakah anak Anda bereaksi dengan tenang dan rewel (tanpa menangis atau Sosialisasi & kemandirian menggelayut pada Anda) pada saat Anda meninggalkannya?
4. Jangan menunjuk, membantu atau membetulkan, katakan pada anak Anda: “Tunjukkan segi empat merah” “Tunjukkan segi empat kuning” “Tunjukkan segi empat biru” “Tunjukkan segi empat hijau”
Bicara & bahasa
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Gerak halus
Ya
Tidak
Gerak halus
Ya
Tidak
Dapatkah anak Anda menunjuk keempat warna itu dengan benar?
1062
5. Suruhlah anak Anda melompat dengan satu kaki beberapa kali tanpa Gerak kasar berpegangan (lompatan dengan dua kaki tidak ikut dinilai). Dapatkah ia melompat dua atau tiga kali dengan satu kaki? 6. Dapatkah anak Anda sepenuhnya berpakaian sendiri tanpa bantuan? Sosialisasi & kemandirian 7. Suruhlah anak anda menggambar di tempat kosong yang tersedia. Katakan padanya: “Buatlah gambar orang”. Jangan memberi perintah lebih dari itu. Jangan bertanya atau mengingatkan anak bila ada bagian yang belum tergambar. Dalam memberi nilai, hitunglah berapa bagian tubuh yang tergambar. Untuk bagian tubuh yang berpasangan seperti mata, telinga, lengan, dan kaki, setiap pasang dinilai satu bagian. Dapatkah anak Anda menggambar sedikitnya 3 bagian tubuh? 8. Pada gambar orang yang dibuat pada nomor 7, dapatkah anak Anda menggambar sedikitnya 6 bagian tubuh?
9. Tulislah apa yang dikatakan anak Anda pada kalimat-kalimat yang belum selesai ini (jangan membantu kecuali mengulang pertanyaan): “Jika kuda besar maka tikus….” “Jika api panas maka es….” “Jika ibu seorang wanita maka ayah seorang….” Dapatkah anak Anda menjawab dengan benar (tikus kecil, es dingin, ayah seorang pria) 10. Dapatkah anak Anda menangkap bola kecil seperti bola tenis, bola kasti dan lainnya hanya dengan menggunakan kedua tangannya? Bola besar tidak ikut dinilai.
Bicara & bahasa
Ya
Tidak
Gerak kasar
Ya
Tidak
Bicara & bahasa
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Tabel 259 KPSP Anak Usia 72 Bulan (6 Tahun) 1063
1. Jangan menunjuk, membantu atau membetulkan, katakan pada anak Anda: “Tunjukkan segi empat merah” “Tunjukkan segi empat kuning” “Tunjukkan segi empat biru” “Tunjukkan segi empat hijau”
Dapatkah anak Anda menunjuk keempat warna itu dengan benar? 2. Suruhlah anak Anda melompat dengan satu kaki beberapa kali tanpa Gerak kasar berpegangan (lompatan dengan dua kaki tidak ikut dinilai). Dapatkah ia melompat dua atau tiga kali dengan satu kaki? 3. Dapatkah anak Anda sepenuhnya berpakaian sendiri tanpa bantuan? Sosialisai & kemandirian
1064
4. Suruhlah anak anda menggambar di tempat kosong yang tersedia. Katakan padanya: “Buatlah gambar orang”. Jangan memberi perintah lebih dari itu. Jangan bertanya atau mengingatkan anak bila ada bagian yang belum tergambar. Dalam memberi nilai, hitunglah berapa bagian tubuh yang tergambar. Untuk bagian tubuh yang berpasangan seperti mata, telinga, lengan, dan kaki, setiap pasang dinilai satu bagian. Dapatkah anak Anda menggambar sedikitnya 3 bagian tubuh? 5. Pada gambar orang yang dibuat pada nomor 4, dapatkah anak Anda menggambar sedikitnya 6 bagian tubuh? 6. Tulislah apa yang dikatakan anak Anda pada kalimat-kalimat yang belum selesai ini (jangan membantu kecuali mengulang pertanyaan): “Jika kuda besar maka tikus….” “Jika api panas maka es….” “Jika ibu seorang wanita maka ayah seorang….” Dapatkah anak Anda menjawab dengan benar (tikus kecil, es dingin, ayah seorang pria) 7. Dapatkah anak Anda menangkap bola kecil seperti bola tenis, bola kasti dan lainnya hanya dengan menggunakan kedua tangannya? Bola besar tidak ikut dinilai. 8. Suruhlah anak Anda berdiri dengan satu kaki tanpa berpegangan. Jika perlu tunjukkan caranya. Beri anak anda kesempatan melakukannya 3 kali. Dapatkah ia mempertahankan keseimbangannya dalam waktu 11 detik atau lebih?
Gerak halus
Ya
Tidak
Gerak halus
Ya
Tidak
Sosialisasi & kemandirian
Ya
Tidak
Gerak kasar
Ya
Tidak
Gerak kasar
Ya
Tidak
9. Jangan memberitahukan nama gambar ini dan jangan membantu anak Anda. Katakan padanya: “Buatlah gambar-gambar ini” (sambil menunjuk gambar ini). Suruh ia menggambar di tempat kosong yang tersedia. Berikan 3 kali kesempatan. Untuk penilaian lihatlah gambar di bawah ini.
Gerak halus
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Jawaban: YA
1065
Jawaban: TIDAK Dapatkah anak Anda menggambar segi empat? Bicara & bahasa 10. Isilah titik-titik di bawah ini dengan jawaban anak Anda. Jangan membantu kecuali mengulang tiap pertanyaan sampai 3 kali apabila anak Anda menanyakannya. “Sendok dibuat dari apa?” “Sepatu dibuat dari apa?” “Pintu dibuat dan apa?” Dapatkah anak Anda menjawab ketiga pertanyaan di atas dengan benar? Sendok dibuat dari besi, baja, plastik, kayu. Sepatu dibuat dari kulit, karet, kain, plastik, kayu. Pintu dibuat dari kayu, besi, kaca.
1.2 Parents’ evaluation developmental status (PEDS) Glascoe mengembangkan metode parents' evaluation of developmental status (PEDS) yaitu kuesioner yang dapat diselesaikan dalam 5 menit, membantu dokter menggali keluhan orangtua mengenai gangguan perkembanganperilaku putra-putrinya. PEDS membantu mengidentifikasi anak yang mempunyai risiko dan anak yang tidak terdeteksi gangguan pertumbuhan dan tingkah laku. PEDS membantu menjawab pertanyaan tentang kebutuhan psikososial anak dan keluarga Para petugas atau tenaga kesehatan dianjurkan menggunakan PEDS tiap tahun sekali atau 2 kali seperti yang disarankan oleh National Association for Education of Young Children and Other Education Organizations PEDS dapat digunakan untuk anak sejak lahir sampai usia 8 th. Alat ini mempunyai sensitivitas tinggi dan mengidentifikasi 74–80% anak yang menderita kelainan dengan pemeriksaan skrining perkembangan standar. Spesifitas cukup tinggi, 70– 80% anak tanpa gangguan diidentifikasi mempunyai perkembangan normal. Kuesioner dapat mudah dikerjakan oleh tenaga profesional, para profesional atau petugas administrasi, dan hanya memerlukan latihan minimal, serta dapat dikerjakan sendiri oleh orangtua di ruang tunggu, ruang pemeriksaan, atau rumah Petunjuk pengisian dan penilaian PEDS Langkah 1: mempersiapkan orangtua. Jelaskan bahwa tujuan pelaksanaan PEDS adalah untuk mengetahui perkembangan dan tingkah laku anak Langkah 2: mengisi kolom nilai PEDS sesuai usia anak Langkah 3: tandai kotak pada lembar penilaian untuk setiap jawaban pada pertanyaan nomor 1 Jika orangtua memberikan pernyataan seperti ‘Dahulu saya khawatir terhadap anak saya tetapi saat ini saya lihat dia dapat melakukan lebih baik’, tandai ini sebagai perhatian pada jenis perkembangan yang dimaksud. Sama halnya jika orangtua melaporkan bahwa mereka hanya ‘sedikit’ memperhatikan anaknya mengalami gangguan/kelainan, hal itu juga harus ditandai sebagai perhatian terhadap kelainan yang terjadi pada anaknya Langkah 4: tandai kotak pada lembar penilaian untuk setiap jawaban atau perhatian orangtua pada pertanyaan 2–10 Untuk setiap nomor dengan jawaban ‘Ya’ atau ‘Sedikit’, tandai sesuai dengan kotak pada lembar penilaian PEDS. Jika orangtua tidak menulis apapun kecuali melingkari pilihan ‘Ya’ atau ‘Sedikit’ pada pertanyaan 2–10, lakukan pemeriksaan ulang dengan mengisi ulang lembar PEDS dengan wawancara atau tanya jawab 1066
Langkah 5: jumlahkan hasil penilaian di lembar penilaian PEDS Kotak kecil abu-abu menunjukkan perhatian yang signifikan (berisiko terhadap gangguan perkembangan). Hitung jumlah pada kotak kecil abu-abu pada kolom di atas dan tuliskan jumlahnya pada kotak besar abu-abu di bawahnya Kotak kecil putih menunjukkan perhatian yang tidak signifikan, tidak menunjukkan kemungkinan kelainan. Hitung jumlah kotak putih kecil yang ditandai kemudian tuliskan jumlahnya pada kotak besar putih pada dasar lembar tersebut Langkah 6: tentukan langkah yang sesuai seperti pada lembar interpretasi PEDS Nilai PEDS yang ada pada formulir menunjukkan satu di antara lima bentuk penafsiran (interpretasi). Cara-cara ini merupakan langkah yang paling akurat dalam menjawab setiap bentuk hasil PEDS Langkah 7: lengkapi lembar penilaian Di sebelah kanan dari lembar penilaian PEDS terdapat kolom untuk menulis keputusan spesifik, rujukan, hasil tes skrining tambahan, topik konseling, rencana selanjutnya dan lain-lain. Lembar ini dapat digunakan untuk memantau anak tersebut
1067
Tabel 260 Parents’ Evaluation Developmental Status Jenis Kelainan
Jenis Respons
Global/kognitif
Tampak terbelakang, tidak dapat mengerjakan sesuatu yang dapat dilakukan oleh anak lain, lamban, imatur, kemampuan belajar lambat, perlu waktu lama untuk mempelajari sesuatu, kesulitan dalam mempelajari/mengerjakan sesuatu Tidak dapat berbicara normal, menggunakan kalimat-kalimat pendek, tidak selallu dapat mengatakan apa yang dimaksud, kadang-kadang tidak masuk akal, tidak dapat berbicara secara terencana, tidak ada yang mengerti perkataannya kecuali saya Tidak mengerti apa yang Anda katakan, tidak mendengarkan dengan baik Tidak dapat membuat garis lurus, tidak dapat menulis nama, tidak dapat menggambar suatu bentuk, tidak benar dalam memegang pensil, belum dapat makan menggunakan sendok atau makan berantakan Canggung, berjalan aneh, belum dapat naik sepeda, sering terjatuh, pincang, kurang keseimbangan, tidak menyukai sepakbola Keras kepala, over aktif, gangguan pemusatan perhatian, manja, menjengkelkan, hanya melakukan apa yang dia mau Senang menyendiri, cengeng, tidak menyukai perubahan, pemarah, mudah frustasi, pemalu, ingin menang sendiri, perasaan mudah berubah
Artikulasi dan bahasa ekspresif 1068
Bahasa reseptif Motorik halus
Motorik kasar Perilaku Emosi sosial
Jika Ada, Tandai Kotak dalam Kolom Sesuai Usia pada Lembar Penilaian PEDS dalam: Nomor 1
Nomor 2
Nomor 3 Nomor 4
Nomor 5 Nomor 6 Nomor 7
Kemandirian Sekolah
Lain-lain 1069
Tidak ada kelainan
Tidak mau melakukan sesuatu sendiri, tidak memberitahu jika basah, belum bisa latihan kebersihan, masih minum susu botol, tidak dapat berpakaian sendiri Tidak bisa menulis nama (nilai sama seperti motorik halus), tidak tahu warna atau angka, tidak mau belajar membaca, tidak dapat mengingat huruf, kadang-kadang tidak dapat mengeja kata-kata Infeksi telinga, asma, kecil untuk anak seusianya, sering sakit, pendengaran kurang baik, penglihatan kurang baik Anak normal, perkembangan normal
Nomor 8 Nomor 9
Nomor 10 Jika tidak ada kelainan, kotak dikosongkan kemudian ikuti langkah 4
1070
1071
1072
1.3 Kuesioner deteksi dini masalah mental emosional Tujuan Untuk mendeteksi secara dini masalah mental emosional pada anak usia 3–6 th Dilakukan setiap 6 bl Cara melakukan 1. Tanyakan satu per satu dengan lambat, jelas, dan nyaring perilaku yang tertulis pada daftar perilaku anak kepada orangtua atau pengasuh anak 2. Catat jawaban berupa ”Ya“ atau ”Tidak“ 3. Catat jumlah jawaban ”Ya“ Interpretasi Bila orangtua memberikan ≥1 jawaban “Ya”, anak kemungkinan mengalami masalah mental emosional Intervensi 1. Bila masalah mental emosional yang ditemukan hanya 1 (satu): Lakukan konseling kepada orangtua menggunakan dengan Buku Pedoman Pola Asuh yang Mendukung Perkembangan Anak Lakukan evaluasi sesudah 3 bl. Bila tidak ada perubahan, rujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas kesehatan jiwa/tumbuh kembang anak 2. Bila masalah mental emosional yang ditemukan ≥2: Rujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas kesehatan jiwa/tumbuh kembang anak 3. Rujukan harus disertai informasi mengenai jumlah dan masalah mental emosional yang ditemukan Berikut 12 pertanyaan yang dapat membantu mengenali problem mental emosional anak usia 3–6 th Tabel 261 Daftar Pertanyaan untuk Deteksi Dini Masalah Mental Emosional No Pertanyaan 1.
2.
Ya
Apakah anak Anda sering kali terlihat marah tanpa sebab yang jelas? (seperti banyak menangis, mudah tersinggung, atau bereaksi berlebihan terhadap hal-hal yang sudah biasa dihadapinya) Apakah anak Anda tampak menghindar dari teman-teman atau anggota keluarganya? (seperti ingin merasa sendirian, menyendiri atau merasa sedih sepanjang waktu, kehilangan minat terhadap hal-hal yang biasa sangat dinikmati) 1073
Tidak
Apakah anak Anda terlihat berperilaku merusak dan menentang terhadap lingkungan di sekitarnya? (seperti melanggar peraturan yang ada, mencuri, sering kali melakukan perbuatan yang berbahaya bagi dirinya, atau menyiksa binatang atau anak lainnya) dan tampak tidak perduli dengan nasihat yang sudah diberikan kepadanya? 4. Apakah anak Anda memperlihatkan perasaan ketakutan atau kecemasan berlebihan yang tidak dapat dijelaskan asalnya dan tidak sebanding dengan anak lain seusianya? 5. Apakah anak Anda mengalami keterbatasan oleh karena konsentrasi yang buruk atau mudah teralih perhatiannya, sehingga mengalami penurunan dalam aktivitas sehari-hari atau prestasi belajarnya? 6. Apakah anak Anda menunjukkan perilaku kebingungan sehingga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan membuat keputusan? 7. Apakah anak Anda menunjukkan perubahan pola tidur? (seperti sulit tidur sepanjang waktu, terjaga sepanjang hari, sering terbangun di waktu tidur malam karena mimpi buruk, mengigau) 8. Apakah anak Anda mengalami perubahan pola makan? (seperti kehilangan nafsu makan, makan berlebihan atau tidak mau makan sama sekali) 9. Apakah anak Anda sering kali mengeluh sakit kepala, sakit perut atau keluhan fisik lainnya? 10. Apakah anak Anda sering kali mengeluh putus asa atau berkeinginan untuk mengakhiri hidupnya? 11. Apakah anak Anda menunjukkan kemunduran perilaku atau kemampuan yang sudah dimilikinya? (seperti mengompol kembali, menghisap jempol, atau tidak mau berpisah dengan orangtua/pengasuhnya) 12. Apakah anak Anda melakukan perbuatan yang berulang-ulang tanpa alasan yang jelas? 3.
1.4 Ceklis deteksi dini autis (checklist for autism in toddlers/ CHAT) Tujuan Untuk mendeteksi secara dini autis pada usia 18–36 bl
1074
Waktu Pemeriksaan dilakukan bila ada keluhan dari ibu/pengasuh atau ada kecurigaan tenaga kesehatan, kader kesehatan, BKB, petugas PADU, pengelola TPA dan guru TK, karena terdapat ≥1 keadaan di bawah ini: Keterlambatan berbicara Gangguan komunikasi/interaksi sosial Perilaku yang berulang-ulang Cara melakukan Ceklis CHAT ada 2 jenis, yaitu: 1. Sembilan pertanyaan yang dijawab oleh ibu/pengasuh anak Pertanyaan diajukan secara berurutan, satu per satu. Jelaskan kepada orangtua untuk tidak ragu-ragu atau takut menjawab 2. Lima perintah bagi anak, untuk melaksanakan tugas seperti yang tertulis dalam CHAT 3. Catat jawaban orangtua dan hasil pengamatan kemampuan anak ketika melaksanakan tugas, dengan jawaban “Ya”/”Tidak” 4. Teliti kembali apakah semua pertanyaan sudah dijawab Interpretasi 1. Risiko tinggi menderita autis bila jawaban “Tidak” pada pertanyaan A5, A7, B2, B3, dan B4 2. Risiko rendah menderita autis bila jawaban ”Tidak” pada pertanyaan A7 dan B4 3. Kemungkinan gangguan perkembangan lain bila jawaban ”Tidak” jumlahnya ≥3 untuk pertanyaan A1–A4; A6; A8– A9; B1; B5 4. Anak dalam batas normal bila tidak termasuk dalam kategori 1, 2, dan 3 Tabel 262 Ceklis Deteksi Dini Autis (Checklist for Autism in Toddlers/CHAT) untuk Anak Usia 18–36 Bulan A. Alo Anamnesis Ya Tidak 1. Apakah anak senang diayun-ayun atau diguncangguncang naik turun (bounched) di paha anda? 2. Apakah anak tertarik (memperhatikan) anak lain? 3. Apakah anak suka memanjat-manjat benda seperti memanjat tangga? 4. Apakah anak suka bermain ”ciluk ba”, ”petak umpet”? 5. Apakah anak pernah bermain seolah-olah membuat secangkir teh menggunakan mainan berbentuk cangkir dan teko, atau permainan lain? 6. Apakah anak pernah menunjuk atau meminta sesuatu dengan menunjukkan jari? 1075
7. Apakah anak pernah menggunakan jari untuk menunjuk ke sesuatu agar anda melihat ke sana? 8. Apakah anak dapat bermain dengan mainan yang kecil (mobil atau kubus)? 9. Apakah anak pernah memberikan suatu benda untuk menunjukkan sesuatu? B. Pengamatan 1. Selama pemeriksaan apakah anak menatap (kontak mata) dengan pemeriksa? 2. Usahakan menarik perhatian anak, kemudian pemeriksa menunjuk sesuatu di ruangan pemeriksaan sambil mengatakan: ” Lihat itu ada bola (atau mainan lain)”! Perhatikan mata anak, apakah ia melihat ke benda yang ditunjuk, bukan melihat tangan pemeriksa? 3. Usahakan menarik perhatian anak, berikan mainan gelas/cangkir dan teko. Katakan pada anak: ”Buatkan secangkir susu buat mama”! 4. Tanyakan pada anak: ”Tunjukkan mana gelas”! (gelas dapat diganti dengan nama benda lain yang dikenal anak dan ada disekitar kita). Apakah anak menunjukkan benda tersebut dengan jarinya? Atau sambil menatap wajah Anda ketika menunjuk ke suatu benda? 5. Dapatkah anak Anda menumpuk kubus/balok menjadi suatu menara?
Ya
Tidak
Sumber: American Academy or Pediatrics. Pediatrics. 2001;107
1.5 Kuesioner deteksi dini gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) Tujuan Mendeteksi secara dini anak dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif (GPPH) pada anak usia ≥3 th oleh tenaga kesehatan Waktu Pemeriksaan dilakukan bila ada keluhan dari ibu/pengasuh atau ada kecurigaan tenaga kesehatan, kader kesehatan, BKB, petugas PADU, pengelola TPA dan guru TK, karena anak tidak bisa duduk tenang, selalu bergerak Cara melakukan 1. Kuesioner terdiri atas 10 pertanyaan yang ditanyakan kepada ibu/pengasuh anak/guru dan diamati oleh pemeriksa 2. Pertanyaan atau pengamatan dilakukan secara berurutan, satu per satu. Jelaskan kepada orangtua untuk tidak raguragu atau takut menjawab 1076
3. Keadaan yang ditanyakan atau diamati terdapat di mana saja (di rumah, sekolah, pasar, toko, dll.); kapan saja, dengan siapa saja 4. Catat jawaban dan hasil pengamatan perilaku anak selama dilakukan pemeriksaan 5. Jawaban dicatat dan diberi nilai sebagai berikut: Tidak pernah, nilai 0 Kadang-kadang, nilai 1 Sering, nilai 2 Selalu, nilai 3 6. Teliti kembali apakah semua pertanyaan sudah dijawab Interpretasi Anak kemungkinan dengan GPPH bila jumlah nilai total ≥13 Tabel 263 Formulir Deteksi Dini Anak Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (Abbreviated Conners Ratting Scale) Kegiatan yang diamati 1. Tidak kenal lelah, atau aktivitas yang berlebihan 2. Mudah menjadi gembira, impulsif 3. Mengganggu anak-anak lain 4. Gagal menyelesaikan kegiatan yang sudah dimulai, rentang perhatian pendek 5. Menggerak-gerakkan anggota badan atau kepala secara terus-menerus 6. Kurang perhatian, mudah teralihkan 7. Permintaannya harus segera dipenuhi, mudah menjadi frustrasi 8. Sering dan mudah menangis 9. Suasana hatinya mudah berubah dengan cepat dan drastis 10. Ledakkan kekesalan, tingkah laku eksplosif dan tak terduga
0 1 2 3
JUMLAH NILAI TOTAL: 2. Tahap Skrining 2.1 Denver developmental screening test II (DDST II) Deteksi dini penyimpangan perkembangan anak usia <6 th, berisi 125 gugus tugas yang disusun dalam formulir menjadi 4 sektor untuk menjaring fungsi berikut: 1. Personal social (sosial personal) Penyesuaian diri dengan masyarakat dan perhatian terhadap kebutuhan perorangan 1077
2. Fine motor adaptive (motor halus adaptif) Koordinasi mata tangan, memainkan, menggunakan benda-benda kecil 3. Language (bahasa) Mendengar, mengerti dan menggunakan bahasa 4. Gross motor (motor kasar) Duduk, jalan, melompat dan gerakan umum otot besar Bahan yang diperlukan Benang Kismis Kerincingan dengan gagang yang kecil Balok-balok berwarna luas 10 inci Botol kaca kecil dengan lubang ⅝ inci Bel kecil Bola tenis Pensil merah Boneka kecil dengan botol susu Cangkir plastik dengan gagang/pegangan Kertas-kertas kosong Pencatatan hasil 1. Koreksi faktor prematuritas Tarik garis usia dari garis atas ke datar dan cantumkan tanggal pemeriksaan pada ujung atas garis usia 2. Semua uji coba dilakukan untuk tiap sektor dimulai dengan uji coba yang terletak di sebelah kiri garis usia, kemudian dilanjutkan sampai ke kanan garis usia 3. Pada tiap sektor dilakukan min. 3 uji coba yang paling dekat di sebelah kiri garis usia serta tiap uji coba yang ditembus garis usia 4. Bila anak tidak mampu melakukan salah satu uji coba pada langkah 3 (“gagal”; “menolak”; “tidak ada kesempatan”) → lakukan uji coba tambahan ke sebelah kiri pada sektor yang sama sampai anak dapat “lewat” 3 uji coba Skor Penilaian Skor dari tiap uji coba ditulis pada kotak segi empat Uji coba dekat tanda garis 50% P: pass/lewat. Anak melakukan uji coba dengan baik, atau ibu/pengasuh anak memberi laporan (tepat/ dapat dipercaya bahwa anak dapat melakukannya) F: fail/gagal. Anak tidak dapat melakukan uji coba dengan baik atau ibu/pengasuh anak memberi laporan (tepat) bahwa anak tidak dapat melakukannya dengan baik No: no opportunity/tidak ada kesempatan. Anak tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan uji coba karena ada hambatan. Skor ini hanya boleh dipakai pada uji coba dengan tanda R 1078
R: refusal/menolak. Anak menolak untuk melakukan uji coba. Penolakan dapat dikurangi dengan mengatakan kepada anak “apa yang harus dilakukan”, jika tidak menanyakan kepada anak apakah dapat melakukannya (uji coba yang dilaporkan oleh ibu/ pengasuh anak tidak diskor sebagai penolakan) Interpretasi penilaian individual 1. Lebih (advanced) Bilamana seorang anak lewat pada uji coba yang terletak di kanan garis usia, dinyatakan perkembangan anak lebih pada uji coba tsb. 2. Normal Bila seorang anak gagal atau menolak melakukan uji coba di sebelah kanan garis usia 3. Caution/peringatan Bila seorang anak gagal atau menolak uji coba, garis usia terletak pada atau antara persentil 75 dan 90 skornya 4. Delayed/keterlambatan Bila seorang anak gagal atau menolak melakukan uji coba yang terletak lengkap di sebelah kiri garis usia 5. Opportunity/tidak ada kesempatan ujicoba yang dilaporkan orang tua Interprestasi DDST II Normal Bila tidak ada keterlambatan dan atau paling banyak satu caution Lakukan ulangan pada kontrol berikutnya Suspek Bila didapatkan ≥2 caution dan atau ≥1 keterlambatan Lakukan uji ulang dalam 1–2 mgg untuk menghilangkan faktor sesaat seperti rasa takut, keadaan sakit atau kelelahan Tidak dapat diuji Bila ada skor menolak pada ≥1 uji coba terletak di sebelah kiri garis usia atau menolak pada >1 uji coba yang ditembus garis usia pada daerah 75–90% Uji ulang dalam 1–2 mgg Bila ulangan hasil uji coba didapatkan suspek atau tidak dapat diuji, maka dipikirkan untuk dirujuk (referal consideration) 2.2 Bayley infant neurodevelopmental screener (BINS) Untuk mengidentifikasi bayi berusia 3–24 bl yang mengalami keterlambatan tumbuh kembang atau mengalami gangguan neurologis Aspek perkembangan yang diuji oleh BINS meliputi: 1) fungsi neurologis dasar → mengukur kelengkapan perkembangan 1079
SSP; 2) fungsi penerimaan (reseptif); 3) fungsi ekspresif; dan 4) fungsi pengertian (kognitif) Dalam format pencatatan, hasil skor total bayi disesuaikan dengan distribusi skor yang disesuaikan dengan usia kronologis bayi. Setiap usia memiliki titik potong yang terbagi dalam 3 klasifikasi yang mengindikasikan besarnya risiko untuk terjadi keterlambatan dalam perkembangan atau gangguan neurologis, yaitu: 1) risiko rendah; 2) risiko sedang; dan 3) risiko tinggi. Tindak lanjut dari hasil penilaian BINS sebagai berikut: Resiko rendah Dianggap memiliki risiko min. atau tidak memiliki risiko terjadi hambatan perkembangan. Walaupun demikian, tetap harus diingat terdapat variabel yang tidak dapat diukur oleh BINS namun dapat memengaruhi perkembangan, misalnya faktor lingkungan Resiko sedang Direkomendasikan uji BINS sekitar 3 bl yang akan datang. Selama itu, orangtua diberi petunjuk untuk memberikan stimulasi sebagai latihan perkembangan anak. Bila dari pemeriksaan selanjutnya didapatkan keterlambatan, maka harus dilakukan pemeriksaan lain untuk mendiagnosis penyebab keterlambatan perkembangan Resiko tinggi Dibutuhkan uji diagnostik lebih lanjut
1080
1081
1082
1083
1084
1085
Diagnostik Perkembangan Merupakan tindak lanjut dari skrining Tujuannya untuk menentukan secara tepat tingkat perkembangan anak dan penyebab terjadinya gangguan tersebut Pemeriksaaan meliputi anamnesis/riwayat penyakit, pemeriksaan fisis umum, penglihatan, pendengaran, neurologik, gangguan metabolik/genetik, gangguan bicara/bahasa, serta gangguan fungsi perkembangan intelektual/kecerdasan Integrasi dari hasil penemuan tersebut kemudian ditetapkan untuk penatalaksanaan, konsultasi dan prognosisnya 1086
PENAPISAN GANGGUAN PERTUMBUHAN LINIER Penilaian indikator pertumbuhan berdasarkan: Tinggi/usia (T/U) Berat/tinggi (B/T) dan atau Indeks massa tubuh/usia (IMT/U)
Gambar 85 Dugaan Perawakan Pendek (T/U <−2 SD) Sumber: Vogiatzi dan Copeland 1998
Lengkapi Anamnesis Riwayat keluarga (perawakan pendek, kelainan pubertas, kelainan kongenital) Kapan mulai tampak pendek Riwayat perinatal Mulai pubertas Riwayat konsumsi makan dan obat-obatan Riwayat menderita sakit Lengkapi Pemeriksaan Fisis Pemeriksaan sistem tubuh Gambaran dismorfik Pemeriksaan neurologis Pemeriksaan lapang pandang dan funduskopi Kelenjar tiroid Auskultasi 1087
Analisis Kurva Pertumbuhan Reliabilitas pengukuran Tinggi badan absolut Kecepatan pertumbuhan Rasio berat badan terhadap tinggi badan Periksa Usia Tulang Metode Greulich dan Pyle: menilai maturasi epifise tangan dan pergelangan tangan Periksa darah lengkap atas indikasi Untuk menilai keseimbangan elektrolit, fungsi hematologi, hati dan ginjal Periksa hormonal atas indikasi Pemeriksaan fungsi tiroid Kadar T4 dan TSH: untuk skrining hipotiroidisme Pemeriksaan kadar IGF-1 dan IGFBP-3 Pemeriksaan GH provokatif untuk menilai secara langsung kapasitas sekresi GH Pemeriksaan hormon gonadotropin (FSH dan LH)
TIM TUMBUH KEMBANG FK UNPAD/RSHS BANDUNG Untuk meningkatkan pelayanan tumbuh kembang anak di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung sudah dibentuk Tim Tumbuh Kembang FKUP/RSHS Bandung yang beranggotakan berbagai disiplin ilmu yang ada di lingkungan FKUP/RSHS
Tujuan 1. Mengelola anak yang menderita gangguan tumbuh kembang secara terpadu 2. Menerima konsultasi masalah tumbuh kembang anak 3. Membuka jalinan komunikasi diantara disiplin ilmu yang terkait
Gambar 86 Bagan Tim Tumbuh Kembang FK Unpad/RSHS Bandung 1088
BEBERAPA GANGGUAN PERKEMBANGAN YANG SERING TERJADI Masalah perkembangan yang spesifik Temper tantrum Berbohong Mencuri Gangguan makanan Penolakan makan Pika Anoreksia nervosa Bulimia Gangguan tidur Gangguan tidur teror Tidur berjalan Gangguan proses eliminasi Enuresis Enkoporesis Gangguan perkembangan spesifik Gangguan ketrampilan akademis (berhitung, menulis, membaca, bicara)
ENURESIS Batasan Keadaan anak buang air kecil di celana yang terjadi di luar kemauannya tanpa kelainan organik pada usia anak diharapkan sudah dapat mengontrolnya (4 th)
Etiologi Trauma psikologis
Diagnosis Pengeluaran urin pada pakaian atau tempat tidur, tidak sengaja, dan berulang siang maupun malam hari Frekuensi min. 2×/mgg dalam waktu 3 bl berturut-turut Usia kronologis min. 5 th Tidak disebabkan oleh kelainan organik
Tatalaksana Memberi hadiah bila tidak ngompol Membersihkan sprei dan baju yang dikotorinya Membatasi pemberian cairan sebelum tidur Sebelum tidur anak harus buang air kecil Membangunkan anak tengah malam untuk buang air kecil Melatih anak untuk mengendalikan retensi Menggunakan alat khusus (alarm) 1089
Medikamentosa: imipramin (naframil): 25 mg/24 jam sebelum waktu tidur Psikologi
ENKOPRESIS Batasan Pengeluaran feses pada tempat yang tidak semestinya yang terjadi pada usia anak yang diharapkan sudah dapat mengontrolnya
Manifestasi Klinis Manifestasi klinis bergantung pada kelainan yang mendasari keadaan enkopresis ini. Pada kebanyakan kasus terdapat kelainan fungsi sfingter ani. Mungkin akan ditemukan tanda-tanda retensi fekal. Enkopresis primer biasanya berhubungan dengan global developmental delay dan enuresis
Terapi Psikoterapi Bio feedback training
PEMBERIAN MAKANAN BAYI Tabel 264 Usia (bl) 0–6 6–7 7–8
8–9
9–12
12–24
Jadwal Pemberian Makanan Bayi Jenis Makanan Jumlah Pemberian ASI Sesuka bayi ASI Sesuka bayi Buah-buahan 1–2 kali Bubur susu 1–2 kali ASI Sesuka bayi Buah-buahan 2 kali Bubur susu 2 kali Bubur saring 1 kali ASI Sesuka bayi Buah-buahan 2 kali Bubur nasi 1 kali 2 kali ASI Sesuka bayi Buah-buahan 2 kali Bubur nasi 3 kali Nasi tim ASI Makanan sesuai pola makanan keluarga 1090
Keterangan Waktu pemberian sesuai dengan jam makan keluarga s.d.a. s.d.a. s.d.a. s.d.a. s.d.a. s.d.a. s.d.a. s.d.a.
IMUNISASI Jadwal Imunisasi Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2013 Imunisasi Rutin a. Imunisasi dasar Tabel 265 Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar Usia (Bulan)
Jenis
0 1 2 3 4 9
Hepatitis B0 BCG, Polio 1 DPT-HB-Hib 1, Polio 2 DPT-HB-Hib 2, Polio 3 DPT-HB-Hib 3, Polio 4 Campak
Catatan: Bayi lahir di Institusi Rumah Sakit, Klinik, dan Bidan Praktik Swasta, imunisasi BCG dan Polio 1 diberikan sebelum dipulangkan Bayi yang sudah mendapatkan imunisasi dasar DPT-HB-Hib 1, DPT-HB-Hib 2, dan DPT-HB-Hib 3, dinyatakan mempunyai status imunisasi T2 b. Imunisasi lanjutan Imunisasi lanjutan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk melengkapi imunisasi dasar pada bayi yang diberikan kepada anak batita, anak usia sekolah, dan wanita usia subur (WUS) termasuk ibu hamil Imunisasi lanjutan pada WUS salah satunya dilaksanakan pada waktu melakukan pelayanan antenatal Tabel 266 Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Anak Bawah Tiga Tahun Usia (Bulan)
Jenis
18 24
DPT-HB-Hib Campak
Tabel 267 Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Anak Usia Sekolah Dasar Sasaran
Imunisasi
Waktu Pelaksanaan
Kelas 1 SD
Campak DT Td Td
Agustus November November November
Kelas 2 SD Kelas 3 SD
1091
Catatan: Batita yang sudah mendapatkan imunisasi lanjutan DPT-HBHib dinyatakan mempunyai status imunisasi T3 Anak usia sekolah dasar yang sudah mendapatkan imunisasi DT dan Td dinyatakan mempunyai status imunisasi T4 dan T5 Tabel 268 Imunisasi Lanjutan pada Wanita Usia Subur (WUS) Status Imunisasi
Interval Minimal Pemberian
Masa Perlindungan
T1 T2 T3 T4 T5
− 4 mgg sesudah T1 4 bl sesudah T2 1 th sesudah T3 1 th sesudah T4
− 3 th 5 th 10 th >25 th
Catatan: Sebelum imunisasi, dilakukan penentuan status imunisasi T (screening) terlebih dahulu, terutama pada saat pelayanan antenatal Pemberian imunisasi TT tidak perlu diberikan, apabila pemberian imunisasi TT sudah lengkap (status T5) yang harus dibuktikan dengan Buku Kesehatan Ibu dan Anak, rekam medis, dan atau kohort Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia Tahun 2014 Jadwal imunisasi anak usia 0–18 tahun rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2014 dapat dilihat pada Gambar 87 berikut ini
1092
1093 Gambar 87 Jadwal Imunisasi Anak Usia 0–18 18 Tahun Rekomendasi IDAI Tahun 2014
Keterangan: Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januari 2014 Vaksin Hepatitis B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam sesudah lahir dan didahului pemberian injeksi vitamin K1. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin hepatitis B dan imunoglobulin hepatitis B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Vaksinasi hepatitis B selanjutnya dapat menggunakan vaksin hepatitis B monovalen atau vaksin kombinasi Vaksin Polio. Pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral (OPV-0). Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster dapat diberikan vaksin OPV atau IPV, namun sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bl, optimal usia 2 bl. Apabila diberikan sesudah usia 3 bl, perlu dilakukan uji tuberkulin Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 mgg. Dapat diberikan vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak usia lebih dari 7 th DTP yang diberikan harus vaksin Td, di-booster setiap 10 th Vaksin Campak. Campak diberikan pada usia 9 bl, 2 th, dan pada SD kelas 1 (program BIAS) Vaksin Pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7–12 bl, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bl; pada usia lebih dari 1 th diberikan 1 kali. Keduanya perlu dosis ulangan 1 kali pada usia lebih dari 12 bl atau minimal 2 bl sesudah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali Vaksin Rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan usia 6–14 mgg, dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 mgg. Sebaiknya vaksin rotavirus monovalen selesai diberikan sebelum usia 16 mgg dan tidak melampaui usia 24 mgg. Vaksin rotavirus pentavalen: dosis ke-1 diberikan usia 6–14 mgg, interval dosis ke-2 dan ke-3 4–10 mgg, dosis ke-3 diberikan pada usia kurang dari 32 mgg (interval minimal 4 mgg) Vaksin Varisela. Vaksin varisela dapat diberikan sesudah usia 12 bl, namun terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar. Bila diberikan pada usia lebih dari 12 th, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 mgg Vaksin Influenza. Vaksin influenza diberikan pada usia minimal 6 bl, diulang setiap tahun. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunization) pada anak usia kurang dari 9 th diberi dua kali dengan interval minimal 4 mgg. Untuk anak 6–<36 bl, dosis 0,25 mL Vaksin Human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat diberikan mulai usia 10 th. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 1, 6 bl; vaksin HPV tetravalen dengan interval 0, 2, 6 bl
1094
Tabel 269 Imunisasi Hepatitis B untuk Anak yang Sudah Terpapar Penderita Hepatitis B HBIG Keterangan Jumlah
Vaksin Keterangan
Sumber Penularan
Dosis
Perinatal
0,5 mL i.m.
Dalam 12 jam
3×
Dalam 7 hr, 1 dan 6 bl
Kontak dengan penderita (ibu, ayah, dll.)
0,5 mL i.m.
Segera
3× 3×
0,1 dan 6 bl Periksa darah, kemudian imunisasi sda
Tabel 270 Jadwal Imunisasi Bila Imunisasi Terlambat Kunjungan Kunjungan pertama
1 bl kemudian 2 bl kemudian 4 bl kemudian 5 bl kemudian 8–14 bl kemudian 10–16 bl kemudian Booster
Usia <7 th BCG (PPD-)
Usia ≥7 th BCG (PPD-)
DTP HB I POLIO I Campak atau MMR DTP II POLIO II HB II DTP III POLIO III POLIO IV
Td I HB I POLIO I Campak atau MMR Td II POLIO II HB II
HB III
Td III POLIO III HB III
DTP ulang POLIO ulang Td tiap 10 th
Keterangan Dosis 0,05 mL (≤1 th), 0,1 mL (>1 th ), i.k. Dosis 0,5 mL, i.m. Dosis 2 tetes, p.o. Dosis sesuai pabrik Dosis 0,5 ml, s.k. s.d.a. s.d.a. s.d.a. s.d.a. s.d.a.
Td tiap 10 th
s.d.a.
Keterangan: Vaksin polio oral tidak diberikan pada anak ≥18 th. Jika kemungkinan terjadi kontak → gunakan vaksin polio inaktif (IPV)
1095
Tabel 271 Program Imunisasi di UKS Kunjungan Imunisasi Keterangan Kelas I DT 2× dengan interval 1 bl, bila belum mendapat imunisasi dasar DPT 1× bila sudah mendapat imunisasi dasar, dosis 0,5 mL i.m. Kelas VI TT s.d.a. Dosis 0,5 mL i.m. wanita Kontraindikasi Imunisasi Sakit sedang sampai berat dengan atau tanpa demam merupa-kan kontraindikasi imunisasi DTP Penderita imunodefisiensi dan imunosupresif merupakan kontraindikasi, kecuali dalam keadaan tertentu (lihat hal-hal khusus) Pemakaian kortikosteroid topikal jangka lama dan anak sehat yang diobati dengan kortikosteroid dosis biasa selama >2 mgg atau dosis tinggi (dosis >2 mg/kgBB atau 20 mg/hr) merupakan kontraindikasi pemberian vaksin virus hidup Keadaan yang Bukan Merupakan Kontraindikasi Sakit akut yang ringan dengan atau tanpa panas atau mencret yang ringan Baru mendapat antibiotik atau pada fase konvalesens Terjadi reaksi pada suntikan DTP sebelumnya yang berupa rasa sakit, kemerahan atau pembengkakan pada tempat suntikan atau panas tinggi Prematuritas (pemberian imunisasi pada bayi prematur sama seperti pada bayi normal) Baru terpapar infeksi Satu-satunya virus vaksin yang dapat diisolasi dari ASI adalah virus vaksin rubela, tetapi terbukti tidak berbahaya buat bayi Riwayat alergi yang tidak spesifik Alergi penisilin atau antibiotik lainnya kecuali reaksi anafilaktik terhadap neomisin dan streptomisin Alergi daging bebek Riwayat kejang dalam keluarga terutama untuk vaksin pertusis Riwayat sudden infant death di keluarga, misalnya untuk vaksin DTP Riwayat kejadian efek samping di keluarga sesudah imunisasi Malnutrisi Imunisasi pada Keadaan Khusus Penderita HIV Pemberian vaksin OPV, campak, MMR, dan BCG merupakan kontraindikasi Pemberian vaksin DTP, influenza, H. influenzae, IPV, dan pneumokokus dapat diberikan Vaksin morbili usia 12–15 bl bisa diberikan jika: Risiko terpapar tinggi Terjadi kejadian luar biasa 1096
Di daerah insidensi TBC tinggi, WHO merekomendasikan pemberian BCG pada kasus HIV asimtomatik Kontak serumah dengan penderita klinis HIV tidak boleh mendapat OPV, dianjurkan IPV Anak tanpa manifestasi HIV, boleh diberikan imunisasi rutin Bayi prematur Diberikan imunisasi sesuai usia kronologis Dosis tidak perlu dikurangi
1097
REMAJA Batasan World Health Organization (WHO) mendefinisikan remaja sebagai suatu periode kehidupan usia 10–19 tahun, yang sedang mengalami perubahan karakteristik fisik, sosial, dan emosi yang signifikan
Gambaran Umum Di Indonesia, kelompok remaja, yaitu penduduk dalam rentang usia 10–19 tahun, memiliki proporsi kurang lebih ⅕ dari jumlah seluruh penduduk. Hal ini sesuai dengan proporsi remaja di dunia yaitu jumlah remaja diperkirakan 1,2 miliar atau sekitar ⅕ dari jumlah penduduk dunia Tahap Perkembangan Remaja Masa remaja awal/dini (early adolescent): usia 10–13 tahun Peningkatan cepat pertumbuhan dan pematangan fisik Masa puber, hubungan dengan teman, pemikiran konkret Memerhatikan tahapan fisik dan seksual Rasa tanggung jawab, interaksi verbal dan visual Masa remaja tengah (middle adolescent): usia 14–16 tahun Hampir lengkap pertumbuhan pubertasnya, muncul dorongan seks Berpikir abstrak Timbul keterampilan berpikir yang baru, peningkatan pengenalan terhadap kedatangan masa dewasa, serta keinginan untuk memapankan jarak emosional dan psikologis dengan orangtua Menarik lawan jenis, kebebasan bertambah Masa remaja lanjut (late adolescent): usia 17–19 tahun Kematangan fisik, saling berbagi rasa, idealis Persiapan untuk peran orang dewasa, termasuk klarifikasi tujuan pekerjaan dan internalisasi suatu sistem nilai pribadi Hubungan individual lebih terbuka Memahami tanggung jawab, tujuan hidup, dan kesehatan
Permasalahan Remaja Di negara berkembang permasalahan kesehatan remaja yang menonjol menurut WHO adalah: Kesehatan mental dan emosional Rokok Minum minuman beralkohol Penyalahgunaan obat-obatan terlarang Kesehatan reproduksi
1098
1099
Alat Skrining Permasalahan pada Remaja Teknik wawancara HEEADSSS HEEADSSS merupakan akronim yang digunakan untuk memudahkan petugas kesehatan mengingat hal-hal penting yang perlu dieksplorasi saat melakukan wawancara. Teknik ini membuat wawancara menjadi mudah dan teratur dalam mendeteksi perilaku berisiko pada remaja Berikut akronim dari HEEADSSS: H Home: rumah atau keluarga E Education/employment: sekolah atau pekerjaan E Eating: masalah makan atau berat badan A Activities: aktifitas dalam dan luar rumah, termasuk hobi D Drugs: obat-obatan termasuk NAPZA dan alkohol S Sexuality : Seksualitas dan perilaku seksual S Suicide/depression: depresi dan bunuh diri S Safety: Keamanan lingkungan Akronim ini perlu diingat, agar saat melakukan wawancara, tidak perlu selalu melihat kertas catatan Jika saat wawancara terdeteksi terdapat risiko, maka jawaban yang diberikan remaja perlu ditelusuri lebih lanjut, dengan menggunakan kalimat tanya terbuka, “mengapa....“ atau “ceritakan lebih lanjut mengenai hal itu” Tabel 272 Checklist Wawancara HEEADSSS No.
Kegiatan
1 2 3 4
Perkenalan dengan remaja Menjamin kerahasiaan Wawancara ‘Home’ Wawancara ‘Education/ Employment’ Wawancara ‘Eating’ Wawancara ‘Activities’ Wawancara ‘Drugs’ Wawancara ‘Sexuality’ Wawancara ‘Suicide/ Depression’ Wawancara ‘Safety’ Mencari faktor-faktor positif yang ada pada remaja Menanyakan adakah masalah lain yang ingin dikemukakan Bersikap empati Mendiskusikan hasil wawancara dengan remaja
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Tidak Dilakukan
1100
Dilakukan Cukup Tidak Sesuai Cukup
Komentar
The strengths and difficulties questionnaire (SDQ)/kuesioner kekuatan dan kesulitan Dapat digunakan untuk anak dan remaja hingga usia 17 th Terdiri atas 25 pertanyaan Digunakan untuk mendeteksi masalah psikososial pada anak hingga remaja Penggunaan cukup singkat, sekitar 10 mnt Sensitivitas dan spesifisitas 63–94% dan 88–98% Dapat diisi oleh orangtua sendiri atau dengan bimbingan Digunakan untuk mengukur perubahan perilaku dan pemantauan terapi Bagian pertama terdiri atas 20 pertanyaan, bagian kedua 120 pertanyaan mengenai masalah perilaku atau emosi 6 bl terakhir
Tabel 273 Kuesioner Kekuatan dan Kesulitan pada Anak (Usia 11–17 Tahun) Untuk setiap pernyataan, beri tanda √ pada kotak Tidak Benar, Agak Benar, atau Benar. Akan sangat membantu kami apabila kamu mau menjawab semua pernyataan sebaik mungkin meskipun kamu tidak yakin benar. Berikan jawabanmu menurut bagaimana segala sesuatu telah terjadi pada dirimu selama enam bulan terakhir. Nama : .................................................... Laki-laki/Perempuan Tanggal lahir/usia : .................................................... (…… tahun) Tanggal : ………………………………… No.
Skor Skor Tidak Agak Benar Anak Benar Benar
Pertanyaan
1 Saya berusaha bersikap baik kepada orang lain. Saya peduli dengan perasaan mereka 2 Saya gelisah, saya tidak dapat diam untuk waktu lama 3 Saya sering sakit kepala, sakit perut, atau macam-macam sakit lainnya 4 Kalau saya memiliki mainan, CD, atau makanan, saya biasanya berbagi dengan orang lain 5 Saya menjadi sangat marah dan sering tidak dapat mengendalikan kemarahan saya 6 Saya lebih suka sendirian daripada bersama dengan orang-orang yang seusia saya 7 Saya biasanya melakukan apa yang diperintahkan orang lain 8 Saya banyak merasa cemas atau khawatir terhadap apa pun 9 Saya selalu siap menolong jika ada orang yang terluka, kecewa, atau merasa sakit 10 Bila sedang gelisah atau cemas, badan saya sering bergerak-gerak tanpa saya sadari
1101
11 Saya mempunyai satu orang teman baik atau lebih 12 Saya sering bertengkar dengan orang lain. Saya dapat memaksa orang lain melakukan apa yang saya inginkan 13 Saya sering merasa tidak bahagia, sedih, atau menangis 14 Orang lain seusia saya pada umumnya menyukai saya 15 Perhatian saya mudah teralihkan, saya sulit memusatkan perhatian pada apa pun 16 Saya merasa gugup dalam situasi baru, saya mudah kehilangan rasa percaya diri 17 Saya bersikap baik terhadap anak-anak yang lebih muda dari saya 18 Saya sering dituduh berbohong atau berbuat curang 19 Saya sering diganggu atau dipermainkan oleh anak-anak atau remaja lainnya 20 Saya sering menawarkan diri untuk membantu orang lain (orang tua, guru, anak-anak) 21 Sebelum melakukan sesuatu saya berpikir dahulu tentang akibatnya 22 Saya mengambil barang yang bukan milik saya dari rumah, sekolah, atau dari mana saja 23 Saya lebih mudah berteman dengan orang dewasa daripada dengan orang-orang yang seusia saya 24 Banyak yang saya takuti, saya mudah menjadi takut 25 Saya menyelesaikan pekerjaan yang sedang saya lakukan. Saya mempunyai perhatian yang baik terhadap apa pun
Tabel 274 Panduan Pemberian Skor Kuesioner Kekuatan dan Kesulitan pada Anak (Usia 11–17 tahun) No.
Skor Skor Kode Tidak Agak Benar Anak Benar Benar
Pertanyaan
1 Saya berusaha bersikap baik kepada orang lain. Saya peduli dengan perasaan mereka 2 Saya gelisah, saya tidak dapat diam untuk waktu lama 3 Saya sering sakit kepala, sakit perut, atau macam-macam sakit lainnya 4 Kalau saya memiliki mainan, CD, atau makanan, saya biasanya berbagi dengan orang lain
1102
Pr -1
0
1
2
H-1
0
1
2
E-1
0
1
2
Pr-2
0
1
2
5 Saya menjadi sangat marah dan sering tidak dapat mengendalikan kemarahan saya 6 Saya lebih suka sendirian daripada bersama dengan orang-orang yang seusia saya 7 Saya biasanya melakukan apa yang diperintahkan oleh orang lain 8 Saya banyak merasa cemas atau khawatir terhadap apa pun 9 Saya selalu siap menolong jika ada orang yang terluka, kecewa, atau merasa sakit 10 Bila sedang gelisah atau cemas, badan saya sering bergerak-gerak tanpa saya sadari 11 Saya mempunyai satu orang teman baik atau lebih 12 Saya sering bertengkar dengan orang lain. Saya dapat memaksa orang lain melakukan apa yang saya inginkan 13 Saya sering merasa tidak bahagia, sedih, atau menangis 14 Orang lain seusia saya pada umumnya menyukai saya 15 Perhatian saya mudah teralihkan, saya sulit memusatkan perhatian pada apa pun 16 Saya merasa gugup dalam situasi baru, saya mudah kehilangan rasa percaya diri 17 Saya bersikap baik terhadap anak-anak yang lebih muda dari saya 18 Saya sering dituduh berbohong atau berbuat curang 19 Saya sering diganggu atau dipermainkan oleh anak-anak atau remaja lainnya 20 Saya sering menawarkan diri untuk membantu orang lain (orang tua, guru, anak-anak) 21 Sebelum melakukan sesuatu saya berpikir dahulu tentang akibatnya 22 Saya mengambil barang yang bukan milik saya dari rumah, sekolah, atau dari mana saja 23 Saya lebih mudah berteman dengan orang dewasa daripada dengan orangorang yang seusia saya 24 Banyak yang saya takuti, saya mudah menjadi takut 25 Saya menyelesaikan pekerjaan yang sedang saya lakukan. Saya mempunyai perhatian yang baik terhadap apa pun
1103
C-1
0
1
2
P-1
0
1
2
C-2
2
1
0
E-2
0
1
2
Pr-3
0
1
2
H-2
0
1
2
P-2
2
1
0
C-3
0
1
2
E-3
0
1
2
P-3
2
1
0
H-3
0
1
2
E-4
0
1
2
Pr-4
0
1
2
C-4
0
1
2
P-4
0
1
2
Pr-5
0
1
2
H-4
2
1
0
C-5
0
1
2
P-5
0
1
2
E-5
0
1
2
H-5
2
1
0
Tabel 275 Skor berdasarkan Aspek No.
Aspek
1 2 3 4
Gejala emosional (E) Masalah perilaku (C) Hiperaktivitas (H) Masalah teman sebaya (P) Prososial (Pr) Total kesulitan
5 6
Pertanyaan Nomor
Total
3+8+13+16+24= 5+7+12+18+22= 2+10+15+21+25= 6+11+14+19+23= 1+4+9+17+20= Jumlah semua skor gejala emosional+ masalah perilaku+hiperaktivitas+masalah teman sebaya (tanpa skor prososial)= Rentang skor total kesulitan: 0–40
Tabel 276 Interpretasi Skor (Kuesioner yang Diisi oleh Orangtua) Normal
Perbatasan
Tidak normal
0–13 0–3 0–2 0–5 0–2 6–10
14–16 4 3 6 3 5
17–40 5–10 4–10 7–10 4–10 0–4
Skor total kesulitan Skor gejala emosional Skor masalah perilaku Skor hiperaktivitas Skor masalah teman sebaya Skor prososial
Tabel 277 Interpretasi Skor (Kuesioner yang Diisi oleh Guru) Normal
Perbatasan
Tidak normal
0–11 0–4 0–2 0–5 0–3 6–10
12–15 5 3 6 4 5
16–40 6–10 4–10 7–10 5–10 0–4
Skor total kesulitan Skor gejala emosional Skor masalah perilaku Skor hiperaktivitas Skor masalah teman sebaya Skor prososial
Tabel 278 Interpretasi Skor (Kuesioner yang Diisi oleh Remaja) Normal
Perbatasan
Tidak normal
0–15 0–5 0–3 0–5 0–3 6–10
16–19 6 4 6 4–5 5
20–40 7–10 5–10 7–10 6–10 0–4
Skor total kesulitan Skor gejala emosional Skor masalah perilaku Skor hiperaktivitas Skor masalah teman sebaya Skor prososial
Hasil: Skor total kesulitan = Skor gejala emosional = Skor masalah perilaku = Skor masalah hiperaktivitas = Skor masalah teman sebaya= Skor prososial = Langkah selanjutnya:
1104
Pediatric symptom checklist (PSC) Alat skrining psikososial untuk mengenali ada masalah emosional dan perilaku, sehingga intervensi yang sesuai dapat dilakukan sedini-dininya Pertama kali dipublikasikan oleh Jellinek dkk. (1988) Skrining perilaku anak usia 4–16 th Berisi pertanyaan yang dinilai oleh orangtua, pengasuh, atau guru sekolah Untuk remaja usia lebih dari 11 th, kuesioner dapat diisi sendiri oleh remaja → PSC versi remaja (youth-PSC)
Cara melakukan pemeriksaan PSC-17 versi remaja PSC-17 versi remaja (Y-PSC-17) terdiri atas 17 pertanyaan seputar perilaku yang harus dijawab oleh remaja sesuai penilaian remaja terhadap dirinya sendiri Tujuh belas pertanyaan tersebut dikelompokkan menjadi 3 subskala perilaku sebagai berikut: Subskala internalisasi (5 pertanyaan) Subskala eksternalisasi (7 pertanyaan) Subskala perhatian (5 pertanyaan) Tiap pertanyaan dapat dijawab sebagai: Tidak pernah (nilai 0) Kadang-kadang (nilai 1) Selalu (nilai 2) Jumlahkan nilai masing-masing subskala perilaku tersebut Jumlahkan nilai dari ketiga subperilaku tersebut menjadi nilai total Gangguan perilaku dicurigai bila: Jumlah nilai internalisasi 5 atau lebih Jumlah nilai eksternalisasi 7 atau lebih Jumlah nilai perhatian 7 atau lebih ATAU Nilai total internalisasi+eksternalisasi+perhatian 15 atau lebih Pertanyaan yang tidak dijawab oleh remaja dapat diabaikan (diberi nilai 0). Demikian juga dengan pertanyaan yang dijawab dengan lebih dari 1 jawaban, diberi nilai 0. Jika terdapat ≥4 pertanyaan yang tidak dijawab, maka kuesioner dianggap invalid
1105
Tabel 279 Pediatric Symptom Checklist-17 Nama : ........................................................... Jenis kelamin : L/P Tanggal lahir : ..... / ..... / ....... Tanggal pemeriksaan : ..... / ..... / ....... Nama pemeriksa : ........................................................... Mohon diberi tanda (√) pada tempat ___ yang paling sesuai dengan kondisimu
1 2 3 4 5
1 2 3 4 5 6 7
1 2 3 4 5
Subskala Perilaku
Tidak Pernah
Kadangkadang
Sering
Internalisasi Merasa sedih, tidak bahagia Mudah putus asa Cemas, khawatir Menyalahkan diri sendiri Kurang gembira Nilai Internalisasi ______
___ ___ ___ ___ ___
___ ___ ___ ___ ___
___ ___ ___ ___ ___
___ ___ ___ ___ ___
___ ___ ___ ___ ___
___ ___ ___ ___ ___
___ ___
___ ___
___ ___
___ ___ ___ ___ ___
___ ___ ___ ___ ___
___ ___ ___ ___ ___
Eksternalisasi Berkelahi dengan remaja lain Tidak memperhatikan aturan Tidak mengerti perasaan teman Mengganggu teman Menyalahkan orang lain atas kesalahan sendiri Menolak berbagi Mengambil barang milik orang lain Nilai Eksternalisasi ______ Perhatian Gelisah, sulit untuk duduk diam Banyak melamun Mudah teralih perhatian Sulit konsentrasi Aktivitas seolah-olah dikendalikan oleh mesin Nilai Perhatian ______ Nilai Total _________
CRAFFT CRAFFT merupakan alat skrining kesehatan yang direkomendasikan oleh American Academy of Pediatrics’ Committee pada Substance Abuse untuk remaja: Dikembangkan dari modifikasi pertanyaan-pertanyaan alat skrining yang lebih panjang Mengombinasikan pertanyaan serupa Pengukuran validitas berulang untuk mengetahui pertanyaan terbaik dalam mengidentifikasi remaja yang yang memerlukan terapi substance abuse 1106
CRAFFT merupakan akronim dari beberapa pertanyaan, terdiri atas: C : Car R : Relax A : Alone F : Forget F : Friends T : Trouble
Gambar 88 The CRAFFT Screening Questions
1107
Bibliografi 1. 37 persen [diunduh 26 Oktober 2010]. Tersedia dari: http://www.suarapembaruan.com. 2. Cheng PS. Management of childhood short stature. HK Medical Diary. 2006 Oct;11(10):21–3. 3. Cohen P, Bright GM, Rogol AD, Kappelgaard AM, Rosenfeld RG. Effects of dose and gender on the growth and growth factor response to GH in GH-deficient children: implications for efficacy and safety. J Clin Endocrinol Metab. 2002 Jan;87(1):90–8. 4. Frasier SD. Short stature in children. Pediatr Rev. 1981 Dec;3(6); 171–9. 5. Grimberg A, Lifshitz F. Worrisome growth. Dalam: Lifshitz F, penyunting. Pediatric endocrinology. Edisi ke-5. New York: Informa Health Care; 2007. hlm. 1–50. 6. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jadwal imunisasi IDAI 2014 [diunduh 12 September 2014]. Tersedia dari: http://idai.or.id/pu blic-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-idai-2014.html. 7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta: Kemenkes RI; 2013. 8. Kim HJ, Song H, Shyam A, Heon SS, Unnikrishnan R, Song S. Skeletal age in idiopathic short stature: an analytical study by the TW3 method, Greulich and Pyle method. Indian J Orthop. 2010 Jul;44(3):322–6. 9. Narendra MB. Penilaian pertumbuhan dan perkembangan anak. Dalam: Narendra MB, Sularyo TS, Soetjiningsih, Suyitno H, Ranuh IGD, penyunting. Tumbuh kembang anak dan remaja. Jakarta: Sagung Seto; 2002. hlm. 95–111. 10. Rose SR, Vogiatzi MG, Copeland KC. A general pediatric approach to evaluating a short child. Pediatr Rev. 2005 Nov;26(11):410–20. 11. Rose SR. Isolated central hypothyroidism in short stature. Pediatr Res. 1995 Des;38(6):967–73. 12. The Association for Clinical Biochemistry, British Thyroid Association, British Thyroid Foundation. UK guidelines for the use of thyroid function tests [diunduh 02 Januari 2010]. Tersedia dari: http://www.acb.org.uk/docs/TFTguidelinefinal.pdf. 13. Vogiatzi MG, Copeland KC. The short child. Pediatr Rev. 1998 Mar;19(3):92–9. 14. WHO Multicentre Growth Reference Study Group. WHO child growth standards: length/height-for-age, weight-for-age, weightfor-length, weight-for-height and body mass index-for-age: methods and development. Geneva: World Health Organization; 2006. 15. World Health Organization. Training course on child growth assessment. Version 1-November 2006. Geneva: WHO; 2006. 16. World Health Organization. World health statistics 2009. Geneva: World Health Organization; 2009.
1108
Nilai Normal pada Anak Herry Garna Heda Melinda Nataprawira
Pemeriksaan Diatesis Hemoragik Rumple leede (torniquet test) Negatif <5 petekia/2,5 x 2,5 cm2 Waktu perdarahan: 2–5 detik Waktu pembekuan: 6–11 detik Recalfication time: <5 detik dari kontrol Protrombine consumpt time: >40 detik Sumber: Nelson textbook of pediatrics. 2011
Tabel 280 Nilai Normal Keseimbangan Asam-Basa Parameter pH (rentang) pO2 (mmHg) pCO2 (mmHg)
Saturasi O2 HCO3− (mEq/L) Basedifference (deficit/excess)
Arteri
Vena Campuran
Vena
7,40 (7,35–7,45) 80-100 Neonatus 27–40 Bayi 27–41 Setelah usia bayi L: 35–48 P: 32–45 >95% 21–28 Neonatus (−10)–(−2) Infant (−7)–(−1) Child (−4)–(−1) Setelahnya (−3)–(+3)
7,36 (7,31–7,41) 35–40 41–51
7,36 (7,31–7,41) 30–50 40–52
60–80% 22–26 (−2)–(+2)
60–85% 22–29 (−2)–(+2)
Sumber: Nelson textbook of pediatrics. 2011
Tabel 281 Nilai Normal Darah Rutin Usia
Hb (g/dL)
Ht (%)
Leukosit 3 (sel/mm )
MCH (pg)
MCV (fL)
0–30 hr 1–23 bl 2–9 th 10–17 th (laki-laki) 10–17 th (perempuan)
15,0–24,0 10,5–14,0 11,5–14,5 12,5–16,1
44–70 33–42 33–43 36–47
9.100–34.000 6.000–14.000 4.000–12.000 4.000–10.500
33–39 24–30 25–31 26–32
99–115 72–88 76–90 78–95
12,0–15,0
35–45
Sumber: Nelson textbook of pediatrics. 2011
1111
27–31
Tabel 282 Nilai C-Reactive Protein (CRP) berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin Usia
Nilai Rujukan Laki-laki (mg/L)
Nilai Rujukan Perempuan (mg/L)
0–90 hr 91 hr –12 bl 13 bl–3 th 4–10 th 11–14 th 15–18 th
0,8–15,8 0,8–11,2 0,8–11,2 0,6–7,9 0,8–7,6 0,4–7,9
0,9–15,8 0,5–7,9 0,8–7,9 0,5–10,0 0,6–8,1 0,6–7,9
Sumber: Nelson textbook of pediatrics. 2011
Nilai Normal Urin Kejernihan: jernih Warna: kuning muda Berat jenis: 1,015–1,02 pH: 5,0–7,3 Protein: − Bilirubin: −
Urobilin: ±/+ Gula: −/+ Endapan (pembesaran mikroskopik 400×) Leukosit: 0–5/LPB Eritrosit: 0–3/LPB Epitel: 0–1/LPB
Sumber: Nelson textbook of pediatrics. 2011
Tabel 283 Kriteria Napas Cepat WHO Usia ( bl )
Frekuensi/mnt
<2 2–12 12–60
≥60 ≥50 ≥40
Sumber: WHO guidelines on detecting pneumonia in children. Lancet. 1991
1112
Tabel 284 Nilai Normal Kecepatan Nadi berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin Usia
Batas Bawah Nilai Normal (×/mnt)
Rata-rata (×/mnt)
Batas Atas Nilai Normal (×/mnt)
Neonatus 1–11 bl 2 th 4 th 6 th 8 th 10 th
70 80 80 80 75 70 70
125 120 110 100 100 90 90
190 160 130 120 115 110 110
Usia
Lakilaki
Perempuan
Lakilaki
Perempuan
Lakilaki
Perempuan
12 th 14 th 16 th 18 th
65 60 55 50
70 65 60 55
85 80 75 70
90 85 80 75
105 100 95 90
110 105 100 95
Sumber: Nelson textbook of pediatrics. 2011
1113
Tabel 285 Tekanan Darah Anak Laki-laki berdasarkan Persentil Tinggi Badan
1114
Tabel 286 Tekanan Darah Anak Perempuan berdasarkan Persentil Tinggi Badan
1115
Tabel 287 Pertambahan BB dan TB Usia
Pertambahan Tinggi Badan (cm)
Pertambahan Berat Badan (g)
0–1 bl 1–2 bl 2–3 bl 3–4 bl 4–5 bl 5–6 bl 6–7 bl 7–8 bl 8–9 bl 9–10 bl 10–11 bl 11–12 bl 1–2 th 2–3 th 3–4 th 4–5 th
3,8–4,4 3,2–3,7 2,8–3,2 2,4–2,6 2,2–2,3 1,9–2,1 1,6 1,4–1,5 1,3 1,3 1,3 1,2–1,3 10,8–12,8 6,7–9,7 6,0–7,6 5,6–7,3
500–1.400 500–1.300 500–1.100 500–800 400–700 400–600 400–500 400–500 300–400 300–400 200–400 200–300 1.800–3.000 1.500–2.800 1.200–2.500 1.200–2.200
Sumber: Nelson textbook of pediatrics. 2011
Pertumbuhan Fase Infant Tahun pertama pertambahan TB kira-kira 1½ kali panjang lahir Tahun kedua (late infancy) pertambahan TB 10 cm Berat badan satu tahun pertama 3 kali BB lahir Pertumbuhan Fase Childhood Pertumbuhan berkisar 5–7 cm/th
1116
Kurva Lingkar Kepala
KURVA LINGKAR KEPALA
Keterangan: ukuran lingkar kepala digolongkan normal apabila berada di antara garis putus-putus (−2 SD sampai +2 SD) Sumber: Nellhouse. Pediatrics. 1968
1117
Grafik Pertumbuhan CDC
CDC Growth Chart
Panjang Badan/Usia, Persentil: Laki-laki, 0–36 bulan
1118
CDC Growth Chart
Tinggi Badan/Usia, Persentil: Laki-laki, 2–20 tahun
1119
CDC Growth Chart
Panjang Badan/Usia, Persentil: Perempuan, 0–36 bulan
1120
CDC growth chart
Tinggi Badan/Usia, Persentil: Perempuan, 2–10 tahun
1121
1122
1123
1124
1125
1126
1127
1128
1129
1130
1131
1132
1133
1134
1135
1136
1137
1138
1139
1140
1141
1142
1143
1144
1145
1146
1147
1148
Tabel 288 Interpretasi Indikator Pertumbuhan Z-score Di atas 3 Di atas 2 Di atas 1
1149
0 (median) Di bawah −1 Di bawah −2 Di bawah −3
TB/PB Menurut Usia
Indikator Pertumbuhan BB Menurut Usia BB/PB atau BB/TB
Lihat catatan 1 Lihat catatan 2
Pendek (stunted) Lihat catatan 4 Sangat pendek (severely stunted) Lihat catatan 4
BB kurang (underweight) BB sangat kurang (severely underweight)
BMI Menurut Usia
Sangat gemuk (obese) Gemuk (overweight) Kemungkinan risiko overweight (lihat catatan 3)
Sangat gemuk (obese) Gemuk (overweight) Kemungkinan risiko overweight (lihat catatan 3)
Kurus (wasted) Sangat kurus (severely wasted)
Kurus (wasted) Sangat kurus (severely wasted)
Catatan: 1. Seorang anak pada kisaran ini sangat tinggi. Anak yang tinggi jarang merupakan masalah, kecuali jika berlebihan dapat mengindikasikan terdapat masalah endokrin seperti tumor penghasil hormon pertumbuhan. Rujuk anak ini untuk pemeriksaan jika terdapat kecurigaan kelainan endokrin, misalnya jika kedua tinggi orangtua normal, sedangkan tinggi anak berlebih menurut usia 2. Seorang anak yang BB berdasarkan usia terletak pada rentang ini, mungkin memiliki masalah pertumbuhan, tetapi lebih baik dinilai dari BB berdasarkan usia atau BMI berdasarkan usia 3. Nilai plot BB/PB di atas menunjukkan terdapat kemungkinan risiko, bila tren menuju garis z-score 2 menunjukkan risiko definitif 4. Kemungkinan pendek atau sangat pendek sehingga anak menjadi gemuk
Kurva Pertumbuhan Bayi Prematur (Kurva Fenton)
Sumber: Fenton. BMC Pediatr. 2003
1150
Tabel 289 Pola Perkembangan Bayi-Anak Sampai Usia 5 Tahun Pola Perkembangan Bayi- Perkembangan Motorik Anak sampai Usia 5 Tahun
Adaptasi
Perkembangan Bahasa
Perkembangan Sosial
Mengoceh spontan, suka tertawa keras
Melihat wajah Anda, membalas senyum, mengenal ibu dengan penglihatan, penciuman, pendengaran, kontak Berusaha memperluas pandangannya, mengarahkan mata pada benda kecil, tersenyum ketika melihat sesuatu yang menarik Mengeluarkan suara gembira Bermain tepuk tangan-cilukba, bergembira dengan melempar benda, makan kue sendiri
Mengangkat kepala 45°, menggerakkan kepala kiri/kanan dan ke tengah
Bereaksi terkejut dengan suara keras
3–6 bl
Berbalik dari telungkup ke terlentang Mengangkat kepala 90°. Mempertahankan posisi kepala Duduk (sikap tripod-sendiri) Merangkak, meraih mainan atau mendekati seseorang, belajar berdiri
Menggengam pensil, meraih Mengeluarkan suara benda dalam jangkauannya gembira, tersenyum ketika melihat sesuatu yang menarik
1151
0–3 bl
6–9 bl
9–12 bl 12–18 bl
Memindahkan kubus dari tangan satu ke tangan yang lain
Berteriak dengan senang/membuat suara tanpa arti Mendengarkan suaranya sendiri Mengangkat badan ke posisi Mengulurkan tangan/badan Menirukan bunyi yang berdiri, berjalan dengan untuk meraih mainan yang didengar, menyebut 2–3 dituntun diinginkan suku kata tanpa arti Berdiri sendiri tanpa Menumpuk 2 kubus, Dapat mengucapkan dan pegangan, membungkuk, memasukkan kubus ke memanggil papa, mama berjalan mundur 5 langkah dalam kotak
Mengeksplorasi sekitar,mengenal anggota keluarga,bereaksi terhadap suara perlahan/bisikan Menunjuk apa yang diinginkan, menangis/merengek menarik tangan ibu Memperlihatkan rasa cemburu/ bersaing
18–24 bl
Berdiri sendiri tanpa berpegangan 30 detik, berjalan tanpaterhuyunghuyung
24–36 bl
Berjalan, naik tangga sendiri, menendang bola kecil
36–48 bl
Berdiri dengan 1 kaki selama Menumpuk 8 kubus, 2 detik, melompat dengan membuat garis lurus kedua kaki diangkat, mengayuh sepeda roda 3
1152
46–60 bl
60–72 bl
Bertepuk tangan, melambailambai, menumpuk 4 kubus Menggelindingkan bola ke sasaran Meniru, mencoret-coret pensil pada kertas
Menyebut 5–6 kata yang mempunyai arti
Membantu, menirukan pekerjaan rumah tangga Memegang cangkir sendiri, belajar makan dan minum sendiri
Dapat menunjuk bagian tubuh, melihat gambar dan menyebut dengan benar nama 2 benda atau jenis Menyebutkan nama, usia, tempat, mengerti arti kata di atas, mendengarkan cerita
Melepas pakaiannya sendiri, makan sendiri tanpa banyak tumpah, memungut mainan sendiri dan membantu jika diminta
Mencuci dan mengeringkan tangan sendiri, bermain bersama dan ikut aturan Memakai sepatu sendiri, mengenakan celana panjang, baju Berdiri 1 kaki 6 detik, Membuat tanda silang, Menyebut nama lengkap, Berpakaian sendiri, menggosok gigi melompat 1 kaki, menari lingkaran, mengambar menjawab pertanyaan tanpa dibantu, bereaksi tenang dan orang dengan 3 bagian dengan benar, memakai tidak rewel ketika ditinggal ibu, tubuh kata-kata baru menyebut angka, menghitung jari Berjalan lurus, berdiri 1 kaki Menggambar 6 bentuk, Mengerti lawan kata, Berpakaian tanpa dibantu, 11 detik menggambar orang lengkap, mengerti pertanyaan mengikuti aturan, mengungkapkan menggambar segi empat dengan 7 kata atau lebih simpati, mengenal angka-angka, mengenal warna
Sumber: Deteksi dini tumbuh kembang balita. Depkes RI. 2006
Cara Racikan Beberapa Jenis Obat
1153 Sumber: Shann. Drug doses. Edisi ke-15. 2010
Tabel 290 Dosis Obat yang Sering Digunakan Nama Obat
Dosis
Albendazol
20 mg/kgBB dosis tunggal, diulang setelah 2 mgg 10 mg/kgBB/kali, setiap 12–24 jam Neonatus: 15 mg/kgBB, dilanjutkan 7,5 mg/kgBB Loading 10 mg/kgBB dalam 1 jam, dilanjutkan 2,5 mg/kgBB setiap 12 jam 15–25mg/kgBB/kali, 3 kali sehari 15–25 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari, infeksi berat 50 mg/kgBB/kali 25–50 mg/kgBB, 4 kali sehari 10–15 mg/kgBB/kali, 4–6 kali sehari Untuk defisiensi, 50 mcg (neonatus), 0,1–0,25 mg (<4 th), 0,5–1 mg (>4 th), sekali sehari i.v., i.m., p.o. 100 mg/kgBB tiap 8 jam 25–50 mg/kgBB tiap 6–8 jam ditambah furosemid 0,25 mg/kgBB tiap 6 jam untuk hidrosefalus karena tuberkulosis efek samping alkalosis berat 400 mg <2 th atau 800 mg >2 th p.o. 5 kali sehari selama 7 hr 5 mg/kgBB/kali, 2–3 kali sehari 0,1–1 mg/kgBB/hr 0,1–0,4 mg/kgBB/kali 0,2–0,4 mg/kgBB/kali, 3 kali sehari 12 mg/kgBB/hr, dosis lebih tinggi pada infeksi yang berat Loading 20–30 mg/kgBB i.m./i.v., rumatan 5 mg/kgBB sehari 8 mg/kgBB/hr, dilanjutkan 6 mg/kgBB/hr 5–10 mg/kgBB/hr, 3–4 kali sehari 0,1 mg/kgBB/kali setiap 8 jam Neonatus: 50 mg/kali, 4–6 kali sehari 1–3 th: 100 mg/hr 4–12 th: 300 mg/hr >12 th: 100 mg/hr 2 mg/kgBB/kali, setiap 8 jam 50 mg/kgBB (hipnotik) maks. 2 g 10 mg/kgBB, 3–4 kali sehari (sedatif)
Alupurinol Amikasin Aminofilin Amoksisilin Ampisilin Ampisilin sulbaktam Aspirin Asam folat Asam mefenamat Asetazolamid
Asiklovir Asam valproat Deksametason Diazepam Domperidon Flukonazol Fenobarbital Gentamisin Ibuprofen Kaptopril Kalsium bikarbonat
Karbamazepin Kloralhidrat
1154
Kalsium bikarbonat
Kloramfenikol Klorokuin Kolesteramin
Klaritromisin Klindamisin Kloksasilin Kotrimoksazol Metoklopramid Morpin Mebendazol Meropenem Metformin Metildopa Metoklorpramid Metronidazol
Midazolam Neomisin Nifedipin Nistatin Ofloksasin Omeprazol Ondansentron Oksasillin Parasetamol Penisillin benzatin Penisillin benzatin + prokain Pirantel Ranitidin
Neonatus: 50 mg/kali, 4–6 kali sehari 1–3 th: 100 mg/hr 4–12 th: 300 mg/hr >12 th: 100 mg/hr 25 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari 10 mg/kgBB (maks. 600 mg/hr) selama 3 hr <6 th: 1 g/hr 6–12 th: 2–4 g/hr >12 th: 4 g/hr 7,5–15 mg/kgBB/kali, 2 kali sehari 6 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari 25–50 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari TMP 4 mg/kgBB, tiap 12 jam 0,15–0,3 mg/kgBB, tiap 6 jam Neonatus: 0,1 mg/kgBB 0,1–0,2 mg/kgBB/hr 100 mg tiap 12 jam selama 3 hr 10–20 mg/kgBB tiap 8 jam drip selama 5–30 mnt Inisial 500 mg tiap 8–24 jam p.o., maks. 1 g/dosis setiap 8 jam 3 mg/kgBB tiap 8 jam p.o., dapat ditingkatkan sampai 15 mg/kgBB/dosis 0,15–0,3 mg/kgBB tiap 6 jam i.v., i.m., p.o. Loading 15 mg/kgBB, selanjutnya 7,5 mg/kgBB tiap 8 jam (maks. 1 g) Giardiasis: 30 mg/kgBB, 3 kali sehari Amebiasis: 15 mg/kgBB tiap 8 jam p.o. selama 10 hr Sedasi: 0,1–0,2 mg/kgBB sampai dengan 0,5 mg/kgBB 1 g/m2 tiap 4–6 jam 0,25–0,5 mg/kgBB tiap 6–8 jam p.o. atau sublingual <12 bl: 100.000 IU, >12 bl: 500.000 IU 5 mg/kgBB tiap 8–12 jam 0,4–0,8 mg/kgBB tiap 12–24 jam p.o. Profilaksis 0,15 mg/kgBB, terapi 0,2 mg/kgBB, p.o. 0,1–0,2 mg/m2 15–30 mg/kgBB tiap 6jam 20 mg/kgBB kemudian 15 mg/kgBB tiap 4 jam 25 mg/kgBB i.m. 900 mg/300 mg dalam 2 mL 10 mg/kgBB sekali sehari p.o. 1 mg/kgBB tiap 6–8 jam
1155
Rifampisin Salbutamol Sefadroksil Sefazolin Sefiksim Sefotaksim Terbutalin Ursodeoxycholic acid (UDCA) Vankomisin Vitamin A Vitamin B Vitamin C Vitamin D Vitamin E
Vitamin D (1,25 Kalsitriol)
10–15 mg/kgBB 0,1–0,15 0,15 mg/kgBB tiap 6 jam p.o. 15–25 25 mg/kgBB/kali, setiap 12 jam 10–15 mg/kgBB, 4 kali sehari 5 mg/kgBB, 1–2 kali sehari 25–50 50 mg/kgBB/kali, 3 kali sehari 0,05–0,1 0,1 mg/kgBB, 3 kali sehari 5–10 10 mg/kgBB tiap 12 jam p.o. 10 mg/kgBB tiap 6 jam i.v. selama 1 jam <8 kg: 10.000 IU/kali >8 kg: 200.000 IU/kali 50–150 mg/kali, 1–2 2 kali sehari 200–5.000 mg/hr 0,2 μg/hr (gangguan hepar) Bayi prematur: 40 IU/hr Malabsorpsi: 50–100 100 mg/hr (<3 th), 200–400 mg/hr (>3 th) Kolestasis: 50 IU/kgBB 0,02 μg/kgBB/hr
Sumber: Shann. Drug Doses. Edisi ke-15. 2010
Nomogram Luas Permukaan Tubuh
Sumber: Nelson textbook of pediatrics. 2011
1156
Tabel 291 Nilai Normal Laboratorium yang Sering Digunakan
1157
Pemeriksaan
Spesimen
Rentang Rujukan
Alanin aminotransferase (ALT, SGPT)
Serum
0–7 hr 8–30 hr (L) 8–30 hr (P) 1–12 bl 1–19 th
Albumin
Plasma
Prematur Cukup bl <6 hr 8 hr–1 th 1–3 th 4–19 th
Alkali fosfatase
Serum
1–9 th 10–11 th 12–13 th 14–15 th 16–19 th
Aspartat Aminotransferase (AST, GOT)
Serum
0–7 hr 8–30 hr (L) 8–30 hr (P) 1–12 bl 1–3 th 3–9 th 10–15 th 16–19 th (L) 16–19 th (P)
IU/L 6–40 10–40 8–32 12–45 5–45 g/dL 1,8–3 2,5–3,4 1,9–4,9 3,4–4,2 3,5–5,6 IU/L 145–420 140–560 L P 200–495 105–420 130–525 70–230 65–260 50–130 IU/L 30–100 24–95 22–31 22–63 20–60 15–50 10–40 15–45 5–30
Faktor
×1
×10
×1
×1
Rentang Rujukan Unit Internasional
IU/L 6–40 10–40 8–32 12–45 5–45 g/dL 18–30 25–34 19–49 34–42 35–56 IU/L 145–420 140–560 L P 200–495 105–420 130–525 70–230 65–260 50–130 IU/L 30–100 24–95 22–31 22–63 20–60 15–50 10–40 15–45 5–30
Asam urat
Serum
Serum
Feritin
Serum
Fosfor
Serum, plasma (heparin)
1158
Besi
1–3 th 4–6 th 7–9 th 10–11 th (L) 10–11 th (P) 12–13 th (L) 14–15 th (L) 12–15 th (P) 16–19 th (L) 16–19 th (P) Seluruh usia 0–6 mgg 7 mgg–365 hr 1–9 th 10–18 th (L) 10–18 th (P) 0–5 hr 1–3 th 4–11 th 12–15 th 16–19 th
Glukosa
Serum
Tali pusat Prematur Neonatus Baru lahir 1 hr >1 hr Anak
mg/dL 1,8–5,0 2,2–4,7 2,0–5,0 2,3–5.4 3,0–4,7 2,7–6,7 2,4–7,8 3,0–5,8 4,0–6,6 3,0–5,9 22–184 µ g/dL ng/mL 0–400 10–95 10–60 10–300 10–70 mg/dL 4,8–8,2 3,8–6,5 3,7–5,6 2,9–5,4 2,7–4,7 mg/dL 45–96 20–60 30–60 40–60 50–90 60–100
×59,48
×0,179 ×1
100–300 130–280 120–295 135–320 180–280 160–400 140–465 180–345 235–510 180–350 4–33 µmol/L g/L 0–400 10–95 10–60 10–300 10–70
×0,3229
×0,0555
1,55–2,65 1,25–2,10 1,20–1,80 0,95–1,75 0,90–1,50 mmol/L 2,5–5,3 1,1–3,3 1,7–3,3 2,2–3,3 2,8–5,0 3,3–5,5 3,9–5,8
ɣ-glutamyl transpeptidase (GGT, GGTP)
Serum
Hemoglobin A
Darah (EDTA, sitrat, atau heparin) Darah (EDTA, oksalat)
Hemoglobin A2 (HbA2)
1159
Hemoglobin (Hb) elektroforesis
Darah (EDTA, sitrat atau heparin)
Hemoglobin F denaturasi alkali (White)
Darah (EDTA)
Hemoglobin fetus (HbF)
Darah (EDTA)
Hitung eosinofil
Whole blood (EDTA atau heparin), darah kapiler Hitung jenis leukosit Whole blood (EDTA)
Mielosit Neutrofil batang Neutrofil segmen Limfosit
IU/L 37–193 13–147 12–123 8–90 5–32 5–24
Tali pusat 0–1 bl 1–2 bl 2–4 bl 4 bl–10 th 10–15 th >95%
% 0 3–5 54–62 25–33
IU/L 37–193 13–147 12–123 8–90 5–32 5–24 Fraksi Hb: >0,95
×0,01
Dewasa: 1,5–3,5% (2 SD) Lebih rendah pada bayi <1 th HbA >95% HbA2 1,5–3,5% HbF <2% 1 hr 6 bl Dewasa 1 hr 5 hr 3 mgg 50–350 sel/mm (µL)
×1
3
Fraksi massa 0,015–0,035 (2 SD) Fraksi massa HbA >0,95 HbA2 0,015–0,035 HbF <0,02 Fraksi massa HbF 0,77±0,073 0,047±0,022 <0,020 Fraksi massa HbF 0,77±0,73 0,768±0,058 0,70±0,07
×0,01 %HbF 77,0±7,3 4,7±2,2 <2,0 % HbF 77,0±7,3 76,8±5,8 70,0±7,3 ×10
6
50–350 × 10 sel/L ×0,01
6
Angka fraksi 0 0,03–0,05 0,54–0,62 0,25–0,33
Monosit Eosinofil Basofil Mielosit Neutrofil batang Neutrofil segmen Limfosit Monosit Eosinofil Basofil Hitung leukosit
1160
Hitung retikulosit
Whole blood (EDTA)
Whole blood (EDTA, heparin, atau oksalat)
Kapiler
3–7 1–3 0–0,75 3 sel/mm (µL) 0 150–400 3.000–5.800 1.500–3.000 285–500 50–250 15–50 3 ×1.000 sel/mm (µL) 0–30 hr 1–23 bl 2–9 th 10–17 th Dewasa: 0,5–1,5% jumlah eritrosit atau3 25.000–75.000/mm (µL) 1 hr 7 hr 1–4 mgg 5–6 mgg 7–8 mgg 9–10 mgg 1–12 mgg
0,03–0,07 0,01–0,03 0–0,0075 6 ×10 sel/L 0 150–400 3.000–5.800 1.500–3.000 285–500 50–250 15–50
×1
9
9,1–34,0 6,0–14.0 4,0–12,0 4,0–10,5 ×0,01 ×10
6
% 0,4–6,0 <0,1–1,3 <1,0–1,2 <0,1–2,4 0,1–2,9 <0,1–2,6 0,1–1,3
×10 sel/L 6 ×10
9,1–34,0 6,0–14,0 4,0–12,0 4,0–10,5
0,0055–0,015 (angka fraksi) 25.000–75.000 6 ×10 /L ×0,01 0,004–0,060 <0,001–0,013 <0,001–0,012 <0,001–0,024 0,001–0,029 <0,001–0,026 0,001–0,013
3
Hitung trombosit
Darah penuh (EDTA)
Kalium
Serum
Neonatus: (setelah 1 mgg = dewasa) Dewasa 0–1 mg 1 mg–1 bl 1–6 bl 6 bl–1 th >1 th
Kalsium/ion kalsium Serum atau plasma
1161
Tali pusat Neonatus 3–24 jam 24–48 jam Setelahnya Kalsium/total
Serum Tali pusat Neonatus 3–24 jam 24–48 jam 4–7 hr Anak Setelahnya
Kolesterol, total
Serum atau plasma (EDTA) Umbilikus Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa
3
×10 /mm (µL) 84–478 150–400 mmol/L 3,2–5,5 3,4–5,0 3,5–5,6 3,5–6,1 3,3–4,6 mg/dL 5,0–6,0 4,3–5,1 4,0–4,7 4,8–4,92 mg/dL 9,0–11,5 9,0–11,5 7,0–12,0 9,0–10,9 8,8–10,8 8,4–10,2 mg/dL 45–100 53–135 70–175 120–200 120–210 140–310
×10
6
×1
×0,25
×0,25
×0,0259
9
×10 /L 84–478 150–400 mmol/L 3,2–5,5 3,4–5,0 3,5–5,6 3,5–6,1 3,3–4,6 mmol/L 1,25–1,50 1,07–1,27 1,00–1,17 1,12–1,23 mmol/L 2,25–2,88 2,3–2,65 1,75–3,00 2,25–2,73 2,20–2,70 2,10–2,55 mmol/L 1,17–2,59 1,37–3,50 1,81–4,53 3,11–5,18 3,11–5,44 3,63–8,03
Kreatinin (IDMS) enzimatik
Serum, plasma
Klirens kreatinin
Serum, plasma, kemih
1162
Rentang yang dianjurkan (dikehendaki) untuk dewasa 140–250 mg/dL 0–4 th 0,03–0,50 4–7 th 0,03–0,59 7–10 th 0,22–0,59 10–14 th 0,31–0,88 >14 th 0,50–1,06 2 mL/mnt/1,73m Neonatus 40–65 <40 th, L 97–137 P 88–128 Menurun 6,5 mL/mnt/10 th
×88,4
3,63–6,48 µ mol/L 2,65–44,2 2,65–52,2 19,4–52,2 27,4–77,8 44,2–93,7
Laju endap darah (LED) Westergren, modifikasi
Whole blood (EDTA)
Wintrobe Laktat dehidrogenase Serum (LDH)
Anak Dewasa, L <50 th P <50 th Anak: Dewasa, L P <1 th 1–9 th 10–19 th
mm/jam 0–10 0–15 0–20 0–13 0–9 0–20 IU/L 160–580 150–500 120–330
×1
mm/jam 0–10 0–15 0–20 0–13 0–9 0–20 IU/L 160–580 150–500 120–330
Natrium
Serum Neonatus Bayi Anak Setelahnya
Magnesium
Plasma (heparin) 0–6 hr 7 hr–2 th 2–14 th
Protein total
Serum
1163
Prematur Neonatus 1–7 th 8–12 th 13–19 th <50 ng/mL
Tiroglobulin (Tg)
Serum
Tiroksin, bebas (T4)
Serum
0–3 hr 3–30 hr 31 hr–18 th
Tiroksin, total (T4)
Serum
0–3 hr 3–30 hr 31–365 hr 1–5 th 6–18 th
Tirosin
Serum
Prematur Neonatus Dewasa
mmol/L 133–146 134–144 134–143 135–145 mg/dL 1,2–2,6 1,6–2,6 1,5–2,3 g/dL 4,3–7,6 4,6–7,4 6,1–7,9 6,4–8,1 6,6–8,2
×1
×0,411
×10
×1 ng/dL 2,00–5,00 0,90–2,20 0,7–2,00 µg/dL 8,0–20,0 5,0–15,0 6,0–14,0 4,5–11,0 4,5–10,0 mg/dL 7,0–24,0 1,6–3,7 0,8–1,3
×12,9
×12,9
×0,0552
mmol/L 133–146 134–144 134–143 135–145 mmol/L 0,48–1,05 0,65–1,05 0,60–0,95 g/L 43–76 46–74 61–79 64–81 66–82 <50 µg/L pmol/L 25,7–64,3 11,6–28,3 9,0–25,7 nmol/L 103–258 64–193 77–180 58–142 58–129 mmol/L 0,39–1,32 0,088–0,20 0,044–0,07
Transferin
Serum
Total iron binding capacity (TIBC)
Serum
Neonatus Dewasa Kadar yang dianjurkan (diharapkan) untuk dewasa, L P Bayi Setelahnya
mg/dL 130–275 200–400
40–160 35–135 100–400 µ g/dL 250–450 µ g/dL
×0,01
x0,179
g/L 1,3–2,7 2,0–4,0
0,40–1,60 0,35–1,35 17,90–71,60 µ mol/L 44,75–71,60 µ mol/L
Sumber: Nelson textbook of pediatrics. 2011
1164
Tabel 292 Cairan Serebrospinal Jenis Pemeriksaan
Usia
Nilai Normal
Jumlah sel
Anak Neonatus
0–5 /mm3 0–15 /mm3
Protein Glukosa
Anak Neonatus Anak
10–40 mg/dL ≤120 mg/dL 45–80 mg/dL
Warna Kejernihan
Anak Anak
Tidak berwarna Jernih
Sumber: Nelson textbook of pediatrics. 2011
Normogram Perhitungan Glucose Infusion Rate (GIR)
(Gunakan garis lurus untuk menghitung jumlah cairan yang diperlukan tiap 24 jam) Sumber: Klaus dan Fanaroff 1979
Tabel 293 Rentang Normal Denyut Jantung Saat Beristirahat Usia
Denyut Jantung/Menit
Neonatus 2 th 4 th >6 th
110–150 85–125 75–115 60–100
Sumber: Park dan Guntheroth. How to read pediatric ECGs. Edisi ke-4. 2006
Tabel 294 Nilai Rata-rata dan Rentang Normal Axis QRS Usia
Rata-rata (Rentang)
1 mgg–1 bl 1–3bl 3 bl– 3 th >3 th Dewasa
+110 derajat (+30 sampai +180) +70 derajat (+10 sampai +125) +60 derajat (+10 sampai +110) +60 derajat (+20 sampai +120) +50 derajat (−30 sampai +105)
Sumber: Park dan Guntheroth. How to read pediatric ECGs. Edisi ke-4. 2006
1165
Tabel 295 Interval PR dengan Denyut Jantung dan Usia (Nilai Batas Atas Normal) Rate (Denyut Jantung/ Menit)
1166
<60 60–80 80–100 100–120 120–140 140–160 160–180 >180
0–1 bl
0,10 (0,12) 0,10 (0,12) 0,10 (0,11) 0,09 (0,11) 0,10 (0,11) 0,09
1–6 bl
0,11 (0,14) 0,10 (0,13) 0,10 (0,12) 0,09 (0,11)
6 bl–1 th
0,11 (0,14) 0,10 (0,13) 0,10 (0,12) 0,10 (0,11)
1–3 th
(0,15) 0,12 (0,14) 0,11 (0,14) 0,10 (0,12)
3–8 th
0,15 (0,17) 0,14 (0,16) 0,13 (0,16) 0,13 (0,15) 0,12 (0,14)
8–12 th
12–16 th
Dewasa
0,16 (0,18) 0,15 (0,17) 0,15 (0,16) 0,14 (0,15) 0,14 (0,15)
0,16 (0,19) 0,15 (0,18) 0,15 (0,17) 0,15 (0,16)
0,17 (0,21) 0,16 (0,21) 0,15 (0,20) 0,15 (0,19) 0,15 (0,18) 0,17
Sumber: Park dan Guntheroth. How to read pediatric ECGs. Edisi ke-4. 2006
Tabel 296 Durasi QRS berdasarkan Usia: Nilai Rata-rata (Batas Atas Nilai Normal) (Dalam Detik)
Detik
0–1 bl
1–6 bl
6–12 bl
1–3 th
3–8 th
8–12 th
12–16 th
Dewasa
0,05 (0,07)
0,055 (0,075)
0,055 (0,075)
0,055 (0,075)
0,06 (0,075)
0,06 (0,085)
0,07 (0,085)
0,08 0,10
Sumber: Park dan Guntheroth. How to read pediatric ECGs. Edisi ke-4. 2006
Tabel 297 Voltase R Menurut Lead dan Usia: Rata-rata (dan Batas Atas*) (Dalam mm)
1167
I II III aVR aVL aVF V3R V4R V1 V2 V5 V6
0–1 bl
1–6 bl
6–12 bl
1–3 th
3–8 th
8–12 th
12–16 th
Dewasa
4 (8) 6 (14) 8 (16) 3 (8) 2 (7) 7 (14) 10 (19) 6 (12) 13 (24) 18 (30) 12 (23) 5 (15)
7 (13) 13 (24) 9 (20) 2 (6) 4 (8) 10 (20) 6 (13) 5 (10) 10 (19) 20 (31) 20 (33) 13 (22)
8 (16) 13 (27) 9 (20) 2 (5) 5 (10) 10 (16) 6 (11) 4 (8) 10 (20) 22 (32) 20 (31) 13 (23)
8 (16) 12 (23) 9 (20) 2 (5) 5 (10) 8 (20) 6 (11) 4 (8) 9 (18) 19 (28) 20 (32) 13 (23)
7 (15) 13 (22) 9 (20) 2 (4) 3 (10) 10 (19) 5 (10) 3 (8) 8 (16) 15 (25) 23 9380 15 (26)
7 (15) 14 (24) 9 (24) 1 (4) 3 (10) 10 (20) 3 (9) 3 (7) 5 (12) 12 (20) 26 (39) 17 (26)
6 (13) 14 (24) 9 (24) 1 (4) 3 (12) 11 (21) 3 (7) 3 (7) 4 (10) 10 (19) 21 (35) 14 (23)
6 (13) 5 (25) 6 (22) 1 (4) 3 (9) 5 (23)
*Batas atas normal mengacu pada persentil ke-98 Voltase diukur dalam milimeter, katika 1 mV= kertas 10 mm Sumber: Park dan Guntheroth. How to read pediatric ECGs. Edisi ke-4. 2006
3 (14) 6 (21) 12 (33) 10 (21)
Tabel 298 Voltase S Menurut Lead dan Usia: Rata-rata (dan Batas Atas*) (Dalam mm)
1168
0–1 bl
1–6 bl
6–12 bl
1–3 th
3–8 th
8–12 th
12–16 th
Dewasa
I V3R
5 (10) 3 (12)
4 (9) 3 (10)
4 (9) 4 (10)
3 (8) 5 (12)
2 (8) 7 (15)
2 (8) 8 (18)
2 (8) 7 (16)
1 (6)
V4R
4 (9)
4 (12)
5 (12)
5 (12)
5 (14)
6 (20)
6 (20)
V1
7 (18)
5 (15)
7 (18)
8 (21)
11 (23)
12 (25)
11 (22)
10 (23)
V2
18 (33)
15 (26)
16 (29)
18 (30)
20 (33)
21 (36)
18 (33)
14 (36)
V5
9 (17)
7 (16)
6 (15)
5 (12)
4 (10)
3 (8)
3 (8)
V6
3 (10)
3 (9)
2 (7)
2 (7)
2 (5)
1 (4)
1 (4)
*Batas atas normal mengacu pada persentil ke-98. Voltase diukur dalam milimeter, katika 1 mV= kertas 10 mm. Sumber: Park dan Guntheroth. How to read pediatric ECGs. Edisi ke-4. 2006
1 (13)
Tabel 299 Perbandingan R/S berdasarkan Usia: Rata-rata, Batas Bawah, dan Batas Atas Nilai Normal
V1
V2
V6
1169
Lead
0–1 bl
1–6 bl
6 bl–1th
1–3 th
3–8 th
8–12 th
12–16 th
Dewasa
LLN Mean ULN LLN Mean ULN LLN Mean ULN
0,5 1,5 19 0,3 1 3 0,1 2 S=0
0,3 1,5 S= 0 0,3 1,2 4 1,5 4 S= 0
0,3 1,2 6 0,3 1 4 2 6 S=0
0,5 0,8 2 0,3 0,8 1,5 3 20 S=0
0,1 0,65 2 0,05 0,5 1,5 2,5 20 S=0
0,15 0,5 1 0,1 0,5 1,2 4 20 S=0
0,1 0,3 1 0,1 0,5 1,2 2,5 10 S=0
0,0 0,3 1 0,1 0,2 2,5 2,5 9 S= 0
LLN, lower limit of normal; ULN, upper limit of normal Voltase diukur dalam milimeter, katika 1 mV = kertas 10 mm Sumber: Park dan Guntheroth. How to read pediatric ECGs. Edisi ke-4. 2006
Tabel 300 Voltase Q berdasarkan Usia: Rata-rata (dan Batas Atas) (Dalam mm) Lead
0–1 bl
1–6 bl
6–12 bl
1–3 th
3–8 th
8–12 th
12–16 th
Dewasa
III
1,5 (5,5)
1,5 (6,0)
2,1 (6,0)
1,5 (5,0)
1,0 (3,5)
0,6 (3,0)
1,0 (3,0)
0,5 (3,4)
aVF
1,0 (3,5)
1,0 (3,5)
1,0 (3,5)
1,0 (3,0)
0,5 (3,0)
0,5 (2,5)
0,5 (2,0)
0,5 (2)
V5
0,1 (3,5)
0,1 (3,0)
0,1 (3,0)
0,1 (3,0)
1,0 (5,5)
1,0 (3,0)
0,5 (3,0)
0,5 (3,5)
V6
0,5 (3,0)
0,5 (3,0)
0,5 (3,0)
0,5 (3,0)
1,0 (0,5)
0,5 (3,0)
0,5 (3,0)
0,5 (3)
Lokasi Kuadran Aksis QRS dengan Menggunakan Lead I dan aVF
1170 Sumber: Park dan Guntheroth. How to read pediatric ECGs. Edisi ke-4. 2006
Tabel 301 Konversi Analisis Gas Darah Vena ke Arteri Vena pH pCO2 Sp O2
Arteri pH arteri= pH vena + 0,05–0,1 PC02 arteri= PCO2 vena – 5–10 mmHg SpO2 arteri= SpO2 vena + 20–25%
Sumber: Kaufman. Interpretation of arterial blood gases (ABGS)
Tabel 302 Intepretasi Analisis Gas Darah
1171
Asidosis respiratorik Asidosis metabolik Alkalosis respiratorik Alkalosis metabolik
pH ↓ pH ↓ pH ↑ pH ↑
PaCO2 ↑ PaCO2 ↓ PaCO2 ↓ PaCO2 ↑
HCO3 normal HCO3 ↓ HCO3 normal HCO3 ↑
Sumber: Kaufman. Interpretation of arterial blood gases (ABGS)
Tabel 303 Mekanisme Kompensasi Keseimbangan Asam Basa Kelainan Asidosis metabolik Asidosis respiratorik akut Asidosis respiratorik kronik Alkalosis metabolik Alkalosis respiratorik akut Alkalosis respiratorik kronik Sumber: Brandis. Acid base physiology. 2011
Kompensasi yang diharapkan PaCO2 = (1,5 x [HCO3−]) + 8 HCO3 = 24 + {(kadar pCO2 sekarang – 40)/10} HCO3− = 24 + 4 {(kadar pCO2 sekarang – 40)/10} PaCO−2= 0,7 x (HCO3) + 20 HCO3 = 24 – 2{(40 – kadar pCO2 sekarang)/10} HCO3− = 24 – 5 {(40 – kadar pCO2 sekarang)/10}
Faktor koreksi ±2 ±2 ±2
Hasil hitungan kompensasi yang diharapkan dibandingkan dengan gas darah penderita, jika: 1. HCO3 penderita lebih rendah dibandingkan dengan HCO3 yang diharapkan maka asidosis metabolik 2. HCO3 penderita lebih tinggi dibandingkan dengan HCO3 yang diharapkan maka alkalosis metabolik 3. pCO2 penderita lebih rendah dibandingkan dengan pCO2 yang diharapkan maka alkalosis respiratorik 4. pCO2 penderita lebih tinggi dibandingkan dengan pCO2 yang diharapkan maka asidosis respiratorik Tabel 304 Perhitungan Anion Gap
1172
Rumus
Nilai Normal Anion Gap
Anion Gap= Na+ − (Cl− + HCO3−)
8–16 mEq/L (rata-rata 12 mEq/L)
Anion Gap= Na+ + K+ − (Cl− + HCO3−)
10–112 mEq/L
Peningkatan anion gap atau klorida menandakan 2 kelompok penyebab asidosis metabolik - Anion gap 20–30 menandakan kemungkinan besar asidosis metabolik (67%) - Anion gap >30 menandakan pasti asidosis metabolik
Menentukan Rasio Delta Rumus: (anion gap terukur – 12) / (24 – HCO3 terukur) Tabel 305 Rasio Delta
1173
Rasio Delta
Keterangan
<0,4 0,4–0,8 1 1–2 >2
Hiperkloremik normal asidosis anion gap Gabungan anion gap tinggi dan asidosis anion gap normal Ketoasidosis diabetikum karena hilangnya keton lewat urin Asidosis metabolik anion gap tinggi Terdapat pula alkalosis metabolik (meningkatkan HCO3) atau juga ada asidosis respiratorik kronik (elevasi kompensasi HCO3)
Sumber: Brandis. Acid base physiology. 2011