FAKTOR-FAKTOR YANG MELATAR BELAKANGI PERSEPSI PENDERITA KUSTA TERHADAP STIGMA PENYAKIT KUSTA ( Studi Kualitatif )
TESIS
Untuk memenuhi persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2 Magister Promosi Kesehatan
Soedarjatmi E4C006118
PROGRAM STUDI MAGISTER PROMOSI KESEHATAN PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008 TESIS
FAKTOR-FAKTOR YANG MELATAR BELAKANGI PERSEPSI PENDERITA KUSTA TERHADAP STIGMA PENYAKIT KUSTA Disusun oleh SOEDARJATMI E4C006118 Telah dipertahankan di depan tim penguji pada tanggal 04 Desember 2008 dan dinyatakan telah memenuhi syarat Menyetujui Dewan Penguji
Pembimbing I
Pembimbing II
Dra. VG. Tinuk Istiarti, Mkes Widagdo,SKM,MHPEd. NIP. 131 764 483
DR.Laksmono NIP. 130 422 787
Penguji I
Penguji II
dr. Harbandinah P, SKM NIP. 130 354 865
Priyadi Nugraha, SKM, M.Kes NIP. 132 046 693
Mengetahui Ketua Program Studi Magister Promosi Kesehatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro
Drg. Zahroh Shaluhiyah, MPH, PhD NIP. 131 627 954
PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Soedarjatmi Nim
: E4C006118
Menyatakan bahwa tesis judul: ” FAKTOR-FAKTOR YANG MELATAR BELAKANGI PERSEPSI PENDERITA KUSTA TERHADAP STIGMA PENYAKIT KUSTA ” merupakan : 1. Hasil karya yang dipersiapkan dan disusun sendiri 2. Belum pernah disampaikan untuk mendapatkan gelar pada program Magister atau program lainnya. Oleh karena itu pertanggung jawaban tesis ini sepenuhnya berada pada diri saya. Demikian Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Semarang, 18 Desember 2008 Penyusun
Soedarjatmi NIM : E4C006118
RIWAYAT HIDUP Riwayat pendidikan penulis: 1. Tahun 1976 Lulus SD Negeri 07 di Surakarta 2. Tahun 1980 Lulus SMP Negeri 02 di Surakarta 3. Tahun 1983 Lulus SMA Negeri 04 di Surakarta 4. Tahun 1986 Lulus AkademiFisioterapi di Surakarta 5. Tahun 2004 Lulus Sarjana Kesehatan Masyarakat Undip di Semarang 6. Tahun 2006 masuk Magister Promosi Kesehatan Universitas Diponegoro Semarang Lulus tahun 2008
Riwayat pekerjaan penulis: 1. Tahun 1986 sampai dengan tahun 1993 bekerja dibagian Fisioterapi RS. Bethesda Yogyakarta. 2. Tahun 1993 sampai dengan sekarang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di RSUD Tugurejo Semarang.
KATA PENGANTAR Bismillaahirrahmaanirrahiim
Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas karunia yang dilimpahkan
kepada
penulis,
sehingga
pada
akhirnya
penulis
dapat
menyelesaikan penyususnan tesis ini. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mencapai derajat Magister Pascasarjana Program Studi Magister Promosi Kesehatan Universitas Diponegoro Semarang. Keberhasilan
penyusunan tesis ini tidak lepas dari
bantuan dan dorongan berbagai pihak. untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya, semoga segala bantuan, bimbingan, nasehat dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis menjadi amal kebaikan dan mendapat ganti yang lebih baik dari Allah SWT. Terimakasih penulis sampaikan kepada: 1. Ibu drg. Zahroh Shaluhiyah, MPH,PhD, selaku Ketua Program Studi Magister Promosi Kesehatan Universitas Diponegoro Semarang 2. Ibu Dra. VG. Tinuk Istiarti, MKes, selaku pembimbing utama, yang telah banyak memberi masukan-masukan, bimbingan, nasehat, dorongan dan semangat sehingga selesainya tesis ini. 3. Bapak DR. Laksmono Widagdo, SKM, MHPEd, selaku pembimbing kedua, atas kesediaan dan keikhlasannya serta penuh pengertian telah banyak memberikan bimbingan dan dorongan hingga selesainya tesis ini 4. Ibu dr. Harbandinah P, SKM, selaku penguji yang telah memberikan berbagai pendapat, bantuan dan masukan untuk kebaikan tesis ini 5. Bapak Priyadi Nugraha, SKM, MKes, selaku penguji yang telah memberikan berbagai pendapat dan masukan untuk kebaikan tesis ini
6. Bapak dr. Joko Sugiarto, SpA,. Selaku Direktur RSUD Tugurejo Semarang yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian. 7. Bapak Teleng Warganto,SH, suami tercinta penulis, atas segala pengertian, do’a yang tiada hentinya, dorongan dan nasehatnya hingga terselesainya tesis ini. 8. Putra penulis, Fajar Pradipta dan Wikan Isthika Murti, yang dengan ikhlas penuh pengertian dan selalu berdo’a menyemangati penulis dan membantu dalam mencari bahan di internet dan media lain hingga selesainya tesis ini. You and I, our love will never die. 9. Bapak-Ibu Sayoko, orang tua penulis atas do’a, dukungan dan support bagi penulis. 10. Rekan-rekan penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah banyak membantu dan memberi semangat terus-menerus kepada penulis hingga selesainya tesis ini. Penulis
menyadari
sepenuhnya
bahwa
tesis
ini
masih
banyak
kekurangan, dan jauh dari sempurna. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi baiknya tesis ini. Akhirnya semoga tesis ini bisa bermanfaat, utamanya pada diri penulis dan bagi siapa saja yang membacanya. Semarang, Desember 2008 Penulis
Soedarjatmi NIM. E4C006118
HALAMAN PERSEMBAHAN Kupersembahkan karya ini untuk : Suami tercinta, terima kasih untuk semua perhatian, do’a, dukungan, pengertian, kesetiaan dan kesabarannya. Untuk anak-anakku Fajar Pradipta dan Wikan Isthika Murti atas do’a , pengertian dan bantuan kalian. You and I our love will never die. Semoga selesainya tesis ini menjadi penyemangat keberhasilan studi kalian
MOTTO Sesungguhnya, dimana ada kesulitan disitu ada kelapangan. Karena itu, bila engkau telah selesai dari satu urusan, kerjakanlah urusan lain dengan tekun
( QS : Al Insyirah : 5 dan 7 )
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................................ HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................ HALAMAN RIWAYAT HIDUP ........................................................................ HALAMAN KATA PENGANTAR .................................................................... HALAMAN PERSEMBAHAN.......................................................................... MOTTO........................................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................... DAFTAR TABEL............................................................................................. DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... ABSTRAK.......................................................................................................
i ii iii iv v vii viii ix xi xii xiii xiv xv
BAB I
PENDAHULUAN .......................................................................... A. Latar Belakang ....................................................................... B. Perumusan Masalah .............................................................. C. Tujuan Penelitian ................................................................... D. Ruang Lingkup ....................................................................... E. Manfaat Penelitian ................................................................. F. Keaslian Penelitian ................................................................
1 1 4 5 5 6 7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ A. Penyakit Kusta ....................................................................... 1. Definisi penyakit kusta ..................................................... 2. Faktor-faktor yang menentukanterjadinya sakit kusta ...... 3. Diagnosa sakit kusta ........................................................ 4. Tanda-tanda tersangka kusta (suspek) .......................... 5. Klasifikasi ......................................................................... 6. Reaksi kusta .................................................................... 7. Pengobatan ...................................................................... 8. Kecacatan akibat penyakit kusta ...................................... B. Persepsi ................................................................................. C. Stigma .................................................................................... D. Persepsi penderita tentang stigma penyakit kusta ................ E. Penanganan Penyakit Kusta di RSUD Tugurejo Semarang .. F. Landasan Teori ....................................................................... 1. Perilaku menurut L.W. Green ............................................. 2. Perilaku menurut Rosenstock (HBM).................................. F. Kerangka teori ........................................................................
11 11 11 11 15 16 17 18 22 23 24 27 29 32 35 35 37 41
BAB III
METODE PENELITIAN ................................................................ 42 A. Kerangka Konsep .................................................................. 42 B. Pertanyaan Penelitian ............................................................ 43
C. D. E. F. G. H. I. BAB IV
Jenis dan Rancangan Penelitian ........................................... Populasi dan Sampel Penelitian ........................................... Variabel penelitian dan Definisi Operasional ......................... Instrumen yang Digunakan .................................................... Sumber Data, Teknik Pengolahan dan Analisa Data ............. Validitas dan Reabilitas Data ................................................. Keterbatasan Penelitian..........................................................
43 45 46 48 49 51 52
HASIL PENELITIAN ..................................................................... 54 A. Gambaran Umum penderita kusta yang berobat di RSUD Tugurejo Semarang ............................................................................... 54 B. Karakteristik Responden ......................................................... 55 1. Umur dan jenis kelamin responden .................................... 55 2. Pendidikan responden ........................................................ 55 3. Pekerjaan responden .......................................................... 55 4. Berdasarkan status nikah ................................................... 56 5. Berdasarkan lama menderita penyakit kusta....................... 56 C. Faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta .............................................. 56 1. Stigma penyakit kusta ...................................................... 56 2. Persepsi penderita terhadap kemudahan kemungkinan terkena penyakit................................................................ 61 3. Persepsi penderita terhadap kegawatan penyakit ............ 65 4. Persepsi penderita terhadap manfaat berperilaku positip. 70 5. Persepsi penderita terhadap risiko berperilaku negatip .... 76 6. Faktor Internal yang melatar belakangi persepsi penderita terhadap stigma penyakit kusta ........................................ 78 7. Faktor Ekternal yang melatar belakangi persepsi penderita terhadap stigma penyakit kusta ........................................ 83
BAB V
PEMBAHASAN............................................................................ 86 A. Pembahasan ........................................................................... 86 1. Karakteristik responden .................................................... 86 2. Faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi responden 87 a. Stigma penyakit kusta ................................................... 87 b. Persepsi terhadap kemudahan kemungkinan terkena penyakit kusta ................................................................ 88 c. Persepsi terhadap kegawatan penyakit ........................ 89 d. Persepsi terhadap manfaat berperilaku positip............. 89 e. Persepsi terhadap risiko berperilaku negatip ................ 90 f. faktor Internal yang melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta............................ 91 g. Faktor Ekternal yang melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta............................ 92 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 95 A. Kesimpulan ............................................................................ 95 B. Saran ..................................................................................... 96 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL Nomor Tabel Judul Tabel Tabel 1.1 Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4
Halaman
Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dan rencana peneliti ....................................................................... Klasifikasi / tipe penyakit kusta menurut WHO ......................... Beda reaksi berat dan ringan..................................................... Perbedaan reaksi berat dan ringan tipe I .................................. Perdedaan reaksi tipe I dan II ...................................................
7 17 19 20 21
DAFTAR GAMBAR Nomor Gambar Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar 3.1
Judul Gambar
Halaman
Perseptual............................................................................ 24 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi penderita ....... 27 Alur Pelayanan Pasien Poliklinik Khusus penyakit kusta..... 34 Faktor yang berpengaruh terhadap perubahan perilaku individu atau kelompok...................................................................... 37 Basics of Health Belief Model.............................................. 39 Kerangka Teori modifikasi teori L.W Green dan teori HBM. 41 Kerangka konsep penelitian ................................................ 42
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5
Panduan wawancara mendalam dengan responden Panduan wawancara mendalam dengan suami, ayah, paman, tetangga dan teman penderita kusta. Hasil wawancara dengan Responden Hasil wawancara dengan Informan Foto-foto penelitian
DAFTAR SINGKATAN RSUD MB PB WHO MDT DDS BTA ENL HBM PHBS
: Rumah Sakit Umum Daerah : Multi Basiler : Pausi Basiler : World Health Organization : Multi Drug Therapy : Diamino Diphenyl Sulphone : Bakteri Tahan Asam : Eritema Nodusum Leprosum : Health Belief Model : Perilaku hidup Bersih dan Sehat
Program Pasca Sarjana Magister Promosi Kesehatan Universitas Diponegoro Semarang 2008 Abstrak SOEDARJATMI (E4C006118) xvi + 97 halaman + 5 tabel + 7 gambar + 45 kotak (studi Kualitatif) FAKTOR-FAKTOR YANG MELATAR BELAKANGI PERSEPSI PENDERITA KUSTA TERHADAP STIGMA PENYAKIT KUSTA Di Jawa Tengah pada tahun 2006 ditemukan 4.171 orang penderita kusta terdaftar, penderita yang sudah dalam keadaan cacat berjumlah 241, penderita usia anak 163 dan penderita yang sedang diobati 1.989 orang. Kurangnya pengetahuan penderita kusta tentang penyakit ini menyebabkan timbulnya persepsi negatif yaitu stigma tentang penyakit kusta. Tujuan penelitian untuk mendiskripsikan faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta. Penelitian ini dilakukan dengan metode diskriptif kualitatif yang menggunakan rancangan studi kasus. Responden dipilih secara porposif terdiri dari penderita kusta yang berobat ke RSUD Tugurejo sebanyak 8 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, selanjutnya data di analisis dengan content analysis (diskripsi isi). Hasil penelitian menunjukkan, Penderita kusta berpersepsi bahwa, penyakit kusta merupakan penyakit menular, dapat menimpa semua orang, terutama orang yang tidak melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan sebagian besar resonden tidak mengetahui cara penularan penyakit kusta. Penderita kusta berpersepsi bahwa, penyakit kusta merupakan penyakit yang berbahaya dan serius, bisa menimbulkan kematian atau kecacatan seumur hidupnya. Penderita kusta berpersepsi, berperilaku positip ditunjukkan dengan berobat secara rutin, melakukan perawatan diri dengan rajin dan mau berinteraksi dengan lingkungan. Penderita kusta berpersepsi, berperilaku negatip yaitu tidak mau berobat karena malu, mengucilkan/mengisolasikan diri dan putus asa. Semua responden berpersepsi bahwa masyarakat disekitar tempat tinggal dan teman-temannya tidak mengetahui bahwa responden menderita kusta dan responden berpersepsi sikap membatasi diri, menutupi kekurangannya/kecacatannya merupakan tindakan untuk mengurangi stigma. Disarankan bagi Puskesmas untuk memberikan promosi kesehatan penyakit kusta yang mampu membentuk pengertian yang benar dan positip serta untuk melaksanakan pengobatan secara rutin. Bagi RSUD Tugurejo, agar mengoptimalkan pelayanan Rehabilitasi Medik, Perlu adanya suatu kelompok penderita kusta dengan program kegiatan untuk meningkatkan motivasi dan upaya pencegahan kecacatan. Perlunya program monitoring dan evaluasi bagi pasien yang sudah dinyatakan sembuh dari penyakit kusta. Bagi Penderita Kusta dan Keluarga agar berobat secara teratur, melakukan perawatan diri dan melaksanakan PHBS. Kata kunci : Persepsi, Stigma, Kusta Daftar Pustaka : 45 ( 1975 – 2007 )
Post-Graduate Programme Magister Of Health Promotion Diponegoro University of Semarang 2008 Abstracts SOEDARJATMI (E4006118) " THE LEPROSY PATIENT BACKGROUND'S FACTORS CONCERNING LEPROSY DISEASE STIGMA " xvi + 97 + 5 tables + 7 picture + 45 appendix In year 2006 detected 4.171 leprosy patient registered in Central of Java, out of those 241 leprosy patient had been physical defected condition, 163 child age patient , 1989 patient had being cured. The lack knowledge of such a disease by leprosy patient bringing on negative perception arising out that is the leprosy disease stigma. The objective of research is to discribe the Leprosy patient background's factors concerning leprosy disease stigma . The reasearch had been done in qualitative descriptive method which use the study case program.The respondent were chosed propotion from the leprosy patient who were being in medical treatment at Tugurejo Hospital to the number of 8 patient. The data collection were being done indepth-interview , furthermore the data were being analysed with content analysis. The result of Research indicate that leprosy patient have perception that leprosy is contagion to everybody ,particularly for those who not having clean dan healthy live behavior and much of the respondent did not know how the leprosy desease spreading. The Leprosy patient have persception that leprosy desease is a dangerous and serious desease which is may caused death and physical defect along life. The leprosy patient have perception that postive behavior refer to routine check up , frequently self care and want to interact with their neighborhood. The leprosy patient have perception that negative behavior refer to not to get nursery because of ashame,self isolation and desperate. All of the respondent have the same perception that the neighborhood and their friends did not know that the respondent having leprosy disease so they have perception introvert behavior, cover their deformity are the action to reduce stigma. Suggestion: The "Puskesmas" to give leprosy disease health promotion which is enable to form the right understanding and positive as well as conducting routine medicinal treatment. For the Tugurejo Hospital in order to optimize Medical Rehabilitation Service, The need for the leprosy patient group existence by means of such activity program to improve the motivation and preventing physical defect effort. The need for leprosy patient and family evaluation and monitoring program in order to get medicinal treatment consecutively, conducting self treatment and carry on having clean dan healthy live behavior. Keyword : Perception, Stigma and Leprosy. Bibliography : 43 (1975 - 2007)
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Penyakit kusta merupakan penyakit menular yang menahun disebabkan
oleh kuman kusta (mycobacterium leprae) menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat. Tanda utama penyakit ini adalah adanya bercak putih atau kemerahan yang mati rasa (anaestesi). Penyakit kusta berkembang lambat dengan masa tunas rata-rata 2 – 5 tahun kadang bisa lebih. Penularan terjadi dari seorang penderita yang tidak diobati ke orang lain melalui pernafasan atau kontak langsung yang lama dan terus menerus (1). Penyakit kusta
mempunyai pengaruh yang luas pada kehidupan
penderita mulai dari perkawinan, pekerjaan, hubungan antar pribadi, kegiatan bisnis sampai kehadiran mereka pada acara –acara keagamaan serta acara di lingkungan masyarakat (2) Penyakit kusta juga menimbulkan masalah yang sangat kompleks, masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, psikologis, budaya, keamanan dan ketahanan nasional
(1)
. Kecacatan
yang berlanjut dan tidak mendapatkan perhatian serta penanganan yang tidak baik akan menimbulkan ketidak mampuan melaksanakan fungsi sosial yang normal serta kehilangan status sosial secara progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga dan teman-temannya
(7)
. Sedangkan secara psikologis bercak,
benjolan-benjolan pada kulit penderita membentuk paras yang menakutkan. Kecacatannya juga memberikan gambaran yang menakutkan menyebabkan
penderita kusta merasa rendah diri, depresi dan menyendiri bahkan sering dikucilkan oleh keluarganya. Suatu kenyataan bahwa sebagian besar penderita kusta berasal dari golongan ekonomi lemah keadaan tersebut turut memperburuk keadaan (1). Penderita kusta masih banyak di Indonesia jumlah penderita barupun masih banyak ditemukan. Tiga besar provinsi dengan penemuan penderita baru tertinggi tahun 2006 adalah
Jawa Timur 5.068 penderita, Jawa Barat 2.188
penderita dan Jawa Tengah 1.788 penderita. Jumlah penduduk di Jawa Tengah 32.11.500 terdapat 4.171 (0,0013%) orang menderita kusta terdaftar masyarakat menjauhi karena merasa jijik dan takut hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan atau pengertian juga kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta. Masyarakat masih banyak beranggapan bahwa kusta disebabkan oleh kutukan, guna-guna, dosa, makanan ataupun keturunan. Diera modern ini muncul istilah “stigmatisasi” yang lebih mencerminkan “kelas” daripada fisik. Proses inilah yang pada akhirnya membuat para penderita terkucil dari masyarakat, dianggap menjijikan dan harus dijauhi. Sebenarnya stigma ini timbul karena adanya suatu persepsi tentang penyakit kusta yang keliru. Salah satu misi Depertemen Kesehatan dalam pemberantasan penyakit kusta adalah menghilangkan stigma sosial (ciri negatip yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya) dengan mengubah persepsi masyarakat terhadap penyakit kusta melalui pembelajaran secara intensif tentang penyakit kusta.
(1).
Menurunkan stigma dan mengurangi diskriminasi
mendorong perilaku masyarakat dalam menerima penderita kusta. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan percaya diri penderita dan keluarga dalam kehidupan sehari –hari.
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tugurejo Semarang merupakan Rumah Sakit kelas B milik Provinsi Jawa Tengah. Terletak di Semarang bagian barat, sebelum menjadi rumah sakit umum merupakan Rumah Sakit Khusus penderita kusta, sampai saat ini RSUD Tugurejo masih memberikan pelayanan penyakit kusta dan menjadi pusat rujukan serta pendidikan penyakit kusta di Jawa Tengah. Data kunjungan rawat jalan penderita kusta setiap tahun meningkat, tahun 2005 adalah 3.839 pasien, tahun 2006 berjumlah 3.975 dan tahun 2007 sebanyak 4.127 kunjungan.
(5)
Tahun 2007 poli klinik khusus penderita kusta menemukan
192 kasus penderita baru. Jumlah penderita rawat inap kkusus kusta tahun 2005 adalah 190 pasien, tahun 2006 sebanyak145 penderita dan tahun 2007 terdapat 130 penderita yang harus dirawat. (6) Dari pengamatan awal yang telah dilakukan peneliti ditemukan beberapa perilaku
penderita kusta yang berobat di RSUD Tugurejo berbeda dengan
penderita penyakit lainnya, diantaranya mereka selalu mengambil tempat di belakang atau di sudut ruang saat menunggu giliran diperiksa. Sebagian besar mereka menundukkan kepalanya dan penderita laki-laki menggunakan topi. Jika diajak bicara mereka tidak menatap lawan bicaranya dan sebagian besar memakai baju lengan panjang. Survey awal yang dilakukan peneliti pada bulan Oktober 2007 terhadap 10 orang penderita
kusta
memperoleh hasil bahwa
masih ada persepsi negatif (stigma) penderita kusta terhadap penyakit kusta Atas dasar hal tersebut diatas maka perlu diteliti mengenai faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita terhadap stigma penyakit kusta.
B.
Perumusan masalah Penderita kusta semakin hari semakin bertambah, data di poli klinik khusus
penderita kusta RSUD Tugurejo Semarang sejak tahun 2005 bukannya menurun tetapi dari tahun ketahun menunjukan meningkatan jumlah kunjungan, bahkan tahun 2007 rata-rata kunjungan pasien baru (penderita baru yang belum pernah minum obat) berjumlah 16 orang per bulan. Di Jawa Tengah pada tahun 2006 ditemukan penderita baru sebanyak 1.788 orang. Berabad–abad lamanya berbagai mitos dan kepercayaan menciptakan proses stigma terhadap para penderita kusta, pada saat itu beberapa negara mengeluarkan undang-undang yang mengharuskan sterilisasi orang yang terkena penyakit kusta, mereka dikucilkan dan dikarantina. Berkaitan dengan fenomena stigma yang ternyata memang masih ada di masyarakat luas, maka perlu pembelajaran yang benar kepada masyarakat luas tentang kesalahan dalam memahami penyakit kusta. Kurangnya pengetahuan masyarakat khususnya penderita kusta tentang penyakit ini menyebabkan timbulnya persepsi negatip yaitu stigma tentang penyakit kusta , persepsi yang demikian akan menambah beban penderita. Mereka menganggap benar tentang persepsi tersebut sehingga mereka akan mengisolasikan diri dari lingkungannya. Mereka tidak akan berobat karena harus pergi kesarana kesehatan yang dengan sendirinya harus keluar rumah, bertemu dengan tetangga, kerabat dan petugas kesehatan, penderita takut penyakitnya diketahui orang lain. Hal ini merupakan masalah besar bagi diri sendiri karena rentan terjadi kecacatan dan bagi lingkungannya karena penderita ini merupakan sumber penularan. Sebaliknya jika penderita mempunyai persepsi positip yaitu
percaya bahwa penyakit ini disebabkan oleh kuman dan bisa disembuhkan maka hal ini dapat membantu penderita untuk lebih percaya diri dan mempunyai motivasi juga dorongan untuk berobat agar cepat sembuh dan tidak terjadi kecacatan. Dari uraian tersebut diatas maka dirumuskan
masalah dalam penelitian ini dapat
sebagai berikut : “Faktor – faktor apa saja yang melatar belakangi
persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta ?”
C.
Tujuan 1. Tujuan Umum Mendiskripsikan faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita
kusta terhadap stigma penyakit kusta. 2. Tujuan Khusus a. Mendiskripsikan karasteristik responden. b. Mendiskripsikan stigma tentang penyakit kusta menurut persepsi responden. c. Mendiskripsikan
persepsi
penderita
terhadap
kemudahan
kemungkinan terkena penyakit. d. Mendiskripsikan persepsi penderita terhadap kegawatan penyakit. e. Mendiskripsikan persepsi penderita terhadap manfaat berperilaku positip. f.
Mendiskripsikan persepsi penderita terhadap risiko berperilaku negatip.
D.
Ruang Lingkup Penelitian
1.
Lingkup Masalah Masalah dibatasi pada Faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta.
2.
Lingkup Sasaran Sasaran penelitian adalah penderita kusta.
3.
Lingkup Keilmuan Penelitian ini termasuk dalam ilmu kesehatan masyarakat bidang promosi kesehatan khususnya kajian materi perilaku.
4.
Lingkup Metode Metode penelitian yang dilaksanakan adalah metode kualitatif
5.
Lingkup Lokasi dan waktu Penelitian dilaksanakan di kota Semarang yaitu di RSUD Tugurejo Semarang pada bulan Juni 2008.
E.
Manfaat Penelitian 1. Bagi Puskesmas dapat dijadikan
masukan dalam pemberian
penyuluhan dan melakukan pendekatan terhadap penderita kusta dalam rangka menurunkan angka kesakitan kusta.
2.
Bagi unit Pelayanan Kesehatan RSUD Tugurejo, dapat dipergunakan
sebagai bahan informasi dan support yang dapat disampaikan kepada penderita saat berobat agar penderita tidak mempunyai persepsi yaitu
stigma
penyakit
kusta
pengobatan yang sedang dijalani.
sehingga
tidak
menghambat
salah proses
3.
Bagi Program Promosi Kesehatan
Merupakan sumbangan bagi khasanah pustaka di program pendidikan Promosi Kesehatan, khususnya untuk mata kuliah perilaku kesehatan.
4.
Bagi Peneliti, penelitian ini sebagai pengalaman langsung dalam
melakukan penelitian terutama dengan metode kualitatif dan penulisan hasil penelitian dalam bentuk tulisan ilmiah.
F.
Originalitas Penelitian Penelitian tentang penyakit kusta telah banyak dilakukan tetapi sepanjang
pengetahuan peneliti, penelitian tentang faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta di Kota Semarang secara kualitatif belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Penelitian tentang penyakit kusta yang pernah dilakukan sebelumnya dan rencana peneliti selengkapnya dapat ditampilkan dalam tabel 1.1 dibawah ini.
Tabel 1.1 Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dan rencana peneliti. Judul dan nama Peneliti
1.Faktor-faktor risiko
yang
berhubungan dengan
Metode dan Jenis penelitian
Sasaran
Analitik
Penderita
kuantitatif
Kusta
dengan rancangan
Variabel yang diteliti
Umur,
Hasil
jenis Ada
kelamin,
hubungan
tingkat
antara
pendidikan,
beberapa
penelitian Case
kecacatan kusta
di
Control
kabupaten Tegal
sosial faktor
status
oleh
risiko
ekonomi,
karasteristik
Jenis
individu,
pekerjaan,
aspek
Joko Kurnianto,
tipe
kusta, penyakit
2002
reaksi
kusta, kusta
klinis
dan
keteraturaan
aspek
berobat,
pengobatan
motivasi
terhadap
keluarga,loka
kecacatan
si
pada
lesi,pencegah
penderita
an cacat dan kusta perawatan diri
di
Kabupaten Tegal
2.Faktor-faktor yang berhubungan dengan
perilaku
Analitik kuantitatif dengan
Guru UKS
jenis Ada
Umur, kelamin,
hubungan
pendidikan,
yang
dalam
rancangan
status
bermakna
upaya deteksi dini
penelitian
kepegawaian,
antara
guru
UKS
penderita
kusta
Cross Sectional
masa
kerja, pendapatan
pada anak SD di
pendapatan,
dengan
Kabupaten
pengetahuan,
praktik
sikap,
deteksi
Blora
oleh Warijan, 2005
dini
peranan guru penderita dan kusta
UKS praktik
peranan
deteksi
dini petugas
penderita kusta anak
kesehatan
pada dengan di praktik
dan
Kabupaten
deteksi
Blora.
kusta
dini di
Kabupaten Blora.
3.Faktor-fartor yang berhubungan dengan
praktek
Wasor
Umur,
kuantitatif
Kusta
kelamin,
hubungan
pendidikan,
yang
dengan
kusta
rancangan
pelatihan,
signifikan
penemuan
penelitian
pengetahuan,
antara
pengawas dalam
jenis Ada
Analitik
penderita
baru
sikap, praktik pengetahuan
Cross Sectional
kusta di Kabupaten
penemuan
dan
Blora
penderita
wasor
oleh
Agus
baru,
Prasetyo, 2007
kusta
dan dengan praktik
peranan Wasor
peranan
kusta penemuan
di Kabupaten penderita baru kusta di
Blora
Kabupaten Blora
4. Beberapa faktor
Analitik
Penderita
yang berhubungan
kuantitatif
kusta
dengan penderita
praktek kusta
Umur,
jenis Hubungan
kelamin,
pendidikan
dengan
pendidikan,
ber pengaruh
rancangan
pendapatan
terhadap
keluarga,
praktik
pengetahuan,
pencarian
puskesmas
sikap,
pengobatan
Kunduran
dukungan
kusta
dalam
pencarian
pengobatan
di
penelitian Cross Sectional
di
Kabupaten
Blora
keluarga dan Puskesmas
oleh
Dian
praktik
Kunduran.
penderita
Faktor umur,
Nugraheni, 2005
kusta
dalam jenis kelamin, pendapatan,
mencari
pengobatan di pengetahuan, puskesmas
dukungan
Kunduran
keluarga dan sikap
secara
bermakna tidak berhubungan dengan praktek penderita dalam mencari pengobatan.
5. Rencana
Deskriptif
Penderita
Penelitian.
kualitatif
kusta
Judul
:
Faktor-
faktor yang melatar
Umur,
jenis Mengetahui
kelamin,
dan
dengan indepth
pendidikan,
menguraikan
interview
pekerjaan,
faktor-faktor
sakit, apa saja yang
belakangi persepsi
lama
penderita
kusta
faktor internal, melatar
terhadap
stigma
faktor
belakangi
penyakit kusta oleh
ekternal,
persepsi
Soedarjatmi, 2008
persepsi
penderita
penderita
kusta
tentang:
sehingga
kemudahan
penderita
kemungkinan
merasa
terkena
terstigma
penyakit,
karena
kegawatan
penyakitnya.
penyakit, manfaat berperilaku positif, persepsi penderita terhadap risiko berperilaku negatif stigma penderita kusta.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
dan
Pada bab ini penulis menguraikan tentang : A. Penyakit kusta,
B.
Mengenai persepsi, C. Tentang stigma, D. Persepsi penderita tentang stigma penyakit kusta, E. Landasan Teori yaitu 1. Perilaku menurut L.W. Green, 2. Perilaku menurut Rosenstock (HBM) dan F. Kerangka teori.
A. Penyakit Kusta 1. Definisi Penyakit Kusta Penyakit Kusta juga dikenal sebagai lepra atau Morbus Hansen adalah penyakit menular menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium lepra) yang terutama menyerang saraf tepi dan organ tubuh kecuali susunan saraf pusat.
2. Faktor – faktor yang menentukan terjadinya sakit kusta a. Penyebab. Mycobacterium leprae untuk pertama kali ditemukan oleh G.A. Hansen dalam tahun 1873. kuman kusta ini berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 8 mic, lebar 0,2 – 0,5 mic, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu – satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam. Waktu pembelahan sangat lama yaitu 2 – 3 minggu. Diluar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dapat bertahan sampai 9 hari. b. Sumber penularan Sampai saat ini hanya manusia yang dianggap sebagai sumber penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada Armandillo, Simpanse dan pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar Thymus. c. Cara keluar dari Penjamu (Host)
Kulit dan mukosa hidung telah lama diketahui sebagai sumber dari kuman. Telah terbukti bahwa saluran nafas bagian atas dari penderita lepramatous (tipe MB, yang jumlah bakterinya banyak) merupakan sumber kuman yang terpenting di dalam lingkungan. d. Cara Penularan Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi Basiler (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Kusta mempunyai masa inkubasi 2 – 5 tahun, akan tetapi dapat juga bertahun–tahun. Penularan terjadi apabila M.Lepra yang solid (hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta, secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang erat dan lama dengan penderita, penderita yang sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO tidak menjadi sumber penularan kepada orang lain. Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah dan tidak perlu ditakuti, semua itu tergantung dari beberapa faktor antara lain : 1) faktor sumber penularan, adalah penderita MB saja. Penderita inipun tidak akan menularkan apabila berobat teratur. 2) Faktor kuman kusta, kuman kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1 – 9 hari tergantung pada suhu atau cuaca dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan penularan. 3) faktor daya tahan tubuh, sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil penelitian menunjukan gambaran sebagai berikut : Dari 100 orang yang terpapar 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa diobati dan 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan.
e. Cara masuk ke dalam tubuh Tempat masuk kuman kusta kedalam tubuh sampai saat ini belum dapat dipastikan, diperkirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernafasan bagian atas. f.
Tuan rumah Hanya sedikit orang yang akan terjangkit penyakit kusta setelah kontak
dengan penderita, hal ini disebabkan karena adanya immunitas seseorang dalam lingkungan tertentu akan termasuk dalam salah satu dari tiga kelompok berikut ini yaitu : 1). Bila orang tersebut mempunyai kekebalan tubuh yang tinggi merupakan kelompok terbesar yang telah atau akan menjadi resisten / kebal terhadap kuman kusta. 2).Bila orang tersebut memilki kekebalan rendah terhadap kuman kusta mungkin akan menderita penyakit kusta yang dapat sembuh sendiri. 3). Bila orang tersebut tidak mempunyai kekebalan terhadap kuman kusta merupakan kelompok terkecil dan mudah menderita kusta yang stabil dan progresif. Sistim kekebalan yang efektif melawan kuman kusta adalah sistim kekebalan seluler. Tidak pada semua penderita terdapat banyak Mycobacterium leprae yang hidup sehingga hanya kira-kira 5 – 15 % dari penderita kusta yang dapat menularkan penyakit. Dilain pihak manusia sebagian besar kebal (95%) terhadap kusta hanya sebagian kecil yang dapat ditulari (5%). Dari sebagian kecil ini 70% dapat sembuh dan hanya 30% yang dapat menjadi sakit.
Seseorang dalam lingkungan tertentu akan termasuk dalam salah satu dari tiga kelompok berikut ini yaitu : 1). Penjamu yang mempunyai kekebalan tubuh tinggi merupakan kelompok terbesar yang telah atau akan menjadi resisten terhadap kuman kusta. 2). Penjamu mempunyai kekebalan rendah terhadap kuman kusta bila menderita kusta biasanya tipe PB. 3). Penjamu yang tidak mempunyai kekebalan terhadap kuman kusta yang memrupakan kelompok terkecil, bila menderita kusta biasanya tipe MB
g. Cara pemutusan mata rantai penularan Penentuan kebijaksanaan dan metoda pemberantasan penyakit kusta sangat ditentukan oleh pengetahuan epidemiologi kusta dan perkembangan ilmu dan teknologi di bidang kesehatan. Upaya pemutusan mata rantai penularan dapat dilakukan melalui : 1). Pengobatan MDT pada penderita kusta 2). Isolasi terhadap penderita kusta namun hal ini tidak dianjurkan karena penderita yang sudah berobat tidak akan menularkan penyakit ke orang lain. 3). Vaksinasi BCG pada kontak serumah dengan penderita kusta. Kondisi sosial ekonomi diperkirakan memainkan peranan penting dalam upaya pemberantasan kusta. Perbaikan kondisi sosial ekonomi menghasilkan penurunan insidens kusta meskipun faktor-faktor yang mendukung penurunan ini tidak diketahui, kondisi perumahan, jumlah jiwa dalam satu rumah tangga dan jumlah anggota keluarga diperkirakan merupakan faktor penting
3. Diagnosa Kusta Diagnosa penyakit kusta hanya dapat didasarkan pada penemuan tanda utama (Cardinal sign) yaitu : a.
Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa Kelainan kulit dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hipopigmentasi)
atau kemerah-merahan (eritematous). Mati rasa dapat bersifat kurang rasa (hipertesi) atau tidak merasa sama sekali (anaestesi). b.
Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis
saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan saraf ini bisa berupa : 1). Gangguan fungsi sensoris : mati rasa. 2). Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise). 3). Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, pembengkaan (edema) dan lain-lain. Peradangan pada penderita kusta (neuritis) dapat dirasakan berupa rasa nyeri namun kadang-kadang penderita tidak merasakan adanya nyeri (silent neuritis). c.
Basil tahan asam (BTA) positif. Bahan pemeriksaan BTA diambil dari kerokan kulit (skin smear) asal
cuping telinga (rutin) dan bagian aktif suatu lesi kulit. Untuk tujuan tertentu kadang jaringan diambil dari bagian tubuh tertentu (biopsi).
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari tanda-tanda utama diatas. Apabila hanya ditemukan cardinal sign
ke-2 dan
petugas ragu orang tersebut dianggap sebagai kasus yang dicurigai (suspek) 4. Tanda-tanda tersangka kusta (Suspek) a. Tanda-tanda pada kulit 1). Kelainan kulit berupa bercak merah atau putih atau benjolan 2). Kulit mengkilap 3). Bercak yang tidak gatal 4). Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut 5). Lepuh tidak nyeri b. Tanda-tanda pada saraf : 1). Rasa kesemutan tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka. 2). Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka. 3). Adanya cacat (deformitas) 4). Luka yang tidak sakit Tanda-tanda tersebut belum dapat digunakan sebagai dasar diagnosa penyakit kusta.
5. Klasifikasi Klasifikasi penyakit kusta bertujuan untuk menentukan regimen pengobatan dan perencanaan operasional. Untuk keperluan pengobatan kombinasi atau multidrug therapy (MDT) yaitu menggunakan gabungan Refampicin, lamprene
dan diamino diphenyl sulphone (DDS) maka penyakit kusta di Indonesia diklasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu : a. Tipe Pausi Basiler (PB) b. Tipe Multi Basiler (MB)
Penyakit kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal yaitu : a. Manifestasi klinik yaitu jumlah lesi kulit, jumlah saraf yang terganggu dan sebagainya. b. Hasil pemeriksaan bakteriologis yaitu skin smear basil tahan asam (BTA) positif atau negatif. Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan bila diagnosa meragukan. Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi / tipe penyakit kusta menurut WHO adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1 klasifikasi / tipe penyakit kusta menurut WHO. Tanda Utama Bercak yang mati rasa / kurang
PB
MB
Jumlah 1 s/d 5
Jumlah > 5
Hanya satu saraf
Lebih dari satu saraf
BTA negatif
BTA positif
rasa di kulit. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi (gangguan fungsi bisa berupa kurang/mati rasa atau kelemahan otot yang dipersarafi oleh yang bersangkutan. Sediaan apusan
Sumber : Depertemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pemberantasan penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Buku pedoman nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta 2005
6. Reaksi kusta a. Pengertian Reaksi kusta atau reaksilepra adalah suatu episode perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu kekebalan (seluler respon) atau reaksi anatigen-antibodi (respon) dengan akibat merugikan penderita terutama padasyaraf tepi yang menyebabkan gangguan fungsi (cacat) . Reaksi ini bisa terjadi
saat
penderita
mendapat
pengobatan
atau
sesudah
mendapat
pengobatan, kasus yang sering terjadi penderita mengalami reaksi pada 6 bulan sampai satu tahun sesudah pengobatan dan berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan, bila reaksi ini tidak di tangani dengan cepat dan tepat maka kecacatan permanen bisa terjadi (misal Claw hand, Drop foot dan lain-lain). b. Jenis Reaksi Jenis reaksi sesuai proses terjadinya dibedakan menjadi 2 yaitu : 1) Reaksi tipe I ( Reaksi Reversal, Reaksi Up grading ) Terjadi pada penderita tipe PB maupun MB dan kebanyakan terjadi pada 6 bulan pertama pengobatan, hal ini terjadi karena meningkatnya respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman kusta dikulit dan saraf penderita dan disi akan terjadi pergeseran tipe kustanya kearah PB. a) Gejala reaksi dapat dilihat pada perubahan kulit, neuritis (nyeri pada saraf), gangguan fungsi saraf tepi dan kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita.
b) Menurut keadaan reaksi maka reaksi tipe I ini dapat dibedakan yaitu reaksiringan dan reaksi berat c) Perjalanan reaksi berlangsung selama 6 – 12 minggu atau lebih
Tabel 2.2 Beda reaksi berat dan ringan pada reaksi tipe I Gejala 1. Lesi Kulit
Reaksi Ringan Reaksi Berat membengkak Tambah aktif, menebal, merah, Lesi panas dan nyeri tekan. Makula sampai ada yang pecah, yang menebal dapat sampai merah teraba panas dan membentuk plaque
nyeri, tangan dan kaki membengkak,
pada
sendi terasa sakit dan ada kelainan kulit baru. 2. Saraf tepi
Tidak ada nyeri tekan saraf dan Nyeri tekan dan / atau gangguan fungsi
gangguan misalnya
fungsi kelemahan
otot. Sumber : Depertemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pemberantasan penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Buku pedoman nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta 2005
2) Reaksi Tipe II (Reaksi ENL = Eritema Nodusum Leprosum) Terjadi pada penderita tipeMB dan merupakan reaksi humoral, dimana kuman kusta yang utuh maupun tidak utuh menjadi antigen.
Tubuh membentuk antibodi dan komplemen (Antigen + antibodi + komplemen = immunokompleks) a. Gejala Gejala dapat dilihat pada perubahan lesi, neuritis (nyeri tekan) dan gangguan fungsi saraf tepi, gangguan konstitusi dan komplikasi pada organ tubuh. b. Perjalanan reaksi Biasanya berlangsung selama 3 minggu atau lebih. Kadang-kadang timbul berulang-ulang dan berlangsung lama. c. Menurut keadaan reaksi, maka reaksi dapat dibedakan reaksi ringan dan reaksi berat. Tabel 2.3 Perbedaan reaksi Berat dan Ringan Tipe I Gejala 1. Lesi Kulit
Reaksi Ringan Nodul
yang
nyeri
tekan,
Reaksi Berat jumlah Nodulnyeri
sedikit biasanya hilang sendiri dalam yang 2-3 hari
tekan,
sampai
(ulseratif), banyak,
ada pecah
jumlah berlangsung
lama. 2. Keadaan
Tidak ada demam atau ringan saja
Umum 3. Syaraf tepi
Demam ringan sampai berat
Tidak ada nyeri tekan, gangguan Ada fungsi
nyeri
tekan,
gangguan fungsi
4. Organ
Tidak ada gangguan organ-organ Terjadi peradangan pada
Tubuh
tubuh
mata : liridocyslitis Testis: Epididimoorchitis Ginjal : Nephritis Kelenjar
Limfe
:
Limfadenitis Gangguan pada tulang
hidung dan tenggororan. Sumber : Depertemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pemberantasan penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Buku pedoman nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta 2005
Tabel 2.4 Perbedaan reaksi Tipe I dan Tipe II No 1
Gejala / tanda Keadaan Umum
Reaksi Tipe I
Reaksi Tipe II
Umumnya baik, demam Ringan
sampai
ringan (sub febril) atau disertai tanpa demam
umum
berat
kelemahan dan
demam
tinggi 2
Peradangan di kulit
Bercak
kulit
lama Timbul
nodul
menjadi lebih meradang kemerahan, lunak dan (merah),
dapat
timbul nyeri tekan. Biasanya
bercak baru
pada tungkai.
lengan
dan
Nodul
dapat
pecah (ulcerasi) 3
Saraf
Sering terjadi umumnya Dapat terjadi berupa nyeri tekan saraf dan / atau gangguan fungsi saraf
4
Peradangan
pada Hampir tidak ada
organ
Terjadi
pada
mata,kelenjar
getah
bening,
ginjal,
sendi,
testis, dll 5
Waktu timbulnya
Biasanya segera setelah Biasanya pengobatan
setelah
mendapatkan pengobatan yang lama, umumnya lebih dari 6 bulan
6
Tipe Kusta
Dapatterjadi pada kusta Hanya pada kusta tipe tipe PB maupun MB
7
Faktor pencetus
MB
Emosi, kelemahan, stess fisik lain, kehamilan, pasca persalinan,obat-obat yang meningkatkan kekebalan tubuh penyakit infeksi lainnya
Sumber : Depertemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pemberantasan penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Buku pedoman nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta 2005
7. Pengobatan Penyakit kusta dapat diobati dan bukan penyakit turunan/kutukan. Pada tipe MB lama pengobatan :12-18 bulan dan tipe PB lama pengobatan : 6 9 bulan Pengobatan penderita kusta menurut WHO menggunakan hemoterapi dengan Multi Drug Treatment ( MDT ) jenis obatnya adalah
Rifampicin, Dapson,
Lamprene tergantung dari tipe penyakitnya. Untuk tipe PB terdiri dari 2 macam obat 2 kapsul Rifampicin 300 mg dan 1 tablet DDS 100 mg untuk hari pertama, hari kedua dan seterusnya 1 tablet DDS 100 mg selama satu bulan, untuk tipe MB menggunakan 2 kapsul Rifampicin 300 mg, 3 kapsul Lamperen 100 mg, 1 tablet DDS 100 mg untuk hari pertama, hari kedua dan seterusnya minum DDS dan Lampren 50 mg masing-masing satu selama satu bulan.
8. Kecacatan akibat penyakit kusta a. Faktor yang mempengaruhi terjadinya kecacatan antara lain 1). Faktor yang berhubungan dengan penderita (umur, jenis kelaimin) 2). Faktor yang berhubungan dengan penyakitnya (lama menderita dan tipe dari penyakit ) 3). Kerusakan syaraf tepi (semakin dekat dengan kulit / superfisial makin besar kemungkinan mengalami kerusakan akibat mikobakterium leprae, makin mudah serabut syaraf menderita trauma makin mudah rusak oleh mikobakterium leprae) 4). Pengobatan yang tidak sempurna dalam waktu lama akan menimbulkan kecacatan pada penderita kusta. 5). Faktor pekerjaan : yang sering mengalami kecacatan adalah penderita kusta yang mempunyai pekerjaan sebagai pekerja berat. b. Pembagian Kecacatan Dilihat dari asal terjadinya kecacatan : 1). Kecacatan Primer Yaitu kecacatan langsung disebabkan oleh aktifitas penyakitnya sendiri, cacat ini terbentuk selama fase aktif dari penyakitnya. Kecacatan primer ini karakteristik untuk penyakit kusta dan perkembangannya bisa diramalkan, biasa terjadi pada : a). Wajah ( cuping telinga yang memanjang, hilangnya rambut alis, cacat hidung/ hidung pelana, wajah keriput, lemah pada syaraf wajah/paralise fasialis )
b). Anggota gerak ( kithing pada tangan /
“clow hand “ dan “claw
thumb”, kithing jari-jari kaki/ “ clow toes” dan semper / “ drop foot” ) 2). Kecacatan Sekunder Yaitu kecacatan yang tidak langsung disebabkan oleh penyakitnya sendiri tetapi disebabkan oleh adanya anaestesi / mati rasa dan paralysis motoris / kelumpuhan . Cacat ini terbentuk akibat salah dalam aktifitas / ”misuse” atau tidak pernah digunakan “disuse” sebagai akibat adanya hilangnya perasaan kulit / insensibilitas. Tejadinya cacat karena adanya trauma dan infeksi sekunder, biasa terjadi pada : a). Tangan (luka pada ujung jari dan ruas jari hal ini disebabkan oleh cara memegang yang berlebihan karena tidak terasa, pemendekan jari tangan, kaku / kontraktur) b). Kaki (luka akibat tumpuan berat badan,”osteolisis dan absorbsi” tulang kaki, “tarsal collaps”, kaku/kontraktur).
B.
Persepsi Persepsi setiap orang terhadap suatu obyek akan berbeda-beda oleh
karena itu persepsi mempunyai sifat subyektif. Solomon mendefinisikan bahwa sensasi
sebagai
tanggapan
yang
cepat
dari
indera
penerima
kita
(mata,telinga,hidung,mulut dan jari) terhadap stimuli dasar seperti cahaya, warna dan suara. Sedangkan persepsi adalah proses bagaimana stimuli-stimuli itu diseleksi, diorganisasi dan di interpretasikan.(8)
Sensasi
STIMULI Penglihatan Suara Bau Rasa Tekstur
Pemberian arti
Persepsi
Indra Penerima
Perhatian
Interpretasi
Tanggapan
Gambar 2.1 Perceptual (Michael R. Solomon, 1996) Sumber : Sulisna, Perilaku Konsumen dan Komunikasi pemasaran, Bandung 2001
Persepsi dalam kamus psikologi adalah proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera
(11)
. Robbins (2006) persepsi
didefinisikan sebagai proses yang digunakan individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan inderawi mereka untuk memberi makna kepada lingkungan mereka dan menurut Kimble (1984) merupakan proses interpretasi terhadap informasi yang ditangkap oleh panca indra, sesuatu yang bersifat mengembangkan
kreatifitas
dan
membantu
memberikan
makna
bagi
pengalaman panca indera tersebut. Salah satu aspek penting yang berperan dalam diri seseorang ketika ia mempersepsikan sesuatu adalah pengetahuan yang
dimiliki
sebelumnya
tentang
apa
yang
sedang
dipersepsikan.
Dikemukakannya pula bahwa persepsi merupakan suatu proses aktif dimana orang yang mempersepsikan sering melebihi informasi yang baru didapatkannya untuk membentuk suatu kesan dari ciri-ciri personal yang tak terlihat dan
kekuatan lingkungan yang mempengaruhi perilaku manusia karena orang yang mempersepsi tidak berada didalam lingkungan sosial yang kosong. Kesan akhir, sebagai produk dari persepsi ini merupakan kombinasi dari apa yang ada senyatanya dengan apa yang diharapkan dari orang yang dihadapinya, kelas dan tipe orang yang terlibat, serta situasi tertentu yang sedang mempengaruhi individu yang sedang mempersepsi Persepsi adalah pandangan individu terhadap lingkungannya sebagai gambaran subyektif internal seseorang terhadap dunia luar. Persepsi merupakan proses pengorganisasian dan penafsiran stimulus atau rangsangan seseorang sehingga individu akan memberikan interpretasi dari obyek tertentu. Lebih lanjut dikemukakan bahwa persepsi merupakan hasil proses pengamatan seseorang berasal dari komponen kognitif yang dipengaruhi oleh faktor pengalaman proses belajar, pengetahuan dan pendidikan serta keadaan sosial budaya setempat. Persepsi merupakan salah satu mata rantai perubahan sikap. Faktor yang berperan dalam pembentukan persepsi adalah kognitif, kepribadian dan budaya yang dimiliki seseorang.(15) Faktor-faktor yang mempengaruhi proses persepsi sehingga terjadi perbedaa persepsi antara satu individu dengan individu lainnya terdiri dari faktor internal dan ekternal. Faktor-faktor internal antara lain : 1. Keturunan (heriditer) 2. Kondisi dan tuntutan biologis/fisiologi 3. Kecerdasan / pendidikan 4. Proyeksi diri (asumsi tentang perilaku orang lain yang dikaitkan dengan nilai-nilai diri sendiri)
5. Harapan terhadap objek 6. Ketergesahan menilai sesuatu berdasarkan informasi yang tidak lengkap 7.
Efek halo (generalisasi sesuatu yang bersifat khusus)
8. Sikap dan kenyakinan keagamaan 9. Nilai-nilai individu yang dianut 10. Pengetahuan/pengalaman masa lalu tentang objek. Faktor-faktor eksternal antara lain : 1. Norma masyarakat. 2. Adat istiadat. 3. Konformitas (upaya penyesuaian diri terhadap tuntutan orang lain/ tekanan sosial). 4. Pengaruh ekosistim lainnya (7) Persepsi tidak hanya sekedar mendengar, melihat dan merasakan sesuatu yang didapatkan disini lebih jauh disepakati persepsi melibatkan rangsangan internal dan eksternal. Faktor pihak pelaku persepsi dipengaruhi oleh karakteristik pribadi seperti : sikap, motivasi, kepentingan, atau minat, pengalaman dan pengharapan. Variabel lain yang ikut menentukan persepsi adalah umur, tingkat pendidikan, latar belakang sosial ekonomi, budaya, lingkungan,fisik, pekerjaan, kepribadian dan pengalaman hidup individu (13)
Jenis kelamin Umur
Tingkat Pendidikan
Pekerjaan
Persepsi
Budaya
Sosial Ekonomi
Kepribadian & Pengalaman Lingkungan Fisik
Gambar 2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi Penderita. Sumber : Jacobalis, Samsi. Beberapa Teknik dalam Manajemen Mutu, Manajemen Rumah Sakit, Universitas Gajahmada, Yogyakarta,2000
C.
Stigma Stigma berasal dari zaman Yunani kuno, kata ini menunjukkan “tanda”
yaitu tanda yang diberikan dalam bentuk cap pada tubuh orang-orang yang dianggap bergolongan rendah seperti pencuri, penjahat, pengkianat Negara dan tentu saja pada penderita kusta
(39)
. Di era modern muncullah istilah
“stigmatisasi“ yang lebih mencerminkan kelas dari pada fisik, proses inilah yang pada akhirnya membuat para penderita terkucil dari masyarakat dianggap menjijikan dan harus dijauhi Stigma dalam kamus P.Salim
adalah hal yang membawa aib, hal yang
memalukan, noda aib atau sesuatu dimana seseorang menjadi rendah diri, malu atau takut karena
sesuatu (14) .
Stigma adalah suatu karakteristik yang dipertimbangkan tidak diinginkan oleh kebanyakan orang.
Ada banyak bukti yang mendukung bahwa orang yang
dibuat merasa terstigmasi menjadi berperilaku seolah-olah mereka dalam
kenyataan yang memalukan atau namanya tercemar. Proses stigmatisasi atau “lebeling” memiliki dua akibat yaitu (12) : 1) Dapat membuat masyarakat / orang lain untuk merubah persepsi dan perilaku mereka terhadap individu yang dikenai stigma. 2) Stigma pada umumnya menyebabkan orang yang dikenai stigma untuk merubah persepsi tentang dirinya dan menjadikan mereka mendifinisikan diri sendiri sebagai orang yang menyimpang. Efek dari stigmatisasi dapat berlangsung lama tetapi efek ini dapat dibatasi karena orang-orang yang mendapat stigma dapat menggunakan taktik yang beragam agar orang lain tidak mempelajari atau mengetahui stigma mereka diantaranya menyembunyikan secara selektif tentang stigma dimasa lalu, mencegah pengungkapan diri terhadap teman dekat dan berbagai stategi penipuan lainnya. Banyak
masyarakat
berprasangka
bahwa
penyakit
kusta
sangat
membahayakan bagi lingkungan mereka selain menularkan dan menjijikan mereka beranggapan bahwa penderita kusta tidak lagi berguna karena pada keadaan cacat penderita tidak produktif lagi, ini merupakan sikap negatip yang tidak dapat dibenarkan terhadap suatu kelompok atau individu. Brehm dan Kanssin 1993 berpendapat bahwa prasangka adalah perasaan negatif yang ditujukan terhadap seseorang berdasar semata-mata pada kelompok tertentu dan melibatkan penilaian apriori. Kenyakinan yang mendasari timbulnya prasangka tersebut disebut stereotype yaitu kenyakinan yang menghubungkan sekelompok orang dengan ciri-ciri tertentu dan stereotype adalah prakonsepsi ide mengenai kelompok dan suatu image yang pada umumnya sangat sederhana, kaku dan klise serta tidak akurat, ketidak akuratan ini timbul
dari proses
overgeneralisasi (perluasan karakteristik)
(9)
. Penderita kusta sering mendapat
perlakuan diskriminasi dari lingkungannya biasanya diskriminasi ini merupakan perwujudan tingkah laku dari prasangka atau manifestasi prasangka dalam bentuk tingkah laku nyata. Beberapa kemungkinan upaya untuk mengurangi atau mencegah timbulnya prasangka (9) : 1. Melakukan kontak langsung. 2. Mengajarkan untuk tidak membenci. 3. Mengoptimalkan / membentuk sikap menyukai atau tidak menyukai melalui pengukuhan positip. 4. Menyadarkan individu untuk belajar membuat perbedaan tentang orang lain, belajar mengenal dan memahami orang lain.
D.
Persepsi penderita tentang stigma penyakit kusta. Persepsi penderita tentang stigma penyakit kusta adalah proses penderita
untuk menerima tentang hal yang membawa aib, hal yang memalukan, noda aib atau sesuatu dimana penderita menjadi rendah diri, malu atau takut karena penyakit kusta yang dideritanya melalui panca indra penderita. Pandangan dan perasaan kita terpengaruh oleh ingatan kita akan masa lalu, oleh apa yang sedang kita hadapi saat ini . Menurut Wrightsman dan Deaux,1981 dimasa-masa awal itu pula penggunaan konsep sikap sering dikaitkan dengan konsep mengenai postur fisik (9) Banyak faktor yang menimbulkan stigma kusta dan ini sangat bervariasi, dalam setiap masyarakat ada masalah yang komplek mengapa kusta ditakuti dan
menjadikan penyakit yang memalukan. Beberapa alasan yang sifatnya umum diantaranya (3) : 1. Percaya tentang akibat kusta Percaya tentang akibat kusta telah berbeda sepanjang waktu dan dimana tempat, kepercayaan ini mempengaruhi bagaimana penyakit dan penderita kusta diperlakukan, beberapa kelompok percaya bahwa kusta disebabkan karena kutukan dewa karena berbuat salah, penderita dijauhkan dianggap berdosa dan lingkungan tidak ingin mengalaminya, penderita dianggap korban guna-guna, disantet dan penyakit akibat sexual, sampai akhirnya masyarakat percaya bahwa kusta disebabkan oleh kuman kusta. 2. Hukuman Mati Faktor lain adalah sampai tahun 1940 an penyakit kusta belum ada obat yang bisa mengobati secara efektif ini berarti penderita kusta seakan-akan telah divonis hukuman mati karena penyakitnya tidak bisa diobati, hal ini menambah rasa takut penderita. 3. Takut Ketularan Pengucilan penderita kusta dilakukan karena alasan takut ketularan, masyarakat takut terkena infeksi seperti penderita. 4. Ketidak mampuan dan kecacatan Alasan lain untuk stigma adalah kecacatan dan ketidak mampuan yang disebabkan oleh penyakit itu, penyakit kusta dengan tanda-tanda khusus di wajahnya dimana kulit menjadi keriput, tebal, hidung melebar ini bararti sepintas orang melihat akan tau bahwa mereka menderita kusta. 5. Bau
Beberapa pasien kusta mempunyai bau badan yang sangat jelas / khas disebabkan oleh luka – luka yang terinfeksi, bau ini dapat menjijikan dan membuat keadaan memburuk sehingga masyarakat tidak mau menerima mereka. 6. Stigmatisasi diri sendiri Hal ini sangat nyata, orang dengan kusta dapat menjadi malu mungkin karena sikapnya juga kecacatannya dan sikap ini dapat mengisolasikan mereka dari masyarakat, dengan demikian pendapat bahwa kusta itu menjijikan, memalukan harus ditutupi akan menjadi stigma yang nyata pada penderita, penderita akan mengalami kesulitan untuk berinteraksi, akan mengucilkan diri dan sikap ini akan menjadi permanen (3).
Solusi pada Stigma kusta (2) Walaupun perkembangan yang besar, kusta masih menjadi problem dibanyak negara diperkirakan bahwa antara 11 sampai 12 juta orang menderita kusta
telah terobati akan tetapi stigma kusta masih sangat nyata dan perlu
ditangani. Ada 2 komponen pendekatan dalam menangani stigma kusta (2) : 1. Membantu mereka yang benar-benar mengalami stigma kusta. 2. Mencegah stigmatisasi orang lain, hal ini akan lebih efektif dan efisien karena lebih baik mencegah stigmatisasi dari pada mencoba mengembalikan penderita yang sudah ditolak oleh masyarakat. Banyak faktor yang menyebabkan penderita bereaksi terhadap penyakitnya diantaranya (18)
1. Dikenalinya atau dirasakannya gejala-gejala yang menyimpang dari keadaan biasa. 2. Banyaknya gejala yang dianggap serius dan diperkirakan menimbulkan bahaya. 3. Dampak gejala itu terhadap hubungan dengan keluarga, hubungan kerja dan dalam kegiatan sosial lainnya. 4. Frekuensi dari gejala dan tanda-tanda yang tampak dan persistensinya. 5. Nilai ambang dari mereka yang terkena gejala itu (susceptibility atau kerentanan individu untuk terserang penyakit itu). 6. Informasi, pengetahuan dan asumsi budaya tentang penyakit itu. 7. Perbedaan interpretasi terhadap gejala yang dikenalnya. 8. Adanya kebutuhan untuk bertindak/berperilaku mengatasi gejala sakit. 9. Tersedianya sarana kesehatan, kemudahan mencapai sarana tersebut, tersedianya biaya dan kemampuan untuk mengatasi stigma dan jarak sosial (rasa malu, takut, rendah diri, dsb).
E. Penanganan Penyakit Kusta di RSUD Tugurejo Semarang. 1. Sejarah RSUD Tugurejo. RSUD Tugurejo sebelum menjadi rumah sakit umum merupakan rumah sakit khusus (RSK) penderita kusta. Pada tanggal 13 Januari 1994 dengan Peraturan Daerah tentang stuktur organisasi tata kerja Rumah Sakit Kusta Provinsi Jawa Tengah sebagai Rumah Sakit Khusus kelas C. Tahun 2000 mengalami perubahan status dari Rumah Sakit khusus menjadi Rumah Sakit Umum. Tahun 2004 RSUD Tugurejo telah terjadi peningkatan kelas menjadi RSU kelas B non pendidikan, tahun 2006 RSUD Tugurejo telah terakreditasi dan
lulus ISO 9000. Sampai saat ini RSUD Tugurejo masih memberikan pelayanan unggulan penyakit kusta dan menjadi pusat rujukan serta pendidikan penyakit kusta di Jawa Tengah.
2. Yang dilakukan RSUD Tugurejo terhadap penderita kusta. RSUD Tugurejo melayani pasien kusta rawat jalan dan rawat inap, tujuan pelayanan ini adalah mengobati dan memutus rantai penularan penyakit kusta. Penanganan penderita di rawat jalan dilayani di poli khusus penyakit kusta dengan urutan sebagai berikut : a. Pasien mendaftar di loket pendaftaran. b. Pasien menyerahkan bukti pendaftaran ke poli khusus, perawat melaksanakan anamnese dan memberikan asuhan keperawatan kepada pasien. c. Dokter Spesialis Kulit melakukan anamnese, pemeriksaan, menegakkan diagnosa kerja dan memberikan resep obat serta edukasi terhadap pasien. d. Bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang (laboratorium, radilogi atau pemeriksaan lain). e. Bagi pasien yang memerlukan rawat inap, dokter memberikan surat perintah mondok dan perawat akan berkoordinasi dengan ruang Kenanga yaitu ruang khusus penderita kusta. f. Dokter Spesialis Kulit dapat mengkonsulkan ke Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Penyakit Saraf, Rehabilitasi medis atau lainnya sesuai dengan kondisi pasien.
g. Informed consent dilakukan apabila perlu untuk tindakan, misal operasi.
PASIEN DATANG
ANAMNESIS
PEMERIK. FISIK
PASIEN LAMA
PASIEN BARU
PEM. PENUN JANG
PENATA LAKSA NAAN
PASIEN PULANG
RAWAT INAP
BTA (+)
PENATA LAKSA NAAN
EDUKASI
BTA (-)
EVALUASI 1 BULAN
PASIEN PULANG
RAWAT INAP
Gambar 2.3 : Alur Pelayanan Pasien Poliklinik khusus penyakit kusta. Sumber : Dokumen Instruksi Kerja Pelayanan Pasien di Poliklinik Khusus RSUD Tugurejo Semarang.
F. Landasan Teori Perilaku manusia dapat dilihat dari tiga aspek
(11)
yaitu aspek fisik, psikis dan
sosial yang secara rinci merupakan refleksi dari berbagai gejolak kejiwaan seperti: pengetahuan, motivasi, perseprsi, sikap dan sebagainya yang ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik dan sosial budaya masyarakat.
1. Perilaku menurut Lawrence W. Green. Lawrence W. Green berpendapat
(19)
faktor penentu atau determinan
perilaku manusia sulit untuk dibatasi, karena perilaku merupakan resultansi dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Perilaku manusia sebenarnya
merupakan
refleksi
dari
berbagai
gejala
kejiwaan
seperti
pengetahuan, keinginan, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya. Selanjutnya Green mencoba menganalisis perilaku manusia pokok yaitu faktor perilaku. Perilaku itu sendiri dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu : faktor predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat.(19)
Faktor predisposisi mencakup pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai, dan persepsi, berkenaan dengan motivasi seseorang atau kelompok untuk bertindak. Dalam arti umum, kita dapat mengatakan faktor predisposisi sebagai preferensi pribadi yang dibawa seseorang atau kelompok ke dalam suatu pengalaman belajar. Hal ini mungkin mendukung atau menghambat perilaku sehat dalam setiap kasus. Termasuk dalam faktor predisposisi adalah faktor demografis seperti status sosial ekonomi, umur, jenis kelamin dan ukuran keluarga. Faktor pemungkin mencakup sumber daya yang perlu untuk melakukan perilaku kesehatan. Sumber daya itu meliputi ketersediaan sarana dan ketercapaian berbagai sumber daya. Faktor penguat disini diterangkan bahwa lingkungan keluarga sangat dominan dalam mempengaruhi pembentukan perilaku seseorang. Perilaku seseorang cenderung untuk berkiblat pada perilaku yang berlaku dalam keluarga individu tersebut. Lingkungan keluarga yang ideal dalam arti suatu keadaan yang menjamin kenyamanan pada tiap-tiap anggota keluarga akan membentuk perilaku yang terarah dan cenderung untuk bersikap terbuka terhadap nilai-nilai baru yang tentu saja diterima oleh keluarga tersebut.(11) Lingkungan keluarga yang nyaman mempunyai respon yang kuat terhadap aktivitas-aktivitas yang dilakukan anggota keluarganya. Keadaan demikian ini memungkinkan lingkungan keluarga lebih peduli terhadap apa yang dilakukan anggota keluarganya.(11)
Predisposing factors Knowledge Attitudes Beliefs Values Perseption
Reinforsing Factors Attitudes and behavior of health other personnel peers, parents or employers, etc
Enabling factors Availability of resources Accessibility Referrals Ruler orlaws Skills
Behavior (action) of individuals, groups or communities
Environmental Factors
Gambar 2.4 : Faktor yang berpengaruh terhadap perubahan perilaku individu atau kelompok yaitu faktor yang mempermudah, faktor penguat/pendorong dan faktor pendukung. Sumber
: L.W.Green, Health Promotion Planning, Second edition,2000
2. Perilaku menurut Rosenstock (Health Belief Model) Teori Health Belief Model (HBM)
merupakan model kognisi yang
menjelaskan bahwa perilaku sebagai hasil proses informasi rasional dan menekankan pada kognisi individu, model ini sering kali dipertimbangkan sebagai kerangka utama dalam perilaku yang berkaitan dengan kesehatan manusia (20)
Secara umum HBM diyakini bahwa individu akan mengambil tindakan untuk menghindarkan, memeriksa atau mengendalikan kondisi kesehatan buruk jika mereka memandang rentan terhadap kondisi itu, jika mereka percaya bahwa tindakan tertentu yang tersedia akan menguntungkan dalam mengurangi kerentanan atau keparahan kondisi, dan jika mereka percaya bahwa hambatan yang
terantisipasi
untuk
mengambil
tindakan
dipertimbangkan
dengan
keuntungan. HBM berhubungan dengan aspek kesehatan negatif yaitu perilaku seseorang ketika terancam suatu penyakit. Namun ada pula kemungkinan motivasi kesehatan positif yang meliputi perilaku mau untuk berobat. Dalam konsep HBM dijelaskan bahwa perilaku adalah sebuah hasil dari sekumpulan persepsi, dan persepsi-persepsi ini memprediksi kemungkinan seseorang akan berperilaku. Persepsi tersebut adalah : 1. Persepsi seseorang terhadap kemudahan kemungkinan terkena penyakit. 2. Persepsi seseorang terhadap kegawatan suatu penyakit. 3. Persepsi seseorang terhadap benefits / untung – ruginya bila melakukan perilaku tersebut. 4. Persepsi seseorang terhadap pembiayaan bila melakukan perilaku tersebut 5. Tanda-tanda seseorang perperilaku / bertindak.
Cues to action
Susceptibility
Demographic variable
Severity
Likehood of Behaviour
Benefits
Cost
Gambar 2.5 Basics of Health Belief Model Sumber : Ogden.Jane, Health Psychology a Text book, Philadelphia, 1996
Proses kognitif dalam HBM
dipengaruhi oleh informasi dari lingkungan,
individu akan melakukan tindakan pencegahan didasari oleh dua kenyakinan atau penilaian kesehatan (health beliefs) yaitu ancaman yang dirasakan dari sakit dan pertimbangan tentang keuntungan dan kerugian. Penilaian pertama adalah ancaman yang dirasakan terhadap risiko yang akan muncul, hal ini mengacu pada sejauh mana seseorang berfikir tentang penyakit yang diderita betul-betul merupakan ancaman kepada dirinya. Asumsinya bahwa bila ancaman yang dirasakan tersebut meningkat maka perilaku pencegahan juga meningkat.
Penilaian kedua yang dibuat adalah perbandingan antara keuntungan dengan kerugian dari perilaku dalam usaha untuk memutuskan tindakan selanjutnya. HBM menyatakan bahwa ketika individu mengetahui adanya kerentanan pada dirinya, dia percaya bahwa penyakitnya akan berakibat serius pada anggota tubuh. Adanya gejala-gejala fisik mungkin mempengaruhi persepsi negatif penderita, Contohnya perilaku penderita kusta yang mengasingkan diri merupakan kemudahan untuk terjadi adanya kecacatan dan sumber penularan. Penderita sering mengatakan bahwa mereka merasa malu karena penyakitnya sehingga tidak memeriksakan diri, akan tetapi penderita dengan persepsi positif merasa bahwa penyakit kusta adalah ancaman kesehatan yang serius melakukan pengobatan secara rutin adalah suatu keuntungan yang tinggi dan biaya yang rendah dibandingkan apabila sudah terjadi kelainan atau kecacatan. Ancaman, keseriusan, kerentanan, pertimbangan keuntungan dan kerugian dipengaruhi oleh beberapa variabel yaitu variabel demografi (usia, latar belakang budaya), variabel sosiopsikologi (kepribadian, kelas sosial, tekanan sosial) dan variabel struktural (pengetahuan, pengalaman tentang masalah).
G. Kerangka Teori Berdasarkan tinjauan pustaka diatas diambil suatu kerangka teori yang bersumber dari teori Lawren W Green dan teori Health Belief Model (HBM) sebagai berikut :
Susceptibility
Demografik Variable
Reinforsing Factor - Internal factor - External factor
Severity
Perceived stigma
Benefits
Cost
Gambar 2.6. Kerangka Teori : modifikasi teori L.W. Green dan teori HBM
BAB III METODE PENELITIAN
A. Kerangka konsep.
Variabel Bebas
Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Pendapatan Lama sakit
Keluarga Tetangga Teman
Persepsi penderita terhadap kemudahan kemungkinan terkena penyakit Persepsi penderita terhadap kegawatan penyakit
Persepsi penderita terhadap manfaat berperilaku positif Persepsi penderita terhadap risiko berperilaku negatif
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Variabel Terikat
Penderita kusta merasa terstigma
B. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimanakah persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta? 2. Bagaimanakah faktor Demografik (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan pendapatan dan lama sakit) melatar belakangi
persepsi
penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta? 3. Bagaimana faktor kemudahan kemungkinan terkena penyakit kusta melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta? 4. Bagaimana faktor kegawatan penyakit kusta melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta? 5. Bagaimanakah faktor manfaat jika berperilaku positif melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta? 6. Bagaimana faktor risiko
jika berperilaku negatip melatar belakangi
penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta? 7. Bagaimanakah faktor internal (lingkungan keluarga) dan
eksternal
(lingkungan masyarakat) melatar belakangi persepsi penderita?
C. Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, alasan yang mendasari penelitian jenis ini karena dapat menggali atau menghasilkan data deskriptif secara mendalam mengenai persepsi responden
terhadap stigma penyakit kusta, dimana tujuan riset kualitatif sendiri adalah mengembangkan konsep-konsep yang dapat menjelaskan makna suatu fenomena dan membantu pemahaman lebih mendalam atas fenomena sosial dan perilaku dalam setting atau lingkungan yang alami (bukan percobaan / eksperimen) dengan demikian memberi penekanan pada makna-makna, pengalaman dan pandangan semua peserta risetnya. (22) Metode kualitatif lebih menekankan pada validitas dengan pemahaman bagaimana manusia sebenarnya berperilaku dan apa yang sebenarnya dimaksudkan
oleh
manusia
ketika
menggambarkan
pengalaman,
sikap,
perilakunya dan penalaran yang tersirat pada metode kualitatif bersifat induktif (bergerak
dari
observasi
menuju
hipotesis
dan
bukan
pengujian
hipotesis/deduktif).(23) Metode kualitatif digunakan karena beberapa pertimbangan lain yakni : pertama,luwes karena rancangan studi ini bisa dimodifikasi meskipun sedang dilaksanakan
(24).
Luwes tak terlalu rinci, tidak lazim mendefinisikan suatu
konsep, serta memberikan kemungkinan bagi perubahan-perubahan manakala ditemukan fakta yang lebih mendasar, menarik dan unik bermakna dilapangan (30)
. Kedua : berhubungan langsung dengan sasaran (responden). Tehnik
kualitatif memberi kesempatan pada peneliti untuk mengamati dan berhubungan langsung dengan sasaran penelitian (responden)
(22)
Ketiga, analisis induktif
karena peneliti tidak memaksa diri untuk hanya membatasi penelitian pada upaya menerima atau menolak dugaan-dugaanya melainkan mencoba memahami situasi sesuai dengan bagaimana situasi tersebut menampilkan diri. Keempat, bersifat holistik, perspektif yakni memahami secara menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti. (25)
D. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah penderita kusta yang mendapat pelayanan di RSUD Tugurejo Semarang. Data kunjungan pasien rawat jalan di poli khusus penderita kusta ratarata 344 orang per bulan. 2. Sampel Penelitian kualitatif bertolak dari asumsi yang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks, padanya terdapat pola tertentu namun penuh variasi (keragaman). Tehnik pemilihan sampel dalam penelitian kualitatif ini dilakukan secara sengaja (purposive sampling), penelitian kualitatif tidak dipersoalkan jumlah
sampel
(30)
.
Dalam
penelitian ini sample berjumlah 8 (delapan) orang penderita kusta dengan kriteria sebagai berikut : a. Penderita kusta yang berobat di RSUD Tugurejo Semarang. b. Dari pengamatan penulis penderita yang terlihat tidak percaya diri dalam berperilaku (misal: memakai pakaian tertutup/lengan panjang, memakai topi, menyendiri, selalu menundukkan kepala) saat berobat di RSUD Tugurejo Semarang. c. Mau berpartisipasi menjadi subyek penelitian.
d. Mau berkomunikasi dengan baik. e. Dalam penelitian ini sampel berjumlah 8 orang penderita
Informasi dan tanggapan lain dalam penelitian yang digunakan sebagai cross check adalah keluarga dan lingkungan ( tetangga dan teman penderita) yang selanjutnya disebut sebagai Informan, dengan kriteria sebagai berikut : a. Mau berpartisipasi dalam penelitian ini. b. Mau berkomunikasi dengan baik c. Dalam penelitian ini berjumlah 5 orang
E. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian a.
Variabel bebas.
1) Karakteristik responden yang terdiri dari umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan Lama sakit. 2) Faktor-faktor internal dan eksternal responden terdiri dari lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. 3) Faktor persepsi penderita terhadap kemudahan terkena penyakit. 4) Faktor persepsi penderita terhadap kegawatan penyakit. 5) Faktor persepsi penderita terhadap manfaat bila berperilaku positip. 6) Faktor persepsi penderita terhadap risiko bila berperilaku negatip.
b. Variabel Terikat dalam penelitian ini adalah penderita kusta merasa terstigma.
2. Definisi Operasional Penderita Kusta adalah seseorang yang dinyatakan positif menderita kusta yang melalui pemeriksaan laboratorium ditemukan Basil tahan asam (BTA) positif atau ditemukan tanda-tanda kusta. a. Variabel Bebas. 1) Umur adalah bilangan tahun terhitung sejak lahir sampai ulang tahun terakhir 2) Jenis Kelamin adalah penggolongan responden berdasarkan jenis kelamin yang tercantum dalam status diri (laki-laki atau perempuan) 3) Pendidikan adalah jenjang / tingkat pendidikan formal yang diperoleh responden sampai saat wawancara. 4) Pekerjaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh responden baik di luar maupun di dalam rumah untuk memperoleh penghasilan. 5) Lama sakit
yaitu waktu yang dihitung saat pertama penderita di
diagnosa sakit kusta sampai saat wawancara dilakukan 6) Lingkungan keluarga adalah lingkungan sosial yang paling dekat dengan penderita (11) 7) Lingkungan masyarakat adalah lingkungan sosial yang berada di sekitar tempat tinggal penderita (11) 8) Persepsi penderita terhadap kemudahan terkena penyakit yaitu tanggapan responden
dalam memandang kusta sebagai suatu
penyakit yang dapat menular terhadap setiap orang. 9) Persepsi penderita terhadap kegawatan penyakit yaitu tanggapan responden
dalam memandang penyakit kusta sebagai suatu
kondisi ancaman kesehatan yang berakibat serius atau kegawatan pada tubuh penderita. 10) Persepsi penderita terhadap manfaat bila berperilaku positif yaitu tanggapan
responden
mengenai
keuntungan/manfaat
apabila
responden berperilaku positif terhadap penyakitnya, menganggap bahwa penyakitnya sama seperti penyakit lain dan perlu berobat sehingga sembuh. 11) Persepsi penderita terhadap risiko bila berperilaku negatif yaitu tanggapan responden interpretasinya terhadap penyakit yang diderita sebagai penyakit yang memalukan, menularkan, takut lingkungan mengetahui dan tidak mau berobat sehingga akan menjadi parah, cacat dan sebagai sumber penularan
b. Variabel terikat Penderita Kusta merasa terstigma : Suatu kondisi yang membuat penderita merasa malu, rendah diri, dan merasa disingkirkan oleh lingkungannya karena penyakit yang dideritanya.
F. Instrumen yang Digunakan Instrumen yang digunakan dalam penelitian deskriptif adalah peneliti sendiri dengan pedoman wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan terbuka yang berhubungan dengan responden sehingga pelaksanaan pengumpulan data dapat berlangsung efisien. Daftar pertanyaan penelitian berisi tentang persepsi penderita dan faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita tentang stigma penyakit kusta
Tahap pengumpulan data dengan wawancara mendalam dilakukan perekaman menggunakan alat bantu MP3 recorder dan catatan lapangan sehingga data dapat terkumpul dengan baik.
G. Sumber Data, Tehnik Pengolahan dan Analisa Data 1. Sumber Data Ada dua jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder. a. Data Primer Diperoleh dengan wawancara dan pencatatan menggunakan daftar pertanyaan yang dibuat
oleh
peneliti
kepada penderita kusta
dengan
berpedoman pada kebutuhan informasi / data yang menjadi variabel dalam penelitian. b. Data Sekunder Diperoleh dari catatan medik RSUD Tugurejo yang menyimpan data penderita termasuk hasil
pemeriksaan laboratorium dan catatan lain tentang
penyakit kusta penderita. 2. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan setelah peneliti memperoleh data dari responden melalui wawancara mendalam dengan menggunakan model analisis kualitatif. Adapun langkah-langkah analisis data kualitatif meliputi (26)
a. Transcribing Peneliti
melakukan
pembuatan
transkrip
dari
hasil
wawancara
mendalam. Pembuatan transkrip dilakukan setelah peneliti memperoleh informasi dari responden dengan cara memutar ulang rekaman kaset hasil percakapan responden dengan peneliti. Transkrip dibuat langsung setelah proses wawancara mendalam,
dengan
tujuan
agar
informasi
yang
telah
diperoleh
dapat
didokumentasikan dan tidak ada informasi penting yang hilang. Hal ini dilakukan berulang-ulang untuk mendeskripsikan situasi percakapan yang sesungguhnya. Deskripsi tersebut berdasarkan interpretasi peneliti terhadap transkrip, situasi, responden, dan lain-lain secara keseluruhan. b. Reduksi data Peneliti melakukan pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari hasil wawancara mendalam dan catatan-catatan tertulis di lapangan. c. Pengikhtisaran atau tabulasi Peneliti melakukan pengikhtisaran atau membuat tabel data tiap butir instrumen dari para responden yang dibuat dengan mengelompokkan jawaban, selanjutnya dikelompokkan ke dalam satu kategori. Berdasarkan tabel, informasi diinterpretasikan dan disajikan secara narasi. d. Comparative atau perbandingan Peneliti melakukan langkah ini berkali-kali sehingga menemukan kategori yang lebih luas. Apabila terdapat pemaknaan yang tidak dapat dimasukkan dalam kategori yang sudah ada maka dibuat kategori yang baru. Untuk memudahkan proses, peneliti mencoba mengidentifikasikan beberapa kategori berdasarkan pedoman wawancara mendalam sehingga ketika memasuki proses
tinggal mencocokkan dengan kategori yang ada. Tabel-tabel yang berkaitan diinterpretasikan hubungannya, meliputi persamaan dan perbedaannya, lalu diinterpretasikan makna data antar tabel. Langkah ini dilakukan untuk menghubungkan antara kategori sehingga terbentuk suatu kerangka konsep atau suatu penjelasan yang komprehensif mengenai fenomena yang dapat ditangkap oleh penulis.
e. Perumusan pernyataan konklusif Peneliti merumuskan pernyataan-pernyataan konklusif terhadap tiap rincian masalah penelitian atau tujuan-tujuan khusus, yang selanjutnya digunakan untuk merumuskan kesimpulan penelitian ini.
H.
Validitas dan Reabilitas Data Uji validitas dimaksudkan untuk meningkatkan validitas tampilan dari
sesuatu yang akan diteliti melalui uji coba dapat diketahui adanya pertanyaanpertanyaan yang benar-benar mengukur dari yang hendak diukur. Uji validitas yang
dilaksanakan pada penelitian kualitatif disebut triangulasi. Dan dalam
penelitian ini triangulasi dilakukan kepada keluarga, tetangga dan teman penderita kusta. Dengan triangulasi tehnik ini merujuk pada pengumpulan informasi atau data dari individu dan latar belakang dengan menggunakan berbagai metode. Cara ini baik untuk mengurangi bias yang melekat pada satu metode dan memudahkan melihat keluasan penjelasan yang memudahkan.
Tehnik
pemeriksaan keabsahan data dengan triangulasi dapat dilaksanakan melalui sumber data, metode dan teori. Peneliti menggunakan berbagai teknik pengumpulan data dengan wawancara
mendalam, pengamatan dan dokumentasi.
(30)
Interview
dilaksanakan untuk mengetahui opini, persepsi, penilaian dan ingatan responden tentang pengalamannya (28) Realibilitas (keterandalan) pada penelitian kualitatif dapat dicapai dengan melakukan auditing data, hal ini dapat dilaksanakan dengan cara data hasil wawancara di tulis dan dikelompokkan sesuai dengan gambaran variabel yang dilihat pada penelitian. I.
Keterbatasan Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2008
di RSUD Tugurejo Semarang. Penelitian ini tidak terlepas dari kelemahan dan keterbatasan. Adapun kelemahan dan keterbatasan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan studi kualitatif. Pengumpulan data dengan wawancara mendalam untuk memperoleh gambaran faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta. Karena banyaknya faktor yang melatar belakangi persepsi maka penulis membatasi dan hanya meneliti faktor karakteristik,
faktor
internal,
faktor
ekternal,
faktor
kemudahan
kemungkinan terkena penyakit, faktor kegawatan penyakit, faktor manfaat berperilaku positip dan faktor risiko berperilaku negatif, karena faktor-faktor ini berpengaruh besar terhadap persepsi penderita kusta.
2. Pengumpulan
data
melalui
wawancara
mendalam
dengan
menggunakan banyak pertanyaan, membutuhkan waktu yang lama hal ini
membuat responden jenuh,sehingga dimungkinkan adanya
subyektivitas jawaban. Untuk mengatasinya dilakukan triangulasi dengan melakukan cros chek pada suami, ayah, paman, tetangga dan teman penderita kusta.
3. Responden sangat tertutup terhadap penyakitnya, sehingga wawancara mendalam yang dilakukan sering mendapatkan jawaban yang singkat.
4. Responden sangat keberatan apabila penulis datang kerumahnya, ini mempersulit penulis dalam melakukan cross cek terhadap keluarga, tetangga dan teman penderita, sehingga penulis melakukan cross cek di RSUD Tugurejo dengan mendatangkan keluarga, dan penulis hanya mendapatkan 5 (lima) Informan sebagai cross cek.
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Penderita kusta yang berobat di RSUD Tugurejo. RSUD Tugurejo merupakan Rumah Sakit kelas B milik pemerintah Provinsi Jawa Tengah, yang terletak di Semarang bagian barat , dalam pelayananya RSUD Tugurejo menyediakan 23 poliklinik diantaranya poliklinik khusus penyakit kusta.
Tenaga yang melayani pasien berobat
ke RSUD
Tugurejo meliputi : 32 dokter spesialis, 24 dokter umum, 7 dokter gigi, 3 apoteker, 1 psikolog, 60 tenaga medis, 268 tenaga keperawatan dan kesehatan, dan 138 tenaga non medis. Produk unggulan RSUD Tugurejo adalah sebagai
pusat diagnostik, poliklinik kecantikan, pelayanan kusta dan sebagai pusat penanganan krisis perempuan dan anak (PPKPA). Sebagai pusat rujukan dan pendidikan penyakit kusta di Jawa Tengah, jumlah kunjungan penderita kusta pada tahun 2007 ada sebanyak 4.380 pasien. Adapun jenis kelamin dan asal penderita yang berobat ke poliklinik kusta tersebut bisa dilihat berikut ini : Penderita, laki-laki berjumlah 3.120 (71%) sedangkan perempuan berjumlah 1.260 (29%). Adapun tempat tinggal penderita 2.952 (67%) berasal dari luar Semarang yaitu Jepara, Blora, Demak, Pati, Purwodadi, Kaliwungu, Kendal, Weleri, Pekalongan, Tegal dan daerah lain sekitar Semarang kemudian 1.428 (33%) berasal dari Semarang.
B. Karakteristik Responden Penelitian mengenai faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita terhadap stigma penyakit kusta ini, mengambil responden sebanyak 8 (delapan) orang penderita kusta dan 5 (orang) yang terdiri dari suami, ayah, paman, tetangga dan teman penderita yang selanjutnya disebut dengan Informan, ini digunakan sebagai faktor triangulasi. Adapun karakteristik responden meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, status pekerjaan dan lama menderita disajikan sebagai berikut : 1. Umur dan jenis kelamin responden Karakteristik responden berdasarkan umur diketahui bahwa responden berumur 14 tahun, 23 tahun, 29 tahun dan 55 tahun, masing-masing berjumlah
satu orang dan umur 33 tahun serta 45 tahun masing-masing 2 dua orang. Jenis kelamin responden sebagian besar laki-laki sebanyak lima orang 2. Pendidikan responden Dilihat dari latar belakang pendidikan responden, diketahui bahwa lulus SMA sebanyak tiga orang, lulus SMP dua orang, lulus SD dua orang dan satu orang tidak lulus bersekolah 3. Pekerjaan responden Responden berdasarkan jenis pekerjaan, sebanyak lima orang tidak bekerja,
adapun sebagai Pegawai Swasta
ada sebanyak dua orang dan
sebagai petani satu orang. Melihat hasil jawaban responden mengenai penghasilan rata-rata perbulan responden tidak sama, dari tiga orang yang bekerja, satu responden berpenghasilan kurang dari Rp.500.000,- per bulan dan sebanyak dua orang berpenghasilan antara Rp.500.000 – Rp.1.000.000,perbulan.
4. Responden berdasarkan status nikah Dari delapan responden, empat responden telah menikah dan empat lainnya tidak menikah. 5. Responden berdasar lama menderita penyakit kusta. Berdasar lama menderita penyakit kusta, responden menyatakan telah menderita selama lima bulan sebanyak satu orang, selama kurang lebih dua tahun sebanyak empat orang dan masing-masing satu orang telah menderita kurang lebih tiga tahun, enam tahun dan lebih sepuluh tahun. Adapun karakteristik informan sebagai faktor triangulasi adalah sebagai berikut : Informan berjumlah lima orang, empat orang berjenis kelamin laki-laki. Umur Informan masing-masing 24 tahun, 30 tahun. 33 tahun, 35 tahun, 44 tahun
dan 46 tahun. Pendidikan lulus SMA berjumlah tiga orang, lulus SMP dan lulus D3 masing-masing satu orang. Status pekerjaan bervariasi yaitu pegawai BUMN, tukang kayu, dagang, pegawai negeri dan pegawai swasta.
C. Faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta Persepsi penderita tentang stigma penyakit kusta didefinisikan sebagai proses penderita untuk menerima tentang hal yang membawa aib, hal yang memalukan, noda aib atau sesuatu dimana penderita menjadi rendah diri, malu atau takut karena penyakit kusta yang dideritanya melalui panca indra penderita. Dari 8 (delapan) responden dengan karakteristik yang berbeda, faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta, didapatkan jawaban yang bervariasi.
1. Stigma penyakit kusta menurut persepsi responden Berdasarkan jawaban responden dapat diketahui bahwa pandangan responden terhadap apa yang dilakukan keluarga atau masyarakat mengenai stigma penyakit kusta terhadap responden, 2 orang mengatakan bahwa, keluarga menganggap biasa saja terhadap penyakit yang diderita responden. Sedangkan yang lainnya mengemukakan bahwa keluarga merasa was-was karena penyakit yang diderita responden. Dari delapan responden semuanya menyatakan masyarakat sekitar tidak mengetahui bahwa responden menderita penyakit kusta. Seperti yang dikemukakan berikut ini : Kotak 1 .....Saya merasa bersalah, tidak bisa bekerja, saya takut ketahuan tetangga nanti pasti dikucilkan, was-was jika tubuh saya jadi cacat pasti tetangga menjauhi saya,keluarga nggak mau datang ke rumah.
(responden menangis sampai lama). .....Saya tidak pernah bilang kalau saya kena kusta, dikira saya kencing manis tidak bisa sembuh dan sekampung saya sendiri yang kena begini, tetangga bilang kena sengkolo. .....Orang tua berfikir positip, memberi semangat pasti sembuh, adik biasa saja, masyarakat tidak tau. .....Keluarga merasa syok takut, terutama ibu. Masyarakat tidak tau. .....Biasa saja,masyarakat juga biasa saja nggak tau kalau saya kena lepra. .....Keluarga tidak menolak, masyarakat tidak tau saya sakit. .....Takut, malu pada teman ,takut dijauhi kalau orang-orang tau. (responden menangis).
..... Biasa saja, tetangga tidak tau, kulo kenging lepra kering dados mboten ketingal. R 1,2,3,4,5,6,7,8 Keterangan : R = Responden
Lebih lanjut ketika Informan ditanyakan tentang pendapat orang-orang dilingkungan penderita setelah mengetahui istri, anak, keponakan, tetangga atau teman
menderita
kusta,
sebagian
besar
menjawab
orang-orang
dilingkungannya tidak mengetahuinya kalau responden menderita kusta, sedang teman penderita karena tidak mengetahui tentang penyakit temannya, penulis tanyakan tentang pendapat teman-teman dilingkungan penderita bekerja, untuk mengetahui lebih lanjut dapat dilihat dari beberapa tanggapan berikut ini :
Kotak 2 ... Tidak tau kalau istri saya kena kusta, taunya sakit saraf karena kami berobat ke dokter saraf sampai habis-habisan, rumah dan isinya habis untuk biaya berobat tapi tidak sembuh, sekarang ini kami kontrak bu tapi saya bersyukur pengobatan di sini gratis dan istri saya sudah sembuh walau belum seratus persen.
... Teman sekolahnya tidak ada yang tau dan saya meling tidak usah diberi tau. ... Dia itu pendiam, tidak pernah cerita, tidak pernah keluar rumah. Teman-temannya taunya ya sakitnya itu karena salah obat, seperti alergi seluruh badannya.
... Selama ini biasa saja mungkin karena tidak tau dia kena kusta. I. 1,2,3 4 Keterangan : I = Informan Sedangkan teman penderita mengungkapkan bahwa penderita seorang yang baik dengan siapa saja dan mulai bertanya-tanya tentang penyakit temannya itu, seperti kutipan dibawah ini : Kotak 3 ... Dia orangnya enthengan bu, di kerjaan dia baik, jadi kalau mondok begini kasihan istri dan anaknya. Sebetulnya sakit apa bu? I. 5
Dengan mulainya wawancara mendalam
bertanya tentang penyakit temannya, maka tidak penulis lanjutkan, ini semua karena Privacy
penderita dan penulis tidak mengharapkan terjadi hal-hal di luar penelitian ini. Dari hasil wawancara mendalam tentang apa yang dilakukan dan pendapat orang-orang dilingkungan penderita, walaupun jawaban yang diberikan bervariasi tetapi intinya semuanya mengutarakan, karena lingkungan tidak mengetahui kalau menderita kusta maka tidak ada perubahan apapun terhadap penderita, seperti jawaban yang diberikan dibawah ini :
Kotak 4 ... Masyarakat tidak tau, taunya kalau ke rumah sakit ya kontrol ke dokter saraf.
... Biasa saja, mereka tidak tau, temannya ya masih pada main kerumah kegiatan ya masih mengikuti, tapi tidak seperti sebelum sakit, sekarang agak pendiam. ... Masyarakat tidak tau kalau sakit kusta, taunya salah obat,sebetulnya masyarakat tidak apa-apa,hanya dia tidak mau keluar rumah, dia tidak mau kuliah lagi, mungkin malu karena wajahnya jadi seperti itu. ... Waktu itu kan belum tau, jadi biasa saja, nggak tau kalau sekarang sudah tersebar, kasihan ya kalau pada tau. R 1,2,3, 4
Untuk mengetahui apakah stigma ini muncul dari masyarakat ataukah dari penderita sendiri, lebih lanjut dapat disimak tanggapan Informan mengenai, tindakan apa yang masyarakat lakukan terhadap penderita dan dari ungkapan tersebut, didapatkan jawaban bahwa lingkungan / tetangga penderita menanyakan bukan karena penyakit kustanya tetapi seperti di ungkapkan dibawah ini :
Kotak 5 ... Tetangga sering bertanya : sudah sembuh belum, apa masih kontrol ke dokter saraf ? ... Biasa saja, dia juga sering ikut kegiatan masjid di kampung, tapi ya beda seperti saat belum kena dulu, sekarang agak pendiam dan agak malas-malasan kalau ada kegiatan. ...Sebetulnya seperti kegiatan karang taruna, kegiatan remaja sering mendapat undangan tetapi tidak mau datang, orang tuanya sering menyuruh untuk datang tapi ya.. dia sukanya diam saja di rumah, membaca apa saja, kadang saya perhatikan pandangannya kosong. ... Sering rewang-rewang, disuruh bantu- bantu, karena belum tau bu. I. 1,2,3,4
Melihat
tanggapan
pada
kotak
5,
menunjukkan
bahwa
lingkungan/tetangga tidak melakukan perubahan sikap terhadap penderita,masih
mengikut sertakan dalam kegiatan-kegiatan di kampungnya, akan tetapi penderita sendiri yang tidak mau untuk mengikuti kegiatan tersebut. Adapun mengenai bagaimana cara responden
mengatasi cap buruk
karena menderita kusta, tiga responden melakukannya dengan tetap bekerja, satu responden dengan membatasi diri dan responden lain dengan diam saja (tidak melakukan tindakan apapun), tetap ikut kegiatan di kampungnya dan responden yang masih bersekolah selalu memakai baju lengan panjang. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai cara responden mengatasi cap buruk karena menderita kusta dapat dilihat dari beberapa tanggapan responden berikut ini :
Kotak 6 ... saya agak membatasi diri biar tetangga tidak tau, kalau omongomong dengan tetangga saya seperlunya saja, arisan biasanya saya titip saja. .... Kulo mendel mawon, jarang ngrumpi kalih tonggo, ada kegiatan yen purun nggih dateng, selesai langsung pulang. .. .Dirumah terus, ada undangan sering dipaksa bapak datang, tapi saya banyak tidak datangnya, saya pilih tidak ketemu orang-orang. ... Kesekolah saya selalu pakai seragam panjang, saya sering pakai jaket karena dilengan saya ada fleknya, saya malu bu, seperti ini bu. R,1,2,3,7
Adapun perbedaan cara dalam menanggulangi cap buruk ( stigma) oleh responden dikemukakan sebagai berikut : Kotak 7
... Saya tetap bekerja walaupun kadang-kadang saya tidak PeDe, tapi tetap saya jalankan, biar saya tidak kelihatan kalau sakit kusta. ... ikut kegiatan dikampung, ada kerja bakti, ada kumpulan kampung saya tetap datang, kalau tidak datang justru jadi omongan orang. R 4,5
2. Persepsi penderita terhadap kemudahan kemungkinan terkena penyakit. Persepsi penderita terhadap kemudahan terkena penyakit yaitu meliputi, tanggapan responden dalam memandang kusta sebagai suatu penyakit yang dapat menular terhadap setiap orang. Penyakit kusta adalah penyakit menular. Penyakit ini dapat ditularkan dari penderita kusta kepada orang lain. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang erat dan lama dengan penderita. Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah semua tergantung dari beberapa faktor, antara lain : faktor sumber penularan yaitu penderita, faktor kuman kusta dan faktor daya tahan tubuh (1). Dari hasil jawaban terhadap responden mengenai pendapat
apakah
penyakit kusta dapat menular ke semua orang terlihat bahwa sebagian besar menjawab ”bisa” menularkan dan sebagian lagi menjawab ”tidak” menular dan seorang menjawab tidak menular juga bukan merupakan penyakit keturunan seperti di ungkapkan berikut ini : Kotak 8 ... Bisa, ibu saya juga kena, gejalanya persis seperti saya dan saat ini ibu tangannya sudah cacat. ... Mboten, sak kampung mung kula thok,kata orang-orang saya kena sengkolo, sudah dislameti ya tidak sembuh-sembuh. ... Tidak, penyakit ini juga bukan keturunan . R 7,2,6
Selanjutnya hasil wawancara mendalam terhadap Informan tentang persepsi
terhadap
kemudahan
kemungkinan
terkena
penyakit
dengan
pertanyaan apa yang anda ketahui tentang penyakit kusta sebagian besar mengatakan bahwa penyakit kusta adalah penyakit menular, satu orang menyatakan, penyakit kusta adalah
penyakit kulit dan satu orang menjawab
penyakit kusta adalah penyakit yang bisa membuat cacat. Berikut kutipan sebagian jawaban responden : Kotak 9 ... Penyakit seperti alergi, fisiknya berubah dan katanya bisa menular. ... Penyakit kulit, kados panu ning saged dados berat. ... Penyakit yang tangan dan kakinya bisa mrotholi I. 3,2,5
Kemudian persepsi responden mengenai orang yang seperti apa yang mungkin terkena penyakit kusta, dari hasil jawaban ternyata sebagian responden tidak mengetahui tentang ciri atau kriteria orang yang mungkin terkena penyakit kusta, dua responden menyatakan bahwa orang yang kebersihannya kurang dan kondisi kesehatannya menurun, satu responden berpendapat bahwa orang yang golongan darahnya sama dengan penderita yang bisa tertular penyakit kusta. Kotak 10 ... Tidak tau bu,sekampung hanya saya saja yang sakit kados niki. ... Orang yang jorok, kurang resikan, kemproh, ringkih, kondisinya jelek. R 2,1
Selain itu menurut Informan mengenai, apakah penyakit kusta dapat menimpa semua orang / orang lain didapat jawaban bahwa, sebagian besar menjawab penyakit kusta bisa menular ke semua orang dan hanya tetangga penderita menjawab penyakit kusta tidak bisa menular seperti berikut ini : Kotak 11 ... Tidak menular. Orang yang peduli kesehatan tidak akan ketularan. I. 4
Demikian juga hasil wawancara terhadap ke lima Informan sebagai faktor triangulasi mengenai orang yang bagaimana yang bisa tertimpa penyakit kusta, dua orang menjawab, orang yang kondisi kesehatannya menurun dan kurang menjaga kebersihan , berikut kutipan jawaban :
Kotak 12 ... Ringkih, kondisinya drop. ... Orang yang jorok dalam hidupnya, kurang perhatian kebersihan. I. 1,4
Sedangkan cara penularan penyakit kusta menurut responden, sebagian besar mengatakan tidak mengetahui tentang penularan penyakit kusta, satu responden menjawab penyakit kusta menular melalui udara dan terdapat satu responden yang menjawab bahwa jika bersinggungan dengan penderita kusta akan tertular penyakitnya seperti di ungkapkan sebagai berikut :
Kotak 13 ... bersinggungan dengan orang kusta yang pada kulitnya terdapat
benjolan-benjolan seperti udunen,
dan golongan darahnya sama,
bisa ketularan penyakit kusta. R5
Adapun berdasarkan wawancara terhadap Informan mengenai cara penularan penyakit kusta, tetangga penderita mengatakan, penularan penyakit kusta bisa melalui udara dan lainnya mengatakan kontak langsung dengan penderita bisa tertular penyakit kusta seperti tanggapan ayah penderita berikut ini : Kotak 14 ... Katanya petugas, anak saya sering kontak langsung dengan ibunya, lha pripun yen bobok kalih ibune. I. 2
3. Persepsi penderita terhadap kegawatan penyakit. Kemudian untuk tanda – tanda tersangka kusta diantaranya adanya kelainan kulit berupa bercak yang tidak terasa/mati rasa berwarna merah atau putih, benjolan di kulit, adanya bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut, adanya rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka, gangguan gerak anggota atau bagian muka, adanya kecacatan, adanya luka yang tidak terasa sakit dan juga terjadinya reaksi akibat penyakit kusta. Berdasarkan hasil wawancara mendalam yang dilakukan mengenai kegawatan penyakit kusta dengan pertanyaan, apakah penyakit kusta dianggab penyakit yang berbahaya? Apa alasannya ?. Didapat jawaban bahwa, sebagian
besar
responden menyatakan
penyakit kusta menimbulkan bahaya dan
sebagian menyatakan bahwa penyakit kusta tidak berbahaya, adapun jawaban dari responden tersebut bisa disimak seperti berikut : Kotak 15 ... Ya, gejala-gejala yang muncul itu menakutkan, lemes, dada keder, keringat dingin, rasanya tak karuan, badan sakit semua. ... Sangat berbahaya, kusta menakutkan, itu cina ada yang sampai mrotholi, mambu. ... Berbahaya, proses penyembuhan lama, tidak banyak yang tau tentang penyakit kusta, banyak yang salah berobat. ... Sangat berbahaya, menakutkan karena fisiknya berubah,ini hidung saya jadi hilang bu. ... Tidak berbahaya kalau minum obat akan sembuh. ... Tidak, karena kalau minum obat akan sembuh, penyakitnya akan hilang. ... Ya, kata ibu saya kalau kumat badan sakit semua, panas dingin, telat minum obat kumat, ibu saya sering sampai nangis kalau kumat. ... Ya, bisa prothol – prothol, cacat tidak bisa bekerja. R 1,2,3,4,5,6,7,8 Selanjutnya mengenai Persepsi terhadap kegawatan penyakit menurut Informan adalah, semua
menganggap bahwa penyakit kusta merupakan
penyakit yang berbahaya karena penyakit kusta menimbulkan gejala yang berat, bisa menular, merubah fisik dan bisa menimbulkan kecacatan, untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kegawatan penyakit kusta dapat dilihat dari beberapa pendapat berikut ini: Kotak 16 ... Ya, karena gejala yang muncul sangat berat, badannya sakit semua, tidak bisa bangun, tidak bisa aktifitas. ... Ya, karena bisa menular ke orang lain, kan bahaya bu, keluarga
bisa kena semua. … Ya, bisa membuat cacat di tubuhnya, tangan-kakinya rusak tidak bisa untuk bekerja. I. 1,4, 5
Penyakit kusta menimbulkan masalah yang sangat komplek, kecacatan yang berlanjut dan apabila tidak mendapatkan perhatian serta penanganan yang baik akan dapat menimbulkan ketidak mampuan melaksanakan fungsi sosial yang normal serta kehilangan status sosial secara progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga dan teman-temannya
(7)
. Mencermati jawaban responden
mengenai seberapa besar bahaya tentang penyakit kusta , dari delapan responden terdapat empat diantaranya menyatakan bahwa bahaya penyakit kusta bisa menimbulkan kecacatan, dua responden menjawab kusta bahaya, merusak fisik, mental dan menyiksa lahir batin. Kemudian responden lain berpendapat bahwa kusta kalau kumat (kambuh) gejala-gejala disebutkan seperti lemas, panas dingin badan sakit semua akan muncul lagi dan satu responden tidak mengetahui tentang seberapa besar bahaya yang timbul karena penyakit kusta. Untuk jawaban-jawaban responden tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini : Kotak 17 ... Wah..ya bahaya bu, kalau saya lihat yang periksa bareng saya tangannya putus-putus, mrotholi, kulitnya mlepuh – mlepuh seperti kena api. ... Saya takut mati, kusta berbahaya makanya saya periksa terus, kalau minum obat badan enak, tidak berobat badan sakit semua. ... Penyakit kusta merusak fisik, merusak mental, terus terang saya sangat depresi ... Penyakit kusta menyiksa lahir batin, wajah berubah menjadi menakutkan, kadang orang melihat saya seperti takut.
... Kalau kumat lemes, panas dingin, cekot-cekot, drodog badan saya tidak ada daya. ... Kusta basah bisa sampai mrotholi, kusta kering rasanya senutsenut sakit sekali bu. R 1,2,3,4,5,8
Kemudian seberapa besar bahaya tentang penyakit kusta, menurut Informan sebagian besar mengatakan bahaya penyakit kusta selain menular, bisa membuat cacat dan satu orang mengungkapkan kalau kambuh badannya sakit semua. Beberapa jawaban dapat dicermati berikut ini : Kotak 18 ... Saya takut kalau istri saya cacat, anak-anak ketularan, anak saya banyak bu, empat semua dekat dengan ibunya, jadi saya kawatir kalau mereka tertular penyakit ini. ... Yaitu bu bisa jadi cacat, wajahnya menakutkan. ... Wah, ya berat bu. Ibunya kalau kumat badannya sakit semua. I. 1,5, 2
Untuk wawancara mengenai persepsi penderita tentang apakah penyakit kusta dapat menimbulkan kematian didapatkan jawaban, sebagian besar responden berpandangan bahwa
penyakit kusta bisa menimbulkan kematian
dan sebagian kecil responden mengemukaan pendapat, penyakit kusta tidak bisa mengakibatkan kematian. Dibawah ini kutipan jawaban dari beberapa responden : Kotak 19 ... Bisa, bagaimana ya bu, rasanya sepeti itu, waktu itu saya sudah mutung berobat kemana-mana tidak sembuh sampai habishabisan, rumah dijual untuk berobat, saya mikir apa saya mau mati soalnya jantung keder terus, kalau gak ke Tugu (RSUD.Tugurejo) mungkin saya sudah meninggal. ... Tidak membunuh tapi merusak fisik.
... Ya, saat pertama kena penyakit ini saya sempat koma, panas tinggi dan tidak ada obatnya. ... Tidak bisa, kalau berobat terus ya sembuh. ... Bisa, menurut kula wong sehat mawon bisa mati nggih, kematian ditangan tuhan. R 1,3,4,5,8 Selain itu menurut
persepsi Informan mengenai apakah penyakit kusta
dapat menimbulkan kematian, didapatkan jawaban bahwa penyakit kusta tidak menyebabkan kematian, seperti dikemukakan dibawah ini:
Kotak 20 ... Kalau kematian InsyaAllah tidak, bisa sembuh kalau berobat. … Tidak menyebabkan kematian, hanya bisa merusak fisik. I. 1,2,3,4,5
Kecacatan akibat penyakit kusta dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : Faktor yang berhubungan dengan penderita sendiri (umur, jenis kelamin), faktor yang berhubungan dengan penyakitnya (lama menderita dan tipe dari penyakit), kerusakan syaraf tepi (semakin dekat dengan kulit / superfisial makin besar kemungkinan mengalami kerusakan akibat kuman kusta), pengobatan yang tidak sempurna dalam waktu lama dan faktor pekerjaan (penderita yang mempunyai pekerjaan sebagai pekerja berat). Adapun kecacatan dibagi menjadi : a. Kecacatan Primer yaitu kecacatan langsung yang disebabkan oleh aktifitas penyakitnya. ( pada wajah, pada anggota gerak) b. Kecacatan sekunder yaitu kecacatan yang disebabkan oleh adanya anaestesi / mati rasa dan kelumpuhan. Cacat ini terbentuk akibat salah
dalam aktifitas atau tidak pernah digunakan (disuse) bisa juga karena adanya infeksi sekunder. Tanggapan responden terhadap pertanyaan apakah penyakit kusta dapat menimbulkan kecacatan
mendapatkan
hasil bahwa semua responden
menjawab ”bisa”, penyakit kusta bisa mengakibatkan kecacatan pada tubuh penderita, berikut ini kutipan tentang jawaban responden : Kotak 21 ... Bisa, kaki saya luka, ini (menunjuk sepanjang tungkai kanan) tidak terasa lho bu, kata pasien yang barengan kontrol, kakinya cacat awal-awalnya luka seperti ini (menunjuk luka dikaki) ... Ya, itu orang cina yangbarengan periksa dengan saya, tangan dan kakinya mrotholi semua, semua badannya cacat. ... Ya, saya sampai saat ini ada rasa takut cacat, tangan saya sudah mati rasa, kemarin kena air panas tidak terasa, saya takut cacat. ... Ya, ini wajah saya sudah mulai cacat, tangan saya kithing tidak terasa, kuping saya memanjang karena penyakit ini. ... Ya, kaki saya cacat, luka tidak sembuh-sembuh terus diamputasi .. Bisa, seperti tetangga saya, wajah, tangan dan kakinya cacat. R 1,2,3,4,5,7
Sedangkan mengenai kecacatan, menurut Informan, semua menyatakan bahwa penyakit kusta dapat menimbulkan kecacatan
seperti di ungkapkan
berikut ini :
Kotak 22 ... Bisa, kaki, tangan istri saya perasaannya berkurang, kalau ngantar ke Tugurejo saya sering omong-omong dengan pasien lain, katanya awalnya cacat karena tidak terasa. ... Bisa, lha niku bojo kula (ibunya penderita) ngertos-ngertos tangane ngeten ( jari-jarinya kithing) ... Bisa, keponakan saya ini tangannya sudah tidak nornal lagi,
cacat. Dulu kena air panas gak terasa sekarang jadi cacat. I. 1,2, 3
4. Persepsi penderita terhadap manfaat berperilaku positip. Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta sehingga tidak berdaya merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda penyakit jadi kurang aktif sampai akhirnya hilang. Dengan matinya kuman maka sumber penularan dari penderita ke orang lain terputus. Penderita yang sudah dalam keadaan
cacat permanen, pengobatan hanya dapat mencegah cacat lebih
lanjut. Bila penderita kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat memperburuk keadaan. Penyakit kusta dapat diobati, bukan penyakit turunan/kutukan. Persepsi penderita terhadap manfaat berperilaku positip yaitu perilaku berobat penulis tanyakan dengan bagaimana menurut pandangan anda apabila penderita kusta diharuskan berobat secara rutin dalam waktu yang lama dan harus minum obat setiap hari?
Apa alasan dari jawaban tersebut? Semua
responden menyatakan penderita kusta harus berobat secara rutin karena kalau tidak rutin akan kambuh lagi.
Beberapa jawaban responden diungkapkan
sebagai berikut :
Kotak 23 ... Setuju, setelah minum obat saya tenang bu, pernah telat kontrol timbul lagi gejala seperti dulu, capek, keluar benthol-benthol. ... Baik apabila berobat, karena kalau tidak berobat bisa kumat (kambuh)
... Baik, kadang-kadang jenuh, kalau obatnya telat sering reaksi lagi, keluar benjolan-benjolan. ... Harus bu, kalau telat berobat ya kambuh lagi ... Harus berobat terus, biar sembuh total, terawat. ... Harus, biar nggak kumat. ... Perlu berobat rutin, ibu saya kalau obat nya telat badannya sakit semua. ... Ya, kalau tidak berobat sakit lagi. R 1,2,3,4,5,6,7,8 Adapun menurut persepsi Informan apabila menderita penyakit kusta, diharuskan rajin menjalani pengobatan seperti pernyataan dibawah ini :
Kotak 24 ... Harus berobat ke RSUD Tugurejo karena ahlinya ada di Tugurejo. ... Saya ngomong pada orang tuanya untuk berobat sampai sembuh dan saya akan selalu membantu ngantar keponakan saya berobat ke tugu.
... Ya harus berobat kesini (RSUD Tugurejo) karena di Jateng pusatnya disini,dan saya telpon bapak saya untuk mengecek di rumahnya karena saya tau neneknya juga sakit tapi nggak pernah keluar, dikamar terus, jangan-jangan juga sakit kusta. I. 1,3, 4 Untuk mendapat jawaban dari teman penderita, penulis mengalami kesulitan karena teman penderita belum mengetahui kalau teman yang diantar berobat menderita kusta, sehingga selalu penulis awali dengan seandainya teman anda sakit kusta, bagaimana pendapat anda setelah mengetahui teman anda menderita kusta? Berikut kutipan jawaban dari teman penderita kusta : Kotak 25 ... Harus diobati, kusta kan bisa menular.
I. 5
Selanjutnya mengenai persepsi penderita terhadap manfaat berperilaku positip, hal-hal apa yang perlu dilakukan oleh seorang penderita kusta dan alasan dari jawaban yang diberikan. Sebagian besar
responden menjawab
pertanyaan dengan jawaban ”berobat” biar sembuh, tidak cacat, sedangkan dua responden menjawab dengan berfikiran tenang, tidak stres dan satu responden perlu dilakukan terapi psikologi. Seperti dikemukakan sebagai berikut : Kotak 26 ... Tenang, tidak kelelahan, minum obat, tidak stres. ... Perlu terapi psikologi, tidak hanya fisik yang diobati, terapi mental sangat diperlukan. Karena penderita kusta seperti saya ini sebetulnya masalah yang paling berat ”saya down sekali”. R 1,3
Dalam pencegahan kecacatan, penderita kusta perlu mendapatkan pendidikan
dan tindakan perawatan diri. Penderita harus mengerti bahwa
pengobatan kusta sudah / akan membunuh bakteri kusta tetapi kecacatan yang terlanjur terjadi akan menetap seumur hidupnya, sehingga penderita harus bisa melakukan perawatan diri dengan rajin agar cacatnya tidak bertambah berat. Prinsip pencegahan bertambahnya cacat pada dasarnya adalah 3M : a. Melindung mata, tangan dan kaki dari trauma fisik. b. Memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur. c. Melakukan perawatan diri. Kekeringan pada kulit akan mengakibatkan luka-luka kecil yang bisa terinfeksi, untuk mencegah maka perlu mengolesi dengan minyak ( minyak kelapa, vaslin atau hand body lotion) yang berfungsi untuk menjaga kelembaban kulit. Dalam hal perawatan diri didapat beberapa jawaban responden, sebagian
basar responden menjawab dengan harus mengoles pelembab di tangan dan kaki agar kulit tidak kering, dari RSUD Tugurejo diberi vaslin sebagai pelembab dan satu responden menjawab, tidak perlu menggunakan pelembab kalau tidak ada benjolan-benjolan dikulit. Berikut kutipan jawaban dari dua responden : Kotak 27 ... Harus pakai, karena kulit kering kadang sampai pecah, dari RS Tugu saya diberi vaslin. ... Tidak semua, kalau ada benjolan-benjolan iya harus pakai pelembab, tapi kalau tidak ada ya nggak perlu bu. R 4,8
Selain itu untuk tangan yang mati rasa, bisa terluka oleh : benda panas, benda-benda tajam, gesekan dari alat kerja dan pegangan yang terlalu kuat pada alat kerja. Untuk mencegah terjadinya luka ditangan maka : Perlu melindungi tangan dari benda yang panas, kasar ataupun tajam dengan memakai kaos tangan tebal atau alas kain. Membagi tugas rumah tangga supaya orang lain mengerjakan bagian yang berbahaya bagi tangan yang mati rasa. Seringlah berhenti dan periksa tangan dengan teliti apakah ada luka atau lecet yang sekecil apapun. Jika ada luka, memar atau lecet sekecil apapun, rawatlah dan istirahatkan bagian tangan sampai sembuh. Adapun untuk kaki yang mati rasa, kaki bisa terluka oleh : Benda panas, benda tajam, gesekan dari sepatu/sandal yang terlalu besar ataupun kecil, batu dalam sepatu dan lain-lain. Tekanan tinggi ataupun lama berdiri terlalu lama tanpa gerak, berjalan terlalu jauh atau cepat, jongkok yang lama dan sebagainya. Untuk mencegahnya maka :
Lindungi kaki dengan selalu memakai alas kaki. Membagi tugas rumah tangga supaya orang lain mengerjakan bagian yang berbahaya bagi kaki yang mati rasa. Sering berhenti dan memeriksa kaki dengan teliti apakah ada luka atau memar atau lecet yang kecil sekalipun. Kalau ada luka, memar atau lecet kecil, langsung rawat dan istirahatkan kaki (jangan sekali-sekali diinjakkan). Hal ini penulis tanyakan dengan melakukan wawancara tentang
bagaimana menurut responden apabila setiap hari
responden diharuskan memeriksa anggota badannya apakah terjadi luka atau tidak. Berikut kutipan jawaban dari responden : Kotak 28 ... Ya, setiap hari saya periksa badan saya, saya takut luka-luka itu menulari anak-anak saya. ... Ya, korengnya harus dilihat setiap hari, diobati, biar tidak putusputus. .... Ya,karena kulit saya mati rasa kalau ada luka saya sering tidak tau karena tidak sakit. .... Ya, karena luka bisa jadi cacat. .... Ya, setiap hari, ada luka ya langsung diobati, biar tidak ”mbabrak-mbabrak” ... Ya, nek wonten luka ngertos,wong niki mboten kraos. ... Ya, pasien bapak-bapak tadi lukanya sampai bau mungkin nggak pernah diperiksa. ... Ya, kalau ada luka terus disalep, biar sembuh. R 1,2,3,4,5,6,7,8
Mencermati jawaban diatas menurut responden, setiap hari penderita kusta diharuskan memeriksa anggota badannya, apakah terdapat luka baru
atau tidak, karena anggota badan penderita
mengalami mati rasa sehingga,
apabila terjadi luka baru tidak terasa sakit, responden merasa takut lukanya bisa menular pada keluarganya , responden memeriksa anggota badannya agar lukanya tidak menimbulkan cacat dan responden mengetahui kalau ada luka sehingga bisa cepat diobati supaya tidak tambah berat/menjalar. Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena cacatnya. Cacat kusta terjadi akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau kaki. Sayangnya, orang yang cacat akibat kusta ” dicap” seumur hidup sebagai ”penderita kusta” walaupun sudah sembuh dari penyakit. Sementara sebenarnya hampir semua cacat dapat dicegah. Proses terjadinya cacat kusta tergantung dari fungsi saraf, ada tiga macam fungsi saraf 1) fungsi motorik memberikan kekuatan pada otot (otot gerak), 2) fungsi sensorik memberi rasa raba dan 3) fungsi otonom mengurus kelenjar keringat dan kelenjar minyak (berhubungan dengan kekeringan kulit). Kecacatan pada kusta dapat terjadi lewat dua proses yaitu infiltrasi langsung kuman kusta ke susunan saraf tepi dan organ (misalnya mata) dan melalui reaksi kusta. WHO membagi tingkat cacat kusta segabai berikut : Tingkat cacat 0 : jika mata, tangan atau kaki tetap utuh. Tingkai cacat 1 :
jika ada cacat pada mata, tangan atau kaki akibat
kerusakan saraf karena penyakit kusta, tetapi cacat itu tidak kelihatan. Tingkat cacat 2 : jika kalau ada cacat akibat kerusakan saraf dan cacat itu kelihatan (borok luka, jari kithing, lunglai, pemendekan, mata tidak bisa menutup erat, luka pada cornea mata.
Adapun dalam menggali persepsi penderita terhadap manfaat berperilaku positip,
dibawah ini merupakan
pandangan dari masing-masing responden
dalam pencegahan cacat kusta : Kotak 29 ... Iya bu, saya takut seperti orang kusta yang lain tangan dan kakinya cacat, ”semper ” jalannya pincang. ... Nggih, nek kula mboten onten cacat, ning cina niku harus diperiksa setiap hari, keset nggih mambu. ... Iya, Karena badan saya seperti orang beri-beri saya takut kalau sewaktu-waktu terjadi cacat. ... Ya bu, sepertinya ngga ada tanda-tanda tau-tau tangan saya ”kithing”, jari saya ada yang memendek. ... Iya, ini kaki saya cacat , luka tak sembuh-sembuh diamputasi.
terus
... Iya,cerita pasien yang bareng saya antri tangannya cacat, kakinya cacat karena tidak pernah merasa tau-tau cacat. ... Ya, takut ”mrotholi” tangannya. ... Ya, ben mboten kesuwen, langsung bisa di obatke. R 1,2,3,4,5,6,7,8 Dengan melihat hasil dari jawaban semua responden, menyatakan perlunya memeriksa kelainan atau kecacatan dibadannya setiap hari karena takut kecacatan tersebut berlanjut menjadi lebih parah.
5. Persepsi penderita terhadap risiko berperilaku negatip. persepsi penderita terhadap risiko bila berperilaku negatif yaitu tanggapan responden interpretasinya terhadap penyakit yang diderita sebagai penyakit yang memalukan, menularkan, perasaan takut lingkungan mengetahui dan tidak mau berobat sehingga akan menjadi parah, cacat dan sebagai sumber penularan
Stigmatisasi diri sendiri pada penderita kusta sangat nyata, orang dengan kusta dapat menjadi malu mungkin karena sikapnya juga kecacatannya dan sikap ini dapat mengisolasikan mereka dari masyarakat, dengan demikian pendapat bahwa kusta itu menjijikan, memalukan, harus ditutupi akan menjadi stigma yang nyata pada penderita, penderita akan mengalami kesulitan untuk berinteraksi, akan mengucilkan diri dan sikap ini akan menjadi permanen. Dalam penelitian tentang faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta penulis melakukan wawancara mendalam mengenai pandangan responden terhadap risiko berperilaku negatip yaitu tentang hal-hal yang tidak boleh dilakukan penderita,
penderita yang
mengucilkan diri karena malu dan penderita yang tidak mau berobat. Dari hasil jawaban mengenai hal-hal apa yang tidak boleh dilakukan oleh seorang penderita kusta, sebagian besar responden
mengutarakan bahwa
makanan tertentu tidak boleh dimakan dan keadaan stres, capek harus dihindari, seperti diungkap oleh dua responden dibawah ini : Kotak 30 ... Tidak boleh stres, capek, tidak kambing,duren, semangka,nanas, nangka.
boleh
makan
daging
... Tidak diperbolehkan makan saos, duren, nongko, daging kambing, sprit (alkohol), tape, anggur. R1,5
Sedangkan pandangan responden jika melihat penderita kusta yang selalu mengucilkan diri karena malu didapat jawaban, satu responden menjawab lebih baik mengucilkan diri dan satu responden lain sebenarnya mengetahui
bahwa tindakan mengucilkan diri itu adalah salah,
tetapi respoden sendiri
melakukannya juga, seperti yang diungkapkan oleh responden dibawah ini : Kotak 31 ... Lebih baik mengucilkan diri dari pada dirasani orang / tetangga. ... Saya tau tidak baik tapi kadang-kadang saya juga malu dan down bu, sehingga saya juga sering tidak percaya diri, saya sering melakukan itu, mengurung diri. R 2,3
Sementara
itu,
berkaitan
dengan
pandangan
responden
tentang
penderita yang tidak berobat sebagian besar berpendapat bahwa, penderita kusta harus selalu berobat kalau tidak berobat maka tidak akan sembuh dan satu responden mengharapkan adanya terapi mental oleh psykolog karena selama ini hanya mendapatkan terapi obat saja hal ini dikatakan oleh responden ke 4 seperti dibawah ini : Kotak 32 ... Salah besar, kalau tidak berobat tidak sembuh-sembuh, reaksi terus, bu mbok jangan terapi obat saja harusnya ada terapi mental. R4
6. Faktor Internal yang melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta Penderita kusta pada umumnya tidak mengetahui bahwa dia menderita kusta, informasi tentang penyakit kusta justru didapat dari orang lain seperti petugas kesehatan, saudara atau perangkat desa, dan saat pertama mengetahui penderita merasa kaget, takut, tidak percaya, berkeinginan bunuh diri. Beberapa jawaban diungkapkan oleh responden berikut ini :
Kotak 33 ... Dari petugas RSU Tugurejo. ... Dari saudara saya yang bapaknya sakit seperti saya. ... Dari pak Bayan ... Nggih ajrih, saya malu. ... Mental saya drop ... Waktu itu saya berusaha bunuh diri. R 5,6,7,2,3,4
Adapun perasaan yang ada dalam pikiran responden setelah mengetahui bahwa penyakitnya adalah kusta, didapat beberapa jawaban dari sebagai berikut : Kotak 34 ... Takut sekali kalau tetangga tau, nanti saya dikucilkan (responden menangis), takut menular keluarga, anak-anak saya, saya was-was bu sampai sekarang. ... Saya takut tetangga tau, saya dirasani. ... Putus asa, saya tidak melanjutkan kuliah sampai sekarang.
... Syok, malu, takut luar biasa saya waktu itu berusaha bunuh diri. ... Ya kaget, tapi saya percaya pasti ada obatnya. R 1,2,3,4,6
Kemudian
persepsi responden tentang, pendapat keluarga saat
mengetahui bahwa responden menderita kusta diperoleh jawaban seperti kutipan dibawah ini :
Kotak 35
... Suami saat itu selalu berusaha mengobatkan saya ... Suami saya bilang ”wong kok gaweane lara”. Anak-anak dulu sukanya marah sekarang sudah tau suruh berobat terus.
... Bapak – ibu kaget selama ini taunya saya sakit karena salah obat. ... Takut sekali, orang tua saya takut kalau saya pada ”mrotholi” ... Orang tua bilang dikasih cobaan harus diterima. ... Pertama ya kaget, saya disuruh berobat ke RSU Tugurejo karena bapaknya juga sembuh di sini. ... Periksa ke Tugurejo secara rutin pasti sembuh kata bapak. ... Istri mendorong saya berobat. R 1,2,3,4,5,6,7,8
Selain itu merurut Informan mengenai bagaimana perasaannya setelah mengetahui bahwa penyakit responden adalah kusta, tiga orang menyatakan merasa takut kalau tertularan penyakit ini dan merasa kasihan kalau penderita menjadi rendah diri,
paman responden merasa kecewa karena penyakit
keponakannya adalah kusta seperti diungkapkan dibawah ini :
Kotak 36 ... Kecewa, wong keluarga lain tidak ada yang kena, kasihan, saya gak tega. I. 3
Sementara itu, ayah penderita terlihat terpukul saat penulis menanyakan tentang perasaannya setelah mengetahui putrinya menderita kusta, sambil menunduk berkata :
Kotak 37 ... Saya sangat kasihan pada anak perempuan saya ini, ibunya juga kena katanya di badan sakit semua, saya kawatir kalau anak saya jadi minder di sekolahnya I.2 Meskipun empat orang menjawab tentang perasaan masing-masing, lain dengan teman penderita, yang tidak mengetahui bahwa temannya menderita kusta sehingga penulis bertanya, seandainya teman anda menderita kusta perasaan apa yang ada dalam pikiran anda? Berikut jawabannya: Kotak 38 ... Wah... ya kasihan, nanti keluarganya malu, malah sakite mboten mari-mari. I. 5
Sedangkan lebih lanjut ketika Informan ditanyakan tentang
apa yang
terjadi pada saat mengetahui kalau istri, anak, keponakan, tetangga dan teman penderita telah menderita kusta semua merasa takut, was-was, dan juga kaget karena penyakitnya adalah kusta dan satu orang tidak mengetahui kalau temannya sakit kusta sehingga penulis bertanya dengan seandainya teman anda di nyatakan menderita kusta bagaimana ? didapatkan jawaban seperti kutipan wawancara dibawah ini : Kotak 39 ... Mudah-mudahan tidak bu, saya takut I. 5
Sikap merupakan respon evaluasi yang dapat berupa respon positip maupun negatip, sikap akan menunjukkan apakah seseorang menyetujui atau tidak menyetujui , mendukung atau tidak mendukung terhadap suatu obyek. Untuk mengetahui bagaimana sikap keluarga saat pertama mengetahui bahwa
responden terkena penyakit kusta, di ungkapkan oleh responden seperti dibawah ini : Kotak 40 ... Mendukung untuk berobat. ... Ya tidak apa-apa, bapak dan paman saya berobat ke RSU Tugurejo
selalu ngantar saya
... Orang tua takut dan kecewa karena saya sakit sudah diobatkan kemana-mana katanya kena ”sengkolo” ternyata kena kusta. ... Bapak selalu was-was takut saya seperti ibu. R 1,3,4,7
Sebagian besar menyatakan bahwa sikap keluarga saat itu selalu mendorong untuk berobat walaupun ada perasaan kecewa, was-was dan takut, dan responden ke 5 menilai sikap keluarga saat itu pasip saja, berikut kutipannya : Kotak 41 ... Pasip saja bu, cuek gitu.. R5
Adapun apa yang dilakukan keluarga setelah mengetahui kalau responden sakit kusta
sebagian besar
responden menyatakan keluarga mendorong untuk
berobat hanya satu responden menjawab bahwa keluarga tidak peduli kalau responden menderita penyakit kusta, seperti kita lihat pada kutipan berikut :
Kotak 42 ... Ya cuek saja bu.....gak peduli saya kena kusta. R5
Selain itu bagaimana sikap keluarga saat itu, Informan menjawab dengan sikap yang berbeda-beda, dibawah ini kutipan dari masing-masing jawaban : Kotak 43 ... Anak terbesar saya tau kalau ibunya sakit kusta baru-baru ini, dulu ya belum tau dan sekarang dia sering Bantu ibunya untuk pekerjaan rumah. ... Ibunya nangis saat saya beri tau kalau Afif juga kena kusta, dia sering ”nuturi” untuk berobat terus. Adik-adiknya tidak tau, masih kecil.
... Orang tuanya sangat kecewa, sangat kawatir. Adik-adiknya tidak diberi tau kalau kakaknya kena kusta, keluarga saya sendiri taunya salah obat karena keponakan saya ini sering minum obat bebas.
... Sepertinya biasa saja bu, mungkin karena dari keluarga kurang mampu jadi mau berobat ya mikir biaya, kalau disini kan tidak bayar.
... Keluarganya sudah mengobatkan ke mana-mana bu, di RS. Blora sana kakinya di amputasi, dua jarinya karena luka terus kemudian diamputasi I. 1,2,3,4,5
7. Faktor ekternal yang melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta. Yaitu faktor yang terdapat diluar responden, seperti masyarakat di sekitar tempat tinggal responden, faktor ini berupa interaksi sosial di luar pribadi responden. Dalam mencari faktor yang melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta, di lakukan wawancara mengenai pandangan responden tentang sikap masyarakat sekitar dengan
pertanyaan
sebagai berikut : Apa pendapat orang-orang di lingkungan kerja/ teman anda setelah mengetahui anda menderita kusta?
Dengan melihat hasil jawaban semua responden, dipastikan bahwa teman atau tetangga tidak ada yang tau kalau responden sakit kusta, semuanya beranggapan
responden berobat karena penyakit lain seperti penyakit saraf,
diabetes, alergi atau karena salah obat. Demikian juga tentang apa yang mereka lakukan terhadap responden, didapatkan jawaban sebagian besar dari lingkungan responden tidak melakukan tindakan apapun terhadap responden . Untuk mengetahui lebih lanjut tentang apa yang dilakukan masyarakat dilingkungan responden dapat dilihat beberapa tanggapan berikut ini : Kotak 44 ... Tetangga dan teman saya tidak tau bu, taunya saya sakit saraf. ... Kabeh mboten ngerti , katanya penyakit saya tidak bisa sembuh. ... Lingkungan tidak tau, teman tidak tau, taunya salah obat. ...Tidak ada yang tau, ya taunya saya sakit alergi. ... Biasa saja, tidak tau kalau saya kena kusta, taunya kena gula dan kaki saya dipotong karena penyakit diabetes. ... Teman kerja saya tidak ada yang tau kalau sakit, kalau ke semarang ya dikira ke rumah saudara saya. ... Teman-teman disekolah tidak ada yang tau kalau saya sakit kusta, tapi saya takut juga sewaktu-waktu mereka tau. ... Teman-teman, tetangga tidak pada tau bu. R 1,2,3,4,5,6,7,8
Mengenai dari mana Informan mengetahui tentang penyakit kusta yang diderita responden, didapat jawaban beragam yaitu : suami penderita mendapat kabar dari kakak perempuan penderita yang juga menderita kusta, ayah penderita mengetahui kalau putrinya menderita penyakit kusta karena istri/ ibu penderita menderita penyakit yang sama yaitu kusta, paman penderita melihat
keponakannya sakit kusta saat menengok penderita mondok di ruang Kenanga RSUD
Tugurejo,
tetangga
penderita
adalah
pegawai
RSUD
Tugurejo,
mengetahui kalau tetangganya sakit kusta pada saat bertemu dengan saudara penderita yang sedang menunggu penderita, karena menjalani rawat inap di ruang kenanga RSUD Tugurejo dan teman penderita tidak tau kalau penderita sedang sakit kusta, responden mengantar penderita karena luka dikaki yang tidak sembuh-sembuh, mendaftar ke poli penyakit dalam dan akhirnya dirujuk ke poli kulit, dibawah ini merupakan kutipan jawaban dari paman, tetangga dan teman penderita : Kotak 45 ... Saya taunya saat keponakan saya ini mondok di ruang kenanga, kata suster, sakitnya reaksi kusta. ... Dari saudaranya, saya ketemu di RSUD tugurejo karena adiknya dirawat disini karena kusta dan saya ikut besuk di ruang kenanga. ... Teman saya, teman saya nggak sakit kusta kok bu, kakinya luka ngga sembuh-sembuh sudah diobatkan ke puskesmas, tidak sembuh terus saya bawa kesini, ke penyakit dalam, dirujuk ke penyakit kulit lantai 2, dan ini mau mondok di ruang Kenanga. I 3,4, 5
Stigma kusta merupakan faktor utama yang menyebabkan keterlambatan pasien dalam pengobatan hal ini merupakan kerentanan terjadinya kecacatan. Cacat permanen yang terlihat nyata oleh lingkungan akan membatasi mereka dalam menjalani kehidupan bermasyarakat secara normal, mereka bahkan kehilangan pekerjaan, ketidak mandirian fisik yang disebabkan oleh kecacatan dan keterbatasannya. Stigmatisasi diri penderita terlihat sangat nyata, orang dengan kusta menjadi malu, hal ini mungkin karena sikapnya juga kecacatannya dan sikap ini yang dapat mengisolasikan mereka dari masyarakat.
BAB V PEMBAHASAN
A. Pembahasan 1. Karakteristik Responden Gambaran umum responden menunjukkan bahwa responden terbanyak berumur antara 26 tahun sampai 35 tahun dengan jenis kelamin laki-laki. Pada kelompok
umur
tersebut
merupakan
masa
produktip
dalam
kehidupan
responden. Dengan terserangnya penyakit kusta responden merasa bahwa aktivitas sehari - harinya sangat terganggu oleh penampilannya dikarenakan adanya perubahan pada fisik dan kepercayaan diri yang menurun. Pendidikan
merupakan
melaksanakan tindakan
(32)
salah
satu
faktor
yang
mendasar
untuk
, dilihat dari segi pendidikan sebagian besar
responden berpendidikan Sekolah Menengah Atas, hanya ada satu responden yang tidak bersekolah. Sebagian besar responden tidak bekerja, selain sulit dalam mencari pekerjaan responden merasa takut apabila
pimpinan dan teman-temannya
mengetahui bahwa responden terserang penyakit kusta dan responden sangat menyadari kelelahan akan mengakibatkan kekambuhan
penyakitnya, dengan
tidak bekerja responden menyatakan bahwa tidak mempunyai penghasilan. Penyakit kusta mempunyai pengaruh yang luas pada kehidupan penderita, mulai dari perkawinan, pekerjaan, hubungan pribadi, kegiatan bisnis sampai kehadiran mereka pada acara-acara di lingkungan masyarakat(2). Sebagian besar responden telah menderita penyakit kusta antara 1 tahun sampai
dengan 5 tahun, dalam kurun waktu sekian lama responden harus selalu berobat dan minum obat seraca rutin, apabila sampai terlambat dalam berobat responden menyatakan penyakitnya akan muncul kembali.
2. Faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta a. Stigma penyakit kusta menurut persepsi responden. Stigma adalah hal-hal yang membawa aib, hal yang memalukan, sesuatu dimana seseorang menjadi rendah diri, malu dan takut karena sesuatu (14)
. Hasil wawancara mendalam didapatkan hasil , bahwa semua responden
menyatakan masyarakat disekitar tidak mengetahui bahwa responden menderita penyakit kusta dan sebagian keluarga responden, merasa sangat takut dan waswas saat mengetahui responden menderita kusta. Untuk mengatasi stigma ini, sebagian besar responden melakukannya dengan tetap bekerja, ada juga dengan cara membatasi diri, menutup diri, tidak memperdulikan lingkungannya, walaupun ada juga yang tetap
mengikuti kegiatan di kampungnya seolah-olah
tidak sedang sakit. Untuk menghindari efek stigmatisasi penderita kusta menggunakan beragam cara agar orang lain tidak mempelajari atau mengetahui tentang penyakitnya diantaranya menyembunyikan secara efektif tentang penyakitnya, mencegah pengungkapan diri terhadap masyarakat, keluarga dan temantemannya (12). Wawancara mendalam terhadap responden dalam mengatasi stigma ini diperoleh jawaban bahwa, responden seperti
selalu menggunakan pakaian tertutup,
berkerudung, memakai baju lengan panjang, rok panjang dan bagi
penderita laki-laki menggunakan jaket, memakai sepatu berkaos kaki dan bertopi juga tidak menceritakan kepada siapapun tentang penyakit yang dideritanya.
b. Persepsi penderita terhadap kemudahan kemungkinan terkena penyakit. Dalam teori health belief model dinyatakan bahwa ketika individu mengetahui adanya kerentanan pada dirinya, dia percaya bahwa penyakit akan berakibat serius pada organ tubuh. Adanya gejala - gejala fisik mungkin mempengaruhi persepsi keparahan dan motivasi pasien untuk mengikuti instruksi yang diberikan (20). Penyakit kusta adalah penyakit menular menahun dan disebabkan oleh kuman kusta . Penyakit ini dapat ditularkan dari penderita kusta kepada orang lain, secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang erat dan lama dengan penderita. Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah semua tergantung dari beberapa faktor, antara lain : faktor sumber penularan yaitu tipe penyakit kusta , faktor kuman kusta dan faktor daya tahan tubuh (1). Sebagian besar responden mempunyai persepsi bahwa penyakit kusta dapat menimpa semua orang, sebagian responden menganggap bahwa orang yang jorok dan kondisinya menurun yang dapat tertular penyakit kusta. Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta kepada orang lain. Sebagian besar responden tidak mengetahui cara penularan penyakit kusta dan ada yang mengatakan penyakit ini menular melalui udara dan satu responden menyatakan bisa tertular penyakit kusta apabila golongan darahnya sama dengan penderita, jika tidak sama tidak akan tertular.
c. Persepsi penderita terhadap kegawatan penyakit. Pada penelitian ini, didapatkan jawaban bahwa sebagian besar responden menganggap kusta merupakan penyakit yang berbahaya dan serius alasan responden adalah penyakit kusta mengakibatkan perubahan bentuk fisik dan kecacatan dimana kecacatan ini bisa menetap seumur hidupnya. Sebagian besar responden berpandangan bahwa penyakit kusta bisa menimbulkan kematian hal ini dikemukakan bahwa gejala yang muncul saat terkena penyakit ini sangat berat, dan saat pertama kali berobat tidak langsung diketahui penyakitnya sehingga responden merasa pengobatan yang dilakukan kurang tepat, justru penyakitnya menjadi berat dalam arti lain terlambat berobat untuk penyakit kustanya karena salah dalam mendiagnosa penyakit.
d. Persepsi penderita terhadap manfaat berperilaku positip. Penyakit kusta dapat diobati dan bukan penyakit turunan / kutukan, menurut WHO menggunakan hemoterapi dengan Multi Drug Treatment (MDT). Tujuan pengobatan ini adalah untuk mematikan kuman kusta. Pada tipe MB lama pengobatan 12 – 18 bulan dan tipe PB lama pengobatan 6 – 9 bulan. Bila penderita kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat memperburuk keadaan (17). Semua responden menyatakan
orang yang menderita penyakit kusta harus
berobat secara rutin, karena kalau tidak rutin akan kambuh lagi, perasaan tenang, tidak stres, tidak lelah sangat membantu responden mengurangi frekuensi kekambuhan.
Kecacatan
yang
berlanjut
dapat
menimbulkan
ketidak
mampuan
melaksanakan fungsi sosial yang normal, serta kehilangan status sosial secara progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga dan teman-temannya (7). Sebagian besar dari responden menyatakan, perawatan diri dengan rajin sangat perlu, supaya cacatnya tidak bertambah parah, dengan mengoles pelembab di tangan dan kakinya akan mengurangi kekeringan pada kulit yang bisa membuat luka / pecah-pecah. Menurut responden setiap hari penderita kusta
harus
memeriksa anggota badannya apakah terjadi luka atau tidak, karena anggota badan penderita mengalami mati rasa sehingga kalau terjadi luka tidak terasa sakit, menurut responden mengetahui terjadinya luka secara dini akan mengurangi terjadinya kecacatan karena luka bisa cepat diobati sehingga tidak bertambah berat/menjalar
e. Persepsi penderita terhadap risiko berperilaku negatip Dari hasil wawancara yang telah dilakukan menunjukkan bahwa secara umum risiko berperilaku negatip yaitu tentang hal-hal yang tidak boleh di lakukan, responden mengutarakan bahwa jenis-jenis makanan tertentu tidak boleh dimakan seperti daging kambing, durian, nangka, makanan beralkohol dan keadaan stres, capek / kelelahan harus dihindari karena akan memunculkan gejala-gejala penyakit kusta (reaksi kusta). Secara psikologis bercak, benjolan-benjolan pada kulit penderita membentuk paras yang menakutkan, kecacatannya juga memberi gambaran yang menakutkan, hal ini menyebabkan penderita kusta merasa rendah diri, depresi dan menyendiri
(1)
Sebagian besar responden menanggapi bahwa
penderita kusta yang selalu mengucilkan diri karena malu itu tidak baik, karena
penderita kusta harus berobat, apabila tidak berobat secara rutin maka tidak akan sembuh dan sebagian lagi menyatakan mengucilkan diri adalah tindakan yang paling tepat agar tidak menjadi bahan pembicaraan tetangga. Responden lain sebenarnya mengetahui bahwa tindakan mengucilkan diri adalah tidak baik, akan tetapi
responden tersebut melakukannya juga karena malu dan down
mentalnya. Berkaitan dengan pandangan responden tentang penderita yang tidak berobat semua responden berpendapat bahwa tindakan tersebut merupakan kesalahan besar karena penderita kusta jika tidak berobat selain tidak sembuh akan mengalami reaksi dan bisa menjadi cacat dan sebagian responden menyatakan perlu adanya terapi mental oleh psykolog karena selain fisik yang sakit penderita kusta juga menderita sakit secara mentalnya.
f.
Faktor Internal yang melatar belakangi persepsi penderita
terhadap stigma penyakit kusta. Pada umumnya responden tidak mengetahui bahwa menderita kusta, informasi tentang penyakit kusta
didapat dari orang lain seperti petugas
kesehatan, saudara atau perangkat desa, sebagian besar responden merasa kaget, takut dan tidak percaya saat pertama kali mengetahui terserang penyakit kusta dan satu responden berusaha bunuh diri saat mengetahuinya. Sebagian besar responden mengatakan, keluarga sangat kaget saat mengetahui responden terserang penyakit kusta, sikap keluarga saat itu selalu mendorong untuk berobat walaupun ada perasaan kecewa, was-was dan takut. Satu responden mengatakan keluarganya biasa saja dengan penyakit responden dan tidak merasa bahwa responden menderita penyakit kusta, keluarga mengatakan kalau yang berbahaya itu adalah sakit lepra, hal ini karena keluarga tidak
mengetahui perbedaan antara kusta dan lepra, dan waktu pertama responden menderita kusta keluarga mengatakan bahwa
baru di beri cobaan dari Allah
harus diterima.
g.
Faktor ekternal yang melatar belakangi persepsi penderita
terhadap stigma penyakit kusta. Stigmatisasi diri sendiri penderita kusta sangat nyata, orang dengan kusta dapat menjadi malu mungkin karena sikapnya juga kecacatannya dan sikap ini dapat mengisolasikan mereka dari masyarakat, dengan demikian pendapat bahwa kusta itu menjijikan, memalukan harus ditutupi akan menjadi stigma yang nyata pada penderita, penderita akan mengalami kesulitan untuk berinteraksi, akan mengucilkan diri dan sikap ini akan menjadi permanen (3). Semua responden mengatakan, masyarakat disekitar tempat tinggal dan temantemannya tidak mengetahui bahwa responden menderita kusta, mereka mengira responden berpenyakit lain seperti penyakit saraf, diabetes, karena alergi obat atau karena salah obat sehingga masyarakat dan teman responden tidak melakukan tindakan apapun terhadap responden. Stigma menunjukkan “tanda” yaitu tanda yang diberikan dalam bentuk cap oleh masyarakat terhadap seseorang, orang yang terstigmatisasi menjadi berperilaku seolah-olah mereka dalam kenyataan yang memalukan atau namanya tercemar
(12)
. Efek dari stigmatisasi berakibat dapat membuat
masyarakat / orang lain untuk merubah persepsi dan perilaku mereka terhadap individu yang dikenai stigma, dan pada umumnya menyebabkan orang yang dikenai stigma untuk merubah persepsi tentang dirinya serta menjadikan mereka mendifinisikan diri sendiri sebagai orang yang menyimpang. Dari hasil
wawancara yang telah dilakukan menunjukkan bahwa secara umum masyarakat, keluarga dan teman penderita kusta tidak memberikan suatu tindakan yang mengarah ke stigmatisasi terhadap responden. Penyakit kusta adalah penyakit menular menahun, disebabkan oleh kuman kusta. Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe MB kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak langsung yang erat dan lama dengan penderita (1)
.
Dan cross chek yang dilakukan terhadap keluarga, tetangga dan teman penderita yang selanjutnya disebut sebagai Informan, dengan menggunakan wawancara mendalam di peroleh hasil sebagian besar Informan mengatakan bahwa penyakit kusta adalah penyakit menular, bisa menimpa semua orang dan orang yang kondisi kesehatannya menurun, kurang menjaga kebersihan adalah orang yang bisa tertular penyakit ini, dan tiga dari lima Informan mengatakan kontak langsung yang lama adalah cara penularan penyakit kusta selain melalui udara. Sebagian besar menganggap penyakit kusta adalah penyakit yang berbahaya karena penyakit kusta menimbulkan gejala yang berat, bisa menular ke orang lain , dapat merubah bentuk fisik dan bisa menimbulkan kecacatan. Semua Informan mengatakan penyakit kusta tidak menyebabkan kematian hanya bisa mengakibatkan kecacatan. Suami responden mengetahui jika istrinya menderita penyakit kusta dari keluarganya yang juga menderita penyakit ini dan Informan
lain mengetahui dari petugas RSUD Tugurejo Semarang, seorang
Informan tidak mengetahui bahwa temannya dirawat karena menderita penyakit kusta sehingga wawancara terhadap teman responden tidak penulis lanjutkan.
Semua Informan setelah mengetahui berpendapat, harus berobat supaya sembuh dan sikapnya saat itu sangat kecewa, kawatir walau tetap membantu dalam berobat. Mengenai pendapat orang-orang dilingkungan penderita, semua Informan mengatakan bahwa lingkungan tidak mengetahui kalau menderita kusta sehingga lingkungan tidak melakukan tindakan apapun terhadap penderita.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian dan pembahasan didapatkan kesimpulan sebagai berikut : 1. Responden (penderita kusta) dalam penelitian ini berjumlah 8 orang dengan rentang usia 14 – 51 tahun, berjenis kelamin laki-laki sebanyak lima orang dan enam orang berasal dari luar Semarang. Dilihat dari latar belakang tingkat pendidikan responden, mulai dari
tidak bersekolah
sampai dengan lulus Sekolah Menengah Atas. Lima orang responden tidak
bekerja dan enam orang telah menderita penyakit kusta antara 1 tahun sampai 5 tahun lamanya.
2. Penderita kusta berpersepsi, masyarakat disekitar tempat tinggal dan teman-temannya tidak mengetahui bahwa penderita sedang mengalami sakit kusta, penderita beranggapan bahwa, tetangga dan teman-temannya menyangka penderita berpenyakit lain seperti penyakit diabetes, penyakit syaraf atau penyakit alergi karena salah minum obat, penderita kusta berpersepsi,
sikap
membatasi
diri
dalam
pergaulan,
menutupi
kekurangannya/kecacatannya merupakan tindakan untuk mengurangi/ mengatasi cap buruk/stigma.
3. a. Penderita kusta berpersepsi bahwa, penyakit kusta merupakan penyakit menular, dapat menimpa semua orang, terutama orang yang tidak melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) b. Penderita kusta berpersepsi bahwa, penyakit kusta merupakan penyakit yang berbahaya dan serius, bisa menimbulkan kematian atau kecacatan seumur hidupnya. c. Penderita kusta berpersepsi, untuk berperilaku positip ditunjukkan dengan : 1) Berobat secara rutin. 2) Melakukan perawatan diri dengan rajin. 3) Mau berinteraksi dengan lingkungan. d. Penderita kusta berpersepsi, berperilaku negatip yaitu : 1) Tidak mau berobat karena malu.
2) Mengucilkan/mengisolasikan diri. 3) Putus asa.
B. Saran 1. Bagi RSUD.Tugurejo Semarang,
rumah sakit dengan unggulan
penyakit kusta, sebagai rumah sakit pendidikan dan rujukan penyakit kusta di Jawa Tengah agar mengoptimalkan pelayanan Rehabilitasi Medik, karena penderita kusta selain memerlukan pelayanan medis (obat) juga memerlukan pelayanan Fisioterapi untuk mencegah kecacatan, melatih otot-otot yang lemah dan untuk mempersiapkan operasi bagi penderita yang akan dilakukan operasi perbaikan kecacatannya. Terapi Kerja (Occupational Therapi), keperluan alat bantu (Orthotic Prosthetic) dan yang paling penting adalah pelayanan Psykologi untuk men support mental penderita. Perlu adanya suatu kelompok penderita kusta dengan program kegiatan bersama,
untuk
meningkatkan
motivasi
dan
upaya
pencegahan
kecacatan. Perlunya program monitoring dan evaluasi bagi pasien yang sudah dinyatakan sembuh dari penyakit kusta..
2. Bagi Puskesmas, sebagai fasilitas pelayanan kesehatan
tingkat
pertama yang mempunyai tanggung jawab menyelenggarakan berbagai pelayanan kesehatan diantaranya promosi kesehatan, pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan dan berbagai program kesehatan masyarakat lainnya untuk dapat mendeteksi secara dini masyarakat yang
terserang penyakit kusta, serta untuk melaksanakan pengobatan secara rutin.
3. Bagi Penderita Kusta dan Keluarga, agar memeriksakan sedini mungkin dan berobat secara teratur serta melakukan perawatan diri untuk mencegah kecacatan. Sikap dan kepedulian keluarga untuk dapat memotivasi penderita agar berobat secara teratur, dan yang lebih penting persepsi terhadap stigma penyakit kusta harus dihilangkan karena penyakit kusta adalah penyakit yang bisa disembuhkan. Menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dalam kehidupan seharihari.
DAFTAR PUSTAKA
1. Depertemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan XVII, 2005. 2. Leprosy Review, a journal Contributing to better understanding of Leprosy and its control, Volume 76, Number 2, England, 2005
3. Leprosy Review, Special Issue on Operational Research, Volume 76, Number 4, December 2005,
4. Data penderita Kusta Provinsi JawaTengah, tahun 2007 5. Laporan Kunjungan Rawat Jalan Penderita Kusta Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang tahun 2007 6. Evaluasi Kunjungan Rawat Inap Penderita Kusta Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang tahun 2007 7. Baderal Munir, Dinamika Kelompok Penerapannya dalam laboratorium Ilmu Perilaku, Universitas Sriwijaya, 2001 8. Sulisna. Perilaku Konsumen dan komunikasi Pemasaran, Bandung, 2001 9. Saifuddin Azwar, Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, edisi 2, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005 10. Direktorat Kesehatan Jiwa Manajemen, Edisi 4, Jakarta
Depertemen
Kesehatan,
Psykologi
11. Soekidjo Notoatmojo, Promosi kesehatan Teori dan Aplikasi, Rineka Cipta, Jakarta, 2005 12. Tri Dayakisni, Hudaniah, Psikology Sosial, Edisi Revisi, UMM-Press, 2003 13. Jacobalis, Samsi, Beberapa Teknik dalam menejemen Mutu Rumah Sakit, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2000 14. Peter Salim, The Contemporary English – Indonesia Dictionary, Seven edition, modern English Press, Jakarta, 1996 15. Mantra IB, Srategi Penyuluhan Kesehatan, Depertemen Kesehatan RI, Jakarta, 2000 16. Depertemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Pedoman Pelaksanaan Pembentukan Kelompok Perawatan Diri, Jakarta, 2006 17. Depertemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Pedoman Kusta Nasional untuk pelaksanaan pemberantasan kusta di daerah endemik Rendah, Jakarta, 2004 18. Sarwono S, Sosiologi Kesehatan Beberapa konsep beserta Aplikasinya, Cetakan ke dua, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1997 19. Lawrence W. Green, Health Promotion Planning, Mayfield Publishing Company, London, 2000 20. Jane Ogen, Health Psychology, Open University Press, Buckingham, Philadelphia, 1996
21. Depertemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Modul Pelatihan Program P2 Kusta bagi Unit Pelayanan Kesehatan, Jakarta, 2007 22. Hari Kusnanto, Metode Kualitatif dalam Riset Kesehatan, Aditya Media, yogyakarta. 23. Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Pustaka Setia, bandung, 2002 24. Mery Debus, Buku Panduan Diskusi Kelompok Terarah, AED Healthcom. 25. HB. Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 2001 26. Miles Matthew B. Analisis Data Kualitatif : Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru. Terjemahan, Penerbit Universitas Indonesia, 1992. 27. Moleong, L.J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002. 28. Utarini, A. Metode Penelitian Kualitatif. Modul mata kuliah, Pascasarjana IKM-MPPK UGM, Yogyakarta, 2004. 29. Johana E. Prawitasari, Metode Penelitian Kesehatan, Hand Out Program Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1995. 30. Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005. 31. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, 1991 32. Soekidjo Notoatmojo, Pengantar Pendidikan Kesehatan, Andi Offset, Yogyakarta, 1993
dan
Ilmu
Perilaku
33. Becker MH. The Health Belief Model and Personal Health Behavior, Charles B, Slack Inc, Thorofare, New Jersey, 1997.
34. Fishbein, M, Ajzen, I. Belief, Attitude, Intention and Behavior an Introduction to Theory and Research. Philippines : Addison Wesley Publishing, 1975.
35. Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Basics Of Qualitative Research, penerjemah Muhammad shodiq dan Imam Muttaqim, Pustaka Jaya, Yogyakarta, 2007
36. Leprosy Review, a journal Contributing to better understanding of Leprosy and its control, Volume 76, Number 1, England, 2005 37. Leprosy Review, Special issue on interation, Volume 73, Number 2, England 2002. 38. http://her.oxfordjournals.org/cgi/content/full/cyll58v1 39. http://www.suryo.co.id/web.powered by joomla-@copyright(c)2005 open source MaltersG Aenll errigahtetsd:27s Nerovveedmber,2007.22 23 40. Rachmalina, Penelitian Pengembangan Model Penanggulangan Penyakit Kusta di daerah Endemis dengan Pendekatan Sosial Budaya, Badan Litbang Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, 2001 41. Workshop EDAN, Mem-PD-kan para mantan penderita Testimonials, motivasi,komunikasi,Leadership, 17 Pebruari, 2007
kusta,
42. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia , edisi kedua, Balai Pustaka, 1991 43. RSUD Tugurejo, Intruksi Kerja Pelayanan Pasien di Poliklinik khusus, 2008