1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sistem silvikultur merupakan rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaann hutan yang meliputi penebangan, pemudaan, dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu ataupun hasil hutan lainnya. Dalam melaksanakan sistem silvikultur diperlukan perhatian terhadap dua aspek, antara lain teknik penerapan sistem silvikultur itu sendiri termasuk cara penebangan, regenerasi tegakan hutan, dan pemeliharaan tegakan hutan. Kerangka umum dari bagian penglolaan hutan, termasuk pembagian area dan daur penebangan pohon. Sistem-sistem silvikultur dibagi atas sistem penebangan disertai dengan pemudaan alam, Sistem Tebang Pilih
Tanam Indonesia, Sistem
Tebang Jalur, dan sistem pohon induk untuk hutan payau. Sistem tebang habis denga penanaman disebut juga Sistem Tebang Habis dengan Pemudaan Buatan THPB, mengingat penebangannya dilakukan secara tebang habis kemudian diikuti penghutanan kembali atau pemudaan secara buatan. Sistem penebangan yang disertai dengan pemudaan secara alamiah atau disebut disebut
juga sistem siste m
silvikultur dengan pemudaan alamiah, teridri atas sistem uniform, sistem tebang habis dengan Pemudaan Alamiah atau THPA, dan sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI). Sistem Tebang Pilih Tanaman Indonesia (TPTI) merupakan salah satu sistem silvikultur silvikultur yang dikembangkan dari sistem silvikultur TPI
1
2
melalui berbagai penyempurnaan. Hal tersebut disesuaikan dengan kondisi hutan di Indonesia. Disebut sistem TPTI dikarenakan penebangannya dilakukan dengan cara tebang pilih atau selektif
terhadap pepohonan
komersial, dilakukan pemudaan hutan dalam bentuk penanaman kembali. Sistem
silvikultur
tebang
jalur
merupakan
sistem
silvikultur
yang
penebangannya dilakukan pada jalur-jalur yang sudah dibuat secara selangseling terhadap jalur yang tidak ditebang. Untuk proses pemudaan dapat dilakukan dengan cara buatan maupun alamiah. Sebagian besar dari jenis pohon komersial yang dikenal di Indonesia, dipermudakan/diremajakan dengan biji-biji dan semai (seedlings). Sebagian kecil lagi dipermudakan melalui trubusan/tebasan dan tunas, misalnya sungkai, sonokeling, lamtoro, kayu putih, akasia, dan lain-lain. Hasil-hasil percobaan belakangan ini, menunjukan beberapa jenis pohon yang di kembangbiakkan melalui bioteknologi, yaitu secara kultur jaringan. Meskipun demikian, masih banyak jenis-jenis pohon di hutan tropika basah, terutama yang digolongkan jenis kurang dikenal, masih belum diketahui sifat-sifat silvikanya seperti reproduksi, pertumbuhan, toleransi kayu, dan sebaga inya.
3
B. Rumusan Masalah 1) Apa pengertian dari silvikultur ? 2) Bagaimanakah kedudukan silvikultur dalam kehutanan ? 3) Apa tujuan dari silvikultur ? C. Tujuan Penulisan 1) Mahasiswa dapat mengetahui pengertian dari silvikultur 2) Mahasiswa dapat mengetahui kedudukan silvikutur dalam kehutanan 3) Mahhasiswa dapat mengetahui tujuan dari silvikultur
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Silvikultur Silvikultur merupakan suatu seni pembentukan dan pemeliharaan hutan dengan mendasarkan pada
pengetahuan silvika sehingga komposisi,
struktur dan pertumbuhannya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Silvika merupakan suatu pengetahuan mengenai hutan dan pohon hutan, bagaimana mereka tumbuh, bereproduksi, dan bereaksi terhadap perubahan lingkungan (Daniel, dkk, 1992). Silvikultur meliputi
metode-metode untuk pembangunan dan
pemeliharaan komunitas pepohonan dan vegetasi lain yang bermanfaat bagi manusia.
Manfaat tersebut dapat berupa manfaat langsung maupun tak
langsung dari pehonan, air, satwa, vegetasi non-kayu, dan unsur-unsur hara yang terdapat dalam suatu kawasan hutan. Nyland (1996) menjelaskan bahwa silvikultur disyaratkan untuk dapat menjamin kelestarian jangka panjang yang berkaitan dengan fungsi-fungsi ekologi, kesehatan tegakan dan produktivitas dari ekosistem sumberdaya alam hutan.
5
Dasar-dasar silvikultur adalah ilmu pengetahuan biologi dan ekologi, serta hal-hal yang berkaitan erat dengan masalah sosial-ekonomi dan administrasi.
Faktor-faktor biologi dan ekologi menjelaskan pengaruh-
pengaruh yang muncul dari tindakan-tindakan perlakuan pengelolaan yang layak dilakukan pada sebidang lahan kawasan hutan terhadap petumbuhan dan proses regenerasi jenis-jenis tanaman di dalam tegakan. Ekonomi dan 4 administrasi menjelaskan analisis-analisis tingkat investasi dan intensitas tindakan manajemen yang layak secara biologi dan ekologi, juga dapat diterima dan layak ditinjau dari aspek sosial-ekonomi dan administrasi. Untuk dapat mencapai keberhasilan dalam jangka panjang, silvikulturis harus mampu 3 menganalisis dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan ekologi, sosial-ekonomi dan administrasi yang kompleks dan rumit secara simultan.
Potensi
konflik
kepentingan
antara
ekologi,
ekonomi
dan
administrasi harus dapat deselesaikan dalam melaksanakan tindakan-tindakan pengelolaan (Nyland, 1996). Praktek silvikultur mencakup berbagai macam perlakuan yang diterapkan dalam suatu tegakan hutan untuk memelihara dan meningkatkan kegunaan
tegakan
tersebut.
Tugas
dari
rimbawan
adalah
bagaimana
menganalisis faktor-faktor alam di dalam tegakan dan kondisi sosial-ekonomi di sekitarnya guna menyusun suatu rangkaian tindakan silvikultur yang paling tepat dan paling sesuai dengan tujuan pengelolaan sumberdaya alam hutan yang telah ditetapkan (Smith 1986).
6
Dalam prakteknya silvikultur juga menekankan pada aspek-aspek ekonomi. Sebagai suatu usaha yang tujuannya untuk menghasilkan produk barang dan jasa secara lestari harus dapat memberikan keuntungan finansial. Oleh karena itu adalah tidak mungkin memisahkan aspek-aspek biologi dan ekologi dari aspek sosial dan ekonomi. dipilih yang
Setiap tindakan sivikultur
secara teknis paling baik dan secara
ekonomis
harus paling
menguntungkan (Daniel, dkk, 1992). Silvikultur juga mempelajari berbagai aspek budidaya kehutanan mulai
dari
lapangan, pemeliharaan
aspek
perbenihan, persemaian,
tanaman
penanaman
di
sampai dengan pohon siap untuk dipanen, serta
aspek penanaman kembali setelah pemanenan. Pengetahuan tentang sifat hutan, pohon hutan dan
lingkungan
sekitarnya
merupakan hal yang
mendasar dan harus dikembangkan dalam pengelolaan ekosistem hutan sehingga didapatkan produk yang maksimal dengan kualitas yang
sebaik
mungkin yang secara ekologis sehat. Sudah barang tentu bahwa pengetahuan dasar ekologis tersebut harus dipadukan dengan pengetahuan dasar ekonomis, karena silvikultur harus mencakup keduanya. Tindakan silvikultur tidak hanya untuk mendapatkan produk yang kwantitas dan kualitasnya terbaik, tetapi juga harus mampu memberikan keuntungan yang maksimal (Daniel, dkk, 1992). B. Kedudukan Silvikultur Silvikultur dalam
kehutanan adalah seperti agronomi dalam
pertanian, yaitu berkaitan dengan upaya-upaya penerapan teknologi untuk memproduksi barang dan jasa dari jenis-jenis tanaman yang diusahakan.
7
Silvikultur sebetulnya merupakan ilmu pengetahuan terapan yang mendasarkan pada ilmu pengatahuan alam (silvika) dan pengetahuan sosial-ekonomi. Pengetahuan yang berkaitan dengan silvika (ekologi), fisiologi tumbuhan, perlindungan hutan, ilmu tanah merupakan ilmu-ilmu yang harus dipelajari oleh rimbawan karena erat keterkaitannya dengan pelaksananaan tindakantindakan silvikultur (Smith 1986). Para praktisi kehutanan perlu secara terus menerus mempelajari, mengembangkan ilmu-ilmu terkait tersebut dan hasil-hasil penelitian yang disebarluaskan melalui jurnal-jurnal ilmiah. Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh secara langsung dari praktek-praktek silvikultur di lapangan langsung yang merupakan hasil-hasil penelitian yang tidak formal juga dapat merupakan suatu
wahana
untuk
dapat
memahami
dan
membuktikan
kebenaran
pengetahuan formal yang telah ada, serta untuk menerapkan dan membuktikan ide-ide baru dalam praktek di lapangan (Smith 1986). Seperti pertanian, kehutanan dikembangkan sebagai suatu wahana praktek, dimana rimbawan secara terus menerus meningkatkan pengetahuan dan aplikasi di lapangan melalui pengalaman, penelitian dan percobaan percobaan. Pertanian dan kehutanan sama-sama bekerja dengan faktor-faktor iklim dan tanah untuk menghasilkan barang dan jasa secara berkesinambungan dalam suatu jangka yang panjang. Keduanya berkaitan dengan jaring-jaring ekologi yang rumit dan kompleks antara sumberdaya hayati yang berupa sumberdaya nabati dan hewani beserta lingkungannya, dimana pengelola dan pemilik lahan melakukan kegiatan pengelolaan melalui metoda-metoda yang
8
tepat untuk memelihara, memanen dan meremajakan kembali secara berkala sehingga dapat memenuhi azaz kelestarian.
Pihak managemen dapat
menyediakan dan memasarkan berbagai produk barang dan jasa yang bermanfaat dari kawasan hutan yang dikelola. Untuk itu pihak managemen akan dapat memperoleh pendapatan dan keuntungan guna membayar kembali dari investasi modal yang ditanamkan (Nyland, 1996). Teknologi silvikultur merupakan penggunaan berbagai metode dalam praktek pengelolaan vegetasi dan lingkungannya dalam suatu tegakan hutan. Dalam mempergunakan teknologi, rimbawan dapat memilih dan menentukan pilihan apakah untuk meningkatkan nilai (kuantitas dan kualitas) dari tegakan yang telah ada, atau untuk merubah karakteristik tegakan untuk menghasilkan produk barang atau jasa yang betul-betul berbeda dengan tegakan semula. Dalam hal ini, tujuan dari pengusahaan akan menjadi dasar pertimbangan yang utama dalam menentukan pilihan teknologi. Suatu kawasan hutan yang tujuan utamanya adalah untuk menghasilkan bahan baku kayu (baik kayu pertukangan, pulp, playwood atau lainnya) dengan jenis dan kualitas tertentu, akan memerlukan banyak perombakan, atau mungkin bahkan merombak sama sekali tegakan asal (alam). Sebaliknya kawasan hutan yang tujuan utamanya sebagai kawasan perlindungan sumberdaya alam hayati atau sebagai kawasan perlindungan sistem tata-air; maka akan hanya sedikit sekali t indakan-tindakan pengelolaan, atau bahkan pilihan tindakan mamajemen yang terbaik adalah dengan membiarkan tegakan tersebut secara alamiah sebagai mana aslinya (Nyland, 1996).
9
C. Tujuan Silvikultur Silvikultur umumnya diarahkan pada pembangunan dan pemeliharaan tegakan hutan yang paling memenuhi tujuan penglelolaan dari pemilik lahan. Tujuan yang paling umum dari pengelolaan suatu tegakan hutan adalah untuk menghasilkan produk barang yang berupa kayu. Sungguhpun demikian dalam beberapa dekade akhir ini perhatian para praktisi kehutanan terhadap hasil hutan non-kayu baik yang berupa barang atau jasa juga menjadi semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena ternyata bahwa kebutuhan akan hasil hutan non-kayu tersebut terasa semakin diperlukan dalam kehidupan dewasa ini. Produk non kayu tersebut antara lain berupa produk air, satwa liar, sebagai tempat perlindungan keanekaragaman hayati, sebagai sarana untuk kepentingan jasa wisata alam dan bentuk-bentuk pemanfaatan lain baik yang langsung dapat dimanfaat kan oleh manusia maupun yang tidak langsung. Silvikultur yang diterapkan pada tegakan yang tujuan utamanya sebagai penghasil bahan baku kayu merupakan silvikultur yang telah mengalami periode aplikasi yang panjang sehingga telah mengalami kemajuan dan perkembangan yang lebih dibandingkan dengan silvikultur untuk tujuantujuan lain. Adanya tuntutan dan persyaratan kualitas dan kuantitas terhadap
10
produk bahan kayu tertentu dalam waktu yang tertentu pula sehingga silvikulturnya akan menjadi rumit dan kompleks (Smith 1986). 1) Mengontrol komposisi jenis Pada hutan alam ditandai dengan keragaman jenis yang tinggi dimana di dalamnya terdapat jenis yang sangat berharga, cukup berharga, dan kurang berharga, yang hidup dan tumbuh bersama-sama. Salah satu tujuan silvikultur adalah untuk mengatur komposisi jenis dalam tegakan hutan yang paling baik dan sesuai ditinjau dari aspek ekonomi dan ekologi. Dengan demikian maka dalam tegakan hutan yang dikelola akan mempunyai jumlah jenis yang lebih rendah dibanding dengan jumlah jenis pada hutan alam yang tidak dikekelola. Jenis tumbuhan yang tidak dikehendaki umumnya tumbuh dengan suburnya di dalam tegakan hutan sehingga mengorbankan jenis-jenis yang dikehendaki; oleh karena itu tindakan-tindakan silvikultur dengan mengatur komposisi jenis perlu untuk dilakukan (Smith 1986).
Komposisi jenis dapat dikontrol melalui pengaturan jenis dan tingkat perlakuan perombakan tegakan selama periode pembangunan tegakan baru. Dalam hal ini kondisi lingkungan diatur dan dibuat sesuai dengan proses suksesi alamiah yang akan menghasilkan tegakan yang didominasi oleh jenis-jenis berharga yang dikehendaki. Proses suksesi alam itu sendiri tidak selalu dalam kondisi yang mampu menghasilkan suatu komposisi jenis yang diharapkan. Dalam hal ini pengendalian baik secara langsung atau tidak lnagsung terhadap jenis yang tidak dikehendaki perlu
11
untuk dilakukan. Jenis-jenis berharga yang dikehendaki dapat ditingkatkan keberadaan dan pertumbuhannya melalui penanaman dan pengayaan atau dengan penaburan biji-biji langsung pada tempat-tempat tertentu. Dalam hal ini juga dimungkinkan untuk meningkatkan nilai tegakan melalui penanaman jenis-jenis berharga eksotik yang dapat beradaptasi dengan lingkungan setempat. Sasaran dari pengaturan komposisi jenis adalah untuk mencapai suatu komposisi yang paling cocok dan layak antara tujuan pengelolaan dengan kendala alam yang timbul (Smith 1986).
2) Mengatur Kerapatan Tegakan Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan diameter dan tinggi adalah kerapatan tegakan. Kerapatan tegakan merupakan salah satu faktor yang dijadikan indikator untuk menilai suatu tegakan hutan karena nilai suatu tegakan hutan akan ditentukan oleh ukuran diameter dan tinggi dari masing-masing pohon penyusun tegakan serta jumlah pohon per satuan luas tegakan hutan. Tegakan yang terlalu rapat akan berakibat pada pertumbuhan diameter pohon yang lambat. Di pihak lain tegakan yang mempunyai kerapatan tinggi akan memacu pertumbuhan tinggi dan dapat menstimulasi terjadinya prunning secara alami. Tegakan dengan tingkat kerapatan tinggi akan dapat menghasilkan pohon-pohon penyusun tegakan yang mempunyai batang bebas cabang yang panjang. Apabila dikehendaki pertumbuhan diameter yang lebih cepat maka kerapatan tegakan harus diturunkan melalui kegiatan penjarangan. Bagi tegakan hutan yang ditujukan sebagai penghasil kayu pertukangan maka pertumbuhan diameter
12
dan tinggi serta terjadinya prunning secara alami merupakan hal yang mendapat perhatian khusus karena harga kayu pertukangan salah satu faktor penentunya adalah ukuran diameter dan batang bebas cabang. Tegakan
yang
tingkat
kerapatnnya
rendah
akan
memacu
pertumbuhan diameter pohon penyususnnya. Di lain pihak rendahnya kerapatan tegakan akan dapat memacu
pertumbuhan cabang dan
mengurangi peluang untuk terjadinya prunning secara alami. Untuk itu itu pada tahap awal penanaman biasanya dengan kerapatan tinggi untuk memacu pertumbuhan tinggi dan prunning alami. Tingkat kerapatan yang sangat rendah akan dapat mengakibatkan berkurangnya total produksi kayu per satuan luas, karena mungkin akan banyak tempat yang kosong. Kerapatan yang tepat bagi masing-masing jenis penyusun akan berbeda satu dengan lainnya, sehingga perlu diketahui sifat dari masing-masing jenis tersebut. Kombinasi jenis-jenis yang mempunyai sistem perakaran dan kebutuhan cahaya yang berbeda dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan ruang. 3) Pengendalian Pertumbuhan Pertumbuhan suatu individu pohon akan tergantung dari keadaan ruang tumbuh dimana pohon tersebut tumbuh. Keadaan ruang tumbuh akan mengendalikan pertumbuhan jenis tanaman pokok karena terkait dengan ketersediaan energi untuk pertumbuhan seperti cahaya, unsur-unsur hara da n air. Keberaadan tumbuhan lain di sekitar tanaman pokok juga akan dapat mengendalikan pertumbuhan tanaman pokok. Pengendalian pertumbuhan
13
pada dasarnya adalah memberikan ruang tumbuh yang optimal bagi jenis jenis tanaman pokok. Informasi yang perlu dipertimbangkan adalah : ruang tumbuh, kemampuan berkompetisi, dan kombinasi produk.
4) Pengendalian Rotasi Dari sudut pandang silvikultur, rotasi merupakan waktu yang diperlukan untuk melakukan tindakan-tindakan silvikltur mulai dari penanaman yang kemudian diikuti dengan tindakan pemeliharaan tanaman muda dan penjarangan untuk memberikan ruang tumbuh yang optimal sampai dengan pohon penyusun tegakan dipanen. Secara alamiah anakan pohon akan mengalami pertumbuhan dengan kecepatan tertentu yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan waktu. Secara umum telah diketahu i bahwa pada saat muda pertumbuhan pohon akan berjalan cepat dan setelah melewati umur tertentu pertumbuhan akan melambat, kemudian berhenti dan akhirnya mati. Silvikulturis akan mengambil tindakan silvikultur berupa pemanenan atau penebangan pohon setelah pertumbuhan mulai melambat. Pengendalian rotasi dapat dimanipulasi dengan cara mengatur kerapatan, pemupukan dan manipulasi lingkungan lainnya sehingga rotasi dapat diperpendek. 5) Kelestarian produktivitas Ekosistem Tanah merupakan salah satu komponen ekosistem yang dapat dijadikan sebagi indikator kesuburan/produktivitas lahan hutan. Di daerah
14
tropika basah yang dicirikan dengan curah hujan dan temperatur yang tinggi menyebabkan proses pelapukan yang intensif dan proses pencucian yang dalam. Tanah di daerah tropika basah merupakan tanah yang miskin unsur mineral, kandungan Fe dan Al yang tinggi, kandungan mineral lempung sekunder cukup tinggi dengan KPK yang rendah. Penyimpanan unsur-unsur hara berada pada lapisan humus dengan KPK yang sangat tinggi. Produktivitas bahan organik di daerah tropis sangat tinggi sekitar 10-15 ton/ha/tahun, dengan tingkat dekomposisi yang sangat cepat sehingga lapisan humus terbatas pada lapisan atas saja. Unsur -unsur hara yang dimanfaatkan oleh tanaman hanya ada
dan terkonsentrasi pada lapisan
atas/humus. Keberadaan sistem perakaran rambut yang tebal dan adanya mikorrhiza dapat mendukung proses penyerapan unsur-unsur hara oleh pepohonan sehingga dapat berjalan optimal. Dengan adanya pupuk alam organik tersebut walaupun tanahnya miskin tapi mampu mendukung kehidupan tegakan hutan di atasnya. Yang terjadi dalam hutan alam seperti ini adalah adanya “daur hara yang tertutup”. Aapabila daur yang tertutup ini terputus, misal dengan praktek penebangan yang tidak terencana dan tidak terkendali, maka lama kelamaan tingkat kesuburan tanah akan semakin berkurang. Terbukanya tanah/lahan hutan akan berpengaruh terhadap proses erosi, mikroklimat, kehidupan mikro & makro organisme dalam tanah yang lebih jauh akan dapat berakibat pada penurunan produktivitas ekosistem.
15
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Silvikultur merupakan suatu seni pembentukan dan pemeliharaan hutan dengan mendasarkan pada
pengetahuan silvika sehingga komposisi,
struktur dan pertumbuhannya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Silvikultur dalam kehutanan adalah seperti agronomi dalam pertanian, yaitu berkaitan dengan upaya-upaya penerapan teknologi untuk memproduksi barang dan jasa dari jenis-jenis tanaman yang diusahakan. Silvikultur sebetulnya merupakan
ilmu
pengetahuan
terapan
yang
mendasarkan
pada
ilmu
pengatahuan alam (silvika) dan pengetahuan sosial-ekonomi. Pengetahuan yang berkaitan dengan silvika (ekologi), fisiologi tumbuhan, perlindungan hutan, ilmu tanah merupakan ilmu-ilmu yang harus dipelajari oleh rimbawan karena erat keterkaitannya dengan pelaksananaan tindakan-tindakan silvikultur (Smith 1986). Silvikultur umumnya diarahkan pada pembangunan dan pemeliharaan tegakan hutan yang paling memenuhi tujuan penglelolaan dari pemilik lahan. Tujuan yang paling umum dari pengelolaan suatu tegakan hutan adalah untuk menghasilkan produk barang yang berupa kayu
15
16
B. Saran Makalah ini sangat memberikan tambahan pengetahuan mengenai sistem pohon induk dan sistem pohon penaung dalam bidang kehutanan, maka dari itu kami harapkan makalah ini dapat dijadikan sebuah referensi il mu yang berhubungan dengan penerapan sistem silvikultur.
17
DAFTAR PUSTAKA
Ghina. 2011. Sistem Silvikultur . Dalam http://ghinaghufrona.blogspot.com/2011/08/sistem-silvikultur.html Diakses pada hari, Minggu 27 Oktober 2015-10-20
Joxzyn. 2008. Sistem Silvikultur . Dalam http://joxyn.blogspot.com/2008/12/created-by-tri7okoyahoo.html Diakses pada hari, Minggu 27 Oktober 2015-10-20
Wilarso. 2008. Sistem Silvikultur . Dalam http://wilarso.wordpress.com/2008/08/17/sistem-silvikultur-by-drsriwilarso.html Diakses pada hari, Minggu 27 Oktober 2015-10-20