Menelisik Tanda-tanda Dusta Bersama Umberto Eco
DATA BUKU
Judul:
Teori Semiotika: Signifikasi, Komunikasi, Teori Kode, serta
Teori Produksi Tanda
Penulis:
Umberto Eco
Penerbit:
Kreasi Wacana, Yogyakarta
Tebal:
x + 530
Tahun terbit: April 2009 Harga:
Rp. 79.000,00
Meskipun edisi Inggris buku ini— —sudah terbit lebih dari tiga A Theory of Semiotics dasawarsa silam, tahun 1976, tetapi penerbitannya dalam bahasa Indonesia tetap relevan. Bahkan, terasa kian penting dewasa ini ketika muncul tren penggunaan semiotika sebagai teori maupun metode lintas-disiplin untuk mengkaji dimensi maknawi berbagai praktik sosial masyarakat kontemporer. kontemporer. Penulis buku ini, Umberto Eco, adalah profesor semiotika di Universitas Bologna, Italia, sejak 1971. Meskipun, belakangan namanya lebih dikenal sebagai seorang sastrawan hebat melalui The Name of the Rose (1983), yang terjemahan Indonesianya diterbitkan Bentang Pustaka pada 2008. Novel tentang misteri pembunuhan di sebuah biara pada Abad Pertengahan ini terjual lebih dari lima puluh juta eksemplar di seluruh dunia.
Teori Semiotika
Semiotika ialah studi mengenai tanda ( sign ) dan aspek pemaknaan ( ) di sign signification dalamnya. Studi ini sudah dikenal dalam bidang medis sejak Hippocrates (460-377 SM), dan kemudian dalam filsafat dan lunguistik. Sejak 1950-an semiotika merambah ke berbagai disiplin ilmu: kesusastraan, antropologi, cultural studies , sosiologi, arsitektur, sinematografi, desain, psikoanalisis. Bahkan, kini semiotika juga digunakan dalam analisis politik, hukum, dan ekonomi. 1
Dalam buku ini, Eco mengawinkan pemikiran dua perintis semiotika modern: ahli linguistik Swiss Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan filsuf pragmatisme Amerika Serikat Charles Sanders Pierce (1839-1914). Eco mengembangkan tesis bahwa semiotika merupakan studi yang mengkaji seluruh proses kehidupan bermasyarakat sebagai proses komunikasi. Semiotika komunikasi berumber pada pemikiran Saussure yang mengandaikan adanya pengirim dan penerima pesan dalam setiap proses komunikasi. Eco mengilustrasikan, orang-orang berkomunikasi satu sama lain melalui beragam wahana ( medium ), dari pakaian yang mereka kenakan sampai rumah-rumah yang mereka tempati. Dari gambar dan musik hingga praktik kuliner dan bahkan lansekap kota. Proses komunikasi seperti ini disebutnya sebagai ‘signifikasi’. Di sini Eco berhutang gagasan kepada Peirce perihal proses komunikasi non-linguistik yang tidak mensyaratkan kemunculan pengirim pesan. Eco mempostulasikan bahwa signifikasi memerlukan kode, yakni seperangkat tanda yang dikombinasikan sehingga memungkinkan maknanya dibaca menurut konvensi sosial yang berlaku. Selanjutnya, sistem signifikasi menjadi syarat bagi setiap proses komunikasi. Komunikasi juga memerlukan produksi-tanda karena tindak komunikasi menuntut kerja fisik ’mengucapkan’. Dari distingsi signifikasi dan komunikasi itu, Eco menyimpulkan bahwa semua jenis produk budaya adalah fenomena semiotis karena mengandung kedua elemen tersebut. Konsekuensinya, teori umum kebudayaan semestinya lahir dari rahim semiotika (h. 38). Eco mendefinisikan kebudayaan sebagai sistem penandaan yang melalui sistem tersebut tatanan sosial dikomunikasikan.
Teori Kedustaan
Namun, sistem tanda adalah entitas kultural, yakni hasil konstruksi manusia. Ini memungkinkan tanda digunakan sebagai penyampai informasi yang benar. Tetapi, tanda juga dapat disalahgunakan untuk mengomunikasikan pesan yang sama sekali tidak sesuai kenyataan. Itu sebabnya Eco mendefinisikan semiotika sebagai “sebuah disiplin
yang
mempelajarai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta ( lie )” (h. 7).
2
Definisi itu menghubungkan teori semiotika Eco dengan diskursus pascamodernisme ( ), khususnya dengan konsep hiperealitas dari filsuf Prancis Jean Baudrillard. postmodernism Hiperealitas, kata Baudrillard dalam Simulacra and Simulations (1981), adalah produk dari simulasi, yaitu proses penciptaan tiruan realitas yang aslinya tidak ada. Sejatinya, Eco telah mendahului Baudrillard ketika ia menulis Travels in Hyperreality pada 1973. Buku ini telah diterbitkan oleh Jalasutra pada
2004
dengan judul Tamasya dalam Hiperealitas .
‘Dusta’ dalam definisi semiotika oleh Eco tersebut tentu tidak merujuk pada pengertian yang harfiah. Melainkan, kedustaaan cerdas yang hanya bisa dilakukan oleh para pakar— meminjam istilah Milan Kundera dalam novel Immortality (1990)—imagologi ( imagology ). Mereka adalah para ahli komunikasi, periklanan, media massa, industri perfilman, desainer. Di bawah kuasa imagologi inilah terbentuk kondisi hipereal ( hyperreal ). Hiperealitas dilukiskan oleh filsuf pascamodernisme Jean Baudrillard sebagai suatu dunia perekayasaan dan distorsi realitas. Di dalamnya berlangsung produksi dan permainan bebas tanda-tanda sehingga tanda-tanda kehilangan kontak dengan realitas yang direpresentasikannya. Melalui cara itu, sesuatu yang bersifat khayali dapat dibuat jadi tampak nyata. Restoran cepat saji McDonald’s dapat menjadi ilustrasi yang baik untuk konsep hiperealitas itu. McDonald’s dicitrakan sebagai modern, dan karena itu makanan yang dijualnya pun berkualitas baik. Penandaan dan pemaknaan McDonald’s yang seperti itu ternyata telah digunakan untuk mengkomunikasikan sesuatu yang tidak sesuai kenyataan. Buktinya, banyak ahli gizi sepakat bahwa makanan ala McDonald’s sama sekali tidak menyehatkan. Meskipun gagasan Eco mengenai semiotika sebagai teori kedustaan sangat kreatif dan provokatif, tetapi bukannya tanpa kritik. Bila disandingkan dengan konsep simulasi dari Baudrillard, misalnya, teori Eco ini tampak terlampau menyederhanakan realitas menjadi sekadar ‘hitam-putih’. Dalam dunia kehidupan sosial yang sesungguhnya, relasi antara tanda, makna, dan realitas jauh lebih kompleks ketimbang relasi oposisi biner dusta/kebenaran semata.
3
Pemikir budaya Yasraf A. Piliang dalam Hipersemiotika (2008) menyatakan, lebih dari sekedar muatan dusta dalam relasi antara tanda dan realitas, terdapat pula muatan kepalsuan ( pseudo ). Ini terjadi ketika sebuah tanda berpretensi mengungkapkan sebuah realitas, padahal baru sebagian kecil unsur realitas, atau permukaan luarnya saja yang direpresentasikan. Dalam hal ini, sebuah tanda tidak mendustakan, tetapi memalsukan realitas. Toh , kritik itu tidak dapat mengenyahkan buku ini dari status ‘ magnum opus teori
semiotika’. Buku ini telah menjadi salah satu penjelasan terbaik bagi siapa saja yang percaya bahwa hidup manusia tidak semata-mata dalam semesta fisik, tetapi juga semesta simbolik. Bukankah seluruh semesta sejatinya dipenuhi oleh tanda-tanda?[] SUGENG P. SYAHRIE Dosen sejarah kebudayaan di Universitas Negeri Jakarta.
4