TINJAUAN PUSTAKA
LUNG EMPHYSEMA
OLEH :
ANINDIA RAHMAWATI/ J500070075 J500070075
PEMBIMBING : dr. NIWAN, Sp.P
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2012
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL……………………………………………………………… 1 DAFTAR ISI…………………………………………………….………………. .2 BAB I PENDAHULUAN………………………..…………….………………….3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………..5 A. Definisi………………………………………………………………..5 B. Etiologi……………………………………………………………… ..5 C. Patofisiologi…………………………………………………………..6 D. Patogenesis………………………………………………………… .8 E. Diagnosis…………………………………………………………… ..8 F. Penatalaksanaan………………………………………………… ..11 BAB III KESIMPULAN…………………………………………………………15 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………16
2
BAB I PENDAHULUAN
Dari tahun ke tahun angka kesakitan dan kematian penderita emfisema belum menunjukkan penurunan. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) yang di dalamnya terdapat emfisema yang menjadi kontributor terbesar, di negara maju merupakan masalah kesehatan utama, karena semakin bertambahnya penderita. Di Indonesia tidak ditemukan data yang akurat tentang prevalensi PPOK. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) DEPKES RI 1992 menunjukkan angka kematian emfisema, bronkhitis khronis dan asma menduduki peringkat ke 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia1. PPOK merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor resiko, seperti faktor penjamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan tempat kerja2. PPOK ditunjukkan untuk mengelompokkan penyakit-penyakit yang mempunyai gejala berupa terhambatnya arus udara pernapasan. Hal ini dapat disebabkan oleh masalah pada saluran pernapasan dan parenkim paru seperti pada bronkitis kronis dan emfisema. Selain itu juga ada yang memasukkan
penyakit
asma
bronkial
kronik,
fibrosis
kistik
dan
bronkiektasis. Diagnosis patologik pada pasien obstruksi saluran nafas dapat berupa emfisema sebesar 68%, bronkitis 66% dan bronkiolitis sebesar 41%3. Emfisema paru merupakan penyakit yang umum, kronis, progresif dan akhirnya dapat berakibat fatal. Penyakit ini disebabkan oleh rokok 80% sampai 90% kasus4. Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Pada prakteknya cukup banyak 3
penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan nafas yang tidak reversibel penuh dan memenuhi kriteria PPOK 5,6.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru-paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara sebelah distal bronkus terminal, disertai kerusakan dinding alveolus7. Pelebaran ini disebabkan karena adanya kerusakan dinding asinus. Asinus adalah bagian paru yang terletak di bronkiolus terminal distal, terdiri dari bronkhiolus rerpiratorius yang memiliki kantong udara kecil atau alveoli3,8. B. Etiologi1,3 Faktor- faktor yang menyebabkan timbulnya Emfisema paru adalah: 1. Rokok Rokok adalah penyebab utama timbulnya Emfisema paru, secara patologis rokok berhubungan dengan hiperplasia kelenjar mukus, bronkus metaplasia, epitel skuamus dan saluran nafas. Menurut Sharma
(2006),
emfisema
terjadi
pada
seseorang
dengan
kebiasaan merokok lebih dari 20 batang perhari dan kebiasaan merokok tersebut sudah terjadi selama 20 tahun 1. 2. Polusi Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila di tambah merokok resiko akan lebih tinggi. 3. Faktor sosial ekonomi Emfisema lebih banyak terdapat pada golongan sosial ekonomi rendah, mungkin karena perbedaan pola merokok, selain itu juga disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek. 4. Faktor genetik Ditandai dengan adanya Eosinofil / peningkatan kadar Imunoglobin E
serum.
Adanya
hiperresponsif
bronkus,
riwayat
penyakit
obstruktif paru pada keluarga dan defisiensi protein ɑ-1 antitripsin.
5
C. Patofisiologi Ada tiga faktor yang memegang peran dalam timbulnya emfisema yaitu8: 1. Kelainan radang bronchus dan bronchiolus yang sering disebabkan oleh asap rokok dan debu industri. Radang peribronchiolus disertai fibrosis menyebabkan iskhemia dan jaringan parut sehingga memperluas dinding bronchiolus. 2. Kelainan atrofik yang meliputi pengurangan jaringan elastik dan gangguan aliran darah; hal ini sering dijumpai pada proses menjadi tua. 3. Obstruksi inkomplit yang menyebabkan gangguan pertukaran udara; hal ini dapat disebabkan oleh perubahan dinding bronchiolus akibat bertambahnya makrophag pada penderita yang banyak merokok. Insiden emfisema meningkat dengan disertai bertambahnya umur. Bahan toksik yang terdapat dalam asap rokok dapat mencapai setiap bagian trakhea dan bronkhus sampai alveolus. Apabila bahan toksik mencapai alveolus, di alveoli dapat timbul proses inflamasi, terjadi mobilisasi makrofag dan netrofil sehingga jumlah dan aktivitas sel fagosit tersebut meningkat. Aktivasi makrofag akan mengganggu keseimbangan protease-antiprotease. Disamping itu juga akan melepaskan Neutrophyl Chemotactic Factor (NCF) yang memobilisasi netrofil sehingga sekreasi elastase
meningkat,
dan
dapat
melepaskan
oksidan
yang
akan
menginaktifasi ɑ-1 antitripsin sehingga terjadi proses perusakan elastin paru sebagai dasar kelainan emfisema. Aktifasi makrofag juga dapat disebabkan bahan polutan lain, seperti debu dan polusi udara 1,3. Berdasarkan morfologinya, Ada dua bentuk emfisema yaitu : 1. Emfisema Sentrilobular Emfisema sentrilobular ditandai oleh kerusakan pada saluran napas bronkhial yaitu pembengkakan, peradangan dan penebalan dinding bronkhioli. Perubahan ini umumnya terdapat pada bagian
6
paru atas dan terutama dijumpai pada perokok .Emfisema jenis ini biasanya
bersama-sama
dengan
penyakit
bronkhitis
kronis,
sehingga fungsi paru hilang perlahan-lahan atau cepat tetapi progresif dan banyak menghasilkan sekret yang kental8,9. 2. Emfisema Panlobular Emfisema panlobular berupa pembesaran yang bersifat merusak dari distal alveoli ke terminal bronkhiale. Pembendungan jalan udara secara individual disebabkan oleh hilangnya elastisitas recoil dari paru atau radial traction pada bronkhioli. Ketika menghisap udara (inhale), jalan udara terulur membuka, maka kedua paru yang elastis itu membesar dan selama menghembuskan udara (ekshalasi)
jalan
udara
menyempit
karena
turunnya
daya
penguluran dari kedua paru itu. Pada penderita emfisema panlobular, elastisitas parunya telah menurun karena robekan dan kerusakan
dinding
menghembuskan
sekeliling
udara
alveoli
keluar,
sehingga
bronkhiolus
pada
mudah
waktu kolaps.
Akibatnya fungsi pertukaran gas pada kedua paru tidak efektif 8. Emfisema jenis ini terutama dijumpai pada defisiensi ɑ antitripsin9.
7
D. Patogenesis
Emfisema mempunyai kelainan berupa pelebaran abnormal dan permanen ruang udara sebelah distal dari bronkhiolus terminalis. Kelainan yang mendasari adalah destruksi difus dinding alveoli tanpa fibrosis yang nyata, bersifat kronis progresif dan memberikan kecacatan yang menetap Kelainan struktur parenkim diawali terjadinya inflamasi kronis yang akan mengakibatkan destruksi jaringan elastin dinding jalan napas. Bentuk kelainan struktur yang dijumpai adalah destruksi serat elastin septum interalveoli dan ditemukannya peningkatan serat kolagen sebagai bentuk remodelling jaringan ikat paru akibat destruksi serat elastin tersebut. Keadaan inilah yang berkaitan dengan terjadinya penurunan fungsi paru. Elastin dan kolagen merupakan komponen utama dari anyaman (network) jaringan ikat paru yang secara bersama menentukan daya elastisitas paru. Destruksi serat elastin, deposisi dan bentuk remodelling kolagen, merupakan kelainan yang mendasari terjadinya pembesaran ruang udara pada emfisema1. E. Diagnosis 1. Anamnesa10,11 a. Riwayat menghirup rokok b. Riwayat terpajan zat kimia c. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga d. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi misalnya BBLR, infeksi saluran nafas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara.
8
e. Sesak nafas waktu aktivitas terjadi bertahap dan perlahanlahan memburuk dalam beberapa tahun. f. Pada bayi terdapat kesulitan pernapasan berat tetapi kadang-kadang tidak terdiagnosis hingga usia sekolah atau bahkan sesudahnya. 2. Pemeriksaan fisik a. Inspeksi :
Prused-lips breathing (mulut setengah terkatup)
Dada berbentuk barrel-chest
Sela iga melebar
Sternum menonjol
Retraksi intercostal saat inspirasi
Penggunaan otot bantu pernapasan
b. Palpasi : fokal fremitus melemah. c. Perkusi : hipersonor, hepar terdorong kebawah, batas jantung mengecil, letak diafragma rendah. d. Auskultasi :
Suara nafas vesikuler normal atau melemah
Terdapat ronki samar-samar
Wheezing
terdengar
pada
waktu
inspirasi
maupun
ekspirasi
Ekspirasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh, bila terdapat hipertensi pulmonale akan terdengar suara P2 mengeras pada LSB II-III11.
3. Pemeriksaan penunjang a. Faal paru 1) Spirometri (VEP1, KVP)12 Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 < 80%, KV menurun, KFR dan VR meningkat. VEP merupakan
9
parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya dan perjalanan penyakit. 2) Uji bronkodilatator Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan VEP111. b. Darah rutin Hemoglobin, hematokrit, leukosit11. c. Gambaran radiologis1,13
Pada emfisema terlihat gambaran : 1) Diafragma letak rendah dan datar 2) Ruang retrostenal melebar 3) Gambaran vaskuler berkurang 4) Jantung tampak sempit memanjang (tear drop) 5) Pembuluh darah perifer mengecil d. Pemeriksaan analisis gas darah Terdapat hipoksemia dan hipokalemia akibat kerusakan kapiler alveoli. e. Pemeriksaan EKG Untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai hipertensi pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
10
f.
Pemeriksaan enzimatik Kadar ɑ-1 antitripsin rendah.
F. Penatalaksanaan Penatalaksanaan emfisema secara umum meliputi : 1. Penatalaksanaan umum Yang termasuk disini adalah : a. Pendidikan terhadap keluarga dan penderita Penderita dan keluarga harus mengetahui faktor-faktor yang dapat
mencetus
eksaserbasi
serta
faktor
yang
bisa
memperburuk penyakit. Ini perlu peran aktif penderita untuk usaha pencegahan 14. b. Menghindari rokok dan zat inhalasi Rokok merupakan faktor utama yang dapat memperburuk perjalanan penyakit. Penderita harus berhenti merokok. Disamping itu zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi harus dihindari.
Karena
zat
itu
menimbulkan
eksaserbasi/memperburuk perjalanan penyakit11,14. c. Menghindari infeksi saluran nafas Infeksi saluran nafas sedapat mungkin dihindari oleh karena dapat menimbulkan suatu eksaserbasi akut penyakit 11,14. 2. Pemberian obat-obatan a. Bronkodilator 1) Derivat Xantin Sejak dulu obat golongan teofilin sering digunakan pada emfisema
paru.
Obat
ini
menghambat
enzim
fosfodiesterase sehingga cAMP yang bekerja sebagai bronkodilator dapat dipertahankan pada kadar yang tinggi, contoh : teofilin dan aminofilin11. 2) Golongan beta-2 agonis Obat ini menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor bet berhubungan erat dengan adenilmsiklase yaitu substansi
11
penting
yang
menghasilkan
siklik
AMP
yang
menyebabkan bronkodilatasi. Pemberian dalam bentuk aerosol lebih efektif. Obat yang termasuk golongan ini adalah terbutalin, metaproterenol dan albuterol. 3) Antikolinergik Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor kolinergik sehingga
menekan
enzim
guanilsiklase.
Kemudian
pembentukan cAMP sehingga bronospasme menjadi terhambat, contoh : ipatropium bromida yang diberikan dalam bentuk inhalasi15. 4) Kortikosteroid Manfaat kortikosteroid pada pengobatan obstruksi jalan nafas
pada
sejumlah
emfisema
penderita
masih
mungkin
diperdebatkan. memberi
Pada
perbaikan.
Pengobatan dihentikan bila tidak ada respon. Obat yang termasuk didalamnya adalah dexametason, prednison, dan prednisolon11,14. b. Ekspektoran dan Mukolitik Usaha untuk mengeluarkan dan mengurangi mukus merupakan yang utama dan penting pada pengelolaan emfisema paru. Ekspektoran dan mukolitik yang biasa dipakai adalah bromheksin dan karboksi metil sistein diberikan pada keadaan eksaserbasi. Asetil sistein selain bersifat mukolitik juga mempunyai efek anti oksidan yang melindungi saluran napas dari kerusakan yang disebabkan oleh oksidan14. c. Antibiotik Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru obstruksi terutama eksaserbasi akut. Bila infeksi berlanjut
maka
perjalanan
penyakit
akan
semakin
memburuk. Penanganan infeksi yang cepat dan tepat sangat
12
perlu dalam penatalaksanaan penyakit. Pemberian antibiotik dapat mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi. Antibiotik yang bermanfaat adalah golongan Penisilin, Eritromisin dan Kotrimoksazol. perbaikan
Apabila
maka
antibiotik
perlu
tidak
dilakukan
memberikan pemeriksaan
mikroorganisme11,14. 3. Terapi oksigen Pada penderita dengan hiposemia yaitu PaO2<55mmHg. Pemberian oksigen konsentrasi rendah 1-3liter/menit secara terus menerus memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, dan toleransi beban kerja. 4. Fisioterapi8 Tujuan umum dan rencana pengobatan kondisi emfisema ialah sebagai berikut : a. Membantu mengeluarkan sputum dan meningkatkan efisiensi batuk. b.
Mengatasi gangguan pernapasan pasien.
c. Memperbaiki gangguan pengembangan thoraks. d. Meningkatkan kekuatan otot-otot pernapasan. e. Mengurangi spasme/ketegangan otot-otot leher pasien.
Penerapan Modalitas Fisioterapi antara lain : a. Postural Drainage Salah satu teknik membersihkan jalan napas akibat akumulasi sekresi dengan cara penderita di atur dalam berbagai
posisi
untuk
mengeluarkan
sputum
dengan
bantuan gaya gravitasi. Tujuannya untuk mengeluarkan sputum yang terkumpul dalam lobus paru, mengatasi gangguan
pernapasan
dan
meningkatkan
efisiensi
mekanisme batuk.
13
b. Breathing Exercises Dimulai
dengan
dengan mulut tertutup
menarik
napas
melalui
hidung
kemudian menghembuskan napas
melalui bibir dengan mulut mencucu. Posisi yang dapat digunakan adalah tidur terlentang dengan kedua lutut menekuk atau kaki ditinggikan, duduk dikursi atau di tempat tidur, dan berdiri. Tujuannya untuk memperbaiki ventilasi alveoli, menurunkan pekerjaan pernapasan, meningkatkan efisiensi
batuk,
mengatur
kecepatan
pernapasan,
mendapatkan rileksasi otot-otot dada dan bahu dalam sikap normal dan memelihara pergerakan dada. c. Latihan Batuk Batuk merupakan cara yang paling efektif untuk membersihkan laring, trakea dan bronkhioli dari sekret dan benda-benda asing. d. Latihan Releksasi Secara individual, penderita sering tampak cemas, takut karena sesak napas dan kemungkinan mati lemas. Dalam keadaan tersebut, maka latihan relaksasi merupakan usaha yang paling penting dan sekaligus sebagai langkah pertolongan. Latihan relaksasi yang dapat digunakan adalah metode Yacobson, contohnya : penderita ditempatkan dalam ruangan yang hangat, segar dan bersih, kemudian penderita ditidurkan terlentang dengan kepala diberi bantal, lutut ditekuk dengan memberi bantal sebagai penyangga.
14
BAB III KESIMPULAN
1. Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru-paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara sebelah distal bronkus terminal, disertai kerusakan dinding alveolus. 2. Rokok, polusi, faktor sosial ekonomi dan faktor genetik merupakan penyebab emfisema. 3. Destruksi serat elastin, deposisi dan bentuk remodelling kolagen, merupakan kelainan yang mendasari terjadinya pembesaran ruang udara pada emfisema. 4. Diagnosis
emfisema
ditegakkan
berdasarkan
anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 5. Penatalaksanaan emfisema secara umum meliputi penyuluhan, pencegahan, terapi obat-obatan dan fisioterapi.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Kusumaningrum, S. Validitas Foto Thorax Proyeksi Posterio Anterior untuk Menegakkan Diagnosis Emfisema Pulmonum. Biomedika. 2009;1(2):9-15. 2. Depkes. 2008. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia. 3. Djojodibroto, R A. 2009. Emfisema. Dalam: Respirologi. Jakarta: EGC. Hal: 116-118. 4. Berger, RL, et all. Lung Volume Reduction Therapies for Advanced Emphysema An Update. CHEST. 2010;138(2). 5. PDPI,2003. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik . 6. Braman, SS. Chronic Cough Due to Chronic Bronchitis ACCP Evidence-Based Clinical Practice Guidelines. CHEST. 2006; 129: 104S-115S. 7. Masjoer, A. 2007. Penyakit Paru Obstruktif Kronik dalam : Kapita Selekta Kedokteran edisi III, jilid 1. Jakarta : EGC. 8. Suharto. Fisioterapi pada Emfisema. CDK. 2000;128:2224. 9. Wibisono,
MJ,
dkk.
2010.
Buku
Ajar
Ilmu
Penyakit
Paru
2010 .Surabaya : Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR. 10. Mubin, A. 2008. Emfisema. Dalam: Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam Diagnosis dan Terapi. Jakarta : EGC. 11. Mangunnegoro,
H.
2001.
PPOK
Pedoman
Diagnosis
dan
Penatalaksanaan di indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 12. Vestbo, J, at all. Changes in Forced Expiratory Volume in 1 Second over Time in COPD. NEJM. 2011;363(13):1184-92. 13. Kusumawidjaja, K. 2008. Emfisema, atelektasis dan bronkietasis. Dalam: Radiologi Diagnostik edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
16
14. Yunus F. Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif . Cermin Dunia Kedokteran No.114 Jakarta. 15. Darmono, Penyakit Paru Obstruktif Menahun dalam : Patogenesis dan Pengelolaan Menyeluruh, Badan Penerbit UNDIP, 1990, Hal 83-89.
17