Makalah Tentang Pelanggaran HAM
"Marsinah"
Di susun oleh :
Steven Lim
6. Jacky
Angga Aditya
7. M. Ilham
Erwin Sak
8. Eko Prayogo
Lhyse Kho
9.
Abdul Khalik
Universitas Internasional Batam
UIB- Batam 2015
Marsinah
Marsinah (10 April 1969?–Mei 1993) adalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong Kecamatan Wilangan Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.
Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.
Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama.
Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal sebagai kasus 1713.
Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.
Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo.
3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh.
4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan ont diterima, termasuk oleh buruh yang absen.
Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat control dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian ontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa".
Penyiksaan Terdakwa
Semula, aparat kepolisian selaku pejabat penyidik maupun instansi lain yakin bahwa para terdakwa, yakni Yudi Susanto, Yudi Astono, Karyono Wongso alias Ayip, AS Prayogi, Bambang Wuryantoyo, Widayat, Suwono, dan Suprapto itulah pelaku sebenarnya. Tapi, dugaan itu jadi mentah setelah Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan amar putusannya dan menyatakan bahwa para terdakwa tidak terbukti bersalah. Tentu saja, keputusan tersebut juga berlaku bagi dua terdakwa lain, Ny Mutiari dan Kapten Kusaeri yang dituding mengetahui rencana tersebut namun tidak,melapor.kepolisi.
Dalam pemeriksaan terdahulu, kesembilan terdakwa sewaktu dijadikan saksi dalam persidangan Ny Mutiari -- dijatuhi 7 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo -- mengakui mereka tahu persis dan sekaligus mengaku sebagai pelaku utama dari kasus pembunuhan Marsinah. Tapi pengakuan itu dicabut kembali setelah mereka diseret sebagai terdakwa di PN Surabaya. Alasan pencabutan, pemeriksaan tidak berjalan wajar karena disertai pemaksaan dan penyiksaan di luar batas kemanusiaan dengan maksud agar mereka mengakui semua rekayasa pembunuhan.
Sebetulnya, kejanggalan pemeriksaan kasus ini sudah mulai terungkap dalam persidangan Praperadilan yang diajukan Yudi Susanto. Meski sempat mengundang keraguan, ternyata majelis hakim yang dipimpin Soewoto (kini Kahumas PN Surabaya) memenangkan gugatan Yudi dan menyatakan bahwa penangkapan terhadap penggugat tidak sah. Kemenangan ini secara tidak langsung memperkuat dugaan adanya perlakuan yang inkonstitusional sewaktu pemeriksaan awal terhadap para terdakwa. Tapi, dugaan tersebut tidak banyak berpengaruh, karena PN sendiri tidak mencoba melakukan pengujian. Bahkan, dalam pencabutan pengakuan tersebut juga tidak menjadi bahan pertimbangan majelis hakim.
Para terdakwa mengakui bahwa sebelum secara resmi diperiksa polisi, terlebih dulu mereka telah 'disekolahkan' plus berbagai penyiksaan dan ancaman agar mengakui semua rekayasa pembunuhan terhadap Marsinah engkap dengan cara penyekapan dan penyiksaannya hingga mati. Memang, sewaktu para terdakwa menjadi saksi persidangan terdakwa Ny. Mutiari, (mantan Kabag Personalia PT CPS) di PN Sidoarjo, para terdakwa masih memberikan keterangan sesuai BAP (Berita Acara Pemeriksaan). "Sewaktu di Sidoarjo, kami benar-benar masih trauma dengan penyiksaan yang kam ialami, apalagi luka siksaan itu baru sembuh. Tapi, rasa takut itu akhirnya berangsur-angsur hilang setelah di Surabaya. Kami tak ingin berbohong kedua kalinya,"ujar.paraterdakwasewaktu.sidang.
Ihwal penyiksaan tersebut juga telah dilaporkan ke Komnas HAM. Di tengah-tengah proses persidangan di PN Surabaya, Komnas HAM menyempatkan diri turun ke lapangan menemui para terdakwa dan sejumlah pejabat di Jatim. Dari investigasi yang dilakukan, Komnas sampaipadakesimpulan.bahwa.penyiksaan.tersebut.benar-benar.terjadi.
Lebih mengejutkan lagi, Komnas HAM juga mengeluarkan pernyataan bahwa terbuka kemungkinan adanya pelaku lain di luar para terdakwa yang tengah diadili. "Kalau hanya berbicara seperti itu, tidak perlu jauh-jauh, saya pun bisa. Yang penting sekarang ini adalah bukti, karena ini persoalan hukum. Jadi, setiap dugaan itu harus disertai bukti," bantah Kapolda Jatim Mayjen Pol. Drs.Roesmanhadi,SH.
Analisa Kasus
Kasus pembunuhan Marsinah di atas merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Alasannya adalah unsur penyiksaan dan pembunuhan sewenang-wenang di luar putusan pengadilan terpenuhi. Dengan demikian, kasus tersebut tergolong patut dianggap kejahatan kemanusiaan yang diakui oleh peraturan hukum Indonesia sebagai pelanggaran HAM berat.
Jika merujuk pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), jelas bahwa tindakan pembunuhan merupakan upaya berlebihan dalam menyikapi tuntutan marsinah dan kawan-kawan buruh. Jelas bahwa tindakan oknum pembunuh melanggar hak konstitusional Marsinah, khususnya hak untuk menuntut upah sepatutnya. Hak tersebut secara tersurat dan tersirat ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (2) UUD NRI tahun 1945, bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Memperoleh kenaikan upah agar layak dan adil merupakan hak konstitusional. Imlikasinya, pelanggaran terhadap amanah konstitusi tersebut merupakan pelanggaran HAM, mengingat fungsi konstitusi salah satunya mengatur dan melindungi HAM. Terkhusus dalam kasus marsinah, dasar hukum secara eksplisit para penuntut pun telah ada, yaitu Surat Edaran Gubernur Jawa Timur No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya.
Berkumpul ataupun berkelompok dengan tujuan melakukan tindakan pemogokan dan unjuk rasa pun telah mendapat perlindungan hukum, bahkan dimasukkan HAM golongan hak atas kebebasan pribadi. Tentu dengan syarat bahwa kumpulan massa tersebut tidak melakukan tindakan anarkis. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan; setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud yang damai.
Jika melihat kasus Marsinah, tindakan unjuk rasanya tidak menunjukkan dugaan kecenderungan pada aksi anarkis. Rapat, mogok kerja, dan unjuk rasa merupakan hak konstitusional dalam sebuah negara demokratis seperti di Indonesia. Selain atas dasar hukum, perlindungan terhadap hak menyatakan pendapat tersebut tentu untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat, termasuk dalam persoalan upah buruh. Terlebih lagi, pada kasus Marsinah, jelas bahwa pihak perusahaan memang tidak mematuhi keputusan gubernur mengenai peningkatan upah buruh.
Keseimbangan beban kerja dengan upah buruh memang merupakan keniscayaan dalam sebuah sistem perekonomian yang berbasis pada kekuatan modal, termasuk di Indonesia. Keengganan pihak perusahaan membiarkan aksi pemogokan terjadi karena berakibat kerugian sangat tidak mendasar. Aksi pemogokan pun merupakan konsekwensi sistem pengupahan yang tidak adil dan tidak sesuai aturan. Sebagai jaminan keseimbangan beban kerja dan upah, dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM menggolongkan aksi mogok sebagai HAM. Pasal 25 undang-undang tersebut menyatakan; setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berlandaskan aturan hukum positif, sama sekali tidak ada dasar legitimasi untuk melarang aksi unjuk rasa. Meskipun demikian, tetap diharapkan bahwa kesepakatan cepat tercapai melalui cara perundingan, baik dengan mediasi ataupun secara langsung oleh para pihak. Jika terjadi aksi penuntutan secara berkelompok sebagai cara akhir, maka posisi pihak kontra adalah menyerap aspirasi, sedangkan aparat keamanan berwajib menjamin terciptanya komunikasi baik antarkedua belah pihak.
Jika harus berasumsi dalang di balik pembunuhan marsinah, maka secara umum dapat dicap oknum yang kontra terhadap aksi-aksi demontrasi, dan bisa dikhususkan kepada oknum perusahaan yang memang tidak setuju terhadap kenaikan upah buruh. Putusan kasasi pada Mahkamah Agung (MA) membebaskan seluruh pihak dari segala dakwaan (bebas murni) memang berpotensi menimbulkan sejumlah pertanyaan. Meski telah nyata ada orang yang terbunuh, namun tak satu pun pelaku terjerat hukuman. Asumsi aparat keamanan (polisi atau TNI) sebagai pelaku dapat didasarkan dengan alibi bahwa yang menyuruh melakukan tindak pidana adalah pihak dari perusahaan, sedangkan aparat keamanan hanya sebagai eksekutor pesanan perusahaan. Sedangkan asumsi pihak perusahaan sebagai pelaku tunggal dapat dikarenakan kepentingan mereka yang terganggu dengan aksi Marsinah. Melihat sejumlah pelaku yang sebelumnya diduga terlibat terdiri atas oknum perusahaan dan aparat TNI, maka berat kemungkinan memang terjadi persekongkolan. Namun kenyataan tidak dapat dibuktikan, mungkin saja karena kuatnya pengaruh institusi TNI yang mungkin saja terlibat.
Melihat kenyataan di atas, perlu tindakan hukum untuk menuntaskan pelanggaran HAM, baik sebelum ataupun setelah dibentuk di bentuknya Pengadilan HAM. Tindakan tersebut tentu penting mengingat HAM adalah muatan konstitusi dan merupakan perhatian seluruh pihak nasional dan internasional. Perangkat pengadilan dan aturan hukum perlindungan HAM pun telah memadai, sehingga untuk sekarang, penerapannya yang perlu dimaksimalkan.
Didalam Posisi kasus yang sudah ada di atas, adapun kasus tersebut masuk dalam katagori pelanggaran ham Berat karena di dalam perincian mengenai posisi kasus diatas terdapat salah satu unsure yang memuat mengenai unsure-unsur pelanggaran HAM Berat yakni Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000 ( Unsure Kejahatan Kemanusiaan ), dan juga mengandung unsure pelanggaran hak asasi manusia mengenai hak hidup sebagaimana yang tercantumkan dalam ICCPR. Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000, dalam pasal ini menyebutkan bahwa: "Kejahatan terhadap kemanusiaan … adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan;
c. Perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f. Penyiksaan;
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara,
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i. Penghilangan orang secara paksa;
j. Kejahatan apartheid.
Adapun Mekanisme yang harus di ambil dalam penyelesaian kasus ini yakni mekanisme yang mengarah kepada departemen apa yang berhak untuk melakukan proses penyelesaian kasus ini. Departemennya yakni Komnas HAM dan jaksa agung sebagai departemen tertinggi dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM Berat. Adapun peruses yang akan dilakukan oleh Komnas HAM dan juga jaksa agung sendiri yakni sebagai berikut :
1. Tahap Penyelidikan ( Komnas HAM )
2. Tahap Penyidikan ( Jaksa Agung )
3. Tahap Penuntutan ( Jaksa Agung )
4. Pemeriksaan Di Pengadilan HAM
Demikian tahap-tahap yang akan dilalui untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Berat ini yakni Kasus Marsinah
Saran
Sudah 19 tahun, pelaku pembunuhan buruh Marsinah belum menemui titik terang. Bahkan sampai 14 tahun reformasi berjalan. Pemerintah pun diminta tak membiarkan kasus ini kedaluwarsa. Menurut Juru Bicara Perempuan Mahardika, Vivi Widyawati, selama 19 tahun ini pemerintah terkesan membiarkan kasus Marsinah tidak terselesaikan. "Tahun depan kasus Marsinah genap 20 tahun. Di mana 20 tahun adalah jenjang waktu bagi kasus itu kedaluwarsa jika tak terselesaikan," kata Vivi dalam konferensi pers di Kantor Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jakarta, Senin 7 Mei 2012. Vivi melihat, tidak ada keseriusan pemerintah menangkap para pelaku pembunuhan Marsinah. Pemerintah dia menilai tidak memiliki kepentingan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM dan hak-hak perempuan. Marsinah, kata Vivi, adalah gambaran buruh perempuan yang menjadi korban kolaborasi antara pengusaha dan militer. Menurutnya, kolaborasi itu bukan hal yang aneh. Karena dalam konsep negara yang berpihak pada modal, maka militer akan selalu dibutuhkan dan digunakan untuk menjaga alat-alat produksi milik pemodal. Dijelaskan Vivi, Pemerintah Orde Baru memang berupaya membuat pengadilan untuk menyelesaikan kasus pembunuhan Marsinah. "Namun, itu hanyalah drama. Bohong belaka, hanya rekayasa, karena peradilan pada masa Orba tersebut berusaha menutup-nutupi keterlibatan militer," kata dia. Hal senada juga dikatakan staf Humas Radio Komunitas Marsinah FM, Dian Septi Trisnanti. Ia juga menuding, pemerintah tidak serius dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. "Ada kesan pemerintah ingin membuat kasus Marsinah kedaluwarsa," kata dia. Meski kasus itu pelik, para aktivis ini tetap menuntut dibukanya kembali kasus Marsinah. Karena itu, lanjut Dian, pihaknya menuntut agar pemerintah mengusut tuntas kasus Marsinah dan menangkap semua yang coba menghalangi atau menyembunyikan barang bukti pembunuhan Marsinah. Pada 9 Mei 1993, jasad Marsinah ditemukan tergeletak di sebuah gubuk berdinding terbuka di pinggir sawah dekat hutan jati, Dusun Jegong, Desa Wilangan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Jasad Marsinah ditemukan setelah hilang pada 5 Mei 1993 usai terlibat aktif dalam pemogokan buruh PT Catur Putra Surya, sebuah perusahaan arloji. Saat ditemukan, tubuh Marsinah ditemukan dalam keadaan penuh luka. Dia diduga juga mendapat kekerasan berat baik fisik maupun seksual. Sebelum ditemukan tewas, Marsinah diketahui sempat protes kepada Kodim Sidoarjo, karena telah menangkap 13 rekannya yang ditekan secara fisik dan psikologis untuk dipaksa menandatangani surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Di tahun dia terbunuh, Marsinah mendapat penghargaan Yap Thiam Hien.