PORTFOLIO EMERGENCY
Oleh: dr. Aulia Luthfi Kusuma
Pembimbing: dr. Real Kusumanjaya Marsam,Sp.JP
Pendamping dr. Dewi Sulisowati dr. Halifah Haris
RS PKU MUHAMMADIYAH DELANGGU KABUPATEN KLATEN 2017
Nama Peserta: dr. Aulia Luthfi Kusuma Nama Wahana : RS PKU Muhammadiyah Delanggu Topik : ST Elevation Myocardial Infraction (STEMI) Anteroseptal Pendamping :
Pembimbing :
dr. Dewi Susilowati & dr. Halifah Haris
dr. Real Kusumanjaya Marsam, Sp.JP
Tanggal Presentasi : Desember 2017
Tempat
Presentasi
:
Ruang
Pertemuan Objektif Presentasi : □ Keilmuan
□ Ketrampilan
□ Diagnostik □ Neonatus
□ Penyegaran
□ Manajemen □ Masalah □ Bayi
□
□ Remaja
Anak □
Bahan Bahasan :
□Tinjauan Pustaka □ Istimewa □
□ Lansia
Dewasa
Tinjauan □ Riset
□ Bumil
□ Kasus
□ Audit
Pustaka □ Diskusi
Cara Membahas :
□ Presentasi dan Diskusi
□ Email
Data Pasien :
Nama : Tn S
Nama Klinik :
No. Registrasi : 2225xx Telp : -
Data utama untuk bahan diskusi : LAPORAN KASUS
Identitas Pasien Nama Pasien
: Tn. S
Umur
: 51 tahun
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Pendidikan
: S1
Pekerjaan
: Guru
Alamat
: Ngarirejo, Carika, Juwiring
Tanggal MRS
: 18 Desember 2017
Tanggal KRS
:-
No Register
: 2225XX
Terdaftar: -
□ Pos
Nama Wali
: Ny. T
Umur
: 48 tahun
Hubungan dengan pasien: Istri Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Pendidikan
: S1
Pekerjaan
: Guru
Alamat
: Ngadirejo, Juwiring, Klaten
ANAMNESA Anamnesa dilakukan secara allo anamnesa dan auto anamnesa.
1. Keluhan Utama
: Nyeri dada
2. Riwayat Penyakit Sekarang 2 jam sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh nyeri dada sebelah kiri seperti tertindih beban berat, nyeri berlangsung terus-menerus tembus sampai punggung namun tidak menjalar sampai lengan. Durasi nyeri dirasakan lebih dari 30 menit dan tidak menghilang dengan istirahat. Sesak (-), batuk (-), Mual (-), Muntah (-) 3. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keadaan seperti ini. Riwayat Hipertensi : (+) tidak terkontrol Riwayat DM
: (-)
Riwayat Asma
: (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat Penyakit Serupa : Disangkal Riwayat Hipertensi : Diakui Riwayat DM : Diakui
5. Riwayat Pengobatan Disangkal.
PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis Keadaan umum
: Tampak sesak
Kesadaran
: CM
GCS
: E4V5M6
Vital sign
Tekanan Darah
: 180/120 mmHg
Heart Rate
: 90x/ menit
Respiration Rate
: 28x/ menit
Suhu
: 36.80C
Tinggi Badan
: 168 cm
Berat Badan
: 70 kg
Status Interna Singkat Kepala Bentuk
:
normocephal
Mata
:
konjuntiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
hidung
:
tidak ada sekret, tidak ada darah
mulut
:
tidak sianosis
telinga
:
tidak ada sekret
Leher Pembesaran KGB
:
(-)
Trakhea
:
teraba di tengah
Thoraks Paru Inspeksi
: simetris kiri = kanan
Palpasi
: pergerakan simetris, NT (-)
Perkusi
: sonor kiri = kanan
Auskultasi : Bronkovesikuler Rh + + |- - , Wh -- | --
Jantung Inspeksi
: ictus cordis tidak tampak
Palpasi
: ictus cordis tidak teraba
Perkusi
: batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1-S2 regular, murmur (-) gallop (-)
Abdomen Inspeksi
: datar, simetris
Palpasi
: supel, NT (-),
Perkusi
: tympani
Auskultasi : bising usus dalam batas normal, Peristatlik (+)
Ekstremitas atas dan bawah Akral
: hangat
Oedem
: -/-
Pemeriksan Penunjang
EKG
Laboratorium
Lab Darah (18/12/2017) Hasil
Unit
Nilai rujukan
Darah rutin Hemoglobin
14.2
g/dl
12.0-16.0
Leukosit
11.1
103/uL
4.0-12.0
Trombosit
363.0
103/uL
150.0-400.0
Eritrosit
5.32
106/uL
4.00-5.00
Hematokrit
43.5
vol%
25.0-55.0
Granulosit
48.5
%
50.0-80.0
Limfosit
41.17
%
20.5-51.1
Monosit
10
%
2-9
MCV
81.7
u3
78.6-102.2
MCH
26.7
pg
25.2-34.7
MCHC
32.6
g/dL
31.3-35.4
41
10-50
mg/dL
Kimia Klinik Fungsi Ginjal Ureum
0.50Kreatinin
1.88
0.90
mg/dL
SGOT
22
0-50
U/L
SGPT
28
0-50
U/L
102
mg/dL
<180
Kalium
4.20
mmol/L
3.50-5.10
Natrium
143
mmol/L
135-145
Klorida
110
mmol/L
95-115
Fungsi Hati
Glukosa Darah GDS Elektrolit
Seroimunologi nonHBsAg
reaktif
non-reaktif
Diagnosis Akhir ST Elevation Myocardial Infraction (STEMI) Anteroseptal
Planing Tatalaksana IGD
O2 NRM 10 Liter
Inf RL
CPG 4 tab
Aspilet 4 tab
Konsul dr. Real, Sp.JpP
Onset kurang dari 3 jam motivasi rujuk untuk trombolisis
ISDN 5 mg SL
Prognosis Quo ad vitam:dubia ad bonam Quo ad functionam: dubia ad bonam Quo ad sanationam: dubia ad bonam Daftar Pustaka Tujua
: terlampir
:
Mengetahui dan menyajikan diagnosis dan tata laksana ST Elevation Myocardial Infraction (STEMI) Anteroseptal Diskusi 2 jam sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh nyeri dada sebelah kiri seperti tertindih beban berat, nyeri berlangsung terus-menerus tembus sampai punggung namun tidak menjalar sampai lengan. Durasi nyeri dirasakan lebih dari 30 menit dan tidak menghilang dengan istirahat . Pada saat pemeriksaan didapatkan tekanan darah 180/120 mmHg, nadi 90 x/menit, suhu 36,8C, respirasi 28 x/menit. Pemeriksaan fisik ditemukan suaran Ronkhi di lapang paru. Pemeriksaan penunjang didapatkan lab darah dalam batas normal, tindakan yang dilakukan saat pasien datang adalah mengatasi kegawatdaruratan pasien yakni nyeri dada dengan memberikan 02 3 liter tetapi sarturasi tidak naik kemudian diberikan NMR 10 liter, dibeikan CPG 4 tab, dan Aspilet 4 Tab. Kemudian pasien
dikonsulkan oleh DPJP dan diberikan advice untuk segera dirujuk ke RS lain untuk dilakukan trombolisis dan di berikan ISDN 5mg SL untuk mengurangi nyerinya.
TINJAUAN PUSTAKA INFARK MIOKARD AKUT DEFINISI Adalah kerusakan sel miokard dikarenakan iskemia berat yang terjadi secara tiba-tiba. Hal ini sangat berkaitan dengan adanya thrombus yang terbentuk oleh rupturnya plak ateroma. Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pektoris tidak stabil, IMA tanpa elevasi ST (NSTEMI) dan IMA dengan elevasi ST (STEMI).
Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lesi vaskuler, di mana lesi ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisura, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri
koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid. Pada STEMI gambaran patologik klasik terdiri dari trombus merah kaya fibrin, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberi respons terhadap terapi trombolitik. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, serotonin, epinefrin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan Tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuens asam amino pada protein adesi yang larut (integrin) seperti vWF dan fibrinogen, di mana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi. Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi thrombin, yang kemudian mengonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.
Diagnosis Diagnosis STEMI ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST ≥1 mm, minimal pada 2 sandapan yang berdampingan. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim. 1. Anamnesis Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau luar jantung. Selanjutnya perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya, serta faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, DM, dislipidemia, merokok, stres, serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga,
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI dapat terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur. Nyeri dada. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Sifat nyeri dada angina sbb:
Lokasi: sub/retrosternal, prekordial
Sifat: rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, ditusuk, diperas, dan dipelintir
Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan
Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau nitrat
Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin dan sesudah makan
Gejala penyerta: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas
2. Pemeriksaan fisik Sebagian besar pasien cemas dan gelisah. Sering kali ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Seperempat pasien infark anterior memiliki manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipertensi) dan hampir setengah pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi). Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38 0C dapat dijumpai pada minggu pertama pasca STEMI.
3. Elektrokardiografi (EKG) Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam
pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali. Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T. Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia. Tabel 2. Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG Sadapan dengan Deviasi Lokasi Iskemia Segmen ST atau Infark V1-V4 Anterior V5-V6, I, aVL Lateral II, III, aVF Inferior V7-V9 V3R, V4R
Posterior Ventrikel kanan
Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3. Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut.
Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah. Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut. Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik dikategorikan sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik. Rekaman EKG penting untuk membedakan STEMI dan SKA lainnya
4. Laboratorium Petanda (biomarker) kerusakan jantung. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai penanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung pemeriksaan biomarker. Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).
CKMB: meningkat setelah 4-6 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB
cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2 jam bila infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari
Pemeriksaan lainnya: mioglobin, creatinine kinase (CK) dan lactic dehidrogenase (LDH) Reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah leukositosis PMN yang dapat
terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/uL.
Penatalaksanaan Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA.
1. Tatalaksana awal Tatalaksana pra-rumah sakit. Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure).
Sebagian besar kematian di luar RS pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra-RS pada pasien yang dicurigai STEMI a.l:
Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi
Transportasi pasien ke RS yang memiliki fasilitas ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih
Melakukan terapi reperfusi Tatalaksana di IGD. Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di RS dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
2. Tatalaksana umum Oksigen. Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <95%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama. Nitrogliserin (NTG). Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NTG intravena. NTG IV juga dapat diberikan untuk mengendalikan hipertensi dan edema paru. Terapi nitrat harus dihindarkan pada pasien dengan tensi sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan. Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang menggunakan fosfodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi nitrat. Mengurangi/menghilangkan nyeri dada. Mengurangi/menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.
Morfin. Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulangi dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg IV.
Aspirin. Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum SKA. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di UGD. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
Penyekat beta. Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain nitrat, mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 kali/menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan rhonki <10 cm dari diafragma. 15 menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
Terapi reperfusi. Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna. Sasaran terapi reperfusi adalah door-to-needle time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-balloon time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.
Seleksi strategi reperfusi Beberapa hal harus dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi, antara lain:
1. Waktu onset gejala Waktu onset untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam menghancurkan trombus sangat tergantung waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis menurunkan angka kematian. Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark menjadi paten, kurang lebih tergantung pada lama gejala pasien yang menjalani PCI. Beberapa laporan menunjukkan tidak ada pengaruh keterlambatan waktu terhadap laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2-3 jam setelah gejala. 2. Risiko STEMI Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai risiko mortalitas pada pasien STEMI. Jika estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi, seperti pada pasien dengan syok kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi PCI lebih baik. 3. Risiko perdarahan Pemilihan terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, manfaat terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko. 4. Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi ke laboratorium PCI Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian menunjukkan PCI lebih superior dari reperfusi farmakologis. Jika composite end point kematian, infark miokard rekuren nonfatal atau stroke dianalisis, superioritas PCI terutama dalam hal penurunan laju infark miokard nonfatal berulang.
Percutaneous Coronary Intervention (PCI) Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti dan/atau stenting tanpa didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer lebih efektif daripada fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan panjang yang lebih baik. Dibandingkan fibrinolisis, PCI lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien <75
tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada minimal 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolisis. Namun demikian PCI lebih mahal dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa RS. Fibrinolisis Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik a.l: tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (rpA). Semua obat ini bekerja dengan cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan trombus fibrin. Terdapat 2 kelompok, yaitu: golongan spesifik fibrin seperti tPA dan nonspesifik fibrin seperti streptokinase. Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3 (menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark dengan aliran normal), karena perfusi penuh pada arteri koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membatasi luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan laju mortalitas jangka pendek dan panjang. tPA dan aktivator plasminogen spesifik fibrin lain sepeti rPA dan TNK lebih efektif daripada streptokinase dalam mengembalikan perfusi penuh, aliran koroner TIMI grade 3 dan memperbaiki survival sedikit lebih baik.
5. Obat fibrinolitik Streptokinase (SK). Merupakan fibrinolitik nonspesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi sering ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan intrakkkranial yang rendah. Tissue plasminogen activator (tPA, alteplase). GUSTO-1 trial menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapat tPA disbanding SK. Namun harganya lebih mahal dari SK dan risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi. Reteplase (retavase). INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO trial III, dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang. Tenekteplase (TNKase). Keuntungannya mencakup memperbaiki spesifisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap PAI-1. Laporan awal dari TIMI 10 B
menunjukkan TNKase memiliki laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan dengan tPA.
Terapi Farmakologis 1. Antitrombotik Tujuan primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi trombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Obat anti trombin standar yang digunakan dalam praktik klinis adalah unfractionated heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin membantu trombolisis dan memantapkan dan
mempertahankan
patensi
arteri
yang
terkait
infark.
Dosis
yang
direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000 U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam). APTT selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali. Antikoagulan alternatif pada pasien STEMI adalah lowmolecular-weight heparin (LMWH). Pada penelitian ASSENT-3 enoksaparin dengan tenekteplase dosis penuh memperbaiki mortalitas, reinfark di RS dan iskemia refrakter di RS. 2. Penyekat beta (Beta-blocker) Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi: yang terjadi segera bila obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius. Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk yang mendapat terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik atau riwayat asma). 3. Inhibitor ACE Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE yang jelas. Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau
infark inferior, riwayat infark sebelumnya dan/atau fungsi ventrikel kiri menurun global), namun bukti menunjukkan manfaat jangka pendek terjadi jika inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan hemodinamik stabil pada STEMI (pasien dengan tekanan darah sistolik >100 mmHg). Mekanismenya melibatkan penurunan remodeling ventrikel pasca infark dengan penurunan risiko gagal jantung. Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark. Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan dengan pemeriksaan pencitraan menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif. Penelitian klinis dalam tatalaksana pasien gagal jantung termasuk data dari penelitian pada pasien STEMI menunjukkan bahwa ARB mungkin bermanfaat pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri menuru
Komplikasi dan Prognosis IMA dapat memberikan komplikasi seperti aritmia (takiaritmia, bradiaritmia), disfungsi ventrikel kiri, hipotensi, gagal jantung, syok kardiogenik, perikarditis dan lain-lain. Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca IMA. Prognosis IMA dengan melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara klinis dinilai menggunakan klasifikasi Killip: Kelas I
II
Definisi Tidak ada tanda gagal jantung kongestif + S3 dan/atau ronki basah di basal paru
Proporsi pasien
Mortalitas(%)
40-50%
6
30-40%
17
III
Edema paru akut
10-15%
30-40
IV
Syok kardiogenik
5-10%
60-80
Klasifikasi Killip pada IMA Skor risiko TIMI merupakan salah satu dari beberapa stratifikasi risiko pasien infark dengan ST elevasi, yakni: Faktor risiko (bobot)
Skor risiko/mortalitas 30 hari (%)
Usia 65-74 (2) atau usia >75 (3) DM/HT/angina (1) SBP<100 (3) HR >100 (2) Klasifikasi killip II-IV (2) Berat <67 kg (1) ST elevasi anterior atau LBBB (1) Waktu ke reperfusi >4jam (1) (skor maksimum 14 poin)
0(0,8) / 1(1,6) 2(2,2) 3(4,4) 4(7,3) 5(12,4) 6(16,1) 7(23,4) 8(26,8) >8(35,9)
DAFTAR PUSTAKA 1.
ACC/AHA 2007 guidelines for the management of patients with unstable angina/non – ST-elevation myocardial infarction. A report of the American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force on Practive Guidelines. J Am Coll Cardiol. 2007; DOI:10.1016/j.jacc.2007.02.028. available at : http://content.onlinejacc.org/cgi/content/ full/50/7/e1.
Circulation.2007;
DOI :10.1161/CIRCULATIONAHA.107.185752.
available at : http://cir.ahajournals.org/cgi/reprint/CIRCULATIONAHA.107.185752. 2.
The 2007 Focused Update of the ACC/AHA Guidelines for Management of Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction (journal of the American College of Cardiology published ahead of print on December 10,2007, available at http://content.onlinejacc. org/cgi/content/full/j.jacc.2007.10.001
3.
ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With ST-Elevation Myocardial Infaction—Executive Summary: A Report of the American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Writing Committee to Revise the 1999 Guidelines for the Management of Patients with Acute Myocardial Infarction). Circulation. 2004;110:588-636. Available at: http://circ.ahajournals.org/ content/111/15/2013/1/full.pdf
4.
Management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent STsegment elevation. European Heart Journal 2002;23:1809-1840
5.
Killip T, Kimball JT (Oct 1967). “Treatment of myocardial infarction in a coronary care unit. A two year experience with 250 patients”. Am J Cardiol. 20 (4): 457–64
6.
ESC Guidelines for the Management of Acute Myocardial Infarction in Patients Presenting with Persistent ST segmen Elevation. Europen Heart Journal 2008;29:2909-2945
7.
Pedoman PERKI 2004 Tatalaksana Sindrom Koroner Akut dengan ST-elevasi
8.
Pedoman PERKI 2004 Tatalaksana Sindrom Koroner Akut tanpa ST-elevasi
9.
ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-segment elevation. Eur Heart Journal 2011;32:2999-3054