MAKALAH
PEMIKIRAN KALAM MU'TAZILAH, ASY'ARIYAH DOKTRIN AJARANNYA DAN
PERKEMBANGANNYA
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah :
ILMU KALAM
Dosen :
Ahmad Saeful, MA
DISUSUN OLEH :
UNI ZAEFAH : 1516.01.023
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEMESTER II
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BINAMADANI
TAHUN AKADEMIK 2015-2016
PEMIKIRAN KALAM MU'TAZILAH, ASY'ARIYAH DOKTRIN AJARANNYA DAN
PERKEMBANGANNYA
A. Latar Belakang
Agama Islam merupakan agama yang sangat luas. Agama yang menjadi
penyempurna agama sebelumnya. Sehingga untuk mengkaji dan memahami Islam
sangat bervariasi metodenya. Hal ini kemudian melahirrkan pemikiran Islam
yang bermacam-macam spesialisasinya. Hasil pemikiran yang berbeda tersebut
kemudian akan melahirkan berbagai macam aliran atau kepercayaan. Contoh
aliran tersebut antara lain Mu'tazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, Syi'ah,
Khawarij, Salafy, Wahabi, dan masih banyak aliran-aliran kecil yang
berkembang sampai sekarang.
Aliran Mu'tazilah sendiri memiliki metodologi pemikiran yang khas.
Mereka meletakkan eksistensi akal sebagai pondasi untuk menjelaskan
teologi. Selain itu, pemikiran yang mencolok dari mereka adalah meletakkan
bahasa dan logika sebagai kriteria dalam menginterpretasikan teks-teks al-
Qur'an.[1] Golongan Mu'tazilah merupakan ahli fikir Islam pertama yang
telah berusaha membentuk suatu sistem filsafat yang lengkap, meliputi
ketuhanan, physica, ilmu jiwa, etika, dan politik.[2]
Aliran lain yang menjadi sorotan adalah aliran Asy'ariyah, aliran ini
muncul karena ketidakpuasan Abdul-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy'ary terhadap
pemikiran Mu'tazilah yang dirasakan sudah terlalu memuja akal-pikiran.
Aliran Asy'ariyah ini meletakkan akal dan tekstual sebagai pondasi untuk
menjelaskan konsep teologi dan ilmu kalam.[3] Penganut paham dari Asy'ary
ini kemudian disebut Ahlussunnah wal Jama'ah. Aliran ini mempercayai
adanya konsep Islam sebagai cabang ilmu fiqih, Iman sebagai cabang ilmu
tauhid, dan Ihsan sebagai ilmu tasawwuf.[4]
B. Aliran Mu'tazilah
1. Asal Usul Kemunculan Mu'tazilah
Kaum Mu'tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan
teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis. Dalam penyebarannya,
mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama "kaum rasionalis
Islam".[5] Secara harfiah kata Mu'tazilah berasal dari kata I'tazala yang
berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau
menjauhkan diri.[6] Secara teknis, istilah Mu'tazilah menunjuk pada dua
golongan.
Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu'tazilah I) muncul sebagai
respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik,
khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali
bin Abi Tholib dan lawan-lawannya, terutama Mu'awiyah, Aisyah, dan Abdullah
bin Zubair. Golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu'tazilah karena
mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini
bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum
Mu'tazilah yang tumbuh dikemudian hari.[7]
Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu'tazilah II) muncul sebagai
respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji'ah
akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda
pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji'ah tentang pemberian status
kafir kepada orang yang berbuat dosa besar. Mu'tazilah II inilah yang akan
dikaji dalam bab ini yang sejarahnya memiliki banyak versi. Beberapa versi
tentang pemberian nama Mu'tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada
peristiwa yang terjadi antara Wasil bin Ata serta temannya, Amr bin Ubaid
dan Hasan Al-Basri di Basrah. Ketika wasil mengikuti pelajaran yang
diberikan oleh Hasan Al-Basri di Masjid Basrah, datanglah seseorang yang
bertanya mengenai pendapat Hasan Al-Basri tentang orang yang berdosa besar.
Ketika Hasan Al-Basri masih berpikir, Wasil mengemukakan pendapatnya dengan
mengatakan "Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah
mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi di antara keduanya,
tidak mukmin dan tidak kafir." Kemudian Wasil menjauhkan diri dari Hasan Al-
Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan masjid. Di sana Wasil
mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa
ini, Hasan Al-Basri berkata, "Wasil menjauhlah diri dari kita (I'tazaala
anna)." Menurut Asy-Syahratsani, kelompok yang memisahkan diri pada
peristiwa ini yang disebut kaum Mu'tzilah.[8]
Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan
temannya, Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al-Basri dari majelisnya
karena ada pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang
berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan berpendapat
bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh
karena itu, golongan ini dinamakan Mu'tazilah.[9]
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah
bin Da'mah pada suatu hari masuk masjid Basrah dan bergabung dengan majelis
Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan Al-Basri. Setelah
mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al-Basri, ia
berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, "ini kaum Mu'tazilah."
Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu'tazilah.[10]
Al-Mas'udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan
Mu'tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan
Al-Basri. Mereka diberi nama Mu'tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa
orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi manduduki
tempat diantara kafir dan mukmin (al-manzilah bain al-manzilatain).[11]
Dalam artian mereka member status orang yang berbuat dosa besar itu jauh
dari golongan mukmin dan kafir.
Teori baru, yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, menerangkan bahwa nama
Mu"tazilah sudah terdapat sebelum adanya Wasil dan Hasan al-Basri dan
sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi. Nama
Mu'tazilah diberikan kepada golongan orang yang tidak mau berintervensi
dalam pertikaian politik yang terjadi pada zaman Utsman bin Affan dan Ali
bin Abi Thalib. Ia menjumpai pertikaian disana; Satu golongan mengikuti
pertikaian itu, sedangkan golongan lain menjauhkan diri ke Kharbita
(i'tazalat ila Kharbita). Oleh karena itu, dala surat yang dikirimnya
kepada Ali bin Abi Thalib, Qais menamai golongan yang menjauhkan diri
dengan Mu'tazilin, sedang Abu Al-Fida menamainya dengan Mu'tazilah.[12]
Dengan demikian, kata I'tazala dan mu'tazilah telah dipakai kira-kira
seratus tahun sebelum peristiwa wasil dengan Hasan Al-Basri, yang
mengandung arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian
politik yang terjadi pada zamannya.[13]
C.A. Nallino, seseorang orientalis Itali, mengemukakan pendapat yang
hampir sama dengan ahmad Amin dan selaras dengan Mas'udi. Ia berpendapat
bahwa nama Mu'tazilah sebenarnya bukan berarti "memisahkan diri dari umat
islam lainnya" sebagaimana pendapat Asy-Syahratsani, Al-Baghdadi, dan Tasy
Qubra Zadah. Nama Mu'tazilahi, diberikan kepada mereka karena mereka
berdiri netral diantara Khawarij dan Murji'ah. Oleh karena itu, golongan
Mu'tazilah II ini mempunyai hubungan yang erat dengan Mu'tazilah I.[14]
Pendapat ini dibantah oleh Ali Sami An-Nasysyar yang mengatakan bahwa
golongan Mu'tazilah II timbul dari orang-orang yang mengasingkan diri untuk
ilmu pengetahuan dan ibadah, bukan dari golongan Mu'tazilah I yang disebut
kaum netral politik.[15]
Golongan mu'tazilah dikenal juga dengan nama-nama lain seperti ahl al-
adl yang berarti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl al-
tawhid wa al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan keesaan murni
dan keadilan Tuhan.[16] Lawan Mu'tazilah member nama golongan ini dengan
nama Al-Qadariyah karena mereka menganut faham free will and free act,
yakni bahwa manusia itu bebas berkehendak dan bebas berbuat. Selain itu,
mereka menamainya juga Al-Mu'attilah karena golongan Mu'tazilah berpendapat
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat mempunyai wujud di luar
zat Tuhan. Mereka juga menamainya dengan wa'diah, karena mereka berpendapat
bahwa ancaman Tuhan itu pasti akan menimpa orang-orang yang tidak taat akan
hukum-hukum Tuhan.
2. Al-Ushul Al-Khamsah : Lima Ajaran Dasar Teologi Mu'tazilah
Kelima ajaran dasar Mu'tazilah yang tertuang dalam al-ushul al-khamsah
adalah at-tauhid (pengesaaan Tuhan), al-adl (keadilan Tuhan), al-waad wa al-
wa'id (janji dan ancaman Tuhan), al-manzilah bain al-manzilatin (posisi
diantara dua posisi), dan al-amr bi al-ma'ruf wa al-nahy an al-munkar
(menyeru kepada kebaikan dan mencedah kemungkaran.
1. At-Tauhid
At-Tauhid (pengesaan tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari
ajaran Mu'tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam Islam memegang
doktrin ini. Namun, bagi Mu'tazilah, Tauhid memiliki arti yang spesifik.
Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti
kemahaesaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tak ada
satupun yang menyamai-Nya. Oleh karena itu, hanya hanya Dia-lah yang qadim.
Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta'addud al-qudama
(berbilangnya dzat yang tak berpemulaan).[17]
Untuk memurnikan keesaan tuhan (tanzih), Mu'tazilah menolak konsep
Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik tuhan (antromorfisme
tajassum), dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu'tazilah
berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satupun yang menyerupai-Nya. Dia
Maha Melihat, mendengar, Kuasa, Mengetahui, dan sebagainya. Namun,
mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya itu bukan sifat melainkan dzat-
Nya. Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat Tuhan
yang qadim, berarti ada dua yang qadim, yaitu dzat dan sifat-Nya. Wasil bin
ata, seperti dikutip oleh Asy-Syahratsani mengatakan, "Siapa yang
mengatakan sifat yang qadim berarti telah menduakan Tuhan."[18] Ini tidak
dapat diterima karena perbuatan syirik.
Apa yang disebut sebagai sifat menurut Mu'tazilah adalah dzat tuhan
itu sendiri. Abu Al-Hudzail[19] berkata, "Tuhan mengetahui dengan ilmu dan
ilmu itu adalah Tuhan sendiri. Tuhan berkuasa dengan kekuasaan itu adalah
Tuhan sendiri."[20] Dengan demikian, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan adalah
Tuhan sendiri, yaitu dzat dan esensi Tuhan, bukan sifat yang menmpel pada
dzat-Nya.
Mu'tazilah berpendapat bahwa Al-Qur'an itu baru (diciptakan); Al-
qur'an adalah manifestasikan kalam Tuhan; Al-Qur'an terdiri atas
serangkaian huruf, kata, dan bahasa yang satunya mendahului yang lainnya.
Harun Nasution mencatat perbedaan antara Al-Jubba'I[21] dan Abu
Hasyim[22] atas pernyataan "Tuhan mengetahui dengan esensi-Nya." Menurut Al-
Juba'i, arti pernyataan tersebut adalah bahwa untuk mengetahui, Tuhan tidak
berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan
mengetahui. Adapun menurut Abu Hasyim, pernyataan tersebut berarti Tuhan
memiliki keadaan mengetahui. Sungguhpun demikian, mereka sepakat bahwa
Tuhan tidak memiliki sifat.[23]
Terlepas dari adanya anggapan bahwa Abu Al-Hudzail mengambil konsep
nafy ash-shifat (peniadaan sifat Allah) dari pendapat Aristoteles,[24]
agaknya beralasan bila para pendiri mazhab ini lebih berbangga dengan
sebutan ahl al-adli wa at-tauhid (pengikut faham keadilan dan keesaan
Tuhan). Ini terlihat dari upaya keras mereka untuk mengesakan Allah dan
menempatkan-Nya benar-benar adil.
Doktrin tauhid Mu'tazilah lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satu pun
yang menyamai Tuhan. Begitu pula sebaliknya, Tuhan tidak serupa dengan
makhlik-Nya. Tuhan adala immateri. Oleh karena itu, tidak layak bagi-Nya
setiap atribut materi. Segala yang mengesankan kejisiman Tuhan, bagi
Mu'tazilah, tidak dapat diterima oleh akal dan itu adalah mustahil. Maha
Suci Tuhan dari penyerupaan dengan yang diciptakan-Nya. Tegasnya,
Mu'tazilah menolak antropomarfisme.[25]
Penolakan terhadap faham antomorfistik bukan semata-mata atas
pertimbangan akal, melainkan memilikirujukan yang sangat kuat di dalam Al-
Qur'an. Mereka berlandaskan pada ayat Al-Qur'an yang artinya "Tidak ada
satu pun yang menyamai-Nya." (Q.S Asy-Syura : 9).
Memang tidak dapat dibantah bahwa Mu'taziloah, sebagaimana aliran
lain, telah terkena pengaruh filsafat Yunani. Namun hal itu tidak kemudian
menjadikannya sebagai pengikut buta Hellenisme. Usaha keras mereka yang
telah menghabiskan banyak waktu dan energy benar-benar membuahkan hasil.
Dengan didorong oleh semangat keagamaan yang kuat, pemikiran Hellenistik
yang telah mereka pelajari, dijadikan senjata mematikan terhadap serangan
serangan para penentangnya, yakna para muhadtsin Rafidhah Manichscanisme,
dan berbagi aliran keagamaan India.[26]
2. Al-Adl
Ajaran Mu'tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha
Adil. Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan
kesempurnaan. Karena Tuhan Maha Sempurna, Dia sudah pasti adil. Ajaran ini
bertujuan ingin menempatkanTuhan benar-benar adil menurut sudut pandang
manusia, karena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan
manusia.[27]
Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara
lain berikut ini:
a. Perbuatan manusia
Manusia menurut Mu'tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya
sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung
atau tidak.[28] Manusia benar-benar bebas untuk menentujan pilihan
perbuatannya; baik atau buruk. Tuhan hanya manyuruh dan menghendaki yang
baik, bukan yang buruk. Adapun yang diperintahkan Tuhan pastilah baik dan
apa yang dilarang-Nya tentulah baik.
b. Berbuat baik dan terbaik
Dalam istilah Arabnya, berbuat bai dan terbaik disebut ash-shalah wa
al-ashlah. Maksudnya adalah kewajiban tuhan untuk berbuat baik, bahkan
terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan
menimbulkan kesan Tuhan penjahat dan penganiaya, sesuatu yang tidak layak
bagi Tuhan. Jika tuhan berlaku jahat kepada seseorang dan berbuat baik
kepada orang lain berarti ia tidak adil.[29]
c. Mengutus rasul
Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan kerena alasan-
alasan berikut ini :
1. Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat
terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada mereka.
2. Al-Qur'an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan
belas kasih kepada manusia (Q.S. Asy-Syu'ara [26] : 29). Cara yang
terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan pengutusan rasul.
3. Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar
tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain, selain mengutus
rasul.[30]
3. Al-Wa'd wa al-Wa'id
Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua. Al-Wa'd
wa al-wa'id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang Maha Adil dan Maha
Bijaksana, tidak akan melanggar janji-Nya. Perbuatan tuhan terikat dan
dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu member pagala surge bagi orang yang
berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang
durhaka (al-ashi).[31]
Ajaran ketiga ini tidak member peluang bagi Tuhan, selain menunaikan
janji-Nya, yaitu member pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang
berbuat maksiat, kecuali orang yang sudah bertaubat nasuha.[32] Ajaran ini
tampaknya bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan
perbuatan dosa.
4. Al-Manzilah bain al-manzilatain
Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mzhab Mu'tazilah.
Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan
dosa besar. Seperti tercatat dalam sejarah, Khawarij mengenggap orang
tersebut sebagai kafirbahkan musyrik, sedangkan Murji'ah berpendapat bahwa
orang itu tetap mukmin dan dosanya sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan.
Boleh jadi dosa tersebut diampuni Tuhan.
Pokok ajaran iniadalah bahwa mukmin yang melakukan dosa besar dan
belum taubat bukan lagi mukmin atau kafur, tetapifasik, izutsu,
denganmengutip ibn Hazm, menguraikan pandangan Mu'tazilah sebagai berikut.
"orang yang melakukan dosa besar disebut fasik. Ia bukan mukmin bukan pula
kafir, bukan pula munafik (hipokrit)."
5. Al-Amr bi Al-Ma'ruf wa An-Nahyi an Munkar
Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh kebijakan dan melarang
kemunkaran (Al-Amr bi Al-Ma'ruf wa An-Nahy an Munkar). Ajaran ini
menekankan keberpihakkan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan
konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus
dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat
baik dan mencegahnya dari kejahatan.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam beramar
ma'ruf dan nahi munkar, seperti yang dijelaskan oleh Abd Al-Jabbar yaitu
sebagai berikut:
a. Ia mengetahui perbuatan yang diperintahkan itu memang ma'ruf dan yang
dilarang itu memang munkar.
b. Ia mengetahui bahwa kemunkaran telah nyata dilakukan orang
c. Ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma'ruf atau nahi munkar tidak membawa
mudarat yang lebih besar.
d. Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan
membahayakan dirinya dan hartanya.[33]
Al-Amr bi Al-Ma'ruf wa An-Nahy an Munkar bukan monopoli konsep
Mu'tazilah. Frase tersebut sering digunakan di dalam Al-Qur'an. Arti asal
al-ma'ruf adalah apa yang telah diakui dan diterima oleh masyarakat karena
mengandung kebaikan dan kebenaran. Lebih spesifik lagi, al-ma'ruf adalah
apa yang diterima dan diakui Allah.[34] Sedangkan al-munkar adalah
sebaliknya, yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima, atau buruk.
Frase tersebut berarti seruan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keyakinan
sebenar-benarnya serta menahan diri dengan mencegh timbulnya perbuatan yang
bertentangan dengan norma Tuhan.[35]
Perbedaan mazhab Mu'tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima
ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu'tazilah jika memang
diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut.
Sejarahpun telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika
menyiarkan ajaran-ajarannya.[36]
C. Aliran Asy'ariyah
1. Asal Usul Kemunculan Aliran Asy'ariyah
Asy'ariyah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam periode klasik
yang namanya dinisbatkan kepada nama pendirinya yaitu Hasan Ali bin Isma'il
al-Asy'ari, masih keturunan dari sahabat besar Abu Musa al-Asy'ari seorang
tahkim dalam peristiwa perang Shiffin dari pihak Ali bin Abi Thalib. Dia
lahir di kota Basrah tahun 260 H (873 M) dan meninggal tahun 330 H (943
M).[37]
Dalam belajar agama, al-Asy'ari mula-mula berguru kepada Abu Ali al-
Jubba'i seorang pemuka Mu'tazilah. Karenanya, al-Asya'ari pada mulanya
adalah pengikut Mu'tazilah dan sangat memahami aliran tersebut. Akan
tetapi, pada usia 40 tahun ia menyatakan diri keluar dari Mu'tazilah,
karena ia mengalami berbagai keraguan dan tidak puas terhadap doktrin-
doktrin Mu'tazilah. Al-Subki dan Ibn 'Asakir menyatakan bahwa pada suatu
malam al-Asy'ari bermimpi, dimana dalam mimpi tersebut Nabi Muhammad SAW
mengatakan kepadanya bahwa mazhab ahli Hadislah yang benar, dan mazhab
Mu'tazilah salah. Selain itu, sebab lain yang menjadikan Asy'ari berpindah
aliran adalah ketika ia dengan gurunya al-Jubba'i terlibat dalam perdebatan
dan gurunya tersebut tidak dapat menjawab tantangan muridnya.
Tetapi bagaimanapun al-Asy'ari meninggalkan paham Mu'tazilah seketika
golongan ini berada dalam fase kemunduran dan kelemahan.Adapun sebab
terpenting al-Asy'ari meninggalkan Mu'tazilah ialah karena adanya
perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka
sendiri, jika tidak segera diakhiri. Sebagai seorang muslim yang sangat
mendambakan atas kepersatuan ummat, dia sangat khawatir kalau Al-Qur'an dan
Hadits menjadi kurban dari faham-faham Mu'tazilah yang dianggapnya semakin
jauh dari kebenaran, menyesatkan dan meresahkan masyarakat.
Disamping itu ada ahli-ahli hadits antropomorfis yang terlalu
memegangi makna lahir dari hadits-hadits yang menyeret Islam pada kelemahan
dan kejumudan yang tidak dibenarkan.Dalam suasana demikianlah al-Asy'ari
keluar dari golongan Mu'tazilah dan menyusun teologi baru yang sesuai
dengan aliran orang yang berpegang kuat pada Hadis.
Sejak itu, al-Asy'ari gigih menyebarkan paham barunya sehingga
terbentuk mazhab dalam teologi Islam yang dikenal dengan nama Ahlussunnah
wal Jama'ah. Pengikut al- Asya'ari sering disebut Asy'ariyah. Ajaran-ajaran
al-Asy'ari sendiri dapat diketahui dari buku-buku yang ditulisnya, terutama
dari Kitab al-Luma' Fi al-Rad 'ala ahl al-ziagh wa al-Bida' dan al-Ibanah
'an Usul al-Dianah.[38]
Jika dilihat dari corak pemikirannya, al-Asy'ari memiliki dua corak
pemikiran yang tampak berbeda, tetapi sebenarnya saling melengkapi. Al-
Asy'ari berusaha mendekati ulama-ulama fiqih dari golongan Sunni, karena ia
berkeyakinan bahwa semua orang yang berijtihad adalah benar dan adanya
kesatuan mazhab-mazhab fiqih soal-soal furu'.Sebagai orang yang pernah
mengikuti faham Mu'tazilah, al-Asy'ari tidak menjauhkan diri dari pemakaian
akal fikiran dan penggunaan argumentasi-argumentasinya.Dia juga menentang
pendapat mereka yang mengatakan bahwa akal fikiran dalam membahas masalah-
masalah agama, tidak pernah disinggung oleh Rasulullah.Padahal sahabat
sepeninggal Rasulullah banyak membahas masalah-masalah baru dan nyatanya
sahabat-sahabat itu tidak dinyatakan sebagai ahli bid'ah.
Akan tetapi al-Asy'ari menentang keras orang yang berlebihan dalam
penggunaan akal fikiran yaitu golongan Mu'tazilah, sehingga mereka tidak
mengakui hadits-hadits Nabi sebagai dasar agama. Dengan demikian jelaslah
kedudukan al-Asy'ari sebagai seorang muslim yang benar-benar ikhlas membela
kepercayaan, berpegang teguh kepada al-Quran dan Hadits sebagai dasar
agama, di samping menggunakan akal fikiran yang tugasnya tidak lebih
daripada memperkuat dan memperjelas pemahaman nash-nash agama. Dalam
penyebarannya ajaran Asy'ariyah ini memiliki beberapa doktrin yaitu :[39]
1. Syarat agar orang beriman berada dijalan yang benar adalah mereka
harus teguh dalam beriman kepada Allah SWT, malaikat Allah, Kitab
Allah, Rasul Allah, berpegah teguh pada Al - Qur'an dan Assunah. Orang-
orang harus sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW, mereka harus
mengimani semuanya secara utuh.
2. Allah SWT adalah maha Esa dan Qodim (terdahulu) sedangkan Rasulullah
SAW adalah hamba dan utusan-Nya, surga dan neraka benar-benar nyata,
tak ada sedikitpun keraguan akan datang hari kiamat, dan sesungguhnya
Allah SWT benar-benar akan membangkitkan seluruh manusia dari
kuburnya.
3. Tuhan berada diatas Arsy (singgasana-Nya) sebagaimana yang difirmankan-
Nya dan kita tidak berhak mempertanyakan seperti apa tangan-Nya, wajah-
Nya, mata-Nya, dan segala sifat yang melingkupinya.
4. Tidak benar jika dikatakan bahwa sifat-sifat Allah SWT berada diluar
diri-Nya. Orang mukmin sejati mengimani dengan sepenuh hati bahwa
Allah SWT memiliki pengetahuan sebagaimana yang difirmankan-Nya
5. Harus mengimani sesungguh hati bahwa tiada kebaikan dan keburukan
melainkan atas kehendak Allah SWT, dan segala sesuatu yang terjadi
semata-mata adalah kehendak-Nya, tiada pencipta selain Allah SWT dan
Allah menciptakan perbuatan manusia sedangkan manusia tidak mampu
menciptakan apa-apa.
6. Allah menganugerahkan karunia-Nya kepada orang mukmin sejati untuk
taat kepadanya dan menutup hati orang-orang kafir untuk mendapatkan
karunia-Nya. Allah juga berkuasa untuk menutup atau membuka hati
seseorang.
7. Mengimami bahwa Al-Qur'an adalah kalamullah yang tidak bermula dan
merupakan perkataan yang bersifat azali.
2. Pokok-pokok ajaran aliran Asy'ariyah
Adapun pokok – pokok ajaran Asy'ariyah yang terpenting antara lain :[40]
1. Sifat Tuhan
Menurut ajaran Asy'ariyah, Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana
disebutkan dalam al – Qur'an, seperti Allah mengetahui dengan sifat 'ilmu-
Nya, berkuasa dengan qudrat-Nya, berfirman dengan kalam-Nya dan sebagainya.
Sifat-sifat tersebut adalah azali. Sifat-sifat itu bukan zat Tuhan, bukan
pula lain dari zat-Nya.
2. Perbuatan manusia
Perbuatan manusia menurut Asy'ariyah adalah diciptakan Tuhan, bukan
diciptakan oleh manusia itu sendiri.Untuk mewujudkan suatu perbuatan,
manusia membutuhkan dua daya, yaitu daya Tuhan dan daya manusia.Hubungan
perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan yang mutlak
dijelaskan melalui teori kasb, yakni berkaitannya kekuasaan Tuhan dengan
perbuatan manusia.Kasb sendiri megandung arti keaktifan.Karena itu, manusia
bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.[41]
3. Pelaku Dosa Besa
Menurut Asy'ariyah, seorang muslim yang melakukan perbuatan dosa besar
dan meninggal dunia sebelum taubat tetap dihukumi mukmin, tidak kafir,
tidak pula berada diantara mukmin dan kafir, dan diakhirat ada beberapa
kemungkinan:
a. Ia mendapat ampunan dari Allah dengan rahmat-Nya sehingga pelaku dosa
besar tersebut dimasukkan ke dalam surge
b. Ia mendapat syafaat dari nabi Muhammad SAW.
c. Allah memberikan hukuman kepadanya dengan dimasukkan kedalam siksa
neraka sesuai dengan dosa besar yang dilakukannya, kemudian Allah
memasukkannya ke surga.
4. Keadilan Tuhan
Asy'ari berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun. Tuhan
tidak wajib memasukkan orang, baik ke surga ataupun ke neraka. Semua itu
merupakan kehendak mutlak Tuhan, sebab Tuhanlah yang berkuasa dan segala-
galanya adalah milik Allah. Jika Tuhan memasukkan seluruh manusia ke dalam
surga, bukan berarti Tuhan tidak adil. Sebaliknya, jika Tuhan memasukkan
seluruh manusia ke dalam neraka, bukan berarti Tuhan zalim.Tuhan adalah
penguasa mutlak dan tidak ada yang lebih berkuasa. Allah dapat melakukan
apa saja yang dikehendaki-Nya.[42]
Beberapa tokoh yang menyebar dan mengembangkan pemikiran kalam al-
Asy'ari itu, tercatat nama-nama besar seperti: al-Baqillani, al-Juwaini
(imam al-Haramain), al-Isfirayini, Abu Bakar al-Qaffal, al-Qusyairi, Fahr
al-Din al-Razi', Izz al-Dinn'Abd al-Salam, termasuk al-Ghazali dan al-
Bazdawi.[43]
Ada beberapa sebab yang menjadikan Asy'ariyah dipeluk oleh mayoritas umat
Islam:[44]
1. Asy'ariyah muncul di Baghdad, tempat yang ketika itu menjadi pusat
pemikiran dan peradaban dunia Islam. Hal tersebut ditambah penyebaranyya
di Mesir semenjak khilafah Ayyubiyah.
2. Asy'ariyah menggunakan slogan kembali kepada Al-Qur'an, sunnah, dan
salaf. Slogan tersebut menyebabkan umat islam tertarik kepadanya dan
merasakan ketenangan dengannya
3. Memiliki para ulama yang sangat cerdas. Hal yang tidak bisa dilakukan
oleh mazhab manapun ulama itulah yang menyebarkan paham Asy'ariyah
sehingga bisa diterima oleh mayoritas umat Islam.
Sedangkan pemikiran kalam yang banyak masuk serta mewarnai umat Islam
di Indonesia ialah pemikiran kalam al-Asy'ari yang telah dikembangkan oleh
al-Ghazali melalui karya-karyanya, antara lain: Ihya' Ulumuddin, al-Iqtisad
Fi al-I'tiqad, al-Munqidz Min al-Dlalal, dan lain-lain.[45] Selain itu
Ahmad Mahmud Subhi pernah mengatakan bahwa al-Asy'ari adalah salah satu
penganut mazhab Syafi'i yang merupakan mazhab mayoritas di Indonesia.
Sehingga pemikiran al-Asy'ari ini sesuai dengan pemikiran teologi yang
berkembang di masyarakat Indonesia.
KESIMPULAN
Kaum Mu'tazilah adalah golongan yang membawa persoalan – persoalan
teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis.Golongan ini dikenal
sebagai kelompok rasionalis, karena mereka memberikan peran dan fungsi yang
sangat besar kepada akal dalam kehidupan manusia. Tokoh utama aliran
Mu'tazilah ini yakni Wasil bin Atha'. Dalam pemikirannya mereka merumuskan
lima prinsip ajaran yang mereka sepakati yaitu: tauhid, adil, janji dan
ancaman, tempat di antara dua tempat dan amar ma'ruf nahi mungkar.
Adapun ciri – ciri Mu'tazilah ialah suka berdebat, terutama di hadapan
umum. Mereka yakin akan kekuatan akal fikiran, karena itulah mereka suka
berdebat dengan siapa saja orang yang berbeda pendapat dengannya. Meskipun
kaum Mu'tazilah sering melakukan perdebatan dengan menggunakan rasio,
mereka tetap mendapatkan banyak pengikut. Itu semua terjadi karena ajaran
Mu'tazilah mendapat dukungan dan penganut dari penguasa bani Umayyah yaitu
khalifah Yazid bin Walid.
Asy'ariyah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam periode klasik
yang namanya dinisbatkan kepada nama pendirinya yaitu Hasan Ali bin Isma'il
al-Asy'ari. Dalam belajar agama, Al-Asy'ari mula-mula berguru kepada Abu
Ali al-Jubba'i seorang pemuka Mu'tazilah. Akan tetapi, pada usia 40 tahun
ia menyatakan diri keluar dari Mu'tazilah, karena ia mengalami berbagai
keraguan dan tidak puas terhadap doktrin-doktrin Mu'tazilah.
Adapun pokok-pokok ajaran Asy'ariyah yang terpenting antara lain :
Sifat Tuhan (Menurut ajaran Asy'ariyah, Tuhan mempunyai sifat-sifat
sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an.), Perbuatan manusia (Perbuatan
manusia menurut Asy'ariyah adalah diciptakan Tuhan, bukan diciptakan oleh
manusia itu sendiri.), Pelaku Dosa Besar (Menurut Asy'ariyah, seorang
muslim yang melakukan perbuatan dosa besar dan meninggal dunia sebelum
taubat tetap dihukumi mukmin.), Keadilan Tuhan (Asy'ari berpendapat bahwa
Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun.Tuhan tidak wajib memasukkan orang,
baik ke surga ataupun ke neraka.).
DAFTAR PUSTAKA
'Abd Al-Jabbar Ibn Ahmad, Syarh Al-Ushul Al-Khamsah, (Kairo: Maktabah
Wahbah, 1965).
Al-Asy'ari, Abu Al-Hasan, Maqalat Islamiyah wa Ikhtilaf Al-Mushallin,
(Kairo: Maktabah Al-Baghdad Al-Musyriyah, 1969).
Al-Baghdadi, Abu Mansur, Al-Farq bain Al-Firaq, (Kairo: Maktabah
Subei, 1928).
Al-Nasysyar, Nisy'ah Al-Fikr Al-falsafi fi Al-Islam, (Kairo: , 1966).
Al-Syahrastani, Muhammad Ibn 'Abd al-Karim, Al-Milal wa Al-Nihal,
(Kairo: Dar Al-Fikr, 1951).
Amin, Ahmad, Fajr Al-Islam, (Kairo: An-Nahdah, 1965).
Badawi, Abd Ar-Rahman, At-Turas Al-Yunani fi Al Hadarah Al-Islamiyah,
(Kairo: ttp, 1965).
Hanafi, Ahmad, Theology Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan Bintang,
1980).
Hidayat, Muhammad Nur , Benteng Ahlussunnah wal Jama'ah, (Kediri:
Nayrul 'Ilmi, 2012).
Houtsma, M.Th, First Encyclopedia of Islami, (Iedien: EJ Brill, 1990).
Izutsu, Tosihiko, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1994).
Ma'luf, Luis, Al-Munjid fi Al-Lughah, (Beirut: Darul Kitab Al-Arabi,
1960).
Majid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 1995).
Maz'urah, Mahmud, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Al-Manar,
1991).
Mujib, M. Abdul dkk., Ensiklopedia Tasawuf, (Jakarta: Hikmah, 2009)
Nasir, Sahilun A, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan
perkembangannya, (Jakarta: Rajawali, 2010)
Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986).
Subhi, Ahmad M, Fi 'Ilm Al-Kalam, ( Kairo : Dar al-Kutub al-Jami'ah
,1969).
Wafa, Romli A, Rekonstruksi Doktrin Pemikiran dan Pollitik Aswaja,
(Bogor: Al – Azhar Fresh Zone, 2012).
Watt, W.Montgomercy, Early Islami, (Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1990).
Zaid, Nashr Hamid A, Menalar Firman Tuhan: Wacana Majas Dalam Al-
Qur'an menurut Mu'tazilah, (Bandung: Mizan, 2013).
-----------------------
[1] Nashr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan: Wacana Majas Dalam Al-
Qur'an menurut Mu'tazilah (Bandung: Mizan, 2013), 21-22.
[2] Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam) (Jakarta: Bulan Bintang,
1980), 52.
[3] Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam)..., 67.
[4] MuhammadNur Hidayat, Benteng Ahlussunnah wal Jama'ah (Kediri: Nayrul
'Ilmi, 2012), 38.
[5] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 40.
[6] Luwis Ma'luf, Al-Munjid fi Al-Lughah (Beirut: Darul Kitab Al-Arabi,
1960), 207.
[7] Nurcholish Majid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 1995), 17.
[8]Abi Al-Fath Muhammad Abd Al-Karim Asy-Syahratsani, Al-Milal wa An-
Nihalb(Kairo: Dar Al-Fikr, 1951), 48.
[9] Abu Mansur Al-Baghdadi, Al-Farq bain Al-Firaq (Kairo: Maktabah Subeih,
1928), 20-21.
[10] Ahmad Mahmud Subhi, Fi 'Ilm Al-Kalam (Kairo: Dar al-Kutub al-Jami'ah,
1969), 75.
[11] Ahmad Mahmud Subhi, Fi 'Ilm Al-Kalam…, 76.
[12] Ahmad Amin, Fajr Al-Islam (Kairo: An-Nahdah, 1965), 290.
[13] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan…, 42.
[14] Abd Ar-Rahman Badawi, At-Turas Al-Yunani fi Al-Hadarah Al-Islamiyah
(Kairo: ttp , 1965), 185.
[15] Al-Nasysyar, Nisy'ah Al-Fikr Al-Falsafi fi Al-Islam (Kairo: tp, 1966),
429-430.
[16] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan…, 42.
[17] Abd Al Jabbar bin Ahmad, Syarh Al-Ushul Al-Khamsah (Kairo: Maktab
Wahbah, 1965), 196.
[18] Abi Al-Fath Muhammad Abd Al-Karim Asy-Syahratsani, Al-Milal wa An-
Nihal…, 46.
[19] Abdul Huzail Al-Allaf (135-226) adalah maula Abd al-Qais , seorang
tokoh Mu'tazilah aliran Basraih.
[20] Abi Al-Fath Muhammad Abd Al-Karim Asy-Syahratsani, Al-Milal wa An-
Nihal…, 49.
[21] Abu Muhammad bin Abd Al-Wahhab Al-Jubba'i wafat 195 H.
[22] Abu Hasyim Abd As-Salam adalah anak Al-Jubba'I, wafat tahun 321 H.
keduanya tokoh Mu'tazilah aliran Basrah.
[23] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan…,135-136.
[24] Imam Abi Al-Hasan Al-Asy'ari, Maqalat Islamiyah wa Ikhtilaf Al-
Mushallin (Kairo: Maktabah Al-Baghdad Al-Misriyah, 1969), 178.
[25] Abd Al-Jabbar bin Ahmad, Syarh Al-Ushul Al-Khamsah…, 217.
[26] W. Montgomery Watt, Early Islam (Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1990), 86.
[27] Abd Al-Jabbar bin Ahmad, Syarh Al-Ushul Al-Khamsah…, 132.
[28] Mahmud Mazru'ah, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah (Kairo: Dar Al-Manar,
1991), 122.
[29] Mahmud Mazru'ah, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah…, 127.
[30] Mahmud Mazru'ah, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah…, 130-131.
[31] Mahmud Mazru'ah, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah…, 138-139.
[32] M.Th Houtsma, First Encyclopedia of Islam (Iedien: EJ Brill, 1990),
729.
[33] Abd Al-Jabbar bin Ahmad, Syarh Al-Ushul Al-Khamsah…, 142-143
[34] Toshiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1994), 257-258.
[35] Toshiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam…, 259-260.
[36] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan…, 56.
[37] Sahilun A.Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam ) Sejarah, Ajaran, dan
perkembangannya (Jakarta: Rajawali, 2010), 154.
[38] Romli Abu Wafa, Rekonstruksi Doktrin Pemikiran dan Pollitik Aswaja
(Bogor: Al-Azhar Fresh Zone, 2012), 43.
[39] M. Abdul Mujib dkk., Ensiklopedia Tasawuf (Jakarta: Hikmah, 2009), 97-
99.
[40] M. Abdul Mujib dkk., Ensiklopedia Tasawuf…, 95-96
[41] M. Abdul Mujib dkk., Ensiklopedia Tasawuf…, 95.
[42] M. Abdul Mujib dkk., Ensiklopedia Tasawuf…, 96.
[43] M. Abdul Mujib dkk., Ensiklopedia Tasawuf…, 93.
[44] M. Abdul Mujib dkk., Ensiklopedia Tasawuf…, 99.
[45] M. Abdul Mujib dkk., Ensiklopedia Tasawuf…, 99.