HIPOKALEMI PERIODIK PARALISE
V. GEJALA KLINIS
VI. DIAGNOSIS
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
VIII. DIAGNOSIS BANDING
IX. TERAPI
X. KOMPLIKASI
XI. PROGNOSIS
DAFTAR PUSTAKA
HIPOKALEMIA PERIODIK PARALISE
I.PENDAHULUAN
Konsentrasi kalium cairan ekstraseluler normalnya diatur dengan tepat kira-
kira 4,2 mEq/ltr, jarang sekali naik atau turunlebih dari 0,3 mEq/ltr.
Pengaturan ini perlu karena banyak fungsi sel bersifat sensitive terhadap
perubahan konsentrasi kalium cairan ekstraselular. Sebagai contoh,
peningkatan kalium plasma hanya 4 mEq/ltr dapat menyebabkan aritmia jantung
dan konsentrasi yang lebih tinggi lagi dapat henti jantung.
Sekitar 95% kalium tubuh total terkandung di dalam sel dan hanya 2% dalam
cairan ekstraselular. Kegagalan tubuh dalam mengatur konsentrasi kalium
ekstraselular dapat mengakibatkan terjadinya kehilangan kalium dari cairan
ekstraselular yang disebut hipokalemia. Demikian juga, kelebihan kalium
dari cairan ekstraselular disebut hiperkalemia. Pengaturan keseimbangan
kalium terutama bergantung pada ekskresi oleh ginjal.1
Periodik paralise adalah kelainan yang ditandai dengan hilangnya kekuatan
otot, umumnya terkait dengan abnormalitas K + dan abnormalnya respon akibat
perubahan K + dalam serum. Periodik paralise dapat dikelompokkan menjadi :
1. Periodik paralise hipokalemia : genetik, hipertiroid,
hiperaldosteronism, gagal ginjal kronik dan idiopatik.
2. Periodik paralise hiperkalemia.
3. Periodik paralise normokalemia.3
II.DEFINISI
Hipokalemia periodik paralise adalah kelainan yang ditandai dengan
kadar potassium (kalium) yang rendah (kurang dari 3.5 mmol/L) pada saat
serangan, disertai riwayat episode kelemahan sampai kelumpuhan otot
skeletal.2,3,4,5,6,7
III.EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian adalah sekitar 1 diantara 100.000 orang, pria lebih sering
dari wanita dan biasanya lebih berat. Usia terjadinya serangan pertama
bervariasi dari 1-20 tahun, frekuensi serangan terbanyak di usia 15-35
tahun dan kemudian menurun dengan peningkatan usia.4,6,7
IV.ETIOLOGI
Hipokalemia periodik paralise biasanya disebabkan oleh kelainan genetik
otosomal dominan. Hal lain yang dapat menyebabakan terjadinya hipokalemia
periodic paralise adalah tirotoksikosis.3,4,6,7
V.GEJALA KLINIS
1. Kelemahan pada otot
2. Perasaan lelah
3. Nyeri otot
4. Restless legs syndrome
5. Tekanan darah dapat meningkat
6. Kelumpuhan atau rabdomiolisis (jika penurunan K amat berat)
7. Gangguan toleransi glukosa
8. Gangguan metabolisme protein
9. Poliuria dan polidipsia
10. Alkalosismetabolik
Gejala klinis nomor 1, 2, 3, 4 di atas merupakan gejala pada otot yang
timbul jika kadar kalium kurang dari 3 mEq/ltr.2,6,7
VI.DIAGNOSIS
Diagnosis didapatkan dari anamnesis seperti adanya riwayat pada keluarga
karena erat kaitannya dengan genetik serta gejala klinis seperti yang
tersebut di atas, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.7
VI.PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Kadar K dalam serum.
2. Kadar K, Na, Cl dalam urin 24 jam.
3. Kadar Mg dalam serum.
4. Analisis gas darah.
5. Elektrokardiografi.6,7
VII.DIAGNOSIS BANDING
1. Kehilangan K melalui ginjal.
a. Kalium dalam urin > 15 mEq/24 jam.
b. Ekskresi kalium disertai poliuria (obat-obat diuretik,
diuretic osmotik).
2. Kehilangan K yang tidak melalui ginjal.
a. Kehilangan melalui saluran cerna (diare).
b. Kehlangan melaluikeringat berlebihan.
c. Diet rendah kalium.
d. Muntah.
e. Perpindahan kalium ke dalam sel (alkalosis, insulin agonis
beta, paralisis periodik, leukemia).6
VIII.TERAPI
Pemberian kalium lebih disenangi dalam bentuk oral karena lebih mudah. Bila
kadar kalium dalam serum > 3 mEq/L, koreksi K cukup per oral. Pemberian 40-
60 mEq dapat menaikkan kadar kalium sebesar 1-1,5 mEq/L, sedangkan
pemberian 135-160 mEq dapat menaikkan kadar kalium sebesar 2,5-3,5 mEq/L.
Pemberian K intravena dalam bentuk larutan KCl disarankan melalui vena yang
besar dengan kecepatan 10-20 mEq/jam, kecuali disertai aritmia atau
kelumpuhan otot pernafasan, diberikan dengan kecepatan 40-100 mEq/jam. KCl
dilarutkan sebanyak 20 mEq dalam 100 cc NaCl isotonik.
Monitor kadar kalium tiap 2-4 jam untuk menghindari hiperkalemia terutama
pada pemberian secara intravena.
Pemberian acetazolamide untuk mencegah serangan dengan dosis 125-1500
mg/hari. Dichlorphenamide 50-150 mg/hari juga telah menunjukkan keefektifan
yang sama.
Pemberian triamterene (25-100 mg/hari) atau spironolactone (25-100
mg/hari) apabila acetazolamide tidak memberikan efek pada orang tertentu.
IX.KOMPLIKASI
Batu ginjal akibat efek samping acetazolamide.
Arrhytmia.
Kelemahan otot progresif.7
X.PROGNOSA
Baik apabila penderita mengurangi faktor pencetus seperti mengurangi asupan
karbohidrat, hindari alcohol dll. Serta pengobatan yang teratur.6,7
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton & hall. Kalium dalam cairan ekstraselular. EGC. 1997.
2. Mesiano taufik. Periodik paralisis. Available from http : //www.ommy &
nenny.com
3. Ricardo Gabriel, dkk. Hipokalemic periodic paralisys. Available from
http : //www.associacion medica argentina.com
4. Anonim. Hipokalemic periodic paralisys. Available from http :
//www.genetics.com
5. Anonim. Periodic paralisys. Available from http : //www.NINDS.com
6. Ranie nh. Hipokalemic periodic paralisys. Available from http :
//www.webscapes.com
7. Anonim. Hipokalemic periodic paralisys. Available from http :
//www.medlineplus.com
1. Simadibrata M., dkk. (ed.). Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu
Penyakit Dalam. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. Hlm 93-4.
2. Sudoyo AW, dkk, (ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi IV.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. hlm 137-8
LAPORAN KASUS HIPOKALEMIK PERIODIK PARALISIS
July 8, 2009 imgreatdoctor
ABSTRACT
A 7-year-old boy of Java origin, visited the doctor with progressive
weakness everytime he ate food containing Monosodium Glutamat
(MSG). Progressive weakness began from his legs and spreaded to the arms as
well (sometimes also to the neck). He could neither walk
nor do anything for 5–6 hours then began to resolve spontaneously.. We
suspected the diagnosis of hypokalaemic periodic paralysis upon
the history of episodes of flacid paralysis and low serum concentration of
potassium (< 3,5 mmol/L) during the attacts.
The clinical examination showed that this boy is in good general and
nutritional conditions; electrocardiogram, laboratory blood
count, urinalisis, thyroid, liver, kidney function, and ANA test were
normal as well. The family history of flacid paralysis was negative.
We have promptly administered potassium orally and his condition was
improved progressively including less degree of flacid paralysis
(the weakness).
A genetic testing, electromyography (EMG), muscle biopsy and another
examination has not performed.
Key words: Monosodium Glutamat, hypokalaemic, flacid paralysis
Korespondensi (correspondence):
[email protected]
PENDAHULUAN
Hipokalemik periodik paralisis adalah kelainan yang ditandai dengan kadar
kalium (kalium) yang rendah (kurang dari 3.5 mmol/L) pada saat serangan,
disertai riwayat episode kelemahan sampai kelumpuhan otot skeletal.
Hipokalemia dapat terjadi karena adanya faktor pencetus tertentu, misalnya
makanan dengan kadar karbohidrat tinggi, istirahat sesudah latihan fisik,
perjalanan jauh, pemberian obat, operasi, menstruasi, konsumsi alkohol dan
lain-lain. Kadar insulin juga dapat mempengaruhi kelainan ini pada banyak
penderita, karena insulin akan meningkatkan aliran kalium ke dalam sel.
Pada saat serangan akan terjadi pergerakan kalium dari cairan ekstra
selular masuk ke dalam sel, sehingga pada pemeriksaan kalium darah terjadi
hipokalemia.
Kadar kalium biasanya dalam batas normal diluar serangan. Pencetus untuk
setiap individu berbeda, juga tidak ada korelasi antara besarnya penurunan
kadar kadar kalium serum dengan beratnya paralisis (kelemahan) otot
skeletal. Penderita dapat mengalami serangan hanya sekali, tetapi dapat
juga serangan berkali-kali (berulang) dengan interval waktu serangan juga
bervariasi. Kelemahan biasanya terjadi pada otot kaki dan tangan, tetapi
kadang-kadang dapat mengenai otot mata, otot pernafasan dan otot untuk
menelan, di mana kedua keadaan terakhir ini dapat berakibat fatal. Angka
kejadian adalah sekitar 1 diantara 100.000 orang, pria lebih sering dari
wanita dan biasanya lebih berat. Usia terjadinya serangan pertama
bervariasi dari 1–20 tahun, frekuensi serangan terbanyak di usia 15–35
tahun dan kemudian menurun dengan peningkatan usia. Hipokalemik periodik
paralisis biasanya terjadi karena kelainan genetik otosomal dominan. Hal
lain
yang dapat menyebabkan terjadinya hipokalemik periodik paralisis adalah
tirotoksikosis (thyrotoxic periodic paralysis), hiperinsulin.1,10
Pada laporan kasus ini akan dibahas tentang penderita hipokalemik periodik
paralisis pada anak usia 7 tahun, di mana diagnosa pasti tidak dapat
ditegakkan karena pemeriksaan genetik tidak dapat dilaksanakan disebabkan
beberapa alasan non medis. Dugaan Diagnosa hanya didasarkan pada riwayat
penyakit, pemeriksaan klinik, dan laboratorium saja.
KASUS
Seorang anak laki-laki suku Jawa berusia 7 tahun, dikonsulkan untuk
pemeriksaan laboratorium karena keluhan badannya lemas bila makan makanan
yang mengandung vetsin (mono sodium glutamat = MSG). Setiap makan makanan
yang mengadung MSG akan terjadi kelemahan badan, kadang sampai tidak bisa
berdiri. Kelemahan ini akan hilang dengan sendirinya sesudah 5–6 jam, di
mana jika sudah pulih penderita gerakannya kembali normal. Kelemahan
dimulai dari kaki naik ke atas, kadang-kadang sampai ke leher, bahkan
sampai tidak dapat beraktifitas sama sekali, tetapi kadang juga hanya
ringan di mana jalannya tidak stabil. Gejala ini sudah terjadi sejak
beberapa tahun, kemungkinan sejak usia sekolah, serangan terjadi berkali-
kali dan penderita sudah keliling dari satu dokter pindah ke dokter lain.
Salah seorang dokter mendiagnosa sebagai china's food syndrome, kemudian
pada serangan terakhir penderita ke dokter lain lagi dan dikonsulkan untuk
pemeriksaan laboratorium, dengan tujuan mencari penyebab kelainan ini.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum nampak lemas, kesadaran
kompos mentis, tensi 110/80 mmHg, nadi 76/menit, pernafasan 20/menit, berat
& tinggi badan sesuai dengan usia penderita, konjungtiva & sklera normal,
jantung & paru tak ada kelainan, hati & limpa tak teraba.
Pemeriksaan laboratorium: kadar hemoglobin 15,4 g/dl, perhitungan jumlah
lekosit 16.900/ mikroliter, hematokrit 46,5%, laju endap darah 2,L,
hitungmperhitungan jumlah trombosit 748.000/ jenis -/-/-/62/33/5, evaluasi
eritrosit normokrom normositik, lekosit dan trombosit kesan jumlah
meningkat, terdapat trombosit besar, morfologi lekosit dalam batas normal.
Pemeriksaan urine: albuminuria ringan (positif 1), reduksi, urobilin dan
bilirubin negatif. Silinder granular halus 1–2, lekosit 2–4 per lapang
pandang besar.
Pemeriksaan lain: gula darah sesaat 76 mg/dl, protein total 8,6 mg/dl,
albumin 5,0 mg/dl, globulin 3,6 mg/dl, bilirubin total 1,52 mg/dl,
bilirubin direk 0,32 mg/dl, bilirubin indirek 1,20 mg/dl, kolesterol 154
mg/dl, trigliserida 90 mg/dl, HDL kolesterol 74,6 mg/dl, LDL kolesterol
61,4 mg/dl, ureum 29,6 mg/dl, kreatinin 0,9 mg/dl, asam urat 3,9 mg/dl,
SGOT 30 mU/ml, SGPT 29 mU/ml, gamma GT 10 mU/ml, Kalsium 8,45 mg/dl,
Natrium 145 mmol/L, Kalium 1,82 mmol/L, klorida 108 mmol/L.
Pemeriksaan lain: Anti streptolisin O (ASTO) 200 IU/ml, CRP (C reactive
protein) <0,5 mg/dl, Uji Tb dot pulmoner negatif, T4 bebas (1,99 ng/dl),
TSH 2,19 uIU/ml, Ana Test negatif (normal).
Dari hasil pemeriksaan klinis dan laboratoris, penderita diduga mengalami
hipokalemik periodik paralisis. Selain itu juga ditemukan adanya
lekositosis, trombositosis, albuminuria, silinder granuler halus dan ASTO
dalam nilai perbatasan. Disarankan untuk pemeriksaan EMG
(Electromyography), analisa genetik,ulangan ASTO, urine dan darah rutin.
Juga usulan pemeriksaan kalium darah waktu tidak ada serangan. Hasil
pemeriksaan laboratorium ulangan sekitar 1 minggu berikutnya, saat ada
serangan lagi adalah kadar kalium serum 2,45 mmol/L, natrium 142 mmol/L,
klorida 115 mmol/L, albuminuria negatif, silinder uria negatif, lekosituria
negatif. Lekositosis dan trombositosis juga tidak ditemukan Hasil
pemeriksaan pada serangan berikutnya adalah kadar kalium serum 2,48 mmol/L,
natrium 146 mmol/L, klorida 121 mmol/L. Penderita memang hanya melakukan
pemeriksaan elektrolit saja waktu ada serangan karena alasan keuangan.
Interval serangan tidak terjadi dalam kurun waktu tertentu, tetapi lebih
disebabkan karena faktor konsumsi makanan yang mengandung vetsin (MSG).
PEMBAHASAN
Dari hasil pemeriksaan klinis dan laboratoris penderita diduga mengalami
kelainan hipokalemik periodik paralisis. Kelainan albuminuria ringan dan
silinder granular halus pada pertama kali pemeriksaan kemungkinan karena
pengambilan sampel yang kurang tepat, yaitu penderita lama tak kencing.
Sedangkan lekositosis dan trombositosis waktu pertama kemungkinan karena
hemokonsentrasi, di mana penderita agak sulit diambil darahnya karena
menolak (takut), selain itu juga waktu serangan penderita kemungkinan juga
kurang minum. Hal ini terbukti waktu pengambilan darah dan urine berikutnya
memberikan hasil yang normal (waktu pengambilan darah pertama dan ulangan
jaraknya sekitar 1 minggu). Pencegahan serangan pada penderita memang
kelihatanannya agak sulit, karena penderita sudah sekolah dan nampaknya
agak suka jajan di sekolah yang menyebabkan timbulnya serangan, sedangkan
di rumah makanannya selalu dijaga oleh ibunya (diberikan tanpa MSG).
Penderita setiap kali serangan kadar kaliumnya cukup rendah, sayangnya
tidak pernah memeriksakan diri diluar serangan, juga usulan EMG dan analisa
genetik tidak dilaksanakan.
Diagnosa kelainan hipokalemik periodik paralisis ditegakkan berdasarkan
kadar kalium darah rendah [kurang dari 3,5 mmol/L (0,9–3,0 mmol/L) ] pada
waktu serangan, riwayat mengalami episode flaccid paralysis dengan
pemeriksaan lain dalam batas normal. Paralisis yang terjadi pada penyakit
ini umumnya berlokasi di bahu dan panggul meliputi juga tangan dan kaki,
bersifat intermiten, serangan biasanya berakhir sebelum 24 jam, pada EMG
dan biopsi otot ditemukan miotonia, refleks Babinsky positif, kekuatan otot
normal diluar serangan. 4-8
Terdapat 2 bentuk kelainan otot yang diobservasi yaitu episode paralitik
dan bentuk miopati, kedua keadaan ini dapat terjadi secara terpisah ataupun
bersama-sama. Sering terjadi bentuk paralitik murni, kombinasi episode
paralitik dan miopati yang progresifitasnya lambat jarang terjadi, demikian
pula bentuk miopatik murni jarang terjadi. Episode paralitik ditandai
terutama adanya flaccid paralysis dengan hipokalemia sehingga dapat terjadi
para paresis atau tetraparesis berpasangan dengan otot pernafasan. 4
Pada pasien ini murni flaccid paralysis dengan hipokalemia dan akan sembuh
atau remisi sendiri 5–6 jam kemudian, dengan pemberian kalium per oral
serangan menjadi lebih ringan. Tidak terdapat kelainan pada otot
pernafasan. Jika terdapat kelainan genetik maka pada analisa didapatkan
kelainan antara lain adalah autosomal dominan inheritance yaitu mutasi
pada kromososm CACNA1S (70%) disebut hipokalemik periodik paralisis tipe 1,
mutasi lokus pada kromosom SCN4A (10%) disebut hipokalemik periodik
paralisis tipe 2. Mutasi SCN4A dapat juga menyebabkan Hiperkalemik periodik
paralisis tipe 1(HyperPP1), Paramyotonia congenita (PC), Potassium
aggravated myotonias (PAM) and related disorders, malignat hyperthermia
susceptibility, Congenital myasthenic syndromes. HyperPP1 menyebabkan
kelemahan otot yang dapat melibatkan otot mata, tenggorokan dan badan;
hiperkalemia selama serangan dapat sampai > 5 mmol/L atau peningkatan kadar
kalium serum 1,5 mmol/L. Pada keadaan ini pemberian suplemen kalium dapat
menyebabkan perburukan keadaan penderita. Kelainan-kelainan di atas sering
sebagai kelainan familial. 4,11
Pada penderita ini sayangnya pemeriksaan EMG, biopsi otot dan analisa
genetik tidak bisa dilaksanakan, sehingga kami tidak dapat mendiagnosa
secara pasti, hanya perkiraan diagnosa, juga tidak dapat melakukan diagnosa
banding. Kita sebagai dokter dapat mencurigai adannya hipokalemik periodik
paralisis jika terdapat gejala kelemahan otot, kadar kaliumnya rendah
sewaktu serangan, dan tidak dijumpai kelainan lain yang dapat menyebabkan
hipokalemi, sering juga disertai adanya riwayat keluarga. Pada penderita
ini tidak didapatkan riwayat keluarga, dan tidak ditemukan penyakit lain
yang dapat menyebabkan hipokalemia. Selama serangan refleks otot dapat
menurun atau normal, otot menjadi lemah dan sulit berdiri. Penderita ini
juga mengalami kelemahan otot waktu serangan dan sebagai pencetusnya adalah
MSG. Pemeriksaan laboratorium seperti darah dan urine rutin, faal hati,
ginjal, tiroid, gula darah dan ANA test normal.
Dokter dapat melakukan tes dengan memberikan suntikan insulin disertai
pemberian glukosa sehingga merupakan pencetus untuk terjadinya penurunan
kadar kalium darah dan dapat menimbulkan serangan 5. Sayangnya pada
penderita juga tidak dapat dilakukan tes ini, karena penderita menolak di
rawat di rumah sakit dan hanya mau berobat jalan. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena biasanya keluhannya akan hilang dengan sendirinya dalam
5–6 jam meskipun tanpa pengobatan. Jika serangan melibatkan otot pernafasan
dan otot untuk menelan, terjadinya aritmia jantung maka dapat menimbulkan
keadaan berbahaya (gawat darurat) yang dapat juga berakibat fatal. Tujuan
pengobatan adalah mengobati simptom dan mencegah terjadinya serangan ulang.
Pencegahan sebaiknya disesuaikan dengan faktor pencetusnya, pemberian
kalium selama serangan dapat menghentikan gejala. Pengobatan yang
dianjurkan adalah pemberian kalium per oral, jika keadaan berat mungkin
dibutuhkan pemberian kalium intra vena. 5,6
Penderita mendapat pengobatan pencegahan dengan menghindari makanan yang
mengadung MSG, dan pemberian preparat kalium peroral. Setelah diberikan
kalium per oral, dan penderita/anak tersebut mengkonsumsi makanan yang
mengandung MSG diluar sepengetahuan orang tuanya, maka serangan yang
terjadi lebih ringan jika dibandingkan serangan sebelum mendapat kalium per
oral. Waktu terjadi serangan setelah pengobatan kalium per oral, penderita
masih dapat berdiri dan berjalan meskipun agak sempoyongan (kurang stabil)
dan kakinya merasa berat. Sedangkan sebelum mendapat pengobatan kalium per
oral, jika terjadi serangan penderita tidak dapat beraktifitas sama sekali.
Dikatakan bahwa acetazolamide dapat mencegah serangan pada beberapa kasus,
kemungkinan karena dapat menurunkan aliran kalium dari sirkulasi darah
masuk ke dalam sel. Pemberian acetazolamide juga membutuhkan pemberian
suplemen kalium, karena acetazolamide dapat menyebabkan pembuangan kalium
lewat ginjal lmenjadi lebih besar, sehingga perlu perhatian khusus pada
penderita dengan kelainan ginjal. Triamterene atau spironolactone dapat
membantu mencegah terjadinya serangan pada penderita yang tidak memberikan
respon dengan pemberian acetazolamide. Hipokalemik periodik paralisis
biasanya berespon baik terhadap pengobatan, pengobatan dapat mencegah
bahkan sebaliknya dapat juga menyebabkan kelemahan otot yang progressif.
5,6
Pada penderita ini tidak sampai mendapat pengobatan acetazolamide,
triamterene atau spironolactone, karena dengan pemberian kalium per oral
dan menghindari konsumsi makanan yang mengandung MSG sudah dapat mengatasi
keadaan hipokalemik periodik paralisisnya. Komplikasi dari hipokalemik
periodik paralisis adalah batu ginjal (akibat pemberian acetazoleamide),
aritmia jantung waktu serangan, kesukaran bernafas, berbicara atau menelan
(jarang), kelemahan otot progressif. 5,6 Pada penderita ini tidak/belum
terjadi komplikasi seperti di atas.
RINGKASAN
Telah dilaporkan kasus seorang anak laki-laki usia 7 tahun dengan dugaan
diagnosa hipokalemik periodik paralisis. Di mana sebagai faktor pencetusnya
adalah makan makanan yang mengandung MSG, riwayat keluarga, analisa
genitik, biopsi otot dan EMG (Electromyography) tidak dapat dilakukan
karena keterbatasan-keterbatasan tertentu. Pengobatan kalium per oral dan
menghindari konsumsi makanan mengandung MSG sudah dapat mencegah/
mengurangi terjadinya serangan hipokalemik periodik paralisis. Tanpa
pengobatan serangan akan hilang sendiri dalam waktu 5–6 jam.
Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory22-, Vol.
12, No. 1, Nov 2005: 19
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Scott, M.G., Heusel, J.W., Leig, V.A., Anderson, O.S., 2001,
Electrolytes and Blood Gases. In Burtis CA, Ashwood ER. 5th eds. Tietz
Fundamentals of Clinical Chemistry. Philadelphia: WB Saunders, 494–517.
2. Kleinman, L.I., Lorenz, J.M., 1996, Physiology and Pathophysiology of
body water Electrolytes. In In Kaplan LA, Pesce AJ, 3 th eds. Clinical
Chemistry Theory, analysis, and correlation. St Louis: Mosby, 439–63
3. Mujais, S.K., Katz, A.I., Kalium Deficiency. In: Seldin DW, Giebsich G,
3 th eds. The KIDNEY Physiology & Phatophysiology. Philadelphia: Lippincott
Williams & wilkins, 1615 – 1646.
4. Sternberg, D., Tabt,i N., Haingue, B., Fontaine, B., 2004, Hypokalemic
periodic Paralysis,. Gene Reviews. Funded by NIH University of Washington,
Seatle 19 May, 1–22.
5. http://adam.about.com/encyclopedia/000312.htm (update 2005)
6. http://adam.about.com/encyclopedia/000312. sym. htm (update 2005)
7. Browmn, R.H., Mendell, J.R., 2001, Muscular dystrophies and other muscle
diseases. In: Braundwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, LongobDL,
Jameson JR, 15 th Eds. Harrison's
9.-Principles of Internal Medicine. USA: McGraw-Hill, 2538
8. http://www.ncbi.nih.gov/entrez/dispomim.cqi?id=170400 [SEE ALSO Burma et
al (1978); Campa and Sanders (1974); Cobertt and Nuttall (1975); Cusins and
Van Rooyen (1963); Horton (1977); Johnsen (1981); Kantola and Tarssanen
(1992); Pearson and Kalyanaraman (1972); Talbott (1941)].
9. Saban, I., Canonica, A., 2000, Hypokalaemic periodic paralysis
associated with controlled thyrotoxicosis. Schweiz Med Wochenchhr, 130:
1689–91.
10. Touru, O., Keita, K., 1999, Hypokalaemic periodic paralysis associated
with Hypophosphatemia in Patient with Hyperinsulinemia. American journal of
Medical Sciences, 69: 318 (1) (abstract).
11. Sternberg, D., Masionobe, T., Jurkat-Rott, K., et al., 2001,
Hypokalaemic Periodic Paralysis type 2 caused by mutasions at codon 672 in
the muscle sodium channel gene SCN4A. Barain. 124: 1091–9
"Periodik Paralisis pada penderita "Aug 31, '05 12:49 AM "
"Tirotoksikosis "for everyone "
dr Octaviani
PENDAHULUAN
Thyrotoxic Periodic Paralysis (TPP) merupakan salah satu bentuk
dari periodik paralisis sekunder yang sering terjadi. Secara klinis hal
ini sulit dibedakan dengan periodik paralisis hipokalemi familial. Faktor
yang mendasari terjadinya TPP adalah hipertiroid atau kemungkinan
berhubungan dengan autosomal dominan. Kebanyakan kasus TPP terjadi secara
sporadis dan 9% penderita tirotoksikosis mengalami paralisis periodik,
dengan onset umur diatas 20 tahun (lebih dari 90% kasus). TPP banyak
terjadi pada pria daripada wanita dengan perbandingan 6:1. Lebih dari 80%
kasus dilaporkan banyak terjadi di Asia. 1,2,3,4
Berikut ini akan dibahas kasus mengenai patofisiologi,
penegakan diagnosis Thyrotoxic Periodic Paralysis dan penatalaksanaannya.
ILUSTRASI KASUS
Seorang pria, 36 tahun, datang ke IGD RSCM dengan keluhan utama
kesukaran bernafas sejak sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit.
15 jam sebelum masuk rumah sakit ketika sedang istirahat malam,
penderita merasakan kelemahan pada kedua tungkai yang terjadi bersamaan.
Kelemahan dirasakan sama berat antara kiri dan kanan dan dimulai dari
kelemahan untuk mengangkat tungkai atas. Kelemahan ini bertambah berat
sampai penderita tidak dapat berjalan sama sekali. Setengah jam kemudian,
penderita mulai merasakan kelemahan pada kedua lengannya disertai dengan
kekakuan pada leher. Tidak dijumpai kesemutan, rasa baal dan gangguan
berkemih. Sepuluh jam kemudian, penderita merasa sulit bernafas, tetapi
tetap sadar. Penderita dibawa ke rumah sakit swasta dan dirujuk ke RSCM.
Riwayat demam sebelumnya tidak ada. Satu hari sebelumnya
penderita berolahraga sepak bola dan makan nasi dengan porsi lebih dari
biasanya. Riwayat kelemahan dengan pola yang sama ini sudah dialami
penderita sebanyak 8 kali, sejak 6 bulan yang lalu. Biasanya kelemahan
berangsur membaik dan penderita merasa pulih kembali kekuatannya setelah 1
atau 2 hari dan dapat beraktivitas secara normal. Penderita berobat ke
rumah sakit swasta dan diberi obat KSR 3x1 tablet, Bio-ATP dan "Dilbloc"
1x1/2 tablet. Penderita selalu minum KSR dan ATP secara teratur setiap
hari.
Sejak 6 bulan yang lalu berat badan penderita berangsur-angsur
menurun sebanyak 20 kg, walaupun nafsu makan dirasa semakin bertambah.
Penderita sering merasa berdebar-debar, berkeringat banyak (terutama waktu
mau tidur), gemetaran dan cemas. Tidak dijumpai nyeri dada dan sesak
nafas. Penderita juga sering merasa haus dan banyak berkemih lebih dari
biasanya terutama malam hari. Penderita sering merasa gatal-gatal pada
seluruh tubuh, sehingga harus meminum "Incidal" hampir tiap 2 hari sekali.
Gatal-gatal ini tidak dipengaruhi cuaca, makanan dan tidak ada riwayat
allergi sebelumnya.
Riwayat kencing manis, darah tinggi, penyakit jantung tidak
ada. Keluarga tidak ada yang menderita penyakit seperti ini. Ibu
penderita mengidap kencing manis.
Pemeriksaan fisik umum
Kesadaran kompos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 120 x/menit,
pernafasan bradipnu 11x/menit, suhu afebris. Konjungtiva palpebra tidak
pucat, sklera tidak ikterik, tidak ada eksoftalmus. JVP 5-2 cm H2O, teraba
massa di leher bilateral, terutama sebelah kanan, bruit (-). Paru sonor,
vesikuler, tidak ditemukan ronki dan wheezing. Bunyi jantung I dan II
normal, tidak ditemukan murmur dan gallop. Abdomen lemas, nyeri tekan
tidak ada, hepar lien tidak teraba, bising usus normal. Akral dingin, edema
tidak ada, terdapat tremor pada kedua tangan.
Pemeriksaan neurologis
GCS 15
Pupil isokor diameter 3 mm, refleks cahaya langsung dan tak langsung +/+
Tanda rangsang meningeal : kaku kuduk (–)
Nn.kraniales : paresis (–)
Motorik : kesan tetraparesis, refleks fisiologis APR/KPR / ,
biceps/triceps / , refleks patologis -/-
Sensorik : belum dapat dinilai
Otonom : BAB dan BAK normal
Diberikan penatalaksanaan emergency: pemasangan IVFD NaCl 0,9% 500 cc/12
jam, pemasangan ETT dengan bagging. Dilakukan pemeriksaan darah, EKG dan
foto toraks (hasil terlampir). Dalam 1 jam pernafasan berangsur membaik
dan adekuat. Kekuatan motorik keempat ekstremitas 2. Setelah dilakukan
koreksi Kalium 50 meq/ 6 jam, keadaan pernafasan membaik dan 7 jam setelah
onset, kekuatan motorik 5. Penderita dapat bernafas spontan dan ETT
dilepas.
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
"Pemeriksaan"Nilai "16/5 "16/5 "20/5 "20/5 "
" "Normal "(12.4"(19.0" "22/5 "
" " "5) "0) " " "
" " " " " "Urinalisis "
" " " " " " "
" " " " " " "
" " " " " "BJ "
" " " " " " "
" " " " " "1,020 "
" " " " " "1,015 "
" " " " " "PH "
" " " " " " "
" " " " " "7 "
" " " " " "5 "
" " " " " "Protein "
" " " " " " "
" " " " " "+1 +1"
" " " " " "Glukosa "
" " " " " " "
" " " " " "+3 - "
" " " " " "Keton "
" " " " " " "
" " " " " "- "
" " " " " "- "
" " " " " "Darah "
" " " " " " "
" " " " " "+2 +1"
" " " " " "Bilirubin "
" " " " " " "
" " " " " "- "
" " " " " "- "
" " " " " "Urobilinogen "
" " " " " " "
" " " " " "0,1 "
" " " " " "0,1 "
" " " " " "Nitrit "
" " " " " " "
" " " " " "- "
" " " " " "- "
" " " " " "Esterase "
" " " " " "leuk. "
" " " " " "Trace - "
" " " " " "Epitel "
" " " " " " "
" " " " " "+ "
" " " " " "+ "
" " " " " "Leukosit "
" " " " " " "
" " " " " "5-6/lpb "
" " " " " "3-5/lpb "
" " " " " "Eritrosit "
" " " " " " "
" " " " " "banyak "
" " " " " "1-2/lpb "
" " " " " "Silinder "
" " " " " " "
" " " " " "- "
" " " " " "- "
" " " " " "Kristal "
" " " " " "amorf "
" " " " " "- "
" " " " " "- "
" " " " " "Bakteri "
" " " " " " "
" " " " " "- "
" " " " " "- "
" " " " " " "
" " " " " "22/5 "
"Hemoglobin "13-16 g/dl "14,8 " "13,8 " "
"Hematokrit "40-48 vol% "42 " "41 " "
" " " " " " "
"Eritrosit "4,5-5,5 jt "5,3 " "5,0 " "
" "ul " " " " "
"Leukosit "5000-10000 "18900" "11000" "
" "ul " " " " "
"LED "<10 mm/jam " " "30 " "
" " " " " " "
"Hitung "Bas 0-1 " " "0 " "
"jenis " " " " " "
" "Eos 1-3 " " "0 " "
" "Btg 2-6 " " "0 " "
" "Segm 50-70 " " "77 " "
" "Limfo " " "20 " "
" "20-40 " " " " "
" "Mono 2-8 " " "3 " "
"Trombosit "200000-5000"27200" "16500" "
" "00/ul "0 " "0 " "
"Ureum "20-40 mg/dl"37 " " "35 "
"Creatinin "0,5-1,5 "0,7 " " "0,8 "
" "mg/dl " " " " "
"Creatinin "117 + 20 " " "6 "243 "
"clear. "ml/mnt " " " " "
"Natrium "135-147 "151 "144 "141 " "
"darah "meq/l " " " " "
"Kalium "3,5 - 5,5 "1,9 "3,9 "3,3 " "
"darah "meq/l " " " " "
" " " " " " "
" " " " " "T3 "
" " " " " "(86-187ng/dl) "
" " " " " " "
" " " " " "152 "
" " " " " "T4 (5-13 "
" " " " " "ug/dl) "
" " " " " " "
" " " " " "20,5 "
" " " " " "FT4 (0,8-2 "
" " " " " "ng/dl) "
" " " " " " 6 "
" " " " " "TSH (0,3-5 "
" " " " " "uIU/ml) "
" " " " " " 0,12"
" " " " " " "
"Chlorida "100-106 "109 " " " "
"darah "meq/l " " " " "
"Calcium "1-1,2 mg/dl" "0,5 " " "
"darah " " " " " "
"Natrium "30-220 " " "86 " "
"urine "meq/l " " " " "
"Kalium "25-100 " " "21 " "
"urine "meq/l " " " " "
"Chlorida "120-250 " " "92 " "
"urine "meq/l " " " " "
"Gula drh "60-100 "180 " " " "
"sewkt. "mg/dl " " " " "
"GDN " " " "118 " "
"GDPP " " " "213 " "
"pH "7,35 - 7,45"7,11 "7,41 "7,396" "
"pCO2 "35 – 45 "75,2 "32 "29,9 " "
"pO2 "85 – 95 "149,2"177 "126,9" "
"BE "-2,5 s/d + "-4,1 "-3,4 "-5,2 " "
" "2,5 " " " " "
"HCO3 "21 – 25 "23,9 "20,3 "18,1 " "
"Sat O2 " " " " " "
Foto toraks : CTR 60%, infiltrat –
EKG : ritme sinus takikardi, QRS rate 120x/menit, axis
normal, ST changes -, LVH +,
RVH -, gelombang U –
Thyroid scan : tampak pembesaran / penebalan lobus kanan dan kiri
tiroid dengan tangkapan
aktivitas yang tinggi dan merata. Thyroid uptake : 16,7%
(N=1-5%).
Kesan : Struma diffusa bilateral thyroid.
Konsul kardiologi : sinus takikardi dengan hipertrofi ventrikel kiri
Konsul ginjal hipertensi : tidak ditemukan tanda-tanda renal tubular
acidosis
Konsul endokrin : tirotoksikosis + hiperglikemi
Diagnosis
Diagnosis klinis : Tetraparesis LMN
Tirotoksikosis
Diagnosis topik : Otot
Diagnosis etiologi : Hipokalemi
Penatalaksaanaan
- IVFD KAEN 3B 500 cc/12 jam
- KSR 3x1 tablet
- Acetazolamide 3x250 mg
- Propanolol 2x10 mg
- PTU 3x100 mg
- Diet DM 2100 kal
- Diet tinggi kalium
- Diet rendah garam
- Komunikasi, informasi dan edukasi penderita dan keluarga
Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
Quo ad sanasionam : bonam
Diskusi Kasus
REGULASI AKSIS TIROID
"Thyrotropin releasing hormone (TRH) yang dihasilkan oleh "
"hipotalamus menstimulasi pituitari untuk melepaskan Thyrotropin "
"stimulating hormone (TSH), yang selanjutnya merangsang sintesis dan"
"sekresi hormon tiroid di kelenjar tiroid. Hormon tiroid ini "
"berupakan negative feed back untuk menginhibisi produksi TRH dan "
"TSH. TSH merupakan tanda sensitif dan spesifik untuk mengukur "
"fungsi tiroid. Rendahnya kadar hormon tiroid meningkatkan produksi "
"TSH dan TRH, dan sebaliknya kadar hormon tiroid yang tinggi "
"mensupresi TSH dan TRH. Hal ini menunjukkan bahwa hormon tiroid "
"merupakan regulator utama produksi TSH. "
"T4 dan T3 yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid bersirkulasi dalam "
"darah terikat dengan plasma protein (TBG – thyroxine binding "
"globulin, TTR - transthyretin, dan albumin). Jumlah T3 bebas lebih "
"banyak dari T4 bebas karena T3 tidak terikat kuat. Hanya hormon "
"bebas inilah yang terdapat dalam jaringan. Oleh karena itu, "
"mekanisme homeostatik yang meregulasi aksis tiroid dapat dicapai "
"dengan menjaga konsentrasi normal dari hormon bebas. 5 "
" "
TIROTOKSIKOSIS
Manifestasi klinis dari tirotoksikosis berupa hiperaktivitas,
iritabilitas, disforia, berkeringat, palpitasi, mudah lelah, penurunan
berat badan dengan peningkatan nafsu makan, diare, poliuri, oligomenore,
penurunan libido.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan penurunan TSH dan peningkatan
hormon tiroid bebas. Diagnosis tirotoksikosis dapat disingkirkan bila
kadar TSH normal. Untuk mendiagnosis adanya tirotoksikosis cukup dengan
mengukur kadar T4 bebas. Hanya 2-5% penderita didapati peningkatan kadar
T3. Bila didapati penurunan TSH tetapi kadar T4 bebas normal, maka kadar
T3 bebas harus diperiksa. 5
Pada penderita ini didapatkan gambaran klinis berupa penurunan berat
badan sebanyak 20 kg seiring dengan peningkatan nafsu makan. Penderita juga
sering merasa berdebar-debar, berkeringat banyak, gemetaran dan cemas,
sering haus dan banyak berkemih, serta gatal-gatal pada seluruh tubuh.
Pemeriksaan hormon tiroid menunjukkan adanya peningkatan kadar T4 dan T4
bebas, disertai penurunan kadar TSH. Hasil thyroid scan menunjukkan adanya
pembesaran tiroid bilateral dengan thyroid uptake yang tinggi. Gejala
klinis dan pemeriksaan penunjang pada penderita ini menunjukkan gambaran
adanya tirotoksikosis.
Perlu dilakukan tes lebih lanjut terhadap adanya gejala
poliuri, polidipsi, dan polifagi pada penderita ini apakah disebabkan
manifestasi klinis dari tirotoksikosis atau memang ada penyakit yang
mendasari seperti diabetes melitus, mengingat adanya faktor keturunan dari
ibunya yang juga penderita DM ?
Bagaimana Tirotoksikosis menimbulkan paralisis periodik ?
Periodik Paralisis hipokalemi familial menunjukkan adanya
mutasi kromosom 1q31-32 yang merupakan area genetik dihydropteridine-
binding, calcium channel otot skeletal. Kelainan ini diidentifikasi
sebagai channelopathies. Sebaliknya, apakah kelainan gen ini juga
terdapat pada TPP dan bagaimana mekanisme yang terjadi belum diketahui
secara pasti. 6,7,8
Namun dapat diterangkan bahwa hormon tiroid meningkatkan metabolisme
basal, konsumsi oksigen, piruvat dan malate mitokondria, juga meningkatkan
degradasi protein dan oksidasi lipid serta sensitivitas β-adrenergic.
Penderita tirotoksikosis resisten terhadap insulin, sehingga menyebabkan
hiperglikemi dan intolerans glukosa. Adanya kombinasi antara peningkatan
metabolisme dan resistensi insulin ini menyebakan berkurangnya glikogen
otot seiring dengan penurunan adenosine triphosphate (ATP) dan creatine
phosphate dalam otot. Hal ini menyebabkan kelelahan dan kelemahan otot.
4,5
Hipertiroidisme meningkatkan sensitivitas β-adrenergic. Efek
ini menstimulasi pompa Na-K, sehingga terjadi depolarisasi membran
menghasilkan inaktivasi sodium channel yang menyebabkan penurunan
eksitabilitas membran, sehingga terjadi effluks pasif potassium dari
ekstrasellular ke dalam otot skeletal yang mengakibatkan penurunan aksi
potensial otot. Penurunan aksi potensial ini menyebabkan kegagalan
mekanisme eksitasi-konstraksi otot. Hal inilah yang menimbulkan paralisis
otot. 1,2,4
Gambaran klinis dan Evaluasi diagnostik
Gejala klinis Thyrotoxic Periodic Paralysis (TPP) menyerupai
periodik paralisis hipokalemi familial (PPHF). Serangan kelemahan pada
penderita dicetuskan oleh intake karbohidrat berlebihan, istirahat setelah
aktivitas berat, alkohol, cuaca dingin, infeksi, tindakan bedah dan trauma.
Serangan ini juga dapat diprovokasi oleh insulin, epinefrin dan
kortikosteroid. Penderita TPP biasanya mengalami serangan kelemahan
berulang, dimulai dari otot-otot proksimal pada tungkai yang kemudian dapat
menyebar ke seluruh tubuh, bahkan dapat melibatkan otot-otot bulbar dan
pernafasan. Serangan ini biasa dimulai pada malam hari dan diketahui pada
pagi hari saat bangun tidur. Kelemahan ini dapat berangsur-angsur membaik
dalam beberapa jam tetapi kekuatan akan pulih secara penuh dalam beberapa
hari. Otot –otot yang terkena terakhir biasanya pulih duluan. Pemulihan
kelemahan otot dapat disertai dengan rasa pegal dan kram atau rasa tidak
nyaman pada otot. 1,2,7,9
Pada pemeriksaan refleks tendon dapat menurun atau normal.
Gambaran EMG menunjukkan penurunan amplitudo dan durasi dari motor unit
potensial selama periode paralisis. Biopsi otot menunjukkan adanya vakuola
yang mengandung glikogen, terutama saat serangan. 2,7,9
Pada penderita ini didapatkan kelemahan pada ekstremitas
proksimal dimulai dari tungkai yang terjadi secara berulang dan disertai
gangguan otot pernafasan. Kelainan ini tidak disertai dengan gangguan
sensorik dan didapatkan refleks menurun. Ini menunjukkan adanya
tetraparesis LMN. Kelemahan ini berangsur membaik dalam waktu 7 jam dan
setelah mendapat terapi koreksi. Hal ini menerangkan adanya suatu paralisis
periodik yang disebabkan oleh hipokalemi. Penyebabnya berasal dari
tirotoksikosis dan penyebab dari ginjal dapat disingkirkan dari pemeriksaan
elektrolit urine dan pH yang normal. Pemeriksaan EMG tidak dilakukan
karena bila diperiksa saat di luar serangan, EMG tidak banyak memberikan
informasi dan biasanya normal.
PENATALAKSANAAN
Prinsip terapi pada TPP adalah membuat penderita berada dalam kondisi
euthyroid.
Penanganan hipertiroidisme dengan mengurangi sintesis hormon tiroid
menggunakan obat antitiroid, radioiodine atau subtotal tiroidektomi.
Antitiroid yang digunakan adalah golongan tionamid seperti
propylthiouracil, carbimazole, methimazole. Obat ini menginhibisi fungsi
TPO (tiroid peroksidase), mengurangi oksidasi dan organifikasi iodide.
Propylthiouracil menginhibisi deiodinasi T4 T3 dengan waktu paruh 90
menit. Dosis yang diberikan 100-200 mg setiap 6-8 jam. Dosis ini kemudian
diturunkan bertahap dengan dosis maintenance 50-100 mg.
Popanolol mencegah serangan dengan memblok β-adrenergic
hypersensitivity yang menyebabkan ineksitabilitasi membran. Dosis yang
diberikan 20-40 mg setiap 6 jam.
Pada penderita ini diberi PTU 3x100 mg dan propanolol 2x10 mg.
Keefektifan pengobatan dan efek samping obat pada penderita dipantau lebih
lanjut.
Terapi terbaik untuk serangan TPP akut adalah potassium. Dapat
diberikan secara oral atau intravena dengan monitor ketat. Disarankan
untuk memberikan secara oral, kecuali bila terdapat hipokalemia berat,
gangguan jantung dan pernafasan pada penderita. Dosis oral 5-10 gram
perhari, atau 130 mEq perhari dengan pemantauan kadar potassium dan EKG.
Untuk pemberian secara intravena, konsentrasi maksimum Kalium tidak lebih
dari 40 mmol/l bila diberikan melalui vena perifer atau kurang dari 60
mmol/l bila melalui vena sentral. Kecepatan infus tidak melebihi 20 mmol/
jam. Sediaan KCl tidak boleh diberikan langsung, harus dilarutkan dalam
cairan infus, yang dipakai adalah normal saline, karena larutan dektrose
dapat menyebabkan penurunan sementara K+ serum sebesar 0,2-1,4 mmol/l
karena stimulasi pelepasan insulin oleh glukosa. Penggantian 40-60 mmol K+
menghasilkan kenaikan 1-1,5 mmol/l dalam K+ serum, tetapi ini sifatnya
sementara karena K+ akan berpindah kembali ke dalam sel. Pemantauan teratur
dari K+ serum diperlukan untuk memastikan bahwa defisit terkoreksi.
Konsentrasi K+ >60 mmol/l sebaiknya dihindari melalui vena perifer, karena
cenderung menyebabkan nyeri dan sklerosis vena. 2,10,11,12
Terapi profilaksis dapat diberikan acetazolamide 125-1000 mg
perhari. Pada awalnya obat ini diberikan untuk periodik paralisis tipe
hiperkalemi, kemudian diketahui ternyata acetazolamide sama efektifnya
dalam mengurangi frekuensi serangan bila diberikan pada paralisis
hipokalemi, tetapi keefektifan pemakaiannya untuk TPP masih belum jelas.
Dapat juga diberikan spironolactone 125-100 mg perhari.
Pada penderita diberikan KCl 50 meq dalam NaCl 0,9% selama 6
jam. Kalium diberikan secara intravena dengan mempertimbangkan adanya
gangguan pernafasan dan hipokalemia berat, walaupun tidak dijumpai kelainan
spesifik pada EKG. Selanjutnya diberikan KSR 3x1 tablet dan acetazolamid
3x250 mg.
Restriksi sodium hingga kurang dari 60 mEq perhari dan hindari intake
karbohidrat berlebihan, diet tinggi kalium.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anagnos A, Ruff RL, Kaminski HJ. Endocrine Neuromyopathies.
Neurologic Clinics 1997; 15:3: 681-683
2. Rowland LP, Layzer RB. Muscular Dystrophies, Atrophies and
Related Disease. Clinical Neurology 1987; 4: 36-40
3. Riggs JE. The Periodic Paralyses. Neurologic Clinics 1988; 6:3:
485-493
4. Ruff RL, Weissman J. Endocrine Myopathies. Neurologic Clinics
1988; 6:3: 578-581
5. Jameson JL, Weetman AP. Disorders of the thyroid gland. In:
Harrison's Principles of Internal Medicine 15th ed. New York, McGraw-
Hill, 2001: 2060-2074
6. Brown RH. Periodic Paralysis. Neurobase 1993-1998, Arbor
Publishing Corp.
7. Muscle diseases. In: Gilroy J. Basic Neurology 3rd ed. New York,
McGraw-Hill, 2000: 638-640
8. Abrams GM. Endocrinopathies and the nervous system.
Am.Acad.Neurol. 2002: 8AC.009-53-55
9. Diseases of spinal cord, peripheral nerves and muscle. In: Adams
RD, Victor M, Ropper AH (eds). Principles of neurology 5th ed. New
York, McGraw-Hill, 1993: 1263-1267
10. Thornton C. Myotonic Disorders and Channelopathies. Am.Acad.Neurol.
1997: 423-48-53
11. Singer GG, Brenner BM. Fluid and electrolyte disturbances. In:
Harrison's Principles of Internal Medicine 15th ed. New York, McGraw-
Hill, 2001: 271-281
12. Graver MA. Terapi cairan, elektrolit, dan metabolik. Jakarta,
Farmedia, 2002:33-38
Periodik paralisis merupakan kelainan pada otot rangka. Kelainan ini
mempunyai karakteristik serangan kelemahan otot yang berulang ; di antara
serangan, otot biasanya dapat bekerja dengan normal.
Dua penyebab tersering adalah :
Hipokalemi:
1. Primer : Genetik / Familial
2. Sekunder : Tirotoksikosis, insulin increase, GE, drugs (amfoterisin B,
loop diuretik, dll), alcohol, eksresi urin berlebihan, renal tubular
asidosis
Hiperkalemi :
1. Primer : Genetik / Familial
2. Sekunder : High intake, Addison disease , Gagal ginjal kronik ,
hypoaldosteronism
Manifestasi Klinis Periodik Paralisis Akibat Tirotoksikosis
Gambaran klinis thyrotoxic periodic paralysis (TPP) sama dengan
familial hypokalemic periodic paralysis (FHPP) yang berkaitan dengan adanya
mutasi gen dari kanal-kanal ion. Sampai sekarang di yakini bahwa penyebab
dari TIPP berhubungan dengan peran protein transporter Natrium Iodide
Symporter (NIS). Pada jaringan hipertiroid dimana aktivasi NIS meningkat
sehingga mengakibatkan overaktivasi NaK-ATPase menyebabkan blok
depolarisasi membran sel otot sehingga meningkatkan permeabilitas membran
terhadap Na, tetapi tidak terhadap K. Hiperinsulinemia, tingginya intake
karbohidrat, dan exercise dapat menginduksi terjadinya TIPP pada pasien
hipertiroid.
Treatment and management
Pasien TIPP tentunya harus mendapatkan intake K per oral, selain juga
dapat diterapi dengan Beta blocker karena aktivasi NaK-ATPase juga
dimediasi oleh katekolamin. Diet rendah karbohidrat dan garam, serta bed
rest dan menghindari aktivitas berlebihan.
Jakarta, 28 Jul 2009
Paralisis Periodik Hipokalemik
Nama Lain
Paralisis periodik - hipokalemik
Familial paralisis periodik hipokalemik
Definisi
Paralisis periodik hipokalemik merupakan penyakit yang ditandai dengan
gangguan kelemahan otot sesaat yang diturunkan. Termasuk golongan penyakit
genetik lainnya, seperti: paralisis periodik hipokalemik dan paralisis
periodik tirotoksik.
Kausa
Paralisis periodik ditandai gangguan kelemahan otot berulang dan bisa
disertai paralisa berat. Termasuk penyakit kongenital dan didapat dari
sejak lahir. Melalui suatu proses gangguan dibagian otosomal dominan yang
diturunkan. Artinya penyakit didapat hanya dari gen orangtua yang menderita
diturunkan keanaknya. Sangat jarang terjadi kasus paralisis periodik karena
kerusakan genetik yang bukan herediter, misal: paralisa fungsi tiroid
pasien masih normal dan kadar kalium serum sangat rendah. Risiko tinggi
bila ada riwayat dalam keluarga lain yang pernah menderita gangguan
paralisis periodik sejenis sebelumnya. Dan risiko tinggi juga terjadi pada
orang Asia dengan gangguan tiroid, walaupun gejalanya ringan. Jarang
ditemukan pada periode gejala awal. Dan ditemukan pasien paralisis periodik
bisa terjadi pada 1 orang dari 10.000 populasi.
Gejala Klinis
Gejala umum berupa kelemahan atau berkurangnya kekuatan otot yang hilang
timbul, dimana diantara serangan terdapat kekuatan otot yang normal.
Penderita biasanya usia lanjut, walaupun demikian pernah dilaporkan pasien
dengan usia dibawah 10 tahun. Serangan pada pasien usia muda biasanya
disebabkan penyakit lain. Frekuensi serangan sangat bervariasi. Beberapa
pasien mengalami serangan hampir tiap hari dan pada pasien lain bisa
terjadi hanya setahun sekali. Dan lamanya serangan biasanya hanya beberapa
jam atau paling lama sehari.
Paralisa (kelemahan otot):
Lokasi disekitar dibahu dan pangkal paha
Menjalar ke lengan atas dan ekstremitas bawah, atau ke otot mata dan
otot yang membantu pernafasan dan otot menelan
Sifatnya berulang/intermiten
Saat serangan pasien sadar
Sering serangan terjadi saat pasien istirahat atau bangun tidur
Jarang terjadi pada pasien yang sedang olahraga, namun serangan bisa
datang justru saat pasien istirahat sehabis berolahraga
Faktor pencetus lain dengan diet tinggi karbohidrat, tinggi garam atau
konsumsi alkohol.
Lama serangan biasanya tidak lebih dari 24 jam.
Gejala lain yang nampak adalah:
Reflek Babinski positif
Terjadinya spasme alis mata diantara serangan
Catatan: Saat serangan kemampuan berpikir pasien masih baik.
Pemeriksaan dan test lab
Pemeriksaan dan tes saat periode diantara serangan tidak ada kelainan.
Sebelum serangan pasien hanya merasa kaku atau berat di kaki. Kalium serum
akan rendah bila dilakukan cek darah selama serangan. Ini bisa dipakai
untuk konfirmasi menegakkan diagnosa. Total kalium tubuh dan serum kalium
akan normal bila dicek diantara serangan. Dan saat serangan refleks otot
menurun sampai tidak ada (nol) dan kelemahan otot lebih dominan dibanding
rasa kekakuannya. Otot daerah bahu dan pangkal paha lebih sering terkena
dibanding otot tangan dan kaki.
Hasil EKG atau pemeriksaan jantung dalam batas normal saat serangan
Hasil EMG atau pemeriksaan otot juga normal saat diperiksa diantara
serangan dan abnormal saat serangan.
Hasil biopsi otot akan menunjukkan kelainan abnormal
Terapi
Emergensi/keadaan darurat bila kelemahan otot terjadi pada otot pernafasan
dan otot menelan. Akan lebih berbahaya lagi bila disertai aritmia jantung.
Tujuan terapi adalah mengatasi gejala yang terjadi dan mencegah serangan
ulang. Pemberian kalium saat serangan bisa mengatasi gejala yang terjadi.
Fase awal diberi kalium secara oral, dan bila berat diperlukan kalium
intravena. (Catatan: pemberian Kalium intravena hati-hati, terutama pada
pasien gangguan ginjal). Terapi kalium tidak bisa sebagai prevensi. Hindari
minum beralkohol dan diet tinggi karbohidrat bisa membantu mencegah
serangan.
Obat golongan "Acetazolamide" pada banyak kasus terbukti sebagai prevensi.
Biasanya dokter memberikan bersamaan dengan kalium suplemen, karena
asetasolamid bisa menyebabkan serum kalium turun. Golongan "Triamterene"
atau "Spironolactone" bisa dipakai untuk prevensi pada pasien yang tidak
sensitif dengan acetazolamide.
Prognosis
Paralisis periodik hipokalemik berespon baik dengan obat. Terapi yang baik
bisa mencegah serangan dan mengembalikan progresifitas otot yang lemah.
Meskipun kekuatan otot berada dalam batas normal diantara serangan.
Serangan ulang bisa memperburuk gejala sisa secara permanen dan menyebabkan
kelemahan otot diantara serangan tsb. Beberapa pasien, perubahan kadar
insulin akan menjadi gejala pencetus, karena naiknya kadar insulin
mendorong kalium masuk ke sel.
Kemungkinan Komplikasi:
Batu ginjal(efek samping acetazolamide)
Aritmia jantung saat serangan
Susah nafas, bicara atau menelan saat serangan
Lemah otot progresif
Kapan menghubungi dokter
Segera hubungi dokter atau rumah sakit terdekat bila anda mengalami
kelemahan otot berulang, apalagi bila ada riwayat keluarga yang pernah
sakit paralisis periodik .
Pencegahan
Penyakit paralisis periodik hipokalemik tidak bisa dihindari. Karena
merupakan penyakit herediter dan konsultasi pranikah diperlukan bila ada
salah satu mengidapnya. Pengobatan ditujukan mengatasi serangan yang
terjadi dan mengembalikan kelemahan ototnya. Sebelum serangan didahului
oleh rasa kaku atau berat dikaki. Olahraga ringan bila serangan ringan ini
terjadi akan membantu mencegah serangan sesungguhnya.
Referensi :
Artikel ini diupdate, tanggal: 7/11/2008, oleh:
Parul Patel, MD, Private Practice specializing in Nephrology and
Kidney and Pancreas Transplantation, Affiliated with California
Pacific Medical Center, Department of Transplantation, San Francisco,
CA.
Dilakukan review, oleh:
VeriMed Healthcare Network dan David Zieve, MD, MHA, Medical Director,
A.D.A.M., Inc.
http://www.otsuka.co.id/?content=article_detail&id=134&lang=id