LAPORAN PENDAHULUAN TUBERCULOSIS MDR
I. PENG PENGER ERTI TIAN AN Tube Tuberk rkul ulosi osiss adal adalah ah peny penyak akit it infek infeksi si menu menula larr yang yang dise diseba babk bkan an oleh oleh kuma kuman n Mycobakterium Tuberculosis. TB Paru merupakan merupakan penyakt penyakt infeksi yang menyerang menyerang paru-paru yang disebabkan disebabkan oleh Mycoba Mycobakte kteriu rium m Tuberk Tuberkulo ulosis, sis, namun namun tidak tidak menutu menutup p kemung kemungkin kinan an penyak penyakit it ini bisa bisa menyerang organ tubuh lain seperti otak, ginjal, tulang, dll (TB Ekstra Paru). MDR / Resisten Resistensi si Ganda Ganda adalah: adalah: M. tucerkulosis yang resisten minimal terhadap Rifampisin dan INH secara bersamaan dengan atau tanpa OAT lainnya.
Terdapat lima jenis kategori resistensi terhadap obat TB : Mono-resistance : kebal terhadap salah satu OAT 1. Mono-resistance Poly-resistance : kebal terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid dan 2. Poly-resistance
rifampisin. 3. Multidrug-resistance Multidrug-resistance (MDR) : kebal terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan rifampicin secara bersamaan. 4. Extensive drug-resistance drug-resistance (XDR ) : TB- MDR ditambah kekebalan terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin) 5. Total drug resisten ( Total DR ) : Kekebalan terhadap semua OAT ( lini pertama dan kedua ) yang sudah dipakai saat ini.
II. ETIOLO ETIOLOGI GI Kuman Mycobacterium TB yang resisten terhadap sekurang-kurangnya Isoniasid dan Rifampisin secara bersamaan dengan atau tanpa OAT OAT lini pertama yang lain, misalnya resisten HR,HRE,HRES.
Kriteria Suspek TB MDR Suspek Suspek TB MDR adalah semua orang orang yang mempunya mempunyaii gejala TB dengan dengan salah satu atau lebih kriteria suspek dibawah ini: 1. Pasien TB pengob pengobatan atan kategor kategorii 2 yang yang gagal gagal (Kasus (Kasus kronik kronik)) 2. Pasien TB pengob pengobatan atan kategor kategorii 2 yang tidak konversi konversi 3. Pasien TB y
ernah diobati diobati pengob pengobatan atan TB TB Non DOTS
4. Pasien Pasien TB TB gagal gagal peng pengoba obatan tan kate kategor gorii 1 5. Pasien TB TB pengobatan pengobatan kategor kategorii 1 yang tidak tidak konversi konversi setelah setelah pemberian pemberian sisipan sisipan.. 6. Pasi Pasien en TB kamb kambuh uh 7. Pasien Pasien TB TB yang yang kembal kembalii setelah setelah lalai/ lalai/def defaul aultt 8. Suspek Suspek TB yang yang konta kontak k erat denga dengan n pasien pasien TB-MDR TB-MDR 9. Pasi Pasien en koi koinf nfek eksi si TB TB dan dan HIV HIV
III. III. MEKANI MEKANISME SME TB TB MDR Mult Multid idru rug g resis resista tant nt tube tubercu rculo losi siss (MDR (MDR Tb) Tb) adala adalah h Tb yang yang dise diseba babk bkan an oleh oleh Mycobacterium Tuberculosis resisten secara in vitro terhadap isoniazid (H) dan rifampisin (R) dengan atau tanpa resisten obat lainnya. Terdapat 2 jenis kasus resistensi obat yaitu kasu kasuss baru baru dan dan kasu kasuss tela telah h diob diobat atii sebel sebelum umny nya. a. Kasu Kasuss baru baru resis resiste ten n obat obat Tb yait yaitu u terdapatnya galur M. Tb resisten pada pasien baru didiagnosis Tb dan sebelumnya tidak pernah diobati obat antituberkulosis (OAT) atau durasi terapi kurang 1 bulan. Pasien ini terinfeksi galur M. Tb yang telah resisten obat disebut dengan resistensi primer. Kasus resisten OAT yang telah diobati sebelumnya yaitu terdapatnya galur M. Tb resisten pada pasien selama mendapatkan terapi Tb sedikitnya 1 bulan. Kasus ini awalnya terinfeksi galur M Tb yang masih sensitif obat tetapi selama perjalanan terapi timbul resistensi obat atau disebut dengan resistensi sekunder (acquired). Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetik dan hal ini membuat obat obat tida tidak k efek efekti tiff melaw melawan an basi basill muta mutan. n. Muta Mutasi si terj terjad adii spon sponta tan n dan dan berd berdir irii sendi sendiri ri menghasilkan resistensi OAT. Sewaktu terapi OAT diberikan galur M. Tb wild type tidak terpajan. Diantara populasi M. Tb wild type ditemukan sebagian kecil mutasi resisten OAT. Resisten lebih 1 OAT jarang disebabkan genetik dan biasanya merupakan hasil penggunaan obat yang tidak adekuat. Sebelum penggunaan OAT sebaiknya dipastikan M. Tb sensitif terhadap OAT yang akan diberikan. Sewaktu penggunaan OAT sebelumnya individu telah terinfeksi dalam jumlah besar populasi M. Tb berisi organisms resisten obat. Populasi galur M. Tb resisten mutan dalam jumlah kecil dapat dengan mudah diobati. Terapi Tb yang tidak adekuat adekuat menyebabk menyebabkan an proliferasi proliferasi dan meningkatkan meningkatkan populasi populasi galur resisten obat. Kemoterapi jangka pendek pendek pasien resistensi obat menyebabk menyebabkan an galur lebih resisten terhadap obat yang digunakan atau sebagai efek penguat resistensi. Penularan galur galur resisten resisten obat obat pada pada popula populasi si juga juga merup merupaka akan n sumber sumber kasus kasus resisten resistensi si obat obat baru. baru. Meningkatnya koinfeksi Tb HIV menyebabkan progresi awal infeksi MDR Tb menjadi penyakit dan peningkatan penularan MDR Tb. Tb.
IV. MEKANISME KLINIS Gejala Respiratorik : 1. Batuk kering yang berangsur-angsur menjadi produktif lebih dari 3 minggu, kadangkadang bercampur dengan dahak 2. Sesak napas dan nyeri dada Gejala Sistemik : 1. Demam terutama dimalam hari 2. Berkeringat dingin malam hari tanpa aktivitas atau sebab yang jelas 3. Penurunan napsu makan 4. Penurunan berat badan
V. PATOFISIOLOGI Sumber penularan
M. Tuberkulosis Saluran Pernafasan (Droplet Nuclei, Airbone Infection) Jaringan paru dan Alveoli
Kekebalan Spesifik terhadap MTB
Penyebaran Endogen (10%)
Sembuh (90%)
Ghon Fokus (kuman dorman)
TB primer
Peningkatan suhu tubuh/ demam
TB P as ca p ri me r
MK: Gangguan Termoregulasi
Ke ra da nga n e nd oge n/ r ea kt iva si Keradangan Eksoden/ reinfeksi
Sintesa dan pelepasan zat pyrogen Hipotalamus
Infiltrasi sel-sel radang (PMN, MN, cell mast, limfosit T) Inflamasi/ reaksi radang (rubor, kalor, dolor, tumor, fungsiolasia) Penyebaran scr Bronchogen Proses destruktif paru Lesi parenkim paru (infiltrat,fibroinfiltrat/ fibrosis, konsolidasi eksudatif, tuberculoma, kavitas)
Penyebaran Limfohematogen Eksudasi cairan, deposit fibrin, infiltrasi leukosit PMN
Pembesaran kelenjar limfe (hilus, trakea, leher)
Basil TB meluas
Penekanan sal. Nafas/ bronkus (restriksi/obstruksi)
Menembus vena pulmonalis
Penebalan alveolar capilari membran
Gas tidak dapat berdifusi dgn baik
Basil masuk sistem vaskuler Batuk
Ekskavasi+ulserasi dinding kavitas Pecahnya aneurisma rasmussen
Kerusakan Parenkim paru
Sesak
MK: Gangguan pertukaran gas
Menginfeksi organ selain paru MK: Gangguan pola istirahat tidur, kelelahan
Penurunan complience paru Penurunan ekspansi paru
Batuk darah
Pleuritis dan penebalan pleura fiseralis/parietalis
TB ekstra pulmoner
Gesekan pleura dgn dinding paru/dinding dada Sesak
MK: Potensial Sumbatan Nafas Cemas Syok hipovolemik
Nyeri pleuritik MK: Pola nafas tidak efektif MK: Gangguan rasa nyaman nyeri
Penurunan kapasitas ventilas
Sembuh
Pengobatan
TB Paru
Gagal Pengobatan (9 kriteria suspek)
Penurunan suplai O2 tubuh
Suspek TB MDR Pemeriksaan DST Positif MDR
Peningkatan kebutuhan O2 jaringan Pengobatan Ketidakseimbangan antara suplai O2 dgn kebutuhan MK: Intoleransi aktivitas Gangguan ADL Anoreksia
MK: Resiko terjadinya efek samping obat Resiko penyebaran infeksi Kecemasan Gangguan konsep diri
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Radiologi :
Gambaran thorax menunjukkan adanya lesi berupa infiltrat, fibroinfiltrat/ fibrosis, konsolidasi/ kalsivikasi, tuberkuloma, dan kavitas. 2. Bronchografi :
Merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan bronchus atau kerusakan paru karena TB. 3. Laboratorium : •
Darah : leukositosis/ leukopenia, LED meningkat
•
Sputum : BTA S/P/S, kultur sputum gram sensitivity, sputum media LJ, DST, GeneXpert
•
Test Tuberkulin : Mantoux test (indurasi lebih dari 10-15 mm)
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Radiologi :
Gambaran thorax menunjukkan adanya lesi berupa infiltrat, fibroinfiltrat/ fibrosis, konsolidasi/ kalsivikasi, tuberkuloma, dan kavitas. 2. Bronchografi :
Merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan bronchus atau kerusakan paru karena TB. 3. Laboratorium : •
Darah : leukositosis/ leukopenia, LED meningkat
•
Sputum : BTA S/P/S, kultur sputum gram sensitivity, sputum media LJ, DST, GeneXpert
•
Test Tuberkulin : Mantoux test (indurasi lebih dari 10-15 mm)
Saat ini uji kepekaan M.tuberculosis secara tepat ( rapid test ) sudah direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai penampisan. Metode yang tersedia adalah: a. Line probe assey ( LPA ) •
Pemeriksaan molekuler yang di dasarkan pada PCA
•
Dikenal dengan Hain test/ Genotiype MDRTB plus
•
Hasil pemeriksaan dapat di peroleh dalam waktu kurang lebih 24 jam
•
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar dari M.tuberculosiss yang resisten terhadap rifampisi ( R ) ternyata juga resisten terhadap isoniasis ( H ) sehingga tergolong MDR
b. Gene Xpert Hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam waktu kurang lebih 1-2 jam
VII. PENATALAKSANAAN Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB MDR mengacu kepada strategi DOTS. 1.
Semua pasien yang sudah terbukti sebagai TB MDR dipastikan dapat mengakses pengobatan TB MDR yang baku dan bermutu.
2.
Paduan OAT untuk pasien TB MDR adalah paduan standar yang mengandung OAT lini kedua. Paduan OAT tersebut dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji kepekaan M. tuberculosis dengan paduan baru yang ditetapkan oleh TAK.
Bila diagnosis TB MDR telah ditegakkan, sebelum pengobatan dimulai, akan dlakukan persiapan awal, termasuk pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk mengetahui data awal berbagai fungsi organ (ginjal, hati, jantung) dan elekrolit. Jenis pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah sama dengan jenis pemeriksaan untuk pemantauan efek samping obat. Persiapan sebelum pengobatan dimulai adalah: 1. Pemeriksaan fisik: a. Anamnesa ulang untuk memastikan kemungkinan adanya riwayat dan kecenderungan alergi obat tertentu, riwayat penyakit terdahulu seperti sakit kuning (hepatitis), diabetes mellitus, gangguan ginjal, gangguan kejiwaan, kejang, kesemutan sebagai gejala kelainan saraf tepi (neuropati perifer). dll.. b. Pemeriksaan fisik diagnostik termasuk berat badan, fungsi penglihatan, pendengaran, tanda-tanda kehamilan. Bila perlu dibandingkan dengan pemeriksaan sebelumnya saat pasien berstatus sebagai suspek TB MDR. 2. Pemeriksaan kejiwaan. Pastikan kondisi kejiwaan pasien sebelum pengobatan TB MDR dimulai, hal ini berguna untuk menetapkan strategi konseling yang harus dilaksanakan sebelum, selama dan setelah pengobatan pasien selesai. 3. Pemeriksaan penunjang : a. Pemeriksaan dahak mikroskopis, biakan dan uji kepekaan M.tuberculosis. b. Pemeriksaan darah tepi lengkap, termasuk kadar hemoglobin (Hb), jumlah lekosit. c. Pemeriksaan kimia darah:
Faal ginjal: ureum, kreatinin
Faal hati: SGOT, SGPT.
Serum kalium
Asam Urat
Gula Darah
d. Pemeriksaan hormon bila diperlukan: Tiroid stimulating hormon (TSH) e. Tes kehamilan. f. Foto dada/ toraks. g. Tes pendengaran ( pemeriksanaan audiometri) h. Pemeriksaan EKG
i.
Tes HIV (bila status HIV belum diketahui)
Pengkajian (Doegoes, 1999) 1. Aktivitas /Istirahat -
Kelemahan umum dan kelelahan.
-
Napas pendek dgn. Pengerahan tenaga.
-
Sulit tidur gn. Demam/kerungat malam.
-
Mimpi buruk.
-
Takikardia, takipnea/dispnea.
-
Kelemahan otot, nyeri dan kaku.
2. Integritas Ego : -
Perasaan tak berdaya/putus asa.
-
Faktor stress : baru/lama.
-
Perasaan butuh pertolongan
-
Denial.
-
Cemas, iritable.
3. Makanan/Cairan : -
Kehilangan napsu makan.
-
Ketidaksanggupan mencerna.
-
Kehilangan BB.
-
Turgor kulit buruk, kering, kelemahan otot, lemak subkutan tipis.
4. Nyaman/nyeri : -
Nyeri dada saat batuk.
-
Memegang area yang sakit.
-
Perilaku distraksi.
5. Pernapasan : -
Batuk (produktif/non produktif)
-
Napas pendek.
-
Riwayat tuberkulosis
-
Peningkatan jumlah pernapasan.
-
Gerakan pernapasan asimetri.
-
Perkusi : Dullness, penurunan fremitus pleura terisi cairan). S
R
khi
-
Spuntum : hijau/purulen, kekuningan, pink.
6. Kemanan/Keselamatan : -
Adanya kondisi imunosupresi : kanker, AIDS, HIV positip.
-
Demam pada kondisi akut.
7. Interaksi Sosial : -
Perasaan terisolasi/ditolak.
Diagnosa Keperawatan 1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental/darah. 2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolar-kapiler. 3. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan produksi spuntum/batuk, dyspnea atau anoreksia 4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer, penurunan geraan silia, stasis dari sekresi. 5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, terapi dan pencegahan berhubungan dengan infornmasi kurang / tidak akurat.
Intervensi Diagnosa Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental/darah. Tujuan : Kebersihan jalan napas efektif. Kriteria hasil :
Mencari posisi yang nyaman yang memudahkan peningkatan pertukaran udara.
Mendemontrasikan batuk efektif.
Menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi.
Rencana Tindakan : 1. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan. R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik. 2. Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk. R/ Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan frustasi.
3. Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin. R/ Memungkinkan ekspansi paru lebih luas. 4. Lakukan pernapasan diafragma. R/ Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan ventilasi alveolar. 5. Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut. Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat. R/ Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran sekresi sekret. 6. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk. R/ Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien. 7. Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi. R/ Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus, yang mengarah pada atelektasis. 8. Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk. R/ Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut. 9. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi. Pemberian expectoran. Pemberian antibiotika. Konsul photo toraks. R/ Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya. Diagnosa Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolarkapiler. Tujuan : Pertukaran gas efektif. Kriteria hasil :
Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif.
Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.
Rencana tindakan : 1. Berikan posisi yan
an, bi
denga
inggian kepala tempat tidur. Balik ke
sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin. R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit. 2. Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tandatanda vital. R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia. 3. Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan. R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik. 4. Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru. R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik. 5. Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam. R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas. 6. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi. Pemberian antibiotika. Pemeriksaan sputum dan kultur sputum. Konsul photo toraks. R/Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
Diagnosa Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan produksi spuntum/batuk, dyspnea atau anoreksia Tujuan : Kebutuhan nutrisi adekuat Kriteria hasil :
Menyebutkan makanan mana yang tinggi protein dan kalori
Menu makanan yang disajikan habis
Peningkatan berat badan tanpa peningkatan edema
Rencana tindakan
1. Diskusikan penyebab anoreksia, dispnea dan mual. R/ Dengan membantu klien memahami kondisi dapat menurunkan ansietas dan dapat membantu memperbaiki kepatuhan teraupetik. 2. Ajarkan dan bantu klien untuk istirahat sebelum makan. R/ Keletihan berlanjut menurunkan keinginan untuk makan. 3. Tawarkan makan sedikit tapi sering (enam kali sehari plus tambahan). R/ Peningkatan tekanan intra abdomen dapat menurunkan/menekan saluran GI dan menurunkan kapasitas. 4. Pembatasan cairan pada makanan dan menghindari cairan 1 jam sebelum dan sesudah makan. R/ cairan dapat lebih pada lambung, menurunkan napsu makan dan masukan. 5. Atur makanan dengan protein/kalori tinggi yang disajikan pada waktu klien merasa paling suka untuk memakannya. R/ Ini meningkatkan kemungkinan klien mengkonsumsi jumlah protein dan kalori adekuat. 6. Jelaskan kebutuhan peningkatan masukan makanan tinggi elemen berikut a. Vitamin B12 (telur, daging ayam, kerang). b. Asam folat (sayur berdaun hijau, kacang-kacangan, daging). c. Thiamine (kacang-kacang, buncis, oranges). d. Zat besi (jeroan, buah yang dikeringkan, sayuran hijau, kacang segar). R/ Masukan vitamin harus ditingkatkan untuk mengkompensasi penurunan metabolisme dan penyimpanan vitamin karena kerusakan jarinagn hepar. 7. Konsul dengan dokter/ahli gizi bila klien tidak mengkonsumsi nutrien yang cukup. R/ Kemungkinan diperlukan suplemen tinggi protein, nutrisi parenteral,total, atau makanan per sonde.
DAFTAR PUSTAKA
Marilyn, Doengoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta. Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. EGC: Jakarta. Mansjoer dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. FK UI: Jakarta. Price, Sylvia Anderson. 1999. Patofisiologis: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, alih bahasa Peter Anugrah. EGC: Jakarta. Alsagaff, Hood dan Mukti, Abdul. 1995. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. UNAIR press: Surabaya.
A.
Penetapan Pasien TB MDR Yang Akan Diobati.
Penetapan pasien TB MDR yang akan diobati dilaksanakan oleh Tim Ahli Klinis di Fasyankes Rujukan PMDT.
Tabel 2 : Kriteria untuk penetapan pasien TB MDR yang akan diobati. Kriteria 1. Kasus TB MDR
Keterangan 1. Hasil Uji kepekaan oleh laboratorium yang
tersertifikasi menunjukkan TB MDR 2. Suspek TB MDR no. 1, 3, 6 dengan hasil Rapid Test yang direkomendasikan program terbukti TB MDR 3. Suspek TB MDR dengan kondisi klinis buruk (di luar kriteria suspek TB MDR 1,3,6) terbukti TB MDR
berdasarkan
hasil Rapid
Test yang
direkomendasikan program 2. Penduduk dengan alamat yang Dinyatakan dengan KTP atau dokumen pendukung jelas dan mempunyai akses
lain dari otoritas setempat
serta bersedia untuk datang setiap hari ke fasyankes PMDT 3. Bersedia menjalani program pengobatan
Pasien dan keluarga menandatangani informed TB-
consent setelah mendapat penjelasan yang cukup
MDR dengan menandatangani dari TAK informed consent 4. Berumur lebih dari 15 tahun
Diketahui dari Kartu keluarga atau KTP
Tabel 3 : Pasien TB MDR dengan kondisi khusus
1. Penyakit penyerta yang berat Kondisi berat karena penyakit utama atas dasar (ginjal,
hati,
epilepsi
psikosis) 2. Kelainan fungsi hati
dan riwayat dan pemeriksaan lab Kenaikan SGOT/SGPT > 3 kali nilai normal atau terbukti menderita penyakit hati kronis
3. Kelainan fungsi ginjal 4. Ibu Hamil
kadar kreatinin > 2.2 mg/dl Wanita dalam keadaan hamil
Penetapan untuk mulai pengobatan pada pasien TB MDR dengan kondisi khusus diputuskan oleh TAK. TAK dapat berkonsultasi dengan Tim PMDT Nasional.
B.
Pengobatan TB MDR
1. OAT untuk pengobatan TB MDR.
Pengobatan pasien TB MDR menggunakan paduan OAT yang terdiri dari OAT lini pertama dan lini kedua, yang dibagi dalam 5 kelompok berdasar potensi dan efikasinya, yaitu :
Tabel 4: Pengelompokan OAT Golongan Golongan-1
Golongan-2
Golongan-3
Golongan-4
Golongan-5
Jenis Obat Lini Pertama
Obat
Obat suntik lini kedua
Isoniazid (H)
Pirazinamid (Z)
Rifampisin (R)
Streptomisin (S)
Etambutol (E)
Kanamisin (Km)
Amikasin (Am)
Golongan
Kapreomisin (Cm) Levofloksasin (Lfx)
Floroquinolone
Moksifloksasin (Mfx)
Terizidon (Trd)
Para amino salisilat
Obat bakteriostatik lini
Ofloksasin (Ofx) Etionamid (Eto)
kedua
Protionamid (Pto)
Obat yang belum terbukti
Sikloserin (Cs) Clofazimin (Cfz)
efikasinya
Linezolid (Lzd)
Amoksilin/ Asam
dan
direkomendasikan
tidak oleh
WHO
3.
Paduan obat TB MDR di Indonesia
Klavulanat (Amx/Clv)
(PAS)
Clarithromisin (Clr)
Imipenem (Ipm).
Pilihan paduan OAT TB MDR saat ini adalah paduan terstandar, yang pada permulaan pengobatan akan diberikan sama kepada semua pasien TB MDR (standardized treatment ). Adapun paduan yang akan diberikan adalah : Km – Eto – Lfx – Cs – Z-(E) / Eto – Lfx – Cs – Z-
a. Paduan ini diberikan pada pasien yang sudahterkonfirmasi TB MDR secara laboratoris. b. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Apabila hasil pemeriksaan biakan bulan ke-8 belum terjadi konversi maka disebut gagal pengobatan. Tahap lanjutan adalah pemberian paduan OAT tanpa suntikan setelah menyelesaikan tahap awal. c. Etambutol tidak diberikan jika terbukti sudah resisten. d. Paduan OAT akan disesuaikan paduan atau dosis pada:
Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid Test , setelah ada konfirmasi hasil uji resistensi M.tuberculosis dengan cara konvensional, paduan OAT akan disesuaikan.
Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut di atas sebelumnya sehingga dicurigai telah ada resistensi, misalnya : pasien sudah pernah mendapat kuinolon pada pengobatan TB sebelumnya, maka diberikan levofloksasin dosis tinggi. Apabila sudah terbukti resisten terhadap levofloksasin maka paduan pengobatan ditambah PAS dan levofloxacin diganti dengan moksifloksasin, hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan dan persetujuan dari tim ahli klinis atau tim ad hoc.
Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang sudah dapat diidentifikasi sebagai penyebabnya.
Terjadi perburukan keadaan klinis, sebelum maupun setelah konversi biakan. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah kondisi umum, batuk, produksi dahak, demam, penurunan berat badan.
e. Penentuan perpindahan ke tahap lanjutan ditentukan oleh tim ahli klinis. f. Jika terbukti resisten terhadap kanamisin, maka paduan standar disesuaikan sebagai berikut:
Cm – Lfx – Eto –Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)
g. Jika terbukti resisten terhadap kuinolon, maka paduan standar disesuaikan sebagai berikut: Km – Mfx – Eto –Cs – PAS – Z – (E) / Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E)
Jika moxifloksasin tidak tersedia maka dapat digunakan levofloksasin dengan dosis tinggi. Dilakukan pemantauan ketat keadaan jantung dan waspada terhadap kemungkinan tendinitis/ ruptur tendon bila menggunakan levofloksasin dosis tinggi. h. Jika terbukti resisten terhadap kanamisin dan kuinolon (TB XDR), atau pasien TB-MDR/ HIV memerlukan penatalaksanaan khusus yang akan dibahas dalam bab VII.
4.
Pemberian obat
a. Pada fase awal : Obat per oral ditelan setiap hari (7 hari dalam 1 minggu), Suntikan diberikan 5 (lima) hari dalam seminggu (senin – jumat) b. Pada fase lanjutan : Obat per oral ditelan selama 6 (enam) hari dalam seminggu (hari minggu pasien tidak minum obat) c. Obat suntikan harus diberikan oleh petugas kesehatan. d. Pemberian obat oral selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan menganut prinsip DOT = Directly Observed Treatment , dengan PMO diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kader kesehatan terlatih. e. Piridoxin (vit. B6) ditambahkan pada pasien yang mendapat sikloserin, dengan dosis 50 mg untuk setiap 250 mg sikloserin. f. Berdasar sifat farmakokinetiknya pirazinamid, etambutol dan fluoroquinolon diberikan sebagai dosis tunggal. Sedang etionamid, sikloserin dan PAS dapat diberikan sebagai dosis terbagi untuk mengurangi efek samping.
5.
Dosis OAT
a. Dosis OAT ditetapkan oleh TAK dan diberikan berdasarkan berat badan pasien. Penentuan dosis dapat dilihat tabel 5. b. Obat TB MDR akan disediakan dalam bentuk paket (disiapkan oleh petugas farmasi fasyankes Pusat Rujukan PMDT untuk 1 bulan mulai dari awal sampai akhir pengobatan sesuai dosis yang telah dihitung oleh Tim Ahli Klinis. Jika pasien diobati di fasyankes Pusat Rujukan PMDT maka paket obat yang sudah disiapkan untuk 1 bulan tersebut akan di simpan di Poli DOTS Plus fasyankes Pusat Rujukan PMDT. c. Jika pasien meneruskan pengobatan di fasyankes sub rujukan/ satelit PMDT maka paket obat akan diambil oleh petugas farmasi fasyankes sub rujukan/ satelit PMDT dari unit farmasi fasyankes Pusat Rujukan PMDT setiap 3 bulan sesuai ketentuan yang berlaku. Pasien tidak diijinkan untuk menyimpan obat. d. Perhitungan dosis OAT dapat dilihat pada tabel 5 dibawah ini.
Tabel 5: Perhitungan dosis OAT MDR OAT
Berat Badan (BB) < 33 kg
33-50 kg
51-70 kg
>70 kg
Pirazinamid
20-30 mg/kg/hari
750-1500 mg
1500-1750 mg
1750-2000 mg
Kanamisin
15-20 mg/kg/hari
500-750 mg
1000 mg
1000 mg
Etambutol Kapreomisin Levoflosasin Moksifloksasin Sikloserin Etionamid PAS
20-30 mg/kg/hari 15-20mg/kg/hari 7,5-10 mg/kg/hari 7,5-10 mg/kg/hari 15-20 mg/kg/hari 15-20 mg/kg/hari 150 mg/kg/hari
800-1200 mg 500-750 mg 750 mg 400 mg 500 mg 500 mg 8g
1200-1600 mg 1000 mg 750 mg 400 mg 750 mg 750 mg 8g
1600-2000 mg 1000 mg 750-1000 mg 400 mg 750-1000 mg 750-1000 mg 8g
6.
Pengobatan ajuvan pada TB MDR
Pengobatan ajuvan akan diberikan bilamana dipandang perlu: a. Nutrisi tambahan :
Pengobatan TB MDR pada pasien dengan status gizi kurang, keberhasilan pengobatannya cenderung meningkat jika diberikan nutrisi tambahan berupa protein, vitamin dan mineral (vit A, Zn, Fe, Ca, dll).
Pemberian mineral tidak boleh bersamaan dengan fluorokuinolon karena akan mengganggu absorbsi obat, pemberian masing – masing obat dengan jarak paling sedikit 2 jam sebelum atau sesudah pemberian fluorokuinolon.
b. Kortikosteroid.
Kortikosteroid diberikan pada pasien TB MDR dengan gangguan respirasi berat, gangguan susunan saraf pusat atau perikarditis. Kortikosteroid yang digunakan adalah Prednison 1 mg/kg, apabila digunakan dalam jangka waktu lama (5-6 minggu) maka dosis diturunkan secara bertahap (tappering off). Kortikosteroid juga digunakan pada pasien dengan penyakit obstruksi kronik eksaserbasi.
C.
Tahapan Pengobatan TB MDR
a. Tahap awal
Tahap awal adalah tahap pengobatan dengan menggunakan obat suntikan (kanamisin atau kapreomisin) yang diberikan sekurang-kurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.
1. Tahap rawat inap di Rumah Sakit
TAK menetapkan pasien perlu rawat inap atau tidak. Bila memang diperlukan, rawat inap akan dilaksanakan maksimal 2 minggu dengan tujuan untuk mengamati efek samping obat dan KIE yang intensif.Pada pasien yang menjalani rawat inap, TAK menenentuan kelayakan rawat jalan berdasarkan:
Tidak ditemukan efek samping pengobatan atau efek samping yang terjadi dapat ditangani dengan baik.
Keadaan umum pasien cukup baik.
Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan jadwal suntikan sesuai dengan pedoman pengobatan TB MDR.
Penentuan tempat pengobatan
Sebelum pasien memulai rawat jalan, TAK menetapkan fasyankes untuk meneruskan pengobatan. Bila rawat jalan akan dilaksanakan di fasyankes satelit/sub rujukan PMDT, TAK membuat surat pengantar ke fasyankes tujuan.
Catatan: Harus diusahakan desentralisasi pengobatan pasien TB MDR ke fasyankes satelit, karena bila PMDT telah berjalan sebagai kegiatan rutin, fasyankes Pusat Rujukan PMDT tidak akan dapat melayani pasien dengan optimal setiap hari dalam jumlah banyak, karena keterbatasan tempat, waktu dan sumber daya.
2. Tahap rawat jalan
Selama tahap awal baik obat suntikan dan obat minum diberikan oleh petugas kesehatan di hadapan PMO kepada pasien. Pada tahap rawat jalan obat oral ditelan dihadapan petugas kesehatan/ kader kesehatan yang berfungsi sebagai PMO.
a) Pasien mendapat obat oral setiap hari, 7 hari seminggu (Senin s/d Minggu). Suntikan diberikan 5 hari dalam seminggu (Senin sd Jum’at). Pasien menelan obat di hadapan petugas kesehatan/PMO. b) Seminggu sekali pasien diupayakan bertemu dokter di fasyankes untuk berkonsultasi dan pemeriksaan fisik. c) Pasien yang diobati di Fasyankes satelit akan berkonsultasi dengan dokter di fasilitas rujukan minimal sekali dalam sebulan (jadwal kedatangan disesuaikan dengan jadwal pemeriksaan dahak atau pemeriksaan laboratorium lain). d) Dokter fasyankes satelit memastikan:
Pasien dirujuk ke rumah sakit rujukan TB MDR untuk pemeriksaan dahak follow up sekali setiap bulan. Tim PMDT fasyankes rujukan akan mengirim sampel dahak ke laboratorium rujukan. Pasien mungkin juga dirujuk ke laboratorium penunjang untuk pemeriksaan rutin lain yang diperlukan.
Upayakan agar spesimen dahak atau pemeriksaan lain diambil diambil di poli TB MDR untuk lebih mempermudah pasien dan mengurangi risiko penularan.
Mencatat perjalanan penyakit pasien dan melaporkan kepada TAK di pusat rujukan bila ada keadaan/kejadian khusus.
b.Tahap lanjutan
1. Tahap lanjutan adalah tahap pengobatan setelah selesai pengobatan tahap awal dan pemberian suntikan dihentikan. 2. Konsultasi dengan dokter dilakukan minimal sekali setiap bulan. 3. Pasien yang berobat di fasyankes satelit akan mengunjungi fasyankes Pusat Rujukan PMDT setiap 2 bulan untuk berkonsultasi dengan dokter (sesuai dengan jadwal pemeriksaan dahak dan biakan). 4. Obat tetap disimpan fasyankes, pasien minum obat setiap hari dibawah pengawasan petugas kesehatan yang bertindak sebagai PMO. 5. Indikasi perpanjangan pengobatan sampai dengan 24 bulan berdasar adanya kasus kronik dengan kerusakan paru yang luas.
Lama pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan paling sedikit 18 bulan setelah terjadi konversi biakan
D.
Penanganan Efek Samping
Pemantauan terjadinya efek samping sangat penting pada pengobatan pasien TB MDR, karena dalam paduan OAT MDR terdapat OAT lini kedua yang memiliki efek samping yang lebih banyak dibandingkan dengan OAT lini pertama.
Semua OAT yang digunakan untuk pengobatan pasien TB MDR mempunyai kemungkinan untuk timbul efek samping baik ringan, sedang, maupun berat. Bila muncul efek samping pengobatan, kemungkinan pasien akan menghentikan pengobatan tanpa memberitahukan TAK/petugas fasyankes (default), sehingga KIE mengenai gejala efek samping pengobatan
harus dilakukan sebelum pasien memulai pengobatan TB MDR. Selain itu penanganan efek samping yang baik dan adekuat adalah kunci keberhasilan pengobatan TB MDR.
a.
Pemantauan
efek
samping
selama
pengobatan. 1.
Deteksi dini efek samping selama pengobatan sangat penting, karena semakin cepat ditemukan dan ditangani maka prognosis akan lebih baik, untuk itu pemantauan efek samping pengobatan harus dilakukan setiap hari.
2.
Efek samping OAT berhubungan dengan dosis yang diberikan.
3.
Gejala efek samping pengobatan harus diketahui petugas kesehatan yang menangani pasien, dan juga oleh pasien dan keluarga.
4.
Semua efek samping pengobatan yang dialami pasien harus tercatat dalam formulir efek samping pengobatan.
b.
Tempat penatalaksanaan efek samping 1.
Fasyankes pelaksana PMDT menjadi tempat penatalaksanaan efek samping pengobatan, tergantung pada berat atau ringannya gejala.
2.
Dokter fasyankes satelit PMDT akan menangani efek samping ringan sampai sedang; serta melaporkannya ke fasyankes rujukan.
3.
Pasien dengan efek samping berat dan pasien yang tidak menunjukkan perbaikan setelah penanganan efek samping ringan atau sedang harus segera dirujuk ke fasyankes pusat rujukan/ sub rujukan PMDT.