Robet dan Rozak, Proses Sosial sebagai Medium Pembelajaran
Jurnal Sosialita, Vol. 9 No. 1 Juni 2011: 77-88 FIS UNJ ISSN: 1411-7134
PROSES SOSIAL SEBAGAI MEDIUM PEMBELAJARAN: Konseptualisasi Habitus untuk Sosiologi-Pedagogis Robertus Robet dan U. Abdul Rozak R
Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta, Jl. Rawamangun Muka, Jakarta, 13220, Indonesia Email:
[email protected] [email protected]
Abstrak Tuli Tulisa san n berik berikut ut berm bermak aksu sud d menjaw enjawab ab pert pertan anya yaan an:: sejau sejauh h mana sosi sosiolo ologi gi bisa bisa seka sekali ligu guss teori teori pedagogi? Untuk menjawab itu, tulisan ini diawali dengan kritik terhadap pandangan pembangunan yang yang menga menganut nut determ determina inasi si ekonom ekonomis is dan politis politis.. Paham Paham itu harus harus digese digeserr menjad menjadii determ determinas inasii antropologis. Untuk mencapai tujuan itu, tulisan ini mengambil bantuan dari pandangan sosiologis Pierre Bourdieu. Pierre Bourdieu menekankan bahwa pemikiran mengenai struktur sekaligus adalah pembicaraan mengenai kompleksitas praktik, sejarah dan relasi atau habitus. Di dalam Bourdieu teori mengenai masyarakat adalah dapat sekaligus dimengerti sebagai teori mengenai tindakan manusia. Dengan Dengan demikian demikian melalui melalui Bourdieu Bourdieu kita dapat menemuk menemukan an bahwa teori sosiologi sosiologi sekaligus adalah pedagogi. Kata kunci: dualisme, sosiologi, paedagogi, habitus, praktik.
Abstrack
To what what exten extend d is a sociol sociologi ogica call theory theory is learn learning ing theory? theory? This This essay essay is begun begun with a critic critical al assessment on economic and political determinism in development. In order to achieve a unified body of sociology and pedagogy, economic and political determinism should be replaced by anthropological determinism. To do that, this essay takes Pierre Bourdieu’s sociological theory especially his concept on habitus and practice practices. s. In Bourdieu’ Bourdieu’ss position, position, a theory theory on structure structure should also a theory theory on human practices in historical complexity and specifity. Through Bourdieu conceptual framework there is a possibility to construct sociology as pedagogy.
Keywords: dualisme, sosiologi, paedagogi, habitus, praktik.
Pendahuluan
Transformasi manusia dan masyarakat Indonesia adalah obsesi yang telah muncul semenjak kemerdekaan Indonesia hingga sekarang. Untuk mencapai tujuan itu, sejarah masyarakat Indonesia memperlihatkan bahwa banyak pemerintahan mempertahankan konsep dan kebijakan yang meskipun beragam di tingkat akstentuasi namun secara paradigmatis sama. Konsep itu adalah dualisme antara pendidikan dan proses sosial. Semua kebijakan memandang transformasi masyarakat bisa dijalankan secara terpisah dengan transformasi manusianya. Jurn Jurnal al Sos Sosiali ialita ta Vol. ol. 9 No. No. 1 Jun Juni 2011 2011,, Fak Fakulta ultass Ilm Ilmu Sosia osiall Univ Univer erssitas itas Nege Negeri ri Jaka Jakart rtaa
77
Keterpisahan itu terefleksi ke dalam praktik yang memisahkan tujuan transformasi itu ke dalam bidang yang berbeda-beda: transformasi manusia diarahkan pada institusi dan formalisasi pendidikan, sementara transformasi masyarakat dipusatkan pada kalau bukan politik-ideologi (era Soekarno), pada pembangunan ekonomi (era Soeharto). Pemisahan atau dualisme ini nampak dari pandangan yang telah menjadi konsensus dari semua pihak yakni bahwa –misalnya– pembangunan ekonomi atau kemajuan ekonomi perlu diupayakan sehingga dengan itu bisa membiayai pendidikan atau meningkatkan taraf pendidikan. Pemisahan yang sama juga bisa ditemukan dalam gagasan mengenai politik yang mengambil posisi –misalnya– demokrasi hanya bisa matang dan produktif dalam masyarakat yang lebih terdidik. Pemisahan Pemisahan ini menimbul menimbulkan kan beberapa beberapa kesalahan kesalahan besar: besar: kesalahan kesalahan pertama adalah dengan dengan mengatakan bahwa transformasi masyarakat terpisah dengan pendidikan atau transformasi manusia, maka pemikiran ini menerima pandangan yang keliru bahwa seakan-akan proses ekonomi dan politik tid tidak memil emilik ikii akib akibat at--akib akibat at lang langsu sun ng maupu aupun n tak tak lang langsu sung ng terh terhad adap ap pem pembentu entuk kan manusia/transformasi manusia. Atau yang kedua, dengan pemisahan itu, pendidikan atau transformasi manusia manusia bisa dipikirkan sebagai sebagai resultan resultan setelah sosial atau politik tertentu terlaksana. terlaksana. Akibatnya Akibatnya – yang ketiga – pandangan ini menghasilkan suatu ide mekanis mengenai pendidikan manusia. Ia gagal melihat bahwa manusia bertindak dan berubah ‘di dalam proses’. Manusia adalah proses kehidupan, dan proses proses itu berlang berlangsun sung g selama selama manus manusia ia hidup. hidup. Dengan Dengan demiki demikian an selam selamaa prosesproses-pro proses ses sosia sosiall berlangsung selama itu pula akibat-akibat langsung maupun tak langsungnya akan berpengaruh/dipengaruhi oleh manusia. Dalam Dalam segi segi prak praktis tisny nya, a, kesa kesalah lahan an itu kemu kemudi dian an mu munc ncul ul dala dalam m ‘keca ‘kecang nggu gung ngan an’’ yang yang menunjukk menunjukkan an diskrepansi diskrepansi antara pandanganpandangan-pandan pandangan gan ideal dalam pendidikan dengan dengan mekanisas mekanisasii dalam pendidikan. Di satu sisi pendidikan masih tersebut dalam nuansa abstrak normatifnya (luhur, mulia, kelanjutan bangsa, regenerasi budaya) akan tetapi di sisi yang lain, secara praktis ia tidak lebih dari produk atau teknik birokratisasi. Pada tahap yang lebih luas muncul kebiasaan untuk memandang pendidikan sebagai bidang terbatas, seksional bahkan terbirokratisasi pada satu segmen saja. Yakni bahwa pendidikan itu diurus departemen a, dilaksanakan di gedung sekolah b, diajarkan guru c dengan kurikulum d. Sementara di sisi lain, bidang-bida bidang-bidang ng seperti ekonomi ekonomi dan politik juga tidak dipandang dipandang sebagai bidang yang berefek ‘mend ‘mendidik idik’. ’. Politik Politik,, ekonom ekonomii dan dun dunia ia sos sosial ial lainny lainnyaa dilepas dilepaskan kan dari dari fungsi fungsi edukat edukatifn ifnya. ya. Pada Pada akhirnya, kita hanya meletakkan tujuan transformasi manusia semata-mata pada buku pelajaran dan sekolah, dan gagal memahami bahwa justru dunia sosial serta proses sosial di dalamnya diam-diam juga membentuk dan mengarahkan kemana manusia itu pergi. Di sini, kita mengalami tiga kerugian besar; pertama dunia pendidikan menjadi sangat terbatas dan terspesialisasi secara birokratik. Kedua dunia sosial kehilangan dimensi edukatifnya, sementara edukasi dipisahkan dari kehidupan. Ketiga, dunia dun ia pendid pendidika ikan n dan pendid pendidik ik diposi diposisik sikan an ke dalam dalam bidangbidang-bid bidang ang yang yang kalau kalau buk bukan an abstra abstrakk psikologis maka teknis-instrumentalis. Pendidikan tidak dianggap sebagai bidang makro-strategis. Salah Salah satu satu isu yang yang bisa bisa dijadik dijadikan an buk bukti ti –m –mesk eskipu ipun n sediki sedikitt bernua bernuansa nsa teknok teknokrat ratis– is– dalam dalam menun menunjukk jukkan an pemisah pemisahan/ an/dua dualis lisme me ini adalah adalah berlak berlakuny unyaa pandan pandangan gan serta serta kebijak kebijakan, an, misal misalnya nya,, kebiasaan menetapkan semua ketua Bappenas dan Menkoekuin adalah orang yang mengerti ekonomi. Intiny Intinyaa semua semua jabatan jabatan-ja -jabat batan an itu biasan biasanya ya diberi diberika kan n kepada kepada ekonom ekonom atau insiny insinyur ur yang yang menjad menjadii ekonom. ekonom. Kebiasaan Kebiasaan semacam semacam ini menunjuk menunjukkan kan bahwa bahwa tujuan-tujuan tujuan-tujuan pendidika pendidikan n masih dipandang terp terpis isah ah dari dari pro proses ses ekonom onomi. i. Dan bahw bahwaa ekon ekonom omil ilah ah yang ang mendi endik kte ‘pem ‘pemba bang ngu unan nan pendidikan/transformasi manusia’. Padahal kalau diterima posisi normatif bahwa tujuan pembangunan adalah adalah ‘mence ‘mencerda rdaska skan n kehidu kehidupan pan bangsa bangsa’’ maka maka buk bukanka ankah h tujuantujuan-tuju tujuan an ekonom ekonomii yang yang mestin mestinya ya menyesuaikan dengan tujuan pendidikan? Dengan Dengan mempertim mempertimbangk bangkan an persoalan persoalan di atas maka maka penelitian penelitian ini bermaksud bermaksud memberikan memberikan jalan keluar untuk mengatasi pemisahan pe misahan antara dunia sosial dengan pendidikan melalui sebuah refleksi teoritis teoritis.. Perm Permasa asalah lahan an utama utama dalam dalam penelit penelitian ian ini dapat dapat dirum dirumusk uskan an sebaga sebagaii beriku berikut: t: Pertama, bagaimana mungkin menjadikan totalitas proses sosial sebagai basis utama bagi proses pembelajaran? Kedua, jika memang memungkinkan, lantas apa saja prasyarat teoritis-taktis yang diperlukan guna mengimplementasikannya?
78
Jurn Jurnaal Sos Sosiali ialita ta Vol. Vol. 9 No. 1 Juni 2011 2011,, Fakul akulttas Ilm Ilmu Sos Sosial ial Univ nivers ersitas itas Neger egerii Jak Jakarta arta
Robet dan Rozak, Proses Sosial sebagai Medium Pembelajaran
Metode Penelitian
Untuk Untuk menjaw menjawab ab perma permasala salahan han peneli penelitian tian terseb tersebut, ut, peneli penelitia tian n ini akan akan dilaku dilakukan kan dengan dengan strategi sebagai berikut: Pertama, mencari berbagai penjelasan teoritis yang paling memadai untuk menjelaskan kesatuan antara pendidikan dan proses sosial. Di titik ini bidang-bidang yang dipisahkan dengan dengan pendid pendidika ikan n (ekono (ekonomi mi dan politik politik)) akan akan disatuk disatukan an dalam dalam kon konsep sep proses proses sos sosial. ial. Dengan Dengan itu penelitian ini pada akhirnya juga mau menunjukkan bagaimana teori social, dalam hal ini teori sosiologi, bisa sekaligus dijadikan teori pendidikan (integrasi/dualitas teori). Kedua, rekonseptualisasi teori-teori tersebut dengan menjelaskan makna edukatifnya. Untuk itu, penelitian ini akan dilakukan dengan metode hermeneutis dalam bidang sosiologi pengetahuan. Hermeneutika yang digunakan di sini berbasis pada metode Richard Rorty mengenai ‘historical reconstructives terhadap teksteks-tek teks. s. Teks Teks ditafsi ditafsirka rkan n untuk untuk kemudia kemudian n diprob diproblem lematis atisas asii reconstructives’ terhadap dengan persoalan-persoalan di luar teks untuk kemudian dicari kesimpulan-kesimpulan (1984). Hasil dan dan Pembahasan Pembahasan 1. Dualisme Dualisme dan dan Ekono Ekonomisa misasi si Proses Proses Sosial Sosial dan Pendidikan Pendidikan
Masa-masa pasca kemerdekaan awal (1945-1969) merupakan masa yang seringkali disebut sebagai era intabilitas politik. Masa ini ditandai dengan tujuh kali jatuh bangunnya kabinet dengan rerata 14 bulan per masa pemerintahan (Syamdani, 2001: 79). Meskipun demikian, di masa ini pun terdapat empat dokumen perencanaan pembangunan. Masing-masing adalah: 1) Siasat Pembangunan Ekonomi, 1947, diketuai Muhammad Hatta. 2) Rencana Urgensi Perekonomian, 1951. 3) Rencana Djuanda, 1955. 4) Pembangunan Nasional Semesta Berencana, 1960-1969. Prof. Mubyarto menyebut periode ini dengan sebutan yang tepat, tapi dalam intensi yang sinis. Menurutnya periode hingga tahun 1965 tidak ada pemikiran ekonomi karena ekonomi berada di bawah subordinasi politik. Dengan politik sebagai panglima maka ekonomi dianggap hilang (P. G. Suroso, 1994). Pandangan Pandangan Mubyarto ini pada dasarnya mengawali mengawali suatu penalaran penalaran baru dalam ekonomi ekonomi yang kemudian dilanjutkan oleh Orde Baru yakni penalaran mengenai ekonomi yang steril. Ekonomi yang menga mengabdi bdi sematasemata-ma mata ta untuk untuk ekonom ekonomi. i. Dalam Dalam turuna turunanny nnya, a, inilah inilah ekonom ekonomii kapital kapitalis is sejati sejati –yang –yang sebenarnya turut ditentang oleh pandangan Ekonomi Pancasila Mubyarto. Pandangan era Soekarno yang memposisikan ekonomi sebagai aparatus, pada dasarnya secara moral tepat. Karena dalam tujuan negara manapun, tujuan-tujuan ekonomi tunduk di bawah tujuan negara. Pandangan Soekarno bahwa politik sebagai panglima di sini mesti ditafsirkan bahwa dunia ekonomi, industri dan bisnis harus tunduk pada regulasi dan politik negara. Yang jadi soal kemudian adalah sejauh mana derajat pengendalian negara itu dimungkinkan untuk mencapai ekonomi yang sehat dan kreatif kreatif?? Kita Kita tentu tentu saja saja boleh boleh berarg berargum umen en bahwa bahwa ekonom ekonomii di bawah bawah Soekar Soekarno no tidak tidak mampu mampu mencapai keadilan, namun di masa itu debat mengenai mazhab, ideologi dan proses ekonomi terjadi secara terbuka dan hidup. Dengan Dengan pos posisi isi semacam semacam itu maka maka jelaslah jelaslah,, bahwa bahwa di era Soekar Soekarno, no, buk bukan an ekonom ekonomii yang yang dianggap mampu mentransformasikan manusia melainkan dunia dan aktivitas politik. Khususnya lagi aktivitas aktivitas politik politik kolektif. kolektif. Lantas Lantas di mana tempat pendidikan pendidikan dalam ketegangan ketegangan ekonomi versus politik politik yang keras itu? Tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan pendidikan dalam era ini terkait erat dengan tujuan-tujua tujuan-tujuan n nasionalism nasionalismee Indonesia Indonesia.. Pendidikan Pendidikan menjadi menjadi bagian bagian inheren inheren dari proyek proyek nation nation and character buiding . Dengan kata lain pendidikan diintegrasikan kedalam dan tunduk di bawah tujuantujuan kepolitikan. Peralihan dari Orde Lama menuju Orde Baru sendiri merupakan salah satu ‘tikungan curam’ dalam dalam kepolit kepolitika ikan n kita yang yang ditanda ditandaii dengan dengan propa propagan ganda da pemerin pemerintah tahan an baru baru untuk untuk mengg mengganti antikan kan jargon “politik sebagai panglima” dengan “ekonomi sebagai panglima”. Jargon metaforik ini pada dasarnya merupakan efisiensi simbolik yang meringkaskan persepsi umum um um bahwa bahwa politik politik dinilai dinilai gagal gagal mente menterje rjema mahka hkan n amanat amanat kon konstit stitusi usi 194 1945. 5. Sebaga Sebagaii gantin gantinya, ya, pemerintahan Orde Baru mengusung proyek proye k jangka panjang pembangunan ekonomi sebagai anti tesis sekaligus sekaligus peta jalan baru untuk mengantarkan mengantarkan Indonesia Indonesia ke dalam cita-cita kons konstitusi titusionaln onalnya ya (Ali Moertopo 1972). Penerimaan luas atas peralihan efisiensi simbolik seperti ini dinilai cukup wajar mengingat indika indikator tor ekonom ekonomi-p i-polit olitik ik saat saat itu menun menunjuk jukkan kan bahwa bahwa Indon Indonesi esiaa yang yang merupa merupakan kan negara negara baru baru Jurn Jurnal al Sos Sosiali ialita ta Vol. ol. 9 No. No. 1 Jun Juni 2011 2011,, Fak Fakulta ultass Ilm Ilmu Sosia osiall Univ Univer erssitas itas Nege Negeri ri Jaka Jakart rtaa
79
memang belum mampu mencapai esensi kemerdekaannya yang paling subtil. Indikatornya bisa dilihat melalu melaluii data data statis statistik tik beriku berikutt dimana dimana kon kondisi disi ekono ekonomi mi menje menjelang lang saat-s saat-saat aat pergan pergantian tian kekuas kekuasaan aan memburuk, yang ditandai dengan tingginya angka inflasi mencapai 732 persen antara tahun 1964-1965 dan dan masih asih bert bertah ahan an pada pada kisa kisara ran n 636 636 pers persen en untu untuk k tahun tahun 19651965-19 1966 66 (Boo (Booth th and and McCa McCawl wley ey,, 1981b:108). Beban hutang luar negeri pun begitu berat, yakni berada pada angka 2.358 juta US$ yang membuat prospek pemulihan dan pembangunan ekonomi begitu suram (Pang Lay Kim & H. W. Arndt, 1996:5). Di bidang politik, silih bergantinya sistem pemerintahan dan jatuh bangunnya pemerintahan menjadi indikator penting untuk melihat betapa tidak stabilnya situasi politik di masa ini. Ancaman keamanan dan disintegrasi datang dari dalam maupun luar negeri. Puncak dari ekspresi kekecewaan atas situasi ekonomi politik ini pada akhirnya berujung pada pergantian pucuk pimpinan Indonesia pada bulan Maret 1967 dimana Jenderal Soeharto dilantik menjadi Pejabat Presiden oleh MPRS. Pemerintah Pemerintahan an di bawah kepemimpinan kepemimpinan Soeharto Soeharto mewarisi mewarisi keadaan keadaan ekonomi ekonomi yang hampir ambruk. ambruk. Hutang luar negeri yang besar, kondisi infrastruktur yang berantakan, kapasitas produksi sektor-sektor industri dan ekspor merosot (430 juta US$) dan pengawasan atas anggaran serta penarikan pajak sudah tidak berfungsi lagi (Pang Lay Kim & H. W. Arndt, 1996:4). Menghadapi Menghadapi kekacauan kekacauan ekonomi ekonomi seperti seperti ini pemerintah pemerintahan an baru, berkonsentr berkonsentrasi asi membenahi membenahi sektor ekonomi dan dalam saat yang sama mengupayakan stabilitas politik yang lebih kukuh dalam rangka memungkinkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Dua poin terakhir pada gilirannya diketah diketahui ui menjad menjadii dua dari dari tiga tiga pilar pilar utama utama yang yang memutar memutar poros poros trilogi trilogi pembang pembanguna unan n Indone Indonesia sia (stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan). Langkah-langkah strategis-taktis yang ditempuh pemerintahan baru ternyata berdampak efektif terhadap penyusutan hiper inflasi. Tercatat dalam kurun waktu empat tahun angka inflasi turun ke kisaran 112 persen di tahun 1967, turun lagi ke angka 85 persen pada 1968, menyusut drastis ke kisaran 10 persen pada 1969 dan turun secara moderat ke angka 9 persen di tahun 1970. Prestasi berupa penyusutan angka-angka ini pun berjalin berkelindaan dengan dicapainya berbagai kesepakatan morat mo rator oriu ium m utang utang luar luar nege negeri ri dalam dalam bent bentuk uk penj penjad adwa walan lan ulan ulang g maup maupun un pemb pembeb ebas asan an utan utang. g. Kesuksesan langkah-langkah yang diambil pemerintahan baru inilah yang di kemudian hari menjadi justifikasi sekaligus legitimasi politik pemerintahan Orde Baru untuk mempertegas visi pembangunan ekonominya di sepanjang 32 tahun masa kepemimpinannya. Dengan kepercayaan yang tinggi pada pertumbuhan ekonomi sebagai penyelamat krisis, kepercayaan bahwa transformasi manusia bisa dimulai melalui jalan ekonomi menjadi tak terhindarkan. Setelah Soekarno Soekarno jatuh, pikiran dan kritik Mubyarto Mubyarto menemukan menemukan jalan keluarnya keluarnya.. Sejak tahun 1969, terminologi “pembangunan ekonomi” merupakan terma yang secara konsisten dipilih pemerintah Orba Orba.. Seja Sejak k itu ekon ekonom omii ditem ditempa patk tkan an seba sebaga gaii titik titik artik artikul ulas asii yang yang diha dihara rapk pkan an dapat dapat membe emberi ri pendasaran atas berbagai gerak penetrasi menuju the good society (John Kenneth Galbraith, 1996:4). Dengan kata lain, dalam konteks keindonesiaan, terma “pembangunan ekonomi” tidak hanya dipercaya sebagai jalan menuju realisasi the good society, melainkan telah sedemikian rupa direifikasi dan dalam prakteknya dipuja sebagai fundamental yang dipandang akan menopang tegaknya masyarakat yang baik. Di titik ini, tak syak lagi kita tengah dihadapkan dengan satu set disiplin pikir fundamentalisme pembangunan ekonomi yang menginginkan totalisasi ekonomi di setiap inci kehidupan sosial. Cara Cara berpik berpikir ir determ determinis inistik tik sepert sepertii ini pada pada gilira giliranny nnyaa kemudi kemudian an bisa bisa juga juga dibaca dibaca sebaga sebagaii upaya yang mencoba mencoba menawarkan menawarkan sebentuk skenario bahwa masyaraka masyarakatt yang-baik yang-baik pada akhirnya akhirnya hanya akan lahir pasca pasca kemakmur kemakmuran an ekonomi ekonomi tercipta. tercipta. Inilah Inilah lajur rasionalisasi rasionalisasi penyelengg penyelenggaraan araan pemerintahan yang secara resmi dibentangkan sejak 1969. Gagasan ini membentuk satu skema pikir kolektif mengenai apa yang sebenarnya menjadi prioritas bersama terkait apa yang pertama-tama harus dilakukan, yakni: bagaimana menciptakan struktur sosial yang mampu memberi landasan bagi kelimpahan ekonomi –karena kelimpahan ekonomi adalah adalah kontin kontinum um pertam pertamaa yang yang diangg dianggap ap akan akan mengan mengantark tarkan an negara negara pada pada kontin kontinum um keberha keberhasil silan an lainnya (W. W. Rostow, 1960 hal:6). Setelah keterangan seperti ini ‘diterima’ secara luas, maka sejak saat saat itu pula pula kita kita sem semua mulai ulai meng meng-e -eko konom nomik ikan an seti setiap ap segi segi dan dan send sendii-se send ndii terp terpen enti ting ng dari dari keindonesiaan kita. Hasilnya, dengan meminjam terminologi Bourdieu, struktur sosial objektif yang kita miliki saat ini telah dan sedang bersifat sedemikian ekonomistik.
80
Jurn Jurnaal Sos Sosiali ialita ta Vol. Vol. 9 No. 1 Juni 2011 2011,, Fakul akulttas Ilm Ilmu Sos Sosial ial Univ nivers ersitas itas Neger egerii Jak Jakarta arta
Robet dan Rozak, Proses Sosial sebagai Medium Pembelajaran
2.
Mimesis Mimesis Struktur Struktur Mental Mental Ekono Ekonomistik mistik ke dalam dalam Struktu Strukturr Mental Mental Subyekti Subyektif f
Jika struktur sosial objektif Indonesia telah bertransformasi menjadi sedemikian ekonomistik lantas lantas bagaim bagaimana ana sesung sesungguh guhnya nya kedalam kedalaman an struk strukur ur mental mental kog kognit nitif if warga warga secara secara indivi individua dual? l? Memanfaatk Memanfaatkan an teorisasi teorisasi Pierre Pierre Bourdieu Bourdieu mengenai mengenai ‘dialektika ‘dialektika agen-struktur’ agen-struktur’ kita akan mendapati mendapati bahwa kedua ranah ini pada dasarnya bersifat saling melengkapi, meneguhkan dan reproduktif satu sama lain. “The analysis of objective structures – those of different fields – is inseparable from the analysis analysis of the genesis, within biological biological individuals individuals,, of mental mental structure structuress which which are to som somee extent the product of the incorporation of social structures; inseparable, too, from the analysis of these social structures themselves: the social space, and the groups that occupy it, are the product of historical struggles (in which agents participate in accordance with their position in the social space and with the mental structures through which they apprehend this space” (Pierre Bourdieu, 1990:14). Melalui kutipan di atas kita diberi tahu bahwa analisis terkait struktur sosial objektif akan mengantark mengantarkan an kita pada suatu simpulan bahwa terdapat kemenyat kemenyatuan uan yang logis antara struktur sosial objektif dengan struktur mental individual yang terpresentasi melalui praktik. Namun, Bourdieu tidak lantas berhenti disini dan melanjutkan dengan menyebut bahwa baik habitus maupun struktur sosial objektif secara mendasar memadai dibaca sebagai produk gabungan dari perjuangan perjuangan historis. historis. Mempertega Mempertegass hal ini, Bourdieu Bourdieu dalam Outlin Outlinee of a Theory Theory and Practi Practice ce mengatakan: “In sho short, rt, the habitu habitus, s, the produc productt of histor history, y, produc produces es individ individual ual and collec collectiv tivee practices, and hence history, in accordance with the schemes engendered by history. The system of dispositions - a past which survives in the present and tends to perpetuate itself into the future by making itself present in practices structured according to its principles, an internal law relaying the continuous exercise of the law of external necessities (irreducible to immediate conjunctural constraints) - is the principle of the continuity and regularity which objectivism discerns in the social world without being able to give them a rational basis” (Pierre Bourdieu, 1977:82). Habitus Habitus atau atau skemaskema-skem skemaa kog kogniti nitiff agen/w agen/warg arga, a, dalam dalam terang terang teori teori Bourdi Bourdieu, eu, merup merupaka akan n produk historis yang menciptakan tindakan individu dan kolektif. Di sini, dengan langsung meng mengko konte nteks kska kann nnya ya keda kedalam lam stru strukt ktur ur mental ental indiv individu idual al warg wargaa di masa masa Orba Orba dan dan masamasa-ma masa sa setelahnya, maka struktur mental individual warga pada dasarnya memadai dibaca sebagai struktur yang dihidupi oleh struktur sosial objektif yang telah bertransformasi menjadi sedemikian ekonomistik. Modus bolak-balik antara struktur obyektif dan struktur mental ini secara unik dapat dilihat dalam narasi politik Orde Baru mengenai Pembangunan di GBHN. Di dalam GBHN selalu dikatakan bahwa “pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya....” (Sastrapratedja dkk, 1986: Ix). Di sini bagi pembaca yang kurang teliti, akan dengan segera menganggap bahwa pembangunan Orde Baru dilaksanakan dengan mengedepankan manusia (baca: pendidikan). Tapi bagi pembaca yang kritis, dengan mudah dapat mengetahui bahwa manusia dalam konstruksi politik Ode Baru sudah bukan lagi manusia dalam pengertian ‘humanitasnya’ yang otonom melainkan telah terlebih dahulu dideterminasi oleh ekonomi, yakni ketika ia disebut dengan istilah ‘manusia pembangunan’. Di titik inilah pembangunan berubah menjadi apa yang disebut oleh Bourdieu sebagai ‘otoritas paedagogik’. Dalam konteks penggeseran pendidikan di bawah ekonomi-politik Orde Baru, proses yang dijelaskan Bourdieu itu dapat dengan lugas menegaskan bahwa melalui politik pembangunan ORde Baru mentransform mentransformasin asin struktur struktur mental mental individual sepenuhnya sepenuhnya dalam ekonomisas ekonomisasi. i. Di sini terjadi terjadi proses mimesis di mana identitas/struktur terbentuk dalam identitas individu, sebagaimana struktur sosi sosial al objek objektif tif mengh enghend endak akin inya ya.. Mimes Mimesis is ini ini terg tergela elarr dala dalam m disku diskurs rsus us meng mengen enai ai ‘man ‘manus usia ia pembangunan’. Di dalam konsep ini jelaslah bahwa tujuan-tujuan tujuan -tujuan pendidikan diletakkan sebagai ‘abdi’ dari tujuan-tujuan pembangunan ekonomi. Meminjam istilah Bourdieu, pembangunan dan ekonomisme menjadi doxa yang di-copy dalam kesadaran individu sebagai model (1977:82).
Jurn Jurnal al Sos Sosiali ialita ta Vol. ol. 9 No. No. 1 Jun Juni 2011 2011,, Fak Fakulta ultass Ilm Ilmu Sosia osiall Univ Univer erssitas itas Nege Negeri ri Jaka Jakart rtaa
81
Dalam Dalam habitu habituss ini, ini, aspek aspek interio interiorr sepert sepertii makn makna, a, subs substan tansi, si, norma normatif tifita itass maupun maupun institu institusi si pendidikan mengalami perubahan. Dalam habitus yang dikendalikan oleh ekonomisasi, lembaga pendidikan berubah dari ‘lembaga’ atau ranah kebudayaan menjadi ranah ekonomi. Gejala perubahan ini secara teliti diperhatikan oleh Ruth MacVey yang menyajikan catatan mengenai gejala masuknya anak anak-a -ana nak k kala kalang ngan an milite iliterr dan dan biro birokr krat at kela kelass atas atas ke seko sekola lahh-se seko kola lah h bisn bisnis is sem semacam acam MBA MBA ketimbang melanjutkan karir militer dan berkecimpung di birokrasi sebagai pegawai negeri. Disini, regenerasi politik mulai dipandang hanya bisa dilakukan melalui regenerasi dalam pemilikan dan akses kepada kepada ekonom ekonomi. i. Di titik titik ini pikira pikiran n bahwa bahwa ekonom ekonomii menen menentuk tukan an politik politik dan pendid pendidika ikan n denga dengan n sendirinya sudah dipraktikkan sebagai habitus. Ini pula yang kemudian memicu pertumbuhan sekolahsekolah sekolah bisnis bisnis mu mulai lai era perten pertengah gahan an tahun tahun 198 1980-an 0-an di Indon Indonesia esia,, dan pada pada akhirn akhirnya; ya; bisnis bisnis dan dan ekonomi secara ironis membentuk pendidikan (B. Herry-Priyono, 2005). Lalu apa implikasi dari kesatuan individu dan struktur obyektif pembangunan ekonomi ini? Apa implik implikasi asinya nya terhad terhadap ap cita-c cita-cita ita realis realisasi asi ideal ideal the good Apa yang yang terjad terjadii deng dengan an good socie society ty? Apa pandangan pendidikan dan pandangan tentang manusia apabila struktur tindakan-tindakan yang ada deng dengan an seng sengaja aja dior diorien ienta tasi sika kan n dan dan diop dioper eras asik ikan an sem semata-m ata-mata ata dalam dalam mo modu duss logik logikaa tinda tindaka kan n ekonomistik seperti ini? 3.
Dominasi Dominasi Ekonom Ekonomii dan Hilangn Hilangnya ya Dimensi Dimensi Etis Etis dalam dalam Ekonomi Ekonomi dan dan Politik Politik Metafora Metafora Galbraith Galbraith mengenai mengenai good society dengan tepat menjelaska menjelaskan n implikasiimplikasi-implik implikasi asi society dengan
paling nyata dari proses ekonomisasi pendidikan dan ekonomisasi bidang-bidang kehidupan lainnya, yakni bahwa sejak itu: masyarakat yang-baik didefinisikan dalam kerangka ekonomi. Bukan hanya itu, manus manusia ia yang-b yang-baik aik juga juga pada pada kenyat kenyataann aannya ya (terle (terlepas pas dari dari pendir pendirian ian norma normatif tif yang yang disem disematk atkan an di sekitar pendasaran legal mengenainya) didefinisikan dalam kerangka ekonomisasi. Dengan Dengan pergeseran pergeseran ini maka maka pendidikan pendidikan pada kenyataany kenyataanyaa tidak lagi dipandang dipandang sebagai ranah kebuda kebudayaa yaan n melain melainkan kan ranah ranah ekonom ekonomi. i. Maksud Maksudny nyaa adalah adalah mesk meskipun ipun masih masih terdapa terdapatt sekolah sekolah dan lembaga pendidikan akan tetapi institusi-institusi itu tidak lagi bekerja di bawah pranata dan logika kebudayaan melainkan pranata atau logika ekonomi Akan tetapi, secara ironis ironis invasi invasi ekonomi ekonomi dalam kebudayaan kebudayaan ini pada gilirannya gilirannya juga merusak merusak ekonomi ekonomi sebagai pranata. Karena persis ketika ketika seluruh seluruh dimensi dimensi kebudayaan kebudayaan dan hum humanitas anitas di luar ekonomi ditelan dalam logikanya, maka ekonomi berjalan secara terpisah dengan tujuan-tujuan etisnya. Ekonomi Ekonomi menjadi mesin yang bekerja bekerja hanya hanya bagi dirinya sendiri, sambil terus merusak pranata lain di sekitarnya. Di titik titik ini, dengan dengan karak karakter ter invasi invasioni oniss semacam semacam itu maka maka ekonom ekonomii sendir sendirii meng mengalam alamii pendangkalan dari ekonomi sebagai praktik fundamental manusia dalam berhadapan atau pengelolaan relasi manusia dan alam menjadi ekonomi semata-mata sebagai techne kapitalisasi. Dalam istilah Karl Polanyi Polanyi ekonomi ekonomi bergeser dari proses proses sosial sosial yang dasar menjadi menjadi ‘sekedar ‘sekedar proses formal’ (Hans-Diet (Hans-Dieter er Evers, 1988:107-137). 4.
Terpisahny Terpisahnya a Sosiologi Sosiologi dari Pendidika Pendidikan n
Salah satu implikasi langsung dari bekerjanya cara pandang pemisahan aktor dengan struktur adalah adalah terpis terpisahn ahnya ya bidang bidang-b -bidan idang g ilmu ilmu dengan dengan oby obyekn eknya. ya. Dalam Dalam hal ini adalah adalah ilmu ilmu sosial, sosial, yang yang memang menjadi ranah bagi perkembangan pemikiran aktor-struktur, khususnya teori-teori sosiologi yang yang disebu disebutt Gidden Giddenss sebaga sebagaii pengan penganjur jur ‘konse ‘konsensu nsuss ortodo ortodoks’ ks’ yakni yakni teori-t teori-teor eorii yang yang mewar mewarisi isi pandangan struktur fungsi Parsons. Konsensus ortodoks dalam teori sosiologi mengajukan pandangan dualisme sebagai perantara dari kebertubuhan teori yang memisahkan sosiologi dengan subyek yang dikajinya. Salah satu akibat paling parah dari pemisahan antara struktur dengan aktor atau antara subyek dengan dengan proses proses sos sosial ial adalah adalah terpisa terpisahny hnyaa teori teori dengan dengan kebutu kebutuhan han praktis praktis.. Salah Salah satu satu contoh contoh yang yang penting kita kemukakan di sini adalah konsep ‘sosiologi pendidikan’. Istilah sosiologi pendidikan mengindik mengindikasikan asikan terpisahnya terpisahnya teori sosiologi sosiologi dengan dengan pendidikan. pendidikan. Teori sosiologi sosiologi pendidikan pendidikan telah secara keliru mengikuti struktur logika teori-teori sosiologi lainnya misalnya ‘teori sosiologi keluarga’ yang mengetengahkan konseptualisasi ‘keluarga dan persoalan-persoalannya muncul’ sebagai cermin dari relasi dan proses sosial di dalamnya. Dengan itu teori sosiologi hanya bisa menyajikan argumenargumen relasional dengan basis sejarah dan kepentingan menyangkut kemunculan fenomena keluarga. 82
Jurn Jurnaal Sos Sosiali ialita ta Vol. Vol. 9 No. 1 Juni 2011 2011,, Fakul akulttas Ilm Ilmu Sos Sosial ial Univ nivers ersitas itas Neger egerii Jak Jakarta arta
Robet dan Rozak, Proses Sosial sebagai Medium Pembelajaran
Dalam sosiologi pendidikan logika semacam ini juga muncul dalam beragam paradigma, misalnya dalam pandangan Marxisme mengenai pendidikan yang melihat pendidikan sebagai output dari relasi ekonomi ekonomi produksi produksi dan politik politik kelas, sehingga sehingga dengan dengan itu sosiologi sosiologi pendidikan pendidikan memposisika memposisikan n diri sebagai teori sosiologi yang membahas pendidikan (Jerome Karabel dan A.H. Halsey, 1977). Peneli Penelitian tian ini tidak tidak ingin ingin menga mengatak takan an bahwa bahwa teori teori sos sosiol iologi ogi yang yang membah membahas as pendid pendidika ikan n sebagai obyek di luar dirinya jelek apalagi keliru. Yang mau diupayakan disini adalah bagaimana mencari kemungkinan bagi teori sosiologi yang sekaligus adalah teori pendidikan atau teori sosiologi yang sekaligus menjelaskan apa itu pendidikan dan bagaimana pendidikan dilakukan. 5.
Mencari Mencari Syarat-Sya Syarat-Syarat rat Teoritis Teoritis Proses Proses Sosial Sebagai Sebagai Proses Proses Pembelajara Pembelajaran n Bersama Pierre Pierre Bourdieu
Sebaga Sebagaim imana ana dijela dijelaska skan n pada pada bagian bagian sebelu sebelumn mnya, ya, penyeb penyebab ab pok pokok ok dari dari invasi invasi ekonom ekonomii terhadap pendidikan adalah karena logika yang memisahkan pendidikan dari proses sosial. Pemisahan antara ekonomi-politik dari pendidikan. Pemisahan ini menjadi biang keladi menyempitnya makna pendidikan dan kebudayaan menjadi semacam techne, yang yang dilan dilanjut jutka kan n deng dengan an terb terben entuk tukny nyaa mekanisasi pendidikan, dan akhirnya berujung pada tergerusnya esensi pendidikan untuk diubahnya menjadi ekonomi. Dengan mengatakan bahwa dualisme antara pendidikan dan proses sosial sebagai awal dari invasi ekonomi terhadap pendidikan, maka penelitian ini di satu segi mau mengatakan bahwa salah satu kunci utama untuk memahami bagaimana pemisahan ini terjadi hanya dapat diletakkan dalam kerangka bidang yang didefinisikan oleh Michel Foucault dengan istilah episteme. Episteme adalah instalasi di mana pengetahun dikukuhkan dan dikonstruksi secara sosial di dalam masyarakat. Foucault mengatakan bahwa: “The episteme is the ‘apparatus’ which makes possible the separation, not of the true from the false, but of what may from what may not be characterised as scientific” (M. Foucault, 1980: 197). Dalam konteks Indonesia, Indonesia, dualisme dualisme antara pendidikan pendidikan dengan dengan proses proses sosial sosial (ekonom (ekonomii dan politik) terjadi melalui regenerasi dan perubahan kekuasaan politik dari satu rejim ke rejim yang lain. Akan tetapi ‘arena’ di mana perubahan ditanamkan dan dikelola adalah pikiran atau episteme. Pendidi idika kan n adal adalah ah bagi bagian an dari dari kebu kebuda daya yaan an.. Sils Silsil ilah ah Pendidikan adalah Kebudayaan. Pend pernyataan ini dapat ditelusuri dari pandangan bahwa terma culture atau kebudayaan kebudayaan berasal berasal dari kata ). Dengan demikian colere (bahasa: latin) yang berarti “mencocok tanamkan” atau ’menempati’ (inhabit ). kebudayaan sedari awal telah dimaknai sebagai upaya manusia untuk ’menanamkan’ sesuatu dalam bidang pengalamannya. Di titik ini culture memiliki nuansa praktik dan ide sekaligus. Dengan itu bisa dikatakan bahwa kebudayaan dalam arti yang paling esensial sekaligus juga adalah pendidikan, karena hanya pendidikanlah pendidikanlah satu-satuny satu-satunyaa bidang yang memiliki memiliki kemampua kemampuan n menanamk menanamkan an ideal dimaksud dimaksud (Terry Eagleton, 2000:2). Senada dengan Eagleton, namun dalam rumusan yang lebih taktis, Berger menyebut kata kunci kebuda kebudayaa yaan n adalah adalah ’trans ’transmis misii penget pengetahu ahuan’ an’,, artiny artinyaa kom komplek plekss penget pengetahu ahuan an yang yang ada pada pada satu satu generasi datang melalui jalur kebudayaan. (Peter Berger & Thomas Luckmann , 1979:85-89). Dengan memanfaatkan kedua pandangan ini, dapatlah disimpulkan bahwa secara umum pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan. Ia pada dasarnya adalah cara atau praktik pembentukan diri self (self ) atau cara diri diri meng mengad adaa melalu elaluii tind tindak akanan-tin tinda daka kan n yang yang dila dilang ngsu sung ngka kan n seca secara ra teru teruss meneru eneruss di dala dalam m masyarakat. Habitus dan Peluang Mendefinisikan Pendidikan/Kebudayaan Pendidikan/Kebudayaan Sebagai Proses Sosial. Secara sederhana, sederhana, habitus adalah bidang di mana tindakan diproduksi. diproduksi. Menurut Menurut Bourdieu, Bourdieu, habitus terdiri terdiri dari dua unsur pokok yakni pengalaman dan pengajaran, yang berkembang –jatuh bangun– terakumulasi dalam sejarah. “The habitus which, at every moment, structures new experiences in accordance with the structures produced by past experiences, which are modified by the new experiences within the limits defined by their power of selection, selection, brings about a unique unique integration integration,, dom dominated inated by the t he earliest experiences, of the experiences statistically common to members of the same class” (Pierre Bourdieu, 1980/1990).
Jurn Jurnal al Sos Sosiali ialita ta Vol. ol. 9 No. No. 1 Jun Juni 2011 2011,, Fak Fakulta ultass Ilm Ilmu Sosia osiall Univ Univer erssitas itas Nege Negeri ri Jaka Jakart rtaa
83
Untuk lebih memahami mengapa diri bisa terbentuk melalui tindakan maka ada baiknya untuk mengeteng mengetengahkan ahkan terlebih dahulu makna makna tindakan tindakan dalam pemikiran pemikiran Bourdieu. Bourdieu. Di satu sisi tindakan dise disebu butk tkan anny nyaa meng mengan antar tarai ai habi habitus tus dan dan kehi kehidu dupa pan n sosi sosial al obye obyekt ktif, if, seda sedang ng di sisi sisi lain lain habi habitu tuss diciptakan melalui tindakan. Dengan demikian maka baik habitus, skema mental individual maupun struktur struktur sosial sosial obyektif obyektif secara secara generatif generatif pada dasarnya dasarnya adalah tindakan. tindakan. Disini Disini kita bisa rumuskan rumuskan bahwa tindakan yang dilangsungkan di dalam masyarakat memiliki peranan yang besar terhadap pembentukan diri. “Practice always implies a cognitive operation, a practical operation of construction which sets sets to work, work, by referen reference ce to practic practical al functio functions, ns, syste system m of classif classifica ication tion (taxon (taxonom omies ies)) which organize perception and structure practice produced by the practice of successive generations, in conditions of existence of determinate type, these schemes of perception, appreciatio appreciation, n, and action, which are acquired through practices practices and applied applied in their practical sense without acceding acceding to explicit explicit representati representation, on, the objective objective structures structures of which they are the product tend to reproduce themselves themselves in practices. practices. […]The coherence coherence to be observed observed in all products of the aplication of the same habitus has no other basis than the coherence which generative principle constituting that habitus owe to the social structures. [...] The pratical operators which constitute the habitus and which function in their practical state in gesture or utterance reproduce in a transformed form, inserting them into the structure of a system of symbolic relations...” (Pierre Bourdieu,1977). Tindakan-tindakan yang dilangsungkan di dalam masyarakat ini pada fungsinya diproyeksikan menjadi semacam kode-kode sosial yang diharapkan direproduksi dari waktu ke waktu. Inilah yang dimaksud dengan dialektika dalam berkebudayaan, dimana suatu tindakan terjadi karena dipelihara melalui mekanisme pembelajaran atas suatu tindakan. Dalam rumusan seperti ini, maka pendidikan adalah medium bagi pembentukan diri yang mengada di dalam tindakan sosial yang dipelajari untuk kemudian ditampilkan lagi sebagai tindakan. Tindakan-tindakan dalam rumusan seperti ini umum kita sebut sebagai praktik sosial, dan rumusan seperti ini juga sekaligus memungkinkan kita merumuskan bahwa pada dasarnya pendidikan akan dengan sendirinya merujuk pada habitus. Dalam disiplin pemikiran Pierre Bourdieu, habitus secara generatif merupakan “a dialectic of atau jika jika dili diliha hatt dari dari segi segi intern internali alizat zation ion of exter externa nality lity and and the exter externa naliza lization tion of intern internalit alityy” atau kausalitasn kausalitasnya ya habitus habitus adalah adalah hasil hasil dari suatu proses proses internalis internalisasi asi yang meliputi meliputi struktur struktur perseps persepsi, i, modus modus apresias apresiasi, i, dan sistem-sist sistem-sistem em klasifikasi klasifikasi tindakan tindakan kedalam kedalam diri seseorang, seseorang, yang kemudian kemudian yang pada pada gili gilira rann nnya ya menjad enjadii elem elemenen-ele eleme men n terek terekste sterna rnalis lisasi asi ulang ulang dalam dalam bentuk bentuk tindak tindaka an, yang pembentuk struktur sosial obyektif. Habitus terinternalisasi secara relatif lama dan kadang terlupakan dari sisi prosesnya. prosesnya. Dengan begitu maka habitus habitus melibatkan melibatkan proses kesejarahan kesejarahan yang panjang panjang dan mendarah-daging, terinternalisasi seakan alami, meresap, terdisposisi, dan menjadi bagian inheren dari agen. Habitus juga merupakan proses internalisasi yang sama sekali tidak menihilkan peran agen yang memiliki kemampuan ‘bernegosiasi’ dengan struktur. Dengan kalimat lain, agen yang menginternalisasi struktur tetap memiliki ruang-ruang refleksi atas pilihan-pilihan rasionalnya, prinsip-prinsip, strategi-strategi yang dijadikan saringan sebelum agen benar-benar menerima dan mengimprovisasikannya mengimprovisasikannya kembali. Secara ringkas rin gkas habitus menempati fungsifungsi sebagai: (a) matrix of perception atau basis pijakan agen dalam berfikir atau mempersepsikan sesuatu, sesuatu, juga sebagai titik tolak dalam proses memperse mempersepsika psikan n sesuatu sesuatu berdasarka berdasarkan n latar belakang agen agen;; (b) (b) appreciation atau atau habitu habituss menjad menjadii titik titik tolak tolak dan menen menentuk tukan an bagaim bagaimana ana seseor seseorang ang mengapresiasi atau menilai sesuatu; dan (c) action atau habitus merupakan basis atau skema untuk memproduksi dan menghasilkan praktik bagi individu. “Thus “Thus the repres represent entatio ations ns of agents agents vary vary with their their pos positio ition n (and (and with with the intere interest st associated with it) and with their habitus, as a system of schemes of perception and apprec appreciat iation ion of practi practices ces,, cogniti cognitive ve and evalua evaluative tive struct structure uress which which are acquir acquired ed through through the lasting lasting experience of a social social position. position. Habitus is both a system of schemes schemes of production of practices and a system of perception and appreciation of practices. And, in both of these dimension, its operation expresses the social position in which it was elaborated. Consequently, habitus produces practices and representations which are available available for classificat classification, ion, which are objectively objectively differentiated; differentiated; however, however, they are 84
Jurn Jurnaal Sos Sosiali ialita ta Vol. Vol. 9 No. 1 Juni 2011 2011,, Fakul akulttas Ilm Ilmu Sos Sosial ial Univ nivers ersitas itas Neger egerii Jak Jakarta arta
Robet dan Rozak, Proses Sosial sebagai Medium Pembelajaran
imm immediat ediatel ely y perce perceiv ived ed as such such only only by thos thosee agen agents ts who who poss posses esss the the code code,, the the classificatory schemes necessary to understand their social meaning” (Pierre Bourdieu, 1989: 19). Dengan begitu maka habitus bisa dirumuskan sebagai hamparan sistem skema-skema kognitif agen agen yang yang berm berman anife ifess di dala dalam m tinda tindaka kan. n. Dalam Dalam satu satu jalina jalinan n yang yang utuh utuh tinda tindaka kan-t n-tind indak akan an ini ini memben membentuk tuk kon konfig figuras urasii strukt struktur ur sos sosial ial objek objektif tif dan melalu melaluii cara cara yang yang dialekt dialektis is kemudia kemudian n tampil tampil kembali menyajikan varian sistem disposisi-disposisi yang mensuplay spesifikasi-spesifikasi preferensi kognitif ke dalam diri agen untuk bertindak secara tepat di berbagai ranah sosial yang berbeda-beda. Dan di dalam modus pemahaman ini pula habitus tampil sebagai efisiensi simbolik yang mewakili totalitas praktik sosial. Dengan kata lain, setiap praktik sosial kini bisa disebut sebagai habitus. Dari Bourdieu kita juga mendapat asupan perspektif untuk melihat habitus sebagai kunci bagi reproduksi sosial karena ia bersifat sentral dalam membangkitkan serta mengatur praktik-praktik yang memben membentuk tuk kehidu kehidupan pan sos sosial. ial. Di sini sini kita kita menem menemuka ukan n perana peranan n pentin penting g dari dari habitu habituss yang yang tampil tampil sebagai regulator yang meregulasi praktik sosial sekaligus sarana yang menyediakan wawasan bagi tersel terseleng enggar garany anyaa prakti praktik-p k-prak raktik tik sos sosial ial,, karena karena sebaga sebagaim imana ana Bourdi Bourdieu eu nyatak nyatakan: an: habitu habituss selalu selalu berorientasi kepada fungsi praktis. ”The theory of practice as practice insists, contrary to positivist materialism, that the objec objects ts of know knowled ledge ge are are cons constru truct cted ed,, not not pass passiv ively ely recor recorde ded, d, and, and, cont contra rary ry to intellectualist idealism, that the principle of this construction is the system of structuted, struct structuri uring ng disposi dispositio tions ns,, the habitus habitus,, which which is consti constitut tuted ed in practic practicee and is always always oriented towards practical functions” (Pierre Bourdieu, 1980/1990:52). Satu Satu hal hal lagi lagi terk terkai aitt deng dengan an pem pembaha bahasa san n menge engena naii habi habitu tuss iala ialah h kem kemampu ampuan anny nyaa mentransposisi struktur-struktur sosial obyektif dari beragam ranah sosial ke dalam struktur mental subyek sub yektif tif tindak tindakan an dan pikiran pikiran agen. agen. Di titik titik ini habitu habituss secara secara serta serta merta merta berim berimplik plikasi asi terhad terhadap ap prilaku agen dan pada gilirannya mempengaruhi prilaku sosial, serta mempengaruhi karakter dari proses sosial itu sendiri. Dengan kemampuan seperti ini habitus yang diartikan sama dengan praktik sosial seharusnya memiliki dimensi pendidikan yang secara dialektis akan mentransposisi struktur mental subyektif ke dalam struktur sosial obyektif, obyektif, dan juga sebaliknya sebaliknya,, sehingga sehingga keduanya keduanya menghasilk menghasilkan an konfigura konfigurasi si proses sosial yang diisi dengan praktik sosial yang mendidik. Dalam soal posisi pendidikan, melalui ini bisa dikatakan bahwa: oleh karena sifat hubungan dialektis dan dinamis diantara aktor dan struktur maka kehadiran proses sosial berdimensi pendidikan menjadi sangat penting dan strategis. Karena, segera setelah skema proses sosial memiliki dimensi paedagogis maka praktik-praktik sosial akan berimplikasi secara langsung terhadap terbentuknya struktur mental subyektif sekaligus terhadap struktur sosial obyektifnya. Implikasi Habitus terhadap Pemahaman Dualisme Pendidikan dan Proses Sosial. Dari uraian di atas atas kita kita dapa dapatt meny menyim impu pulk lkan an bebe beberap rapaa hal hal pent penting ing untu untuk k kita kita tari tarik k dalam dalam kebu kebutu tuha han n kita kita merumuskan pendidikan. Pertama, Pertama, Kesatuan Kesatuan struktur-a struktur-aktor ktor. Habitu Habituss adalah adalah praktik praktik kehidup kehidupan an yang yang berlang berlangsun sung g sejalan dengan struktur sosial yang memproduksinya. Dari situ, tindakan atau praktik muncul sebagai kemampuan kemampuan yang nampak nampak alamiah alamiah dan berkemba berkembang ng dalam ranah atau lingkungan lingkungan sosial tertentu. Dari sini –dengan –dengan memperhat memperhatikan ikan dimensi dimensi historis historis mengenai mengenai bagaimana bagaimana habitus habitus terbentuk– terbentuk– maka maka di dalam habitu habitus, s, tindak tindakan an dan lingk lingkung ungan an oby obyekti ektiff berela berelasi si dalam dalam satu satu kesatu kesatuan. an. Bukan Bukan indivi individu du yang yang menentuka menentukan n atau menciptak menciptakan an tindakan tindakan (sebagaim (sebagaimana ana dibayangk dibayangkan an Weber), Weber), juga bukan struktur yang menentukan individu (sebagaimana dibayangkan Durkheim) melainkan struktur dan individu berelasi, saling membentuk serta saling meneguhkan di dalam praktik. Di titik titik ini Bourdi Bourdieu, eu, sebaga sebagaim imana ana Gidden Giddens, s, meneg menegaska askan n bahwa bahwa oby obyekt ektifit ifitas as hanya hanya bisa bisa diungkap diungkap dalam praktik praktik individu. individu. Dengan kata lain, Bourdieu Bourdieu memercaya memercayaii bahwa bahwa terdapat terdapat sebuah sebuah ‘continu Agen-ag agen en sosi sosial al adala adalah h tubuh tubuh yang yang continual al dialet dialetic ic betwe between en objec objectiv tivity ity and subje subjecti ctivit vity’. y’. Agenterink terinkor orpo poras rasik ikan an tapi tapi seka sekalig ligus us juga juga yang yang memi memili liki ki skem skemaa um umum um yang yang dioper dioperas asik ikan an dan dan diorei dioreinta ntasik sikan an kedalam kedalam tindak tindakan an sos sosial. ial. Dengan Dengan demikia demikian, n, disini disini mu muncu ncull apa yang yang disebu disebutt dalam dalam Jurn Jurnal al Sos Sosiali ialita ta Vol. ol. 9 No. No. 1 Jun Juni 2011 2011,, Fak Fakulta ultass Ilm Ilmu Sosia osiall Univ Univer erssitas itas Nege Negeri ri Jaka Jakart rtaa
85
sosiologi sosiologi sebagai sebagai ‘situasi ‘situasi reflektif’ reflektif’ atau ‘reflektifi ‘reflektifitas’. tas’. Aktor atau agen-agen agen-agen menentukan menentukan struktur tapi secara bersamaan dirinya juga dibentuk oleh struktur. Di sini (secara epistemik) tidak bisa dipisahkan lagi mana agen dan mana struktur (Michael Grenfell dan David James, 1988:13). Kedua, kesatu kesatuan an aspira aspirasi si sub subyek yektif tif dan pengal pengalam aman an oby obyekt ektif. if. Dengan Dengan kesatu kesatuan an itu, maka maka pendapat yang mengatakan bahwa struktur atau dunia sosial menentukan individu atau sebaliknya, atau bahwa semata-mata ekonomi menentukan siapa manusia ataupun sebaliknya adalah pandangan yang absurd. Tidak pernah ada dalam realitas manusia hanya berposisi dalam satu arah saja terhadap realitas dan lingk lingkung ungan an yang yang meling melingku kupiny pinya. a. Di sini sini yang yang oby obyekt ektif if tidak tidak dapat dapat dipisa dipisahk hkan an dengan dengan yang yang subyektif. Keduanya hadir sebagai bidang pengalaman yang saling keluar masuk. Ketiga, pembicaran habitus adalah pembicaran tentang sebuah bidang irisan antara struktur obyektif obyektif dan struktur struktur mental mental subyektif. subyektif. Dalam bentuknya bentuknya yang paling konkret habitus menempati menempati bidang kebertubuhan sosial yang memiliki tiga makna: Kesatu, habitus hanya ada selama ia ada ’di dalam dalam kepala’ kepala’ aktor aktor (atau (atau inhab habitu tuss hany hanyaa ada ada di dalam dalam,, melal melalui ui dan dan inhabit it in body body). Kedua, habi disebabkan oleh praksis aktor dan interaksi antara mereka dengan lingkungan yang melingkupinya: cara bicara, cara bergerak, cara merespon situasi. Ketiga, habitus juga berakar dalam taksonomi praktis perwujudan aneka kategori sensoris (Richard Jenkins, 1992). Dengan memahami bahwa dialektika yang obyektif dan subyektif, juga bahwa ia berada dalam tindakan, maka dari sini kita bisa merumuskan apa itu proses pembelajaran. Dengan pemikiran habitus ini maka pembelajaran atau lebih luasnya lagi pendidikan dapat dipahami sebagai praktik yang terdiri dari tiga hal utama: Pertama, pendid pendidika ikan n harus harus pertam pertama-t a-tam amaa menem menempat patii dan memben membentuk tuk suatu suatu matr matrix ix of perception atau basis pijakan agen dalam berfikir atau mempersepsikan sesuatu, juga sebagai titik tolak dalam proses mempersepsikan sesuatu berdasarkan latar belakang agen; Kedua, pendidikan juga harus membentuk bentuk-bentuk appreciation atau habitus menjadi titik tolak dan menentukan bagaimana seseorang mengapresiasi atau menilai sesuatu. Ketiga, pendidikan harus mengarahkan orang kepada tindakan action atau habitu habituss merup merupaka akan n basis basis atau skema skema untuk untuk memp memprod roduk uksi si dan mengh menghasil asilkan kan praktik bagi individu. Keempat, ringkasnya pendidikan adalah cara untuk membentuk atau mengubah dari suatu habitus habitus menjadi menjadi habitus yang baru. Kelima, pendidikan adalah bisa dimulai dari irisan yang obyektif dan yang subyektif. Pendidikan tidak hanya bisa diarahkan pembentukan subyektifitas tetapi bisa juga diarahkan pada dunia obyektifnya. 6.
Modal Modal Modal Budaya, Budaya, Kekerasan Kekerasan Simbol Simbolik ik dan Syarat Syarat Pendidik Pendidikan an dalam dalam Kesetaraan Kesetaraan
Konsep Bourdieu lain yang perlu diklarifikasi adalah modal budaya (cultural capital). Selama ini konsep ini diperlakukan secara sederhana, semena-mena dan keliru: seakan-akan modal budaya adalah kemampuan estetik individu yang bisa diperdagangkan dan menghasilkan laba. Modal budaya dalam Bourdieu berakar pada penjelasan Bourdieu mengenai kuasa, modal dan posisi : “In analytic term, a field may be defined as a network, or a configuration, of objective relations between positions. These positions are objectively defined, in their existence and in determinations they impose upon their occupants, agents or institutions, by their present or potential situation ( situs) in the structure of the distribution of species of power (or capital) whose possession commands access to the specific profits that are at stake in the field, as well as by their objective relation to other positions (domination, subordination, homology, ect.)” (Pierre Bourdieu and Loïc J. D. Wacquant, 1992). Modal budaya adalah sebau hubungan sosial di dalam suatu sistem pertukaran makna-makna termasuk termasuk di dalamnya dalamnya akumulasi pengetahuan pengetahuan dan estetika yang dikonversik dikonversikan an dengan dengan kuasa dan status. status. Modal Modal budaya budaya dapat diklasifikan diklasifikan dan dibedakan dibedakan (distinction) (distinction) berdasark berdasarkan an garis kuasa yang berakar pada pemilikan modal. Pendidikan misalnya adalah refleksi dari modal budaya, bukan karena dengan pendidikan orang bisa mencari kerja, tapi karena pendidikan mencerminkan kuasa dalam kelaskelas sosial. Perbedaan, strata dalam pendidikan pendidikan mereflesik mereflesikan an strata kelas sosial. sosial. (Chris (Chris Barker, Barker, 2004, 2004, 37) Klasifikas Klasifikasii inilah yang kemudian kemudian melahirkan melahirkan apa yang disebut sebagai sebagai kekerasan kekerasan simbolik yakni kekerasan yang diakibatkan oleh perbedaan akses dalam kebudayaan olehkarena posisi kelas yang berbeda. Anak-anak kelas pekerja mengalami kekerasan simbolik ketika oleh karena akar kelas 86
Jurn Jurnaal Sos Sosiali ialita ta Vol. Vol. 9 No. 1 Juni 2011 2011,, Fakul akulttas Ilm Ilmu Sos Sosial ial Univ nivers ersitas itas Neger egerii Jak Jakarta arta
Robet dan Rozak, Proses Sosial sebagai Medium Pembelajaran
keluar keluargan ganya ya merek merekaa misal misalny nyaa tidak tidak dapat dapat melan melanjut jutkan kan pendid pendidika ikan n ke pergur perguruan uan tinggi. tinggi. Dengan Dengan demikian, pada konsep ini Bourdiue bicara mengenai kebutuhan kode-kode sosial atau skema yang ditujuk ditujukan an pada pada negara. negara. Apa yang mesti mesti dilaku dilakukan kan negara negara terhad terhadap ap pendid pendidika ikan n untuk untuk menga mengatas tasii kekerasan simbolik?
Penutup
Dengan Dengan memperliha memperlihatkan tkan persoalanpersoalan-persoa persoalan lan pokok akibat pemisahan pemisahan aktor struktur serta pemisahan proses sosial (ekonomi produksi, politik) dengan pendidikan, penelitian ini telah menun menunjukk jukkan an bahwa bahwa pada pada akhirn akhirnya ya pendid pendidika ikan n menjadi menjadi hilang hilang akibat akibat invasi invasi dari dari ekonom ekonomisas isasii kebuda kebudayaa yaan/pe n/pendi ndidik dikan. an. Prose Prosess ini juga juga secara secara parado paradoksa ksall menga mengakib kibatk atkan an dampak dampak yang yang sama sama buruknya kepada bidang dan praktik ekonomi/politik yang kehilangan dimensi edukatifnya. Pemisahan yang diikuti determinasi proses sosial terhadap pendidikan menjadikan proses sosial gagal dimengerti sebagai arena potensial bagi bidang pembelajaran. Namun demikian dari penelusuran dan refleksi teoritis terhadap pemikiran habitus Pierre Bourdieu, Bourdieu, penelitian penelitian juga menemukan menemukan bahwa konsep habitus habitus –sebuah –sebuah kons konsep ep sosiologi sosiologi kontempo kontemporer– rer– bisa dijadikan sandaran untuk tidak hanya memahami memahami kebersatuan proses sosial dengan proses belajar. Melalui Melalui konsep konsep Bourdieu, Bourdieu, kita bisa memahami memahami bahwa proses sosial tidak dapat dipisahkan dipisahkan dari proses mental mental dalam subyek, subyek, dengan dengan demikian demikian struktur obyektif tidak dapat dipahami dipahami secara secara terpisah terpisah dengan dengan struktur subyektif. Akibatnya apa yang terjadi pada struktur bisa berlaku pada aktor demikian pula sebaliknya. Pada tahap lanjut kita juga memahami bahwa dunia dan proses sosial merupakan mata air yang mempro memproduk duksi si tindaka tindakan-t n-tinda indakan kan kita. kita. Secar Secaraa dialek dialektis tis di dalam dalam tindaka tindakan n itu kita kita juga juga kemudia kemudian n mereproduk mereproduksi si struktur. struktur. Dengan Dengan kata lain transforma transformasi si manusia manusia tidak dapat semata-mata semata-mata dilekatkan secara terbatas terbatas pada pikiran mengenai mengenai ‘subyek’ ‘subyek’ akan tetapi harus diperluas pada proses sosial di mana subyek itu berada. Artinya, mengenai bagaimana pendidikan dilaksanakan tidak dapat lagi dipikirkan sebaga sebagaii suatu suatu bidang bidang yang yang terpis terpisah ah yang yang menem menempati pati sub subyek yek ke dalam dalam ruang ruang yang yang terisol terisolasi asi (pada (pada sekolah sekolah sematasemata-ma mata) ta) karena karena pada pada dasarn dasarnya ya strukt struktur ur atau proses proses sos sosial ial telah terlebi terlebih h dahulu dahulu dan memiliki kekuatan yang lebih hebat dalam mendeterminasi siapa itu manusia. Dalam kerangka ini bahkan bisa dikatakan bahwa sekolah itu it u sendiri bukanlah bidang yang otonom melainkan bidang yang merupakan mata rantai saja dari proses sosial dan kesejarahannnya. Dengan Dengan demiki demikian, an, habitu habituss adalah adalah bidang bidang yang yang menent menentuka ukan n seluru seluruh h orient orientasi asi tindaka tindakan n dan transform transformasi asi suby subyek. ek. Mendidik Mendidik artinya artinya adalah membentuk membentuk habitus. Dengan Dengan memahami memahami mendidik mendidik sebagai mengubah atau mentransformasi habitus maka kita memahami bahwa mendidik bisa dilakukan dengan terlebih dahulu menyediakan prasyarat-prasyarat struktural dalam medan proses sosial yang memungkinkan tujuan-tujuan dalam habitus itu dimungkinkan. Lebih jauh lagi, dengan memahami mendidik sebagai mentransformasi habitus kita juga bisa mengarahkan bidang-bidang ‘di luar pendidikan’ sebagai ikut bertanggung jawab atau menentukan isi dan bentuk dari pendidikan. Akhirnya dengan itu, sejauh kita bertujuan untuk membentuk masyarakat yang terdidik maka tidak dapat tidak diperlukan upaya untuk mentotalisasi seluruh bidang-bidang kehidupan ke dalam tujuan-tujuan pendidikan. Artinya bidang-bidang kehidupan yang lain seperti ekonomi, politik, hukum harus dipertanyakan dan diuji di bawah logika dan tujuan-tujuan pendidikan; sejauh mana ekonomi, politik dan hukum bisa menjadi medium pembelajaran. Untuk mencapai taraf itu, melalui Bourdieu kita juga menemukan bahwa ada kode-kode sosial yang dapat digunakan untuk mendorong proses sosial menjadi medium pembelajaran. Di titik ini ada beberapa hal yang bisa dilakukan yakni pertama, negara mesti diarahkan untuk menyediakan kodekode yang bisa dipakai oleh dunia sosial kita sehingga proses sosial itu benar-benar menjadi edukatif. Salah satu hal yang mutlak mesti disediakan di sini adalah ‘akses dan kesetaraan dalam dunia simbolik kita’ dalam hal ini bahasa dan modus-modus asosiasi sosial yang memungkinkan orang belajar satu sama sama lain dan meng menghay hayati ati dun dunia ia sos sosial ialnya nya secara secara reflek reflektif. tif. Hal Hal kedua yang yang juga juga pentin penting g untuk untuk dilakukan dilakukan adalah kita perlu memperluas memperluas makna makna pendidikan. pendidikan. Pendidikan Pendidikan harus dikembalikan dikembalikan tidak pertama-tama sebagai kebudayaan, tetapi lebih luas lagi sebagai proses sosial itu sendiri.
Jurn Jurnal al Sos Sosiali ialita ta Vol. ol. 9 No. No. 1 Jun Juni 2011 2011,, Fak Fakulta ultass Ilm Ilmu Sosia osiall Univ Univer erssitas itas Nege Negeri ri Jaka Jakart rtaa
87
Pada Pada akhirn akhirnya ya sejauh sejauh dalam dalam kerang kerangka ka menjaw menjawab ab pertan pertanyaa yaan n meng mengenai enai perges pergeseran eran teori teori pendidikan, maka penelitian ini menemukan bahwa selain teori sosiologi mengenai pendidikan kita mulai mu lai bisa bisa merek merekons onstru truks ksii teori teori sos sosiol iologi ogi yang yang sekalig sekaligus us teori teori pendid pendidika ikan. n. Dari Dari sos sosiol iologi ogi yang yang mencoba memahami pendidikan sebagai obyek materialnya menjadi teori sosiologi yang menjadikan pendidikan sebagai tujuannya. Di titik inilah teori habitus Bourdieu bisa kita eksplorasi lebih jauh untuk menjadi teori yang menyediakan bagaimana pendidikan dilaksanakan.
Pustaka Acuan Ali Moertopo, Some Basic Thoughts on The Acceleration and Modernization of 25 Years Development
(Jakarta, Yayasan Proklamasi CSIS, 1972). Anthony Anthony Giddens, Giddens, Consti Constitut tution ion of Societ Society: y: Outlin Outlinee of the Theor Theoryy of Struc Structur turati ation on (California: University of California Press, 1986). B. Herry-Priy Herry-Priyono, ono, Tata (Jakarta, Penerbit Penerbit Tata bahas bahasa a Uang’ Uang’ dalam dalam Pendi Pendidik dikan an Manusi Manusia a Indone Indonesia sia (Jakarta, Kompas Gramedia dan Yayasan Astra, 2005). Chris Barker, The Sage Dictionary of Cultural Studies, (London; Oxford; Sage Publsiher) Edward Edward B. Taylor Taylor,, Primitive Primitive Culture: Culture: research researches es into the developm development ent of mythology mythology,, philosophy philosophy,, religion, art, and custom, (New York: Gordon Press,1871). M. Sastrapratedja. Peranan Etika Pembangunan dalam Sastrapratedja dkk (ed), Menguak Mitos-mitos Pembangunan: Telaah Etis dan Kritis (Jakarta: Gramedia, 1986). Pang Lay Kim & H. W. Arndt, “Survey of Recent Development”, dalam Bulletin of Economic Studies No. 4/Juni. Jerome Karabel dan A.H. Halsey (ed), Power and Ideology in Education (Oxford, Oxford University Press, 1977) John Kenneth Galbraith, The Good Society The Human Agenda, (New York: Houghton-Mifflin Trade and Reference, 1996). Michael Michael Grenfell dan David David James, Bourdieu and Education (Bristol: Farmer Press, 1988). Michele Foucault, Power/Knowledge (Sussex, Harvester Press, 1980) Peter Berger and Thomas Thomas Luckmann Luckmann , The Social Construction of Reality, (USA: (USA: Pengu Penguin in Books Books,, 1979). Pierre Bourdieu, Social Space and Symbolic Power , Sociological Theory, Vol 7/1, 1989. Pierre Bourdieu, The Logic of Practice, (California: Stanford University Press, 1980/1990). Pierre Bourdieu and Loïc J. D. Wacquant, An Invitation to Reflexive Sociology, (Chicago: (Chicago: University University Of Chicago Press, 1992). Pierre Bourdieu, In Other Words: Essays Toward a Reflexive Sociology , (Cambridge: Polity Press, 1990). Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, (London: Cambridge University Press, 1977). P. G. Suroso, Perekonomian Indonesia, Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994) Polanyi, Polanyi, Arensberg Arensberg dan Pearson, Pearson, Ekonomi Hans-Dieter Evers, Evers, Teori Teori Ekonomi Sebagai Sebagai Proses Proses Sosial Sosial dalam Hans-Dieter Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1988). Terry Eagleton, The Idea of Culture, (Oxford, Blackwell Publisher, 2000). Melville J. Herskovits, Man and His Works: The Science of Cultural Anthropology, (New York: Alfred A. Knopf, 1948). Richard Jenkins, Pierre Bourdie (London, Routledge, 1992). Richard Rorty, Philosophy in History, ed oleh Richard Rorty, J.B. Cheneewind dan Quentin Skinner (Cambridge: Cambridge University Press, 1984). Stephen Stephen Grenville, Grenville, “Monetary Policy and the Formal Formal Financial Financial Sectors”, Sectors”, dalam Booth and McCawley McCawley (editors) The Indonesian (Petaling Jaya: Oxford Oxford University University Indonesian Economy Economy During During Soeharto Soeharto Era, (Petaling Press, 1981b). Syamdani, Kontrovesi Sejarah Di Indonesia, (Jakarta:Grasindo, 2001). W. W. Rostow, The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto, (England: Cambridge University Press, 1960). 88
Jurn Jurnaal Sos Sosiali ialita ta Vol. Vol. 9 No. 1 Juni 2011 2011,, Fakul akulttas Ilm Ilmu Sos Sosial ial Univ nivers ersitas itas Neger egerii Jak Jakarta arta