BAB III DASAR TEORI
Pembuatan sumur berarah pada prinsipnya sama dengan pembuatan sumur vertikal, namun dengan tambahan alat untuk memungkinkan pembuatan deviasi pada lubang. lubang. Laju Laju pengeboran pengeboran umumnya umumnya lebih lambat lambat karena kebanyakan alat yang yang digunakan dalam membuat deviasi lubang memiliki efisiensi yang lebih buruk bila dibandingkan dengan alat untuk pengeboran pengeboran vertikal. 3.1. Sumur Berarah KRX-13
Pada pembuatan sumur berarah terdapat kegiatan yang tidak berkaitan dengan pengeboran. Kegiatan-kegiatan Kegiatan-kegiat an t ersebut diantaranya adalah pengukuran inklinasi, orientasi, waktu sirkulasi untuk kegiatan keg iatan pembersihan lubang yang lebih lama, trip tambahan untuk berbagai macam peralatan pembuatan deviasi serta wakt u trip yang trip yang lebih lama karena drag dan torque yang torque yang besar. Pengukuran variabel bawah permukaan didapat dengan menggunakan alat bernama Measurement While Drilling (MWD). Alat ini merekam pulsa-pulsa lumpur yang kemudian diterjemahkan oleh receiver di di permukaan (menjadi angka). Terdapat beberapa jenis sumur berarah yang umum dijumpai yaitu: 1. Slant-hole
Lubang ini biasanya dibuat pada sumur dangkal. Lubang ini dibuat dengan slant hole rig . 2. Ki ckoff and hold a constant constant angle
Pada lubang jenis ini, deviasi lubang dimulai pada titik awal pembelokan lubang (kickoff (kickoff point ) dengan sudut yang telah ditentukan. Besar sudut ini dijaga tetap konstan hingga kedalaman akhir dari lubang. 3. S-shaped S-shaped hol e
Lubang jenis ini memiliki dua deviasi. Deviasi perta ma adalah pada saat kick-
9
10
-off point hingga kedalaman tertentu, kemudian sumur dikembalikan pada jalur vertikal hingga kedalaman akhir lubang. Sumur KRX-13 termasuk dalam jenis S-shaped hole. hole . 3.2. Lumpur Pemboran
Operasi pemboran memiliki tujuan menghasilkan sumur yang sesuai dengan perencanaan, baik untuk eksplorasi, deliniasi, maupun pengembangan. Kegiatan operasi ini perlu ditunjang d itunjang dengan lumpur pemboran, pemboran, sehingga tujuan tu juan operasi dapat dicapai. Peranan lumpur pemboran, sebagai salah satu faktor penunjang, sangat menentukan dalam operasi pemboran. Salah satu contohnya yang merupakan pekerjaan rutin dalam operasi pemboran yaitu yaitu melakukan kontrol terhadap sifat fisik lumpur pemboran untuk memperkecil kemungkinan terjadinya hole problem. problem. Komposisi dari lumpur pemboran akan menentukan sifat-sifat serta karakteristik dari lumpur itu sendiri. Sistim pengontrolannya harus dikoreksi terhadap formasi selama operasi pemboran pe mboran berlangsung, hal ini dimaksudkan agar lumpur pemboran bekerja sesuai dengan harapan. Tanggungjawab ini diemban oleh mud engineer bersama dengan drilling engineer . Serta perwakilan dari oil company yang bertugas memastikan prosedur prosedur yang dilakukan sudah tepat. Tugas utama seorang mud engineer adalah untuk menjamin fungsi dari lumpur pemboran yang digunakan berjalan dengan semestinya, menyesuaikan dengan karakter dari formasi yang ditembus. Mud engineer juga harus bisa memberikan rekomendasi untuk melakukan perubahan yang dirasa perlu agar tujuan operasi pemboran dapat tercapai dengan efektif dan efisien. 3.2.1. Fungsi Lumpur Pemboran
Pemilihan sistim lumpur berkenaan dengan sifat-sifat lumpur yang cocok dengan karakteristik dari formasi sehingga mampu untuk menunjang kegiatan operasi pemboran, dalam hal ini lumpur pemboran diharapkan dapat memenuhi fungsi-fungsi seperti: sebagai media pengangkatan cutting , mengontrol tekanan formasi, menahan dan melepaskan cutting , mengisolasi zona permeabel, mempertahankan
stabilitas
lubang,
meminimalkan
kerusakan
formasi,
10
-off point hingga kedalaman tertentu, kemudian sumur dikembalikan pada jalur vertikal hingga kedalaman akhir lubang. Sumur KRX-13 termasuk dalam jenis S-shaped hole. hole . 3.2. Lumpur Pemboran
Operasi pemboran memiliki tujuan menghasilkan sumur yang sesuai dengan perencanaan, baik untuk eksplorasi, deliniasi, maupun pengembangan. Kegiatan operasi ini perlu ditunjang d itunjang dengan lumpur pemboran, pemboran, sehingga tujuan tu juan operasi dapat dicapai. Peranan lumpur pemboran, sebagai salah satu faktor penunjang, sangat menentukan dalam operasi pemboran. Salah satu contohnya yang merupakan pekerjaan rutin dalam operasi pemboran yaitu yaitu melakukan kontrol terhadap sifat fisik lumpur pemboran untuk memperkecil kemungkinan terjadinya hole problem. problem. Komposisi dari lumpur pemboran akan menentukan sifat-sifat serta karakteristik dari lumpur itu sendiri. Sistim pengontrolannya harus dikoreksi terhadap formasi selama operasi pemboran pe mboran berlangsung, hal ini dimaksudkan agar lumpur pemboran bekerja sesuai dengan harapan. Tanggungjawab ini diemban oleh mud engineer bersama dengan drilling engineer . Serta perwakilan dari oil company yang bertugas memastikan prosedur prosedur yang dilakukan sudah tepat. Tugas utama seorang mud engineer adalah untuk menjamin fungsi dari lumpur pemboran yang digunakan berjalan dengan semestinya, menyesuaikan dengan karakter dari formasi yang ditembus. Mud engineer juga harus bisa memberikan rekomendasi untuk melakukan perubahan yang dirasa perlu agar tujuan operasi pemboran dapat tercapai dengan efektif dan efisien. 3.2.1. Fungsi Lumpur Pemboran
Pemilihan sistim lumpur berkenaan dengan sifat-sifat lumpur yang cocok dengan karakteristik dari formasi sehingga mampu untuk menunjang kegiatan operasi pemboran, dalam hal ini lumpur pemboran diharapkan dapat memenuhi fungsi-fungsi seperti: sebagai media pengangkatan cutting , mengontrol tekanan formasi, menahan dan melepaskan cutting , mengisolasi zona permeabel, mempertahankan
stabilitas
lubang,
meminimalkan
kerusakan
formasi,
11
mendinginkan, melumasi, dan menahan rangkaian serta bit , meneruskan energi hidrolika pada bit , memberikan kualitas yang cukup untuk evaluasi formasi, mengontrol korosi dan membantu proses penyemenan serta ko mplesi. mplesi. 1. Sebagai Media Pengangkatan Cutting
Salah satu fungsi utama dari lumpur pemboran adalah mengangkat cutting dari dasar lubang ke permukaan. Cutting yang dihasilkan dari proses pengeboran harus segera dikeluarkan dari dalam sumur. Hal ini dilakukan dengan mensirkulasikan lumpur pemboran melalui drillstring lalu keluar melalui nozzle bit (lubang yang ada diantara mata bor) dan kemudian ke mudian mengalir mengalir ke permukaan per mukaan melalui annulus. annulus. Pengangkatan cutting atau yang biasa disebut kegiatan pembersihan lubang (hole ( hole cleaning ) dipengaruhi oleh beberapa hal seperti ukuran, bentuk serta densitas cutting bersama dengan besar dari rate of penetration (ROP), juga dipengaruhi oleh besar putaran dari drillstring (RPM), dan besar viskositas, densitas serta kecepatan anular lumpur pemboran. pemboran. Viskositas adalah tahanan fluida terhadap aliran. Viskositas merupakan sifat fisik yang mengontrol besarnya shear besarnya shear stress akibat stress akibat adanya pergeseran antar lapisan fluida. Viskositas dapat pula didefinisikan sebagai perbandingan antara shear antara shear stress (tekanan penggeser) dan shear dan shear rate (laju penggeseran). Viskositas
lumpur
pemboran
dapat
dihitung
secara
cepat
dengan
menggunakan marsh funnel . Pengukuran lebih tepat di laboratorium menggunakan alat viskometer. Alat yang biasa digunakan adalah Fann VG meter. Alat meter. Alat ini dapat digunakan untuk mengukur plastic viscosity viscosity (PV) dan yield point (YP). Plastic Viscosity Viscosity adalah tahanan terhadap aliran fluida yang disebabkan oleh gesekan antara benda padat di dalam lumpur. Yield Point adalah tahanan terhadap aliran yang disebabkan oleh gaya tarik-menarik antara partikel dalam lumpur. Viskositas dan karakteristik rheologi dari lumpur pemboran memiliki pengaruh yang penting dalam kegiatan hole cleaning . Pada lumpur pemboran berviskositas-rendah cutting akan cepat mengendap sehingga sulit untuk disirkulasikan ke permukaan. Umumnya, lumpur pemboran berviskositas-tinggi memiliki kemampuan lebih baik dalam mengangkat cutting . Kebanyakan dari
12
lumpur pemboran bersifat thixotropi, yang berarti lumpur pemboran akan membentuk gel dalam kondisi statis. Karakteristik ini meyebabkan lumpur pemboran dapat dapat menahan cutting , seperti ketika sedang melakukan penyambungan pipa dan situasi situasi lain dimana lumpur lumpur tidak disirkulasikan. Lumpur Lumpur pemboran dengan shear rate rendah serta viskositas tinggi t inggi pada pada kondisi aliran laminar, telah terbukti memiliki efisiensi yang paling baik dalam kegiatan hole cleaning . Umumnya kecepatan anular yang semakin besar akan meningkatkan proses pengangkatan cutting . Penggunaan lumpur pemboran yang lebih encer untuk mendapatkan kecepatan anular yang semakin besar dapat menyebabkan terbentuknya aliran turbulen, yang dapat membantu pembersihan lubang namun juga memiliki potensi timbulnya masalah pemboran. Kecepatan dimana cutting mulai mengendap disebut slip disebut slip velocity velocity.. Kecepatan slip Kecepatan slip dari cutting dipengaruhi oleh densitas, ukuran serta bentuk, dan viskositas cutting , juga oleh densitas serta kecepatan lumpur pemboran. Jika kecepatan anular dari lumpur pemboran lebih besar dari dar i kecepatan slip kecepatan slip dari dari cutting , maka cutting akan terangkat ke permukaan. Kecepatan yang bekerja ketika cutting bergerak di annulus adalah transport velocity. velocity. Pada sumur vertikal kecepatan transport sama dengan kecepatan anular dikurangi kecepatan slip kecepatan slip.. Pengangkatan cutting pada cutting pada sumur berarah dan horizontal horizontal lebih kompleks dari pada sumur vertikal. Definisi kecepatan transport pada pada sumur vertikal tidak relevan untuk dipakai pada sumur berarah, karena cutting akan mengendap pada sisi yang lebih rendah, dalam hal ini adalah sisi ketika sumur berbelok bukan dasar sumur sehingga prosesnya menjadi lebih cepat bila dibandingkan dengan pengendapan cutting pada sumur vertikal. Pada sumur horizontal, cutting akan terakumulasi pada bagian bawah dari lubang horizontal, membentuk cutting bed . Terbentuknya cutting bed dapat menghambat aliran, meningkatkan torsi dan sulit untuk ditangani. Terdapat dua pendekatan berbeda yang dapat digunakan untuk kegiatan hole cleaning pada cleaning pada sumur sumur berarah dan sumur horizontal: a. Penggunaan lumpur pemboran bersifat thixotropi dengan low-shearrate highviscosity atau viscosity atau high LSRV pada kondisi aliran laminar. Sistim lumpur pemboran
13
dengan viskositas yang tinggi dan kecepatan anular yang relatif datar (kondisi laminar) dapat membersihkan sebagian besar bagian pada sisi miring sumur. Pendekatan ini cenderung menahan cutting pada alur laju lumpur pemboran dan mencegah cutting untuk mengendap. b. Penggunaan lumpur pemboran yang encer dengan kecepatan alir yang tinggi untuk menstimulasi terbentuknya aliran turbulen. Aliran t urbulen akan memberi kemampuan pembersihan lubang yang baik serta mencegah cutting mengendap ketika sirkulasi, namun cutting akan mengendap dengan cepat ketika sirkulasi terhenti. Pendekatan ini bekerja dengan menjaga cutting tertahan dengan aliran turbulen dan kecepatan anular yang tinggi. Cara ini bekerja sangat baik pada lumpur pemboran dengan densitas rendah dan tanpa aditif pemberat (cocok untuk formasi yang kompak). Efektivitas dari cara ini menjadi terbatas oleh beberapa faktor yaitu: ukuran lubang yang besar, kapasitas pompa yang kecil, extended reach, kecilnya integritas sumur, dan penggunaan mud motor serta peralatan bawah permukaan yang membatasi laju alir. Densitas adalah perbandingan berat suatu zat dengan volume zat tersebut. Densitas lumpur pemboran merupakan variabel penting dalam sistim lumpur pemboran. Variabel ini dinyatakan dalam satuan pound per gallon (ppg), specific gravity (SG), atau pound per cubic feet (lb/ft3). Lumpur pemboran berdensitas tinggi membantu kegiatan hole cleaning dengan meningkatkan gaya buoyancy yang bekerja pada cutting , sehingga cutting dapat terangkat ke permukaan. Dibandingkan dengan lumpur pemboran berdensitas rendah, lumpur pemboran berdensitas tinggi dapat membersihkan lubang walaupun dengan kecepatan anular yang rendah dan karakteristik rheologi yang juga rendah. Namun, bila berat lumpur pemboran melebihi batas yang dibutuhkan untuk mengimbangi tekanan formasi, maka akan muncul efek negatif terhadap operasi pemboran, salah satunya adalah terjadinya lost circulation. Sehingga penambahan berat untuk kegiatan hole cleaning perlu dibatasi oleh tujuan utama operasi pemboran, dalam hal ini keamanan operasi. Pengontrolan densitas lumpur dapat dilakukan dengan menambahkan zat-zat aditif, yang bersifat menaikkan maupun menurunkan densitas lumpur. Densitas dari
14
lumpur pemboran dapat dihitung dengan menggunakan alat mud balance. Kecepatan putaran yang semakin besar dapat membantu kegiatan hole cleaning dengan memberikan komponen (arah) melingkar pada jalur laju anular. Aliran helical (berbentuk spiral) disekitar drillstring menyebabkan cutting yang berada dekat dengan sisi dari lubang, tempat dimana kondisi pembersihan lubang buruk, bergerak ke dalam jalur laju anular. Ketika memungkinkan putaran drillstring merupakan metode terbaik untuk memindahkan cutting bed pada sumur berarah dan sumur horizontal.
Gambar 3.1. 1 M ud Balance
2. Menahan Tekanan Formasi
Fungsi mendasar dari lumpur pemboran adalah untuk mengontrol tekanan formasi sehingga operasi pemboran dapat berjalan dengan aman. Umumnya, ketika tekanan formasi meningkat, densitas lumpur pemboran ditingkatkan dengan menambahkan aditif penambahan berat (contohnya
barite) untuk dapat
mengimbangi tekanan serta mempertahankan stabilitas lubang. Penambahan ini menghalangi fluida formasi untuk mengalir ke dalam lubang sehingga dapat mencegah kemungkinan terjadinya kick . Tekanan yang dihasilkan oleh kolom lumpur pemboran ketika dalam keadaan statis (tidak bersirkulasi) disebut tekanan hidrostatis. Besar tekanan hidrostatis ditentukan beberapa variabel seperti densitas 1
Department of Petroleum Engineering of Heriot-Watt University, Drilling Fluid , Drilling Engineering Handbook, Institute of Petroleum Engineering of Heriot-Watt University, hal 10
15
lumpur pemboran dan true vertical depth (TVD) dari sumur. Besar tekanan hidrostatis ditunjukkan dalam persamaan: Ph
0, 052 m TVD ..................................................................... (3-1)
Keterangan : Ph
= Tekanan hidrostatis kolom lumpur, psi
m
= Densitas lumpur, ppg
TVD = Kedalaman vertikal sumur, ft Jika tekanan hidrostatis dari kolom lumpur pemboran sama dengan atau lebih besar dari tekanan formasi, fluida formasi tidak akan mengalir ke da lam lubang. Menjaga untuk tetap dapat mengendalikan keadaan lubang sama dengan menjaga agar tidak ada fluida formasi yang mengalir ke dalam lubang. Tetapi pengendalian tersebut juga termasuk kondisi dimana fluida formasi diperbolehkan untuk mengalir ke dalam lubang, tentunya dengan kondisi yang tertentu dan terkontrol. Kondisi seperti ini beragam untuk tiap kasus, dari kasus dimana background gas yang tinggi dapat ditolerir ketika pengeboran hingga kasus dimana sumur telah berproduksi secara komersil untuk minyak dan juga gas ketika dilakukan pengeboran. Well control (pengendalian sumur) atau presssure control (pengendalian tekanan) memiliki arti tidak ada aliran fluida formasi yang tidak diduga atau tidak terkontrol atau tidak terkondisi yang mengalir ke dalam lubang. Tekanan hidrostatis juga berfungsi untuk menahan tekanan disekitar lubang selain dari tekanan yang dihasilkan fluida formasi. Pada wilayah gunung api aktif, gaya tektonik membebankan tekanan pada formasi sehingga dapat membuat lubang menjadi tidak stabil bahkan ketika tekanan dari fluida formasi dapat ditahan. Lubang pada formasi dengan tipe tectonically stressed formation dapat dikontrol dengan menyeimbangkan tekanan ini dengan tekanan hidrostatis. Begitu juga pada lubang untuk sumur berarah dan sumur horizontal, kondisi ini dapat menyebabkan berkurangnya stabilitas lubang, dan sama seperti pada lubang untuk sumur vertikal kondisi ini juga dapat dikontrol dengan tekanan hidrostatis. Tekanan normal dari formasi beragam mulai dari formasi dengan pressure gradient sebesar 0,433 psi/ft (equivalen dengan 8,33 lb/gal air murni) pada area daratan hingga formasi dengan pressure gradient sebesar 0,465 psi/ft (equivalen
16
dengan 8,95 lb/gal) pada cekungan marin. Elevasi, lokasi dan beragam kondisi geologi dapat menciptakan keadaan dimana tekanan formasi menyimpang sangat jauh dari keadaan normal (baik lebih besar maupun lebih kecil). Pada keadaan seperti ini densitas lumpur pemboran yang digunakan dapat berkisar antara penggunaan udara (tanpa memperhitungkan memperhitungkan berat berat atau sebesar sebesar 0 psi/ft) hingga hingga lebih dari 20 lb/gal (1,04 psi/ft). Sering dijumpai pada formasi dengan tekanan sub-normal, pengeboran dilakukan dengan menggunakan udara, gas, mist , stiff foam, foam, aerated mud atau lumpur pemboran dengan densitas sangat rendah (biasanya oil-base mud ). ). Berat lumpur pemboran yang digunakan dalam pengeboran dibatasi oleh berat minimal yang dibutuhkan agar dapat menahan tekanan formasi dan oleh berat maksimal agar lumpur pemboran tidak merusak formasi. Pada praktiknya, prakt iknya, berat lumpur pemboran dibatasi oleh nilai minimal yang dibutuhkan untuk kegiatan well control dan menjaga stabilitas lubang bor. 3. Menahan Cutting
Lumpur pemboran harus dapat menahan cutting , dengan tambahan material pemberat juga aditif lainnya dalam kondisi yang dinamis, namun juga memungkinkan agar cutting dapat dipisahkan pada solid-control equipment . Cutting yang mengendap dalam kondisi statis dapat menyebabkan terjadinya bridges and fill , yang dapat sewaktu-waktu mengakibatkan stuck pipe (terjepitnya pipa) atau lost circulation (hilang sirkulasi). Material pemberat yang dapat mengendap dikenal sebagai sag , kondisi ini dapat menyebabkan perbedaan nilai densitas pada kolom fluida. Sag terjadi, paling sering, pada kondisi dinamis di sumur berarah, dimana lumpur pemboran disirkulasikan dengan kecepatan anular yang rendah. Cutting dengan konsentrasi padatan tinggi bersifat merusak untuk hampir semua aspek operasi pemboran, yaitu efisiensi pengeboran dan ROP. Kondisi tersebut dapat meningkatkan berat dan viskositas lumpur pemboran, yang secara langsung meningkatkan biaya perawatan dan kebutuhan untuk kegiatan pengenceran (dilution). dilution). Kondisi ini juga meningkatkan horsepower yang
17
dibutuhkan untuk melakukan sirkulasi, ketebalan filter cake, cake, torsi serta drag , dan juga kemungkinan terjadinya terjadinya differential sticking . Sifat lumpur pemboran yang berkaitan dengan fungsinya dalam menahan cutting harus seimbang dengan sifat yang memungkinkan memungkinkan untuk melepasan cutting tersebut
pada solid-control
equipment .
Fungsi
untuk
menahan
cutting
membutuhkan nilai viskositas besar dengan sifat-sifat dari fluida thixotropik, sedangkan solid-control sedangkan solid-control equipment umumnya bekerja lebih efisien dengan fluida berviskositas kecil. Solid-control equipment tidak bekerja efektif pada lumpur pemboran yang memiliki konten padatan yang besar dan nilai viskositas plastis yang juga besar. Untuk solid Untuk solid control yang efektif, cutting harus dapat dilepaskan dari lumpur pemboran pada sirkulasi pertama dari dalam sumur. Bila cutting disirkulasikan kembali, cutting akan terpecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil sehingga lebih sulit untuk ditangani. Cara yang mudah untuk mengetahui apakah cutting telah terlepas pada solid-control equipment atau belum adalah dengan membandingkan konten pasir dari lumpur pemboran pada flow line dengan yang berada pada suction pada suction pit . 4. Mengisolasi Zona Permeabel
Permeabilitas mengacu pada kemampuan fluida untuk mengalir melalui formasi berpori; formasi harus permeabel agar hidrokarbon dapat diproduksi. Ketika tekanan dari kolom lumpur pemboran lebih besar dari tekanan formasi, filtrat lumpur akan menginvasi formasi, dan filter dan filter cake yang berupa fasa padat dari lumpur pemboran akan terdeposit pada dinding lubang. Sistim fluida pemboran perlu didesain didesain untuk menghasilkan menghasilkan filter filter cake, cake, yang tipis dengan nilai permeabilitas kecil, pada formasi untuk membatasi invasi dari filtrat lumpur pemboran. Hal ini dapat meningkatkan stabilitas lubang dan mencegah masalah pemboran juga produksi. Potensi masalah yang dapat muncul berkaitan dengan filter cake yang tebal dan filtrasi yang berlebihan termasuk diantaranya kondisi lubang “ tight ” (lubang menjadi lebih kecil dari yang seharusnya), kualitas hasil logging yang
18
buruk, meningkatnya torsi dan drag , terjepitnya pipa, hilang sirkulasi, dan kerusakan formasi. Pada formasi berpermeabilitas tinggi dengan pore dengan pore throat yang besar, seluruh lumpur pemboran berpotensi untuk menginvasi formasi, tentu hal ini juga tergantung pada besar fasa padat dari lumpur pemboran. Pada situsai seperti ini, bridging agent harus digunakan untuk menutup pori sehingga fasa padat dari lumpur pemboran dapat membentuk sekat. Agar cara ini efektif bridging agent harus berukuran sekitar 1 1/2 (satu setengah) dari pori terbesar. Contoh bridging agent yang dapat digunakan yaitu kalsium karbonat, selulosa dan beragam lostcirculation material . Berdasarkan sistim fluida pemboran yang digunakan, beberapa jenis aditif ad itif dapat meningkatkan kualitas kualitas filter filter cake, cake, sehingga membatasi terjadinya filtrasi. Aditif tersebut antara lain bentonite, bentonite, polimer (natural maupun sintetis), asphalt dan gilsonite dan gilsonite,, serta aditif deflokulasi organik. 5. Mempertahankan Mempertahankan Stabilitas Lubang
Stabilitas lubang merupakan kesetimbangan yang kompleks antara faktor mekanik dan kimia. Komposisi kimia dan sifat lain dari lumpur pemboran harus dapat dikombinasikan untuk menunjang lubang yang stabil hingga saat dimana casing dapat dipasang dan disemen. Tanpa mempedulikan komposisi kima juga faktor-faktor lain dari lumpur pemboran, berat dari lumpur harus berada dalam kisaran yang dibutuhkan untuk dapat menyeimbangkan menyeimbangkan gaya mekanis yang bekerja pada lubang. lubang. Ketidakstabilan lubang seringkali diidentifikasi dengan adanya sloughing , yang menyebabkan penyempitan pada lubang juga bridges and fill pada fill pada waktu trip. trip. Hal ini menunjukkan perlunya untuk melakukan ream pada ream pada kedalaman tersebut. Stabilitas lubang dikatakan sempurna ketika lubang yang terbentuk memiliki besar sesuai dengan de ngan perencanaan baik ukuran maupun bentuk silindrisnya. Segera setelah lubang terkikis atau membesar dengan cara apa pun, lubang menjadi rentan dan semakin sulit untuk distabilkan kembali. Pembesaran lubang merupakan sumber dari berbagai macam masalah seperti kecepatan anular yang rendah, buruknya pembersihan lubang, lubang, meningkatnya meningkatnya muatan muatan padatan, meningkatnya meningkatnya biaya
19
perawatan, buruknya buruknya evaluasi formasi, biaya semen yang lebih besar dan hasil semen yang buruk. Pembesaran
lubang
ketika
menembus
formasi
batupasir
umumnya
disebabkan oleh faktor mekanis, seperti erosi yang paling sering terjadi dan disebabkan oleh gaya-gaya hidrolik dan kecepatan nozzle bit yang terlalu besar. Pembesaran lubang lubang ketika menembus formasi formasi batupasir dapat dikurangi dikurangi secara signifikan dengan menggunakan program hidrolika konservatif, terutama yang berhubungan dengan impact force dan nozzle velocity. velocity. Batupasir memiliki konsolidasi yang buruk serta merupakan batuan yang rentan. Formasi seperti ini memerlukan overbalance yang kecil dan filter cake yang berkualitas baik, yang mengandung bentonite, untuk bentonite, untuk membatasi pembesaran lubang. Pada formasi batuan shale batuan shale,, jika berat lumpur pemboran cukup untuk menahan menahan tekanan formasi, lubang biasanya stabil, pada awalnya. Pada penggunakan waterbase mud , perbedaan unsur kimia akan menyebabkan terjadinya reaksi antara lumpur pemboran dengan batuan shale, shale, hal ini dapat menyebabkan terjadinya swelling ataupun softening . Kondisi tersebut dapat menyebabkan masalah baru lainnya seperti sloughing seperti sloughing dan tight hole. hole. Berbagai macam inhibitor kimiawi atau aditif dapat ditambahkan untuk membantu dalam mengontrol interaksi antara lumpur pemboran dengan batuan shale. shale. Sistim dengan kandungan kalsium yang tinggi, juga potasium serta inhibitor inhibitor kimiawi lainnya sangat tepat untuk digunakan pada formasi yang water-sensitive. water-sensitive. Garam, polimer, mater material ial asphalt , glikol, minyak surfaktan dan inhibitor shale inhibitor shale lain perlu digunakan pada lumpur pemboran dengan jenis water-base mud , untuk menghambat shale swelling serta mencegah sloughing . Batuan shale memiliki beragam jenis komposisi dan sensitivitas, hal ini menyebabkan menyebabkan tidak ada aditif khusus yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam penanganan shale shale secara universal. Oil-base mud atau synthetic-base mud sering digunakan untuk pengeboran formasi batuan shale yang sensitive terhadap air. Lumpur jenis ini memberikan fungsi inhibitor shale inhibitor shale yang lebih baik daripada lumpur jenis water-base mud . Batu lempung dan batuan shale tidak menghidrasi atau mengembang pada fasa yang
20
berkelanjutan dengan menggunkan lumpur jenis ini. Pada lumpur jenis ini juga terdapat tambahan inhibitor yang dihasilkan oleh fasa emulsified brine (biasanya kalsium klorida) dari lumpur jenis ini. Emulsified brine mengurangi aktifitas air dan menciptakan gaya osmosis yang mencegah adsor psi air oleh batuan shale. 6. Meminimalkan Kerusakan Formasi
Melindungi reservoir dari kerusakan yang dapat mempengaruhi tahapan produksi adalah salah satu fungsi penting dari lumpur pemboran. Berkurangnya nilai porositas dan permeabilitas dari formasi produktif dianggap sebagai kerusakan formasi. Hal ini dapat terjadi sebagai hasil dari plugging oleh lumpur pemboran (baik fasa padat maupun kimia) dan interaksi mekanis dengan formasi (oleh rangkaian pipa). Seringkali kerusakan formasi dilaporkan sebagai nilai skin damage atau jumlah kehilangan tekanan yang terjadi ketika sumur berproduksi ( drawdown pressure). Jenis prosedur dan metode dari komplesi akan menentukan sejauh mana pengamanan formasi diperlukan. Sebagai contoh, ketika sumur telah di-casing , juga disemen dan diperforasi, kedalaman perforasi biasanya ditetapkan berdasarkan produksi yang paling efisien, walaupun terdapat kerusakan pada kedalaman tersebut. Sebaliknya, ketika sumur horizontal dikomplesi dengan metode openhole, fluida komplesi yang khusus didesain untuk meminimalkan kerusakan formasi dibutuhkan pada tahap ini. Sangat jarang efek kerusakan formasi yang diakibatkan lumpur pemboran berakibat hingga minyak dan/atau gas tidak dapat diproduksi, namun perlu ada beberapa pertimbangan yang digunakan terhadap potensi terjadinya kerusakan tersebut, khususnya ketika memilih jenis lumpur pemboran untuk interval formasi produktif. Beberapa mekanisme umum yang menyebabkan kerusakan formasi adalah: a. Lumpur pemboran atau fasa padat lumpur menginvasi matriks batuan dari formasi, sehingga menutup pori. b. Terjadinya swelling pada formasi batu lempung, sehingga mengurangi nilai permeabilitas formasi.
21
c. Presipitasi dalam bentuk padatan sebagai hasil dari filtrat lumpur pemboran dengan fluida formasi yang tidak saling cocok. d. Presipitasi dalam bentuk padatan hasil dari filtrat lumpur pemboran dengan fluida lain, seperti brine (air asin) atau asam, selama proses komplesi atau stimulasi. e. Filtrat lumpur pemboran dan fluida formasi membentuk emulsi, sehingga mengurangi nilai permeabilitas. Kemungkinan terjadinya kerusakan formasi dapat ditentukan dari data offset well serta penelitian tentang inti batuan dari formasi terkait return permeability. Lumpur pemboran didesain untuk mengurangi masalah seperti kerusakan formasi, lumpur dengan desain khusus (reservoir drill-in fluid ) atau workover dan juga fluida komplesi, semua itu dapat dimanfaatkan untuk mengurangi kerusakan formasi. 7. Mendinginkan, Melumasi, dan Menahan Rangkaian Serta Bi t
Gesekan pada rangkaian menghasilkan panas yang cukup besar, gesekan ini terjadi secara mekanis antara rangkaian dengan casing ataupun dinding lubang. Selain itu panas juga dihasilkan oleh gaya hidrolika yang bekerja pada bit . Sirkulasi dari lumpur pemboran mendinginkan bit serta rangkaian, memindahkan panas dari sumber gesekan, lalu mengalirkan panas tersebut keluar dari lubang (menuju permukaan). Sirkulasi lumpur pemboran membuat rangkaian memiliki suhu dibawah suhu bottom-hole. Selain mendinginkan, lumpur pemboran juga melumas i rangkaian, yang juga mengurangi panas hasil dari gesekan. Bit , mud motor , dan komponen-komponen drillstring akan cepat rusak tanpa fungsi lumpur pemboran untuk mendinginkan serta melumasi. Kemampuan untuk melumasi dari suatu fluida dapat dihitung dengan nilai dari coefficient of friction fluida tersebut. Berdasarkan nilai ini beberapa jenis lumpur pemboran melakukan fungsinya sebagai pelumas lebih baik dari jenis lain. Contohnya oil-base mud dan synthetic-base mud melumasi lebih baik dari hampir semua jenis water-base mud , namun aditif pelumas (lubricant ) dapat ditambahkan ke dalam lumpur jenis ini untuk memperbaiki fungsinya dalam melumasi. Contoh
22
lain adalah bahwa water-base mud memberikan kemampuan untuk melumasi lebih baik dari pada lumpur berbahan dasar udara ataupun gas. Jumlah pelumasan yang diberikan oleh lumpur pemboran beragam dan tergantung pada jenis serta jumlah dari fasa padat juga dipengaruhi material pemberat yang dicampurkan, selain itu juga dipengaruhi oleh komposisi kimia dari sistim (besar pH, salinitas, dan kekerasan batuan). Mengubah kemampuan pelumasan dari lumpur bukanlah ilmu pasti. Bahkan setelah evaluasi yang menyeluruh, dengan memperhitungkan berbagai faktor yang relevan, penerapan penggunaan pelumas masih mungkin menemui kegagalan dengan tidak mengurangi besar torsi dan drag seperti yang telah diantisipasi. Indikasi dari pelumasan yang buruk adalah besarnya torsi dan drag , tingkat keausan yang tidak wajar, dan suhu panas pada komponen-komponen drillstring . Tetapi indikasi-indikasi ini juga dapat disebabkan oleh hal lain seperti dogleg yang parah serta masalah pada pemboran berarah, bit balling , key seating , buruknya pembersihan lubang dan desain rangkaian yang keliru. Fungsi sebagai pelumas mungkin dapat mengurangi gejala-gejala dari masalah-masalah tersebut, namun penyebab aktual dari masalah-masalah ini tetap harus segera diatasi. Lumpur pemboran menahan sebagian dari berat drillstring atau casing melalui gaya buoyancy. Jika drillstring , liner atau casing berada di dalam kolom lumpur pemboran, rangkaian tersebut terapung oleh gaya yang sama dengan berat lumpur pemboran yang berpindah, sehingga mengurangi beban hook di permukaan. Buoyancy berkaitan langsung dengan berat lumpur pemboran, jadi fluida dengan berat 18 lb/gal akan menghasilkan dua kali buoyancy dari fluida dengan berat 9 lb/gal. Beban yang dapat ditahan oleh rig dibatasi oleh kapasitas mekanik yang dimiliki rig tersebut, hal ini penting untuk dijadikan pertimbangan ketika akan menambah kedalaman, karena dengan bertambahnya kedalaman beban drillstring dan casing juga akan bertambah. Kebanyakan rig memiliki kapasitas yang cukup untuk menahan beban drillstring tanpa bantuan buoyancy, tapi hal ini tet ap menjadi bahan pertimbangan yang penting ketika mengevaluasi titik netral (titik pada drillstring dimana tidak ada efek tension maupun compression). Namun demikian,
23
ketika menggunakan rangkaian yang panjang dan berat, buoyancy dapat digunakan untuk menghasilkan manfaat yang menguntungkan. Dengan menggunakan buoyancy, dimungkinkan untuk menggunakan rangkaian yang memiliki beban melebihi kapasitas beban hook . Jika casing tidak terisi penuh oleh lumpur ketika diturunkan ke dalam lubang, ruang kosong di dalam caasing akan memperbesar buoyancy, sehingga menghasilkan penurunan beban yang signifikan pada hook di permukaan. Proses ini disebut floating-in the casing . 8. Meneruskan Energi Hidrolika Pada Bi t
Energi hidrolika dapat digunakan untuk memaksimalkan ROP dengan meningkatkan pengangkatan cutting pada bit . Energi hidrolika juga menghasilkan tenaga bagi mud motor untuk memutar bit juga untuk peralatan Measurement While Drilling (MWD) dan Logging While Drilling (LWD). Pembuatan program hidrolika didasari pada pemilihan ukuran nozzle bit yang tepat dengan memanfaatkan horsepower dari pompa untuk menghasilkan penurunan tekanan maksimal pada bit atau untuk mengoptimasi jet impact force pada dasar lubang. Program hidrolika dibatasi oleh horsepower pompa yang tersedia, tekanan yang hilang pada drillstring , tekanan maksimal yang diperbolehkan di permukaan dan laju alir optimal. Ukuran nozzle dipilih untuk memanfaatkan tekanan yang tersedia pada bit untuk memaksimalkan efek dari impact lumpur pemboran pada dasar lubang. Hal ini dapat membantu proses pengangkatan cutting dari bagian bawah bit dan menjaga struktur cutting tetap bersih. Kehilangan tekanan pada drillstring lebih besar pada fluida dengan nilai densitas, viskositas plastis dan jumlah fasa padat yang lebih besar. Penggunaan pipa atau tool joint , mud motor , peralatan MWD/LWD dengan diameter dalam (inside diameter /ID) yang lebih kecil, semua itu menurunkan besar dari tekanan yang tersedia pada bit . Lumpur pemboran yang encer dengan fasa padat yang rendah atau yang memliliki karakteristik untuk menurunkan besar drag , seperti polimer, lebih efisien dalam meneruskan energi hidrolika pada peralatan bawah permukaan dan bit . Pada sumur-sumur dangkal, horsepower hidrolika biasanya cukup untuk membersihkan bit dengan efisien. Karena kehilangan tekanan pada drillstring
24
meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman, hingga kedalaman dimana tekanan tidak memadai untuk pembersihan yang optimal. Kondisi ini dapat diatasi dengan secara hati-hati mengontrol sifat lumpur pemboran. 9. Memberikan Kualitas yang Cukup untuk Evaluasi Formasi
Evaluasi formasi yang akurat penting untuk kesuksesan operasi pemboran, khususnya pada pemboran eksplorasi. Sifat kimia dan fisik dari lumpur pemboran mempengaruhi kualitas dari evaluasi formasi. Sifat kimia dan fisik dari formasi setelah pengeboran juga mempengaruhi hal tersebut. Selama pengeboran, sirkulasi lumpur pemboran dan cutting diamati untuk melihat tanda-tanda keberadaan kandungan minyak dan gas, yang dilakukan oleh mud logger . Mereka memeriksa komposisi mineral, paleontologi dan tanda-tanda visual keberadaan hidrokarbon pada cutting . Informasi ini direkam pada mud log yang menunjukkan litologi, ROP, deteksi gas dan kandungan minyak pada cutting ditambah parameter-parameter geologi dan pemboran lainnya. Electric wireline logging dilakukan untuk mengevaluasi formasi untuk mendapatkan tambahan informasi. Sidewall core juga dapat dilakukan dengan menggunakan wireline conveyed tool . Wireline logging meliputi pengukuran sifatsifat elektrik, sonik, radioaktif dan resonansi-magnetik dari formasi untuk mengidentifikasi litologi dan fluida formasi. Untuk logging yang berkelanjutan selama pengeboran sumur, dapat menggunakan peralatan LWD. Pengambilan sampel coring untuk dievaluasi di laboratorium juga dilakukan pada zona produksi untuk mendapatkan informasi yang diinginkan. Zona produktif yang potensial diisolasi dan dievaluasi dengan melakukan formation test (FT) atau drillstem test (DST) untuk mendapatkan sampel tekanan dan fluida. Semua metode evaluasi formasi ini dipengaruhi oleh lumpur pemboran. Sebagai contoh, jika cutting ter-dispersi di dalam lumpur, maka tidak ada yang bisa diamati oleh mud logger dipermukaan. Atau, jika pengangkatan cutting buruk, maka akan sulit bagi mud logger untuk menentukan kedalaman asal cutting tersebut. Aditif-aditif yang digunakan seperti minyak, pelumas dan asphalt akan menutupi indikasi-indikasi keberadaan hidrokarbon pada cutting . Log listrik
25
tertentu hanya bekerja dengan baik pada fluida konduktif, sedangkan log lainnya bekerja lebih baik pada fluida non-konduktif. Sifat-sifat lumpur pemboran akan mempengaruhi pengukuran sifat-sifat batuan dengan peralatan wireline elektrik. Filtrat lumpur pemboran yang berlebihan dapat mendorong minyak dan gas dari area di sekitar lubang, hal ini akan memberi pengaruh yang buruk bagi kualitas log dan sampel-sampel FT atau DST. Lumpur pemboran yang mengandung kadar ion potasium yang tinggi akan mengubah nilai radioaktivitas asli formasi sehingga hasil dari logging akan tidak sesuai dengan keadaan aktual. Salinitas yang tinggi dari filtrat lumpur akan membuat log elektrik menjadi sulit atau bahkan mustahil untuk diinterpretasikan. Peralatan wireline logging harus dijalankan dari permukaan hingga dasar lubang, pengukuran aktual dari sifat batuan dilakukan ketika peralatan ditarik ke permukaan. Untuk wireline logging yang optimal, lumpur pemboran harus tidak terlalu kental, namun tetap menjaga kestabilan lubang dan mampu menahan cutting atau caving . Keadaan lubang harus neargauge (memiliki besar seragam) dari atas ke bawah, karena pembesaran lubang yang berlebihan disertai dengan filter cake yang tebal dapat menghasilkan hasil yang beragam pada logging dan meningkatkan kemungkinan terjepitnya peralatan logging . Lumpur pemboran yang digunakan pada saat coring dipilih berdasarkan jenis evaluasi yang akan dilakukan. Jika core yang akan diambil untuk keperluan litologi (analisa mineral), maka tidak ada batasan dari jenis lumpur yang akan digunakan. Jika core yang akan diambil untuk penelitian waterflood atau wettability, maka water-base mud yang bland (memiliki pH netral) tanpa surfaktan atau pengencer yang dibutuhkan. Jika core yang akan diambil untuk pengukuran saturasi air dari reservoir, maka oil-base mud yang bland dengan kandungan surfaktan minimal dan tanpa air atau garam yang sering direkomendasikan. Kebanyakan operasi coring secara spesifik memerlukan lumpur yang bland serta penggunaan aditif yang minimal. 10. Mengontrol Korosi
Komponen drillstring dan casing yang berhubungan dengan lumpur pembo-
26
-ran secara terus-menerus akan menjadi rentan terhadap berbagai macam jenis korosi. Gas yang terlepas (dissolved gas) seperti oksigen, karbon dioksida dan hidrogen sulfida dapat menyebabkan masalah korosi yang serius pada peralatan, baik di permukaan maupun di bawah permukaan. Umumnya nilai pH yang kecil dapat memperburuk (mempercepat waktu terjadinya) korosi. Oleh karena itu, sala h satu fungsi penting dari lumpur penmboran adalah untuk menjaga tingkat korosi pada level yang dapat diterima. Selain melindungi permukaan peralatan logam dari korosi, lumpur juga dibuat agar tidak merusak peralatan berbahan karet atau elastomer (polimer natural atau sintetis yang bersifat elast is). Dalam kondisi dimana lumpur pemboran dan/atau kondisi bawah permukaan memungkinkan, logam spesial dan elastomer baru dapat digunakan. Corrosion coupon (kartu diisi catatan yang berkaitan dengan korosi) perlu digunakan pada semua tahapan operasi pemboran untuk memonitor tipe dan laju korosi dari peralatan yang dipakai. Mud aeration, foaming dan kondisi penjebakan oksigen ( trapped-oxygen) lainnya dapat menyebabkan kerusakan korosi yang parah dalam waktu yang singkat. Inhibitor kimiawi dan scavenger (unsur yang bereaksi dengan molekul tertentu dan melepaskan molekul tersebut) dapat digunakan ketika terdapat potensi korosi yang besar. Inhibitor kimiawi harus digunakan secara tepat. Corrosion coupon harus dievaluasi secara berkala agar dapat menentukan apakah inhibitor kimiawi yang akan digunakan sudah tepat dan dengan jumlah yang cukup. Cara ini akan menjaga laju korosi pada level yang dapat diterima. Hidrogen sulfida dapat menyebabkan kerusakan drillstring dengan cepat. Zat ini juga berbahaya bagi manusia bila terekspos, walaupun dalam konsentrasi yang kecil. Ketika pengeboran menembus formasi yang mengandung zat ini, pH lumpur harus ditingkatkan juga dikombinasikan dengan bahan kimia yang bersifat sulfide scavenging seperti zinc. 11. Membantu Proses Penyemenan dan Komplesi
Lumpur pemboran harus menghasilkan lubang yang dapat dimasuki casing yang kemudian dapat disemen dengan efektif dan juga tidak menghambat operasi komplesi. Proses penyemenan penting untuk mengisolasi zona efektif dan
27
keberhasilan operasi komplesi. Selama penurunan casing , lumpur harus dalam keadaan bergerak dan perlu untuk meminimalkan terjadinya pressure surge, yang dapat menyebabkan fracture-induced lost circulation. Penurunan casing akan lebih lancar pada lubang yang tidak berisi cutting , caving , atau bridges. Lumpur yang digunakan harus memiliki filter cake yang tipis dan licin. Untuk menyemen casing dengan baik, lumpur harus diganti seluruhnya dengan spacer , sebelum kemudian semen dimasukkan. Penggantian lumpur yang efektif memerlukan lubang yang neargauge dan lumpur harus memiliki viskositas yang kecil dan juga gel strength non-progressive yang kecil. Operasi komplesi seperti perforasi dan gravel packing juga membutuhkan lubang yang neargauge dan juga dipengaruhi oleh karakteristik dari lumpur pemboran. Perencanaan dalam sistim lumpur pemboran perlu didasari atas ke mampuan dari lumpur untuk menghasilkan fungsi-fungsi esensial dan untuk meminimalisasi masalah yang mungkin terjadi. Proses pemilihan lumpur pemboran untuk operasi pemboran perlu dilakukan dengan dasar pengalaman yang luas, pengetahuan umum serta pertimbangan atas teknologi terbaik yang tersedia. Awalnya, pemilihan lumpur pemboran yang akan digunakan pada sist im yang ada didasari atas antisipasi dari masalah yang mungkin terjadi. Namun, pertimbangan lain dapat digunakan untuk membuat sistim yang berbeda. Faktor biaya, ketersediaan produk serta faktor lingkungan selalu menjadi bahan pertimbangan yang penting. Tetapi biasanya pengalaman dan pilihan perwakilan dari oil company-lah yang akan menjadi faktor paling menentukan. Banyak sumur yang berhasil diselesaikan, dibor dengan lumpur yang tidak dipilih hanya berdasarkan performance-nya saja. Keberhasilan ini merupakan hasil dari penerapan pengalaman dari mud engineer yang dapat mengadaptasi sistim lumpur pemboran agar mencapai kondisi unik yang dihadapi pada t iap sumur. Perubahan dalam sifat lumpur akan mempengaruhi fungsi tertentu dari lumpur tersebut. Walaupun mud engineer hanya mengganti satu atau dua sifat lumpur untuk mengatur salah satu fungsi dari lumpur, fungsi lain akan terpengaruh. Sifat lumpur harus dikenali dari pengaruh yang diberikannya untuk semua fungsi dan hubungannya untuk tiap fungsi. Sebagai contoh, tekanan formasi dikontrol
28
terutama oleh berat lumpur, tetapi pengaruh dari viskositas pada kehilangan tekanan anular dan equivalent circulating density (ECD) perlu dipertimbangkan untuk menghindari terjadinya lost circulation. Perencanaan lumpur pemboran hampir selalu memerlukan trade-off (berusaha mengimbangi dua kondisi yang ingin dicapai namun saling berlawanan) dalam perawatan dan mempertahankan sifat yang dibutuhkan untuk mendapatkan fungsi yang dibutuhkan. Lumpur dengan viskositas besar dapat memperbaiki pembersihan lubang, namun juga mengurangi efisiensi hidrolika, meningkatkan padatan yang tertahan, memperlambat laju penetrasi dan mengubah kebutuhan penanganan secara kimiawi serta pengenceran. Mud engineer yang berpengalaman memiliki pemahaman terhadap situasi seperti ini dan mengerti cara untuk memperbaiki salah satu fungsi tetapi juga meminimalisasi pengaruh terhadap perubahan sifat lumpur untuk fungsi lainnya. 3.2.2. Rheologi Lumpur Pemboran
Rheologi adalah ilmu yang mempelajari perubahan bentuk ( deformation) dan aliran ( flow) dari suatu zat. Cara fluida mengalir dalam beragam kondisi (suhu, tekanan dan shear rate tertentu) dapat ditentukan dengan menggunakan prosedur pengukuran yang tepat. Salah satu terminologi rheologi yang paling umum adalah viskositas. Viskositas dapat dideskripsikan sebagai ketahanan dari suatu substan untuk mengalir. Pada praktiknya terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menggambarkan sifat-sifat dari rheologi lumpur pemboran: funnel viscosity (detik/ qt atau detik/l), apparent viscosity (cP atau mPa detik), effective viscosity (cP atau mPa detik), plastic viscosity (cP atau mPa detik), yield point (lb/100 ft 2 atau Pa), low-shear viscosity dan lowshear -rate viscosity (LSRV) (cP atau mPa detik) serta gel strength (lb/100 ft 2 atau Pa). 1. F unn el Vi scosit y
Funnel viscosity didapat dengan pengukuran menggunakan marsh funnel . Variabel ini digunakan sebagai indikator dari kondisi fluida. Informasi yang didapat dari pengukuran funnel viscosity tidak menggambarkan karakteristik dari aliran fluida. Nilai ini digunakan untuk mendeteksi perubahan relatif pada sifat-sifat
29
fluida. Nilai dari funnel viscosity yang didapat bukan merupakan representasi untuk seluruh fluida. Apa yang berfungsi dengan baik pada satu sumur mungkin akan gagal pada sumur lainnya, tetapi umumnya secara praktis ada aturan/panduan yang dapat diterapkan untuk lumpur pemboran berbahan dasar clay. Funnel viscosity dari kebanyakan lumpur pemboran dikontrol pada (paling banyak) empat kali dari nila i densitas. Ada pengecualian, namun hanya untuk area yang membutuhkan lumpur ber-viskositas besar. Lumpur dengan polimer dan invert-emulsion juga tidak mengikuti aturan ini. 2. Shear r ate dan Shear stress
Viskositas (µ) didefinisikan sebagai perbandingan antara shear stress (τ) dengan shear rate (γ). Konsep dari shear rate dan shear stress berlaku untuk semua jenis aliran fluida. Dalam sistim sirkulasi, besar shear rate bergantung pada kecepatan rata-rata dari fluida dalam tempat dimana fluida itu mengalir.
Gambar 3.2. Shear r ate dan Shear str ess pada dua jenis fluida 2
Dengan demikian shear rate memiliki nilai yang lebih besar pada tempat yang sempit (contohnya di dalam drillstring ) dan lebih kecil pada tempat yang besar (contohnya di dalam casing ). Nilai shear rate yang lebih besar biasanya menghasilkan gaya resistif dari shear stress yang lebih besar pula. Sehingga, besar shear stress di dalam drillstring (dimana shear rate lebih besar) akan melebihi besar shear stress di annulus (dimana shear rate lebih kecil). Jumlah kehilangan tekanan pada keseluruhan sistim sirkulasi (tekanan pompa) sering dikaitkan dengan 2
M-I Swaco, Handbook of Drilling Fluids, Chapter 5 Rheology and Hydraulics, hal 2
30
shear stress sedangkan laju alir pompa dikaitkan dengan shear rate. Hubungan antara shear rate dan shear stress pada fluida menjelaskan bagaimana fluida tersebut mengalir. Gambar berikut menjelaskan gambaran sederhana dari dua jenis fluida (A dan B) yang bergerak saling melewati ketika terdapat gaya yang bekerja pada keduanya. Ketika fluida mengalir, akan muncul gaya yang bekerja melawan gaya yang ditimbulkan oleh aliran tersebut. Gaya ini dikenal dengan shear stress. Gaya ini dapat dianggap sebagai gaya gesek yang muncul ketika satu lapis ( layer ) fluida bergesekan dengan fluida lain. Karena lebih mudah bagi shear untuk terjadi antara lapisan fluida dengan fluida lain dibandingkan dengan lapisan terluar ( outermost layer ) fluida dengan dinding pipa, maka fluida yang memiliki kontak dengan pipa dapat dianggap tidak mengalir. Besar laju dari satu lapisan fluida yang bergerak melewati lapisan lainnya disebut shear rate. Dengan demikian shear rate merupakan gradien kecepatan. Persamaan untuk shear rate adalah: γ=
V2 - V1 d
...................................................................................... (3-2)
Keterangan : γ
= Shear rate, detik -1
V2
= Kecepatan pada layer B, ft/detik
V1
= Kecepatan pada layer A, ft/detik
d
= Jarak antara A dan B, ft
Shear rate memiliki nilai yang sebanding dengan mud viscometer RPM (ω) dikalikan dengan 1,703. Konstanta ini diturunkan dari sleeve and bob geometry dari viscometer . Shear stress adalah gaya yang dibutuhkan untuk menahan shear rate. Dalam satuan lapangan shear stress menggunakan satuan lb/100 ft 2, sehingga definisinya adalah gaya sebesar 1 lb untuk tiap 100 ft 2 yang dibutuhkan untuk menahan shear rate. Pembacaan pada mud viscometer (Θ) dapat diubah menjadi nilai dari shear stress
dengan mengalikannya dengan konstanta 1,0678. Namun karena
perbedaannya kecil nilai dari pembacaan mud viscometer sering langsung dianggap sebagai nilai dari shear stress.
31
3. Ef f ective Vi scosi ty
Viskositas efektif (µe) fluida adalah nilai viskositas dari fluida tersebut da lam kondisi yang spesifik. Kondisi ini termasuk shear rate, tekanan dan suhu. 4. Apparent Vi scosity
Viskositas efektif terkadang dianggap sebagai apparent viscosity (AV). Apparent viscosity adalah pembacaan mud viscometer pada 300 RPM (Θ300) atau satu setengah kali dari pembacaan pada 600 RPM (Θ600). Perlu dicatat bahwa kedua nilai yang didapat dengan cara ini konsisten dengan persamaan: AV =
300
................................................................................. (3-3)
ω
Keterangan : AV = Apparent viscosity, cP Θ
= Pembacaan mud viscometer
ω
= Mud viscometer RPM
5. Plasti c Viscosity
Plastic viscosity (PV), dalam satuan centipoise (cP) atau miliPascal detik (mPa detik), dapat dihitung dengan mengurangi pembacaan pada 600 RPM ( Θ600 ) dengan pembacaan pada 300 RPM ( Θ300). Plastic viscosity biasanya digambarkan sebagai ketahanan untuk mengalir yang disebabkan oleh friksi mekanis. Terutama dipengaruhi oleh: a. Konsentrasi fasa padat. b. Ukuran dan bentuk padatan. c. Viskositas dari fasa cair lumpur. d. Keberadaan dari rantai panjang polimer, seperti hydroxyethylcellulose (HEC) atau carboxymethylcellulose (CMC). e. Rasio oil-to-water (O/W) atau synthetic-to-water (S/W) pada lumpur pemboran berjenis invert-emulsion. f. Tipe emulsifier pada lumpur pemboran berjenis invert-emulsion. Fasa padat membutuhkan perhatian khusus bagi mud engineer . Bertambahnya besar plastic viscosity dapat berarti pertambahan jumlah padatan, pengurangan pada
32
ukuran partikel, perubahan bentuk dari partikel padatan atau kombinasi dari hal-hal tersebut. Bertambahnya jumlah padatan yang terekspos di permukaan akan ditunjukkan pada bertambahnya nilai plastic viscosity. Memecah ukuran partikel padatan, contohnya, akan menghasilkan pecahan partikel yang masing-masing menempati ruang yang lebih besar di permukaan dari pada ukuran normal partikel. Partikel yang datar ( flat ) akan menempati ruang yang lebih besar daripada partikel yang membulat ( spherical ) dengan volume yang sama. Namun seringkali bertambahnya nilai plastic viscosity merupakan akibat dari bertambahnya jumlah padatan. Hal ini dapat dipastikan dengan adanya perubahan densitas dan/atau analisa retort . Beberapa dari padatan dalam lumpur berada didalamnya karena mereka secara tak sengaja tercampur. Bentonite, sebagai contoh, baik untuk meningkatkan viskositas dan mengurangi fluid
loss, sedangkan
barite penting untuk
mempertahankan besar densitas. Terdapat aturan bahwa viskositas dari lumpur tidak boleh lebih besar dari yang diperlukan untuk kegiatan hole cleaning dan barite suspension. Ketika lumpur gagal menjalankan fungsi ini, penting untuk meningkatkan yield point dan nilai dari low-shear (6 dan 3 RPM) dibandingkan dengan meningkatkan nilai plastic viscosity. Cutting , akan secara buruk mempengaruhi sifat-sifat rheologi dari lumpur pemboran dan ini adalah kondisi yang tidak diinginkan. Cutting akan terus-menerus bertambah
ke
dalam
lumpur
selama
proses
pengeboran,
menyebabkan
bertambahnya jumlah padatan dalam lumpur. Jika padatan ini tidak langsung dipisahkan dari lumpur, mereka akan pecah menjadi bagian yang lebih kecil, karena mengalami sirkulasi secara berulang melalui sisim sirkulasi. Masalah pun akan muncul, terutama yang berkaitan dengan viskositas lumpur, jika hal ini tidak ditangani. Ada tiga cara agar cutting dapat dikontrol: a. Mengontrol cutting secara mekanis (dengan menggunakan solid-control equipment ). b. Settling (membiarkan agar cutting mengendap dalam peralatan khusus seperti gumbo trap).
33
c. Dilution (mengencerkan lumpur) atau displacement (mengganti dengan lumpur baru). Plastic viscosity juga mempengaruhi viskositas dari fasa cair lumpur. Bila viskositas dari air menurun seiring dengan bertambahnya suhu, maka plastic viscosity akan turun secara proporsional. Brine memiliki viskositas yang lebih besar dari air. Emulsi minyak pada water-base mud memberikan fungsi yang sama seperti fungsi dari padatan dan akan mempengaruhi plastic viscosity dari lumpur pemboran. Polimer yang ditambahkan ke dalam sistim untuk mengontrol nilai viskositas, fluid loss atau shale inhibition, dapat mempengaruhi plastic viscosity. Polimer rantai panjang (seperti HEC atau CMC) memiliki pengaruh yang besar terhadap plastic viscosity. Polimer rantai pendek atau jenis polimer dengan viskositas rendah (seperti CMC LV) memberi pengaruh yang sedikit pada plastic viscosity. Kenaikan plastic viscosity hanya akan terlihat pada saat setelah mencampurkan polimer. Sehingga dianjurkan untuk tidak mengukur viskositas pada suction pit pada saat setelah pencampuran. Umumnya setelah beberapa kali sirkulasi plastic viscosity dan sifat-sifat rheologi lainnya akan menurun dan stabil. Untuk mengoptimalkan fungsi dari lumpur berjenis invert-emulsion (oil-base dan synthetic-base), plastic viscosity dapat diatur dengan rasio O/W atau S/W. umumnya, semakin tinggi O/W atau S/W, maka plastic viscosity akan semakin rendah. Juga, pemilihan dari emulsifier yang akan digunakan akan berpengaruh pada plastic viscosity. Perubahan pada plastic viscosity dapat memberikan pengaruh besar pada tekanan pompa. Hal ini sangat penting pada sumur dengan jangkauan yang dalam seperti pengeboran dengan menggunakan coiled-tubing , dengan lubang yang lebih panjang dan penggunaan pipa berdiameter kecil. Pada kondisi seperti ini sangat penting untuk meminimalkan plastic viscosity. Nilai plastic viscosity harus dijaga serendah mungkin pada semua kasus praktis di lapangan, karena plastic viscosity yang rendah akan menghasilkan energi yang lebih besar pada bit , laju alir yang lebih besar di annulus untuk kegiatan hole cleaning dan akan lebih ramah pada peralatan yang digunakan juga menurunkan bahan bakar yang diperlukan.
34
Secara praktis batas maksimal dari plastic viscosity adalah dua kali berat lumpur pemboran (lb/gal). Namun, nilai ini mungkin akan membatasi fungsi dari lumpur berat, yang fasa padatnya dipenuhi oleh mater ial pemberat sehingga lumpur jenis ini memiliki toleransi yang rendah terhadap cutting . Plastic viscosity adalah pendekatan yang baik untuk nilai viskositas dari fluida yang melewati nozzle bit . 6. Yield Poin t
Yield point (YP), dalam satuan lb/100 ft 2, dapat dihitung dengan menggunakan data yang didapat dari Fann VG Meter , yaitu dua kali pembacaan pada 300 RPM (Θ300) dikurangi dengan pembacaan pada 600 RPM (Θ600 ). Atau pembacaan pada 300 RPM (Θ300) dikurangi dengan nilai dari plastic viscosity. Yield point , komponen dari sifat ketahanan untuk mengalir lumpur pemboran, adalah sebuah ukuran terhadap elektro-kimia atau gaya tarik-menarik antar partikel pada lumpur (attractive forces). Gaya ini merupakan hasil dari kutub negatif dan positif yang berada pada atau dekat dengan permukaan partikel. Yield point adalah ukuran dari gaya-gaya ini pada kondisi aliran tertentu dan bergantung pada: karakteristik dari permukaan partikel padatan, volume dari padatan dan medan listrik dari padatan tersebut. Viskositas besar hasil pengaruh dari yield point yang besar atau attractive forces dapat disebabkan oleh: a. Bercampur dengan kontaminan yang dapat larut ( soluble) seperti garam, semen, anhidrit atau gypsum yang menyebabkan flokulasi clay dan padatan reaktif (reactive solid ). b. Pecahnya pertikel clay yang disebabkan tergerus oleh bit dan pipa, sehingga menciptakan gaya-gaya residual baru (hasil dari pemutusan ikatan valensi) pada sisi partikel yang rusak (tergerus). Gaya ini cenderung menarik partikel-partikel berkumpul dalam susunan yang tidak beraturan ( floc). c. Bercampurnya inert solid ke dalam sistim dapat meningkatkan yield point . Hal ini menyebabkan partikel bergerak saling berdekatan. Kondisi ini menjadikan jarak antara tiap partikel berkurang, sehingga gaya tarik antar partikel meningkat.
35
d. Ketika pengeboran menembus zona batuan shale atau clay, maka akan ada active solid yang masuk ke dalam sistim. Active solid akan meningkatkan attractive force dengan mendekatakan partikel satu dan yang lain dan dengan meningkatkan jumlah kutub (positif ataupun negatif). e. Penanganan yang kurang atau berlebihan dengan cara elektrokimia sehingga meningkatkan attractive force. f. Penggunaan biopolimer bercabang. g. Penanganan yang berlebihan dengan menggunakan organophilic clay atau rheological modifier pada sistim dengan lumpur berjenis invert-emulsion. Yield point adalah bagian dari ketahanan untuk mengalir yang dapat dikontrol dengan penanganan kimia yang tepat. Yield point akan berkurang seiring dengan berkurangnya attractive force oleh penanganan kimia. Pengurangan yield point juga akan berdampak pada berkurangnya apparent viscosity. Pada lumpur pemboran berjenis water-base mud berbahan dasar clay, yield point dapat dikurangi dengan cara-car berikut: a. Pemutusan ikatan valensi, yang disebabkan oleh tergerusnya partikel clay, dapat dinetralkan dengan adsorpsi material anion khusus pada sisi dari partikel clay. Ikatan valensi yang sudah rusak ini dapat distabilkan, hampir seluruhnya, dengan menggunakan zat kimia seperti tannin, lignin, fosfat kompleks, lignosulfonat dan low molecular-weight polyacrylate. Penggunaan zat kimia tersebut akan menyebabkan kutub negatif menjadi elemen utama sehingga partikel akan tolak-menolak. b. Pada kasus kontaminasi yang berasal dari kalsium atau magnesium, kation yang menyebabkan munculnya attractive force dapat dilepaskan sebagai presipitasi tak larut (insoluble precipitate), sehingga mengurangi attractive force dan yield point . c. Air dapat digunakan untuk mengurangi yield point , tetapi bila konsentrasi padatan sangat tinggi, cara ini menjadi relatif tidak efektif dan boros. Selain itu air dapat mengubah sifat lain dari lumpur pemboran. Contohnya pada lumpur berat (weighted mud ), penambahan air akan meningkatkan fluid loss dan mengurangi berat lumpur, sehingga lumpur harus diperberat lagi.
36
Umumnya pada water-base mud berbahan dasar clay, material anion (berkutub negatif) akan ber-deflokulasi yang berakibat pada turunnya viskositas. Material kation (berkutub positif) akan menunjang terjadinya flokulasi yang berakibat pada naiknya viskositas. Peningkatan yield point dapat dicapai dengan menambahkan viscosifier atau apapun yang menunjang terjadinya flokulasi pada lu mpur. Contohnya penambahan sebagian kecil dari lime (garam atau alkali yang mengandung kalsium) ke dalam lumpur berbahan dasar air yang mengandung bentonite akan menyebabkan terjadinya flokulasi yang tentunya meningkatkan yield point . Namun harus diingat bahwa flokulasi dapat menimbulkan efek yang tak diinginkan untuk fluid-loss control , tekanan sirkulasi dan gel strength. Nilai yield point dari sistim lumpur berbahan dasar clay dengan dispersi lignosulfonat secara khusus perlu dipertahankan kira-kira setara dengan berat lumpur. S istim lumpur ber-fasa padat yang rendah (low or minimum solid ) dengan tanpa molekul yang terdispersi dapat memilik yield point yang cukup tinggi, tetapi lumpur jenis ini jarang digunakan dengan densitas melebihi 14 lb/gal. Wetting agent atau thinner dapat digunakan untuk mengurangi yield point pada lumpur berjenis invert-emulsion. Material ini terkadang dapat mengurangi toleransi padatan dari lumpur. Biasanya cara yang digunakan untuk mengurangi yield point pada lumpur ini adalah dengan meningkatkan rasio O/W atau S/W dengan menambahkan minyak ataupun cairan sintetis. Yield point sering digunakan sebagai indikator dari karakteristik shearthinning dari fluida dan kemampuan fluida tersebut untuuk menahan material yang berat serta memindahkan cutting dari dalam lubang. Namun hal itu dapat menyesatkan, fluida apapun yang memiliki nilai yield point lebih besar dari nol akan tetap memiliki nilai shear . Fluida dengan yield point yang sangat rendah tidak akan mampu menahan material yang berat, tetapi fluida dengan yield point yang tinggi pun tidak mampu melakukannya. Larutan seperti CMC, polyanionic cellulose (PAC) dan polimer HEC di dalam air memiliki nilai yield point , tetapi larutan ini tidak dapat menahan material yang berat dalam kondisi statis. Pengukuran shear stress pada shear rate yang rendah
37
untuk larutan-larutan tersebut mengindikasikan bahwa nilai shear stress dari larutan-larutan ini pada shear rate nol detik -1 adalah nol. Kemampuan fluida untuk menahan barite lebih bergantung pada gel strength, low-shear viscosity dan thixotropi fluida. 7. L ow -shear Vi scosi ty dan L owShear-Rate Vi scosity (LSRV)
Penambahan kedalaman pada sumur berarah maupun horizontal dan penggunaan biopolimer untuk (pengontrolan) sifat rheologi telah mengubah sudut pandang dari sifat rheologi yang dibutuhkan untuk kegiatan hole cleaning yang efisien pada lubang ber-sudut. Melalui berbagai penelitian di laboratorium dan data lapangan, ditemukan bahwa nilai low-shear viscosity (6 dan 3 RPM), pada lumpur pemboran, memiliki pengaruh yang lebih besar pada kegiatan hole cleaning daripada nilai yield point . Selain itu juga memberikan kemampuan untuk menahan barite pada kondisi dinamis maupun statis. 8. Gel Strength
Thixotropi adalah sifat yang ada pada fluida yang dapat membentuk struktur gel dalam kondisi statis dan kemudian kembali menjadi cairan ketika terdapat shear . Hampir semua lumpur berbahan dasar air memiliki sifat ini yang merupakan hasil dari adanya partikel-partikel bermuatan listrik at au polimer khusus yang saling berhubungan membentuk matriks yang kaku (rigid ). Pembacaan nilai dari gel strength (pada Fann VG Meter ) diambil pada interval detik ke-10 dan menit ke-10 serta untuk melihat nilainya pada kondisi kritis yaitu pada menit ke-30. Fann VG Meter dapat memberikan ukuran tingkatan dari sifat thixotropi yang ada pada fluida. Kekuatan pembentukan gel dipengaruhi oleh jumlah dan jenis dari padatan, waktu, suhu serta zat kimia yang dipakai. Dengan kata lain, apapun yang menyebabkan atau mencegah penyatuan partikel akan meningkatkan atau menurunkan kecenderungan pembentukan gel ( gelation) dari fluida. Besar (magnitude) pembentukan gel, atau bisa dikatakan sebagai jenis dar i gel strength, merupakan hal yang penting untuk dapat menahan cutting dan material
38
pemberat. Namun, pembentukan gel harus dijaga agar tidak melebihi dari yang dibutuhkan untuk memenuhi fungsi-fungsi tersebut. Gel strength yang berlebihan dapat menyebabkan komplikasi seperti: a. Terjebaknya udara atau gas di dalam fluida. b. Dibutuhkan tekanan yang besar ketika memulai sirkulasi setelah trip. c. Penurunan efisiensi dari solid-control equipment . d. Terjadinya excessive swabbing ketika penarikan rangkaian. e. Terjadinya excessive pressure surge ketika penurunan rangkaian. f. Ketidakmampuan untuk menurunkan peralatan logging hingga dasar lubang. Progressive gel atau flash gel dapat menimbulkan masalah pada sistim lumpur pemboran. Gel yang ada pada batas antara interval 10 detik dengan 10 atau 30 menit pada pembacaan nilai gel ( gel reading ) disebut progressive gel dan merupakan indikasi dari peningkatan padatan. Jika pada interval 10 detik dan 10 menit pada pembacaan nilai gel keduanya menunjukkan nilai yang tinggi dengan perbedaan yang kecil antara keduanya, kondisi ini disebut flash gel dan merupakan indikasi terjadinya flokulasi. Gel strength dan yield point , keduanya merupakan ukuran dari gaya tarikmenarik yang ada di dalam sistim lumpur pemboran. Pengukuran awal (pada interval 10 detik) gel strength merepresentasikan gaya tarik-menarik statis, sedangkan pada yield point menunjukkan gaya tarik-menarik dinamis. Dengan demikian penanganan pada nilai gel strength awal yang berlebihan akan sama dengan penanganan untuk nilai yield point yang berlebihan. Pembentukan gel memberikan suatu fluida ”ingatan” dari masa lalunya dan harus diperhatikan ketika melakukan pengukuran sifat r heologi dari fluida tersebut. Jika suatu fluida diperbolehkan untuk bertahan dalam periode waktu tertentu sebelum dilakukan pengukuran dari nilai shear stress pada shear rate tertentu, dibutuhkan waktu agar shear rate mencapai nilai tertentu sebelum shear stress (dalam kondisi equilibrium dengan nilai shear rate tersebut) dapat diukur. Semua ikatan antara partikel yang dapat diputus pada nilai shear rate tersebut harus diputus atau pengukuran shear stress akan menjadi lebih tinggi dari nilai equilibrium shear
39
stress. Lama waktu yang dibutuhkan bergantung pada derajat pembentukan gel yang muncul pada sampel. Setelah pengukuran dilakukan pada 600 RPM dan shear rate dipelankan hingga 300 RPM, fluida cenderung untuk mengingat nilai dari shear sebelumnya yaitu pada 600 RPM. Ada periode waktu yang dibutuhkan untuk ikatan tertentu antara partikel yang muncul ketika terjadi penurunan shear rate, agar kembali ke bentuk asalnya/bentuk sebelumnya (reform) sebelum nilai equilibrium shear stress dapat diukur. Indikasi dari nilai shear stress akan sangat kecil pada awalnya dan secara bertahap meningkat hingga nilai equilibrium. Formasi atau peluruhan dari struktur gel merupakan variabel yang bergantung pada waktu, terdapat banyak cara dalam perbandingan shear-stress dengan shearrate yang dapat dipakai dalam menggunakan nilai shear rate yang berbeda. Cara ini diillustrasikan dalam Gambar 3.3. kurva padatan merepresentasikan nilai equilibrium dari perbandingan shear-stress dengan shear-rate yang muncul ketika nilai shear rate pada fluida berubah menjadi sangat lambat. Namun, jika fluida memulai di titik A pada nilai equilibrium dari shear stress yang tinggi kemudian turun secara tiba-tiba hingga nilai shear rate nol, nilai dari shear stress akan mengikuti bentuk kurva bagian bawah, yang dalam semua titiknya lebih kecil dari kurva equilibrium. Pada keadaan tidak aktif, gel strength akan meningkat hingga titik B. Setelah mencapai titik B, shear rate akan meningkat secara tiba-tiba, shear stress akan ikut naik dari titik B menuju titik C, yang pada semua titiknya lebih besar dari kurva equilibrium. Sering berjalannya waktu dengan nilai shear rate yang tinggi, nilai shear stress pada akhirnya akan menurun dari titik C menuju nilai equilibrium pada titik A. Sebaliknya setelah sampai pada titik B shear rate akan meningkat secara perlahan dan shear stress pada awalnya akan menurun sebelum kemudian mengikuti kurva equilibrium hingga titik A. Kurva B hingga C dapat menggambarkan kondisi lumpur pemboran yang tidak ditangani dengan tepat. Kondisi ini akan menyebabkan tekanan sirkulasi yang besar. Periode waktu yang lebih panjang dibutuhkan untuk mencapai nilai equilibrium pada titik A. Lumpur pemboran yang ditangani dengan baik dapat
40
digambarkan dengan kurva equilibrium yang membentuk jalur yang lebih pendek, sehingga membutuhkan tekanan pompa yang lebih rendah.
Gambar 3.3. Kelakuan Fluida Trixotropi 3 3.3. Jenis Fluida
Berdasarkan kelakuannya fluida dapat dibedakan menjadi dua jenis, fluida newtonian dan fluida non-newtonian. 3.3.1. Fluida Newtonian
Dibandingkan fluida non-newtonian fluida newtonian adalah jenis yang lebih sederhana. Bahan dasar dari hampir semua jenis lumpur pemboran adalah fluida newtonian (air tawar, air laut, diesel, minyak dan sintetis). Fluida jenis ini memiliki perbandingan antara shear stress dan shear rate yang proporsional, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.4. Garis lurus pada grafik, yang dimulai dari titik awal (0,0) lalu memotong bidang segi empat, merepresentasikan perbandingan proporsional tersebut. Nilai viskositas dari fluida newtonian adalah kemiringan garis lurus ini, yang merupakan garis perbandingan shear-stress dengan shear-rate. Nilai yield stress ( stress yang dibutuhkan untuk memulai aliran) dari fluida newtonian akan selalu nol. Sebagai contoh, ketika nilai shear rate berlipat ganda, maka nilai shear stress juga akan berlipat ganda. Ketika laju sirkulasi pada fluida tersebut berlipat ganda, tekanan yang dibutuhkan untuk memompakan fluida adalah sebesar kuadrat dari 3
M-I Swaco, Handbook of Drilling Fluids, Chapter 5 Rheology and Hydraulics, hal 8
41
besar normalnya.
Gambar 3.4. 4 Shear r ate vs Shear stress pada Fluida Newtonian
Fluida newtonian tidak dapat menahan cutting dan material pemberat dalam kondisi statis. Ketika fluida newtonian (air tawar, air laut, air asin dan minyak) digunakan sebagai lumpur pemboran, lubang harus disirkulasi bersih secara berkala dan sebelum penyambungan/pelepasan rangkaian. Nilai shear stress untuk beberapa nilai shear rate perlu dihitung untuk mengelompokkan sifat aliran dari fluida. Cukup perlu dilakukan satu pengukuran karena nilai shear stress proporsional dengan nilai shear rate dari fluida newtonian. Dari pengukuran ini nilai shear stress pada shear rate berapa pun dapat ditentukan dari persamaan berikut:
.......................................................................................... (3-4)
Definisi umum ini terdiri atas variabel yang independen. Data yang didapat dari Fann VG Meter perlu dikonversi ke dalam satuan viskositas dengan persamaan:
1,0678 1, 703
................................................................................ (3-5)
Nilai viskositas dihitung dengan persamaan ini dalam satuan English Unit (ft, lb,dll), tetapi untuk API Daily Mud Report viskositas dihitung dalam satuan centi4
M-I Swaco, Handbook of Drilling Fluids, Chapter 5 Rheology and Hydraulics, hal 9
42
-poise (cP yang sama dengan 0,01 dyne/cm 2). Untuk itu perlu dilakukan konversi kembali dari satuan English Unit menjadi satuan centipoise, faktor konversinya adalah 478,9. Dengan konversi ini persamaan menjadi: 478,9
1, 0678 1,703
cP ................................................................ (3-6)
Persamaan ini dapat disederhanakan menjadi: 300
cP ................................................................................. (3-7)
Fluida yang mengalir pada pipa silinder dalam aliran laminar bergerak secara konsentris seperti ditunjukkan pada Gambar 3.5A. Profil kecepatan fluida newtonian ketika mengalir dalam pipa ditunjukkan pada Gambar 3.5B. Profil dari aliran tersebut membentuk sebuah parabola.
Gambar 3.5. Profil Aliran Fluida Newtonian dalam Pipa5
Laju perubahan kecepatan dalam jarak tertentu ( shear rate) direpresentasikan sebagai kemiringan dari profil kecepatan pada titik manapun di pipa. Kemiringan pada profil kecepatan akan maksimal pada dinding pipa dan kemudian menurun hingga nol pada bagian tengah pipa. Sehingga shear rate akan maksimal pada dinding pipa dan nol pada bagian tengah pipa. Kemiringan dari profil kecepatan 5
M-I Swaco, Handbook of Drilling Fluids, Chapter 5 Rheology and Hydraulics, hal 10
43
akan paralel ketika mencapai dinding pipa, sehingga nilai kemiringannya tak terbatas (maksimal). Kemiringan dari profil kecepatan menurun dengan bertambahnya jarak dengan dinding pipa hingga pada satu titik mencapai kemiringan dengan sudut 1 . Pada bagian tengah pipa, kemiringan dari profil kecepatan akan t egak lurus dengan dinding pipa dengan kemiringan 0 (minimal). Dengan demikian nilai shear stress akan maksimal pada dinding pipa. Shear rate pada dinding pipa dapat dihitung dengan persamaan:
8V
D
............................................................................................ (3-8)
Keterangan :
= Shear rate, detik -1
V
= Kecepatan rata-rata fluida, ft/detik
D
= Diameter pipa, ft
Gambar 3.6. 6 Profil Kecepatan Fluida Newtonian pada Annulus
Perhitungan nilai shear rate akan berbeda pada kasus annulus konsentris, seperti pada ruang antara lubang dengan pipa yaang ditunjukkan Gambar 3.6. Pada 6
M-I Swaco, Handbook of Drilling Fluids, Chapter 5 Rheology and Hydraulics, hal 11
44
kasus ini fluida mengalir di sekeliling pipa di dalam lubang (baik dengan atau tanpa casing ). Nilai shear rate anular untuk pipa konsentris dapat dihitung dengan persamaan:
12V D 2 - D1
...................................................................................... (3-9)
Keterangan :
= Shear rate, detik -1
V
= Kecepatan rata-rata fluida, ft/detik
D1
= Diameter luar pipa yang lebih kecil, in
D2
= Diameter dalam pipa yang lebih besar, in
3.3.2. Fluida Non-Newtonian
Mineral clay atau partikel koloid yang terkandung dalam fluida, partikel partikel ini cenderung untuk ”menabrak” satu sama lain, sehingga meningkatkan nilai shear stress atau gaya yang dibutuhkan untuk mempertahankan laju alir. Namun, dengan meningkatkan shear rate, partikel akan membentuk “barisan” pada alur laju alir dan efek dari interaksi partikel pun berkurang.
Gambar 3.7. 7 Profil Kecepatan Fluida Non-Newtonian 7
M-I Swaco, Handbook of Drilling Fluids, Chapter 5 Rheology and Hydraulics, hal 11
45
Kondisi ini akan menghasilkan profil kecepatan yang berbeda dengan profil kecepatan air (salah satu fluida newtonian) di dalam pipa. Pada bagian tengah pipa, dimana nilai shear rate kecil, gangguan partikel tinggi sehingga fluida cenderung untuk mengalir seperti benda padat. Profil kecepatan menjadi rata seperti pada Gambar 3.7. Kondisi ini meningkatkan efisiensi penyapuan dari fluida dalam
menggantikan fluida lain dan juga meningkatkan kemampuan fluida untuk membawa partikel yang lebih besar. Jika partikel-partikel memiliki muatan yang berlawanan akan menyebabkan tarik-menarik satu sama lain. Kondisi ini, dimana partikel saling terhubung, pada shear rate yang kecil akan meningkatkan ketahanan untuk mengalir tetapi pada shear rate yang besar ikatan yang menyebabkan partikel saling ter hubung tersebut akan terputus. Dalam kondisi demikian, nilai shear stress tidak meningkat secara proporsional terhadap kenaikan shear rate. Fluida yang memiliki kelakukan seperti ini disebut fluida non-newtonian. Hampir semua lumpur pemboran termasuk dalam jenis fluida ini.
Gambar 3.8. 8 Shear r ate vs Shear str ess pada Fluida Non-Newtonian
Fluida non-newtonian memiliki hubungan shear-stress/shera-rate seperti ditunjukkan Gambar 3.8. Rasio dari shear stress terhadap shear rate tidak konstan tetapi berbeda untuk tiap nilai shear rate. Hal ini menunjukkan bahwa fluida 8
M-I Swaco, Handbook of Drilling Fluids, Chapter 5 Rheology and Hydraulics, hal 12
46
nonnewtonian tidak memiliki satu nilai viskositas atau nilai konstan yang dapat mewakili kelakuan dari fluida tersebut untuk semua nilai shear rate. Untuk menggambarkan viskositas dari fluida non-newtonian pada shear rate tertentu, digunakan
nilai effective viscosity (viskositas efektif). Viskositas efektif
didefinisikan sebagai rasio (kemiringan) dari shear stress dengan shear rate pada nilai shear rate tertentu dan diilustrasikan sebagai kemiringan garis yang terbentuk dari kurva shear stress (pada nilai shear rate tersebut) menuju ke titik awal (lihat Gambar 3.8). Seperti yang digambarkan, kebanyakan fluida non-newtonian
memiliki sifat shear-thinning , efek dari sifat ini adalah nilai viskositas efektif berkurang seiring dengan meningkatnya shear rate. Ketika nilai viskositas efektif di-plot dengan kurva shear-stress/shear-rate akan mudah untuk melihat sifat shear-thinning , yang dimiliki fluida, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.9.
Gambar 3.9. Sifat Shear-thinning pada Fluida Non-Newtonian 9 9
M-I Swaco, Handbook of Drilling Fluids, Chapter 5 Rheology and Hydraulics, hal 12
47
Shear-thinning memiliki implikasi penting dalam lumpur pemboran, karena sifat ini memberikan apa yang dibutuhkan oleh lumpur pemboran seperti: 1. Pada kecepatan yang tinggi (nilai shear rate besar) dalam rangkaian hingga menuju bit , lumpur akan menunjukkan sifat shear-thinning untuk menurunkan viskositas. Hal ini akan mengurangi tekanan sirkulasi dan kehilangan tekanan. 2. Pada kecepatan yang rendah (nilai shear rate kecil) dalam annulus, lumpur memiliki nilai viskositas yang besar sehingga membantu kegiatan hole cleaning . 3. Pada kecepatan yang sangat rendah, lumpur memiliki nilai viskositas yang sangat besar dan ketika t idak bersirkulasi akan membentuk gel, yang membantu untuk menahan material pemberat dan cutting . 3.4. Jenis Pola Aliran
Lumpur pemboran adalah subjek dari berbagai macam jenis pola aliran selama proses pengeboran. Pola aliran ini dapat didefinisikan dalam beberapa tahap yang berbeda, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.10. Pola aliran tersebut adalah tahap dimana tidak ada aliran lalu menjadi aliran plug , transisi aliran plug menjadi aliran laminar, aliran laminar, transisi aliran laminar menjadi aliran turbulen hingga akhirnya menjadi aliran turbulen. 1. Tidak ada aliran
Pada awalnya kebanyakan lumpur pemboran menolak untuk mengalir sehingga perlu diberikan tekanan untuk memulainya. Nilai maksimal dari gaya at au tekanan ini merupakan nilai yield stress dari fluida tersebut. Di dalam lubang nilai ini berhubungan dengan gaya yang dibutuhkan untuk “ break circulation” (menghentikan atau memulai sirkulasi). 2. Aliran plug Ketika nilai yield stress terlewati, aliran akan mulai menjadi aliran plug . Pada aliran ini, kecepatan akan sama di sepanjang diameter pipa atau annulus kecuali pada sisi dinding pipa atau lubang. Aliran keluarnya pasta gigi dari tubenya sering dijadikan contoh untuk mengambarkan aliran ini. Profil kecepatan dari a liran plug adalah datar.
48
Gambar 3.10. Tahapan Perubahan Pola Aliran 10 3. Transisi aliran plug menjadi aliran laminar
Seiring dengan meningkatnya laju alir, efek dari shear akan mulai mempengaruhi lapisan dalam fluida dan mengurangi ukuran plug pada bagian tengah aliran. Kecepatan akan meningkat hingga yang paling tinggi ada pada bagian 10
M-I Swaco, Handbook of Drilling Fluids, Chapter 5 Rheology and Hydraulics, hal 19
49
tengah dari plug . Profil kecepatan adalah datar sepanjang plug dengan kecepatan paling tinggi lalu menurun hingga nol pada sisi dinding pipa atau lubang.
4. Aliran laminar
Ketika kecepatan alir terus meningkat, efek dari laju alir dan dinding pipa atau lubang terhadap fluida akan terus meningkat. Hingga pada satu titik dimana plug menghilang. Pada saat itu kecepatan tertinggi akan berada pada bagian tengah aliran dan secara bertahap berkurang hingga nol pada dinding pipa atau lubang. Profil kecepatan aliran laminar membentuk sebuah parabola. Kecepatan aliran ini dipengaruhi oleh jarak titik fluida dari dinding pipa atau lubang. Fluida di dalam pipa yang mengalir dengan pola aliran ini akan mengikuti arah dari aliran, tapi dengan kecepatan yang berbeda untuk tiap titik. 5. Transisi aliran laminar menjadi aliran turbulen
Semakin meningkatnya laju alir akan membuat pola aliran menjadi rusak (breakdown). 6. Aliran Turbulen
Bila kecepatan laju alir terus meningkat, pola aliran akan terganggu dan fluida akan mulai bergerak secara memutar. Pergerakan seperti ini akan berlanjut sepanjang annulus atau pipa dalam satu arah, tetapi arah pergerakan di dalam fluida itu sendiri tidak dapat diprediksi. Setelah kondisi ini tercapai penambahan kecepatan hanya akan meningkatkan turbulensi dari aliran. Perbedaan dari pola aliran ini memberikan impilkasi yang berbeda pula. Tekanan yang dibutuhkan untuk memompa fluida dengan pola aliran turbulen akan jauh lebih besar dari yang tekanan yang dibutuhkan untuk memompa fluida dengan pola aliran laminar. Setelah pola aliran turbulen terbentuk, peningkatan pada laju alir akan meningkatkan tekanan sirkulasi secara geometri. Pada pola aliran turbulen menggandakan laju alir akan meningkatkan tekanan sebanyak empat kali lipat (2 2), dan meningkatkan laju alir hingga tiga kali aka n meningkatkan kehilangan tekanan sebanyak delapan kali lipat (23).
50
Selama pengeboran, fluida dalam rangkaian hampir selalu dalam pola aliran turbulen, sehingga meningkatkan kehilangan tekanan yang kemudian membatasi laju alir. Kehilangan tekanan pada aliran turbulen di dalam annulus akan menjadi penting untuk diperhatikan ketika equivalent circulating density (ECD) mendekati nilai gradien rekah formasi. Aliran turbulen selalu diasosiasikan dengan erosi dinding lubang dan washout . Pada zona-zona yang rentan, lubang akan terkikis hingga diameter tertentu, dimana pada diameter tersebut pola aliran menjadi laminar. Ketika menembus zona seperti ini, laju alir dan rheologi lumpur pemboran harus dikontrol untuk mencegah terjadinya aliran turbulen. 3.5. Model Rheologi
Model rheologi adalah deskripsi dari hubungan antara shear stress dengan shear rate. Hukum Newton tentang kecepatan merupakan model rheologi yang menjelaskan kelakuan fluida newtonian, atau biasa disebut model newtonian. Namun, karena kebanyakan dari lumpur pemboran adalah fluida non-newtonian, model tersebut tidak dapat menjelaskan kelakuan alirannya. Bahkan, karena tidak ada satu model rheologi pun yang mampu dengan tepat menjelaskan karakteristik aliran dari semua jenis lumpur pemboran, terdapat banyak model yang dikembangkan untuk menjelaskan kelakuan aliran fluida
non-newtonian.
Diantaranya adalah Bingham Plastic, Power Law dan modified Power Law. Penggunaan model-model ini memerlukan pengukuran dari shear stress pada dua atau lebih nilai shear rate. Dari pengukuran tersebut, nilai shear stress untuk shear rate tertentu dapat dihitung.
3.5.1. Model Bi ngham Pl astic
Model Bingham Plastic adalah yang paling sering dipakai untuk menjelaskan karakteristik aliran dari lumpur pemboran. Model ini adalah salah sat u model tertua yang masih dipakai hingga saat ini. Mode l ini menggambarkan fluida dengan gaya terbatas yang dibutuhkan untuk memulai aliran ( yield point ) dan memperlihatkan viskositas konstan dengan peningkatan shear rate ( plastic viscosity). Persamaan untuk model Bingham Plastic adalah:
51
0
(3-10) p .....................................................................................
Keterangan :
= Shear stress, mPa
= Yield point , mPa
p
= Plastic viscosity, mPa-detik
= Shear rate, detik -1
0
Persamaan ini perlu dikonversi agar dapat digunakan dengan data yang didapat dari pembacaan viscometer , sehingga Persamaan (3-10) menjadi:
YP PV
300
......................................................................... (3-11)
Keterangan :
= Shear stress (pembacaan viscometer ), lbf /100 ft 2
YP
= Yield point , lbf /100 ft 2
PV
= Plastic viscosity, cP
= Shear rate (RPM pembacaan viscometer ), detik -1
Gambar 3.11. 11 Shear rate vs Shear stress untuk Model Bi ngham Plastic
Kebanyakan fluida bukan merupakan fluida Bingham Plastic, dalam artian karakteristik alirannya tidak mengikuti definisi dari model Bingham Plastic. Untuk 11
M-I Swaco, Handbook of Drilling Fluids, Chapter 5 Rheology and Hydraulics, hal 13
52
lumpur yang cocok dengan definisi ini, jika kurva konsitensi untuk lumpur pemboran dibuat berdasarkan data viscometer , akan menghasilkan kurva non-linear yang tidak memotong titik asal (0,0) seperti ditunjukkan pada Gambar 3.11. Perkembangan dari nilai gel strength akan menyebabkan kurva memotong sumbuY pada titik di atas titik asal (true yield ), perbedaan ini dikarenakan gaya minimal yang dibutuhkan untuk memecah gel dan memulai aliran. Dua kecepatan viscometer didesain untuk mengukur nilai rheologi dari model Bingham Plastic, yaitu yield point dan plastic viscosity. Kurva aliran dari lumpur pemboran yang diambil dengan dua kecepatan Fann VG Meter ditunjukkan pada Gambar 3.12. Kemiringan dari porsi garis lurus pada kurva konsistensi merupakan
nilai dari plastic viscosity. Dari perhitungan dua shear stress ini, plastic viscosity dapat diekstrapolasi hingga menyentuh sumbu-Y (sumbu dari shear stress) untuk menentukan bingham yield point , cara ini dikenal sebagai Y-intercept . Untuk kebanyakan jenis lumpur pemboran, nilai true yield stress lebih kecil dari bingham yield point , seperti ditunjukkan pada Gambar 3.11 dan Gambar 3.13.
Gambar 3.12. Nilai Bi nghan Pl astic dari Dua Pengukuran12
12
M-I Swaco, Handbook of Drilling Fluids, Chapter 5 Rheology and Hydraulics, hal 14
53
Gambar 3.13 mengilustrasikan profil aliran dari lumpur pemboran dengan
model Bingham Plastic ideal. Ilustrasi ini tidak hanya menunjukkan perbandingan dari true yield point dengan bingham yield point , tetapi juga menunjukkan deviasi perbandingan, ketika nilai shear rate kecil dan besar, antara viskositas lumpur pemboran (fluida non-newtonian) dengan viskositas Bingham Plastic. Bingham yield point memiliki nilai yang lebih besar dari true yield stress. Nilai true yield point biasanya dapat diestimasi dengan lebih baik dari nilai initial gel strength.
Gambar 3.13. Grafik Perbandingan Fluida Bi ngham Pl asti c dengan Lumpur Pemboran 13
Model Bingham Plastic
secara akurat merepresentasikan hubungan
perbandingan shera-stress/shear-rate dengan densitas kecil, clay yang terflokulasi ( flocculated clay), water-base mud , dan flluida dengan shear rate besar (lebih besar dari 511 detik -1 atau 300 RPM). Umumnya nilai shear-stress/shear-rate dari sebagian besar fluida non-flokulasi berbeda dari nilai yang diprediksi dengan mode l Bingham Plastic, dimana nilai shear rate dari fluida non-flokulasi akan semakin menurun sedangkan Bingham Plastic semakin meningkat. Perbedaan paling besar ada pada nilai shear rate yang paling kecil. Jika lumpur yang digunakan adalah fluida Bingham Plastic, maka nilai dari initial gel strength dan yield point akan sama, seperti pada banyak kasus dengan water-base mud dengan flocculated clay.
13
Ibid
54
3.5.2. Model Power L aw
Model Power Law mencoba untuk menambah kekurangan dari model Bingham Plastic pada nilai shear rate kecil. Model Power Law lebih rumit dari model Bingham Plastic, karena tidak memakai asumsi linear antara shear stress dengan shear rate, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.14. Namun, sama seperti fluida Newtonian, kurva model Power Law akan melalui titik asal. Model ini menggambarkan fluida yang memiliki peningkatan shear stress sebagai fungsi dari shear rate yang secara matematis bertambah oleh besar tenaga tertentu.
Gambar 3.14. 14 Shear r ate vs Shear stress untuk Model Power L aw
Secara matematis model Power Law dapat ditunjukkan dalam persamaan:
K
n
.......................................................................................... (3-12)
Keterangan :
= Shear stress, mPa
K =
n
Indeks konsistensi, mPa-detik n
= Shear rate, detik -1 = Indeks Power Law
Hubungan antara shear-stress/shear-rate membentuk garis lurus ketika di plot pada grafik log-log, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.15. Kemiringan dari garis ini adalah nilai “n”. Titik potong dengan sumbu -Y adalah nilai “K”. Indeks
14
M-I Swaco, Handbook of Drilling Fluids, Chapter 5 Rheology and Hydraulics, hal 14
55
Power Law “n” mengindikasikan derajat k elakuan dari fluida non-newtonian dalam range nilai shear rate.
Gambar 3.15. 15 Grafik Log dari Model Power L aw
Semakin kecil nilai “n” maka fluida akan semakin shear-thinning pada shear rate range tersebut dan kurva hubungan shear-stress/shear-rate akan semakin membelok, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.16.
Gambar 3.16. Perbandingan Fluida dengan Nilai n yang Berbeda 16
15 16
M-I Swaco, Handbook of Drilling Fluids, Chapter 5 Rheology and Hydraulics, hal 15 Ibid
56
Berdasarkan nilai “n”, terdapat tiga jenis profil aliran dan kelakuan fluida: 1. n < 1; fluida bersifat shear-thinning , non-newtonian. 2. n = 1; fluida newtonian. 3. n > 1; fluida bersifat shear-thickening , dilatant (tidak ada lumpur pemboran yang masuk dalam kategori ini). Perbandingan antara tiga jenis fluida tersebut ditunjukkan dalam Gambar 3.16. Efek dari nilai “n” memiliki pengaruh sangat penting pada profil aliran dan
profil kecepatan dari fluida non-newtonian. Ketika profil kecepatan menjadi datar kecepatan fluida akan menjadi lebih tinggi pada area yang lebih besar, seperti pada annulus sehingga efek pembersihan lubang akan menjadi jauh lebih baik. Hal ini yang menjadi salah satu alasan fluida dengan nilai “n” yang kecil memberikan efek pembersihan lubang yang baik. Indeks konsistesi “K” adalah viskositas pada suatu nilai shear rate dalam seper-detik (detik -1). Nilai “K” berhubungan dengan viskositas fluida pada nilai shear-rate yang kecil. Kemampuan fluida dalam membersihkan lubang dan efektivitas suspense dapat ditingkatkan dengan meningkatkan nilai “K”. Indeks konsistensi “K” biasanya menggunakan satuan lb-detik -n/100 ft 2. Variabel “K” dan “n” hanya relevan ketika diasosiasikan dengan nilai shear rate tertentu.
Gambar 3.17. Efek Nilai “n” pada Profil Kecepatan 17 17
Ibid, hal 16
57
Nilai “K” dan”n” dapat dihitung dengan menggunakan data yang didapat dari viscometer . Persamaan umum untuk nilai “n” dan”K” adalah:
2 1 .................................................................................. (3-13) n 2 log 1 log
K
1
n
.......................................................................................... (3-14)
1
Keterangan : n
= Indeks Power Law
2
= Shear stress (pembacaan viscometer kedua), lbf /100 ft 2
1
= Shear stress (pembacaan viscometer pertama), lbf /100 ft 2
K
= Indeks konsistensi, lbf -detik n/100 ft 2
= Shear rate (RPM viscometer kedua), detik -1
= Shear rate (RPM viscometer pertama), detik -1
2
1
Pada lumpur pemboran berbahan dasar clay, nilai dari plastic viscosity dan yield point mempengaruhi nilai ”K”, seperti ditunjukkan Gambar 3.18. Sebagai perbandingan dibuat tiga kasus dengan karakteristik lumpur yang berbeda yaitu kasus pertama penumpukan padatan, kasus kedua penurunan padatan dan yang ketiga flokulasi karena kontaminasi. Pada kasus pertama, plastic viscosity meningkat melebihi nilai normal karena peningkatan kadar padatan yang ditunjukkan dengan sedikit peningkatan pada yield point . Kurva viskositas pada dasarnya parallel dengan kurva pada kondisi normal, sehingga hanya ada sedikit perubahan pada nilai “n”. Secara keseluruhan nilai viskositas meningkat sehingga nilai dari “K” pun meningkat. Pada kasus kedua, plastic viscosity menurun karena pelepasan padatan ( solid removal ), nilai yield point pun berkurang. Sama seperti kasus pertama, kurva viskositas pada dasarnya parallel dengan kurva pada kondisi normal, jadi terdapat sedikit perubahan pada nilai “n”. Nilai “K” berkurang karena penurunan nilai viskositas secara keseluruhan.
58
Pada kasus ketiga, yield point dan plastic viscosity meningkat karena kontaminasi dan bertambahnya padatan. Rasio dari yield point dan plastic viscosity sangat dipengaruhi oleh resultan flokulasi dan dengan bertambahnya rasio tersebut nilai “n” menurun. Nilai “K” meningkat yang dipengaruhi oleh perubahan kemiringan garis dan peningkatan viskositas secara keseluruhan. Buletin, “ Recommended Practice on the Rheology and Hydraulics of OilWell Drilling Fluids” (API Recommended Practice 13D Fifth Edition, June 1, 2006), merekomendasikan dua pasang persamaan rheologi, satu untuk persamaan di dalam pipa (kondisi turbulen) dan yang lain untuk persamaan di annulus (kondisi laminar). Persamaan Power Law di dalam pipa berdasarkan pada data pembacaan viscometer pada 300 RPM (Θ300) dan 600 RPM (Θ600).
Gambar 3.18. Hubungan antara K dan n ( Power L aw ) dengan PV dan YP18
18
M-I Swaco, Handbook of Drilling Fluids, Chapter 5 Rheology and Hydraulics, hal 16
59
Nilai shear rate (511 dan 1022 detik -1) disubtitusikan ke dalam persamaan “n” dan “K”, persamaan tersebut menjadi:
600 300
log n p
1022 511
3, 32 log
log K p
5,11300 n
511 p
atau
600 ..................................................... (3-15) 300
5,11600 1022
........................................................... (3-16)
np
Keterangan : n p
= Indeks Power Law (inside pipe)
600
= Shear stress (pembacaan viscometer pada 600 RPM), lbf /100 ft 2
300
= Shear stress (pembacaan viscometer pada 300 RPM), lbf /100 ft 2
K p
= Indeks konsistensi (inside pipe), lbf -detik n p/100 ft 2
Persamaan Power Law di annulus dikembangkan dengan cara yang sama, tetapi dengan menggunakan data pembacaan pada 3 RPM ( Θ3) dan 100 RPM (Θ100). Dengan subtitusi nilai shear rate (5,1 dan 170 detik -1) ke dalam persamaan umum, maka persamaan tersebut menjadi:
100 3
log na
170,2 5,11
0, 657 log
log Ka
5,11100 170, 2
na
atau
5,113 na
5,11
100 .................................................. (3-17) 3
.............................................................. (3-18)
Keterangan : na
= Indeks Power Law (inside annulus)
100
= Shear stress (pembacaan viscometer pada 100 RPM), lbf /100 ft 2
3
= Shear stress (pembacaan viscometer pada 3 RPM), lbf /100 ft 2
K a
= Indeks konsistensi (inside annulus), lbf -detik na/100 ft 2
Persamaan ini membutuhkan data pembacaan pada 100 RPM. Namun data ini tidak bisa didapatkan bila memakai alat yang hanya memiliki dua pilihan kecepatan
60
(300 dan 600). API merekomendasikan untuk memakai aproksimasi dalam menentukan nilai pembacaan pada 100 RPM dengan menggunakan data pe mbacaan pada 300 RPM dan 600 RPM, yaitu dengan persamaan: 100 300
2 600 300
............................................................ (3-19)
3
Persamaan umum Power Law untuk viskositas efektif adalah: e
100
n 1
K
.............................................................................. (3-20)
Persamaan viskositas efektif di dalam pipa:
1, 6 V p ep 100 K p D
n p 1
3n p 1 4n p
n p
.......................................... (3-21)
Persamaan viskositas efektif di annulus: ea
2, 4 Va 100 K a D2 D1
n a 1
2n a 1 3n a
na
......................................... (3-22)
Keterangan : ep =
ea
Viskositas efektif (inside pipe), cP
= Viskositas efektif (inside annulus), cP
V p = Kecepatan di dalam pipa, ft/menit Va = Kecepatan di annulus, ft/menit D1
= Diameter luar pipa yang lebih kecil, in
D2
= Diameter dalam pipa yang lebih besar, in
Meskipun API merekomendasikan persamaan-persamaan ini untuk aliran di dalam pipa dan annulus, ada kemungkinan shear rate di annulus memiliki besar yang termasuk dalam deskripsi dari persamaan di dalam pipa. Begitu pula sebaliknya, shear rate di dalam pipa dapat memiliki besar yang termasuk dalam deskripsi dari persamaan di annulus. Dalam kasus seperti ini, persamaan Power Law yang menunjukkan kecocokan paling baiklah yang digunakan. Umumnya persamaan Power Law ini digunakan ketika shear rate lebih besar dari 170 detik -1.
61
3.5.3. Model M odif i ed Power L aw
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, API telah memilih model Power Law sebagai model standar. Namun model ini tidak menjelaskan lumpur pemboran secara menyeluruh karena tidak dapat memberikan nilai yield stress dan mengabaikan LSRV, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.14. Model Modified Power Law atau juga biasa disebut model Herschel-Bulkley dapat digunakan untuk menentukan nilai yield stress tersebut. Grafik pada Gambar 3.19 dan Gambar 3.20 menunjukkan perbedaan antara Modified Power Law, Power Law dan Bingham Plastic. Diantara ketiganya model Modified Power Law-lah yang paling mendekati profil aliran dari lumpur pemboran. Model Modified Power Law berada diantara model Bingham Plastic, yang merupakan tertinggi, dan model Power Law, yang merupakan terendah. Model Modified Power Law sedikit lebih rumit dari model Power Law dan model Bingham Plastic. Namun model ini dapat meng-aproksimasi karakter istik rheologi dari kebanyakan lumpur pemboran.
Gambar 3.19. Perbandingan Model Rheologi 19
Secara matematis model Modified Power Law ditunjukkan pada persamaan:
0 K
n
.................................................................................... (3-23)
Keterangan : = Shear stress, mPa 0 = Yield stress, mPa 19
M-I Swaco, Handbook of Drilling Fluids, Chapter 5 Rheology and Hydraulics, hal 16
62
K =
= Shear rate, detik -1
n
Indeks konsistensi, mPa-detik n
= Indeks Power Law
Gambar 3.20. Perbandingan Model Rheologi pada Grafik Log 20
Pada praktiknya, yield stress dianggap sama dengan nilai pembacaan viscometer pada 3 RPM. Penggunaan data viscometer ini menyebabkan persamaan umum untuk nilai “n” dan “K” menjadi:
2 0 1 0 .......................................................................... (3-24) log 2 1
log n
K
1 0
n
................................................................................... (3-25)
1
Keterangan : n
= Indeks Power Law
2
= Shear stress (pembacaan viscometer kedua), lbf /100 ft 2
1
= Shear stress (pembacaan viscometer pertama), lbf /100 ft 2
0
= Zero gel (pembacaan viscometer pada 3 RPM), lbf /100 ft 2
K
= Indeks konsistensi, lbf -detik n/100 ft 2
2
= Shear rate (RPM viscometer kedua), detik -1
= Shear rate (RPM viscometer pertama), detik -1
1
20
M-I Swaco, Handbook of Drilling Fluids, Chapter 5 Rheology and Hydraulics, hal 16
63
3.6. Hidrolika Lumpur Pemboran
Perhitungan hidrolika digunakan untuk menentukan pengaruh dari sistim tekanan kepada lumpur pemboran. Tekanan kritis adalah total sistim tekanan (tekanan pompa), kehilangan tekanan pada bit dan kehilangan tekanan di annulus. Umumnya pengeboran sumur memiliki batasan pada rig pemboran serta alatalat yang ada di lapangan. Tekanan maksimal sirkulasi diperbolehkan ( maximum allowable circulating pressure) akan dibatasi oleh spesifikasi liner pompa dan surface equipment serta jumlah pompa yang tersedia. Setelah pengeboran semakin dalam lalu casing telah dipasang, laju alir akan berkurang pada lubang dengan diameter lebih kecil. Tekanan sirkulasi akan meningkat karena bertambahnya panjang drillstring dan annulus. Liner pompa perlu diganti dengan diameter yang lebih kecil sehingga menghasilkan tekanan yang lebih besar. Hal ini akan meningkatkan tekanan maksimal sirkulasi yang diperbolehkan. Pada kondisi lubang apa pun, batasan teori selalu digunakan d alam menentukan laju alir yaitu dengan tekanan maksimal sirkulasi yang diperbolehkan. Tekanan sirkulasi (begitu juga laju alir) berhubungan langsung dengan lubang dan geometri dari pipa juga dipengaruhi oleh densitas serta sifat-sifat rheologi lumpur pemboran. Sehingga untuk mengoptimasi hidrolika lumpur pemboran mutlak diperlukan pengendalian sifat-sifat rheologi dari lumpur untuk menghindari tercapainya batasan teori tersebut. Tekanan maksimal sirkulasi diperbolehkan dan laju sirkulasi merupakan asset yang memiliki batasan, nilai ini dapat dikurangi atau pun dimaksimalkan. Perhitungan rheologi dan hidrolika memberikan kemampuan untuk mengatur sifatsifat lumpur pemboran. Besar laju alir dan nozzle bit adalah variabel dari asset tersebut tentunya juga dibatasi oleh peralatan yang digunakan pada rig pemboran. Tujuan dari optimasi hidrolika adalah untuk menyeimbangkan well control , hole cleaning , tekanan pompa, ECD dan kehilangan t ekanan pada bit . Densitas dan sifat-sifat rheologi dari fluida merupakan parameter yang mempengaruhi efisiensi hidrolika. Jika diasumsikan bahwa densitas fluida dipertahankan pada level aman minimal untuk well control dan stabilitas lubang, optimasi hidrolika akan bergantung pada sifat-sifat rheologi fluida dan laju alirnya.
64
Pada banyak kasus, peralatan bawah permukaan, seperti downhole motor , thruster dan peralatan MWD serta LWD, memiliki batasan berupa laju alir minimal agar peralatan berfungsi dengan baik. Kondisi ini menyebabkan optimasi hanya bisa dilakukan dengan mengendalikan sifat-sifat rheologi fluida sebagai satusatunya variabel. Langkah pertama dalam perhitungan hidrolika adalah menentukan jenis pola aliran yang terjadi pada tiap interval geometri dari sumur. Fluida yang mengalir dalam pola aliran laminar memiliki kelakuan yang bebeda dengan ketika mengalir dalam pola aliran turbulen. Perbedaan ini menyebabkan penggunaan persamaan yang berbeda dalam menentukan kehilangan tekanan pada aliran laminar dan aliran turbulen. Persamaannya juga akan berbeda untuk menghitung kehilangan tekanan di annulus dan di dalam drillstring , karena perbedaan geometri. 3.6.1. Average Velocity
Untuk kepentingan perhitungan hidrolika, kecepatan fluida pada saat meng-alir di annulus atau pun di dalam pipa diasumsikan memiliki profil datar dan tidak memiliki perbedaan instan pada tiap titik (seperti yang muncul pada aliran turbulen). Sehingga secara umum kecepatan ini adalah kecepatan rata-r ata (average velocity). Kecepatan rata-rata fluida di dalam pipa: V p
24,5 Q D2
................................................................................. (3-26)
Kecepatan rata-rata fluida di annulus: Va
24,5 Q D2 2 D12
................................................................................ (3-27)
Keterangan :
V p = Kecepatan rata-rata di dalam pipa, ft/menit Va
= Kecepatan rata-rata di annulus, ft/menit
Q
= Laju alir, gal/menit
D1
= Diameter luar pipa yang lebih kecil, in
65
D 2 = Diameter dalam pipa yang lebih besar, in
3.6.2. Reynol d Num ber Reynol d Num ber (NRe) adalah variabel tak berdimensi yang digunakan untuk
menentukan jenis dari pola aliran apakah itu laminar atau turbulen. Aliran fluida dalam pipa dapat berupa aliran laminar, transisi maupun turbulen. Perubahan pola aliran dari laminar menjadi transisi terjadi pada kecepatan kritis (critical velocity). Normalnya kondisi ini terjadi pada kisaran kecepatan dengan Reynol d Num ber yang besarnya antara 2000 sampai 4000. Pada kondisi tersebut aliran yang terbentuk adalah aliran transisi. Persamaan umum untuk Reynol d Num ber adalah: N Re
VD
.................................................................................... (3-28)
Keterangan : N Re
= Reynold Number
V D
= Kecepatan rata-rata, m/detik = Diameter, mm
= Densitas, kg/m3
= Viskositas, mPa-detik
Persamaan untuk Reynold Number di dalam pipa adalah: N Re p
15,467 V p D
.................................................................... (3-29)
ep
Persamaan untuk Reynold Number di annulus adalah: N Rea
15,467 Va D2 D1
....................................................... (3-30)
ea
Keterangan :
ep = Viskositas efektif di dalam pipa, cP ea = Viskositas efektif di annulus, cP
= Densitas, lbm/gal
66
3.6.3. Cri tical Velocity
Kecepatan kritis digunakan untuk mendeskripsikan kecepatan pada masa transisi dari aliran laminar menjadi turbulen. Aliran di dalam pipa umumnya adalah turbulen. Persamaan umum untuk kecepatan kritis di dalam pipa: 1 2 n
38727 K p
Vcp
n 2 n
1, 6 3n 1 4n D
................................... (3-31)
Persamaan umum untuk laju alir kritis di dalam pipa: Qcp
Vcp D
2
24,51
................................................................................... (3-32)
Persamaan umum untuk kecepatan kritis di annulus:
25818 K a
Vca
1 2n
2, 4 2n 1 D D 3n 1 2
n 2 n
......................... (3-33)
Persamaan umum untuk laju alir kr itis di annulus: Qca
Vca D2 2 D12 24,5
...................................................................... (3-34)
Keterangan : Vcp
= Kecepatan kritis di dalam pipa, ft/menit
Vca
= Kecepatan kritis di annulus, ft/menit
Q cp = Laju alir kritis di dalam pipa, gal/menit Q ca = Laju alir kritis di annulus, gal/menit 3.7. Pengangkatan Cutting
Dalam proses pengeboran, bit akan menggerus batuan secara terus-menerus menghasilkan cutting . Semakin dalam lubang maka jumlah cutting yang dihasilkan pun makin banyak. Agar tidak menumpuk di bawah permukaan den menyebabkan masalah seperti pack-off , maka cutting harus diangkat ke permukaan. Kondisi yang ideal adalah dimana jumlah cutting yang dihasilkan sama dengan jumlah cutting yang terangkat ke permukaan. Berikut adalah parameter yang berpengaruh dalam pengangkatan cutting :
67
1. Vslip (kecepatan slip) Merupakan kecepatan kritis saat cutting mulai terendapkan. 2. Vcut (kecepatan cutting ) Merupakan kecepatan cutting untuk naik ke permukaan. 3. Vmin (kecepatan minimum) Merupakan kecepatan minimal agar cutting terangkat ke permukaan. Kecepatan cutting dipengaruhi oleh kecepatan fluida yang membawanya, yaitu lumpur pemboran yang dipengaruhi oleh kecepatan alir dari pompa dipermukaan. Parameter ini akan saling berlawanan dengan kecepatan slip, yang dipengaruhi oleh ukuran serta densitas cutting . Penentuan laju alir optimal dalam desain hidrolika sangat ditentukan oleh parameter pengangkatan cutting . Besar dari laju alir optimal berada di antara laju alir minimal, yaitu laju alir dengan kecepatan minimal pengangkatan cutting , dan laju alir maksimal, yaitu laju alir dengan kecepatan kritis (kecepatan saat terjadi aliran turbulen). 3.7.1. Laju Alir Maksimum
Kecepatan alir yang dimaksud dalam bahasan ini adalah besarnya debit aliran atau laju alir lumpur pemboran. Debit aliran fluida didefinisikan sebagai volume fluida yang bergerak melewati suatu penampang dalam tiap satuan waktu. Dilihat dari mekanisme pemindahan dan pendorongan lumpur pemboran, pompa lumpur dibagi menjadi dua jenis yaitu pompa sentrifugal dan pompa torak (piston). Pompa yang sering dipakai dalam pemboran adalah jenis torak, karena mempunyai beberapa kelebihan dari sentrifugal, misalnya dapat dilalui fluida pemboran yang berkadar solid tinggi dan abrasive, pemeliharaan dan sistim kerjanya tidak terlalu rumit, dapat dipakai lebih dari satu macam liner sehingga dapat mengatur laju alir dan tekanan pompa yang diinginkan. Kecepatan alir maksimal dari pompa triplex (3 piston) single acting (1 arah kerja) dapat ditentukan dengan persamaan: QMaks
D
2
lN 0, 0043 4
spm Pump eff ......................................... (3-35)
68
Kemampuan kerja pompa dibatasi oleh horsepower maksimalnya, sehingga nilai tekanan dan laju alirnya pun dapat perlu disesuaikan dengan batasan ter sebut. Spesifikasi dari pompa yang akan digunakan, biasanya telah tersedia oleh pabrikan pembuat pompa tersebut, yang berisi informasi data tekanan dan kecepatan maksimal untuk tiap ukuran liner yang tersedia, sehingga memudahkan dalam perhitungan yang memerlukan data tersebut. Horsepower maksimal pompa dinyatakan dalam persamaan berikut: HPPompa
QMaksPMaks 1714
....................................................................... (3-36)
Keterangan : D
= Diameter dalam liner pompa, in
l
= Panjang stroke, in
spm
= Stroke per minute, stroke/menit
N
= Jumlah silinder, 3 untuk triplex serta 2 untuk duplex
HPPompa = Horsepower pompa, hhp QMaks
= Laju alir maksimal pompa, gal/menit
PMaks
= Tekanan maksimal pompa, psi
Pada kenyataannya penggunaan kemampuan pompa secara maksimal sangat jarang ditemui di lapangan. Umumnya operator hanya menggunakan sekitar 90% dari kemampuan pompa yang tersedia. 3.7.2. Laju Alir Minimum
Perhitungan nilai laju alir minimum pompa erat dengan nilai dari kecepatan jatuh partikel cutting . Menurut Adam T. Bour goyne Jr. , partikel yang jatuh dalam fluida mempunyai friksi terhadap fluida disekitarnya. Akibat friksi ini, aliran fluida sekitar partikel mempunyai bilangan Reynold yang dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: N Rep
928 m Vsldc
......................................................................... (3-37)
a
Keterangan: NRep = Bilangan Reynold partikel
69
m
= Densitas fluida, ppg
Vsl
= Kecepatan slip (jatuh) partikel, fps
dc
= Diameter partikel (cutting ), in
Gambar 3.21. Kecepatan Sl ip Parti cle Korelasi Moore 21
Kecepatan jatuh partikel dapat dihitung dengan persamaan: Vsl f
d c s m
..................................................................... (3-38)
m
Berdasarkan bilangan Reynold partikel, apabila N p> 300 maka pola aliran sekitar adalah turbulent penuh, maka nilai dari friction factor -nya sebesar 1,54. Sedangkan apabila N p< 3 maka pola aliran disekitar partikel adalah laminar, dan kecepatan jatuh dapat dihitung dengan friction factor sebesar:
f
40
N Rep
........................................................................................ (3-39)
Untuk bilangan Reynold diantara 3 dan 300 maka alirannya adalah transisi dan kecepatannya slip dapat d ihitung dengan friction factor sebesar: f
21
22 N Rep
..................................................................................... (3-40)
Adam T. Bourgoyne Jr., Applied Drilling Engineering , SPE, hal 176
70
Keterangan: dc = Diameter partikel (cutting ), in s = Densitas partikel, ppg m = Densitas lumpur pemboran, ppg a = Apparent viscosity, cp
Sedangkan apparent viscosity dapat dihitung dengan persamaan: 1 n
a
K DH DP
144
Va
n
2 1 n .................................................. (3-41) 0, 0208
Keterangan: K = Indeks konsistensi, cp n
= Indeks power law
Va = Kecepatan lumpur di annulus, fps DH = Diameter lubang bor, in DP = Diameter pipa bor, in Lumpur pemboran dalam operasi pemboran masuk ke dalam drillstring dan keluar ke permukaan melalui annulus dengan mengangkat cutting . Kecepatan minimum aliran yang diperlukan untuk mengangkat cutting ke permukaan harus bernilai lebih besar dari kecepatan jatuh cutting . Perhitungan Qmin menggunakan diawali dengan menentukan kecepatan slip cutting , selanjutnya kecepatan cutting dihitung untuk mendapatkan nilai dari kecepatan minimum. Kecepatan minimum inilah yang kemudian digunakan untuk menentukan besar dari Qmin. Kecepatan minimum dinyatakan dengan persamaan: Vmin Vcut +Vsl ................................................................................ (3-42)
Keterangan : Vmin = Kecepatan minimum, ft/s Vcut = Kecepatan cutting , ft/s Vsl
= Kecepatan slip, ft/s
71
Persamaan Vcut, yaitu: Vcut
ROP
D 36 1 c D
............................................................... (3-43)
2
1
conc
2
Persamaan dari cconc adalah sebagai berikut: cconc
0, 01778 ROP 0, 505 ........................................................ (3-44)
Keterangan: D1
= Diameter luar pipa yang lebih kecil, in
D2
= Diameter dalam pipa yang lebih besar, in
ROP = Rate of penetration, ft/hr Nilai dari Vmin yang dihasilkan dari persamaan di atas hanya cocok untuk sumur vertikal. Untuk sumur berarah parameter V min perlu dikoreksi terhadap nilai inklinasi, densitas lumpur pemboran, serta besar RRM. Nilai koreksi ini dapat menggunakan korelasi yang dikembangkan oleh Herianto-P. Subiatmono- Sauman 22. Persamaan ini dapat digunakan untuk sudut inklinasi 0° sampai 90°.
Dengan koreksi ini Persamaan (3-42) menjadi: Vmin
Vcut
1
Ci Cmw CRpm Vsv ................................................. (3-45)
Untuk 45 Persamaan (3-45) menjadi: Vmin
θ 600 Rpm 3 m Vcut 1 Vsv .................................. (3-46) 202500
Untuk 45 Persamaan (3-45) menjadi: Vmin
θ 600 Rpm 3 m Vcut 1 Vsv .................................. (3-47) 4500
Keterangan : Vcut = Kecepatan cutting, ft/s Vsv
= Kecepatan slip vertikal ft/s
RPM = Rotasi per menit m θ 22
= Densitas lumpur, ppg = Sudut inklinasi ( )
Herianto, P. Subiatmono, Sauman, Optimasi Hidrolika Pada Pengunaan Downhole Mud Motor Dengan Konsep Minimum Annular Velocity, Simposium Nasional IATMI 2001
72
Kemudian laju alir lumpur di annulus dapat di hitung dengan persamaan: CapAnn Qmin
VolAnn /MD ...................................................................... (3-48)
CapAnn Vmin ........................................................................ (3-49)
Keterangan : Qmin
= Laju alir minimum, gpm
CapAnn = Kapasitas annulus, gal/ft Vmin
= Kecepatan minimum, ft/menit
3.8. Kehilangan Tekanan
Sistim sirkulasi terdiri atas beberapa komponen atau dapat dibagi dalam beberapa interval, masing-masing memiliki kehilangan tekanan ( pressure drop) yang juga berbeda. Kehilangan tekanan ini disebabkan oleh adanya gesekan antara fluida dengan komponen-komponen tersebut. 3.8.1. Tekanan Parasitik
Jumlah dari kehilangan tekanan dari tiap interval sama dengan kehilangan tekanan total dari sistim sirkulasi (tekanan terukur pada standpipe). Skema sistim sirkulasi seperti ditunjukkan pada Gambar 3.22. Skema tersebut dapat disederhanakan dengan konsep pipa-U menjadi sepert i Gambar 3.23. Total kehilangan tekanan dari sistim sirkulasi secara matematis merupakan jumlah dari kehilangan tekanan dari semua komponen. Masing-masing kelompok interval kehilangan tekanan ini dijabarkan dalam komponen-komponennya menggunakan perhitungan yang sesuai dengan komponen-komponen tersebut. Kehilangan tekanan miscellaneous merupakan kehilangan tekanan pada alat-alat tambahan seperti MWD dan mud motor . Total kehilangan tekanan pada interval selain pada bit disebut juga tekanan parasitik yang digambarkan dalam persamaan: PParasi ti k
PSurface Connecti on PDri llstr ing PAnnulus PMiscellaneous
............. (3-50)
73
Gambar 3.22. Skema Sistim Sirkulasi 23
Berdasarkan urutannya interval-interval ini dapat disusun secara sisitematis seperti pada tabel berikut:
23
M-I Swaco, Handbook of Drilling Fluids, Chapter 5 Rheology and Hydraulics, hal 23
74
Tabel III-1. Urutan Interval pada Sistim Sirkulasi 24 0
Standpipe/Top Drive/Kelly
1
Inside drill pipe
2
Inside drill collar
3
Inside downhole tool
4
Bit nozzle
5
Annulus open hole/drillstring
6
Annulus liner/drillstring
7
Annulus casing or riser/drillstring
Gambar 3.23. Skema Sistim Sirkulasi dengan Konsep Pipa-U25 24 25
M-I Swaco, Handbook of Drilling Fluids, Chapter 5 Rheology and Hydraulics, hal 23 Ibid
75
3.8.2. Kehilangan Tekanan pada Surf ace Connection
Kehilangan tekanan pada surface connection/equipment bergantung pada geometri pipa, densitas fluida di permukaan dan laju alir. Surface connection dapat dikategorikan dalam lima kelompok. Kelompok pertama hingga kelompok keempat terdiri dari standpipe, rotary hose, swivel dan kelly. Kelompok ini merupakan peralatan yang digunakan dalam pemboran dengan mejaputar (rotary table). Sedangkan kelompok kelima yang terdiri atas standpipe, rotary hose dan swivel merupakan peralatan yang digunakan dalam pengeboran dengan top drive. Kehilangan tekanan dapat dihitung dengan menggunakan konstanta surface connection (Csc) dari masing-masing kelompok pada persamaan berikut: 1,86
Q PSC CSC 100
........................................................................ (3-51)
Keterangan : PSC
= Kehilangan tekanan pada surface connection, psi
CSC = Konstanta kehilangan tekanan pada surface connection
Q
= Densitas, lb/gal = Laju alir, gal/menit Tabel III-2.
Nilai Konstanta Surf ace-conn ection Pr essur e untuk Tiap Kelompok 26 Case
Standpipe
Hose
Swivel
Kelly
Csc
1
40 ft x 3.0-in ID
45 ft x 2.0-in ID
4 ft x 2.0-in ID
40 ft x 2.25-in ID
1.00
2
40 ft x 3.5-in ID
55 ft x 2.5-in ID
5 ft x 2.5-in ID
40 ft x 3.25-in ID
0.36
3
45 ft x 4.0-in ID
55 ft x 3.0-in ID
5 ft x 2.5-in ID
40 ft x 3.25-in ID
0.22
4
45 ft x 4.0-in ID
55 ft x 3.0-in ID
6 ft x 3.0-in ID
40 ft x 4.00-in ID
0.15
5
100 ft x 5.0-in ID
85 ft x 3.5-in ID
22 ft x 3.5-in ID
0.15
3.8.3. Kehilangan Tekanan pada Drillstring
Kehilangan tekanan pada drillstring merupakan jumlah dari kehilangan tekanan pada tiap interval jenis pipa. Sebelum menghitung kehilangan tekanan, 26
Rheology and Hydraulics of Oil-well Drilling Fluids, API RECOMMENDED PRACTICE 13D FIFTH EDITION, Juni 2006, hal 28
76
besar Fanning friction factor ( f ) perlu ditentukan terlebih dahulu dengan persamaan yang masing-masing berbeda untuk aliran laminar dan turbulen. Nilai ini merupakan indikasi dari ketahanan fluida untuk mengalir pada dinding pipa. Nilai friction factor pada perhitungan ini menggunakan asumsi bahwa derajat kekasara n semua pipa sama. Berdasarkan buku Handbook of Drilling Fluids dari M-I Swaco, jika Reynold Number kurang atau sama dengan 2100 maka persamaan friction factor di dalam pipa adalah: f p
16
....................................................................................... (3-52)
N RE p
Sedangkan jika Reynold Num ber lebih besar dari 2100 menjadi:
log n 3,93 50 f p 1,75 logn
N RE p
....................................................................................................................... (3-53)
7
Interval jenis pipa ditentukan berdasarkan ukuran diameter dalam/internal dari pipa. Sehingga panjang suatu interval adalah panjang dari pipa dengan diameter internal yang sama. Persamaan untuk menghitung tiap interval tersebut di wakili oleh persamaan berikut: P p
f p Vp 2 92,916D
L ........................................................................... (3-54)
Keterangan :
P p
= Kehilangan tekanan di dalam pipa, psi
f p
= Friction factor di dalam pipa
V p
= Kecepatan rata-rata di dalam pipa, ft/menit
= Densitas, lb/gal
L
= Panjang interval pipa, ft
3.8.4. Kehilangan Tekanan pada Bi t
Kehilangan tekanan pada bit dapat dihitung dengan persamaan berikut: PBit
156 Q2
D
2 n1
2 Dn2
2 Dn3 ...
............................................................ (3-55)
77
Pada kasus khusus seperti ketika coring atau ketika memakai diamond bit , total flow area (TFA) dan faktor konversi disubstitusi ke dalam persamaan berikut: Q
PBit
2
10858 TFA
2
....................................................................... (3-56)
Keterangan : PBit
= Kehilangan tekanan pada bit , psi
TFA
= Total flow area, in2
3.8.5. Kehilangan Tekanan pada Annulus
Kehilangan tekanan total pada annulus merupakan jumlah dari kehilangan tekanan pada tiap interval anular. Interval anular dibagi untuk tiap adanya perubahan pada diameter hidrolika. Perubahan pada diameter luar drillstring dan/atau perubahan pada ukuran internal casing , liner atau open hole akan berakibat pada perubahan diameter hidrolika. Sama seperti pada perhitungan kehilangan tekanan pada drillstring , pada perhitungan kehilangan tekanan pada annulus pertama-tama harus menentukan nilai friction factor sebelum menghitung kehilangan tekanan untuk tiap annular section. Jika Reynold Number kurang atau sama dengan 2100 maka persamaan friction factor di annulus adalah: f a
24
........................................................................................ (3-57)
NREa
Jika Reynol d Num ber lebih besar dari 2100 maka persamaan friction factor di annulus adalah:
log n 3,93 50 ......................................................................... (3-58) f a 1,75 logn
N REa
7
Kehilangan tekanan dari tiap interval harus dihitung secara terpisah lalu kemudian dijumlahkan sebagai nilai total kehilangan tekanan pada annulus. Persamaan yang digunakan pada tiap interval tersebut adalah: Pa
f a Va 2 92916 D 2 D1
L m ............................................................. (3-59)
78
Keterangan : Pa
= Kehilangan tekanan pada annulus, psi
f a
= Friction factor pada annulus
Va
= Kecepatan rata-rata pada annulus, ft/menit
ECD
= Equivalent circulating density, lb/gal
= Densitas, lb/gal
Lm
= Panjang interval, ft
3.8.6. Kehilangan Tekanan pada MWD dan M ud Motor
Kehilangan tekanan pada alat MWD yang digunakan dianggap sebesar 150 psi dan kehilangan tekanan pada mud motor dapat dihitung dengan rule of thumb yaitu 50 psi untuk tiap stage. Mud motor juga memiliki batasan performa yang dapat membatasi nilai tekanan optimal ( Lampiran J). 3.9. Bottom Cir culati ng H ole Pressur e
Nilai densitas lumpur ketika sirkulasi akan melebihi nilai pada kondisi statis. Besarnya akan sebanding dengan kehilangan tekanan pada annulus ketika sirkulasi ditambah dengan tekanan hidrostatis lumpur. Berat equivalen lumpur pada saat sirkulasi disebut sebagai equivalent circulating density (ECD). ECD
Pa 0,052 TVD
................................................................ (3-60)
Namun nilai ECD ini adalah nilai ketika tidak terdapat cutting pada lumpur pemboran, sehingga perlu dicari nilai efektif dari ECD ketika lumpur pemboran mengangkat cutting . Besar nilai ini dapat ditentukan dengan persamaan berikut: ECDeff
eff
Pa 0, 052 TVD
.......................................................... (3-61)
Besar densitas efektif dapat dihitung dengan persamaan: eff
c 100 cconc s conc m ............................................. (3-62) 100 100
Nilai efektif dari ECD dapat digunakan untuk mengetahui besar dari bottom hole pressure: BHCP ECDeff 0, 052 TVD ....................................................... (3-63)
79
3.10. Evaluasi Hidrolika Bit
Setelah analisa dari kehilangan tekanan, perhitungan hidrolika bit dapat digunakan untuk mengevaluasi performa pengeboran. Horsepower (daya) yang tersedia dari pompa di permukaan mempengaruhi hasil evaluasi dari hidrolika bit . Hydraulic Horsepower (HHP) yang dianjurkan untuk kebanyakan bit ada pada kisaran 2,5 sampai 5 horsepower per square inch (HSI)27. Hydraulic horsepower yang lebih kecil pada bit dapat menyebabkan laju penetrasi yang kecil dan buruknya performa bit . Besar dari Hydraulic Horsepower sistim ditunjukkan dalam persamaan: QPTotal
.......................................................................... (3-64) 1714 Bit Hydraulic Horsepower ditunjukkan dalam persamaan: HHPSystem
QPBit
................................................................................ (3-65) 1714 HSI dari Bit Hydraulic Horsepower ditunjukkan dalam persamaan: BHHP
HSI
1,27 BHHP DBit
2
........................................................................ (3-66)
Keterangan : HHPSystem = System Hydraulic Horsepower , hhp
Q
= Bit Hydraulic Horsepower , hhp = Laju alir, gal/menit
PTotal
= Total kehilangan tekanan sistim, psi
PBit
= Total kehilangan pada bit , psi
DBit
= Diameter bit , in
BHHP
Umumnya jumlah efisiensi pemanfaatan tekanan permukaan yang baik pada bit adalah berkisar antara 50-65 %28 (metode BHHP) atau 48% (metode BHI). % PBit
PBit PTotal
100%
..................................................................... (3-67)
Meskipun bit dapat memiliki lebih dari satu jenis ukuran nozzle, kecepatan nozzle akan sama untuk semua lubang nozzle. Besar kecepatan yang dianjurkan
27 28
M-I Swaco, Handbook of Drilling Fluids, Chapter 5 Rheology and Hydraulics, hal 26 Ibid, hal 27
80
pada kebanyakan bit adalah sebesar 250 ft/menit sampai 450 ft/menit. Persamaan untuk kecepatan nozzle ditunjukkan oleh persamaan: Vn
0, 321
Q An
................................................................................ (3-68)
Bit Hydraulic Impact ditunjukkan dalam persamaan: BHI 0,0173 Q PBit .................................................................. (3-69)
Kemudian Impact Force dapat dihitung dengan persamaan: IF
1,27 Vn Q 1930DBit 2
............................................................................. (3-70)
Keterangan : Vn
= Kecepatan nozzle, ft/detik
Q
= Laju alir, gal/menit
An
= Luas nozzle bit , in2
BHI =
Bit Hydraulic Impact , lbf
IF
= Impact Force, psi
DBit
= Diameter bit , in
3.11. Evaluasi Pengangkatan Cutting
Terdapat tiga metode analisa pengangkatan cutting dengan mengacu parameter yang berbeda, namun ketiganya sangat menentukan keberhasilan pengangkatan cutting yang baik, maka analisa ketiga metode harus di optimalkan. Ketiga metode tersebut adalah: 1. Cutting Transport Ratio (Ft) 2. Cutting Concentration (Ca) 3. Partical Bed Index ( PBI) 3.11.1. Cutti ng Transport Ratio (Ft)
Cutting Transport Ratio dapat dihitung menggunakan persamaan: Ft =
Vcut Vmin
........................................................................................... (3-71)
Bila disubstitusikan dengan Persamaan (3-42), maka menjadi :
81
Ft =
Vmin
Vsl
Vmin
×100% ........................................................................ (3-72)
Keterangan : Vcut = Kecepatan aliran cutting , ft/detik Vmin= Kecepatan aliran fluida pemboran, ft/detik Vsl = Kecepatan slip cutting , ft/detik Ft
= Cutting Transport Ratio, %
Untuk transport ratio positif, maka cutting akan terangkat ke permukaan, sedangkan untuk slip velocity sama dengan nol, maka transport ratio bernilai satu yang berarti cutting memiliki kecepatan yang sama dengan kecepatan lumpur. Jika kecepatan slip meningkat maka transport ratio menurun. Cutting transport ratio merupakan parameter yang paling baik untuk menggambarkan kapasitas pengangkatan cutting oleh fluida pemboran. Cutting Transport Ratio tidak menggambarkan kondisi pembersihan lubang (hole cleaning ), namun dengan meningkatkan transport ratio akan menurunkan konsentrasi cutting di annulus. Sedangkan konsentrasi cutting itu sendiri dipengaruhi oleh penetration rate. Transport ratio sebesar 100 % tidak akan menghasilkan konsentrasi cutting 0 % di annulus selama masih berlangsung penetration rate. Batas minimal untuk transport ratio adalah 90 %. 3.11.2. Cuttin g Concentr ation (Ca)
Setelah mendapatkan harga transport ratio, maka dapat dihitung konsentrasi cutting di annulus. Menurut Millpark , parameter ini sangat penting dalam menentukan kondisi cutting. Menurut pengalaman lapangan, konsentrasi cutting di atas 5% di annulus akan menyebabkan timbulnya masalah torsi yang tinggi, penurunan laju penembusan dan terjepitnya rangkaian pipa bor. Untuk menghitung konsentrasi cutting di annulus digunakan persamaan sebagai berikut: Ca =
ROP D
2
14,7 Ft Q
×100% .................................................................. (3-73)
Keterangan: Ca
= Cutting concentration, %
82
ROP = Rate of penetration, ft/jam D
= Diameter lubang bor, in
Ft
= Cutting transport ratio
Q
= Laju alir lumpur, gal/menit
Apabila harga konsentrasi cutting di atas 5 %, maka cara yang dapat dilakukan untuk menurunkannya adalah dengan meningkatkan laju alir lumpur at au meningkatkan transport ratio. 3.11.3. Parti cal B ed in dex (PBI)
Dalam operasi pemboran sumur berarah, analisa pengangkatan cutting harus mempertimbangkan adanya inklinasi lintasan lubang terhadap arah gravitasi bumi yang menyebabkan timbulnya vektor kecepatan cutting ke arah dinding lubang bor, sehingga cutting akan mengendap membentuk endapan cutting . Menurut Ziedler , hal ini dikarenakan pada sumur berarah dengan pola aliran lumpur laminar , adanya penyimpangan lintasan sudut lubang bor t erhadap gravitasi bumi penyebab slip velocity, menyebabkan terjadinya dua arah kecepatan cutting yang merupakan penguraian dari vektor slip velocity, Vsa yang searah dengan lintasan sumur serta Vsr yang tegak lurus terhadap lintasan lubang bor, sehingga didapat persamaan: Vsa =Vsl cos
.................................................................................... (3-74)
Vsr =Vslsin
..................................................................................... (3-75)
Keterangan: Vsa = Slip velocity searah lintasan sumur, ft/detik Vsr = Slip velocity radial , ft/detik Vsl = Slip velocity searah gravitasi bumi, ft/detik
= Sudut inklinasi lintasan sumur
Dengan adanya V sr maka cutting akan mengendap dalam waktu T sl, yang dapat ditentukan dengan persamaan: Tsl =
1 D2 12
Vsr
D1
.......................................................................... (3-76)
83
Keterangan: Tsl = Waktu yang dibutuhkan cutting untuk mengendap, detik D1 = Diameter luar pipa yang lebih kecil, in D2 = Diameter dalam pipa yang lebih besar, in Vsr = Slip velocity radial , ft/detik Seberapa jauh jarak yang ditempuh sebelum cutting mengendap dapat ditentukan dengan persamaan :
Lcut = Vmin
Vsa Tsl ........................................................................ (3-77)
Keterangan: Lcut
= Jarak yang ditempuh cutting , ft
Vmin = Kecepatan lumpur di annulus, ft/detik Vsa
= Slip velocity searah lintasan sumur, ft/detik
Tsl
= Waktu yang dibutuhkan cutting untuk mengendap, detik
Sedangkan persamaan untuk menentukan waktu yang diperlukan cutting mencapai permukaan adalah : Ts =
Lcut
V V min
.............................................................................. (3-78)
sa
Keterangan : Ts = Waktu yang dibutuhkan untuk melewati lintasan, detik Lcut = Jarak yang ditempuh cutting untuk sampai ke permukaan, ft Vmin= Kecepatan lumpur di annulus, ft/detik Vsa = Slip velocity searah lintasan sumur, ft/detik Apabila Ts lebih pendek dari waktu yang dibutuhkan untuk melewati lintasan, maka cutting akan mengendap. Dengan kata lain apabila L c lebih pendek dari kedalaman lintasan sumur pada inklinasi tersebut maka cutting telah mengendap sebelum sampai kepermukaan. Ziedler , merumuskan perbandingan waktu antara pengendapan dan waktu
tempuh sampai permukaan tersebut sebagai indeks pengendapan serbuk bor ( Particle Bed Index), dengan persamaan sebagai berikut untuk aliran laminar:
84
PBI=
1 D2 12
D1 Vmin Vsa Lcut Vsr
...................................................... (3-79)
Cutting yang mengendap depat menyebabkan terjadinya torsi yang tinggi. Untuk mengurangi endapan cutting atau serbuk bor, salah satunya adalah dengan cara mengubah pola aliran fluida pemboran menjadi turbulen de ngan maksud untuk mengacaukan arah dari Vsr . PBI=
Vmin 17×Vsl
................................................................................... (3-80)
Keterangan: PBI = Particle Bed Index (indeks pengendapan cutting ) Vsr
= Slip velocity radial , ft/detik
Vmin = Kecepatan aliran fluida pemboran, ft/detik Setelah harga PBI ditentukan, maka dipakai acuan sebagai berikut : 1. PBI > 1 = Tidak terjadi pengendapan cutting. 2. PBI = 1 = Cutting dalam kondisi hampir mengendap. 3. PBI < 1 = Cutting telah mengalami pengendapan. 3.12. Optimasi Hidrolika Lumpur Pemboran
Bila evaluasi dari perhitungan hidrolika bit serta pengangkatan cutting menunjukkan nilai yang tidak efisien, maka perlu dilakukan optimasi. Optimasi hidrolika didasari oleh beberapa kriteria yang berkaitan dengan perhitungan evaluasi hidrolika bit yang digunakan, yaitu dengan memaksimalkan Bit Hydraulic Horsepower , Jet Velocity atau Bit Hydraulic Impact . Pemilihan konsep optimasi berkaitan dengan profil sumur dan litologi batuan. Sebelum melakukan perhitungan optimasi, besar faktor pangkat kehilangan tekanan total sistim (Z) dan konstanta kehilangan tekanan total sistim (K p) harus terlebih dulu ditentukan, yaitu dengan menggunakan persamaan berikut ini :
85
P p2 P p1 ................................................................................... (3-81) Z Q log 2 Q1 log
-Z K p = Pp1 Q1 ................................................................................... (3-82)
Keterangan : Z
= Faktor pangkat kehilangan tekanan total sistim
K p = Konstanta kehilangan tekanan total sistim
P p = Kehilangan tekanan total sistim (tekanan parasitik), psi Q = Laju alir, gal/menit
Menurut Standart Operating Procedures Operasi Pemboran dari Pertamina, secara praktis dengan data lapangan, optimasi hidrolika dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: 1. Lakukan slow pump rate untuk dua laju alir (Q). Catat tekanan pemompaan (P) dari masing-masing laju alir. 2. Cari harga PBitl dan PBit2 dengan Persamaan (3-55) atau Persamaan (3-56). 3. Cari harga tekanan parasitik P p1 dan P p2 dengan cara: P p1 = P PBit1 ..................................................................................... (3-83) P p2 =P PBit2 .................................................................................... (3-84)
4. Cari harga faktor pangkat Z dengan memasukkan kedua harga Q dan P dalam Persamaan (3-81) .
5. Cari harga konstanta kehilangan tekanan K p dengan memasukkan harga Z ke dalam Persamaan (3-82) . 6. Tentukan tekanan maksimum pompa yang diizinkan untuk operasi (P Maks). 7. Perhitungan selanjutnya menyesuaikan dengan metode optimasi yang dipilih. 3.12.1. Bi t H ydraul ic H orsepower
Prinsip dasar dari metode ini yaitu dengan menganggap semakin besar daya yang disampaikan fluida terhadap batuan semakin besar pula efek pembersihannya. Sehingga prinsip optimasi dengan metode ini adalah dengan mengoptimalkan
86
horsepower (daya) yang dipakai pompa yang tersedia dipermukaan. Metode ini dianggap optimal ketika horsepower pada bit sebesar 50-65% dari daya pompanya29. Optimasi dengan metode ini cocok digunakan untuk pengeboran pada sumur vertikal dan sumur dengan jenis batuan yang keras dengan pertimbangan gaya gravitasi. Prosedur optimasi dengan metode ini dibagi berdasarkan faktor pembatas, yaitu asumsi yang digunakan agar kondisi optimal tercapai. Asumsi tesebut adalah penggunaan tekanan maksimum dan/atau penggunaan daya maksimum yang tersedia di permukaan. 1. Kondisi Tekanan Maksimum
Kondisi kehilangan tekanan pada bit optimal dapat dihitung dengan persamaan: PBit
z
z+1
PMaks
............................................................................... (3-85)
Kondisi laju alir optimal dapat dihitung dengan persamaan: QOpt
PMaks 1 z ...................................................................... (3-86) K p z + 1
Bila laju alir yang dipakai adalah nilai minimum (Q Min) atau maksimum (QMaks) maka persamaan P Bit menjadi: PBit
P K p QOpt z ......................................................................... (3-87)
Setelah QOpt diketahui besar horsepower yang dibutuhkan dipermukaan dapat ditentukan dengan persamaan: HHPS
PMaksQOpt
1714
............................................................................ (3-88)
Setelah perhitungan optimasi, hasilnya tetap perlu dievaluasi, yaitu dengan membandingkan BHHP dengan HHP S. BHHP dapat dihitung dengan persamaan:
BHHP
29
PBit QOpt
1714
............................................................................. (3-89)
M-I Swaco, Handbook of Drilling Fluids, Chapter 5 Rheology and Hydraulics, hal 26
87
2. Kondisi Daya Maksimum
Pada kondisi daya maksimum, laju alir optimal (QOpt) dianggap sama dengan laju alir minimal (QMin). Sedangkan tekanan di permukaan dapat ditentukan dengan persamaan: PS
1714 HHPMaks QMin
......................................................................... (3-90)
Setelah perhitungan optimasi, hasilnya tetap perlu dievaluasi, yaitu dengan membandingkan BHHP dengan HHP S. Untuk dapat menghitung BHHP maka perlu menghitung P Bit, dengan persamaan: PBit
1714 HHPMaks QMin
K P Q Min z ....................................................... (3-91)
Setelah itu BHHP dapat dihitung dengan persamaan:
BHHP
PBit QMin 1714
............................................................................ (3-92)
3. Kondisi Tekanan dan Daya Maksimum
Pada kondisi tekanan dan daya maksimum, laju alir dapat ditentukan dengan persamaan: QOpt
1714 HHPMaks
PMaks
...................................................................... (3-93)
Setelah perhitungan optimasi, hasilnya tetap perlu dievaluasi, yaitu dengan membandingkan BHHP dengan HHP S. Untuk dapat menghitung BHHP maka perlu menghitung P Bit, dengan persamaan: z
1714 HHPMaks PBit PMaks K P .................................................. (3-94) P Maks Setelah itu BHHP dapat dihitung dengan persamaan: BHHP
PBit QOpt 1714
............................................................................. (3-95)
Perlu diperhatikan dalam kondisi apapun, bahwa nilai dari Q Opt harus lebih
88
besar nilai QMin serta lebih kecil dari QMaks. Bila nilai QOpt lebih kecil maka dianggap sama dengan Q Min. Begitu pula dengan batasan Q Maks, bila nilai QOpt lebih besar maka dianggap sama dengan QMaks. Besarnya daya di permukaan pun dibatasi oleh daya yang tersedia. 3.12.2. Jet Velocity
Metode ini umumnya digunakan pada pengeboran sumur horizontal dan sumur dengan jenis batuan lunak. Prinsip metode ini adalah semakin besar rate yang terjadi di bit maka semakin besar pula efektifitas pembersihan lubang. Pada perhitungan optimasi metode Jet Velocity laju alir optimal (QOpt) memiliki besar yang sama dengan laju alir minimal dari sistim (QMin). Prosedur optimasi dengan metode ini dibagi berdasarkan asumsi penggunaan tekanan maksimum atau penggunaan daya maksimum yang tersedia di permukaan. 1. Kondisi Tekanan Maksimal
Pada kondisi tekanan maksimal, dengan menggunakan nilai laju a lir minimal sebagai laju alir optimal, besar PBit dapat ditentukan dengan persamaan:
PBit
PMaks
K PQMin z ....................................................................... (3-96)
Besar daya yang dibutuhkan dipermukaan dapat ditentukan dengan persamaan:
HHPS
PMaks QMin 1714
............................................................................ (3-97)
2. Kondisi Daya Maksimum
Pada kondisi daya maksimum, dengan menggunakan nilai laju alir minimal sebagai laju alir optimal, besar tekanan di permukaan dapat ditentukan dengan persamaan: PS
HHPMaks 1714 QMin
......................................................................... (3-98)
Langkah selanjutnya menghitung besar P Bit yang dibutuhkan dipermukaan dengan persamaan:
89
PBit
1714 HHPMaks QMin
K P Q Min z ....................................................... (3-99)
3.12.3. Bit H ydrauli c I mpact
Metode ini umumnya digunakan pada pengeboran berarah dan jenis batuan yang dengan kekerasan menengah. Prinsip dasar dari metode ini yaitu dengan menganggap bahwa semakin besar impact (tumbukan sesaat) yang diterima batuan dari lumpur yang dipancarkan dari bit maka semakin besar pula efek pembersihannya. Sehingga prinsip optimasi dengan metode ini adalah dengan mengoptimalkan impact pada bit . Prosedur optimasi dengan metode ini dibagi berdasarkan asumsi penggunaan tekanan maksimum dan/atau penggunaan daya maksimum yang tersedia di permukaan. 1. Kondisi Tekanan Maksimum
Perhitungan tekanan pada bit dari tekanan maksimum yang diperbolehkan dipermukaan dengan menggunakan persamaan berikut: PBit
z
z2
PMaks
............................................................................. (3-100)
Nilai laju alir optimal dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan: QOpt
2 PMaks 1 z .................................................................... (3-101) K p z + 2
Bila laju alir yang dipakai adalah nilai minimum (Q Min) atau maksimum (QMaks) maka persamaan P Bit menjadi: PBit
P K p QOpt z ....................................................................... (3-102)
Langkah selanjutnya adalah menghitung BHHP dengan persamaan:
BHHP
PBit QOpt 1714
........................................................................... (3-103)
2. Kondisi Daya Maksimum
Pada kondisi daya maksimum, laju alir optimal (QOpt) dapat ditentukan dengan persamaan: