A. Jabariyyah 1. Pengertian Kata Jabariyyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa dan mengharuskannya melaksanakan sesuatu atau secara harfiah dari lafadz al-jabr yang berarti paksaan. Kalau dikatakan Allah mempunyai sifat Al-jabbar (dalam bentuk mubalaghah), itu artinya Allah Maha Memaksa. Selanjutnya kata jabara setelah ditarik menjadi jabariyah memiliki arti suatu kelompok atau aliran. Lebih lanjut AsySyahratsan menegasakan bahwa paham Al jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah. 1) Dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa inggris, jabbariyyah disebut fatalism atau predestination, yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan. 2) Secara teminologis, berarti menyandarkan perbuatan manusia kepada Allah SWT. Jabariyyah menurut mutakallimin adalah sebutan untuk mahzab al kalam yang menafikkan perbuatan manusia secara hakiki dan menisbatkan kepada Allah SWT semata.3) 2. Sejarah Lahirnya Mu’tazillah telah menimbulkan reaksi, khususnya di kalangan penentangnya. Di kota Tirmidz, pada akhir abad ke- 1 H / 7 M muncul figur Jahm bin Safwan (w. 128 H / 749 M) dengan paham Jabariyyah. 4 ) Paham Al Jabr pertama kali diperkenalkan oleh Ja’ad bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran jahmiyyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah sekretaris Surai bin Al hariz dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan bani Umayyah. Namun dalam perkembangannya paham Jabariyyah juga
1
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, diterjemahkan oleh Asywadie Syukur (Surabaya : Bina Ilmu, 2006), h. 71. Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. 5 ; Jakarta : UI-Press, 1986), h. 31. 3 Muhammad Maghfur, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam ( Bangil: Al-Izzah, 2002), h. 41. 4 Ibid., h. 24 2
ﻣﺣﺗﺎر اﻟﻠطﯾف
dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya Al Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’ad bin Dirrar.5) Mengenai kemunculan Jabbariyyah ini para ahli sejarah memikirkan dan mengkajinya melalui pendekatan geocultural bahasa arab yaitu Ahmad Amin yang mengilustrasikan kehidupan bangsa arab yang dikukung oleh gurun pasir Sahara berpengaruh besar pada cara hidup mereka, terbukti terhadap munculnya sifat penyerahan diri terhadap alam. Bibit paham al jabar telah muncul sejak awal periode Islam. Bibit-bibit itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut : a. Suatu ketika nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan, nabi melarang mereka untuk memperdebatkan masalah tersebut agar terhindar dari kekeliruan penafsiran ayat-ayat Tuhan mengenai taqdir. 6) Contohnya terdapat pada Q.S Ash Shaffat ayat 96. b. Khalifah Umar bin Khattab pernah menangkap seseorang yang diketahui mencuri, ketika di interograsi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri”. Mendengar hal itu umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri, yaitu potong tangan dan dera.7) Berkaitan dengan kemunculan aliran Jabbariyyah, ada yang mengatakan bahwa kemunculannya diakaibatkan oleh pengaruh asing, antara lain oleh pemikiran Yahudi yang bermahzab Qurra dan agama Kristen yang bermahzab Yaccobit. 3. Mahzab dan tokoh Berdasarkan pengertian dari Jabbariyah, Jabariyyah sendiri dibagi menjadi dua bentuk, pertama, Jabariyyah murni yang menolak adanya perbuatan berasal dari manusia dan memandang manusia tidak memunyai kemampuan untuk berbuat. Kedua, Jabariyyah pertengahan (moderat) yang mengakui adanya perbuatan dari manusia
5
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2006), h.64. Ibid. 7 Ibid. 6
ﻣﺣﺗﺎر اﻟﻠطﯾف
namun perbuatan manusia tidak membatasi. Orang yang mengaku adanya pebuatan dari makhluk ini yang mereka namakan “kasab” bukan termasuk Jabariyyah. 8)
Diantara pemuka jabariyyah murni adalah berikut : a. Jaham ibn Shafwan (124 H) Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jahm bin safwan ia berasal dari Khurasan dan tinggal di Khuffan yang merupakan seorang da’i fasih dan lincah. Ia menjabat sebagai sekretaris Haris bin Surais wali yang menentang bani Umayyah. Sebagai orang yang menganut sekaligus penyebar paham Jabariyyah usaha yang dilakukan Jahm tersebar ke berbagai tempat seperti Tirmiz dan Balk.9) Jaham ibn Shafwan mati setelah dibunuh Muslim ibn Ahwas al-Mazini, salah seorang khalifah Bani Umayah. Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi sebagai berikut.10) 1. Manusia tidak mampu untuk berbuat apa apa tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan. 2. Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Allah. 3. Iman dan ma’rifat atau membenarkan dalam hati dalam hal ini pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajaukan kaum Murji’ah. 4. Kalam Allah adalah makhluk. b. Ja’ad bin Dirham Ja’ad bin Dirham adalah seorang Maulana Bani Hakim yang tinggal di Damaskus yang dibesarkan dilingkungan orang Kristen yang senang berbicara tentang teologi. Semula dia mengajar di lingkungan Bani Umayyah, akan tetapi setelah tampak pemikiran yang kontroversial, Bani Umayyah menolaknya, kemudian lari ke Khuffah, dan disana bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pemikirannya untuk
8
Asy-Syahrastani, loc. cit. Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, op. cit., h. 67. 10 Ibid. 9
ﻣﺣﺗﺎر اﻟﻠطﯾف
disebarluaskan.Pendapat Ja’ad sama dengan pendapat Jahm bin Shafwan pada umumnya.11)
Diantara tokoh yang termasuk paham Jabariyyah modern adalah : a. An-Najjar Nama lengkapnya adalah al-Husain ibn Muhammad An-Najjar (230 H) dan ia termasuk tokoh mu’tazilah yang paling banyak mempergunakan ratio.12) Para pengikutnya disebut An Najjariyyah atau Husainiyyah. Diantara pendapatnya adalah:13) 1. Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. 2. Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat akan tetapi Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati ma’rifat pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan. b. Adh Dhirar Nama lengkapnya adalah Dhirar bin ‘Amr. Ia mendirikan aliran Ad-Dhirariyyah bersama Hafsul al-Fard, keduanya sependapat adanya sifat Allah, keduanya berkata : Allah maha mengetahui dan maha kuasa, maksudnya tidak jahil dan tidak lemah, dan Allah adalah zat yang tidak diketahui hakekatnya, melainkan Allah saja yang tahu, sedangkan pengetahuan makhlik melalui bukti dan dalil. Tuhan dapat dilihat pada hari pembalasan dengan indera keenam yang dimiliki manusia. Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah pada hakekatnya. Katanya sumber ajaran isalm sesudah masa Rasulullah hanya ijma’ dan ajaran agama yang diperoleh dari dhirar bahwa ia menolak qiraat Ibnu Mas’ud dan Ubai ibn Kaab yang menurutnya bacaan yang seperti itu tidak pernah diturunkan Allah. 14)
11
Ibid., h. 68. Asy-Syahrastani, Ibid., h. 73. 13 Ibid., h. 75 14 Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, op. cit., h. 70. 12
ﻣﺣﺗﺎر اﻟﻠطﯾف
B. Qadariyyah 1.
Pengertian Berasal dari bahasa arab, yaitu qodara yang artinya kemampuan dan kekutan. Adapun menurut pengertian terminology qodariyyah adalah suatu aliran kepercayaan segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini juga berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendak sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, qodariyyah merupakan nama suatu aliran yang memberikan suatu penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatannya. Harun Nasution menegaskan bahwa kaum qodariyyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qodrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, akan tetapi bukan berarti manusia terpaksa tunduk paada qodrat Tuhan. 15) kata qadar dipergunakan untuk menamakan orang yang mengakui qadar digunakan untuk kebaikan dan keburukan pada hakekatnya kepada Allah. Namun sebenarnya pendapat ini hanya lahir dari orang yang buta hatinya karena rasulullah s.a.w. bersabda :16)
ِ ا ﻟـﻘ َ ـدر َ ِ ﯾﱠﺔ ُ ﻣ َﺟ ُو ْس ُ ھ َذ ِاﻷه ِ ْ ُ ﻣ ﱠﺔ Yang artinya: “kaum qodariyyah adalah majusinya(orang yang menyembah api) umat ini (islam)”. 2.
Sejarah Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa qodariyyah pertama dimunculkan oleh Ma’bad Al Jauhani dan Ghoilan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru kepada Hasan Al Basri.
15 16
Asy-Syahrastani, op. cit., h. 37 - 38 Ibid.
ﻣﺣﺗﺎر اﻟﻠطﯾف
Tetapi ia memasukilapangan politik dan memihak ‘Abd al-Rahman ibn al-Asy’as, Gubernur Sajistan dalam menentang bani Umayah. Dalam pertempuran dengan alHajjaj, ia mati terbunuh ditahun 80 H. Adapun Ghoilan adalah berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Usman bin Affan.17) Ahman Amin juga mengutip dalam kitab Syarh Al Uyun. Informasinya yaitu yang pertama kali memunculkan paham qodariyyah adalah orang Iraq yang semula beragama Kristen yang kemudian masuk Islam dan kembali lagi masuk Kristen. Dari orang inilah Mabad dan Ghoilan mengambil paham ini. Orang Iraq yang dimaksud sebagaimana dikatakan Muhammad ibn Syuaib yang memperoleh informasi dari Al Auzai, adalah Susan. 18) Sementara itu W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain melalui tulisan dalam bahasa Jerman yang dipublikasikan melalui majalah Islam tahun 1933 menjelaskan bahwa qodariyyah terdapat dalam kitab risalah dan ditulis untuk khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al Basri sekitar tahun 700 M, sedangkan Hasan Al Basri sendiri (642 – 728) merupakan anak seorang tahanan di Iraq yang lahir di Madinah, akan tetapi pada tahun 657 pergi ke Basra dan tinggal disana sampai akhir hayatnya. Yang menjadi perdebatan yaitu apakah Hasan Al Basri termasuk orang qodariyyah, namun yang jelas berdasarkan catatannya yang terdapat dalam kitab risalah ia percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas antara baik dan buruk. Namun menurut Watt, Ma’bad Al Jauhani dan Ghailan Ad Dimasyqy adalah menganut qodariyyah yang hidup setelah Hasan Al Basri. 19) Paham qodariyyah mendapat tantangan keras dari umat islam. Beberapa hal yang mendapat tantang keras yaitu seperti : 20) 1. Pendapat Harun Nasution karena masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh paham fatalis. Kehidupan bangsa arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka yang selalu menerima keadaan alam panas yang
17
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, op. cit., h. 71. Ibid. 19 Ibid. 20 Ibid., h. 72. 18
ﻣﺣﺗﺎر اﻟﻠطﯾف
menyengat serta tanah dan gunung yang gundul yang mengakibatkan merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi kesukaran hidup oleh alam sekelilingnya. Paham itu terus dianut kendatipun mereka sudah beragama Islam, karena itu ketika qodariyyah dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya karena bertentangan dengan doktrin Islam. 2. Tantangan dari pemerintah karena pejabat pemerintah menganut paham jabariyyah ada kemungkinan juga, pejabat pemerintah menganggap paham qodariyyah sebagai usaha menyebarkan paham dinamis dan daya kritis rakyat yang pada akhirnya mampu mengkritik dan bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.
3.
Doktrin-Doktrin Qadariyah Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di kupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham ini juga menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah, akibatnya orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan. 21) Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendiri pula melakukan atau menjauhi perbuatan atau kemampuan dan dayanya sendiri. Salah seorang pemuka Qadariyah yang lain , An-Nazzam , mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya dan ia berkuasa atas segala perbuatannya. 22) Doktrin Qodariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendak sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas ke hendaknya sendiri, baik perbuatan baik maupun jahat. Sesungguhnya tidak pantas, manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang di lakukan bukan atas keinginan dan kemampuan. Dalam paham Qodariyah, takdir itu
21 22
Asy-Syahrastani, op. cit., h. 37. Harun Nasution, op cit., h. 35.
ﻣﺣﺗﺎر اﻟﻠطﯾف
adalah ketentuan Allah yang menciptakannya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, siksa Azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Qur’an adalah sunnatullah. Dengan pemahaman yang seperti ini, kaum Qodariyah berpendapat, bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrindoktrin ini mempunyai pijakan dalam dokrtin Islam sendiri. 23) Banyak ayat Al-Qur’an yang dapat mendukung pendapat ini, misalnya dalam Surat al Kahfi ayat 29
Yang artinya : Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
23
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, op. cit., h. 74.
ﻣﺣﺗﺎر اﻟﻠطﯾف
DAFTAR PUSTAKA
1. Maghfur W., Muhammad. 2002. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Ilmu. Bangil: Al-Izzah
2. Nassution, Harun. 2008. Teologi Islam: Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press
3. Razak, Abdul dab Rosihan Anwar. 2007.Ilmu Kalam.Bandung:Pustaka Setia 4. Syahrastani. 2006. Al-Milal wa Al-Nihal. (diterjemahkan oleh: Asywadie syukur). Surabaya: Bina Ilmu
ﻣﺣﺗﺎر اﻟﻠطﯾف