19
RINGKASAN AL QAWA'ID AL FIQHIYAH AL KHASAH
(KAIDAH-KAIDAH FIQH YANG KHUSUS)
Oleh:
Alfi, Anis, Reza
A. KAIDAH-KAIDAH KHUSUS DI BIDANG IBADAH MAHDHAH
1.
الاصل في العبادة التوقيف والإتباع
"Hukum asal dalam ibadah adalah menunggu dan mengikuti tuntunan syariah"
Maksud kaidah ini adalah dalam melaksanakan ibadah mahdhah, harus ada dalil dan mengikuti tuntunan. kaidah ini juga mengandung subtansi yang sama, yaitu apabila kita melaksanakan ibadah mahdhah harus jelas dalilnya, baik dari Al-Qur'an maupun Al-Hadits Nabi. Sebab, ibadah mahdhah itu tidak sah apabila tanpa dalil yang memerintahkannya atau menganjurkannya.
2.
طهارة الأحداث لاتتوقّت
"Suci dari hadats tidak ada batas waktu"
Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang telah suci dari hadas besar dan atau kecil, maka dia tetap dalam keadaan suci sampai ia yakin batalnya baik dari hadas besar atau kecil.
3.
التّلبس بالعبادة وجب إتمامها
"Percampuran dalam ibadah mewajibkan menyempurnakannya"
Yang dimaksud percampuran (al-talabus) adalah ada dua macam kemungkinan, yaitu menyempurnakan ibadah dan berpindah kepada keringanan (rukhshah). Al-talabus ini menyebabkan keserupaan, kebingungan, dan kesulitan. Kaidah diatas menjelaskan bahwa dalam keadaan demikian wajib menyempurnakannya.
4.
لا قياس في العبادة غير معقل المعنى
"Tidak bisa digunakan analogi (qiyas) dalam ibadah yang tidak bisa dipahami maksudnya"
Sudah barang tentu kaidah tersebut tidak akan disepakati oleh seluruh ulama, karena masalah penggunaan qiyas sendiri tidak disepakati. Yang menyepakati adanya qiyas pun, dalam menggunakannya ada yang menerapkannya secara luas, seperti pada umumnya mazhab Hanafi. ada pula yang seperlunya. Kaidah tersebut di atas membatasi penggunaan analogi dalam ibadah, hanya kasus-kasus yang bisa dipahami maknanya atau illat hukumnya. untuk kasus-kasus yang tidak bisa dipahami 'illat hukumnya, tidak bisa dianalogikan.
5.
تقديم العبادة قبل وجود سببها لا يصحّ
"Tidaklah sah mendahulukan ibadah sebelum ada sebabnya"
Contoh kaidah ini adalah tidak sah shalat, haji, shaum Ramadlan sebelum datang waktunya. kekecualiannya apabila ada cara-cara lain yang ditentukan karena ada kesulitan atau keadaan darurat, seperti jama taqdim, misalnya melakukan shalat ashar pada waktu dzuhur.
6.
كلّ بقعةٍ صحّت فيها النّافلة على الإطلاق صحّت فيها الفريضة
"Setiap tempat yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak, sah pula digunakan shalat fardu"
Contohnya, sah shalat sunnah di Kabbah,di Hijir Ismail, atau di Makam Ibrahim, maka sah pula untuk digunakan shalat fardu.
7.
الإيثار في القرب مكروهٌ وفي غيرها محبوبٌ
"Mengutamakan orang lain pada urusan ibadah adalah makruh dan dalam urusan selainnya adalah disenangi."
Kaidah ini banyak digunakan di kalangan ulama-ulama Syafi'iyah. Contohnya, mengutamakan orang lain pada shaf pertama dalam shalat adalah makruh. Mendahulukan orang lain dalam bersedekah daripada dirinya. Akan tetapi, dalam masalah-masalah keduniaan, mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri adalah disenangi. Misalnya, mendahulukan orang lain dalam membeli dagangan daripada dirinya sendiri.
8.
الفضيلة المتعلّقة بنفس العبادة أولى من المتعلّقة بمكانها
"Keutamaan yang dikaitkan dengan ibadah sendiri adalah lebih utama daripada yang dikaitkan dengan tempatnya"
Contohnya, shalat sendirian di lingkungan Ka'bah adalah lebih utama daripada di luar lingkungan Ka'bah. Akan tetapi, apabila shalat di luar lingkungan Ka'bah ini berjamaah, maka lebih utama daripada shalat sendirian di lingkungan Ka'bah.
9.
الأرض كلّها مسجدٌ إلاّ المقبرة والحمّام
"Bumi ini seluruhnya adalah masjid kecuali kuburan dan kamar mandi"
Maksud kaidah ini adalah boleh melakukan shalat dimana saja di muka bumi ini, sebab bumi ini suci kecuali apabila ada najis, seperti di kuburan atau kamar mandi.
10.
الخوف يبيح قصر صفة الصّلاة
"Kekhawatiran membolehkan qasar shalat"
11.
العبادة الواردة على وجوهٍ متنوّعة يجوز فعلها على جميع تلك الوجوه الواردة فيها
"Ibadah yang kedatangannya (ketentuannya) dalam bentuk yang berbeda-beda, boleh melakukannya dengan cara keseluruhannya dengan cara keseluruhannya bentuk-bentuk tersebut".
Maksud kaidah ini adalah dalam beribadah sering ditemukan tidak hanya satu cara. Dalam hal ini, boleh memilih salah satu cara yang didawakannya (konsisten melakukannya). Boleh pula dalam satu waktu dengan cara tertentu dan pada waktu lain dengan cara yang lain. Boleh pula menggabungkan cara-cara tersebut karena keseluruhannya mencontoh dari hadits Nabi.
12.
الجزء المنفصل من الحيّ كميتته
"Bagian yang terpisah dari binatang yang hidup hukumnya seperti bangkai binatang tersebut"
Contohnya seperti telinga yang terpotong dan terpisah atau gigi yang lepas, hukumnya sama dengan bangkai yang najis dan haram untuk dimakan.
13.
لاتجب في عين واحدةٍ زكاتان
"Dalam satu jenis benda tidak wajib dua kali zakat"
Kaidah ini berhubungan dengan prinsip keadilan. Apabila seorang pedagang telah memenuhi syarat-syarat wajib zakat, maka yang dizakatinya adalah dari harta perdagangan. Demikian pula seorang petani yang telah memenuhi syarat zakat, maka zakatnya dari harta pertanian.
14.
من وجبت عليه فطرته وجبت عليه فطرة كلّ من تلزمه
"Barangsiapa yang diwajibkan kepadanya zakat fitrah, maka wajib pula baginya mengeluarkan zakat fitrah bagi orang yang dia wajib menafkahkannya".
Kaidah ini mengaitkan kewajiban zakat fitrah kepada seseorang yang juga wajib baginya mengeluarkan zakat fitrah bagi orang-orang yang ada dalam tanggungannya, seperti anak-anak atau istrinya.
B. KAIDAH-KAIDAH FIKIH KHUSUS DI BIDANG AHWAL ASY-SYAKHSHIYYAH
Kaidah yang khusus di bidang ahwal asy-syakhshiyyah (hukum keluarga) menjadi penting karena perhatian sumber hukum Islam yaitu Al-Qur'an dan Al-Hadis kepada masalah-masalah keluarga sangat besar. Hal ini terbukti jumlah ayat yang berhubungan dengan hukum keluarga menempati nomor dua setelah ibadah mahdhah. Artinya, Al-Qur'an dan Al-Hadis setelah memberi tuntunan yang cukup untuk pembinaan pribadi muslim dengan ajaran ibadah mahdhah, kemudian beralih kepada pembinaan kehidupan keluarga muslim yang menjadi unsur terkecil dalam pembinaan masyarakat dan komunitas muslim.
Dalam hukum Islam, hukum keluarga ini meliputi : pernikahan, waris, wasiat, wakaf dzurri (keluarga), dan hibah di kalangan keluarga. Kaidah-kaidah yang khusus di bidang ini antara lain:
1.
الأَصْلُ فِي الَإ بْضَاعِ التَّحْرِيْمُ
"Hukum asal pada masalah seks adalah haram"
Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya haram sampai datang sebab-sebab yang jelas dan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu dengan adanya akad pernikahan. Contohnya, pemuda dan pemudi haram melakukan seks di luar nikah, akan tetapi berbeda halnya apabila pemuda dan pemudi tersebut telah melakukan akad nikah, maka menjadi halal apabila melakukan seks.
2.
لَا حَقَّ لِلزَّوْ جِ عَلَى زَو جَتِهِ إِلَّا فِي حُدُوْدِ يَمْسِ لِلزَّوَاجِ وَلَا حَقَّ لِلزَّوْ جَةِ عَلَى زَوْجِهَا إِلَّا فِي حُدُوْدِأَوَامِرِ الشَّرْعِ فِيْمَا يَمْسِى الزَّوَاجِ
"Tidak ada hak bagi suami terhadap isterinya kecuali dalam batas-batas pernikahan dan tidak ada hak bagi isteri terhadap suaminya kecuali dalam batas-batas perintah syariah yang berhubungan dengan pernikahan"
Kaidah di atas menggambarkan kedudukan yang seimbang antara suami dan isteri yang sama sebagai subjek hukum yang penuh. Apabila suami memberikan sesuatu sebagai hibah kepada isterinya atau isteri memberikan sesuatu kepada suaminya, maka seorang pun tidak dapat mencampurinya. Masing-masing pihak, suami atau isteri tidak boleh menarik kembali hibahnya setelah penyerahan atau ijab kabul terjadi. Contohnya juga seperti harta isteri yang didapat dari orang tuanya, maka suami tidak boleh mengambilnya, kecuali atas izin isterinya.
3.
كُلُّ امْرَأَتَيْنِ لَوْ قُدَّرَتْ إحْدَاهُمَا ذَ كَرًا وَحُرِّ مَتْ عَلَيْهِ الأُخْرَى فَلَا يَجُوزُ الجَمْعُ بَيْنَهُمَا
"Setiap dua orang wanita apabila salah satunya ditakdirkan (dianggap) sebagai laki-laki dan diharamkan untuk nikah di antara keduanya, maka kedua wanita haram untuk dimadu"
Contohnya, haram memadu seorang wanita dengan bibinya, karena apabila bibi itu kita anggap laki-laki, maka haram dia menikahi keponakannya. Demikian pula memadu seorang wanita dengan anak perempuan saudara wanita tersebut. Haram pula memadu seorang wanita dengan perempuan dari anaknya. Haram memadu seorang perempuan dengan saudaranya, karena apabila salah seorangnya dianggap laki-laki, dia haramkan nikah dengan saudarannya.
4.
النِّكَاحُ لَا يُفْسِدُ بِفَسَادِ الصدَا قِ
"Akad nikah tidak rusak dengan rusaknya mahar"
Contohnya, Anton mewakilkan dalam akad nikah dengan menyebut maharnya kemudian si wakil menambah mahar tadi, misalnya dari 100 gram emas menjadi 150 gram emas, maka nikahnya tetap sah dan kepada wanita tadi diberikan mahar mitsli.
5.
كُلُّ عُضْوٍ حَرَّمَ النَّظْرَ إِلَيْهِ حَرَّمَ مَسَّهُ بِطَرِيْقٍ أَوْلَى
"Setiap anggota tubuh yang haram dilihat, maka lebih-lebih haram pula dirabanya"
6.
لَايُجَوِّ زُ مُسْلِمُ كَافِرَةً
"Wali yang muslim tidak boleh menikahkan wanita yang kafir"
Contohnya, Abu Bakar adalah seorang muslim yang memiliki anak beragama kafir, maka ia tidak boleh atau tidak sah menjadi wali anaknya yang kafir tadi. Wanita yang kafir tidak memilki wali nasab, tetapi dapat diwakilkan oleh wali hakim.
7.
مَنْ عَلَقَ الطَّلَاقَ بِصِفَةٍ لَم يَقَعْ دُوْنَ وُجُوْدِهَا
"Barangsiapa yang menggantungkan talak kepada suatu sifat, maka talak tidak jatuh tanpa terwujudnya sifat tadi"
Di Indonesia sudah umum menggantungkan talak kepada sesuatu hal, yaitu yang disebut dengan ta'liq talak. Talak menjadi jatuh apabila ta'liq talaknya terwujud dengan syarat si isteri tidak rela dan mengajukan gugatan ke pengadilan. Contohnya, Qadir sewaktu akad nikah menyebut ta'liq talak, maka apabila dilanggar, talak tersebut jatuh dengan terwujudnya sifat tersebut, umpamanya tidak memberi nafkah isteri selama tiga bulan.
8.
كُلُّ فِرْقَةٍمِنْ طَلَاقٍ أَوْ فَسْخٍ بَعْدَ الوَطَءِ تُوْ جَبُ العِدَّةُ
"Setiap perceraian karena talak atau fasakh sesudah campur, maka wajib 'iddah"
9.
كُلُّ مَنْ أَدْلَى إِلَى الهَا لك بِوَاسِطَةٍ فَلَا يَرِثُ بِوُجُوْدِهَا
"Setiap orang yang dihubungkan kepada yang meninggal melalui perantaraan, maka dia tidak mewarisi selama perantara itu ada"
Contohnya, antara kakek dan bapak. Kakek tidak dapat waris selama bapak orang yang meninggal masih hidup, karena kakek dihubungkan dengan orang yang meninggal melalui bapak. Demikian juga anak laki-laki dengan cucu laki-laki. Cucu laki-laki tidak dapat waris selama ada anak laki-laki dari orang yang meninggal, karena cucu laki-laki dihubungkan dengan orang yang meninggal melalui anak laki-laki.
10.
كُلُّ مَنْ وَرَثَ شَيْئًا وَرَثَهُ بِحُقُوْ قِهِ
"Setiap orang yang mewarisi sesuatu, maka dia mewarisi pula hak-haknya (yang bersifat harta)"
Contohnya, hak terhadap utang atau gadai atau juga hak cipta yang diwariskan. Maka kedudukan ahli waris dalam hal ini menduduki kedudukan orang yang meninggal.
11.
أَنَّ الأَقْوَى قرَا بة يَحْجُبُ الأَ ضْعَفَ مِنْهُ
"Kekerabatan yang lebih kuat menghalangi kekerabatan yang lebih lemah"
Contohnya saudara laki-laki sekandung menghalangi saudara laki-laki sebapak dalam mendapatkan warisan. Artinya, apabila ahli waris terdiri dari saudara laki-laki sekandung dan saudara laki-laki sebapak, maka yang mendapat harta warisan hanya saudara laki-laki sekandung, karena kekerabatannya lebih kuat yaitu melalui garis ibu dan bapak. Sedangkan saudara laki-laki sebapak kekerabatannya lebih lemah karena hanya melalui garis bapak.
12.
لَاتِرْ كَةَ إِلَّابَعْدَ سَدَادِ الدَّيْن
"Tidak ada harta peninggalan kecuali setelah dibayar lunas utang (orang yang meninggal)"
Artinya sebelum utang-utang orang yang meninggal dibayar lunas, maka tidak ada harta warisan. Seperti diketahui bahwa dalam hukum waris Islam, harta peninggalan tidak dibagi dahulu sebelum diambil pembiayaan kematian kemudian untuk utang. Kalau masih ada sisanya dipotong lagi untuk wasiat maksimal sepertiga. Sisanya dibagi di antara para ahli waris sesuai dengan ketentuan hukum waris Islam.
13.
لَايَصِحّ الوَصِيَّةُ بِكُلِّ الماَ لِ
"Tidak sah wasiat dengan keseluruhan harta"
Dhabith ini kemudian dipertegas oleh hadis nabi yang menyebutkan bahwa maksimal wasiat adalah sepertiga dari harta warisan dan sepertiga itu sudah banyak. Contohnya, Usman yang memiliki harta 10 Trilliun, maka tidak boleh mewasiatkan harta tersebut semuanya, karena maksimalnya hanya 1/3, jadi batasannya yang dapat diwasiatkan 3 Trilliun.
14.
كُلُّ مَنْ مَاتَ مِنْ المسْلِمِيْنَ لَاوَارِثَ لَهُ فَمَالَهُ لِبَيْتِ الماَلِ
"Setiap orang Islam yang meninggal tanpa meninggalkan ahli waris, maka hartanya diserahkan kepada Bait al-Mal". Contohnya, Saiful Unus yang tidak memiliki keluarga satupun, beliau juga memiliki harta berlimpah, maka harta tersebut diserahkan kepada Bait al-Mal.
C. KAIDAH FIKIH KHUSUS DI BIDANG MUAMALAH ATAU TRANSAKSI
Secara etimologis, Mu'amalah berasal dari kata 'amala - yu'amilu - mu'amalatan, yang bermakna saling bertindak, saling berbuat, saling mengamalkan. Secara terminologis, muamalah mempunyai dua arti, yakni arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas mu'amalah berarti aturan-aturan hukum Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi/pergaulan sosial. Dan dalam arti sempit, mu'amalah berarti aturan Allah yang wajib ditaati, yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda. Jadi mu'amalah adalah menyangkut af'al (perbuatan) seorang hamba.
Sumber hukum fiqih muamalah terdapat dalam alqur'an pada surat An nisa', yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu….". (Q.S An nisa [4]: 29)
Di bidang ibadah mahdhah dan hukum keluarga Islam, aturan – aturan di dalam Al-Quran dan Al-Hadis lebih rinci dibandingkan dengan fikih-fikih lainnya, yang pada umummnya hanya menentukan garis-garis besarnya saja yang tercermin dalam dalil-dalil kulli (bersifat umum), maqashid al-syari'ah (tujuan hukum), semangat ajaran, dan kaidah-kaidah kulliyah. Sehingga di bidang fikih selain ibadah mahdhah dan hukum keluarga Islam, ruang lingkup ijtihad menjadi sangat luas dan materi-materi fikih sebagai hasil ijtihad menjadi sangat banyak. Hal tersebut juga erat kaitannya dengan fungsi manusia sebagai hamba Allah dan juga sebagai khalifah fi al-ardh.
Sebagai hamba Allah, manusia diberi tuntutan agar hidupnya tidak menyimpang dan selalu diingatkan bahwa manusia diciptakan untuk beribadah hanya kepada-Nya, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an
وَمَا خَلَقْتُ الجِنَّ وَ الإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." (QS. Adz-Dzaariyaat : 56)
Sebagai khalifah fi al-ardh manusia diberi tugas untuk memakmurkan kehidupan ini, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an,
... هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأَرْضِ وَ اسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا ...
".... Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya....." (Q.S Huud : 61)
Kedua fungsi ini sebagai amanah dari Allah (QS. Al-Ahzab:72) harus ditunaikan dalam kehidupannya di dunia agar tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat (QS. Al-Baqarah:201), yang tujuan akhirnya meraih keridhaan Allah SWT (QS. Al-Baqarah:207 dan 265; an-nisaa:114; al-Fil:20; dan al-Fajr:28).
Oleh karena itu, manusia diberi kebebasan untuk berusaha dimuka bumi ini., memakmurkan kehidupan dunia. Manusia sebagai khalifah fi al-ardh harus kreatif, inovatif, kerja keras, dan berjuang. Bukan berjuang untuk hidup, tapi hidup ini adalah perjuangan untuk melaksanakan amanah Allah tersebut yang hakikatnya demi kemaslahatan manusia itu sendiri.
Sudah takdir Allah, bahwa manusia tidak dapat lepas dari menjalin hubungan dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam transaksi saja, para ulama menyebutkan tidak kurang dari 25 macam jenis transaksi. Dan seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta tuntutan masyarakat yang makin meningkat, akan selalu melahirkan model-model transakBudiaru yang membutuhkan penyelesainnya dari sisi hukum Islam. Penyelesaian yang pada satu sisi tetap seusai dengan syariat dan di sisi lain dapat menyelesaikan masalah kehidupan yang nyata. Sudah tentu caranya adalah dengan menggunakan kaidah-kaidah fikih.
Kaidah-kaidah fikih di bidang muamalah mulai dari kaidah asasi dan cabangnya, kaidah umum dan kaidah khusus yang kemudian dihimpun oleh ulama-ulama Turki zaman kekhalifahan Turki Utsmani tidak kurang dari 99 kaidah, yang termuat dalam majalah al-Ahkam al-adliyah. Kesembilan puluh sembilan kaidah tadi menjadi acuan dan menjadi jiwa dari1851 pasal tentang transaksi yang tercantum dalam majalah al-ahkam al-adliyah. Kaidah – Kaidah Cabang Di Bidang Fikih Muamalah yaitu:
1.
الأَصْلُ في المُعَامَلَةِ الإِبَاحَةِ إِلَّا أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
"Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya"
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerjasama (mudharabah dan musyarakah) perwakilan, dan lain-lain, kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti mengakibatkan kemudaratan, tipuan, judi, dan riba.
Ibnu Taimiyah menggunakan ungkapan lain:
الأَصْلُ فِي العَادَاتِ العَفْوُ فَلاَ يَحْظر مِنْهُ إِلَّا مَا حَرَّمَ اللهُ
"Hukum asal dalam muamalah adalah pemaafan, tidak ada yang diharamkan kecuali apa yang diharamkan Allah SWT"
2.
الأَصْلُ فِي العَقْدِ رِضَى الُمتَعَاقِدَيْنِ وَنَتْيِجَتُهُ مَا إِلتَزَمَاهُ بِالتَّعَاقُد
"Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan"
Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya, tidak sah suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal. Contohnya seperti pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.
Ungkapan yang lebih singkat dari Ibnu Taimiyah:
الأَصْلُ فِي العُقُوْد رِضَا المتَعَاقِدَيْنِ
"dasar dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak"
2.
لَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَتصَرَّفَ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ بِلَا إِذْنِهِ
"Tiada seorangpun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si pemilik harta"
Atas dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang dijual atau wakil dari pemilik barang atau yang diberi wasiat atau wakilnya. Tidak ada hak orang lain pada barang yang dijual.
4.
البَاطِلُ لَا يَقْبَلُ الإِجَازَةَ
"Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan"
Akad yang batal dalam hukum Islam dianggap tidak ada atau tidak pernaha terjadi. Oleh karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima salah satu pihak. Contohnya, Bank syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga keuangan lain yang menggunakan sistem bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain, karena sistem bunga sudah dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional. Akad baru sah apabila lembaga keuangan lain itu mau menggunakan akad-akad yang diberlakukan pada perbankan syariah, yaitu akad-akad atau transaksi tanpa menggunakan sistem bunga.
5.
الإِجَازَةُ اللَاحِقَةُ كَالوِكَالَةِ السَّابِقَةِ
"Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan lebih dahulu"
Seperti telah dikemukakan pada kaidah no.3 bahwa pada dasaranya seseorang tidak boleh bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tanpa seizin pemiliknya. Tetapi, berdasarkan kaidah di atas, apabila seseorang bertindak hukum pada harta milik orang lain, dan kemudian si pemilik harta mengizinkannya, maka tindakan hukum itu menjadi sah, dan orang tadi dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik harta.
6.
الأَجْرُ وَالضَّمَانُ لَا يَجْتَمِعَانِ
"pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak berjalan bersamaan"
Yang disebut dengan dhaman atau ganti rugi dalam kaidah tersebut adalah mengganti dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada di pasaran atau membayar seharga barang tersebut apabila barangnya tidak ada di pasaran (Majalah Ahkam al-Adliyah pasal 416).
Contoh, seseorang menyewa kendaraan penumpang untuk membawa keluarganya, tetapi si penyewa menggunakannya untuk membawa barang-barang yang berat yang mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat. Maka, si penyewa harus mengganti kerusakan tersebut dan tidak perlu membawa sewaannya. (Majalah Ahkam al-adliyah pasal 550)
7.
الخَرَاجُ بِالضَّمَانُ
"Manfaat suatu benda merupakan fakor pengganti kerugian"
Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi. Contohnya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab, penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli. Contoh lainnya lihat pasal 891 dan 903 Majalah al-Ahkam al-Adliyah.
8.
الغَرْمُ بِالغَنْمِ
"Risiko itu menyertai manfaat"
Maksudnya adalah bahwa seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung risiko. Biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada keridhaan dari penjual atau ditanggung bersama. Demikian pula halnya, seseorang yang meminjam barang, maka dia wajib mengembalikan barang dan risiko ongkos-ongkos pengembaliannya. Berbeda dengan ongkos mengangkut dan memelihara barang, dibebankan pada pemilik barang. Contoh lainnya dapat dilihat MAA pasal 292 dan 1308.
9.
إِذَا بَطَلَ الشَيْئُ بَطَلَ مَا فِي ضَمْنِهِ
"Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya"
Contohnya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak membatalkan jual beli tadi. Maka, hak pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya, si pembeli harus mengembalikan barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangnya.
10.
العَقْدُ عَلَى الأَعْيَانِ كَالعَقْدِ عَلَى مَنَافِعِهَا
"Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda tersebut"
Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan nnisa pula berupa manfaat suatu barang seperti sewa menyewa. Bahkan sekaran, objeknya bisa berupa jasa seperti jasa broker. Maka, pengaruh hukum dari akad yang objeknya barang atau manfaat dari barang adalah sama, dalam arti rukun dan syaratnya sama.
11.
مَا يَصِحُّ تَأبِيْدُهُ مِنَ العُقُوْدِ المُعَاوَضَاتِ فَلَا يَصِحَّ تَوْقِيْتُهُ
"Setiap akad mu'awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan sementara"
Akad mu'awadhah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing memiliki hak dan kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak (penjual) berkewajiban menyerahkan barang dan berhak terhadap harga barang. Di pihak lain yaitu pembeli berkewajiban menyerahkan harga barang dan berhak terhadap barang yang dibelinnya. Dalam akad yang semacam ini tidak sah apabila dibatasi waktunya, sebab akad jual beli tidak dibatasi waktunya. Apabila waktuya dibatasi, maka bukan jual beli tapi sewa menyewa.
12.
الأَمْرُ بِالتَصَرُّفِ فِي مِلْكِ الغَيْرِ بَاطِلٌ
"Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milikorang lain adalah batal"
Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang memerintahkan untuk bertransaksi terhadap milik orang lain yang dilakukannya seperti terhadap miliknya sendiri, maka hukumnya batal. Contohnya, seorang kepala penjaga keamanan memerintahkan kepada bawahannya untuk menjual barang yang dititipkan kepadanya, maka perintah tersebut adalah batal. Kaidah ini juga bisa masuk dalam fikih siyasah, apabila dilihat dari sisi kewenangan memerintah dari atasan kepada bawahannya.
13.
لَا يَتِمُّ التَبَرُّعُ إِلَّا باِلقَبْضِ
"Tidak sempurna akad tabarru' kecuali dengan penyerahan barang"
Akad tabarru' adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya dilaksanakan.
14.
الجَوَازُ الشَرْعِي يَنَافِي الضَّمَانِ
"Suatu hal yang dibolehkan oleh syara' tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti rugi"
Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan atau menninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi. Contohnya, Arimenggali sumur di tempat miliknya sendiri. Kemudian binatang tetangganya jatuh kedalam sumur tersebut dan mati. Maka, tetangga tadi tidak bisa menuntut ganti rugi kepada si A, sebab menggali sumur ditempatnya sendiri dibolehkan oleh syariah. Contoh lainnya dapat dilihat MAA pasal 605 dan 882.
15.
لَا يُنْزَعُ شَيْئٌ مِنْ يَدٍ أَحَدٍ إِلَّا بِحَقِّ ثَابِتٍ
"Sesuatu benda tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar ketentuan hukum yang telah tetap"
16.
كُلُّ قَبُولٍ جَائِزٌ أَنْ يَكُوْنَ قَبِلْتُ
"Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah terima"
Sesungguhnya berdasarkan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad jual beli, sewa menyewa dan lain-lainnya, akad untuk menyebut "qabiltu" (saya telah terima) dengan tidak mengulangi rincian dari ijab. Rincian ijab itu, seperti saya jual barang ini dengan harga sekian dibayar tunai, cukup dijawab dengan "saya terima".
17.
كُلُّ شَرْطٍ كَانَ مِنْ مَصْلَحَةِ العَقْدِ أو مِنْ مُقْتَضَاهُ فَهُوَ جَائِزٌ
"Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat tersebut dibolehkan"
Contohnya seperti dalam hal gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila barang gadai tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerima gadai berhak untuk menjualnya. Atau syarat kebolehan memilih, syarat tercatat di notaris.
18.
كُلُّ مَا صَحَّ الرَّهْنُ بِهِ صَحَّ ضَمَانُهُ
"Setiap yang sah digadaikan, sah pula dijadikan jaminan"
Kaidah no. 17 dan 18 ini sering pula disebut dhabith karena merupakan bab tertentu dari satu bidang hukum. Tetapi ada pula yang menyebutnya kaidah seperti dalam al-Subki. Tampaknya lebih tepat disebut kaidah tafshiliyah atau kaidah yang detail.
19.
مَا جَازَ بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ
"Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan"
Sudah barang tentu ada kekecualiannya, seperti manfaat barang boleh disewakan tapi tidak boleh digadaikan karena tidak bisa diserah terimakan.
20.
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةٌ فَهُوَ رِبَا
"setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama dengan riba"
Kadi Abd al-Wahab al-Maliki dalam kitabnya, al-Isyraf, mengungkapkannya dengan:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ حَرَامٌ
"Setiap pinjaman dengan menaarik manfaat (oleh kredior) adalah haram"
D. KAIDAH FIKIH KHUSUS DI BIDANG JINAYAH
Fikih jinayah adalah hukum islam yang membahas tentang aturan berbagai kejahatan dan sanksinya, membahas tentang pelaku kejahatan dan perbuatannya. Dalam fikih jinayah dibicarakan pula upaya – upaya preventif, rehabilitatif, edukatif, serta upaya – upaya represif dalam menanggulangi kejahatan disertai tentang teori – teori tentang hukuman. Kaidah – kaidah fikih di bidang jinayah yaitu
1.
لَا جَرِيْمَةَ وَلَا عُقُوْبِةَ بِلَا نَّصّ
"tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman tanpa nash"
Dalam hukum islam, suatu perbuatan tidak akan dianggap sebagai sebuah tindak pidana dan tidak dijatuhi hukuman selama tidak terdapat dalam Al-Quran maupun Al-Hadits. Hal ini berlaku sejak Rosulullah pindah ke Madinah sekitar 14 abad yang lalu atau pada abad ke-7 M. Sedangkan dunia barat baru menrapkan hal ini pada abad ke-18 M. Sekarang kaidah ini diterapkan di sumua negara termasuk Indonesia (lihat Pasal 1 ayat (1) KUHP)
Semakna dengan kaidah diatas adalah:
لَا حُكْمَ لِأَفْعَالِ العُقَلَاءِ قَبْلَ وُرُوْدِ النّصِّ
"Tidak ada hukuman bagi oarng berakal sebelum datangnya nash."
2.
اَلْحُدُوْدُ تَسْقُطُ بِالشُّبُهَاتِ
"Hukuman-hukuman itu gugur karena syubhat".
Kaidah ini berasal dari sabda Nabi:
اِدْرَؤُاالْحُدُوْدُ بِا لشُّبُهَاتِ
"Hindarkanlah hukuman-hukuman karena adanya syubhat".
اِدْرَؤُا الْحُدُوْدَ عَنِ الْمُسْلِيْمِنَ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَاِنْ وَجَدْتُمْ لِلْمُسْلِمِ مَخْرَجًا فَخَلُّوْاسَبِيْلَهُ فَاِنَّ الْاِمَامَ لَاَنْ يَخْطِئَ فِى الْعَفْوِ خَيْرٌ مِنْ اَنْ يُخْطِئَ فِى الْعُقُوْبَةِ (رواه الترمذى والحاكم عن عائسة)
"Hindarkanlah hukunan-hukuman dari kaum muslimin sedapat-dapatmu, apabila kamu sekalian mendapatkan jalan keluar bagi orang-orang muslim (agar terhindar dari had) maka berikanlah jalannya, karena sesungguhnya imam (hakim) salah dalam rangka memberi maaf itu lebih baik dari pada salah dalam rangka memberi hukuman"
Suatu kasus yang belum bisa dibuktikan secara faktual sebagai suatu tindak pelanggaran, tersangka tidak bisa dijatuhi hukuman. Karena untuk memvonis pelaku tindak kriminalitas (jarimah) seorang hakim memerlukan bukti-bukti obyektif yang meyakinkan.Berarti dari hadis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa suatu perkara jika terdapat suatu ketidakjelasan, maka bisa menggugurkan suatu had. Had adalah tuntutan hukum yang ada pada al-Qur'an dan Hadis, seperti: pencurian, perzinahan dan sebagainya. Jadi berbeda dengan Ta'zir yang mempunyai pengertian "Tuntutan hukum yang tidak ada ketentuannya dalam nash', seperti: memasuki rumah lain tanpa izin, mencium isteri orang, memaki orang dan sebagainya.
Syubhat artinya tidak terang atau tidak jelas. Jadi masih dalam keadaan samar yaitu perkara-perkara yang kurang atau tidak jelas hukumnya, apakah halal atau haram. Syubhat itu tidak dapat menggugurkan ta'zir, tetapi dapat menggugurkan kaffarat, misalnya: Bila ada sepasang suami isteri yang sedang puasa ramadlan lupa bermain kuda-kudaan (jima') di siang hari, maka ia tidak wajib membayar kaffarat. Tetapi menurut Imam Khafal mereka tetap harus membayar fidyah.Syubhat yang bisa menggugurkan had atau kaffarat itu disyaratkan harus kuat. Jika syubhat lemah, maka tidak dapat menggugurkan had atau kaffarat. Ada tiga macam syubhat yang dapat menggugurkan sanksi had, yaitu:
syubhat yang berhubungan denagn pelaku (al-fa'il) yang disebabkan oleh salah sangkaan si pelaku, seperti mengambil harta orang lain yang dikira harta miliknya.
syubhat karena perbedaan ulama (fi al-jihah) seperti imam malik membolehkan nikah tanpa saksi tapi harus ada wali. Abu Hanifah membolehkan nikah tanpa wali tapi harus ada saksi
syubhat karena tempat (fi al-mahal) seperti me-wathi istri saat haidl.
Untuk menghindari syubhat tersebut diatas, maka penggunaan qiyas tidak diperkenankan dalam hudud, seperti kaidah berikut
لَا يَجُوْزُ إِثْبَاتُ الحُدُوْدِ مِنْ طَرِيْقِ القِيَاسِ وَ إِنَّمَا طَرِيْقُ إِثْبِاتِهَا
"tidak boleh penetapan jarimah hudud dengan cara analogi, penerapannya harus dengan nash."
Menurut kaidah ini tidak boleh menyamakan tindak pidana homoseksual atau lesbian dengan zina, meskipun keduanya diharamkan oleh hukum islam.
3.
كُلُّ مَن غَصَبَ شَيْئًا لزمهُ رَدَّهُ أَوْ رَدَّ قِيْمَتَهُ
"Barangsiapa merampas (ghasab) sesuatu, dia harus mengembalikannya atau mengembalikan senialai harganya."
Ghasab adalah mengambil dan menguasai hak orang lain dengan maksud jahat. Maka orang tersebut harus mengembalikan hak orang lain yang dirampasnya atau mengganti dengan harganya.
4.
التَعْزِيْرُ يَدُوْرُ مَعَ المَصْلَحَةِ
"Sanksi ta'zir (berat ringannya) tergantung kepada maslahah."
Sanksi ta'zir erat kaitannya dengan tindak pidana. Tindak pidana ta'zir terbagi menjadi 3 macam, yaitu:
Tindak pidana hudud atau qisas yang dikukuhkan oleh Al-Qur'an dan Al-Hadits tetapi tidak memenuhi syarat unutk dijatuhi hukuman had atau qisas. Seperti percobaan pencurian, perampokan, perzinaan, atau pembunuhan
Kejahatan – kejahatan yang dikukuhkan oleh Al-Qur'an dan Al-Hadits tetapi tidak disebutkan sanksinya. Sanksinya diserahkan kepada pemerintah (ulil amri), seperti penipuan, saksi palsu, perjudian, penghinaan, dan lain sebaginya
Kejahatan yang ditentukan oleh pemerintah demi kemaslahatan rakyat seperti aturan lalu linta, perlindungna hutan, dan lain sebagainya
Sanksi tazir terberat adalah hukuman mati, sedangkan yang teringan berupa peringatan. Berat ringannya ditentukan dengan pertimbangan maslahat, menimbang perbuatannya baik kualitas maupun kuantitasnya, pelakunya, orang atau masyarakat yang jadi korbannya, tempat kejadian dan waktunya, mengapa dan bagaimana si pelaku melakukan kejahatan.
5.
التَعْزِيْرُ إِلَى الإِمَامِ عَلَى قَدْرِ عِظَمِ الجَرمِ وَ صِغَرِهِ
"berat ringannya sanksi ta'zir diserahkan kepada imam (hakim) sesuai dengan besar kecilnya kejahatan yang dilakukan."
Kaidah ini memberi kewenangan kepada hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman. Dengan mempertimbangkan daya preventif dan represif (al radd wa al jazr) dari hukuman tersebut serta dipertimbangkan pula day edukatif dan rehabilitatif bagi yang bersangkutan.
6.
العِبْرَةُ فِي الحُدُوْدِ بِحَالِ وُ جُوْدِهَا لَا حَالَ إِسْتِفَائِهَا
"yang dijadikan pegangan dalam menentukan tindak pidanaa hudud adalah pada waktu dilakukannya tindak pidana tersebut bukan pada waktu sempurnanya tindak pidana tersebut."
Apabila seseorang melakukan kejahatan, maka yang dinilai adalah pada waktu dilakukannya, bukan setelah sempurna diproses kejahatannya atau setelah diproses di pengadilan. Contoh, seseorang mencuri (pencurian termasuk jarimah hudud), kemudian tertangkap tangan. Harta yang dicuri saat tertangkap tangan belum mencapai nisab, maka tidak dikenakan sanksi potong tangan. Meskipun hartanya bertambah setelah melakukan pencurian hingga sampai batas nisab, si pencuri hanya dikenai sanksi ta'zir. Demikian juga dengan seorang yang akan melakukan pemberontakan dengan mengumpulkan kawan-kawannya dan merencanakannya tetapi belum sempat mengangkat senjata. Maka mereka dikenakan sanksi ta'zir.
7.
يُضَافُ الفِعْلُ إِلَى الفَاعِل لَا الامِرِ مَا لَمْ يَكُنْ مُحْبِرًا
"suatu perbuatan itu dipertanggungjawabkan oleh pelaku bukan kepada yang memerintahkan selama perintahnya tidak bersifat paksaan."
Kaidah diatas dalam kasus pidana seperti seseorang yang turut berbuat tidak langsung, dalam kasus tersebut pelaku yang langsung berbuat harus bertanggung jawab apabila perintah itu tidak bersifat memaksa. Contoh, Ari menyuruh Budi untuk membunuh Cici, selama Ari tidak memaksa Budi, Budi lah yang harus bertanggung jawab terhadap pembunuhan Cici. Sanksinya adalah hukuman mati selama tidak ada pemaafan dari pihak keluarga korban. Namun Ari tetap dikenai sanksi ta'zir karena telah menyuruh orang lain untuk berbuat kejahatan. Kaidah ini diterapkan sepenuhnya dalam mazhab Hanafi. Sedangkan dalam mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hanbali justru yang memrintahkan perbuatan tersebutlah yang harus bertanggung jawab penuh, karena sebenarnya si pelaku langsung (Budi) hanyalah merupakan alat dari yang memerintahkan (Ari).
Namun dalam hal ini haruslah mempertimbangkan unsur keterpaksaan, mengenai kebebasan si pelaku memilih untuk melakukan pembunuhan atau tidak. Jika si pelaku tidak dapat memilih, maka ia termasuk unsur keterpaksaan dan masuk dalam kategori darurat. Tetapi jika si pelaku memiliki pilihan lain dan dapat menghindar dari melakukan kejahatan maka dialah yang bertanggung jawab atas perbuatannya.
Dalam hal ini ada kaidah lain, yaitu:
المُبَاشِرُ ضَامِنٌ وَإِنْ لَمْ يَتَعَمَّدْ
"Yang berbuat langsung bertanggung jawab meskipun tidak disengaja."
Contohnya seperti orang yang tergelincir kemudian orang lain tertimpa olehnya sehingga menyebabkan luka. Orang yang tergelincir kemudian orang lain tertimpa olehnya sehingga menyebabkan luka. Orang yang tergelincir itu harus betanggung jawab karena kelalaian atau ketidakhati-hatiannya. Contoh lainnya seperti supir menabrak seseorang karena tidak hati-hati.
المُتَسَبَّبُ لَا يَضْمَنُ إِلاَّ بِالتَعَمُّدِ
"Pelaku tidak langsung tidak bertanggung jawab kecuali disertai kesengajaan"
Contohnya,
Ahmad mengejar Budi, kemudian Budi menabrak Ciko, Ahmad tidak bertanggung jawab atas luka Ciko, kecuali Ahmad sengaja mengarahkan Budi agar menabrak Ciko.
Ari meminjam pisau kepada Bedu, kemudian pisau tersebut digunakan oleh Bedu untuk membunuh Cici. Maka Ari tidak bertanggung jawab apabila dia tidak tahu bahwa pisaunya akan dipakai untuk membunuh. Tetapi jika Ari tahu bahwa pisaunya akan dipakai untuk membunuh dan ia tetap meminjamkannya, maka Ari juga bertanggung jawab karena kesengajaannya tersebut.
8.
جِنِايَةُ العَجْمَاءِ جُبَارٌ
"Tindakan jahat binatang tidak dikenai sanksi."
Kaidah ini terdapat dalam hadits nabi,
العَجْمَاءُ جُرَحُهَا جُبَارٌ
"Pelukaan karena binatang tidak ada sanksinya." (H.R. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah)
Dalam hukum islam yang dapat dikenai sanksi hanyalah manusia sebagai subjek hukum. Binatang diperlakukan seperti benda. Adapun pemilik binatang yang binatangnya melukai orang lain, apabila ia mengetahuinya dan tidak berusaha mencegahnya, maka pemilik binatang bertanggung jawab, dengan cara mengganti kerugian atau sanksi lainnya. Contohnya, anjing yang suka menggigit, dibiarkan saja oleh pemiliknya tanpa dirantai.
9.
إِقَامَةُ الحُدُودِ وَ رَفْعُ التَنَازُعِ فِي الحُقُوْقِ يُختَصُّ بِالحُكْامِ
"Melaksanakan sanksi hudud (pidana) dan menyelesaikan persengketaan tentang hak (perdata), diserhakan kepada pemerintah (pengadilan).
Maksud kaidah ini adalah tidak bisa seseorang yang tidak memiliki kekuasaan untuk melaksanakan hudud atau menyelesaikan pertengkaran, kecuali melalui petugas khusus dari penguasa.
10.
لَا رَجْعِيَّةَ فِى التَشْرِيْعِ الجِنَائِى
"aturan pidana tidak berlaku surut."
Kaidah ini muncul erat hubungannya dengan Kaidah No. 1, karena tidak adanya tindak pidana dan tidak ada hukumannya sebelum adanya nash, maka baru ada tindak pidana dan hukumannya setelah adanya aturan. Oleh karena itu, hukum pidana tidak berlaku surut. Namun sebagian ulama berpendapat, jika terdapat tindak pidana yang berbahaya bagi masyarakat dan keamanan, maka aturan pidana boleh berlaku surut. Selain itu juga, aturan pidana dapat berlaku surut jika menguntungkan bagi pelaku.
11.
عَمْدُ الصَّبِى خَطَاءٌ
"Kesengajaan anak kecil dianggap sebagai kesalahan."
Oleh karena itu, anak kecil atau orang yang belum dewasa apabila melakukan kejahatan, tidak boleh dijatuhi hukuman had, tetapi boleh diberi hukuman ta'zir, yang bersifat mendidik, karena kesengajaan anak kecil dianggap sebagai kesalahan
12.
لَا يَجُوْزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَأخُذَ مَالَ أَحَدٍ بِلَا سَبَبٍ شَرْعِيِّ
"Tidak boleh bagi seseorang mengambil harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syariah."
Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syariah adalah pencurian atau perampasan yang ada sanksinya. Tetapi jika dibenarka oleh syariah, maka diperbolehkan.
Contoh kasus:
Petugas zakat dibolehkan mengambil harta zakat dari muzakki yang sudah wajib mengeluarkan zakat, yang ditunggak membayarnya
Seorang istri yang tidak diberi nafkah oleh suaminya, boleh mengambil harta suaminya sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti pangan dan sandang
13.
كُلُّ جَانٍ جِنَايَتُهُ عَلَيْهِ
"Setiap pelaku kejahatan, maka tanggung jawab itu kembali kepada dirinya sendiri."
Kaidah ini berhubungan dengan sanksi pidana itu bersifat individual, artinya hanya pelaku kejahatan sajalah yang kena sanksi, bukan keluarga atau yang lainnya.
E. KAIDAH-KAIDAH FIQH KHUSUS DI BIDANG SIYASIYAH
Fiqh siyasiyah meliputi hukum tata negara, administrasi negara, hokum internsional dan hukum ekonomi. Membahas tentang hubungan rakyat dengan pimpinan selaku pengusa dan kebijakan yang diambilnya.
تَصَرُّفُ الاِمَامِ عَلَى الرَّعِيَةِ مَنُوطٌ بِالمَصْلَحَة
"Kebijakan seorang pemimpin kepada rakyatnya tergantung kepada kemaslahatan"
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus berorientasi kepada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau keluarga dan kelompoknya. Contoh dalah hal-hal yang berkaitang dengan kebijakan. Misal dalam uaya pembangunan, membuat irigasi untuk petani dan membuka lapangan kerja yang padat karya.
الْخِيَانَةُ لاَتَتَجَزَّأ
"Perbuatan khianat tidak terbagi-bagi"
Apabila seseorang tidak melaksanakan atau khianat terhadap satu amanah yang dibebankan kepadanya, maka ia harus dipecat dari keseluruhan amanah yang dibebankan kepadanya. Contohnya: Seorang pejabat memiliki banyak amanah yang dibebankan kepadanya. Apabila ia melakukan kesalahan misalnya korupsi, maka ia dipecat dari jabatannya dan semua amanah yang dibebankan kepadanya lepas. Sebab melanggar salah satu dari amanat yang dibebankan yang berarti melanggar keseluruhan amanah.
اِنَّ الاِمَامَ أَنْ يَخْطَئَ فِي العَفْوِ خَيْرٌ مِنْ اَنْ يَخْطَئَ فِي العُقُوبَةُ
"Seorang pemimpin itu, salah dalam memberi maaf lebih baik daripada salah dalam menghukum"
Kehati-hatian dalam mengambil keputusan sangatlah penting. Jangan sampai keputusan pemimpin membawa kemudharatan kepada rakyatnya. Jika masih ragu karena belum adal bukti yang menyakiknkan apakah memberi maaf aau menjatuhkan hukuman, maka memberi maaf jauh lebih baik. Contohnya: Seorang hakim membebaskan seorang terdakwa yang belum ada bukti bahwa dia bersalah. Dari pada menjatuhkan hukuman dengan keraguan.
الوِلاَيَةُ الخَاصَّةُ أَقْوَى مِنَ الوِلاَيَةِ العَامَّةِ
"Kekuasaan yang khusus lebih kuat kedudukannya daripada kekuasaan yang umum"
Dalam fikih siyasah, ada pembagian kekuasaan sejak zaman ke khalifahan. Pembagian kekuasaan itu terus berkembang, maka muncul berbagai lembaga kekuasaan dalam suatu Negara (eksekuitif, legislative, yudikatif). Maksud kaidah di atas adalah bahwa kekuasaan lembaga-lembaga yang khusus lebih kuat kekuasaannya dari pada lembaga umum. Contohnya: Ketua RT lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya dari pada kepala desa, wali kelas lebih kuat kekuasaannya dalam kelasnya dari pada kepala sekolah atau wali nasab lebih kuat kekuasaannya terhadap anaknya dari pada wali hakim (dalam masalah pernikahan).
لاَيُقْبَلُ فِي دَارِ الإِسْلَامِ العُذْرُ بِجَهْلِ الأَحْكَامِ
"Tidak diterima di negeri muslim, pernytaan tidak tahu hokum"
Maksud dari tidak tahu hukum di sini adalah hukum yang bersifat umum karena masyarakat semestinya mengetahui, seperti hukum mentaati ulil amri adalah wajib, zakat itu wajib, dan lain sebagainya. Contohnya: Tidak ada alasan bagi para pengendara sepeda motor tidak mempunyai SIM dengan alasan tidak mengetahui kewajiban memilikinya, karena kewajiban memiliki SIM adalah hal yang pasti diketahui secara umum.
الأَصْلُ فِي العَلاَقَةِ السِّلْمُ
"Hukum asal dalam hubungan antarnegara adalah perdamaian"
Ajaran Islam baik dalam hubungan antar manusia, maupun antar negara adalah perdamaian. Perang hanya dilakukan untuk mempertahankan diri dari aggressor, bersifat temporer dan dilakukan ketika satu-satunya penyelesaiannya adalah perang (darurat). Oleh karena itu, harus memenuhi persyaratan darurat. Apabila terpaksa terjadi perang, harus diupayakan untuk kembali kepada perdamaian baik dengan cara penghentian sementara, perjanjian, atau dengan melalui lembaga arbitrase. Contohnya: Apabila terjadi perselisihan antara pemimpin, maka alangkah baiknya ambil jalan damai dengan dibicarakan baik-baik.
كُلُّ مُبِيْعٍ لَمْ يَصِحُّ فِي دَارِالإِسْلَامِ لَمْ يَصِحُّ فِي دَارِ الحَرْبِ
"Setiap barang yang tidak sah diperjualbelikan di negeri Islam maka tidak sah pula dilakukan di negeri harbi"
Negeri harbi adalah negara yang sedang berperang dengan negara Islam. Kaidah ini dipegang oleh mazhab Maliki dan Syafi'i. Kaidah ini berkaitan dengan teori Nasionalitas. Artinya, di mana pun berada, barang-barang haram tetap haram hukumnya. Contonya: Dimana pun seorang muslim berada, yang namanya berjualan babi haram hukumnya untuk diperjualbelikan
8.
العَقْدُ يُرْعَى مَعَ الكَافِرِ كَمَا يُرْعَى مَعَ المُسْلِمِ
"Setiap perjanjian dengan orang non-muslim harus dihormati seperti dihormatinya perjanjian sesame muslim"
Kaidah ini berlaku dalam akad, perjanjian, atau transaksi antara individu muslim dan nonmuslim dan antara negeri muslim dan negeri nonmuslim secara bilateral atau unilateral. Contohnya: Apabiala seorang muslim berjanji kepada yang nonmuslim, maka ia wajib menepati janjinya, meskipun dia nonmuslim.
9.
الجِبَايَةُ بِالحِمَايَةِ
"Pungutan harus disertai dengan perlindungan"
Kaidah ini menegaskan bahwa setiap pungutan berupa harta dari rakyat, baik berupa zakat, fee, rikaz, ma'dun, kharaj (pajak tanah bagi nonmuslim), wajib disertai dengan perlindungan dari pemerintah kepada warga yang sudah mengeluarkan apa yang dipungut tadi. Yang dimaksud dengan perlindungan disini adalah rakyat harus dilindungi hartanya, darahnya, dan kehormatannya, termasuk didalamnya menciptakan kondisi keamanan yang menyeluruh agar bisa berusaha, bekerja dalam lapangan kerja yang halal, serta membangun sarana dan prasarana untuk kesejahteraan rakyatnya. Contohnya: Di suatu komplek perumahan dialkukan pungutan uang keamanan untuk menjaga komplek tersebut, maka penjaga keamanan itu wajib menjalankan tugasnya untuk menjaga komplek tersebut, karena itu sebuah amanah dari warga komplek.
10.
الخُرُوجُ مِنَ الخِلَافِ مُسْتَحَبٌ
"Keluar dari perbedaan pendapat adalah disenangi"
Perbedaan pendapat penting dalam memberi alternatif pemecahan masalah. Tetapi, berupaya untuk mencari jalan agar dapat diperoleh kesepakatan adalah disenangi yang awalnya terjadi perbedaan pendapat. Hal ini tidak lain adalah agar kehidupan masyarakat menjadi tenang kembali. Contohnya: Dalam suatu permusyawarahan terdapat perbedaan pendapat, maka alangkah bagusnya berupaya untuk menemukan kesamaan sehingga tidak terjadi perbedaan pendapat.
11.
مَا لاَيُدْرَكُ كُلُّهُ لاَيُتْرَكُ كُلُّهُ
"Apa yang tidak bias dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya"
Kaidah ini menyatakan bahwa apabila suatu keputusan yang baik sudah diambil, tetapi dalam pelaksanaannya banyak hambatan, maka tidak berarti harus meninggalkan seluruhnya. Akan tetapi, apa yang dapat dilaksanakan itulah yang dikerjakan sesuai dengan kesempatan dan kemampuan yang ada. Contohnya: Pemberantasan tindak pidana pencurian oleh aparat kepolisian, tentu saja kepolisian, tidak bisa memberantas pencurian semuanya, namun kepolisian harus tetap menjalankan tugasnya semaksimal mungkin.
12.
لَهُمْ مَالَنَا وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَيْنَا
"Bagi mereka ada hak seperti hak-hak yang ada pada kita dan terhadap mereka dibebani kewajiban seperti beban kewajibn terhadap kita"
Kaidah di atas menegaskan adanya persamaan hak dan kewajiban di antara sesama warga, meskipun mereka berbeda warna kulit, bahasa, dan budaya serta kekayaannya. Ulama menggunakan kaidah di atas dalam konteks hubungan antar warga Negara muslim dan dzimmi (kafir dzimmi). Mereka berkedudukan sama di hadapan penguasa dan hukum. Contohnya: Mau dia kaya, miskin, atau pun pejabat yang bertempat tinggal di Indonesia apabila dia melakukan pencurian atau pembunuhan maka dia dikenai hukuman yang berlaku.
F. KAIDAH-KAIDAH FIQH YANG KHUSUS DI BIDANG FIQH QADHA (PERADILAN DAN HUKUM ACARA)
Lembaga peradilan pada masa Umar bin Khatab dibagi menjadi peradilan perdata yang dipegang oleh petugas khusus dan pidana yang tetap dipegang oleh khalifah atau penguasa daerah. Masa khalifah Abasiyah dibentuk wilayah al mazhalim yang bertugas mengadili pejabat yang zalim, saat ini disebut Peradilan Tata Usaha Negara. Kemudian lahir dewan hisbah yang saat ini dikenal dengan peradilan pidana. Berkaitan dengan hal tersebut terdapat pembidangan fiqh yang dibedakan sebagai berikut:
Fiqh ahwal al-syakhsiyah dan muamalah yang ditangani peradilan perdata.
Fiqh ahwal al-syakhsiyah dan waqaf yang ditangani peradilan agama.
Fiqh Jinayah yang ditangani peradilan pidana.
Fiqh Siyasah yang ditangani oleh peradilan tata usaha negara.
Kaidah-kaidah fiqh pada bidang ini:
1.
حُكْمُ الحَا كِم فِى مَسا ئلِ الأِ جتِهَا دِ ير فَعُ الخِلأَ فِ
"Hukum yang diputuskan oleh hakim dalam masalah-masalah ijtihad menghilangkan perbedaan pendapat"
Kaidah ini sesungguhnya berlaku untuk semu pemegang kekuasaan, tetapi menurut al-Qurafi ini hanya berlaku di bidang peradilan. Maksud kaidah ini adalah jika seorang hakim mengalmi perbedaan pendapat di kalangan ulama, kemudian dia mentarjih salah satu pendapat, maka keputusannya harus diterima. Tidak boleh ada yang menolak karena alasan perbedaan pendapat, dengan syarat bahwa keputusan tersebut sesuai dengan syariat.
2.
الأِ نفَا قُ بأَ مر القَا ضِى كَا لأِ نفَا قِ بأ مرِ المَا لكِ
"Membelanjakan harta atas perintah hakim seperti membelanjakan harta atas perintah pemilik"
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa keputusan hakim dalam pengadilan wajib ditaati. Termasuk dalam hal menyita harta. Contoh: keputusan hakim untuk menyuruh koruptor mengembalikan harta yang diambilnnya sama dengan perintah negara selaku pemilik harta tersebut.
3.
خَطَا ءُ القَا ضِى فِي بيتِ المَا ل
"Kesalahan seorang hakim ditanggung oleh Bait al-mal"
Seorang hakim yang dengan tidak sengaja melakukan kesalah dalam mengambil keputusan sehingga menyebabkan dia menanggung kerugian harta, maka kerugian tersebut ditanggung oleh bait al –mal (negara). Karena hakim disini merupakan wakil negara. Contoh: hakim memutus A bersalah kemudian ternyata terbukti A tidak bersalah, kemudian A menuntuk hakim membayar kerugian maka jumlah yang harus dibayarkkan tersebut ditanggung negara.
Kaidah ini juga menunjukkan bahwa hakim harus berhati-hati dalam mengambil keputusan. Macam-macam kesalahan hakim:
Salah dalam hokum, yaitu bertentangan dengan nash.
Salah dalam sebabnya hokum, seperti mengambil dari pembuktian palsu.
Salah dalam prosedur, seperti sesuatu yang seharusnya diputuskan dalam majelis tetapi kemudian diputuskan sendiri.
Apabila kesalahan seperti diatas yang dilakukan oleh hakim maka kerugian yang diderita hakim tidak ditanggung oleh negara.
4.
البَيِّنَةُ على المُدَّ عِى و اليمِينُ عَلى مَن أَ نكَر
"Bukti wajib diberikan oleh yang menggugat dan sumpah wajib diberikan oleh yang mengingkari"
Maksud dari kaidah ini bahwa seseorang yang menggugat orang lain maka wajib abginya menyertakan bukti. Orang yang digugat dapat menolak atau mengingkarinya tetapi diwajibkan untuk bersumpah, hal ini untuk menghindari adanya dusta dari si tergugat.
5,
البَيِّنَةُ حُجَّةٌ مُتَعَدِّيَّةٌ وَالأِقْرَارُ حُجَّةٌ قَا صِرَةٌ
"Bukti adalah hujjah (alasan hukum) berdampak kepada orang lain, sedangkan pengakuan adalah hujjah yang hanya berlaku kepada orang yang mengakuinya saja."
Pengakuan adalah pernyataan dari sesorang yang menyatakan tentang adanya ha orang lain pada dirinya. Sedangkan bukti adalah sesuatu yang menjelaskan kebenaran. Maksud kaidah ini adalah bahwa suatu kasus yang dibuktikan dengan alat bukti maka alat bukti itu dapat melibatkan orang lain seperti saksi atau keterangan ahli. Sedangkan pengakuan hanya melibatkan dirinya sendiri. Contoh; seseorang yang mengaku berzina, maka pengakuan itu hanya berlaku untukya. Sesorang yang diakuinya berzina tidak dapat dilibatkan ketika dia menyangkal dan tidak ada bukti lain yang mendukung.
6.
السُّ الُ مَعَا دُ فِي الجَوابِ
"Pertanyaan itu terulang dalam jawaban"
Maksudnya adalah bahwa hokum dari jawaban itu terletak pada soalnya. Contoh: hakim bertanya pada seseorang "apakah kamu telah menalak istrimu?" dan dia menjawab iya. Maka bagi istrinya telah berlaku hokum talak.
7.
الأَ مِيْنُ مُصَدَّ قٌ بِاليَمِينِ
"orang yang dipercaya perkataannya dibenarkan dengan sumpah"
Orang yang ingin melepaskan diri dari tuduhan maka agar dapat dipercaya ia harus bersumpah. Contoh: orang yang meminjaman barang menggungat peminjam belum mengembalikan. Sedangkan si peminjam mengatakan sudah mengembalikan. Maka untuk membenarkan perkataannya, dia harus bersumpah.
8.
لَا حُجَّةَ مَعَ التَّنَا قُضِ و لَكِنْ لَا يُحْتَلُ مَعَهُ حُكْمُ الحَا كِمِ
"tidak bias dijadikan hujjah keterangan yang bertentangan, akan tetapi keputusan hakim tetap berlaku"
Hal ini berkaitang dengan keternagann saksi yang saling bertentangan di pengadilan. Tetapi dalam hal ini keputusan hakim tetap berlaku dan tidak dapat dirusak dengan keterangan saksi-saksi yang bertentangan.
9.
المَرءُ مُؤَ اخَذٌ بِإِقْرَارِهِ
"Seseorang dituntut karena pengakuannya"
Pengakuan yang diucapkan sesorang maka akan mengikat padanya dan harus dipertanggungjawabkan. Contoh: sesorang yang menjual rumah dengan kredit maka wajib menyerahkan rumah tersebut pada pembelinya meskipun belum dibayar lunas.
10.
لَا حُجَّةَ مَعَ الإَحْتِمَا لِ النَّاشِئ عَنْ دَ لِيْلٍ
"tidak dapat dijadikan hujjah (alasan) dengan adanya kemungkinan yang timbul dari suatu petunjuk"
Dalil merupakan pegangan pokok dalam mengambil keputusan. Tetapi ketika dalil mengandung kemungkinan penyimpangan dari maksudnya maka dalail tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dasar keputusan. Contoh: keluarga tergugat tidak dapat dijadikan saksi karena ada kemungkinan memberikan keterangan palsu.
11.
الصُلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ المُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّ مَ الحَلا لً أَو أَحَلَّ حَرَامًا
"perdamaian di antara kaum muslimin adlaah boleh kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram"
Kaidah inilah yang digunakan hakim untuk mendamaikan penggungat dan tergugat.
12.
الثَّا بِتُ بِا لبَيِّنَةِ العَا دِ لَةِ كَالثَا بِتِ مُعَيَّنَةً
"apa yang diucapkan dengan bukti-bukti yang adil seperti yang ditetapkan berdasarkan kenyataan"
13.
مِنْ اينَ لَكَ هَذَا
"dari mana kamu dapatkan itu"
Hal ini berarti tersangka harus dapat membuktikan asal hartanya bukan dari kegiatan haram seperti mencuri.
REFERENSI
Djazuli, A. 2014. Kaidah-kaidah fikih kaidah-kaidah hokum Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah yang praktis. Kencana
Helim, Abdul. 2012. Kumpulan Kaidah Fikih tentang Siyasah/Politik/Kekuasaan.. (http://ushulfikih.blogspot.co.id/2012/09/kumpulan-kaidah-ikih-tentang-siyasah-politik-kekuasaan.html diakses 7 Mei 2015)
Permana, Sidiq. 2016. Kaidah-kaidah Khusus Di Bidang Ibadah Mahdhah (http://kaidah-fiqiyah.blogspot.co.id/2016/01/kaidah-kaidah-khusus-di-bidang-ibadah.html diakses tanggal 19 April 2016 pukul 20.17)
Zarkasi, Ahmad. 2013. Kaidah-Kaidah Fikih Tentang Ahwal Asy-Syakhshiyyah. (http://ahmadzarkasyi-blog.blogspot.co.id/2014/07/kaidah-kaidah-fikih-tentang-ahwal-asy.html diakses tanggal 19 April 2016 pukul 20.17)
http://www.stainkerinci.ac.id/sites/default/files/Kaidah-kaidah%20fikih.pdf