BAB I PENDAHULUAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 FATIGUE
Fati Fatigu guee atau atau kele kelela laha han n adal adalah ah sala salah h satu satu geja gejala la yang yang pali paling ng umum umum di dala dalam m kedoktera kedokteran n klinis. klinis. Fatigue Fatigue adalah adalah manifesta manifestasi si yang timbul dari penyakit sistemik, sistemik, neurologi, psikiatrik sindrom, meskipun penyebab pasti tidak diidentifikasikan dalam beberapa pasien. Kelelahan mengacu pada pengalaman manusia secara subjektif dari kelelahan fisik dan mental. Dalam konteks kedokteran klinis, fatigue didefinisikan sebagai kesulitan dalam memulai atau mempertahankan aktivitas mental dan fisik. Hampir semua orang yang pernah menderita penyakit self-limiting telah mengalami gejala gejala yang yang unive universa rsall dan fatigu fatiguee biasan biasanya ya menjad menjadii pusat pusat perhat perhatian ian medis medis bila bila penyebab nya tidak diketahui atau tidak jelas atau keparahan yang tidak sesuai dengan pemicunya.
Kelelahan harus dibedakan dari kelemahan otot, penurunan kekuatan neuromuskuler; sebagian besar pasien mengeluh kelelahan tidak mengelami kelemahan otot ketika kekuatan otot diperiksa. Menurut definisi, kelelahan juga berbeda dari somnolen dan dispne dispneu u saat saat aktifi aktifitas tas,, meskip meskipun un pasien pasien dapat dapat menggu mengguna nakan kan kata kata fatigu fatiguee untuk untuk mendeskripsikan kedua gejala tersebut. Tugas yang dihadapi oleh para dokter klinis ketika pasien dengan gejala fatigue adalah untuk mengidentifikasi penyebab yang mendasarinya dan untuk mengembangkan aliansi terapi. EPIDEMIOLOGI
Variabilitas dalam definisi kelelahan dan instrumental survei digunakan dalam studi yang berbeda membuatnya sulit untuk sampai pada angka yang tepat tentang beban global dari kelelahan. Prevalensi kelelahan adalah 6,7 % dan prevalensi seumur hidup adalah 25 % dari populasi umum AS melalui National Institute Kesehatan Mental survei. Di klinik perawatan primer di Eropa dan Amerika Serikat , antara 10 dan 25 % dari pasien yang disurvei didapatkan gejala prolonged fatigue (> 1 bulan ) atau kronis 1
fatigue (> 6 bulan ), tetapi hanya sebagian kecil pasien yang mendapat perhatian medis untuk mencari penyebab utama dari fatigue. Dalam sebuah survei komunitas peremp per empua uan n di Ind India ia , 12 % dil dilap apork orkan an men menga galam lamii ke kelel lelah ahan an kro kronis nis.. Seb Sebali alikny knya, a, prevalensi sindrom kelelahan kronis , seperti yang didefinisikan oleh Pusat AS untuk Pengendalian dan Pencegahan Penyakit , tergolong rendah.
DIAGNOSA DIFERENSIAL -
Psikiatrik Kelela Kel elaha han n mer merupa upakan kan man manife ifesta stasi si som somati atik k umu umum m da dari ri ban banyak yak sin sindro drom m psikiatrik, termasuk depresi, kecemasan, dan gangguan somatoform. Fejala kejiwaan dilaporkan lebih dari tiga-perempat pasien dengan kelelahan kronis yang tidak dapat dijelaskan. Bahkan pada pasien dengan sindrom sistemik atau neurologis yang secara independen menjelaskan fatigue sebagai manifestasi dari penyakit, gejala kejiwaan masih mungkin menjadi sumber penting dari interaksi.
-
Neurologi Pasien mengeluh kelelahan sering mengatakan merasa lemah, tetapi setelah pemeriksaan dengan seksama, kelemahan otot secara objektif jarang dilihat. Jika ditemukan kelemahan otot kemudian harus ditentukan letak kelainan nya : sistem saraf pusat, sistem saraf perifer, neuromuskuler junction, atau otot dan dilakukan pemeriksaan tindak lanjut yang sesuai. Fatigabilitas dari kekuatan otot merupakan manifestasi kardinal dari beberapa gangguan neuromuskuler sepe se pert rtii my myas asth then enia ia gr grav avis is da dan n da dapa patt di dibe beda daka kan n da dari ri ke kele lela laha han n de deng ngan an menemukan penurunan klinis yang jelas dari jumlah gaya yang menghasilkan otot pada kontraksi berulang. Kelela Kel elaha han n ada adalah lah sal salah ah sat satu u gej gejala ala yan yang g pa palin ling g umu umum m dil dilapo aporka rkan n pad padaa penyak pen yakit it mul multip tiple le scl sclero erosis sis (MS (MS), ), yan yang g mem mempen pengar garuhi uhi ha hampi mpirr 90% da dari ri pasien. pasie n. Kelel Kelelaha ahan n pada MS dapa dapatt berta bertahan han antara sera serangan ngan MS dan tidak selalu sel alu be berko rkorel relasi asi den dengan gan akt aktivi ivitas tas pen penyak yakit it pad padaa pe pemer meriks iksaan aan mag magnet netic ic resonance imaging (MRI). Kelelahan juga dapat diidentifikasi pada beberapa penyakit neurodegenerative lainnya, termasuk penyakit Parkinson, dysautonomias pusat, dan amyotrophic latera lat erall sc scler lerosi osis. s. Pas Pasca ca str stroke oke kel kelela elahan han dap dapat at dij dijela elaska skan n tet tetapi api kur kurang ang
2
fatigue (> 6 bulan ), tetapi hanya sebagian kecil pasien yang mendapat perhatian medis untuk mencari penyebab utama dari fatigue. Dalam sebuah survei komunitas peremp per empua uan n di Ind India ia , 12 % dil dilap apork orkan an men menga galam lamii ke kelel lelah ahan an kro kronis nis.. Seb Sebali alikny knya, a, prevalensi sindrom kelelahan kronis , seperti yang didefinisikan oleh Pusat AS untuk Pengendalian dan Pencegahan Penyakit , tergolong rendah.
DIAGNOSA DIFERENSIAL -
Psikiatrik Kelela Kel elaha han n mer merupa upakan kan man manife ifesta stasi si som somati atik k umu umum m da dari ri ban banyak yak sin sindro drom m psikiatrik, termasuk depresi, kecemasan, dan gangguan somatoform. Fejala kejiwaan dilaporkan lebih dari tiga-perempat pasien dengan kelelahan kronis yang tidak dapat dijelaskan. Bahkan pada pasien dengan sindrom sistemik atau neurologis yang secara independen menjelaskan fatigue sebagai manifestasi dari penyakit, gejala kejiwaan masih mungkin menjadi sumber penting dari interaksi.
-
Neurologi Pasien mengeluh kelelahan sering mengatakan merasa lemah, tetapi setelah pemeriksaan dengan seksama, kelemahan otot secara objektif jarang dilihat. Jika ditemukan kelemahan otot kemudian harus ditentukan letak kelainan nya : sistem saraf pusat, sistem saraf perifer, neuromuskuler junction, atau otot dan dilakukan pemeriksaan tindak lanjut yang sesuai. Fatigabilitas dari kekuatan otot merupakan manifestasi kardinal dari beberapa gangguan neuromuskuler sepe se pert rtii my myas asth then enia ia gr grav avis is da dan n da dapa patt di dibe beda daka kan n da dari ri ke kele lela laha han n de deng ngan an menemukan penurunan klinis yang jelas dari jumlah gaya yang menghasilkan otot pada kontraksi berulang. Kelela Kel elaha han n ada adalah lah sal salah ah sat satu u gej gejala ala yan yang g pa palin ling g umu umum m dil dilapo aporka rkan n pad padaa penyak pen yakit it mul multip tiple le scl sclero erosis sis (MS (MS), ), yan yang g mem mempen pengar garuhi uhi ha hampi mpirr 90% da dari ri pasien. pasie n. Kelel Kelelaha ahan n pada MS dapa dapatt berta bertahan han antara sera serangan ngan MS dan tidak selalu sel alu be berko rkorel relasi asi den dengan gan akt aktivi ivitas tas pen penyak yakit it pad padaa pe pemer meriks iksaan aan mag magnet netic ic resonance imaging (MRI). Kelelahan juga dapat diidentifikasi pada beberapa penyakit neurodegenerative lainnya, termasuk penyakit Parkinson, dysautonomias pusat, dan amyotrophic latera lat erall sc scler lerosi osis. s. Pas Pasca ca str stroke oke kel kelela elahan han dap dapat at dij dijela elaska skan n tet tetapi api kur kurang ang
2
dipahami dengan prevalensi sangat beragam. Kelelahan episodik juga dapat menjadi gejala pertanda migrain. Kelelahan juga merupakan hasil dari cedera otak traumatis, sering terjadi dalam hubungan dengan depresi dan gangguan tidur. -
Sleep disorder Sleep apneu obstruktif merupakan penyebab penting dari rasa ngantuk siang hari yang berlebihan yang berkaitan dengan kelelahan dan harus di tindak lanjutin lanju tin meng mengguna gunakan kan polys polysomno omnograp graphy hy sepa sepanjan njang g mala malam. m. Teru Terutama tama pada pasien yang mendengkur, obesitas, atau prediktor lainnya dari sleep apneu obstruktif.
-
Penyakit endokrin Kelelahan , kadang-kadang berkaitan dengan kelemahan otot, bisa menjadi gejala gej ala da dari ri hip hipoti otiroi roidis disme, me, ter teruta utama ma dal dalam am kon kontek tekss ram rambut but ron rontok tok,, kul kulit it kering ker ing,, int intole oleran ransi si uda udara ra din dingin gin,, se sembe mbelit, lit, da dan n ber berat at bad badan an men mening ingkat kat.. Kelelahan dalam hubungan dengan intoleransi panas, berkeringat, dan jantung berdebar berde bar khas dari hipe hipertiroid rtiroidisme. isme. Insu Insufisie fisiensi nsi adre adrenal nal juga bisa terwujud dengan den gan kel kelela elahan han yan yang g tid tidak ak da dapat pat dij dijela elaska skan n seb sebag agai ai gej gejala ala pri primer mer ata atau u menonjol, meno njol, dala dalam m hubu hubungan ngannya nya deng dengan an anore anoreksia ksia,, penu penurunan runan bera beratt bada badan, n, mual, mialgia , dan artralgia. Hiponatremia dan hiperkalemia dapat muncul pada saat diagnosis. Hiperkalsemia ringan dapat menyebabkan kelelahan, kelelahan, yang mung mu ngki kin n
rela re lati tiff
men me nye yeba bab bka kan n
jela je lass
leta le targ rgi, i,
,
seda se dang ngka kan n
stu st upo porr
dan da n
hipe hi perk rkal alse semi miaa kom ko ma.
Kedu Ke duaa
yang ya ng pa para rah h hip ipo ogl glik ikeemi miaa
dapa da patt dan da n
hiperglikemia dapat menyebabkan letargi, sering berkaitan dengan confusion; diabet dia betes es kro kronis nis,, ter teruta utama ma dia diabet betes es tip tipee 1 , jug jugaa ter terkai kaitt den dengan gan kel kelela elahan han independen kadar glukosa. Kelelahan juga bisa menyertai Cushing disease, hypoaldosteronism, hypoaldosteron ism, dan hipogonadisme. -
Penyakit hati dan ginjal Gagal ginjal kronis dan gagal hati kronis dapat menyebabkan kelelahan. kelelahan. Lebih dari 80% pasien hemodialisa mengeluh kelelahan.
-
Malnutrisi
3
Meskipun kelelahan juga merupakan manifestasi dari malnutrisi, tetapi status gizi juga dapat menjadi komorbiditas penting dan contributor pada kelelahan pada penyakit kronis lainnya, termasuk kanker yang terkait fatigue. -
Kardiovaskular dan pulmo Kelelahan juga dapat ditemukan pada pasien dengan gagal jantung kongestif dan penyakit paru obstruksi kronik dan menyebabkan kualitas hidup yang buruk
-
Obat-obatan Penggunaan narkoba , drug withdrawal , dan penggunaan alkohol kronis semua dapat menyebabkan kelelahan . Obat-obatan yang lebih mungkin untuk menjadi penyebab dalam konteks ini termasuk antidepresan , antipsikotik , anxiolytics , opiat , agen antispasticity , agen anti kejang , dan beta blockers .
-
Malignancy Kelelahan yang berkaitan dengan penurunan berat badan yang tidak diinginkan dan tidak dapat dijelaskan, dapat menjadi tanda dari keganasan. Tetapi ini jarang diidentifikasi sebagai penyebab pada pasien dengan kelelahan kronis yang tidak dapat dijelaskan dengan tidak adanya tanda-tanda maupun gejala kanker. Cancer yang terkait dengan keganasan dialami oleh 40 % dari pasien pada saat diagnosis dan lebih besar dari 80 % dari pasien kemudian dalam perjalanan penyakit .
-
Kehamilan Kelelahan biasa dialami oleh wanita yang sedang hamil atau postpartum
-
Hematologi Anemia kronis atau progresif mungkin hadir dengan kelelahan , kadangkadang berkaitan dengan takikardia saat aktivitas dan sesak napas. Anemia juga dapat berkontribusi untuk terjadikelelahan pada penyakit kronis. Rendah feritin dalam serum dengan tidak adanya anemia juga dapat menyebabkan kelelahan yang reversibel dengan penggantian besi .
-
Inflamasi sistemik / penyakit rhematik Kelelahan adalah keluhan yang menonjol dalam banyak gangguan inflamasi kronis, termasuk lupus eritematosus sistemik, polymyalgia rheumatica,
4
rheumatoid arthritis, inflamatory bowel disease, antineutrophil sitoplasma antibodi ( ANCA ) terkait vaskulitis, sarcoidosis, dan sindrom Sj ögren -
Infeksi Kedua infeksi akut dan kronis umumnya menyebabkan kelelahan sebagai bagian dari infeksi yang meluas. Evaluasi untuk infeksi yang tidak terdiagnosis sebagai penyebab kelelahan yang tidak dapat dijelaskan dan terutama berkepanjangan atau kronis, harus dipandu oleh riwayat pasien, pemeriksaan fisik, dan faktor risiko infeksi, dengan perhatian khusus pada risiko untuk TB, HIV, hepatitis B dan C, dan endokarditis. Mononukleosis juga dapat menyebabkan kelelahan berkepanjangan yang berlangsung selama minggu sampai bulan setelah penyakit akut, tetapi infeksi virus Epstein - Barr sangat jarang menjadi penyebab kelelahan kronis yang tidak dapat dijelaskan
-
Obesitas
-
Disorder dengan penyebab yang tidak jelas Sindrom kelelahan kronis dan fibromyalgia menggabungkan kelelahan kronis sebagai bagian dari definisi sindrom dengan sejumlah kriteria inklusi dan eksklusi lainnya. Patofisiologi masing-masing tidak diketahui. Kelelahan kronis idiopatik digunakan untuk menggambarkan sindrom kelelahan kronis yang tidak dapat dijelaskan dengan tidak adanya gambaran klinis tambahan untuk memenuhi kriteria diagnostik sindrom kelelahan kronis .
2.2 MULTIPEL SKLEROSIS DEFINISI
Multiple sklerosis adalah suatu penyakit autoimun kronik yang menyerang myelin otak dan medulla spinalis. Penyakit ini menyebabkan kerusakan myelin dan juga akson yang mengakibatkan gangguan transmisi konduksi saraf. Peradangan yang terjadi di otak dan sumsum tulang belakang yang menyerang daerah substansia alba dan merupakan penyebab utama kecacatan pada dewasa muda. Penyebabnya dapat disebabkan oleh banyak faktor, terutama proses autoimun.
Focal lymphocytic
infiltration atau sel T bermigrasi keluar dari lymph node ke dalam sirkulasi
menembus sawar darah otak ( blood brain barrier ) secara terus-menerus menuju
5
lokasi dan melakukan penyerangan pada antigen myelin pada sistem saraf pusat seperti yang umum terjadi pada setiap infeksi. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya inflamasi, kerusakan pada myelin (demyelinisasi), neuroaxonal injury, astrogliosis, dan proses degenerative. Akibat demyelinasi neuron menjadi kurang efisien dalam potensial aksi. Transmisi impuls yang disampaikan oleh neuron yang terdemyelinisasi akan menjadi buruk. Akibat 'kebocoran' impuls tersebut, terjadi kelemahan dan kesulitan dalam mengendalikan otot atau kegiatan sensorik tertentu di berbagai bagian tubuh. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia penyakit ini tergolong jarang dibandingkan penyakit neurologis lainnya. MS lebih sering menyerang perempuan dibandingkan laki laki dengan rasio 2:1. Umumnya penyakit ini diderita mereka yang berusia 20-50 tahun. MS bersifat progresif dan dapat mengakibatkan kecacatan. Sekitar 50% penderita MS akan membutuhkan bantuan untuk berjalan dalam 15 tahun setelah onset penyakit. ETIOLOGI
Etiologi dari kelainan tersebut masih belum jelas. Ada beberapa mekanisme penting yang menjadi penyebab timbulnya MS yaitu autoimun,(molecular mimikri), infeksi, herediter, paparan sinar matahari. Meskipun bukti yang meyakinkan kurang, faktor makanan dan paparan toksin telah dilaporkan ikut berkontribusi juga. Mekanisme ini tidak saling berdiri sendiri melainkan merupakan gabungan dari berbagai faktor. 1. Virus : EBV 2. Defisiensi vitamin D: vitamin D berfungsi untuk mengatur respon imun.
Vitamin
D
mengurangi
produksi dari
sitokin
pro inflamatori
dan
meningkatkan produksi sitokin anti inflamatori. 3. Genetika : penurunan kontrol respon immune KLASIFIKASI
Berdasarkan perbedaan klinis dan gejala, terdapat beberapa tipe MS: a. Relapsing remitting MS (RRMS)
6
Tipe ini ditandai dengan episode relaps atau eksaserbasi yang diikuti dengan episode remisi (perbaikan). Sekitar 85% pasien MS memiliki tipe RRMS, 65 % diantaranya akan berkembang menjadi tipe secondary progressive MS (SPMS) b. Secondary progressive MS (SPMS) Banyak pakar yang menganggap SPMS merupakan bentuk lanjut dari RRMS yang berkembang progresif. Pada tipe ini episode remisi makin berkurang dan gejala menjadi makin progresif
c. Primary progressive MS (PPMS) PPMS diderita oleh 10-15% pasien MS dengan rasio perempuan : laki laki= 1:1. Gejala yang timbul tidak pernah mengalami fase remisi d. Primary relapsing MS (PRMS) Bentuk PRMS adalah yang paling jarang. Pasien terus mengalami perburukan dengan beberapa episode eksaserbasi diantaranya. Tidak ada fase remisi atau bebas dari gejala.
PATOFISIOLOGI
Mekanisme autoimun diduga terjadi melalui penurunan aktifitas limfosit Tsupresor pada sirkulasi pasien penderita MS serta adanya molecular mimicry antara antigen dan MBP ( myelin basic protein) yang mengaktifkan klon sel T yang spesifik terhadap MBP ( MBP specific T-cell clone). Limfosit T4 menjadi autoreaktif pada paparan antigen asing yang strukturalnya mirip dengan MBP. Tidak hanya beberapa
7
virus dan peptida bakteri saja yang memiliki kesamaan struktural dengan MBP, tetapi beberapa dari mikroorganisme tersebut dapat mengaktifkan MBP-spesifik T-sel klon pada pasien MS. Beberapa infeksi virus diketahui menyebabkan demyelinasi pada manusia diantaranya progressive multifocal leukoencephalopathy yang disebabkan oleh polyomavirus JC, subakut sclerosing panencephalitis oleh virus campak. Pada MS studi serologis awal sulit ditafsirkan. Namun, banyak pasien MS terdapat elevasi titer CSF terhadap virus campak dan herpes simpleks (HSV), tetapi ini juga tidak spesifik. Secara patologi, lesi MS akan memperlihatkan plak yang merupakan lesi demielinisasi. Plak ini merupakan gambaran patognomik MS. Pada fase akut tampak sebukan sel radang, hilangnya myelin, dan pembengkakan parenkim. Pada fase kronik, kehilangan myelin menjadi lebih jelas, dengan sel sel makrofag disekitarnya disertai kerusakan akson dan apoptosis oligodendrosit. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis yang muncul sesuai dengan daerah lesi yang terkena. Terdapat beberapa gejala dan tanda yang timbul pada MS: 1. 2. 3. 4.
Kehilangan fungsi sensorik (paresthesia): gejala awal Neuritis optik: gejala awal Gejala pada corda spinalis (motorik): cramping akibat spastisitas Gejala pada corda spinalis (otonom): gangguan BAB dan BAK,
disfungsi seksual 5. Cerebellar symptom: triad charcot (disartia, tremor, ataksia) 6. Trigeminal neuralgia 7. Facial myokymia 8. Diplopia akibat ophtalmoplegia internuklear dan nistagmus 9. Heat intolerance 10. Mudah lelah (70% kasus) 11. Nyeri 12. Menurunnya fungsi kognitif 13. Depresi 14. Bipolar, dementia 15. Tanda lhermitte (Sensasi listrik dari leher ke bawah yang dirasakan pada fleksi leher): Pada MS yang menyerang medula spinalis
8
Gejala neurologis yang sering timbul pertama kali pada multipel sklerosis adalah neuritis optik pada 14-23 % pasien dan lebih dari 50% pasien pernah mengalaminya. Gejala yang dialami adalah penglihatan kabur, pada orang kulit putih biasanya mengenai satu mata, sedangkan pada orang asia lebih sering pada kedua mata. Pada pemeriksaan fisik ditemukan refleks pupil yang menurun, penurunan visus, gangguan persepsi warna dan skotoma sentral. Funduskopi pada fase akut menunjukkan papil yang hiperemis tetapi dapat normal pada neuritis optika posterior/retrobulbar. Sedangkan pada fase kronis dapat terlihat atrofi papil. Selain itu pada neuritis optika umumnya pasien mengeluh nyeri pada orbita yang dapat timbul spontan terus-menerus atau pada pergerakan bola mata. Selain itu terdapat suatu fenomena yang unik yang disebut fenomena Uhthofff dimana gejala penurunan visus (bersifat temporal) dieksaserbasi oleh suhu panas atau latihan fisik. Diplopia juga dapat muncul pada MS meskipun lebih jarang dibandingkan neuritis optika. Gangguan sensorik merupakan manifestasi klinis awal yang juga sering dialami oleh 21-55% pasien MS. Umumnya gejala yang timbul berupa rasa baal (hipestesi), kesemutan (parestesi), rasa terbakar (disestesi) maupun hiperestesi. Kelainan tersebut dapat timbul pada satu ekstremitas atau lebih, dan pada tubuh atau wajah. Selain itu proprioseptif, rasa vibrasi, dan diskriminasi dua titik juga dapat terganggu sehingga menimbulkan kesulitan menulis, mengetik atau mengancing baju. Gejala proprioseptif ini umumnya timbul bilateral dan bila terdapat lesi di daerah lemniskus gangguan proprioseptif tersebut hanya mengenai lengan yang dinamakan useless hand syndrome. Gejala tersebut umumnya mengalami remisi dalam beberapa bulan. Tanda
yang sering terjadi pada penderita MS meskipun tidak karakteristik adalah tanda Lhermitte; bila kepala difleksikan secara pasif, timbul parestesi sepanjang bahu, punggung dan lengan. Hal ini mungkin disebabkan akson yang mengalami demyelinisasi sensitivitasnya meningkat terhadap tekanan ke spinal yang diakibatkan fleksi kepala. Gangguan serebelum juga sering terjadi pada MS meskipun jarang menjadi gejala utama. Manifestasi klinisnya ataksia serebelaris, baik yang mengenai gerakan motorik halus (dismetria, disdiadokokinesia, intention tremor), gait, maupun artikulasi (scanning speech, disartria). Selain itu dapat timbul pula nistagmus, terutama yang horizontal dan vertikal. 9
Hemiparesis yang diakibatkan lesi kortikospinal dapat terjadi pada MS meski frekuensinya lebih kecil. Demikian juga lesi di medula spinalis dapat menyebabkan sindroma Brown-Sequard atau mielitis transversa yang mengakibatkan paraplegi (umumnya tidak simetris), level sensorik dan gangguan miksi-defekasi. Refleks patologis dan/atau hiperrefleksia bilateral dengan atau tanpa kelemahan motorik merupakan manifestasi yang lebih sering dan merupakan tanda lesi kortikospinal bilateral. Yang karakteristik, meskipun kelemahan hanya pada satu sisi, refleks patologis selalu bilateral. Spastisitas dapat menyebabkan gejala kram otot pada pasien MS. Kelelahan/fatigue merupakan gejala non spesifik pada MS dan terjadi pada hampir 90% pasien MS. Kelelahan dapat merupakan kelelahan fisik pada waktu exercise berlebihan ataupun pada temperatur panas maupun kelelahan/kelambatan mental. Gangguan memori dapat terjadi pada pasien MS. Menurut penelitian Thornton dkk memori jangka pendek, working memori dan memori jangka panjang umumnya terganggu pada pasien MS. Selain itu juga didapatkan gangguan atensi. Gangguan emosi berupa iritabilitas dan afek pseudobulbar berupa forced laughing atau forced crying umum terjadi pada pasien MS disebabkan lesi hemisfer bilateral.
Gejala lainnya yang lebih jarang meliputi neuralgia trigeminal (bilateral), gangguan lain pada batang otak berupa paresis n. facialis perifer (bilateral), gangguan pendengaran, tinitus, v értigo, dan sangat jarang penurunan kesadaran (stupor dan koma)
DIAGNOSIS
Tidak ada satu tes pun yang dapat memastikan diagnosis MS. Multiple sclerosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Penegakan diagnosis mempergunakan
kriteria diagnostik seperti Kriteria McDonald. Saat ini yang dipergunakan adalah kriteria McDonald revisi 2010. Diagnosis MS perlu dipikirkan apabila didapatkan gejala-gejala neurologis dengan episode remisi dan eksaserbasi ataupun progresif dan tidak ditemukan sebab lain yang dapat menjelaskan gejala tersebut.
10
.
11
Dengan demikian, untuk menegakkan diagnosis MS, perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengeksklusi diagnosis diferensial, seperti tumor otak, infeksi otak, stroke, trauma kepala maupun gangguan metabolik. Pemeriksaan pungsi lumbal harus dilakukan bukan untuk menegakkan diagnosis, tetapi menyingkirkan kemungkinan infeksi otak. Pemeriksaan oligoclonal band tidak lagi menjadi standar emas penegakan diagnosis MS, kecuali pada tipe
PPMS—peran oligoclonal band menjadi lebih besar. Pada pemeriksaan MRI kepala dapat ditemukan lesi hiperintens di periventrikular, jukstakortikal, infratentorial, dan medulla spinalis. Gambaran yang cukup khas pada lesi MS adalah ovoid lesion dan dawson finger. Multiple sclerosis juga dapat menyerang medula spinalis dan mengakibatkan
gejala, seperti mielitis. Multiple sclerosis yang mengenai medula spinalis perlu dibedakan dengan neuromielitis optika (NMO) atau Devic’s disease. NMO awalnya dikategorikan sebagai varian dari MS. Akan tetapi, saat ini telah diketahui bahwa NMO adalah suatu penyakit autoimun yang berbeda dengan MS. Membedakan MS dan NMO menjadipenting karena pengobatan kedua penyakit ini berbeda. Sebagaimana MS, NMO yang merupakan penyakit autoimun dapat memperlihatkan gejala dengan episode remisi dan eksaserbasi. Gejala utamanya adalah gangguan penglihatan yang umumnya lebih berat dibandingkan MS dan gejala mielitis. Gambaran MRI kepala NMO bisa normal atau apabila ditemukan lesi, lesi tersebut haruslah tidak memenuhi kriteria MS. Sedangkan gambaran lesi myelitis pada MRI memperlihatkan lesi hiperintens yang mengenai medula spinalis sepanjang lebih dari 3 segmen vertebra ( longitudinally extensive spinal cord lesion). Diagnosis NMO ditegakkan dengan menggunakan kriteria
Wingerchuck.
12
Lumbal pungsi Lumbal pungsi dilakukan jika tidak ada MRI. Pada pemeriksaan ditemukan oligoclonal band dan produksi IGG intratekal.
DIAGNOSA BANDING
Diagnosa banding utama untuk menjadi pertimbangan tergantung pada manifestasi neurologis dalam kasus: • Defisit saraf kranial mungkin saja berhubungan dengan berbagai jenis lesi fokal, seperti sebuah tumor dermoid basis kranii, suatu tumor dari serebelopontine angel, suatu tumor di foramen magnum, suatu optik glioma atau sphenoid wing meningioma
13
dengan atrofi saraf optik, suatu brainstem astrocytoma, brainstem encephalitis, dan lain-lain. • Suatu hemiplegia mungkin saja berhubungan dengan suatu tumor otak atau stroke • Kejang paraparesis mungkin saja berhubungan dengan suatu tumor saraf tulang belakang atau cervical spondylotic myelopathy. • Paraparesis berulang mungkin saja berhubungan dengan suatu malformasi vaskular pada saraf tulang belakang. • Gejala dari serebellar dan traktus piramidal, dan mungkin juga gejala dari batang otak, mungkin saja berhubungan dengan suatu massa atau bentuk malformasi batang otak atau craniocervical junction. Beberapa gejala sering misdiagnosed sebagai multipel sklerosis. Bentuk malformasi vaskuler batang otak, juga dapat menyebabkan gejala neurologis yang berubah-ubah dengan onset usia pertengahan atau usia tua. • Keterlibatan dari berbagai area dari sistem saraf pusat mungkin saja berhubungan dengan penyakit sistemik seperti sistemik lupus erythematosus, sarcoidosis, penyakit vaskuler, toxic encephalomyelopathy, hypothyroidism, atau funicular myelosis. • Keterlibatan mata dan sistem saraf pusat mungkin saja berhubungan dengan suatu vaskulitis atau intoksikasi. Uveitis ditemukan bersama-sama dengan kelainan neurologis dalam uveoencephalomyelitis (Vogt-Koyanagi-Harada syndrom), suatu hal yang jarang, kiranya adalah sindrom virus dimana terjadi uveitis, gangguan gaya berjalan, leukodermia, munculnya uban, encephalitis, dan tanda meningeal yang berubah-ubah. • Behcet’s disease dapat menyebabkan apththous ulcer, manifestasi okular, dan manifestasi saraf pusat, terutama brainstem encephalitis.
PENATALAKSANAAN TERAPI SIMPTOMATIK
Selain primary care, terapi simptomatik juga harus dipertimbangkan diantaranya adalah : 1.
Spasticity, spastisitas ringan dapat dikurangi dengan peregangan dan program
exercise seperti yoga, terapi fisik, atau terapi lainnya. Medikasi diberikan ketika
14
ada kekakuan, spasme, atau klonus saat beraktivitas atau kondisi tidur. Baclofen, tizanidine, gabapentin, dan benzodiazepine efektif sebagai agen antispastik. 2. Paroxysmal disorder . Pada berbagai kasus, penggunaan carbamazepin memberikan respon yang baik pada spasme distonik. Nyeri paroxysmal dapat diberikan antikonvulsan atau amitriptilin. 3. Bladder dysfunction. Urinalisis dan kultur harus dipertimbangkan dan pemberian terapi infeksi jika dibutuhkan. Langkah pertama yang dilakukan ada mendeteksi problem apakah kegagalan dalam mengosongkan bladder atau menyimpan urin. Obat antikolinergik Oxybutinin dan Tolterodine efektif untuk kegagalan dalam menyimpan urin diluar adanya infeksi. 4. Bowel symptom. Konstipasi merupakan masalah umum pada pasien MS dan harus diterapi sesegera mungkin untuk menghindari komplikasi. Inkontinensia fekal cukup jarang. Namun bila ada, penambahan serat dapat memperkeras tinja sehingga dapat membantu spingter yang inkompeten dalam menahan pergerakan usus. Penggunaan antikolinergik atau antidiare cukup efektif pada inkontinensia dan diare yang terjadi bersamaan. 5. Sexual symptom. Masalah seksual yang muncul antara lain penurunan libido, gangguan disfungsi ereksi, penurunan lubrikan, peningkatan spastisitas, rasa sensasi panas dapat terjadi. Pada beberapa pasien MS, gangguan disfungsi ereksi dapat diatasi dengan sildenafil. 6. Neurobehavior manifestation. Depresi terjadi lebih dari separuh dari pasien dengan MS. Pasien dengan depresi ringan dan transien dapat dilakukan terapi suportif. Pasien dengan depresi berat sebaiknya diberikan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) yang memiliki efek sedative yang lebih kecil
disbanding antidepresan lain. Amitriptilin dapat digunakan bagi pasien yang memiliki kesulitan tidur atau memiliki sakit kepala. 7. Fatigue. Kelelahan dapat diatasi dengan istirahat cukup atau penggunaan medikasi. Amantadine 100 mg dua kali perhari cukup efektif. Modafinil, obat narcolepsy yang bekerja sebagai stimulant SSP telah ditemukan memiliki efek yang bagus pada pasien MS. Obat diberikan dengan dosis 200 mg satu kali sehari pada pagi hari. SSRIs juga dapat menghilangkan kelelahan pada pasien MS. Amantadine memiliki efek anti influenza A dan baik diberikan pada Oktober hingga Maret. TERAPI RELAPS
15
Pengobatan relaps dilakukan dengan pemberian metilprednisolon 500-1000 mg IV selama 3-5 hari. Metilprednisolon diberikan sekali pada pagi hari dalam saline normal selama 60 menit. Pemberian metilprednisolon lebih dari 5 hari tidak memberikan hasil yang lebih baik. Pada pasien dengan MS, fisoterapi harus selalu dilakukan untuk meningkatkan fungsi dan kualitas hidup dari ketergantungan obat therapy. Perawatan pendukung berupa konseling, terapi okupasi, saran dari sosial, masukan dari perawat, dan partisipasi dalam patient support group merupakan bagian dari perawatan kesehatan dengan pendekatan tim dalam pengelolaan MS.
DISEASE- MODIFYING THERAPIES
Interferon beta Berdasarkan guideline NICE, pasien RRMS direkomendasikan untuk mendapatkan terapi Interferon Beta, baik jenis Interferon Beta 1a maupun 1b. Beta interferon dapat mengurangi jumlah lesi inflamasi 50-80% yang terlihat pada MRI. Tipe SPMS juga direkomendasikan untuk mendapatkan terapi Interferon Beta.
Glatiramer asetat Obat ini didesain untuk berkompetisi dengan myelin basic protein. Pemberian Glatiramer Asetat 20mg/hari subkutan dapat menurunkan frekuensi relaps pada RRMS.
Fingolimod Obat ini merupakan satu-satunya obat MS dalam sediaan oral. Fingolimod diindikasikan untuk tipe aktif RRMS. Atau dapat menjadi pilihan berikutnya apabila pengobatan RRMS dengan Interferon beta tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Natalizumab Merupakan suatu antibodi monoklonal yang diberikan pada kasus-kasus MS yang agresif. Pada kasus RRMS yang tidak memberikan hasil optimal dengan Interferon Beta, GA maupun Fingolimod maka terapi dapat dialihkan ke Natalizumab, atau pada
16
kasus-kasus yang intoleran terhadap obat-obat sebelumya. Natalizumab tergolong dalam obat lini kedua dalam terapi MS.
Mitoxantrone Obat antikanker ini dapat menurunkan frekuensi relaps dan menahan progresifitas MS. Mitoxantrone direkomendasikan pada RRMS yang sangat aktif atau SPMS yang sangat progresif. Mitoxantrone tergolong dalam obat lini ke 3 dalam terapi MS. Untuk tipe PPMS hingga saat ini tidak ada terapi yang direkomedasikan. Terapi hanya bersifat simptomatis. Fenitoin Fenitoin yang merupakan obat antiepileptic. Dalam uji coba nya fenitoin bersifat neuroprotective terhadap degenerasi serabut saraf retina pada pasien neuritis optic. Fenitoin yang bekerja sebagai sodium channel blocker. Pada daerah inflamasi, akson akan dipenuhi oleh sodium dan menyebabkan masuknya calcium ke dalam sel yang menyebabkan kematian sel. Dengan pemberian fenitoin sebagai sodium channel blocker maka dapat mencegah kematian sel. Dosis yang dipergunakan dalam penelitian 15 mg/kgbb selama 3 hari dan dilanjutkan 4 mg/kgbb dalam 13 minggu. Hasil penelitian menunjukkan pasien neuritis optic yang diberikan fenitoin dalam 3 bulan dapat mencegah 30% lebih baik dibanding dengan pemberian placebo. KOMPLIKASI
1. Depresi 2. Kesulitan dalam menelan 3. Kesulitan berppikir dan berkonsentrasi 4. Hilang dan menurunnya kemampuan merawat diri sendiri 5. Membutuhkan kateter 6. Osteoporosis 7. Infeksi saluran kemih PROGNOSIS
Jika tidak diobati, lebih dari 30% pasien dengan MS akan memiliki cacat fisik yang signifikan dalam waktu 20-25 tahun setelah onset. Kurang dari 5-10%
17
dari pasien memiliki fenotipe MS klinis ringan, di mana tidak ada cacat fisik yang signifikan terakumulasi meskipun berlalu beberapa dekade setelah onset (kadangkadang terlepas dari lesi baru yang terlihat pada MRI). Pemeriksaan rinci dalam banyak kasus, mengungkapkan beberapa tingkat kerusakan kognitif. Pasien laki-laki dengan MS progresif primer memiliki prognosis terburuk, dengan respon yang kurang menguntungkan untuk pengobatan dan cepat menimbulkan
kecacatan. Insiden yang lebih tinggi dari lesi sumsum tulang
belakang di MS progresif primer juga merupakan faktor dalam perkembangan pesat dari kecacatan. Harapan hidup dipersingkat hanya sedikit pada orang dengan MS, dan tingkat kelangsungan hidup terkait dengan kecacatan. Kematian biasanya terjadi akibat komplikasi sekunder (50-66%), seperti penyebab paru atau ginjal, tetapi juga dapat disebabkan oleh komplikasi utama, bunuh diri, dan menyebabkan tidak berhubungan dengan MS. Marburg varian dari MS adalah bentuk akut dan klinis fulminan penyakit yang dapat menyebabkan koma atau kematian dalam beberapa hari.
2.3 FIBROMIALGIA DEFINISI
Fibromialgia adalah sindrom kelelahan kronik yang menyebabkan nyeri, kekakuan dan kepekaan dari otot-otot, tendon-tendon, dan sendi-sendi. Seseorang dengan fibromialgia memiliki tender points pada tubuhnya. Tender points adalah titik nyeri yang biasanya ada pada daerah leher, bahu, punggung, pinggul, lengan dan telapak kaki. Jika titik tersebut ditekan maka akan terasa kesakitan. Fibromialgia tidak termasuk dalam artritis karena tidak menyebabkan reaksi peradangan ataupun menyebabkan kerusakan sendi, otot atau jaringan yang lainnya.
EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan
data di Amerika Serikat, kira-kira
20% pasien klinik
rheumatologi adalah pasien fibromyalgia, yang kebanyakan berusia 30-50 tahun. Dari data
tersebut
dapat
dikatakan
1
dari
5
pasien
yang
berobat
adalah
18
fibromialgia.Thompson melaporkan fibromialgia sebagai penyakit terbanyak kedua yang ditemui dalam praktek rheumatologis. Fibromyalgia lebih banyak menyerang perempuan dibandingkan laki-laki, dengan rasio 9:1. Fibromialgia juga lebih sering ditemukan pada perempuan di atas 50 tahun. Prevalensi fibromyalgia meningkat pada orang dengan BMI yang tinggi, merokok, tingkat pendidikan yang rendah, pengangguran, orang dengan tingkat stress yang tinggi.
ETIOLOGI
Hingga kini, penyebab pasti fibromialgia belum dapat ditemukan namun telah diketahui bahwa fibromialgia dapat dipicu oleh stres emosional, infeksi, pembedahan, hipotiroidisme, dan trauma. Fibromialgia juga telah ditemukan pada pasien yang terinfeksi hepatitis C, HIV, parvovirus B19, dan lyme disease. Pendapat lain menyebutkan kurangnya latihan, penggunaan otot secara berlebihan, dan perubahan metabolisme otot sebagai kemungkinan penyebab fibromialgia. Gangguan mekanisme nyeri pada SSP diperkirakan sebagai faktor penyebab sindrom ini. Pasien dengan fibromialgia memiliki ambang nyeri yang lebih rendah dari pada mereka yang tidak memiliki kelainan ini.
Teori lain juga termasuk
defisiensi hormon pertumbuhan, abnormalitas axis hypothalamic-pituitary-adrenal, dan abnormalitas aktivasi respon stress simpatetik.
Faktor genetik diduga kuat
sebagai penyebab dari sindrom ini karena first degree realatives memiliki risiko terkena FMS 8 kali lebih besar. PATOGENESIS
Meskipun penyebab pasti fibromialgia masih menjadi misteri, secara umum para ahli sepakat mengenai adanya mekanisme pengolahan input yang tidak normal, khususnya input nyeri (nosiseptif), pada sistem saraf pusat. Pada studi dolorimetri dan pemberian stimuli seperti panas, dingin dan elektrik, ditemukan ambang rangsang yang rendah pada pasien fibromialgia. Pasien fibromialgia mempersepsikan stimuli non-nosiseptif sebagai stimuli nosiseptif serta kurang mampu mentoleransi nyeri yang seharusnya dapat ditoleransi oleh orang normal. Beberapa kelainan fisiologik dan biokimia telah ditemukan pada susunan
19
saraf pusat pasien fibromialgia sehingga fibromialgia tidak lagi dapat disebut sebagai keluhan subjektif. Kelainan tersebut adalah kadar serotonin yang rendah disfungsi poros hipotalamus hipofisis, kadar hormon pertumbuhan yang rendah, kadar substansi P yang meningkat dan faktor pertumbuhan saraf yang meningkat. Kadar Serotonin yang Rendah
Serotonin merupakan neurotransmiter yang berperan dalam tidur, nyeri dan perubahan mood . Serotonin yang disekresikan oleh ujung serat neuron rafe, dapat menyebabkan perangsangan daerah tertentu dari otak yang kemudian menyebabkan tidur. Serotonin yang disekresi oleh radiks dorsalis medula spinalis dapat merangsang sekresi enkefalin yang menimbulkan hambatan presinaptik dan postsinaptik pada serabut nyeri. Kadar serotonin yang rendah diduga memiliki peran dalam patogenesis fibromialgia yaitu dengan menurunkan efek hambatan pada serabut nyeri. Hal tersebut diperkuat dengan penemuan bahwa pasien fibromialgia ternyata memiliki kadar serotonin yang rendah di cairan serebrospinalnya. Bukti lain menunjukkan bahwa obat yang mempengaruhi serotonin ternyata tidak menunjukkan efek dramatis pada fibromialgia. Disfungsi Poros Hipotalamus Hipofisis
Poros hipotalamus hipofisis berperan penting dalam respons adaptasi terhadap stres. Pada sistem yang berfungsi normal, hipotalamus mensekresi corticotropin-releasing hormone (CRH) yang kemudian merangsang sekresi adrenocorticotropic hormone (ACTH) oleh hipofisis. ACTH kemudian merangsang korteks
adrenal mensekresi glukokortikoid yang berperan dalam respons adaptasi terhadap stres. Regulasi
sirkadian
sistem
poros
hipotalamus
hipofisis
sebagian
dipengaruhi metabolisme serotonin. Disfungsi sistem poros hipotalamus hipofisis diperkirakan sebagai akibat dari rendahnya kadar serotonin. Sebaliknya, disfungsi sistem poros hipotalamus hipofisis juga diperkirakan memperburuk abnormalitas kadar serotonin di sistem saraf pusat. Beberapa kelainan yang dapat ditemukan berkaitan dengan disfungsi sistem poros hipotalamus hipofisis adalah kadar kortisol 24 jam yang rendah, hilangnya ritme sirkadian dengan peningkatan kadar kortisol sore hari, hipoglikemia yang diinduksi insulin berkaitan dengan produksi ACTH yang berlebihan, kadar
20
hormon pertumbuhan yang rendah dan sekresi glukokortikoid yang rendah. Selain itu ditemukan juga kadar kortisol bebas pada urin yang rendah, serta berkurangnya respons kortisol terhadap corticotropin-re-leasing hormone pada pasien fibromialgia. Kadar Growth Hormone yang Rendah Growth hormone (GH) adalah suatu hormon yang berperan dalam
pertumbuhan karena sifatnya yang meningkatkan sintesis protein, meningkatkan penggunaan lemak untuk energi, menurunkan pemakaian glukosa untuk energi, dan merangsang pertumbuhan tulang. Hormon tersebut secara normal disekresi pada tahap dari tidur, sehingga gangguan tidur diduga dapat menurunkan sekresinya. Pada pasien fibromialgia ditemukan penurunan kadar GH yang penting untuk proses repair otot dan kekuatan, yang diduga diakibatkan oleh gangguan tidur. Hal itu didukung oleh bukti adanya hasil EEG yang menunjukkan gangguan tahap dari tidur normal (non-REM) dan gangguan gelombang
yang berulang pada
pasien fibromialgia. Kadar Substansi P yang Meningkat
Substansi
P
adalah neurotransmiter
yang dilepaskan bila akson
distimulasi. Peningkatan kadar substansi P meningkatkan sensitivitas saraf terhadap nyeri. Kadar substansi P yang tinggi menyebabkan stimulus normal dipersepsikan sebagai stimulus nosiseptif oleh penderita fibromialgia. Kadar substansi P yang meningkat di cairan serebrospinal pasien fibromialgia juga mungkin berperan dalam menyebarkan nyeri otot. Peneliti pada studi yang independen melaporkan kadar substansi P pada pasien fibromialgia meningkat sampai 2-3 kali kadar pada individu normal. Selain hal-hal di atas ditemukan juga abnormalitas lain seperti berkurangnya aliran darah ke talamus, nukleus kaudatus, serta tektum pontine, yang merupakan area sig- naling, integrasi, dan modulasi nyeri. Disfungsi saraf otonom diduga juga berperan dalam fibromialgia, dengan ditemukannya hipotensi ortostatik setelah uji tilt table dan peningkatan frekuensi denyut jantung istirahat terlentang. Penelitian dalam bidang genetik memperkirakan adanya peran polimorfisme gen sebagai etiologi fibromialgia. Gen yang diperkirakan mengalami abnormalitas adalah gen yang mengatur sistem serotonergik, katekolaminergik dan dopaminergik.
21
DIAGNOSIS Anamnesis
Gejala yang biasa ditemukan pada pasien fibromialgia antara lain nyeri muskuloskeletal yang menyebar, kekakuan, dan kelelahan. Gejala lain juga dapat muncul, di antaranya parestesi, gangguan tidur, titik nyeri, dan lain-lain. Pada fibromialgia, nyeri bersifat menyebar dan dirasakan selama minimal 3 bulan, di atas dan bawah pinggang pada kedua sisi tubuh, bersamaan dengan nyeri aksial. Nyeri punggung bawah (berasal dari bawah pinggang) dapat menyebar hingga ke bokong dan tungkai. Nyeri lain dapat meliputi nyeri leher, bahu atas-belakang, dan nyeri sendi. Nyeri tersebut timbul setelah olahraga ringan, dan dirasakan seperti nyeri terbakar yang persisten dan mengganggu, atau nyeri tumpul yang konstan. Pada 75-90% penderita fibromialgia, ditemukan kekakuan yang biasanya terjadi di pagi hari kemudian membaik di siang hari atau bertahan sepanjang hari. Gejala lain yang mungkin ditemukan adalah kelelahan, mati rasa pada kaki dan tangan, sering terbangun di malam hari dan sulit tidur kembali, bangun pagi dengan rasa letih, merasa lebih kedinginan daripada orang-orang di sekitarnya, fenomena Raynaud atau gejala mirip fenomena Raynaud, gangguan kognitif dengan kesulitan berpikir dan kehilangan ingatan jangka pendek ( loss of short-term memory), sakit kepala tipe migrain, pusing, cemas, dan depresi. Gejala tersebut diperparah oleh stres atau cemas, kedinginan, cuaca lembab, dan kerja terlalu keras. Sebaliknya, pasien merasa lebih baik saat cuaca hangat dan liburan.
Pemeriksaan Fisik Kriteria Diagnostik
Pada tahun 1990 kriteria diagnostik resmi untuk FM didirikan oleh American College of Reumatologi (ACR). •
Riwayat nyeri yang meluas : kronis, luas, nyeri muskuloskeletal berlangsung
lama lebih dari tiga bulan di keempat kuadran tubuh ("Nyeri yang meluas" didefinisikan sebagai nyeri di atas dan di bawah pinggang pada kedua sisi tubuh juga pada daerah cervical, dada anterior, tulang dada, atau punggung bawah) harus ada. •
Nyeri pada 11 tempat dari 18 Point Tender Site dengan Palpasi : Ada
delapan belas tender point yang dokter cari dalam membuat diagnosis fibromyalgia.
22
Menurut ACR yang termasuk persyaratan, yaitu pasien harus memiliki 11 dari 18 poin tender untuk didiagnosa dengan fibromyalgia. Sekitar empat kilogram tekanan (atau sekitar 9 lbs.) Harus diterapkan ke titik tender, dan pasien harus menunjukkan bahwa lokasi tender point terasa sakit. Delapan belas tender point site : •
1 & 2, tengkuk: bilateral, pada insersi otot suboccipital.
•
3 & 4, cervical bawah: bilateral, pada aspek anterior dari ruang intertransverse di
C5-C7. •
5 & 6, trapezius: bilateral, pada titik tengah batas atas.
•
7 & 8, supraspinatus: bilateral, di atas tulang belakang skapula dekat perbatasan
medial. •
9 & 10, Kedua tulang iga: bilateral, di persimpangan kostokondral kedua, hanya
lateral persimpangan pada permukaan atas. •
11 & 12, lateral epikondilus: bilateral, cm 2 distal ke epicondyles.
•
13 & 14, glutealis: bilateral, dalam kuadran atas luar pantat di lipatan anterior otot.
•
15 & 16, Greater trokanter: bilateral, posterior ke trokanterika prominens.
•
17 & 18, Lutut: bilateral, di lapisan lemak proksimal medial.
Diagnosis fibromyalgia dapat ditegakkan apabila pasien memenuhi kedua kriteria ACR 1990, yaitu riwayat nyeri muskuloskeletal yang menyebar minimal 3 bulan dan nyeri yang signifikan pada minimal 11 dari 18 tender points (Gambar 1) jika dilakukan palpasi dengan jari. Kriteria ACR sangat bermanfaat dalam menegakkan diagnosis, meskipun beberapa pasien memiliki jumlah tender sites yang lebih sedikit dan nyeri regional yang lebih, sehingga didiagnosis fibromyalgia. Pemeriksaan neurologis muskuloskeletal dan laboratorium tetap normal pada fibromyalgia.
23
Gambar . Lokasi Tender Points diagnosis Fibromialgia Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada tes darah sederhana atau X-ray dapat memberitahu bahwa seseorang memiliki fibromialgia. Diagnosis dibuat hanya dengan melakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan tes darah atau X-ray untuk menyingkirkan penyakit yang mirip dengan fibromialgia. Kondisi-kondisi ini termasuk: •
tingkat hormon tiroid yang rendah (hypothyroidism),
•
penyakit paratiroid (menyebabkan tingkat kalsium darah yang meninggi),
•
penyakit-penyakit otot yang menyebabkan nyeri otot (seperti polymyositis),
•
penyakit-penyakit tulang yang menyebabkan nyeri tulang (seperti penyakit Paget),
•
kalsium darah yang meninggi (hypercalcemia),
•
penyakit-penyakit infeksius (seperti hepatitis, Epstein Barr virus, AIDS), dan
•
kanker
24
Meskipun tidak ada tes darah untuk fibromialgia, tes-tes darah adalah penting untuk mengeluarkan kondisi-kondisi medis lain. Oleh karenanya, hormon tiroid dan tingkat-tingkat kalsium darah diperoleh untuk mengeluarkan
hypercalcemia,
hyperparathyroidism, dan hypothyroidism. Tingkat alkaline phosphatase (suatu enzim tulang) seringkali naik pada pasien-pasien dengan penyakit tulang Paget. Tingkat CPK (suatu enzim otot) seringkali naik pada pasien-pasien dengan polymyositis, penyakit dengan peradangan otot yang tersebar. Oleh karenanya, memperoleh tingkattingkat darah alkaline phosphatase dan CPK dapat membantu dokter memutuskan apakah penyakit Paget dan polymyositis adalah penyebab dari nyeri-nyeri tulang dan otot. Tes-tes jumlah darah komplit atau complete blood count (CBC) dan hati membantu dalam diagnosis dari hepatitis dan infeksi-infeksi lain. Fibromialgia dapat terjadi sendirian atau dalam hubungan dengan kondisikondisi rhematik sistemik lain. Kondisi-kondisi rhematik sistemik merujuk pada penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan peradangan dan kerusakan pada banyak jaringan-jaringan dan organ-organ yang berbeda di tubuh. Kondisi-kondisi rhematik sistemik
yang berhubungan
dengan fibromyalgia
termasuk
systemic
lupus
erythematosus, rheumatoid arthritis, polymyositis, dan polymyalgia rheumatica. Testes darah yang sangat membantu dalam mengevaluasi penyakit-penyakit ini termasuk erythrocyte sedimentation
rate
(ESR), serum protein
electrophoresis
(SPEP), antinuclear antibody (ANA), dan rheumatoid factor (RF). Pada pasien-pasien dengan fibromialgia tanpa penyakit-penyakit sistemik yang berhubungan, tes-tes darah ESR, SPEP, ANA, dan RF biasanya adalah normal. DIAGNOSIS BANDING
1. Hipotiroid Menurunnya produksi hormon tiroid pada kelenjar tiroid. Kelenjar tiroid sendiri bertugas melepas hormon tiroid keseluruh tubuh lewat pembuluh darah. Pada kasus hipotiroid, pelepasan ini tidak bisa terlaksana dengan baik sehingga berbagai aktivitas fisik dan mental akan ikut terganggu. 2. Myasthenia gravis Penyakit kronis dengan remisi dan relaps, dan ditandai oleh kelemahan dan cepatnya otot-otot volunter menjadi lelah sesudah suatu kegiatan, diikuti oleh pulihnya kekuatan sesudah istrahat selama beberapa menit
25
sampai beberapa jam. Ini disebabkan oleh gangguan konduksi pada myoneural junction. 3. Multiple Sclerosis Penyakit demyelinating yang mengenal serebelum, saraf optikus dan medula spinalis (terutama mengenai traktus kortikospinalis dan kolumna posterior), secara patologi memberi gambaran plak multipel di susunan saraf pusat khususnya periventrikuler subtansia alba. Gejala Klinia MS ; kelemahan umum, gangguan sensoris, nyeri, gangguan blader, gangguan serebelum, gangguan batang otak dan gangguan fungsi luhur.
PENATALAKSANAAN
Secara keseluruhan tim multidisiplin diperlukan untuk tatalaksana fibromialgia secara optimal. Tim multidisiplin tersebut terdiri atas spesialis rehabilitasi medik, psikiater, terapis fisik, dan ahli lainnya. Tatalaksana fibromialgia dapat dibagi menjadi tatalaksana medikamentosa dan non-medikamentosa. Non-Medikamentosa
Tatalaksana non-medikamentosa, selain untuk mengurangi nyeri, gangguan tidur serta depresi juga digunakan untuk mengatasi kelelahan otot. a.
Edukasi pasien
Edukasi pasien merupakan salah satu tatalaksana fibromialgia yang paling penting. Edukasi pasien harus dilakukan sebagai langkah pertama dalam tatalaksana pasien fibromialgia. Pasien perlu
diinformasikan
mengenai penyakit
yang sedang
dialaminya. Pasien juga perlu diinformasikan bahwa fibromyalgia tidak menyebabkan kelumpuhan dan tidak bersifat degeneratif, serta terdapat pengobatan untuk penyakit ini. b.
Mengurangi stress
Konsultasi psikiatrik memiliki peran yang sangat penting dalam tatalaksana depresi dan cemas pada pasien fibromialgia. Stres dalam kehidupan harus diidentifikasi dan didiskusikan dengan pasien, dan pasien harus diberikan pertolongan mengenai bagaimana menghadapi stres.
26
c.
Latihan Untuk mengurangi nyeri, dapat dilakukan aplikasi panas dan dingin ke otot
secara bergantian masing-masing 15-20 menit diselingi waktu untuk kembali ke suhu normal. Pelatihan biofeedback yang intens (misalnya dua kali sehari untuk seminggu) seringkali penting untuk nyeri otot yang kronik dan menyebar. Teknik tersebut terutama berguna untuk otot-otot postural yang biasanya berfungsi tanpa disadari. Elektroda permukaan ditempelkan ke atas otot untuk mendeteksi aktivitasnya. Pelatihan biofeedback dilakukan untuk menolong pasien mengembalikan otot ke keadaan istirahat normal setelah kontraksi. Teknik lain untuk mengurangi nyeri ialah spray and stretch. Vapocoolant spray disemprotkan dengan pola menyapu searah serat otot untuk melemaskan otot,
sambil dilakukan peregangan otot secara pasif oleh pasien atau klinisi. Peregangan adalah elemen kunci dari pengurangan nyeri, meskipun mekanismenya belum diketahui. Hal lain yang perlu diatasi pada pasien fibromialgia adalah gangguan yang terjadi pada otot. Untuk itu, olahraga dapat menjadi solusi dan penting untuk disarankan. Selain meregangkan dan memperkuat otot, olahraga juga dapat meningkatkan
kebugaran
kardiovaskular
Hal
tersebut
selanjutnya
dapat
menyebabkan depresi, menurunnya rasa percaya diri, dan stres yang memicu nyeri lebih lanjut. Olahraga aerobik juga baik untuk pasien dan dimulai setelah terjadi perbaikan tidur serta berkurangnya nyeri serta kelelahan. Olahraga dilakukan mulamula pada level rendah dan pasien sebaiknya berolahraga 20-30 menit, 3-4 hari seminggu. Terapi lain dapat membantu dengan derajat yang berbeda-beda, misalnya injeksi, modifikasi perilaku, hipnoterapi, kompresi iskemik, olahraga dan pengaturan stress namun, yang tidak boleh dilupakan ialah perbaikan postur dan mekanika tubuh Medikamentosa
Tatalaksana medikamentosa dapat digunakan untuk mengatasi nyeri, gangguan tidur serta depresi dan kecemasan. Berikut adalah beberapa kategori yang paling umum digunakan obat untuk fibromialgia.
27
a.
Analgesik Analgesik adalah obat penghilang rasa sakit. Mereka berkisar dari over-thecounter acetaminophen untuk obat resep, seperti tramadol dan persiapan narkotika bahkan lebih kuat. Untuk subset dari orang dengan fibromialgia, obat narkotika yang diresepkan untuk nyeri otot yang parah.
b.
Anti-inflamasi nonsteroid Obat (NSAIDs) Seperti namanya, obat anti-inflammatory drugs, termasuk aspirin, ibuprofen (Advil, Motrin), naproxen dan sodium (Anaprox, Aleve), digunakan untuk mengobati
peradangan.
Meskipun
peradangan
bukan
merupakan
gejala
fibromyalgia, NSAID juga mengurangi rasa sakit. Obat-obatan bekerja dengan menghambat substansi dalam tubuh yang disebut prostaglandin, yang memainkan peran dalam rasa sakit dan peradangan. Obat-obat ini dapat membantu meringankan nyeri otot fibromyalgia dan dapat meredakan kram menstruasi dan sakit kepala sering dikaitkan dengan fibromialgia. c.
Antidepresan Obat ini bekerja sama dengan baik pada pasien fibromialgia dengan atau tanpa depresi, karena antidepresan meningkatkan tingkat bahan kimia tertentu di otak (termasuk serotonin dan norepinefrin) yang tidak hanya terkait dengan depresi, tetapi juga dengan rasa sakit dan kelelahan. Meningkatkan tingkat bahan kimia ini dapat mengurangi rasa sakit pada orang yang memiliki fibromialgia. Beberapa jenis antidepresan untuk orang dengan fibromialgia, dijelaskan di bawah ini. a. Antidepresan trisiklik.
Antidepresan trisiklik dapat membantu mempromosikan tidur restoratif pada orang dengan fibromialgia. Obat ini juga dapat mengendurkan otot-otot menyakitkan dan meningkatkan efek alami tubuh sakit-membunuh zat yang disebut endorfin. Beberapa contoh obat trisiklik digunakan untuk mengobati fibromialgia termasuk amitriptilin hidroklorida (Elavil, Endep), cyclobenzaprine (Cycloflex, Flexeril, Flexiban), doksepin (Adapin, Sinequan), dan nortriptyline (Aventyl, Pamelor). Kedua amitriptilin dan cyclobenzaprine telah terbukti berguna untuk pengobatan fibromyalgia. b. Selective serotonin reuptake inhibitor.
28
Jika antidepresan trisiklik gagal digunakan antidepresan jenis selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI). Seperti dengan trisiklik, digunakan untuk orang-orang dengan fibromyalgia dalam dosis lebih rendah daripada yang digunakan untuk mengobati depresi. Dengan pelepasan serotonin, obat ini dapat mengurangi kelelahan dan beberapa gejala lain yang terkait dengan fibromialgia. Kelompok SSRI termasuk fluoxetine (Prozac), paroxetine (Paxil), dan sertraline (Zoloft). c. SSRI
Dapat digunakan bersama dengan antidepresan trisiklik. Penelitian telah menunjukkan bahwa terapi kombinasi dari trisiklik amitriptilin dan fluoxetine SSRI menghasilkan peningkatan lebih besar pada gejala fibromialgia daripada salah satunya saja. d. Campuran reuptake inhibitor
Beberapa antidepresan baru meningkatkan kadar serotonin dan norepinefrin baik dan karena itu dicampur reuptake inhibitor. Contoh-contoh dari obat-obat ini termasuk venlafaxine (Effexor), duloxetine (Cymbalta), dan (Savella). Secara umum, obat ini bekerja lebih baik untuk sakit daripada SSRI, mungkin karena mereka juga meningkatkan norepinefrin, yang mungkin memainkan peran lebih besar dalam transmisi nyeri dari serotonin. e. Benzodiazepin
Benzodiazepin kadang-kadang dapat membantu orang dengan fibromialgia dengan tegang, otot-otot yang menyakitkan dan menstabilkan gelombang otak tidak menentu yang dapat mengganggu tidur nyenyak. Benzodiazepin juga dapat meringankan gejala sindrom nyeri kaki, gangguan neurologis yang lebih umum di antara orang dengan fibromialgia. Kelainan ini ditandai oleh sensasi tidak menyenangkan di kaki dan dorongan tak terkendali untuk menggerakkan kaki, terutama ketika beristirahat. Benzodiazepin biasanya hanya untuk orang-orang yang tidak respon dengan terapi lain karena potensi untuk kecanduan. Benzodiazepin termasuk clonazepam (Klonopin) dan diazepam (Valium). f. Obat tidur Untuk memperbaiki kualitas tidur, digunakan trisiklik seperti amitriptilin (10-50 mg), nortriptilin (10-75 mg), dan doksepin (10-25 mg) atau obat lain seperti siklobenzaprin (10-40 mg), 1-2 jam sebelum tidur. Pemberian obat tersebut
29
dimaksudkan untuk memperbaiki tahap 4 dari tidur pasien, sehingga terjadi perbaikan klinis. Pengobatan diberikan mulai dari dosis rendah, dan ditingkatkan bila perlu. Efek samping seperti konstipasi, mulut kering, peningkatan berat badan, dan kesulitan berpikir juga perlu dipertimbangkan. Selain obat di atas, trazodon atau zolpidem juga dapat memperbaiki kualitas tidur.
PROGNOSIS
Fibromialgia
adalah gangguan jangka
panjang. Kadang-kadang, gejala
membaik. Terkadang, rasa sakit mungkin bertambah buruk dan terus selama berbulanbulan atau tahun. Pasien yang tidak melakukan pengobatan akan mengakibatkan kondisi semakin memburuk. Dengan pengobatan, gejala penyakit ini akan berkurang. Sangat penting bahwa setiap pasien berpartisipasi dalam/perawatan sendiri.
2.4 SINDROM KELELAHAN KRONIS
Sindrom kelelahan kronis adalah gangguan yang ditandai dengan keadaan kelelahan kronis yang berlangsung lebih dari 6 bulan, tidak memiliki penyebab yang jelas dan disertai dengan kesulitan kognitif. Sindrom ini sering disertai dengan myalgia,
sakit
kepala,
faringitis,
demam
ringan,
keluhan
kognitif,
gejala
gastrointestinal, dan kelenjar getah bening yang melunak. Pencarian masih berlanjut untuk penyebab infeksi kelelahan kronis karena tingginya persentase pasien yang melaporkan onset mendadak setelah penyakit seperti flu berat. Sindrom
kelelahan
kronis
awalnya
disebut
encephalomyalgia
atau
encephalomyelitis myalgia karena dokter di Inggris mencatat bahwa klinis penting dari sindrom kelelahan kronis termasuk baik komponen ensefalitis (bermanifestasi sebagai kesulitan kognitif) dan komponen otot skeletal (bermanifestasi sebagai kelelahan kronis). Beberapa waktu ini, institut di United State Institute of Medicine (IOM) mengusulkan bahwa kondisi berganti nama menjadi “systemic exertion intolerance disease” (SEID) untuk lebih mencerminkan ciri khas gejala postexertional malaise. Berbagai penyakit infeksi yang tidak terkait (misalnya pneumonia, infeksi virus Epstein Barr (EBV), diare, infeksi saluran pernapasan atas) tampaknya menyebabkan keadaan kelelahan berkepanjangan pada beberapa orang. Secara umum,
30
jika kondisi ini disertai dengan kesulitan kognitif, itu disebut juga sebagai sindrom kelelahan kronis. Penyebab sindrom kelelahan kronis tidak diketahui tetapi gangguan ini mungkin merupakan penyakit infeksi dengan manifestasi imunologi. EBV telah dikecualikan sebagai penyebab CFS, meskipun infeksi EBV adalah salah satu dari banyak penyebab yang dapat menyebabkan keadaan kelelahan kronis. Sindrom kelelahan kronis tidak identik dengan infeksi EBV kronis atau infeksi mononucleosis kronis. Karena tidak ada tes secara langsung dalam mendiagnosis sindrom kelelahan kronis, diagnosis adalah salah satu pengecualian tetapi yang memenuhi kriteria klinis tertentu, yang selanjutnya didukung oleh tes spesifik tertentu. Diagnosis sindrom kelelahan kronis juga bersandar pada definisi kelelahan yang tidak diketahui penyebabnya selama lebih dari 6 bulan disertai dengan gangguan kognitif. Tidak adanya disfungsi kognitif harus mengecualikan sindrom kelelahan kronis sebagian potensial diagnosis. Karena tidak ada penyebab sindrom kelelahan kronis yang pasti, maka tidak ada terapi yang efektif untuk sindrom kelelahan kronis.
KRITERIA DIAGNOSIS
Kriteria mendiagnosis CFS, revisi tahun 1994, bertujuan untuk mendefinisikan CFS sebagai kelelahan mental dan fisik yang parah, bukan somnolen atau disebabkan oleh kekurangan motivasi melakukan aktivitas dan tidak disebabkan oleh kondisi medis yang terdiagnosis. A. Kriteria mendiagnosis CFS termasuklah a. Kelelahan kronis seharusnya dievaluasi klinis sebagai “unexplained”, persisten dan kambuh dengan onset yang baru atau jelas. b. Tidak disebabkan oleh aktivitas fisik atau bertambah baik dengan istirahat c. Penurunan produktivitas atau penghasilan adalah kriteria utama. 2. Adanya 4 atau lebih gejala sekarang a. Gangguan memory jangka pendek atau perhatian yang cukup parah yang b. c. d. e.
dilaporkan pasien yang menyebabkan penurunan aktivitas yang bermakna Sakit tenggorokan Kelenjar getah bening servikal atau axila yang melunak Myalgia Nyeri sendi tanpa bengkak dan kemerahan
31
f. g. h. i.
Nyeri kepala dengan pola dan keparahan yang tidak pernah dirasakan pasien Merasa tidak bermaya saat bangun dari tidur Malaise postexertional lebih dari 24 jam istirahat Gejala berlangsung atau berulang selama 6 atau lebih bulan berturut-turut
3. Idiopathic chronic fatigue a. Dievaluasi secara klinis, kelelahan kronis yang tidak memenuhi kriteria CFS b. Sebab tidak memenuhi kriteria jelas 4. Psychiatric exclusions 1. Sekarang atau 2 tahun sebelumnya mempunyai riwayat; depresi dengan gejala psikotik, gangguan bipolar, schizophrenia, gangguan waham, anorexia nervosa, bulimia, penyalahgunaan zat (dalam 2 tahun sebelum onset kelelahan kronis) 5. Adanya gangguan cemas atau depresi nonmelancholic tidak menyingkirkan diagnosis fibromyalgia – kondisi yang tumpang tindih yang dikarakterkan oleh kelelahan/fatigue, disfungsi tidur, dan myalgia. Kriteria fibromyalgia yang direvisi menurut Wolfe 1. Riwayat nyeri musculoskeletal yang difus tidak kurang dari 3 bulan 2. Kelunakan yang ditemukan dengan palpasi di Sembilan trigger point bilateral Gangguan somatisasi dicirikan dengan gejala-gejala somatic yang banyak yang tidak
dapat
dijelaskan berdasarkan
pemeriksaan fisik
maupun
laboratorium. Keluhan yang diutarakan pasien sangat melimpa dan meliputi berbagi system organ seperti gastrointesitinal, seksual saraf dan bercamour dengan keluhan nyeri. Gangguan ini bersifat kronis, berkaitan dengan stressor psikologi yang bermaknan menimbukan hendaya di bidang social dan okupasi serta adanya perilaku mencari perotlongan medis yang berlebihan. Dikenal juga sebagai briquet’s syndrome. 3. Prevalensi sepanjang hidup 0.2 -2% pada wanita dan 0.2% pada pria. Wanita lebih banyak menderita gangguan somatisasi dibandingkan pride dengan rasio 3:1. Awitan ganggun ini sebelum usia 30 tahun dan biasanya dimulai ketika usia remaja. ETIOLOGI
32
Penyebab gangguan ini tidak diketahui. Diagnosis dapat dibuat hanya setelah semua penyebab medis dan psikiatris lain penyakit kronis yang menyebabkan kelelahan telah dikeluarkan. Penelitian ilmiah telah divalidasi ada tanda-tanda patognomonik atau tes diagnostik untuk kondisi ini. Para pengkaji telah mencoba untuk melibatkan virus Epstein-Barr (EBV) sebagai agen etiologi sindrom kelelahan kronis. Infeksi EBV, bagaimanapun, adalah terkait dengan antibodi spesifik dan limfositosis atipikal, yang tidak hadir dalam sindrom kelelahan kronis. Hasil tes untuk agen virus lainnya, seperti enterovirus, herpes, dan retrovirus, juga negatif. Beberapa peneliti telah menemukan penanda nonspesifik kelainan kekebalan pada pasien dengan sindrom kelelahan kronis; misalnya, mengurangi respon proliferasi limfosit darah perifer, namun tanggapan ini mirip dengan yang terdeteksi pada beberapa pasien dengan depresi berat. Beberapa laporan telah menunjukkan gangguan pada hipotalamus-hipofisisaxis (HPA) pada pasien dengan sindrom kelelahan kronis, dengan hypocortisolism ringan. Karena itu, kortisol eksogen telah digunakan untuk mengurangi kelelahan tetapi dengan hasil yang samar-samar. Sindrom kelelahan kronis mungkin bersifat genetic. Dalam sebuah penelitian, hubungan dalam pasangan kembar untuk kembar monozigot lebih dari 2,5 kali lebih besar dari korelasi untuk kembar dizigot. Penelitian lebih lanjut diperlukan, namun.
DIAGNOSIS DAN GEJALA KLINIS
Karena sindrom kelelahan kronis tidak memiliki penanda patognomonik, diagnosisnya sulit untuk ditegakkan. Dokter harus berusaha untuk menggambarkan semua tanda-tanda dan gejala yang mungkin untuk memfasilitasi proses. Meskipun kelelahan kronis adalah keluhan yang paling umum, kebanyakan pasien memiliki banyak gejala lain. Semakin keluhan pasien dikeluarkan, dokter cenderung memikirkan berbagai keadaan penyakit yang disebabkan oleh kelainan neurologis, metabolik, atau gangguan kejiwaan. Dalam kebanyakan kasus, bagaimanapun, tidak ada gambaran gangguan yang jelas muncul dari hanya dari anamnesis. Pemeriksaan fisik juga merupakan sumber yang tidak dapat diandalkan untuk menegakkan diagnosis. Selain kelelahan kronis, pasien juga mungkin mengeluhkan merasa hangat atau menggigil dengan suhu tubuh normal, dan mungkin juga
33
mengeluh nyeri kelenjar getah bening tanpa adanya pembesaran. Temuan samarsamar ini dan lainnya tidak mengkonfirmasi atau menyingkirkan gangguan. Kriteria diagnostik CDC untuk sindrom kelelahan kronis, yang tercantum dalam termasuklah kelelahan minimal 6 bulan, gangguan memori atau konsentrasi, sakit tenggorokan, kelenjar getah bening yang melunak atau membesar, nyeri otot, arthralgia, sakit kepala, gangguan tidur, dan malaise postexertional (selesai beraktivitas). Kelelahan, yang merupakan gejala yang paling jelas, ditandai dengan kelelahan mental dan fisik yang parah, yang cukup untuk menyebabkan penurunan 50% dalam aktivitas pasien. Onset biasanya bertahap, tetapi beberapa pasien memiliki onset akut yang menyerupai penyakit seperti flu. Dalam beberapa kasus, terdapat korelasi yang nyata ada antara CFS dan hipotensi neural , bagian dari disfungsi sistem saraf otonom.
DIAGNOSA DIFERENSIAL
Kelelahan kronis harus dibedakan dari gangguan endokrin (misalnya, hipotiroidisme), gangguan saraf (misalnya, multiple sclerosis [MS]), gangguan infeksi (misalnya, diperoleh sindrom defisiensi imun [AIDS], mononucleosis menular), dan gangguan kejiwaan (misalnya, gangguan depresi). Sampai dengan 80 persen pasien dengan sindrom kelelahan kronis memenuhi kriteria diagnostik untuk depresi berat. Korelasi sangat tinggi sehingga banyak dokter percaya bahwa semua kasus sindrom ini adalah gangguan depresi, namun pasien dengan sindrom kelelahan kronis jarang melaporkan perasaan bersalah, keinginan bunuh diri, atau anhedonia dan menunjukkan sedikit atau tidak ada penurunan berat badan. Juga, biasanya tidak ada riwayat keluarga depresi atau beban genetik lainnya untuk gangguan kejiwaan ditemukan dan sedikit, jika ada, peristiwa stres terjadi dalam kehidupan pasien yang mungkin memicu atau account untuk penyakit depresi. Selain itu, meskipun beberapa pasien merespon dengan terapi antidepresan, banyak pasien yang akhirnya menjadi refrakter terhadap semua agen psychopharmacology.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan sindrom kelelahan kronis terutama bersifat supportif. Dokter harus terlebih dahulu menjalin hubungan baikdan tidak mengabaikan keluhan pasien
34
sebagai tanpa dasar. Keluhan yang dihadap pasien tidak imajiner. Pemeriksaan medis dengan hati-hati diperlukan, dan evaluasi status mental harus dilakukan, baik yang diarahkan untuk menyingkirkan penyebab lain untuk gejala. Tidak
ada
pengobatan yang efektif
yang diketahui. Antivirus
dan
kortikosteroid tidak berguna, meskipun beberapa pasien telah menunjukkan berkurangnya kelelahan dengan obat antiviral amantadine (Symmetrel). Pengobatan simtomatik (misalnya, analgesik untuk arthralgia dan nyeri otot) adalah pendekatan yang biasa, tetapi obat anti-inflammatory drugs (NSAID) tidak efektif. Pasien harus didorong untuk melanjutkan kegiatan sehari-hari dan melawan kelelahan mereka sebanyak mungkin. Mengurangi beban kerja yang jauh lebih baik daripada tidak bekerja sama. Beberapa penelitian telah melaporkan efek positif dari terapi latihan bergradasi (GET). Perawatan psikiatris yang diindikasikan, terutama ketika adanya depresi. Dalam banyak kasus, gejala membaik nyata ketika pasien dalam psikoterapi. Terapi kognitif-perilaku ini sangat berguna. Terapi ditujukan untuk membantu pasien mengatasi dan memperbaiki keyakinan yang keliru, seperti takut bahwa setiap kegiatan yang menyebabkan kelelahan memperburuk gangguan. Agen farmakologis, terutama antidepresan dengan kualitas nonsedasi, seperti bupropion (Wellbutrin), mungkin dapat membantu. Nefazodone (Serzone) dilaporkan untuk mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kualitas tidur dan memori pada beberapa pasien. Analeptics (misalnya, amfetamin atau methylphenidate [Ritalin]) dapat membantu mengurangi kelelahan.
35
BAB III KESIMPULAN
Fatigue adalah manifestasi yang timbul dari penyakit sistemik, neurologi, psikiatrik sindrom, meskipun penyebab pasti tidak diidentifikasikan dalam beberapa pasien. Kelelahan mengacu pada pengalaman manusia secara subjektif dari kelelahan fisik dan mental.Diferensial diagnosis fatigue yaitu meliputi penyakit neuromuscular, psikiatrik, penyakit sistemik (hematologi, imunologi, kardiovaskular, paru, penyakit endokrin, dsb), serta idiopatik. Salah satu penyebab fatigue adalah multipel sclerosis yang merupakan suatu autoimun kronik yang menyerang myelin otak dan medulla spinalis. Kelelahan adalah salah satu gejala yang paling umum dilaporkan pada penyakit multiple sclerosis (MS), yang mempengaruhi hampir 90% dari pasien. Penyakit lainnya adalah fibromialgia dan sindrom kelelahan kronik yang menyebabkan gejala fatigue dengan etiologi yang tidak jelas. Anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang harus dilakukan untuk menyingkirkan dan mengetahui etiologi dari fatigue. Penatalaksanaan fatigue disesuaikan dengan etiologinya, meliputi non medikamentosa dan medikamentosa. Non medikamentosa meliputi edukasi pasien dan terapi yang sesuai dengan kebutuhan pasien.
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Estiasari R. Sclerosis multiple. Departemen neurologi, fakultas kedokteran universitas Indonesia RSCM. Jakarta. 2014 2. Allan H. Ropper, Martin A. Adams & Victor’s Principles of Neurology, 9th Edition. Boston. 2009. 3. Munger.K, Levin L, Holis B, Howard M, Ascherio A. Serum 25Hidroksivitamin D Levels and Risk of Multiple Sclerosis. Report: JAMA 2006:296:2832-2838 4. Simon R. Motor Deficit. Clinical Neurology.7 th. McGraw Hill. USA. 2009. 5. About MS. 2012. Bayer HealthCare Pharmaceuticals. Available from: http://www.multiplesclerosis.com/global/about_ms.php
was
accessed
on
Februari 11th, 2016 6. Multiple
sclerosis.
2012.
Medscape
References.
Available
from:
http://emedicine.medscape.com/article/1146199-overview was accessed on Februari 11th, 2016 7. Multiple
Sclerosis.
Pubmed
Health
Medicine.
Available
from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001747/ was accessed on Februari 11th, 2016
37