I. ATURAN UMUM 1. Keanggotaan Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) adalah berdasarkan pengusulan dari kepala SMF dan disahkan oleh Direktur Rumah Sakit BaliMéd Karangasem. Keanggotaan diperbaharui maksimal setiap 5 tahun. 2. Anggota PFT tidak boleh mempunyai ikatan kerja dengan perusahaan farmasi manapun. 3. PFT menyusun program kerja tentang pemilihan dan penyusunan formularium. 4. Tugas PFT mencakup : a. Sebagai penasehat bagi pimpinan Rumah Sakit BaliMéd Karangasem dan tenaga kesehatan dalam semua masalah yan ada kaitannya dengan perbekalan farmasi. b. Menyusun kebijakan penggunaan perbekalan farmasi di Rumah Sakit BaliMéd Karangasem c. Menyusun formularium obat, dan daftar alat kesehatan, dan reagensia; dan memperbaharuinya secara berkala. Seleksi obat, alat kesehatan, dan reagensia didasarkan pada kemanjuran, keamanan, kualitas dan harga. PFT harus mampu meminimalkan jenis obat yang nama generiknya sama atau jenis obat yang indikasinya sama d. Memantapkan dan melaksanakan program dan agenda kegiatan yang menjamin berlangsungnya pelaksanaan terapi yang efektif, aman dan hemat biaya. e. Merencanakan dan melaksanakan program pelatihan dan penyebaran informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan seleksi, pengadaan dan penggunaan obat kepada staf medis Rumah Sakit BaliMéd Karangasem. f. Berperan aktif dalam penjaminan mutu pemilihan, pengadaan dan penggunaan perbekalan farmasi. g. Menyelenggarakan pemantauan dan evaluasi efek samping obat yang terjadi di Rumah Sakit BaliMéd Karangasem. h. Memandu tinjauan penggunaan obat dan mengumpanbalikkan hasil tinjauan itu ke seluruh staf medis. 5. Dalam mengemban tugas tersebut di atas, PFT perlu mengadakan rapat rutin sekurang-kurangnya 1 bulan sekali guna membicarakan implementasi dari kebijakan dan peraturan tentang seleksi, pengadaan, penyimpanan, dan penggunaan perbekalan farmasi. 6. Keputusan rapat pleno yang menyangkut kebijakan diambil berdasarkan musyawarah. Bila musyawarah tidak berhasil, maka dapat dilakukan pemungutan suara. 7. Setiap anggota PFT dalam pengambilan keputusan harus bebas dari kepentingan pribadi atau kelompok, dan semata-mata adalah untuk kepentingan pasien. II. PEMILIHAN 1. Pemilihan terhadap perbekalan farmasi yang akan digunakan di Rumah Sakit BaliMéd Karangasem harus dilakukan secara cermat dengan mempertimbangkan asas cost-effectiveness 2. Panitia Farmasi dan Terapi harus memilih produk obat yang menunjukkan keunggulan dibandingkan produk lain yang sejenis dari aspek khasiat, keamanan, ketersediaannya di pasaran, harga dan biaya pengobatan yang paling murah.
3. Penyediaan jenis perbekalan farmasi harus dibatasi untuk mengefisienkan pengelolaannya dan menjaga kualitas pelayanan. 4. Daftar obat yang telah disetujui dan ditetapkan oleh pimpinan Rumah Sakit BaliMéd Karangasem untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan di Rumah Sakit BaliMéd Karangasem tertuang dalam buku Formularium Rumah Sakit BaliMéd Karangasem. 5. Proses penyusunan dan revisi formularium (sistem formularium) harus dirancang agar dihasilkan formularium yang selalu mutakhir dan dapat memenuhi kebutuhan pengobatan yang rasional. Revisi formularium dilakukan setiap tahun. 6. Kebijakan dan prosedur sistem formularium harus dimasukkan sebagai salah satu peraturan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh semua staf medik. 7. SMF mengajukan usulan obat formularium ke Panitia Farmasi dan Terapi berdasarkan fakta bahwa obat tersebut tercantum di dalam pedoman pelayanan medik yang diterbitkan oleh SMF. Oleh karena itu setiap penggantian obat atau rejimen terapi di dalam pedoman pelayanan medik harus diberitahukan kepada Panitia Farmasi dan Terapi. 8. Setiap obat baru yang diusulkan untuk masuk dalam formularium harus dilengkapi dengan informasi tentang kelas terapi, indikasi terapi, bentuk sediaan dan kekuatan, bioavailabilitas dan farmakokinetik, kisaran dosis, efek samping dan efek toksik, perhatian khusus, kelebihan obat baru ini dibandingkan dengan obat lama yang sudah tercantum di dalam formularium, uji klinik, atau kajian epidemiologi yang mendukung keunggulannya, perbandingan harga dan biaya pengobatan dengan obat atau cara pengobatan terdahulu. kecuali yang memiliki data bioekuivalensi (BE) dan/ atau rekomendasi tingkat I evidence-based medicine (EBM). 9. Obat yang terpilih masuk dalam formularium adalah obat yang memperlihatkan tingkatan bukti ilmiah yang tertinggi untuk indikasi dan keamanannya. Bila dari segolongan obat yang sama indikasinya memperlihatkan tingkatan bukti ilmiah khasiat dan keamanan yang sama tinggi, maka pertimbangan selanjutnya adalah dalam hal ketersediaannya di pasaran, harga dan biaya pengobatan yang paling murah. 10. Suatu obat harus dihapuskan dari formularium jika obat tersebut sudah tidak beredar lagi di pasaran, tidak ada lagi yang meresepkan, atau sudah ada obat lain yang lebih cost-effective. 11. Pada kasus dimana diperlukan suatu obat yang tidak tercantum dalam formularium, maka dokter dapat mengajukan permintaan khusus dengan mengisi Formulir Permintaan Khusus Obat Non Formularium yang ditujukan kepada PFT. Selanjutnya PFT akan memutuskan apakah penyediaan obat tersebut dapat disetujui atau tidak. Jika dapat disetujui, maka Unit Farmasi akan melanjutkan proses pengadaannya. Proses permintaan obat non formularium mengikuti Standar Prosedur Operasional Permintaan Obat Non Formularium. 12. Pada keadaan dimana obat yang diperlukan tidak tersedia, maka Unit Farmasi akan menyampaikan pemberitahuan kepada dokter penulis resep dan menyarankan obat pengganti jika ada. 13. Sosialisasi formularium dilakukan oleh PFT melalui presentasi di hadapan staf medis. 14. Buku Formularium yang sedang berlaku wajib tersedia di setiap lokasi pelayanan: di ruang rawat, klinik, gawat darurat, ruang dokter dan satelit farmasi. Setiap dokter harus memiliki buku formularium yang menjadi acuan selama melakukan praktik di Rumah Sakit BaliMéd Karangasem. 15. Pengawasan kepatuhan pemakaian obat sesuai formularium dilakukan secara berkala dan berdasarkan data penggunaan obat dari Unit Farmasi. 16. Penghargaan terhadap penggunaan obat sesuai dengan formularium akan diberikan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
17. Penyimpangan terhadap penggunaan obat tidak sesuai dengan formularium diberikan sanksi sesuai dengan yang tercantum dalam Peraturan Internal Staf Medis (PISM) RSCM. V. Perencanaan dan Pengadaan 1. Perencanaan mengacu kepada formularium serta daftar alat kesehatan dan reagensia yang telah disepakati oleh pengguna dan ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit BaliMéd Karangasem. 2. Pengadaan obat, alat kesehatan, dan reagensia dilakukan berdasarkan perencanaan yang diajukan oleh pengguna. 3. Pembelian obat yang tidak tercantum dalam formularium serta alat kesehatan dan reagensia yang tidak tercantum dalam daftar alat kesehatan dan reagensia hanya dapat dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari PFT dan disetujui oleh direktur. 4. Pengadaan obat, alat kesehatan, dan reagensia untuk seluruh kebutuhan Rumah Sakit BaliMéd Karangasem dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit BaliMéd Karangasem. VI. Penyimpanan 1. Area penyimpanan perbekalan farmasi tidak boleh dimasuki oleh petugas selain petugas farmasi. 2. Penyimpanan obat, alat kesehatan, reagensia dan gas medis harus dilakukan sesuai persyaratan dan standar kefarmasian untuk menjamin stabilitas dan keamanannya serta memudahkan dalam pencariannya untuk mempercepat pelayanan. 3. Khusus bahan berbahaya seperti bersifat mudah menyala atau terbakar, eksplosif, radioaktif, oksidator/reduktor, racun, korosif, karsinogenik, teratogenik, mutagenik, iritasi dan berbahaya lainnya harus disimpan terpisah dan disertai tanda bahan berbahaya. 4. Obat narkotika disimpan dalam lemari terpisah dengan pintu berkunci. Untuk penyimpanan narkotika di gudang dan satelit farmasi, pintu berkunci ganda. 5. Obat jadi dan bahan baku harus diberi label yang mencantumkan: kandungan, tanggal kadaluarsa dan peringatan penting. 6. Obat High Alert (Obat yang memerlukan kewaspadaan tinggi) harus disimpan di tempat terpisah dan diberi label khusus mengikuti Standar Prosedur Operasional Penyimpanan Obat High Alert. 7. Elektrolit pekat yang termasuk dalam daftar Obat High Alert, contoh: kalium klorida 7,46%, tidak boleh berada di ruang rawat, kecuali di kamar operasi jantung dan unit perawatan intensif (ICU). Penyimpanan di tempat terpisah dengan akses terbatas dan harus diberi label yang jelas untuk menghindari penggunaan yang tidak disengaja. 8. Obat dengan tampilan mirip atau bunyi mirip (Look Alike Sound Alike/LASA) disimpan tidak berdekatan dan diberi label “LASA”. 9. Perbekalan farmasi dan tempat penyimpanannya harus diperiksa secara berkala. 10. Pasien tidak diperbolehkan membawa perbekalan farmasi dari luar Rumah Sakit BaliMéd Karangasem untuk digunakan selama perawatan di Rumah Sakit BaliMéd Karangasem. Jika melanggar ketentuan tersebut, maka pasien/keluarga pasien menandatangani surat pernyataan bahwa pasien/keluarga pasien bertanggung jawab atas akibat penggunaan perbekalan farmasi yang dibawa. Perbekalan farmasi yang dibawa masuk oleh pasien harus diperiksa mutunya secara visual dan dicatat dalam Formulir Serah Terima Perbekalan Farmasi dari Pasien. Obat disimpan di satelit farmasi dalam wadah terpisah dan diberi label yang jelas. 11. Produk nutrisi disimpan secara terpisah dalam kelompok nutrisi sesuai dengan aturan penyimpanan yang ditetapkan produsen.
12. Obat yang bersifat radioaktif disimpan sesuai persyaratan penyimpanannya. 13. Perbekalan farmasi emergensi disimpan dalam troli/kit/lemari emergensi terkunci, diperiksa, dipastikan selalu tersedia dan harus diganti segera jika jenis dan jumlahnya sudah tidak sesuai lagi dengan daftar. 14. Perbekalan farmasi yang tidak digunakan, rusak dan kadaluarsa harus dikembalikan ke Instalasi Farmasi sesuai Standar Prosedur Operasional Pengembalian Perbekalan Farmasi. 15. Obat yang ditarik dari peredaran oleh pemerintah atau pabrik pembuatnya harus segera dikembalikan ke Instalasi Farmasi sesuai Standar Prosedur Operasional Penarikan Kembali Perbekalan Farmasi. 16. Obat yang sudah kadaluarsa, rusak atau terkontaminasi harus disimpan terpisah sambil menunggu pemusnahan. Pemusnahan dilakukan sesuai Standar Prosedur Operasional Pemusnahan Perbekalan Farmasi 17. Pemusnahan perbekalan farmasi mengikuti Standar Prosedur Operasional Pemusnahan Perbekalan Farmasi. VII. Peresepan 1. Yang berhak menulis resep adalah dokter yang memiliki nomer SIP (Surat Izin Praktik) di Rumah Sakit BaliMéd Karangasem. 2. Penulis resep harus melakukan penyelarasan obat (medication reconciliation) sebelum menulis resep. Penyelarasan obat adalah membandingkan antara daftar obat yang sedang digunakan pasien dan obat yang akan diresepkan agar tidak terjadi duplikasi atau terhentinya terapi suatu obat (omission) 3. Penulis resep harus memperhatikan kemungkinan adanya kontraindikasi, interaksi obat, dan reaksi alergi. 4. Terapi obat dituliskan dalam rekam medik hanya ketika obat pertama kali diresepkan, rejimen berubah, atau obat dihentikan. Untuk terapi obat lanjutan pada rekam medik dituliskan “terapi lanjut” . 5. Resep ditulis secara manual pada blanko lembar resep dengan kop Rumah Sakit BaliMéd Karangasem 6. Tulisan harus jelas dan dapat dibaca, menggunakan istilah dan singkatan yang lazim sehingga tidak disalahartikan. 7. Dokter harus mengenali obat-obat yang masuk dalam daftar Look Alike Sound Alike (LASA) yang diterbitkan oleh Instalasi Farmasi, untuk menghindari kesalahan pembacaan oleh tenaga kesehatan lain. 8. Obat yang diresepkan harus sesuai dengan Formularium Rumah Sakit BaliMéd Karangasem. 10. Alat kesehatan yang diresepkan harus sesuai dengan yang tercantum dalam Daftar Alat Kesehatan Rumah Sakit BaliMéd Karangasem. 11. Penulisan resep harus dilengkapi/memenuhi hal-hal sebagai berikut: - Nama pasien - Tanggal lahir atau umur pasien (jika tidak dapat mengingat tanggal lahir) - Berat badan pasien (untuk pasien anak) - Nomor rekam medik - Nama dan SIP dokter
- paraf dokter - Tanggal penulisan resep - Nama ruang pelayanan - Memastikan ada tidaknya riwayat alergi obat dengan mengisi kolom riwayat alergi obat pada bagian kanan atas lembar resep manual atau secara elektronik dalam sistem informasi farmasi
- Tanda R/ pada setiap sediaan - Untuk nama obat tunggal ditulis dengan nama generik. Untuk obat kombinasi ditulis sesuai nama dalam Formularium, dilengkapi dengan bentuk sediaan obat (contoh: injeksi, tablet, kapsul, salep), serta kekuatannya (contoh: 500 mg, 1 gram) - Jumlah sediaan - Bila obat berupa racikan dituliskan nama setiap jenis/bahan obat dan jumlah bahan obat (untuk bahan padat : mikrogram, miligram, gram) dan untuk cairan: tetes, milliliter, liter. - Pencampuran beberapa obat jadi dalam satu sediaan tidak dianjurkan, kecuali sediaan dalam bentuk campuran tersebut telah terbukti aman dan efektif. - Penggunaan obat off-label (penggunaan obat yang indikasinya di luar indikasi yang disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan RI) harus berdasarkan panduan pelayanan medik yang ditetapkan oleh SMF. - Aturan pakai (frekuensi, dosis, rute pemberian). Untuk aturan pakai jika perlu atau prn atau “pro re nata”, harus dituliskan dosis maksimal dalam sehari. 13. Pasien diberi penjelasan tentang efek tidak diharapkan yang mungkin terjadi akibat penggunaan obat. 14. Perubahan terhadap resep/instruksi pengobatan yang telah diterima oleh apoteker/asisten apoteker harus diganti dengan resep/instruksi pengobatan baru. 15. Resep/instruksi pengobatan yang tidak memenuhi kelengkapan yang ditetapkan, tidak akan dilayani oleh farmasi 16. Jika resep/instruksi pengobatan tidak dapat dibaca atau tidak jelas, maka perawat/apoteker/asisten Apoteker yang menerima resep/instruksi pengobatan tersebut harus menghubungi dokter penulis resep. 17. Instruksi lisan (Verbal Order) harus diminimalkan. Instruksi lisan untuk obat high alert tidak dibolehkan kecuali dalam situasi emergensi. Instruksi lisan tidak dibolehkan saat dokter berada di ruang rawat. 18. Setiap obat yang diresepkan harus sesuai dengan yang tercantum dalam rekam medik. 19. Kelanjutan terapi obat yang sempat dihentikan karena operasi atau sebab lain harus dituliskan kembali dalam bentuk resep/instruksi pengobatan baru. VIII. Penyiapan 1. Yang dimaksud dengan penyiapan obat adalah proses mulai dari resep/instruksi pengobatan diterima oleh apoteker/asisten apoteker sampai dengan obat diterima oleh perawat di ruang rawat untuk diberikan kepada pasien rawat inap, atau sampai dengan obat diterima oleh pasien/ keluarga pasien rawat jalan dengan jaminan bahwa obat yang diberikan tepat dan bermutu baik. Yang termasuk juga dalam penyiapan obat adalah pencampuran obat suntik tertentu, penyiapan obat sitostatika dan nutrisi parenteral. 2. Sebelum obat disiapkan, apoteker/asisten apoteker harus melakukan kajian (review) terhadap resep/instruksi pengobatan yang meliputi: a. Ketepatan obat, dosis, frekuensi, rute pemberian b. Duplikasi terapeutik c. Alergi d. Interaksi obat e. Kontraindikasi
3. 4.
5.
7. 8. 9. 10.
11.
f. Kesesuaian dengan pedoman pelayanan/peraturan yang berlaku, dan menghubungi dokter penulis resep jika ditemukan ketidakjelasan atau ketidaksesuaian. Kajian tidak perlu dilakukan pada keadaan emergensi, di ruang operasi dan tindakan intervensi diagnostik. Apoteker/asisten apoteker diberi akses ke data pasien yang diperlukan untuk melakukan kajian resep. Dalam proses penyiapan obat oleh petugas farmasi diberlakukan substitusi generik, artinya farmasi diperbolehkan memberikan salah satu dari sediaan yang zat aktifnya sama dan tersedia di Rumah Sakit BaliMéd Karangasem. Substitusi terapeutik adalah penggantian obat yang sama kelas terapinya tetapi berbeda zat kimianya, dalam dosis yang ekuivalen, dapat dilakukan oleh petugas farmasi dengan terlebih dahulu minta persetujuan dokter penulis resep/konsulen. Persetujuan dokter atas substitusi terapeutik dapat dilakukan secara lisan/melalui telepon. Petugas farmasi menuliskan obat pengganti, tanggal, jam komunikasi, dan nama dokter yang memberikan persetujuan, dicatat pada lembar resep atau dalam sistem informasi farmasi. Area penyiapan obat tidak boleh dimasuki oleh petugas lain selain petugas farmasi. Petugas yang menyiapkan obat steril harus mendapatkan pelatihan Teknik Aseptik. Petugas yang menyiapkan radiofarmasi harus di bawah supervisi Apoteker atau tenaga terlatih. Sistem distribusi dan penyiapan obat untuk pasien rawat inap diberlakukan sistem dosis unit dan untuk pasien rawat jalan diberlakukan sistem resep individual. Sistem dosis unit adalah penyiapan obat yang dikemas untuk satu kali pemakaian. Sistem resep individual adalah penyiapan obat yang dikemas sesuai permintaan jumlah yang tercantum di resep. Setiap obat yang telah disiapkan harus diberi label sesuai Instruksi Kerja Pembuatan Etiket.
IX. Pemberian 1. Yang berhak memberikan obat kepada pasien adalah dokter atau perawat yang sudah memiliki kompetensi dan mempunyai surat izin praktik atau surat izin kerja di Rumah Sakit BaliMéd Karangasem. 2. Pemberian obat ke pasien harus sesuai dengan Standar Prosedur Operasional Pemberian Obat. 3. Pada pemberian obat secara infus, label nama obat ditempelkan pada botol infus atau syringe pump. Apabila obat yang diberikan lebih dari satu, maka label nama obat ditempelkan pada setiap syringe pump dan di setiap ujung jalur selang. 4. Obat yang akan diberikan kepada pasien harus diverifikasi oleh perawat/dokter mengenai kesesuaiannya dengan resep/instruksi pengobatan meliputi: nama obat, waktu dan frekuensi pemberian, dosis, rute pemberian dan identitas pasien. 5. Mutu obat yang akan diberikan kepada pasien harus dipastikan mutunya baik dengan diperiksa secara visual. 6. Pasien dipastikan tidak memiliki riwayat alergi dan kontraindikasi dengan obat yang akan diberikan. 7. Obat yang tergolong obat High Alert harus diperiksa kembali oleh perawat kedua sebelum diberikan kepada pasien. 8. Pemberian obat harus dicatat di Lembar Pemberian Obat sesuai Standar Prosedur Operasional Pemberian Obat. 9. Penggunaan obat secara mandiri oleh pasien harus mendapatkan edukasi terlebih dahulu dan dipantau oleh perawat.
10. Jika terjadi kesalahan dalam penggunaan perbekalan farmasi, termasuk kehilangan, maka konsekuensi finansial menjadi tanggung jawab pihak yang bersalah. X. Pemantauan 1. Pemantauan efek terapi dan efek yang tidak diharapkan dari obat harus dilakukan pada setiap pasien. 2. Panitia Farmasi dan Terapi di tingkat SMF bertugas memantau efek samping obat. 3. Obat yang diprioritaskan untuk dipantau efek sampingnya adalah obat baru yang masuk Formularium Rumah Sakit BaliMéd Karangasem dan obat yang terbukti dalam literatur menimbulkan efek samping serius. 4. Pemantauan efek samping obat perlu didokumentasikan dalam Formulir Pelaporan Efek Samping Obat dan dicatat dalam rekam medik. 5. Efek samping yang harus dilaporkan ke Panitia Farmasi Terapi adalah yang berat, fatal, meninggalkan gejala sisa sesuai Standar Prosedur Operasional Pemantauan Efek Samping Obat. 6. Pemantauan dan Pelaporan efek samping obat dikoordinasikan oleh Panitia Farmasi dan Terapi Rumah Sakit BaliMéd Karangasem. 7. Petugas pelaksana pemantauan dan pelaporan efek samping obat adalah dokter, perawat, apoteker di ruang rawat / Poliklinik 8. Panitia Farmasi dan Terapi Rumah Sakit BaliMéd Karangasem melaporkan hasil evaluasi pemantauan ESO kepada Kepala Divisi Medik dan menyebarluaskannya ke seluruh Unit Pelayanan di Rumah Sakit BaliMéd Karangasem sebagai umpan balik/edukasi. XI. Kesalahan Obat 1. Kesalahan obat adalah kesalahan yang terjadi pada tahap penulisan resep, penyiapan/peracikan atau pemberian obat baik yang menimbulkan efek merugikan ataupun tidak. 2. Setiap kesalahan obat yang terjadi, wajib dilaporkan oleh petugas yang menemukan/terlibat langsung dengan kejadian tersebut atau atasan langsungnya. 3. Pelaporan dilakukan secara tertulis menggunakan Formulir Laporan Insiden ke Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit BaliMéd Karangasem 4. Kesalahan obat harus dilaporkan maksimal 2x24 jam setelah ditemukannya insiden. 5. Tipe kesalahan yang dilaporkan : a. Kejadian Nyaris Cedera (KNC): terjadinya insiden yang belum terpapar ke pasien b. Kejadian Tidak Cedera (KTC): suatu kejadian insiden yang sudah terpapar ke pasien tetapi tidak menimbulkan cedera c. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD); suatu kejadian insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien 6. Kesalahan obat dilaporkan dan ditindaklanjuti mengikuti Standar Prosedur Operasional Pelaporan Insiden dan Standar Prosedur Operasional Pelaporan Kesalahan Obat 7. Unit Mutu bertanggung jawab untuk menindaklanjuti laporan kesalahan obat. XII. Kajian Penggunaan Obat (Drug Utilization Review) 1. Kajian penggunaan obat merupakan pengkajian sistematik terhadap seluruh aspek penggunaan obat yang bertujuan untuk menjamin penggunaan obat yang aman dan cost-effective serta meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Program ini mengevaluasi, menganalisis dan menginterpretasikan pola penggunaan obat baik
2.
3.
4.
5.
6.
7.
secara kuantitatif maupun kualitatif. Hasil pengkajian selanjutnya menjadi dasar dalam mengidentifikasi kekurangan dan menyusun strategi untuk perbaikan. Obat-obat yang diprioritaskan untuk ditinjau meliputi: obat yang diduga banyak digunakan secara tidak rasional, obat mahal dan obat yang sedang dievaluasi apakah akan dimasukkan, dikeluarkan atau dipertahankan sebagai obat formularium. Dalam setiap kali rapat PFT, statistik perencanaan dan pemakaian obat harus disajikan dan didiskusikan untuk mengetahui permasalahan pengadaan dan penggunaan obat yang sedang terjadi. Dari data statistik obat dapat dilakukan analisis pareto (analisis ABC). Pemecahan masalah diutamakan pada kelompok obat yang menyerap biaya tinggi (kelompok A) dengan sasaran penekanan biaya secara bermakna. Statistik obat berguna pula untuk menghitung tingkat konsumsi obat di Rumah Sakit BaliMéd Karangasem, yang dinyatakan dalam defined daily dose (DDD) per 100 tempat tidur. Dengan membandingkan tingkat konsumsi obat di Rumah Sakit BaliMéd Karangasem dengan rumah sakit yang setara dapat ditentukan apakah penggunaan satu macam/kelompok obat berlebihan, sedang, atau kurang. Kajian kuantitatif penggunaan obat perlu dilanjutkan dengan kajian kualitatif untuk mengetahui sebab dari timbulnya masalah obat, dan bagaimana cara mengatasinya. Kajian penggunaan obat harus berlanjut dengan penentuan strategi/intervensi yang bertujuan untuk memecahkan masalah obat. Intervensi yang dapat dilakukan untuk memajukan penggunaan obat yang rasional yaitu: edukasi (seminar, diskusi kelompok, bimbingan perorangan, pelayanan informasi obat), tatalaksana (audit, umpan balik), dan pembatasan (penghentian otomatis, pembagian lini penggunaan obat).
XIII. Pedoman Pengobatan 1. Pedoman pengobatan merupakan bagian dari pedoman pelayanan medik untuk satu penyakit tertentu yang diterbitkan oleh SMF. Pedoman itu merupakan kesepakatan yang didasarkan pada bukti ilmiah teringgi, disesuaikan dengan dengan kondisi lokal, disahkan oleh Komite Medik, dan harus diikuti oleh semua dokter yang sedang melayani pasien dengan penyakit tersebut. 2. Pedoman pengobatan yang baik perlu mencakup informasi tentang pengobatan non-farmakologik, penggunaan obat sesedikit mungkin, pertimbangan pemilihan obat berdasarkan efektifitas dan biaya, obat yang digunakan tercantum di dalam formularium, pernyataan obat mana yang masuk lini pertama, kedua, dan ketiga, dosis dan lama pemberian, kontraindikasi dan efek samping, dan tingkat keahlian yang diizinkan meresepkan obat tertentu. 3. Satu pedoman pengobatan pertama kali dibuat rancangannya diedarkan ke seluruh staf SMF dan PFT untuk dikomentari dan disempurnakan, dan terakhir diujicobakan di dalam pelayanan. Hasil uji coba diumpanbalikkan ke seluruh staf medis dan PFT. 4. Agar selalu mengikuti kemajuan dan perkembangan pengobatan yang mutakhir, maka pedoman pengobatan perlu ditinjau secara berkala, dimulai kembali dengan penunjukan satu tim oleh kepala departemen, kemudian disempurnakan dan diujicobakan lagi. XIV. Penilaian Obat Baru 1. Obat baru harus dinilai aspek kemanjuran, kemanfaatan, keamanan, kualitas, dan harganya. Penilaian obat baru harus dilakukan secara kritis yang bertujuan untuk memasukkan obat baru itu ke dalam formularium, atau untuk menggantikan obat yang sudah ada di dalam formularium. Obat baru dapat menggantikan obat lama
jika secara keseluruhan lebih unggul ditinjau dari aspek kemanjuran, kemanfaatan, keamanan, kualitas dan biayanya. 2. Penilaian kemanjuran (efficacy) obat baru dilakukan melalui telaah kritis kepustakaan. Penilaian kemanfaatan dilakukan melalui in-use trial dalam pelayanan dengan menghitung seluruh biaya yang timbul akibat penggunaan obat itu (cost-effectiveness study) dan membandingkannya dengan pengobatan standar. Penilaian keamanan dilakukan melalui telaah kritis kepustakaan, yang harus diikuti dengan program pemantauan efek samping di tempat pelayanan. Penilaian kualitas obat jadi dilakukan dengan memeriksa dokumentasi kendali mutu dari pabrik pembuat sediaan jadi yang meliputi sifat fisiko-kimia bahan baku, formulasi, uji stabilitas, uji desintegrasi, uji disolusi, dan uji bioavailabilitas dari batch pertama. 3. Sumber informasi yang digunakan dalam telaah kritis harus dapat dipercayai, yaitu artikel asli yang diterbitkan oleh tinjauan kepustakaan berupa meta-analisis (Cochrane Library), newsletter yang mempunyai reputasi baik, dan buku ajar. Informasi yang diterbitkan atau disponsori oleh perusahaan farmasi perlu dibaca dengan cermat karena terkait dengan promosi yang membesarkan efektifitas dan menutupi efek buruk obat. 4. Sebagai panduan untuk telaah kritis kepustakaan dapat digunakan lembar check list agar dapat mengenali letak kesalahan dan bias dari suatu penelitian. Makin banyak ditemui kesalahan dan penyimpangan dalam pelaksanaan dan penulisan laporan penelitian, maka makin sukar untuk dipercaya hasil penelitian tersebut. XV. Promosi Obat 1. Berdasarkan pedoman promosi yang dikeluarkan oleh WHO, klaim promosi obat harus dapat dipercaya, tak berlebihan, jujur, informatif, seimbang, berdasarkan data terbaru, dapat diperiksa kebenarannya, dan dilakukan dengan cara-cara yang baik. 2. Cara promosi obat yang baik adalah memberi kesempatan kepada perusahaan obat untuk menyampaikan informasi tentang obat yang dipromosikan di hadapan PFT dan staf medis di SMF. Presentasi kemudian dilanjutkan dengan tinjauan secara ilmiah oleh staf medis, ahli farmakologi, atau apoteker. 3. Obat sampel tidak diperbolehkan untuk digunakan di Rumah Sakit. 4. Promosi yang dilakukan dengan cara menjanjikan insentif kepada dokter, atau institusi melalui peresepan obat merupakan tindakan yang harus dihindari dan diberi sanksi.