KESEHATAN KESELAMATAN KERJA (K3) DILINGKUNGAN KERJA FISIOTERAPI
Akhmad Alfajri A, Marliana, Mira Yolanda, Nur Achrida, dan Rizky Wulandari Dari Magister Fisiologi Olahraga Konsentrasi Fisioterapi, Fisioterapi, Program Pasca Sarjana, Universtitas Udayana, Denpasar, Indonesia, 2014.
PENDAHULUAN
Dewasa ini, kesehatan keselamatan kerja bagi karyawan baik di sektor industri, pelayanan, dan perkantoran merupakan kewajiban bagi perusahaan yang menyelenggarakan. Kewajiban tersebut telah diatur dalam undang – undang undang ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2013 yang berbunyi pemberi kerja dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja (DEPNAKER, 2014). Dalam hal kesehatan keselamatan kerja juga telah diatur secara internasional oleh Occupational Safety and Health Administration Administration (OSHA, 2014) yang merupakan agen federal dalam bidang kesehatan mengemukakan misinya untuk merancang dan menjamin keselamatan dan kesehatan kerja dari pekerja dengan menegakan sesuai standar, memberikan pelatihan , penyuluhan, dan pendidikan; serta membangun kemitraan dan mendorong
terus
menerus
peningkatan
keselamatan
dan
kesehatan
kerja.
Fisioterapi
sebagaimana tenaga kerja lainnya dalam bidang kesehatan juga memiliki resiko dalam pekerjaannya, resiko bekerja dirumah sakit mememiliki beberapa faktor yakni antara lain ; faktor biologis, faktor kimia, faktor ergonomi, faktor fisik, dan faktor psikososial, (Khoiriah, 2012). Begitupun sama halnya para fisioterapis yang berkerja sebagai tenaga pendidik di perguruan tinggi, resiko kesehatan dan keselamatan kerja hampir mencakup semua lini di sector manapun baik fisioterapi yang bekerja di bidang pelayanan kesehatan dan di bidang pendidikan.
PEMBAHASAN
1.
Resiko Kesehatan Keselamatan Kerja (K3) dilingkungan Kerja Fisioterapis. Rumah sakit sebagai fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia saat ini sangat pesat
keberadaannya, baik dari sisi jumlah dan penggunaan teknologi alat kedokteran yang beraneka ragam serta bidang pelayanan. Fisioterapi sebagai salah satu unit bidang pelayanan di rumah sakit yang memiliki fungsi serta peranan penting terhadap perkembangan rehabilitasi pasien. Bentuk pelayanan fisioterapis menurut Kepmenkes (2013) adalah pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan/atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis) pelatihan fungsi, komunikasi. Banyaknya bentuk pelayanan yang dilakukan oleh fisioterapis maka faktor resiko kerja yang dihadapi oleh pelaksana fisioterapis juga banyak. Faktor resiko yang terjadi seperti yang dijelaskan oleh Khoiriah (2013) pada pendahuluan diatas, fisioterapi akan beresiko di faktor biologis, ergonomi, fisik dan psikosial saja, untuk faktor resiko kimia sangat kecil kemungkinannya, karena bidang kerja fisioterapi tidak menyentuh di ranah tersebut. Berikut tabel yang menjelaskan faktor resiko yang potensial berdasarkan lokasi pekerjaan di Rumah Sakit menurut Kepmenkes (2007) : Tabel.1 Bahaya Potensial berdasarkan lokasi dan pekerjaan di Rumah Sakit (KEPMENKES, 2007)
a. Faktor Resiko Biologis pada Fisioterapis. Fisioterapis dalam hal ini beresiko tekena penularan penyakit yang berada dilingkungan rumah sakit, seperti misalnya Infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang diakibatkan adanya interaksi antara pasien dengan petugas medis, pasien satu dengan pasien lainnya, atau pasien dengan orang yang menjenguk. Infeksi nosokomial bisa menyebar melalui udara saat berbicara, batuk, atau bersin dan kontak langsung. Penularan akan dengan cepat terjadi jika terjadi interaksi dalam jarak antara 60 cm sampai 1 meter. Fisioterapi yang memberikan pelayanan secara kontak langsung dengan tiap pasien, memiliki resiko terkena penularan penyakit lebih besar, apalagi penanganan pasien yang berada di ruang Intensive Care Unit (ICU) dan ruang isolasi. Fisioterapi melakukan terapi latihan yang terdiri dari Passive, Active exercise (gambar.1), Chest Physiotherapy (gambar.2), Mobilisasi bertahap seperti duduk, berdiri dan berjalan (gambar.3).
Gambar.1. Terapi latihan Passive Range of Motion Exercise di Ruan ICU David. 2010
Gambar.2. Chest Physiotherapy di Ruang ICU (Anonim. 2014)
Gambar.3. Mobilisasi Bertahap (berjalan) di Ruang ICU (TTSH. 2012) Bagian Kiri. Mobilisasi Bertahap (Postural Control) duduk. Bagian Kanan (Lisa. 2011).
Pencegahan adalah suatu upaya agar yang petugas fisioterapis tidak tertular infeksi nosokomial. Upaya pencegahan agar tidak tertular dari penyakit tersebut yakni : 1) Cuci tangan a)
Cuci Tangan Setelah menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi dan bahan terkontaminasi.
b)
Cuci Tangan Segera setelah melepas sarung tangan.
c)
Cuci Tangan Di antara sentuhan dengan pasien.
2) Menggunakan Sarung Tangan a)
Menggunakan Sarung Tangan Bila kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi, dan bahan yang terkontaminasi.
b)
Menggunakan Sarung Tangan Bila kontak dengan selaput lendir dan kulit terluka
3) Menggunakan Masker, Kaca Mata atau Masker Muka. a)
Menggunakan Masker, Kaca Mata atau Masker Muka. Mengantisipasi bila terkena, melindungi selaput lendir mata, hidung, dan mulut saat kontak dengan darah dan cairan tubuh.
4) Menggunakan Baju Pelindung. a)
Lindungi kulit dari kontak dengan darah dan cairan tubuh
b)
Cegah pakaian tercemar selama tindakan klinik yang dapat berkontak langsung dengan darah atau cairan tubuh
b. Faktor Resiko Ergonomi pada Fisioterapis. Permasalahan yang berkaitan dengan faktor ergonomi umumnya disebabkan oleh adanya ketidaksesuaian antara pekerja dan lingkungan kerja secara menyeluruh termasuk peran tenaga kesahatan dibidang pelayanan, salah satunya adalah fisioterapis. Ergonomi, secara definisi merupakan ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kaitannya dengan pekerjaan mereka. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ergonomi ialah penyesuaian tugas pekerjaan dengan kondisi tubuh manusia ialah untuk menurunkan stress yang akan dihadapi. Menjadi fisioterapis selain penyesuian tugas pekerjaan dengan kondisi tubuh tiap individu petugas, seorang fisioterapis harus mengerti dan memiliki kemampuan menganalisa, membentuk serta menjalankan konsepnya. Maksudnya fisioterapis dalam pekerjaannya mampu menganalisa apa yang harus ia lakukan dengan kondisi pasien butuhkan, kondisi lingkungan untuk membantu proses tindakan fisioterapis, serta kondisi fisioterapis itu sendiri. Selain itu fisioterapis juga harus mampu membentuk suatu rancangan atau konsep tindakan ke pasien berdasarkan analisa sebelumnya, misalnya pasien dengan kondisi post stroke, pasien tersebut sudah mampu mengontrol badannya untuk berdiri tegak maka fisioterapis ingin mengembangkan tindakan terapinya untuk pasien agar dapat berdiri dan berjalan sendiri. Hal tersebut tidaklah mungkin
langsung dilakukan oleh fisioterapis atas tanpa dasar, pastinya harus memiliki teknik-teknik yang baik bagi fisioterapis dan pasien, karena dengan teknik-teknik yang sudah di analisa dan di konsepkan maka timbul pencegahan resiko cidera kerja pada fisioterapis dan resiko jatuh pada pasien. Maka harus saling menguntungkan. Resiko cidera kerja pada fisioterapis akibat faktor ergonomi adalah karena kurangnya penanganan secara safety, sehingga menimbulkan cidera berupa, low back pain, cidera otot, dan resiko terbesar yakni pasien jatuh dan menimpah fisioterapisnya. Cidera tersebut adalah karena ketidak mampuan atau keteledoran dari fisioterapis untuk menentukan sikap tubuh yang baik, Sehingga merugikan dirinya sendiri. Misalnya untuk mengangkat pasien, memindahkan pasien dari kursi roda/kursi ke bed (gambar.4) maka fisioterapis harus mengetahui teknik yang tepat yang disesuaikan dengan kondisi tubuhnya, pasien serta lingkungan sekitar, sehingga fisioterapis terhindar dari kerugian kerja (cidera) pasienpun menjadi lebih aman.
Gambar.4. Teknik Memindahkan posisi pasien dari berbaring ke duduk (atas), Teknik Memindahkan posisi pasien dari Kursi ke Bed (tengah) da teknik mendorong naik pasien diatas bed (bawah). (OSHA, 2007)
Pencegahan atau solusi agar tidak mengalami kecelakaan kerja berupa cidera akibat faktor ergonomi terhadap fisioterapis sebagai tenaga kesehatan yakni : 1) Pengetahuan tentang teknik manual handling ergonomic, maksudnya fisioterapis mampu mengetahui cara menjaga tubuhnya dalam kondisi yang aman dan nyaman saat melakukan tindakan terhadap pasien. 2) Saat akan melakukan tindakan terapi pada pasien, jelaskan terlebih dahulu rencana yang akan fisioterapis lakukan. Hal tersebut berguna agar adanya feedback dari pasien untuk berkerjasama sehingga mengurangi resiko yang tidak diinginkan. 3) Gunakan alat bantu, maksudnya penggunaan alat bantu disini bisa berupa alat dan patner, alat yang dapat membantu misalnya belt (gambar.5) untuk pasien agar pegangan terapis menjadi lebih nyaman. Lumbar corset (gambar.5) untuk membantu postur terapis dalam kondisi yang aman sehingga tidak berakibat terkena LBP (low back pain). Selanjutnya adalah patner, hal ini dilakukan apabila kemungkinan kondisi anda tidak mampu menangani pasien tersebut secara sendiri, maka ajaklah patner atau rekan fisioterapis anda.
Gambar.5. (kiri) lumbar corset support dan (kanan) handling belt for patient . c. Faktor Resiko Fisik pada Fisioterapis Faktor resiko atau bahaya potensial fisik pada petugas fisioterapis disini adalah radiasi dan panas. pada fisioterapi resiko radiasi yang didapatkan karena alat-alat yang digunakan menggunakan gelombang elegtromagnetik (gambar.6), secara definisi radiasi gelombang elegtromagnetik
adalah
kombinasi medan
listrik dan medan
magnet yang berosilasidan
merambat lewat ruang dan membawa energi dari satu tempat ke tempat yang lain. Alat yang sering digunakan fisioterapi sebagai media pengobatan yakni : Shortwave Diathermy (SWD) , Microwave Diathermy (MWD), dan Ultrasound (US).
Gambar.6. Penggunaan SWD pada Pasien (gambar atas) dan Penggunaan US pada Pasien (gambar bawah).
Shortwave Diathermy (SWD) (gambar.6) merupakan merupakan
gelombang pendek
dengan frekuensi radio yang ultra tinggi. Gelombangnya sepanjang 3-30 m, frekuensi 10-100 megacycle/ detik, dengan dalam penetrasi 1-2 cm kedalam jaringan. manfaat SWD antara lain : Memperlancar peredaran darah dalam local, Menurunkan spasme otot, Membantu meningkatkan kelenturan jaringan lunak, Mempercepat penyembuhan Inflamasi jaringan. Namun terdapat indikasi dan kontraindikasi untuk penggunaan SWD, Indikasinya yakni : Kondisi peradangan dan
kondisi
sehabis
trauma,tahap
akut,subakut,
dan
kronik,
Trauma
pada
system
musculoskeletal, Kondisi ketegangan, pemendekan, perlengketan otot jaringan lunak. Dan kontraindikasinya yakni : Adanya perdarahan atau kecenderungan perdarahan, pasien penderita
CA dan pengguna Peacemaker (alat pacu jantung), Adanya logam didalam tubuh atau menempel pada kulit (Penggunaan Plat, Screw pasca operasi ortophedi), Gangguan sensorik pada kulit dan yang wanita mengandung khusus daerah pelvic. Sedangkan Microwave
Diathermy (MWD)
merupakan
konversi
energi
radiasi
elektromagnetik (gelombang radar) menjadi panas. Untuk pemakaian klinik, frekuensinya 2.456 dan 915 MHz. Penetrasi berbeda antara 2.456 MHz (kurang dari SWD) dengan frekuensi 915 MHz (lebih dari SWD). Untuk manfaat serta indikasi dan kontraindikasinya hampir sama dengan SWD. Ultrasound (US) merupakan konversi energi suara frekuensi tinggi (Vibrasi mekanik 0,7
– 1 megacycle perdetik) panas dengan penetrasi dalam (3-5 cm). Manfaatnya yakni : Untuk mengurangi ketegangan otot Untuk mengurangi rasa nyeri, Untuk memacu proses penyembuhan pada soft tissue. Sedangkan indikasinya yakni : Kondisi peradangan sub akut dan kronik Kondisi traumatic sub akut dan kronik Adanya jaringan parut pada kulit sehabis luka operasi / luka bakar Kondisi ketegangan,pemendekan,dan perlengketan jaringan lunak (otot,tendon, dan ligament ) Kondisi inflamasi kronik. Untuk kontraindikasinya adalah Jaringan lembut seperti mata, ovarium, testis, otak, Jaringan yang baru sembuh, jaringan/ granulasi baru Kehamilan,khusus pada daerah uterus Pada daerah yang sirkulasi darahnya tidak adekuat ( tidak mencukupi ) dan Tanda-tanda keganasan Infeksi bakteri. Resiko pada pengguanaan alat-alat tersebut berpotensi terjadinya radiasi yang mengakibatkan gangguan secara fisiologis pada jaringan tubuh manusia, namun dampak tersebut dapat di hindari dan dicegah apabila fisioterapis mengetahui indikasi dan kontraindikasi serta dosis terapi dari alat terapi yang menggunakan gelombang elegtromagnetik.
d. Faktor Resiko Psikososial pada Fisioterapis Faktor Resiko Psikososial pada pekerja dibidang pelayanan terutama fisioterapis, sepertinya hampir sama dengan tenaga kesehatan lainnya, karena pressure kerja yang tinggi, tuntutan pelayanan dari pasien, kerja sift, rutinitas yang hampir sama tiap harinya, serta bayangan resiko tertular penyakit dari pasien. Hal tersebut yang menjadi kebanyakan resiko gangguan psikososial pada fisioterapis. Solusi untuk mengurangi dampak psikososial tersebut maka diperlukan keterlibatan perusahaan untuk memberikan suatu kebijakan misalnya : memberikan Gaji yang sesuai dengan pekerjaan, Reward terhadap pekerja yang berprestasi,
mengikutkan pekerja dalam acara atau kegiatan seperti seminar, dan workshop, alat perlindungan diri saat bekerja, ansuransi serta menjamin layanan kesehatan bagi pekerja tersebut, dan lain-lain. Hal demikian bila diterapkan pada perusahaan maka dampak psikososial pada pekerja akan berkurang bahkan terhindar.
KESIMPULAN
Beberapa faktor kesehatan keselamatan kerja (K3) seperti faktor Fisik, Ergonomi, Psikososial, dan faktor Biologis merupakan hal yang sering terjadi dilingkungan kerja fisioterapis, dan menjadi sebuah gambaran bagi semua pihak yang membutuhkan, sehingga tercipta keamanan, kenyamanan dan keselamatan dalam bekerja.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. 2014. Chest Physiotherapy and Cardiopulmonary. Ph ysiotherapy Department of Queen Elizabeth Hospital. Hongkong Diakses pada 05 Juni 2014. http://www3.ha.org.hk/qeh/department/phys/scope.htm#Chest_physiotherapy_&_cardiop ulmonary_care:_ 2. David, TW Yu. 2010. Early Rehabilitation in Intensive Care Unit . Queen Elizabeth Hospital. Hongkong. Diakses pada 05 Juni 2014. http://www.hkresp.com/index.php/useful-resources/128-critical-care/666-2010-mayearly-rehabilitation-in-intensive-care-unit 3. Departemen Ketenagakerjaan. 2014. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2013. Hukum Online. Diakses pada 02 Juni 2014. http://www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/fl51927/parent/13146 4. Kementrian Kesehatan. 2007. Keputusan Menteri Republik Indonesia Nomor 432 tentang Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Departemen Kesehatan. Jakarta. Diakses 03 Juni 2014. http://www.depkes.go.id 5. Kementrian Kesehatan. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Pekerjaan dan praktik Fisioterapis. Departemen Kesehatan. Jakarta. Diakses Pada 03 Juni 2014. http://ifi.or.id/upload/file/PERMENKES_No.80_Tahun_2 6. Khoiriah, Irma Nur. 2012. Administrasi Rumah Sakit :Kesehatan dan Keselamatan Kerja Laboratorium Rumah Sakit . Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Airlangga. Surabaya
7. Lisa. 2011. Early Mobilization “How one multidisciplinary team initiated an activity protocol to decrease ICU lengths of stay”. Advance Health Care Network. Diakses pada 05 Juni 2014. http://physical-therapy.advanceweb.com/Archives/Article-Archives/EarlyMobilization.aspx 8. Occupational Safety and Health Administration. 2007. Guidelines for Nursing Homes – Ergonomic for the prevention of Musculoskeletal Problem. Department of Labor. United State of America. Diakses pada 01 Juni 2014. http://www.osha.gov/ergonomics/guidelines/nursinghome/index.html 9. Occupational Safety and Health Administration.2014. About Mission Occupational Safety and Health Administration. Department of Labor. United State of America. Diakses pada 01 Juni 2014. https://www.osha.gov/about.html 10. Tan Tock Seng Hospital. 2012. Result of Starting Physiotherapy Early “TTSH” Encouraging . Diakses pada 05 Juni 2014. http://www.ttsh.com.sg/aboutus/newsroom/news/article.aspx?id=3850