BAB PENDAHULUAN
I
T
umbuhan dalam
mempertahankan
hidupnya
memerlukan komponen lain yang terdapat di lingkungannya. Udara, air dan cahaya matahari
meupakan berberapa contoh komponen lain yang diperlukan tumbuhan untuk melangsungkan hidupnya. Tumbuhan berfungsi sebagai produsen yang menyediakan makanan bagi hewan dan manusia. Tumbuhan juga menghasilkan oksigen melalui proses fotosintesis yang sangat penting bagi kehidupan hewan dan manusia. Sebaliknya, gas karbon dioksida yang dihasilkan dari pernapasan manusia dan hewan digunakan oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis. Proses fotosintesis
yang
terjadi
pada
tumbuhan,
selain
memenfaatkan gas karbon dioksida, juga memerlukan energi dari radiasi matahari, memerlukan air dan zat-zat hara dalam tanah. Bahan-bahan tersebut diperlukan tumbuhan untuk proses tumbuh, berkembang dan regenerasi. Hubungan ketergantungan antara satu komponen dengan komponen lainnya membentuk suatu rantai interaksi hubungan timbal balik yang mengawali penggunaan istilah ekologi.
1
1.1. Sejarah Perkembangan Ekologi Penelusuran awal kajian ekologi sangatlah sulit. Jika ditinjau dari segi proses alam, sesungguhnya ekologi telah dikenal oleh manusia sejak lama. Ilmu ekologi mempunyai perkembangan yang bertahap sepanjang sejarah. Tulisan-tulisan Hiprocrates, Aristoteles dan ahliahli filsafat lainnya darimasa Yunani mengandung bahan-bahan
yang
jelas
memiliki
sifat
ekologi.
Walaupun demikian, bahasa Yunani secara harfiah tidak mempunyai kata untuk itu. Kata “ekologi” merupakan ciptaan kata baru yang pertama-tama diusulkan oleh ahli Biologi berkebangsaan Jerman bernama Ernest Haeckel pada tahun 1869. Sebelum itu, banyak ahli yang hidup pada abad ke delapan belas dan kesembilan belas telah menyumbang gagasan tentang kajian ekologi meskipun etiket “ekologi” tidak digunakan. Sebagai contoh, Anton van Leeuwenhoek yang lebih dikenal sebagai ahli mikroskop juga mempelopori pengkajian “rantai-rantai makanan” dan “pengaturan populasi” yang merupakan dua bidang penting dari ekologi modern. Meskipun demikian, yang dianggap sebagai pemula dan mengarah pada kajian yang bersifat modern adalah para ahli geografi tumbuhan seperti Humboldt, de Condolle, Engler, Gray dan Kerner. Dasar-dasar dalam geografi tumbuhan
ini merupakan pangkal dan kemudian
2
berkembang menjadi kajian komunitas tumbuhan atau ekologi komunitas. Kajian
ekologi
komunitas
ini
kemudian
berkembang ke dalam dua kutub yaitu: 1). Eropa Dipelopori
oleh
Braun-Blanquet
(1932)
yang
kemudian dikembangkan oleh para ahli lainnya. Mereka tertarik dengan komposisi, struktur, dan distribusi dari komunitas. 2). Amerika Dipelopori oleh para pakar ekologi tumbuhan seperti Cowles (1899): Clements (1916) dan Gleason (1926) yang mempelajari perkembangan dan dinamika komunitas tumbuhan.
Ekologi mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan ekologi terjadi secara bertahap sesuai
dengan
perkembangan
peradaban
manusia.
Berikut tahapan perkembangan ilmu ekologi. 1. Petrus de Crescetius (1305) menulis suatu karangan mengenai adanya sifat persaingan hidup dalam tumbuhan 2. King
(1685)
merupakan
orang
pertama
yang
menguraikan tentang konsep suksesi dalam komunitas tumbuhan.
3
3. Leibig
(1840)
mengkaji
pengaruh
lingkungan
nonbiotik terhadap organisme. 4. Ernest Haeckel (1869) memunculkan istilah “ekologi” yang berasal dari bahasa Yunani (“oikos” yang berarti rumah atau tempat tinggal atau tempat hidup atau habitat, dan “logos” yang berarti ilmu, telaah, studi atau kajian. Ernest Haeckel mendefinisikan ekologi sebagai ilmu tentang makhluk hidup dalam rumahnya atau ilmu tentang tempat tinggal makhluk hidup. 5. Warming (1891) mulai pula menguraikan tentang proses suksesi tumbuhan yang terjadi di bukit pasir sepanjang pantai Denmark. 6. Cowles (1899), terpengaruh oleh karya Warming mengadakan kajian dan menulis tentang suksesi tumbuhan di bukit sepanjang pesisir danau Michigan, bahkan menguraikan pula peranan iklim, fisiografi dan biota lainnya dalam suksesi ini. 7. Clements (1916) sudah menulis buku teks ekologi yang menerangkan tentang metoda pengukuran dan pemasangan kuadrat dalam kajian ekologi lapangan. 8. Gleason (1926) mempelajari perkembangan dan dinamika komunitas tumbuhan 9. Braun-Blanquet (1932) mengkaji tentang komposisi, struktur, dan distribusi dari komunitas
4
10. Gause (1935) menemukan interaksi antara hewan pemangsa dengan hewan mangsanya dan hubungan kompetitif di antara spesies 11. Birge dan Juday (1940-an)
menguraikan budget
energi dari suatu danau dan mengeluarkan konsepkonsep ekologi mengenai dinamika tingkat trofik 12. Dice (1943) mengungkapkan hubungan timbal balik antara tumbuhan dengan hewan 13. Lack (1954) menemukan dasar-dasar yang luas untuk kajian regulasi populasi 14. Ovington (1957) melakukan kajian awal mengenai siklus materi atau nutrisi 15. Wynne dan Edwards (1960)
mengkaji tentang
peranan tingkah laku sosial dalam regulasi populasi 16. Robert. H. Wittaker (1970-an) telah mengembangkan sinekologi 17. Josias Braunn-Blanquet (1980) yang mengembangkan metode sampling komunitas
1.2. Perkembangan Ekologi Tumbuhan Ekologi berkembang melalui dua jalur, jalur hewan dan jalur tumbuhan. Para ahli ekologi tumbuhan memusatkan tumbuhan
perhatiannya
dengan
pada
lingkungannya.
hubungan
antara
Kajian
ekologi
tumbuhan pula bukan hal yang baru, pada tahun 1305
5
Petrus de Crescetius telah menulis sebuah karangan mengenai
adanya
sifat
persaingan
hidup
dalam
tumbuhan. Warming (1891) mulai menguraikan tentang proses suksesi tumbuhan yang terjadi di bukit pasir sepanjang pantai Denmark. Pada saat itu, ekologi tumbuhan telah diakui sebagai disiplin ilmu baru. Beberapa pakar ekologi tumbuhan yang patut dicatat sebagai
pelopor
dalam mengembangkan kajian ini
antara lain: 1. Clements sejak tahun 1905 menulis buku teks ekologi yang menerangkan tentang metoda pengukuran dan pemasangan kuadrat dalam kajian ekologi lapangan. 2. Cowles terpengaruh oleh karya Warming mengadakan kajian dan menulis tentang suksesi tumbuhan di bukit sepanjang
pesisir
danau
Michigan,
bahkan
menguraikan pula peranan iklim, fisiografi dan biota lainnya dalam suksesi ini. Seri bukunya telah dimulai sejak 1899. 3. Tansley menyumbangkan karya ilmiah klasiknya yang tidak tertandingi sampai sekarang yaitu buku yang
berjudul ”The British
Isles and Their
Vegetation”.
6
1.3. Tingkat Integrasi dan Pendekatan Ekologi Tumbuhan Ekologi tumbuhan
merupakan
kajian
yang
berusaha menerangkan rahasia kehidupan pada tahapan individu, populasi dan komunitas. Ketiga tingkat utama ini membentuk sistem ekologi yang dikaji dalam ekologi tumbuhan ini. Masing-masing tingkatan adalah bersifat nyata, tidak bersifat hipotetik seperti spesies, jadi dapat diukur dan diobservasi struktur dan operasionalnya. Individu dan populasi tidak terpisah-pisah, mereka membentuk
asosiasi
dan
terorganisasi
dalam
pemanfaatan energi dan materi membentuk suatu masyarakat atau komunitas dan berintegrasi dengan faktor lingkungan di sekitarnya membentuk ekosistem.
Berdasarkan tingkat integrasinya maka secara ilmu, kajian ekologi tumbuhan dapat dibagi dalam dua pendekatan, yaitu autekologi dan sinekologi a. Autekologi Autekologi merupakan bagian ekologi yang mempelajari suatu jenis organisme secara individu yang berinteraksi dengan lingkungannya. Misalnya, pengaruh intensitas cahaya terhadap pertumbuhan jenis Shorea belangeran atau pengaruh cekaman kekeringan terhadap pertumbuhan bibit durian kura (Durio testudinarum).
7
b. Sinekologi Sinekologi merupakan bagian ekologi yang mempelajari berbagai kelompok organisme sebagai satu kesatuan yang saling
berinteraksi
antar
sesamanya
dan
dengan
lingkungannya dalam suatu daerah. Misalnya mempelajari struktur dan komposisi masyarakat tumbuhan di hutan rawa, di hutan rawa gambut atau di hutan mangrove.
1.4. Hubungan Ekologi Tumbuhan dengan Ilmu Lain Ekologi tumbuhan dipelajari dengan tujuan untuk mengarahkan atau memelihara keseimbangan ekosistem agar
dapat
dijadikan
sebagai
sumber
pemenuhan
kebutuhan manusia sepanjang masa. Ekosistem terbentuk sebagai hasil interaksi antara komponen hayati (biotik) dan komponen non hayati (abiotik) sehingga pengetahuan terhadap peran dan fungsi masing-masing komponen penting untuk diketahui. Pengetahuan
tentang
berbagai
komponen
ekosistem memerlukan keterkaitan dari berbagai disiplin ilmu. Ekologi tumbuhan sebagai salah satu bidang ilmu tidak dapat berdiri sendiri untuk mengkaji komponen ekosistem,
sehingga
diperlukan
ilmu
lain
seperti
taksonomi tumbuhan, geologi, geomorfologi, ilmu tanah, klimatologi,
genetika,
geografi
tumbuhan,
fisiologi
tumbuhan dan biokimia. Hubungan antara ekologi
8
tumbuhan dengan ilmu lain ditunjukkan oleh Gambar 1. berikut. TAKSONOMI TUMBUHAN FISIOLOGI GEOMORFOLOGI
EKOLOGI BIOKIMIA
GENETIKA
TUMBUHAN GEOLOGI
ILMU TANAH
KLIMATOLOGI
GEOGRAFI TUMBUHAN Gambar 1. Hubungan Ekologi Tumbuhan dengan ilmu lain
9
BAB
TUMBUHAN DAN FAKTOR LINGKUNGAN
II
S
etiap faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan dari
suatu
perkembangannya
organisme disebut
dalam faktor
proses
lingkungan.
Tumbuhan dan hewan dalam ekosistem merupakan bagian hidup
atau
komponen
biotik,
komponen
ini
akan
menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan tertentu, dalam hal ini tidak ada organisme hidup yang mampu untuk berdiri sendiri tanpa dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang ada, dan harus ada kondisi lingkungan tertentu yang berperan terhadapnya dan menentukan kondisi kehidupannya. Lingkungan mempunyai tiga dimensi ruang dan berkembang sesuai dengan waktu. Ini berarti bahwa lingkungan adalah tidak mungkin seragam baik dalam arti ruang maupun waktu. Pada
dasarnya
faktor
lingkungan
alami
ini
selalu
memperlihatkan perbedaan atau perubahan baik secara vertikal maupun horizontal dan jika dikaitkan dengan waktu, maka akan bervariasi baik secara harian, bulanan, tahunan, dan musiman. Dengan demikian, waktu dan ruang lebih tepat dikatakan sebagai dimensi dari lingkungan bukan merupakan faktor atau komponen lingkungan.
10
2.1. Komponen Lingkungan Lingkungan terbentuk sebagai hasil interaksi antara berbagai faktor lingkungan tidak hanya antara faktor-faktor biotik dan abiotik, tetapi juga antara biotik dengan biotik dan juga antara abiotik dengan abiotik. Dengan demikian, secara operasional sangat sulit untuk memisahkan satu faktor terhadap faktor-faktor lainnya tanpa mempengaruhi kondisi keseluruhannya. Meskipun demikian, untuk memahami struktur dan berfungsinya faktor lingkungan ini, secara abstrak kita bisa membagi faktor-faktor lingkungan ini ke dalam komponenkomponennya. Berbagai cara dilakukan oleh para pakar ekologi dalam pembagian komponen lingkungan. Salah satu hasil pembagiannya seperti di bawah ini. a) Faktor iklim yang meliputi parameter iklim utama seperti cahaya, suhu, ketersediaan air, dan angin. b) Faktor tanah yang meiputi nutrisi tanah, reaksi tanah, kadar air tanah, dan kondisi fisika tanah. c) Faktor topografi yang meliputi sudut kemiringan lahan, aspek kemiringan lahan dan ketinggian tempat dari permukaan laut. d) Faktor biotik merupakan gambaran dari semua interaksi dari organisme hidup seperti kompetesi, penutupan dan lain-lain.
11
2.2. Hubungan Antar Faktor Lingkungan Telah dipahami bahwa dalam kajian ekosistem adalah sangat penting untuk menganalisis bagaimana faktor-faktor lingkungan beroperasi atau berfungsi. Dalam kenyataannya telah dipahami bahwa faktor-faktor lingkungan saling berinteraksi satu sama lainnya sehingga sangat sulit untuk memisahkan pengaruh hanya dari satu faktor lingkungannya. Meskipun demikian, karakteristik mendasar dari ekosistem akan ditentukan atau diatur oleh komponen abiotiknya. Pengaruh dari variabel abiotik ini akan dimodifikasi oleh tumbuhan dan hewan, misalnya terciptanya perlindungan oleh pohon meskipun
sifatnya
terbatas.
Faktor-faktor
abiotik
merupakan penentu secara mendasar terhadap ekosistem, sedangkan kontrol faktor biotik setidaknya tetap menjadi penting dalam mempengaruhi penyebaran dan fungsi individu dari jenis makhluk hidup. Organisme hidup bereaksi terhadap variasi lingkungan sehingga hubungan interaksi tersebut akan membentuk komunitas dan ekosistem tertentu, baik berdasarkan ruang maupun waktu.
Agar
dapat
mengenal
bagaimana
faktor
lingkungan dapat berfungsi, maka terlebih dahulu akan dikaji hukum – hukum atau asas faktor lingkungan.
12
2.3. Hukum Minimum dari Liebig Justus von Liebig seorang pakar kimia dari Jerman pada tahun 1840
memprakarsai suatu kajian
tentang pengaruh berbagai faktor terhadap pertumbuhan tanaman. Dia berpendapat bahwa hasil dari suatu panen tanaman sering dibatasi oleh nutrisi yang diperlukan dalam jumlah yang banyak seperti karbon dan air. Dia menemukan
bahwa
kekurangan
fosfor
seringkali
merupakan faktor yang membatasi pertumbuhan tanaman tersebut. Penemuan ini membawa pada pemikiran bahwa ada
faktor
penentu
yang
mungkin
membatasi
produktivitas tanaman. Pemikirannya pada saat itu kemudian dikembangkannya menjadi hukum yang terkenal dengan “hukum minimum” yang menyatakan pertumbuhan dari tanaman tergantung pada sejumlah bahan makanan yang berada dalam kuantitas terbatas atau sedikit sekali. Hukum minimum hanya berperan dengan baik untuk materi kimia yang diperlukan untuk pertumbuhan dan reproduksi. Liebig tidak mempertimbangkan peranan faktor lainnya. Hasil pemikiran para ahli menunjukkan bahwa harus ada penambahan dua asas kepada konsep hukum minimum agar dapat digunakan di masa depan. Kedua asas tersebut antara lain:
13
1) Hukum
ini
berlaku
hanya
dalam
kondisi
keseimbangan yang dinamis atau steady state. Apabila masukan dan keluaran energi dan materi dari ekosistem tidak berada dalam keseimbangan, jumlah berbagai substansi yang diperlukan akan berubah terus dan hukum minimum tidak berlaku. 2) Hukum interaksi
minimum diantara
harus
memperhatikan
faktor-faktor
juga
lingkungan.
Konsentrasi yang tinggi atau ketersediaan yang melimpah dari sesuatu substansi mungkin akan mempengaruhi laju pemakaian dari substansi lain dalam jumlah yang minimum.
2.4. Hukum Toleransi dari Shelford Salah satu perkembangan yang paling berarti dalam kajian faktor lingkungan terjadi pada tahun 1913 ketika Victor Shelford mengemukakan hukum toleransi. Hukum ini mengungkapkan pentingnya toleransi dalam menerangkan distribusi dari jenis. Hukum toleransi menyatakan bahwa untuk setiap faktor lingkungan suatu jenis mempunyai suatu kondisi minimum dan maksimum yang dapat dipikulnya, diantara kedua harga ekstrim ini merupakan kisaran toleransi dan termasuk suatu kondisi optimum.
14
Kisaran toleransi dapat dinyatakan dalam bentuk kurva lonceng, dan akan berbeda untuk setiap jenis terhadap faktor lingkungan yang sama atau mempunyai kurva yang berbeda untuk satu jenis organisme terhadap faktor-faktor lingkungan yang berbeda. Misalnya jenis A mungkin mempunyai batas kisaran yang lebih luas terhadap suhu tetapi mempunyai kisaran yang sempat terhadap kondisi tanah.
Gambar 2.1. Kurva kisaran toleransi organisme
Untuk memberikan gambaran umum terhadap kisaran toleransinya ini, biasanya dipakai awalan steno untuk kisaran toleransi yang sempit, awalan euri untuk kisaran toleransi yang luas (Tabel 2.1). Tabel 2.1. Gambaran umum kisaran toleransi Toeransi Sempit Stenotermal Stenohidrik Stenohalin Stenofagik
Toleransi Luas euritermal eurihidrik eurihalin eurifagik
Faktor Lingkungan Suhu Air Salinitas Makanan 15
Stenoedafik Stenoesius
euriedafik euriesius
Tanah Seleksi habitat
Shelford menyatakan bahwa jenis-jenis dengan kisaran toleransi yang luas untuk berbagai faktor lingkungan akan menyebar secara luas. Ia juga menambahkan bahwa dalam fase reproduksi dari daur hidupnya faktor-faktor lingkungan lebih membatasi. Sebagai contoh biji, telur dan embrio mempunyai kisaran yang sempit jika dibandingkan dengan fase dewasanya. Hasil Shelford telah memberikan dorongan dalam kajian berbagai ekologi toleransi. Berbagai percobaan dilakukan di laboratorium untuk mendapatkan atau menentukan kisaran toleransi dari individu sesuatu jenis makhluk
hidup terhadap
berbagai
faktor
lingkungan.
Hasilnya sangat berguna untuk aspek-aspek terapan, seperti menentukan toleransi jenis terhadap pencemaran air yang sedikit banyak akan memberikan gambaran dalam hal penyebaran tersebut. Shelford sendiri memberikan penjelasan dalam hukumnya bahwa reaksi suatu organisme terhadap faktor lingkungan tertentu mempunyai hubungan yang erat dengan kondisi lingkungan lainnya, misalnya apabila nitrat dalam tanah terbatas jumlahnya maka resistensi rumput terhadap kekeringan akan menurun. Dengan demikian ia juga sudah memberikan gambaran bahwa adanya kemungkinan yang tidak menyeluruh hasil penelitian di laboratorium
16
(kondisi buatan) yang memperlihatkan hubungan antara satu faktor lingkungan dengan organsime hidup. Shelford juga melihat kenyataan bahwa sering organisme hidup, tetumbuhan dan hewan-hewan, hidup berada pada kondisi yang tidak optimal. Mereka berada dalam kondisi yang tidak optimal ini akibat kompetisi dengan yang lainnya, sehingga berada pada keadaan yang lebih efektif dalam kehidupannya. Misalnya berbagai kehidupan tetumbuhan di padang pasir sesungguhnya akan tumbuh lebih baik di tempat yang lembab, tetapi mereka memilih padang pasir karena adanya keuntungan ekologi yang lebih. Demikian
juga
dengan
anggrek
sebenarnya
kondisi
optimalnya berada pada keadaan penyinaran yang langsung, tetapi mereka hidup di bawah naungan karena faktor kelembaban sangat lebih menguntungkan.
2.5. Konsep Faktor Pembatas Meskipun hukum dari Shelford pada dasarnya benar, tetapi para pakar ekologi berpendapat bahwa teori tersebut terlalu kaku. Akan lebih bermanfaat apabila menggabungkan konsep
minimum dengan
konsep
toleransi untuk mendapatkan gambaran yang lebih umum lagi. Hal ini didasarkan kenyataan bahwa kehadiran dan keberhasilan dari organisme hidup itu tergantung pada kondisi-kondisi yang tidak sederhana.
17
Faktor apapun yang kurang atau melebihi batas toleransinya mungkin akan merupakan pembatas dalam penyebaran jenis. Memang sulit untuk menentukan di alam faktor-faktor pembatas ini, karena masalah yang erat kaitannya dengan pemisahan pengaruh setiap komponen lingkungan secara terpisah di habitatnya. Nilai lebih dari penggabungan konsep
faktor pembatas adalah dalam
memberikan pola atau arahan dalam kajian hubunganhubungan yang kompleks dari faktor lingkungan ini. Para pakar ekologi sekarang menyadari bahwa terlalu banyak perhatian ditujukan pada kajian kisaran toleransi dan faktor-faktor pembatas itu sendiri.
Kajian hendaknya
diarahkan untuk mempelajari bagaimana tumbuhan dan hewan berkembang untuk mempelajari bagaimana tumbuhan dan hewan berkembang untuk menguasai habitat tertentu dan menghasilkan
kisaran
toleransi
terhadap
faktor-faktor
lingkungan yang sesuai untuk bisa mempertahankan diri. Kajian-kajian ekologi toleransi yang didasarkan pada pemikiran Liebig dan Shelford pada umumnya tidak menjawab pertanyaan ekologi mendasar, bagaimana jenisjenis teradaptasi terhadap beberapa faktor pembatasnya. Pandangan
ekologi
yang
lebih
berkembang
adalah
memikirkan perkembangan jenis untuk mencapai suatu kehidupan dengan memperhatikan kisaran toleransi sebagai hasil sampingan dari persyaratan yang dipilih dalam pola
18
kehidupannya. Pendekatan ini menekankan pentingnya evolusi yang membawa pengertian yang lebih baik hubungan antara individu suatu jenis dengan habitatnya.
2.6. Hubungan Tumbuhan dengan Faktor Abiotik 2.6.1. Cahaya Cahaya merupakan faktor lingkungan yang sangat penting sebagai sumber energi utama bagi ekosistem. Struktur dan fungsi dari ekosistem utamanya sangat ditentukan oleh radiasi matahari yang sampai di sistem ekologi tersebut, tetapi radiasi yang berlebihan dapat pula menjadi faktor pembaas, menghancurkan sistem jaringan tertentu. Ada tiga aspek penting yang perlu dibahas dari faktor cahaya ini, yang erat kaitannya dengan sistem ekologi, yaitu: a) Kualitas
cahaya
atau
komposisi
panjang
gelombang. b) Intensitas cahaya atau kandungan energi dari cahaya. c) Lama penyinaran, seperti panjang hari atau jumlah jam cahaya yang bersinar setiap hari.
19
1). Kualitas Cahaya Cahaya matahari
sampai ke permukaan bumi
dalam bentuk gelombang-gelombang dg panjang 0,3 sampai 10 mikron. Cahaya dengan panjang gelombang antara 0,39 sampai 7,60 mikron disebut sebagai cahaya tampak.
Cahaya
tampak
diserap
tumbuhan
untuk
fotosintesis. Klorofil yang berwarna hijau mengabsorbsi cahaya merah dan biru yang merupakan bagian dari spektrum cahaya yang sangat bermanfaat bagi fotosintesis. Gelombang di bawah 0,39 mikron yang merupakan gelombang pendek
disebut sebagai ultraviolet. Sinar
ultraviolet yang sampai di bumi terdiri atas 3 (tiga) bentuk, yaitu sinar UV-A (panjang gelombang 0,31 – 0,39 mikron), UV-B (panjang gelombang 0,28 – 0,31 mikron) dan UV-C (panjang gelombang 0,10 – 0,28 mikron). Sementara itu, gelombang di atas 7,60 mikron yang merupakan gelombang panjang dinamakan infra merah (infrared). Utraviolet dan infrared tidak dimanfaatkan dalam proses fotosintesis. Kualitas cahaya pada ekosistem daratan tidak mempunyai variasi yang berarti untuk mempengaruhi fotosintesis, kecuali apabila kanopi vegetasi menyerap sejumlah cahaya maka cahaya yang sampai di dasar akan jauh berbeda dengan cahaya yang sampai di kanopi sehingga akan terjadi pengurangan cahaya merah dan biru.
20
Dengan demikian, tumbuhan yang hidup di bawah naungan kanopi harus teradaptasi dengan kondisi cahaya yang rendah energinya. Dalam ekosistem perairan cahaya merah dan biru diserap fitoplankton yang hidup di permukaan, sedangkan cahaya hijau akan diteruskan atau dipenetrasikan ke lapisan lebih bawah sehingga sulit untuk diserap oleh fitoplankton. Ganggang merah dengan pigmen tambahan berupa fikoeritrin atau pigmen merah coklat mampu mengabsorpsi cahaya hijau tersebut untuk fotosintesisnya sehingga ganggang merah mampu hidup pada kedalaman laut. Pengaruh dari sinar ultraviolet terhadap tumbuhan masih belum jelas, namun sinar ultraviolet dapat mempengaruhi
perkembangan
tumbuhan
menjadi
terhambat pertumbuhannya. Beberapa dampak sinar ultraviolet bagi tumbuhan antara lain dapat menyebabkan kerusakan sel (DNA, kloroplas, mitokondria), merusak enzym fotosintesis dan respirasi dan pada Hyoscyamus niger diketahui dapat menghentikan pembungaannya. Umumnya, gelombang -gelombang pendek dari radiasi matahari terabsorbsi di bagian atas atmosfer sehingga hanya sebagian kecil yang mampu sampai di permukaan bumi. Pengaruh ultraviolet akan terjadi dan sangat
terasa di daerah pegunungan yang tinggi.
21
Tumbuhan pada pegunungan yang tinggi memiliki mekanisme adaptasi khusus baik secara fisiologi maupun secara morfologi. Tumbuhan memiliki sistem fotoreseptor pendeteksi radiasi UV yang terdiri atas sensor UV-B untuk mendeteksi adanya radiasi sinar UV-B dan protein kriptokrom/fototropin 1 dan 2 untuk mendeteksi radiasi sinar UV-A. Tumbuhan juga menghasilkan produk metabolisme sekunder
berupa phenylpropane yang
berfungsi sebagai penyaring atau pemfilter radiasi sinar ultraviolet. Beberapa jenis tumbuhan memiliki antosianin pada daunnya untuk melindungi daun dari kerusakan radiasi sinar ultraviolet. Bentuk-bentuk karakterisktik
daun
tumbuhan
yang di
roset
daerah
merupakan pegunungan.
Tumbuhan – tumbuhan tersebut mengalami penebalan dan pemendekatan antar ruas (internodus). Hal ini merupakan dampak dari paparan radiasi sinar ultraviolet yang menghambat pemanjangan batang. Sinar ultraviolet juga diperkirakan berperan dalam mencegah migrasi berbagai jenis tumbuhan sehingga sinar ultraviolet memiliki fungsi sebagai agen dalam menentukan penyebaran tumbuhan.
22
2). Intensitas Cahaya Intensitas cahaya atau kandungan energi merupakan aspek cahaya yang terpenting sebagai faktor lingkungan, karena berperan sebagai tenaga pengendali utama dari ekosistem. Intensitas cahaya ini sangat bervariasi baik dalam ruang/spasial maupun dalam waktu/ temporal. Radiasi matahari yang sampai dan menembus atmosfer bumi akan terabsorpsi dan terrefleksi atau terhamburkan oleh gas-gas dan partikel-partikel yang dikandungnya. Intensitas cahaya yang terbesar terjadi di daerah tropika, terutama daerah kering (zona arid), sedikit cahaya direfleksikan oleh awan. Di daerah garis lintang rendah cahaya matahari menembus atmosfer dan membentuk sudut yang besar dengan permukaan bumi, sehingga lapisan atmosfer yang tertembus berada dalam ketebalan minimum. Intensitas cahaya menurun secara cepat dengan naiknya garis lintang. Pada garis lintang yang tinggi matahari berada pada sudut yang rendah terhadap permukaan bumi dan juga permukaan atmosfer, dengan demikian
sinar
menembus
lapisan
atmosfer
yang
terpanjang, ini akan mengakibatkan lebih banyak cahaya yang direfleksikan dan dihamburkan oleh lapisan awan dan pencemar di atmosfer. Perbedaan musim juga mempengaruhi intensitascahaya di daerah dengan latituda tinggi ini, intensitas pada musim panas jauh berbeda
23
dengan intensitas pada musim dingin. Variasi intensitas cahaya dalam skala besar akan dimodifiksikan lagi oleh faktor topografi. Sudut dan arah kemiringan akan sangat berpengaruh terhadap jumlah cahaya yang sampai di permukaan bumi atau ekosisem, hal ini akan lebih terasa untuk daerah-daerah di garis lintang tinggi, sehingga dapat menghasilakna perbedaan struktur ekosistem. Tumbuhan yang teradaptasi untuk hidup pada tempat-tempat dengan intensitas cahaya yang tinggi biasa disebut tumbuhan heliofita. Tubuh tumbuhan heliofita mempunyai sistem kimia yang aktif untuk membentuk karbohidrat dan juga membongkarnya dalam respirasi. Tumbuhan heliofita memiliki titik kompensasi cahaya mencapai 4.200 luks. Sebaliknya tumbuhan yang hidup baik dalam situasi jumlah cahaya yang rendah dikenal dengan tumbuhan siofita. Proses metabolisme dan respirasi tumbuhan siofita berjalan lambat. Titik kompensasi cahaya tumbuhan siofita hanya sebesar 27 luks. Beberapa jenis tumbuhan mempunyai karakteristik siofita ketika masih muda dan kemudian berkembang ke karakteristik heliofita setelah dewasa. Hal ini biasanya terjadi pada pohon-pohon dengan anakannya yang harus tahan hidup di bawah naungan. Perbedaan
antara
tumbuhan
heliofita
dan
siofita
ditunjukkan pada Tabel 2.1. berikut.
24
Tabel 2.1. Perbedaan tumbuhan heliofita dan siofita
25
Kaitan
antara
besar
penyinaran
dengan
laju
fotosintesis merupakan dasar dari perbedaan heliofita dengan siofita. Dalam hal ini peranan pembentukan pigmen hijau serta klorofil sangat erat kaitannya dengan intensitas cahaya tesebut. Pada tempat-tempat dengan penyinaran yang penuh, cahaya cenderung bersifat merusak atau menghancurkan klorofil sehingga hanya tumbuhan yang mampu membentuk klorofil dengan cepat yang mampu hidup pada daerah dengan intensitas cahaya tinggi. Jika tumbuhan tidak mampu menghasilkan klorofil untuk mengimbangi klorofil yang hancur (akibat cahaya yang terlalu tinggi intensitasnya) maka tumbuhan itu akan gagal dalam mempertahankan dirinya. Dengan
demikian,
perbedaan
kemampuan
dalam
pembentukan klorofil inilah yang membedakan antara tumbuhan heliofita dengan siofita.
3). Lamanya Penyinaran Lama penyinaran relatif antara siang dan malam dalam 24 jam akan mempengaruhi fungsi dari tumbuhan secara luas. Jawaban dari organisme hidup terhadap lamanya siang hari dikenal dengan fotoperiodisma. Respon tumbuhan terhadap fotoperiodisme meliputi perbungaan, jatuhnya daun dan dormansi. Di daerah sepanjang
khatulistiwa
lamanya
siang
hari
atau
fotoperioda akan konstan sepanjang tahun, sekitar 12
26
jam. Di daerah temperata/ bermusim panjang hari lebih dari 12 jam pada musim panas, tetapi akan kurang dari 12 jam pada musim panas, tetapi akan kurang dari 12 jam pada musim dingin. Perbedaan yang terpanjang antara siang dan malam akan terjadi di daerah dengan garis lintang tinggi. Berdasarkan respon ini, tumbuhan berbunga dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar, yaitu: 1) Tumbuhan berkala panjang, yaitu tumbuhan yang memerlukan lamanya siang lebih dari 12 jam untuk terjadinya proses perbungaan. Berbagai tumbuhan temperate termasuk pada kelompok ini, seperti macam-macam gandum (wheat dan barley) dan bayam. 2) Tumbuhan berkala pendek, kelompok tumbuhan yang memerlukan lamanya siang lebih pendek dari 12 jam untuk terjadinya proses perbungaan, dalam kelompok ini termasuk tembakau dan bunga krisan. 3) Tumbuhan berhari netral, yaitu tumbuhan yang tidak memerlukan perioda panjang hari tertentu untuk proses perbungaannya, misal tomat dan dandelion.
27
Reaksi tumbuhan berskala panjang dan berskala pendek membatasi penyebarannya secara latitudinal sesuai dengan kondisi fotoperiodanya. Apabila beberapa tumbuhan terpaksa hidup di tempat yang kondisi fotoperiodanya tidak optimal,
maka
pertumbuhannya
akan
bergeser
pada
pertumbuhan vegetatif. Misalnya, bawang merah (Allium cepa) yang merupakan tumbuhan berkala pendek akan menghasilkan bulbus atau umbi lapis yang besar apabila ditumbuhkan di daerah dengan fotoperioda yang panjang. Di daerah khatulistiwa tingkah laku tumbuhan sehubungan dengan fotoperioda ini tidaklah menunjukkan adanya pengaruh yang mencolok. Tumbuahan akan tetap aktif dan berbunga sepanjang tahun asalkan faktor-faktor lainnya, dalam hal ini suhu, air, dan nutrisi, bukan merupakan faktor pembatas.
2.6.2. Suhu Suhu merupakan faktor lingkungan yang dapat berperan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap organisme hidup. Berperan langsung hampir pada setiap fungsi dari tumbuhan dengna mengontrol laju proses-proses kimia dalam tumbuhan tersebut, sedangkan
peran
tidak
langsung
dengan
mempengaruhi faktor-faktor lainnya terutama suplai air.
28
Sangat sedikit tempat-tempat di permukaan bumi secara terus menerus berada dalam kondisi terlalu panas atau terlalu dingin untuk sistem kehidupan. Suhu biasanya mempunyai variasi baik secara ruang maupun secara waktu. Variasi suhu ini berkaitan dengan garis lintang dan juga terjadi variasi lokal berdasarkan topografi dan jarak dari laut. Variasi suhu di muka bumi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: a)
Komposisi dan warna tanah. Semakin terang warna tanah, maka semakin banyak panas yang dipantulkan. Sebaliknya, semakin gelap warna tanah maka semakin banyak panas diserap.
b) Kegemburan dan kadar air tanah. Tanah yang gembur lebih cepat memberikan respon pada pancaran panas daripada tanah yang padat, terutama erat kaintannya dengan penembusan dan kadar air tanah, makin basah tanah makin lambat suhu berubah. c)
Iklim mikro perkotaan. Perkembangan suatu kota menunjukkan adanya pengaruh terhadap iklim mikro. Asap dan gas yang terdapat di udara kota sering mereduksi radiasi. Partikel-partikel debu yang melayang di udara merupakan inti dari uap air dalam proses kondensasinya. Uap air tersebut yang bersifat aktif dalam mengurangi pengaruh radiasi matahari tadi.
29
d) Kemiringan lereng dan garis lintang. Kemiringan lereng sebesar 50 dapat mereduksi suhu sebanding dengan 450 km perjalanan arah ke kutub. Variasi suatu berdasarkan waktu/ temporal terjadi baik musiman maupun harian, kesemua variasi ini akan mempengaruhi penyebaran dan fungsi tumbuhan.
Kehidupan di muka bumi berada dalam suatu batas kisaran suhu antar 00C sampai 300C. Dalam kisaran suhu ini individu tumbuhan mempunyai suhu minimum, maksimum, dan
optimum
yang
diperlukan
untuk
aktivitas
metabolismenya. Suhu - suhu tersebut yang diperlukan organisme hidup dikenal dengan suhu kardinal. Suhu tumbuhan biasanya kurang lebih sama dengan suhu sekitarnya karena adanya pertukaran suhu yang terus menerus antara tumbuhan dengan udara sekitarnya. Kisaran toleransi suhu bagi tumbuhan sangat bervariasi, untuk tanaman di tropika, semangka, tidak dapat mentoleransi suhu di bawah 150-180C. Sebaliknya, konifer di daerah temperata masih bisa mentoleransi suhu sampai serendah -300C. Tumbuhan air umumnya mempunyai kisaran toleransi suhu yang lebih sempit jika dibandingkan dengan tumbuhan di daratan. Secara garis besar semua tumbuhan mempunyai kisaran toleransi terhadap suhu yang berbeda tergantung para umur, keseimbangan air dan juga keadaan musim.
30
Tumbuhan dan Suhu Tinggi Suhu
maksimum
yang
harus
ditoleransi
oleh
tumbuhan sering merupakan masalah yang lebih kritis jika dibandingkan
dengan
suhu
minimumnya.
Tumbuhan
biasanay didinginkan oleh kehilangan air dari tubuhnya, dengan demikian kerusakan akibat panas terjadi apabila tidak tersedia
sejumlah air
dalam tubuhnya untuk proses
pendinginan tadi. Pada beberapa kasus umumnya kerusakan diinduksi oleh suhu yang tinggi berasosiasi dengan kerusakan akibat kekurangan air, pelayuan. Dalam kejadian seperti ini ensima menjadi tidak aktif dan metabolisme menjadi rendah. Tumbuhan yang hidup di tempat-tempat dengan iklim yang panas sering mempunyai struktur morfologi yang teradaptasi untuk hidup pada kondisi panas ini, lapisan gabus menjadi tebal berfungsi sebagai lapisan pelindung, daun kecil-kecil untk mereduksi kehilangan air, dan kutikula menebal sehingga refleksi cahaya meningkat.
Tumbuhan dan Suhu Rendah Kebanyakan tumbuhan berhenti pertumbuhannya pada suhu dibawah 60C. Penurunan suhu dibawah suhu ini mungkin akan menimbulkan kerusakan yang cukup berat. Protein akan menggumpal pada larutan di luar cairan sel mengakibatkan ketidakatifan ensima. Bila suhu mencapai titik beku, akan terbetuk kristal es diantara ruang sel dan air
31
akan terisap keluar dari sel maka akan terjadi dehidrasi. Apabila pembukuan terjadi secara cepat maka akan terbentuk kristal-kristal es dalam cairan sel yang ternyata volumenya akan lebih besar dari ukuran sel tersebut. Sehingga sel rusak dan mati akibat kebocoran dinding selnya. Hasilnya akan terjadi daerah yang berwarna coklat pada tumbuhan, sebagai karakteristik dari kerusakan akibat pembekuan atau frost. Suhu yang rendah mungkin akan berperan secara tidak langsung, menghambat fungsi dari tumbuhan. Akar menjadi kurang permeabel sehingga tidak mampu menyerap air. Hal ini menimbulkan apa yang disebut kekeringan fisiologi, terjadi pada situasi air yang relatif cukup tetapi tidak mampu diserap akar akibat suhu yang terlalu dingin. Situasi ini sering terjadi di daerah tundra. Tumbuhan yang hidup di daerah iklim dingin sreing mempunyai adaptasi morfologi untuk tetap bisa hidup. Tumbuhan menjadi kerdil atau merayap untuk mengurangi luka permukaan atau mempunyai bentuk bantal atau permadani untuk saling melindungi satu bagian dengan bagaian lainnya.
32
2.6.3. Air Air penting,
merupakan semua
faktor
organisme
lingkungan hidup
yang
memerlukan
kehadiran air ini. Perlu dipahami bahwa jumlah air di sistem bumi kita ini adalah terbatas dan dapat berubah-ubah akibat proses sirkulasinya. Pengeringan bumi sulit untuk terjadi akibat adanya siklus melalui hujan, aliran air, transpirasi dan evaporasi yang berlangsung secara terus menerus. Bagi tumbuhan air adalah penting karena dapat langsung mempengaruhi kehidupannya. Bahkan air sebagai bagian dari faktor iklim yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perubahan struktur dan organ tumbuhan. Untuk lebih rinci perhatikan peranan air bagi tumbuhan di bawah ini : a) Struktur
Tumbuhan.
Air
merupakan
bagian
terbesar pembentuk jaringan dari semua makhluk hidup (tak terkecuali tumbuhan). Antara 40% sampai 60% dari berat segar pohon terdiri dari air, dan bagi tumbuhan herba jumlahnya mungkin akan mencapai 90%. Cairan yang mengisi sel akan mampu menjaga substansi itu untuk berada dalam keadaan yang tepat untuk berfungsi metabolisme.
33
b) Sebagai Penunjang. Tumbuhan memerlukan air untuk penunjang jaringan-jaringan yang tidak berkayu. Apabila sel-sel jaringan ini mempunyai cukup air maka sel-sel ini akan berada dalam keadaan kukuh. Tekanan yang diciptakan oleh kehadiran air dalam sel disebut tekanan turgor dan sel akan menjadi mengembang, dan apabila jumlah air tidak memadai maka tekanan turgor berkurang dan isi sel akan mengerut dan terjadilah plasmolisis. c)
Alat Angkut. Tumbuhan memanfaatkan air sebagai alat untuk mengangkut materi disekitar tubuhnya. Nutrisi masuk melalaui akar dan bergerak ke bagian tumbuhan lainnya sebagai substansi yang terlarut dalam air. Demikian juga karbohidrat yang dibentuk di daun diangkut ke jaringan-jaringan lainnya yang tidak berfotosintesis dengan cara yang sama.
d) Pendingin. Kehilangan air dari tumbuhan oleh transpirasi akan
mendinginkan
tubuhnya
dan
menjaga
dari
pemanasan yang berlebihan.
Kekurangan dan Kelebihan Air Di lingkungan daratan dengan situasi kelebihan air maka tanah menjadi jenuh air, permasalahan utama pada situasi seperti ini adalah tidak adanya udara dalam tanah sehingga perakaran tumbuhan tidak bisa bernafas dan juga tanah sering menjadi asam. Jika jumlah air tidak memadai
34
untuk keperluan tumbuhan maka sel menjadi lembek, dan stomata
menutup
untuk
mengurangi
kehilangan
air
berkelanjutan. Kondisi air tanah seperti ini dikenal dengan titik kelayuan, dan sel-sel tumbuhan mulai untuk terjadinya plasmolisis yang biasanya berjalan berkepanjangan. Dan apabila situasi kekurangan air ini menerus maka tumbuhan akan mati. Umumnya tumbuhan yang berada di daerah kering ini berada dalam keadaan setengah dehidrasi pada siang hari yang diimbangi dengan penyimpanan dalam keseimbangan airnya pada malam hari.
Adaptasi Tumbuhan terhadap Kondisi ekstrim Kekeringan merupakan situasi yang sering dialami oleh tumbuhan, meskipun dipahami bahwa hujan bukanlah satusatunya faktor yang dapat menimbulkan. Suhu yang tinggi bisa juga memberikan pengaruh kekurangan air ini. Bila musim kering itu bersifat periodik dan merupakan karakteristik daerah, maka tumbuhan yang berada di daerah ini akan memperlihatkan penyesuaian dirinya, berbagai cara penyesuaian ini tergantung pada tumbuhan itu. Umumnya memperlihatkan reduksi dari daun dan dahan, memperpendek siklus hidup atau biji matang pada atau dekat permukaan, rambut akar bertambah banyak, sel kutikula menebal, dinding sel mengandung lebih banyak ikatan lipid, jaringan palisade berkembang lebih baik tetapi sebaliknya dengan bunga
35
karang, sel dan ruang antar sel mengecil tetapi jaringan lignin membesar. Kecepatan fotosintesis, tekanan osmosa dan permeabilitas protoplasma meninggi dan diikuti dengan penurunan viskositas protoplasma, akibatnya perbandingan tepung dan gula menjadi besar, sehingga secara total tumbuhan menjadi tahan terhadap kelayuan. Berdasarkan toleransinya terhadap air, terdapat empat kelompok besar tumbuhan, yaitu: 1) Hidrofita, yaitu kelompok tumbuhan yang hidupu dalam air atau pada tanah yang tergenag secara permanen. 2) Halofita, yaitu kelompok tumbuhan yang terkhususkan tumbuh
pada
lingkungan
berkadar
garam
tinggi
(kekeringan fisiologi). 3) Xerofita, yaitu kelompok tumbuhan yang teradaptasi untuk hidup di daerah kering. 4) Mesofita, yaitu kelompok tumbuhan yang bertoleransi pada kondisi tanah yang moderat (tidak dalam keadaan ekstrim).
a). H i d r o f i t a Hidrofita merupakan kelompok tumbuhan yang hidiup sebagian atau seluruhnya di dalam air atau habitat yang basah. Jadi dalam hal ini keadaan air berada dalam kondisi berlebihan, dan tumbuhan yang hidup mempunyai karakteristik yang khusus, seperti terdapatnya jaringan
36
lakuner terutama pada daun dan akar yang berperan dalam memenuhi kebutuhan akan udara sebagai adaptasi terhadap kekurangan oksigen. Berdasarkan karakteristiknya dikenal 5 subkelompok hidrofita, yaitu: 1) Hidrofita Tengelam dan Tertanam pada Substrat Mempunyai epidermis yang tidak berkutikula, daun dan cabang akar tereduksi dalam ukuran dan ketebalan. Berkembang biak biasanya secara vegetatif. Contoh: Vallisneria dan Elodea.
2) Hidrofita Terapung Mampu berkembang biak secara cepat sehingga dalam waktu yang singkat dapat menutupi seluruh permukaan perairan.
Bila
terjadi
reproduksi
seksual
maka
penyerbukan terjadi pada atau di atas permukaan. Contoh: Lemna, Eichornia, dan Salvia.
3) Hidrofita Terapung dengan akar tertanam dalam substrat Mempunyai batang, akar dan tuber yang panjang. Daun sering tertutup oleh lapisan lilin. Contoh: Nymphaea dan Victoria
37
4) Hidrofita Menjulang dengan akar tertanam dalam substrat. Akar cepat tumbuh dalam lumpur, daun memperlihatkan variasi yang berbeda, baik bentuk maupun struktur, antara yang mencuat ke udara dengan yang terendam dalam air. Contoh: Acorus dan Typha
5) Hidrofita Melayang Merupakan fitoplankton, mampu menyerap nutrisi langsung dari air. Contoh: Oscillatoria dan Spirogyra
b. H a l o f i t a Tumbuhan yang hidup dalam kadar garam yang tinggi, mempunyai mekanisme untuk menerima garam yang masuk dalam tubuhnya. Halofita harus mampu mengatasi
masalah
kekeringan
fisiologi.
Tingginya
konsentrasi garam dalam tanah mungkin menghambat peneyrapan air secara osmosis. Pada rawa pantai halofita berada dalam kekeringan saat surut, dan pengaruh kekurangan air dapat diimbangi dengan penyimpanan air dalam tubuhnya sehingga bentuk halofita ini sering memperlihatkan sifat sukulen. Contoh Acanthus ilicifolius, dan berbagai tumbuhan di rawa bakau.
38
c.
Xerofita Merupakan tumbuan yang teradaptasi untuk daerah kering, sangat sedikit jumlahnya dan lebih terkhususkan jika dibandingkan dengan kelompok lainnya. Xerofita ini dapat dikelompokkan dalam dua subkelompok besar, yaitu kelompok yang menghindar terhadap kekeringan (xerofita tidak muirni), dan kelompok yang memikul atau menahan situasi kering (xerofita asli). a) Menghindar terhadap kekeringan Mencegah kekeringan dengan jalan melakukan adaptasi dalam siklus hidup, morfologi, dan fisiologi. 1)
Epemeral Merupakan umumnya tumbuhan di padang pasir, dengan siklus hidup dan tumbuhan mulai dari biji sampai fase reproduksi dalam beberapa minggu selama jumlah air memadai/ mencukupi.
Biasanya
biji
dilapisi
zat
pelindung dan tahan terhadap kekeringan yang akan terlarut pada musim hujan sebelum berkecambah.
39
2) Sukulenta Merupakan
tumbuhan
perenial,
menghindar
dari
kekeringan dengan menyimpan sejumlah air dalam jaringannya dan mereduksi kehilangan air. Air dapat disimpan mungkin di daun seperti pada Agave, di tangkai/dahan pada Cactaceae dan Euphorbiaceae atau di batang pada Bombacaceae. Pada sekulenta, daun tereduksi dalam ukuran lapisan kutikula yang tebal.
3) Freatofita Sering dikenal dengan tumbuhan penyedot air, karena laju transpirasinya yang tinggi dan mampu menghindar dari kekeringan karena kemampuannya mencari dan mendapatkan air. Strateginya tidak untuk menjaga air tetapi akar yang sangat panjang yang mampu mencapai lapisan freatik yang dalam dari air tanah, menyerapnya dengan tekanan osmotik yang tinggi dari akarnya.
b.
Tahan Kekeringan Merupakan xerofita sejati, dan biasanya berupa semak yang memperoleh air dari tanah yang relatif kering. Caranya dengan mengadakan tekanan defisit yang cukup tinggi dalam sel-sel daun dan akar. Biasanya juga mengurangi transpirasi dengan membentuk daun yang kecil tetapi kuat.
40
4.7. Hubungan Tumbuhan dengan Faktor Biotik Semua makhluk hidup selalu bergantung kepada makhluk hidup yang lain. Tiap individu akan selalu berhubungan dengan individu lain yang sejenis atau lain jenis, baik individu dalam satu populasinya atau individu-individu dari populasi lain. Interaksi demikian banyak kita lihat di sekitar kita. Interaksi antar organisme dalam komunitas ada yang sangat erat dan ada yang kurang
erat.
Interaksi
antarorganisme
dapat
dikategorikan sebagai berikut. a) Netral adalah hubungan tidak saling mengganggu antarorganisme dalam habitat yang sama yang bersifat tidak menguntungkan dan tidak merugikan kedua belah pihak, disebut netral. Contohnya: antara Lumut dengan lichen b) Predasi adalah hubungan antara mangsa dan pemangsa (predator). Hubungan ini sangat erat sebab tanpa mangsa, predator tak dapat hidup. Sebaliknya,
predator juga berfungsi sebagai
pengontrol populasi mangsa. Contoh : Nepenthes sp. dengan serangga. c) Parasitisme adalah hubungan antarorganisme yang berbeda
spesies,
satu organisme
hidup
pada
organisme lain dan mengambil makanan dari
41
hospes/inangnya
sehingga
bersifat
merugikan
inangnya. Contoh : benalu dengan pohon inang. d) Komensalisme merupakan hubungan antara dua organisme yang
berbeda spesies dalam bentuk
kehidupan bersama untuk berbagi sumber makanan; salah satu spesies diuntungkan dan spesies lainnya tidak dirugikan. Contohnya anggrek dengan pohon yang ditumpanginya e) Mutualisme adalah hubungan antara dua organisme yang berbeda spesies yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Contoh, bakteri Rhizobium yang hidup pada bintil akar kacang-kacangan. f) Amensalisme merupakan Hubungan diantara dua organisme, yang satu tidak rugi dan tidak untung, sedangkan yang lainnya dirugikan. Organisme yang dirugikan disebabkan oleh adanya allelopathy. Allelopathy dibagi dua golongan: 1) Autotoxic
yaitu
menghambat
allelopathy
pertumbuhan
dan
yang
dapat
mematikan
tumbuhan yang sejenis. 2) Antitoxic
yaitu
menghambat
allelopathy
pertumbuhan
dan
yang
dapat
mematikan
tumbuhan yang berbeda jenis. Tumbuhan penghasil allelopathy antara lain:
42
1. Juglans nigra pada daun mengandung hydroxyjuglon (racun juglon) yang menghambat perkecambahan dan pertumbuhan spesies berbeda 2. Salvia
leucophylla
menghambat
mengandung
perkecambahan
dan
terpens
yang
pertumbuhan
spesies berbeda 3. Parthenium argentatum pada akar mengandung senyawa
cinnamicacid
yang
menghambat
pertumbuhan spesies sejenis 4. Artemisia absinthium mengandung absinthine yang menghambat
perkecambahan
dan
pertumbuhan
spesies berbeda 5. Encelia farinose pada daun mengandung senyawa 3acetyl
6-methoxybenzaldehyd
yang
menghambat
perkecambahan dan pertumbuhan spesies berbeda 6. Helianthus annuus pada akar mengandung senyawa allelopathy yang menghambat pertumbuhan spesies sejenis dan berbeda jenis
g) Kompetisi merupakan Suatu interaksi ekologi dimana kedua spesies berpotensi mengalami kerugian. Kesamaan kebutuhan sumber daya yang keberadaannya terbatas (makanan, tempat tinggal, pasangan kawin) penyebab kompetisi. Contoh: Shorea laevis dan Dipterocarpus sp berebut cahaya matahari
43
BAB POPULASI
III
P
opulasi merupakan sekelompok organisme dari spesies yang sama yang menempati suatu ruang tertentu, dan mampu melakukan persilangan
diantaranya dengan menghasilkan keturunan yang fertil. Dengan demikian hubungan antara organisme satu dengan organisme lainnya dalam populasi dapat melalui dua jalan yaitu hubungan genetika dan hubungan ekologi.
3.1. Populasi Lokal dan Ras Ekologi Sekelompok individu memiliki potensi secara genetika terisolasi oleh adanya penghalang (barier) baik yang terbentuk secara alami maupun terbentuk oleh aktivitas manusia.Persilangan hanya memungkinkan terjadi diantara anggota kelompok itu sendiri. Kelompok organisme - organisme yang terisolasi tersebut biasanya disebut ”populasi lokal”. Populasi lokal merupakan unit dasar dalam proses evolusi.Pertukaran gen terjadi secara terus-menerus dalam waktu yang relatif lama sehingga terjadi struktur gen yang khusus untuk kelompok tersebut dan akan berbeda dengan struktur gen populasi lokal lainnya meskipun untuk spesies yang sama. Hal ini
44
dikarenakan adanya seleksi alami yang beroperasi terhadapnya sehingga menghasilkan individu-individu dengan susunan gen yang memberi kemungkinan untuk bertahan
terhadap
lingkungan
lokal
dan
akan
berkembang dalam jumlah yang semakin banyak jika dibandingkan dengan individu-individu yang tidak tahan. Salah satu cara agar suatu populasi lokal dapat teradaptasi terhadap suatu lingkungan adalah dengan pengembangan
dan
pengelolaan
keanekaragaman
genetiknya melalui reproduksi seksual dalam populasi. Hasilnya adalah sekelompok atau susunan individuindividu
yang
masing-masing
berbeda
dalam
toleransinya terhadap lingkungan, salah satunya ada kemungkinan mempunyai kemampuan yang sangat baik dalam toleransinya terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim daripada rata-rata anggota populasi lainnya. Dengan demikian kehetrogenan struktur gen dari anggota populasi
mempersiapkan
kehancurnnya
akibat
populasi
lingkungan,
misal
terhadap terhadap
kemarau yang panjang. Hal yang sejalan terjadi pula dalam kurun waktu yang relatif lama dan lamban sebagai reaksi terhadap perubahan iklim, dalam hal ini bisa ratusan
bahkan
ribuan
tahun.
Dengan
demikian
keheterogenan struktur gen merupakan cara dalam mempertahankan hidup atau kelulusan hidup, dan ini
45
sebagai mekanisme teradaptasinya suatu populasi akibat seleksi alam. Populasi lokal yang secara umum berada pada kawasan dengan kondisi lingkungan yang relatif sama memiliki kecenderungan untukmemperlihatkan toleransi terhadap lingkungan yang relatif sama pula, tetapi akan berbeda toleransinya dengan spesies lokal lainnya (dari spesies yang sama) yang berada pada kondisi lingkungan yang berbeda.Populasi lokal seperti ini biasa dikenal dengan ras ekologi. Contoh yang terkenal dari ras ekologi adalah di Skandinavia dimana terdapat dua populasi yang secara sistematik dimasukkan dalam satu spesies yang sama meskipun kedua populasi ini mempunyai karakteristik yang berbeda. Populasi di daerah pegunungan mempunyai karakteristik bentuk morfologi yang kerdil dan berbunga cepat, sedangkan populasi di daerah pantai bentuk morfologinya tinggi tetapi berbunga lambat. Orang semula memperkirakan bila individu dari populasi di pegunungan dipindahkan atau ditumbuhkan di pantai maka akan tumbuh dengan karakteristik populasi pantai, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi setelah Goete Turesson mencobanya, yaitu individu dari populasi pegunungan ditumbuhkan di pantai, dan individu dari populasi pantai ditumbuhkan di pegunungan, ternyata masing-masing tumbuh sesuai
46
dengan karakteristik asalnya. Hal ini memperlihatkan bahwa
masing-masing
anggota
populasi
sudah
sedemikian rupa terseleksi oleh alam lingkunganya dalam waktu yang cukup lama, sehingga karakterisktik susunan gennya bersifat khusus. Contoh-contoh lain biasanya akan diketemukan pada daerah kontinental yang luas. Jadi suatu ras ekologi adalah juga populasi lokal
yang
terbentuk
oleh
karakteritik
individu-
individunya. Apabila perubahan lingkungan pada suatu kawasan yang luas berubah secara teratur, maka adaptasi genetiknya akan terjadi secara teratur pula, dan dengan demikian sebagai hasilnya akan terjadi perbedaaan yang nyata seperti pada ras yang terbentuk adalah suatu seri tumbuhan,
yang
berurutan,
yang
memperlihatkan
keteraturan secara terus-menerus atau kontinu dalam sifat
genetiknya sebagai penentu dalam toleransi
terhadap
lingkunganya.
Populasi-populasi
dari
sekelompok organisme-organisme dengan karakteristik yang berbeda secara teratur atau berurutan ini disebut ekoklin. Jadi berdasarkan dua hal di atas, maka suatu spesies dapat merupakan ras ekologi atau berupa kompleks dari ekoklin. Dua pendekatan dalam kajian populasi ini, yaitu melalui ekologi populasi yang mendalami pertumbuhan suatu populasi dan interaksi diantara populasi-populasi
47
yang berhubungan erat di dalam pengaruh faktor lingkungan yang terkontrol ataupun tidak terkontrol. Pendekatan lainnya yaitu mempelajari satu atau lebih populasi lokal dari suatu spesies dalam usaha untuk mempelajari
genetik
spesies
sebagai
penentu
toleransinya terhadap kondisi lingkungannya, kajian ini disebut ekologi gen atau ekologi fisiologi perbandingan. Pembahasan selanjutnya akan ditekankan pada ekologi populasi. Besarnya suatu populasi di suatu kawasan tertentu biasanya dinyatakan dalam suatu peristilahan
kerapatan
atau
kepadatan
populasi.
Kerapatan populasi dapat dinyatakan dalam jumlah individu persatuan luas, atau dapat pula dinyatakan dalam biomasa persatuan luas (bila populasi tersebut dibentuk oleh individu-individu dengan ukuran berbeda, ada kecambah, ada anakan dan tumbuhan dewasa serta tumbuhan tua). Dalam besarannya mempelajari
perjalanan akan
waktu
mengalami
suatu
populasi
perubahan.
perubahan-perubahan
ini
Dalam
pengertian
kecepatan memegang peranan penting, dan perubahan populasi ini sangat ditentukan oleh berbagai faktor (kelahiran atau regenerasi, kematian, perpindahan masuk dan perpindahan keluar). Dalam ekologi tumbuhan dinamika populasi ini merupakan kajian yang menarik
48
dikaitkan dengan kajian suksesi. Besarnya populasi tumbuhan di alam sangat ditentukan oleh kapasitas tampungnya, yaitu jumlah terbanyak individu yang dapat ditampung dalam suatu ekosistem dimana organisme itu masih dapat hidup. Dalam keadaan ini persaingan intra spesies adalah dalam keadaan maksimal yang dapat ditanggung oleh organisme tersebut. Meskipun dalam pembahasan di atas populasi seolah-olah tetap pada kapasitas tampungnya, tetapi pada kenyataanya berkecenderungan untuk berfluktuasi di atas dan di bawah kapasitas tampungnya. Berbagai faktor sebagai pendorong untuk terjadinya fluktuasi ini, yaitu perubahan
musim
yang
menyebabkan
perubahan-
perubahan faktor fisika dan mungkin juga kimia lingkungannya. Contoh yang menarik adalah kenaikan jumlah plankton yang sangat menyolok pada musim tertentu, disebut ”plankton bloom”. Fluktuasi tahunan yang disebabkan: a. Faktor dalam, misalnya karakteristik atau toleransi yang berbeda antara tumbuhan dewasa dengan kecambah dan anakan pohonnya. b. Faktor luar, misalnya intraksi dengan populasi lain, baik tumbuhan maupun hewan.
49
3.2. Pola Penyebaran Individu Penyebaran atau distribusi individu dalam suatu populasi
bisa
bermacam-macam.
Pada
umunya
memperlihatkan tiga pola penyebaran, yaitu: penyebaran secara
acak,
penyebaran
merata
dan
penyebaran
berkelompok. Penyebaran secara acak jarang terdapat di alam. Penyebaran semacam ini biasanya terjadi apabila faktor lingkungannya sangat seragam untuk seluruh daerah dimana populasi berada, selain itu tidak ada sifatsifat untuk berkelompok dari organisme tersebut. Penyebaran
secara
merata
umum
terdapat
pada
tumbuhan. Penyebaran semacam ini terjadi apabila ada persaingan yang kuat di antara individu-individu dalam populasi tersebut. Pada tumbuhan misalnya persaingan untuk mendaptkan nutrisi dan ruang. Penyebaran secara berkelompok adalah yang paling umum terdapat di alam. Pengelompokan ini terutama disebabkan oleh berbagai hal: a. Respons dari organisme terhadap perbedaan habitat secara lokal b. Respons dari organisme terhadap perubahan cuaca musiman c. Akibat dari cara atau proses reporduksi/regenerasi d. Sifat-sifat organisme dengan organ vegetatifnya yang menunjang untuk terbentuknya kelompok atau koloni.
50
(a). Berkelompok
(b). Teratur
(c). Menyebar
Dalam ekologi populasi ini dikembangkan suatu cara untuk memahami pola distribusi dari individu dalam populasinya,
diantaranya
yaitu
dengan
memanfaatkan
penyebaran Poisson dengan asumsi pertama individuindividu menyebar secara acak. Perlu diingat cara ini akan memberikan hasil yang baik apabila jumlah individu setiap satu meter perseginya adalah rendah. Berdasarkan asumsi penyebaran individu-individu adalah acak maka dapat didefenisikan bahwa varians (V) adalah sama dengan harga rata-rata (X), jadi apabila varians lebih besar dari harga rata-rata maka penyebaran individu adalah berkelompok dan sebaliknya apabila varians lebih kecil dari harga rata-rata maka penyebarannya merata.
51
3.3. Susunan Individu Berdasarkan Waktu Susunan individu dalam populasi dapat dikaji berdasarkan skala waktu yang meliputi kelahiran, kematian, laju reproduksi dan masa hidup (umur). Ilmu yang
mempelajarinya
disebut
Demography.
Tiap
individu dalam populasi memiliki sifat-sifat tersendiri dalam laju kelahiran, kelompok umur dan rata-rata masa hidup. Tidak seperti hewan yang berhenti tumbuh setelah dewasa, tumbuhan perennial memiliki meristem primer dan sekunder yang secara teoritis mampu tumbuh bertambah besar dan panjang selamanya. Selain itu beberapa jenis tumbuhan dapat bereproduksi secara vegetatif sehingga individu tersebut dapat terus hidup melalui perwakilan tubuhnya yang telah menjadi individu baru dengan ciri genetik yang sama. Oleh karena itu makhluk hidup yang memiliki umur paling lama di dunia adalah tumbuhan, seperti lichen dapat berumur sampai 4.500 tahun, klon shrub 3.000 – 4.000 tahun, pohon conifer 5.000 tahun. Beberapa benih tumbuhan tertentu dapat mengalami dormansi sampai selama 1.000 – 10.000 tahun. Namun demikian sebagian besar akhirnya mati karena serangan penyakit, kerusakan fisik, pemangsaan hewan atau perubahan lingkungan.
52
Tumbuhan memiliki beberapa problem dalam studistudi demography dibanding hewan. Konsep individu dipaksakan pada golongan yang dapat bereproduksi secara vegetatif melalui rizhom, stek atau bagian tubuh lainnya. Dengan cara ini individu dapat meluas menutupi area yang luas dalam waktu yang lama sehingga terminologi kematian, kelahiran dan masa hidup menjadi berbeda dengan tumbuhan yang benar-benar satu individu. Problem lainnya adalah waktu
germinasi
tidak
berhubungan
dengan
waktu
reproduksi. Tumbuhan gurun di Timur Tengah Blepharis persica meninggalkan bijinya dalam buah sampai 10 tahun atau lebih sampai ada hujan lebat yang melepaskannya untuk berkecambah 3 jam kemudian. Spesies Chaparral ceanothus menghasilkan biji dengan mantel keras yang menunda germinasi sampai beberapa tahun sehingga sejumlah kecil biji-biji yang tumbuh tidak menggambarkan jumlah biji yang besar dalam tanah. Tingkat plastisitas penotiphic yang ditunjukkan oleh tumbuhan dapat begitu besar sehingga aspek-aspek demography dapat bervariasi pada spesies yang sama dalam waktu atau ruang. Laju pertumbuhan, awal reproduksi, ukuran tumbuhan dan masa hidup semuanya dapat dimodifikasi oleh lingkungan.
53
3.4. Masa Hidup Ada lima karakteristik masa hidup tumbuhan dan masing-masing karakteristik ini berhubungan dengan bentuk hidupnya, yaitu tumbuhan annual, biannual, herbaceous perennial, sufrutescent shrub dan woody perennial. a. Tumbuhan annual hidup selama satu tahun atau kurang. Rata-rata hidup mereka adalah 1 – 8 bulan, bergantung pada spesies dan lingkungannya ( spesies gurun mungkin dapat melengkapi daur hidupnya selama 8 bulan setahun atau 1 bulan pada daur berikutnya tergantung pada curah hujan). Tetapi ada tumbuhan annual yang sangat singkat daur hidupnya seperti Boerrhavia repens dari Gurun Sahara, dimana masa hidup dari biji kemudian jadi biji lagi hanya 10 hari. Tumbuhan annual biasanya termasuk golongan herba yaitu golongan yang kehilangan meristem sekunder untuk memproduksi jaringan kayu. Mereka mati setelah menghasilkan biji. Hal ini dapat disebabkan oleh kehabisan nutrisi, perubahan hormon atau ketidakmampuan jaringan nonkayu untuk tegak pada lingkungan yang tidak nyaman setelah masa pertumbuhan.
54
b. Tumbuhan biannual hidup selama 2 tahun, juga merupakan herbaceus. Tahun pertama adalah masa pertumbuhan vegetatif dan reproduksi terjadi pada tahun kedua kemudian diikuti kematian tumbuhan. Di bawah kondisi pertumbuhan yang miskin masa vegetatif dapat lebih panjang dari satu tahun.
c. Tumbuhan perennial herbaceus dapat hidup selama 20 – 30 tahun meskipun ada jenis pengecualian yang dapat hidup 400 – 800 tahun. Tumbuhan ini mati dan kembali ke sistem perakaran pada akhir masa pertumbuhan. Sistem perakaran menjadi berkayu tetapi bagian diatas tanah adalah herbaceus. Mereka memilki juvenil (anakan), masa vegetatif 2 – 8 tahun kemudian berkembang dan bereproduksi secara periodik 2 – 3 tahun sekali atau hanya sekali pada akhir masa hidupnya. Karena mereka kehilangan lingkaran tahunnya maka sedikit dari tumbuhan ini yang kelihatan telah tua dan untuk menentukan usianya dapat dengan cara menghitung daun-daun yang luka atau berparut-parut atau dengan mendugaduga laju penyebaran gerombolnya.
55
d. Tumbuhan shrub sufrutescent (sub-shrub) adalah jenis perantara dari perennial herbaceus dan shrub sejati. Mereka berkembang perennial, jaringan kayu hanya pada daerah dekat pangkal batang dan sisa batang keatasnya merupakan herbaceus yang kemudian kembali mati tiap tahun. Mereka umumnya berukuran kecil kira-kira 25 cm dan hidupnya lebih singkat dibanding shrub sejati. Tumbuhan perennial woody (berkayu: pohon dan shrub) memiliki hidup paling panjang. Shrub 30 – 50 tahun, pohon angiosperm 200 – 300 tahun dan pohon conifer 500 – 1000 tahun. Perennial berkayu menghabiskan 10% pertama dari masa hidupnya sebagai anakan yang seluruhnya merupakan fase vegetatif, kemudian masuk fase kombinasi vegetatif dan reproduksi dan mencapai puncak fase reproduksi beberapa tahun sebelum kematiannya.
3.5. Distribusi Umur Tiap individu dalam populasi selama masa hidupnya dapat dibagi atas 8 fase yaitu: (1) Benih yang mampu tumbuh (2) Semai (3) Anakan (4) Vegetatif remaja (immature)
56
(5) Vegetatif dewasa (mature) (6) Masa awal reproduksi (7) Vigor maksimum (reproduksi dan vegetatif) (8) Senescent
Jika suatu populasi hanya memiliki 4 – 5 fase yang pertama menunjukkan populasi ini merupakan populasi pengganti dan merupakan bagian dari komunitas seral. Jika populasi memiliki ke delapan fase menunjukkan populasi yang stabil dan merupakan bagian dari komunitas klimaks. Dan jika populasi hanya memiliki 4 fase yang terakhir berarti populasi tidak dapat memelihara diri sendiri dan merupakan bagian dari komunitas seral. Mengetahui distribusi umur dari suatu populasi memungkinkan kita untuk menggunakan demography sebagai penduga dalam komunitas ekologi.
3.6. Kurva Kehidupan Jika kita mengamati individu-individu dalam populasi dari mulai lahir sampai mati maka kita dapat menggambarkannya dalam 3 tipe kurva berdasarkan tiap pertambahan umur. Tipe I populasi sedikit mati pada masa muda dan sebaliknya banyak mati pada saat dewasa dengan masa hidup yang pendek. Tipe II populasi memiliki kematian yang konstan pada semua tingkat umur. Tipe III populasi memiliki kematian yang
57
tinggi pada masa muda. Individu sedikit yang dapat hidup mencapai dewasa memiliki resiko kematian yang rendah dan melanjutkan kehidupan yang lama.
3.7. Alokasi Sumber-Sumber Kehidupan Spesies tumbuhan memiliki pola alokasi sumbersumber kehidupan yang membuatnya tetap bertahan dari kepunahan. Pola-pola ini telah dihasilkan dan diperhalus melalui seleksi alam. Pola alokasi sumber-sumber dari tiap
spesies
sebagian
ditentukan
oleh
nichenya.
Organisme memiliki sejumlah energi dan waktu yang terbatas untuk melengkapi siklus hidupnya. Waktunya sendiri tidak dialokasikan tetapi penting dalam perolehan energi fotosintetik dan dalam pemanfaatan energi untuk pemeliharaan. Sebagian dari total energi yang tersedia digunakan untuk tiap aktivitas dalam siklus kehidupan untuk akar, batang, daun, bunga, benih atau buah dan sebagian untuk pertumbuhan, pemeliharaan atau untuk pertahanan dari herbivor. Sejumlah waktu dihabiskan dalam fase dorman, anakan, fase vegetatif, dewasa dan fase reproduksi.
58
Organisme berada dalam sebuah kontinuitas antara 2 (dua) ekstrem strategi alokasi sumber yaitu r dan k. a.
Strategi r yaitu tumbuhan hidup singkat dengan cepat dewasa, menghuni habitat terbuka dalam komunitas seral dan mencurahkan sebagian besar hasil fotositesisnya untuk menghasilkan bunga, buah dan biji. Ukuran populasi mereka rapat tetapi tidak saling bergantung yaitu ukuran populasinya dikendalikan oleh faktor fisik seperti kebakaran, banjir, salju, masa kering dan lainlain. Rumput dan jenis-jenis pioner adalah contoh populasi strategi r.
b. Strategi k yaitu tumbuhan memiliki masa hidup yang lama, menghuni tempat tertutup, berada dalam seral akhir atau komunitas klimaks dan mencurahkan sebagian kecil hasil fotosintesisnya untuk reproduksi. Ukuran populasinya rapat dan saling bergantung yaitu ukuran populasinya dikendalikan oleh interaksi biotik seperti kompetisi. Ukuran populasi berhubungan erat dengan daya dukung habitat. Pohon-pohon hutan merupakan contoh tumbuhan strategi k.
59
BAB KOMUNITAS
IV
K
onsep komunitas merupakan salah satu dari asasasas dalam pemikiran dan praktek ekologi yang paling penting. Konsep komunitas dianggap
penting dalam praktek ekologi sebab apa yang akan terjadi di dalam komunitas akan dialami juga oleh organisme. Jadi, jika ingin mengendalikan organisme baik mendukung atau memusnahkan organisme cara terbaik adalah dengan mengubah
komunitasnya.
Komunitas
dapat
dibedakan
dengan jelas dan dipisahkan satu dari lainnya
4.1. Pengetian Komunitas Komunitas didefinisikan sebagai kumpulan dari berbagai populasi yang hidup pada suatu waktu dan daerah
tertentu
yang
saling
berinteraksi
dan
mempengaruhi satu sama lain. Komunitas memiliki derajat
keterpaduan
yang
lebih
kompleks
jika
dibandingkan dengan individu dan populasi (Wolf, 1990).
Berdasarkan
pandangan
individualistik,
komunitas tumbuhan terdiri dari kelompok tumbuhan yang masing-masing mempertahankan individualitasnya. Adanya
individualitas
menghambat
adanya
tumbuhan hubungan
bukan tertentu
berarti diantara
60
tumbuhan dalam komunitas (Rahardjanto, 2001). Konsep komunitas tumbuhan penting dalam penelitian ekologi karena apa yang terjadi dalam suatu komunitas akan mempengaruhi makhluk hidup lainnya dalam komunitas tersebut.
4.2. Struktur Komunitas Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi. Satuan vegetasi yang dipelajari atau diselidiki dalam ekologi hutan berupa komunitas tumbuhan yang merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tumbuhan yang menempati suatu habitat. Hasil analisis komunitas tumbuhan menyajikan secara deskripsi tentang komposisi spesies dan struktur komunitasnya. Struktur suatu komunitas tidak hanya dipengaruhi oleh hubungan antarspesies, tetapi juga oleh jumlah individu dari setiap spesies organisme. Hal yang demikian itu menyebabkan kelimpahan relatif suatu spesies dapat mempengaruhi fungsi suatu komunitas, bahkan dapat memberikan pengaruh pada keseimbangan sistem dan
akhirnya
berpengaruh
pada
stabilitas
komunitas itu sendiri (Heddy et al., 1986).
61
Struktur komunitas tumbuhan dapat dikaji secara kualitatif kuantitatif dan sintesis a. Kualitatif Kajian kualitatif dari komunitas tumbuhan meliputi bentuk hidup, fenologi dan vitalitas (kapasitas pertumbuhan dan perkembangbiakan dari organisme) b. Kuantitatif Kajian kuantitatif komunitas meliputi kerapatan, frekuensi kehadiran dan dominansi. Frekuensi kehadiran merupakan nilai yang menyatakan jumlah kehadiran suatu spesies di dalam suatu habitat. Kerapatan (densitas) dinyatakan sebagai jumlah atau biomassa per unit contoh, atau persatuan luas/volume atau persatuan penangkapan. c. Sintesis Kajian sintesis pada komunitas meliputi kajian dinamika komunitas atau yang lebih dikenal sebagai suksesi.
4.3. Sifat Komunitas Selain memiliki struktur, komunitas juga memiliki sifat antara lain: 1) Fisiognomi Fisiognomi adalah kenampakan eksternal vegetasi, struktur vertikal (arsitektur atau struktur biomasa) dan bentuk pertumbuhan (growth form) dari takson dominan. Fisiognomi merupakan sifat yang
62
muncul pada komunitas. Struktur vertikal mengacu pada tinggi dan penutupan kanopi tiap lapisan dalam komunitas. Penutupan kanopi dinyatakan sebagai persentase tanah yang ditutupi oleh kanopi jika kanopi diproyeksikan ke bawah. Penutupan dapat juga dinyatakan sebagai leaf area index (LAI).
2) Komposisi spesies Komposisi spesies suatu komunitas juga sangat penting karena komunitas ditentukan atas dasar floristik.
Kelimpahan (abundance), arti penting
(importance) atau dominasi tiap spesies dapat dinyatakan secara numerikal sehingga komunitas dapat
dibandingkan
atas
dasar
kesamaan
dan
perbedaan spesies.
3) Susunan ruang Susunan ruang spesies adalah sifat lain komunitas. Individu dalam suatu spesies dapat terdistribusi
(distribute)
mengelompok (clumped) (overdispered). Arti
secara
acak
atau
atau terlalu memancar
penting interaksi spesies dan
interdependensi terhadap komunitas memperkirakan bahwa komunitas stabil, memperlihatkan lebih banyak terjadinya interaksi spesies pada komunitas sementara
63
(transient). Pemberian nama komunitas berdasarkan pada fisiognomi, life form dan tumpang tindih niche sangat berguna karena kemungkinan perbandingan tegakan (stand) yang terpisah jauh mempunyai persamaan floristik.
4) Kekayaan spesies Kekayaan spesies adalah jumlah spesies dalam area pada suatu komunitas. Setiap spesies nampaknya tidak mempunyai jumlah individu sama.
5) Kemerataan spesies Kemerataan
atau
ekuibilitas
spesies
merupakan agihan individu antar spesies. Kemerataan menjadi maksimum jika semua spesies mempunyai jumlah individu yang sama.
6) Diversitas spesies Diversitas
spesies
merupakan
gabungan
kekayaan dan kemerataan. Diversitas spesies adalah kekayaan spesies yang di bobotkan oleh kemerataan spesies dan terdapat rumus untuk menyatakan bilangan indeks tunggal. Secara biologis, diversitas adalah heterogenitas populasi suatu komunitas.
64
4.4. Interaksi antar Komunitas Komunitas
adalah
kumpulan
populasi
yang
berbeda di suatu daerah yang sama dan saling berinteraksi. Contoh komunitas, misalnya komunitas sawah dan sungai. Komunitas sawah disusun oleh bermacam-macam organisme, misalnya padi, belalang, burung, ular, dan gulma. Komunitas sungai terdiri dari ganggang,
zooplankton,
fitoplankton
ikan
dan
dekomposer. Antara komunitas sungai dan sawah terjadi interaksi dalam bentuk peredaran nutrien dari air sungai ke sawah dan peredaran organisme hidup dari kedua komunitas tersebut. Interaksi antarkomunitas cukup komplek karena tidak hanya melibatkan organisme, tapi juga aliran energi dan makanan. Interaksi antarkomunitas dapat kita amati, misalnya pada daur karbon. Daur karbon melibatkan ekosistem yang berbeda misalnya laut dan darat.
4.5. Dinamika Komunitas Semua organisme beserta lingkungannya bersifat dinamis, artinya bahwa diantara mereka selalu terjadi interaksi sehingga menghasilkan perubahan. Setiap organisme akan berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan melalui perubahan pada tubuh dan fungsinya,
sedangkan lingkungan juga
mengalami
65
perubahan melalui proses fisik atau biogeokimia untuk mempertahankan kualitas penunjang kehidupan dan keseimbangan sistem dalam komunitas. Perubahan
komposisi
dan
struktur
dalam
komunitas dapat dengan mudah di-amati atau terlihat dan seringkali
perubahan
komunitas
oleh
itu
berupa
komunitas
lain
pergantian setelah
satu
beberapa
gangguan, seperti kebakaran besar atau ledakan gunung berapi. Daerah yang terganggu itu bisa dikolonisasi oleh berbagai varietas spe-sies, yang secara perlahan-lahan digantikan oleh suatu komunitas spesies lain. Perubahan komunitas
pada
dasarnya
dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain: 1) Perubahan iklim Perubahan atau fluktuasi iklim dalam skala dunia yang meliputi ribuan tahun telah memberikan reaksi penyesuaian dari ekosistem di dunia ini. Bentuk perubahan ini meliputi perubahan dalam periode waktu yang lama dari penyebaran tumbuhan dan hewan, yang akhirnya sampai pada bentuk-bentuk ekosistem sekarang.
2) Pengaruh faktor luar
66
Faktor luar seperti api dapat menginduksi perubahan komunitas baik untuk sementara maupun untuk waktu yang relatif lama. Begitu pula pengaruh faktor lainnya. 3) Karakteristik dari sistem ekologi Perubahan pada sistem ekologi dikenal sebagai suksesi ekologi.
Suksesi
ekologi
dapat
diartikan
sebagai
perubahan dalam komunitas yang berkembang ke arah pemasakan atau pematangan atau “Steady state”.
Dinamika di alam adalah suatu kenyataan yang tidak dapat diingkari. Segala sesuatu yang sekarang ada sebenarnya hanyalah merupakan suatu stadium dari deretan proses perubahan yang tidak pernah ada akhirnya. Keadaan keseimbangan yang tam-paknya begitu mantap, hanyalah bersifat relatif karena keadaan itu segera akan berubah jika salah satu dari komponennya mengalami perubahan.
4.5.1. Pengertian Suksesi Sudah diketahui secara meluas bahwa apabila suatu kebun tidak dipelihara atau lapangan rumput yang tidak pernah dipotong secara teratur maka vegetasinya akan mengalami perubahan. Berbagai tumbuhan liar akan tumbuh dan mengubah sama sekali karakteristik dari vegetasi asalnya.
67
Suatu lahan pertanian yang tidak digarap, maka herba, perdu, dan pohon liar akan tumbuh menguasai lahan pertanian tersebut dan apabila kondisi tanahnya sesuai, memungkinkan
vegetasi
tersebut
akan
berkembang
membentuk komunitas hutan. Perubahan yang sama akan terjadi pula pada lahan-lahan yang baru terbentuk secara alami, seperti delta, bukit pasir, daerah aliran lahar atau lava. Pada permulaannya tanah belum matang, nutrisi organik belum ada, permukaan sangat terbuka dan kondisinya belum menunjang kehidupan di atasnya. Namun, dalam jangka waktu yang lama akan tertutup oleh populasi tumbuhan yang kemudian membentuk komunitas dan pada akhirnya akan berkembang menjadi ekosistem hutan. Vegetasi yang pertama kali masuk biasanya berupa tumbuhan pelopor atau pionir, yaitu tumbuhan yang berkemampuan tinggi untuk hidup pada keadaan lingkungan yang serba terbatas atau mempunyai berbagai faktor pembatas, seperti kesuburan tanah yang rendah sekali, kekurangan atau ketiadaan air dalam tanah, intensitas cahaya yang terlalu tinggi dan sebagainya. Kehadiran kelompok pionir ini akan menciptakan kondisi lingkungan tertentu yang memungkinkan tumbuhan lain dapat hidup. Koloni tumbuhan pionir ini akan menghasilkan proses pembentukan lapisan tanah, memecah batuan dengan akarnya dan membebaskan materi organik ketika terjadi pelapukan dari bagian tumbuhan
68
yang mati. Proses akan berkembang sesuai dengan perubahan waktu, dan akan menciptakan komunitas tumbuhan yang semakin lama semakin padat dan kompleks yang mengarah pada pematangan bentuk komunitas tumbuhannya. Seluruh proses pematangan bentuk komunitas atau ekosistem ini disebut suksesi. Tansley (1920)
mendefinisikan suksesi sebagai
“perubahan yang perlahan-lahan dari komunitas tumbuhan dalam suatu daerah tertentu dimana terjadi pengalihan dari suatu jenis tumbuhan oleh jenis tumbuhan lainnya (pada tingkat populasi)”. Clements (1916) menuliskan pendapatpendapatnya yang sangat persuasif, ia menyatakan bahwa vegetasi dapat disejalankan dengan ”organisma super”, mampu memperbaiki atau mengelola dirinya sendiri bila terjadi gangguan atau kerusakan. Suksesi vegetasi menurut Odum (1971) adalah urutan proses pergantian komu-nitas tanaman di dalam satu kesatuan habitat, adanya pergantian komunitas cenderung mengubah lingkungan fisik sehingga habitat cocok untuk komunitas lain sampai kese-imbangan biotik dan abiotik tercapai. Salisbury
(1972) mendefinisikan suksesi sebagai
kecenderungan kompetitif setiap individu dalam setiap fase perkembangan sampai mencapai klimaks.
69
Jadi, suksesi dapat didefinisikan sebagai suatu proses perubahan atau perkembangan komunitas menuju ke arah pendewasaan yang berlangsung lambat, teratur, pasti, dan terarah serta dapat diramalkan.
Menurut Clements (1974) dalam mekanisme suksesi dikenal adanya enam sub-komponen, yaitu: 1) Nudasi Terbukanya
lahan
yang
mengakibatkan
terjadinya
substrat baru 2) Migrasi Kehadiran migrula atau organ pembiak tumbuhan 3) Eksesis Perkecambahan,
pertumbuhan,
reproduksi,
dan
penyebaran 4) Kompetisi Terjadi persaingan sehingga adanya pengusiran satu spesies oleh spesies lainnya. 5) Reaksi Terjadi perubahan pada ciri dan sifat habitat oleh jenis tumbuhan 6) Stabilitasi Stabilisasi menghasilkan komunitas tumbuhan pada tingkatan yang matang
70
Proses perubahan komunitas tumbuhan atau vegetasi yang yang menggambarkan bertambah kayanya suatu daerah oleh berbagai jenis tumbuhan yang hidup di atasnya disebut suksesi progresif. Perubahan vegetasi dapat pula mengarah pada
penurunan
jumlah
jenis
tumbuhan,
penurunan
kompleksitas struktur komunitas tumbuhan. Hal ini terjadi biasanya akibat penurunan kadar zat hara dari tanah, misalnya akibat degradasi habitat. Perubahan komunitas tumbuhan yang mengarah kepada kondisi yang lebih sederhana disebut suksesi retrogresif atau suksesi regresif. Gams (1918) mengkategorikan suksesi dalam 3 (tiga) keadan yaitu : a. Suksesi dengan urutan normal Suksesi yang berasal dari adanya pengaruh terhadap vegetasi yang terus menerus dan cepat. Misalnya vegetasi rumput yang selalu terinjak-injak ternak, di mamah biak, dijadikan
tempat
beristirahat
ternak,
atau
tempat
berguling-guling ternak. Kondisi vegetasi akan mengalami Fase perubahan selama ternak tetap berada di tempat itu. b. Suksesi dengan urutan berirama Suksesi yang berasal dari gangguan berulang-ulang, berbentuk siklus, tetapi mempunyai interval waktu antara satu gangguan dengan gangguan berikutnya. Misalnya terjadi pada perubahan vegetasi karena adanya proses rotasi dalam pemanfaatan lahan pertanian.
71
c. Suksesi dengan urutan katastrofik Suksesi yang terjadi secara hebat dan tiba-tiba, tidak berirama. Misalnya meletusnya gunung berapi, gempa bumi,
kebakaran,
penebangan,
pengeringan
habitat
akuatik.
4.4.2. Penyebab Suksesi Beberapa faktor penyebab suksesi baik alami maupun tidak alamai atau buatan berikut ini adalah : 1) Iklim Fluktuasi keadaan iklim membawa akibat rusaknya vegetasi
baik
sebagian
maupun
seluruhnya.
Kondisi ini menyebabkan suatu tempat yang baru (kosong) berkembang menjadi lebih baik (daya adaptasinya besar) dan mengubah kondisi iklim. Kekeringan, hujan salju/air dan kilat seringkali membawa keadaan yang tidak menguntungkan pada vegetasi.
2) Topografi Suksesi terjadi karena perubahan kondisi tanah, antara lain:
72
a. Erosi Erosi dapat terjadi karena angin, air dan hujan. Dalam proses erosi tanah menjadi kosong kemudian terjadi penyebaran biji oleh angin (migrasi) dan ak-hirnya proses suksesi dimulai.
b. Pengendapan (sedimentasi) Erosi menyebabkan tanah di suatu tempat mengendap sehingga
menutupi
merusaknya.
vegetasi
Kerusakan
yang
vegetasi
ada
dan
menyebabkan
suksesi berulang kembali di tempat tersebut.
3) Biotik Pemakan tumbuhan seperti serangga yang menjadi pengganggu di lahan pertanian mengakibatkan kerusakan vegetasi. Tumbuhan tumbuh kembali dari awal atau jika mengalami rusak berat, maka akan berganti vegetasi.
4) Bencana Alam Peristiwa bencana alam dapat menghilangkan semua jenis
mahluk
hidup
disuatu
tempat
atau
hanya
menghilangkan sebagian, demikian pula pada habitat. Kemudian di habitat yang baru secara perlahan muncul komunitas baru kembali.
73
4.4.3. Jenis Suksesi Mueller (1974) menyatakan, suksesi ada dua tipe, yaitu suksesi primer dan suk-sesi sekunder. Perbedaaan dua tipe suksesi ini terletak pada kondisi habitat awal proses terjadinya suksesi. a. Suksesi primer (Primary succession) Suksesi primer merupakan suatu tahapan perubahan komunitas biotik ke ko-munitas biotik lain, yang dimulai dengan kehadiran tumbuhan pioner disuatu tempat berbatu yang belum pernah dijumpai adanya komunitas biotik tersebut sebelumnya, kemudian menjadi ekosistem hutan klimaks (climax forest ecosystem). Terjadi bila komunitas asal mengalami gangguan berat sekali sehingga mengakibatkan komunitas asal hilang secara total dan di tempat komunitas asal terbentuk komunitas lain di habitat baru tersebut. Pada habitat baru ini tidak
ada
lagi
organisme
yang
membentuk
komunitas asal tertinggal. Gangguan ini dapat terjadi secara alami seperti letusan gunung api, tanah longsor, endapan lumpur dimuara sungai, endapan pasir di pantai, maupun akibat aktivitas manusia seperti pertambangan. Proses suksesi primer ini membutuhkan waktu yang lama sampai ratusan tahun.
74
Suksesi primer dimulai di atas bongkahan batu pada pulau yang baru timbul, delta yang baru terbentuk, danau baru dan sebagainya. Pelapukan batu-batuan pada ekosistem yang rusak total karena pengaruh iklim (hari panas, kering dan waktu hujan, dingin atau basah), mengandung bahan unsur mineral dan organik yang da-pat ditumbuhi oleh tetumbuhan pioner (lumut kerak dan algae). Pengaruh iklim terus berlangsung hingga bahan mineral dan bahan organik semakin tebal sehingga dapat ditumbuhi oleh tumbuhan herba dan tahunan. Jika jalannya suksesi dipengaruhi atau ditentukan oleh iklim disebut dengan klimaks-klimatis. Jika dipengaruhi oleh habitat/tanah disebut klimaks edaphis. Tumbuhan atau organisme yang mam-pu menghuni untuk pertama kalinya substrat yang baru digolongkan sebagai organisme pionir yang mempunyai toleransi besar terhadap berbagai faktor lingkungan yang ekstrim.
Gambar 4.1. Suksesi Primer
75
Gangguan ini dapat terjadi secara alami, misalnya tanah longsor, letusan gunung berapi, endapan Lumpur yang baru di muara sungai, dan endapan pasir di pantai. Gangguan dapat pula karena perbuatan manusia misalnya penambangan timah, batubara, dan minyak bumi. Contoh yang terdapat di Indonesia adalah terbentuknya suksesi di Gunung Krakatau yang pernah meletus pada tahun 1883. Di daerah bekas letusan gunung Krakatau mula-mula muncul pioner berupa lumut kerak (lichen) serta tumbuhan lumut yang tahan terhadap penyinaran matahari dan kekeringan. Tumbuhan perintis itu mulai mengadakan pelapukan pada daerah permukaan lahan, sehingga terbentuk tanah sederhana. Bila tumbuhan perintis mati maka akan mengundang datangnya pengurai. Zat yang terbentuk karma aktivitas penguraian bercampur dengan hasil pelapukan lahan membentuk tanah yang lebih kompleks susunannya. Dengan adanya tanah ini, biji yang datang dari luar daerah dapat tumbuh dengan subur. Kemudian
rumput
yang
tahan
kekeringan
tumbuh.
Bersamaan dengan itu tumbuhan herba pun tumbuh menggantikan tanaman pioner dengan menaunginya. Kondisi demikian tidak menjadikan pioner subur tapi sebaliknya. Sementara itu, rumput dan belukar dengan akarnya yang kuat terns meng-adakan pelapukan lahan.Bagian tumbuhan yang mati diuraikan oleh jamur sehingga keadaan tanah menjadi lebih tebal. Kemudian semak tumbuh. Tumbuhan semak
76
menaungi rumput dan belukar maka terjadilah kompetisi. Lama kelamaan semak menjadi dominan kemudian pohon mendesak tumbuhan belukar sehingga terben-tuklah hutan. Saat itulah ekosistem disebut mencapai kesetimbangan atau dikatakan ekosistem mencapai klimaks, yakni perubahan yang terjadi sangat kecil sehingga tidak banyak mengubah ekosistem itu.
b. Suksesi sekunder Proses suksesi sekunder relatif sama dengan yang terjadi pada suksesi primer. Perbedaannya terletak pada keadaan kerusakan dan kondisi awal dari habitatnya. Terjadinya gangguan menyebabkan komunitas alami tersebut rusak baik secara alami maupun buatan, tetapi gangguan tersebut tidak merusak total komunitas dan tempat hidup organisme sehingga substrat lama (substrat tanah yang telah terbentuk sebelumnya) masih ada yang tersisa. Maka pada substrat tersebut terjadi perkembangan komunitas yang selanjutnya disebut suksesi sekunder. Proses kerusakan komunitas disebut denudasi, yang dapat disebabkan oleh api, pengolahan, angin kencang, banjir, gelombang laut, penebangan hutan, dan kegiatan-kegiatan biotis lainnya menyebabkan vegetasi asal musnah. Proses suksesi sekunder ini membutuhkan waktu sampai puluhan tahun.
77
Gambar 4.2. Suksesi sekunder
Pada suksesi sekunder benih ataupun biji-biji bukan berasal dari luar tetapi dari dalam habitat itu sendiri. Gangguan tersebut dapat disebabkan oleh kebakaran, banjir, angin kencang dan gelombang laut (tsunami) secara alami dan penebangan hutan secara selektif, pembakaran padang rumput secara sengaja dan kegiatan biotis menyebabkan vegetasi asal musnah. Contoh seperti tegalan, semak belukar bekas ladang, padang alang-alang dan kebun karet dan kebun kelapa sawit yang ditinggalkan, adalah sebagian dari contoh komunitas sebagai hasil dari contoh ko-munitas sebagai hasil suksesi. Komunitas ini masih mengalami perubahan menuju kearah komunitas klimaks, kecuali bila dalam proses tersebut terjadi lagi gangguan, maka suksesi akan mundur lagi dan mulai kembali dari titik nol. Penelitian di dekat Samarinda, Kalimantan Timur,
menunjukkan bahwa pembentukan
padang alang-alang terjadi hanya dalam waktu 4 tahun setelah penebangan hutan primer atau hu-tan klimaks, 78
memperlihatkan perubahan yang terjadi setelah ditebang habis dan kemudian dibakar setiap tahun untuk dijadikan ladang padi.
4.5.4. Proses Suksesi Proses pergantian antar tingkat dalam suksesi primer untuk mencapai klimaks, dapat membutuhkan waktu
puluhan,
ratusan
bahkan
ribuan
tahun.
Sedangkan waktu yang dibutuhkan suksesi sekunder lebih cepat dibandingkan dengan suksesi primer. Tingkat perubahan komunitas berlangsung dalam periode pendek dengan perkem-bangan yang cepat, hal ini disebabkan habitat (tanah dan air) sudah terbentuk untuk menyokong pertumbuhan vegetasi. Proses yang terjadi selama proses suksesi dapat diringkaskan sebagai berikut : 1) Perkembangan sifat substrat atau tanah yang progresif,
misalnya
kandungan
bahan
terjadinya organik
pertam-bahan
sejalan
dengan
perkembangan komunitas yang semakin kompleks dengan komposisi jenis yang lebih beraneka ragam daripada sebelumnya. 2) Semakin kompleksnya struktur komunitas, peningkatan kepadatan, dan tingginya tumbuhan, sehingga dalam komunitas terbentuk stratifikasi.
79
3) Peningkatan produktifitas sejalan dengan perkembangan komunitas dan perkem-bangan tanah. 4) Peningkatan jumlah jenis sampai pada tahap tertentu dari suksesi. 5) Peningkatan pemanfaatan sumber daya lingkungan sesuai dengan peningkatan jumlah jenis. 6) Perubahan iklim mikro sesuai dengan perubahan komposisi jenis bentuk hidup (life form) tumbuhan dan struktur komunitas. 7) Komunitas berkembang menjadi lebih kompleks.
Kecepatan proses suksesi pada suatu komunitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: a)
Luasnya komunitas asal yang rusak karena gangguan
b) Jenis-jenis tumbuhan yang terdapat di sekitar komunitas yang terganggu c)
Kehadiran tumbuhan pemencar biji dan benih
d) Iklim, terutama arah dan kecepatan angin yang membawa bjiji, spora dan benih la-in, serta curah hujan yang mempengaruhi perkecambahan biji dan spora dan per-kembangan semai selanjutnya. e)
Macam atau jenis substrat baru yang terbentuk
f)
Sifat-sifat jenis tumbuhan yang ada di sekitar tempat terjadinya suksesi.
80
4.6. Pendekatan Dalam Kajian Suksesi Tumbuhan Sejalan dengan perkembangan dari ekologi umumnya maka dalam kajian suksesi inipun mengalami perkembangan, dan dapat dibagi dalam dua periode pendekatan,
yaitu
pendekatan
secara
lama
atau
tradisional dan pendekatan yang ditujukan untuk melengkapi
atau
mengkoreksi
pendekatan
lama
berdasarkan konsep-konsep ekositem yang ada atau pendekatan moderen. 1). Pendekatan kajian suksesi lama / tradisional Teori suksesi dengan pola pendekatan lama didasari pada beberapa pemikiran, yaitu : a) Suksesi
adalah
suatu
proses
perkembangan
komunitas yang teratur dan meliputi perubahan komposisi jenis dan fungsi ekosistem melalui waktu tertentu. Suksesi merupakan proses yang progresif, dan dapat diperkirakan. b) Fase awal dari suksesi dikuasai oleh tumbuhan pendek dan selanjutnya menjadi lebih progresif, lebih kompleks dan dikuasai oleh tumbuhan berumur panjang. c) Suksesi berkulminasi dalam komunitas klimaks, yang paling besar, paling efisien dan komunitas paling kompleks dari habitat yang mendukungnya.
81
d) Suksesi dari habitat yang berbeda dapat mengarah pada komunitas klimaks yang sama. Pemikiran ini disebut “kesamaan akhir” atau “Equifinality”. Jadi baik
hidroseres
maupun
xeroseres
akan
berkembang menjadi komunitas klimak berupa hutan. e) Faktor penting yang berpengaruh terhadap bentuk komunitas klimak adalah iklim. Cowles dan Clements berpendapat bahwa untuk setiap derah iklim akan mempunyai satu bentuk komunitas klimaks. Pendapat ini disebut teori klimak.
2). Pola pendekatan suksesi moderen / baru Akhir-akhir ini timbul suatu pemikiran bahwa dalam kajian suksesi harus diperhitungkan pula segala aspek komunitas untuk menggambarkan perubahan struktur
dan
fungsi
komunita
selama
suksesi
berlangsung. Aspek komunitas tersebut meliputi : a) Pola aliran energi. Selama suksesi mencapai klimaks pola aliran energi dalam komunitas berubah secara mendasar. Perubahan ini direfleksikan dalam besaran Standing crop dalam ekosistem. Berkaitan dengan pola aliran energi ini secara ringkas dapat disimpulkan :
82
a. Selama fase seral awal masukan energi ke ekosistem lebih besar dari yang hilang. Tumbuhan dan hewan komunitasnya berkembang, mengakumulasi energi sebagai biomasa. Beberapa standing crop atau tegakkan yang ad meningkat selama suksesi. b. Ketika komunitas klimak dikembangkan maka Steady state tercapai. Dalam keadaan ini masukkan energi ke ekosistem sama dengan energi yang hilang. Hasilnya perubahan tegakkan adalah kecil. Aliran energi melalui system pada fase klimaks adalah maksimum. c. Bila ekosistem terganggu oleh faktor luar, misalnya kebakaran, energi yang hilang mungkin lebih besar dari masukan energi. Dalam hal ini besarab tegakkan dalam system menurun. d. Akumulasi energi sebagai biomasa selama susksei paling besar dalam ekosistem daratan. Tumbuhan terbesar membentuk komunitas klimaks. Tegakkan berada dalam maksaimumnya meskupun sedikit berfluktuasi. e. Di ekosistem perairan terutama laut, komunitas klimak
mungkin
dinyatakan
oleh
fitoplankton.
Ukurannya yang kecil berarti Standing cropnya relative rendah atau kecil, mungkin akumulasi dalam ekosistem rendah, tetapi laju metabolisame tinggi
83
sehingga
memungkinkan
untuk
mempunyai
produktivitas kotor yang tinggi f)
Produktivitas Produktivitas kotor dari ekosistem meningkat selama suksesi sampai klimaks. Peningkatan ini sebanding
dengan
keadaan
standing
cropnya.
Prosentase dari produktivitas kotor yang terfiksasi sebagai produktivitas bersih tidak terus meningkat sampai klimakasnya, hal ini akibat dari beberapa keadaan : a. Dalam fase seral awal tumbuhan dominant berkecendrungan
untyuk
menjadi
kecil
dan
berumur pendek. Bentuk tumbuhan ini, meliputi tumbuhan setahun, produktivitas bersihnya tiunggi. Tumbuhnya yang kecil memerlukan energi yang relative sedikit untuk mengelolanya. b. Dalam Fase seral akhiar tumbuhan dominant berkecendrungan besar dan berumur panjang, seperti
pohon.
Ketika
tumbuh
sempurna
memerlukan bagian yang besar dari produktivitas kotornya
untuk
respirasi
dalam
pengelolaan
tumbuhnya. Organisme muda berada dalam laju pertumbuhan yang maksimum dan dikarakterisasi oleh penurunan produktivitas bersih ketika dewasa. Akibatnya tumbuhan besar dan berumur panjang
84
mempunyai periode kehidupan dalam keadaan relative tidak produktif. Hal ini terrefleksikan dalam pola produktivitas dari ekosistem secara keseluruhan.
g) Efisiensi energi Teori suksesi lama menyatakan bahwa proses suksesi membawa suatu komunitas untuk mencapai efisiensi konversi
energi
yang
maksimum.
Energi
merupakan sumber pembatas yang ekstrim bagi ekosistem, sehingga sangat logis apabila orang menduga bahwa kematangan akan tercapai pada saat ketersediaan energi berada dalam keadaan terbaik untuk bisa dimanfaatkan. Padahal pemikiran ini bertentangan dengan apa yang diketahui tentang pola alirn energi dan produktivitas. Telah dinyatakan bahwa dalam suatu suksesi primer, produktivitas kotor dimulai dengan nol dan kemudian meningkat. Tetapi peningkatannyatidak dapat tanpa batasnya apabila produktivitas bersih menurun sampai mencapai klimak. Efisiensi konversi energi menurun dalam fase seral akhir. Penurunan efisiensi ekologi dari suatu ekosistem yang matang adalah fungsi dari pola produktivitas dari tumbuhan besar, yang hidup dalam komunitas klimaks. Tumbuhan mempunyai adaptasi yang tinggi untuk dapat
85
tumbuh dengan cepat keetika muda dan peka, apabila telah besar dan mandiri maka rendhnya produktivitas bersih tidak menjadi masalah lagi.
h) Struktur tropik Fase seral awal mempunyai rantai makanan yang pendek, dan linier. Kerusakan dapat terjadi dengan mudah, apabila salah satu mata rantai hilang maka tidak ada alternative pengaliran lain bagi energi. Begitu pelapisan dari ekosistem terbentuk dan diversitas jenis meningkat maka struktur tropic menjadi lenih kompleks dan terbentuk jarring makanan. Struktur tropik yang lebih komplek menghasilkan ekosistem yang stabil. Berbagai kemungkinan aliran energi tidak lagimenjadi masalah apabila salah satu dari mata rantai rusak atau terganggu.
i)
Perubahan siklus nutrisi Teori
lama
memperkirakan
bahwa
suksesi
menghasilkan komunitas yang stabil dan siklus materi yang lebih efisien. Hal ini adalah benar untuk kebanyakan ekosistem daratan, tetapi tidaklah demikian untuk ekosistem perairan. Dalam proses suksesi jumlah nutrisi yang bersiklus dalam setiap fase awal adalah kecil.
Penimbunan
dalam
ekosistem
juga
kecil.
86
Pertukaran nutrisi antara komponen biotic dan abiotik terjadi cepat karena umur organisme pendek. Peranan detritus dalam regenerasi nutrisi kurang penting. Fase organic dari siklus kurang berkembang, akibatnya nutrisi dapat bergerak kedalam dank e luar dari system dengan mudah, maka siklus nutrisinya terbuka. Meningkatnya biomasa pada fase serel akhir berarti tingginya jumlah nutrisi yang disimpan dalm system. Laju siklus nutrisi menjadi lambat akibat system didominasi oleh organisme yang berumur panjang. Jumlah nutrisi yang diperlukan pada fase seral akhir ini besar.
Tumbuhan
besar
dari
komunitas
klimaks
mempunyai system akar yang luar biasa dan sangat efektif dalam menyerap nutrisi.
j) Struktur dan Keanekaragaman 1). Stratifikasi Sere awal biasanya terdiri dari kelompokkelompok tumbuhan pendek yang tidak merata penyebarannya dan pelapisan yang sederhana. Suksesi berjalan
terus,
tumbuhan
yang
lebih
tinggi
membentuk lapisan tambahan dan terjadi peneduhan. Koloni tumbuhan pertama menyingkir dari keteduhan dan diganti dengan jenis tumbuhan bawah lainnya yang biasa hidup dibawah naungan perdu dan pohon.
87
Suatu formasi hutan klimak akhirnya terbentuk dengan stratifikasinya yang kompleks. Untuk hutan tripika misalnya akan dikenal pelapisan dari kanopi pohon, lapisan perdu, herba dan lapisan dasar yang terdiri dari lumut. Meningkatnya kekomplekan struktur vertical dari ekosistem diikuti oleh agregasi spasial dari fungsi diantara lapisan. Contoh baik adalah di hutan, fotosisntesis
terjadi
di
lapisan
kanopi
pohon,
penguraian berada di lapisan dasar atau dipermukaan tanah, dan batang-batang pohon mengangkut kembali nutrisi kekanopi. Pelapisan yang sama dari struktur dan fungsi terjadi selama suksesi di lautan dan danau. Prosuksi terjadi di lapisan permukaan sedangkan penguraian lebih banyak terjadi pada dasar perairan. Nutrisi
dikembalikan
kepermukaan
akibat
pengadukan oleh arus dan angina. Dengan demikian, meskipun ada perbedaan dalam pengembalian nutrisi, rupanya
untuk
semua
ekosistem
berkembang
pelapisan dari struktur dan fungsi selama suksesi.
2). Keanekaragaman Jenis Peningkatan yang cepat dari jumlah jenis merupakan gambaran pada fase awal suksesi, banyak tumbuhan berkoloni. Gambaran pertama dari suksesi,
88
peningkatan diversitas jenis cepat, dan fase berikutnya laju peningkatan berjalan lamban. Jumlah jenis yang berbeda dalam ekosistem mungkin meningkat terus sampai terbentuknya komunitas klimaks, tetapi banyak pula terjadi penurunan keanekaragaman sampai akhir dari suksesi. Penurunan keanekaragaman ini terjadi akibat kompetisi. Tumbuhan yang dominant pada seral akhir
besar-besar
dan
lebih
komplek
sejarah
pertumbuhannya daripada tumbuhan pada seral awal. Dengan demikian hasil dari kompetisi tidak banyak terbentuk ragam dari jenis. Pada suksesi dengan hasil akhir hanya terdiri dari beberapa jenis dominant, seral intermedier mengandung jumlah yang maksimum. Keanekaragaman jenis dapat meningkat terus sampai komunitas klimaks, apabila struktur dan energi yang tersedia mendukungnya. Contoh yang baik adalah di tropika, hutan penghujan tropika mempunyai struktur yang kompleks dan didominasi berbagai jenis tumbuhan serta disuplai oleh sejumlah energi yang melimpah, berbagai habitat tercipta dan terpakai sampai terbentuk klimaks.
89
4.7. Konsep Klimaks Teori tradisional menyatakan bahwa suksesi ekologi mengarah kepada suatu komunitas akhir yang stabil yaitu klimaks. Fase klimaks ini mempunyai sifat-sifat tertentu dan yang terpenting adalah : 1. Fase klimaks merupakan system yang stabil dalam keseimbangan antara lingkungan biotis dan abiotis. 2. Komposisi jenis pada fase klimaks relative twetap atau tidak berubah 3. Pada fase klimaks tidak ada akumulasi tahunan berlebihan dari materi organic, sehingga tidak ada perubahan yang berarti. 4. Fase klimaks dapat mengelola diri sendiri atau mandiri,
4.7.1. Teori Monoklimaks Dalam teorinya pada tahun 1916 Clements menyatakan bahwa komunitas klimaks untuk suatu kawasan semata-mata merupakan fungsi dari iklim. Dia memperkirakan bahwa pada waktu yang cukup dan bebas dari berbagai pengaruh gangguan luar, suatu bentuk umum vegetasi klimaks yang sama akan terbentuk untuk setiap daerah iklim yang sama. Dengan demikian iklim sangat menentukan batas formasi klimaks.
90
Clements
dan
para
pendukungnya
dari
teori
monoklimaks ini tidak melihat kenyataan bahwa banyak sekali variasi local dalam suatu vegetasi yang telah berada dalam suatu bentuk klimaks di suatu daerah iklim tertentu. Variasi-variasi ini oleh Clements dianggap fase seral meskipun berada dalam keadaan stabil. Clements menganut teori klimaks ini didasarkan pada keyakinan akan waktu yang pankang, dimana perbedaan-perbedaan local dari suatu vewgetasi akibat kondisi tanahnya akan tetap berubah menjadi bentuk vegetasi regionalnya apabila diberi waktu yang lama. Penamaan-penamaan khusus diberikan untuk mengambarkan perbedaan-perbedaan vegetasi local ini. Istilah subklimaks dipergunakan untuk suatu fase seral akhir yang berkepanjangan yang akhirnya akan berkembang juga ke bentuk klimaksnya. Sedangkan istilah disklimaks dipakai untuk komunitas tumbuhan yang mengantikan bentuk klimaks setelah terjadi kerusakan.
4.7.2. Teori Poliklimaks Beberapa pakar ekologi berpendapat bahwa teori monoklimaks terlalu kaku. Tidak memberikan kemungkinan untuk menerangkan vaiasi local dalam suatu komunitas tumbuhan. Dalam tahun 1937 Tanslay, seorang pakar botani dari Inggeris mengusulkan suatu alternative yaitu teori poliklimaks, dengan teori ini
91
memungkinkan untuk mendapat mosaic dari bentuk klimaks dari setiap daerah iklim. Dia menyadari bahwa komunitas klimaks erat hubungannya dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya yaitu meliputi tanah, drainase, dan berbagai faktor lainnya. Teori poliklimaks mengenal kepentingan dari iklim, tetapi faktor-faktor lainnya hendaknya jangan dipandang sebagai fenomana yang bersifat temporal. Teori poliklimaks mempunyai keuntungan yang besar, dalam memandang semua komunitas tumbuhan yang bersifat stabil bisa dianggap sebagai bentuk klimaks. Teori poliklimaks ini ternyata pendekatannya tidak bersifat kaku, sehingga dapat diterima dikalangan pakar secara luas.
4.7.3. Teori Potensi Biotik atau Pola Klimaks Hipotesis Dalam
tiga
dekade
terakhir
para
pakar
menyadari bahwa komunitas klimaks tidak ditentukan oleh hanya satu atau lebih faktor lingkungan yang berinteraksi terhadapnya, seperti iklim tanah; topografi; dan sebagainya. Dengan demikian sekian banyak bentuk klimaks akan terjadi sebagai akibat kombinasi dari kondisi-kondisi tadi.
92
BAB EKOSISTEM
V
O
rganisme atau makhluk hidup dimanapun berada tidak akan mampu hidup sendiri. Kelangsungan hidup organisme akan tergantung pada organisme
lainnya dan semua komponen lingkungan yang dapat dipandang sebagai sumber daya alam. Hubungan antara organisme yang satu dengan organisme yang lain dan antara organisme dengan komponen lingkungan bersifat sangat kompleks (rumit) dan bersifat timbal balik. Hubungan tersebut terjalin sangat erat dan membentuk suatu sistem ekologi yang dinamakan ekosistem.
5.1. Pengertian Ekosistem Istilah “ekosistem” pertama kali digunakan oleh seorang ahli ekologi berkebangsaan Inggris bernama A. G. Tansley pada tahun 1935 (Indriyanto, 2010). Meskipun demikian, konsep ekosistem bukanlah hal yang baru. Beberapa penulis telah menggunakan istilah yang berbeda, tetapi maksudnya sama dengan ekosistem. Karl Mobius (1877) seorang ahli ekologi kebangsaan Jerman menulis tentang komunitas organisme dalam batu karang
dan
menggunakan
istilah
yang
memiliki
93
kesamaan makna dengan ekosistem yaitu biocoenosis (biokoenosis). S. A. Forbes (1887) seorang ahli ekologi kebangsaan Amerika menulis karangan kuno tentang danau, dan menggunakan istilah yang memiliki makna sama dengan ekosistem yaitu microcosm (mikrokosm). Beberapa ahli lainnya yang menggunakan istilah yang memiliki makna sama dengan ekosistem antara lain Friederichs (1930)
menggunakan istilah holocoen,
Thienemenn (1939) menggunakan istilah biosystem, dan Vernadsky (1944) menggunakan istilah bioenert body. Beberapa definisi ekosistem yang diberikan oleh para ahli ekologi antara lain sebagai berikut (Indriyanto, 2010). a. Ekosistem adalah suatu unit ekologi yang didalamnya terdapat struktur dan fungsi (A. G. Tansley, 1935). Struktur berhubungan dengan keanekargaman spesies (species diversity) dan fungsi berhubungan dengan siklus materi dan arus materi melalui komponen – komponen ekosistem. b. Ekosistem adalah tatanan kesatuan secara kompleks didalamnya terdapat habitat tumbuhan dan binatang yang dipetimbangkan sebagai unit kesatuan secara utuh sehingga semuanya akan menjadi bagian mata rantai siklus materi dan aliran energi (Wodbury, 1954)
94
c. Ekosistem adalah unit fungsional dasar dalam ekologi yang
didalamnya
tercakup
organisme
dan
lingkungannya (biotik dan abiotik) dan keduanya saling mempengaruhi (Odum, 1993). d. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh-menyeluruh dan saling
mempengaruhi
keseimbangan,
stabilitas,
dalam
membentuk
dan
produktivitas
lingkungan hidup (UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup)
5.2. Komponen Ekosistem Semua ekosistem baik ekosistem teresterial maupun ekosistem akuatik tersusun atas komponen – komponen. Komponen tersebut dapat dikelompokkan dari segi trofik atau nutrisi dan dari segi struktur dasar ekosistem (Odum, 1993). Berdasarkan atas segi struktur dasar ekosistem, maka komponen ekosistem terdiri atas: 1) Komponen biotik (komponen makhluk hidup), misalnya binatang, tumbuhan, dan mikroba. 2) Komponen
abiotik
(komponen
benda
mati),
misalnya air, udara dan tanah
95
Berdasarkan segi trofik atau nutrisi, maka komponen ekosistem terdiri dari: 1. Komponen autotrofik yaitu organisme yang mampu menyediakan atau mensintesis makanannya sendiri. Contoh: tumbuhan hijau 2. Komponen heterotrofik yaitu organisme yang hidupnya selalu memanfaatkan bahan organik yang disediakan oleh organisme lain. Contoh: binatang, jamur, jasad renik termasuk ke dalam golongan komponen heterotrofik
Berdasarkan
fungsi
atau
penyusunnya,
komponen
ekosistem terdiri dari: 1. Produsen adalah semua makhluh hidup yang dapat membuat makanannya sendiri. Contoh: tumbuhan berklorofil 2. Konsumen adalah semua makhluk hidup yang bergantung pada produsen sebagai sumber energinya a) Herbivora
yaitu
konsumen
yang
memakan
tumbuhan. Contoh: sapi, kambing, dan kelinci. b) Karnivor yaitu konsumen yang memakan hewan lain. Contoh: harimau, serigala, dan macan. c) Omnivor
yaitu
konsumen
yang
memakan
tumbuhan dan hewan. Contoh: manusia dan tikus
96
3. Dekomposer atau pengurai adalah semua makhluk hidup
yang
memperoleh
nutrisi
dengan
cara
menguraikan senyawa-senyawa organik yang berasal dari makhluk hidup yang telah mati. Contoh: bakteri, jamur, dan cacing
5.3. Hubungan Trofik dalam Ekosistem Setiap ekosistem memiliki suatu struktur trofik (trophic structure) dari hubungan makan-memakan. Para ahli ekologi membagi spesies dalam suatu komunitas atau ekosistem ke dalam tingkat trofik (trophic levels) berdasarkan nutriennya. Tingkat trofik yang secara mendasar mendukung kehidupan yang lainnya dalam suatu ekosistem berupa organisme autotrof atau produsen primer (primary producer) dalam ekosistem tersebut. Sebagian besar produsen primer adalah organisme fotosintetik yang menggunakan energi cahaya untuk mensintesis gula dan senyawa organik lainnya yang selanjutnya digunakan oleh produsen primer sebagai bahan dasar untuk respirasi seluler dan pertumbuhan. Organisme dalam tingkat trofik di atas produsen primer adalah heterotrof yang secara langsung atau secara tidak langsung bergantung pada hasil fotosintetik produsen primer. Herbivora yang merupakan hewan pemakan tumbuhan atau alga menduduki posisi sebagai konsumen
97
primer. Tingkat trofik berikutnya terdiri dari konsumen sekunder yaitu karnivora yang memakan herbivora. Karnivora ini selanjutnya dapat dimakan oleh karnivora lain yang merupakan konsumen tersier. Beberapa ekosistem memiliki karnivora dengan tingkat yang lebih tinggi lagi. Detritivora atau dekompser mendapatkan energinya dari detritus yang merupakan bahan organik yang tidak hidup, seperti feses, daun yang gugur, dan bangkai organisme mati yang berasal dari semua tingkat trofik. Detritivora seringkali membentuk suatu hubungan utama antara produsen primer dan konsumen dalam suatu ekosistem.
Dekomposer Tropik V
Gambar 5.1. Tingkatan trofik dalam ekosistem
98
Pada ekosistem sungai, banyak di antara bahan organik yang digunakan oleh konsumen, disediakan oleh tumbuhan terestrial yang memasuki ekosistem sebagai dedaunan dan serpihan-serpihan lain yang jatuh ke dalam air atau tercuci oleh aliran permukaan. Seekor udang karang (cray fish) mungkin bisa memakan detritus tumbuhan di dasar sebuah sungai atau danau dan kemudian udang karang tersebut akan dimakan oleh seekor ikan. Dalam sebuah hutan, burung kemungkinan memakan cacing tanah yang telah memakan sampah dedaunan di permukaan tanah. Struktur trofik suatu ekosistem menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia. Jalur di sepanjang perpindahan makanan dari tingkat trofik satu ke tingkat trofik yang lain, yang dimulai dengan produsen primer, dikenal sebagai rantai makanan (food chain) (Gambar 5.2).
Gambar 5.2. Rantai makanan di ekosistem terestrial dan Ekosistem Marin 99
Panjang rantai makanan dibatasi oleh jumlah energi yang dipindahkan dari satu tingkat ke tingkat berikutnya. Sesungguhnya,
beberapa
ekosistem
sangat
sederhana,
sehingga ekosistem tersebut dicirikan oleh suatu rantai makanan tunggal yang tidak bercabang. Beberapa jenis konsumen primer umumnya memakan spesies tumbuhan yang sama dan satu spesies konsumen primer bisa memakan beberapa tumbuhan yang berbeda. Percabangan rantai makanan seperti itu terjadi juga pada tingkat trofik lainnya. Sebagai contoh, katak dewasa yang merupakan konsumen sekunder dapat memakan beberapa spesies serangga yang juga dapat dimakan oleh berbagai jenis burung. Selain itu, beberapa konsumen memakan beberapa level trofik yang berbeda. Seekor burung hantu, misalnya, bisa memakan mencit, yang sebagian besar merupakan konsumen primer, akan tetapi dapat juga memakan beberapa invertebrata; seekor burung hantu juga dapat memakan ular, yang sepenuhnya adalah karnivora. Omnivora, termasuk manusia, memakan produsen dan juga konsumen dari tingkat yang berbeda-beda. Dengan demikian, hubungan makan-memakan dalam suatu ekosistem umumnya saling jalin menjalin menjadi jaring-jaring makanan (food web) yang rumit (gambar 5.3).
100
Gambar 5.3. Jaring-jaring makanan dalam ekosistem
Penting untuk membedakan antara struktur ekosistem (sistem trofik) dan proses ekosistem, seperti produksi dan konsumsi, yang mempengaruhi aliran energi dan siklus kimia. Dalam pengertian ekologi, produksi berarti laju pemasukan energi dan materi ke dalam badan organisme. Dengan demikian, semua organisme adalah produsen meskipun produsen primer kadang-kadang hanya disebut "produsen" karena produksi mereka mendukung produksi semua organisme lainnya. Konsumsi didefinisikan secara longgar, akan tetapi secara umum mengacu pada penggunaan
101
metabolik
bahan
organik
yang
diasimilasikan
untuk
pertumbuhan dan reproduksi. Semua organisme yang termasuk autotrof (yang memetabolisme senyawa organik yang dibuat sendiri oleh organisme tersebut dari bahanbahan yang mereka asimilasikan dari lingkungan) merupakan konsumen. Suatu proses ekosistem yang ketiga, dekomposisi (decomposition)
atau
penguraian
merupakan
aktivitas
perombakan bahan-bahan organik menjadi bahan anorganik. Semua organisme melakukan penguraian dalam metabolisme seluler, organisme itu merombak bahan organik dan melepaskan produk anorganik, seperti karbon dioksida dan amonia ke lingkungan. Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies bakteri. Produsen primer utama pada sebagian besar eksosistem teresterial adalah tumbuhan. Dalam zona limnetik danau dan dalam lautan terbuka, fitoplankton (alga dan bakteri) adalah autotrof yang paling penting, sementara alga multiseluler
dan
tumbuhan
akuatik
kadang-kadang
merupakan produsen primer yang lebih penting di daerah litoral (daerah dangkal dekat pantai) dalam ekosistem air tawar maupun air laut. Akan tetapi, pada zona afotik di laut dalam, sebagian besar kehidupan bergantung pada produksi fotosintetik di dalam zona fotik; energi dan nutrien turun ke bawah dari atas dalam bentuk plankton mad dan detritus lainnya.
Satu pengecualian khusus
adalah komunitas
102
organisme yang hidup dekat celah air panas di bagian dasar laut dalam. Bakteri kemoautotrof yang mendapatkan energi dari oksidasi hidrogen sulfida (H2S) merupakan produsen utama
dalam
ekosistem
ini.
Bakteri
kemoautotrof
memanfaatkan energi kimia sebagai bahan dasar proses fotosintesis. Konsumen primer atau herbivora, yang hidup di daratan sebagian besar adalah serangga, bekicot, parasit tumbuhan, dan vertebrata tertentu, termasuk mamalia pemakan rumput dan banyak sekali burung dan mamalia yang memakan biji-bijian dan buah-buahan. Ketika para peneliti mempelajari kebiasaan makan konsumen primer, mereka menemukan bahwa banyak di antara organisme tersebut bersifat oportunis. Organisme tersebut menambah makanan utama mereka yang terdiri dari autotrof dengan beberapa materi heterotrof ketika materi heterotrof tersebut tersedia. Tupai tanah dan tupai lainnya, misalnya, terutama memakan biji-bijian dan buah-buahan, tetapi kadang-kadang juga dapat memakan telur burung dan anak burung. Banyak konsumen yang terutama memakan organisme hidup juga memakan bangkai beberapa zat organik yang sudah mati. Fitoplankton
sebagian
besar
dikonsumsi
oleh
zooplankton dalam ekosistem akuatik yang meliputi protista heterotrof, berbagai invertebrata kecil (khususnya krustacea, dan di lautan tahapan larva dari banyak spesies yang hidup dalam bentos sebagai organisme dewasa), dan beberapa ikan.
103
Sama dengan organisme terestrial, banvak heterotrof akuatik bersifat oportunis. Contoh-contoh konsumen sekunder dalam ekosistem terestrial adalah laba-laba, katak, burung pemakan serangga, mamalia karnivora, dan parasit hewan. Dalam habitat akuatik, banyak ikan memakan zooplankton dan selanjutnya ikan tersebut dimakan oleh ikan lain. Pada zona bentik laut, invertebrata pemakan alga adalah mangsa bagi invertebrata lainnya, seperti bintang laut. Bahan organik yang menyusun organisme hidup dalam suatu ekosistem akhirnya akan didaur ulang (disiklus ulang), diurai (dibusukkan), dan dikembalikan ke lingkungan abiotik dalam bentuk yang dapat digunakan oleh autotrof. Meskipun semua organisme melakukan penguraian sampai ke derajat tertentu, pengurai utama suatu ekosistem adalah prokariota dan fungi, yang awalnya mensekresi enzim yang mencerna bahan organik dan kemudian menyerap produk penguraian tersebut. Penguraian oleh prokariota dan fungi berperan dalam sebagian besar pengubahan bahan organik dari semua tingkat trofik menjadi senyawa anorganik yang dapat dimanfaatkan oleh autotrof, dan dengan demikian penguraian itu menghubungkan semua tingkat trofik.
104
5.4. Aliran Energi Dalam Ekosistem Semua organisme memerlukan energi untuk pertumbuhan,
pemeliharaan,
reproduksi,
dan pada
beberapa spesies, untuk lokomosi. Sebagian besar produsen primer menggunakan energi cahaya untuk mensintesis molekul organik yang kaya energi yang selanjutnya dapat dirombak untuk membuat ATP. Konsumen mendapatkan bahan bakar organiknya dari tangan kedua (atau bahkan tangan ketiga atau tangan keempat)
melalui
jaring-jaring
makanan.
Dengan
demikian, keadaan aktivitas fotosintetik menentukan batas pengeluaran bagi pengaturan energi keseluruhan ekosistem.
3.4.1. Pengaturan Energi Global Bumi memperoleh sekitar 1.022 joule (J) radiasi matahari (1 J = 0,239 kalori) setiap harinya. Energi ini adalah setara dengan energi 100 juta bom atom seukuran bom yang dijatuhkan di Hiroshima. Intensitas energi matahari yang mencapai bumi dan atmosfernya bervariasi pada garis lintang. Daerah tropis menerima masukan yang paling tinggi. Sebagian besar radiasi matahari diserap, terpencar atau dipantulkan oleh atmosfer dalam suatu pola asimetris yang ditentukan oleh variasi dalam tutupan awan dan jumlah debu di
105
udara di sepanjang wilayah yang berbeda-beda. Jumlah radiasi
matahari yang
membatasi
basil
mencapai bumi akhirnya
fotosintesis
ekosistem
tersebut,
meskipun produktivitas fotosintetik juga dibatasi oleh air, suhu, dan ketersediaan nutrien. Banyak radiasi matahari yang mencapai biosfer sampai di lahan gundul dan badan air yang dapat menyerap atau memantulkan energi yang datang tersebut. Hanya sebagian kecil (sekitar 1% - 2%) radiasi matahari dalam bentuk cahaya tampak yang akhirnya dapat diubah menjadi energi kimia
melalui
fotosintesis
oleh
alga,
bakteri
fotosintetik, dan tumbuhan. Efisiensi fotosintesis ini bervariasi menurut jenis organisme, tingkat cahaya, dan faktor-faktor lainnya. Meskipun fraksi dari total radiasi matahari yang sampai ke bumi yang tertangkap oleh fotosintesis sangat kecil, namun produsen primer di bumi secara keseluruhan menghasilkan sekitar 170 miliar ton bahan organik pertahun suatu jumlah yang sangat mengagumkan.
5.4.2. Produktivitas Primer Jumlah energi cahaya yang diubah menjadi energi kimia (senyawa organik) oleh autotrof pada suatu ekosistem selama suatu periode waktu tertentu disebut produktivitas primer. Total produkthritas
106
primer dikenal sebagai produktivitas primer kotor (gross primary productivity, GPP). Tidak semua produktivitas ini disimpan sebagai bahan organik pada tumbuhan yang sedang tumbuh, sebab tumbuhan menggunakan sebagian molekul tersebut sebagai bahan bakar dalam respirasi selulernya. Dengan demikian, produktivitas primer bersih (net primary productivity, NPP)
sama
dengan
produktivitas
primer
kotor
dikurangi energi yang digunakan oleh produsen untuk respirasi (Rs):
NPP = GPP - Rs
Kita juga bisa memandang hubungan ini dalam pengertian persamaan umum untuk fotosintesis dan respirasi: Fotosintesis 6 CO2 + 6 H2O C6H12O6 + 6 O2 Respirasi C6H12O6 + 6 O2 6 CO2 + 6 H2O
107
Produktivitas primer kotor dihasilkan oleh fotosintesis. Produktivitas primer bersih adalah selisih antara hasil fotosintesis dan konsumsi bahan bakar organik dalam respirasi. Produktivitas primer bersih adalah ukuran yang penting dalam pengkajian kita, karena produktivitas primer menunjukkan simpanan energi kimia yang tersedia bagi konsumen dalam suatu ekosistem. Sebanyak 50% dari produktivitas primer kotor pada sebagian besar produsen primer tersisa sebagai produktivitas primer bersih setelah kebutuhan energinya
terpenuhi.
Rasio
NPP
terhadap
GPP
umumnya lebih kecil bagi produsen besar dengan struktur nonfotosintetik yang rumit, seperti pohon yang mendukung sistem batang dan akar vang besar dan secara metabolik aktif. Produktivitas primer dapat dinyatakan dalam energi per satuan luas per satuan waktu (J/mr/tahun) atau sebagai biomassa (berat) vegetasi yang ditambahkan ke ekosistem per satuan luasan per satuan waktu (g/m2/tahun). Biomassa umumnya dinyatakan sebagai berat kering bahan organik.
Produktivitas
primer
suatu
ekosistem
hendaknya tidak dikelirukan dengan total biomassa dari autotrof fotosintetik yang terdapat pada suatu waktu tertentu yang disebut biomassa tanaman tegakan (standing crop biomass).
108
Produktivitas primer merupakan laju sintesis biomassa baru oleh organisme. Meskipun sebuah hutan memiliki biomassa tanaman tegakan yang sangat besar, produktivitas primernya mungkin sesungguhnya kurang dari produktivitas primer beberapa padang rumput yang tidak
mengakumulasi
vegetasi
yang
disebabkan
vegetasi di padang rumput tekonsumsi secara cepat oleh hewan. Selain itu, banyak di antara tumbuhan di padang
rumput
(herbaceous).
merupakan
Ekosistem
tumbuhan
yang
berbeda
setahun sangat
bervariasi dalam produktivitasnya dan juga dalam sumbangannya terhadap produktivitas total di bumi. Tabel 5.1. Produktivitas primer bersih pada berbagai tipe ekosistem Tipe ekosistem Hutan tropis Hutan Temperata Hutan Boreal Tundra Padang Semak Belukar Mediterania Lahan Pertanian Padang Rumput dan Savana Tropis Padang Rumput Temperata Gurun
Produktivitas Primer Bersih (ton C/ha/tahun) 12,5 7,7 1,9 0,9 5,0 3,1 5,4 3,7 1,2
Sumber: Saugier et al., 2001
109
Hutan hujan tropis merupakan salah satu ekosistem terestrial yang paling produktif dan menutupi sebagian besar bumi. Ekosistem ini menyumbang dalam proporsi besar bagi keseluruhan produktivitas planet ini. Muara dan terumbu karang juga memiliki produktivitas
yang
sangat
tinggi,
akan
tetapi
sumbangan total mereka terhadap produktivitas global relatif kecil karena sistem ini tidak begitu luas di Bumi. Lautan
terbuka
menyumbangkan
lebih
banyak
produktivitas primer dibandingkan dengan ekosistem lain, akan tetapi hal ini disebabkan oleh ukurannya yang sangat besar, produktivitas per satuan luasnya relatif rendah. Gurun dan tundra juga memiliki produktivitas yang rendah. Faktor yang paling penting dalam pembatasan produktivitas bergantung pada jenis ekosistem
dan
pada
perubahan
musim
dalam
lingkungan. Produktivitas
dalam
ekosistem
terestrial
umumnya berkorelasi dengan presipitasi (curah hujan), suhu, dan intensitas cahaya. Petani seringkali mengairi ladangnya untuk meningkatkan produktivitas dalam habitat. Umumnya produktivitas semakin mendekati ekuator (katulistiwa) semakin meningkat karena air, suhu dan cahaya lebih mudah tersedia di daerah tropis. Nutrien anorganik juga merupakan faktor penting
110
dalam
pembatasan
produktivitas
pada
banyak
ekosistem terestrial. Tumbuhan membutuhkan berbagai ragam nutrien anorganik, beberapa dalam jumlah yang relatif besar dan yang lain hanya dalam jumlah sedikit akan tetapi semuanya penting. Produktivitas primer mengeluarkan nutrien dari suatu ekosistem dan biasanya
lebih
cepat
dibandingkan
dengan
pengembaliannya. Pada titik tertentu, produktivitas bisa melambat atau berhenti karena suatu nutrien spesifik tidak lagi terdapat dalam jumlah yang mencukupi. Tidak mungkin semua nutrien akan habis secara bersamaan sehingga produktivitas selanjutnya dibatasi oleh sebuah nutrien tunggal yang disebut nutrien pembatas (limiting nutrien) yang tidak lagi tersedia dalam persediaan yang mencukupi. Menambahkan nutrien lain ke sistem tersebut tidak akan merangsang produktivitas yang diperbarui karena sebelumnya nutrien tersebut
telah ada dalam jumlah
yang
mencukupi. Akan tetapi, penambahan nutrien pembatas akan
merangsang
sistem
itu
untuk
memulai
penumbuhan sampai beberapa nutrien lain atau nutrien yang sama menjadi terbatas. Pada banyak ekosistem, baik nitrogen atau fosfor merupakan nutrien pembatas utama. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa
111
karbn dioksida (CO2) kadang-kadang
membatasi
produktivitas. Produktivitas di laut umumnya terdapat paling besar di perairan dangkal dekat dengan benua dan di sepanjang terumbu karang yang mendapat cahaya dan nutrien berlimpah. Intensitas cahaya pada lautan terbuka
mempengaruhi
produktivitas
komunitas
fitoplankton. Produktivitas secara umum paling besar ditemukan di dekat permukaan dan menurun secara tajam dengan bertambahnya kedalaman. Kondisi ini terjadi karena plankton lebih banyak hidup di dekat permukaan
yang
mendapat
cahaya
melimpah.
Produktivitas primer per satuan luas laut terbuka relatif rendah karena nutrien anorganik, khususnya nitrogen dan fosfor, tersedia dalam jumlah terbatas di dekat permukaan, sedangkan di tempat yang sangat dalam di mana nutrien berlimpah, cahaya matahari yang masuk tidak mencukupi untuk mendukung proses fotosintesis. Komunitas fitoplankton berada pada kondisi paling produktif ketika arus yang naik ke atas membawa nitrogen dan fosfor ke permukaan. Fenomena ini terjadi di laut Antartika yang meskipun airnya dingin dan intensitas cahayanya rendah, sesungguhnya lebih produktif dibandingkan dengan sebagian besar laut tropis. Ekosistem kemoautotrof di dekat air panas dasar
112
laut juga sangat produktif, tetapi komunitas ini tidak luas penyebarannya dan sumbangan keseluruhannya terhadap produktivitas laut sangat kecil. Dalam ekosistem air tawar, seperti pada laut terbuka, intensitas cahaya dan variasi kedalaman merupakan faktor penting terhadap produktivitas. Ketersediaan nutrien anorganik bisa juga membatasi produktivitas dalam ekosistem air tawar, seperti halnya di lautan, tetapi perputaran air (turnover) dua kali setahun pada danau akan mengaduk air dan membawa nutrien ke lapisan permukaan yang cukup mendapatkan cahaya.
Ketika energi mengalir
melewati suatu
ekosistem, banyak energi yang hilang sebelum dapat dikonsumsi oleh organisme pada tingkat berikutnya. Jika semua tumbuhan di sebuah padang rumput ditumpuk menjadi suatu tumpukan yang besar sekali, tumpukan seluruh herbivora akan tampak kecil di sebelah tumpukan tumbuhan tersebut. Akan tetapi, tumpukan
herbivora
akan
jauh
lebih
besar
dibandingkan dengan suatu tumpukan konsumen sekunder. Jumlah energi yang tersedia bagi masingmasing tingkat trofik ditentukan oleh produktivitas primer bersih dan efisiensi pengubahan energi makanan menjadi biomassa di setiap mata rantai pada rantai makanan.
113
5.4.3. Produktivitas Sekunder Laju pengubahan energi kimia pada makanan yang dimakan oleh konsumen ekosistem menjadi biomassa baru mereka sendiri disebut produktivitas sekunder ekosistem terse-but. Bayangkan perpindahan bahan organik dari produsen ke herbivora, yang merupakan konsumen primer. Di sebagian besar ekosistem, herbivora hanya mampu memakan sebagian kecil bahan tumbuhan yang dihasilkan, dan herbivora tidak dapat mencerna seluruh senyawa organik yang ditelannya.
Kalori 200 J Feses 100 J
Pertumbuhan 33 J
Respirasi 67 J
Gambar 5.4. Pembagian energi dalam suatu rantai makanan
Gambar
5.4
merupakan
suatu
diagram
yang
disederhanakan tentang bagaimana energi yang diperoleh konsumen dalam bentuk makanan dapat dibagi. Dari 200 J (48 kalori) yang dikonsumsi oleh seekor ulat, hanya sekitar 33 J (seperenam) yang digunakan untuk pertumbuhan. Sisanya dibuang sebagai feses atau digunakan untuk respirasi seluler. 114
Tentunya, energi yang terkandung dalam feses tidak hilang dari ekosistem, energi itu masih dapat dikonsumsi oleh detritivora. Akan tetapi, energi yang digunakan untuk respirasi hilang dari ekosistem. Dengan demikian, jika radiasi matahari merupakan sumber utama energi untuk sebagian besar ekosistem, maka kehilangan panas pada respirasi adalah tempat pembuangan utama. Hal inilah yang menyebabkan energi dikatakan mengalir melalui, bukan didaur di dalam ekosistem. Hanya energi kimia yang disimpan sebagai pertumbuhan (atau produksi keturunan) oleh herbivora yang tersedia sebagai makanan bagi konsumen sekunder. Dalam satu sisi, contoh-contoh kita sesungguhnya menaksir terlalu tinggi pengubahan produktivitas primer menjadi produktivitas sekunder karena kita tidak memasukkan semua tumbuhan yang tidak dikonsumsi oleh herbivora tersebut. Fakta bahwa ekosistem alamiah umumnya kelihatan hijau, ekosistem
tersebut
mengandung
banyak
sekali
tumbuh-tumhuhan yang menandakan bahwa banyak produktivitas primer bersih tidak diubah dalam jangka pendek menjadi produktivitas sekunder. Karnivora sedikit lebih efisien dalam mengubah makanan ke dalam biomassa, terutama karena daging lebih mudah dicerna dibandingkan dengan tumbuhan. Akan tetapi
115
dalam
banyak
kasus,
konsumen
sekunder
menggunakan lebih banyak energi yang mereka asimilasikan untuk respirasi seluler, yang secara dramatis menurunkan jumlah energi kimia yang tersedia bagi tingkat trofik berikutnya. Hewan endoterm, secara khusus, menghabiskan sebagian besar
energi
yang
diasimilasikannya
untuk
mempertahankan suhu tubuh yang tinggi dan relatif konstan.
5.4.4. Efisiensi Ekologis dan Piramid Ekologi Efisiensi
ekologis
(ecological
efficiency)
adalah persentase energi yang ditransfer dari satu tingkat trofik ke tingkat trofik berikutnya, atau rasio produktivitas bersih pada satu tingkat trofik terhadap produktivitas bersih pada tingkat trofik di bawahnya. Efisiensi ekologis sangat bervariasi pada organisme, yang umumnya berkisar mulai dari 5% sampai 20%. Dengan kata lain 80% sampai 95% energi yang tersedia pada satu tingkat trofik tidak pernah ditransfer ke tingkat berikutnya. Hilangnva energi secara multiplikatif dari suatu rantai makanan dapat digambarkan sebagai diagram piramida produktivitas (pyramid of productivity), di mana tingkat trofik ditumpuk dalam balok-balok dengan produsen primer
116
sebagai dasar piramida itu. Ukuran setiap balok itu sebanding tingkat
dengan
trofik
produktivitas
(per
satuan
masing-masing
waktu).
Piramida
produktivitas berbentuk khusus, yaitu sangat berat di bagian dasar karena efisiensi ekologis yang rendah (Gambar 3.5).
Gambar 3.5. Piramida produktivitas
Satu konsekuensi ekologis yang penting dari penurunan transfer energi melalui suatu jaring-jaring makanan
dapat
digambarkan
dalam
piramida
biomassa, di mana setiap tingkat menggambarkan biomassa tanaman tegakan (standing crop biomass) dalam suatu tingkat trofik. Piramida biomassa umumnya menyempit secara tajam dari produsen di bagian dasar ke karnivora tingkat atas di bagian ujung, karena transfer energi antara tingkat-tingkat trofik
117
adalah sedemikian tidak efisiennya (Gambar 3.5). Akan tetapi, beberapa ekosistem akuatik memiliki piramida biomassa yang terbalik dengan konsumen primer melebihi produsen. Di perairan Terusan Inggris, misalnya, biomassa zooplankton (konsumen) lima kali berat fitoplankton (produsen) (Gambar 3.6).
Gambar 3.6. Piramida biomasa ekosistem akuatik
Piramida biomassa yang terbalik seperti itu terjadi karena
zooplankton
mengkonsumsi
fitoplankton
sedemikian cepatnya, sehingga produsen tersebut tidak pernah membentuk suatu populasi berukuran besar atau standing crop. Fitoplankton tumbuh, berproduksi,
dan
dikonsumsi
Fitoplankton
memiliki
suatu
secara waktu
cepat.
pergantian
(turnover time) yang singkat, atau biomassa tanaman
118
tegakan yang lebih rendah dibandingkan dengan produktivitasnya.
Namun
demikian,
piramida
produktivitas untuk ekosistem ini adalah terbalik, seperti piramida pada Gambar 3.6 karena fitoplankton memiliki
produktivitas
yang
lebih
tinggi
dibandingkan dengan zooplankton. Kehilangan energi secara multiplikatif pada rantai makanan sangat membatasi biomassa kesauruhan karnivora tingkat atas yang dapat didukung oleh setiap ekosistem. Hanya sekitar satu seperseribu energi kimia yang disediakan melalui fotosintesis yang dapat mengalir melalui
semua
jaring-jaring
makanan
hingga
mencapai konsumen tersier, seperti burung elang dan hiu. Hal ini menjelaskan mengapa jaring-jaring makanan umumnya meliputi hanya tiga sampai lima tingkat trofik. Hal tersebut dikarenakan tidak ada energi yang mencukupi dalam jaring-jaring makanan tersebut untuk mendukung tingkat trofik lainnya. Pemangsa
pada
tingkat
trofik
atas
cenderung
merupakan hewan yang cukup besar, biomassa yang terbatas
pada
puncak
suatu
piramida
ekologi
terkonsentrasi dalam jumlah individu yang relatif sedikit. Peristiwa ini tercermin dalam piramida jumlah (pyramid of numbers) di mana ukuran masing-masing balok
itu
sebanding
dengan
jumlah
individu
119
organisme yang terdapat pada masing-masing tingkat trofik. Populasi pemangsa pada umumnya sangat sedikit, dan hewan tersebut sangat jarang di dalam habitat tersebut. Sebagai akibatnya, banyak pemangsa sangat rentan terhadap kepunahan, dan juga terhadap konsekuensi evolusioner akibat ukuran populasi yang kecil.
Gambar 3.7. Piramida jumlah
Dinamika aliran energi memiliki implikasi penting bagi populasi manusia. Memakan daging merupakan suatu cara memperoleh produktivitas fotosintetik yang relatif tidak efisien. Seorang manusia akan mendapatkan jauh lebih banyak kalau dengan memakan biji-bijian secara langsung sebagai konsumen primer, dibandingkan dengan mengolah sejumlah biji-bijian yang sama melalui tingkat trofik lainnya dan memakan sapi pemakan biji-bijian
120
tersebut. Pada kenyataannya, pertanian di seluruh dunia dapat berhasil memberi makan lebih banyak orang dibandingkan dengan yang saat ini dilakukan jika semua yang kita konsumsi hanya tumbuhtumbuhan, sebagai konsumen primer yang lebih efisien.
5.5. Siklus Unsur Kimia Dalam Ekosistem Meskipun ekosistem menerima masukan energi matahari yang pada prinsipnya tidak akan habis, unsur kimia hanya tersedia dalam jumlah terbatas. (Meteorit yang kadang-kadang menubruk bumi adalah satu-satunya sumber materi dari luar bumi). Dengan demikian, kehidupan di bumi bergantung pada siklus ulang (daur ulang) unsur-unsur kimia yang penting. Bahkan ketika suatu
individu
organisme
masih
hidup,
banyak
persediaan zat kimianya berputar secara terus-menerus, ketika nutrien diserap dan hasil buangan dilepaskan. Pada saat suatu organisme mati, atom-atom yang terdapat dalam molekul kompleks organisme tersebut dikembalikan sebagai senyawa-senyawa yang lebih sederhana ke atmosfer, air, atau tanah melalui penguraian oleh bakteri dan fungi. Penguraian ini-melengkapi kumpulan nutrien anorganik yang digunakan oleh tumbuhan dan organisme
autotrof lainnya
untuk
121
membentuk suatu bahan organik baru. Karena perputaran nutrien melibatkan komponen biotik dan abiotik suatu ekosistem, perputaran itu juga disebut siklus biogeokimia (biogeochemical cycle). Lintasan spesifik suatu bahan kimia melalui suatu siklus biogeokimia bervariasi menurut unsur yang dimaksud dan pada struktur trofik suatu ekosistem. Akan tetapi kita dapat mengenali dua kategori umum siklus biogeokimia. Bentuk gas dari unsur karbon, oksigen, sulfur, dan nitrogen, ditemukan dalam atmosfer, dan siklus unsur-unsur ini pada dasarnya adalah global. Sebagai contoh, sejumlah atom karbon dan oksigen yang diperoleh
tumbuhan
dari
udara
sebagai
CO2,
kemungkinan telah dilepaskan ke atmosfer melalui respirasi seekor hewan yang berada tidak jauh dari tumbuhan tersebut. Unsur lain yang kurang aktif dalam lingkungan yang meliputi fosfor, kalium, kalsium, dan unsur-unsur yang ada dalam jumlah kecil, umumnya bersiklus dalam skala yang lebih lokal, paling tidak dalam jangka waktu yang pendek. Tanah adalah reservoir abiotik utama unsur-unsur tersebut, yang diserap oleh akar tumbuhan dan akhirnya dikembalikan ke tanah oleh pengurai, umumnya di sekitar lokasi yang sama. Model umum siklus nutrient yg menunjukkan reservoir atau kompartemen utama unsure-unsur dan
122
proses yang mentransfer unsur-unsur diantara reservoirreservoir tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.8.
Gambar 5.8. Model umum siklus nutrien
Sebagian besar nutrien terakumulasi dalam empat reservoir,
yang
masing-masing
ditentukan
oleh
dua
karakteristik, yaitu apakah reservoir itu mengandung bahan organik atau anorganik dan apakah bahan-bahan (materi) tersedia secara langsung atau tidak langsung untuk digunakan oleh organisme. Satu kompartemen bahan organik terdiri dari organisme hidup itu sendiri dan detritus; nutrien ini tersedia bagi organisme lain ketika konsumen itu saling memakan satu sama lain dan ketika detritivora mengkonsumsi bahan organik tidak hidup. Kompartemen organik kedua termasuk deposit organisme-organisme yang suatu waktu pernah hidup
123
(batu bara, minyak, dan gambut) yang "terfosilkan", dimana nutrien tidak dapat diasimilasi secara langsung. Bahan-bahan dipindahkan
dari
kompartemen
organik
hidup
ke
kompartemen organik yang terfosilkan pada masa silam, ketika organisme itu mati dan terkubur oleh sedimentasi selama jutaan tahun untuk menjadi batu bara dan minyak. Nutrien juga ditemukan dalam dua kompartemen anorganik, yang satu adalah kompartemen di mana nutrien-nutrien tersebut tersedia untuk digunakan oleh organisme dan satu lagi adalah kompartemen di mana nutrien-nutrien tersebut tidak tersedia untuk digunakan oleh organisme lain. Kompartemen anorganik yang tersedia meliputi zat-zat (unsur dan senyawa) yang larut dalam air atau terdapat di tanah atau udara. Organisme mengasimilasi bahan-bahan dari kompartemen itu secara langsung dan mengembalikan nutrien ke dalamnya melalui proses respirasi, ekskresi dan dekomposisi (penguraian) yang cukup cepat. Unsur-unsur pada kompartemen anorganik yang tidak tersedia terikat dalam bebatuan. Meskipun organisme tidak dapat masuk ke dalam kompartemen ini secara langsung, nutrien secara perlahan-lahan akan menjadi tersedia untuk digunakan melalui pelapukan dan erosi. Dengan cara serupa, bahanbahan organik yang tidak tersedia berpindah ke dalam kompartemen nutrien anorganik yang tersedia melalui erosi
124
atau ketika bahan bakar fosil dibakar dan unsur-unsurnya menjadi uap. Menjelaskan siklus biogeokimia dalam teori umum jauh lebih sederhana dibandingkan dengan secara nyata melacak unsur-unsur melalui siklus ini. Ekosistem-ekosistem tidak
saja
sangat
kompleks,
tetapi
umumnya
juga
mempertukarkan paling tidak sebagian zat-zatnya dengan wilayah lain. Bahkan dalam kolam sekalipun, yang memiliki perbatasan yang jelas, terdapat beberapa proses yang menambahkan dan mengeluarkan nutrien pokok pada ekosistem itu. Mineral yang terlarut dalam air hujan atau yang mengalir dari lahan di sebelahnya akan menambah mineral ke dalam kolam tersebut, seperti halnya serbuk sari yang kaya nutrien, daun yang berguguran dan bahan-bahan lain yang terkandung di udara. Selain itu, tentunya, terdapat siklus karbon, oksigen dan nitrogen antara kolam tersebut dan atmosfer. Burung bisa memakan ikan atau larva akuatik serangga, yang mendapatkan persediaan nutriennya dari kolam tersebut, dan sejumlah nutrien tersebut kemudian bisa diekskresikan (dikeluarkan) di darat yang jauh dari daerah drainase kolam tersebut. Melacak aliran masuk dan aliran keluar padai ekosistem terestrial yang kurang jelas bahkan lebih sulit lagi batas-batasnya. Namun demikian, para ahli ekologi telah membentuk skema umum untuk siklus kimia pada beberapa ekosistem, seringkali dengan menambahkan
125
sejumlah kecil perunut (tracer) radioaktif yang membuat peneliti bisa mengikuti unsur kimia melalui berbagai komponen biotik dan abiotik ekosistem tersebut.
5.5.1. Siklus Air Meskipun hanya sebagian kecil air di Bumi yang terdapat pada materi hidup, air sangat penting bagi organisme hidup. Selain kontribusi air secara langsung
bagi
kelestarian
hidup
lingkungan,
pergerakannya di dalam dan antarekosistem juga mentransfer biogeokimia.
zat-zat
lain
Siklus air
dalam
beberapa
siklus
digerakkan oleh energi
matahari, dan sebagian besar terjadi di antara lautan dan atmosfer melalui penguapan (evaporasi) dan curah hujan (presipitasi) (Gambar 3.9).
Gambar 5.9. Siklus air
126
Jumlah air yang menguap dari lautan melebihi presipitasi di atas lautan, dan kelebihan uap air dipindahkan oleh angin ke daratan. Di atas permukaan daratan, presipitasi melebihi evaporasi dan transpirasi, yaitu hilangnya air melalui euaporasi pada tumbuhan. Aliran permukaan dan air tanah dari darat akan menyeimbangkan aliran bersih uap air dari lautan ke daratan. Siklus air berbeda dari siklus lainnya karena sebagian besar aliran air melalui ekosistem terjadi melalui proses fisik, bukan proses kimia; selama evaporasi,
transpirasi,
mempertahankan
dan
bentuknya
presipitasi,
sebagai
H2O.
air Suatu
pengecualian yang penting secara ekologis (meskipun tidak secara kuantitatif) adalah perubahan air secara kimia selama proses fotosintesis.
5.5.2. Siklus Karbon Karbon merupakan bahan penyusun dasar semua senyawa organik. Pergerakannya melalui suatu ekosistem berbarengan dengan pergerakan energi, melebihi zat kimia lain; karbohidrat dihasilkan selama fotosintesis dan CO2 dibebaskan bersama energi selama respirasi. Dalam siklus karbon, proses timbal balik fotosintesis dan respirasi seluler menyediakan suatu
127
hubungan antara lingkungan atmosfer dan lingkungan terestrial. Tumbuhan mendapatkan karbon dalam bentuk CO2 dari atmosfer melalui stomata daunnya dan menggabungkannya
senyawa
tersebut
membentuk
bahan organik melalui proses fotosintesis. Sejumlah bahan organik tersebut kemudian menjadi sumber karbon
bagi
konsumen.
Respirasi
oleh
semua
organisme mengembalikan CO2 ke atmosfer.
Karbondioksida (CO2) Respirasi Respirasi Air Dekomposisi Kombinasi
Fotosintesis
+
Makan
Tumbuhan
Hewan
2+
Mg
Mati
Mati
Bikarbonat Pembakaran Karbonat
Serasah
Presipitasi Batuan Karbonat
Bahan Bakar Fosil
Pembusukan Dekomposer
Gambar 5.10. Siklus nitrogen
Kesetimbangan pertukaran karbon (antara yang masuk dan keluar) antarreservoir karbon atau antara satu putaran (loop) spesifik siklus karbon (misalnya atmosfer biosfer) dikenal sebagai neraca karbon. Analisis neraca karbon dari sebuah pool atau reservoir dapat memberikan 128
informasi tentang apakah pool atau reservoir berfungsi sebagai sumber (source) atau penyimpan (sink) karbon dioksida. Terdapat 5 (lima) pool karbon (C pool) di alam, yaitu lautan (oceanic pool), tanah (pedologic pool), atmosfer (atmosferic pool), bahan bakar fosil (geological pool) dan makhluk hidup (biotic pool) (Lal, 2008).
Gambar 5.11. Neraca karbon global
Pool lautan (oceanic C pool) merupakan pool terbesar di alam. Lautan dapat menyimpan karbon sebesar 38.400 Pg dimana sebagian besar berupa ion bikarbonat. Pada daerah laut, terdapat tiga daerah penyimpan karbon, yaitu permukaan laut, lapisan dalam dan bahan organik total. Permukaan laut menyimpan karbon sebesar 670 Pg, lapisan yang lebih dalam sebesar 36.730 Pg dan bahan organik total di lautan
129
menyimpan karbon sebesar 1.000 Pg (Lal, 2008). Pool laut akan menyerap karbon dioksida dari atmosfer sebesar 92,3 Pg dan akan melepaskan karbon ke atmosfer sebesar 90 Pg per tahun. Dengan demikian terjadi surplus sebesar 2,3 Pg karbon per tahun (Lal, 2008). Pool geologi (geological C pool) merupakan pool penyimpan karbon terbesar kedua. Pool geologi termasuk didalamnya bahan bakar fosil dapat menyimpan karbon sebesar 4.130 Pg. Dari 4.130 Pg karbon, 85% diantaranya (3.510.,5 Pg) terdapat pada batu bara, 5,5% (227,15 Pg) terdapat pada minyak bumi, 3,3% (136,29 Pg) terdapat pada gas alam dan 6,2% (256,06 Pg) terdapat pada gambut (Lal, 2008). Pool geologi hanya memiliki hubungan satu arah dengan atmosfer, artinya pool geologi tidak menyerap karbon dari atmosfer tetapi akan melepaskan karbon ke atmosfer jika dilakukan
aktivitas
pembakaran.
Hasil
dari
aktivitas
pembakaran bahan bakar fosil menyumbang sebesar 7,0 Pg karbon per tahun (Lal, 2008). Pool tanah (pedological C pool) merupakan pool terbesar ketiga yang mampu menyimpan karbon sebanyak 2.500 Pg karbon pada kedalaman 1 m. Karbon dalam tanah tersimpan dalam dua komponen berbeda yaitu pool karbon organik tanah (soil organic carbon) yang menyimpan 1.550 Pg karbon dan pool karbon inorganik tanah (soil inorganik carbon) yang menyimpan 950 Pg karbon (Batjes, 1996).
130
Karbon organik tanah mencakup sisa-sisa binatang dan hewan yang telah terdekomposisi, bahan kimia hasil sintesis secara mikrobiologi dan atau secara kimia dari pemecahan produk serta tubuh mikroorganisme hidup, binatang kecil dan produk dekomposisi lainnya (Schnitzer, 1991). Pool karbon inorganik tanah terdiri atas elemen karbon dan mineral karbonat seperti kalsit, dolomit, gipsum, bahan berkarbonat primer dan bahan bekarbonat sekunder. Bahan berkarbonat primer berasal dari perombakan batuan induk oleh aktivitas cuaca, sedangkan bahan berkarbonat sekunder dibentuk dari reaksi antara karbon dioksida (CO2) di atmosfer dengan Ca2+ dan Mg2+ yang berasal dari luar lingkungan ekosistem. Karbon inorganik tanah merupakan unsur pokok yang sangat penting pada daerah arid atau semi arid (Lal, 2008). Tanah akan menyimpan karbon dari makhuk hidup yang telah mati dalam bentuk biomasa di bawah tanah sebesar 60 Pg per tahun. Sementara itu, sebanyak 60 Pg karbon per tahun dilepaskan ke atmosfer melalui aktivitas respirasi tanah. Aktivitas penggundulan hutan menyebabkan terjadinya erosi tanah yang mengakibatkan pelepasan karbon sebesar 0,8-1,2 Pg per tahun ke atmosfer dan sebanyak 0,6 ± 0,2 Pg karbon per tahun dilepaskan ke badan perairan (Lal, 2008). Pool atmosfer (atmospheric C pool) hanya mampu menyimpan karbon sebanyak 760 Pg. Pada pool atmosfer mengalami peningkatan rata-rata sebesar 3,5 Pg C per tahun
131
atau 0,46% per tahun dari pelepasan emisi oleh pool lainnya, khususnya akibat perubahan tata guna lahan, pembakaran bahan bakar fosil dan perusakan hutan (Lal, 2008). Pool biotik (biotic C pool) menyimpan karbon sebesar 560 Pg. Perpaduan antara pool tanah (pedologic C pool) dan pool biotik (biotic C pool) disebut sebagai pool kabon daratan (teresterial C pool). Pool biotik akan menyerap sebanyak 120 Pg karbon per tahun dari atmosfer melalui aktivitas fotosintesis dan melepaskan sekitar 60 Pg karbon melalui aktivitas respirasi tumbuhan. Jika mengalami deforestasi, maka pool biotik akan melepaskan karbon ke atmosfer sebesar 1,6 Pg per tahun. Aktivitas antropogenik akan melepaskan sebanyak 8,6 Pg karbon per tahun ke atmosfer dan 5,1 Pg atau 60% diantaranya akan diserap oleh pool daratan. Hal ini menunjukkan peranan penting pool daratan dalam siklus karbon global. Ekosistem daratan merupakan penyerap karbon utama melalui fotosintesis serta menyimpan CO2 dalam organisme hidup dan bahan organik yang telah mati (Lal, 2008). Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa pada dasarkan konsentrasi karbon dioksida di alam dalam keadaan seimbang. Jumlah karbon total yang dilepas ke atmosfer sebesar 210 Pg per tahun, sedangkan yang mampu diserap sebesar 212,3 Pg per tahun sehingga ada surplus 2,3 Pg per tahun. Dalam kondisi alami tidak terjadi akumulasi
132
gas CO2 di atmosfer. Namun, adanya aktivitas manusia berupa pembakaran bahan fosil dan perusakan hutan menyebabkan penambahan karbon dioksida ke atmosfer sebesar 8,4 – 9 Pg per tahun. Hal ini menyebabkan terjadinya akumulasi CO2 sebesar 6,1-6,7 Pg per tahun karena tidak dapat diserap oleh pool lainnya. Siklus karbon diperumit lagi dalam lingkungan akuatik melalui interaksi CO2 dengan air dan batu kapur. Karbon
dioksida
yang
terlarut
membentuk asam karbonat
bereaksi
(H2CO3).
dengan
air
Asam karbonat
selanjutnya bereaksi dengan batu kapur (CaCO3) yang sangat berlimpah pada kebanyakan perairan, termasuk lautan, untuk membentuk ion bikarbonat dan karbonat: H2O + CO2 H2CO3 H2CO3 + CaCO3 Ca(HCO3)2 2 HCO4Bikarbonat
+
2 H + 2 CO3
Ca2+ + 2 HCO3
2-
Karbonat
Ketika CO2 digunakan dalam fotosintesis di lingkungan akuatik dan laut, kesetimbangan urutan reaksi ini bergeser ke arah kiri, yang mengubah bikarbonat kembali menjadi CO2. Dengan demikian, bikarbonat akan berfungsi sebagai reservoir CO2. Autotrof akuatik bisa juga menggunakan bikarbonat terlarut secara langsung sebagai sumber karbon.
133
Secara keseluruhan, jumlah karbon yang terdapat dalam berbagai bentuk anorganik di lautan, tidak termasuk sedimen, adalah sekitar 50 kali yang tersedia di atmosfer. Karena reaksi anorganik CO2 ini dalam air, dan juga pengamjikannya oleh fitoplankton laut, lautan bisa berfungsi sebagai suatu "penyangga (buffer)" penting yang dapat menyerap sejumlah CO2, yang ditambahkan ke atmosfer dengan cara pembakaran bahan bakar fosil.
5.3.3. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan salah satu unsur kimia utama lain dalam ekosistem. Nitrogen ditemukan pada semua asam amino, yang merupakan penyusun protein organisme-organisme. Nitrogen tersedia bagi tumbuhan hanya dalam bentuk mineral: NH4+ (amonium) dan NO3- (nitrat). Meskipun atmosfer Bumi hampir 80%nya terdiri atas nitrogen, unsur ini sebagian besar terdapat dalam bentuk gas nitrogen (N2 yang tidak tersedia bagi tumbuhan. Nitrogen memasuki ekosistem melalui dua jalur alamiah, yang keutamaan relatifnya sangat bervariasi dari satu ekosistem ke ekosistem yang lain. Sekitar 5% sampai 10% nitrogen yang yang memasuki ekosistem dapat digunakan. Dalam proses ini, NH4+ dan NO3 -, kedua bentuk nitrogen yang tersedia bagi tumbuhan, ditambahkan ke tanah melalui
134
kelarutannya dalam air hujan atau melalui pengendapan debu-debu halus atau butiran-butiran lainnya. Beberapa tumbuhan, seperti Bromeliad epifit yang ditemukan pada kanopi hutan hujan tropis memiliki akar udara yang dapat mengambil NH4+ dan NO3-, secara langsung dari atmosfer.
Gambar 5.11. Siklus nitrogen
Jalur lain untuk masuknya nitrogen ke ekosistem adalah melalui fiksasi nitrogen (nitrogen fixation). Hanya prokariota tertentu yang dapat memfiksasi nitrogen yaitu, mengubah N2 menjadi mineral yang dapat digunakan untuk mensintesis senyawa organik bernitrogeti seperti asam amino.
135
Prokariota merupakan mata rantai yang penting pada beberapa titik dalam siklus nitrogen. Nitrogen difiksasi dalam ekosistem terestrial oleh bakteri tanah yang hidup bebas (nonsimbiotik) dan juga oleh bakteri simbiotik (Rhizobium) dalam nodul akar legum dan tumbuhan tertentu lainnya. Beberapa sianobakteri memfiksasi nitrogen dalam ekosistem akuatik. Organisme yang memfiksasi nitrogen, tentunya sedang memenuhi kebutuhan metaboliknya sendiri, tetapi kelebihan amonia yang dibebaskan oleh organisme tersebut menjadi tersedia bagi organisme lain. Selain dari sumber alami nitrogen yang dapat digunakan ini, fiksasi nitrogen secara industri dapat digunakan untuk pembuatan pupuk, yang sekarang ini memberikan sumbangan utama dalam pool mineral bernitrogen dalam ekosistem terestrial dan akuatik. Produk langsung fiksasi nitrogen adalah amonia (NH3). Akan tetapi, paling tidak sebagian besar tanah menjadi sedikit bersifat asam, dan NH3 yang dibebaskan ke dalam tanah akan menangkap sebuah ion hidrogen (H+) untuk membentuk amonium, NH4+, yang dapat digunakan secara langsung oleh tumbuhan. NH3 adalah gas, sehingga dapat menguap kembali ke atmosfer dari tanah yang mempunyai pH mendekati 7. NH3 yang hilang dari tanah ini kemudian dapat membentuk NH4+ di atmosfer. Sebagai akibatnya, konsentrasi NH4+ dalam curah hujan berkorelasi dengan pH tanah dalam kisaran wilayah yang luas.
136
Pendaurulangan
nitrogen
secara
lokal
melalui
pengendapan atmosfer ini bisa sangat jelas di daerah pertanian, dimana baik pemupukan nitrogen dan kapur (suatu basa yang menurunkan keasaman tanah) digunakan secara luas. Meskipun tumbuhan dapat menggunakan amonium secara langsung, sebagian besar amonium dalam tanah digunakan oleh bakteri aerob tertentu sebagai sumber energi; aktivitasnya mengoksidasi amonium menjadi nitrit (NO2-) dan kemudian menjadi nitrat (NO3-), suatu proses yang disebut nitrifikasi. Nitrat yang dibebaskan dari bakteri ini kemudian dapat diasimilasi oleh tumbuhan dan diubah menjadi bentuk organik, seperti asam amino dan protein. Hewan hanya dapat mengasimilasikan nitrogen organik dengan cara memakan tumbuhan atau hewan lain. Beberapa bakteri dapat memperoleh oksigen yang mereka perlukan untuk metabolisme dari nitrat bukan dari O2, dengan kondisi anaerob. Sebagai akibat dari proses denitrifikasi ini, beberapa nitrat diubah kembali menjadi N2, yang kembali ke atmosfer. Perombakan dan penguraian nitrogen organik kembali ke amonium, merupakan suatu proses yang disebut amonifikasi, yang sebagian besar dilakukan oleh bakteri dan fungi pengurai. Proses ini akan mendaur ulang sejumlah besar nitrogen ke dalam tanah. Secara keseluruhan, sebagian besar siklus bernitrogen dalam sistem alamiah melibatkan senyawa bernitrogen dalam tanah dan air, bukan N2 atmosfer.
137
Meskipun fiksasi nitrogen penting dalam pembentukan pool nitrogen
yang
tersedia,
menyumbangkan
sebagian
fiksasi kecil
dari
nitrogen nitrogen
hanya yang
diasimilasikan setiap tahun oleh total vegetasi. Namun demikian, banyak spesies umum tumbuhan bergantung pada asosiasi mereka dengan bakteri pemfiksasi nitrogen untuk menyediakan nutrien yang esensial tersebut dalam bentuk yang dapat mereka asimilasikan. Jumlah N2 yang kembali ke atmosfer melalui denitrifikasi juga relatif kecil. Pokok yang penting adalah bahwa meskipun pertukaran nitrogen antara tanah dan atmosfer sangat berarti dalam jangka panjang, sebagian besar nitrogen pada sebagian besar ekosistem didaur ulang secara lokal melalui penguraian dan reasimilasi.
3.5.4. Siklus Fosfor Organisme memerlukan fosfor sebagai bahan penyusun utama asam nukleat, fosfolipid, ATP dan pembawa energi lainnya, serta sebagai salah satu mineral penyusun tulang dan gigi. Dalam beberapa hal, siklus fosfor lebih sederhana dibandingkan dengan siklus karbon atau siklus nitrogen. Siklus fosfor tidak meliputi pergerakan melalui atmosfer, karena tidak ada gas yang mellgandung fosfor secara signifikan. Selain itu, fosfor hanya ditemukan dalam satu bentuk anorganik penting yaitu fosfat (PO43-) yang diserap oleh
138
tumbuhan dan digunakan untuk sintesis organik. Pelapukan bebatuan secara perlahan-lahan menambah fosfat ke dalam tanah (Gambar 5.12).
Gambar 5.12. Siklus fosfor
Setelah produsen menggabungkan fosfor ke dalam
molekul
biologis,
fosfor
dipindahkan ke
konsumen dalam bentuk organik, dan ditambahkan kembali ke tanah melalui ekskresi fosfat tersebut oleh hewan dan oleh kerja pengurai bakteri dan fungi pengurai pada detritus. Humus dan partikel tanah mengikat fosfat, sedemikian rupa sehingga siklus fosfor cenderung menjadi cukup terlokalisir dalam ekosistem. Akan tetapi, fosfor benar-benar tergelontor ke dalam
139
badan air, yang secara perlahan-lahan mengalir dari ekosistem terestrial ke laut. Erosi hebat dapat mempercepat pengurasan fosfat, tetapi pelapukan bebatuan umumnya sejalan dengan hilangnya fosfat. Fosfat yang mencapai lautan secara perlahan-lahan terkumpul dalam endapan, kemudian tergabung ke dalam batuan, yang kemudian dapat menjadi bagian dari ekosistem terestrial sebagai akibat proses geologis yang meningkatkan dasar laut atau menurunkan permukaan laut pada suatu lokasi tertentu. Dengan demikian, sebagian besar fosfat bersiklus ulang secara lokal di antara tanah, tumbuhan, dan konsumen atas dasar skala waktu ekologis, sementara suatu siklus sedimentasi secara bersamaan mengeluarkan dan memulihkan fosfor terestrial selama waktu geologis. Pola umum yang sama berlaku juga bagi nutrien lain yang tidak memiliki bentuk yang terdapat di atmosfer. Dalam suatu ekosistem akuatik yang belum secara serius diubah oleh aktivitas manusia, rendahnya fosfat terlarut sering kali membatasi produktivitas primer. Akan tetapi, pada banyak kasus, kelebihan
(bukan
keterbatasan)
fosfat
adalah
permasalahan juga. Penambahan fosfat dalam bentuk limbah kotoran cair dan aliran permukaan dari ladang pertanian yang dipupuk merangsang pertumbuhan alga
140
dalam ekosistem akuatik, yang seringkali memiliki akibat negatif, seperti eutrofikasi. Laju dimana nutrien bersiklus dalam ekosistem yang berbeda-beda sungguh sangat beragam, yang sebagian besar disebabkan oleh perbedaan dalam laju penguraian. Dalam hutan hujan tropis, sebagian besar bahan organik mengalami penguraian dalam tempo beberapa bulan sampai beberapa tahun, sementara pada hutan beriklim sedang, penguraian berlangsung dalam tempo rata-rata 4 sampai 6 tahun. Di daerah tundra, penguraian membutuhkan waktu sampai 50 tahun, dan dalam suatu ekosistem akuatik, di mana sebagian besar penguraian terjadi di dasar lumpur anaerob, proses itu bahkan bisa terjadi lebih lambat lagi. Suhu dan ketersediaan air serta O2, mempengaruhi seluruh laju penguraian dan demikian juga waktu siklus nutrien. Faktor lain yang dapat mempengaruhi siklus nutrien adalah keadaan kimiawi tanah lokal dan frekuensi peristiwa kebakaran. Di beberapa bagian hutan hujan tropis, nutrien pokok seperti fosfor ditemukan dalam tanah pada kedalaman jauh di bawah kedalaman khas suatu hutan temperate. Pertama kali hal ini mungkin terlihat sebagai suatu paradoks, karena hutan tropis umumnya memiliki produktivitas yang sangat tinggi. Kunci
untuk
memecahkan
teka-teki
ini
adalah
141
penguraian yang cepat di daerah tropis yang disebabkan oleh suhu yang hangat dan presipitasi yang berlimpah. Selain itu, biomassa yang sangat besar dalam hutan tersebut menyebabkan adanya kebutuhan yang tinggi akan
nutrien,
yang
diserap
hampir
secepat
pembentukan nutrien tersebut melalui penguraian. Sebagai akibat penguraian yang cepat, relatif sedikit bahan organik yang terakumulasi sebagai lapisan daun pada bagian dasar hutan hujan tropis; sekitar 75% nutrien dalam ekosistem ditemukan dalam batang pohon yang berkayu, dan sekitar 10% terkandung dalam tanah. Konsentrasi beberapa nutrien yang relatif rendah dalam tanah hutan hujan tropis disebabkan oleh waktu siklus yang cepat, bukan akibat kelangkaan unsur-unsur ini secara keseluruhan dalam ekosistem. Dalam hutan temperate, di mana penguraian jauh lebih lambat, tanah bisa mengandung 50% dari semua bahan organik dalam ekosistem tersebut. Nutrien yang ditemukan dalam detritus hutan temperata dan dalam tanah bisa tetap berada di sana, selama periode waktu yang
cukup
lama
sebelum
diasimilasikan
oleh
tumbuhan. Dalam suatu ekosistem akuatik, sedimen dasar
sebanding
dengan
lapisan
detritus
dalam
ekosistem terestrial, namun berbeda dalam hal laju penguraian yang sangat lambat dan fakta bahwa alga
142
dan tumbuhan akuatik umumnya mengasimilasikai nutrien secara langsung dari air. Dengan demikian, sedimen seringkali merupakan suatu buangan nutrien, dan ekosisten akuatik hanya dapat sangat produktif jika di sana terdapat pertukaran antara lapisan dasar air dengan lapisan permukaan.
143
DAFTAR PUSTAKA
Burslem, D, M.Pinard and S. Hartley. 2005. Biotic interaction in the tropics: Their role in the maintenance of species diversity. UK. Cambridge University Press. Campbell, N. A. 2004. Biologi. Erlangga. Jakarta Debano, L.E. D.G. Navy, P.E. Efolion. 1998. Fire Effect on Ecosystems. John Willey & Sons, Inc. New York. Desmukh, I. 1986. Ecology and Tropical Biology. Blackwell scientific Publication Ltd. Oxford. Ewuise, J.Y. 1980. Elements of tropical Ecology. Heineman Educational Books, Inc. New Hampshire. Ernst-Schulze, E. Beck and Muller. 2005. Plant Ecology. Germany. Springer Heddy, S., S. B Soemitro, dan S. Soekartomo. 1986. Pengantar Ekologi. Rajawali. Jakarta Indriyanto. 2010. Ekologi Hutan. Jakarta. Bumi Aksara Kimmins, J.P. 1987. Forest Ecology. Macmillan Publising Company New York. Lansberg, J.J. and S.T. Grower. 1997. Application Physiological Ecology to Forest Management. Academic Press, Inc. California. Molles, MC. 2008. Ecology: concept and aplication. New York. Mc Graw Hill. Odum, Eugene P.1993. Dasar-Dasar Ekologi. UGM Press. Yogyakarta Rahardjanto, A. 2001. Ekologi Umum. UNM Press. Malang Ranta, E, P Lundberg and V Kaitala. 2006. Ecology of Populations. Cambridge. Cambridge University Press. Setiadi, Y. 1983. Pengertian Dasar Tentang Konsep Ekosistem. Fakultas kehutanan IPB. Bogor
144
Soemarwoto, O. 1983. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambanan. Jakarta Syafei, E. S. 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. ITB. Bandung Syamsurizal. 1999. Pengantar Ekologi Tumbuhan. UNP press. Padang Vickery, M.L. 1984. Ecology of Tropical Plants. John Wiley & Sons, Ltd. Toronto. Waring, R.H., W.H. Schleisinger. 1985. Forest Ecosystems Concept and Management. Academic Press, inc. London. Whelan, R.J. 1995. The Ecology of Fire Cambridge University Press. Great Britain. Whitemore, T.C. and C.P. Burnham. 1984. Tropical Rain Forest of The Far East. Oxford University Press. Walton Street, Oxford. Wolf, L dan S.J McNaughton. 1990. Ekologi Umum. UGM press. Yogyakarta Zahran, MA. 2009. Climate–Vegetation. New York. Springer
145