BAHAN KULIAH STRUKTUR BETON BERTULANG II
Prof. Ir. Widodo, MSCE, Ph.D
JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA
2008
DAFTAR ISI DAFTAR ISI …………………………………………………………………..... i
BAB I
PERENCANAAN STRUKTUR MENURUT TINGKAT-TINGKAT DAKTILITAS ………….………….….... 1 A. Beban dan Pengaruhnya Terhadap Portal Terbuka ....……....... 1 B. Hubungan Antara Beban Horizontal Dengan Simpangan …...... 2 C. Klasifikasi Tingkat Daktilitas Struktur ……………………….. 4
BAB II
CAPACITY DESIGN PHILOSOPHY …………....…………….. 16 A. Pengertian Capacity Design Philosophy …………………....16 B. Dominasi Beban..……………..….……………………...…… 19
BAB III
REDISTRIBUSI MOMEN ……...………………..……..……... 21 A. Pengertian Redistribusi Momen ….…………..……………… 21 B. Persyaratan Moment Redistribution……………..................... 23 C. Redistribusi Momen Pada Earthquake Load Dominated ……. 24 D. Redistribusi Momen Pada Gravity Load Dominated …....… 27 E. Momen Muka Kolom ……………………………...………… 28
BAB IV
PROSES DESAIN MENURUT KONSEP CAPACITY DESIGN …….…………….……….…… 31
BAB V
DESAIN BALOK TULANGAN RANGKAP ..…….…….…..... 35 A. Teori Desain Balok Tulangan Rangkap .…………………...... 35 B. Perhitungan Tulangan Rangkap Balok …………..................... 40
i
BAB VI
MOMEN KAPASITAS BALOK ………………………..……... 53 A. Teori Momen Kapasitas ……….…………………………...... 53 B. Overstrength Factor, Ø0 …………..…..................................... 54 C. Momen Kapasitas Pada Momen Negatif …………………...... 56 D. Momen Kapasitas Pada Momen Positif …………………….. 59 E. Contoh Perhitungan Momen Kapasitas ….....……………….. 59
BAB VII
GAYA GESER (SHEAR FORCES) ………....…...……..……... 67 A. Pengertian ………….…………..…………………………...... 67 B. Tegangan Pada Balok ………..……….................................... 68 C. Pola Kerusakan Balok ………….…………………..………... 70 D. Keseimbangan Gaya-gaya …………………………………… 73 E. Penyederhanaan Gaya Geser Internal ……………………...... 75 F. Macam-macam Tulangan Geser .……………........................ 76 G. Kuat Geser Oleh Beton …..… ……………………..………... 78 H. Tulangan Geser Menurut Truss Analogy ……………...…….. 79 I.
Desain Tulangan Geser ………………..…………………...... 81
J.
Diameter, Jarak dan Bentuk Sengkang …………..................... 82
K. Diagram Gaya Lintang …...………………………..………... 84 L. Tulangan Geser Balok ……………………………………..… 86
BAB VIII
MOMEN PERLU KOLOM DAN GAYA AKSIAL KOLOM....94 A. Momen Perlu Kolom ….....…….…………………………...... 94 B. Gaya Aksial Kolom …….……...………................................ 101
BAB IX
DESAIN KOLOM …………………...................………..……. 110 A. Desain Kolom Dengan Cara Numerik ……………………... 111 B. Desain Kolom Dengan Cara Grafis (Diagram Mn-Pn) …..... 127 C. Bahasan Kolom Pendek Dengan Cara Analitik ……............. 145 D. Rumus Pn Pendekatan Whitney …………..…...................... 158
ii
BAB X
TULANGAN GESER KOLOM ……..……….…......…..…..... 163 A. Pengertian ……………. ………………………………….... 163 B. Gaya Geser Ultimit Kolom (Vu,k) …..….……..................... 166 C. Desain Tulangan Geser Kolom ……….................................. 167
BAB XI
BEAM COLUMN JOINT …..………..…………………..…….. 173 A. Pendahuluan ……………………………………………....... 173 B. Fungsi Utama Beam Column Joints …………….………...... 174 C. Problema Yang Ada Pada Joint ………..…..……................. 175 D. Keseimbangan Gaya-gaya Pada Joint … ……....................... 176 E. Gaya Geser dan Tegangan Geser Joint ..………..….............. 178 E. Tulangan Geser Joint ………………………..……................179
BAB XII
PONDASI ……………………..…………………………......… 189 A. Pendahuluan ………………………………………......….... 189 B. Jenis Pondasi …………………………..................................190 C. Tekanan Tanah Dibawah Pondasi .……….……....................191 D. Efek Tekanan Tanah Terhadap Pondasi …………….............193
iii
BAB I PERENCANAAN STRUKTUR MENURUT TINGKAT-TINGKAT DAKTILITAS A. BEBAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PORTAL TERBUKA 1. Beban yang dominan pada bangunan 1. Beban Gravitasi → arahnya kebawah a. Beban mati (dead load) b. Beban berguna/hidup (live load) 2. Beban Gempa → arahnya horisontal a. Beban Ekivalen Statik b. Beban Dinamik 2. Pengaruh beban terhadap portal terbuka Mengingat beban portal dapat berupa beban gravitasi dan beban gempa maka untuk memudahkan pembahasan, analisis akibat beban-beban tersebut dipisah dahulu dan kemudian baru digabungkan. Sebagai contoh adalah sebagai berikut :
Sendi plastis (-) diujung Sendi plastis (+) ditengah
Gambar 1.1. Gravity Load Dominated
1
3. Apabila struktur termasuk “gravity load dominated” maka momen akibat beban gravitasi lebih dominan dari pada momen akibat beban horisontal. 4. Apabila gempa arahnya dari kiri, maka elemen-elemen sebelah kanan lah yang akan mengalami respon (momen, gaya-lintang) yang lebih besar. 5. Apabila arah gempa dari kiri, maka momen maksimum positif balok akan bergeser ke kiri.
Sendi plastis (-) diujung Sendi plastis (+)diujung
Gambar 1.2. Earthquake Load Dominated
B. HUBUNGAN ANTARA BEBAN HORISONTAL DENGAN SIMPANGAN
S Daktailitas μΔ = Δu/Δy
respon sesungguhnya (daktail)
So Si
0.8 Si
ideal response
0.75 S
brittle response
Δ
Δ
Δ
Gambar 1.3 Grafik Hubungan Beban Horisontal Terhadap Simpangan
2
Diagram melengkung : 1. Leleh baja tarik belum tentu bersamaan dengan leleh baja desak. 2. Leleh balok-balok belum tentu bersamaan 3. Adanya retak-retak yang memperkecil stiffness. Beban Monotonic Loading kurang realistik sebab : 1. Beban gravitasi bersifat konstan. 2. Beban gempa bersifat impulsif fluktuatif (non periodic non harmonic). 3. Beban angin juga bersifat non periodik non harmonik. → Yang mendekati hanyalah beban akibat ledakan/blasting.
Daktilitas simpangan (displacement ductility) µΔ =
Δu simpangan ultimit = Δy simpangan saat leleh
Simpangan Ultimit adalah simpangan yang mana kekuatan struktur Su ≥ 80% Si
Belum tentu elemen yang mempunyai simpangan ultimit Δu yang besar akan mempunyai daktilitas yang besar.
P Δ u1 > Δ u 2
μ Δ1 = U y1 > U y 2
Δ
Δ
Δ
Δ
μ Δ2 =
Δ u1 Δ y1
Δu2 > μ Δ1 Δ y2
Δ
Gambar 1.4. Grafik Daktilitas Simpangan
Daktilitas Lengkung ( Curvature Ductility) Secara matematis sesuai dengan pembahasan sebelumnya, daktilitas lengkung dinyatakan dalam :
μφ =
φu kurvatur ultimit = φy kurvatur saat leleh
3
Baik daktilitas lengkung maupun daktilitas simpangan akan menjadi parameter yang penting pada desain bangunan tahan gempa. Daktilitas kurvatur akan berkaitan dengan kedaktailan potongan elemen terhadap beban lentur, sedangkan daktilitas simpangan akan berhubungan dengan kemampuan ”struktur secara keseluruhan” untuk berdeformasi secara inelastik akibat beban horisontal/gempa.
C. KLASIFIKASI TINGKAT DAKTILITAS STRUKTUR Istilah daktilitas dan definisinya telah disampaikan beberapa kali pada pembahasan sebelumnya. Pada pembahasan Seismic Design Limit States terdapat beberapa level pembebanan mulai dari Code Level kemudian Service Ability Limit State dengan batas atas sampai terjadinya leleh pertama. Pada level beban yang lebih besar adalah damage ability limit state yang mana elemen struktur sudah leleh secara berkelanjutan, retak-retak beton sudah cukup lebar sehingga perlu grouting. Paulay dan Priestley (1992) menyatakan bahwa batas atas level ini adalah sudah tidak ekonomisnya perbaikan struktur. Sedangkan level pembebanan yang lebih besar lagi adalah Survival Limit State, yaitu beban gempa menurut umur rencana bangunan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah berapa percepatan tanah akibat gempa pada level-level beban tersebut diatas. Mengingat performance criteria (leleh pertama, retak-retak lebar, bangunan sudah rusak, dll) ada yang bersifat kualitatif, maka percepatan tanah pada level-level beban tersebut tidaklah pasti. Performance bangunan akibat beban gempa juga dipengaruhi oleh tingkat desain kekuatan (provided strength) dan kualitas pelaksanaan. Provided strength yang dimaksud misalnya bangunan direncanakan di daerah gempa yang berbeda-beda sehingga kekuatan relatifnya akan berbeda. Walaupun masih relatif terbatas, Widodo (2001) telah melakukan investigasi terhadap percepatan tanah pada level-level beban limit states. Namun demikian studi tersebut masih terbatas pada struktur beton di daerah gempa-4 yang dianggap terletak diatas tanah lunak dengan beban gempa El centro, 1940 N-S Component. Untuk daerah gempa, jenis struktur (baja, beton, open frame, braced frame, frame-walls) dan frekuensi gempa (frekuensi rendah, menengah dan tinggi) serta tingkat daktilitas yang dipakai masih diperlukan investigasi lebih lanjut.
4
Umumnya telah disepakati tingkatan-tingkatan daktilitas yang dikategorikan dalam : 1. Perencanaan Elastik 2. Perencanaan dengan Daktilitas Terbatas (Limited Ductility) 3. Perencanaan dengan Daktilitas Penuh (Fully Ductile Structure) Untuk dapat memahami level-level desain menurut tingkat daktilitas yang diinginkan maka akan lebih baik apabila dipahami terlebih dahulu jenis-jenis daktilitas berikut cara-cara memperolehnya serta makna daktilitas dilihat dari beberapa aspek.
1. Jenis/Macam Daktilitas
Barangkali telah disebut sebelumnya bahwa secara umum terdapat 2 macam
daktilitas yang perlu diketahui. Daktilitas-daktilitas itu adalah daktilitas lengkung (Curvature Ductility) dan daktilitas simpangan (displacement ductility). Pada bahasan sebelumnya telah disajikan tentang ciri-ciri elemen beton bertulang yang dapat bersifat daktail. Hal ini terjadi karena daktilitas lengkung akan dipengaruhi oleh properti elemen (ukuran, jumlah dan distribusi baja tulangan), kualitas bahan (tegangan desak f’c, tegangan leleh baja fy, dan regangan desak beton εc), dan properti-properti yang lain yaitu besaran-besaran yang ada pada balok tegangan desak beton (misalnya nilai-nilai β1 dan k2). Sementara itu daktilitas simpangan akan dipengaruhi oleh properti struktur secara global dan model pembebanan yang ada. Daktilitas simpangan μΔ masih dapat dirinci lagi menjadi : •
Single displacement ductility factor (SDDF)
•
Cyclic displacement ductility factor (CDDF)
•
Accumulatives displacement ductility factor (ADDF)
SDDF diperoleh melalui pembebanan statik akumulatif atau push over analysis. Sedangkan CDDF dan ADDF diperoleh melalui pembebanan siklik. Curvature Ductility, μФ = φu φy Ductility Single Displ. Ductility Displacement Ductility
Cyclic Displ. Ductility Accum.Displ. Ductility
(SDDF = μΔ = Δu ) Δy
5
Δ
a)
S
H
Push over
P
b)
P
c)
Analysis
Model
Si
Δd Δa
histeretik loop asli (real)
0.8 Si
Δc
δ Δy Δy
Δu
δ Δy
Δu
Δ real Δb
SDDF =
Δu Δy
CDDF =
Δ+m + Δ−m − Δ y Δy
ADDF =
Δa + Δb + Δc + Δd +1 Δy
Gambar 1.5. Macam-macam Daktilitas Push Over Analysis yang menghasilkan Single Displacement Ductility Factor adalah suatu proses pembebanan satu arah, mulai dari beban yang relatif kecil kemudian bertambah secara berangsur-angsur sampai struktur mengalami ketidak stabilan/runtuh. Pembebanan seperti ini sebenarnya dipertanyakan oleh banyak orang, karena beban seperti ini sangat jarang terjadi. Oleh karenanya hasil yang diperoleh (displacement ductility) juga kurang begitu realistik. Disamping mekanisme pembebanannya, maka pada Push Over Analysis masih mempunyai problem yang lain yaitu pola/bentuk beban. Bentuk beban yang dimaksudkan apakah
berbangun
segitiga
terbalik,
berbangun
konstan,
berbangun
parabolik
cekung/cembung ataukah mempunyai bangun yang lain. Pertanyaan berikutnya adalah dalam kondisi-kondisi seperti apa kemungkinan bangun beban-beban itu dipakai. Masalah akan berkembang lagi apakah bangun-bangun beban itu akan sama pada jenis bahan struktur yang berbeda (beton, baja), pada jenis struktur utama yang berbeda (Open frames, braced frames, frame-walls) ataupun pada variabel-variabel yang lain (respon elastik, inelastik, frekuensi sudut struktur). Mengingat adanya banyak pertanyaan-pertanyaan itu maka Lawson dkk (1994) mengadakan penelitian tentang Push Over Analysis. Dikatakannya bahwa pemakaian pembebanan seperti ini tidak ada dasar teoritisnya, artinya sangat jarang atau dikatakan tidak ada pola/mekanisme pembebanan seperti ini. Empat macam skel MRF (2, 5, 10, 15 tingkat), 3-bentang frame regular dipakai sebagai bahan penelitian. Pola beban statik 6
segitiga terbalik beban konstant dan SRSS tampaknya dipakai pada penelitian tersebut. Respon (displacement, story ductility ratio, rotasi sendi plastis) non linier static push over analysis kemudian dibandingkan dengan hasil inelastik time-history analysis yang memakai 7 rekaman gempa. Hasil penelitiannya adalah : 1. Roof displacement struktur 2-tingkat (stiff. structure) push over mempunyai korelasi yang baik dengan time history analysis. Namun demikian keduanya mempunyai korelasi yang jelek untuk struktur 15-tingkat Higher mode effects merupakan penyebab utama. 2. Struktur fleksibel (15-tingkat) sangat sensitif terhadap pola beban. Beban konstan menghasilkan
displacement
yang
underestimate,
sedangkan
beban
SRSS
menghasilkan displacement yang overestimate terhadap displacement yang diperoleh dari time history analysis. Beban segitiga terbalik merupakan pola beban yang memberikan hasil paling dekat dengan hasil FHA. 3. Interstory driff bangunan 2 & 5-tingkat cukup dekat dengan hasil THA dan korelasi yang sangat jelek antara keduanya (push over & THA) pada bangunan yang tinggi. Higher mode effects sekali lagi dicurigai sebagai penyebab utama. 4. Rotasi sendi plastik balok untuk struktur 2 & 5-tingkat pada push over analysis agak dekat dengan THA. Namun demikian sangat jauh pada tingkat-tingkat atas di bangunan 10 dan 15-tingkat. Sekali lagi higher mode effects tidak dipunyai pada push over analysis, padahal hal ini sangat besar pengaruhnya pada tingkat-tingkat atas bangunan yang cukup fleksibel (10 & 15 tingkat). Secara umum hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa : 1. Push over analysis masih memberikan manfaat karena adanya informasi-informasi tambahan dibandingkan dengan analisis statik. 2. Push over analysis akan bermanfaat apabila adanya keraguan atas hasil-hasil analisis statik, terutama saat bangunan sedang didesain. 3. Push over analysis hanya dapat memberikan informasi yang cukup dekat dengan THA pada struktur-struktur yang didominasi mode pertama (bangunan cukup kaku). Pengaruh higher modes sangat dominan pada bangunan-bangunan yang fleksibel. Walaupun push over analysis yang menghasilkan SDDF mempunyai beberapa kelemahan, namun metode ini dapat dipakai secara lebih general (struktur utuh) daripada 7
CDDF dan ADDF yang hanya berorientasi pada elemen struktur. Oleh karena itu sebelum ada metode baru yang dapat memanfaatkan prinsip CDDF dan ADDF pada struktur secara utuh, maka konsep SDDF yang berasal dari push over analysis masih dapat dipakai. •
Hubungan Gaya – Simpangan Konsep SDDF Pada Level-level Daktilitas Simpangan Hubungan antara gaya-simpangan secara umum pada struktur bangunan pada
level-level daktilitas menurut Paulay & Priestley (1992) adalah seperti tampak pada
S
gambar.
Δc
Daerah elastik ideal
μΔ = 1 A
S EE
Daerah utamanya berespon elastik
μ= 1,5
B
Δ S EL Sο S EF
Limited Ductility Response
C
μ=3 Fully Ductile Response
μ=8
D
Δmf
ΔyL ΔmE
ΔyE
Δyf
Daktailitas yang sudah tdk dapat digunakan
Δ
ΔmL
Gambar 1.6. Grafik Hubungan S-∆ •
Respon Elastik Antara linier dan elastik kadang-kadang membuat bingung mahasiswa. Linier
bermakna hubungan lurus, berbangun garis lurus. Sedangkan elastik bermakna kembali ke jalur/path semula apabila beban dihilangkan. Tentu saja hal ini berhubungan dengan struktur yang dibebani. Antara linier dan elastik dapat digabungkan yaitu linier-elastik. Apabila struktur mempunyai respon linier elastik berarti apabila beban bertambah besar maka simpangan juga membesar. Rasio antara beban dan simpangan umumnya disebut kekakuan (stiffness). Oleh karena itu struktur berperilaku linier apabila kekakuannya tetap. a)
P
b)
P
K
y
y
H
Linier
Gambar 1.7. Grafik Linier dan Non Linier
y
Non Linier
8
Linier elastik apabila beban bertambah maupun berkurang, hubungan P-y akan melewati garis lurus. Sebaliknya juga ada istilah non-linier yaitu apabila hubungan antara p-y tidak berupa garis lurus (gambar b). Oleh karena itu mungkin juga respon struktur masih berupa linier-elastik maupun non-linier elastik. Respon-respon tersebut akan terjadi pada beban yang relatif kecil dibanding dengan kekuatan struktur, atau respon struktur yang tegangan bahannya belum mencapai tegangan leleh. Beban dinamik seperti beban gempa bumi mempunyai sifat alamiah seperti fenomena-fenomena alam yang lain misalnya seperti hujan, angin maupun banjir. Fenomena alam itu mempunyai periode/kala ulang tertentu, artinya kejadian dengan intensitas tertentu akan terjadi pada periode/setiap waktu tertentu. Gejala alam menunjukkan bahwa intensitas yang besar akan mempunyai kala ulang yang lama/panjang dan seterusnya. Apabila kejadian-kejadian gempa disuatu tempat dianggap independen satu sama lain, maka menurut metode Nilai Ekstrim Gumbel, hubungan antara ukuran gempa M dan periode ulang T dinyatakan dalam bentuk,
eβ M 1
T=
α1
(tahun) .......................
a)
Sedangkan hubungan antara percepatan tanah dengan periode ulang T dinyatakan dalam bentuk a=
ln(T .α 2 )
β2
(cm/dt2) .................
b)
Yang mana α1 ≠ α2 dan β1 ≠ β2. Nilai-nilai α1, α2, β1 dan β2 dapat dicari dengan metode tersebut apabila data gempa dan persamaan attenuasinya diketahui. Menurut persamaan a), apabila ukuran gempa M semakin besar maka periode ulang T juga semakin besar. Apabila T besar maka menurut persamaan b), percepatan tanah yang terjadi juga akan semakin besar. Bangunan-bangunan yang sangat penting dan monumental umumnya dikehendaki untuk dapat bertahan dalam periode waktu yang lama bahkan sangat lama (misal 5001000 tahun). Pada rentang waktu itu dikehendaki bangunan masih berperilaku elastik agar bangunan tetap tegak. Apabila paling tidak terjadi 1 kali gempa pada periode tersebut/periode ulang tersebut, maka tentu saja ukuran gempa M dan percepatan tanah a menjadi sangat besar. Dengan percepatan tanah yang sangat besar dan bangunan masih 9
berespon elastik, maka kekuatan bangunan harus sangat besar juga. Akibatnya bangunan menjadi sangat mahal. Hal itu tidak akan menjadi masalah apabila bangunan yang bersangkutan memang didesain sebagai bangunan yang sangat penting dan monumental. Oleh karena itu hanya bangunan-bangunan seperti itulah yang dikehendaki masih tetap berespon elastik pada gempa yang sangat besar. •
Respon Daktail Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa apabila bangunan yang sangat
penting/monumental dikehendaki bertahan dalam kurun waktu yang lama, maka biaya pembangunannya menjadi sangat mahal. Hal ini terjadi karena pada beban gempa yang sangat besar struktur masih dikehendaki bersifat elastik. Beban gempa menjadi besar karena dalam kurun waktu yang lama hanya dikehendaki 1 kali gempa yang mengakibatkan respon struktur masih elastik maksimum dekat atau terjadi plastis/leleh awal. Hal itu berarti beban gempa yang bersangkutan mempunyai periode ulang T yang sangat lama. Secara matematis dapat dimengerti melalui pers. a) dan b). Namun demikian tidak semua bangunan dikehendaki mempunyai kondisi seperti di atas. Bangunan biasa umumnya mempunyai umur efektif 50-100 tahun. Hal itu berarti bahwa bangunan biasa mempunyai/direncanakan dengan umur efektif yang jauh lebih singkat dari pada bangunan monumental. Dengan memakai analogi yang sama dengan sebelumnya maka beban gempa rencana untuk bangunan biasa akan jauh lebih kecil dari pada gempa rencana bangunan monumental. Apabila rencana untuk bangunan biasa relatif kecil, maka kekuatan yang harus disediakan juga relatif kecil. Dengan demikian biaya pembangunannya akan lebih murah. Namun demikian bangunan seperti itu akan mempunyai resiko apabila gempa yang terjadi lebih besar dari pada gempa rencana. Apabila demikian maka leleh pada elemen-elemen struktur tidak dapat dihindari.
10
•
Struktur Daktail Penuh Sebelum membahas lebih lanjut struktur daktail, ada baiknya disajikan apa yang
umumnya disebut philosophy of design yang akan disajikan dalam Tabel 1.1 berikut ini. General Requirements
Limit states
Gempa
Magn
Performance Criteria
Struktur harus mempunyai kekuatan dan kekakuan yang relatif seragam serta stabil
Service ability
Small
< 6,5
Elastik/belum rusak
Damage ability
Moderate
Survival
Large
Rusak ringan dan 6,5-7,5 dapat berfungsi sehingga diperbolehkan Boleh rusak tapi > 7.5 tidak runtuh
Tabel 1.1. Philosophy of Design Agar performance criteria tersebut diatas dapat dicapai (khususnya untuk struktur daktail) maka bangunan yang direncanakan harus memenuhi kriteria : 1. Konfigurasi Bangunan Harus Baik a. Denah sederhana, sedapat-dapatnya simetri dalam 2-arah dan bangunan tidak terlalu panjang. b. Tampang melintang bangunan berbangun/dekat dengan simetri, rasio antara tinggi bangunan terhadap lebarnya tidak terlalu besar. c. Kekakuan struktur utama cukup seragam pada seluruh tingkat yang ada, dan tidak ada soft story. d. Massa tingkat cukup seragam baik distribusinya terhadap arah horisontal dan vertikal. e. Struktur utama terdistribusi secara merata (misalnya jarak portal dibuat sama/seragam). Portal adalah struktur utama yang cukup baik. Dengan adanya konfigurasi bangunan yang baik maka perilaku struktur akibat gempa dapat diprediksi/diketahui secara baik. Pada bangunan yang konfigurasinya tidak baik, perilaku bangunan akibat gempa kurang dapat diketahui/diprediksi/dimodel dalam analisis secara baik. 2. Bangunan didesain dengan prinsip yang jelas, misalnya didesain dengan prinsip Capacity Design. Di dalam prinsip tersebut prinsip strong column weak beam
11
umumnya dipakai yang mana proses disipasi energi akan/diharapkan dapat berlangsung secara baik. 3. Sebagai implementasi dari butir-butir di atas, bagian elemen struktur yang sengaja/diarahkan untuk terjadi sendi plastik harus didetail secara baik (transversal reinforcement). Detailing yang baik juga dilakukan ditempat yang sengaja tidak boleh rusak khususnya pada joints. 4. Bangunan harus didesain dengan kekuatan (strength) yang cukup. Hal ini untuk menghindari adanya kerusakan secara prematur. Kode yang selalu direview/diperbaiki secara periodik (umumnya setiap ± 10 tahun) akan memungkinkan desain beban yang lebih proporsional. 5. Spesifikasi, Mutu Bahan dan Pelaksanaan Agar proses disipasi energi pada sendi-sendi plastik dapat berlangsung secara stabil, maka potongan elemen harus mempunyai daktilitas kurvatur yang baik. Potongan yang demikian telah dibahas sebelumnya yang terkait pada spesifikasi (persyaratan ρ’/ ρ misalnya) dan mutu bahan. Sesuatu hal yang tidak kalah penting adalah mutu pelaksanaan saat bangunan dibangun. Apabila hal-hal tersebut diatas dapat dipenuhi maka struktur daktail saat terjadinya gempa akan dapat diwujudkan. •
Struktur Daktilitas Terbatas Struktur yang didesain menurut daktilitas penuh adalah struktur yang sederhana
dan ideal. Struktur ini dapat memenuhi daktilitas simpangan μΔ = 3-8 (Paulay dan Priestley 1992). Park (1992) mengatakan bahwa struktur daktail dapat melakukan deformasi inelastik secara stabil dengan tingkat daktilitas μΔ = 5-6. Untuk dapat membayangkan seberapa besar bangunan telah bergoyang maka akan diberikan ilustrasi sebagai berikut.
P
y
Mb
P
M
ΕΙ
hc
Mc =
6 EI y h2
,
Mc
Drift Ratio Dr = sendi plastis
M
Mb = Mc y atau y = Dr.hc hc
Terjadi sendi plastis bila Dr ≥ 0,5% Saat leleh pertama Æ y = Dr.h = 0,05hc
Gambar 1.8. Ilustrasi Goyangan
Bila hc = 400 cm Æ y = 0,05 . 400 = 2 cm 12
→ Bila daktilitas μΔ = 6 = Δu , maka Δu = 6 . Δy = 6 . 2 = 12 cm (Δy = y) Δy
→ Simpangan ultimit Δu =12 cm Apabila syarat-syarat untuk terjadinya struktur daktail kurang dapat diyakini maka struktur dapat didesain dengan “daktilitas terbatas”. Selengkapnya, daktilitas terbatas akan dipakai apabila : 1. Konfigurasi Bangunan Kurang Baik & Bangunan Tinggi
Denah bangunan agar ruwet/tidak teratur/tidak regular
Adanya banyak struktur dinding yang kurang memungkinkan struktur bersifat daktail penuh a)
b) e)
c)
d)
Gambar 1.9. Struktur Daktilitas Terbatas Paulay dan Priestley (1992) memberikan contoh struktur-struktur yang diperkirakan sulit berperilaku daktail secara penuh seperti tampak pada gambar a, b, c dan d. Tampak bahwa struktur tidak regular, pada gambar a kecenderungan bersifat strong beam weak column. Sedangkan pada gambar e, untuk struktur yang langsing (T >>) dominasi beban tidak lagi oleh beban gempa tetapi kemungkinan oleh beban angin. Perilaku struktur kemungkinan
tidak
seperti
akibat
beban
gempa.
Respon
inelastik
struktur
berkemungkinan tidak sebesar akibat beban gempa. Karena adanya respon inelastik yang masih terbatas (relatif kecil) itulah maka elemen-elemen struktur tidak perlu didetail seteliti struktur daktilitas penuh. Dengan perkataan lain struktur seperti gambar e tidak perlu didesain menurut konsep daktilitas penuh, tetapi cukup dengan daktilitas terbatas (limited ductility). 13
2. Struktur Dengan Dominasi Beban Gravitasi Telah disampaikan sebelumnya bahwa akibat kombinasi beban gravitasi dan beban gempa, sistem pembebanan struktur kemungkinan didominasi oleh beban gravitasi (Gravity Load Dominated) kemungkinan yang lain adalah dominasi beban gempa (Earthquake Load Dominated). Kondisi struktur seperti apa yang termasuk kategorikategori tersebut telah dibahas di depan. Masing-masing tipe dominasi beban akan menentukan “Policy” desain struktur yang dapat dilakukan. Pada Gravity Load Dominated (GLD), beban gravitasi lah yang menentukan strength demand untuk keperluan desain. Pada pembebanan tersebut kemungkinan adanya respon inelastik tidak akan sebesar ductile structure akibat dominasi beban gempa. Oleh karena itu menurut Paulay dan Priestly (1992) bangunan kategori GLD tidak perlu disediakan sifat daktail secara penuh. Dengan perkataan lain, bangunan kategori GLD dapat didesain menurut prinsip Limited Ductility atau daktilitas terbatas. Karena daktilitas struktur relatif terbatas, maka struktur harus didesain dengan kekuatan yang lebih besar. 3. Alasan-alasan Lain Yang Sifatnya Khusus Alasan-alasan tertentu dapat membuat keputusan struktur dapat/lebih baik didesain dengan prinsip daktilitas terbatas. Alasan-alasan tertentu dapat digolongkan menjadi alasan mutlak sedangkan yang lain dapat dikatakan tidak mutlak. Penggolongan alasanalasan itu adalah : 1.a
Konfigurasi Bangunan Tidak Baik
b. Bangunan Tinggi/Fleksibel 2.a
Alasan yang tidak dapat/ jangan dihindari
Desain bangunan daktilitas terbatas relatif ringan/mudah
b. Kurangnya skill untuk mendesain daktilitas penuh c. Kurangnya skill dalam menjamin pelaksanaan bangunan yg baik
Daktilitas terbatas
d. Struktur dalam kategori “Gravity Load Dominated” Sebagai kompensasi dari
Cenderung lebih mahal
Kekuatan bangunan harus lebih besar
14
Perbandingan Secara Kualitatif/Kuantitatif antara Daktilitas Penuh dan Daktilitas Terbatas (Park dkk, 1986, 1988) akan dijabarkan pada Tabel 1.2. berikut ini. Tabel 1.2. Perbandingan Antara Daktilitas Penuh dan Daktilitas Terbatas No. 1.
2. 3. 4.
5.
Tingkat Daktilitas Struktur Daktilitas Penuh Struktur Daktilitas Terbatas Definisi Adalah struktur frame/wall Adalah struktur frame/ walls regular yang didesain yang karena keterbatasannya menurut prinsip “Desain diperkirakan sulit untuk Kapasitas” sehingga mampu berdeformasi inelastik secara melakukan disipasi energi baik sehingga perlu didisain yang baik pada respon dengan kekuatan yang lebih inelastik, minimum selama besar daripada struktur 4-kali goyangan sempurna. daktail (maks 4-5 tingkat) Tingkat Daktilitas Simpang μΔ = 3 - 8 μΔ = 1.5 - 3 Koefisien Jenis Struktur k≥1 k≥2 Efektivitas Pemakaian 1. Medium Rise 1. Low Rise Building Buildings (5-10 tingkat) (3-4-5 tingkat) 2. High Rise Building (>30 tingkat) Dominasi Beban Gempa 1. Dominasi Beban Gravitasi (Earthquake Load 2. Dominasi Beban Angin Dominated) Parameter
Prinsip Desain
1.Prinsip Desain Kapasitas 1. Desain kapasitas tidak dengan hierarki yang tegas diperlukan 2.Detailing dilakukan secara 2. Detailing lebih longgar teliti / ketat (relax) 3. Lebih rumit 3. Lebih sederhana
15
BAB II CAPACITY DESIGN PHILOSOPHY
A.
PENGERTIAN CAPACITY DESIGN PHILOSOPHY Setelah member action (momen, gaya lintang, gaya normal) telah diperoleh,
maka langkah selanjutnya adalah menentukan design philosophy. Banyak kasus kerusakan struktur akibat gempa bumi ternyata disebabkan oleh tidak jelasnya prinsip desain yang dipakai. Apabila demikian maka juga tidak ada hierarki yang jelas tentang prinsip/urutan-urutan desain. Capacity Design Philosophy adalah filosofi desain yang dikembangkan di New Zealand (Paulay and Priestley, 1992) sejak tahun 1970an dan banyak diadopsi oleh banyak negara termasuk Indonesia. Dalam mengadopsi tersebut, design philosophy umumnya diadopsi secara prinsip sedangkan prosedur umumnya dimodifikasi sesuai dengan kondisi masing-masing negara. Di Indonesia prosedur desain menurut prinsip ini juga telah dimodifikasi baik tata cara maupun koefisienkoefisien yang dipakai. Pada prinsip desain kapasitas, yang pertama adalah salah satu/elemen tertentu penahan gaya horisontal dipilih untuk didesain secara khusus agar dapat berfungsi untuk tujuan disipasi energi pada tingkat deformasi inelastik. Tempat kritis dimana disengaja untuk berdeformasi secara inelastic tersebut umumnya disebut plastic hinges atau sendi plastis. Tempat-tempat sendi plastis itu didetail secara baik untuk keperluan deformasi inelastik sehingga tidak terjadi rusak lentur maupun rusak geser. Detailing yang dimaksud adalah tulangan lentur dan tulangan geser didesain sedemikan rupa sehingga terjadi sifat daktail pada sendi plastis tersebut. Tata cara detailing yang dimaksud akan dibicarakan secara khusus. Prinsip yang kedua adalah bahwa elemen-elemen yang lain diproteksi sedemikian rupa sehingga tidak akan terjadi kerusakan. Kerusakan sudah dialokasikan ditempat-tempat tertentu dimana sendi-sendi plastis tersebut berada. Dengan detailing yang baik maka sendi-sendi akan berperilaku daktail. Sebagaimana pernah disinggung sebelumnya bahwa daktail terjadi apabila suatu elemen mampu berdeformasi secara inelastik secara berkelanjutan tanpa adanya pengurangan kekuatan yang berarti. 16
Apabila demikian maka akibat beban siklis luasan hysteretic loops menjadi besar. Luasan histeretik loop menunjukkan kapasitas elemen dalam melakukan disipasi energi. Oleh karena itu elemen yang daktail mampu melakukan disipasi energi secara baik/berkelanjutan. Analogi dan perilaku inelastik elemen daktail pada prinsip capacity design adalah seperti tampak pada gambar. Elemen dimana sendi plastik berada, sengaja diperlemah, tetapi didesain secara baik agar bersifat daktail. Karena elemen-elemen yang lain sengaja diperkuat, maka akibat beban siklis, sendi plastis daktail akan terisolasi pada bagian yang lemah. Elemen
lokasi sendi plastis
hysteretic loops
δ
Brittle / Getas
δ
Ductile / Ulet - hysteretis loops luas / besar - disipasi energi besar
Gambar 2.1. Hyeteretic Loops Elemen
Secara lebih konkrit, struktur daktail akan terjadi pada struktur dengan prinsip desain ”strong column weak beam” sedangkan prinsip ”strong beam weak column” akan menghasilkan perilaku struktur yang brittle/getas. Analisis secara kuantitatif atas dua prinsip desain tersebut akan dibahas secara rinci pada bahasan ”Daktilitas Portal Terbuka Beton Bertulang Bertingkat Banyak pada Dua Mekanisme Keruntuhan yang Berbeda”.
17
Sendi Plastis
STRONG COLUMN WEAK BEAM BEAM SWAY MECHANISM
STRONG BEAM WEAK COLUMN COLUMN SWAY MECHANISM
Gambar 2.2. Letak Sendi Plastis Elemen
Secara
sistematik
Paulay
dan
Pristley
(1992)
menyatakan
bahwa
karakteristik/ciri utama capacity design adalah: 1. Letak kemungkinan terjadinya sendi plastis sudah ditentukan secara jelas. Hal ini diperoleh dengan memilih pola penggoyangan yang tepat, yaitu ”beam sway mechanism” yang mana kolom direncanakan lebih kuat daripada balok. Dengan kondisi seperti itu maka sendi-sendi plastis akan terjadi pada ujung-ujung balok dan ujung bawah kolom tingkat dasar. 2. Lokasi-lokasi dimana direncanakan sendi-sendi plastis didetail secara baik sehingga walaupun berdeformasi secara inelastik tetapi tetap daktail. Pada kondisi tersebut tidak akan terjadi kerusakan secara prematur. Karena elemen daktail mampu menjaga kestabilan (tidak runtuh) pada deformasi inelastik, maka proses disipasi energi dapat berlangsung secara baik. 3. Elemen-elemen yang berpotensi brittle dan tidak baik dalam melakukan disipasi energi sengaja diperkuat sehingga tidak akan terjadi sendi-sendi plastis (pada kolom). Cara memperkuat elemen tersebut adalah dengan memberikan kekuatan yang lebih besar daripada ”over-strength” yang ada pada balok. Dengan demikian elemen kolom senantiasa tetap elastik selama beban gempa berlangsung (sementara balok boleh berperilaku inelastik). 4. Shear failure pada saat terjadinya deformasi inelastik harus dihindari dengan jalan memasang lateral confinement yang cukup. Selain itu anchorage failure dan bentuk-bentuk instabilitas yang lain (beam column joint failure) sangat dihindari dengan detail elemen yang baik.
18
B.
DOMINASI BEBAN Bidang momen (BMD) seperti dibahas di atas adalah kombinasi antara momen
akibat beban mati (DL + LL) dan momen akibat beban gempa. Rasio momen MD+L dan momen akibat gempa ME akan mempengaruhi bentuk bidang momen. Ada dua kemungkinan yang membuat/mempengaruhi bentuk akhir bidang momen : 1. Earthquake Load Dominated (ELD) Earthquake Load Dominated (ELD) adalah suatu kondisi yang mana beban gempa mendominasi sistem pembebanan. Hal ini terjadi karena ME jauh lebih besar daripada MD+L. Kondisi seperti itu akan terjadi apabila : a. Bentang balok relatif pendek. Apabila demikian, maka momen oleh beban mati akan relatif kecil. b. Bangunan bertingkat banyak. Pada bangunan bertingkat banyak maka momen balok akibat gempa menjadi besar, terutama pada tingkat-tingkat bawah. c. Bangunan terletak pada daerah gempa yang besar dan terletak diatas tanah lunak. Apabila demikian maka koefisien gempa dasar C akan menjadi besar. Akibat yang akan terjadia adalah gaya geser dasar V akan menjadi besar dan selanjutnya gaya horisontal tingkat menjadi besar. Apabila ELD terjadi maka seperti tampak pada gambar : a. Momen negatif M- jauh lebih besar dibanding dengan M+ b. Momen positif maksimum M+maks terjadi pada ujung balok c. Sendi-sendi plastis akan terjadi pada ujung-ujung balok d. Tidak ada gaya lintang = 0.
Gambar 2.3. Earthquake Load Dominated (ELD)
19
2. Gravity Load Dominated (GLD) Berlawanan dengan ELD, maka GLD momen oleh beban hidup MD+L lebih besar daripada ME. Kondisi ini akan terjadi apabila: a.
Bentang balok relatif panjang Pada kondisi seperti ini momen oleh beban mati dan beban hidup akan menjadi besar.
b.
Bangunan tidak tinggi Artinya hanya beberapa tingkat sehingga momen balok oleh beban gempa masih relatif kecil.
c.
Bangunan terletak di daerah gempa rendah dan diatas tanah lunak.
Pada kondisi GLD, maka seperti tampak pada gambar bahwa : a.
Momen positif M+ cukup dominan
b.
Momen positif maksimum M+maks terjadi dalam bentang balok
c.
Sendi-sendi plastis momen positif tidak terjadi pada ujung-ujung balok
d.
Butir 2 sebagai akibat dari adanya gaya lintang sama dengan nol.
Gambar 2.4. Gravity Load Dominated (GLD)
20
BAB III REDISTRIBUSI MOMEN
A.
PENGERTIAN REDISTRIBUSI MOMEN Pada bahasan Capacity Design Philosophy telah disampaikan bahwa agar
terjadi beam sway mechanism, maka prinsip desain strong column weak beam adalah design philosophy yang dianggap tepat. Pada prinsip desain tersebut, elemen balok dirancang sedemikian rupa sehingga lebih lemah daripada kolom. Hierarki yang pertama pada proses desain bangunan tahan gempa adalah desain balok. Pada bahasan dominasi beban telah diketahui bahwa ada dua kemungkinan dominasi beban yang mungkin akan terjadi. Pada bahasan redistribusi momen ini maka pokok bahasan akan berkaitan dengan dominasi beban yang pertama yaitu ”earthquake load dominated”. Kombinasi/superposisi momen balok oleh beban mati dan beban gempa adalah sebagai berikut. q
H
M-D+L ME M+ M-
M+D+L M- >>M+ Redistribusi momen Pada gambar diatas tampak jelas bahwa untuk ELD akan diperoleh nilai momen negatif M- yang umumnya jauh lebih besar dari pada momen positif M+.
21
Apabila desain elemen didasarkan pada fakta tersebut maka ukuran balok akan cukup besar untuk mengakomodasi M- sementara hanya diperlukan balok yang relatif lebih kecil untuk memenuhi kebutuhan kekuatan pada momen positif M+. Agar penghematan dapat diperoleh maka pada prinsip desain bangunan tahan gempa dimungkinkan adanya ”redistribusi momen”. Redistribusi momen yang dimaksud adalah dengan mengurangi momen negatif dan menaikkan nilai momen positif. Secara jelas Paulay dan Priestley (1992) mengatakan bahwa tujuan diadakannya redistribusi momen adalah untuk meningkatkan efisiensi desain elemen dengan : 1.
Mengurangi momen maksimum absolut (M-) dan mengkompensasikan ke uncritical beam momen (M+). Dengan cara tersebut maka distribusi beam required strength menjadi lebih baik dan desain menjadi lebih ekonomis. Redistribusi momen ini bahkan dimungkinkan sampai momen negatif menjadi hampir/sama dengan momen negatif. Apabila kondisi seperti itu diperoleh maka tulangannya akan simetri antara momen negatif dan momen positif.
2.
Memberikan required strength untuk momen positif minimal 50% required strength momen negatif elemen balok. Hal ini dilakukan karena kebutuhan adanya sifat daktail pada lokasi sendi plastis. Park dan Paulay (1975) mengatakan bahwa berdasarkan analisis tampang, daktilitas potongan akan semakin besar pada pemakaian tulangan desak yang semakin besar. Tulangan desak pada analisis tampang tersebut tidak lain adalah tulangan momen positif pada kondisi ELD.
3.
Mengefisienkan Desain Kolom. Apabila redistribusi momen negatif ke momen positif telah dilakukan, maka beam required strength akan mengecil. Karena kolom merupakan partner balok, maka apabila required strength balok menurun, required strength kolom pada daerah kritis (M-) juga akan mengecil. Kolom menjadi lebih efisien.
4.
Memakai momen balok dan kolom ditepi/ditempat muka pertemuan. Pada cara konservatif, desain balok didasarkan atas momen di as kolom. Dengan memakai momen pada muka kolom, maka momen efektif akan lebih kecil secara signifikan dibanding dengan gross momen (terutama pada M-). Pada momen positif kejadian sebaliknya dimungkinkan terjadi. 22
sendi plastis Mef = Momen efektif Mg = Gross moment Gambar 3.1. BMD Earthquake Load Dominated
B.
PERSYARATAN MOMENT REDISTRIBUTION Walau bagaimanapun baiknya konsep redistribusi momen, tetapi apabila tidak
terkendali, maka akan memberikan akibat yang tidak baik (buruk). Oleh karena itu syarat-syarat dalam meredistribusi momen berikut ini harus diperhatikan.
Vj+1 1
2
Vj+1
F
3
Vj+1
Vj+1
4
Vj+1
j
1
2
Vj
3
Vj
Vj
4
Vj
Vj 1. Keseimbangan gaya lintang sebelum dan sesudah redistribusi harus tetap dijaga. V j − F j − V j +1 = ∑ j V − F j − ∑ j +1V i
i
2. Jumlah momen balok sesudah redistribusi momen harus sama dengan jumlah momen sebelum redistribusi dilakukan.
∑ M + ∑ ΔM b
b
= ∑ M br = konstan
Mb adalah momen balok, ∆ Mb adalah perubahan momen karena redistribusi dan Mbr adalah momen setelah redistribusi. 23
3. Secara praktis redistribusi momen ∆ Mb tidak boleh lebih besar dari 30% momen aslinya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi penurunan kekuatan yang sangat signifikan. Penurunan kekuatan yang signifikan akan menyebabkan terjadinya premature failure.
Contoh : Redistribusi Momen Untuk dapat melakukan redistribusi momen, maka hasil analisis struktur harus sudah ada. Agar proses redistribusi momen dapat dipahami secara baik, maka analisis struktur akibat beban mati, beban hidup dan beban gempa sebaiknya dilakukan dengan cara terpisah. Gaya-gaya dalam (internal forces) total yaitu momen, gaya lintang dan gaya normal diperoleh dengan superposisi atas hasil analisis yang dilakukan secara terpisah tersebut. Pada pembahasan di atas telah disampaikan bahwa sebelum dan sesudah redistribusi maka required strength harus tetap nilainya. Hal ini dapat dimengerti secara mudah bahwa jangan sampai terdapat loss of strength pada proses redistribusi momen. Istilah yang dipakai memang redistribusi momen, karena hanya momen lah yang biasanya dilakukan redistribusi. Apabila tidak terjadi loss of required strength pada saat redistribusi, maka juga tidak akan terjadi pengurangan gaya lintang.
C.
REDISTRIBUSI MOMEN PADA EARTHQUAKE LOAD DOMINATED Pada bahasan dominasi beban telah diketahui bahwa ada dua kemungkinan
dominasi beban yang mungkin akan terjadi. Pada bahasan redistribusi momen ini maka pokok akan berkaitan dengan dominasi beban yang pertama yaitu earthquake load dominated. Kombinasi superposisi momen balok oleh beban mati, hidup dan gempa adalah sebagai berikut.
Gambar 3.2. BMD Akibat Beban Gravitasi dan Beban Gempa Pada gambar di atas tampak bahwa untuk earthquake load dominated akan diperoleh nilai momen negatif yang umumnya jauh lebih besar daripada momen positif. 24
Apabila desain elemen didasarkan pada fakta tersebut, maka ukuran balok akan cukup besar untuk mengakomodasi momen negatif, sementara hanya diperlukan balok yang relatif kecil untuk memenuhi kebutuhan kekuatan pada momen positif. Agar penghematan dapat dicapai, maka pada prinsip desain bangunan tahan gempa dimungkinkan adanya redistribusi momen. Redistribusi momen yang dimaksud dilakukan dengan mengurangi momen negatif dan menaikkan nilai momen positif. Diambil dari hasil analisis struktur dari metode Muto (1975), misalnya redistribusi momen tingkat ke-2. Pengalaman dari beberapa analisis struktur menunjukkan bahwa momen negatif balok hasil analisis akibat beban mati dan beban hidup nilainya hampir sama dengan momen negatif balok pada elemen jepit-jepit. Momen positif pada struktur simple beam adalah, 1 M + = QL2 8
Momen negatif balok jepit-jepit adalah, M− =
1 QL2 12
Gambar 3.3. BMD Akibat Beban Gravitasi Momen total adalah superposisi diantaranya (menjadi fixed end moment). Momen hasil analisis struktur pada prakteknya hampir sama dengan momen superposisi tersebut. Oleh karena itu momen FEM tersebut dapat dipakai untuk keperluan redistribusi momen. Apabila intensitas beban terbagi rata Q = 3 t/m dan bentang balok L = 8 m, maka M+ =
1 1 .3.8 2 = 24 tm dan M- = .3.8 2 = 16 tm. 8 12
25
24
a) 16
b)
MD+L
c)
MD+L
9.56
12.5
d) setelah redistribusi momen
9.56
47.876
12.5
50.816
Gambar 3.4. Superposisi BMD Earthquake Load Dominated Pada gambar c) tampak bahwa momen positif maksimum M+ = 18,816 tm, sementara M- = 50,816 tm. Perbedaan antara keduanya sangat besar, oleh karena itu kalau tidak dilakukan redistribusi momen maka desain elemen tidak efisien. Total required strength balok menurut gambar c) adalah, M t = 18,816 + 47,876 + 15,876 + 50,816 = 133,384 tm Setelah dilakukan redistribusi momen, maka required strength harus tetap nilainya, atau Mt = 133,384. Suatu hal yang harus diperhatikan bahwa redistribusi momen tidak boleh lebih dari 30%. Batas tersebut berarti bahwa momen maksimum ∆M = 30% x 50,816 = 15,245 tm. Misalnya dipakai ∆M =12,5 tm (24,6% < 30%), sehingga
M − = 50,812 − 12,5 = 38,316 tm 133,384 − (2 × 38,316) M+ = = 28,376 tm > 50% M − 2 26
D.
REDISTRIBUSI MOMEN PADA GRAVITY LOAD DOMINATED
Paulay dan Priestley (1992) mengatakan bahwa pada gravity load dominated persoalannya berbeda dengan earthquake load dominated, khususnya dalam hal redistribusi momen. Redistribusi momen khusus untuk gravity load dominated agak rumit tetapi akan menghasilkan desain yang efisien. Dapat saja dipakai redistribusi momen dengan cara biasa, tetapi hasilnya kurang efisien. Redistribusi momen pada tingkat ke-2 dengan cara biasa dan memakai hasil ME pada daerah gempa 3 akan menghasilkan bidang momen seperti gambar c). Apabila cara tersebut dipertahankan, maka ada kemungkinan momen positif lapangan akan lebih besar dari pada momen negatif. Oleh karena itu redistribusi momen dilakukan sedemikian rupa sehingga M+lap akan mendekati M-. Pada gambar c) tersebut M+lap = 11,52 tm. Misal diambil ± 20% redistribusi momen ∆M = 6,5 tm, maka : M t = 1,532 + 0,526 + 32,526 + 33,532 = 68,116 tm M − = 33,532 − 6,5 = 27,032 tm 68,116 − (2 × 27,032) M+ = = 7,026 tm << 50% M − 2 Maka diambil momen positif lapangan : M + = 11,52 + 6,5 = 18,02 tm 24
a)
16
24 16
b)
c)
d) setelah redistribusi momen
Gambar 3.5. Superposisi BMD Gravity Load Dominated
27
E.
MOMEN MUKA KOLOM
Setelah digambar akan tampak seperti pada gambar d). Gambar tersebut adalah momen pada as kolom. Padahal momen yang dipakai untuk desain adalah momen balok pada muka kolom. Oleh karena itu momen negatif M- = 38,316 tm masih akan berkurang cukup signifikan, sedangkan momen positif M+ = 28,376 tm tidak akan berubah banyak. Cara memperoleh momen balok ditepi muka kolom adalah : L
a
Gambar 3.6. BMD As Kolom
xi =
4 fa (l − a ) l2
xi' =
xa =
4 fb(l − b) l2
b xa' = ( M 1 + M 2 ) l
Bila : a = 0,3 m b = 0,35 m
a (M 1 + M 2 ) l
l =8m
1 f = Ql 2 = 24 tm 8
M 1 = 28,376 tm
M 2 = 38,316 tm
xi =
4. f .a( L − a) L2
xa =
4. f .b( L − b) L2
xi ' =
a (M 1 + M 2 ) L
xa ' =
b (M 1 + M 2 ) L 28
maka : xi =
4 fa (l − a ) 4.24.0,3(8 − 0,3) = = 3,465 tm l2 82
xa =
4 fb(l − b) 4.24.0,35(8 − 0,35) = = 4,0163 tm 82 l2
xi' =
a 0,3 (M 1 + M 2 ) = (28,376 + 38,316) = 2,501 tm l 8
x a' =
b 0,35 (M 1 + M 2 ) = (28,376 + 38,316) = 2,918 tm l 8
M + = M 1 − xi' + xi = 28,376 − 2,501 + 3,465 = 29,4304 tm
M − = M 2 − x a' − x a = 38,316 − 2,918 − 4,0163 = 31,5047 tm
Maka :
M u− = 31,5047 tm M u+ = 29,4303 tm
Apabila contoh cara Muto tersebut untuk bangunan biasa, yaitu I = 1 dan terletak di daerah gempa 3 di atas tanah lunak, maka nilai C = 0,07 sehingga Vt = C . I . K . W = 0,07 . 1 . 1. 275,2 = 19,264 t. Dengan cara yang sama, maka momen akibat beban gempa adalah seperti pada Gambar 3.7.
Gambar 3.7. BMD
29
Momen balok di tepi muka kolom : Seperti contoh sebelumnya akan diperoleh x a' =
b 0,35 (M 1 + M 2 ) = (7,032 + 27,032) = 1,490 tm l 8
xa =
4 fb(l − b) 4.24.0,35(8 − 0,35) = = 4,0163 tm 82 l2
M − = 27,032 − 1,49 − 4,0163 = 21,526 tm + M lap = 18,02 tm
Sendi-sendi plastik ELD
Sendi-sendi plastik GLD
30
BAB IV PROSES DESAIN MENURUT KONSEP CAPACITY DESIGN Penerapan desain kapasitas yang dimaksud dalam hal ini adalah penerapannya pada portal terbuka (open frame). Dengan memakai prinsip desain kapasitas, maka hierarki kerusakan struktur akan terkendali sebagaimana terjadi pada konsep “beam say mechanism”. Disamping itu, proses disipasi energi pada sendi-sendi plastis diujung-ujung balok akan terjadi secara baik karena tempat-tempat tersebut didetail secara baik agar berperilaku daktail. Perlu diketahui bahwa disipasi energi pada konsep ini hanya diperbolehkan pada ”inelastic bending deformation” akibat beban dinamik bolak-balik. Urutan proses desain adalah sebagai berikut (Paulay and Priestley, 1992) : 1. Desain Balok Lentur Langkah-langkah yang telah dibahas pada redistribusi momen adalah dalam rangka menentukan ”ultimate required beams flexure strength atau Mb,u. Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa momen yang dipakai sebagai dasar desain (Mu) adalah momen balok pada tepi muka kolom. 2. Desain Tulangan Geser Balok Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa disipasi energi hanya diharapkan pada ”inelastic bending deformation” pada ujung-ujung balok. Hal ini berarti bahwa pada prinsip desain kapasitas, tidak diperbolehkan mengandalkan disipasi energi dari ”inelastic shear deformation”. Dengan kata lain balok tidak boleh rusak oleh gaya geser. Oleh karena itu perlindungan terhadap rusak geser menjadi sangat penting.
31
P
T
P
P
efek gaya aksial δ
δ
P P
Flexural Dominated Strength Degradation
Shear Dominated Pinching Effect
Gambar 4.1. Histeretic Loops
Pada non strength degradation flexural dominated element, maka luasan histeretik loop cukup besar dan tidak terjadi penurunan kekuatan. Pada kondisi ini disipasi energi berlangsung dengan baik. Sebaliknya pada ”shear dominated element” luasan histeretik loop relatif kecil, sehingga disipasi energi tidak dapat diandalkan pada peristiwa ini. Hal tersebut dipertegas bahwa rusak geser umumnya terjadi secara tiba-tiba. 3. Desain Kolom Pada konsep desain kapasitas, desain kolom akan bersangkut secara erat dengan kapasitas balok. Hal ini terjadi karena adanya hierarki kerusakan/kekuatan struktur agar terjadi ”strong column weak beam”. Pada prinsip tersebut secara hierarki, kekuatan kolom harus lebih besar dari pada kekuatan balok. Untuk itu kekuatan maksimum balok harus diketahui terlebih dahulu. Dalam hal ini ”beam overstrength factor Øo” dipakai sebagai faktor pengali dari ”ultimate required strength Mu” ke ”strength capacity Mo”. 4. Desain Tulangan Geser Kolom Pada gambar dibawah tampak bahwa gaya aksial (seperti pada kolom) cenderung mengakibatkan struktur kurang daktail/mengakibatkan degradasai kekuatan. Pada kolom tingkat dasar, beban aksialnya maksimum, padahal pada ”strong column weak beam”, sendi plastis akan terjadi pada ujung bawah kolom tingkat dasar. Oleh karena itu confinement pada tempat tersebut sangat diperlukan. Diameter 32
sengkang dan jarak sengkang s harus didesain sedemikian rupa sehingga ”buckling” tulangan memanjang tidak terjadi. Apabila demikian sifat daktail pada sendi-sendi plastis dapat dicapai.
Sendi Plastis
STRONG COLUMN WEAK BEAM ”BEAM SWAY MECHANISM”
Gambar 4.2. Pola Sendi Plastis pada Bangunan
5. Desain Beam Column Joint Diawal pembahasan Reinforce Concrete frame telah disampaikan bahwa sifat ”statically indeterminated structure” akan dapat dipertahankan apabila joint tetap kaku/monolit selama terjadinya deformasi inelastik pada balok. Pada beam column joint akan terjadi gaya geser yang besar sebagai akibat dari momenmomen balok dan kolom. Adanya ”diagonal compression” akibat adanya momen-momen balok dan kolom akan berusaha memecahkan joint secara diagonal. Hal ini akan diperparah oleh adanya gaya aksial kolom. Oleh karena itu tulangan geser horisontal pada joint akan sangat diperlukan untuk menahan gaya geser tersebut. Sifat penahanan oleh balok kiri dan kanan joint akan berkurang karena diujung-ujung balok tersebut telah terjadi sendi-sendi plastis.
33
Gambar 4.3. Gaya yang Bekerja Pada Joint Balok Kolom
34
BAB V DESAIN BALOK TULANGAN RANGKAP A.
TEORI DESAIN BALOK TULANGAN RANGKAP Desain balok tulangan rangkap yang dimaksud adalah menentukan ukuran balok,
jumlah, komposisi dan penempatan tulangan sedemikian rupa sehingga mampu menyediakan kekuatan yang lebih besar atau sama dengan kebutuhan kekuatan. Mengingat pada beban gempa arah beban dapat bolak-balik maka komposisi tulangan untuk menahan momen negatif dan momen positif harus diatur sedemikian rupa sehingga memenuhi persyaratan SKSNI-1991 Pasal 13. 14. 3. 2. (2) yaitu : “Kuat momen positif disisi muka kolom tidak boleh kurang dari ½ kuat momen disisi negatif pada tempat yang sama”. Ketentuan tersebut adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan daktilitas yang salah satunya adalah daktilitas suatu potongan akan tinggi apabila kandungan tulangan desak cukup besar. Review : Kondisi Balance ε
ε
ε
Gambar 5.1. Gaya-gaya Kopel pada Balok
35
Berdasarkan Gambar, maka akan diperoleh perbandingan, eb h = ∈c ∈c + ∈y
cb =
∈c ×h ∈c + ∈y
Berdasarkan keseimbangan gaya-gaya horisontal yaitu : Cc = Ts 0.85 f’c . β1 . Cb . b = ρb . b . h . fy ρb = 0.85 f ' c . cb .β 1 fy h
Subtitusi nilai Cb kedalam persamaan, akan diperoleh :
ρb =
ρb =
β 1 ∈c . .h. 1 m ∈c + ∈y h
β1
∈c fy , m= 0.85 . f ' c m ∈c + ∈y .
Berdasarkan keseimbangan gaya-gaya horisontal, Cc = Ts 0.85.f’c . a . b = As . fy 0.85 f’c . a . b = ρ.b.h . fy a=
fy ρ .h 0 . 85 f ' c
Momen yang dapat dikerahkan oleh gaya-gaya, Mn = Ts ( h-a/2) fy ρ ⎫ . .h ⎬ ⎨h − 0.85 f ' c 2 ⎭ ⎩
= ρ.b.h.fy ⎧
= ρ.b.h.fy.h ⎧1 − 1 ρ .m⎫ ⎨ ⎬ ⎩
2
⎭
= ρ.b.h2.fy ⎧1 − 1 ρ .m⎫ ⎨ ⎬ ⎩
2
⎭
Mn = R.bh2 R = ρ.fy ⎧1 − 1 ρ .m⎫ ⎨ ⎬ ⎩
2
⎭
36
Contoh : Misalnya dihitung
ρb
untuk kombinasi f’c = 20 Mpa (205 kg/cm2) dengan mutu baja
fy = 400 Mpa (4080 kg/cm2). Nilai
β 1 = 0,85; dan εc = 0,003; Es = 2,1 x 106 kg/cm2.
Penyelesaian : m=
fy 4080 = = 23,4146 0,85 f ' c 0,85 x 205
εy =
fy 4080 = = 0,001943 Es 2,1x10 6
ρb =
0,003 0,85 . = 0,02203 23,4146 0,003 + 0,001943
(2,203 %)
37
Mulai
Mu dari data analisis yang sudah diredistribusi
ρ max = 0,75. ρ b 0,85. f' c .β1 ε c .E s . → 1,4 ε c .E s + f y fy ρ min = fy dengan :
ρb =
f’c < 30 MPa ~ ß1 = 0,85 f’c > 30 MPa ~ ß1 = 0,85-0,008(f’c-30) > 0,65
m=
fy 0,85. f 'c
R n = ρ. f y .(1 − 1 .ρ .m) 2
d2 =
Mn b.R n
h = d + d' h > 2b
Tidak
Ya
Rn1 = (0,3 s/d 0,8). Rn
M n1 = 0,85. f' c . a.b (d − a/2 ) Dari persamaan kuadrat didapat hasil a Dengan Mn1 = Rn. b. d2
A s1 =
0,85. f' c . a. b fy
n1 =
A s1 Aφ
A s1.ada = n1 .Aφ a' =
A s1.ada . f y 0,85. f'c .b
Mn2 = Mn – Mn1'
A s2 =
M n2 f y .(d − d' )
n2 =
A s2 Aφ
Tulngan tarik = n1 + n2
Tulngan tekan = n2
As ada > 50% A’s.ada
Tidak
Ya
M n1 ' = 0,85. f'c. a'. b.(d − a 2)
Selesai
Gambar 5.2. Flow chart perhitungan balok bertulangan rangkap
38
Mulai
Tetapkan hasil perhitungan tulangan memanjang balok
a=
(A s.ada - A's.ada ). f y 0,85. f'c .b
aleleh =
Belum leleh
Tidak
ε c .E s .β1d' ε c .E s − f y
a ≥ aleleh
Ya
Sudah leleh
⎛ a − β1d' ⎞ A s.ada . f y = A's.ada .⎜ ⎟ε c .E s + 0,85. f' c . a. b ⎝ a ⎠ Dari persamaan kuadrat didapat hasil a Dengan : a
c=
β1 M n1 = 0,85. f' c . a. b. (d − a 2) M n2 = A's.ada . f y . (d − d' )
c − d' f 's = ε c .E s c M n1 = 0,85. f' c . a. b. (d − a 2) M n2 = A's.ada . f 's . (d − d' ) Mn = Mn1 + Mn2
Selesai
Gambar 5.3. Flow chart momen tersedia pada balok
39
B. PERHITUNGAN TULANGAN RANGKAP BALOK
Kembali ke hasil redistribusi, misalnya yang akan didesain adalah balok tengah dengan Mu- = 760 kNm (77,52 tm) dan Mu+ = 548 kNm (56,896 tm). ε
ε
Gambar 5.4. Potongan dan Gaya-gaya Kopel pada
Balok Tulangan Rangkap Dipakai f’c = 22,5 MPa (229,5 Kg/cm2), fy = 400 MPa = 4080 Kg/cm2 Es = 2100000 Kg/cm2, β = 0,85 , εc = 0,003 Dipakai tulangan pokok D25, Ad = 1 x π x (D)2 = 1 x π x (2,5)2 = 4,908 cm2, 4
4
Tulangan sengkang P10, selimut beton = 4 cm d = Pb + Ø tulangan sengkang + Ø tulangan pokok + ½ . jarak antar tulangan = 4 + 1 + 2.5 + (½ x 2,5) = 8,75 cm , d’ = 4 + 1 + (½ x 2,5) = 6,25 cm εy = fy = 0,001943. Es •
Mengestimasikan ukuran balok Mu
φ
= Rm .b.h 2
→ semuanya dapat dilihat di Struktur Beton I
m
=
ρb
=
fy 4080 = = 20,915 0,85 x f ' c 0,85 x 229,5
β m
x
εc εc + εy
=
0,85 20,9150
x
0,003 = 0,0247 0,003 + 0,001943 40
ρm
= 0,75 ρb = 0,75 x 0,0247 = 0,0185
Rb
= ρb x fy x (1 - (0.5 x ρb x m)) = 0,0247 x 4080 x (1 – (0,5 x 0,0247 x 20,915)) = 74,67 Kg/cm2
Rm
= 0,75 x Rb = 0,75 x 74,67 = 56 Kg/cm
Mn
= Rm x b x h2
; h = 2b
77,52 x10 5 0,8
= 56 x b x b2
9690000
= 224 x b3 b
=
3
9690000 224
= 35,103 cm
dipakai : b = 35 cm h = 68,75 cm ht = h + d = 68,75 + 8,75 = 77,50 cm h’= ht – d’ = 77,5 – 6,25 cm
1. Komponen Tulangan Sebelah
Karena Mu+ 72% dari Mu-, maka nilai itu jauh melebihi 50% Mu-. Oleh karena itu dipakai R1 cukup kecil. Misal dipakai R1 = 0,2 Rb = 0,2 x 74,67 = 14,934 kg/cm2 M1 = R1.b.h2 = 14,934 x 35 x (68,75)2 = 24,7053 tm = 2470526,95 Kg cm M1= 0,85 f’c .a .b .(h – a/2) 2470526,95 = 0,85 x 229,5 x a x 35 x (68,75 – a/2) 2470526,95 = (0,85 x 229,5 x 35 x 68,75) – (
0,85 x 229,5 x 35 ) 2
2470526,95 = 469399,2188 a – 3413,8125 a2 3413,8125 a2 – 469399,2188 a + 2470526,95 = 0 3413,8125 a2 - 469399,2188 a + 2470526,95 3413,8125 a2 -137,5a + 723,6856 = 0 a=
− b ± (b) 2 − (4.a.c) 2.a
41
137,5 − (137,5) 2 − (4 x 1 x 723,6856) = 5,4817 cm 2 x1
a=
a
c=
β1
εs =
=
5,4817 = 6,449 cm 0,85
c − d' 6,449 − 6,25 x εc = x 0,003 = 9,26.10-5 < 0,001943 c 6,449
→ Baja desak belum leleh Cc = 0,85 x 229,5 x 5,4817 x 35 = 37426,9919 Kg Ts1 = Cc = As1 x fy As1 = Cc = 37426.9199 = 9,1732 cm2 4080 fy n1 =
As1 9,1732 = = 1,87 ≈ dipakai 2 buah → 2 D25 Ad 4.908
As1 = 2 x 4,908 = 9,816 cm2 Ts1 = As1 x fy = 9,816 x 4080 = 40049,28 Kg Ts1 = Cc = 0,85 f’c .a .b → a =
Ts1 40049,28 = = 5,865 cm 0,85 f ' c.b 0,85 x 229,5 x35
M1 = Cc.(h-(a/2)) = 0,85 x 229,5 x 5,865 x 35 x (68,75–(5,865 /2)) = 2635897,87 Kg cm c = a/β = 5,8657/0,85 = 6,90 cm εs =
c − d' 6,9 − 6,25 x εc = x 0,003 = 0,000282 < 0,001943 c 6,9
→ Sekali lagi baja desak belum leleh
2.
Komponen Tulangan Rangkap
M2 = Mn – M1 = (96.9 x 105) – (26.3589 x 105) = 7054110 Kg cm Untuk sementara tulangan desak dianggap leleh dulu, yaitu untuk menentukan jumlah tulangan rangkap.
Ts2 = Cs =
M2 7054110 = = 112865,76 Kg h − d' 68,75 − 6,25
Ts2 = As2 x fy
42
As2 = n2 =
112865,76 Ts2 = = 27,6631 cm2 fy 4080
As2 27,6631 = 5,6363 buah → dicoba dipakai 6 buah → 6 D25 = 4,908 Ad
Sehingga : 2
6 8D25
6D25 tul. sebelah
tul. rangkap
penulangan rangkap
Kontrol jarak antar tulangan : S=
b balok − 2 ( Pb + φ sengkang ) − n 1 lapis coba x φ tulangan pokok >2,5 n 1 lapis coba − 1
Misal dipakai n 1 lapis = 4 S=
35 − 2 (4 + 1) − 4 . 2,5 15 = = 5 cm > 2,5 cm → Ok! 4 −1 3
Karena tulangan desak belum leleh maka dengan susunan tulangan seperti itu akan dianalisis, apakah dapat menyediakan kuat lentur nominal yang memenuhi kebutuhan.
3. Kontrol Kuat Lentur Momen Negatif
Analisis Balok Tulangan Rangkap dengan Baja Desak Belum Leleh ε
ε
ε
Gambar 5.5. Desain Balok Tulangan Rangkap dan
Gaya-gaya yang Terjadi
43
Keseimbangan gaya-gaya horisontal Ts1 + Ts2 = Cc + Cs (Ast) fy = 0,85 f’c . a . b + As’ . fs (Ast) fy = 0,85 f’c . a . b + As’ . εs . Es (Ast) fy = 0,85 f’c . a . b + As’ x
a x β x d' a
x εc x Es
(8x4,908)x4080 = (0,85x229,5xax35)+(6x4,908)x
ax0,85 x6,25 x0,003x2100000 a
160197,12 = (0,85x229,5xax35) + (6 x 4,908 x 0,003 x 2100000) a − (6 x 4,908 x 0,85 x 6,25 x 0,003 x 2100000) a
160197,12 = 6827,625 a +
185522,4 a − 985587,75 a
6827,625 a + (185522,4 - 160197,12)a – 985587,75 = 0 Hubungan diatas akan menghasilkan persamaan dalam a kuadrat, a2 + 3,7092 a – 144,3529 = 0 − 3,7092 + (3,7092) 2 + (4 x 1 x 144,3529) a= = 10,3023 cm 2 x1 a
c=
β
εs =
=
10,3023 = 12,1204 cm 0,85
c − d' 12,1204 − 6,25 x εc = x 0,003 = 0,00145 < 0,001943 = ɛy 12,1204 c
→ εs = 0,00145 < 0,001943, maka betul “Baja desak belum leleh” fs = εs x Es = 0,00145 x 2100000 = 3051,3448 Kg/cm2 Momen nominal yang dapat dikerahkan : a M1 = 0,85 x f’c x a x b (h - ) 2
= 0,85 x 229,5 x 10,3023 x 35 x (68,75–(
10,3023 )) 2
= 4473558,439 kg cm = 44,735 tm
44
M2 = As’ x fs x h–d’ = (6 x 4,908) x 3051,3448 x (68,75 – 6,25) = 5616000,104 kg cm = 56,16 Tm Momen Tersedia (Momen Nominal), Mn
= M1 + M2 = 44,735 + 56,16 =100,8955 tm
Mu = Ф.Mn = 0,8 x 100,8955 = 80,7164 tm > 77,52tm → Desain tulangan momen negatif sukses.
4. Kontrol Kuat Lentur Momen Positif
Dalam hal ini 6 D25 akan berfungsi sebagai tulangan tarik dan 8 D25 berganti posisi menjadi tulangan desak. Kondisinya akan sama dengan diatas yaitu analisis balok tulangan rangkap dengan tulangan desak belum leleh. ε ε
Umumnya baja desak belum leleh
ε dianggap tetap 6,25 cm
Gambar 5.6. Desain Balok Tulangan Desak Belum Leleh
Keseimbangan gaya-gaya horisontal : Ts = Cc + Cs As’ x fy = 0,85 f’c .a .b + As x
a x β x d a
x εc x Es
(6x4,908)x4080 =(0,85x229,5xax35)+(8x4,908)x
ax0,85x8,75 x0,003x2100000 a
120147,84 = (0,85x229,5xax35) a +
(8 x 4,908x0,003x 2100000)a − (8 x 4,908 x0,85 x8,75 x0,003x 2100000) a 120147,84 = 6827,625 a +
247363,2a − 1839763,8 a 45
6827,625 a + (247363,2 - 120147,84) a – 1839763,8 = 0 Hubungan diatas akan menghasilkan persamaan dalam a kuadrat, a2 + 18,6324 a – 269,4588 = 0
− 18,6324 + (18,6324) 2 + (4 x 1 x 269,4588) = 9,5584 cm 2 x1
a=
a
c=
β
εs =
=
9,5584 = 11,2451 cm 0,85
c−d 11,2451 − 8,75 x εc = x 0,003 = 0,00066 < 0,001943 = ɛy c 11,2451
→ betul “Baja desak belum leleh” fs = εs x Es = 0,00066 x 2100000 = 1397,9056 Kg/cm2 Momen nominal yang dapat dikerahkan dapat diperoleh dengan mengambil momen terhadap baja tarik. a M1 = 0,85 x f’c x a x b (h’- ) 2
= 0,85 x 229,5 x 9,5584 x 35 x ( 71,25–(
9,5584 )) 2
= 4337962,22 kg cm = 43,38 tm M2 = As x fs x h’–d = (8 x 4,908) x 1397,9056 x (71,25 – 8,75) = 3430460,34 kg cm = 34,304 tm Momen Tersedia (Momen Nominal), Mn
= M1 + M2 = 43,38 + 34,304 = 77,684 tm
Mu = Ф x Mn = 0,8 x 77,684 = 62,1473 tm > 56,896 tm → Desain tulangan momen positif juga sukses!. → Desain balok tulangan rangkap “ SUKSES “
46
Balok pada bentang-bentang lain dapat didesain dengan cara yang sama dan hasilnya adalah seperti pada gambar berikut. 8,5 m 3
4
5,5 m 3
1
2
7,5 m 1
5
6
5
Pot-3
Pot-4
Pot-1
Pot-2
Pot-5
Pot-6
7 D25
3 D25
8 D25
4 D25
8 D25
4 D25
4 D25
3 D25
6D25
4 D25
4 D25
3 D25
47
Bending Momen Diagram (BMD) Satuan kN-m
Momen Akibat Beban Mati (MD)
Momen Akibat Beban Hidup (ML)
Gambar 5.7. BMD Akibat Beban Gravitasi
48
196.2
39.0
197.5
200.7
368.6
37.0
370.0
240.7 199.7 47.0
187.1
432.2 348.2
34.0
619.9 464.5
197.2
511.2 621.3
207.5
55.0
419.4 311.4
319.4 417.8
24.7
109.9
100.2 41.9
559.9
561.4 565.9
435.4
70.4 208.8
655.8 401.0
53.0
376.9 430.1
511.7 621.4 42.0
625.4 463.6
483.8
199.9
377.5 430.1 45.0
432.6 347.3
495.0 496.5
200.6 187.9
119.71
402.1
50.0 547.5
Momen Akibat Beban Gempa Kiri (ME)
138.4 384.12
773.7
546.5
267.4
591.88
730.3
764.2
243.1 547.4
1.7
630.0
213.2
341.8 226.2
760.5
770.1
719.4
378.6
544.8 354.2
Momen Akibat Beban Kombinasi 1,05 (MD+ML+ME)
Gambar 5.8. BMD Akibat Beban Gempa dan Kombinasi
49
Hasil Redistribusi Momen Digunakan kombinasi pembebanan yang kritis, yaitu 1,05 (MD+ML+ME) Lantai 2 Momen Awal
773.7
730.3
267.4
764.2
243.1 547.4
760.5
770.1
719.4
378.6
544.8 354.2
Momen Desain 670 (-13.4 %) 320 337
•
670 320
174.8
760 (-0.5 %) 760 740 (-4 %) 137.9
136.3
337 548 53.4 548
247.7
230.4 371
740
134.2
371
Untuk bentang kiri Diambil Mu- = 670 KNm Mu+ =
•
(773,7 + 730,3 + 267,4 + 243,1) − (2 × 670) = 337 KNm 2
Untuk bentang tengah Diambil Mu- = 760 KNm Mu+ =
•
(764,2 + 760,5 + 547,4 + 514,3) − (2 × 760) 2
= 548 KNm
Untuk bentang kanan Diambil Mu- = 740 KNm Mu+ =
(719,4 + 770,1 + 364,2 + 378,6) − (2 × 740) = 371 KNm 2
50
Lantai 5 Momen Awal
655.8
119.71
591.88
138.4
559.9
561.4 565.9
384.12
341.8 226.2
630.0
213.2
Momen Desain
560 (-14.6 %) 560 (-5.4%) 560 560 545 285.6 133.9 339.2 138.6 214.0 192.9 192.9 175.2 54.2 272.2 280 280 345.6 345.6
•
545 (-14%) 263.7 134.4
272.2
Untuk bentang kiri Diambil Mu- = 560 KNm Mu+ =
1505,8 − (2 × 560) = 192,9 KNm < 50% Mu2
Dipakai Mu+ = 280 KNm •
Untuk bentang tengah Diambil Mu- = 560 KNm Mu+ =
•
1811,2 − (2 × 560) = 341,8 KNm > 50% Mu2
Untuk bentang kanan Diambil Mu- = 545 KNm Mu+ =
1635,3 − (2 × 545) = 272,2 KNm > 50% Mu2
51
Lantai 7 Momen Awal
483.8
419.4 311.4
435.4
319.4 417.8
70.4 24.7
109.9
1.7
100.2 41.9
Momen Desain
360 (-25.5%) 350.4 22 172.6 180
•
280 360 (-12.3%) 280 360 280.2 138.4 208.4 127.9 22 88.4 57.6 180 140.5 140.5 180
360
131.9
274.5 88.4 180
Untuk bentang kiri Diambil Mu- = 360 KNm Mu+ =
(483,8 + (2 × 360) − 70,4 − 24,7 ) = 22,0 KNm 2
< 50% Mu-
Dipakai Mu+ = 180 KNm •
Untuk bentang tengah Diambil Mu- = 280 KNm Mu+ =
•
840,9 − (2 × 280) = 140,5 KNm > 50% Mu2
Untuk bentang kanan Diambil Mu- = 360 KNm Mu+ =
417,8 + 435,4 − (2 × 360) = 88,4 KNm < 50% Mu2
Dipakai Mu+ = 180 KNm
52
BAB VI MOMEN KAPASITAS BALOK
A.
TEORI MOMEN KAPASITAS Pada tabel diatas beberapa kali tertulis istilah Mkap yang sebenarnya adalah
singkatan dari “Momen Kapasitas”. Momen kapasitas ini diperlukan pada desain bangunan yang menggunakan prinsip daktilitas penuh. Pada prinsip tersebut proses desain harus menggunakan capacity design method, yang pengertian maupun urutanurutan desainnya telah disampaikan sebelumnya. Pada desain kapasitas, kekuatan elemen-elemen struktur dikehendaki menurut hierarki tertentu. Dengan memakai pendekatan strong column weak beam, maka kolom harus memiliki kekuatan yang lebih besar daripada balok. Pada kondisi seperti itu maka balok akan mengalami kerusakan (terbentuknya sendi plastis) terlebih dahulu sebelum sendi plastis pada ujung dasar kolom terbentuk. Proses disipasi energi dengan terbentuknya sendi-sendi plastis dibalok merupakan mekanisme disipasi energi yang dikehendaki pada struktur daktail.
σ
Sendi Plastis
ε STORNG COLUMN WEAK BEAM BEAM SWAY MECHANISM
HASIL UJI TEGANGAN-REGANGAN BAJA
Gambar 6.1. SCWB dan Diagram σ-ε Baja Tulangan Agar kolom dapat direncanakan lebih kuat daripada balok, maka terlebih dahulu harus diketahui kekuatan balok maksimum. Untuk itu perlu ditinjau kembali mengenai diagram tegangan-regangan baja tulangan seperti tampak pada gambar. Sebagaimana diketahui bahwa setelah leleh maka kekuatan baja masih dapat 53
meningkat pada peristiwa yang umumnya disebut strain hardening. Apabila tegangan saat leleh adalah fy, maka tegangan maksimum fu akan lebih besar lagi (fu > fy). OVERSTRENGTH FACTOR, Ø0
B.
Rasio antara fu terhadap fy diatas kemudian disebut sebagai strain hardening overstrength factor (Ø1). Selain dari strain hardening effect, maka suatu hal yang harus diperhatikan adalah kemungkinan lebih tingginya tegangan leleh aktual terhadap tegangan leleh baja yang dipakai pada saat mendesain (specified yield stress). Apabila demikian, maka rasio antara keduanya biasa disebut sebagai yield overstrength factor (Ø2). Dengan demikian overstrength factor (Ø0) adalah,
Ø 0 = Ø1 + Ø 2 Paulay dan Priestley (1992) mengatakan bahwa nilai Ø1 akan bergantung pada kualitas dan kebiasaan produk suatu negara. Dengan demikian nilai Ø1 akan bersifat lokal negara. Nilai Ø1 kemungkinan akan berbeda antara negara yang satu dengan yang lain.
τ
Tipikal diagram tegangan-regangan
500 MPa
baja tulangan adalah seperti yang 400 MPa
tampak pada gambar disamping.
300 MPa
Semakin
tinggi
tegangan
baja,
maka : 1. Regangan
ε
maksimum
semakin besar, 2. Panjang
Gambar 6.2. Diagram σ-ε Baja
yield
plateau
semakin pendek, 3. Nilai Ø1 semakin besar.
Oleh karena itu Paulay dan Priestley (1992) memberikan contoh bahwa : Untuk fy = 275 MPa, Ø1 = 1,15 Untuk fy = 400 MPa, Ø1 = 1,25
54
Untuk nilai Ø2 juga akan bergantung pada kebiasaan produk suatu negara. Paulay dan Priestley (1992) memberikan contoh bahwa nilai tersebut atau Ø2 = 1,15 adalah suatu nilai yang cukup. Walaupun demikian belum ada penelitian yang mendalam tentang hal itu. Untuk di Indonesia tampaknya nilai Ø2 = 1,15 akan sulit dicapai. Sesuatu yang dijumpai di lapangan menunjukkan hasil yang cenderung berlawanan, artinya nilai specified yield strength umumnya tidak dapat dicapai.
Gambar 6.3. Diagram Nilai-nilai Ø1 Hasil penelitian Rahmanto dan Sriharjo (1999) terhadap baja tulangan yang beredar di Yogyakarta menunjukkan bahwa nilai Ø1 berkecenderungan menurun untuk diameter tulangan yang semakin besar. Hubungannya dengan tegangan leleh menunjukkan bahwa nilai Ø1 = 1,4 dapat dicapai. Nilai Ø1 sementara justru tidak dipengaruhi oleh tegangan leleh fy. Hal ini tentu saja tidak sama dengan nilai-nilai yang sama oleh Paulay dan Priestley (1992) dan juga tidak sama dengan SK-SNI 1991. Hasil penelitian Subagio (2001) terhadap baja tulangan polos (BJTP) juga menunjukkan hasil yang justru berlawanan dengan SK-SNI 1991. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Ø1 justru mengecil pada tegangan leleh baja polos yang semakin tinggi (Ø1 menurun pada fy yang semakin tinggi). Sementara hubungan antara Ø1 dengan diameter baja tulangan yang diperoleh berbeda dengan hasil penelitian Rahmanto dan Sriharjo (1999). Nilai Ø1 justru cenderung independen terhadap diameter tulangan. Kesamaan dari kedua penelitian tersebut adalah bahwa Ø1 cenderung konstan dan bahkan mengecil pada nilai fy yang semakin tinggi. Hal inilah yang berbeda dengan SK-SNI 1991 sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut. 55
C.
MOMEN KAPASITAS PADA MOMEN NEGATIF Berdasarkan data dari analisis struktur, momen negatif umumnya lebih besar
dari momen positif. Setelah didesain, misalnya dipakai komposisi tulangan adalah seperti gambar. ε
ε ε
Gambar 6.3. Gaya-gaya Pada Momen Kapasitas Negatif Kesetimbangan gaya-gaya dari gambar diatas adalah,
Ts = Tc + Cc As. f yk = As '. f yk' + 0,85 . f ' c.a k .b
ak =
( As − As' ). f yk
dianggap fy’ ≥ fy
fyk = Ø0 . fy
0,85. f ' c.b
leleh
nilai ak
Kontrol apakah tulangan desak sudah leleh atau belum,
c − d' fy εc ≥ c Es
⎧ a − d '⎫ ⎧ a − β1 . d ' ⎫ fy fy ⎪ β1 ⎪ εc ≥ Æ ⎨ ⎨ ⎬ε c ≥ ⎬ Es a Es ⎩ ⎭ ⎪ aβ ⎪ 1 ⎩ ⎭
ε ε
(
)
Es a − β1 . d ' ε c ≥ f y . a
(Es.ε
c
− f y ).a ≥ β1.d '.Es.ε c
dibandingkan a≥
β1 .d '. Es. ε c Æ kriteria leleh Es. ε c − f y
ε s' ≥ ε s Æ leleh
56
M1
= (0,85 . f c' . a k . b ). z
Belum leleh Æ ε s' < ε s atau f y' < f y
M2
= ( As '. f y' ).( h − d ' )
Kembali ke kesetimbangan gaya-gaya
Mkap,n = M1 + M2
Ts = Tc + Cc
kapasitas nominal
⎛ c − d'⎞ ' As. f yk = As ' ⎜ ⎟εc . Es + 0,85. f c . a . b ⎝ c ⎠ ⎛ a − β1 .d ' ⎞ ' As. f yk = As ' ⎜ ⎟εc . Es + 0,85. f c . a . b a ⎝ ⎠
Ada cara praktis untuk menghitung Mkap,n , tetapi cara ini lebih pragmatis : 1. baik untuk teknisi 2. kurang baik untuk mahasiswa
Didapat persamaan kuadrat dalam a Æ a diperoleh ⎛ a − β 1 .d ' ⎞ f s' = ⎜ ⎟.εc.Es Æ M1 a ⎝ ⎠
M2
= (0,85. f c' .a.b ).z = ( As '. f y' ).( h − d ' )
Mkap,n = M1 + M2 kapasitas nominal
57
Mulai Tetapkan hasil perhitungan tulangan Memajang balok
φ0 = 1,2 untuk f y < 400 MPa
Tulangan Memanjang Balok Dirubah
φ0 = 1,4 untuk f y ≥ 400 MPa a=
(A s.adaφ0 − A's.ada ). f y 0,85. f'c . b aleleh =
Tidak
ε c .E s . β1d' ε c .E s - f y .φ0 Ya
a ≥ aleleh
⎛ a − β1d' ⎞ A s.ada . f y = A's.ada .⎜ ⎟ε c .E s + 0,85. f' c . a. b ⎝ a ⎠ Dari persamaan kuadrat didapat hasil a Dengan : a
c=
β1 M n1 = 0,85. f' c . a. b. (d − a 2)
c − d' f 's = ε c .E s c
M n2 = A's.ada . f y . (d − d' )
M n1 = 0,85. f' c . a. b. (d − a 2)
Mkap- = Mn1 + Mn2
M n2 = A's.ada . f 's . (d − d' ) Mkap- = Mn1 + Mn2 As.ada = A’s.ada
⎛ a − β1d' ⎞ A s.ada . f y .φ0 = A' s.ada .⎜ ⎟ε c .E s + 0,85. f'c . a. b ⎝ a ⎠ Dari persamaan kuadrat didapat hasil a
M n1 = 0,85. f' c . a. b. (d − a 2) M n2 = A's.ada . f 's . φ0 . (d − d' ) Mkap+ = Mn1 + Mn2 Tidak
50%Mkap-
Selesai
Gambar 6.4. Flow chart momen kapasitas balok
58
D.
MOMEN KAPASITAS PADA MOMEN POSITIF
Pada perencanaan bangunan tahan gempa, terdapat suatu ketentuan bahwa momen tersedia untuk momen positif harus lebih besar dari setengah momen negatif. Dengan demikian kurang lebih luasan tulangan desak lebih besar dari setengah luasan tulangan tarik (As’ ≥ 0,5 As). ε ε
ε
Gambar 6.5. Gaya-gaya Pada Momen Kapasitas Positif
Untuk menghitung momen kapasitas pada momen positif, dapat ditempuh cara yang sama dengan cara menghitung momen kapasitas pada momen negatif, hanya saja penempatan tulangannya dibalik. Namun demikian dapat dipastikan bahwa tulangan desak belum mencapai leleh.
E.
CONTOH PERHITUNGAN MOMEN KAPASITAS
1.
Momen Kapasitas (Mkap) Momen Negatif
Momen kapasitas didasarkan atas tegangan tarik baja ultimit fo = fy.Øo, yang mana Øo adalah overstrength factor. Untuk itu akan dihitung momen kapasitas balok seperti berikut ini. ε
ε
Gambar 6.6. Gaya-gaya Pada Momen Kapasitas Negatif
59
As = n x Ad = 8 x 4,908 = 39,264 cm 2
As' = n x Ad = 6 x 4,908 = 29,448 cm2 Diasumsikan tulangan desak sudah leleh, maka berdasarkan kesetimbangan gayagaya horisontal :
Ts = Cs + Cc As.Ø o . f y = As '. f y + 0,85 . f c' .a.b
39,264.1,4.4080 = 29,448.4080 + 0,85.229,5.a.35 a=
(39,264.1,4.4080) − ( 29,448.4080) 0,85.229,5.35
a=
224275,968 − 120147 ,84 = 15,251 cm 0,85.229,5.35
c=
a
β1
ε s' =
= 17,9424 cm
c − d' 17,9424 − 6,25 εc = .0,003 = 0,001955 > 0,001943 = ε y c 17,9424
baja desak sudah leleh Cc = 0,85 x f’c x a x b = 0,85x 229,5 x 15,251 x 35 = 104128,109 kg Cs = As’ x fy = 29,448 x x4080 = 120147,84 kg Momen Kapasitas yang dapat dikerahkan dapat diperoleh dengan mengambil momen terhadap garis kerja Ts, sehingga : a⎞ ⎛ M 1 = Cc ⎜ h − ⎟ 2⎠ ⎝
= 104128,109 (68,75 −
15,251 ) 2
= 634778,599 kg cm = 63,6478 tm
60
M 2 = Cs (h − d ') = 120147,84 (68,75 − 6,25) = 7509240 kg cm = 75,0924 tm Mkap = M1 + M2 = 63,6478 + 75,0924 = 138,7402 tm Momen nominal M n = 100,8955 tm
2.
M kap
Mkap =
Mn
=
138,7402 = 1,375Mn 100,8955
Momen Kapasitas (Mkap) Momen Positif
Momen kapasitas momen positif dapat dihitung dengan cara yang sama dengan penempatan tulangan yang dibalik, yaitu As’ = 39,264 cm2 dan As = 29,448 cm2. Hal ini terjadi karena tulangan bawah (6 D 25) berganti posisinya menjadi tulangan tarik dan tulangan atas (8 D 25) menjadi tulangan desak. Pada kondisi demikian, tulangan desak umumnya belum leleh.
ε ε
ε
Gambar 6.7. Gaya-gaya Pada Momen Kapasitas Positif
61
Karena baja tarik mencapai tegangan ultimit (fu = fy.Øo), maka : Ts = As.Ø o . f y = 29,448 .1,4.4080 = 168206 ,976 kg Cc = 0,85 . f c' .a.b = 0,85 .229 ,5.a.35 = 6827 ,625 .a kg
⎛ a − β 1 .d ' ⎞ Cs = As'. fs = As'.ε s E s = As'.⎜ ⎟.ε s .E s a ⎝ ⎠
⎛ a − 0,85.8,75 ⎞ = 39,264⎜ ⎟0,003.2100000 a ⎝ ⎠
=
247363,20a − 1839763,80 kg a
Persamaan kesetimbangan gaya-gaya horisontal,
Ts = Cs + Cc
168206,976 =
247363,20a − 1839763,80 + 6827,625a a
6827,625 a + (247363,20 – 168206,976) a – 1839763,8 = 0
6827,625a 2 + 79156,224a − 1839763,8 = 0 Hubungan diatas akan menghasilkan persamaan dalam a kuadrat, a2 + 11,5935 a – 269,4588 = 0 a= c= ɛs =
− 11,5935 + (11,5935) 2 + (4 x 1 x 269,4588)
2 x 1 a
β
=
= 11,6118 cm
11,6118 = 13,661 cm 0,85
13,661 − 8,75 c−d x εc = 0,003 = 0,001078 < < 0,001943 = ɛy 13,661 c
→ “Baja desak belum leleh” fs = ɛs x Es = 0,001078 x 2100000 = 2264,78 kg/cm2 Cc = 6827,625 . a = 6827,625 x 11,6118 = 79281,7 kg Cs = As’ x fs = 39,264 x 2264,78 = 88925,88 kg
62
Momen Kapasitas yang dapat dikerahkan dapat diperoleh dengan mengambil momen terhadap garis kerja Ts, sehingga : a⎞ ⎛ M 1 = Cc ⎜ h'− ⎟ 2⎠ ⎝
= 79281,7 (71,25 −
11,6118 ) 2
= 5188519,503 kg cm = 51,885 tm
M 2 = Cs (h'−d ) = 88925,88 (71,25 - 8,75) = 5557867,5 kg cm = 55,578 tm Mkap = M1 + M2 = 51,885 + 55,578 = 107,463 tm Momen nominal, Mn = 77,684
Mkap =
M kap Mn
=
107,463 = 1,383Mn 77,684
Demikianlah momen kapasitas dihitung dan momen kapasitas untuk tingkat yang lain dapat dicari dengan cara yang sama. Hasil dari desain balok untuk tingkat ke1, 2 dan 3 dapat dilihat pada Tabel 6.1; tingkat ke-4, 5 dan 6 dapat dilihat pada Tabel 6.2 dan untuk hasil desain balok tingkat ke-7 dan 8 dapat dilihat pada Tabel 6.3.
63
Balok pada bentang-bentang lain dapat didesain dengan cara yang sama dan hasilnya adalah seperti pada gambar berikut. 8,5 m 3
5,5 m
4
3
1
7,5 m
2
1
5
6
5
Pot-3
Pot-4
Pot-1
Pot-2
Pot-5
Pot-6
7 D25
3 D25
8 D25
4 D25
8 D25
4 D25
4 D25
3 D25
6D25
4 D25
4 D25
3 D25
Gambar 6.8. Potongan Balok
Apabila hasil desain balok dirangkum, maka akan terlihat seperti Tabel 6.1. berikut. Tabel 6.1. Hasil Desain Balok Tingkat ke-1, 2 dan 3
Ukuran No 1
2
3
Balok Bentang Kiri
Tengah
Kanan
b/ht (cm) 35
35
35
77,5
77,5
77,5
Momen (tm) Momen
Tulangan
Ultimit
Tersedia
Kapasitas
Negatif
7 D25
68,34
69,2
119,99
Positif
4 D25
34,374
40,52
79,66
Lapangan
3 D25
-
-
-
Negatif
8 D25
77,52
80,7164
138,7402
Positif
6 D25
56,896
62,1473
107,463
Lapangan
4 D25
-
-
-
Negatif
8 D25
75,48
78,5
133,91
Positif
4 D25
37,84
40,51
76,67
Lapangan
3 D25
-
-
-
64
Tabel 6.2. Hasil Desain Balok Tingkat ke-4, 5 dan 6
No.
1.
2.
3.
Balok Bentang
Kiri
Tengah
Kanan
Ukuran b/ht (cm)
30
30
30
70
70
70
Momen
Tulangan
Negatif
7 D25
Positif
4 D25
Lapangan
Ultimit 57,12
Momen (tm) Tersedia Kapasitas 60,38 103,63
-
28,56 -
35,42 -
70,86 -
Negatif
7 D25
57,12
60,38
103,63
Positif
4 D25
Lapangan
-
35,26 -
35,42 -
70,86 -
Negatif
7 D25
55,59
60,38
103,63
Positif
4 D25 -
27,75 -
35,42 -
70,86 -
Lapangan
Tabel 6.3. Hasil Desain Balok Tingkat ke-7 dan 8
No.
1.
2.
3.
Balok Bentang
Kiri
Tengah
Kanan
Ukuran b/ht (cm) 27 ,5
27 ,5
27 ,5
60
60
60
Momen
Tulangan
Momen (tm) Tersedia Kapasitas 42,18 71,53
Negatif
6 D25
Ultimit 36,72
Positif Lapangan
3 D25 -
18,36 -
22,05 -
45,14 -
Negatif
4 D25
28,56
31,08
52,76
Positif Lapangan
2 D25 -
14,34 -
16,04 -
27,67 -
Negatif
6 D25
36,72
42,18
71,53
Positif
3 D25 -
18,36 -
22,05 -
45,14 -
Lapangan
Untuk bangunan bertingkat banyak dan bentang balok relatif pendek (± 8m) dan terletak di daerah gempa relatif besar/tinggi, maka momen-momen maksimum negatif dan positif umumnya terjadi ditepi-tepi atau ujung-ujung balok. Momen Negatif Ultimit
Momen Lapangan Momen Positif
65
Bangunan-bangunan seperti itu adalah bangunan kategori Earthquake
Proses redistribusi momen untuk kedua kategori bangunan tersebut
Load Dominated (ELD), atau bangunan kategori ”dominasi beban
agak sedikit berbeda, misalnya pada bentang balok di kiri dan kanan
gempa”. Kondisi yang sebaliknya adalah bangunan kategori Gravity
contoh di atas. Untuk momen lapangan umumnya yang menentukan
Load Dominated (ELD) atau bangunan kategori ”dominasi beban
adalah kombinasi beban U = 1,2 D + 1,6 L.
gravitasi”. 1/4 L1
1/4 L1
1/3 L1
1/3 L1
4
3
3
1/4 L2
1/3 L2
1
1/3 L2
2
1
1/4 L3
1/4 L3
1/3 L2
1/3 L2
5
4 D 25
3 D 25 7 D 25
6
6 D 25 3 D 25
POT - 3
POT - 4 Ld
POT - 1 Ld
7 D 25
3 D 25
4 D 25 Ld
4 D 25
3 D 25
4 D 25
POT - 2
POT - 6
POT - 5
8 D 25
8 D 25
6 D 25
4 D 25
8 D 25 4 D 25
4 D 25
4 D 25 Ld
8 D 25
8 D 25
3 D 25
5
4 D 25
8 D 25
4 D 25
7 D 25
1/4 L2
4 D 25
3 D 25
4 D 25
6 D 25
66
BAB VII GAYA GESER BALOK A.
PENGERTIAN Menurut mekanika, terdapat beberapa macam gaya-gaya dalam yang mungkin
terjadi pada balok. Gaya-gaya dalam (internal forces) yang dimaksud adalah gaya lentur (flexure) yang mengakibatkan elemen menjadi melengkung/melentur, kemudian gaya geser atau gaya lintang (shear), gaya aksial yaitu gaya yang sejajar dengan sumbu batang dan puntir yaitu gaya yang memuntir suatu elemen. Tidak seperti lentur yang mana suatu elemen akan terlihat melengkung atau melentur, maka deformasi akibat gaya geser tidak begitu tampak. Oleh karena itu rusak akibat gaya geser umumnya akan terjadi secara tiba-tiba tanpa adanya tandatanda atau peringatan dini sebagaimana pada rusak lentur. Mengingat sifatnya seperti itu, maka rusak geser menjadi jenis kerusakan elemen yang menakutkan dan oleh sebab itu rusak geser sangatlah dihindari. Pola kerusakan balok apakah rusak lentur ataukah rusak geser, selain dipengaruhi oleh beban yang ada juga dipengaruhi oleh kelangsingan elemen. Elemen yang langsing umumnya akan berdeformasi menurut flexural mode atau deformasi yang didominasi oleh lentur. Sebaliknya pada elemen yang gemuk, deformasi elemen akan didominasi oleh shear mode atau berdeformasi menurut geser. Rusak lentur oleh momen lentur maksimum akan terjadi pada titik yang mana gaya-lintang/gaya gesernya sama dengan nol. Hal ini berarti bahwa rusak lentur hanya oleh tegangan lentur, baik tegangan tarik maupun tegangan desak. Dilain pihak, rusak geser dapat terjadi oleh tegangan geser saja maupun kombinasi antara tegangan geser dan tegangan lentur. Elemen langsing berdeformasi menurut flexural mode
Elemen gemuk berdeformasi menurut shear mode
Gambar 7.1. Deformation Modes
67
B.
TEGANGAN PADA BALOK Tegangan yang paling sering terjadi pada balok umumnya adalah tegangan
lentur dan tegangan geser. Tegangan-tegangan tersebut dapat diketahui dengan mengambil model struktur seperti tampak pada Gambar 7.2. Gambar 7.2.a adalah deformasi balok susun yang tidak disatukan. Kedua balok saling menggeser satu sama lain, karena diantara keduanya tidak disatukan.
a. Balok Tidak Menyatu
b. Balok menyatu
Gambar 7.2. Tegangan Geser pada Balok Walaupun tidak terjadi tegangan geser pada balok susun, namun demikian tetap terjadi tegangan lentur pada balok Gambar 7.2.a. Tegangan lentur σ dapat dihitung dengan formula sederhana.
σ=
My
.................................... 7.1
Ix
Sedangkan tegangan geser pada balok Gambar 7.2.b dihitung dengan,
τ =
V .Q I x .b
.................................... 7.2
Yang mana y adalah jarak dari garis netral sampai serat yang ditinjau, Ix adalah momen inersia, Q adalah statik momen luasan yang ditinjau terhadap garis netral, b adalah lebar balok, M adalah momen lentur dan V adalah gaya geser/lintang. Q
a)
σ m aks σ=0
L
L/2
b)
V m aks V
V = 0
τ m aks
τ=0
M =0
L/2
M
M m aks
c)
τ m aks 1
σ m aks 2
3
L/2
Gambar 7. 3. Gaya Geser dan Lentur
68
Gambar 7.3.a) adalah gambar gaya lintang (V) dan bidang momen (M). Pada gambar tersebut ketika V maksimum, maka M = 0 dan pada saat momen mencapai maksimum, maka V = 0. Pada suatu titik tertentu terdapat V ≠ 0 dan M ≠ 0. Menurut persamaan 7.1. ketika momen mencapai Mmaks (tengah bentang), maka ditempat tersebut mencapai σmaks. Sedangkan menurut persamaan 7.2. pada saat gaya lintang mencapai Vmaks (di dukungan) maka tegangan geser mencapai τmaks. Distribusi tegangan lentur dan tegangan geser adalah seperti Gambar 7.3.b). Apabila diambil suatu elemen seperti tampak pada Gambar 7.3.c) yang mana bekerja pada elemen tersebut suatu tegangan lentur σ dan tegangan geser τ, maka menurut mekanika tegangan bidang f dapat dihitung melalui persamaan, f =
σ 2
±
2α = tan −1
σ2
+τ 2
4
2τ
...................... 7.3.a.
............................. 7.3.b.
σ
Dengan memakai rumus tersebut, maka tegangan bidang pada tiap-tiap elemen dapat dihitung. Untuk mengetahui tegangan bidang yang terjadi dibeberapa elemen pada balok, misalnya diambil elemen-elemen seperti tampak pada Gambar 7.4. 1 2
3
L
τ τ
1 τ
τ
f1
f2
1'
τ f2
f1
45°
σ τ
2 τ
τ
σ
2'α
σ
3
f1
σ
3' α=0 f1 = σ
f1
tarik desak
Gambar 7.4. Stress Trajoctories Dengan menggunakan persamaan 7.3. maka tegangan-tegangan bidang elemen 1,2 dan 3 adalah seperti pada Gambar 7.4. Apabila secara keseluruhan digambar, maka akan menghasilkan stress trajectories seperti tampak pada Gambar 7.4. Tulangan 69
diperlukan untuk menghasilkan menahan gaya tarik tersebut, sehingga idealnya bentuk tulangan adalah seperti tensile stress trajectories, yaitu garis-garis utuh pada Gambar 7.4.
C.
POLA KERUSAKAN BALOK (BEAM MODES OF FAILURE) Yang dimaksud dalam hal ini adalah pola/jenis kerusakan balok beton yang
utamanya tidak diperkuat oleh tulangan (plain concrete). Apabila balok yang tidak ada tulangannya kemudian dibebani, maka akan terdapat pola-pola kerusakan yang sifatnya khusus/spesifik yang umumnya akan bergantung pada dimensi/proporsi ukuran balok. Untuk membahas hal itu maka diambil model-model balok sebagai berikut. 1. Balok Tinggi (Deep Beam) Balok tinggi adalah balok yang apabila rasio antara a
h
≤ 1, yang mana a
adalah shear span dan h adalah tinggi efektif balok. Shear span adalah jarak dari beban terpusat P sampai dengan dukungan. Letak beban terpusat umumnya diambil standar, yaitu ditengah bentang. Balok tinggi dan pola kerusakannya adalah seperti tampak pada Gambar 7.5. berikut ini. P
P
a 4 2
h
desak (C)
1
3
1. Anchorage failure 2. Bearing Failure 3. Bending Failure 4. Arc/Truss Failure
gaya tarik (T) L
R
a) Arch/ Truss Action
b) Pola Kerusakan
Gambar 7.5. Pola Kerusakan pada Deep Beam Wang dan Salmon (1979) mengatakan bahwa pada deep beam, tegangan geser menjadi sangat dominan. Karena bentang L relatif pendek terhadap h, maka momen lentur relatif kecil walaupun beban P cukup besar. Dengan beban P yang
70
cukup besar maka gaya geser akan menjadi besar (gaya lintang besar) dan tegangan geser akan menjadi besar pula. Tegangan geser yang besar selanjutnya akan mengakibatkan crack arah miring/diagonal pada masing-masing ujung balok dekat dukungan. Keseimbangan gaya-gaya, yaitu antara gaya desak C, gaya tarik T dan reaksi dukungan R kemudian membentuk arch/truss action. Yang pertama-tama terjadi adalah lepasnya/slip baja tarik dengan beton diatas dukungan (1). Selanjutnya rusaknya beton desak di daerah dukungan (2). Dilanjutkan dengan retak lentur (bending failure) (3), dan terakhir adalah retak/rusaknya beton akibat arch/truss action. 2. Balok Pendek (Short Beam) Short Beam atau balok pendek adalah balok dengan besaran nilai 1,0 < a
h
< 2,5 (Wang dan Salmon, 1979). Balok pendek ini mempunyai perilaku/pola kerusakan yang hampir mirip dengan deep beam. Mana kala ultimate shear capacity sudah dilampaui oleh shear stress pada daerah diagonal dekat dukungan, maka diagonal crack tidak dapat dihindari.
P a compression failure shear compression failure
4 h
2
3
1 bond failure due to crack
Gambar 7.6. Shear failure pada Short Beam Kerusakan diawali dengan bond failure atau rusaknya lekatan antara baja tulangan dengan beton di daerah dukungan (1), lalu rusak desak di daerah dukungan (2), retak-retak lentur (3) dan rusak geser secara diagonal (shear compression failure).
71
Shear compression failure akan terjadi secara tiba-tiba apabila disertai dengan rusak/remuknya beton desak di bawah beban P (compression failure). Rusak secara tiba-tiba sangat dihindari pada bangunan tahan gempa. 3. Intermediate Beam Wang dan Salmon (1979) membuat kategori sebagai intermediate beam apabila 2,5 < a
h
< 6,0. Selanjutnya dikatakan bahwa pada intermediate beam,
maka retak yang pertama kalinya adalah retak lentur (flexural crack), kemudian baru diikuti dengan retak diagonal (inclined flexural-shear crack).
P a
h
2 2
1
1,5 h
Gambar 7.7. Shear failure pada Intermediate Beam Namun demikian Nawy (1996) mengatakan bahwa kerusakan yang terjadi adalah flexural crack, kemudian diikuti dengan bond failure pada tulangan lentur diatas dukungan. Selanjutnya baru diikuti dengan diagonal crack yang kejadiannya relatif tiba-tiba. 4. Balok Panjang (Long Beam) Balok panjang adalah balok dengan besaran nilai a
h
> 6,0. Pada balok
seperti ini kerusakan balok dimulai dengan lelehnya tulangan tarik dan remuk/rusaknya beton desak pada momen maksimum. Pada balok tipe ini tegangan yang dominan adalah tegangan lentur, sedangkan tegangan geser relatif tidak dominan. Pada retak yang lebih lebar, maka regangan tarik baja akan bertambah, kemudian balok mengalami lendutan yang cukup besar. Hal ini sekaligus sebagai warning atau peringatan sebelum balok mengalami keruntuhan.
72
P a
2 h
1
Gambar 7.8. Flexural Failure
D.
KESEIMBANGAN GAYA-GAYA (EQUILIBRIUM OF FORCES) Sebelumnya telah disampaikan bahwa pola kerusakan balok akan sangat
dipengaruhi oleh ukuran/proporsi balok. Hal tersebut juga sering disebut sebagai size effect. Balok yang tinggi/gemuk akan berdeformasi menurut shear mode, sedangkan balok yang panjang/langsing akan berdeformasi menurut flexural mode. Retaknya beton baik pada shear mode maupun flexural mode akan terjadi apabila concrete tensile strength sudah dilampaui baik oleh tegangan yang didominasi oleh geser maupun tegangan yang didominasi oleh lentur, atau oleh kombinasi antara keduanya. Menurut teori kombinasi tegangan, apabila retaknya beton diakibatkan oleh dominasi tegangan lentur, maka arah retak akan tegak lurus terhadap sumbu memanjang balok. Sebaliknya apabila retaknya beton diakibatkan oleh dominasi tegangan geser (shear mode beam), maka arah retak akan membentuk sudut ± 45o. Apabila suatu balok retak/rusak karena kombinasi tegangan geser dan tegangan lentur, maka keseimbangan antara gaya-gaya dalam dan gaya-gaya luar adalah seperti yang tampak pada Gambar 7.9. Pada gambar tersebut balok dianggap hanya memiliki tulangan sebelah. Disamping itu gaya lintang eksternal yang bekerja pada balok dianggap konstan.
73
P a
C Vci h
Vi T Vd RA
V
a) Pola Retak
b) Gaya-gaya pada Potongan T
V
C
Vd
1)
Vci
2)
Vi
Vi
2)
1)
T Vd
C
Tr
Vci
V
c) Model Patahan dan Gaya-gaya
d) Free Body Diagram
V 2)
Cr 1)
Tr
e) Truss Analogy
Gambar 7.9. Keseimbangan Gaya-gaya Gambar 7.9.a). adalah pola retak suatu balok yang dibebani oleh beban ke pusat P. Dari reaksi dukungan RA sampai beban P mempunyai gaya lintang V yang konstan, yaitu :
V = RA − P
.............................
7.4.
Gambar 7.9.b). adalah gaya-gaya yang bekerja pada elemen balok yang patah akibat kombinasi tegangan lentur dan geser. Pada gambar tersebut T adalah gaya tarik tulangan lentur. Vd adalah dowel effect, yaitu kemampuan tulangan lentur untuk melawan gaya lintang. V adalah gaya lintang eksternal menurut persamaan 7.4. C adalah kekuatan/gaya desak beton desak, Vci adalah gaya geser yang dapat dikerahkan oleh beton pada bagian yang tidak retak dan Vi adalah gaya geser oleh suatu ”interlock” atau ikatan/hambatan suatu material (pasir dan kerikil/kricak). Gaya-gaya tersebut kemudian dimodelkan seperti yang tampak pada Gambar 7.9.c).
74
Gambar 7.9.d). adalah free body diagram dari gaya-gaya yang bekerja pada model patahan (Gambar 7.9.c). Apabila diperhatikan, maka resultante antara T dengan Vd akan menghasilkan gaya Tr. Sedangkan gaya-gaya C, Vci dan Vi akan menghasilkan gaya Cr seperti yang tampak pada gambar tersebut. Gaya Tr akan bekerja pada garis kerja 1), sedangkan Cr akan bekerja pada garis kerja 2), sebagaimana disajikan oleh Park dan Paulay (1975). Akhirnya antara gaya lintang eksternal V, gaya desak Cr dan gaya tarik Tr akan membentuk keseimbangan sebagai truss analogy seperti yang tampak pada Gambar 7.9.e). Gaya-gaya yang bekerja pada model patahan balok tersebut adalah gaya-gaya secara teoritik. Dengan memperhatikan free body diagram (Gambar 7.9.d)), maka persamaan keseimbangan gaya-gaya lintang eksternal V dan gaya-gaya dalamnya adalah, V = Vci + Viy + Vd
......................
7.5.
Yang mana Viy adalah komponen vertikal dari interlock forces Vi. Nilson dan Winter (1996) mengatakan bahwa gaya-gaya internal Vc, Viy dan Vd secara individual tidak dapat diketahui/digeneralisasikan secara pasti. Oleh karena itu diperlukan penyederhanaan didalam memperhitungkan gaya geser internal yang dapat dikerahkan oleh bahan beton.
E.
PENYEDERHANAAN GAYA GESER INTERNAL (INTERNAL SHEAR FORCES SIMPLIFICATION) Telah dibahas sebelumnya bahwa gaya-gaya internal yang dapat dikerahkan
oleh bahan-bahan yaitu Vci, Viy dan Vd umumnya sulit untuk digeneralisasikan secara pasti nilai-nilainya. Oleh karena itu ketiga kekuatan internal tersebut kemudian disederhanakan menjadi satu yaitu menjadi Vc. Dengan demikian Vc secara keseluruhan adalah kekuatan geser yang dapat dikerahkan oleh balok beton dan dowel action. Selanjutnya Nilson dan Winter (1996) dan Wong dan Salmon (1979) menyajikan hubungan antara applied shear lawan shear resistance, seperti tampak pada Gambar 7.10.
75
Vci adalah gaya geser pada Shear resistance
beton desak, Vd adalah dowel force, Viy adalah aggregate
Vs
interlock effect, Vs adalah loss of interlock effect Vci
tarik
dikerahkan
Vd Viy Vc
gaya
Vs
stirrup yield
Vs Vc inclined crack forms
Apllied shear
yang oleh
dapat tulangan
geser dan Vc adalah gaya geser yang dapat dikerahkan oleh
balok
beton
secara
praktis. Vc = Vci + Viy + Vd …. 7.6.
Gambar 7.10. Redistribusi Internal Shear Forces F Persamaan 7.6 adalah penyederhanaan gaya geser yang dapat dikerahkan oleh balok beton dan efek dowel. Dalam desain praktis maka bukan Vci, Viy dan Vd yang dicari, tetapi melalui uji laboratorium nilai-nilai ketiganya dijumlahkan dan diganti dengan Vc. Hasil-hasil uji laboratorium tersebut menuju pada rumus-rumus empiris tentang Vc. Rumus-rumus empiris tersebut telah ditulis dalam banyak publikasi penelitian atau buku-buku referensi. Nilson dan Winter (1996) mengatakan bahwa nilai Vc dapat diambil konstan sebagaimana tampak pada Gambar 7.10. Namun demikian nilai Vc akan dipengaruhi oleh rasio antara gaya lintang Vu dan momen Mu. Didalam SK-SNI 1991 dapat dipakai nilai Vc yang konstan maupun nilai Vc yang berubah menurut Vu/Mu. Pada Gambar 7.11. setelah inclined crack dan Vc mencapai maksimum, maka segera diperlukan kekuatan sengkang (Vs).
F.
MACAM-MACAM TULANGAN GESER Pada pembahasan sebelumnya telah diadakan penyederhanaan gaya/kekuatan
geser internal balok hanya menjadi satu besaran yaitu Vc. Artinya tanpa tulangan geser tambahan, sebetulnya balok beton dan tulangan lentur telah mampu mengerahkan kekuatan geser sebesar Vc. Apabila gaya geser yang terjadi
Vu
φ
< Vc,
76
maka secara teoritik balok tidak memerlukan tulangan geser. Namun demikian gaya geser yang terjadi umumnya cukup besar (apalagi balok tinggi), sehingga tambahan gaya/kekuatan geser dari baja tulangan pada umumnya tetap diperlukan. P
45°
b) Tulangan Geser Miring α = 45
a) Pola Retak Balok
ο
90°
c) Tulangan Geser Tegak α = 90
ο
d) Cross Action Tulangan Miring e) Cross Action Tulangan Tegak
Gambar 7.11. Macam-macam Tulangan Geser Pada Gambar 7.11.a) pola retak balok kemudian diperbesar menjadi Gambar 7.11.b) dan Gambar 7.11.c). Gambar 7.11.b) adalah jenis tulangan geser miring, sedangkan Gambar 7.11.c) adalah jenis tulangan geser tegak atau sengkang tegak (stirrups).
Kedua
jenis
tulangan
geser
tersebut
adalah
dalam
rangka
melawan/memotong tegangan tarik yang mengakibatkan crack sebagaimana tampak pada Gambar 7.11.d) dan Gambar 7.11.e). Nawy (1996) menyampaikan bahwa fungsi utama tulangan geser adalah : 1. Menahan sebagian besar gaya geser (Vs) atas gaya geser eksternal (
Vu
φ
),
2. Menahan berlanjutnya crack, 3. Memegang tulangan pokok (tulangan desak dan tarik) agar tetap pada tempatnya, 4. Membentuk sistim pengekangan confinement pada beton agar tidak terjadi retakretak, 5. Menahan tulangan pokok desak agar tidak buckling, 6. Meningkatkan/ memelihara daktilitas potongan. 77
G.
KUAT GESER OLEH BETON (Vc) Menyambung yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa balok beton dan
tulangan tarik balok mampu mengerahkan kekuatan geser sebesar Vc. Nilai Vc diperoleh melalui uji laboratorium balok beton dan kemudian dirumuskan secara empiris menjadi Vc. Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa nilai Vc boleh diambil konstan, namun demikian dapat dihitung secara lebih teliti dengan memperhatikan rasio
Vu . Mu
Menurut SK-SNI 1991, kuat geser Vc yang dianggap konstan dapat dihitung dengan, 1. Untuk komponen yang dibebani oleh lentur dan geser (pasal 3.4.3.1).(1))
1 Vc = . f ' c . bw. h ............................... ............................. 7.7. 6 2. Untuk komponen yang dibebani oleh gaya aksial desak (pasal 3.4.3.1).(2)) ⎛ Nu Vc = 2⎜1 + ⎜ 14 A g ⎝
⎞1 ⎟ ⎟6 ⎠
f c' . bw. h ………….......................... 7.8.
Apabila kuat geser Vc tidak dianggap konstan, yaitu berubah-ubah dan dipengaruhi oleh
Vu , maka kuat geser Vc adalah, Mu
1. Elemen struktur yang dibebani oleh lentur dan geser (pasal 3.4.3.2).(1)) ⎡1 ⎧ V .h ⎫⎤ Vc = ⎢ ⎨ f c' + 120 ρ w u ⎬⎥bw. h ≤ 0,3 f c' bw. h ……………….......7.9. M u ⎭⎦ ⎣7 ⎩
Dengan catatan,
Vu .h ≤ 1 ...…………………………………………......... Mu
....7.10. 2. Elemen yang dibebani gaya aksial desak (pasal 3.4.3.2).(2)) ⎡1 ⎧ V .h ⎫⎤ 0,3 N u …........7.11. Vc = ⎢ ⎨ f c' + 120 ρ w u ⎬⎥bw. h ≤ 0,3 f c' bw. h 1 + M m ⎭⎦ Ag ⎣7 ⎩ ⎛ 4ht − h ⎞ M m = M u − Nu ⎜ ⎟ …………………………………................7.12. ⎝ 8 ⎠
Dan nilai
Vu .h boleh lebih dari 1,0. Mm
78
Setelah nilai Vc ditentukan, maka langkah Shear resistance
selanjutnya adalah menghitung Vs. Apabila gaya geser oleh sengkang Vs telah diperoleh, maka
langkah
selanjutnya
adalah
Vc
menentukan jarak sengkang (s). Vc
Vs
Vc
Shear Force Gambar 7.12. Vc dan Vs
H.
TULANGAN GESER MENURUT TRUSS ANALOGY Pada pola retak geser, kekuatan tulangan geser dan kekuatan tarik tulangan
lentur dapat membentuk keseimbangan terpadu. Dengan adanya keseimbangan tersebut maka retak geser yang berkelanjutan yang dapat mengakibatkan rusak geser dapat dicegah. Rusak geser akan sangat berbahaya karena akan terjadi secara tiba-tiba tanpa adanya peringatan dini. Oleh karena itu penulangan geser menjadi hal yang sangat penting. Keseimbangan antara gaya yang membuat retak geser Cc, kekuatan tulangan geser Ts dan kekuatan tarik tulangan lentur Tb adalah mirip dengan pola kerja rangka atau truss. Oleh karena itu analogi pola kerja keseimbangan gaya-gaya tersebut disebut Truss Analogy. Berdasarkan pada analogi tersebut, tulangan geser dapat direncanakan. Untuk membahas hal ini maka diambil model truss analogy yang terjadi pada balok seperti yang tampak pada Gambar 7.13. a)
Vs
Ts
b) c
c
1
Cc
2 a
h
β
α
Ts Vs
β
b
α d
s
h cotg β
s
Tb h cotg α
h cotg α
h cotg β S1
cot β =
ad h
Æ
ad = h. cot β
;
db = h. cot α
Gambar 7.13. Truss Analogy
79
Pada Gambar 7.13.b) akan diperoleh hubungan, −
cd Vs sin α = = Ts Ts Vs = Ts. sin α
;
Ts =
Vs sin α
................................................. ..... ....7.13.
Yang mana Ts adalah kekuatan tarik tulangan geser miring (sudut α), Vs adalah komponen vertikal tulangan geser tersebut atau kuat tarik tulangan geser/sengkang vertikal. Dengan cara yang sama, maka :
Vs = Cc. sin β ................................................. ....7.14. −
Jarak ab pada truss analogy adalah wilayah/daerah yang mana sejumlah tulangan −
geser n akan melawan/memotong gaya desak Cc atau garis retak ac . Apabila jarak tulangan geser adalah s, maka : S1 = ab = n.s .......................................................7.15.
Menurut Gambar 7.13.b) adalah,
ns = S1 = h(cot α + cot β ) .............................. ....7.16. Kekuatan tulangan geser Ts adalah menempati daerah sepanjang S1, sehingga kekuatan tulangan geser Ts per unit panjang menjadi,
Ts Ts Vs = = ......................................... ....7.17. S1 ns sin α .ns Dengan mempertimbangkan persamaan 7.16 maka persamaan 7.17 akan menjadi kuat tarik tiap sengkang, Ts Vs ............................ ....7.18. = ns sin α .h(cot α + cot β )
Apabila dipakai tulangan geser arah vertikal atau sengkang vertikal, maka apabila luas potongan sengkang adalah Av (luas 2 potongan/2 kaki), gaya atau kekuatan tarik sengkang vertikal Ts sepanjang daerah S1 adalah, Ts = n. Av . f ys .................................................. ....7.19.
Yang mana Av adalah luas dua potongan sengkang dan fys adalah tegangan tarik leleh sengkang. Dari persamaan 7.19 akan diperoleh, n. Av =
Ts f ys
..................................................... ....7.20.
80
Dengan memperhatikan nilai Ts dari persamaan 7.18 maka persamaan 7.20 akan menjadi, n. Av = Vs =
n.s.Vs sin α .h(cot α + cot β ). f ys
Av . f ys .h s
sin α (cot α + cot β ) ............. ..........7.21.
Retak geser umumnya dapat dianggap membentuk sudut 45o atau nilai β = 45o, sehingga persamaan 7.21 akan menjadi, Vs =
Av . f ys .h s
sin α (1 + cot α ) .................... ..........7.22.
Persamaan 7.22 dapat disederhanakan menjadi,
Vs = Vs = s=
Av . f ys .h ⎛ cos α ⎞ ⎜ sin α + sin α ⎟ sin α ⎠ s ⎝ Av . f ys .h s
Av . f ys .h Vs
(sin α + cos α )
(sin α + cos α )
...................... ..........7.23.
Persamaan 7.23 adalah persamaan jarak sengkang miring dengan sudut sebesar α. Apabila dipakai sengkang vertikal, maka nilai α = 90o sehingga jarak sengkang vertikal menjadi, s=
I.
Av . f ys .h Vs
............................................. ..... ....7.24.
DESAIN TULANGAN GESER Untuk keperluan desain, maka akan berlaku kaidah hubungan antara desain
dan analisis sebagaimana dibahas sebelumnya. Apabila Vu adalah gaya lintang ultimit balok yang diperoleh dari analisis struktur dan Vt adalah gaya lintang tersedia oleh beton maupun oleh sengkang, maka antara keduanya mempunyai hubungan, Vt > Vu ................................................................7.25. Persamaan 7.25 pada hakekatnya adalah hubungan antara suply dan demand, padahal
Vt = φ Vn dengan demikian,
φ Vn > Vu .............................................................7.26.
81
Yang mana Vn adalah gaya lintang nominal dan Ø adalah faktor reduksi kekuatan untuk geser. Di depan telah disampaikan bahwa gaya geser total yang dapat dikerahkan oleh balok adalah jumlah dari gaya geser yang dapat dikerahkan oleh beton Vc dan gaya geser yang dapat dikerahkan oleh tulangan geser Vs. Dengan demikian persamaan 7.26 menjadi,
φ (Vc + Vs ) ≥ Vu φ Vc + φVs ≥ Vu Vc + V s ≥
Vu
................................................. ....7.27.
φ
Apabila balok hanya dibebani oleh lentur dan geser, dan gaya geser yang dapat dikerahkan oleh beton dianggap konstan, maka dengan memperhatikan persamaan 7.7 dan persamaan 7.24, maka persamaan 7.27 menjadi,
φ
1 6
f c' b. h + φ
Av . f ys .h s
≥ Vu ........................ ..........7.28.
Persamaan 7.28 adalah apabila dipakai sengkang vertikal, sedangkan apabila dipakai sengkang miring dengan sudut α, maka
φ
1 6
f c' b. h + φ
Av . f ys .h s
(sin α + cosα ) ≥ Vu
.................. .....7.29
Yang mana Av adalah luas potongan tulangan geser. Apabila dipakai sengkang, maka Av adalah luas potongan 2 kaki sengkang, fys adalah tegangan leleh sengkang, s adalah jarak sengkang.
J.
DIAMETER, JARAK DAN BENTUK SENGKANG Tulangan geser miring umumnya dipasang degan cara membelokkan tulangan
tarik positif keatas. Dalam hal ini luas potongan tulangan cukup besar, tetapi tulangan geser miring ini dirasa kurang atau tidak praktis sehingga sekarang ini jarang dipakai. Apabila demikian maka tulangan geser yang dipakai adalah sengkang (stirrups) vertikal. Diameter sengkang yang akan dipakai bergantung pada ukuran balok yang dipakai atau gaya lintang yang ada (umumnya P8, P10 dan kalau balok besar dapat digunakan D10, D13 bahkan D16). Sebagaimana pada tulangan lentur, sengkang vertikal juga mempunyai batasan jarak, terutama adalah jarak maksimum. Batasan tentang jarak maksimum sengkang 82
tersebut diatur secara jelas di Codes atau Peraturan-peraturan. Jarak sengkang maksimum pada kolom berbeda dengan balok, sehubungan dengan adanya kemungkinan tekuk/buckling terhadap tulangan pokok akibat adanya gaya aksial pada kolom. Dihindarinya buckling terhadap tulangan pokok juga harus diperhatikan pada daerah-daerah sendi plastis (plastic hinges) pada balok. Hal ini terjadi karena tulangan yang buckle akan menurunkan daktilitas potongan. Untuk itu perlu ada jarak maksimum sengkang. 1. Jarak maksimum sengkang pada balok a. Daerah sendi Plastis Menurut pasal 3.14.3.3).(2) SK-SNI 1991, jarak sengkang (s) adalah : s≤h
h
: tinggi efektif balok
s ≤ 8d l
dl
: diameter tulangan lentur
s ≤ 24d s
ds
: diameter tulangan sengkang
4
s ≤ 20 cm
b. Daerah luar sendi Plastis s≤h
2
2. Jarak maksimum sengkang pada Kolom a. Daerah sendi Plastis Menurut pasal 3.14.4.4).(2) SK-SNI 1991, jarak sengkang (s) adalah : s≤
bc
4
bc
: lebar/ukuran terkecil kolom
s ≤ 8d l s ≤ 10 cm
b. Daerah luar sendi Plastis Menurut pasal 3.16.10.5).(2) SK-SNI 1991 s ≤ 16d l s ≤ 48d s s ≤ ukuran terkecil komponen struktur tersebut
83
Selain itu secara teoritis terdapat bermacam-macam kemungkinan bentuk sengkang vertikal. Bentuk-bentuk itu mulai dari sengkang pengikat (1 kaki), sengkang terbuka 2 kaki dan sengkang tertutup 2 kaki. Sengkang tertutup akan berfungsi lebih baik daripada sengkang-sengkang yang lain. Kait
a) Sengkang Terbuka 2 kaki
b) Sengkang Terbuka 2 kaki (lebih baik)
c) Sengkang Tertutup 2 kaki
d) Sengkang Tertutup 2 kaki (lebih baik)
Gambar 7.14. Macam-macam Tulangan Sengkang
K.
DIAGRAM GAYA LINTANG Telah dibahas sebelumnya bahwa rusak geser yang berupa retak miring akan
terjadi pada daerah 1h-1,5h dari dukungan. Daerah diatas dukungan justru tidak mengalami retak geser. Berdasarkan pada hal tersebut maka diagram gaya lintang untuk menghitung jarak sengkang terdapat sedikit pengurangan di daerah sepanjang h dari dukungan. Tidak ada beban terpusat P didaerah ini
Pasal 3.4.1.2).(1) SK-SNI 1991 : ”Untuk
komponen
struktur
non
pratekan, penampang yang jaraknya h
kurang dari h dari muka tumpuan boleh direncanakan terhadap gaya geser Vu yang sama dengan yang
Vu
φ
didapat pada titik sejarak h dari muka kolom tersebut.”
Gambar 7.15. Diagram Gaya Lintang
84
Apabila arah gaya gempa dari arah kanan, maka :
R A = R A1 + R A 2 = R A1 + RB = RB1 − RB 2 = R A1 −
-
+
− + + M kap M kap
Lb − + M kap + M kap
Lb
Lb = bentang bersih balok
Dimana Lb adalah bentang bersih balok. M kap-
M kap+
R A1
=
+
Lb
R A2
M kapL M kap+ L
M kapL M kap+ L
R B2
R B1
R A1 RA RB = -
R A2
+
R B2
-
R B1
RA RB = +
Semua gaya geser ditahan oleh sengkang Gaya geser ditahan oleh sengkang gaya geser ditahan oleh beton
2ht
+ dipakai jarak sengkang maks.
Tengah Bentang
Gambar 7.16. Gaya Geser Balok
85
L.
TULANGAN GESER BALOK Pada desain bangunan tahan gempa, tulangan geser mempunyai peran yang
sangat penting, yaitu : 1. Menahan balok beton agar tidak retak/rusak geser 2. Menjaga tulangan lentur terhadap bahaya tekuk (buckling) 3. Berfungsi sebagai pengekang (confinement) 4. Secara fungsional tulangan geser mengikat tulangan-tulangan lentur. Menurut mekanika, gaya geser terkait langsung dengan momen lentur yaitu V =
M , yang mana V adalah gaya geser, M adalah momen dan L adalah panjang L
bentang elemen. Oleh karena itu gaya geser V akan besar apabila momen M besar atau panjang bentang elemen kecil. Apabila ditinjau balok dengan bentang L tertentu, maka gaya geser V akan bergantung pada momen lentur M. Pada prinsip desain kapasitas (capacity design), konsep strong column weak beam mengisyaratkan adanya pengaruh overstrength pada balok sehingga dipakailah momen kapasitas. Momen kapasitas seterusnya akan berpengaruh terhadap gaya-gaya geser maupun desain momen pada kolom (Mu,k). Sebelum desain tulangan geser maka perlu ditinjau kembali tentang prinsip-prinsip menghitung gaya geser/lintang.
Gambar 7.17. Gaya Geser Balok Akibat Beban Gravitasi dan Beban Gempa Pada perancangan struktur bangunan tahan gempa, betapa pentingnya perancangan geser, baik balok maupun kolom. Pengalaman dari kerusakan struktur akibat gempa menunjukkan bahwa rusak geser telah berakibat fatal, terutama rusak 86
geser pada kolom. Secara umum rusak geser lebih berbahaya, karena kerusakan akan terjadi secara tiba-tiba tanpa adanya peringatan/tanda secara dini. Rusak lentur misalnya selalu diikuti dengan adanya lendutan/simpangan secara siknifikan sehingga dapat diidentifikasi secara visual. Kerusakan geser pada kolom akan sangat berbahaya. Hal ini terjadi karena pada kolom terdapat gaya aksial (disamping momen). Kerusakan terhadap tulangan geser akan mengakibatkan tekuk (buckling) pada tulangan kolom. Kalau sudah demikian maka kerusakan kolom tidak dapat dihindarkan. Kerusakan tulangan geser pada balok tidak sefatal pada kolom karena gaya aksial balok relatif kecil. Namun demikian, kedua hal tersebut harus dihindari. +
MKap+
q +q D
L
RA
2
q +q D
L
MKap-
( MM
Kap+/L
MKap+/Lb MKap-/Lb
Kap-/Lb
) RB
2
RA=RA -RA =RA -(MKap+ + MKap-)/Lb RB=RB -RB =RB -(MKap+ + MKap-)/Lb 1
1
2
2
1
1
RA = -
atau
RA = M /Lb M /Lb
M /Lb M /Lb
1
1
2
2
RA=12q.Lb+M /Lb - M /Lb ==> RA RA=12q.Lb-M /Lb + M /Lb ==> RB 1
1
2
1
2
1
Gambar 7.18. Gaya Geser
87
Berdasarkan prinsip-prinsip analisis struktur tersebut maka secara umum gaya geser total merupakan penjumlahan dari gaya geser akibat beban gravitasi dan gaya geser akibat beban gempa. Dalam SK-SNI 1991 pasal 3:14.7.1.(1), maka prinsip tersebut merujuk pada desain gaya geser ultimit balok (Vu,b) :
⎛ M kap ,i + M kap ,a Vu ,b = 1,05(VD + VL ) ± 0,7⎜⎜ L ⎝
⎞ ⎟⎟ ⎠
Dalam segala hal, desain gaya geser Vu,b tidak perlu lebih besar dari, 4 ⎛ ⎞ Vu ,b = 1,05⎜V D + V L + V E ⎟ K ⎠ ⎝
Yang mana VD dan VL masing-masing adalah gaya geser akibat beban mati (dead load) dan beban hidup (live load). VE adalah gaya geser akibat beban gempa dan K adalah faktor jenis struktur. Untuk struktur dengan daktilitas penuh, nilai K = 1. Mkap,i dan Mkap,a adalah momen kapasitas balok ujung kiri dan ujung kanan. Selanjutnya hubungan antara suplai gaya geser dan kebutuhan gaya geser menurut SK-SNI 1991, pasal 3.4.1.(1) : Vt > Vu ØVn > Vu
Vn >
Vu Ø
Yang mana Vt adalah gaya/kuat geser tersedia. Vu adalah kebutuhan gaya geser, Vn adalah gaya/kuat geser nominal potongan balok dan Ø adalah faktor reduksi kekuatan untuk geser. Padahal kuat geser nominal Vn balok merupakan gabungan antara kuat geser bahan beton Vcn dan kuat geser nominal yang dapat dikerahkan oleh tulangan geser Vsn, sehingga,
Vcn + Vsn >
Vsn =
Vu Ø
Vu − Vcn Ø
Pada struktur bangunan tahan gempa, ujung-ujung balok dimungkinkan terjadi sendi plastis. Hal ini berarti bahwa beton dianggap sudah rusak dan berarti Vcn = 0. Menurut SK-SNI 1991 pasal 3.4.3.1).(1), untuk balok lentur kuat geser nominal yang dapat dikerahkan oleh bahan beton adalah :
88
⎛ Vcn = ⎜ ⎜ ⎝
f 'c ⎞ ⎟.bw.h 6 ⎟⎠
Yang mana Vcn dalam N, f’c dalam MPa, bw dan h adalah lebar dan tinggi efektif balok dalam mm. Namun demikian gaya geser yang harus ditahan oleh baja tidak boleh lebih dari :
Vsn ≤
2 3
f ' c .bw.h
Apabila tidak dipenuhi, maka ukuran balok harus diperbesar. Secara skematis desain tulangan geser adalah : h
gaya geser ditahan sengkang (Vsn)
Vcn
2ht Daerah sendi plastis
Daerah jarak sengkang maksimum
SFD
Gambar 7.19. Gaya Geser Balok Yang Harus Ditahan Oleh Sengkang dan Beton Selanjutnya untuk sengkang vertikal, gaya geser yang dapat dikerahkan oleh sengkang adalah (SK-SNI 1991 pasal 3.4.5.6.(2)) Vsn =
Av. f y .h s
Yang mana Av adalah luas potongan sengkang dan s adalah jarak sengkang vertikal.
89
Mulai Ukuran balok diperbesar
Ditetapkan b d h Vu f’c fy
Vu = 0,7.
M kap + M'kap ln
+ 1,05.(VD + VL )
4 ⎞ ⎛ Vu = 1,05.⎜ VD + VL + .VE ⎟ K ⎠ ⎝ Diambil Vu yang terkecil Syarat Vu > (1,2 VD + 1,6VL)
Vc =
1 6
2 Vs,maks = . f'c .b.d 3
f' c .b.d
Daerah sendi plastis (2h)
Vs1 =
Vu
φ
Vs2 =
Vu2
φ
Tidak
− Vc
Pilih jumlah n kaki Ya
Vc > Vs1
Vs1 – tengah, dipakai smaks
s=
Tidak Tidak
Vc didalam ½ bentang
Dari Vs2-Vc dipakai: Vs3= Vs2 - Vc
Ya
Vs > Vs,maks
Daerah luar sendi plastis
n.Aφ . f y .d Vs
Ya
Dari Vs2 – Vc dipakai: Vs3 = Vs2 – Vc
Kontrol jarak sengkang s - Sepanjang 2h dari muka kolom s
Dari Vc – tengah bentang, dipakai smaks Selesai
Gambar 7.20. Flow chart penulangan geser balok
90
Berikut adalah contoh perhitungan tulangan geser pada balok. M kap,a
M kap,i
5,5
V1
Dari analisis struktur diperoleh : VD1 = 127,38 kN
VL1 = 58,05 kN
VD2 = 125,39 kN
VL2 = 57,15 kN
VE = 175,15 kN
+
-
V2
+
Dari hasil desain balok (balok tengah) diperoleh : b = 35 cm ht = 77,5 cm h = ht-d = 77,5 – 8,75 = 68,75 cm Mkap,a = Mkap+ = 107,463 Tm Mkap,i = Mkap- = 138,7402 Tm f’c = 22,5 MPa fy = 400 MPa = 4080 kg/cm2 dimensi kolom kanan = 60 dimensi kolom kiri = 60
80
70
cm
cm
L = 5,5 m = 550 cm Ln = L – (½.kolom kanan) - (½.kolom kiri) = 550 – (½.70) - (½.80) = 475 cm = 4,75 m
Vg = 1,05 (VD + VL ) Vg1 = 1,05 (127,38 + 58,05) = 194,7 kN Vg 2 = 1,05 (125,39 + 57,15) = 191,7 kN VU = 0,7
M kap ,a + M kap ,i Ln
= 0,7
107,463 + 138,7402 4,75
= 36,2825 Ton = 36282,5 kg 91
V g1
φ VU
φ
=
194,7 = 324,5 kN = 33099 kg 0,6
=
36282,5 = 60470,84 kg 0,6
;
Vg 2
φ
=
191,7 = 319,5 KN = 32589 Kg 0,6
4 Vu,m = 1,05 (VD + VL + VE ) k 4 ⎛ ⎞ Vu ,m = 1,05 ⎜127,38 + 58,05 + .175,15 ⎟ 1 ⎝ ⎠
= 930,33 kN = 930331,5 N = 94893,82 kg Maka gambar SFD nya adalah :
9581,,3
71968,4
33099 52564,86
93569,84
32589 60470,84 27881,84
19403,54
2ht=1,55 m
Vu =
Vg1
φ
+
VU
φ
1,65 m
Tengah Bentang
= 33099 + 60470,84 = 93569,84 kg ≤ Vu,m = 94893,82 kg
Karena Vu ≤ Vu,m, maka digunakan nilai Vu.
1 1 Vcn = . f ' c .bw.h = . 22,5.350.687,5 = 190230,76 N = 19403,54 kg 6 6
92
•
Daerah Sendi Plastis
1 1 Dipakai sengkang P10, Ad = .π .D 2 = .π .12 = 0,785 cm2 4 4 Dipakai sengkang 2 kaki Æ Av = 2 x Ad = 2 x 0,785 = 1,57 cm2 Besarnya nilai gaya geser yang boleh direduksi sebesar h :
1 Ln h 2 = Vg1 x
φ 1 .475 68,75 2 = 33099 x x=
68,75.33099 = 9581,3 kg 237,5
Vu =
Vg1
φ
+
VU
= 33099 + 60470,84 = 93569,84 kg
φ
Vsn = Vu – x = 93569,84 – 9581,3 = 83988,54 kg s=
Av . f y .h
=
Vsn
1,57.4080.68,75 = 5,24 cm Æ dipakai s = 5 cm 83988,54
Pakai P10 - 50 •
Daerah Luar Sendi Plastis
1 1 Dipakai sengkang P10, Ad = .π .D 2 = .π .12 = 0,785 cm2 4 4 Dipakai sengkang 2 kaki Æ Av = 2 x Ad = 2 x 0,785 = 1,57 cm2 Besarnya gaya geser sejauh 2.ht :
(2.ht ). x=
V g1
φ
=
1 Ln 2
(2.77,5).33099 = 21601,45 kg 237,5
Vs = Vu – x = 93569,84 – 21601,45 = 71968,4 kg Besarnya gaya geser yang harus ditahan tulangan sengkang : Vsn = Vs – Vcn = 71968,4 – 19403,54 = 52564,86 kg s=
Av . f y .h Vsn
=
1,57.4080.68,75 = 8,38 cm Æ dipakai s = 8 cm 52564,86
Pakai P10 - 80 93
BAB VIII MOMEN PERLU KOLOM DAN GAYA AKSIAL KOLOM
A.
MOMEN PERLU KOLOM Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa hierarki kekuatan prinsip struktur
daktail adalah kolom harus lebih kuat daripada balok. Dengan dihitungnya momen kapasitas balok berarti momen maksimum yang dapat ditahan oleh balok sudah diperoleh. Sesuatu yang perlu diketahui bahwa momen kapasitas balok tersebut adalah momen kapasitas balok ditepi muka kolom. a)
b) hk
hk'
lb lb'
(Mcap, i) Mcap, a
EI Mu, k Mcap, i
Mcap, a
Mcap, i
lb lb'
(Mcap, i) lb lb'
Mu, k EI
c) Mu, kb
lb Mu, kb = α . Φ . { lb' (Mcap, i) +
lb lb'
(Mcap, a) }
Gambar 8.1. Momen Ultimit Kolom Pada Gambar 8.1.a), momen kapasitas balok sebelah kanan (M-) dan momen kapasitas kiri (M+) harus dilawan oleh momen-momen kolom. Sesuai dengan prinsip mekanika, maka jumlah momen kolom harus sama dan berlawanan arah dengan jumlah momenmomen balok. Terdapat prinsip didalam mekanika bahwa keseimbangan gaya-gaya 94
harus selalu dipertahankan. Dengan demikian momen ultimit kolom atas Mu,ka dan momen ultimit kolom bawah Mu,kb adalah, lbi ⎧ lba ⎫ Mu , ka = α a .φ .⎨ .Mkap, a + .Mkap, i ⎬ lbi ' ⎩ lba ' ⎭
lbi ⎫ ⎧ lba .Mkap, a + .Mkap, i ⎬ Mu , kb = α b .φ .⎨ lbi ' ⎭ ⎩ lba '
Momen-momen tersebut adalah momen kolom di as balok. Momen kolom yang akan dipakai untuk desain adalah momen kolom di tepi muka balok. Di samping itu momen-momen kapasitas balok tersebut diperoleh dari analisis statik ekivalen. Sebagaimana didiskusikan sebelumnya bahwa akibat beban dinamik, telah disepakati adanya koefisien dynamic magnification factor ω pada desain kolom. Dengan demikian momen kolom di tepi muka balok adalah, Mu , ka =
lbi hka ' ⎫ ⎧ lba ω.α a .φ .⎨ .Mkap, a + .Mkap, i ⎬ lbi ' hka ⎭ ⎩ lba '
Mu , kb =
lbi hkb' ⎧ lba ⎫ ω.α b .φ .⎨ .Mkap, a + .Mkap, i ⎬ lbi ' hkb ⎩ lba ' ⎭
ω adalah dynamic magnification factor, α adalah faktor distribusi, Ø adalah faktor reduksi kekuatan mengingat Mkap adalah momen kapasitas balok nominal.
hk,a
Terdapat perbedaan nilai α yang harus diambil, yaitu :
EI,a Mb Ma
hk,b
EI,b
1. α tergantung dari kekuatan relatif kekakuan 2. α bergantung pada momen kolom hasil analisis statik ekivalen.
Sebagai contoh akan dihitung momen ultimit kolom Mu,k untuk kolom Ba dan kolom Bb seperti yang tampak dalam Gambar 8.2. Mengingat struktur yang tidak simetri dan momen kapasitas balok berbeda-beda, maka Mu,k kolom tersebut akan dihitung berdasarkan beban gempa arah kiri dan arah kanan.
95
27,5/60
27,5/60 50/50 I
50/50
45,14
J
27,5/60 71,53
50/50
E
27,67
30/70 60/60
70,86
F
30/70 50/50
K
50/50
45,14
L
J'
71,53
27,67
45,14
K'
L'
71,53
52,76
30/70 60/60
70,86
45,14
I'
27,5/60 27,5/60 71,53 50/50 52,76 50/50 50/50
30/70 50/50
27,5/60 50/50
G
50/50
70,86
30/70 30/70 103,63 60/60 103,63 60/60
H
70,86
E'
F'
103,63
103,63 50/50
70,86
70,86
G'
H'
103,63
103,63
c 30/70 50/55
30/70 60/70
30/70 60/70
50/50
b 50/60 A
b' 35/77,5
35/77,5
60/80
79,66
B
35/77,5 50/60
35/77,5 60/70
107,463
C
50/55
76,67
D
35/77,5 35/77,5 119,99 60/80 133,91 50/55 138,74 60/70
79,66
A' 119,99
50/60
107,463 138,74
a 35/77,5
B'
76,67
C'
D'
133,91
a' 35/77,5
60/80
35/77,5 60/70
50/55
o
8,5
5,5
7,5
8,5
Momen Kapasitas Balok Akibat Gempa Dari Arah Kiri
5,5
7,5
Momen Kapasitas Balok Akibat Gempa Dari Arah Kanan
Gambar 8.2. Momen Kapasitas Balok 96
1. Berdasarkan Beban Gempa Dari Arah Kiri Contoh perhitungan untuk kolom tengah kiri Berdasarkan rumus Mu,K kolom di atas maka, Mu , ka =
lbi hka ' ⎧ lba ⎫ ω.α a .φ .⎨ .Mkap, a + .Mkap, i ⎬ lbi ' hka ⎩ lba ' ⎭
hkb' lbi ⎫ ⎧ lba ω.α b .φ .⎨ .Mkap, a + .Mkap, i ⎬ Mu , kb = hkb lbi ' ⎭ ⎩ lba '
, αa =
, αb =
EIa EIa
h' a
h' a + EIb
h' b
EIb EIa
h' a
h' b + EIb
h' b
αb = faktor distribusi momen ke
hk’ = tinggi kolom bersih
kolom bawah
lb’ = bentang balok bersih
ω = dynamic magnification factor
αa = faktor distribusi momen ke kolom atas
(faktor pembesar dinamik) Ø = faktor reduksi kekuatan
Kolom Ba dan Bb ukurannya sama 60/80 cm, tinggi kolom juga sama, maka EIa
ha
= EIb
hb
yang mana ha dan hb adalah tinggi tingkat atas dan tinggi tingkat
bawah. Ia dan Ib adalah momen inersia kolom atas dan bawah. Dengan demikian αa = αb = 0,5. untuk struktur portal terbuka menurut SK-SNI pasal 3.14.4.2).(2), maka faktor pembesar dinamik ω = 1,3 , sedangkan nilai Ø = 0,70.
Tinggi bersih tingkat hk’ Bentang bersih balok kiri lbi’ Bentang bersih balok kanan lba’
(
) ( ) = 8,5 − (1 .0,6 ) − (1 .0,8) = 7,80 m 2 2 = 5,5 − (1 .0,8) − (1 .0,7 ) = 4,75 m 2 2
= 4 − 1 .0,775 − 1 .0,775 = 3,225 m 2 2
Dengan demikian, Mu, ka =
3,225 5,5 ⎧ 8,5 ⎫ 1,3.0,5.0,7.⎨ .119,99 + .107,463⎬ = 93,616 tm (kolom Bb ) 4 4,75 ⎩ 7,8 ⎭
Mu, kb =
3,225 5,5 ⎧ 8,5 ⎫ 1,3.0,5.0,7.⎨ .119,99 + .107,463⎬ = 93,616 tm (kolom Ba ) 4 4,75 ⎩ 7,8 ⎭
97
Sementara dari hasil desain balok diperoleh : Mu-,bi = 68,34 tm dan Mu+,ba = 56,896 tm, ΣMu,b = Mu-,bi + Mu+,ba = 68,34 + 56,896 = 125,23 tm ΣMu,k = Mu,ka + Mu,kb = 93,616 + 93,616 = 187,232 tm ΣMu, k 187,232 = = 1,495 atau ΣMu,k = 1,495 ΣMu,b. ΣMu, b 125,23 Inilah yang dimaknai kolom lebih kuat daripada balok atau strong column weak beam. Kontrol Mu,k maks dari gempa kiri , 4 ⎫ ⎧ Mu,k maks = 1,05⎨M Di + M Li + M Ei ⎬ K ⎭ ⎩
4 ⎫ ⎧ = 1,05⎨42,06 + 19,16 + 562⎬ 1 ⎭ ⎩
= 2424,68 KNm = 247,32 tm > 93,616 tm Maka yang dipakai adalah Mu,k = 93,616 tm 2. Berdasarkan Beban Gempa Dari Arah Kanan Senada dengan cara sebelumnya, maka akan diperoleh Mu, ka =
3,225 5,5 ⎧ 8,5 ⎫ 1,3.0,5.0,7.⎨ .79,66 + .138,7402⎬ = 90,78 tm < 93,616 tm 4,75 4 ⎩ 7,8 ⎭
Mu, kb =
3,225 5,5 ⎧ 8,5 ⎫ 1,3.0,5.0,7.⎨ .79,66 + .138,7402⎬ = 90,78 tm < 93,616 tm 4,75 4 ⎩ 7,8 ⎭
Sementara dari hasil desain balok diperoleh : Mu-,bi = 34,374 tm dan Mu+,ba = 77,52 tm, ΣMu,b = Mu-,bi + Mu+,ba = 34,374 + 77,52 = 111,9 tm ΣMu,k = Mu,ka + Mu,kb = 90,78 + 90,78 = 181,56 tm ΣMu, k 181,56 = = 1,622 atau ΣMu,k = 1,622 ΣMu,b. ΣMu, b 111,9 4 ⎫ ⎧ Mu,k maks = 1,05⎨M Di + M Li + M Ei ⎬ K ⎭ ⎩
4 ⎫ ⎧ = 1,05⎨42,06 + 19,16 + 561,3⎬ 1 ⎭ ⎩
= 2421,74 KNm = 247 tm > 90,78 tm Maka yang dipakai adalah Mu,k = 90,78 tm
98
Berdasarkan hasil-hasil diatas, maka yang menentukan hitungan untuk kolom Ba dan kolom Bb adalah apabila ada gempa dari arah kiri, dengan Mu,k = 93,616 tm.
Kolom ao dan aB (join a) Æ hanya ditinjau gempa dari arah kiri. Balok di kiri dan kanan join a memiliki ukuran dan momen kapasitas yang sama dengan balok-balok di kiri dan kanan join B. Ukuran kolom ao juga sama dengan kolom aB , demikian juga dengan tinggi kolom/tingkat. Hal ini berarti bahwa αao = αaB. Dengan demikian,
(Mu, k )ab = (Mu, k )ao = (Mu, k )Ba
= 93,616 tm
Kolom bB dan bc (join b). I 2,56.10 6 cm 4 IbB = 1 .60.80 3 = 2,56 . 106 cm4, bB = = 6400 cm3 12 L 400 cm (L = hk = tinggi tingkat) I 1,715.10 6 cm 4 = 4287,5 cm3 Ibc = 1 .60.70 3 = 1,715 . 106 cm4, bc = 12 L 400 cm
α bc =
α bB =
I bc I bc
L
+
L I bB
I bB I bc
L
+
L I bB
=
4287,5 = 0,401 4287,5 + 6400
=
6400 = 0,599 4287,5 + 6400
L
Æ αbc + αbB = 0,401 + 0,599 = 1
L
(Mu, k )bc = 3,225 1,3.0,401.0,7.⎧⎨ 8,5 .119,99 +
5,5 ⎫ .107,463⎬ = 75,07 tm 4,75 ⎭
(Mu, k )bB = 3,225 1,3.0,599.0,7.⎧⎨ 8,5 .119,99 +
5,5 ⎫ .107,463⎬ = 112,15 tm 4,75 ⎭
4
4
⎩ 7,8
⎩ 7,8
Kolom cb dan cF (join c). Balok di kiri dan kanan join c memiliki ukuran 30/70. Dengan demikian
(hk ')cb (hk ')cF
( ) ( ) = 4 − (1 .0,7 )(1 .0,7 ) = 3,3 m 2 2
= 4 − 1 .0,775 − 1 .0,7 = 3,2625 m 2 2
99
1,715.10 6 cm 4 6 4 I cb 3 1 Icb = .60.70 = 1,715 . 10 cm , = = 4287,5 cm3 12 L 400 cm IcF = 1 .60.60 3 = 1,08 . 106 cm4, 12
α cb =
α cF =
I cb I cb
L
+
L I cF
I cF I cb
L
+
I cF 1,08.10 6 cm 4 = = 2700 cm3 L 400 cm
=
4287,5 = 0,6136 4287,5 + 2700
=
4287,5 = 0,3864 4287,5 + 2700
L
L I cF
L
Karena ukuran kolom diatas dan dibawah join C berbeda, maka akan dipakai ukuran rata-rata. 0,55 + 0,50 ⎞ ⎛ 1 0,70 + 0,60 ⎞ ⎛ lbi = 8,5 − ⎜ 1 ( .) ⎟ = 8,5 − 0,2625 − 0,325 = 7,9125 m )⎟ − ⎜ ( 2 2 ⎝ 2 ⎠ ⎝ 2 ⎠ 0,70 + 0,60 ⎞ ⎛ 1 0,70 + 0,60 ⎞ ⎛ )⎟ − ⎜ ( ) ⎟ = 5,5 – 0,325 – 0,325 = 4,85 m lba = 5,5 − ⎜ 1 ( 2 2 ⎝ 2 ⎠ ⎝ 2 ⎠
(Mu, k )cb = 3,225 1,3.0,6136.0,7.⎧⎨
8,5 5,5 ⎫ .103,63 + .70,86⎬ = 87,44 tm 4,85 ⎩ 7,9125 ⎭
4
(Mu, k )cF = 3,225 1,3.0,3864.0,7.⎧⎨
8,5 5,5 ⎫ .103,63 + .70,86⎬ = 54,34 tm 4,85 ⎩ 7,9125 ⎭
4
Kolom-kolom di atasnya dapat dikerjakan dengan cara yang sama.
Kolom tingkat dasar (kolom oa ) di join o. Join o tidak diapit oleh balok-balok. Oleh karena itu hitungan momen ultimit kolom tidak dapat dilakukan seperti cara diatas. Oleh karena itu momen ultimit kolom dapat dihitung berdasarkan pada hasil analisis struktur. Menurut hasil analisis struktur kolom tingkat dasar atau kolom oa diperoleh, MD = 17,42 kNm
;
ML = 7,94 kNm
MEi = 748,5 kNm
;
MEa = 747,8 kNm
Mu , oa = 1,05 {M D + M L + M E } = 1,05 {17,42 + 7,94 + 748,5}
= 812,55 kNm = 82,88 tm
100
B.
GAYA AKSIAL KOLOM Setelah momen ultimit kolom Mu,k maka untuk keperluan desain kolom,
besaran yang harus diketahui berikutnya adalah gaya aksial yang bekerja pada kolom. Terdapat dua cara untuk menentukan gaya aksial kolom, yaitu berdasarkan pada gaya lintang balok pada kondisi kapasitas (gaya lintang balok menjadi gaya aksial kolom) dan gaya aksial kolom hasil analisis struktur. Untuk membahas masalah ini, maka diambil model struktur seperti pada Gambar 8.3. +
-
M1
M2
+
-
M3
M4
n M1 M2
M1
La
M2
La
+
La La
-
M1
M2
M3 M4
M3
La
M4
La
+
La La
-
M3
M4
2 M1 M2
M1
La
M2
La
+
La La
-
M1
M2
M3 M4
M3
La
M4
La
+
La La
-
M3
M4
1 M1 M2
M1
La
M2
La
La La
M3 M4
M3
La
M4
La
La La
La
Li
Gambar 8.3 Gaya Aksial Kolom Menurut SK-SNI 1991 pasal 3.14.4.2).(3), 1. Dari Kapasitas Balok n ⎧ ⎪ ∑ Mkap, i ∑ Mkap, a ⎫⎪ Nu,ki = Rv.0,7.∑ ⎨ + ⎬ + 1,05 Ng , k ...................................1 li la ⎪⎭ i =i ⎪ ⎩
Gaya lintang balok dari bentang kiri
Gaya lintang balok dari bentang kanan
Gaya aksial kolom akibat beban gravitasi
101
2. Dari Analisis Struktur Namun demikian nilai tersebut tidak perlu lebih besar dari, 4 ⎧ ⎫ Nu,k ≤ 1,05 ⎨ N g ,k + N E ,k ⎬ K ⎩ ⎭
..........................................................2
(Batas atas Nu,k) NE,k adalah gaya aksial akibat beban gempa. Rv merupakan suatu faktor untuk memperhitungkan kemungkinan tidak bersamasamanya kejadian sendi plastis diseluruh tingkat. Rv = 1
Æ1
Rv = 1,1 – 0,025 n
Æ 4 < n ≤ 20
Rv = 0,6
Æ n > 20
n
= Jumlah lantai bangunan
102
Gempa Kiri 45,14
71,53
27,67
52,76
45,14
71,53
9,54
9,54
9,6
9,6
8,42
8,42
6,02
6,02
5,03
5,03
5,31
5,31
R
M
70,86
103,63
70,86
103,63
70,86
13,85
13,85
18,84
18,84
9,45
9,45
12,88
12,88 8,33
103,63
J 12,19
12,19 8,33
F
c
76,67
133,91 107,463
138,7402
79,66
119,99
17,85
17,85
25,22
25,22
14,12
14,12
10,22
10,22
19,54
19,54
9,02
9,02
b
B
a
o
Gambar 8.4 Gaya Aksial Kolom Akibat Beban Gempa Kiri
103
Gempa Kanan 71,53
45,14
52,76
27,67
71,53
45,14
R 8,42
8,42
9,6
9,6
9,54
9,54
5,31
5,31
5,03
5,03
6,02
6,02
103,63
70,86
M 103,63
70,86
103,63
70,86
J 12,19
12,19
18,84
18,84
13,85
13,85
8,33
8,33
12,88
12,88
9,45
9,45
F
c
119,99
79,66
138,7402
107,463 133,91
76,67
b 14,12
14,12
25,22
25,22
17,85
17,85
9,02
9,02
19,54
19,54
10,22
10,22
B
a
8,5 m
o
5,5 m
7,5 m
Gambar 8.5 Gaya Aksial Kolom Akibat Beban Gempa Kanan
104
Gaya Aksial
Gaya Aksial Hasil Analisis Struktur 173,6
251,3
233,8
134,9
13,73
0,9
0,93
- 15,56
58,1
93,5
85,5
50,9
13,73
0,9
0,93
- 15,56
350,7
497,1
465,8
319,7
13,73
0,9
0,93
- 15,56
117,7
184,7
170,2
103,6
27,46
1,8
1,86
- 31,12
527,3
744,0
647,8
480,7
20,52
11,2
- 8,42
-23,3
177,1
275,9
254,9
155,9
47,98
13
- 6,56
- 54,42
703,3
991,6
930,4
641,1
20,52
11,2
- 8,42
-23,3
236,4
367,8
339,8
208,0
68,5
24,2
- 14,98
- 77,72
878,7
1240,1 1163,5
800,9
20,52
11,2
- 8,42
-23,3
295,3
459,9
259,8
89,02
35,4
- 23,4
- 101,02
1053,3
1489,5 1397,0
960,0
23,14
21,62
- 16,7
- 28,07
353,8
552,8
311,2
112,16
57,02
- 40,1
- 129,09
1226,9
1740,3 1631,3
1118,1
23,14
21,62
- 16,7
- 28,07
411,8
645,8
362,2
135,36
78,64
- 56,8
- 157,16
1993,0 1866,4
1274,6
23,14
21,62
- 16,7
- 28,07
739,9
412,5
158,44
100,26
- 73,5
- 185,23
PD 1399,0 PL
469,2
425,0 510,4 596,2 682,2
Satuan kNm
Satuan Ton
Contoh perhitungan untuk kolom tengah kiri, Dari hasil perhitungan balok didapat Balok bentang kiri,
MKap+ = 45,14 tm dan MKap- = 71,53 tm
Balok bentang kanan, MKap+ = 27,67 tm dan MKap- = 52,76 tm Reaksi gaya aksial balok kiri,
M Kap + L M Kap − L
Reaksi gaya aksial kiri,
M Kap + L M Kap − L
=
45,14 = 5,31 Ton 8,5
=
71,53 = 8,42 Ton 8,5
=
27,67 = 5,03 Ton 5,5
=
52,76 = 9,6 Ton 5,5
Maka gaya aksial: (9,6 + 5,03) – (8,42+5,31) = 0,9 Ton Dengan cara yang sama didapat hasil seperti diatas. 105
Berikut adalah hitungan gaya aksial untuk gempa kanan. Jumlah lantai = 8 Rv = 1,1 – (0,025 n) = 1,1 – (0,025 x 8) = 0,9 n ⎧ ⎪ ∑ Mkap, i ∑ Mkap, a ⎫⎪ Nu,k = Rv.0,7.∑ ⎨ + ⎬ + 1,05 Ng , k li la ⎪⎭ i =i ⎪ ⎩
Keterangan : Karena satuan gaya aksial adalah Ton, maka akan dikonversi dengan mengalikan 9,804.
(Nu, k )
oa
(Nu, k )
aB
(Nu, k )
Bb
(Nu, k )
bc
(Nu, k )
cF
(Nu, k )
FJ
(Nu, k )
JM
(Nu, k )
MR
= 0,9.0,7.{100,26.9,804} + 1,05.(1993 + 739,9 ) = 619,25 + 2869,55 = 3488,8 kNm = 355,85 Ton = 0,9.0,7.{78,64.9,804} + 1,05.(1740,3 + 645,8) = 485,72 + 2505,4 = 2991,12 kNm = 305,1 Ton = 0,9.0,7.{57,02.9,804} + 1,05.(1489,5 + 552,8) = 352,185 + 2144,4 = 2496,58 kNm = 254,65 Ton = 0,9.0,7.{35,4.9,804} + 1,05.(1240,1 + 459,9 ) = 218,65 + 1785 = 2003,65 kNm = 204,37 Ton = 0,9.0,7.{24,2.9,804} + 1,05.(991,6 + 367,8) = 149,5 + 1427,37 = 1576,87 kNm = 160,84 Ton = 0,9.0,7.{13.9,804} + 1,05.(744,0 + 275,9) = 80,3 + 1070,9 = 1151,2 kNm = 117,42 Ton = 0,9.0,7.{1,8.9,804} + 1,05.(497,1 + 184,7 ) = 11,12 + 715,9 = 727,01 kNm = 74,155 Ton = 0,9.0,7.{0,9.9,804} + 1,05.(251,3 + 93,5) = 5,55 + 362,04 = 367,6 kNm = 37,5 Ton
106
Hitungan gaya aksial untuk gempa kiri.
(Nu, k )
oa
(Nu, k )
aB
(Nu, k )
Bb
(Nu, k )
bc
(Nu, k )
cF
(Nu, k )
FJ
(Nu, k )
JM
(Nu, k )
MR
= 0,9.0,7.{− 100,26.9,804} + 1,05.(1993 + 739,9 ) = −619,25 + 2869,55 = 2250,3 kNm = 229,53 Ton = 0,9.0,7.{− 78,64.9,804} + 1,05.(1740,3 + 645,8) = −485,72 + 2505,4 = 2019,68 kNm = 206 Ton = 0,9.0,7.{− 57,02.9,804} + 1,05.(1489,5 + 552,8) = −352,185 + 2144,4 = 1792,21 kNm = 182,8 Ton = 0,9.0,7.{− 35,4.9,804} + 1,05.(1240,1 + 459,9 ) = −218,65 + 1785 = 1566,35 kNm = 159,76 Ton = 0,9.0,7.{− 24,2.9,804} + 1,05.(991,6 + 367,8) = −149,5 + 1427,37 = 1277,87 kNm = 130,34 Ton = 0,9.0,7.{− 13.9,804} + 1,05.(744,0 + 275,9 ) = −80,3 + 1070,9 = 990,6 kNm = 101,04 Ton = 0,9.0,7.{− 1,8.9,804} + 1,05.(497,1 + 184,7 ) = −11,12 + 715,9 = 704,78 kNm = 71,88 Ton = 0,9.0,7.{− 0,9.9,804} + 1,05.(251,3 + 93,5) = −5,55 + 362,04 = 356,5 kNm = 36,36 Ton
Demikianlah contoh perhitungan untuk kolom tengah kiri. Dengan cara yang sama dapat dicari Mu,k dan Nu,k untuk kolom tepi kiri, kolom tengah kanan dan kolom tepi kanan.
107
Apabila contoh hitungan yang dipakai adalah gempa kanan, lalu digambar, maka hasilnya adalah sebagai berikut.
62,78 43,69
Lantai 8 37,5
43,69 Lantai 7 43,69
74,155
43,69 55,31 55,31
Lantai 6
117,42
Lantai 5 54,34
87,44
160,84 Lantai 4
75,07
204,37
112,15 93,616
Lantai 3 254,65
93,616 93,616 93,616
305,1 Lantai 1
82,88
Mu,k
Lantai 2
355,85
Nu,k
Gambar 8.6 Hasil Hitungan Mu,k dan Nu,k Karena hasil diatas adalah momen kolom dan gaya aksial kolom dalam bentuk ultimit, maka akan dirubah ke nilai nominal, dengan cara membagi dengan nilai reduksi ø yaitu 0,8 untuk Mu,k dan dan 0,65 untuk kolom bersengkang atau 0,7 untuk kolom berspiral untuk Nu,k sesuai dengan SK-SNI 1991, pasal 3.2.3.2). Kolom yang dihitung menggunakan sengkang, sehingga untuk Nu,k digunakan ø = 0,65.
108
Sehingga didapat hasil :
78,48 54,62
Lantai 8 57,7
54,62 54,62
Lantai 7
114,08
54,62 Lantai 6 69,14 69,14
180,65 Lantai 5
67,93 109,3
247,44 Lantai 4
93,84
314,42
140,18 117,02
Lantai 3 391,77
117,02 117,02 117,02
Lantai 2 469,38 Lantai 1
103,6
Mn,k
547,46
Nn,k
Gambar 8.7 Hasil Hitungan Mn,k dan Nn,k
109
BAB IX DESAIN KOLOM Desain kolom adalah menentukan ukuran kolom dan menentukan luas dan penempatan tulangan sehingga memenuhi kebutuhan gaya aksial Pn dan momen lentur Mn. Pada desain balok proses desain bersifat unique, artinya proses desain menempuh suatu rute dalam rangka hanya memenuhi kebutuhan momen lentur atau hanya satu persyaratan. Pada desain kolom karena terdapat dua persyaratan yang harus dipenuhi sekaligus, maka tidak ada cara langsung yang stright forward, hal yang umumnya dilakukan adalah dengan cara coba-coba, yaitu dicoba ukuran kolom dan jumlah tulangan, kemudian dikontrol apakah hasilnya akan memenuhi syarat. Secara umum desain kolom dapat dilakukan dengan : 1. Cara Numerik Yaitu menggunakan persamaan keseimbangan gaya-gaya. 2. Cara Grafis atau Diagram Interaksi Mn-Pn 3. Cara Analitik Yaitu menggunakan rumus eksplisit (closed form formula). Pada cara analitik walaupun agak sedikit panjang, namun nilai-nilai Pn dan Mn yang dapat dikerahkan oleh suatu potongan kolom dapat diketahui secara pasti/eksak. Pada cara grafis, sebaliknya proses desain dapat dilakukan dengan cepat dan mudah tetapi harus menyiapkan diagram interaksi Mn-Pn terlebih dahulu. Disamping itu nilai Pn dan Mn yang tersedia kalau tidak dihitung secara analitik, nilai-nilai yang diperoleh hanya bersifat perkiraan. Pada desain balok lentur, efisiensi desain dapat dicapai setinggi-tingginya, artinya momen tersedia Mt nilainya dapat didekatkan sedekat-dekatnya dengan momen perlu Mu sehingga Mt ≥ Mu. Ini adalah hasil dari sifat desain yang bersifat unique seperti yang dikatakan sebelumnya. Pada desain kolom hal ini agak sulit dilakukan. Pada suatu ukuran kolom dan luas tulangan tertentu mungkin gaya aksial nominal tersedia Pn nilainya agak jauh lebih besar dari gaya aksial nominal yang diperlukan, sementara nilai Mn tersedia hanya sedikit lebih besar daripada Mn yang diperlukan, dan sebaliknya.
110
Agar baik Pn dan Mn yang tersedia hanya sedikit lebih besar daripada Mn dan Pn yang diperlukan, umumnya diperlukan banyak coba-coba. Hal ini tentu saja tidak praktis. Oleh karena itu hasil desain seperti pada kondisi yang disebut sebelumnya, umumnya masih dapat diterima.
A.
DESAIN KOLOM DENGAN CARA NUMERIK Cara numerik yang akan dipakai adalah dengan cara memakai keseimbangan
gaya-gaya yang bekerja pada potongan kolom. Tahapan analisisnya dapat dilihat pada Gambar 9.1 dan Gambar 9.2. Mulai Data Pu Mu b h f’c fy ec Es
Ukuran dirubah
Pna =
Pu
φ
; M na =
M e = na Pna
Mu
φ
Menentukan Ukuran Kolom Pada kondisi balance (Pna = Pnb)
cb =
εc h εc + εs
Pb = Cc+Cs-Ts = 0,85.f’c.ß1.cb.b+A’s.fy-As.fy Didapat Ag = b.ht ~ h = 0,9.ht Ya Compresion Controls (Patah Desak)
Tidak Tension Controls (Patah Tarik)
Rumus Pendekatan Pn Yang Berdasarkan Pada Patah Tarik :
Rumus Whitney :
Pn =
Agc < Ag
2 ⎧⎪ ⎡ ⎛ e⎞ ⎛ e⎞ ⎛ d' ⎞ e ⎤ ⎫⎪ Pn = 0,85. f'c .b.h⎨− ρ + ⎜1 − ⎟ + ⎜1 − ⎟ + 2. ρ ⎢(m − 1)⎜1 − ⎟ + ⎥ ⎬ ⎝ h⎠ ⎝ h⎠ ⎝ h ⎠ h ⎦ ⎪⎭ ⎣ ⎪⎩
A's . f y f' c .b.ht + 3.ht.e e + 1,18 + 0,5 h2 h.d'
Tidak
Pn > Pna ya
A Gambar 9. 1 Flow chart penulangan kolom bagian 1.
111
A Kontrol Status ~ cb = 0,6.h ~ es’ = c − d' .ε ~ ~ ~ ~
c
c
C cb = 0,85.f’c.ab.b C sb = A’s.(fy-0,85.f’c) Tsb = As.fy P b = C cb+C sb-T sb Pb > Pn Asumsi Kolom Patah Tarik
Pb < Pn Asumsi Kolom Patah Desak
Analisis Kolom Patah Desak
Analisis Kolom Patah Tarik
~ ~ ~ ~ ~
~ C c = 0,85.f’c.ß1.c.b ~ T s = A s. f y ~ C s = A’s.fy Statik Momen Terhadap Garis Kerja Pn ~ ⎧ β1.c ⎛ ht ⎧⎛ ht ⎫ ⎧⎛ ht ⎞⎫ ⎞ ⎞ ⎫ Cc ⎨ − ⎜ − e ⎟ ⎬ − C s ⎨⎜ − e ⎟ − d'⎬ − Ts ⎨⎜ − d ⎟ + e ⎬ 2 2 2 2 ⎝ ⎠⎭ ⎠ ⎠ ⎭ ⎩ ⎩⎝ ⎭ ⎩⎝
C c = 0,85.f’c.ß1.c.b T s = A s . fy C s = A’s.(fy-0,85 .f’c) Pn = Cc + Cs – Ts
⎧ ⎛ d − d' ⎞ ⎫ a⎫ ⎧ Pn ⎨e + ⎜ ⎟ ⎬ = C c ⎨ h − ⎬ + C s {h − d'} 2⎭ ⎩ ⎩ ⎝ 2 ⎠⎭ Didapatkan Pers c 2, sehingga didapat nilai c ~ P n > P na ~ Memenuhi Syarat
Didapatkan Pers. c 3, sehingga didapat nilai c ~ Pn = Cc + Cs – Ts ~ Pn > P na ~ Memenuhi Syarat
Momen lentur dengan mengambil momen terhadap titik berat potongan ⎫ ⎫ ⎧ ht ⎧ ht ⎧ ht a ⎫ M n = C c ⎨ − ⎬ + C s ⎨ − d'⎬ + Ts ⎨ − d ⎬ ⎭ ⎭ ⎩2 ⎩2 ⎩ 2 2⎭ M n > M na ~ Memenuhi Syarat Selesai
Gambar 9.2 Flow chart penulangan kolom bagian 2. 1.
Desain Kolom Dengan Cara Numerik Patah Desak Cara numerik yang akan dipakai adalah dengan cara memakai keseimbangan gaya-gaya yang bekerja pada potongan kolom. Sebagai bahan kajian dipakai momen ultimit kolom Mu dan gaya aksial kolom Pu hasil analisis sebelumnya seperti yang tampak pada Gambar 9.3. Pu = 355,85
Pn Mu = 93,616 tm
Mb,Pb Mn
Gambar 9.3 Pu dan Mu kolom 112
Mna = Pna =
Mu
φ
Pu
φ
=
93,616 = 117,02 tm 0,8
355,85 = 547,46 ton 0,65
=
Mn 117,02 = = 0,21375 m = 21,375 cm Pn 547,46
Eksentrisitas beban e =
Terdapat beberapa langkah pada proses desain, yaitu : a. Menentukan Ukuran kolom Wang dan Salmon (1997) mengatakan bahwa untuk menentukan ukuran kolom dapat dipakai asumsi awal, yaitu nilai Pn dianggap sementara sama dengan Pb. Asumsi yang lain adalah pengaruh displaced concrete diabaikan dan regangan baja desak sudah mencapai regangan leleh. Dipakai Es = 2100000 kg/cm2 , fy = 400 MPa, f’c = 25 MPa = 255 kg/cm2. Pada kondisi balance, maka :
b/2
As
As '
b b/2
εc εc + εs
h=
0,003 h 0,003 + 0,001943 = 0,6069 h
ht/2
ht/2
cb =
Pb = Cc + Cs – Ts
ht
e
= 0,85.f’c.β1.cb.b + As’.fy – As.fy
Es
Pb Es'
= 0,85 . 255 . 0,85 . 0,6069h . b Ec (0,003)
= 111,8137 b.h Apabila diambil asumsi h = 0,9 ht, maka :
c
Pb = 111,8137 . b . 0,9 ht
a
= 100,6323 b . ht = 100,6323 Ag Ts Cc Cs
d'
Gambar 9.4 Gaya-gaya Pada Kondisi Balance
Padahal Pb = Pn = 547,46 t , maka :
547,46.10 3 kg 2 cm = 5440,2 cm2 Ag = 100,6323kg
Selanjutnya Wang dan Salmon (1977) mengatakan bahwa apabila dipakai Agc > Ag maka kolom yang dipakai cukup besar. Akibatnya hanya diperlukan tebal beton desak yang relatif kecil atau Pn < Pb dan masih memenuhi kebutuhan momen Mn karena eksentrisitasnya e cukup besar 113
(ukuran kolom besar). Pada kondisi demikian akan terjadi tension controle dan sebaliknya. Artinya : 1. Bila Agc > Ag, akan terjadi tension controle 2. Bila Agc > Ag, akan terjadi compression controle Yang mana Ag adalah kebutuhan luas potongan kolom bila Pn = Pb dan Agc adalah luas potongan yang dipakai. Misalnya akan didesain kolom dalam kondisi compression controle, maka artinya Agc < Ag. Misal dicoba ukuran kolom 45x70, maka Agc = 45.70 = 3150 cm2 ± 72 % Ag. Dipakai baja tulangan D25 (AØ = 4,906 cm2) dengan jumlah tulangan sebanyak 7 buah tiap sisi, maka luas tulangan As = As’ = 9.4,906 = 44,154 cm2, d = 4 + 1 + ½.2,5 = 6,25 cm. b. Estimasi Kuat Desak Pn Untuk keperluan estimasi kuat desak Pn b/2
As
As '
dipakai rumus pendekatan Whitney, yaitu : 45
b/2
70 63,75 d
Pn =
=
e
Es
Pb Es'
Ec (0,003)
c
=
As'. fy f ' c.b.ht + e 3.ht.e + 1,18 + 0,5 2 h − d' h 44,154.4080 255.45.70 + 21,375 3.70.21,375 + 1,18 + 0,5 2 63,75 − 6,25 63,75
803250 180148,32 + 2,2845 0,8717
= 351608,66 + 206663,2
a
= 558271,87 kg = 558,27 t Pn = 558,27 t > Pna = 547,46 t
Ts Cc
Cs
d'
Gambar 9.5 Gaya-gaya Pada Kondisi Patah Desak
Estimasi
ukuran
dan
jumlah
tulangan
diperkirakan memenuhi syarat.
c. Kontrol Status Patah Desak Pada hitungan sebelumnya diperoleh cb = 0,6069 h, maka : cb = 0,6069 . 63,75 = 38,6898 cm ( lihat Gambar 9.4) εs’ =
38,6898 − 6,25 c − d' 0,003 = 0,002515 > 0,001943 εc = 38,6898 c
(baja desak sudah leleh) 114
Ccb = 0,85 . f’c . ab . b = 0,85 . 255 . (0,85 . 38,6898) . 45 = 320765,0 kg Csb = As’ (fy – 0,85 . f’c) = 44,154 (4080 – 0,85 . 255) = 170577,95 kg Tsb = As . fy = 44,154 . 4080 = 180148,32 kg Pb = Ccb + Csb - Tsb = 320765,0 + 170577,95 - 180148,32 = 311174,63 kg = 311,174 t < Pna = 547,46 t Betul kolom dalam keadaan patah desak (compression controle). d. Analisis Kolom Patah Desak Dengan Eksentrisitas Beban e Diketahui Dalam hal ini ukuran kolom sudah diperoleh, yaitu b = 45 cm dan ht = 70 cm. Tulangan kolom juga sudah diestimasi yaitu dipakai 9D25 pada masing-masing sisi. Akan dianalisis apakah kolom dengan penulangan tersebut mampu mengerahkan Mna = 117,02 tm dan Pna = 547,46 t. Lihat Gambar 9.5. Dalam hal ini e = 21,375 cm, yang akan dicari pertama kali adalah nilai c. Cc = 0,85 . f’c . 0,85 . c . b = 0,85 . 255 . 0,85 . c . 45 = 8290,6875 c Patah desak umumnya baja desak sudah leleh, maka Cs = As’ (fy – 0,85 f’c) = 44,154 (4080 – 0,85 . 255) = 170577,95 kg Pada kondisi patah desak baja tarik belum leleh, maka ⎛h−c⎞ Ts = As .fs = As . εs . Es = As⎜ ⎟ε c .E s ⎝ c ⎠
(17733350,25 − 278170,2.c ) kg ⎛ 63,75 − c ⎞ = 44,154⎜ ⎟0,003.2100000 = c c ⎝ ⎠ Dalam hal ini Pn belum diketahui nilainya (yang sudah dihitung adalah Pn dari pendekatan Withney) dan demikian juga nilai c. Dengan demikian ada dua nilai yang belum diketahui. Untuk itu harus diadakan eliminasi, yaitu dengan mengambil jumlah momen terhadap garis kerja Pn. ΣM terhadap garis kerja Pn (asumsi e = eksentrisitas awal)
⎧ β .c ⎛ ht ⎧⎛ ht ⎫ ⎧⎛ ht ⎞⎫ ⎞ ⎞ ⎫ Cc ⎨ 1 − ⎜ − e ⎟⎬ − Cs ⎨⎜ − e ⎟ − d '⎬ − Ts ⎨⎜ − d ⎟ + e⎬ = 0 ⎝2 ⎠⎭ ⎠ ⎠ ⎭ ⎩ 2 ⎩⎝ 2 ⎭ ⎩⎝ 2
115
8290,6875.c{0,425.c − 13,625} − 170577,95{13,625 − 6,25} −
(17733350,25 − 278170,2.c ) 50,125 = 0 c
3523,5425c 3 − 73123,863c 2 + 11543761,7c − 757652656,3 = 0 c 3 − 20,75294c 2 + 3276,18c − 215025,85 = 0 Melalui penyelesaian persamaan pangkat 3 diperoleh c = 50,2 cm a = 40,91 cm Dengan demikian, Cc = 0,85 . 255 . 50,2 . 45 = 489638,25 kg Cs = 170577,95 kg εs =
63,75 − 50,2 h−c 0,003 = 0,000809 εc = 50,2 c
fs = εs . Es = 0,000809 . 2100000 = 1700,5 kg/cm2 < 4080 kg/cm2 Ts = As . fs = 44,154 . 1700,5 = 75083,78 kg Pn = Cc + Cs – Ts = 489638,25 + 170577,95 - 75083,78 = 585132,42 kg = 585,13 t > 547,46 t Æ Pn > Pna (memenuhi syarat). Momen lentur yang dapat ditahan dapat diperoleh dengan mengambil momen terhadap titik berat potongan. ⎛ ht ⎞ ⎛ ht ⎞ ⎛ ht a ⎞ Mn = Cc⎜ − ⎟ + Cs⎜ − d ' ⎟ + Ts⎜ − d ⎟ ⎠ ⎝ 2 2⎠ ⎝2 ⎠ ⎝2
= (489638,25 . 14,545) + (170577,95 . 28,75) + (75083,78 . 28,75) = 7121788,34 + 4904116,35 + 2158658,675 = 14184563,37 kg cm = 141,85 tm > 117,02 tm (memenuhi syarat) Desain kolom sukses! Ada kemungkinan beberapa ukuran kolom yang dapat dipakai. Apabila ukuran kolom yang dipakai lebih kecil dari ukuran diatas (45x70cm), maka konsekuensinya akan diperlukan baja tulangan uang lebih banyak. Misalnya dalam hal ini agak sedikit dipaksakan (ht balok diperkecil), As dan As’ bertambah, momen nominal sangat mepet, bahkan kurang sedikit) maka hasilnya adalah seperti yang tampak pada Tabel 9.1.
116
Tabel 9.1 Beberapa Alternatif Tulangan Kolom
45 45 45
Harga (Rp.) Volume Kolom (m3) Tulangan Beton
Pn (ton)
Mn (tm)
Tul D25
Berat Tulangan Per m’ kolom (kg)
70
585,13
141,85
2x9
69,3
0,315
377685
121275
498960
65
595,4
140,3
2 x 11
87,4
0,292
476330
112612
588942
60
590,2
124,6
2 x 12
92,4
0,270
503580
103950
607530
Ukuran Kolom (cm)
Harga Total (Rp.)
Keterangan
D25 = 3,85 kg/m D22 = 2,98 kg/m D19 = 2,23 kg/m Beton = Rp. 385000/m Tulangan = Rp. 5450/kg
Berdasarkan tabel di atas, maka dapatlah dimengerti bahwa : 1. Ketersediaan Pn dan Mn Pada kondisi patah desak, karena ukuran kolom relatif kecil maka diperlukan tebal beton desak c yang relatif besar. Pada kondisi ini lengan momen komponen Cc terhadap titik berat potongan menjadi relatif kecil. Akibatnya momen yang dapat dikerahkan oleh komponen Cc menjadi relatif kecil atau mengecil, padahal kontribusi komponen Cc terhadap penyediaan momen umumnya paling besar dibandingkan dengan kontribusi Cs dan Ts. Oleh karena itu pada kondisi compression controle pemenuhan kebutuhan momen relatif lebih sulit daripada pemenuhan kebutuhan gaya aksial (Mn nilainya sangat mepet terhadap Mna). 2. Harga Beton Pada tabel di atas tampak jelas bahwa semakin kecil ukuran kolom, maka kebutuhan tulangannya As dan As’ akan semakin besar. Juga tampak bahwa harga tulangan dapat mencapai 3 sampai 4 kali dari harga cor beton. Semakin kecil kolom, maka rasio tersebut akan semakin besar dan harga totalnya juga semakin mahal. Oleh karena itu ukuran kolom yang relatif kecil secara estetika mungkin terlihat ramping dan enak dilihat, tetapi secara finansial sebenarnya struktur tersebut lebih mahal. Gambaran atau contoh di atas dapat dilihat secara visual seperti yang tampak pada Gambar 9.6.
117
Thousands
Harga
Pada Gambar 9.6 tampak jelas bahwa
700
harga baja tulangan jauh lebih mahal
600 500
Beton
400
daripada harga cor beton. Desain
Tulangan
300
elemen beton dapat dikombinasikan
Strk. Beton
200 100
antara fungsional, estetika dan harga
0 55
60
65
70
sedemikian rupa sehingga aman,
75
ht kolom
nyaman dan ekonomis.
Gambar 9.6 Perbandingan Harga
Untuk proses desain selanjutnya, nilai Mna dan Pna yang dihitung adalah 114,5625 tm dan 437,77 ton. Dianggap nilai-nilai tersebut bekerja pada kolom yang didesain. Mna = 114,5625 tm Pna = 437,77 ton
e=
Mna = 26,197 cm Pna
Æ Bila dipakai 70 x 70 Agc = 70.70 = 4900 cm2 > 4350,20 cm2
2
Ag = 4350,20 cm
akan terjadi patah tarik, tetapi luas baja
Agc = 45.70 = 3150 cm2 < Ag
tulangan yang diperlukan akan kecil
Tulangan 2 x 7D25
yaitu As = As ' = 5,96 cm2.
Pb = 343,34 ton < Pna
1,4 = 0,35 % 400
Pn = 463,904 ton ~ 327,77 ton
Hanya 0,24 % <
Æ Patah desak
(batas tulangan minimum)
Æ Desain OK
Hasil desain di atas sementara juga dapat disimpulkan menurut tabel berikut. Tabel 9.2 Hasil Desain Kolom
Alternatif 1 2 3
Ukuran Kolom b h 45 70 45 65 45 60
Ag (cm2) 3150 2925 2700
Tulangan n 2x7 2x9 2 x 11
luas 68,684 89,308 107,932
Pu φ . f ' c. Ag 0,545 0,587 0,636
ρ=
Ast Ag
2,15 % 3,02 % 4,00 %
Agc Ag 72,4 % 67,2 % 62,0 % 118
Di dalam mengestimasi ukuran kolom, sebenarnya juga dapat menggunakan persamaan berikut ini, ⎡ ⎢ Pn = Ag ⎢ ⎢⎛ 3 ⎢ ⎜⎜ 2 ⎢⎣ ⎝ ξ
⎤ ρ g . fy ⎥⎥ f 'c + ⎞⎛ e ⎞ ⎛ 2 ⎞⎛ e ⎞ ⎥ ⎟⎟⎜ ⎟ + 1,18 ⎜⎜ ⎟⎟⎜ ⎟ + 1⎥ ⎝ γ ⎠⎝ ht ⎠ ⎥⎦ ⎠⎝ ht ⎠
ξ=
As + As' h h − d' ; γ = ; ρg = Ag ht h
Misalnya dipakai :
ρ g = 2,15 %, ξ = 0,9 , γ = 0,9 , ⎡ ⎢ 437770 = Ag ⎢ ⎢⎛ 3 ⎢ ⎜⎜ 2 ⎣ ⎝ 0,9 Ag =
2.
e 26,179 ≈ ≈ 0,374 maka ht ht
⎤ ⎥ 255 0,0215.4080 ⎥ + = Ag {98,408 + 47,905} ⎥ ⎛ 2 ⎞ ⎞ ⎟(0,374) + 1⎥ ⎟⎟(0,374) + 1,18 ⎜ ⎝ 0,9 ⎠ ⎠ ⎦
437770 = 2971 cm2 Æ dekat dengan ukuran 45/60 , Ag = 2925 cm2. 147,313
Desain Kolom Patah Tarik Dengan Baja Desak Belum Leleh
Kriteria patah tarik dan patah desak sudah dibahas dan dipakai pada contoh sebelumnya. Pada desain kolom persoalannya sedikit berbeda, yaitu apakah kolom akan didesain dengan ukuran tertentu sehingga masuk dalam kategori patah desak atau patah tarik. Persoalan akan sedikit membingungkan pada masa transisi antara keduanya. Pada kondisi yang ekstrim patah desak (compression controle) akan dijumpai apabila gaya aksial Pn cukup-sangat besar sedangkan momen lentur nominalnya Mn relatif kecil. Sebaliknya pada momen nominal yang relatif besar dan gaya aksial Pn yang relatif kecil maka umumnya akan terjadi patah tarik (tension controle). Pada umumnya kolom-kolom tingkat bawah akan mengalami patah desak, sedangkat tingkat-tingkat paling atas kolomnya akan mengalami patah tarik. Antara patah desak dan patah tarik pada kondisi ekstrim bukanlah merupakan pilihan dalam desain. Artinya pada patah desak tidak dapat atau tidak efisien jika dipaksakan menjadi patah tarik dan sebaliknya.
119
Contoh : Untuk memenuhi persyaratan kondisi patah tarik, maka diambil kolom tingkat paling atas pada analisis sebelumnya. Pada analisis tersebut, yaitu akibat kombinasi beban gravitasi dan beban gempa kiri maka diperoleh Mu = 82,32 tm dan Pu = 36,83 ton. Sama seperti contoh sebelumnya dipakai f’c = 25 Mpa = 255 kg/cm2, baja tulangan dengan fy = 400 Mpa = 4080 kg/cm2, D25 untuk tulangan pokok dengan Ad = 4,906 cm2, εc = 0,003 dan Es = 2100000 kg/cm2.
b/2
As
As '
b b/2
Mna =
ht/2
ht/2
h
~e~
Pna = Pu Ec (0,003)
Es'
e=
Mu
φ
Pu
φ
=
=
82,32 = 102,9 tm 0,8
36,83 = 56,66 tm 0,65
Mn 102,9 = = 181,61 cm Pn 56,66
c a 0,85 f'c Ts Cc
d' Cs
Gambar 9.7 Gaya-gaya Pada Kondisi Patah Tarik
Sebagaimana pada patah desak, kolom patah tarik ini akan melalui beberapa tahapan berikut ini. a. Menentukan Ukuran kolom Terdapat dua cara yang dapat dipakai untuk menentukan ukuran kolom. Cara yang pertama sama dengan cara yang dipakai pada patah desak yaitu Pna dianggap sama atau disamakan dengan Pb. Pada langkah ini akan diperoleh luas potongan kolom Ag. Sesuai dengan yang dikatakan sebelumnya, apabila luas potongan kolom yang dipakai Agc lebih besar dari Ag, maka akan terjadi patah tarik. Yang menjadi persoalan adalah seberapa lebih besar Agc terhadap Ag. Oleh karena itu dapat dipakai cara kedua, yaitu
120
melalui rumus pendekatan Pn yang berdasar pada patah tarik (dengan anggapan baja desak sudah leleh), yaitu : 2 ⎧⎪ ⎡ e ⎛ e⎞ ⎛ d ' ⎞ e ⎤ ⎫⎪ 1. Pn = 0,85 f ' c.b.h ⎨− ρ + 1 − + ⎜1 − ⎟ + 2 ρ ⎢(m − 1)⎜1 − ⎟ + ⎥ ⎬ h ⎠ h⎦⎪ h ⎝ h⎠ ⎝ ⎣ ⎪⎩ ⎭
Dalam hal ini : m=
fy 4080 e = = 18,8235 , Asumsi ρ = 1,49 %, = 4,58 , 0,85. f ' c 0,85.255 h
d' = 0,143 . h 2 ⎧⎪ ⎫⎪ ( 1 − 4,58) + 2.0,0149 56660 = 0,85.255. Ag ⎨− 0,0149 + 1 − 4,58 + ⎬ [(18,8235 − 1)(1 − 0,143) + 4,58]⎪⎭ ⎪⎩ 56660 Ag = = 3898,7 cm2 (kalau baja desak sudah leleh) (216,75)0,067
2. Berdasar Pn = Pb (seperti cara sebelumnya) Pn = 0,85. f ' c.β1 .C b .b + As '. fy − As. fy cb =
εc εc + εs
h=
0,003 h = 0,6069 h ~ 0,6069.0,9ht = 0,5462 ht 0,003 + 0,001943
Pn = 0,85.255.0,85.0,5462 .b.ht
Ag =
56660 cm 2 = 562,86 cm2 0,85.255.0,85.0,5462
Hasilnya sangat jauh dengan cara pertama. Diambil jalan tengah :
b = 45 cm
Agc = 45.50 = 2250 cm2
ht = 50 cm
(kira-kira 4 x 562,86 cm2)
Dipakai As = 6D25 Æ As = As’ = 6.4,906 = 29,4375 cm2 b. Kontrol Status Patah Tarik Pada hitungan sebelumnya diperoleh cb = 0,6069 h, maka : cb = 0,6069 . (50-6,25) = 26,558 cm Æ h = ht-d = 50-6.25 = 43,75 cm εs’ =
26,558 − 6,25 c − d' 0,003 = 0,00229 > 0,001943 εc = 26,558 c
(baja desak sudah leleh) Cc = 0,85 . f’c . a . b = 0,85 . 255 . (0,85 . 26,558) . 45 = 220146,51 kg 121
Cs = As’ (fy – 0,85 . f’c) = 29,4375 (4080 – 0,85 . 255) = 1137724,42 kg Ts = As . fy = 29,4375 . 4080 = 120105 kg Pb = Cc + Cs - Ts = 220146,51 + 1137724,42 - 120105 = 213,766 t > Pna = 56,66 t Betul kolom dalam keadaan patah tarik (tension controle). c. Kontrol Status Regangan Baja Desak Ada dua jalur penjajakan, yaitu dicoba baja desak sudah leleh dan baja desak belum leleh (dengan menggunakan program komputer). Setelah dicobacoba ternyata baja desak belum leleh. Hal ini terjadi karena begitu besarnya eksentrisitas beban e yang mencapai 181,61 cm. Hal ini sekaligus dapat dipakai sebagai justifikasi bahwa apabila eksentrisitas beban sangat besar, maka besar kemungkinan kolom patah tarik dengan baja desak belum leleh. d. Analisis Kolom Patah Tarik Dengan Eksentrisitas Beban e Diketahui Dalam hal ini ukuran kolom sudah diperoleh, yaitu b = 45 cm dan ht = 50 cm. Tulangan kolom juga sudah diestimasi yaitu dipakai 6D25 pada masing-masing sisi.
As
As '
Cc
45
= 0,85 . f’c . 0,85 . c . b = 0,85 . 255 . 0,85 . c . 45 = 8290,6875 c
50
Ts
= 29,4375 (4080 – 0,85 . 255)
~e~
= 120105 kg
Pn Ec (0,003)
Es'
Cs
= As’ .fs = As . εs . Es ⎛h−c⎞ = As⎜ ⎟ε c .E s ⎝ c ⎠
c a 0,85 f'c Ts Cc
= As (fy – 0,85 f’c)
d' Cs
Gambar 9.8 Gaya-gaya Pada Kondisi Patah Tarik
⎛ c − 6,25 ⎞ 6 = 29,437 ⎜ ⎟0,003.2,1.10 c ⎝ ⎠
=
(185456,3.c − 1153102 ) c
kg
122
Statik momen gaya-gaya terhadap garis kerja Pn.
⎧ ⎛ ht β .c ⎞⎫ ⎧ ⎛ ht ⎧⎛ ht ⎞ ⎫ ⎞⎫ Cc ⎨e − ⎜ − 1 ⎟⎬ + Cs ⎨e − ⎜ − d ' ⎟⎬ − Ts ⎨⎜ − d ⎟ + e⎬ = 0 2 ⎠⎭ ⎠⎭ ⎠ ⎭ ⎩ ⎝2 ⎩⎝ 2 ⎩ ⎝2 ⎧ 0,85.c ⎞⎫ (185456,3.c − 1159102) ⎛ {181,61 − (25 − 6,25)} 8290,6875.c ⎨181,61 − ⎜ 25 − ⎟⎬ + 2 ⎠⎭ c ⎝ ⎩ − 120105{(25 − 6,25) + 181,61} = 0 3523,5425c 3 + 1298769,3c 2 − 5391385,8c − 239532965 = 0 c 3 + 368,597c 2 − 1530,104c − 67980,73 = 0 Melalui penyelesaian persamaan pangkat 3 diperoleh c = 11,5112 cm Dengan demikian, Cc = 8290,6875. 11,5112 = 95435,76 kg εs =
11,5112 − 6,25 c−d 0,003 = 0,001371 εc = 11,5112 c
fs = εs . Es = 0,001371 . 2100000 = 2879,418 kg/cm2 < 4080 kg/cm2 Betul baja desak belum leleh Cs = 29,4375 . 2879,418 kg = 84762,876 kg Ts = 120105 kg Pn = Cc + Cs – Ts = 95435,76 + 84762,876 - 120105 = 60093,636 kg = 60,09 t > 56,66 t Æ Pn > Pna (memenuhi syarat). Momen lentur yang dapat ditahan dapat diperoleh dengan mengambil momen terhadap titik berat potongan. Mn = Pn . e = 60,09 . 1,816 = 109,16 tm > 102,9 tm (memenuhi syarat) Desain kolom patah tarik sukses! 3.
Desain Kolom Patah Tarik Dengan Baja Desak Sudah Leleh
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, apabila eksentrisitas beban e demikian besar maka ada kemungkinan kolom akan patah tarik dengan baja desak belum leleh. Kondisi itu adalah kondisi yang mana momen lentur Mu cukup besar tetapi gaya aksial Pu relatif kecil. Kondisi seperti ini biasanya terjadi pada kolom-kolom tingkat teratas. 123
Pada kolom-kolom tingkat di bawahnya umumnya gaya aksial Pu akan semakin besar, namun momen lenturnya juga sedikit membesar. Pada kondisi seperti ini maka kolom mungkin masih dalam kondisi patah tarik tetapi baja desaknya kemungkinan sudah leleh. Dengan demikian cara patah dengan status regangan baja desak tampaknya berhubungan dengan konfigurasi / ketinggian / letak kolom / tingkat. zona patah tarik denganbaja desak belum leleh
Mu relatif besar Pu relatif kecil
zona patah tarik dengan baja desak sudah leleh
Mu relatif membesar Pu relatif besar
zona patah desak dengan baja tarik belum leleh dan baja desak sudah leleh
Mu cukup besar Pu sangat besar
e sangat besar
e mengecil
e sangat kecil
Gambar 9.9 Zona-zona Status Patah
Contoh : Untuk membahas desain kolom pada kondisi ini dipakai hasil analisis struktur terdahulu. Misalnya kolom tingkat ke-6 akibat kombinasi beban gravitasi dan gempa kiri diperoleh Pu = 108,2 t dan Mu = 91,38 tm (bandingkan dengan Pu dan Mu contoh sebelumnya). Mutu beton dan baja tulangan masih sama dengan contoh sebelumnya.
Mna = Pna = e=
Mu
φ
Pu
φ
=
=
91,38 = 108,20 tm 0,8
108,2 = 166,4615 tm 0,65
Mn 108,20 = = 68,619 cm Pn 166,4615
Æ lebih kecil daripada e pada contoh sebelumnya
124
a. Menentukan Ukuran kolom Senada dengan cara-cara sebelumnya, pertama diasumsikan Pn = Pb dengan catatan bahwa displaced concrete diabaikan. Pn = 0,85. f ' c.β1 .C b .b + As '. fy − As. fy Pn = 0,85.255.0,85.cb .b.h padahal cb =
εc εc + εs
h=
0,003 h = 0,6069 h 0,003 + 0,001943
dan diasumsikan h = 0,9 ht , maka Pn = 0,85.255.0,85.0,6069 .b.0,9.ht = 100,6324 Ag
Ag =
166461,5 = 1654,056 cm2 Æ diperkirakan ht = 65 cm dan ρ = 0,0180 100,6324
Æ Agar patah tarik maka Agc > Ag
Berdasarkan rumus eksplisit untuk Pn 2 ⎧⎪ ⎡ e ⎛ e⎞ ⎛ d'⎞ Pn = 0,85. f ' c.b.0,9ht ⎨− ρ + 1 − + ⎜1 − ⎟ + 2 ρ ⎢(m − 1)⎜1 − ⎟ + h⎠ h ⎝ h⎠ ⎝ ⎣ ⎪⎩
Dalam hal ini m = fy
0,85. f ' c
= 18,8285 ; ρ ≈ 0,0180 ;
e ⎤ ⎫⎪ ⎬ h ⎥⎦ ⎪ ⎭
e ≈ 1,615 , maka h
⎫ ⎧ (1 − 1,615)2 + 2.0,018 ⎪⎪ ⎪⎪ 166461,5 = 0,85.255.0,9.b.ht ⎨− 0,018 + 1 − 1,615 + ⎡ ⎤⎬ 6,25' ⎞ ⎛ ⎟ + 1,615⎥ ⎪ ⎢(18,8285 − 1)⎜1 − ⎪ ⎝ 58,75 ⎠ ⎪⎩ ⎦ ⎪⎭ ⎣ diperoleh b . ht = 2990,89 cm2 Æ dicoba b = 45 cm, ht = 65 cm, h = 65-6,25 = 58,75 cm
b. Kontrol Status Patah Tarik Pertama-tama dengan ukuran estimasi b = 45 cm, ht = 65 cm dan baja tulangan 7D25 akan dicari Pb (Pna < Pb akan terjadi patah tarik). cb = εs’ =
εc εc + εs
h=
0,003 58,75 = 35,6575 cm 0,003 + 0,001943
35,6575 − 6,25 c − d' 0,003 = 0,002474 > 0,001943 εc = 35,6575 c
(baja desak sudah leleh) Cc = 0,85 . f’c . a . b = 0,85 . 255 . (0,85 . 35,6575) . 45 = 295625,31 kg Cs = As’ (fy – 0,85 . f’c) = 34,342 (4080 – 0,85 . 255) = 136678,4 kg 125
Ts = As . fy = 34,342. 4080 = 140125,5 kg Pb = Cc + Cs - Ts = 295625,31 + 136678,4 - 140125,5 = 288,18 t > Pna = 166,46 t Betul kolom dalam keadaan patah tarik (tension controle). c. Analisis Kolom Patah Tarik Dengan Eksentrisitas Beban e Diketahui Dalam hal ini ukuran kolom sudah diperoleh, yaitu b = 45 cm dan ht = 65 cm. Tulangan kolom juga sudah diestimasi yaitu dipakai 7D25 pada masing-masing sisi. Diperkirakan baja desak sudah leleh apabila displacesd concrete diabaikan As
As '
45
58,75
Pn
= Cc + Cs − Ts
Pn
= 0,85. f ' c.a.b + As '. fy − As. fy
a
=
~e~
= 17,0664 cm
Es > Ey
Pn Ec (0,003)
Es'
c a
c
=
εs’
=
Cc
d'
a
β1
=
17,0664 = 20,0781 cm 0,85
20,0781 − 6,25 c−d 0,003 εc = 20,0781 c
= 0,002066 > 0,001943
0,85 f'c Ts
Pn 166461,5 = 0,85. f ' c.b 0,85.255.45
Æ Betul baja desak sudah leleh
Cs
Gambar 9.10 Keseimbangan Gaya-gaya
Sebagaimana telah ditulis sebelumnya dengan mengambil statik momen gayagaya terhadap garis kerja Cc maka, ⎧ ⎛ ht a ⎞⎫ a⎞ ⎛a ⎞ ⎛ Pn⎨e − ⎜ − ⎟⎬ = As '. fy.⎜ − d ' ⎟ + As. fy.⎜ h − ⎟ 2⎠ ⎝2 ⎠ ⎝ ⎩ ⎝ 2 2 ⎠⎭ a a ⎧ ⎫ = As. fy ⎨h − + − d '⎬ 2 2 ⎩ ⎭
As
⎧ ⎛ ht a ⎞⎫ Pn⎨e − ⎜ − ⎟⎬ ⎩ ⎝ 2 2 ⎠⎭ = fy (h − d ') 126
166461,5{68,619 − (32,5 − 6,25)} 4080(58,75 − 6,25')
As
=
As
= 34,70 cm2 ~ 34,342 cm2 Æ dipakai 7D25, As = 34,342 cm2
B.
DESAIN KOLOM DENGAN CARA GRAFIS (DIAGRAM Mn-Pn)
Pada desain kolom dengan cara grafis atau menggunakan diagram Mn-Pn, tahapan analisisnya dapat dilihat pada Gambar 9.11. Mulai Data (y = ht/2) fy f’c b h ρ Ag
Kondisi lentur murni (titik E) Kondisi patah tarik (titik D)
C c + C s − Ts = 0
Kondisi P max (titik A)
Pmak = 0,8{0,85. f'c (A g − A st ) + f y .A st }
c − d' .E s .ε c c C c = 0,85. f' c .0,85c.b
x < xb
f's =
x − d' .E s .ε c x d−x fs = .E s .ε c x C c = 0,85. f'c .a.b f's =
C s = f 's .A s Ts = f y .A s 0,85c ⎞ ⎛ M n = Cc ⎜ y − ⎟ + C s (y − d' ) + Ts (d − y ) 2 ⎠ ⎝
C s = A s .(f's −0,85. f' c ) Ts = A s .f s Pn = C c + C s − Ts a⎞ ⎛ M n = C c ⎜ y − ⎟ + C s (y − d') + Ts (d − y ) 2⎠ ⎝
Kondisi seimbang (titik C)
xb =
Kondisi patah desak (titik B)
ε c .E s .d ε c Es + f y
x > xb x − d' .E s .ε c x d−x fs = .E s .ε c x C c = 0,85. f' c .a.b f's =
a = 0,85.x b Pn = Cc + Cs − Ts a⎞ ⎛ M n = C c .⎜ y − ⎟ + Cs (t − d') + Ts (d − y ) 2⎠ ⎝
Cs = A's .(f's −0,85. f' c ) Ts = A s .f s Pn = C c + Cs − Ts a⎞ ⎛ M n = C c ⎜ y − ⎟ + Cs (y − d') + Ts (d − y ) 2⎠ ⎝
Pn A
Diagram Interaksi
B Mulai
C
D E Mn
Gambar 9.11 Flow chart Diagram Interaksi Mn-Pn
127
1.
Kolom Pendek Dengan Beban Sentris
Kuat desak nominal (Pno) suatu kolom pendek adalah kuat desak nominal/teoritik suatu kolom akibat beban sentris (beban aksial tepat berada pada titik berat potongan). Walaupun kondisi seperti ini sangat jarang terjadi, namun demikian kondisi ini merupakan bagian dari bahasan kolom beton secara keseluruhan. Sedangkan istilah ultimit yang dimaksud adalah kondisi yang mana tegangan bahan baik baja tulangan maupun beton mencapai tegangan ultimit (baja tulangan mencapai tegangan leleh, tegangan desak beton mencapai tegangan maksimum) akibat adanya beban maksimum Pno. Park dan Paulay (1975) mengatakan bahwa berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu (Richard dan Brown 1934, Hognestad, 1951) tegangan desak beton maksimum dapat diambil sebesar 0,85 f’c. Karena beban desak bersifat sentris, maka baik baja desak maupun baja tarik dianggap secara bersama-sama mencapai tegangan leleh fy. Pada hitungan kolom, luasan beton yang ditempati baja tulangan (displaced concrete)
ada
yang
diperhitungkan
(lebih
teliti)
namun
ada
juga
yang
mengabaikannya. ht = 60
Pada Gambar 9.12.a) potongan suatu kolom dibebani oleh beban titik
secara
sentris.
Gambar
9.12.b) adalah potongan vertikal
b = 40
dan letak beban. Gambar 9.12.c) adalah tegangan-tegangan yang terjadi. Karena beban bersifat
Pn0
sentris, maka tegangan desak beton menjadi terbagi rata. Menurut keseimbangan gayagaya vertikal, maka diperoleh : Pno = Cc + Cs1 + Cs 2 ........... 9.1
0,85 f’c
Cs1
Cc
Cs2
Gambar 9.12 Potongan Kolom
128
Sedangkan, Cc = 0,85. f ' c.b.ht
.............
9.2.a
Cs1 = As1 ( fy − 0,85. f ' c )
.............
9.2.b
Cs = As 2' ( fy − 0 ,85 . f ' c )
.............
9.2.c
Subtitusi persamaan 9.2 ke dalam persamaan 9.1 akan diperoleh,
(
)
Pn o = 0,85. f ' c.b.ht + As1 + As 2' ( fy − 0,85. f ' c )
.............
9.3
Yangmana ht adalah lebar kolom, b adalah tebal kolom, As1 dan As’2 adalah luasan baja tulangan kiri dan kanan. Contoh : Misalnya kolom seperti Gambar 9.12 memiliki lebar ht = 60 cm, tebal kolom b = 40 cm. Kolom memiliki 6D25 dimasing-masing sisi dengan tegangan leleh fy = 400 MPa. Dipakai mutu beton f’c = 25 Mpa. Akan dihitung nilai Pno. ⎛1 ⎞ As1 = As 2' = 6.⎜ .π .2,5 2 ⎟ = 6.4,906 = 29,4524 cm2 ⎝4 ⎠ fy = 400 Mpa = 400.10,2 kg/cm2 = 4080 kg/cm2 f ' c = 25 Mpa = 25.10,2 kg/cm2 = 255 kg/cm2
Pno
(
)
= 0,85. f ' c.b.ht + As1 + As 2' ( fy − 0,85. f ' c ) = 0,85.255.40.60 + (29,4624 + 29,4624)(4080 − 0,85.255) = 520500 ,0 + 227563,9686 = 747763,9686 kgf
Pno
= 747,7639 tf
Di dalam gambar Pno = 747,7639 tf dan Mno = 0 (beban senttris) ditunjukkan oleh titik A. Latihan : Untuk mengetahui pengaruh mutu material terhadap kuat desak nominal ultimit suatu kolom, maka dapat diplot dalam grafik : a. Hubungan antara f’c (variabel bebas) dengan Pno b. Hubungan antara Ast (variabel bebas) dengan Pno c. Hubungan antara fy teoritik lawan Pno Diskusikan hasilnya.
129
2.
Kolom Pendek Dengan Beban Eksentris Satu Arah (eccentrically loaded short column with uniaxial bending)
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, kolom pendek dengan beban sentris sangat jarang terjadi. Sesuatu yang sangat umum adalah kolom pendek dengan beban eksentris, yaitu beban yang mempunyai eksentrisitas e terhadap pusat berat potongan kolom. Letak beban eksentris itu dapat diperoleh dengan memakai hubungan M = P.e, yangmana M adalah momen.
Ar ah Gempa
Pu Mu
Pu
e
Kol om
A
Pu Ar ah Gempa ex a. Denah
b. Beban Kol om
c. Beban eks ent r i s Uni aks i al
Gambar 9.13 Kolom Eksentris Uniaksial
Gambar 9.13.a) adalah denah struktur bangunan. Akibat beban gravitasi dan beban gempa. Kolom A misalnya harus mendukung gaya aksial Pu dan momen Mu sebagaimana yang tampak pada Gambar 9.13.b). Mengingat adanya hubungan M = P.e, maka beban aksial Pu yang bekerja secara sentris dan Mu dapat ditransformasikan menjadi beban aksial Pu yang bekerja dengan eksentrisitas e. Hal ini seperti yang tampak pada Gambar 9.13.c).
130
Pada Gambar 9.13.c) walaupun Pu bekerja dengan eksentrisitas sebesar ex, namun demikian tetap uniaksial karena ey = 0. dengan perkataan lain momen hanya bekerja pada satu arah yaitu arah x, Mx. Mengingat yang ditinjau adalah momen pada arah sumbu x, maka letak tulangan juga hanya dikonsentrasikan ditepi-tepi luar atau sisi-sisi luar arah x. Analisis Kolom Persegi
Analisis kolom yang dimaksud adalah menghitung dan mendiskusikan kuat desak nominal Pn apabila ukuran, mutu bahan dan eksentrisitas beban e diketahui. Cara lain dalam analisis kolom adalah mencari nilai eksentrisitas e dan momen nominal Mn apabila kuat desak nominal Pn, ukuran kolom dan kuantitas serta kualitas bahan diketahui. Cara yang pertama agak sedikit panjang karena akan menuju persamaan pangkat tiga yang penyelesaiannya kurang praktis. Oleh karena itu cara yang kedua umumnya banyak dipakai karena leih sederhana, yaitu menuju pada persamaan kwadrat. Untuk memulai analisis, maka dipakai model potongan kolom seperti yang tampak pada Gambar 9.14. Pada umumnya tulangan kolom merupakan tulangan kembar atau simetri, artinya luas tulangan salah satu sisi sama banyak/luasnya dengan tulangan disisi lain. Apabila demikian, maka titik berat potongan (plastic centroid) akan berada di tengah-tengah. Gambar 9.14.a) adalah kolom As
persegi yang dibebani dengan beban
b
As '
nominal Pn. Dengan memakai hukumhukum
d
z
h
ht z
nominal
d’ ~e~
Es
Pn
akan
maka
beban
mempunyai
eksentrisitas e tertentu. Apabila e sangat kecil maka
Pn
c Ec
Es'
keseimbangan
persoalannya akan mendekati sifat kolom pendek dengan beban sentris seperti
a 0,85 f'c
dibahas
sebelumnya.
tersebut
akan
terjadi
Pada rusak
kondisi desak
(compression controle), karena semua
Ts Cc Cs
Gambar 9.14 Potongan Kolom
bahan
mengalami
tegangan
desak.
Kondisi seperti ini umumnya terjadi pada 131
beban Pn yang cukup besar sedangkan momennya relatif kecil. Pada kondisi sebaliknya, yaitu pada eksentrisitas yang besar maka lentur menjadi dominan. Pola kerusakan yang terjadi adalah rusak tarik (tension controle). Kondisi seperti ini terjadi apabila momen yang terjadi cukup besar tetapi beban desaknya relatif kecil. Diantara kedua ekstrem tersebut akan terjadi kondisi berimbang (balance condition). Kondisi berimbang yaitu kondisi yangmana saat regangan desak beton mencapai regangan ultimit εcu, maka pada saat yang sama baja tarik mulai leleh. Pada compression controle umumnya tebal beton desak c pada Gambar 9.14.b) cukup besar. Pada kondisi tersebut umumnya baja desak sudah leleh dengan tegangan leleh fy, namun demikian baja tarik belum leleh, dengan tegangan sebesar fs. Pada kondisi tersebut berarti bahwa, Cc = 0,85. f ' c.a.b
.............
9.4.a
Cs = As' ( fy − 0,85. f ' c )
.............
9.4.b
Ts = As. fs
.............
9.4.c
Oleh karena itu keseimbangan gaya-gaya vertikal akan menghasilkan, Pno = Cc + Cs − Ts
(
)
Pn o = 0,85. f ' c.b.ht + As1 + As 2' ( fy − 0,85. f ' c )
.............
9.5
.............
9.6
.............
9.7
Yangmana nilai fs adalah, fs = ε s .E s ⎛h−c⎞ fs = ⎜ ⎟ε c .E s ⎝ c ⎠
Dengan mengambil momen terhadap plastic centroid maka a⎞ ⎞ ⎛1 ⎞ ⎛1 ⎛1 Pn.e = Cc⎜ ht − ⎟ + Cs ⎜ ht − d ' ⎟ + Ts ⎜ ht − d ⎟ 2⎠ ⎠ ⎝2 ⎠ ⎝2 ⎝2
Pada kondisi tension controle umumnya Pn relatif kecil, e cukup besar sehingga tebal beton desak c relatif kecil. Pada kondisi tersebut baja tarik pasti leleh dengan tegangan fy, sedangkan baja desak masih ada 2 kemungkinan, mungkin sudah leleh, mungkin belum leleh. Hal ini akan bergantung pada nilai c. Sebagaimana pada balok, pergeseran nilai c akan berakibat pada status kerusakan (rusak desak atau rusak tarik).
132
Tension Failure c < cb, Pn < Pb, e > eb, ɛs > ɛy
ɛy ɛs
Pada Gambar 9.15 tampak jelas bahwa nilai c > cb maka εs < εy dan sebaliknya.
cb ɛs’
Compression Failure c > cb, Pn > Pb, e < eb, ɛs < ɛy
ɛcu
Gambar 9.15 Diagram failure
eP
Pno A
Compression Failure
Pn, maks e=0
B (Pb,Mb)
Pb
Compression Failure
e=
c c> c b , P n > P b , e < e b y
cb c
s> y
c c
b e=e
PT
c
s
ceb
Mo
Mb
M
D Gambar 9.16 Kondisi-kondisi Pada Diagram Interaksi Mn-Pn
Apabila kondisi-kondisi kerusakan tersebut digambar, maka yang terjadi adalah diagram interaksi seperti yang tampak pada Gambar 9.16. Titik A adalah titik yang menunjukkan kuat desak nominal ultimit Pno dengan eksentrisitas e = 0 atau beban sentris. Pada kondisi tersebut tidak terjadi momen pada kolom atau M = 0. Titik B adalah titik yang merupakan koordinat kondisi berimbang (balance) dengan gaya aksial dan momen masing-masing adalah Pb dan Mb. Sedangkan titik C adalah 133
kebalikan dari titik A, yaitu tidak adanya gaya aksial atau Pn = 0 tetapi ada kuat lentur sebesar Mo. Selanjutnya titik D adalah titik yangmana seluruh kolom dalam keadaan tarik, sehingga PT adalah kuat tarik kolom Daerah A-B adalah daerah compression failure atau daerah rusak desak. Sebagaimana dikatakan sebelumnya, pada daerah ini gaya aksial Pn cukup besar, sehingga memerlukan daerah beton desak c yang lebih besar. Dalam hal ini c > cb karena Pn > Pb. Akibatnya baja tarik belum mencapai tegangan leleh εs < εy. Sementara itu daerah B-C adalah daerah yang gaya aksial Pn relatif kecil dengan momen yang cukup besar. Dalam hal ini Pn < Pb dan c < cb, sehingga regangan baja tarik jelas sudah leleh atau εs > εy. 3.
Kondisi Balance Pada Kolom Pendek
Perlu diingat bahwa kondisi balance adalah kondisi yangmana saat regangan desak beton mencapai regangan ultimit εcu, maka pada saat yang sama baja tarik mulai leleh. Untuk membahas masalah ini maka dipakai kolom dengan ukuran yang sama dengan contoh terdahulu dengan f’c = 25 Mpa. Tegangan leleh baja tulangan fy = 400 MPa dengan modulus elastik Es = 2100000 kg/cm2. Regangan desak baja εcu = 0,003.
b = 40 cm
ht = 60 cm
As
As'
h = 53,75 cm
d
d' Pb
a Ey
b cb
Ey Es
Ec
Ec c
Pb
eb
Ts Cc
Cs
Gambar 9.17 Kolom Pendek Kondisi Balance
134
Ad = 1 .π .2,54 2 = 4,9087 cm2 4 f ' c = 25 Mpa = 25.10,2 kg/cm2 = 255 kg/cm2 fy = 400 Mpa = 400.10,2 kg/cm2 = 4080 kg/cm2
As = As ' = 6.4,908 = 29,4524 cm2 d = d ' = 4 + 1 + 1,25 = 6,25 cm
εs =
4080 = 0,001943 2100000
Berdasarkan Gambar 9.17, maka dengan memperhatikan Δ abc :
cb
εc
=
cb =
h εc + εs
εc εc + εs
h
........... 9.8
Dengan memperhatikan keseimbangan gaya-gaya vertikal, maka : Pb = Cc + Cs − Ts
........... 9.9
Yangmana, Cc = 0,85. f ' c.ab .b
............. 9.10.a
Cs = As' ( fy − 0,85. f ' c )
............ 9.10.b
Ts = As. fy
............. 9.10.c
Subtitusi persamaan 9.10 ke dalam persamaan 9.9, maka akan diperoleh : Pb = 0,85. f ' c.ab .b + As( fy − 0,85. f ' c ) − As. fy
.............
9.11
Eksentrisitas eb dapat diperoleh dengan mengambil jumlah momen terhadap titik berat potongan. a⎫ ⎧1 ⎧1 ⎫ ⎧1 ⎫ Pb .eb = Cc ⎨ ht − ⎬ + Cs ⎨ ht − d '⎬ + Ts ⎨ ht − d ⎬ ............. 2⎭ ⎩2 ⎩2 ⎭ ⎩2 ⎭
9.12
Menurut persamaan 9.8, maka : cb =
0,003 53,5 = 0,6069.53,5 = 32,4691 cm 0,003 + 0,001943
ab = 0,85.cb = 0,85.32,4691 = 27,598 cm εs’ =
32,4691 − 6,25 c−d 0,003 = 0,00242 > 0,001943 Æ baja desak leleh εc = 32,4691 c 135
Maka menurut persamaan 9.11 Pb = 0,85.255.27,598.40 + 29,4524(4080 − 0,85.255) − 29,4524.4080 = 240,8485 t + 113,7819 t – 120,1679 t = 234,4647 t Eksentrisitas beban eb dapat dicari dengan menggunakan persamaan 9.12. 0,2759 ⎫ ⎧1 ⎧1 ⎫ ⎧1 ⎫ Pb .eb = 240,8485⎨ 0,6 − ⎬ + 113,7819 ⎨ 0,6 − 0,0625⎬ + 120,1679 s ⎨ 0,6 − 0,0625⎬ 2 ⎭ ⎩2 ⎩2 ⎭ ⎩2 ⎭ = 39,0295 + 27,0232 + 28,539 = 94,5925 tm M b = Pb .eb
eb =
Mb 94,5925 = = 0,4034 m = 40,3440 cm dari titik berat kolom. Pb 234,4647
Mb = 94,5925 tm dan Pb = 234,4647 membentuk suatu koordinat kondisi balance yang ditunjukkan oleh titik B pada Gambar 9.16. 4.
Kondisi Patah Desak Bila Eksentrisitas Beban Diketahui
Untuk menentukan jenis patah ada 3 kriteria yang dapat dipakai. Kriteria yang dimaksud adalah beban/gaya aksial Pn, eksentrisitas beban e dan tebal beton desak c. Untuk jenis patah desak, maka berarti bahwa : •
P > Pb
•
e < eb
•
c > cb
Hal tersebut sangat jelas dapat dilihat pada diagram interaksi Mn-Pn pada kolom seperti yang tampak pada Gambar 9.16. Kriteria yang mana yang akan dipakai bergantung pada kondisi yang diberikan. Dari kriteria-kriteria di atas maka akan diketahui kriteria yang mana yang paling mudah dipakai. Berikut ini akan disampaikan contoh pemakaian dari ketiganya. Pada perhitungan kolom patah desak dengan eksentrisitas beban diketahui ini dipakai potongan kolom, mutu bahan dan luas tulangan sama seperti contoh sebelumnya. Misalnya dalam hal ini eksentrisitas beban aksial e = 22,5 cm. Pada bahasan sebelumnya eb = 40,34 cm. Berarti bila e < eb, maka akan terjadi patah desak. Pada patah desak tebal beton desak cukup besar sehingga c > cb. Hal ini berarti baja tarik belum leleh. Komponen-komponen gaya yang bekerja pada potongan :
Cc = 0,85. f ' c.β1 .c.b 136
= 0,85.255.0,85.c.40 = 7369,5 c kg
Cs = As' ( fy − 0,85. f ' c )
Æ baja desak sudah leleh
= 29,4375 (4080 − 0,85.255) = 113724,4219 kg Ts = As. fs = As.ε s .E s ⎛h−c⎞ ⎛ 53,75 − c ⎞ = As⎜ ⎟ε c .E s = 29,4375⎜ ⎟0,003.2100000 c ⎝ c ⎠ ⎝ ⎠ ⎛ 9968273,438 − 185456,25c ⎞ =⎜ ⎟ kg c ⎠ ⎝
b = 40 cm
ht = 60 cm
As
A s'
h = 5 3 ,7 5 c m
d
d'
Pn
e
5 3 ,7 5 - c c
E s
E c
E s'
5 3 ,7 5 - c
Pn 7 ,5
2 2 ,5
6 ,2 5 Ts Cc
Cs a = ß 1 .c
Gambar 9.18 Kolom Pendek Kondisi Patah Desak
Dalam hal ini beban Pn belum diketahui dan tebal beton desak c juga belum diketahui. Untuk itu harus ada eliminasi. Untuk tujuan eliminasi maka diambil momen terhadap kedudukan Pn.
137
⎛ β .c ⎞ Cc⎜ 1 − 7,5 ⎟ − Cs (7,5 − 6,25) − Ts (23,75 + 22,5) = 0 ⎝ 2 ⎠ ⎛ 9968273,438 − 185456,25c ⎞ 7369,5c(0,425c − 7,5) − 113724,442(1,25) − ⎜ ⎟46,25 = 0 c ⎝ ⎠ 3132,0375c 3 − 55271,25c 2 − 142155,5275c − 461032646,5 + 8577351,563 = 0 c 3 − 17,6470c 2 + 2693,1976c − 147198,9548 = 0 Melalui penyelesaian persamaan pangkat tiga diperoleh c = 40,6033 cm, a = 34,5128 cm. Dengan diperolehnya c, maka :
Cc = 0,85. f ' c.β1 .c.b = 7369,5 . 40,6033 = 299266,02 kg
Cs = 113724 ,4219 kg εs =
53,75 − 40,6033 0,003 = 0,00097 40,6033
fs = 0,00091 .2100000 = 2039,839 kg/cm2 Ts = As. fs = 29,4375 .2039,839 = 60047 ,772 kg Pn = Cc + Cs − Ts = 299266 ,02 + 113724 ,4219 − 60047 ,772 = 352,9026 ton Mn = Pn.e = 352,9206 .0,225 = 79,4031 tm
Nilai Mn juga dapat diperoleh dengan menghitung momen gaya-gaya internal yang bekerja terhadap titik berat potongan. 34,5128 ⎞ ⎛ Mn = Cc⎜ 30 − ⎟ + Cs (30 − 6,25) − Ts (23,75) = 79,4031 tm 2 ⎠ ⎝
Nilai Pn = 352,906 ton Mn = 79,4031 tm Hitungan juga dapat dilakukan bila yang diketahui adalah Pn. Misalnya Pn = 352,906 ton > Pb, maka akan terjadi patah desak. Sama seperti contoh sebelumnya baja tarik belum leleh. Dengan memakai gambar/diagram gaya-gaya seperti contoh sebelumnya, maka :
Cc = 0,85. f ' c.β1 .c.b = 0,85.255.0,85.c.40 = 7369,5 c kg
Cs = As' ( fy − 0,85. f ' c ) 138
= 29,4375 (4080 − 0,85.255) = 113724,4219 kg Ts = As. fs = As.ε s .E s ⎛ 53,75 − c ⎞ ⎛h−c⎞ = As⎜ ⎟0,003.2100000 ⎟ε c .E s = 29,4375⎜ c ⎠ ⎝ ⎝ c ⎠ ⎛ 9968273,438 − 185456,25c ⎞ =⎜ ⎟ kg c ⎝ ⎠
Keseimbangan gaya-gaya vertikal maka :
Pn = Cc + Cs − Ts ⎛ 9968273,438 − 185456,25c ⎞ 352,9026 = Cc + Cs − Ts = 7369,5c + 113724,4219 − ⎜ ⎟ c ⎠ ⎝
7369,5c 2 − 53722,328c − 9968273,438 = 0 c 2 − 7,2898c − 1352,639 = 0 Æ c =
7,2898 + 7,2898 2 + 4.1.1352,639 2
c = 40,6033 cm ; a = 0,85.c = 34,5128 cm
Cc = 0,85. f ' c.β1 .c.b = 7369,5 . 40,6033 = 299266,02 kg
Cs = 113724 ,4219 kg εs =
53,75 − 40,6033 0,003 = 0,00097 40,6033
fs = 0,00091 .2100000 = 2039,839 kg/cm2 Ts = As. fs = 29,4375 .2039,839 = 60047 ,772 kg Pn = Cc + Cs − Ts = 299266 ,02 + 113724 ,4219 − 60047 ,772 = 352,9026 ton Mn = Pn.e = 352,9206 .0,225 = 79,4031 tm
Bila estimasi nilai c yang dilakukan Unttk keperluan analisis, nilai c kadang–kadang diestimasi terlebih dahulu, baru Mn, Pn, dan e dicari. Misal diestimasikan nilai c = 40,6033 cm, maka :
Cc = 0,85. f ' c.β1 .c.b = 0,85.255.0,85.40,6033.40 = 299226,02 kg
Cs = As' ( fy − 0,85. f ' c ) = 29,4375 (4080 − 0,85.255) = 113724,4219 kg εs =
53,75 − 40,6033 0,003 = 0,00097 40,6033 139
fs = 0,00091 .2100000 = 2039,839 kg/cm2 Ts = As. fs = 29,4375 .2039,839 = 60047 ,772 kg
Keseimbangan gaya vertikal : Pn = Cc + Cs – Ts = 299226,02 + 113724,422 - 60047,7694 = 352902,6 kg 34,5128 ⎞ ⎛ Mn = Cc⎜ 30 − ⎟ + Cs (30 − 6,25) + Ts (23,75) = 79,4031 tm 2 ⎝ ⎠
e = Mn / Pn = 79,4031 / 352,9026 = 0,225 m = 22,5 cm
Sama dengan cara sebelumnya
Berdasar hasil–hasil diatas ternyata diperoleh hasil bahwa : 1. Bila eksentrisitas beban e yang diketahui, maka analisis akan melalui persamaan dalam c pangkat – tiga. 2. Bila yang diketahui / eksentrisitas adalah Pn, maka analisis akan melalui persamaan dalam c pangkat – dua. 3. Namun apabila yang diketahui / eksentrisitas adalah c, maka tidak ada persamaan yang harus diselesaikan. 5.
Kondisi Lentur Murni (Pn=0)
Pada kondisi lentur murni, kolom yang dibahas akan berperilaku sebagaimana lentur murni pada balok. Karena tulangan yang dipasang adalah tulangan simetri maka baja desak jelas belum leleh. Oleh karena itu analisis sama seperti pada analisis balok tulangan rangkap dengan tulangan desak belum leleh. b ɛc Cs ɛs’ As = As’ = 29,4375 cm As’ a= β1c c Cc b = 40 cm h
h
= 53,75 cm
baja tarik → leleh As
baja desak → belum leleh ɛy
Ts
Gambar 9.19 Kolom Pendek Kondisi Lentur Murni Cc = 0,85. f ' c.a.b = 0,85.255.a.40 = 8670a kg Ts = As. fy = 29,4375 .4080 = 120105 kg
140
Cs = As'. fs = As.ε s .E s ⎛ a − β1 .d ' ⎞ ⎛ c − d'⎞ = As' ⎜ ⎟0,003.2100000 ⎟ε c .E s = 29,4375⎜ a ⎝ c ⎠ ⎝ ⎠ ⎛ 185456,25a − 985236,3281 ⎞ =⎜ ⎟ kg a ⎝ ⎠
Keseimbangan gaya-gaya horizontal Cc + Cs – Ts = 0
8670a +
185456,25a − 985236,3281 - 120105 = 0 a
8670a 2 + 65351,25a – 120105 = 0 a 2 + 7,5376 a – 113,637 = 0
− 7,5376 + 7,5376 2 + 4.1.113,637 = 2
a
= 7,5379 cm a
c
=
εs’
⎛ 8,8681 − 6,25 ⎞ =⎜ ⎟ .0,003 = 0,0008856 < εy = 0,001943 ⎝ 8,8681 ⎠
fs
= εs . Es = 0,0008856 x 2,1.106 = 1859,9408 kg / cm2 < 4080 kg / cm2
Cc
= 8670 . 7,5379 = 65353,593 kg
Ts
= 29,4375 . 1859,9408 = 54752,007 kg
Mn
a⎞ ⎛ = Cc⎜ h − ⎟ + Ts (h − d ') = 32,6644 + 26,1072 = 58,6751 tm 2⎠ ⎝
β1
= 8,8681 cm
Pn = 0 → e = Mn/Pn = ∞ 6.
Kondisi Patah Tarik (Tension Failure)
Pada kondisi ini, beban aksial yang bekerja Pn relatif kecil, tetapi dengan eksentrisitas yang besar. Akibatnya tebal beton desak c relatif kecil dan mungkin saja baja desak belum leleh, namun baja tarik jelas sudah leleh. Sekali lagi kondisi patah tarik (tension failure) apabila Pn < Pb, e > eb atau c < cb. Sebagaimana contoh sebelumnya, analisis akan lebih mudah apabila bilangan yang diketahui adalah tebal beton desak c. Untuk itu dipakai bahasan kolom yang sama seperti contoh sebelumnya. 141
b = 40 cm
ht = 60 cm
As
6 ,2 5
A s'
2 3 ,7 5
6 ,2 5
2 3 ,7 5
Pn
e
c=25
E s
5 3 ,7 5 - c
E c
E s'
Pn
e
6 ,2 5 Ts
Cc Cs
Gambar 9.20 Kolom Pendek Kondisi Patah Tarik
Misal ditinjau c = 25 cm, a = 21,25 cm. ⎛ 25 − 6,25 ⎞ εs’= ⎜ ⎟ .0,003 = 0,00225 > εy 25 ⎠ ⎝
Æ Baja desak sudah leleh ⎛ 53,75 − 25 ⎞ εs = ⎜ ⎟ .0,003 = 0,00345 >> εy 25 ⎠ ⎝
Æ Baja tarik sudah leleh Cc = 0,85. f ' c.a.b = 0,85.255 .0,85.25.40
= 184237,5 kg
Cs = As' ( fy − 0,85. f ' c ) = 29,4375 (4080 − 0,85.255) = 113724 ,4219 kg Ts = As. fy = 29,4375 .4080 = 120105 kg
Pn = Cc + Cs – Ts = 184237,5 + 113724 ,4219 - 120105 = 177856,9219 kg = 177,856 ton
142
a⎞ ⎛ Mn = Cc⎜ 30 − ⎟ + Cs (30 − 6,25) + Ts (30 − 6,25 ) 2⎠ ⎝
= 3569601,5625 + 2700955,0201 + 2852493,75 = 9123050,3326 kg cm = 91,230 tm e
= Mn / Pn = 91,230 / 177,856 = 0,5129 m = 51,29 cm
143
ht 1400
b
1300
As
A's
1200
c
epsi s
1100
epsi c
1000
a
900
3,
800
Ts
2,5
Cc
Cs
2,0
700
Pn (ton)
Pn
1,5
600
Pn = 547,46
500
1 1,1
400 300 200
Mn = 117,02 100 0 0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
220
240
-100 -200 -300
Mn (tm)
Gambar 9.21 Diagram Interaksi Mn-Pn
Diketahui : Pn = 547,46 ton Mn = 117,02 tm Diagram Interaksi seperti Gambar 9.21 (untuk ukuran kolom 45/70 cm, f’c = 25 kg/cm2, fy = 400 Mpa , εc = 0,003, Es = 2100000 kg/cm2) Diminta
: Baja Tulangan yang diperlukan
Penyelesaian
:
1. Diperkirakan Pn = 547,46 t di sb.-y, kemudian tarik garis ke kanan 2. Diperkirakan Mn = 117,02 tm di sb-x, kemudian di tarik ke atas 3. Diperkirakan kadar tulangan Rho = As/bh dipertemuan kedua garis tsb, diperoleh Rho = 1,35 % As = 0,0135. 45 . 68,75 = 41,765 cm2 Dipakai 9D25 As = 44,154 cm2 > 41,765 cm2 144
260
C.
BAHASAN KOLOM PENDEK DENGAN CARA ANALITIK
Bahasan kolom yang dimaksud adalah membahas hal-hal yang berkaitan dengan persoalan kolom, misalnya penentuan luas tulangan ataupun penentuan beban nominal Pn suatu kolom. Kolom pendek adalah kolom yang kekuatannya tidak dipengaruhi oleh kelangsingan atau slenderness ratio. Sedangkan cara analitik yang dimaksud adalah bahasan yang dilakukan berdasarkan simbol-simbol matematik yang digunakan pada persoalan kolom. Cara analitik ini bersifat eksak, teliti, namun agak sedikit kompleks. Dengan memakai cara analitik, perhitungan-perhitungan dapat lebih straight forward atau lebih langsung menuju hasil dibandingkan dengan cara numerik. Namun demikian cara analitik ini mempunyai resiko/bahaya yang sangat menghawatirkan, yaitu kemungkinan hilang/tidak diketahuinya mekanisme kerja gaya-gaya yang bekerja pada kolom. Hal ini terjadi karena yang dipakai langsung adalah rumus jadi atau closed form formula, tidak melalui tahapan-tahapan penyelesaian yang berdasarkan pada kesetimbangan gaya-gaya. Oleh karena itu cara analitik ini hanya disarankan untuk dipakai bagi yang benar-benar telah menguasai struktur beton. Untuk tujuan belajar cara numerik lebih baik dipakai karena penyelesaian persoalan kolom akan melalui tahapan keseimbangan gaya-gaya. Terdapat banyak kemungkinan bahasan yang dapat dilakukan yang berhubungan dengan persoalan kolom. Kemungkinan-kemungkinan itu adalah sebagai berikut : 1. Kondisi kolom patah tarik dengan tulangan desak sudah leleh 2. Kondisi kolom patah tarik dengan tulangan desak belum leleh 3. Kondisi kolom patah tarik dengan tulangan desak tak berfungsi 4. Kondisi kolom patah desak dengan tulangan tarik belum leleh 5. Kondisi kolom patah desak dengan dua-duanya tulangan desak 6. Kondisi kolom patah desak dengan tulangan desak dan tarik leleh. 1.
Patah Tarik Dengan Tulangan Desak Sudah Leleh
Sebagaimana bahasan sebelumnya, pada kolom patah tarik ini, tulangan tarik jelas sudah leleh. Pada kondisi ini tulangan desak dianggap sudah leleh. Kondisi seperti ini akan dicapai apabila tebal beton desak c > cb , namun nilai c masih relatif besar. 145
ht
A s'
b
As
d
d'
h
Pn
e
c
E s
E c E s'
Pn
e
Ts
Cc Cs
Gambar 9.22 Kolom Pendek Patah TarikDengan Tulangan Desak Sudah Leleh
Anggapan pada kondisi ini adalah : 1. baja desak dianggap sudah leleh 2. tulangan kolom bersifat simetri, As' = As Pada kondisi tersebut berarti bahwa Cc = 0,85 f’c .a .b
....… 9.13.a
Cs = As.fy (displaced concrete diabaikan) …. 9.13.b
Ts = As . fy
...… 9.13.c
Persamaan keseimbangan : Pn = Cc + Cs - Ts = (0,85 f’c . a . b) + (As.fy) - (As.fy) Pn = 0,85 f’c . a . b a=
Pn 0,85. f ' c × b
....... 9.14.a ....... 9.14.b
Diambil momen terhadap garis kerja Cc, maka ht a ⎞ a⎞ ⎛a ⎞ ⎛ ⎛ Pn ⎜ e − + ⎟ = As’. fy ⎜ − d ' ⎟ + As ⎜ h − ⎟ fy n 2⎠ 2⎠ ⎝2 ⎠ ⎝ ⎝ ht a ⎞ a a ⎞ ⎛ ⎛ Pn ⎜ e − + ⎟ = As . fy ⎜ h + − − d ' ⎟ n 2⎠ 2 2 ⎠ ⎝ ⎝
= As . fy (h -d’) 146
ht a ⎞ ⎛ Pn ⎜ e − + ⎟ 2 2⎠ ⎝ As = fy(h − d' )
…………………..... 9.15
Apabila Pn, ukuran dan properti material diketahui, maka tebal beton desak ekivalen a dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 9.14.b). Selanjutnya luasan baja tulangan yang diperlukan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 9.15. 2.
Patah Tarik Dengan Tulangan Desak Belum Leleh
Pada kondisi ini nilai C relatif kecil sehingga beton desak belum leleh. Wang dan Salmon (1979) mengatakan bahwa bila ukuran kolom terlalu besar (lebih besar dari kebutuhan pada kondisi balance) maka kolom akan terjadi patah tarik. Oleh karena itu kebutuhan ukuran beton pada kondisi balance menjadi referensi saat menentukan ukuran kolom. ht
A s'
b
As
d
d'
h
Pn
e
c
E s
E cu E s '< E y
Pn
e
Ts
Cc Cs
Gambar 9.23 Kolom Pendek Patah Tarik Dengan Tulangan Desak Belum Leleh
Anggapan yang di ambil adalah : 1. baja desak dianggap belum leleh 2. tulangan kolom bersifat simetri, As' = As Senada dengan sebelumnya : Cc = 0,85 f’c . a . b
....… 9.16.a
Ts = As . fy
....… 9.16.b 147
Cs = As . fy = As. εs . Ε s
....…9.16.c
Persamaan keseimbangan gaya-gaya : Pn = Cc + Cs - Ts = (0,85 f’c . a . b) + (As . ε c . Ε s)- (As . fy) ⎛ a − β1 .d' ⎞ = (0,85 f’c . a . b) + As . ⎜ ⎟ ε c . Ε s - (As . fy) a ⎝ ⎠ ⎛ a.. ε c .Εs − ε c .Εs.β1 .d '− fy.a ⎞ Pn - 0,85 f’c . a . b = As ⎜ ⎟ a ⎝ ⎠ As =
a ( Pn − 0,85. f ' c.a.b (ε c .Εs − fy ) a − ε c .Εs..β 1 .d '
…………………….......… 9.17
Dengan mengambil momen terhadap garis kerja Cc maka akan diperoleh, ht a ⎞ ⎛ Pn ⎜ e − + ⎟ n 2⎠ ⎝
a⎞ ⎛ a − β1 .d' ⎞ ⎛ ⎛a ⎞ = As . fy ⎜ h − ⎟ + As . ⎜ ⎟ ε c . Ε s. ⎜ − d ' ⎟ a 2⎠ ⎝ ⎝2 ⎠ ⎝ ⎠
ht a ⎞ ⎛ a. Pn ⎜ e − + ⎟ = As n 2⎠ ⎝
⎡ a⎞ ⎛ ⎛a ⎞⎤ ⎢a. fy⎜ h − 2 ⎟ + (ε c .Es.a − ε c .Es.β1 .d ' )⎜ 2 − d ' ⎟⎥ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠⎦ ⎣
⎡ ⎤ ε .Es.β 1 .d '.a a 2 . fy a 2 .ε c .Es ε c .Es.a.d '− c + + ε c .Es.β1 .d ' 2 ⎥ = As ⎢a. fy.h − 2 2 2 ⎣ ⎦ ⎡⎛ ε .Es − fy ⎞ 2 ⎛ ⎤ ε .Es − fy ⎞ = As ⎢⎜ c ⎟a + ⎜ fy.h − ε c .Es.d '− c ⎟a + ε c .Es.β1 .d ' 2 ⎥ 2 2 ⎠ ⎝ ⎠ ⎣⎝ ⎦
[
ht a ⎞ ⎛ Pn ⎜ e − + ⎟ = As (ε c Es − fy ) a 2 + {2 ( fyh − ε c Esd ' ) − ε c Esβ1d '}a + ε c Esβ1d ' 2 .2 z z⎠ ⎝
ht a ⎞ ⎛ 2.a.Pn⎜ ε − + ⎟ 2 2⎠ ⎝ As = 2 (ε c .E s − fy )a + {2( fy.h − ε c .E s .d ' ) − ε c .E s .β1 .d '}a + 2ε c .E s .β1 .d '2
]
………. 9.18
Apabila diperhatikan maka persamaan 9.17 sama dengan persamaan 9.18 maka, ht a − ) a(Pn − 0,85.f' c.a.b) 2 2 = (ε c .E s − fy)a − ε c .E s .β1 .d' (ε c .E s − fy)a2 + {2(fy.h − ε c .E s .d' ) − ε c .E s .β1 .d'}a + 2ε c .E s .β1 .d' 2 2.a.Pn(e +
……………..……… 9.19 Persamaan 9.19 mengandung pembilang dalam a baik ruas kiri dan ruas kanan sehingga saling dapat dieliminasi. Selanjutnya persamaan tersebut akan menghasilkan 148
persamaan a dalam pangkat tiga. Koefisien a3 sekaligus sebagai pembagian bagi sukusuku yang lain adalah (ɛcEs-fy) 0,85f’cb. Apabila koefisien tersebut diberi notasi K1 maka koefisien a3 adalah K1a3 dengan K1 = 1. Apabila koefisien a2 adalah K2, maka berdasar persamaan 9.19 nilai K2 adalah K2 =
⎡ 2( fyh − εcEsd ' ) − εcEsβ1d ' ⎤ ( 2 ( fyh − εcEsd ' ) − εcEsβ1d ' )0,85 f ' cb = ⎢ ⎥ …. 9.20 (εcEs − fy ) (εcEs − fy ) 0,85 f ' cb ⎣ ⎦
Apabila koefisien a adalah K3, maka berdasar persamaan 9.19 K3 adalah ht −2 ( fyh−εcEsd' )Pn+εcEsβ1d' Pn−εcEsβ1d' Pn+(2ε0ESβ1d2)0,85fcb+2Pn(e− )(εcEs−ht) 2 K3 = (εcEs− fy)0,85f ' cb
⎡ − 2( fyh − εcEsd ' ) Pn Pn (2e − ht ) 2εcEsβ1d 2 ⎤ + + K3 = ⎢ ⎥ ε cEs fy f cb f cb ( − ) 0 , 85 ' 0 , 85 ' (εcEs − fy ) ⎦ ⎣
…. 9.21
Akhirnya adalah konstanta K4 yaitu dari persamaan 9.19 K4
− (2εcEsβ1d 2 ) Pn − Pn (2ε − ht )(εcEsβ1d ) = (εcEs − fy )0,85 f ' c.b =
K4
− (2εcEsβ1d 2 ) Pn − Pn (2ε − ht )(εcEsβ1d ) (εcEs − fy )0,85 f ' c.b
⎡ (εcEsβ1d ) ⎤ Pn (2e − ht + 2d )⎥ =- ⎢ ⎣ (εcEs − fy ) 0,85 f ' cb ⎦
…. 9.22
Dengan demikian persamaan yang dimaksud adalah K1.a3 + K2.a2 + K3.a + K4 = 0
…. 9.23
Dari persamaan 9.23 tersebut dihitung nilai a. Setelah nilai a diperoleh maka disubstitusikan ke persamaan. 3.
Patah Tarik Dengan Tulangan Desak Tidak Berfungsi
Kondisi yang dimaksud adalah kondisi yang mana garis netral tepat jatuh pada posisi tulangan desak. Pada kondisi yang demikian regangan baja desak Es’ = 0, sehingga tegangan baja desak fs = 0. Akibatnya tulangan desak tidak dapat berfungsi atau tidak dapat mengerahkan kekuatan. Kondisi seperti ini terjadi apabila eksentrisitas beban C sudah sedemikian besar, sebaliknya beban nominal Pn relatif 149
kecil. Walaupun kondisi seperti ini jarang terjadi namun kebutuhan tulangan tetap harus dihitung. ht
A s'
b
As
d'
h
d
Pn
e
E s>> E y
c=d' E cu E s'< E y
Pn
e
Ts
Cc
Gambar 9.24 Kolom Pendek Patah Tarik Dengan Tulangan Desak Tidak Berfungsi
Pada kondisi ini baja tarik mengalami regangan yang sangat besar atau Es >> ey. Komponen-komponen gaya pada potongan Cc = 0,85f’c.a.b.
………. 9.24.a
Ts = As.fy
………. 9.24.b
Cs = 0
………. 9.24.c
Kesembangan gaya-gaya vertikal Pn = Cc – Ts = 0,85f’c a.b – As.fy As =
− Pn + 0,85 f ' c.a.b fy
………. 9.25
Dengan mengambil jumlah momen terhadap garis kerja Cc, maka ht a ⎞ a⎞ ⎛ ⎛ Pn ⎜ e − + ⎟ = As.fy ⎜ h − ⎟ z z⎠ 2⎠ ⎝ ⎝
⎧ ⎛ fy ⎞⎫ = As ⎨ fyh − ⎜ ⎟⎬ ⎝ 2 ⎠⎭ ⎩ 150
ht a ⎞ ⎛ 2 Pn ⎜ e − + ⎟ = As {2 fyh – fy.a} z z⎠ ⎝
ht a + 2 2 2 fyh − fy.a
2 Pn (e − As =
……… 9.26
Dengan memperhatikan persamaan 9.25 dan persamaan 9.26, maka 0,85 f ' ca.b − Pn = fy
ht a + ) 2 2 2 fyh − fy.a
2 Pn(e −
……… 9.27
Persamaan 9.27 akan menghasilkan persamaan kuadrat dalam a dengan K1 = 1 adalah koefisien a2, dan K2 adalah koefisien a, K2 =
− ( 2 fyh )0,85 f ' cb = −2 h fy 0,85 f ' cb
……… 9.28
K3 = Pn (2 e – ht + 2h) fy
……… 9.29
2
Persamaan kwadrat K1a + K2.a + K3 = 0 4.
Patah Desak Dengan Baja Desak Sudah Leleh
Pada kolom patah desak, tebal beton desak cukup besar sehingga baja tarik jelas belum leleh atau εs < εy. Pada umumnya baja desak sudah leleh atau εs’ > εy, karena beton desak c cukup besar. Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa apabila ukuran kolom yang diambil lebih kecil daripada kebutuhan ukuran dalam kondisi balans, maka umumnya kolom akan mengalami patah desak. h t
A s'
b
A s
h
d
d '
P n
e
c
E s< E y
E c E s '> E y
P n
e
6 ,2 5 T s C c
C s
Gambar 9.25 Kolom Pendek Patah Desak Dengan Baja Desak Sudah Leleh
151
Angapan-angapan dalam kondisi ini 1. Displaced concrete diabaikan 2. Tulangan bersifat simetri, As = As’ 3. Baja desak sudah leleh, εs’ > εy Gaya-gaya yang bekerja adalah Cc = 0,85 f ΄c.a.b
……….. 9.30.a
Cs = As. Fy
……….. 9.30.b
⎛β h −a ⎞ ⎛h−c⎞ Ts = As ⎜ ⎟ ⎟ εs Es = As ⎜ 1 ⎝ c ⎠ ⎝ a ⎠
……….. 9.30.c
Persamaan keseimbangan statika Pn = Cc + Cs –Ts ⎛β h −a ⎞ = 0,85 f’c.a.b + As.fy - As ⎜ 1 ⎟ εs Ec ⎝ a ⎠ a ( Pn – 0,85 f’c.a.b) = As {( εsEc + fy) a - εs Esβ1h} As =
a (Pn − 0,85f' c.a.b) ( εcEs + fy)a − εcEsβ 1 h
……….. 9.31
Senada dengan bahasan sebelumnya yaitu dengan mengambil jumlah momen terhadap garis kerja Cc akan diperoleh ht a ⎞ ⎛ Pn ⎜ ε − + ⎟ = As 2 2⎠ ⎝
⎧⎛ εcEsβ1h − εsEca ⎞ ⎛ a⎞ ⎛a ⎞⎫ ⎟ ⎜ h − ⎟ + As.fy⎜ − d' ⎟⎬ ⎨⎜ a 2⎠ ⎠⎝ ⎝2 ⎠⎭ ⎩⎝
ht a ⎞ ⎛ Pn ⎜ ε − + ⎟ = As 2 2⎠ ⎝
( εcEsβ1h)a ⎧ ⎫ ⎛ εcEs⎞ 2 ⎛ fy ⎞ 2 2 − ( εcEsh)a+ ⎜ ⎟a + ⎜ ⎟a ....(fyd)a⎬ ⎨εcEsβ1h − 2 ⎝ 2 ⎠ ⎝2⎠ ⎩ ⎭
⎫ ⎧⎛ εcEs+ fy ⎞ 2 ⎛ εcEcβ1h ⎞ + εcEsh+ fyd⎟a + εcEcβ1h 2 ⎬ = As ⎨⎜ ⎟a − ⎜ ⎝ 2 ⎠ ⎭ ⎩⎝ 2 ⎠ ht a ⎞ ⎛ Pn ⎜ ε − + ⎟ = As {(ε c E s + fy) a 2 − (ε c E s β 1 h + 2 ε c E s h + 2 fyd) a + 2 ε c E s β 1 h 2 } 2 2⎠ ⎝
ht a ⎞ ⎛ 2aPn ⎜ e − + ⎟ 2 2⎠ ⎝ ….. 9.32 As = 2 (ε c E s + fy)a − (ε c E s β 1 h + 2ε c E s h + 2fyd)a + 2ε c E s β 1 h 2
Senada dengan bahasan sebelumnya, persamaan adalah sama dengan persamaan oleh karena itu, 152
⎛ ht a ⎞ 2aPn⎜ e − + ⎟ a(Pn − 0,85f'c.a.b) 2 2⎠ ⎝ = 2 (ε c Es + fy)ε c Esβ1h (ε c Es + fy)a − (ε c Esβ1h + 2ε c Es h + 2fyd)a+ 2ε c Esβ1h 2
...….. 9.33
Persamaan 9.33 tersebut akan menghasilkan persamaan pangkat-3 dalam a. Senada dengan bahasan sebelumnya, koefisien a3 sekaligus sebagai pemukaan lagi koefisien berikutnya adalah (εcEs + fy) 0,85f’c.a.b. Apabila koefisien tersebut diberi notasi a2 adalah K2 maka berdasar persamaan 22), nilai K2 adalah, K2 = −
⎡ ( εcEsβ1 h + 2εεcEs + 2fyd) ⎤ (εεcEs 1 h + 2εεcEs + 2fyd)0,85f' c.a.b. = -⎢ ⎥ .. 9.34 ( εcEs + fy) (εεcE + fy)0,85f' c.b ⎣ ⎦
Selanjutnya apabila koefisien dari a adalah K3, maka berdasar pers. 9.33 K3 adalah K3 =
2 εcEsβ1 h 2 (εcEsβ1 h)Pn + (2ε2εcE + 2fyh)Pn + εcEs + fy ( εcEs + fy)0,85f'cb
⎡ 2 εcEsβ1 h 2 Pn(2e − ht) (2 εcEsh + 2fyh) Pn ⎤ + + K3 = ⎢ ⎥ 0,85f' cb ( εcEs + fy) 0,85f' cb ⎦ ⎣ εcEs + fy
...….. 9.35
Akhirnya konstanta yang dapat diperoleh dari pers 9.33 adalah
− (2 εcEsβ1 h 2 )Pn − ( εcEsβ1 h)(2e− ht)Pn − (2h)(εcEsβ1 h)Pn− ( εcEsβ1 h)Pn(2e− ht) = K4 = ( εcEs+ fy) 0,85f'c.b ( εcEs+ fy) 0,85f'c.b ⎡ εcEsβ1 h ⎤ Pn − (2e − ht + 2h )⎥ K4 = ⎢ ⎣ εcEs + fy 0,85f' cb ⎦
...….. 9.36
Persamaan pangkat 3 yang dimaksud adalah K4a3 + K2a2 + K3a + K4 = 0
...….. 9.37
Yang mana f1=1, K2, K3 dan K4 masing-masing adalah ditunjukkan oleh persamaan 9.34, pers 9.35 dan pers 9.36. Nilai tebal beton desak a dicari dari persamaan tersebut. Selanjutnya substitusi nilai a kedalam persamaan 9.32 selanjutnya akan diperoleh luas tulangan AS. 5.
Patah Desak Dengan Dua-duanya Tulangan Desak
Kondisi yang dimaksud adalah kondisi yang mana garis netral jatuh diluar tulangan sebelah kiri atau tebal beton desak c meliputi seluruh potongan kolom. Kondisi seperti ini akan terjadi apabila eksentrisitas beban c sangat / relatif kecil dengan beban nominal Pn yang besar. Pada kondisi ini tulangan kiri dan tulangan kanan dua-duanya berupa tulangan desak dan memang seluruh potongan kolom dalam 153
kondisi desak. Pada umumnya tulangan desak kanan sudah leleh tetapi tulangan desak kiri belum leleh.
ht
A s'
b
As
h
d
e
d'
Pn
c E s '1
E c E s '2> E y
e
Pn
Cc
C s1
C s2
Gambar 9.26 Kolom Pendek Patah Desak Dengan Dua-duanya Tulangan Desak
Asumsi yang diambil adalah 1. Displaced concrete diabaikan 2. Tulangan bersifat simetri, As = As’ 3. Baja desak kanan sudah leleh Gaya-gaya yang bekerja pada potongan Cc = 0,85 f’c.a.b.
……… 9.38.a
Cs2 = As. fy
……… 9.38.b
⎛c−h⎞ Cs1 = As.fs = As ⎜ ⎟ εcEs ⎝ c ⎠
⎛ a − β1h ⎞ = As ⎜ ⎟ εcEs ⎝ a ⎠
…… 9.38.c
154
Persamaan keseimbangan gaya-gaya vertical = Cc + Cs1 + Cs2
Pn
⎛ a − β1h ⎞ = 0,85 f’c.a.b + As ⎜ ⎟ εcEs + Asfy ⎝ a ⎠ a ( Pn – 0,85f’c.a.b)
= As (εcEsa- εcEsβ1h+ fy.a) = As { (εcEs + fy) a - εcEsβ1h)}
As =
a(Pn − 0,85f' c.a.b) ( εcEs + fy)a − εcEsβ 1 h
...….. 9.39
Dengan mengambil jumlah momen terhadap pusat kolom maka akan diperoleh ⎛ εcEs.a − εcEsβ1 h ⎞⎛ ht ⎛ ht a ⎞ ⎛ ht ⎞ ⎞ Pn (e) = Cc ⎜ − ⎟ + Asfy⎜ − d ⎟ − As⎜ ⎟⎜ − d ⎟ a ⎝ 2 2⎠ ⎝2 ⎠ ⎠ ⎝ ⎠⎝ 2
⎧ εcEs(a − β1 h) ⎫⎛ ht ⎞ ⎛ ht a ⎞ = 0,85f’c.a.b ⎜ − ⎟ + As⎨fy − ⎬⎜ − d ⎟ a ⎠ ⎝ 2 2⎠ ⎭⎝ 2 ⎩ ⎛ ht ⎞ a [Pn.e = 0,425f' ca.b(ht − a)] = As{εcEsβ 1 h − (cEsβ1 h)a}⎜ − d ⎟ ⎝2 ⎠
As =
a{Pn.e − 0,425f' c.a.b(ht − a)} ⎛ ht ⎞ εcEsβ1 h − (εεcE − fy) a ⎜ − d ⎟ ⎝2 ⎠
{
}
...….. 9.40
Dengan memperhatikan pers 9.39 dan pers 9.40 maka a( Pn − 0,85 f ' ca.b) = (εcEs + fy ) a − εcEsβ 1 h
a{Pn.ε − 0,425 f ' c.a.b(ht − a)} {εcEcβ 1h − (εcEs − fy )a}⎛⎜ ht − d ⎞⎟ ⎝2 ⎠
...….. 9.41
Persamaan 9.41 berarti bahwa ⎛ ht ⎞ Pn = a (Pn-0,85f’c.a.b) {(εcEsβ1h-(εcEs-fy)a} ⎜ −d⎟+a{Pn.e−0,425f ' c.a.b(ht−a)}(εcEs+ fy)a ⎝2 ⎠
……….. 9.42 Persamaan 9.42 setelah disusun akan menghasilkan persamaan a dalam pangkat 3. Senada dengan cara-cara sebelumnya koefisien a3 berdasarkan pers 9.42 adalah (0,425 f’c.b) (εcEs + fy) dan koefisien tersebut sebagai pembagi bagi suku yang lain oleh karena itu koefisien a3 kemudian menjadi Ka3 dengan K1a. Apabila koefisien a2 adalah K2 maka berdasarkan persamaan 9.42 K2 adalah 155
K2 = d – εcEs-fy)(0,85f’c.b)-ht(εcEs-fy)0,425f’cb – ht (0,425f’cb)( εcEs + fy) (0,425f’cb) (εcEs +fy)
(0,425f’cb)( εcEs + fy)
(εcEsβ1h)(0,425f’cb) = (εcEs-fy)(2d-ht) – ht – (εcEsβ1h) (0,425f’cb)(εcEs + fy) =
K2
εcEs + fy
(εcEs + fy)
⎡ (εcEs − fy )(ht − 2d ) (εcEsβ 1 h) ⎤ −⎢ + ht + (εcEs + fy ) ⎥⎦ εcEs + fy ⎣
……….. 9.43
Selanjutnya apabila K3 adalah koefisien dari a, maka berdasarkan pers.9.42. koefisien K3 adalah ( εcEsβ1 h)ht (0,425f' cb) ( εcEsβ1h.0,85f' cb)d Pn.e( εcEs + fy) + − 0,425f' cb( εcEs + fy) 0,425f' cb( εcEs + fy) 0,425f' c( εcEs + fy)
K3 =
⎛ Ht ⎞ Pn( εcEs − fy⎜ ⎟ ⎝ 2 ⎠ − pn( εcEs − fy)d + ht( εcEsβ1 h).0,425f' c.b + 0,425f' cb( εcEs + fy) 0,425f' cb ( εcEs + fy) 0,425f' cb ( εcEs + fy)
εcEsβ 1 h Pn (εεcE − fy) ⎤ ⎡ 2Pn.e ⎢ 0,85f' cb + (εεcE + fy) − (ht − 2d) + 0,85f' cb εcEs + fy (ht − 2d) ⎥ ⎥ ……….. 9.44 K3 = ⎢ ⎥ ⎢ εcEsβ1ht.d ⎥ ⎢+ εcEs + fy ⎦ ⎣
Akhirnya apabila K4 adalah suatu konstanta, maka dari pers 9.42 akan diperoleh ⎡ Pn.e εc Esβ1 h + Pn ht2 ( εcEsβ1h) − Pn.d( εcEsβ1 h) ⎤ K4 = - ⎢ ⎥ 0,425f' c.b( εcEs + fy) ⎣ ⎦ ⎡ ⎤ εcEsβ1 h Pn (ht − 2d + 2e)⎥ K4 = - ⎢ ⎣ − 0,35f' cb εcEs + fy ⎦
……….. 9.45
Persamaan selengkapnya menjadi K1a3 + K2a2 + K3a + K4
……….. 9.46
Apabila nilai a telah diketahui maka As menurut persamaan 9.40 dapat dihitung 6.
Patah Desak Dengan Tulangan Kiri dan Kanan Sudah Leleh
Kondisi ini adalah kondisi yang mana baik tulangan kiri maupun tulangan kanan kedua-duanya sudah leleh. Kondisi seperti ini sangat mendekati kolom dengan beban aksial sentris atau pada kolom dengan beban betul-betul sentris. Pada kondisi ini garis netral jatuh diluar potongan dengan beton desak meliputi seluruh potongan kolom.
156
ht
A s'
b
As
h
d e<<
d'
Pn
c E s'
E s =E y
E c
Pn
C s1
Cc
C s2
Gambar 9.27 Kolom Pendek Patah Desak Dengan Tulanga Kiri dan Kanan Sudah
Leleh Mengingat eksentrisitas beban e sangat kecil maka kondisi ini dapat dianggap menjadi kolom dengan beban sentris. Angapan-angapan selengkapnya menjadi : 1. Displaced concrete diabaikan 2. Kedua sisi tulangan sudah leleh 3. kedua sisi tul merupakan tul simetri atau As = As’ (Ast = As + As’) Mengingat beban kolom merupakan beban sentries maka Po = 0,85 f’c.b.ht + Ast.fy
……… 9.47
Beban nominal Pn yang diijinkan menurut SKSNI pasal 3.3.3.5) adalah Pn = øPo = ø 0,85f’c.b.ht + Ast (fy)
……… 9.48
Apabila displaced concrete diperhitungkan maka Pn = ø 0,85f’cb.ht + Ast (fy – 0,85f’c)
……… 9.49
157
Persamaan 9.49. akan memberikan Ast =
Pn − Φ.0,85f' c.b.ht (fy − 0,85f' c)
As = 0,5 Ast =
D.
Pn − Φ.0,85f' c.b.ht 2 (fy − 0,85f' k)
……… 9.50
RUMUS Pn PENDEKATAN WHITNEY
Pada bahasan didepan telah diketahui bahwa nilai Pn dapat dihitung apabila nilai eksentrisitas e ataupun tebal beton desak c diketahui. Proses hitungan cukup panjang terutama bila yang diketahui adalah eksentrisitas beban e, yaitu adanya persamaan c pangkat 3. Dalam hal-hal tertentu rumus pendekatan untuk menghitung Pn juga bermanfaat. Pendekatan yang dimaksud adalah dengan diambilnya asumsiasumsi pada penurunan rumus. Rumus untuk menghitung Pn pendekatan “Whitney” adalah sebagai berikut. 1.
Patah Desak Pendekatan Whitney
Sebagaimana dibahas sebelumnya patah desak berarti c>cb ,P>Pb, e
h − d'⎞ a⎞ ⎛ ⎛ Pn ⎜ e + ⎟ = Cc⎜ h − ⎟ + Cs (h − d ') 2 ⎠ 2⎠ ⎝ ⎝
……… 9.51
ht
A s'
b
A s
d
( h - d ') / 2
h P n
e
d'
c
E s
E s'
E c
P n
e
T s C c
C s
Gambar 9.28 Kolom Pendek Patah Desak Pendekatan Whitney
158
Asumsi pertama yang diambil oleh Whitney adalah bahwa nilai a ~ 0,54 h. Nilai ini sebenarnya kekecilan karena patah desak c>cb. Pada kondisi balance bila fy = 400 MPa dengan Es=2,1.106 kg/cm2. nilai cb=0,0609 h, dengan a=0,85 cb. Maka a = 0,516 h. Tetapi karena patah desak c>cb, maka a akan berkemungkinan > 0,54 h. Pada kondisi itu, Cc=0,85fc’.a.b = 0,85 fc’.0,54 h.b = 0,459 fc’ bh
……… 9.52
a⎞ 0,54h ⎞ 1 ⎛ ⎛ 2 Sehingga , Cc ⎜ h − ⎟ = 0,459 fc ' bh⎜ h − ⎟ = . fc '.bh 2⎠ 2 ⎠ 3 ⎝ ⎝
……… 9.53
Cs = As . fy
……… 9.54
Substitusi persamaan 9.53 dan 9.54 kedalam persamaan 9.51 akan diperoleh , h − d'⎞ 1 ⎛ 2 Pn ⎜ e + ⎟ = . fc '.bh + As '. fy (h − d ') 2 ⎠ 3 ⎝
……… 9.55
Selanjutnya persamaan 9.55 dapat ditrasformasikan menjadi : 1 fc ' bh 2 As. fy (h − d ') 3 Pn = + h − d' h − d' e+ e+ 2 2 =
fc' bh 2 As. fy (h − d ') + e 3 1 3c + (h − d ' ) + 2 h − d' 2
……… 9.56
Apabila persamaan 9.56 ruas pertama dikalikan
Pn =
Pn =
fc' bh 2
ht h2
3ht.e 3 + 2 (h − d ' )ht 2 h 2h
+
ht h 2 . maka akan menjadi, h 2 ht
As. fy e 1 + h − d' 2
fc' bht As '. fy + 3ht.e 3(h − d ' )ht 1 e + + 2 2 2h h h − d' 2
……… 9.57
Apabila c = 0 maka, Pn = Po
……… 9.58.a
Pn = 0,85 fc’.b.ht+As.fy.2
……… 9.58.b
Kalau c=0, maka persamaan 9.57 akan sama dengan pers. 9.58.b karena persamaan 9.57 akan menjadi : 159
Po = Pn =
fc ' bht + 2 Asfy 3(h − d ' )ht 2h 2
……… 9.59
Persamaan 9.58.b sama dengan persamaan 9.59 itu berarti bahwa 0,85 =
1 3(h − d ' )ht 2h 2
3(h − d ' )ht 1 = = 1,18 2 2h 0,85
……… 9.60
Substitusi persamaan 9.60 kedalam persamaan 9.57 akan menjadi Pn =
fc' bht As'. fy + e 3ht.e + 1,18 + 0,5 h − d' 1,2
……… 9.61
Yangmana h adalah lebar efektif kolom, ht adalah lebar kolom total, dan e adalah eksentrisitas beban. 2.
Patah Tarik Pendekatan Whitney
Didepan telah dibahas rumus pendekatan Pn untuk patah desak. Pada patah tarik, baja tarik jelas sudah leleh sedangkan baja desak belum tentu. Namun demikian pada pendekatan ini baja desak dianggap sudah leleh. Hal ini adalah untuk penyederhanaan karena tidak perlu menghitung fs (fs dianggap sama dengan fy atau fs = fy). ht
A s'
b
A s
h
d
d' Pn
e> eb
A s
A s'
c
E y
E s '> E y
Pn
e> eb
Ts
E c
Cc Cs
Gambar 9.29 Kolom Pendek Patah Tarik Pendekatan Whitney
160
Karena tulangan desak dianggap sudah leleh maka : Cs = As’ (fy-0,85fc’) Ts = As fy
……… 9.62.a ……… 9.62.b
Cc = 0,85 fc’ β1. c.b
……… 9.62.c
Keseimbangan gaya-gaya vertikal Pn = Cc + Cs – Ts Pn = 0,85 fc’ β1. c.b + As’ (fy-0,85fc’) – Asfy
……… 9.63
Diambil notasi notasi seperti biasanya yaitu m=
fy , 0,85 fc '
p=
Asy As ' , p' = , maka persamaan 9.63 menjadi : bh bh'
⎛ fy 0,85 fc' ⎞ 0,85 fc' ⎟⎟.0,85 fc − p.b.hfy. − Pn = 0,85 fc β 1c.b + pi.b.h⎜⎜ 0,85 fc' ⎝ 0,85 fc' 0,85 fc ⎠ Pn = 0,85fc’[β1cb+p’(m-1) bh – p mbh] = 0,85fc’[
β 1c h
β1c+p’(m-1) bh – p mbh]
……… 9.64
Dengan menggunakan persamaan 9.63 dan diambil momen terhadap garis kerja tulangan tarik maka :
β 1.c ⎞ ⎛ Pn.e = 0,85 fc β 1c.b⎜ h − ⎟ + As ' ( fy − 0,85 fc ').(h − d ' ) 2 ⎠ ⎝
……… 9.65
Senada dengan penurunan persamaan 9.64 maka persamaan 9.65 akan menjadi
⎛ fy β 1.c ⎞ 0,85 fc ⎞ ⎛ − ' ⎟⎟.0,85 fc' (h − d ' ) Pn.e = 0,85 fc β 1c.b⎜ h − ⎟ + p' bh⎜⎜ 2 ⎠ ⎝ ⎝ 0,85 fc' 0,85 fc' ⎠ ⎤ ⎡⎛ β 1.c 2 ⎞ bh ⎟⎟ + p ' (m − 1)bh(h − d ' )⎥ = 0,85 fc ⎢⎜⎜ β 1c.bh − 2h ⎠ ⎦ ⎣⎝ ⎤ ⎡⎛ β 1.c 2 ⎞ ⎟⎟ + p ' (m − 1).(h − d ' )⎥ Pn.e = 0,85 fc ⎢⎜⎜ β 1c. − 2h ⎠ ⎦ ⎣⎝
……… 9.66
Apabila persamaan 9.64 dikalikan dengan eksentrisitas e maka hasilnya adalah momen Mn = Pn.e. Karena koefisien pengali ruas karena persamaan sama dengan koefisien pengali ruas kanan persamaan 9.66 maka hal itu berarti bahwa :
⎫ ( β 1c) 2 ⎧ β 1c ⎫ ⎧ e⎨ + p' (m − 1) − pm⎬ = ⎨β 1c − + p' (m − 1)(h − d ' )⎬ 2h ⎩ h ⎭ ⎩ ⎭
……… 9.67
161
persamaan 9.67 adalah persamaan kuadrat dalam c, sehingga kalau disubstitusi akan menjadi,
β 12 c 2
⎛ β 1e ⎞ +⎜ − β 1⎟c + ep' (m − 1) − epm − p' (m − 1)(h − d ' ) 2h ⎝ h ⎠
⎛ 2 β 1e 2β 1h ⎞ em( p'− p) − ep'− p' (m − 1)(h − d ' ) ⎟c + − c 2 + ⎜⎜ .2h = 0 2 β 12 ⎟⎠ β 12 ⎝ β1
……… 9.68
Dengan menggunakan rumus abc, maka akan diperoleh :
h−e + c= β1
2
⎛ h − e ⎞ 2hp(m − 1)(h − d ' ) + ep'+em( p − p' ) ⎜⎜ 2 ⎟⎟ + β 12 ⎝ β1 ⎠
……… 9.69
Wang dan Salmon (1979) kemudian mentransformasi persamaan 9.69 menjadi : 2
e e d' e e⎞ ⎛ 1− ⎜ 1 − ⎟ 2 p ' (m − 1)(1 − ) + p' + m( p − p' ) c h h h h + ⎜ h⎟ + = 2 β1 β1 h ⎜ β1 ⎟ ⎟ ⎜ ⎠ ⎝
……… 9.70
Substitusi persamaan 9.70 kedalam persamaan 9.64 akan diperoleh, 2 ⎡ d ⎞⎤ e e ⎞ ⎛e ⎛ ⎢ + p ' ( m − 1) − pm + ⎜1 − ⎟ + 2⎜ .( pm − p ' m + p ' ) + p ' ( m − 1)(1 − ⎟ ⎥ Pn = 0,85 fc ' bh 1 − h ⎠⎥ ⎢ β1 ⎝h ⎝ h ⎠ ⎦ ⎣
……… 9.71 untuk tulangan simetri yaitu p = p’ maka persamaan 9.71 menjadi : 2 ⎡ d ⎞ e⎤ e e ⎞ ⎛ ⎛ Pn = 0,85 fc ' bh ⎢− p + 1 − + ⎜1 − ⎟ + 2 p⎜ ( m − 1)(1 − ⎟ + ⎥ h ⎠ h⎥ h h ⎠ ⎢ ⎝ ⎝ ⎦ ⎣
……… 9.72
Persamaan 9.72 adalah rumus pendekatan karena baja desak dianggap sudah leleh, walaupun sesungguhnya belum tentu demikian.
162
BAB X TULANGAN GESER KOLOM A.
PENGERTIAN Setelah desain tulangan lentur kolom, maka langkah selanjutnya adalah desain
tulangan geser/sengkang kolom. Pada elemen yang selain momen lentur tetapi juga ada gaya aksial seperti pada kolom, maka peran/fungsi tulangan geser/sengkang sangatlah penting. Diantara fungsi-fungsi utama sengkang kolom itu adalah sebagai berikut.
1. Sengkang Sebagai Penahan Tegangan Geser Sebagaimana pada balok, pada kolom juga terdapat gaya geser. Kedua-duanya hampir sama. Kalau pada balok, gaya geser terjadi akibat adanya beban gravitasi dan momen ujung, sedangkan pada kolom gaya geser hanya terjadi akibat momen ujung aja. MKap +
q a)
Mk,ua
MKap -
Mk,ub/L a)
b)
Mk,ub
Mk,ua/L b)
Mk,ub/L
c)
+
Mk,ua/L
Gambar 10.2 Gaya Lintang Kolom +
-
c)
M Kap+ d) M KapM Kap+/L M Kap-/Lb
M Kap+/Lb M Kap-/Lb
-
e)
f)
-
g)
Gambar 10.1 Gaya Lintang Balok 163
Gambar 10.1.a) adalah balok dengan beban gravitasi dengan intensitas q dan pada ujung-ujungnya
terdapat
momen
MKap+
dan
MKap-.
Balok
tersebut
dapat
didekomposisi seperti Gambar 10.1.b) dan 10.1.d), yang gaya lintangnya masingmasing adalah Gambar 10.1.c) dan 10.1.f). Superposisi atau gabungan dari keduanya adalah Gambar 10.1.g) yang merupakan gaya lintang balok. Gaya lintang kolom adalah seperti tampak pada Gambar 10.2.c). Tata cara menghitungnya adalah seperti pada Gambar 10.2.b) yaitu sama seperti pada balok. Karena pada kolom tidak terdapat beban langsung, maka bentuk gambar gaya lintangnya merata/sama sepanjang tinggi kolom. Gaya lintang inilah yang akan mengakibatkan tegangan geser yang harus ditahan oleh sengkang.
2.
Sengkang Sebagai Confinement
Confinement yang dimaksud adalah sebagai pengekang agar akibat gaya aksial suatu kolom tetap menyatu tidak pecah. Sebagaimana diketahui bahwa akibat gaya aksial, kolom disatu sisi akan mengalami pemendekan tetapi disisi lain, kolom akan mengembang kearah samping. Tugas sengkang adalah mengikat kolom agar beton kolomnya tidak pecah.
Pu
Pu
c)
a)
b)
Inti/core
d)
Gambar 10.3 Confinement Pada Kolom
164
Perubahan volumetrik elemen desak adalah seperti tampak pada Gambar 10.3.a). Agar kolom tidak pecah akibat gaya desak, maka sengkang harus mengikatnya sebagaimana tampak pada Gambar 10.3.b). Dengan demikian sengkang akan mengalami gaya tarik atau tegangan tarik. Pada beban siklik maka kolom lamakelamaan akan mengalami spalling atau mengelupas selimut betonnya pada sekeliling kolom dan bahkan dapat masuk kedalam seperti yang tampak pada Gambar 10.3.c). Semakin jauh jarak tulangan kolom, maka akan semakin kecil luasan inti (core) yang tersisa dan sebaliknya. Dengan demikian selain sengkang, efektivitas pengekangan masih dipengaruhi oleh jarak tulangan kolom. Sistim pengekangan yang terbaik adalah sengkang spiral, kemudian diikuti oleh sengkang lingkaran dan kemudian baru sengkang persegi.
3.
Sengkang Sebagai Penahan Buckling
Pada saat beton mengelupas atau spalling maka baja tulangan berkemungkinan lepas dengan betonnya. Pada kondisi tersebut baja tulangan akan berfungsi sebagai batang desak yang rawan terhadap bahaya tekuk (buckling). Menurut teori kestabilan, bahaya tekuk akan dipengaruhi oleh kelangsingan. Pu Pu
Pada
sengkang
kolom,
kelangsingan tulangan pokok akan bergantung pada : 1. Diameter tulangan pokok S2
Tekuk
2. Jarak sengkang ( s )
Gambar 10.4 Buckling Pada Kolom Dengan demikian selain diameter sengkang dan tegangan lelehnya, jarak sengkang s memegang peran yang sangat penting. Pada desain tulangan geser diameter, tegangan leleh dan jumlah potongan umumnya diketahui atau ditentukan dan jarak sengakang s yang dihitung. Jarak sengkang s juga dapat dikorelasikan dengan diameter tulangan pokok.
165
4.
Sengkang Sebagai Pengikat Tulangan Pokok
Fungsi ini adalah fungsi teknis yang paling praktis, yaitu untuk mengikat tulangan pokok agar tempat, jarak dan posisinya dalam kondisi yang benar. Selain daripada itu dengan adanya pengikat dari sengkang maka pemasangan tulangan menjadi rapi. Tempat, jarak dan posisi tulangan harus dalam kondisi benar, baik selama pemakaian tulangan maupun selama cor beton dilakukan.
B.
GAYA GESER ULTIMIT KOLOM (Vu,k) Sebagaimana dikatakan sebelumnya, gaya geser yang terjadi pada suatu
elemen akan bergantung salah satunya pada momen-momen ujung yang bekerja pada elemen tersebut. Pada kolom, karena tidak terdapat beban langsung, maka gaya geser kolom hanya akan dipengaruhi oleh Mu,ka dan Mu,kb. Sebagaimana tampak pada Gambar 10.2, maka gaya geser ultimit kolom Vu,k berdasarkan SK-SNI 1991 pasal 3.14.7.1).(2) adalah Vu , k =
Mu , ka + Mu , kb .................................... 10.1 hk
Persamaan 10.1 adalah gaya geser kolom yang dihitung dari momen ultimit kolom Mu,k. Sebelumnya Mu,k dihitung dari momen kapasitas balok, yaitu suatu cara dalam rangka memenuhi prinsip strong column weak beam. Apabila dikaitkan dengan analisis struktur, maka gaya geser ultimit kolom tidak perlu diambil lebih besar dari (SK-SNI 1991) pasal 3.14.7.1).(2) : 4 ⎛ ⎞ Vu , k maks = 1,05⎜V D , K + V L , K + V E , K ⎟ ............ 10.2 K ⎝ ⎠
Yangmana hk adalah tinggi bersih kolom, VD,K , VL,K dan VE,K berturut-turut adalah gaya geser kolom akibat beban mati, beban hidup dan beban gempa yang kesemuanya diambil dari hasil analisis struktur. Persamaan 10.1 adalah gaya geser ultimit kolom Vu,k pada tingkat ke-2 sampai tingkat teratas. Pada prinsip strong column weak beam, kolom-kolom ditingkat-tingkat tersebut tidak direncanakan terjadinya sendi-sendi plastis. Namun demikian akan terjadi sendi-sendi plastis pada ujung bawah kolom tingkat dasar (tingkat ke-1). Untuk itu maka terdapat sedikit modifikasi gaya geser ultimit kolom pada ujung bawah tingkat dasar Vu,kd berdasarkan SK-SNI 1991 pasal 3.14.7.1).(2) yaitu, Vu , kd = ω.0,7
Mc, kap .V E ME
................................................. 10.3 166
C.
DESAIN TULANGAN GESER KOLOM Berdasarkan nilai-nilai gaya geser ultimit kolom Vu,k seperti pada persamaan
10.1 dan persamaan 10.3 tulangan geser akan didesain. Pada kolom tingkat-tingkat atas tidak akan terjadi sendi plastis pada ujung-ujung kolom. Dengan demikian gaya geser yang dapat dikerahkan adalah gaya geser oleh tulangan geser dan gaya geser oleh bahan beton Vc. Sedangkan pada sendi plastis kolom tingkat dasar, beton sudah rusak pada saat sendi plastis terjadi. Oleh karena itu semua gaya geser akan ditahan hanya oleh sengkang. di t ahan ol eh sengkang oleh bet on
Mu , k a
lo
Vc
Mu , k b
lo
Vc
lo lo
Vu, k
b
Vu , k
h b) K o l o m t i n g k a t d a s a r
a) K o l o m - k o l o m t i n g k a t a t a s
Gambar 10.5 Gaya Geser dan Desain Tulangan Geser
Pada Gambar 10.5.a) gaya geser sebesar
Vu, k
φ
sebagian akan ditahan oleh
kemampuan beton dalam menahan gaya geser Vc berdasarkan SK-SNI 1991 pasal 3.4.3.1).(2) yaitu, ⎧ Nu , k ⎫ 1 Vc = ⎨1 + ⎬ . f ' c .b.h ⎩ 14. Ag ⎭ 6
............................ 10.4
Dengan Ag adalah luasan bruto potongan kolom, f’c dalam MPa dan
Nu, k juga Ag
dalam MPa (1 MPa = 10,2 kg/cm2). 167
Sebagaimana pada desain geser pada balok , b dan h pada persamaan 10.4 dinyatakan dalam mm dan Vc dinyatakan dalam N. Dengan demikian gaya geser yang harus ditahan oleh sengkang Vsn adalah, Vsn =
Vu, k
φ
− Vc
……………............................ 10.5
dengan ø adalah faktor reduksi kekuatan untuk geser. Pada daerah sendi plastis, yaitu diujung bawah kolom tingkat dasar seperti tampak pada Gambar 10.5.b) seluruh gaya geser harus ditahan oleh sengkang. Dengan demikian, Vsn =
Vu, k
φ
……………............................ 10.6
Proses-proses atau tahapan desain penulangan geser kolom dapat dilihat pada Gambar 10.6 di bawah ini.
168
Mulai
Data : b h d d’
Hitung gaya geser kolom (Vu,k) dipilih yang terkecil
Vu,k =
M u,atas + M u,bawah ln
4 ⎛ ⎞ Vu,k = 1,05⎜ VD, k + VL, k + .VE, k ⎟ K ⎝ ⎠ Syarat Vu,k > (1,2. VD,k + 1,6VL,k) Pada ujung kolom adalah sendi plastis, maka Mu,k diganti dengan Mkap,k
Hitung gaya geser yang diterima tulangan Untuk daerah sepanjang lo
Vu
Vs1 =
φ
Untuk daerah diluar lo
Vs 2 =
Vu2
φ
⎡ P Vc = ⎢1 + u.k ⎢⎣ 14.Ag
− Vc
⎛1 ⎜ ⎝6
⎞ ⎤ f 'c ⎟.b.d⎥ ⎠ ⎥⎦
Dengan panjang lo - lo = h kolom ; Pu,k < 0,3 Ag.f’c - lo = 1,5 h kolom ; Pu,k > 0,3 Ag.f’c
Hitung jarak tulangan sengkang, pilih yang kecil Jarak tulangan diluar lo : Jarak tulangan sepanjang lo :
s=
n.Aφ . f y .d
s=
Vs1
s < b/4 s < 8.D s < 100 mm
n.Aφ . f y .d Vs2
s < 48.d s < 16.D s < 600 mm
Selesai
Gambar 10.6 Flow Chart Penulangan Geser Kolom
169
Contoh 1 :
Akan didesain tulangan geser untuk tingkat ke-2 dengan ukuran balok, kolom dan Mu,ka ; Mu,kb seperti tampak pada Gambar 10.7. Kualitas bahan sama dengan contoh sebelumnya, yaitu f’c = 25 MPa (255 kg/cm2). Dipakai tegangan leleh sengkang fsy = 400 MPa (4080 kg/cm2). Nu,k lantai 2 = 305,1 ton. Ukuran kolom 45
70
cm.
1 1 hn = 4 − .0,775 − .0,775 = 3,225 m 2 2
35/77,5
Menurut persamaan 10.1, 93,616
Vu , k =
45/70 Nu,k = 305,1 t 93,616
93,636 + 93,616 = 58,056 ton 3,225
Dari hasil analisis struktur diperoleh VD = 2,438 t, VL = 1,111 t dan VE = 29,683 t, dengan demikian 4 ⎛ ⎞ Vu , k maks = 1,05⎜ 2,438 + 1,111 + 29,683 ⎟ K ⎝ ⎠
35/77,5
= 128,39 ton > Vu,k Gambar 10.7 GayaGeser Kolom
Maka dipakai Vu,k = 58,056 ton
Nu,k = 305,1 ton = 305,1 x 9804 = 2991200,4 N ⎧ Nu , k ⎫ 1 ⎧ 2991200,4 ⎫ 1 Vc = ⎨1 + ⎬ . f ' c .b.h = ⎨1 + ⎬ . 25.450.637,5 ⎩ 14.450.700 ⎭ 6 ⎩ 14. Ag ⎭ 6 = 1,6782 x 239062,5 =401213,03 N ( 1 N = 0,102 kg) = 40,923 kg = 40,923 ton
1 1 Dipakai sengkang D10, As = Ad = .π .D 2 = .π .12 = 0,785 cm2. 4 4 Menurut persamaan 10.5, maka gaya geser yang harus ditahan oleh sengkang adalah, Vsn =
Vu, k
φ
− Vc =
58,056 − 40,923 = 55,837 ton = 55837 kg 0,60
Dicoba dipakai sengkang 3 kaki, maka jarak sengkang s adalah
s=
As. fy.h 3.0,785.4080.63,75 cm 2 kg = cm = 10,97 cm, dipakai s = 10 cm. 55837 Vsn kg cm 2
Pakai 1,5 D10-100. 170
Dicoba dipakai sengkang 4 kaki, maka jarak sengkang s adalah
s=
As. fy.h 4.0,785.4080.63,75 cm 2 kg = cm = 14,63 cm, dipakai s = 14 cm. 55837 Vsn kg cm 2
Pakai 2 D10-140 Kontrol jarak sengkang (untuk sengkang 2 kaki) SK-SNI 1991, pasal 3.14.4.4).(2) : s ≤ 8 dl = 8 . 2,5 = 20 cm s ≤ 1 .bc = 1 .45 = 11,25 cm 4 4
Dipakai s = 10 cm Æ memenuhi syarat Dipakai s = 14 cm Æ memenuhi syarat
s ≤ 10 cm Menurut SK-SNI 1991 pasal 3.14.4.4).(4), panjang lo yaitu panjang rentang sengkang dengan jarak s = 10 cm harus dipasang, dengan lo adalah lo ≥ 1,5 h = 1,5 . 70
= 105 cm
lo ≥ 1 .hn = 1 .322,5 = 53,75 cm 6 6
s = 10 cm dipasang sepanjang lo = 105 cm diujung bawah dan ujung atas kolom
lo ≥ 45 cm Diluar daerah tersebut (diantara dua lo) maka menurut SK-SNI 1991 pasal 3.4.5.4).(1) jarak sengkang s tidak boleh diambil lebih besar dari, s < d
2
= 63,75
2
Dalam hal ini misalnya
= 31,875 cm
dipakai s = 25 cm, D10-250
s < 60 cm
Contoh 2 :
Pada desain kolom sebelumnya adalah desain 93,636
tingkat ke-1, ke-6 dan tingkat teratas akibat beban gravitasi dan beban gempa kiri. Untuk 93,636
93,636
gempa
kanan
maka
hasil
desain
harus
dikontrol apakah hasil desain dalam keadaan Mn,k act = 141,85 tm
aman. Berdasarkan hasil tersebut diperoleh, momen nominal aktual Mn, k act = 141,85 tm.
171
Dari analisis struktur diperoleh ME = 76,34 tm, VE= 27,09 ton dan momen kapasitas kolom Mc, kap Mc, kap = φ o .Mn, k act = 1,4.141,85 = 198,59 tm
Dengan demikian, berdasarkan persamaan 10.3, Vu , kd = ω.0,7
Vn =
Vu, kd
φ
=
198,59 Mc, kap .27,09 = 64,13 tm .V E = 1,3.0,7 76,34 ME 64,13 = 106,882 ton 0,60
1 1 Dipakai sengkang D10, As = Ad = .π .D 2 = .π .12 = 0,785 cm2. 4 4 Pakai 4 kaki sehingga, s=
As. fy.h 4.0,785.4080.63,75 = 7,64 cm Æ dipakai s = 7 cm = Vsn 106882
Pakai 2 D10-70
lo=1125 lo=1050
lo=1050
D10-250 1,5D10-100
1,5D10-100
3 50 /7 75
4 5 0 /7 00
lo=1050 lo=1125 lo=1050
2 D 1 0-7 0
D10-250
4 5 0 /7 00
2D10-70
1 ,5 D 1 0 -10 0
1,5D10-100
3 50 /7 75
Gambar 10.8 Penempatan Sengkang Kolom
172
BAB XI BEAM COLUMN JOINT A.
PENDAHULUAN Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa prinsip desain yang dianjurkan
pada bangunan gedung adalah strong column weak beam. Prinsip desain tersebut akan membentuk perilaku goyangan menurut beam sway mechanism. Pada pola goyangan seperti itu sendi-sendi plastis akan diharapkan terjadi pada ujung-ujung balok khususnya pada tipe struktur earthquake load dominated. Mekanisme goyangan seperti itu akan mampu melakukan disipasi energi secara stabil mengingat elemenelemen struktur mampu berperilaku daktail. Sebagaimana dibahas sebelumnya, kebutuhan daktilitas kurvatur (required curvature ductility) masih dapat dipenuhi secara relatif mudah oleh potongan elemen struktur. Pada bahasan sebelumnya telah diperoleh bahwa untuk pola goyangan yang dimaksud diatas, kebutuhan daktilitas kurvatur untuk balok berkisar antara μφ = 15 – 20 untuk bangunan gedung 5 – 25 tingkat. Sementara itu Watson dkk (1992) melaporkan bahwa hasil laboratorium menunjukkan adanya variasi daktailitas kurvatur mulai μφ = 8 – 30. Hasil itu adalah hasil uji kolom untuk nilai
Pu
f ' c. Ag
~ 0,1 – 0,50. Sementara itu kebutuhan daktilitas kurvatur untuk kolom
tingkat dasar μφ justru lebih kecil daripada balok. Pada contoh bahasan yang sama kebutuhan daktilitas kurvatur untuk kolom tingkat dasar μφ = 10 – 18. Axial load ratio
Pu
f ' c. Ag
untuk kolom bawah bangunan bertingkat banyak dapat mencapai 0,3 –
0,50. Hasil penelitian yang lain juga disampaikan oleh Zahn dkk (1986). Hasil penelitian yang komprehensif kemudian dituangkan dalam bentuk chart atau grafik sebagaimana yang tampak pada Gambar 11.1. Pada gambar tersebut tampak bahwa untuk balok (dengan Pu
f ' c. Ag
< 0,1) daktilitas kurvatur yang dapat disediakan
cukup besar (μφ > 30). Apabila elemen balok dan kolom telah menunjukkan perilaku daktail seperti yang diharapkan, maka perhatian akan beralih pada elemen-elemen yang lain. Elemen yang dimaksud terutama adalah ”beam column joints” yaitu joint yang merupakan 173
pertemuan antara balok dan kolom. Sebagaimana pada balok dan kolom, maka joint ini harus mampu berfungsi seperti yang diharapkan.
B.
FUNGSI UTAMA BEAM COLUMN JOINTS Bersama-sama dengan balok dan kolom, beam column joints merupakan
menjadi elemen yang sangat vital bagi kestabilan struktur. Sebagai mana dipakai pada analisis struktur, joint dibolehkan terjadi rotasi tetapi joint harus tetap utuh, elastik (tidak rusak), sehingga mampu menghubungkan balok dan kolom dalam hubungan yang tetap siku. Dengan perkataan lain joint harus dapat berfungsi sebagai jepit elastik yang sempurna untuk balok maupun kolom (walaupun joint mengalami rotasi). Dengan demikian joint harus masih tetap mampu menimbulkan pengekangan terhadap balok dan kolom.
Joints sebagai elemen jepit elastik
Gempa Kiri
c) a)
d)
b) Sendi Plastik
Sendi Plastik Joint rusak (momen ujung balok = 0)
Joint yang kaku, mampu mengadakan pengekangan terhadap deformasi lentur balok
e)
Gambar 11.1 Gambar Fungsi Joint
174
Gambar11.1.b) adalah pola goyangan portal akibat beban horisontal. Apabila dibuat detail, maka goyangan tingkat, momen-momen balok dan kolom adalah seperti yang tampak pada Gambar 11.1.c) untuk beban dari arah kiri dan Gambar 11.1.d) untuk beban dari arah kanan. Walaupun joint mengalami rotasi, tetapi hubungan antara balok dengan kolom tetap siku-siku atau joint masih dalam keadaan elastik. Gambar 11.1.e) adalah apabila telah terjadi kerusakan pada joint. Momen ujung balok menjadi nol. Redistribusi momen kearah momen positif akan segera terjadi dan balok seolah-olah menjadi ditumpu oleh sendi-rol. Sendi plastis di momen positif akan segera terjadi, karena kapasitas momen positif akan terlampaui oleh momen positif dukungan sendi-rol. Apabila joint bersifat kaku/elastik/monolit dengan balok dan kolom, maka joint tersebut mampu mengadakan pengekangan terhadap deformasi lentur yang terjadi pada balok ataupun kolom. Pada kondisi demikian struktur masih stabil dan proses disipasi energi pada sendi-sendi plastis dapat berlangsung secara berkelanjutan (karena joint tidak rusak).
C.
PROBLEMA YANG ADA PADA JOINTS Paulay dan Priestley (1992) mengatakan bahwa pada masa-masa lalu perhatian
designer terhadap joint masih memprihatinkan. Hal ini terjadi karena masa-masa yang lalu belum ada bukti yang meyakinkan adanya keruntuhan struktur akibat beam column joint failure. Namun demikian setelah gempa-gempa besar, misalnya gempa Mexico (1985) dan gempa lainnya, keruntuhan struktur akibat joint failures semakin jelas. Sekarang ini disadari betul fungsi penting joint dan selalu diusahakan agar joint tidak menjadi weak links pada sistem struktur daktail. Lebih lanjut Paulay dan Priestley (1992) mengatakan bahwa problem utama yang ada pada joint adalah adanya gaya geser (shear force) dan problem lekatan antara tulangan dengan beton (bond). Oleh karena itu dua problem tersebut perlu dibahas secara lebih rinci. Bahasan akan dilanjutkan pada pengatasan masalah.
175
D.
KESEIMBANGAN GAYA-GAYA PADA JOINT Sebagaimana diketahui bahwa joint adalah salah satu elemen penting di dalam
sistim struktur. Secara geometris joint merupakan bagian dari kolom maupun balok. Perilaku yang ideal suatu joint telah dibahas secara jelas sebelumnya. Sesuatu hal lebih lanjut yang harus diketahui adalah gaya-gaya yang bekerja pada joint. Prinsipprinsip mekanika akan dipakai didalam menguraikan gaya-gaya yang bekerja pada joint.
M +
N u
in fle c t. p o in t
V col a)
V -
M +
M M -
b) V -
M +
V +
in fle c t. p o in t
c)
V col N u
M -
V +
d)
Gambar 11.2 Gaya-gaya Pada Joint Momen yang tampak pada Gambar 11.2.a) adalah momen balok akibat beban gempa. Momen-momen seperti itu akan mengakibatkan gaya lintang seperti tampak pada Gambar 11.2.b). Apabila momen dan gaya lintang digabungkan maka akan tampak seperti pada Gambar 11.2.c). Secara umum dapat diartikan bahwa arah gaya lintang adalah arah yang mengakibatkan momen seperti pada pasangannya. Dengan memakai prinsip seperti itu maka free body diagram gaya-gaya yang bekerja pada joint dan di infection points adalah yang tampak pada Gambar 11.2.d). h c V co l
V co l
b c h c
T sa T sa
V b
C ci T si
(T s a + C c i) z (T s a + C c i-V c o l)
V co l
V co l
N u a)
b ) S F D
c) B M D
Gambar 11.3 Gambar SFD dan BMD pada Joint 176
Menurut Gambar 11.3.a), 2(Ts.z ) + Vb .bc = Vcol .hc
Vcol =
Vcol =
2(Ts.z ) + Vb .bc hc
(Mkap, a + Mkaap, i ) + Vb .bc hc
Pada SK-SNI 1991 diambil kebijakan,
Vcol
⎛ lb ⎞ lb 0,7⎜⎜ Mkap, a + Mkaap, i ⎟⎟ lbn ⎝ lbn ⎠ = 1 (hca + hcb ) 2
Persamaan diatas dipakai dengan mengabaikan pengaruh Vb dan momen balok adalah momen pada as kolom. Faktor 0,7 adalah faktor reduksi kekuatan atau ø = 0,7 (geser). Sebagaimana dibahas didalam hitungan momen kapasitas bahwa momen kapasitas yang dihitung adalah momen kapasitas nominal (Mkap,n). Oleh karena itu required strength yang dihitung dari momen kapasitas selalu dikalikan dengan strength reduction factor ø, misalnya : Mu,b
=
ø. Mn,b
Mu,k
=
ø. Mn,k
Vu,b
=
ø. Vn,b
Mkap,u
=
ø. Mkap,n
Dalam tingkat kapasitas, Faktor reduksi kekuatan ø = 0,7 oleh karenanya tampak pada Vcol diatas dan akan selalu tampak pada required strength yang lain pada Mu,k.
177
E.
GAYA GESER DAN TEGANGAN GESER JOINT Melalui keseimbangan gaya-gaya pada joint akan dapat diketahui betapa akan
terdapat gaya geser yang sangat besar. Gaya geser tersebut dapat diketahui melalui Gambar 11.4 berikut.
Retak/crack
Vjv
Vjv Vjh
Vcol
Ts zi
Cc Vb
Vb Ts
Cc Retak/crack
Vcol
Vjh Vjh=Ts+Cc-Vcol
Diagonal Strut
Gambar 11.4 Gaya Geser pada Joint Sebagai hasil resultan dari gaya-gaya desak yang ditimbulkan oleh momen balok dan momen kolom, maka akan terdapat gaya desak diagonal yang terjadi pada joint. Gaya desak diagonal tersebut dapat mengakibtkan retak/pecahnya joint sebagaimana tampak pada Gambar 11.4.a). Akibat momen lentur pada balok juga memungkinkan retaknya balok ditepi muka kolom terutama pada daerah tarik. Karena beban bersifat bolak-balik, maka retaknya balok ditepi muka kolom dapat terjadi pada kedua sisi (sisi atas dan sisi bawah balok). Pada Gambar 11.4.b), adanya gaya geser Vjh dan Vjv semakin terlihat sebagai suatu konsekuensi dari keseimbangan gaya-gaya pada joint. Adanya gaya geser Vjh juga terlihat pada SFD yang ditunjukkan oleh Gambar 11.4.c). Dengan cara yang sama juga dapat diidentifikasi gaya geser Vjv. Dengan memakai keseimbangan gayagaya, maka V jh = Ts + Cc − Vcol
⎛h ⎞ V jv = ⎜⎜ b ⎟⎟V jh ⎝ hc ⎠ Yangmana hb adalah tinggi balok dan hc adalah tinggi kolom. 178
Ts =
0,7.Mkap, i zi
Cc =
0,7.Mkap, a za
Mengapa terdapat koefisien 0,7 ? Karena sebagaimana disampaikan sebelumnya Mkap adalah momen kapasitas nominal. Vjh dan Vjv pada persamaan di atas adalah gayagaya lintang (gaya geser) yang harus dikendalikan (baik oleh kekuatan geser beton maupun oleh tulangan geser joint). Menurut SK-SNI 1991, tegangan geser yang terjadi pada joint harus dikendalikan melalui tegangan geser maksimum τjh,
τ jh =
V jh hb .bb
< 1,5 f ' c
Apabila batas maksimum tegangan tersebut tidak dipenuhi, maka ukuran buhul joint harus diperbesar.
F.
TULANGAN GESER JOINT Gaya geser horizontal Vjh dan gaya geser vertikal Vjv belum tentu dapat ditahan
secara aman oleh beton didalam joint. Secara teoritik beton mampu menahan tegangan geser dengan batas tertentu. Apabila masih terdapat kelebihan tegangan geser, maka kelebihan tegangan tersebut harus ditahan oleh tulangan geser. Mengingat terdapat 2 arah tegangan geser, maka hal tersebut akan dibahas satupersatu.
1. Tulangan Geser Horisontal Tegangan geser horisontal Vjh akan ditahan secara bersama-sama oleh beton dan tulangan geser (kalau diperlukan). Kadang-kadang sering terdapat pertanyaan, bukankah pada arah horisontal tersebut juga ada balok, sehingga dapat menahan tegangan geser joint? Jawabannya adalah bahwa pada saat balok melentur mencapai kekuatan kapasitas (Mkap), bagian tegangan tarik balok sudah retak-retak lebar. Mengingat beban/lenturan balok bersifat bolak-balik maka balok beton ditepi muka kolom sudah rusak. Kerusakan akan diperbesar oleh terjadinya sendi plastis balok.
179
Sh
Gambar 11.5 Tulangan Geser Horisontal
Kekuatan geser yang dapat dikerahkan oleh beton, •
Vch = 0 Bila
•
Vch =
Bila
Nu , k < 0,1. f ' c Ag 2 3
Nu , k − 0,1. f ' c .bc .hb Ag
Nu , k > 0,1. f ' c Ag
Selanjutnya kekuatan geser yang harus ditahan oleh tulangan geser Vsh adalah, Vsh = V jh − Vch
Apabila sengkang mempunyai tegangan sebesar fysh maka luasan potongan sengkang yang diperlukan sebesar,
Ash =
Vsh fy sh
Apabila luasan potongan sengkang yang diperlukan Ash sudah diperoleh, maka dengan memakai diameter sengkang dsh tertentu jarak sengkang horisontal join sh dapat ditentukan. 180
2. Tulangan Geser Vertikal Disamping tulangan geser horisontal, maka secara teoritik pada joint juga diperlukan tulangan geser vertikal. Sebagaimana diketahui bahwa pada joint sudah rapat/padat dengan tulangan-tulangan, mulai dari tulangan kolom, tulangan balok membujur dan tulangan balok melintang. Setelah itu ada tulangan geser horisontal dan kemudian tulangan geser vertikal. Oleh karena itu pada joint sudah penuh dengan macam-macam tulangan yang saling menyilang secara 3 dimensi. Apabila tidak diperhatikan secara khusus hal tersebut (tulangan-tulangan) dapat mengakibatkan mutu cor beton di joint menjadi kurang baik. Padahal menurut analisis struktur, joint harus tetap kuat/elastik saat terjadi gempa. Oleh karena itu joint perlu memperoleh perhatian khusus.
Intermediate bars
Gambar 11.6 Gambar Tulangan Geser Vertikal Joint 181
Kekuatan geser vertikal yang dapat dikerahkan oleh beton, •
Vcv = 0
•
Vcv = V jh
Æ untuk ujung kolom dasar As k' As k
⎧ Nu , k ⎫ ⎨0,6 + ⎬ Ag. f ' c ⎭ ⎩
As k'
= luas tulangan desak kolom
As k
= luas tulangan tarik kolom
Kekuatan yang harus dikerahkan oleh tulangan geser vertikal, V sv = V jv − Vcv
Selanjutnya,
As v =
Vsv fy sv
Tulangan geser vertikal dapat ditahan oleh : 1. Tulangan intermediate bars
Æ bila Ask + As’k > Asv
2. Tulangan sengkang vertikal 3. Tulangan khusus Tahapan desain atau proses perencanaan joint balok kolom (beam column joint) ini dapat dilihat pada Gambar 11.7 di bawah ini.
182
Mulai Data : hc bb
Ukuran dirubah
Hitung gaya geser horizontal join :
Vjh = C ki + Tka − Vkol C ki = Tki = C ka = Tka =
0,7.M kap.ki Zki 0,7.M kap.ka Z ka
Hitung Vkolom dan dipilih yang terkecil :
⎞ ⎛ l l 0,7⎜⎜ .M kap.ki + .M kap.ka ⎟⎟ l ka ⎠ ⎝ l ki Vkolom = 1 (l ka + l ki ) 2 4 ⎛ ⎞ Vkolom = 1,05⎜ VDk + VLk + VEk ⎟ k ⎝ ⎠ Hitung tegangan vertikal join
Vjv =
τ jh =
hb .Vjh bc
Vjh h c .b b.a
Tidak
< 1,5 f'c
ya Geser Horizontal
Geser Vertikal
Vsv + Vcv = Vjv
Vsh + Vch = Vjh ⎛P ⎞ bila ⎜ uk ⎟ < 0,1 f' c ⎜A ⎟ ⎝ g⎠
Dengan :
Vch = 0
Dengan
Vcv = 0
⎞ ⎛P ⎞ 2⎛ P Vch = .⎜ u.k − 0,1. f 'c ⎟.b b.a .h c bila ⎜ uk ⎟ > 0,1 f' c ⎜A ⎟ ⎟ 3 ⎜⎝ A g ⎝ g⎠ ⎠ A sh = Jmltul =
Vcv = Vjh .
Vsh fy
untuk ujung kolom dasar A s'k A sk
⎞ ⎛ ⎜ 0,6 + Puk ⎟ ⎟ ⎜ A . f' g c ⎠ ⎝ A sv =
A sh n.Aφ
Jml tul =
Vsv fy A sv n. Aφ
Selesai
Gambar 11.7 Flow Chart Penulangan Beam Column Joint
183
Contoh : Akan dihitung tulangan geser joint dengan memakai hasil-hasil desain balok sebelumnya. Misalnya momen-momen kapasitas Mkap+ dan Mkap- yang terjadi pada kiri dan kanan joint seperti tampak pada Gambar 11.8. Mutu bahan yang dipakai f’c = 25 Mpa (255 kg/cm2) dan fy = 400 Mpa (4080 kg/cm2).
MKap+=76,7 tm
MKap+=107,463 tm MKap-=138,7 tm
MKap-=120 tm
MKap+=138,7 tm MKap-=79,9 tm
MKap+=133,9 tm MKap-=107,463 tm
lb=8,5 m lb'=7,8 m
lb=7,5 m lb=5,5 m lb'=4,75 m lb'=6,875 m
Gambar 11.8 Momen Kapasitas Balok Penyelesaian : 1. Menghitung Vcol a. Kolom dalam (kiri)
→
V col
←
V col
⎫ ⎧ lb lb 5,5 ⎧ 8,5 ⎫ 0,7⎨ i' Mkap, i + a' Mkap, a ⎬ 0,7⎨ 120 + 107,463⎬ lba 4,75 ⎭= ⎩ 7,8 ⎭ = 44,66 t ⎩ lbi = 1 1 (ha + hb ) (4 + 4) 2 2
5,5 ⎧ 8,5 ⎫ 0,7⎨ 79,7 + 138,7⎬ 4,75 ⎩ 7,8 ⎭ = 43,30 t < 44,66 t = 1 (4 + 4) 2 184
b. Kolom dalam (kanan) →
V col
←
V col
7,5 ⎧ 5,5 ⎫ 0,7⎨ 138,7 + 76,7⎬ 6,875 ⎩ 4,75 ⎭ = 42,74 t = 1 (4 + 4) 2 7,5 ⎧ 5,5 ⎫ 0,7⎨ 107,463 + 133,9⎬ 6,875 ⎩ 4,75 ⎭ = 47,34 t > 42,74 t = 1 (4 + 4) 2 Vjh Vkol
T ka
C ki 0,70 Mkap.ki Z ki
Vjv
Vjh Z ka
Vjv
C ka
T ki
bj 0,70 Mkap.ka
Vkol hc
•
Kolom dalam kiri yang menentukan hitungan adalah bila gempa dari kiri.
•
Kolom dalam kanan yang menentukan hitungan adalah bila gempa dari kanan.
2. Menghitung Vjh dan Vjv untuk kolom dalam kiri V jh = Ts + Cc − Vcol
;
Ts i = Cc i =
0,7.Mkap, i zi
⎛h ⎞ V jv = ⎜⎜ b ⎟⎟V jh ⎝ hc ⎠
;
Ts a = Cc a =
0,7.Mkap, a za
Karena Vcol bertanda negatif maka agar Vjh nilainya terbesar, yang menentukan hitungan adalah apabila Vcol terkecil. Untuk kolom dalam kiri, maka yang menentukan hitungan adalah apabila gempa berasal dari kanan (Mkap+i =79,7 tm dan Mkap-a =138,7 tm).
185
45/70
35/77,5 Mkap- = 138,7 tm h = 68,75 cm a = 15,25 cm
Mkap+
= 79,7 tm h = 68,75 cm a = 9,26 cm
hc = 63,75 cm bc = 45 cm
Ts = Cc =
0,7.Mkap, i , z
z = h − 0,5.a
Ts i = Cci =
0,7.79,70 = 87,01 t (0,6875 − 0,5.0,0926)
Ts a = Cc a =
0,7.138,7 = 158,84 t (0,6875 − 0,5.0,1525)
V jh = 87,01 + 158,84 − 43,3 = 202,55 t
Kontrol :
τ jh = =
τ jh
V jh hb .bb
< 1,5 f ' c
202,55.10 3 kg = 73,34 kg/cm2 2 70.40 cm
maks
= 1,5 f ' c = 1,5 25 = 7,5 Mpa = 76,5 kg/cm2
τjh < τjh maks Æ ukuran joint / kolom tidak perlu diperbesar. 35
77,5
Tampak Atas 35
b.ba
45
70
186
3. Menghitung Gaya Geser oleh Beton Vc Karena joint tetap elastik/tidak rusak maka beton masih utuh sehingga beton dapat mengerahkan kekuatan gesernya. Pada kolom-kolom tingkat bawah Nu, k
Ag
>0,1.f’c, misalnya dalam hal ini Nu,k = 305,1 t, bc = 45 cm dan hc = 70 cm, dengan demikian Nu , k 305100 kg = = 96,85 kg/cm2 > 0,1.f’c = 25,5 kg/cm2 2 Ag 45.70 cm Dengan demikian berlaku, Nu,k = 305,1 t = 305,1 x 9804 = 2991200,4 N 2 3
Vch =
2 2991200,4 Nu , k − 0,1.25.450.700 = 555446,8 N − 0,1. f ' c .bc .hb = 3 450.700 Ag
= 56655,57 kg = 56,655 t47,2 t (1N = 0,102 kg)
4. Gaya Geser yang Ditahan oleh Sengkang (Vs) dan Jarak Sengkang Horisontal (sh) Vsh = V jh − Vch = 202,55 − 56,655 = 145,9 t
Jarak sengkang horisontal,
Ash =
Vsh 145900 kg 2 = cm = 35,76 cm2 4080 kg fy sh
Bila dipakai sengkang ø 12 mm, Asd = 1,1309 cm2 dan dipakai 4 kaki, maka As = 4.1,1309 = 4,52389 cm2 Banyaknya sengkang,
A 35,76 = 7,9 ≈ 8 buah n = sh = 4,52389 As sh =
12,5 57,5
8 buah
77,5 − 12,5 − 7,5 = 8,2 ≈ 8 cm 8 −1
7,5
Intermediate bars
187
5. Sengkang Vertikal •
Gaya geser vertikal, Vjv
⎛h ⎞ ⎛ 77,5 ⎞ V jv = ⎜⎜ b ⎟⎟V jh = ⎜ ⎟202,55 = 224,25 t ⎝ 70 ⎠ ⎝ hc ⎠ •
Gaya geser yang dapat dikerahkan oleh beton Vcv = V jh
•
As k' ⎧ Nu , k ⎫ 305100 ⎫ ⎧ ⎨0,6 + ⎬ = 202,55.1⎨0,6 + ⎬ = 198,46 t 45.70.255 ⎭ As k ⎩ Ag. f ' c ⎭ ⎩
Gaya geser yang harus ditahan oleh sengkang vertikal V sv = V jv − Vcv = 224,25 − 198,46 = 25,785 t
•
Luasan tulangan yang diperlukan
As v =
Vsv 25785 kg 2 = cm = 6,32 cm2 fy sv 4080 kg
Ada 4D25 tulangan tengah (intermediate bars) As = 4. 4,906 = 19,62 cm2 As = 19,62 cm2 > Asv = 6,32 cm2 Æ OK
Maka tidak diperlukan sengkang vertikal.
188
BAB XII PONDASI A.
PENDAHULUAN Struktur bangunan gedung terletak sepenuhnya diatas tanah pendukung
melalui sistem pondasi. Dengan demikian sistem pondasi merupakan bagian yang sangat penting dari bangunan gedung secara keseluruhan. Secara garis besar, bangunan gedung terdiri atas dua bagian pokok, yaitu struktur atas (upperstructure / superstucture) dan struktur bawah (substructure). Struktur atas adalah bagian bangunan yang secara langsung menahan beban, baik beban gravitasi maupun beban angin atau gempa. Selanjutnya beban-beban tersebut disalurkan pada pondasi oleh kolom-kolom dan selanjutnya oleh pondasi beban disalurkan ke dalam tanah pendukung. Apabila diperhatikan maka hierarki angka keamanan yang terbesar justru harus terletak pada tujuan akhir penyaluran beban yaitu tanah pendukung. Angka keamanan antara 2 – 3 sering dipakai pada daya dukung tanah (Bowles, 1988). Angka keamanan yang dimaksud adalah rasio antara kuat batas atau maksimum tegangan bahan (tanah) terhadap tegangan yang diijinkan akibat beban. Angka keamanan yang relatif tinggi pada tanah dipakai dengan alasan-alasan (Bowles, 1988) : 1. Sulitnya sistem kontrol kondisi / kekuatan tanah setelah bangunan selesai 2. Adanya ketidaktahuan secara 100% terhadap tanah-tanah dibawahnya 3. Ketidaksempurnaan dalam menentukan properti tanah 4. Begitu kompleksnya lapisan tanah (lapisan, properti, kondisi, jenis dll) 5. Ketidakakuratannya model matematik interaksi antara tanah dan fondasi 6. Banyaknya ketidakpastian yang mungkin terjadi 7. Tanah sebagai pendukung akhir beban harus tidak boleh gagal dalam menahan semua beban. Setelah tanah maka hierarki kerusakan dibawahnya adalah pondasi. Dengan demikian pondasi harus mempunyai angka keamanan yang cukup agar dapat meneruskan beban dengan baik. Angka keamanan untuk pondasi harus lebih besar dari pada kolom atau pun struktur atas, walaupun lebih kecil dari tanah. Sudah menjadi kebiasaan didalam desain, bahwa penghematan atau penekanan biaya yang 189
berlebih pada pondasi umumnya tidak dianjurkan. Dengan perkataan lain biaya untuk pondasi tidak perlu dihemat dan bahkan cenderung diamankan atau sedikit berlebih demi keamanan. B.
JENIS PONDASI Pondasi pada umumnya diklasifikasikan menurut jenis dimana beban harus
didukung oleh tanah, yaitu : 1. Pondasi Dangkal (Shallow Foundationi) Pondasi dangkal adalah sistem pondasi sedemikian rupa sehingga beban masih dapat ditahan oleh lapisan tanah sehingga kedalamannya (muka/level dasar fondasi) tidak lebih dari lebar fondasi atau D
B
≤ 1 . Pada pondasi jenis ini
umumnya kondisi tanah cukup baik sehingga dapat mengerahkan daya dukung yang cukup. Selain hal tersebut, pondasi dangkal umumnya dipakai pada kolom yang beban vertikalnya tidak terlalu besar, misalnya pada bangunan-bangunan bertingkat yang tidak terlalu tinggi. 2. Pondasi Dalam (Deep Foundation) Pondasi dalam adalah pondasi yang mana bebannya sudah tidak lagi mampu didukung oleh lapisan atas suatu tanah. Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi tanah atau daya dukung tanah yang tidak baik ataupun beban kolom yang demikian besar. Pengalaman menunjukan bahwa pondasi dalam jauh lebih mahal dari pada pondasi dangkal. Mahalnya pondasi dalam tidak saja karena nilai materialnya, tetapi juga waktu pembuatannya maupun teknologi, sistem dan alatalat yang dipakai. P
P
γ,ø,c,PI D
Tanah lunak D Lapis Tanah keras
a).Pondasi D angkal b).Pondasi D alam
Gambar 12.1 Jenis Pondasi 190
C.
TEKANAN TANAH DIBAWAH PONDASI Tekanan tanah dibawah pondasi dapat dikenali dengan mengambil asumsi
bahwa kaki pondasi dianggap kaku semuprna, ataupun tidak kaku sempurna. Bentuk tekanan tanah tersebut berbeda untuk jenis tanah yang berbeda. Bentuk tekanan tanah dibawah pondasi adalah seperti yang tampak pada Gambar 12.2.
P
P
T a n a h N o n -K o h e s if
P
P
P
A sum si
T a n a h K o h e s if a )In f. R ig id F o o tin g
b )N o n In f. R ig id F o o tin g
c )P e n y e d e rh a n a a n
Gambar 12.2 Tekanan Tanah dibawah Fondasi Pada Gambar 12.2.a) tekanan tanah dibawah pondasi tersebut adalah tekanan tanah untuk jenis tanah non-kohesif (pasir). Sedangkan gambar 12.2.a) bawah adalah tekanan tanah untuk jenis tanah lempung dan kedua-duanya adalah untuk footing yang dianggap kaku sempurna (infinitely rigid). Sedangkan Gambar 12.2.b) adalah bentuk tekanan tanah apabila footing tidak kaku sempurna. Terhadap struktur pondasi bentuk-bentuk tekanan tanah tersebut akan menyulitkan didalam analisis struktur. Oleh karana itu sangat lazim bentuk tekanan tanah tersebut disederhanakan menjadi Gambar 12.2.c).
191
M
M P
P
T e k . T a n a h a k ib a t M
T e k . T a n a h a k ib a t P
T ek. T anah
Gambar 12.3 Tekanan Tanah Akibat P dan M Pada Gambar 12.3.a) adalah tekanan tanah akibat beban gravitasi, sedangkan Gambar 12.3.b) adalah tekanan tanah akibat momen guling M. Kombinasi antara beban P dan M akan mengakibatkan tekanan tanah total seperti tampak pada Gambar 12.3.c). dalam hal ini dipakai anggapan bahwa tekanan tanah yang sifatnya desak maka tekanan tanah tersebut bertanda positif dan bertanda negatif untuk kondisi sebaliknya. Material tanah dapat menahan tegangan desak, tetapi sebaliknya tidak mampu menahan tegangan tarik. Apabila terdapat tegangan tarik berarti pondasi atau salah satu kaki pondasi akan terangkat (uplift). Kondisi seperti ini pada umumnya tidak diperbolehkan. ex P
b
b
d
b
d
d
ex
B ex a
ey
B/6 B/6
B
p
B
Teras
L/6 L/6
c
a
c
L
L
a)Eksentris 1 arah
a)Eksentris 2 arah
a
c L
a)Eksentris diluar teras
Gambar 12.4 Tekanan Tanah dibawah Fondasi 192
Pada Gambar 12.4.a) beban P hanya mempunyai eksentrisitas ex. Apabila beban masih ada didalam teras potongan maka tidak ada tegangan tarik pada seluruh ruasan pondasi. Pada kondisi tersebut, maka : L P (P.e x ) 2 σa = σb = − A Iy L P (P.e x ) 2 σc =σd = + A Iy Dengan A = L.B adalah luas pondasi, Iy adalah momen inersia terhadap sumbu y atau Iy = 1 . B . L3. 12 Pada Gambar 12.4.b) beban P mempunyai eksentrisitas ex dan ey tetapi masih ada didalam teras. Pada kondisi tersebut seluruh pondasi masih dalam keadaan desak. Tegangan yang terjadi pada ujung-ujung pondasi adalah,
σa =
L B P (P.e x ) 2 (P.e y ) 2 − − A Iy Ix
L B P (P.e x ) 2 (P.e y ) 2 + σb = − A Iy Ix L B P (P.e x ) 2 (P.e y ) 2 σc = + − A Iy Ix
σd =
L B P (P.e x ) 2 (P.e y ) 2 + + A Iy Ix
Berdasarkan rumus-rumus diatas, maka tegangan tanah diujung pondasi a atau σa akan menjadi tegangan terkecil dan tegangan tanah di ujung pondasi d atau σb akan menjadi tegangan terbesar. Pada Gambar 12.4.c) beban P sudah berada diluar teras, maka sebagian tanah akan mengalami tegangan tarik. D.
EFEK TEKAN TANAH TERHADAP PONDASI Beban gravitasi kolom P umumnya didistribusikan secara merata pada seluruh
luasan pondasi bila letak kolom berada ditengah pondasi secara simetri. Pada kondisi tersebut reaksi tekanan tanah secara vertikal akan menekan kaki pondasi ke atas. Reaksi vertikal tekanan tanah yang merata tersebut akan mempunyai efek kepada
193
pondasi yaitu efek lentur dan efek geser. Peristiwa seperti ini sebenarnya mirip pada plat kantilever dua sisi akibat beban gravitasi pada struktur atas.
P
P
efek geser
M+ efek & tul lentur
Tegangan tanah yang diijinkan qa = •
M-
M-
quit , umumnya SF = 2-3 sF
Tegangan tanah ultimit qult berdasar data lab. Qult = CNcSc + q Nq + 0,5 ∂ N∂.S∂ (Terzaghi)
perlu properti tanah dari uji lab ∂ , φ, C, Nc, Nq, N∂ dari tabel
•
Tegangan tanah ultimit dari uji lapangan (SPT, CPT) Qult = KN- (SPT, cohessimless soil), N = No of blows count / 1 ft Qa ~
qc (CPT, clay soils) 30 − 50
194
Contoh : Pondasi setempat (kolom paling kiri) Dari analisis struktur diperoleh PD = 1399 kN, PL = 469,2 kN, kemudian MD = 34,34 kNm, ML = 15,65 kNm. Setelah diadakan penyelidikan tanah misalnya tegangan ijin τi = 2,5 kg/cm2 dapat dipakai pada kedalaman 3,75 m. Momen akibat beban gempa ME = 643,25 kNm.
M P
0,00
1,5 m qt
-1,5
0,75 m
-2,25
1,5 m
2 1
-3,75
Beton Siklop
P1 Tidak ada gempa
M1
P2
M2
Ada gempa
Perbaikan tanah
4,5 m 0,75 m
3m
0,75 m
0,75 m 2m 0,75 m
Tegangan beton siklop
+ -
39,05
Tegangan tanah
+ 2,25 +
+ -
14,63
41,3
43,55
15,73 + 0,571
+
16,3
195
Saat tidak ada gempa Pada saat itu beban hanya beban gravitasi,maka P1 = 1 PD + 1 PL = 1399 + 469,2 = 1868,2 kN = 190,55 ton M1 = 1 MD + 1 M L = 34,34 + 15,65 = 49,99 kN = 5,098 tm •
Akibat berat tanah Qt = 1,5 . 1,8 = 2,7 t/m2
•
Akibat berat footplate ( ± 0,75 m) Qs = 0,75 . 2,4 = 1,8 t/m2
•
Akibat berat sikloop Qb = 1,5 . 2,2 = 3,3 t/m2
•
Ukuran dasar beton sikloop diperkirakan 4,5 x 3,5 m dengan tebal sikloop 1,5 m
•
Tegangan ijin tanah netto
τt = 25 – 2,7 – 1,8 – 3,3 = 17,2 t/m2 •
Tegangan tanah yang terjadi 1 5,098. .4,5 P M 1 y 190,55 2 + τt1 = + = 4,5.3,5 1 A Ix .3,5.4,5 3 12 = 12,098 + 0,431 = 12,529 t/m2 Tegangan tanah yang terjadi didasar sikloop τt1= 12,529 t/m2 < τt = 17,2 t/m2 berarti ukuran fondasi tersebut dapat dipakai. τt2 = 12,098 – 0,431 = 11,667 t/m2 > 0 Î OK Dengan ukuran dasar sikloop 4,5 x 3,5 m dan tebal sikloop 1,5 m, maka dengan prinsip penyebaran beban 2 : 1 maka ukuran plat fondasi l = 4,5 – 2 . 0,75 = 3 m, b = 3,5 – 2. 0,75 = 2 m Î plat fondasi 3 x 2 m. Tegangan dimuka beton sikloop 1 P M 1 2 l 190,55 5,098.1,5 τb1 = + = + = 31,758 + 1,699 = 33,457 t/m2 1 .2 .3 3 A Ix 3 .2 12
τb2 = 31,758 – 1,699 = 30,059 t/m2 196
1. Kalau ada gempa Hasil dari analisis struktur didepan diperoleh P2 = 0,9 . 0,7 (171,75) + 1,05 (1399 + 469,2) = 108,20 + 1961,6 = 2069,8 KN P2 = 211,12 t M2 = 1,05 (MD + ML + ME) = 1,05 (34,34 + 15,65 + 643,25) = 727,90 KNm = 74,25 tm τt1 =
211,12t 74,25.2,25 + = 13,40 + 6,28 = 19,68 t/m2 < (2 s.d 3) . 17,2 t/m2 4,5.3,5 26,579
τt2 = 13,4 – 6,28 = 7,12 t/m2 > 0 Akibat gempa tegangan tanah tidak dilampaui ~ OK Tegangan dibawah pondasi τb1 =
211,12 74,25.1,5 = 35,18 + 24,75 = 59,93 t/m2 ~ 60 t/m2 + 3 3 .2 1 / 12.2.3
τb2 = 435,18 – 24,75 = 10,43 t/m2 > 0 0,6 M2 1,2
P2
1,2
35,18
+ 10,43
+ 40,17
24,75 60,0
Apabila diambil rata-rata, maka tegangan/ tekanan keatas terhadap plat fondasi ⎛ 60 + 40,17 ⎞ 2 τa = ⎜ ⎟ = 50 t/m 2 ⎝ ⎠
untuk tiap m’ fondasi (tegak lurus gambar) Vu = 1,2 . 50 = 70 ton Mu = ½ . 50. 1,22 = 36 ton 197
Vn =
Vu
Mn =
Mu
φ φ
=
70 = 116,67 t 0,6
=
36 = 45 ton 0,8
2. Tebal plat pondasi dan kontrol geser akibat service load Desain didepan baru terbatas pada desain ukuran denah pondasi dan kontrol tegangan-tegangan yang terjadi. Desain berikutnya adalah estimasi tebal pondasi dan kontrol tegangan-tegangan geser yang terjadi pada plat pondasi.
1 ,2 hp
0 ,5
Vu
0 ,4 sb = 7 cm
4 1 ,3 2 t/m 2 0 ,8 3 2 5 hc+hp
bc+hp
4 5 /6 0
2
hc 3 m Diperkirakan tebal plat dalam 0,50 m, dan sisi luar 0,40 Î rata-rata 0,45 m d
= 7 + 1,25 = 8,25 cm = 0,0825 m
hp = 0,45 – 0,0825 = 0,3675 m lebar beban one way action u
= 1,2 – h = 1,2 – 0,3675 = 0,8325 m
t ⎞ ⎛ Vu1 = ⎜ 31,758 2 ⎟ . 0,8325 . 2 = 52,877 ton m ⎠ ⎝
Vn1 =
Vu
ϕ
=
52,877 = 88,128 ton 0,6
Tegangan geser τ1 =
Vn1 88,128 = 119,902 t/m2 = 11,990 kg/cm2 = 0,3675.2 0,735
198
τmaks = 2
f ' c = 2 25 = 10 Mpa = 102 kg/cm2
τ1 < τmaks Î geser one way Î aman ! Geser two ways action S1= hc + hp = 0,60 + 0,3675 = 0,9675 m S2 = bc + hp = 0,45 + 0,3675 = 0,8175 m a
= S1 . S2 = 0,9675 . 0,8175 = 0,791 m2
K = 2 (0,9675 + 0,8175) = 3,57 m’ hp = 0,3675 m Vu2 = ( 3.2 – a ) . 31,758 = ( 6 – 0,791 ). 31,758 = 165,427 ton Vn2 =
τ2 =
Vu 2
ϕ
=
165,427 = 275,712 ton 0,6
Vn 2 275,712 = 210,150 t/m2 = 21,015 kg/cm2 = k .hp 3,57.0,3675
τmaks,1
⎧ A⎫ 4 ⎧ ⎫ 2 = ⎨2 + ⎬ f ' c = ⎨2 + ⎬ 25 = 25 Mpa = 255 kg/cm β c 0 , 6 / 0 , 45 ⎩ ⎭ ⎩ ⎭
τmaks,2
⎧ 30.0,3675 ⎫ ⎧αs.hp ⎫ = ⎨ + 2⎬ f ' c = ⎨ + 2⎬ 25 = 25,44 Mpa = 259,5 kg/cm2 ⎩ K ⎭ ⎩ 3,57 ⎭
τmaks,3
=4
τ2
= 21,015 kg/cm2 < 204 kg/cm2 Î geser two ways Î Aman
f ' c = 4 25 = 20 Mpa = 204 kg/cm2
~ plat fondasi mempunyai ketebalan yang cukup aman terhadap bahaya geser. 3.
Desain tulangan lentur plat Sesuai dengan hitungan sebelumnya, untuk tiap m’ (100 cm) plat fondasi
momen lentur nominal Mn = 45 tm. Tebal efektif plat pondasi h = 36,75 cm. c
a
Cc M
36,75 8,25
Ts
Desain plat tulangan sebelah Mn = Cc ( h – a/2 ) 45.105 = 0,85 . f’c. a.100 (36,75 – a/2 ) 199
= 0,85 . 255 . a. 100 (36,75 – a/2) = 21675a (36,75 – a/2) 10837,5a2 - 796556,25a + 45.105 = 0 a2 – 73,5a + 415,225 = 0 a =
73,5 − 73,52 − 4.1.415,225 2
a = 6,1667 cm Cc = Ts = 0,85 . 225 . 6,1667. 100 = 133663,45 kg As =
Ts 133663,45 = = 32,76 cm2 dipakai tul.D25, Asd = 4,906 cm2 fy 4080
100.Asd 100.4,906 cm 2 cm = 13 cm = s= As 32,76 cm 2 dipakai s = 12,5 cm Î As
100.4,906 = 39,248 cm2 > 32,76 cm2 12,5
Pondasi Menerus Ada kemungkinan pemakaian jenis-jenis pondasi yang dapat dipakai. Hal ini akan banyak bergantung pada daya dukung tanah yang tersedia. Pada contoh sebelumnya dipakai pondasi setempat (individual footing) dengan perbaikan tanah yaitu dengan memakai beton sikloop. Pada contoh berikut misalnya dipakai pondasi menerus (continous footing). Sebelum sampai pada proses desain, maka akan dibahas terlebih dahulu tentang analisis strukturnya. Pada contoh sebelumnya, pengaruh momen kolom pada tegangan tanah ternyata relatif kecil, terutama pada beban gravitasi. Pengaruh momen kolom dapat berakibat langsung pada tegangan tanah. Pada pondasi menerus, pengaruh momen kolom terhadap tegangan tanah menjadi lebih kompleks. Akan dilihat terlebih dahulu pada kombinasi pembebanan mana yang lebih menentukan. a. Gaya Aksial Kolom Tingkat Dasar Akibat Beban Gravitasi Berdasarkan analisis struktur maka, gaya-gaya aksial kolom tingkat dasar adalalah, Nu1= 1,2 PD + 1,6 PL =1,2 . 1399 + 1,6 . 469,2 = 2429,5 kN = 247 t
200
Nu2= 1,2 PD + 1,6 PL =1,2 . 1993 + 1,6 . 739,9 = 3575,4 kN = 364,7 t (kolom dalam kiri) Nu3= 1,2 PD + 1,6 PL =1,2 . 1866,4 + 1,6 . 682,2 = 3331,2 kN = 339,8 t (kolom dalam kanan) Nu4= 1,2 PD + 1,6 PL =1,2 . 1274,6 + 1,6 . 412,5 = 2189,6 kN = 2234 t (kolom kanan) Jumlah total beban kolom ke pondasi = 1175,7 t b. Gaya Aksial Kolom Akibat Kombinasi Beban Gravitasi dan Gempa Berdasarkan analisis struktur, maka akan diperoleh Nu1 = 0,9 . 0,7 (171,75) + 1,05 (1399 + 469,2) = 2069,8 kN = 211,2 t Nu2 = 0,9 . 0,7 (126,74) + 1,05 (1993 + 739,9) = 2949,4 kN = 300,8 t Nu3 = 0,9 . 0,7 (-100,5) + 1,05 (1866,4 + 682,2) = 2612,7 kN = 266,5 t Nu4 = 0,9 . 0,7 (-200,5) + 1,05 (1274,6 + 412,5) = 1645,2 kN = 167,8 t Jumlah total beban kolom ke pondasi = 946,3 t < 1175,7 t Dengan hasil tersebut maka gaya aksial akibat gravitasi lebih besar daripada gaya aksial akibat beban kombinasi. Oleh karena itu desain pondasi akan ditentukan oleh beban gravitasi saja, apalagi pengaruh beban gempa.
1,25
8,5
5,5
7,5
1,25
25,5
1,5
201
M
1,5 m 0,75
1,5 3
0,75
1. Tegangan tanah dibawah sikloop, Luas dasar sikloop, A = 3 . 25,5 = 76,5 m2 Tegangan tanah τt = 17,2 t/m2
τt =
Ntotal 1175,7 = = 15,37 t/m2 < 17,2 t/m2 A 76,5
2. Tegangan dibawah footing τb
τb =
Ntotal 1175,7 = = 32,65 t/m2 A 1,5.24
τb = 32,65 t/m2 <10 MPa = 102 t/m2 3. Beban terbagi rata balok Untuk selebar plat 1,5 m, maka beban terbagi rata balok, qb = τb . L = 32,65 . 1,5 = ~ 50 t/m 4. Model-model analisis Terdapat bermacam-macam model analisis balok pondasi yang dapat dipakai. Masing-masing model analisis didasarkan atas asumsi-asumsi dan kelebihan serta kekurangannya masing-masing.
202
Model 1 q=50 t/m A
8,5
B
5,5
C
7,5
D 1,25
Model 2 q=50 t/m A
B
Model 3
A
C
D
C
D
q=50 t/m
B
Pada model 1, asumsinya semua dukungan dianggap sendi/rol dengan mengabaikan peran kolom. Pada model ini momen negatif di A da D menjadi sangat kecil dan sebaliknya momen positif bentang A-B dan C-D menjadi relatif besar. Dalam hal ini momen negatif di A dan D akan underestimate/kekecilan dan momen positifnya cukup aman. Proses analisis menjadi paling mudah. Pada model 2, asumsinya peran kolom tetap diabaikan dan dukungan A dan D dianggap jepit-jepit, dukungan yang lain dianggap rol. Yang terjadi adalah bahwa momen negatif di A dan D akan overestimate/kebesaran. Akibatnya momen positif bentang A-b dan C-D menjadi underestimate/kekecilan. Proses analisis hampir sama dengan pada model 1 diatas. Model analisis yang ketiga adalah model yang paling rasional, walaupun kolom yang diperhitungkan hanya 1-tingkat. Pada model analisis ini peran kolom tetap diperhitungkan (walaupun hanya 1-tingkat). Momen negatif dan positif yang terjadi akan sesuai dengan fakta, walaupun model strukturnya juga belum sempurna. Proses analisis lebih panjang. Oleh karena itu bagi perencana harus dapat menempatkan pilihan serasional mungkin, walaupun untuk itu diperlukan proses analisis struktur yang lebih panjang. Pada contoh ini dipakai 2-pendekatan yang ektrim yaitu model 1 dan model 3. Untuk model ke-2 dapat dihitung dengan cara yang senada.
203
q=50 t/m
8,5
1,25
5,5
182,5
152,5
+
+
-
7,5 210,7
62,5
+
-
-62,5
-
122,4
-242,25
155,1
209 451,6
39,5
Mmaks
189,1
Mmaks
39,5
1,25
351,6
292,5
⎛ 39.4,85 + 242,25.3,65 ⎞ Mmaks 1 = 212,5.3,65 − 1 .50.3,65 2 − ⎜ ⎟ = +316,3 tm 2 8,5 ⎝ ⎠ ⎛ 39.4,398 + 209.3,102 ⎞ Mmaks 2 = 187,5.3,102 − 1 .50.3,102 2 − ⎜ ⎟ = +231,7 tm 2 7,5 ⎝ ⎠ q = 5 0 t/m A
C
B
D 4
8 ,5
1 ,2 5 1 9 2 ,5
3 ,8 5
+
-
2 3 2 ,5 -9 3 1 3 2 ,5 4 6 ,5
-7 0 - 3 0 0 ,4
2 3 0 ,4
-3 5
1 ,2 5
2 0 3 ,9
1 4 8 ,8
+ 6 2 ,5
7 ,5
5 ,5
6 2 ,5
+
1 2 6 ,2
- 5 0 ,9 - 1 6 8 ,8
2 1 9 ,2
3 ,4 3
1 7 1 ,1 + 5 6 ,6 + 3 9 ,5 - 9 6 ,1
209
204
⎛ 132,5.4,65 + 300,4.3,85 ⎞ Mmaks 1 = 212,5.3,85 − 1 .50.3,85 2 − ⎜ ⎟ = +295,4 tm 2 8,5 ⎝ ⎠ ⎛ 219,2.3,43 + 96,1.4,07 ⎞ Mmaks 2 = 187,5.3,43 − 1 .50.3,43 2 − ⎜ ⎟ = +196,6 tm 2 7,5 ⎝ ⎠ Berdasarkan hasil analisis struktur tersebut dapat diperoleh bahwa momen negatif dititik A pada model 1, MA = 39,5 tm, sedangkan pada model 2 MA = 132,5 tm. Benar yang dikatakan sebelumnya MA model 1 akan underestimate. Sebaliknya momen positif bentang A-B untuk model ke-1, M+ = 316,3 tm, sedangkan model ke-2, M+ =295,4 tm.
x2=0,3
2,5
x1=0,35
a'
a Mf '
f
M=300,4 Mf
451,5
a=
4. f .x1 .( L − .x1 ) 4.4,51,5.0,35(8,5 − 0,35) = = 71,3 tm l2 8,5 2
a’ =
4. f .x1 .( L − .x1 ) 4.4,51,5.0,3(8,5 − 0,3) = = 61,49 tm 8,5 2 l2
b=
0,35 (300,4 − 132,5) = 6,91 tm 8,5
b’ =
0,3 (300,4 − 132,5) = 5,92 tm 8,5
Mf = 300,4 - 71,3 – 6,91 = 222,2 tm Mf’ = 132,5 – 61,49 + 5,92 = 76,93 tm 205
M 300,4 = = 1,35 tm ≈ ω Mf 222,2 M ' 132,5 = = 1,72 tm > ω = 1,3 Mf 76,93
Desain momen ultimit balok pondasi Mu dapat dipakai. Momen pada as kolom sudah 1,35 x momen tepi kolom.
Edited by R.M 123
206