MEKANIKA DINAMIKA SISTEM PARTIKEL
MAKALAH Disusun untuk memenui tugas mata kuliah Mekanika yang dibina oleh Bapak Nasikhudin
Oleh :
Adiyat Makrufi
(100321400984)
Charisma P. W.
(100321400989)
Ferdiana Ika Wati
(100321405240)
Mar’atus Sholihah
(100321400895)
Regina Petty Yolanda
(100321400893)
Kelompok IV Kelas C / Offering C
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN FISIKA Oktober 2011
BAB VI DINAMIKA SISTEM PARTIKEL
A. SistemPartikel dan Pusat Massa
Pada hakekatnya hukum kekekalan energi mekanikberkaitandengan momentum linear, momentum angular, dan energi terapan. Beberapa ahli berpendapat dalam sistem terdapat suatu interaksi antara benda makro dengan mikro. Jika sebuah sistem berisi sejumlah N partikel, symbol bilangannya 1,2,…n. Massa
∑ ∑
partikel adalah
,
,
dan letaknya pada jarak
, ,… . Untuk beberapa sistem
partikel, pusat massa terletak di R(X,Y,Z). Sehingga didapat hubungan. (
+
,
)R=
n k1 mk
+
n k1 mk
+ …+
oleh karena itu : R=
atau
∑ = ∑ ∑
(1)
Z r1 mn
rn
m1 r2
m2 Y
rk X mk
Gambar 1. Sistem partikel dengan beberapa massa pada jarak yang berbeda dari titik asal.
∑
∑ ∑ ̇
Dalam hal ini M =
k
merupakan jumlah kesulurahan massa dan penjumlahan
ari k=1 ke k=N . Berdasarkan komponen maka dapat dituliskan :
∑ , Y =
X=
,Z=
∑
(2)
Dari persamaan (1) didapat bahwa pusat massa merupakan pusat rata – rata dari massa berat. Kecepatan v =
pada pusat massa dapat diperoleh dengan differensiasi
persamaan (1) terhadap t, oleh karena itu, v=
̇ ∑ ̇ =
k
Komponen – komponen kecepatanpadapusatmassadapatditulis
(3)
̇ ∑ ̇ ̇ ∑ ̇ ̇ ∑ ̇ ̈ ∑ ̈ ̈ ∑ ̈ ̈ ∑ ̈ ̈ ∑ ̈ = =
k ,
Percepatan
=
=
k ,
=
=
(4)
k
didapat dengan mendifferensialkan lagi yaitu : =
(5)
k
atau, dalam komponen k ,
k ,
k
(6)
Selanjutnya akan didiskusikan Pemkaian tiga hukum kekekalan yang menjadi dasar yaitu: (1)Kekekalan momentum linier, (2)Kekekalan momentum sudut, (3) Kekekalan energi. Dan juga terdapat dua pemecahan pada masalah ini yaitu : (1) Hukum – hukum Newton, (2)Prinsip kesamaan.
B. Kekekalan Momentum Linier
Sebuah partikel bermassa m dengankecepatan v dan dengan momentum linear II Newton menyatakan :
=
̅
, hukum
(7)
̅ ̅ ̅ ̈ ̈ Dalam hal ini
adalah gaya luar yang bekerja pada
, dan
=
(8)
Jika m konstan =
=
)=
Selanjutnya, jika
=
= 0,
(9)
adalah konstan, ini adalah konservasi dari hukum kekekalan
momentum linear untuk partikel tungggal. Pada sistem N partikel, seperti pada gambar (1), gerak partikel ke k dari massa ) dan percepatan
, pada jarak
. Gaya total
dari titik asal dan dengan kecepatan
bekerja pada partikel
̇
(=
merupakan penjumlahan dua
gaya :
1. Jumlah gaya eksternal 2. Jumlah gaya internal
yang diterapkan pada partikel
pada partikel
Jadi persamaan gerak untuk partikel =
+
=
,
.
dengan n – 1 partikel dalam sistem
sesuai dengan hukum Newton adalah :
1,2,…..n
Dalam hal ini
adalah gaya partikel ke
pada
(10) (11)
partikel, karena vektor alami dari persamaan
(10), dalam hal ini 3n untuk orde ke-2 secara persamaan differensial dapat terpecahkan. Persamaan (10 )dapat diselesaikan dengan menggunakan pusat koordinat massa.
̅ ̅ ̅
Momentum untukpartikel =
diberikanoleh :
=
Persamaan (10) diambil dari :
=
(12)
+
(13)
Jumlah kedua sisi meliputi semua N partikel,
Bilamana
̅
̅ ̅ adalah jumlah momentum linier pada system partikel N partikel dan
total yang bekerja pada sistem, maka :
̅ ̇̅
,
gaya luar
(15) (16)
Selanjutnya jumlah gaya dalam yang bekerja pada semua system partikel sama
dengan nol
(17)
Kombinasi Persamaan (15), (16), dan (17) dengan pers (14) didapatkan :
̅ (18)
Teorema Momentum untuk sistem partikel : “Kekekalan momentum linier : perubahan rata – rata pada momentum liniear adalah sama dengan gaya terapan luar total. Jadi bila jumlah semua gaya terapan luar sama dengan nol, maka momentum liniear total
̅ ̅ ̇̅ ̇ ̇ = konstan, jika
̅
dari sistem ini adalah konstan “.
=0
(19)
Pusat koordinasi massa
(20)
(21)
Sehingga dapat disimpulkan “Pusat massa pada sistem partikel bergerak seperti
halnya partikel tunggal bermassa m bekerja pada gaya tunggal F sama dengan jumlah semua gaya luar yang bekerja pada sistem”. Dua buah pendekatan differensial : 1. Hukum II Newton 2. Prinsip dari kerja nyatanya, sesuai dengan persamaan (11) :
merupakan gaya dorong pada partikel
Newton.
menuju partikel
. Sesuai dengan hukum III
∑ ∑
(22)
Dengan menggunakan persamaan (11) jumlah semua gaya internal adalah (23)
Pada pembuktian terdahulu, diasumsikan bahwa gaya internal datang secara
̅ ∑ ( ̅) ̅* + ̅* + ∑
berpasangan. Kerja yang dilakukan oleh gaya internal sesungguhnya
untuk partikel ke
pada suatu simpangan
adalah :
(24)
Kerja total yang dilakukan oleh seluruh gaya internal adalah :
r
(25)
sama untuk semua partikel, jika total kerja yang dilakukan oleh gaya internal sama dengan
nol untuk semua perpindahan maka : Karena
tidak nol maka:
(26)
C. KEKEKALAN MOMENTUM SUDUT
Momentum sudut dari partikel tunggal didefinisikan pada bentuk perkalian silang yaitu:
̅ ̅ ̅ ̅ ∑ ̅ ̅ ∑ ̅ ̇ ∑ ̇̅ ̇̅ ∑ ̇̅ ̈̅ ̇ ̇ ̇ ∑̅ ∑ ∑ ̅ ∑ ∑ ̅ (̅) ̅
(27)
Pada system partikel N momentum sudut total
dapat ditulis :
(28)
Turunan persamaan (28) terhadap waktu menghasilkan
(29)
Suku pertama bagian kanan diabaikan karena hasil perkalian silangnya sama dengan nol ( xm =0), sedangkan m , dari persamaan (10) sama dengan gaya total yang bekerja pada partikel k , diperoleh :
Dalam hal ini
(30)
merupakan gaya luar total yang bekerja pada partikel k, dan
sebagai gaya dalam yang bekerja pada partikel
menuju
. Suku kedua pada ruas kanan
sama dengan nol, dalam hal ini,
(31)
Olehkarena
-
, maka persamaan dapat dinyatakan seperti gambar (2)
̅ ̅
(32)
Penerapan ini sama dengan nol jika gaya dalam adalah pusat. Karena kedua partikel ini saling tarik menarik atau tolak menolak sehingga suku bagian kanan persamaan (30) dihilangkan dan persamaannya menjadi :
∑ ̅
̅
Jika
(33)
merupakan torka pada partikel
∑ ̅ ∑ ̅ ̅ Dan
, maka torka totalnya adalah (34) (35)
Kekekalan momentum sudut, untuk sistem yang tertutup , satu sama lain tidak bekerja gaya
̅ ∑ ̅ ̅
luar, torka total
menjadi nol, dalam hal ini momentum sudutnya konstan dalam besar dan
arah yakni
(36)
D. KEKEKALAN ENERGI
Pada beberapa situasi, gaya total yang bekerja pada partikel dalam sistem adalah suatu fungsi posisi partikel pada sistem. Gaya
k pada
partikel k th adalah :
̅ ̅ ̅ ̅ ̈ ̇ k=
e k
+
k i
Gaya luar
=
e k
k ( 1,
2......,
n)
dalam hal ini k=1,2,....,N
dapat tergantung pada posisi
k
(37)
dari partikel k , sedangkan gaya dalam
tergantung pada posisi relatif dari partikel-partikel relatif lain terhadap partikel k, yakni =
k
1
dan sebagainya. Jika gaya
k1 memenuhi kondisi,
Dan, fungsi potensial :
(38) (39)
Sehingga
dimana k=1,2,...N
Gerak partikel k th dinyatakan sebagai :
(40) (41)
Dengan menggunakan persamaan (40) didapat
(42)
k i
k1
Mengalikan persamaan pertama dengan
k1
=
, persamaan kedua dengan = , dan k
persamaan ketiga
=
k
k1
k
, dan menambahkannya sehingga diperoleh, dengan k = 1, 2, .......N (43a)
Jumlah meliputi semua nilai k, maka
∑ ∑
(43b)
Dalam hal ini
∑
dengan K= Energi Kinetik
(44)
Dan
∑
(45)
Oleh karena itu persamaan (43b) dapat dinyatakan
atau K + V = E = konstan
(46)
Yang merupakan “Hukum Kekekalan Energi”. i
Jika gaya luar tidak gayut pada posisi dan potensial V gayut pada posisi relatif pasangan partikel, maka
Selama :
∑ ∑ ̂ ̂
(48)
(49)
Dapat diperoleh bahwa :
(50)
Sistem ini merupakan gaya pergesaran dalam, seperti gaya pergeseran ini gayut pada kecepatan relatif dari partikel dan bukan gaya pusat, sehingga hukum kekekalan energi, persamaan (46) tidak dapat dicapai sebagai sistem.
E. Gerak Sistem dengan Variabel Massa Roket
Teknologi roket berdasarkan pada prinsip sederhana kekekalan momentum linear. Sebuah roket terdorong kedepan dengan penyemburan massa yang arahnya terbalik (kebelakang) dalam bentuk gas sebagai hasil pembakaran bahan bakar.
Gaya dorong roket merupakan reaksi menuju gaya dorong ke belakang dari gas yang keluar dari tempat pembakaran bahan bakar. Untuk menentukan kecepatan roket pada waktu meninggalkan bumi seperti ditunjukkan gambar3 dala hal ini t sebagai waktu, massa roket (m) yang bergerak dengan kecepatan v relaif dengan beberapa system koordinat tertentu (bumi). Kecepatan gas merupakan u terhadap roket, sedang kecepatan u + v terhadap system koordinat tertentu. Pada interval waktu antara t dan t+dt, sejumlah pembuangan gas adalah
̅ ̅ ̅
dm= -dm, sedangkan massa roket adalah Momentum system pada saat t yakni
dan kecepatan
(51)
Dan momentum system pada saat t+dt adalah
̅ ̅ ̅
proket gas
(52)
Perubahan momentum selama selang waktu dt adalah:
(53)
Dalam hal ini dm dv ditiadakan, sedangkan persamaan (53) dapat dinyatakan sebagai ,
(54)
Catatan bahwa
adalah kecepatan dari gas yang keluar. Persamaan (54) dapat
ditulis sebagai: Dalam hal ini
(55)
sebagai gaya gravitasi, gaya gesek udara, atau beberapa gaya
luar lainnya, sedangkan
sebagai gaya daya dorong mesin roket. Oleh
karena dm/dt bernilai negative, daya dorong berlawanan dengan kecepatan u
dari gas yang dikeluarkan. Gaya setimbang.
untuk
= 0 persamaan (55) sebagai,
0
diperlukan untuk menjaga keadaan
(56)
(57)
perkalian kedua sisi dengan dt/m dan diintegrasikan,
∫ ∫ ̅ ̅ Kecepatan akhir 1) Besar nilai
atau
̅ ̅
,
karena m0>m maka,
(58) tergantung pada dua faktor, , kecepatan dari gas yang dikeluarkan dan
2) Besar nilai m0 /m, dalam hal ini m0 merupakan massa awal roket dan bahan bakar, sedangkan m sebagai massa akhir saat semua bakar telah digunakan. Besar nilai m 0 /m digunakan untuk satelit pesawat/ roket. Penambahan nilai m 0 /m digunakan untuk satelit dan pesawat luar angkasa meninggalkan bumi. Untuk posisi roket dekat permukaan bumi , maka gaya gravitasi tak dapat diabaikan sehingga disubstitusi
̅
dalam persamaan (55) dan didapat:
∫ ∫ ̅ ∫ ̅ ̅ ̅
(59)
Dan hasil integrasinya,
Hasilnya,
Pada saat t=0 dan besar kecepatan
dan
(60)
berlawanan dengan , maka persamaan (60)
menjadi (bentuk scalar) :
(61)
Pada keadaan awal, daya dorong roket harus cukup besar untuk mengatasi gaya gravitasi m0g.
Sabuk Conveyer
Ditinjau sabuk-berjalan untuk menghitung gaya horizontal dengan kecepatan
, diperlukan sabuk berjalan bergerak
sedangkan massa pasir (barang) yang diberikan pada sabuk
tersebut dm/dt. Missal M sebagai massa sabuk dan m sebagai massa pasir pada sabuk tersebut. Momentum total pada system,sabuk dan pasir pada sabuk yaitu,
̅ ̅ ̅ ̅ Karena M dan
(62)
konstan, sedangkan m berubah maka
Dalam hal ini
(63)
merupakan gaya yang digunkan pada sabuk-berjalan. Daya yang
disuplai oleh gaya agar sabuk-berjalan dapat melaju v yakni,
(64)
Dalam hal ini besar daya dua kali laju perubahan energy kinetiknya, dan hokum kekekalan energy mekanik tidak dapat diterapkan disini. Daya yang lepas digunakan untuk bekerja berlawanan dengan gaya gesek. Ketika pasir mengenai sabuk-berjalan maka harus
dipercepat dari kelajuan nol sampai kelajuan sabuk-berjalan menempuh jaraj tertentu. Pada pengamat yang berada pada sabuk, pasir yang jatuh ke bawah harus bergerak horizontal dengan kelajuan v pada arah berlawanan dengan sabuk. Sabuk-berjalan menggerakkan pasir bermassa dm dengan gaya horizontal
̅
yakni, (65)
Dalam hal ini µ merupakan koefisien gesekan kinetic antara sabuk dan pasir. Jadi percepatan pasir adalah
̅
⁄
,sehingga (66)
Jarak x yang ditempuh oleh pasir yang mengalami perubahan kelajuan dari – v ke 0 yakni,
(67)
Dan kerja yang dilakukan oleh gaya gesekan adalah
̅
(68)
Daya yang hilang digunakan oleh gaya gesek yakni,
(69)
G. Tumbukan Tak Lenting
Pada tumbukan antar partikel, ada kemungkinan energi kinetik akhir lebih kecil dari pada energi kinetik awal, maka pada kondisi ini sistem menyerap energi, dan dinamakan endoergenic atau tumbukan jenis pertama, sedangkan tumbukan yang menghasilkan energi
kinetik akhir lebih besar daripada energi energi kinetik awal, maka sistem melepas energi, dan dinamakan exoergenic atau tumbukan jenis kedua. Jika energi kinetik awal K i dan energi kinetik adalah K f , maka energi disintegrasi (φ) dapat dinyatakan sebagai : φ K f - K i(96) jika φ > 0
exoergik , tumbukan tak lenting jenis kedua
(97a)
φ<0
endoergik , tumbukan tak lenting jenis pertama
(97b)
φ0
exoergik , tumbukan tak lenting jenis kedua
(97c)
Seperti tampak pada gambar 8, tumbukan tak lenting antara dua partikel bermassa m 1 yang bergerak dengan kecepatan
1i
terhadap sebuah partikel bermassa m 2 yang diam, dan
menghasilkan dua partikel baru dengan massa m 3 dan m4 yang bergerak dengan kecepatan dan
4f
3f
yang membentuk sudut θ 3 dan θ4 terhadap sumbu-x. Sedangkan K 1, K 2, K 3, dan K 4
merupakan energi kinetik partikel m1 , m2, m3, m4, dan energi disintegrasinya Q. Berdasarkan hukum kekekalan momentum dan energi kinetik, dapat ditulis m1
1i = m3
0 = m3
3f.cosθ3
3f.sinθ3 -
m4
+ m4
4f.cosθ4
(98)
4f.sinθ4
(99)
Dan K1 + Q = K 3 + K4
(100)
y
m3
3f
θ3
m1
m2
θ4
1i
Sebelum tumbukan
Setelah tumbukan
4f
Gambar 8. Tumbukan tak elastis antara dua partikel
Dengan demikian akan diperoleh,
(m4
2 4f )
= (m1
2 1i) +
(m3
2 3f ) – 2m1m3 1i. 3f .cosθ3
(101)
Dan mengkombinasi persamaan (100) dan (101) dan menggunakan relasi energi kinetik K 1, K 3, danK 4, akan diperoleh energi disintegrasinya Q yakni,
Ditinjau sebuah objek bermassa m1bergerak dengan kecepatan
(102) 1
menabrak sebuah objek lain
yang diam bermassa m2 , dan kemudian kedua objek menempel setelah tumbukan dan kecepatannya
2=
2.
Menurut hukum konservasi momentum maka, (103)
Dalam hal ini energi kinetik tidak kekal, sehingga
2
Q = Kf – Ki = (m1 + m2) v2 - m1 v1
2
subtitusikan persamaan (103) untuk didapatkan,
Q = K1
– (104)
Yang bernilai negatip dan tumbukannya bersifat endoergik. Jadi energi minimumnya (energi ambang) dinyatakan dengan persamaan
(105) Untuk reaksi endoergic K 1 harus menjadi ≥ (K 1) ambang. Hukum kekekalan momentum dan energi yang diperlukan pada tumbukan satu dimensi antara dua buah objek seperti pada gambar 9, yakni
m1
1i
m1
+ m2
1i
2
2i
= m1 2 2i
+ m2
1f +
= m1
m2
(106)
2f
2 1f +
m2
2 2f
(107)
Dalam hal ini dihasilkan, 1i
Atau (
+
2i
relatif )f =
=
2f -
-(
(108a)
1f
relatif )i
(108b)
Koefisien restitusi (e) = -
(109)
Dalam hal ini, e=1 untuk tumbukan lenting dan e=0 untuk tumbukan tak lenting sempurna, untuk tumbukan tak elastis e berada diantara 0 dan 1.
m1
m2
O
1i
1i -
m1 2i
2i = -( real)i
m2
1f
1i -
2f
X
2i = ( real)f
Gambar 9. Tumbukan lenting satu dimensi antara dua massa m1 dan m 2
H. Sistem Koordinat Pusat Massa Dua Benda
Suatu sistem berisi dua objek bermassa m1 dan m2 pada jarak r 1dan r2 dari titik asal O, seperti gambar 10., sedangkan
i 12
dan
merupakan gaya luar yang bekerja pada m1 dan m2
adalah gaya dalam yang bekerja antara
i
,
m1 dan m2 , dan F21 sebagai gaya
dalam yang bekerja antara m1 dan m2, sesuai dengan hukum III Newton,
i 12 =
i
- F21 = f
(110)
Sedangkan gaya luar total yang bekerja pada suatu sitem F=
1
e
+
2
e
(111)
Mengikuti hukum II Newton, gerak dua benda dalam sistem lab dapat ditulis sebagai : (112) (113) Koordinat pusat massa
dapat dinyatakan dengan persamaan,
(114) Dan koordinat relatif (r) diberikan oleh
1
-
(115)
2
Sedangkan reverse transformasi diberikan dengan persamaan 1=
R+
(116) m2 CM r2 R
m1 r1
O
Gambar 10. Pusat massa dan gerak rektif untuk sistem tetap pada dua partikel
Dan
2=
R-
(117)
Penjumlah persamaan (112) dan (113) akan diperoleh,
Dengan menggunakan persamaan (110), (111), dan (114), didapatkan persamaan,
̈
(m1 + m2) = F Atau M
̈
=F
(118)
̈
sebagai percepatan pusat massa sistem M (m 1 + m 2) karena gaya luar
Selanjutnya
dengan mengalikan persamaan (112) dengan m 2 dan persamaan (113) dengan m 1 dan kemudian menguranginya, didapatkan persamaan :
m1m2 (
1
-
2)
= m2
1
e
e
i
i
- m1F2 + m2F12 + m1F21
dari persamaan (110), didapat
Untuk khasus khusus,
-
Atau
(119) 1
e
e
=F2 = 0
(120) (121)
Gaya luar yang bekerja pada objek
tersebut proposional dengan massanya, sehingga
persamaan (119) menjadi m1 m2
̈ ̈ 1
-
2)
= (m1 + m2) f
(122)
Oleh karena massa reduksi didefinisikan sebagai µ= dan
(123)
1
-
2,
maka persamaan (122) µr = f
(124) i
Merupakan persamaan gerak benda bermassa µ yang diberif gaya iternal f = F 21 sehingga menghasilkan percepatan (r) seperti pada persamaan (118).
Untuk menentukan momentum linier (P), anguler (L), dan total energi kinetik K dalam koordinat pusat massa (CM) maka ditinjau kembali kecepatan pusat massa yakni, (125) Dan kecepatan relatif (v) v=
̇ ̇ ̇ =
1
-
(126)
2
Sedangkan invers tranformasinya dinyatakan sebagai,
(127)
(128) Dengan demikian total momentum linier sistem yakni, P = m1
̇ ̇ ̇ 1
+ m2
2
= M (129)
Dan total momentum sudut sistem yakni,
̇ ̇ ̇ ̇ ̇ ̇
L = m1(r1 x Subtitusi untuk
1
1)
+ m2(r2 x
dan
L = M (R x
2 dari
) x µ (rx
2)
(130)
persamaan (127) dan (125), didapatkan 2)
(131)
Sedangkan untuk energi kinetiknya diberikan oleh persamaan K =
m r +m r 2 1 1
2 2
̇ ̇
Dengan mensubtitusikan
M ̇ + µ ̇ Atau K = M + µ ̇ 2
K =
2
2
1 dan
(132) 2
didapat
2
(133)
2
I. Tumbukan dalam Sistem Koordinat Pusat Massa
Sebelumnya telah dibahas tumbukan elastik dan tak elastik antar dua benda dari sudut pandang pengamat yang diam dalam sistem koordinat laboratorium (SKL). Pada banyak kasus, akan memudahkan apabila pengamatan dilakukan dalam dalam sistem koordinat yang bergerak terhadap SKL. Umumnya sistem koordinat yang digunakan adalah sistem koordinat pusat massa (SKPM), di mana tumbukan diamati oleh pengamat yang ada di pusat massa yang tentunya ikut bergerak dengan kecepatan yang sama dengan pusat massa. Misalkan sebuah partikel bermassa m 1 di x1 bergerak dengan kecepatan v 1i, sementara sebuah partikel bermassa m 2 di x2 diam seperti ditunjukkan gambar 11 pusat massa x c diberikan oleh (m1 + m2)xc = m1x1 + m2x2
(135)
Sementara kecepatan pusat massa diperoleh dari differensiasi persamaan 135 yaitu (m1 + m2)vc = m1x1 + m2x2
(136)
Dimana vc = dxc /dt, untuk situasi seperti yang ditunjukkan gambar 11, x 1=v1 dan x2=0, sehingga kecepatan pusat massa v c terhadap SKL diberikan oleh
vc
=
v
1i , dimana
µ adalah massa tereduksi.
(137)
Gambar 11. Kecepatan m 1 dan m2 dan pusat massanya dalam sistem koordinat lab (SKL).
m1
CM
m2 X
v1i
v2i = 0
Misalkan tumbukan antara m1 dan m2 diamati oleh pengamat yang berada dalam SKPM yang bergerak dengan kecepatan vc. Kecepatan m1 dan m2 terhadap SKPM adalah v’1i dan v’2i (tanda aksen menunjukkan bahwa besaran digambarkan dalam SKPM).
m1
CM
m2
x
O
v’1i = v1i- vc
v2i = - vc
Gambar 12. Gerak partikel m1 dan m2 pada sistem koordinat pusat massa (SKPM).
Gambar 12 menunjukkan gerak kedua partikel terhadap SKPM. Momentum tiap partikel sebelum tumbukan dalam SKPM adalah
Jadi momentum linier total dari sistem dalam SKPM sebelum tumbukan adalah
Bahwa momentum linier total sebelum tumbukan sama dengan nol merupakan salah satu sif at penting dari SKPM. Hal ini berakibat agar momentum liniear kekal, momentum linier total setelah tumbukan harus nol juga. Dipandang dari SKPM dua partikel bermassa m 1 dan m2 saling mendekat dalam garis lurus dan setelah tumbukan saling menjauh dalam garis lurus juga dengan kecepatan awal yang sama, seperti ditunjukkan dalam gambar 13(a). Garis yang menghubungkan kedua partikel yang saling menjauh dapat juga membentuk sudut θ c (dalam SKPM). Sebagai perbandingan, gambar 13(b) menunjukkan tumbukan yang diapandang dari SKL.
Y
(a)
m1 v1 O
m1
v1f θL
X
m2
ΦL
m2
V2f
(b)
m1v’1f = v1i - vc
Y m1
v’2i
X
m2
O v’1i = v1i - vc
m2 v’2f = vc
SEBELUM
SESUDAH
Gambar 13. Tumbukan antara dua partikel bermassa m1 dan m 2 yang dilihatdari (a) SKPM (b) SKL
Selanjutnya akan dibahas masalah bagaimana cara kembali dari SKPM ke SKL dan hubungan antara sudut yang dibuat oleh partikel setelah tumbukan dengan arah mula-mula baik dalam SKL maupun SKPM. Dalam SKPM, kecepatan akhir dan arah partikel setelah tumbukan ditunjukkan pada gambar 13(a). Untuk menentukan kecepatan akhir partikel dalam SKL, maka prosedur untuk berubah dari SKL ke SKPM dapat dibalik. Hal ini dapat dilakukan dengan menambahkan ke kecepatan akhir v’ 1f = (v1i – vc ) dan v’ 2f = v c, kecepatan pusat massa vc seperti ditunjukkan oleh gambar 14, dapat ditentukan hubungan θ L dan ΦL dalam SKL dan θ Ldalam SKPM. Dengan menguraikan ke dalam komponennya, persamaan (143) dapat dituliskan v1f cos θL = vc + v’1f cosθC
(145)
v1f sin θL v’1f sinθC
(146)
Y vc v’1f
θL
v1f
θc
O X
Dengan saling membagi akan diperoleh
= tan =
L
atau tan θL = Dimana γ
=
(147)
(148) (149)
Nilai dari vc dan v’1f diberikan oleh persamaan (137) dan (135). Dari persamaan (137)
vc =
v = v
1i
(150)
1i
Dimana µ adalah massa tereduksi dan v 1i adalah kecepatan relatif awal (= v1i – v2i = v1i – 0 =v1i). Kecepatan relatif akhir, v’ 1f (= v’ 1i), dari persamaan (138) sama dengan
v = v
v’1f =
1f
(151)
1f
Gabungan tiga persamaan tersebut (dan dengan memperhatikan bahwa kecepatan akhir sama dengan kecepatan awal dalam SKPM), diperoleh
γ
=
(152)
Untuk tumbukan tak lenting v1i ≠ v1f sehingga persamaan (145) menjadi
tan θL =
(153)
Untuk tumbukan lenting, v1i = v1f sehingga persamaan (153) menjadi
tan θL =
(154)
Ditinjau beberapa kasus khusus dari persamaan (154) untuk tumbukan lenting :
Kasus (a) : Jika m1 = m2, seperti dalam khusus tumbukan antara neutron dan proton, persamaan (154) dapat dituliskan sebagai
tan θ = =
L
sehingga θL =
= tan
(155) (156)
Karena dalam SKPM θc dapat memiliki nilai antara 0 dan π, maka θ L dapat memiliki
nilai maksimum . Kasus (b) : Jika m2 >m1, persamaan (154) dapat dituliskan sebagai
tan θL ≈
= tan c
sehingga θL ≈ θ C
(157) (158)
Kasus (c) : Jika m 1 > m2, partikel yang menumbuk lebih berat dibandingkan partikel sasaran.
Dalam kasus ini, θL harus sangat kecil, tidak peduli berapa nilai θ c.Hal ini bersesuaian dengan persamaan (90) yang menyatakan bahwa θ L tidak dapat lebih besar nilainya dibandingkan dengan nilai maksimum θmaks.