LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS
Oleh: NI MADE AYU SUKMA WIDYANDARI 1602522016
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2018
I.
KONSEP DASAR PENYAKIT
A. DEFINISI Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ket elinga tengah melalui tubaeustachius (Kusuma, Hardi & Amin Huda Nurarif, 2013).
Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah stadium dari penyakit telinga tengah dimana terjadi peradangan kronis dari telinga tengah, mastoid dan membran timpani tidak intak (perforasi) dan ditemukan sekret (otorea), purulen yang hilang timbul. Istilah kronik digunakan apabila penyakit ini hilang timbul atau menetap selama 2 bulan atau lebih (Fung, K, 2004). OMSK adalah infeksi di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus-menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah (Efiaty, 2007).
B. EPIDEMIOLIGI
Prevalensi OMSK pada beberapa negara antara lain disebabkan, kondisi sosial, ekonomi, suku, tempat tinggal yang padat, higiene dan nutrisi yang jelek. Kebanyakan melaporkan prevalensi OMSK pada anak termasuk anak yang mempunyai kolesteatom, tetapi tidak mempunyai data yang tepat, apalagi insiden OMSK saja, tidak ada data yang tersedia. Otitis media kronis merupakan penyakit THT yang paling banyak di negara sedang berkembang. Di negara maju seperti Inggris sekitar 0, 9% dan di Israel hanya 0, 0039%. Di negara berkembang dan negara maju prevalensi OMSK berkisar antara 1-46%, dengan prevalensi tertinggi terjadi pada populasi di Eskimo (12-46%), sedangkan prevalensi terendah terdapat pada populasi di Amerika dan Inggeris kurang dari 1% (Lasminingrum L, 2000).
C. ETIOLOGI
Kejadian OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius. Fungsi tuba Eustachius yang abnormal merupakan faktor predisposisi yang dijumpai pada
anak dengan cleft palate dan down’s syndrom. Faktor host yang berkaitan dengan insiden OMSK yang relatif tinggi adalah defisiensi immun sistemik. Penyebab OMSK antara lain: 1. Lingkungan Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi mempunyai hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosioekonomi, dimana kelompok sosioekonomi rendah memiliki insiden yang lebih tinggi. Tetapi sudah hampir dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet, tempat tinggal yang padat. 2. Genetik Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden OMSK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder. 3. Otitis media sebelumnya Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis media akut dan atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang menyebabkan satu telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadi kronis. 4. Infeksi Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah hampir tidak bervariasi pada otitis media kronik yang aktif menunjukkan bahwa metode kultur yang digunakan adalah tepat. Organisme yang terutama dijumpai adalah Gram- negatif, flora tipe-usus, dan beberapa organisme lainnya. 5. Infeksi saluran napas bagian atas Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafas atas. Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal berada dalam telinga tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri. 6. Autoimun Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar terhadap otitis media kronis. 7. Alergi Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding yang bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian penderita yang alergi
terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteria atau toksin-toksinnya, namun hal ini belum terbukti kemungkinannya. 8. Gangguan fungsi tuba eustacius Pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat oleh edema tetapi apakah hal ini merupakan fenomen primer atau sekunder masih belum diketahui. Pada telinga yang inaktif berbagai metode telah digunakan untuk mengevaluasi fungsi tuba eustachius dan umumnya menyatakan bahwa tuba tidak mungkin mengembalikan tekanan negatif menjadi normal.
D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dari OMSK masih belum diketahui secara pasti, tetapi dalam hal ini diduga merupakan stadium kronis dari otitis media akut (OMA) dengan perforasi yang sudah terbentuk diikuti dengan keluarnya sekret yang terus menerus. Perforasi sekunder pada OMA dapat terjadi kronis tanpa kejadian infeksi pada telinga tengah.
Otitis media sering diawali dengan penyumbatan pada saluran eustasius yang terjadi akibat infeksi pada saluran napas seperti radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah. Penyumbatan ini juga dapat diakibatkan oleh tumor. Saat bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran tersebut sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran, dan datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dan menyumbat saluran eustasius. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di belakang gendang telinga. Jika lendir bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan halus). Namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan pendengaran hingga 45 desibel (kisaran pembicaraan normal). Selain itu telinga juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang telinga karena tekanannya.
E. KLASIFIKASI
1.
Tipe tubotimpani = tipe jinak = tipe aman = tipe rhinogen.
Penyakit tubotimpani ditandai oleh adanya perforasi sentral atau pars tensa dan gejala klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan penyakit. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama patensi tuba eustachius, infeksi saluran nafas atas, pertahanan mukosa terhadap infeksi yang gagal pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah, di samping itu campuran bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa, serta migrasi sekunder dari epitel skuamous. Secara klinis penyakit tubotimpani terbagi atas: a.
Penyakit aktif
Pada jenis ini terdapat sekret pada telinga dan tuli. Biasanya didahului oleh perluasan infeksi saluran nafas atas melalui tuba eutachius, atau setelah berenang di mana kuman masuk melalui liang telinga luar. Sekret bervariasi dari mukoid sampai mukopurulen. Ukuran perforasi bervariasi dan jarang ditemukan polip yang besar pada liang telinga luas. Perluasan infeksi ke sel-sel mastoid mengakibatkan penyebaran yang luas dan penyakit mukosa yang menetap harus dicurigai bila tindakan konservatif gagal untuk mengontrol infeksi. b.
Penyakit tidak aktif
Pada pemeriksaan telinga dijumpai perforasi total yang kering dengan mukosa telinga tengah yang pucat. Gejala yang dijumpai berupa t uli konduktif ringan. Gejala lain yang dijumpai seperti vertigo, tinitus, and atau suatu rasa penuh dalam telinga. 2.
Tipe atikoantral = tipe ganas = tipe tidak aman = tipe tulang
Pada tipe ini ditemukan adanya kolesteatom dan berbahaya. Penyakit atikoantral lebih sering mengenai pars flasida dan khasnya dengan terbentuknya kantong retraksi yang mana bertumpuknya keratin sampai menghasilkan kolesteatom. Kolesteatom adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega, berwarna putih, terdiri dari lapisan epitel bertatah yang telah nekrotis. Kolesteatom dapat dibagi atas 2 tipe yaitu kolesteatom kongenital dan kolesteatom didapat. a.
Kolesteatom kongenital
Kriteria untuk mendiagnosa kolesteatom kongenital adalah: 1)
Berkembang dibelakang dari membran timpani yang masih utuh.
2)
Tidak ada riwayat otitis media sebelumnya.
3)
Pada mulanya dari jaringan embrional dari epitel skuamous atau dari epitel undiferential yang berubah menjadi epitel skuamous selama perkembangan. Kongenital kolesteatom lebih sering ditemukan pada telinga tengah atau tulang temporal, umumnya pada apeks petrosa. Dapat menyebabkan fasialis parese, tuli saraf berat unilateral, dan gangguan keseimbangan.
b.
Kolesteatom didapat
1) Primary acquired cholesteatoma. Koelsteatom yang terjadi pada daerah atik atau pars flasida 2)
Secondary acquired cholesteatoma.
Berkembang dari suatu kantong retraksi yang disebabkan peradangan kronis biasanya bagian posterosuperior dari pars tensa. Khasnya perforasi marginal pada bagian posterosuperior. Terbentuknya dari epitel kanal aurikula eksterna yang masuk ke kavum timpani melalui perforasi membran timpani atau kantong retraksi membran timpani pars tensa. Oleh karena tuba tertutup terjadi retraksi dari membrane plasida, akibat pada tempat ini terjadi deskuamasi epitel yang tidak lepas, akan tetapi bertumpuk di sini. Lambat laun epitel ini hancur dan menjadi kista. Kista ini tambah lama tambah besar dan tumbuh terus kedalam kavum timpani dan membentuk kolesteatom. Ini dinamakan “primary acquired cholesteatom” atau genuines cholesteatom”. Mula-mula belum timbul peradangan, lambat laun dapat terjadi peradangan. Primary dan secondary acquired cholesteatom ini dinamakan juga “pseudo cholesteatoma, oleh karena ada pula congenital kolesteatom. Ini juga merupakan suatu lubang dalam tenggorok terutama pada os temporal. Dalam lubang ini terdapat lamel konsentris terdiri dari epitel yang dapat juga menekan tulang sekitarnya. Beda kongenital kolesteatom, ini tidak berhubungan dengan telinga dan tidak akan menimbulkan infeksi. Bentuk perforasi membran timpani akibat OMSK antara lain: 1. Perforasi sentral Lokasi pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero-inferior dan postero-superior, kadang-kadang sub total. 2. Perforasi marginal
Terdapat pada pinggir membran timpani dengan adanya erosi dari anulus fibrosus. Perforasi marginal yang sangat besar digambarkan sebagai perforasi total. Perforasi pada pinggir postero-superior berhubungan dengan kolesteatom 3. Perforasi atik Terjadi pada pars flasida, berhubungan dengan primary acquired cholesteatoma (Ballenger JJ, 1997).
F.
TANDA DAN GEJALA
1. Telinga berair (otorrhoe)
Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer) tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi saluran nafas atas atau kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang. Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Sekret yang sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan produk degenerasinya. Dapat terlihat keping-keping kecil, berwarna putih, mengkilap. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis. 2. Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran. Biasanya di jumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun kolesteatom, dapat menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Bila tidak dijumpai kolesteatom, tuli konduktif kurang dari 20 db ini ditandai bahwa rantai tulang pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang pendengaran menghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30 db. Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai
tulang pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara sehingga ambang pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara hati-hati. Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui jendela bulat (foramen rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf berat, hantaran tulang dapat menggambarkan sisa fungsi kokhlea. 3. Otalgia (nyeri telinga)
Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila ada merupakan suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh adanya otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi OMSK seperti Petrositis, subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis. 4. Vertigo
Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya. Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum.
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Otoscope untuk melakukan auskultasi pada bagian telinga luar 2. Timpanogram untuk mengukur kesesuaian dan kekakuan membran timpani 3. Kultur dan uji sensitifitas ; dilakukan bila dilakukan timpanosentesis (Aspirasi jarum dari telinga tengah melalui membrane timpani). 4. Otoskopi pneumatik (pemeriksaan telinga dengan otoskop untuk melihat gendang telinga yang dilengkapi dengan udara kecil). Untuk menilai respon gendang telinga terhadap perubahan tekanan udara
H. PENATALAKSANAAN Penanganan lokal meliputi pembersihan hati – hati telinga menggunakan mikroskop
dan alat penghisap. Pemberian tetes antibiotika atau pemberian bubuk antibiotika sering membantu bila da cairan purulen. Antibiotika sistemik biasanya tidak diresepkan kecuali pada kasus infeksi akut. Timpanoplasti. Tujuan timpanoplasti adalah mengembalikan fungsi telinga tengah,
menutup lubang perforasi telinga tengah, mencegah infeksi berulang, dan memperbaiki pendengaran.timpanoplasti dilakukan melalui kanalis auditorius eksternus, baik secara transkanal atau melalui insisi post aurikuler. Pembedahan biasanya dilakukan pada pasien rawat jalan dengan anastesi yang umum. Mastoidektomi. Tujuan pembedahan mastoid adalah untuk mengangkat kolesteatoma,
mencapai struktur yang sakit, dan menciptakan telingan yang aman, kering dan sehat. Mastoidektomi biasanya dilakukan melalui insisi post aurikuler, dan infeksi dihilangkan dengan mengambil secara sempurna sel udara mastoid. Mastoidektomi ke dua mungkin diperlukan 6 bula setelah yang pertama untuk mengecek kekambuhan kolesteatoma
I.
KOMPLIKASI
Otitis media supuratif mempunyai potensi untuk menjadi serius karena komplikasinya yang sangat mengancam kesehatan dan dapat menyebabkan kematian. Tendensi otitis media mendapat komplikasi tergantung pada kelainan patologik yang menyebabkan otorea. Biasanya komplikasi didapatkan pada pasien OMSK tipe maligna, tetapi suatu otitis media akut atau suatu eksaserbasi akut oleh kuman yang virulen pada OMSK tipe benigna pun dapat menyebabkan komplikasi. Komplikasi intra kranial yang serius lebih sering terlihat pada eksaserbasi akut dari OMSK berhubungan dengan kolesteatom. Adam dkk mengemukakan klasifikasi sebagai berikut: 1. Komplikasi di telinga tengah yaitu perforasi persisten, erosi tulang pendengaran dan paralisis nervus fasial. 2. Komplikasi telinga dalam yaitu fistel labirin, labirinitis supuratif dan tuli saraf (sensorineural).
3. Komplikasi ekstradural yaitu abses ekstradural, trombosis sinus lateralis dan petrositis. 4. Komplikasi ke susunan saraf pusat yaitu meningitis, abses otak dan hidrosefalus otitis.
I.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN A. PENGKAJIAN
Data yang muncul saat pengkajian: 1. Sakit telinga/nyeri 2. Penurunan/tak ada ketajaman pendengaran pada satu atau kedua telinga 3. Tinitus 4. Perasaan penuh pada telinga 5. Suara bergema dari suara sendiri 6. Vertigo, pusing. 7. Tanda-tanda vital (suhu bisa sampai 40 o C), demam 8. Kemampuan membaca bibir atau memakai bahasa isyarat 9. Toleransi terhadap bunyi-bunyian keras 10. Cairan telinga; hitam, kemerahan, jernih, kuning 11. Adanya riwayat infeksi saluran pernafasan atas, infeksi telinga sebelumnya.
B. DIAGNOSA
1. Perubahan sensori-persepsi: pendengaran b/d gangguan penghantar bunyi pada organ. 2. Nyeri kronis b/d agen cedera biologis. 3. Hipertermi b/d infeksi pada telinga tengah dan tuba eutachius ditandai dengan suhu tubuh meningkat. 4. Kurang pengetahuan b/d kurang terpajan terhadap informasi.
C. TINDAKAN KEPERAWATAN No. 1
DIAGNOSA
Gangguan persepsi
TUJUAN
Setelah sensori:
pendengaran
diberikan
asuhan NIC Label:
keperawatan selama ... x 24
b.d jam
Perubahan
INTERVENSI
diharapkan
sensori
komunikasi berkurang atau
jelas
saat
dilakukan
tes
pendengaran b. Px
tidak
mengalami dalam
berkomunikasi mengatakan tidak
berdenging lagi dapat
pesan
menerima metode misalnya
komunikasi
tulisan,
bahasa lambang. e. Px
dapat
dengan
berteriak.
non
tanda-tanda
verbal
Ekspresi
(mis. wajah, atau
menggerakkan
tubuh)
dan bentuk komunikasi
berbicara jelas
dan
f. Px akan memakai alat dengar
4. Intruksikan keluarga
kepada atau
orang
terdekat pasien tentang bagaimana
teknik
komunikasi yang efektif.
mendengar dengan baik.
bantu
pada pasien tanpa perlu
lainnya.
melalui
pilihan
jika
2. Berbicara jelas dan tegas
menunjuk,
telinganya
d. Px
pasien
3. Gunakan
kesulitan
c. Px
1. Pandang
sedang berbicara.
a. Px dapat mendengarkan dengan
komunikasi:
gangguan defisit pendengaran
resepsi, transmisi, hilang dengan KH: dan/atau integrasi
Peningkatan
5. Kolaborasi
dalam
penggunaan alat bantu pendengaran, bila pasien menginginkan
(jika
sesuai) 2
Nyeri kronis b.d
Setelah dilakukan tindakan
agen cedera
NIC:Menejemen Nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri jam pada pasien dengan nyeri secara komprehensif dengan pengkajian dapat teratasi dengan kriteria PQRST dengan hasil : menggunakan komunikasi terapeutik
biologis
asuhan keperawatan … x 24
Label NIC :
2. Ajarkan prinsip manajemen nyeri yaitu Noc : Kontrol Nyeri dengan teknik nafas 1. Mengenali kapan dalam dan istirahat terjadinya nyeri dengan posisi yang 2. Menggambarkan faktor nyaman penyebab 3. Tingkatkan periode tidur 3. Menggunakan tindakan tanpa gangguan pengurangan nyeri tanpa analgesik 4. Mengenali apa yang NIC:Menejemen terkait dengan gejala Pengobatan nyeri 1. Tentukan obat apa yang 5. Melaporkan nyeri yang diperlukan dan kelola terkontrol menurut resep Label NOC :
2. Monitor efek samping obat obat
3
Hipertermi
NOC : Tingkat Nyeri 3. Monitor interaksi 1. Tidak adanya nyeri yang yang nonterapeutik dilaporka 2. Ekpresi wajah yang rileks 3. Tidak ada ketegangan otot 4. Tidak ada agitasi Setelah dilakukan asuhan NIC Label: keperawatan selama …x24 jam diharapkan suhu tubuh pasien normal dengan kriteria hasil : 1
a. Monitor suhu sesering mungkin’ b. monitor IWL
Suhu tubuh pasien dalam rentang normal
2 Nadi dan RR dalam rentang normal 3
Perawatan Demam
c. Monitor
dan
suhu kulit d. Monitor tekanan darah, nadi dan RR
Tidak ada perubahan
e. Monitor
warna kulit dan tidak
HCT
ada pusing
warna
f. Monitor
WBC,
Hb,
intake
dan
output g. Kompres pasien pada lipat paha dan aksila h. Kolaborasi
pemberian
obat antipiretik 4
Defisit
Setelah dilakukan tindakan
Label NIC : Pengajaran : Proses Penyakit
Pengetahuan
asuhan keperawatan …x…
berhubungan
jam pada pasien dengan
dengan kurang
defisit pengetahuan dapat
informasi
teratasi dengan kriteria hasil : Label NOC : Pengetahuan : Proses Penyakit a. Mengetahui faktor penyebab terjadinya penyakit. b. Mengetahui faktor resiko terjadinya penyakit c. Mengetahui efek fisiologis dari penyakit. d. Mengetahui tanda dan gejala genyakit. e. Mengetahui proses perjalanan penyakit biasanya f. Mengetahui strategi untuk meminimalkan perkembangan penyakit. g. Mengetahui komplikasi dari penyakit.
1. Kaji tingkat pengetahuan klien terkait proses penyakit 2. Jelaskan patofiologi penyakit dan hubungannya dengan anatomi dan fisiologi, sesuai kebutuhan. 3. Jelaskan megenai tanda dan gejala yang umum dari penyakit, sesuai kebutuhan. 4. Eksplorasi dengan klien apakah dia telah lakukan sebagai manajemen gejala. 5. Identifikasi kemungkinan panyebab, sesuai kebutuhan. 6. Berikan informasi pada klien mengenai kondisinya, sesuai kebutuhan 7. Jelaskan komplikasi kronik yang mungkin ada 8. Edukasi dan intruksikan klien mengenai tindakan untuk mengontrol/meminimalka n gejala
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, Gloria. M, et al. (2013). Nursing Intervention Clasification (NIC ) Edisi Keenam. United States of America : Elsevier Efiaty, Nurbaiti, Jenny, Ratna. 2007. Buku Ajar Ilm Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan, Kepala dan Leher Ed. 6 . Jakarta: FKUI Fung, K. 2004. Otitis Media Cronik . http://www.medline.com Kusuma, Hardi & Amin Huda Nurarif. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda NIC NOC . Jakarta: Mediaction Publishing
M. Black. 2014. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika Moorhead, Sue. et al. 2013. Nursing Outcomes Clasification (NOC) Edisi Kelima. United States of America : Elsevier Nanda. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta : EGC Smetlzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal Bedah, vol. 3 Ed 8. Jakarta: EGC