BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang HIV1/AIDS2 adalah penyakit (medical illiness) yang memerlukan pendekatan dari segi bio-psiko-sosio-spiritual, dan bukan dari segi klinis semata. Penderita AIDS akan mengalami krisis afektif pada dirinya, pada keluarganya, pada orang yang dicintainya dan pada masyarakat. Krisis tersebut adalah dalam bentuk kepanikan, ketakutan, kecemasan, serba ketidakpastian, keputusasaan, dan stigma. Perlakuan terhadap penderita AIDS seringkali bersifat deskriptif, dan resiko bunuh diri pada penderita cukup tinggi. Bahkan sering kali mereka meminta tindakan euthanasia. Dalam
menangani
kasus
AIDS
ini
diperlukan
pendekatan
biopsikososiospiritual; artinya melihat pasien tidak semata-mata dari segi organobiologik,
psikologik/kejiwaan,
psiko-sosial
tetapi
juga
aspek
spritual/kerohanian. Pasien tidaklah dipandang sebagai individu seorang diri, melainkan seseorang anggota dari sebuah keluarga, masyarakat dan lingkungan sosialnya. Juga sebagai orang yang dalam keadaan tidak berdaya yang memerlukan pemenuhan kebutuhan spiritual/kerohanian atau agama. Bagi penderita penyakit terminal seperti HIV/AIDS, pemenuhan kebutuhan spiritual merupakan hal yang sangat penting. Pendekatan spiritualitas bukan berarti mengubah kepercayaan masingmasing pasien melainkan meningkatkan kekuatan spiritual mereka dalam menghadapi penyakitnya. Tujuan pendekatan ini adalah membuat pasien dapat menerima kenyataan sepenuhnya dan dapat melewati fase-fase terakhir dalam hidupnya dengan damai dan tenang, membuat dia merasa kembali pada Tuhan, seperti manusia lainnya di mana tidak ada seorang pun yang dapat mencegah datangnya kematian.
1
Perubahan yang terjadi di dalam diri dan di luar diri ODHA membuat mereka
memiliki
mempengaruhi
persepsi
perkembangan
yang
negatif
konsep
tentang
dirinya.
dirinya
ODHA
dan
cenderung
menunjukkan bentuk-bentuk reaksi sikap dan tingkah laku yang salah. Hal ini disebabkan ketidakmampuan ODHA menerima kenyataan dengan kondisi yang dialami. Keadaan ini diperburuk dengan anggapan bahwa HIV merupakan penyakit yang belum ada obatnya Diskriminasi yang dialami ODHA membuat mereka menarik diri dari lingkungan sekitar, serta stigmatisasi yang berkembang dalam masyarakat mengenai HIV/AIDS merupakan suatu vonis mati bagi mereka sehingga membatasi ruang gerak dalam menjalankan aktivitas mereka s ebelumnya. Permasalahan yang dihadapi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) bukan hanya masalah medis atau kesehatan, tetapi juga menyangkut permasalahan sosial, politik, dan ekonomi (baba, 2005; Nurul Arifin, 2005). Banyak perubahan yang terjadi dalam diri individu setelah terinfeksi HIV/AIDS. Perubahan fisik akibat gejala-gejala penyakit yang disebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh pada diri ODHA mempengaruhi kehidupan pribadi, sosial, belajar, karir dan bahkan kehidupan keluarga. Selain itu juga isu-isu stigma dan diskriminasi yang dialami ODHA, baik dari keluarga, tetangga, dunia kerja, sekolah, dan anggota masyarakat lainnya, semakin memperparah kondisi dirinya dan bahkan lebih sakit daripada dampak penyakit yang dideritanya.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana aspek spiritual pada penderita HIV/AIDS 2. Bagaimana aspek kultural pada penderita HIV/AIDS 3. Bagaimana long term care bagi penderita HIV/AIDS?
C. Tujuan Penulisan 1. Mengetahui dan memahami bagaimana aspek spiritual pada penderita HIV/AIDS
2
2. Mengetahui dan memahami bagimana aspek kultural pada penderita HIV/AIDS 3. Mengetahui dan memahami cara perawatan jangka panjang bagi penderita HIV/AIDS
3
BAB II PEMBAHASAN
A. Aspek Spiritual Pada Pasien HIV/AIDS 1. Pengertian Spiritual Spiritualitas sangat sulit untuk didefinisikan. Kata-kata yang digunakan untuk menjabarkan spritualitas termasuk makna, transenden, harapan, cinta, kualitas, hubungan dan eksistensi. Sedangkan berdasarkan etimologinya, spiritual berarti sesuatu yang mendasar, penting, dan mampu menggerakan serta memimpin cara berfikir dan bertingkah laku seseorang. Faran dkk (1989) menyatakan bahwa setiap individu akan memaknai secara unik spiritualitas atau dimensi spiritual. Definisi Individual tentang spiritualitas dipengaruhi oleh kultur, perkembangan, pengalaman hidup, dan ide-ide mereka sendiri tentang hidup. Lebih lanjut Faran dkk (1989) mengemukakan definisi fungsional spiritualitas yang merupakan komitmen tertinggi individu yang merupakan prinsip yang komprehensif dari perintah atau nilai final yaitu argumen yang paling kuat yang diberikan untuk pilihan yang dibuat dalam hi dup kita. Menurut Danah Zohar dan Ian Marshall, spiritualitas merupakan bagian dari kecerdasan manusia selain kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Kedua tokoh penggagas SQ (Spiritual Quotion) ini, menyebutkan SQ tidak ada hubungannya dengan agama. Meskipun orang dapat mengekspresikan SQ melalui agama, tetapi keberagamaan seseorang tidak menjamin tingginya SQ. SQ sendiri dimaknai sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain.
4
Berbeda dengan pendapat di atas pendapat berikut ini menekankan pada spritualitas yang berhubungan dengan adanya Tuhan. Mickley et al (1992) mendefinisikan spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi ekstensial dan dimensia agama. Dimensi ekstensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa. Hampir senada Carson (1989) menyebutkan bahwa kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan. Stoll (1989) menguraikan bahwa spiritualitas sebagai konsep dua dimensi: dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan lingkungan. Terdapat hubungan yang terus menerus antara dua dimensi tersebut. Senada
dengan
pendapat
ini,
Hungelman
et
al
(1985)
menyebutkan spiritualitas sebagai rasa keharmonisan saling kedekatan antara diri dengan orang lain, alam dan dengan kehidupan yang tertinggi. Rasa
keharmonisan
ini
dicapai
ketika
seseorang
menemukan
keseimbangan antara nilai, tujuan, sistem keyakinan mereka dengan hubungan mereka dengan diri sendiri, dan dengan orang lain. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dimensi spiritualitas adalah keharmonisan yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan pemahaman tetang dirinya sendiri, hubungan dirinya dengan Tuhan dan hubungan dirinya dengan sesama serta lingkungan. Definisi Spiritualitas inilah yang digunakan dalam penelitian ini yang mana pengertian tersebut lebih mengikuti pendapat Stoll mengikuti pendapat Stoll (1989) bahwa dimensi spiritualitas terdiri dari dimensi vertikal dan dimensi horizontal.
5
2. Indikator Spiritualitas Spiritualitas
yang
dimaknai
secara
beragam
memberikan
konsekuensi lahirnya indikator atau aspek spiritualitas yang beragam pula. Menurut Burkhardt (1993) aspek spiritualitas meliputi : a.
Berhubungan
dengan
sesuatu
yang
tidak
diketahui
atau
ketidakpastian dalam kehidupan. b.
Menemukan arti dan tujuan hidup.
c.
Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri. d) Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang Maha Tinggi.
Secara
lebih
rinci
Patricia
Potter
dkk,
menjelaskan
bahwa
spiritualitas meliputi tujuh aspek yaitu: a.
Keyakinan dan makna hidup Keyakinan dan makna berhubungan dengan filosofi hidup ses eorang, perspektif spiritualitasnya dan apakah padangan spiritualitasnya merupakan sebagian bagian dari kehidupannya secara keseluruhan. Suatu pemahaman tentang keyakinan dan makna mencerminkan sumber spritual seseorang memudahkan dalam mengatasi kejadian traumatis atau menyulitkan.
b.
Autoritas dan pembimbing Autoritas dan pembimbing adalah suara dari dalam atau autoritas dari luar yang mengarahkan seseorang untuk memilih dan menjalani keyakinannya. Autoritas dapat berupa Tuhan Yang Maha Kuasa, Pemuka agama, keluarga, teman, diri sendiri, atau kombinasi dari sumber-sumber tersebut.
c.
Pengalaman dan emosi Pengalaman dan emosi mencangkup tinjauan tentang pengalaman keagamaan seseorang. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah mengetahui dampak penyakit terhadap pengalaman dan emosi
6
religius,
dan
berkaitan
dengan
ada
tidaknya
sesuatu
yang
mengancam spiritualitas akibat penyakit yang diderita. d.
Persahabatan dan komunitas Persahabatan adalah hubungan yang dimiliki seorang individu dengan orang lain termasuk keluarga, sahabat, rekan kerja, tetangga, komunitas masyarakat, komunitas gereja dan tetangga. Kepedulian dan perhatian dari sahabat dan komunitas ini merupakan sumber harapan bagi klien.
e.
Ritual dan ibadat Kebiasaan ritual dan ibadat keagamaan memberikan klien struktur dan dukungan selama masa sulit. Kebiasaan ritual dan ibadat agama tetap dijalankan secara teratur atau ada perubahan akibat penyakit yang diderita.
f.
Dorongan dan pertumbuhan Dorongan dan pertumbuhan berkaitan dengan sumber yang memberikan nuansa dorongan (harapan) pada masa lalu klien. Pengkajian
mencangkup
tinjauan
apakah
klien
membiarkan
keyakinan lama terpendam dengan harapan bahwa keyakinan baru akan muncul. Hal ini sangat penting karena kehilangan harapan dapat menyebabkan keputusasaan. g.
Panggilan dan konsekuensi Panggilan dan konsekuensi menunjukkan bagaimana individu mengekspresikan spiritualitas mereka dalam rutinitas sehari-hari. Hal ini
berbeda
spritualitas
dengan antara
mempraktikkan
lain
dengan
ritual.
Pengekspresikan
memperlihatkan
penghargaan
terhadap kehidupan dalam berbagai hal yang mereka lakukan, hidup pada saat ini dan tidak merisaukan masa mendatang, menghargai alam dan mengekspresikan cinta yang ditunjukkan kepada orang.
7
Dengan bahasa yang lebih sederhana, karakteristik spiritualitas antara lain: a. Hubungan dengan diri sendiri 1) Pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya). 2) Sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan atau masa depan, harmoni atau keselarasan diri). b. Hubungan dengan alam. 1) Mengetahui tentang tanaman, pohon, margasatwa dan iklim. 2) Berkomunikasi
dengan
alam
(bertanam,
berjalan
kaki),
mengabadikan dan melindungi alam. c. Hubungan dengan orang lain 1) Harmonis : Berbagi waktu, pengetahuan dan sumber secara timbal balik; mengasuh anak, orang tua dan orang sakit; dan menyakini kehidupan dan kematian. 2)
Tidak harmonis : Konflik dengan orang lain dan Resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi.
d. Hubungan dengan Ketuhanan Agamis atau tidak agamis seperti: sembahyang/berdo’a/meditasi, perlengkapan keagamaaan, bersatu dengan alam.
Berdasarkan pendapat di atas dapat diketahui bahwa para ahli sepakat bahwa pada dasarnya aspek dalam spiritualitas meliputi hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam sekitarnya. Sedangkan indikator spiritualitas yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti pendapat Patricia Potter yang menyebutkan bahwa spiritualitas dalam keperawatan terdiri dari tujuh dimensi yaitu keyakinan dan makna hidup, autoritas atau pembimbing, pengalaman dan emosi, persahabatan dan komunitas, ritual dan ibadah, dorongan dan pertumbuhan, serta panggilan dan konsekuensi.
8
Disamping itu, indikator ini mampu menggambarkan pengertian dimensi spiritualitas menurut Stoll yang digunakan sebagai focus kajian dalam penelitian ini.
3. Dimensi Spiritual dalam Praktek Konseling Spiritualitas dalam ranah konseling menjadi kajian yang penting seiring adanya kesadaran bahwa terapi selama ini kurang memberikan perhatian
yang
sempurna
pada
manusia
sebagai
mahluk
yang
multidimensional. Kesadaran akan perlunya pendekatan holistik dalam konseling menuntut manusia dipandang sebagai mahluk yang utuh yaitu mahluk
biologis,
mahluk
psikologis,
mahluk
sosiologis,
mahluk
berbudaya dan mahluk spiritual atau religius. Hal ini berimplikasi pada landasan yang menjadi dasar pelayanan konseling yang meliputi landasan historis, filosofis, social budaya, psikologis, dan religius. Seseorang yang membutuhkan konseling atau klien pada dasarnya adalah individu yang mengalami kekurangan “psichological strenght” atau “daya psikologis” yaitu suatu kekuatan yang diperlukan untuk menghadapi berbagai tantangan dalam keseluruhan hidupnya termasuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya. Daya psikologis mempunyai tiga dimensi yaitu need fulfilment (pemenuhan kebutuhan), intrapersonal competencies (kompetensi interpersonal), dan interpersonal competencies (kompetensi intrapersonal). Tugas konselor adalah tiga dimensi daya psikis ini, sehingga diharapkan klien dapat meningkatkan psichological strenght. Namun seiring dengan kesadaran bahwa manusia adalah mahluk spiritual atau religius, tentunya pelayanan konseling tidak hanya memenuhi kebutuhan psichological strength klien semata, namun mampu memenuhi kebutuhan spiritual/religius. Perhatian terhadap dimensi spiritual ini semakin dikembangkan dengan adanya konsep “wellness” dalam konseling. Kondisi “wellness” klien merupakan tujuan dari keseluruhan proses konseling.
9
Sementara menurut Ronaldson (2000), aspek spiritual ditekankan pada penerimaan pasien terhadap sakit yang dideritanya, sehingga pasien HIV akan dapat menerima dengan ikhlas terhadap sakit yang dialami dan mampu mengambil hikmah. Aspek spiritual yang perlu diberikan kepada pasien adalah: a.
Menguatkan
harapan
yang
realistis
kepada
pasien
terhadap
kesembuhan. Harapan merupakan unsur yang penting dalam kehidupan seseorang. Seseorang yang tidak memiliki harapan akan menjadi putus asa bahkan muncul keinginan untuk bunuh diri. Harapan harus ditumbuhkan pada pasien agar ia memiliki ketenangan dan keyakinan untuk terus berobat. b.
Pandai mengambil hikmah. Peran konselor dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan kepada pasien untuk selalu berpikir positif terhadap cobaan yang dialaminya. Di balik semua cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud dari Sang Pencipta. Pasien harus difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri kepda Tuhan dengan jalan
melakukan ibadah secara
terus
menerus, agar
pasien
memperoleh ketenangan selama sakit. c.
Ketabahan hati. Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati dalam menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat akan tabah dalam menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut biasanya mempunyai keteguhan hati dalam menentukan kehidupannya. Ketabahan hati sangat dianjurkan kepada pasien HIV. Konselor dapat menguatkan diri pasien dengan memberikan contoh nyata atau mengutip kitab suci bahwa Tuhan tidak
memberikan
cobaan
kepada
umatNya,
melebihi
kemampuannya (Al Baqarah, 2 : 286). Pasien harus diyakinkan bahwa semua cobaan yang diberikan pasti mengandung hikmah yang sangat penting dalam kehidupannya. Dimensi spiritual atau religiusitas dalam aktivitas konseling menjadi cukup signifikan, karena konseling merupakan aktivitas yang fokus pada upaya
10
membantu (building relationship) individu atau klien dengan segala potensi dan keunikannya untuk mencapai perkembangan yang optimal. Sementara dimensi spiritual/religius berfungsi sebagai radar yang mengarahkan pada suatu titik tentang realitas, bahwa terdapat aspek-aspek kompleks pada diriindividu yang tak terjangkau untuk ditelusuri dan dijamah, serta menyadarkan bahwa apek hidayah hanya datang dari Sang Penggenggam kehidupan itu sendiri.
B. Aspek Kultural Pada Pasien HIV/AIDS Perubahan sosial dialami setiap masyarakat yang pada dasarnya tidak dapat
dipisahkan
dengan
perubahan
kebudayaan
masyarakat
yang
bersangkutan. Perubahan sosial dapat meliputi semua segi kehidupan masyarakat, yaitu perubahan dalam cara berpikir dan interaksi sesama warga menjadi semakin rasional; perubahan dalam sikap dan orientasi kehidupan ekonomi menjadi makin komersial; perubahan tata cara kerja sehari-hari yang makin ditandai dengan pembagian kerja pada spesialisasi kegiatan yang makin tajam; Perubahan dalam kelembagaan dan kepemimpinan masyarakat yang makin demokratis; perubahan dalam tata cara dan alat-alat kegiatan yang makin modern dan efisien, dan lain-lainnya. Perubahan sosial dalam suatu masyarakat diawali oleh tahapan perubahan nilai, norma, dan tradisi kehidupan sehari-hari masyarakat yang bersangkutan, yang
juga dapat disebut dengan perubahan nilai sosial.
Berlangsungnya perubahan nilai budaya tersebut disebabkan oleh tindakan diskriminasi dari masyarakat umum terhadap penderita HIV/AIDS, serta pengabaian nilai-nilai dari kebudayaan itu sendiri. Perilaku seksual yang salah satunya dapat menjadi faktor utama tingginya penyebaran HIV/AIDS dari bidang budaya. Ditemukan beberapa budaya tradisional yang ternyata meluruskan jalan bagi perilaku seksual yang salah ini. Meskipun kini tidak lagi nampak, budaya tersebut pernah berpengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat.
11
Seperti budaya di salah satu daerah di provinsi Jawa Barat, kebanyakan orangtua menganggap bila memiliki anak perempuan, dia adalah aset keluarga. Menurut mereka, jika anak perempuan menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) di luar negeri akan meningkatkan penghasilan keluarga. Dan bagi keluarga yang anak wanitanya menjadi PSK, sebagian warga wilayah Pantura tersebut bisa menjadi orang kaya di kampungnya. Hal tersebut merupakan permasalahan HIV/AIDS dalam aspek budaya, dan budaya adat seperti ini seharusnya dihapuskan. Dalam catatan Departemen Kesehatan misalnya pada pertengahan tahrm 1995 terungkap kasus bahwa seorang anak sekolah berusia 18 tahun di Irian Jaya dinyatakan meninggal karena AIDS. Ini manunjukkan betapa wabah AIDS ini sudah merambah usia anak sekolah dan mencapai wilayah Indonesia paling timur juga. Kasus tersebut terjadi bukan akibat transfusi darah atau jarum suntik namun tertular melalui hubugan seks yang tidak aman, bisa jadi dari seorang pekerja seks komersial. Ada lagi beberapa laporan tentang kasus kasus penyakit menular seksual yang terjadi pada remaja SMA Secara retrospektif diperkirakan bahwa pemuda tersebut terinfeksi HIV di usia remaja yang sangat dini (Kartono Muhamad 1998). Suatu penelitian pada layanan pemeriksaan kehamilan di Jakarta dan Surabaya di tahum 1998 menunjukkan bahwa 23,3 % ibu rumah t angga hamil yang datang ke klinik tidak menyadari bahwasanya mereka terkena penyakit menular seksual. Tanpa perhatian serius masalah ini akan menjadi lebih berat lagi dengan datangnya epidemi HIV. Indonesia memiliki semua faktor yang akan membuat HIV mudah menyebar, diantaranya: 1. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan penduduk yang besar dengan status pendidikan relatif rendah. 2. Perekonomiannya tumbuh dan selalu diikuti oleh urbanisasi kaum mudanya ke perkotaan sehingga terpisah dari orang tua dan masyarakat asalnya.
12
3. Masyarakat banyak yang tergiring oleh arus konsumerisme sebagai akibat iklan di media yang sangat gencar. Dalam konteks ilmu-ilmu sosial/ budaya sebenarnya satu-satunya cara untuk mengurangi atau menganggulangi prevalensi HIV/AIDS adalah dengan mengubah perilaku individu atau kelompok sasaran. Sebab kebanyakan program-program preventif itu memfokuskan pada pengetahuan, sikap dan perilaku beresiko. Disamping itu cara lain adalah dengan mengubah persepsi persepsi masyarakat yang kurang tepat terhadap cara penularan, kekebalan, perilau penderita dan lain-lain. Persepsi-persepsi masyarakat yang tidak benar mengenai penyakit AIDS sering kali menimbulkan tindakan penyembuhan yang tidak benar. Hal ini sering kali tercermin dari adanya orang-orang awam yang menganjurkan olahraga, berdoa, dan lain-lain sebagai metode dalam penyembuhan AIDS. Pada konteks sosial, strategi utama dalam upaya pencegahan dan mengurangi kemungkinan transmisi seksual dari HIV di kalangan remaja adalah dengan memberikan kesamaan wewenang ( power equality) dan akses informasi yang lebih baik (better acces to information). Secara garis besar upaya tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut 1. Tidak melakukan kegiatan seks sebelum menikah terutama bagi remaja. 2. Setia pada pasangan yang dinikahinya, yakni bagi suami/istri untuk tidak berganti ganti pasangan. 3. Menggunakan kondom apabila melakukan hubungan seksual 4. Mencegah penularan melalui kontak darah dan produk darah 5. Menyertakan semua sumber daya, baik nasional maupun internasional untuk kegiatan-kegiatan pencegahan dan pemberantasan penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS Adapun cara penanggulangan HIV/AIDS dalam konteks sosial-budaya adalah dengan : 1. Mengubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat, bersih dan teratur sesuai dengan norma-norma dan budaya yang ada. 2. Mengubah persepsi dan kepercayaa yang salah tentang penyakit AIDS
13
3. Memberikan pengetahuan-pengetahuan tentang bahaya AIDS dengan program penyuluhan yang intensif dan berkesinambungan dengan menyertakan peran aktif masyarakat 4. Memberikan dukungan sosial yang efektif dan efisien terhadap penderita, sehingga penderita bisa hidup wajar dan tidak terisolasi serta tidak berbuat yang merugikan orang lain, keluarganya, masyarakatnya dan dirinya sendiri.
C. Long Term Care Pada Pasien HIV/AIDS Perawatan
terbagi
menjadi
tempat
perawatan
berbasis
keluarga,
masyarakat, puskesmas, dan rumah sakit 1. Keluarga: Anggota keluarga perlu peduli dan bekerja sama dengan relawan untuk meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan gizi, tata cara perawatan di rumah, dan pemulasaran jenazah 2. Masyarakat: Dukungan social dari tetangga dan komunitas social 3. Puskesmas: Mendapatkan pelayanan kesehatan dasar dan pengobatan sederhana 4. Rumah sakit: Mendapatkan pelayanan rawat inap untuk perawatan infeksi oportunistik (infeksi penyerta), pelayanan preventingnmother to child transmission (PMTCT), dan pengobatan Program ini dimulai sejak seseorang didiagnosis HIV dan setuju untuk didampingi oleh relawan atau petugas lapangan (manager kasus) yang baisanya berasal dari lembaga swadaya masyarakat (LSM). Kegiatan ini meliputi: 1. Dukungan psikologis, spiritual, hokum dan HAM, serta dukungan sosio-ekonomi a. Psikologis: Upaya manager kasus untuk mendampingi dan memberi dukungan moral untuk meningkatkan rasa percaya diri klien serta pendampingan untuk mendapatkan akses perawatan dan pengobatan di rumah sakit
14
b. Spiritual: Manager kasus bekerja sama dengan tokoh agama untuk memberi nasihat dan dukungan melalui forum regular c. Hokum dan HAM: Upaya untuk mengurangi diskriminasi dan stigma negative dari keluarga dan masyarakat sekitar, menjaga kerahasiaan status klien dari keluarga dan masyarakat selama klien belum sanggup untuk membuka diri, serta mendampingi klien untuk pembelaan terhadap kasus hokum dan pelanggaran HAM d. Sosio-ekonomi: Upaya untuk mendapatkan dukungan dari swasta dan
pemerintah
mengenai
bantuan
usaha
ekonomi
untuk
peningkatan pendapatan klien, kegiatan yang berhubungan dengan peningkatan pemberdayaan klien, dukungan finansial dari sumber yang memungkinkan terutama untuk biaya pengobatan dan usaha ekonomi, usaha pencarian solusi untuk anak ODHA yang yatim piatu
Dukungan pada penderita AIDS: 1. Mula-mula penderita membutuhkan kepercayaan, kasih saying dan dukungan 2. Mereka sangat membutuhkan informasi tentang masalah yang akan mereka hadapi dan cara untuk mengatasinya 3. Memegang penderita AIDS adalah penentraman hati yang penting dan tidak membahayakan 4. Komunikasi yang teratur, terutama secara personal (menjenguk atau menelpon), adalah penting. Buatlah janji dahulu sebelum menjenguk karena AIDS menyebabkan kelelahan dan penjenguk tidak selalu diharapkan 5. Komunikasi yang terbuka dan jujur adalah penting. Berbicara terbuka dan jujur akan membantu penderita AIDS terbuka dengan anda. Bicarakan tentang penyakitnya bila hal ini yang diinginkan. Banyak
15
orang menyesali penyakitnya dan merasa lebih baik bila ada seseorang yang dapat berbagi rasa 6. Pergilah ke luar bersama dan mengunjungi orang lain 7. Tawarkan bantuan pada suatu hal yang mungkin menyulitkan penderita 8. Bila anda berada di tempat lain, pertahankan hubungan dengan menulis surat atau menelpon Merawat penderita AIDS: 1. Perawatan di rumah sakit: Penderita AIDS yang sakit berat paling baik dirawat oleh perawat yang telah berpengalaman. Pengobatan di rumah sakit ditunjukkan pada penyakit yang timbul akibat AIDS. Belum pernah ditemukan penderita AIDS dapat sembuh. Merawat penderita AIDS adalah aman. Kadang-kadang penjenguk terlalu melelahkan penderita, tetapi dilain waktu, penjenguk memberi dukungan dan penenteraman hati.tanyakan pada perawat kapan waktu terbaik untuk menjenguk 2. Perawatan di rumah: orang yang merawat penderita AIDS perlu hatihati dan suportif. Orang yang merawat penderita AIDS membutuhkan tindakan sederhana untuk memotong resiko infeksi. Merawat penderita AIDS bukan aktivitas beresiko tinggi, hidup normal serumah tidak beresiko
Pencegahan di rumah: 1. Gunakan selalu sarung tangan untuk tugas-tugas di rumah bila diperlukan. Cuci tangan setelah setiap tugas, walaupun sudah menggunakan sarung tangan 2. Cucilah sarung tangan dalam air dan detergen yang cukup panas 3. Gunakan kain pembersih lantai untuk dapur dan kamar mandi yang berbeda 4. Gunakan selalu plester atau pembalut kedap air pada luka atau luka sayat
16
5. Sikat gigi dan alat cukur jangan digunakan bergantian 6. Harus digunakan sarung tangan bila membersihkan tumpahan darah, muntahan dan sebagainya, dan buang dalam kloset 7. Lantai atau permukaan yang tertumpah cairan seperti darah, muntahan dan sebagainya sebaiknya diseka dengan larutan pengelantang; 1 bagian pengelantang dan 9 bagian air 8. Pakaian yang kotor dan berdarah harus dicuci dengan air panas
Untuk mencegah penularan jasad renik pada penderita AIDS: 1.
Bila masak, pastikan makanan telah dimasak dengan baik
2. Cuci tangan setelah memegang binatang kesayangan dan tempat sampah 3. Batasi kontak dengan penderita AIDS bila anda menderita flu berat, gangguan lambung atau penyakit lain Hubungan seks dan penderita AIDS 1. Penderita AIDS harus menghindari hubungan seks yang tidak aman 2. Jangan melakukan hubungan seks tanpa pelindung, gunakan selalu kondom 3. Beritahukan pasangan anda bahwa anda menginginkan hubungan seks yang aman 4. Anda dapat melakukan onani, pelukan dan pijatan 5. Gunakan kondom ekstra kuat bila melakukan hubungan seks lewat dubur 6. Gunakan selalu kondom seks melalui vagina 7. Jangan memakai alat kelamin buatan secara bergantian 8. Gunakan selalu pelindung yang aman, misalnya kondom untuk hubungan seks lewat mulut
17
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficie ncy Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV; atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain). Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan
virus,
namun
penyakit
ini
belum
benar-benar
bisa
disembuhkan. Dalam praktek pekerjaan sosial di bidang HIV-AIDS seorang pekerja sosial dapat melaksanakan tugas dan peranannya, bagaimana menangani seorang klien yang berstatus HIV positif, memberikan solusi dan mendekatkan pada sistem sumber yang ada sehingga tidak terbelennggu dalam menghadapi penyakitnya dan termotivasi kembali dalam menjalani hidupnya..
18
DAFTAR PUSTAKA Dharma, Adji. 1993. AIDS and You. Jakarta : Arcan Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pemberantasannya. Jakarta : Penerbit Erlangga DOC-20180309-WA0000.pdf, diakses pada 10 Maret 2018
19