FARMAKOTERAPI TERAPAN PENYAKIT JANTUNG KORONER
Disusun oleh: Iman Firmansyah 260112170068
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2017
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ..................................................................................................
ii
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
iv
BAB I
Penyakit Jantung Koroner ..............................................................
1
1.1
Definisi .................................................................................
1
1.1.1
Stroke Hemoragik ....................................................
1
1.1.2
Angina Pectoris ........................................................
1
1.1.3
Infark Miokard .........................................................
2
Patofisiologi .........................................................................
3
1.2.1
Stroke Hemoragik ....................................................
3
1.2.2
Angina Pectoris ........................................................
3
1.2.3
Infark Miokardium ...................................................
5
1.3
Manifestasi Klinik ................................................................
6
1.4
Diagnosis .............................................................................
9
1.4.1
Pemeriksaan elektrokardiogram ...............................
9
1.4.2
Pemeriksaan marka jantung ...................................... 11
1.4.3
Pemeriksaan laboratorium ........................................ 12
1.4.4
Pemeriksaan foto polos dada .................................... 12
1.2
1.5
Hasil Terapi yang Diinginkan ............................................... 13
1.6
Penanganan ..........................................................................
1.7 BAB II
14
1.6.1
Terapi Non-Farmakologi .......................................... 14
1.6.2
Terapi Farmakologi .................................................. 14
Evaluasi Hasil Terapi ........................................................... 21
Contoh Kasus ................................................................................. 24 2.1
Kasus .................................................................................... 24
2.2
Pembahasan .......................................................................... 25 2.2.1
Penilaian Hipertensi .................................................
25
2.2.2
Penilaian Kolesterol .................................................
25
2.2.3
Analisis SOAP .......................................................... 25
ii
2.2.4
Analisis Masalah Terkait Obat ................................. 26
2.2.5
Terapi Non-Farmakologi .......................................... 27
2.2.6
Terapi Farmakologi .................................................. 27
2.2.7
Monitoring ...............................................................
29
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
30
iii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1
Lokasi infark berdasarkan EKG ................................................
10
Tabel 2
Sediaan produk nitrat ................................................................
15
Tabel 3
Dosis yang direkomendasikan dari golongan calcium channal blocker .......................................................................................
16
Tabel 4
Dosis yang direkomendasikan dari golongan β blocker ...........
17
Tabel 5
Dosis klopidogrel yang direkomendasikan ...............................
18
Tabel 6
Dosis UFH dan LMWH yang direkomendasikan .....................
19
Tabel 7
Obat golongan ACE-I ...............................................................
20
Tabel 8
Obat golongan statin .................................................................
21
Tabel 9
Monitoring Efek Samping Terapi Pemberian Obat PJK ...........
22
Tabel 10
Monitoring Pasien Rawat Stroke Akut .....................................
23
iv
BAB I PENYAKIT JANTUNG KORONER 1.1
DEFINISI
1.1.1 Stroke Hemoragik Stroke hemoragik merupakan stroke yang disebabkan oleh karena adanya perdarahan suatu arteri serebralis yang menyebabkan kerusakan otak dan gangguan fungsi saraf. Darah yang keluar dari pembuluh darah dapat masuk kedalam jaringan otak sehingga terjadi hematoma (Junaidi, 2012). Berdasarkan perjalanan klinisnya stroke hemoragik dikelompokan sebagai berikut: a. PIS (Perdarahan intraserebral) Perdarahan intraserebral disebabkan karena adanya pembuluh darah intraserebral yang pecah sehingga darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke dalam jaringan otak. Keadaan tersebut menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial atau intraserebral sehingga terjadi penekanan pada pembuluh darah otak sehingga menyebabkan penurunan aliran darah otak dan berujung pada kematian sel sehingga mengakibatkan defisit neurologi. Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang primer berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma. Perdarahan ini banyak disebabkan oleh hipertensi dan penyakit darah seperti hemofilia. b. PSA (Pendarahan subarakhnoid) Pendarahan subarakhnoid merupakan masuknya darah ke ruang subrakhnoid baik dari tempat lain (pendarahan subarakhnoid sekunder) atau sumber perdarahan berasal dari rongga subrakhnoid itu sendiri (pendarahan subarakhnoid) (Junaidi, 2011). Perdarahan subarakhnoidal (PSA) merupakan perdarahan yang terjadi masuknya darah ke dalam ruangan subarachnoid (Junaidi, 2012).
1.1.2 Angina Pectoris Angina pektoris adalah rasa tidak enak di dada sebagai akibat dari suatu iskemik miokard tanpa adanya infark. Klasifikasi klinis angina pada dasarnya
1
berguna untuk mengevaluasi mekanisme terjadinya iskemik. Walaupun patogenesa angina mengalami perubahan dari tahun ke tahun, akan tetapi pada umumnya dapat dibedakan 3 tipe angina: a. Classical effort angina (angina klasik) Pada nekropsi biasanya didapatkan aterosklerosis koroner. Pada keadaan ini, obstruksi koroner tidak selalu menyebabkan terjadinya iskemik seperti waktu istirahat. Akan tetapi bila kebutuhan aliran darah melebihi jumlah yang dapat melewati obstruksi tersebut, akan tetapi iskemik dan timbul gejala angina. Angina pektoris akan timbul pada setiap aktifitas yang dapat meningkatkan denyut jantung, tekanan darah dan atatus inotropik jantung sehingga kebutuhan O2 akan bertambah seperti pada aktifitas fisik, udara dingin dan makan yang banyak. b. Variant angina (angina Prinzmetal) Bentuk ini jarang terjadi dan biasanya timbul pada saat istirahat, akibat penurunan suplai O2 darah ke miokard secara tiba-tiba. Penelitian terbaru menunjukkan terjadinya obsruksi yang dinamis akibat spasme koroner baik pada arteri yang sakit maupun yang normal. Peningkatan obstruksi koroner yang tidak menetap ini selama terjadinya angina waktu istirahat jelas disertai penurunan aliran darah arteri koroner. c. Unstable angina (angina tak stabil / ATS) Istilah lain yang sering digunakan adalah Angina preinfark, Angina dekubitus, Angina kresendo. Insufisiensi koroner akut atau Sindroma koroner pertengahan. Bentuk ini merupakan kelompok suatu keadaan yang dapat berubah seperti keluhan yang bertambah progresif, sebelumnya dengan angina stabil atau angina pada pertama kali. Angina dapat terjadi pada saat istirahat maupun bekerja. Pada patologi biasanya ditemukan daerah iskemik miokard yang mempunyai ciri tersendiri (Kasron, 2012).
1.1.3 Infark Miokard Infark Miokard merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang menyebabkan sel otot jantung mengalami hipoksia. Pembuluh darah koronaria
2
mengalami penyumbatan sehingga aliran darah yang menuju otot jantung terhenti, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark. Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
1.2
PATOFISIOLOGI
1.2.1 Stroke Hemoragik Otak sangat tergantung kepada oksigen dan otak tidak mempunyai cadangan oksigen apabila tidak adanya suplai oksigen maka metabolisme di otak mengalami perubahan, kematian sel dan kerusakan permanen dapat terjadi dalam waktu 3 sampai 10 menit. Iskemia dalam waktu lama menyebabkan sel mati permanen dan berakibat menjadi infark otak yang disertai odem otak sedangkan bagian tubuh yang terserang stroke secara permanen akan tergantung kepada daerah otak mana yang terkena.
Stroke
itu
sendiri
disebabkan
oleh
adanya
arteroskelorosis.
Arteroskelorosis terjadi karena adanya penimbunan lemak yang terdapat di dindingdinding pembuluh darah sehingga menghambat aliran darah kejaringan otak. Arterosklerosis juga dapat menyebabkan suplai darah kejaringan serebral tidak adekuat sehingga menyebakan resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak (Amin & Hardhi, 2013). Arterosklerosis dapat menyebabkan terbentuknya bekuan darah atau trombus yang melekat pada dinding pembuluh darah sehingga menyebabkan sumbatan pada pembuluh darah. Apabila arterosklerosis bagian trombus terlepas dari dinding arteri akan mengikuti aliran darah menuju arteri yang lebih kecil dan akan menyebabkan sumbatan yang mengakibatkan pecahnya pembuluh darah (Amin & Hardhi, 2013). 1.2.2 Angina Pektoris Gejala angina pektoris pada dasarnya timbul karena iskemik akut yang tidak menetap akibat ketidak seimbangan antara kebutuhan dan suplai O2 miokard.
3
Beberapa keadaan yang dapat merupakan penyebab baik tersendiri ataupun bersama-sama yaitu : a. Faktor di luar jantung Pada penderita stenosis arteri koroner berat dengan cadangan aliran koroner yang terbatas maka hipertensi sistemik, taki aritmia, tirotoksikosis dan pemakaian obat-obatan simpatomimetik dapat meningkatkan kebutuhan O2 miokard sehingga mengganggu keseimbangan antara kebutuhan dan suplai O2. Penyakit paru menahun dan penyakit sistemik seperti anemi dapat menyebabkan tahikardi dan menurunnya suplai O2 ke miokard. b. Sklerotik arteri koroner Sebagian besar penderita ATS mempunyai gangguan cadangan aliran koroner yang menetap yang disebabkan oleh plak sklerotik yang lama dengan atau tanpa disertai trombosis baru yang dapat memperberat penyempitan pembuluh darah koroner. Sedangkan sebagian lagi disertai dengan gangguan cadangan aliran darah koroner ringan atau normal yang disebabkan oleh gangguan aliran koroner sementara akibat sumbatan maupun spasme pembuluh darah. c. Agregasi trombosit Stenosis arteri koroner akan menimbulkan turbulensi dan stasis aliran darah sehingga menyebabkan peningkatan agregasi trombosit yang akhirnya membentuk trombus dan keadaan ini akan mempermudah terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah. d. Trombosis arteri koroner Trombus akan mudah terbentuk pada pembuluh darah yang sklerotik sehingga penyempitan bertambah dan kadang-kadang terlepas menjadi mikroemboli dan menyumbat pembuluh darah yang lebih distal. Trombosis akut ini diduga berperan dalam terjadinya ATS. e. Pendarahan plak ateroma Robeknya plak ateroma ke dalam lumen pembuluh darah kemungkinan mendahului dan menyebabkan terbentuknya trombus yang menyebabkan penyempitan arteri koroner.
4
f. Spasme arteri koroner Peningkatan kebutuhan O2 miokard dan berkurangnya aliran koroner karena spasme pembuluh darah disebutkan sebagai penyebab ATS. Spame dapat terjadi pada arteri koroner normal atupun pada stenosis pembuluh darah koroner. Spasme
yang berulang dapat menyebabkan kerusakan artikel,
pendarahan plak ateroma, agregasi trombosit dan trombus pembuluh darah (Kasron, 2012).
1.2.3 Infark Miokardium Segera setelah terjadi Infark Miokard daerah miokard setempat akan memperlihatkan penonjolan sitolik (diskinesia) dengan akibat menurunnya ejeksi fraction, isi sekuncup, dan peningkatan volume akhir sistolik dan akhir diastolik ventrikel kiri. Tekanan akhir diastolik ventrikel kiri naik dengan akibat tekanan atrium kiri juga naik. Peningkatan tekanan atrium kiri diatas 25 mmHg yang lama akan menyebabkan transudat cairan ke jaringan interstitium paru (gagal jantung). Pemburukan hemodinamik ini bukan saja disebabkan karena daerah infark, tetapi juga daerah iskemik disekitarnya. Miokard yang masih relatif baik akan mengdakan kompensasi,
khususnya
dengan
bantuan
rangsang
adrenergik
untuk
mempertahankan curah jantung tetapi dengan peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Kompensasi ini jelas tidak memadai jika daerah yang bersangkutan juga mengalami iskemia atau bahkan sudah fibrotik. Bila infark kecil dan miokard yang kompensasi masih normal maka pemburukan hemodinamik akan minimal. Sebaliknya jika infark luas dan miokard yang harus berkompensasi juga buruk akibat iskemia atau infark lama, tekanan akhir diastolik akan naik dan gagal jantung terjadi (Hermansyah, 2012). Perubahan-perubahan hemodinamik Infark Miokard ini tidak statis. Bila Infark Miokard makin tenang fungsi jantung membaik walaupun tidak diobati. Hal ini disebabkan daerah-daerah yang tadi iskemik mengalami perbaikan. Perubahan hemodinamik akan terjadi bila iskemik berkepanjangan atau infark meluas. Terjadinya mekanis penyulit seperti rupture septum ventrikel, regurgitasi mitral
5
akut dan aneurisma ventrikel akan memperburuk faal hemodinamik jantung (Hermansyah, 2012). Aritmia merupakan penyulit Infark Miokard yang tersering dan terjadi pada saat pertama serangan. Hal ini disebabkan karena perubahan masa refrakter, daya hantar rangsang dan kepekaan terhadap rangsangan. Sistem saraf otonom juga berperan terhadap terjadinya aritmia. Penderita Infark Miokard umumnya mengalami peningkatan tonus parasimpatis dengan akibat kecenderungan bradiaritmia meningkat. Sedangkan peningkatan tonus simpatis pada Infark Miokard anterior akan mempertinggi kecenderungan fibrilasi ventrikel dan perluasan infark (Hermansyah, 2012).
1.3
MANIFESTASI KLINIK Manifestasi klinis PJK bervariasi tergantung dari besarnya penurunan aliran
darah ke otot jantung melalui arteri koroner. Namun secara umum tanda dan gejalanya adalah nyeri dada substernal, retrosternal, dan prekordial bentuk nyerinya seperti ditekan, ditindih, terbakar, yang menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, gigi, skapula kiri, punggung dan dapat juga dirasakan di epigastrium, namun pada beberapa pasien yaitu lanjut usia dan pasien diabetes mellitus kadang tanpa gejala nyeri yang khas, mual dan muntah, kulit menjadi dingin, pucat, diaforesis, xantelasma, sesak nafas, pada kasus yang serius dapat terjadi sincope atau penurunan kesadaran ( Kumar & Clarks, 2012). Klasifikasi PJK menurut Kumar & Clarks (2012) adalah a.
Angina Pectoris Stable (APS) APS merupakan nyeri dada yang timbul saat melakukan aktifitas, dan rasa sakitnya tidak lebih dari 15 menit dan hilang dengan istirahat atau pemberian Nitrogliserin. Nyeri ini bisa terjadi pada orang normal, namun pada kasus jantung APS diawali dengan adanya stenosis atherosklerosis dari pembuluh darah koroner yang akan mengurangi suplai darah ke jantung. Gambaran EKG pada penderita ini tidak khas dapat normal atau terjadi ST depresi yang mengindikasi adanya iskemik.
b.
Acute Coronary Syndrome (ACS)
6
Gejala utama yang muncul adalah ketidaknyamanan pada dada (biasanya saat istirahat), serangan angina baru yang parah, atau angina yang berlangsung paling cepat 20 menit. Ketidaknyamanan ini dapat menyebar ke bahu, lengan kiri, ke belakang, lalu ke rahang. Gejala yang menyertai termasuk mual, muntah, diaphoresis, dan sesak napas. Tidak ada fitur khusus yang menunjukkan ACS pada pemeriksaan fisik. Namun, pasien dengan ACS dapat hadir dengan tanda-tanda gagal jantung akut atau aritmia (Dipiro et al., 2015). Acs dibagi menjadi 3 yaitu : 1. Unstable Angina Pectoris (UAP) UAP adalah sakit dada yang timbul saat istirahat lamanya lebih dari 15 menit ada peningkatan dalam frekwensi sakitnya atau ada gejala perburukan. Pada UAP secara patologi dapat terjadi karena ruptur plag yang tidak stabil yang menyebabkan trombus mural, trombus yang terbentuk menyebabkan oklusi subtotal dari pembuluh darah koroner yang sebelumnya terjadi penyempitan yang minimal sehingga aliran darah tidak adekuat. Gambaran EKG dapat menunjukkan adanya depresi segmen ST atau inversi gelombang T kadang ditemukan ST elevasi saat nyeri. Tidak terjadi peningkatan enzim jantung ( Kumar & Clarks, 2012) 2. Acute non ST elevasi myocardial Infarction (AcuteNSTEMI) NSTEMI adalah nyeri dada tipikal angina. NSTEMI terjadi dikarenakan trombosis akut koroner akibat parsial trombus dimana menyebabkan oklusi pembuluh darah inkomplit. Oklusi pada coroner masih memungkinkan darah untuk mentransportasi oksigen dan nutrisi ke miocard namun dalam jumlah yang minimal yang memungkinkan kematian sel-sel jantung. Gambaran EKG pada NSTEMI depresi segmen ST atau inversi gelombang T atau keduanya. Peningkatan dari enzim jantung CK, CK-MB dan Troponin T ( Kumar & Clarks ,2012). 3. Acute ST elevasi myocardial Infarction (Acute STEMI) STEMI adalah kematian jaringan otot jantung yang ditandai adanya sakit dada khas (lebih lama, lebih berat, dan menjalar lebih luas), lama
7
sakitnya lebih dari 30 menit tidak hilang dengan istirahat atau pemberian anti angin namun nyeri akan membaik dengan pemberian analgesik seperti Morfin atau Pethidin. STEMI disebabkan oleh trombus arteri koroner yang menutupi pembuluh darah secara komplit atau total sehingga suplai darah terhenti, keadaan ini menyebabkan kematian otot jantung. Gambaran EKG pada STEMI adalah hiper akut T, elevasi segmen ST, gelombang Q dan inversi gelombang T. peningkatan enzim jantung CK, CKMB dan Troponin T ( Kumar & Clarks ,2012). c.
Iskemik Iskemik merupakan salah satu manifestasi klinis penyakit jantung koroner. Banyak gejala merupakan iskemik asimtomatik (silent ischemia). Pasien sering memiliki pola nyeri yang berulang atau gejala lain yang muncul setelah bekerja. Frekuensi, tingkat keparahan, atau durasi yang meningkat, dan gejala pada saat istirahat menunjukkan pola yang tidak stabil yang memerlukan evaluasi medis segera. Gejalanya meliputi sensasi seperti di tekan atau terbakar di sekitar sternum, yang menjalar ke rahang sebelah kiri, bahu, dan lengan. Dada terasa sesak dan sesak napas juga bisa terjadi. Sensasinya biasanya berlangsung sekitar 30 detik sampai 30 menit. Faktor yang dapat menekan gejala meliputi olahraga, lingkungan dingin, berjalan setelah makan, gangguan emosional, rasa takut, marah, dan koitus. Gejala menjadi ringan dengan istirahat dalam 45 detik sampai 5 menit setelah mengkonsumsi nitrogliserin. Pasien dengan angina sekunder (Prinzmetal) akibat spasme jantung seperti merasakan nyeri pada saat istirahat dan di pagi hari. Rasa nyeri bukan diakibatkan karena bekerja ataupun stress yang dapat hilang karena istirahat; Pada pola elektrokardiogram (EKG) menunjukkan adanya cedera dengan elevasi segmen ST daripada depresi. Angina tidak stabil dikelompokkan ke dalam kategori risiko rendah, menengah, atau tinggi untuk kematian jangka pendek atau infark miokard nonfatal. Angina dengan risiko tinggi tidak stabil meliputi: (1) percepatan
8
tempo gejala iskemik pada 48 jam sebelumnya; (2) nyeri saat istirahat yang berlangsung lebih dari 20 menit; (3) usia lebih tua dari 75 tahun; (4) Perubahan segmen ST; dan (5) temuan klinis edema paru, regurgitasi mitral, S3, rales, hipotensi, bradikardia, atau takikardia. Gejala berulang iskemia juga mungkin tidak menimbulkan rasa sakit, atau "tidak terasa", yang dikarenakan ambang batas dan toleransi nyeri pasien lebih tinggi daripada pasien yang lebih sering memiliki rasa sakit (Dipiro et al., 2015) d.
Stroke Stroke merupakan manifestasi klinis dari penyakit jantung koroner. Pasien mungkin tidak dapat memberikan riwayat yang dapat dipastikan karena defisit neurologis. Anggota keluarga atau saksi lainnya mungkin perlu memberikan informasi mengenai ini. Gejalanya
meliputi
kelemahan
pada
sebagian
anggota
tubuh,
ketidakmampuan berbicara, kehilangan penglihatan, vertigo, atau terjatuh. Stroke iskemik biasanya tidak menyakitkan, tapi sakit kepala bisa terjadi pada stroke hemoragik. Defisit neurologis pada pemeriksaan fisik bergantung pada area otak yang terlibat. Hemi- atau monoparesis dan hemisensory defisit adalah umum ditemukan. Pasien dengan keterlibatan sirkulasi posterior mungkin memiliki vertigo dan diplopia. Sirkulasi sirkulasi anterior biasanya terjadi pada afasia. Pasien mungkin mengalami disartria, cacat bidang visual, dan tingkat kesadaran yang berubah (Dipiro et al., 2015).
1.4
DIAGNOSIS
1.4.1 Pemeriksaan elektrokardiogram Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga
9
harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali. Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T (Irmalita dkk, 2015). Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia (Irmalita dkk, 2015). Tabel 1. Lokasi infark berdasarkan EKG Deviasi Segmen ST V1-V4 V5-V6, I, aVL II, III, aVF V7-V9 V3R, V4R
Lokasi iskemia atau infark Anterior Lateral inferior Posterior Ventrikel Kanan
10
Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3. Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang mempunyai spesi sitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesi sitas sangat rendah (Irmalita dkk, 2015). Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesi tas tinggi untuk untuk iskemia akut. Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik dikategorikan sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik (Irmalita dkk, 2015). 1.4.2 Pemeriksaan marka jantung Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesi sitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertro ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insu siensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang 11
seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesi sitas yang lebih tinggi dari troponin T (Irmalita dkk, 2015). Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesi sitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural (Irmalita dkk, 2015). Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral. Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung (point of care testing) pada umumnya berupa tes kualitatif atau semikuantitatif, lebih cepat (1520 menit) tetapi kurang sensitif. Point of care testing sebagai alat diagnostik rutin SKA hanya dianjurkan jika waktu pemeriksaan di laboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam. Jika marka jantung secara point of care testing menunjukkan hasil negatif maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral (Irmalita dkk, 2015). 1.4.3 Pemeriksaan laboratorium Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA (Irmalita dkk, 2015). 1.4.4 Pemeriksaan foto polos dada Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan untuk membuat diagnosis banding, identikasi komplikasi dan penyakit penyerta (Irmalita dkk, 2015).
12
1.5
HASIL TERAPI YANG DIINGINKAN Tujuan setiap pengobatan suatu penyakit adalah meningkatkan kualitas hidup
pasien dan diharapkan agar pasien dapat kembali sehat ataupun dapat mengurangi rasa sakit pada pasien. Menurut Departemen Kesehatan (2006) penatalaksanaan dan terapi farmakologi pada sindrom koroner akut secara umum diharapkan dapat mengembalikan aliran darah koroner dengan trombolitik/PTCA primer untuk menyelamatkan jantung dari infarkmiokard, membatasi luasnya infark miokard, dan mempertahankan fungsi jantung. Terapi jantung coroner dalam jangka pendek yang diinginkan adalah pencegahan penyakit komplikasi dan kematian, meredakan nyeri dada karena iskemia, pemeliharaan normoglikemia dan pencegahan reoklusi arteri coroner Tujuan jangka pendek dari pengobatan untuk pasien Acute Coronary Syndromes menurut Dipiro, et al. (2015) adalah sebagai berikut: a. Pemulihan dini aliran darah ke arteri terkait infark untuk mencegah perluasan infark (dalam kasus infark miokard) atau mencegah oklusi lengkap dan infark miokard; b. Pencegahan kematian dan komplikasi lainnya infark miokard; c. Pencegahan oklusi arteri koroner dengan infark; d. Meringankan ketidaknyamanan iskemik dada; e. Resolusi ST-segmen dan T-gelombang berubah pada EKG. Sementara itu, untuk terapi jantung koroner jangka panjang adalah sebagai berikut: a. Mencegah kemungkinan kembalinya rasa sakit di dada b. Menjaga ritme jantung c. Mencegah komplikasi yang lebih lanjut Dalam terapi penyakit jantung koroner juga dapat dilakukan pengobatan aritmia. Hal ini dilakukan berdasarkan penyebab terjadinya aritmia/jenis aritmia. Contohnya, jika seorang pasien menderita AF (arterial flutter) diharapkan
13
mendapatkan perbaikan ritme, pencegahan terjadinya komplikasi tromboembolik, dan pencegahan kambuhnya aritmia (Dipiro, 2009). 1.6
PENANGANAN
1.6.1 Terapi Non-Farmakologi Terapi Non-Farmakologi yang dapat dilakukan yaitu: a. Merubah gaya hidup, misalnya berhenti merokok. b. Olahraga, dapat meningkatkan kadar HDL dan memperbaiki koroner pada penderita jantung koroner, karena: ❖ Memperbaiki fungsi paru-paru dan memperbanyak O2 masuk ke dalam miokard. ❖ Menurunkan tekanan darah ❖ Menyehatkan jasmani c. Diet dapat mengurangi kadar hiperglikemia (Tjay & Rahardja, 2007).
1.6.2 Terapi Farmakologi a.
Anti-iskemi 1. Nitrat Merupakan obat lini pertama pada IHD. Mekanisme obat ini yaitu menyebabkan vasodilatasi perifer, terutama vena, bekerja pada otot polos vaskular yang mencakup pembentukan nitrat oksida, meningkatkan cGMP intraseluler, dan menurunkan tekanan pada jantung sehingga menurunkan kebutuhan oksigen dan nyeri cepat menghilang (Dipiro, et al, 2015 dan Neal, 2006).
14
Tabel 2. Sediaan produk nitrat:
(Dipiro, et al, 2015) ❖ Nitrat kerja pendek Nitrogliserin lebih berguna untuk mencegah serangan daripada menghentikan serangan yang sudah terjadi (Neal, 2006). Nitrogliserin yang diberikan secara sublingual digunakan untuk mengobati serangan angina akut. Bila cara ini tidak efektif, maka dibutuhkan terapi kombinasi yaitu β bloker atau calcium channel blocker (Dipiro, 2015) ❖ Nitrat kerja panjang Bersifat lebih stabil dan bisa efektif selama beberapa jam, tergantung pada obat dan sediaan yang digunakan. Isosorbit dinitrat banyak digunakan, tetapi cepat dimetabolisme oleh hati. Penggunaan isosorbit mononitrat, yang merupakan metabolit aktif utama dari dinitrat dan mencegah metabolisme lintas pertama. ❖ Efek samping Dilatasi arteri akibat nitrat menyebabkan sakit kepala, sehingga seringkali dosisnya dibatasi. Efek samping lain yaitu hipotensi dan pingsan. Refleks takikardi sering terjadi, namun dapat dicegah oleh terapi kombinasi dengan β bloker. Dosis tinggi yang diberikan jangka panjang bisa menyebabkan methemoglobinemia sebagai akibat oksidasi hemoglobin.
15
2. Calcium Channel Blocker Mekanisme : Pada otot jantung dan otot polos vaskular, Ca ++ terutama berperan dalam peristiwa kontraksi. Meningkatnya kadar Ca ++ intrasel akan meningkatkan kontraksi. Masuknya Ca ++ dari ujung ekstrasel ke dalam ruang intrasel dipacu oleh perbedaan kadar Ca++ ekstrasel dan intrasel dan karena ruang intrasel bermuatan negatif. Blokade kanal Ca++ menyebabkan
berkurangnya
kadar
Ca++
intraseluler
sehingga
menurunkan kekuatan kontraksi otot jantung, menurunkan kebutuhan otot jantung akan oksigen, dan menyebabkan vasodilatasi otot polos pembuluh darah sehingga mengurangi tekanan arteri dan intraventrikular. Beberapa contoh obat Calcium channel antagonis : verapamil, nifedipin, felodipin, amlodipin, nikardipin, dan diltiazem (Ikawati, 2006). Amlodipin mempunyai durasi kerja panjang, lebih jarang menyebabkan takikardia daripada nifedipin. Verapamil dan diltiazem menekan nodus sinus, menyebabkan bradikardia ringan. Diltiazem memiliki aksi yang berada di antara verapamil dan nifedipin dan tidak menyebabkan takikardia.
Tabel 3. Dosis yang direkomendasikan dari golongan calcium channal blocker
(DFAK Depkes, 2006) 3. β-adrenergic Blocking Agents β bloker dapat menurunkan tekanan darah, meningkatkan perfusi darah iskemi, dan mencegah angina (Neal, 2006). Selain itu juga dapat menurunkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen pada pasien angina. 16
Obat ini efektif sebagai monoterapi atau dapat dikombinasikan dengan nitrat dan/atau calcium channel blocker. β bloker merupakan obat pilihan pertama pada angina kronis sebagai terapi daily maintenance (Dipiro, et al, 2015), dan lebih baik dari nitrat atau calcium channal blocker. Jika β blcker tidak efektif, kombinasi bisa dimulai. Dosis awal β bloker sebaiknya pada batas terendah dari dosis biasa dan ditambahkan sesuai respon pasien. Tujuannya yaitu menurunakan denyut jantung istirahat sampai 50-60 denyut per menit (Dipiro, et al, 2015). Tabel 4. Dosis yang direkomendasikan dari golongan β blocker
(DFAK Depkes, 2006) Efek samping : hipotensi, gagal jantung, bradikardi, heart block, spasme bronki, vasokonstriksi perifer, perubahan metabolisme glukosa, kelelahan, dan depresi. Penghentian mendadak dapat meningkatkan keparahan penyakit. Mengurangi dosis obat secara bertahap dapat dilakukan selama 2 hari untuk memperkecil resiko reaksi penghentian tibatiba (Dipiro, et al, 2015).
b.
Antitrombotik 1. Obat Penghambat Siklo-oksigenase (COX) Aspirin Aspirin bekerja dengan cara menekan pembentukan tromboksan A2 dengan cara menghambat siklooksigenase di dalam platelet (trombosit) melalui asetilasi yang ireversibel. Kejadian ini menghambat agregasi
17
trombosit melalui jalur tersebut dan bukan yang lainnya. Sebagian dari keuntungan ASA dapat terjadi karena kemampuan anti inflamasinya, yang dapat mengurangi ruptur plak. Dosis awal 160 mg, lalu dilanjutkan dengan dosis 80 mg sampai 325 mg untuk seterusnya. Dosis yang lebih tinggi lebih sering menyebabkan efek samping gastrointestinal (DFAK Depkes, 2006). 2. Antagonis Reseptor Adenosin Diphospat Klopidogrel Klopidogrel merupakan derivat tienopiridin yang lebih baru bekerja dengan menekan aktivitas kompleks glikoprotein IIb/IIIa oleh ADP dan menghambat agregasi trombosit secara efektif. Klopidogrel dapat dipakai pada pasien yang tidak tahan dengan aspirin dan dalam jangka pendek dapat dikombinasi dengan aspirin untuk pasien yang menjalani pemasangan stent. Dosis yang direkomendasikan dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 5. Dosis klopidogrel yang direkomendasikan
(DFAK Depkes, 2006).
c.
Antikoagulan 1. Unfactionated Heparin (UFH) Unftactionated Heparin (selanjutnya disingkat sebagai UFH) merupakan glikosaminoglikan yang terbentuk dari rantai polisakarida dengan berat molekul antara 3000-30.000. Rantai polisakarida ini akan mengikat antitrombin III dan mempercepat proses hambatan antitrombin II terhadap trombin dan faktor Xa (DFAK Depkes, 2006). 2. Heparin dengan berat molekul rendah (LMWH)
18
LMWH mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada heparin standar. Heparin ini mempunyai keuntungan karena hanya membutuhkan dosis tunggal harian melalui suntikan subkutan dan dosis profilaksis tidak membutuhkan pemantauan (Neal, 2006). Tabel 6. Dosis UFH dan LMWH yang direkomendasikan
(DFAK Depkes, 2006). 3. Antikoagulan Oral Terapi antikoagulan oral yaitu warfarin, merupakan derivat kumarin yang strukturnya mirip dengan vitamin K. Warfarin memblok karboksilasi γ menghasilkan suatu zat yang terikat Ca++ yang penting dalam membentuk suatu kompleks katalitik yang efisien. Antikoagulan oral membutuhkan 2-3 hari untuk mencapai efek antikoagulan penuh. Oleh karena itu bila dibutuhkan efek segera harus diberikan heparin sebagai tambahan (Neal, 2006). d.
Trombolitik/Fibrinolitik Fibrinolitik bekerja sebagai trombolitik dengan cara mengaktifkan
plasminogen yang selanjutnya akan membentuk plasmin. Dengan adanya fibrinolitik ini, degradasi fibrin dan pemecahan trombus akan terjadi. Obat yang berfungsi sebagai fibrinolitik antara lain alteplase dan streptokinase. Alteplase merupakan aktivator plasminogen tipe jaringan yang dihasilkan dari teknologi DNA rekombinan. Alteplase tidak menuebabkan reaksi alergi dan dapat digunakan pada pasien dimana infeksi streptokokus yang beru terjadi atau penggunakan streptokinase terakhir yang menyebabkan kontraindikasi penggunaan
19
streptokinase (Neal, 2006). Dosis yang dapat digunakan yaitu 0,9 mg/kg (maksimum 90 mg) diberikan melalui IV infus selama 1 jam setelah pemberian 10% dari dosis total yang diberikan selama 1 menit (Dipiro,et al, 2015) e.
ACE Inhibitor ACE-I menghambat sintesis Angiotensin I menjadi angiotensin II.
Angiotensin II adalah vasokonstriktor kuat yang ada dalam sirkulasi dan penghambatan sintesisnya pada pasien menyebabkan penurunan resistensi perifer dan tekanan darah. Efek yang tidak diinginkan adalah batuk kering yang disebabkan karena peningkatan bradikinin (Neal, 2006). Tabel 7. Obat golongan ACE-I
(Dipiro, et al, 2009)
f.
Antihiperlipidemia Pada sebagian besar penderita hiperlipidemia dapat dikontrol dengan diet dan
olahraga. Namun, bisa juga dengan bantuan obat penurun kadar lipid darah atau antihiperlipidemia. Saat ini obat antihiperlipid golongan statin mengalami kemajuan yang sangat menakjubkan dalam mengurangi kejadian kardiovaskular, karena relatif efektif dan sedikit efek samping serta merupakan obat pilihan pertama. Obat golongan ini dikenal juga dengan obat penghambat HMGCoA reduktase. HMGCoA reduktase adalah suatu enzym yang dapat mengontrol biosintesis kolesterol. Dengan dihambatnya sintesis kolesterol di hati dan hal ini akan menurunkan kadar LDL dan kolesterol total serta meningkatkan HDL plasma.
20
Tabel 8. Obat golongan statin
(Dipiro, et al, 2009)
1.7 EVALUASI HASIL TERAPI Evaluasi hasil terapi dari penyakit jantung koroner yaitu (Dipiro, et al.,2015): a.
Monitoring parameter efikasi dari ST-segmen-elevation dan Non-ST-segmenelevation termasuk: 1. Menghilangkan ketidaknyamanan dari iskemia 2. Mengembalikan hasil Elektrokardiogram ke baseline 3. Menghilangkan tanda dan gejala dari gagal jantung
b.
Monitoring parameter efek samping dari masing-masing obat yang digunakan.
21
Tabel 9. Monitoring Efek Samping Terapi Pemberian Obat PJK
(Chisholm-Burns et. al., 2016).
Monitoring pasien dengan stroke akut dan mengalami neurologis memburuk, komplikasi (tromboemboli dan infeksi), dan efek samping pengobatan secara intens. Kebanyakan penyebab penurunan kondisi pasien stroke, yaitu : 1.
Perluasan lesi di otak
22
2.
Pembesaran edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial
3.
Hipertensi
4.
Infeksi (misal pada saluran pernafasan dan kemih)
5.
Tromboemboli vena
6.
Gangguan elektrolit dan ritme jantung
7.
Stroke kambuhan (Dipiro, et. al., 2015).
Tabel 10. Monitoring Pasien Rawat Stroke Akut
(Chisholm-Burns et. al., 2016).
23
BAB II CONTOH KASUS 2.1
Kasus Tn.Charles, seorang pria berusia 54 tahun memiliki riwayat hipertensi selama
20 tahun, dan angina selama 2 tahun. Kecanduan merokok dari umur 25 tahun, dapat menghabiskan 50 batang/hari, tetapi 8 bulan yang lalu mulai berhenti merokok. Dari catatan medisnya, diketahui bahwa Tn. Charles memiliki NSTEMI (nonST segment elevation myocardial infarction) dan 18 bulan yang lalu dilakukan PTCA (Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty) dan pemasangan stent pada arteri koroner kirinya dan 6 minggu setelahnya ia menjalani rehabilitasi jantung. Sejak itu ia selalu melakukan jalan santai selama 40 menit setiap hari. Dari hasil pemeriksaan, didapatkan hasil berikut: a. Tekanan darah
: 145/85 mm/Hg
b. Denyut jantung
: 80 kali/menit
c. BMI
: 23,5 kg/m2
d. Kolesterol Total
: 5,5 mmol/L = 212,68368 mg/dL
e. LDL
: 3,9 mmol/L = 150,81206 mg/dL
f. HDL
: 0,8 mmol/L = 30,93581 mg/dL
g. Trigliserida
: 1,8 mmol/L = 159,43313 mg/dL
Pengobatan yang dijalani sekarang antara lain: a. Aspirin 100 mg/hari b. Klopidogrel 75 mg/hari c. Perindopril 4 mg/hari d. Simvastatin 20 mg/hari Tetapi karena Tn. Charles kurang mengerti akan tujuan pengobatannya sehingga Tn.Charles mengaku tidak terlalu patuh dalam mengkonsumsi obatobatan yang telah diberikan (NPS, 2005).
24
2.2
Pembahasan
2.2.1 Penilaian Hipertensi Tekanan Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg) < 120 < 80
Kategori Optimal
Normal < 130 < 85 Normal Tinggi 130 – 139 85 – 89 Hipertensi Derajat 1 140 – 159 90 – 99 Hipertensi Derajat 2 160 – 179 100 – 109 Hipertensi Derajat 3 > 179 > 109 Sumber : The Sixth of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (1997) 2.2.2 Penilaian Kolesterol Kolesterol Total <200 mg/dL 200 – 239 mg/dL > 239 mg/dL Kolersterol LDL <100 mg/dL 100 – 129 mg/dL 130 – 159 mg/dL 160 – 189 mg/dL >189 mg/dL Kolesterol HDL <40 mg/dL >59 mg/dL Trigliserida <150 mg/dL 150 – 199 mg/dL 200 – 499 mg/dL >499 mg/dL Sumber : Wells et.al, 2009
Yang Diharapkan Batas Atas Tinggi Optimal Dekat atau Diatas Optimal Batas Atas Tinggi Sangat Tinggi Rendah Tinggi Normal Batas Atas Tinggi Sangat Tinggi
2.2.3 Analisis SOAP Subject - Pria, 54 tahun - Tidak ada keluhan
Object
Assesment
- Tekanan darah: - Hipertensi 145 /85 mm/Hg
- Perokok berat 50 - Denyut jantung: ba
tang/hari
Plan
80 kali/menit
25
(selama
- Terapi Non20
tahun), saat ini
Farmakologi
selama 29 tahun, 8 - BMI: 23,5 kg/m2
Hipertensi tipe - Terapi
bulan yang lalu - Kolesterol total:
1
berhenti mero kok.
212.68 mg/dl
- Pernah menjalani - LDL: PT
CA
dan
150,81
mg/dl
kiri - Menjalani
- Angina
kologi
pektoris
(se
lama 2 tahun).
pemasang an stent - HDL: pada arteri koroner
Farma
- Non
30,94mg/dl
ST
segment
- Trigliserida:
Myocardial
159,43 mg/dl
infarc
tion
olahraga jalan kaki
(NSTEMI) (se
selama 40 menit
lama 1 tahun)
setiap hari
- Hiperlipidemia
2.2.4 Analisis Masalah Terkait Obat Salah Obat/Regimen
-
Penggunaan klopidogrel, sebaiknya hanya diberikan 12 bulan setelah pemasangan stent, setelah itu cukup diberikan aspirin saja. Selain itu pasien juga tidak mengalami iskemia.
-
Penggunaan
ACE-Inhibitor
(perindopril)
seharusnya dikombinasikan dengan betabloker dalam terapi hipertensi pada pasien yang menderita penyakit coroner. Dosis terlalu rendah
Dosis simvastatin 20 mg/hari kurang efektif untuk menurunkan kadar LDL pasien.
Interaksi Obat
-
Aspirin >< Klopidogrel (Moderate) Memiliki kerja yang aditif, sehingga dapat meningkatkan resiko terjadinya pendarah sal uran gastrointestinal
-
Aspirin >< Perindopril (Moderate)
26
Penggunaan aspirin diduga dapat menyebab kan menurunnya efek hipotensi dari perindopril. -
Simvastatin >< makanan (Major) Penggunaan simvastatin dengan jus anggur menyebabkan peningkatkan kadar simvastatin di dalam plasma dan dapat menimbulkan toksisitas muskuloskeletal.
-
Perindopril >< makanan Penggunaan perindopril bersamaan dengan diet kalium yang tinggi dapat menyebabkan hiperkalemia (Khan, 2005)
Kepatuhan Pasien
Pasien mengaku tidak patuh dalam konsumsi obat yang telah diberikan.
2.2.5 Terapi Non Farmakologi a. Edukasi mengenal gagal jantung, penyebab dan bagaimana mengenal serta upaya bila timbul keluhan dan dasar pengobatan. b. Pasien tetap melakukan rehabilitasi kardiak secara rutin di rumah sakit. c. Pasien perlu merubah gaya hidup dan asupan makanan sehari-hari untuk menurunkan berat badan pasien. d. Konseling mengenai obat. e. Dukungan dari keluarga untuk terus mengingatkan pasien agar tetap patuh dalam mengkonsumsi obat-obat yang telah diberikan. (Khan, 2005)
2.2.6 Terapi Farmakologi a. Aspirin 100 mg/hari (antiplatelet) b. Klopidogrel 75 mg/hari (antiplatelet) c. Perindopril 4 mg/hari (Coronary heart disease) d. Simvastatin 20 mg/hari (antikolesterol)
27
Terapi antiplatelet digunakan untuk mencegah terjadinya penyumbatan pada arteri coroner jantung, dan juga untuk pasien yang mengalami sakit dada akibat penyumbatan (Rainsford, 2004) Terapi ACE-inhibitor (perindopril) diindikasikan untuk digunakan dalam jangka waktu yang lama bagi pasien dengan disfungsi ventrikular kiri. Penggunaan klopidogrel dihentikan, karena kombinasi klopidogrel dengan aspirin sebaiknya dilakukan selama 12 bulan setelah pemasangan stent pada arteri koroner pasien. Sedangkan tindakan tersebut sudah dilakukan 18 bulan yang lalu. Selain itu, pasien juga tidak mengalami iskemia, sehingga tidak memerlukan antiplatelet tambahan. Penggunaan klopidogrel yang dikombinasikan dengan aspirin tidak cost-effective dan juga meningkatkan resiko terjadinya pendarahan pada saluran gastro intestinal (Khan, 2005). Penelitian terkini menunjukan penurunan lipid secara intensif pada pasien dengan penyakit koroner yang stabil atau setelah sindrom koroner akut menunjukan adanya penurunan signifikan kadar kolesterol LDL hingga 1,6 mmol/L, dibandingkan dengan target normal yaitu 2,5 mmol/L. Penurunan signifikan ini dapat mereduksi kejadian kardiovaskular hingga 16-22% selama 2-5 tahun dengan pasien yang ditangani berada pada usia 25 hingga 50 tahun (LaRosa et.al, 2005). Kedua penelitian tersebut menggunakan atorvastatin dosis tinggi (80 mg/hari) sebagai strategi intensif, meskipun dalam penelitian tidak dicantumkan penggunaan atorvastatin dosis rendah (40 mg/hari) atau statin lainnya dapat seefektif atau kurang beresiko dalam menimbulkan toksisitas akibat statin. Pada kasus Tn.Charles, kadar kolesterol LDL sebesar 3,9 mmol/L merupakan kadar yang terlalu tinggi dan dibutuhkan peningkatan dosis dari simvastatin. Sehingga sebaiknya dosis simvastatin dinaikkan menjadi 40 mg/hari, karena dosis simvastatin 20 mg/hari masih kurang efektif (target terapi ≤ 130/80 mmHg) untuk menurunkan kadar LDL pasien. Atau dapat juga simvastatin diganti dengan golongan lain (Wells et al, 2009). Penggunaan ACE-inhibitor telah terbukti menguntungkan bagi pasien dengan penyakit jantung koroner selama 4 sampai 5 tahun. Tn. Charles menggunakan ACE-
28
inhibitor yaitu perindopril untuk mengatasi peningkatan kadar kolesterolnya dan tekanan darahnya yang mencapai 145/85 mmHg (target terapi ≤ 130/80 mmHg). Penggunaan kombinasi ACE-inhibitor dan beta blocker perlu digunakan untuk menangani hipertensi pada pasien dengan penyakit jantung, dilihat dari fungsinya sebagai antihipertensi dan efek menjaga jantung, contoh golongan ßblocker adalah atenolol 50 mg/hari, selain itu berdasarkan algoritma terapi hipertensi, obat pilihan pertama untuk pasien hipertensi dengan penyakit koroner pun adalah beta-bloker yang dikombinasikan dengan ACEI (M.Thorp, 2008). Jika pasien terbukti tidak toleran terhadap ACE inhibitor, maka dapat digunakan antagonis reseptor angiotensin II. Kombinasi terapi dengan dosis rendah thiazid merupakan terapi efektif pada beberapa kasus hipertensi yang lebih parah. Telah dibuktikan bahwa beta blocker dapat menurunkan faktor resiko dan mortalitas akibat jantung terutama akibat infark miokardial hingga 2 tahun. Penggunaan beta blocker yang disetujui untuk infark miokardial adalah atenolol 50 mg per hari, metoprolol 50-100 mg dua kali sehari, dan propanolol 80 mg dua kali sehari (LaRosa et.al, 2005).
2.2.7 Monitoring a. Dilakukan pemantauan secara berkala terhadap kondisi pasien, tekanan darah, dan kadar LDL pasien untuk mengetahui keefektifan terapi. b. Penggunaan simvastatin lebih dari 10 mg/hari harus disertai dengan pemantauan klirens kreatininnya (harus >30 mL/menit). c. Dilakukan pemantauan untuk menghindari terjadinya pendarahan, iskemia, ataupun efek samping dan interaksi obat yang berpontensi muncul pada pasien. Dilakukan pemantauan mengenai kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat-obatan yang telah diberikan (Khan, 2005).
29
DAFTAR PUSTAKA Amin, Huda Nurarif & Hardi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC Jilid 2. Jakarta:EGC Chisholm-Burns, M.A., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M., Rotschafer, J.C., dan Dipiro, J.T., 2016. Pharmacotherapy : Principles and Practice. 4th edition. New York : Mc Graw Hill. Depkes. 2006. Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner. Jakarta : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Dipiro, J.T, Talbert, R.L, Yee, G.C, Matzke G.R, Wells, B.G, Posey L.M. 2009. Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach 7th Edition. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc. Dipiro, J.T, Talbert, R.L, Yee, G.C, Matzke G.R, Wells, B.G, Posey L.M. 2015. Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach 9th Edition. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc. Direktorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan (DFAK Depkes). 2006. Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner: Fokus Sindrom Koroner Akut. Bakti Husada. Hermansyah et,al 2012. Risiko Baru Penyakit Kardiovaskuler. Ethical Digest Ikawati, Zulies. 2006. Pengantar Farmakologi Molekuler. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Irmalita., Juzar, Dafsah A., Andrianto., Setianto, Budi Yuli., Tobing, Daniel PL., Firman, Doni., Firdaus,Isman. 2015.
Pedoman Tatalaksana Sindrom
Koroner Akut, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2015 Edisi ketiga. Jakarta: Indonesian Heart Association Junaidi, Iskandar. 2011. Panduan Praktis Pencegahan dan Pengobatan Stroke. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer Kasron. 2012. Kelainan dan Penyakit Jantung. Yogyakarta: Nuha Medika.
30
Khan, M.G. 2005. Heart Disease Diagnosis and Therapy. 2nd ed. London: Humawa Press. Kumar, P., & Clark, M. L. 2009. Kumar & Clark's Clinical Medicine 9th Edition. Spain: Elsevier. LaRosa J.C., Grundy S.M., Waters D.D. Intensive Lipid Lowering with Atorvastatin in Patients with Stable Coronary Artery Disease. N Engl J Med. 2005; 352(1) :1425-35. M.Thorp, C. 2008. Pharmacology for the Health Care Professions. Lonson:: John Wiley and Sons. Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.1,No.2,Februari 2012. National Prescribing Service. 2005. Results Case Study 38: Management of Ischaemic Heart Disease. National Prescribing Service Limited 10: 1-16. Rainsford, K.R.D. 2004. Aspirin and Related Coumpound. London: Taylor and Francis Inc. Wells,B.G.,
Dipiro,
J.T.,Schwinghammer,
T.L.,
Dipiro,
C.V.
2009.
Pharmacotherapy Handbook. 7th ed. New York: McGraw Hill Medical.
31