"Menganalisis Organisasi Pergerakan Pada Masa Pendudukan Jepang"
Terdapat perbedaan antara organisasi pergerakan pada masa kolonial Belanda dengan era pendudukan Jepang, pada masa kolonial Belanda organisasi pergerakan pada umumnya diprakarsai oleh tokoh pejuang Indonesia sedangkan saat era pendudukan Jepang kebanyakan organisasi pergerakan dibentuk oleh jepang. Berikut adalah bebarapa organisasi pergerakan yang ada pada masa pendudukan Jepang di Indonesia.
Organisasi yang Bersifat Sosial Kemasyarakatan
Gerakan Tiga A
Tiga A adalah propaganda Kekaisaran Jepang pada masa Perang Dunia 2 yaitu "Jepang Pemimpin Asia", "Jepang Pelindung Asia" dan "Jepang Cahaya Asia". Gerakan Tiga A didirikan pada tanggal 29 April 1942. Pelopor gerakan Tiga A ialah Shimizu Hitoshi. Ketua Gerakan Tiga A dipercayakan kapada Mr. Syamsuddin. Gerakan Tiga A bukanlah gerakan kebangsaan Indonesia. Gerakan ini lahir semata - mata untuk memikat hati dan menarik simpati bangsa Indonesia agar mau membantu Jepang. Gerakan ini kurang mendapat perhatian rakyat, karena bukan gerakan kebangsaan Indonesia. Oleh karena kurang berhasil menggerakkan rakyat Indonesia dalam membantu Usaha tentara Jepang, maka gerakan ini dibubarkan pada tahun 1943 dan digantikan oleh PuTeRa.
PuTeRa
Pusat Tenaga Rakyat atau Putera adalah organisasi yang dibentuk pemerintah Jepang di Indonesia pada 16 April 1943 dan dipimpin oleh Empat Serangkai, yaitu Ir.Soekarno M.Hatta, Ki Hajar Dewantoro dan K.H Mas Mansyur. Tujuan Putera adalah untuk membujuk kaum Nasionalis dan intelektual untuk mengabdikan pikiran dan tenaganya untuk kepentingan perang melawan Sekutu dan diharapkan dengan adanya pemimpin orang Indonesia, maka rakyat akan mendukung penuh kegiatan ini. Dalam tempo singkat Putera dapat berkembang sampai ke daerah dengan anggotanya adalah kumpulan organisasi profesi seperti, Persatuan Guru Indonesia, perkumpulan pegawai pos, radio dan telegraf, perkumpulan Istri Indonesia, Barisan Banteng dan Badan Perantara Pelajar Indonesia serta Ikatan Sport Indonesia.
Propaganda Tiga A yang disebarluaskan oleh Jepang untuk mencari dukungan rakyat Indonesia ternyata tidak membuahkan hasil memuaskan, karena rakyat justru merasakan tindakan tentara Jepang yang kejam seperti dalam kerja paksa romusha.
Oleh sebab itu pemerintah Jepang berupaya mencari dukungan dari para pimpinan rakyat Indonesia dengan cara membebaskan tokoh-tokoh pergerakan nasional antara lain Soekarno, Hatta dan Syahrir serta merangkul mereka dalam bentuk kerjasama. Para pemimpin bangsa Indonesia merasa bahwa satu-satunya cara menghadapi kekejaman militer Jepang adalah dengan bersikap kooperatif. Hal ini semata untuk tetap berusaha mempertahankan kemerdekaan secara tidak langsung. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka mereka sepakat bekerjasama dengan pemerintah militer Jepang dengan pertimbangan lebih menguntungkan dari pada melawan. Hal ini didukung oleh propaganda Jepang untuk tidak menghalangi kemerdekan Indonesia. Maka setelah terjadi kesepakatan, dibentuklah organisasi baru bernama Putera (Pusat Tenaga Rakyat).
Keberadaan Putera merupakan organisasi resmi pemerintah yang disebarluaskan melalui surat kabar dan radio, sehingga menjangkau sampai ke desa, namun tidak mendapatkan bantuan dana operasional. Meskipun kegiatannya terbatas, para pemimpin Putera memanfaatkan media massa yang disediakan untuk mengikuti dan mengamati situasi dunia luar serta berkomunikasi dengan rakyat.
Karena Putera tidak menguntungkan Jepang, Putera hanya bertahan selama setahun, lalu dibubarkan dan diganti dengan Jawa Hokokai.
Jawa Hokokai
Jepang mendirikan Jawa Hokokai pada tanggal 1 Januari 1944. Organisasi ini diperintah langsung oleh kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan). Latar belakang dibentuknya Jawa Hokokai adalah Jepang menyadari bahwa Putera lebih bermanfaat bagi pihak Indonesia daripada bagi pihak Jepang. Oleh karena itu, Jepang merancang pembentukan organisasi baru yang mencakup semua golongan masyarakat, termasuk golongan Cina dan Arab. Berdirinya Jawa Hokokai diumumkan oleh Panglima Tentara Keenambelas, Jenderal Kumakichi Harada.
Sebelum mendirikan Jawa Hokokai, pemerintah pendudukan Jepang lebih dahulu meminta pendapat empat serangkai. Alasan yang diajukan adalah semakin hebatnya Perang Asia Timur Raya sehingga Jepang perlu membentuk organisasi baru untuk lebih menggiatkan dan mempersatukan segala kekuatan rakyat. Dasar organisasi ini adalah pengorbanan dalam hokoseiskin (semangat kebaktian) yang meliputi pengorbanan diri, mempertebal rasa persaudaraan, dan melaksanakan sesuatu dengan bakti.
Secara tegas, Jawa Hokokai dinyatakan sebagai organisasi resmi pemerintah. Jika pucuk pimpinan Putera diserahkan kepada golongan nasionalis Indonesia, kepemimpinan Jawa Hokokai pada tingkat pusat dipegang langsung oleh Gunseikan. Adapun pimpinan daerah diserahkan kepada pejabat setempat mulai dari Shucokan sampai Kuco. Kegiatankegiatan Jawa Hokokai sebagaimana digariskan dalam anggaran dasarnya sebagai berikut.
Melaksanakan segala sesuatu dengan nyata dan ikhlas untuk menyumbangkan segenap tenaga kepada pemerintah Jepang.
Memimpin rakyat untuk menyumbangkan segenap tenaga berdasarkan semangat persaudaraan antara segenap bangsa.
Memperkukuh pembelaan tanah air.
Anggota Jawa Hokokai adalah bangsa Indonesia yang berusia minimal 14 tahun, bangsa Jepang yang menjadi pegawai negeri, dan orang-orang dari berbagai kelompok profesi. Jawa Hokokai merupakan pelaksana utama usaha pengerahan barang-barang dan padi. Pada tahun 1945, semua kegiatan pemerintah dalam bidang pergerakan dilaksanakan oleh Jawa Hokokai sehingga organisasi ini harus melaksanakan tugas dengan nyata dan menjadi alat bagi kepentingan Jepang.
MIAI
Jepang membutuhkan bantuan dan tenaga umat Islam. Hal ini terbukti dengan diaktifkannya kembali MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) pada tanggal 4 September 1942. Pengaktifan kembali MIAI ini diharapkan dapat memobilisasi gerakan umat Islam untuk menopang keperluan perang.
Dengan semboyan "Berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali Allah dan janganlah berpecah belah", MIAI berkembang menjadi organisasi yang cukup penting pada masa pendudukan Jepang. Adapun tugas MIAI di masa Jepang antara lain sebagai berikut :
Menempatkan umat Islam pada kedudukan yang layak dalam masyarakat.
Mengharmoniskan Islam dengan kebutuhan perkembangan jepang.
Untuk melaksanakan tugas tersebut, MIAI membuat perencanaan program yang menitik beratkan pada tercapainya tujuan yang bersifat sosio-religius. Adapun perincian program MIAI sebagai berikut :
Menyelamatkan dan memelihara kehormatan dan kejayaan umat Islam.
Membangun masyarakat muslim yang mampu memelihara perdamaian dan menciptakan kesejahteraan rakyat.
Meningkatkan pengurusan semua masalah penting kaum muslim seperti : perkawinan, waris, masjid, zakat, pendidikan dan pengajaran, penyiaran dan wakaf, serta kesejahteraan fakir miskin.
Membantu Jepang dan bekerja untuk Asia Raya.
Dalam upaya pelaksanaan program tersebut MIAI memusatkan perhatiannya pada tiga proyek utama, yaitu membangun Masjid Agung di Jakarta, melanjutkan upaya pendirian Universitas Islam, dan membentuk baitulmal. Pada bulan Mei 1943, MIAI membentuk Majelis Pemuda dan Keputrian. Majelis Pemuda dipimpin oleh Ir. Safwan, dengan sektretaris H.M. Effendi, dan penasihat Dr. Abu Hanifah. Sedangkan Keputrian dipimpin oleh Siti Nurjanah sebagai ketua dan Ny. Radian Anwar sebagai sekretaris.
MIAI yang tidak memberi kontribusi kepada Jepang akhirnya dibubarkan pada November 1943.
Masyumi
Pada tanggal 24 Oktober 1943, MIAI dibubarkan. Hal ini disebabkan Jepang memandang berkembangnya MIAI tidak sesuai dengan harapan Jepang. Sebagai gantinya Jepang membentuk Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Sebagai ketuanya ditunjuklah Hasyim Asy'ari, sedangkan wakil ketuanya Mas Mansur dan Wahid Hasyim. Sedangkan sebagai penasihat yaitu Ki Bagus Hadikusuma dan Abdul Wahab.
Sebagai induk organisasi Islam, anggota Masyumi terdiri dari para ulama. Dengan demikian para ulama dilibatkan dalam kegiatan pergerakan politik. Oleh pihak Jepang Masyumi diharapakan dapat mengumpulkan dana dan menggerakkan umat Islam untuk menopang kegiatan Perang Asia Timur Raya.
Masyumi cepat berkembang, di setiap kepresidenan terdapat cabang-cabang Masyumi. Oleh karena itu, Masyumi berhasil meningkatkan hasil bumi dan pengumpulan dana.
Dalam perkembangannya, tampilah tokoh-tokoh muda di dalam Masyumi, antara lain : Moh. Natsir, Harsono, Cokroaminoto dan Prawoto Mangun Sasmito. Masyumi menjadi organisasi massa pendukung rakyat, sehingga menentang keras romusa. Organisasi ini telah menolak perintah Jepang agar menjadi penggerak romusa. Dengan demikian Masyumi telah menjadi organisasi pejuang yang membela rakyat.
Masyarakat yang berkembang diberbagai kelompok. Adapun kelompok-kelompok tersebut antara lain sebagai berikut :
Kelompok Pangreh Praja dan Pegawai
Kelompok pangreh praja dan pegawai masih tetap mempertahankan sikap konservatif. Mereka takut kehilangan kedudukan dan jabatan. Kelompok ini cenderung menjadi pengikut penguasa.
Kelompok Nasionalis Nonagama
Kelompok ini dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Mereka memahami begitu keras dan kejamnya tentara Jepang.
Kelompok Santri dan Ulama
Kelompok Santri dan Ulama juga dinamakan dengan kelompok nasionalis agama. Kelompok ini memiliki pengaruh yang cukup besar di dalam masyarakat, contohnya MIAI.
Kelompok Sosialis
Kelompok di bawah pimpinan Sutan Syahrir ini bersikap antifasisme Jepang. Kelompok ini termasuk pendukung paham demokrasi parlementer dari Barat.
Kelompok Komunis
Kelompok Komunis di bawah pimpinan Amir Syarifuddin ini dikenal antikapitalis, tetapi sekaligus juga antifasisme. Oleh karena itu, wajar jika kelompok ini anti Jepang.
Kelompok Pemuda
Kelompok pemuda ada 2 macam, yaitu :
Kelompok pemuda yang lebih condong ke komunis, di bawah pimpinan Tan Malaka. Mereka umumnya bekerja pada Sendenbu.
Kelompok pemuda kaigun (pegawai-pegawai dapa Dinas Angkatan Laut Jepang). Kelompok ini dipimpin oleh Ahmad Subarjo.
Jepang ternyata memberikan kesempatan pada tokoh-tokoh Indonesia untuk melibatkan diri dalam kegiatan politik dan memangku jabatan-jabatan politis, seperti menjadi residen. Para tokoh nasionalis juga dilibatkan di dalam keanggotaan dan kepemimpinan Chuo Sangi In.
Di dalam Chuo Sangi In, Ir. Soekarno sebagai ketua dan para anggotanya jelas dituntut untuk membina diri dan mengembangkan wawasan politik, karena tugasnya antara lain memberikan jawaban terhadap pertanyaan pemerintah tentang politik dan pemerintahan.
Organisasi Semi-Militer & Militer
Pada tahun 1943 terjadi perubahan politik dunia, di mana blok As (Jerman, dkk.) telah menderita kekakalahan di mana-mana. Jepang mulai cemas terhadap serangan balasan Sekutu yang semakin ofensif dalam perang pasifik. Kondisi ini membuat Jepang mulai bersikap lunak terhadap negeri-negeri jajahannya. Kepada bangsa Indonesia diberi kesempatan untuk ambil bagian dalam uruasan pemerintahan. Untuk itulah dibentuk Tjihio Sangi Kai (semacam Dewan Daerah) dan Tjuai Sangi In (semacam Dewan Rakyat) dengan Ir. Soekarno sebagai ketua dan RMAA Kusumoutoyo dan dr. Buntaran sebagai wakil ketua. Sementara itu Perang Pasifik semakin mendesak kekuatan Jepang. Untuk itu Jepang memerlukan bantuan rakyat daerah pendudukan untuk menahan laju ofensif tentara Sekutu. Pemerintah Jepang mulai memikirkan pengerahan pemuda-pemuda Indonesia guna membantu usaha peperangannya. Jepang mulai beralih ke strategi defensif di mana Indonesia menjadi front depan (Nugroho: 1993).
Berdasarkan keputusan sidang parlemen ke-82 di Tokyo, Perdana Menteri Tojo mengemukakan perlunya dibentuk barisan semi militer dan militer di Indonesia. Pada bulan Januari 1943 dibukalah sebuah pusat latihan militer untuk pemuda-pemuda Indonesia yang dikenal dengan "Sainen Dojo" di Tanggerang. Seinen Dojo ini dipimpin oleh perwira pelatih Jepang Yanagawa, dibantu oleh M.Nakajima seorang Jepang yang besar di Indonesia dan pro terhadap Kemerdekaan Indonesia. Di Seinen Dojo ini para pemuda diberi latihan militer yang sangat berat. Di tempat ini juga dibentuk karakter pemuda semangat dan keberanian berkorban tentara Jepang yaitu "Seisin" . Karakter-karakter "Seisin" seperti "Tai atari", "Jibaku", "Harakiri" inilah yang kelak amat berguna dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di Sainen Dojo ini juga kelak lahir pahlawan-pahlawan kemerdekaan seperti Letnan Jenderal A. Kemal Idris, Letnan Jenderal A. Kosasih, dan Mayor Daan Mogot.
Keberhasilan Seinen Dojo dalam melatih pemuda-pemuda Indonesia membuat Jepang membentuk organisasi-organisasi semi militer lain dalam rangka membantu tentara Jepang dalam peperangannya. Dalam bulan April 1943 dibentuklah organisasi-organisasi pemuda yang diberi latihan militer, yaitu antara lain:
Barisan Pemuda (Seinendan)
Organisasi ini dimaksudkan untuk melatih dan mendidik pemuda agar mampu menjaga dan memepertahankan tanah airnya dengan kekuatannya sendiri, sedangkan tujuan sesungguhnya adalah agar Jepang mempunyai kekuatan cadangan dalam menghadapi Sekutu dalam perang pasifik yang semakin ofensif. Pada awal pembentukannya jumlah anggota Seinendan tercatat 3.500 orang dan kemudian berkembang mencapai jumlah sekitar 500.000 orang pada akhir pemerintahan Jepang.
Susunan Seinendan terdiri atas:
a.Dancho(Komandan)
b.Fuku Dancho(Wakil Komandan)
c.Komon(Penasehat)
d.Sanyo(Anggota Dewan Pertimbangan)
e.Kanji(Administrator)
Yang pasti bahwa organisasi ini digunakan untuk mengamankan garis belakang dan sebagai barisan cadangan. Selain itu dibentuk pula Seinendan putri yang membantu pelaksanaan garis belakang.
Barisan Pembantu Polisi (Keiboidan)
Keiboidan adalah organisasi pemuda (20-35 tahun) yang mempunyai tugas kepolisian berupa penjagaan lalu lintas, keamanan desa, memelihara keamanan dan ketertiban,dan lain-lain. Organisasi ini berada dalam binaan Keimubu (Departemen Kepolisian) dan anggotannya berjumlah sekitar satu juta orang. Yang menarik dari organisasi ini ialah bahwa organisasi ini dijauhkan dari pengaruh kaum nasionalis, sedangkan di dalam Seinendan duduk nasionalis muda seperti Sukarni, Abdul Latief Hendraningrat, dan lain-lain.
Pembantu Prajurit (Heiho)
Pada tanggal 22 April 1943 Tentara Wilayah Ketujuh mengeluarkan peraturan tentang pembentukan Heiho (Pembantu Prajurit). Sejak saat itu para Heiho dilatih dan dipergunakan dalam berbagai kesatuan militer di bawah wewenang tentara wilayah ketujuh yang di dalamnya termasuk Tentara Ke Enam Belas (yang menguasahi wilayah Jawa-Madura).
Setelah melihat latihan di Seinen Dojo pihak Jepang tidak meragukan kemampuan Heiho dalam melaksana-kan tugas-tugas militernya. Namun yang dikawatirkan adalah kesetiaan para Heiho terhadap usaha dan kepentingan perang Jepang. Pihak Jepang merasa takut jika para pemuda Indonesia yang telah terdidik dan terlatih secara militer akan memukul balik pasukan Jepang di Indonesia.
Jumlah pasukan Heiho sampai akhir pendudukan Jepang adalah 42.200 orang yang memiliki keahlian diberbagai seluk beluk persenjataan, tetapi di antara mereka tidak ada yang berpangkat perwira.
Himpunan Wanita (Fujinkai)
Pada bulan Agustus 1943 dalam rangka membentuk potensi wanita Pemerintah Jepang membentuk Fujinkai. Tenaga wanita dengan keanggotaan batas umur 15 tahun ini digunakan digaris belakang untuk membantu dan merawat korban perang, namun banyak juga yang dilibatkan dalam penanaman pohon jarak untuk diambil minyaknya. Selain itu mereka juga diberikan latihan-latihan semi militer yang meliputi baris-berbaris dan menyelamatkan diri dari peperangan.
Organisasi Islam
Golongan Nasionalis Islam memperoleh perhatian khusus pemerintah Jepang. Golongan Nasionalis Islam oleh pemerintah Jepang dianggap anti barat dalam persoalan sekulerisme. Untuk itu Pemerintah Jepang tetap mengijinkan berdirinya organisasi Islam yang sudah berdiri dari jaman Hindia Belanda, yaitu Majelis Islam A'la Indonesia yang didirikan oleh K.H Mas Mansur pada tahun 1937 di Surabaya.
Pemerintah Jepang melalui Kolonel Horie Choso seorang Kepala Shumubu (Kantor Urusan Agama) Jakarta, meminta agar umat Islam tidak melakukan kegiatan yang bersifat politik. Pemerintah Jepang mengharap-kan agar MIAI membantu segala aktifitas Jepang dalam rangka mencapai kemakmuran bersama di bawah pimpinan Dai Nippon. Sebagai organisasi massa yang besar, dalam segala kegiatannya MIAI tetap diawasi oleh pemerintah Jepang.
Pada bulan September 1943 Pemerintah Jepang mengijinkan berdirinya organisasi Islam yang lain yaitu NU dan Muhammaddiyah. Pada bulan Oktober 1943 MIAI dibubarkan, sebab dianggap kegiatannya tidak begitu memuaskan oleh pemerintah Jepang. Sebagai pengganti MIAI berdirilah Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Pada bulan desember 1944 Masyumi diperboleh-kan memiliki organisasi militer yang bernama Barisan Hizbullah (Pasukan Tuhan) Perkembangan organisasi Islam pada masa Jepang mendapatkan keleluasaan. Dalam praktiknya organisasi-organisasi ini tidak selalu memihak kepada pemerintah Jepang, hal ini disebabkan karena banyak dari aktivitas bangsa Jepang yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah Islam.
Pembentukan PETA (Kiodo Bo Ei Giyugun)
Pembentukan PETA atau yang lebih dikenal dengan Tentara Pembela Tanah Air lahir atas prakarsa salah seorang tokoh pergerakan nasional Indonesia yaitu R. Gatot Mangkuprojo melalui suratnya yang ditujukan kepada Saiko Shikan (Panglima Tentara Kenambelas) dan kepada Gunsekan (Kepala Pemerintahan Pendudukan Tentara Jepang). Isi surat tersebut adalah keinginan untuk meyumbangkan tenaganya dalam mempertahankan daerah negara Indonesia agar pemerintah Jepang mau membentuk pasukan sukarela yang seluruh pasukannya terdiri atas bangsa Indonesia.
Dalam waktu sebulan setelah permohonan Gatot, dikeluarkanlah Osamu Seirei No. 44 pada tanggal 3 Oktober 1943, mengenai "Pembentukan Pasukan Sukarela untuk membela Jawa". Peraturan tersebut mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
a.Tentara PETA beranggotakan orang Indonesia asli mulai dari pimpinan sampai bawahan yang terendah;
b.Penempatan militer Jepang untuk tujuan pelatihan;
c.Tentara PETA berada langsung di bawah Panglima Tentara, terlepas dari badan manapun;
d.Tentara PETA merupakan tentara teritorial yang tugas dan kewajibannya mempertahankan daerahnya masing-masing (Syu); dan
e.Tentara PETA di masing-masing daerahnya (Syu) harus siap membela dan mempertahankannya sampai titik darah penghabisan.
Dari pembentukan PETA ini bisa dilihat adanya dua kepentingan yang berbeda. Di satu pihak bangsa Indonesia membutuhkan tenaga-tenaga yang terampil serta mahir dalam bidang kemiliteran yang dibutuhkan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan yang tidak lama lagi menjadi kenyataan. Di pihak lain Jepang membutuhkan tenaga pemuda Indonesia untuk membantu tentara Jepang mempertahankan Indonesia dari tangan Sekutu.
Sistem kepangkatan tentara PETA memilki lima tingkatan, yaitu:
a. Daidanco : Komandan Batalion
b. Cudanco : Komandan Kompi
c. Shodanco : Komandan Peleton
d. Budancho : Komandan Regu
e. Giyubei : Prajurit Sukarela
Menjelang tahun 1944, Jepang mulai terdesak dan satu demi satu daerah jajahannya berhasil direbut Sekutu. Serangan yang diarahkan ke Jepang semakin jelas dan kemungkinan besar hubungan antara Jepang dan Indonesia terputus oleh blokade Sekutu. Untuk menutupi kekalahan yang semakin lanjut tersebut pemerintah Jepang mendirikan Badan Pelopor atau Suisyintai pada tanggal 1 November 1944, sebulan kemudian dibentuk pula Barisan Berani Mati atau Jibakutai. Para pemuda yang tergabung dalam Barisan Berani Mati berjumlah sekitar 50.000 orang.
Mereka mendapat latihan kemilliteran di bawah bimbingan Kapten Yanagawa di Cibarusa, Bogor selama 2 bulan. Sesuai dengan hasil Chui Sangi-In yang ketiga maka pengerahan seluruh kekuatan harus diciptakan dan untuk melaksanakannya maka Ir. Soekarno diangkat menjadi ketua dan R.P Suroso sebagai wakilnya. Jumlah anggotanya ada sekitar 60.000 orang yang ada di kota dan desa.