SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT JEPANG
Keluarga adalah sistem tatanan masyarakat yang paling kecil, seperti juga negara lain Jepang pun mempunyai sistem tatanan masyarakat yang khas. Sistem tersebut telah ada ada dan dianut secara turun turun temurun sejak sejak jaman dulu. Jika di Bali terkenal dengan sistem kasta dalam tatanan masyarakatnya, di Jepang yang menjadi salah satu dari sistem tatanan masyarakat yang cukup dikenal adalah sistem Ie sistem Ie dan dan Dozoku Dozoku.. A. A . I e
Ie adalah pola hubungan yang ada dalam sistem kekerabatan masyarakat Jepang. Sistem Ie tumbuh dan bertahan sangat kuat dalam masyarakat Jepang. Bila kita melihat karakter huruf kanji yang melambangkannya, ie (家) bisa berarti rumah atau keluarga akan tetapi dalam masyarakat Jepang pengertian Ie tidaklah Ie tidaklah sesingkat dan sesederhana itu. Sistem Ie Sistem Ie merupakan merupakan salah satu kebudayaan Jepang. Menurut Chie Nakane ; Nakane ; Sistem Ie Sistem Ie di di Jepang merupakan suatu sistem keluarga yang tidak dapat ditemukan di negara lain kecuali di Jepang, sistem ini hanya ada di Jepang karena sistem ini merupakan perwujudan kebudayaan khas Jepang (1978:8). Sebagai kebudayaan yang khas, konsep ie tidak ie tidak hanya mengatur sistem keluarga Jepang tetapi juga mengatur interaksi sosial masyarakat. Ie Ie sebagai satuan unit kerjasama, yang menekankan pada kesinambungan pada nama
keluarga dan pekerjaan keluarga, di dalamnya terdapat dua sifat
hubungan dalam berinteraksi yaitu hubungan horizontal dan hubungan vertikal. Hubungan horizontal terlihat jelas pada masyarakat pedesaan. Masyarakat pedesaan tidak membawakan dirinya sebagai individu tetapi selalu menempatkan
dirinya dalam kerangka ie ketika sedang berinteraksi. Adanya hubungan horizontal di kalangan tertentu merupakan awal terbentuknya Dozoku yang membentuk desa. Hubungan vertikal dalam ie, berarti hubungan atasan dengan bawahan atau orang tua dengan anak di lingkungan masing-masing ie-nya. Dalam sistem Ie terdapat 2 faktor pembentuknya yaitu kesatuan keluarga yang bersifat patrilineal dan shinzoku (hubungan kekerabatan) yang terjadi dalam masyarakat Jepang antara dirinya sendiri dan kerabat-kerabat lainnya, baik yang bersifat ketsuzoku (hubungan darah yang sama) maupun hubungan yang bersifat inzoku (hubungan darah yang terjadi dengan kerabat pasangannya) Sistem Ie merupakan pengaruh dari ajaran konfusius yang mengajarkan tentang akar-akar nilai Gorin dan Gojo. Yang disebut Gorin adalah lima dasar hubungan yang terjadi diantara manusia, dan kesetiaan yang terjadi diantara hubungan tersebut merupakan dasar bagi keharmonisan tatanan sosial. Hubungan tersebut adalah kunshu (penguasa dan pengikut), oyako (orang tua dengan anak), fufu ( suami dengan istri) ani-otouto (kakak laki-laki dengan adik laki-laki), dan nakama (hubungan yang terjadi diantara teman). Sedangkan yang dimaksud dengan Gojo adalah lima moral dasar manusia, yang terdiri dari jin (kemanusiaan), gi (keadilan), chi (pengertian), rei (sopan santun) dan shin (keyakinan). Gojo menguasai lima hubungan dasar manusia yaitu gorin. Dari pemikiran seperti itu, konsep Ie tertanam dalam tatanan hidup masyarakat Jepang sampai sekarang. Di dalam sistem Ie yang paling berkuasa dan bertanggung jawab terhadap Ie adalah Kachou atau Koshu, dalam sistem negara, posisi tersebut ditempati oleh Tenno atau kaisar.
Karateristik Sistem Ie : 1. Sistem Ie dilaksanakan secara adat-istiadat (adat samurai) 2. Mempunyai harta warisan (kazan) sebagai harta kekayaan ( zaisan) 3. Menekankan pada pemujaan terhadap arwah leluhur yang merupakan pendahulu garis keturunan mereka. 4. Menekankan eksistensi keturunan langsung dari generasi ke generasi yang memandang penting kemakmuran bersama. 5. Ie dipimpin oleh seorang kachou yang memiliki kriteria sebagai berikut : a. Melalui pertalian darah (chounan atau anak sulung laki-laki) b. Melalui pengangkatan anak (kalau tidak punya anak laki-laki) c. Mengangkat anak laki-laki yang berasal dari saudara laki-laki kachou d. Mengangkat menantu laki-laki 6. Setiap ie memiliki nama keluarga (myouji) B . Dozoku
Dozoku adalah kelompok yang dibentuk berdasarkan shinzoku (ikatan hubungan darah atau hubungan karena pernikahan). Karena dozoku ini adalah pengembangan dari ie maka di dalamnya selalu ada honke (keluarga utama) dan Bunke (keluarga cabang) Dalam Dozoku hubungan atasan dengan bawahan terjadi
antara honke dan bunke. Hubungan ini sangat dijaga sehingga tidak ada bawahan yang berani melawan atasan. Karena dibentuk berdasarkan shinzoku dan berlandaskan garis keturunan ayag maka anggota dozoku memiliki sosen (leluhur) yang sama Karateristik dozoku 1. Di dalam dozoku selalu ada honke (keluarga utama) dan bunke (keluarga cabang) 2. Kelompok yang dibentuk berdasarkan shinzoku (ikatan hubungan darah atau hubungan karena pernikahan) dan perluasan ie yang sudah ada. 3. Anggota dozoku memiliki sosen (leluhur) yang sama C. Penerapan Sistem Ie dan Dozoku Dalam Kehidupan Masyarakat Jepang Saat Ini
Sistem ie di Jepang saat ini masih berlaku di kehidupan orang Jepang generasi sekarang, terutama kesan meninggikan posisi laki-laki, terutama kepala keluarga, contohnya pada saat akan mandi, keluarga yang masih menganut sistem ini pasti akan mendahulukan kaum laki-laki untuk mandi terlebih dahulu, dan perempuan biasanya yang mandi paling akhir. Terlebih pada pencarian nafkah keluarga sangat bertumpu pada ayah sebagai kepala keluarga karena perempuan hanya berfungsi sebagai ibu rumah tangga. Demikian juga dengan sistem dozoku, pada saat ini masih berlaku di kalangan zaibatsu (kaum kapitalis) yang menguasai gabungan usaha komersil dan
industri di Jepang, sebagian besar perusahaan di Jepang masih menggunakan sistem ini terutama dalam proses penggantian pimpinan perusahaan. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga asset dari keluarga dan mempertahankan harta keluarga untuk diwariskan kepada keturunan selanjutnya. D. Peran Wanita Dalam Masyarakat Jepang
Pada
zaman Heian ,
kehidupan
para
wanita
penuh
aturan
dan
batasan. Pendidikan yang mereka ketahui pun terbatas. Hanya sedikit di antara mereka yang bisa membaca dan menulis. Pada Zaman Meiji, Jepang mulai dipengaruhi budaya barat, untuk mempertahankan budayanya, pada saat itu keluarlah
“Undang-undang Minpo”
yang
didalamnya ada
undang-undang
sistem ie yang mengatur kehidupan sosial wanita Jepang. Wanita Jepang saat itu berada pada status sosial paling rendah dan mengalami diskriminasi gender. Pada Zaman Showa, undang-undang sistem ie dihapuskan. Saat itupun kesamaan gender mulai berlaku. Perkawinan wanita Jepang pun mulai meningkat. Seiring berjalannya waktu, saat perekonomian Jepang mengalami apa yang mereka sebut dengan bubble economy, mulai banyak tersedia pekerjaan bagi wanita. Angkatan kerja wanita ini berharap lebih berperan di tempat kerjanya dari pada di rumah. Tahun 1985 parlemen Jepang mengeluarkan UU yang menjamin kesamaan gender di lapangan kerja, sehingga dibandingkan 10 tahun yang lalu sudah semakin banyak wanita yang bekerja penuh waktu. Akan tetapi dari masa ke masa
grafik pekerja wanita (usia menikah 27 tahun) Jepang yang keluar dari
lapangan kerja terus meningkat, Kemudian di usia 40 tahun keatas grafik wanita memasuki lapangan kerja mulai meninggi lagi. Hal ini dikaitkan dengan adanya kelahiran dan masa membesarkan anak – anak oleh ibu-ibu Jepang.
Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang, dari wanita karir yang menikah, setelah melahirkan anak ternyata hanya 30% yang kembali bekerja karena tidak mampu menyeimbangkan antara pekerjaan dan rumah tangga. Bagi Jepang ini adalah hal yang mengkuatirkan dan Jepang terdesak dalam 2 pilihan yaitu apakah tetap memperjuangkan kesamaan gender atau sama sekali melupakannya. Kenyataan harus memilih pekerjaan atau anak bagi kaum wanita di Jepang telah menciptakan semacam mimpi buruk demografis.
Tahun fiskal 2003 mencatat jumlah seluruh angkatan kerja wanita di Jepang sebanyak 25.5 juta yang 41.4% (9.3 juta) adalah pekerja wanita paruh waktu, bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu. Dan dari seluruh total lapangan kerja paruh waktu, 77.4 persen diduduki oleh tenaga kerja wanita ( Japan A Pocket Guide 2004, Foreign Press Centre Japan).
Munculnya paham feminisme juga menyebabkan banyak wanita Jepang yang semakin berkurang keinginnya untuk menikah, karena tidak mau terikat tradisi dengan menjadi ibu rumah tangga dan prosedur pernikahan yang merepotkan serta memakan banyak biaya. Seorang penulis Jepang, Sumiko Iwao dalam bukunya yang berjudul " Japanese Women: Traditional Image and Changing Reality" menjelaskan beberapa penyebab berkurangnya jumlah pasangan yang menikah di Jepang yaitu kemajuan di bidang ekonomi sehingga para wanita mampu hidup mandiri secara finansial meskipun tidak bersuami.
Dari beberapa alasan itu terlihat bahwa perkembangan ekonomi telah mejadi alasan utama bagi wanita Jepang untuk menunda pernikahannya. Hal ini secara tidak langsung membuktikan bahwa kemajuan dalam bidang ekonomi di Jepang
memiliki peranan besar dalam perubahan pola pikir masyarakat Jepang terhadap pernikahan, khususnya bagi wanita Jepang modern.
Menurut Sumiko Iwao, bagi wanita yang berorientasi pada karir, perkawinan dianggap penghalang untuk mencapai tujuan profesional mereka. Pernikahan bagi wanita Jepang modern telah menjadi beban karena harus mengorbankan keinginan pribadi
mereka
masing-masing
untuk
kepentingan
keluarga. Untuk
bisa
mempertahankan gaya hidup mereka, para wanita Jepang modern rela hidup dengan tetap melajang dan menikmati kebebasannya.
Dibanding yang pria, wanita Jepang setelah lulus SMU lebih banyak yang melanjutkan ketingkat pendidikan yang lebih tinggi ke kolese junior dan perguruan tinggi, 48.8%. Kebebasan memilih bagi wanita Jepang adalah, profesionalisme. Saat seorang wanita memilih menjadi ibu rumah tangga, bekerja sebagai pendidik bagi putra-putrinya tidak dirasakan sebagai kekangan, melainkan bersifat utama, strategis dan justru seharusnya dilakukan. Peran wanita seperti itu tidak dianggap rendah atau remeh, tetapi sebaliknya justru mulia. Peran ganda sebagai ibu, terutama ibu anak balita sekaligus wanita pekerja, dianggap sebagai chuto hanpa (peran tanggung), tidak populer di Jepang. Bagi orang Jepang, setelah menikah hanya ada 2 pilihan, yaitu menjadi ibu rumah tangga atau tidak sama sekali. Hak dan kewajiban masing-masing dilindungi oleh undang-undang. Sarana dan prasarana yang diberikan oleh pemerintah sama-sama besar dan mendukung kesuksesan masing-masing karir yang diemban. Bagi wanita pekerja Jepang (wanita tidak menikah/menikah tidak melahirkan anak), bisa mencapai jabatan yang setinggi-tingginya apabila dia sanggup dan mampu. Dalam Undang-Undang ketenagakerjaan ada yang disebut Roudou kinjunhou yang berisi pasal diantaranya, mengatur tentang upah yang sama antara pekerja
laki-laki dan pekerja perempuan, mengatur tentang ketentuan perlindungan kerja bagi wanita (jam kerja, cuti hamil, cuti haid, cuti melahirkan, dll). Berkenanaan dengan undang-undang itu jenis pekerja wanita di Jepang terdiri dari 1. Sogo shoku: pekerja wanita yang menjalani kondisi yang sama dengan pekerja laki-laki,
biasanya lulusan S1 dan lulusan dari Perguruan Tinggi
yang mempunyai reputasi baik. 2. Ippan shoku: pekerja wanita yang tidak memiliki peran penting di tempat kerja,
mereka mengutamakan keluarga dari pada karir. Pada jaman Edo
wanita seperti ini disebut Ryousai yang artinya istri yang baik, akan tetapi pada jaman sekarang istilah itu berubah menjadi Ryousai Kenbo yang bisa berarti Istri Baik, Ibu Bijaksana, istilah ini mengandung makna bahwa peran wanita tidak hanya sebagai istri yang baik tapi juga sebagai pendukung peran pria dari rumah dan memelihara generasi berikutnya dalam bidang pendidikan yang dimulai dari pembentukan karakter anak dalam keluarga
Wanita Jepang, sebagaimana yang dituturkan oleh Dr.Anni Ewasaki, tatkala mulai berkeluarga dan memiliki anak harus berhenti bekerja. Mereka melakukan peran sebagai seorang ibu yang bertugas mendidik putra-putrinya di rumah. Para wanita Jepang, baru boleh aktif kembali berkarir di tengah masyarakat, manakala putra-putrinya sudah dianggap dewasa. Bekerja sebagai pendidik bagi putra-putrinya tidak dirasakan sebagai kekangan, melainkan bersifat utama, strategis dan justru seharusnya dilakukan. Peran wanita seperti itu tidak dianggap rendah atau remeh, tetapi sebaliknya justru mulia. Bekerja di rumah sebagai pendidik tidak kalah mulia dibanding dengan tugas-tugas yang dilakukan oleh suaminya di perusahaan, birokrasi pemerintahan, politik dan lain-lain. Bahkan, mereka
memandang
bahwa
keberhasilannya
dalam
mendidik
putra-
putri, dirasakan sebagai kebanggaan, dan karena itu harus dilakukannya sendiri.
Selain itu, keberhasilan karier suami, dipandang sebagai akibat dari peran isterinya di rumah. Suami Jepang dianggap tidak akan maju dan berkembang manakala tidak didukung oleh isterinya yang bekerja di rumah dengan sepenuhnya. Dalam pandangan Islam dikenal bahwa kaum ibu adalah bagaikan madrasah. Jika madrasahnya baik, maka muridnya akan menjadi
baik.
Demikian pula
para lulusannya akan baik pula. Ajaran Nabi yang sedemikian indah dan mulia itu ternyata diaplikasikan oleh wanita Jepang. Agar anak-anak mereka menjadi baik, maka seorang ibu justru harus memberikan sendiri pendidikan di rumah secara baik. Pendidikan bagi anak-anaknya tidak boleh diserahkan kepada pembantu. Wanita Jepang merasa bangga mendidik putra-putrinya sendiri. Ukuran sukses keluarga Jepang tidak saja dilihat dari banyaknya uang yang berhasil dikumpulkan, tetapi juga dalam mendidik anak-anaknya. Anak-anak yang baik, dari hasil pendidikannya, jutru lebih utama dari yen yang diterimanya. Peran wanita dalam keluarga Jepang seperti itu, maka pada umumnya, keluarga Jepang tidak memiliki pembantu rumah tangga. Mereka tidak menyukai para anaknya dididik oleh orang lain. Pendidikan keluarga yang dilakukan oleh ibunya sendiri dianggap lebih utama. Demikian pula peran ibu di rumah tangga, juga menyiapkan makanan untuk suaminya. Peran di dapur itu dianggap mulia. Pusat kegiatan ibu, biasanya memang di dapur. Oleh karena itu, bagian dapur pada rumah-rumah di Jepang lebih baik dari tempat-tempat lain. Dalam kenyataannya saat ini ada empat tipe wanita menikah di Jepang, yaitu : 1. Pekerja Part Time Di Jepang wanita yang menerima penghasilan sebesar 1,30 juta pertahun akan kehilangan tunjangan pension suami dan asuransi kesehatan, maka mereka lebih memilih menjadi pekerja part timer.
2. Wanita Karir Wanita yang bebas dari tugas keluarga, mereka lebih mementingkan pekerjaan dari pada rumah tangga. Wanita dari golongan ini mendorong keadilan gender dalam rekruitmen dan kenaikan jabatan di tempat kerjanya. 3. Ibu Rumah Tangga Wanita yang bebas dari pekerjaan di luar dan menerima dominasi pria dalam rumah tangga, tidak memiliki kekuasaan dalam memutuskan sesuatu.
4. Komunitas Aktivis dan Networkers Wanita yang tidak memilih untuk tidak bekerja dalam bisnis atau perusahaan, mereka biasanya bekerja dalam suatu organisasi atau komunitas.