BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah SOL (Space-occupying lesion) lesion) intrakranial merupakan merupakan istilah yang digunakan untuk generalisasi masalah tentang adanya lesi misalnya neoplama, baik jinak maupun ganas, primer atau sekunder, dan masalah lain seperti parasit, abses, hematoma, kista, ataupun malformasi vaskular. Tumortumor SOL intrakranial merupakan sekitar 9% dari seluruh tumor primer yang terjadi pada manusia. Karena tumor-tumor ini berada pada sistem saraf pusat maka tumor ini menjadi masalah kesehatan yang serius dan kompleks. Tumortumor ini umumnya berasal dari bagian parenkim dan neuroepitel sistem saraf pusat kecuali mikroglia dan diperkirakan sekitar 40%-50% SOL intrakranial disebabkan oleh tumor.1 Berdasarkan studi yang dilakukan pada 386 kasus penyebab SOL terbanyak yaitu sebanyak 32,1% adalah glioma, diikuti dengan meningioma sebesar 13,7%, abses dan tumor pituitari masing-masing 13,2% dan tuberkuloma sebesar 5,5%. Namun di daerah endemis TB seperti Indonesia persentasi tuberkuloma mungkin lebih besar, tapi tidak ada data yang menggambarkan berapa banyak penderita SOL akibat tuberkuloma tuberkuloma di Indonesia. 2 Gejala yang ditimbulkan oleh SOL sangat tergantung kepada jenis lesi, ukuran, dan lokasi. Namun gejala yang umum terjadi adalah gejala yang ditimbulkan oleh peningkatan tekanan intrakranial seperti nyeri kepala, muntah proyektil, mual, perubahan status mental atau kebiasaan, lumpuh, ataksia, gait, defisit bicara, visual, ataupun konvulsi. 3
1
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik senior Departemen Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dan meningkatkan pemahaman mahasiswa mengenai Tuberculoma. 1.3 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan laporan ini adalah sebagai sarana untuk mengevaluasi dan mengontrol terapi yang telah diberikan kepada pasien dan juga menambah pengetahuan, wawasan tentang Tuberculoma. Tuberculoma.
2
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
SOL (Space-occupying Lesion) merupakan generalisasi masalah tentang ada lesi pada ruang intracranial khususnya mengenai otak. Banyak penyebab yang dapat menimbulkan lesi pada otak seperti kontusio serebri, hematoma, infark, abses otak dan tumor intracranial karena cranium merupakan tempat yang kaku dengan volume yang terfiksasi maka lesi-lesi ini akan meningkatkan tekanan intracranial. Suatu lesi yang meluas pertama kali, komodasi dengan cara mengeluarkan cairan serebrospinal dari rongga kranium. Akhirnya vena mengalami kompresi dan gangguan sirkulasi darah otak dan cairan serebrospinal mulai timbul dan tekanan intracranial mulai naik. Kongesti venosa menimbulkan peningkatan produksi dan penurunan absorpsi
cairan
serebrospinal
dan
meningkatkan volume dan terjadi ke kembali hal-hal seperti di atas. 4
3.2 Etiologi
Space-occupying lesions (SOL) intrakranial mempunyai beberapa etiologi, dimana semuanya menimbulkan ekspansi dari volume dari cairan intrakranial yang kemudian menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Pembengkakan pada otak dapat dibagi dua yaitu diffuse dan fokal.4 Pembengkakan diffuse sering terjadi akibat peningkatan umum cairan di otak diakibatkan oleh vasodilatasi atau edema. Gangguan sistem vasomotor dapat menyebabkan vasodilatasi yang kemudian meningkatan aliran darah di serebrum. Hal ini terjadi sebagai respons terhadap hypercapnia dan hipoksia, dan juga terjadi akibat head injury. Selain itu, edema dapat terjadi dari tiga mekanisme yaitu vasogenik, sitotoksik dan interstisial. Pada edema vasogenik terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah serebral akibat disfungsi sawar otak. Pada edema sitotoksik terjadi jejas terhadap sel endotel, sel glia dan neuron pada otak. Pada 3
edema interstisial terjadi kerusakan pada ventrikel-ventrikel otak, sering ditemukan pada kasus hidrosefalus. 4 Pembengkakan fokal dapat terjadi akibat abses serebral, hematoma, atau neoplasma. Lesi menyebar ekstrinsik seperti hematoma subdural dan meningioma juga meningkatkan tekanan pada kavitas otak dan disebut sebagai spaceoccupying lesion.4 Pada neoplasma dapat ditemukan faktor-faktor resiko berikut: 1. Riwayat trauma kepala 2. Faktor genetic 3. Paparan zat kimia yang bersifat karsinogenik 4. Virus tertentu 5. Defisiensi imunologi 6. Kongenital
3.3 Klasifikasi
5
Berdasarkan jenis tumor dapat dibagi menjadi: a) Jinak a. Coustic neuroma b. Meningioma c. Pituitary adenoma d. Astrocytoma (grade 1) b) Malignan a. Astrocytoma (grade 2,3,4) b. Oligodendroglioma c. Apendymoma
Berdasarkan lokasi tumor dapat dibagi menjadi: a) Tumor Intradural a. Ekstramedular 4
b. Cleurofibroma c. Meningioma intramedural d. Apendimoma e. Astrocytoma f. Oligodendroglioma g. Hemangioblastoma b) Tumor Ekstradural a. Merupakan metastase dari lesi pertama
3.4 Gejala dan Tanda Klinis
Gejala dan tanda klinis dari space-occupying lesion (SOL) meliputi tandatanda lokal, tanda-tanda umum, dan tanda-tanda lokal palsu. Gejala yang timbul tiba-tiba sering menandakan lesi serebrovaskuler sementara lesi-lesi lain menimbulkan gejala secara perlahan-lahan.3 A. Gejala dan tanda umum Gejala umum yang dapat ditemukan pada SOL adalah sakit kepala akibat peningkatan tekanan intrakranial. Sakit kepala dipengaruhi posisi dan postur dan biasanya berat pada pagi hari. Sakit kepala juga bersifat sangat berat dan tidak berkurang dengan obat nyeri. Selain itu, gejala peningkatan tekanan intrakranial lain seperti muntah, kejang juga timbul. Pada beberapa kasus dapat terjadi perubahan perilaku dan memori. Kejang yang terjadi bisa tipe fokal atau umum. Tambahan lagi, SOL dapat menimbulkan tanda-tanda kelemahan, ataksia atau gangguan gait. Defisit juga dapat ditemukan pada penglihatan dan saat pasien bercakap.
Pemeriksaan funduskopi atau optalmoskopi dapat menemukan
papilloedema yaitu tanda peningkatan tekanan intrakranial. 3 B. Gejala dan tanda palsu Saraf kranial abducen (VI) merupakan sarah yang panjang dan berbelit belt yang dapat menyebabkannya rentan terhadap gangguan akibat SOL. Abducent nerve palsy bukanlah suatu tanda melokalisir yang benar. Sindroma 5
Horner juga bukanlah suatu tanda lesi melokalisir yang bagus karena jalur dari saraf simpatis adalah panjang. Sakit kepala yang unilateral dapat membantu menentukan lokasi lesi. Tumor dapat mengarah kepada tanda-tanda neurologis selain daripada tekanan direk atau infiltrasi selanjutnya mengarah kepada lokalisir klinis yang salah. Tanda lokalisir ini termasuk paresis saraf kranial III dan VI dan respons plantar ekstensor bilateral yang dihasilkan oleh sindroma herniasi dan respons plantar ekstensor yang terjadi ipsilateral terhadap tumor hemisfera sebagai hasil daripada tekanan di pendunkulus cerebri bertentangan dengan tentorium.3,5 C. Tanda-tanda melokalisir
Lobus temporalis Lesi pada lobus temporalis sering menimbulkan gangguan psikologis yang umum seperti perubahan perilaku dan emosi. Selain itu pasien juga dapat mengalami halusinasi dan déjà vu. Lesi pada lobus temporalis juga dapat menyebabkan afasia. Tumor pada daerah ini dapat mengakibatkan kejang dengan halusinasi deria bau dangustatori, fenomena motorik dan gangguan kesadaran eksternal tanpa penurunan kesadran yang benar. Lesi lobus temporalis dapat mengarah kepada depersonalisasi, gangguan emosi, gangguan sikap, sensasi déjà vu atau jamais vu, mikropsia atau makropsia (objek kelihatan lebih kecil atau lebih besar daripada seharusnya), gangguan lapangan pandang (crossed upper quadrantanopia) dan ilusi auditorik atau halusinasi audotorik, Lesi bahagian kiri dapat mengakibatkan dysnomia dan receptive aphasia, dan lesi pada bahagian kanan menggangu persepsi pada nada dan melodi.
Lobus frontalis Lesi pada lobus frontalis dapat menyebabkan terjadinya anosmia. Gangguan perilaku juga dapat terjadi dimana pasien itu cenderung berperilaku tidak sopan dan tidak jujur. Afasia dapat terjadi apabila area Broca terlibat. 6
Tumor pada lobus frontalis seringkali
mengarah kepada penurunan
progresif intelektual, perlambatan aktivitas mental, gangguan personality dan reflex grasping kontralateral. Pasien mungkin mengarah kepada afasia ekspresif jika melibatkan bahagian posterior daripada gyrus frontalis inferior sinistra. Anosmia dapat terjadi karena tekanan pada saraf olfaktorius. Lesi presentral dapat mengakibatkan kejang motoric fokal atau defisit piramidalis kontralateral.
Lobus parietal Lesi pada lobus parietal dapat menyebabkan terjadinya astereognosis dan disfasia. Selain itu dapat juga terjadi kehilangan hemisensorik.
Lobus occipital Lesi sebelum chiasma optic dari mata akan menyebabkan gangguan pada satu mata sahaja. Lesi pada chiasma optic tersebut akan menyebabkan gangguan kedua mata. Lesi di belakang chiasma optic akan menyebabkan gangguan pada mata yang berlawanan.
Sudut serebellopontin Lesi pada sudut serebellopontin dapat menyebabkan tuli ipsilateral, tinnitus, nystagmus, penurunan refleks kornea, palsi dari sarat kranial fasialis dan trigeminus.
Mesensefalon Tanda-tanda seperti pupil anisokor, inabilities menggerakkan mata ke atas atau ke bawah, amnesia, dan kesadaran somnolen sering timbul apabila terdapat lesi pada mesensefalon. Tumor intracranial dapat mengarah kepada gangguan fungsi serebral
secara umum dan mempamerkan tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial. Karena itu, dapat terjadi perubahan personalitas, penurunan intelektual, labilitas emosi, kejang, sakit kepala, mual dan malaise. Jika tekanan intracranial meningkat di dalam rungan kranial tertentu jaringan otak dapat mengalami herniasi ke dalam 7
ruangan dengan tekanan rendah. Sindroma yang paling sering ditemukan adalah herniasi lobus temporalis ke dalam hiatus tentoria secara uncal sehingga mengakibatkan kompresi saraf kranial III, batang otak dan arteri cerebralis posterior. Tanda paling awal untuk sindroma ini adalah dilatasi pupil ipsilateral, diikuti dengan stupor, komaposturasi deserebrasi dan kesukaran pernafasan. Satu lagi sindroma herniasi penting terdiri daripada penurunan tonsilar cerebreli melewati foramen magnum, sehingga mengakibatkan kompresi medullaris yang mengarah kepada apnea, circulatory collapse dan kematian. Sindroma herniasi lain adalah lebih jarang dan kepentingan klinis yang kurang jelas. Tumor intracranial dapat mengarah kepada deficit fokal tergantung lokasinya. 3,4 ‘
8
Lesi
Tanda & Gejala Klinis
Glioblastomamultiformis
Mengambarkan keluhan non spesifik dan peningkatan tekanan intracranial. Dengan perkembangan akan menghasilkan defisit lokal.
Astrocytoma
Gambaran mirip glioblastoma multiformis tetapi lebih lambat sering setelah beberapa tahun.
Cerebellar astrocytoma
Dapat memiliki gambaran yang lebih jinak.
Medulloblastoma
Sering terlihat pada anak-anak.Seringkali timbul daripada dasar ventrikel keempat dan mengarah kepada peningkatan intracranial selanjutnya menghasilkan tanda cerebellar dan batang otak.
Ependymoma Glioma
Timbul daripada ependymal ventrikel, terutama pada ventrikel IV membawa kepada gejala wal peningkatan tekanan intracranial.
Oligodendroglima
Berkembang lambat. Seringkali timbul daripada hemisfera serebral pada dewasa dan dapat terlihat kalsifikasi.
Brainstem glioma
Timbul pada saat usia muda dengan palsy sara kranial dan kemudian tibu gejala tract sign pada tungkai. Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial timbul lambat.
9
3.5 Diagnosis
Penegakkan diagnosis Space-occupying lesion (SOL) intrakranial pada pasen dapat dilakukan dari anamnesis, pemeriksaan fisik neurologis yang teliti dan pemeriksaan penunjang. A. Anamnesis Pada
anamnesis,
pasien
biasanya
datang
dengan
keluhan
yang
menandakan peningkatan tekanan intracranial seperti nyeri kepala, kejang, penurunan kesadaran, muntah dan gangguan penglihatan. Nyeri kepala yang dirasakan mungkin lebih berat pada pagi hari, dan diperberat saat beraktivitas, atau saat batuk, bersin dan mengedan. Muntah yang dialami pasien biasanya merupakan muntah yang menyembur (projectile vomiting). Keluhan penurunan kesadaran pada pasien dengan Space-occupying lesion (SOL) intrakranial sering bersifat perlahan-lahan dimana pasien dikatakan semaking sering mengantuk dan tidak aktif. Kejang pada pasien dicurigai dengan Space-occupying lesion (SOL) dapat bersifat parsial atau umum. Pasien dengan riwayat kejang harus ditelurusi dengan teliti riwayat kejangnya karena pasien dengan kejang umum bisa dimulai dengan kejang parsial awalnya.3 B. Pemeriksaan fisik neurologis Tanda-tanda dari Space-occupying lesion (SOL) intrakranial bervariasi dan tergantung letak dan jenis lesi di otak. Secara umum, tanda-tanda yang sering ditemukan pada pasien SOL adalah tanda-tanda peningkatan intrakranial seperti papillaedem dan hidrosefalus. Selain itu, dapat juga ditemukan parase ekstrimitas, ataksia dan gangguan gait. 3 C. Pemeriksaan Penunjang 1. Head CT-Scan CT-Scan merupakan merupakan alat diagnostik yang penting dalam evaluasi pasien yang diduga menderita tumor otak. CT-Scan merupakan pemeriksaan yang mudah, sederhana, non invasif, tidak berbahaya, dan waktu pemeriksaan lebih singkat. Ketika kita menggunakan CT-Scan dengan kontras, 10
kita dapat mendeteksi tumor yang ada. CT-Scan tidak hanya dapat mendeteksi tumor, tetapi dapat menunjukkkan jenis tumor apa, karena setiap tumor intrakranial menunjukkan gambar yang berbeda pad CT-Scan. 6 Gambaran CT-Scan pada tumor otak, umumnya tampak sebagai lesi abnormal berupa massa yang mendorong struktur otak disekitarnya. Biasanya tumor otak dikelilingi jaringan oedem yang terlihat jelas karena densitasnya lebih rendah. Adanya kalsifikasi, perdarahan atau invasi mudah dibedakan dengan jaringan sekitarnya karena sifatnya hiperdens. Beberapa jenis tumor akan terlihat lebih nyata bila pada waktu pemeriksaan CT-Scan disertai dengan pemberian zat kontras. Kekurangan CT-Scan adalah kurang peka dalam me ndeteksi massa tumor yang kecil, massa yang berdekatan dengan struktur tulang kranium, maupun massa di batang otak.6 Pada perdarahan subdural akut CT-Scan kepala (non kontras) tampak sebagai suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit sepanjang bagian dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas otak didaerah parietal. Terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit didaerah bagian atas tentorium serebeli. Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT window width. Pergeseran garis tengah (middle shift) akan tampak pada perdarahan subdural yang sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada middle shift harus dicurigai adanya massa kontralateral dan bila middle shift hebat harus dicurigai adanya edema serebral yang mendasarinya. 6 Pada fase akut subdural menjadi isodens terhadap jaringan otak sehingga lebih sulit dinilai pada gambaran CT-Scan, oleh karena itu pemeriksaan CT-Scan dengan kontras atau MRI sering dipergunakan pada kasus perdarahan subdural dalam waktu 48-72 jam setelah trauma. Pada pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan tampak jelas dipermukaan otak dan membatasi subdural hematoma dan jaringan otak. Perdarahan subdural akut sering juga berbentuk
11
lensa (bikonveks) sehingga membingungkan dalam membedakannya dengan epidural hematoma.6 Pada fase kronik lesi subdural pada gambaran CT-Scan tanpa kontras menjadi hipodens dan sangat mudal dilihat. Bila pada CT-Scan kepala telah ditemukan perdarahan subdural, sangat penting untuk memeriksa kemungkinan adanya lesi lain yang berhubungan seperti fraktur tengkorak, kontusio jaringan otak dan perdarahan subarakhnoid. 6 Pada
abses,
CT-Scan
dapat
digunakan
sebagai
pemandu
untuk
dilakukannya biopsi. Biopsi aspirasi abses ini dilakukan untuk keperluan diagnostik maupun terapi. 2. Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI merupakan pemeriksaan yang paling baik terutama untuk mendeteksi tumor yang berukuran kecil ataupun tumor yang berada dibasis kranium, batang otak dan di fossa posterior. MRI juga lebih baik dalam memberikan gambaran lesi perdarahan, kistik, atau, massa padat tumor intrakranial. 3. Darah Lengkap Pemeriksaan darah lengkap dapat dijadikan salah satu kunci untuk menemukan kelainan dalam tubuh. Misalnya pada abses serebri dapat ditemukan leukositosis. 4. Foto Toraks Foto toraks dilakukan untuk mengetahui apakah ada tumor di paru yaitu tempat tersering untuk terjadinya metastasis prmer paru. Pada hematoma, dapat ditemukan juga perubahan struktur tulang, perubahan struktur garis (perdarahan / edema) dan fragmen tulang. 5. USG Abdomen Dilakukan untuk mendeteksi tumor dari bagian tubuh lain.
12
6. Biopsi Pada tumor otak, biopsy dilakukan untuk mengetahui jenis sel tumor tersebut sehingga dapat membantu dokter untuk mengidentifikasi tipe dan stadium tumor dan menentukan pengobatan yang tepat seperti apakah akan dilakukan pengangkatan seluruh tumor ataupun dilakukan radioterapi. 7. Lumbal pungsi Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan jenis infeksi atau tumor pada otak. Namun, pemeriksaan lumbal pungsi dikontraindikasikan pada pasien dengan tekanan intrakranial yang tinggi.
3.6 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksaan pada Space-occupying lesion (SOL) adalah untuk mengobati penyebab atau etiologi lesi, menurunkan tekanan intrakranial, mengurangi gejala-gejala dan mengurangi komplikasi penyakit. 7 Beberapa faktor dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial seperti obstruksi dari venous return (posisi kepala / agitasi), gangguan respiratori (obstruksi respiratori, hipoksia, hypercapnia), demam, dan hipertensi berat. Antara penanganan peningkatan tekanan intrakranial adalah: 7 1. Elevasi kepala 30°. Elevasi kepala 30° dapat melancarkan aliran vena jugular dan menurunkan tekanan intrakranial. Pada pasien hipovolemi, elevasi ini dapat menyebabkan penurunan tekanan darah dan tekanan perfusi cerebri. 2. Menurunkan demam. Demam dapat menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah serebral dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Antipiretik dan kompres harus diberikan dalam upaya menurunkan demam. Jika dari hasil pemeriksaan diketahui adanya abses, maka antibiotik merupakan salah satu terapi yang 13
harus diberikan. Berikan antibiotik intravena, sesuai kultur ataupun sesuai data empiris yang ada. Antibiotik diberikan 4-6 minggu atau lebih, hal ini disesuaikan dengan hasil pencitraan, apakah ukuran abses sudah berkurang atau belum. Carbapenem, fluorokuinolon, aztreonam memiliki penetrasi yang bagus ke sistem saraf pusat, tetapi harus memperhatikan dosis yang diberikan (tergantung berat badan dan fungsi ginjal) untuk mencegah toksisitas. 3. Menangani kejang. Kejang dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Oleh karena itu profilaksis untuk kejang harus diberikan untuk mencegah terjadinya kejang. Phenitoin (300-400mg/kali) adalah yang paling mum digunakan. Selain itu, dapat juga digunakan carbamazepine (600-1000mg/hari), phenobarbital (90-150mg/hari) dan asam valproate (750-1500mg/hari). 4. Hiperventilasi Hiperventilasi
dapat
menurunkan
PaCO 2
yang
kemudian
memicu
vasokonstriksi arteri serebral dan mengurangi aliran darah serebri. 5. Terapi hiperosmolar Mannitol seering digunakan sebagai agen hyperosmolar untuk menurunakan tekanan intrakranial. Baru-baru ini salin hipertonik (NaCl 3%, NaCl 23,4%) juga sering digunakan. Mannitol sering diberikan secara intravena secara bolus dengan dosis 0,25-1.00g/kgBB dalam situasi darurat. Untuk jangka waktu panjang, mannitol diberikan 0,25-0,5g/kgBB dan dapat diberikan setiap 2 sampai 6 jam. Harus diperhatikan supaya tidak terjadi hipotensi arteri. Cairan harus tetap diberikan kepada pasien karena mannitol bekerja sebagai osmotik diuretik. Mannitol meningkat tonisitas serum dan kemudian menarik cairan edem dari parenkim serebri. Osmolaritas serum dikatakan optimal di antara 300 sampai 320 mOsm. Osmolaritas lebih dari 320 mOsm dapat menimbulkan efek samping seperti hipovolemi, hiperosmolartas, dan gagal ginjal. Salin hipertonik dikatakan lebih aman diberikan kepada pasien hipovolemik atau hipotensi karena salin tidak bekerja sebagai diuretik. 14
6. Drainase CSF Pada pasien yang dipasan kateter intraventrikular untuk monitor tekanan intrakranial. Drainase cairan CSF efektif untuk menurunkan tekanan intrakranial. 7. Barbiturat koma Barbiturat koma harus dipertimbangkan hanya pada pasien dengan hipertensi intrakranial refrakter. Pentobarbital diberikan dengan dosis 10mg/kgBB diikuti dengan 5mg/kgBB setiap 3 dosis. Dosis maintenance 1-2mg/kgBB/jam, kemudian dititrasi sehingga kadar pada serum 30-50μg/mL. 8. Kraniektomi dekompresi Prosedur ini dikatakan menguntungkan pada pasien dengan trauma kepala, infark cerebri, perdarahan subarachnoid atau intraserebri dan sindrom Reye. Prosedur ini mungkin dapat dilakukan apabila penanganan medikamentosa tidak berhasil menurunkan tekanan intrakranial. 9. Steroid Kortikosteroid dapat diberikan untuk mengurangi edema serebral vasogenik. Regimen yang sering diberikan adalah dexamethasone secara intravena 4mg setiap 6 jam.
15
Gambar 1. Algoritme penanganan peningkatan tekanan intrakranial
Sumber: Castillo, Gopinath, Robertson (2009). 7
16
Penanganan khusus tergantung dari penyebab atau etiologi lesi intrakranial tersebut. Antara etiologi dari Space-occupying lesion (SOL) adalah malignansi (tumor primer atau metastasis), infeksi (abses serebri, subdural abses, epidural abses, kista hidatid), perdarahan (intraserebral, subdural, epidural) dan granuloma (neurosistiserkosis, tuberkuloma). Apabila
sudah
ditegakkan
tumor,
dapat
dilakukan
biopsi
untuk
mengidentifikasi secara histologi tipe dan grade dari tumor tersebut. Tumor otak biasanya ditangani dengan operasi, terapi radiasi dan kemoterapi. 9 Pada abses serebri, terapi antimikroba harus diberikan bersamaan dengan penanganan hipertensi intrakranial. Antibiotik diberikan selama 4 sampai 8 minggu. Ukuran dan jumlah abses harus dievaluasi dari CT Scan atau MRI. Abses dengan ukuran lebih dari 2,5cm dapat dieksisi atau diaspirasi. Abses dengan ukuran kurang dari 2,5cm diaspirasi untuk tujuan diagnostik. Pada kasus perdarahan, tekanan darah harus diturunkan dan tanda-tanda vital distabilkan. Operasi tidak direkomendasikan pada pasien dengan pendarahan di bawah 10cm 3, dengan defisit neurologis minimal. Pasien dengan pendarahan >3cm di serebelum dengan penurunan neurologis harus dioperasi segera. Antara tindakan operasi yang dilakukan adalah drainase (burr hole) atau kraniotomi. 8
17
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
SOL (Space-occupying Lesion) intrakranial merupakan merupakan istilah yang digunakan untuk generalisasi masalah tentang adanya lesi misalnya neoplama, baik jinak maupun ganas, primer atau sekunder, dan masalah lain seperti parasit, abses, hematoma, kista, ataupun malformasi vaskular. Tumortumor SOL intrakranial merupakan sekitar 9% dari seluruh tumor primer yang terjadi pada manusia. Karena tumor-tumor ini berada pada sistem saraf pusat maka tumor ini menjadi masalah kesehatan yang serius dan kompleks. Tumortumor ini umumnya berasal dari bagian parenkim dan neuroepitel sistem saraf pusat kecuali mikroglia dan diperkirakan sekitar 40%-50% SOL intrakranial disebabkan oleh tumor. Gejala klinis yang ditimbulkan tergantung pada ukuran, jenis, dan lokasi SOL dan dapat dibagi atas gejala umum yang disebabkan peningkatan TIK dan gejala spesifik yang merupakan defisit neurologis yang berhubungan dengan bagian yang mengalami penekanan.SOL didiagnosa dengan anamesa, temuan klinis (gejala neurologis), dan kemudian pemeriksaan lab dan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi maupun histopatologi dan serologi. Penatalaksanaan SOL meliputi tatalaksana penyakit penyebab (tumor, infeksi) dan diikuti dengan terapi supportif untuk mengurangi gejala.
18
5.2 Saran
Pasien dengan SOL intrakranial harus dilakukan diagnostik yang sedini mungkin
untuk
menentukan
terapi
yang
sesuai
dengan
penyebab
dan
memperkirakan prognosis sesuai jenis, lokasi, dan luas lesi.SOLadalah penyakit yang
mungkin
membutuhkan
penanganan
yang
berisiko
tinggi
yaitu
pembedahan.Keluarga dan penderita harus mengerti bahwa SOL intrakranial dapat menyebabkan disabilitas dan dapat meninggalkan gejala sisa.Tetapi dengan penatalaksanaan yang tepat dan teratur, dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dan juga prognosis kesembuhan.
19
Daftar Pustaka
1. Butt ME, Khan SA, Chaudrhy NA, Qureshi GR. Intracranial-Space Occupying Lessions a Morphological Analysis. 2005; 21(6). 2. Irfan A, Qureshi A. Intracranial Space Occupying Lession Review of 386 Cases. 1995; 45. 3. Tidy C. patient.co.uk. [Online].; 2014 [cited 2014 Oktober 24. Available from www.patient.co.uk/doctor/space-occupying-lessions-of-the-brain . 4. Cross. S.S. Intracranial Space-Occupying Lesion. Underwood’s Pathology: A Clinical Approach. 6th Edition. 5. Apardi I. Tumor otak. Diakses pada tanggal 26 Oktober 2014. Diunduh dari http://library.usu.ac.id/downlaod/fk/bedah-iskandar%20japardi 11.pdf2. 6. Meagher. R.J. emedicine.medscape.com. [Online].;[cited 2014 Oktober 26. Available from http://emedicine.medscape.com/article/1137207-workup 7. Castillo L.R., Gopinath. S., Robertson. C.S. Management of Intracranial Hypertension. Neurol Clin. May 2008; 26(2): 521-541. 8. Broderick. J.P. Harold. P.A.J., Barsan. W. Guidelines for the Manaement of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage. 1999;30-905-915 9. UCSFHealth.org [Online].;2014 [cited 2014 Oktober 26. Available from http://www.ucsfhealth.org/conditions/brain_tumor/treatment.html
20