BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Husnu al-ta’lil al-ta’lil adalah memperbagus alasan atau kebagusan sebuah alasan. Berikut beberapa pengertian husnu al- ta’lil :
[1]1
o
Artinya : “Husnut -Ta’lil ialah disebutkan karena mensifatkan alasan yang bukan sebenarnya yang padanya padanya itu ada keganjilan atau keanehan.” keanehan.” o
. Artinya: “Husnut -Ta’lil adalah seorang sastrawan, ia mengingkari – secara – secara terangterangan ataupun terpendam - alasan yang telah dikenal umum baik suatu peristiwa, dan sehubungan dengan itu ia mendatangkan alasan lain yang bernilai sastra dan lembut yang sesuai dengan tujuan yang yang ingin dicapainya.” dicapainya .”2[2] 2[2]
.
o
Artinya: “Husnut Ta’lil, yaitu mengaku bagi suatu sifat yang mempunyai illat, yang layak secara tidak nyata/halus.” nyata/halus .”3[3] 3[3] Untuk memahami bagaimana husnut-ta’lil, husnut- ta’lil, berikut beberapa contohnya :4[4] : 4[4] 1) Al-Ma’arri Al-Ma’arri berkata dalam sebuah ratapannya:
-
“Bintik -bintik hitam pada bulan purnama yang bercahaya itu bukan ada sejak dulu. Akan tetapi, pada muka bulan itu ada bekas tamparan.” Pada sya’ir ini Abul-‘Ala’ meratap dan berlebihan menyatakan bahwa kesedihan terhadap orang yang diratapi itu mencakup banyak peristiwa alam. Oleh karena itu, ia menyatakan bahwa bintik-bintik hitam yang terlihat di permukaan bulan itu tidaklah muncul karena factor alam, melainkan karena bekastamparan (oleh bulan sendiri) karena sedih ditinggalkan oleh orang yang diratapi itu. 2) Ibnur-Rumi berkata:
“Adapun matahari itu tidak menguning ketika cenderung kecuali karena (tidak suka) berpisah demgan pemandangan yang indah itu.” Adapun pada bait ini, Ibnur-Rumi berpendapat bahwa matahari tidak menguning ketika cenderung mendekati tempat terbenamnya itu bukan karena factor alam yang telah dikenal, melainkan karena takut berpisah dengan wajah orang yang dipujinya. 3) Penyair lain berkata tentang berkurangnya hujan di Mesir:
“Hu jan tidak berkurang di Mesir dan sekitarnya karena factor alam, tetapi karena ia banyak menanggung malu.” Penyair mengingkari bahwa penyebab berkurangnya hujan di Mesir itu adalah factor alam. Sehubungan dengan keingkarannya itu ia menyodorkan alasan lain, yaitu bahwa hujan itu malu turun di bumi yang dipenuhi oleh keutamaan dan kemurahan orang yang dipuji karena merasa tidak mampu bersaing dengan kemurahan dan pemberiannya. Dengan demikian, kita telah tahu dari contoh-contoh diatas bahwa para penyair mengingkari alasan yang telah dikenal umum bagi suatu peristiwa, lalu ia membuat alasan lain yang sesuai dengan tujuannya. Ushlub kalimat yang demikian disebut husnut- ta’lil.
B. Pembagian Husnut- Ta’lil Adapun didalam kitab “Jauharul Maknun” dan “Jawaahiru Balaghah” menerangkan Badi’ husnut ta’lil itu terbagi empat macam, yaitu:5[5]
a) Sifat yang beri llat secara tetap. Ini terbagi lagi pada dua bagian:
1)
Menurut adat tidak jelas illatnya, meskipun ada hakikatnya, seperti:
– “Pemberianmu tidak akan dapat diserupai oleh pemberian awan, dan sesungguhnya awan itu dipanasi oleh pemberianmu, maka curahan awan itu menjadi basah (hujan).”
: .
[6]6. Turun hujan itu merupakan sifat yang tetap bagi awan yang menurut adat tidak jelas illatnya. Akan tetapi sya’ir itu telah membuat illatnya, ialah dengan keringat panas awan yang disebabkan adanya pemberian mukhathab. 2)
Yang jelas illatnya bagi sifat itu, hanya saja bukan illat bagi lafal yang diterangkan, seperti kata sya’ir mutanabbi’ :
– “Bukanlah dia membunuh musuh -musuhnya sebab takut atau marah, melainkan dia menjaga agar jangan sampai menyalahi harapan macan-macan itu.”
:
[7]7.
.
Biasanya membunuh musuh itu hanya merupakan upaya untuk menolak bahaya, bukan karena menjaga agar tidak sampai menyalahi binatang buas yang sangat suka makan bangkai orang yang terbunuh. Adanya kesukaan binatang buas memakan bangkai, mendorongnya untuk membunuh musuhnya.
b) Sifat yang beri llat secara tidak tetap, untuk kemudian menetapkannya. Yang demikian ini ada dua bagian:
1) Yang mungkin tetap, seperti kata syair:
– “Wahai tukang fitnah! Menurut kami baik sekali membusukkan tukang fitnah itu. Dengan mempertakuti kamu kepada tukang fitnah, maka selamatlah orang-orang (kemanusiaan) dari ketenggelaman dalam air mata.” Menjelaskan tukang fitnah itu merupakan suatu hal yang mungkin, hanya saja manusia tidak memandang baik. Akan tetapi syair menyalahi pendapat umum tersebut, sebab dengan tidak menjelek-jelekkan tukang fitnah itu dapat menyelamatkan orang-orang dari genangaa air mata akibat balas dendam si tukang fitnah. Keadaan yang demikian itu mungkin tetap di sepanjang zaman. 2) Yang tidak mungkin tetap, seperti kata syair di bawah ini:
“Kalau tidak ada niat dari Al - Jauza’ meladeni dia, tentu aku tidak akan melihat dia mengikat sabuk.” Niat bintang Jauza’ dengan menerangi itu, adalah untuk berkhidmat (melayani) seseorang, adalah suatu hal yang tidak mungkin, akan tetapi itulah yang dimaksud oleh adanya syair tersebut.
BAB III PENUTUP Kesimpulan Husnut-Ta’lil atau bagusnya sebuah alasan, adalah seorang sastr awan, ia mengingkari – secara terang-terangan ataupun terpendam - alasan yang telah dikenal umum baik suatu peristiwa, dan sehubungan dengan itu ia mendatangkan alasan lain yang bernilai sastra dan lembut yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya. BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alquran merupakan mukjizat terbesar bagi Nabi Muhammad saw. Kemukjizatannya terkandung pada aspek bahasa dan isinya. Dari aspek bahasa, Alquran mempunyai tingkat fashâhah dan balâghah yang tinggi. Sedangkan dari aspek isi, pesan dan kandungan maknanya melampaui batas-batas kemampuan manusia. Ketika Alquran muncul, banyak di dalamnya terkandung hal-hal yang tidak bisa ditangkap oleh orang-orang pada zamannya,
akan tetapi kebenarannya baru bisa dibuktikan oleh orang-orang pada abad modern sekarang ini. Kata-kata dan isinya dibaca, ditela‟ah, dijadikan rujukan dan meru pakan sumber inspirasi muncul dan berkembangnya berbagai ide dan karya jutaan umat manusia. Kitab ini dijadikan pedoman dan karenanya amat dicintai oleh seluruh kaum muslimin. Karena kecintaannya pada Alquran kaum muslimin membaca dan menelaahnya baik dengan tujuan ibadah maupun untuk memperoleh pengetahuan darinya. Dengan dorongan Alquran pula para ulama dan ilmuwan mengarang dan menterjemahkan bermacam-macam buku ilmu pengetahuan, baik yang berkaitan dengan keislaman seperti bahasa Arab, syariat, filsafat dan akhlak, maupun yang yang bersifat umum seperti sejarah, kesenian dan perekonomian. Hanya dalam tempo satu abad, inspirasi yang dibawa Alquran telah membuat penuh berbagai perpustakan di kota-kota besar Islam pada masa itu seperti Mesir, Baghdad dan Cordova. B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Mubalaghah? 2. Apa itu Tablîgh 3. Apa itu Ighrâq 4. Apa itu Ghuluw
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui ilmu balaghag khususnya mubalaghah. 2. Untuk mengetahui Tablîgh 3. Untuk mengetahui Ighrâq 4. Untuk mengetahui Ghuluw
D. Metode Penulisan
Metodologi Penulisan makalah ini menggunakan metode studi pustaka dengan melakukan penyusunan dari berbagai sumber dan pemanfaatan pada bidang komunikasi internet.
E. Sistematika Penulisan
1. BAB I : Pendahuluan, Bab ini memuat Latar belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan. Bab II: Pembahasan, Bab III : Penutup, Bab ini memuat kesimpulan dan saran.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Mubâlaghah Salah satu aspek badî’ lainnya dalam uslûb bahasa Arab adalah badî’ mubâlaghah. Istilah ini dalam bahasa Indonesia biasa disebut gaya bahasa hiperbol . Kata mubâlaghah secara leksikal bermakna ‘melebihkan’. Sedangkan dalam khazanah ilmu badî’ mubâlaghah didefinisikan sbb,
Mubâlaghah adalah ekspresi ungkapan yang mengambarkan sesuatu hal secara berlebihan yang tidak mungkin (tidak sesuai dengan kenyataan). 1. Majas hiperbola Majas Hiperbola yaitu majas atau gaya bahasa yang bertujuan untuk melebih-lebihkan. Contoh kalimat yang menggunakan majas hiperbola diantaranya :
Cita-cita Budi setinggi langit, sehingga dia sangat disiplin dalam belajar di sekolah.
Bu Ani terkejut setengah mati, mendengar rumahnya kebakaran
Cintaku
kepadamu
sedalam
samudera
dan
seluas
jagad
raya.
Kalimat di atas bersifat melebih-lebihkan , yaitu terletak pada : setinggi langit, setengah mati, sedalam samudera, seluas jagad raya. Imam Sakaki, seorang ulama balaghah (stylistika) terkemuka, membagi Mubalaghah menjadi tiga bagian: yaitu tablîgh, ighrâq, dan ghuluw.
B. Tablîgh Tablîgh adalah salah satu jenis ungkapan mubâlaghah. Dinamakan tablîgh apabila suatu ungkapan itu mungkin terjadi baik secara logika maupun realita. Contoh :
Kuda itu bermusuhan terus menerus antara banteng jantan dan banteng betina sambil berturut-turut. Ia tidak berkeringat sehingga tidak dimandikan.
Penyair mengungkapkan bahwa kudanya menemukan banteng jantan dan banteng betina dalam sebuah persembunyiannya dan kuda itu tidak berkeringat sekalipun takut. Keadaan ini mungkin terjadi baik menurut akal maupun menurut adat. Contoh Mubalaghah Tabligh. Seperti dalam bait syair Amrul Qais: Kuda itu berpaling terus menerus antara banteng jantan dan banteng betina berkali-kali... namun tidak sedikitpun meneteskan keringat, makanya dimandikan.
Alkisah, kuda Amrul Qais mampu menghalau dua banteng sekaligus, yaitu banteng jantan dan banteng betina. Kudanya meloncat ke sana ke mari dan berlari gesit mengejar kedua banteng itu tanpa mengeluarkan setetespun keringat apalagi takut. Amrul Qais, yang berada di atas kudanya, dengan mudah membidikkan anak panah tepat pada kedua hewan buas tersebut. Seekor kuda mampu mengalahkan banteng dengan mudah sangat jarang terjadi. Terlebih lagi banteng itu ternyata lari kocar-kacir dan dibinasakan dengan mudah, tanpa susah payah atau berkeringat. Atau dalam al-Quran:
Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih -bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya... (QS. An-Nur: 40). Kalau saja kalimat tersebut cukup pada “ seperti gelap gulita di lautan yang dalam,
yang diliputi oleh ombak ”, maka kalimat tersebut sebenarnya sempurna. Namun ternyata kalimat tersebut ditambahkan lagi dengan kata-kata lainnya: “di atas ombak ada om bak, dan di atas ombak tersebut terdapat awan yang gelapnya berlipat-lipat...” dan begitu seterusnya. Sifat laut yang luas dan dalam ditambah lagi dengan kegelapan yang menyelimutinya terkesan terlalu berlebihan (ifrath). Namun demikian, ternyata sains modern baru membuktikan kebenarannya belum lama ini. “Jangankan melihat keindahan alam laut dengan
hewan-hewan dan karang-karang yang laksana mutiara, melihat tangannya sendiri saja tak mampu”, begitu ungkap al-Quran. Jadi, kendatipun menurut kebiasaan hanya “mendekati kemungkinan”, namun logika pun ternyata membenarkan. Menurut imam Sakaki, peristiwa yang diceritakan Amrul Qais atau fakta laut yang diungkap dalam al-Quran termasuk logis dan bisa saja terjadi dalam tradisi kita.
C. I ghrâq Apabila suatu ungkapan menggambarkan sesuatu yang secara logika tidak mungkin terjadi tapi menurut realita mungkin terjadi disebut ighrâq. Contoh,
# Kami akan memulyakan tetangga kami selama ia masih berada di tempat kami; dan kami akan mengikutinya dengan penghormatan dimanapun dia pergi.
Contoh Mubalaghah Igroq.seperti syair Umair At-Taghlabi. Bayangkan: Kami hormati sang tetangga kalau memang dia bersama kami dan jika pergi pun penghormatan kami tetap mengikuti. Memuliakan tetangga dengan memberinya pelayanan terbaik tentu saja perbuatan mulia. Hal itu dimungkinkan jika misalnya sang tetangga datang ke tempat kita untuk bertamu, sedang sowan atau kunjungan biasa, dengan memberinya minuman atau yang dibutuhkan. Ini biasa. Tapi kalau pulangnya pun kita layani terus, atau bahkan di sepanjang perjalanan misalnya... ini luar biasa! Ekspresi penghormatan terhadap tamu seperti dalam syair tersebut di luar kebiasaan. Namun demikian logika mengungkap bahwa penghormatan adalah kata sifat (abstrak), dan itu artinya kita juga mampu melakukannya. Dengan kata lain, kita masih bisa terus memuliakannya sekalipun mereka sudah tidak berada di hadapan kita. Misalnya tetap menjaga silaturahmi jarak jauh, tidak membicarakan keburukannya, SMS, telpon, dan lainlain. Karenanya, syair itu disebut Mubalaghah Igraq. Sebagaimana maklum, igraq artinya “berlimpah”. Contoh lainnya seperti dalam al-Quran:
Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke l ubang jarum. Demikianlah kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan . (QS. Al-A’raf: 40).
Orang-orang yang mendustai ayat-ayat Allah dan orang-orang yang sombong, balasannya adalah: amalnya tidak diterima, doanya tidak dikabulkan (pintu langit tertutup bagi mereka), dan tentu saja mereka tidak akan masuk surga. Sampai kapan? Sampai unta bisa masuk ke lubang jarum! Mungkinkah unta masuk lubang jarum? Tak mungkin. Tali tambang saja tak akan bisa masuk ke lubang jarum, terlebih lagi binatang sebesar unta! Begitupula orang-orang yang sombong itu (kaum musyrikin), jangan berharap bisa masuk surga. Secara tak sadar kita kadang jumpai ungkapan seperti itu dalam kehidupan kita: “sampai tujuh turunan, tak akan kumaafkan kau!”. Mungkin hanya sebatas ekspresi kemarahan atau memang sungguh-sungguh tidak akan memaafkan lagi. Juga masyarakat Sunda sering mempopulerkan ungkapan seperti ini: najan sampe puyuh buntutan, sampe kuda jangjangan, sampe oray taktakan, manehna moal ngalakukeun kitu! (Sampai puyuh berekor, sampai kuda bersayap, sampai ular berpundak, dia tak mungkin melakukan itu!). Terlepas dari benar-tidaknya ungkapan bahasa Indonesia atau bahasa Sunda tersebut, masuknya unta ke dalam lubang jarum menurut kebiasaan rasanya sangat mustahil. Tapi menurut akal tidak, sebab qudrat dan iradat Allah dapat merubah segalanya menjadi ‘biasa’. Jika memang Allah berkehendak Allah akan meluaskan lubang jarum itu sehingga unta pun bisa masuk. Menurut imam Sakaki, kedua jenis mubalaghah ini bisa diterima. Bagaimana halnya dengan mubalaghah tipe ketiga?
D. Ghuluw Sedangkan apabila suatu ungkapan menggambarkan sesuatu baik secara logika maupun realita tidak mungkin terjadi dinamakan ghuluw. Contoh :
# Kau bikin takut orang-orang musyrik, sampai-sampai embrio mereka yang belum tercipta pun takut kepadamu. Menurut Wahbah (1984) kategori satu (tablîgh) masih bisa dipandang sebagai suatu bentuk keindahan (muhassinât ) imajinasi, sedangkan kategori kedua (ighrâq) dan ketiga ( ghuluw) dinilai berlebihan dan justru kehilangan keindahannya. Namun menurut Ibn Qudâmah dalam Wahbah (1984), ungkapan berlebihan ( ghuluw) bisa digunakan apabila disisipi dengan kata yakad (hampir-hampir) dan lau(andaikata), dan yang sejenisnya. Contoh-contoh ghuluw yang diterima. Contoh Mubalaghah Ghuluw. Mungkin syair kocak Abu Nawas ini bisa dijadikan contoh:
Kau menakuti orang-orang musyrik itu sehingga... air mani yang belum diciptakanpun takut padamu.
Abu Nawas memuji temannya yang jago berkelahi. Setiapkali bersengketa, ia pasti menang. Tiapkali berperang di medan pertempuran, dia juga selalu unggul. Kata Abu Nawas, “jangankan orang-orang kafir itu, (maaf) air mani yang belum ‘jadi’ pun ngeri melihatmu”. Abu Nawas sadar bahwa ungkapannya yang jenaka itu hanya hiperbola belaka, dan tak bisa diterima tradisi maupun rasio. Namun imam Sakaki mengoreksi: tidak semua mubalaghah ghuluw ini ditolak mentah-mentah. Buktinya dalam al-Quran terdapat banyak mubalaghah ghuluw, tapi karena ditambahi kata yakadu (artinya: hampir) maka mubalaghah tersebut bisa diterima (maqbul). Kata-kata yakadu ini berguna untuk menjelaskan sesuatu hal agar tidak secara eksplisit menggiring pada kemustahilan. Contohnya terdapat pada surah An-Nur:
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi walaupun tidak disentuh api... (QS. An-Nur: 35).
Kalau tanpa sedikitpun disentuh api tiba-tiba minyak zaitun tersebut bercahaya seperti lampu, jelas tidak masuk logika manusia. Namun Allah Maha Tahu akan keterbatasan akal manusia, karenanya al-Quran menambah lafal yakadu (hampir-hampir) sehingga mendekati kebenaran. Kini statusnya berubah, hal yang tadinya dianggap “mustahil terjadi” menjadi “mungkin terjadi”. Subhanallah.....!!!
1) Ghuluw yang disertai dengan sesuatu yang mendekatkannya kepada kebenaran, seperti lapal ‘
‘ pada firman Allah:
Hampir-hampir minyaknya menerangi walaupun tidak terkena api. (Q.S al- Nûr/24:35) 2) Ghuluw yang disertai lapal ( )
…. Kalau sekiranya Kami menurunkan Alquran ini pada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah . (Q.S al-Hasyr/59:21)
E. Tokoh mubalaghah
Para sejarawan banyak yang menunjuk Abdullah ibn Mu’taz sebagai satu-satunya tokoh yang pertamakali memperkenalkan mubalaghah. Dalam buku “Al - badi’ fi Mahasin alKalam was Syi’r” beliau menyebut Mubalaghah sebagai “keterlaluan menyifati sesuatu dengan memberinya perlambang- perlambang”. Dalam bukunya tersebut, dia memberi banyak contoh syair-syair yang ia nilai “sangat keterlaluan”. Saking keterlaluannya, sampai -sampai syair tersebut tidak lagi diterima akal sehat, kendatipun dalam kehidupan sehari-hari bisa diterima. Karenanya Abdullah Mu’taz, begitu dia sering disebut, membagi kelompok menjadi dua bagian. Bagian pertama, mubalaghah malahah (bagus) dan, karenanya, ia diterima banyak ulama. Ia memberi contoh syair Ibrahim ibn Al-Abbas As-Shuli: Wahai saudara tak pernah aku melihat manusia yang kotor seperti dirinya... yang sangat cepat pulang dan cepat pula datang... Di pagi ini kau teman baikku apakah di senja hari kau masih temanku? Di bait pertama Ibrahim mencemooh seseorang yang dianggapnya angin-anginan: datang dan pergi semau hati, tanpa permisi dan menyakiti hati. Perginya secepat datangnya, easy come easy go. Sampai-sampai di bait kedua terus terang dia bertanya: jika di pagi ini kau temanku, apakah di sore hari kau mau mengkhianatiku lagi? Tipologi manusia (kayak) begini, ya banyak. Sekalipun keterlaluan, begitulah adanya, dan ini bisa diterima. Tapi ada juga bagian kedua, yaitu hiperbola yang benar-benar keterlaluan dan tak mungkin bisa diterima akal sehat. Contohnya: Dan langitpun menangis jika dia berdoa sedangkan bumi tak mau menerima sujudnya Kalau suatu hari ingin makan daging kucing ia lemparkan daging itu ke udara saking berse leranya.
Syair di bait pertama menggambarkan seseorang yang bergelimang dosa. Tak lama kemudian si pendosa ini bertaubat. Ia akui dan menyesali semua yang pernah diperbuatnya. Tiap malam bermunajat kepada Tuhan dalam linangan air mata yang tiada henti menetes. Bukan hanya itu, langitpun turut berduka!
Di bait pertama sungguh sangat menggelikan. Akal manusia manapun tak akan mampu menjangkau sejauhmana langit menangis hanya karena dosa-dosa yang diperbuat anak manusia. Di saat yang sama bumi tak mampu lagi menerima sujudnya. Ah, mana bisa? Allah Maha Penyayang, seberapapun dosa hamba-Nya, pasti ia ampuni.
Sepeninggal ibnu Mu’taz, seorang pakar lain bernama Qudamah ibnu Ja’far berbicara tentang kategori sifat-sifat yang dilebih-lebihkan itu. Ia menganggap, melebih-lebihkan sifat itu termasuk sifat-sifat makna. Dialah yang pertamakali menyebut hiperbola itu sebagai MUBALAGHAH seperti yang kita kenal sekarang ini. Mubalaghah, katanya, adalah jika seorang penyair menyebutkan satu hal atau kondisi tertentu dalam syairnya. Jika ia berhenti pada keadaan tersebut maka maksudnya cukup seperti itu, alias seadanya. Tapi ia tidak berhenti sampai di situ, melainkan ia lipat lagi dari keadaan semula sehingga kata-kata tersebut melampaui maksud sebenarnya.
F.
Istilah MUBALAGHAH (
): Isim Fa’il yang berfungsi untuk menguatkan atau
menyangatkan artinya. Contoh: Fi’il
Isim Fa’il
-
Isim Mubalaghah / /
-
/
-
1.
(=yang sangat mengetahui) (=yang suka mengampuni) (=yang banyak tidur)
/
SIFAT MUSYABBAHAH (
(=yang banyak makan)
) ialah Isim yang menyerupai Isim Fa ’il tetapi lebih
condong pada arti sifatnya yang tetap. Misalnya: Fi‘il
Isim Fa’il
Sifat Musyabbahah
-
(=senang)
-
(=buta)
(=orang buta)
-
(=mati)
(= orang mati)
-
(=lapar)
(=orang senang)
(= orang kelaparan)
G. ISIM MAF’UL (
) yaitu Isim yang dikenai pekerjaan. Isim Maf’ul
Fi’il –
(=mengampuni)
(=yang diampuni) (=yang diketahui)
–
(=mengetahui)
–
(=menjual)
(=yang dijual)
–
(=berkata)
(=yang diucapkan)
H. ISIM TAFDHIL (
) ialah Isim yang menunjukkan arti “lebih” atau “ paling”. Wazan
(pola) umum Isim Tafdhil adalah: Isim Fa’il
. Contoh:
Isim Mubalaghah
Isim Tafdhil
(=sangat mengetahui)
(=yang lebih mengetahui)
(=sangat besar)
(=yang lebih besar)
(=sangat dekat)
(=yang lebih dekat)
(=sangat utama)
(=yang lebih utama)
Disamping itu, terdapat pula bentuk yang sedikit agak berbeda, seperti: Sifat Musyabbahah (=yang sangat) (=yang berhak)
Isim Tafdhil (=yang lebih sangat) (=yang lebih berhak)
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
Salah satu aspek badî’ lainnya dalam uslûb bahasa Arab adalah badî’ mubâlaghah. Istilah ini dalam bahasa Indonesia biasa disebut gaya bahasa hiperbola. Kata mubâlaghah secara leksikal bermakna ‘melebihkan’. Sedangkan dalam khazanah ilmu badî’ mubâlaghah didefinisikan sbb,
Mubâlaghah adalah ekspresi ungkapan yang mengambarkan sesuatu hal secara berlebihan yang tidak mungkin (tidak sesuai dengan kenyataan). Badî’ jenis ini ada tiga kategori, yaitu tablîgh, ighrâq, dan ghuluw.
Adapun Majas Hiperbola yaitu majas atau gaya bahasa yang bertujuan untuk melebihlebihkan.
Misalnya adalah :
“Bintik -bintik hitam pada bulan purnama yang bercahaya itu bukan ada sejak dulu. Akan tetapi, pada muka bulan itu ada bekas tamparan.” Husnut-ta’lil terbagi kepada empat bagian, yaitu: 1.
Menurut adat tidak jelas illatnya
2.
Yang jelas illatnya bagi sifat itu, hanya saja bukan illat bagi lafal yang diterangkan
3.
Yang mungkin tetap
4.
Yang tidak mungkin teetap.